Download - makalah akhalasia
MAKALAH KASUS I
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN AKHALASIA
KELOMPOK 11
SITI ANISA ZAKIYYA NORDIN 220110080145
SALAS AULADI 220110080138
SRI HANDINI PERTIWI 220110080105
SILVIA JUNIANTY 220110080097
SRI MELFA DAMANIK 220110080079
SELLA GITA ADITI 220110080052
SUSI HANIFAH 220110080035
SARAH RIDHASA F. 220110080013
TIARA RACHMAWATI 220110080118
TIARA TRI 220110080108
TRIANDINI 220110080095
TAMMY KUSMAYANTI 220110080053
TIARA ARUM KESUMA 220110080050
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
JATINANGOR
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah mengenai penyakit
Skoliosis.
Makalah ini disusun dalam rangka pendokumentasian dari aplikasi pembelajaran
mata kuliah Digestive System. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya terutama kepada tutor kelompok 11 dalam penyusunan mata kuliah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Pada akhirnya, kami mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat khususnya
bagi anggota kelompok 11 dan bagi pembaca umumnya.
Jatinangor, Desember 2009
Penyusun
LATAR BELAKANG
Akalasia adalah penyakit yang jarang dari otot esophagus (tabung yang menelan).
Istilah achalasia berarti "gagal untuk mengendur" dan merujuk pada ketidakmampuan dari
lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung)
untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Sebagai akibatnya,
pasien-pasien dengan achalasia mempunyai kesulitan menelan makanan.Akalasia mungkin
disebabkan oleh kegagalan fungsi (malfungsi) dari saraf-saraf yang mengelilingi
kerongkongan dan mempersarafi otot-ototnya. Penyebab penyakit ini sampai sekarang
belum diketahui. Secara histologik diteraukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion
plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa
faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan
penyebab dari akalasia
• TeoriGenetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia.
• Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia,
tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles),
Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada
saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung
faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus
dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot
polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor
infeksi.
Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan
faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan
hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.
• Teori Autoimun
• Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber. Pertama,
respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T
yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi
dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun
lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari
pleksus mienterikus.
• Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan
proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit
Parkinson dan depresi.
Kasus
Ny. Celline 72 tahun tinggi badan 165 cm berat badab 50 kg. Mengeluh belakangan
ini mengalami masalah saat makan dan minum, sering kali tersedak sampai beberapa kali
makanan bukan tertelan tetapi masuk ke rongga hidung, sehingga ia terbatuk dan bersin
saat makan. Keadaan ini sudah berlangsung agak lama, tapi 2 bln belakangan ini semakin
berat hingga berat badannya menurun. Sebelumnya berat badannya Ny. Celline ideal
dengan BMI 24.
PEMBAHASAN
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
A. Rongga mulut
Merupakan organ pertama dari saluran pencernaan yang letaknya meluas dari
bibir sampai istimus fausium yaitu perbatasan mulut dan faring, ,mulut terdiri dari
bagiab vestibulum oris dan kavum oris propia
o Vestibulum oris
Terletakdi antara biir dan pipi poaling luar, gusi, dan gigi bagian dalam,
bagian atas dan bawah dibatasi lipatan membrane mukosa bibir pipi dan gusi
o Kavitas oris propia
Di abtara arkus alviolaris, gusi dan gigi yang memilikoi atap yang dibentuk
oleh palatum durum (palatum keras) pada bagian depan dan palatum mole
(lunak) pada bagian belakang
Organ kelengkapan mulut :
• Bibir
Tersusun atas otot rangka (forbikularis mulut) dan jaringan ikat, berfungsi
menerima makanan dan produksi wicara
Terdiri :
- Permukaan luar bibir dilapisi kulit yang mengandung folikel rambut,
kelenjar keringat dan kelenja sabasea
- Area transisional memiliki epidermis transparan
- Oermukaan dalam bibir adalah membrane mukosa
• Pipi
Mengandung otot bustinator mastikasi, lapisan epitel pipi merupakan subyek
abrasi dan sel sacara konstan terlepas untuk kemudian diganti dengan sel baru
• Lidah
Terdapat pada kavum oris berfungsi menggerakan makanan saat dikunyah
atau ditelan. Untuk pengecapan dan dalam produksi wicara
Bagian lidah :
� Pangkal lidah (radiks lingua) terdapat epiglottis sehingga menutup salutran
pernapasan waktu menelan
� Badan lidah (dorsum lingua) terdapat putting pengecap untuk menentukan
rasa makanan
� Ujung lidah (apeks lingua) membantu membalikkan makanan, proses
merasakan makanan, proses berbicara, dan membantu proses menelan
Otot lidah :
� Otot ekstrinsik berawal pada tulang dan jaringan luar lidah, berfungsi
dalam pergerakan lidah secara keseluruhan
� Otot intrinsic memberikan mobolitas yang besar pada lidah
� Papilla elevasi jaringan mukosa dan jaringan ikat pada permukaan dorsal
lidah, papilla menyebabkan tekstur lidah menjadi kasar.
• Kelenjar saliva
Mensekresi saliva ke rongga oral, terdiri dari cairan encer yang mengandung
enzim dan cairan kental yang mengandung mucus. Ada 3 pasang kelenjar
saliva :
a. Parotis , terletak di bagian bawah depan telinga antara prosesus mastoid
kiri dan kanan dan os. Mandibularis , salurannya bernama duktus stensoni
keluar dari glandula parotis melalui pipi (muskulus buksinator). Sekresi
saliva normalnya setiap hari 1000-1500
b. Submaksilaris . terletak di bagian dalam mandibula , di bawah rahang atas
bagian tengah salurannya bernama duktus wartoni menuju ke dasar mulut
pada frenulum lingua
c. Sublingua , di dasar mulut dan membuka saluran duktus sublingual kecil
menuju ke dasar mulut.
Komposisi : terdiri atas sekresi serosa ( 95%air dan mengandung enzim
amylase / ptyalin untuk mencerna tepung) dan sekresi mucus yang lebih
kental dan lebih sedikit yang mengandung glikoprotein (musin( ion dan air
Fungsi saliva :
o Melarutkan makanan secara kimia, untuk pengecapan rasa
o Melembabkan dan melumasi makanan sehingga mudah ditelan, dan
member kelembaban pada bibir dan lidah
o Amylase pada saliva menguraikan zat tepung menjadi polosakarida dan
maltose
o Sebagai zat buangan seperti asam urat dam urea serta berbagai zat lain
seperti obat, virus dan logam
o Zat antibakteri dan antibody, untuk membersihakan rongga oral dan
menjaga kebersihan rongga oral
Kendali saraf pada sekresi saliva :
o Aliran saliva dipicu oleh stimulus psikis (pikiran makanan). Makanis
(keberadaan makanan), kimiawi (jebis makanan) dab dapat pula sebagai
respon terhadap respon yang berasal dari lambung dan usus bagian atas
sehinga saliva diproduksimuntuk menghilangkan factor iritan pada traktus
gastrointestinal dan menetralisir zat iritan
o Stimulus dibawa melalui serabut aferen dalam saraf cranial V. VII, IX, X
menuju nuclei salivatori inferior dan superior, kel. Saliva terutama
dikontrol oleh parasimpatis, dan rangsangan saraf simpatis dapat
meningkatkan saliva dalam jumlah sedang
• Gigi
Setiap lengkung barisan gigi membentuk lengkung gigi, lengkung bagian atas
lebih besar dari bagian bawah sehingga gigi atas secara normsl sksn menutup
gigi bawah. Manusia memiliki 2 susunan gigi, yaitu:
1. Gigi primer (desiduous) terdiri dari dari 2 gigi seri ,1 taring. 2 geraham
(molar), untuk total keseluruhan 20 gigi
2. Gigi sekunder / permanen mulai dari usia 5 sampai 6 tahun terdiri dari 2
gigi seri, 1 taring, 2 premolar / bicuspid, 3 geraham / tricuspid, dan total 43
buah
Komponen gigi
1. Mahkota adalah bagian gigi yang terlihat
2. Mahkota dan akar bertemu pada leher dari bagian gigi yang terselubungui
gingival (gusi)
3. Membrane peridental merupakan jaringan ikat yang melapisi kantong
alveolar dan melekat pada sementum di akar
Rongga pipa dalam mahkota melabar ke dalam saluran akar
B. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong
dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra
servikal 6. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esofagus. Otot-otot faring tersusun dalam lapisan memanjang (longitudinal) dan
melingkar (sirkular). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m. konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan,
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di bagian belakang bertemu pada jaringan
ikat yang disebut rafe faring. Batas hipofaring di sebelah superior adalah tepi atas
epiglotis, batas anterior adalah laring, batas posterior ialah vertebra servikal serta
esofagus di bagian inferior. Pada pemeriksaan laringoskopi struktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di bawah valekula adalah
permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis berfungsi melindungi glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis dan ke esofagus. Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal
dari pleksus faringealis. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faringeal dari n. vagus,
cabang dari n.glossofaringeus dan serabut simpatis. Dari pleksus faringealis keluar
cabang-cabang untuk otot – otot faring kecuali m. stilofaringeus yang dipersarafi
langsung oleh cabang n. glosofaringeus.
Faring terdiri dari 3 bagian :
- Nasofaring (pars nasalis) bagian superior yang menghubungkan hidung
dengan faring
- Orofaring (pars oralis) bagian media yang menghubungkan rongga mulut
dalam faring
- Laringofaring (pars laryngitis) bagian interior yang menghuungakn laring
dengan faring
C. Esofagus
Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus
vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach
yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esophagus
Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper
esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk
bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini
selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke
dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari
esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional
yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus
bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan
lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk
mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam
badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar
makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus.
Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter
berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus.
Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik mi akan membawa makanan dan saliva
untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada
sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster
melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan
dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase
yaitu :
1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada
dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding
posterior faring terangkat.
2. Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan taring
bergerak ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring,
m. Thyroid dan m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan
sfingter laring.
3. Fase oesophageal, fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan ke
distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus
bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat.
MEKANISME MENELAN (DEGLUTISI)
Proses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan
setiap organ yang berperan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Dalam proses menelan ini diperlukan kerjasama yang baik dari 6 syaraf cranial, 4
syaraf servikal dan lebih dari 30 pasang otot menelan.
Pada proses menelan terjadi pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke
dalam lambung. Secara klinis terjadinya gangguan pada deglutasi disebut disfagia
yaitu terjadi kegagalan memindahkan bolus makanan dari rongga mulut sampai ke
lambung.
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut : (1) pembentukan
bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik, (2) usaha sfingter
mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) kerja sama yang baik
dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung, (4)
mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring,
(5) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi, (6)
usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan dapat dibagi dalam
tiga fase yaitu :
o FASE VOLUNTER/FASE ORAL
Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan yang
dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva
untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan ukuran yang
siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara di sadari. Pada fase oral ini
perpindahan bolus dari ronggal mulut ke faring segera terjadi, setelah otot-otot
bibir dan pipi berkontraksi meletekkan bolus diatas lidah. Otot intrinsik lidah
berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari bagian anterior ke
posterior. Bagian anterior lidah menekan palatum durum sehingga bolus
terdorong ke faring.
Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior
faring sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas
akibat kontraksi m. palato faringeus (n. IX, n.X dan n.XII) Jadi pada fase oral ini
secara garis besar bekerja saraf karanial n.V2 dan nV.3 sebagai serabut afferen
(sensorik) dan n.V, nVII, n.IX, n.X, n.XI, n.XII sebagai serabut efferen
(motorik).
Fase oral dan faringeal
o FASE FARINGEAL
Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior
(arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal ini
terjadi:
1. m. Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X dan
n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian uvula
tertarik keatas dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.
2. m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m ariepiglotika (n.IX,nX)
m.krikoaritenoid lateralis (n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi pita
suara sehingga laring tertutup.
3. Laring dan tulang hioid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena
kontraksi m.stilohioid, (n.VII), m. Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan
n.servikal I).
4. Kontraksi m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X, n.XI), m. Konstriktor
faring inermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan m.konstriktor faring inferior (n.X,
n.XI) menyebabkan faring tertekan kebawah yang diikuti oleh relaksasi
m. Kriko faring (n.X)
5. Pergerakan laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus dan
dorongan otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan turun
ke bawah dan masuk ke dalam servikal esofagus. Proses ini hanya
berlangsung sekitar satu detik untuk menelan cairan dan lebih lama bila
menelan makanan padat.
Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial n.V.2, n.V.3 dan n.X
sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII sebagai serabut
efferen.
Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase faringeal,
meningkatkan waktu gelombang peristaltik dan memperpanjang waktu
pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Bertambahnya volume bolus
menyebabkan lebih cepatnya waktu pergerakan pangkal lidah, pergerakan
palatum mole dan pergerakan laring serta pembukaan sfingter esofagus bagian
atas. Waktu Pharyngeal transit juga bertambah sesuai dengan umur.
Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm/detik.
o FASE ESOFAGEAL
Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus
makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik.
Fase ini terdiri dari beberapa tahapan :
1. Dimulai dengan terjadinya relaksasi m.kriko faring. Gelombang peristaltik
primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler dinding
esofagus bagian proksimal. Gelombang peristaltik pertama ini akan diikuti
oleh gelombang peristaltik kedua yang merupakan respons akibat regangan
dinding esofagus.
2. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut saraf pleksus
mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal dan otot sirkuler dinding
esofagus dan gelombang ini bergerak seterusnya secara teratur menuju ke
distal esofagus.
Cairan biasanya turun akibat gaya berat dan makanan padat turun karena gerak
peristaltik dan berlangsung selama 8-20 detik. Esophagal transit time bertambah
pada lansia akibat dari berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk
merangsang gelombang peristaltik primer.
Fase esophageal
PERANAN SISTEM SARAF DALAM PROSES MENELAN
Proses menelan diatur oleh sistem saraf yang dibagi dalam 3 tahap :
a) Tahap afferen/sensoris dimana begitu ada makanan masuk ke dalam orofaring
langsung akan berespons dan menyampaikan perintah.
b) Perintah diterima oleh pusat penelanan di Medula oblongata/batang otak (kedua
sisi) pada trunkus solitarius di bag. Dorsal (berfungsi utuk mengatur fungsi
motorik proses menelan) dan nukleus ambigius yg berfungsi mengatur distribusi
impuls motorik ke motor neuron otot yg berhubungan dgn proses menelan.
c) Tahap efferen/motorik yang menjalankan perintah
Fisiologi
Proses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan
setiap organ yang berperan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Dalam proses menelan ini diperlukan kerjasama yang baik
dari 6 syaraf cranial, 4 syaraf servikal dan lebih dari 30 pasang otot menelan.
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut:
1. Pembentukan bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik
2. Usaha spingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan
3. Kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus
makanan ke arah lambung
4. Mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring
5. Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi
6. Usaha untuk membersihkan kembali esophagus
2 KONSEP PENYAKIT
A. DEFINISI
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,
Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi
esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Kegagalan relaksasi
batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan dilatasi bagian proksimal
esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu
mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna
menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal
dan umumnya terjadi regurgitasi.
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula
diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan
dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam
lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter
balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomi
di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang.
B. FAKTOR RESIKO
Insidens terjadinya akalasia adalah 1 dari 100.000 jiwa pertahun dengan
perbandingan jenis kelamin antara pria dan wanita 1 : 1. Akalasia lebih sering
ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak dengan
persentase sekitar 5% dari total akalasia.
C. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik
diteraukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang
esofagus pars torakal yang menyebabkan control neurologis dan sebagai akibatnya
gelombang peristaltic primer tidak mencapai spingter esophagus bawah untuk
merangsang relaksasi Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti
herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari
akalasia
• Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita
akalasia.
• Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia,
tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles),
Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine
pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat
mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi
spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran
pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang
memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi
yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut.
Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan
varicella zoster pada pasien akalasia.
• Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh
limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,
prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan
penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan
autoantibodi dari pleksus mienterikus.
• Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan
proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit
Parkinson dan depresi.
D. MANIFESTASI KLINIS
� Disfagia terhadap makanan cair dan padat, , Disfagia dapat terjadi secara tiba-
tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung
sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada
makanan padat.
� Regurgitasi adalah aliran balik isi labung ke dalam mulut dapat timbul setelah
makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari
pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan
abses paru, bahkan dapat memicu kematian
� Berat badan menurun
� Jika akalasia terjadi dalam waktu yang lama esophagus membesar, sehingga
mengakibatkan ulserasi mukosa esophagus yang menimbulkan nyeri substernal
hebat bahkan Muntah yang makin lama makin berat
E. KLASIFIKASI
a. Akalasia primer
Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus
dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia miyenterikus pada esofagus, faktor
keturunan juga cukup berpengaruh.
b. Akalasia sekunder
Disebabkan oleh infeksi (penyakit chagas). Tumor intra luminer seperti tumor
caralia atau pendorongan ekstra luminer, kemungkinan lain disebabkan obat anti
koligergik / pasca vagotomi.
F. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada esofagus
adalah sebagai berikut :
• Obstruksi saluran pethapasan
• Bronkhitis
• Pneumonia aspirasi
• Abses para
• Divertikulum
• Perforasi esophagus
• Small cell carcinoma
• Sudden death.(1)
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi NonBedah
- Terapi Medikasi
- Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg
PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi
dan membantu membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu
kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium
channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan
pada sfingter esofagus bawah.
- Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang
kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi
dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan
memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus
dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-
kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini
terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi
secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100
unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap
kuadran dari LES
- Pneumatic Dilatation
Suatu baton dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang
bertujuan luituk merupturkan serat otot, dan membuat mukosa menjadi intak.
Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun
menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Jika
terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penurupan
perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.
Terapi Bedah
Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan
serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian
proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk
mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali
beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi
pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan
insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena
keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu
pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam
penanganan akalasia esofagus.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua
pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya
esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari
obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada
pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang
menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari
daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-
kadang terdapat tanda-tanda esofagitis aldbat retensi makanan. Sfingter
esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada
esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah.
b. Pemeriksaan Manometrik
Gunanya untuk mem'lai fungsi motorik esofagus dengan melakukan
pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini
untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif.
Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan
manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah
fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan
esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter
esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme
relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan
esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus
sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah
normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan.
c. Menelan barium atau esofagogastroduodenoskopi (EGD); ± pemantauan pH
esofagus atau manometer.
Pemeriksaan radiologis barium biasa dikombinasikan dengan
pemeriksaan diagnostic lambung dan duodenum (rangkaian pemeriksaan
radiologis gasyrointestinal bagian atsa menggunakan barium sulfat)
menggunakan barium sulfat dalam cairan atau suspens kri yang ditelan .
mekanisme menelan dapat terlihat secara langsung dengan pemeriksaan
fluoroskopi atau perekaman gambaran radiografik. Bila dicurigai terdapat
kelainan esophagus ahli radiologi dapat meletakkan penderita dalam berbagai
posisi.
d. Pemeriksaan motilitas
Berfungsi memriksa bagian motorik esophagus dengan menggunakan
kateter peka tekanan atau balon mini mg diletakkan dalamlambung dan
kemudian naikkan kembali. Tekanan kemudian ditransmisi ke transduser
yang diletakkan di luar tubuh penderita , pengukuran perubahan tekanan
esophagus dan lambung sangat menambah pengertian aktivitas esophagus
pada keadaan sehat atau sakitsaat istirahat dan selama menelan.
I. HEALTH EDUCATION
Menghindari alcohol, dan makanan panas, dingin, dan pedas dan dianjurkan
untuk tidur dengan kepala terangkat untuk menghindari aspirasi.
J. PATOFISIOLOGI
Faktor usia
Absorpsi nutrient ↓
Sfingter esofagus
bawah gagal relaksasi
Makanan tertahan
di esofagus
Makanan masuk
ke saluran nafas
Resiko bersihan jalan
nafas tak efektif
Tekanan esofagus atas ↑
AKALASIA
Kerja otot ↓
Respon batuk
dan bersin
aperistaltik
Sulit menelan
Kerusakan kerja syaraf
neksus mientrikus pada
2/3 bag. bawah esofagus
Degenerasi syaraf
Nutrisi kurang
dari kebutuhan muntah
Aliran balik
makanan keluar
(regurgitasi)
3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1. Pengumpulan data:
a. Biodata:
Nama : Ny. Celline
Usia : 72 tahun
Alamat : -
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : -
Tanggal masuk dirawat : -
Diagnosa medis : Akhalasia
b. Riwayat Kesehatan
- Keluhan Utama : mengalami masalah saat makan atau minum
- Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien didiagnosa akhalasia dengan keluhan mengalami masalah saat makan
atau minum, seringkali tersedak sampai beberapa kali makanan bukannya
tertelan tapi masuk ke ronggah hidung sehingga terbatuk dan bersin saat
makan
- Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Klien mengalami keadaan ini agak lama tapi 2 bulan belakangan ini makin
berat
c. Pemeriksaan Fisik
BB : 50 kg
TB : 165 cm
b. Pengumpulan Data
DS : - Klien mengeluh mengalami masalah saat makan atau minum.
- Ia seringkali tersedak sampai beberapa kali makanan bukannya tertelan
tapi masuk ke dalam rongga hidung sehingga ia terbatuk dan bersin saat
makan.
DO : - BB turun
c. Analisa data
No. Data menyimpang Etiologi Masalah keperawatan
1. DS: klien
mengeluh
mengalami
masalah saat
makan dan minum
DO: BB turun
Sulit menelan→akhalasia→
makanan tertahan di
esofagus→absorpsi nutrient
berkurang→nutrisi kurang dari
kebutuhan
Nutrisi kurang dari
kebutuhan
2. DS: Ia seringkali
tersedak sampai
beberapa kali
makanan bukannya
tertelan tapi masuk
ke dalam rongga
hidung sehingga ia
terbatuk dan bersin
saat makan.
DO: -
Faktor usia → degenerasi
syaraf → kerja otot menurun
→ aperistaltik→ sfingter
esofagus bawah gagal
berelaksasi→ makanan masuk
ke saluran nafas→ respon
batuk dan bersin → resiko
bersihan jalan nafas tak efektif
Resiko bersihan jalan
nafas tak efektif
Diagnosa keperawatan:
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan sulit menelan ditandai oleh
klien mengeluh mengalami masalah saat makan dan minum dan Berat badan turun
b. Resiko bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan makanan masuk ke
saluran nafas
d. Rencana Asuhan Keperawatan
DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
Ketidakseimban
gan nutrisi
kurang dari
kebutuhan
berhubungan
dengan klien
mengalami
masalah pada
saat makan dan
minum ditandai
dengan
penurunan berat
badan.
Setelah 1 minggu
perawatan,
kebutuhan nutrisi
klien seimbang
/terpenuhi dengan
criteria hasil :
Berat badan naik
½ kg.
Mencapai Body
Max Index yang
normal
Nafsu makan
menigkat
Berikan makanan
sesuai dengan
kebutuhan
Berikan makanan
dengan porsi sedikit
tapi sering
Berikan makanan
jangan terlalu padat
dan terlalu cair
Beritahu pada klien
untuk selalu
menghabiskan
makanannya
Berikan obat –
obatan golongan
nitrates dan calcium
channel blokers
Pemberian yang sesuai
indikasi dan tidak
memberatkan klien apabila
berlebihan
Mencegah terjadinya
penumpukan makanan pada
esophageal
Makanan yang tidak terlalu
padat dan tidak terlalu cair
dapat dengan mudah dicerna
oleh tubuh
Membantu melancarkan dan
memudahkan pencapaian
tujuan
Obat golongan nitrates
membantu mengendurkan
spincter esophagus bagian
bawah sedangkan calcium
channel bloker dapat
membantu esophagus untuk
relaks dan tidak konstriksi.
Bersihan jalan
nafas tak efektif
Tujuan jangka
pendek : klien
Anjarkan klien
untuk batuk efektif
Batuk efektif dapat
dilakukan pada posisi duduk
berhubungan
dengan adanya
dilatasi
esophagus
ditandai dengan
klien mengeluh
batuk dan
tersedak
Data objektif :
Reflek batuk
tidak efektif
mengerti dan
mampu
menerapkan
batuk efektif
Tujuan jangka
panjang :
bersihan jalan
nafas efektif
dalam waktu 3
hari
Berikan posisi
kepala tempat tidur
lebih tinggi
Berikan perawatan
mulut yang baik
setelah batuk
Dorong/ bantu
latihan nafas
abdomen atau bibir
Kaji kondisi
pernafasan
(frekuensi ,
kedalaman, gerakan
dda, penggunaan
otot bantu nafas,
tegak, dan meningkatkan
kenyamanan sewaktu
inspirasi
posisi semi fowler akan
mempermudah pasien untuk
bernafas, dan meningkatkan
ekspansi dada sehingga
udara mudah masuk
Meningkatkan kenyamanan
klien selama mengalami
perawat
Memberikan pasien
beberapa cara untuk
mengatasi dan mengontrol
dipsnea dan menurunkan
jebakan udara
Berguna dalam evaluasi
derajat distress pernafasan
dan kronisnya proses
penyakit
PENUTUP
A. Simpulan
Akalasia adalah keadaan sfingter esofagus inferior yang gagal berelaksasi
selama menelan. Sebagai akibatnya, makanan yang ditelan ke dalam esofagus gagal
untuk melewati esofagus masuk ke dalam lambung..
Jika akalasia menjadi berat, esofagus sering tidak mengosongkan makanan yang
ditelan ke dalam lambung selama beberapa jam, padahal waktu yang normal adalah
beberapa detik. Setelah berbulan-bulan dan bertahun-tahun, esofagus menjadi sangat
membesar sehingga sering kali dapat menampung sebanyak satu liter makanan, yang
sering menjadi terinfeksi dan membusuk selama periode statis esofagus yang lama.
Infeksi juga dapat mengakibatkan ulserasi mukosa esofagus, kadang-kadang
menimbulkan nyeri subternal atau bahkan ruptur dan kematian.\
Akalasia dapat diobati dengan melebarkan katup secara mekanik, contohnya
dengan menggelembungkan sebuah balon di dalam kerongkongan. 40% hasil dari
prosedur ini memuaskan, tetapi mungkin perlu dilakukan secara berulang. Dengan
pemberian nitrat (contohnya nitroglycerin) yang ditempatkan di bawah lidah sebelum
makan atau penghambat saluran kalsium (contohnya nifedipine), maka tindakan
untuk melebarkan kerongkongan dapat ditangguhkan.
Sebagai perawat kita dapat memberikan Health Education kepada klien
dengan cara menghindari alcohol, dan makanan panas, dingin, dan pedas dan
dianjurkan untuk tidur dengan kepala terangkat untuk menghindari aspirasi.
B. Saran
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman – teman sesama
mahasiswa. Selain itu penyakit akalasia ini sangat berbahaya dan kita sebagai host
harus bisa menerapkan pola hidup sehat agar kesehatan kita tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Achalasia. [Online]. 2007 Feb 10 [cited 2007 September 29]; Available from:
URL:http://en.wikipedi.org/wiki/achalasia
Achalasia. [Online ]. 2007 September 29 ; Available from; URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000267.htm
Adnan,Misbahuddin, Frans Liyadi S. Radiologi 3. Makassar ; Bagian Radiologi
FKUH.1980. p.12.
Bakry F. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Jakarta: Pusat
Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. p. 322-324. (vol 1).
Ekayuda I. Radiology anak. Radiologi diagnostic. 2nd ed. Jakarta; 2005. p. 393-
394.
Fisichella, P Marco. Achalasia. [Online] 2006 Oct 10 [cited 2007 Sept 29].
Available from URL: http://www.emedicine.com/med/topic16.htm
Forbes A, MisiewiczJJ, Compton CC, Levine MS, Quraishy MS, Rubesin SE, et
al. The esophagus. Atlas of clinical gastroenterology. 3rd ed. Edinburgh:
Elsevier Mosby; 2005. p. 23-26.
Goyal,Ray K. Disease of the Esofagus. Principles of the Internal Medicine vol 2.
16th ed. New York ; Mac Graw-Hill Book Company; 2000. p.
Hafid A, Syukur A, Achmad IA, Ridad AM, Ahmadsyah I, Airiza AS, et al.
Esofagus dan diafgagma. Buku ajar ilmu bedah. Sjamsuhidajat R, de JonG
W, editors. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 499.
Hirano,Ikuo. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm.
[Online]cited 2007 September 29; Available from :
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html#f1
Manan, Chudahman. Akalasia. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV
Infomedika ; 1990. p. 141-146.
Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign in
diagnostic imaging. 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1984.
p. 522,525-526. (Abdomen; vol 1).
Paul and Juhl’s. The Abdomen and Gastrointestinal Tract. Essential of Rontgen
Interpretation. 4th ed. Cambridge : Harper & Row Publishers ; 1981.
p.529-530.
Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 357-
358,363-365. (vol 1).
Robbins SL, Kumar V. Traktus gastrointestinalis. Buku ajar patologi II. 4th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 235-236.
Sawyer MAJ. Achalasia. [Online]. 2006 Jun 22 [cited 2007 September 29];
Available from: URL: http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm
Teplick,J.George, Marvin E. Haskin. Disease of the Digestive System.
Rontgenologic Diagnosis vol 2. 3rd ed.Phyladelphia; WB Saunders
Company ; 1976. p.889 – 891.
Achalasia.[Online]. Cited 2007 September 29. Available from URL:
http://www.med.wayne.edu/diagRadiology/TF/GI/GI09.html