Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
LAMPIRAN A
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
PEDOMAN WAWANCARA
1. Latar Belakang Informan :
- Nama
- Umur
- Tempat, tanggal lahir
- Asal dan tempat tinggal
- Etnis
2. Bisa ceritain gak sih budaya yang kamu miliki mulai dari pola komunikasinya,
gaya komunikasinya, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai budayanya, cara
pandang?
3. Menurut kamu, budaya itu penting tidak dalam berkomunikasi dan berinteraksi
sehari-hari ?
4. Budaya yang kamu miliki selama ini, memiliki pengaruh tidak dalam
kehidupan kamu sehari-hari?
5. Nah, menurut kamu apakah komunikasi itu penting dalam lingkungan yang
memiliki budaya yang beragam?
6. Perlu atau tidak memahami budaya yang berbeda dengan kita ketika kita
berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya dengan kita?
7. Menurut kamu nih, apa saja sih hambatan ketika berkomunikasi dengan orang
yang berbeda budaya dengan kita?
8. Ok, kalo gitu kita langsung ke topiknya ya, kamu kan menjalin persahabatan
dengan orang yang memiliki etnis yang berbeda dengan kamu, sudah berapa
lama kamu menjalin persahabatan tersebut?
9. Bagaimana awal kamu bisa bertemu dengan sahabat kamu?
10. Butuh waktu berapa dari pertemuan awal sampai akhirnya menjalin hubungan
persahabatan?
11. Bagaimana persepsi kamu tentang etnis batak / tionghoa? (etnis dari sahabat
kamu)
12. Bagaimana pendapat kamu mengenai budaya sahabat kamu yg high/low
context? (budaya sahabat kamu, tionghoa : high context basa basi terlebih
dahulu ; batak : low context to the point)
13. Pada awal kamu menjalin persahabatan, apakah kamu punya keyakinan bahwa
hanya budaya kamu sendiri lah yang benar dan menganggap budaya teman
kamu itu tidak relevan?
14. Ketika kamu sudah menerima budaya sahabat kamu, apakah kamu merasa
terancam akan adanya budaya lain misalnya budaya sahabat kamu? Kenapa?
15. Budaya antara etnis batak dan tioanghoa tentunya berbeda, nah dengan adanya
perbedaan budaya itu apakah kamu berusaha untuk mengubah perilaku sahabat
kamu agar sesuai dengan ekspektasi kamu?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
16. Ketika kamu sudah menerima adanya keberagaman budaya, apakah masih ada
hal-hal yang tidak kamu sukai dari budaya tersebut?
17. Apakah saat ini kamu sudah bisa melihat suatu hal dari kacamata budaya lain
atau kamu masih tetap melihat dari kacamata budaya kamu sendiri?
18. Selama menjalin persahabatan, apakah semuanya berjalan mulus atau pernah
mengalami konflik, misalnya salah satunya karena kebudayaan?
19. Nah ketika kamu menghadapi konflik karena kebudayaan yang berbeda, kamu
cenderung untuk menyelesaikan permaslahan langsung atau berusaha
menghindari masalah yang ada, membahas persoalan lain, membutuhkan lebih
banyak waktu untuk menuju intinya? Dan ketika kamu merasa marah atau tidak
setuju dengan suatu hal, apakah cenderung dibicarakan langsung atau
dipendam dan mengalah?
20. Kalo sahabat kamu sendiri, bagaimana ketika kamu marah?
21. Selama kamu bersahabat, kamu lebih suka jika sahabat kamu mengikuti kata-
kata kamu atau membiarkan sahabat kamu juga berpendapat?
22. Selain itu misalnya kalian dalam situasi akan mengambil keputusan tertentu,
nah apakah kalian sama-sama memutuskan bersama, dikomunikasikan
langsung atau keputusan cenderung dibuat oleh salah satu dari kalian saja?
Siapa yang biasanya cenderung membuat keputusan? Jika kamu yang sering
mengambil keputusan, apa yang membuat kamu merasa layak untuk
mengambil keputusan?
23. Menurut kamu, bagaimana cara kamu berkomunikasi untuk melindungi atau
menjaga perasaan orang lain dan diri kamu sendiri? Dan bagaimana cara kamu
untuk membangun kembali perasaan yang hilang ketika menghadapi konflik?
24. Saat kamu dengan sahabat kamu ada kesalahpahaman, kamu biasanya lebih
cenderung untuk memikirkan hubungan kamu dengan sahabat kamu ketimbang
kesalahpahaman yang ada atau kamu lebih mementingkan untuk memecahkan
masalah dahulu?
25. Apakah masih ada budaya dari sahabat kamu yang membuat kamu bingung
dan tidak kamu terima?
26. Saat ada sudut pandang budaya yang berbeda diantara kalian, nah itu kan jadi
sesuatu yang baru buat kamu. Kamu mau terbuka terhadap hal yang baru
tersebut gak? Kenapa kamu mau terbuka / gak terbuka?
27. Kamu menetapkan tujuan-tujuan gak untuk memahami gaya bahasa sahabat
kamu, dan hal-hal lain dalam proses komunikasi?
28. Ketika ada kesalahpahaman, biasanya kamu cenderung untuk melihat dari
banyak sudut pandang atau hanya dari sudut pandang kamu sendiri?
29. Saat menghadapi konflik, kamu mendengarkan sudut pandang sahabat kamu
atau tidak?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
30. Kamu ketika berinteraksi dengan sahabatmu, kamu mengamati gerakan
nonverbal serta verbal dari diri sahabat kamu tidak? Terus kamu
menggambarkan gerakan perilaku spesifik yang ada pada saat interaksi? Kamu
membuat interpretasi untuk memahami perilaku yang kamu amati dan
gambarkan? Setelah itu kamu memutuskan untuk menghargai perbedaan atau
tidak?
Simplenya, kamu mengobservasi sahabar kamu tidak dari verbal dan
nonverbal?
31. Kamu dan sahabat kamu mencoba untuk menemukan landasan untuk memulai
sesuatu bersama? Saat kalian berkomunikasi apakah kamu menahan asumsi
kamu dan menahan diri kamu untuk tidak memaksakan pandangan kamu
kepada orang lain?
32. Kamu membangun kepercayaan tidak dengan sahabat kamu selama ini?
Bagaimana sih cara kamu untuk memabnun kepercayaan? Apakah kamu
mengandalakan kredibilitas sahabat kamu? Kamu membuat perilaku kamu
layak mendapat kepercayaan dari sahabat kamu?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Transkrip Wawancara
Informan 1
Nama Informan : Eunike Olivia Ambarita
Lokasi Wawancara : Perpustakaan, Universitas Multimedia Nusantara
Tanggal Wawancara : 01 April 2016
Pukul : 13.45
P : Kita mulai ya wawancaranya. Selamat Siang, Eunike.
I : Siang Selvie
P : Sebelumnya boleh gak perkenalin diri kamu dulu mulai dari nama, umur,
tempat tanggal lahir, asal, domisili dan etnis?
I : Nama saya Eunike Olivia Ambarita, umurnya itu sekarang 21 tahun,
tempat tanggal lahirnya itu di Parapat tanggal 18 Oktober 1994, asal dari
Parapat itu kota kecil di pinggiran Danau Toba, domisilinya di Parapat tapi
disini tinggal di Tangerang, etnisnya Batak.
P : Bisa ceritain gak sih budaya yang kamu miliki mulai dari gaya
komunikasi, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai budaya, cara pandang?
I : Jadi, di budaya Batak itu kita sangat ditekankan untuk menghormati orang
tua, jadi orang tua itu istilahnya orang nomor satu yang harus ditaati, orang
nomor satu yang harus diturutilah kaya gitu. Dan, kebiasaan-kebiasaannya
itu karena saking hormatnya orang Batak ini sama orang tuanya, biasanya
kalo misalnya orang tuanya umurnya udah lanjut usia dan kira-kira udah
mau selesai umurnya gitu hehehe ada namanya Sulang-Sulang Pahopo,
biasanya diadakan ketika ulang tahunnya si Ompung. Jadi pada hari ulang
tahunnya itu, ompungnya ini nyuapin cucu-cucunya dan kasih namanya
poda, poda itu kaya nasehat. Orang-orang batak ini sebenarnya lebih kayak
mencari-cari anak cowok, dan kalo misalnya anaknya empat cewe semua
biasanya dicari terus itu sampe dapet yang cowok, gitu hahaha kenapa?
Karena kan kalo di orang Batak kan partriarki ya, jadi kalo anaknya
perempuan semua gak ada yang bawa nama keluarga donk, gak ada yang
bawa nama marga berarti keturunannya mentok disitu. Dan nanti harta
orang tuanya ini mau dibikin kemana. Gara-gara kalo di orang Batak itu
anak-anak cowo adalah anak-anak penerima warisan, anak cewek mah ya
bodo amat gitu. Kecuali kalo misalnya ada hak prerogatifnya orang tuanya
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
untuk ngasih ya adalah sedikit untuk anak cewek gitu. Nah itu jadi, itu
alasan kenapa anak cowok itu sangat-sangat penting di dalam orang batak.
Nah selain anak cowo ada namanya Boru Panggoaran, Boru Panggoaran
itu adalah anak perempuan paling sulung. Aku nih Boru Pangguaran. Jadi
sampai ada lagu batak yang di dalam lagu itu dibilang “anak perempuannya
itu dinasehatin supaya yang bener-bener ya sekolah ya, yang bener-bener
ya kuliah ya, harus jadi orang ya, aku akan kerja apapun supaya bisa
menghidupin kamu dan membiayai kamu, karena nanti kalo aku udah tua
kamu loh nak yang ngurusin aku” gitu. Jadi kayak si boru pangguarannya
itu si anak perempuan sulungnya itu nanti yang ketika orang tuanya sakit
dia yang merawat si orang tuanya itu, ketika orang tuanya nanti udah tua,
udah ma tinggang, ma tinggang itu jatuh gitu, dia yang bopoh. Nah, kenapa
dibilang dilagu itu yang bener-bener sekolahnya gitu kan ya, dan
sebenarnya itu ada makna tersiratnya juga yang menunjukkan bahwa orang
batak itu disaranin untuk merantau. Contohnya aku, dari SMA udah
merantau jadi tamat SMP lulus langsung berangkat ke Medan, kayak gitu,
jadi udah lepas dari orang tua. Temen-temen aku juga pada kaya gitu. Dan
ini bukan menjadi kewajiban sih, tapi menjadi kayak sebuah tradisi kali ya
bisa dibilang. Ketika anak-anaknya orang Batak itu merantau, jadi anak-
anaknya itu bisa lebih mandiri, bisa lebih mengurus dirinya sendiri, karena
orang tua itu sangat menuntut anak-anaknya untuk bisa hidup mandiri, gitu.
Karena dari kecil kita udah diajarkan untuk bisa mandiri. Dan dari kecil itu
kita biasanya udah dibagi-bagi tugas, ada tugas ngepel rumah, cuci piring.
Sebagai seorang kakak juga, dituntut untuk bisa bertanggung jawab atas
adek-adeknya gitu. Kakak itu harus bisa mengarahkan adek-adeknya. Gaya
komunikasinya itu orang Batak itu sering dibilang keras kan ya, kalo dari
ngomong intonasi benar, benar sekali hahaha itu tidak bisa dipungkiri. Tapi
sebeneranya kalo dibilang keras menyakiti, enggak. Tujuannya itu bukan
menyakiti. Tapi dan entah kenapa ya kalo persahabatan di orang Batak itu
atau misalnya dibilang kedekatan di orang Batak itu harus keras gitu. Kalo
ketemu orang dipukul tangannya, “woy” gitu hahaha
P : Oh jadi, kalo ketemu sama sahabat bisa pukul gitu. Itu seolah-olah
diwajibkan?
I : Enggak, itu sih bukan diwajibkan. Tapi itu jadi kayak sesuatu yang
terbawa. Gak diajarin kaya gitu juga enggak. Tapi ketika aku ketemu sama
temen-temen SMP, ya itu pukul lengan, pundak, kebawa sendiri. Kadang
orang yang enggak ngerti mikirnya kita lagi berantem kali ya, hahaha
P : Tapi kalo ke sahabat yang disini, kebawa juga enggak?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Kadang iya, hahaha. Kadang iya, tapi mukulnya gak sesakit yang disana.
Harus diukur lah, karena tingkat kesakitannya kan beda haha kebal kalo
yang di Medan mah hahaha
P : Kalo dari cara pandang?
I : Cara pandang terhadap persahabatan nih, jadi misalnya kalo kita
bersahabat itu gak milih-milih sih. Tapi ketika kita punya temen, nah temen
kita disakitin. Biasanya yang lebih heboh itu, temen-temennya yang bukan
disakitin gitu loh haha. Biasanya yang sampe nyamperin dan ngata-ngatain
itu kan, ya kesannya sih emang jadi kasar ya, setelah saya tinggal disini
juga kayaknya oh iya ya kok kasar ya, tetapi waktu di sana kayaknya
enggak. Kayaknya kok biasa aja, nyamperin temen kaya gitu marah-marah
“Woy, kenapa kau iniin kawanku, kau gini gini gini ….” gitu, ya yang
marahnya kita, padahal yang disakitin mah ga terlalu gimana-gimana
banget.
P : Nah, menurut kamu apakah komunikasi itu penting dalam lingkungan
yang memiliki budaya yang beragam?
I : Penting sih, penting banget. Karena kalo gak ada komunikasi ya gimana
kita bisa berinteraksi satu sama lain, gimana kita bisa ngerti satu sama lain.
Itu kan semua harus disampaikan melalui komunikasi.
P : Nah budaya yang kamu miliki selama ini punya pengaruh gak sih dalam
kehidupan kamu sehari-hari?
I : Pasti, pasti punya pengaruh. Ehh misalnya, pengaruhnya itu ya masalah
mandiri tadi. Jadi aku sih yang paling ngerasain itu yah, karena emang aku
karena dituntut sebagai anak paling besar kan untuk bisa mandiri dan bisa
menjadi kakak yang bertanggung jawab untuk adek-adeknya gitu kan. Kalo
kelingkungan luar, paling komunikasi sih, paling komunikasi itu juga awal-
awal, walaupun sering masih kebawa dikit-dikit. Jadi, yang namanya tadi
orang batak itu keras katanya kan suaranya, jadi waktu aku mulai berteman
sama beberapa temenku disini waktu baru mulai masuk. Kalo aku ngomong
banyak orang yang bilang kaya gini “nyantai aja kali ngomongnya” gitu,
karena intonasinya kali ya, jadi dikiranya aku itu emosi gitu padahal
enggak, emang pembawaanya kaya gitu. Apalagi kalo menjelaskan sesuatu.
Itu sih biasanya sering “nyantai aja kali ngomongnya” terus “jutek amat”
gitu, nah padahal mah sebenernya enggak jutek, terus kadang karena aku
dibudayaku orangnya to the point ya, kadang temen-temen aku ngerasa
kaya aku itu ngomongnya itu terlalu tega sama mereka, terlalu blak-blakan.
Aku juga sering mendapat teguran dari temen-temen, jangan gitu-gitu amat
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
sih ngomongnya harus lebih dihalusin, maksudnya jangan terlalu blak-
blakan banget karena orang juga bisa tersinggung kan jadinya. Nah,
padahalkan tujuan dari dalam hati gak ada untuk bikin dia tersinggung atau
bikin dia sakit hati gitu.
P : Ehh menurut kamu nih, perlu atau enggak sih memahami budaya yang
berbeda dengan kita, ketika kita berkomunikasi dengan orang yang berbeda
budaya dengan kita?
I : Perlu, perlu. Karena kalo kita gak memahami gimana komunikasinya dia
ya kayak gitu tadi.. Ehh kebetulan tadi itu temen aku yang ngomong gitu
orang Jawa dan orang Manado. Nah, ketika aku gak tau pola
komunikasinya dia itu ternyata dia harus ngomongnya yang lembut, ya aku
akan selalu kaya gitu blak-blakan. Tapi ketika aku tau, jadi aku bisa
membatasi diriku loh, agar orang lain tidak jadi sakit hati sama aku. Karena
itu bisa berpengaruh ke aku juga kan, jadi orang-orang nanti pandangannya
ke aku itu jadi gak enak, aku sendiri yang rugi. Maksudnya jadi gak ada
orang yang mau temenin kaya mereka jadi “udahlah gak usah temenin lah,
dia terlalu frontal ngomongnya” gitu.
P : Nah, eee… Menurut kamu nih apa aja sih hambatan ketika berkomunikasi
dengan orang yang memiliki budaya yang berbeda sama kamu ?
I : eehh hambatannya itu salah satunya itu tadi yang aku bilang sebelumnya
kan. Ya gaya komunikasinya, lalu bahasa. Namanya aku orang batak, orang
batak itu keras suaranya, orang suka bilang “nyantai aja kali ngomongnya”
mungkin karena intonasinya kali ya, jadi dikiranya aku itu emosi gitu
padahal enggak, emang pembawaannya kaya gitu. Terus ya orang Batak itu
di budayanya to the point kalo ngomong, suka ya temen aku ngerasa aku
ngomongnya ya terlalu tega. Nah kalo bahasa, bahasanya itu kan ditiap
budaya itu ada bahasa-bahasa yang berbeda, sebenernya artinya sama tapi
pengucapannya berbeda gitu loh dan kata-katanya berbeda. Apa ya
contohnya ya, jadi salah satunya itu misalnya gini “eh A tolong lah tengok
ini ku, tengok dulu buku ku disitu” gitu, nah temen aku bingung tengok
apaan artinya. Terus temen aku bilang “hah tengok apa itu tengok,
maksudnya apa sih itu”, “itu loh A itu loh” ternyata yang aku maksud itu
adalah “lihat, tolong lihatin donk buku gw ada gak disitu” gitu, nah aku itu
bilangnya “eh tolonglah tengok kan ada gak buku ku disitu”. Terus ada juga
nih bahasa yang di Batak itu kasar, bujang itu artinya kasar kalo di Batak
tapi temen aku ya suka bilang bujang lapuk, aku ya jujur risih dengernya.
Nah dari intonasi terus penempatan kata dan bahasanya aja kan tuh udah
berbeda kaya gitu. Karena gimana yah, budaya itu ketika memang aku sih
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
merasakan, ketika aku tinggal di satu tempat asal budaya aku itu terbentuk,
itu sangat sulit untuk dihilangkan gitu dan sangat terbawa-terbawa sekali.
P : Oke, Nah langsung aja ya kita ke topiknya. Kamu kan menjalin
persahabatan dengan orang yang memiliki etnis tionghoa nih, si Angel
Lauzart. Nah, udah berapa lama sih kalian menjalin persahabatan-nya?
I : Kurang lebih 2,5 tahun apa 3 tahun lah sama dia.
P : Ehh gimana sih awal kamu bisa bertemu si Angel Lauzart ini?
I : Awalnya itu adalah waktu semester… semester 3, itu satu kelas di kelas
penulisan berita tapi saat itu belum terlalu deket, deketnya itu waktu dia
menjadi kadiv aku di acara CommFest. Nah ya disitu sih baru mulai deket,
karena kan setiap hari jadinya komunikasi sama dia. Tiap hari jadinya
berinteraksi sama dia.
P : Kira-kira butuh waktu berapa lama sih dari pertemuan awal sampe
akhirnya menjalin hubungan persahabatan sampe sekarang ini?
I : Eh dari pertemuan awal berarti semester tiga ya, berarti kira-kira hampir
ya 3 bulan lah karena kan semester tiga itu kan gak terlalu deket sama dia
dan belum terlalu kenal masih hanya sekedar teman sekelas dan deketnya
itu baru setelah dia jadi kadiv aku.
P : Gimana sih persepsi kamu tentang etnis Tionghoa ini?
I : Oh persepsiku tentang etnis Tionghoa itu eeee aku sendiri sih tertarik ya
sama etnis tionghoa, karena kayaknya seru gitu ya perayaan- perayaannya
itu seru gitu dan kayaknya gak ada ritual yang terlalu ribet, gak ada ritual-
ritual yang terlalu mewajibkan. Maksudnya sampe seharian harus diikutin,
misalnya kan kaya orang Batak kalo menikah dari pagi sampe malem, kalo
meninggal ya sampe tiga hari lima hari belum nunggu cucunya dateng dari
yang jauh-jauh gitu. Kan kalo etnis tionghoa kan enggak ya untuk
melakukan kebudayaannya sih ya gak terlalu banyak lah yang diribet-
ribetin gitu. Eh pandanganku tentang etnis tionghoa, kalo dari masalah
pelitnya itu sih aku gak terlalu mikirin ya, gak terlalu mikir macem-macem
lah, cuma kadang sebel aja itu kalo diantrian kasir ngeluarin kartunya
banyak banget kita sampe nungguin lama yak segala kartu dikeluarin loh
untuk cari diskon “pake kartu ini diskon ga” “enggak” cari lagi kartunya
yang lain “kalo ini diskonnya berapa? Kalo sama yang tadi gedean yang
mana diskonnya?” kan kita yang nungguin jadi aduh ini kenapa sih lama
banget, itu sih paling. Aku sebenernya suka temenan dengan etnis tionghoa
dan pengen sebenernya temenan sama etnis tionghoa, dulu waktu SMA
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
sebenernya pernah deket sama etnis tionghoa emmm jatohnya dia jadi
ngebully, ngebully aku. Jadi dulu SMA itu sebenernya aku udah deket sama
dia tuh, lumayan deket. Hanya gara-gara masalah tugas LKS, aku ngerjain
tugas LKS dan karena sangking kerajinan, sok-sok rajin gitu ya gak ada
kerjaan, kerjainlah itu sampe belakang-belakang kan tugasnya gak sampe
belakang. Dia ngerjain tok yang sampe disuruh tugas. Itu dikumpulin dan
gurunya menilai yang punya aku, mereka complain donk, lah gw juga baru
sadar waktu ngeliat kok ini dinilai gitu, maju donk kedepan “Bu ini gak jadi
tugas ini cuma saya iseng-iseng isi” gurunya enggak mau, gak mau tau,
pokoknya dia ngeliat punya gw keisi sampe belakang berarti tugas sampe
belakang, gitu. Nah mulailah si tionghoa si temen gw ini, ituin gw mulai
ngeledek- ngeledek dari belakang tiap hari tiap hari “Dasar pribumi” gitu,
terus “liat aja orang kayak gitu mah gak laku nanti di dunia kerja, apa kayak
gitu sok-sokan, sok rajin sukanya apa cari muka” gitu tiap hari gitu-gitu aja
kerjaannya. Terus kadang kalo misalnya aku kena nih sama guru salah
ngejawab atau ga ngerjain tugas atau gimana ya dia jadi seneng bahagia.
Tapi pada akhirnya sih aku ya jadinya ngalahin dia di umum kan, dia jadi
rangking tiga aku rangking dua. Di situ aku mulai nunjukin dan sekarang
juga aku ngeliat hidup dia gak gimana-gimana banget kok.
P : Nah, eee ketika kamu ada masalah itu punya trauma sendiri enggak sih
untuk kaya berteman lagi, bersahabat lagi sama orang yang etnis tionghoa?
I : Trauma pasti ada, tapi traumanya itu sedikit hilang ketika aku datang ke
sini, gitu. Itu kan aku kejadiannya itu di Medan, aku traumanya itu malah
jadi etnis Tionghoa yang di Medan. Karena ketika aku di sini aku ngeliat
orang-orangnya berbanding terbalik, gitu loh. Kalo di Medan, kita yang
pribumi di bully.
P : Oke, hmm bagaimana sih pendapat kamu mengenai budaya Angel
Lauzart, budaya Tionghoa yang high context kalo ngomong itu pake basa
basi dulu, kalo ada apa-apa basa basi dulu. Sedangkan kalo orang batak
kan, kalo ada apa-apa ngomong langsung to the point, nah gimana?
I : Kadang sih jadi gak sabar sih, ini maksudnya apa sih, tujuannya apa sih.
Kok, aduh.. jadi di dalam hati itu jadi kayak udah sih to the point aja, gitu
loh. Kayak ya gak sabar aja gitu, kenapa harus basa basi, toh ujungnya yang
mau disampein kan sama aja, gitu. Mungkin itu kali ya disatu sisi dia
ngejaga perasaan tapi kan aku enggak ngerasa disakitin dengan dia
ngomong langsung pun, kaya gitu sih.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Nah, saat awal kamu menjalin persahabatan nih, kamu punya keyakinan
bahwa cuma budaya kamu doank yang bener dan budaya sahabat kamu itu
gak relevan gitu?
I : Enggak sih, gak ada, gak ada aku berpikir bahwa budaya aku paling bener
budaya orang lain salah kaya gitu, karena kan ya gimana kita kan enggak
bisa milih kita mau hidup di budaya mana, kaya gitu kan ya. Jadi sesuai
dengan apa yang diajarkan sama kita, apa yang kita dapet dari kecil, nilai-
nilai yang ditanami ya dijalanin aja, kaya gitu sih enggak ada yang salah
bener. Karena setiap orang yang ngejalaninnya kan kalo dia sukses dengan
cara dia yang seperti itu ngejalaninnya ya kenapa enggak.
P : Ketika kamu sudah menerima budaya si Angel Lauzart, budaya sahabat
kamu ini, kamu merasa terancam enggak sih akan adanya budayanya dia?
I : Enggak sih, gak ada rasa-rasa mau terancam gitu. Cuma kalo dari aku
pribadi malah aku jadinya itu pengen cari maaf-maaf ini nyerempet ke
pasangan hidup ya, pengen nyari yang Tionghoa jadinya.
P : Kan budayanya etnis Batak dan etnis Tionghoa ini kan beda nih, dengan
adanya perbedaan itu kamu berusaha merubah perilaku sahabat kamu si
Angel Lauzart ini supaya sesuai dengan ekspektasi kamu? Misalnya ya dari
gaya komunikasi, dia kan gaya komunikasinya basa basi dulu, high context
gitu kan, kamu ada enggak sih usaha untuk ubah dia menjadi low context
I : Eehh enggak sih, gak terlalu ada yang gimana-gimana. Cuma kalo ini
masalah gw ada salah misal atau dia agak diem, eeh gw lebih bilang kaya
gini “lu kenapa diem aja? Kalo gw ada salah ngomong aja langsung” kaya
gitu sih sebenernya. Jadi kalo kaya gw ada salah langsung koreksi aja
kenapa sih, kayak gitu. Kalau untuk menuntut dia dalam hal-hal lain untuk
lebih low context sih enggak, cuma lebih dalam kalau ada masalah sih itu
aja.
P : Hmm oke, ehh ketika kamu sudah menerima adanya keberagaman budaya
nih. Masih ada enggak sih hal-hal yang gak kamu sukain dari budayanya si
Angel Lauzart ini?
I : Hmm yang enggak aku sukain, mungkin pilih-pilih temennya kali ya, gitu
aja sih paling. Kalo masalah yang lain-lain mah acung jempol apalagi
masalah bisnis hahaha. Tapi kalo Angel Lauzart sih orangnya bukan yang
milih-milih temen, tapi kan kalo dari etnisnya dia kan banyakan yang milih-
milih temen. Maksudnya secara umum sih, bukan secara pribadi ke si
Angel Lauzart-nya, kaya gitu.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Oke, nah sampai saat ini nih, kamu sudah bisa melihat sesuatu itu dari
kacamata budaya lain juga gak apa cuma melihat sesuatu dari kacamata
budaya kamu sendiri?
I : Emm, ya aku sih lihat dari kacamata budaya lain juga, kalo misalnya aku
hanya berdasarkan budaya Batak berati ee aku gak menerima budaya lain.
Jadi kan kalau dalam kehidupan sehari-hari itu kan namanya kita
berinteraksi dengan orang kita enggak hidup sendiri, gitu loh. Jadi intinya
kita gak boleh sesuka-suka hati sendiri, harus bisa menerima pandangan
orang lain, menerima gimana cara berpikirnya orang lain.
P : Selama menjalin persahabatan dua setengah tahun sampai tiga tahun ini,
itu kalian selalu berjalan mulus persahabatannya atau pernah mengalami
konflik?
I : Hmmm, enggak sih. Gak ada konflik yang gimana-gimana karena toh
Angel Lauzart orangnya enggak terlalu yang high context juga dalam
beberapa hal untuk mengoreksi orang dia cukup to the point orangnya. Dan
sejauh ini sih enggak aman-aman aja sama Angel Lauzart.
P : Kalo misalnya nih kamu lagi ada konflik sama Angel, ada masalah gitu,
nah kamu itu cenderung menyelesaikan permasalahan secara langsung atau
berusaha untuk menghindari masalah yang ada?
I : Kalo aku sih biasanya sih to the point, misalnya aku lagi ngobrol sama si
Angel Lauzart terus Angel Lauzart mau ngejelasin sesuatu bertele-tele ini
kadang bisa bikin aku sebel sama dia ya udah aku gak suka ya aku langsung
bilang “ya ilah beb, langsung aja sih mau ngomong apa sih lu? Gak usah
kebanyakan cincong deh” atau apa kek “pengantar lu banyak banget” atau
kalo misalnya Angel Lauzart dia itu suka mengoreksi, konfliknya kan dia
enggak suka nih dengan sifat aku yang ngomongnya terlalu kenceng, “gw
disini deket, lu ngomong di telinga gw sakit” gitu misal. Dia langsung
ngomong kan kaya gitu, terus aku juga langsung “oh iya ya berarti gw harus
lebih mengecilkan volume suara” kaya gitu, jadi langsung sih toh kalo di
tahan-tahan juga ntar jadi bom waktu bahaya jadinya.
P : Nah ketika kamu enggak setuju sama si Angel, kaya misalnya enggak
setuju sama omongan Angel yang kayak tadi itu “yaudah gw disini kali
ngomongnya enggak usah kenceng-kenceng”, misalnya kamu tidak setuju
kalo suara kamu sekencang itu. Kamu cenderung langsung bicarain
langsung atau dipendam dan ngalah aja?
I : Enggak sih aku lebih langsung bawa becanda sih, langsung bilang kaya
gini “lah ilah santai aja kali, maklumin aja sih namanya juga batak, gimana
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
donk namanya juga bawaan.” Ya akhirnya jadi bercanda dan aku juga
dalam hati aku juga mencoba mikir oh iya ya mungkin gw terlalu keras.
P : Kalo misalnya sahabat kamu sendiri, ketika kamu marah dia gimana?
I : Hmm, kayaknya sih dia ngelihat akunya dulu ya, gak langsung ngomong
gitu dia lebih diemin aku. Tapi ngelihatnya gak dalam waktu yang lama sih,
misalnya aku ketemu dia paling di dieminnya cuma setengah jam terus baru
nanya “Lu kenapa sih? Diem aja dari tadi” gitu. Enggak terlalu yang
mendem banget juga sih dia orangnya.
P : Selama kamu sahabatan sama Angel, kamu itu lebih suka kalo Angel
ngikutin apa yang kamu bilang atau membiarkan si Angel juga nyampein
pendapat dia?
I : Enggak dong, harus saling mengeluarkan pendapat satu sama lain dong.
Kan intinya tadi seperti yang gw bilang itu, kita enggak hidup sendiri kalo
kita hidup sendiri ya udah enggak apa-apa pendapat lu pendapat lu aja,
namanya kita hidup berinteraksi sama orang, orang punya pendapat lain
kenapa kita enggak coba dengarkan kalo misalnya sesuai ya diterima, kalo
enggak ya coba kasih pendapat lagi, kaya gitu.
P : Misalnya nih, kalian dalam situasi mengambil keputusan, keputusan apa
pun dalam persahabatan kalian. Nah ketika kalian dalam situasi seperti itu,
itu kalian sama-sama mutusin atau keputusan itu cenderung dibuat sama
salah satu pihak dari kalian?
I : Kalo misalnya simpel aja nih urusan makan gitu, yang paling sering sih
gw, kalo misalnya abis kelas “Beb makan yuk” “Kemana?” “Terserah” gw
bilang nih, terus Angel bilang “Jangan terserah, tentuin lah kemana” gitu,
“Yaudah lu maunya kemana” gitu kan ya. Terus Angel Lauzart bilang “gw
mah ikut aja beb, terserah”, lah dia enggak ngijinin orang bilang terserah,
dia sendiri bilang terserah ya pada akhirnya dia yang ngikut kita jadinya,
mungkin itu high context-nya dia itu kali ya. Tapi gw ambil keputusan ya
supaya gak lama gitu bukan karena gw mau berkuasa sih
P : Nah biasanya yang cenderung buat keputusan itu eunike ya?
I : Iya tapi kalo hal-hal tertentu ya kaya misalnya makan gitu, kalo hal lain
kaya kemarin di kepanitian sih otomatis dia karena dia jabatannya lebih
tinggi.
P : Gimana sih cara kamu berkomunikasi untuk melindungi atau menjaga
perasaan Angel Lauzart atau diri kamu sendiri, dan gimana sih cara kamu
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
untuk membangun kembali perasaan yang hilang ketika menghadapi
konflik?
I : Kalo udah masuk ke konflik kaya gitu sih biasanya gw ajak bercanda sih,
karena dia juga bukan tipe orang yang serius-serius banget kan, ya diajak
bercanda dikit juga dia balik tetapi nanti dia bahas lagi “tapi kan gw ga suka
kaya gitu” ya udah nantinya keluar “iya ya maaf ya maaf ya”
P : Cara kamu berkomunikasi untuk melindungi atau menjaga perasaan
Angel Lauzart atau diri kamu sendiri, gimana?
I : Untuk menjaga perasaan orang lain karena aku udah berteman lama sama
dia jadinya aku kan udah pasti tau nih apa aja yang ada di dalam budayanya
dia, ya gak terlalu berlebihan atau gak boleh kaya gini, gak boleh kaya gitu.
Nah itu jadi yang harus aku menyesuaikan diri dengan dianya. Kalo untuk
melindungi diriku sendiri, enggak membahas hal-hal yang sensitif,
berusaha untuk gimana supaya orang lain tidak menyamaratakan semua
orang etnis batak itu buruk.
P : Pas kamu sama Angel punya kesalahpahaman, kamu biasanya lebih
cenderung untuk memikirkan hubungan kamu dengan sahabat kamu atau
kamu lebih mau untuk memecahkan masalah dulu deh?
I : Eee, kalo aku sih lebih ke memecahkan masalah dulu ya. Karena kalo
masalahnya udah dipecahkan jadi kalo lain kali udah mau terjadi kita bisa
tanggulangin, gitu. Kalo misalnya memikirkan hubungan dulu jatohnya
jadi dipendem-pendem, kalo dipendem-pendem nanti saat berantem atau
ada konflik jadinya ngebahas “Ya lu juga dulu kemarin kayak gini” gitu,
tapi kan kalo dipecahkan dulu masalahnya berarti kita jadi belajar
kedepannya enggak kaya gitu lagi.
P : Masih ada enggak sih budaya dari Angel Lauzart yang membuat kamu
bingung atau masih belum bisa menerima?
I : Budaya dari Angel Lauzart yang bikin aku bingung, eee hal yang aku
bingung dari etnisnya si Angel Lauzart ini kebanyakan yang aku lihat kalau
etnis Tionghoa ini banyak yang hedon, maaf-maaf ini ya. Dan itu dilakukan
setiap hari dan jadi gimana ya pola hidup. Apalagi masalah style, apakah
itu caranya menunjukkan bahwa mereka itu berbeda gitu loh, kan bisa aja
pengaruh dari jaman dulu kebawa ke sekarang kaya “Gw ini gak lebih
rendah loh dari kalian” apakah itu caranya untuk menunjukkan perbedaan
itu, bahwa etnisnya itu adalah etnis yang eksklusif lah. Yang kedua, duitnya
dari mana aja ngalir kayak air terjun, banyak banget gitu loh. Kalo misal
itu duit dari orang tuanya, dia enggak mikir apa ya kalo orang tuanya tiap
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
hari ditoko, kalo di Medan tempat gw tiap hari jaga pangsit haha
maksudnya enggak mikir apa ya orang tuanya capek-capek dia cuma
ngabisin. Nah kalo di gw pribadi sih dan beberapa teman gw yang Batak
itu kaya kalo mau minta duit sama orang tua itu ngerasa satu takut, takut
dimarahin karena bapaknya pasti keras emaknya apalagi, yang kedua ee
kaya ngerasa ada perasaan gak enak juga gitu ya kan udah dikasih bulanan
sekian kalo mau minta lagi kaya enggak tau diri gitu, yang ketiga kaya
merasa seganlah, malu lah minta sama orang tua, minta melulu ngasih sama
orang tua kapan? Perandaian yang kedua, seandainya itu duit dia sendiri,
okelah dia kerja apakah itu cara dia untuk ee menghargai hasil kerjanya dia
selama ini, gitu. Kalo dari gw pribadi sih mending lu tabung untuk masa
depan lu, gitu. Hedon belanjanya yang mahal tapi nyari yang diskonan.
P : Ketika ada sudut pandang budaya yang berbeda diantara kalian, itu kan
jadi sesuatu yang baru tuh buat Eunike. Nah, ee kamu mau gak sih terbuka
terhadap hal yang baru?
I : Iya dong, mau
P : Kenapa sih kamu mau terbuka terhadap hal yang baru tersebut?
I : Kalo terbuka terhadap hal yang baru dari misalnya budaya si Angel nih,
aku jadi bisa tau hal-hal yang selama ini aku enggak tau, budaya yang
selama ini aku enggak tau. Kedepan-kedepannya kan aku enggak tau akan
bertemu dengan siapa aja dan dengan tipe orang yang bagaimana aja. Angel
Tionghoa memang, tapi kalo ternyata nanti aku ketemunya orang Tionghoa
yang lebih Tionghoa dari Angel pas aku mau berinteraksi sama dia itu
enggak terlalu bingung lagi. Istilahnya culture shock lah menghadapinya.
P : Kamu menetapi tujuan-tujuan enggak sih untuk memahami gaya bahasa
sahabat kamu dan hal-hal lain dalam proses komunikasi?
I : Enggak ada tujuan tertentu sih untuk memahami gaya bahasa dia. Menurut
aku kan ya itu berjalan kayak gitu aja, biasa aja. Toh nanti kita menjadi
terbiasa sendiri.
P : Ketika ada kesalahpahaman, biasanya kamu cenderung untuk melihat dari
banyak sudut pandang atau dari hanya sudut pandang kamu sendiri?
I : Dari banyak sudut pandang, karena ee kalo dari banyak sudut pandang
kan ada beberapa saran-saran, masukan-masukan yang kita bisa tau. Kalo
dari sudut pandang sendiri ntar yang ada masalahnya gak akan selesai, dan
malah muncul masalah baru.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Ketika kamu berinteraksi dengan teman kamu, kamu suka ngamatin dia
enggak? Misalnya mengamati gerakan non verbalnya atau mengamati cara
dia berkomunikasi?
I : Hmm ga begitu mengamati sih sebenernya. Paling ya cuma tau aja gitu si
Angel kalo lagi ngomong pasti ada gerakan tangan, gitu haha sama kalo
misalkan dia kelihatannya udah mulai suntuk atau mulai ya ada-ada
masalah kelihatan dari wajahnya pasti nanya lah “lu kenapa ngel? Ada
masalah apa enggak?” paling ngamatin hal-hal kaya gitu aja sih hehe
P : Nah kamu itu pernah enggak sih kaya punya tujuan tertentu supaya kamu
memahami nih gaya bahasa sahabat kamu gitu?
I : Eee enggak ada sih, kaya aku ya udah dalam komunikasi sama dia ya biasa
aja gitu. Belajar dengan sendirinya haha
P : Saat kalian berkomunikasi apakah kamu menahan asumsi kamu dan
menahan diri kamu untuk tidak memaksakan pandangan kamu kepada
orang lain?
I : Gw nyampein pandangan gw gini gini gini, gw jelasin semua secara detail.
Nah sekarang lu terima apa enggak, kalo terima yaudah kita lakukan , kalo
enggak ya udah gw aja yang maju. Itu memaksakan enggak ya. Pokoknya
yang penting gw harus ngomongin dulu, enggak bisa ditahan dulu. Ya
sebenernya tujuannya nyampein kan supaya dia melakukan, tapi kalo lu
enggak mau yaudah, gitu.
P : Kalian kan menjalin persahabatan cukup lama, kalian saling membangun
kepercayaan enggak sih selama kalian bersahabat ini? Dan gimana cara
kalian untuk membangun kepercayaan?
I : Saling membangun kepercayaan sih iya, karena gw pernah cerita sama
Angel terus sejauh ini sih enggak bocor kemana-mana masih aman-aman
aja kayak gitu. Dan gw akhirnya dari situ ngelihat kan oh Angel orangnya
bisa dipercaya nih, kayak gitu sih.
P : Kamu membuat perilaku kamu layak mendapat kepercayaan dari sahabat
kamu?
I : Emm iya lah, kalo misalnya ee gak berusaha untuk membuat dia percaya
ntar gw gatau rahasianya hahah ehh enggak enggak maksudnya kan toh aku
juga kan belajar komunikasi gitu kan ya, kalo misalkan dia kelihatannya
udah mulai suntuk atau mulai ya ada-ada masalah kelihatan dari wajahnya
pasti nanya lah “lu kenapa ngel? Ada masalah apa enggak?” Nah ketika dia
cerita dan hal itu hal yang sensitif dan enggak harus semua orang tau kan
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
kasihan kalo dibiarkan sebenernya dia butuh bantuan dan lebih kasihan lagi
ketika dia cerita gw nyebarin. Jadi otomatis gw berusaha untuk supaya
Angel pun berpikiran kalo gw itu orang yang bisa dipercaya.
P : Oke deh, kayaknya udah cukup sampai disini. Makasih ya untuk waktunya
I : Terima kasih
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Transkrip Wawancara
Informan 2
Nama Informan : Angeline Wirawan Lauzart
Lokasi Wawancara : Perpustakan, Universitas Multimedia Nusantara
Tanggal Wawancara : 01 April 2016
Pukul : 15.05
P : Oke, Selamat Siang Angel Lauzart. Kita mulai ya wawancaranya.
I : Iyaa
P : Eehh, boleh perkenalin diri dulu mulai dari nama, umur, tempat tanggal
lahir, asal, domisili, dan etnis?
I : Nama saya Angeline Wirawan Lauzart, tapi biasa dipanggil Angel. Saya
tahun ini berumur 22 tahun, lahir di Tangerang 29 Mei 1994, asal dari
Tangerang tinggalnya di Tangerang, saya etnis Tionghoa.
P : Oke, bisa ceritain enggak sih budaya yang kamu miliki? Misalnya dari
gaya komunikasinya, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai budaya dan cara
pandang.
I : Ehh satu-satu dulu ya, kalo misalkan untuk dari cara komunikasi yang
pasti etnis Tionghoa itu sangat menjunjung tinggi yang namanya sopan
santun apalagi sama keluarga, jadi misalkan gini eee kalo misalkan saya
mau makan di rumah itu saya sih emang udah biasain dari kecil untuk harus
nawarin, jadi misalkan saya nawarin “Ma, makan” “Pa, makan” bahkan
adek saya aja saya tawarin makan, gitu. Pokoknya siapapun yang ada gitu
loh, saya berusaha untuk bersikap sopan dengan anak kecil. Kalo mau pergi
bilang dulu, apa-apa itu laporan gitu-gitu. Terus apalagi kalo main ke
rumah saudara, terus misalkan ada banyak kan, ada nenek lah, ada kakek
lah, ada om tante. Nah saya kalo misalnya mau pulang biasanya tuh harus
ijin dulu ke semua, misalkan “A pulang, B pulang, C pulang” sampe semua
kelar baru saya pulang, gitu. Lebih ke itu sih yang sopan santun. Kalo untuk
gaya komunikasinya sih lebih ke santai saya kan etnis Tionghoa nya ee
Cina Benteng jadi lebih pake bahasa sehari-hari sih cuma kadang ee pake
bahasa-bahasa benteng. Jadi kalo misalkan gaya komunikasi orang
Tionghoa lebih ke tergantung daerah asal dia sih. Kalo misalkan dari
Bangka kan pake bahasa apa sih khe atau apa gitu kan. Tapi secara garis
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
besar sih kalo untuk bahasa-bahasa daerah gitu kita pasti punya tapi lebih
ke biasa sih kita ngomong kaya gitu ke sesama yang ngerti. Jadi enggak
main ngomong misalkan apa-apa begitu kan belum tentu semua orang
ngerti kan, kalo bahasa kayak gitu. Selain itu kalo misalnya ada maslah itu
di omongin sih tetep tapi liat situasi dulu enak apa enggak, gak main
langsung di omongin gitu, ga enak takutnya kan. Yang ada malah tambah
kacau, tapi ya itu tetep di omongin. Kalo untuk kepercayaan itu, mungkin
etnis Tionghoa itu gak semuanya punya kepercayaan ee sembahyang-
sembahyang atau Buddhist gitu, kan namanya kepercayaan itu kan,
menurut saya kepercayaan itu beda sama agama ya. Kalo agama ya apa
yang kita Imani lah kalo kepercayaan itu kan lebih ke apa yang diturunkan
dari leluhur kita. Nah kalo saya itu kan memang Budhhist dan Tionghoa
jadi saya masih suka sembahyang, kalo misalkan ada sembahyang leluhur
atau kayak sembahyang peringatan apa gitu sih saya pasti sembahyang
karena maksudnya itu emang udah di ajarin dari kecil jadi kayak pola
keluarga, terus juga kan biar bisa ketemu sama keluarga-keluarga yang lain,
silaturahmi gitu. Tapi kalo untuk kepercayaan itu tergantung sih, karena
kan kepercayaan juga bersinggungan dengan agama jadi kadang kan ada
yang emang agama gak boleh sembahyang atau apa itu tergantung dari
agama sih, tapi kalo untuk kepercayaan saya sebagai orang Tionghoa
memang saya masih melakukan tradisi-tradisi yang biasa diturunkan dari
leluhur sih. Kalo untuk nilai-nilai budaya sih yang pertama yang tadi saya
bilang lebih ke sopan santun ya, terus kaya ya lu dalam lingkungan sosial,
dalam lu berteman, dalam lu segala macam itu, ya lu harus punya sopan
santunlah, contohnya tadi kalo misalnya ada yang lebih tua lu nyapa, terus
kalo misalkan ada something yang memang harus di dahulukan ya lu
dahulukan, maksudnya lu liat tingkat prioritas lu lah kayak gitu. Terus kalo
untuk nilai yang kedua lebih, kalo saya sih ee merasa saya dilatih untuk jadi
seorang yang mandiri dan hemat, hemat dalam arti bukan berarti lu pelit
atau apa, mungkin saya menggaris bawahi banyak orang bilang itu orang
Tionghoa itu Cina pelit lah atau apa lah tapi sebenernya itu lebih ke
tergantung orang sih. Pelit bukan berarti lu gak mau ngeluarin uang, tapi
lebih kepada lu selektif dalam mengeluarkan uang. Misalkan kayak gw
punya duit gitu loh seratus juta dan gw mau misalkan mau beli rumahlah
gitu, mau kreditlah atau apa, ya gw gak mungkin donk ngabisin seratus juta
itu sedangkan gw gak punya pegangan. Jadi walaupun gw mau beli sesuatu,
gw juga harus bisa nyisain itu untuk bekal gw dikedepannya gitu loh. Jadi
jangan buang-buang uang gitu, itu sih kalo hemat. Terus kalo nilai ketiga
sih lebih kekeluargaan. Kalo saya sih nganggep eee mau dimana pun kapan
pun gimana pun intinya lu harus tetep inget sama keluarga sih, sejauh apa
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
pun lu, ya misalkan apalagi kalo ada tradisi yang ngumpul pas sembahyang
lah, ngumpul pas imlek lah, kayak gitu kita tuh sebisa mungkin kita
ngumpul. Walaupun ya ngumpul cuma ngobrol atau cuma minum, makan
bareng gitu. Sebisa mungkin kita ngumpul ya kita tetep menjaga nilai-nilai
dan juga rasa kekeluargaan kita gitu loh, walaupun kayak sederhana tapi
kayak kalo lu ngumpul itu jadi lebih tetep ngerasa kayak lu itu keluarga
gitu loh. Kalo cara pandang saya terhadap budaya atau kebiasaan atau
apapun orang lain gitu ya selain budaya saya sendiri. Saya sih ditanamin
nilai untuk enggak diskriminatif sih terhadap budaya, etnis, agama atau apa
tertentu. Jadi maksudnya saya lebih ke ee saya mencoba untuk menghargai
setiap budaya yang ada temen-temen saya seperti apa, budaya apa yang
mereka anut, gitu loh. Agama apa yang mereka miliki, agama apa yang
mereka yakin. Saya sadar karena kita setiap orang pasti beda gitu loh dan
pasti mungkin ada yang gak saya suka tapi saya akan berusaha untuk
menghargai itu dan ya udah oke lah lu lu gw gw, kalo emang lu gak mau di
atur-atur ya lu jangan lah ngatur orang. Jadi sebisa mungkin saya
menghargai itu sih. Malah saya itu seneng kalo misalnya saya punya
banyak temen yang apa ya yang dari daerah yang beda atau dari lingkungan
yang beda karena saya bisa jadi memperkaya budaya saya dan saya bisa
belajar lebih banyak gitu.
P : Menurut kamu budaya itu penting enggak sih dalam berkomunikasi dan
berinteraksi sehari-hari?
I : Menurut saya itu penting banget, karena budaya itu ibarat jadi kayak rules
atau panduan kita untuk dapat berinteraksi. Jadi gini emmm kalo misalkan
kita sama-sama saling sama budaya kita gak masalah lah ya. Misalkan saya
dan teman saya chinese, ya udah kita sama-sama berasal dari satu budaya
ya komunikasi kita pun sejalan lah walaupun mungkin beda-beda dikit
tergantung karakter. Tapi kalo misalkan berkomunikasi sama budaya yang
beda, kita secara enggak langsung harus ngerti minimal tau gitu loh mereka
tuh berkomunikasi seperti apa, ee cara ngomong mereka kayak gimana, ee
apa aja yang mereka hargai, pandangan mereka terhadap sesuatu itu bisa
beda loh misalkan saya ngomongin sesuatu yang gak saya suka ternyata di
budaya dia itu disakralkan atau mungkin bahkan dia ee memang harus
menghormati hal itu. Ya mau enggak mau saya harus ngomong yang high
context gitu saya gak bisa langsung nunjukkin saya gak suka karena saya
berkomunikasi juga menyesuaikan budaya saya dengan budaya dia. Kalo
memang saya pake kacamata budaya saya untuk ngomong dengan dia yang
kacamatanya beda, pasti hasilnya akan beda dan komunikasinya gak akan
nyambung.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Eee budaya yang kamu miliki selama ini, memiliki pengaruh gak sih
dalam kehidupan kamu sehari-hari?
I : Tentu, eee seseorang itu kan dibentuk dari berbagai aspek ya, dari
keluarga dia lah, dari budaya dia lah, lingkungan tempat dia tinggal, temen-
temen dia segala macem dan sadar atau gak sadar setiap manusia berasal
dari budaya tertentu. Jadi mau lu kemana pun atau ngapain pun dan gimana
pun lu pasti akan terpengaruh lah dari budaya lu dan lu sebenernya akan
bisa merasakan ee apa ya nilai-nilai budaya itu dalam kehidupan lu sehari-
hari.
P : Menurut kamu, komunikasi itu penting enggak dalam lingkungan yang
memiliku budaya yang beragam?
I : Tentu, penting banget. Budaya itu kan ada banyak, kita gak bisa ngontrol.
Oke cuma boleh ada budaya Jawa, budaya Minahasa, budaya Chinese,
budaya Batak, sedangkan yang lain itu budaya masih ada banyak loh yang
enggak tau. Kalo misalkan kita gak bisa pake komunikasi sebagai alat untuk
mempersatu itu, kita gak akan pernah bisa jalan beriringan gitu, karena
menurut saya ya communication unites all of us gitu loh. Itu yang
menyatukan kita semua, kalo kita gak suka kita pasti bilang dan pake
bahasa-bahasa-an, kalo misalkan kita diem-diem aja kita enggak ngomong
apa-apa kita gak akan bisa mengenal budaya orang dan orang pun gak bisa
tau budaya kita kayak apa.
P : Nah berarti perlu atau enggak memahmi budaya yang berbeda dengan kita
ketika kita berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya?
I : Perlu, ee menyangkut dari yang itu tadi loh budaya penting gak dalam
berinteraksi segala macam. Menurut saya itu perlu sangat perlu sih.
P : Menurut kamu, apa saja sih hambatan ketika berkomunikasi dengan orang
yang berbeda budaya dengan kita?
I : Hambatannya itu kalo saya sih lebih ke pertama, cara ngomong. Karena
saya waktu itu inget banget waktu itu kan pas OMB wah dari berbagai
daerah kan tumpah ruah kan. Terus kayak ada yang ngomongnya cepetlah,
terus ada yang pake bahasa apa lah, ada yang pake nadanya medoklah. Saya
secara enggak langsung harus menyesuaikan itu gitu loh. Kadang jujur kalo
kita terbiasa sama hal yang A, ketika kita denger yang B ya kita pasti kayak
beda itu ya kita kurang nyaman atau apa. Tapi, ee saya bisa sebisa mungkin
menyesuaikan cara-cara ngomongnya lah. Terus lebih ke mungkin bahasa
sih, tapi ee beruntung saya sih punya temen yang walaupun dari berbagai
macam daerah tapi masih pake bahasa Indonesia. Lebih ke cara
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
komunikasinya sih tadi sama, ya itu tadi nilai-nilai budaya dia seperti apa.
Kalo logat sih masih bisa dimengerti lah ya, karena kan logat kan gak bisa
sepenuhnya kita ganti kan. Lebih ke saya harus paham lah nilai-nilai
budaya dia apa, jangan sampe nyinggung lah, gitu.
P : Oke, kalo gitu kita langsung ke topiknya ya. Eee kamu kan menjalin
persahabatan dengan orang yang memiliki etnis yang berbeda nih, Eunike.
Udah berapa lama sih kira-kira kamu menjalin persahabatan?
I : Eeee saya itu temenan dari semester 2 ke 3 ya. Semester 3 deh berarti,
bener, berarti ya sekitar 2 tahunan dua setengah lah ya.
P : Gimana sih awal kamu bisa ketemu sama sahabat kamu itu?
I : Waktu itu jujur saya enggak kenal dia, saya tau dia itu gara-gara … oh
saya inget banget kelas penulisan berita media cetak sama Pak Bintang.
Nah saya tadinya enggak tau dia, dia itu sering telat, sering pusing di kelas
apa segala macam kayak oh oke lah gitu. Maksudnya ya oke lah berarti ini
temen sekelas saya gitu. Tapi saya enggak nyangka dia daftar ke divisi yang
saya masukin juga, pas organisasi di IMKOM pas waktu itu. Kalo enggak
salah Commfest, dana jualan, pas dia wawancara ternyata dia temen sekelas
saya loh dia ini. Terus setelah saya kenal dia lebih jauh segala macam jadi
ya bener sih orang itu harus kenal dulu baru lu itu tau dalem-dalemnya
orang kaya gitu. Jadi ya selesai kenalan saya ngerasa cocok aja, abis itu
sama-sama rame juga, sama-sama cerita something yang emang seru gitu
loh, terus juga kerja bareng di organisasi jadi ya udah akhirnya klop dengan
sendirinya, gitu.
P : Jadi butuh waktu berapa lama sih kira-kira dari pertemuan awal sampai
akhirnya kalian menjalin hubungan persahabatan?
I : Enggak nyampe setahun mungkin kalo itu ketemunya pas dikelas kan
sambil kerjain tugas segala macem. Eeee 3 bulan kali ya, 3 bulan.
Maksudnya gak sampe lama segala macem soalnya kan berinteraksi terus
kan jadi seharusnya bisa cepet.
P : Kalo gitu, gimana sih persepsi kamu tentang etnis Batak sendiri?
I : Sebelum saya kenal sama Eunike ya, saya dulu banget pas masih kecil itu
kan saya juga pernah punya guru Batak dan teman Batak. SD ya kalo gak
salah, ya persepsi saya orang batak itu keras, mandiri, eee apa ya.
Kekeluargaan sih dia ada sih setau saya, maksudnya dia kekerabatannya
juga erat gitu loh. Tapi ya itu kadang orang kan juga bilang kadang orang
Batak itu kasar, ceplas ceplos, ya saya jadinya ikutin pandangan orang gitu
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
loh sebelum saya kenal, ya memang ngomongnya ceplas ceplos, terus
tegaslah, gak mau diaturlah, gitu. Punya pendirianlah.
P : Gimana sih pendapat kamu mengenai budaya si Eunike yang low context?
I : Eee setelah saya melakukan banyak interaksi dengan orang Batak, selepas
saya SD itu tadi. Akhirnya kan punya banyak temen, saya tau ternyata
orang Batak itu enggak selamanya keras. Orang Batak itu ee ada yang
mukanya sangar tapi ternyata dia ngomongnya lembut. Ada yang mukanya
lembut tapi ngomongnya blak-blakan apa segala macem. Kalo kaya gitu
saya lebih ngeliat ke karakternya sih, kalo memang ee dia blak blakan atau
apa saya mikirnya oh oke memang itu budaya yang membentuk dia seperti
itu, ya memang orangnya kaya gitu ya kita mau ngapain gitu loh. Cuma
kalo sama Eunike, Eunike itu orangnya memang low context tapi bahasanya
masih halus lah, maksudnya bukan kaya yang ngomong kasar banget atau
gimana gitu, yang “Kau lah” gitu-gitu enggak, enggak kaya gitu. Ya
maksudnya dia Batak yang sudah di Indonesiakan, jadi dalam arti ada
etikanyalah, terus juga suaranya Eunike kan halus kan maksudnya gak
kayak marah-marah karena ada teman saya yang ngomongnya masih batak
kentel gitu loh. Jadi saya bisa bedainnya dari situ sih, tapi maksudnya saya
mandangnya ya jangan karena dia Batak saya jadi males berkomunikasi
atau gimana ya maskudnya kalo kita cocok sama karakternya ya kita juga
harus bisa menerima konsekuensi kalo misalkan seandainya budayanya
beda, gitu.
P : Nah awal kamu menjalin persahabatan nih, kamu itu punya keyakinan
bahwa hanya budaya kamu sendiri lah yang benar dan menganggap budaya
teman kamu itu enggak relevan atau gimana?
I : Saya enggak nganggep kalo budaya saya sih yang paling bener, karena ee
ya udah budaya dia juga bener budaya saya juga bener. Saya jangan cari
yang paling bener gitu loh. Dan untuk menerima budaya orang lain itu
butuh proses sih, jadi enggak langsung mikir oh oke lu budaya batak ya oke
lah gw terima lu apa adanya gitu, enggak. Karena saya juga melalui proses
yang kayak saya harus ngobrol dulu sama dia, dan ngobrolnya pun bukan
ngobrol basa basi loh. Saya ngobrol hal-hal tentang pelajaran, saya ngobrol
tentang isu-isu misalkan lagi ada berita apa nih, saya ngobrol sama dia,
terus saya curhat-curhat, jadi ya sama kayak teori komunikasi yang lu kalo
misalkan mau kenal harus dari kulit luarnya dulu baru bisa sampe kulit
kedalam, ya itu saya bertahap kenal dia dan itu juga harus dibarengi sama
harus sering-sering ngobrol. Kalo misalkan gak sering-sering ngobrol kita
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
enggak bisa baca karakter dia saat ngomong itu kayak gimana, kita enggak
bisa ngerti apa yang ada diotak dia itu kaya gimana, gitu sih.
P : Oke, ketika kamu udah menerima budaya sahabat kamu nih, apakah kamu
merasa terancam akan budaya dari sahabat kamu ini?
I : Hmm enggak merasa terancam sih, karena budaya itu kan melekat sama
diri kita. Mau kayak gimanapun, kecuali udah di cuci otak atau gimana ya.
Kayak kadang orang daerah yang udah ke ibukota aja tuh, walaupun udah
lama gitu dia masih nempel lah rasa-rasa daerahnya. Jadi saya sih gak
merasa takut apa ya atau terancam dengan adanya budaya lain gitu, asal
bisa saling menghargain ya kalo memang bisa jalan beriringan ya so what
gitu loh, enggak masalah sih.
P : Budaya antara etnis batak dan Tionghoa itu kan pasti ada perbedaan.
Dengan begitu, dengan adanya perbedaan kamu berusaha untuk mengubah
perilaku sahabat kamu enggak sih agar sesuai dengan ekspektasi sahabat
kamu?
I : Saya enggak berusaha buat ngerubah karena buat ngubah sesuatu itu susah
dan saya enggak mau ngubah orang karena saya juga enggak mau diubah.
Saya lebih kalo misalkan ada selek-selek dikit atau gimana, biasanya sih
saya ngimbanginnya dengan bercanda. Karena kebetulan Eunike juga
orangnya suka bercanda saya juga suka bercanda jadi ya udahlah, ya enjoy
aja lah gitu.
P : Ketika kamu udah menerima adanya keberagaman budaya, apa masih ada
hal-hal yang enggak kamu suka in dari budaya Batak sahabat kamu ini?
I : So Far sih enggak ada
P : Jadi saat ini kamu udah bisa melihat dari kacamata budaya lain atau cuma
dari kacamata budaya kamu sendiri aja?
I : Udah beragam, dari budaya lain juga. Saya menyesuaikan kacamata lah,
kalo misalkan memang itu lagi ngebahas tentang sesuatu yang dekat sama
saya dan memang ada hubungan dengan saya, saya pasti pake kacamata
Tionghoa lah. Maksudnya kalo emang lagi ngomongin udah mulai
berinteraksi sosial ya pasti saya harus pake banyak kacamata karena ya
teman-teman saya juga banyak gitu loh. Dan gak cuma dari budaya saya.
P : Nah selama menjalin persahabatan dengan Eunike, apakah semuanya
berjalan mulus atau kalian pernah ngalamin konflik?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Kalo masalah berarti sih, enggak pernah sih. Maksudnya sampe ribut gede
banget sih enggak pernah. Cuma mungkin ya kaya selek-selek dikit lah,
mungkin omongannya ada yang kurang sesuai atau misalkan kayak beda
pendapat lebih ke kayak gimana sih kalo kita komunikasi kalo beda
pendapat, misalnya juga kayak istilahnya kan kadang beda tuh bahasanya
orang Batak sama kita yang Tionghoa. Tapi beruntunglah saya orang
Tionghoa high context yang juga bisa low context. Jadi kadang kita saling
menyesuaikan saja, kadang Eunike juga walaupun low context tetep bisa
bercanda ekstrim tapi juga tetep bisa bercanda yang baik-baik, gitu
maksudnya yang halus-halus lah.
P : Ketika kamu menghadapi konflik, kamu cenderung untuk menyelesaikan
permasalahan langsung atau berusaha untuk menghindari masalah yang
ada?
I : Kalo saya tipenya kalo ada masalah kayak gitu saya Tarik diri sebentar,
take a deep breath sebentar, maksudnya nenangin terus baru ngomong. To
the point sih to the point, tapi kayak hek mikir dulu, maksudnya gini kalo
salah ngomong kan takutnya berabe jadi saya paling diem dulu bentar, saya
pikir apa yang harus saya ngomongin nah saya langsung to the point
ngomong ke dia. Jadi gak menunda masalah sih, langsung dikelarin.
P : Ketika kamu merasa marah atau enggak setuju dengan suatu hal, kamu itu
cenderung dibicarain langsung sama sahabat kamu atau dipendam dan
mengalah?
I : Kalo masalahnya biasa aja saya lebih cenderung diem sama ya udahlah.
Maksudnya ngapain sih dipermasalahin tapi kalo memang menurut saya itu
kurang suka atau enggak terlalu sesuai saya coba buat omongin sih tapi
bukan untuk marahin atau apa, cuma “Eh ini jangan begini kek” atau
“Kayakny ini gini” saya tetep masih komunikasiin dengan bahasa yang baik
gitu gak langsung nge-cut atau nge-judge kayak gimana gitu.
P : Kalo menurut kamu sendiri, sahabat kamu ini ketika kamu marah gimana?
I : Kalo misalkan saya lagi marah, eee dia biasa sih ngediemin sih. Gak
marahin balik gitu, gak pernah nimpalin marah kalo saya emosi atau apa ,
dibercandain, kayak “Oh jangan gitu lah beb”. Maksudnya kayak, air panas
di campur sama air biasa, gak ditambah air panas lagi bikin meledak atau
panas.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Selama kalian bersahabat nih, kamu itu lebih suka kalo Eunike itu ngikutin
kata-kata kamu atau kamu membiarkan Eunike untuk menyampaikan
pendapat?
I : Pasti saya awalnya mengungkapkan pendapat saya lah, tapi kalo misalkan
dia punya pendapat lain atau apa gitu ya silahkan. Silahkan dengan
pendapat dia aja, cuma gak pernah maksa sih. Bukan memaksa pendapat
apa gimana, saya pasti mencoba mengemukakan pendapat punya saya, tapi
kalo memang dia enggak setuju karena memang alasan dia juga oke, ya
udah silahkan lah gitu.
P : Misalnya kalian dalam situasi akan mengambil keputusan, apakah kalian
mengambil keputusan itu sama-sama atau kebanyakan dari satu pihak
doank yang mengambil keputusan?
I : Lebih ke rembukan sih, tapi aku itu pernah ehh kelompok karena memang
saya leadernya ya saya yang ngambil keputusan. Cuma itu kan bareng-
bareng gak sama dia juga.
P : Bagaimana sih cara kamu berkomunikasi untuk melindungi atau menjaga
perasaan orang lain dan diri kamu sendiri? Dan gimana cara kamu untuk
membangun kembali perasaan yang hilang ketika menghadapi konflik?
I : Kalo misalkan cara berkomunikasi untuk melindungi atau menjaga, saya
sih lebih pake ke bahasa yang halus sih. Maksudnya bukan bahasa yang
halus, gimana ya, kayak bahasanya saya aturlah sehalus mungkin, mencoba
untuk mengerti. Maksudnya walaupun pake kata-kata kasar, atau kata-kata
apa lebih ke bercandaan sih. Jadi mencoba untuk pake high context sih, jadi
biar dia juga enggak ngerasa gimana-gimana gitu. To the point, to the point,
tapi ya ibarat saya kasih pembukaan dululah muter dikit baru ngomong gitu
loh. Jadi enggak langsung blek gitu loh. Terus kalo cara untuk membangun
kembali something yang mungkin perasaan misalkan kayak, sebel atau apa
abis konflik gimana bisa baikan lagi, kalo itu saya biasa pake bercanda-
bercanda sih atau saya mulai topik baru ngomongin apa atau biasa kita ee
go somewhere. Gimana ya kayak coba buat melupakan topik itu dan kita
buka topik baru lagi. Jadi kayak pemikirannya pun enggak ngudeg-ngudeg
disitu loh, jadi kita kayak ada insight lain lah.
P : Saat kamu dan sahabat kamu punya kesalahpahaman, biasanya kamu lebih
cenderung untuk memikirkan hubungan kamu dengan Eunike atau kamu
maunya untuk memecahkan masalah dulu nih
I : Kalau saya lebih yang eee saya biasa pecahin dulu masalahnya.
Maksudnya clearin dulu lah. Saya orangnya enggak suka kalo enggak clear
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
terus udah lanjut lagi gitu loh. Kalo itu udah clear, kalo bisa dikelarin saat
itu juga. Udah kalo udah beres kayak udah tenang lagi gitu loh, udah
enggak ada beban. Pastikan hubungannya akan membaik lagi, gitu.
P : Masih ada enggak sih satu dua hal dari budaya sahabat kamu yang
membuat kamu bingung atau tidak bisa menerima?
I : So far fine-fine aja sih.
P : Saat ada sudut pandang budaya yang berbeda di antara kalian, itu kan jadi
sesuatu hal yang baru buat kamu. Kamu mau enggak menerima hal yang
baru?
I : Mau
P : Kenapa sih kira-kira kamu mau terbuka terhadap hal yang baru?
I : Karena saya suka untuk mengetahui sesuatu hal yang baru, gitu. Terus
juga ya memang dari kecil juga ditanemin untuk ya cari teman sebanyak -
banyaknya, kenal orang sebanyak-banyaknya, cari tahu something
sebanyak-banyaknya. Jadi apa salahnya sih saya belajar budaya dia, toh itu
jadi makin memperkaya saya untuk bisa berinteraksi dan bersahabat sama
orang kan. Selama itu enggak ngehina saya, selama itu enggak feel
humiliating atau apa ya atau ngejatohin saya, atau ngejahatin saya ya saya
sih terbuka sih dengan hal-hal yang baru.
P : Kamu menetapkan tujuan-tujuan gak untuk memahami gaya bahasa
sahabat kamu, dan hal-hal lain dalam proses komunikasi?
I : Saya sih enggak punya tujuan, jadi kalo misalkan kalo komunikasi sama
Eunike, ya udah saya jalanin jalanin aja gitu loh. So, nanti juga bakal ngerti
dengan sendirinya.
P : Ketika ada kesalahpahaman, biasanya kamu cenderung untuk melihat dari
banyak sudut pandang atau hanya dari sudut pandang kamu sendiri?
I : Dari banyak sudut pandang sih, awalnya untuk pertama pasti saya
mencoba untuk melihat dari sudut pandang saya. Karena kan maksudnya
ya saya gitu loh yang punya maslah, tapi terus saya juga merenungkan dan
saya juga mencoba untuk lihat dari sudut pandang si Eunike atau sudut
pandang yang lain sih., karena kan gak sepenuhnya saya bener juga kan,
bisa jadi kan ada orang lain yang punya pandangan lebih oke daripada saya,
gitu.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Saat menghadapi konflik, kamu mendengarkan sudut pandang sahabat
kamu atau tidak?
I : Dengerin
P : Awal kamu berinteraksi sama sahabat kamu sampai sekarang ini, kamu
mengobservasi temen kamu gak sih? Misalnya dari verbal dan non
verbalnya ?
I : Ngamatin sih tapi maksudnya enggak diseriusin banget. Ya maksudnya
ngamatin karena saya kalo berkomunikasi saya pasti lihat mata. Saya lihat
mata sama saya merhatiin jadi gak meleng kemana-mana. Saya biasa
ngeliatin raut muka, sama gerakan tangan. Kaya Eunike lebih ke ekspresi
muka.
P : Kalo dari segi budaya, orang Batak kan terkenalnya keras. Nah kamu bisa
menerima perbedaan itu enggak sih?
I : So far bisa, karena saya tahu maksud dia ngomong kaya gitu bukan karena
dia marah. Ya memang karena karakter dia seperti itu.
P : Saat kalian berkomunikasi apakah kamu menahan asumsi kamu dan
menahan diri kamu untuk tidak memaksakan pandangan kamu kepada
orang lain?
I : Heeh saya coba nahan, maksudnya kalo misalkan saya terlalu maksain
atau gimana yang ada ntar malah jadi konflik gitu. Nyampein mah
nyampein tapi untuk memaksakan atau eee apa ya untuk kaya ya harus gw
yang bener, lu harus ikutin gw, enggak sih enggak sampe kayak gitu
P : Kamu itu membangun kepercayaan tidak dengan sahabat kamu selama
ini?
I : Iya
P : Misalnya gimana?
I : Kalo misalnya saya cerita ya biasa dia selalu ngekeep, dia ceritapun saya
selalu ngekeep. Saya dan dia sering cerita hal-hal yang di luar kuliahan,
cerita dia dengan love-love nya dia, keluarganya dia, saya juga suka cerita
love-lovenya saya, keluarganya saya, dan menurut saya ketika kita udah
berani cerita kayak gitu ya berarti kita udah percaya gitu sama dia.
P : Kamu membuat perilaku-perilaku kamu layak mendapat kepercayaan dari
sahabat kamu?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Enggak sih, biasa aja. Gak pernah yang gimana-gimana banget. Just be
my self aja gitu, enggak mau maksa-maksa untuk cerita atau enggak maksa-
maksa untuk selalu nempel-nempel nemenin kemana-mana gitu biar kayak
dia ngerasa saya sahabat enggak sih. Toh kalo memang dia merasa kita
sahabat dia, dan dia percaya sama kita, dia pasti akan datang ke kita kok,
dia pasti cerita ke kita.
P : Oke, kayaknya udah cukup pertanyaannya sampe disini. Makasih banyak
ya Angel untuk waktunya.
I : Oke sama-sama Selvie
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Transkrip Wawancara
Informan 3
Nama Informan : Albert Tri Andhika Bangun
Lokasi Wawancara : Summarecon Digital Center
Tanggal Wawancara : 05 April 2016
Pukul : 11.40
P : Oke kita mulai ya wawancaranya. Selamat Siang Albert, boleh perkenalin
dulu dirinya mulai dari nama, umur, tempat tanggal lahir, asal dan tempat
tinggal, sama etnis?
I : Eee nama gw Albert, terus umur 22 tahun, tempat tanggal lahir itu tempat
di Medan 17 Juli 1994, asal dan tempat tinggal Medan, kalo tempat tinggal
sekarang itu ngekost di Serpong, etnis saya Batak.
P : Oke, nah kamu kan etnis Batak nih. Bisa critain enggak sih budaya yang
kamu miliki? Misalnya pola komunikasi, kebiasaan, kepercayaan, nilai-
nilai budaya sama cara pandang.
I : Okee, jadi gw eee memang etnis Batak, tapi gw udah enggak ngikutin
dengan kebudayaan Batak. Gw lebih ke modern, jadi kaya misalnya gw
sehari-hari itu ngomong pake bahasa Indonesia terus gak pernah pake
bahasa Batak, kecuali lagi ada acara adat, itu baru disitu deh eee terlihat di
mana gw itu etnis batak, gitu. Terus kalo untuk kayak ngobrol sama temen-
temen itu ya masih kebawa sih kadang, tapi bukan bahasanya cuma caranya
kayak langsung to the point gitu, gak pake basa basi lah pokoknya
istilahnya.
P : Menurut lu budaya itu penting enggak sih dalam berkomunikasi sehari-
hari?
I : Menurut gw itu penting, karena kalo budaya itu kita harus bawa kemana
pun, dimana pun dan kapan pun, buat gw
P : Budaya yang selama ini lu milikin nih, itu punya pengaruh enggak sih
dalam kehidupan sehari-hari?
I : Pengaruh pasti, kaya misalnya gw … eee.. contohnya ya kaya budaya
batak itu kan kita misalnya sama-sama ketemu orang batak nih, itu bisa aja
tiba-tiba langsung klop gitu, tanpa harus kenalan cuma tau kalo ini orang
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Batak terus tau marga, wah kita sama terus yaudah jadi nyambung gitu
walaupun enggak kenal karena kita punya budaya yang sama itu.
P : Kalo misalnya budaya itu sendiri kan itu tadi kalo ke orang-orang Batak
nih, sesama orang Batak langsung nyambung. Nah kalo orang luar gitu,
budaya lu punya pengaruh enggak sih?
I : Dari cara komunikasi sih paling, soalnya itu udah melekat banget ya di
gw. Apalagi kalo gw ngobrol sama orang Batak juga makin to the point aja.
Kalo misalnya ya bukan sesama Batak tetep sih kebawa to the point nya
yang bisa bikin orang kadang kesel sama omongan gw haha
P : Menurut lu nih, komunikasi itu penting enggak sih dalam lingkungan yang
memiliki budaya yang beragam?
I : Penting banget, karena ya sehari-hari kita nemuin orang baru yang punya
budaya yang berbeda juga , kalo kita gak ada komunikasi ya gimana kita
mau kenal dengan orang itu. Kita kan mengikuti yang kaya di Bhineka
Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu, ya kita harus ngikutin itu, kita kan
memang banyak jenis budaya di sini tapi karena kita disatukan dengan
Indonesia ya kita harus bisa komunikasi , kita harus mengenal sesama
P : Apa sih hambatan ketika berkomunikasi dengan orang yang memiliki
beda budaya sama kita?
I : Eeee hambatannya ya, kaya misalnya Batak itu kan langsung kadang to
the point terus, ngomongnya logatnya agak kaya misalnya pake Aku Kau,
kayak gitu. Nah kalo misalnya di budaya Tionghoa gitu kan rasanya baru
tau gitu, baru kenal terus tiba-tiba pake Kau gitu ngomongnya itu dikira
kasar kan. Nah itu hambatannya terkadang, jadi dikira kita itu ngomongnya
kasar, padahal ya memang sehari-harinya kaya gitu.
P : Oke kalo gitu kita langsung ke topiknya ya, lu kan menjalin persahabatan
nih dengan orang yang etnisnya berbeda sama lu, namanya siapa sih kalo
boleh tau?
I : Cassandra
P : Cassandra? Itu cewek atau cowok?
I : Cewek
P : Itu lu udah berapa lama sih menjalin persahabatan?
I : Dari tahun 2013, udah sekitar 3 tahun lah.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Gimana sih awal lu bisa ketemu sama sahabat lu ini?
I : Jadi gw awalnya itu kita sekelas, karena ambil sama-sama satu peminatan,
terus kita pernah join kerja bareng. Terus jadi gw udah kenal itu
sebelumnya udah dari gw kuliah semester awal. Jadi kenalnya itu pertama
karena itu mantannya temen gw. Nah dari situ, waktu kita 2013 kita lebih
dekat karena sekelas, jadi lebih asik
P : Butuh waktu berapa lama sih kira-kira dari pertemuan awal sampai
akhirnya menjalin hubungan persahabatan?
I : Ehh butuh berapa lama ya, jadi kebetulan dia orang Medan juga, tapi etnis
Tionghoa. Tapi kita lebih deket itu kemarin kita ada group, group kayak
untuk main gitu, bercanda, asik-asikan nah dari situlah kita udah kayak
sharing, yaudah kita ngobrol-ngobrol, sering kadang ketemu dalam satu
group itu, tuker pikiran, ya udah jadi nyambung, kadang ngomongnya
dengan logat medan juga.
P : Gimana sih persepsi lu tentang etnis sahabat lu yang Tionghoa?
I : Etnis Tionghoa pandangan gw sih orangnya susah bergaul, terus sombong
ya, sok jagoan, pengalaman gw juga sih selama di Medan. Orang etnis
Tionghoa itu dibenci sama etnis Batak karena kesomobongan mereka itu,
kaya meninggikan diri sendiri gitu. Kaya Tionghoa di Medan nih, mereka
berkumpulnya hanya dengan yang Tionghoa aja. Jadi ada sekolah yang
memang disitu orang Chineese semua dan cuma beberapa-beberapa orang,
dikit lah yang kaya bataknya gitu.
P : Gimana sih pendapat lu dengan budaya dari etnis sahabat lu yang dikenal
High Context?
I : Gimana ya, ya gw kadang kesel sih, kenapa gak to the point aja langsung
ngomong gitu kalo ada apa-apa ga usah pake diem dulu tunggu waktu yang
pas dulu tapi ya kadang gw ngikutin juga sih gimana mereka nyaman terus
ya gw ngikut dengan arus gw juga kayak gw low context.
P : Saat awal lu jalin persahabatan nih, sama sahabat lu. Apa lu punya
keyakinan bahwa hanya budaya kamu sendiri lah yang benar dan
menganggap budaya teman kamu itu tidak relevan?
I : Enggak, gak pernah berpikiran seperti itu.
P : Lu untuk menerima itu melalui proses gak? Atau langsung menerima
tanpa melalui proses penerimaan budaya lain?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Ya gw sih nerima aja, istilahnya gw di sini baru merantau, baru tau dengan
budaya-budaya lain juga. Sebelumnya di sana gw memang lebih banyak
kenal itu pastinya dengan orang-orang Batak, kalo Tionghoa gw dikit
banget, ya kayak gw bilang tadi karena yang gw tau, semenjak gw tinggal
di Medan dari kecil hingga besar, itu kayak Batak sama Tionghoa itu
sebenernya ada beberapa orang yang rasis. Jadi gw makanya waktu gw
pindah kesini ya gw bawa santai aja karena sebenarnya itu kalo di Medan
itu Batak itu kadang kurang suka dengan yang Tionghoa, karena ee dari
sifatnya yang memang beda. Kalo disini sama disana itu beda sifat
orangnya.
Jadi di sana kalo yang orang chineese itu sendiri mereka kebanyakan apa
ya ngomongnya terlalu tinggi, kaya gitu, yang nyombongin diri, terus ya
sok jagoan kaya gitu makanya kita ee kalo dari di sana itu pasti memang
dibilang rasis iya. Rata-rata kita di sana Batak gak suka dengan kayak gitu,
soalnya kan sebenernya Batak itu luarnya aja sebenrnya yang kelihatan
kasar, padahal sebenernya ya mereka asik.
P : Sampe sekarang masih kebawa enggak sih kalo lu liat orang Tionghoa lu
gak suka?
I : Kalo dulu iya, awal – awal. Tapi gw bawa enjoy, gw jalanin dengan
lingkungan gw sekarang, terakhir ya udah gw santai aja enggak ada
masalah dengan itu.
P : Nah lu kan udah menerima budaya sahabat lu nih. Apakah lu merasa
terancam dengan adanya budaya dari luar itu?
I : Enggak, karena kalo dari gw sendiri ee budaya gw batak ya gw sampai
kapan pun tetep Batak, gak bakal gw terpengaruh dengan yang lain.
P : Budaya etnis Batak dan Tionghoa berbeda nih, dengan adanya perbedaan
itu lu berusaha untuk merubah perilaku sahabat lu ini engga?
I : Enggak, sama sekali engga. Karena ya itu hidup, hidup mereka. Kalau gw
hidup, hidup gw ya gw ngelakukan apa yang menurut gw benar. Ya
menurut gw benar itu ya mereka punya hak untuk ngejalanin ee etnis
mereka kaya gimana. Jadi gw ya nerima aja dia kaya gimana gw gak ada
berpikir untuk ngerubah, karena itu diri mereka sendiri, gitu.
P : Ketika lu sudah menerima adanya keberagaman budaya, masih ada
enggak sih hal – hal yang gak lu sukai dari budaya Tionghoa itu sendiri?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Sebenernya enggak ada, cuman kalo diliat dari budaya Tionghoa yang di
Medan. Itu yang gak gw suka cuma itu orangnya yang sombong dan sok
jagoan.
P : Sampai saat ini nih lu sudah bisa melihat suatu hal dari kacamata budaya
lain atau lu masih tetap melihat dari kacamata budaya lu sendiri?
I : Ya gw gak lihat hanya dari gw aja, gw liat dari perspektif yang berbeda
pastinya.
P : Selama lu menjalin persahabatan sama Cassandra itu berjalan mulus atau
pernah ngalamin konflik?
I : Gak ada konflik sih, asik-asik aja. Malah kalo misalnya ejek-ejekan apa
gitu yang agak-agak bahasa medan agak konyol, kita santai-santai aja.
Karena kita kalo di Medan itu enggak kasar bisa aja ya bercandan. Gak di
masukin ke hati
P : Biasanya nih kalo ada konflik gitu lu langsung nyelesain apa nunda-nunda
dulu?
I : Gw menyelesaikan masalah langsung sih. Biar enak masalahnya gak pake
lama-lama lagi.
P : Ketika lu merasa tidak setuju dengan suatu hal, apakah cenderung
dibicarakan langsung atau dipendam dan mengalah?
I : Gw kadang langsung ngomong, kadang juga ya gw pendem. Tapi gw
pendem karena gw mau biar itu dia koreksi sendiri. Jadi kalo misal kedua
kali baru gw ngomong
P : Selama lu jalin persahabatan sama si Cassandra, lu lebih suka kalo
Cassandra dengerin kata-kata lu apa dia juga nyampein pendapat?
I : Gw gak mau juga orang dengerin kata-kata gw, tapi gw kasih masukan.
Jadi ya terserah dia, mau dengerin gw atau dia ya ngambil dari kata hatinya
sendiri. Gw gak membatasi
P : Selain itu misalnya lu sama dia lagi di situasi mau ambil keputusan, nah
biasanya kalian sama-sama mutusin bersama, atau keputusan cenderung
dibuat sama salah satu dari kalian aja?
I : Dikomunikasikan bersama sih, biar sama-sama enak gitu. Gak ada
kesenjangan, mentang-mentang gw cowo terus gw yang ngambil keputusan
punya kuasa, itu enggak sih gw
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Menurut lu, gimana cara lu berkomunikasi untuk ngelindungin perasaan
Cassandra dan lu? Dan cara lu untuk membangun lagi perasaan orang abis
menghadapi konflik?
I : Mmm, gimana ya gw bawa suasanya yang pas pastinya. Kalo habis
konflik ya biasanya gw bercandain, biasanya dia pake nada tinggi ya gw
bercandain gitu. Bercandain dalam topik itu juga, berusaha jadi konflik ga
membesar
P : Saat lu sama Cassandra ada konflik nih, lu biasanya lebih mikirin
hubungan atau selesain masalah dulu?
I : Memecahkan kesalahpahaman sih, karena ya kembali lagi gaya Batak itu
to the point. Yaudah kalo ada masalah, ya masalahnya apa langsung kelarin
aja daripada pake basa basi harus berapa lama gitu dipendem dulu, ribet
menurut gw jadi ya langsung aja
P : Masih ada enggak sih dari budaya Cassandra yang belum bisa lu terima?
I : Gak ada deh kayaknya paling ya kesombongannya aja haha tapi itu juga
bukan budaya sih
P : Pas ada sudut pandang yang berbeda antara lu sama Cassandra, nah itu
kan jadi sesuatu yang baru buat lu. Lu coba terbuka gak sih sama hal yang
bagi lu itu baru ?
I : Eeeh terbuka sih gw, karena kan ee gw mencoba belajar budaya orang lain
jg kaya gimana, gw harus belajar budaya yang lain juga untuk menghargai
supaya gak ada masalah lagi, supaya gak ada konflik lagi kedepannya,
karena ada hal yang gak kita ketahuin karena itu sesuatu yang baru buat
kita dan bisa jadi masalah.
P : Lu menetapkan tujuan gak untuk memahami gaya bahasa Cassandra?
I : Dari gw sendiri ya santai aja gak ada punya tujuan gimana banget
P : Ketika ada kesalahpahaman, biasanya kamu cenderung untuk melihat dari
banyak sudut pandang atau hanya dari sudut pandang kamu sendiri?
I : Kalo gw, gak bakal lihat dari sudut pandang sendiri, pasti gw memilih dari
sudut pandang yg lain juga
P : Ketika lu berinterksi dengan sahabat lu, lu ngamatin dia enggak sih?
Mengamati sahabat lu si Cassandra misalnya gerakan nonverbalnya gitu
enggak?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Gw sih enggak ada perhatiin banget sih ya, gw kalo komunikasi sama dia
ya udah cuek-cuek gitu aja haha
P : Pas lu sama Cassandra berkomunikasi nih lu menahan asumsi lu dan
menahan diri lu untuk tidak memaksakan pandangan lu kepada Cassandra
gak?
I : Hmm menahan asumsi sih enggak ya, gw sih lebih nyampein aja. Cuma
ya itu untuk lu menerima apa enggak itu terserah.
P :Lu sama Cassandra saling membangun kepercayaan gak dalam
persahabatan kalian? Ada cara-cara teretentu enggak untuk bangun
kepercayaan itu?
I : Pasti donk, kaya gimana ya gw juga enggak tau karena gw ngerasa ngalir
aja. Karena kita dulu sering ngumpul jadi kita tau org itu sendiri gimana,
gw bisa percaya karena adanya interkasi yang pertama, mulai dari sering
ngobrol sharing, dari situ
P : Oke deh udah cukup sampai disitu, makasih banyak ya untuk waktunya
I : Sama-sama
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Transkrip Wawancara
Informan 4
Nama Informan : Cassandra Lova
Lokasi Wawancara : Summarecon Digital Center
Tanggal Wawancara : 06 April 2016
Pukul : 13.04
P : Selamat Siang Cassandra, kita mulai ya wawancaranya.
I : Iya, siang
P : Boleh perkenalin diri dulu mulai dari nama, tempat tanggal lahir, asal dan
domisili, sama etnis?
I : Nama Cassandra Lova, umur 21, tempat tanggal lahir di Medan tanggal 1
Juli 1994. Asal aku dari Medan tapi sekarang udah tinggal di Tangerang.
Etnis aku sih Tionghoa, walaupun papa mama aku campuran, papa Tionghoa
mama Jawa, tapi aku lebih mendalami etnis Tionghoa.
P : Bisa ceritain enggak sih budaya Tionghoa yang kamu miliki? Dari gaya
komunikasi, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai budaya, cara pandang.
I : Aku mendalami etnis Tionghoa, tetapi memang etnis Tionghoa itu tidak
sekental yang seperti agama Budhhist. Tapi aku tetep percaya sama budaya
leluhur, jadi tetep mengikuti kaya cengbeng, ya kayak aku bilang aku
ngejalini budaya leluhur, tradisi yang udah diturunin oleh leluhur. Kalo
untuk berkomunikasi sih di rumah aku pake bahasa Indonesia, tapi papa
kadang juga suka ngomong bahasa Khe. Kalo untuk komunikasi juga
biasanya budaya aku itu kalo komunikasi itu gak langsung, basa basi dulu,
cairin suasana dulu, gitu haha Terus dari panggilan sih walaupun mama aku
Jawa, aku tetep kalo di rumah manggil kakak aku itu cici, dan adik aku yang
cewek pun manggil aku cici gitu. Terus dikeluarga aku itu menjunjung tinggi
kekeluargaan, diusahakan banget tuh kumpul.
P : Nah, kamu kan asalnya dari Medan dimana mayoritas itu etnis Batak.
Budaya dari etnis Batak itu ada yang kebawa gak sih di kamu?
I : Enggak sih, enggak kebawa ke diri aku haha aku cuma sebatas tau aja
kebudayaan etnis batak gimana karena aku kan cukup lama di Medan.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Soalnya juga, kebetulan cici aku menikah sama etnis Batak campuran gitu,
jadi ya sedikit banyak tau lah kebudayaan etnis Batak.
P : Menurut kamu budaya itu penting enggak sih dalam kehidupan kita sehari-
hari dalam interaksi dan komunikasi?
I : Menurut saya penting sih, karena itu kan dari leluhur kita. Selain itu juga
budaya kan bisa jadi panduan kita dalam berinteraksi, bisa jadi panduan kita
mana yang bener dan salah.
P : Budaya yang kamu miliki selama ini, punya pengaruh enggak dalam
kehidupan kamu sehari-hari? Gimana sih pengaruhnya?
I : Pengaruh sih, kayak yang saya bilang tadi, bisa jadi panduan kita dalam
berinteraksi, dalam berkomunikasi.
P : Komunikasi itu sendiri menurut kamu penting enggak dalam lingkungan
yang memilii budaya yang beragam?
I : Penting lah, kaya misalnya kita di Indonesia ini. Kita kan banyak suku
budaya, nah kalo kita gak ada komunikasi, kita jadi gak bisa tau apa sih
budaya dia, gimana budaya dia. Dan kalo gak ada komunikasi di lingkungan
yang budayanya macam-macam wah bisa jadi konflik deh, karena kan kita
ga bisa tau budaya mereka seperti apa. Jangan kan itu, kalo komunikasi gak
ada, nama aja gak akan tau apalagi kebiasaan mereka. Selain itu juga kalo
misalnya kita gak ada komunikasi di lingkungan yang punya budaya macam-
macam itu kayak kita buat gap dan terkesan rasis sih menurut aku. Makanya
kita butuh komunikasi.
P : Nah membahas masalah rasis nih, aku kemarin dengar dari Albert bahwa
etnis Tionghoa di Medan itu sama etnis Batak ada gap, bener enggak itu?
I : Iya, etnis Batak sama Tionghoa itu lebih rasis di Medan. Aku juga pernah
mengalami konflik waktu lagi di Medan. Orang tua aku kan si papa ada
Tionghoa, nah walaupun mama aku pribumi, mereka tetep rasis, aku tinggal
di satu gang yang berketurunan etnis Tionghonya hanya kita, tetangga di
depan rumah itu tiba-tiba enggak suka gitu sama kita. Ya emang di Medan
itu orang Tionghoa dianggap sombong, sebenernya mah ya bukan sombong.
P : Oh gitu, nah menurut kamu nih perlu atau tidak memahami budaya yang
berbeda dengan kita ketika kita berkomunikasi dengan orang yang berbeda
budaya dengan kita?
I : Perlu, biar kita itu tau gimana cara mereka komunikasi, kebiasaan mereka.
Ya kayak aku bilang sebelumnya biar enggak ada konflik gitu sih. Nanti kalo
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
kita gak memahami budaya yang beda sama kita, kita lagi ngobrol sama dia,
ada hal yang di budaya dia gak boleh kita lakuin, wah bisa kacau haha
P : Menurut kamu nih selama kamu berinteraksi sama orang yang punya
budaya yang berbeda sama kamu, apa sih hambatannya?
I : Hambatanya sih selama ini aku gak ada ya, karena juga kebetulan kan aku
di keluarga itu walaupun etnis Tionghoa yang kuat tapi masih ada etnis lain
yang ada gitu, jadi gak seberapa besar hambatanya. Paling hambatannya itu
kalo bahasnya beda gitu sih, kan di budaya aku ga ngerti gitu bahasa-bahasa
tertentu dari budaya lain, maksudnya gak selamanya bahasa batak itu artinya
di budaya aku sama, mungkin ada yang sama tapi kan gak semuanya, masih
ada yang gak dimengerti, walaupun aku juga pernah tinggal di Medan.
P : Ok kalo gitu kita langsung ke topiknya ya, kamu kan menjalin persahabatan
dengan Albert yang punya etnis yang berbeda sama kamu nih, sudah berapa
lama kamu menjalin persahabatan?
I : Hmmm udah dari semester 1 ya, dari awal kuliah berarti
P : Boleh ceritain gak gimana awal kamu bisa bertemu dengan Albert?
I : Jadi waktu itu awal semester kita ya gak deket, biasa aja gitu temen ya
temen tapi gak deket banget. Pas semester 3 sekelas dan dari situ kita lebih
sering main, dan akhirnya kita sahabatan dan udah nyaman gitu.
P : Kira-kira butuh berapa lama tuh dari pertemuan awal sampai akhirnya
memutuskan untuk menjalin perasahabatn?
I : Berapa lama ya, seiring berjalannya waktu aja sih. Gak ada waktu yang
pasti
P : Gimana sih persepsi kamu tentang etnis Batak? Apalagi kamu kan pernah
ngalamin kejadian di rasisin dengan etnis Batak ada trauma gak?
I : Pandangan terhadap etnis batak, ya sebenernya enggak ada yang buruk sih.
Ya paling keras sih, gak mau ngalah gitu. Tapi menurut aku kekeluargaan
mereka bagus banget, saling membela banget gitu sih. Kalo untuk masalah
itu sih aku ada trauma, pas awal aku pindah ke Tangerang di Cimone pun ya
aku masih agak sedikit Trauma tapi aku berusaha untuk ngilangin trauma itu
dengan menganggap gak semua orang Batak begitu, gitu sih haha dan
untungnya emang orang Batak disini enggak begitu mungkin karena udah
ada percampuran kali ya, jadi aku saat ini udah bisa ngelupain, dengan
nerima Albert yang etnis Batak untuk jadi sahabat aku.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Kamu kan pernah tinggal nih di Medan, dan pasti kamu tau gimana cara
etnis Batak berkomunikasi. Mereka itu terkenal dengan budaya low context
dimana ketika berbicara itu ceplas ceplos, to the point dan gak ada basa basi.
Nah gimana sih pendapat kamu dengan budaya yang low context gitu?
I : Hmm menurut aku bagus enggak bagus sih ya. Soalnya kan budaya yang
low context itu juga kesannya kasar ya, bagus juga sih karena bisa langsung
sampe maksudnya walaupun aku kalo ngomong suka pake basa basi, melihat
situasi dan enggak enakan kalo mau ngomong, gitu sih.
P : Awal kamu menjalin persahabatn, kamu punya keyakinan kalo cuma
budaya kamu nih yang benar dan beranggapan bahwa budaya lain itu enggak
relevan?
I : Enggak, gak pernah sih. Ya kembali lagi walaupun keluarga aku pernah di
rasisin gitu, tapi ya aku enggak pernah beranggapan seperti itu. Menurut aku
semua budaya itu benar kok.
P : Kamu kan sudah menerima budaya Albert nih, kamu merasa terancam
enggak dengan adanya budaya lain?
I : Enggak sih, karena ak yakin dengan budaya aku dan aku itu masih benar-
benar mempertahankan budaya leluhur aku.
P : Budaya antara etnis Tionghoa dan Batak pasti punya perbedaan, nah dengan
adanya perbedaan budaya itu kamu berusaha mengubah perilaku sahabat
kamu agar sesuai dengan ekspektasi kamu enggak?
I : Hmm ak sih enggak mengubah ya, karena perilaku dia kan pasti ada campur
tangan daru budaya yang udah dia kenal dari kecil. Jadi enggak mungkin kita
dengan seenaknya mengubah perilaku dia. Coba belajar menghargai budaya
yang lain aja kalo aku.
P : Kamu kan sudah menerima adanya keberagaman budaya, masih ada hal
yang enggak kamu sukain gak dari budaya etnis Batak?
I : Yang enggak disukain eeee ada sih tapi enggak terlalu ribet, paling cuma
nada berbicaranya, suaranya. Etnis Batak kan suaranya kadang besar gitu ya,
sama nada bicaranya kayak ngebentak itu. Kadang kalo lagi pusing, males
dengerin masih suka emosi dengernya haha
P : Saat ini kamu sudah bisa melihat suatu hal dari kacamata budaya lain atau
kamu masih tetap melihat dari kacamata budaya kamu sendiri?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Iya sih, karena kan dengan kita lihat kacamata budaya lain itu bisa jadi
pelajaran juga buat kita.
P : Selama jalin persahabatan, persahabatan kalian itu semuanya berjalan
mulus atau pernah mengalami kerikil-kerikil kecil alias konflik?
I : Hmm ya pasti adalah, cuma ya enggak dibawa serius dan berlangsung lama
haha
P : Terus nih Cassandra, waktu kamu ngadepin konflik gitu biasanya kamu
cenderung untuk menyelesaikan permasalahan langsung atau menghindari
masalah yang ada?
I : Tergantung dari situasinya, aku lihat Albertnya juga gimana. Kalo enak
untuk ngomong ya di omongin, tapi kalo gak pas situasinya ya aku tahan
gitu.
P : Ketika kamu merasa marah atau enggak setuju, kamu cenderung langsung
dibicarain apa dipendam?
I : Ya kayak aku bilang sebelumnya aku lihat si Albertnya. Tapi kalo mau di
omongin gitu ya kalo aku sih langsung ya dibicarain, karena aku udah tau
budaya Albert yang lebih suka untuk to the point, tapi ya itu aku lihat situasi
lagi sih.
P : Selama kalian bersahabat nih, kamu mau Albert ikut ngeluarin pendapat
atau mau kalo Albert ngikutin apa yang kamu bilang?
I : Enggak sih, harus saling ngeluarin pendapat. Karena kalo ternyata pendapat
Albert lebih bagus gitu kan. Dan kalo misalnya dia ngikutin pendapat aku
terus nih, seakan-akan kan aku leadernya gitu, gak enak haha
P : Cassandra, kalo mislanya nih kalian dalam situasi akan mengambil
keputusan, itu biasanya siapa yang ngambil keputusan? Apakah
dikomunikasikan langsung atau keputusan cenderung dibuat oleh satu pihak?
I : Enggak sih, itu kita sama-sama, dikomunikasiin langsung
P : Menurut kamu, bagaimana cara kamu berkomunikasi untuk melindungi
atau menjaga perasaan Albert dan diri kamu sendiri? Dan bagaimana cara
kamu untuk membangun kembali perasaan yang hilang ketika menghadapi
konflik?
I : Ya saya sih jujur enggak ada cara yang gimana banget untuk hal itu. Biasa
aja gitu jalaninnya, kalo misalnnya sampe menyinggung perasaan orang lain
apalagi Albert gitu ya mau gimana lagi, misalnya harus jujur maupun pahit.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Kalo untuk perasaan aku sendiri, ya aku sebisa mungkin untuk enggak buat
perasaan orang lain tersinggung sih, dengan gitu kan orang juga akan
bersikap baik. Hmm kalo abis konflik sih biasanya aku lebih bercandaan, ya
aku melakukan apa yang dia lakuin waktu aku marah gitu sama dia. Kita
enggak pernah say sorry gitu sih haha paling lewat bercandaan
P : Saat kamu sama Albert ada kesalahpahaman nih, kamu biasanya lebih
cenderung untuk memikirkan hubungan kamu dengan Albert ketimbang
kesalahpahaman yang ada atau kamu lebih mementingkan untuk
memecahkan masalah dahulu?
I : Diselesain masalah dulu sih, karena nanti kalo di ulur-ulur makin lama
malah makin enggak enak, hubungannya juga malah makin enggak enak.
P : Masih ada lagi enggak sih, budaya dari etnis Albert berasal yaitu etnis Batak
yang buat kamu bingung dan gak bisa terima gitu?
I : Enggak ada sih, enggak ada. Cuma nada dan suara tadi haha
P : Oh gitu ya Cassandra, nah ketika ada sudut pandang budaya yang beda nih
antara kamu sama Albert, dan itu jadi sesuatu yang baru buat kamu. Kamu
mau terbuka terhadap hal yang baru tersebut gak?
I : Ya nerima sih kalo aku, karena kan itu jadi tambahan pengetahuan kita juga.
P : Kamu menetapkan tujuan yang dilakukan gak untuk memahami gaya
bahasa sahabat kamu, dan hal-hal lain dalam proses komunikasi?
I : Enggak sih, berjalan begitu aja.
P : Ketika ada kesalahpahaman gitu, biasanya kamu cenderung untuk melihat
dari banyak sudut pandang atau hanya dari sudut pandang kamu sendiri?
I : Hmm biasanya sih selama ini, aku gak hanya mementingkan sudut pandang
aku aja, tapi aku juga coba melihat gimana dari sudut pandang Albert.
P : Awal kamu bersahabat sama Albert, kamu mengobservasi Albert gak
misalnya dari nonverbalnya?
I : Iya donk, aku sih ngamatin. Apalagi kan dia cowo ya dan aku cewek. Aku
melihat dia gimana dia kalo bicara sama aku, menghargai aku enggak
sebagai cewek, perliaku dia ke aku.
P : Saat kamu dan Albert komunikasi apakah kamu menahan asumsi kamu dan
menahan diri kamu untuk tidak memaksakan pandangan kamu kepada orang
lain?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Enggak sih, aku tetep nyampein dan tidak maksain pandangan aku ke Albert
gitu.
P : Kamu dan Albert kan udah cukup lama nih menjalin persahabatannya
sekitar 3 tahun. Nah kamu dan Albert saling membangun kepercayaan
enggak satu sama lain?
I : Iya donk, pasti bangun kepercayaan. Kalo enggak ada kepercayaan wah
bisa kacau haha
P : Kamu membuat perilaku kamu layak mendapat kepercayaan dari sahabat
kamu?
I : Hmmm perilaku yang lebay banget enggak, tapi aku kayak nunjukin
langsung misalnya, Albert curhat ke aku gitu, ya udah aku bener-bener jaga
itu dan enggak ceritain ke siapa-siapa, gitu sih.
P : Oke deh kayaknya udah cukup wawancaranya sampai di sini, terima kasih
banyak ya untuk waktunya
I : Iya sama-sama.
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Transkrip Wawancara
Informan 5
Nama Informan : Ismia Riline Damanik
Lokasi Wawancara : Summarecon Mall Serpong
Tanggal Wawancara : 09 April 2016
Pukul : 20.22
P : Selamat Malam Ismia, boleh kita mulai ya wawancaranya.
I : Iya
P : Boleh perkenalin diri dulu mulai dari nama, umur, tempat tanggal lahir,
asal dan tempat tinggal sama etnis?
I : Namanya Ismia Riline Damanik, umur 20 tahun, tempat tanggal lahir
Tangerang 21 April 1995, asal dan tempat tinggal Tangerang jalan Sawo
Raya no 27, etnisnya Batak.
P : Bisa ceritain enggak sih budaya batak yang kamu milikin ini sendiri?
I : Orang Batak itu kalo cari jodoh harus orang Batak juga biasanya, terus
kalo pulang gak boleh nih sebenernya, harus pulang dibawah jam 10. Orang
Batak itu juga kekeluargaannya deket banget, misalnya nih kita punya 1
marga nih, walaupun kita gak satu darah tapi satu marga itu udah dianggap
saudara. Kalo satu pariban itu boleh nikah, walaupun satu darah tapi boleh
nikah, nah di budaya Batak itu kalo ada nikah pesta adatnya bisa dua hari
dua malam, terus pesta adatnya itu kayak ada ulos, terus ada kayak potong
kepala babi, itu harus ada tuh di etnis Batak itu kan. Kalo cara komunikasi
karena aku tinggal di Tangerang juga jadi masih pake bahasa Indonesia.
Logatnya kasar kita kalo komunikasi, berteriak gitu kan kayak orang marah
sebenernya sih gak marah, emang kayak gitu. Terus kita itu juga kalo
ngomong langsung aja gitu apa adanya, suka dikira kasar, emang udah dari
sananya gitu haha
P : Menurut kamu sendiri nih, budaya itu penting enggak sih dalam
berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Penting sih, buat jadi identitas diri kita sendiri gitu. Kalo kita punya
budaya kita tau kita dari mana, adatnya apa. Bisa jadi panutan buat kita
berperilaku juga sih.
P : Eeee menurut kamu nih, budaya itu punya pengaruh enggak sih di dalam
kehidupan kamu sehari-hari?
I : Pengaruh, ya ada lah. Maksudnya nih kalo misalnya mereka tau nih kita
orang Batak ya mereka tau nih kita itu orangnya kayak gimana, ya kita kan
orangnya ceplas ceplos, kalo ada apa langsung aja ngomong gitu gak pikir
panjang. Nah, jadi orang lain itu bisa memaklumi gitu. Jadi orang itu ya
bisa langsung tau kita gimana.
P : Menurut kamu sendiri nih, komunikasi itu penting enggak dalam
lingukngan yang punya budaya yang beragam?
I : Menurut aku sih penting, maksudnya biar kita sama-sama tau, misalnya
kayak orang China kan orangnya halus kalo ngomong, kalo orang Batak
kasar. Jadi ya bisa sama-sama maklumin aja haha
P : Perlu enggak sih memahami budaya yang berbeda dengan kita ketika kita
akan berkomunikasi dengan orang yang memiliki budaya yang berbeda
dengan kita?
I : Perlu lah harus perlu, maksudnya kalo misalnya aku ngomongnya terlalu
gimana ntar dia tersinggung, kalo budaya batak kan ceplas ceplos kalo ke
teman aku yang di Untar kan kebanyakan Tionghoa yang halus – halus jadi
ngomongnya harus lebih pelan, gak langsung ceplas ceplos dan enggak to
the point.
P : Nah menurut kamu nih, apa sih hambatan ketika berkomunikasi dengan
orang yang punya budaya yang berbeda?
I : Oh hambatannya sih menurut aku enggak seberapa ada ya mungkin karena
aku udah tinggal disini cukup lama jadi banyak sosialisasi sama orang dari
budaya yang beda. Paling yang paling susah gimana caranya aku itu kalo
ngomong logatnya nadanya enggak kasar hahaha
P : Oke kita langsung ke topiknya ya, kamu kan menjalin persahabatan nih
sama Maria Angrey. Itu kira-kira udah berapa lama sih kamu menjalin
persahabatannya?
I : Udah tiga setengah tahun lah sampai aku lulus kuliah
P : Gimana sih awal kamu bisa ketemu sama Angrey?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Pertamanya aku gak deket sama Angrey semester 1, kan dia orang
Lampung tuh nah aku kenal sama temennya dulu sebelumnya baru aku
deket sama Angrey. Kan tau sendiri Angrey orangnya jutek gitu kan haha
susah juga deketinnya tuh orang. Hahaha
P : Kira-kira butuh waktu berapa lama sih dari pertemuan awal sampai
akhirnya kamu yakin oh Angrey bisa jadi sahabat nih
I : Hmm berapa lama ya, sebulan kayaknya itu udah langsung deket sama dia
kan.
P : Gimana sih persepsi kamu tentang etnis Tionghoa?
I Orangnya sopan, baik gitu kan. Orang Tionghoa baik sih welcome sama
orang lain, aku kira tadinya pas masuk Untar ya, aduh minder nih mau
masuk Untar nih aku sendiri orang Batak, kulit hitam mereka semuanya
kulit putih ya aku udah agak minder tuh, terus kan orang China itu
terkenalnya pilih-pilih temen, tapi pas ke sini-sini ternyata mereka
orangnya baik gitu kan.
P : Nah gimana sih persepsi kamu terhadap budaya Angel yang banyak basa-
basi gak to the point kalo ngomong gitu?
I : Hmm ya kadang suka kesel aja sih kenapa gak to the point aja kalo
ngomong, ga usah ga enakan gitu. Tapi untungnya mereka gak begitu ga
enakan sih haha kalo aku misalnya suaranya gede-gede mereka juga
langsung protes woi mi suara lu mi, tapi sambil ketawa-ketawa.
P : Awal kamu jalin persahabatan dengan orang yang etnisnya berbeda sama
kamu nih, kamu punya keyakinan kalo budaya kamu lah yang paling benar
dan budaya Tionghoa itu enggak relevan atau gimana?
I : Enggak sih, semua budaya itu kan sama. Gimana kita punya sikap aja sih,
etika kita gimana, semua budaya itu sama pasti ngajarin yang baik gak
pernah ngajarin yang enggak bener. Pertamanya sih takut ya, minder gitu
apa lagi sama mereka apalagi orang kaya semua. Tapi ternyata mereka
orangnya welcome jadi ya udah bisa menghilangkan ketakutan juga.
Apalagi waktu itu aku pernah loh dituduh sama etnis Tionghoa kalo aku
ngambil ipad dia padahal enggak, dan aku sempet kesel waktu itu sama
orang etnis Tionghoa, tapi karena ternyata enggak semuanya seperti itu jadi
aku kembali membuka diri terhadap etnis Tionghoa.
P : Ketika kamu udah menerima budaya sahabat kamu nih, kamu merasa
terancam enggak sih dengan adanya budaya lain itu sendiri?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Enggak sih, maksudnya enggak akan terancam. Kan punya budaya
masing-masing, jadi ya udah jangan usik budaya lain, gak usahlah.
P : Budaya antara etnis Tionghoa dan Batak kan beda nih, nah dengan adanya
perbedaan itu kamu berusaha mengubah sahabat kamu supaya sahabat
kamu jadi seperti kamu?
I : Hmmm enggak sih, membiarkan aja. Kan kita punya kepribadian dan
budaya masing-masing, ya misalnya si Angrey kalo ngomong lembut ya
udah. Kita enggak usah merubah pribadi orang gitu, pribadi orang masing-
masing aja.
P : Ketika kamu udah menerima adanya keberagaman budaya nih, masih ada
enggak sih hal-hal yang kamu enggak sukai dari etnis Tionghoa itu sendiri?
I : Mungkin yang enggak aku suka mereka terlalu high class orang Tionghoa
itu kan, kalo belanja buset di mana-mana mahal lagi, kalo orang Batak kan
beda belanja itu cari yang paling murah.
P : Saat ini kan kamu udah bisa lihat sesuatu dari kacamata budaya lain atau
masih melihat dari kacamata budaya kamu sendiri?
I : Aku juga liat dari kacamata budaya lain, kaya misalnya budaya Tionghoa
kan misalnya nih, dia pinter cari duit walaupun usaha kecil rumah jelek tapi
dia bisa kaya gitu, sisi baiknya juga ada di budaya Tionghoa, gak cuma
budaya Batak aja.
P : Nah, selama menjalin persahabatan nih, apa semuanya berjalan mulus atau
pernah ada masalah gitu?
I : Kalo sama angrey sih berantem-berantem kecil aja sih, kaya misalnya
Angrey itu walaupun lembut tapi suka marah-marah orangnya si Angrey
itu, cepet jutek gitu orangnya tapi besoknya juga udah baikan gak pernah
terlalu lama sih kalo berantem sama Angrey mah.
P : Nah itu kan sama aja konflik nih, nah itu kan besokannya selesai
masalahnya kata kamu. Itu apakah kalian menyelesaikan permasalahan
menunda dulu sampe?
I : Enggak sih, kita mah maksudnya misalnya berantem nih besok kita udah
ngobrol gak ada pembicaraan apa pun sih. Mungkin karena masalahnya
kecil juga ya kaya cuma masalah mau ke sini ke sana, mau ke mana.
P : Kalo mislanya nih kayak Angrey kan suka marah-marah nih kamu bilang
tadi, kamu pernah perotes enggak sih?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Behhh pernah, aku bilangin “Rey lu jangan jutek-jutek donk jadi cewe,
kapan dapat pacarnya” gw bilang gitu hahaha
P : Nah itu kamu pas dia jutek langsung ngomong ke dia apa kamu pendem
dulu deh nanti dulu di kasih taunya?
I : Langsung, aku kan orangnya ceplas ceplos. Jadi langsung aja ngomongin
P : Kalo mislanya nih, kamu yang marah. Gimana respon sahabat kamu si
Angrey?
I : Ohh kalo aku marah? Langsung minta maaf pasti langsung.
P : Kamu sendiri ketika merasa marah atau enggak setuju nih sama Angrey,
kamu cenderung langsung dibicarain atau dipendam?
I : Kalo enggak suka sama Angrey? Ya pasti langsung bilang sih. Misalnya
“Rey lu jangan gini-gini donk” dia paling jawab “iya sih mi” dia paling gitu
doing tanggapannya, biasa aja gitu hehe tapi ya kadang dia gitu lagi haha
P : Selama kamu sahabatan nih sama Angrey, kamu lebih suka Angrey ikutin
apa kata-kata kamu atau lebih suka dia kasih pendapat juga?
I : Biasanya sih yang lebih dominan ya nigkutin aku. Aku bikin Angrey
ikutin kata-kata aku hahaha Sampe-sampe di kampus ada dosen namanya
Pak Ari itu kadang sampe nanya “Mana Mia geng kamu Mia? Biasanya
kamu ketuanya”
P : Kalo misalnya nih kalian dalam situasi lagi mengambil keputusan,
biasanya kalian mutusin sama-sama dikomunikasiin langsung atau
keputusannya itu di ambil sama salah satu dari kalian?
I : Kalo Angrey itu karena tipe orang yang terserah-terserah jadi kebanyakan
aku yang ngambil keputusan.
P : Menurut kamu sendiri nih, gimana cara kamu berkomunikasi untuk
menjaga dan melindungi perasaan Angrey maupun kamu sendiri?
I : Hmm kalo aku sih lebih banyakin bercanda kalo lagi komunikasi sama
orang lain, selain buat aku gak kesel atau gimana itu juga bikin orang lain
seneng gitu, mereka juga seneng liat aku walaupun aku cuma ketawa.
P : Cara kamu untuk membangun perasaan sahabat kamu lagi abis konflik
gimana?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Paling aku lebih ngerayu, karena untungnya dia tipe orang yang gampang
dibujuk.
P : Saat kamu ada kesalahpahaman sama Angrey, kamu biasanya lebih
cenderung untuk mikirin hubungan kamu sama Angrey dulu atau mikirin
untuk mecahin masalah dulu?
I : Mecahin masalahnya dulu sih ya, kalo udah selesai masalahnya baru kita
benerin hubungannya. Jadi gimana selesain masalahnya dulu baru kita bisa
ngomongin baik-baik baru baikan gitu.
P : Masih ada enggak sih budaya dari etnis Tionghoa yang gak bisa kamu
terima gitu?
I : Enggak sih, paling hal yang enggak penting bukan dari budayanya sih.
P : Nah sudut pandang budaya yang satu dengan yang lain kan pasti ada yang
sama ada juga yang berbeda, dan sudut pandang yang berbeda itu bisa jadi
sesuatu yang baru nih buat kamu. Kamu berusaha menerima budaya yang
baru itu atau menutup diri?
I : Terbuka sih sama budaya yang baru, nerima-nerima aja. Kalo kita cuma
mau tau dari budaya kita aja nih gak mau terbuka jadinya kan kita nanti
malah mikir negatif budaya orang lain tuh, malah nti kita takut neglakuin
apa-apa yang menurut dari budaya lain bener dibudaya kita belum ada.
P : Kamu punya tujuan yang dilakuin enggak supaya kamu memahami gaya
bahasnya sahabat kamu?
I : Enggak ada sih, berjalan waktu aja. Budaya menurut aku gak terlalu beda
sih, cuma omongannya aja, cuma beda dia halus dan aku keras aja
P : Kalo ada kesalahpahaman nih, kamu lihat dari sudut pandang kamu atau
orang lain juga?
I : Dari sudut pandang yang lain juga sih soalnya kan kalo dari sudut pandang
aku doank gak menyelesaikan masalah gitu, ditampung yang mana yang
baik baru kita ambil gitu.
P : Kalo misalnya nih kamu lagi berantem sama Angrey, kamu dengerin
pendapat Angrey atau kamu menutup diri?
I : Dengerin sih, aku salahnya di mana biar sama-sama diperbaiki aja sih
sebenernya
P : Kamu ngelakuin observasi Angrey gak misalnya non-verbalnya Angrey?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Jujur kalo aku sih enggak ngamatin ya, aku menerima aja gitu perbedaan-
perbedaan yang ada.
P : Kamu saat sama sahabat kamu nih, nahan asumsi kamu gak? Dan
menahan diri kamu supaya gak maksain pandangan kamu ke dia?
I : Kalo aku tipenya keras ya mau menang, tapi aku tetep mau nerima sih
masukan dari orang lain kaya gimana tapi kalo misalnya pendapat aku
bener ya aku tetep pegang pendapat aku sih gitu hahaha
P : Kamu saling membangun kepercayaan enggak sih sama Angrey itu
sendiri?
I : Iya sih, lewat komunikasi kan aku bisa saling membangun kepercayaan
P : Kamu buat perilaku-perilaku yang buat Angrey menerima kamu atau
enggak?
I : Enggak ada sih, berjalannya waktu aja sih aku mah
P : Oke kayaknya cukup sampe di sini pertanyaannya. Makasih banyak ya
waktunya udah rela-rela malem gini dateng.
I : Iya sama-sama
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Transkrip Wawancara
Informan 6
Nama Informan : Maria Angrey
Lokasi Wawancara : Central Park Mall, Jakarta Barat
Tanggal Wawancara : 10 April 2016
Pukul : 19.17
P : Hai Angrey, selamat malam. Kita mulai ya wawancaranya
I : Halo Sel, boleh yuk
P : Nah boleh perkenalin diri dulu rey? Mulai dari nama, umur, tempat tanggal
lahir, asal dan tempat tinggal sama etnis?
I : Oke, nama gw Maria Angrey, biasa dipanggil Angrey atau Cece, umur
sekarang hmm 22 tahun, tempat tanggal lahir gw lahir di Kotabumi itu di
Lampung tanggal 29 Maret 1994. Asal gw dari Bandar Lampung, sekarang
domisilinya di Jakarta tapi tempat tinggal asli di Lampung. Etnis gw
Tionghoa.
P : Bisa ceritain enggak sih budaya Tionghoa yang lu pegang saat ini mulai
dari kebiasaan, kepercayaan, nilai budaya, sama gaya komunikasi?
I : Hmm oke, mungkin gw Tionghoa tapi budaya gw ga kentel-kentel banget
ya karena udah lama tinggal di Lampung yang banyak suku budaya disana.
Nilai yang ada di etnis Tionghoa itu kekeluargaan, keluarga gw pasti
minimal 1 tahun 6 kali itu ketemu, jadi keluarga besar gw rata-rata di
Kotabumi itu meskipun ada di Lampung tapi jauh dari Tanjung Karang, jadi
walaupun jauh ortu tetep ngajarin untuk selalu kumpul sama keluarga. Udah
gitu sopan santun, kalo ke mana-mana itu harus banget ngomong sama ortu
misalnya Ma pergi, Pa pergi, gitu. Kalo makan pun juga sama, udah
kebiasaan kali ya. Kalo di rumah komunikasinya tapi gw tetep pake bahasa
Indonesia. Karena gw udah agama Kristen, gw udah enggak sembahyang
lagi, tapi gw tetep ngejalanin perayaan imlek, kaya gitu masih, cengbeng gw
masih ikut walaupun enggak sembahyang, ibarat kata tradisi. Kalo etnis
Tionghoa suka di bilang kalo lagi komunikasi banyak basa-basi ada benar
dan enggak juga sih ya. Gw terkadang suka enggak enakan kalo lagi ngobrol
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
jadi lebih banyak basa-basi kalo mau bilang sesuatu gak langsung to the
point, tapi gak selamanya gitu juga haha kadang gw juga suka to the point.
Gitu sih paling ya bisa gw ceritain
P : Oke, nah menurut lu nih, budaya itu penting enggak dalam komunikasi
sehari-hari?
I : Penting menurut gw, karena budaya bisa menunjukkan karakter seseorang
sih menurut gw, udah gitu jadi panutan dalam bertindak sih
P : Nah budaya yang lu miliki selama ini, punya pengaruh enggak dalam
kehidupan lu sehari-hari?
I : Pengaruh? Ada banget, nih kaya gak usah jauh-jauh, nilai sopan santun itu
jadinya kebawa walaupun sama orang lain. Gw misalnya pas makan mau
mereka bukan saudara gw, gw selalu bilang, misalnya A makan, B makan
ya, gitu haha
P : Nah kalo tadi kan budaya, sekarang menurut lu komunikasi itu penting
enggak dalam lingkungan yang punya budaya yang beragam?
I : Sangat penting, karena kita sbagai manusia sosial dan tinggal di Indonesia
yang memiliki banyak budaya pasti memerlukan komunikasi sebagai alat
untuk bersosialisasi dan untuk tau budaya lain juga.
P : Kalo gitu perlu enggak sih kita memahami budaya yang berbeda dengan
kita pas kita komunikasi dengan orang beda budaya menurut lu?
I : Perlu tetapi hanya pada batas tertentu aja sih ya
P : Menurut lu nih, apa sih hambatan pas komunikasi sama orang yang punya
budaya beda sama kita?
I : Hmm mungkin dari kesopan santunan yang berbeda tiap budaya, dan
bahasa yang digunakan saat berkomunikasi.
P : Ok, kalo gitu kita langsung ke topiknya ya, nah lu kan menjalin
persahabatan dengan orang yang memiliki etnis yang berbeda si Ismia, udah
berapa lama lu jalin persahabatan itu?
I : Hmm sekitar 3 tahun kayaknya hehe
P : Gimana awal lu bisa ketemu sama sahabat lu?
I : Gara-gara satu kampus bareng sih, dan temen gw yang sama-sama dari
Lampung si Mulia itu kenal sama dia
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Oh gitu, dari awal lu ketemu sama dia sampe akhirnya kalian sahabatan
butuh waktu berapa lama?
I : Hmm kira-kira 1 bulan deh haha
P : Gimana persepsi lu tentang etnis Batak itu sendiri?
I : Baik sih, gak ada yang negatif, soalnya saat berteman kita saling
menghargai budaya masing masing. Dan kayak Ismia orangnya welcome-
welcome aja gitu
P : Nah kalo menurut lu, gaya komunikasi etnis Batak yang cenderung eksplisit
dan to the point kalo ngomong gimana?
I : Menurut gw sih ada baiknya juga langsung to the point langsung jadi bisa
menghemat waktu, tapi kadang kasar sih ya kalo di denger, kayak nyakitin
gitu haha
P : Nah awal lu kenal sama Ismia, tau dia etnis Batak. Itu ku ngerasa bahwa
budaya dia itu enggak relevan atau gimana?
I : Enggak sih, gw gak berpikir kalo budaya dia itu jelek gitu, gw open minded
sih soalnya, dan ya udah gw terima aja gitu gimana budaya dia haha
P : Nah pas lu udah nerima budaya dia nih, lu merasa terancam enggak akan
adanya budaya lain kayak misalnya takut lu terpengaruh gitu?
I : Enggak sih, karena kan setiap orang beda-beda dan budaya yang udah gw
pegang selama ini toh udah dari lahir, jadi enggak semudah itu terpengaruh.
P : Nah karena budaya lu sama dia beda nih, lu ada keinginan untuk ngubah
dia supaya kaya budaya lu enggak sih?
I : Enggak sih enggak pernah haha gw coba terima dia aja gimana dengan
budayanya
P : Masih ada enggak hal-hal yang enggak lu sukain dari etnis Batak?
I : Hmmm selama ini sih enggak ada haha
P : Nah kan lu kayaknya open minded banget nih, nah lu jadi udah bisa ya
melihat segala hal itu dari kacamata budaya lain? Atau tetep dari kacamata
budaya lu sendiri?
I : Iya donk bisa haha kalo misalnya gw masih melihat dari kacamata gw
sendiri tandanya gw gak open minded donk haha
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
P : Selama lu menjalin persahabatan nih, apakah semuanya itu berjalan mulus
atau pernah mengalami konflik?
I : Hmm enggak sih selama ini, paling cuma gara-gara suara Mia kegedean
gitu, atau dia ngomongnya kayak langsung nancep gitu haha
P : Nah kalo misalnya lu ada konflik gitu sama Mia, itu cenderung lu selesain
langsung atau lu pendam-pendam?
I : Gw sih langsung ngomong ya, lebih enak langsung diomongin biar gak
makin panjang. Tapi ya tetep cara ngomongnya yang halus gak kasar gitu
P : Nah kalo si Ismia sendiri kalo lu marah dia gimana?
I : Dia sih langsung to the point sih nanya lu kenapa ce gitu haha
P : Selama lu sama Ismia bersahabat nih, itu biasanya lu lebih suka dia ngikutin
apa kata lu atau sama-sama ngeluarin pendapat?
I : Kalo gw sih lebih suka sama-sama ngeluarin pendapat ya, tapi overall selalu
gw yang ngikutin Ismia, haha
P : Nah kalo lagi mau ambil keputusan gitu, biasanya siapa yang ngambil
keputusan? Salah satu pihak apa dikomunikasiin?
I : Kebanyakan sih si Mia ya, gw lebih mengikuti aja. Tapi kadang juga
melihat situasi dan langsung dikomunikasiin sama-sama.
P : Nah, gimana sih cara lu komunikasi supaya gak cuma melindungi perasaan
lu tapi juga perasaan orang lain? Dan cara lu supaya membangun perasaan
yang hilang abis menghadapi konflik?
I : Hmm kalo gw sih lebih ke komunikasi yang enggak bawa-bawa masalah
budaya ya, karena kalo bawa-bawa masalah budaya itu bisa bikin orang
tersinggung.
P : Nah kalo kamu misalnya lagi ada kesalahpahaman nih, biasanya lu
cenderung untuk nyelesain masalah langusng bahas apa mikirin hubungan
dulu?
I : Kalo gw sih biasanya nyelesain masalah dulu yah, kalo masalah udah
selesai kan hubungannya juga jadi enak gitu haha
P : Kan pasti ada nih sekecil apa pun sudut pandang yang beda antara lu sama
Mia, dan bahkan itu bisa jadi sesuatu yang baru buat lu. Lu mau terbuka ga
sama hal yang baru itu?
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
I : Mau donk, apa lagi masalah sudut pandang. Itu kan bisa jadi pengetahuan
yang baru juga buat kita haha
P : Ce, lu menetapkan tujuan enggak sih untuk memahami gaya bahasa sahabat
lu?
I : Enggak sih sel, kaya gw ya ngejalanin aja persahabatan gw kaya biasanya.
Mungkin karena gw sama Ismia itu enggak kental banget sama gaya bahasa
budaya kita juga ya.
P : Kalo misalnya nih, lu ada konflik sama si Ismia, itu biasanya lu cenderung
nyelesainnya liat cuma dari sudut pandang lu apa sudut pandang Ismia juga?
I : Pasti gw melihat dari sudut pandang Ismia sih, meskipun tidak jarang Mia
lebih mementingkan sudut pandang dia haha
P : Berarti lu pas ada konflik sama dia dengerin pendapat dia juga ya?
I : Iya donk, gw tetep dengerin ya itu meskipun pada akhirnya dial ah yang
menang haha
P : Lu dalam berinteraksi sama Ismia, itu mengamati dia enggak sih misalnya
perilaku non-verbal dia gitu?
I : Oh iya donk, kaya misalnya kalo lagi ada masalah gitu, ya gw bakalan to
the point ngomong masalahnya apa tapi ya itu gw tetep ngamatin dia dulu,
gimana situasi hati dia sekarang. Pengamatan gw sih begitu haha
P : Kalo misalnya nih kalian lagi saling berasumsi, itu biasanya lu nahan
asumsi lu dan nahan diri lu untuk enggak memaksakan pandangan lu ke
Ismia enggak?
I : Hmm iya sih, gw lebih banyak nahan diri sih, tapi ya terkadang juga gw
suka beropini supaya dia tau apa yang gw mau
P : Lu sama Ismia saling membangun kepercayaan enggak selama ini?
Misalnya gimana cara kalian bangun kepercayaan?
I : Iya donk, kalo ga ada kepercayaan dalam persahabatan wah ancur dah itu
hubungan walaupun persahabatan. Hmm ya paling lewat komunikasi sih,
dari cerita-cerita juga gitu.
P : Oh begitu hehe baiklah kalo begitu makasih banyak ya ce untuk waktunya
I : Iya sel, sama-sama
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
LAMPIRAN B
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Informan 1 : Eunike Olivia Ambarita Informan 2 : Angel Lauzart
Informan 3 : Albert Tri Andhika Bangun Informan 4 : Cassandra Lova
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016
Informan 5 : Ismia Riline Damanik Informan 6 : Maria Angrey
Strategi Mindfulness..., Selvie Oktavia, FIKOM UMN, 2016