Download - MAKALAH Hukum Adat
MAKALAH
HUKUM ADAT
DOSEN PENGASUH: ANGGUK LAMIS,SH
Disusun Oleh:
NAMA : ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
JENJANG PROGRAM : ILMU HUKUM
JURUSAN : HUKUM
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
TAHUN 2011
MAKALAH
SISTEM-SISTEM KEKERABATAN
HUKUM ADAT INDONESIA
Disusun Oleh:
NAMA : ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
JENJANG PROGRAM : ILMU HUKUM
JURUSAN : HUKUM
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan
Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai SISTEM-SISTEM
KEKERABATAN HUKUM ADAT INDONESIA.
Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku yang berhubungan dengan
sistem-sistem kekerabatan hukum adat indonesia.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan
menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.
Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya tentang sistem-sistem kekerabatan hukum adat indonesia.
Palangka Raya, Mei 2011
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makalah ini disusun dimaksudkan untuk memberi pengantar kepada setiap orang yang ingin
mempelajari sistem-sistem kekerabatan hukum adat Indonesia dan makalah ini bertujuan
menjelaskan bagaimana sistem kekerabatan hukum adat di indonesia agar kita mengetahui
pola–pola sistem kekerabatan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
a.Sistem-sistem kekerabatan hukum adat Indonesia.
b.Pola-pola kekerabatan adat Indonesia.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk tiap individu agar mampu memahami pembagian
dan pola-pola Sistem-sistem kekerabatan hukum adat Indonesia .
1.4 Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku dan
situs internet.
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai media untuk menambah wawasan.
b. Bahan referensi aktual .
c. Bahan bacaan dan pengetahuan
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sistem-sistem kekerabatan hukum adat Indonesia
Semenjak dahulu kala, sistem-sistem kekerabatan menarik perhatian para ahli ilmu-ilmu
sosial maupun kalangan-kalangan lainnya. Hal itu terutama disebabkan, oleh karena manusia
ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan keluarga dalam masyarakat, sebagai suatu
sistem sosial yang menyeluruh. Sistem kekerabatan sebenarnya merupakan terjemahan dari
istilah ―kinship- systems‖ (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai (Ch. Winick 1975:302)
“Pengenalan sosial dan ekspresi hubungan silsilah, baik consanguineal dan affinal”
Di dalam kamus sosiologi yang berjudul ―A Dictionary of Sociology‖, sistem
kekerabatan diartikan sebagai (Duncan Mitchell led) 1977: 104)
“…hubungan sosial berdasarkan kekerabatan nyata, dugaan atau fiktif, atau pada model
hubungan pertalian darah.”
Walaupun di dalam antropologi lazimnya istilah kekerabatan sering dipergunakan dalam
arti kekerabatan dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan, dimana kekerabatan
merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah “affinity”. Dengan
demikian, maka di dalam bahasa Inggris orang tua dengan anak adalah kerabat (“kin”)
sedangkan suami dan isteri adalah “affines”.
Pada kebanyakan masyarakat, seorang anak dipandang sebagai keturunan masyarakat,
seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut
mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun ibunya.
Kerabat yang ditelusuri melalui ayah, biasanya disebut “paternal” atau “patrilineal”,
sedangkan yang melalui ibu, lazimnya dinamakan “maternal” atau “matrilineal”. Hal-hal ini
akan menjadi pusat pembicaraan pada bagian ini; akan tetapi sebelum tiba pada peninjauannya
secara lebih mendalam, ada baiknya untuk mendapatkan suatu gambaran analitis mengenai
kekerabatan tersebut. Untuk kepentingan itu, maka di bawah ini akan disajikan suatu analisa
klasik yang berasal dari hasil karya antropolog terkemuka, yakni George Peter Murdock. Hasil
karya yang akan disajikan secara singkat tersebut berjudul ―Analysis of Kinship‖, yang terdapat
di dalam buku yang diberi judul ―Social Structure‖ (terbitan pertama kali pada tahun 1948).
Menurut Murdock, maka suatu analisa sistematis yang memberikan suatu arti ilmiah pada
pembahasan mengenai sistem-sistem kekerabatan, untuk pertama kali diakui oleh Morgan.
Walaupun ajaran-ajaran Morgan sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
akhir-akhir ini, akan tetapi dia merupakan seorang pelopor yang kemudian diikuti oleh
antropolog-antropolog terkemuka lainnya, seperti misalnya, Rivers, Kroeber, Lowie, Radcliffe-
Brown, dan lain-lain. Hasil karya Morgan tersebut, berjudul ―Systems of Consanguinity and
Affinity of the Human Family‖, diterbitkan di dalam ―Smithsonian Contributions to Knowledge,
XVII (1870)‖.
Murdock menyatakan, bahwa sistem kekerabatan berbeda dengan lain-lain organisasi
sosial di dalam masyarakat. Suatu sistem kekerabatan bukanlah suatu kelompok sosial, serta
tidak dikaitkan dengan suatu kumpulan individu-individu yang terorganisasikan. Suatu sistem
kekerabatan tidak lain, merupakan (G.P. Murdock 1965: 92)
“suatu sistem terstruktur dari hubungan di mana setiap individu
terikat satu sama lain dengan ikatan yang kompleks dan bercabang-cabang”.
Sudah tentu bahwa ikatan-ikatan kekerabatan tertentu, mungkin berfungsi sebagai sarana
untuk mengikat individu-individu tertentu, ke dalam kelompok-kelompok sosial, seperti
misalnya, keluarga atau keluarga luas.
Titik tolak dari analisa Murdock terhadap sistem kekerabatan, adalah keluarga batin
(―Nucleus family‖). Secara umum, di dalam keluarga batin seorang anak mula-mula
mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk mengadakan hubungan timbal balik yang saling
pengaruh mempengaruhi. Di dalam keluarga batin tersebut, anak untuk pertama kalinya
mengalami hubungan antar manusia atau interaksi antar manusia/pribadi. Dengan cara-cara
tertentu, anak belajar untuk memberi tanggapan terhadap perilaku ayah, ibu, dan saudara-
saudaranya. Tanggapan-tanggapannya tersebut, semakin lama semakin berkembang, sesuai
dengan proses sosialisasi yang dialaminya, yang lazimnya memberikan petunjuk-petunjuk
mengenai nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat atau kebudayaan.
Hubungan yang semula terbatas pada keluarga batin, lama-kelamaan berkembang ke luar
lingkungan terbatas tersebut. Perilaku dengan pihak-pihak lain, akan mendapat dukungan apabila
sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya
juga terjadi hukuman-hukuman, apabila perilaku tersebut terlalu menyimpang atau
menyeleweng.
Hubungan-hubungan yang terjadi di dalam keluarga batin, tidaklah terbatas pada usia
semasa anak-anak, akan tetapi tetap berlaku apabila yang bersangkutan telah menginjak usia
dewasa (secara biologic maupun secara social). Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa
suatu keluarga batin berfungsi, sebagai (Koentjaraningrat 1967: 102):
―1….kelompok di mana si individu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama
dari sesamanya serta keamanan dalam hidup,
2….kelompok di mana si individu itu, waktu ia sebagai kanak-kanak masih belum
berdaya, mendapat pengasuhan dan permulaan dari pendidikannya".
Menurut Murdock, maka di dalam suatu keluarga batin, akan dapat dijumpai paling
sedikit delapan ciri hubungan atau pola interaksi. Kedelapan ciri hubungan tersebut, ditandai
dengan adanya kerja sama, kesetiaan, solidaritas dan kasih sayang. Kedelapan ciri hubungan
tersebut, adalah sebagai berikut (G.P. Murdock 1965)
1. Suami dengan isteri: spesialisasi ekonomi dan kerja sama; hubungan seksual; tanggung
jawab bersama terhadap pengasuhan dan pendidikan anak; hak-hak timbal-balik mengenai
harta kekayaan, perceraian, wewenang-wewenang tertentu, dan seterusnya.
2. Ayah dengan anak laki-laki: aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh pria di bawah pimpinan
ayah; kewajiban memberikan tunjangan materil oleh ayah dan oleh anak pada saat ayah
mencapai usia lanjut; tanggungjawab ayah untuk mendidik serta menanamkan disiplin pada
anak laki-laki; kewajiban dari anak laki-laki untuk patuh dan menghargai ayahnya, yang
disertai rasa persahabatan.
3. Ibu dengan anak perempuan: suatu hubungan yang sama dengan hubungan antara ayah
dengan anak laki-laki, dengan tekanan pada pengasuhan dan kerja sama ekonomi.
4. Ibu dengan anak laki-laki: ketergantungan anak laki-laki selama usia anak-anak; penanaman
disiplin pada tahap awal, kerja sama ekonomi selama usia anak-anak; perkembangan awal
dari adanya larangan terhadap hubungan sumbang; tunjangan materil dari anak laki-laki
kepada ibu semasa usia lanjutnya.
5. Ayah dengan anak perempuan: tanggung jawab ayah untuk melindungi dan tunjangan materil
dari ayah sebelum anak perempuan menikah; kerja sama ekonomi, pendidikan dan
penanaman disiplin dalam derajat dan intensitas yang agak kurang apabila dibandingkan
dengan dalam hubungan antara ayah dengan anak laki-laki; hubungan yang erat selama masa
anak-anak yang kemudian dilanjutkan dengan adanya larangan terhadap terjadinya hubungan
sumbang.
6. Kakak dengan adik laki-laki: hubungan antara kawan sepermainan yang berkembang menjadi
hubungan persahabatan; kerja sama ekonomi di bawah bimbingan kakak; tanggung jawab
terbatas dari kakak atas pendidikan dan penanaman disiplin.
7. Kakak dengan adik perempuan: hubungannya sama dengan hubungan antara kakak dengan
adik laki-laki, akan tetapi dengan lebih banyak tekanan pada perhatian secara fisik terhadap
adik perempuan.
8. Kakak—adik laki-laki dengan kakak—adik perempuan: hubungan antara kawan sepermainan
selama usia anak-anak. Semakin meningkatnya larangan hubungan sumbang, yang disertai
dengan pembatasan-pembatasan tertentu; hubungan kerja sama ekonomi; melakukan peranan
sebagai orang tua, terutama dari pihak kakak.
Ciri atau pola hubungan yang terurai di atas, dengan perbedaan-perbedaan tertentu, akan
dapat dijumpai pada setiap keluarga batin yang lengkap, dengan jumlah anak paling sedikit dua
yang terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan. Setiap pria di dalam suatu masyarakat, akan
memainkan peranan sebagai suami, ayah, anak dan kakak di dalam suatu keluarga batin, pada
usia-usia tertentu. Demikian pula halnya dengan wanita, yang memainkan peranan sebagai isteri,
ibu, anak, dan kakak. Pantangan hubungan sumbang mencegah seorang laki-laki untuk sekaligus
memainkan peranan sebagai suami dan ayah di dalam suatu keluarga batin di mana dia adalah
anak dan kakak; demikian pula halnya dengan wanita. Dan apabila seorang menikah, maka dia
sekaligus menjadi anggota atau warga dari dua keluarga batih (dalam hal perkawinan mo-
nogami).
Menurut Murdock, maka kenyataan bahwa seseorang menjadi anggota dari keluarga batin
menyebabkan timbulnya sistem kekerabatan. Dengan demikian, maka istilah kerabat primer
(―primary relatives‖) dipergunakan terhadap mereka yang merupakan anggota dari keluarga batin
yang sama. Setiap kerabat mempunyai kerabat primernya, yang kebanyakan tidak tergabung ke
dalam kerabat primer dari Ego. Kategori terakhir tersebut biasanya dinamakan kerabat sekunder
(secondary relatives), sehingga secara potensil seseorang mungkin mempunyai 33 macam
kerabat sekunder (G.P. Murdock 1965: 94,95). Setiap kerabat sekunder juga mempunyai kerabat
primer, yang bukan merupakan kerabat primer atau sekunder dari Ego yang diberi nama kerabat
tertier (―tertiary relatives‖). Dengan demikian, maka mungkin terjadi sebanyak 151 pola
hubungan kekerabatan, termasuk kerabat jauh (‗distant relatives‘).
Kerabat-kerabat primer mempunyai hubungan darah, kecuali suami dengan isteri, yang
terikat oleh hubungan perkawinan, halmana menimbulkan suatu dikhotomi kekerabatan pada
semua tingkat Apabila hubungan antara dua kerabat, baik secara primer, sekunder, testier
maupun hubungan kerabat jauh, yang juga mencakup satu atau lebih hubungan perkawinan,
kedua orang kerabat tali tidak perlu mempunyai hubungan biologis dan biasanya diklasifikasikan
sebagai kerabat afinal (―afinal relatives‖). Contohnya adalah hubungan kekerabatan antara isteri
dengan ibu, anak perempuan dengan suami, hubungan antara ibu dengan kakak laki-laki dan
isteri. Kerabat konsanguineal ada bila yang bersangkutan mempunyai hubungan darah atau
berasal dari satu nenek moyang (dalam bahasa Inggris dinamakan ―consanguineal relatives‖).
Keluarga batih yang dijadikan titik tolak dari pendapat Murdock, merupakan suatu
kelompok kekerabatan (―Kin-group‖). Dengan demikian, maka istilah kelompok kekerabatan
menunjuk pada suatu bentuk kehidupan bersama, yang sebagaimana halnya dengan kelompok
sosial, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Koentjaraningrat 1967: 104):
(a) suatu sistem norma-norma yang mengatur kelakuan warga kelompok;
(b) suatu rasa kepribadian kelompok yang disadari oleh semua warganya;
(c) aktivitas-aktivitas berkumpul dari warga-warga kelompok secara berulang-ulang;
(d) suatu sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara warga kelompok;
(e) suatu pimpinan atau pengurus yang mengorganisasi aktivitas-aktivitas kelompok;
(f) suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta produktif,
harta konsumtif atau harta pusaka tertentu."
Suatu kelompok kekerabatan yang memiliki keenam ciri tersebut secara lengkap
dinamakan kelompok kekerabatan berkorporasi (Koentjaraningrat 1967 : 105) atau ―corporate
kingroup‖ (G.P. Murdock 1960:5, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat). Kelompok
kekerabatan yang tidak memiliki ciri keenam (f) merupakan suatu kelompok kekerabatan
kadangkala atau ―occasional kingroup‖. Lain halnya dengan ‖circumscriptive kingroup‖ atau
kelompok kekerabatan menurut adat, yang merupakan kelompok kekerabatan yang relatif besar
dan luas, yang biasanya hanya mempunyai ciri pertama dan kedua (a dan b).
Apabila pembicaraan dibatasi pada kelompok kekerabatan berkorporasi saja, maka dapat
dibedakan antara kelompok kekerabatan yang disebut ―ego-oriented kingroups‖ dan ―ancestor-
oriented kingroups‖. Pada yang pertama, maka hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui
salah seorang tokoh atau suatu keluarga tertentu yang masih hidup. Yang kedua menilai
hubungan kekerabatan dengan memperhitungkan seorang nenek moyang tertentu. Menurut
Koentjaraningrat, maka kedua kelompok kekerabatan tersebut mencakup kelompok-kelompok
kekerabatan, sebagai berikut (Koentjaraningrat 1967:105,106):
a. Ego-oriented kingroups:
1) Kindred
2) Keluarga luas (―extended family‖)
b. Ancestor – oriented kingroups:
1) Deme
2) Keluarga ambilineal kecil,
3) Keluarga ambilineal besar,
4) Klen kecil,
5) Klen besar,
6) Fratri,
7) Paroh Masyarakat (―Moiety‖)
Catatan: Bagi pembaca yang menaruh perhatian terhadap kelompok-kelompok kekerabatan
tersebut, dapat dibaca di dalam buku berjudul Beberapa Pokok Anlropologi Sosial
oleh Koentjaraningrat, halaman 106 sampai dengan halaman 122).
2.2 Prinsip-Prinsip Garis Keturunan
Uraian perihal kelompok kekerabatan sebagaimana dijelaskan di muka adalah penting,
sebagai suatu pengantar untuk membahas masalah prinsip garis keturunan yang menjadi pusat
perhatian dari bagian ini. Prinsip garis keturunan atau ―principle of descent‖ adalah (Ch. Winick
1975: 164).
"Jenis beberapa derajat kedekatan hubungan dengan orang lain melalui kekerabatan".
Menurt Mitchell, maka ―descent‖ adalah (Duncan Mitchell 1977: 54, 55)
“ istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan sosial yang diakui antara
seseorang dan nenek moyangnya, di mana nenek moyang istilah menunjukkan orang dari
yang satu turunan ... Harus menunjukkan bahwa keturunan sementara didasarkan pada
hubungan biologis, beberapa hubungan tersebut mungkin stres dengan
mengesampingkan orang lain. Selain itu, hubungan biologis kadang-kadang fiktif yang
diasumsikan, dan tentu saja ada juga praktek adopsi yang mungkin termasuk orang yang
tidak biologis terkait dalam sistem keturunan ".
Sebenarnya, maka prinsip keturunan memberikan batas-batas pada hubungan-hubungan
kekerabatan, oleh karena prinsip tersebut menentukan siapakah yang masuk batas hubungan
kekerabatan dan siapa yang secara biologis berada di luar batas tersebut. Lazimnya dibedakan
antara empat macam prinsip garis keturunan, yakni (Koentjaraningrat 1967: 124, 125;
bandingkan dengan Hazairin 1960: 5 yang membedakan hanya 3 macam prinsip garis keturunan
utama yang disebutnya sistem kekeluargaan manusia):
a. Prinsip garis keturunan patrilineal atau ―patrilineal descent‖ yang secara sederhana dapat
digambarkan, sebagai berikut (Ch. Winick 1975:404)
"Penentuan transmisi nama, properti melalui laki-laki. Keturunan patrilineal juga
disebut keturunan agnatic ".
Koentjaraningrat menjelaskan, bahwa prinsip garis keturunan patrilineal adalah
(Koentjaraningrat 1967: 124)
―…yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja, dan karena itu
mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat
ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum
kerabat ibunya jatuh di luar batas itu‖. Secara lebih terinci dengan menyebutkan
masyarakat Batak sebagai contoh. Hazairin menjelaskan prinsip garis keturunan
patrilineal, sebagai berikut (Hazairin 1960: 6)
―Lain keadaannya dengan orang Batak yang setiap orangnya, laki-laki atau perempuan,
menarik garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung yang laki-laki sebagai
saluran darah, yakni setiap orang itu hanya menghubungkan dirinya kepada ayahnya
saja dan dari ayahnya kepada ayah dari ayahnya yaitu datuknya dan begitu seterusnya
menghubungkan dirinya ke atas selalu menurut saluran atau penghubung yang laki-laki.
Ditinjau dari atas maka setiap orang Batak itu, jika ia laki-laki, hanya mempunyai
keturunan yang terdiri dari semua anak-anaknya, laki-laki dan perempuan, hanyalah
lahir dari anaknya yang laki-laki saja dan begitu seterusnya. Sehingga bagi orang Batak
itu seorang perempuan, menurut sistem kekeluargaannya yang bercorak patrilineal itu,
tidak Iayak untuk menghasilkan keturunan bagi keluarga ayah si perempuan itu‖.
Disamping prinsip garis keturunan di atas, yang oleh Hazairin disebut (prinsip) patrilineal
murni, terdapat pula prinsip patrilineal beralih-alih atau patrilineal ―aIternerend‖, yakni
(Hazairin 1960:7)
―…walaupun masyarakatnya ditinjau dari segi kekeluargaannya bercorak patrilineal,
mempunyai cara menarik garis keturunan yang memungkinkan bagi mereka melalui
saluran seorang perempuan, tergantung kepada bentuk perkawinan penyalur atau
penghubung itu…‖
b. Prinsip garis keturunan matrilineal atau ―matrilineal descent‖, yakni (Ch. Winick 1975:348)
"Mengacu pada transmisi warisan otoritas,, atau keturunan terutama melalui
perempuan"
Menurut Koentjaraningrat, maka prinsip garis keturunan merupakan suatu prinsip
(Koentjaraningrat 1967:125)
―… yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang-orang wanita saja, dan
karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua
kerabat ibunya masuk dalam batas hubungan kekerabatannya sedangkan semua kaum
kerabat ayahnya jatuh di luar batas itu‖.
Hazairin mengemukakan contoh masyarakat Minangkabau, untuk menjelaskan prinsip garis
keturunan matrilineal, sebagai berikut (Hazairin 1960:7)
―Orang Minangkabau lain pula caranya dalam menarik garis keturunan yang
menentukan keluarga bagi mereka, yaitu setiap orang laki-laki dan perempuan, menarik
garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung-penghubung yang perempuan
saja sebagai saluran darah, yaitu setiap orang itu menarik garis keturunannya kepada
ibunya dan dari ibunya kepada ibu dari ibunya itu, yaitu neneknya, dan dari neneknya
itu kepada ibunya plus dari nenek itu dan begitu seterusnya. Ditinjau dari atas maka
setiap, orang Minangkabau itu, jika ia perempuan, hanya mempunyai keturunan yang
terdiri dari anak-anaknya, laki-laki dan perempuan, selanjutnya cucu lakilaki dan cucu
perempuan yang lahir dari anaknya yang perempuan, selanjutnya piut-piut laki-laki dan
piut-piut perempuan yang lahir dari cucu perempuan. Sehingga piut-piut perempuan
yang lahir dari cucu perempuan. Sehingga menurut sistem Minangkabau yang bercorak
Matrilineal itu seorang laki-laki tidak mempunyai keturunan yang menjadi anggota
keluarganya.‖
Khususnya mengenai Minangkabau, perlu diperhatikan catatan yang oleh Franz von Benda–
Beckmann, sebagai berikut (Franz von Benda Beckmann 1979: 95)
"Orang minangkabau berpendapat bahwa ayah dan ibu memiliki bagian dalam prokreasi,
dan bahwa hubungan sosial menjadi ada oleh fakta bahwa seorang anak lahir untuk
mempertahankan pernikahannya. Dengan ekstensi, ego berkaitan dengan semua orang
kepada siapa orang tuanya terkait dengan serangkaian mata rantai. Aspek hubungan darah
kekerabatan bilateral di Minangkabau memiliki sepuluh telah diabaikan atau tidak cukup
ditekankan oleh penulis sebelumnya tentang Minangkabau. "
c. Prinsip garis keturunan bilateral atau parental (―bilateral descent‖), yakni (Duncan Mitchell
1977: 19)
"Menggunakan istilah untuk menggambarkan transmisi keturunan atau penyangga hak
kemiskinan melalui kedua orang tua laki-laki dan perempuan, tanpa menekankan satu
atau saluran lainnya.Bilateral istilah yang digunakan dalam berlawanan dengan
unilineal panjang."
Murdock kadang-kadang mempergunakan istilah ―cognatic descent‖ untuk bilateral tersebut.
Mengenai hal ini, dengan menyebut masyarakat Jawa sebagai contoh. Hazairin
menjelaskannya, sebagai berikut (Hazairin 1960: 5,6)
―orang Jawa mempunyai masyarakat yang sistem kekeluargaannya menurut cara
bilateral, yaitu setiap orang berhak menarik garis keturunannya ke atas baik pun melalui
ayahnya ataupun melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya ataupun
melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya itu dan ibunya itu dan terus
begitu selanjutnya.
Ditinjau dari atas maka setiap orang Jawa mempunyai keturunan bukan saja melalui
anaknya yang laki-laki dan anaknya yang perempuan, tetapi juga buat selanjutnya
mempunyai keturunan yang lahir dari cucunya yang perempuan dan dari cucunya yang
laki-laki, tidak peduli apakah cucunya itu lahir dari anaknya yang perempuan atau dari
anaknya yang laki-laki. Demikian pula piutnya ialah semua orang yang dilahirkan oleh
cucu laki-lakinya atau cucu perempuannya. Teranglah bahwa setiap saluran darah bagi
orang Jawa itu berarti penghubung dalam keturunannya dan berarti pula menghasilkan
anggota keluarga bagi dirinya.‖
Hazairin telah memberikan suatu uraian mengenai prinsip garis keturunan bilateral. Namun
demikian, perlu dicatat hal- hal, sebagai berikut (H. Geertz 1961: 5)
"Seorang Jawa melihat masing-masing relatif sebagai individu yang unik. Bagaimana dia
akan bersikap terhadap relatif ini merupakan fungsi dari sedikitnya enam perbedaan
faktor : jenis kelamin, umur relatif, posisi kelas, religio-ideologi pandangan, perasaan
pribadi,dan kekerabatan.Di luar lingkaran kerabat utama unsur kekerabatan adalah
kerakali terlemah dari enam faktor ".
Khususnya mengenai daerah Solo, maka Marbangun Hardjowirogo memberikan catatan-
catatan, sebagai berikut (Marbangun Hardjowirogo 1979: 9)
―Berdasarkan keturunan, masyarakat Solo terbagi atas ndoro, bangsawan dan wong
cilik, orang biasa dan berdasarkan profesi terbagi atas priyayi dan saudagar. Status
ndoro di Solo didapat karena adanya keturunan dalam garis lurus melalui seorang pria
atau seorang wanita yang asal-usulnya berpangkal pada seorang Susuhunan atau
seorang Mangku Negoro dan tergantung pada pangkal kendoroannya, seseorang bisalah
seorang ndoro Kasunan atau Kidulan dan juga seorang ndoro Mangkunegaran atau
Loran. Perlu dicatat dalam hubungan ini, bahwa gelar ndoro bisa diwariskan bukan saja
melalui seorang pria, melainkan juga melalui seorang wanita, fakta mana membuktikan
bahwa kedudukan genealogis wanita bangsawan di dalam masyarakat Solo sedari dulu
sama kuatnya sudahh dengan pria bangsawan. Semua orang yang berada diluar
kelompok ndoro terbatas, kompak dan eksklusif dengan mudah bisa diketahui siapa-
siapa saja yang termasuk dan tidak termasuk di dalamnya‖.
d. Prinsip garis keturunan bilineal atau ―bilineal descent‖ yang kadang-kadang juga disebut
―double descent‖, atau di dalam bahasa Belanda disebut ―dubbel–unilateraal‖ atau ―dubbel –
unilineaal‖. Menurut Koentjaraningrat, maka prinsip garis keturunan bilineal adalah
(Koentjaraningrat 1967: 125)
―… yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang-orang laki-laki saja untuk
sejumlah hak dan kewajiban tertentu, dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan
kewajiban yang lain, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam
masyarakat kadang-kadang semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan
kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas itu, dan kadang-
kadang sebaliknya."
Menurut Murdock, maka prinsip garis keturunan bilineal, adalah (G.P. Murdock 1965: 45)
"... masyarakat memiliki kedua kelompok kerabat patrilineal dan matrilineal, dan
seseorang berafiliasi pada saat yang sama dengan kelompok lineal Patri,ayahnya dan
kelompok matrilineal ibunya, kerabat ayahnya matrilineal dan ibu nya Patri kelompok-
lineal dibuang. "
Mengapa prinsip ini bukan merupakan kombinasi antara prinsip garis keturunan patrilineal
dengan prinsip garis keturunan matrilineal? Hal itu disebabkan, oleh karena (G.P. Murdock
1965: 45)
"Karena dalam kondisi tertentu menghasilkan keturunan ganda kelompok kerabat
pertalian darah jenis yang unik, mungkin bisa digolongkan sebagai, aturan utama
keempat keturunan daripada sekedar kombinasi dari peraturan patrilineal dan
matrilineal."
Menurut ter Haar Bzn, maka di beberapa daerah, misalnya di Aceh dan gavo, terdapat
masyarakat-masyarakat dengan gejala bilinear. Artinya, pada masyarakat-masyarakat tersebut
terdapat suatu tradisi, di mana benda-benda tertentu diwariskan oleh ayah kepada anak laki-laki
saja, dan demikian pula bagi benda-benda tertentu dari seorang ibu hanya diwariskan kepada
anak perempuannya. (B ter Haar Bzn 1950: 149).
Mengenai sistem kekerabatan, tclah dikembangkan suatu sistem istilah kekerabatan, yang
mula-mula diintroduksikan oleh L.H. Morgan. Di sini bukanlah tempatnya untuk menjelaskan
hal itu, akan tetapi ada baiknya untuk menyajikan beberapa tanda yang lazim dipergunakan
untuk menyusun skema susunan kekerabatan tertentu. Para antropolog, lazimnya
mempergunakan tanda tertentu, yang wujudnya adalah sebagai berikut:
Ego = Individu yang menjadi pusat dari suatu skema susunan kekerabatan,
= Untuk pria
= Untuk wanita
= Untuk keturunan
= Untuk saudara-saudara sekandung
= Untuk saudara-saudara kembar
= Untuk perkawinan yang sah
.
Hazairin di dalam bukunya yang berjudul Hendak ke mana Hukum Islam, telah
mengembangkan tanda-tanda lain, sebagai berikut (Hazairin 1960: Lampiran I):
= Laki-laki atau perempuan
= Laki-laki
= Perempuan
= Perkawinan
= Garis Keturunan
= Seterusnya ke bawah
= Seterusnya ke atas
B = Bilateral
P = Patrilineal murni
PA = Patrilineal alternecrend (beralih-alih)
p = Patrilokal (kawin jujur)
m = Matrilokal (kawin semendo)
= orang lain clan, laki-laki atau perempuan
= Laki-laki lain clan
= Perempuan lain clan
= Laki-laki itu kawin jujur
= Perempuan itu kawin jujur
= Laki-laki itu kawin semendo
= Perempuan itu kawin semendo
cc = Cross Cousins
pc = Parallel cousins
.
.
po
op
∆p
p∆
om
mo
∆m
m∆
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem-Sistem kekerabatan pada umumnya dan prinsip-prinsip garis keturunan
pada khususnya, merupakan masalah-masalah yang perlu ditelaah terlebih dahulu sebelum
mempelajari hukum adat. Sistem kekerabatan maupun prinsip garis keturunan, merupakan
faktor-faktor yang menjadi dasar bagi masyarakat suku-suku bangsa di Indonesia. Faktor-faktor
tersebut merupakan salah satu dasar pembeda antara pelbagai suku bangsa di Indonesia, dan
menjadi salah satu hal yang dipergunakan sebagai sarana untuk memelihara integritas suku
bangsa yang bersangkutan. Sistem kekerabatan maupun prinsip garis keturunan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap bidang-bidang Hukum Adat tertentu, terutama yang
mengatur kehidupan pribadi dari masyarakat, seperti misalnya, hukum keluarga dan hukum
waris. Oleh karma itu, maka bagian C ini menguraikannya secara panjang lebar, supaya
diperoleh dasar yang mantap bagi penguraian proses hukum di bidang-bidang Hukum Adat
tertentu. Pada bidang-bidang itulah, Hukum adat lebih banyak berfungsi sebagai sarana
pengendalian social (―Social control‖).
3.2 Saran
Setelah membahas tentang sistem-sistem kekerabatan hukum adat indonesia.
diharapkan agar mahasiswa Indonesia mampu memahami, menganalisis dan menjawab
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat khususnya yang menyangkut adat istiadat
secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia
yang berlandaskan pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Hildred. The Javanese Family. New. York: The Free Press, 1961.
Ter Haar Bzn, B. Beginselen en Stelsel van 'het Adatreht Groningen. Djakarta: J.B. Wolters,
1950.
Haizairin. Hendak Kemana Hukum Islam? Jakarta: Tintamas, 1960.
Haizairin. Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta: Tintamas, 1974.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1967.
Marbangun Hardjowirogo. Adat Istiadat Jawa. Bandung Penerbit Patma, 1979.
Mitchell, G. Duncan (ed). A Dictionary of Sociology. London: Routledge & Kegan Paul, 1977.
Selo Sumardjan. Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat. Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial
U.I., 1975.
Soerjono Soekanto. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia. 1978.
Soerjono Soekanto. Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat. Jakarta: Penerbit
Academica. 1979.
http//www.wikipedia/hukum adat indonesia.com
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 1
1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 1
1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sistem-sistem kekerabatan hukum adat Indonesia ................................. 2
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 15
3.2. Saran ....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA