73
E. METAFISIKA, ASUMSI DAN PELUANG
A. ONTOLOGI
Menurut bahasa,ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu :
On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang
yang ada.Menurut istilah,ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar , 2004).
Menurut Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa
yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan
kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah
ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,
b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan.
Menurut Soetriono & Hanafie (2007), Ontologi yaitu merupakan
azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi
obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari
obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan
74
landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan
dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
Menurut Pandangan The Liang Gie, ontologi adalah bagian dari
filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang
pembahasannya meliputi persoalan-persoalan :
- Apakah artinya ada, hal ada ?
- Apakah golongan-golongan dari hal yang ada ?
- Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada ?
- Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-
kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian
universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada ?
Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari
Konsepsi Aristoteles, ontologi Yaitu teori atau studi tentang being /
wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim
dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata
yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti ,
struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh
Aristoteles abad ke-4 SM)
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari
bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian
ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup
75
cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi
sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan
secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada
sebuah pengetahuan dasar. Sebuah ontologi juga dapat diartikan
sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain
yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah
pengetahuandasar”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori
tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi
objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan.Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi
tentang sesuatu yang ada.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi
dengan dua macam sudut pandang:
a. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu
tunggal atau jamak.
b. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
(realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun
yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Sehingga, secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai
ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
76
B. METAFISIKA
Metafisika merupakan padanan kata yang berasal dari Bahasa
Yunani yakni : μετά (meta) = "setelah atau di balik", dan υύσικα
(phúsika) = "hal-hal di alam". Ilmu metafisika merupakan turunan dari
ilmu filsafat yang membahas dan menggali sebab dari sesuatu
sehingga menjadi sebuah sesuatu yang nyata. Metafisika mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu
realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Menurut Jujun S. Suriasumantri pada buku filsafat ilmu
mengatakan bahwa bidang telaah filsafat yang disebut metafisika ini
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafat termasuk
pemikiran ilmiah.Jadi metafisika berasal dari pemikiran manusia.
Metafisika itu sendiri merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tentang hal – hal yang sangat mendasar yang di luar
pengalaman manusia. Metafisika mengakaji segala sesuatu secara
komprehensif.
Menurut Asmoro Achmadi dalam GIE ( 2012:4) metafisika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat “
keluarbiasaan” (beyond nature”) yang berada di luar pengalaman
manusia ( immediate experience). Metafisika mengkaji sesuatu yang
berada di luar hal – hal yang biasa berlaku pada umumnya atau hal –
77
hal yang tidak alami, serta hal – hal yang berada di luar pengalaman
manusia.
Menurut Prof. Ir. Podjawijatna, metafisika merupakan nama lain
bagi filsafat di Eropa. Metafisika merupakan ilmu yang mendasarkan
pembuktian kebenarannya tidak pada pengalaman, tetapi sesudah
pengalaman.
Secara umum, tafsiran metafisika terbagi menjadi dua jenis, yakni :
1. Supernaturalisme, yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
ghaib, yang tidak dapat diketahui dengan pasti.
2. Naturalisme / materialisme, adalah pendapat bahwa gejala-gejala
alam tidak disebabkan oleh pengaruh yang bersifat ghaib
melainkan oleh kekuatan yang berasal dari alam itu sendiri, yang
dapat dipelajari dan diketahui.
Super naturalisme terlihat jelas dalam aliran animisme yang
memegang teguh kepercayaan terhadap roh dan hal – hal gaib
lainnya. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua
umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan
masih di peluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Dengan demikian, metafisika merupakan cabang filsafat ilmu yang
mempelajari penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi
ada.Sebagai contoh, pada prinsip materialisme yang dikembangkan
oleh Democritos (460 – 370 SM), menyatakan bahwa unsur dasar dari
78
alam ini adalah atom. Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis
adalah manis dan panas adalah panas. Dengan kata lain, manis,
panas, dingin, atau warna adalah terminologi yang kita berikan kepada
gejala yang kita tangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera
inilah yang disalurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.
Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi,
dikutip pendapat Jujun S Suria Sumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu”
mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang
hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan
pikiran.
C. ASUMSI
Secara Kamus Besar Bahasa Indonesia, asumsi berarti dugaan
yang diterima sebagai dasar, atau landasan berpikir karena dianggap
benar. Menurut Prof. Ir. Podjawijatna dalam bukunya “Tahu dan
Pengetahuan (pengantar keilmu dan filsafat)” menjelaskan bahwa
pengetahuan adalah hasil dari sebuah putusan. Sehingga untuk
mendapatkan pengetahuan, ilmu membuat beberapa asumsi
mengenai objek – objek empiris. Asumsi ini diperlukan sebagai arah
dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan
baru di anggap benar, selama kita bisa menerima asumsi yang di
kemukakannya. (Jujun S. Suriasumantri, 1984)
79
Dalam perjalanan mencari ilmu, perlu adanya kegiatan
pengamatan terhadap suatu atau beberapa kejadian. Asumsi
merupakan perkiraan-perkiraan yang muncul dari adanya pengamatan
terhadap hukum, gejala atau kejadian-kejadian yang sudah berlaku.
Asumsi merupakan merupakan proses “kompromi” dalam perjalanan
menemukan atau merumuskan pengetahuan.
Selanjutnya kaidah asumsi menurutJujun (1984) antara lain :
- Asumsi harus relevan dengan tujuan pengkajian disiplin keilmuan.
Asumsi ini mendasari telaah ilmiah.
- Asumsi harus disimpulkan dari “ keadaan bagaimana adanya “
bukan “ seharusnya “ . Asumsi ini mendasari telaah moral.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual
suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan
gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk
menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi
diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin
(2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi
suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the
standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan
penelitian. Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan
UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..”
“…penjajahan diatas bumi… tidak sesuai dengan perikemanusiaan
80
dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945
menjadi tidak bermakna.
Sehingga muncul pernyataan ilmuwan harus mengenal asumsi
yang digunakan dalam analisis keilmuannya karena akan berpengaruh
pada konsep pemikiran yang digunakan.Asumsi berkaitan pula dengan
kegiatan penalaran. Penalaran merupakan suatu proses berpikir
dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
a. Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan
pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
b. Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa
pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja
sebagaimana adanya Premise.
Untuk meyakinkan bahwa asumsi digunakan secara tepat, perlu
adanya tinjauan awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik
(Junjung, 2005):
1. Deterministik.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton
(1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang
menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang
81
dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan
lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian
ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya,
tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif.
Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai
misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti
kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak
harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan
suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya
animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India
mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat
keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas,
semua tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal
memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku
deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan
sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan
menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu
82
ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan
metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%.
Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi
deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang
bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti
hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik
menurut kriteria ilmu ekonomi.
Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap valid jika penarikan
kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara-cara tertentu. Cara
penarikan kesimpulan ini disebut sebagai logika, yakni pengkajian
untuk berpikir secara benar atau shahih. Terdapat dua cara penarikan
kesimpulan, yakni :
a. Logika induktif yang merupakan penarikan kesimpulan dari
kasus-kasus individu nyata yang bersifat khusus menjadi
sebuah kesimpulan yang bersifat umum.
b. Logika deduktif yang merupakan penarikan kesimpulan dari hal-
hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi
akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi
yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan
kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna
83
sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang
sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
D. PELUANG
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peluangberartiruang
gerak, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang memberikan
kemungkinan bagi suatu kegiatan untuk memanfaatkannya dalam
usaha mencapai tujuan; kesempatan.
Menurut Prof. Dr. R. SantosaMurwani (2009), peluang
merupakan perbandingan antara banyaknya kejadian yang muncul
(observed) dengan banyaknya seluruh kejadian yang mungkin muncul
(expected). Sehingga dalam proses pencarian ilmu, peluang
merupakan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pencarian
atau perumusan suatu pengetahuan yang pasti (kepastian).
Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih
mempercayai pernyataan “80% anda akan sembuh jika meminum obat
ini “ daripada pernyataan “ yakinlah bahwa akan pasti sembuh setelah
meminum obat ini “. Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu
menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang
di dalamnya terdapat nilai benar dan juga mengandung kemungkinan
yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari
persentase kebenaran yang di kandung ilmu tersebut. Sehingga ini
84
akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan
kita tumpukan kepada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.
Dalam proses pembuktian sebuah ilmu, peluang merupakan
kemungkinan- kemungkinan yang mendasari terbentuknya sebuah
hipotesa. Hipotesa menurut Prof. Ir. Podjawijatna, muncul dari adanya
problema atau pertanyaan – pertanyaan ilmiah. Hipotesa ilmiah
mengutarakan peluang-peluang yang mungkin yang mungkin menjadi
jawaban sementara dari problema yang dihadapi. Akan tetapi,
kebenaran dari sebuah hipotesa harus dibuktikan dengan adanya
fenomen atau kejadian nyata.
E. BATAS PENJELAJAHAN ILMU
Dalam hal penjelajahan ilmu, muncullah beberapa pertanyaan :
Apakah nilai kebenaran dari ilmu bersifat mutlak? Apakah seluruh
permasalahan manusia di dunia dapat dijawab dengan tuntas oleh
pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan?
Inilah pertanyaan pokok yang timbul bagi setiap yang mengejar
ilmu pengetahuan kapan saja dan dimana saja. Untuk memperoleh
jawaban dari pertanyaan- pertanyaan itu, baiklah kia akan menoleh
sejenak kepada apa yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli di
dunia dalam hubungan eksistensi ilmu pengetahuan itu.
85
Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis yang atheist
bangsa Perancis pernah mengemukakan, “ Apakah pengetahuan?
Ilmu pengetahuan bukanlah suatu hal yang sudah selesai terfikirkan,
sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab akan selalu disisihkan
oleh hasil- hasil penelitian dan percobaan- percobaan baru yang
dilakukan dengan metode- metode baru atau karena adanya
perlengkapan- perlengkapan yang lebih sempurna. Dan penemuan-
penemuan baru ini akan disisihkan pula oleh ahli- ahli lainnya, kadang-
kadang kembali mundur, tetapi seringnya lebih maju. Begitulah selalu
akan terjadi.
Menurut Prof. Ir. Podjawijatna, pengetahuan merupakan hasil
dari sebuah putusan. Sedangkan Ilmu merupakan sesuatu yang
membedakan dari pengetahuan biasa, karena ilmu sangat
menghiraukan kegunaan dari sebuah pengetahuan (Prof. Ir.
Podjawijatna). Sebagai contoh, tidak puas hanya dengan sifat air, tapi
diselidiki lebih lanjut tentang bagaimanakah air? Unsur seperti apakah
air? Berapa suhu untuk mendidihkannya? Untuk apa kegunaannya?
Tujuan ilmu yang utama adalah untuk mencapai kebenaran,
sehingga ilmu memiliki objektivitas. Itulah sifat ilmiah yang pertama.
Selain itu, ilmu juga harus bersifat universal. Jika pengetahuan hendak
disebut ilmu maka haruslah memiliki objektivitas, bermetode, universal
dan bersistem.
86
Dr. Mr. D.C Mulder menulis dalam karyanya yang berjudul Iman
dan Ilmu Pengetahuan, :
“Tiap- tiap ahli ilmu menghadapi soal- soal yang tak dapat dipecahkan
dengan memakai pengetahuan itu sendiri. Ada soal- soal pokok atau
soal- soal dasar yang melalui kompetensi dari ilmu itu sendiri.
Misalnya, dimanakah batas- batas lapangan yang saya selidiki ini?
Dimanakah tempatnya di dalam kenyataan seluruhnya ini? Metode
yang saya gunakan ini sampai dimanakah? Umpamanya soal yang
sangat sulit sekali apakah causalitas kealaman (natuur causaliteit)
berlaku juga atas lapangan hayat, psychs, historis, sosial, dan yuridis?
Dan tentu ada lain- lain lagi. Jelaslah untuk menjawab soal- soal
semacam itu ilmu- ilmu membutuhkan suatu instansi yang sedemikian
ituyaitu ilmu filsafat.”
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di
manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya
kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek
ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan
lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana:
ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan
berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari
masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab
musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di
luar jangkauan pengalaman manusia (Jujun, 1990:91)
87
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda
dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri
dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia
dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu
membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia
juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang
telah teruji kebenarannya secara empiris.
Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas
pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan
benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk,
semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan
jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik. (Jujun
S.Suriasumantri, 1984)
Dapat disimpulkan bahwa batas dari penjelajahan ilmu
hanyalah ”Pengalaman” manusia, yaitu mulai dari pengalaman
manusia dan berhenti pada pengalaman manusia juga. Ilmu diperoleh
melalui panca indera, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh
dengan melihat maka ”ilmu adalah penglihatanmu”, jika pengalaman
diperoleh dengan mendengarkan, maka ”Ilmu adalah pendengaranmu”
begitu juga untuk indera yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ilmu
seseorang mencapai batas ketika ia harus meninggalkan dunia ini.