1
Opini
Mengenang Bung Hatta, Pelopor Pemberantasan Korupsi
Rabu, 12 Agustus 2015
http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/2242-mengenang-bung-hatta-pelopor-pemberantasan-korupsi.html
Bung Hatta, Proklamator Republik Indonesia (Ist)
Oleh Prof. Sri-Edi Swasono
Sejak lama Bung Hatta terusik oleh berkembangnya korupsi di Indonesia. Beliau
mengkhawatirkan bahwa korupsi akan dapat “membudaya”. Banyak orang merasa aneh
atas kekhawatiran Bung Hatta itu, dan menganggap Bung Hatta berlebih-lebihan. Namun
sekarang orang-orang itu boleh menyesal, bahwa ternyata perasaan tajam Bung Hatta 60
tahun yang lalu itu ternyata benar saat ini, korupsi benar-benar membudaya.
Pada tahun 2003 masyarakat telah mencemaskan tentang maraknya korupsi di Indonesia,
oleh karena itu pada tanggal 9 April 2003 berdirilah “Perkumpulan BHACA”, yaitu suatu
perkumpulan yang akan memberikan Bung Hatta AntiCorruption Award kepada
pribadi-pribadi yang bersih dari praktek korupsi, yang tidak pernah menyalahgunakan
kekuasaan atau jabatan, menyuap atau menerima suap serta berperan aktif memberikan
inspirasi atau mempengaruhi masyarakat dan lingkungannya dalam pemberantasan
korupsi. Pendiri-pendiri “Perkumpulan BHACA” antara lain adalah Atika Makarim, Ati
Nurbaiti, Clara Juwono, Ilya Revianti Sunarwinadi, Indira Sugondo, Ken Sudarto (Alm),
Kitty Soegondo-Kramadibrata, M. Harjono Kartohadiprodjo, Natalia Soebagjo, Ratmini
Soedjatmoko, Shanti Poesposoetjipto, Sharmi Ranti, Soedarpo Sastrosastomo (Alm),
Theodore Permadi Rachmat, dan Teten Masduki.
Perkumpulan ini tentu minta izin kepada Keluarga Bung Hatta untuk menggunakan nama
Bung Hatta sebagai award. Keluarga Bung Hatta memberi izin, bahkan menghargai dan
mendukung prakarsa ini.
2
Memang Bung Hatta adalah tokoh Bapak Bangsa yang memberi teladan bagaimana
berperilaku jujur, baik dalam hubungan pemerintahan maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Bung Hatta juga sepanjang hidupnya tidak pernah berhenti melawan setiap
bentuk penyimpangan kekuasaan, meskipun dengan itu beliau harus menanggung resiko
yang tidak ringan. Banyak alasan mengapa Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Wakil Presiden RI 1956 (ditulis oleh Meutia Hatta, akan segera diedarkan oleh
Penerbit KOMPAS), salah satu di antaranya adalah karena terjadi pembiaran terhadap
korupsi, tak terkecuali kekecewaannya terhadap pemberian grasi kepada seorang
Menteri narapidana yang telah diputuskan oleh Pengadilan sebagai pelaku korupsi.
Pada akhir pidato pengukuhannya sebagai penerima Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gadjah Mada 27 November 1956, Bung Hatta menyampaikan kekecewaannya
atas praktik kepartaian yang mengakibatkan bahwa kekuasaan yang sebenarnya tidak
pada Pemerintah yang memerintah, melainkan pada dewan partai, di mana Pemerintah
diturunkan derajatnya sekedar sebagai orang-orang suruhan partai. Apa yang
dicemaskan Hatta tahun 1956 ini berkelanjutan, bahwa Presiden RI sekarang ini juga
dikatakan oleh pimpinan partainya sebagai “petugas partai” belaka. Pemerintah Negara
tereduksi sebagai kekuasaan sebuah partai. Penyalahgunaan oleh partai inilah yang
mendorong korupsi.
Lebih ditegaskan lagi dalam buku Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita, yang
diterbitkan oleh Panji Masyarakat pimpinan Buya HAMKA pada 1960, yang membuat
marah Bung Karno dan menyatakan buku itu sebagai buku illegal dan dilarang beredar.
Dalam buku Bung Hatta ini kecuali mengeritik Bung Karno yang menyelenggarakan
pemerintahan Negara secara diktatur (dictatuur), Bung Hatta mengatakan karena
sistem dan penyelenggaraan pemerintahan negara membiarkan terjadinya korupsi. Bung
Hatta menulis di buku ini:
“…bagi beberapa golongan menjadi partai pemerintah berarti ‘membagi rezeki’ …
golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh
tugas dari partainya untuk memberi keuntungan bagi partainya. Seorang menteri
perekonomian misalnya menjalankan tugasnya itu dengan member lisensi dengan
pembayaran yang tertentu untuk kas partainya… atau dalam pembagian lisensi itu
kepada pedagang dan importir, orang separtai dengan dia didahulukannya… seringkali
keanggotaan partai menjadi ukuran (untuk jabatan tertentu), bukan berdasar ‘the right
man in the right place’… akhirnya masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan
karena ingin memperoleh jaminan…suasana politik semacam itu member kesempatan
kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi dan manusia profetir maju ke muka,
partai-partai politik ditungganginya untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka
3
timbulah anarki dalam politik dan ekonomi. kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi
merajalela…” (Demokrasi Kita – 1960, cetakan 1966, hlm. 14-15).
Bukan main, itu dikatakan Bung Hatta 55 tahun yang lalu, dan ini persis terjadi dalam 15
tahun terakhir ini. Reformasi memang menjadi deformasi.
Perkumpulan BHACA 2003-2013 telah menetapkan tokoh-tokoh di bawah ini sebagai
penerima Bung Hatta Anti Corruption Award, yaitu antara lain: Erry Riyana
Hardjapamekas, Syamsul Qamar, Gamawan Fauzi, Saldi Isra, Amien Sunaryadi, Busyro
Muqoddas, Sri Mulyani Indrawati, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Nur Pamudji.
Banyak kritik disampaikan kepada Keluarga Bung Hatta bahwa nama beberapa orang
dalam jajaran ini yang tidak pas untuk menerima award yang mencerminkan kesucian,
kejujuran dan kebersihan sebagaimana Bung Hatta. Namun tentu ini salah alamat.
Keluarga Bung Hatta memberi izin penggunaan nama Bung Hatta untukaward anti korupsi,
tetapi sebuah panitia pada Perkumpulan BHACA-lah yang menentukan pemilihan
tokoh-tokoh yang dianggap anti korupsi.
Mari kita mendukung segala kegiatan untuk melawan korupsi. Demikian kali ini kita
memperingati Hari Kelahiran Bung Hatta 12 Agustus, tokoh publik yang belum ada duanya
di Indonesia.
*Guru Besar Universitas Indonesia, Ketum Majelis Luhur Tamansiswa