Download - Makalah Hukum Dan Politik
POLITIK HUKUM KOLONIAL TERHADAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Oleh :
AHMAD SYAFRUDDIN, SHI, MH[1] (Cakim pada Pengadilan Agama Bukittinggi)
A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang saling berkaitan antara sub sistem-sub sistem
hukum yang terlingkup di dalamnya. Sub-sistem dimaksud di antaranya mencakup hukum pidana
(jinayah), perdata (muamalah), maupun politik (siyasah). Sebagai sumber dari segala sumber
hukum ditetapkan al Qur‟an dan al Sunnah. Adapun metode untuk memahami dan mengeluarkan
hukum dari kedua sumber itu dipergunakan Ijtihad.[2]Oleh karena itu, tanpa adanya metode dalam memahami kedua sumber hukum tersebut maka
usaha untuk memahami al Qur‟an maupun al Sunnah dalam melahirkan konsep-konsep hukum
adalah suatu pekerjaan sia-sia. Jika di coba untuk memformulasikan defenisi hukum Islam
sebagaimana disinggung di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum Islam merupakan hukum
yang bersumber dari al Qur‟an dan al Hadits dengan melibatkan segala daya upaya manusia untuk
melahirkan interpretasi-interpretasi hukum yang sistemis-metodis dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga terintegrasi antara relasi vertikal dengan Allah maupun
horizontal antar manusia. Dari defenisi ini, tentunya kriteria yang paling berperan adalah dua
relasi yang disebut terakhir. Artinya, bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur aspek jasmani
berupa interaksi antar manusia melainkan juga mengatur aspek rohani berupa interaksi manusia
dengan khaliqnya.
Beranjak ke konteks Indonesia, hukum Islam memang telah lama mendapat tempat di masyarakat
Indonesia.[3] Hal ini tidak dapat dipungkiri karena setidak-tidaknya realitas mayoritas masyarakat
Indonesia adalah penganut agama Islam. Realitas lain yang hingga saat ini masih eksis adalah
keberadaan salah satu lembaga hukum di samping lembaga-lembaga hukum lain yang ada.
Lembaga yang dimaksudkan adalah Pengadilan Agama.
Meskipun pengadilan ini memiliki wewenang di bidang keperdataan[4] namun tetap saja memberi
bukti bahwa wujud dari pelembagaan hukum Islam di negeri ini–sedikit–telah tercapai. Kenyataan
ini tentunya tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, apalagi pada saat
penjajah masih berkuasa. Sebagaimana diketahui, bangsa penjajah selain bertujuan untuk
mengeruk keuntungan ekonomi (gold) dari tanah jajahan (glory) juga mengemban misi agama
(gospel) yang sama sekali berbeda dengan agama mayoritas bangsa Indonesia. Di antara upaya
yang dilakukan untuk mewujudkan misi agama tersebut adalah dengan mempertentangkan hukum
adat dengan hukum Islam. Inilah yang akan dipaparkan lebih lanjut dalam ruang tulis berikut.
B. Politik Hukum Kolonial terhadap Hukum Islam di Indonesia dilihat dari beberapa Teori
yang Dimunculkan
Seperti telah disinggung di awal tulisan ini bahwa di antara upaya yang dilakukan oleh bangsa
penjajah dalam menyebarkan misi agama mereka adalah dengan memasuki dan mencampuri
hukum bangsa jajahan. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan diterapkan oleh masyarakat
ketika itu dipengaruhi bahkan sedikit demi sedikit disingkirkan. Kenyataan ini dapat
diinterpretasikan dari aturan-aturan yang dikeluarkan oleh mereka.
Sedikitnya, ada dua aturan yang diapungkan secara jelas dalam rangka menghambat laju hukum
Islam itu. Pertama adalah ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) dan kedua adalah Pasal
131 ketentuan serupa. Di ketentuan pertama, yakni Pasal 163 IS mereka membagi penduduk
Indonesia kepada tiga kelompok. Pembagian kepada tiga kelompok ini juga berimbas kepada
bidang hukum yang berlaku bagi masing-masingnya.[5] Kelompok dengan dasar Pasal 131 IS ini
dapat dilihat sebagai berikut :
1. Golongan Eropa
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Bumi Putera
Golongan Eropah terdiri dari orang-orang Belanda, orang eropah lain di luar Belanda, orang
Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada
hukum keluarga yang secara substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda.
Kemudian juga ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan Undang-Undang serta anak-
anak klasifikasi golongan eropah dimaksud yang lahir di tanah jajahan. Adapun golongan Timur
Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan eropah maupun penduduk asli tanah jajahan.
Mereka ini diantaranya adalah orang Arab, India, dan China. Sedangkan golongan terakhir, yakni
Bumi Putera terdiri dari orang Indonesia asli. Pengelompokan yang demikian ini seperti
disinggung terdahulu berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropah hukum yang berlaku adalah
hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing berlaku hukumnya sendiri.
Selanjutnya bagi golongan terakhir (Bumi Putera) hukum yang berlaku adalah hukum adat. Jika
kepentingan sosial menghendaki maka hukum eropah dapat berlaku lintas golongan. Keberlakuan
ini selanjutnya disebut sebagai penundukan diri terhadap hukum eropah, baik secara sempurna
maupun sebagian saja. Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum eropah berlaku
utuh bagi setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain, subjek
hukum tersebut dianggap sama dengan golongan eropah sehingga hukumnya juga hukum eropah.
Berbeda halnya dengan jenis penundukan hukum yang disebutkan terakhir. Pada penundukan ini,
hukum eropah baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan oleh golongan lain tersebut
tidak dikenal dalam hukum mereka.
Pemberlakuan hukum adat bagi golongan Bumi Putera sudah tentu menimbulkan masalah.
Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam
sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan adanya
ketentuan tertulis seperti dijelaskan terdahulu menimbulkan bias negatif terhadap hukum agama
yang dianut oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Islam. Bias negatif itu adalah membenamkan
hukum Islam di bawah bayang-bayang hukum adat. Hal ini sudah tentu dapat dimengerti.
Bagaimanapun juga, bangsa penjajah selalu berusaha agar ideologi mereka bisa diikuti oleh
bangsa jajahannya.
Seiring dengan usaha untuk menanamkan ideologi ini, ada tiga teori yang diperkenalkan. Dua
teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan satu teori terakhir dilontarkan oleh orang
Indonesia. Teori terakhir ini merupakan teori bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori itu
secara berurut adalah; Receptio in Complexu, Receptie Theorie, dan Receptio a Contrario.[6]1. Receptio in Complexu
Receptio in Complexu merupakan teori yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van
Den Berg (1845–1927). Teori ini bermakna bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh
seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh sebab itu, jika seseorang beragama
Islam maka secara langsung hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian seterusnya. Dengan
kata lain, teori ini dapat dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau
sempurna”.
2. Receptie Theorie
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang diperkenalkan oleh Christian Snouck
Hurgronje (1857–1936). Teori ini selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat
Cornelis Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–1941). Teori resepsi berawal
dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai
hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum Islam berada di
bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam kehidupan
masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula
dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan”.
3. Receptio a Contrario
Sebagaimana diutarakan di depan bahwa teori ini merupakan teori pematah–populer disebut teori
Iblis–yang dikemukakan oleh Hazairin (1906–1975) dan Sajuti Thalib (1929–1990). Dikatakan
sebagai teori pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan arah
dengan receptie theorie Christian Snouck Hurgronje di atas. Pada teori ini justru hukum adatlah
yang berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain,
hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam. Dari ketiga teori ini
terlihat bahwa usaha untuk meredam gerak maju hukum Islam didasarkan kepada teori kedua,
yakni receptie theorie. Hukum Islam dianggap sebagai hukum jika telah dilegalisasi oleh hukum
adat. Oleh karenanya, jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam namun menurut ketentuan
hukum tertulis–Pasal 131 IS–ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat.
Makna tersembunyi di balik pemberlakuan teori ini adalah dihadapkannya bangsa penjajah ketika
itu dengan tiga konsep hukum yang masing-masingnya memiliki karakter tersendiri.. Ketiga
konsep dimaksud adalah hukum Islam, hukum Barat, dan hukum adat. Berhadapan dengan ketiga
konsep ini sudah dapat dipastikan bahwa bangsa penjajah akan menetapkan hukum yang lebih
menguntungkan bagi mereka. Dan hukum yang lebih menguntungkan itu dijatuhkan kepada
hukum adat. Jika hukum yang diberlakukan semata-mata adalah hukum bangsa penjajah sudah
tentu tingkat kebencian dan permusuhan terhadap mereka semakin besar. Oleh karena itu, untuk
menghindari sisi negatif ini mereka mengapungkan hukum adat yang memang menunjang
terhadap misi mereka. Dengan demikian, benar kiranya kalau hukum adat dimaksudkan oleh
bangsa penjajah untuk melumpuhkan gerak langkah pelembagaan hukum Islam yang bermuara
kepada tercapainya misi penjajahan mereka.[7]
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa politik hukum yang dijalankan oleh bangsa
penjajah selalu mengacu dan melindungi kepentingan mereka di negeri jajahan. Kepentingan itu
tidak hanya berada pada lingkup ekonomi dengan keuntungan materilnya tetapi juga dalam bidang
hukum, memunculkan hukum adat di atas hukum agama dengan tujuan menumbuhsuburkan
politik devide et impera.
2. Rekomendasi
Pembangunan dan pembaharuan hukum nasional yang terus diupayakan harus difokuskan kepada
kebenaran legal substance atau substansi hukum bukan kepada term atau label-label yang ada
sehingga politik devide et impera dapat dikikis dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Friedmann, W, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, judul asli Legal
Theory, Penerj. Muhammad Arifin, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. 3, 1990
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter Konservatif
menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. 1, 2000
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Jil. 1, Cet. 2, 1997
Manan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed. 1, Cet. 5, 2002
Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Penerj.
Abdul Muis Naharong, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. 7, 1997
Ramulyo, Mohd. Idris, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 1, 1995
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, Ed. 5,
1993
Syahrani, Riduan, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1989
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Jil. 2, Cet. 2, 2001
Yaswirman, Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum Kekeluargaan Islam di Indonesia Studi
Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Disertasi Doktor dalam Ilmu
Agama Islam pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah), Jakarta, 1997
[1] Penulis juga salah seorang tenaga edukatif di STIH (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) Padang dan
Fakultas Hukum UMSB (Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat) Bukittinggi.
[2]al Qur‟an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dalam rentang
waktu lebih kurang 22 tahun (semenjak Nabi diangkat menjadi Rasul sampai wafatnya) dengan
perantara malaikat Jibril dalam bahasa arab yang bernilai ibadah jika dibaca dan disampaikan
secara kontinu dari generasi ke generasi. Adapun al Sunnah adalah perkataan, perbuatan, maupun
persetujuan (berupa diam) Nabi sekaitan dengan hukum sebagai penjelas atau bayan terhadap al
Qur‟an yang global. Ijtihad merupakan rangkaian kerja yang diupayakan manusia dalam
memahami al Qur‟an maupun al Sunnah. Rangkaian kerja ini melahirkan beberapa konsep hukum
seperti Ijma’ (konsensus para ahli ijtihad tentang suatu masalah yang berkaitan dengan ruang
lingkup agama setelah Rasul wafat), Qiyas (menjelaskan hukum suatu masalah yang belum
ditentukan hukumnya dengan merujuk kepada persamaan atau perbedaan „illat/substansi hukum
yang telah jelas), Istihsan (penerapan hukum berdasarkan kepentingan umum yang disokong oleh
nash dengan cara induksi terhadap beberapa hukum syara‟), Mashlahah (menetapkan hukum
sesuatu dengan memprioritaskan manfaat dan mengabaikan mudarat demi memelihara tujuan
syara‟), Istishhab (menetapkan hukum terhadap sesuatu sesuai dengan hukum awalnya selama
tidak ada argumen hukum lain yang merubahnya), „Urf (kebiasaan–lebih khusus dari adat–
mayoritas umat baik dalam berbuat maupun berbicara), Syar’u man qablana (ajaran nabi sebelum
Muhammad yang diakomodir oleh nash), Mazhab Shahabi (pendapat sahabat terhadap suatu
persoalan yang tidak ada penjelasannya baik dari al Qur‟an maupun al Sunnah), dan Dzari’ah
(sarana menuju kepada sesuatu yang apabila dilarang disebut sadd al dzari’ah dan apabila
diperintahkan disebut dengan fath al dzari’ah). Lebih lanjut berkaitan dengan sumber dan dalil
dalam hukum Islam dapat dilihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Jil. 1,
Cet. 2, 1997, h. 15-172, Bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu,
Jakarta, Jil. 2, Cet. 2, 2001, h. 219–406.
[3] Seputar bukti-bukti bahwa hukum Islam telah lama diterapkan oleh masyarakat Indonesia lihat
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 1, 1995, h. 48–54.
[4] Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada Pasal 49 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.
[5] Sekaitan dengan penjelasan ini lihat Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum
Perdata, Bandung, Alumni, 1989, h. 2–7.
[6] Tentang teori-teori ini telusuri salah satunya di dalam Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit, Sinar
Grafika, Jakarta, Cet. 1, 1995, h. 54–60.
[7] Tentang pernyataan ini juga telah dikemukakan oleh Yaswirman dalam disertasinya. Ia
mengatakan bahwa pemberlakuan hukum adat tidak didasarkan kepada kenyataan hukum yang
hidup di masyarakat yang telah dipraktekkan sejak masa sebelumnya. Akan tetapi, hukum adat
hanya dimunculkan adalah untuk kepentingan kolonial serta memperkecil ruang lingkup hukum
agama. Lebih lanjut, telusuri kembali Yaswirman, Hukum Kekeluargaan Adat dan Hukum
Kekeluargaan Islam di Indonesia Studi Perbandingan Hukum dalam Masyarakat Matrilineal
Minangkabau, (Disertasi Doktor dalam Ilmu Agama Islam pada Program Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah), Jakarta, 1997, h. 82.