Download - medical
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993)
Zuelser dan Wilson (1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang
menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Sejak saat itu penyakit ini
lebih di kenal dengan istilah aganglionosis kongenital.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863.
Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus defisiensi ganglion (Kartono, 1993)
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung
di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran
hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
hisprung. (Munahasrini, 2012)
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-
laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit
hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini
mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom
waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. (Munahasrini, 2012)
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya
kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah
berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat
1
terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, penyakit
hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti
pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal
dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan
colostomi.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah
pengetahuan kepada para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu
keperawatan mengenai penyakit hisprung. Makalah ini juga dibuat untuk
memenuhi syarat dalam proses pembelajaran pada mata kuliah keperawatan anak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hisprung
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus
kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
“kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk
setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion
parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah,
1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan
obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna
L. Wong, 2003 : 507).
Macam-macam Penyakit Hirschprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan
70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki dibanding anak perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon
atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.
(Ngastiyah, 1997 : 138)
2.2 Etiologi Hisprung
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam
lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 %
3
terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 %
dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik
dan faktor lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan
sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal
pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (Budi, 2010).
2.3 Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa
kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian
proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi
usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak
pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).
2.4 Manifestasi Klinis
1. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat
tinja seperti pita.
3. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
4. Nyeri abdomen dan distensi.
5. Gangguan pertumbuhan.
(Suriadi, 2001 : 242)
4
1. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan
evaluai mekonium.
2. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang
membaik secara spontan maupun dengan edema.
3. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut.
4. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan
demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
5. Gejala hanya konstipasi ringan.
(Mansjoer, 2000 : 380)
Masa Neonatal :
1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
2. Muntah berisi empedu.
3. Enggan minum.
4. Distensi abdomen.
Masa bayi dan anak-anak :
1. Konstipasi
2. Diare berulang
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Distensi abdomen
5. Gagal tumbuh (Betz, 2002 : 197)
Komplikasi
Gawat pernapasan (akut)
1. Enterokolitis (akut)
2. Striktura ani (pasca bedah)
3. Inkontinensia (jangka panjang)
(Betz, 2002 : 197)
5
1. Obstruksi usus
2. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
3. Konstipasi
(Suriadi, 2001 : 241)
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
1. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat
penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
2. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan
dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
3. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada
penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
4. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus. (Ngatsiyah,
1997 : 139)
1. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
2. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
3. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
4. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan
eksterna.
2.6 Penatalaksanaan
Menurut Yuda (2010), penatalaksanaan hirsprung ada dua cara, yaitu
pembedahan dan konservatif.
1) Pembedahan
Pembedahan pada mega kolon/penyakit hisprung dilakukan dalam dua
tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi loop atau double barrel sehingga tonus dan
ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan
waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan).
Tiga prosedur dalam pembedahan diantaranya:
6
a. Prosedur duhamel
Dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik, membuat dinding
ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang
telah ditarik.
b. Prosedur swenson
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to
end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan
pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior
c. Prosedur soave
Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap utuh
kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat
dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot
rektosigmoid yang tersisa.
2) Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan
udara.
7
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HISPRUNG
STUDY KASUS
Seorang anak M (pr) berusia 1 bulan dibawa ibunya ke rumah sakit pada tanggal 2
Juni 2008 dikarenakan perutnya kembung dan tidak bisa BAB. Setelah
mendapatkan pelayanan dari rumah sakit, ibu mengatakan, anaknya baru bisa
BAB jika diberi obat lewat dubur, anaknya sudah tidak muntah dan sudah bisa
BAB, jadi sudah sembuh, mestinya boleh pulang, ibu bingung karena dokter
umum membolehkan pulang dan rawat jalan tapi dokter spesialis anak belum
boleh karena sekalian mau di operasi.
3.1 Pengkajian
1. Biodata
Data bayi
Nama : By. M
Jenis kelamin : perempuan
Tanggal Lahir : 8 Mei 2008
Tanggal MRS : 2 juni 2008
BB/PB : 2900 g/ 54cm
Dx medis : hirsprung
Pengkajian : 9 Juni
Data Ibu
Nama : Ny. K
Pekerjaan : Tidak kerja
Pendidikan : SLTA
Alamat : Kedinding Tenagh SBY
Nama ayah : Tn T
Pekerjaan : PT PAL
Pendidikan : SLTA
8
2. Keluhan utama
Tidak bisa BAB sehingga perut anak besar sehingga tidak mau makan dan
minum
3. Riwayat penyakit sekarang
Kembung, pasien muntah setelah minum susu, muntah berupa susu yang
diminum, muntah sejak 3 hari yang lalu.
4. Riwayat penyakit sebelumnya
Lahir spontan ditolong dokter, langsung boleh pulang, tidak ada kelainan.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada saudara yang sakit seperti ananknya
6. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 90/60mm/hg
Denyut nadi : 114/menit
Suhu tubuh : 36,5
RR : 40/menit
b. Pemeriksaan persistem
B1 reathing : normal
B2 Blood : normal
B3 Brain : normal
B4 Bladder : normal
B5 Bowel : kembung, bising usus 10x/ menit, muntah,
Peningkatan nyeri abdomen
B6 Bone : normal
7. Data Tambahan :
9
Radiologi :
Torax Foto (2-6-08):
Cor : besar & bentuk kesan normal
Pulmo : tidak tampak infiltrat, sinus phrenicocostalis D.S tajam
Thymus : positif
Kesimpulan : foto torax tidak tampak kelainan
Baby gram (2-6-08):
Dilatasi dan peningkatan gas usus halus dan usus besar
BOF (2-6-08)
Dilatasi dan peningkatan gas usus halus dan usus besar
(menyokong gambaran Hirsprung Disease
Colon in loop (5-6-08):
Tampak pelebaran rectosigmoid
Tampak area aganglionik di rectum dengan jarak ± 1,5 cm dari
anal dengan daerah hipoganglionik diatasnya.
Tampak bagian sigmoid lebih besar dari rectum.
Kesimpulan : Sesuai gambaran Hirschprung Diseases
10
Analisis Data
No DATA ETIOLOGI MASALAH
1
S: Ibu;
-Anaknya baru bisa BAB jika
diberi obat lwat dubur.
-BAB 1-2×/hr, konsisitensi
lembek, berwarna kuning.
O:
- Tampak distensi abdomen.
- Lingkar abdomen 39 cm.
- Bising usus 10×/mnt
Aganglionisis parasimpatikus
↓
Mesenterikus
↓
Daya dorong lemah
↓
Feses tidak bisa keluar
↓
Konstipasi
Konstipasi
2. S:
- Ibu mengatakan, kondisi
anaknya sudah tidak muntah
dan sudah bisa BAB, jadi
sudah sembuh, mestinya
boleh pulang.
- Ibu mengatakan, saya
bingung karena dokter satu
membolehkan pulang dan
rawat jalan tapi dokter
satunya belum boleh karena
sekalian mau dioperasi.
O:
- Wajah tampak kusut
- Kurang perhatian (rambut
dan baju acak-acakan)
- Interaksi dengan Ibu-Ibu
Kurang pengetahuan tentang
penyakit dan terapi yang
diprogramkan
Cemas orang
tua (Ibu)
11
lain kurang.
- Afek datar
- Emosi rendah
- Tidak ada diaforesis
- T = 130/80
- N = 80×/mnt
- RR = 20 ×/mnt
3.2 Diagnosa dan Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Konstipasi
berhubungan
dengan
aganglionisis
parasimpatis
area rektum
Tujuan: konstipasi dapat
teratasi dalam 4 × 24 jam
Kriteria hasil:
1. BAB teratur 3-4 ×/hr
2. Konsisitensi lembek
3. Distensi abdomen
berkurang
4. Lingkar abdomen
berkurang
1. Berikan
microlac rectal
tiap hari
2. Berikan ASI
3. Observasi
bising usus,
distensi
abdomen,
lingkar
abdomen
4. Observasi
frekuensi dan
karakteristik
1. Untuk
mangetahui
kondisi usus
melalui feses
2. ASI tetap
diberikan
secara
kontinyu untuk
memenuhi
nutrisi dan
cairan tubuh
anak
3. Adanya bunyi
abnormal bisa
menunjukkan
adanya
komplikasi dari
fungsi GI
4. Indikator
kembalinya
fungsi gastro-
12
feses tiap BAB
5. Membantu
memperlancar
defekasi untuk
melunakkan
feses dengan
menambah
intake cairan
intestinal (GI),
mengidentifika
si ketepatan
intervensi.
5. Intake cairan
yang adekuat
dapat
membantu
melunaakkan
feses
2 Ansietas
(ibu)
berhubungan
dengan
kurang
pengetahuan
tentang
penyakit dan
terapi yang
diprogramka
n
Tujuan: Ansietas (ibu)
berkurang dalam 24 jam
Kriteria Hasil:
1. Ibu mangungkapkan
suatu pemahaman yang
baik tentang proses
penyakit anaknya
2. Ibu memahami terapi
yang diprogramkan tim
dokter
1. Jelaskan pada ibu
tentang penyakit
yang diderita
anaknya.
2. Berikan ibu jadwal
pemeriksaan
diagnostic
3. Berikan informasi
tentang rencana
operasi
1. Anjurkan pada
orangtua untuk
mengekspresikan
perasaan
2. Gunakan
komunikasi
terapeutik
(kontak tubuh,
sikap tubuh)
3. Jelaskan pada
orangtua
mengenai
penyakit anak,
perawatan dan
pengobatan
4. Libatkan
orangtua dalam
1. Pengungkapan
perasaan
membantu
mengurangi
rasa cemas
2. Komunikasi
yang tepat
sebagai wujud
rasa empati
3. Informasi
membantu
orangtua
memahami
kondisi
penyakit anak,
perawatan dan
pengobatan
4.Orangtua
merasa tenang
13
4. Berikan penjelasan
pada ibu tentang
perawatan setelah
operasi
5. Meningkatkan
pengetahuan ibu
perawatan anak
5. Anjurkan berdoa
sesuai keyakinan
5.Dengan berdoa
membuat hati
tenang, cemas
berkurang
3.3 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
No Diagnosa Implementasi Evaluasi
1. Konstipasi
berhubungan
dengan
aganglionisis
parasimpatis
area rektum
1. Memberikan microlac
rectal tiap hari
2. Memberikan ASI
3. Mengobservasi bising
usus, distensi abdomen,
lingkar abdomen
4. Mengobservasi frekuensi
dan karakteristik feses tiap
BAB
5. Mengetahui peristaltic
usus
6. Membantu memperlancar
defekasi untuk
melunakkan feses denagn
menambah intake cairan
S: Ibu;
-Anaknya baru bisa BAB jika
diberi obat lwat dubur.
-BAB 1-2×/hr, konsisitensi
lembek, berwarna kuning.
O:
- Tampak distensi abdomen.
- Lingkar abdomen 39 cm.
- Bising usus 10×/mnt
A: Konstipasi teratasi.
P : rencana tindakan 1 dihentikan,
rencana 2, 3,4 dan 5 dilanjutkan
2 Ansietas (ibu)
berhubungan
dengan kurang
pengetahuan
tentang
penyakit dan
1. Menganjurkan pada
orangtua untuk
mengekspresikan perasaan
2. Menggunakan komunikasi
terapeutik (kontak tubuh,
sikap tubuh)
S:
- Ibu mengatakan, kondisi anaknya
sudah tidak muntah dan sudah bisa
BAB, jadi sudah sembuh,
mestinya boleh pulang.
- Ibu mengatakan, saya bingung
14
terapi yang
diprogramkan
3. Menjelaskan pada orangtua
mengenai penyakit anak,
perawatan dan pengobatan
4. Melibatkan orangtua dalam
perawatan anak
5. Menganjurkan orangtua
(ibu) berdoa sesuai
keyakinan
karena dokter satu membolehkan
pulang dan rawat jalan tapi dokter
satunya belum boleh karena
sekalian mau dioperasi.
O:
- Wajah tampak kusut
- Kurang perhatian (rambut dan
baju acak-acakan)
- Interaksi dengan Ibu-Ibu lain
kurang.
- Afek datar
- Emosi rendah
- Tidak ada diaforesis
- T = 130/80
- N = 80×/mnt
- RR = 20 ×/mnt
A: Ansietas ibu berkurang
sebagian
P : Semua rencana tindakan
dilanjutkan
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
15
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah.
Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan
buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar
dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak.
Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan
benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya
tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara
pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam
mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.
4.2 SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit hisaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
16
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih
(Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U
Pendit. Jakarta : EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^.
Jakarta : EGC
April 13, 2012 Munahasriani
http://munahasrini.wordpress.com/2012/04/13/askep-anak-dengan-hisprung/
17