Download - MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BARU.docx
MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PENGKLAIMAN BUDAYA INDONESIA OLEH
MALAYSIA DAN MASALAH PROSRITUSI DI
INDONESIA(KELOMPOK 8)
Disusun oleh:
Noviana Putri Lestari 7211412113
Laeli Zuhriyah 7211412117
Dewi Astutik 7211412119
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian,
moral, hukum, adat-istiadat & semua kemampuan/kebiasaan lain yang diperoleh
seseorang sebagai anggota masyarakat.(Sir Edward Tylor).
Namun seiring dengan berjalannya waktu dan teknologi semakin canggih, rasa tanggung
jawab sudah pudar terhadap budaya. Masyarakat tidak lagi peduli dengan budayanya. Hal
ini disebabkan semakin gencarnya media elektronik , khususnya TV yang selalu
menayangkan kebudayaan luar, hal ini dengan mudahnya merusak pikiran pola pikir
masyarakat khususnya para generasi muda.Mereka cenderung melupakan kebudayaan
sendiri dan beralih ke budaya luar.
Faktanya, sekarang ini identitas budaya Indonesia sudah mulai memudar karena arus
global. Sehingga kondisi yang mengkhawatirkan ini perlu segera diselamatkan. Hal ini
semakin diperparah dengan diakuinya budaya Indonesia oleh bangsa lain. Salah satu
contohnya adalah diakuinya lagu daerah yang bersal dari Maluku,”Rasa Sayang-
sayange,” serta “Reog Ponorogo” dari Jawa Timur oleh Malaysia. Hal ini disebabkan oleh
kurang pedulinya bangsa Indonesia terhadap budayanya. Namun ketika kebudayaan itu di
akui oleh bangsa lain, Indonesia mulai bingung. Berita terbaru menyebutkan bahwa
kesenian “Angklung” dari Jabar juga mau dipatenkan oleh Negara tersebut.
Tidak hanya masalah budaya yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Indonesia saat
ini juga tengah menghadapi berbagai masalah sosial. Salah satunya adalah masalah
prostitusi atau pelacuran. Mengatasi masalah prostitusi bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya kesamaan pendapat yang dapat
digunkan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku
prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir
demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan), yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan
ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga
prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu
keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai
keadaan hidup.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka terdapat beberapa maslah
yang dapat dirumuskan, antara lain :
a. Mengapa budaya Indonesia banyak yang diklaim oleh Malaysia?
b. Apa alasan Malaysia mengklaim budaya Indonesia sebagai budayanya?
c. Bagaimana solusi agar budaya Indonesia tidak diklaim oleh negara?
d. Mengapa masalah prostitusi sulit untuk diatasi?
e. Bagaimana mengatasi masalah prostitusi di Indonesia?
3. Tujuan
Ada beberapa tujuan dari penyusunan makalah ini, antara lain :
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah umum Pendidikan Kewarganegaraan.
b. Mengetahui lebih dalam mengenai budaya-budaya Indonesia yang diklaim
oleh negara tetangga, Malaysia.
c. Mempelajari lebih dalam budaya-budaya asli Indonesia agar budaya tersebut
tidak diklaim oleh negara lain dan agar budaya tersebut tetap lestari.
d. Mengetahui masalah sosial yang sedang dihadapi Indonesia, salah satunya
masalah prostitusi.
e. Mengerti serta memahami seluk beluk masalah prostitusi sehingga dapat
menemukan solusi yang tepat untuk masalah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGKLAIMAN BUDAYA INDONESIA OLEH MALAYSIA
1. Fenomena Pengklaiman Budaya Indonesia oleh Malaysia
Malaysia kian hari kian rajin mengklaim kebudayaan yang bukan miliknya.
Rasa Sayange yang nyata-nyata merupakan lagu daerah asal Maluku, kemudian yang
menghebohkan Reog Ponorogo yang telah dipentaskan dalam pentas kebudayaan
bertaraf internasional dan telah mendongkrak popukaritasnya di mata dunia sebagai
negara yang mampu melestarikan dan mengeksplorasi “budayanya”, menyusul lagu-
lagu daerah seperti Soleram, Injit-injit Semut, Anak Kambing Saya, tak ketinggalan
tari-tarian seperti Tari Piring, Tari Kuda Lumping, serta yang paling baru adalah Tari
Pendet yang digunakan sebagai ikon dalam iklan pariwisata Malaysia.
Melihat kasus di atas dapat terlihat sikap Malaysia yang seolah arogan dan
sangat rendah serta sikap Pemerintahan Indonesia yang seolah diam seribu bahasa
melihat budaya kebanggaannya diklaim negara tetangga yang memang telah dikenal
sebagai negara pencari masalah oleh rakyat Indoneasia. Mengapa Pemerintah
Malaysia seringkali melakukan klaim terhadap kebudayaan Indonesia? Mengapa
Pemerintah Indonesia yang memiliki rakyat dengan nasionalisme tinggi seolah takut
dengan negara persemakmuran Inggris tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi
pokok permasalahan yang menarik untuk dibahas lebih dalam.
Malaysia yang secara historis terbukti merupakan negara serumpun melayu
dengan Indonesia yang perbedaannya nyaris sangat tipis membuatnya mencari
identitas bangsanya sendiri. Malaysia memang tengah dilanda krisis identitas
dikarenakan tidak adanya perbedaan yang signifikan dengan budaya asli Indonesia.
Fakta mengungkapkan dari 40 orang mahasiswa asal Malaysia yang sedang
menempuh studi di Indonesia mengaku hanya sedikit dari mereka yag mengenal
sejarahnya. Selain itu anggapan ini semakin diperkuat dengan pernyataan salah satu
pejabat tinggi Malaysia yang mengatakan bahwa Malaysia bisa saja menggunakan
semua budaya yang dimiliki Indonesia untuk mempromosikan negaranya dengan
alasan kedekatan budaya dan sejarahnya. Padahal implementasinya tidak semudah itu
untuk saat ini apalagi mengenai perihal penggunaan budaya suatu bangsa untuk
mempromosiakan bangsa lain yang bukan pemiliknya.
Malaysia sebagai negara yang juga menjadi salah satu daerah tujuan wisata
yang mengusung tema kebudayaan tradisional khas negaranya mengharuskannya
untuk memiliki kekayaan budaya tradisional yang beragam dan menarik untuk dijual
kepada turis mancanegara yang berkunjung ke sana. Selain itu sebuah fakta menarik
mengungkapkan bahwa Malaysia adalah salah satu negara transit bagi turis-turis asing
yang hendak mengunjungi Indonesia terutama Bali. Hal ini membuat Malaysia
berusaha untuk mempertahankan para turis asing agar menetap lebih lama di sana.
Salah satu caranya adalah dengan menyuguhkan pertunjukan budaya-budaya yang
membuat para turis tertarik dan betah untuk menikmati bahkan mempelajari budaya
tersebut. Sehingga tak jarang mereka suguhkan pula budaya-budaya Indonesia yang
memang memiliki nilai seni tinggi untuk kancah internasional.
Dengan mudahnya melakukan hal tersebut karena merasa memiliki jasa yang
besar terhadap Indonesia. Salah satu contoh riilnya adalah TKI yang banyak
dipekerjakan di sana. Malaysia sesungguhnya menganggap Indonesia sebagai negara
besar yang memiliki banyak potensi dan keunggulan. Malaysia menjadikan tokoh
agama Indonesia seperti Ulama besar Indonesia menjadi salah satu tokoh panutan.
Dan fakta menyebutkan bahwa pejabat-pejabat tinggi yang kini menjabat di
Pemerintahan Malaysia merupakan keturunan Indonesia yang telah terjadi selama
puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Namun kembali lagi karena TKI
yang membuat Mslaysia memandang rendah Indonesia sebagai negara di bawahnya.
Karena hal ini pula sehingga membuat Malaysia merasa berada di tingkat stratifikasi
yang lebih tinggi daripada Indonesia dan menjustifikasi klaim-klaim yang mereka
lakukan.
Dari segi Pemerintahan Indonesia yang terkesan menutup mata terhadap
masalah ini, penyebab utamanya adalah karena kebijakan luar negeri RI terlalu
berfokus pada masalah-masalah internasional sehingga seolah melupakan masalah-
masalah dalam negeri Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia yang mengorientasikan
fokusnya pada masalah kerjasama internasional dengan negara-negara besar seperti
Amerika, Cina, dan Jepang atau ikut ambil andil dalam isu-isu global seperti
perubahan iklim dan human trafficking menjadikan posisi Indonesia lemah dalam hal
diplomasi serumpun. Ini dapat terjadi karena arah kebijakan luar negeri Indonesia
yang menggampangkan diplomasi dengan negara-negara serumpun. Pemerintah
cenderung terus mengedepankan jalan perdamaian terhadap tetangga yang justru
melakukan hal sebaliknya. Akbatnya adalah martabat Indonesia yang dapat dengan
mudah dilecehkan oleh negara serumpun seperti Malaysia.
Pluralitas yang sangat tinggi dan keadaan geografis Indonesia yang merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia sepertinya membuat Pemerintahan Indonesia
kewalahan jika harus bekerja sendirian dalam pelestarian budaya. Indonesia memiliki
suku bangsa yang sangat beragam sehingga berimplikasi pada tingkat
keanekaragaman kebudayaan yang sangat tinggi. Dalam hal ini rakyat Indonesia
sebagai pemilik sah kebudayaan yang kaya tersebut sepatutnya ikut menjaga,
melestarikan, dan mengeksplorasi kebudayaan-kebudayaan dalam negeri untuk dapat
berbicara banyak di pentas internasional. Sikap apatis yang telah lama dijunjung oleh
bangsa Indonesia harus segera dihilangkan.
Apresiasi yang kurang dari dalam negeri terhadap seni dan budaya yang
dimiliki bangsa merupakan faktor lain yang membuat klaim-klaim semacam ini dapat
dengan mudah terjadi. Rasa kepemilikan terhadap budaya bangsa, baru akan
mencapai tingkat yang sangat tinggi saat ada budaya bangsa yang diklaim oleh negara
lain. Langkah preventif guna meminimalisasi klaim dari negara lain tidak pernah
dilakukan. Setelah adanya klaim, barulah secara serentak rakyat Indonesia
meneriakkan nasionalisme semu yang sama sekali tak bisa dibanggakan.
Fakta-fakta di atas sangat menarik untuk lebih diperdalam guna mencari jalan
terang mengenai siapakah aktor yang seharusnya bertanggung jawab atas konflik yang
telah terjadi selama ini. Indonesia yang secara empirik memiliki budaya tersebut
tetapi kurang mengapresiasi budayanya sendiri mungkin memang harus melepas
budayanya. Malaysia yang memang mengklaim budaya tersebut sudah seharusnya
mengakui secara jantan bahwa budaya tersebut memang bukan budaya asli darinya
namun merupakan sebuah pelestarian budaya yang berusaha mereka lakukan.
Keadaan saat ini hanya akan memicu konflik-konflik baru yang akan memperburuk
hubungan bilateral kedua negara.
2. Budaya Indonesia Yang Pernah Di Klaim Malaysia
Budaya-budaya Indonesia yang pernah di klaim oleh Malaysia, antara lain :
a. Batik
Kepemilikan batik sebagai warisan budaya tak berbenda menggelinding setelah
Malaysia mengklaim sebagai warisan nenek moyangnya. Untuk mengakhiri polemik,
Pemerintah Indonesia akhirnya mendaftarkan batik ke UNESCO untuk mendapatkan
pengakuan.
3 September 2008 sebagai titik awal proses Nominasi Batik Indonesia ke UNESCO.
Namun baru diterima secara resmi oleh UNESCO pada 9 Januari 2009. UNESCO
kemudian melakukan pengujian tertutup di Paris 11-14 Mei 2009. Hasilnya, 2
Oktober 2009, UNESCO mengukuhkan batik sebagai warisan budaya
Indonesia. Batik adalah milik Indonesia, Malaysia tak berhak lagi mengklaimnya.
b. Lagu Rasa Sayange
Polemik klaim lagu "Rasa Sayange" cepat berakhir. Pemerintah Malaysia sendiri yang
mengakhirinya. 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan
Budaya Malaysia, Rais Yatim mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia.
c. Reog Ponorogo
Usai mengklaim Lagu Rasa Sayange, perilaku Malaysia yang suka mengklaim budaya
Indonesia berlanjut. Namun masalah ini tidak berlanjut ke UNESCO karena
Pemerintah Diraja Malaysia melakukan klarifikasi. Duta Besar Malaysia untuk
Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain membantah bahwa Pemerintah
Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo. Reog Ponorogo sendiri kata dia
bukan sebagai budaya asli negaranya.
d. Wayang Kulit
Malaysia pernah mengklaim wayang kulit sebagai budayanya. Padahal sudah jelas
wayang kulit ini adalah budaya khas Jawa. Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh
UNESCO pada tanggal 27 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang
mengagumkan dalam bidang cerita narasi.
e. Kuda Lumping
Tarian ini berasal dari Jawa. Namun, orang - orang Jawa mewariskannya kepada anak
- anaknya yang sudah menetap di Malaysia sehingga diklaim sebagai budaya warisan
negeri Jiran.
f. Rendang Padang
Klaim Rendang Padang tak berlangsung lama karena dalam catatan sejarah masakan
yang paling enak di dunia itu bukanlah produk asli Malaysia. Masakan Rendang
berasal dari Sumatera Barat.
g. Keris
Keris merupakan salah satu senjata para raja Majapahit. Wilayah yang paling banyak
memakai keris adalah Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, Pesisir Kalimantan
dan Sulawesi. Malaysia tak bisa mengklaimnya karena sejarah membuktikan bahwa
budaya Indonesia.
Bukti keris merupakan budaya Indonesia terdapat di Candi Borobudur. Dalam satu
panel relief Candi Borobudur ( abad ke - 9 ) yang memperlihatkan seseorang
memegang benda serupa keris.
h. Angklung
Angklung adalah budaya khas dari masyarakat Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Warisan
leluhur ini juga pernah diklaim oleh Malaysia. Polemik klaim Malaysia berakhir
setelah alat musik ini terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
Nonbendawi Manusia di UNESCO sejak November 2010.
i. Tari Pendet dan Tari Piring
Kedua tari yang berasal dari Pulau Sumatera ini juga pernah diklaim Malaysia. Tari
piring adalah salah satu seni tari tradisional di Minangkabau yang berasal dari Kota
Solok, Provinsi Sumatera Barat.
Sementara Tari Pendet dari Bali. Namun yang paling menonjol klaim Malaysia pada
Tari Pendet. Sebab tari ini dijadikan sebagai iklan promosi kunjungan ke Malasyia
“Visit Malaysia Years”.
j. Gamelan Jawa
Gamelan Jawa merupakan alat musik khas Jawa yang terdiri dari berbagai macam alat
musik. Selain bonang, gong, ada pula rebab dan alat musik lainnya yang biasanya
mengiringi wayang.
3. Faktor Pendorong Pengklaiman Budaya Indonesia
1. Faktor Pendorong Pengklaiman Yang dilakukan Malaysia
Ada beberapa alasan mengapa Malaysia seringkali mengklaim budaya
indonesia, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Karena adanya kesamaan antara suku dan ras masyarakat indonesia dengan
Malaysia.
b. Faktor bisnis (terutama pengenalan visit malaysia kepada masyarakat dunia).
c. Faktor perkembangan masyarakat yang notabene pembentuk ras
melayu (jawa,minang,bugis,mandailing) yang awlnya berasal dari Indonesia
lalu berimigrasi ke malaysia yang sebelumnya membawa kebudayaan asli
indonesia lalu mengenalkannya ke khalayak di seluruh kawasan negara
malaysia.
d. Faktor pameran kesenian indonesia di malaysia yang secara tidak sengaja juga
ikut mengajarkan kebudayaan indonesia secara terperinci kepada masyarakat
malaysia yang tertarik kepada kebudayaan negara Indonesia.
e. Keminiman budaya asli negara Malaysia.
f. Kesamaan ciri khas kebudayaan indonesia dengan malaysia dari faktor
kesamaan alat musik nada sebuah lagu, serta adat budaya tersebut.
g. Kebudayaan tradisional yang notabene telah berabad - abad ada dan tidak
adanya saksi hidup pencipta kebudayaan tersebut (contoh : lagu daerah
memang tanpa pencipta).
h. Budayawan kita yang kurang mengerti akan kebudayaan sendiri , namun
budayawan malaysia mengerti dan paham akan seluk beluk kebudayaan
negara indonesia (khususnya melayu).
i. Penyampaian budaya sendiri (minimal:khusus daerah jawa tengah mengerti
akan budaya jawa tengah) yang kurang tetapi penyampaian info di kancah
internasional lebih luas dan terperinci.
j. Kesamaan ras yang mungkin mengakibatkan adanya ideologi bahwa indonesia
dan malaysia itu satu di mata orang - orang malaysia jadi kepemilikan budaya
pun bisa di samakan (intinya antara indonesia dan malaysia itu sama semua
jadi klaim mengklaim itu tidak salah di mata malasyia ).
k. Faktor awal lahirnya negara indonesia dengan Malaysia , Malaysia
beranggapan bahwa antara Malaysia dengan Indonesia itu lebih tua Malaysia ,
jadi Malaysia berhak mengklaim kebudayaan Indonesia karena mereka
beranggapan kebudayaan Indonesia ada karena kebudayaan Malaysia jadi asal
usul kebudayaan Indonesia berawal dari Malaysia.
2. Faktor Pengklaiman Karena Globalisasi
Era globalisasi, tentu akan berpengaruh pada dinamika budaya di setiap
negara. Khususnya di Indonesia, hal ini bisa dirasakan dan sangat menonjol saat ini.
Begitu bebas budaya yang masuk dari berbagai arus kehidupan. Pribadi yang ramah-
tamah juga sangat mendukung masuknya berbagai budaya tersebut. Ditambah lagi
generasi muda kita yang terkesan bosan dengan budaya yang mereka anggap kuno.
Namun, masuknya budaya dari luar justru kerap berimbas buruk bagi bangsa ini.
Misalnya budaya berpakaian, gaya hidup (life style), segi iptek, maupun adat-istiadat.
Kesemua itu berdampak sangat buruk dan dapat dengan mudah dapat menggeser
budaya asli yang ada di Indonesia.
Kita sebenarnya belum siap menerima era globalisasi. Gaya hidup kita
semakin menjurus ke arah barat yang individual dan liberal. Budaya gotong-royong
pun semakin memudar. Dari segi iptek, sebagian besar juga berdampak buruk bagi
kita. Yakni penyalahgunaan teknologi kerap kali terjadi. Kemudian, belum ada
filterisasi budaya yang masuk.
Begitu mudah budaya masuk tanpa ada penyaringan kesesuaian dengan
budaya asli kita. Akibatnya kita seperti berjalan mengikuti perkembangan zaman yang
semakin modern. Tetapi sayangnya budaya luhur yang dulu melekat dalam diri,
perlahan semakin menghilang. Parahnya, budaya daerah yang ada justru kita abaikan.
Dampak yang paling buruk terjadi ialah hilangnya budaya-budaya yang
menjadi ciri khas di beberapa daerah. Bahkan terjadi pencurian atau sering kita dengar
pengklaiman budaya nasional oleh negara lain. Sungguh disayangkan hal itu bisa
dialami bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini negara tetangga kita mengklaim begitu
banyak budaya dari Indonesia.
Bisa kita ambil contoh, batik, reog ponorogo, masakan rendang dari Sumatra
Barat, kuda lumping, lagu rasa sayange, alat musik angklung, gamelan dari Jawa serta
tari piring. Sampai yang terkini adalah tari pendet dari Bali, dan masih banyak lagi.
Ini semakin menunjukkan bahwa kita lemah dalam menjaga jati diri dan mudah
kecolongan oleh negara lain.
3. Kesadaran Generasi Muda Yang Kurang Akan Pentingnya Budaya
Untuk mempertahankan budaya memang sangat dibutuhkan kesadaran yang
kuat. Tidak hanya mengakui tetapi harus ikut serta dalam pelestarian budaya. Dari
kesadaran itulah akan muncul upaya-upaya menjaga, melindungi budaya asli daerah
sehingga akan tetap utuh. Sehingga, tidak mungkin akan diakui negara lain.
4. Perpindahan Penduduk
Saat ini banyak penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bahkan
banyak pula yang telah menetap di sana menjadi warga negara tempat ia tinggal.
Perpindahan tersebut tidak menutup kemungkinan akan diikuti perpindahan budaya.
Budaya-budaya dari Indonesia pasti ada yang diterapkan di negara lain tempat mereka
bekerja. Inilah yang menyebabkan keinginan negara lain untuk mengakui budaya
Indonesia. Karena mereka menganggap budaya itu sudah biasa mereka lihat di
negaranya.
5. Kurangnya Perhatian Pemerintah Akan Kekayaan Budaya Indonesia
Buktinya, salah satu kesenian dari Jawa Timur yaitu Reog Ponorogo sempat
menjadi perdebatan kepemilikan dengan pihak Malaysia. Padahal dari namanya saja
sudah jelas bahwa itu milik Indonesia. Sebenarnya hal itu bisa disiasati dengan
mendaftarkan hak cipta budaya. Supaya dunia internasional mengakui atas
kememilikan budaya Indonesia.
Kemudian, kurangnya sarana untuk menampilkan budaya asli Indonesia
kepada masyarakat luas. Ini bukan masalah yang kecil, melainkan masalah yang
menyangkut ciri khas bangsa kita. Harus segera diatasi, agar tidak ada lagi budaya
kita yang diambil pihak luar.
4. Solusi Agar Budaya Indonesia Tidak Di Klaim Negara Lain
Setelah mengetahui sebab-sebab pengklaiman budaya Indonesia oleh negara
Malaysia, maka ada beberapa solusi agar hal tersebut tidak terulang lagi, antara lain :
a. Masyarakat Indonesia harus lebih menghargai budaya asli Indonesia.
b. Pemerintah memberikan perhatian yang serius mengenai kekayaan budaya
Indonesia.
c. Di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai tingkat
perguruan negeri, hendaknya ada mata pelajaran khusus tentang wawasan budaya
Indonesia.
B. MASALAH PROSTITUSI DI INDONESIA
Salah satu masalah sosial yang ada di Indonesia adalah mengenai prostitusi atau
pelacuran. Prostitusi berasal dari kata Latin prostituere yang berarti menonjolkan diri
(dalam hal-hal yang buruk), atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum.
Di Indonesia dikenal istilah pelacuran.
Masalah pelacuran bukanlah menjadi hal yang baru di Indonesia. Pelacuran
sendiri merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu
sendiri (Kartono, 1997). Koentjoro (2004) mengatakan bahwa pelacuran di Indonesia
sudah terjadi sejak zaman Mojopahit. Fenomena tersebut kemudian berlanjut di dalam
kurun waktu antara 1942-1945, pada masa penjajahan Jepang banyak wanita Indonesia
yang dijadikan sebagai seorang pelacur yang disebut sebagai Jugun Ian Fu. Fenomena
pelacuran tersebut berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana di kota Jakarta sebagai salah
satu kota metropolitan bisa diibaratkan sebagai lokasi strategis untuk menemukan
sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di setiap sudut kota dari kalangan
bawah sampai ke kalangan atas (Emka, 2005).
Menurut Reley Scott, penyerahan diri karena upah kepada umum dapat
dilakukan oleh wanita maupun laki-laki. Gejala yang dikatakan Scott, terutama mengenai
pelacuran laki-laki mulai marak dengan munculnya mereka yang disebut gigolo,
meskipun di banyak tempat pelacuran identik dengan wanita.
Prostitusi adalah masalah yang menyangkut harkat, martabat, dan nilai kaum
wanita. Masalah ini disejajarkan dengan perbudakan (Barry, 1979; Bullough, 1988), dan
keberadaanya pun bertentangan dengan Pancasila (Departemen Sosial RI, 1984). Oleh
karena itu, “seharusnya” segala bentuk prostitusi tidak akan dijumpai di Indonesia.
Namun demikian kenyataan yang sebaliknyalah yang ada.
Mengatasi masalah prostitusi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Salah satu
penyebabnya adalah belum adanya kesamaan pendapat yang dapat digunkan sebagai
dasar pengambilan keputusan. Di negara-negara liberal barat masih ada pandangan-
pandangan yang pro dan kontra tentang prostitusi. Bahkan, di antara kaum feminis pun
masih terjadi perdebatan seru mengenai masalah ini Carpenter, 1994; Jolin , 1994).
Perdebatan di antara kaum feminis tentang prostitusi ternyata semakin hari
semakin rumit. Namun demikian, inti perdebatan ini sebenarnya terletak pada pandangan
kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap prostitusi (Davis, 1993; Carpenter, 1994 dalam
Koentjoro, 1996). Namun anehnya, di antara kaum feminis sendiri mempunyai kesamaan
pandangan dan menggunakan masalah prostitusi ini sebagai tumpuan untuk menentang
adanya penindasan dan kesewenang-wenangan kepada kaum wanita pada masyarakat
yang bersistem patriarchal (Carpenter, 1994).
Mereka yang berpandangan prostitusi sebagai kriminalisasi berpandangan bahwa
prostitusi merupakan masalah perbudakan wanita, dominasi pria, dan eksploitasi seksual.
Bahkan, ada yang melihat prostitusi sebagai hegemoni cultural terhadap wanita.
Sebaliknya yang berpandangan dekriminalisasi, yaitu setuju terhadap praktek
prostitusi, kelompok ini mencari pembenaran lewat sejarah dan hak asasi. Pada zaman
dahulu, agama dan masyarakat menganggap onani dan masturbasi sebagai dosa. Namun,
dengan berjalannya waktu anggapan semacam itu memudar . Perkembangan berikutnya
adalah mulai diterimanya praktek keluarga berencana yang menggunakan alat-alat
kontrasepsi untuk mencegah bertemunya sperma dengan sel telur. Dengan alat-alat ini,
pemuasan kebutuhan seks dapat dilakukan tanpa perlu mencemaskan akan terjadinya
kelahiran. Setelah itu, perkembangan selanjutnya adalah mulai diterimanya perilaku
homoseksual sebagai perilaku “normal”.
Masih berkaitan dengan perkembangan pandangan masyarakat mengenai prostitusi,
terutama di Indonesia, jika sebelumnya membicarakan masalah seksual adalah tabu, maka
sekarang pembicaraan semacam ini mulai terbuka. Hal ini didukung oleh teknologi
informasi dan komunikasi yang semakin canggih.
Prostitusi di Indonesia
Prostitusi bukan saja berkaitan dengan masalah kualitas moral pelakunya.
Secara medis, prostitusi akan menyebabkan penyakit kelamin dan/atau HIV/AIDS.
Ibu-ibu yang tertular penyakit ini dapat melahirkan anak yang berkelainan fisik,
sehingga prostitusi dapat menimbulkan masalah dalam kualitas generasi yang akan
datang.
Mengingat seriusnya permasalah yang dibawa oleh prostitusi, maka perlulah
kiranya pemerintah mencari cara-cara yang efektif untuk memberantas prostitusi ini.
Untuk sampai pada keputusan bentuk intervensi yang tepat kiranya perlu pula
dipahami masalah prostitusi di Indonesia itu sendiri.
Prostitusi di Indonesia, sebagaimana di negara-negara seperti Thailand,
Filipina, India, Bangladesh, dsb, menyangkut masalah penghidupan. Penghidupan di
sini bukan saja bagi wanita tuna susila (WTS) itu sendiri, melainkan juga bagi
mucikari, personal keamanan, bahkan juga anak-anak, keluarga, dan sanak family
mereka. Akibatnya, masalah prostitusi menjadi semakin rumit. Muray pernah
melakukan dan mendapati hasil bahwa seorang wanita tuna susila dapat membantu
hingga 18 sanak familinya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Koentjoro mengungkapkan bahwa ada
daerah-daerah tertentu yang menjadi “penghasil” pelacur. Banyak hal yang diduga
menjadi penyebabnya. Modeling, keinginan akan materi, sikap terhadap perkawinan,
dan sikap permisif lingkungan, motif social adalah faktor-faktor yang berpengaruh
kuat dalam pembentukan seorang wanita menjadi wanita tuna susila (WTS).
Dalam hal jenis pelacur, yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya
berbagai macam variasi. Mereka ada yang dapt ditemukan secara terselubung dengan
lobi, hingga ada yang terang-terangan; ada yang berpraktek di hari-hari tertentu,
hingga setiap hari; ada yang dapat dipilih langsung, hingga yang hanya lewat foto.
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the
Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas
internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi,
seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari
berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem
regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan
warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah
prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis,
kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan,
yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia
prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu
berharap suatu saat jalan itu terbuka.
Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat
dalam melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di
Wilayah DKI Jakarta. Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah.
Pada awal proses pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak
didengar suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang
sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik
prostitusi dengan segala eksesnya.
Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung
diskriminatif dan bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan
mereka yang beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum.
Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang
terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu
pun bisa “diatur”. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama,
penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang
bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia
berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru
dibimbing yang benar.
Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru
membuat “kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau.
Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin
pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas
pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai
pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat,
termasuk terhadap anggota keluarga korban.
aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi
bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal,
sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias
jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang
laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi
ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat
hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para
perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda,
atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat
rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Masalah pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia bukanlah hal baru lagi.
Satu sisi, pihak Indonesia merasa satu persatu kebudayaannya dipreteli oleh negara
tetangganya. Sisi lain, pihak Malaysia mengklaim kebudayaan-kebudayaan tersebut
adalah warisan leluhur negeri Jiran tersebut. Mulai dari Batik sampai yang terbaru alat
Gondang Sambilan dan tarian Tor-tor.
Keberagaman budaya yang dimiliki oleh negara Indonesia sering kali
mengundang perhatian dari negara – negara lain untuk ingin tahu lebih dalam tentang
keunikan – keunikan budaya yang kita miliki. Indonesia terkenal sebagai bangsa yang
luhur. Memiliki keragaman budaya yang tersebar di pelosok-pelosok nusantara. Dari
kesenian, adat-istiadat hingga makanan melekat mewarnai keragaman bangsa ini.
Tidak heran jika begitu banyaknya budaya yang kita miliki, justru membuat kita tidak
mengetahui apa saja budaya yang ada Indonesia. Bahkan kita sendiri pun sebagai
generasi muda terkadang melupakan budaya daerah kita. Sangat ironis rasanya, orang
Indonesia tetapi tidak mengenal ciri khas bangsanya sendiri.
Untuk permasalahan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia yang berupa
prostitusi yang merupakan penyakit masyarakat sangatlah kompleks dan rumit. Di
tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi
melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi
nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan), yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan
ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu
juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan
merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan
kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Hal seperti diungkapkan di atas terlihat di kota-kota besar di Indonesia, seprti
misalnya dalam kasus seseorang merasa miskin karena tidak memiliki telepon
genggam, barang elektronik, dll sehingga lama kelamaan benda-benda sekunder
tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu apakah dia
kaya atau miskin. Persoalannya adalah lain bagi mereka yang turut dalam arus
urbanisasi akan tetapi gagal dalam mencari pekerjaan sehingga melacur dipilih
sebagai pilihan “pekerjaan”. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problema
tersebut adalah karena salh satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan
baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi; dan kepincangan tersebut
menjalar ke bidang-bidang lainnya.
2. Saran
Dari uraian makalah diatas yang membahas permasalahan budaya dan sosial
yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, kami memiliki beberapa saran, antara lain :
a. Kita sebagai bangsa Indonesia hendaknya menghargai, mengapresiasi, serta
melestarikan budaya asli Indonesia agar kasus pengklaiman budaya oleh negara
lain tidak terulang kembali.
b. Sebelum kita sebagai bangsa Indonesia marah ataupun geram dengan Malaysia
yang berulangkali mengklaim budaya Indonesia, hendaknya kita instropeksi diri
karena bukan hal yang tidak mungkin bahwa kasus-kasus tersebut juga merupakan
hasil dari kesalahan bangsa Indonesia yang kurang menghargai budayanya sendiri.
c. Setelah mengetahui lebih dalam tentang masalah prostitusi Indonesia kita
hendaknya lebih waspada agar kita tidak terjerumus dalam masalah tersebut.
d. Selain itu kita sebagai mahasiswa yang disebut sebagai Agent of Change,
hendaknya kita menyadarkan masyarakan tentang dampak-dampak negatif yang
ditimbulkan dari praktek prostitusi minimal di lingkungan sekitar tempat tinggal
kita.
BAB IV
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun yang berjudul “Pengklaiman Budaya
Indonesia oleh Malaysia dan Masalah Prostitusi di Indonesia”. Penyusun menyadari
bahwa makalah masih banyak kekurangan, untuk itu penyusun sangat mengharapkan
kritik saran dari para pembaca. Semoga dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Sosial RI. 1984. Keputusan Menteri Sosial RI No.
07/HUK/KEP/II/1984 tentang : Rancangan Dasar Pengembangan Kesejahteraan
Sosial. Jakarta: PT Citra Yudha Karya.
Koentjoro. 2004. On The Spot: Tutur dari Seorang Pelacur. Yogyakarta:
CV Qalams
____. 1994. Prostitusi di Indonesia: Sebuah Analisis Kasus di Jawa. Buletin
Psikologi, Tahun IV, Nomor 2, Desember 1996, Edisi Khusus Ulang Tahun XXXII.
Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
Sunarto, dkk. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.
Semarang : PusatPengembangan MKU-MKDK UNNES 2012.
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-kepolisian/prostitusi-why/
http://harjasaputra.wordpress.com
http://sejarah.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=22
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id =NTY/1MDU=