Download - Lp-BPH
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Pengertian
Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) adalah kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk
intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 1999).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges,
2000). Dahulu disebut juga sebagai hipertrofi prostat jinak (Benign Prostat
Hipertropy = BPH), istilah hipertrofi karena yang terjadi adalah hiperplasia
kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke periper dan
menjadi simpai bedah (Mansjoer, Arief, 2000).
2. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas, namun terdapat faktor risiko umur dan
hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun keatas
(Mansjoer Arief, 2000).
3. Tingkatan BPH
Dengan alat perondoskope dengan diukur / dilihat beberapa jauh penonjolan
lobus lateral ke dalam lumen uretra.
Grade I :
Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau
kencing tidak lancar, pancaran lemah, nokturia.
Grade II :
Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.
Grade III :
Gejala makin berat
Grade IV :
Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence
dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien
menggigil, panas 40-41° celsius, kesadaran menurun.
6
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
4. Patogenesis
Menurut Mansjoer Arif (2000), ialah :
a. Teori Dehidrostetosteron (DHT)
Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron
menjadi dehidrotestosteron dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya
penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada
RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi
ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.
b. Teori Hormon
Estrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.
c. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth
Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada klien dengan pembesaran prostat
jinak. b-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi
atau infeksi.
7
d. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan
mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan membentuk jaringan
prostat.
5. Patofisiologi
Pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron
menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-
sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan
oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih
kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang
besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
8
dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu
permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah,
rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang
tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
6. Manifestasi klinis
Biasanya pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urineary Tract
Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif (Mansjoer
Arief, 2000).
Gejala iritatif :
a. Sering miksi (frekuensi).
b. Terbangun untuk miksi pada malam hari (nocturia).
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgency).
d. Nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif :
a. Pancaran melemah.
b. Rasa tidak lampias sehabis miksi.
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitency).
d. Harus mengedan (straining).
9
e. Miksi terputus-putus (intermittency).
f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urine dan
inkontinensia urine karena overflow.
Selain gejala diatas, gejala generalisata mungkin juga tampak
termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada
epigastrik. Gejala dan tanda pada klien yang telah lanjut penyakitnya,
misalnya gagal ginjal, yang dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan
darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, perikarditis, ujung kuku yang
pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah
terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di Costo
Vertebrae Angularis (CVA). Buli-buli yang distensi dapat dideteksi dengan
palpasi dan perkusi.
7. Pemeriksaan penunjang
Menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit
BPH, meliputi :
a. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,
infeksi saluran kemih. Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
1) Urinalisa : Warna kuning, coklat gelap, atau terang (berdarah);
penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan
infeksi); bakteri.
2) Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus,
Proteus, Klebsiella, Pseudomonas atau Escherchia coli.
3) Sitologi urine : Untuk mengesampingkan kanker kandung
kemih.
4) BUN / Kreatinin : Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
10
5) Asam fosfat serum / antigen khusus prostatik : Peningkatan
karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada
kanker prostat (dapat mengidentifikasikan metastase tulang).
6) Sel Darah Putih (SDP) : Mungkin lebih besar dari 11.000 mm3,
mengidentifikasikan infeksi bila klien tidak imunosupresi.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk
memperkirakan volume BPH.
c. Penentuan kecepatan aliran Urine : Mengkaji derajat obstruksi kandung
kemih.
d. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan perlambatan
pengosongan kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung
kemih.
e. Sistouretrografi berkemih : Digunakan sebagai ganti IVP untuk
memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan
bahan kontras lokal.
f. Sistogram : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk
mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.
g. Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan
dan perubahan dinding kandung kemih (kontra indikasi pada adanya
infeksi saluran kemih (ISK) akut sehubungan dengan risiko sepsis gram
negatif).
h. Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot destrusor dan tonusnya.
i. Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine;
melokalisasi lessi yang tak berhubungan dengan BPH.
8. Penatalaksanaan
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan
kondisi klien (Mansjoer Arief, 2000).
a. Observasi
Dilakukan pada klien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan
ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
11
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), dan
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
b. Terapi Medikamentosa
Penghambat adrenergik a
Obat yang biasa dipakai ialah prazosin, yang berfungsi untuk
mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
destrusor.
Penghambat 5-a-reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride. Golongan obat ini dapat
menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar
akan mengecil.
c. Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap klien bervariasi tergantung berat ringannya
gejala dan komplikasi.
Indikasi absolut untuk terapi bedah, yaitu :
Retensio urine berulang.
Hematuri.
Tanda penurunan fungsi ginjal.
Infeksi saluran kemih berulang.
Tanda-tanda obstruksi berat, yaitu divertikel, hidroureter, dan
hidronefrosis.
Ada batu saluran kemih.
Engram, Barbara (1999) menyebutkan ada empat cara pembedahan
prostatektomi, masing-masing dengan hasil yang berbeda, yaitu:
1). Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
a). Jaringan abnormal diangkat melalui rektoskop yang
dimasukan melalui uretra.
b). Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
c). Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
2). Prostatektomi suprapubik
a) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher
kandung kemih.
12
b) Diperlukan verban luka drainase, kateter foley dan kateter
suprapubik setelah operasi.
3). Prostatektomi retropubis
a). Penyayatan dilakukan pada perut bagian bawah.
b). Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c). Diperlukan balutan luka, foley kateter, dan drainase.
4). Prostatektomi perineal
a). Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b). Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c). Vasektomi dilakukan sebagai pencegahan epididimistis.
d). Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi
(pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).
e). Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka
(drainase) dilekatkan pada tempatnya kemudian dibutuhkan
rendam duduk.
d. Terapi Invasif Minimal
Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT).
Dilatasi Balon Transurethral (TUBD).
High-instensity Focused Ultrasound.
Ablasi jarum Transuretra.
Stent Prostat.
9. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin
tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis
urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
13
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
b. Sirkulasi darah
Tanda : Peninggian tekanan darah (efek pembesaran ginjal).
c. Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-
raguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih,
nokturia, disuria, hematuri, duduk untuk berkemih, inpeksi saluran kemih
berulang, riwayat batu (stasis urinaria), konstipasi (protrusi prostat
kedalam rektum).
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri Suprapubis, panggul, atau punggung; tajam, kuat, nyeri
punggung bawah.
f. Keamanan
Gejala : Demam.
g. Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksual, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan
kekuatan kontraksi ejakulasi.
h. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal,
penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinarius atau
agen antibiotik, obat yang diual bebas untuk flu/alergi obat mengandung
simpatomimetik.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan Pra operasi
1) Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik;
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidak
mampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat
14
2) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung
kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
3) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan pasca obstruksi urine dari drainase cepat kandung kemih
yang terlalu distensi secara kronis, Endokrin: ketidak seimbangan
elektrolit (disfungsi ginjal).
4) Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status
kesehatan; kemungkinan prosedur bedah, malu / hilang martabat
sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama dan
sesudah tindakkan; masalah tentang kemampuan seksualitas.
5) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpajan/mengingat; salah interpretasi informasi, tidak mengenal
sumber informasi, masalah tentang area sensitive.
b. Diagnosa keperawatan Pasca operasi
1) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi
mekanikal : bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah,
tekanan dan iritasi kateter/balon.
2) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan area bedah vascular, kesulitan mengontrol perdarahan,
pembatasan pemasukkan praoperatif.
3) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur
invasive: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih
sering, trauma jaringan, insisi bedah (contoh perineal).
4) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih,
refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan/atau
tekanan dari balon kandung kemih (traksi).
5) Risiko disfungsi seksual sehubungan dengan situasi krisis
(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter,
keterlibatan area genital).
6) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
15
terpajan/mengingat; salah interpretasi informasi, tidak mengenal
sumber informasi.
3. Intervensi
Pasca Operasi
1) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi
mekanikal: bekuan darah, edema, trauma, prosedur bedah,
tekanan dan iritasi kateter/balon.
Hasil yang diharapkan:
Klien menunjukkan prilaku yang meningkatkan kontrol kandung
kemih / urinaria, tidak ada retensi urine, menunjukan residu
paska berkemih kurang dari 50 ml, dapat berkemih dengan
posisi normal.
Rencana Tindakan :
a) Kaji keluaran urine dan sistem kateter / drainase,
khususnya selama irigasi kandung kemih.
b) Bantu klien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh;
berdiri, berjalan kekamar mandi dengan frekuensi sering
setelah kateter dilepas.
c) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan aliran-aliran
setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh
kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgency.
d) Anjurkan klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi
tidak lebih dari 2 – 4 jam / protocol.
e) Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik.
f) Upayakan pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.
g) Anjurkan klien untuk latihan perineal, contoh :
mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai
aliran urine.
h) Beri informasi pada klien bahwa penetesan setelah kateter
dilepas masih ada dan akan teratasi sesuai indikasi.
Kolaborasi :
16
i) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continuous
bladder irrigation) sesuai indikasi periode paska operasi
dini.
Rasionalisasi :
a) Retensi dapat terjadi karena edema area bekuan darah,
dan spasme kandung kemih.
b) Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa
normalitas.
c) Kateter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi
berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa
waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
d) Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine.
e) Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih.
Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas
kateter sampai tonus kandung kemih membaik.
f) Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk
aliran urine.
g) Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih spingter,
meminimalkan inkontinensia.
h) Informasi membantu klien untuk menerima masalah.
Fungsi normal dapat kembali dalam waktu 2 – 3 minggu
tetapi memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan
perineal.
i) Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris
untuk mempertahankan patensi kateter / aliran urine.
2) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
berhubungan dengan area bedah vascular, kesulitan mengontrol
perdarahan, pembatasan pemasukkan praoperatif.
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital
stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik, membrane
mukosa lembab, dan keluaran urine tepat, serta menunjukkan
tak ada perdarahan aktif.
17
Rencana Tindakan :
a) Hindari manipulasi kateter berlebihan.
b) Awasi pemasukkan dan pengeluaran.
c) Evaluasi warna dan konsistensi urine.
d) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan
pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
perlambatan pengisian kapiler, dan membrane mukosa
kering.
e) Selidiki kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
f) Dorong pemasukkan cairan 3000 ml/hari kecuali
kontraindikasi.
g) Hindari pengukuran suhu rectal dan menggunakan selang
rectal / enema.
Kolaborasi :
h) Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh
Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
i) Pertahankan traksi kateter menetap; plester kateter di
bagian dalam paha.
j) Kendorkan traksi dalam 4 – 5 jam.
k) Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi.
Rasionalisasi :
a) Gerakan/penarikan kateter dapat menyebabkan
perdarahan.
b) Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan
penggantian.
c) Dapat mengidentifikasikan diskrasia darah atau masalah
pembekuan darah.
d) Dehidrasi / hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk
mencegah berlanjut ke syock.
e) Dapat menunjukkan penurunan perfusi cerebral atau
indikasi edema cerebral karena kelebihan cairan selama
prosedur TURP.
18
f) Membilas ginjal/kandung kemih dari bakteri dan debris
tetapi dapat menyebabkan intoksikasi cairan / kelebihan
cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
g) Dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar
prostate dan peningkatan tekanan kapsul prostat dengan
resiko perdarahan.
h) Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan
penggantian.
i) Traksi terisi balon 30 ml diposisikan pada fosa uretral
prostate akan membuat tekanan pada aliran darah pada
kapsul prostat untuk membantu mencegah/mengontrol
perdarahan.
j) Traksi lama dapat menyebabkan trauma/masalah
permanen dalam mengontrol urine.
k) Pencegahan konstipasi/mengejan untuk defekasi
menurunkan resiko perdarahan rectal-perineal.
3) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung
kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah (contoh perineal).
Hasil yang diharapkan:
Mencapai waktu penyembuhan, dan tidak mengalami tanda
infeksi.
Rencana Tindakan :
a) Pertahankan sistem kateter steril; berikan perawatan
kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep
antibiotik disekitar sisi kateter.
b) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggiggil,
nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka dan disorientasi.
c) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.
d) Ganti balutan dengan sering (insisi supra/retropubik dan
perineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang
waktu.
Kolaborasi :
19
e) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasionalisasi :
a) Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/sepsis lanjut.
b) Klien yang mengalami sistoskopi dan / atau TURP prostat
berisiko untuk syock bedah/septik sehubungan dengan
manipulasi/instrumentasi.
c) Adanya drainase, insisi suprapubik meningkatkan risiko
untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase
purulen.
d) Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan
media pertumbuhan bakteri, peningkatan risiko infeksi
luka.
e) Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan
peningkatan risiko infeksi pada Prostatektomi
4) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung
kemih, refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah
dan/atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi).
Hasil yang diharapkan:
Melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi
untuk situasi individu dan klien tampak rileks, tidur / istirahat
dengan tepat.
Rencana Tindakan :
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10).
b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.
Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
c) Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai
toleransi.
d) Berikan informasi akurat tentang kateter, drainase dan
spasme kandung kemih.
e) Berikan tindakan kenyamanan (pengubahan posisi, pijatan
punggung) dan aktivitas aktivitas terapeutik. Dorong
20
penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan napas
dalam, visualisasi, pedoman imajinasi.
f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila
diindikasikan.
Kolaborasi :
g) Berikan antispasmodik.
Rasionalisasi :
a) Nyeri tajam, intermiten dengan dorongan berkemih /
pasase urine sekitar kateter menunjukan spasme kandung
kemih.
b) Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem,
merurunkan risiko distensi / spasme kandung kemih.
c) Menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan
konstan ke mukosa kandung kemih.
d) Menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerja sama
dengan prosedur tertentu.
e) Menurunkan ketegangan otot, memfokuskan kembali
perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan kooping.
f) Merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan
spasme dan nyeri.
g) Untuk mengurasi spasme
5) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi.
Hasil yang diharapkan:
Menyatakan pemahaman prosedur bedah dan pengobatan.
Rencana Tindakan :
a) Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan.
b) Tekankan perlunya nutrisi yang baik; dorong konsumsi
buah, meningkatkan diet tinggi serat.
c) Diskusikan pembatasan aktivitas awal, contoh;
menghindari mengangkat berat latihan keras, duduk /
21
mengendarai kendaraan terlalu lama, memanjat lebih dari
dua dari tingkat tangga sekaligus.
d) Dorong kesinambungan latihan perineal.
e) Instruksikan perawatan kateter urine bila ada. Identifikasi
sumber alat/dukungan.
f) Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik,
contoh; eritema, drainase purulen dari luka, perubahan dari
karakter / jumlah urine, adanya dorongan / frekuensi;
perdarahan berat, demam / menggiggil.
Rasionalisasi :
a) Memberikan dasar pengetahuan dimana klien dapat
membuat pilihan informasi.
b) Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi,
menurunkan risiko perdarahan pascaoperasi.
c) Peningkatan tekanan abdominal / meregangkan yang
menempatkan stress pada kandung kemih dan prostat,
menimbulkan risiko perdarahan.
d) Membantu kontrol urinaria dan menghilangkan
inkontinensia.
e) Meningkatkan kemandirian dan kompetensi dalam
perawatan diri.
f) Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi serius.
22
POHON MASALAH
Bertambahnya Usia
Reaksi enzim 5-a-reduktase Produksi testosteron Reaksi enzim
Menurun 5-a-reduktase
DHT Konversi testosteron menjadi estrogen
DHT reseptor kompleks Tidak seimbang
dalam sitoplasma sel prostat
Inti sel Testosteron menurun Estrogen meningkat
terjadi inskripsi RNA
terjadi sintesis protein
Proliferasi sel
Pembesaran prostat
Perubahan pada Traktus urinarius Rangsangan pada vesika
akibat resistensi
Uretra Tonus trigonum kekuatan kontraksi
dan leher vesika destrusor
Fase kompensasi (penebalan destrusor) Kontraksi vesika meningkat
walaupun belum penuh
Dekompensasi otot destrusor
Iritasi mukosa
Nyeri akut
23
1) Nokturia, Urgency, Disuria
2) Frekuensi meningkat
Kekuatan kontraksi destrusor menurun
Dekompensasi otot destrusor menurun/gagal
Dengan gejala obstruksi :
1) Hesitency
2) Intermittency
3) Terminal dribbling
4) Pancaran lemah
5) Rasa belum puas sehabis miksi
Terjadi hidronefrosis
disfungsi saluran kemih
Prostatektomi
Post operasi
Terpasang kateter irigasi bladder luka operasi konsumsi minum
Tekanan dan Kurang 2500 ml/24 jam 2500-3000 ml/24 jam
iritasi kateter
urine sedikit banyak terbentuk urine
nyeri akut terbentuk
aliran urine lancar
aliran urine tidak lancar
bekuan darah tidak
bekuan darah terbentuk terbentuk
Retensi urine
Distensi bladder perdarahan nyeri bladder perembesan urine
24