i
MODEL USAHATANI TERPADU SAYURAN ORGANIK-HEWAN TERNAK
(Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang,Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
SKRIPSI
FIRZA MAUDI H34060227
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2010
ii
RINGKASAN
FIRZA MAUDI. Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).
Gapoktan Pandan Wangi (GPW) yang berada di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, memiliki rencana untuk menerapkan pertanian terpadu antara usahatani sayuran organik-hewan ternak pada skala wilayah, dengan melibatkan beberapa kelompok tani. Setiap kelompok tani memiliki aktivitas usahatani yang spesifik yakni diantaranya aktivitas usahatani sayuran organik, ternak kelinci, ternak domba, aktivitas produksi pupuk bokashi dan silase. GPW dihadapkan pada berbagai pilihan aktivitas yang akan diintegrasikan dan berbagai kendala dalam penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Oleh karena itu perencanaan pertanian terpadu perlu dilakukan secara tepat sehingga penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel dapat meningkatkan total keuntungan wilayah dan mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk membantu GPW dalam merencanakan pertanian terpadu di Desa Karehkel melalui pendekatan permodelan linear usahatani sayuran organik terpadu sehingga dapat diketahui aktivitas-aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan, jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan alokasi sumberdaya yang optimal sehingga mampu memaksimumkan total keuntungan wilayah dalam keterbatasan sumberdaya yang dimiliki.
Pemilihan Desa Karehkel sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive yang dilatarbelakangi oleh adanya rencana GPW untuk menerapkan pertanian terpadu. Responden yang dipilih dalam penelitian ini juga dilakukan secara purposive sehingga dapat menggambarkan pengusahaan masing-masing aktivitas yang mendekati aktual. Data mengenai koefisien teknis yang diperoleh dari lapangan dan dari studi literatur dijadikan acuan dalam merancang model usahatani sayuran organik terpadu di Desa Karehkel. Model kemudian diolah secara kuantitatif menggunakan LINDO lalu hasilnya dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil analisis terhadap model integrasi yang dibangun, bahwasanya penerapan model usahatani sayuran organik terpadu (MUSOT) di Desa Karehkel perlu didukung oleh adanya kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam desa. Hal ini disebabkan karena harga pupuk bokashi lebih mahal dibandingkan dengan pupuk organik yang dibeli dari luar desa sehingga akan lebih menguntungkan apabila usahatani sayuran organik menggunakan pupuk organik yang dibeli dari luar desa untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pupuknya.
Untuk mencapai total keuntungan wilayah secara maksimum maka aktivitas-aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan antara lain usahatani sayuran organik, ternak kelinci, aktivitas memproduksi silase, dan aktivitas memproduksi pupuk bokashi. Sangat besarnya skala ekonomi masing-masing aktivitas usahatani yang sebaiknya diusahakan menyebabkan setiap aktivitas usaha yang diintegrasikan perlu diusahakan pada tingkat kelompok tani.
iii
Penerapan model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak sangat berperan dalam meningkatkan total output wilayah. Khususnya dalam meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara karena adanya pemanfaatan limbah sayuran sebagai pakan ternak dalam bentuk silase dapat mengurangi curahan tenaga kerja peternak untuk mencari pakan hijauan sehingga curahan tenaga kerja untuk memelihara ternak akan lebih besar. Selain itu, adanya pemanfaatan limbah ternak sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi sangat berperan dalam penghematan biaya produksi pupuk bokashi. Model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak dapat memberikan total keuntungan wilayah yang lebih tinggi daripada penerapan pertanian secara tidak terpadu apabila diiringi dengan insentif ekonomi yang lebih tinggi yakni peningkatan harga sayuran organik per kilogramnya sebagai konsekuensi penerapan kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam Desa Karehkel.
iv
MODEL USAHATANI TERPADU SAYURAN ORGANIK-HEWAN TERNAK
(Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang,Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
FIRZA MAUDI H34060227
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2010
v
Judul Skripsi : Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten BogorProvinsi Jawa Barat)
Nama : Firza Maudi
NIM : H34060227
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
vi
PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Model Usahatani
Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Desa Karehkel,
Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya
saya sendiri, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
FirzaMaudi H34060227
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Firza Maudi, dilahirkan di Semarang, 1
November 1988. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara pasangan
Muktiono dan Hunang Indriarsi.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah di
Semarang. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di SD H Isriati pada tahun 2000.
Lalu studi dilanjutkan di SMP Negeri 3 Semarang, lulus pada tahun 2003, dan
aktif sebagai anggota Rohis OSIS SMP Negeri 3. Pendidikan kemudian
dilanjutkan di SMA Negeri 3 Semarang. Semasa di SMA, penulis aktif pada
kegiatan PKS (Patroli Keamanan Sekolah) sebagai Kortulat (Kordinator Tugas
dan Latihan) dan Ketua Sie Tugas Jalan. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan
pendidikan di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis
diterima di Departemen Agribisnis sebagai program Mayor (S1), Fakultas
Ekonomi dan Manajemen dan Departemen Agronomi dan Hortikultura sebagai
program keahlian minor.
Selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif dalam
berbagai macam kegiatan. Misalnya aktif pada kepengurusan HIPMA (Himpunan
Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis ) pada tahun 2008 dan sebagai ketua
panitia YES (Young Entrepreneur Seminar) tahun 2008. Selain itu penulis juga
aktif dalam mengikuti kegiatan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) yang
diselenggarakan oleh DIKTI antara tahun 2007-2010 sehingga dapat
menghasilkan kurang lebih delapan PKM, dimana empat diantaranya didanai oleh
DIKTI. Penulis juga pernah menjadi Finalis KPKM (Kompetisi Pemikiran Kritis
Mahasiswa) Bidang Kesra tahun 2009 di Surabaya dan menjadi finalis KKTM
(Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa ) Bidang Kesenian pada tahun 2009 di
Yogyakarta. Keseharian penulis selain menjalani pendidikan di kuliah, juga kerap
mengikuti ajang wirausaha mahasiswa diantaranya yang diadakan oleh CDA-IPB
dan Go Entrepreneur oleh Perum Pegadaian. Sampai dengan saat ini, bisnis
memproduksi nugget jamur Bongo-bongo yang dirintis bersama rekan-rekan
masih terus berlanjut dan penulis dipercaya menjadi manajer bahan baku dan
pemasaran. Saat ini penulis juga diberikan kesempatan untuk bergabung bersama
Bank BNI 46 melalui jalur ERP-ODP BNI 46 tahun 2010.
viii
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karuniaNya
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Model Usahatani
Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi,
Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)”
ini dengan lancar. Ucapan shalawat serta salam juga ditujukan kepada junjungan
besar Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat. Secara garis besar penelitian
ini bertujuan untuk membantu Gapoktan Pandan Wangi (GPW) dalam
merencanakan pertanian terpadu yang akan diterapkan di Desa Karehkel. Model
yang dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada gapoktan mengenai aktivitas yang perlu diintegrasikan, jumlah
pengusahaan masing-masing aktivitas, dan alokasi sumberdaya yang optimal
sehingga dapat memaksimumkan keuntungan wilayah.
Namun demikian, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya saran
dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan pada skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2010
Firza Maudi
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada
penulis selama penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku dosen penguji utama dalam sidang
skripsi penulis yang berkenan memberikan kritik dan saran demi perbaikan
skripsi ini.
3. Eva Yolynda Aviny, SP,MM selaku dosen penguji wakil komisi
pendidikan dalam sidang skripsi penulis yang berkenan memberikan kritik
dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4. Ibu Sayekti Handayani sebagai Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako, Palu dan Ibu Laeli Komalasari sebagai
Staf Pengajar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan IPB, atas bimbingan jarak jauh kepada penulis saat
menyusun skripsi ini.
5. Ayah dan Ibu Tercinta, Muktiono dan Hunang Indriarsi, kedua adik Flodi
Medial dan Fahri Mubin, keluarga Pramusti Indrascaryo, keluarga Ngesti
Indriawulan, dan Alifa Fitriani atas cinta, kasih sayang, semangat,
dukungan, motivasi dan doa yang tiada henti-hentinya selama penulis
menempuh pendidikan hingga saat ini.
6. Abah Soleh, Pak Galung, Pak Entis, Pak Asmin, Pak Eman, Pak Yani, Pak
Zulfakar, dan segenap anggota Gapoktan Pandan Wangi atas keramahan
dan dukungan kepada penulis selama melakukan penelitian di Desa
Karehkel.
7. Sahabat-sahabat: Syura, Fani, Gangga, Adam, Mawar, Evy, Faisal, Triana,
Dhia, Dini, Rojak, Achmad, Tita, Sarwanto atas canda, tawa, dan arti
persahabatan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan
di IPB
x
8. Rekan-rekan Agribisnis 43 yang tidak dapat disebutkan satu per satu, dan
tidak lupa Lutfi, Fiqi IPTP 43, Mbak LI INTP 42 yang telah memberikan
dukungan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Firza Maudi
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 7 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 11 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ............................... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 14
2.1. Konteks, Ruang Lingkup, dan Faktor Penting dalam Pembangunan dan Pengembangan Pertanian Terpadu ................. 14
2.2. Dampak Pertanian Terpadu ......................................................... 18 2.3. Pernodelan Pertanian Terpadu ..................................................... 20
III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................... 24
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ....................................................... 24 3.1.1. Definisi Pertanian Terpadu ................................................ 24 3.1.2. Pertanian Terpadu Tanaman-Ternak .................................. 25 3.1.3. Konsep Ekonomi Pertanian Terpadu .................................. 27 3.1.4. Konsep Pemecahan Masalah dengan Program Linear ......... 31
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................ 34
IV. METODE PENELITIAN ................................................................ 37
4.1. Lokasi dan Objek Penelitian ....................................................... 37 4.2. Penentuan Responden ................................................................. 37 4.3. Jenis dan Sumber Data ................................................................ 38 4.4. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 39
4.4.1. Perancangan Model Linear Usahatani Sayuran Organik Terpadu .................................................. 39 4.4.1.1. Penerapan Model Usahatani Terpadu Sayuran
Organik-Hewan Ternak (MUSOT) ....................... 40 4.4.1.2. Penentuan Aktivitas Fungsi Tujuan ...................... 41 4.4.1.3. Pengukuran Kendala ............................................ 42 4.4.1.4. Model Matematis Usahatani Sayuran
Organik Terpadu .................................................. 43 4.4.1.5. Analisis Sensitivitas ............................................. 47 4.4.1.6. Analisis PascaOptimal ......................................... 48
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................ 49
5.1. Lokasi dan Topografi .................................................................. 49 5.2. Keadaan Iklim ............................................................................ 49
xii
5.3. Kependudukan ............................................................................ 50 5.4. Aktivitas Usahatani Desa Karehkel ............................................. 54
5.5.1. Usahatani Sayuran Organik ................................................ 54 5.4.1.1. Sejarah Budidaya Sayuran Organik
Desa Karehkel ...................................................... 54 5.4.1.2. Produksi Sayuran Organik dan Potensi
Limbah Sayuran ................................................... 56 5.4.1.3. Gambaran Budidaya Sayuran Organik .................. 57
5.5.2. Usahaternak Domba ........................................................... 59 5.5.3. Usahaternak Kelinci ........................................................... 60 5.5.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi danSilase ..................... 61
5.5. Karakteristik Responden .............................................................. 63
VI. ANALISIS KERAGAAN USAHATANI ......................................... 65
6.1. Usahatani Sayuran Organik ......................................................... 65 6.1.1. Penggunaan Lahan dan Pola Tanam
Sayuran Organik ................................................................ 65 6.1.2. Kebutuhan Input Produksi Sayuran Organik ...................... 67 6.1.3. Kebutuhan Tenaga Kerja Sayuran Organik ........................ 69 6.1.4. Produksi Sayuran Organik dan Limbah Sayuran ................ 71
6.2. Usahaternak Domba .................................................................... 76 6.2.1. Kebutuhan Input Produksi Domba ..................................... 76 6.2.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Domba ....................................... 77 6.2.3. Produksi Domba ................................................................ 78
6.3. Usahaternak Kelinci .................................................................... 79 6.3.1. Kebutuhan Input Produksi Kelinci ..................................... 79 6.3.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Kelinci ....................................... 81 6.3.3. Produksi Kelinci ................................................................ 83
6.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi .............................................. 84 6.4.1. Kebutuhan Input Produksi Pupuk Bokashi ......................... 84 6.4.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Pupuk Bokashi ........................... 87 6.4.3. Produksi Pupuk Bokashi .................................................... 88
6.5. Aktivitas Produksi Silase ............................................................ 89 6.5.1. Kebutuhan Input Produksi Silase ....................................... 90 6.5.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Silase ......................................... 92 6.5.3. Produk Silase ..................................................................... 92
6.6. Ketersediaan Sumberdaya dan Input Pendukung ......................... 93
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 96
7.1. Deskripsi Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu ................ 96 7.2. Analisis Model Usahatani sayuran Organik Terpadu ................... 98
7.2.1. Kegiatan Usahatani Sayuran Organik ................................. 98 7.2.1.1. Penggunaan Lahan Usahatani
Sayuran Organik .................................................. 98 7.2.1.2. Ketersediaan dan Penggunaan
Tenaga Kerja Usahatani Sayuran Organik ............ 99 7.2.1.3. Penggunaan Pupuk Organik ................................. 101
xiii
7.2.1.4. Produk Utama danLimbah Sayuran Organik ........ 101
7.2.2. Kegiatan Usahaternak Domba ............................................ 103 7.2.2.1.Pengusahaan Ternak Domba ................................... 103 7.2.2.2.Ketersediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Ternak Domba ....................................................... 104 7.2.2.3.Pemenuhan Kebutuhan Pakan Domba .................... 105 7.2.2.4.Produksi Daging dan Limbah Ternak Domba ......... 105
7.2.3. Kegiatan Usahaternak Kelinci ............................................ 105 7.2.3.1. Pengusahaan Indukan Kelinci .............................. 105 7.2.3.2. Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja pada
Usahaternak Kelinci ............................................. 106 7.2.3.3. Pemenuhan Kebutuhan Pakan Kelinci .................. 107 7.2.3.4. Produk Utama dan Limbah Kelinci ...................... 108
7.2.4. Kegiatan Produksi Silase ................................................... 109 7.2.4.1. Jumlah Produksi Silase ........................................ 109 7.2.4.2. Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja ........... 109 7.2.4.3. Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Hijauan ........ 110 7.2.4.4. Aktivitas Menjual dan Pemanfaatan Silase ........... 110
7.2.5. Kegiatan Produksi Pupuk Bokashi ..................................... 111 7.2.5.1. Jumlah Produksi Pupuk Bokashi ......................... 111 7.2.5.2. Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku
Pupuk Bokashi ...................................................... 111 7.2.5.3. Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Produksi Pupuk Bokashi ...................................... 113 7.2.5.4. Aktivitas Menjual Pupuk Bokashi ........................ 113
7.2.6. Status dan Penggunaan Sumberdaya Pendukung ................ 113 7.2.7. Aliran Produk dan Total Keuntungan Model SI dan SII ..... 115
7.2.7.1. Aliran Produk Model SI dan SII ........................... 115 7.2.7.1.1. Aliran Produk Model SI ....................... 115 7.2.7.1.2. Aliran Produk Model SII ...................... 117
7.2.7.2. Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII ...................................................... 120
7.3. Analisis Pasca Optimal ............................................................... 122 7.3.1. Skenario Model Usahatani Sayuran
Organik Terpadu ................................................................ 122 7.3.1.1. Model Skenario I (MS1): Kebijakan
Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 30Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ................... 124
7.3.1.2. Model Skenario II (MS2): Kebijakan Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 50 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ................... 125
7.3.1.3. Model Skenario III (MS3): Kebijakan Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 70 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ................... 126
7.3.1.4. Model Skenario IV (MS4): Kebijakan Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 100 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ................... 126
xiv
7.3.1.5. Analisis Kebijakan MS1, MS2, MS3, dan MS4 ..................................................... 128
7.4. Analisis Sensitivitas .................................................................... 129
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 133
8.1. Kesimpulan ................................................................................. 133 8.2. Saran .......................................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 135
LAMPIRAN ................................................................................................ 143
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Rata-rata Curah Hujan Selama 12 Tahun Terakhir di Kecamatan Karehkel ..................................................................... 50
2. Data Keragaan Penduduk Desa Karehkel Menurut Mata Pencaharian .............................................................................. 51
3. Data Jumlah Penduduk Tani Menurut Status Petani ........................... 53
4. Klasifikasi dan Tata Guna Lahan pada Kelompok Tani yang Tergabung dalam Gapoktan pandan Wangi ............................... 54
5. Karakteristik Responden Desa Karehkel ............................................ 64
6. Pola Tanam yang Diterapkan Petani Sayuran Organik ....................... 66
7. Kebutuhan Input dan Biaya Produksi di Luar Biaya Pupuk Organik pada Setiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik Masing-masing Responden ..................................... 68
8. Kebutuhan Tenaga Kerja pada Setiap Aktivitas Usahatani Sayuran Organik di Musim Kemarau dan Penghujan ........................ 70
9. Penjualan Tiap Jenis Sayuran Organik oleh Enam Petani Sayuran Organik Periode Juli 2009 – Maret 2010 ......... 72
10. Asumsi Permintaan Setiap Jenis Sayuran Organik pada Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu ............................. 73
11. Produksi Sayuran dan Limbah Sortasi per Bedengan Berukuran 23,9 m2 pada Musim Penghujan dan Musim Kemarau ........................................................................ 74
12. Perhitungan Harga Jual Limbah Sayuran Organik Berdasarkan Biaya Tenaga Kerja Pemanenan ................................... 75
13. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Domba pada Usahaternak Domba dalam Waktu Sebulan ...................................... 77
14. Biaya Produksi Kelinci per Bulan di Desa Karehkel ......................... 80
15. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Kelinci pada Setiap Bulan oleh Responden Peternak Kelinci ................................. 81
16. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Produksi 10 Liter MOL Berbahan Dasar Bodogol Pisang ....................................................... 85
17. Produksi Bokashi Pupuk Kandang di Desa Karehkel dengan Total Penggunaan Bahan Baku Sebanyak 727,5 Kilogram ............................................................... 86
18. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Per Kilogram Bokashi Pupuk Kandang yang Diproduksi ........................................ 87
xvi
19. Curahan Tenaga Kerja Pembuatan Bokashi Sebanyak 472,875 Kilogram ............................................................. 88
20. Kebutuhan Input dan Biaya Non Bahan Hijauan untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram .................................................................... 91
21. Kebutuhan Tenaga Kerja untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram ....................... 92
22. Total Penyediaan Rumput Per Bulan oleh Peternak di Desa Karehkel .............................................................................. 94
23. Alokasi Lahan Model SI dan Model SII ............................................ 99
24. Jumlah Produksi Sayuran Organik dan Permintaan Setiap Jenis Sayuran Model SI dan Model SII ...................................................... 102
25. Hasil Analisis Optimal Jumlah Pemeliharaan Indukan Kelinci pada Model SI dan Model SII ................................. 106
26. Penerimaan dan Biaya Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal ................................ 112
27. Ketersediaan Sumberdaya Pendukung pada Kondisi Optimal Model TSI dan Model SII ................................................................. 114
28. Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal ....................................................................... 121
29. Konsekuensi Penerapan Kebijakan Penggunaan Pupuk terhadap Total Keuntungan MS1, MS2, MS3, dan MS4 ................... 128
30. Selang Kepekaan Perubahan Harga pada Fungsi Tujuan pada MS1, MS2, MS3, dan MS4 ..................................................... 130
31. Selang Kepekaan Perubahan Ketersediaan Sumberdaya MS1, MS2, MS3, dan MS4 .............................................................. 132
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kombinasi Optimum Dua Produk yang Memberikan Penerimaan Maksimum Tanpa Pasar Produk Antara ........................ 28
2. Kombinasi Optimum Dua Produk yang Memberikan Penerimaan Maksimum dengan Pasar Produk Antara ...................... 30
3. KerangkaPemikiran Operasional ....................................................... 36
4. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model SI ........................... 116
5. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model SII .......................... 118
6. Aliran Produk Hasil Pemecahan Oprimal MS1 .................................... 125
7. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model MS4 ....................... 127
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Caisin pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ........................................... 144
2. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Kangkung pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ..................................... 144
3. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Merah pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ............................... 144
4. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Hijau pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ................................. 145
5. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Selada pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ........................................... 145
6. Potensi Kotoran Ayam di Sekitar Desa Karehkel ............................... 146
7. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan Proporsi Bahan Baku Pupuk Bokashi oleh Responden ................ 147
8. Perhitungan HPP Pupuk Bokashi ....................................................... 149
9. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan Proporsi Bahan Baku Silase yang Berbahan Dasar 100 kg Hijauan ........................................................ 150
10. Perhitungan HPP Silase ..................................................................... 151
11. Model SI ........................................................................................... 152
12. Output Model SI ................................................................................ 154
13. Model SII .......................................................................................... 159
14. Output Model SII .............................................................................. 161
15. Model Skenario MS1 ......................................................................... 165
16. Output Model Skenario MS1 ............................................................. 167
17. Model Skenario MS2 ......................................................................... 171
18. Output Model Skenario MS2 ............................................................. 173
19. Model Skenario MS3 .......................................................................... 177
20. Output Model Skenario MS3 ............................................................. 179
21. Model Skenario MS4 ......................................................................... 183
22. Output Model Skenario MS4 ............................................................. 185
23. Keterangan Kendala Model ............................................................... 189
24. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS1 ............................................. 191
25. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS2 ............................................. 192
xix
26. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS3 .............................................. 193
27. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS4 ............................................. 194
28. Dokumentasi ..................................................................................... 195
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk di Indonesia saat ini sudah mengalami penurunan
menjadi 1,3 persen namun pertumbuhan penduduk Indonesia masih relatif besar
yakni sekitar 3-4 juta jiwa per tahun1. Kondisi tersebut akan secara langsung
berdampak pada peningkatan kebutuhan pangan. Minami (1996) mengutarakan
bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong pengelolaan lahan
pertanian secara intensif sehingga akan meningkatkan kerusakan lingkungan.
Oleh karena itu pengelolaan pertanian secara berkelanjutan menjadi sangat
penting untuk menjaga kelestarian kegiatan pertanian dan menjaga kestabilan
produksi pertanian. Pentingnya pengelolaan pertanian secara berkelanjutan juga
disebabkan karena adanya keterbatasan lahan pertanian. Adanya tren penurunan
luasan lahan garapan dan kepemilikan lahan pertanian menjadi permasalahan bagi
keberlanjutan usahatani dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani.
Permasalahan tersebut dapat diatasi salah satunya dengan melakukan beberapa
aktivitas usahatani secara bersama pada lahan yang dimiliki. Sistem pertanian
berkelanjutan yang melibatkan berbagai aktivitas usaha disebut sebagai sistem
pertanian terpadu (Tampubolon 1997; Behera et al. 2008).
Pertanian terpadu adalah sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan
pola usahatani di suatu daerah sesuai dengan potensi daerahnya. Komoditi
unggulan yang menjadi potensi utama di suatu daerah didukung oleh usaha
komoditi lain sebagai penunjang (Noor 1996). Sistem pertanian terpadu
sebenarnya bukanlah suatu teknologi baru karena kebiasaan bertani dan beternak
dalam satu rumah tangga sudah lama mengakar pada budaya pertanian di
Indonesia. Penyelenggaraan pertanian terpadu pada hakikatnya merupakan inovasi
terhadap sistem pengelolaan teknologi tanpa mengubah teknologi yang sudah ada
namun dapat memperbaiki pendapatan petani dan meningkatkan efisiensi
usahatani (Djajanegara et al. 2005; Haryani 2009).
1 Pertmumbuhan Penduduk Indonesia Masih Besar. http://www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=881 [April 2010]
2
Keberhasilan dan kegagalan suatu inovasi teknologi dapat disebabkan oleh
berbagai faktor diantaranya kesesuaian antara ukuran usahatani petani dengan
kebutuhan ukuran usaha teknologi, sumber informasi teknologi, ketersediaan
sumberdaya lahan, modal, tenaga kerja, keterampilan teknis dan manajemen
petani, serta ketersediaan pasar input maupun pasar output setelah inovasi
diterapkan (Rogers 1962; Soekartawi 1988). Adanya kesesuaian antara tingkat
kerumitan inovasi dengan keahlian petani, tingkat kemudahan akses sumber
informasi inovasi, dapat menjadi salah satu pendukung sebuah inovasi lebih cepat
dan dapat diadopsi oleh petani (Kurnia 2000). Pertanian terpadu yang dirancang
sebaiknya disesuaikan dengan sumberdaya petani karena setiap skala
pengembangan dan pembangunan pertanian terpadu memerlukan pengetahuan dan
kemampuan manajemen yang berbeda (Minami 1996; Russelle 2007; Rosyid
1990). Ruang lingkup pengembangan dan pembangunan pertanian terpadu dapat
dilakukan dalam berbagai skala baik pada skala rumah tangga petani maupun pada
skala regional.
Keputusan petani untuk mengadopsi teknologi pertanian terpadu juga
sangat ditentukan oleh adanya informasi teknis dan informasi ekonomi mengenai
potensi keuntungan dari penerapan pertanian terpadu (Panggabean 1982).
Kegagalan petani dalam memanfaatkan teknologi akan berdampak pada
kegagalan produksi sehingga petani harus disiapkan sedini mungkin untuk
mengelola teknologi tersebut. Tidak semua petani yang mengusahakan tanaman
dan ternak secara bersamaan menerapkan pertanian terpadu karena terkadang
pengelolaan kedua aktivitas tersebut masih dilakukan secara terpisah. Oleh karena
itu penerapan pertanian terpadu pada skala rumah tangga petani seringkali
mengalami kendala akibat kemampuan manajemen usahatani yang rendah dalam
mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki. Akibatnya petani tidak dapat
memperoleh keuntungan yasng optimal dari beragam aktivitas usahatani yang
dilakukannya.
Pertanian terpadu yang diterapkan pada skala wilayah atau regional akan
melibatkan berbagai macam aktivitas usahatani dengan pola pengusahaan yang
berbeda-beda. Adanya pengembangan pertanian terpadu pada skala wilayah
mampu menyatukan sumberdaya yang dimiliki petani di daerah tersebut sehingga
3
permasalahan keterbatasan sumberdaya di tingkat petani dapat teratasi. Pola
pertanian di Indonesia pada suatu daerah yang seringkali terdiri dari sub-sub
daerah yang mengembangkan pertanian monokultur dengan jenis komoditas yang
berbeda-beda. Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk membangun sentra-
sentra produksi komoditas tertentu di sub-sub daerah tersebut dengan skala
ekonomi yang lebih besar. Apabila kegiatan usahatani pada sub-sub daerah dapat
menunjang satu sama lainnya maka akan sangat memungkinkan untuk
membangun sistem pertanian terpadu pada skala regional.
Adanya kompleksitas hubungan antara aktivitas usahatani yang dipadukan
dapat menjadi kendala dalam proses adopsi sistem pengelolaan usahatani secara
terpadu. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan usahatani
terpadu pada skala rumah tangga maunpun pada skala regional antara lain tingkat
produksi produk utama, tingkat produksi dan daya dukung limbah dalam
hubungan sinergis antar aktivitas usaha, ukuran usahatani, kapasitas teknologi
(peralatan yang telah dimiliki petani), ketersediaan tenaga kerja, fluktuasi
produksi terkait musim, fluktuasi harga pasar, dan sikap petani dalam
menghadapai risiko (Minami 1996; Russelle 2007). Selain itu, pertanian terpadu
pada skala wilayah perlu ditunjang oleh ketepatan media yang digunakan untuk
difusi teknologi sistem pertanian terpadu. Keberadaan kelompok tani (poktan)
atau gabungan kelompok tani (gapoktan) merupakan media yang cocok untuk
pengembangan pertanian karena memiliki peran yang sangat besar dalam
memfasilitasi transfer teknologi, media pelatihan, meningkatkan efisiensi
produksi, meningkatkan skala ekonomi, dan meningkatkan efisiensi pemasaran
(Hong 1993; Wang 1993).
Pengelolaan usahatani terpadu di Indonesia dapat dicirikan oleh usaha
yang saling mengisi antara pertanian tanaman pangan dengan peternakan di
bawah satu pengelolaan rumah tangga petani (Sastrodihardjo et al., 1982).
Pertanian terpadu antara tanaman dengan ternak mengacu pada satu kombinasi
atau lebih hewan dengan tanaman dan ikan yang memiliki fungsi yang berbeda-
beda namun memiliki sifat yang komplementer. Output dari salah satu kegiatan
menjadi input bagi kegiatan lain sehingga kedudukan sebuah output produksi
tidak selalu menjadi produk akhir namun dapat menjadi bahan baku bagi kegiatan
4
usahatani lainnya atau disebut sebagai produk antara (intermediate product).
Hubungan sinergis antara aktivitas yang diintegrasikan dapat menghasilkan total
output yang lebih banyak daripada output setiap kegiatan tersebut secara
individual (Devendra 1993; Behera et al. 2008).
Pemanfaatan limbah tanaman yang dihasilkan dapat menjadi solusi dalam
mengatasi kekurangan pakan hijauan lapang pada musim kemarau. Limbah
tanaman dapat dikatakan sebagai sumber pakan yang bersifat underexploited atau
masih belum termanfaatkan secara optimal. Limbah tanaman tersebut dapat didaur
ulang secara alami sehingga dapat menghasilkan produk ternak yang bernilai
tinggi. Di sisi lain, keberadaan hewan ternak tidak hanya sebagai penghasil bahan
pangan namun juga berfungsi sebagai tenaga kerja dan penghasil limbah yang
dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman. Pengelolaan usahatani terpadu
tersebut memiliki banyak manfaat antara lain diversifikasi dalam penggunaan
sumberdaya, meningkatkan efisiensi penggunaan input, mengoptimalkan
penggunaan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan
produksi, meningkatkan produktivitas, penghematan biaya produksi, mengurangi
risiko, serta mengurangi ketergantungan dengan input yang berasal dari luar
sistem (Sastrodihardjo et al. 1982; Devendra 1993; Kokubun 1998; Kariyasa dan
Pasandaran 2005).
Adanya berbagai manfaat penerapan pertanian terpadu dalam melestarikan
lingkungan, mengoptimalkan penggunaan sumberdaya yang dimiliki petani, dan
meningkatkan pendapatan petani melatarbelakangi banyaknya program pertanian
terpadu yang dicanangkan di Indonesia. Pengembangan pertanian terpadu di
Indonesia sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1980 oleh Badan Litbang
Pertanian misalnya melalui Crop- Livestock system, SUT (Sistem Usahatani
Terpadu) Sapi dan Padi, dan sistem integrasi kelapa sawit dan sapi di daerah
perkebunan (Kusnadi 2008). Tingginya tingkat pengeluaran (konsumsi) penduduk
Indonesia terhadap tanaman pangan khususnya padi dan palawija (36,25 persen)2
melatarbelakangi sebagian besar program pertanian terpadu di Indonesia
senantiasa melibatkan tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan penduduk
dapat tercukupi. Program pertanian terpadu yang sudah dilaksanakan pemerintah 2 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Indonesia
1999, 2002-2009. http://www.bps.go.id [Agustus 2010]
5
misalnya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Ternak atau yang biasa disebut SISKA
yang banyak dikembangkan di sentra-sentra kelapa sawit di Kalimantan (Paggasa
2008), pengusahaan tanaman karet terpadu dengan tanaman pangan-ternak di
daerah transmigrasi Batumarta,Sumatera Selatan (Rosyid 1990), integrasi kakao-
padi-ternak (domba dan sapi) di Provinsi Sulawesi Tengah (Handayani 2009), dan
integrasi ternak domba pada sentra produksi lada di Sulawesi Tenggara (Sahara et
al. 2004). Provinsi Banten juga berencana akan mengembangkan pertanian
terpadu antara ternak sapi, aktivitas produksi pupuk, biogas, dan usahatani padi
(Hamdani 2008).
Pelaksanaan program pertanian terpadu tersebut tidak terlepas dari adanya
kegagalan. Misalnya adalah pada program integrasi tanaman-ternak di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Donggala yang dicanangkan tahun 2004. Saat ini
paket teknologi integrasi tanaman-ternak di kedua lokasi tersebut sudah tidak
ditemui lagi. Penyebabnya adalah pada produksi bahan baku pakan yakni kulit
buah kakao yang sangat rendah akibat terserang hama dan sulitnya memperoleh
probiotik untuk pembuatan pakan ternak (Handayani 2009). Di sisi lain,
keberhasilan pengembangan dan pembangunan pertanian terpadu dapat dilihat
pada integrasi tanaman lada dengan domba di Desa Mowila dan Lakomea,
Kendari, Sulawesi Selatan yang ditunjukkan dengan masih diterapkannya
teknologi terpadu sampai dengan saat ini. Daya tarik bagi petani untuk
menerapkan pertanian terpadu lada-domba adalah potensi keuntungannya.
Apabila dibandingkan, sistem budidaya terintegrasi mampu menghasilkan
keuntungan sampai 341,85 persen lebih tinggi daripada usahatani lada monokultur
(Sahara et al. 2004).
Selain pengembangan pertanian terpadu antara tanaman pangan-hewan
ternak, pemerintah melalui Dirjen Hortikultura juga menetapkan pengembangan
agribisnis hortikultura terpadu yang didalamnya mencakup pengembangan
integrasi antara sayuran dan ternak3. Pengembangan program hortikultra terpadu
tersebut akan diarahkan pada pola zero waste agriculture sehingga setiap kotoran
ternak yang dihasilkan dapat dimanfaatakan sebagai pupuk organik dalam
budidaya tanaman sedangkan limbah tanaman dapat dimanfaatakan sebagai pakan 3 Hortikultura Terpadu Melalui CF-SKR (Counterpart Fund – Second Kennedy Round) dan “Zero Waste Agriculture”. http://www.hortikultura.go.id/ [Agustus 2010]
6
ternak. Melalui usahatani hortikultura terpadu tersebut diharapkan agar aktivitas
usahatani tidak terus menerus menghasilkan limbah (waste biomass) yang
mencemari lingkungan4.
Pengembangan usahatani hortikultura terpadu dengan pola zero waste
agriculture sangat identik dengan pengembangan hortikultura secara organik.
Pertanian organik yang memadukan tanaman dengan hewan ternak dapat menjadi
salah satu upaya untuk menghilangkan ketergantungan terhadap input yang
berasal dari luar sistem. Semakin meningkatnya harga pupuk kimia dan pakan
ternak menyebabkan pengusahaan tanaman hortikultura secara organik yang
dipadukan dengan hewan ternak dapat menghasilkan penghematan sehingga
pendapatan atau keuntungan petani akan meningkat (Abadilla 1982).
Program pengembangan agribisnis hortikultura terpadu tersebut didukung
dengan adanya kebijakan pemantapan maupun pengembangan sentra-sentra
produksi hortikultura baru5 serta melalui Program Pengembangan Kawasan
Hortikultura Organik yang akan diimplementasikan dengan pengembangan pilot
project di berbagai provinsi di Indonesia. Sasaran dan pelaksana Program
Pengembangan Kawasan Hortikultura Organik tersebut adalah petani, salah
satunya adalah petani sayuran organik, yang tergabung dalam gapoktan. Salah
satu provinsi yang akan dijadikan pilot project adalah Provinsi Jawa Barat (Dirjen
Hortikultura 2010).
Pengembangan usahatani sayuran organik terpadu di suatu wilayah, yang
melibatkan gapoktan, dapat menjadi salah satu peluang untuk meningkatkan
pendapatan petani. Hal ini didasari oleh adanya tren penawaran dan permintaan
sayuran organik semakin meningkat. Adanya program Deptan (2009) Go
Organic 2010 juga memacu perkembangan usahatani sayuran organik di
Indonesia. Menurut survey FiBL (2008), Indonesia memiliki 41 ribu hektar lahan
organik yang dikelola sekitar 23 ribu petani dengan volume penjualan mencapai
US $200 juta (Prawoto 2008). Produksi produk organik di Indonesia diperkirakan
tumbuh kurang lebih 10% per tahun6. Harga sayuran organik setiap kilogramnya
4 Loc.cit 5 Strategi dan Kebijakan Dirjen Hortikultura 2010-2014. http://agribisnis.hortikultura.go.id/ [Agustus 2010] 6 http://www.pasartani.com/file/BeritaDetail.asp?ID=29 [Agustus 2010]
7
dapat mencapai 2-4 kali lipat dibandingkan dengan sayuran non organik
(Rahmayanti 2008). Harga sayuran organik yang cukup tinggi dapat menjadi salah
satu daya tarik bagi petani sayuran non organik untuk beralih menjadi petani
sayuran organik.
Adanya rencana penerapan usahatani terpadi sayuran organik-hewan
ternak di suatu wilayah tentu saja memerlukan perencanaan secara matang.
Apalagi keberadaan usahatani terpadu antara sayuran organik dan hewan ternak
masih belum banyak diterapkan di Indonesia. Pemilihan jenis sayuran dan jenis
hewan ternak harus dilakukan secara tepat agar pola hubungan sinergis yang
dibangun dalam sistem usahatani terpadu dapat terlaksana. Selain itu sangat
penting untuk mengantisipasi adanya potensi kegagalan yang mungkin terjadi dari
penerapan pertanian terpadu tersebut. Berdasarkan uraian sebelumya, dapat
dikatakan bahwasanya pembangunan dan pengembangunan usahatani terpadu di
suatu lokasi sangat perlu untuk memperhatikan daya tarik ekonomi (keuntungan)
dari program pertanian terpadu serta kesesuaian sumberdaya modal, tenaga kerja,
lahan, dan kemampuan manajerial petani dalam mengelola pertanian secara
terpadu. Apabila rencana usahatani terpadu yang ditetapkan kurang tepat maka
dapat merugikan petani.
Adanya faktor ekonomi dan kesesuaian ketersediaan sumberdaya petani
yang menjadi faktor penentu keberhasilan program pertanian terpadu,
melatarbelakangi pentingnya analisis secara ekonomi terhadap rencana penerapan
usahatani terpadu antara sayuran organik dengan hewan ternak di suatu daerah.
Perencanaan dan analisis terhadap faktor ekonomi dapat dilakukan melalui
pendekatan perancangan model pertanian terpadu sayuran organik-hewan ternak
yang tentu saja perlu memperhatikan ketersediaan sumberdaya di daerah tersebut.
Dengan demikian, model yang dirancang dapat memaksimumkan total
keuntungan aktivitas-aktivitas yang diinttegrasikan dalam keterbatasan
sumberdaya yang tersedia.
1.2 Perumusan Masalah
Desa Karehkel merupakan salah satu lokasi yang akan membangun
pertanian terpadu antara sayuran organik dengan hewan ternak pada skala
wilayah. Sayuran organik di Desa Karehkel merupakan komoditas unggulan yang
8
terdiri dari jenis selada, kangkung, caisin, bayam hijau, dan bayam merah.
Aktivitas budidaya sayuran organik di Desa Karehkel adalah salah satu yang
terbaik pada tingkat petani di Kabupaten Bogor. Produksi sayuran organik rata-
rata per bulannya dapat mencapai 1,68 ton (ICDF 2010). Keberadaan hewan
ternak di Desa Karehkel sebagian besar terdiri dari domba (624 ekor) dan kelinci
(421 ekor) (Gapoktan Pandan Wangi 2009; Kantor Desa Karehkel 2010).
Rencana penerapan pertanian terpadu tersebut diinisiasi oleh Gapoktan
Pandan Wangi (GPW) yang berlokasi di Desa Karehkel. Setiap jenis aktivitas
yang akan diintegrasikan merupakan suatu kelompok-kelompok terpisah sehingga
memiliki kegiatan produksi secara spesifik. Aktivitas produksi yang spesifik di
suatu kelompok tani diharapkan dapat meningkatkan skala ekonomi sehingga
dapat meningkatkan jumlah produksi. Rencana penerapan usahatani terpadu
sayuran organik-hewan ternak di Desa Karehkel ditujukan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan limbah sayuran organik dan ternak. Potensi limbah sayuran, kotoran
domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci yang belum dimanfaatkan setiap
bulannya masing-masing dapat mencapai 1,4 ton; 28,7 ton; 5 ton; dan 1279,84
liter. Adanya pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik dan pemanfaatan
limbah sayur sebagai pakan ternak akan dapat menghemat biaya pakan ternak dan
biaya pupuk sehingga keuntungan aktivitas yang diintegrasikan akan meningkat.
Pemanfaatan limbah ternak maupun limbah sayuran organik memerlukan
dukungan aktivitas penunjang berupa unit pengolah limbah . Hal ini disebabkan
karena limbah-limbah yang dihasilkan tidak dapat digunakan secara langsung bagi
aktivitas usahatani sayuran organik dan hewan ternak. Kotoran ternak
memerlukan penanganan secara khusus karena apabila digunakan secara langsung
akan berdampak kurang baik bagi tanaman. Karakter limbah sayuran organik yang
tidak tahan lama untuk disimpan juga menjadi kendala tersendiri dalam
pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Oleh karena itu diperlukan penanganan
limbah ternak dan limbah sayur agar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
dengan nilai nutrisi yang baik dan memiliki daya simpan yang lebih lama.
Fasilitas yang dapat menunjang penanganan limbah tanaman dan ternak di Desa
Karehkel adalah unit produksi kompos dan silase.
9
Upaya penerapan pertanian terpadu sayuran organik dan hewan ternak di
Desa Karehkel dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala yang dimaksud antara
lain lahan, tenaga kerja, dan ketersediaan input produksi misalnya pupuk organik
dan pakan ternak. Rata-rata kepemilikan lahan pertanian masing-masing petani di
Desa Karehkel adalah sebesar 0,18 Ha (Hendayana 2010). Untuk petani sayuran
organik, rata-rata luasan lahan garapan aktual hanya mencapai 645,3 m2 atau
setara dengan 0,065 hektar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwasanya rata-
rata petani sayura organik di Desa Karehkel adalah sebagai petani gurem.
Keberadaan lahan dalam aktivitas usahatani di Desa Karehkel merupakan salah
satu kendala untuk meningkatkan produksi maupun pendapatan petani sehingga
setiap petani sayuran organik selalu menanam berbagai jenis sayuran di lahan
yang dimilikinya.
Saat ini aktivitas usahatani sayuran organik yang terpusat pada Poktan
Sugih Tani sangat bergantung pada pasokan pupuk kotoran ayam dari luar desa.
Adanya ketergantungan tersebut seringkali menyebabkan permasalahan tersendiri
bagi aktivitas budidaya sayuran organik. Meskipun pasokan kotoran ayam selalu
ada namun terkadang pengiriman pupuk kotoran ayam tersebut tidak tepat waktu.
Akibatnya kegiatan pemupukan terlambat sehingga berdampak langsung pada
produksi sayuran organik yang tidak maksimal.
Cukup banyaknya populasi ternak ruminansia di Desa Karehkel
menyebabkan adanya pola hubungan yang kompetitif antar hewan ternak yang
diusahakan yakni dalam hal pemenuhan kebutuhan pakan. Kebutuhan pakan bagi
hewan ternak di Desa Karehkel, terutama dipenuhi dengan hijauan lapang, baik
dalam bentuk rumput maupun dedaunan. Pada musim kemarau, peternak
mengalami kesulitan dalam mencari pakan hijauan lapang sehingga seringkali
peternak perlu mencarinya di daerah yang cukup jauh. Pada musim kemarau,
peternak kelinci memberikan dedak kepada kelinci yang dipelihara dalam jumlah
yang relatif lebih banyak daripada musim penghujan. Akibatnya biaya pakan
kelinci akan cenderung meningkat pada musim kemarau. Selain itu, produksi urin
kelinci jugaakan menurun apabila diberikan dedak dalam jumlah yang cukup
banyak sehingga penerimaan dari penjualan urin kelinci akan menurun. Adanya
pemanfaatan limbah sayuran sebagai pakan ternak dalam bentuk silase diharapkan
10
dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut sehingga
aktivitas memproduksi silase memegang peranan yang cukup penting dalam
memenuhi kebutuhan pakan ternak selain dari hijauan lapang.
Ketersediaan tenaga kerja yang dimiliki setiap rumah tangga petani
maupun peternak juga sangat terbatas. Oleh karena itu, ketersediaan tenaga kerja
dalam bidang pertanian juga menjadi salah satu kendala dalam upaya
peningkatan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas usahatani. Rata-rata
tenaga kerja dalam rumah tangga petani di Desa Karehkel hanya terdiri dari satu
orang laki-laki dewasa dan satu orang wanita dewasa. Sebagian besar anggota
keluarga lainnya bermata pencaharian di luar usahatani dan sebagian lainnya
menempuh pendidikan sekolah. Data Profil Desa Karehkel (2009) menunjukkan
bahwa hanya 10 persen penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani.
Sebanyak 1,8 persen diantara petani tersebut berstatus sebagai buruh tani.
Sebagian besar penduduk Desa Karehkel (90 persen) lebih tertarik untuk bekerja
di luar aktivitas pertanian.
Adanya berbagai kendala tersebut menyebabkan rancangan model
usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak (MUSOT) yang dibangun di
Desa Karehkel perlu dirancang secara tepat. Artinya model yang dibangun harus
memperhatikan keberadaan berbagai kendala dalam setiap aktivitas usahatani
yang akan diintegrasikan. Perancangan MUSOT dilakukan agar dapat membantu
GPW untuk merencanakan pertanian terpadu di Desa Karehkel sehingga dapat
memaksimumkan total keuntungan wilayah sesuai dengan sumberdaya yang
tersedia. Perancangan model yang kurang tepat dapat berdampak negatif terhadap
aktivitas-aktivitas yang diintegrasikan sehingga akan merugikan petani. Oleh
karena itu, berdasarkan MUSOT yang dirancang dalam penelitian ini diharapkan
dapat menjawab berbagai permasalahan sebagai berikut:
1) Apakah pertanian terpadu pada skala wilayah dapat diterapkan di Desa
Karehkel?
2) Kegiatan usahatani apakah yang sebaiknya diintegrasikan sehingga dapat
memaksimumkan total keuntungan wilayah?
3) Bagaimanakah dampak penerapan pertanian terpadu terhadap pemanfaatan
produk antara di dalam desa serta total keuntungan wilayah yang
11
dihasilkan jika dibandingkan dengan pelaksanaan setiap aktivitas usahatani
secara tidak terintegrasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Perancangan MUSOT dalam penelitian ini diharapkan dapat menjawab
berbagai permasalahan di atas. Oleh karena perancangan MUSOT di Desa
Karehkel bertujuan untuk :
1) Menganalisis kemungkinan penerapan pertanian terpadu pada skala
wilayah di Desa Karehkel.
2) Menganalisis kegiatan usahatani yang sebaiknya diintegrasikan sehingga
dapat memaksimumkan total keuntungan wilayah.
3) Mengkaji dampak penerapan pertanian terpadu terhadap pemanfaatan
produk antara di dalam desa dan total keuntungan wilayah yang dapat
dicapai jika dibandingkan dengan pelaksanaan setiap aktivitas usahatani
secara tidak terintegrasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan
masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam pembangunan pertanian
terpadu di Desa Karehkel. Secara rinci penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat antara lain:
1) Pemerintah Kabupaten Bogor, sebagai masukan dalam penentuan
kebijakan pengembangan pertanian Desa Karehkel di masa mendatang
serta memberikan informasi mengenai potensi desa dalam penerapan
pertanian terpadu.
2) Akademisi dan peneliti, sebagai bahan rujukan untuk penelitian serupa
atau pengembangan penelitian yang sudah dilaksanakan.
3) Perusahaan swasta, sebagai media informasi mengenai potensi Desa
Karehkel dalam memproduksi sayuran organik, hewan ternak (kelinci dan
kambing) serta pupuk organik sehingga dapat menunjang dalam
pengembangan pasar-pasar produk pertanian.
12
4) Gapoktan Pandan Wangi, sebagai saran dalam rencana penerapan
pertanian terpadu di Desa Karehkel sehingga sumberdaya yang tersedia
dapat dialokasikan secara optimal.
5) Penulis, untuk memberikan wawasan, pengalaman, dan informasi baru
tentang pengelolaan pertanian secara terpadu, serta sebagai media
penerapan ilmu dan peningkatan pemahaman yang diperoleh selama masa
kuliah.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Gapoktan Pandan Wangi (GPW) yang
berlokasi di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat. Objek penelitian ini antara lain petani sayuran organik, peternak, dan
aktivitas penunjang yang menangani limbah usahatani maupun usahaternak. Jenis
sayuran organik dalam penelitian ini dibatasi pada jenis selada, kangkung, caisin,
bayam merah, dan bayam hijau karena pengusahaan sayuran organik di Desa
Karehkel hanya dilakukan pada kelima jenis sayuran tersebut. Aktivitas ternak
ditentukan berdasarkan jenis ternak yang sangat potensial untuk memanfaatkan
limbah sayuran organik dan mampu menghasilkan limbah ternak yang dapat
digunakan bagi usahatani tanaman. Oleh karena itu hewan ternak yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah domba dan kelinci.
Keberadaan aktivitas penanganan limbah usahatani di Desa Karehkel
dibatasi pada aktivitas produksi pupuk bokashi dan aktivitas produksi silase.Pada
kondisi aktual, GPW telah mengetahui teknologi pembuatan pupuk bokashi dan
saat ini sedang dalam tahap pengembangan produksi dan komersialisasi. Berbeda
halnya pada aktivitas silase, dimana teknologi silase di Desa Karehkel belum
diketahui oleh GPW. Adanya silase dalam penelitian ini ditujukan sebagai salah
satu upaya pengelolaan dan penangan limbah sayuran sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan umur simpan yang relatif lama.
Model yang dibangun pada penelitian ini tidak memiliki dimensi waktu
sehingga waktu produksi masing-masing aktivitas diabaikan. Pada kondisi aktual
produksi sayuran dan limbah sayuran organik dapat dipengaruhi oleh musim dan
penggunaan input yang berbeda. Model integrasi yang dibangun
menyederhanakan kondisi tersebut dimana diasumsikan sayuran diproduksi pada
13
musim kemarau dan tidak adanya dampak perubahan produksi karena penggunaan
input yang berbeda. Begitu juga halnya pada usahaternak, seringkali penggunaan
pakan yang berbeda akan secara langsung berdampak pada perbedaan produksi
ternak. Model ini pun menyederhanakan kondisi aktual tersebut dimana
penggunaan input yang berbeda diasumsikan tidak berdampak pada perubahan
produksi ternak.
Pada model yang dirancang, kendala yang dimasukkan dalam model antara
lain sumberdaya tenaga kerja, lahan, dan berbagai sumberdaya pendukung
misalnya ketersediaan produk antara yang mendukung aktivitas usahatani terpadu.
Tidak dimasukkannya kendala modal dalam penelitian ini merupakan salah satu
keterbatasan dari penelitian ini. Model yang dibangun ditujukan untuk
memberikan informasi mengenai alokasi optimal sumberdaya tenaga kerja dalam
keluarga, sumberdaya lahan, sumberdaya pendukung misalnya ketersediaan
tenaga kerja sewa, ketersediaan rumput lapang, ketersediaan bahan baku hijauan
silase, ketersediaan pupuk kotoran ayam serta memberikan informasi mengenai
jumlah pengusahaan optimal masing-masing aktivitas kelompok tani sehingga
dapat memaksimumkan total keuntungan.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konteks, Ruang Lingkup, dan Faktor-faktor Penting dalam Pembangunan dan Pengembangan Pertanian Terpadu
Pembangunan dan pengembangan pertanian terpadu di suatu daerah
memiliki makna yang berbeda. Pembangunan pertanian terpadu diidentikan
dengan aktivitas memulai sebuah pertanian terpadu dimana sebelumnya sama
sekali masih belum ada pertanian terpadu di lokasi tersebut. Pada aktivitas
pengembangan pertanian terpadu lebih ditekankan pada pembenahan pola
pengusahaan atau penambahan aktivitas produksi pada pertanian terpadu yang
telah diterapkan .
Pengelolaan kebun kelapa sawit plasma merupakan salah satu contoh
pengelolaan pertanian terpadu secara vertikal. Perkebunan kelapa sawit plasma
melibatkan perkebunan rakyat dimana pengembangannya diintegrasikan ke
perkebunan besar swasta nasional maupun negeri yang berfungsi sebagai unit
pengolahan sawit sekaligus pemasaran produk olahan kelapa sawit (CPO). Model
pengembangan pertanian terpadu terbaik yang diperoleh adalah dengan
pemberdayaan kelompok tani, pemerintah daerah, dan LSM sehingga sehingga
dapat dikatakan bahwa model integrasi terbaik dibangun pada skala wilayah
(Wigena 2009). Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
Perkebunan PIR-TRANS PTPN V Provinsi Riau yang dibangun oleh Wigena
(2009) dapat menunjukkan bahwa harga produk, tingkat produksi, serta ruang
lingkup pengembangan integrasi vertikal memegang peranan penting dalam
kesuksesan model integrasi vertikal ini.
Program pembanguan pertanian terpadu secara vertikal juga cukup banyak
yang dilakukan pemerintah. Pertanian terpadu secara vertikal biasanya dilakukan
pada skala wilayah karena melibatkan berbagai pihak yang memiliki fungsi
berbeda. Dirjen Hortikultura pada tahun 2009 berencana mengembangkan 16
kawasan terpadu yang tersebar di seluruh Indonesia7. Daerah-daerah yang akan
dikembangkan antara lain kawasan hortikultura mangga di kawasan Cirebon,
Indramayu, Majalengka, Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso; bawang
7 Pemerintah Dorong Kawasan Hortikultura Terpadu. www.hortikultura.deptan.go.id [April, 2010]
15
merah di Brebes, Cirebon, Kuningan; jamur di Karawang dan Subang; cabai
Ciamis dan Tasikmalaya; manggis di Purwakarta, Subang, Tasikmalaya dan
Bogor; melon di Pekalongan, Karanganyar, Sragen; temulawak di Semarang;
salak di(11) Sleman, Banjarnegara, Magelang; nanas di Kuburaya, Pontianak
(Kalimantan barat); kentang di Modoinding; kawasan tanaman hias daun potong
di Magelang, Semarang, Wonosobo dan Boyolali, tanaman taman di Sumatera
Barat (Padang, Padang Panjang, Bukittinggi), Riau (Pekanbaru) dan Kepulauan
Riau, Batam dan Bintan; bunga dan daun potong di Jawa Barat (Bandung,
Bandung Barat, Cianjur dan Sukabumi, Anggrek, bunga dan daun potong di
Jabodetabek dan Bunga Potong di Tomohon (Sulawesi Utara). Pengembangan
kawasan pertanian terpadu tersebut akan melibatkan aktivitas pasca panen, sortasi,
pengemasan, dan pengembangan rantai pasokan sampai dengan ke konsumen.
Berbeda halnya pada pertanian terpadu secara horisontal dimana dapat
dibangun atau dikembangan pada skala terkecil yakni rumah tangga petani.
Pertanian terpadu secara horisontal ditunjukkan dengan diversifikasi usaha yang
dikelola secara bersama dengan adanya hubungan sinergis antara aktivitas yang
dipadukan. Penerapan pertanian terpadu di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa
memiliki corak pengusahaan yang berbeda. Meskipun sebagian besar aktivitas
yang diusahakan dipadukan secara horizontal namum sebagian besar usahatani
terpadu di Pulau Jawa mayoritas ditunjukkan dengan integrasi antara tanaman
pangan maupun hortikultura dengan hewan ternak .
Misalnya adalah program introduksi ternak domba usahatani sayuran di
Desa Canggal, Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian
Kusnadi et al. ( 2006) di lokasi tersebut menunjukkan bahwasanya terdapat
perbedaan cara pengelolaan pertanian terpadu antara ternak domba dengan
usahatani sayuran. Petani-petani yang tidak diintroduksikan pola pertanian
integrasi mengusahakan usahatani sayuran dan ternak domba pada skala rumah
tangga petani. Berbeda halnya pada petani yang diintroduksikan pola pengelolaan
pertanian secara terpadu, dimana setiap petani mengusahakan sayuran organik
pada skala rumah tangga dengan pengelolaan ternak domba secara berkelompok.
Dengan demikian pengelolaan terpadu tersebut dilakukan pada skala wilayah.
Petani-petani yang diintroduksikan usahatani terpadu sayuran-domba yang
16
dikelola secara kelompok memberikan peningkatan pendapatan yang lebih tinggi
(50,53 persen) daripada pengelolaan domba dalam skala rumah tangga petani (26
persen). Adanya pengelolaan domba secara berkelompok mampu meningkatkan
angka kelahiran anakan, menurunkan persentase kematian, dan meningkatkan
pertambahan bobot badan domba per bulannya.
Penerapan pertanian terpadu secara horizontal di luar Pulau Jawa sebagian
diusahakan dengan pengelolaan terpadu antara tanaman perkebunan-tanaman
pangan-hewan ternak. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Rosyid (1990) di Sumatera Selatan maupun oleh Handayani
(2009) di Sulawesi Tengah, dan Elly et al. (2008) di Sulawesi Utara. Pola
pengusahaan aktivitas usahatani terpadu di luar Pulau Jawa tersebut diidentikan
dengan pengusahaan bersama tanaman pangan baik palawija maupun padi,
tanaman perkebunan misalnya kakao, kelapa, karet, dan hewan ternak misalnya
sapi atau domba, dalam satu rumah tangga petani. Seringkali pola pengusahaan
ketiga kegiatan usahatani tani tersebut memiliki hubungan yang kompetitif dalam
hal penggunaan tenaga kerja. Misalnya adalah pada saat tanaman perkebunan
tidak berada pada masa menghasilkan atau tidak berbuah maka sebagian besar
curahan tenaga kerja akan dialokasikan untuk kegiatan usahatani tanaman pangan
sehingga keberadaan usahatani tanaman perkebunan dan ternak adalah sebagai
usahatani pendukung. Berbeda halnya pada saat tanaman perkebunan berada pada
masa berbuah atau menghasilkan maka sebagian besar curahan tenaga kerja akan
dialokasikan untuk kegiatan perkebunan sehingga keberadaan usahatani tanaman
pangan dan ternak adalah sebagai pendukung (Rosyid 1990). Maka dapat
dikatakan bahwasanya posisi sebuah aktivitas usahatani pada usahatani terpadu di
luar Pulau Jawa senantiasa berubah tergantung pada masa produksi tanaman.
Posisi hewan ternak adalah sama saja dari waktu ke waktu yakni sebagai aktivitas
usaha pendukung usahatani tanaman.
Penerapan pertanian terpadu secara horizontal juga cukup banyak
diterapkan di dunia. Misalnya dapat ditunjukkan oleh aktivitas usahatani terpadu
antara usaha perikanan, tebu, usahatani daun mulberi dan ulat sutera di delta
Sungai Zhujian, Cina (Ruddle dan Zhong 1988). Adanya keterpaduan antara
keempat aktivitas tersebut dapat memproduksi berbagai jenis komoditas dalam
17
jumlah yang jauh lebih banyak dan memiliki areal produksi yang luas. Areal
produksi yang luas dan jumlah produksi yang melimpah tidak menjamin adanya
potensi keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang
notabene aktivitas pertaniannya belum terintegrasi. Total keuntungan wilayah
akibat penerapan pertanian terpadu di delta Sungai Zhujian menunjukkan hasil
yang lebih rendah daripada daerah lain yang tidak terintegrasi. Penyebabnya
adalah faktor harga komoditas sutera yang dihasilkan oleh petani memiliki harga
yang lebih rendah dibanding daerah lain karena kualitasnya sutera yang dihasilkan
memang lebih rendah.
Adanya pasar input produksi usahatani yang berasal dari luar daerah
Zhujian dapat menjadi ancaman tersendiri bagi aktivitas pertanian terpadu di
daerah tersebut. Ancaman yang dimaksud adalah adanya penurunan total
keuntungan wilayah akibat pengggunaan input dari luar Zhujian dengan harga
lebih mahal pada tingkat produksi dan harga produk yang sama sehingga
keuntungan yang dihasilkan akan lebih kecil. Apabila produk antara yang
dihasilkan di dalam sistem terpadu Zhujian tidak mampu mampu memenuhi
kebutuhan input di dalam sistem maka kekurangan tersebut akan dipenuhi dengan
membeli dari luar sistem. Jumlah kekurangan input yang cukup besar tentu saja
akan meningkatkan penggunaan input dari luar sistem yang lebih mahal sehingga
keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih kecil. Pada kondisi aktual, sistem
pertanian terpadu di Zhujian relatif mampu memenuhi kebutuhan produk antara
(intermediate product) di dalam sistem sehingga jumlah input produksi yang
dibeli dari luar sistem cukup rendah.Pemilihan aktivitas yang diintegrasikan di
Delta Zhujian tentu saja didasari oleh adanya pemahaman terhadap hubungan
sinergis yang dapat diciptakan oleh aktivitas-aktivitas tersebut.
Kondisi serupa juga terjadi di Desa Karehkel, dimana aktivitas yang
diintegrasikan merupakan aktivitas-aktivitas yang memungkinkan untuk
bersinergi satu sama lain dalam meningkatkan produksi maupun total keuntungan.
Rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel yang melibatkan beberapa
kelompok tani yang memiliki aktivitas produksi secara spesifik menunjukkan
bahwa keterpaduan yang akan diterapkan adalah secara horisontal. Keberadaan
pertanian terpadu di Desa Karehkel yang masih dalam tahap perencanaan
18
memposisikan penelitian ini pada perencanaan pembangunan pertanian terpadu
yang melibatkan aktivitas usahatani sayuran organik, ternak domba, ternak
kelinci, aktivitas produksi silase dan pupuk bokashi.
Adanya faktor harga produk dan ketersediaan pasar input (pasar produk
antara) dari luar sistem yang menjadi faktor penting dalam menentukan total
keuntungan wilayah, menyebabkan kedua faktor tersebut perlu diperhatikan saat
merencanakan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Dengan memperhatikan kedua
faktor tersebut maka pertanian terpadu yang direncanakan di Desa Karehkel dapat
memberikan insentif ekonomi yang lebih tinggi daripada penyelenggaraan
pertanian secara tidak terpadu. Daya tarik ekonomi tersebut dapat menjadi
informasi bagi petani sehingga mampu mempengaruhi keputusan petani untuk
mengadopsi teknologi pengelolaan pertanian secara terpadu.
2.2. Dampak Penerapan Pertanian Terpadu
Sebagai pelaku ekonomi, seorang petani senantiasa berupaya untuk
meningkatkan pendapatan usahataninya. Upaya yang dapat dilakukan petani
untuk meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan produksi
dan melakukan penghematan terhadap biaya-biaya usahatani. Melalui
penyelenggaraan pertanian terpadu, khususnya usahatani tanaman-hewan ternak
terpadu, petani sekaligus dapat meningkatkan produksi (jumlah maupun jenis
produk) dan melakukan penghematan biaya usahatani. Penghematan terhadap
biaya pupuk dan pakan ternak menjadi hal yang sangat penting karena kedua
komponen biaya tersebut merupakan salah satu komponen biaya terbesar.
Hanifah (2008) membuktikan bahwa dengan adanya penerapan pertanian
terpadu di Pondok Pesantren Al Ittifaq, Kampung Ciburial, Desa Alam Endah,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, dapat menghemat biaya pakan ternak
dan biaya pupuk yakni masing-masing sampai dengan 36,2 persen dan 24,5
persen. Terjadinya penghematan akibat penyelenggaraan pertanian secara terpadu
dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa dan Pasandaran (2005)
pada beberapa lokasi integrasi usahtani tanaman-ternak yakni padi dan sapi di
Jawa Tengah. Penggunaan pupuk kandang pada usahatani terintegrasi tanaman
ternak dapat menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar 18,14%-19,48% atau
8,8% dari total biaya. Pada kondisi usahaternak maupun usahatani tanaman yang
19
dilakukan secara tidak terintegrasi, komponen biaya pakan ternak rata-rata dapat
mencapai 48,77 persen (Agustina 2007; Febriliany 2008; Widagdho 2008; Stani
2009) sedangkan biaya pupuk rata-rata dapat mencapai 22 persen dari total
pengeluaran yakni komponen biaya terbesar kedua setelah biaya tenaga kerja
(Wahyuni 2007; Maimun 2009; Surbakti 2009).
Analisis pendapatan usahatani yang dilakukan oleh Noor (1996) ,
Kariyasan dan Pasandaran (2005), dan Hanifah (2008) memberikan hasil yang
bervariasi terhadap peningkatan pendapatan usahatani saat dilakukan secara
terpadu. Namun secara keseluruhan hasil analisis pendapatan usahatani
menunjukkan bahwa adanya penerapan pertanian terpadu dapat memberikan
pendapatan usahatani yang lebih tinggi daripada penyelenggaraan usahatani tidak
terpadu. Kariyasa dan Pasandaran (2005) bahkan menyebutkan pengelolaan
usahatani secara terpadu dapat memberikan pendapatan bersih hingga 21 persen
lebih tinggi dari pengusahaan usahatani tidak terpadu.
Penerapan pertanian terpadu ternyata tidak selamanya memberikan
dampak positif terhadap aktivitas usahatani yang dilakukan. Efisiensi tenaga kerja
dan efisiensi penggunaan modal pada aktivitas usahatani terpadu lebih rendah
daripada usahatani tidak terpadu. Cukup beragamnya aktivitas dalam usahatani
terpadu, misalnya pengelolaan dua atau lebih kegiatan usahatani secara
bersamaan, memerlukan modal dan curahan tenaga kerja yang lebih tinggi.
Apabila curahan tenaga kerja dan modal yang lebih tinggi tersebut tidak
diimbangi dengan peningkatan penerimaan usahatani yang lebih tinggi pula akan
menyebabkan pada efisiensi tenaga kerja dan efisiensi modal yang lebih rendah
daripada aktivitas usahatani monokultur atau tidak terintegrasi. Dwiyana dan
Mendoza (2002) menguatkan kondisi tersebut, dimana efisiensi penggunaan
tenaga kerja dan efisiensi penggunaan modal pada sistem usahatani minapadi
adalah lebih rendah daripada usahatani padi monokultur. Meskipun demikian,
secara keseluruhan pendapatan usahatani minapadi adalah lebih tinggi daripada
usahatani padi monokultur.
Agar penyelenggaraan pertanian terpadu dapat menguntungkan maka
selain perlu memperhatikan aspek kompatibilitas antara komoditas utama pada
suatu daerah dengan aktivitas pendukung dalam pertanian terpadu, petani juga
20
perlu untuk memperhatikan daya dukung lingkungan terhadap aktivitas usahatani
yang dilakukan. Studi literatur yang dilakukan oleh Kusnadi (2008) terhadap
berbagai penelitian di agroekosistem lahan kering dataran tinggi, lahan kering
dataran rendah, lahan sawah, lahan pasang surut, lahan perkebunan, dan lahan
kering beriklim kering menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis komoditas
yang diintegrasikan, perbedaan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan
dampak ekonomi yang dihasilkan. Misalnya pengembangan pertanian terpadu di
daerah dataran tinggi, tepatnya di hulu sungai yang harus memperhatikan
kemiringan lahan, kedalaman tanah, erodibilitas, persepsi petani, dan permintaan
pasar. Jumlah ternak yang dipelihara sebaiknya berjumlah 11-12 ekor domba atau
2 ekor sapi yakni sesuai dengan kapasitas lahan teras bangku. Pemeliharaan ternak
domba sebanyak 11-12 ekor atau dua ekor sapi mampu menyumbang 36 persen
kebutuhan pupuk kandang dalam setahun. Pengintegrasian aktivitas usahatani
yang kurang tepat dapat berdampak pada kerugian di tingkat petani dan kegagalan
program pertanian terpadu di daerah tersebut.
Rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel juga harus
memperhatikan hubungan sinergis yang dapat dibangun pada aktivitas yang
diintegrasikan. Adanya pertanian terpadu di Desa Karehkel diharapkan dapat
mengoptimalkan pemanfatan limbah yang dihasilkan sehingga dapat menciptakan
penghematan dan meningkatkan total keuntungan wilayah Desa Karehkel. Sangat
pentingnya daya tarik ekonomi teknologi pengelolaan pertanian terpadu yang
ditujukan untuk memperbaiki teknologi pengelolaan usahatani yang sudah ada
(tidak terpadu) di Desa Karehkel, membuat analisis dalam penelitian ini dilakukan
untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas usaha yang sebaiknya
diintegrasikan sehingga dapat memaksimumkan total keuntungan wilayah.
2.3. Permodelan Pertanian Terpadu
Perencaan pembangunan pertanian terpadu maupun perbaikan pola
pengusahaan pertanian terpadu kurang tepat jika hanya menggunakan pendekatan
analisis usahatani. Analisis melalui pendekatan pendapatan usahatani tidak dapat
memberikan informasi yang lengkap mengenai alokasi sumberdaya dan pola
pengusahaan usahatani yang optimal sehingga dapat memaksimumkan
keuntungan. Oleh karena itu perencanaan pertanian terpadu di suatu daerah
21
maupun perbaikan pola pengusahan terpadu di suatu daerah seringkali
menggunakan permodelan linear programming (LP).
Penggunaan LP dalam perencanaan pertanian terpadu di suatu lokasi
sangat cocok untuk digunakan karena LP dapat menggambarkan alokasi
sumberdaya yang optimal yang disertai dengan adanya berbagai kendala
sumberdaya yang dimiliki petani (Schiere et al. 2002). Analisa program linear
juga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan informasi mengenai struktur
hubungan yang salin terkait, keuntungan komparatif, potensi produksi,
kesempatan kerja, dan pola produksi pertanian (Kasryno 1979, diacu dalam
Amareko 1983). Oleh karena itu LP cukup banyak digunakan untuk membangun
maupun memperbaiki pola pengusahaan pertanian terpadu di suatu lokasi
sehingga dapat memberikan keuntungan yang maksimum jika dibandingkan
dengan pola pengusahaan yang dilakukan petani.
Penggunaan LP untuk membenahi pola usaha pertanian terpadu dilakukan
oleh Panggabean (1982) di dua desa di Kabupaten Magelang dan satu desa
Kabupaten Wonosobo dengan tipe daerah yang berbeda-beda. Desa Sewukan
mewakili lahan sawah di Kabupaten Magelang, Desa Kapuhan mewakili daerah
lahan sawah dan lahan kering, dan Desa Tambi mewakili lahan kering di
Kabupaten Wonosobo. Hasil analisis LP dapat memberikan informasi mengenai
realokasi sumberdaya yang perlu dilakukan oleh petani, perbaikan pola tanam,
dan perbaikan pola panen sehingga petani dapat memaksimumkan
keuntungannya. Adanya karakteristik pengusahaan tanaman-hewan ternak di
ketiga desa tersebut yang dikelola dalam satu rumah tangga petani menyebabkan
unit analisis usahatani terpadu dilakukan pada skala rumah tangga petani. Selain
itu Panggabean (1982) juga melibatkan adanya berbagai kendala dalam
penyusunan LP yakni diantaranya sumberdaya lahan, tenaga kerja keluarga,
modal kerja, dan konsumsi keluarga.
Penerapan pertanian terpadu di lokasi lainnya tentu saja akan melibatkan
jenis kendala yang berbeda serta perlu memperhatikan karakteristik pengusahaan
usahatani terpadu yang dilakukan oleh petani. Amareko (1983) menambahkan
kendala kepemilikan ternak dalam model pertanian terpadu yang dibangun di dua
kecamatan daerah kerja PDP II ( Provincial Areal Development Program),
22
Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Petani di dua kecamatan tersebut
telah mengusahakan pertanian terpadu dengan jumlah lahan, jumlah ternak,
jumlah tenaga kerja keluarga, modal kerja, dan konsumsi keluarga dengan jumlah
tertentu sehingga model usahatani terpadu yang dibangun ditujukan untuk
memperbaiki pola pengusahaan petani sesuai dengan kondisi aktual kedua
kecamatan tersebut.
Model pertanian terpadu yang dibangun secara spesifik di Kabupaten
Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, selain melibatkan kendala sumberdaya
lahan, tenaga kerja keluarga, modal, dan konsumsi keluarga, juga dilibatkan pula
kendala ketersediaan hijauan lapang, ketersediaan kredit yang dapat diakses
petani, dan kendala transfer pemanfaatan produk antara sebagai input produksi
kegiatan usahatani lainnya (Handayani 2009). Pengusahaan ternak di Kabupaten
Donggala memang seringkali menghadapai kendala pemenuhan kebutuhan pakan
pada musim kemarau sehingga model yang dibangun melibatkan kendala
ketersediaan hijauan lapang. Dalam kaitannya dengan modal petani di Kabupaten
Donggala, petani juga biasanya meminjam ke toko pertanian, koperasi, maupun
ke bank. Pada model usahatani terpadu yang dibangun oleh Howara (2004) di
lokasi program P3T (Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu) di tiga desa yakni
Desa Pasirmuncang, Desa Jatiserang, dan Desa Cijurey, Kecamatan Panyingkiran,
Kabupaten Majalengkan Provinsi Jawa Barat, melibatkan kendala yang lebih
banyak. Adanya keterbatasan benih dan pakan ternak membuat model yang
dibangun juga melibatkan kendala ketersediaan benih dan pakan ternak.
Model usahatani terpadu yang dibangun oleh Panggabean (1982),
Amareko (1983), Howara (2004) dan Handayani (2009) dapat menunjukkan
bahwasanya dengan melakukan realokasi sumberdaya dan memperbaiki pola
pengusahaan, pertanian terpadu dapat memberikan pendapatan usahatani yang
lebih tinggi daripada pengusahaan secara tidak terpadu. Namun di sisi lain,
pembenahan pola usahatani terpadu melalui pendekatan LP dapat merugikan
petani. Penelitian Veysset et al. (2005) terhadap pembenahan sistem peternakan
pembibitan sapi untuk menghadapi Reformasi Kebijakan Pertanian
(CAP:Common Agricultural Policy) tahun 1992 di Perancis menunjukkan bahwa
penerapapan model usahatani memberikan keuntungan yang lebih rendah sebesar
23
2-5 persen daripada pola pengusahaan aktual peternak. Secara ekonomi, hasil
permodelan ini tentu saja tidak menarik bagi petani untuk menerapkan model
optimal pengusahaan ternak secara terpadu maupun secara tidak terpadu karena
potensi keuntungan yang dihasilkan adalah lebih rendah daripada pola usaha yang
dilakukan petani pada kondisi aktual.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya LP dapat menjadi
salah satu alat analisis untuk merencanakan pertanian terpadu di suatu lokasi.
Oleh karena itu untuk merumuskan MUSOT Desa Karekel, pada penelitian ini
digunakan LP. MUSOT yang dibangun disesuaikan dengan rencana GPW dimana
setiap aktivitas usaha akan dilakukan oleh kelompok-kelompok secara spesifik
sehingga keterpaduan usahatani dibangun pada skala wilayah Desa Karehkel.
Cukup banyaknya variasi kendala yang ditetapkan pada model integrasi yang
dibangun pada berbagai lokasi menunjukkan bahwasanya dalam penyusunan
model integrasi harus dibangun secara spesifik lokasi. Artinya dalam perancangan
model integrasi di suatu lokasi harus memperhatikan berbagai kendala
ketersediaan sumberdaya di lokasi yang bersangkutan sehingga model yang
dibangun mungkin untuk diterapkan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh
petani.
Dengan demikian, model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak
yang dirancang di Desa Karehkel harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya
dalam setiap aktivitas usahatani maupun ternak di Desa Karehkel. Model
pertanian terpadu Desa Karehkel yang dirancang diharapkan dapat memberikan
informasi kepada GPW mengenai aktivitas usaha apa yang sebaiknya
diintegrasikan, banyaknya pengusahaan masing-masing aktivitas usaha,
pengalokasian sumberdaya yang tepat berdasarkan kendala yang dibangun dalam
MUSOT.
24
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Pertanian terpadu yang dibangun pada suatu lokasi pada dasarnya
merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumber daya pertanian yang tuntas.
Pertanian terpadu pada dasarnya tidak terlepas dari kaidah-kaidah ilmu usahatani
yang berkembang lebih lanjut. Ilmu usahatani itu sendiri merupakan suatu proses
produksi biologis yang memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia,
modal, dan manajemen yang jumlahnya terbatas. Karena sumber daya tersebut
jumlahnya terbatas maka penerapan pertanian terpadu dalam proses produksi
pertanian tidak terlepas dari prinsip dan teori ekonomi (Kusnadi 2008).
3.1.1. Definisi Pertanian Terpadu
Pertanian terpadu atau Integrated Farming System (IFS) merupakan
pengembangan dari berbagai konsep pertanian berkelanjutan yang telah banyak
dikembangkan sebelumnya misalnya Biodinamic Farming oleh Steiner pada tahun
1924, LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yang dikembangkan
Reintjess (Righby dan Caceres 2001). Pertanian terpadu adalah bentuk
pengembangan sektor pertanian yang memposisikan usahatani sebagai suatu
sistem dikenal sebagai usahatani terpadu atau farming system. Interaksi pada
usahatani yang diintegrasikan dapat mempertahankan keberadaan usahatani dan
menjaga bahkan meningkatkan kestabilan pendapatan usahatani (Harwood 1979).
Pengelolaan usahatani terpadu melibatkan berbagai kegiatan usahatani
yang dikelola secara bersamaan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia.
Pengusahaan sistem usahatani yang berbeda perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut antara lain (1) sifat usahatani, (2) sumber daya manusia, (3) skala usaha,
(4) sarana dan prasarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subssitem agribisnis
(orientasi usaha), dan (6) kelestarian sumber daya dan lingkungan (Rusono 1999,
Sutanto 2004). Petani harus membuat pilihan terhadap cabang usaha yang akan
diterapkan agar diperoleh tingkat produksi tertentu dengan pendapatan usahatani
yang maksimal (Debertin 1986).
Kombinasi optimal dari aktivitas usahatani yang diintegrasikan memiliki
sifat melengkapi (komplementer), berinteraksi secara sinergis, dan berkelanjutan
25
(Behera et al., 2008). Interaksi dalam hubungan tersebut dapat meningkatkan
efisiensi produksi, produksi optimal, peningkatan daya saing produk, peningkatan
pendapatan, sekaligus mewujudkan pertanian yang berwawasan lingkungan.
Usahatani terpadu akan tercapai dengan baik jika terjadi pemanfaatan antara
sumberdaya manusia, modal, alam, dan manajemen. Pemanfaatan keempat
sumberdaya tersebut akan memberikan ciri teknologi ushatani berupa luas
garapan, jumlah ternak, dan penggunaan tenaga kerja, penggunaan modal,
pemilihan pola tanam serta memilih kombinasi usaha yang dianggap paling
menguntungkan (Prodjodihardjo, 1988). Penerapan pertanian terpadu memiliki
banyak manfaat bagi petani dan lingkungan antara lain sebagai upaya untuk
mendiversifikasikan penggunaan sumberdaya, mengurangi risiko,
mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja, peningkatan produktivitas dan
pendapatan, peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya, dan mengurangi
ketergantungan dengan output dari luar (Devendra 1993).
Konsep keterpaduan tersebut menurut Gumbira-Said (2002) identik
dengan pengelolaan sistem agribisnis yang meliputi sistem yang terpadu vertikal
maupun horizontal. Pertanian terpadu pun dapat dibangun dengan memadukan
antara integrasi vertikal dan integrasi horisontal. Sistem agribisnis sendiri
merupakan pengembangan dari diversifikasi usaha dimana masing-masing
subsistemnya terkait antara satu dengan lainnya dalam satu sistem yang tidak
dapat terpisahkan. Diversifikasi dapat dilakukan pada skala rumah tangga sampai
dengan skala regional (wilayah). Diversifikasi secara vertikal biasanya ditandai
dengan pengembangan usaha sampai dengan pasca panen misalnya sortasi,
grading, pemrosesan atau pengolahan, pengemasan, penyimpanan, sampai dengan
distribusi. Pengembangan diversifikasi secara horisontal diilustrasikan sebagai
pengalokasian sumberdaya untuk berbagai aktivitas dalam periode (tahun)
tertentu. Keberagaman aktivitas usahatani monokultur pada suatu wilayah dapat
membentuk suatu kawasan (regional) yang terdiversifikasi secara horisontal
(Siregar 2006).
3.1.2. Pertanian Terpadu Tanaman-Ternak
Proses integrasi ternak ke dalam usahatani tanaman, baik tanaman
perkebunan, pangan , maupun hortikultura adalah mengusahakan sejumlah ternak,
26
baik ruminansia (sapi,kerbau, kambing, domba) dan atau pseudoruminansia
(kelinci, kuda) tanpa mengurangi aktivitas dan produksi tanaman. Bahkan
keberadaan ternak ini harus dapat meningkatkan produksi tanaman dan
produktivitas ternak itu sendiri. Baik hewan ternak maupun tanaman, keduanya
saling bersinergis dalam mencapai produksi yang optimal (Direktorat Jenderal
Peternakan Deptan 2008). Pengembangan usahatani tanaman-ternak secara
terpadu tersebut memiliki karakkteristik yang serupa pada pengelolaan usahatani
secara intensif (Powell et al. 2004).
Integrasi tanaman-ternak dapat dilakukan dalam satu rumah tangga petani
atau dilakukan antara beberapa rumah tangga usahatani. Pilihan pengusahaan
usahatani terpadu pada kedua skala tersebut sangat bergantung pada pengetahuan
petani, motivasi, dan ketersediaan sumberdaya. Perpaduan antara tanaman-ternak
dapat meningkatkan keuntungan dan keberlanjutan kegiatan usahatani. Integrasi
ternak ke dalam suatu usahatani tanaman menjadi sangat penting pada saat
pengusahaan tanaman secara organik (Russelle et al.2006).
Adanya hubungan yang erat antara usahatani tanaman dan usahaternak
salah satunya disebabkan karena ternak memiliki kemampuan mendaur ulang
limbah usahatani secara efektif. Peningkatan pemanfaatan limbah pertanaman
sebagai pakan ternak salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya persaingan yang
cukup tinggi antar ternak untuk memperoleh pakan hijauan lapang. Bahkan
Zemmelink (2000) mengutarakan bahwa aksesibilitas pakan hijauan lapang sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya tenaga kerja untuk mencari pakan.
Pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan ternak di berbagai negara
cukup tinggi. Sebanyak 70 persen kebutuhan pakan ternak di Bangladesh dipenuhi
dengan memanfaatkan limbah usahatani tanaman. Kondisi yang hampir serupa
juga terjadi di India dimana sekitar 350 juta ton limbah tanaman berpotensi untuk
memenuhi 66 persen kebutuhan pakan ternak. Pemanfaatan limbah tanaman
sebagai pakan ternak juga tinggi di beberapa negara lain, misalnya di Sri Lanka,
Nepal dan Pakistan yakni rata-rata mencapai 49 persen (Perera 1992, Sidhu 1996,
Renard 1997, Maehl 1997, diacu dalam Thomas et al. 2002). Hewan ternak juga
memiliki peran yang sangat besar dalam pertanian terpadu yakni menjaga
keberlanjutan produksi usahatani tanaman dengan cara penggunaan kotoran ternak
27
sebagai pupuk (Schiere et al. 2002). Benjamin et al. (1990) diacu dalam Edwards
(1990) menunjukkan bahwa tanaman yang dipupuk dengan kotoran hewan
memiliki produksi panen yang paling tidak sebanding atau lebih tinggi daripada
tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia.
Usahatani terpadu di Indonesia dicirikan oleh usaha yang saling mengisi
antara pertanian tanaman pangan dan peternakan, karena ternak dapat digunakan
sebagai tambahan tenaga kerja untuk mengolah tanah dan juga sebagai penghasil
pupuk yang bermanfaat untuk meningkatkan kelestarian tanah. Ternak juga dapat
memanfaatkan limbah pertanian dan menghasilkan produk-produk bernilai tinggi
seperti daging, telur, dan susu. (Sastrodihardjo et al., 1982). Hubungan timbal
balik antara tanaman padi dan ternak terutama dalam memanfaatkan limbah, akan
menekan biaya produksi dan mengoptimalkan pendapatan keluarga petani
peternak. Selain itu pengusahaan ternak sebagai penunjang dan pelengkap
usahatani merupakan suatu cara dalam menambah penghasilan, juga berfungsi
sebagai tabungan dan membantu kesuburan tanah, serta dapat digunakan sebagai
tenaga mengolah tanah (Tawaf 1984).
3.1.3. Konsep Ekonomi Pertanian Terpadu
Pengelolaan bersama aktivitas yang diintergasikan ditujukan untuk
memaksimumkan pendapatan usahatani selalu dihadapkan oleh adanya
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (Debertin, 1986). Secara ekonomi konsep
pertanian terpadu tanaman-hewan ternak dapat dijelaskan dengan konsep produksi
ganda (multiproduct production). Keputusan petani dalam memproduksi dua atau
lebih produk yang memaksimumkan pendapatan usahatani dalam keterbatasan
sumberdaya dapat ditunjukkan oleh kurva kemungkinan produksi (KKP).
KKP seringkali disebut juga dengan kurva oportunitas maupun kurva
transformasi produk. LP dapat menjadi salah satu alat analisis untuk
merencanakan pertanian terpadu di suatu lokasi. Oleh karena itu untuk
merumuskan MUSOT Desa Karekel, pada penelitian ini digunakan LP. MUSOT
yang dibangun disesuaikan dengan rencana GPW dimana setiap aktivitas usaha
akan dilakukan oleh kelompok-kelompok secara spesifik sehingga keterpaduan
usahatani dibangun pada skala wilayah Desa Karehkel. (Doll dan Orazem, 1984;
Beattie dan Taylor, 1985). KKP sebagai kurva opportunitas ditunjukkan dengan
28
B”
KKP
Output I (y1)
Kurva isokuan produk sayuran (KIPS)
Output II (y2)
O B’
A”
A’
Z
Output II (y2)
B
A
1 2
3
peningkatan jumlah produksi suatu produk akan diikuti dengan pengurangan
produksi produk lainnya. Hal ini disebabkan karena dalam memproduksi dua
produk tersebut digunakan sumberdaya yang sama. Peningkatan sumberdaya
untuk satu kegiatan akan berdampak pada pengurangan curahan sumberdaya
aktivitas produksi produk lainnya sehingga salah satu output yang dihasilkan
harus dikorbankan (dikurangi).
GPW diasumsikan sebagai pengambil keputusan dalam menentukan
jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas dalam MUSOT. Misalnya GPW
akan melakukan aktivitas produksi ternak kelinci dan ternak domba. Aktivitas
ternak kelinci menghasilkan produk anakan kelinci dan limbah kelinci (kotoran
dan urin) sedangkan aktivitas ternak domba menghasilkan produk daging dan
produk berupa kotoran ternak. Daging domba dan anakan kelinci merupakan
produk akhir sedangkan limbah kelinci (y1) dan kotoran domba (y2) adalah
sebagai produk antara (intermediate product) yang dijadikan sebagai input
produksi aktivitas produksi sayuran organik. Input produksi yang dimaksud
adalah berupa kebutuhan pupuk organik. Keputusan GPW dalam memproduksi
dua atau lebih produk dapat diilustrasikan oleh Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Keputusan Memproduksi Dua atau Lebih Produk yang Memaksimumkan Pendapatan Tanpa Pasar Produk Antara Sumber: Doll dan Orazem (1984)
29
Adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki menyebabkan GPW hanya
dapat memproduksi limbah kelinci dan kotoran domba pada alternatif keputusan
produksi yang berada di sepanjang kurva kemungkinan produksi (KKP).
Sumberdaya yang menjadi pembatas dalam aktivitas ternak domba dan produksi
limbah kelinci pada ilustrasi ini misalnya adalah ketersediaan tenaga kerja yang
dimiliki GPW. GPW tidak mungkin memilih seluruh alternatif produksi pada
KKP sehingga GPW hanya dapat memilih salah satu kombinasi produksi limbah
kelinci dan kotoran domba pada jumlah tertentu.
Kurva isokuan (KIPS) menggambarkan jumlah sayuran organik yang
dapat diproduksi dengan menggunakan pupuk organik yang berasal dari limbah
kelinci dan atau berasal dari kotoran domba. Berdasarkan ketersediaan
sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki GPW, keputusan untuk memproduksi
limbah kelinci pada titik OB dan kotoran domba pada titik OA adalah keputusan
yang paling tepat. Hal ini disebabkan karena GPW dapat memproduksi sayuran
organik dalam jumlah yang maksimum (KIPS 2) sehingga dapat
memaksimumkan pendapatannya.
Keputusan GPW untuk memproduksi limbah kelinci dan kotoran domba
sebanyak OB dan OA” atau OB’ dan OA dapat menyebabkan GPW kehilangan
peluang untuk memaksimukan keuntungannya. Keputusan tersebut adalah kurang
tepat karena sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki tidak dimanfaatkan secara
optimal. Akibatnya jumlah limbah kelinci dan kotoran domba yang diproduksi
berada di bawah tingkat produksi maksimum yang seharusnya dapat dicapai.
Akibatnya jumlah sayuran yang diproduksi adalah lebih sedikit (KIPS 1) jika
dibandingkan tingkat produksi sayuran maksimum yang sebenarnya dapat dicapai
(KIPS 2).
Sebagai pelaku ekonomi, GPW akan selalu berupaya untuk
meningkatkan pendapatan dari setiap aktivitas usaha yang dilakukannya. Aktivitas
memproduksi sayuran organik pada KIPS 3 menawarkan pendapatan yang lebih
tinggi bagi GPW daripada memproduksi sayuran organik pada KIPS 1 dan KIPS
2. Adanya keterbatasan sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki menyebabkan
GPW tidak akan mampu memproduksi sayuran organik pada KIPS 3. GPW
memerlukan lebih sedikit kotoran domba (OA-A”A) dan membutuhkan lebih
30
KKP
O B” B’
A”
A’
Z
B
A
1 2
3
Output I (y1)
Kurva isokuan produk sayuran (KIPS)
Output II (y2)
Isorevenue
banyak pupuk bokashi (OB+BB”).
Gambar 2. Keputusan Memproduksi Dua atau Lebih Produk yang Memaksimumkan Pendapatan dengan Pasar Produk Antara Sumber: Doll dan Orazem (1984)
GPW mungkin saja untuk memproduksi sayuran organik pada KIPS 3
apabila terdapat pasar produk antara. Adanya pasar produk antara dapat
ditunjukkan oleh Gambar 2 yang ditandai dengan adanya garis isorevenue. Garis
isorevenue ini tidak lain merupakan harga produk antara (limbah kelinci dan
kotoran domba) pada pasar produk antara. Garis isorevenue menggambarkan
kombinasi penjualan output yang menghasilkan jumlah penerimaan yang sama.
Pasar produk antara memungkinkan bagi GPW untuk menjual kelebihan produksi
suatu produk lalu membeli produk lainnya sehingga dapat terpenuhi
kebutuhannya.
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwasanya dengan memproduksi
limbah kelinci sejumlah OB’ dan kotoran domba sebanyak OA’ maka GPW
memiliki peluang untuk memperoleh keuntungan sama dengan aktivitas
memproduksi sayuran organik pada KIPS 3. GPW dapat menjual kelebihan
kotoran domba yang diproduksi (A’A”) lalu membeli kekurangan limbah kelinci
(B’B”) di pasar produk antara sehingga dapat memproduksi sayuran organik pada
KIPS 3. Garis isorevenue tersebut merupakan isocost dari aktivitas produksi
sayuran organik sehingga sayuran organik diproduksi pada biaya minimum.
31
3.1.4. Konsep Pemecahan Masalah dengan Program Linear
Linear programming merupakan salah satu alat analisis yang dapat
digunakan untuk memecahkan permasalahan manajemen seperti pengambilan
keputusan dalam kegiatan pertanian. Misalnya adalah proses alokasi sumberdaya
yang terbatas pada sebuah kegiatan usahatani (Doll dan Orazem 1984). Setiap
input usahatani dapat dialokasikan ke berbagai kemungkinan produksi karena
adanya berbagai macam sumberdaya dan banyaknya alternatif produksi yang
layak dalam sebuah kondisi pertanian. Dengan pendekatan linear programming
seorang pengambil keputusan dalam usahatani dapat menentukan pilihan
keputusan terbaik dari banyak alternatif yang tersedia (Beneke dan Winterboer
1973) . Basis dari analisis menggunakan linear programming adalah bagaimana
mencapai maksimisasi keuntungan maupun minimisasi biaya melalui kombinasi
input atau kombinasi output yang optimal (Doll dan Orazem 1984).
Teknik linear programming menggunakan persamaan dan ketidaksamaan
linear dalam rangka untuk mencari pemecahaan yang optimum dengan
memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada (Supranto 1998). Pada
umumnya program linier yang dirancang digunakan panduan untuk
mengalokasikan sumber daya yang terbatas diantara berbagai alternatif
penggunaan sumber daya sehingga dapat dicapai tujuan yang telah ditetapkan
secara optimal (Siswanto 2007).
Beneke dan Winterboer (1973) mengutarakan beberapa keterbatasan
dalam pemecahan masalah dengan linear programming diantaranya (1) Linier
Programming tidak dapat membantu manajer dalam merumuskan ekspektasi
harga di masa depan, (2) Terkadang hambatan cukup sulit untuk ditentukan, (3)
Adanya fenomena diminishing marginal return dalam kegiatan pertanian yang
tidak terakomodasi, (4) Sangat banyaknya aktivitas dan hambatan yang dikajai
dalam linear programming membutuhkan fasilitas pembantu yang memadai,
misalnya computer. Dalam memecahkan masalah menggunakan program linier
terdapat beberapa asumsi yang berlaku diantaranya:
1) Fungsi produksi bersifat linear, tidak ada input yang dapat saling
mensubstitusi dan bersifat constant return to scale. Tipe khusus fungsi
produksi yang mendasari program linier disebut sebagai fixed-proportion
32
production function ( Doll dan Orazem 1984; Nasendi 1985; Debertin
1986)
2) Finite atau Deterministik. Artinya setiap aktivitas atau parameter adalah
tetap, dan dapat diketahui secara pasti (Doll dan Orazem 1984; Nasendi
1985).
3) Divisibility. Artinya peubah-peubah pengambil keputusan jika diperlukan
dapat dibagi kedalam pecahan-pecahan, yaitu bahwa nilai-nilai tidak perlu
integer (hanya 0 dan 1 atau bilangan bulat), tetapi boleh non-integer (Doll
dan Orazem 1984; Nasendi 1985).
4) Proporsionalitas. Artinya jika peubah pengambil keputusan berubah, maka
dampak perubahannya akan menyebar dalam proporsi yang sama terhadap
fungsi tujuan dan juga pada kendalanya (Taha 1982; Nasendi 1985).
5) Additivity. Artinya nilai parameter suatu kriteria optimasi (koefisien
peubah pengambilan keputusan dalam fungsi tujuan) merupakan jumlah
dari nilai individu dalam model program linear tersebut (Taha 1982; Doll
dan Orazem 1984; Nasendi 1985).
Beneke dan Winterboer (1973) menjelaskan prosedur dalam membangun program
linear, diantaranya:
1) Mendefinisikan aktivitas.
Aktivitas-aktivitas dalam permasalahan yang dikaji harus didefinisikan
secara jelas. Misalnya dalam sebuah kegiatan usahatani tanaman atau
ternak. Aktivitas membeli input, menjual output, penggunaan tenaga kerja,
aktivitas budidaya, panen, sampai dengan pemasaran harus dapat
didefinisikan secara jelas. Contoh lainnya adalah kegiatan pemupukan
pada musim tanam I dengan pemupukan pada musim tanam II merupakan
kedua aktivitas yang berbeda.
2) Fungsi Tujuan(Objective Function)
Tujuan yang akan dicapai perusahaan adalah terkait dengan maksimisasi
keuntungan atau minimisasi biaya.
3) Batasan atau Kendala (Restraint, Constraint)
Kendala dapat diumpamakan sebagai pembatas terhadap keputusan yang
mungkin dibuat. Batasan tersebut dapat dibedakan menjadi (1) Batasan
33
sumberdaya input seperti tenaga kerja, lahan, modal, (2) Batasan eksternal
misalnya keterbatasan sumber dan besarnya pinjaman yang tersedia, (3)
Batasan subjektif yang disebabkan oleh individu pengambil keputusan.
Menurut Nasendi (1985), model matematis program linier dalam bentuk standar
dirumuskan sebagai berikut:
1) Fungsi tujuan yakni maksimisasi atau minimisasi yang dirumuskan sebagai
berikut:
푍 = 퐶푗푋푗
2) Fungsi kendala yang berfungsi sebagai pembatas dapat dirumuskan
sebagai berikut:
푎푖푗. 푥푗 ≥; ≤ 푏푖, untuk i = 1,2,3, … , m
Keterangan:
Z = fungsi tujuan
Cj = koefisien peubah pengambil keputusan ke-j dalam fungsi tujuan
xj = tingkat kegiatan ke-j
aij = koefisien dalam kendala ke-i dalam pengambilan keputusan ke-j
bi = kapasitas sumberdaya i yang tersedia untuk dialokasikan ke
setiap unit kegiatan
Setelah menentukan aktivitas, fungsi tujuan, kendala, kemudian dilakukan
beberapa analisis dalam linear programming. Analisis yang pertama adalah
primal. Analisis primal merupakan permasalahan yang dikemukakan mula-mula.
Solusi optimal dalam analisis primal dapat berupa memaksimumkan atau
meminimumkan nilai fungsi tujuan yang telah dikemukakan mula-mula. Solusi
yang dihasilkan menunjukkan kombinasi alternatif terbaik atau optimal dengan
keterbatasan sumberdaya yang tersedia.
Analisis yang kedua adalah dual. Analisis dual merupakan analisis
terhadap masalah tandingan primal. Dalam analisis dual melibatkan variable
slack/surplus.Hasil analisis dual menghasilkan ukuran ukuran marginal value
dari sumber daya primal yang disebut shadow price atau dual price. Shadow
price menunjukkan jumlah perbaikan pada fungsi tujuan optimal bila nilai sisi
34
kanan kendala tertentu ditingkatkan sebesar satu satuan dengan parameter-
parameter lain konstan.
Di akhir linier programming dilakukan analisis sensitivitas yang terdiri
atas dua tipe, yaitu analisis perubahan nilai koefisien dari fungsi tujuan dan
analisis sisi kanan dari fungsi tujuan (Right Hand Side). Analisis perubahan
koefisien fungsi tujuan dilakukan untuk mengetahui efek perubahan koefisien
fungsi tujuan yang dapat dinaikkan atau diturunkan tanpa mengubah solusi
optimal dengan parameter lain dipertahankan konstan. Tujuan dari analisis
Right Hand Side (RHS) adalah untuk menentukan berapa banyak nilai sisi kanan
dari fungsi kendala dapat ditingkatkan atau diturunkan tanpa mengubah nilai
shadow price-nya dengan parameter lain dipertahankan konstan.
Pada tahap optimal Nasendi dan Anwar (1985); Soekartawi (1992), diacu
dalam Handayani (2009) mengutarakan bahwa terdapat beberapa penafsiran
dalam pemecahan masalah program linier, diantaranya:
1) Aktivitas yang masuk dalam program optimal akan memiliki reduced cost
atau opportunity cost sama dengan nol. Memperluas pengusahaan yang
masuk dalam program optimal satu unit tidak akan merubah nilai optimal.
2) Aktivitas yang tidak masuk dalam solusi optimal akan memiliki nilai
reduce cost tidak sama dengan nol. Penambahan satu unit aktivitas akan
menurunkan nilai fungsi tujuan sebesar opportunity cost nya.
3) Shadow price akan muncul pada sumberdaya yang habis terpakai. Nilai
shadow price adalah positif dan tidak sama dengan nol pada kondisi ini.
Penambahan satu unit faktor produksi yang terbatas ketersediaannya akan
menambah nilai fungsi tujuan sebesar harga bayangan sumberdaya
tersebut.
4) Faktor produksi yang tidak habis terpakai, harga bayangannya menjadi
sama dengan nol. Penambahan satu unit faktor produksi ini tidak akan
merubah nilai optimal fungsi tujuan.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Upaya GPW untuk meningkatkan total keuntungan wilayah yang
mencakup beragam kegiatan usahatani dapat dilakukan dengan membenahi pola
35
pengelolaan aktivitas usahatani tersebut. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah dengan menerapkan pertanian terpadu. Pertanian terpadu yang
dirancang berbasiskan komoditas unggulan di Desa Karehkel yakni sayuran
organik. Keberadaaan hewan ternak yakni kelinci dan domba, merupakan
penyokong yang sangat penting karena antara sayuran organik dan ternak tersebut
sangat memungkinkan untuk bersinergis satu sama lain dalam pertanian terpadu.
Selain itu, keberadaan aktivitas produksi pupuk bokashi dan silase juga cukup
penting untuk menangani limbah usahatani dan usahaternak.
Tentu saja setiap aktivitas usaha yang akan diintegrasikan memiliki
karakter pengusahaan sangat beragam baik dalam hal metode budidaya,
kebutuhan input, tingkat produksi, dan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki.
Kondisi tersebut menjadi salah satu kendala dalam merencanakan pertanian
terpadu yang tepat untuk diterapkan di Desa Karehkel. Pemrograman linear dapat
menjadi salah satu alternatif untuk melakukan kegiatan perencanaan pertanian
terpadu di Desa Karehkel. Pemograman linear dibangun dengan merancang model
linear usahatani sayuran organik terpadu yang disokong oleh aktivitas ternak
kelinci, domba, produksi pupuk bokashi, dan silase.
Hasil pemrograman linear dapat memberikan informasi mengenai aktivitas
usaha yang sebaiknya diintegrasikan, jumlah pengusahaan masing-masing
aktivitas usaha, alokasi sumberdaya yang optimal, serta dampak penerapan
pertanian terpadu terhadap pemanfaatan produk antara di dalam desa dan terhadap
total keuntungan wilayah. Informasi tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi
GPW sehingga program pertanian terpadu di Desa Karehkel dapat direncanakan
dengan lebih baik. Kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 3.
36
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
Upaya GPW untuk meningkatkan total keuntungan aktivitas usahatani di Desa
Karehkel
Adanya kendala : 1. Kendala lahan 2. Kendala ketersediaan tenaga kerja 3. Kendala ketersediaan input
pendukung aktivitas produksi yang berasal dari dalam dan luar desa
Aktivitas: 1. Usahatani sayuran organik 2. Ternak domba 3. Ternak kelinci 4. Usaha produksi kompos 5. Usaha produksi silase
Pertanian terpadu Sayuran Organik-Ternak
Analisis program linear
Aktivitas yang harus diintegrasikan Alokasi sumberdaya yang optimal Jumlah pengusahaan masing-masing
aktivitas
Dampak penerapan model sayuran organik terpadu terhadap pemanfaatan produk dan terhadap total keuntungan
wilayah
Rekomendasi
37
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Karehkel yang berada di wilayah
Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Objek penelitian
ini adalah Gapoktan Pandan Wangi yang berada di Desa Karehkel. Penentuan
lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Pemilihan lokasi penelitian didasari
oleh adanya pertimbangan bahwa Gapoktan Pandan Wangi memiliki rencana
untuk mengembangkan usahatani terpadu antara sayuran organik-hewan ternak.
Keberadaan usahatani terpadu antara komoditas hortikultura-hewan ternak masih
sangat jarang dilakukan Indonesia karena sebagian besar program pertanian
terpadu yang diterapkan pemerintah hanya melibatkan usahatani tanaman pangan-
hewan ternak. Oleh karena itu rencana pembangunan pertanian terpadu sayuran
organik-hewan ternak di Desa Karehkel memerlukan penelitian secara khusus
sehingga dapat membantu Gapoktan Pandan Wangi dalam melakukan
perencanaan secara tepat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2010.
4.2. Penentuan Responden
Responden dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi beberapa
golongan yakni responden untuk aktivitas usahatani sayuran organik, aktivitas
ternak domba, aktivitas ternak kelinci, dan aktivitas memproduksi pupuk bokashi.
Responden setiap aktivitas usaha tersebut dipilih secara purposive sehingga dapat
memberikan gambaran yang mendekati kondisi aktual pengusahaan masing-
masing aktivitas usahatani.. Petani sayuran yang menjadi responden adalah petani
sayuran yang telah memiliki pengalaman budidaya sayuran organik minimal
selama enam bulan. Jumlah petani organik di Desa Karehkel berjumlah enam
orang dan sudah berpengalaman bertani organik lebih dari enam bulan. Petani
yang dipilih menjadi responden hanya lima orang petani saja yang dipilih sebagai
responden. Hal ini disebabkan karena jenis sayuran organik yang dibudidayakan
di Desa Karehkel adalah lima jenis sayuran diantaranya selada, kangkung, caisin,
bayam merah, dan bayam hijau. Petani yang paling banyak menanam jenis
sayuran organik tertentu pada saat periode penelitian dijadikan sebagai responden.
38
Peternak domba yang dijadikan sebagai responden hanya satu orang
peternak. Hal tersebut didasari oleh pengamatan lapangan saat pra penelitian
dimana aktivitas ternak domba di Desa Karehkel mayoritas dilakukan dengan
karakteristik yang relatif sama. Karakteristik yang dimaksud antara lain pola
budidaya yang mayoritas semi intensif, rata-rata kepemilikan domba per peternak
yang relatif sama, penggunaan input produksi, dan pakan yang relatif sama.
Jumlah responden peternak kelinci juga sebanyak satu orang peternak. Hal ini
disebabkan karena karakteristik budidaya yang relatif sama. Peternak kelinci yang
dipilih sebagai responden adalah peternak kelinci yang memiliki jumlah kelinci
terbanyak sehingga dapat menggambarkan aktivitas beternak kelinci yang
mendekati aktual.
Aktivitas memproduksi pupuk bokashi di Desa Karehkel masih dilakukan
pada skala percobaan atau dalam skala kecil saja. Oleh karena itu responden
produsen pupuk bokashi dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa responden
tersebut benar-benar menguasai proses pembuatan pupuk bokashi. Responden
produsen pupuk bokashi berjumlah satu orang. Aktivitas memproduksi silase di
Desa Karehkel bahkan belum ada dan masih belum ada anggota GPW yang
mengetahui proses pembuatan silase. Bahkan aktivitas memproduksi silase di
Bogor masih sangat sulit untuk ditemui sehingga setiap metode produksi dan
kebutuhan bahan baku aktivitas memproduksi silase.
4.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara
dengan responden dengan menggunakan kuisioner yang telah disusun
sebelumnya. Data primer meliputi demografi responden, luas lahan usahatani
sayuran organik, pola tanam, penggunaan input, tingkat output yang dihasilkan,
ketersediaan dan pemakaian tenaga kerja, harga input dan output, serta upah
tenaga kerja.
Data sekunder merupakan data pelengkap yang bersumber dari literatur-
literatur yang relevan. Sumber data sekunder ini dapat berupa publikasi instansi-
instansi dan perusahaan seperti Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, BP4K, dan
ICDF. Selain itu data sekunder juga dapat diperoleh melalui jurnal, hasil
39
penelitian, internet, dan buku yang dapat dijadikan rujukan terkait dengan
permodelan usahatani terpadu tanaman-ternak. Selanjutnya data-data tersebut
digunakan sebagai instrumentasi untuk menyusun permodelan usahatani sayuran
organik terpadu di Desa Karehkel.
4.4. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif
digunakan untuk mengolah data primer dan merancang model usahatani sayuran
organik terpadu yang tepat di Desa Karehkel. Analisis secara kualitatif dilakukan
untuk mengintepretasikan dan mendeskripsikan hasil analisis kuantitatif yang
dihasilkan oleh pendekatan LP. Pemilihan LP sebagai pendekatan untuk
membangun model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak didasari oleh
adanya pertimbangan keterbatasan data yang dapat dikumpulkan karena pada
kondisi aktual pertanian terpadu masih belum dilaksanakan. Hasil analisis LP
yang bersifat normatif telah dapat memberikan informasi yang cukup mengenai
kegiatan usahatani yang sebaiknya diintegrasikan, skala usaha pengusahaan
masing-masing aktivitas usaha dan alokasi sumberdaya secara optimal sehingga
diperoleh keuntungan maksimum. Selain itu hasil analisis optimal model
usahatani sayuarn organik juga dapat memberikan informasi mengenai tingkat
penggunaan sumberdaya tenaga kerja, tingkat pemanfaatan produk antara yang
dihasilkan dan dipergunakan sendiri di dalam desa, serta tingkat penggunaan input
pendukung usahatani. Dengan demikian, penggunaan LP telah dapat membantu
perencanaan usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak di Desa Karehkel.
4.4.1. Perancangan Model Linear Usahatani Sayuran Organik Terpadu
Perancangan MUSOT didasarkan pada koefisien teknis kebutuhan input
produksi, tingkat produksi, tingkat harga maupun biaya, dan ketersediaan
sumberdaya pada tingkat wilayah yang diperoleh dari data primer maupun data
sekunder. Data primer yang diperoleh kemudian diolah terlebih dahulu
menggunakan bantuan software Microsoft Excel sehingga dapat memberikan
informasi yang mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Persamaan
maupun pertidaksamaan yang dihasilkan dari perancangan MUSOT kemudian
diolah dengan LINDO (Linear Interactive Discrete Optimizer). Pemilihan
40
software LINDO didasarkan pada pertimbangan kemudahan penggunaan dan hasil
analisis yang dihasilkan telah cukup memberikan informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini serta lebih mudah dipahami. Penyusunan program linear
didahului dengan menentukan fungsi tujuan dan fungsi kendala. Besarnya nilai
koefisien pada fungsi tujuan dan fungsi kendala serta ketersediaan sumberdaya
masing-masing kendala didasarkan pada koefisien teknis setiap aktivitas yang
diperoleh dari data primer maupun sekunder.
4.4.1.1.Penerapan Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (MUSOT)
Pada dasarnya model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model
usahatani terpadu antara sayuran organik-hewan ternak. Namun untuk
memberikan gambaran mengenai perbandingan penerapan setiap aktivitas
usahatani secara tidak terpadu dengan penerapan usahatani secara terpadu maka
model yang dibangun diterapkan pada dua kondisi yang berbeda yakni kondisi
tidak terintegrasi (SI) dan kondisi terintegrasi (SII). Adanya penerapan model
pada dua kondisi yang berbeda dilatarbelakangi oleh adanya tujuan dari penelitian
ini yakni ingin memberikan informasi mengenai dampak ekonomi
penyelenggaraan aktivitas usahatani secara terpadu. Dengan demikian dapat
dibandingkan mana yang lebih menguntungkan saat menerapkan pertanian secara
terpadu atau pada saat setiap aktivitas usaha dilakukan secara tidak terpadu
sehingga pengambil keputusan, dalam hal ini GPW, dapat menentukan keputusan
yang tepat dalam pengelolaan aktivitas usahatani di Desa Karehkel.
Pada model SI diberikan kendala pemenuhan kebutuhan produk antara
sehingga setiap kebutuhan produk antara dalam aktivitas produksi di dalam desa
seluruhnya dipenuhi dengan membeli dari luar desa. Berbeda halnya pada model
SII dimana kebutuhan produk antara setiap aktivitas produksi di dalam desa dapat
dipenuhi dengan tiga alternatif yakni memanfaatkan produk antara yang
dihasilkan di dalam desa, membeli produk antara dari luar desa, atau kombinasi
keduanya.
41
4.4.1.2.Penentuan Aktivitas dalam Fungsi Tujuan
Tujuan dari MUSOT adalah memaksimumkan total keuntungan wilayah
dengan adanya penerapan pertanian terpadu. Aktivitas-aktivitas yang dimasukkan
dalam fungsi tujuan meliputi komponen penerimaan dan komponen pengeluaran
masing-masing aktivitas usaha yang dilibatkan dalam MUSOT yang dibangun.
Fungsi tujuan MUSOT ini adalah untuk memaksimumkan total keuntungan
wilayah dari aktivitas-aktivitas yang diintegrasikan.
1. Aktivitas Produksi, antara lain aktivitas memproduksi sayuran selada,
kangkung, caisin, bayam merah, bayam hijau, ternak kelinci, ternak
domba, silase, dan pupuk bokashi. Aktivitas produksi diukur dengan biaya
produksi yang tidak termasuk biaya penggunaan produk antara. Biaya
produksi memproduksi sayuran organik adalah seluruh biaya pembelian
input kecuali biaya pupuk organik. Biaya produksi ternak domba dan
ternak kelinci adalah seluruh biaya kecuali aktivitas mencari maupun
membeli pakan hijauan. Pada aktivitas silase, biaya diukur berdasarkan
pembelian input-input kecuali pembelian bahan baku hijauan. Biaya
produksi pupuk bokashi adalah biaya-biaya selain biaya limbah ternak
untuk bahan baku pupuk bokashi. Biaya produk antara tersebut akan
dijadikan koefisien pada aktivitas penggunaan produk antara sehingga
dapat terlihat tingkat penggunaan produk antara di dalam desa dan
keputusan pemenuhan kebutuhan produk antara.
2. Aktivitas Jual, meliputi aktivitas menjual produk akhir maupun kelebihan
produk antara yang dihasilkan di Desa Karehkel. Output dari aktivitas
usahatani sayuran organik adalah sayuran segar dan limbah sayuran.
Produk yang dihasilkan dari aktivitas ternak yakni dapat berupa daging
(domba), anakan (kelinci), dan limbah ternak seperti kotoran dan urin.
Aktivitas memproduksi silase dan pupuk bokashi menghasilkan pakan
silase dan pupuk bokashi. Kedudukan sebuah produk dapat berperan
sebagai produk, produk akhir, maupun keduanya.
3. Aktivitas Beli, secara garis besar merupakan aktivitas untuk memperoleh
produk antara yang dijual pada pasar produk antara yang ada di luar Desa
Karehkel. Produk antara yang diperoleh dari aktivitas membeli ini
42
merupakan produk antara yang berasal dari luar desa. Aktivitas beli yang
dimaksud antara lain membeli kotoran domba, kotoran kelinci, urin
kelinci, pupuk kotoran ayam dari luar desa, dan membeli limbah organik
pasar untuk bahan baku hijauan silase.
4. Aktivitas Sewa Tenaga Kerja, dibedakan menjadi lima jenis yakni setiap
aktivitas usaha memiliki aktivitas menyewa tenaga kerja yang berbeda-
beda. Hal ini disebabkan karena model yang dibangun merupakan model
terpadu yang dibangun pada skala wilayah dimana setiap aktivitas usaha
dilakukan oleh kelompok yang berbeda-beda sehingga ketersediaan
sumberdaya tenaga kerja keluarga akan berbeda dan aktvitas menyewa
tenaga kerja akan berbeda-beda pula. Adanya pembedaan aktivitas sewa
tenaga kerja dapat berfungsi untuk mengetahui tingkat pemanfaatan dan
kemampuan tenaga kerja dalam keluarga memenuhi kebutuhan tenaga
kerja aktivitas produksi.
4.4.1.3.Pengukuran Kendala
Kendala yang dimasukkan dalam MUSOT antara lain kendala
ketersediaan lahan, kendala tenaga kerja, kendala transfer produk, ketersedian
input maupun sumberdaya pendukung penerapan pertanian terpadu, dan kendala
permintaan sayuran organik.
1. Kendala Ketersediaan Lahan, hanya terdapat pada aktivitas usahatani
sayuran organik. Satuan lahan yang digunakan pada usahatani sayuran
organik adalah bedengan yakni sesuai dengan kondisi aktual lokasi
penelitian.Ukuran bedengan pada penelitian ini didasarkan ukuran
bedengan rata-rata di lokasi penelitian
2. Kendala Tenaga Kerja, dibedakan menjadi lima yakni masing-masing
untuk aktivitas memproduksi sayuran organik, ternak kelinci, ternak
domba, silase, dan pupuk bokashi. Komponen penyusan dalam kendala
tenaga kerja adalah kebutuhan tenaga kerja per unit aktivitas usaha dan
aktivitas menyewa tenaga kerja dari luar keluarga.
3. Kendala Transfer Produk, pada pertanian terpadu cukup banyak yakni
transfer produksi sayuran organik per jenis sayuran per bedeng, kendala
transfer produk ternak, kendala transfer produk silase dan pupuk bokashi,
43
kendala transfer pemanfaatan produk antara di dalam desa, dan kendala
transfer kebutuhan pakan ternak. Kendala transfer produk sayuran, ternak,
silase, dan pupuk bokashi didefinsikan sebagai jumlah produk yang dapat
dihasilkan oleh satu satuan aktivitas produksi. Kendala transfer
ditunjukkan dengan aktivitas untukmemenuhi kebutuhan produk antara
oleh suatu aktivitas usaha melalui pemanfaatan produk antara di dalam
desa atau membeli dari luar desa.
4. Kendala Ketersediaan Input dan Sumberdaya Pendukung, dapat dibedakan
menjadi ketersediaan pakan hijauan lapang yang dapat disediakan
peternak, ketersediaan pupuk kotoran ayam yang dapat diperoleh dari luar
desa, ketersediaan tenaga yang dapat disewa di Desa Karehkel, dan
ketersediaan limbah organik pasar yang digunakan untuk aktivitas
produksi silase.
5. Kendala pakan rumput, dibedakan menjadi dua yakni pakan rumput untuk
kelinci dan pakan rumput untuk domba.
6. Kendala Permintaan Sayuran Organik, didasarkan pada data penjualan
sayuran organik aktual enam orang petani sehingga diasumsikan data
penjualan merupakan permintaan aktual pembeli. Data tersebut kemdudian
dikonversikan menjadi data permintaan kelompok tani yang berjumlah 29
orang petani.
4.4.1.4.Model Matematis Usahatani Sayuran Organik Terpadu
Penentuan aktivitas-aktivitas pada fungsi tujuan dan fungsi kendala
tersebut sangat penting untuk menyusun model linear usahatani sayuran oragnik
terpadu pada penelitian ini. Secara matematis, model yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Tujuan
Maks Z = ∑푎푖푆푋푖-∑푏푖푋푖-∑푐푗푃퐴푗-∑푑푖푇퐾푆푖
dimana:
ai = harga jual produk aktivitas produksi Xi (Rp/unit)
bi = biaya produksi non produk antara aktivitas produksi Xi (Rp/unit)
cj = harga beli produk antara j (Rp/unit)
44
di = biaya sewa tenaga kerja aktivitas produksi Xi (Rp/HOK)
SXi = aktivitas menjual produk aktivitas produksi Xi (unit)
aktivitas menjual produk aktivitas produksi Xi adalah sebagai berikut:
SXS = aktivitas menjual selada (kg)
SXK = aktivitas menjual kangkung (kg)
SXC = aktivitas menjual caisin (kg)
SXM = aktivitas menjual bayam merah (kg)
SXH = aktivitas menjual bayam hijau (kg)
SXG = aktivitas menjual daging domba (kg)
SXR = aktivitas menjual anakan kelinci (Rp)
SLIYUR = aktivitas menjual limbah sayuran organik (Kg)
SLULXG = aktivitas menjual kotoran domba ke luar desa (Kg)
SLULXR = aktivitas menjual kotoran kelinci ke luar desa (Kg)
SLULUR = aktivitas menjual urin kelinci ke luar desa (Kg)
SLUXKO = aktivitas menjual pupuk bokashi ke luar desa (Kg)
SLUXSIL = aktivitas menjual silase ke luar desa (Kg)
Xi = aktivitas produksi i (unit)
aktivitas produksi i yang dimaksud adalah sebagai berikut ini:
XS = aktivitas memproduksi selada (bedeng)
XK = aktivitas memproduksi kangkung (bedeng)
XC = aktivitas memproduksi caisin (bedeng)
XM = aktivitas memproduksi bayam merah (bedeng)
XH = aktivitas memproduksi bayam hijau (bedeng)
XG = aktivitas memelihara domba (ekor)
XR = aktivitas memelihara indukan kelinci (ekor)
XKO = aktivitas memproduksi pupuk bokashi(Kg)
XSIL = aktivitas memproduksi silase (Kg)
PAj = aktivitas membeli produk antara j (unit)
aktivitas membeli produk antara j yang dimaksud adalah sebagai berikut
ini:
BLLXG = aktivitas membeli kotoran domba dari luar desa (Kg)
BLLXR = aktivitas membeli kotoran kelinci dari luar desa (Kg)
45
BLLUR = aktivitas membeli urin kelinci dari luar desa(Kg)
BKOTA = aktivitas membeli pupuk kotoran ayam dari luar desa (Kg)
BLUSIL = beli silase dari luar desa (kg)
BSOP = aktivitas membeli limbah organik pasar (Kg)
TKSi = aktivitas menyewa tenaga kerja luar keluarga aktivitas produksi
Xi, dimana terdiri dari:
TKSAY = aktivitas sewa tenaga kerja usahatani sayura organik
(HOK)
TKSG = aktivitas sewa tenaga kerja ternak domba (HOK)
TKSR = aktivitas sewa tenaga kerja ternak kelinci (HOK)
TKSKO = aktivitas sewa tenaga kerja produksi silase (HOK)
TKSIL = aktivitas sewa tenaga kerja produksi silase (HOK)
2. Fungsi Kendala
a. Kendala Ketersediaan Lahan Sayuran Organik
∑푋푖 ≤e1
dimana:
Xi = jenis sayuran organik: selada (XS), kangkung (XK),
caisin (XC), bayam merah (XM), bayam hijau (XH)
(bedeng)
e1 = ketersediaan lahan (bedengan)
b. Kendala Tenaga Kerja
Usahatani sayuran organik, silase, dan pupuk bokashi:
∑푓푋푖 − 푇퐾푆푖 ≤fi
Usahaternak:
∑푓푋푖 + 푅푈푀 − 푇퐾푆푖 ≤fi
dimana:
Xi = aktivitas produksi i (unit)
RUMz = aktivitas mencari rumput lapang ternak z(Kg/HOK)
GRUM = jumlah rumput yang disediakan untuk domba (Kg)
RRUM = jumlah rumput yang disediakan untuk kelinci (Kg)
f = kebutuhan tenaga kerja per unit aktivitas (HOK/unit)
fi = ketersediaan tenaga kerja aktivitas produksi i (HOK)
46
c. Kendala Transfer Produk
Transfer Produk utama sayuran organik dan ternak:
SXi – gXi ≤ 0
Transfer Rendemen pupuk dan silase:
Xi - hiBBi ≤ 0
Transfer pupuk bokashi:
-BKOTA- XKO+XS+kXK+kXC+kXM+kXH+SLUXKO ≤ 0
Transfer silase:
-BLUSIL-XSIL+lXG+lXR+SLUXSIL≤ 0
Transfer kotoran domba:
-BLLXG-mXG+nBBKO+SLULXG ≤ 0
Transfer Kotoran kelinci
-BLLXR-oXR+pBBKO+SLULXR ≤ 0
Transfer urin kelinci:
-BLLUR-qXR+rBBKO+SLULUR ≤ 0
Transfer Limbah Sayuran:
sBBSIL-tXSay -BSOP +SLIYUR ≤ 0
dimana:
g =produksi produk per unit aktivitas selada,kangkung,caisin,bayam
merah, bayam hijau, daging domba (kg); kelinci (ekor anakan)
hi = koefisien teknis rendemen silase; pupuk bokashi
BBi = total kebutuhan bahan baku silase; pupuk bokashi (Kg)
k = kebutuhan pupuk organik per bedengan sayuran (Kg/bedeng)
l = kebutuhan pakan silase per jenis ternak (Kg)
m = produksi kotoran domba per ekor (Kg/ekor)
n = koefisien kebutuhan bahan baku bokashi kotoran domba
o = produksi kotoran kelinci per ekor (Kg/ekor)
p = koefisien kebutuhan bahan baku bokashi kotoran kelinci
q = produksi urin kelinci per ekor (Kg/ekor)
r = koefisien kebutuhan bahan baku bokashi urin kelinci
s = koefisien kebutuhan baku hijauan silase
t = produksi limbah sayuran per bedeng (Kg/bedeng)
47
d. Kendala Pakan Rumput
-RUMz+a1XT ≤ 0
Dimana:
XT = jenis ternak domba (XG), kelinci (XR)
a1 = kebutuhan pakan rumput masing-masing jenis ternak (Kg)
e. Kendala Input dan sumberdaya pendukung
Tenaga Kerja Sewa:
∑푇퐾푆푖 ≤ a2
Ketersediaan Rumput Lapang:
∑푅푈푀푧 ≤ a3
Ketersediaan Pupuk Kotoran Ayam:
∑퐵퐾푂푇퐴 ≤ a4
Ketersediaan Limbah Organik Pasar:
∑퐵푆푂푃 ≤ a5
dimana:
a2 = ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel (HOK)
a3 = ketersediaan rumput lapang (Kg)
a4 = ketersediaan pupuk kotoran ayam luar desa(Kg)
a5 = Ketersediaan limbah organik pasar (Kg)
f. Kendala Permintaan Sayuran Organik
SXSay ≥ a6
dimana:
SXSay = jual setiap jenis sayuran organik: selada (XS), kangkung
(XK), caisin (XC), bayam merah (XM), bayam hijau (XH)
a6 = permintaan minimum sayuran organik (Kg)
4.4.1.5.Analisis Sensitivitas
Adanya sifat deterministik pada LP yang menyebabkan hasil yang
diperoleh berupa single value expectation menyebabkan analisis sensitivitas
menjadi hal yang sangat penting. Analisis sensitivitas digunakan untuk
menangkap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada kondisi aktual
sehingga dapat diketahui selang kepekaan yang dapat ditolerir sehingga tidak
mengubah keputusan optimal. Analisis sensitivitas dilakukan pada koefisien
48
fungsi tujuan yakni berupa perubahan harga jual, harga beli, maupun biaya
produksi per unit aktivitas produksi. Analisis sensitivitas juga dilakukan pada
ketersediaan sumberdaya pada fungsi kendala.
4.4.1.6.Analisis Pasca Optimal
Analisis pasca optimal pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui
dampak dari adanya pemaksaan kondisi terintegrasi pada MUSOT yang dibangun
terhadap total keuntungan wilayah, alokasi sumberdaya, pengusahaan masing-
masing aktivitas usaha, dan tingkat pemanfaatan produk antara. Skenario yang
dijalankan adalah dengan menetapkan kebijakan penggunaan pupuk bokashi
masing-masing sebesar 30 persen, 50 persen, 70 persen, dan 100 persen dari total
kebutuhan pupuk organik di dalam desa. Penentuan setiap kebijakan pemanfaatan
pupuk bokashi yang semakin besar tersebut digunakan untuk mengetahui dampak
kebijakan terhadap total keuntungan wilayah apabila proporsi pemanfaatan pupuk
bokashi di dalam desa semakin besar. Total keuntungan yang dihasilkan oleh
kondisi optimal masing-masing kebijakan dijadikan sebagai dasar untuk
mengetahui konsekuensi penerapan kebijakan tersebut terhadap perubahan harga
jual sayuran organik setiap kilogramnya agar keuntungan yang diperoleh adalah
minimal sama dibandingkan penyelenggaraan usahatani secara tidak terintegrasi.
49
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Lokasi dan Topografi
Desa Karehkel berada di Kecamatan Leuwiliang dan termasuk wilayah
pengembangan pembangunan Kabupaten Bogor bagian barat. Wilayah Karehkel
berbatasan langsung dengan Kecamatan Leuwisadeng di bagian barat, Kecamatan
Rumpin di sebelah utara, Kecamatan Cibungbulang di bagian timur, dan Desa
Cibeber I di bagian selatan. Berdasarkan ketinggiannya, Desa Karehkel termasuk
dalam dataran rendah karena berada pada ketinggian 175-250 mdpl. Hal tersebut
secara langsung mempengaruhi aktivitas di bidang pertanian sehingga seluruh
ternak dan tanaman yang diusahakan adalah hewan dan jenis tanaman dataran
rendah.
Topografi Desa Karehkel secara umum untuk lahan darat adalah berbukit
dengan kemiringan 10-25% sedangkan untuk lahan sawah landai sampai datar
dengan kemiringan antara 10-20%. Jenis tanah di Desa Karehkel adalah tanah
latosol dengan pH berkisar antara 4,5-5,5 sehingga tanahnya cenderung bersifat
asam. Mayoritas petani sayuran secara rutin menaburkan kapur pada lahannya
setiap tiga bulan sekali sebagai upaya memperbaiki kesuburan lahan garapannya.
Kegiatan pengembangan dan pembinaan pertanian di Desa Karehkel
berada di bawah pengawasan BP3K Wilayah Leuwiliang. Luas wilayah Desa
Karehkel adalah 807 Ha dengan penggunaan lahan sebagai lahan pertanian
sebesar 46,84%, 11,65% sebagai lahan pekarangan, 6,44% sebagai areal
pengangonan, 1,24% sebagai lahan usaha perikanan, dan sisanya sebanyak
33,83% sebagai areal hutan rakyat (BP3K Leuwiliang 2010).
5.2. Keadaan Iklim
Secara garis besar Kecamatan Leuwiliang memiliki dua musim yakni
musim penghujan dan musim kemarau. Wilayah Desa Karehkel yang berada di
Kecamatan Leuwiliang juga memiliki keadaan iklim yang tidak jauh berbeda.
Bulan kering atau musim kemarau merupakan bulan-bulan yang memiliki curah
hujan rata-rata kurang dari 60 milimeter/bulan. Bulan hujan atau bulan basah
merupakan saat dimana curah hujan rata-rata lebih dari 100 milimeter/bulan
50
sedangkan bulan lembab memiliki curah hujan antara 60 milimeter/bulan sampai
dengan 100 milimeter/bulan.
Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan Selama 12 Tahun Terakhir di Kecamatan Karehkel
No
Curah Hujan ( mm)
Bulan
Rata-rata
1998-
2002
Tahun
2003
Tahun
2004
Tahun
2005
Tahun
2006
Tahun
2007
Tahun
2008
Tahun
2009
1 Januari 314 391 93 404 274 105 271 96
2 Pebruari 165 97 354 327 138 284 240 372
3 Maret 112.6 230 400 423 112 239 231 200
4 April 176 404 421 640 201 266 345 307
5 M e i 310 457 324 374 409 274 341 317
6 J u n i 176.4 51 174 169 241 309 203 278
7 J u l i 271 24 15 209 350 35 156 144
8 Agustus 163 24 43 166 9 90 106 108
9 September 236 136 97 392 7 61 223 225
10 Oktober 269.3 231 297 277 605 314 335 644
11 Nopember 290.8 421 241 401 331 158 343 554
12 Desember 286.2 357 154 432 341 257 314 391
Rata-Rata 230,94 236 216 350.4 249 199 259 330
Sumber : Stasiun Klimatologi dan Geofisika Darmaga, Bogor (2009)
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwasanya rata-rata curah hujan di
Desa Karehkel adalah sebesar 230 milimeter/tahun. Maka dapat dikatakan
bahwasanya Desa Karehkel memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan
didominasi dengan bulan basah yakni rata-rata selama 10 bulan. Hal ini secara
langsung berpengaruh pada pola tanam berbagai jenis tanaman pertanian di Desa
Karehkel, terutama kegiatan usahatani tanaman berupa padi, sayuran, atau jenis
tanaman hutan lainnya.
5.3. Kependudukan
Jumlah penduduk Desa Karehkel berdasarkan Laporan Register Penduduk
Tahun 2009 adalah sebanyak 16.244 jiwa yang terdiri dari penduduk pria
sebanyak 57,34% (9.314 jiwa) dan 42,66% (6.930 jiwa) sisanya adalah penduduk
51
berjenis kelamin wanita dengan jumlah rumah tangga sebanyak 2.687 rumah
tangga. Ditinjau dari jumlah anggota keluarga maka rata-rata rumah tangga
beranggotakan 6 jiwa/rumah tangga. Sekitar 71,63% (11.635 jiwa) dari total
penduduk di Desa Karehkel tergolong pada usia produktif sedangkan 38% (4.609
jiwa) sisanya berada pada kategori usia tidak produktif. Keberadaan penduduk
dengan usia produktif menunjukkan potensi tenaga kerja yang ada di Desa
Karehkel.
Tabel 2. Data Keragaan Penduduk Desa Karehkel Menurut Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Desa ( orang )
Karehkel Cibeber I
1 Pertanian 1667 1668
2 Pertambangan 997 967
3 Perikanan 999 669
4 Perdagangan 2875 1987
5 Jasa 287 498
6 Swasta 1540 2897
7 Pegawai Negeri 85 98
8 Buruh 698 599
9 Tidak Kerja 7096 6327
Jumlah 16244 15710
Sumber : Kantor Desa Karehkel (2009)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwasanya mayoritas penduduk di
Desa Karehkel tidak memiliki pekerjaan. Angka pengangguran yang cukup tinggi
yakni mencapai 43,68 persen salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat
pendidikan di Desa Karehkel. Sebanyak 36,62 persen penduduk tidak bersekolah,
42,81 persen hanya lulusan SD, 10,41 persen telah mengenyam pendidikan setara
SMP, 9,82 persen adalah lulusan SMA, dan hanya sebanyak 0,33% yang lulus
pendidikan perkuliahan (D3 atau S1). Penduduk yang memiliki mata pencaharian
di bidang pertanian adalah sebanyak 2.666 jiwa dimana 62,53% berada pada
usahatani tanaman dan sisanya 37,47% di bidang perikanan. Keberadaan usaha
peternakan memang sulit ditemui di lapangan bahkan tidak ada. Hal ini
disebabkan usaha ternak di Desa Karehkel mayoritas diusahakan hanya sebagai
kegiatan sambilan di sela-sela kegiatan usahatani tanaman.
52
5.4. Aktivitas Usahatani Desa Karehkel
Secara garis besar, kegiatan usahatani di Desa Karehkel dapat dibedakan
menjadi beberapa bagian yakni sektor usahatani tanaman yang meliputi usahatani
lahan basah misalnya padi sawah, usahatani lahan kering seperti perkebunan,
tegalan, pengangonan (ternak secara ekstensif atau semi intensif) ,kehutanan, dan
usahatani perairan yakni perikanan. Desa Karehkel memiliki empat kelompok tani
(poktan) dan satu kelompok wanita tani (KWT) yang tergabung dalam Gapoktan
Pandan Wangi (GPW). Poktan yang tergabung dalam GPW diantaranya Poktan
Mitra Tani yang berlokasi di kampung Tonjong, Poktan Cadas Gantung di
kampung Parung Singa, Berkah Tani di kampung Karehkel, dan di kampung
Pandu terdapat Poktan Sugih Tani.
Mayoritas kegiatan usahatani padi sawah dilakukan di Poktan Mitra Tani
sedangkan luasan lahan sawah paling kecil terdapat di kampung Pandu yakni
tempat dimana Poktan Sugih Tani berada. Pada kegiatan usahatani lahan kering,
Poktan Mitra Tani memiliki luasan lahan garapan yang terbesar diantara poktan
lainnya.Pada umumnya pola tanam kegiatan usahatani lahan basah dan lahan
kering dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Pola tanam usahatani lahan
basah (sawah) diantaranya pola tanam I: padi–padi–palawija, pola tanam II: padi–
palawija–bera. Pada aktivitas usahatani lahan darat dapat dibedakan menjadi tiga
macam yakni pola tanam I: palawija–palawija, pola tanam II: palawija – sayuran
dan pola tanam III: sayuran sepanjang tahun. Sebagian besar petani yang
mengusahakan tanaman berstatus sebagai petani pemilik yakni sebanyak 56,87%
(948 orang) dari total penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani.
Keberadaan buruh tani juga cukup banyak yakni mencapai 18,23% atau setara
dengan 304 petani. Jumlah petani berdasarkan statusnya secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
53
Tabel 3. Data Jumlah Penduduk Tani Menurut Status Petani
No Status Petani Jumlah Petani (orang) Proporsi (%)
1 Pemilik 948 56,87
2 Pemilik penggarap 316 18,96
3 Penyakap 99 5,94
4 Buruh tani 304 18,23
Jumlah 1667 100
Sumber : Laporan Register Desa (2009)
Sangat besarnya daya tarik secara ekonomi pengusahaan tanaman hutan
menyebabkan cukup banyak petani yang mengusahkan berbagai tanaman hutan
sebagai sumber penghidupannya. Penggunaan lahan untuk kegiatan pengusahaan
tanaman hutan di Desa Karehkel adalah mencapai 25,65 persen (207 ha).
Tanaman bambu merupakan jenis tanaman hutan yang banyak dibudidayakan
sedangkan tanaman hutan lainnya antara lain albazia, mahoni, dan aprika.
Pada sektor perikanan, kegiatan usahanya ditujukan untuk pembenihan dan
pembesaran ikan. Luasan kolam yang digunakan adalah seluas 10 ha. Jenis ikan
yang dibudiyakan antara lain ikan nila, ikan mas, dan ikan gurami. Pembudidaya
ikan konsumsi tersebut tergabung dalam Poktan Perikanan Cadas Gantung.
Adanya padang pengangonan menjadi salah satu potensi sumber pakan
bagi hewan ternak yang dibudidayakan. Peternak tersebut tergabung dalam
Poktan Ternak Cadas Gantung. Selain itu ketersediaan lahan pekarangan, ladang
atau tegalan juga menjadi salah satu potensi sumberdaya bagi aktivitas usahatani
tanaman darat lainnya, salah satunya adalah sayuran dataran rendah. Sebagian
besar petani sayuran berada di Kampung Pandu yang tergabung dalam Poktan
Sugih Tani. Petani sayuran di Poktan Sugih Tani dapat dibedakan menjadi dua
yakni petani-petani yang membudidayakan sayurannya secara organik dan petani
sayuran non-organik yakni yang menggunakan pupuk kimia dalam usahatani yang
dilakukannya. Keberagaman berbagai aktivitas usahatani dan penggunaan lahan
untuk setiap aktivitas usahatani, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4 di
bawah ini.
54
Tabel 4. Klasifikasi dan Tata Guna Lahan pada Kelompok Tani yang Tergabung dalam Gapoktan pandan Wangi
No Klasifikasi dan Tata
Guna Lahan
Kelompok Tani
Cadas Gantung Mitra Tani Sugih Tani Barokah Tani
1 Lahan Basah
Sawah Pengairan (Ha)
- Teknis 26 40 32 38
- 1/2 teknis 30 20 14 16
- Sederhana 15 16 11 8
- Tadah Hujan - - - -
2 Lahan Kering (Ha)
- Pekarangan 25 20 21 28
- Ladang / Tegalan 37 29 27 19
- Pengangonan 15 12 14 11
- Perkebunan - - - -
- Kehutanan 45 84 73 71
3 Perairan (Ha)
- Setu - - - -
- Kolam 3 2 1 4
- Akuarium -
Jumlah (Ha) 196 223 193 195
Sumber : Kantor Desa Karehkel (2009)
5.4.1. Usahatani Sayuran Organik
5.4.1.1. Sejarah Budidaya Sayuran Organik di Desa Karehkel
Kegiatan usahatani sayuran terpusat pada Poktan Sugih Tani. Jumlah
petani yang terdaftar sebagai anggota adalah sebanyak 29 petani. Pada awalnya
kegiatan usahatani sayuran di Desa Karehkel dilakukan secara non organik yakni
masih menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Jenis sayuran yang
dibudidayakan petani antara lain bayam, caisin, kangkung, selada, lobak,
kemangi, kacang panjang, tomat, terong, buncis, ketimun, dan kucai ganda.
Aktivitas budidaya sayuran organik dimulai pada saat ICDF (International
Cooperation and Development Fund) Taiwan menjalin kerjasama dengan
Gapoktan Pandan Wangi. Poktan Sugih Tani dipilih sebagai pelaksana kegiatan
55
budidaya sayuran organik karena poktan tersebut merupakan sentra petani sayuran
di Desa Karehkel sehingga difusi teknologi budidaya sayuran organik dapat
dilakukan dengan lebih mudah.
Kerjasama tersebut resmi terjalin pada bulan Mei 2009 yang ditandai
dengan penandatanganan MOU. Petani yang terikat kerjasama memiliki
kewajiban untuk memenuhi permintaan dan mengikuti kalender tanam yang
ditetapkan oleh pihak ICDF. Pada awalnya hanya satu orang petani saja yang
bersedia melakukan budidaya sayuran secara organik. Hal ini disebabkan karena
adanya persepsi negatf terhadap aktivitas budidaya sayuran organik. Petani yang
telah terbiasa menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam budidaya
sayurannya merasa khawatir terhadap hasil panen yang lebih rendah dan adanya
serangan hama yang tinggi pada aktivitas budidaya sayuran organik. Selain itu,
petani juga beranggapan bahwa modal yang diperlukan untuk budidaya sayuran
organik sangat besar karena harus memiliki paranet sebagai penutup
bedengannya. Persepsi tersebut menjadi salah satu kendala dalam mengajak
seluruh petani untuk membudidayakan sayuran organik.
Secara perlahan, petani mulai menyadari adanya potensi keuntungan yang
lebih besar dengan melakukan budidaya sayuran organik. Salah satu daya tarik
bagi petani untuk bergabung dalam usaha budidaya sayuran organik adalah harga
tiap jenis sayuran per kilogram yang lebih mahal daripada harga sayuran non-
organik. Harga per kilogram selada, caisin, kangkung, bayam hijau, dan bayam
merah yang dibudiayakan secara organik di Karehkel masing-masing adalah Rp
9.000,00; Rp 8.000,00; Rp 5.000,00; Rp 6.000,00; dan Rp 6.000,00. Saat ini,
jumlah petani yang membudidayakan sayuran secara organik adalah sebanyak
enam petani. Pada beberapa tahun ke depan, Poktan Sugih Tani akan dijadikan
sebagai sentra produksi sayuran organik di DesaKarehkel. Selain potensi
sumberdaya manusia yang telah berpengalaman untuk budidaya sayuran, alasan
lingkungan juga menjadi penyebabnya. Salah satu persyaratan lingkungan untuk
kegiatan budidaya tanaman secara organik adalah tidak boleh terdapat
kontaminasi bahan kimia dari aktivitas usahatani tanaman non-organik di
sekitarnya. Kondisi saat ini, lokasi aktivitas usahatani sayuran organik di Desa
56
Karehkel masih dikelilingi usahatani tanaman lain yang dilakukan secara non-
organik.
5.4.1.2. Produksi Sayuran Organik dan Potensi Limbah Sayuran
Proses difusi teknologi budidaya sayuran organik dilakukan secara
bertahap di Desa Karehkel. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melakukan uji
coba terhadap kesesuaian lahan, iklim untuk budidaya sayuran organik sehingga
dapat diketahui jenis sayuran yang paling cocok dikembangkan di Desa Karehkel.
Selain itu, hal tersebut ditujukan untuk mengetahui komitmen para petani organik
untuk konsisten mengembangkan sayuran organik untuk memenuhi permintaan
pembeli (ICDF). Pada mulanya, hanya tiga jenis sayuran yang dibudidayakan
yakni kangkung, caisin, dan bayam hijau. Aktivitas budidaya selada dimulai pada
bulan Agustus dan bayam merah baru dimulai pada bulan Oktober.
Adanya rencana untuk mengembangkan wilayah Poktan Sugih Tani
sebagai sentra pertanian sayuran organik di Desa Karehkel dilatarbelakangi oleh
tingginya permintaan sayuran organik oleh konsumen ICDF yang sebagian besar
terdiri dari ritel-ritel besar, seperti serambi botani, alfamart, dan giant. Pada
nantinya diharapkan petani sayuran yang ada di Desa Karehkel dapat
melaksanakan budidaya organik untuk memenuhi permintaan pasar yang lebih
besar. Jumlah sayuran organik yang diproduksi tiap bulannya cukup banyak.
Produksi selada per bulannya rata-rata mencapai 111,64 kg dan caisin mencapai
464,69 kg. Jenis sayuran yang memiliki permintaan tertinggi adalah kangkung
yakni mencapai 590,17 kg. Jumlah permintaan bayam hijau juga cukup banyak,
yakni terbesar kedua setelah caisin yakni rata-rata meencapai 487,7 kg tiap
bulannya.
Proses sortasi yang dilakukan terhadap sayuran organik dapat
menyebabkan adanya limbah sayuran. Sortasi yang dilakukan dapat mencapai 30
persen dari total sayuran yang diproduksi atau dikirim petani ke ICDF. Saat ini
keberadaan limbah tersebut masih belum termanfaatkan. Padahal limbah sayuran
organik sangat berpotensi sebagai sumber pakan ternak di Desa Karehkel.
Terkadang petani menjual limbah tersebut ke para tengkulak dengan jumlah dan
harga yang tidak menentu tergantung kesepakatan. Besarnya sortasi sayuran
tersebut sangat bervariasi dan sangat bergantung pada musim.
57
Pada umumnya, saat musim kemarau, produksi sayuran akan tinggi
sehingga jumlah sayuran yang lolos sortasi adalah lebih banyak sehingga
berdampak pada keuntungan yang lebih tinggi bagi petani. Berbeda halnya pada
saat musim penghujan dimana cukup banyak hama dan penyakit yang menyerang.
Misalnya adalah kutu lengket atau kutu anjing (Phylotratta vittata) yang sering
menyerang tanaman caisin dan virus mozaik (Cucumber Mozaik Virus) yang
sering menyerang bayam. Akibatnya jumlah sayuran yang tidak lolos sortasi akan
lebih banyak dan keuntungan petani akan menurun. Besarnya sortasi di berbagai
musim tersebut juga tergantung pada ketahanan sayuran terhadap serangan hama
dan kesesuaian sayuran terhadap curah hujan tiap bulannya.
Selada merupakan jenis sayuran yang memerlukan banyak air dan relatif
sedikit hama yang menyerang. Sayuran ini memiliki produksi sayuran yang lebih
tinggi pada musim penghujan. Caisin juga memiliki karakter yang hampir sama
seperti selada yakni memerlukan air banyak sehingga produksinya pada musim
penghujan adalah lebih besar daripada musim kemarau. Serangan hama yang
semakin tinggi terhadap caisin menyebabkan produksi caisin pada musim
penghujan mengalami penurunan yang cukup drastis. Kangkung merupakan jenis
sayuran yang relatif stabil jumlah produksinya baik pada musim kemarau maupun
musim hujan.
Harga beli yang ditetapkan oleh ICDF terhadap sayuran organik yang pada
saat-saat tertentu mengalami perubahan. Misalnya adalah pada periode penelitian
ini, yakni bulan Maret-Mei 2010 yang bertepatan dengan musim hujan, harga
bayam hijau dan bayam merah mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena
meningkatnya intensitas serangan penyakit sehingga produksi sayuran mengalami
penurunan yang cukup drastis. Harga bayam yang semula Rp 6.000,00 tiap
kilogramnya mengalami kenaikan hingga Rp 9.000,00 tiap kilogramnya. Sayuran
yang relatif stabil jumlah produksi nya cenderung memiliki harga yang stabil
misalnya kangkung.
5.4.1.3. Gambaran Budidaya Sayuran Organik
Budidaya tanaman organik merupakan aktivitas budidaya yang tidak
menggunakan input kimia, baik berupa pupuk kimia maupun pestisida.
Kebutuhan pupuk organik pada usahatani sayuran organik di Desa Karehkel
58
dipenuhi dengan pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam. Seluruh kotoran
ayam tersebut diperoleh dari luar desa karena di Desa Karehkel sendiri tidak ada
peternakan ayam. Potensi kotoran domba dan kotoran kelinci sebagai pupuk
kandang yang cukup melimpah di Desa Karehkel masih belum termanfaatkan. Hal
ini disebabkan karena sifat dari kotoran domba sendiri seringkali membawa biji-
bijian gulma sehingga pada saat diaplikasikan sebagai pupuk kandang akan
menyebabkan timbulnya gulma yang sangat banyak. Setiap jenis sayuran ditanam
pada bedengan yang berbeda.
Untuk menghindari serangan hama maka pada budidaya sayuran organik
di Desa Karehkel menggunakan paranet yang disangga dengan menggunakan
tiang bambu yang disusun melengkung sehingga sayuran yang dipelihara
ternaungi paranet. Sebagian besar petani menyemai sendiri benih sayurannya
kecuali tanaman selada. Waktu semai yang cukup lama dan sulitnya benih selada
untuk disemai sendiri menjadi penyebab bagi petani untuk membeli bibit dari
pihak ICDF. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali yakni pada awal saat tanam
dan di pertengahan periode produksi tanaman. Kegiatan penyiangan pada
umumnya dilakukan pada saat umur tanaman sampai dengan satu minggu namun
setelah tanaman sudah tinggi atau hampir panen, kegiatan penyiangan akan sangat
jarang dilakukan. Benih kangkung yang biasanya digunakan adalah bermerk
Petani Putih dan Cap Yayang sedangkan bayam merah mayoritas menggunakan
benih dengan merk Panah Merah. Berbeda halnya dengan bayam hijau, benih
dibeli dengan satuan botolan dan tidak bermerk.
Kegiatan penyiraman masih dilakukan secara tradisional yakni
menggunakan wadah siram yang dipikul (gembor). Penyiraman pada musim
kemarau dilakukan sebanyak tiga sampai dengan lima kali dalam sehari. Terutama
tanaman selada dan caisin yang memerlukan banyak air. Pada musim penghujan
intensitas penyiraman dikurangi yakni sebanyak dua atau hanya sekali dalam
sehari. Saat musim hujan, paranet harus sering dibuka sehingga sayuran terjemur.
Hal ini bertujuan untuk meminimalisir serangan penyakit pada tanaman sayuran.
Berdasarkan pengalaman yang dimiliki, virus mozaik yang menyerang bayam
disebabkan oleh air hujan yang turun pada jangka waktu yang singkat dan cipratan
air yang berasal dari tanah saat hujan turun. Petani terkadang menaman bayam
59
dan selada pada satu bedengan. Biasanya petani menanam bayam terlebih dahulu.
Setelah berumur kurang lebih satu minggu, selada mulai ditanam sehingga pada
saat hujan akan mengurangi cipratan air hujan yang terpantul di tanah.
Tanaman selada dan caisin memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih
banyak daripada tanaman kangkung, bayam hijau, dan bayam merah. Jika
tanaman kangkung, bayam hijau, bayam merah hanya tinggal disemai, untuk
tanaman selada dan caisin harus disemai di bedeng semai terlebih dahulu
kemudian dipindahkan ke bedengan untuk kegiatan penanaman. Perbedaan antara
bedeng semai dan bedeng tanam terletak pada jarak tanamnya. Pada bedeng
semai, benih ditebar begitu saja sehingga memiliki kerapatan yang sangat tinggi.
Berbeda halnya dengan bedeng tanam dimana jarak tanamnya lebih jauh sehingga
memungkinkan bagi setiap tanaman untuk tumbuh secara maksimal.
Jenis sayuran yang ditanam, waktu tanam, waktu panen, dan waktu
pengiriman sayuran ditentukan sepenuhnya oleh ICDF. Seluruh produksi sayuran
organik disetorkan kepada ICDF. Permasalahan yang sering timbul adalah
terpusatnya aktivitas budidaya jenis sayuran tertentu pada seorang petani sehingga
berakibat pada jumlah keuntungan petani yang tidak merata . Selain itu, terkadang
petani tidak mengikuti jadwal tanam yang ditetapkan ICDF sehingga sayuran
dipanen lebih lama atau malah lebih cepat. Akibatnya pasokan sayuran dapat
sangat berlebih dan dapat sangat kurang. Perilaku petani yang tidak mematuhi
jadwal tanam tersebut akan merugikan petani. Jika sayuran yang diproduksi
melimpah maka kegiatan penyortiran akan dilakukan lebih ketat sehingga sayuran
tidak lolos sortir akan lebih banyak dan keuntungan petani akan lebih rendah. Di
sisi lain, saat pasokan kurang maka terpaksa sayuran-sayuran yang masih berumur
muda dipanen sehingga bobot sayuran yang disetorkan menjadi lebih rendah
sehingga keuntungan petani akan lebih sedikit.
5.4.2. Usahaternak Domba
Aktivitas ternak domba di Desa Karehkel sebagian besar dilakukan secara
semi intensif. Pada pagi sampai dengan siang hari ternak domba digembalakan di
padang rumput untuk mencari makan. Saat siang atau menjelang sore ternak
dikandangkan dan diberi pakan hijauan lapangan yang telah dicari oleh petani.
Seluruh pakan ternak domba dipenuhi dengan hijauan lapang. Usahaternak domba
60
yang terdapat di Desa Karehkel sebagian dijadikan sebagai kegiatan sambilan di
sela-sela kegiatan bertani. Namun cukup banyak pula yang kegiatannya hanya
beternak domba. Ternak domba masih dilakukan secara tradisional dan sangat
sedikit menggunakan obat-obatan. Obat diberikan hanya pada saat ternak domba
mengalami diare. Ternak domba lebih jarang terserang diare daripada kambing
jawa.
Jumlah peternak domba yang tergabung dalam Poktan Ternak Cadas
Gantung adalah sebanyak 28 orang. Pada kondisi aktual, potensi ternak domba
adalah cukup merata di Desa Karehkel. Desa Karehkel terdiri dari 13 RW dan
masing-masing RW terdapat 5-10 orang yang memiliki domba dengan
kepemilikan ternak domba berkisar antara 5-7 ekor (Statistik Desa Karehkel
2010). Rata-rata setiap peternak memiliki satu ekor indukan jantan dan dua
indukan betina sedangkan sisanya adalah anakan domba. Jenis domba yang
banyak dibudidayakan adalah domba ekor tipis. Sebagian kecil lainnya adalah
kambing jawa. Jenis pakan yang diberikan adalah cukup berbeda yakni untuk
domba sebagian besar adalah rumput lapangan sedangkan pakan kambing jawa
berasal dari dedaunan yang dapat diperoleh di lapangan. Masih Harga kambing
jawa relatif lebih mahal daripada harga domba.
Biasanya domba-domba yang dipelihara tersebut dijual pada saat hari raya
kurban. Namun apabila peternak memiliki kebutuhan yang mendesak maka
seringkali ternaknya dijual. Limbah domba berupa kotoran maupun sisa pakan
masih belum termanfaatkan secara maksimal. Sebagian besar kotoran domba
tersebut masih dibiarkan begitu saja menumpuk di bawah kandang yang
berbentuk panggung. Berdasarkan data populasi ternak domba Statistik Desa
Karehkel (2010) maka dapat dikalkulasikan potensi kotoran domba yang
berpotensi untuk digunakan sebagai pupuk organik dapat mencapai sekitar 17 ton
setiap bulannya.
5.4.3. Usahaternak Kelinci
Keberadaan ternak kelinci di Desa Karehkel dapat dikatakan masih baru
sehingga pengetahuan para peternak untuk membudidayakan kelinci masih sangat
rendah. Ternak kelinci di Desa Karehkel merupakan bantuan dari program padat
karya Disnakertrans Bogor tahun 2009. Para peternak kelinci tergabung dalam
61
Poktan Ternak Kelinci Cadas Gantung yang beranggotakan kurang lebih sebanyak
20 peternak dengan rata-rata kepemilikan ternak sebanyak 21 ekor. Jenis kelinci
yang dibudidayakan adalah mayoritas kelinci hias misalnya jenis lokal dan
angora. Sebagian kecil kelinci yang dibudidayakan adalah kelinci pedaging.
Kebutuhan pakan kelinci dipenuhi dengan konsentrat yang berasal dari
dedak dan sebagian besar dipenuhi dengan rumput lapangan. Penyakit yang sering
menyerang kelinci adalah penyakit buduk. Harga vaksin yang cukup mahal
menjadi salah satu kendala untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akibatnya
banyak kelinci peternak yang mati. Berdasarkan data terakhir yang berasal dari
Gapoktan Pandan Wangi pada tahun 2009, jumlah populasi kelinci adalah
sebanyak 421 ekor. Diduga saat ini populasinya terus menurun yang ditandai
dengan adanya beberapa peternak kelinci yang sudah tidak lagi beternak kelinci.
Anakan kelinci hias yang dijual rata-rata berumur satu bulan. Pada umur satu
bulan anakan kelinci tersebut seharusnya belum lepas sapih namun untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi para peternak maka kelinci tersebut dijual pada
usia yang masih sangat muda. Limbah kelinci berupa kotoran kelinci dan urin
kelinci yang memiliki kualitas cukup baik bagi pupuk kandang, masih belum
termanfaatkan. Berdasarkan data terakhir Gapoktan Pandan Wangi tahun 2009
tersebut maka dapat diperkirakan potensi urin kelinci dan kotoran kelinci yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk organik masing-masing dapat mencapai
sekitar 1.431 liter dan 5 ton untuk setiap bulannya.
5.4.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi dan Silase
Kotoran domba memiliki rasio karbon dengan nitrogen (C/N) yang lebih
tinggi daripada kotoran ayam sehingga lebih lama terurai. Kadar C/N domba dan
kelinci masing-masing adalah sebesar 19 dan 108 sedangkan kadar C/N kotoran
kelinci adalah 109. Sebelum kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik
memerlukan penanganan khusus sampai dengan kotoran ternak tersebut siap
digunakan sebagai pupuk organik. Tingkat kesiapan sebuah pupuk diukur dengan
tingkat kematangan pupuk yang ditunjukkan dengan rasio C/N nya. SNI (Standard
8 Pengolahan Limbah Peternakan Biogas. www.lolitsapi.litbang.deptan.go.id [Juli 2010] 9 Membangun Kemitraan Agribisnis Kelinci. www.balitnak.litbang.deptan.go.id [Juli 2010]
62
Nasional Indonesia) 19-7030-2004 menerangkan bahwa kadar C/N kompos yang
baik adalah berkisar antara 10-2010.
Beberapa anggota Gapoktan Pandan Wangi telah mengetahui teknologi
pembuatan bokashi pupuk kandang yang mayoritas bahannya berasal dari kotoran
ternak. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari limbah ternak, sampah dedaunan,
arang sekam, molasses, dan air kelapa. Sekitar 85 persen bahan bakunya berasal
dari limbah ternak baik berupa kotoran kelinci, kotoran domba, maupun urin
kelinci. Sangat besarnya kebutuhan bahan baku bokashi pupuk kandang berupa
limbah ternak dapat menjadi salah satu upaya dalam mengoptimalkan
pemanfaatan limbah ternak yang dihasilkan. Saat ini, aktivitas produksi bokashi di
Desa Karehkel masih dilakukan pada skala kecil atau pada skala percobaan.
Untuk mendukung adanya rencana penerapan pertanian terpadu antara sayuran
organik dengan hewan ternak GPW berencana akan membentuk suatu kelompok
tersendiri yang pada nantinya akan melakukan aktivitias produksi pupuk bokashi
secara spesifik. Saat ini GPW sedang menunggu realisasi bantuan rumah kompos
yang tidak lain merupakan program Deptan sehingga hal ini dapat menjadi salah
satu potensi dalam mendukung penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel.
Aktivitas produksi silase di Desa Karehkel masih belum dilaksanakan.
Selain itu petani juga masih belum memiliki informasi atau pengetahuan untuk
memproduksi silase. Adanya keterlibatan aktivitas produksi silase pada penelitian
ini ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayuran organik sebagai
pakan ternak yang memiliki umur simpan yang lebih lama. Karaktertistik limbah
sayuran yang memiliki kadar air tinggi dan mudah membusuk dalam waktu tiga
hari memerlukan penanganan khusus sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak. Hal ini sangat penting mengingat jumlah produksi limbah sayuran yang
cukup tinggi tiap bulannya yakni dapat mencapai kurang lebih 6 ton.
Secara garis besar, kedua aktivitas tersebut memiliki proses produksi yang
relatif sama. Seluruh bahan baku, baik pada pupuk bokashi dan silase, di
fermentasi dengan menggunakan mikroba. GPW telah memiliki keterampilan
untuk mengembangbiakan mikroba pengurai yang dikenal sebagai MOL
10 Indrasti, NS. Tanpa tahun. Kompos: Teknologi Proses Produksi dan Aplikasi. Departemen
Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB
63
(mikroorganisme lokal). Bahan baku hanya perlu dikumpulkan pada satu wadah
kemudian difermentasikan dalam keadaan tertutup atau anaerob. Proses
fermentasi pada bahan-bahan pupuk bokashi dapat mempercepat proses
dekomposisi bahan baku yang mayoritas berasal dari kotoran ternak sehingga
dapat digunakan sebagai pupuk bagi aktivitas usahatani sayuran organik. Pada
aktivitas fermentasi bahan-bahan silase, selain dapat mengawetkan bahan pakan
juga dapat meningkatkan nilai nutrisi pakan ternak.
5.5. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah pelaku aktivitas-aktivitas yang
mendukung penerapan pertanian terpadu antara sayuran organik-hewan ternak.
Responden yang dimaksud antara lain petani sayuran organik, peternak kelinci,
peternak domba, dan anggota GPW yang memiliki pengetahuan dalam
memproduksi pupuk bokashi. Pengumpulan data mengenai aktivitas memproduksi
silase diperoleh dengan menggunakan studi literatur.
Rata-rata petani responden memiliki usia 46,63 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata petani yang menjadi responden masih berada pada
usia produktif untuk bekerja. Seluruh responden merupakan keluarga dengan rata-
rata tanggungan keluarga sebanyak tiga orang. Jumlah anggota keluarga yang
berumur lebih dari 15 tahun rata-rata berjumlah 2,38 orang. Namun anggota
keluarga yang berpotensi sebagai tenaga kerja di bidang pertanian (berusia lebih
dari 15 tahun) hanya berjumlah dua orang yang terdiri dari seorang pria dan
seorang wanita. Petani maupun peternak di Desa Karehkel bekerja penuh dalam
sebulan sehingga hari kerja dalam sebulan adalah selama 30 hari dengan lama
kerja delapan jam dalam sehari dan tenaga kerja wanita adalah 0,7 tenaga kerja
pria. Berdasarkan kondisi tersebut maka setiap rumah tangga petani tersedia
tenaga kerja pria sebanyak 30 HOK dan tenaga kerja wanita sebanyak 21 HOK
atau total sebanyak 51 HOK per bulan. Pada penelitian ini, ketersediaan tenaga
kerja dalam satu rumah tangga petani adalah 51 HOK setiap bulannya.
Karakteristik responden pada penlitian ini dapat dilihat selengkapnya pada Tabel
5.
64
Tabel 5. Karakteristik Responden Desa Karehkel
Karakteristik Responden Satuan Rata-rata
Karakteristik Keluarga Responden
Umur petani Tahun 46,63
Tingkat pendidikan formal Tahun 8,88
Jumlah tanggungan keluarga Orang 3,00
Jumlah anak sekolah Orang 1,63
Jumlah anggota keluarga yang berusia >15 tahun Orang 2,38
Jumlah tenaga kerja potensial pria di bidang pertanian Orang 1,00
Jumlah tenaga kerja potensial wanita di bidang pertanian Orang 1,00
Karakteristik Kegiatan Usaha
Kepemilikan bedengan Bedeng 27
Luasan tiap bedeng m2 23,9
Kepemilikan ternak domba* ekor 6
Kepemilikan ternak kelinci* ekor 21
Keterangan: * kepemilikan rata-rata ternak di Desa Karehkel
Sumber : Data Primer (diolah)
Pada Tabel 5 terlihat bahwasanya luasan lahan garapan yang dimiliki
petani sayuran organik yang seluruhnya merupakan lahan darat (kering) masih
sangatlah kecil yakni rata-rata seluas 645,3 m2. Maka dapat dikatakan bahwasanya
petani sayuran organik termasuk dalam petani gurem. Jumlah kepemilikan ternak
di Desa Karehkel, baik ternak kelinci maupun ternak domba cukup rendah yakni
masing-masing sebanyak 6 ekor dombadan 21 ekor indukan kelinci. Ketersediaan
sumberdaya setiap petani, baik lahan maupun tenaga kerja dalam keluarga akan
menjadi salah satu kendala pada model sayuran organik terpadu yang dibangun
pada skala wilayah Desa Karehkel. Selain itu ketersediaan input lainnya seperti
ketersediaan pakan hijauan lapang dan ketersediaan tenaga kerja sewa secara
langsung akan mempengaruhi skala pengusahaan setiap aktivitas usaha yang
terdapat dalam model sayuran organik terpadu yang dirancang.
65
V. ANALISIS KERAGAAN USAHATANI
Analisis keragaan berbagai aktivitas usahatani yang dilibatkan dalam
MUSOT dilakukan secara deskriptif. Analisis tersebut meliputi ketersediaan
sumberdaya lahan, sumberdaya tenaga kerja dalam keluarga, ketersediaan tenaga
kerja sewa di Desa Karehkel, ketersediaan pakan hijauan lapang, ketersediaan
berbagai produk antara di lokasi penelitian, tingkat produksi per unit aktivitas
produksi, kebutuhan input per unit aktivitas produksi dan harga setiap aktivitas
yang dilakukan. Analisis keragaan usaha di lokasi penelitian sangat penting untuk
menggambarkan kondisi aktual penyelenggaraan aktivitas usahatani sayuran
organik, usahaternak kelinci, domba, aktivitas produksi pupuk bokashi dan
aktivitas produksi silase sehingga model linear yang dirancang dapat memberikan
gambaran yang mendekati kondisi aktual daerah penelitian. Hasil analisis ini
selanjutnya akan digunakan sebagai acuan penentuan koefisien pada fungsi tujuan
dan fungsi kendala kendala pada model usahatani sayuran organik terpadu pada
skala wilayah Desa Karehkel.
6.1. Usahatani Sayuran Organik
6.1.1. Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Sayuran Organik
Petani sayuran organik bertani sayuran sepanjang tahun. Pemberaan lahan
sangat jarang dilakukan karena permintaan sayuran organik selalu ada pada setiap
bulannya. Adanya keterbatasan kepemilikan lahan garapan yang dimiliki masing-
masing petani juga menjadi alasan mengapa tidak terdapat aktivitas pemberaan
lahan. Sesekali petani melakukan pemberaan lahan yakni paling lama tiga hari
sejak pemanenan. Tujuannya adalah selain untuk pembalikkan dan penggemburan
tanah juga sebagai upaya mereduksi bahan anorganik yang masih tersisa di lahan
garapan. Rotasi tanaman selalu dilakukan petani yakni dengan cara mengganti
jenis sayuran yang ditanam pada bedengan yang sama. Misalnya pada bulan April
bedengan A ditanami kangkung. Setelah kangkung dipanen kemudian bedengan
tersebut digunakan untuk menanam selada.
Periode produksi setiap jenis sayuran berbeda-beda. Bayam hijau dan
bayam merah biasanya dipanen rata-rata pada saat tanaman berumur 20 hari.
Kangkung biasanya dipanen pada umur tanaman 20 hari sedangkan untuk selada
66
dan caisin masing masing selama 21 hari dan 40 hari. Tanaman kangkung, bayam
hijau, dan bayam merah tidak memerlukan penyemaian benih. Benih yang ada
ditabur begitu saja pada bedengan yang akan digunakan dan dipelihara sampai
dengan panen. Berbeda halnya dengan selada, tanaman ini merupakan hasil
pemindahan bibit yang dibeli dari ICDF. Sebenarnya periode produksi selada
hampir sama dengan caisin. Sangat tingginya angka kegagalan petani saat
menyemai sendiri benih selada membuat petani lebih memilih untuk membeli
bibit dari ICDF. Periode produksi caisin yang lama disebabkan karena petani
menyemai sendiri benihnya kemudian dipindahkan ke bedengan tanam untuk
pembesaran sayuran. Tabel 6 berikut ini menggambarkan pola usahatani dan pola
tanam sayuran organik di Desa Karehkel.
Tabel 6. Pola Tanam yang Diterapkan Petani Sayuran Organik
Jenis Sayuran
Pola Tanam
Periode Tanam (Hari)
0 20 40
Caisin Selada Kangkung Bayam hijau Bayam merah
Keterangan: = caisin = selada = kangkung = bayam hijau = bayam merah = caisin/selada/kangkung/bayam hijau/bayam merah; sesuai
dengan permintaan ICDF
Lahan yang dimiliki petani sayuran organik rata-rata dipergunakan untuk
lahan garapan, pembuatan saung-saung untuk tempat beristirahat dan menaruh
pupuk, dan sebagai tempat untuk penampungan air (kobak). Penampungan air
67
tersebut merupakan tanah yang digali yang memiliki kedalaman kurang lebih satu
meter yang digunakan untuk mengambil air saat menyiram sayuran. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, rata-rata luasan saung tersebut adalah sekitar 2,56 m2
dan luasan kobak kurang lebih 1 m2. Jarak antar bedengan adalah setara dengan
lebar bahu orang dewasa atau selebar 50 cm. Luasan lahan yang dimaksud dalam
model ini adalah luas garapan aktual berupa bedengan-bedengan yang digunakan
untuk budidaya sayuran organik.
Pada kondisi aktual, kepemilikan bedengan setiap petani organik adalah
berbeda-beda. Selain itu ukuran masing-masing bedengan juga berbeda-beda.
Rata-rata kepemilikan bedengan setiap petani sayuran organik adalah sebanyak 27
bedeng dengan luasan masing-masing bedengan adalah 23,9 m2. Saat ini,
penggunaan bedengan di setiap bulannya adalah 100 persen. Artinya seluruh
bedengan yang dimiliki petani digunakan seluruhnya untuk menanam sayuran
organik. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwasanya setelah tanaman dipanen maka
bedengan akan segara ditanami dengan tanaman sayuran lainnya. Pemberaan
lahan yang dilakukan dengan sangat singkat atau bahkan tidak terdapat aktivitas
pemberaan lahan dapat dilihat dengan blok persegi yang tidak berjarak dengan
blok persegi yang berwarna abu-abu yang berarti bedengan tersebut segera
ditanami dengan jenis sayuran lain yang disesuaikan dengan permintaan ICDF.
Setiap bulannya, setiap petani menanam sayuran dengan kombinasi yang
berbeda-beda. Sangat jarang seorang petani menanam kelima jenis sayuran
tersebut secara bersamaan dalam sebulan. Pengaturan ini sengaja dilakukan oleh
ICDF sebagai upaya pemerataan keuntungan yang diperoleh petani karena harga
tiap jenis sayuran yang berbeda-beda. Jenis sayuran, waktu tanam, dan waktu
panen setiap petani per bulan sepenuhnya ditentukan berdasarkan permintaan
ICDF. Secara keseluruhan petani sayuran organik yang ada di Desa Karehkel
dalam sebulan menanam kelima jenis sayuran tersebut.
6.1.2. Kebutuhan Input Produksi Sayuran Organik
Kebutuhan input produksi dalam aktivitas usahatani sayuran organik
antara lain benih atau bibit, bahan organik, dan pupuk organik. Terkadang petani
sayuran memberikan kapur apabila berdasarkan pengamatan petani pertumbuhan
sayuran kurang baik. Adanya perbedaan kebutuhan benih atau bibit menyebabkan
68
biaya produksi per jenis sayuran adalah berbeda-beda. Keberadaan bahan organik
seringkali dicampurkan dengan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan
tanah. Bahan organik tersebut bermerk Kuda laut dan merupakan bantuan dari
pemerintah. Setiap karung bahan organik yang memiliki berat 50 kg berharga Rp
20.000,00. Meskipun sebenarnya gratis, seringkali petani membayarkan sejumlah
uang tersebut untuk mengganti biaya transportasi pengiriman. Banyaknya
penggunaan bahan organik dan pupuk aktivitas produksi setiap jenis sayuran
adalah relatif sama. Kebutuhan pupuk organik dipenuhi dengan membeli kotoran
ayam yang berasal dari luar desa. Banyaknya pupuk organik yang digunakan
untuk bedengan dengan luasan 23,9 m2 adalah rata-rata sebanyak 45,75 kg.
Sekarung kotoran ayam berisi sekitar 30 kg berharga Rp 5.000,00 atau sekitar Rp
166,67 setiap kilogramnya. Pada Tabel 7 di bawah ini akan disajikan kebutuhan
input produksi dan biaya produksi setiap jenis sayuran di luar biaya pupuk
organik.
Tabel 7. Kebutuhan Input dan Biaya Produksi di Luar Biaya Pupuk Organik pada Setiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik Masing-masing Responden
Nama Input Biaya Tiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik/Bedeng Berukuran 23,9 m2
(Rp/bedeng) Selada Caisin Kangkung Bayam merah Bayam hijau
Benih/bibit 28007.81 11316.29 13225.91 5736.00 4481.25 Bahan organik 1555.99 1555.99 1555.99 1555.99 1555.99 Jumlah biaya 29563.80 12872.28 14781.90 7291.99 6037.24
Pada penggunaan input bahan organik yang relatif sama maka komponen
biaya benih atau bibit lah yang menyebabkan suatu aktivitas usahatani sayuran
memiliki biaya produksi non pupuk organik yang lebih mahal. Berdasarkan Tabel
7 dapat dilihat bahwasanyabiaya produksi non pupuk organik termahal adalah
pada aktivitas produksi selada. Hal ini disebabkan karena bibit yang dibeli adalah
dalam satuan tray. Satu bedengan diperlukan kurang lebih 1.195,52 bibit selada
atau setara dengan 9,34 tray. Harga satu tray bibit selada adalah Rp 3.000,00.
Berbeda halnya pada aktivitas usahatani caisin, kangkung, bayam merah, dan
bayam hijau dimana menggunakan benih yang dibeli berdasarkan ukuran
kilogram benih. Misalnya untuk 1 kg benih caisin dapat digunakan untuk
menanam selada sekitar 14 bedeng. Begitu juga untuk tanaman kangkung, bayam
69
hijau, dan bayam merah sehingga biaya produksinya secara komparatif lebih
murah dibandingkan selada.
Harga benih bayam hijau dan bayam merah setiap kilogramnya adalah
sama yakni Rp 60.000,00. Biaya produksi non pupuk organik pada aktivitas
budidaya bayam merah yang lebih mahal daripada bayam hijau disebabkan karena
kebutuhan benih untuk bayam merah lebih banyak. Bayam merah di Desa
Karehkel memiliki daya berkecambah yang lebih rendah daripada bayam hijau.
Salah satu penyebabnya adalah dari kesuburan lahan dan faktor musim. Selain itu,
warna bayam merah yang begitu mencolok menyebabkan apabila terjadi sedikit
kontaminasi virus mozaik yang ditandai dengan bercak putih pada daun bayam
akan sangat terlihat sehingga petani akan menderita kerugian yang lebih tinggi
akibat proses sortasi. Oleh karena itu petani mengantisipasinya dengan
menaburkan benih dalam jumlah yang lebih banyak atau memerlukan benih lebih
banyak untuk kegiatan penyulaman. Besarnya biaya produksi non pupuk organik
yang tercantum pada Tabel 7 akan digunakan sebagai dasar penentuan koefisien
biaya masing-masing aktivitas usahatani sayuran organik per bedeng sedangkan
aktivitas membeli pupuk organik akan dibedakan menjadi aktivitas tersendiri pada
pada model linear yang dibangun.
6.1.3. Kebutuhan Tenaga Kerja Sayuran Organik
Kegiatan bertani sayuran organik diawali dengan persiapan lahan berupa
membersihkan bedengan, menggemburkan tanah, memupuk, menyemai benih,
menyiram, menyiangi gulma, menyulam, memanen sayuran, dan membersihkan
sayuran yang dipanen. Aktivitas usahatani selada dan caisin memerlukan tenaga
kerja yang lebih banyak daripada aktivitas usahatani sayuran lainnya. Salah satu
penyebabnya adalah pada selada bibit yang dibeli dalam satuan tray sehingga
harus dipindahkan satu per satu di bedengan tanam. Aktivitas usahatani caisin
memerlukan curahan tenaga terbesar dibandingkan dengan yang lain. Benih caisin
terlebih dahulu disemai di bedeng penyemaian kemudian setelah sekitar seminggu
atau dua minggu dipindahkan ke bedengan tanam. Adanya aktivitas penggaruan
tanah pada usahatani selada dan caisin juga menjadi salah satu penyebab curahan
tenaga kerja kedua usahatani tersebut lebih tinggi Tabel 8 menyajikan curahan
tenaga kerja masing-masing jenis aktivitas usahatani sayuran organik.
70
Tabel 8. Kebutuhan Tenaga Kerja pada Setiap Aktivitas Usahatani Sayuran Organik di Musim Kemarau dan Musim Penghujan
HOK= 10-1
Kegiatan
Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK)
Selada Kangkung Caisin Bayam Merah
Bayam Hijau
K H K H K H K H K H Persiapan + Tanam Membersihkan+meng-gemburkan bedengan 4,59 7,10 1,16 1,86 3,64 6,87 5,41 6,86 4,41 7,26
Pemupukan I 0,61 0,61 0,06 0,06 0,20 0,20 0,39 1,55 0,28 0,28 Penyemaian 0,06 0,06 0,10 0,10 0,39 1,55 0,28 0,28 Memindahkan bibit+ tanam 4,88 4,88 1,21 1,21 Menutup dengan net 0,03 0,03 0,05 0,05 0,05 0,05 0,07 0,07 Memasang ajir dan menaikkan net 0,09 0,09 0,06 0,06 0,10 0,10 0,10 0,10 0,11 0,11
Pemeliharaan Menyiram 4,78 2,39 2,20 1,10 1,82 7,88 5,51 2,75 8,11 5,41 Menggaru tanah 0,96 0,96 1,21 1,35 Pemupukan II 0,67 0,67 0,06 0,06 0,61 0,61 0,77 0,77 0,28 0,28 Menyulam 0,41 0,41 0,46 0,46 0,34 0,20 0,39 0,39 1,14 1,14 Menaikkan dan menurunkan net saat musim hujan 1,79 0,58 2,20 1,16 1,28
Pemanenan Memanen sayuran, 1,58 1,58 0,47 0,47 1,45 1,45 1,72 1,72 1,45 1,45 Total Kebutuhan tenaga kerja 18,5 20,5 4,56 4,73 20,7 22,2 14,7 16,9 16,1 17,6
Keterangan : K : musim kemarau H : musim penghujan
Pada usahatani kangkung, bayam merah, dan bayam hijau, benih ditebar
begitu saja di bedengan tanam sehingga kerapatan tanamannya jauh lebih tinggi
daripada tanaman caisin dan selada. Berbeda halnya dengan selada dan caisin
yang memiliki jarak tanam tersendiri yakni antar tanam berjarak kurang lebih 12
cm x 12 cm. Adanya jarak tanam tersebut menyebabkan di sela-sela tanaman
memungkinkan tumbuhnya gulma sehingga memerlukan penyiangan. Biasanya
penyiangan dilakukan sekaligus dengan penggaruan tanah untuk menggemburkan
tanah di sela-sela tanaman. Jarak tanam tersebut adalah lebih kecil daripada jarak
tanam ideal untuk tanaman selada dan caisin. Susila (2006) mengutarakan bahwa
jarak tanam selada adalah 20 cm x 20 cm atau 20 cm x 25 cm sedangkan jarak
tanam caisin 40 cm x 40 cm atau 20 cm x 20 cm. Hal tersebut akan berpengaruh
langsung pada produktivitas sayuran per bedengnya.
71
Tabel 8 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja musim penghujan
setiap aktivitas usahatani adalah lebih besar daripada musim kemarau.
Penyebabnya antara lain penggemburan tanah lebih sulit karena tanah menjadi
lebih lengket untuk dicangkul sehingga memerlukan waktu yang lebih lama.
Selain itu pada musim penghujan, petani harus membuka paranet setiap harinya
untuk menjemur sayurannya agar terhindar dari serangan fungi yang terutama
menyerang tanaman bayam. Pada saat musim kemarau, aktivitas penyiraman
membutuhkan curahan tenaga kerja yang lebih tinggi daripada musim penghujan.
Rata-rata kebutuhan tenaga kerja pada musim penghujan adalah 9 persen lebih
tinggi daripada musim kemarau.
Dalam aktivitas budidaya sayuran organik, petani-petani seringkali
membutuhkan bantuan tenaga kerja dari luar keluarga. Sebagian besar tenaga
kerja yang disewa digunakan untuk membantu kegiatan pemanenan. Jadwal
pengiriman sayuran dilakukan setiap hari Selasa dan Sabtu maksimal pukul 09.00
WIB. Karakteristik sayuran yang tidak memiliki waktu simpan yang lama maka
mendorong petani untuk memanen sayuran pada pagi harinya. Terkadang
beberapa petani melakukan pemanenan pada hari Senin atau Jumat sore untuk
memenuhi jadwal pengiriman sayuran. Tenaga kerja luar keluarga disewa
digunakan untuk mempercepat proses pemanenan sayuran.
Informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja setiap jenis sayuran menjadi
dasar pada penentuan koefisien fungsi kendala tenaga kerja pada MUSOT yang
dibangun. Tidak adanya dimensi waktu produksi yang diperhitungkan dalam
penelitian ini maka pada koefisien fungsi kendala tenaga kerja sayuran organik
diasumsikan menggunakan data kebutuhan tenaga kerja pada musim kemarau.
6.1.4. Produksi Sayuran Organik dan Limbah Sayuran
Saat ini seluruh sayuran yang dihasilkan dijual kepada ICDF. Padahal
pasar sayuran organik cukup terbuka lebar bagi petani sayuran organik di Desa
Karehkel. Berdasarkan keterangan dari ketua Poktan Sugih Tani, cukup banyak
perusahaan yang menawarkan kerjasama dengan para petani sayuran organik Desa
Karehkel. Bahkan ada salah satu pihak yang menawarkan kerjasama ekspor
sayuran organik. Namun hal tersebut terkendala dengan ketersediaan teknologi
dan modal petani sayuran organik itu sendiri. Selain itu, dari segi persepsi petani
72
merasa memiliki hutang budi dengan ICDF yang selama ini telah membantu dan
membina petani organik di Karehkel sehingga tidak memiliki keberanian untuk
menjalin kerjasama dengan pihak lain. Petani sayuran organik sangat memerlukan
penyuluhan dan penyadaran terhadap berbagai macam potensi pasar yang sangat
besar bagi produk-produk organik.
Kegiatan produksi sayuran organik di Desa Karehkel dilakukan sesuai
dengan permintaan ICDF, baik dalam jumlah pengusahaan, waktu tanam, dan
waktu panen. Produksi sayuran organik tiap bulannya oleh keenam petani cukup
besar yakni rata-rata dalam sebulan petani menjual selada sebanyak 111,64 kg,
caisin mencapai 464,69 kg, kangkung sebanyak 590,17 kg, dan bayam hijau
mencapai 487,7 kg tiap bulannya. Penjualan bayam merah untuk setiap bulannya
masih sangat rendah yakni 20,84 kg. Data penjualan tersebut dapat
menggambarkan permintaan aktual setiap jenis sayuran organik per bulan oleh
ICDF. Tabel 9 berikut ini akan menyajikan penjualan masing-masing jenis
sayuran organik oleh keenam petani sayuran organik di Desa Karehkel.
Tabel 9. Penjualan Tiap Jenis Sayuran Organik oleh Enam Petani Sayuran Organik Periode Juli 2009 – Maret 2010
Bulan Jenis Sayuran (kg)
Selada Caisin Kangkung Bayam Merah Bayam Hijau
Juli 2009
361.08 503.919
570.472
Agustus2009 52.78 248.88 330.759
525.168
September 2009 280.111 279.36 282.906
575.904
Oktober 2009 7.98 473.616 747.63 26.26 726.6
November 2009 6.156 391.716 781.092 51.74 397.32
Desember 2009 26.22 789.048 833.391 4.94 556.8
Januari 2010 238.032 574.938 391.482 8.84 429.48
Februari 2010 210.9 665.847 644.085 33.28 185.16
Maret 2010 70.908 397.683 796.302 0 422.28
Sumber: ICDF (2010)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa saat ini permintaan
sayuran organik di Desa Karehkel dipenuhi dengan aktivitas produksi yang
dilakukan oleh enam orang petani sayuran organik. Adanya rencana perluasan
areal tanam sayuran organik oleh ICDF dan rencana GPW untuk menjadikan
73
Poktan Sugih Tani sebagai sentra sayuran organik perlu didukung oleh adanya
peningkatan pasar sayuran organik. Rencana tersebut akan berdampak langsung
terhadap peningkatan jumlah produksi setiap bulannya yang disebabkan karena
seluruh anggota Poktan Sugih Tani (29 petani sayuran) akan menjadi petani
sayuran organik.
Tabel 10. Asumsi Permintaan Setiap Jenis Sayuran Organik pada Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu
Jenis Sayuran Rata-rata Jumlah Permintaan per Bulan (kg)
Kondisi aktual (6 orang petani) 1 Orang Petani 29 Orang Petani
Selada 111.64 18.61 539.69 Kangkung 590.17 98.36 2852.44 Caisin 464.69 77.45 2246.05 Bayam merah 20.84 3.47 100.63 Bayam hijau 487.69 81.2 2354.80
Adanya keterbatasan aksesibilitas data permintaan pasar sayuran organik
ICDF setiap bulannya maka dalam permodelan usahatani sayuran organik ini
memerlukan pendekatan untuk menentukan kendala jumlah permintaan sayuran
setiap bulannya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan data
penjualan sayuran organik aktual pada Tabel 10 di atas adalah sebagai gambaran
permintaan sayuran organik tiap bulannya untuk enam orang petani sayuran
organik sehingga permintaan setiap satu orang petani petani sayuran organik dan
permintaan sayuran organik 29 orang petani dapat dilihat pada tabel di atas.
Informasi rata-rata jumlah permintaan sayuran organik untuk 29 orang petani akan
menjadi acuan dalam penentuan kendala permintaan sayuran organik pada model
usahatani sayuran organik terpadu yang dibangun.
Setiap sayuran yang disetorkan kepada ICDF akan mengalami proses
sortasi sehingga terdapat limbah sayuran organik. Selama ini limbah sayuran
sortasi tersebut masih belum termanfaatkan dan cenderung hanya dibuang saja.
Sebenarnya jumlah sayuran yang diproduksi petani adalah lebih besar daripada
jumlah penjualan sayuran aktual (enam orang petani) seperti yang tercantum pada
Tabel 10. Jumlah produksi sayuran dipengaruhi oleh musim. Begitu juga dengan
besarnya limbah sayuran sortasi. Potensi limbah sayuran organik yang dapat
74
mencapai 30 persen dari total sayuran organik yang diproduksi dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Rencana GPW untuk menerapkan pertanian
terpadu di Desa Karehkel selain untuk meningkatkan keuntungan atau pendapatan
petani juga bertujuan untuk memanfaatkan potensi limbah yang dihasilkan dari
aktivitas budidaya sayuran organik.
Pada kondisi aktual, jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran sortasi
dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan misalnya, jumlah produksi bayam
hijau akan lebih sedikit karena banyak yang terserang penyakit sehingga proporsi
limbah sortasi bayam hijau akan lebih banyak daripada musim kemarau. Tanaman
yangcenderung stabil jumlah produksinya adalah kangkung. Informasi produksi
sayuran organik dan limbah sayuran organik per bedeng pada musim kemarau
yang tercantum pada Jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran per bedeng
dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Produksi Sayuran dan Limbah Sortasi per Bedengan Berukuran 23,9 m2 pada Musim Penghujan dan Musim Kemarau
Jenis
Sayuran Musim Produksi
Sayuran/bedeng (kg/bedeng)
Proporsi limbah (%)
Produksi Limbah sayuran/bedeng
(kg/bedeng) Selada Kemarau 15.56 30.00 4.67 Hujan 10.89 14.29 1.56 Caisin Kemarau 24.57 20.00 4.91 Hujan 29.48 16.67 4.91 Kangkung Kemarau 46.68 16.67 7.78 Hujan 46.68 16.67 7.78 Bayam merah Kemarau 21.97 25.00 5.49
Hujan 10.98 30.00 3.29 Bayam hijau Kemarau 24.90 12.00 2.99
Hujan 9.96 20.00 1.99
Tabel 11 akan menjadi acuan dalam penentuan koefisien pada kendala
transfer produk sayuran organik MUSOT. Harga jual sayuran organik per
kilogramnya pada model linear ditentukan berdasarkan harga beli masing-masing
jenis sayuran oleh ICDF. Harga beli selada oleh ICDF adalah Rp 9.000,00 per
kilogram; kangkung Rp 5.000,00 per kilogram; caisin Rp 8.000,00 per kilogram;
bayam hijau dan bayam merah adalah sama yakni Rp 6.000,00 per kilogram.
75
Keberadaan limbah sayuran juga memiliki potensi untuk dijual atau
dimanfaatkan. Limbah sayur berasal dari sayuran organik yang tidak lolos sortasi.
Proses sortasi dilakukan sebanyak dua kali yakni di tingkat petani dan pada saat
sayuran disetorkan ke ICDF. Terkadang petani menjual sayuran yang tidak lolos
sortir kepada siapa saja yang berminat dengan jumlah dan harga yang tidak
menentu. Terkadang petani juga menjual kepada tengkulak yang kebetulan sedang
memborong sayuran non organik yang banyak terdapat di sekitar lahan petani
sayur organik. Limbah sayuran organik tersebut masih layak konsumsi dan masih
dapat dijual namun petani seringkali tidak memanfaatkan limbah sayur tersebut
baik untuk dikonsumsi maupun dijual.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya limbah sayuran organik
memiliki nilai pasar. Pada penelitian ini, nilai limbah sayuran organik dihitung
dengan pendekatan biaya tenaga kerja untuk memanen sayuran setiap
kilogramnya. Adanya produksi sayuran per bedeng yang berbeda-beda antar
setiap jenis sayuran maka memerlukan pendekatan untuk menghitung harga
limbah sayuran per kilogramnya. Pendekatan yang dilakukan adalah berdasarkan
biaya tenaga kerja untuk memanen setiap kilogram sayuran. Tabel 12 akan
menunjukkan pendekatan untuk memperhitungkan harga jual limbah sayuran
organik.
Tabel 12. Perhitungan Harga Jual Limbah Sayuran Organik Berdasarkan Biaya Tenaga Kerja Pemanenan
Jenis sayuran
Kebutuhan HOK untuk
Panen (HOK)
Produksi sayuran/bedeng
(kg/bedeng)
Tenaga Kerja
Panen/kg (HOK/kg)
Upah Tenaga Kerja Pria (Rp/HOK)
Biaya tenaga kerja panen /kg (Rp/kg)
Selada 0.158 15.56 0.0101430 25000 253.58
Caisin 0.145 24.57 0.0059217 25000 148.04
Kangkung 0.047 46.68 0.0010062 25000 25.16
Bayam merah 0.172 21.97 0.0078302 25000 195.75
Bayam hijau 0.145 24.9 0.0058276 25000 145.69
Rata-rata Harga Jual Limbah Sayuran per kilogram 153.64
76
Berdasarkan Tabel 12 dapat diperoleh informasi bahwa harga jual limbah
setiap kilogramnya adalah Rp 153,64. Nilai tersebut diperoleh dengan merata-
ratakan harga limbah tiap jenis sayuran yang secara langsung yang dipengaruhi
oleh banyaknya kebutuhan HOK untuk aktivitas pemanenan dan jumlah produksi
sayuran per bedengnnya. Harga limbah sayuran per kilogram setiap jenis sayuran
diperoleh dengan mengalikan kebutuhan tenaga kerja untuk memanen sayuran
tiap kilogramnyadengan upah tenaga kerja yang dalam hal ini disetarakan dengan
upah tenaga kerja pria di Desa Karehkel. Berdasarkan informasi pada Tabel 12
maka harga setiap kilogram limbah sayuran yang dijual pada MUSOT adalah Rp
153,64.
6.2. Usahaternak Domba
6.2.1. Kebutuhan Input Produksi Domba
Rata-rata setiap peternak domba di Desa Karehkel memiliki enam domba
yang biasanya terdiri dari satu domba jantan dan sisanya adalah domba betina.
Kandang yang digunakan berbentuk panggung dan rata-rata memiliki luasan 9,92
m2 dan berkapasitas kurang lebih enam ekor domba. Konstruksi kandang terbuat
dari kayu-kayu hutan yang didapat dari hutan rakyat di sekitar rumah warga.
Sebagian besar kandang tidak bersekat sehingga bercampur antara indukan jantan,
indukan betina, dan anakannya. Pada beberapa peternak terdapat penyekatan
kandang namun tidak terlalu besar karena hanya ditujukan untuk mengawinkan
domba.
Aktivitas ternak domba di Desa Karehkel masih dilakukan secara
tradisional sehingga input produksi yang diperlukan sangat sederhana. Input
produksi ternak domba adalah pakan dan obat-obatan. Obat yang diberikan
kepada domba adalah obat diare dan pemberiannya tidak menentu yakni hanya
pada saat domba diare. Rata-rata petani memberikan obat diare sebutir per bulan
untuk setiap domba yang dipelihara. Biaya produksi per ekor domba pada model
sayuran organik terpadu adalah sebesar Rp 500,00 yang tidak lain merupakan
harga obat diare per butirnya.
Sebagian besar domba-domba dipelihara secara semi intensif. Pada pagi
hari sampai dengan menjelang sore hari domba digembalakan. Pemilik hewan
77
ternak tetap mencari pakan untuk persediaan pakan ternak saat malam sampai
keesokan harinya. Beberapa peternak tidak menggembalakan dombanya dan
pakan dipenuhi dengan hijauan yang dicarinya. Berdasarkan pengamatan di
lapangan terhadap responden peternak domba menunjukkan bahwa setiap ekor
domba diberi pakan sebanyak 6,25 kg setiap harinya. Pada model linear yang
dibangun dalam penelitian ini pakan hijauan atau rumput yang dicari oleh petani
tidak dinilai dengan uang namun dinilai dengan curahan tenaga kerja untuk
mencari rumput. Curahan tenaga kerja untuk mencari rumput tersebut kemudian
dimasukkan pada kendala tenaga kerja aktivitas ternak domba.
6.2.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Domba
Secara garis besar tenaga kerja pada usahaternak dialokasikan pada dua
kegiatan yakni pemeliharaan ternak dan mencari pakan hijauan lapangan.
Peternak membersihkan kandang dan membersihkan kotoran dalam sebulan
sebanyak empat kali. Aktivitas mencari pakan rumput hijauan dilakukan setiap
hari. Bisanya peternak mencari hijauan lapang (rumput dan daun-daunan) dari
pukul 09.00 sampai dengan pukul 12.00. Pada pola pemeliharaan domba intensif,
pakan hijauan lapangan yang dicari tersebut digunakan untuk pakan ternak sampai
keesokan harinya. Biasanya pakan diberikan pada waktu siang hari, menjelang
malam, dan pada pagi harinya. Kebutuhan tenaga kerja per ekor domba dalam
sebulan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Domba padaUsahaternak Domba dalam Waktu Sebulan
No Jenis Kegiatan Konversi HOK/ ekor
1 Membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran domba 0.11 2 Mencari rumput 3.21 3 Memberi pakan 2.68 Total kebutuhan tenaga kerja per ekor domba per bulan 6.00
Tabel 13 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja terbesar adalah pada
aktivitas mencari pakan hijauan lapang. Pada musim penghujan hijauan lapang
cukup mudah didapatkan. Pada saat musim kemarau tiba, peternak terkadang
harus mencari hijauan lapang di tempat yang cukup jauh. Meskipun demikian,
78
secara keseluruhan hijauan lapang yang menjadi bahan pakan utama ternak di
Desa Karehkel tersedia sepanjang tahun. Curahan tenaga kerja untuk mencari
rumput sebanyak 3,21HOK dapat menghasilkan rumput sekitar 187,5 kg sehingga
setiap kilogram rumput yang disediakan bagi domba memerlukan curahan tenaga
kerja sebanyak 0,02 HOK. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka pada
model linier usahatani terpadu yang dibangun curahan tenaga kerja dalam
keluarga akan dibedakan menjadi dua yakni curahan tenaga kerja untuk
pemeliharaan domba yang meliputi aktivitas membersihkan kandang,
membersihkan kotoran domba, dan memberi pakan sedangkan aktivitas mencari
rumput dibedakan menjadi variabel tersendiri. Kebutuhan tenaga kerja per ekor
domba per bulan adalah sebanyak 2,79 HOK dan kebutuhan tenaga kerja untuk
setiap kilogram rumput yang disediakan adalah 0,02 HOK.
6.2.3. Produksi Domba
Keberadaan ternak domba di Desa Karehkel sebagian besar ditujukan
sebagai tabungan. Ternak tersebut akan dijual apabila pemilik domba memiliki
kebutuhan yang sangat mendesak sehingga aktivitas penjualan domba dilakukan
secara tidak menentu. Pada model linier usahatani terpadu yang dibangun
penerimaan peternak domba berasal dari pertambahan bobot hidup domba.
Pertambahan bobot hidup harian domba dan kambing adalah relatif sama. Ella et
al. (2003) menyebutkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan harian
kambing adalah 0,047 kg atau 1,41 kg per bulan. Harga per kilogram daging
domba di tingkat produsen adalah Rp 21.000,0011.
Selain potensi berupa pertambahan bobot hidup domba, maka hasil
sampingan ternak domba berupa kotoran domba juga memiliki nilai ekonomi.
Peternak domba di Desa Karehkel sangat jarang menjual limbah domba. Apabila
ada yang membutuhkan petani biasanya memberikan saja kotoran domba tersebut.
Terkadang ada yang membeli kotoran dengan harga Rp 5.000,00 per karung yang
berisi sekitar 35 kg namun hal tersebut jarang terjadi karena mayoritas usahatani
tanaman di Desa Karehkel kurang meminati penggunaan pupuk kotoran domba
dalam jumlah besar. Penyebabnya adalah sifat dari kotoran domba itu sendiri yang
11 Harga Komoditas Ternak Bulan Oktober 2009. www.disnakan.bogorkab.go.id [April 2010]
79
banyak mengandung biji-biji gulma. Pada saat digunakan untuk pupuk akan
sangat banyak gulma yang tumbuh sehingga perlu sering disiangi.
Limbah domba berasal dari kotoran domba dan urin domba yang
bercampur dengan sisa pakan. Balitnak Bogor (2003) menyebutkan bahwa setiap
ekor domba memerlukan pakan hijauan segar sebanyak 5,35 kg setiap harinya
atau 160,5 kg setiap bulannya. Feses yang dihasilkan adalah 0,633 kg setiap
harinya sehingga dari 100% pakan yang dikonsumsi yang dikeluarkan sebagai
feses adalah sekitar 11,83%. Apabila rata-rata setiap domba per harinya diberi
pakan sebanyak 6,25 kg maka sisa pakan per harinya adalah sebanyak 0,9 kg. Jika
dikalkulasikan maka limbah domba (sisa pakan dan kotoran) yang dihasilkan per
harinya diperkirakan mencapai 1,533 atau selama 30 hari (satu bulan) setiap ekor
domba menghasilkan sekitar 46 kg limbah domba. Keberadaan limbah domba
yang cukup melimpah sangat berpotensi sebagai bahan baku pupuk kandang bagi
usahatani tanaman. Adanya karakteristik kotoran domba sebagai pupuk yang
kurang disukai petani menyebabkan sangat perlunya penanganan kotoran domba
secara khusus sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Saat ini GPW telah
mengetahui teknologi pembuatan bokashi pupuk kandang dengan kebutuhan
bahan baku 28,8% berasal dari kotoran domba. Oleh karena itu, pengembangan
usaha produksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel diharapkan dapat
mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak domba.
6.3. Usahaternak Kelinci
6.3.1. Kebutuhan Input Produksi Kelinci
Aktivitas ternak kelinci di Desa Karehkel dapat dikatakan sebagai sebuah
aktivitas peternakan yang tergolong baru karena diintroduksikan pada tahun
2009. Pada awalnya kelinci tersebut merupakan bantuan dari program padat karya
Disnakertrans Bogor untuk menggerakan ekonomi masyarakat petani.
Sebelumnya sama sekali tidak ada aktivitas ternak kelinci sehingga sampai
dengan saat ini tingkat penerapan teknologi dan pengetahuan peternak dalam
budidaya kelinci masih rendah.Bangunan kandang berbahan baku bambu dan
setiap ekor kelinci dikandangkan satu per satu secara terpisah dengan kandang
baterai (kandang individu). Jenis kelinci yang banyak dibudidayakan adalah
80
kelinci hias lokal. Pada beberapa peternak memiliki indukan kelinci angora
namun jumlahnya sangat sedikit dikarenakan harga indukan angora yang sangat
mahal. Peternak kelinci yang terbesar di Desa Karehkel hanya memiliki bangunan
yang berkapasitas sekitar 64 kandang baterai.
Sebagian besar pakan kelinci di Desa Karehkel dipenuhi dengan rumput
yang berasal dari lapangan yakni sekitar 67,32 persen dan sisanya sebanyak 32,68
berasal dari dedak. Adanya penyakit buduk pada kelinci menjadi suatu
permasalahan tersendiri bagi peternak, terutama bagi peternak yang memiliki
modal kecil. Pencegahan penyakit buduk dapat dilakukan dengan memvaksin
ternak kelinci. Responden peternak kelinci yang memiliki indukan kelinci
sebanyak 35 ekor memerlukan vaksin buduk dengan volume isi 50 cc berharga Rp
250.000,00 digunakan untuk dua bulan. Diperkirakan setiap bulannya
membutuhkan biaya Rp 125.000,00 untuk memvaksin 35 ekor indukan kelinci
tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari responden maka kebutuhan biaya
produksi per ekor kelinci non pakan hijauan lapang setiap bulannya dapat dilihat
pada Tabel 14 berikut ini. Biaya produksi tersebut merupakan acuan dalam
menentukan koefisien biaya pada aktivitas ternak kelinci per ekor indukan pada
model linier yang dirancang dalam penelitian ini. Pakan berupa hijauan lapang
tidak dimasukkan dalam komponen biaya per ekor indukan kelinci karena setiap
kilogram rumput yang disediakan oleh peternak diukur dengan curahan tenaga
kerja pada kendala tenaga kerja model sayuran organik terpadu.
Tabel 14. Biaya Produksi Kelinci per Bulan di Desa Karehkel
Komponen Biaya Kebutuhan Input Satuan Harga Satuan
(Rp)
Total Biaya
(Rp)
Dedak 2 kg 1.500 3.000
Obat suntik 0,357143 cc 10.000 3571,43
Total biaya 6.571,43
Aktivitas ternak kelinci pada penelitian ini didefinisikan sebagai aktivitas
memelihara indukan kelinci betina. Asumsi tersebut digunakan untuk
menyederhanakan MUSOT yang dibangun pada penelitian ini karena
pengusahaan ternak kelinci di Desa Karehkel ditujukan untuk dapat menghasilkan
anakan kelinci hias sehingga aktivitas produksi anakan kelinci hias dikaitkan
81
dengan memelihara indukan betina. Peternak kelinci di Desa Karehkel, biasanya
menggunakan seekor pejantan untuk mengawini 6-10 ekor.
6.3.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Kelinci
Seperti halnya pada aktivtas ternak domba, kegiatan pada ternak kelinci
dibedakan menjadi dua yakni kegiatan pemeliharaan kelinci dan kegiatan untuk
mencari hijauan lapang. Kegiatan pemeliharaan kelinci meliputi membersihkan
kandang, memberi pakan kelinci, memberikan obat, dan mengawinkan kelinci.
Seekor kelinci memiliki masa bunting selama sebulan dan masa menyusui
anaknya selama dua bulan. Indukan betina kelinci siap untuk dikawinkan pada
saat sudah tidak menyusui. Para peternak kelinci di Desa Karehkel sebagian besar
menjual anakan kelinci saat berusia satu bulan sehingga indukan betina kelinci
dapat segera dikawinkan dan menghasilkan anakan lagi.
Tabel 15 menunjukkan kebutuhan tenaga kerja untuk memelihara kelinci
selama satu bulan dengan adanya aktivitas mengawinkan yakni disertai dengan
buntingnya indukan kelinci dan usahaternak kelinci dengan seluruh indukan
menyusui. Total kebutuhan tenaga kerja setiap ekor kelinci dalam satu bulan pada
saat indukan kelinci bunting dan menyusui masing-masing sebanyak 0,745 HOK
dan 0,841 HOK.
Tabel 15. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Kelinci pada Setiap Bulan oleh Responden Peternak Kelinci
Jenis Kegiatan Kebutuhan Tenaga Kerja
Bunting (HOK) Kebutuhan Tenaga Kerja
Menyusui (HOK)
Membersihkan kandang 0,201 0,201
Mencari rumput 0,067 0,167
Memberi pakan 0,469 0,469
Memberikan obat 0,004 0,004
Mengawinkan 0,004
Jumlah kebutuhan tenaga kerja 0,745 0,841
Tabel 15 menunjukkan bahwa aktivitas memberi pakan kelinci adalah
aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbanyak yakni rata-rata sekitar
59,4 persen dari total curahan tenaga kerja per ekor kelinci. Hal ini disebabkan
karena peternak harus meracik pakan terlebih dahulu misalnya mengencerkan
82
dedak dan pakan rumput perlu di potong-potong sehingga curahan ternaga kerja
yang dibutuhkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan aktivitas lain dalam
usahaternak kelinci.
Selain itu, Tabel 15 juga menunjukkan bahwa mencari pakan hijauan
ternak kelinci bukanlah aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbesar.
Kondisi ini tentu saja berbeda dengan aktivitas ternak domba dimana aktivitas
mencari hijauan lapang memerlukan curahan tenaga kerja terbanyak.
Penyebabnya adalah kebutuhan pakan hijauan per ekor kelinci adalah jauh lebih
kecil daripada domba sehingga curahan kerja yang digunakan untuk mencari
pakan hijauan kelinci adalah jauh lebih sedikit.
Kebutuhan pakan kelinci juga berbeda-beda tergantung pada kondisi
indukan yang sedang bunting atau menyusui. NRC (1977) dalam Ensminger
(1991) diacu dalam Muslih et al. (2005) menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan
pakan kelinci saat bunting dan menyusui masing-masing adalah 0,183 kilogram
per hari dan 0.521 kilogram per hari. Dalam sebulan maka kebutuhan pakan per
ekor kelinci saat bunting adalah mencapai 5,49 kilogram dan saat menyusui
sebanyak 15,6 kilogram. Adanya kendala dalam menghitung jumlah rumput yang
diarit setiap harinya maka khusus untuk ternak kelinci, penyediaan pakan per ekor
kelinci baik pada saat bunting maupun menyusui mengacu pada Muslih et al.
(2005). Setiap bulannya, peternak responden dengan kepemilikan indukan ternak
35 ekor selalu menggunakan dedak sebagai campuran pakan kelinci sebanyak 70
kilogram. Maka seekor kelinci mengkonsumsi dedak dalam sebulan sebanyak 2
kilogram. Berdasarkan kebutuhan pakan kelinci menurut Muslih et al. (2005)
maka pakan hijauan kelinci saat bunting adalah 3,49 kilogram per ekor sedangkan
pada saat menyusui sebanyak 13,6 kilogram. Dari Tabel… di atas dapat diketahui
bahwasanya setiap kilogram rumput yang disediakan rata-rata memerlukan
curahan tenaga kerja sebesar 0,02 HOK.
Model yang dibangun pada penelitian ini membedakan kegiatan ternak
kelinci menjadi dua bagian yakni aktivitas memelihara kelinci dan aktivitas
mencari pakan hijauan lapang. Kebutuhan tenaga kerja per ekor kelinci untuk
kegiatan pemeliharaan kelinci saat terdapat aktivitas mengawinkan adalah
83
sebanyak 0,679 HOK sedangkan jika tidak terdapat aktivitas mengawinkan kelinci
kebutuhan tenaga kerjanya adalah sebanyak 0,675 HOK.
6.3.3. Produksi Kelinci
Mayoritas kelinci yang dibudidayakan oleh peternak di Desa Karehkel
adalah kelinci hias lokal sehingga produk utama berupa anakan kelinci hias.
Setiap anakan kelinci hias dihargai Rp 10.000,00. Setiap indukan kelinci mampu
menghasilkan anakan antara 8-10 ekor. Derajat kematian usahaternak kelinci
mencapai 25 persen sehingga rata-rata kelinci yang hidup adalah sebanyak 7 ekor.
(Farrell dan Raharjo, 1984). Peternak kelinci di Desa Karehkel mengantisipasi
risiko kerugian tersebut dengan menjual anakan kelinci pada usia yang masih
muda yakni saat berumur satu bulan.
Saat ini, kesadaran masyarakat akan kelebihan limbah kelinci sebagai
pupuk organik semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
banyaknya penelitian dan mulai ada permintaan limbah kelinci sebagai bahan
baku pupuk organik. Petani salak di Yogyakarta misalnya, mereka senantiasa
mencari pupuk kelinci karena sangat baik untuk pertumbuhan tanaman dan buah.
Harga pupuk kotoran kelinci dapat mencapai Rp 7.500,00 per kilogramnya
sedangkan urin kelinci mencapai Rp 5.000,00 per liternya12. Harga urin kelinci
dan kotoran kelinci yang belum diolah menjadi pupuk di Cileungsi, Pancawati
yang berlokasi di sekitar Sukabumi adalah lebih murah daripada harga di
Yogyakarta. Harga urin kelinci di Cileungsi hanya berkisar antara Rp 1.000,00-Rp
1.500,00 sedangkan harga kotoran kelinci per 25 kilogramnya berkisar antara Rp
10.000,00-Rp 15.000,00 (Setyadi 2009).
Produksi urin kelinci dan feses kelinci per harinya sangat bergantung pada
bobot badan hidup kelinci. NRC (1977) dalam Ensminger (1991) diacu dalam
Muslih et al. (2005) kembali mengutarakan bahwasanya bobot badan hidup
kelinci saat bunting berkisar antara 2,3-6,8 kilogram atau rata-rata 4,55 kilogram
sedangkan pada saat menyusui adalah 4,5 kilogram. Setiap kilogram bobot badan
seekor kelinci berpotensi untuk menghasilkan urin kelinci sekitar 0,01-0,035 liter
per hari atau rata-rata 0,0225 liter per hari dan kotoran kelinci sebanyak 0,028 kg
12 Mencoba Hoki Berbisnis Kelinci. www.agrina..com [November 2006]
84
per hari13. Dalam jangka waktu sebulan maka seekor kelinci bunting dan
menyusui berpotensi untuk menghasilkan urin masing-masing sebanyak 3,07 liter
dan 3,04 liter. Satuan liter urin kelinci dalam penelitian ini akan diasumsikan
setara dengan satuan kilogram urin kelinci.
Produksi feses kelinci setiap ekor dalam sebulan dapat mencapai sekitar
3,822 kilogram pada kondisi kelinci bunting dan 3,78 kilogram pada saat kelinci
menyusui. Biasanya feses urin tercampur dengan sisa pakannya. Sisa pakan
kelinci dapat mencapai 75 persen dari total pakan kelinci yang diberikan14.
Produksi kotoran dan urin anakan kelinci diabaikan dalam penelitian ini. Hal ini
disebabkan karena produksi limbah kelinci ditentukan berdasarkan bobot badan
kelinci. Bobot badan anakan kelinci sangatlah kecil yakni sekitar 55 gram
sehingga dalam jangka waktu sebulan tidak mengalami peningkatan bobot badan
yang begitu signifikan (Lebas et al. 1986). Pada penelitian ini, harga jual masing-
masing limbah kelinci tersebut diasumsikan memiliki harga yang sama dengan
harga limbah di Cileungsi karena di sekitar Bogor masih sangat sulit untuk
menelusuri harga pasar limbah kelinci tersebut.
6.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi
6.4.1. Kebutuhan Input Produksi Pupuk Bokashi
Jenis pupuk bokashi yang diproduksi di Desa Karehkel adalah bokashi
pupuk kandang karena sebagian besar bahan bakunya (sekitar 59%) berasal dari
limbah ternak. Adanya proses fermentasi bahan-bahan pupuk menggunakan MOL
(mikroorganisme lokal) dapat mempercepat penguraian bahan organik kotoran
ternak tersebut. Deptan mendefiniskan bokashi pupuk kandang dengan suatu
aktivitas memproduksi kompos dengan bahan tertentu yang melibatkan proses
fermentasi bahan baku kompos berupa kotoran ternak15. Bahan baku yang
digunakan untuk membuat pupuk bokashi di Desa Karehkel antara lain kotoran
domba, kotoran kelinci, urin kelinci, sampah dedaunan, molasses (air gula), MOL,
dan arang sekam. Penggunaan MOL dapat mempercepat proses pengomposan. 13 The Rabbit. www.quavet.i12.com%2FRabbit.htm&anno=2 [Mei 2010] 14 Memproduksi Pupuk Organik dari Kelinci. http://foragri.blogsome.com/memproduksi-pupuk-
organik-dari-kelinci/ [Mei 2010] 15 Bokashi (Bahan Organik Kaya Akan Sumber Hayati).
http://www.deptan.go.id/feati/teknologi/BOKASHI.pdf [Juli 2010]
85
Pengomposan pupuk kandang secara alami memakan waktu antara 3-4 bulan
sedangkan dengan menggunakan MOL pengomposan hanya memakan waktu
sekitar dua minggu (Setiawan 2010). MOL yang diproduksi oleh GPW terdiri dari
berbagai macam bahan baku yang mudah didapatkan di sekitar desa misalnya
bodogol pisang, berenuk, dan rebung.
Kebutuhan tenaga kerja tersebut meliputi aktivitas memproduksi MOL
(mikroorganisme lokal) dan memproduksi bokashi itu sendiri. MOL yang
dimaksud dalam penelitian ini dikhususkan pada MOL yang berbahan dasar
bodogol pisang. Ketersediaan bodogol pisang yang cukup banyak di Desa
Karehkel sangat memungkinkan untuk dapat memproduksi MOL sepanjang
tahun. Bahan-bahan MOL lainnya seperti rebung dan buah berenuk yang cukup
terbatas ketersediaannya serta keong sawah yang seringkali beraroma tidak sedap
saat dibuat menjadi MOL menjadi kendala tersendiri dalam memproduksi MOL
dengan bahan-bahan tersebut. Secara garis besar, aktivitas memproduksi MOL
memerlukan bahan baku berupa bodogol pisang, air kelapa, molasses (air gula
jawa), dan air besar. Biaya produksi setiap liter MOL bodogol pisang adalah Rp
475,00. Tabel 16 di bawah ini akan menunjukkan kebutuhan bahan baku dan
biaya produksi berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden produsen
bokashi di Desa Karehkel.
Tabel 16. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Produksi 10 Liter MOL Berbahan Dasar Bodogol Pisang
Bahan Baku Kebutuhan Satuan Harga Satuan (Rp) Total Biaya (Rp)
Bodogol Pisang 1 kg 1000 1000 Air beras 5 liter 100 500 Air kelapa 5 liter 250 1250 Gula 0.25 kg 8000 2000
Total Biaya Produksi 10 Liter MOL Bodogol Pisang 4750
Dalam aktivitas produksi kompos, seringkali terjadi penyusutan bobot
bahan baku kompos yakni sebanyak 30-40 persen (Gaur 1980). Sebanyak 100
kilogram bahan baku yang dikomposkan akan menjadi kompos seberat 60-70
kilogram kompos. Penyusutan bobot bahan baku saat dikomposkan adalah sekitar
35 persen. Adanya penyusutan bobot bahan baku dalam memproduksi bokashi
86
pupuk kandang sebanyak 35 persen menyebabkan dengan bahan baku sebanyak
727,5 kilogram akan menghasilkan bokashi sebanyak 472,875 kilogram.
Berdasarkan teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Karehkel, 58,2
persen bahan baku berasal dari limbah ternak. Hal ini menunjukkan bahwa
teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Krehkel sangat berpotensi untuk
mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak. Kebutuhan bahan lain yang cukup
besar adalah pada kebutuhan sampah daun kering yang diperoleh dengan cara
mengumpulkan di sekitar lokasi produksi. Oleh karena itu, kegiatan mencari
sampah daun kering dimasukkan pada komponen kebutuhan tenaga kerja untuk
memproduksi pupuk bokashi. Kebutuhan molasses dipenuhi dengan membeli
limbah industri gula aren yang ada di sekitar lokasi penelitian. Tabel 17 berikut ini
akan memberikan informasi mengenai kebutuhan pembuatan bokashi pupuk
kandang di Desa Karehkel berdasarkan informasi responden.
Tabel 17. Produksi Bokashi Pupuk Kandang di Desa Karehkel dengan Total Penggunaan Bahan Baku sebanyak 727,5 Kilogram
Bahan Baku Satuan Kebutuhan Bahan Baku Proporsi Bahan Baku (%)
Kotoran kambing Kg 210 28.9 Kotoran lunak kelinci Kg 210 28.9 Sampah daun kering Kg 240 33.0 Sekam Kg 40 5.5 MOL Kg 2.5 0.3 air kelapa Kg 20 2.7 urine kelinci Kg 3 0.4 molases (air gula) Kg 2 0.3 Total kebutuhan bahan baku Kg 727.5 100.0
Komponen biaya per kilogram pupuk bokashi yang diproduksi diperoleh
dengan menjumlahkan seluruh biaya-biaya bahan baku di luar limbah ternak
yakni diantaranya biaya pembelian sekam, biaya bahan baku MOL, biaya
pembelian molasses, dan biaya pembelian air kelapa. Pada kondisi aktual,
kebutuhan input tersebut selalu tersedia sehingga tidak menjadi kendala dalam
model yang dibangun.
Komponen biaya limbah ternak pada model ini dipisahkan sehingga dapat
terlihat keputusan optimal dalam memenuhi kebutuhan bahan baku pupuk baik
dari dalam maupun luar desa. Kebutuhan bahan baku bokashi pupuk kandang
berupa kotoran ternak dibedakan menjadi komponen biaya tersendiri. Harga beli
87
setiap kilogram limbah ternak adalah sama dengan harga jual setiap limbah ternak
yang dihasilkan di Desa Karehkel. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini,
kotoran domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci menghadapai pasar yang sama
sehingga harga setiap limbah tersebut adalah sama dengan harga pasar. Harga
masing-masing limbah ternak tersebut adalah Rp 142,86 per kilogram kotoran
domba, Rp 1.250,00 untuk setiap liter urin kelinci yang dibeli, dan Rp 500,00
untuk setiap kilogram kotoran kelinci. Struktur biaya per kilogram bokashi yang
menjadi acuan dalam penentuan koefisien biaya pada aktvitas memproduksi
pupuk organik bokashi dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.
Tabel 18. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Per Kilogram Bokashi Pupuk Kandang yang Diproduksi
Bahan Baku Satuan
Kebutuhan Bahan Baku untuk 472.875 kg
bokashi (Kg)
Kebutuhan Bahan Baku per Kilogram Bokashi
(kg)
Harga Satuan (Rp)
Biaya (Rp)
Sekam kg 40 0.0846 150 12.69 MOL kg 2.5 0.0053 475 2.51 Air kelapa kg 20 0.0423 250 10.57
Mollases kg 2 0.0042 8000 33.84 Total Biaya per Kilogram Bokashi 59.61
6.4.2. Kebutuhan Tenaga Kerja
Kebutuhan tenaga kerja dalam memproduksi bokashi pupuk kandang tidak
terlalu besar. Produksi bokashi dengan total bahan baku mencapai 727,5 kilogram
hanya membutuhkan curahan tenaga kerja sekitar 5,3 HOK. Kebutuhan tenaga
kerja tersebut sudah termasuk dengan aktivitas memproduksi MOL sesuai dengan
kebutuhan bahan baku pembuatan bokashi. Data mengenai kebutuhan curahan
tenaga kerja produksi pupuk bokashi pada Tabel 19 memiliki periode produksi
selama satu bulan yakni 30 hari. Aktivitas memproduksi MOL yang lebih
sederhana menyebabkan curahan tenaga kerja yang digunakan adalah lebih kecil
daripada aktivitas pembuatan bokashi. Tabel 19 secara lengkap akan
menunjukkan curahan tenaga kerja dalam memproduksi bokahi pupuk kandang
sesuai data yang diperoleh dari responden.
88
Tabel 19. Curahan Tenaga Kerja Pembuatan Bokashi Sebanyak 472,875 Kilogram
Jenis Kegiatan Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK)
Pembuatan MOL (2.5L) Menghaluskan bahan baku (bodogol pisang) 0,050 mencampur bahan 0,006 Pembuatan MOL 0,025 Aktivitas produksi bokashi (472.875kg) Mengumpulkan dan mencampur bahan baku 0,286 Pembuatan kompos 0,286 Pembalikkan kompos 0,357 Mengumpulkan sampah dedaunan kering 4,286 Total Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) 5,296
Secara kesuluruhan, aktivitas mengumpulkan sampah dedaunan kering
membutuhkan curahan tenaga kerja terbesar yakni sekitar 81 persen. Curahan
tenaga kerja untuk memproduksi MOL hanya sebesar 1,53 persen dari total
kebutuhan tenaga kerja total sedangkan sisanya digunakan untuk aktivitas
produksi bokashi. Berdasarkan informasi pada Tabel 19 di atas dapat diketahui
bahwasanya setiap kilogram bokashi yang diproduksi memerlukan curahan tenaga
kerja sekitar 0,01 HOK. Kebutuhan curahan kerja sebanyak 0,01 HOK tersebut
menjadi acuan dalam menentukan koefisien fungsi kendala tenaga kerja model
terintegrasi yang dibangun pada aktivitas produksi pupuk bokashi.
6.4.3. Produksi Pupuk Bokashi
Adanya perbedaan teknologi yang digunakan dalam memproduksi pupuk
bokashi di Desa Karehkel dengan pupuk kotoran ayam yang biasanya digunakan
petani sayuran organik menyebabkan adanya perbedaan harga antara kedua jenis
pupuk tersebut. Kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk organik sama sekali
tidak terdapat perlakuan secara khusus. Kotoran ayam tersebut hanya didiamkan
saja sampai dengan suhunya meningkat kemudian menjadi stabil sehingga dapat
digunakan sebagai pupuk. Berbeda halnya dengan pupuk kandang yang
diproduksi di Desa Karehkel dimana bahan baku mengalami proses fermentasi
sehingga menjadi pupuk bokashi.
Cukup beragamnya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi
bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berdampak pada tingginya biaya
produksi per kilogramnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwasanya harga
89
pokok produksi per kilogram bokashi di Desa Karehkel mencapai Rp 665,97. Jika
dibandingkan dengan harga pasar pupuk kotoran ayam maka tentu saja harga
pupuk bokashi lebih mahal. Kondisi tersebut menimbulkan dugaan bahwa
penggunaan pupuk bokashi untuk kegiatan usahatani sayuran organik kurang
menguntungkan pada tingkat produksi sayuran dan harga sayuran organik yang
sama. Berapapun keuntungan yang diambil oleh produsen kompos untuk setiap
kilogram bokashi yang dijual, harga pupuk bokashi akan tetap lebih mahal
daripada harga kotoran ayam per kilogramnya di pasaran. Pada penelitian ini
diasumsikan produsen pupuk organik menjual pupuk bokashi dengan keuntungan
per kilogramnya sebanyak 10 persen. Perhitungan mengenai HPP pupuk bokashi
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
6.5. Aktivitas Produksi Silase
Adanya rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel merupakan
sebuah upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah yang dihasilkan dari
aktivitas usahatani, salah satunya adalah limbah sayuran. Karakteristik limbah
sayuran yang mudah busuk menjadi salah satu kendala dalam pemanfaatannya
sebagai pakan ternak. Berdasarkan asumsi permintaan sayuran organik setiap
bulannya maka potensi limbah yang dapat dihasilkan per bulannya dapat
mencapai sekitar 1,4 ton. Pengolahan limbah sayuran menjadi silase dapat
menjadi salah satu upaya dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayur
sebagai pakan ternak yang memiliki umur simpan yang lebih lama.
Silase merupakan hijauan pakan ternak yang disimpan dalam wadah
tertutup yang kedap udara sehingga terfementasi dalam keadaann tersebut (Gohl
1981 diacu dalam Maskitono 1990). Dalam pembuatan silase memerlukan
berbagai bahan baku pendukung yakni bahan pengawet dan zat aditif. Bahan
pengawet yang dapat digunakan salah satunya adalah dedak. Zat aditif digunakan
sebagai pemacu aktivitas fermentasi. Zat aditif tersebut terdiri dari bakteri-bakteri
yang berfungsi sebagai pencegah pembusukan dan perombak karbohidrat dan
protein. Penggunaan silase sebagai pakan ternak memiliki beberapa kelebihan
diantaranya pakan ternak lebih awet, memiliki kandungan bakteri asam laktat
yang bersifat sebagai probiotik sehingga dapat memperbaiki konversi pakan,
meningkatkan pertumbuhan berat badan, memperbaiki resistensi penyakit dan
90
natural immunity, dan memiliki kandungan asam organik yang berperan sebagai
growth promoter dan penghambat penyakit (Sapienza dan Keith 1993).
Penggunaan silase untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pakan ternak
sangatlah memungkinkan namun tidak dianjurkan bagi ternak-ternak yang berusia
muda. Mc Donald et al. (1991) menyebutkan bahwa ayam yang berumur sehari
tidak dapat meningkatkan bobot badan karena kurang dapat memanfaatkan zat
makanan dalam bentuk silase (ph 4,6) sehingga metabolisme di dalam tubuh akan
terganggu karena ph rendah menyebabkan enzim pencernaan tidak bekerja secara
optimal, sedangkan pH dalam saluran pencernaan berkisa antara 5-7,5 (basa).
Namun adanya silase dapat memacu pertumbuhan, meningkatkan pertumbuhan
berat badan dan mencegah gangguan pencernaan pada ternak muda. Kajian
lainnya mengenai pemanfaatan silase sebagai pakan ternak menunjukkan bahwa
pada komposisi silase tertentu dapat meningkatkan produksi ternak, tidak
berpengaruh terhadap produksi ternak, atau malah menurunkan produksi ternak
jika dibandingkan dengan dampak penggunaan pakan ternak secara tradisional
(Nikmah 2006; Tonnedy 2006; Asminaya 2007).
Jenis dan takaran bahan baku silase yang tepat memerlukan kajian teknis
tersendiri sehingga silase yang dihasilkan dapat memaksimumkan pertumbuhan
ternak. Penelitian ini tidak membahas aktivitas produksi silase yang sesuai dengan
kebutuhan nutrisi ternak yang dapat memaksimumkan pertumbuhannya. Secara
teknis penggunaan silase untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pakan ternak
adalah memungkinkan sehingga dalam penelitian ini kajian mengenai aktivitas
produksi silase lebih diarahkan pada sisi ekonomi. Aktivitas produksi silase yang
masih jarang dilakukan oleh para peternak menyebabkan data mengenai
kebutuhan input produksi diperoleh dengan studi literatur. Silase dalam penelitian
ini menggunakan bahan baku berupa limbah hijauan sebanyak 95 persen dari total
kebutuhan bahan baku silase. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan silase dapat
menggantikan kebutuhan pakan hijauan yang berbahan dasar limbah sayuran bagi
ternak di Desa Karehkel.
6.5.1. Kebutuhan Input Produksi Silase
Silase yang dilibatkan dalam model memiliki bahan baku utama berupa
limbah sayuran atau limbah organik. Bahan baku lainnya yang digunakan adalah
91
bahan aditif yang berasal dari MOL (mikroorganisme lokal) dan bahan pengawet
berupa dedak. Aktivitas memproduksi silase dengan 100 kilogram bahan baku
utama memerlukan dedak sebanyak 4,89 kilogram (Soegiri et al. 1981). Seperti
halnya pada aktivitas produksi bokashi, dalam memproduksi silase juga terdapat
penyusutan bobot bahan baku. Mc Donald et al. (1991) menyebutkan bahwasanya
penyusutan yang terjadi adalah sekitar 16,5 persen.
Penentuan koefisien biaya per unit aktivitas produksi silase pada model
sayuran organik terpadu yang dibangun didasarkan pada biaya produksi per unit
silase non biaya pembelian bahan baku hijauan. Aktivitas menggunakan bahan
baku hijauan dibedakan menjadi aktivitas tersendiri sehingga model yang
dibangun dapat memberikan informasi mengenai keputusan optimal pemenuhan
kebutuhan hijauan tersebut. Alternatif yang dapat dipilih yakni memanfaatkan
limbah sayuran di dalam desa, membeli limbah organik yang dihasilkan di pasar
yang berada di sekitar Bogor atau kombinasi keduanya. Kebutuhan bahan baku
dan biaya pembelian bahan baku dapat ditunjukkan oleh Tabel 20 berikut ini.
Tabel 20. Kebutuhan Input dan Biaya Non Bahan Hijauan untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram
Bahan Baku Kebutuhan Bahan Baku
(Kg) Satuan Harga Satuan (Rp)
Total biaya variabel (Rp)
Bahan baku hijauan 100 kg 153,64 15.364 MOL 0,01 liter 475 475 Dedak 4,89 kg 1500 7.335 Total 104.9 22.703,75
Adanya penyusutan bobot silase maka berdasarkan total bahan baku silase
pada Tabel 20 menunjukkan banyaknya silase yang dapat diproduksi adalah
sebanyak 87,6 kilogram. Biaya produksi non limbah hijauan silase setiap kilogram
nya adalah Rp 73,4. Harga pasar limbah sayuran organik diasumsikan sama
dengan harga jual limbah sayuran yang dihasilkan pada usahatani sayuran organik
di Desa Karehkel. Selain limbah sayuran organik, usaha produksi silase juga
memiliki alternatif lain pemenuhan kebutuhan bahan baku hijauan. Pada model ini
diasumsikan produsen silase dapat memperoleh bahan baku hijauan berasal dari
limbah organik pasar yang diperoleh dari luar desa. Harga per kilogram limbah
organik pasar adalah diasumsikan sama dengan limbah sayuran organik yang
92
dihasilkan di Desa Karehkel karena keduanya merupakan produk antara yang
relatif sama dan berada pada pasar yang sama.
6.5.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Silase
Aktivitas memproduksi silase tidak jauh berbeda dengan memproduksi
bokashi pupuk kandang. Bahan-bahan yang ada dikumpulkan menjadi satu
kemudian dibuat tumpukan dan diberi zat aditif. Proses pembuatan silase
dilakukan secara anaerob sehingga bahan baku tidak boleh kontak langsung
dengan udara. Akibatnya tidak ada proses pembalikkan bahan baku yang
dilakukan secara rutin. Kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi silase dengan
bahan baku hijauan sebanyak 100 kilogram adalah sebanyak 0,005 HOK dan
dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini.
Tabel 21. Kebutuhan Tenaga Kerja untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram
Jenis Kegiatan Curahan Kerja (HOK)
87.6 kg 1 kg
Membuat MOL sebanyak (10 gr) 0.0000001 0.000
Mengumpulkan dan mencampur bahan baku 0.286 0.003
Pembuatan silase 0.143 0.002
Total Kebutuhan curahan tenaga kerja silase 0.429 0.005
6.5.3. Produk Silase
Hasil dari aktivitas memproduksi silase adalah silase itu sendiri namun
pada penerapan usaha secara terpadu keberadaan silase dapat sebagai produk
akhir maupun produk antara. Posisi silase sebagai produk akhir apabila silase
yang diproduksi dijual ke luar desa sedangkan silase sebagai produk antara yaitu
pada saat dipergunakan sebagai input aktivitas usaha lainnya misalnya sebagai
pakan ternak.
Pakan ternak silase komersial masih sangat sulit ditemui sehingga tidak
ada aktivitas jual beli silase di pasaran. Hal ini menyebabkan tidak adanya
informasi mengenai harga pasar untuk setiap kilogram silase yang dijual. Pada
penelitian ini harga jual silase setiap kilogram dilakukan dengan menambahkan
biaya produksi per kilogram silase dengan profit sebesar 10 persen. Hasil dari
perhitungan menunjukkan bahwasanya harga pokok produksi adalah Rp 590,77.
93
Berdasarkan asumsi profit yang digunakan maka besarnya harga jual satu
kilogram silase adalah Rp 649,85. Harga jual ini akan menjadi koefisien
penerimaan pada aktivitas menjual silase dalam model sayuran organik terpadu
yang dibangun. Pemanfaatan silase sebagai pakan ternak hanya terdapat pada
model terintegrasi. Pada penelitian ini, diasumsikan pemanfaatan pakan silase
sebagai pakan ternak adalah sebesar 50 persen dari total kebutuhan pakan ternak.
Kondisi tersebut didasari oleh penelitian Nikmah (2006) yang mengutarakan
bahwa pemberian silase dengan kadar 50 persen memberikan hasil terbaik pada
produksi ternak dan aman bagi konsumsi pakan ternak.
6.6. Ketersediaan Sumberdaya dan Input Pendukung
Sumberdaya pendukung yang dimaksud pada bagian ini antara lain
sumberdaya tenaga kerja sewa yang tersedia di Desa Karehkel, ketersediaan
rumput yang dapat disediakan petani setiap bulannya, ketersediaan limbah organik
pasar dan ketersediaan kotoran ayam yang di sekitar Desa Karehkel. Kantor
Pengendalian Lingkungan Hidup Bogor (2004) diacu dalam Muthmainnah (2008)
menyebutkan bahwa produksi sampah perbulan oleh TPA Galuga yang berada di
Kecamatan Cibungbulang per bulannya mencapai 11.092.500 kilogram. Limbah
organik yang dihasilkan per bulan oleh pasar dari tahun 2001-2003 rata-rata
adalah sebesar 13 persen dari total sampah yang diproduksi atau setara dengan
1.442.025 kilogram. Adanya kesulitan dalam memperoleh data dan
memperkirakan jumlah produksi aktual sampah organik pasar maka pada kendala
ketersediaan limbah organik pasar diperkirakan sama dengan 1.442.025 kilogram.
Sebagian besar limbah organik pasar tersebut terdiri dari sayur-sayuran yang
sudah tidak layak untuk dijual.
Ketersediaan tenaga kerja sewa luar keluarga ditentukan berdasarkan
Laporan Register Desa (2009) mengenai jumlah buruh tani yang tersaji pada di
Tabel 3 pada Bab V. Jumlah buruh tani atau tenaga kerja sewa dalam kegiatan
pertanian berjumlah 304 orang. Diasumsikan seluruh buruh tani tersebut adalah
pria sehingga ketersediaan tenaga kerja setiap bulannya adalah sebanyak 9120
HOK. Upah tenaga kerja setiap HOK di Desa Karehkel adalah Rp 25.000,00 yang
terdiri dari Rp 20.000,00 sebagai upah dan Rp 5.000,00 sebagai natura berupa
makan siang.
94
Ketersediaan rumput diperkirakan dengan pendekatan kemampuan
peternak menyediakan rumput untuk pakan ternaknya setiap bulannya. Dalam hal
ini, peternak yang dimaksud ialah peternak kelinci dan peternak domba.
Berdasarkan perhitungan maka dapat diperoleh bahwasanya dalam sebulan pakan
hijauan lapang berupa rumput yang dapat disediakan peternak adalah mencapai
122,7 ton. Perhitungan tersebut secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 22 berikut
ini.
Tabel 22. Total Penyediaan Rumput Per Bulan oleh Peternak di Desa Karehkel
Jenis ternak
Kepemilikan/ orang (ekor)
Jumlah pemilik segapoktan
(orang)
Penyediaan rumput/ekor
/bulan(kg)
Jumlah penyediaan rumput (kg)
Domba 6 104 187,5 117.000 Kelinci 21 20 13,63 5.724,6
Total penyediaan rumput 122.724,6
Kebutuhan pakan hijauan kelinci ditentukan berdasarkan kebutuhan pakan
terbanyak yakni pada saat menyusui yakni 13,63 kilogram. Hasil perhitungan di
atas didasarkan pada kemampuan masing-masing peternak dalam menyediakan
pakan hijauan populasi ternak domba dan kelinci di Desa Karehkel. Populasi
ternak pada Tabel 22 diperoleh dari data GPW maupun dari Statistik Desa
Karehkel. Jumlah tersebut akan dijadikan sebagai kendala ketersediaan pakan
hijauan lapang pada model yang dibangun. Kebutuhan curaha kerja untuk mencari
rumput dirata-ratakan antara mencari rumput pada ternak domba dan mencari
rumput pada ternak kelinci sehingga diperoleh HOK per kilogram rumput yang
disediakan adalah sebesar
Selain ketersediaan buruh tani dan ketersediaan pakan hijauan lapang,
jumlah kotoran ayam yang berfungsi sebagai pupuk pada usahatani sayuran
organik tersedia dengan terbatas. Kondisi tersebut terjadi karena kebutuhan
kotoran ayam dipenuhi dengan membeli dari peternakan ayam yang berada di
sekitar Desa Karehkel. Berdasarkan statistik peternakan oleh Disnakan (2008)
dapat diketahui bahwasanya populasi ternak ayam, pedaging maupun petelur,
yang berada di sekitar Desa Karehkel mencapai 5,945 juta ekor dan berpotensi
untuk menghasilkan kotoran ayam setiap bulannya sekitar 59,45 ton. Lokasi
peternakan yang berada di sekitar Desa Karehkel diantaranya Leuwisadeng,
95
Rumpin, Cibungbulang, Cibeber, Barengkok, Tajur Halang, dan Pabangbon.
Lokasi peternakan ayam yang berada di sekitar Desa Karehkel yang sering
memasok kebutuhan kotoran ayam dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 6.
Pada model yang dibangun, kendala ketersediaan kotoran ayam yang dapat dibeli
adalah sama dengan kebutuhan maksimum pupuk organik untuk budidaya sayuran
organik sebanyak 783 bedengan atau sebanyak 35.822,25 kilogram.
96
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1. Deskripsi Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu
Model usahatani sayuran organik terpadu dalam penelitian ini dibangun
pada skala wilayah Desa Karehkel dimana akan melibatkan beberapa kelompok
tani yang masing-masingnya memiliki aktivitas produksi yang berbeda. Kondisi
tersebut disesuaikan dengan rencana GPW dalam menerapkan pertanian terpadu
di Desa Karehkel sehingga setiap kelompok tani memiliki aktivitas spesifik yang
dapat saling bersinergi satu sama lainnya. Aktivitas yang dilibatkan pada model
yang dibangun antara lain aktivitas usahatani sayuran organik, aktivitas ternak
kelinci, aktivitas ternak domba, aktivitas memproduksi pupuk bokashi dan
aktivitas memproduksi silase.
Pelaksanaan pertanian terpadu yang melibatkan berbagai kelompok tani
atau kelompok ternak tersebut akan berdampak pada model usahatani sayuran
organik terpadu yang dibangun. Ketersediaan sumberdaya didasarkan pada
penguasaan atau ketersediaan sumberdaya tingkat kelompok tani. Sumberdaya
yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada sumberdaya lahan pada sayuran
organik dan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga pada masing-masing
kelompok tani. Model linear yang dibangun dalam penelitian ini mengabaikan
dimensi waktu setiap periode produksi aktivitas usaha. Tidak dimasukannya
kendala modal per masing-masing petani dalam model yang dibangun menjadi
salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Model yang dibangun ditujukan
untuk memberikan informasi kepada GPW mengenai aktivitas yang perlu
diintegrasikan dan berapa jumlah pengusahaan yang sebaiknya dilakukan.
Saat ini kelompok tani yang sudah dibentuk antara lain Poktan Sugih Tani
yang melakukan budidaya sayuran secara organik yang beranggotakan 29 petani,
Poktan Ternak Domba Cadas Gantung yang terdiri dari sekitar 104 peternak
domba, dan Poktan Ternak Kelinci Cadas Gantung yang terdiri dari 20 peternak.
Aktivitas produksi pupuk bokashi masih belum dilaksanakan namun GPW telah
berencana untuk membuat kelompok produsen pupuk bokashi. Adanya pelibatan
aktivitas produksi silase dalam penelitian ini ditujukan sebagai salah satu upaya
dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayuran organik sehingga dapat
menjadi pakan ternak yang memiliki umur simpan relatif lama. Banyaknya
97
anggota dalam kelompok produsen bokashi dan silase dalam penelitian ini
masing-masing sebanyak 5 rumah tangga produsen.
Ketersediaan sumberdaya lahan dan tenaga kerja dalam keluarga masing-
masing aktivitas disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya dalam kelompok
tani. Ketersediaan bedengan untuk usahatani sayuran organik adalah 783 bedeng
yang tidak lain merupakan total kepemilikan bedengan 29 orang petani sayuran.
Ketersediaan tenaga kerja masing-masing rumah tangga petani dalam sebulan
adalah 51 HOK yakni sesuai dengan karakteristik responden dalam penelitian ini
yang terdiri dari satu orang tenaga kerja pria dewasa dan satu orang tenaga kerja
wanita dewasa dengan hari kerja selama 30 hari. Ketersediaan sumberdaya
lainnya seperti tenaga kerja sewa (luar keluarga), ketersediaan pakan rumput,
ketersediaan limbah organik pasar dan ketersediaan kotoran ayang yang berasal
dari luar desa ditentukan berdasarkan analisis keragaan usahatani yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya.
Adanya faktor musim yang mempengaruhi produksi sayuran dan limbah
sayuran serta adanya pengaruh kondisi kelinci saat bunting atau menyusui dalam
penggunaan input dan produksi maka diperlukan asumsi-asumsi dalam model
untuk menyederhanakan kondisi aktual. Diasumsikan aktivitas usahatani sayuran
organik berproduksi pada musim kemarau sedangkan ternak kelinci dilakukan
pada saat masa menyusui. Pemilihan periode budidaya kelinci saat menysui
disebabkan karena pada akhir periode kegiatan budidaya kelinci menyusui dapat
menunjukkan aktivitas menjual produk akhir kelinci berupa anakan kelinci.
Model terpadu yang dibangun tidak ditujukan untuk memaksimumkan
keuntungan setiap kegiatan usaha namun ditujukan untuk memaksimumkan
keuntungan dalam lingkup wilayah Desa Karehkel dengan kombinasi usahatani
terpadu yang optimum. Adanya perbedaan kondisi dalam penerapan model
usahatani sayuran organik terpadu bertujuan untuk melihat potensi profit yang
dapat dihasilkan atau hilang akibat pelaksanaan setiap aktivitas usaha pada dua
kondisi yang berbeda. Diasumsikan setiap produk antara menghadapi pasar yang
sama sehingga memiliki harga pasar yang sama kecuali pada pupuk bokashi yang
diproduksi dalam desa. Produksi pupuk bokashi menggunakan teknologi yang
98
berbeda dengan produk substitusinya yakni pupuk kandang kotoran ayam
sehingga harga pasar kedua produk tersebut akan berbeda.
7.2. Analisis Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu
Hasil analisis MUSOT dalam penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai pengalokasian sumberdaya yang tepat dan aktivitas yang perlu
diintergasikan sehingga dapat mendukung penerapan usahatani sayuran organik
terpadu di Desa Karehkel. Selain itu melalui model ini dapat diketahui potensi
keuntungan yang dapat dihasilkan pada skala wilayah oleh penerapan model
usahatani sayuran organik terpadu dibandingkan dengan pelaksanaan aktivitas
secara tidak terpadu (terintegrasi).
7.2.1. Kegiatan Usahatani Sayuran Organik
7.2.1.1. Penggunaan Lahan Usahatani Sayuran Organik
Hasil analisis model tidak terintegrasi (SI) dan model terintegrasi (SII)
menunjukkan bahwa alokasi bedengan optimal adalah 100 persen. Artinya seluruh
bedengan yang tersedia digunakan untuk usahatani sayuran organik sehingga
menjadikan sumberdaya lahan menjadi kendala pembatas dalam aktivitas
usahatani sayuran organik. Alokasi sumberdaya lahan sebanyak 783 bedengan
model SI sebaiknya sebanyak 4,47 persen dialokasikan untuk menanam selada,
bayam merah 5 persen, caisim 11,75 persen, dan proporsi lahan untuk menanam
bayam hijau sebanyak 12,13 persen. Permintaan sayuran kangkung yang terbesar
mempengaruhi pengalokasian sumberdaya lahan tersebut sehingga lahan yang
dialokasikan untuk usahatani kangkung adalah terbesar yakni mencapai 71,01
persen.
Nilai reduced cost pada pengalokasian bedengan sayuran menunjukkan
nilai opportunity cost dari masing-masing bedengan untuk setiap jenis sayuran.
Apabila seorang petani sayuran organik bermaksud untuk menambah bedengan
untuk menanam suatu jenis sayuran maka petani tersebut harus mengurangi
bedengan tanam jenis sayuran lainnya. Konsekuensi dari adanya perubahan
alokasi bedengan akan berdampak langsung pada peningkatan atau penurunan
nilai fungsi tujuan. Alokasi lahan hasil pemecahan optimal selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 23.
99
Tabel 23. Alokasi Lahan Model SI dan Model SII
Jenis Sayuran Alokasi Bedengan (bedeng) Reduced Cost (Rp)
SI SII SI SII Selada 35 35 -103.568,55 -77.679,08 Kangkung 556 556 -212.188,27 -186.298,79 Caisin 92 92 -176.816,94 -150.929,47 Bayam Merah 5 5 -117.747,34 -91.856,87 Bayam Hijau 95 95 -136.196,98 -110.307,52 Jumlah bedengan 783 783
Misalnya pada model SI seorang petani sayuran organik bermaksud untuk
menambah jumlah bedengan kangkung sebanyak satu bedeng sehingga petani
harus mengurangi bedengan tanam jenis sayuran lainnya. Pada permisalan ini
petani lebih memilih untuk mengurangi satu bedengan tanam bayam merah.
Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwasanya petani kehilangan peluang untuk
meningkatkan keuntungan wilayah sebesar Rp 117.746,34. Keputusan petani
untuk mengurangi bedengan jenis sayuran lainnya sebagai akibat petani
meningkatkan bedengan kangkung sebanyak satu bedeng memiliki konsekuensi
yang berbeda-beda terhadap pengurangan. Jika petani memilih untuk mengurangi
bedengan tanam bayam hijau maka petani akan menyebabkan wilayah kehilangan
peluang untuk meningkatkan profit secara keseluruhan sebanyak Rp 136.196,98.
Adanya perbedaan opportunity cost tersebut sangat erat kaitannya dengan
keuntungan yang diterima petani atas korbanan sumberdaya petani dalam
mengusahakan setiap aktivitas usahatani sayuran organik. Sumberdaya yang
dimaksud berupa alokasi bedengan, penggunaan tenaga kerja yang berbeda-beda
setiap pengusahaan masing-masing jenis sayuran organnik per bedeng, dan biaya
pembelian input produksi berupa bibit atau benih dan bahan organik per bedeng.
7.2.1.2.Ketersediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja pada Usahatani Sayuran Organik
Keputusan optimal pengusahaan setiap jenis sayuran organik secara
langsung akan berdampak pada alokasi tenaga kerja yang tersedia. Hal ini
disebabkan karena setiap jenis sayuran organik memiliki kebutuhan tenaga kerja
yang berbeda-beda untuk setiap bedenganya. Model SI dan SII menunjukkan
bahwa ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga aktivitas usahatani sayuran
100
organik mencukupi kebutuhan tenaga kerja pengusahaan kelima jenis sayuran
organik tersebut. Bahkan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga usahatani
sayuran organik berlebih.
Pemanfaatan tenaga kerja dalam keluarga usahatani sayuran organik hanya
sebesar 45,4 persen dari tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia. Artinya masih
terdapat sekitar 54,6 persen (807,4 HOK) tenaga kerja dalam keluarga yang belum
termanfaatkan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja dalam keluarga
aktivitas usahatani sayuran organik adalah melimpah atau tidak menjadi
sumberdaya pembatas. Pada kondisi aktual petani sayuran organik seringkali
menggunakan tenaga kerja sewa untuk mempercepat kegiatan pemanenan.
Adanya jadwal pengiriman sayuran kepada pembeli yang harus ditepati oleh
petani menyebabkan tenaga kerja sewa tetap dipergunakan.
Petani dianjurkan untuk mengirim sayuran maksimal pukul 09.00 WIB
sehingga maksimal pukul 10.00-11.00 WIB sayuran tersebut sudah sampai ke
tempat pembeli. Peraturan tersebut diberlakukan agar sayuran yang dikirimkan
dapat terjaga kesegarannya. Sayuran yang sudah dipanen tidak boleh terlampau
lama dibiarkan sehingga harus segera dikirim ke pembeli untuk dimasukkan ke
dalam kulkas. Karakteristik sayuran yang tidak memiliki daya simpan yang lama
membuat petani seringkali memanen sayurannya pada pagi hari yakni rata-rata
dimulai pada pukul 06.00 WIB. Adanya rentang waktu yang sempit untuk
kegiatan pemanenan dan luasnya areal tanam menyebabkan pentingnya bantuan
tenaga kerja sewa untuk mempercepat pemanenan. Rata-rata jumlah tenaga kerja
sewa yang digunakan untuk membantu pemanenan adalah sebanyak satu orang
baik pria maupun wanita.
Pada kondisi aktual, keputusan petani untuk menggunakan tenaga kerja
sewa tersebut adalah merugikan karena tenaga kerja dalam keluarga mampu
mencukupi total kebutuhan tenaga kerja usahatani sayuran organik. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari potensi kerugian yang akan diterima untuk setiap unit
tenaga kerja (HOK) yang disewa yakni sebesar Rp 80.538,09. Kerugian tersebut
adalah 2,22 kali lipat lebih tinggi daripada biaya sewa tenaga kerja per HOK di
Desa Karehkel (Rp 25.000,00).
101
7.2.1.3.Penggunaan Pupuk Organik
Pupuk organik dikategorikan sebagai produk antara atau intermediate
product dalam model usahatani sayuran organik terpadu yang dibangun sehingga
keberadaannya dipisahkan dalam aktivitas tersendiri. Pada model SI petani
sayuran organik tidak memiliki pilihan untuk memenuhi kebutuhan pupuk
organiknya kecuali dari kotoran ayam yang berasal dari desa. Kondisi tersebut
adalah sama persis dengan kondisi aktual dimana seluruh kebutuhan pupuk
dipenuhi dengan membeli dari luar desa.
Berbeda halnya dengan model SII, dimana aktivitas usahatani sayuran
organik memiliki alternatif pemenuhan kebutuhan pupuk organiknya. Aktivitas
usahatani sayuran organik dapat memenuhi kebutuhan pupuknya dengan membeli
kotoran ayam dari luar desa atau memanfaatkan bokashi pupuk kandang yang
dihasilkan di dalam desa. Namun dari hasil analisis model SII menunjukkan
bahwa sebaiknya seluruh kebutuhan pupuk usahatani sayuran organik dipenuhi
dengan membeli kotoran ayam dari luar desa karena pupuk bokashi yang
dihasilkan lebih menguntungkan apabila dijual ke luar desa. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa antara aktivitas usahatani sayuran organik dan aktivitas
produksi pupuk bokashi model SII tidak terintegrasi.
7.2.1.4.Produk Utama dan Limbah Sayuran Organik
Produk yang dihasilkan oleh aktivitas usahatani sayuran organik dapat
dibedakan menjadi dua macam yakni produk utama berupa sayuran segar dan
limbah sayuran. Produktivitas sayuran (kilogram/bedeng) dan alokasi bedengan
yang berbeda-beda pada setiap jenis sayuran organik yang diusahakan berdampak
pada produksi setiap jenis sayuran pada kondisi optimal. Baik pada model SI dan
model SII seluruh sayuran segar yang dihasilkan dijual ke luar desa.
Model SI dan SII menunjukkan bahwa usahatani sayuran organik di Desa
Karehkel menghasilkan sayuran segar yang lebih tinggi daripada permintaan
pembeli. Jumlah produksi kangkung 810 persen lebih tinggi daripada permintaan
pasar. Begitu juga pada aktivitas usahatani sayuran organik lainnya dimana
produksi selada adalah 0,91 persen lebih tinggi daripada permintaan pasar,
produksi caisin 0,64 persen lebih tinggi daripada permintaan pasar, bayam hijau
0,45 persen lebih tinggi dan produksi bayam merah juga lebih tinggi 9,16 persen
102
dari permintaan pasar. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya perluasan pasar
sayuran organik. Cukup banyaknya potensi pasar sayuran organik menyebabkan
kelebihan produksi tersebut sangat memungkinkan untuk dapat tertampung pasar.
Posisi Poktan Sugih Tani sebagai produsen sayuran organik terbaik di Kabupaten
Bogor di tingkatan kelompok tani, menyebabkan poktan ini mendapat banyak
perhatian dari banyak pihak. Pihak tersebut antara lain Bappeda, Dinas Pertanian
Kabupaten Bogor, dan beberapa perusahaan eksportir yang pernah menawarkan
kerjasama dalam perdagangan sayuran organik.
Peningkatan jumlah sayuran organik yang dijual di pasaran setiap
kilogramnya dapat meningkatkan total keuntungan wilayah sebesar harga jual
masing-masing jenis sayuran. Apabila selada yang dijual meningkat sebanyak 1
kg maka akan berdampak pada peningkatan total keuntungan sebesar Rp
9.000,00. Peningkatan penjualan caisin, kangkung, bayam merah, dan bayam
hijau setiap kilogramnya akan meningkatkan nilai fungsi tujuang masing-masing
sebesar Rp 8.000,00, Rp 5.000,00, Rp 6.000,00, dan Rp 6.000,00. Peningkatan
jumlah sayuran organik yang dijual tentu saja memerlukan peningkatan luasan
tanam, perubahan alokasi tenaga kerja, dan biaya produksi yang dikeluarkan
setiap jenis sayuran tersebut. Hal ini akan berdampak langsung terhadap
perubahan alokasi sumberdaya apabila perubahan tersebut berada di luar selang
sensitifitas kondisi optimal aktivitas usahatani sayuran yang bersangkutan.
Produksi sayuran organik pada kondisi optimal dapat ditunjukkan pada Tabel 24
di bawah ini.
Tabel 24. Jumlah Produksi Sayuran Organik dan Permintaan Setiap Jenis Sayuran Model SI dan Model SII
Jenis Sayuran Produksi optimal (kg) Jumlah Permintaan
(kg) Selisih (%)
Selada 544.60 539.69 0.91 Caisin 2260.44 2246.05 0.64 Kangkung 25954.08 2852.44 809.89 Bayam Merah 2365.5 2354.8 0.45 Bayam Hijau 109.85 100.63 9.16
Limbah sayuran yang berasal dari proses sortasi juga memiliki nilai
ekonomi. Model SI menunjukkan bahwa seluruh limbah sayuran yang dihasilkan
dijual ke luar desa. Berbeda halnya dengan model SII dimana diterapkan pada
103
kondisi teritegrasi sehingga limbah sayuran yang dihasilkan dimanfaatkan di
dalam desa. Pada model SII tidak ada aktivitas menjual limbah sayuran ke luar
desa karena 100 persen limbah sayuran yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan silase.
Nilai dual price pada kendala transfer produk limbah sayuran model SI
dan model SII memiliki nilai yang sama yakni setara dengan harga jual setial
limbah sayuran organik yang dihasilkan yakni Rp 153,64. Nilai dual price
kendala kendala transfer produk limbah sayuran model SI menunjukkan bahwa
peningkatan setiap kilogram limbah sayuran yang dijual ke luar desa dapat
meningkatkan keuntungan wilayah sebesar Rp 153,64. Nilai dual price kendala
kendala transfer produk limbah sayuran model SII dapat menunjukkan bahwa
sebenarnya setiap kilogram sayuran yang dimanfaatkan untuk bahan baku
produksi silase di dalam desa memiliki nilai yang sama dengan harga limbah
sayuran organik di pasar yakni Rp 153,64.
7.2.2. Kegiatan Usahaternak Domba
Sangat besarnya potensi ternak domba sebagai penghasil bahan baku
bokashi pupuk kandang menjadi salah satu latar belakang bagi ternak domba
dimasukkan dalam model sayuran organik terpadu yang dibangun. Keberadaan
limbah domba ini menjadi salah satu bahan baku yang cukup penting bagi
kegiatan produksi bokashi pupuk kandang yang telah dirintis oleh Gapoktan
Pandan Wangi. Sekitar 28,8% bahan baku bokashi pupuk kandang di Desa
Karehkel berasal dari limbah domba. Selain sebagai penghasil kotoran domba
yang bernilai ekonomis, aktivitas ternak domba juga berpotensi menghasilkan
produk akhir berupa pertambahan bobot badan domba yang sangat mempengaruhi
harga jual per ekor domba.
7.2.2.1.Pengusahaan Ternak Domba
Model SI menunjukkan bahwa aktivitas ternak domba menguntungkan
untuk diusahakan. Banyaknya ternak domba yang perlu untuk diusahakan untuk
memaksimumkan total keuntungan model SI adalah sebanyak 392 ekor. Jumlah
tersebut adalah lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah domba aktual yang
dibudidayakan di Desa Karehkel (624 ekor domba). Berdasarkan analisis model
104
SI maka dapat dikatakan bahwasanya pengusahaan domba pada kondisi aktual di
Desa Karehkel saat ini belum optimal. Pada model yang dibangun,ternak domba
akan berkompetisi dengan ternak kelinci dalam penggunaan pakan rumput yang
tersedia secara terbatas. Pengusahaan kelinci yang cukup banyak dan kebutuhan
pakan rumput kelinci mencapai 40 persen dari total rumput yang tersedia
menyebabkan proporsi pakan rumput yang tersedia untuk domba menjadi lebih
sedikit. Pada kondisi aktual sangat memungkinkan adanya pengaruh variabel lain
yang tidak dimasukkan dalam model terpadu yang dibangun di penelitian ini
sehingga dapat menyebabkan kondisi optimal model belum tentu sama dengan
kondisi optimal usahaternak domba secara aktual.
Model SII menunjukkan bahwa pengusahaan ternak domba pada kondisi
teritegrasi adalah merugikan. Selang perubahan harga jual daging domba (SXG)
model SII yang dapat ditoleransi menunjukkan bahwa berapapun kenaikan harga
jual daging domba dan harga jual kotoran domba per kilogramnya akan selalu
merugikan. Oleh karena itu pada model SII tidak terdapat aktivitas beternak
domba. Apabila pada model SII dipaksakan untuk membudidayakan domba maka
setiap ekor domba yang dibudidayakan akan mengurangi total keuntungan
wilayah sebesar Rp 25.243,30.
7.2.2.2.Ketersediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja dalam Ternak Domba
Sekitar 42,66 persen dari total kebutuhan tenaga kerja untuk
membudidayakan domba, ditujukan untuk aktivitas pemeliharaan domba. Seperti
halnya dijelaskan pada bab sebelumnya aktivitas pemeliharaan domba meliputi
aktivitas membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran domba, serta
memberi pakan domba. Curahan tenaga kerja sebanyak 57,34 persen sisanya
dipergunakan untuk mencari pakan rumput.
Jumlah tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia pada usahaternak domba
pada kondisi optimal model SI adalah berlebih. Hal ini ditunjukkan dengan
tingkat penggunaan tenaga kerja dalam keluarga sebesar 48,33 persen. Sisanya
sebanyak 51,67 persen (2740,32 HOK) masih belum termanfaatkan. Pada kondisi
aktual, peternak domba memang tidak pernah menggunakan bantuan tenaga kerja
sewa karena aktivitas pemeliharaan domba masih dilakukan secara tradisional dan
relatif sederhana. Selain itu kepemilikan ternak domba per peternak masih relatif
105
rendah yakni berkisar antara 5-7 ekor. Apabila peternak domba menggunakan
tenaga kerja sewa maka setiap HOK nya akan berkonsekuensi terhadap
pengurangan total keuntungan wilayah sebesar Rp 80.538,09.
7.2.2.3.Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ternak Domba
Kebutuhan pakan ternak aktivitas ternak domba pada kondisi tidak
terintegrasi SI seluruhnya dipenuhi dengan rumput lapang. Secara keseluruhan
usahaternak domba pada model SI memanfaatkan rumput lapang yang tersedia
sebanyak 60 persen.
7.2.2.4.Produksi Daging dan Limbah Ternak Domba
Domba sebanyak 392 ekor berpotensi untuk menghasilkan daging
sebanyak 552,72 kg dan limbah domba sekitar 18 ton. Seluruh daging yang
dihasilkan seolah-olah dijual ke luar desa. Seluruh limbah domba yang dihasilkan
dijual ke luar desa karena tidak adanya hubungan terintegrasi antara ternak domba
dengan aktivitas memproduksi pupuk bokashi. Setiap peningkatan jumlah produk
daging dan limbah domba yang dijual dapat meningkatkan total keuntungan
model terpadu masing-masing Rp 21.000,00 dan Rp 142,86 untuk setiap kilogram
produk tersebut.
7.2.3. Kegiatan Usahaternak Kelinci
7.2.3.1.Pengusahaan Indukan Kelinci
Model SI dan model SII menunjukkan jumlah pengusahaan indukan
kelinci yang berbeda. Jumlah indukan kelinci yang dibudidayakan pada kondisi
optimal SII adalah 13,3 persen lebih tinggi daripada jumlah indukan kelinci yang
diusahakan pada model SI. Hasil analisis optimal aktivitas memeliharan indukan
kelinci dapat dilihat pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25 menunjukkan bahwa
pada kondisi optimal aktivitas ternak kelinci memiliki nilai reduced cost.
Munculnya nilai reduced cost pada aktivitas-aktivitas yang masuk dalam hasil
solusi optimal merupakan hal yang tidak biasa (Siswanto 2007). Kemunculan nilai
reduced cost tersebut dalam penelitian ini disebabkan karena adanya kendala
bilangan bulat pada variabel aktivitas ternak kelinci. Reduced cost yang bernilai
positif tersebut sebenarnya menunjukkan kondisi optimal tanpa kendala bilangan
106
bulat menghasilkan jumlah pemeliharaan indukan kelinci yang lebih sedikit
daripada hasil solusi optimal dengan menggunakan kendala bilangan bulat.
Tabel 25. Hasil Analisis Optimal Jumlah Pemeliharaan Indukan Kelinci pada Model SI dan Model SII
Model Aktivitas produksi
(ekor indukan)
Reduced Cost
(Rp)
SI 3.610 15.458,66
SII 4.090 8.910,04
Apabila jumlah indukan kelinci yang dipelihara model SI ditingkatkan
maka dapat merugikan. Besarnya kerugian yang ditanggung untuk peningkatan
setiap ekor indukan kelinci yang dipelihara model SI adalah Rp 15.458,66
sedangkan pada model SII sebesar Rp 8.910,04. Jumlah indukan kelinci model SI
yang lebih sedikit daripada jumlah indukan yang dibudidayakan pada model SII
disebabkan oleh adanya keterbatasan ketersediaan tenaga kerja dan ketersediaan
alternatif pemenuhan kebutuhan pakan. Adanya alternatif pemenuhan kebutuhan
pakan selain menggunakan rumput misalnya dengan silase, dapat mengurangi
sifat kompetitif penggunaan tenaga kerja untuk aktivitas pemeliharaan kelinci dan
aktivitas mencari pakan rumput untuk kelinci.
7.2.3.2.Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja pada Usahaternak Kelinci
Cukup banyaknya jumlah kelinci yang dibudidayakan pada model SI dan
SII menyebabkan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga peternak kelinci tidak
mampu mencukupi total kebutuhan tenaga kerja. Akibatnya peternak kelinci
menggunakan tenaga kerja sewa dengan jumlah yang bervariasi antara model SI
dan model SII. Pada model SI, tenaga kerja dalam keluarga peternak kelinci hanya
mampu memenuhi 25,37 persen (1020 HOK) total kebutuhan tenaga kerja untuk
membudidayakan kelinci sebanyak 3.610 ekor. Sisanya sebanyak 74,63 persen
(3000,1 HOK) dipenuhi dengan menyewa dari luar keluarga. Dari curahan tenaga
kerja sebanyak 4.020,1 HOK, 75,52 persen (3036 HOK) tenaga kerja
dilakokasikan untuk memelihara kelinci sedangkan sisanya sebanyak 24,48 persen
(984,1 HOK) digunakan untuk mencari pakan rumput.
107
Kebutuhan tenaga kerja usahaternak kelinci pada kondisi optimal model
SII adalah 0,57 persen lebih rendah daripada model SI namun jumlah indukan
kelinci yang dipelihara 13,3 persen lebih banyak daripada model SI. Adanya
pemenuhan kebutuhan pakan kelinci berasal dari silase sangat berperan dalam
mengurangi curahan tenaga kerja untuk mencari pakan hijauan lapang sehingga
dapat meningkatkan jumlah kelinci yang dipelihara. Sebanyak 25,52 persen (1020
HOK) curahan tenaga kerja berasal dari tenaga kerja dalam keluarga sedangkan
sisanya sebanyak 74,48 persen (2.977,16 HOK) berasal dari tenaga kerja luar
keluarga. Curahan tenaga kerja yang ditujukan untuk kegiatan mencari pakan
hijauan lapang adalah sebesar 13,95 persen (557,47 HOK) dan 86,05 persen
(3.439,69 HOK) digunakan untuk aktivitas pemeliharaan kelinci.
Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga peternak kelinci yang mencapai
100 persen menunjukkan bahwa keberadaan tenaga kerja dalam keluarga
peternak kelinci merupakan sumberdaya pembatas. Hasil analisis model SI dan
model SII menunjukkan bahwa nilai tenaga kerja dalam keluarga per HOK
peternak kelinci adalah 222,2 persen lebih mahal daripada upah per HOK tenaga
kerja sewa.
Peran silase sebagai substitusi pakan mampu menghemat curahan tenaga
kerja untuk aktivitas ternak kelinci. Khususnya adalah pada aktivitas mencari
pakan berupa rumput lapang. Kondisi ini menunjukkan bahwasanya keberadaan
silase mampu mendukung aktivitas ternak kelinci sehingga tenaga kerja yang
seharusnya digunakan untuk mencari pakan hijauan lapang, dapat dialokasikan
untuk aktivitas memelihara kelinci. Akibatnya jumlah indukan kelinci yang
dipelihara lebih banyak dan secara proporsional akan meningkatkan produksi
anakan dan limbah kelinci.
7.2.3.3.Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ternak Kelinci
Model SI menunjukkan bahwa seluruh kebutuhan ternak kelinci dipenuhi
dengan rumput lapangan. Hal ini disebabkan karena pada model SI setiap kegiatan
usahaternak belum terintegrasi sehingga 100 persen pakan kelinci dipenuhi
dengan mencari rumput lapangan. Pada model SII, kebutuhan hijauan ternak
dipenuhi dengan rumput lapang (50 persen) dan dengan silase (50 persen) yang
108
dapat diperoleh melalui pemanfaatan silase di dalam desa, membeli silase dari
luar desa maupun kombinasi keduanya.
Ternak kelinci model SII sebaiknya memenuhi 100 persen kebutuhan
pakan silase dengan cara memanfaatkan silase yang diproduksi di dalam desa.
Setiap kilogram rumput lapang yang digunakan untuk pakan ternak, memiliki
nilai yang lebih tinggi daripada setiap kilogram silase yang dimanfaatkan untuk
pakan ternak. Nilai rumput per kilogramnya (Rp 1.610,76) adalah 147,86 persen
lebih tinggi daripada nilai silase per kilogramnya (Rp 649,85). Artinya,
penggunaan silase adalah lebih menguntungkan karena nilai per kilogram silase
yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah lebih murah daripada nilai rumput
setiap kilogramnya. Selain itu potensi penggunaan silase dalam proporsi pakan
yang lebih besar mampu meningkatkan curahan tenaga kerja untuk memelihara
kelinci sehingga indukan kelinci yang dipelihara semakin banyak dan produk
yang dihasilkan pun akan meningkat.
7.2.3.4. Produk Utama dan Limbah Usahaternak Kelinci
Produk utama anakan kelinci dan produk sampingan berupa kotoran dan
urin kelinci model SI seluruhnya dijual ke luar desa. Tidak adanya pemanfaatan
limbah kelinci sebagai bahan baku aktivitas produksi bokashi pupuk kandang di
Desa Karehkel menyebabkan limbah-limbah tersebut lebih menguntungkan jika
dijual ke luar desa. Setiap peningkatan jumlah anakan kelinci yang dijual per
ekornya akan meningkatkan total keuntungan wilayah sebesar harga per ekor
anakan kelinci yang dijual yakni Rp 10.000,00. Begitu juga dengan adanya
peningkatan penjualan urin dan kotoran kelinci setiap unitnya akan berdampak
pada kenaikan nilai fungsi tujuan masing-masing sebanyak Rp 1.250,00 dan Rp
500,00.
Berbeda halnya pada model SII yang terintegrasi dimana sebagian limbah
kelinci yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk
bokashi. Sebanyak 57,3 ton kotoran kelinci yang dihasilkan, 19,73 persen
(11.298,46 kg) dimanfaatkan di dalam desa untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku pembuatan pupuk bokashi sedangkan sisanya dijual ke luar desa.
Pemanfaatan kotoran kelinci di dalam desa mampu memenuhi 100 persen
kebutuhan bahan baku kotoran kelinci pada aktivitas produksi pupuk bokashi.
109
Kondisi serupa juga ditunjukkan pada produk urin kelinci dimana urin yang
diproduksi mampu memenuhi 100 persen kebutuhan urin kelinci aktivitas
produksi pupuk bokashi. Bahkan produksi urin kelinci tersebut berlebih sehingga
sisanya sebanyak 98,74 persen dijual ke luar desa. Hasil analisis model SII juga
menunjukkan bahwa setiap kilogram kotoran kelinci maupun urin kelinci yang
dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk bokashi memiliki nilai yang sama
dengan harga pasar yakni masing-masing Rp 500,00 dan Rp 1.250,00.
7.2.4. Kegiatan Produksi Silase
7.2.4.1.Jumlah Produksi Silase
Jumlah silase yang diproduksi pada model SI dan SII masing-masing adalah
sebesar 1.274.980,75 kilogram dan 1.279.568,625 kilogram. Perbedaan jumlah
silase yang diproduksi akan berdampak pada perbedaan kebutuhan bahan baku,
aktivitas membeli bahan baku, penggunaan tenaga kerja, dan aktivitas penjualan
silase yang sangat erat kaitannya dengan ada atau tidaknya pemanfaatansilase di
dalam desa.
7.2.4.2.Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Seluruh tenaga kerja dalam keluargaprodusen silase pada model SI dan
model SII telah habis terpakai sehingga tenaga kerja dalam keluarga produsen
silase menjadi sumberdaya pembatas. Tenaga kerja sewa menutupi kekurangan
tenaga kerja produksi silase model SI sebanyak 96 persen. Tenaga kerja dalam
keluarga produsen silase memiliki nilai setara dengan Rp 80.538,09 yakni 2,22
kali lipat lebih tinggi dari upah tenaga kerja sewa per unit di Desa Karehkel.
Jumlah produksi silase SII yang lebih tinggi daripada model SI tentu saja
berdampak pada kebutuhan tenaga kerja yang lebih banyak. Seperti halnya model
SI, tenaga kerja dalam keluarga produsen silase merupakan sumberdaya pembatas
dalam aktivitas produksi silase karena penggunaanya telah mencapai 100 persen
atau habis terpakai. Tenaga kerja dalam keluarga produsen silase model SII
memiliki nilai kelangkaan sebesar Rp 80.538,09 yakni sama dengan nilai
kelangkaan tenaga kerja dalam keluarga model SI. Tenaga kerja dalam keluarga
hanya mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja produksi silase model SII sekitar
4 persen saja dan sisanya dipenuhi dengan tenaga kerja sewa.
110
7.2.4.3.Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Hijauan
Tidak adanya hubungan terintegrasi yang dibangun pada model SI
menyebabkan kebutuhan bahan baku hijauan aktivitas produksi silase dipenuhi
sepenuhnya dengan membeli limbah organik pasar yang berasal dari luar desa.
Berbeda halnya pada model SII dimana terdapat hubungan integrasi sehingga
apabila limbah sayuran organik di dalam desa tidak mencukup maka
kekurangannya dapat dipenuhi dengan membeli limbah organik pasar dari luar
desa.
Kemampuan aktivitas usahatani sayuran organik dalam memenuhi
kebutuhan bahan baku hijauan silasee sangatlah rendah. Hal ini ditunjukkan
dengan daya dukung usahatani sayuran organik hanya sebesar 0,36 persen
(5.252,35 kg) dalam memenuhi kebutuhan bahan baku hijauan silase. Aktivitas
usahatani sayuran organik tidak dapat menyediakan limbah sayuran dengan
jumlah lebih banyak karena peningkatan produksi limbah sayuran harus diikuti
dengan peningkatan luasan tanam sayuran organik. Pada model SII penggunaan
lahan sayuran organik telah mencapai 100 persen. Setiap kilogram limbah
sayuran organik yang dimanfaatkan sebagai bahan baku hijauan silase memiliki
nilai Rp 153,64 yakni setara dengan harga setiap kilogram limbah sayuran pasar
di pasaran.
7.2.4.4. Aktivitas Menjual dan Pemanfaatan Silase
Seluruh silase model SI yang diproduksi di dalam desa dijual ke luar desa
karena tidak adanya pemanfaatan silase sebagai pakan ternak di Desa Karehkel.
Pakan ternak kelinci maupun domba model SI dipenuhi seluruhnya dengan
rumput lapang. Adanya peningkatan jumlah silase yang dijual ke luar desa setiap
kilogramnya maka dapat meningkatkan total keuntungan sebesar Rp 649,85.
Silase yang diproduksi pada kondisi optimal model SII sebagian
dialokasikan untuk pakan ternak di dalam desa dan sisanya dijual ke luar desa.
Banyaknya pemanfaatan silase sebagai pakan ternak di Desa Karehkel hanya
sebesar 2,18 persen (27,9 ton) dan sisanya sebanyak 97,82 persen (1.251 ton)
dijual ke luar desa. Setiap kilogram silase yang dimanfaatkans sebagai pakan
ternak di dalam desa memiliki nilai yang sama dengan harga jual silase di pasaran
yakni Rp 649,85.
111
7.2.5. Kegiatan Produksi Pupuk Bokashi
7.2.5.1.Jumlah Produksi Pupuk Bokashi
Keputusan optimal aktivitas produksi bokashi pupuk kandang pada model
SI dan SII menunjukkan hasil yang sama yakni sebesar 25,5 ton. Jumlah produksi
pupuk bokashi yang sama menunjukkan bahwa jumlah sumberdaya dan input
produksi yang digunakan adalah sama. Perbedaannya terletak pada sumber
pemenuhan inputnya yakni sebagian besar berupa limbah ternak baik melalui
pemanfaatan limbah ternak di dalam desa atau membelinya dari luar desa. Istilah
membeli produk antara diartikan sebagai aktivitas unit pelaksana model usahatani
terpadu yakni wilayah Desa Karehkel, untuk membeli produk antara dari luar
Desa Karehkel. Istilah memanfaatkan memiliki arti menggunakan produk antara
yang dihasilkan di dalam sistem (indigenous) atau di dalam Desa Karehkel untuk
aktivitas usaha di dalam Desa Karehkel itu sendiri.
7.2.5.2.Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Pupuk Bokashi
Bahan baku aktivitas produksi bokashi pupuk kandang terdiri dari 28,8%
kotoran domba, 28,8% kotoran kelinci, 0,4% urin kelinci dan sisanya sebanyak
42% bahan lain terdiri dari sampah dedaunan, dedak, molasses, MOL dan air
kelapa. Pada model ini yang termasuk dalam aktivitas membeli atau
memanfaatkan produk antara antara lain membeli atau memanfaatkan kotoran
domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci. Sebagai model yang diterapkan pada
kondisi tidak terintegrasi maka kebutuhan limbah ternak untuk aktivitas produksi
pupuk bokashi model SI seluruhnya dipenuhi dengan membeli dari luar desa.
Adanya hubungan terintegrasi yang dibangun pada model SII
menyebabkan aktivitas produksi pupuk bokashi memiliki alternatif untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku limbah ternak. Alternatif yang tersedia adalah
dengan membeli limbah ternak tersebut dari luar desa atau dengan memanfaatkan
limbah ternak yang dihasilkan di Desa Karehkel atau kombinasi keduanya. Model
SII menunjukkan bahwa seluruh kebutuhan kotoran domba dipenuhi dengan
membelinya dari luar desa. Hal ini disebabkan karena di Desa Karehkel tidak
terdapat aktivitas beternak domba sehingga tidak ada pula kotoran domba yang
dihasilkan. Kebutuhan kotoran kelinci dan urin kelinci dapat dipenuhi seluruhnya
112
dengan memanfaatkan limbah kelinci yang dihasilkan di dalam desa. Usaha
produksi pupuk bokashi memanfaatkan sekitar 19,73 persen kotoran kelinci dan
1,26 persen urin kelinci yang dihasilkan oleh aktivitas ternak kelinci di Desa
Karehkel. Berdasarkan nilai dual price hasil analisis optimal dapat diketahui
bahwasanya sebenarnya setiap kilogram kotoran kelinci dan urin kelinci yang
dimanfaatkan sebagai bahan baku aktivitas produksi pupuk bokashi memiliki nilai
yang sama dengan harga produk-produk antara tersebut di pasaran. Nilai kotoran
kelinci dan urin kelinci saat dimanfaatkan sebagai bahan baku aktivitas produksi
bokashi di Desa Karehkel masing-masing adalah Rp 500,00 dan Rp 1.250,00.
Pemanfaatan limbah ternak yang diproduksi di dalam desa membuat biaya
produksi aktivitas produksi bokashi model SII lebih murah dan keuntungan yang
diperoleh lebih tinggi pada jumlah produksi bokashi yang sama. Adanya
pemanfaatan kotoran kelinci dan urin kelinci pada model SII dapat menghemat
biaya sekitar 65,1 persen. Penghematan tersebut berdampak langsung pada
peningkatan keuntungan aktivitas produksi bokashi model SII dibandingkan
dengan model SI. Keuntungan aktivitas produksi pupuk bokashi SII 60,26 persen
lebih tinggi daripada keuntungan produksi bokashi model SI. Tabel 26 akan
menunjukkan penerimaan dan biaya aktivitas produksi pupuk bokashi model SI
dan SII pada kondisi optimal.
Tabel 26. Penerimaan dan Biaya Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal
Komponen Penerimaan, Pengeluaran
Total (Rp) Model SI Model SII
Penerimaan Jual bokashi 18,680,280.00 18,680,280.00 Total penerimaan 18,680,280.00 18,680,280.00 Pengeluaran Biaya bokashi non limbah ternak 1,520,055.00 1,520,055.00 Beli kotoran domba 1,614,098.00 1,614,098.00 Beli kotoran kelinci 5,649,230.00 0.00 Beli urin kelinci 196,150.00 0.00 Sewa tenaga kerja 0.00 0.00 Total Pengeluaran 8,979,533.00 3,134,153.00 Total Keuntungan 9,700,747.00 15,546,127.00
113
7.2.5.3.Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja Produksi Pupuk Bokashi
Tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia (255 HOK) habis terpakai
dalam kegiatan produksi pupuk bokashi sebanyak 25,5 ton pada model SI maupun
model SII. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang telah mencapai 100
persen memberikan informasi bahwa sumberdaya tenaga kerja keluarga produsen
pupuk bokashi menjadi sumberdaya yang langka. Setiap unit tenaga kerja dalam
keluarga yang digunakan untuk aktivitas produksi pupuk bokashi memiliki nilai
Rp 38.042,13 yakni 52,17 persen lebih tinggi daripada biaya untuk menyewa
tenaga kerja per unitnya.
7.2.5.4.Aktivitas Menjual Pupuk Bokashi
Hasil analisis model SI tentu saja menunjukkan bahwa 100 persen pupuk
bokashi yang diproduksi dijual ke luar desa. Kondisi serupa juga terjadi pada hasil
analisis output optimal model SII dimana seluruh pupuk bokashi yang diproduksi
dijual ke luar desa sehingga pupuk bokashi menjadi produk akhir. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pada model SII tidak terdapat pemanfaatan pupuk bokashi
sebagai input produksi usahatani sayuran organik. Artinya antara usahatani
sayuran organik dengan aktivitas produksi pupuk bokashi tidak terdapat hubungan
yang terintegrasi.
7.2.6. Status dan Penggunaan Sumberdaya Pendukung
Seperti halnya yang telah dijelaskan pada bagain sebelumnya bahwa
sumberdaya pendukung yang dimasukkan dalam model ini terdiri dari
ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel, ketersediaan rumput lapang, dan
ketersediaan limbah organik pasar yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan silase. Adanya perbedaan jumlah pengusahaan masing-masing
aktivitas pada model SI dan model SII menyebabkan tingkat penggunaan
sumberdaya pendukung juga berbeda.
Status sumberdaya yang dimaksud adalah posisi sumberdaya tersebut yang
melimpah atau bahkan telah habis terpakai. Model SI dan model SII menunjukkan
kondisi yang hampir sama dimana sumberdaya tenaga kerja sewa telah habis
terpakai sedangkan rumput lapang dan limbah pasar organik tidak habis terpakai.
114
Tabel 27 berikut ini akan menyajikan ketersediaan sumberdaya pendukung pada
model SI dan model SII.
Tabel 27. Ketersediaan Sumberdaya Pendukung pada Kondisi Optimal Model TSI dan Model SII
Jenis Sumberdaya Pendukung Satuan
Model SI Model SII
Sisa Ketersediaan
Nilai Kelangkaan
(Rp)
Sisa Ketersediaan
Nilai Kelangkaan
(Rp) Tenaga kerja sewa HOK 0 55.538,09 0 55.538,09 Rumput lapang kg 20,29 0 94.851,25 0 Limbah organik pasar kg 82,41 0 146,18 0
Tenaga kerja sewa di Desa Karehkel dikategorikan sebagai sumberdaya
pendukung yang bersifat langka sehingga keberadaannya menjadi sumberdaya
pendukung yang membatasi setiap kegiatan usaha. Sebanyak 9.120 tenaga kerja
sewa yang tersedia, pada model SI sebanyak 32,9 persen (3000,09 HOK)
digunakan untuk membantu aktivitas ternak kelinci dan sisanya sebanyak 67,1
persen ( 6.119,9 HOK) digunakan untuk menunjang aktivitas produksi silase.
Pada model SII, tenaga kerja sewa juga digunakan oleh aktivitas produksi silase
dengan proporsi yang lebih besar yakni 67,36 persen (6.142,84 HOK) sedangkan
sisanya dipergunakan dalam aktivitas ternak kelinci. Nilai kelangkaan tenaga
kerja sewa per HOK di Desa Karehkel 122 persen lebih tinggi daripada upah
tenaga kerja per HOK pada kondisi aktual. Artinya, setiap penggunaan tenaga
kerja sewa mampu menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi daripada biaya
sewa tenaga kerja di Desa Karehkel.
Meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan nilai kelangkaan tenaga
kerja dalam keluarga peternak kelinci dan produsen silase model SI dan model SII
maka nilai kelangkaan tenaga kerja sewa 45 persen lebih rendah. Kondisi tersebut
dapat menjelaskan bahwasanya pada harga output yang sama (jenis produk yang
sama) maka setiap tambahan tenaga kerja dalam keluarga mampu menghasilkan
penerimaan yang lebih besar daripada tenaga kerja sewa. Di sisi lain, nilai
kelangkaan tenaga kerja sewa 31,5 persen lebih tinggi.
Dalam hal penggunaan rumput lapang, model SI menggunakan 40,09
persen rumput yang tersedia untuk pakan kelinci, 59,9 persen untuk pakan domba,
115
dan yang tersisa hanyalah 0,01 persen. Adanya rumput yang tersisa menyebabkan
sumberdaya ini bukanlah merupakan sumberdaya yang bersifat langka.
Penggunaan rumput SI lebih jauh dapat menyebabkan rumput menjadi
sumberdaya pembatas pada aktivitas ternak di Desa Karehkel. Berbeda halnya
pada status ketersediaan rumput model SII dimana rumput yang tersisa masih
cukup melimpah. Rumput pada model SII hanya dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan pakan kelinci sehingga penggunaannya relatif sedikit daripada model
SI. Jumlah rumput yang digunakan untuk pakan ternak kelinci adalah sebanyak
22,71 persen dari total rumput yang tersedia.
Keberadaan limbah sayuran pasar pada kedua model tidak menjadi
sumberdaya pembatas dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku silase di Desa
Karehkel. Jumlah limbah sayuran pasar yang tersisa tidak begitu banyak yakni
masing-masing pada model SI dan SII adalah sebanyak 0,006 persen dan 0,01
persen. Penggunaan limbah pasar dengan tidak terkontrol dapat menyebabkan
limbah pasar menjadi sumberdaya pendukung yang bersifat terbatas atau langka.
7.2.7. Aliran Produk dan Total Keuntungan Model SI dan Model SII
Faktor ekonomi menjadi salah satu penentu keberhasilan penerapan
pertanian terpadu di Desa Karehkel. Indikator ekonomi yang digunakan dalam
model ini adalah berupa total keuntungan wilayah. Apabila penerapan pertanian
terpadu (terintegrasi) pada skala wilayah dapat memberikan keuntungan yang
lebih tinggi daripada penerapan setiap aktivitas usaha secara tidak terintegrasi
maka hal tersebut dapat menjadi insentif ekonomi untuk menerapkan pertanian
terpadu. Selain itu akan dilakukan pula analisis mengenai aliran produk pada
model SI dan model SII sehingga dapat memberikan informasi mengenai produk
yang bernilai ekonomi dan kedudukan produk pada model yang dibangun apakah
sebagai produk akhir, produk antara, atau keduanya.
7.2.7.1.Aliran Produk Model SI dan Model SII
a. Aliran Produk Model SI
Uraian pada bagian sebelumnya telah menerangkan bahwa pada model SI
diterapkan pada kondisi tidak terintegrasi. Produk yang dihasilkan baik produk
utama maupun produk sampingan dijual ke luar desa. Limbah-limbah yang
116
dihasilkan dari setiap aktivitas usahatani sama sekali tidak dimanfaatkan di dalam
desa. Gambar 4 berikut ini akan mengilustrasikan aliran produk pada model SI.
Keterangan: : Produk dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa
Gambar 4. Aliran Produk Model SI
59,9% (73500 kg)
40,09 % (49.204,3 kg)
Produksi Sayur (bedeng)
Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual sayur (kg)
Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85
Jual limbah sayur (kg) 5.252,35
Domba (ekor) 392
Produksi daging domba
(kg) 552.72
Jual limbah domba
(kg) 18.028
Kelinci (ekor) 3.610
Jual anakan kelinci (ekor) 25.270
Jual urin (kg)
10.974,34
Jual kotoran kelinci (kg)
50.540
Bokashi (kg)
25.500
Jual pupuk bokashi (kg)
25.500
Silase (kg) 1.274.980,75
Jual silase (kg) 1.274.980,75
Beli kotoran domba(kg) 11.298,46
Beli urin
kelinci(kg)
156,92
Beli kotoran kelinci(kg) 11.298,46
Beli pupuk kotoran ayam
(kg) 35.822,25
Beli limbah organik pasar
(kg) 1.441.942,63
Ketersediaan rumput (kg) 122.724,,6
117
Gambar 4 selain menunjukkan 100 persen produk yang dihasilkan dijual
ke luar desa, input produksi berupa pupuk kotoran ayam, urin kelinci, kotoran
kelinci, kotoran domba, limbah organik pasar seluruhnya juga dibeli dari luar desa
dengan harga pasar yang berlaku seperti halnya yang telah dipaparkan pada
bagian sebelumnya. Aliran produk tersebut dapat menjelaskan kedudukan produk
yang dihasilkan, baik produk utama maupun produk sampingan dari setiap
aktivitas usaha dalam model SI adalah sebagai produk akhir. Final product yang
memiliki nilai ekonomi diantaranya selada, kangkung, caisin, bayam merah,
bayam hijau, limbah sayuran, kotoran domba, daging domba, kotoran kelinci, urin
kelinci, anakan kelinci, silase, dan pupuk bokashi.
b. Aliran Produk Model SII
Keterkaitan antara aktivitas satu dengan aktivitas lainnya dalam suatu
hubungan yang terintegrasi pada model SII menyebabkan aliran produk menjadi
lebih kompleks. Berdasarkan analisis kualitatif model SII maka dapat diperoleh
informasi bahwasanya model usahatani sayuran organik terpadu tidak dapat
diterapkan di Desa Karehkel. Penyebabnya adalah tidak terintegrasinya aktivitas
usahatani sayuran organik dengan aktivitas produksi pupuk bokashi. Model SII
menunjukkan tidak aktivitas pemanfaatan pupuk bokashi di dalam desa. Atau
dengan kata lain, seluruh pupuk bokashi yang diproduksi lebih baik dijual ke luar
desa dan kebutuhan pupuk organik dipenuhi dengan membeli kotoran ayam yang
berasal dari luar desa.
Adanya keputusan penggunaan suatu produk untuk dua tujuan dapat
menunjukkan hubungan yang kompetitif. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan
misalnya oleh produk silase yang dihasilkan pada model SII. Pada kondisi
terintegrasi, silase dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan atau dijual ke
luar desa. Peningkatan pemanfaatan silase akan diikuti dengan penurunan jumlah
silase yang dijual. Sejumlah silase yang tidak jadi dijual merupakan sebuah
korbanan agar dapat meningkatkan pemanfaatan silase di dalam desa. Gambar 5
berikut ini dapat menunjukkan hubungan kompetitif suatu produk untuk dua
alternatif tujuan penggunaan dan akan memberikan informasi mengenai aliran
produk model SII. Selain itu Gambar 5 juga dapat menggambarkan kedudukan
produk sebagai produk akhir, produk antara, maupun sekaligus keduanya.
118
Keterangan : : Produk akhir dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa : Aktivitas usaha/produksi : Produk antara
Gambar 5. Aliran Produk Model SII
Hubungan kompetitif pada sebuah produk juga dapat ditunjukkan pada
produk pupuk bokashi. Peningkatan jumlah pupuk bokashi yang akan
dimanfaatkan sebagai pupuk organik di dalam desa harus diikuti dengan korbanan
sejumlah pupuk bokashi yang tidak jadi dijual ke luar desa. Berdasarkan analisis
model SII, menunjukkan bahwasanya setiap pupuk bokashi yang dimanfaatkan di
dalam desa memiliki nilai yang sama dengan harga jual pupuk bokashi yakni Rp
98,74%
1,26%
80,27% 19,73%
2,18%
97,82%
100%
Produksi Sayur (bedeng)
Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual sayur (kg)
Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85
Pemanfaatan limbah sayur
(kg) 5.252,35
Silase (kg) 1.274.980,75
Jual silase (kg) 1.251.695,25
Ternak kelinci (ekor)
4.090
Jual anakan kelinci (ekor) 25.270
Jual kotoran kelinci
(kg) 45.961,5
Jual urin (kg) 12.276,68
Produksi kotoran
kelinci (kg) 57.260
Pupuk Bokashi
(kg) 25.500
Jual bokashi (kg)
25.500
Produksi urin (kg) 12.433,6
Pemanfaatan urin (kg)
156,92
Pemanfaatan kotoran
kelinci (kg) 11.298,46
Beli kotoran
domba(kg) 11.298,46
Beli pupuk kotoran ayam
(kg) 35.822,25
Beli limbah organik pasar
(kg) 1.441.878,88
Pakan rumput (kg) 27.873,35
Pemanfaatan silase(kg) 27.794,58
119
732,56 per kilogramnya. Misalnya peningkatan pemanfaatan pupuk bokashi di
dalam desa sebanyak 1 kg harus diikuti dengan penurunan silase yang dijual
sebanyak 1 kg. Apabila terdapat peningkatan pemanfaatan pupuk bokashi di
dalam desa sebanyak 1 kg maka akan secara langsung mengurangi jumlah pupuk
bokashi yang dijual sehingga penerimaan GPW akan berkurang sebesar Rp
732,56. Pada tingkat produktivitas sayuran organik dan harga sayuran per
kilogram yang sama tentu saja pemanfaatan pupuk bokashi akan merugikan.
Usahatani sayuran organik harus mengeluarkan biaya pupuk yang lebih
tinggi daripada saat menggunakan pupuk kotoran ayam. Harga pupuk bokashi per
kilogram yang diproduksi (Rp 732,56) adalah 340 persen lebih mahal daripada
harga kotoran ayam per kilogramnya (Rp 166,67). Keputusan memanfaatkan
pupuk bokashi di dalam desa adalah merugikan sistem (wilayah) karena biaya
produksi yang digunakan untuk memproduksi sayuran organik akan meningkat
tanpa disertai dengan kenaikan harga atau peningkatan produktivitas dan
produsen pupuk bokashi akan kehilangan penerimaan sebanyak Rp 732,56 untuk
setiap pupuk bokashi yang dimanfaatkan. Oleh karena itu antara usahatani
sayuran organik dan aktivitas produksi pupuk bokashi tidak dapat terintegrasi.
Berdasarkan aliran produk pada Gambar 5 di atas dapat dilihat
bahwasanya produk-produk yang termasuk produk akhir antara lain sayuran
organik segar, anakan kelinci, kotoran kelinci, urin kelinci, silase, dan pupuk
bokashi. Selain sebagai produk akhir, kotoran kelinci, urin kelinci, dan silase juga
berkedudukan sebagai produk antara (intermediate product). Keberadaan limbah
sayuran juga berfungsi sebagai produk antara. Kotoran dan urin kelinci
dipergunakan sebagai bahan baku produksi pupuk bokashi, silase yang dihasilkan
digunakan sebagai pakan kelinci, dan limbah sayuran digunakan sebagai bahan
baku hijauan silase. Jadi dalam sebuah sistem pertanian terpadu sebuah produk
dapat memiliki dua kedudukan yakni sebagai produk akhir maupun produk antara.
Final product yang memiliki nilai ekonomi pada model SII antara lain sayuran
organik segar, anakan kelinci, kotoran kelinci, urin kelinci, pupuk bokashi dan
silase. Keberadaan produk antara sebenarnya juga memiliki nilai ekonomi pada
saat dimanfaatkan sebagai input produksi aktivitas usaha lain. Nilai ekonomi
120
produk antara dapat dilihat pada nilai dual price produk antara yakni setara
dengan harga pasar per unit produk antara tersebut.
7.2.7.2.Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII Berdasarkan analisis aliran produk model SII pada bagian sebelumnya
menunjukkan bahwa pertanian terpadu tidak dapat diterapkan di Desa Karehkel.
Meskipun demikian, adanya hubungan sinergis antara usahatani sayuran organik-
aktivitas produksi silase, produksi silase dengan ternak kelinci, dan ternak kelinci
dengan aktivitas produksi bokashi dapat menghasilkan total keuntungan yang
lebih tinggi daripada model tidak terintegrasi SI. Adanya hubungan yang sinergis
juga dapat berdampak terhadap adanya penghematan biaya produksi, khususnya
pada aktivitas produksi pupuk bokashi pada model SII. Kondisi tersebut
membuktikan bahwasanya pertanian terpadu dapat berpotensi untuk
meningkatkan total keuntungan baik dengan cara peningkatan jumlah ouput
produksi maupun penghematan yang dapat dilakukan.
Hasil pemecahan optimal menunjukkan bahwa total keuntungan yang
dihasilkan model SII 0,74 persen lebih tinggi daripada model SI. Komponen
penerimaan terbesar pada kedua model tersebut berasal dari penjualan silase yakni
rata-rata 62,06 persen dari total penerimaan. Aktivitas ternak kelinci juga
menunjukkan potensi yang cukup besar dalam menyumbang penerimaan model SI
dan SII. Penerimaan dari aktivitas ternak kelinci berasal dari penjualan tiga
produk yakni penjualan anakan kelinci, penjualan kotoran kelinci, dan penjualan
urin kelinci. Produk-produk kelinci menghasilkan penerimaan terbesar kedua
setelah produk silase yakni berkontribusi rata-rata sebesar 23,3 persen. Komponen
penerimaan terkecil pada kedua model berasal dari aktivitas penjualan pupuk
bokashi. Pada komponen biaya, aktivitas memproduksi silase memberikan
kontribusi terbesar terhadap pengeluaran model SI dan SII yakni rata-rata sebesar
70,19 persen dari total pengeluaran. Tabel 28 akan secara lengkap menyajikan
komponen penerimaan dan komponen pengeluaran dari hasil analisis optimal
model SI dan model SII.
121
Tabel 28. Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal
Komponen Penerimaan/Pengeluaran Model SI Model SII
Total (Rp) % Total (Rp) % Penerimaan Jual sayuran organik 167,607,420.00 12.68 167,607,420.00 12.66 Jual limbah sayuran 806,971.05 0.06 0.00 0.00 Jual daging domba 11,607,120.00 0.88 0.00 0.00 Jual kotoran domba 2,575,491.51 0.19 0.00 0.00 Jual anakan kelinci 252,700,000.00 19.12 286,300,000.00 21.62 Jual kotoran kelinci 25,270,000.00 1.91 22,980,770.00 1.74 Jual urin kelinci 13,717,987.50 1.04 15,345,850.00 1.16 Jual Silase 828,546,240.39 62.70 813,414,158.21 61.42 Jual bokashi 18,680,280.00 1.41 18,680,280.00 1.41 Total Penerimaan 1,321,511,510.45 100.00 1,324,328,478.21 100.00 Pengeluaran Biaya sayuran organik non pupuk 11,047,716.91 1.86 11,047,716.91 1.87 Beli pupuk kotoran ayam 5,970,494.41 1.01 5,970,494.41 1.01 Sewa tenaga kerja sayur 0.00 0.00 0.00 0.00 Biaya domba non pakan 196,000.00 0.03 0.00 0.00 Sewa tenaga kerja domba 0.00 0.00 0.00 0.00 Biaya kelinci non pakan 23,722,862.30 4.00 26,877,148.70 4.55 Sewa tenaga kerja kelinci 75,002,250.00 12.65 74,429,000.00 12.60 Biaya silase non bahan baku hijauan 93,583,587.05 15.78 93,920,337.08 15.91 Beli sampah organik pasar 221,540,064.91 37.36 221,530,270.36 37.52 Sewa tenaga kerja silase 152,997,500.00 25.80 153,571,000.00 26.01 Biaya bokashi non limbah ternak 1,520,055.00 0.26 1,520,055.00 0.26 Beli kotoran kelinci 5,649,230.00 0.95 0.00 0.00 Beli kotoran domba 1,614,098.00 0.27 1,614,098.00 0.27 Beli urin kelinci 196,150.00 0.03 0.00 0.00 Sewa tenaga kerja bokashi 0.00 0.00 0.00 0.00 Total Pengeluaran 593,040,008.57 100.00 590,480,120.44 100.00 Total Keuntungan 728,471,501.88 733,848,357.77
Jumlah pengusahaan setiap jenis sayuran organik model SI adalah sama
dengan model SII (25,5 ton). Aktivitas ternak domba hanya ada pada model SI
sehingga komponen biaya dan komponen penerimaan ternak domba model SII
bernilai nol. Pada aktivitas produksi silase dan ternak kelinci model SII
diusahakan lebih banyak daripada model SI. Adanya pemanfaatan silase untuk
pakan ternak kelinci dan pemanfaatan limbah kelinci sebagai bahan baku pupuk
bokashi pada model SII menyebabkan penerimaan dari penjualan produk silase
dan kotoran kelinci menjadi lebih kecil daripada model SI. Pemanfaatan silase dan
kotoran kelinci di Desa Karehkel pada model SII masing-masing adalah sebanyak
122
2,18 persen (27,9 ton) dan 19,73 persen (11,3 ton) secara langsung berdampak
pada pengurangan jumlah silase dan kotoran kelinci yang dijual. Jika
dibandingkan dengan model SI maka jumlah silase yang dijual pada model SII
1,83 persen lebih rendah dan penjualan kotoran kelinci model SII 9,06 persen
lebih rendah. Pemanfaatan kotoran kelinci sebagai bahan baku pupuk bokashi di
dalam desa dapat menghemat biaya pembelian kotoran kelinci sebesar 65,1
persen. Meskipun demikian, secara keseluruhan penghematan yang dilakukan
pada aktivitas produksi pupuk bokashi tersebut tersebut tidak berdampak begitu
besar bagi penghematan biaya pada model SII. Hal-hal tersebutlah yang
menyebabkan peningkatan total keuntungan penerapan model SII tidak terlalu
besar jika dibandingkan dengan model SI.
7.3. Analisis Pasca Optimal
Analisis pasca optimal pada penelitian ini meliputi analisis sensitivitas dan
analisis skenario kebijakan penggunaan pupuk bokashi di dalam desa. Analisis
sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kepekaan model terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi pada kondisi aktual. Analisis kebijakan penggunaan pupuk
bokashi adalah skenario yang dirancang sedemikian rupa sehingga pada model SII
dapat diterapkan pertanian terpadu. Setiap skenario tersebut tentu saja memiliki
konsekuensi yang berbeda-beda terhadap keputusan optimal model dan
berdampak langsung pada total keuntungan wilayah yang dihasilkan. Pada
pemaparan selanjutnya akan dibahas secara lebih rinci mengenai analisis pasca
optimal ini.
7.3.1. Skenario Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu
Produsen bokashi model SII lebih menguntungkan untuk menjual seluruh
pupuk yang diproduksi ke luar desa sedangkan seluruh kebutuhan pupuk
usahatani sayuran organik lebih baik jika dipenuhi dengan membeli dari luar desa.
Pembuatan pupuk bokashi dan pupuk kotoran ayam adalah dua teknologi yang
berbeda sehingga memiliki harga yang berbeda di pasaran. Harga pupuk kotoran
ayam jauh lebih murah daripada pupuk bokashi. Oleh karena itu agar
memungkinkan untuk menerapkan pertanian terpadu di Desa Karehkel perlu
disusun skenario berupa kebijakan penggunaan pupuk bokashi untuk usahatani
123
sayuran organik dengan proporsi tertentu. Skenario kebijakan yang dibangun
dalam penelitian ini berupa kewajiban pemakaian pupuk bokashi sebanyak 30
persen dari total kebutuhan pupuk organik, lalu dilanjutkan dengan proporsi yang
terus meningkat yakni 50 persen, 70 persen, dan 100 persen.
Skenario kebijakan yang dilakukan tentu saja akan berdampak pada
perubahan total keuntungan wilayah. Analisis ekonomi pada skenario-skenario
tersebut ditujuan untuk mengetahui besarnya peningkatan atau penurunan total
keuntungan wilayah sehingga akan menentukan daya tarik ekonomi rencana
penerapan pertanian terpadu ini di Desa Karehkel. Apabila adanya kebijakan
tersebut menghasilkan total keuntungan yang lebih besar daripada kondisi tidak
terintegrasi maka kondisi tersebut dapat menunjukkan adanya insentif ekonomi
terhadap program pertanian terpadu sehingga akan menguntungkan apabila
diterapkan. Apabila kondisi sebaliknya yang terjadi, maka program pertanian
terpadu ini memerlukan insentif ekonomi yang lebih tinggi agar total keuntungan
yang dihasilkan secara komparatif adalah minimal sama atau lebih tinggi daripada
kondisi tidak terintegrasi.
Insentif ekonomi yang digunakan dalam skenario ini adalah berupa
kenaikan harga jual sayuran organik setiap kilogramnya. Tidak digunakannya
insentif ekonomi berupa peningkatan jumlah produksi sayuran organik akibat
penggunaan pupuk bokashi daripada pupuk kotoran ayam disebabkan karena
dalam penelitian ini mengabaikan adanya pengaruh penggunaan input produksi
yang berbeda terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Selain itu penentuan
peningkatan produksi akibat penggunaan pupuk bokashi tidak dapat dilakukan
begitu saja karena memerlukan kajian teknis secara khusus mengenai dampak
penggunaan pupuk bokashi bagi peningkatan produksi sayuran.
Melalui skenario ini dapat diketahui peningkatan harga sayuran organik
yang harus dilakukan untuk setiap kilogramnya sehingga total keuntungan yang
dihasilkan adalah minimal sama dengan model SII. Harga produk lain
diasumsikan tetap karena penggunaan pupuk bokashi merupakan input produksi
usahatani sayuran organik sehingga sebagai kompensasinya harga per kilogram
sayuran organik harus mengalami peningkatan.
124
7.3.1.1.Model Skenario I (MS1): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 30 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik
MS1menunjukkan bahwa jumlah pengusahaan setiap jenis sayuran
organik, ternak kelinci, ternak domba, produksi silase, dan produksi pupuk
bokashi adalah sama dengan kondisi optimal model SII. Aliran produk utama
maupun produk sampingan yang dihasilkan usahatani sayuran organik, ternak
kelinci, dan produksi silase juga sama. Perbedaannya adalah pada aliran produk
pupuk bokashi dimana sebanyak 42,14 persen (10,7ton) pupuk bokashi yang
diproduksi dimanfaatkan oleh aktivitas usahatani sayuran organik.
Jumlah produksi pupuk bokashi yang sama dengan model SII
menyebabkan jumlah pupuk bokashi yang dijual adalah lebih sedikit daripada
model SII. Jumlah pupuk bokashi yang dijual pada SII sekitar 73 persen lebih
banyak daripada MS1. Hal ini menyebabkan total keuntungan MS1 0,83 persen
lebih rendah dibandingkan dengan total keuntungan wilayah model SII. Kebijakan
penggunaan pupuk bokashi sebanyak 30 persen dari total kebutuhan pupuk
organik usahatani sayuran organik adalah merugikan. Berdasarkan hasil trial and
error maka untuk memperoleh keuntungan yang relatif sama atau lebih besar
dibanding total keuntungan wilayah model SII maka harga jual setiap jenis
sayuran organik per kilogramnya harus meningkat minimal 3,63 persen.
MS1 menunjukkan bahwasanya aktivitas-aktivitas yang sebaiknya
diintegrasikan antara lain usahatani sayuran organik, aktivitas produksi silase,
aktivitas produksi pupuk bokashi, dan ternak kelinci. Produk-produk yang bernilai
ekonomi dalam pada MS1 antara lain selada, kangkung, caisin, bayam merah,
bayam hijau, kotoran kelinci, anakan kelinci, urin kelinci, silase, dan pupuk
bokashi. Adanya hubungan integrasi pada keempat aktivitas tersebut
menunjukkan bahwa limbah sayuran yang dihasilkan, urin kelinci, kotoran
kelinci, silase, dan pupuk bokashi juga berkedudukan sebagai produk antara
(intermediate product). Gambar 5 berikut ini akan menggambarkan aliran produk
pada MS1.
125
Keterangan : : Produk akhir dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa : Aktivitas usaha/produksi : Produk antara
Gambar 6. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal MS1
7.3.1.2.Model Skenario II (MS2): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 50 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik
Kondisi optimal MS2 relatif sama dengan kondisi optimal MS1 dan model
SII. Perbedaannya hanya pada aliran produk pupuk bokashi dimana sekitar 70,24
persen bokashi yang diproduksi (17,91 ton) digunakan sebagai pupuk usahatani
98,74%
1,26%
80,27% 19,73%
2,18%
97,82%
100%
Produksi Sayur (bedeng)
Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual sayur (kg)
Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85
Pemanfaatan limbah sayur
(kg) 5.252,35
Silase (kg) 1.274.980,75
Jual silase (kg) 1.251.695,25
Ternak kelinci (ekor)
4.090
Jual anakan kelinci (ekor) 25.270
Jual kotoran kelinci
(kg) 45.961,5
Jual urin (kg) 12.276,68
Produksi kotoran
kelinci (kg) 57.260
Pupuk Bokashi
(kg) 25.500
Jual bokashi (kg)
14.753,33
Produksi urin (kg) 12.433,6
Pemanfaatan urin (kg)
156,92
Pemanfaatan kotoran
kelinci (kg) 11.298,46
Beli kotoran
domba(kg) 11.298,46
Beli limbah organik pasar
(kg) 1.441.878,88
Pakan rumput (kg) 27.873,35
Pemanfaatan silase(kg) 27.794,58
42,14%
Pemanfaatan bokashi (kg)
10.746,68
126
sayuran organik. Jumlah pupuk bokashi yang dijual adalah semakin sedikit jika
dibandingkan dengan MS1dan model SII. Besarnya penurunan total keuntungan
jika dibandingkan dengan model SII adalah sebesar 1,38 persen (-Rp
10.135.726,53). Agar total keuntungan MS2 lebih besar dibandingkan model SII
maka harga jual per kilogram sayuran organik perlu dinaikkan minimal 6,05
persen.
7.3.1.3.Model Skenario III (MS3): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 70 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik
Kewajiban penggunaan pupuk bokashi sebanyak 70 persen memberikan
dampak yang lebih besar terhadap penurunan total keuntungan MS3. Total
keuntungan MS3 1,93 persen lebih rendah jika dibandingkan dengan model SII.
Sebagai konsekuensinya memerlukan peningkatan harga sayuran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan MS2 dan MS1. Besarnya peningkatan minimal harga jual
per kilogram sayuran yang perlu dilakukan agar setidaknya total keuntungan MS3
lebih besar daripada model SII adalah sebesar 8,47 persen. Jumlah pengusahaan
dan aliran produk aktivitas usahatani sayuran organik, ternak kelinci, dan silase
adalah sama dengan kondisi optimal model SII. Jumlah pupuk bokashi yang
diproduksi pun sama namun 98,34 persen pupuk bokashi yang diproduksi
dimanfaatkan oleh aktivitas usahatani sayuran organik.
7.3.1.4.Model Skenario IV (MS4): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 100 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik Semakin besarnya kewajiban penggunaan pupuk bokashi untuk usahatani
sayuran organik berdampak pada penurunan total keuntungan yang lebih besar.
Total keuntungan MS4 3,23 persen lebih rendah dibandingkan dengan total
keuntungan model SII. Kondisi tersebut memerlukan peningkatan harga jual per
kilogram setiap jenis sayuran organik yakni minimal sebesar 14,15 persen.
Kondisi optimal MS4 berbeda dengan hasil analisis optimal model SII, MS1,
MS2, dan MS3. Jumlah pengusahaan usahatani sayuran organik dan aliran produk
sayuran organik masih sama namun untuk aktivitas ternak kelinci, produksi silase
dan produksi pupuk bokashi adalah berbeda. Gambar 6 berikut ini
menggambarkan jumlah pengusahaan dan aliran produk pada MS4.
127
Keterangan : : Produk akhir dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa : Aktivitas usaha/produksi : Produk antara
Gambar 7. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model MS4
Jumlah kelinci yang dibudidayakan pada kondisi optimal MS4 2,6 persen
lebih sedikit dibandingkan dengan model SII. Adanya peningkatan produksi
pupuk bokashi menyebabkan terjadinya peningkatan pemanfaatan limbah kelinci
di dalam desa. Besarnya peningkatan pemanfaatan urin kelinci dan kotoran kelinci
100%
98,18%
1,82%
71,54% 28,46%
2,12%
97,88%
100%
Produksi Sayur (bedeng)
Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual sayur (kg)
Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85
Pemanfaatan limbah sayur
(kg) 5.252,35
Silase (kg) 1.279.642.88
Jual silase (kg) 1.252.491.88
Ternak kelinci (ekor)
3.984
Jual anakan kelinci (ekor) 27.888
Jual kotoran kelinci
(kg) 39.903.9
Jual urin (kg) 11.890,92
Produksi kotoran
kelinci (kg) 55.776
Pupuk Bokashi
(kg) 35.822,25 Produksi
urin (kg) 12.111,36
Pemanfaatan urin (kg)
220.44
Pemanfaatan kotoran
kelinci (kg) 15.872,01
Beli kotoran
domba(kg) 15.872.01
Beli limbah organik pasar
(kg) 1.441.962.75
Pakan rumput (kg) 27.150,96
Pemanfaatan silase(kg)
27.151
Pemanfaatan bokashi (kg)
35.822,25
128
di dalam desa masing-masing 0,56 persen dan 8,73 persen lebih tinggi daripada
model SII.
Model MS4 menunjukkan aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan antara
lain usahatani sayuran organik, ternak kelinci, aktivitas produksi silase, dan
aktivitas produksi pupuk bokashi. Limbah sayuran organik hanya berfungsi
sebagai produk antara sedangkan limbah ternak kelinci, silase, dan pupuk bokashi
memiliki fungsi ganda yakni sebagai produk antara dan produk akhir. Produk
akhir yang memiliki nilai ekonomi pada MS4 antara lain sayuran organik segar,
anakan kelinci, kotoran kelinci, urin kelinci, silase, dan pupuk bokashi.
7.3.1.5.Analisis Kebijakan MS1, MS2, MS3 dan MS4 Hasil analisis optimal MS1, MS2, MS3, dan MS4 menunjukkan
bahwasanya kebijakan penggunaan pupuk bokashi untuk aktivitas usahatani
sayuran organik adalah merugikan. Besarnya kerugian yang harus diterima
sebagai konsekuensi penerapan kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi pada MS1,
MS2, MS3, dan MS4 dapat dilihat pada Tabel 29 berikut ini.
Tabel 29. Konsekuensi Penerapan Kebijakan Penggunaan Pupuk terhadap Total Keuntungan MS1, MS2, MS3, dan MS4
Skenario Kerugian (Rp) Persentase Kerugian (%)
MS1 -6.081.435,92 0,83 MS2 -10.135.726,53 1,38 MS3 -14.190.017,14 1,93 MS4 -23.713.275,80 3,23
Tabel 29 dapat menunjukkan bahwasanya setiap kebijakan penggunaan
pupuk bokashi dengan jumlah yang semakin meningkat akan semakin merugikan
bagi pengusahaan usahatani sayuran organik secara terpadu. Hal tersebut lah yang
menjadi alasan mengapa hasil analisis optimal model SII menunjukkan bahwa
sebaiknya seluruh pupuk bokashi yang diproduksi dijual ke luar desa. Kerugian
yang harus ditanggung adalah keuntungan yang harus dikorbankan akibat
penggunaan sejumlah pupuk bokashi pada masing-masing skenario.
Setiap kilogram pupuk bokashi MS1, MS2, dan MS3 yang dimanfaatkan
di dalam desa akan merugikan sebesar Rp 565,89. Kerugian yang harus
ditanggung dari setiap kilogram pupuk bokashi MS4 yang dimanfaatkan (Rp
129
661,97) adalah 17 persen lebih tinggi daripada MS1, MS2, dan MS3. Oleh karena
itu, perlu adanya peningkatan efisiensi dalam aktivitas produksi pupuk bokashi.
Peningkatan efisiensi tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan skala
ekonomi. Selain itu, adanya perubahan teknologi dalam pembuatan pupuk bokashi
juga dapat menunjang efisiensi produksi pupuk bokashi. Adanya teknologi baru
dalam pembuatan pupuk bokashi dapat ditujukan untuk menghasilkan pupuk
dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar dengan input yang lebih rendah
atau mampu menghasilkan output lebih tinggi dengan jumlah penggunaan input
relatif sama. Selain itu komposisi bahan baku juga dapat ditinjau ulang karena
bahan baku yang cukup beragam dapat meningkatkan biaya produksi. Adanya
perbaikan komposisi bahan baku pupuk bokashi dapat menjadi salah satu
alternatif untuk memproduksi pupuk bokashi dengan biaya produksi yang lebih
murah.
7.4. Analisis Sensitivitas
Adanya hubungan terintegrasi pada berbagai aktivitas usaha pada MUSOT
yang dibangun salah satunya ditentukan oleh adanya pasar produk antara di luar
desa. Pasar produk antara dapat menjadi penyebab kegagalan suatu sistem
pertanian terintegrasi apabila produk antara yang dihasilkan di dalam sistem (di
dalam desa) lebih menguntungkan apabila dijual ke luar desa. Adanya perubahan
harga jual maupun harga beli produk antara di pasar produk antara juga sangat
mempengaruhi keberlanjutan pertanian terpadu yang diterapkan.
Tabel 30 dapat memberikan informasi bahwa adanya peningkatan harga
jual per kilogram limbah sayur, kotoran kelinci, urin kelinci, dan silase pada
seluruh skenario akan sangat mempengaruhi hubungan terintegrasi yang dibangun
pada MUSOT. Hal ini dapat ditunjukkan pada besarnya peningkatan harga jual
per kilogram limbah sayur, kotoran kelinci, urin kelinci, dan silase yang dapat
ditolerir bernilai nol persen. Artinya apabila terjadi peningkatan harga jual
produk-produk tersebut akan memberikan insentif ekonomi yang lebih tinggi atau
lebih menguntungkan apabila produk antara yang dihasilkan dijual ke luar desa.
Kondisi tersebut dapat berdampak pada dapat diterapkan atau tidaknya pertanian
terpadu di Desa Karehkel.
130
Tabel 30. Selang Kepekaan Perubahan Harga pada MS1, MS2, MS3, dan MS4
Aktivitas Harga Saat Ini (Rp)
Perubahan Harga (%)
MS1, MS2, MS3 MS4 Maksimum Minimum Maksimum Minimum
Biaya produksi selada -29,563.80 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Biaya produksi kangkung -14,781.90 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Biaya produksi caisin -12,872.28 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Biaya produksi bayam merah -7,291.99 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Biaya produksi bayam hijau -6,037.24 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Biaya produksi domba -500.00 tak terhingga -5,048.66 tak terhingga -5,048.66 Biaya produksi kelinci -6,571.43 tak terhingga -135.59 tak terhingga -135.59 Biaya produksi bokashi -59.61 638.18 -712.90 638.18 -712.90 Biaya produksi silase -73.40 289.48 tak terhingga 289.48 tak terhingga Beli pupuk kotoran ayam -166.67 tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga Beli kotoran kelinci -500.00 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Beli urin kelinci -1,250.00 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Beli kotoran domba -142.86 601.00 0.00 tak terhingga 0.00 Beli limbah pasar -153.64 122.29 0.00 122.29 0.00 Beli silase -649.85 tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 Sewa tenaga kerja kelinci -25,000.00 tak terhingga -322.15 tak terhingga -322.15 Sewa tenaga kerka domba -25,000.00 tak terhingga -322.15 tak terhingga -322.15 Sewa tenaga kerja sayuran -25,000.00 tak terhingga -322.15 tak terhingga -322.15 Sewa tenaga kerja silase -25,000.00 169.98 tak terhingga 169.98 tak terhingga Sewa tenaga kerja bokashi -25,000.00 tak terhingga -169.98 tak terhingga -169.98 Jual limbah sayur 153.64 0.00 tak terhingga 0.00 tak terhingga Jual selada 9,000.00 tak terhingga -100.00 tak terhingga -100.00 Jual kangkung 5,000.00 tak terhingga -100.00 tak terhingga -100.00 Jual caisin 8,000.00 tak terhingga -100.00 tak terhingga -100.00 Jual bayam merah 6,000.00 tak terhingga -100.00 tak terhingga -100.00 Jual bayam hijau 6,000.00 tak terhingga -100.00 tak terhingga -100.00 Jual daging domba 21,000.00 tak terhingga -100.00 tak terhingga -100.00 Jual kotoran domba 142.86 0.00 tak terhingga 0.00 tak terhingga Jual anakan kelinci 10,000.00 tak terhingga -100.00 tak terhingga -100.00 Jual kotoran kelinci 500.00 0.00 -100.00 0.00 -100.00 Jual urin kelinci 1,250.00 0.00 -100.00 0.00 -100.00 Jual bokashi 732.56 58.01 -51.93 58.01 tak terhingga Jual silase 649.85 0.00 -32.70 649.85 -32.70
Berapapun besarnya peningkatan harga jual sayuran organik segar per
kilogramnya tidak akan mengubah keputusan optimal model masing-masing
skenario. Adanya peningkatan harga sayuran organik setiap kilogramnya pada
MS1, MS2, MS3, dan MS4 sebagai konsekuensi kebijakan penggunaan pupuk
bokashi di dalam desa tidak merubah keputusan optimal keempat model tersebut.
Perubahan harga tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan total
131
keuntungan wilayah sehingga minimal akan sama dengan total keuntungan
wilayah model SII yang tidak terintegrasi.
Peningkatan biaya produksi non produk antara pada setiap aktivitas usaha
di dalam MUSOT juga akan menentukan apakah usaha tersebut dijalankan atau
tidak. Aktivitas ternak domba adalah aktivitas yang sangat merugikan apabila
diusahakan. Hal ini terlihat pada Tabel 30 dimana apabila ternak domba
diusahakan maka setiap peternak domba tersebut harus diberikan insentif ekonomi
yang sangat tinggi untuk setiap kilogram domba yang dipeliharanya yakni
minimal -5.048,67 persen dari biaya produksi domba non pakan. Atau dengan
kata lain, setiap peternak domba harus diberi insentif ekonomi minimal sebesar
Rp 24.743,35 untuk setiap ternak domba yang dipelihara. Perubahan biaya
produksi non produk antara pada aktivitas lain di luar selang kepekaan Tabel 30,
dapat merubah hubungan terintegrasi yang dibangun pada keempat skenario
kebijakan tersebut.
Selain perubahan harga setiap aktivitas, adanya perubahan terhadap
ketersediaan sumberdaya yang terdapat pada masing-masing model juga dapat
mempengaruhi hubungan terintegrasi antar masing-masing aktivitas. Perubahan
iklim yang senantiasa tidak dapat diprediksi dapat menyebabkan perubahan
ketersediaan sumberdaya misalnya ketersediaan pakan hijauan lapang pada musim
kemarau dan hujan, produksi limbah sayuran di setiap musimnya. Hal lain yang
mungkin saja terjadi adalah apabila terjadi migrasi penduduk atau alih pekerjaan
tenaga kerja usahatani sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya
tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja sewa. Tabel 31 berikut ini akan
menyajikan selang kepekaan perubahan ketersediaan masing-masing sumberdaya
pada keempat skenario.
Berdasarkan analisis terhadap selang kepekaan perubahan sumberdaya
menunjukkan bahwa Pengurangan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga
aktivitas usahatani sayuran organik MS1, MS2, MS3, dan MS4 sebanyak 54,9
persen (807,4 HOK) tidak mempengaruhi keputusan optimal keempat skenario.
Kondisi tersebut disebabkan karena sisa tenaga kerja sebanyak 45,1 persen dari
total ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga mampu memenuhi kebutuhan
tenaga kerja dalam berusahatani sayuran organik. Pengurangan ketersediaan
132
kotoran ayam sebesar 30 persen pada skenario MS1 tidak mengubah keputusan
optimal karena pada MS1 kebutuhan kotoran ayam adalah sebesar 70 persen dari
total kebutuhan pupuk pada aktivitas usahatani sayuran organik. Penurunan
ketersediaan pupuk kotoran ayam dapat ditolerir apabila jumlah pupuk kotoran
ayam yang tersedia mampu memenuhi kekurangan kebutuhan pupuk organik.
Adanya perubahan ketersediaan sumberdaya lainnya pada selang kepekaan yang
dapat ditolerir, tidak akan mengubah hubungan terintegrasi yang telah terbangun.
Perubahan ketersediaan sumberdaya pada batas selang kepekaan juga tidak akan
berdampak pada aliran produk antara pada kondisi optimal. Selang kepekaan
perubahan ketersediaan sumberdaya MS1, MS2, MS3, dan MS4 yang tidak
merubah keputusan optimal disajikan selengkapnya pada Tabel 31 berikut ini.
Tabel 31. Selang Kepekaan Perubahan Sumberdaya MS1, MS2, MS3, dan MS4
Kendala Ketersediaan
Saat Ini (unit)
Perubahan Sumberdaya (%)
MS1 MS2 MS3 MS4
Maks Min Maks Min Maks Min Maks Min TKDK sayur organik
1,479.00 tak hingga -54.59 tak
hingga -54.59 tak hingga -54.59 tak
hingga -54.59
TKDK ternak domba
5,304.00 tak hingga -100 tak
hingga -100 tak hingga -100 tak
hingga -100
TKDK ternak kelinci
1,020.00 0.06 -602.2 0.06 -602.24 0.06 -602.24 0.03 -602.28
TKDK bokashi 255.00 406.80 -57.85 406.8
0 -57.85 406.80 -57.85 0.11
-2,409.
10
TKDK silase 255.00 0.25
-2,454.
31 0.25 -
2,454.31 0.25 -
2,454.31
0.11 -
2,455.87
Lahan 783.00 0.00 0.00 tak hingga 0.00 tak
hingga 0 tak hingga 0
Tenaga kerja sewa
9,120.00 0.01 -67.36 0.01 -67.36 0.01 -67.36 0.00 -67.36
Jumlah rumput lapang
122,724.60 tak hingga -77.29 tak
hingga -77.29 tak hingga -77.29 tak
hingga -77.88
Limbah organik pasar
1,442,025.00 tak hingga -0.01 tak
hingga -0.01 tak hingga -0.01 tak
hingga 0
Kotoran ayam 35,822.25 tak
hingga -30 tak hingga -50 tak
hingga -70 tak hingga -100
Keterangan: TKDK = Tenaga kerja dalam keluarga Maks = Perubahan maksimum sumberdaya Min = Perubahan minimum sumberdaya
133
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada permodelan usahatani
terpadu sayuran organik-hewan ternak (MUSOT) di Desa Karehkel maka dapat
diperoleh kesimpulan diantaranya:
1) Model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak dapat diterapkan
pada skala wilayah apabila didukung dengan adanya kebijakan
pemanfaatan pupuk bokashi di dalam Desa Karehkel. Hal ini disebabkan
karena harga pupuk bokashi yang diproduksi di dalam desa lebih mahal
jika dibandingkan dengan pupuk organik yang berasal dari luar desa
sehingga akan lebih menguntungkan apabila usahatani sayuran organik
menggunakan pupuk organik yang dibeli dari luar desa.
2) Untuk mencapai total keuntungan wilayah secara maksimum maka
aktivitas-aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan antara lain usahatani
sayuran organik, ternak kelinci, aktivitas memproduksi silase, dan
aktivitas memproduksi pupuk bokashi. Sangat besarnya skala ekonomi
masing-masing aktivitas usahatani yang sebaiknya diusahakan
menyebabkan setiap aktivitas usaha yang diintegrasikan perlu diusahakan
pada tingkat kelompok tani.
3) Penerapan model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak sangat
berperan dalam meningkatkan total output wilayah. Khususnya dalam
meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara karena adanya pemanfaatan
limbah sayuran sebagai pakan ternak dalam bentuk silase dapat
mengurangi curahan tenaga kerja peternak untuk mencari pakan hijauan
sehingga curahan tenaga kerja untuk memelihara ternak akan lebih besar.
Selain itu, adanya pemanfaatan limbah ternak sebagai bahan baku
pembuatan pupuk bokashi sangat berperan dalam penghematan biaya
produksi pupuk bokashi. Model usahatani terpadu sayuran organik-hewan
ternak dapat memberikan total keuntungan wilayah yang lebih tinggi
daripada penerapan pertanian secara tidak terpadu apabila diiringi dengan
insentif ekonomi yang lebih tinggi yakni peningkatan harga sayuran
134
organik per kilogramnya sebagai konsekuensi penerapan kebijakan
pemanfaatan pupuk bokashi di dalam Desa Karehkel.
8.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat dirumuskan beberapa saran
antara lain:
1) Untuk mendukung penerapan pertanian terpadu sayuran organik-hewan
ternak di Desa Karehkel, GPW perlu menambah jumlah petani sayuran
organik, membentuk kelompok produsen kompos, membentuk kelompok
produsen silase, dan meningkatkan kepemilikan jumlah indukan kelinci
masing-masing peternak kelinci. Cukup besarnya peningkatan
kepemilikan kelinci yang harus dilakukan maka perlu dilakukan
usahaternak kelinci pada skala kelompok dengan jumlah anggota yang
lebih besar.
2) Perlu adanya perbaikan teknologi produksi pupuk bokashi sehingga lebih
efisien dan dapat berproduksi lebih banyak. Cukup beragamnya bahan
baku yang digunakan dalam pembuatan pupuk bokashi perlu menjadi
perhatian sehingga dapat menghemat biaya produksi. Hal yang dapat
dilakukan adalah dengan cara memperbaiki komposisi bahan baku pupuk
bokashi yang diproduksi. Selain itu adanya realisasi bantuan rumah
kompos di Desa Karehkel dapat menjadi salah satu upaya untuk
meningkatkan efisiensi dan skala ekonomi pengusahaan pupuk bokashi di
Desa Karehkel.
3) Adanya potensi peningkatan produksi sayuran organik, kelinci, domba,
kompos, dan silase perlu didukung dengan adanya perluasan pasar
sehingga produk yang dihasilkan dapat terjual dan menghasilkan
keuntungan yang lebih tinggi.
4) Penerapan model sayuran organik terpadu di Desa Karehkel perlu
memperhatikan faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan di dalam model.
Misalnya keterbatasan sumberdaya modal masing-masing petani, faktor
demografi, faktor musim, adanya peningkatan produksi akibat
penggunaan input yang berbeda dan lain lain.
135
DAFTAR PUSTAKA
Abadilla DC. 1982. Organic farming. Manila: Afa Publications Inc.
Amareko SL. 1983. Perencanaan Usahatani Terapdu di Daerah Pertanian Tanah Kering (Studi Kasus pada Desa Binaan PDP II di Nusa Tenggara TImur) [tesis]. Bogor: Bidang Keahlian Ekonomi Pertanian, Fakultas Pascasarjana, Institu Pertanian Bogor.
Asminaya NS. 2007. Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Samppah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[Balitnak] Balai Penelitian Ternak Bogor. 2003. Kotoran Kambing-Domba pun Bisa Bernilai Ekonomis. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia Vol 5 no 5: 16-18.
Behera UK, CM Yates, E Kebreab, dan J France. 2008. Farming systems Methodology for efficient Resource Management at The Farm Level : A Review from an Indian Perspective. Journal of Agriculture Science, 146: 494
Beneke RR. dan Ronald W. 1973. Linear Programming Applications to Agriculture. The Iowa State University Press, AMES.
Debertin DL. 1986. Agricultural Production Economics. Mc.Millan Publishing Company, New York.
Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis Integrasi Ternak Ruminansia-Tanaman. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta.
Devendra. 1993. Development of Sustainable Animal Production in Integrated Small Farm Systems in Asia. Di dalam Sustainable Agriculture Developmentin Asia. Report on APO study meeting 23rd February-5th March 1993. Tokyo: APO (Asian Productivity Organization). hlm 124-125.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Program Pengembangan Agribisnis Hortikultura: Pedoman Teknis Pengembangan Hortikultura Tahun 2010. Jakarta: Dirjen Hortikultura
[Disnakan] Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2008. Buku Data Potensi Peternakan Tahun 2008. Bogor: Disnakan Kabupaten Bogor.
136
Djajanegara A, Inu GI, dan Sunendar K. 2005. Teknologi dan Manajemen Usaha Berbasis ekosistem. Di dalam prosiding Kelembagaan Tanaman Ternak Terpadu. Badan Litbang Pertanian.
Dobbs TL. 1994. Agricultural Systems in The Context of Sustainable Development. Di dalam Sustainable Agriculture Development in Asia. Report on APO Study Meeting: Tokyo, 23 Februari-5 Maret 1993. Tokyo: APO (Asian Productivity Organization). hlm 25.
Doll JP, Frank O. 1984. Prduction Economics, Theory with Application 2nd ed. Kanada: John Willey & Sons, Inc.
Dwiyana E, TC Mendoza. 2006. Comparative Productivity, Profitability, and Efficiency of Rice Monoculture. Journal of Sustainable Agriculture, vol.29(1): 145-160.
Edwards CA. 1990. The Importance of Integration in Sustainable Agricultural Systems. Di dalam Clive A Edwards, Rattan Lal, Patrick Madden, Robert H Miller, dan Gat House. Sustainable Agricultural Systems.Delray Beach, Florida: St. Lucie Press.
Ella AMS, D Pasambe, dan Yunus. 2003. Kajian Pola Usaha Pengembangan Kambing pada Lahan Kering di Sulawesi Tenggara. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Farrel DJ, Raharjo YC. 1984. Potensi Ternak Kelinci sebagai Penghasil Daging. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Febriliany V. 2008. Potensi Pengembangan Usaha Ternak kelinci di Kecamatan
Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Gapoktan Pandan Wangi. 2009. Data Kelompok Tani Cadas Gantung Desa Karehkel Kecamatan Leuwiliang. Bogor: Gapoktan Pandan Wangi
Gaur DC. 1980. Present Status of Composting and Agricultural Aspect. Di dalam Hess PR, editor. Improving Soil Fertility Through Organic Recycling Compost Technology. New Delhi: FAO of United Nation.
Hamdani M. 2008. Sistem Pertanian Terpadu untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani. Di dalam Workhsop Teknologi untuk Masyarakat: Serang, 24 Desember 2008. Balai Inkubator Teknologi BPPT. hlm 1-15.
Handayani S. 2009. Model Integrasi Tanaman-Ternak di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah: Pendekatan Optimasi Program Linier [tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor.
137
Hanifah RN. 2008. Pendapatan Usahatani Integrasi Pola Sayuran-Ternak-Ikan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al Ittifaq, Kmapung Ciburial, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Harwood RR. 1979. Small Farm Development: Understanding and Improving Farming System The HumidTropics. Colorado: Wesville Press.
Haryani D. 2009. Analisis Efisiensi Usahatani Padi Sawah pada Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di kabupaten Serang provinsi Banten [tesis] Bogor: program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hong PF. 1993. Conditions and Guidance for Effective Group Farming Programs: Lesson from The Experience in The Rep. China. Di dalam Group Farming in Asia and The Pacific. Report on APO Study Meeting: Tokyo, 20th-30th July. Tokyo: APO (Asian Productivity Organizatioan). hlm 6.
Howara D. 2004. Optimalisasi Pengembangan Usahatani Tanaman Padi dan Ternak sapi Secara Terpadu di Kabupaten Majalengka [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kantor Desa Karehkel. 2009. Statistik Desa Karehkel. Bogor: Kantor Desa Karehkel
Kariyasa K, Pasandaran E. 2005. Dinamika Struktur Usaha dan Pendapatan Tanaman-Ternak Terpadu. Di dalam Prosiding; Kelembagaan Tanaman Ternak Terpadu. Badan Litbang Pertanian. Hlm 238-239.
Kokubun M. 1998. JIRCAS Projects for The Development of Technologies for Sustainable Agriculture in Asia. Di dalam H.Horiuchi, K.Tsubota, editor. The 4th JIRCAS (Japan International Research Center for Agricultural Sciences) International Symposium Sustainable Agricultural Development Compatible with Environment Conservation in Asia: Japan, March 1998. hlm 136.
Kurnia G. 2000. Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan dalam Perspektif Penyebaran Inovasi Pertanian. Di dalam Lokakarya Nasional Penyebaran Inovasi Pertanian Era Otonomi Daerah. Bogor
Kusnadi U, E Juarni, Sajimin, dan Isbandi. 2006. Produktivitas dan Dampak Integrasi Domba Ekor Gemuk terhadap Pendapatan Petani dalam Sistem Sayuran di Lahan Marjinal. Di dalam Seminar Nasional Teknologi Petrenakan dan Veteriner: 2006. Hlm 419.
138
Kusnadi U. 2008. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak untuk Menunjang Swasembada Daging Sapi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian (13):193.
[LPPM IPB] Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat. 1988. Laporan Akhir Pengembangan Sumber Daya Keluarga melalui Pemanfaatan Lahan Pekarangan Bagi Usaha Ternak Kelinci. Bogor: LPPM IPB
Lebas F, P. Coudert, R. Rovier, dan De Rochambeau. 1986. The Rabbit. Rome: FAO, UN.
Maimun. 2009. Analisis Pendapatan Usahatani, Nilai Tambah, dan Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik Aceh Tengah (Kasus Pengolahan Bubuk Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh) [skripsi]. Bogor : Jurusan ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Maskitono T. 1990. Nilai Nutrisi Silase Onggok yang Difermentasikan dengan Pengawet Molases dan Dedak Padi [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
McDonald P, A.R Handerson, S.J.E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. Marlow: Chalcombe Publications.
Minami K. 1996. How to Achieve Sustainable Agriculture. Di dalam Appropriate Use of Inputs for Sustainable Agriculture. Report of an APO Seminar : Tokyo, 27 August-6 September 1996. Tokyo : APO (Asian Productivity Organization). hlm 89 dan 96.
Muslih D, IW Pasek, Rossuartini, Bram B. 2005. Tatalaksana Pemberian Pakan Kelinci untuk Menunjang Agribisnis Kelinci. Di dalam Prosiding Lokakarya/Lok Nas Pot. Pel. Peng. Usaha Kelinci: 62
Muthmainnah A. 2008. Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste di TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor.
Nasendi NB, A.Anwar. 1985. Program Linear dan Variasinya. Jakarta: Gramedia.
Nikmah FK. 2006. Performan Itik Mojosari Alabio Jantan dengan Pemberian Silase Ransum Komplit [skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Noor NR. 1996. Keragaan Usahatani Terpadu di Lahan Kering Marjinal dan Dampaknya terhadap Lingkungan Ekonomi [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan., Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
139
Norman MJT. 1974. How Can Research Help to Raise Incomes of Small Farmers in Rainfeed Areas of S.E. Asia. Di dalam FAO/UNDP International Expert Consultation on The Use Of Improved Technology for Food Production in Rainfed Areas of Tropical Asia: Khon-Kaen, Thailand, 1-7 December, 1974. Food and Agriculture Organization of The United Nations. hlm 10.
Paggasa Y. 2008. Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Panggabean G. 1982. Studi Perencanaan Sistem Usahatani Terpadu Kasus Tiga Desa di Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Powell JM, Pearson NA, Hiernaux PH. 2004. Review and Intepretation Crop Livestock Interactions in The West African Drylands. Agronomic Journal 96: 480.
Prawoto A. 2008. Januari-Maret 2008. Potret Perkembangan Pertanian Organik Asia. Newspaper Trust In Organic. 2 (kolom 4).
Prodjodihardjo S. 1988. Prospek Pengembangan Peternakan Dalam USahatani di Lahan Kering dan Rawa Pasang Surut. Di dalam Risalah Lokakarya Penelitian Sistem Usahatani di Lima Agroekosistem. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Righby D, Caceres D. 2001. Organic Farming and The Sustainability of Agricultural System. Journal Agricultural System 68: 21-40
Rogers EM. 1962. Characteristics of Agricultural Innovators and Other Adopter Categories. California: Institute for Communication Research
Rosyid M. Jahidin. 1990. Optimalisasi Pola Usahatani Karet Terpadu pada Lahan Kering Podsolik Merah Kuning di Daerah Transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ruddle K, Zhong G. 1988. Integrated Agriculture-Aquaculture in South China: The Dike-Pond System of The Zhujian Delta. Cambridge University Press.
Rusono N. 1999. Sinergis Antar Sub Sektor Pengembangan Pertanian Terpadu. Seminar Nasional dalam Rangka Lustrum Fapet UGM Yogyakarta.
Russelle MP, Entz MH, Franzluebbers AJ. 2007. Reconsidering Integrated Crop-Livestock Systems in North America. Symposium Papers American Society of Agronomy: 325
140
Sahara D, Yusuf, Suhardi. 2007. Peningkatan Pendapatan Petani Lada Melalui Perbaikan Sistem Usahatani. Mediasoca (Socio-Economic of Agriculture and Agribussiness) Vol.7 No.2: 1-9
Sapienza DA dan Keith KB. 1993. Teknologi Silase. Terjemahan. Rini BS. Martoyuedo Pioneer Seeds, Kansas State University.
Sastrodihardjo S, T Manurung, A.R. Siregar dan P. Sitorus. 1982. Pengembangan Budidaya Ternak di Wilayah Transmigrasi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1 (1) : 15-22.
Setyadi M. 2009. Program Pengembangan Sistem Agribisnis Peternakan Kelinci Dalam Rangka Peningkatan Indeks Mutu Masyarakat. Di dalam Laporan Gladikarya Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Siregar M, Suryadi M. 2006. Enhancing Sustainable Development of Diverse Agriculture in Indonesia. CAPSA Working Paper no 96. United Nations ESCAP(Economic and Social Commision for Asia and The Pacific).
Schiere JB, MNM Ibrahim, Keulen HV. 2002. The Role of Livestock for Sustainability In Mixed Farming: Criteria and Scenario Studies Under Varying Resource Allocation. Journal of Agriculture, Ecosystems, and Environment 90: 141
Setiawan BS. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Siswanto. 2007. Operation Research Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Soegiri J, Mauli S, dan Nanda MT. 1981. Ransum Praktis untuk Ternak Potong. Jakarta: Direktorat Bina Produksi Dirjen Peternakan.
Soekartawi, J.L. Dillon, J.B Hardaker, A. Soeharjo. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk perkembangan Petani Kecil. Jakarta: UI Press.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta:Universitas Indonesia
Stani D. 2009. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut pertanian Bogor.
Stinner, Benjamin R., Blair John M. 1990. Ecological and Agroeconomic Characteristics of Innovate Cropping Systems. Di dalam Clive A Edwards, Rattan Lal, Patrick Madden, Robert H Miller, dan Gat House. Sustainable Agricultural Systems.Delray Beach, Florida: St. Lucie Press.
Sugito Y. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
141
Supranto J. 1998. Riset Operasi: Untuk Pengambil Keputusan. Jakarta: UI Press.
Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman dan Sayuran. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta : Kanisius.
______. 2004. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Jakarta: Kanisius
Taha, Hamdy A. 1982. Operation Research an Introduction. New York: McMillan Publishing Co.Inc.
Tampubolon B. 1997. Pertanian Masa Depan. Di dalam Arah Pengembangan Pertanian Indonesia. Di dalam Proceeding; Medan , 7 Oktober 1954- 7 Oktober 1997. Medan: Universitas HKBP Nommensen. Hlm 70
Tawaf R. 1984. Prospek Usahaternak sebagai Diversifikasi Usahatani untuk MEningkatkan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Bandung: Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran.
Thomas D, Zerbini E, Rao PP, Vaidyanathan A. 2002. Increasing Animal Productivity on Small Mixed Farms in South Asia: A Systems Perspective. Journal Agriculturan Systems 71: 47.
Tonnedy EIR. 2006. Performa Ayam Broiler dengan Pakan Silase Ransum Komersil [skripsi]. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan . Institut Pertanian Bogor.
Veysset P, Debin D, Lherm M. 2005. Adaptation to Agenda 2000 (CAP Reform) and Optimisation of the Farming System of French Suckler Cattle Farms in The Charolais Area: A Model-Based Study. Journal Agricultural Systems 83: 179 dan 199.
Wahyuni YT. 2007. Analisis Cabang Usahatani Sayuran Organik di Mega Surya Organic Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor : Jurusan Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Wang IK. 1993. Conditions and Guidance for Effective Group Farming. Di dalam Group Farming in Asia and The Pacific. Report on APO Study Meeting: Tokyo, 20th-30th July. Tokyo: APO (Asian Productivity Organizatioan). hlm 90.
Widagdho ND. 2008. Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Kelinci Asep’s Rabbit Project di Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Jurusan Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
142
Wigena IGP. 2009. Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma berkelanjutan (Studi Kasus: Perkebunan PIR-TRANS PTPTN V Sei Pagar Kabupaten Kampar [disertasi]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
143
LAMPIRAN
144
Lampiran 1. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Caisin pada Bedengan Berkuran 23,9 m2
Jenis input Banyaknya Satuan Harga Satuan
(Rp) Total biaya
(Rp) Benih 0.07 kg 160000.00 11316.29 Bibit - tray - - Kotoran Ayam 1.53 karung 5000.00 7625.00 Bahan Organik 3.89 kg 400.00 1555.99
Total Biaya 20497.28 Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
Lampiran 2. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Kangkung pada Bedengan Berkuran 23,9 m2
Jenis input Banyaknya Satuan Harga Satuan
(Rp) Total biaya
(Rp) Benih 0.78 kg 17000 13225.91146 Bibit - tray - - Kotoran Ayam 1.53 karung 5000.00 7625.00 Bahan Organik 3.89 kg 400.00 1555.99
Total modal 22406.90 Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
Lampiran 3. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Merah pada Bedengan Berkuran 23,9 m2
Jenis input Banyaknya Satuan Harga Satuan
(Rp) Total biaya
(Rp) Benih 0.10 kg 60000 5736 Bibit - tray - - Kotoran Ayam 1.53 karung 5000.00 7625.00 Bahan Organik 3.89 kg 400.00 1555.99
Total modal 14916.99 Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
145
Lampiran 4. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Hijau pada Bedengan Berkuran 23,9 m2
Jenis input Banyaknya Satuan Harga Satuan
(Rp) Total biaya
(Rp) Benih 0.07 kg 60000.00 4481.25 Bibit - tray - - Kotoran Ayam 1.53 karung 5000.00 7650.00 Bahan Organik 3.89 kg 400.00 1555.99
Total modal 13687.24 Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
Lampiran 5. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Selada pada Bedengan Berkuran 23,9 m2
Jenis input Banyaknya Satuan Harga Satuan
(Rp) Total biaya
(Rp) Benih Bibit 9.34 tray 3000.00 28007.81 Kotoran Ayam 1.53 karung 5000.00 7650.00 Bahan Organik 3.89 kg 400.00 1555.99
Total modal 37213.80 Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
146
Lampiran 6. Potensi Kotoran Ayam di Sekitar Desa Karehkel
Kecamatan Populasi Ternak Ayam (Ekor) Produksi Kotoran Ayam/bulan (Kg)
Rumpin 1125500 11255 Gunung Sindur 1370500 13705 jasinga 126000 1260 jonggol 210000 2100 Cariu 225000 2250 Cijeruk 30000 300 Nanggung 15000 150 Cibungbulang 330000 3300 Tajur Halang 339000 3390 Bojong Gede 25000 250 Sukaraja 50000 500 Caringin 340000 3400 Pamijahan 95000 950 Leuwisadeng 255000 2550 Leuwiliang 30000 300 Sukajaya 98000 980 Cigudeg 155000 1550 Ciampea 50000 500 Jumlah 4869000 48690 Keterangan: Produksi kotoran ayam/ekor/bulan: 0,01 kg
Sumber: Disnakan Bogor (2008) (diolah)
147
Lampiran 7. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan
Proporsi Bahan Baku Pupuk Bokashi oleh Responden Investasi Peralatan
Jenis Barang Harga satuan(Rp) Unit
Total harga (Rp)
Umur ekonomis (th)
Penyusutan/ tahun (Rp)
Penyusutan/ bulan (Rp)
Cangkul 30000 2 60000 2 30000 2500.00 Drum 200000 1 200000 5 40000 3333.33 Pengaduk kayu 15000 1 15000 1 15000 1250.00 Baskom 10000 2 20000 2 10000 833.33 Golok 15000 2 30000 2 15000 1250.00
Total Penyusutan 110000 9166.67
Tenaga Kerja
Tenaga Kerja HOK Upah/HOK (Rp) Kalkulasi upah (Rp) Anak-anak 4.928571429 25000 123214.2857 Pria 0.285714286 25000 7142.857143 Wanita 0.325 25000 2031.25
Total biaya tenaga kerja 132388.3929
Biaya Bahan Baku
Bahan Baku Kebutuhan Satuan Harga Satuan (Rp)
Total biaya variabel (Rp)
Kotoran kambing 6 karung (@ 35 kg) 5000 30000
Kotoran lunak kelinci 6 karung (@ 35 kg) 17500 105000
Sekam 4 karung (@ 10 kg) 1500 6000
MOL 2.5 liter=kg 475 1187.5 Air kelapa 20 liter=kg 250 5000 Urine kelinci 3 liter=kg 1250 3750 Molases (air gula) 2 kg 8000 16000
Total biaya variabel 166937.5
148
Proporsi Bahan Baku Bahan Baku Kebutuhan Satuan Total bobot
bahan baku (Kg) Proporsi bahan
baku (%)
Kotoran kambing 6 karung (@ 35 kg) 210 28,8
Kotoran lunak kelinci 6 karung (@ 35 kg) 210 28,8
Sampah daun kering(udah di cover biaya tenaga kerja) 16
karung (@ 15 kg) 240 33,2
Sekam 4 karung (@ 10 kg) 40 5,5
MOL 2.5 liter=kg 2.5 0,3 air kelapa 20 liter=kg 20 2,7 urine kelinci 3 liter=kg 3 0,4 molases (air gula) 2 kg 2 0,3
Total bahan baku 727,5 100 Keterangan: Rendemen Pupuk Bokashi = 65%
149
Lampiran 8. Perhitungan HPP Pupuk Bokashi
Biaya Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Biaya pembuatan lubang kompos 7142.857
Biaya tetap
Tenaga Kerja 132388.4 132388.39 132388.3929 132388.4 132388.4 132388.4 132388.4 132388.4 132388.4 132388.4 132388.4 132388.4
Penyusutan 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67 9166.67
Plastik terpal 70000
Biaya Variabel
Kotoran kambing 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000 30000
Kotoran lunak kelinci 105000 105000 105000 105000 105000 105000 105000 105000 105000 105000 105000 105000
Sampah daun kering/ sisa pakan (udah di cover biaya tenaga kerja)
Sekam 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000 6000
MOL 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5 1187.5
air kelapa 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000
urine kelinci 3750 3750 3750 3750 3750 3750 3750 3750 3750 3750 3750 3750
molases (air gula) 16000 16000 16000 16000 16000 16000 16000 16000 16000 16000 16000 16000
Total biaya per bulan 385635.4 308492.56 308492.5595 308492.6 308492.6 308492.6 308492.6 308492.6 308492.6 308492.6 308492.6 308492.6
Total biaya per tahun 3779054
Produksi pupuk 1 tahun (kg) 5674.5
BEP Harga (Rp/kg) 665.9712
Margin (%) 10
Harga jual/ kg (Rp/kg) 732.5683
150
Lampiran 9. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan Proporsi Bahan Baku Silase yang Berbahan Dasar 100 kg Hijauan
Investasi Peralatan
Jenis Barang Harga satuan(Rp) Unit
Total harga (Rp)
Umur ekonomis (th)
Penyusutan/ tahun (Rp)
Penyusutan/ bulan (Rp)
Cangkul 30000 2 60000 2 30000 2500 Golok 15000 1 15000 2 7500 625 Wadah MOL 30000 1 30000 1 30000 2500 Baskom 10000 1 10000 2 5000 416.67
Total Penyusutan 72500 6041.666667
Biaya Bahan Baku Bahan Baku Kebutuhan Satuan Harga Satuan Total biaya variabel Sisa Hijauan 100 kg 153.64 15364 MOL 0.01 liter 475 4.75 Dedak 4.89 kg 1500 7335
Total biaya variabel 22703.75
Proporsi Bahan Baku
Bahan baku Kebutuhan Satuan Kebutuhan (kg) Proporsi (%) Sisa Hijauan 100 kg 100.00 95 MOL 0.01 liter=kg 0.01 0 Dedak 4.89 kg 4.89 5
Jumlah bahan baku 104.90 100
Keterangan: Rendemen Silase = 16,5%
151
Lampiran 10. Perhitungan HPP Silase
Biaya Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pembuatan lubang fermentasi 7142.857
Biaya Tetap
Tenaga Kerja 10725 10725 10725 10725 10725 10725 10725 10725 10725 10725 10725 10725
Penyusutan 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67 6041.67
Plastik terpal 70000 70000
Biaya variabel
Sisa Hijauan 15364 15364 15364 15364 15364 15364 15364 15364 15364 15364 15364 15364
MOL 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75
Dedak 7335 7335 7335 7335 7335 7335 7335 7335 7335 7335 7335 7335
Total biaya per bulan 116632.32 39489.46 39489.46 39489.46 39489.46 39489.46 109489.46 39489.46 39489.46 39489.46 39489.46 39489.46
Total biaya dalam 1 tahun 621016.43
Produksi silase 1 tahun (kg) 1051.2
BEP Harga (Rp/kg) 590.7691
margin (%) 10
Harga jual 649.846
152
Lampiran 11. Model Tidak Terintegrasi SI MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR +21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR +732.56SLUXKO+649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-2872.28XC-7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG-500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA -153.64BSOP-25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST Pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM
+45.75XH+SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+187.5XG<=0 sipakke) -RRUM+13.63XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM-
2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6
153
btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69 minka) SXK>=2852.44 minca) SXC>=2246.05 minrah) SXM>=100.63 minhi) SXH>=2354.8 !KEndala terkait kondisi penerapan model NOKODE) BKOTA+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH=0 NOURDE) -BLLUR+0.004BBKO=0 NOKOKEDE) -BLLXR+0.288BBKO=0 NOKODODE) -BLLXG+0.288BBKO=0 NOLIMSAY) -BSOP+0.95BBSIL=0 END GIN XS GIN XK GIN XC GIN XM GIN XH GIN XG GIN XR
154
Lampiran 12. Output Model Tidak Terintegrasi SI LP OPTIMUM FOUND AT STEP 10 OBJECTIVE VALUE = 728608320. SET XG TO >= 393 AT 1, BND= 0.7282E+09 TWIN=
0.7286E+09 22 SET XC TO >= 92 AT 2, BND= 0.7282E+09 TWIN=-
0.1000E+31 24 SET XH TO >= 95 AT 3, BND= 0.7282E+09 TWIN=-
0.1000E+31 25 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7282E+09 TWIN=-
0.1000E+31 25 SET XR TO <= 3597 AT 5, BND= 0.7281E+09 TWIN=-
0.1000E+31 31 SET XG TO <= 393 AT 6, BND= 0.7281E+09 TWIN=
0.7277E+09 33 NEW INTEGER SOLUTION OF 728108224. AT BRANCH 5
PIVOT 33 BOUND ON OPTIMUM: 0.7285640E+09 DELETE XG AT LEVEL 6 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XH AT LEVEL 3 DELETE XC AT LEVEL 2 FLIP XG TO <= 392 AT 1 WITH BND=
0.72856403E+09 SET XC TO >= 92 AT 2, BND= 0.7285E+09 TWIN=-
0.1000E+31 35 SET XH TO >= 95 AT 3, BND= 0.7285E+09 TWIN=-
0.1000E+31 36 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7285E+09 TWIN=-
0.1000E+31 36 SET XR TO >= 3610 AT 5, BND= 0.7285E+09 TWIN=
0.7285E+09 41 NEW INTEGER SOLUTION OF 728471296. AT BRANCH 8
PIVOT 41 BOUND ON OPTIMUM: 0.7284713E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XH AT LEVEL 3 DELETE XC AT LEVEL 2 DELETE XG AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 8 PIVOTS= 41 LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.7284713E+09
155
VARIABLE VALUE REDUCED COST XS 35.000000 -103568.546875 XK 556.000000 -212188.265625 XC 92.000000 -176816.937500 XM 5.000000 -117746.335938 XH 95.000000 -136196.984375 XG 392.000000 -35680.132812 XR 3610.000000 15458.657227 SXS 544.600037 0.000000 SXC 2260.439941 0.000000 SXK 25954.080078 0.000000 SXM 109.849998 0.000000 SXH 2365.500000 0.000000 SLIYUR 5252.350098 0.000000 SXG 552.719971 0.000000 SLULXG 18028.080078 0.000000 SXR 25270.000000 0.000000 SLULUR 10974.399414 0.000000 SLULXR 50540.000000 0.000000 SLUXKO 25500.000000 0.000000 SLUXSIL 1274980.750000 0.000000 XKO 25500.000000 0.000000 XSIL 1274980.750000 0.000000 BLLXG 11298.460938 0.000000 BLLXR 11298.460938 0.000000 BLLUR 156.923080 0.000000 BKOTA 35822.250000 0.000000 BSOP 1441942.625000 0.000000 TKSAY 0.000000 80538.093750 TKSG 0.000000 80538.093750 TKSR 3000.096191 0.000000 TKSKO 0.000000 42495.968750 TKSIL 6119.903809 0.000000 GRUM 73500.000000 0.000000 RRUM 49204.300781 0.000000 BBKO 39230.769531 0.000000 BBSIL 1517834.250000 0.000000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES PUPUK) 0.000000 732.559998 PAKAN1) 0.000000 649.849976 SIPAKDO) 0.000000 0.000000 SIPAKKE) 0.000000 1610.761963 URIN) 0.000000 1250.000000 KOTKEL) 0.000000 500.000000 KOTDOM) 0.000000 142.860001 BHNSIL) 0.000000 153.639999 TRS) 0.000000 9000.000000 TRC) 0.000000 8000.000000 TRK) 0.000000 5000.000000 TRH) 0.000000 6000.000000 TRM) 0.000000 6000.000000
156
TRKE) 0.000000 10000.000000 TRGO) 0.000000 21000.000000 TRKO) 0.000000 292.528717 TRSIL) 0.000000 173.759521 TKSAY) 807.400024 0.000000 TKDO) 2740.320068 0.000000 TKKE) 0.000000 80538.093750 TKSIL) 0.000000 80538.093750 TKKO) 0.000000 38042.128906 JUMBED) 0.000000 0.000000 JUMRUM) 20.299587 0.000000 BTSAMPOR) 82.414955 0.000000 BTSTKS) 0.000000 55538.097656 BTSKOTA) 0.000000 0.000000 MINSEL) 4.910015 0.000000 MINKA) 23101.640625 0.000000 MINCA) 14.389972 0.000000 MINRAH) 9.219996 0.000000 MINHI) 10.699964 0.000000 NOKODE) 0.000000 -565.890015 NOURDE) 0.000000 0.000000 NOKOKEDE) 0.000000 0.000000 NOKODODE) 0.000000 0.000000 NOLIMSAY) 0.000000 0.000000 NO. ITERATIONS= 45 BRANCHES= 8 DETERM.= 1.000E 0 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE XS -29563.800781 0.000000 INFINITY XK -14781.900391 0.000000 INFINITY XC -12872.280273 0.000000 INFINITY XM -7291.990234 0.000000 INFINITY XH -6037.240234 0.000000 INFINITY XG -500.000000 0.000000 INFINITY XR -6571.430176 15458.654297 INFINITY SXS 9000.000000 INFINITY 9000.000000 SXC 8000.000000 INFINITY 8000.000000 SXK 5000.000000 INFINITY 5000.000000 SXM 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SXH 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SLIYUR 153.639999 INFINITY INFINITY SXG 21000.000000 INFINITY 21000.000000 SLULXG 142.860001 INFINITY 142.860001 SXR 10000.000000 INFINITY 10000.000000 SLULUR 1250.000000 INFINITY 1250.000000 SLULXR 500.000000 INFINITY 500.000000 SLUXKO 732.559998 424.959686 380.421295 SLUXSIL 649.849976 INFINITY 212.479843
157
XKO -59.610001 424.959686 380.421295 XSIL -73.400002 INFINITY 212.479843 BLLXG -142.860001 660.221069 858.589783 BLLXR -500.000000 660.221069 858.589783 BLLUR -1250.000000 47535.914062 61818.457031 BKOTA -166.669998 INFINITY INFINITY BSOP -153.639999 153.639999 187.876923 TKSAY -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSG -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSR -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSKO -25000.000000 42495.968750 INFINITY TKSIL -25000.000000 INFINITY 42495.968750 GRUM 0.000000 INFINITY INFINITY RRUM 0.000000 1610.761963 INFINITY BBKO 0.000000 190.143661 247.273819 BBSIL 0.000000 145.957993 178.483063 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE PUPUK 0.000000 INFINITY 25500.000000 PAKAN1 0.000000 INFINITY 1274980.750000 SIPAKDO 0.000000 73500.000000 20.299587 SIPAKKE 0.000000 18.218042 20.299587 URIN 0.000000 INFINITY 10974.399414 KOTKEL 0.000000 INFINITY 50540.000000 KOTDOM 0.000000 INFINITY 18028.080078 BHNSIL 0.000000 INFINITY 5252.350098 TRS 0.000000 INFINITY 4.910015 TRC 0.000000 INFINITY 14.389972 TRK 0.000000 INFINITY 23101.640625 TRH 0.000000 INFINITY 10.699964 TRM 0.000000 INFINITY 9.219996 TRKE 0.000000 INFINITY 25270.000000 TRGO 0.000000 INFINITY 552.719971 TRKO 0.000000 25499.998047 INFINITY TRSIL 0.000000 1274980.750000 72.872169 TKSAY 1479.000000 INFINITY 807.400024 TKDO 5304.000000 INFINITY 2740.320068 TKKE 1020.000000 0.364361 6119.903809 TKSIL 255.000000 0.364361 6374.903809 TKKO 255.000000 INFINITY 254.999985 JUMBED 783.000000 INFINITY 0.000000 JUMRUM 122724.601562 INFINITY 20.299587 BTSAMPOR 1442025.000000 INFINITY 82.414955 BTSTKS 9120.000000 0.364361 6119.903809 BTSKOTA 35822.250000 INFINITY 0.000000 MINSEL 539.690002 4.910015 INFINITY MINKA 2852.439941 23101.640625 INFINITY MINCA 2246.050049 14.389972 INFINITY MINRAH 100.629997 9.219996 INFINITY MINHI 2354.800049 10.699964 INFINITY NOKODE 0.000000 25500.000000 0.000000
158
NOURDE 0.000000 156.923080 INFINITY NOKOKEDE 0.000000 11298.460938 INFINITY NOKODODE 0.000000 11298.460938 INFINITY NOLIMSAY 0.000000 5252.350098 82.414955
159
Lampiran 13. Model SII MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO +649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-153.64BSOP-649.85BLUSIL -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk)-BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC
+45.75XM+45.75XH+SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM-
2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya
lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
160
minka) SXK>=2852.44 minca) SXC>=2246.05 minrah) SXM>=100.63 minhi) SXH>=2354.8 END GIN XS GIN XK GIN XC GIN XM GIN XH GIN XG GIN XR
161
Lampiran 14. Output Model SII LP OPTIMUM FOUND AT STEP 34 OBJECTIVE VALUE = 733981760. SET XC TO >= 92 AT 1, BND= 0.7339E+09 TWIN=-
0.1000E+31 39 SET XH TO >= 95 AT 2, BND= 0.7339E+09 TWIN=-
0.1000E+31 40 SET XK TO <= 556 AT 3, BND= 0.7339E+09 TWIN=-
0.1000E+31 42 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7339E+09 TWIN=-
0.1000E+31 42 SET XR TO >= 4090 AT 5, BND= 0.7338E+09 TWIN=
0.7338E+09 53 NEW INTEGER SOLUTION OF 733848384. AT BRANCH 4
PIVOT 53 BOUND ON OPTIMUM: 0.7338484E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 53 LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.7338484E+09 VARIABLE VALUE REDUCED COST XS 35.000000 -77679.078125 XK 556.000000 -186298.796875 XC 92.000000 -150927.468750 XM 5.000000 -91856.867188 XH 95.000000 -110307.523438 XG 0.000000 25243.306641 XR 4090.000000 8910.041992 SXS 544.600037 0.000000 SXC 2260.439941 0.000000 SXK 25954.080078 0.000000 SXM 109.849998 0.000000 SXH 2365.500000 0.000000 SLIYUR 0.000000 0.000001 SXG 0.000000 0.000000 SLULXG 0.000000 -0.000001 SXR 28630.000000 0.000000 SLULUR 12276.676758 0.000000 SLULXR 45961.539062 0.000000 SLUXKO 25500.000000 0.000000
162
SLUXSIL 1251695.250000 0.000000 XKO 25500.000000 0.000000 XSIL 1279568.625000 0.000000 BLLXG 11298.460938 0.000000 BLLXR 0.000000 0.000000 BLLUR 0.000000 0.000000 BKOTA 35822.250000 0.000000 BSOP 1441878.875000 0.000000 BLUSIL 0.000000 -0.000024 TKSAY 0.000000 80538.093750 TKSG 0.000000 80538.093750 TKSR 2977.156982 0.000000 TKSKO 0.000000 42495.968750 TKSIL 6142.842773 0.000000 GRUM 0.000000 0.000000 RRUM 27873.349609 0.000000 BBKO 39230.769531 0.000000 BBSIL 1523296.000000 0.000000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES PUPUK) 0.000000 732.559998 PAKAN1) 0.000000 649.849976 SIPAKDO) 0.000000 0.000000 SIPAKKE) 0.000000 1610.761963 URIN) 0.000000 1250.000000 KOTKEL) 0.000000 500.000000 KOTDOM) 0.000000 142.860001 BHNSIL) 0.000000 153.639999 TRS) 0.000000 9000.000000 TRC) 0.000000 8000.000000 TRK) 0.000000 5000.000000 TRH) 0.000000 6000.000000 TRM) 0.000000 6000.000000 TRKE) 0.000000 10000.000000 TRGO) 0.000000 21000.000000 TRKO) 0.000000 292.528717 TRSIL) 0.000000 173.759521 TKSAY) 807.400024 0.000000 TKDO) 5304.000000 0.000000 TKKE) 0.000000 80538.093750 TKSIL) 0.000000 80538.093750 TKKO) 0.000000 38042.128906 JUMBED) 0.000000 0.000000 JUMRUM) 94851.250000 0.000000 BTSAMPOR) 146.183029 0.000000 BTSTKS) 0.000000 55538.097656 BTSKOTA) 0.000000 565.890015 MINSEL) 4.910015 0.000000 MINKA) 23101.640625 0.000000 MINCA) 14.389972 0.000000 MINRAH) 9.219996 0.000000 MINHI) 10.699964 0.000000
163
NO. ITERATIONS= 58 BRANCHES= 4 DETERM.= 1.000E 0 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE XS -29563.800781 0.000000 INFINITY XK -14781.900391 0.000000 INFINITY XC -12872.280273 0.000000 INFINITY XM -7291.990234 0.000000 INFINITY XH -6037.240234 0.000000 INFINITY XG -500.000000 25243.304688 INFINITY XR -6571.430176 8910.039062 INFINITY SXS 9000.000000 INFINITY 9000.000000 SXC 8000.000000 INFINITY 8000.000000 SXK 5000.000000 INFINITY 5000.000000 SXM 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SXH 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SLIYUR 153.639999 0.000000 INFINITY SXG 21000.000000 INFINITY 21000.000000 SLULXG 142.860001 0.000000 INFINITY SXR 10000.000000 INFINITY 10000.000000 SLULUR 1250.000000 0.000000 1250.000000 SLULXR 500.000000 0.000000 500.000000 SLUXKO 732.559998 424.959686 380.421295 SLUXSIL 649.849976 0.000000 212.479843 XKO -59.610001 424.959686 380.421295 XSIL -73.400002 INFINITY 212.479843 BLLXG -142.860001 0.000000 858.589783 BLLXR -500.000000 0.000000 INFINITY BLLUR -1250.000000 0.000000 INFINITY BKOTA -166.669998 INFINITY 565.890015 BSOP -153.639999 0.000000 187.876923 BLUSIL -649.849976 0.000000 INFINITY TKSAY -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSG -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSR -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSKO -25000.000000 42495.968750 INFINITY TKSIL -25000.000000 INFINITY 42495.968750 GRUM 0.000000 0.000000 INFINITY RRUM 0.000000 1610.761963 INFINITY BBKO 0.000000 190.143661 247.273819 BBSIL 0.000000 145.957993 178.483063 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE PUPUK 0.000000 INFINITY 25500.000000 PAKAN1 0.000000 INFINITY 1251695.250000 SIPAKDO 0.000000 INFINITY 0.000000 SIPAKKE 0.000000 32.314144 94851.250000
164
URIN 0.000000 INFINITY 12276.676758 KOTKEL 0.000000 INFINITY 45961.539062 KOTDOM 0.000000 11298.460938 INFINITY BHNSIL 0.000000 1441878.875000 146.183029 TRS 0.000000 INFINITY 4.910015 TRC 0.000000 INFINITY 14.389972 TRK 0.000000 INFINITY 23101.640625 TRH 0.000000 INFINITY 10.699964 TRM 0.000000 INFINITY 9.219996 TRKE 0.000000 INFINITY 28630.000000 TRGO 0.000000 INFINITY 0.000000 TRKO 0.000000 25500.000000 103732.640625 TRSIL 0.000000 1274924.500000 129.256577 TKSAY 1479.000000 INFINITY 807.400024 TKDO 5304.000000 INFINITY 5304.000000 TKKE 1020.000000 0.646283 6142.842773 TKSIL 255.000000 0.646283 6258.476074 TKKO 255.000000 1037.326416 254.999985 JUMBED 783.000000 INFINITY 0.000000 JUMRUM 122724.601562 INFINITY 94851.250000 BTSAMPOR 1442025.000000 INFINITY 146.183029 BTSTKS 9120.000000 0.646283 6142.842773 BTSKOTA 35822.250000 INFINITY 25500.000000 MINSEL 539.690002 4.910015 INFINITY MINKA 2852.439941 23101.640625 INFINITY MINCA 2246.050049 14.389972 INFINITY MINRAH 100.629997 9.219996 INFINITY MINHI 2354.800049 10.699964 INFINITY
165
Lampiran 15. Model Skenario MS1 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR +21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR +732.56SLUXKO+649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL -142.86BLLXG-500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL -153.64BSOP-25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM +45.75XH+SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM -2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
166
minka) SXK>=2852.44 minca) SXC>=2246.05 minrah) SXM>=100.63 minhi) SXH>=2354.8 !KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 30% XKO) NOKOTA) BKOTA=25075.58 END GIN XS GIN XK GIN XC GIN XM GIN XH GIN XG GIN XR
167
Lampiran 16. Output Model Skenario MS1 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 30 OBJECTIVE VALUE = 727900352. SET XC TO >= 92 AT 1, BND= 0.7278E+09 TWIN=-
0.1000E+31 36 SET XH TO >= 95 AT 2, BND= 0.7278E+09 TWIN=-
0.1000E+31 37 SET XK TO <= 556 AT 3, BND= 0.7278E+09 TWIN=-
0.1000E+31 39 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7278E+09 TWIN=-
0.1000E+31 39 SET XR TO >= 4090 AT 5, BND= 0.7278E+09 TWIN=
0.7278E+09 49 NEW INTEGER SOLUTION OF 727766912. AT BRANCH 4
PIVOT 49 BOUND ON OPTIMUM: 0.7277669E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 49 LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.7277669E+09 VARIABLE VALUE REDUCED COST XS 35.000000 -77679.078125 XK 556.000000 -186298.796875 XC 92.000000 -150927.468750 XM 5.000000 -91856.867188 XH 95.000000 -110307.523438 XG 0.000000 25243.306641 XR 4090.000000 8910.041992 SXS 544.600037 0.000000 SXC 2260.439941 0.000000 SXK 25954.080078 0.000000 SXM 109.849998 0.000000 SXH 2365.500000 0.000000 SLIYUR 0.000000 0.000001 SXG 0.000000 0.000000 SLULXG 0.000000 -0.000001 SXR 28630.000000 0.000000 SLULUR 12276.676758 0.000000 SLULXR 45961.539062 0.000000 SLUXKO 14753.330078 0.000000
168
SLUXSIL 1251695.250000 0.000000 XKO 25500.000000 0.000000 XSIL 1279568.625000 0.000000 BLLXG 11298.460938 0.000000 BLLXR 0.000000 0.000000 BLLUR 0.000000 0.000000 BKOTA 25075.580078 0.000000 BLUSIL 0.000000 -0.000024 BSOP 1441878.875000 0.000000 TKSAY 0.000000 80538.093750 TKSG 0.000000 80538.093750 TKSR 2977.156982 0.000000 TKSKO 0.000000 42495.968750 TKSIL 6142.842773 0.000000 GRUM 0.000000 0.000000 RRUM 27873.349609 0.000000 BBKO 39230.769531 0.000000 BBSIL 1523296.000000 0.000000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES PUPUK) 0.000000 732.559998 PAKAN1) 0.000000 649.849976 SIPAKDO) 0.000000 0.000000 SIPAKKE) 0.000000 1610.761963 URIN) 0.000000 1250.000000 KOTKEL) 0.000000 500.000000 KOTDOM) 0.000000 142.860001 BHNSIL) 0.000000 153.639999 TRS) 0.000000 9000.000000 TRC) 0.000000 8000.000000 TRK) 0.000000 5000.000000 TRH) 0.000000 6000.000000 TRM) 0.000000 6000.000000 TRKE) 0.000000 10000.000000 TRGO) 0.000000 21000.000000 TRKO) 0.000000 292.528717 TRSIL) 0.000000 173.759521 TKSAY) 807.400024 0.000000 TKDO) 5304.000000 0.000000 TKKE) 0.000000 80538.093750 TKSIL) 0.000000 80538.093750 TKKO) 0.000000 38042.128906 JUMBED) 0.000000 0.000000 JUMRUM) 94851.250000 0.000000 BTSAMPOR) 146.183029 0.000000 BTSTKS) 0.000000 55538.097656 BTSKOTA) 10746.669922 0.000000 MINSEL) 4.910015 0.000000 MINKA) 23101.640625 0.000000 MINCA) 14.389972 0.000000 MINRAH) 9.219996 0.000000 MINHI) 10.699964 0.000000
169
NOKOTA) 0.000000 565.890015 NO. ITERATIONS= 53 BRANCHES= 4 DETERM.= 1.000E 0 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE XS -29563.800781 0.000000 INFINITY XK -14781.900391 0.000000 INFINITY XC -12872.280273 0.000000 INFINITY XM -7291.990234 0.000000 INFINITY XH -6037.240234 0.000000 INFINITY XG -500.000000 25243.304688 INFINITY XR -6571.430176 8910.039062 INFINITY SXS 9000.000000 INFINITY 9000.000000 SXC 8000.000000 INFINITY 8000.000000 SXK 5000.000000 INFINITY 5000.000000 SXM 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SXH 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SLIYUR 153.639999 0.000000 INFINITY SXG 21000.000000 INFINITY 21000.000000 SLULXG 142.860001 0.000000 INFINITY SXR 10000.000000 INFINITY 10000.000000 SLULUR 1250.000000 0.000000 1250.000000 SLULXR 500.000000 0.000000 500.000000 SLUXKO 732.559998 424.959686 380.421295 SLUXSIL 649.849976 0.000000 212.479843 XKO -59.610001 424.959686 380.421295 XSIL -73.400002 INFINITY 212.479843 BLLXG -142.860001 0.000000 858.589783 BLLXR -500.000000 0.000000 INFINITY BLLUR -1250.000000 0.000000 INFINITY BKOTA -166.669998 INFINITY INFINITY BLUSIL -649.849976 0.000000 INFINITY BSOP -153.639999 0.000000 187.876923 TKSAY -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSG -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSR -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSKO -25000.000000 42495.968750 INFINITY TKSIL -25000.000000 INFINITY 42495.968750 GRUM 0.000000 0.000000 INFINITY RRUM 0.000000 1610.761963 INFINITY BBKO 0.000000 190.143661 247.273819 BBSIL 0.000000 145.957993 178.483063 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE PUPUK 0.000000 INFINITY 14753.330078 PAKAN1 0.000000 INFINITY 1251695.250000
170
SIPAKDO 0.000000 INFINITY 0.000000 SIPAKKE 0.000000 32.314144 94851.250000 URIN 0.000000 INFINITY 12276.676758 KOTKEL 0.000000 INFINITY 45961.539062 KOTDOM 0.000000 11298.460938 INFINITY BHNSIL 0.000000 1441878.875000 146.183029 TRS 0.000000 INFINITY 4.910015 TRC 0.000000 INFINITY 14.389972 TRK 0.000000 INFINITY 23101.640625 TRH 0.000000 INFINITY 10.699964 TRM 0.000000 INFINITY 9.219996 TRKE 0.000000 INFINITY 28630.000000 TRGO 0.000000 INFINITY 0.000000 TRKO 0.000000 25500.000000 103732.640625 TRSIL 0.000000 1274924.500000 129.256577 TKSAY 1479.000000 INFINITY 807.400024 TKDO 5304.000000 INFINITY 5304.000000 TKKE 1020.000000 0.646283 6142.842773 TKSIL 255.000000 0.646283 6258.476074 TKKO 255.000000 1037.326416 147.533295 JUMBED 783.000000 0.000000 0.000000 JUMRUM 122724.601562 INFINITY 94851.250000 BTSAMPOR 1442025.000000 INFINITY 146.183029 BTSTKS 9120.000000 0.646283 6142.842773 BTSKOTA 35822.250000 INFINITY 10746.669922 MINSEL 539.690002 4.910015 INFINITY MINKA 2852.439941 23101.640625 INFINITY MINCA 2246.050049 14.389972 INFINITY MINRAH 100.629997 9.219996 INFINITY MINHI 2354.800049 10.699964 INFINITY NOKOTA 25075.580078 10746.669922 14753.330078
171
Lampiran 17. Model Skenario MS2 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO+649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL-153.64BSOP -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH +SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM-
2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya
lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69 minka) SXK>=2852.44
172
minca) SXC>=2246.05 minrah) SXM>=100.63 minhi) SXH>=2354.8 !KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 50% XKO) NOKOTA) BKOTA=17911.125 END GIN XS GIN XK GIN XC GIN XM GIN XH GIN XG GIN XR
173
Lampiran 18. Output Model Skenario MS2 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 18 OBJECTIVE VALUE = 723846016. SET XC TO >= 92 AT 1, BND= 0.7238E+09 TWIN=-
0.1000E+31 30 SET XH TO >= 95 AT 2, BND= 0.7238E+09 TWIN=-
0.1000E+31 31 SET XK TO <= 556 AT 3, BND= 0.7237E+09 TWIN=-
0.1000E+31 33 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7237E+09 TWIN=-
0.1000E+31 33 SET XR TO >= 4090 AT 5, BND= 0.7237E+09 TWIN=
0.7237E+09 44 NEW INTEGER SOLUTION OF 723712640. AT BRANCH 4
PIVOT 44 BOUND ON OPTIMUM: 0.7237126E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 44 LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.7237126E+09 VARIABLE VALUE REDUCED COST XS 35.000000 -77679.078125 XK 556.000000 -186298.796875 XC 92.000000 -150927.468750 XM 5.000000 -91856.867188 XH 95.000000 -110307.523438 XG 0.000000 25243.306641 XR 4090.000000 8910.041992 SXS 544.600037 0.000000 SXC 2260.439941 0.000000 SXK 25954.080078 0.000000 SXM 109.849998 0.000000 SXH 2365.500000 0.000000 SLIYUR 0.000000 0.000001 SXG 0.000000 0.000000 SLULXG 0.000000 -0.000001 SXR 28630.000000 0.000000 SLULUR 12276.676758 0.000000 SLULXR 45961.539062 0.000000 SLUXKO 7588.875000 0.000000
174
SLUXSIL 1251695.250000 0.000000 XKO 25500.000000 0.000000 XSIL 1279568.625000 0.000000 BLLXG 11298.460938 0.000000 BLLXR 0.000000 0.000000 BLLUR 0.000000 0.000000 BKOTA 17911.125000 0.000000 BLUSIL 0.000000 -0.000024 BSOP 1441878.875000 0.000000 TKSAY 0.000000 80538.093750 TKSG 0.000000 80538.093750 TKSR 2977.156982 0.000000 TKSKO 0.000000 42495.968750 TKSIL 6142.842773 0.000000 GRUM 0.000000 0.000000 RRUM 27873.349609 0.000000 BBKO 39230.769531 0.000000 BBSIL 1523296.000000 0.000000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES PUPUK) 0.000000 732.559998 PAKAN1) 0.000000 649.849976 SIPAKDO) 0.000000 0.000000 SIPAKKE) 0.000000 1610.761963 URIN) 0.000000 1250.000000 KOTKEL) 0.000000 500.000000 KOTDOM) 0.000000 142.860001 BHNSIL) 0.000000 153.639999 TRS) 0.000000 9000.000000 TRC) 0.000000 8000.000000 TRK) 0.000000 5000.000000 TRH) 0.000000 6000.000000 TRM) 0.000000 6000.000000 TRKE) 0.000000 10000.000000 TRGO) 0.000000 21000.000000 TRKO) 0.000000 292.528717 TRSIL) 0.000000 173.759521 TKSAY) 807.400024 0.000000 TKDO) 5304.000000 0.000000 TKKE) 0.000000 80538.093750 TKSIL) 0.000000 80538.093750 TKKO) 0.000000 38042.128906 JUMBED) 0.000000 0.000000 JUMRUM) 94851.250000 0.000000 BTSAMPOR) 146.183029 0.000000 BTSTKS) 0.000000 55538.097656 BTSKOTA) 17911.125000 0.000000 MINSEL) 4.910015 0.000000 MINKA) 23101.640625 0.000000 MINCA) 14.389972 0.000000 MINRAH) 9.219996 0.000000 MINHI) 10.699964 0.000000
175
NOKOTA) 0.000000 565.890015 NO. ITERATIONS= 48 BRANCHES= 4 DETERM.= 1.000E 0 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE XS -29563.800781 0.000000 INFINITY XK -14781.900391 0.000000 INFINITY XC -12872.280273 0.000000 INFINITY XM -7291.990234 0.000000 INFINITY XH -6037.240234 0.000000 INFINITY XG -500.000000 25243.304688 INFINITY XR -6571.430176 8910.039062 INFINITY SXS 9000.000000 INFINITY 9000.000000 SXC 8000.000000 INFINITY 8000.000000 SXK 5000.000000 INFINITY 5000.000000 SXM 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SXH 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SLIYUR 153.639999 0.000000 INFINITY SXG 21000.000000 INFINITY 21000.000000 SLULXG 142.860001 0.000000 INFINITY SXR 10000.000000 INFINITY 10000.000000 SLULUR 1250.000000 0.000000 1250.000000 SLULXR 500.000000 0.000000 500.000000 SLUXKO 732.559998 424.959686 380.421295 SLUXSIL 649.849976 0.000000 212.479843 XKO -59.610001 424.959686 380.421295 XSIL -73.400002 INFINITY 212.479843 BLLXG -142.860001 0.000000 858.589783 BLLXR -500.000000 0.000000 INFINITY BLLUR -1250.000000 0.000000 INFINITY BKOTA -166.669998 INFINITY INFINITY BLUSIL -649.849976 0.000000 INFINITY BSOP -153.639999 0.000000 187.876923 TKSAY -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSG -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSR -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSKO -25000.000000 42495.968750 INFINITY TKSIL -25000.000000 INFINITY 42495.968750 GRUM 0.000000 0.000000 INFINITY RRUM 0.000000 1610.761963 INFINITY BBKO 0.000000 190.143661 247.273819 BBSIL 0.000000 145.957993 178.483063 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE PUPUK 0.000000 INFINITY 7588.875000 PAKAN1 0.000000 INFINITY 1251695.250000
176
SIPAKDO 0.000000 INFINITY 0.000000 SIPAKKE 0.000000 32.314144 94851.250000 URIN 0.000000 INFINITY 12276.676758 KOTKEL 0.000000 INFINITY 45961.539062 KOTDOM 0.000000 11298.460938 INFINITY BHNSIL 0.000000 1441878.875000 146.183029 TRS 0.000000 INFINITY 4.910015 TRC 0.000000 INFINITY 14.389972 TRK 0.000000 INFINITY 23101.640625 TRH 0.000000 INFINITY 10.699964 TRM 0.000000 INFINITY 9.219996 TRKE 0.000000 INFINITY 28630.000000 TRGO 0.000000 INFINITY 0.000000 TRKO 0.000000 25500.000000 103732.640625 TRSIL 0.000000 1274924.500000 129.256577 TKSAY 1479.000000 INFINITY 807.400024 TKDO 5304.000000 INFINITY 5304.000000 TKKE 1020.000000 0.646283 6142.842773 TKSIL 255.000000 0.646283 6258.476074 TKKO 255.000000 1037.326416 75.888748 JUMBED 783.000000 INFINITY 0.000000 JUMRUM 122724.601562 INFINITY 94851.250000 BTSAMPOR 1442025.000000 INFINITY 146.183029 BTSTKS 9120.000000 0.646283 6142.842773 BTSKOTA 35822.250000 INFINITY 17911.125000 MINSEL 539.690002 4.910015 INFINITY MINKA 2852.439941 23101.640625 INFINITY MINCA 2246.050049 14.389972 INFINITY MINRAH 100.629997 9.219996 INFINITY MINHI 2354.800049 10.699964 INFINITY NOKOTA 17911.125000 17911.125000 7588.875000
177
Lampiran 19. Model Skenario MS3 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO +649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL-153.64BSOP -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH +SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM-
2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya
lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
178
minka) SXK>=2852.44 minca) SXC>=2246.05 minrah) SXM>=100.63 minhi) SXH>=2354.8 !KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 70% XKO) NOKOTA) BKOTA=10746.675 END GIN XS GIN XK GIN XC GIN XM GIN XH GIN XG GIN XR
179
Lampiran 20. Output Model Skenario MS3 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 6 OBJECTIVE VALUE = 719791744. SET XC TO >= 92 AT 1, BND= 0.7197E+09 TWIN=-
0.1000E+31 18 SET XH TO >= 95 AT 2, BND= 0.7197E+09 TWIN=-
0.1000E+31 19 SET XK TO <= 556 AT 3, BND= 0.7197E+09 TWIN=-
0.1000E+31 21 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7197E+09 TWIN=-
0.1000E+31 21 SET XR TO >= 4090 AT 5, BND= 0.7197E+09 TWIN=
0.7197E+09 32 NEW INTEGER SOLUTION OF 719658368. AT BRANCH 4
PIVOT 32 BOUND ON OPTIMUM: 0.7196584E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 32 LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.7196584E+09 VARIABLE VALUE REDUCED COST XS 35.000000 -77679.078125 XK 556.000000 -186298.796875 XC 92.000000 -150927.468750 XM 5.000000 -91856.867188 XH 95.000000 -110307.523438 XG 0.000000 25243.306641 XR 4090.000000 8910.041992 SXS 544.600037 0.000000 SXC 2260.439941 0.000000 SXK 25954.080078 0.000000 SXM 109.849998 0.000000 SXH 2365.500000 0.000000 SLIYUR 0.000000 0.000001 SXG 0.000000 0.000000 SLULXG 0.000000 -0.000001 SXR 28630.000000 0.000000 SLULUR 12276.676758 0.000000 SLULXR 45961.539062 0.000000 SLUXKO 424.424805 0.000000
180
SLUXSIL 1251695.250000 0.000000 XKO 25500.000000 0.000000 XSIL 1279568.625000 0.000000 BLLXG 11298.460938 0.000000 BLLXR 0.000000 0.000000 BLLUR 0.000000 0.000000 BKOTA 10746.674805 0.000000 BLUSIL 0.000000 -0.000024 BSOP 1441878.875000 0.000000 TKSAY 0.000000 80538.093750 TKSG 0.000000 80538.093750 TKSR 2977.156982 0.000000 TKSKO 0.000000 42495.968750 TKSIL 6142.842773 0.000000 GRUM 0.000000 0.000000 RRUM 27873.349609 0.000000 BBKO 39230.769531 0.000000 BBSIL 1523296.000000 0.000000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES PUPUK) 0.000000 732.559998 PAKAN1) 0.000000 649.849976 SIPAKDO) 0.000000 0.000000 SIPAKKE) 0.000000 1610.761963 URIN) 0.000000 1250.000000 KOTKEL) 0.000000 500.000000 KOTDOM) 0.000000 142.860001 BHNSIL) 0.000000 153.639999 TRS) 0.000000 9000.000000 TRC) 0.000000 8000.000000 TRK) 0.000000 5000.000000 TRH) 0.000000 6000.000000 TRM) 0.000000 6000.000000 TRKE) 0.000000 10000.000000 TRGO) 0.000000 21000.000000 TRKO) 0.000000 292.528717 TRSIL) 0.000000 173.759521 TKSAY) 807.400024 0.000000 TKDO) 5304.000000 0.000000 TKKE) 0.000000 80538.093750 TKSIL) 0.000000 80538.093750 TKKO) 0.000000 38042.128906 JUMBED) 0.000000 0.000000 JUMRUM) 94851.250000 0.000000 BTSAMPOR) 146.183029 0.000000 BTSTKS) 0.000000 55538.097656 BTSKOTA) 25075.574219 0.000000 MINSEL) 4.910015 0.000000 MINKA) 23101.640625 0.000000 MINCA) 14.389972 0.000000 MINRAH) 9.219996 0.000000 MINHI) 10.699964 0.000000
181
NOKOTA) 0.000000 565.890015 NO. ITERATIONS= 36 BRANCHES= 4 DETERM.= 1.000E 0 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE XS -29563.800781 0.000000 INFINITY XK -14781.900391 0.000000 INFINITY XC -12872.280273 0.000000 INFINITY XM -7291.990234 0.000000 INFINITY XH -6037.240234 0.000000 INFINITY XG -500.000000 25243.304688 INFINITY XR -6571.430176 8910.039062 INFINITY SXS 9000.000000 INFINITY 9000.000000 SXC 8000.000000 INFINITY 8000.000000 SXK 5000.000000 INFINITY 5000.000000 SXM 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SXH 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SLIYUR 153.639999 0.000000 INFINITY SXG 21000.000000 INFINITY 21000.000000 SLULXG 142.860001 0.000000 INFINITY SXR 10000.000000 INFINITY 10000.000000 SLULUR 1250.000000 0.000000 1250.000000 SLULXR 500.000000 0.000000 500.000000 SLUXKO 732.559998 424.959686 380.421295 SLUXSIL 649.849976 0.000000 212.479843 XKO -59.610001 424.959686 380.421295 XSIL -73.400002 INFINITY 212.479843 BLLXG -142.860001 0.000000 858.589783 BLLXR -500.000000 0.000000 INFINITY BLLUR -1250.000000 0.000000 INFINITY BKOTA -166.669998 INFINITY INFINITY BLUSIL -649.849976 0.000000 INFINITY BSOP -153.639999 0.000000 187.876923 TKSAY -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSG -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSR -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSKO -25000.000000 42495.968750 INFINITY TKSIL -25000.000000 INFINITY 42495.968750 GRUM 0.000000 0.000000 INFINITY RRUM 0.000000 1610.761963 INFINITY BBKO 0.000000 190.143661 247.273819 BBSIL 0.000000 145.957993 178.483063 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE PUPUK 0.000000 INFINITY 424.424805 PAKAN1 0.000000 INFINITY 1251695.250000
182
SIPAKDO 0.000000 INFINITY 0.000000 SIPAKKE 0.000000 32.314144 94851.250000 URIN 0.000000 INFINITY 12276.676758 KOTKEL 0.000000 INFINITY 45961.539062 KOTDOM 0.000000 11298.460938 INFINITY BHNSIL 0.000000 1441878.875000 146.183029 TRS 0.000000 INFINITY 4.910015 TRC 0.000000 INFINITY 14.389972 TRK 0.000000 INFINITY 23101.640625 TRH 0.000000 INFINITY 10.699964 TRM 0.000000 INFINITY 9.219996 TRKE 0.000000 INFINITY 28630.000000 TRGO 0.000000 INFINITY 0.000000 TRKO 0.000000 25500.000000 103732.640625 TRSIL 0.000000 1274924.500000 129.256577 TKSAY 1479.000000 INFINITY 807.400024 TKDO 5304.000000 INFINITY 5304.000000 TKKE 1020.000000 0.646283 6142.842773 TKSIL 255.000000 0.646283 6258.476074 TKKO 255.000000 1037.326416 4.244248 JUMBED 783.000000 INFINITY 0.000000 JUMRUM 122724.601562 INFINITY 94851.250000 BTSAMPOR 1442025.000000 INFINITY 146.183029 BTSTKS 9120.000000 0.646283 6142.842773 BTSKOTA 35822.250000 INFINITY 25075.574219 MINSEL 539.690002 4.910015 INFINITY MINKA 2852.439941 23101.640625 INFINITY MINCA 2246.050049 14.389972 INFINITY MINRAH 100.629997 9.219996 INFINITY MINHI 2354.800049 10.699964 INFINITY NOKOTA 10746.674805 25075.574219 424.424805
183
Lampiran 21. Model Skenario MS4 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO +649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL-153.64BSOP -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH +SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM-
2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya
lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
184
minka) SXK>=2852.44 minca) SXC>=2246.05 minrah) SXM>=100.63 minhi) SXH>=2354.8 !KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 100% XKO) NOKOTA) BKOTA=0 END GIN XS GIN XK GIN XC GIN XM GIN XH GIN XG GIN XR
185
Lampiran 22. Output Model Skenario MS4 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 15 OBJECTIVE VALUE = 710264832. SET XC TO >= 92 AT 1, BND= 0.7102E+09 TWIN=-
0.1000E+31 54 SET XH TO >= 95 AT 2, BND= 0.7102E+09 TWIN=-
0.1000E+31 55 SET XK TO <= 556 AT 3, BND= 0.7102E+09 TWIN=-
0.1000E+31 57 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7102E+09 TWIN=-
0.1000E+31 57 SET XR TO >= 3984 AT 5, BND= 0.7101E+09 TWIN=
0.7101E+09 72 NEW INTEGER SOLUTION OF 710134848. AT BRANCH 4
PIVOT 72 BOUND ON OPTIMUM: 0.7101348E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 72 LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.7101348E+09 VARIABLE VALUE REDUCED COST XS 35.000000 -58237.175781 XK 556.000000 -166856.890625 XC 92.000000 -131485.562500 XM 5.000000 -72414.960938 XH 95.000000 -90865.617188 XG 0.000000 25243.306641 XR 3984.000000 8910.041992 SXS 544.600037 0.000000 SXC 2260.439941 0.000000 SXK 25954.080078 0.000000 SXM 109.849998 0.000000 SXH 2365.500000 0.000000 SLIYUR 0.000000 0.000001 SXG 0.000000 0.000000 SLULXG 0.000000 -0.000001 SXR 27888.000000 0.000000 SLULUR 11890.915039 0.000000 SLULXR 39903.988281 0.000000 SLUXKO 0.000000 424.959686
186
SLUXSIL 1252491.875000 0.000000 XKO 35822.250000 0.000000 XSIL 1279642.875000 0.000000 BLLXG 15872.011719 0.000000 BLLXR 0.000000 0.000000 BLLUR 0.000000 0.000000 BKOTA 0.000000 0.000000 BLUSIL 0.000000 -0.000024 BSOP 1441962.750000 0.000000 TKSAY 0.000000 80538.093750 TKSG 0.000000 80538.093750 TKSR 2873.563232 0.000000 TKSKO 103.222504 0.000000 TKSIL 6143.214355 0.000000 GRUM 0.000000 0.000000 RRUM 27150.960938 0.000000 BBKO 55111.152344 0.000000 BBSIL 1523384.375000 0.000000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES PUPUK) 0.000000 1157.519653 PAKAN1) 0.000000 649.849976 SIPAKDO) 0.000000 0.000000 SIPAKKE) 0.000000 1610.761963 URIN) 0.000000 1250.000000 KOTKEL) 0.000000 500.000000 KOTDOM) 0.000000 142.860001 BHNSIL) 0.000000 153.639999 TRS) 0.000000 9000.000000 TRC) 0.000000 8000.000000 TRK) 0.000000 5000.000000 TRH) 0.000000 6000.000000 TRM) 0.000000 6000.000000 TRKE) 0.000000 10000.000000 TRGO) 0.000000 21000.000000 TRKO) 0.000000 292.528717 TRSIL) 0.000000 173.759521 TKSAY) 807.400024 0.000000 TKDO) 5304.000000 0.000000 TKKE) 0.000000 80538.093750 TKSIL) 0.000000 80538.093750 TKKO) 0.000000 80538.093750 JUMBED) 0.000000 0.000000 JUMRUM) 95573.640625 0.000000 BTSAMPOR) 62.197979 0.000000 BTSTKS) 0.000000 55538.097656 BTSKOTA) 35822.250000 0.000000 MINSEL) 4.910015 0.000000 MINKA) 23101.640625 0.000000 MINCA) 14.389972 0.000000 MINRAH) 9.219996 0.000000 MINHI) 10.699964 0.000000
187
NOKOTA) 0.000000 990.849670 NO. ITERATIONS= 79 BRANCHES= 4 DETERM.= 1.000E 0 RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE XS -29563.800781 0.000000 INFINITY XK -14781.900391 0.000000 INFINITY XC -12872.280273 0.000000 INFINITY XM -7291.990234 0.000000 INFINITY XH -6037.240234 0.000000 INFINITY XG -500.000000 25243.304688 INFINITY XR -6571.430176 8910.039062 INFINITY SXS 9000.000000 INFINITY 9000.000000 SXC 8000.000000 INFINITY 8000.000000 SXK 5000.000000 INFINITY 5000.000000 SXM 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SXH 6000.000000 INFINITY 6000.000000 SLIYUR 153.639999 0.000000 INFINITY SXG 21000.000000 INFINITY 21000.000000 SLULXG 142.860001 0.000000 INFINITY SXR 10000.000000 INFINITY 10000.000000 SLULUR 1250.000000 0.000000 1250.000000 SLULXR 500.000000 0.000000 500.000000 SLUXKO 732.559998 424.959656 INFINITY SLUXSIL 649.849976 0.000000 212.479828 XKO -59.610001 424.959656 INFINITY XSIL -73.400002 INFINITY 212.479828 BLLXG -142.860001 0.000000 INFINITY BLLXR -500.000000 0.000000 INFINITY BLLUR -1250.000000 0.000000 INFINITY BKOTA -166.669998 INFINITY INFINITY BLUSIL -649.849976 0.000000 INFINITY BSOP -153.639999 0.000000 187.876907 TKSAY -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSG -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSR -25000.000000 80538.093750 INFINITY TKSKO -25000.000000 42495.964844 INFINITY TKSIL -25000.000000 INFINITY 42495.964844 GRUM 0.000000 0.000000 INFINITY RRUM 0.000000 1610.761963 INFINITY BBKO 0.000000 190.143661 INFINITY BBSIL 0.000000 145.957993 178.483063 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE PUPUK 0.000000 27.498055 90061.085938 PAKAN1 0.000000 INFINITY 1252491.875000
188
SIPAKDO 0.000000 INFINITY 0.000000 SIPAKKE 0.000000 13.749027 95573.640625 URIN 0.000000 INFINITY 11890.915039 KOTKEL 0.000000 INFINITY 39903.988281 KOTDOM 0.000000 15872.011719 INFINITY BHNSIL 0.000000 1441962.750000 62.197979 TRS 0.000000 INFINITY 4.910015 TRC 0.000000 INFINITY 14.389972 TRK 0.000000 INFINITY 23101.640625 TRH 0.000000 INFINITY 10.699964 TRM 0.000000 INFINITY 9.219996 TRKE 0.000000 INFINITY 27888.000000 TRGO 0.000000 INFINITY 0.000000 TRKO 0.000000 35822.250000 90061.085938 TRSIL 0.000000 1274998.625000 54.996109 TKSAY 1479.000000 INFINITY 807.400024 TKDO 5304.000000 INFINITY 5304.000000 TKKE 1020.000000 0.274981 6143.214355 TKSIL 255.000000 0.274981 6262.459473 TKKO 255.000000 0.274981 6143.214355 JUMBED 783.000000 INFINITY 0.000000 JUMRUM 122724.601562 INFINITY 95573.640625 BTSAMPOR 1442025.000000 INFINITY 62.197979 BTSTKS 9120.000000 0.274981 6143.214355 BTSKOTA 35822.250000 INFINITY 35822.250000 MINSEL 539.690002 4.910015 INFINITY MINKA 2852.439941 23101.640625 INFINITY MINCA 2246.050049 14.389972 INFINITY MINRAH 100.629997 9.219996 INFINITY MINHI 2354.800049 10.699964 INFINITY NOKOTA 0.000000 27.498055 0.000000
189
Lampiran 23. Keterangan Kendala Model
Nama Kendala KeteranganKendala Pupuk Transfer pupuk organik Pakan1 Transfer pakan silase Sipakdo Transfer pakan rumput domba Sipakke Transfer pakan rumput kelinci Urin Transfer urin kelinci Kotkel Transfer kotoran kelinci Kotdom Transfer kotoran domba
Bhnsil Transfer limbah sayuran;limbah organik pasar sebagai bahan baku silase
Trs Transfer produk selada Trc Transfer produk caisin Trk Transfer produk kangkung Trh Transfer produk bayam hijau Trm Transfer produk bayam merah Trke Transfer produk anakan kelinci Trgo Transfer produk daging domba Trko Transfer produksi pupuk bokashi Trsil Transfer produksi silase Tksay Tenaga kerja usahatani sayuran organik Tkdo Tenaga kerja usahaternak domba Tkke Tenaga kerja usahaternak kelinci Tksil Tenaga kerja produsen silase Tkko Tenaga kerja produsen pupuk bokashi Jumbed Ketersediaan bedengan Jumrum Ketersediaan rumput lapangan Btsampor Ketersediaan limbah organik pasar Btstks Ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel Btskota Ketersediaan pupuk kotoran ayam dari luar desa Minsel Permintaan minimum selada Minka Permintaan minimum kangkung Minca Permintaan minimum caisin Minrah Permintaan minimum bayam merah Minhi Permintaan minimum bayam hijau
Nokode Seluruh pemenuhan kebutuhan pupuk berasal dari luar desa
Nourde Seluruh pemenuhan kebutuhan urin berasal dari luar desa
Nokokede Seluruh pemenuhan kebutuhan kotoran kelinci berasal dari luar desa
Nokodode Seluruh pemenuhan kebutuhan kotoran domba berasal dari luar desa
190
Nolimsay Seluruh pemenuhan kebutuhan bahan hijauan silase berasal dari luar desa
nokota Pemenuhan kebutuhan pupuk kotoran ayam dari luar desa pada skenario kebijakan
191
Lampiran 24. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS1
Aktivitas Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
Usahatani Sayuran Organik
a. Jual selada 9,000.00 3.628400 9,326.56 544.60 5,079,242.40
b. Jual kangkung 5,000.00 3.628400 5,181.42 25,954.08 134,478,989.19
c. Jual caisim 8,000.00 3.628400 8,290.27 2,260.44 18,739,662.44
d. Jual bayam merah 6,000.00 3.628400 6,217.70 109.85 683,014.78
e. Jual bayam hijau 6,000.00 3.628400 6,217.70 2,365.50 14,707,978.81
f. Jual limbah sayuran 153.64 0.000000 153.64 0.00 0.00 g.PL limbah sayura di dalam desa 0.00 0.000000 0.00 5,252.35 0.00
Usaha Ternak Domba 0.00
a. Menjual daging 21,000.0
0 0.000000 21,000.00 0.00 0.00
b. JL domba dalam 0.00 0.000000 0.00 0.00 0.00
c. JL domba luar 142.86 0.000000 142.86 0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 0.00
a. Menjual anakan 10,000.0
0 0.000000 10,000.00 28,630.00 286,300,000.00
b. PL kelinci dalam 0.00 0.000000 0.00 11,298.46 0.00
c. JL kelinci luar 500.00 0.000000 500.00 45,961.54 22,980,770.00
d. PL urin dalam 0.00 0.000000 0.00 156.92 0.00
e. JL urin luar 1,250.00 0.000000 1,250.00 12,276.68 15,345,850.00
Usaha produksi silase 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 27,873.38 0.00
b. Jual silase ke luar 649.85 0.000000 649.85 1,251,695.25 813,414,158.21
Usaha produksi kompos 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 10,746.68 0.00
b. Jual kompos ke luar 732.56 0.000000 732.56 14,753.33 10,807,695.76 TOTAL PENERIMAAN
1,322,537,361.60
TOTAL PENGELUARAN 588,688,972.12
PROFIT 733,848,389.48
192
Lampiran 25. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS2
Aktivitas Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
Usahatani Sayuran Organik
a. Jual selada 9,000.00 6.047400 9,544.27 544.60 5,197,807.26
b. Jual kangkung 5,000.00 6.047400 5,302.37 25,954.08 137,618,135.17
c. Jual caisim 8,000.00 6.047400 8,483.79 2,260.44 19,177,102.79
d. Jual bayam merah 6,000.00 6.047400 6,362.84 109.85 698,958.41
e. Jual bayam hijau 6,000.00 6.047400 6,362.84 2,365.50 15,051,307.48
f. Jual limbah sayuran 153.64 0.000000 153.64 0.00 0.00 g.PL limbah sayura di dalam desa 0.00 0.000000 0.00 5,252.35 0.00
Usaha Ternak Domba 0.000000 0.00
a. Menjual daging 21,000.0
0 0.000000 21,000.00 0.00 0.00
b. JL domba dalam 0.00 0.000000 0.00 0.00 0.00
c. JL domba luar 142.86 0.000000 142.86 0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 0.00
a. Menjual anakan 10,000.0
0 0.000000 10,000.00 28,630.00 286,300,000.00
b. PL kelinci dalam 0.00 0.000000 0.00 11,298.46 0.00
c. JL kelinci luar 500.00 0.000000 500.00 45,961.54 22,980,770.00
d. PL urin dalam 0.00 0.000000 0.00 156.92 0.00
e. JL urin luar 1,250.00 0.000000 1,250.00 12,276.68 15,345,850.00
Usaha produksi silase 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 27,873.38 0.00
b. Jual silase ke luar 649.85 0.000000 649.85 1,251,695.25 813,414,158.21
Usaha produksi kompos 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 17,911.13 0.00
b. Jual kompos ke luar 732.56 0.000000 732.56 7,588.88 5,559,306.27 TOTAL PENERIMAAN
1,321,343,395.60
TOTAL PENGELUARAN 587,494,873.24
PROFIT 733,848,522.36
193
Lampiran 26. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS3
Aktivitas Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
Usahatani Sayuran Organik
a. Jual selada 9,000.00 8.466300 9,761.97 544.60 5,316,367.23
b. Jual kangkung 5,000.00 8.466300 5,423.32 25,954.08 140,757,151.38
c. Jual caisim 8,000.00 8.466300 8,677.30 2,260.44 19,614,525.05
d. Jual bayam merah 6,000.00 8.466300 6,507.98 109.85 714,901.38
e. Jual bayam hijau 6,000.00 8.466300 6,507.98 2,365.50 15,394,621.96
f. Jual limbah sayuran 153.64 0.000000 153.64 0.00 0.00 g.PL limbah sayura di dalam desa 0.00 0.000000 0.00 5,252.35 0.00
Usaha Ternak Domba 0.00
a. Menjual daging 21,000.0
0 0.000000 21,000.00 0.00 0.00
b. JL domba dalam 0.00 0.000000 0.00 0.00 0.00
c. JL domba luar 142.86 0.000000 142.86 0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 0.00
a. Menjual anakan 10,000.0
0 0.000000 10,000.00 28,630.00 286,300,000.00
b. PL kelinci dalam 0.00 0.000000 0.00 11,298.46 0.00
c. JL kelinci luar 500.00 0.000000 500.00 45,961.54 22,980,770.00
d. PL urin dalam 0.00 0.000000 0.00 156.92 0.00
e. JL urin luar 1,250.00 0.000000 1,250.00 12,276.68 15,345,850.00
Usaha produksi silase 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 27,873.38 0.00
b. Jual silase ke luar 649.85 0.000000 649.85 1,251,695.25 813,414,158.21
Usaha produksi kompos 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 25,075.58 0.00
b. Jual kompos ke luar 732.56 0.000000 732.56 424.43 310,916.78 TOTAL PENERIMAAN
1,320,149,261.99
TOTAL PENGELUARAN 586,300,774.36
PROFIT 733,848,487.63
194
Lampiran 27. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS4
Aktivitas Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
Usahatani Sayuran Organik
a. Jual selada 9,000.00 14.149000 10,273.41 544.60 5,594,899.09
b. Jual kangkung 5,000.00 14.149000 5,707.45 25,954.08 148,131,613.90
c. Jual caisim 8,000.00 14.149000 9,131.92 2,260.44 20,642,157.24
d. Jual bayam merah 6,000.00 14.149000 6,848.94 109.85 752,356.06
e. Jual bayam hijau 6,000.00 14.149000 6,848.94 2,365.50 16,201,167.57
f. Jual limbah sayuran 153.64 0.000000 153.64 0.00 0.00 g.PL limbah sayura di dalam desa 0.00 0.000000 0.00 5,252.35 0.00
Usaha Ternak Domba 0.00
a. Menjual daging 21,000.0
0 0.000000 21,000.00 0.00 0.00
b. JL domba dalam 0.00 0.000000 0.00 0.00 0.00
c. JL domba luar 142.86 0.000000 142.86 0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 0.00
a. Menjual anakan 10,000.0
0 0.000000 10,000.00 27,888.00 278,880,000.00
b. PL kelinci dalam 0.00 0.000000 0.00 15,872.01 0.00
c. JL kelinci luar 500.00 0.000000 500.00 39,903.99 19,951,995.00
d. PL urin dalam 0.00 0.000000 0.00 220.44 0.00
e. JL urin luar 1,250.00 0.000000 1,250.00 11,890.92 14,863,650.00
Usaha produksi silase 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 27,150.96 0.00
b. Jual silase ke luar 649.85 0.000000 649.85 1,252,491.88 813,931,844.97
Usaha produksi kompos 0.00
a. pemanfaatan ke dalam 0.00 0.000000 0.00 35,822.25 0.00
b. Jual kompos ke luar 732.56 0.000000 732.56 0.00 0.00 TOTAL PENERIMAAN
1,318,949,683.82
TOTAL PENGELUARAN 585,099,828.00
PROFIT 733,849,855.82
195
Lampiran 28. Dokumentasi Kegiatan