Download - Musik

Transcript
Page 1: Musik

Musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi sejati tentang musik juga bermacam-macam:

Bunyi yang dianggap enak oleh pendengarnya Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau

kumpulan dan disajikan sebagai musik

Beberapa orang menganggap musik tidak berwujud sama sekali.

Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme.

Pengertian ParikanParikan atau kidungan adalah salah satu bagian dalam kesenian tradisional ludruk. Di dalam ludruk, ada tiga jenis parikan saat bedayan (bagian awal permainan ludruk). Yaitu, lamba (parikan panjang yang berisi pesan), kecrehan (parikan pendek yang kadang-kadang berfungsi menggojlok orang) dan dangdutan (pantun yang bisa berisi kisah-kisah kocak).

Dalam ludruk yang benar-benar murni, seorang seniman ludruk paling tidak harus bisa parikan selama dua jam tanpa putus. Selain itu, parikan tersebut harus dituntut kontemporer. Artinya, parikan tersebut harus sesuai kondisi-situasi sosial yang ada. Jadi, parikan tidak boleh sesuatu yang monoton. Spontanitas menempati porsi terbesar dalam hal ini. Prosesnya selalu dimulai dengan parikan yang sudah dihafalkan. Baru setelah tiga hingga empat parikan karya-karya spontanitas dimunculkan.

Seorang pemain ludruk yang hendak parikan biasanya mengamati kondisi masyarakat sekitar tempat pertunjukan agar bisa membawakan parikan yang mengena dan bisa diterima oleh para penontonnya.

Parikan adalah salah satu karya seni tradisional yang populer, namun kebanyakan penciptanya tidak kita ketahui atau anonim. Karenanya, untuk menghidupkannya kembali, Hermanu mencoba menghadirkan parikan-parikan ini setelah melakukan riset. Agar lebih menarik lagi, BBY mengajak para perupa Yogya untuk memvisualkan—tentu saja sesuai dengan imajinasi mereka sendiri.

Budayawan yang juga seorang pastor di Gereja Kotabaru Yogya, Sindhunata, mengungkapkan bahwa kalimat atau kata-kata dalam kidungan (parikan) dapat menjadi inspirasi bagi para perupa Yogyakarta untuk mengembangkan inspirasinya dalam membuat lukisan. Kata Sindhunata, ada beberapa yang menggambarkan gendhakan atau perselingkuhan dengan apa adanya.

Gendhakan, lanjutnya, di tangan perupa bisa ditampilkan dalam idiom aktual, modern dan universal. Kidungan tersebut jadi mempunyai nilai aktual dan universal yang tetap relevan untuk zaman sekarang.

“Ini sungguh mengherankan, karena kidungan itu hanyalah kata-kata rakyat sederhana, yang lugu dan sering naïf pula,” ujar Sindhunata.

Menyimak apa yang diutarakan Sindhunata, dalam pameran Parikan Gendhakan ini bisa dilihat visualisasi yang digarap Ivan Sagita ketika mengambil parikan yang berbunyi: “Aja enak sing ngimbu sawo. Nak mateng ndhak ruh rasane. Aja enak turu wong loro. Nek meteng ndah ruh jawane.” (Jangan senang yang memeram sawo. Kalau masak tidak tahu rasanya. Jangan senang tidur berdua. Kalau hamil tahu sendiri). Di sini, Ivan menggambarkan potongan tubuh seorang wanita yang telanjang, tanpa kepala. Gambar itu jelas sekali menunjukkan wanita tersebut tengah hamil seperti terlihat perutnya yang membesar.

Pun kalau melihat lukisan Nasirun yang menunjukkan adanya seorang wanita dan seorang laki-laki yang tengah menggendong anak. Lukisan Nasirun ini memvisualisasikan parikan yang berbunyi: Ijo-ijo godhong tebu. Godong blarak dika lugurna. Duwe bojo kok dadi babu. Coba kula, kula anggurna.”(Hijau-hijau daun tebu. Daun kelapa kau jatuhkan. Punya istri kok jadi babu. Coba saya, saya diamkan).

Begitulah para perupa Yogya mencoba menangkap makna parikan dan mengejawantahkan dalam karya lukisannya

Page 2: Musik

Parikan

Parikan merupakan salah satu seni bahasa dari sastra jawa yang disusun membentuk rangkaian kata dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Parikan hidup dan berkembang di dalam masyarakat Jawa sejak berabad-abad tahun yang lalu sampai sekarang. Dalam sastra indonesia, definisi parikan hampir sama dengan pantun. Sebagai pantun, parikan tergolong puisi terikat asli Nusantara. Keduanya tidak dapat diucapkan atau ditulis secara bebas untuk membentuk rangkaian kata yang memiliki nilai seni sastra. Sebagai pantun Jawa, parikan sangat memperhatikan fungsi poetik (poetic function), yakni lapis bunyi.

Dari semua bentuk sastra Jawa seperti dongeng, cangkriman, tembang, parikanlah yang menempati urutan teratas dalam hal keluasan distribusi, frekuensi kemunculan, dan kebertahanan hidup di tengah penduduk Jawa yang semakin modern. Dewasa ini, parikan lebih dipopulerkan dalam bentuk lisan dari pada tulisan. Hal ini bisa kita temukan pada pentas ketoprak, wayang kulit, kuda lumping, kelompok karawitan, bahkan juga deras mengalir dalam lagu-lagu langgam dan campursari. Di Jawa Timur sendiri, parikan sering kita jumpai dalam percakapan atau dialog pada pentas panggung ludruk.

Kepopuleran parikan tersebut, erat kaitannya dengan kehidupan pada masyarakat Jawa itu sendiri. Kata-kata yang muncul dalam parikan, umumnya reaksi terhadap apa yang dilihat, dirasakan oleh pembuat parikan itu sendiri. Pembuat parikan memiliki spontanitas yang tinggi untuk memunculkan kreatifitas dalam berparikan. Hal ini bisa kita amati dalam pentas kesenian ludruk. Dalam ludruk yang benar-benar murni, seorang seniman ludruk paling tidak harus bisa parikan selama dua jam tanpa putus. Prosesnya selalu dimulai dengan parikan yang sudah dihafalkan. Baru setelah tiga hingga empat parikan karya-karya spontanitas dimunculkan. Tentunya, pemain ludruk sendiri harus bisa mengkaji keadaan-keadaan yang terjadi dan rangkaian cerita yang dipentaskan dalam ludruk sendiri. Sehingga parikan tidak bersifat monoton dan ludruk semakin menghibur.

Hal ini juga dikemukakan dalam teori Zima. Menurut teori Zima, tiap kata yang tersusun pada parikan sendiri lebih merupakan reaksi terhadap konteks sosial ketimbang sebagai cerminan kenyataan masyarakat. Dalam teks (lisan maupun tulis) reaksi tersebut ditampilkan dalam wujud ironi (pertentangan), parodi (sindiran), atau imitasi (peniruan). Hal ini erat kaitannya dengan fungsi parikan dalam dimensi sosial yaitu menggambarkan dan mengkritik perilaku anggota masyarakat, pemimpin negara, dan realitas sosial keadaan masyarakat

Selain itu, parikan bersifat fleksibel karena dapat digunakan oleh semua golongan. Baik masyarakat bawah (proletar) maupun pemimpin masyarakat/negara (borjuis). Hampir semua orang bisa membuat parikan. Hanya ketrampilan berbahasa saja yang membuat parikan berbeda. Dalam dimensi sosial yang empiris, parikan sangat populer di kehidupan sehari-hari. Digunakan sebagai hiburan untuk melepas kejenuhan seperti halnya bercanda, menyindir secara halus.

Kepopuleran parikan dalam dimensi sosial membuat parikan semakin beragam. Kreatifitas semakin muncul dalam berbagai jenis parikan. Sedangkan berbagai parikan yang muncul kebanyakan bersifat anonim. Hal ini dikarenakan kepopuleran parikan yang lebih berkembang secara lisan dari pada tertulis. Meskipun beragam, pada umumnya parikan memiliki ciri khas yang sama. Ada pun ciri-ciri parikan secara umum sebagai berikut:

1. Terdapat keterikatan gatra (satuan baris)

2. Terdapat Gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau inti.

3. Terdapat guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa (tembang macapat).

4. Terdapat guru lagu: (disebut juga dhong-dhing) aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.

5. Terdapat guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.

Berikut adalah contoh parikan :

4 wanda - 4 wanda

wajik klethik, gula jawaluwih becik wong prasaja

jemek-jemek gula jowoaja ngenyek padha kanca

4 wanda - 8 wanda

Page 3: Musik

tawon madu, ngisep sari kembang jambuaja nesu yen dituduaaké luputmu

kembang menur, den sebar den awur-awurbareng makmur, banjur lali mring sedulur

manuk emprit, nggawa kawat ing wit warudadi murid, kudu hurmat marang guru

ana baya, mangan roti karo kancapengin mulya, aja wedi ing rekasa

8 wanda - 8 wandakayu urip ora ngepang, ijo-ijo godhong jatiuwong urip ora gampang, mula padha ngati-ati


Top Related