MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
Skripsi:
Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk MemperolehGelar Sarjana Agama (S.Ag)
Anis Lutfi Masykur109033100049
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H./2017 M.
i
MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
Skripsi:
Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk MenperolehGelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh:
Anis Lutfi Masykur
NIM: 109033100049
Di bawah bimbingan:
Hanafi, MA
NIP: 19691216 199603 1 002
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAMFAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1439 H. / 2017 M.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2017. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.
Ag.) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Jakarta, 30 Oktober 2017
Sidang Munaqasyah;
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Tien Rohmatin, M.A. Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A.NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 197804242015031001
Anggota;
Penguji 1, Penguji 2,
Nanang Tahqiq, M.A. Dr. ArrazyHasyim, M.A.NIP: 19660201 199103 1 001
Pembimbing;
Hanafi, M.A.NIP: 19691216 199603 100 2
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
f = ف a = ا
ق b = ب = q
k = ك t = ت
l = ل ts = ث
م j = ج = m
n = ن ḥ = ح
w = و kh = خ
h = ه d = د
’ = ء dz = ذ
ى r = ر = y
z = ز
s Untuk Madddan Diftong = س
آ sy = ش = â
î = إى sh = ص
وأ dl = ض = û
وأ th = ط = aw
ay = أى zh = ظ
‘ = ع
gh = غ
v
Abstrak
Perbincangan mengenai manusia merupakan suatu kajian yang fundamentaldalam dunia pemikiran Islam. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai manusiadidorong oleh kegelisahannya terkait dunia modern yang menggiring manusiamenjauh dari asal dan esensi kehidupannya sebagai makhluk religius spiritual.Dengan pendekatan tradisionalnya ia berusaha menunjukkan bahwa umat manusiayang telah kehilangan makna dan tujuan hidupnya harus kembali kepada tradisi(baca: nash), agar sisi moralnya terisi sehingga misi penciptaan manusia sebagaikhalifah Tuhan di muka bumi dapat diemban dengan baik. Dalam tulisan ini penulismencoba mengetengahkan hasil penelusuran penulis terutama terkait dengan hakikatmanusia, fase-fase penciptaannya, serta konsep Insan Kamil menurut Seyyed HosseinNasr. Sebagai kesimpulan utama penulis mendapati bahwa manusia yang sempurnaadalah penghubung antara langit (Tuhan dan wahyu-Nya) dengan bumi (alamsemesta termasuk manusia), suatu agen yang dapat mewujudkan keselarasan danketeraturan alam semesta.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tak ada kata
yang mampu merefleksikan rasa syukur kepada-Nya. Atas bimbingan dan
kehendak-Nya akhirnya penulis sanggup dan mampu menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad Saw., serta seluruh keluarga, para sahabat dan para pengikut
beliau hingga akhir zaman.
Latar belakang penulisan skripsi ini adalah kegelisahan dalam mencari
makna yang memadai tentang hakikat manusia. Ini adalah suatu pencarian dalam
rangka memahami diri sebagai manusia. Dengan diketahui definisi yang memadai
tentang diri sebagai manusia, diharapkan mampu memaksimalkan diri untuk
mencapai pemahaman mendalah sebagai bahan refleksi untuk diri sendiri.
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis melibatkan banyak kalangan,
yang tanpa bantuan moral dan materil dari mereka tak mungkin karya ilmiah ini
akan terselesaikan. Untuk itu penulis merasa perlu untuk menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini,
diantaranya:
1. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak nasihat dan
arahan selama penulis menjalani kuliah.
vii
2. Dra. Tien Rohmatin, M.A. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam) dan Dr.
Abdul Hakim Wahid, M.A (Sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam),
penulis sangat berterimakasih atas keramahan, nasihat, dan bantuannya
hingga akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
3. Hanafi, M.A. yang telah membimbing penulis dengan sangat sabar, teliti, dan
mencerahkan, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi
dan birokrasi.
5. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-buku dan beberapa literatur
dalam penulisan skripsi ini.
6. Kedua orang tua penulis, Abdullah Masykur dan Siti Rochimah, yang telah
membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh rasa kasih dan sayang.
Ketiga adik penulis, Ulinnuha Asshofa, Ulumul Huda dan Inayatul Azzah,
yang telah menjadikan penulis selalu bersemangat. Tak lupa pula kepada
keluarga yang lain yang juga memberikan motivasi yang besar dalam rangka
penyelesaian skripsi ini.
7. Teman seperjuangan selama menjalani skripsi: Ali Khumaeni dan Enjis
Saputra. Teman-teman yang telah “mendahului” penulis dalam
menyelesaikan skripsi: Muhammad Zahidin Arief, Hairus Saleh, Muhammad
viii
Burhan Khoirul Adib, Muhammad Ainurrofiq, Misbahuddin, Helmi Hidayat,
Daqoiqul Misbah dan teman-teman yang lain yang tak bisa disebutkan semua.
8. Orang yang paling saya cintai, Rini Handayani, yang selalu mengingatkan,
membantu, dan mendoakan penulis setiap saat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
Jakarta, 30 Oktober 2017
Anis Lutfi Masykur
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING........................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN....................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ iv
ABSTRAK ...............................................................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................. 7D. Kajian Pustaka ....................................................................................... 7E. Metodologi Penelitian ........................................................................... 9F. Sistematika Penulisan Skripsi............................................................. 10
BAB II BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR
A. Riwayat Hidup ..................................................................................... 12B. Tokoh yang Mempengaruhi................................................................ 16C. Karya-karya ......................................................................................... 21
BAB III KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA, FALSAFATDAN TASAUF
A. Pengertian Manusia............................................................................ 26B. Konsep Manusia dalam Perspektif Agama ..................................... 28C. Konsep Manusia dalam Perspektif Falsafat.................................... 34D. Konsep Manusia dalam Perspektif Tasauf ..................................... 41
BAB IV KONSEP MANUSIA SEYYED HOSSEIN NASR
A. Hakikat Manusia ................................................................................. 49B. Empat Fase Penciptaan ..................................................................... 51C. Insan Kamil ......................................................................................... 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 64B. Penutup ................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
What is a man? Pertanyaan itu diajukan Jujun S. Suriasumantri ketika ia
memulai bahasan tentang filsafat.1 Maksud pertanyaan itu adalah, pada tahap
permulaan, filsafat senantiasa mempersoalkan perihal jati diri manusia.
Manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk dibahas. Bukan saja
ia menjadi pokok permasalahan, tetapi pembahasan manusia tidak dapat terlepas
dari sejumlah sistem budaya, tradisi, agama dan filsafat dengan segala perbedaan
latar belakang budaya dan pemikiran yang melingkupinya.2 Kenyataan ini
kemudian membawa kita pada suatu pernyataan bahwa manusia adalah makhluk
yang mempunyai kedudukan spesial, pengaruh luar biasa dan penuh misteri.
Selain sebagai satu-satunya makhluk yang sempurna di antara makhluk
Tuhan lainnya, manusia juga merupakan makhluk yang multi dimensi, yaitu
makhluk yang secara mendasar mempunyai dimensi ragawi, dimensi rohani, dan
dimensi sosio-kultural. Manusia sebagai makhluk ragawi (biologis) adalah
makhluk hidup yang berkembang sesuai dengan kebutuhan dasar seperti makan,
minum dan seks. Manusia sebagai makhluk rohani (religius) adalah makhluk
hidup yang memiliki jiwa dan keyakinan serta kepercayaan untuk menyembah
1 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PustakaSinar Harapan, 1996), h. 27.
2 Albert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan (Yogyakarta:Kanusius, 2004), h. 58.
2
Tuhan. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang selalu
bersosialisasi, berorganisasi, dan berhubungan dengan sesama manusia lainnya. 3
Menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah untuk
memperoleh pengetahuan total tentang nama-nama benda sebagai prasyarat
untuk menjadi Manusia Sempurna (al-Insa>n al-Ka>mil), cermin yang
memantulkan Nama dan Sifat Allah.4 Dengan mendapat pengetahuan tersebut, ia
kemudian ditunjuk sebagai khali>fah Allah di bumi – ini adalah kehormatan yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia.5 Manusia diberi hak untuk menguasai
alam hanya karena watak teomorfisnya, bukan karena pemberontakannya
terhadap langit.6
Hasan Langgulung memberikan definisi tentang manusia dengan merujuk
dari kata insa>n dan basyar yang ada didalam al-Qur’an. Definisi basyar ini
menunjukan bentuk material manusia yang bersifat biologis. Dalam hal ini semua
anak Adam sama dan serupa. Sedangkan kata insa>n mengandung pengertian
manusia yang mengalami perkembangan ke arah yang membolehkannya
menduduki sifat khali>fah di bumi, memikul tanggung jawab (takli>f) dan amanah,
sebab dia menerima ilmu, baya>n, dan ‘aql yang mampu membedakan antara yang
3 Rifaat Syauqi Nawawi, dkk., Metodologi Psikologi Islami (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2000), h. 175.
4 Sujawa, Manusia dan Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001), h. 22-23.
5 Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman,(Yogyakarta: Ircisod, 2005), h. 115.
6 Hadimulyo, “Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Shari’ati”,dalam M. Dawam Rahardjo, (Penyunting), Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam(Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1987), h. 175.
3
baik dan buruk, sehingga kedudukan manusia paling tinggi di antara makhluk-
makhluk ciptaan Allah lainnya.7
Pertanyaan tentang siapakah manusia, asal-usul dan tugasnya di dunia
sebenarnya telah ada sejak lama. Sejarah pemikiran Barat modern sejak
Descartes ditandai dengan usaha menjawab pertanyaan tersebut. Seiring dengan
berkembangnya pemikiran, muncul berbagai aliran filsafat yang masing-masing
memiliki corak pemikiran tersendiri. Salah satu aliran yang ada ialah filsafat
perennial, yaitu sebuah filsafat yang dipandang bisa menjelaskan segala kejadian
yang bersifat hakiki, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi spiritual
manusia.8
Salah satu tokoh dari aliran filsafat ini adalah Seyyed Hossein Nasr.
Untuk memahami konsep manusia Nasr, kita harus berangkat dengan memahami
kritiknya terhadap manusia modern. Salah satu ungkapannya yang terkenal
adalah bahwa manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang
dinyalakannya, karena ia telah lupa siapakah ia sesungguhnya.9 Ungkapan ini
disampaikan Nasr dalam mengomentari cara pandang manusia terhadap alam.
Dikatakannya bahwa dunia modern tidak lagi memiliki horizon spiritual.
“Hal itu terjadi bukan karena horizon spiritual itu tak ada, tapikarena manusia modern – dalam istilah filsafat perennial yangsering diintrodusir oleh Nasr – “hidup di pinggir lingkaran
7 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,2003), h. 286.
8 Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, PerspektifFilsafat Perennial (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 7.
9 Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, PerspektifFilsafat Perennial, h. 1.
4
eksistensi”. “Manusia modern melihat segala sesuatu hanya darisudut pandang pinggiran eksistensinya itu, tidak pada “pusatspiritualitas dirinya”, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya.Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang — memberiperhatian pada dunia dan eksistensi di luar dirinya — iamemperoleh pengetahuan dunia material yang secara kuantitassangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif dan keseluruhantujuan hidupnya — menyangkut pengertian-pengertian mengenaidirinya sendiri — ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhanmanusia di zaman modern ini terjadi karena manusia kehilanganpengetahuan langsung mengenai dirinya itu, dan menjadibergantung pada pengetahuan eksternal, yang tak langsungberhubungan dengan dirinya.”10
Dalam pandangan Nasr, manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu
manusia modern dan manusia tradisional, yang terakhir ini disebutnya pula
sebagai manusia suci, sebagaimana dijelaskannya dalam salah satu karyanya:
“Konsep tentang manusia suci, pontifex, atau jembatan antara surgadan bumi, yang merupakan pandangan tradisional anthropos,terletak pada antipoda konsep manusia modern yangmembayangkan manusia sebagai ciptaan Promethean di bumi,melawan surga dan berusaha menyalahgunakan peranan Tuhan bagidirinya sendiri. Manusia suci, dalam pengertiannya di sini, tidak laindaripada manusia tradisional, hidup di dalam dunia yangmempunyai Asal maupun Pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuhsejak Asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri danberupaya untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikankesucian awal dan keutuhannya.”11
Dari penjelasannya ini, tampak pula bahwa Nasr berusaha menegaskan
bahwa manusia dengan segala karakteristiknya tidak dapat terlepas dari dimensi
ketuhanan. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri manusia yang
sebenarnya dapat dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi
10 Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, PerspektifFilsafat Perennial, h. 2.
11 Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono(Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 185.
5
manusia sekarang cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak mengetahui arti
kearifan spiritual dalam kehidupannya.
Menurut Nasr, fungsi kesalehan manusia tidak pernah bisa dipisahkan
dari realitas dan dari mana manusia itu sesungguhnya berasal. Inilah sebabnya
mengapa ajaran-ajaran tradisional selalu menggambarkan kebahagiaan manusia
di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti
jembatan antara surga dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya
mempunyai fungsi-sungsi kosmik untuk menyadarkan bahwa tidak mungkin
manusia menghindari tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup di bumi yang
tidak 8 sekedar berhubungan dengan keduniaan semata, tetapi untuk
merefleksikan kekuasaan Tuhan di dunia.12 Nasr menulis:
“Situasi manusia sebagai jembatan antara surga dan bumidirefleksikan dalam seluruh keberadaan dan seluruh kemampuannya.Manusia adalah dirinya sendiri, keberadaan alamiah secara supranatural. Ketika dia berjalan-jalan di muka bumi, pada satu sisi diamuncul sebagai makhluk bumi; pada sisi yang lain, dia merupakankeberadaan surgawi yang turun ke keberadaan duniawi. Sebaliknya,memori, pembicaraan dan imajinasinya ikut serta seketika itu jugadari beberapa tatanan realitas. Sebagian besar dari inteligensinyamerupakan kemampuan alamiah yang bersifat supra natural...”13
Seyyed Hossein Nasr berusaha menjelaskan hakikat diri manusia melalui
perspektif filsafat perennial – yang ia sebut sebagai filsafat tradisional – yang
pembahasannya justru berbeda dengan perspektif modern yang didasarkan
12 Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 183-184.13 Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 184.
6
kepada sains.14 Nasr berkeyakinan bahwa penjelasan tuntas tentang hakikat
manusia dapat ditemukan secara jelas dalam teks-teks tradisional dan
keagamaan. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melakukan
penelitian lebih jauh dan mendalam berkenaan dengan pendapat Seyyed Hossein
Nasr tentang manusia, hasil penelitian tersebut selanjutnya akan dituangkan
dalam judul : “Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pada dasarnya banyak hal dari corak pemikiran Seyyed Hossein Nasr
yang menarik untuk dibahas. Namun, untuk menghindari pelebaran masalah
maka dalam kesempatan ini penulis membatasi objek kajian penelitian hanya
pada pemikiran Nasr tentang Manusia.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka masalah pokok dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa hakikat manusia menurut Seyyed Hossein Nasr?
2. Apa pandangan Sayyed Hossein Nasr tentang manusia sempurna.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
14 Lihat Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial,h. 5. Lihat juga Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al.dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 195.
7
Penuliasan skripsi dimaksudkan untuk memahami secara komprehensif
mengenai manusia dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hakikat manusia dalam pandangan Seyyed Hossein
Nasr.
2. Untuk mengetahui empat fase penciptaan dan manusia sempurna dalam
pandangan Seyyed Hossein Nasr.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat praktis dan
akademis. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu: Pertama, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peneliti-peneliti berikutnya yang
mengkaji tema yang sama serta memperkaya khazanah intelektual Islam dan
Indonesia. Kedua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran
secara jelas mengenai konsep manusia menurut Seyyed Hossein Nasr.
Manfaat akademis adalah sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana pada fakultas Ushuluddin,
program studi Aqidah Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan penulis di Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah dan Perpustakaan Pasca Sarjana, sudah terdapat beberapa penelitian
yang mengaji pemikiran Seyyed Hossein Nasr, diantara penelitian-penelitian
tersebut yaitu:
8
Pertama, skripsi yang berjudul Pola Hubungan Sains dan Agama : Studi
Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Lois Leahy yang ditulis oleh Awad
pada tahun 2012. Dalam penelitian yang ia lakukan tidak ada pembahasan Tuhan
dan manusia, Awad hanya memfokuskan pada sains dan agama.15
Kedua, disertasi yang berjudul Respon Tradisionalisme Islam Terhadap
Krisis Lingkungan : Telaah atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang ditulis
oleh Abdul Quddus pada tahun 2012. Dalam disertasi ini penulis menekankan
pada pembuktikan kelemahan konsep pembangunan berkelanjutan berbasis sains
modern sekuler sebagai solusi krisis lingkungan dan menganjurkan
“pembangunan berdasarkan spiritualitas agama dan tradisinya” Nasr. 16
Ketiga, disertasi yang berjudul Tasawuf sebagai Terapi Krisis
Modernisme: Analisis atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang ditulis oleh
Syamsuri pada tahun 2008. Penulis mendeskripsikan secara panjang lebar
tentang krisis manusia modern dari sudut pandang pemikir islam dan barat dan
tokoh utama yaitu Nasr. Penulis kemudian hanya fokus menjabarkan poin-poin
dari tasauf yang digunakan sebagai langkah alternatif untuk terapi kebuntuan
spiritualitas manusia modern.17
E. Metode Penelitian
15 Awad, Pola Hubungan Sains dan Agama : Studi Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasrdan Lois Leah (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2012), skripsitidak diterbitkan.
16 Abdul Quddus, Respon Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan : Telaahatas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah,2012), disertasi tidak diterbitkan.
17 Syamsuri, Tasawuf sebagai Terapi Krisis Modernisme : Telaah atas Pemikiran SeyyedHossein Nasr (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2012), disertasi tidakditerbitkan.
9
Penulisan skripsi ini sepenuhnya adalah riset perpustakaan (library
research) yaitu penelitian yang kajiannya dengan menelusuri dan menelaah
literature-literatur dan penelitian yang difokuskan pada bahan pustaka dengan
rujukan buku primer dan sekunder.
Dalam penulisan skripsi ini terdapat buku-buku primer dan sekunder.
Adapun rujukan buku primernya adalah: ‘Islam dalam Cita dan Fakta’, ‘Antara
Tuhan, Manusia, dan Alam’, ‘Islam dan Nestapa Manusia Modern’, ketiga buku ini
adalah karya Seyyed Hossein Nasr yang telah diterjemahkan. Sedangkan rujukan
buku sekundernya adalah buku, jurnal dan yang lainnya yang membahas tentang
manusia dan pemikiran Nasr secara umum
Jenis penelitian bersifat deskriptif-analitis yaitu pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek dan objek penelitian. Metode
deskriptif digunakan untuk menjelaskan segala hal tentang Tuhan dan manusia
serta menjelaskan hubungan antara keduanya. Sedangkan metode analitik
digunakan untuk menganalisis setiap masalah dengan pendekatan failasufis dan
mengangkat pandangan Seyyed Hossein Nasr tentang hubungan tuhan dan
manusia.
Teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2007. Sedangkan translitrasi
10
menggunakan pedoman Jurnal Ilmu Ushuludin terbitan Hipius (Himpunan
Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin)
F. Sistematika Penelitian
Setelah melalui tahap-tahap pemikiran dan pertimbangan secukupnya,
seluruh isi penelitian ini disajikan dalam lima bab uraian, dengan pembagian:
satu bab pendahuluan, tiga bab berisi isi dan analisis, satu bab terakhir berisi
penutup yang memuat kesimpulan dan saran.
Bab pertama, tentang pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab kedua, berisi biografi Seyyed Hossein Nasr, riwayat hidup, karya-
karya, tokoh yang mempengaruhi.
Bab ketiga, memuat pembahasan mengenai definisi manusia secara umum
dan konsep manusia dari perspektif agama, filsafat dan tasauf.
Bab keempat, memuat pembahasan manusia dalam pandangan Seyyed
Hossein Nasr, berupa hakikat manusia dan manusia sempurna.
Bab kelima, penutup, berisi kesimpulan dan saran.
12
BAB II
BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR
A. Riwayat Hidup Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 7 April 1933 di kota Teheran,
Iran. Ayahnya seorang guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed
Valiullah Nasr yang juga seorang ulama terkenal di Iran.
Nasr mendapat gelar Seyyed dari raja Syah Reza Pahlevi sebagai tanda
kebangsawanan Iran. Nasr dan keluarganya adalah penganut aliran Syi'ah
tradisional yang menjadi aliran teologi Islam mayoritas penduduk Iran. Dominasi
paham Syi'ah di Iran bertahan sampai sekarang karena didukung oleh banyak
ulama terkenal dan berpengaruh.1
Nasr memperoleh pendidikan tradisional di Iran, baik secara informal dan
formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari
ayahnya. Sedangkan pendidikan tradisional formalnya diperoleh di madrasah
Teheran. Selain itu, Nasr juga belajar di lembaga atau madrasah pendidikan di
Qum yang diasuh oleh 'Alla>mah T{aba>t}aba>'i> untuk belajar filsafat, teologi dan
tasauf serta mendapat pelajaran tentang hafalan al-Qur’an dan pendidikan
tentang seni Persia klasik. Untuk memahami ajaran agama, di dalam paham
Syi’ah digunakan beberapa metode yaitu, metode formal agama, metode
intelektual dan penalaran intelektual, metode intuisi atau penyingkapan spiritual.
1 Mehdi Aminrazavi, "Persia" dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h.1376-1380.
13
Metode-metode tersebut merupakan tahapan belajar untuk memahami
aspek-aspek ajaran Islam dalam Syi'ah. Metode pertama digunakan untuk
mempelajari ilmu-ilmu keislaman formal yang mencakup hukum-hukum dalam
fiqh, mempelajari al-Qur’an dan Hadis.2
Dalam pembelajaran formal, para murid diajari cara menggali hukum-
hukum fiqh dengan baik dan benar dan sesuai dengan dalil-dalil dari al-Qur’an
dan Hadis, agar mengetahui hal mana yang boleh dilakukan dan hal mana yang
tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain pendidikan tentang syariat Islam
dilakukan di tahap awal untuk melandasi para murid tentang akhlak, cara
beribadah, hingga cara hidup bermasyarakat.
Pada tataran berikutnya digunakan metode intelektual yang berusaha
membimbing para muridnya untuk dapat menggunakan logika intelektual
('aqliyyah ) untuk memahami realitas-realitas hingga dapat diterima secara
rasional. Pelajaran tentang filsafat, kalam, dan logika diberikan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Ajaran agama tidak dapat diterima dengan lebih baik tanpa
diajarkannya ilmu-ilmu tersebut. Hal ini penting karena dalil-dalil keagamaan
yang ada harus dijelaskan dengan benar dan diterima oleh rasio sebelum
dilakukan.
Doktrin dalam pelajaran syariat formal di atas harus diterima akal yang
kemudian diyakini dengan sepenuhnya. Pada tahap ketiga para murid diajarkan
tentang ilmu rasa yang berbasis pengetahuan intuitif. Pelajaran ini membimbing
para murid untuk mengetahui dan memahami Dunia Atas dan Realitas Tertinggi
2 M. Thabathaba'i, Islam Syi'ah ,(Jakarta: Graffiti Press, 1989), h. 90.
14
dengan melakukan penapakan-penapakan jalan kerohanian. Pelajaran tasauf
menjadi ilmu utama yang diajarkan guna membimbing murid memahami dan
melakukan hal ini.
Ketajaman intuisi dan peningkatan kadar spiritualitas menjadi target
utama untuk menuju al-H{aqq atau Yang Maha Benar. Pada tingkat pendidikan
pertama dan kedua di atas murid telah diarahkan menuju kadar keimanan yang
mantap, sedangkan di tataran pembelajaran yang ketiga ini para murid diajak
memasuki dunia makna dan kebenaran hakiki yang tidak terbantahkan lagi baik
oleh akal dan dalil-dalil formal yang masih memungkinkan mempunyai
kesalahan.
Dapat dilihat bagaimana Syi'ah mempunyai metode pembelajaran yang
cukup baik dengan membimbing para muridnya menggunakan nalar baya>ni>,
burha>ni>, dan 'irfa>ni> yang tersistematisasi. Belajar dari yang fisik menuju
metafisik, dari realitas terendah menuju Realitas Tertinggi dan dari jasmaniah
menuju ruhaniah.3 Sistem inilah yang menjadi ciri khas dan tradisi keberagamaan
kaum tradisional dan tentunya menjadi ciri khas. Keberagaman kaum tradisional
dan tentunya menjadi ciri khas masyarakat Timur dalam memandang realitas.4
Pada masa ini arus modernisasi Barat sangat gencar menyerang dunia
Timur. Secara sadar keadaan ini dipahami oleh Seyyed Valiullah Nasr untuk
segera melakukan sesuatu. Hal yang harus dia lakukan adalah menyelamatkan
puteranya agar tidak terkena imbasnya, sehingga beliau membekali Nasr dengan
3 Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 1115-1116.4Ali Maksum, Tasauf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Signifikansi Konsep
Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 83-86.
15
ilmu tradisional semenjak dini sebelum belajar ilmu lain. Selain itu keinginan
membendung arus modernisasi ini harus dilakukan juga dengan mempelajarinya
di dunia asalnya, maka dikirimlah Seyyed Hossein Nasr untuk belajar di Barat,
yaitu di Amerika.
Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang
memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai dengan
memasukkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown, New Jersey, dan
lulus pada tahun 1950. Kemudian ia melanjutkan ke Massacheusetts Institute of
Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr memperoleh pendidikan
tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand
Russell yang dikenal sebagai seorang filosof modern, dan darinya Nasr banyak
memperoleh pengetahuan tentang filsafat modern.5
Selain bertemu dengan Bertrand Russell, Nasr juga bertemu dengan
seorang ahli metafisika bernama Geogio De Santillana. Dari tokoh kedua ini Nasr
banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur,
khususnya yang berhubungan dengan metafisika. Dia diperkenalkan dengan
tradisi keberagamaan di Timur, misalnya tentang Hinduisme.
Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para
peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof
Schuon tentang perenialisme. Selain itu ia juga berkenalan dengan pemikiran
Rene Guenon, A. K. Coomaraswamy, Titus Burckhardt, Louis Massignon dan
5 Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj. Rahmani Astuti (Bandung:Mizan,1995), h. 65-69.
16
Martin Lings. Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam
bidang geologi yang fokus pada geofisika.
Belum puas dengan hasil karyanya, beliau merencanakan untuk menulis
disertasi tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di
Harvard University. Dari sini terlihat adanya sebuah perubahan arah berpikir
Nasr yang semula menekuni ilmu-ilmu fisika, menjadi kearah yang abstrak
tentang sejarah pemikiran. Berpikir tentang sejarah ilmu pengetahuan dapat
dipastikan harus bersinggungan dengan filsafat yang pada ujungnya mengarah
kepada metafisika.
Hal ini dikarenakan adanya pengaruh para pemikir metafisis dan juga
karena latar belakang tradisionalismenya yang khas Timur dan Syi'ah yang
mendorong ke arah berpikir di balik yang fisik. Baginya berpikir fisika sudah
membosankan karena banyak hal dibalik fisika yang perlu dipahami dan tidak
dapat terelakkan untuk dipertanyakan dan dicari jawabannya.6
B. Tokoh yang Mempengaruhi
Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak
pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia
belajar tentang ilmu sains di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali
mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia
dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat.
6 Ahmad Norma Permata, Tradisi dalam Perenialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 161-166.
17
Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar
belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik
kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi’ah. Pemikiran
yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perenial. Di antara
para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon, seorang
perenialis dan sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.
Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and the Perennial
Philoshopy sebagai ungkapan yang paling mengagumkan dan paling lengkap dari
philosophia perennis yang ada di dunia sekarang. Nasr sangat mengagumi
Schuon, sehingga ia memberikan gelar padanya sebagai My Master.
Selain itu pemikiran tradisionalis Nasr dipengaruhi oleh konsep
tradisional dari A.K. Coomaraswamy, khususnya dalam studinya mengenai seni
tradisional. Kerangka pikir dari Coomaraswamy mengilhami pemahaman Nasr
tentang tradisionalisme khususnya mengenai studinya atas kesenian Islam.
Khusus mengenai seni ini ia juga banyak terpengaruh oleh pandangan Titus
Burckhardt yang secara spesifik memberikan perhatian pada seni Islam.
Keduanya dapat dikatakan sebagai rujukan utama Nasr dalam pembahasan
masalah seni dan spiritualitas dalam Islam.7
Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene
Guenon yang banyak memberikan pijakan kritis atas filsafat modern guna
membersihkannya dan memberikan bagi kehadiran metafisika yang sejati. Rene
7 Ahmad Norma Permata, Tradisi dalam Perenialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 161-166.
18
Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi
tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme,
sebagai
bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.
Salah satu gagasan penting mereka adalah apa yang disebut filsafat
perenial, yaitu pemikiran kefilsafatan yang menyangkut metafisika universal.
Perenialisme nantinya juga dikembangkan oleh Nasr dan bahkan menjadi
landasan metodologi berpikirnya, terutama dalam bidang studi agama-agama.8
T{aba>t}aba>‘i adalah sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang
dihormati masyarakat syi’ah karena menjadi mujtahid yang mendapat gelar unik
al-alammah (yang sangat pandai). Menurut Nasr di antara ulama-ulama
tradisional Syi’ah, T{aba>t}aba>‘i adalah orang yang memenuhi syarat menulis buku
yang berjudul Shi’a (edisi Indonesia: Islam Syi’ah).9 Ia telah mencetak puluhan
ulama dan pemikir yang memberikan konstribusi besar dalam pengembangan
studi filsafat, politik, irfan, tafsir dan lainnya.10
Massignon adalah seorang pemikir yang menaruh simpati pada Islam dan
mempunyai pengetahuan universal tentang Islam, terutama sufisme. Ia pernah
menulis disertasinya tentang tasauf al-H{alla>j. Di samping menaruh perhatian
pada sufisme, ia juga sarjana kristen pertama yang merintis dialog antar agama,
8 Waryono Abdul Ghafur, “Seyyed Hossein Nasr: Neo Sufisme Sebagai AlternatifModernisme” dalam A. Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: PenerbitJendela, 2003), h. 392.
9 Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan h.4010 Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan h.10
19
terutama titik temu antara Islam dan Katolik. Kontaknya dengan Massignon
terjadi sejak Nasr menjadi mahasiswa dan berlangsung terus hingga beberapa
bulan sebelum kematian Massignon di awal 1962.11
Pada akhir 1965 Nasr bersama dengan Murtad}a Mut}ahhari> dan Ali
Syariati serta beberapa tokoh lainnya mendirikan lembaga Hussainiyyah Irsyad,
yang bertujuan mengembangkan ideologi Islam untuk generasi muda berdasarkan
persepektif Syi’ah, tetapi kemudian ia bersama dengan Murtad}a keluar dari
lembaga tersebut karena berbeda pendapat dengan Ali Syariati yang semula
mengkritik ulama tradisional serta menggunakan lembaga ini untuk kepentingan
politiknya. Pada tahun 1973 lembaga ini ditutup oleh Shah Reza Pahlevi. Nasr
sangat mengecam Ali Syariati yang dipandangnya keliru menampilkan Islam
sebagai agama revolusioner dengan menghilangkan aspek spiritualitas.12
Bagi Nasr, Syari’ati adalah seorang modernis muslim pertama yang
menciptakan semacam “liberation theologi” di dunia Islam, karena pengaruh
westernisasi dan Marxisme. Dengan cara ini Syari’ati menyajikan Islam sebagai
kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Bagi
Syari’ati, “Shi’ism was religion for protest.” Dalam penilaian Nasr gagasan
Syari’ati ini sangat berbahaya.
Antara Nasr dengan kelompok Syari’ati terdapat perbedaan pendekatan
dalam upaya memperbaiki nasib Iran untuk masa depan. Nasr mendekatinya dari
11 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisional di Tengah Kancah Dunia Modern, terj.Lukman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 253-272.
12 Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra (Jakarta: Al Huda,2005), h. 315.
20
sudut perkembangan rohaniah, karena pengaruh tasauf, sehingga tokoh yang
betapapun briliannya ini, tidak pernah terlibat dalam aksi kekerasan atau
melibatkan dari dalam gerakan massa untuk melakukan perubahan historis
dengan gagasannya secara revolusioner.13 Sementara Syari’ati dan kelompok
revolusioner lainnya seperti Ayatullah Khomeini melihatnya dari kaca mata
analisis sosiologis, sehingga mereka cendrung memilih jalur politik dan
melibatkan diri secara aktif dan bahkan memimpin dalam sikap setiap aksi yang
muncul. Gerakan revolusi yang diarsiteki oleh Khomeini dan Syari’ati ini, pada
akhirnya berhasil menumbangkan rezim Shah, dan mendirikan Republik Islam
Iran (RII) tahun 1979, hingga sekarang.
Menjelang revolusi meletus tahun 1979, Nasr hijrah ke Amerika Serikat.
Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Iran, dan menetap di Amerika. Ketika
Fazlur Rahman dan Islamil Faruqi masih hidup, Nasr dan kedua tokoh itu disebut
disebut sebagai tiga intelektual muslim terkemuka di Amerika Serikat sejak
dekade 70-an. Harvard Seminary Foundation pernah mengadakan konfrensi tahun
1988 untuk membahas tentang kaum muslim di AS. Untuk aspek intelektualnya,
ketiga tokoh ini yang dibahas. Selain mengajar Nasr juga aktif memberikan
ceramah dan kuliah di berbagai Negara, di samping menulis buku dan artikel.
C. Karya-karya Seyyed Hossein Nasr
13 Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan, h. 47.
21
Selain aktif dalam mengajar dan memberikan ceramah-ceramah, Nasr
juga aktif menulis. Ia telah menulis lebih dari 50 buku dan 500 artikel dan
sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, terutama bahasa-
bahasa umat Islam, bahasa Eropa dan Asia. Meskipun menulis dengan
menggunakan bahasa Inggris, akan tetapi Nasr menyebut dirinya sebagai “Man
of the East” dan menyatakan bahwa salah satu tugasnya adalah mempertemukan
perbedaan antara Barat dan Timur setidaknya sebagai penengah antara keduanya.
Perkembangan pemikiran Nasr sejak awal dasawarsa 1960-an hingga
dasawarsa 1990-an ini masih menunjukkan konsistensi. Artinya, pemikirannya
sejak ia pertama kali mulai berkarir dan berkiprah dalam pergumulan intelektual,
topik-topik yang dikembangkannya belum mengalami perubahan, justru yang
dilakukan ialah mempertajam dan memperluas tema-tema pemikiran awalnya.14
Untuk melacak perkembangan pemikiran Nasr, dengan cara meneliti hasil karya-
karyanya yang berupa buku maupun artikel. Untuk memotret perkembangan
pemikirannya perlu di kalsifikasikan menjadi empat periode.
Pertama, periode 60-an sampai 90-an. Analisa pembagian periode ini,
tidak berarti terjadi lompatan atau peralihan dalam pemikiran Nasr, tetapi untuk
menganalisis penekanan (strassing) tema utama yang dikembangkan dalam
masing-masing periode tersebut.15
Periode 60-an ditandai dengan dua tema pokok. Pertama, tentang
rekonstruksi tradisi sains Islam dan Khasanah serta sumber pemikiran Islam.
14 Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan Manusia Modern, h. 5015 Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan, h. 50
22
Kedua, tentang krisis dunia modern. Karya perdananya dalam bidang sejarah
sains dan sains Islam, an Intruction to Islamic Cosmological Doctrines (1964).
Buku ini berisi tentang kajian kosmologi Islam dalam perspektif tradisional
paling komprehensif, karena dikaji dari para tokoh filosof dan ilmuan.
Selanjutnya, Three Muslim Sages (1964), memperkenalkan tiga pemikir Islam:
Ibn Si>na>, Suhra>wardi> dan Ibn ‘Arabi>. Buku ini berisi tentang filsafat Islam yang
meliputi tiga aliran penting yakni: Peripatetik oleh Ibn Si>na, Illuminasi oleh
Suhra>wardi, Gnosis oleh Ibn ‘Arabi. Karya selanjutnya, Ideals and Realities of
Islam (1966) berisi uraian tentang kerakteristik Islam dan upaya menjadikan
wahyu sebagai sumber inspirasi ilmu pengetahuan, dan juga tentang tasauf yang
berangkat dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Sedang Science and Civilization in
Islam (1968) berisi tentang isi dan spirit sejarah sains Islam dalam perspektif
tradisional, dan juga tentang konsep-konsep agama, dan filsafat dalam Islam.
Mengomentari pemikiran tersebut, Bousfiled mengatakan, “Nasr merupakan
pemikir Islam kontemporer yang mulai membicarakan metafisika dalam
keilmuan modern.” Selanjutnya, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (1968) berisi tentang krisis spiritual manusia modern, bagaimana manusia
memandang atau memperlakukan alam.16 Pemikiran Nasr yang dicetuskan pada
1960-an, tidak saja mempunyai relevansi bagi masyarakat Barat, tapi juga
negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia, yang waktu itu sedang mengambil
ancang-ancang untuk mencopot pembangunannya.
16 Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan, h. 56.
23
Periode 70-an, nampaknya tema pemikiran Nasr masih merupakan
kelanjutan dekade 60-an. Namun, ada perkembangan baru yang menarik yaitu ia
mulai bicara tentang sufisme dan filsafat Islam. Tentang sufisme ia menulis Sufi
Essays (1972) berisi tentang tasauf dan akar sejarahnya, alternatif bagaimana
sufisme harus dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan modern sekarang.17
Adapun buku Islam and the Plight of Modern Man (1976), merupakan
penjelasan lebih mendalam dari Man and Nature. Namun dalam buku ini, Nasr
lebih mempertajam kritiknya terhadap peradaban modern, serta masalah-masalah
yang dihadapi pemikir modernis Muslim. Sedang tentang sains Islam ada dua;
Islamic Science; An Illustrated Study (1976), dan Annoted Bibliography of
Science, ditulis sebagai tiga volume. Vol. I (1975), vol. II (1978), dan vol. III
(1991). Secara umum buku ini melancarkan penokalan tuduhan bahwa Islam
hanya mewarisi ilmu dan budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya tanpa memiliki
orginalitas.
Sedangkan tentang filsafat, Nasr menulis S{adr al-Di>n Shira>zi and His
Transendent Theosophy (1978), dalam buku ini sekalipun sifatnya studi tokoh,
namun ia mampu memperlihatkan karakteristik filsafat yang dikembangkan oleh
filosof muslim yang selalu bersumber pada wahyu. Ia mengenalkan filasafat
Mulla> S}adra>, yang dalam pandangan Nasr, dianggap sebagai tokoh penyambung
filsafat Islam sepeninggal Ibn Rusyd. Buku ini sekaligus sebagai jawaban atas
tuduhan bahwa filsafat Islam telah berakhir sepeninggalan Ibn Rusyd.
17 Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan h. 58
24
Periode 80-an, ada tiga tema menarik yang dikembangkan Nasr. Pertama,
tentang pemikiran Islam, Kedua, penjelasan terperinci tentang istilah “Islam
Tradisional”, dan ketiga, tentang peradaban. Pertama, ia menulis Islamic Life
and Thought (1981) buku ini berisi tentang pendekatan sejarah (historical
approach) dalam membahas konfrontasi Islam dengan Barat, kritikan dengan
pemikir modernis Islam yang kebaratbaratan seperti Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Amir Ali. Dalam pandangannya, tokoh-tokoh
ini adalah penyebar westernisasi dan sekularisme di dunia Islam. Dan pada
bagian lain berisi tentang analisa sebab-sebab kemunduran Islam karena
penghancuran tasauf dan tarekat sufi oleh gerakan-gerakan rasionalisme puritan,
seperti gerakan Wahabi di Arabia dan Ahli Hadis} di India.18
Penjelasan secara rinci tentang “Islam Tradisional” dan konfrontasinya
dengan dunia modern, Nasr menulis dalam dua buku: Knowledge and the Sacred
(1981), dan Tradisional Islam in the Modern World (1987). Dalam buku ini berisi
tentang apa itu Islam tradisional, dan bagaiman pertentangan dengan dunia
modern.
Adapun tentang seni Islam, Nasr menulis dua buku: Philoshophy,
Literature and Fine Art (1987); dan Islamic Art and Spirituality (1987). Dalam
buku ini berisi tentang seni dalam Islam berdasarkan gagasan tauhid, yang
menjadi inti dari wahyu Islam. Menurutnya seni merupakan “teologi yang diam”,
yang mencerminkan ke dalam kesadaran keagamaan seseorang, dan karenanya
bersifat abstrak.
18 Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan, h. 62
25
Periode terakhir (90-an), karya terpenting adalah usaha untuk
mengadakan titik temu agama-agama. Ia menulis buku, Religion and Religions:
The Challenge of Living in a Multireligious World (1991), dan The Young
Muslim’s Guide to the Modern World (1994) buku ini berisi tentang warisan
pemikiran klsik Islam dan karakteristik dunia Modern.
Dari seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Nasr
secara garis besar berkisar pada bidang sains Islam, filsafat, sufisme, pemikiran
Islam dan krisis-krisis yang dialami dunia modern.
26
BAB III
KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA,
FILSAFAT DAN TASAUF
A. Pengertian Manusia
Diskursus tentang hakikat manusia sejak zaman peradaban Yunani
sampai saat ini tetap terus menarik untuk dibahas. Berbagai macam pendekatan
telah dilakukan dalam mengkaji hakikat manusia, mulai dari pendekatan filosofis
sampai pendekatan multi disipliner. Namun pembahasan tersebut tidak pernah
final karena terkait peran dan fungsi manusia sebagai subjek dan sekaligus objek
dalam kehidupan di dunia ini. Sebagai subjek, manusia selalu menjadi aktor
utama dalam setiap dimensi kehidupan, dan sebagai objek manusia merupakan
target dalam setiap aktivitas kehidupan yang pada akhirnya bermuara kepada
terwujudnya kebahagiaan hidup manusia itu sendiri.
Secara etimologi, kita dapat melacak arti kata untuk menemukan makna
literal manusia. Namun bila kita mencoba untuk menelaah lebih dalam mengenai
manusia maka kita tidak sekedar membicarakan manusia sebatas sebuah definisi
literal, melainkan dapat dipahami berkaitan dengan hakikatnya. Manusia adalah
makhluk yang multidimensional, makhluk yang paradoksal, dan makhluk yang
dinamis. Sehingga manusia dirumuskan sebagai an ethical being, en aesthetical
being a metaphysical being, a religious being.1
1 Albert, Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoksal dan Seruan (Yogyakarta:Kanisius, 2006), h. 17.
27
Manusia telah didefinisikan dengan pelbagai cara. Aristoteles melihat
manusia sebagai hewan yang dapat berkata-kata dan juga sebagai hewan politik.
Adam Smith dan Karl Marx mendefinisikan manusia sebagai agen ekonomi
semata. Para kapitalis melihat manusia sebagai agen ekonomi yang tingkah
lakunya mementingkan keuntungan individu sementara para komunis
meniadakan institusi hak milik pribadi.
Driyarkara dalam bukunya, Filsafat Manusia, mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu,
manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia
merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa
memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah
dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan
dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa
memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Lebih lanjut
Driyarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya
dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena
dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam perubahan itu, dia tetap menjadi dirinya
sendiri.2
Ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang
manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian
tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan
atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens,
2 Driyarkara, Filsafat Manusia (Jakarta: Kanisius, 1969), h. 7
28
homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang
berbeda, manusia juga didefinisikan sebagai animal rationale, animal
symbolicum dan animal educandum.3
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa
manusia adalah makhluk multi dimensional. Berdasarkan fakta tersebut, maka
ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia
sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni manusia dalam
perspektif agama, perspektif filsafat, dan perspektif tasauf.
B. Konsep Manusia dalam Perspektif Agama
Kata “manusia” dalam bahasa Indonesia mempunya beberapa padanan
kata dalam bahasa Arab, contohnya: insa>n, basyar, bani Adam, unas>i, dan na>s. Di
dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan penciptaan manusia pertama term yang
digunakan adalah basyar, yaitu:
بشرا إذ قال ربك للملائكة إني خالق
فیه من -من طني ونفخت فإذا سویته
ساجدین روحي فقعوا له
Artinya: “Ingatlah ketika rabbmu berfirman kepada Malaikat, bahwa
sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah aku
3 Driyarkara, Filsafat Manusia (Jakarta: Kanisius, 1969), h. 7
29
sempurnakan kejadiannya dan aku tiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka
hendaklah kamu (tersungkur dengan) bersujud kepadanya.” (QS. Shad: 71-72).
Manusia diciptakan membawa potensi dan sifat masing-masing. Ada
beberapa ayat yang memuji sikap manusia dan ada pula yang merendahkan
derajat manusia. Dalam pandangan Quraish Shihab, Allah telah merencanakan
agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud
tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia juga
diberi anugerah berupa potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda
alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan
kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya dan terakhir petunjuk
keagamaan.4
Penyebutan manusia dalam al-Quran dengan berbagai istilah tersebut
mempunyai maksud masing-masing. Misalnya basyar dikaitkan dengan
kedewasaan kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul
tanggungjawab.5 Penyebutan term insa>n digunakan al-Quran untuk menunjuk
kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang
berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan
kecerdasan. Sedangkan term bani Adam untuk menunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari makhluk
lainnya. Keistemawaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan
4 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 1997), h. 282-283.5 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 278.
30
kemampuan memanfaatkan alam.6 Una>si digunakan dalam al-Qur`an dapat
dipahami bahwa term ini selalu dihubungkan dengan kelompok manusia, baik
sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok orang yang
baik dan buruk nanti di akhirat. Jika ini dikaitkan dengan manusia maka term
una>si ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, dan
ia selalu akan membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri persamaan, seperti
biologis dan kebutuhan sosial lainnya. Sedangkan ungkapan na>s untuk
menunjukkan sifat universal manusia atau untuk menunjukkan spesies manusia.
Artinya ketika menyebut na>s berarti adanya pengakuan terhadap spesies di dunia
ini yaitu manusia.7
Ada beberapa kata atau istilah yang digunakan al-Quran untuk
menyebut manusia, yaitu insa>n, ins, na>s, una>s, basyar, Bani> A<<>dam, dan
Dzurriyyati A>dam. Kata ins dan insa>n meskipun berasal dari akar kata yang
sama tetapi dalam penggunaannya memiliki makna yang berbeda. Kata ins
digunakan untuk dihadapkan (berlawanan) dengan kata ji>n yang berarti
makhluk halus, atau dihadapkan dengan kata ja>n yang juga bermakna sama.
Penyebutan kata ins yang berlawanan dengan ji>n atau ja>n ini memberikan
konotasi bahwa kedua makhluk Allah ini memiliki dua unsur yang berbeda, yakni
manusia dapat diindera dan jin tidak dapat diindera, manusia tidak liar sedang jin
liar.8
6 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam; Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 90.
7 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 868 Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah (Jakarta: Paramadina, 2001), h.106-107.
31
Kata insa>n dijumpai dalam al-Quran sebanyak 65 kali. Penekanan kata
insa>n ini adalah lebih mengacu pada peningkatan manusia ke derajat yang
dapat memberinya potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan khalifah
dan memikul tanggung jawab dan amanat manusia di muka bumi, karena
sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi seperti ilmu,
persepsi, akal, dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia siap dan
mampu menghadapi segala permasalahan sekaligus mengantisipasinya. Di
samping itu, manusia juga dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai
makhluk yang mulia dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
makhluk lain dengan berbekal potensi-potensi tadi.9 Dengan demikian, kata
insa>n digunakan al-Quran untuk menyebut manusia dengan segala
totalitasnya, jiwa dan raganya. Manusia dapat diidentifikasi perbedaannya,
seseorang dengan lainnya, akibat perbedaan fisik, mental, kecerdasan, dan sifat-
sifat yang dimiliknya.
Kata na>s merupakan bentuk jamak dari kata insa>n yang tentu saja
memiliki makna yang sama. Al-Quran menyebutkan kata na>s sebanyak 240 kali.
Penyebutan manusia dengan na>s lebih menonjolkan bahwa manusia merupakan
makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dan bersama-sama manusia
lainnya. Al-Quran menginformasikan bahwa penciptaan manusia menjadi
berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk bergaul dan berhubungan antar
sesamanya (QS. al-H{ujura>t: 13), saling membantu dalam melaksanakan
kebajikan (QS. al-Maidah: 2), saling menasihati agar selalu dalam kebenaran dan
9 Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah, h.106-107.
32
kesabaran (QS. al-‘As}r: 3), dan menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan
manusia hanya mungkin terwujud bila mereka mampu membina hubungan
antar sesamanya (QS. A>li Imran: 112).
Kata basyar secara etimologis berasal dari kata ba’, syin, dan ra’ yang
berarti sesuatu yang tampak baik dan indah, bergembira, menggembirakan,
menguliti atau mengupas (buah), atau memperhatikan dan mengurus suatu.
Menurut al-Ra>ghib al-Ashfahani, manusia disebut basyar karena manusia
memiliki kulit yang permukaannya ditumbuhi rambut dan berbeda dengan
kulit hewan yang ditumbuhi bulu. Kata ini dalam al-Quran digunakan dalam
makna yang khusus untuk menggambarkan sosok tubuh lahiriah manusia.10
Kata basyar digunakan al-Quran untuk menyebut manusia dari sudut
lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Kata basyar juga
selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari
tanah, yang selanjutnya dari sperma dan berkembang menjadi manusia utuh (QS.
al-Mu’minu>n: 12-14), manusia makan dan minum (QS. al-Mu’minu>n: 33; QS. al-
Furqa>n: 20), dan seterusnya. Karena itulah Nabi Muhammad Saw.
diperintahkan untuk menyampaikan bahwa beliau sama seperti manusia lainnya,
yang membedakannya hanyalah beliau diberi wahyu. Kata basyar ini disebutkan
al-Quran sebanyak 36 kali.11 Allah Swt. berfirman:
إلي یوحى مثلكم قل إنما أنا بشر
10 Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah, h.101.11 Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati, 1996), h. 279.
33
واحد إله فمن كان یرجو أنما إلهكم
لقاء ربه فلیعمل عملا صالحا ولا
یشرك بعبادة ربه أحدا
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa". (QS. al-Kahfi: 110)
Adapun kata banu> atau Bani> A>dam atau Dzurriyya>t A>dam maksudnya
adalah anak cucu atau keturunan Adam. Kedua istilah itu digunakan untuk
menyebut manusia karena dikaitkan dengan kata Adam, yakni sebagai
bapak manusia atau manusia pertama yang diciptakan Allah dan
mendapatkan penghormatan dari makhluk lainnya selain iblis (QS. al-
Baqarah: 34). Secara umum kedua istilah ini menunjukkan arti keturunan yang
berasal dari Adam, atau dengan kata lain bahwa secara historis asal usul
manusia adalah satu, yakni dari Nabi Adam.12 Dengan demikian, kata Bani>
A>dam atau Dzurriyya>t A>dam digunakan untuk menyebut manusia dalam konteks
historis.
Karena pentingnya pembahasan mengenai manusia kelompok sufipun
juga menulusuri mengenai manusia itu sendiri. Dalam pandangan sufi ada istilah
yang penting dan menjadi kunci dalam kajiannya, yaitu insa>n ka>mil. Namun
12 Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah, h. 109.
34
dalam al-Quran, tidak pernah disinggung mengenai insa>n ka>mil secara pasti,
tidak ada ayat yang menyatakan mengenai insa>n ka>mil, yang ada adalah ayat
mengenai manusia yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan
manusia yang mempunyai sifat yang keluh kesah, namun ia bisa dibisa menjadi
baik. Ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya
bentuk adalah:
تقومي خلقنا الإنسان في أحسن لقد
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. (QS. al-Tîn: 4)
Ayat di atas adalah salah satu ayat yang dijadikan sebagai isyarat
mengenai kesempurnaan manusia dari segi fisik. Kesempurnaan yang demikian
membuat manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk, yaitu
menjadi khalifah di muka bumi.13 Kendati manusia memiliki potensi
kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra ilahi, tetapi kemudian,
ketika ia terjauh dari prototipe ketuhanan, maka kesempurnaan itu semakin
berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah
kembali kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh. Jika manusia tidak bisa
mempertahankan bentuknya, maka ia juga bisa jatuh kedalam kehinaan. Dengan
ungkapan lain manusia bisa seperti malaikat dan bisa pula jelek seperti manusia.
Dari semua penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa manusia
13 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2
35
merupakan makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi, serta makhluk
yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya,
memiliki kebebasan, terpercaya, memiliki rasa tanggung jawab, juga dibekali
dengan kecenderungan ke arah kebaikan dan kejahatan.
C. Konsep Manusia dalam Perspektif Filsafat
Pemikiran filsafat masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani.
Kalangan filsuf Islam yang tertarik pada filsafat Yunani adalah al-Fa>ra>bi>.
Namun, kenyataannya al-Kindi> lah yang telah membuka pintu filsafat Yunani
bagi dunia Islam, tetapi ia tidak menciptakan sistem filsafat tertentu. Sebaliknya,
al-Fa>ra>bi> dapat menciptakan sistem filsafat yang lengkap dan telah memainkan
peranan penting dalam dunia Islam.
Menurut al-Fa>ra>bi> manusia adalah makhluk terakhir dan termulia yang
lahir di atas bumi ini. Ia terdiri atas dua unsur, yaitu jasad dan jiwa. Jasad berasal
dari alam ciptaan dan jiwa berasal dari alam perintah. Berdasarkan perbedaan
asal antara jiwa dan badan, jelaslah bahwa jiwa merupakan unsur yang lebih
penting dan lebih berperan daripada jasad, sehingga al-Fa>ra>bi>, seperti halnya
filsuf Yunani, lebih banyak perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan
dengan jiwa, yang dianggap sebagai hakikat manusia.14 Menurut al-Fa>ra>bi>,
kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan accident. Ini berarti
14 Uci Sanusi dan Rudi Ahmad Suryadi, Kenali Dirimu (Yogyakarta: Deepublish, 2015),h. 15.
36
keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan tidak esensial sehingga
binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa.15
Sebagaimana al-Fa>ra>bi>, Ibn Si>na juga menyatakan bahwa manusia terdiri
atas unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada
merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktivitas. Jasad selalu berubah,
berganti, bertambah, dan berkurang sehingga ia mengalami kefanaan setelah
berpisah dengan jiwa. Dengan demikian, hakikat manusia adalah jiwanya dan
perhatian para filsuf Islam dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya
daripada jasadnya.16
Ibn Rusyd juga tidak kalah komentar dalam tema tentang manusia. Dalam
pandangannya tentang manusia, ia dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagai
bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsur materi dan forma. Jasad adalah
materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat
definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa
disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan
lain yang merupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai
perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang
terdiri dari anggota-anggota.17
Adapun manusia menurut al-Fa>ru>qi> merupakan makhluk yang mampu
mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak tuhan dan menjadi sejarah. Ia
15 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya,2003), h. 10-11.
16 Adelbert Snijders, Kebenaran Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius,2006), h. 53.
17 Albert, Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoksal dan Seruan, h. 52.
37
merupakan makhluk kosmis yang amat penting, karena dilengkapi dengan semua
pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.18
Berkenaan dengan syarat tersebut, manusia merupakan makhluk yang
mempunyai kesatuan jiwa raga dalam hubungan dengan dunia dan sesamanya.
Dalam kesatuan tersebut, ada unsur jasmani yang membuat manusia sama
dengan dunia luar dirinya.
Manusia menurut Ali Syari’ati adalah gabungan dari lumpur dan roh
Allah, manusia adalah zat yang berdimensi, makhluk yang bersifat ganda,
berbeda dengan makhluk Allah yang unidimensional. Dimensi yang satu
cenderung kepada susunan lumpur yang bersifat rendah, stagnan dan
immobilitas. Dimensi yang lain, berasal dari roh Allah, sebagaimana al-Qur’an
menyebutkan asal-muasal tersebut, dimensi ini cenderung untuk meningkat dan
berjalan kepuncak yang setinggi-tingginya yang dapat diraih yaitu menuju
kepada-Nya bukan bersatu dengan Tuhan.19
Hal yang sama juga disampaikan oleh Muh}ammad Ba>qir al-S{adr yang
membagi manusia menjadi dua sisi, yaitu sisi spritual dan sisi material. Sisi
materialnya tersusun dari komposisi organik, sedangkan sisi spiritualnya atau
nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental. Manusia
tidak hanya berwujud kumpulan dari materi yang sangat kompleks, tetapi
personalitasnya terdiri dari materi dan nonmaterial yang jamak disebut dualitas.
S{adr mengatakan cukup sulit untuk mengetahui hubungan antara dua komponen
18 Ismail Raji al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan (Bandung: Mizan, 1984), h. 37.19 Ali Syari‟ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta:
Ananda, 1982), h. 90.
38
manusia tersebut. Ada pendapat yang menjelaskan hubungan antara keduanya
sangat erat, dan saling mempengaruhi diantara keduanya. Apabila seseorang
melihat pocong dalam kegelapan, maka gemetarlah seseorang tersebut, apabila
seseorang berfikir, maka terjadilah suatu aktifitas tertentu. Ini akibat pengaruh
jiwa (nonmateri). Apabila usia ketuaan secara perlahan sudah merayapi tubuh,
lemahlah segala aktifitas mental, atau jika seseorang pemabuk sedang tenggelam
dalam minumannya, ia akan melihat benda sebagai dua benda yang sama. Akibat
dari pengaruh jiwa terhadap tubuh.
Sadr sependapat dengan filosof muslim S{adr al-Muta’allihin asy-Syirazi
tentang hubungan antara nonmaterial dan material. Filosof ini telah menemukan
gerak substansial dalam jantung alam. Gerak ini sebagai sumber primer dari
setiap gerak yang dapat ditangkap oleh segala indera yang terjadi di alam raya,
termasuk manusia. Materi dalam gerakan substansialnya berusaha untuk
menyempurnakan wujudnya dan terus-menerus berusaha melepaskan wujud
materialitasnya dengan syarat-syarat tertentu menjadi wujud yang nonmaterial,
yaitu wujud spiritual. Jadi, antara keduanya tidak ada dinding pemisah, tetapi
keduanya sebagai dua wujud keberadaan yang berbeda. Meskipun ia non
material, ia tetap memiliki hubungan material, karena yang nonmaterial tersebut
adalah maqam tertinggi dari riyadhah materi dalam gerak penyempurnaanya
yang substansial. Jembatan yang baik ini sebagai temuan yang apik dalam
hubungan antara materi dan nonmateri dari filosof diatas. S{adr menambahkan
bahwa jiwa itu sendiri tidak lain adalah imaji material yang menjadi tinggi
karena gerak substansial. Perbedaan antara sisi spritualitas dan materialitas
39
hanya terletak pada perbedaan derajat saja, seperti panas yang tinggi dengan
panas yang rendah. Tidak boleh juga beranggapan bahwa jiwa adalah produk
materi dan menjadi salah satu efeknya. Namun, sebenarnya adalah produk gerak
substansial yang bukan produk dari materi itu sendiri. Sebab, setiap gerak berasal
dari munculnya sesuatu dari potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur.
Potensialitas tidak dapat menciptakan aktualitas dan kemungkinan tidak dapat
menciptakan keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab diluar materi
yang bergerak. Ruh yang merupakan sisi non material manusia adalah produk
gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri adalah jembatan antara materialitas dan
spritualitas.20
Sedangkan Mut}ahhari> memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri
dari apa yang ada pada malaikat dan apa yang ada di hewan.21 Dengan demikian,
dalam diri manusia terdapat unsur yang tidak dimiliki malaikat yaitu unsur
kehewanan meliputi nafsu, amarah dan lainnya dan juga terdapat unsur yang
tidak dimiliki hewan seperti akal dan lainnya. Jika melihat unsur-unsur tersebut,
sesungguhnya manusia memang diciptakan untuk diuji, karena unsur-unsur
tersebut yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Hal itulah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai keunggulan
melebihi makhluk lain.
20 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Filsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-ShadrTerhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1995), h.270-272.
21 Murtadla> Muthahhari>, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan Filosofis,terj. ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud (Jakarta: Sadra Institute, 2012), h. 27.
40
Manusia merupakan makhluk yang diilhami kebaikan dan keburukan
kedalam jiwanya.22 Sehingga dengan itu manusia mampu memahami kebaikan
dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan memang sudah tertanam dalam
diri manusia, maka meskipun tanpa belajar atau tanpa guru manusia sebenarnya
sudah mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Selain itu ia memposisikan manusia sebagai makhluk yang dalam dirinya
terdapat segumpalan potensi-potensi yang memang khas. Karena potensi-potensi
tersebut adalah suatu hal yang khas, maka makhluk selainnya tidak mempunyai
potensi-potensi sebagaimana manusia miliki. Di sinilah nilai lebih manusia
dibandingkan dengan makhluk lain, yaitu memiliki potensi yang tidak dimiliki
makhluk lain.
Sedangkan menurut Gus Dur, manusia adalah satu-satunya makhluk yang
mempunyai kesempurnaan keadaan yang paling tinggi dalam setiap ciptaan
Tuhan. Ia adalah makhluk yang dilengkapi akal, perasaan dan keterampilan untuk
mengembangkan diri. Segala kelengkapan itu tidak dimiliki makhluk lainnya.23
Demikianlah manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.
Ditinjau dari aspek ini, sesungguhnya seluruh manusia memiliki
kedudukan yang tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus
memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.24 Karena posisi manusia
yang tinggi itu menuntut pula penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan
22 Murtadla> Muthahhari>, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam DialogTeks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi (Jakarta: Pustaka Hidayah,2011), h. 321.
23 Abdurrahman, Islam Kosmopolitan (Jakarta: The Wahid Institut, 2007), h. 30.24 Samsul Bakri dan Udhofir, Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus
Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), h. 49.
41
manusia yang sesuai dengan martabatnya. Hal itu menuntut agar manusia
dipandang sebagai manusia.
Hak-hak dasar itu tidak lain ialah nilai-nilai dasar manusia. Nilai-nilai
dasar manusia merupakan dimensi-dimensi kemanusiaan yang memang sudah
melekat dalam diri manusia sejak lahir. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud
ialah dimensi materi, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas25 dan
rasionalitasnya. 26
D. Konsep Manusia dalam Perspektif Tasauf
Manusia adalah makhluk paling sempurna, manusia merupakan hasil akhir
dari proses evolusi penciptaan alam semesta. Manusia adalah makhluk dua
dimensi, di satu pihak terbuat dari tanah (t{i>n) yang menjadikannya makhluk fisik,
di pihak lain manusia juga makhluk spiritual karena ditiupkan kedalam dirinya
roh yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian, manusia menduduki posisi yang
unik antara alam semesta dan Tuhan, yang memungkinkannya berkomunikasi
dengan keduanya.27 Hubungan manusia tidak terbatas hanya dengan sesama
manusia, atau dengan alam semesta, tetapi manusia dapat berkomunikasi dengan
Allah Swt. untuk mengadukan nasibnya serta mengabdikan hidup sepenuhnya
kepada Allah Swt.
Berbicara tentang manusia, Suhra>wardi> memiliki pandangan tersendiri,
sebagaimana disebutkannya bahwa manusia tidak diciptakan secara langsung
25 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara,2001), h. 180.
26 Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 8-11.27 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 12.
42
oleh Allah Swt, karena Allah Swt sebagai al-Nu>r al-Anwa>r, hanya memunculkan
satu makhluk saja secara langsung, yakni Nu>r al-Aqrab (cahaya terdekat).
Suhra>wardi> berkata yang muncul pertama kali dari-Nya adalah cahaya murni
tunggal, yaitu cahaya terdekat dan cahaya teragung. Ia menambahkan bahwa
tidak ada satu yang muncul dari cahaya Maha Cahaya (Allah Swt.) selain cahaya
terdekat. Dengan demikian, manusia tidak berasal dari Allah Swt secara
langsung, dan manusia bukan ciptaan pertama Allah Swt. Sebab Allah Swt.,
hanya memunculkan Nu>r al-Aqrab secara langsung.28 Hal ini dikarenakan
manusia memiliki fisik, dan fisik manusia berasal dari kegelapan, bukan cahaya.
Jasad manusia pada awalnya diciptakan dari tanah, baru kemudian ditiupkan roh,
yang menjadikan manusia dapat menikmati kehidupannya. Kegelapan tidak
mungkin dipancarkan oleh Cahaya Maha Cahaya secara langsung, karena alasan
itu al-Nu>r al-Anwa>r tidak memunculkan manusia secara langsung, namun
memunculkan manusia dengan perantara.29
Hanya manusia, makhluk yang memiliki jiwa rasional. Jiwa rasional ini
memungkinkan manusia mampu mengambil premis-premis rasional yang berguna
untuk membimbing, mengatur, dan menguasai daya-daya dari jiwa-jiwa yang
lebih rendah. Dengan demikian, manusia merupakan inti dari alam semesta, dan
tidak heran kaum bijak menyebut manusia sebagai mikrokosmos karena
mengandung semua unsur yang terdapat dalam makrokosmos (alam semesta).30
28 Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, (Banda Aceh: Yayasan PeNa, 2011),h. 172-173.
29 Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 173.30 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan
Manusia, h. 13.
43
Manusia menempati posisi yang istimewa karena manusia dikaruniai roh oleh
Allah Swt. yang menjadikan manusia memiliki dua dimensi yang membentuk
sebuah entitas diri (al-nafs).31
Melanjutkan pembahasan Suhrȃwardȋ tentang penciptaan manusia, maka
setelah al-Nu>r al-Anwa>r (Allah Swt.) memunculkan Nu>r al-Aqrab secara
langsung, maka Nu>r al-Aqrab memainkan peran sebagai penghasil cahaya-cahaya
lain. Karena Nu>r al-Aqrab memiliki kemandirian eksistensi sebagai anugerah dari
Ilahi, dan Nu>r al-Aqrab.
Menyaksikan kemuliaan dan keagungan-Nya, maka Nu>r al-Aqrab
memiliki kemampuan memunculkan cahaya abstrak lain.32 Nu>r al-Aqrab
memunculkan cahaya abstrak yang kedua, cahaya abstrak kedua memunculkan
cahaya abstrak ketiga, cahaya abstrak ketiga memunculkan cahaya abstrak
keempat,33 begitu seterusnya hingga cahaya terakhir telah melemah, tidak dapat
memancarkan cahaya lagi karena telah jauh dari sumber cahaya. Tiap-tiap cahaya
abstrak memunculkan cahaya abstrak lain, selanjutnya membentuk tatanan
vertikal dari cahaya paling tinggi menuju cahaya paling rendah. Setiap cahaya
abstrak ini menghasilkan alam fisik masing-masing.34 Setiap alam fisik memiliki
cahaya pengantur, cahaya-cahaya pengantur ini dikenal sebagai cahaya agung.
Cahaya-cahaya pengatur ini berperan sebagai pengatur makhluk-makhluk alam
fisik, dan setiap spesies memiliki cahaya pengatur masing-masing.
31 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius, h. 14.32 Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 174.33 Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 175.34 Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 177.
44
Sedangkan menurut Ru>mi>, ia mengatakan bahwa dalam hakikatnya
manusia, (bukan fisiknya) adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih
besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, "Apakah kalian
mengira kalian, hanya tubuh kecil ini, padahal kalian adalah alam yang sangat
besar." Aneh memang manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya
sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba
meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Ru>mi> menjelaskan lebih jauh dengan
sebuah perumpamaan :
"Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal rantingitu tumbuh justru demi buah."35
Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan
hasil akhir dan harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting,
ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya
buah. Jadi yang paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon.
Sebagaimana sering disebutkan dalam al-Quran bahwa alam diciptakan
merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa
memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari
itu semua adalah alam diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai
perantara untuk mencapai ridha Allah.36
Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam,
materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada
35 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 72-73.
36 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 74
45
Tuhan. Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk
mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita terkadang
melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita banyak
melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. Yang semestinya kita
gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman, "Apabila
kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya
(tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa
yang panjang."
Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang
senantiasa bebenturan dengan materi, Ru>mi> melanjutkan: "Kalau bukan
mengharap dan menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon."37
37 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 75
46
BAB IV
KONSEP MANUSIA SEYYED HOSSEIN NASR
Persoalan manusia merupakan topik yang selalu menarik dan muncul
dalam kajian filsafat, mulai dari asal-usulnya, tugas pokok dan fungsinya di
dunia, dan lain-lain. Hal ini menjadi pendorong bagi aliran-aliran filsafat dalam
memberikan pandangannya berdasarkan genealogi dan perspektif masing-masing.
Seyyed Hossein Nasr termasuk di antara filsuf yang membahas secara
mendalam perihal manusia melalui filsafat perennialismenya. Dalam filsafat
perenialnya, Nasr secara radikal berusaha mengungkapkan berbagai objek kajian
melalui suatu perspektif yang ia sebut tradisional. Tradisional di sini dalam
artian bahwa Nasr berusaha menjelaskan pandangannya dengan berlandaskan
pada nash yang dalam bahasa Inggris disebut tradition. Nasr, bersama para
penganut perspektif tradisionalisme, meyakini bahwa pada dasarnya semua
penjelasan mengenai hakikat manusia telah tertuang dalam teks-teks keagamaan.
Tetapi karena teks-teks itu cenderung diabaikan oleh manusia, jadilah ia terkesan
seolah tersembunyi, apalagi sekarang di tengah modernisme yang cenderung
meninggalkan spiritualitas.1
Nasr dengan pendekatan tradisionalnya berusaha menjelaskan hakikat
manusia dengan memberikan kritik terhadap ideologi dunia modern yang
sekarang sedang melingkupi kehidupan umat manusia. Menurutnya, ideologi
dunia modern telah menjauhkan manusia dari pusat eksistensinya yang menurut
1 Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif FilsafatPerennial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 5.
47
Nasr adalah spiritualitas, sehingga manusia semakin jauh dari esensinya serta
melupakan kedudukan dan fungsinya di muka bumi.
“Apabila dua dasawarsa yang lampau setiap orang berbicaramengenai kemungkinan yang tak terbatas bagi manusia untukberkembang secara lahiriah dan materialistis, maka pada masakini setiap orang berbicara mengenai “batas-batas pertumbuhan”– sebuah ungkapan yang pada saat ini sedang populer di Barat –atau bahkan mengenai bencana yang segera akan menimpa umatmanusia. Tetapi konsep-konsep serta faktor-faktor yangdipergunakan untuk menganalisa krisis yang dihadapi manusiamodern ini, pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkanwarna-warna untuk melukiskan bencana yang akan menimpaumat manusia itu biasanya berdasarkan unsur-unsur yang telahmenciptakan krisis itu juga. Kehidupan di dunia ini tampaknyamasih tidak memiliki horizon spiritual. Hal ini bukan karenahorizon spiritual ini tidak ada, tetapi karena yang menyaksikanpanorama kehidupan kontemporer ini seringkali adalah manusiayang hidup di pinggiran lingkaran eksistensi, sehingga ia hanyadapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangannyasendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaraneksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu maupun pusatlingkaran eksistensi yang dapat dicapai melalui jari-jaritersebut.”2
Laju ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat serta manfaat
yang ditimbulkannya menyebabkan manusia berbangga diri dan melepaskan diri
dari kontrol nilai-nilai religius-spiritual. Manusia modern merasa menjadi pusat
kemajuan dan ilmu pengetahuan menggantikan posisi agama. Namun lama
kelamaan didapati bahwa ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
manusia mengkhianati manusia itu sendiri, aplikasi ilmu pengetahuan tanpa
2 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin(Bandung: Pustaka, 1983), h. 4.
48
kontrol agama justru sering berujung bencana, sehingga manusia modern
mengalami apa yang diebut dengan krisis epistemologis, mereka kehilangan
makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life/sangkan paraning dumadi).
Kondisi di atas diperparah dengan kecenderungan merumuskan berbagai
masalah dalam kehidupan manusia kepada perubahan-perubahan fisik yang
biasanya tidak menyentuh aspek batin bahkan seringkali bertentangan, serta
bersifat temporal. Dimensi metafisik dari ilmu pengetahuan menjadi hilang
karena yang dikembangkan hanyalah ilmu yang bersifat praktis dan dapat diukur
dalam kerangka ilmiah yang diciptakan berdasarkan kebutuhan praktis manusia
dengan mengabaikan aspek moralitas dan nilai.3 Tentang hal di atas, Nasr
mengemukakan:
“Perbenturan di antara penemuan-penemuan beserta manipulasi-manipulasi umat manusia di dalam bentuk teknologi dengan kulturmereka, maupun efek yang mengerikan serta menghancurkanlingkungan dari aplikasi pengetahuan yang diperoleh mereka sudahsedemikian dahsyatnya, sehingga banyak pihak di dunia modern ini,terutama sekali Barat, akhirnya mulai mempertanyakan validitaskonsep manusia yang diyakini Barat sejak kebangkitan dunia modern.Tetapi walaupun adanya kesadaran untuk membahas masalah yangsedemikian besar ini dengan cara yang berarti dan konstruktif, terlebihdahulu kita harus menyingkirkan hal-hal yang biasanya menghalangipembahasan terhadap masalah-masalah yang paling pokok. Manusiamodern telah membakar tangannya dengan api yang telahdinyalakannya karena ia telah lupa siapa ia sesungguhnya. Seperti yangdilakukan Faust, setelah menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaanterhadap alam lingkungan manusia, ia menciptakan suatu situasi dimana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikanterhadap lingkungan, yang selanjutnya tidak hanya berubah menjadi
3 Nur Said, Kritik Tradisionalisme Islam terhadap Krisis Dunia Modern (Studi atasPemikiran Seyyed Hossein Nasr), An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005, h. 3-4.
49
kehancuran ekonomi tetapi juga menjadi perbuatan bunuh diri.”4
Peradaban modern yang di bangun oleh manusia selama ini tidak
menyertakan hal paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu dimensi
spiritual, seolah dunia ini tidak memiliki sisi transendental (ketuhanan).
Dalam kondisi seperti inilah, tradisionalisme Islam yang digagas Nasr
berusaha mengaktualisasikan kembali nilai-nilai tradisional, termasuk yang
terkait dengan hakikat manusia.
A. Hakikat Manusia
Sesuai dengan ide Tradisionalisme Islam yang dibawanya, Nasr selalu
mengaitkan setiap pembahasannya dengan teks-teks Alquran dan Hadits.
Manusia menurut Nasr didefinisikan dalam hubungannya dengan Tuhan,
tanggung jawab dan hak-hak manusia dirumuskan dari hubungan tersebut. Form
atau bentuk manusia merupakan refleksi dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan.
Refleksi Sifat Tuhan dalam diri manusia ini sebagaimana cermin yang
merefleksikan cahaya matahari.5
Nasr berpijak pada term penciptaan manusia dalam Al-Qur’an, di mana
dijelaskan bahwa pada mulanya manusia diciptakan dari tanah liat, dan kemudian
Allah meniupkan Ruh-Nya ke dalamnya sebagaimana dalam Surah al-Hijr ayat
28-29:
4 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, h. 3-4.5 Seyyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj. Nurasiah
Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan, 2003), h. 336.
50
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku
telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Pengaruh sufisme Ibnu ‘Arabi tampak jelas dalam pemikiran Nasr, ia
menegaskan bahwa menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah
untuk memperoleh pengetahuan total tentang benda, untuk menjadi Manusia
Universal (al-Insa>n al-Ka>mil), yaitu cermin yang memantulkan semua Nama dan
Sifat Allah. Bagi Tuhan, maksud dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk
“mengetahui” diri-Nya melalui instrumen pengetahuan-Nya yang sempurna,
yakni Manusia Universal.6 Dalam membahas kejadian manusia, Nasr
membandingkan konsep Islam dan agama-agama lain terutama Kristen dan
Yahudi. Nasr menyimpulkan adanya kesamaan konsep dalam setiap agama dan
tradisi tentang kejadian manusia terutama dalam hal adanya aspek Ketuhanan
dalam diri manusia, sesuatu yang merupakan pancaran dunia spiritual.
6 Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 115-116.
51
“Kejadian manusia, menurut semua tradisi, terjadi dalam banyaktahap: pertama, dalam Tuhan itu sendiri, sehingga terdapat suatu“aspek” manusia yang tidak diciptakan. Itulah mengapa manusiadapat memperoleh pengalaman an-nihilisasi dalam Tuhan subsistensialam Dirinya (al-fana>’ dan al-baqa>’ pada sufism) dan mencapaipenyatuan puncak. Kemudian manusia dilahirkan dalam logos yangmerupakan kenyataan prototype manusia dan wajah lain dari realitasyang sama, orang Islam menyebutnya dengan Manusia Universal danmasing-masing tradisi mengidentifikasikan dengan pendirinya.Kemudian manusia diciptakan dalam level kosmik dan apa yangdinyatakan Bible sebagai makhluk surgawi, di mana dia dikenakandengan tubuh bercahaya yang sesuai dengan keadaan surga tersebut.Dia kemudian turun ke level taman terestrial7 dan dikenakan tubuhlain dari alam yang sangat halus dan tidak dapat disuapi. Akhirnyadia dilahirkan ke dunia fisik dengan tubuh yang binasa tetapimempunyai landasan dalam tubuh-tubuh yang halus dan berkilau,termasuk tahap-tahap awal elaborasi manusia dan kejadiannyasebelum kemunculannya di bumi.”8
B. Empat Fase Penciptaan
Pembahasan mengenai hakikat penciptaan tidak akan lengkap tanpa
membahas urutan penciptaan. Seyyed Hossein Nasr membagi urutan penciptaan
kepada empat fase sebagai berikut:
Fase pertama penciptaan manusia menurut Nasr adalah ketika manusia
diturunkan dari ruh yang merupakan milik Allah,9 dengan demikian terdapat
7 Terestrial adalah kata sifat yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang hidupdari atau di bumi (of or living on the land), lihat Martin H. Manser, Oxford Learner’s PocketDictionary, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 428. Nasr menggunakan istilah iniuntuk menunjukkan manusia yang hidup di bumi dengan segala tanggung jawabnya atastindakannya sebagai penjaga dan pelindung bumi, lihat Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi danSpiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono, et. al., (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 167.
8 Martin H. Manser, h. 177.9 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda
Muslim, terj. Hasli Tarekat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 41.
52
dimensi Ketuhanan dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam ayat
Alquran di atas. Di sini Nasr berusaha menegaskan bahwa ruh manusia bukanlah
ciptaan Allah, karena dalam berbagai ayat tentang kejadian manusia, selalu
dijelaskan bahwa Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad manusia, artinya,
menurut Nasr, jasad manusia diciptakan dan kemudian Allah meniupkan ruh-Nya
ke dalam jasad tersebut sebagai karunia yang menunjukkan kedudukan tertentu
yang dimiliki manusia.
Akan tetapi, Nasr menegaskan bahwa konsep ini tidak mengubah Tuhan
menjadi manusia atau sebaliknya, juga tidak ada kemungkinan inkarnasi dimensi
ke-Tuhanan dan kemanusiaan dalam diri manusia, melainkan menggambarkan
manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung dalam
dirinya. Allah dengan sengaja menciptakan manusia sebagai cermin yang
memantulkan Nama dan Sifat-Nya, tegasnya ada sesuatu yang suci dalam diri
manusia.10 Penyatuan puncak dalam perspektif Nasr di atas lebih berorientasi
pada pengalaman religius manusia yang membuatnya menjadi manusia seutuhnya
sebagaimana penjelasan Nasr:
Manusia, sebagai wakil Tuhan di bumi (khali>fah) danpanggung dimana nama-nama dan Sifat-Sifat Tuhandipertunjukkan, bisa mencapai kebahagiaan hanya dengan tetapmemegang teguh kodratnya ini atau dengan menjadi dirinya secarasungguh-sungguh. Dan ini sebagai akibatnya berarti ia harusmenjadi utuh. Tuhan adalah satu dan demikian manusia harusmenjadi menyeluruh di dalam rangka untuk menjadi satu. Terceraiberai dan terpisah-pisah, tenggelam di dalam permainan gambar
10 Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahiddan Hashim Wahid, (Jakarta: LEPPENAS, 1981), h. 4 dan 177.
53
dan konsep-konsep mental yang tak habis-habisnya, ataumengalami ketegangan dan tekanan kejiwaan, adalah berartiterpisah jauh dari keadaan menyeluruh yang dituntut hati nuranikita. Banyak orang dewasa ini lebih menyukai dirinya melampauibatas dengan segala pengorbanan, malahan lebih memilikidemikian dan memasuki neraka daripada menjadi wajar danberjalan menuju surga; sekalipun demikian, dibanding sifatmelampaui batas, sifat wajar lebih dekat kepada ketakberdosaandan kemurnian yang merupakan keadaan surgawi yang indah,seperti Nabi Isa mengatakan bahwa kita harus menjadi sepertikanak-kanak supaya bisa masuk surga.11
Fase kedua dalam penciptaan manusia adalah ketika ia diciptakan sebagai
logos yang menjadi prototipe semua manusia dan segala ciptaan, dalam Islam
logos, tegas Nasr, adalah Nabi Muhammad.12 Nabi Muhammad, sebagai
pembawa Islam, merupakan Nabi terakhir yang diutus Allah ke dunia, meskipun
seluruh nabi dalam Islam memiliki aspek logos tersebut, akan tetapi menurut
Nasr, Hakikat Muhammad yang menjadi ciptaan Allah yang pertama – konsep
yang sama dengan konsep Nur Muhammad dalam tasawuf – sehingga secara
batin beliau datang sebelum nabi yang lain pada awal siklus kenabian dan sebagai
perwujudan penuh dari sifat kemanusiaan yang sempurna, Muhammad adalah
Manusia Universal (al-insa>n al-ka>mil), dan aspek batinnya merupakan logos.13
Seperti pohon yang tumbuh dari sebuah bibit yang kemudianberkembang dengan subur dan akhirnya berbuah yang mengandung
11 Seyyed Hossein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2000), h. 37-38.
12 Dalam setiap agama, penyebar atau pendirinya selalu diidentifikasikan sebagai logos,dalam Kristen, logos diidentifikasi sebagai Kristus seperti dijelaskan dalam Injil Yohannes. Lihat,Seyyed Hossein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, h. 57, juga Seyyed Hossein Nasr, Inteligensidan Spiritualitas Agama-Agama, h. 37-38.13 Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, h. 57.
54
bibit yang serupa, begitu pulalah siklus kenabian yang dimulaidengan Hakikat Muhammad, dan diakhiri dengan manifestasinyasebagai manusia. Secara batin ia adalah awal silus kenabian dansecara lahir ia adalah akhir siklus kenabian yang telah ia satukandan integrasikan dalam dirinya. Pada lahirnya ia manusia biasa,dan secara batin ia Manusia Universal yang menjadi norma segalakesempurnaan...14
Keberadaan Nabi Muhammad sebagai logos ini terutama dari fungsi
kenabiannya sebagai pembawa wahyu Ilahi. Peranannya sebagai kha>tim al-
anbiya>’ memulai sebuah siklus kesucian yang diistilahkan Nasr dengan “kesucian
Muhammad” yang selalu ada dan menjadi kekuatan spiritual dalam Islam,
sehingga tidak lagi diperlukan adanya agama baru sesudah Islam, sebab wahyu
yang dibawa Nabi Muhammad dengan sendirinya mengandung segala hal yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan religius dan spiritual setiap muslim.15
Fase ketiga dalam kejadian manusia adalah manusia dalam level kosmik,
yaitu Nabi Adam sebagai penghuni surga sebelum kejatuhan yang dialaminya
sehingga diturunkan ke bumi dan selanjutnya menjadi manusia terestrial.16
Fase keempat kejadian manusia adalah setelah diturunkan ke bumi, di
mana manusia tidak lagi berada dalam level kosmik, tetapi telah berpindah ke
dunia fisik. Pada fase ini manusia melengkapi penciptaan alam sebagai wakil
(khali>fah) Tuhan di bumi yang diberi kemampuan untuk mengetahui segala
14 Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, h. 57.15 Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, h. 56.16 Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, h. 115.
55
sesuatu, menundukkan bumi, kekuasaan untuk melakukan kebaikan tetapi di sisi
lain juga dapat menimbulkan kerusakan dan kehancuran bumi.17
Beberapa tahap penciptaan manusia menurut Nasr ini menunjukkan
adanya penurunan derajat manusia dari manusia yang sepenuhnya mencerminkan
Sifat-Sifat Allah – Nasr mengistilahkannya dengan Manusia Universal – hingga
menjadi manusia terestrial yang menghuni bumi. Penurunan derajat manusia
yang disebabkan kejatuhannya setelah melanggar larangan Allah di surga ini
membawa manusia ke dunia fisik sebagai hukuman atas pelanggaran tersebut.
Meski kejatuhan manusia merupakan hukuman, tetapi Allah tetap memberikan
kelebihan kepada manusia dengan eksistensinya sebagai wakil-Nya untuk
menjalankan semua kehendak-Nya di muka bumi.
C. Insan Kamil
Secara biologis manusia mempunyai beberapa unsur antara lain: mineral
termasuk didalamnya materi yang mengandung atom dengan segala dayanya,
tumbuh-tumbuhan yaitu daya nabati antara lain makan (nutrition), tumbuh
(growth), dan berkembang biak (reproduction), unsur hewan yang yaitu
penginderaan (sense perception) dan gerak (locomotion). Disamping itu yang
pasti dan harus dimiliki oleh manusia yaitu jiwa (daya) insani yang di sinilah
terletak intelektualitas, moralitas, dan rasa seni. Ruhani adalah yang
mengendalikan, dan memberikan visi dan nilai bimbingan-bimbingan kepada
jiwa-jiwa nabati, hewani, dan insani. Dari sini dapat di lihat bahwa manusia
17 Seyyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, h. 18.
56
merupakan puncak evolusi yaitu manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan
penuh.18
Namun dari aspek spiritual manusia akan mencapai puncak evolusi ketika
ia telah mencapai kesatuan dengan Tuhan. Peringkat manusia sebagai makhluk
terbaik, termulia dengan kualitas fisik dan psikisnya diciptakan oleh Allah
dengan tujuan tertentu anatara lain: agar manusia menjadi hamba (a>bid)-Nya
yang baik, sekaligus menjadi khalifah-Nya di muka bumi, serta bertanggung
jawab terhadap apa yang diperbatnya selama hidup di dunia ini.
Dalam kitab al-Insa>n al-Ka>mil fi Ma’rifat al-Awa>khir wa al-Awa>’il, al-Ji>li>
mengidentifikasi insan kamil dalam dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam
pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam
pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu
yang dianggap mutlak yaitu Tuhan. Kedua, insan kamil yang jati diri yang
mengidealkan kesatuan nama serta sifat-safat Tuhan ke dalam hakikat atau
esensi dirinya.19
Al-Kama>l (kesempurnaan) menurut al-Ji>li> mungkin dimiliki manusi
secara potensial (bi al-quwwah), dan mungkin pula secara aktual (bi al-fi’l)
seperti yang terdapat pada diri wali dan Nabi, namun intensitasnya berbeda-beda.
Dan yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad. Al-Ji>li> juga menandaskan
bahwa insan kamil merupakan mikrokosmos dan makrokosmos, jami’ al-haqa>iq
al-wuju>diyyah, qalb-nya = ‘arsy, ‘aql-nya = qalam, nafs-nya = lawh} al-mah}fu>dh,
18 Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan TasawufPositif (Jakarta: IIMaN, 2002), h. 35
19 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru VanHoeve, 1997), h. 22
57
mudrikah-nya = kawkab, al-qawiy = al-muh}arrikah-nya = al-syams, dan lain
sebagainya.
Sedangkan mengenai kata “kamil” Mut}ahhari> membedakan antara
sempurna (ka>mil) dan lengkap (ta>mm), keduanya erat kaitannya namun tidak
sama persis. Perbedaannya adalah kata “lengkap” mengacu sesuai dengan rencana
seperti rumah atau masjid. Bila suatu bagiannya belum selesai maka bangunan
tersebut tidak lengkap (cacat). Tetapi sesuatu mungkin saja lengkap sekalipun
ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itulah
yang dinamakan “sempurna”. “Lengkap” adalah kemajuan horisontal ke arah
pengembangan yang maksimum, sedang “sempurna” adalah penanjakan yang
vertikal ke tingkat yang maksimum. Dari pengertian istilah yang di kemukakan
oleh Mut}ahhari> terlihat bahwa kesempurnaan itu bertingkat. Dengan demikian
bila suatu kesempurnaan itu tercapai, maka masih ada kesempurnaan yang di
atasnya sampai pada tingkat kesempurnaan yang sesungguhnya. Jika ada manusia
yang sempurna maka pasti ada yang lebih sempurna. Dan kesempurnaan yang
sesungguhnya hanya ada Yang Maha Sempurna.20
Konsep insan kamil atau bentuk manusia tradisional mengilhami Seyyed
Hossein Nasr untuk mengarahkan manusia ke bentuk sempurnanya sebagai
manusia yang hakiki. Manusia yang menyadari keberadaannya sebagai makhluk
Tuhan sekaligus bagian tak terpisahkan dari tatanan kosmik.
Situasi manusia sebagai jembatan antara surga dan bumi direfleksikan
dalam seluruh keberadaan dan seluruh kemampuannya. Manusia adalah dirinya
20 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi olehal-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 45.
58
sendiri, keberadaan alamiah secara supra natural. Ketika dia berjalan-jalan di
muka bumi, pada satu sisi dia muncul sebagai makhluk bumi; pada sisi yang lain,
dia merupakan keberadaan surgawi yang turun ke keberadaan duniawi.
Sebaliknya, memori, pembicaraan dan imajinasinya ikut serta seketika itu juga
dari beberapa tatanan realitas. Sebagian besar dari inteligensinya merupakan
kemampuan alamiah yang bersifat supranatural.21
Keprihatinan Seyyer Hossein Nasr dengan masifnya kemajuan
masyarakat modern yang tidak disertai dengan penghayatan terhadap eksistensi
mereka tercermin dalam karyanya Islam dan Nestapa Manusia Modern, di antara
kutipannya adalah sebagai berikut.
Apabila dua dasawarsa yang lampau setiap orang berbicaramengenai kemungkinan yang tak terbatas bagi manusia untukberkembang secara lahiriah dan materialistis, maka pada masa kinisetiap orang berbicara mengenai “batas-batas pertumbuhan” –sebuah ungkapan yang pada saat ini sedang populer di Barat – ataubahkan mengenai bencana yang segera akan menimpa umatmanusia. Tetapi konsep-konsep serta faktor-faktor yangdipergunakan untuk menganalisa krisis yang dihadapi manusiamodern ini, pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkan warna-warna untuk melukiskan bencana yang akan menimpa umat manusiaitu biasanya berdasarkan unsur-unsur yang telah menciptakan krisisitu juga. Kehidupan di dunia ini tampaknya masih tidak memilikihorizon spiritual. Hal ini bukan karena horizon spiritual itu tidakada, tetapi karena yang menyaksikan panorama kehidupankontemporer ini seringkali adalah manusia yang hidup di pinggiranlingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segalasesuatu dari sudut pandangannya sendiri. Ia senantiasa tidak pedulidengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengansumbu maupun pusat lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya
21 Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h 194.
59
melalui jari-jari tersebut.22
Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang
terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada
zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia
tradisional. Manusia suci, menurut Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal
maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung
kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan
mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.
Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan, hal itu
didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan,
refleksi total dan lengkap mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang
mengandung posibilitas-posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi
Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase
Islam. Islam Tradisional menerima al-Qur’an sebagai kalam Tuhan baik
kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan,
yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima
komentar-komentar tradisional atas Qur‟an yang berkisar dari komentar-
komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan metafisikal.
Sifat primordial dan paripurna tentang manusia yang Islam menyebutnya
“Manusia sempurna” (insan kamil), dan doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-
Aleksandrian juga menyinggung dalam istilah yang hampir sama, kecuali aspek-
22 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, h. 4.
60
aspek Abrahamik dan Islamik yang secara khusus tidak muncul dalam sumber-
sumber Neo-platonik dan Hermetik, yang menyatakan bahwa realitas manusiawi
mempunyai tiga aspek fundamental. Pertama adalah dari realitas pola dasar alam
semesta, kedua instrumen atas makna dimana wahyu turun ke dunia, dan ketiga,
model sempurna untuk kehidupan spiritual dan pemancar pengetahuan esoterik
mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia universal, manusia terestrial dapat
memperoleh akses pewahyuan dan tradisi, sehingga tersucikan. Akhirnya,
melalui realitas yang tak lain daripada aktualisasi realitas manusia itu sendiri,
manusia mampu mengikuti jalan sempurna yang akhirnya memungkinkan
memperoleh pengetahuan suci, dan akhirnya menjadi dirinya sendiri secara
sempurna.23
Dalam pandangan Nasr, manusia dalam bentuk primordialnya atau
tingkatan paling alaminya, -sebelum ia terkontaminasi oleh paham-paham
modernis- memiliki setidaknya tiga aspek fundamental. Yakni realitasnya
sebagai bagian dari alam semesta, meliputi posisi biologisnya sebagai manusia,
yang kedua adalah medium atau perantara bagi pesan-pesan ilahi atau
penterjemah wahyu, dan yang terakhir adalah manusia sebagai perwujudan
sempurna bagi kehidupan spiritual.
Tiga hal di atas, dalam pandangan Nasr tidak benar-benar ter-
ejewantahkan dalam perspektif manusia modern. Barat dengan segenap
kemajuannya mengambil sebagian dan membuang sebagian dari keseluruhan
23 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung:Penerbit Pustaka, 1994), h. 192.
61
bentuk primordial ini. Untuk itu, manusia, khususnya umat Islam perlu kembali
menengok konsep Insan Kamil, sebagai bentuk dari primordialisme yang patut
dijadikan acuan.
Kondisi manusia modern sekarang ini, menurut Nasr karena mengabaikan
kebutuhannya yang paling mendasar yang bersifat spiritual, maka mereka tidak
dapat menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak adanya keseimbangan
dalam diri manusia itu. Keadaan ini akan semakin akut apabila tekanan pada
kebutuhan materi kian meningkat sehingga keseimbangan akan semakin rusak.
Masyarakat Barat sejak renaissance merasa asyik bergelut dengan
problema empiris yang diistilahkan Nasr sebagai masyarakat yang hanya
menekuni dimensi luar yang senantiasa berubah, bukannya menguak hakikat
manusia yang lebih dalam tentang keberadaan manusia di alam ini. Hancurnya
pandangan suci manusia dan alam semesta ini, sama dengan hancurnya aspek-
aspek kemanusiaan dan alam yang tidak dapat berubah. Ilmu sekuler tidak akan
dapat memperlihatkan eksistensinya tanpa harus terlibat dalam proses perubahan
dan menjadi secara utuh.24
Manusia sebagaimana yang diutarakan Nasr, memiliki tiga unsur yaitu
jasmani, jiwa dan intelek. Yang terakhir itu berada di atas dan di pusat eksistensi
manusia. Esensi manusia atau hal yang esensial dari sifat manusia hanya dapat
dipahami oleh intelek (mata hati). Begitu mata hati tertutup, dan kesanggupan
24 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London:Allen and Unwin, 1967), h. 47.
62
intelek dalam pengertiannya yang sedia kala mengalami kemandekan, maka tidak
akan mungkin mencapai pengetahuan yang esensial tentang hakikat manusia.25
Manusia untuk dapat mencapai tingkat eksistensinya, harus mengadakan
pendakian spiritual yang melatih ketajaman intelektualitas. Menurut Nasr,
pengetahuan fragmentaris tidak dapat digunakan untuk melihat realitas yang
utuh, kecuali jika ia memiliki visi intelektualitas tentang yang utuh tadi. Manusia
dapat mengetahui dirinya secara sempurna hanya bila ia mendapat bantuan ilmu
Tuhan, karena keberadaan yang relatif hanya akan berarti bila dikaitkan pada
yang absolut.26
Intelek yang dikehendaki oleh Nasr adalah sebuah akumulasi dari
kecerdasan otak dan mata hati. Kedua-duanya akan mencapai tingkat
sempurnanya jika bersamaan difungsikan, bukan sebagiannya saja. Jika Barat
hanya menggunakan rasionalisme semata dan memarginalkan mata hati, maka
intelektualitas dalam pengertiannya yang sempurna tidak akan pernah benar-
benar mereka gapai. Intelektualitas semacam ini tidak akan pernah tercapai tanpa
keterlibatan Tuhan. Orang dapat melihat realitas lebih utuh apabila ia berada
pada titik ketinggian dan titik pusat, sebab Yang Maha Tinggi saja yang dapat
memahami yang lebih rendah.
Dalam konteks ini, Nasr lalu menegaskan sebagai berikut:
terdapat suatu hirakhi pengetahuan dari yang inderawi, melalui yangkhayal dan yang rasional, sampai pada yang intelektual yang jugaintuitif dan dikenal dengan nama hati atau batin. Tetapi seperti
25 Saleh Nur, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 1, Januari 2011, h. 18.26 Saleh Nur, Jurnal Ushuluddin, h. 18.
63
halnya fakultas pengetahuan yang intelektual tidak dipertentangkandengan yang sensual (inderawi), yang intelektual dan intuitif itupuntidak dipertentangkan dengan yang rasional. Malah, justru akalmerupakan pantulan dari hati, yakni sebagai pusat mikrokosmis.Doktrin atau ajaran Islam tentang Ketuhanan (al-tawh}i>d) telahmampu merangkum semua model pengetahun ke dalam suatuperingkatan hirakhi yang saling melengkapi dan serasi menuju suatubentuk pengetahuan terluhur, yakni ma’rifah dari hati yang suci yangpada akhirnya tidak lain merupakan pengetahuan yang esa danmengesakan tentang Yang Maha Esa serta pelaksanaan palingmendasar dari Keesaan Tuhan (al-tawh}i>d).27
27 Seyyed Hossein Nasr, “Hubungan antara Intelek dan Intuisi dari Perspektif Islam”,dalam Salem Azzam (ed), Islam dalam Masyarakat Kontemporer, diterjemahkan oleh Hamid L.A. Basalamah, (Bandung: Gema Risalah, 1988), h. 66.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembacaan dan analisa terhadap beberapa karya
Seyyed Hossein Nasr, penulis menyimpulkan bahwa terkait hakikat manusia, ia
berpendapat bahwa manusia merupakan refleksi dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat
Tuhan. Refleksi Sifat Tuhan dalam diri manusia ini sebagaimana cermin yang
merefleksikan cahaya matahari. Hal ini ia hubungkan dengan ditiupkannya Ruh
Tuhan ke dalam tanah liat yang menjadi asal-usul primordial manusia. Nasr juga
mengungkapkan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjadi
pengejawantahan Tuhan, sebai refleksi sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Di
samping itu ia menemukan kesamaan konsep dalam agama-agama dan tradisi-
tradisi, terutama Yahudi dan Kristen, dalam hal kejadian manusia yang
dianugerahi aspek ketuhanan.
Fase penciptaan manusia ia bagi kepada empat tahapan:
1. Ketika manusia diturunkan dari ruh yang merupakan milik Allah.
2. Ketika ia diciptakan sebagai logos yang menjadi prototipe semua manusia
dan segala ciptaan.
3. Manusia dalam level kosmik, yaitu Nabi Adam sebagai penghuni surga
sebelum kejatuhan yang dialaminya sehingga diturunkan ke bumi dan
selanjutnya menjadi manusia terestrial.
65
4. Manusia setelah diturunkan ke bumi, di mana manusia tidak lagi berada
dalam level kosmik, tetapi telah berpindah ke dunia fisik.
Untuk mengkritik modernitas dan rasionalitas Barat, Nasr terilhami oleh
konsep insan kamil atau manusia tradisional. Barat dinilai tidak sempurna dalam
menginsyafi posisi mereka sebagai manusia. Manusia sudah menjadi kodratnya,
merupakan bentukan paling sempurna yang memiliki tiga fungsi dasar. Sebagai
bagian dari alam, sebagai medium diturunkannya wahyu Tuhan, dan sebagai
pancaran spriritual Tuhan. Tiga hal ini menempatkan manusia pada sisi mereka
sesungguhnya.
Berkaitan dengan apa yang telah dicapai Barat, menurut Nasr pengetahuan
mereka tidaklah final dan cenderung nisbi atau berubah-rubah. Untuk mencapai
puncak pengetahuan setidaknya mereka harus mengaktifkan intelek mereka
dengan benar. Intelek dalam istilah Nasr, bukan hanya kecerdasan diskurtif
normatif semata, intelek selalu melibatkan mata hati dan kehendak yang Maha
Kuasa yang menunjukkan pengetahuan yang hakiki.
B. Saran-Saran
Untuk melengkapi dan menyempurnakan penelitian ini, saran dan
masukan dari para pembaca sangat kami butuhkan. Banyak hal dari Seyyed
Hossein Nasr yang bisa digali dan ditelaah serta dikembangkan oleh akademisi.
Semua ini tidak lepas dari kiprah dan dedikasinya yang sangat berarti bagi
perkembangan pengetahuan pada era modern ini.
66
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn‘Arabi oleh al-Jili. Jakarta: Paramadina, 1997.
An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005,
Awad, Pola Hubungan Sains dan Agama: Studi Atas Pemikiran Seyyed HosseinNasr dan Lois Leahy, Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSyarif Hidayatullah, 2012
Burhani, Ahmad Najib. Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan TasawufPositif. Jakarta: IIMaN, 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar BaruVan Hoeve, 1997.
Bakri, Samsul dan Udhofir. Jombang-Kairo, Jombang Chicago: SintesisPemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia,Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Snijders, Adelbert. Kebenaran Sebuah Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta:Kanisius, 2006.
al-Faruqi, Ismail Raji. Islam dan Kebudayaan, Bandung: Mizan, 1984.
Hadimulyo, “Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan AliShari’ati”, dalam M. Dawam Rahardjo, (Penyunting), Insan Kamil:Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1987.
Hidayat, Komaruddin dan Nafis, Wahyuni. Agama Masa Depan: PerspektifFilsafat Perennial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003.
Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 1, Januari 2011.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,2003), h. 286.
Ja’far, Manusia Menurut Suhrȃwardȋ al-Maqtul, Banda Aceh: Yayasan PeNa,2011.
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam danManusia, Jakarta: Erlangga, 2007.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: TrigendaKarya, 2003.
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006.
Muthahharî, Murtadlâ. Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai PandanganFilosofis, terj. ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud, Jakarta: Sadra Institute, 2012.
67
__________. Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teksyang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi, Jakarta:Pustaka Hidayah, 2011.
Manser, Martin H. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New York: OxfordUniversity Press, 1995.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern. terj. AnasMuhyiddin. Bandung: Pustaka, 1983.
__________.The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untukKemanusiaan. terj. Nurasiah Fakih Sutan Harahap. Bandung: Mizan,2003.
__________. Antara Tuhan, Manusia dan Alam. terj. Ali Noer Zaman.Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
__________. Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama. terj. Suharsono, et. al.Depok: Inisiasi Press, 2004.
__________. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim.terj. Hasli Tarekat Bandung: Mizan, 1994.
__________.Islam dalam Cita dan Fakta. terj. Abdurrahman Wahid dan HashimWahid dengan judul Jakarta: LEPPENAS, 1981.
__________.Tasauf Dulu dan Sekarang. terj. Abdul Hadi WM. Jakarta: PustakaFirdaus, 2000.
__________. Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama. terj. Suharsono, et. al.Depok: Inisiasi Press, 2004.
__________.Islam dan Nestapa Manusia Modern. terj. Anas MuhyiddinBandung: Pustaka, 1983.
__________.Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: PenerbitPustaka, 1994.
__________.Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London:Allen and Unwin, 1967.
__________. “Hubungan antara Intelek dan Intuisi dari Perspektif Islam”, dalamSalem Azzam (ed). Islam dalam Masyarakat Kontemporer, diterjemahkanoleh Hamid L. A. Basalamah, Bandung: Gema Risalah, 1988.
__________.Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman,Yogyakarta: Ircisod, 2005
__________.The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. denganjudul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Depok: Inisiasi Press,2004
68
Nawawi, Rifaat Syauqi, dkk., Metodologi Psikologi Islami, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2000
Sanusi, Uci dan Rudi Ahmad Suryadi. Kenali Dirimu, Yogyakarta: Deepublish,2015.
Al-Shadr, Muhammad Baqir. Filsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr Terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali,Cetakan V Bandung: Mizan, 1995.
Syari‟ati, Ali. Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta:Ananda, 1982.
Syari‟ati, Ali. Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais, jakarta: PTRajaGrafndo Persada, 1995.
Quddus, Abdul. Respon Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan:Telaah atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Jakarta: Sekolah PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2012
Snijders, Albert. Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan,Yogyakarta: Kanusius, 2004
Sujawa, Manusia dan Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996
Syamsuri, Tasawuf sebagai Terapi Krisis Modernisme: Telaah atas PemikiranSeyyed Hossein Nasr, Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN SyarifHidayatullah, 2008
Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok:Desantara, 2001.