MODUL
PENGANTAR PERPAJAKAN
OLEH
LATIFAH, SE, MM
Program Studi Komputerisasi Akuntansi
AMIK BSI Pontianak
Ganjil 2016/2017
ii
Kata Pengantar
Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan modul Pengantar Perpajakan. Modul ini disusun sebagai tambahan bahan
pengembangan bahan ajar Program Studi Komputerisasi Akuntansi AMIK BSI Pontianak.
Modul dapat digunakan dalam pembuatan bahan ajar, proses belajar mengajar sebagai
pendamping referensi lainnya. Modul ini dapat digunakan oleh dosen maupun mahasiswa dan
tersedia di Perpustakaan AMIK BSI Pontianak. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan modul ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
demi perbaikan dan kesempurnaan modul ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu proses
penyelesain modul ini, terutama kepala program Studi Sistem informasi Akuntasi Universitas
Bina Sarana Informatika , yang telah membimbing penyusun dalam pembuatan modul ini.
Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya para peserta didik.
Pontianak, September 2016
Penyusun
iii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 DASAR DASAR PERPAJAKAN
A. Pengertian dan Sistem Perpajakan di Indonesia ............................ 1
B. Unsur Perpajakan ........................................................................ 2
C. Kedudukan Hukum Pajak ............................................................ 3
BAB 2 TATA UMUM DAN CARA PERPAJAKAN
A. Tata Cara Pemungutan Pajak ........................................................ 4
B. Asas Pemungutan Pajak ............................................................... 5
C. Timbul Dan Hapusnya Utang Pajak............................................... 8
D. Subjek Pajak ................................................................................ 9
BAB 3 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
A. Pengertian .................................................................................... 12
B. Pemotong PPh Pasal 21 ................................................................ 12
C. Subjek PPh Pasal 21 .................................................................... 13
D. Bukan Subjek PPh Pasal 21 ......................................................... 13
E. Objek PPh Pasal 21....................................................................... 14
F. Bukan Objek PPh Pasal 21 ........................................................... 14
G. Ketentuan Lain ............................................................................. 15
D. Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 .................................................... 15
BAB 4 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
A. PPh Pasal 22 Pemungut ............................................................... 21
B. Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ......... 23
C. Saat terutang dan Pelunasan PPh Pasal 22 ................................... 25
BAB 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
A. Pemotong PPh Pasal 23 .............................................................. 26
B. Tarif dan Objek PPh Pasal 23 ..................................................... 26
BAB 6 PPH PASAL 4 AYAT 2
A. PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia ................................................................................... 27
B. PPh Final atas Bunga Obligasi .................................................... 28
iv
C. PPh Final atas Bunga Simpanan Koperasi ................................... 29
D. PPh Final atas Hadiah Undian .................................................... 29
F. PPh Final atas Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan .... 29
E. PPh Final atas Penjualan Saham di Bursa Efek ........................... 30
G. PPh Final atas Jasa Konstruksi..................................................... 31
BAB 7 PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
A. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)................................... 35
B. Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai).......................................... 35
C. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)............................................ 35
D. Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Menyetor dan
Melaporkan PPN.......................................................................... 35
E. Barang atau Jasa yang Dikenakan PPN......................................... 36
F. Tarif PPN...................................................................................... 37
BAB 8 PAJAK DAERAH
A. Pengertian Pajak Daerah............................................................... 38
B. Fungsi Pajak Daerah..................................................................... 38
BAB 9 PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
A. Pajak Bumi Dan Bangunan ............................................................ 40
B. Tarif Pajak Bumi Dan Bangunan................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA 43
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
1
BAB 1
DASAR DASAR PERPAJAKAN
Perpajakan di Indonesia diatur melalui pasal 23A UUD 1945 dan
peraturan lainnya seperti UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan. Berbicara mengenai perpajakan di Indonesia, sudah tentu
cakupan bahasannya akan sangat meluas. Namun, dalam artikel ini, pokok
bahasan hanya dikerucutkan pada tiga tema besar yakni sejarah, sistem dan dasar
hukum perpajakan.
A. Pengertian dan Sistem Perpajakan di Indonesia
Pajak adalah kontribusi wajib yang diberikan wajib pajak kepada negara. Saat
membayarkan pajak, negara tidak memberikan imbalan langsung. Pajak pun
bersifat memaksa dan hasil pungutannya tersebut harus digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sbb :
1. Iuran dari rakyat kepada negara
2. Pemungutannya berdasarkan undang-undang
3. Tanpa jasa timbal yang langsung dapat ditunjuk atau kontraprestasi
4. Digunakan untuk membiayai pembangunan negara.
Di Indonesia, pajak dikategorikan berdasarkan tiga hal. Pertama, berdasarkan
golongannya/cara pemungutannya (pajak langsung dan pajak tidak langsung).
Kedua, berdasarkan sifatnya (pajak subjektif dan pajak objektif). Ketiga,
berdasarkan lembaga pemungutannya (pajak pusat dan pajak daerah).
Sejak tahun 1983, pemerintah Indonesia telah mengubah sistem pemungutan
pajak yang semula menggunakan official assessment (dipakai saat era kolonial
Belanda) menjadi self assessment. Apa perbedaan dua sistem tersebut? Salah satu
inti perbedaan dari dua sistem pemungutan pajak ini adalah wewenang
menetapkan besaran pajak terutang. Jika pada official assessment, wewenang
penetapan besaran pajak ada pada pemerintah, sedangkan pada self assessment
wewenang tersebut ada pada wajib pajak. Di era pra kolonial (sebelum masuknya
Belanda), pajak dikenal dengan istilah upeti. Upeti dipungut oleh raja untuk
kepentingan pribadi dan operasional kerajaannya. Contohnya seperti membangun
istana atau membiayai rumah tangga kerajaan. Jenis pajak yang diberlakukan di
era ini misalnya pajak tol dan pajak candu. Saat Indonesia dijajah oleh Belanda,
saat itulah sistem kita mengenal sistem perpajakan modern. Salah satu jenis pajak
yang berlaku saat itu di antaranya pajak rumah tinggal yang diberlakukan tahun
1839 dan pajak usaha (https://www.online-pajak.com/perpajakan-di-indonesia-sejarah-sistem-dan-dasar-hukumnya)
Pemerintah Kolonial Belanda juga membedakan besar tarif pajak berdasarkan
kewarganegaraan wajib pajak. Pada tahun 1885 misalnya, pemerintah
memberlakukan kenaikan pajak tinggal untuk warga Asia menjadi 4%.
Pada era pra kemerdekaan, penjajah Belanda dan Inggris juga telah
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
2
memperkenalkan sistem pemungutan pajak yang sistematis.
Setelah tahu bagaimana sejarah perpajakan di Indonesia, kini kita akan
membahas dasar hukum perpajakan di Indonesia pada era kemerdekaan. Untuk
lebih jelasnya lagi, berikut ini berbagai dasar hukum yang mengatur perpajakan di
Indonesia.
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur
dalam UU No. 6/1983 dan diperbarui oleh UU No. 16/2000.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No. 7/1983
dan diperbarui oleh UU No. 17/2000.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan yang diatur
oleh UU No. 8/1983 dan diganti menjadi UU No. 18/2000.
4. Undang-undang penagihan pajak dan surat paksa yang diatur dalam UU No.
19/1997 dan diganti menjadi UU No. 19/2000.
5. Undang-Undang Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU N0. 14/2002.
Di samping memiliki dasar hukum, perpajakan di Indonesia juga memiliki
asas yang jelas. Berikut ini berbagai asas perpajakan yang berlaku di Indonesia.
1. Asas Finansial.
2. Asas Ekonomis.
3. Asas Yuridis.
4. Asas Umum.
5. Asas Sumber.
6. Asas Kebangsaan atau Nasionalitas.
7. Asas Wilayah atau Teritorial.
B. Unsur Perpajakan
Fungsi pajak :
1. Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya.
2. Fungsi Mengatur (Reguler).
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah
dalam bidang sosial dan ekonomi.
Syarat-syarat Pemungutan Pajak
1. Keadilan
Pemungutan pajak harus adil, sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai
keadilan maka undangundang dan pelaksanaan pemungutan pajak harus
adil,dengan memperhatikan kondisi - kondisi tertentu.
2. Syarat Yuridis
Pemungutan pajak harus berdasarkan undangundang untuk memberikan jaminan
hukum dan menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun
warga negara.
3. Syarat Ekonomis
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan.
4. Syarat Efisien. Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
3
ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Syarat Sederhana
Sistem pemungutan pajak harus sederhana sehingga akan memudahkan dan
mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
C. Kedudukan Hukum Pajak
Hukum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Hukum Perdata : Mengatur hubungan antara satu individu
dengan individu lainnya.
2. Hukum Publik : Mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Hukum publik ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif)
c. Hukum Pajak
d. Hukum Pidana
1. Menurut Golongan :
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain.
2. Menurut Sifatnya :
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya,
dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib
Pajak.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
4
BAB 2
TATA UMUM DAN CARA PERPAJAKAN
A. Tata Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak
a. Stelsel Nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek
(penghasilan yang nyata).
b. Stelsel Anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu
aggapan yang diatur oleh undang-undang.
c. Stelsel Campuran Merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
2. Asas Pemungutan Pajak
a. Asas domisili
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayah pabean indonesia, sekalipun penghasilan
diperoleh dari luar negeri.
b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara
3. Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang dan
kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya
pajak yang terutang.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan pajak yang terutang oleh wajib pajak.( https://klikpajak.id/blog/berita-pajak/mengenal-penerapan-stelsel-pajak-di-indonesia/)
Dalam mendukung kelancaran sistem pemungutan pajak agar berjalan efektif,
terdapat 4 prinsip pajak yang harus dijalankan dalam pelaksanaan pemungutan
pajak.
1. Prinsip Keadilan (Equity)
Keadilan vertikal maupun keadilan horizontal dalam pemungutan pajak harus
dipenuhi. Prinsip keadilan intinya memperhatikan pengenaan pajak secara
umum serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak atau sebanding dengan
tingkat penghasilannya. Keadilan horizontal yaitu pembayar pajak dengan
kondisi sama atau sejajar akan dikenai beban pajak yang sama. Sementara
keadilan horizontal yaitu ketika pembayar pajak dengan jumlah penghasilan
lebih besar akan menanggung beban pajak lebih besar dibanding pembayar
pajak dengan penghasilan kecil.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
5
2. Prinsip Kepastian (Certainty)
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan tegas, jelas, dan terdapat kepastian
dan jaminan hukum. Prinsip kepastian memberikan kemudahan bagi Wajib
Pajak mengenai objek pengenaan pajak, besaran pajak atau dasar pengenaan
pajak, serta segala tata cara dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Hal
tersebut dimaksudkan agar mudah dimengerti oleh Wajib Pajak dan
memudahkan administrasi.
3. Prinsip Kecocokan/Kelayakan (Convience)
Pajak yang dipungut hendaknya tidak memberatkan Wajib Pajak serta
hendaknya sejalan dengan sistem self assessment. Artinya, pemerintah
mengutamakan serta memperhatikan layak atau tidaknya seseorang dikenakan
pajak, sehingga orang yang dikenai pajak akan senang hati dan tulus
memenuhi dan membayar kewajiban pajaknya.
4. Prinsip Ekonomi (Economy)
Pada saat menetapkan dan memungut pajak harus mempertimbangkan biaya
pemungutan pajak dan harus proporsional. Pemerintah akan menerapkan
sistem perpajakan yang efektif dan efisien, seperti biaya pemungutan pajak
yang rendah. Jangan sampai biaya pemungutan lebih tinggi dari beban pajak
yang dikenakan.
(https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/4-prinsip-pajak-di-indonesia/)
B. Asas Pemungutan Pajak
Menurut Adam Smith
Dalam bukunya yang berjudul “Wealth of Nations” dengan konsep yang dikenal
dengan The Four Maxims, ia menyebutkan bahwa ada 4 asas pemungutan pajak,
yakni (https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/publik/asas-pemungutan-pajak) :
1. Asas Equality (keseimbangan atau keadilan)
Asa ini mengharuskan negara menyesuaikan dengan kemampuan dan
penghasilan warga negaranya ketika ingin melakukan pemungutan pajak.
Dengan ini negara tidak diperkenankan bertindak deskriminatif atau
seenaknya sendiri dalam melakukan pemungutan pajak bagi wajib pajak
(orang yang wajib membayar pajak). Keadilan di sini tidak berarti semua
pihak membayar pajak yang sama namun harus sesuai dengan yang
mereka miliki, misalnya ketika wajib pajak tersebut kemampuannya lebih
dan harta yang dimiliki banyak, otomatis pajaknya juga tinggi, berbeda
dengan wajib pajak yang memiliki kemampuan rendah atau standart,
otomatis pajak yang dikenakn padanya juga standart. Inilah yang disebut
dengan adil dalam asas pemungutan pajak ini.
2. Asas Certainty (kepastian hukum)
Pemungutan pajak harus ada aturan dan dasar yang jelas dengan sanksi
hukum yang tegas, hal ini dimaksudkan agar pemungutan pajak tetap
dalam koridor yang benar dan tidak ada penyelewengan. Penetapan pajak
harus transparan dan sesui dengan hukum yang berlaku yaitu berupa
Undang-undang yang berlaku di setiap negara. Dengan begitu wajib pajak
yang tidak bersedia atau telat membayar pajak maka akan dikenakan
sanksi atau hukuman berupa administrasi maupun pidana. Begitu pula
dengan pihak yang berwajib jika melakukan penyelewengan dalam
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
6
pemungutan pajak akan mendapatkan sanksi yang setimpal.
3. Asas Convinience of Payment (tepat waktu)
Pemungutan pajak harus dilaksanakan pada waktu yang tepat, dimana
wajib pajak tidak keberatan atau kesulitan saat membayar tanggungan
pajaknya. Tepat waktu disini diartikan pemungutan pajak dilaksanakan
pada waktu itu, waktu dimana wajib pajak mendapat gajian ataupun
mendapat hadiah. Hal ini dimaksudkan agar pajak tidak memberatkan para
wajib pajak. Bisa kita bayangkan ketika wajib pajak telah membelanjakan
harta yang dimilikinya dan ketika itu dipungut pajak, maka mereka akan
merasa keberatan.
4. Asas Effeciency (efisiensi atau ekonomis)
Pelaksanaan pemungutan pajak harus dilakukan secara seefisien mungkin.
Karena pada dasarnya pendapatan dari pemungutan pajak digunakan untuk
biaya operasional suatu negara. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan
pajak memang harus tepat dan benar agar tujuan dari pemungutan pajak
bisa tercapai. Untuk lebih jelasnya arti dari efisiensi dalam pemungutan
pajak adalah biaya yang didapat dari pemungutan pajak lebih besar
daripada biaya pelaksanaan pemungutan pajak.
Menurut W.J Langen Ada beberapa asas yang harus dimiliki dalam pemungutan
pajak, yakni :
1. Asas daya pikul Daya pikul disini diartikan bahwa beban pajak yang dibebankan kepada
wajib pajak tidak boleh sampai lebih dari kemampuan mereka, jumlah
pajak yang harus dibayarkan harus sesuai dengan harta, pendapatan yang
dimiliki oleh wajib pajak tersebut. Semakin tinggi pendapatan yang
dimiliki wajib pajak maka semakin tinggi pula pajak yang harus
dibayarkan olehnya juga tinggi, sebaliknya bagi wajib pajak yang
memiliki pendapatan standart atau kecil, maka jumlah pajak yang harus
dibayarkan juga kecil.
2. Asas manfaat Hasil dari pemungutan pajak harus digunakan atau dimanfaatkan untuk
kepentingan umum atau kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Asas ini juga
bermakna uang dari warga harus kembali lagi ke warga, maksudnya
adalah wajib pajak bisa merasakan apa yang telah mereka berikan kepada
negara.
3. Asas kesejahteraan Pada dasarnya pemungutan pajak bertujuan untuk menciptakan sebuah
kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang ada di negara tersebut. Karena
dengan adanya pajak maka pemerataan pendapatan ataupun kesejahteraan
warga negara tersebutAsas kesamaan
4. Pemungutan pajak harus diberlakukan sama kepada setiap negara yang
memenuhi kriteria wajib pajak. Tidak ada yang namanya unsur
kekeluargaan, teman atau apapun itu. Yang penting semua warga negara
yang memenuhi kriteria wajib pajak harus memnuhi kewajibannya.
5. Asas beban minimum
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
7
Untuk masalah pemungutan pajak diusahakan harus memperhatikan
keringanan pada wajib pajak. Dimana jumlah pajak yang dibayarkan lebih
kecil dari nilai objek pajak tersebut. Dengan tujuan agar pajak ini tidak
menjadi sesuatu yang memberatkan wajib pajak.
Menurut Adolf Wagner
pemungutan pajak dibagai menjadi beberapa bagian, antara lain :
1. Asas politik finansial Pemungutan pajak bertujuan untuk memnuhi kebutuhan negara dengan
berbagai kegiatan yang akan dilaksanakannya. Dengan begitu aspek
finansial suatu negara menjadi perhatian penting bagi pelaksanaan
pemungutan pajak, yang dimana hasil yang diperoleh dari pajak langsung
diarahkan pada finansial negara yang berupa pemenuhan biaya semua
kegiatan negara, perawatan fasilitas umum, pembangunan dan lain
sebagainya.
2. Asas ekonomi Asas ekonomi disini diartikan sebagai penetapan objek pajak, dimana
pemungutan pajak harus sesuai dengan objek pajaknya. Misalnya, pajak
pendapatan, pajak barang-barang mewah atau antik, pajak bangunan, pajak
hadiah dan lain sebagainya. Dengan adanya asas ini tidak menutup
kemungkinan satu individu atau satu wajib pajak bisa membayar pajak
lebih dari satu bagian. Contohnya ketika saat itu ia telah mendapat gaji
serta mendapat hadiah undian. Jadi pajak yang harus dibayarkan ada dua
yakni pajak pendapatan dan pajak hadiah.
3. Asas keadilan Keadilan disini diartikan sebagai asas yang menjunjung tinggi keadilan,
tanpa mengenal deskriminasi atau pandang bulu dalam melakukan
pemungutan pajak. Adil di sini memiliki cakupan yang luas, mulai dari
pelayanan yang diberikan antara pihak satu dan lainnya harus sama,
jumlah pajak yang dibayarkan harus sepadan dengan apa yang mereka
miliki dan masih banyak lainnya.
4. Asas administrasi Asas administrasi disini menyangkut beberapa aspek penting dalam
pemungutan pajak seperti kepastian pembayaran pajak yang cakupannya
tentang kapan, dimana dan berapa lama dispensasi pembayaran pajak
harus dilakukan, selain itu juga tentang cara pemungutan pajak, dalam hal
ini harus luwes, tidak memberatkan dan tanpa paksaan dalam pembayaran
pajak. Yang terakhir adalah jumlah atau besarnya pajak yang harus
dibayarkan.
5. Asas yuridis Kata yuridis berarti hukum. Bisa dibilang pemungutan pajak
pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum dan mendapat perlindungan
hukum. Hukum disini adalah perundang-undangan suatu negara. Hal ini
dimaksudkan agar pemungutan pajak tidak akan terjadi penyelewengan
atau kesalahan serta tidak ada pihak yang dirugikan.
Asas Pemungutan Pajak Secara Umum
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
8
Itulah beberapa asas pemungutan pajak menurut beberapa ahli, namun
tidak hanya itu saja asas dari pemungutan pajak. Secara umum ada
beberapa asa pemungutan pajak, antara lain :\
1. Asas Domisili (kependudukan)
Asas ini menjjelaskan tentang pemungutan pajak diberlakukan kepada
setiap wajib pajak sesuai domisili mereka berada. Domisili diartikan
sebagai tempat tinggal dari wajib pajak tersebut. Asas domisili ini
diartikan bahwa ppemungutan pajak diberlakukan kepada setiap warga
negara yang berdomisili di negara tersebut. Tidak peduli dari mana
pendapatan yang ia dapatkan baik dari luar maupun dalam negeri selama ia
masih berdomisili di negara trersebut maka ia wajib untuk membayar
pajak kepada negara. Hal ini diberlakukan kepada perorangan maupun
suatu lembaga. Misalkan ada suatu lembaga milik asing atau badan usaha
yang menetap di Indonesia, maka mereka wajib menyetorkan pajak kepada
pemerintah Indonesia. (Baca juga : peran pemerintahan sebagai pelaku
ekonomi)
2. Asas sumber
Maksud dari asas ini adalah perlakuan pemungutan pajak disesuaikan
dengan sumber dimana ia mendapatkan pendapatan. Jadi tidak peduli
dimana atau darimana wajib pajak tersebut, selama ia mendapatkan
pendapatan atau sumber pendapatannya dari negara itu maka ia wajib
membayarkan pajak ke negara tersebut. Contohnya : ada seorang asing
atau tidak berasal dari Indonesia, tapi ia bekerja di Indonesia dan
mendapat gajian dari pemerintah Indonesia, maka orang tersebut wajib
membayar pajak ke negara Indonesia. (Baca juga : peran Bank Indonesia)
3. Asas kebangsaan (nasionalitas)
Asas kebangsaan diartikan sebagai kewajiban seorang warga negara
untuk tetap menytorkan kewajiban pajaknya kepada negara meskipun
saat itu dia tidak berada di negaranya, bisa saat dia bekerja ke luar,
bisnis di luar dan sebagainya. Selama dia masih menjadi warga negara
tersebut secara resmi maka tetap dipungut pajak. Contohnya ada
seorang pekerja asal Indonesia yang bekerja di Malaysia selama 6
bulan. Dalam rentang itulah orang ini mendapatkan income maka wajib
membayar pajak ke negara ia berasal.
C. Timbul Dan Hapusnya Utang Pajak 1. Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undangundang.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal : 1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. Daluwarsa (Kadaluarsa)
4. Meninggal dunia
5. Pembebasan dan penghapusan
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
9
Hambatan Pemungut Pajak Dikelompokkan menjadi : 1. Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain :
- Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
- Sistem perpajakan yang sulit dipahami masyarakat
- Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakandan perbuatan yang
secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain :
-Tax avoindance, Usaha meringankan beban pajak dengan tidak melapor keadaan
sesungguhnya.
2. Perlawanan aktif
Meliputi semua usaha melanggar undang-undang.
-Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara yang
melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
Tarif Pajak Ada 4 macam tarif pajak :
1. Tarif sebanding/Proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlahyang dikenai
pajak.(Contoh : PPN)
2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak.(Contoh: Meterai Rp 6.000,-)
3. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.(Contoh: PPh)
4. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai
pajak(Dasar pengenaan pajaknya) semakin besar.
D. SUBJEK PAJAK
Subjek Pajak Penghasilan Yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah:
1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
3. badan; adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
bentuk usaha tetap ; adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
10
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek Pajak dalam negeri adalah:
1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang
pribadi yang dalam 8 Pajak Penghasilan suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; Kewajiban pajak
subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada
saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
11
timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan
tersebut selesai dibagi.
Pajak Penghasilan Subjek
Pajak Luar Negeri Subjek Pajak luar negeri adalah:
1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia; Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada
saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada
saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
12
BAB 3
Pajak Penghasilan Pasal 21
A. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan cara pelunasan Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor
31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
B. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari:
1) orang pribadi dan badan;
2) cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang
kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial 19Pajak Penghasilan tenaga
kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yang membayar:
1) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk
dan atas nama persekutuannya;
2) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak luar negeri;
3) honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan
pelatihan, serta pegawai magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan
dengan suatu kegiatan.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
13
C. Subjek PPh Pasal 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
adalah orang pribadi yang merupakan:
a. pegawai
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa, meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/ peragawati,
pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;
d. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
e. mantan pegawai;
f. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu;
4. peserta pendidikan dan pelatihan;
5. peserta kegiatan lainnya.
D.Bukan Subjek PPh Pasal 21
Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
14
atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi internasional, yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
E. Objek PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya
melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang
dibayarkan secara bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
23Pajak Penghasilan
g. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas
yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan
lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai; atau
i. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat final; atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
F. Bukan Objek PPh Pasal 21
Tidak Termasuk dalam Pengertian Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
adalah:
1. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi beasiswa;
2. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah;
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
15
3. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari
tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
5. beasiswa, yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
G. Ketentuan Lain
1. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan yang
Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
2. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau
pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan
PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/ 25Pajak
Penghasilan atau PPh pasal 26 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
3. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga bagi pegawai, penerima pensiun
berkala dan bukan pegawai wajib membuat surat pernyataan baru dan
menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 paling
lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 wajib menghitung, memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 yang terutang
untuk setiap bulan kalender, dan membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 21.
5. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas
kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing
penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau
kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
7. Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang oleh pemotong PPh pasal 21 dan/atau PPh
pasal 26, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26. 26Pajak Penghasilan
8. Bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif 20% lebih tinggi.
E. Tarif Pemotongan PPh Pasal 21
Tarif yang dipakai adalah tarif Pasal 17 ayat (1) Undangundang Pajak
Penghasilan, yaitu:
Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 Tarif yang dipakai adalah tarif Pasal 17 ayat (1)
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
16
Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu:
Laporan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp
50.000.000,00
5%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d.
Rp
250.000.000,00
15%
Di atas 250.000.000,00 s.d. Rp
500.000.000,00
25%
Di atas Rp 500.000.000,00 30%
Dasar Pengenaan Pajak Tarif pajak dikenakan terhadap Dasar Pengenaan Pajak sebagai berikut:
Yang dipotong Dasar pengenaan Pajak
Pegawai tetap
Penghasilan Kena Pajak
= jumlah seluruh
penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebesar 5%
dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp
500.000,00 sebulan
atau Rp 6.000.000,00
setahun;
27
Pajak Penghasilan
b. iuran yang terkait
dengan gaji yang
dibayar oleh pegawai
kepada dana pensiun
yang pendiriannya
telah disahkan oleh
Menteri Keuangan atau
badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan
dana pensiun yang
pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri
Keuangan.
Dikurangi PTKP
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
17
Penerima Pensiun Berkala
Penghasilan Kena Pajak
= seluruh jumlah
penghasilan bruto dikurangi
dengan biaya pensiun,
sebesar 5% dari penghasilan
bruto, setinggi-tingginya Rp
200.000,00 sebulan atau
Rp 2.400.000,00 setahun.
Dikurangi PTKP
Pegawai tidak tetap yang
penghasilannya dibayar
secara bulanan atau jum-lah
kumulatif penghasilan
yang diterima dalam 1 bulan
kalender telah melebihi Rp.
2.025.000
Penghasilan Kena Pajak
= Penghasilan bruto
Dikurangi PTKP
Pegawai tidak tetap yang
menerima upah harian,
upah mingguan, upah satuan atau
upah borongan,
sepanjang penghasilan ku -mulatif
yang diterima dalam
1 bulan kalender belum
melebihi Rp 2.025.000
Penghasilan Kena Pajak
= Penghasilan bruto
dikurangi Rp 200.000
Pegawai tidak tetap
yang menerima upah
harian, upah mingguan,
upah satuan atau upah
borongan, sepanjang
penghasilan kumulatif yang
diterima dalam 1 bulan
kalender telah melebihi Rp
2.025.000 belum melebihi
Rp 7.000.000
Penghasilan Kena Pajak
= Penghasilan bruto
dikurangi PTKP sebenarnya
(PTKP yang sebenarnya
adalah adalah sebesar PTKP
untuk jumlah hari kerja yang
sebenarnya.)
Pegawai tidak tetap
yang menerima upah
harian, upah mingguan,
upah satuan atau upah
borongan, sepanjang
penghasilan kumulatif yang
diterima dalam 1 bulan
kalender telah melebihi Rp
7.000.000
Penghasilan Kena Pajak
= Penghasilan bruto
dikurangi PTKP
Bukan pegawai yang
menerima imbalan yang
bersifat berkesinambungan.
Penghasilan Kena Pajak
= 50% dari jumlah
penghasilan bruto
Dikurangi PTKP perbulan
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
18
Bukan pegawai yang
menerima imbalan
yang tidak bersifat
berkesinambungan
50% dari jumlah penghasilan
Bruto
Selain di atas Jumlah penghasilan bruto
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun
pajak
Uraian PTKP Setahun
Untuk diri Wajib Pajak Orang
Pribadi
Rp 24.300.000,00
Tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin
Rp 2.025.000,00
Tambahan untuk seorang istri yang
penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami
Rp 24.300.000,00
Tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat; yang
menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 orang untuk setiap
keluarga
Rp 2.025.000,00
Tanggungan, yaitu:
1. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan
seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
2. Anak angkat termasuk penambah nilai PTKP. Pengertian anak angkat dalam
perundang-undangan pajak adalah seseorang yang belum dewasa, bukan 30Pajak
Penghasilan anggota keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus dan
menjadi tanggungan sepenuhnya dari wajib pajak yang bersangkutan.
3. Contoh Hubungan keluarga sedarah dan semenda :
a. Sedarah lurus : Ayah, ibu, anak kandung
b. Sedarah ke samping : Saudara kandung
c. Semenda lurus : Mertua, anak tiri
d. Semenda ke samping : Saudara Ipar
(selain yang di atas tidak dapat dimasukkan ke dalam tanggungan)
Status Wajib Pajak, terdiri dari:
TK/… Tidak Kawin, ditambah dengan banyaknya
tanggungan anggota keluarga;
K/… Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga;
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
19
K/I/…
Kawin, tambahan untuk isteri (hanya seorang) yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami, ditambah dengan banyaknya
tanggungan anggota keluarga;
PH
Wajib pajak kawin yang secara tertulis melakukan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan. PTKP nya tetap seperti PTKP untuk
WP kawin yang penghasilan suami istri digabungan (K/I/....)
HB/…
Wajib pajak kawin yang telah hidup berpisah
ditambah banyaknya tanggungan anggota
keluarga. PTKP bagi Wajib Pajak masing-masing
suami isteri yang telah hidup berpisah untuk diri
masing-masing Wajib Pajak diperlakukan seperti
Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan
sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang
diperkenankan.(sesuai dengan Pasal 7 UU PPh)
PTKP Karyawati, adalah:
1. Karyawati kawin: sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
2. Karyawati tidak kawin: sebesar PTKP untuk dirinya sendiri + PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
3. Karyawati kawin yang mempunyai surat keterangan tertulis dari Pemerintah
Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya
tidak menerima/ memperoleh penghasilan: besanya PTKP adalah PTKP untuk
dirinya sendiri + PTKP status kawin + PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya
Honorarium bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI
Atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang
menjadi beban APBN atau APBD yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dikenakan Pajak Penghasilan
Pasal 21 bersifat final dengan tarif:
Uraian Tarif
PNS Golongan I dan
Golongan II, Anggota
TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan
Pensiunannya
sebesar 0% dari jumlah
bruto honorarium atau
imbalan lain
PNS Golongan III, Anggota
TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira
Pertama, dan pensiunannya
sebesar 5% dari jumlah
bruto honorarium atau
imbalan lain
Pejabat Negara, PNS
Golongan IV, Anggota
TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira
Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya
sebesar 15% dari jumlah
bruto honorarium atau
imbalan lain
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
20
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang
Pesangon ditentukan sebagai berikut:*
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp.50.000.000 0%
di atas Rp. 50.000.000 sampai dengan Rp.
100.000.000
5%
di atas Rp.100.000.000 sampai dengan Rp.
500.000.000
15%
di atas Rp.500.000.000 25%
Diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan sebagian atau
seluruhnya dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat
Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp.50.000.000,00 0%
di atas Rp. 50.000.000,00 5%
Diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan sebagian atau
seluruhnya dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
21
BAB 4
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
A. PPh Pasal 22 Pemungut
PPh Pasal 22 Pemungut PPh Pasal 22 adalah:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
1. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya
(Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
2. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan
untuk keperluan kegiatan usahanya.
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Besarnya pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
a. Atas impor:
1. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (APl), sebesar 2,5% dari nilai
impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar 0,5% dari
nilai impor; (nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
22
dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.)
2. yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% dari
nilai impor; dan/atau
3. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
b. Atas pembelian barang sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
c. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. Bahan Bakar Minyak sebesar:
a) 0,25% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina;
b) 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan Pertamina;
c) 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf
b).
2. Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai; termasuk Pajak Pertambahan
3. Pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak Nilai.
d. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi:
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25%;
2. penjualan kertas sebesar 0,1%;
3. penjualan baja sebesar 0,3%;
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar
0,45%;
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3%, dari dasar pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
e. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor sebesar 0,45% dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
f. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
g. Atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, yaitu:
1. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000,000.000,00
(dua puluh milyar rupiah);
2. kapal pesiar dan sejenisnya dengan- harga jual lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah);
3. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih
dari 500m2;
4. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
23
atau luas bangunan lebih dari 400 m2;
5. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok
Wajib Pajak
B. Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:
a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan
oleh Direktur Jenderal Pajak
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai:
1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui
dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang
tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang
untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia;
3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan
tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya;
7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8. barang pindahan;
9. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan kepabeanan;
10. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum;
11. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;
13. vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
24
14. buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
15. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
16. pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam
rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi pesawat udara kepada
Perusahaan Angkutan Udara Niaga nasional;
17. kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta
Api Indonesia (Persero), dan komponen atau bahan yang diimpor oleh
pihak yang ditunjuk oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang
digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh
PT Kereta Api Indonesia (Persero);
18. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian
Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan
Nasional, yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, TNI atau pihak
yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau TNI; dan/atau
19. barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya
dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas barangbarang impor ini
tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar
0%.
Ketentuan ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata
caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur
Jenderal Pajak.
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali; dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang
tata caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur
Jenderal Pajak.
d. Impor kembali (re-import), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang
telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai;
e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak, berkenaan dengan:
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
25
1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (bendahara pemerintah
dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA); bendahara pengeluaran; KPA atau
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA)
yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah;
2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN) yang
jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah;
3. pembayaran untuk:
a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-
benda pos;
b) pemakaian air dan listrik.
f. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor; dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
g. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
C. Saat terutang dan Pelunasan PPh Pasal 22
a. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
b. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak
Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
c. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
d. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri semen,
industri kertas, industri baja, dan industri otomotif terutang dan dipungut
pada saat penjualan.
e. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil bahan bakar minyak, gas
dan pelumas terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah
Pengeluaran Barang (delivery order).
f. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengumpul terutang dan dipungut pada saat pembelian.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
26
BAB 5
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas
penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan
penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Biasanya PPh Pasal 23 dikenakan saat adanya transaksi di antara dua
pihak. Pihak yang berlaku sebagai penjual atau penerima penghasilan atau pihak
yang memberi jasa akan dikenakan PPh Pasal 23. Sementara pihak pemberi
penghasilan atau pembeli atau pihak penerima jasa akan memotong dan
melaporkannya ke kantor pajak.
A. Pemotong PPh Pasal 23
1 Badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong PPh
23, yaitu:
a. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT)
kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang Pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan
sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri tertentu yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
3.Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu wajib memotong Pajak
Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.
B. Tarif dan Objek PPh Pasal 23
1. sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen;
b. bunga;
c. royalti;
d. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 21; Pajak Penghasilan
2. sebesar 2% dari jumlah bruto atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21.
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih
tinggi 100%.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
27
BAB 6
PPH PASAL 4 AYAT 2
A. PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia
1. Objek PPh adalah Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia termasuk bunga yang diterima atau diperoleh
dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
2. Definisi
a. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito dan “deposit on call” baik dalam mata
uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan
pada atau diterbitkan oleh bank.
b. Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro,
yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan
oleh masing-masing bank.
3. Pemotong Pajak adalah:
a. Bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
b. Cabang bank luar negeri di Indonesia
c. Bank Indonesia
4. Tarif Pajak
a. dikenakan PPh final sebesar 20% dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
b. dikenakan PPh final sebesar 20% dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap
Wajib Pajak luar negeri.
5. Dikecualikan dari Pemotongan PPh
a. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia,
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia
tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
b. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonsia yang
diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB)
Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan
Pajak tempat Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar.
d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk
rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
28
dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
e. Orang Pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh 58Pajak Penghasilan
penghasilannya dalam 1 tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
B. PPh Final atas Bunga Obligasi
1. Definisi
Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau diperoleh pemegang
Obligasi dalam bentuk bunga dan/ atau diskonto. Obligasi adalah surat utang
dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan.
2. Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:
a. penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian selaku agen pembayaran yang
ditunjuk, atas:
1) bunga dan/atau diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi
dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi; dan
2) diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi tanpa bunga pada
saat jatuh tempo Obligasi;
b. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku perantara, atas bunga dan/atau
diskonto Obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat
transaksi; dan/atau
c. perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli
Obligasi langsung tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau diskonto
Obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi.
3. Dalam hal penjualan Obligasi dilakukan secara langsung 59Pajak Penghasilan
tanpa melalui perantara kepada pihak-pihak lain selain pemotong pajak,
kustodian atau sub-registry selaku pihak-pihak yang melakukan pencatatan
mutasi hak kepemilikan Obligasi, wajib melakukan pemotongan dengan cara
memungut Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dari penjual
Obligasi sebelum mutasi hak kepemilikan dilakukan.
Dalam hal penjualan Obligasi tidak memerlukan pencatatan mutasi hak
kepemilikan Obligasi melainkan hanya atas unjuk, pemotongan Pajak
Penghasilan yang bersifat final dilakukan oleh penerbit Obligasi (emiten) atau
kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, dari pembeli/pemegang
Obligasi pada saat:
a. jatuh tempo bunga, untuk penghasilan bunga yang dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh sejak tanggal jatuh tempo bunga terakhir;
b. jatuh tempo Obligasi, untuk penghasilan diskonto yang dihitung berdasarkan
masa kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan perdana Obligasi.
Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi atas unjuk adalah pihak
yang tidak diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan atau pihak lain yang
telah dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan, pemotongan Pajak
Penghasilan yang bersifat final atas bunga pada saat jatuh tempo bunga atau
diskonto pada saat jatuh tempo Obligasi, dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh dikurangi dengan masa kepemilikan penjual Obligasi
tersebut.
4. Bunga obligasi yang tidak dikenai Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)
Yaitu apabila penerima penghasilan berupa bunga obligasi adalah:
a. WP dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
29
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal
4 ayat (3) UU PPh (penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan KMK)
b. WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
C. PPh Final atas Bunga Simpanan Koperasi
1. Dikenakan atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan
di Indonesia kepada anggota koperasi Orang Pribadi.
2. Dipotong oleh koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada
anggota koperasi Orang Pribadi pada saat pembayaran.
3. Besarnya Pajak Penghasilan adalah:
a. 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00
per bulan; atau
b. 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih
dari Rp240.000,00 per bulan.
D.PPh Final atas Hadiah Undian
1. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan berupa hadiah undian dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi dan
badan baik dalam negeri maupun luar negeri.
2. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam 61Pajak Penghasilan
bentuk apapun yang diberikan melalui undian
3. Nilai hadiah yaitu nilai uang dan nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan
dalam bentuk natura.
4. Pemotong adalah penyelenggara undian.
5. Tarif PPh final atas hadiah undian adalah sebesar 25% dari jumlah bruto.
E. PPh Final atas Penjualan Saham di Bursa Efek
1. Definisi
a. Pendiri adalah Orang Pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam Daftar
Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana
(“initial public offering”) menjadi efektif. Termasuk dalam pengertian pendiri
adalah Orang Pribadi atau badan yang menerima pengalihan saham dari pendiri
karena:
a. warisan
b. hibah
c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.
b. Pengertian saham pendiri adalah :
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang
dikeluarkan setelah penawaran umum perdana (initial public offering); 62Pajak
Penghasilan
b. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri. Tidak termasuk dalam
pengertian saham pendiri adalah:
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam
bentuk saham;
b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (initial public
offering) yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
30
issue), waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya; c. saham yang
diperoleh pendir perusahaan Reksa Dana
2. Tarif
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 0,1
% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham;
b. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan dan bersifat
final sebesar 0,5% dari nilai saham (nilai saham perusahaan pada saat penawaran
umum perdana (“initial public offering”)
3. Tidak termasuk objek pajak
Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai
nominal saham, tidak termasuk objek pajak.
4. Bukan pengurang penghasilan
bruto Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan
nilai pasar saham, bukan merupakan pengurang dari penghasilan bruto.
F.PPh Final atas Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
1. Definisi
a. Dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi atau
badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
b. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain
selain pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
2. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain
selain pemerintah;
- Orang Pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar sendiri PPh yang
terutang dengan menggunakan SSP ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/ 64Pajak Penghasilan atau bangunan ditanda
tangani oleh pejabat yang berwenang.
- Pada SSP wajib dicantumkan nama, alamat, dan NPWP dari Orang Pribadi atau
badan yang bersangkutan. - Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang
adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat
lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
- Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
apabila kepadanya dibuktikan oleh Orang Pribadi atau badan dimaksud bahwa
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
31
kewajiban pembaaran PPh-nya telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi SSP
yang bersangkutan dengan menunjukan aslinya.
- Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai
penerbitan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(Pasal 2 ayat (3) PP 48 Tahun 1994)
- Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang yang tidak memenuhi ketentuan, dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus;
− Orang Pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini dipungut PPh oleh bendaharawan
atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui
tukarmenukar.
− Bendaharawan atau pejabat wajib menyetor PPh yang telah dipungut ke bank
persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum melakukan pembayaran kepada Orang
Pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-menukar
dilaksanakan.
− Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan SSP atas nama Orang Pribadi
atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukarmenukar.
− Bendaharawan atau pejabat wajib menyampaikan laporan mengenai pengalihan
hak atas tanah dan/ atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
4. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
yang memerlukan persyaratan khusus.
− Pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus
adalah pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah di atas tanah yang
pembebasannya dilakukan oleh pemerintah yang lokasinya tidak dapat
dipindahkan ke tempat lain yaitu untuk kepentingan:
a. jalan umum;
b. saluran pembuangan air;
c. waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya;
d. saluran irigasi;
e. pelabuhan laut/sungai;
f. bandar udara;
g. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan banjir, lahar dan
bencana lainnya, serta tempat pembuangan sampah;
h. fasilitas TNI/Kepolisian Negara RI.
G.PPh Final atas Jasa Konstruksi
1. Definisi
a. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
32
b. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/ atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing
beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
72Pajak Penghasilan
c. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh Orang Pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang perencanaan jasa konstruksi yang
mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan
fisik lain.
d. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh Orang Pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang pelaksanaan jasa konstruksi yang
mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan
dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan
(engineering, procurement and construction) serta model penggabungan
perencanaan dan pembangunan (design and build).
e. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh Orang Pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang pengawasan jasa konstruksi, yang
mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan
konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
f. Pengguna Jasa adalah Orang Pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap
yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
g. Penyedia Jasa adalah Orang Pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap,
yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai
perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun
sub-subnya.
h. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak
jasa konstruksi secara keseluruhan
2. Tarif PPh Pasal 4 ayat (2)
1. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
2. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
3. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
4. 4% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
5. 6% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
3. Pajak Penghasilan yang bersifat final:
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa
merupakan pemotong pajak sebesar jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
33
pemotong pajak sebesar jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai, dikalikan taril Pajak Penghasilan
4. Ketentuan lain
a. Jika penyedia Jasa memperoleh atau menerima penghasilan dari Luar Negeri,
maka atas pajak yang dibayar atau terutang di Luar negeri atas penghasilan
tersebut dapat dikreditkan (PPh Pasal 24). 74Pajak Penghasilan
b. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh oleh Penyedia Jasa Konstruksi
dari luar usaha dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum UU PPh.
c. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi
termasuk dalam penghitungan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang dikenakan
PPh Final.
d. Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya dari
kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.
e. Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun
Pajak 2008 hanya dapat dikompensasi sampai Tahun Pajak 2008.
f. Untuk Wajib Pajak yang hanya memperoleh penghasilan dari usaha jasa
konstruksi, sejak tahun pajak 2009 tidak diwajibkan membayar angsuran PPh
Pasal 25.
4. PPh Final atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
1. Dikenakan atas penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa
tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran,
gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor,
toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri.
2. Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2)
− Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, dan Orang Pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa.
− Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan adalah :
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali
PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan
pekerjaan bebas;
b. Orang Pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;
yang terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
− Apabila penyewa adalah Orang Pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan,
Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang
menyewakan.
3. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
persewaan tanah dan atau bangunan dengan perjanjian persewaan adalah 10% dari
jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final
Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang
oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan
tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya
pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan “service charge” baik
yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
34
5. PPh Final atas Dividen yang diterima Orang Pribadi
1. Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Orang Pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dari jumlah
bruto dan bersifat final.
2. Dividen sebagaimana dimaksud adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
3. Dilakukan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku
pembayar dividen.
4. Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat
(2) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang dipotong Pajak
Penghasilan setiap melakukan pemotongan.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
35
BAB 7
Pajak Pertambahan NIilai
A.Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Apa itu PPN? Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang
dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib
pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN
adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN
adalah Konsumen Akhir.
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh
pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli
2016, PKP se-Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-
Faktur untuk menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN
kepada lawan transaksinya.
B.Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai) Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek PPN
adalah:
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
Impor Barang Kena Pajak
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena
Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
C.Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7 :
Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).
Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Ekspor Jasa Kena Pajak
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen)
sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
D.Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Menyetor dan Melaporkan
PPN Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pihak yang wajib menyetor dan melaporkan
PPN.
Setiap tanggal di akhir bulan adalah batas akhir waktu penyetoran dan pelaporan
PPN oleh PKP.
Sesuai dengan ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013, suatu perusahaan atau
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
36
seorang pengusaha ditetapkan sebagai PKP bila transaksi penjualannya
melampaui jumlah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Jika pengusaha tidak dapat
mencapai transaksi dengan jumlah Rp 4,8 miliar tersebut, maka pengusaha dapat
langsung mencabut permohonan pengukuhan sebagai PKP. Dengan menjadi PKP,
pengusaha wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang terutang.
Dalam perhitungan PPN yang wajib disetor oleh PKP, ada yang disebut dengan
pajak keluaran dan pajak masukan.
Pajak keluaran ialah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya.
Sedangkan, pajak masukan ialah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh maupun membuat produknya.
E. Barang atau Jasa yang Dikenakan PPN Barang atau jasa yang dikenai PPN jumlahnya sangat banyak. Oleh karena itu,
untuk memudahkan Anda membedakan mana barang yang dikenakan PPN dan
tidak. Berikut adalah daftar barang yang tidak dikenakan PPN:
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung
dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman yang dikonsumsi di tempat atau
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
catering.
Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Sedangkan untuk jasa yang tidak dikenakan PPN meliputi:
Jasa pelayanan kesehatan medis.
Jasa pelayanan sosial.
Jasa pengiriman surat dengan perangko.
Jasa keuangan.
Jasa asuransi.
Jasa keagamaan.
Jasa pendidikan.
Jasa kesenian dan hiburan.
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.
Jasa tenaga kerja.
Jasa perhotelan.
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum.
Jasa penyediaan tempat parkir.
Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam.
Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Jasa boga atau katering.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
37
F. Tarif PPN
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
38
BAB 8
PAJAK DAERAH
A. Pengertian Pajak Daerah
Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(https://www.online-
pajak.com/pajak-daerah)
Fungsi Pajak Daerah Sebagaimana halnya dengan pajak pusat, pajak
daerah mempunyai peran penting dalam pelaksanaan fungsi negara/pemerintahan,
baik dalam fungsi mengatur (regulatory), penerimaan Pajak daerah adalah
kontribusi wajib kepada daerah , bersifat memaksa , berdasarkan undang-undang ,
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (budgetory), redistribusi
(redistributive), dan alokasi sumber daya (resource allocation) maupun kombinasi
antara keempatnya. Pada umumnya fungsi pajak daerah lebih diarahkan untuk
alokasi sumber daya dalam rangka penyediaan pelayanan kepada masyarakat, di
samping fungsi regulasi untuk pengendalian.
B. Fungsi Pajak Daerah
Sesuai hal tersebut, fungsi pajak daerah dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
fungsi utama, yaitu fungsi budgetory dan fungsi regulatory. Namun, pembedaan
ini tidaklah dikotomis.
1) Fungsi Penerimaan (Budgetair) Fungsi yang paling utama dari pajak
daerah adalah untuk mengisi kas daerah. Fungsi ini disebut fungsi budgetair yang
secara sederhana dapat diartikan sebagai alat pemerintah daerah untuk
menghimpun dana dari masyarakat untuk berbagai kepentingan pembiayaan
pembangunan daerah. Fungsi ini juga tercermin dalam prinsip efisiensi yang
menghendaki pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang
sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan pemungutan pajak daerah.
2) Fungsi Pengaturan (Regulerend) Fungsi lain dari pajak daerah adalah
untuk mengatur atau regulerend. Dalam hal ini pajak daerah dapat digunakan oleh
pemerintah daerah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Dalam hal ini, pengenaan pajak daerah dapat dilakukan untuk mempengaruhi
tingkat konsumsi dari barang dan jasa tertentu. Dalam banyak hal, pemungutan
pajak daerah ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Terlebih-lebih di
era otonomi daerah, di mana kebutuhan dana untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan daerah cukup besar, sementara sumber-sumber
pendanaan yang tersedia sangat terbatas.
Daerah dipacu untuk secara kreatif menciptakan sumber-sumber
pendapatan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah.
Fungsi pengaturan dari pajak daerah dapat dilakukan dengan mengenakan pajak
daerah yang tinggi terhadap kegiatan masyarakat yang kurang dibutuhkan.
Sebaliknya, untuk kegiatan prioritas yang memberikan dampak positif bagi
pengembangan ekonomi masyarakat dikenakan pajak daerah yang rendah. Dalam
berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan, peningkatan pendapatan
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
39
asli daerah (yang di dalamnya termasuk pajak daerah) seolah-olah terkait secara
langsung dengan kinerja pemerintah daerah. Peningkatan pendapatan asli daerah
kadangkala digunakan sebagai indikator keberhasilan daerah. Hal ini mendorong
pemerintah daerah berusaha menciptakan berbagai jenis pajak daerah yang
berdasarkan pemahaman pemerintahan daerah dapat meningkatkan pendapatan
asli daerah tanpa mempertimbangkan dampak dari pengenaan pajak tersebut bagi
masyarakat dan bagi kelangsungan kegiatan ekonomi di daerahnya.
Fungsi pengaturan dari pajak daerah belum banyak dimanfaatkan oleh
daerah. Beberapa daerah memang sudah mengakomodir fungsi pendapatan dan
fungsi pengaturan dalam perumusan kebijakan pajak daerah, antara lain melalui
penerapan tarif yang berbeda antar golongan masyarakat. Kebijakan ini dapat
membantu golongan masyarakat tertentu dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya, namun belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi
pengembangan ekonomi. Langkah yang belum banyak dipertimbangkan oleh
daerah adalah pemberian insentif pajak daerah dalam rangka menarik investasi di
daerahnya.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
40
BAB 9
Pajak Bumi dan Bangunan
A. Pajak Bumi Dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang
atau badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat dari
padanya.( https://www.online-pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan)
Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang
bersifat kebendaan. Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek
yaitu bumi dan/atau bangunan. Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut
menentukan besarnya barang.
Contoh objek bumi:
Sawah.
Ladang.
Kebun.
Tanah.
Pekarangan.
Tambang.
Contoh objek bangunan:
Rumah tinggal.
Bangunan usaha.
Gedung bertingkat.
Pusat perbelanjaan.
Pagar mewah.
Kolam renang.
Jalan tol.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal
berikut ini:
Mempunyai hak atas bumi.
Memperoleh manfaat atas bumi.
Memiliki bangunan.
Menguasai bangunan.
Memperoleh manfaat atas bangunan.
Tidak Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Ternyata, tidak semua objek bumi bangunan bisa dikenakan PBB. Terdapat juga
objek pajak yang tidak dapat dikenakan PBB. Namun, objek pajak tersebut harus
memiliki kriteria tertentu yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Berikut ini daftar kriteria
tersebut:
Objek pajak tersebut digunakan semata-mata untuk kepentingan umum
dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional,
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan hal tersebut.
Objek pajak merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
41
taman nasional, tanah penggemkbalaan yang dikuasai suatu desa, dan
tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
Objek pajak digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan
asas perlakuan timbal balik.
Objek pajak digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.
Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan. Kemudian, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28
tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2)
telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan, untuk PBB sektor
Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB P3) masih di bawah wewenang
pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
B.Tarif Pajak Bumi Dan Bangunan
Tarif pajak bumi dan bangunan yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini
masih sama, yakni sebesar 0,5% dimana dasar Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan
Setelah mengetahui pengertian PBB, dasar hukumnya, subjek dan objek PBB,
tarif, serta cara mendaftarkan obejk pajak, kini Anda juga perlu tahu dasar PBB.
Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP).
NJOP merupakan harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli
tanah. Dalam hal ini, objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Setiap tahun,
biasanya Menteri Keuangan dengan mendengarkan pertimbangan bupati/walikota
menetapkan NJOP. Penetapan tersebut didasarkan atas sejumlah hal seperti:
1. Dasar penetapan NJOP bumi:
o Letak.
o Pemanfaatan.
o Peruntukan.
o Kondisi Lingkungan.
2. Dasar penetapan NJOP bangunan:
o Bahan yang digunakan dalam bangunan.
o Rekayasa.
o Letak.
o Kondisi lingkungan.
Selain itu, terdapat juga dasar penetapan NJOP saat tidak ada transaksi jual beli.
Nah, penjelasannya akan dijabarkan di bawah ini.
1. Perbandingan Harga dengan Objek Lainnya: objek lain yang dimaksud
merupakan objek yang masih sejenis, lokasinya berdekatan, memiliki
fungsi yang sama dengan objek lain yang sudah diketahui nilai jualnya.
Penggunaan objek lain yang memiliki kriteria tersebut sebagai gambaran
yang kurang lebih bisa mendekati nilai objek yang dibandingkan.
Sehingga NJOP yang ditetapkan pun memiliki hitungan yang benar.
2. Nilai Perolehan Baru: penetapan NJOP dengan nilai perolehan baru yang
dimaksud adalah dengan menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk
memperoleh objek pajak. Penilaian tersebut nantinya akan dikurangi
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
42
dengan penyusutan yang terjadi, seperti penyusutan yang terjadi pada
kondisi fisik objek pajak.
3. Nilai Jual Pengganti: nilai jual pengganti yang dimaksud adalah
penetapan NJOP berdasarkan pada hasil produk onjek pajak. Jadi, nilai
jualnya didasarkan pada keluaran yang dihasilkan oleh objek pajak itu
sendiri.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
NJOPTKP merupakan batas Nilai Jual Objek Pajak atas bumi dan bangunan yang
tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP di masing-masing wilayah memang
berbeda-beda. Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
201/KMK.04/2000 ditetapkan, NJOPTKP untuk setiap daerah di kabupaten/kota
setinggi-tingginya senilai Rp12.000.000 dengan memperhatikan ketentuan sebagai
berikut:
1. Setiap wajib pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak 1 kali
dalam 1 Tahun Pajak.
2. Jika wajib pajak memiliki lebih dari 1 objek pajak, maka yang bisa atau
mendapat pengurangan NJOPTKP hanya 1 objek pajak yang nilainya
paling besar dan tidak bisa digabungkan dengan objek pajak lainnya yang
wajib pajak miliki.
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan dasar penghitungan PBB. NJKP juga
dikenal sebagai assessment value atau nilai jual objek yang akan dimasukan
dalam perhitungan pajak terutang. Artinya, NJKP merupakan bagian dari NJOP.
Dalam KMK Nomor 201/KMK.04/2000, terdapat ketentuan persentase NJKP
sudah ditetapkan oleh pemerintah. Berikut ini rinciannya:
Objek pajak perkebunan sebesar 40%.
Objek pajak pertambangan sebesar 40%.
Objek pajak kehutanan sebesar 40%.
Objek pajak lainnya seperti Pedesaan dan Perkotaan dilihat dari nilai
NJOP-nya, yakni:
o Jika NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP sebesar
40%.
o Sedangkan, jika NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00, persentase
NJKP sebesar 20%.
Pengantar Perpajakan II AMIK BSI Pontianak
43
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo. 2013. Perpajakan. Edisi Revisi 2013. Yogyakarta:CV Andi Offset
Setiawan, Agus. 2010. Petunjuk Praktis Pemotongan & Pemungutan
PPh.Jakarta:PT Ghalia Indonesi
Resmi, Siti. 2013. Perpajakan, Teori&KasusBukuSatu,EdisiTujuh. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat
Rusjdi, Muhammad. 2007. PBB, BPHTB & BEA MATERAI. PT. Indeks. Jakarta
Sukardji. 2011. Pokok-Pokok PPN (Pajak Pertambahan Nilai Indonesia) (Edisi
Revisi 2011). Rajawali Press.Jakarta
https://www.online-pajak.com/perpajakan-di-indonesia-sejarah-sistem-dan-dasar-
hukumnya
https://klikpajak.id/blog/berita-pajak/mengenal-penerapan-stelsel-pajak-di
indonesia/
https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/4-prinsip-pajak-di-indonesia/
https://klc.kemenkeu.go.id/unit/modul-ppn-dan-ppnbm/
https://www.online-pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan
https://www.online-pajak.com/pajak-daerah