Layanan Keberbakatan Siswa
Madrasah
PenulisFadhilah Suralaga
EditorYunita Faela Nisa
ISBN978-602-346-099-1
UIN Jakarta Press
— i —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
karena atas nikmat, hikmat, dan taufikNya, buku
yang berjudul ”Layanan Keberbakatan pada Siswa
Madrasah” ini selesai disusun. Penyusunan buku ini dimak-
sudkan sebagai bahan bacaan bagi siapa saja yang menaruh
perhatian terhadap isu keberbakatan
Program layanan siswa berbakat intelektual merupakan
salah satu bentuk demokratisasi pendidikan, yang dapat mem-
berikan kesempatan pendidikan dengan mengusahakan suatu
lingkungan dimana semua siswa mendapat kesempatan untuk
mewujudkan potensinya secara optimal. Ini artinya, pendidik-
an harus disesuaikan dengan bakat dan kemampuan siswa
didik. Siswa berbakat pada dasarnya memiliki potensi unggul
yang dapat diberdayakan dan dikembangkan secara optimal.
Implikasinya, bagi siswa yang memiliki bakat dan ke-
mampuan luar biasa diperlukan layanan pendidikan khusus,
baik melalui program pengayaan (enrichment) ataupun per-
cepatan belajar (acceleration). Meskipun layanan percepatan
belajar (akselerasi) bukan satu-satunya cara yang diperlukan
oleh siswa berbakat, namun program inilah yang direspon pe-
— ii —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
merintah dengan mencanangkan Program Percepatan Belajar
melalui pembukaan kelas akselerasi. Buku ini ditulis berdasar-
kan Participation Action Research (PAR) pendampingan layan-
an anak berbakat di MTsN 3 Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang sudah turut serta dalam memberi sumbangan penting da-
lam proses penyusunan buku ini dari awal hingga akhir; kami
juga mengharapkan masukan dari semua pihak demi kesem-
purnaan buku ini
Ciputat, 1 Februari 2021
Penulis
— iii —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Daftar Isi
Kata Pengantar—i
Bab I Pendahuluan—1
Bab II Keberbakatan Siswa—9
Bab III Alur Program Keberbakatan—65
Bab IV Layanan Siswa Berbakat di Madrasah—71
Bab V Penutup—131
Daftar Pustaka—133
— 1 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Bab I Pendahuluan
A. Layanan Pendidikan Anak Berbakat
Program layanan siswa berbakat intelektual meru-
pakan salah satu bentuk demokratisasi pendidik-
an, yang dapat memberikan kesempatan pendi-
dikan dengan mengusahakan suatu lingkungan dimana semua
siswa mendapat kesempatan untuk mewujudkan potensinya
secara optimal. Ini artinya, pendidikan harus disesuaikan de-
ngan bakat dan kemampuan siswa didik. Siswa berbakat pada
dasarnya memiliki potensi unggul yang dapat diberdayakan
dan dikembangkan secara optimal. Upaya mengoptimalkan
potensi siswa berbakat intelektual tersebut akan sangat meng-
untungkan bagi pengembangan potensi siswa berbakat dan
juga dapat berdampak positif bagi masyarakat dan negara pada
umumnya (Akbar Hawadi,2004).
Implikasinya, bagi siswa yang memiliki bakat dan ke-
mampuan luar biasa diperlukan layanan pendidikan khusus,
baik melalui program pengayaan (enrichment) ataupun per-
cepatan belajar (acceleration). Meskipun layanan percepatan
— 2 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
belajar (akselerasi) bukan satu-satunya cara yang diperlukan
oleh siswa berbakat, namun program inilah yang direspon pe-
merintah dengan mencanangkan Program Percepatan Belajar
melalui pembukaan kelas akselerasi.
Selama ini, kelas akselarasi telah dikembangkan di ber-
bagai sekolah umum, sedangkan di madrasah belum banyak
dilakukan upaya identifikasi untuk siswa berbakat, termasuk
di MTsN 3 Pondok Pinang. Meskipun ada upaya untuk menge-
lompokkan siswa-siswa dalam suatu kelas khusus (kelas ung-
gulan), namun mereka adalah para siswa yang berprestasi, bu-
kan yang termasuk kriteria siswa berbakat.
Peneliti melakukan identifikasi kebutuhan madrasah
dan kemungkinan persiapan layanan siswa berbakat di MTsN
3 Pondok Pinang. Berdasarkan data daftar hasil tes inteligensi
siswa MTsN 3 Pondok Pinang, terdapat siswa-siswa yang me-
miliki inteligensi superior (skor IQ setara dengan > 120), yang
diasumsikan memerlukan program layanan khusus untuk me-
ngembangkan potensi dan bakat mereka. Pengembangan po-
tensi dan kreativitas siswa tersebut dapat meningkatkan mutu
dan kualitas madrasah sebagai salah satu elemen pendidikan
Islam nasional. Pertanyaannya, apakah memang pembukaan
kelas akselerasi yang dibutuhkan untuk layanan para siswa
berbakat intelektual di MTsN 3?
Program akselerasi yang disebut oleh mendiknas sebagai
program Percepatan Belajar (PPB) mulai dicanangkan pada ta-
hun 2000 oleh Menteri Pendidikan Nasional sebagai salah satu
— 3 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
program pendidikan nasional untuk siswa berbakat intelektu-
al. Sejak PPB –atau yang lebih dikenal dengan program aksele-
rasi dicanangkan, tidak sedikit sekolah baik di Jakarta maupun
di kota-kota besar lainnya di Indonesia ingin membuka pro-
gram akselerasi tersebut. Dalam tiga tahun perkembangannya,
animo sekolah untuk membuka program akselerasi meningkat
tajam. Sekolah yang menyelenggarakan program akselerasi
yang semula hanya dua sekolah pada tahun 1998, menjadi di
atas 100 sekolah pada tahun 2003 (Akbar Hawadi, 2004).
Program pembinaan siswa berbakat sudah memiliki lan-
dasan hukum yang kuat. Hal itu sejalan dengan UU No. 20 ta-
hun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:
Pasal 5 ayat 4:
“Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”
Pasal 12 ayat 1(b):
“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan ber-
hak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuannya”.
Pasal 12 ayat 1(f):
“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan ber-
hak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kece-
patan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ke-
tentuan batas waktu yang ditetapkan”.
Program Akselerasi untuk sekolah umum selama ini
penanganannya di bawah Direktorat Pendidikan Luar Biasa
— 4 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Ditjen Dikdasmen, Departemen Pendidikan Nasional. Untuk
madrasah, program layanan siswa berbakat intelektual perlu
dilakukan kajian yang matang, apakah dalam bentuk akselera-
si dan atau pengayaan, tindakan yang akan dilakukan di MTsN
3 Pondok Pinang. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acu-
an penelitian untuk pemberdayaan madrasah-madrasah lain-
nya dengan pengembangan program yang telah diaplikasikan
di MTsN 3 Pondok Pinang Jakarta.
MTsN 3 Pondok Pinang termasuk sekolah yang cukup
kompetitif. Berkaitan dengan layanan siswa berbakat, MTsN 3
telah melakukan identifikasi potensi IQ, minat dan bakat da-
lam melihat siswa-siswa binaannya. Dari hasil tes inteligensi
siswa yang melibatkan salah satu lembaga swasta yaitu LBK
Psikologi Pendidikan TRIDAS BI SISMA. Hasil yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
1. Dari 294 siswa yang mengikuti tes inteligensi, seba-
nyak 102 (34,7%) siswa kelas IX (III MTs) memiliki IQ
grade 1 skala PM (setara dengan IQ antara 120-135),
artinya siswa tersebut masuk kategori siswa superior
2. Dari 331 siswa yang mengikuti tes IQ, sebanyak 92
(27,8 %) siswa kelas VII (I MTs) mempunyai IQ grade
1 skala PM (setara dengan IQ antara 120-135), artinya
siswa tersebut dikategorikan sebagai siswa superior.
Meskipun tingkat inteligensi bukan satu-satunya krite-
ria anak berbakat ( masih ada dua kriteria atau kluster lain
menurut Renzulli, yaitu kreativitas dan task commitment yang
— 5 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
tinggi), sebenarnya hasil tes tersebut dapat dijadikan dasar
awal untuk pengelompokan siswa, namun kenyataannya hasil
tes tersebut tidak digunakan. Pihak madrasah mengklasifikasi
siswa berdasarkan ranking nilai rapot dan memasukkannya ke
dalam kelas unggulan. Pimpinan madrasah menyatakan bahwa
walaupun siswa-siswa tersebut sudah dikelompokkan, pihak
madrasah merasa belum memberdayakan dan mengembang-
kan potensi siswa secara maksimal, baik dengan pengembang-
an kurikulum, strategi guru, fasilitas dan lain-lain. Kurikulum
berdiferensiasi yang seharusnya diberikan pada siswa-siswa
berbakat, belum dikembangkan. Hal ini disebabkan masih
terbatasnya pengetahuan yang dimiliki guru dan sekolah ten-
tang keberbakatan dan berbagai layanannya. Kondisi demikian
menjadi tidak demokratis bagi siswa yang tergolong siswa ber-
bakat karena potensi mereka tidak bisa berkembang optimal.
Pada umumnya ada beberapa keluhan yang dirasakan
oleh para guru tentang siswa “cerdas” (yang berprestasi) an-
tara lain:
• Susah berinteraksi dengan teman
• Terkesan individualis
• Moody , cepat bosan
• Prestasi tidak konsisten (naik turun), tidak sesuai de-
ngan kapasitas intelektualnya (underachiever), terka-
dang lebih rendah dari anak yang IQ nya rata-rata
• Bakat tidak terkenali
— 6 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
• Banyak tingkah, tidak rapi, suka meremehkan pelajar-
an. Dengan karakteristik tersebut, bisa jadi guru tidak
mengenal anak berbakat berdasarkan inteligensinya;
mereka hanya mengenal anak yang pintar berdasar-
kan prestasi belajar.
Munandar SCU (2004) mengemukakan bahwa siswa
berbakat dengan karakteristik unggulnya juga memiliki keren-
tanan-kerentanan psikologis, seperti supersensibility, perfekti-
onisme dan kemungkinan menjadi underachiever (tidak ber-
prestasi). Kerentanan ini dapat menjadi bumerang bagi siswa
berbakat itu sendiri dan bagi lingkungan sekitar jika mereka
tidak terpenuhi kebutuhannya. Dengan kondisi ini maka peran
BK (Bimbingan Konseling) di sekolah menjadi sangat penting
dan dirasakan kebutuhannya, namun belum dilaksanakan se-
cara maksimal.
Selama ini, layanan BK masih sangat terbatas sehing-
ga tidak dapat mengatasi masalah keberbakatan secara lebih
komprehensif. Bantuan yang diberikan seperti kepada siswa
umumnya, lebih bersifat akademik, sedangkan dalam pengem-
bangan bakat dan minat kurang terlayani. Guru-guru BK MTsN
3 mengeluhkan kurang maksimalnya pelayanan untuk siswa
berbakat, karena SDM BK yang masih minim dalam melayani
seluruh siswa yang berjumlah lebih dari 800 orang.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan,
peneliti memperkirakan bahwa MTsN 3 membutuhkan ada-
nya layanan khusus bagi siswa-siswa berbakat (yang selama
— 7 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
ini diidentifikasi sebagai siswa berprestasi), baik dengan pro-
gram akselerasi maupun pengayaan. Kelas akselerasi adalah
kelas khusus yang memungkinkan terjadinya penyesuaian
waktu belajar dalam mengembangkan kapasitas siswa dan pe-
nyesuaian ini diarahkan untuk mengembangkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi (higher order thinking), berpikir kreatif,
dan penuntasan bahan-bahan yang sulit. Program pengayaan
diberikan dengan memperluas atau memperdalam penguasa-
an siswa melalui pengembangan kurikulum berdiferensiasi.
Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian tentang
layanan anak berbakat di MTsN 3 ini adalah:
1. Bagaimana MTsN 3 dapat mengidentifikasi siswa ber-
bakat intelektual berdasarkan kriteria tingkat inteli-
gensi, task commitment, dan kreativitas?
2. Bagaimana MTsN 3 mengidentifikasi faktor-faktor
penghambat dalam pemberian layanan bagi siswa
berbakat intelektual?
3. Bagaimana cara meningkatkan kompetensi guru dan
kapasitas MTsN 3 dalam memberikan layanan bagi
siswa berbakat intelektual?
4. Bagaimana program layanan pendidikan siswa ber-
bakat intelektual yang dirancang oleh guru MTsN 3 ?
B. Signifikansi Program
Signifikansi program penelitian ini adalah sebagai beri-
kut:
— 8 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
1. Membantu madrasah (MTsN 3) mengidentifikasi dan
menemukan siswa berbakat intelektual
2. Membantu MTsN 3 dalam merencanakan, melaksa-
nakan dan mengevaluasi program layanan khusus
bagi siswa berbakat intelektual
3. Membantu MTsN 3 dalam meningkatkan mutu pen-
didikan madrasah melalui optimalisasi pengembang-
an potensi siswa berbakat intelektual.
— 9 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Bab II Keberbakatan Siswa
Dalam bab ini diuraikan tentang anak berbakat
dan keberbakatan, meliputi definisi keberbakat-
an dan ciri-ciri anak berbakat, identifikasi anak
berbakat dan layanan pendidikan anak berbakat, khususnya
berkaitan dengan layanan pengayaan (enrichment). Selanjut-
nya dibahas pula beberapa hal dalam rangka pemberdayaan
madrasah berkaitan dengan siswa berbakat intelektual, yaitu
tentang prestasi belajar, inteligensi, self- efficacy, penyesuaian
sosial, dan persepsi siswa terhadap pengajaran guru. Bagian ini
diakhiri dengan kesimpulan yang berbentuk hipotesis kerja.
A. Keberbakatan
1. Definisi Keberbakatan
Menurut U.S. Office of Education (dalam Munan-
dar, 1992), definisi anak berbakat (gifted) sebagai berikut:
Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang pro-
fessional diidentifikasi sebagai anak yang mampu menca-
pai prestasi yang tinggi karena mempunyai kemampuan
— 10 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
yang unggul. Anak-anak tersebut memerlukan program
pendidikan yang berdiferensiasi dan/atau pelayanan di
luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat mereali-
sasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun
untuk pengembangan diri sendiri.
Kemampuan-kemampuan tersebut, baik secara po-
tensial maupun yang telah nyata, meliputi:
• Kemampuan intelektual umum
• Kemampuan akademik khusus
• Kemampuan berpikir kreatif-produktif
• Kemampuan memimpin
• Kemampuan dalam salah satu bidang seni
• Kemampuan psikomotor (seperti dalam bidang
olah raga)
Pada tahun 1978 di Amerika Serikat kemampuan psi-
komotor dihapus dari daftar penggolongan bakat tersebut
dengan alasan bahwa bakat bidang psikomotor ini sudah
cukup mendapat perhatian dan terlayani.
Sedangkan konsepsi tentang keberbakatan dari Ren-
zulli meliputi tiga ciri pokok atau kluster yang merupakan
kriteria (persyaratan) keberbakatan yaitu:
• Kemampuan umum (inteligensi) di atas rata-rata
• Kreativitas di atas rata-rata, yaitu kreativitas se-
bagai kemampuan umum untuk menciptakan
sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk
memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat
— 11 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
diterapkan dalam pemecahan masalah, atau se-
bagai kemampuan untuk melihat hubungan-
hubungan baru antara unsur-unsur yang telah
ada sebelumnya.
• Pengikatan diri terhadap tugas (task commitment
yang cukup tinggi
Konsep anak berbakat menurut Renzulli diistilah-
kan oleh Diknas (2003), sebagai Siswa Cerdas Istimewa
dan Berbakat istimewa (CIBI), yaitu peserta didik yang
oleh psikolog dan/atau guru diidentifikasi sebagai peser-
ta didik yang telah mencapai prestasi memuaskan, dan
memiliki kemampuan intelektual umum di atas rata-rata,
kreativitas yang tinggi, dan keterikatan terhadap tugas
yang baik.
2. Layanan Pendidikan untuk Anak Berbakat
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat me-
nentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri indivi-
du. Peran pendidikan pada umumnya adalh menyediakan
lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk me-
ngembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal,
sehingga ia dapat mewujudkan dirinya serta berfungsi se-
penuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadi dan masyara-
katnya.
Setiap individu mempunyai bakat, kemampuan dan
minat yang berbeda-beda, karena itu membutuhkan pen-
— 12 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
didikan yang berbeda-beda pula. Munandar (2003) me-
negaskan bahwa pendidikan bertanggung jawab untuk
memandu (yaitu mengidentifikasi dan membina) serta
memupuk (yaitu mengembangkan dan meningkatkan)
bakat tersebut, terutama mereka yang cerdas istimewa dan
berbakat istimewa (gifted and talented).
Layanan yang dapat diberikan untuk anak berbakat
yaitu layanan percepatan/akselerasi (acceleration) dan
pengayaan (enrichment). Layanan enrichment yang diberi-
kan untuk meningkatkan kreativitas dapat menggunakan
dimensi afektif dari Williams yang menyatakan bahwa si-
kap kreatif memiliki dimensi yang meliputi adanya rasa
ingin tahu yang tinggi, suka pada tantangan, berani meng-
ambil resiko, dan imajinatif.
Layanan enrichment tersebut dapat dipadukan de-
ngan Enrichment Triad model yang dikemukakan oleh
Renzulli.
Selanjutnya, strategi yang digunakan untuk layanan
enrichment dapat dilihat dari klasifikasi strategi Williams
yang dipadukan dengan tipe aktifitas Renzulli. Strategi ter-
sebut adalah sebagai berikut:
Tipe I: kegiatan strategi eksplorasi
Paradoks : laporan pengamatan self-contradictory
Atribut : sifat yang melekat, sifat atau karakteristik
Analogi : similaritas atau situasi yang disukai
— 13 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Diskrepansi : elemen-elemen yang tidak diketahui atau
link yang hilang
Pertanyaan provokatif : membuat pertanyaan sebagai sti-
mulasi eksplorasi dan penemuan
Contoh perubahan : menjelajahi dinamika pemikiran me-
lalui perubahan, alterasi, modifikasi, dan substitusi
Contoh keterikatan : merasakan kekakuan dan pemikiran
terikat
Tipe II: kegiatan strategi training
Pengaturan pencarian acak : pengaturan struktur acak le-
ading production
Skill mencari : kemampuan histori, deskriptif, pencarian
eksperimental
Studi kreatif manusia-proses : analisis sifat dan studi
proses dari keunggulan manusia
Evaluasi situasi : setting criteria, keputusan, berpikir kritis
Kemampuan membaca kreatif : pengembangan ide mela-
lui membaca
Kemampuan mendengar kreatif : pengembangan ide me-
lalui mendengar
Kemampuan menulis kreatif : pengembangan ide melalui
menulis
Kemampuan visualisasi : mengekspresikan ide-ide dalam
bentuk visual
Tipe III kegiatan strategi produksi
— 14 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Toleransi untuk ambigu : toleransi terhadap situasi tanpa
memaksa
Ekspresi intuitif : merasakan firasat batin dan ekspresi
emosi
Pengaturan-pengembangan : pengembangan dari pada
pengalaman atau situasi
Evaluasi situasi : memutuskan solusi dan produksi dengan
konsekuensi dan implikasinya
Kemampuan menulis kreatif : ekspresi diri melalui pro-
duksi tulisan
Kemampuan visualisasi : ekspresi ide-ide dalam visualisasi
Untuk melengkapi pemahaman tentang siswa ber-
bakat di lokasi penelitian, dilakukan pengujian tentang:
“Kontribusi dari faktor inteligensi, task commitment,
sikap kreatif, penyesuaian sosial, dan self efficacy siswa
terhadap prestasi belajar”
Untuk itu diuraikan teori tentang variabel-variabel
yang diteliti sebagai berikut.
B. Prestasi Belajar (Learning outcome)
Pembelajaran merupakan suatu proses di mana berbagai
pengalaman diberikan dan dialami oleh siswa sehingga meng-
hasilkan perubahan yang relatif permanen pada tingkah laku
potensial, bila dibandingkan dengan tingkah laku sebelumnya
(Winkel, 2004). Perubahan tingkah laku tersebut tidak hanya
diindikasikan oleh tingkah laku baru yang nampak, melainkan
— 15 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
ada perubahan dalam segi kognitif maupun afektif yang belum
atau tidak muncul pada tingkah laku nyata (Kusumawardha-
ni, 2000). Prestasi belajar biasanya diwujudkan dalam bentuk
skor indeks prestasi (IP).
Biggs (2003) mengatakan bahwa dalam proses belajar
mengajar setiap guru menginginkan agar siswa memahami
materi yang diajarkan sebagai hasil pembelajaran yang telah
dilakukan. Perubahan tersebut dapat terlihat dari segi kuan-
titatif, kualitatif dan afektif. Biggs menambahkan bahwa hasil
atau prestasi belajar dapat dilihat juga melalui keterlibatan sis-
wa terhadap materi yang diharapkan. Elliot dan Harackiewicz
(1994) menyebutkan bahwa keterlibatan siswa terhadap mate-
ri merupakan aspek afektif yang dapat dilihat melalui sejauh
mana siswa memiliki kepedulian akan hasil terbaik yang dapat
dicapai dalam proses belajar, waktu yang dicurahkan untuk tu-
gas-tugas yang harus dikerjakan, sejauh mana siswa berkon-
sentrasi dan terlibat dalam aktivitas pembelajaran, baik akti-
vitas di kelas, belajar untuk mempersiapkan sekolah dan ujian,
serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Hasil bel-
ajar tersebut tidak selalu harus dicerminkan melalui skor hasil
tes prestasi yang terstandarisasi, melainkan harus disesuaikan
dengan kebutuhan zaman.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi
Belajar
Dusek, J. B (1996) menyatakan bahwa prestasi belajar
sebagai hasil dari proses pembelajaran dipengaruhi oleh
— 16 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
delapan faktor, yaitu: metode-metode pembelajaran, pe-
ngembangan dan implementasi kurikulum, peningkatan
kualitas pembelajaran, usaha keras pendidik, peran orang
tua, teman sebaya, tingkat ekonomi sosial, dan latar bela-
kang etnis.
Tetapi, menurut Bandura (1994), individu memiliki
peran penting dalam pembelajaran karena dapat menen-
tukan hal-hal yang ingin dilakukan. Individu merupakan
agen aktif yang dapat mengontrol perilaku yang akan di-
tampilkan berdasarkan penghayatan dan interpretasi me-
ngenai hal-hal yang dialaminya dari lingkungan. Perilaku
manusia ditentukan oleh banyak faktor. Namun demikian
diri individu sendirilah yang merupakan penentu apa yang
akan dilakukannya berdasarkan pengetahuan mengenai
hal-hal yang mampu ia lakukan dan kepercayaannya atas
kemampuan yang ia miliki. Kepercayaan akan kemampu-
an diri ini merupakan faktor utama dari timbulnya suatu
perilaku dan mempengaruhi bagaimana dia beradaptasi
atau menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Sedangkan menurut Ramsden (1992) faktor karak-
teristik siswa dan guru merupakan faktor yang mempe-
ngaruhi proses pembelajaran dan prestasi belajar. Inter-
aksi antara pengajar dan siswa perlu mendapat perhatian
agar tercapai kualitas yang baik pada hasil belajar siswa. Di
luar itu, konteks pembelajaran dan pemberian tugas juga
ikut berpengaruh.
— 17 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Dalam analisis anak berbakat, selain prestasi ada
faktor lain yang perlu dicermati yaitu faktor inteligensi
yang merupakan salah satu aspek dalam pengembangan
diri dan prestasi anak berbakat.
C. Inteligensi
Definisi inteligensi yang dikemukakan oleh para ahli,
masing-masing definisi memiliki fokus definitif yang berbeda-
beda. Namun demikian, ada beberapa pendapat yang mampu
menggambarkan makna inteligensi, meskipun inteligensi me-
rupakan konsep abstrak dan tidak memiliki dasar yang bersi-
fat konkrit dan aktual, objektif dan nyata secara fisik sehingga
sulit untuk dibuktikan dalam realita (Marnat, 1999). Misalnya
untuk mengobservasi suatu proses penyelesaian masalah yang
berlangsung secara objektif hanya disimpulkan bahwa inteli-
gensi memiliki kontribusi dalam menghasilkan proses berpi-
kir seperti ini. Marnat (1999) menyimpulkan bahwa inteligensi
hanya terkait dengan suatu daya “force“ yang terdapat di da-
lam tubuh yang hanya dapat diketahui melalui hasilnya saja,
bentuknya seperti apa masih sulit untuk ditentukan. Daya dan
Inteligensi keduanya memungkinkan seseorang untuk mela-
kukan pendekatan, berdiskusi dan melakukan generalisasi ter-
hadap suatu persoalan dalam realita.
Binet & Simon (1916) berpendapat bahwa inteligensi ada-
lah “...judgement, otherwise called good sense, practical sense,
the faculty of adapting one’s self to circumstances. To jugde well,
— 18 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
to comprehend well, to reason well, these ara the essential ac-
tivities of Intelligence”. Jadi inteligensi adalah hal yang terkait
dengan proses pengambilan keputusan yang baik & berguna,
memahami dengan baik, untuk memberikan alasan yang baik
yang digunakan dalam proses adaptasi.
Sedangkan Wechsler (1958) memaknai inteligensi lebih
global mendefinisikannya sebagai kemampuan individu untuk
berbuat dengan bertujuan, berpikir secara rasional dan berin-
teraksi secara efektif dengan lingkungan sekitar. Dalam hal ini
Wechsler menekankan bahwa “general intelligence cannot be
equated with intellectual ability”, namun harus dimaknai seba-
gai “a manifestation of the personality as a whole”. Sehingga in-
teligensi bukanlah semata- mata kemampuan berpikir namun
lebih sebagai representasi keutuhan pribadi seseorang.
Abstraknya inteligensi membuat Gary Groth Marnat
(1999) menyatakan dengan lebih detail bahwa inteligensi ter-
kait lima aspek yang saling berhubungan satu dengan yang la-
innya, meliputi :
1. Berpikir abstrak (abstrak thinking)
2. Belajar dari pengalaman (learning from experience)
3. Menyelesaikan masalah dengan pengetahuan yang
dimiliki (solving problems through insight)
4. Menyesuaikan diri dalam situasi baru (adjusting to
new situations)
— 19 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
5. Memfokuskan dan menopang suatu kemampuan un-
tuk mencapai prestasi (focusing and sustaining one’s
abilities to achieve a desired goal)
Dapat disimpulkan dari defenisi di atas bahwa mema-
hami inteligensi sebaiknya dalam konteks yang lebih luas, ti-
dak hanya dalam perspektif individu saja tetapi juga dalam
perspektif sosial, praktis ataupun abstrak sehingga tidak dapat
diukur atau dipahami sebagai suatu hal yang berdiri sendiri
dari berbagai aspek yang bersifat non-intelektual seperti kete-
kunan, dorongan, minat atau kebutuhan akan prestasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa
tes inteligensi adalah proses identifikasi potensi inteligensi
yang dimiliki oleh seseorang dengan menggunakan seperang-
kat alat tes inteligensi yang handal (dapat dipertanggungja-
wabkan reliabilitas dan validitasnya) dan pada prakteknya,
para pengguna tes inteligensi terutama praktisi klinis, melaku-
kan pengetesan berdasarkan kebutuhan tergantung pada area
inteligensi yang ingin mereka ketahui.
D. Teori Inteligensi
Cukup banyak tokoh yang mengembangkan teori inte-
ligensi namun demikian dalam literatur tentang inteligensi
paling tidak ada empat teori tentang inteligensi yang dibahas,
yaitu teori Spearman (1927), Thurstone (1938), Vernon, Guilford
(1967, 1988), dan Gardner (1983,1993).
— 20 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
1. Spearman
Spearman (1927) lebih tertarik pada “apa” yang men-
jadi sasaran pengetesan dalam tes inteligensi. Dia menya-
takan bahwa faktor general atau g factor yang merupakan
faktor umum yang terdapat pada setiap jenis aktifitas inte-
lektual G factor merupakan gabungan dari sejumlah faktor
spesifik atau s factor, yang bersifat unik yang terdapat da-
lam beberapa jenis persoalan. Teorinya ini kemudian dike-
nal dengan Two Factor Theory. Ia menegaskan bahwa ber-
bagai tes inteligensi yang berbeda-beda (yang mengukur
satu faktor inteligensi tertentu) yang memiliki hubungan
dan lebih lanjut lagi dapat diobservasi bahwa orang yang
mampu menyelesaikan suatu persoalan secara efektif di
suatu bidang secara umum akan mampu menyelesaikan
persoalan di bidang yang lain secara efektif pula. G factor
merupakan faktor yang paling berperan dalam memper-
satukan dan mempertinggi kemampuan seseorang. Peneli-
tian Spearman itu dianggap sebagai teori dua faktor (Two
Factor Theory), dia lebih menekankan pentingnya faktor
tunggal yang global (g) dan berusaha untuk melakukan
pengukuran terhadap relatifitas pentingnya faktor g di da-
lam suatu jenis tes inteligensi.
2. Thurstone
Sebaliknya berbeda dengan Spearman, Thurstone
(1938) tidak percaya akan adanya faktor g yang mengga-
— 21 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
bungkan berbagai faktor s. Thurstone lebih mempercayai
bahwa inteligensi dibangun dari berbagai kemampuan
yang spesifik dan terpisah-pisah. Teori ini berkembang
dengan menggunakan faktor analisis dari berabagai ma-
cam tugas/pekerjaan yang menjadi bahan kajian untuk
dicoba dikonseptualisasikan dan memisahkan berbagai
keterampilan yang dibutuhkan untuk ditampilkan dalam
suatu tugas/pekerjaan. Hasil penelitiannya terhadap ber-
bagai jenis pekerjaan dengan menggunakan analisis faktor
mengajukan pendapat bahwa inteligensi terbagi ke dalam
7 komponen yang kemudian dia sebut dengan “Primary
Mental Abbility”, yang terdiri dari:
• Kemampuan Lisan (Verbal Ability)
Faktor primer dalam tes tersebut mencakup pe-
mahaman bacaan, analogi verbal, kalimat acak,
penalaran verbal dan mencocokan peribahasa.
Faktor ini paling baik diukur dengan tes kosa
kata.
• Kelancaran Lisan (Verval Fluency)
Ditemukan dalam tes seperti anagram, membu-
at kata bersajak atau menamai kata-kata dalam
kategori yang ditentukan. Misalnya menyebut
nama anak laki-laki mulai dengan huruf T.
• Kemampuan Angka (Numerical Ability)
Paling dekat diidentifikasi dengan kecepatan dan
ketelitian dalam komputasi hitungan sederhana.
— 22 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
• Kemampuan Ruang (Spatial Ability)
Faktor ini dapat merupakan dua faktor yang ter-
pisah atau mencakup persepsi spasial atau geo-
metrik yang tetap, dan yang lain berupa visuali-
sasi yang dimanipulasi yaitu memvisualisasikan
posisi yang telah diubah atau telah ditransforma-
sikan (McGee, 1979 & Portegal, 1982). Misalnya,
menjelaskan bentuk bangunan World Trade Cen-
tre yang telah hancur.
• Kemampuan Pemahaman (Perceptual Ability)
Pemahaman yang cepat dan cermat terhadap rin-
cian, persamaan dan pembedaan visual . Faktor
ini mungkin sama dengan faktor kecepatan yang
diidentifikasi oleh Kelley dan para peneliti awal
lainnya. Ini adalah salah satu dari beberapa fak-
tor yang secara bersamaan teridentifikasi dalam
tugas-tugas perceptual (Thurstone, 1944). Misal-
nya kemampuan seseorang dalam menangkap
suatu perintah atau makna dari suatu stimulus
abstrak.
• Pemikiran Induktif (Inductive Reasoning)
Identifikasi faktor ini kurang jelas. Thurstone
mula-mula menyarankan faktor induktif dan de-
duktif. Yang kedua (deduktif) paling baik diukur
dengan tes penalaran silogistik dan yang pertama
oleh tes yang menuntut responden menemukan
— 23 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
aturan, seperti dalam tes melengkapi deret angka.
Meskipun demikian, bukti adanya faktor deduk-
tif jauh lebih lemah daripada adanya faktor in-
duktif. Lagipula peneliti-peneliti lain menyaran-
kan adanya suatu faktor penalaran umum yang
paling baik diukur dengan tes penalaran aritme-
tika.
• Ingatan (Memory)
Ditemukan terutama dalam tes yang menuntut
hafalan asosiasi berpasangan. Ada beberapa buk-
ti yang menunjukan bahwa faktor ini mencer-
minkan sejauh mana penopang ingatan diman-
faatkan (Christal, 1958). Bukti ini menyangkal
adanya faktor yang lebih luas melalui semua tes
ingatan. Beberapa penelitian menyarankan fak-
tor ingatan lain yang lebih terbatas, seperti ingat-
an urutan waktu dan posisi spasial.
Kritik kemudian berkembang terhadap pemikiran
Thurstone. Setelah diteliti, ketujuh komponen mental yang
oleh Thurstone ditegaskan sebagai faktor yang berdiri sen-
diri ternyata justru memiliki keterikatan satu dengan yang
lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor yang dia-
jukan oleh Thurstone tidaklah sepenuhnya bersifat inde-
penden dan di sisi lain suatu faktor g juga kemudian secara
umum dapat menjadi ketujuh faktor kemampuan primer
(seven primary abilities) tersebut.
— 24 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
3. Vernon
Di sisi lain, Vernon memahami inteligensi suatu hal
yang tidak hanya terdiri dari berbagai aspek bersifat inte-
grated (menggabungkan) dan unitary (menyatukan) tapi
juga terdiri dari beberapa kemampuan baik bersifat besar
maupun yang kecil yang lebih spesifik. Model Inteligensi
yang dikembangkannya bersifat hirarkis, yaitu suatu mo-
del inteligensi yang digambarkan secara hirarkis berbagai
faktor yang terdapat dalam inteligensi, terdiri dari tiga fak-
tor hirarki :
• Major Group Factor (faktor g) di atas untuk meng-
idikasikan bahwa menggabungkan/menyatukan
semua kemampuan yang muncul di level bawah.
• Minor Group Factor di Level berikutnya yang ter-
diri dari kemampuan verbal-educational dan spa-
tial mechanical.
• Specific Factor yang terdiri dari sub devisi yang
lebih kecil berada pada level yang paling rendah
menunjukan berbagai kemampuan yang lebih
spesifik dan memiliki kekhususan sendiri seperti
kelancaran verbal (verbal fluency), pertimbangan
numerik (numerical reasoning), dan kreativitas.
Karena pemikirannya inilah Vernon kemudian dike-
nal dengan Hyrarchy Theory. Blaha dan Wallbrown (1984)
dalam Marnat (1999) telah mengindikasikan bahawa WISC
dan WISC-R (dan juga termasuk WISC-III) yang berisi se-
— 25 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
susun kemampuan yang dapat dikategorikan mengguna-
kan model Vernon.
4. Guilford
Selain itu, Guilford (1967, 1988) menggunakan sepe-
rangkat teknik analisis faktor yang luar biasa untuk mem-
bangun konseptualisasi tentang inteligensi berkisar inter-
aksi yang spesifik diantara berbagai struktur inteligensi
yang berbeda-beda yang kemudian dikenal dengan Struc-
ture of Intellect (SOI). Dia adalah ahli yang telah mengu-
ji lebih banyak variasi item tes yang lebih besar sebelum
peneliti yang lainnya, yaitu dengan membagi inteligensi ke
dalam 120 faktor yang berbeda (yang kemudian berkem-
bang menjadi 150 faktor) yang terbagi ke dalam tiga kate-
gori utama yaitu operasional (Operation), isi (Content) dan
produk (Product).
Guilford mempertimbangkan bahwa setiap keteram-
pilan intelektual melibatkan beberapa aspek inteligensi
yang termasuk ke dalam kategori operasional, dalam bebe-
rapa tipe isi, untuk menghasilkan suatu produk. Jadi Guil-
dford yakin bahwa perilaku inteligen melibatkan interaksi
antara Operation, Contents dan Products.
Dalam teknik analisisnya tersebut, dia menetapkan
lima bentuk Operation atau lima proses kognitif (Recogni-
tion, Memory, Divergent Production, Convergent Production
dan Evaluation), empat Content (Figures, Symbols, Seman-
— 26 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
tic, dan Behavior), dan enam hasil atau Produk (Units, Clas-
ses, Relations, Systems, Transformations dan Implications).
Setiap keterampilan intelektual yang spesifik melibatkan
satu jenis Operation, menampilkan satu jenis tipe Content
untuk menghasilkan satu jenis Product. Total interaksi
yang mungkin terjadi adalah (5x4x6) yang menghasilkan
120 keterampilan intelektual yang spesifik, yang diguna-
kannya untuk menentukan struktur intelektual.
Selanjutnya Guilford (1988) melakukan modifika-
si kecil dalam teorinya yaitu dengan menggantikan salah
satu bentuk isi gambar (Figural Content) dan digantikan
dengan isi yang berupa pendengaran dan penglihatan (Au-
ditory & Visual Content). Hal yang sama juga dilakukan ter-
hadap kategori Operation dalam hal Memory yaitu dengan
membagi aspek ini kedalam dua bagian yaitu:
• Memory Recording (long term : memori jangka
panjang)
• Memory Retention (short term : memori jangka
pendek)
5. Gardner
Konseptualisasi yang paling baru muncul mengenai
faktor Inteligensi adalah konsep yang diungkapkan oleh
Gardner (1983, 1993), yang telah memperluas cakupan In-
teligensi dibanding para ahli sebelumnya. Dalam hal ini
— 27 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Gardner telah berhasil menguraikan sembilan kompetensi
yang dianggap bersifat lebih independen, yaitu:
• Linguistic
• Musical
• Logical-Mathematical
• Spatial
• Bodily-Kinesthetic
• Interpersonal
• Intrapersonal
• Naturalist
• Existence
Gardner juga tidak hanya memasukan tipe kompe-
tensi yang tradisional yang diukur melalui tes IQ (Verbal,
mathematical, spatial abilities) tapi juga telah memberi-
kan penghargaan lebih pada Inteligensi yang juga meliputi
kemampuan atletik, pengetahuan tentang diri dan orang
lain, dan bakat musik. Jadi, seorang olahragawan atau pe-
main keyboard yang handal namun buruk dalam hal pel-
ajaran di sekolah atau suatu tes IQ mungkin masih dapat
dikatakan memiliki inteligensi yang tinggi.
Hal lain yang menjadi keunikan dari temuan Gardner
(1993) adalah telah dikembangkannya “Schema“ yang ter-
diri dari 15 pengukuran untuk mengukur inteligensi versi
multipel. Pengukuran ini tidak seperti pengukuran inteli-
gensi tradisional sebelumnya yang lebih bersifat tes paper
and pancil tapi lebih lebih berdasarkan pada pengukuran
— 28 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
naturalistik tentang keterampilan berpikir (thinking skill)
di dalam kontek lingkungan ruang kelas.
Walaupun sistem yang dikembangkan oleh Gardner
memiliki pengaruh yang signifikan dalam konseptualisasi
inteligensi dan bahkan di dalam beberapa hal berpenga-
ruh dalam pendidikan praktis, namun penelitiannya ter-
sebut saat ini masih kurang didukung dengan dasar data
empiris (Lubinski & Benbow, 1995; Stenberg, 1994a). Dalam
penelitian ini, tes inteligensi yang dipakai adalah Raven’s
Progressive Matrices.
E. Alat Tes Inteligensi
Ada beberapa alat tes inteligensi yang dipakai dalam
identifikasi siswa berbakat intelektual, diantaranya adalah alat
tes Raven’s Progressive Matrices (PM) dan Culture Fair Intel-
legence Test (CFIT). Keduanya dibuat berdasarkan teori Spe-
arman. Namun, dalam penelitian ini akan diuraikan hanya tes
PM yang dipakai dalam identifikasi siswa berbakat intelektual.
Raven Progressive Matrices diciptakan oleh J.C. Raven
pada tahun 1938. Tes ini pada awalnya dikembangkan di Ing-
gris dan kemudian digunakan secara luas dalam lingkungan
Angkatan Bersenjata pada perang Dunia II.
Raven Progressive Matrices dimaksudkan sebagai tes
non- verbal yang dirancang untuk mengukur kemampuan
untuk mengerti dan melihat hubungan antara bagian-bagian
— 29 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
gambar yang disajikan serta mengembangkan pola berfikir
yang sistematis.
Tes ini sebagian besar mengukur ‘general factor’, se-
dangkan sebagian kecil mengukur ‘spatial aptitude’, ‘inductive
reasoing’ dan ‘perceptual accuracy’. Penyusunan soal berting-
kat dari soal-soal yang mudah ke soal-soal sukar. Pada tingkat
awal, soal-soal membutuhkan kecermatan untuk membeda-
bedakan. Pada tingkat lebih lanjut, soal-soal membutuhkan
kemampuan berfikir analogis dan logis.
Raven Progressive Matrices terdiri atas tiga tes dengan
penggunaan yang berbeda-beda, yaitu :
• Standard Progressive Matrices (SPM)
• SPM terdiri dari 60 soal yang dikelompokan ke dalam
lima seri A, B, C, D dan E. Tes ini dapat dipergunakan
untuk orang normal usia 6-65 tahun
• Coloured Progressive Matrices (CPM)
• CPM terdiri dari 36 soal yang dikelompokan ke dalam
tiga seri A, Ab, dan B. Tes ini dapat dipergunakan untuk
anak usia 5-11 tahun, anak yang mengalami hambatan
mental dan orang lanjut usia. CPM dapat berbentuk
buku soal ataupun papan.
• Advanced Progressive Matrices (APM)
• APM disusun pertama kali pada tahun 1943. Revisi di-
lakukan pada tahun 1947 dan 1962. Tes ini dapat di-
pergunakan untuk orang normal tanpa batasan wak-
tu, yakni untuk mengukur kemampuan observasi dan
— 30 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
’clear thinking’. Jika tes ini dipergunakan dengan ba-
tasan waktu (selama 40 menit), berarti untuk mengu-
kur kecepatan dan ketepatan kemampuan intelektual.
APM terdiri dari atas dua bagian. Bagian I terdiri dari
12 soal, sedangkan Bagian II terdiri dari 36 soal. Biasa-
nya tes ini dipergunakan untuk subyek yang berusia
di atas 11 tahun.
1. Standard Progressive Matrices (SPM)
Alat tes ini memiliki nama asli Standard Progressive
Matrices. Di Indonesia dikenal dengan nama Tes SPM (A2).
Merupakan alat tes yang memiliki tujuan untuk mengukur
dan menggolongkan tingkat kecerdasan umum seseorang.
Bentuk tes berupa buku dengan ukuran kuarto di mana
masing-masing lembar (halaman) memuat satu butir soal
dan kemungkinan jawaban yang benar. Tes ini terdiri atas
5 kelompok yaitu kelompok A, B, C, D dan E yang masing-
masing memuat 12 butir soal. Dengan demikian seluruh-
nya terdiri dari 60 butir soal yang mengukur kecerdasan
orang dewasa dengan g factor merupakan hal yang paling
banyak diungkap.
Alat tes ini dapat disajikan baik untuk individual
maupun untuk klasikal. Khusus untuk menyajian klasi-
kal/kelompok, disarankan agar setiap 1 orang tester mak-
simum menangani 30 orang testi. Waktu yang digunakan
dalam penyajian tidak terbatas, namun biasanya disedi-
— 31 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
akan sekitar 30 menit untuk mengerjakan soal ditambah
waktu untuk pemberian penjelasan/instruksi.
2. Validitas dan Reliabilitas
Menurut Raven, tes SPM sangat memuaskan untuk
mengukur kecerdasan dan mempunyai validitas yang cu-
kup meyakinkan. Koefisien korelasi antara tes SPM dengan
tes inteligensi yang dibuat oleh Terman dan Merril adalah
sebesar 0.86. Menurut Martin dan Wiechers, tes SPM mem-
punyai korelasi yang tinggi dengan WISC, sedangkan Bar-
rat mengatakan bahwa tes SPM tersebut disamping berko-
relasi tinggi dengan WISC, juga berkorelasi tinggi dengan
“Columbia Mental Maturity Scale“. Validitas eksternal de-
ngan menggunakan hasil prestasi belajar di SMP bergerak
dari 0.019 sampai dengan 0,519 (Masrun, 1977), sedangkan
di SMA koefisien validitasnya sebesar antara 0.097 sampai
dengan 0,389 (Masrun, 1976).
3. Cara Pemberian Skor
Nilai satu untuk item yang dijawab betul dan nilai
nol bagi jawaban yang tidak benar. Soal nomor 1 dan 2 di-
pakai sebagai contoh dan harus betul. Sehingga secara te-
oritis “range” nilai akan bergerak dari 2 sampai dengan 60
— 32 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
4. Norma
Untuk tes individual usia 6 tahun sampai dengan 13
½ tahun dengan masing-masing jarak adalah setengah ta-
hun, untuk masing- masing golongan usia tersebut (16 go-
longan) dikenai norma yang berbeda untuk menentukan
tingkat kecerdasan mereka. Sedangkan untuk Group tes
mulai dari usia 8 tahun sampai dengan 14 tahun dengan ja-
rak setengah tahun (jadi ada 13 golongan), masing-masing
dikenai norma yang berbeda. Pengelompokan tingkat inte-
ligensi subyek didasarkan atas nilai persentil sebagai ber-
ikut :
• “Intellectually superior” bagi subyek yang nilai-
nya pada persentil ke 95 ke atas
• “Definetelly above the average intellectual capa-
city”,bagi subyek yang nilainya terletak antara
percentile 75 sampai dengan persentil 95
• “Intellectually average”, yaitu kelompok subyek
yang nilainya berkisar antara persenstil ke 25
sampai dengan persentil ke 75
• “Definetely below average in intellectual capacity”,
bagi subyek yang nilainya antara persentil ke 5
sampai dengan persentil ke 25
• “Intellectually defective”, yaitu jika nilai subyek
terletak pada dan di bawah persentil yang ke – 5
• Untuk tes kelompok besar, sebaiknya norma di-
ambil dari kelompok yang bersangkutan.
— 33 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
F. Penyesuaian Sosial
Untuk bisa sukses seorang siswa harus menunjukkan
kematangan sosial sebagaimana kompetensi akademik. Selain
menguasai materi pelajaran, mengembangkan strategi belajar
efektif, mampu mengerjakan tugas atau soal ujian, siswa juga
harus mampu membangun dan memelihara hubungan inter-
personal, mengembangkan identitas sosial, rasa memiliki, serta
berperilaku dengan cara-cara yang dinilai oleh guru dan teman
sebayanya. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan ka-
rakter dari penyesuaian diri. Sebelum secara spesifik memba-
has penyesuaian sosial, konsep penyesuaian diri secara umum
dibahas lebih dahulu.
1. Pengertian penyesuaian diri
Atwater (1983) mengatakan bahwa penyesuaian me-
rupakan perubahan dalam diri manusia dan lingkungan
yang bertujuan untuk memperoleh kepuasan dalam ber-
hubungan dengan orang lain dan lingkungan. Dari penger-
tian tersebut, ada tiga elemen yang saling berkaitan dalam
konsep penyesuaian diri yaitu: diri kita sendiri (ourselves),
orang lain (others), dan perubahan (change). Sedangkan
Wolman (dalam Atwater, 1983) mendefinisikan penyesuai-
an sebagai sebuah hubungan yang harmonis dengan ling-
kungan termasuk kemampuan untuk memenuhi sebagian
besar kebutuhan dan keinginan kita, baik fisik maupun
sosial. Definisi lain menurut Wolman adalah variasi dan
perubahan dalam perilaku yang penting untuk memenuhi
— 34 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
kebutuhan dan keinginan sehingga seseorang dapat mem-
bangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan.
Penyesuaian diri menurut Powell (1983) merupakan
sebuah proses, atau sebuah kondisi yang mengalun antara
keseimbangan, ketidakseimbangan, dan penyeimbangan
kembali, yang merupakan respon individu terhadap stres
baik yang disebabkan dari dalam maupun luar diri yang
mempengaruhi kehidupannya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, disimpul-
kan bahwa penyesuaian diri adalah sebuah proses peru-
bahan dalam diri manusia dan lingkungan dalam upaya-
nya mencapai keharmonisan.
2. Pengertian penyesuaian sosial
Perubahan lingkungan dan situasi belajar sering
membuat seseorang harus melakukan penyesuaian diri
untuk menghadapinya.
Penyesuaian diri dilakukan dengan tujuan untuk
membuat kehidupan manusia lebih nyaman serta mampu
mengatasi stres atau permasalahan secara efektif. Demiki-
an juga bagi para siswa yang baru mengikuti proses pem-
belajaran di bangku sekolah.
Dalam menghadapi iklim dan situasi yang berbe-
da tersebut diperlukan strategi dan teknik tertentu yang
harus dimiliki siswa. Salah satunya adalah kemampuan
— 35 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
siswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan social
yang disebut dengan penyesuaian sosial.
Hurlock (1990) menyatakan bahwa penyesuaian so-
sial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuai-
kan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap
kelompok pada khususnya. Menurut Jourard ( d a l a m
Hurlock, 1990 ) salah satu indikasi penyesuaian sosial yang
berhasil adalah kemampuan untuk menetapkan hubung-
an yang dekat dengan seseorang.
Dikatakan oleh Schneirders (dalam Hurlock, 1990
) penyesuaian sosial merupakan proses mental dan ting-
kah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan
diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri
yang dapat diterima oleh lingkungannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penye-
suaian sosial merupakan tingkah laku yang mendorong
seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain dan
kelompok sesuai dengan keinginan dari dalam dan tuntut-
an lingkungan.
Scheneiders (dalam Hurlock, 1990) menjelaskan
bahwa penyesuaian sosial meliputi penyesuaian di rumah,
penyesuaian di sekolah dan penyesuaian di masyarakat.
Penyesuaian di rumah merupakan landasan utama dalam
melakukan penyesuaian sosial, karena pengalaman di ru-
mah merupakan pengalaman sosial individu yang perta-
ma. Penyesuaian sosial di sekolah merupakan perluasan
— 36 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Penyesuaian sosial di sekolah merupakan perluasan pe-
nyesuaian sosial remaja, karena sekolah juga merupakan
lingkungan sosial perkembangan remaja untuk belajar
mengenal lingkungan sosial yang lebih luas lagi yakni ma-
syarakat.
Penyesuaian sosial di sekolah ditandai dengan ke-
mampuan dan kemauan untuk belajar untuk menerima
otoritas guru, berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan
bertanggung jawab terhadap tugasnya, serta bersedia un-
tuk bekerja sama dan menolong temannya. Kemampuan
melakukan penyesuaian sosial di sekolah sedikit banyak
menunjukkan penyesuaian sosial individu.
Penyesuaian sosial di masyarakat bersifat lebih kom-
pleks. Penyesuaian sosial yang baik di masyarakat ditandai
dengan adanya penghormatan terhadap hak orang lain,
kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain, peduli
terhadap penderitaan orang lain dan kesediaan untuk me-
nolong, serta kepatuhan terhadap nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian
sosial
Menurut Powell (1983) keberhasilan seseorang da-
lam melakukan penyesuaian diri bergantung pada fak-
tor-faktor tertentu, antara lain adalah kemampuan un-
tuk membina hubungan yang baik dengan keluarga dan
— 37 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
orang lain, kondisi fisik, usia, kecerdasan, minat terhadap
kegemaran/hobi, keyakinan, uang, serta impian/cita-cita
(goal). Sebagaimana dijelaskan oleh Hurlock (1995) bah-
wa individu dengan teman yang sesuai taraf perkembang-
an dan usianya cenderung melakukan penyesuaian sosial
yang baik, sebab individu mempunyai peluang yang sama
untuk mempelajari berbagai keterampilan sosial dan ber-
partisipasi dalam kelompok.
Sedikit berbeda dengan pendapat Powell, teori Eps-
tein (dalam Franken, 2002: 256-257) menjelaskan bahwa
orang yang efektif dalam menghadapi stres cenderung ber-
fikir konstruktif ketika menghadapi masalah, sebaliknya
yang cenderung mengalami stres berfikir lebih destruktif.
Epstein juga menambahkan bahwa kecerdasan akademik
tidak memprediksikan penyesuaian diri. Secara spesifik,
kecerdasan akademik tidak memprediksikan kesehatan
mental, kesehatan fisik, relasi keluarga yang baik, relasi
sosial, relasi romantis yang memuaskan, atau kesuksesan
dalam kerja.
Menurut Epstein dalam Cognitive-experiential self
theory (CEST), manusia punya tiga sistem semi independen
yang dapat membantunya dalam kehidupan sehari-hari:
• sistem rasional (a rational system) yang berkait-
an dengan kecerdasan akademik;
• pengalaman (an experiential system)
• hubungan (an associationistic system)
— 38 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Epstein percaya bahwa dari ketiga sistem tersebut,
sistem pengalamanlah yang lebih berperan dalam mening-
katkan kesehatan mental dan fisik, relasi yang baik, dan
sukses dalam belajar. Ditambahkan oleh Epstein bahwa
meskipun kecerdasan akademik memprediksikan pres-
tasi (grade) dan secara tidak langsung berkaitan dengan
kesuksesan dalam bekerja, tetapi kenyataannya banyak
orang yang sukses dalam bekerja tidak mempunyai kecer-
dasan akademik yang tinggi.
G. Persepsi Siswa tentang Pengajaran Guru
1. Pengertian dan Proses Persepsi
Dalam pendekatan kognitif, persepsi merupakan
proses awal dari interaksi manusia dengan lingkungan se-
kitarnya. Melalui persepsi individu menerima informasi
dari dunia luar untuk kemudian dimasukkan dan diolah
dalam sistem pengolahan informasi dalam otak. Sarlito
(2000) menyatakan bahwa persepsi adalah kemampuan
untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokus-
kan atau bisa dikatakan kemampuan untuk mengorgani-
sasikan pengamatan.
Sedangkan menurut Matlin (2002) persepsi adalah
suatu proses penggunaan pengetahuan terdahulu yang di-
miliki individu untuk mengolah dan mengartikan stimu-
lus yang diterima oleh indera.
— 39 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Ditambahkan oleh Matlin bahwa ada dua aktivitas
perseptual yang hasil akhirnya adalah pemahaman ter-
hadap informasi yaitu pengenalan objek dan pemusatan
perhatian. Pada aktivitas mengenal objek, susunan yang
kompleks dari suatu stimulus diidentifikasi, dan pada saat
ini pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya serta ha-
rapan individu dapat mempengaruhi pengenalan terhadap
objek tersebut. Sedangkan pada pemusatan perhatian, in-
formasi yang didapat semakin lengkap, sementara infor-
masi yang tidak relevan diabaikan.
Bagaimana seseorang mempersepsikan atau me-
ngenal objek, menurut pendekatan proses penyebaran
informasi secara paralel (Parallel Distributing Processing
Approach atau PDP) ada dua proses yang akan mempenga-
ruhi proses mental selanjutnya, yaitu proses bawah-atas
(bottom-up) dan proses atas-bawah (top-down). Proses
bottom-up atau disebut juga dengan data-driven mene-
kankan pentingnya stimulus pada proses pengenalan ob-
jek, khususnya stimulus fisik yang ditangkap oleh sensor
penerima (receptor sensoris), misalnya reseptor di retina.
Informasi dimulai dari ciri-ciri yang paling dasar, yang
berkumpul sehingga memungkinkan pengenalan yang le-
bih kompleks, yaitu secara keseluruhan.
Proses lain yang terjadi pada pengenalan objek ada-
lah proses atas-bawah (top-down), yang sering disebut
dengan proses conceptually driven. Proses ini menekan-
— 40 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
kan pada bagaimana konsep dan proses mental tingkat
tinggi individu mempengaruhi pengenalan objek. Konsep,
harapan, dan ingatan atau pengalaman sebelumnya akan
membantu seseorang dalam mengidentifikasi objek dan
mempercepat pengenalan terhadap objek (Matlin, 2002).
Dengan kata lain, pengalaman lalu dan harapan yang ber-
ada pada proses tingkat tinggi akan mempengaruhi dan
memberi arahan pada proses pengenalan ciri-ciri stimu-
lus. Jadi, kedua proses saling melengkapi dan berinteraksi
untuk mengenal suatu stimulus. Matlin menambahkan
bahwa pengenalan terhadap stimulus akan menentukan
hasil persepsi, dan selanjutnya stimulus atau pengalaman
tersebut akan dimaknai.
2. Persepsi Siswa tentang Pengajaran Guru
Persepsi siswa tentang pengajaran guru adalah per-
sepsi siswa tentang pengalaman yang diterima atau dis-
timulasi oleh guru. Pengalaman belajar merupakan ber-
bagai aktivitas instruksional yang ditawarkan oleh Guru
(Purwanti, 2006), dalam istilah lain konteks dan lingkung-
an pembelajaran (Cote dan Levine, 1997, 2000; Huitt, 2003
dalam Purwanti, 2006).
Dalam proses pembelajaran, lingkungan atau peng-
alaman pertama yang dipersepsi siswa adalah pengajaran
guru. Jika mengacu pada dua proses yang mendasari per-
sepsi maka proses bawah-atas (bottom-up) terjadi ketika
— 41 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
berdasarkan pengajaran guru, siswa mengenali konsep
yang dianut guru tentang pembelajaran, aktivitas aktual
yang dilakukan serta keoptimalan evaluasi hasil belajar.
Pada saat yang sama, proses atas-bawah (top-down) ter-
jadi ketika pengetahuan siswa tentang proses dan tujuan
pembelajaran di perguruan tinggi membantu proses pe-
ngenalan terhadap konteks atau lingkungan pembelajaran
(Purwanti, 2006).
Di antara guru dan siswa ada hubungan bilateral dan
resiprokal. Jika siswa mempunyai motivasi yang tinggi un-
tuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran, mereka akan
membentuk hubungan bilateral yang optimal dengan ling-
kungan, dan pada akhirnya akan berhubungan dengan
hasil yang positif, dengan catatan lingkungan juga harus
menyediakan aktivitas yang optimal pula. Hubungan bila-
teral tersebut akan menentukan bagaimana siswa “mende-
kati’ lingkungan dan bagaimana siswa ‘diperlakukan’ oleh
lingkungan (Purwanti, 2006). Jadi persepsi siswa terhadap
aktivitas pembelajaran menentukan pengalaman yang
akan dijalani siswa dan pada akhirnya mempengaruhi ha-
sil belajar siswa. Karakteristik siswa yang berbeda akan
menghasilkan respon yang berbeda pula sebagai hasil dari
persepsinya terhadap interaksi di lingkungan tersebut.
Burnett, et al., (2003) menyatakan bahwa cara terten-
tu yang dipilih siswa dalam belajar ditentukan oleh inter-
aksi antara hasil persepsinya terhadap konteks pengajaran
— 42 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
dan karakteristik personal siswa itu sendiri. Karakteristik
personal siswa antara lain, belief siswa tentang belajar, pe-
nyesuaian diri mereka, dan persepsi tentang kemampuan
diri. Pada penelitian ini selain persepsi siswa tentang peng-
ajaran guru, karakteristik personal siswa yang dikaji ada-
lah persepsi tentang kemampuan diri (self-efficacy) dan
self-regulated learning serta penyesuaian sosial
3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Siswa tentang Pengajaran Guru
Persepsi seseorang dalam memandang atau mengar-
tikan suatu objek persepsi akan berbeda-beda tergantung
pada faktor yang mempengaruhi proses persepsi pada in-
dividu, karena persepsi lebih bersifat psikologis daripada
sekedar proses penginderaan. Demikian juga persepsi sis-
wa tentang pengajaran guru. Kossen (1993) mengatakan
bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh beberapa fak-
tor, antara lain:
• Faktor keturunan (heredity factor). Faktor ini
mempengaruhi persepsi secara fisik seperti inde-
ra, kognisi dan lain-lain.
• Latar belakang lingkungan dan pengalaman,
mempunyai pengaruh yang sangat besar atas apa
yang seseorang lihat dalam mempersepsikan se-
suatu.
— 43 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
• Tekanan teman sejawat, atau pengaruh teman se-
jawat (peer effect). Pengaruh dari seseorang apa-
lagi teman dekat sangat mempengaruhi pandang-
an kita terhadap sesuatu.
• Proyeksi. Kecenderungan manusiawi untuk me-
lemparkan beberapa kesalahan pada orang lain
bisa menjadikan persepsi terhadap suatu objek
berbeda.
• Penilaian yang tergesa-gesa dapat menimbulkan
kecerobohan dalam mempersepsi, sehingga bera-
kibat pada kesalahan dalam membuat kesimpul-
an.
• Hallo effects atau halo karatan (hallo rusty effec-
ts). Seringkali seseorang yang cakap dalam suatu
hal juga dianggap cakap dalam hal lain. Asumsi
tersebut dapat menimbulkan halo sehingga akan
berpengaruh terhadap pandangan atau persepsi
dia terhadap sesuatu.
Dari beberapa faktor tersebut, faktor latar belakang
dan pengalamanlah yang paling mempengaruhi proses
persepsi.
4. Komponen Pengajaran Guru yang Dipersepsi
Siswa
Menurut Zamroni (2000) di perguruan tinggi seha-
rusnya sudah terjadi perubahan paradigma dalam peng-
— 44 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
ajarannya, yaitu dari cenderung berfokus pada guru (te-
acher centered) menjadi cenderung berfokus pada siswa.
Dalam paradigma ini individu ditempatkan sebagai subjek
pembelajaran. Yang berarti latar belakang, pengalaman,
bakat, minat, kapasitas, dan kebutuhan individu sebagai
seorang siswa diutamakan. Dalam pembelajaran yang di-
utamakan adalah “proses” pengolahan materi yang me-
rangsang motivasi dan berfikir tingkat tinggi pada siswa
(McCombs dan Whisler, 1997).
Selanjutnya, McCombs dan Whisler (1997) mengata-
kan bahwa ada 3 hal yang membedakan paradigma penga-
jaran guru yang berfokus pada guru dan paradigma peng-
ajaran yang berfokus pada siswa:
• Pendapat atau konsep (belief) mengenai peran
guru, peran siswa, dan mengenai bagaimana akti-
vitas di kelas harus dijalankan (mengenai strategi
instruksional dan metode pengajaran)
• Aktivitas belajar di kelas, yaitu bagaimana guru
memperlakukan informasi dan pengetahuan,
strategi dan metode pengajaran apa yang dipakai
dan lain-lain.
• Apa dan bagaimana evaluasi diberikan kepada
siswa (mengenai tujuan dan isi evaluasi)
Ketiga hal tersebut merupakan komponen pengajar-
an guru yang dipersepsi oleh siswa dalam pembelajaran-
nya.
— 45 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Persepsi siswa tentang konsep pembelajaran guru
adalah seluruh pengetahuan, teori, konsep, dan asumsi
yang dimiliki guru tentang pembelajaran, yaitu tentang
peran siswa, peran guru dan proses dalam pembelajaran
(McCombs & Whisler, 1997). Tentang peran siswa dalam
pembelajaran yaitu apakah siswa dianggap sebagai subjek
yang aktif atau obyek pasif selama pembelajaran. Peran
guru dalam pembelajaran berkaitan dengan apakah guru
merupakan tokoh central yang bertanggung jawab penuh
atau sebagai fasilitator. Sedangkan yang dimaksud ‘proses’
adalah bagaimana memperlakukan informasi, pengetahu-
an, atau fakta yang hadir selama pembelajaran.
Persepsi siswa tentang aktivitas aktual guru adalah
persepsi siswa tentang strategi, metode, dan teknik yang
digunakan guru selama pembelajaran, mencakup tindak-
an mengarahkan dan mengontrol aktivitas belajar siswa
(Huitt, 2003 dalam Purwanti, 2006). Sedangkan persepsi
siswa tentang evaluasi hasil belajar yang diberikan guru
menurut Wrightstone (dalam Purwanti, 2006) adalah per-
sepsi siswa tentang metode penaksiran terhadap pertum-
buhan dan kemajuan siswa ke arah tujuan atau nilai yang
telah ditetapkan.
Biggs (2003, dalam Pandia, 2006) menyatakan bah-
wa apa dan bagaimana siswa belajar tergantung pada pi-
kiran mereka tentang bagaimana mereka akan dievaluasi.
Apa yang mereka pelajari adalah apa yang mereka pan-
— 46 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
dang akan diujikan. Sejalan dengan Biggs, Ormrod (2003)
menyatakan bahwa siswa biasanya meluangkan waktu
dan mengarahkan lebih banyak usaha pada materi yang
mereka pikir kemungkinan besar akan muncul saat eva-
luasi, dari pada materi yang seharusnya tercakup dalam
evaluasi.
Jadi persepsi siswa tentang pengajaran guru adalah
persepsi siswa tentang pengalaman berbagai aktivitas in-
struksional yang diterima atau distimulasi oleh guru, yang
meliputi komponen konsep pembelajaran guru, aktivitas
aktual guru dan evaluasi hasil belajar.
5. Pengukuran Persepsi Siswa tentang Pengajaran
Guru
Untuk mengukur persepsi siswa terhadap pengajar-
an guru peneliti menyusun skala yang mencakup kompo-
nen konsep pembelajaran guru, aktivitas aktual guru dan
evaluasi hasil belajar. Skala model Likert ini mempunyai
rentang skor 1 (pernyataan sangat sesuai dengan diri res-
ponden) hingga 5 (pernyataan sangat tidak sesuai dengan
diri responden).
H. Self Efficacy
1. Pengertian Self-Efficacy
Dalam pembelajaran, individu memiliki peran pen-
ting karena dapat menentukan hal-hal yang ingin dilaku-
— 47 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
kan. Individu merupakan agen aktif yang dapat mengontrol
perilaku yang akan ditampilkan berdasarkan penghayatan
dan interpretasi mengenai hal- hal yang dialaminya dari
lingkungan (Bandura, 1986). Perilaku manusia ditentukan
banyak faktor. Namun demikian diri individu merupakan
penentu apa yang akan dilakukannya berdasarkan penge-
tahuan mengenai hal-hal yang mampu ia lakukan dan ke-
percayaannya atas kemampuan yang ia miliki. Kepercaya-
an akan kemampuan diri atau disebut dengan self-efficacy
merupakan salah satu faktor utama dari timbulnya suatu
perilaku.
Bandura (1986) mendefinisikan self-efficacy sebagai
keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengor-
ganisasikan dan melakukan suatu tindakan yang diingin-
kan untuk meraih suatu kinerja yang direncanakan. Self-
efficacy juga merupakan belief yang memiliki kontribusi
pada motivasi dan pencapaian tujuan (Bandura, 1997). Se-
dangkan Woolfolk (2004) mendefinisikan self-efficacy
sebagai kepercayaan individu terhadap kemampuannya
dalam menghadapi situasi tertentu. Self-efficacy yang di-
miliki siswa dapat menjelaskan bagaimana pertimbangan
tentang kemampuan yang akan dibuat oleh dirinya sen-
diri untuk meraih sesuatu. Sebagaimana dikatakan oleh
Pintrich dan Schunk (1996), self-efficacy berkaitan erat
dengan kepercayaan pada kemampuan diri untuk menye-
— 48 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
lesaikan tugas-tugas yang spesifik serta persepsi terhadap
kompetensi yang dimiliki.
Menurut Bandura (1986) self-efficacy yang tinggi
akan meningkatkan prestasi dan kesejahteraan pribadi se-
seorang melalui beberapa cara. Orang yang memiliki keya-
kinan yang tinggi terhadap kemampuannya akan meman-
dang tugas yang sulit sebagai suatu tantangan yang harus
dikuasai, bukan sebagai ancaman yang harus dihindari.
Jadi dapat disimpulkan bahwa self-efficacy meru-
pakan belief yang dimiliki oleh seseorang yang berkaitan
dengan kepercayaan pada kemampuan untuk menyele-
saikan tugas-tugas spesifik dan persepsi terhadap kompe-
tensi yang dimiliki, yang berkontribusi terhadap motivasi
dan pencapaian tujuan. Definisi ini yang digunakan dalam
penelitian ini.
Dari definisi di atas terlihat ada dua komponen self-
efficacy, yaitu komponen yang berkaitan dengan kompe-
tensi yang dimiliki individu atau disebut komponen ‘peni-
laian mengenai kapasitas kognitif ’. Komponen berikutnya
adalah kepercayaan akan kemampuan mengerjakan tugas
atau ‘penilaian diri mengenai ketrampilan yang dimiliki
dalam mengerjakan tugas’.
2. Fungsi dan Peran Self-Efficacy terhadap Perilaku
Self-efficacy akan mempengaruhi orang dalam ber-
tindak atau bertingkah laku dalam berbagai cara, yaitu pe-
— 49 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
milihan tingkah laku, seberapa besar usaha yang dilaku-
kan dan ketahanan dalam menghadapi masalah, pola pikir
dan reaksi emosional (Bandura 1986; Ormrod, 2003).
a. Perilaku memilih aktivitas dan keterlibatan
individu dalam melakukan aktivitas tersebut.
Self-efficacy akan mempengaruhi tingkah laku dan
tindakan yang dipilih oleh individu. Seseorang akan ter-
libat dalam tugas di mana orang tersebut merasa yakin
dan mampu serta menghindari tugas-tugas yang dirasa-
kannya tidak yakin atau melebihi batas kemampuannya.
Persepsi self-efficacy yang baik akan meningkatkan ke-
terlibatan diri dalam tugas dan pada akhirnya akan me-
ningkatkan kompetensi siswa. Sebaliknya jika persepsi
self-efficacy rendah dapat mengakibatkan individu me-
narik diri dari lingkungan dan aktivitasnya. Hal ini dapat
menghambat perkembangan potensi yang dimilikinya.
b. Usaha dan ketahanan terhadap tugas
Self-efficacy juga berkaitan dengan seberapa besar
usaha dan keinginan untuk mampu bertahan dalam me-
lakukan suatu aktivitas atau dalam menghadapi hambat-
an atau situasi yang tidak menyenangkan. Individu yang
memiliki self-efficacy tinggi akan bersungguh-sugguh
dalam menghadapi kesulitan dan dapat bertahan dalam
menyelesaikan tugas. Sebaliknya, individu yang memiliki
keraguan terhadap kemampuan diri akan kurang beru-
— 50 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
saha dan cenderung menyerah. Menurut Ormrod (2003)
usaha dan ketahanan terhadap tugas ini merefleksikan
motivasi intrinsik dari siswa yang mempunyai self-effi-
cacy tinggi.
c. Pola pikir dan reaksi emosional individu
Individu dengan self-efficacy rendah akan meman-
dang suatu masalah lebih sulit dari yang sesungguhnya
yang terkadang menimbulkan stres. Sebaliknya, individu
dengan self-efficacy tinggi akan menciptakan perasaan
yang nyaman pada saat menghadapi tugas dan aktivitas
yang sulit (Bandura, 1986)
Collins (dalam Bandura, 1986) menambahkan bah-
wa self- efficacy dapat membentuk pola pikir kausal. Da-
lam mencari pemecahan masalah seseorang dengan self-
efficacy yang tinggi akan memandang suatu kegagalan
sebagai kurangnya usaha, sementara seseorang dengan
self-efficacy rendah akan memandang kegagalan seba-
gai kurangnya kemampuan diri dan memandang suatu
hambatan atau kesulitan secara berlebihan.
d. Perilaku individu
Seseorang dengan Self-efficacy tinggi akan menyu-
kai tantangan yang menunjukkan minat dan keterlibat-
annya dalam suatu kegiatan, meningkatkan usaha ketika
suatu tindakan yang dilakukan gagal mencapai tujuan,
— 51 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
mencari penyebab kegagalan, dan tidak mengalami ke-
cemasan dalam melakukan pendekatan terhadap tugas
yang mengancam. Sebaliknya, bagi yang memiliki self-
efficacy rendah akan menghindari tugas yang mereka
anggap sulit, tidak mau berusaha lebih keras dan mudah
menyerah ketika menghadapi hambatan, sulit melepas-
kan diri dari defisiensi yang dialami, dan menghilangkan
atau mengurangi perhatian terhadap tugas-tugas yang
harus diselesaikan. Individu tersebut mempunyai kece-
masan tinggi dan mudah mengalami stres, serta memi-
liki tingkat aspirasi yang rendah.
Berkaitan dengan perilaku belajar, individu dengan
self- efficacy tinggi akan belajar dan berprestasi lebih di-
bandingkan dengan siswa dengan self-efficacy rendah
meskipun tingkat kemampuan mereka sama (Bandura,
1986; Eccless & Wiegfield, et al., 1989; Ormrod, 2003)
3. Dimensi-dimensi Self-Efficacy
Self-efficacy menurut Bandura (1987) mempunyai
tiga dimensi yang berimplikasi bagi performansi seseo-
rang, yaitu:
• Dimensi magnitude, yaitu dimensi yang berhu-
bungan dengan kesulitan tugas. Jika seseorang
dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun me-
nurut tingkat kesulitan, maka pengharapan ef-
ficacy- nya akan jatuh pada tugas-tugas yang
— 52 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
mudah, sedang, atau sulit sesuai dengan batas ke-
mampuan yang dirasakan untuk memenuhi tun-
tutan perilaku bagi masing-masing tingkat.
• Dimensi generality, yaitu dimensi yang berkaitan
dengan luas bidang tingkah laku. Pengharapan
seseorang mungkin hanya terbatas pada tingkah
laku khusus, sementara orang lain dapat menye-
bar ke berbagai bidang tingkah laku.
• Dimensi strength, yaitu dimensi yang berhubung-
an dengan derajat kemantapan individu terhadap
keyakinan atau pengharapannya. Dimensi ini bi-
asanya berhubungan langsung dengan dimensi
magnitude, yaitu semakin tinggi taraf kesulitan
tugas maka semakin lemah keyakinan yang dira-
sakan untuk menyelesaikannya.
Ketiga dimensi ini penting dalam mengukur efficacy
seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Maurier dan Pier-
ce (1998) bahwa analisis terhadap efficacy membutuhkan
latihan pada dimensi magnitude, strength dan generality.
Namun karena dimensi generality menunjukkan self-effi-
cacy secara global, kebanyakan peneliti tidak memasuk-
kan dimensi tersebut pada penelitiannya. Mereka lebih
tertarik untuk melihat self-efficacy seseorang dalam me-
lakukan tugas tertentu, misalnya tugas yang berkaitan de-
ngan akademik.
— 53 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Penelitian Wood dan Locke (dalam Maurier & Pi-
erce, 1998) menunjukkan suatu pemakaian yang berbeda
terhadap ketiga bentuk dimensi tersebut di atas. Untuk
mengukur self-efficacy dalam kinerja akademik dalam ke-
las, Wood dan Locke menggunakan enam aspek (dimensi)
yaitu: konsentrasi dalam kelas, ingatan, pemahaman, pen-
jelasan, membedakan konsep, dan menyimpulkan.
Keenam aspek tersebut juga yang menjadi acuan
peneliti untuk mengukur self-efficacy siswa akan kemam-
puannya. Efficacy siswa akan kemampuannya menguasai
materi pelajaran akan berdampak pada penyesuaian diri
siswa terhadap tugas-tugas akademik. Bagaimana mereka
melibatkan diri dalam kegiatan akademik, ketahanan diri
dalam mengerjakan tugas dan bagaimana berinteraksi de-
ngan guru dan teman sebaya (peer) dipengaruhi oleh keya-
kinan mereka terhadap kemampuannya, yang pada akhir-
nya akan berimbas pada prestasi belajar mereka.
4. Sumber-sumber Self-efficacy
Menurut Bandura (1986), self-efficacy dapat ditum-
buhkan dan dipelajari berdasarkan empat sumber infor-
masi, yakni:
• Kinerja yang dicapai (enactive attainment). Sum-
ber ini merupakan sumber self-efficacy yang uta-
ma karena didasarkan pada pengalaman individu.
Keberhasilan akan menumbuhkan pengharapan;
— 54 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
sebaliknya kegagalan yang berulang akan mele-
mahkan kinerja, terutama jika dialami pada awal
kejadian. Karena itu, dampak negatif dari kega-
galan bagi efikasi individu sebagian tergantung
pada waktu dan keseluruhan pola pengalaman
saat berlangsung.
• Pengamatan terhadap pengalaman keberhasilan
orang lain (vicarious experience). Pengamatan
terhadap keberhasilan orang lain terutama yang
memiliki persamaan dengan diri seseorang da-
pat meningkatkan harapan yang pada akhirnya
membantunya menilai bahwa dirinya juga me-
miliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas
yang sama.
• Persuasi verbal (verbal persuasion). Melalui su-
gesti dan ajakan, orang diarahkan untuk percaya
bahwa mereka dapat mengatasi masalah-masa-
lah di masa mendatang. Namun, harapan effi-
cacy yang tumbuh melalui cara ini lemah dan
tidak bertahan lama. Dalam kondisi yang mene-
kan serta kegagalan terus menerus, pengharapan
apapun yang berasal dari sugesti ini akan cepat
lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak
menyenangkan.
• Keadaan emosional dan fisiologis (Emotional and
Physiological state). Reaksi emosional yang po-
— 55 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
sitif dan kuat akan memberikan bantuan dalam
mengantisipasi baik keberhasilan maupun kega-
galan. Sebaliknya ketegangan fisik, pikiran-pikir-
an negatif, ketakutan dan reaksi perasaan negatif
dari seseorang dapat menurunkan persepsi sese-
orang akan kemampuan dirinya. Dalam menilai
kemampuan individu antara lain menggunakan
informasi keadaan fisiologisnya. Reaksi-reaksi
fisiologis yang timbul akibat adanya suatu keter-
bangkitan emosi di dalam situasi tertentu akan
direkam oleh individu yang bersangkutan. Di
dalam aktivitas yang melibatkan kekuatan dan
stamina, individu merasakan adanya kelelahan,
lemah, sakit di bagian tubuh tertentu dan hal ini
merupakan indikasi dari ketidakmampuan seca-
ra fisik (physical inefficacy).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-efficacy
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat
self- efficacy sebagaimana dikemukakan oleh Bandura
(1982), yaitu:
• Sifat tugas yang dihadapi
Tingkat kesulitan tugas atau tugas yang dirasa-
kan baru dan asing oleh seseorang akan mem-
pengaruhi penilaian terhadap kemampuannya.
Semakin sulit dan kompleks suatu tugas maka
— 56 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
semakin besar kecenderungan seseorang untuk
menilai rendah kemampuannya dalam menyele-
saikan tugas tersebut. Kondisi sebaliknya terjadi
jika suatu tugas dianggap mudah dan sederhana,
maka seseorang akan cenderung menilai tinggi
kemampuannya dalam menyelesaikan tugas.
• Insentif eksternal
Self-efficacy akan semakin tinggi jika insentif
yang diterima seseorang saat ia berhasil juga se-
makin tinggi. Yang dimaksud insentif eksternal
adalah penghargaan yang diberikan oleh orang
lain atas kemampuan seseorang yang merefleksi-
kan keberhasilannya dalam menguasai atau me-
laksanakan suatu tugas, misalnya: pujian, materi
atau status sosial.
• Status atau peran individu dalam lingkungan
Status sosial akan mempengaruhi penghargaan
yang diberikan oleh orang lain dan juga akan
mempengaruhi self-efficacy- nya. Jika seseorang
dipandang secara positif dan dihargai oleh ling-
kungannya, maka keyakinan dirinya akan sema-
kin meningkat.
• Informasi tentang kemampuan diri
Self-efficacy seseorang akan meningkat jika ia
mendapat informasi yang positif mengenai diri-
nya. Sebaliknya self-efficacy akan menurun, jika
— 57 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
ia memperoleh informasi yang negatif tentang
dirinya.
Menurut teori Sosial Kognitif (Bandura, 1986, 1989,
1997; Ormrod, 2003) Self-efficacy juga dipengaruhi oleh:
• Pengalaman kegagalan atau kesuksesan individu.
• Pesan dari orang lain.
• Kesuksesan dan kegagalan orang lain.
• Kesuksesan dan kegagalan kelompok secara kese-
luruhan.
6. Pengukuran Self-efficacy
Dalam penelitian ini, pengukuran untuk variabel
self- efficacy menggunakan kuesioner yang berdasarkan
aspek-aspek yang disusun oleh Wood dan Locke (dalam
Maurier & Pierce, 1998). Skala pengukuran yang diguna-
kan berupa skala Likert dengan rentang angka antara 1
sampai dengan 5 dan menggunakan respon dari Sangat
Yakin, Yakin, Ragu-ragu, Tidak Yakin, dan Sangat Tidak
Yakin. Menurut Maurier dan Pierce (1998), menggunakan
skala Likert sebagai suatu cara tradisional dalam pengu-
kuran self-efficacy masih dapat dilakukan.
I. Sikap Kreatif
1. Pengertian sikap kreatif
Secara umum produktivitas kreatif merupakan per-
ubahan (variabel) yang majemuk meliputi faktor sikap,
motivasi, dan temperamen disamping kemampuan kogni-
— 58 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
tif. Studi dari Roe (1952 dalam Munandar, 1999), Mackin-
non (1962 dalam Munandar, 1999) dan Cattel (1968 dalam
Munandar, 1999) semua menunjukan bahwa profil kepri-
badian dari tokoh-tokoh yang unggul kreatif berbeda dari
profil kepribadian orang rata-rata. Kreativitas sebagai ke-
mampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru,
kemampuan untuk member gagasan-gagasan baru yang
dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, kemampuan
untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-
unsur yang sudah ada sebelumnya.
Pengembangan kreativitas siswa tidak hanya mem-
perhatikan pengembangan kemampuan berpikir kreatif,
tetapi juga pemupukan sikap dan cirri-ciri kepribadian kre-
atif. Keberbakatan merupakan perpautan antara kemam-
puan umum atau inteligensi, kreativitas (baik kemampu-
an berpikir kreatif maupun sikap kreatif) dan pengikatan
terhadap tugas (task commitment) atau motivasi internal,
yang juga merupakan motivasi non-atitude trait.
Meningkatkan kreativitas merupakan bagian inte-
gral dari kebanyakan program untuk anak berbakat. Jika
ditinjau tujuan program atau sasaran belajar siswa, krea-
tivitas biasanya disebut sebagai prioritas. Kreativitas hen-
daknya meresap dalam seluruh kurikulum dan iklim kelas
melalui faktor-faktor seperti sikap menerima keunikan
individu,
— 59 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
2. Dimensi dan pengukuran sikap kreatif
Berdasarkan pertimbangan bahwa perilaku krea-
tif tidak hanya memerlukan kemampuan berpikir kreatif
(kognitif), tetapi juga sikap kreatif (afektif), pada tahun
1976, Munandar dkk menyusun skala sikap kreatif yang
terdiri dari 32 butir pernyataan, diantaranya 8 butir dia-
daptasi dari “creative attitude survey” yang disusun oleh
Schaefer.
• Sikap kreatif dioperasionalisasi dalam dimensi
sebagai
• berikut:
• Keterbukaan terhadap pengalaman baru,
• Kelenturan dalam berpikir
• Kebebasan dalam ungkapan diri
• Hargai fantasi,
• Minat terhadap kegiatan kreatif
• Kepercayaan terhadap gagasan sendiri
• Kemandirian dalam member pertimbangan.
Dimensi kreativitas yang digunakan dalam peneliti-
an ini mengacu pada dimensi yang dikemukakan oleh Wil-
liams, yaitu meliputi aspek afektif dan sikap kreatif meli-
puti:
• Rasa ingin tahu yang tinggi
• Suka pada tantangan
• Berani mengambil resiko, dan
• imajinasi
— 60 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
3. Kerangka Berpikir menuju Perumusan Hipotesis
Dalam suatu pembelajaran terjadi interaksi antar
dua pihak, yaitu guru dan siswa. Pembelajaran bukan pe-
ngaruh langsung dari guru ke siswa tetapi fasilitasi guru
untuk membuat siswa terlibat aktif dalam proses ini (Mc-
Combs & Whisler, 1997). Bagaimana guru memfasilitasi
pembelajaran tersebut akan ditangkap oleh indera siswa
dan kemudian dipersepsi oleh mereka sebagai pengalam-
an pertama yang diterima (Biggs, 2003, dalam Pandia).
Konteks pembelajaran menjadi sangat penting karena
merupakan hal yang pertama ditangkap oleh siswa. Ha-
sil persepsi ini akan menentukan proses mental siswa se-
bagai persiapan menghadapi aktivitas belajar, kemudian
menentukan cara belajar yang digunakan siswa, dan pada
akhirnya mempengaruhi hasil belajar yang diraih (Cote
& Levine, 2000). Berdasarkan hal tersebut penulis meng-
ajukan hipotesis alternatif bahwa "Ada pengaruh yang
signifikan persepsi siswa tentang pengajaran guru
terhadap prestasi belajar siswa".
Siswa akan dapat mencapai prestasi belajar yang
baik jika ia memiliki kepercayaan dan keyakinan yang baik
mengenai kemampuan yang dimilikinya, yang disebut self-
efficacy. Self- efficacy yang tinggi akan menyebabkan sese-
orang menetapkan tujuan yang tinggi, berkomitmen ter-
hadap tujuan tersebut, tidak takut gagal, dan menganggap
— 61 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
tugas yang sulit sebagai tantangan. Dengan begitu presta-
sinya akan tinggi.
Sebaliknya seseorang yang memiliki self-efficacy
rendah akan menghindari tugas-tugas yang sulit dan ce-
pat menyerah, serta cenderung menetapkan tujuan yang
rendah. Mereka memiliki komitmen yang rendah terhadap
tujuan, dan sering tidak menunjukkan usaha dalam men-
capai tujuan. Untuk pencapaian prestasi belajar yang baik
diperlukan self-efficacy yang tinggi, karena dengan self-
efficacy yang tinggi seseorang dapat menetapkan tujuan
yang positif yang akan berpengaruh secara positif terha-
dap prestasi belajarnya (Pintrich & Schunk, 1996).
Berdasarkan hal itu peneliti mengajukan hipotesis
alternatif bahwa ”Ada pengaruh yang signifikan self-
efficacy terhadap prestasi belajar siswa.”
Wentzel (1994; Wentzel & Asher, 1995 dalam Went-
zel, nd) mengatakan bahwa perasaan diterima oleh teman
sebaya berkorelasi positif dengan motivasi berprestasi, ter-
masuk di dalamnya adalah rasa senang dengan sekolah,
mengejar tujuan, dan berperilaku yang sesuai dengan ha-
rapan sosial, juga berkompetensi secara akademik (Hymel,
Bowker, & Woody, 1993 dalam Wentzel, nd). Karakteristik
tersebut merupakan cerminan siswa yang yang memiliki
human capital skills tinggi. Berdasarkan hal itu peneli-
ti mengajukan hipotesis alternatip ketiga yaitu ”Ada pe-
— 62 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
ngaruh yang signifikan penyesuaian sosial terhadap
prestasi belajar siswa
Hasil belajar sebagai keluaran dari suatu proses
pembelajaran yang diharapkan dicapai siswa adalah yang
mengindikasikan dikuasainya materi belajar selama di
sekolah secara mendalam, dan dimilikinya ketrampilan
untuk mengembangkan penguasaan tersebut secara man-
diri. Dengan demikian siswa yang berprestasi adalah sis-
wa yang tidak hanya memiliki indeks prestasi yang tinggi,
melainkan juga memiliki kemampuan menyesuaikan diri
sosial
Hasil pembelajaran seperti yang diharapkan tersebut
ditentukan oleh faktor internal dan eksternal (Cote dan
Levine, 2000). Faktor internal merupakan faktor masuk-
an yang berupa kesiapan siswa untuk aktif dalam aktivitas
pembelajaran. Kesiapan ini dipengaruhi oleh pengalaman
dengan keluarga dan lingkungan pembelajaran sebelum-
nya. Hal ini akan mempengaruhi lingkungan pembelajar-
an yang disebut sebagai faktor antara. Faktor-faktor yang
merupakan masukan dalam pembelajaran di sekolah juga
akan mempengaruhi hasil pembelajaran. Namun demiki-
an, hasil pembelajaran atau prestasi belajar akan optimal
jika lingkungan pembelajaran juga optimal dan dipersep-
sikan secara positif oleh siswa. Dengan demikian, persep-
si siswa terhadap lingkungan pembelajaran (pengajaran
guru) memiliki pengaruh penting terhadap hasil pembel-
— 63 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
ajaran. Hasil persepsi ini akan mempengaruhi aktivitas
yang dipilih oleh siswa selanjutnya.
Burnett, et al., (2003) menyatakan bahwa cara ter-
tentu yang dipilih siswa dalam belajar ditentukan oleh
interaksi antara hasil persepsinya terhadap konteks peng-
ajaran dan karakteristik personal siswa itu sendiri. Karak-
teristik personal siswa antara lain, belief siswa tentang bel-
ajar, dan keyakinan tentang kemampuan diri . Keyakinan
terhadap kemampuan diri (self-efficacy) yang tinggi akan
menyebabkan seseorang menetapkan tujuan yang ting-
gi, berkomitmen terhadap tujuan tersebut, tidak takut ga-
gal, dan menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan.
Dengan begitu prestasinya akan tinggi.
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bah-
wa lingkungan pembelajaran yang dipersepsikan oleh sis-
wa, dan self- efficacy akan mempengaruhi hasil belajar.
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut peneliti mengaju-
kan hipotesis alternatip keempat bahwa ”Ada sumbang-
an yang signifikan persepsi siswa tentang pengajaran
guru, self-efficacy, penyesuaian sosial dan inteligensi
secara bersama-sama terhadap prestasi belajar sis-
wa”.
Kerangka berfikir di atas jika digambarkan dalam
sebuah bagan sebagai berikut:
— 64 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Gambar 2.1. Bagan kerangka berpikir penelitian
— 65 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Bab III Alur Program Keberbakatan
A. Alur Program
Berikut ini akan dipaparkan alur program untuk pro-
gram pelayanan siswa berbakat.
— 66 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
B. Tahapan Kegiatan
1. Tahapan kegiatan (1)
Membangun pemahaman bersama tentang penting-
nya pengembangan potensi siswa berbakat intelektual me-
lalui kegiatan wawancara dan diskusi kelompok dengan
kepala sekolah, guru bidang studi, wali kelas dan guru BK.
Hasilnya antara lain:
• Pada umumnya guru masih menganggap anak
yang perlu diberikan layanan khusus adalah yang
memiliki prestasi belajar tinggi (yang dianggap
anak ‘pintar’). Dengan demikian mereka tidak
menyadari adanya anak berbakat yang berpres-
tasi kurang (underachiever)
• Pemahaman tentang tingkat inteligensi dan ka-
rakteristik khusus anak dipahami hanya sebagai
bahan pelaksanaan bimbingan dan konseling
oleh guru BK (data–data anak tidak diberikan ke-
pada guru bidang studi)
• Fokus layanan pada anak cerdas baru pada penye-
diaan fasilitas belajar, belum pada pengembangan
kurikulum berdiferensiasi.
• Sekolah membagi kelas berdasarkan data tingkat
kecerdasan dan prestasi belajar dan menempat-
kan anak-anak yang memiliki tingkat inteligensi
≥120 dan prestasi tertinggi berdasarkan ranking
ke dalam kelas unggulan
— 67 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
• Ada keinginan pimpinan madrasah dan guru un-
tuk dapat meningkatkan kualitas layanan bagi
siswa cerdas istimewa (anak berbakat intelektu-
al) melalui pengembangan kurikulum.
• Dirasakan kebutuhan memberikan layanan bim-
bingan konseling yang lebih memadai untuk
membantu perkembangan siswa lebih optimal
serta mengatasi masalah-masalah yang mereka
hadapi.
Kegiatan aksi yang dilakukan:
• Melakukan Penjaringan:
• Menggunakan nilai prestasi belajar,
• Nominasi guru berdasarkan nilai akademik
• Tes inteligensi kelompok
• Nominasi orang tua melalui wawancara tentang
persepsi orangtua tentang kelas khusus dan alas-
an mereka .
Hasil identifikasi:
Berdasarkan hasil tes inteligensi secara keseluruhan
siswa berada pada
• Madrasah telah meningkatkan layanan bagi
anak-anak cerdas dan berprestasi dalam kelas
unggulan yang berkualifikasi RMBI (Rintisan
Madrasah Bertaraf International), untuk siswa
baru (kelas VII.1). Sedangkan kelas VIII dan IX,
— 68 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
masing-masing 1 kelas unggulan. Berdasarkan
urutan belajar
• Melengkapi fasilitas ruang kelas dengan AC, sepe-
rangkat komputer, LCD, dan audio visual. Juga di-
sediakan locker untuk menyimpan perlengkapan
belajar dan barang-barang siswa
• Membangun network untuk peningkatan potensi
guru, siswa dan madrasah
a) Membangun network dengan sekolah-sekolah
penyelenggara layanan pendidikan siswa ber-
bakat intelektual, antara lain: SMP PB Sudir-
man, SMP Al- Azhar Syifa Budi, SMP Al-Azhar
Kemang, SMP Bakti Mulya 400, dll.
b) Mendukung komite sekolah dalam penggalian
dana dari orang tua.
Selama semester berjalan dilakukan evaluasi, ternya-
ta guru tidak menggunakan skor IQ sebagai acuan penem-
patan kelas unggulan, tetapi lebih melihat prestasi belajar,
terutama kemampuan berbahasa Inggris, karena kelas
unggulan dipersiapkan untuk menjadi kelas bilingual dan
berstandar internasional. Sehingga banyak anak-anak
yang memiliki Inteligensi rata-rata masuk kelas unggulan.
Sedangkan yang termasuk kategori siswa berbakat namun
prestasinya lebih rendah tidak masuk kelas unggulan (oto-
matis tidak terlayani sebagai anak berbakat intelektual/
unggul).
— 69 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Selama proses belajar, ternyata prestasi belajar siswa
tidak stabil. Banyak di antara mereka yang nilainya turun
atau sebaliknya. Bagi yang nilainya turun (peringkat di ba-
wah 28) dipindahkan ke kelas reguler.
Di samping itu, masih banyak guru yang memiliki
kompetensi bahasa Inggris kurang memadai untuk digu-
nakan dalam menyampaikan pelajaran sekolah
Masih banyak guru yang belum memberikan layan-
an pengayaan (enrichcment) kepada siswa berbakat Ber-
dasarkan kondisi tersebut maka langkah aksi selanjutnya:
• Melakukan penyaringan untuk menemukan anak-
anak berbakat intelektual berdasarkan kriteria
Renzulli (IQ, TC, Kreativitas) dengan cara meleng-
kapi hasil tes inteligensi dengan melakukan tes
kreativitas (sikap kreatif)dan task commitment.
• Melakukan pengukuran self-efficacy, penyesuaian
sosial dan sikap terhadap pembelajaran guru agar
dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
siswa.
• Menyarankan pengaturan pengelompokan kelas
berdasarkan kriteria keberbakatan.
• Melaksanakan workshop guru untuk meningkat-
kan kompetensi dalam mengembangkan program
layanan siswa berbakat, khususnya berkaitan de-
ngan pengembangan program pengayaan (enrich-
ment)
— 71 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Bab IV Layanan Siswa Berbakat di Madrasah
Program. Layanan siswa berbakat di madarasah
ini menggunakan desain Participatory Action Re-
search (PAR) sehingga masing-masing tahapan
dilakukan analisis dan dilaporkan pada Bagian 4. Seperti yang
sudah disebutkan di Bagian 1, ada empat rumusan masalah
yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana mengidentifikasi siswa berbakat inte-
lektual berdasarkan kriteria tingkat inteligensi, task
commitment, dan kreativitas?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi faktor-faktor peng-
hambat dalam pemberian layanan bagi siswa berba-
kat intelektual?
3. Bagaimana cara meningkatkan kompetensi guru dan
kapasitas madrasah dalam memberikan layanan bagi
siswa berbakat intelektual?
4. Bagaimana cara meningkatkan layanan pendidikan
bagi siswa berbakat intelektual?
— 72 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Uraian di bagian 4 ini membahas jawaban dari masing-
masing rumusan masalah di atas.
A. Identifikasi siswa berbakat intelektual di MTsN 3
Jakarta Selatan
Selama ini, identifikasi siswa berbakat intelektual di
MTsN 3 Jakarta Selatan dilakukan dengan mengetes IQ, gaya
belajar dan minat siswa. Selain itu, pertimbangan terhadap ni-
lai raport menjadi penting dalam identifikasi siswa di MTsN
3 Jaksel. Namun demikian, data hasil tes IQ, gaya belajar dan
minat siswa tersebut tidak dimanfaatkan sebagai dasar penge-
lompokan kelas siswa.
Pengelompokan siswa yang dilakukan lebih berdasarkan
pada prestasi belajar yang dilihat dari nilai rapotnya ke dalam
kelas- kelas unggulan.
Pada tahun 2010, MTsN 3 Jaksel sudah mulai merintis ke-
las unggulan bertaraf internasional (Rintisan Madrasah Berta-
raf Internasional /RMBI) yang menggunakan bahasa Inggris
sebagai pengantar kegiatan belajar mengajar di kelas-kelas
unggulan tersebut. Madrasah telah meningkatkan layanan
bagi anak-anak cerdas dan berprestasi dalam kelas unggulan
yang berkualifikasi RMBI, untuk siswa baru (kelas VII.1). Se-
dangkan kelas VIII dan IX, masing-masing 1 kelas unggulan be-
lum berkualifikasi RMBI.
MTsN 3 Jaksel juga melengkapi fasilitas ruang kelas de-
ngan AC, seperangkat komputer, LCD, dan audio visual. Juga di-
— 73 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
sediakan locker untuk menyimpan perlengkapan belajar dan
barang-barang siswa. Sekolah ini juga mendukung komite se-
kolah dalam penggalian dana dari orang tua.
Berdasarkan penjelasan Bapak Drs. H. Fahrurozi M.Pd,
Wakil Kepala Madrasah Bidang Kurikulum, pengelompokan
siswa ke dalam kelas unggulan, ternyata tidak berdasarkan skor
IQ, tetapi lebih melihat prestasi belajar, terutama kemampuan
berbahasa Inggris. Hal ini karena kelas unggulan dipersiapkan
untuk menjadi kelas bilingual dan berstandar internasional.
Kondisi ini sesuai dengan data hasil penelitian yang dilakukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 57 responden,
31 orang (54,38%) memiliki skor inteligensi di atas 120, dan 26
orang (45,61%) memiliki skor inteligensi di bawah 120. Dari 31
siswa yang memiliki inteligensi di atas 120, 16 orang berada di
kelas 8.2 (reguler) dan 15 orang berada di kelas 8.1 (unggulan).
Dari 26 orang yang tidak tergolong siswa berbakat intelektual,
13 siswa berada di kelas 8.1 (unggulan) dan 13 siswa berada di
kelas 8.2 (reguler). Hasil ini menunjukkan bahwa siswa yang
termasuk kategori siswa berbakat namun prestasinya lebih
rendah (underachiever) tidak masuk kelas unggulan. Hal ini
perlu menjadi perhatian pihak sekolah karena siswa berbakat
yang underachiever ini otomatis tidak terlayani sebagai siswa
berbakat intelektual/unggul.
Dari evaluasi program diketahui ternyata prestasi bela-
jar siswa tidak stabil. Banyak di antara mereka yang nilainya
— 74 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
turun atau sebaliknya. Bagi yang nilainya turun (peringkat di
bawah 28) dipindahkan ke kelas reguler.
Kondisi di atas bisa jadi akibat proses identifikasi siswa
berbakat intelektual yang kurang tepat. Brandwein (dalam Ha-
wadi, 2004) mengatakan bahwa identifikasi merupakan suatu
proses ketika kita berupaya untuk menyadari bahwa siswa de-
ngan kemampuan, motivasi, dan kapabilitas kreatif yang me-
lampaui rata-rata anak sebayanya membutuhkan pelayanan
pendidikan berdiferensiasi. Hal itu untuk memenuhi kema-
juan pendidikan secara optimal. Sedangkan tujuannya adalah
untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka menempatkan sis-
wa dalam program yang didesain sesuai dengan potensi keber-
bakatan mereka atau untuk mengarahkan proses pendidikan
dan memberikan pelayanan yang tepat.
Jadi perlu digarisbawahi, bahwa identifikasi bukan di-
maksud untuk memberikan label tertentu pada anak, atau un-
tuk melakukan kategorisasi kemampuan anak. Tujuan identi-
fikasi adalah untuk menentukan pelayanan pendidikan yang
sesuai dengan karakteristik yang dimiliki anak.
Dalam mengidentifikasi siswa berbakat intelektual se-
yogyanya digunakan beragam sumber dan menghindari peng-
gunaan kriteria tunggal. Beberapa praktisi sering kehilangan
siswa berbakat intelektual karena terkadang mereka terjebak
pada skor tes standar dan nominasi guru (Davis & Rimm, 1998).
Seharusnya, selain penilaian terhadap kemampuan kognitif,
— 75 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
perlu diperhatikan juga faktor-faktor nonkognitif seperti mo-
tivasi, minat dan sikap belajar.
Jika kita mengacu pada konsep Renzulli (1986), maka ada
tiga faktor yang harus dilihat, yaitu IQ di atas 130, kreativitas
dan task commitment. Untuk mengukurnya, Hawadi (2004)
mengatakan bahwa alat ukur atau tes yang bisa digunakan un-
tuk mengidentifikasi siswa berbakat intelektual meliputi:
1. Tes inteligensi untuk mengukur kemampuan intelek-
tual.
2. Tes kreativitas untuk mengukur kemampuan berpi-
kir kreatif.
3. Tes prestasi belajar untuk mengukur hasil belajar
anak yang mencerminkan juga motivasi anak untuk
belajar serta tanggung jawabnya terhadap tugas.
4. Sumber informasi lain. Sumber-sumber informasi
lain yang dimaksud adalah informasi yang diperoleh
dari orang- orang yang diperkirakan mampu mengi-
dentifikasi keberbakatan siswa. Informasi antara lain
didapatkan dari guru atau nominasi guru (teacher
nomination), orang tua atau nominasi orang tua (pa-
rent nomination) dan teman sebaya atau nominasi
teman sebaya (peer nomination)
Data informal yang didapat dari orang tua, guru, teman
sebaya dan bahkan siswa sendiri, bisa digunakan sebagai kom-
plemen dari hasil tes dan data tentang prestasi sekolah. Guru
merupakan sumber observasi yang baik untuk perilaku kre-
— 76 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
atif siswa. Sementara nominasi dari teman sebaya berguna
untuk menggali potensi kepemimpinan dan ciri keberbakat-
an lainnya yang kurang dimunculkan dan atau tidak terlihat
oleh guru. Orang tua menjadi sumber penting karena memiliki
sejumlah pengetahuan yang relevan bagi proses identifikasi.
Mereka memahami kemampuan, motivasi, konsep diri dan ka-
pasitas kreatif dari anak-anaknya secara baik yang terkadang
tidak disadari oleh guru.
Dalam pelaksanaannya, menurut Hawadi (2004) identi-
fikasi dapat dilakukan melewati dua proses, yaitu tahap penja-
ringan (screening) dan tahap penyaringan (selection).
1. Dalam proses penjaringan, semua siswa yang ada da-
lam kelompok sasaran dites dan diobservasi untuk
kemudian diurutkan kecakapannya dari yang ter-
tinggi hingga yang terendah menurut hasil tes dan
hasil observasi. Pada tahapan ini, sebaiknya diguna-
kan instrumen yang beragam, seperti tes inteligensi
kelompok, angka raport, nominasi guru, nominasi
orang tua, teman sebaya dan diri sendiri serta data
anak dan produk anak untuk menjaring keseluruhan
populasi siswa kelompok sasaran. Penggunaan bera-
gam sumber ini dilakukan agar prosesT identifikasi
betul-betul memperoleh siswa berbakat intelektual
yang sebenarnya, dan juga tidak akan kehilangan se-
orang siswa pun yang tergolong siswa berbakat inte-
lektual.
— 77 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
2. Selanjutnya, dalam tahap seleksi digunakan tes inteli-
gensi individual, tes kreativitas dan tes prestasi baku
yang disusun oleh Pusat Pengujian Balitbang Depdik-
nas. Penentuan siswa yang diidentifikasi sebagai ber-
bakat mempertimbangkan kombinasi dari ketiga alat
ukur tersebut (Munandar, 1993). Alat tes inteligensi
kelompok yang sering digunakan adalah Raven’s Pro-
gressive Matrices, Culture Fair Intelligence Test (CFIT),
dan Tes Inteligensi Kolektif Indonesia (TIKI). Sedang-
kan alat tes inteligensi individual yag banyak diguna-
kan adalah Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC). Untuk mengukur taraf pemikiran kreatif,
alat tes yang digunakan berasal Torrance Test of Crea-
tive Thinking dalam bentuk verbal dan bentuk figural,
yang dikenal dengan Tes Kreativitas Verbal (TKV) dan
Tes Kreativitas Figural (TKF) (Munandar, 1999).
Lebih lanjut, Hawadi (2004) menjelaskan kriteria da-
lam identifikasi siswa berbakat intelektual. Kriteria bagi siswa
berbakat intelektual tingkat Sekolah Dasar (SD) adalah taraf
kecerdasan 120 ke atas (skala Wechsler), taraf kreatif dengan
creativity quotient (CQ) 110 ke atas (skala TKF-UM), dan taraf
komitmen terhadap tugas dilihat dengan skor skala Task Com-
mitment (TC )132 ke atas (skala TC-Rendi). Kriteria untuk ting-
kat sekolah menengah adalah taraf kecerdasan IQ 120 ke atas
(skala TIKI), taraf kreatif CQ 110 (Skala TKV-URH), dan TC 126
ke atas (skala YA/FS Revisi)
— 78 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Dengan demikian, proses identifikasi yang dilakukan di
MTsN 3 Jakarta belum memperhatikan konsep keberbakatan
intelektual siswa karena masih menggunakan kriteria utama
nilai raport siswa. Sementara siswa berbakat intelektual, bila
kita mengacu pada konsep keberbakatan menurut Renzul-
li paling tidak memiliki ciri IQ di atas 120 (skala TIKI), taraf
kreatif CQ 110 (Skala TKV-URH), dan TC 126 ke atas (skala YA/
FS Revisi). Hal ini tampak dari proses pengelompokan siswa ke
dalam kelas unggulan yang menggunakan kriteria nilai raport
siswa. Seperti formalitas saja (IQ hilang tidak tahu guru BK).
Selain itu, data IQ siswa selama ini dijadikan arsip dan hanya
dipegang oleh staf TU ataupun Kamad, tanpa ada upaya tindak
lanjut yang mempertimbangkan data IQ siswa. Dengan demiki-
an, dugaan sementara pada proses identifikasi siswa berbakat
intelektual di MTsN 3 Jaksel belum menggunakan konsep ke-
berbakatan yang mengutamakan layanan untuk optimalisasi
siswa berbakat intelektual. Selama ini, layanan yang dilakukan
hanya pada siswa yang berprestasi saja. Sedangkan siswa ber-
bakat intelektual yang prestasinya tidak optimal (underachie-
ver) belum terlayani.
Untuk melengkapi tahapan proses identifikasi siswa ber-
bakat intelektual di MTsN 3 Jaksel, maka yang dilakukan dalam
program PAR ini adalah mencoba mengaplikasikan konsep ke-
berbakatan dalam identifikasi siswa berbakat intelektual. Pro-
gram ini menggunakan konsep keberbakatan Renzulli dalam
proses identifikasi siswa (menggunakan kriteria IQ, kreativitas,
— 79 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
dan task commitment). Program ini menambahkan data pe-
lengkap siswa yaitu data sikap kreatif siswa, task commitment,
dan penyesuaian sosial. Sedangkan data inteligensi mengguna-
kan data dari sekolah yang telah melakukan pengetesan IQ.
Selain itu, belum dipakainya konsep keberbakatan dalam
melayani siswa berbakat intelektual di MTsN 3 Jaksel tampak
dari peristiwa hilangnya data IQ yang tidak diketahui oleh guru
BK. Selain itu, data IQ hanya dijadikan arsip dan hanya dipe-
gang oleh staf TU ataupun Kamad, tanpa ditindak lanjuti.
1. Cara mengidentifikasi faktor-faktor penghambat
dalam pemberian layanan bagi siswa berbakat
intelektual
Pada umumnya, kondisi saat ini di MTsN 3 Jaksel
mengenai keberbakatan intelektual dapat digali dari hasil
wawancara dengan Kamad maupun guru madrasah. Ber-
dasarkan wawancara yang telah dilakukan, faktor-faktor
yang menghambat pelayanan siswa berbakat intelektual di
MTsN 3 Jakarta adalah kurangnya guru profesional Bim-
bingan dan Penyuluhan yang dapat membimbing dan me-
layani masalah-masalah psikologis siswa pada umumnya
dan siswa berbakat pada khususnya. Hanya ada satu guru
BK/BP untuk seluruh siswa MTsN 3 Jakarta. Kondisi ini
membuat pihak sekolah mengatasi kekurangan guru BP
dengan memperbantukan beberapa guru dan staf admi-
nistrasi yang dapat dan sesuai untuk menangani bimbing-
an dan penyuluhan siswa.
— 80 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Selain itu, di kalangan guru masih menganggap sis-
wa yang perlu diberikan layanan khusus adalah siswa
yang memiliki prestasi belajar tinggi (yang dianggap anak
‘pintar’). Dengan demikian, mereka tidak menyadari ada-
nya siswa berbakat yang berprestasi kurang (underachie-
ver) yang membutuhkan layanan khusus agar prestasinya
optimal.
Ditambah lagi, pemahaman tentang tingkat inteli-
gensi dan karakteristik khusus siswa dipahami hanya se-
bagai bahan pelaksanaan bimbingan dan konseling oleh
guru BK (data–data anak tidak diberikan kepada guru
bidang studi) sehingga fokus layanan BK yang ada untuk
anak berbakat intelektual baru pada penyediaan fasilitas
belajar yang lebih baik dari kelas yang lain, tapi belum
pada pengembangan kurikulum berdiferensiasi yang jus-
tru dibutuhkan untuk optimalisasi pengembangan siswa
berbakat intelektual.
Sekolah hanya membagi kelas berdasarkan data
tingkat kecerdasan dan prestasi belajar dengan menem-
patkan anak-anak yang memiliki tingkat inteligensi ≥120
dan prestasi tertinggi berdasarkan ranking ke dalam kelas
unggulan.
Berdasarkan kondisi yang demikian, ada pula kei-
nginan pimpinan madrasah untuk dapat meningkatkan
kualitas layanan bagi siswa cerdas istimewa (siswa berba-
kat intelektual) melalui pengembangan kurikulum. Kei-
— 81 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
nginan tersebut karena kebutuhan memberikan layanan
bimbingan konseling yang lebih memadai untuk memban-
tu perkembangan siswa dan mengatasi berbagai permasa-
lahannya yang lebih optimal sudah mulai disadari dan di-
rasakan penting untuk dipenuhi.
Dengan demikian, upaya mengidentifikasi faktor-
faktor yang menghambat pelayanan siswa berbakat inte-
lektual yang telah dilakukan dalam program PAR ini da-
pat dijadikan pintu awal untuk menggali lebih jauh faktor
penghambat layanan siswa berbakat intelektual yang lebih
komprehensif sehingga dapat dilakukan upaya menyiap-
kan layanan siswa berbakat intelektual.
2. Cara meningkatkan kompetensi guru dan
kapasitas madrasah dalam memberikan layanan
bagi siswa berbakat intelektual
Salah satu upaya yang telah dilakukan MTsN 3 Jakar-
ta dalam meningkatkan kompetensi guru adalah dengan
membangun network untuk peningkatan potensi guru de-
ngan sekolah-sekolah penyelenggara layanan pendidikan
siswa berbakat intelektual, antara lain: SMP PB Sudirman,
SMP Al-Azhar Syifa Budi, SMP Al-Azhar Kemang, SMP Bak-
ti Mulya 400, dll. Jadi pengetahuan mereka pada umumnya
pelayanan anak berbakat intelektual hanya dapat dikem-
bangkan dengan mengembangkan program akselerasi.
Pemahaman tentang pemberikan layanan pengayaan (en-
— 82 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
richment) kepada siswa berbakat masih belum menjadi
wacana mereka.
Kalaupun saat ini sudah ada upaya pengembang-
an kelas unggulan RMBI, MTsN 3 Jaksel masih memiliki
kendala dalam hal kurang tersedianya guru yang memiliki
kompetensi bahasa Inggris. Guru yang ada kurang mema-
dai untuk menyampaikan pelajaran sekolah dalam Bahasa
Inggris. Hal ini juga menunjukkan bahwa program RMBI
pun belum dapat diaplikasikan secara maksimal. Pelajar-
an yang menggunakan bilingual pun hanya beberapa mata
pelajaran saja.
3. Cara peningkatan layanan pendidikan bagi siswa
berbakat intelektual
Untuk dapat mengetahui cara meningkatkan laya-
nan pendidikan bagi siswa berbakat intelektual, maka sa-
lah satu proses yang dilakukan adalah penelitian tentang
kontribusi dari faktor inteligensi, task commitment, sikap
kreatif, penyesuaian sosial, dan self efficacy siswa terhadap
prestasi belajar. Subbab ini berisi dua hal yaitu hasil pene-
litian yang dilakukan dan hasil aksi yang telah dilakukan.
Hasil Penelitian “Kontribusi dari faktor inteligensi,
task commitment, sikap kreatif, penyesuaian sosial, dan
self efficacy siswa terhadap prestasi belajar”.
Berikut ini hasil penelitian tentang kontribusi dari
faktor inteligensi, task commitment, sikap kreatif, penye-
— 83 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
suaian sosial, dan self efficacy siswa terhadap prestasi bel-
ajar:
B. Deskripsi Data
Tabel 4.1 Deskripsi Data (mean dan standar deviasi)
Mean Standar deviasi
Task Commitment 141.63 18.161
Sikap Kreatif 72.07 8.988
Penyesuaian sosial 63.44 9.543
Self-efficacy 67,67 6.435
Persepsi terhadap guru 61.81 6.891
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat variabel task commit-
ment memiliki mean sebesar 141.63 dan standar deviasi sebesar
18.161. Variabel sikap kreatif memiliki mean sebesar 72.07 dan
standar deviasi sebesar 8.988. Variabel penyesuaian sosial me-
miliki mean sebesar 63.44 dan standar deviasi sebesar 9.543.
Variabel self-efficacy memiliki mean sebesar 67,67 dan standar
deviasi sebesar 6.435. Variabel persepsi terhadap guru memiliki
mean sebesar 61.81dan standar deviasi sebesar 6.891.
— 84 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
C. Kategorisasi Variabel Berdasarkan Penyebaran Skor
Tabel 4.1 Kategorisasi inteligensi responden
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa dari 57 respon-
den, 31 orang (54,38%) yang memiliki skor inteligensi di atas
120, dan 26 orang (45,61%) memiliki skor inteligensi di bawah
120. Dari 31 siswa yang memiliki inteligensi di atas 120, 16 orang
berada di kelas 8.2 dan 15 orang berada di kelas 8.1. Dari 26
orang yang tidak tergolong siswa berbakat intelektual, 13 siswa
berada di kelas 8.1 dan 13 siswa berada di kelas 8.2
Di MTs N 3 Pondok Pinang, kelas yang masuk kategori ke-
las unggulan adalah kelas 8.1. Sedangkan siswa yang memiliki
skor IQ pada kategori anak berbakat intelektual banyak dite-
mukan pada kelas 8.2. Ini berarti bahwa siswa dengan kategori
anak berbakat intelektual yang berada di kelas 8.2 tidak pen-
dapatkan fasilitas dan layanan kelas unggulan. Dengan demi-
kian kemampuan yang ada pada siswa kelas 8.2 yang tergolong
siswa berbakat intelektual tidak dikembangkan dengan baik
— 85 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
sehingga dimungkinkan mereka menjadi siswa berbakat inte-
lektual yang underachiever.
Tolak ukur beradanya siswa di kelas unggulan adalah
skor prestasi belajar (nilai ulangan atau raport). Banyak dite-
mukan siswa yang tidak tergolong pada berbakat intelektual
masuk di kelas unggulan. Sedangkan siswa yang tergolong ber-
bakat intelektual namun memiliki prestasi belajar yang rendah
tidak masuk di kelas unggulan.
Tabel 4.2 Kategorisasi task commitment responden
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari 57 res-
ponden, 2 orang (3,50%) yang memiliki task commitment ren-
dah yang tersebar masing-masing 1 orang di kelas 8.1 dan 8.2,
39 orang (68,42%) memiliki task commitment sedang yang
tersebar di kelas sebanyak 15 orang dan di kelas 8.2 sebanyak
24 orang, dan 16 orang (28,07%) memiliki task commitment
tinggi yang tersebar di kelas 8.1 sebanyak 12 orang dan di kelas
8.2 sebanyak 4 orang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagi-
— 86 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
an besar Siswa MTS N 3 Pondok Pinang memiliki tingkat Task
commitment sedang.
Task commitment yang tinggi ditunjukkan oleh siswa ke-
las 8.1. hal ini sinkron dengan posisi mereka yang berada pada
kelas unggulan. Pengikatan terhadap tugas yang kuat merupa-
kan salah satu faktor penunjang agar prestasi yang mereka raih
lebih tinggi dan sesuai dengan target yang diharapkan. Adanya
task commitment yang tinggi ini dapat pula diidentifikasi seba-
gai salah satu metode pembelajaran dari guru untuk menun-
jang prestasi siswa. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemuka-
kan Renzulii bahwa konsep tentang anak berbakat tidak hanya
ditunjang oleh inteligendi tinggi saja, namun kreativitas di atas
rata-rata dan pengikatan terhadap tugas yang cukup tinggi.
Kelas 8.2 yang diketahui juga memiliki siswa dengan
IQ di atas 120, namun memiliki tingkat pengikatan terhadap
tugas pada level sedang dapat dimungkinkan karena metode
pengajaran guru yang tidak sama dengan kelas 8.1, didukung
pula oleh tidak adanya tuntutan prestasi belajar yang harus
tinggi sebagai kelas unggulan. Meskipun demikian, level task
commitment siswa kelas 8.2 tetap stabil pada kategori sedang.
Artinya, walaupun mereka tidak memiliki tuntutan lebih un-
tuk berprestasi, namun mereka tetap bisa konsisten pada tugas
yang dihadapi.
— 87 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Tabel 4.3 Kategorisasi sikap kreatif responden
Rumus Jumlah Responden Persenta K
Skor IQ > 120 31 54,38%
Skor IQ < 120 26 45,61%
TOTAL 57 100%
X < M – 1 SD 2 3,50% R
M – 1 SD ≤ X ≤ + 1 SD 39 68,42% S
X > M + 1 SD 16 28,07% T
X < M – 1 SD 2 3,50% R
M – 1 SD ≤ X ≤ + 1 SD 36 63,15% S
X > M + 1 SD 19 33,33% T
X < M – 1 SD 2 3,50% R
M – 1 SD ≤ X ≤ + 1 SD 38 66,66% S
X > M + 1 SD 17 29,82% T
X < M – 1 SD 0 0% R
M – 1 SD ≤ X ≤ + 1 SD 23 40,35% S
X > M + 1 SD 34 59,64% T
19 33,33% NEGATIF
32 56,14% POSITIF
6 10,52% NETRAL
— 88 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa dari 57 res-
ponden, 2 orang (3,50%) yang memiliki sikap kreatif rendah
yang tersebar masing-masing 1 orang di kelas 8.1 dan 8.2, 36
orang (63,15%) memiliki sikap kreatif sedang yang tersebar di
kelas 8.1 sebanyak 16 orang dan di kelas 8.2 sebanyak 20 orang,
dan 19 orang (33,33%) memiliki sikap kreatif tinggi yang ter-
sebar di kelas 8.1 sebanyak 11 orang dan di kelas 8.2 sebanyak
8 orang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Siswa
MTS N 3 Pondok Pinang memiliki tingkat sikap kreatif sedang.
Hasil yang diperoleh pada skala sikap kreatif tidak jauh
berbeda dengan skala task commitment. Siswa yang menem-
pati kategori sikap kreatif pada level tinggi lebih banyak dari
kelas 8.1, yaitu sebanyak 11 orang. Hal ini juga dimungkinkan
karena ditunjang oleh metode pengajaran guru dan kegiatan
yang mendukung pengembangan sikap kreatif siswa. Konsep
anak berbakat menurut Renzulli telah terpenuhi oleh kelas
unggulan 8.1. Meskipun hampir sebagian penempatan siswa di
kelas 8.1 dilihat dari indeks prestasi, bukan dari skor IQ yang
dimiliki.
— 89 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Bagan 4.1Konsep Renzulli tentang Keberbakatan
Tabel 4.4Kategorisasi Penyesuaian sosial responden
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa dari 57 respon-
den, 2 orang (3,50%) yang memiliki penyesuaian sosial rendah
yang tersebar masing-masing 1 orang di kelas 8.1 dan 8.2, 38
orang (66,66%) memiliki penyesuaian sosial sedang yang ter-
— 90 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
sebar di kelas 8.1 sebanyak 15 orang dan di kelas 8.2 sebanyak
23 orang, dan 17 orang (29,82%) memiliki penyesuaian sosial
tinggi yang tersebar di kelas 8.1 sebanyak 12 orang dan di kelas
sebanyak 5 orang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar Siswa MTS N 3 Pondok Pinang memiliki tingkat penye-
suaian sosial sedang.
Tabel 4.5 Kategorisasi Sel-efficacy responden
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 57 respon-
den, tidak ada responden yang memiliki self-efficacy rendah, 23
orang (40,35%) memiliki self-efficacy sedang masing- masing
tersebar di kelas 8.1 sebanyak 7 orang dan di kelas 8.2 sebanyak
16 orang, dan 34 orang (59,64%) memiliki self-efficacy tinggi
masing-masing tersebar di kelas 8.1 sebanyak 21 orang dan di
kelas 8.2 sebanyak 13 orang. Maka dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar Siswa MTS N 3 Pondok Pinang memiliki tingkat
self-efficacy sedang.
— 91 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Tabel 4.6 Kategorisasi Persepsi terhadap guru responden
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 57 res-
ponden, 19 orang (33,33%) yang memiliki persepsi negatif ter-
hadap guru, 32 orang (56,14%) yang memiliki persepsi Positif
terhadap guru, 7 orang (12.28%) yang memiliki persepsi netral
terhadap guru Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari se-
bagian Siswa MTS N 3 Pondok Pinang memiliki persepsi Positif
terhadap guru. Dari 19 orang yang memiliki persepsi negatif 12
orang berada di kelas 8.1 dan 7 orang berada di kelas 8.2, se-
dangkan dari 32 orang yang memiliki persepsi positif terhadap
guru 11 orang berada di kelas 8.1 dan 21 orang berada di kelas
8.2.
Sebagian siswa yang memiliki persepsi negatif terhadap
guru ada pada kelas 8.1, yaitu berkaitan dengan pemberian pen-
jelasan yang sangat teoritis, memberikan soal ujian yang lebih
banyak bersifat hafalan, mengajar dengan gaya yang membo-
sankan, menjadi tokoh yang dominan di kelas, menjadi satu-
— 92 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
satunya sumber belajar, dan menggunakan nilai ujian sebagai
satu-satunya syarat kelulusan mata pelajaran.
Sedangkan yang bersikap positif lebih banyak menyoroti
item-item yang berkaitan dengan soal ujian yang digunakan
guru, antara lain bahwa soal ujian/test sesuai dengan materi
yang telah diajarkan, serta bervariasi dalam bentuk dan ting-
kat kesulitannya meskipun bila dilihat dari persepsi yang ne-
gatif tentang tes, soal-soal yang bervariasi tersebut lebih ba-
nyak pada soal yang menilai tingkat hafalan.
D. Pengujian Hipotesis
1. Uji hipotesis siswa dengan IQ > 120
Tabel 4.7 Kontribusi task commitment, sikap kreatif, penyesuaian sosial, self-e dan persepsi terhadap guru terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Est
1 .475a .226 .071 .96405
• Predictors: (Constant), PG, SK, PS, SE, TC
• Dependent Variable: PB
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui R square sebesar
0.226, ini berarti bahwa variabel task commitment, sikap
kreatif, penyesuaian social, self-efficacy, dan persepsi ter-
hadap guru memiliki kontribusi sebesar 22,6% terhadap
variabel prestasi belajar. Selebihnya kemungkinan dipe-
ngaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam pene-
litian ini.
— 93 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Tabel 4.8 Kontribusi task commitment terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Est
1 .408a .167 .138
• Predictors: (Constant), TC
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui R square sebesar
0.167, ini berarti bahwa variabel task commitment memi-
liki kontribusi sebesar 16,7% terhadap variabel prestasi
belajar. Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh varia-
bel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 4.9 Kontribusi sikap kreatif terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Est
1 .286a .082 .050
• Predictors: (Constant), SK
Berdasarkan tabel 4.9 diketahui R square sebesar
0.082, ini berarti bahwa variabel sikap kreatif memiliki
kontribusi sebesar 8,2% terhadap variabel prestasi belajar.
Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.Tabel 4.10 Kontribusi penyesuaian sosial terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Est
1 .440a .194 .166
• Predictors: (Constant), PS
— 94 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Berdasarkan tabel 4.10 diketahui R square sebesar
0.194, ini berarti bahwa penyesuaian sosial memiliki kon-
tribusi sebesar 19,4% terhadap variabel prestasi belajar.
Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 4.11 Kontribusi self-efficacy terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Esti
1 .342a .117 .086
• Predictors: (Constant), SE
Berdasarkan tabel 4.11 diketahui R square sebesar
0.117, ini berarti bahwa variabel self-efficacy memiliki kon-
tribusi sebesar 11,7% terhadap variabel prestasi belajar.
Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 4.12 Kontribusi persepsi terhadap guru terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Esti
1 .300a .090 .059
• Predictors: (Constant), PG
Berdasarkan tabel 4.12 diketahui R square sebesar
0.090, ini berarti bahwa variabel persepsi terhadap guru
memiliki kontribusi sebesar 9,0% terhadap variabel pres-
— 95 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
tasi belajar. Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh va-
riabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
2. Uji hipotesis siswa dengan IQ < 120
Tabel 4.13 Kontribusi task commitment, sikap kreatif, penyesuaian sosial efficacy, dan persepsi terhadap guru terhadap prestasi bela
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of Estimate
1 .486a .236 .045
• Predictors: (Constant), PG, PS, SK, TC, SE
• Dependent Variable: PB
Berdasarkan tabel 4.13 diketahui R square sebesar 0.236,
ini berarti bahwa variabel task commitment, sikap kreatif, pe-
nyesuaian social, self-efficacy, dan persepsi terhadap guru me-
miliki kontribusi sebesar 23,6% terhadap variabel prestasi bel-
ajar. Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 4.14 Kontribusi task commitment terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of Estimate
1 .367a .135 .099
• Predictors: (Constant), TC
• Dependent Variable: PB
Berdasarkan tabel 4.14 diketahui R square sebesar
0.135, ini berarti bahwa variabel task commitment memi-
— 96 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
liki kontribusi sebesar 13,5% terhadap variabel prestasi
belajar. Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh varia-
bel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 4.15 Kontribusi sikap kreatif terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of Estimate
1 .064a .004 -.037
• Predictors: (Constant), SK
• Dependent Variable: PB
Berdasarkan tabel 4.15 diketahui R square sebesar
0.004, ini berarti bahwa variabel sikap kreatif memiliki
kontribusi sebesar 0,4% terhadap variabel prestasi belajar.
Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 4.16 Kontribusi penyesuaian sosial terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of Estimate
1 .349a .122 .085
• Predictors: (Constant), PS
• Dependent Variable: PB
Berdasarkan tabel 4.16 diketahui R square sebesar
0.122, ini berarti bahwa penyesuaian sosial memiliki kon-
tribusi sebesar 12,2% terhadap variabel prestasi belajar.
Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
— 97 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Tabel 4.17 Kontribusi self-efficacy terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of Estimate
1 .135a .018 -.023
• Predictors: (Constant), SE
• Dependent Variable: PB
Berdasarkan tabel 4.17 diketahui R square sebesar
0.018, ini berarti bahwa variabel self-efficacy memiliki
kontribusi sebesar 1,8% terhadap variabel prestasi belajar.
Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 4.18 Kontribusi persepsi terhadap guru terhadap prestasi belajar
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of Estimate
1 .096a .009 -.032
• Predictors: (Constant), PG
• Dependent Variable: PB
Berdasarkan tabel 4.18 diketahui R square sebesar
0.009, ini berarti bahwa variabel persepsi terhadap guru
memiliki kontribusi sebesar 0,9% terhadap variabel pres-
tasi belajar. Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh va-
riabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Hasil Aksi Program Participatory Action Research
(PAR) Optimalisasi Pengembangan siswa berbakat intelek-
tual di MTsN 3 Jaksel
— 98 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Berdasarkan uraian tentang kondisi di MTsN 3 Ja-
karta Selatan tentang layanan siswa berbakat intelektual
serta hasil penelitian yang telah dilakukan, maka langkah
aksi yang dilakukan pada program PAR ini adalah:
• Melakukan penyaringan untuk menemukan
anak-anak berbakat intelektual berdasarkan kri-
teria Renzulli (IQ, TC, Kreativitas) dengan cara
melengkapi hasil tes inteligensi dengan melaku-
kan tes kreativitas (sikap kreatif)dan task com-
mitment.
• Melakukan pengukuran self-efficacy, penyesuai-
an sosial dan sikap terhadap pembelajaran guru
agar dapat mengidentifikasi kekuatan dan kele-
mahan siswa.
• Menyarankan pengaturan pengelompokan kelas
berdasarkan kriteria keberbakatan.
• Melaksanakan workshop guru untuk mening-
katkan kompetensi dalam mengembangkan pro-
gram layanan siswa berbakat , khususnya berka-
itan dengan pengembangan program pengayaan
(enrichment)
Berdasarkan realisasi rencana program PAR di atas,
berikut ini rangkuman hasil masing-masing aksi di atas:
Hasil aksi 1: Penyaringan untuk identifikasi siswa
berbakat intelektual berdasarkan kriteria Renzulli (IQ, TC,
Kreativitas) dengan cara melengkapi hasil tes inteligensi
— 99 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
dengan melakukan tes kreativitas (sikap kreatif)dan task
commitment. Hasil lengkapnya dapat dilihat pada lampira.
Hasil aksi 2: Pengukuran self-efficacy, penyesuaian
sosial dan sikap terhadap pembelajaran guru. Hasil leng-
kapnya dapat dilihat pada lampiran.
Hasil aksi 3: Menyarankan pengaturan penempat-
an siswa ke dalam kelas unggulan berdasarkan kriteria ke-
berbakatan.
Hasil aksi 4: Workshop guru untuk meningkatkan
kompetensi dalam mengembangkan program layanan sis-
wa berbakat , khususnya berkaitan dengan pengembangan
program pengayaan (enrichment). Hasilnya adalah sebagai
berikut:
Setelah diadakan workshop para guru mendapatkan
pengetahuan dan pengenalan yang mendalam tentang
konsep-konsep keberbakatan, kecerdasan, dan intelektua-
litas. Sehingga mereka dapat mengenali karakteristik anak
berbakat intelektual. Setelah mengenali mereka, dibantu
para ahli keberbakatan dan praktisi psikolog, diharapkan
juga dapat memahami mengidentifikasi kebutuhan dan
kekhasan anak berbakat intelektual.
Mereka juga memahami terdapat dua bentuk pela-
yanan anak berbakat yang disarankan oleh para ahli psi-
kologi, yaitu: pengadaan program kelas akselerasi atau
program pengayaan sebagai bentuk layanan anak berba-
kat intelektual. Namun layanan yang terbaik yang disa-
— 100 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
rankan pakar keberbakatan yang menjadi nara sumber
workshop yaitu: Bu Reni Hawadi, adalah program penga-
yaan (enrichment). Karena dengan enrichment kekhasan
kebutuhan dan keunikan masing anak dapat maksimal
dan tepat pelayanannya. Hal ini tidak dapat dicover oleh
program akselerasi yang baru-baru ini telah dilaksanakan
dan diaplikasikan pada sekolah-sekolah dibawah koordi-
nasi Kemendiknas.
Berikut ini adalah analisis feedback dari para Guru
setelah mengikuti workshop yang dibuat denga model
isian tertutup dan terbuka. Hasil yang akan lebih dahu-
lu kami urai adalkah hasil feedback pertanyaan tertutup
yang menggali pernyataan para guru mengenai kegiatan
yang dilakukan bapak Ibu Guru selama ini.
Dalam penciptaan lingkungan yang kondusif bagi
keberhasilan siswa, upaya para Guru MTsN3 dalam pem-
bangunan suasana belajar yang kondusif di kelas telah op-
timal dilakukan 68,57% guru. Hal tersebut didukung de-
ngan pernyataan 57 % guru yang telah cukup melakukan
penesuaian pembelajaran sesuai kebutuhan siswa dengan
dukungan kerjasama orang tua. Namun dalam hal perla-
kuan siswa yang sesuai dengan kekhasannya ada hampir
30 % guru menyatakan masih kurang mengaplikasikan-
nya. Meskipun sebagian besar telah menyatakan cukup
namaun hanya 20% yang dengan penuh percaya diri telah
— 101 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
mengupayakan perlakuakn khusus berdasarkan kekhasan
anak.
Tentang penguasaan guru terhadap materi pelajaran
yang mereka ajarkan, hampir 75 % dari para guru yakin
telah optimal dalam menjelaskan dengan detail dan me-
ngaitkan materi dengan pokok bahasan lain mata pela-
jaran tersebut. Jumlah tersebut namun hanya didukung
28 orang guru yang telah cukup menghubungkan materi
dengan materi mata pelajaran lain. Di lain sisi, penguasaan
materi yang didukung strategi pembelajaran yang sesuai
dengan tujuan pembelajarn hanya diakui optimal oleh ku-
rang dari 50 % guru MTsN 3 Jakarta.
Sebagai fasilitator guru juga diharapkan mampu
membuat dan mengaplikasiakan keseluruhan desain dan
strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik in-
telektual, fisik, emosional, dan sosial siswa. dengan
• Menggunakan variasi metode pembelajaran
• Menggunakan tekhnologi sebagai sumber mau-
pun alat dalam pembelajaran
• Membina perkembangan pola pikir kritis dalam
penyelesaian masalah.
• Membina kualitas kepemimpinan siswa dalam
kerja-kerja kelompok pembelajaran.
• Mengembangkan komunikasi yang efektif de-
ngan siswa.
— 102 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
• Menggunakan metode evaluasi hasil pembelajar-
an yang variatif .
Dalam hal ini antara 20-24 orang merasa cukup
memfasilitasi pembelajaran siswa dan antara 3- 7 orang
menyatakan masih kurang optimal. Sedangkan 7-12 orang
menyatakan optimal dalam memfasilitasi pembelajaran
siswa.
Di sisi lain, bagaimana selama ini para guru meng-
analisis tugasnya juga menjadi salah satu unsur penting
bagi penelitian ini. Analisis tersebut mencakup analisis
proses belajar siswa, analisis pencapaian tujuan dan anali-
sis efektifitas pelaksanaan peran mereka dalam lingkungan
belajar yang dinamis dan kompleks. 11 orang menyatakan
optimal, 22 orang cukup, dan 2 orang mengakui kekurang
optimalan dalam melakukan analisis pertama. Analisis
kedua telah dilakukan cukup optimal oleh 24 orang, lebih
besar dari 8 orang lainnya yang optimis telah optimal me-
lakukan analisis kedua. Sedangkan untuk analisis ketiga
jumlah guru yang menyatakan kurang optimal menempati
jumlah terbanyak dari jumlah 3 analisis ini, yaitu 8 orang
ditambah denga 2 guru lain yang menyatakan belim per-
nah melakukan analisis terakhir itu.
Bentuk feedback yang kedua adalah feedback terbu-
ka yang memberi keleluasaan pada guru untuk menuang-
kan pendapat apapun terkait dengan layanan siswa berba-
kat intelektual.
— 103 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Program layanan keberbakatan siswa madrasah
menggunakan standar. Berikut ini Standar Program Keber-
bakatan Istimewa di madrasah:
E. Standar-standar Program keberbakatan Istimewa
Pre-K-kelas 12 tahun 2010
1. Standar Program Keberbakatan Istimewa 1:
Pembelajaran dan Pengembang
a. Pendahuluan
Untuk para guru dan pendidik lain di lingkung-
an PreK-12 agar efektif dalam bekerja dengan para pela-
jar yang berbakat Istimewa, mereka harus memahami
beberapa karakterisik dan kebutuhan mereka yang se-
dang dibuatkan rencana kurikulumnya, pengajarannya,
asesmennya, program-programnya dan pelayanannya.
Karakteristik-karakteristik tersebut adalah alasan yang
membedakan program-program, pengelompokkan, dan
pelayanannya serta yang diterjemahkan dalam beberapa
pilihan diferensiasi yang sesuai yang dibuat dalam satu
kurikulum dan kelas-kelas program di sekolah- sekolah
ataupun di sekolah-sekolah daerah. Pertumbuhan kognitif
serta pengembangan afeksi juga penting dalam program-
program tersebut. Maka sebagian besar dari karakteristik
tersebut ditujukan pada standar ini yang menekankan pe-
ngembangan afeksi yang dihubungkan dengan pemaham-
an diri serta kesadaran sosial.
— 104 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Standar 1: Pembelajaran dan PengembanganDeskripsi: Para pendidik yang telah mengenali perbedaan- perbedaan pembelajaran dan pengembangan siswa berbakat istimewa mendorong keberlangsungan pemahaman diri, kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan mereka, serta pertumbuhan kognisi dan afeksi para siswa ini di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat untuk memastikan pencapaian tertentu siswa.
Pencapaian-Pencapaian Siswa Aplikasinya
1.1. Pemahaman diri. Para siswa berbakat istimewa dalam mengidentifikasi minat dan bakat menunjukan pengetahuan diri dan menghargai semua minat, kekuatan, identitas, dan kebutuhan mereka dalam pengembangan sosio-emosional, intelektual, dan bakat dalam pengembangan identitas di bidang akademik, kreatifitas, kepemimpinan, dan seni.
Para pendidik melibatkan para siswa berbakat istimewa dalam mengidentifikasi berbagai minat, kekuatan, dan keistimewaan mereka.Para pendidik membimbing para siswa berbakat istimewa dalam pengembangan identitas yang mendukung prestasi.
1.2. Pemahaman diri. Parasiswa berbakat istimewa memiliki pemahaman perkembangan yang tepat tentang bagaimana mereka belajar dan tumbuh; serta bagaimana mereka memahami pengaruh- pengaruh kepercayaan, tradisi, dan nilai-nilai mereka dalam belajar dan bersikap.
1.2.1. Para pendidikmengembangkan kegiatan- kegiatan yang sesuai tingkat perkembangan dan siswa dan budaya berdasarkan kebutuhan pembelajaran.
— 105 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
1.3. Pemahaman diri. Para siswa berbakat istimewa menunjukan pemahaman dan penghargaan terhadap persamaan dan perbedaan antara mereka dan teman sebaya mereka serta masyarakat pada umumnya.
Para pendidikmenyediakan satu set variasi latihan penelitian berdasarkan pengelompokan untuk para siswa berbakat istimewa yang mendorong mereka untuk berinteraksi dengan individu-individu lainnya yang memiliki keistimewaan, bakat, kemampuan, dan kekuatan yang bervariasi.Para pendidikmencontohkan penghargaan bagi keragaman kemampuan, keuatan, dan cita-cita individual.
1.4. Kesadaran Kebutuhan. Para siswa berbakat istimewa mengakses sumber-sumberpembelajaran dari masyarakat untuk mendukung kebutuhan- kebutuhan kognisi dan afeksi mereka, termasuk interaksi sosial dengan yang lain yang mempunyai minat dan kemampuan atau pengalaman yang sama, juga dengan para siswa sebaya, mentor, dan pakar.
1.4.1. Para pendidik menyediakan beberapa role models (yaitu: melalui para mentor, atau bibliopterapi) untuk para siswa berbakat istimewa yang sesuai dengan kemampuan dan minat siswa.1.4.2. Para pendidik mengidentifikasi peluang-peluang pembelajaran di luar sekolah yang cocok dengan berbagai kemapuan dan minat para siswa.
1.5. Kesadaran Kebutuhan. Para keluarga dan komunitas siswa berbakat istimewa memahami berbagai persamaan serta perbedaan dengan menghargai perkembangan dan karakteristik- karakteristik dari keunggulan dan tipikal para pelajar serta mendukung kebutuhan- kebutuhan siswa berbakat istimewa.
1.5.1. Para pendidik berkolaborasi dengan keluarga dalam mendapatkan akses sumber- sumber pengembangan bakat- bakat anak mereka.
— 106 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
1.6. Pertumbuhan Kognisi dan Afeksi. Para siswa berbakat istimewa merasakan manfaat dan keuntungan karena aktifitas-aktifitas pembelajaran yang bermakna dan menantang yang ditujukan pada keunikan semua karaktristik dan kebutuhan mereka.
1.6.1. Para pendidik mendesain berbagai keterlibatan para siswa dalam mengembangkan pertumbuhan kognisi dan afeksi yang didasarkan pada penelitian tentang efektifitas aplikasi.1.6.2. Para pendidik mengembangkan pelayanan- pelayanan pelibatan khusus untuk siswa berbakat istimewa yang sedang berprestasi rendah dan yang sedang mempelajari serta mengembangkan bakat-bakat mereka.
1.7. Pertumbuhan Kognisi dan Afeksi. Para siswa berbakat istimewa megenali pendekatan- pendekatan belajar yang mereka lebih suka dalam pembelajaran dan pengembangan performamereka.
1.7.1. Para guru memungkinkan para siswa untuk mengidentifikasi pendekatan yang lebih mereka sukai dalam pembelajaran, mengakomodasinya, dan mengembangkannya.
1.8. Pertumbuhan Kognisi dan Afeksi. Para siswa berbakat istimewa mengidentifikasi tujuan- tujuan karir masa depan yang cocok dengan berbagai bakat, kemampuan, dan sarana yang dibutuhkan untuk mencapai cita-cita tersebut (contohnya: kesempatan-kesempatan pendidikan lebih tinggi,para pembimbing, dan dukungan keuangan)
1.8.1 Para pendidik memfasilitasi para siswa dengan panduan akademik dan karir yang sesui dengan kekuatan-kekuatan mereka.1.8.2. Para guru dan konsultan mengaplikasikan sebuah kurikulum yang scope (ruang lingkup) dan sequence (rangkaian/tahapan)nya mencakup kesadaran dan penyesuaian personal dan sosial, perencanaan akademik, serta kesadaran penjurusan dan karir.
— 107 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
F. Standar Pemrograman Pendidikan Keberbakatan
Istimewa 2:
1. Assesment (Perkiraan)
a. Pendahuluan
Pengetahuan tentang semua bentuk-bentuk ases-
men penting untuk para pendidik dan siswa berbakat isti-
mewa. Ini adalah bagian dari identifikasi, memperkirakan
kemajuan belajar tiap siswa, dan evaluasi pemrograman.
Para pendidik perlu membangun sebuah lingkungan yang
menantang dan mengumpulkan beragam jenis informasi
aasesmen sehingga semua siswa dapat menunjukkan ke-
istimewaan-keistimewaan dan bakat-bakat mereka.Pema-
haman para pendidik tentang ketidakbiasan, kesesuaian
teknis, dan pendekatan-pendekatan yang adil memung-
kinkan mereka untuk mengidentifikasi para siswa yang
merupakan representasi beragam latar belakang. Mere-
ka juga membedakan kurikulum dan pengajaran dengan
menggunakan pre- and post- (tes dan nontes), dasar per-
formance, dasar produk, dan asesmen-asesmen di luar ke-
las. Hasil dari penggunaan tiap pendidik dalam asesmen
yang sedang berlangsung, para siswa berbakat istimewa
menunjukkan kemajuan dan kompleksitas belajar. Dengan
menggunakan data kemajuan siswa ini, para pendidik ke-
mudian mengevaluasi pelayanan-pelayanan dan membuat
penyesuaian-penyesuaian untuk satu atau beberapa kom-
— 108 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
ponen pemrograman sekolah sehingga performa siswa me-
ningkat.
Standar 2 : Assesmen (Penaksiran)Deskripsi: Assesmen menginformasikan identifikasi, kemajuan belajar, hasil, dan evaluasi pemrograman untuk para siswa berbakat istimewa dalam semua bidang-bidang mereka.
Pencapaian-pencapaian Siswa Fakta berdasarkan Praktek- praktek
2.1. Identifikasi. Semua siswa di kelas PK-12 memiliki akses yang sama pada sistem asesmen yang komprehensif yang memungkinkan mereka mendemonstrasikan beragam karakteristik dan tingkah laku yang berasosiasi dengan keberbakatan Istimewa
Para pendidik mengembangkan berbagai lingkungan dan kegiatan pengajaran yang memotivasi para siswa untuk mengekspresikan beragam karakteristik dan prilaku yang berasosiasi dengan keberbakatan istimewa. Para pendidik memberikan orang tua/wali informasi tentang beragam karakteristik dan prilaku yang berasosiasi dengan keberbakatan istimewa
2.2. Identifikasi . Tiap siswa menunjukkan keistimewaannya atau potensi melalui data asesmen maka berbagai akomodasi dan modifikasi pengajaran yang tepat dapat tersedia.
2.2.1. Para pendidik membuat prosedur-prosedur yang komprehensif, kohesif, dan berkelanjutan untuk mengidentifikasi dan melayani siswa berbakat istimewa. Informasi ini juga dilengkapi dengan informasi consent , review komite, bimbingan siswa, reasesmen siswa, pengeluaran siswa, dan prosedur-prosedur permohonan untuk kedua masukan atau pengeluaran dari layanan- layanan program keberbakatan istimewa
— 109 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Para pendidik memilih dan menggunakan beragam asesmen yang mengukur keberagaman kemampuan, bakat, kekuatan yang berdasarkan teori-teori, model- model, dan penelitian mutakhir.Asesmen-asesmen memberikan informasi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber , termasuk tes penutupan kelas, yang tidak bias dan rasional yang secara teknis sesuai dengan tujuan.Para pendidik memiliki pengetahuan tentang keistimewaan-keistimewaan siswa dan mengumpulkan data asesmen sambil menyesuaikan kurikulum dan pengajaran untuk mempelajari level pengembangan tiap siswa dan kemampuannya untuk pembelajaran.Para pendidik menginterpretasikan beragam asesmen dalam berbagai ranah dan memahami penggunaan- penggunaan dan batasan- batasan asesmen dalam mengidentifikasi kebutuhan- kebutuhan para siswa berbakat istimewa2.2.6. Para pendidik menginformasikan semua guru/wali tentang proses identifikasi. Para guru mendapatkan izin orangtua/wali untuk melakukan beberapa asesmen, menggunakan daftar cek sensitif budaya, dan merangkum tentang minat- minat dan potensi anak di luar lingkungan sekolah.
— 110 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
2.3. Identifikasi. Para siswa yang telah terdentifikasi kebutuhan-kebutuhannya mewakili latar belakang yang beragam dan merefleksikan jumlah populasi siswa keseluruhan dari daerah
Para pendidik memilih dan menggunakan pendekatan- pendekatan yang jelas dan rasional untuk mengidentifikasi para siwa berbakat istimewa, pendekatan itu mungkin memasukkan norma-norma lokal yang berkembang atau alat-alat asesmen dalam bahasa asal anak atau bentuk-bentuk nonverbal.Para pendidik memahamidan mengimplementasi kebijakan daerah dan negara yang telah didesain untuk memotivasi keseimbangan dalam pemrograman dan pelayanan-pelayanan keberbakatan istimewa.2.3.3. Para pendidik menyediakan untuk orang tua/wali berupa: informasi dalam bahasa asal mereka yang berhubungan dengan beragam tingkah laku dan karakteristik siswa terkait dengan keberbakatan istimewa dan informasi yang menjelaskan dasar dan tujuan pilihan-pilihan pemrograman keberbakatan istimewa.
2.4. Progres Pembelajaran dan Pencapaian. Para siswa yang berbakat istimewa menunjukkan kemajuan dan kompleksitas pembelajaran karena penggunaan asesmen- asesmen yang berlangsung tepat dan beragam.
Para pendidik menggunakan diferensiasi pre- dan pos performa berbasis asesmen-asesmen untuk mengukur perkembangan para siswa berbakat istimewa.Para pendidik menggunakan produk diferensiasi berdasarkan asesmen-asesmen untuk mengukur perkembangan para siswa berbakat istimewa.
— 111 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Para pendidik menggunakan penutupan level yang distandarisasi asesmen-asesmen untuk mengukur perkembangan para siswa berbakat istimewa.Para pendidik menggunakan dan menginterpretasi informasi asesmen kualitatif dan kuantitatif untuk mengembangkan profil berbagai kekuatan dan kelemahan untuk tiap siswa berbakat istimewa untuk merencanakan pelibatan yang tepat. Para pendidik mengkomunikasikan dan menginterpretasikan informasi asesmen pada para siswa berbakat istimewa dan orang tua/wali mereka.
2.5. Evaluasi Pemrograman. Para siswa yang teridentifikasi berbakat istimewa menunjukkan kemajuan pembelajaran yang penting dikarenakan pemrograman dan pelayanan-pelayanan
Para pendidik memastikan bahwa asesmen- asesmen yang digunakan dalam proses-proses identifikasi dan evaluasi dapat dipercaya dan valid untuk setiap tujuan instrumen, yang untuk performa di atas rata-rata dan untuk beragam prespektif.Para pendidik memastikan bahwa asesmen- asesmen perkembangan para siswa berbakat istimewa menggunakan indikator- indikator beragam yang mengukur penguasaan isi, keahlian berfikir tingkat tinggi, prestasi di area program tertentu, dan pertumbuhan afeksi.
— 112 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
2.5.3. Para pendidik mengakses kuantitas, kualitas, dan kesesuaian dari pemrograman dan pelayanan-pelayanan yang disediakan untuk para siswa berbakat istimewa dengan pemisahan data asesmen dan data tahunan, serta membuat publikasi capaian-capaian.
2.6. Evaluasi Pemrograman. Para siswa yang teridentifikasi berbakat istimewa telah meningkatkan akses dan menunjukkan kemajuan pembelajaran signifikan karena peningkatan komponen- komponen pemrograman pendidikan keberbakatan istimewa
Para administrator menyediakan waktu dan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk implementasi sebuah rencana evaluasi tahunan yang dikembangkan oleh para pakar dalam program keberbakatan istimewa.Evaluasi perencanaan bertujuan dan mengevaluasi bagaimana prestasi kelas siswa dipengaruhi oleh satu atau lebih dari komponen-komponen pemrograman pendidikan keberbakatan istimewa: (a)identifikasi, (b) kurikulum, (c) pelayanan pelayanan pemrograman pengajaran, (d) asesmen yang sedang berlangsung, (e)konseling dan bimbingan program-program,(f) pengembangan kualifikasi dan profesi guru, (g)orang tua/wali dan keterlibatan komunitas, (h) sumber-sumber pemrograman, dan (i) desain pemrograman, manajemen, dan pengiriman. 2.6.3. Para pendidik memaparkan hasil-hasil evaluasi, dalam bentuk oral ataupun tertulis, dan menjelaskan bagaimana mereka akan menggunakan hasilnya.
— 113 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
G. Standar Pemrograman Pendidikan Berbakat
Istimewa 3: Perencanaan kurikulum dan Pengajaran
1. Pendahuluan
Asesmen adalah komponen yang menyatu dalam
proses perencanaan kurikulum.Informasi yang telah di-
dapat dari berbagai jenis asesmen menginformasikan ten-
tang isi kurikulum, strategi pengajaran, dan sarana-sarana
yang dapat mendukung pertumbuhan para siswa berbakat
istimewa. Para pendidik mengembangkan dan menggu-
nakan sebuah inti kurikulum yang terpadu dan bertahap
yang dihubungkan dengan standar-standar lokal, negara,
nasional, untuk kemudian membedakan dan mengem-
bangkannya. Agar menemukan kebutuhan unik para sis-
wa berbakat istimewa, kurikulum ini harus menekankan
aspek keunggulan, tantangan konseptual, kedalaman,
perbedaan, dan kompleksitas dalam ranah-ranah kognisi,
afeksi, seni, sosial, dan kepemimpinan. Para pendidik ha-
rus memiliki sebuah daftar data berdasarkan strategi-stra-
tegi pengajaran dalam penyampaian kurikulum
• untuk mengembangkan bakat, meningkatkan
pembelajaran, dan memfasailitasi siswa dengan
pengetahuan dan keterampilan supaya mereka
menjadi pelajar yang mandiri dan sadar diri.
• memfasilitasi siswa untuk memiliki alat untuk
berkontribusi pada masyarakat yang beragam.
Kurikulum tersebut, stategi- strategi pengajaran,
— 114 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
materi-materi, dan sarana-sarana harus meli-
batkan beragam pelajar mengggunakan aplikasi-
aplikasi yang respon kultur.
Standar 3: Perencanaan Kurikulum dan PengajaranDeskripsi: Para pendidik mengaplikasikan teori dan penelitian berdasrkan model-model kurikulum dan pengajaran yang dikaitkan dengan para siswa berbakat istimewa serta menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka dengan perencanaan, penyeleksian, penyesuaian, dan penciptaan kurikulum yang sesuai budaya serta dengan menggunakan sebuah daftar/katalog data-berdasarkan strategi-strategi pengajaran untuk memastikan capaian-capaian tertentu siswa.
Pencapaian-Pencapaian Siswa Fakta berdasarkan Praktek- praktek
3.1. Perencanaan Kurikulum .Para siswa berbakat istimewa menunjukkan pertumbuhan sesuai dengan kemampuan selama tahun persekolahan
3.1.1. Para pendidikmenggunakan standar-standar nasional, dan lokal untuk mendukung dan memperluas perencanaan-perencanaan kurikulum.Para pendidik mendesain dan menggunakan scope dan sequence yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengembangkan recana-rencana yang dibedakan untuk para siswa PK-12 yang berbakat istimewa .
Para pendidik mengadaptasi, memodifikasi, atau menggantikan inti atau standar kurikulum agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa berbakat istimewa dan mereka yang berkebutuhan khusus seperti anak dengan dua- kekhususan, atau yang sangat tinggi keistimewaannya.
— 115 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Para pendidik merancang kurikulum-kurikulum berdiferensiasi yang dikembangkan bersama, secara konseptual menantang, dalam, unik, dan konten yang kompleks untuk para siswa berbakat istimewa bakatnya.Para pendidik menggunakan sistem asesmen yang berimbang, termasuk pre-asesmen dan formatif asesmen, untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan siswa, mengembangkan rencana- rencana pendidikan berdiferensiasi, dan menyesuaikan rencana-rencana berdasarkan monitoring perkembangan berkelanjutan.Para pendidik menggunakan pre-asesmen dan kecepatan pengajaran berdasarkan rata-rata pembelajaran para siswa berbakat istimewa dan mengakselerasi serta memompa pembelajaran sebagai suatu kesesuaian. Para pendidik menggunakan informasi dan teknologi-teknologi, untuk individualisasi para siswa berbakat istimewa termasuk mereka yang memiliki dua- kekhususan.
3.2. Pengembangan Bakat. Para siswa berbakat istimewa menjadi lebih berkompetensi dalam beragam bidang bakat seiring dengan dimensi- dimensi pembelajarannya.
3.2.1. Para pendidik merancang kurikulum-kurukulum dalam ranah-ranah kognisi, afeksi, seni, sosial, dan kepemimpinan yang menantang para siswa berbakat istimewa, termasuk mereka yang memiliki dua- kekhususan.
— 116 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
3.2.2. Para pendidik menggunakan model-model metakognisi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa berbakat istimewa.
3.3. Pengembangan Bakat. Para siswa berbakat istimewa mengembangkan kemampuan mereka di bidang bakat atau minat tertentu.
Para pendidik memilih, mengadaptasi, dan menggunakan daftar strategi- strategi dan materi-materi yang dibedakan untuk para siswa berbakat istimewa dan untuk merespon keragaman.Para pendidik menggunakan sekolah dan sarana-sarana komunitas yang mendukung perbedaan.Para pendidik memberi kesempatan untuk para siswa berbakat istimewa untuk mengeksplorasi, mengembangkan, atau meneliti bidang bakat dan minat mereka.
3.4. Strategi-strategi Pengajaran. Para siswa berbakat istimewa menjadi investigator yang mandiri
Para pendidik menggunakan strategi-strategi berpikir kritis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa berbakat istimewa.Para pendidik menggunakan strategi-strategi berpikir kritis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa berbakat istimewa.Para pendidik menggunakan strategi-strategi model pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan para siswa berbakat istimewa.Para pendidik menggunakan model-model inquiry untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para siswa berbakat istimewa.
— 117 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
3.5. Kurikulum Relevan Budaya. Para siswa berbakat istimewa mengembangkan pengetahuan dan kecakapan- kecakapan untuk hidup dan menjadi pribadi yang produktif dalam masyarakat yang global, beragam, dan multikultur.
Para pendidik mengembangkan dan menggunakan tantangan, kurikulum respon budaya untuk melibatkan semua para siswa berbakat istimewa.Para pendidik menyatukan pengalaman-pengalaman eksplorasi karir ke dalam kesempatan-kesempatan belajar untu para siswa berbakat istimewa, mis. Studi biografi atau para pembicara.Para pendidik menggunakan kurikulum untuk memperdalam eksplorasi-eksplorasi isu-isu seputar budaya, bahasa, dan sosial yang berhubungan dengan keragaman.
3.6. Sumber-sumber. Para siswa berbakat istimewa merasakan manfaat pemrograman pendidkan keberbakatan istimewa yang menyediakan serangkaian variasi sarana dan materi yang sangat tinggi kualitasnya.
3.6.1. Para guru dan administrator mendemonstrasikan pengenalan terhadap sumber-sumber dari sarana-sarana dan materi-materi yang berkualitas tinggi yang tepat untuk para pelajar berbakat istimewa.
H. Standar Pemrograman Pendidikan Berbakat
Istimewa 4: Lingkungan Pembelajaran
1. Pendahuluan
Para pendidik siswa berbakat istimewa yang efektif
menciptakan lingkungan-lingkungan pembelajaran yang
aman yang memperkaya emosi jiwa, interaksi sosial yang
positif, kepemimpinan perubahan sosial, dan pemahaman
budaya untuk kesuksesan dalam masyarakat yang bera-
gam. Pengetahuan tentang pengaruh keberbakatan istime-
— 118 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
wa dan keragaman dalam pengembangan emosi dan sosial
memungkinkan para pendidik siswa itu untuk mendesa-
in lingkungan-lingkungan yang mendorong kemandirian,
motivasi, dan self-efficacy (penilaian kemampuan diri) tiap
individu dari semua latar belakang. Mereka memahami pe-
ran bahasa dan komunikasi dalam perkembangan dan ba-
gaimana budaya (dapat) mempengaruhi komunikasi dan
tingkah laku. Mereka menggunakan strategi-strategi dan
teknologi-teknolog relevan yang dapat meningkatkan ke-
mampuan oral, tulis, dan seni berkomunikasi pelajar yang
mempunyai kebutuhan bervariasi berdasarkan kekhusus-
annya, kemampuan bahasa, serta perbedaan budaya dan
tata cara pengucapan/ pelafalan. Mereka mengenali nilai
dari keragaman bahasa dalam masyarakat global kini.
Standar 4: Lingkungan-lingkungan pembelajaranDeskripsi: Lingkungan-lingkungan pembelajaran meningkatkan tanggung jawab pribadi dan sosial, kompetensi multikultur, dan kemampuan komunikasi teknis dan interpersonal untuk kepemimpinan di abad ke-21 agar memastikan pencapaian- pencapaian tertentu siswa
Pencapaian-Pencapaian Siswa Fakta berdasarkan Praktek- praktek
4.1. Kompetensi Personal. Para siswa berbakat istimewa mendemonstrasikan pertumbuhan dalam kompetensi dan karakter untuk keistimewaan akademik dan produktifitas yang kreatif. Hal ini termasuk kesadaran diri, advokasi diri, kemampuan diri, kepercayaan
Para pendidik melestarikan harapan-harapan semua siswa berbakat istimewa yang dibuktikan dalam dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dan menantang.Para pendidik memberi kesempatan untuk eksplorasi diri, pengembangan, dan mencari
— 119 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
diri, motivasi, keluwesan, kemandirian, rasa ingin tahu, dan pengambilan resiko.
minat-minat dan identitas yang mendukung prestasi, mis. melalui para mentor dan role models. Para pendidik menciptakan lingkungan- lingkungan yang mendukung kepercayaan antara beragam pelajar.Para pendidik memberi umpan balik yang berfokus pada usaha, pada data tentang potensi untuk memenuhi satandar-standar, dan pada kesalahan-kesalahan ketika proses pembelajaran.Para pendidik memberikan contoh-contoh positive coping skills dan kesempatan-kesempatan untuk mempraktekkannya.
4.2. Kompetensi Sosial . Para siswa berbakat istimewa mengembangkan kompetensi sosial yang dinyatakan dalam hubungan sebaya yang positif dan interaksi-interaksi sosial.
Para pendidik memahami kebutuhan-kebutuhan para siswa berbakat istimewa dalam kedua hal: kepersonalannya maupun dalam interaksi sosial.Para pendidik memberi kesempatan-kesempatan untuk berinteraksi dengan remaja- remaja yang sebaya intelektual, artistik, dan kreatif intelektual, dan umur kronologisnya.4. 2.3. Para pendidik mengases dan menyediakan pengajaran tentang kemampuan- kemampuan yang dibutuhkan untuk sekolah, komunitas, dan dunia kerja.
4.3. Kepemimpinan. Para siswa berbakat istimewa menunjukkan tanggungjawab personal dan sosial, serta kemampuan-kemampuan kepemimpinan.
Para pendidik menciptakan iklim yang aman dan penerimaan iklim yang ditujukan pada isu-isu sosial dan tanggung jawab pengembangan personal.
— 120 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Para pendidik menciptakan lingkungan untuk pengembangan berbagai bentuk kepemimpinan dan kemampuan-kemampuan memimpin.Para pendidik mempromosikan kesempatan- kesempatan untuk kepemimpinan dalam lingkup- lingkup komunitas agar mempengaruhi perubahan positif.
4.4. Kompetensi kultural. Para siswa berbakat istimewa menilai bahasa mereka dan yang lainnya, warisan, dan lingkungan. Mereka memiliki kemampuan-kemampuan dalam berkomunikasi, pengelompokan, penyatuan dengan individu dan masyarakat yang beragam. Mereka menggunakan strategi- strategi positif untuk mengaitkannya dengan isu-isu sosial, termasuk diskriminasi dan stereotypenya.
Para pendidik mencontohkan penghargaan terhadap sensitifitas siswa tentang keberagaman latar belakang dan bahasa.Para pendidik melarang diskriminasi bahasa, prilaku dan model yang sesuai strategi pembelajaran.Para pendidik membuatkesempatan-kesempatan terstruktur untuk berkolaborasi dengan beragam remaja yang bercita-cita sama.
I. Standar Pemrograman Pendidikan Keberbakatan
Istimewa 5: Pemrograman
1. Pendahuluan
Istilah pemrograman berasal dari variasi layanan-
layanan yang dialamatkan pada kebutuhan-kebutuhan
siswa berbakat istimewa di berbagai situasi. Para pendidik
mengembangkan kebijakan- kebijakan dan prosedur-pro-
sedur untuk membimbing dan mendukung semua kom-
ponen-komponen yang terpadu dan dikaitkan dengan
pemrograman dan layanan-layanan untuk siswa berbakat
— 121 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
istimewa Pre-K-12. Para pendidik menggunakan variasi pi-
lihan-pilihan pemrograman seperti akselerasi dan penga-
yaan dalam pengelompokan-pengelompokan bervariasi
(pengelompokan cluster, ruangan-ruangan sarana, kelas-
kelas khusus) dan dalam pilihan- pilihan pembelajaran
yang terindividualisasi (belajar mandiri, pendampingan,
kursus-kursus online, internship) untuk meningkatkan
performa para siswa dalam area kognisi dan afeksi serta
untuk membantu mereka dalam mengidentifikasi cita-cita
karir mendatang. Mereka mengembangkan dan mengin-
tegrasikan teknologi-teknologi mutakhir dalam tiap ke-
sempatan pembelajaran ini untuk meningkatkan akses
menuju level tinggi pemrograman seperti kursus- kursus
pembelajaran jarak jauh dan untuk meningkatkan ko-
neksi pada sarana-sarana diluar dinding-dinding sekolah.
Dalam implementasi pelayanan-pelayanan, para pendi-
dik ‘keberbakatan istimewa’, program-program pendidik-
an khusus, dan terhubung dengan pelayanan-pelayanan
profesional bahu membahu dengan orang tua/wali dan
anggota masyarakat untuk memastikan bahwa para siswa
yang beragam kebutuhan-kebutuhan pembelajarannya di-
pertemukan. Para adiministrator menunjukkan dukungan
mereka terhadap pilihan- pilihan pemrograman ini de-
ngan mengalokasikan sarana prasarana yang memadai se-
hingga semua siswa berbakat istimewa menerima layanan
pendidikan yang tepat.
— 122 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Standar 5 : PemrogramanDeskripsi: Para pendidik sadar tentang fakta empiris yang berhubungan dengan (a)kognisi, kreatifitas, perkembangan afeksi para siswa berbakat istimewa, dan (b) pemrograman yang memenuhi komitmen kebutuhan mereka. Para pendidik menggunakan kepakaran ini secara sistematis dan kolaboratif untuk mengembangkan, mengaplikasikan, dan secara efektif mengatur pelayanan-pelayanan terpadu untuk para siswa berbakat istimewa dengan variasi keistimewaan dan bakat untuk memastikan pencapaian-pencapaian tertentu siswa.
Pencapaian-Pencapaian Siswa Fakta berdasarkan Praktek- praktek
5.1. Variasi Pemrograman. Para siswa berbakat istimewa berpartisipasi dalam sejumlah variasi pilihan pemrograman yang meningkatkan performa mereka di ranah-ranah kognitif dan afektif.
Para pendidik teratur menggunakan alternatif pendekatan yang beragam untuk mempercepat pembelajaran.Para pendidik teratur menggunakan pilihan pilihan pengayaan untuk memperluas atau memperdalam kesempatan pembelajaran baik di dalam ataupun di luar lingkungan sekolah.Para pendidik teratur menggunakan beragam bentuk dari pengelompokan termasuk kluster-kluster, ruang-ruang sumber belajar, kelas-kelas khusus, atau sekolah-sekolah khusus.Para pendidik teratur menggunakan pilihan-pilihan pembelajaran indvidual seperti berbagai pendampingan, internship,kursus-kursus online, dan belajar mandiri.Para pendidik teratur menggunakan teknologi- teknologi mutakhir, termasuk pilihan-pilihan pembelajaran online dan teknologi-teknologi pendukung lainnya untuk meningkatkan akses ke tahap pemrograman yang tinggi.
— 123 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Para adminstrator menunjukkan dukungan untuk program-program keberbakatan istimewa melalui alokasi sarana dan prasarana yang tepat dan menunjukkan keinginan untuk memastikan para siswa berbakat istimewa menerima pelayanan- pelayanan pendidikan yang sesuai.
5.2. Pelayanan-pelayanan Koordinatif. Para siswa berbakat istimewa menunjukkan kemajuan disebabkan oleh komitmen yang terbagi dan pelayanan- pelayanan yang kordinatif dalam pendidikan keberbakatan istimewa, pendidikan umum, pendidikan khusus, yang berhubungandengan pelayanan-pelayanan profesional, seperti para konselor sekolah, psikolog sekolah, dan pekerja sosial.
5.2.1. Para pendidik keberbakatan istimewa, umum, khusus, dan para spesialis di bidangnya, secara kolaboratif, merencanakan, dan mengimplementasikan pelayanan-pelayanan bagi para siswa berbakat istimewa.
5.3. Kolaborasi. Para siswa berbakat istimewa ditingkatkan dengan kolaborasi yang teratur antar keluarga, komunitas dan sekolah.
5.3.1. Para pendidik secara teratur melibatkan para anggota keluarga dan komunitas untuk perencanaan, pemrograman, pengevaluasian, pengadvokasian.
5.4. Sumber- sumber. Para siswa berbakat istimewa berpartisipasi dalam pemrograman pendidikan anak berbakat istimewa yang banyak dibiayai agar memenuhi kebutuhan- kebutuhan dan tujuan-tujuan program.
5. 4. 1. Para administrator mengawasi berbagai pengeluaran di level sekolah untuk memastikan pendanaan yang tepat dan sesuai untuk pelayanan dan pemrograman pendidikan keberbakatan istimewa.
— 124 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
5.5. Komprehensifitas. Para siswa berbakat istimewa mengembangkan potensi mereka melalui pelayanan- pelayanan dan pemrograman yang komprehensif.
5.5.1. Para pendidik mengembangkan rencana- rencana yang matang, dan tahunan program sesuai bidang- bidang bakat , PK-12
5.6. Kebijakan dan Prosedur. Para siswa berbakat istimewa b erpartisipasi secara teratur dalam program-program keberbakatan istimewa yang dibimbing oleh kebijakan- kebijakan dan prosedur-prosedur yang jelas untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan pembelajaran lanjutan mereka (mis. pemasukan awal, akselerasi, kredit penempatan dalam pendaftaran)
5.6.1. Para pendidik menciptakan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur untuk membimbing dan menjaga keberlangsungan semua komponen program termasuk di dalamnya asesmen, identifikasi,akselerasi, latiahan-latihan, dan praktek pengelompokan, yang dikembangkan menjadi data yang mendasari pendidikan keberbakatan istimewa.
5.7. Jalur Karir. Para siswa berbakat istimewa mengidentifikasi cita-cita karir mendatang dan jalur-jalur pengembangan minat untuk mengapai cita-cita tersebut.
Para pendidik memberikan bimbingan profesional dan konseling untuk berbagai kekuatan, minat, dan nilai siswa.Para pendidik memfasilitasi pendampingan, internship, dan pengalaman pemrograman keterampilan yang cocok dengan kemampuan dan minat siswa.
J. Pemrograman Pendidikan Berbakat Standar 6:
Pengembangan Secara Profesional
1. Pendahuluan
Pengembangan secara profesional penting untuk
semua pendidik yang terlibat dalam pengembangan dan
implementasi program-program dan pelayanan-pelayan-
an siswa berbakat istimewa. Pengembangan profesi adalah
— 125 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
pengembangan tujuan dari pakar profesional yang digaris-
bawahi (dianggap penting, penerj) oleh standar-standar
persiapan guru NAGC-CEC dan merupakan tahapan yang
berlangsung dari aplikasi profesional dan etis bagi para
pendidik ‘keberbakatan istimewa’. Pengembangan secara
profesional memungkinkan pengambilan beberapa ben-
tuk perluasan dengan workshop-workshop di daerah yang
disponsori, kursus-kursus, pembelajaran-pembelajaran
di universitas, konferensi-konferensi profesional, studi-
studi mandiri, dan presentasi-presentasi oleh konsultan
di eksternal dan seharusnya berdasarkan asesmen kebu-
tuhan-kebutuhan yang sistematis dan profesional dengan
dikembangkan oleh pakar dalam pendidikan ‘keberbakat-
an istimewa’. Pelayanan-pelayanan pendidikan ‘keberba-
katan istimewa’ dikembangkan dan didukung oleh para
administrator, koordinator, spesialis kurikulum, pendidik-
an umum, pendidikan khusus, dan guru- guru pendidik-
an ‘keberbakatan istimewa’ yang telah mengembangkan
pengetahuan dalam pendidikan ‘keberbakatan istimewa’.
Karena para siswa berbakat istimewa telah menghabiskan
banyak waktu dalam kelas-kelas pendidikan umum, para
guru pendidikan umum harus menerima pengembangan
profesi dalam pendidikan ‘keberbakatan istimewa’ yang
memungkinkan mereka untuk mengenali ciri-ciri ‘keber-
bakatan istimewa’di dalam populasi yang beragam, mema-
hami sekolah atau daerah terkait dan proses identifikasi-
— 126 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
nya, serta memiliki kesiapan berkualitas tinggi, penelitian
strategi-strategi berdasarkan keragaman, yang menantang
para siswa. Pelayanan-pelayanan untuk para siswa berba-
kat istimewa ditingkatkan dengan para profesional bidang
bimbingan dan konseling bersama pakar di bidang pendi-
dikan ‘keberbakatan istimewa’.
Standar 6 : Pengembangan yang profesionalDeskripsi: Semua pendidik (para administrator, para guru, para konselor, dan staf pendukung pengajaran) membangun pengetahuan dan kemampuan mereka menggunakan NAGC-CEC Teacher Standards for Gifted and Talented Education and the National Staff Development Standards. Mereka meningkatkan sarana prasarana untuk menyediakan waktu khusus, mendanai untuk menjutkan studi, dan saling mendukung. Latihan-latihan ini dinilai melalui assesmen pencapaian siswa yang relevan.
Pencapaian- pencapaian Siswa Aplikasinya
6.1. Pengembangan Bakat . Para siswa mengembangkan bakat-bakat dan keistimewaan mereka karena berinteraksi dengan para pendidik yang menemukan persiapan standar- standar pendidikan keberbakatan istimewa.
Para pendidik berpartisipsi secara sistematis dalam proses, penelitian yang mendukung pengembangan profesional pondasi-pondasi pendidikan keberbakatan istimewa, kakteristik- karakteristik para siswa berbakat istimewa, asesmen , perencanaan kurikulum, dan pengajaran, lingkungan pembelajaran, dan pemrograman.Sekolah daerah menyediakan pengembangan profesional untuk para guru yang mencontohkan bagaimana mengembangkan berbagai lingkungan dan kegiatan pengajaran yang mendorong para siswa untuk mengekspresikan
— 127 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
karakteristik dan prilaku yang beragam terkait keberbakatan istimewa.Para pendidik berpartisipasi dalam pengembangan profesional yang sedang berlangsung yang berfokus pada masalah-masalahanti-intelektualisme dan tren-tren dalam pendidikan keberbakatan istimewa seperti persamaan dan akses.Para administrator menyediakan SDM dan sumber- sumber materi yang dibutuhkan untuk pengembangan pendidikan keberbakatan istimewa (mis. masa liburan,pembiayaan untuk kelanjutan pendidikan, pergantian dukungan, webinar- webinar, dan mentor-mentor)Para pendidik menggunakan kesadaran mereka untuk berbagai organisai dan publikasi yang frelevan untuk pendidikan keberbakatan istimewa untuk mempromosikan pembelajaran untuk para siswa berbakat istimewa.
6.2. Pengembangan Emosi- Sosial. Para siswa berbakat istimewa berkembang secara sosial dan emosional karena para pendidik yang telah berpartisipasi dalam pengembangan profesional standar-standar nasional pendidikan keberbakatan sedrta para staf pengembangan standar-standar.
6.2.1. Para pendidik berpartisipasi dalam pengembangan profesional yang sedang berlangsung untuk mendukung kebutuhan- kebutuhan emosional dan sosial para siswa berbakat istimewa.
— 128 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
6.3. Pembelajaran Seumur Hidup. Para siswa mengembangkan keistimewaan-keistimewaan dan bakat-bakat mereka karena para pendidik yang merupakan pelajar seumur hidup, berpartisipasi dalam pengembangan profesional yang berlangsung dan menindak lanjuti peluang- peluang pendidikan.
Para pendidik mengakses praktek-praktek pengajaran mereka dan melanjutkan pendidikan mereka di sekolah daerah untuk pengembangan staf, di organisasi-organisasi profesional, dan di pendidikan tinggi lainnya berdasarkan asesmen-asesmen ini.Para pendidik berpartisipasi dalam pengembangan profesional yang terus berlangsung, termasuk teratur menindak lanjuti, dan mencari bukti pengaruh kerja guru dalam pembelajaran siswa.Para pendidik menggunakan berbagai model pengantar pengembangan profesional termasuk berbagai kursus online,komunitas online dan elektronik, workshop face-to face, komunitas pembelajaran profesional, dan diskusi buku.Para pendidik mengidentifikasi dan membidik bidang-bidang bagi pertumbuhan personal para siswa berbakat istimewa dalam prencananaan-perencanaan pengembangan profesional mereka.
6.4. Etika. Para siswa mengembangkan berbagai keistimewaan dan bakat mereka karena para pendidik yang etis dalam pekerjaan- pekerjaannya.
Para pendidik merespon bentuk-bentuk rujukan personal dan kultural ketika mengajar para siswa berbakat istimewa.Para pendidik mematuhi berbagai peraturan, kebijakan, dan standar etika dalam bekerja.
— 129 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Perkembangan program layanan anak berbakat di MTsN3
Jakarta
Berdasarkan kajian dan pendampingan yang dilakukan,
MTsN3 Jakarta tidak memberikan layanan pendidikan dengan
program akselerasi, melainkan memberikan pengayaan. Se-
telah beberapa tahun, sejak tahun 2019 untuk siswa yang di-
identifikasi sebagai anak berbakat dikelompokkan dalam kelas
khusus yang diberi nama Kelas Riset. Selain pengayaan materi
dimaksudkan untuk mempersiapkan para siswa bisa berkem-
bang lebih optimal serta dapat melanjutkan studi di sekolah
atau madrasah yang berprestasi seperti MAN Insan Cendekia,
para siswa juga didorong dan diberi kesempatan untuk menyu-
sun proposal penelitian, melaksanakan penelitian dan persiap-
an publikasi.
Dari delapan kelas setiap angkatan diadakan satu kelas
riset. Program ini terkait juga dengan program Madrasah Yo-
ung Research (MYRES) dari Direktorat Madrasah Kementeri-
an Agama. Ada 3 bidang riset yang dikembangkan yaitu bidang
agama, sosial dan sains.
— 131 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
Program untuk mengoptimalkan pengembangan siswa
berbakat intelektual melalui program layanan khusus ini di-
mulai dari penelitian tentang “Kontribusi dari faktor inteligen-
si, task commitment, sikap kreatif, penyesuaian sosial, dan self
efficacy siswa terhadap prestasi belajar” dan aksi yang dilaku-
kan untuk mengoptimalkan pengembangan siswa berbakat in-
telektual melalui program layanan khusus.
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
proses identifikasi siswa berbakat intelektual di MTsN 3 Jaksel
belum mengaplikasikan konsep keberbakatan. Selama ini yang
dilakukan masih mengacu pada konsep siswa berprestasi, bu-
kan pada siswa berbakat intelektual.
Adapun hasil aksi yang telah dilakukan pada program
PAR ini adalah
Hasil aksi 1: Penyaringan untuk identifikasi siswa ber-
bakat intelektual berdasarkan kriteria Renzulli (IQ, TC, Kreati-
vitas) dengan cara melengkapi hasil tes inteligensi dengan me-
lakukan tes kreativitas (sikap kreatif)dan task commitment.
— 132 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Hasil aksi 2: Pengukuran self-efficacy, penyesuaian sosi-
al dan sikap terhadap pembelajaran guru.
Hasil aksi 3: Menyarankan pengaturan penempatan sis-
wa ke dalam kelas unggulan berdasarkan kriteria keberbakat-
an.
Hasil aksi 4: Workshop guru untuk meningkatkan kom-
petensi dalam mengembangkan program layanan siswa ber-
bakat, khususnya berkaitan dengan pengembangan program
pengayaan (enrichment).
Berdasarkan kajian dan pendampingan yang dilakukan,
MTsN3 Jakarta tidak memberikan layanan pendidikan dengan
program akselerasi, melainkan memberikan pengayaan. Se-
telah beberapa tahun, sejak tahun 2019 untuk siswa yang di-
identifikasi sebagai anak berbakat dikelompokkan dalam kelas
khusus yang diberi nama Kelas Riset. Selain pengayaan materi
dimaksudkan untuk mempersiapkan para siswa bisa berkem-
bang lebih optimal serta dapat melanjutkan studi di sekolah
atau madrasah yang berprestasi seperti MAN Insan Cendekia,
para siswa juga didorong dan diberi kesempatan untuk menyu-
sun proposal penelitian, melaksanakan penelitian dan persiap-
an publikasi.
Dari delapan kelas setiap angkatan diadakan satu kelas
riset. Program ini terkait juga dengan program Madrasah Yo-
ung Research (MYRES) dari Direktorat Madrasah Kementeri-
an Agama. Ada 3 bidang riset yang dikembangkan yaitu bidang
agama, sosial dan sains.
— 133 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Daftar Pustaka
Ames, C., (1992). Classrooms: goals, structure, and student
motivation. Journal of Educational Psychology. 84 (3). 261-
271
Atwater, E. (1983). Psychology adjustment, Englewoods Cliffs,
New Jersey: Prentice Hall.
Bandura, A. (1986). Social Foundations of thought and action: A
social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall.
Bandura, A. (1994). Self-Efficacy. Dalam V.S. Ramaachaudran
(Ed). Encyclopedia of human behavior (Vol. 4. hal 71-81).
New York: Academic Press.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New
York: W.H. Freeman and Company.
Bandura, A. (2001). Social cognitive theory: an agentic
perspective. Annual Review Psychology, 2001, 52, 1-26.
Byrnes, J.P. & Miller, D.C (2001). To achieve or not to achieve:
a self regulation perspective on adolescent’s academic
decision making. Journal of Educational Psychology. 93
(4), 677-685.
— 134 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Church, M., Elliot, A., & Gable, S. (2001). Perceptions of classroom
environment, achievement goals, and achievement
outcomes. Journal of Educational Psychology. 93, 43-54.
Costes, B.E.K (1994). Self-concept, attributional beliefs, and
school achievement: longitudinal analysis. Contemporary
Educational Psychology. 19: 199-216.
Cote, J.E., & Levine, C.G. (1997). Student motivation, learning
environments, and human capital acquisition: toward an
integrated paradigm of student development. Journal of
College Student Development; 38 (3), 229-242
Cote, J.E., & Levine, C.G. (2000). Attitude versus aptitude: Is
intelligence or motivation more important for positive
higher- educational outcomes? Journal of Adolescent
Research. 15 (1), 58-80.
Djamarah, Syaiful Bahri (2000). Guru dan anak didik dalam
interaksi edukatif. Jakarta: P.T. Rineka Cipta.
Dusek, J. B (1996). Adolescent development and behavior.
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice- Hall.
Eccless, J., Wiegfield, et.al., (1989). Self-concepts, domain
values, and self-esteem: relations and changes at early
adolescence. Journal of Personality, 57, 283-310.
Fontana, A. & Frey, J.H. (1994). Interviewing The Art of Science.
Dalam N.K. Denzin. & Y.S. Lincoln. (ed). Handbook
of Qualitative Research. Thousand Oaks, CA: Saga
Publication, Inc.
— 135 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Franken, R. E. (2002). Human motivation. 5th. edition. Belmont:
Wadsworth Thomson Learning.
Harackiewicz, Judith M., Barron, Kenneth, E., & Elliot, Andrew
J., (2000). Short-term and long-term consequences of
achievement goals: predicting interest and performance
over time. Journal of Educational Psychology. 92 (2), 316-
330.
Karnes, F.A. (1995). Leadership for students: A practical Guide for
Ages 8-18, Texas: Prufrock Press.
Kusumawardhani, Endang Dianti (2000). Konsep siswa
tentang belajar dan motivasi belajar pada siswa program
akselerasi dan program reguler –penelitian di SMUN 8
dan SMU Lab School Jakarta. Tesis. Depok: Program Pasca
Sarjana Fak. Psikologi Universitas Indonesia
Matlin, M. W. (2002). Cognition. 5th. Edition. Singapore:
Thompson Learning.
Maurier, T. J. & Pierce. (1998). A Comparison of Likert scale and
traditional measure of self-efficacy. Journal of Applied
Psychology. 83 (2). 324-329
McCombs, B. L & Wishler, J. S. (1997). The learner-centered
classroom & school: strategies for increasing student
motivation and achievement, Aurora Colorado.
Novak, D. J. & Bob G, (1984). Learning how to learn. New York
Cambridge: University Press.
Ormrod, J.E., (2003). Educational psychology: developing learner.
3rd edition, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
— 136 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Pandia, Wenny Savitri Sembiring. (2006). Peran orientasi
tujuan, self- efficacy, persepsi mengenai iklim kelas dan
pendekatan belajar terhadap prestasi belajar mahasiswa
(Penelitian pada lima Universitas di Jakarta). Disertasi
S3. Depok: Program Pasca Sarjana, Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Papalia, D.E., Olds., S.W. , & Feldman, R.D. (2001). Human
development. New York: Mc. Graw-Hill Company.
Patton, M.Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research
Methods. (ed. 2). London: Sage Publications Inc.
Pintrich, P.R. & Schunk, D.H. (1996). Motivation in education:
theory, research, and application. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Powell, D.H (1983), Understanding human adjusment. USA:
Little, Brown & Co.
Purdie, N., Hattie, J., & Douglas, G. (1996). Student conception
of learning and their use of self-regulated learning
strategies: A cross cultural comparison. Journal of
Educational Psychology. 88 (1), 87-100.
Purwanti, Margaretha (2006). Peran pengajaran dosen, konsep
pembelajaran, konsep diri akademik dan pendekatan
belajar dalam menentukan hasil belajar (penelitian pada
mahasiswa di empat Universitas di Jakarta). Disertasi
S3. Depok: Program Pasca Sarjana, Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
— 137 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah
Ramsden, P. (1992). Learning to teach in higher education.
London: Routledge.
Santrock, J. W. (2000). Educational psychology. Boston: McGraw-
Hill Companies.
Sarlito Wirawan, Sarwono (2000). Pengantar umum psikologi.
Jakarta: Bulan Bintang.
Taylor, S.J. & Bogdan, R. (1998). Introduction to Qualitative
Research MethodsA Guide Book and Resource, (3rd ed.).
John Wiley and Sons, Inc.
Wentzel, K. R., (nd). School adjustment. Dalam Gloria E Miller,&,
William M., Reynold (nd). Handbook of Psychology, Vol. 7.
Educational Psychology, Florida: John Willey & Sonc, Inc.
Winkel, S. (2004). Psikologi pengajaran. Jogjakarta: Penerbit
Media Abadi.
Woolfolk, A. (2004). Educational psychology (9th. ed.), Boston:
Allyn Bacon.
Woolfolk, A. (1998). Educational psychology (7th. ed.), Boston:
Allyn Bacon.
Zamroni (2000). Paradigma pendidikan masa depan. Jogjakarta:
BIGRAF Publishing
— 140 —
Layanan Keberbakatan pada Siswa Madrasah