-
MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN
SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU KABUPATEN
TANJUNG JABUNG TIMUR)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam
OLEH
MHD. BASRI
NIM : AS 131456
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2017
-
MOTTO
َما ِكتَا َب هللاِ َوُسنَّتِيْ هُ لَْن تَِضلُّْوا َبْعَد تََرْكُن فِْيُكْم َشْيئَيِن
Artnya : Aku tinggalkan dua pusaka. Kalian tidak akan sesat setelah (berpegang) pada
keduanya.Yaitu kitab allah dan sunahku.(HR.Hakim)
-
PERSEMBABAN
Sujud syukur ku persembahkan pada ALLAH SWT yang maha kuasa, berkat dan
rahamat detak jantung, denyut nadi, nafas dan putaran roda kehidupan yang diberikan-Nya
hinga saat ini saya dapat mempersembahkan skripsi ku pada orang-orang tersayang. Atas
karunia serta kemudahan yang engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat
terselesaikan. Solawat beriring salam tak lupa dihaturkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW.
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada Kedua orang tua ku Bapak ( Bassiran)
dan Ibunda ku ( Besse Simpuru ) Tercinta yang tak pernah lelah membesarkan ku dengan
penuh kasih sayang, serta memberi dukungan, perjuangan, motivasi dan pengorbanan dalam
hidup ini. Terima kasih buat Etta.
Kupersembahkan untuk My lovely yang selalu menyemangatiku, memberi motivasi
dan dukungan, Doa serta rasa sayang dan cintanya yang begitu indah buatku, semoga capt
nyusul ya. Thank’s for your .
Kupersembahkan Buat Sahabat-Sahabatku sertasahabat seperjuanganku tanpa saya
sebutkan namanya yang selalu memberi semangat dan dukungan serta canda tawa yang
sangat mengesankan selama masa perkuliahan, susah senang dirasakan bersama dan sahabat-
sahabatku dan seperjuanganku yang lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Terima
kasih buat kalian semua.
-
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi yang
berjudul “MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN SUKU
BUGIS STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR”
ini dapat diselesaikan guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
pendidikan pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifudd Jambi.
Perjalanan panjang telah penulis lalui dalam rangka perampungan penulisan skripsi
ini. Banyak hambatan yang dihadapi dalam penyusunannya, namun berkat kehendak-Nyalah
sehingga penulis berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan
penuh kerendahan hati, pada kesempatan ini patutlah kiranya penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Kedua orang tua, ayahandaBassiran dan ibunda tercinta Besse Simpuru yang senantiasi
memberikan kasih sayang dan dukungan kepada penulis.
2. Kepada Dra.JagoRitonga,M.Fil.I selaku pembimbing I dan bapak Muhammad Nur, M.Sy
selaku pembimbing II. Terima kasih atas segala bimbingan, ajaran, dan ilmu-ilmu baru
yang penulis dapatkan dari selama penyusunan skripsi ini. Dengan segala kesibukan
masing-masing dalam pekerjaan maupun pendidikan, masih bersedia untuk membimbing
dan menuntun penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih dan mohon maaf bila
ada kesalahan yang penulis telah lakukan.
3. Kepada Camat Sadu dan Masyarakat Kecamatan Sadu. Terima kasih telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian dan membantu penulis selama penelitian.
4. Segenap dosen pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi atas ilmu,pendidikan, dan pengetahuan yang telah diberikan kepada
penulis selama duduk dibangku kuliah.
5. Segenap staf pegawai Adab dan Humaniora yang telah banyak membantu penulis selama
ini.
-
ABSTRAK
MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN
SUKU BUGIS
Di bawah bimbingan Jago Ritongan selaku pembimbing I dan Muhammad Nur selaku
pembimbing II
Oleh
MHD. BASRI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuitradisi uang panai suku Bugis di Kecamatan
Sadu dan pandangan Hukum Islam tentang pelaksanaan uang panai dalam pernikahansuku
Bugis. Di samping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana makna
dan nilai tradisi uang panai dalam pernikahan suku Bugis di Kecamtan Sadu Kabupaten
Tanjung Jabung Timur. Untuk mengkaji permasalahan digunakan metodeadalah metode
diskriptif dengan data kualitatifpenelitian melalui pendekatan terhadap objek kajian yang
ditelit, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, dan dokumentasi sedangkan analisa
data dilakukan dengan deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini antara lain hasil
wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama, Tokoh Agama, Tokoh Adat,dan
masyarakat Kecamatan Sadu.
Berdasarkan hasil penelitian mayarakat Bugis khususnya di Kecamtan Sadu
Kabupaten Tanjung Jabung Timur menganggap bahwa pemberian uang panaiadalah tradisi
pemberian uang yang wajib yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
yang fungsinya digunakan sebagai biaya untuk melaksanakan pesta pernikahan. Tujuannya
untuk memberikan rasa hormat bagi keluarga pihak perempuan. Kedudukan uang panai/dui’
menre dalam perkawinan adat Bugis adalah salah satu praa syarat, karena jika tidak ada dui’
menre maka tidak ada pernikahan. Islam tidak mengatur mengenai ketentuan uang panai/dui’
menre akan tetapi hukumnya mubah. Islam tidak melarang pemberian uang panai/dui’ menre
dalam pernikahan adat Bugis karena tidak ada dalil yang menerangkan hal tersebut. Yang
penting pemberian uang panai/dui’ menre tidak bertentangan dengan syri’at dan penentuan
nilai dui’ menre tidak ada unsur keterpaksaan, sesuai kemampuan dan kesanggupan pihak
laki-laki.
Kata kunci :Tradisi, Uang panai, Suku Bugis.
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
NOTA DINAS ............................................................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................................. iii
MOTTO ......................................................................................................................... iv
PERSEMBAHAN.......................................................................................................... v
SURAT PERNYATAN PRIETALITAS SKRIPSI ...................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii
ABSTRAK .................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBARAN GEGRAFIS .......................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 8
C. Batasan Masalah .................................................................................................. 8
D. Tujuan Penelitian ................................................................................................. 9
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 9
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 10
BAB II KERANGKA TEORI
A. Sejarah Uang Panai dalam Pernikahan Adat Bugis Makassar ............................... 14
B. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat .................................................... 17
C. Tujuan,Rukun dan Syarat Perkawinan ------------------------------------------------- 21
D. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar Macam-Macam .......................................... 24
E. Makna dan Nilai Mahar ...................................................................................... 25
-
F. Pelaksanaan Pemberian Mahar............................................................................. 28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ................................................................................................ 31
B. Defenisi Operasional Variabel ............................................................................. 32
C. Data dan Sumber Data ......................................................................................... 32
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................... 33
E. Teknik Analisis Data ........................................................................................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tradisi Uang Panai suku Bugis ............................................................................ 36
B. Pandangan Islam Tentang Pelaksanaan Uang panai
dalam PerkawinanAdat Bugis .............................................................................. 49
C. Makna dan Nilaitradisi uang Panai dalam pernikahan suku Bugis ........................ 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 63
B. Saran .................................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 74
-
DAFTAR GAMBARAN GEOGRAFIS
1. Kabupaten Tanjung Jabung Timur ............................................................................ 69
2. Lambang Kabupaten Tanjung Jabung Timur ............................................................ 70
3. Kondisi Geografi & Topografi ................................................................................. 71
4. Potensi Pariwisata .................................................................................................... 73
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya pernikahan pada tiap-tiap daerah selalu menjadi hal yang sangat menarik
untuk dibahas. Baik dari segi latar belakang budaya pernikahan tersebut, maupun dari
segi kompleksitas pernikahan itu sendiri, karena dalam pernikahan yang terjadi bukan
hanya sekedar menyatukan dua orang yang saling mencintai, lebih dari itu, ada nilai-nilai
yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam pernikahan seperti status sosial, ekonomi,
dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga pria dan wanita.
Di Sulawesi Selatan, pernkahanadat ikatan hidup bersama antara seorang pria dan
wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya
kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian
upacara adat. 1 Pernikahan adat yang dimaksud adalah budaya pernikahan Bugis-
Makassar sendiri ada satu hal yang sepertinya telah menjadi khas dalam pernikahan yang
akan diadakan yaitu uang naik atau oleh masyarakat setempat disebut uang panai. Uang
panai ini adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan
dan belanja pernikahan lainnya. Uang panai ini tidak terhitung sebagai mahar penikahan
melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh
kedua belah pihak atau keluarga.
1Arya Astra, “Pengertian Perkawinan Adat”, jakarta (23 Juni 2012. 42)
-
Uang panai untuk menikahi wanita Bugis-Makassar terkenal tidak sedikit jumlahnya.
Tingkat strata sosial wanita serta tingkat pendidikannya biasanya menjadi standar dalam
penentuan jumlah uang naik. Jadi, jika calon mempelai wanita adalah keturunan darah
biru (keluarga kerajaan Gorontalo, Gowa atau Bone), maka uang naiknya akan berpuluh-
puluh juta. Begitupun jika tingkat pendidikan calon mempelai wanita adalah S1, S2, atau
kedokteran, maka berlaku hal yang sama2.
Pihak keluarga (saudara ayah atau ibu), memiliki pengaruh yang cukup penting dalam
pengambilan keputusan mengenai besarnya uang panai dan mahar. Tidak jarangbanyak
lamaran yang akhirnya tidak diteruskan, karena tidak bertemunya keinginan dua pihak.
Ironisnya, bersumber dari keluarga ayah atau ibu. Langkah terakhir yang ditempuh bagi
pasangan yang telah saling mencintai adalah kawin lari (silariang), sebagai jalan pintas
untuk tetap bersama3.
Andi Nurnaga mengemukakan defenisi perkawinan yaitu: Pernikahan merupakan
salah satu cara melanjutkan keturunan dengan berdasar cinta kasih yang sah yang dapat
mempererat hubungan antar keluarga, antarsuku, dan bahkan antar bangsa, dengan
demikian hubungan pernikahan itu merupakan jalinan pertalian yang seteguh-teguhnya
dalam hidup dan kehidupan manusia, sehingga pernikahan itu adalah wajib dilakukan
oleh dua orang insan yang ingin melakukan hubungan kelamin.4
Terkait dengan budaya uang panai untuk menikahi wanita Bugis-Makassar, jika
jumlah uang naik yang diminta mampu dipenuhi oleh calon mempelai pria, hal tersebut
akan menjadi prestise (kehormatan) bagi pihak keluarga perempuan. Kehormatan yang
dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai
2Chistian Pelras, manusia bugis, Jakarta: NALAR.(Forum Jakarta-Paris, 2006) 3Ibid, hlm.37 4Andi Nurnaga. . Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis. CV. Telaga Zamzam. Makassar. 2001.Hlm. 7
-
pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk
pernikahannya melalui uang panai tersebut.
Jika dalam perkawinan adat suku lain uang panai tersebut diberikankepada calon istri,
sebaliknya dalam perkawinan adat suku Mugis-Makassar,istri justru tidak tahu menahu
dan tidak ikut campur dalam proses pemberian dan penentuan uang panai, karena yang
sangat berperan dalam proses tersebut justru orang yang dituakan dari pihak keluarga
calon istri. Uang panai tersebut tidak akan diberikan kepada calon istri sedikit pun,
karena uang panai tersebut khsusus digunakan untuk biaya resepsi perkawinan5.
Uang panai yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyakdaripada mahar.
Adapun kisaran jumlah uang panai dimulai dari 25 juta, 50 dan bahkan ratusan juta. Hal
ini dapat dilihat ketika prosesi akad nikah yang hanya menyebutkan mahar dalam jumlah
yang kecil.Terkadang karena tingginya uang panai yang dipatok oleh pihak keluarga
calon istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagalmenikah karena
ketidakmampuannya memenuhi uang panai yang dipatok, sementara pemuda dan si gadis
telah lama menjalin hubungan yang serius. Dari sinilah terkadang muncul apa yang
disebut silariang atau kawin lari.
Masyarakat Kecamatan Sadu mengenaluang panaiberupa sejumlah uang yang wajib
diserahkan oleh calon mempelai suami kepada pihak keluarga calon istri, yang akan
digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan dan belum termasuk mahar6.
Fungsi uang panai yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan
karena uang panai yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial wanita
mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan uang panai
5Yuli Haryati, Wawancara, kecamatan Sadu, 22 Februari, 2017 6Masrial, Wawancara, kec. Sadu , 22 Februari 2017.
-
merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk
memenuhi keperluan pekawinan.7Jumlah uang panai yang bergantung dari tingkat strata
sosial dan pendidikan calon mempelai wanita dilihat dari sisi peran keluarga calon
mempelai wanita.
Wade, C. dan Travis, C. menjelaskan bahwa peran merupakan kedudukan sosial yang
diatur oleh seperangkat norma yang kemudian menunjukkan perilaku yang pantas. Hal
ini menunjukkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, mau tidak mau, masyarakat yang
berada dimanapun memang dibagi berdasarkan beberapa tingkatan sosial.
Dengan peran yang dimiliki keluarga calon mempelai wanita yang semakin tinggi,
maka nilai uang panai yang juga semakin tinggi adalah perilaku yang dianggap pantas
untuk kedudukan tersebut. Strata sosial ini akan mempengaruhi sudut pandang dan cara
hidup masyarakat.
Parsons, seorang ahli sosiologi menyimpulkan adanya beberapa sumber status
seseorang yaitu :
Keanggotaan di dalam sebuah keluarga. Misalnya, seorang anggota keluarga yang
memperoleh status yang tinggi oleh karena keluarga tersebut mempunyai status yang
tinggi di lingkungannya.
Kualitas perseorangan yang termasuk dalam kualitas perseorangan antara lain
karakteristik fisik, usia, jenis kelamin, kepribadian.
Prestasi yang dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi statusnya. Misalnya,
pekerja yang berpendidikan, berpengalaman, mempunyai gelar, dan sebagai nya.
Aspek materi dapat mempengaruhi status seseorang di dalam lingkungannya.
Misalnya, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
7Puspita, “Tradisi Uang Panai’ Dalam Budaya Bugis Makassar,” dalam http://akulebihdari
yangkautau.blogspot.com/ (16 januari 2012)
-
Sebelum prosesi pa’botingeng (pernikahan) dilaksanakan, ada beberapa tahap yang
harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki. Salah satu diantaranya adalah assuro.Assuro
adalah proses peminangan dari pihak keluarga calon mempelai laki-lakikepada pihak
calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian uangpanai yang akan diberikan
oleh calon mempelai laki-laki kepada pihak keluargacalon mempelai wanita apabila
lamaran tersebut diterima8
Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari suku Bugis khususnya di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur, memenuhi jumlah uang panai juga dapat dipandang sebagai
praktik budaya siri’,jadi wanita yang benar-benar dicintainya menjadi motivasi yang
sangat besar untuk memenuhi jumlah uang panai yang di syaratkan. Motivasi dapat
diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam diri manusia dalam hal ini untuk
memenuhi jumlah uang panai, yang akan kemudian mempengaruhi cara bertindak
seseorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan berpengaruh terhadap performansinya
dalam bekerja.
Selain motivasi, keinginan untuk memenuhi uang panai yang disyaratkan juga terkait
dengan teori kepuasan yang lebih didekatkan pada faktor–faktor kebutuhan dan kepuasan
individu yang menyebabkannya bertindak dan berperilaku dengan cara tertentu. Hal yang
memotivasi semangat bekerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan material maupun nonmaterial dalam hal ini keuangan dan dapat menikahi
wanita yang hendak dilamarnya yang diperolehnya dari hasil pekerjaannya. Jika
kebutuhan dan kepuasannya semakin terpenuhi maka semangat kerjanya pun akan
semakin baik pula. Jadi pada kesimpulannya, seseorang akan bertindak untuk dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan kepuasannya.
8Teer Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), 167
-
Pada dasarnya uang panaimerupakan tradisi dalam budaya Bugis untuk menikahi
wanita Bugis. Uang panai dan jumlah nominalnya yang terkenal sangat banyak
semestinya tidak dijadikan patokan karena bagaimanapun segala hal tergantung dari
usaha individu dan berpulang pada keputusan Tuhan Yang Maha Esa, serta dari banyak
tidaknya uang yang dimiliki oleh pria yang akan melamar. Uang hanya hiasan dalam
kehidupan sementara tujuan hidup adalah ketenangan.Budaya seharusnya tidak dijadikan
sebagai penghalang, namun dilihat sebagai pewarna dalam sosialisasi dan interaksi
kehidupan.
Dalam hal ini kewajiban atau keharusan memberikan uang panai sama seperti
kewajiban memberikan mahar. Hal ini terjadi karena antara uang panai dan mahar adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Seorang calon suami yang
memberikan uang panai kepada pihak keluarga calon istri bukan berarti secara langsung
telah memberikan mahar. Uang panaitersebut belum termasuk mahar, sehingga jika uang
panai tidak ada maka perkawinan pun tidak akan pernah terjadi9.
Terhadap realitas pola pikir dan kondisi yang demikian maka suatu kewajiban atau
paling tidak jangan menjadi kajian yang terlupakan bagi sebagian kalangan masyarakat
itu sendiri tentang bagaimana adanya tradisi Bugis, karena pada zaman sekarang tradisi-
tradisi sudah banyak di lupakan atau di tinggalkan. Oleh karena itu penulis berkeinginan
untuk mengangkat permasahan tersebut dalam bentuk kajian ilmiah yang di beri judul
MaknaDan Nilai Tradisi Uang Panai Dalam Pernikan Suku Bugis (Studi Kasus di
Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur)
9Bassiran, Wawancara, Kecamatan Sadu, 22 F ebruari, 2017
-
B. Rumusan Masalah
Banyak hal yang terkandung dalam tradisi perkawinan suku bugis yangperlu dikaji
lebih mendalam dan ditinjau dari aspek kebudayaan. Dari latarbelakang yang di jelaskan
dapat diambil beberapa identifikasi masalah yangsekaligus menjadi batasan masalah.
1. Bagaimanatradisi Uang Panai suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung
Jabung Timur ?.
2. Bagaimana pandangan Islam tentang pelaksanaan uang panai dalam PernikahanAdat
Bugisdi Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur?.
3. Bagaimana maknadan nilaitradisi uang panai dalam pernikahan suku bugis di
Kecamatan SaduKabupaten Tanjung Jabung Timur ?.
C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dengan apa yang peneliti inginkan dibuat, maka
batasan masalah lebih fokus. Adapun batasan masalah adalah makna dan nilai tradisi
uang panai dalam pernikahann suku Bugis di Kecamatan Sadu Tanjung Jabung Timur.
D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan memecahkan
setiap masalah yang ditemukakan dalam penelitian ini. Secara khusus, penelitian ini
bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tradisi uang panai suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten
Tanjung Jabung Timur.
2. Untuk mengetahui pandangan Islam Tentang pelaksanaan uang panai dalam
Pernikahansuku Bugisdi Kecamatan Sadu.
-
3. Untuk mengetahui bagaimana makna dan nilai tradisi uang panai dalam pernikahan
suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Timur.
E. Manfaat penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengharapkan penelitian inimemberikan hasil yang
bermanfaat dan berguna yaitu sebagai berikut :
1. Bagi penulis kiranya bermanfaat untuk mengetahui tentang tradisi uang panai dalam
Pernikahan Suku Bugis Kecamatan Sadu Tanjung Jabung Timur.
2. Terhadap karya ilmiah, penulisan ini diharapkan sebagai sumber ilmiah dan kajian
dunia akademik, khusunya di lembaga pendidikan dan budayaan.
3. Mengenal kebudayaan masyarakat suku Bugis dari segi adat pernikahannya.
4. Untuk ilmu penegetahuan, agar dapat memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan
khususnya kebudayaan dan adat istiadat.
Dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat dari segi teoritis dan praktis atau
pragmatis.
a. Manfaat teoritis
Secara teoritik, hasil penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat bagi
peneliti baik dosen, mahasiswa ataupun masyarakat dalam rangka ilmu
pengetahuan dan budaya serta memberikan pemahaman penuh terhadap
pembacanya.
b. Manfaat praktis/ pragmatis
Secara praktis dan atau prakmatis, diharapkan bermanfaat bagi masyarakat,
sehingga masyarakat mengerti atau mengetahui makna dan nilaitradisi uang panai
dalam pernikan suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung JabungTimur.
-
F. Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah
dilakukan, sehingga terlihat jelas bahwa kajian ini bukan pengulangan atau duplikasi dari
kajian terdahulu. Secara langsung penulis tidak menemukan kajian atau penelitian yang
bersinggungan langsung dengan perihal pemberian uang panai khsusnya pada
masyarakat Bugis Makassar di Kecamatan Sadu. Akan tetapi pemberian uang panai ini
terdapat pula diberbagai masyarakat adat di Indonesia. Seperti di Kalimantan uang panai
disebut dengan istilah uang jujur. Sehingga penulis mengkaitkannya dalam kajian
pustaka ini.
Berdasarkan temuan penulis ada beberapa penelitian yang serupa dengan skripsi ini
yaitu:
1. Buku yang dikarang oleh A. Rachman dan Aminah Hamzah, “Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Buku ini membahas tentang perkawinan di
daerah Sulawesi Selatan diantaranya suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Tanah
Toraja. Secara umum dalam buku ini dibahas mengenai adat dan upacara sebelum
perkawinan sampai adat dan upacara setelah perkawinan10.
2. Skripsi yang disusun oleh Sa’diyah. Penelitian ini mengkaji tentang “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Perihal Pemberian Uang Panaik Dalam Perkawinan Adat
Suku Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar”.
Penelitian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan perihal pemberian uang
panai ini dipandang urgen karena berdasarkan pada kenyataan yang ada dalam suku
Bugis Makassar.
10A. Rachman dan Aminah Hamzah, “Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan”, Makassar, 2006
-
Dari kajian tersebut di atas tentu memiliki titik singgung dengan penelitian ini.
Kajian ini memiliki perbedaan dengan kajian sebelumnya. Adapun letak
perbedaannya antara lain:
a. Penelitian ini dilakukan dalam lingkungan masyarakat adat suku Bugis
Kecamatan Sadu Kabupateng Tanjung Jabung Timur.
b. Penelitian ini mengkaji tentang maknadan nilai tradisi uang panai dalam
pernikahan adat suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung
Timur.
Penelitian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan makna dan nilaitradisi
uang panai ini dipandang urgen(mendesak sekali pelaksanaannya) karena
berdasarkan pada kenyataan yang ada dalam suku Bugis Kecamatan Sadu
Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Adat istiadat, istilah tradisi dapat dimaknai sebagai warisan. Selain itu, istilah
tradisi diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam masyarakat. Sifatnya
sangat luas, meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan dalam
pencarian yang tetap dan pasti11.
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan
sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama
yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta
perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu
kepada konsep pang‘ade‘reng atau adat istiadat, berupa serangkaian norma yang
11Priyanto, Adat Istiadat.(1992: 15).
-
terkait satu sama lain. Dalam pangadereng (adat istiadat Bugis) terdiri atas 5 unsur
pokok yang membangunnya yaitu :
Ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-
aturanadat dalam kehidupan orang Bugis.
Bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan.
Rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias.
Wari, penjenisan yang membedakan satu dengan yang lain, suatu perbuatan
yang selektif menata atau menertibkan.
Siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh,
mengasingkan, mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan12
Kelima unsur pangadereng tersebut saling berkaitan sebagai kesatuan organis
dalam pikiran dan jiwa masyarakat bugis. Seluruh aspek pangadereng tersebut
memberikan ajaran moralitas yang membentuk prilaku seluruh masyrakat baik yang
bersifat pribadi maupun kelompok.
12Mattulada, “Sejarah Orang Bugis” (Makassar, 1985. 36).
-
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Sejarah Uang Panai dalam Pernikahan Adat Bugis Makassar.
Orang Makassar adalah penduduk asli dari daerah sekitar kota Makassar dan
wilayah sekitarnya. Bahasa yang digunakan oleh orang Makassar dinamakan bahasa
Mangkasara. Adat pemberian uang panai diadopsi dari adat pernikahan suku Bugis asli.
Uang panai bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki
kepada keluarga calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan13.
Pemberian uang panai yang dilakukan pada masyarakat Bugis Makassar tidak jauh
berbeda dengan uang panai yang ada pada masyarakat Bugis asli, yaitu sama-sama
statusnya sebagai pemberian wajib ketika akan melangsungkan pernikahan.
Kemungkinan besar sejarah adanya pemberian uang panai pada masyarakat Bugis
Makassar dibawa oleh suku Bugis asli yang berimigrasi ke kota Makassar.
1. Perbedaan Mahar dan Uang Panai
Pengertian mahar masih banyak yang keliru. Dalam adat perkawinan mereka,
terdapat dua istilah yaitu sompa dan duik menre’ (Bugis)atau uang panai/doik
balanja (Bugis). Sompa atau mahar adalah pemberianberupa uang atau harta dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagaisyarat sahnya pernikahan menurut
ajaran Islam.Sedangkan duik menre’ atau uang panai/doik balanja adalah uang
antaran yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada
13Puspita, “Tradisi Uang Panai’ Dalam Budaya Bugis Makassar,” dalam http://akulebihdari
yangkautau.blogspot.com/ (16 Januari 2012)
-
pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta
pernikahan14.
Secara sepintas, kedua istilah tersebut di atas memang memiliki pengertian dan
makna yang sama, yaitu keduaya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika
dilihat dari sejarah yang melatar belakanginya, pengertian kedua istilah tersebut jelas
berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal dengan mas kawin/mahar adalah kewajiban
dalam tradisi Islam, sedangkan uang panai adalah kewajiban menurut adat
masyarakat setempat. Mahar dan uang panai tidak hanya berbeda dari segi
pengertian saja, akan tetapi berbeda pula dalam hal kegunaan dan pemegang
keduanya. Mahar dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirnya sendiri,
uang panai dipegang oleh orang tua istri dan digunakan untuk membiayai semua
kebutuhan jalannya resepsi pernikahan15.
Tetapi, sebagian orang suku Bugis memandang bahwa nilai kewajiban dalam
adat lebih tinggi daripada nilai kewajiban dalam syariat Islam. Sejatinya sebagai
salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas keislamannya di Nusantara,
seharusnya mereka lebih mementingkan makna dan nilai-nilai kewajiban syariat
Islam daripada kewajiban menurut adatkewajiban mahar dalam syariat Islam
merupakan syarat sah dalam pernikahan, sedangkan kewajiban memberikan uang
panai menurut adat, terutama dalam hal penentuan jumlah uang panai, merupakan
konstruksi dari masyarakat itu sendiri.
2. Jumlah Uang Panai
Uang panai yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyak daripada
mahar. Adapun kisaran jumlah uang panai dimulai dari 25 juta, 30, 50 dan bahkan
14 Samsuni, “Budaya Mahar di Sulawesi Selatan”, dalam www.melayuonline.com/ (16 Januari 2012) 15Ibid, (16 Januari 2012)
-
ratusan juta rupiah. Terkadang karena tingginya uang panai yang dipatok oleh pihak
keluarga calon istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagal
menikah karena ketidakmampuannya memenuhi uang panai yang dipatok, sementara
pemuda dan si gadis telah lama menjalin hubungan yang serius. Dari sinilah
terkadang muncul apa yang disebut silariang atau kawin lari seperti yang telah
dijelaskan pada bab-bab sebelumnya16.
3. Tolak Ukur Tingginya Uang Panai
Tinggi rendahnya uang panai merupakan bahasan yang paling mendapatkan
perhatian dalam pernikahan Bugis Makassar, sehingga sudah menjadi rahasia umum
bahwa itu akan menjadi buah bibir bagi para tamu undangan.
Pernikahan itu sendiri menurut UU RI No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahma. Bentuk
perkawinan dilakukan berdasarkan aturan atau kepercayaan yang berlaku pada
daerah tertentu dan dianggap sah apabila dilakukan dengan aturan-aturannya17.
B. Adat Istiadat Pernikahan Suku Bugis
Adat istiadat, istilah tradisi dapat dimaknai sebagai warisan. Selain itu, istilah tradisi
diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam masyarakat. Sifatnya sangat luas,
meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan dalam pencarian yang
tetap dan pasti18.
16Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi
Selatan, Cet. III, (Makassar: 2006), 29 17R.Soetojo Prawirohammidjojo, Pluralisme dalam Perundang Undangan Perkawinan di Indonesia. Airlangga
University Press. 1988, hlm. 38.
18Priyanto, Adat Istiadat.(1992: 15).
-
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang
Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di
dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal
dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng
atau adat istiadat, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Dalam
pangadereng (adat istiadat Bugis) terdiri atas 5 unsur pokok yang membangunnya yaitu :
1. Ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-
aturanadat dalam kehidupan orang Bugis.
2. Bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan.
3. Rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias.
4. Wari, penjenisan yang membedakan satu dengan yang lain, suatu perbuatan yang
selektif menata atau menertibkan.
5. Siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh, mengasingkan,
mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan.19
Tiga bentuk siri’ yaitu siri’ buta (Kerajaan) berupa tanggung jawab negara
atau penguasa untuk menjaga masyarakat Siri keluarga yaitu berkaitan dengan
tatanan hidup berkeluarga dalam kaitan kekeluargaan orang Bugis mengenal kaum
keluarga dalam kesatuan siri’ (masedi siri’) Terakhir siri’ pribadi berkaitan dengan
menjaga harga diri pribadi seseorang.20 Tradisipanai’ termasuk dalam siri’ keluarga,
jumlah uang panaiserta bentuk persembahan lainnya dari keluarga pria sebenarnya
merupakan bentuk penghargaan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya.
Kelima unsur pangadereng tersebut saling berkaitan sebagai kesatuan organis
dalam pikiran dan jiwa masyarakat bugis. Seluruh aspek pangadereng tersebut
19Mattulada, “Sejarah Orang Bugis” (Makassar, 1985. 36). 20Poelinggomang 2014, hal 24
-
memberikan ajaran moralitas yang membentuk prilaku seluruh masyrakat baik yang
bersifat pribadi maupun kelompok.
Pernikahan adat adalah salah satu bentuk budaya lokal yang tumbuh ditengah-
tengah masyarakat. Bentuk budaya lokal ini memiliki perbedaan dan keunikan pada
komunitas masyarakat tertentu. Apabila menelusuri proses pernikahan dikalangan
masyrakat suku Bugis, maka dikenal beberapa jenis pernikahan yaitu sebagai berikut:
Pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (massuro)
Pernikahan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Bugis
yang bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyrakat biasa.
Perbedaanya hanya dari tata pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui
proses yang panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyrakat awam
berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.
Pernikahan silariang (kawin lari)
Pernikahan yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi
kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari dari atau ke rumah penghulu
atau kepala kampong untuk mendapatkan perlindungan dan selanjutnya diurus
untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat Bugis peristiwa silariang (melarikan diri untuk dinikahkan)
adalah perbuatan yang mengakibatkan siri bagi keluarga perempuan. Dahulu
peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut tomasiri selalu
berusaha untuk menegakkan harga diri atausiri dengan cara membunuh laki-laki
yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut
ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau
-
penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota
adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.
Pernikahan yang dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis/ Makassar melarang
pernikahan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki
hubungan darah yang dekat, seperti:
a. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/ nenek)
baik melalui ayah atau ibu.
b. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkan dirinya (anak/
cucu/ cicit) termasuk keturunan anak wanita.
c. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturuan ayah atau ibu
(saudara kandung/ anak dari saudara kandung)
d. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara yang menurunkan
(saudara kandung ayah/ saudara kandung ibu/ saudara kakek atau nenek baik
dari ayah maupun dari ibu.
Dari hal tersebut, berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang
wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas, apabila
hal ini terjadi maka oleh masyarakat Bugis menganggapnya peristiwa
malaweng (perbuatan haram menurut islam)21.
21Taneko, Soleman Biasane. (1981). Dasar-dasar Hukum Adat & Ilmu Hukum Adat. Bandung. Alumni.
-
C. Tahapan-Tahapan Adat Pernikahan Suku Bugis
A’jagang-jagang/Ma’manu-manu : Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon
mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.
A’suro/Massuro : Acara ini merupakan pinangan secara resmi pihak calon mempelai
pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan
beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
Appa’nasa/Patenre : Ada usai acara pinangan, dilakukan appa’nasa/patenre ada
yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan. Selain
penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja.
Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata
sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.
Appanai Leko Lompo (Erang-erang) : Setelah pinangan diterima secara resmi, maka
dilakukan pertunangan yang disebut A’bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki
mengantarkan passio/passiko atau pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai
pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan pasio diiringi dengan
mengantar daun sirih, pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan
waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau
Appa’nassa.
A’barumbung (mappesau) : Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai
wanita.
Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing) : Kegiatan tata upacara ini terdiri dari
appasili bunting, a’bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini
hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan
sebagai pembersihan diri lahir dan batin.
-
A’bu’bu : Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di
depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta
assesories lainnya. Prosesi acara a’bu’bu (maceko) dimulai dengan membersihkan
rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini
dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam
merias pengantin wanita, dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon
mempelai wanita dapat melekat dengan baik.
Appakanre Bunting : Menyuapai calon mempelai dengan makan berupa kue-kue
khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Serikaya, Onde-
onde, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu
wadah besar yang disebut Bosara Lompo.
Akkorontigi : Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita
telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengandekorasi khas Makassar. Acara
akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sacral yang dihadiri oleh seluruh
sanak keluarga (famili) dan undangan.
Assimorong/Menre’kawing : Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi
puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai
pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makassar)
atau Menre’kawing (Bugis).
Appabajikang Bunting : Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai.
Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam
tradisi suku bugis, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat.
Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga
pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian
-
diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai
bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan
sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal
ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai
wanita.
Alleka bunting (maolla) : Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu.
Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota
keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. rombongan ini membawa
beberapa hadiah sebagai balasan untuk mempelai pria. mempelai wanita
membawasarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya, acara ini
disebut Makkasiwiang.
D. Uang Panai Sebagai Gengsi Sosial
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa status sosial calon Mempelai
perempuan menentukan besar kecilnya uang naik. Status sosial ini meliputi jenjang
pendidikan dan pekerjaannya. Selain dari status sosial, indikator besar kecilnya uang
panai bisa dilihat dari kemewahan pesta pernikahan. Kaum elit Bugis Makassar yang
biasanya dari golongan wiraswasta (pebisnis) dan pemangku jabatan tinggi di suatu
instansi, mengadakan resepsi di tiga tempat; rumah mempelai laki-laki, rumah mempelai
perempuan, dan di gedung. Pemilihan gedung sebagai tempat dilangsungkannya resepsi
pernikahan juga bisa dijadikan ukuran kaya tidaknya keluarga yang mengadakan pesta
tersebut. Jika resepsinya di hotel mewah, maka sudah pasti ia orang kaya, dan uang
naiknya tanpa perlu orang lain tahu berapa angka nominalnya, karena sudah tentu besar22.
22Rafael, Fernando. (2012). Gengsi Sosial. Di akses dari. http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/29/gengsi-
sosial-453619.html. 12/01/2014.
-
Uang panai adalah gengsi sosial demi menjaga martabat keluarga karena adanya
pertimbangan akan persepsi orang lain di luar keluarga kedua mempelai. Orang lain di
sini adalah tetangga, teman ayah, teman ibu, dan lain sebagainya. Jika ada pernikahan,
maka yang seringkali jadi buah bibir utama adalah berapa uang naiknya. Bahkan, tidak
jarang ada fenomena yang terjadi seperti ini: uang naik dari pernikahan keluarga A
menjadi patokan sebuah keluarga B jika kelak ada sanak saudaranya yang
melangsungkan pernikahan. Sehingga keluarga B berkata: mereka saja pasang segitu,
jadi kita harus pasang segini. Dari sinilah dapat terlihat jelas bahwa uang panai sangat
dijadikan sebagai momok penting untuk mengangkat citra suatu keluarga dan sebagai
gengsi sosial dalam kehidupan mereka23.
E. Makna dan nilai
1. Pengertian makna
Makna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita smaksudkan. Ullmann
dalam buku Mansoer Pateda “Semantik leksikal” mengatakan, ada hubungan antara
nama dan pengertian; apabila seseorang membayangkan suatu benda ia akan segera
mengatakan benda tersebut24.Makna adalah pertautan yang ada dalam unsur-unsur
bahasa itu sendiri, terutama pada tataran kata-kata. Makna sebagai penghubung
bahasa dengan dunia luar merupakan kesepakatan para pemiliknya sehingga
terkadang sulit dimengerti oleh orang lain.
Blumer mengatakan bahwa makna adalah sebuah produk sosial,yang artinya,
dengan melakukan interaksi dengan individu lainnya, kita akanmendapatkan
kesepahaman dengan individu yang lainnya,sehingga kita dapat memperoleh sebuah
makna dari sebuah simbol tertentu.
23M. Fremaldin, “Fenomena Uang Panaik Dalam Perkawinan Bugis Makassar”, dalam
http://beritadaerah.com/article (16 Januari 2012) 24Mansoer Padeta 2001. Sematik Lexical. Jakarta: Rineka Cipta,(1990 : 45)
http://beritadaerah.com/article%20(16
-
Menurut Patedamakna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud25.
Sedangkan Pradopo mendefinisikan makna adalah tidak semata-mata merujuk
pada arti bahasanya tetapi arti bahasa dari sudut suasana dan perasaan. Dikemukakan
juga oleh Sudarna bahwa ada 3 keberadaan makna, yakni:
1. Makna menjadi isi suatu bentuk kebahasaan.
2. Makna menjadi isi dari kebahasaan.
3. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.
Aspek-aspek maknamengangkat segala sesuatu yang terkandung dalam suatu
makna26. Mengenai aspek makna yaitu sebagai berikut:
a. Pengertian (sense)
Sense berarti hubungan antara bahasa dan dunia kenyataan manusia. Banyak
kata dalam sebuah bahasa maknanya tidak bias diungkapkan secara mendalam
karena suatu kata mempunyai keterbatasan menjelaskan diri sendiri. Kondisi
inilah yang sering melahirkan diskomunikasi antara penerima pesan dengan
pengirim pesan.
b. Nilai Rasa (feeling)
Berbahasa pada dasarnya berhubungan dengan perasaan. Artinya, pada saat
kita mengucapkan kata-kata mempunyai nilai rasa bagi orang yang menangkap
pesan itu. Hal ini tergantung dari pembicara dan pendengar dan kata-kata uang
diujarkan.
c. Nada (tone)
Nada dalam bahasa dapat bermakna sikap/ tinggi rendahnya suara dalam
menyampaikan informasi. Aspek makna jenis ini lebih banyak dinyatakan oleh
25Mansoer Padeta 2001. Sematik Lexical. Jakarta: Rineka Cipta. 26Mansoer Padeta 2001. Sematik Lexical. Jakarta: Rineka Cipta,(1990 : 50-53)
-
hubungan antara pembicara dengan pendengar, antara penulis dengan pembaca.
Hubungan tersebut menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang
digunakan sehingga muncullah yang disebut nilai rasa.
d. Maksud (intention)
Aspek makna tersebut merupakan maksud senang/ tidak senang/ efek usaha
keras yang dilaksanakanBiasanya ketika menyatakan sesuatu ada maksud yang
diinginkan.
2. Pengertian nilai
Nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangatberarti bagi
kehidupan manusia27,khususnya mengenai kebaikan dan tindak kebaikan suatu hal,
Nilai artinya sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan28.
Nilai adalah sesuatu yang bersifatabstrak, ideal, nilai bukan benda konkrit,
bukan fakta, tidakhanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian
empirik, melainkan sosialpenghayatan yang dikehendaki, disenangi, dan tidak
disenangi29.
Adapun pengertian nilai menurut pendapat beberapa para ahli antara lain:
a. Menurut Milton Rekeach dan James Bank, nilai adalah suatu tipe kepercayaan
yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan au menghindari suatu
tindakan, atau memiliki dan dipercayai30.
b. Menurut Lauis D. Kattsof yang dikutip Syamsul Maarif mengartikan nilai
sebagai berikut: Pertama, nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami cara langsung kualitas
27M. Chabib Thoha,Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. 1, h. 61 28W.J.S. Purwadaminta, Kamus Umum bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 1999), h. 677 29Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), h. 98 30H. Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai, (Jakarta: P3G Depdikbud, 1980), h. 1
-
yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-mata
subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti terletak pada esensi objek itu.
Kedua, nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada
dalam kenyataan maupun pikiran. Ketiga, nilai sebagai hasil dari pemberian nilai,
nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan31.
c. Menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yangmelekat pada sesuatu (Sistem
kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia
yang meyakini). Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi
manusia sebagai acuan tingkah laku.Dari pendapat para ahli diatasdapat
disimpulkan bahwa nilai merupakan esensi yang melekat padasesuatu yang
sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan
oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang
membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat32.
Nilai Pernikahan tidak hanya menjadi aktivitas sosial saja tetapi juga memiliki
nilai-nilai sakral. Penikahan merupakan ikatan sosial atau ikatan perjanjian
hukum antarpribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang
merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan
pribadi-bisaanya intim dan seksual.
31Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 114
32M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam...,h. 61
-
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif dengan data
kualitatif. Penulis menggunakan metode diskriptif dengan data kualitatif karena penelitian
dilakukan dengan pendekatan terhadap objek kajian yang diteliti. Dengan metode penelitian
ini supaya mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik. Metode dalam penelitian ini juga
sesuai dengan masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, juga memberi kemudahan
bagi peneliti dalam menjalankan proses penelitian yang akan dijalankan dilapangan33.
Hardiansyah mengemukakan metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk
memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan. Didalam yang dilakukan
dikenal adanya beberapa macam teori untuk menerapkan salah satu metode yang relevan
terhadap permasalahan tertentu, mengingat bahwa tidak setiap permasalahan yang
dikaitkan dengan kemampuan si peneliti.
Menurut Peshkin, metode diskriptif dalam penelitian kualitatif adalah suatu penelitian
yang dapat menerangkan, membuat interpretasi, menilai, mengesahkan dan melakukan
perpaduan atau pengintegrasian ilmu tentang dunia dan apa yang berlaku di dalamnya34.
Menurut Sudarwan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang banyak berada di
lapangan, peneliti kebanyakan berurusan dengan fenomena atau gejala sosial. Fenomena itu
perlu di dekati oleh peneliti dengan terlibat langsung pada situasi real, tidak cukup meminta
bantuan orang atau sebatas mendengar penuturan secara jarak jauh. Penelitian ini pada
dasarnya dengan partisipasi langsung kepada objek yang di teliti, sesuai dengan pendekatan
33Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif), (Surabaya:
Airlangga University Press, Cet. I, 2001), 138 34Ibid 140
-
etnografi. Penelitian etnografi (budaya) merupakan metode penelitian yang banyak dilakukan
dalam bidang antropologi terutama yang berhubungan dengan setting budaya masyarakat
dalam bentuk cara berprilaku, cara hidup, adat berprilaku sosial Variabel Dan Desain
Penelitian35
1. Variabel Penelitian
Variable dalam penelitian ini menggunakan variable tunggal yaitu Makna Dan Nilai
Tradisi Uang Panai Dalam Pernikan Suku Bugis, Study Kasus Kecamatan Sadu
Kabuaten tanjung jabung timur’’.
2. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk deskriptif, kualitatif, yaitu mengungkapkan/
mendekskripsikan objek penelitian, yaitu makna simbolik dalam ‘‘tradisi uang panai”
pada prosesi perkawinan adat bugis di daerah Kecamatan Sadu
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini bertempat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur kususnya di
Kecamatan Sadu.
B. Definisi Operasional Variabel
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terarah tentang variable yang diteliti,
maka perlu diadakan pembatasan variabel. Makna dan Nilai tradisi uang panai dalam
pernikahan suku Bugis, adalah mengunkap segala makna yang berupa simbol dalam
aktifitas uang panai tersebut.
35Koentjaraningrat. (1995). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ( hal 19 -20)
-
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data adalah segala keterangan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
penelitian. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data lisan yang diperoleh
dari informan, yaitu tokoh adat dan penghulu yang ada di Kecamatan Sadu.
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari data yang diperoleh. Sumber
data yang dimaksud disini adalah para informan. Penentuan informan menggunakan
teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk
mendapatkan informan selanjutnya sampai mendapatkan data jenuh.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu:
a. Data primer
Sumber data primer adalah data yang langsung diperoleh dari subyek penelitian
(responden) yaitu masyarakat suku Bugis Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung
Jabung Timur yang masih menjalankan adat tersebut yaitu para tokoh adat atau
orang yang dituakan.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan
cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur,
artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang
dilakukan36.
36Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,Bandung: Alfabeta, 2009, Cet. Ke 8, h. 137.
-
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, yakni:
a. Wawancara/ Interview
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
responden atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman
wawancara37.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan bertemu langsung atau
menggunakan alat komunikasi via telpon dengan menjadikan tokoh masyarakat
Kecamatan Sadu Sebagai key informan, karena dianggap telah mewakili masyarakat
setempat serta mengingat kemampuan peneliti dilihat dari efisiensi waktu yang
relatif singkat dan tempat penelitian yang jauh. Adapun key informan tersebut
diantaranya Hasnah,Masrial,Bassiran dan Yhuli Haryati sebagai to matoa (orang
yang di tuakan).
b. Pengamatan/ Observasi
Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Observasi
dilakukan di Kecamatan Sadu Kabupeten Tanjung Jabung Timur. Objek observasi
yang dilakaukan adalah perihal pelaksanaan pemberian uang panai dalam
perkawinan adat suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
c. Dokumentasi
37Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif), (Surabaya:
Airlangga University Press, Cet. I, 2001), 133
-
Dokumentasi yaitu cara pengalisaan terhadap fakta-fakta yang secara logis
dari dokumen tertulis maupun tidak tertulis yang mengandung pentunjuk-petunjuk
tertentu.38
E. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah analisis data. Dalam
penelitian ini penulis menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis
deskriptif yaitu suatu analisis yang bertujuan untuk memberi deskripsi mengenai keadaan
atau fenomena secara mendalam dari semua aspek.
Metode analisis ini bertujuan mengetahui deskripsi perihal pemberian uang panai
dalam pernikahan adat suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Timur yang
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan hukum Islam. Kemudian data tersebut diuji
dengan ketentuan yang ada dan yang sesuai dengan hukum Islam dengan pola pikir
deduktif. Hasil penelitian dan pengujian tersebut disimpulkan dalam bentuk deskripsi
sebagai hasil pemecahan permasalahan yang ada sesuai dengan rumusan masalah yang
telah dibatasi dalam penelitian ini.
38Dudung Abdurrahman,Pengantar Metode Penelitian, (Yokyakarta,GajaMadya University Press, 2003), hal 35
-
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tradisi Uang Panai Suku Bugis
Dalam adat pernikahan masyarakat Bugis memiliki tradisi yang paling kompleks dan
melibatkan banyak emosi. Bagaimana tidak, mulai dari ritual lamaran hingga selesai
resepsi pernikahan akan melibatkan seluruh keluarga yang berkaitan dengan kedua
pasangan calon mempelai.
Salah satu tradisi tersebut adalah adanya kewajiban memberikan dui’menre/uang
panaidari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat terlaksananya
pernikahan.Uang panai/dui’menreadalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon
mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang nantinya akan digunakan
untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya”39. Uang
panaiini tidak terhitung sebagai mahar pernikahan, melainkan kedudukannya sebagai
uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang telah disepakati oleh keluarga kedua
belah pihak dan menjadi penentu berlanjutnya rencana perkawinan ke tahap selanjutnya.40
Proses Negosiasi dalam Budaya Panai.41meggambarkan dialog antara A, to madduta
(orang yang membawa lamaran) dengan B, to riaddutai (orang yang menerima lamaran)
seperti
berikut:
A. Iyaro bunga puteta-tepu tabbaka toni,engkanaga sappona?
(Bunga putih yang sedang mekar apakah sudah memiliki pagar?)
39Wawancara bapak Bassiran, Kecamatan Sadu, 22 Februari, 2017 40H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA kecamatan sadu, 24 Juli 2017 41 Survai lansung, 10 agustus 2017
-
B. De’ga pasa ri kampotta, balanca ri liputta mulinco mabela? (apakah tidak ada
pasar di kampung anda, jualan ditempat anda sehingga anda pergi jauh?)
A. Engka pasa ri kampokku, balanca rilipukku, nekiya nyawami kusappa(ada pasar
di kampungku, jualan di tempatku, tetapi yang kucari adalah ahti yang suci/budi
pekerti yang baik)
B. Iganaro maelo ri bunga puteku?, temmakkedaung, temmakkecolli’ (siapakah yang
berminat terhadap bunga putihku?, tidak berdaun, tidak pula berpucuk)
Tahap Mammanu’manu’.Tahap ini merupakan tahapan paling awal dari rencana
pernikahan orang tua bermaksud mencari jodoh untuk anak laki-lakinya yang dianggap
sudah dewasa dan siap menikah
dulu orang tua yang menentukan calon gadis yang akan dilamar Sekarang sebagian besar
orang tua sudah mempertimbangkan pergaulan keseharian anaknya dalam arti apabila
anak sudah membina hubungan dengan seorang gadis, hal ini ikut dijadikan
pertimbangan oleh orang tu
Informan menyebut tahap ini sebagai manu’-manu’ seperti kebiasaan burung yang
terbang ke berbagai arah untuk menetapkan pilihan tempat tinggal Setelah menemukan
seorang gadis yang akan dilamar, langkah ini dilanjutkan dengan mappese’pese’
(menyelidiki).42
Tahap Mappese’pese’Tahap ini sering dianggap sebagai tahap awal dari prosesi lamaran.
Informan menggambarkan proses awal lamaran dimulai dari adanya pihak atau utusan
yang mencari informasi tentang calon wanita, seperti apakah sudah ada yang melamar?
dan kisaran besaran uang panai yang biasa diterima oleh keluarga gadis tersebut beliau
menyampaikan keluarga kakak, kisarannya antara 30-100 juta, di lamaran terakhir 80 juta,
42Wawancara bapak Haji, kecamatan Sadu 26 agustus 2017
-
itu hanya untuk uang panaisaja, belum yang lain43, hal ini dilakukan untuk menghindari
malu, apabila lamaran resmi dilakukan dan ternyata keluarga calon mempelai laki-laki
tidak mampu memenuhi permintaan keluarga wanita utusan ini biasa dipanggil to duta,
panggilan lain untuk utusan di situs penelitian adalah mak comblang, duta biasanya
berasal dari keluarga dekat laki-laki untuk melihat keadaan gadis tersebut setelah
memenuhi persyaratan yang diinginkan pihak laki-laki, maka dibuatlah kesepakatan
untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu meminang (massuro)
Tahap Massuropada tahap ini utusan pihak laki-laki mulai membicarakan secara
serius tentang kesepakatan lamaran duta pada tahap ini bisa sama atau berbeda dengan
tahap sebelumnya duta pada tahap ini biasanya dipilih orang yang disegani dari pihak
keluarga laki-laki proses pada tahapan ini bisa terjadi berulang-ulang, karena duta harus
mengkomunikasikan hasil pembicaraan dengan keluarga perempuan ke keluarga laki-laki
dan begitu pula sebaliknya sampai ditemukan kesepakatan terkadang keluarga perempuan
juga menelusuri tentang asal usul laki-laki yang sering disebut sebagai mattutung lampe.
tahap ini hanya dilakukan apabila calon mempelai laki-laki bukan berasal dari keluarga
dekat penentuan hari dan teknis acara lamaran dibicarakan pada tahap ini pihak keluarga
wanita juga menyampaikan permintaan terkait uang panaibarang-barang antaran dan
sompa ke duta kesepakatan sementara tentang mahar dan lainnya termasuk penerimaan
pinangan biasanya telah diambil pada tahap ini alaupun kesepakatan ini bisa berubah pada
tahap berikutnya ketelah terjadi kesepakatan sementara maka dilanjutkan dengan acara
mappettu ada (memutuskan segala keperluan pernikahan).
Tahap mappettu ada, tahap ini menjadi tahap resmi lamaran dalam proses lamaran
resmi biasanya orang tua dari pihak laki-laki tidak datang, bahkan bisa juga tidak hadir
pada acara pernikahan orang tua pihak wanita jika mau hadir hanya duduk saja tanpa hak
43 Ibid’
-
bicara, Rianti menggambarkan tabu apabila orang tua ikut bicara dalam proses lamaran
orang kepercayaan dari keluarga besar yang akan bicara dalam acara resmi sekaligus
memutuskan terkadang beberapa kesepakatan awal melalui duta bisa saja berubah pada
acara resmi ini Pemegang kendali di sini bukanlah orang tua atau calon pengantin tetapi
keluarga besar hal ini menjadi cerminan dari sistem komunal masyarakat Bugis44. Proses
negosiasi kedua belah pihak ini seringkali berjalan cukup alot, hal ini digambarkan oleh
istri Bapak Haji:
Saat acara Mappettu Ada (berunding) adik S dulu, penentuan uang nai’ rame tu Istri S
masih keturunan bangsawan uang panai yang diminta besar pihak keluarga laki -laki
awalnya merasa berat Perempuannya tidak ada di Jambi Kemudian dia menelepon si laki-
laki karena sudah saling mencintai si laki-laki tetap memenuhi keinginan dari pihak
perempuan.45
Fenomena jumlah pemberian uang panaiyang tinggi sehingga menghasilkan sebuah
pesta perkawinan yang mewah sebenarnya hanya berlaku bagi keluarga kerajaan atau
golongan bangsawan, namun sekarang mengalami pergseran dan mulai dipraktekkan
masyarakat umum suku Bugis. Dalam hukum Islam memang tidak ada kewajiban
memberikan uang panai/dui’menre, pemberian wajib ketika akan melangsungkan sebuah
perkawinan dalam dalam hukum Islam hanyalah mahar sebagai bukti cinta kasih suami
kepada istrinya. Sedangkan pemberian wajib uang panai/dui’ menre adalah tradisi adat
Bugis saja.
Pemberian Uang panai/dui’ menre pada masyarakat BugisKecamatan
Sadumerupakan salah satu tahap dalam tradisi pernikahanBugis yaitu pada tahap
mappettu ada (lamaran). Dimana pihak laki-laki berkunjung ke tempat pihak perempuan
44Wawancara Ibu Rianti, Sungai Jambat, Kecamatan Sadu 26 agustus 2017
45Wawancara istri Bapak Haji, Kecamatan Sadu, 26 agustus 2017
-
untuk membicarakan waktu pernikahan, jumlah mas kawin, dan mendengar serta
melakukan penawaran atas permintaan uang panai/dui’ menre yang disampaikan
langsung oleh pihak perempuan. Apabila lamaran telah diterima maka tahap selanjutnya
adalah penentuan jumlahuang panai/dui’ menre yang ditentukan terlebih dahulu oleh
pihak perempuan yang dilamar. Terkadang terjadi proses tawar menawar sehingga
mencapai kesepakatan yang di inginkan, dan jika pihak laki-laki menyanggupi maka
tahap pernikahan selanjutnya bisa segera dilangsungkan.46
Penentuan nominal uang panai/dui’ menre bagi wanita Bugis beragam tergantung dari
silsilah keluarga, status sosial, pendidikan, pekerjaan, umur dan lain-lain. Dapat dilihat
apabila wanita tersebut keturunan bangsawan atau pendidikan dan pekerjaannya mapan,
maka terkadang uang panai/dui’ menre yang harus disiapkan calon mempelai laki-laki
juga harus tinggi, pengaruh penentuan jumlah uang panai/dui’ menre juga menjadi suatu
cara untuk dapat mengangkat status sosial dalam masyarakat.
Bagi pihak keluarga perempuan dapat mematok jumlah uang panai/dui’ menre yang
tinggi adalah suatu kehormatan tersendiri. Kehormatan yang dimaksudkan disini adalah
rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada perempuan
yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya
melalui uang panai/dui’ menre tersebut. Selain itu penentuan jumlah uang panai/dui’
menre juga merupakan penolakan lamaran secara halus sehingga tidak jadi untuk
melamar, dalam hukum adat hal ini disebut perbuatan pura-pura,bagi pria lokal atau yang
juga berasal dari suku Bugis, memenuhi jumlah uang panai/dui’ menre juga dapat
dipandang sebagai praktik budaya siri’, jadi perempuan yang benar-benar dicintainya
dapat dijadikan sebagai motivasi yang sangat besar untuk memenuhi jumlah dui’ menre
yang disyaratkan. Motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam
46H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, 24 Juli 2017
-
diri manusia dalam hal ini untuk memenuhi jumlah dui’ menre, yang akan kemudian
mempengaruhi cara bertindak sesorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan
berpengaruh terhadap kinerjanya selama bekerja. Contohnya saat laki-laki tersebut tidak
mampu memenuhi permintaan dui’ menre, umumnya untuk menebus rasa malu seorang
laki-laki pergi merantau untuk bekerja dan menghasilkan uang dan kembali ke kampong
halaman dengan tujuan untuk memenuhi dui’ menre yang telah disyaratkan sebelumnya.47
Yang menjadi tolok ukur tingginya jumlah dui’ menre adalah sebagai berikut:
1. Ekonomi. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak perempuan
yang berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi mapan maka jumlah dui’ menre
yang diminta pun bisa sangat tinggi.
2. Pendidikan dan pekerjaan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun
pihak perempuan memiliki pekerjaan misalnya seorang dokter atau memiliki gelar S1
atau S2 maka permintaan dui’ menre juga tinggi.
3. Keturunan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak
perempuan yang berasal dari keturunan bangswan maka permintaan dui’ menre juga
tinggi.
4. Strata sosial. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak
perempuan memiliki strata sosial yang tinggi dalam masyarakat seperti Lurah, Camat,
dan lain-lain maka hal tersebut akan berpengaruh pada tingginya jumlah dui’ menre
yang diminta pihak perempuan kepada pihak laki-laki.
5. Umur. Jika calon mempelai perempuan masih gadis, maka jumlah
dui’ menre yang diminta pun bisa sangat tinggi.
47Ngerinya Uang Panai’ Untuk Melamar Wanita BugisMakassar,https://fridayaniabdulkarim.wordpress.com ,
diakses tanggal 29 Juli 2016, pukul 19.55 Wita
-
6. Kondisi fisik. Jika calon mempelai perempuan memiliki paras yang cantik, kulit putih,
maka jumlah dui’ menre yang diminta pun bisa sangat tinggi.
Adapun penyebab tingginya jumlah uang panai tersebut disebabkan karena
beberapa faktor diantaranya:
a. Status ekonomi keluarga calon istri.
Semakin kaya wanita yang akan dinikahi, maka semakin tinggi pula uang
panai yang harus diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri, dan
begitupun sebaliknya, jika calon istri tersebut hanya dari keluarga petani yang pada
umumnya kelas ekonomi menengah kebawah maka jumlah uang panai yang
dipatok relatif kecil48.
b. Perbedaan antara Janda dan Perawan
Adapun status antara janda dan perawan tidak luput dijadikan sebagai tolak ukur
tingginya uang panai dalam perkawinan Bugis Makassar. Di kelurahan ini bagi
perempuan yang janda dan perawan memang terdapat perbedaan dalam penentuan
uang panai. Biasanya perawan lebih banyak diberikan uang panai dari pada janda,
namun tidak menutup kemungkinan bisa juga janda yang lebih banyak diberikan
jika status sosialnya memang tergolong bagus. Hal ini disebabkan tidak lain dan
tidak bukan karena adanya pengaruh adat yang masih sangat kuat dan sudah
menjadi kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat49.
Itulah beberapa faktor penyebab tingginya uang panai dalam pernikahan adat
Bugis Makassar. Menurut Dahlia, informan berumur kurang lebih 45 tahun asal
Makassar yang bertempat tinggal di kecamatan sadu yang saya temui berkata, saat
ini nominal uang naik yang termasuk rata-rata (standar) berkisar antara 25, 30, 50
48Hasnah, Wawancara, 22 februari 2017 49Ibid
-
juta rupiah, bahkan untuk golongan dan kondisi tertentu bisa mencapai ratusan juta
rupiah.50Penghormatan yang dimaksudakan disini adalah rasa penghargaan yang
diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya
dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai
tersebut51
Umumnya, masyarakat Bugis beranggapan bahwa uang serahanyang diterima pihak
pengantin perempuan sebagai uang belanja akandigunakan untuk acara resepsi yang
mereka selenggerakan sekaitandengan kedatangan mempelai laki-laki. Tidak jarang
merekamembelanjakan jauh lebih banyak, sehingga tambahan uang dari tamuresepsi
(jumlahnya sedikit lebih kecil ketimbang uang belanja) tidak dapatmenutupi biaya
keseluruhan. Ketika penyelenggara pihak mempelai lakilakimenggelar resepsi yang
terpisah yang merupakan rangkaiankunjungan balasan kepengantin laki-laki, mereka
mengundang sejumlahtamu yang kisarannya sama dengan jumlah undangan yang disebar
pihakmempelai perempuan. Dengan demikian jumlah uang belanja menjadipenentu bagi
terselenggaranya pesta yang mencolok dan besarnyajumlah tamu yang hadir di kedua
belah pihak. Sementara penyelenggaradari pihak laki-laki, yang umumnya hanya bisa
menutupi tidak lebih darisetengah total biaya resepsi, telah mulai menyiapkan uang
belanja danbiaya resepsi jauh sebelumnya. Dui’ menre, dengan demikian,
menjadipenanda status yang boros, bersifat pamer, dan agresif.Pihak keluarga (saudara
ayah atau ibu), memiliki pengaruh yangcukup penting dalam pengambilan keputusan
mengenai besarnya uang panai/dui’menre dan mahar. Terkadang ibu-ibu di lingkungan
sekitar juga turut adildalam penentuan jumlah dui’ menre tersebut. Alasanya karena ibu-
50Wawancara Ibu Dahlia, Kecamatan Sadu, 24 agustus 2017
51Nasrah, wawancara, kec Sadu, 25 februari 2017
-
ibu lahyang banyak mengetahui harga bahan makanan ataupun peralatanlainnya di
pasar. 52 Tidak jarang, banyak lamaran yang akhirnya tidakditeruskan, karena tidak
bertemunya keinginan dua pihak. Ironisnyabersumber dari keluarga ayah atau ibu.Uang
panai/dui’ menre memang menjadi gengsi sosial demi menjaga martabatkeluarga karena
dengan adanya pertimbangan persepsi orang lain di luarkeluarga kedua mempelai. Jika
ada perkawinan, maka yang seringkali jadibuah bibir utama adalah berapa dui’ menre nya.
Dari sinilah dapat terlihatjelas bahwa uang panaik sangat dijadikan momok penting
untukmengangkat citra suatu keluarga dan sebagai gengsi dalam kehidupanmereka.53
Salah satu contoh gengsi sosial yang terjadi di lingkunganmasyarakat bugis yaitu jika
suatu keluarga pernah melaksanakan pestaperkawinan yang megah karena memang
sanggup melaksanakannya,kemudian tetangganya ingin mengadakan pesta yang mewah
juga akantetapi standar rumah dan penghasilan berbeda. Sehingga keluargatersebut
memaksakan kehendaknya untuk memenuhi keinginannyamelaksanakan pesta yang
mewah.
Istilah bugis yang menyangkut soal gengsi adalah “namu metti,yaku pura toni
redeh”(artinya walaupun kering(habis), yang pentingpernah masak). Maksud dari istilah
tersebut adalah walaupun habishabisanmembiayai pesta perkawinan yang megah padahal
hasil utangsana-sini asalkan sudah diperlihatkan54.
Adapun dampak hukum jika pihak laki-laki tidak mampumenyanggupi jumlah uang
panai/dui’ menre yang telah ditargetkan, maka secaraotomatis perkawinan akan batal dan
pada umumnya implikasi yangmuncul adalah pihak laki-laki dan perempuan mendapat
cibiran atauhinaan di kalangan masyarakat setempat, dan biasanya hubungan antarkedua
52Ahmad Ridha, S.Ag, wawancara, Kepala KUA Kecamatan sadu, 27 Juli 2017 53Ibid 54Ahmad Ridha, S.Ag, wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 27 Juli
2016
-
keluarga bisa renggang. Selain itu banyak laki-laki yang engganmenikah karena
banyaknya tuntutan yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki demi sebuah perkawinan.
Tidak sedikit perempuan yang tidak kawindan menjadi perawan tua. Bahkan bisa fatal
bagi laki-laki jika tidak mampumenyanggupi jumlah dui’ menre dan sudah saling
mencintai tapi tetapingin bersama sehingga menghalalkan berbagai cara. Diantaranya
lakilakitersebut berhutang demi mendapatkan uang yang disyaratkan pihakperempuan.
Adapula yang bahkan menghamili perempuan yang ingindinikahinya. Sehingga uang
panai/dui’ menre tidak begitu dipermasalahkan.Terkadang juga sepasang laki-laki dan
perempuan tersebut melakukankawin lari atau dalam istilah Bugis disebut silariang.
Selain karena laki-lakitidak bisa menyanggupi tingginya jumlah uang panai/dui’ menre
yang telah dipatokpihak keluarga perempuan sehingga perkawinannya batal, biasanya
factor lain adalah karena strata sosial laki-laki rendah disbanding strata social pihak
keluarga perempuan yang keturunan bangsawan.
Selain itu adapuladampak positif dari tingginya jumlah uang panai/dui’ menre yaitu
tingginya jumlah uang panai/dui’menre yang telah dipatok pihak perempuan dapat
menjadi tindakanpreventif agar pasangan suami istri kedepannya berpikir untuk
tidakberpisah.55interpretasi yang muncul dalam pemahaman sebagianorang bugis tentang
pemberian dari pihak laki-laki kepada pihakperempuan yang termasuk pembiayaan dalam
perkawinan masih kurang.
Dalam adat perkawinan Bugis khususnya di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, terdapat beberapa istilah pemberian yaitudiantaranya adalah sompa, dui’
menre, erang-erang, bosara (berisi kuekuetradisional), walasoji (berisi buah-buahan),
tellu lima suku/kalisunreng(3 buah ringgit perak), passio’ pattenre (cincin pengikat).
55H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur 27
Juli 2016
-
Informan Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta daripihak laki-
laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnyapernikahan menurut ajaran Islam.
Bentuk sompa ini beragam, diKabupaten Tanjung Jabung Timur, selain uang dan emas,
biasanya juga sompanyaberupa tanah, rumah, dan pohon kelapa(tidak termasuktanah,
hanya pohon beserta buahnya).Sompa berupa tanah umumnya dijumpai pada
golonganbangsawan, yang merupakan kebiasaan yang telah dipertahankan
dalamperkawinan adat Bugis pada umumnya. Hal ini sekaligus melambangkantanda
kebesaran suatu kerabat dan tingkat sosial seseorang dalam hal inimenyangkut
perkawinan adat Bugis. Sedangakan uang panai/dui’ menre adalah uangantaran yang
harus diserahkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihakkeluarga perempuan untuk
membiayai prosesi pesta perkawinan.56Adapun bosara dan walasoji adalah sajian-sajian
berupa kue-kuetradisional dan buah-buahan yang di berikan kepada pihak
keluargaperempuan dari pihak keluarga laki-laki. Kue-kue tradisioanl dan buah-buahanini
tidak hanya sekedar makanan, tapi mengandung maknatersendiri yang berupa doa-doa
yang baik untuk kedua mempelaikedepannya. Serta kalisunreng dan passio’ pattenre
adalah perhiasanyang juga memiliki makna yang terkandung di dalamnya.57
Di balik itu semua bukan sekedar ritual belaka, bukan sekederanpemberian saja, akan
tetapi ada makna yang terkandung sebelum masukke jenjang perkawinan. Nilai ritualnya
mengandung nilai filosofis yangterkait pembelajaran.
56Hj. Andi Murni, wawancara, tokoh Adat,Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjug Tajung Timur, 25 Juli 2017 57Ahmad Ridha, S.Ag, wawancara, KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 27 Juli 2017
-
B. PandanganIslam Tentang Pelaksanaan Uang panai dalam PerkawinanAdat Bugis
Di sulawesi selatan, adat yang pertama kali menyentuh masyarakatnya. Islam
kemudian masuk setelah tahun 1609. Sehingga adat yang mendominasi masyarakat
Bugis tapi Islam juga tetap berjalan. Islam datang tidak hampa budaya. Islam seperti
saringan, yang halus tetap jalan sedangkan yang kasar tersangkut. Artinya, tradisi yang
bagus dalam adat tetap dilanjutkan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Islam yang
diwajibkan adalah mahar sedangkandui’ menre dalam Islam tidak diwajibkan. Dalam
adat Bugis, dui’ menre harus ada akan tetapi tidak perlu di berikan ketentuan, yang
penting sitinajae.58
Dalam Hukum Perkawinan Islam bukan merupakan salah satu rukun maupun syarat.
Masalah ini lebih menarik lagi karena sebagian besar masyarakat setempat adalah
beragama Islam. Pemberian uang panai ini sudah menjadi adat kebiasaan yang turun
temurun dan tidak bisa ditinggalkan karena mereka telah menganggap bahwa uang panai
merupakan suatu kewajiban dalam perkawinan.
Sitinajae adalah istilah dalam masyarakat Bugis yang artinya sesuai atau sewajarnya.
Dalam hal penentuan jumlah dui’ menre, harus sesuai dengan kemampuan dan
kesanggupan dan tidak dipaksakan,sitinajae, pelaksanaan pemberian uang panai/dui’
menre walaupun tidak tercantum dalam hukum Islam, hal ini tidak bertentangan dengan
Syari’at dan tidak merusak akidah karena salah satu fungsi dari pemberian dui’ menre
adalah sebagai hadiah bagi mempelai perempuan untuk bekal kehidupannya kelak dalam
menghadapi bahtera rumah tangga dan ini merupakan maslahat baik bagi pihak
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
58H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,
24Juli 2017
-
Adat seperti ini sering disebut dengan urf sahih yaitu adat yang baik, sudah benar
dan bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.Mahar dan uang panai/dui’ menre
dalam perkawinan adat Bugis adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena
dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban dan
harus dipenuhi. Akan tetapi uang panai/dui’ menre lebih mendapatkan perhatian dan
dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannyaproses
pernikahan 59 . Sehingga jumlah uang panai/dui’ menre yang ditentukan oleh pihak
keluarga perempuan biasanya lenih banyak daripada jumlah mahar yang diminta.
Idelanya dalam Islam dui’ menre itu jangan ditentukan jumlahnya apalagi sampai
jumlahnya tinggi, yang penting ada dan sesuai kemampuan laki-laki. Sedangkan yang
perlu jumlahnya tinggi adalahsompa. Karena sompa adalah hak milik istri yang akan
digunakan kedepannya sedangkan dui’ menre akan habis terpakai untuk membiayai pesta
pernikahan, sehingga akan lebih baik apabila jumlah dui’ menre sama dengan jumlah
sompa atau jumlah sompa lebih tinggi daripada jumlah uang panai/dui’
menre.60Walaupun kenyataannya sekarang terbalik, justru uang panai/dui’ menre yang
tinggi sementara sompa nya rendah, uang panai/Dui’ menre bisa mencapai ratusan juta
rupiah karena dipengaruhi beberap faktor, justru sebaliknya mahar atau sompa yang tidak
terlalu dipermasalahkan jumlah nominalnya diserahkan kepada kerelaan suami.
Mengenai masalah tersebut di atas dalam sebuah hadist Rasul bersabda yang maknanya
bahwa perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya.
melihat dari makna hadist tersebut maka jelaslah sangat tidak etis jika uang panai/dui’
menre yang diberikan oleh calon mempelai laki-laki lebih banyak daripada jumlahsompa.
59H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,
24Juli 2017 60Hj. Andi Murni, wawancara, tokoh Adat, Kecamatan Sadu, 25 Juli 2017
-
Hadist tersebut menganjurkan kepada perempuan agar meringankan pihak laki-laki untuk
menunaikan kewajibannya membayar mahar apalagi uang panai/dui’ menre yang sama