ii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
DAFTAR ISI
Halaman
1 KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
2 DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii
I. BAKTERIOLOGI
1. SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2017…….. 1-9
2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2017……… 10-18
3. MONITORING DAN SURVEILANS SEDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2017……… 19-29
II. PARASITOLOGI
1. SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAKSAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017.................. 30-53
2. SURVEILANS PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASISPADA TERNAK DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2017............ 54-68
III. PATOLOGI
1. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKIT RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2017…….………. 69-86
2. SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHYDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR TAHUN 2017…………………………………….. 87-97
IV. KESMAVET
1. MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARANMIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN DIPROVINSI BALI, NTB dan NTT, TAHUN 2017……………….. 98-133
iii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
V. BIOTEKNOLOGI
1. SURVEILANS DAN MONITORING DALAM RANGKA UPAYAPEMBEBASAN PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2017....................................................................................... 134-147
2. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2017.......................... 148-167
VI. VIROLOGI
1. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2017................................................................. 168-183
2. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2017..........................................……….. 184-196
3. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017................................ 197-214
4. SURVEILANS DAN MONITORING IBR DAN BVDDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017................................ 215-233
VII. PELAYANAN VETERINER
1. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAIPEMBIBITAN TERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK(BPTU-HPT), TAHUN 2017………………………………………………. 234-248
2. SURVEILANS PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKITGANGGUAN REPRODUKSI DI PROVINSI BALI, NTB DANNTT TAHUN 2017………………………………………………….. 249-258
SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR
TAHUN 2017
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Denpasar
ABSTRAK
Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbedaantara satu pulau dengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerahbebas Antraks. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhirdilaporkan terjadi Tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah. Di PulauSumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dan kasusterjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraksdi Pulau Flores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dandi Kabupaten Ende terjadi pada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antrakskembali dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka dan di Sumba. Berdasarkan datadari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks di Pulau Sabu pernahdilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, serta kasusterakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia. Untukmengetahui situasi atau deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis padaternak, maka tahun 2017 Laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar telah telahmenerima sampel dari beberapa kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT.Sampel preparat ulas darah (PUD) diwarnai dengan polychromatic methyleneblue kemudian diperiksa secara mikroskopis. Hasil uji terhadap 20 sampel dariProvinsi Bali, 222 sampel dari NTB dan 450 sampel dari NTT tahun 2017,ditemukan satu sampel positif Bacillus anthraxis secara mikroskopis yaitu darikasus Antraks pada kambing di Kabupaten Bima, Provinsi NTB.
Kata Kunci : Antraks, PCR, NTB, NTT.
PENDAHULUAN
Latar BelakangAntraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang
berbagai jenis hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan
bersifat zoonosis. Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor,
dkk. 2001; Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit
dan bentuk septisemik (Ezzel, 1986). Bila Bacillus anthracis berada dalam
lingkungan yang tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh
jumlah oksigen yang cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan
bertahan hidup puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan
mendorong kuman ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks
dilarang disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak
yang telah tercemar spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi
bersifat endemis apabila tidak ditangani secara baik.
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Provinsi Bali merupakan
daerah bebas Antraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Sumbawa
merupakan daerah endemis Antraks, dan di Pulau Lombok kasus Antraks
terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah, setelah itu
sampai tahun 2017 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi Antraks di
Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi wilayah
NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba
diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan
Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi
NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai
Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka
2007, Saburaijua tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,
2015).
Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di
Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi
umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat
kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahui tingkat kekebalan
kelompok ternak, maka Laboratorium Bakteriologi tahun 2017 bermaksud
melakukan surveilans serologis dengan uji ELISA, namun karena BBVet
Denpasar kesulitan untuk mendapat antigen dan serum kontrol positif serta
serum kontrol negatif, maka pada tahun 2017 surveilans antraks dialihkan untuk
deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis, dengan pengambilan sampel
preparat ulas darah (PUD) kemudian diperiksa secara mikroskopis.
MATERI DAN METODEMateriBahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah
kerja BBVet Denpasar tahun 2017 antara lain zat warna polychromatic
methyline blue, Kit PCR antraks, glass slide, mikroskop dan sebagainya.
MetodeSampel yang diuji adalah semua sampel preparat ulas darah (PUD) yang
diterima Laboratorium Bakteriologi selama tahun 2017. Lokasi, jumlah dan
waktu pengambilan sampel ditentukan oleh bidang pelayanan veteriner BBVet
Denpasar.
HASILHasil pengujian sampel tahun 2017 menunjukan bahwa semua sampel PUD
dari Provinsi Bali dan NTT negative Bacillus anthraxis (Tabel 1). Satu sampel
PUD dari Provinsi NTB positif mengandung Bacillus anthraxis secara
mikroskopis (Gambar1).
Gambar 1. B.anthracis pewarnaan polychromatic methylin blue pembesaran 1000X.
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Antraks Tahun 2017
No. Kabupaten Provinsi JenisHewan
Jenissampel
Jumlahsampel
Hasil ujiIdentifikasiB. anthracis
1 Jembrana Bali Sapi PUD 20 NegatifJumlah Bali 20
1 Bima NTB Kambing PUD 21 Positif 1
2 Lombok Utara NTB Sapi PUD 20 Negatif3 Dompu NTB Sapi PUD 20 Negatif4 Sumbawa Barat NTB Sapi PUD 20 Negatif5 Lombok Tengah NTB Sapi PUD 18 Negatif6 Lombok Timur NTB Sapi PUD 43 Negatif7 Kota Mataram NTB Sapi PUD 20 Negatif8 Bima NTB Sapi PUD 20 Negatif9 Sumbawa NTB Kuda PUD 20 Negatif
10 Lombok Barat NTB Sapi PUD 20 NegatifJumlah NTB 222
1 Rote Ndao NTT Kerbau PUD 20 Negatif2 Manggarai NTT Sapi PUD 20 Negatif3 TTU NTT Sapi PUD 20 Negatif4 Belu NTT Sapi PUD 20 Negatif5 Sumba Timur NTT Sapi PUD 206 TTS NTT Sapi PUD 20 Negatif7 Sumba Barat NTT Sapi PUD 20 Negatif8 Malaka NTT Sapi PUD 20 Negatif9 Kupang NTT Sapi PUD 20 Negatif
10 Ende NTT Sapi PUD 20 Negatif11 Manggarai Barat NTT Sapi PUD 20 Negatif
12 Sumba Tengah NTT Sapi PUD 20 Negatif13 Alor NTT Sapi PUD 20 Negatif14 Sikka NTT Sapi PUD 20 Negatif15 Nagekeo NTT Sapi PUD 20 Negatif16 Sumba Barat
DayaNTT Sapi PUD 20 Negatif
17 Ngada NTT Sapi PUD 20 Negatif18 Sabu Raijua NTT Sapi PUD 20 Negatif19 Manggarai Timur NTT Sapi PUD 20 Negatif
20 Flores Timur NTT Sapi PUD 30 Negatif21 Lembata NTT Sapi PUD 20 Negatif22 Kota Kupang NTT Sapi PUD 20 Negatif
Jumlah NTT 450
TOTAL 692
PEMBAHASANKasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1987 di
Kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun 1988 sampai 2017 tidak ada lagi
laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan berdasarkan informasi dari
petugas dinas peternakan setempat, bahwa di Pulau Lombok sudah tidak
dilakukan vaksinasi Antraks. Adanya ternak yang positif antibodi di Pulau
Lombok tahun 2015, kemungkinan ternak tersebut berasal dari Pulau Sumbawa
atau daerah lainnya yang sudah melakukan vaksinasi Antraks. Hal ini sesuai
dengan informasi dari Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Dinas
Peternakan Kabupaten Lombok Utara, bahwa banyak pemasukan ternak dari
daerah luar Kabupaten Lombok Utara. Namun demikian adanya ternak yang
positif mengandung antibodi Antraks perlu diwaspai dengan penelitian lebih
lanjut, apakah ternak tersebut betul berasal dari luar Pulau Lombok atau pernah
terinfeksi.
Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di Pulau Sumbawa tahun 2015
menunjukkan sebanyak 51,09% positif antibodi Antraks. Hal ini mungkin
disebabkan karena cakupan vaksinasi yang kurang optimal, seperti informasi
dari petugas Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa Barat cakupan vaksinasi
Antraks pada tahun 2015 hanya 35,322 ekor (47,74%) dari populasi target
73.987 ekor. Pulau Sumbawa diketahui sebagai daerah endemis Antraks,
dengan kekebalan kelompok yang belum optimal ini, dikhawatirkan
kemungkinan akan munculnya kasus dilapangan. Untuk itu disarankan kepada
dinas peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan di Pulau Sumbawa
untuk meningkatkan cakupan vaksinasi Antraks. Tahun 2016 dilaporkan terjadi
satu kasus antraks di Kabupaten Sumbawa, dan tahun 2017 satu kasus
dilaporkan terjadi di Dusun Doropila, Desa Rator, Kecamatan Bolo, Kabupaten
Bima pada 3 ekor kambing. Berdasarkan informasi dari staf dan Kepala Bidang
Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Bima,
diketahui bahwa pada tanggal 28 Pebruari 2017, kambing milik bapak Sunardi
di Dusun Doropila, Desa Rator, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, sakit
dengan gejala klinis kejang dan jatuh, karena khawatir kambing tersebut mati,
maka sebelum mati kambing tersebut dipotong yang rencananya akan
dikonsumsi, namun setelah dibuka, terlihat organ limpa kambing tersebut jauh
lebih besar dari limpa kambing normal. Petugas peternakan yang ada di
Kecamatan Bolo curiga bahwa kambing tersebut terinfeksi B.anthracis, untuk itu
telah dibuat preparat ulas darah (PUD) dari goresan organ limpa selanjutnya
membakar semua sisa bangkai dan peralatan yang dipakai dalam proses
pemotongan. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata 3 ekor
kambing bapak Sunardi telah mati pada akhir bulan Januari 2017 dan semua
bangkainya sudah dikubur. Informasi kematian sapi yang diduga terinfeksi
B.anthracis juga terjadi pada bulan Desember 2016 yaitu di Dusun Zakaria,
Desa Leu yang merupakan desa tetangga dari Desa Rator. Berdasarkan
laporan Dinas Peternakan Kabupaten Bima dan hasil wawancara dengan
peternak di Desa Rator, Kecamatan Bolo, diketahui bahwa daerah tersebut
merupakan daerah endemis antraks, kasus antraks dilaporkan terjadi hampir
setiap tahun. Kasus antraks di Kabupaten Bima dalam 3 tahun terakhir
dilaporkan tahun 2015 pada 2 ekor ternak yaitu di Kecamatan Ambalawi dan
Kecamatan Sangar, tahun 2016 terjadi 2 kasus di Kecamatan Bolo.
Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi
NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di
Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara
(Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BBVet Denpasar
dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang
dan Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2015, sedangkan tahun 2017
semua sampel PUD dari Provinsi NTT semuanya negative B.anthraxis.
Situasi Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang
menjadi wilayah NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan
Pulau Sumba diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata,
Alor dan Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten
di Provinsi NTT, kasus Antraks di Kabuapten Sumba Barat dilaporkan terjadi
tahun 2007 (Dartini dkk, 2007), di Kecamatan Kodi Mangendo, sekarang
menjadi wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Kasus terakhir dilaporkan
terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, di Manggarai Barat tahun 2008,
Manggarai tahun 2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun
2012, Sikka tahun 2007, Saburaijua tahun tahun 2011 dan kota Kupang tahun
2003 (Dany Suhadi, 2015).
KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumbawa, Provinsi
NTB masih merupakan daerah endemis Antraks. Untuk mencegah terjadinya
peningkatan kasus maka disarankan untuk melakukan vaksinasi pada ternak
rentan dengan cakupan yang memadai, terutama dilokasi yang sering
dilaporkan terjadinya kasus
UCAPAN TERIMAKASIHTerimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas danstaf Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan danKesehatan hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, sertaKepala Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan danKesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuandan kerjasamanya sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKAOIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.
Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi NusaTenggara Timur dalam Mendukung Monitoring Surveilans Penyakit HewanMenular strategis dan Upaya Bebas Penyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan danKesmavet wilayah Bali, NTB, NTT di Denpasar 2-4 Maret 2015.
Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection inAnimals. Edited by Carton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state UniversityPress, ames, pp.21-25
Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) Theapplication of ELISA to monitor the vaccinal respon of antraks vaccinatedruminants. Penyakit Hewan XXV : 46A.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks padahewan dan manusia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan danVeteriner 7-8 Nopember 1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks diIndonesia : sampai dimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian danPengembangan Pertanian XV (2): 35-40
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks padaburung unta di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.
Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan WabahPenyakit Antraks pada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo,Kabupaten Bima. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VIDenpasar.
Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusiadan hewan di Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.
Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di NusaTenggara, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasamadengan ACIAR. Hal. 37 - 75.
10
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2017
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A.An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Situasi Brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) bervariasidiantara provinsi yang ada. Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebasBrucellosis. Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakanbebas Brucellosis. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT, di Pulau Timor, Kabupaten Beludan TTU merupakan daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%,sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya.Satu reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Kabupaten Ende pada tahun 2002.Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upayatetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahuiprevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Sampel serum yangditerima laboratorium bakteriologi selama tahun 2017 diuji RBPT sebagai uji skrining,jika positif dilanjutkan dengan uji CFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagai reaktorBrucellosis. Hasil pengujian terhadap 764 sampel serum dari Provinsi Bali, 244sampel serum dari Provinsi NTB dan 594 dari Provinsi NTT semuanya negatifBrucellosis. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali danNTB masih bebas Brucellosis, untuk mengetahui prevalensi reactor di Provinsi NTTperlu dilakukan pengambilan sampel yang lebih memadai.
Kata Kunci : Brucellosis, RBPT, CFT, Bali, NTB. NTT.
11
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PENDAHULUAN
Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan
salah satu penyakit penting secara ekonomi karena bersifat zoonosis (menular
ke manusia). Selain itu, B. abortus dapat digunakan dalam serangan bioteroris
(IOWA Univ. 2009). Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan
menular strategis di Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan
merupakan penyakit yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau
Sumbawa telah dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri
Pertanian Repubik Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002
untuk Pulau Bali, SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok
di Prop NTB, dan SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau
Sumbawa di Prop NTB.
Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas
Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015
tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi
diantara pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan
daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-
pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya.
Brucellosis pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di
Kabupaten Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada
tahun 1996. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi
dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan
memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah
tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum
bebas Brucellosis. Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan
surveilans di wilayah kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur.
12
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
MATERI DAN METODE
Materi
Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
tahun 2017 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan
CFT, komplemen, hemolysin, cell darah domba, CFT buffer, dan alat yang
dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary
agglutinator, dan sebagainya.
Metode
Lokasi pengambilan sampel, jumlah dan waktu pengambilan sampel ditentukan
oleh bidang Pelayanan Veteriner BBVet Denpasar. Sampel yang diuji adalah
sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun
2017. Sampel diuji dengan menggunakan metode uji Rose Bengal Plate Test
(RBPT), apabila positif dilanjutkan dengan uji Complemen Fixation Test (CFT)
(OIE, 2017).
Prosedur uji RBPT sebagai berikut :
1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT
dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.
2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada
WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk
serum yang diuji. Kontrol serum negative diteteskan pada lubang nomor 79
dan serum control positif diteteskan pada lubang nomor 80, setelah itu
diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua lubang.
3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator
dan lakukan pembacaan hasil.
13
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Prosedur Uji CFT sebagai berikut :
1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A
serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,
lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12A kontrol serum positif. Plate
di waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk
kontrol positif dan negatif)
2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –
H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)
3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12
sampai ke lubang H1-12
4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke
lubang C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12
sebagai control antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk
menyamakan volume)
5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl
kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama
30 menit.
6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45
menit.
7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.
14
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
HASILHasil Uji 764 sampel serum dari Provinsi Bali, 244 sampel serum dari Provinsi
NTB dan 594 dari Provinsi NTT semuanya negatif Brucellosis. Hasil lengkap
seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di wilayah kerja Tahun 2017
No. Kabupaten Provinsi JenisHewan
Jenissampel
Jumlahsampel Hasil uji
1 Badung Bali Sapi Serum 60 negatif2 Bangli Bali Sapi Serum 120 negatif3 Buleleng Bali Sapi Serum 200 negatif4 Gianyar Bali Sapi Serum 40 negatif5 Jembrana Bali Sapi Serum 144 negatif6 Klungkung Bali Sapi Serum 100 negatif7 Tabanan Bali Sapi Serum 100 negatif
Jumlah Bali 7641 Bima NTB Sapi Serum 40 negatif2 Dompu NTB Sapi Serum 20 negatif3 Kota Mataram NTB Sapi Serum 20 negatif4 Lombok Barat NTB Sapi Serum 20 negatif
5LombokTengah NTB Sapi Serum 20 negatif
6 Lombok Timur NTB Sapi Serum 72 negatif7 Lombok Utara NTB Sapi Serum 20 negatif8 Sumbawa NTB Sapi Serum 20 negatif
9Sumbawa
Barat NTB Sapi Serum 12 negatifJumlah NTB 244
15
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1 Alor NTT Sapi Serum 24 negatif2 Belu NTT Sapi Serum 20 negatif3 Ende NTT Sapi Serum 20 negatif4 Flores Timur NTT Sapi Serum 20 negatif5 Kota Kupang NTT Sapi Serum 20 negatif6 Kupang NTT Sapi Serum 25 negatif7 Lembata NTT Sapi Serum 20 negatif8 Malaka NTT Sapi Serum 50 negatif9 Manggarai NTT Sapi Serum 20 negatif
10Manggarai
Barat NTT Sapi Serum 20 negatif
11Manggarai
Timur NTT Sapi Serum 30 negatif12 Nagekeo NTT Sapi Serum 20 negatif13 Ngada NTT Sapi Serum 20 negatif14 Rote Ndao NTT Kerbau Serum 40 negatif15 Sabu Raijua NTT Sapi Serum 20 negatif16 SBD NTT Sapi Serum 46 negatif17 Sikka NTT Sapi Serum 20 negatif18 Sumba Barat NTT Sapi Serum 20 negatif
19SumbaTengah NTT Sapi Serum 20 negatif
20 Sumba Timur NTT Sapi Serum 20 negatif21 TTS NTT Sapi Serum 79 negatif22 TTU NTT Sapi Serum 20 negatif
Jumlah NTT 594Jumlah Bali + NTB+ NTT 1,602
PEMBAHASAN
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Bali sudah dinyatakan
bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok, berhasil dibebaskan dari
Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor
444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal selama tiga tahun.
Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada tahun 2006
(Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola
pembebasan yang sama dengan Pulau Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua
reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah dimusnahkan
16
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
atau di potong paksa. Kemudian menyusul Pulau Sumba dinyatakan bebas
brucellosis berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor
52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.
Hasil pengujian sampel serum terhadap Brucellosis tahun 2017 di Provinsi
Bali, semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa
Tenggara Barat, sampel serum yang diuji berasal dari Pulau Sumbawa dan
Pulau Lombok, semuanya negatif antibodi brucella. Hal ini mengindikasikan
bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas Brucellosis.
Hasil pengujian sampel dari Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2017
semuanya negative antibody Brucellosis. Hal ini perlu dilakukan konfirmasi
lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang memadai sesuai dengan kaidah
epidemiologi sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat diketahui dengan
jelas, karena hasil surveilans tahun 2015 menunjukkan bahwa ada indikasi
peningkatan prevalensi reaktor di Kota Kupang, Kabupaten Belu, TTU dan
Malaka merupakan daerah tertular brucellosis dengan prevalensi reaktor yang
cukup tinggi serta pernah dilakukan program vaksinasi, begitu juga untuk
Pulau Flores, seperti diketahui bahwa prevalensi Brucellosis di Pulau Flores
masih sangat rendah, Brucellosis di Pulau Flores pernah dilaporkan di
Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada tahun 2006 (Dartini, dkk 2007) dan
sapi tersebut sudah dipotong bersyarat.
Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata,
Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa
dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveilans
secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi
dan dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu
lintas ternak antar pulau.
17
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas
Brucellosis
2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk
mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.
3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan
Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan
SaranUntuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan
Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang
lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas
peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan
hewan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur yang telah membantu terselanggaranya surveilans ini.
18
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
DAFTAR PUSTAKA
Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.
OIE (2009). Bovine Brucellosis. OIE Terrestrial Manual . Halaman 1 – 35
OIE (2017). Brucellosis ( Brucella abortus, B.melitensis and B.suis) (Infection with B.abortus,B.melitensis, and B.suis). OIE Terrestrial Manual . Chapter 2.1.4.
Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.
Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.
19
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
MONITORING DAN SURVEILANS SEDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2017
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Septicaemia Epizootica (SE) atau sering disebut Haemorrhagic septicaemia (HS) merupakansalah satu penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yangbersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika,termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, NusaTenggra Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar,diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE,kecuali di Pulau Lombok yang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahuisituasi SE terkini di Provinsi NTB dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilansmelalui pengambilan sampel darah dan organ tonsil/swab dari hewan peka terutama sapi dankerbau. Sampel serum diuji dengan metode ELISA untuk deteksi antibody terhadap SE.Sampel swab dan organ diuji dengan isolasi dan identifikasi, Isolat Pasteurella multocida yangdapat diidentifikasi diuji PCR untuk penentuan type B2 atau type A. Hasil surveilans tahun 2017menunjukkan bahwa rata-rata persentase ternak yang positif antibody SE sangat rendah, yaitudi Provinsi Bali 6,99%, Provinsi NTB 2,05%, dan Provinsi NTT 10,79%. Satu isolate Pasteurellamultocida tipe A dapat diidentifikasi dari organ tonsil sapi yang dipotong di RPH SumbawaBarat. Tidak ditemukan Pasteurella multocida penyebab SE (B2). Secara umum rendahnyapersentase ternak yang positif antibody SE sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE.untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakandan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SE dengan cakupan yang memadai.
Kata-kata kunci : SE, Antibodi, Pasteurella multocida, NTB, NTT
20
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PENDAHULUAN
Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di
Indonesia dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri
Pasteurella multocida. Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit
menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat
akut dan fatal (OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum
dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat
endemis dan terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini
secara ekonomis sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan
juga karena turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan
tingginya biaya untuk penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya
untuk pembelian vaksin, operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.
Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit
yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan
pemberantasannya. Program pengendalian dan pemberantasan SE di
Indonesia secara umum masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah
melalui vaksinasi massal hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah.
Kegiatan ini masih belum efektif karena belum dilakukan secara intensif dan
berkelanjutan. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang
bebas dari SE dapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan
yang terencana, melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup
seluruh populasi, dan dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans
yang intensif. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau
Lombok pada tahun 1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi
Septiani, 2015).
21
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau
Sumba, Provinsi Nusa Tengga Timur (NTT) dan Pulau Nusa Penida, Bali.
Sejak tahun 1984/1985 sampai dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah
dilakukan program pemberantasan penyakit SE (Haemorrhagic
Septicaemia/HS). Program tersebut dilakukan dengan vaksinasi secara
serentak dengan cakupan mencapai hingga 100% (Ndima, 1986), akan tetapi
kelanjutan program tersebut menjadi tidak jelas, data hasil evaluasi dan
surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian sejak tahun 2002 program
pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai tahun 2014 laporan
kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida, Bali, program
vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah dilakukan
sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992 sampai
sekarang tidak ada laporan kejadian SE di Pulau Nusa Penida, berdasarkan
hasil pembahasan Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan
Hewan pada tanggal 4 Desember 2016 diputuskan bahwa Kepulauan Nusa
Penida (Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, dan Pulau Nusa
Lembongan) sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah bebas
SE dan Surat Keputusan Bebas telah dikeluarkan pada tahun 2017. Untuk
mengetahui situasi dan tingkat kekebalan ternak terhadap SE, maka Balai
Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans pada tahun 2017 di
Provinsi Bali, NTB dan NTT.
MATERI DAN METODA
MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR.
Peralatan yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin
PCR, serta alat dan bahan untuk pengambilan sampel di lapangan. Primer
yang dipakai adalah :
1. Primer sequences HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’
22
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe ARGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’
Metode
Sampel yang diuji adalah sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi
BBVet Denpasar selama tahun 2017. Waktu dan lokasi pengambilan sampel,
jumlah sampel, serta jenis sampel ditentukan oleh BIdang Pelayanan Veteriner.
Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA
dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella
multocida diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia.
Apabila ada yang positif Pasteurella multocida dilanjutkan dengan PCR untuk
menentukan bahwa isolate Pasteurella multocida tersebut penyebab SE atau
bukan (OIE, 2012).
Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE
Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif
pada masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent
assay ( ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain
0332 (ACIAR PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau
lebih dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur Elisa
sebagai berikut :
- Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)
- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam
pada suhu 40C.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam
PBS tween pada row 1 sampai 10.
- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11
dan 12.
- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
23
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap
lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
Isolasi Pasteurella multocida
Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau
limfoglandula retropharengea atau tonsil baik dari sapi, kerbau atau babi
diambil di rumah potong hewan (RPH). Di wilayah kerja yang tidak mempunyai
RPH, sampel swab diambil dari trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ
atau swab dimasukkan kedalam media transport / disimpan dingin atau organ
dalam keadsaan segar dan dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet
Denpasar. Di Laboratorium, dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada
media agar dan uji biokimia (Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai
berikut :
- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.
- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media
agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x
0,3 µm.
- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati
morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi
dan pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s
negatif, ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.
- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar
darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu
370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.
- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.
24
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan
dengan standard.
- Isolat Pasteurella multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.
HASIL
Hasil pengujian sampel tahun 2017 dari Provinsi Bali, NTB, dan NTT
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu hasil uji sampel tonsil dan sampel
serum. Selama tahun 2017 dapat diidentifikasi satu (1) Pasteurella multocida
type A dari Kabupaten Sumbawa Barat, NTB. Semua sampel tonsil negative
Pasteurella multocida penyebab SE (type B2) Tabel 1. Hasil pengujian sampel
serum selama tahun 2017 ditemukan 6,99% positif antibody SE dari Provinsi
Bali, sedangkan dari Provinsi NTB 2,05% dan Provinsi NTT 10,79% (Tabel 2).
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Tonsil untuk Isolasi dan identifikasi Pasteurellamultocida tahun 2017
No Kabupaten Provinsi Jumlahsampel
Jumlah PositifP.multocida
1 Kota Denpasar Bali 20 02 Tabanan Bali 7 03 Badung Bali 23 0
Jumlah Bali 50 01 Kota Mataram NTB 75 02 Sumbawa Barat NTB 5 1 (type A)
Jumlah NTB 80 11 Kota Kupang NTT 75 02 Sumba Timur NTT 5 03 Sumba Barat NTT 6 04 Kupang NTT 5 0
5Timor TengahSelatan NTT 5 0
Jumlah NTT 96 0Total Bali + NTB + NTT 226 1
25
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 2. Hasil uji sampel serum untuk antibody SE tahun 2017
No. Kabupaten Provinsi JenisHewan
Jenissampel Jumlah Hasil uji Positif
Ab SE
1 Badung Bali Sapi Serum 60 122 Bangli Bali Sapi Serum 120 23 Buleleng Bali Sapi Serum 200 114 Gianyar Bali Sapi Serum 40 65 Jembrana Bali Sapi Serum 144 56 Karangasem Bali Sapi Serum 9 07 Klungkung Bali Sapi Serum 100 58 Tabanan Bali Sapi Serum 100 13
Jumlah Bali 773 54 (6,99%)1 Bima NTB Sapi Serum 40 12 Dompu NTB Sapi Serum 20 13 Kota Mataram NTB Sapi Serum 20 04 Lombok Barat NTB Sapi Serum 20 05 Lombok Tengah NTB Sapi Serum 20 06 Lombok Timur NTB Sapi Serum 72 07 Lombok Utara NTB Sapi Serum 20 38 Sumbawa NTB Sapi Serum 20 09 Sumbawa Barat NTB Sapi Serum 12 0
Jumlah NTB 244 5 (2,05%)1 Alor NTT Sapi Serum 24 12 Belu NTT Sapi Serum 20 23 Ende NTT Sapi Serum 20 04 Flores Timur NTT Sapi Serum 20 05 Kota Kupang NTT Sapi Serum 20 56 Kupang NTT Sapi Serum 25 07 Lembata NTT Sapi Serum 20 58 Malaka NTT Sapi Serum 40 49 Manggarai NTT Sapi Serum 20 6
10 Manggarai Barat NTT Sapi Serum 20 011 Manggarai Timur NTT Sapi Serum 30 012 Nagekeo NTT Sapi Serum 20 113 Ngada NTT Sapi Serum 20 014 Rote Ndao NTT Kerbau Serum 40 115 Sabu Raijua NTT Sapi Serum 20 016 SBD NTT Sapi Serum 46 017 Sikka NTT Sapi Serum 20 018 Sumba Barat NTT Sapi Serum 20 019 Sumba Tengah NTT Sapi Serum 20 320 Sumba Timur NTT Sapi Serum 20 621 TTS NTT Sapi Serum 79 2322 TTU NTT Sapi Serum 20 6
Jumlah NTT 584 63 (10,79%)
26
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PEMBAHASAN
Data hasil pengujian sampel yang diterima laboratorium bakteriologi BBVet
Denpasar tahun 2017 menunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak
yang disampling rata-rata sangat rendah, yaitu di Provinsi Bali 6,99%, Provinsi
2,05% dan NTT 10,79%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan
akan terjadinya kasus SE. Rendahnya persentase ternak yang memiliki
kekebalan terhadap SE mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun. Hal
ini didukung oleh adanya laporan kasus SE secara klinis setiap tahun di
Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Untuk dapat menghindari terjadinya wabah
diperlukan minimal 70% ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al.,
1996).
Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan
vaksinasi yang mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan
pemerintah sangat sedikit. 2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang
tepat, belum divaksinasi atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga
antibodi yang ada tidak terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk
atau sudah dalam proses penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan
ternak yang tidak mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak
konsisten dari tahun ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap
tahun, mengindikasikan bahwa, program pengendalian tidak direncanakan
dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya target cakupan
vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang berkesinambungan
terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan program menjadi
tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara
Timur (Dartini, 2012).
Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan
tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai
spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga
sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung
27
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
oleh hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun
2015, ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test
(PMPT) hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain
adalah adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella
multocida lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B
lainnya. Sawada et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di
Amerika Serikat mengandung antibodi protektif yang mampu menahan
tantangan / infeksi pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi
tersebut belum pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella
multocida serotype lain yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin
dapat bereaksi silang pada uji serologis dengan Pasteurella multocida
menyebab SE. Di Australia, Sri Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat
Pasteurella multocida serotype 11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan
(De Alwis, 1980; Namioka, 1980). Disamping itu, mungkin juga terdapat strain
Pasteurella multocida yang tidak ganas dan mampu bereaksi atau
menimbulkan proteksi silang dengan Pasteurella multocida penyebab SE.
Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini telah banyak dilaporkan
baik yang terjadi diantara serotype / strain dari Pasteurella multocida (Cameron
and Bester, 1984; Gupta, 1980; Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar
spesies (Sawada et al., 1985).
KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di
Provinsi Bali, NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2017
masih relatif rendah.
2. Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim / hampir tidak
ada beberapa tahun terakhir.
3. Ditemukan satu isolate Pasteurella multocida tipe A dari Kabupaten
Sumbawa Barat.
28
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SARAN
Dalam rangka peneguhan diagnose SE secara laboratories, maka disarankan
kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang menangani
fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan sampel dari
ternak sakit / mati ke laboratorium veteriner dan segera melaporkan kejadian
tersebut kepada instansi terkait serta tetap melakukan vaksinasi dengan
cakupan vaksinasi yang memadai.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas
Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan
kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan
informasi yang diberikan.
29
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
DAFTAR PUSTAKA
Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.
Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewandan Kesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 diDenpasar tanggal 2-4 Maret 2015.
Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. BulletenVeteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi PenyakitSE pada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai PenyidikanPenyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.
OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institutefor International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5.
Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.
Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.
Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. InternationalWorkshop on Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta,Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996:33.
30
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAK SAPIDAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Oleh:Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, I.G.M. Sutawijaya, Yunanto
ABSTRAK
Surveilans parasit gastrointestinal (PGI ) bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGI padaternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sebanyak 2.518 sampel feses telahdiambil dan diuji, masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 734 sampel, dari ProvinsiNTB 732 sampel dan dari Provinsi NTT 1052 sampel. Seluruh sampel diuji denganmenggunakan uji apung dan uji sedimentasi metode Whitlock. Dari seluruh sampel yang diuji,731 (29.03%) diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih PGI. Prevalensi PGI tertinggi terjadidi Provinsi NTB yaitu sebesar 39,34 %), diikuti oleh Provinsi Bali yaitu sebesar 33,92 % danProvinsi NTT yaitu 18,44 %.
Prevalensi PGI lebih tinggi di musim hujan (34.94%) dibandingkan dengan musim kemarau (27.50 %) dan secara statistic berbeda nyata (P-value<0,001). Pada wilayah basah prevalensiPGI secara signifikan juga lebih tinggi (34.82 %) dibandingkan dengan wilayah kering (23.87%) (P-value 0,0001). Pada Jenis kelamin jantan memiliki prevalensi yang lebih tinggidibandingkan betina; demikian juga kelompok umur < 1 tahun prevalensinya lebih tinggidibandingkan dengan >= 1 tahun namun tidak signifikan secara statistic. Ternak kerbaunampak lebih rentan terserang PGI namun tidak berbeda secara signifikan.
Jenis parasit yang ditemukan yaitu cacing Trematoda (Fasciola sp dan Paramphistomum sp);Cacing Nematoda (Bunostomum sp, Chabertia sp, Cooperia sp, Hemonchus sp., Mecistocirrussp, Oesophagostomum sp, Ostertagia sp, Strongyloides sp, Toxocara sp, Trichostrongylus sp,), cacing Cestoda (Moniezia sp), dan Koksidia Eimeria sp.
Kata kunci: parasit gastrointestinal (PGI), uji apung, uji sedimentasi, Bali, NTB, NTT
31
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Secara
astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur
Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.
Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi
Bali terbagi atas 8 kabupaten, 1 kotamadya, 55 kecamatan, dan 701
desa/kelurahan. Sifat vulkanik Bali telah memberikan kontribusi untuk
kesuburan tanahnya dan rentang tinggi gunungnya memberikan curah hujan
yang tinggi yang mendukung sektor pertanian yang sangat produktif
(Anonimous, 2016 b). Populasi ternak sapi di Provinsi Bali diperkirakan
sebanyak 559 517 ekor dan kerbau hanya 1.686 ekor (Anonimous, 2016).
Provinsi NTB memiliki 10 kabupaten/kota yang tersebar di dua pulau besar
yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sebagai daerah tropis, NTB
mempunyai rata-rata kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 48 - 95 %
(Anonimous, 2014). Luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai
20.153,20 km2 ,terletak antara 1150 46’-1190 5’ Bujur Timur dan 80 10’-90 5’
Lintang Selatan. Provinsi NTB mempunyai kelembaban yang relatif tinggi, yaitu
antara 65-87 persen. Jumlah hari hujan terendah yaitu 0 hari pada bulan
Agustus dan September dan yang terbanyak adalah pada bulan Januari
dengan jumlah 24 hari (Anonimous, 2015). Pulau Sumbawa merupakan
wilayah yang beriklim kering, sebagian wilayah mempunyai klimaks vegetasi
padang rumput sebagai padang penggembalaan alami. Berdasarkan klasifikasi
iklim Koppen termasuk kelas Aw, yaitu wilayah yang mempunyai hujan tropis
dengan musim kering yang nyata. Sebagian besar wilayahnya mempunyai
curah hujan rata-rata relatif kecil (1.100-2.300 mm/tahun), dengan musim
kemarau yang relatif lama, yakni bulan April sampai Nopember. Sementara itu,
32
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Pulau Lombok mempunyai iklim yang lebih basah, terutama pada bagian
tengah Pulau Lombok sampai Pegunungan Rinjani dengan curah hujan antara
2.300–3.100 mm/th.
Dari segi potensi secara umum, wilayah Pulau Lombok lebih sesuai untuk
pengembangan peternakan dengan pola intensifikasi. Sementara Pulau
Sumbawa lebih sesuai untuk pengembangan peternakan dengan pola terpadu
dan ekstensifikasi. Hal ini juga didukung oleh luas areal lahan kering, bahwa di
Sumbawa 98,8% merupakan wilayah lahan agroklimat kering (Suratman et ,
2003). Populasi ternak sapi di Provinsi NTB diperkirakan sebanyak 1.100.743
ekor dan kerbau 128.335 ekor (Anonimous a, 2016).
Provinsi NTT merupakan wilayah kerja BBvet Denpasar yang letaknya paling
timur, terdiri atas 22 kabupaten yang tersebar di tiga pulau besar yaitu Pulau
Timor, Pulau Sumba dan Pulau Flores. Secara geografis, sebagian besar
wilayah Provinsi NTT berada pada rentang ketinggian 100 s.d. 500 meter di
atas permukaan laut, dengan topografi yang berbukit-bukit dengan lahan
pertanian sangat terbatas, baik pertanian basah maupun kering (Anonimous,
2016). Provinsi NTT merupakan wilayah yang tergolong kering dimana hanya
4 bulan (Januari, Februari, Maret dan Desember) yang keadaannya relatif
basah dan 8 bulan sisanya relatif kering, dengan curah hujan rata-rata adalah
1.164 mm/tahun (Anonimous, 2016). Provinsi NTT diperkirakan memiliki
populasi ternak sapi sebanyak 930.997 ekor dan kerbau sebanyak 145.303
ekor (BPS, 2016).
Dalam upaya penyediaan protein hewani nasional keberadaan ternak sapi dan
kerbau menjadi sangat penting. Populasi sapi dan kerbau di Indonesia
diperkirakan sebanyak 16 juta ekor (BPS, 2016). Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah
penghasil ternak sapi yang potensial di Wilayah Indonesia Timur.
Pertumbuhan populasi sapi di Indonesia banyak menemui kendala,
salahsatunya adalah tingginya kematian pedet dan rendahnya produktivitas
33
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
sapi/kerbau muda dan dewasa, yang salah satu penyebabnya adalah karena
adanya infestasi parasit gastrointestinal, khususnya parasit cacing
(helminthiasis) yang masih cukup tinggi. Hasil surveilans dan monitoring
infestasi parasit gastrointetastinal oleh BBVet Denpasar pada tahun 2014
menunjukkan prevalensi rata-rata sebesar 38.4% ( 958 dari 2.495) pada
sapi/kerbau di Provinsi Bali, NTB dan NTT, sedangkan helminthiasis
prevalensinya sebesar 31,92 %. Pada Tahun 2015, prevalensi PGI di Provinsi
Bali, NTB dan NTT sebesar 37,56 % (Mastra, et al, 2015) dan Tahun 2016,
prevalensi PGI sebesar 33,96 % (Arsani et. al, 2017).
Kegiatan surveilans/monitoring untuk mengetahui situasi dan penyebaran
parasit gastrointestinal/helmintiasis tetap diperlukan untuk mengetahui
penyebaran parasit tersebut sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan
dan pengendalian yang lebih efektif. Seluruh kegiatan ini dilakukan secara
sinergis, dan terintegrasi dengan sesuai dengan arahan Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang muaranya adalah pencegahan dan
pengendalian dini penyakit hewan menular strategis, dan peningkatan
sumberdaya bahan makanan asal hewan.
1.2 Rumusan Masalah
1) Penularan penyakit gastrointestinal khususnya helminthiasis diduga
masih cukup tinggi. Secara ekonomi penyakit ini sangat merugikan
peternak karena dapat menurunkan produktivitas, reproduktivitas dan
bahkan dapat menimbulkkan kematian.
2) Ketersediaan data situasi dan distribusi infestasi parasit
gastrointestinal/helminthiasis pada sapi/kerbau, di Provinsi Bali, NTB
dan NTT perlu terus diupdate.
1.3 Tujuan
1) Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi parasit
gastrointestinal di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2017
34
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
2) Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran pemetaan
penyakit tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil
langkah langkah pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga
tingkat kematian ternak dapat ditekan dan produktivitas ternak dapat
ditingkatkan.
1.4 Output
1) Tersedianya informasi tentang prevalensi dan distribusi parasit
gastrointestinal/helminthiasis terkini berdasarkan lokasi, karakteristik
hewan dan lingkungan bermanfaat dalam upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit agar lebih terarah.
2) Dengan terbebasnya ternak dari parasit gastrointestinal diharapkan
terjadi penurunan kematian khususnya pada pedet dan peningkatan
produktivitas dan reproduktivitas pada ternak dewasa sehingga dengan
demikian dapat meningkatkan populasi ternak guna mendukung
program swasembada daging.
II TINJAUAN PUSTAKA
Parasit gastrointestinal (PGI) adalah parasit yang dapat menginfeksi saluran
gastro-intestinal baik manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat hidup di
seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus hidupnya berada di usus. Dua
jenis utama dari parasit gastrointestinal adalah cacing (penyebab helminthiasis)
dan protozoa (penyebab koksidiosis) pada ternask sapi dan kerbau.
Helminthiais mempunyai arti penting dan tergolong penyakit hewan menular
strategis yang mesti mendapatkan penanganan yang lebih intensif apabila
dibadingkan dengan penyakit non strategis.
Pada umumnya ternak sapi/kerbau rentan terhadap berbagai penyakit infeksi
parasit gastrointestinal seperti helminthiasis, koksidiosis dan ektoparasit
(Soulsby 1982). Penelitian tentang penyakit parasit gastrointestinal pada sapi
telah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Estuningsih, 2004
melaporkan bahwa prevalensi cacing trematoda Fasciola gigantica pada sapi
35
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
di Indonesia mencapai 10 - 80%. Kemudian Mastra (2006) melaporkan
seroprevalensi F.gigantica (Fasciolosis) pada sapi di Bali berkisar 22.3%-
72.5%. Kasus Fasciolosis lebih banyak ditemukan pada sapi muda dan
dewasa, dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, konstipasi, diare, anemia,
ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian (Purwanta dkk, 2006),
sedangkan pada pedet umur dibawah 6 bulan lebih sering terinfeksi oleh
Toxocara vitulorum dengan prevalensi mencapai 75% (Gunawan dan Putra,
1981). Demikian juga menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi umur
muda sangat rentan terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan gejala
klinis diare berdarah, dihidrasi, kurus, lemah dan terjadi kematian apabila tidak
mendapat penanganan yang baik.
III MATERI DAN METODA
3.1 Materia) Sampel
Sampel feses/tinja sapi/kerbau yang diambil langsung dari rectum atau yang
baru saja dikeluarkan saat defekasi. Sampel diawetkan dengan formalin
10%.
b) BahanDi samping sampel tinja dalam penelitian ini juga diperlukan bahan yaitu
garam jenuh dan methyline blue 1%.
c) AlatAlat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal
Whitlock yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alat pengaduk
tinja, tabung penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) ,
tabung pompa penyaring khusus dengan saringan kecil (untuk Uji
Sedimentasi), pipet Pasteur, slide kamar penghitung telur cacing, ookista
koksidia , cawan (conical flask) sedimentasi dan alat penahan larutan tinja
(plug), serta mikroskop binokuler electric.
36
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
3.2 Metode3.2.1 Metode surveilans
Kegiatan surveilans dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan
Desember 2016 untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal,
menggunakan survey representative yaitu suatu teknik mengambil sampel
dari sebagian populasi yang mewakili populasi sasaran yang lebih luas
untuk mengumpulkan informasi khusus mengenai keseluruhan informasi
tersebut (Anonimous., 2014).
1) Penentuan sampel sizeKarena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi
penyakit, maka jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus:
n = 4 pq/L2 (Martin et al, 1987)
Keterangan:
n = jumlah sampel
p = asumsi prevalensi
q = 1 – p
L = galat
Apabila asumsi prevalensi = 35 %, dan galat yang dinginkan 0,05, maka
jumlah sampel yang diambil :
N = (4x0,35 x0,65)/0,052 = 364
Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage random
sampling, maka untuk meningkatkan precisi nilai n dapat dikalikan 3 – 5
kali (Martin et al., 1987). Pada kegiatan surveilans ini, n dikalikan 3 kali
sehingga jumlah sampel yang diambil di seluruh provinsi adalah 1.092.
2) Populasi targetPopulasi target dalam surveilans ini adalah ternak sapi dan kerbau di
Provinsi Bali, NTB dan NTT.
37
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
3) Penentuan lokasi samplingLokasi sampling adalah di seluruh kabupaten/kota se-Bali, NTB dan
NTT. Dalam metode multistage random sampling, idealnya,
penentuan lokasi kabupaten, kecamatan, desa dipilih secara
proporsional berdasarkan jumlah populasi agar diperoleh sampel
yang representative, namun keterbatasan dana, waktu dan
sumberdaya manusia, sementara BBVet Denpasar harus melakukan
surveilans berbagai jenis penyakit sehingga menyebabkan surveilans
parasit gastrointestinal dilaksanakan secara terpadu dengan penyakit
lainnya. Karena kegiatan ini merupakan kegiatan yang terpadu
dengan surveilans penyakit lain, kondisi ideal yang diharapkan
kadang –kadang tidak tercapai. Disamping keterbatasan waktu, SDM
dan dana, kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau
menyebabkan sulit untuk melaksanakan sampling sesuai perhitungan
atau design yang telah dibuat.
Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi, sedapat mungkin
diusahakan sampel yang diambil agar dapat mewakili keadaan
sebenarnya di lapangan. Pada tingkat peternak, semua sapi dan
kerbau memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel
karena tidak ada pemilihan sampel berdasarkan umur, jenis kelamin
maupun cara pemeliharaan ternak.
3.2.2 Metode pengambilan sampel fesesSampel feses diambil dengan cara mengambil langsung dari dalam
rectum ternak. Apabila tidak memungkinkan, sampel feses dapat diambil
segera setelah feses dikeluarkan pada saat ternak defekasi, namun
harus dipastikan jangan sampai tertukar antara feses ternak yang satu
dengan yang lainnya. Volume sampel yang diambil kira-kira sebanyak
10-20 gram. Sampel feses segera dimasukkan ke dalam
container/kantong plastic yang sudah berisi pengawet formalin 10%.
Disamping pengambilan feses juga dilakukan wawancara untuk
mengetahui identitas hewan dan data pendukung lainnya.
38
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
3.2.3. Pemeriksaan telur nematoda dengan metoda Apung/Floatasi(Whitlock)
Prosedur pemeriksaan telur nematode secara ringkas sebagai berikut:
1) Ke dalam syringe yang berukuran 10 ml diisi air 7 ml, kemudian
ditambahkan 3 gram tinja.
2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder
pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh.
3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai
tercampur merata dengan cara menggerakkan alat pengaduk
secara pelan pelan naik turun.
4) Setelah tinja tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke
dalam silinder pencampur.
5) Larutan tinja yang telah tersaring kemudian diambil dengan
menggunakan pipet Pasteur.
6) Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke dalam kamar
penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap
pengisian kamar penghitung telur cacing. Morfologi telur
cacing/ookista koksidia yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung
jumlahnya per gram (epg) (Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).
7) Cara penghitungan telur cacing
Alat penghitung telur Universal (Universal slide counting chamber)
berisi 4 kamar dan setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap
kamar berisi 5 garis/strip vertical dan setiap kolom memiliki volume
0.1 ml. Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar
atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat, sedang,
atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja
menggunakan angka pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml
larutan tinja, sehingga jumlah telur yang ditemukan dikalikan
dengan faktor 40 ( Whitlock et al.1980). Cara penghitungan telur
cacing secara rinci dapat dilihat pada table di bawah ini.
39
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 1. Cara penghitungan telur cacing dengan Teknik Floatasi (UjiApung)
(Faecalmester Kit. Universal Slide. Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co)
3.2.4. Pemeriksaan telur cacing trematoda dilakukan dengan metodaSedimentasi (Whitlock)
Prosedur pemeriksaan telur cacing trematoda secara ringkas sebagai
berikut:
1) Ke dalam syringe pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9
ml, ditambahkan 1 gram tinja.
2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder
pencampur yang berisi 50 ml. air.
3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai
tercampur merata dengan menggerakkan alat pengaduk secara
pelan pelan naik turun. Setelah tinja tercampur merata lalu tabung
penyaring khusus dimasukan ke dalan silinder pencampur sampai
batas leher silinder.
4) Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalam posisi terbalik diatas tabung
penyaring khusus. Selanjutnya cawan (flask) sedimentasi
0,1ml
0,2 ml 0,4ml
0,5ml
1,0 ml 2,0 ml (Ova)
Equines x 100 x50 Strongyles Sheep & goats x200 x100 x50 x40 Nematode
s Cattle x20 x10 Nematode
s Dog, pig, man x200 x100 x50 x40 Oocysts,
Nematodes,Cestodes
Counting strip 1 2 4 5 2c’bers
4 c’bers
40
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
dipegang/ditekan dengan kedua tangan dan dibalik menghadap ke
atas.
5) Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask)
sedimentasi. Kemudian ditambahkan dengan 50.ml air ke dalam
cawan (flask) sedimentasi yang telah berisi larutan tinja dan
endapkan selama 6 menit.
6) Selanjutnya, dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan
(flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask)
sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml
air bersih ke endapan dalam cawan (flask) sedimentasi, aduk dengan
baik dan kemudian endapkan kembali selama 6 menit.
7) Alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke
dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan
balikkan (flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang
dan sisa endapan larutan tinja sebanyak 5 ml.
8) Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam endapan, diaduk
dengan baik dan kemudian diendapkan kembali selama 6 menit.
9) Selanjutnya plug larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke
dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan
balikkan flasksedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan
sisa endapan sebanyak 5 ml.
10)Endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan methylene blue 1%
dan diaduk hingga merata dengan pipet, lalu larutan tersebut segera
diisap dengan pipet Pasteur dan masukan ke dalam slide alat
penghitung telur . Telur diidentifikasi dan jumlah telur cacing dihitung
di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah (40x). Morfologi telur
cacing yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlahnya per gram
(epg) (Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).Telur cacing Fasciola
sp. akan terlihat coklat keemasan dan telur Parampistomum
sp.terlihat bening /terang. Tabung penyaring diaduk pada setiap
pengisian kamar penghitung telur cacing.
41
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip
tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).
Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka
pengenceran 1: 5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah telur
yang ditemukan dikalikan dengan faktor 10 ( Whitlock et al.1980).
3.2.5 Analisis hasil dan statistik
Hasil uji dinyatakan positif apabila ditemukan satu atau lebih PGI pada satu
sampel yang diuji baik menggunakan uji apung maupun uji sedimentasi. Data
hasil pengujian dianalisis menggunakan excel untuk menghitung prevalensi
PGI, dan menggunakan chi-square untuk menghitung signifikansi perbedaan
hasil uji pada berbagai parameter/faktor yang diduga berpengaruh. Jika nilai P
> 0.05, artinya tidak berbeda nyata sementara jika P < 0.05 menunjukkan
perbedaaan yang nyata.
IV HASIL
Dalam kegiatan surveilans PGI pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,
NTB dan NTT Tahun 2017, sebanyak 2.518 sampel feses telah diambil dan
diuji, 731 (29,03 %) diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit
gastrointestinal. Jumlah sampel dari Provinsi Bali sebanyak 734, 249 (33,92%)
diantaranya positif PGI, dari Provinsi NTB 732 sampel diuji, 288 (39.34 %)
diantaranya positif dan dari Provinsi NTT 1052 sampel diuji, 194 (18,44 %)
diantaranya positif PGI. Dari 2.518 sampel feses yang diuji, 87 ekor berasal
dari ternak kerbau, sedangkan selebihnya berasal dari ternak sapi. Data hasil
uji selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan data hasil uji dan prevalensi
untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT berturut-turut
dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5.
42
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 2. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2017
Provinsi Negatif Positif Total Prev % 95 % CI
Bali 485 249 734 33.92 30.59 -37.42
NTB 443 288 732 39.34 35.87 -42.93
NTT 858 194 1052 18.44 16.21 -20.90
Total 1786 731 2518 29.03 27.29 -30.83
Keterangan: CI=confidence interval
Tabel 3. Prevalensi PGI di Provinsi Bali Tahun 2017
Kab/Kota Negatif Positif Total Prev. (%)
Badung 42 8 50 16
Bangli 77 23 100 23
Buleleng 105 49 154 31.82
Denpasar 16 4 20 20
Gianyar 17 23 40 57.5
Jembrana 58 33 91 36.26
Karang Asem 47 19 66 28.79
Klungkung 69 40 109 36.7
Tabanan 54 50 104 48.08
Total 485 249 734 33.92
43
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 4. Prevalensi PGI di Provinsi NTB Tahun 2017
Kab/Kota Negatif Positif Total Prev. (%)
Bima 54 26 80 32.5
Dompu 51 39 90 43.33
Kota Bima 10 10 20 50
Lombok Barat 68 34 102 33.33
Lombok Tengah 64 37 101 36.63
Lombok Timur 91 28 119 23.53
Lombok Utara 41 29 70 41.43
Mataram 24 36 60 60
Sumbawa 34 26 60 43.33
Sumbawa Barat 7 23 30 76.67
Total 444 288 732 39.34
44
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 5. Prevalensi PGI di Provinsi NTT Tahun 2017
Kab/Kota Negatif Positif Total Prev. (%)
Alor 48 3 51 5.88
Belu 36 14 50 28
Ende 55 6 61 9.84
Flores Timur 27 13 40 32.5
Kota Kupang 32 16 48 33.33
Kupang 41 9 50 18
Lembata 33 9 42 21.43
Malaka 66 6 72 8.33
Manggarai 47 3 50 6
Manggarai Barat 27 3 30 10
Manggarai Timur 45 5 50 10
Nagekeo 57 3 60 5
Ngada 40 10 50 20
Rote Ndao 55 6 61 9.84
Sabu Raijua 44 6 50 12
Sikka 30 10 40 25
Sumba Barat 28 22 50 44
Sumba Barat Daya 38 13 51 25.49
Sumba Tengah 15 15 30 50
Sumba Timur 31 9 40 22.5
Timor Tengah Selatan 54 12 66 18.18
Timor Tengah Utara 9 1 10 10
Total 858 194 1052 18.44
45
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 6. Prevalensi parasite gastrointestinal pada berbagai parameter.
Parameter posjml
sampelPrev(%)
95% CI(%)
Chi-square p-value
Musim:
hujan 181 518 34.9431.00 -39.15 11.06 ,0.0000
kemarau 550 2000 27.5025.59 -29.50
Total 731 2518 29.0327.29 -30.83
Umur:
< 1 th 24 75 32.0022.54-43.21 0.313 0.58
> 1 th 691 2381 29.0227.23-30.88
Total 715 2456 29.1127.35 -30.94
iklimwilayah:
basah 413 1186 34.8232.16 -37.58 36.51 0.0001
kering 318 1332 23.8721.66 -26.24
Total 731 2518 29.0327.29 -30.83
sex :
betina 569 2000 28.4526.52 -30.47
jantan 151 481 31.3927.41 -35.67 1.63 0.2
Total 720 2481 29.0227.27 -30.84
Jenishewan :
sapi 704 2431 28.9627.19 -30.79
kerbau 27 87 31.0322.29 -41.38 0.76 0.68
Total 731 2518 29.0327.29 -30.83
Keterangan: CI = confident interval; prev= prevalensi
46
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Seperti terlihat pada Tabel 6, Prevalensi PGI lebih tinggi terjadi pada musim
hujan dibandingkan dengan musim kemarau dan secara statistik nilai ini
berbeda nyata (Chi-sq: 11.6 P-value < 0,001), artinya terjadinya infestasi PGI di
musim hujan secara signifikan/nyata lebih besar dibandingkan dengan musim
kemarau. Demikian juga kondisi iklim wilayah berpengaruh nyata terhadap
prevalensi PGI dimana pada wilayah beriklim basah tingkat kejadian kasus
lebih tinggi dibandingkan dengan pada wilayah kering (Chi-sq 36.51; P-value
0.0001). Musim hujan diasumsikan terjadi mulai bulan November sampai
dengan Maret, sedangkan musim kemarau mulai April sampai dengan Oktober.
Yang dikategorikan sebagai wilayah dengan iklim basah dalam kegiatan
surveilans adalah Provinsi Bali dengan Pulau Lombok NTB, sedangkan wilayah
iklim kering adalah Pulau Sumbawa NTB dan wilayah Provinsi NTT.
Ada perbedaan prevalensi PGI pada umur < 1 th dan umur >= 1 tahun namun
secara statistic tidak berbeda secara signifikan (chi-sq= 0.313; P-value 0.58).
Demikian juga jenis kelamin dan jenis hewan nampak ada perbedaan
prevalensi, namun secara statistic tidak berbeda nyata. Pada hewan jantan
nampak lebih besar dibandingkan dengan hewan betina (Chi-square: 1.63 P-
value 0.2) dan prevalensi pada ternak kerbau nampak lebih tinggi dibandingkan
dengan hewan sapi (chi-sq 0.76; P-value 0.68).
47
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 7. Jenis cacing yang ditemukan di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2017
Jenis-jenis parasit yang ditemukan di masing-masing provinsi disajikan pada
Tabel 7. Cacing Trematoda Paramphistomum sp merupakan parasit gastroin
intestinal yang paling banyak ditemukan di seluruh provinsi dengan prevalensi
12,23 %. Parasit berikutnya yaitu koksidia Eimeria sp (4,96%), cacing
nematode Ostertagia sp (4.17%) dan Cooperia sp (3.46%). Prevalensi PGI per
bulan dapat dilihat pada Tabel 8 dan Grafik1. Prevalensi tertinggi tampak
terjadi pada Bulan April, dan terendah pada Bulan September.
Provinsi dan Prevalensi
Jenis cacingBALI(n=734
Prev(%)
NTB(n=732)
Prev(%)
NTT(n=1052)
Prev(%)
Total(n=
2518)
Prev.(%)
EPG/OPG
Bunostomum sp 1 0.14 0 0 2 0.19 3 0.12 40 - 80
Chabertia sp 10 1.36 6 0.82 19 1.81 35 1.39 40- 120
Cooperia sp 17 2.32 39 5.33 31 2.95 87 3.46 40- 3.600
Eimeria sp 60 8.17 29 3.96 36 3.42 125 4.96 40- 2.200
Fasciola sp 9 1.23 29 3.96 16 1.52 54 2.14 10-50
Haemonchus sp 1 0.14 0 0 0 0 1 0.04 80
Mecistocirrus sp 34 4.63 20 2.73 23 2.19 77 3.06 40- 1.000
Moniezia sp 0 0 2 0.27 1 0.1 3 0.12 160-2.000
Oesopagostomum sp
3 0.41 11 1.5 5 0.48 19 0.75 40 - 120
Ostertagia sp 21 2.86 48 6.56 37 3.42 106 4.21 40 - 360
Paramphistomumsp
96 13.08 167 22.81 45 4.28 308 12.23 10 - 370
Strongyloides sp 4 0.54 0 0 4 0.38 8 0.32 40
Toxocaravitulorum
0 0 0 0 6 0.57 6 0.24 40 - 520
Trichostrongylussp
8 1.09 1 0.14 7 0.67 16 0.64 40 - 80
48
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 8. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT per bulanTahun 2017
Bulan Negatif Positif Grand Total %
Februari 4 2 6 33.33
Maret 46 26 72 36.11
April 31 33 64 51.56
Mei 264 124 388 31.96
Juni 184 97 281 34.52
Juli 31 9 40 22.50
Agustus 235 64 299 21.40
September 575 153 728 21.02
Oktober 130 70 200 35.00
November 212 118 330 35.76
Desember 75 35 110 31.82
Grand Total 1787 731 2518 29.03
Gambar 1. Grafik Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT per bulanTahun 2017
49
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
V. PEMBAHASAN
Kegiatan surveilans PGI di wilayah kerja BBVet Denpasar Tahun 2017 ini
dilakukan di seluruh kabupaten yang ada yaitu masing-masing 8
kabupaten/kota di Provinsi Bali, 9 kabupaten/kota di Provinsi NTB dan 22
kabupaten/kota di Provinsi NTT. Hal ini berarti bahwa seluruh kabupaten
dapat dipotret dan terwakili dalam hal kondisi PGI pada ternak sapi dan kerbau
pada Tahun 2017 ini.
Pada Tabel 2 disajikan prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) di provinsi Bali,
NTB dan NTT yang menunjukkan angka masih cukup tinggi yaitu sebesar
29.03, namun terjadi penurunan apabila dibandingkan dengan tahun lalu yang
sebesar 33.96. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, yaitu sebesar 33.92, kurang
lebih masih sama dengan tahun lalu yaitu 33,68 % (Arsani, et al, 2017).
Prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT, masing-masing 39,34 % dan 18,44
%. Apabila dibandingkan dengan tahun lalu, prevalensi PGI di Provinsi NTB
terjadi peningkatan, sedangkan di Provinsi NTT terjadi penurunan. Tahun lalu
prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT berturut-turut yaitu 37.82 % dan 28,01
% (Arsani, et al., 2017).
Terjadinya penurunan prevalensi di Provinsi Bali kemungkinan karena adanya
kesadaran masyarakat atau adanya program dari pemerintah dalam hal
kegiatan pencegahan dengan memberikan obat cacing pada ternak yang
dipelihara. Tingginya prevalensi PGI di Bali dan NTB dibandingkan dengan
NTT diduga berkaitan juga dengan keadaan alam yang cukup berbeda dimana
Bali dan NTB relativ lebih basah dibandingkan dengan NTT.
50
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Seperti terklihat pada table 6., Iklim wilayah juga berpengaruh dimana pada
wilayah basah prevalensi lebih tinggi daripada iklim wilayah yang kering dan
secara statistic berbeda sangat signifikan. Kategori wilayah basah dalam hal
ini merupakan wilayah Provinsi Bali dan Pulau Lombok NTB, sedangkan iklim
kering meliputi wilayah Pulau Sumbawa NTB dan seluruh wilayah Provinsi
NTT. Kondisi yang basah dan lembab seperti diketahui merupakan tempat
yang ideal bagi perkembangbiakan parasit.
Pengaruh musim terhadap prevalensi PGI, dimana prevalensi PGI secara
signifikan lebih besar pada saat musim hujan disebabkan oleh suhu yang lebih
rendah dan meningkatnya kelembapan udara disamping adanya ketersediaan
air yang cukup di alam yang berperan dalam mendukung perkembangan siklus
hidup cacing. Musim hujan menyediakan kondisi lingkungan yang mendukung,
daya tetas telur, sintasan dan daya tahan larva di alam (fase free living), serta
membantu dispersi tahap infektif.
Seperti diketahui bahwa siklus hidup cacing nematoda, memerlukan kondisi
suhu dan kelembaban tertentu di alam. Telur cacing yang keluar melalui
kotoran hewan kemudian menetas dan berkembang melalui tahap larva
pertama (L1) dan kedua (L2) menjadi larva infektif (L3). Keberhasilan dan
kecepatan perkembangan ini tergantung pada kondisi cuaca, khususnya
kehangatan dan kelembaban, dan memerlukan minimal 4 hari dan jarang lebih
dari 10 hari. Persyaratan suhu bervariasi untuk setiap jenis cacing, namun
sebagian besar membutuhkan sekitar 15 mm hujan selama beberapa hari
(namun juga bergantung pada tingkat penguapan) untuk memberi kelembaban
yang cukup bagi perkembangan selanjutnya. L3 meninggalkan kotoran yang
bergerak ke padang rumput dan tanah, jarang lebih dari 25 cm dari tempat
mereka disimpan di kotoran. Gerakan menggeliat L3 ke padang rumput dan
tanah memerlukan media air (dari embun, kabut atau hujan) ke daun dan
batang rumput (dan kurang umum ke dalam tanah). Sebagian besar L3
terkonsentrasi di dekat dasar padang rumput, jarang lebih tinggi dari 10 cm
(Anonimus, 2015). Di bawah kondisi yang sangat panas dan kering, larva akan
51
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
kering dan mati dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Demikian juga
siklus hidup cacing Trematoda memerlukan air dalam siklus hidupnya karena
adanya peranan siput yang hidup di air sebagai inang perantara.
Perbedaan yang prevalensi Helminthiasis yang signifikan lebih tinggi pada
musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau juga ditemukan pada studi
yang dilakukan oleh Winarso et al (2015) pada sapi potong di Bojonegoro Jawa
Timur. Prevalensi total infeksi nematoda saluran pencernaan dilaporkan
sebesar 50.95% (selang 44.91% hingga 56.99%) di musim kemarau dan
meningkat menjadi 67.78% (selang 62.21% hingga 73.35%) di musim hujan.
Prevalensi PGI yang secara signifikan lebih besar terjadi pada saat musim
hujan dapat menjadi petunjuk bahwa program pemberian obat cacing pada
kelompok ternak yang rentan sebaiknya diberikan sebelum musim hujan
sehingga pencegahan dan pengendalian PGI akan lebih efektif.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan1. Prevalensi Parasit gastrointestinal pada ternak sapi dan kerbau di
Provinsi Bali, NTB dan
NTT pada Tahun 2017 sebesar 29.03 %.
2. Musim hujan dan iklim wilayah yang basah merupakan factor risiko
munculnya kasus PGI.
6.2 Saran-saran1. Untuk mencegah parasit gastrointestinal (PGI) dapat dilakukan dengan
cara menerapkan tata cara beternak yang baik termasuk menjaga
kebersihan kandang, memutus siklus hidup vektor yang berperan
sebagai penular parasit dan memberikan obat cacing atau anti parasit
lainnya pada kelompok ternak yang diduga tertular.
52
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
2. Karena musim hujan merupakan faktor risiko meningkatnya prevalensi
PGI, maka disarankan pemberian obat cacing sebagai pencegahan
minimal dilakukan sekali setahun sebelum musim hujan tiba.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih kami ucapkan kepada Ka BBVet Denpasar atas dukungan dana
dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami
sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi
peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas
kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan
lancar.
Daftar Pustaka
Anonimous, 2013. Data Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik RepublikIndonesia.www.bpps.go.id
Anonimous, 2014. Kondisi geografis Nusa Tenggara Barat. http://www.ntbprov.go.id/hal-kondisi-geografis-nusa-tenggara-barat.html#ixzz4VWhBMpaZ
Anonimous, 2015. Nusa Tenggara Barat dalm Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi NusaTenggara Barat. http://ntb.bps.go.id/webs/pdf_publikasi/Nusa-Tenggara-Barat-Dalam-Angka-2015.pdf
Anonimous, 2016. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ditjen PDT. www.ditjenpdt.kemendesa.go.id
Anonimous b. 2016. Bali. https://id.wikipedia.org/wiki/Bali.
Anonimus, 2008b.The epidemiology of helmintparasites.http:// www.ilri.org/Info Serv/ Webpub/Fulldocs /X5492e /x5492e04.htl 07 Juni 2008]
Arsani, N.M., Saraswati NKH, Sutawijaya IGM, dan Yunanto (2017). Laporan SurevilansParasit Gastrointestinal pada Ternak Sapid an Kerbau di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2016. Balai Besar Veteriner Denpasar.
BPS, 2016. Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016 dan Populasi Kerbau menurutProvinsi, 2009-2016.http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/24#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek3
Estuningsih,SE. 2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacinguntuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak danVeteriner, Volume 9 Nomor1hal.55-60
53
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Gunawan M., 1984 Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan Piperazin Citrat padapedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5
Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods Veterinary Epidemiology,IOWA State University Press/ames.USA
Mastra.K. 2006 Prevalensi Antibodi Terhadap Fasciolosis pada sapi bali di Provinsi Bali.Buletin Veteriner.Denpasar. Ed.Desember , Vol. XVIII, No.69.
Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan, 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali diperusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2):63-69.
Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52
Suratman, Enggis Tuherkih, dan Joko Purnomo (2003). Potensi Lahan Untuk PengembanganTernak Ruminansia Berdasarkan Karakteristik Biofisik Lahan Di Propinsi NusaTenggara Barat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. PuslitbangPeternakan, Bogor
Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs, 1979. Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation
Winarso, A., Satrija,F., Ridwan, Y., (2015) Pengaruh Klimat terhadap Infeksi NematodaSaluran Pencernaan pada Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi JawaTimur. Jurnal Kajian Veteriner, Volume 4.
54
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASISPADA TERNAK DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2017
Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, IGM Sutawijaya, Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Surveilans penyakit Surra/Trypanosomiasis telah dilakukan di provinsi Bali, NusaTenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur ( NTT) pada Tahun 2017 denganmengambil dan menguji sampel ulas darah sapi, kerbau dan kuda. Sebanyak 2.081sampel ulas darah berhasil diambil, masing-masing berasal dari Provinsi Balisebanyak 404 sampel, dari NTB 751 sampel dan dari NTT sebanyak 926 sampel.Seluruh sampel diuji dengan teknik pewarnaan giemsa dan mikroskopik. Dari seluruhsampel yang diuji, 11 sampel (0,53%) diantaranya positif Trypanosoma sp. PrevalensiTrypanosomiasis hampir sama di semua provinsi yaitu 0,5 % di Provinsi Bali, 0,53 %di NTB dan 0,54 % di NTT. Trypanosoma sp masing-masing ditemukan pada sapi diKabupaten Jembrana, Provinsi Bali, pada kuda di Kabupate Bima dan Sumbawa,NTB, serta di Kabupaten Sumba Barat NTT
Kata kunci: Surra, Trypanosomiasis, pewarnaan giemsa, Bali, NTB, NTT
I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Salah satu penyakit hewan menular strategis yang masih menjadi masalah di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar adalah penyakit
Surra/Trypanosomiasis. Trypanosoma merupakan salah satu dari beberapa
parasit darah yang umum menyerang ternak besar. Parasit darah lainnya
antara lain adalah Theileria, Babesia dan Anaplasma. Di Provinsi Bali dan
NTB, parasit Trypanosoma ini ditemukan di beberapa lokasi peternakan
namun belum pernah dilaporkan terjadi wabah. Di Provinsi Bali, pada Tahun
2014, 4 sampel (0,55%) dinyatakan positif trypanosomiasis dari 728 sampel
yang diuji. Berbeda dengan di Provinsi NTT, penyakit surra ini pernah
menimbulkan wabah kematian ternak kuda, sapi dan kerbau pada Tahun 2010.
55
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Kasus terus berlanjut sampai tahun 2012, dan menyebar ke seluruh kabupaten
di pulau Sumba. Setelah dilakukan tindakan pengendalian melalui pengobatan
pada ternak sakit dan pengendalian lalat sebagai vector mekanik serta
pembatasan lalu lintas ternak, jumlah kematian cenderung menurun. Pada
Tahun 2013, hasil surveilans BB-Vet Denpasar menunjukkan pevalensi Surra
di Pulau Sumba rata-rata 0,42 %. Pada Tahun 2014, surveilans BB-Vet
Denpasar menunjukkan hasil yang negative pada seluruh sampel
(369 sampel) yang diuji yang berasal dari Pulau Sumba. Hasil positif
trypanosomiasis ditemukan pada sampel yang berasal dari Kabupaten Belu.
Hal ini menunjukkan bahwa surra/trypanosomiasis masih terjadi secara
sporadik di beberapa wilayah kerja BB-Vet Denpasar. Pada Tahun 2015,
1 sampel positif (0.6%) dari 170 sampel yang diuji ditemukan di Kabupaten
Sumba Barat Daya (Mastra et al., 2015).
Pada Tahun 2016, 12 dari 2.373 (0,51%) sampel yang diuji positif
Trypanosomiasis. Trypanosomiasis ditemukan di Jembrana Bali, Dompu, Bima
dan Sumbawa NTB, sedangkan parasit darah lainnya yaitu Theileriosis terjadi
di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara NTT.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kegiatan surveilans tetap perlu
dilakukan untuk mengetahui situasi dan distribusi surra/trypanosomiasis terkini
agar dapat segera diambil tindakan apabila ditemukan hasil positif.
1.2. Rumusan Masalah1.1.1.Penyakit Surra/Trypanosomiasis diduga masih terjadi di beberapa
wilayah di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Secara ekonomi penyakit ini
sangat merugikan peternak karena dapat menurunkan produktivitas,
dan bahkan dapat menimbulkkan kematian. Disamping itu juga
menjadi penghambat dalam perdagangan ternak bibit.
1.1.2.Ketersediaan data situasi dan distribusi penyakit Surra
/trypanosomiasis di Provinsi Bali, NTB dan NTT perlu terus diupdate
sehingga penanganan penyakit dapat dilakukan secara dini.
56
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1.3 Tujuan1.3.1. Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit
Surra/Trypanosomiasis di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2017.
1.3.2.Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran
pemetaan penyakit tersebut kepada pengambil kebijakan agar dapat
diambil langkah langkah pencegahan dan pengendalian yang efektif
sehingga tingkat kematian ternak dapat ditekan dan produktrivitas
ternak dapat ditingkatkan.
1.4. Output1.4.1.Tersedianya informasi tentang situasi dan distribusi penyakit Surra
/Trypanosomiasis sehingga upaya pencegahan dan pengendalian
yang dilakukan dapat lebih dini dan lebih terarah.
1.4.2.Dengan penanganan yang cepat maka peluang terbebasnya ternak
dari penyakit Surra /Trypanosomiasis akan lebih besar. Dengan
demikian diharapkan terjadi penurunan kematian dan peningkatan
produktivitas dan reproduktivitas pada ternak serta tidak adanya
hambatan dalam perdagangan ternak bibit karena bebas dari
penyakit Surra. Hal ini akan berdampak positif pada pendapatan
peternak sehingga diharapkan peternak akan menjadi bertambah
bergairah untuk beternak.
II. MATERI DAN METODE
2.1. Materi:a) Sampel
Sampel yang diperlukan untuk uji surra/trypanosomiasis adalah
darah/ulas darah.
b) Bahan Uji dan bahan pengambilan sampel:- Methanol 2.5 Ltr,
57
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
- Giemza 500ml,
- Alkohol 70% dan kapas
- Vitamin komplek
, c) Alat Uji dan pengambilan sampel:- Tube venojek dengan EDTA 10 ml,
- glass slide
- cover glass
- jarum
- handle venojek
- kapas
- alat pelindung diri (PPE)
- mikroskop
2.2 Metode2.2.1. Metode surveilans
Kegiatan surveilans dilakukan untuk mengetahui prevalensi penyakit
surra/trypanosomiasis, menggunakan survey representative yaitu
suatu teknik mengambil sampel dari sebagian populasi yang mewakili
populasi sasaran yang lebih luas untuk mengumpulkan informasi
khusus mengenai keseluruhan informasi tersebut (Anon., 2014)
1) Penentuan sampel sizeKarena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi
penyakit, maka sampel size dihitung dengan menggunakan
rumus:
n = 4 pq/L2Keterangan:
n = jumlah sampel
p = asumsi prevalensi
q = 1 – p
L = galat
58
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Apabila asumsi prevalensi yang digunakan = 1 %, dan galat yang
dinginkan 0,05, maka sampel yang diambil :
n = (4x0,01 x0,99)/0,052 = 15,84 dibulatkan menjadi 16
Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage
random sampling, maka untuk meningkatkan precisi nilai n dapat
dikalikan 3 – 5 kali (Martin et al, 1987). Pada kegiatan surveilans
ini, n dikalikan 5 kali sehingga jumlah sampel yang diambil adalah
80. Penghitungan dengan rumus tersebut dilakukan untuk masing-
masing provinsi. Untuk penyakit Surra, asumsi prevalensi yang
digunakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT sama, yaitu 1 %.
Dengan demikian maka jumlah sampel yang diambil di Provinsi
Bali, NTB dan NTT masing-masing adalah 80 sampel. Semakin
meningkat jumlah sampel, presisinya akan bertambah baik.
2) Populasi TargetPopulasi target yaitu ternak sapi, kerbau dan kuda di Provinsi Bali,
NTB dan NTT. Pada tingkat peternak, semua sapi, kerbau dan
kuda memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel
karena tidak ada pemilihan sampel berdasarkan umur, jenis
kelamin maupun cara pemeliharaan ternak.
3) Penentuan lokasi samplingLokasi sampling di Provinsi Bali, NTB dan NTT adalah di seluruh
kabupaten/kota se-Bali, NTB dan NTT. Dalam pelaksanaan
surveilans, pengambilan sampel untuk pengujian
Surra/Trypanosomiasis dilakukan secara terpadu dengan kegiatan
surveilans parasit gastrointestinal atau penyakit lainnya.
2.2.2. Metode pengambilan sampel darah dan pembuatan ulas darah
59
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Darah diambil melalui vena jugularis menggunakan tabung venojek
atau dengan antikoagulan (EDTA). Sampel ulas darah dibuat dengan
membuat smear darah pada glass slide darah dari masing-masing
hewan.
Cara pembuatan ulas darah: teteskan setetes darah diujung glass
slide. Dengan menggunakan ujung glass slide lainnya, sentuh tetes
darah tersebut kemudian dorong kedepan dengan sudut kemiringan
kira kira 30-40 derajat. Ulas darah yang dibuat diberi kode dengan
pensil, selanjutnya difiksasi dengan methanol selama 3-5 menit dan
dikeringkan. Apabila tidak dimungkinkan dilakukan di lapangan,
fiksasi masih dapat dilakukan di laboratorium.
Disamping pengambilan darah dan ulas darah juga dilakukan
wawancara untuk mengetahui identitas hewan dan data pendukung
lainnya.
2.2.3. Pemeriksaan LaboratorisIdentifikasi agen penyakit dilakukan secara mikroskopik dengan
teknik pewarnaan Giemsa. Sampel ulas darah yang sudah difiksasi,
kemudian dikeringkan dan diwarnai dengan larutan giemsa 10 %
selama 30-45 menit. Ulas darah diperiksa di bawah mikroskop
dengan pembesaran 1000 kali. Dengan pembesaran tersebut sudah
dapat dilihat morfologi Trypanosoma evansi dengan ciri yang dimiliki
yaitu membrans undulans dan flagellum.
60
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Agen PenyebabPenyakit Surra / Trypanosomosis merupakan penyakit hewan menular
(PHM) strategis yang telah lama dikenal dan tersebar luas di Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Parasit darah ini dapat
menyerang berbagai jenis hewan dengan manifestasi klinis yang bervariasi
tergantung tingkat kepekaan masing – masing jenis hewan. Kuda, unta
dan anjing merupakan hewan yang paling rentan. Kuda sangat peka
terhadap infeksi T. evansi, dan penyakit biasanya berlangsung akut,
sedangkan kerbau dan sapi relatif lebih tahan dari serangan penyakit dan
umumnya bersifat kronis.
Namun dalam kondisi tertentu, surra pada ternak sapi dan kerbau dapat
pula bersifat perakut dan mewabah apabila terjadi pada hewan yang
mengalami stress karena dipekerjakan terlampau berat, kondisi iklim dan
cuaca yang buruk, kekurangan pakan dan gizi ( Levine 1973;
Soulsby,1982) dan hewan sebelumnya tidak pernah terpapar atau berada
di lingkungan yang sebelumnya bebas dari agen parasit darah.
Penularan penyakit Surra erat kaitannya dengan transportasi ternak atau
lalu lintas ternak baik nasional maupun internasional. Penyebarannya
terjadi secara sporadik yang artinya penyakit Surra dapat muncul kapan
saja tergantung kondisi lingkungan, imunitas (kekebalan tubuh) hewan dan
populasi lalat (vektor) .
Kerugian ekonomi dapat berupa pertumbuhan tubuh yang lambat,
penurunan produksi susu, hewan tidak mampu dipekerjakan optimal di
sawah, penurunan kesuburan dan abortus serta kematian. Kerugian
ekonomi di benua Asia akibat penyakit ini di laporkan US$ sebesar 1,3
milliar dan dalam skala nasional diperkirakan mencapai US$ 22,4 juta
61
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
pertahun. Analisis ini belum memperhitungkan biaya paramedik,
pengobatan, pencegahan pada ternak termasuk biaya pengendalian vektor,
sehingga kerugian ekonomi tersebut dapat melebihi dari hasil perhitungan
di atas (Anonymous, 2012). Karena sifatnya yang sangat menular maka
penyakit tersebut dinyatakan sebagai salah satu Penyakit Hewan Menular
Strategis (PHMS) melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor
4026/Kpts/OT.140/04/2013.
3.2. Penularan PenyakitPenularan penyakit Surra terjadi dari hewan sakit ke hewan sehat, baik
dari hewan ternak maupun dari satwa liar. Penularan penyakit secara
tidak langsung yaitu melalui gigitan lalat pengisap darah yang bertindak
sebagai vektor mekanik yang sangat potensial. Kejadian penyakit Surra
pada suatu pulau/wilayah suatu peternakan biasanya terjadi akibat
masuknya hewan penderita stadium awal yang tidak terdeteksi secara
klinis dari daerah tertular ke daerah bebas (Soulsby,1982).
3.3. Sejarah Penyakit di IndonesiaSecara historis, penyakit Surra pernah mewabah dibeberapa daerah di
Indonesia. Kasus pertama kali dilaporkan oleh Penning pada tahun 1897
terjadi pada seekor kuda di Semarang, kemudian pada tahun 1898
penyakit sura mewabah di Keresidenan Tegal, Provinsi Jawa Tengah
menyebabkan kematian kerbau sebanyak 500 ekor dari 7000 populasi.
Dalam tahun 1900-1901 terjadi wabah sura pada sapi di Karesidenan
Pasuruan Jawa Timur. Kemudian kejadian wabah Surra terulang
berturut-turut di Jawa Tengah pada tahun 1968, di Flores, Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada Tahun 1971, di Nusa Tenggara Barat tahun 1974
dan di Madura Provinsi Jawa Timur Tahun 1988. Setelah itu, penyakit
Surra dilaporkan hanya terjadi berupa letupan kasus secara sporadis di
beberapa daerah di Indonesia.
62
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
3.4 Gejala KlinisGejala umum meliputi demam, keluar getah radang dari hidung dan mata,
selaput lendir terlihat menguning, lesu, lemah, nafsu makan berkurang,
anemia, kurus, bulu rontok, busung daerah dagu dan anggota gerak, jalan
sempoyongan, kejang dan berputar-putar (mubeng) dan bahkan dapat
terjadi kematian. Di beberapa daerah, ternak mungkin terkena infeksi
tetapi tidak terlihat adanya gejala.
3.5. Diagnosis di LaboratoriumDiagnosis surra yang cepat pada hewan sangat diperlukan dalam upaya
penanganan hewan tersangka . Di negara-negara maju metode diagnosis
telah dikembangkan dengan baik sehingga sangat membantu upaya
penanggulangan dan pencegahan surra di negara tersebut. Namun, di
negara-negara berkembang, pengembangan metode diagnosis masih
dihadapkan pada berbagai kendala seperti terbatasnya fasilitas dan
sumber daya yang ada. Uji cepat Surra biasanya dilakukan dengan
membuat sediaan ulas darah dari hewan tersangka di atas gelas obyek
dan pewarnaan Giemza untuk menemukan Trypanosoma evansi secara
mikroskopis. Berdasarkan petunjuk dari OIE (2010), untuk lebih
memastikan diagnosis dapat dilakukan isolasi, atau dengan melakukan
pemeriksaan darah menggunakan teknik mikrohematocrit
(Microhaematocrite Centrifugation Technique).
IV. HASIL
Pada Tahun 2017, telah berhasil diambil dan diuji 2.081 sampel ulas darah
yang masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 404 sampel, dari NTB
751 sampel dan dari NTT sebanyak 926 sampel. Dari seluruh sampel yang
diuji, 11 (0.53%) diantaranya positif Trypanosoma sp. Prevalensi
Trypanosomiasis hampir sama di masing-masing provinsi, yaitu Provinsi Bali
0,50 %, NTB 0,53 % dan dan NTT 0,54 %. Data selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 1.
63
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 1. Hasil Uji Trypanosomiasis pada Hewan di Provinsi Bali, NTB danNTT Tahun 2017
Seperti terlihat pada Tabel 2, Sampel ulas darah diambil dari seluruh
kabupaten di Provinsi Bali, dengan kisaran 9-148 sampel. Sampel terbanyak
berasal dari Kabupaten Jembrana karena selain berasal dari peternak, sampel
juga diambil dari ternak sapi milik BPTU HPT. Sampel yang positif hanya
berasal dari sapi milik BPTU HPT sebanyak 2 ekor (1,33 %) dari 148 sampel
yang diambil dan diuji.
Seperti halnya di Provinsi Bali, sampel di NTB berasal dari seluruh
kabupaten/kota dengan kisaran 20 – 238 sampel. Sampel yang positif berasal
dari dua kabupaten yaitu Kabupaten Bima dan Sumbawa. Dari Kabupaten
Bima, 1 sampel (0,83%) positif dari 120 sampel yang diuji, sedangkan dari
Kabupaten Sumbawa 3 sampel (1,24%) positif dari 238 sampel yang diambil
dan diuji. Sampel yang positif seluruhnya berasal dari hewan kuda.
Tabel 2. Hasil Uji Trypanosomiasis pada Hewan di Provinsi BaliTahun 2017
Kab/Kota Negatif Positif Grand Total Prev. (%)Badung 23 0 23 0.00Bangli 30 0 30 0.00Buleleng 112 0 112 0.00Denpasar 16 0 16 0.00Gianyar 11 0 11 0.00Jembrana 148 2 150 1.33Karang Asem 9 0 9 0.00Klungkung 41 0 41 0.00Tabanan 12 0 12 0.00Total 402 2 404 0.50
Provinsi Negatif Positif Grand Total Prev. (%)BALI 402 2 404 0.50NUSA TENGGARA BARAT 747 4 751 0.53NUSA TENGGARA TIMUR 921 5 926 0.54Grand Total 2070 11 2081 0.53
64
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 3. Hasil Uji Trypanosomiasis pada Hewan di Provinsi NTBTahun 2017
No Kab/Kota Negatif Positif Grand Total Prev. (%)1 Bima 119 1 120 0.832 Dompu 90 0 90 0.003 Kota Bima 20 0 20 0.004 Lombok Barat 36 0 36 0.005 Lombok Tengah 40 0 40 0.006 Lombok Timur 103 0 103 0.007 Lombok Utara 20 0 20 0.008 Mataram 40 0 40 0.009 Sumbawa 238 3 241 1.2410 Sumbawa Barat 41 0 41 0.00
Total 747 4 751 0.53
Pada Tabel 4. Dapat dilihat seluruh kabupaten/kota di Provinsi NTT menjadi
lokasi sampling dalam kegiatan surevilans Trypanosomiasis/Surra pada Tahun
2017 ini. Hal ini dapat dilakukan karena terintegrasi dengan kegiatan UPSUS
SIWAB. Sampel yang diambil dari masing-masing kabupaten/kota berkisar
antara 20 – 60 sampel. Sampel yang positif Trypanosoma hanya berasal dari
Kabupaten Sumba Barat, sebanyak 5 (10 %) sampel positif dari 45 sampel
yang diuji. Data selengkapnya mengenai Trypanosomiasi yang terjadi pada
hewan di Provinsi Bali, NTB dan NTT dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Hasil Uji Trypanosomiasis pada Hewan di Provinsi NTTTahun 2017
No Kab/Kota Negatif Positif Total Prev. (%)1 Alor 20 0 20 0.002 Belu 20 0 20 0.003 Ende 60 0 60 0.004 Flores Timur 60 0 60 0.005 Kota Kupang 41 0 41 0.006 Kupang 22 0 22 0.007 Lembata 60 0 60 0.008 Malaka 42 0 42 0.009 Manggarai 60 0 60 0.0010 Manggarai Barat 31 0 31 0.0011 Manggarai Timur 50 0 50 0.0012 Nagekeo 60 0 60 0.0013 Ngada 30 0 30 0.0014 Rote Ndao 30 0 30 0.00
65
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
15 Sabu Raijua 50 0 50 0.0016 Sikka 50 0 50 0.0017 Sumba Barat 45 5 50 10.0018 Sumba Barat Daya 20 0 20 0.0019 Sumba Tengah 60 0 60 0.0020 Sumba Timur 50 0 50 0.0021 Timor Tengah Selatan 30 0 30 0.0022 Timor Tengah Utara 30 0 30 0.00
Total 921 5 926 0.54
Tabel 5. Identitas ternak yang positif Trypanosoma sp. di Provinsi Bali,NTB dan NTT Tahun 2017
V. PEMBAHASAN
Pada Tahun 2017 ini, seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT
menjadi lokasi sampling untuk kegiatan surveilans Trypansoma/Surra ini. Hal ini
berarti setiap kabupaten dapat terwakili. Seperti terlihat pada Tabel 1, 2, 3 dan
4, Trypanosomiasis terjadi secara sporadis di beberapa wilayah kabupaten di
Provinsi Bulan Kabupaten Kecamatan Desa Hewan Sex Umur(th)
NTB Juni Sumbawa Moyo Hilir OLATRAWA Kuda betina 15
NTB Agustus Bima Palibelo PANDA Kuda jantan 1.5
NTB Agustus Sumbawa Moyo Hilir OLATRAWA Kuda betina 6
NTB Agustus Sumbawa Empang BOAL Kuda - -
NTT November SumbaBarat Loli BALI
LEDO Kuda betina 6
NTT December SumbaBarat Loli BALI
LEDO Kuda jantan 4
NTT January SumbaBarat Loli BALI
LEDO Kuda betina 6
NTT February SumbaBarat Loli BALI
LEDO Kuda jantan 6
NTT March SumbaBarat Loli BALI
LEDO Kuda jantan 6
BALI December Jembrana Batuagung Jembrana Sapi - -BALI December Jembrana Batuagung Jembrana Sapi -
66
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Provinsi Bali, NTB dan NTT. Untuk Provinsi Bali, kejadian Trypanosomiasis
terjadi di Kabupaten Jembrana yaitu dari Desa Batuagung, Kecamatan
Jembrana. Pada Tahun 2015 di Kabupaten Jembrana ditemukan 5 ekor sapi
(1,6%) yang terinfestasi Trypanosoma dari 306 sapi yang diperiksa (Mastra et
al, 2016, sedangkan tahun 2016, 3 sapi (0,87%) yang positif Trypanosmiasis
dari 344 sapi yang diperiksa yang berasal dari kabupaten yang sama yaitu
Kabupaten Jembrana (Arsani et al, 2017). Pada tahun 2017 ini 2 sapi (0.5%)
positif Trypanosoma dari 404 sapi yang diperiksa. Hal ini berarti bahwa agen
penyakit ini masih ada di sekitar wilayah peternakan di Kabupaten Jembrana.
Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit ini perlu dilakukan pengendalian
vektor lalat yang berperan sebagai vektor mekanik.
Demikian juga di Provinsi NTB, jika tahun lalu Trypanosomiasis terjadi di
Kabupaten Bima, Dompu dan Sumbawa dengan prevalensi berturut-turut 1.32
%, 0.52 % dan 5.81 % (Arsani, et al, 2017), maka tahun ini terjadi lagi di
Kabupaten Bima dan Sumbawa. Di dua kabupaten tersebut hampir setiap tahun
ditemukan kasus parasit darah ini. Untuk mencegah penularan dan
penyebarannya, perlu perhatian yang lebih serius dari pemangku kebijakan
untuk melakukan pengendalian vektor lalat dan juga melakukan pembatasan
lalu lintas ternak.
Di Provinsi NTT, tahun lalu tidak ditemukan penyakit ini namun tahun ini
muncul lagi di Kabupaten Sumba Barat. Seperti diketahui Pulau Sumba pernah
terjadi wabah Surra pada Tahun 2010 sampai dengan tahun 2012. Setelah itu
kasus berhasil dikendalikan. Namun menurut keterangan petugas dinas
Peternakan (komunikasi pribadi) kasus di lapangan masih tetap terjadi
terutama pada hewan kuda, namun jarang dilaporkan oleh masyarakat
terutama yang lokasinya sangat jauh dari pusat layanan kesehatan hewan.
Trypanosomiasis yang ditemukan sebagian tidak menunjukkan gejala klinis
yang jelas sedangkan sebagian lain menunjukkan gejala seperti kekurusan,
67
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
pucat dan lemah. Tersedianya obat anti parasit darah/surra mutlak diperlukan
agar penanganan kasus dapat dilakukan dengan cepat. Laporan yang cepat
dari peternak tentu sangat berperan penting dalam hal ini sehingga tidak
terjadi keterlambatan dalam pengobatan dan penanganan penyakit.
Kejadian Trypanosmoiasis dan parasit darah lainnya seperti Theileriosis tidak
terlepas dari keberadaan vektor lalat sebagai vektor mekanik. Oleh sebab itu,
untuk mencegah terjangkitnya penyakit ini, menjaga kebersihan kandang dan
mengendalikan vektor merupakan langkah yang perlu dilakukan oleh
peternak. Pengawasan lalu-lintas ternak juga perlu mendapat perhatian untuk
meminimalisasi penyebaran penyakit.
VI. KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan1. Pada kegiatan surveilans Trypanosoma/Surra di Provinsi Bali, NTB dan
NTT
ditemukan adanya Trypanosoma sp dengan prevalensi sebesar 0.53%.
2. Trypanosoma ditemukan pada hewan sapi di Provinsi Bali, dan pada
hewan kuda di Provinsi NTB dan NTT
6.2 Saran
1. Pencegahan dan pengendalian penyakit Surra/Trypanosomiasis perlu terus
dilakukan salah satunya dengan cara pengendalian lalat sebagai vektor
mekanik yang berperan dalam penyebaran penyakit.
2. Pengawasan lalu-lintas ternak juga perlu mendapat perhatian untuk
mengurangi risiko penularan penyakit dari suatu wilayah tertular ke wilayah
lainnya.
68
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
VII. UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada Kepala BB-Vet Denpasar atas dukungan
dana dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih
juga kami sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi
peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas
kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan
lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous (2012). Manual Penyakit Hewan Mamalia. Subdit Pengamatan Penyakit
Jakarta: Hewan Direktorat Kesehatan Hewan.
Arsani, NM, Saraswati NKH, Sutawijaya IGM dan Yunanto (2017). LaporanSurveilansDan Monitoring Penyakit Surra/Trypanosomiasis dan Parasit Darah LainnyaPada Ternak Di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa TenggaratimurTahun 2016, Laporan Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar.
Davidson,H.C, M.V. Thrusfield, S. Muharsini, A. Husein, S. Partoutomo, P.F Rae R.\Masake and A.G. Luckins (1999). Evaluation of antigen detection and antibodydetection tests for Trypanosome evansi of buffaloes in Indonesia, EpidemiolInfect. 149-155, Cambridge, UK
Luckins, AG (1983). Development Serological Assay for Studies of Trypanosomiasisof Livestock in Indonesia. Bakitwan Project report, RIVS,Bogor.
Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., (1987). Principles and Methods VeterinaryEpidemiology, IOWA State University Press/ames.USA.
Mastra, I.K., Arsani, N.M., Nurlatifah, I., Yunanto, Sutawijaya, IGM (2015). Surveilansdan Monitoring Penyakit Surra (Trypanosomiasis) di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2015. Balai Besar VeterinerDenpasar.
OIE (2010). Chapter 2.1.17. Trypanosoma Evansi Infection (Surra). OIE TerrestrialManual 2010
Soulsby,E,J,l (1982). Helminths, Arthropds and Protozoa of Domesticated Animals,Bailliere Tindal,London
69
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKIT LRABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2017
I Ketut Eli Supartika dan Gede Agus Joni Uliantara
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Rabies di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar cendrung endemis. Untuk itu kegiatansurveilans Rabies secara berkelanjutan masih perlu dilakukan dengan bertujuan: untukmendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkait denganupaya pembebasan rabies di Provinsi Bali, mendeteksi kemungkinan keberadaan virus rabiespada anjing di Provinsi NTB agar daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi virus rabies padaanjing-anjing di wilayah Pulau Flores dan sekitarnya terkait kegiatan pengendalian rabies diProvinsi NTT.
Surveilans penyakit rabies pada anjing khususnya dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang berisiko menularkan penyakit rabies. Sampel diperiksadengan metode uji Flourescent Antibody Test (FAT).
Pada tahun 2017 jumlah sampel otak hewan yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 1.162 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak hewan yang diperiksa sebanyak1.058 sampel, 92/1.058(8,70%) diantaranya positif rabies. Kasus positif rabies berasal darianjing 90/92 (97,83%) sampel, kucing 1/92(1,09%) dan sapi 1/92(1,09%) sampel. Rata-ratajumlah kasus positif rabies perbulan ada sebanyak 8 kasus. Jumlah ini menurun tajamdibandingkan dengan tahun 2016 ada sebanyak 17 kasus, per bulan. Kasus rabies palingbanyak ditemukan di Kabupaten Karangasem sebanyak 25 kasus, disebabkan oleh anjingyang belum divaksin.
Jumlah sampel otak anjing yang berasal dari Provinsi NTB sebanyak 29 sampel, berasal dariKota Mataram dan Kabupaten Bima, tidak ada positif rabies. Sedangkan sampel otak anjingdari kabupaten/kota di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 75 sampel,37/75 (49,33%) sampel positif rabies. Kasus positif rabies ini lebih tinggi dibandingkan dengantahun 2016 sebanyak 45/169 (26,63%).
Hasil surveilens ini menunjukkan bahwa rabies di Provinsi Bali turun secara drastis yangdiakibatkan oleh adanya vaksinasi masal yang massif diseluruh kabupaten/kota di Bali. DiPulau Flores Provinsi NTT rabies masih bersifat endemis dan kasus positif rabies cendrungmeningkat. Program vaksinasi masal, kerjasama antar instansi pemerintah, komunikasi,informasi dan edukasi tentang rabies ke masyarakat masih perlu ditingkatkan. Sampai saat iniProvinsi NTB masih bebas rabies. Kontrol terhadap lalu lintas hewan penular rabies ke ProvinsiNTB dan daerah bebas rabies di Provinsi NTT masih sangat diperlukan.
Kata kunci: anjing, hewan, otak, rabies, surveilans
70
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi tiga provinsi yaitu :
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Seperti diketahui bahwa dua dari tiga provinsi yang merupakan wilayah kerja
BB-Vet Denpasar merupakan daerah endemis rabies. Provinsi Nusa Tenggara
Timur, khususnya Pulau Flores dan Lembata dinyatakan terjangkit rabies sejak
tahun 1997, sedangkan Provinsi Bali dinyatakan terjangkit rabies sejak akhir
tahun 2008 (Putra, dkk, 2009) dan sampai saat ini kasus positif rabies rabies
masih sering ditemukan dan ada kecendrungan terjadi peningkatan kasus.
Di Provinsi Bali sejak dilakukannya vaksinasi massal secara serentak , kasus
Rabies menurun secara drastis. Tahun 2008 jumlah kasus positif sebanyak
17,31%, tahun 2009 (25,17%), tahun 2010 (10,87%) tahun 2011 (13,29%),
tahun 2012(14,83%). Pada tahun 2013 dari 992 sampel yang diperiksa, 41/992
(4,13%) positif Rabies dengan jumlah kasus rabies per bulan sebanyak 3,42
kasus. Kasus rabies paling banyak di temukan di Kabupaten Bangli (12) kasus.
Namun, tahun 2014 jumlah kasus meningkat secara drastis. Dari 1.258 sampel
otak anjing yang diperiksa ditemukan sebanyak 126/1.258(10,02%) positif
rabies. Rata-rata jumlah kasus perbulan sebanyak 10,5 kasus. Kasus rabies
lebih banyak terjadi di Kabupaten Karangasem (25) kasus dan kebanyakan
terjadi pada anjing-anjing yang belum pernah divaksin rabies (Supartika dkk,
2014).
Secara geografis, Provinsi NTB (yang masih berstatus bebas rabies) namun
berpotensi tertular rabies karena dibatasi oleh dua provinsi tertular rabies yaitu
Propinsi Bali dan pulau Flores, NTT. Hasil surveilans Balai Besar Veteriner
Denpasar tahun 2014, dari 452 sampel otak anjing dari NTB yang diperiksa
semuanya negatif rabies. Di NTT, khususnya Pulau Flores dan Lembata,
penyakit rabies cenderung bersifat endemis. Pada tahun 2013 dari 20 sampel
otak anjing yang diperiksa, 7/20(35,00%) positif rabies, sedangkan tahun 2014
71
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
terjadi penurunan jumlah kasus, dari 77 sampel otak anjing yang diperiksa,
24/77(31,17%) positif rabies
Dengan kondisi demikian, sebagai salah satu unit pelayanan teknis (UPT) dari
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian, yang membidangi kesehatan hewan, sudah
merupakan kewajiban bagi BBVet Denpasar untuk membantu pemerintah
daerah dalam penanggulangan rabies di daerah tertular dan mempertahankan
wilayah/ provinsi yang masih dinyatakan bebas rabies. Untuk itu pada tahun
2017, BBVet Denpasar akan melakukan surveilans virologis rabies di Provinsi
Bali, NTB dan NTT.
1.2. Rumusan Masalah.a. Ada kecendrungan penurunan kasus rabies di Provinsi Bali tahun 2017.
b. NTB merupakan daerah berisiko tinggi tertular rabies, terutama di wilayah
yang berbatasan dengan Pulau Flores dan Bali seperti: Sape, Lembar dan
pelabuhan tidak resmi yang ada di pantai wilayah NTB.
c. Rabies di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT masih bersifat endemis.
1.3. Tujuan Kegiatan.Kegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan dengan
tujuan sebagai berikut :
a. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies,
terkait dengan upaya pembebasan Rabies di Provinsi Bali
b. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada
anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap
bebas Rabies
c. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko
tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan
penanggulangan rabies (early detection, early report, early response) di
wilayah Provinsi NTT.
72
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1.4. Manfaat Kegiatana. Terpetakannya keberadaan virus rabies pada anjing di Provinsi Bali
b. Tersedianya informasi sedini mungkin terkait keberadaan virus Rabies
pada anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB
tetap bebas Rabies
c. Terdatanya keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko
tertular Rabies di Pulau Flores.
1.5. Keluaran/Output.Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit Rabies adalah
tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing di
Provinsi Bali, NTB dan NTT.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan ensefalitis fatal
pada mammalia, disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga Rabdoviridae
(Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai Besar Veteriner
(BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies, namun sejak
tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya kasus rabies
pertama kali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Windiyaningsih
et al., 2004). Selanjutnya rabies dilpaorkan pertama kali di Provinsi Bali pada
akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang,
hewan, serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan hewan
dalam masa inkubasi, selanjutnya berperan dalam penyebaran penyakit
zoonosis seperti rabies di daerah baru (Lankau et al., 2013). Kejadian wabah
rabies di Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh masuknya tiga ekor
anjing dari daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung, pulau Buton,
Sulawesi Selatan pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et al., 2004). Di
Provinsi Bali, sumber penularan rabies diduga berasal dari masuknya anjing
73
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
dalam masa inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra et al.,
2009).
Anjing masih merupakan hewan penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672
kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2012 semuanya
ditularkan oleh anjing rabies (Supartika et al., 2013). Keberhasilan
pembebasan rabies dari wilayah tertentu sangat tergantung pada seberapa
efektif kegiatan surveilans telah dilaksanakan. Surveilans adalah kegiatan
terstruktur untuk melihat populasi hewan dari dekat untuk menentukan apakah
penyakit spesifik merupakan ancaman sehingga tindakan awal dapat
dilaksanakan secepatnya (Salman, 2013). Surveilans memegang peranan
penting dalam memacu memberikan respon cepat, memonitor dampaknya,
sehingga wabah secara cepat dapat ditindaklanjuti (Townsend et al., 2013).
III. MATERI DAN METODE
3.1. MateriMateri kegiatan surveilans dan monitoring rabies dilaksanakan dengan
melakukan pengambilan sampel otak anjing dengan kriteria sebagai berikut:
Anjing yang mempunyai risiko menularkan rabies (anjing yang tiba-tiba
menggigit orang dan atau hewan lainnya).
Anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies dan menunjukkan perubahan
perilaku.
Hasil eliminasi terhadap anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh
petugas dinas setempat.
Sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan
hidangan dari daging anjing (rumah makan RW).
Sampel otak anjing yang mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal
ini menjadi pertimbangan karena pada umumnya anjing yang terjangkit
rabies akan mengalami perubahan perilaku dan cenderung kehilangan
insting untuk menghindari lalulintas kendaraan.
Anjing yang berasal dari daerah tertular.
74
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Pengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan penyidikan dan pengujian
rabies secara virologis dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar
Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas
Puskeswan yang ada di masing-masing wilayah kerja.
3.2. MetodeSampel otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau diberi pengawet
gliserin 50% selanjutnya di uji Flourescent Antibody Test . Sampel dibuat
preparat ulas tipis pada objek gelas, diangin-anginkan pada suhu kamar,
selanjutnya di fiksasi dengan aceton dingin selama 30 menit. Preparat ditetesi
dengan konjugit fluorescein isothiocyanate (FITC) (Bio-Rad) diinkubasi dalam
inkubator suhu 37oC selama 30 menit, dibilas dengan PBS, di tutup dengan
cover glass yang berisi gliserin 10%, selanjutnya diperiksa dibawah mikroskup
flourescent.
IV. HASIL
Tahun 2017 Balai Besar Veteriner Denpasar menerima sampel untuk
pengujian penyakit rabies sebanyak 1.162 sampel yang berasal dari berbagai
hewan, masing-masing 1.058 sampel berasal dari Provinsi Bali, 29 sampel dari
Provinsi NTB dan 75 sampel dari Provinsi NTT (Grafik 1). Jumlah kasus rabies
pada hewan di Provinsi
75
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 1.Jumlah sampel yang diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasaruntuk pengujian Rabies yang berasal dari Provinsi Bali, NTB danNTT, tahun 2017. (N = 1.162 sampel)
Bali pada tahun 2017 menurun tajam dibandingkan pada tahun 2016 seiring
dengan menurunnya jumlah kasus positif rabies pada anjing (Grafik 2). Kasus
positif rabies selain menyerang anjing juga telah menyerang satu ekor kucing
di Kabupaten Buleleng dan satu ekor sapi di Kabupaten Tabanan (Grafik 3).
Rata-rata jumlah kasus positif rabies per bulan di Provinsi Bali ada 8 kasus.
Kasus rabies paling banyak ditemukan di Kabupaten Karangasem sebanyak
25 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada anjing yang
belum divaksin 81/92(88,04%) (Grafik 5), pada anjing berpemilik yang diliarkan
59/92 (64,13%) (Grafik 6), dan kebanyakan terjadi pada anjing berumur kurang
dari 3-6 bulan 24/92 (26,09%) (Grafik 7).
Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak 29
sampel, kebanyakan berasal dari hasil eliminasi yang dilakukan Dinas
Pertanian, Kelautan dan Perikanan Kota Mataram, dan Dinas Peternakan
Kabupaten Bima, NTB dalam rangka deteksi dini rabies, agar NTB tetap bebas
dari penyakit rabies. Semua sampel yang diuji negatif rabies (Grafik 8)
76
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Di Provinsi NTT kasus rabies masih ditemukan di berbagai kabupaten/kota di
Pulau Flores dan Lembata . Dari 75 sampel otak anjing yang diperiksa di
BBVet Denpasar 37 sampel positif Rabies (Grafik 9). Anjing yang positif rabies
kebanyakan belum divaksin 35/37(94,59%) kasus (Grafik 10) dan berasal dari
anjing berpemilik 24/37(64,86%) kasus (Grafik 11). Kasus positif rabies lebih
banyak ditemukan pada anjing berumur antara 1-2 tahun 13/44(29,55%) kasus
(Grafik 12).
Grafik 2. Jumlah kasus rabies per bulan di Provinsi Bali tahun 2017.
Grafik 3. Jumlah kasus positif rabies pada hewan di Provinsi Bali Tahun2017.
2422
31
1821
14 1512
14 14
912
10 10
15
4
10
5 69
64
7 6
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Tahun 2016 Tahun 2017
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Anjing Kucing Sapi
90
1 1
77
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 4.Jumlah kasus rabies di masing-masing Kabupaten/Kota diProvinsi Bali tahun 2017
Grafik 5. Riwayat vaksinasi dari anjing positif rabies di Provinsi Balitahun 2017
0
50
100
150
200
250
9 923
0 7 1425
0 5
240
182
88
38
72
111
150
3748
249
191
111
38
79
125
175
3753
Jml Positif Rabies Jml Negatif Rabies Jml Sampel Yang Diperiksa
0102030405060708090
Vaksinasi Tidak Vaksinasi
11
81
78
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 6. Setatus kepemilikan anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun2017
Grafik 7. Umur anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2017
0
5
10
15
20
25
17
24
11
19
15
6
0
10
20
30
40
50
60
Berpemilik Liar
59
33
79
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 8. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari Kota Mataram dan Kabupaten Bima ProvinsiNTB tahun 2017. (N = 29 sampel)
Grafik 9. Jumlah sampel otak hewan yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari berbagai kabupaten di Pulau Flores, ProvinsiNTT (N = 75 sampel)
05
1015202530
61
61
7 511
3 3 2 1
12
1
16
94
82
19
6
27
Jml Positif Rabies Jml Negatif Rabies
Jml Sampel Yang diperiksa
80
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 10. Status vaksinasi anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2017
Grafik 11. Status kepemilikan anjing positif rabies dari kabupaten diPulau Flores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2017
0
5
10
15
20
25
30
35
Vaksinasi Tidak Vaksinasi
2
35
0
5
10
15
20
25
Berpemilik Liar
24
13
81
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 12. Status umur anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, Provinsi NTT, tahun 2017
V. PEMBAHASAN
Hasil surveilans tahun 2017 menunjukan adanya penurunan jumlah kasus
rabies di Provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2016. Tahun 2016 jumlah
kasus positif rabies ada sebanyak 206 kasus sedangkan di tahun 2017 jumlah
kasus positif rabies ada sebanyak 92 kasus. Pada tahun 2017 selain pada
anjing, kasus rabies juga ditemukan pada kucing (1 kasus)dan pada sapi (1
kasus). Penurunan jumlah kasus rabies terjadi secara serentak disemua
kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan
vaksinasi masal serentak dan masif tahun ke delapan di seluruh
kabupaten/kota di Bali yang kegiatannya dimulai pada bulan April 2017
dilanjutkan dengan kegiatan vaksinasi penyisiran untuk anjing-anjing yang
belum tervaksinasi pada bulan-bulan sebelumnya. Mudahn-mudahan di tahun
2018 kasus rabies di Bali terus menurun secara signifikan sehingga Provinsi
Bali bisa dibebaskan dari penyakit rabies.Kasus rabies tertinggi terjadi di
kabupaten Karangasem yaitu sebanyak 25 kasus (Grafik 4). Kasus positif
rabies lebih banyak terjadi pada anjing yang belum divaksin 81/92 (88,04%)
0
5
10
15
20
25
1-3 bl >3-6 bl >6 bl -1 th > 1-2 th > 2 th
12
6
25
3
82
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
kasus, pada anjing berpemilik yang diliarkan 59/92(64,13%) kasus dan
kebanyakan terjadi pada anjing berumur antara 3-6 bulan 24/92 (26,09%)
kasus. Tingginya populasi anjing di Provinsi Bali yang diperkirakan 500.000
ekor merupakan tantangan tersendiri dalam rangka pembebasan Provinsi Bali
dari rabies. Sebanyak 61% dari populasi anjing tersebut adalah anjing
berpemilik yang dilepasliarkan Siklus beranak dari anjing sangat cepat
mengakibatkan anak-anak anjing yang baru lahir belum mendapat vaksin
rabies pada saat vaksinasi masal sehingga banyak kasus rabies menginfeksi
anjing-anjing umur 3-6 bulan. Kepedulian dan kesadaran masyarakat yang
kurang tentang bahaya rabies mengakibatkan mereka melepas liarkan
anjingnya begitu saja yang sangat berpontensi dalam penularan virus rabies.
Melakukan vaksinasi rabies pada anjing yang diliarkan tidaklah mudah. Elimasi
tertarget pada anjing liar dan yang diliarkan yang belum tervaksinasi rabies
oleh pemerintah juga mendapat penolakan dari pemilik anjing maupun
lembaga swadaya masyarakat melalui media sosial.
Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa dari bulan Januari
sampai dengan Desember 2017 sebanyak 29 sampel, berasal dari Kota
Mataram dan Kabupaten Bima, semua hasilnya negatif rabies (Grafik 8).
Provinsi NTB merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan
dua provinsi terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali
dan di sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang
melintasi wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi.
Upaya-upaya untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh
penyayang hewan tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap
keluar masuknya hewan penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu
ditingkatkan. Disamping itu surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan
edukasi tentang bahaya dan pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh
kabupaten/kota di Provinsi NTB perlu terus ditingkatkan. Provinsi NTB telah
dinyatakan secara resmi sebagai daerah bebas rabies berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 316/Kpts/PK.320/5/2017.
83
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Di Provinsi NTT, pada tahun 2017 prosentase kasus rabies meningkat
jumlahnya yakni 37/75(49,33%) dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu
sebanyak 45/169(26,63%).Kasus tertinggi ditemukan di Kabupaten Sikka (11
kasus) (Grafik 9). Di Pulau Flores penyakit rabies cendrung bersifat endemis
mengingat anjing memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Harga satu ekor
anjing dewasa bisa mencapai satu juta per ekor. Namun, pemeliharaan anjing
di daerah ini masih kebanyakan dilepasliarkan. Di Bali dan NTT, masyarakat
memelihara anjing kebanyakan difungsikan sebagai penjaga rumah, kebun
atau untuk kepentingan komersial. Disamping itu kegiatan vaksinasi masal
belum berjalan di Pulau Flores dan sekitarnya mengingat keterbatasan dana.
Di Bali, anjing biasanya dipakai sebagai sarana pelengkap upacara
keagamaan (mecaru), sedangkan di NTT anjing biasanya dipotong untuk
upacara pesta pernikahan. Umumnya perhatian mereka terhadap anjingnya
sangat kurang. Anjing dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri pergi ke
tempat-tempat pembuangan sampah, pasar atau tempat upacara keagamaan,
serta berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat sulit ditangkap apa
lagi divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011) menyebutkan
bahwa anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai penular rabies. Jual beli
anjing untuk kepentingan ekonomis di NTT dan upacara keagamaan di Bali
juga berperan penting dalam penyebaran rabies di Bali dan Flores.
Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah
satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah
banyaknya anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh
pemiliknya. Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan,
sehingga cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang
akurat tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam
perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat
sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,
peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.
84
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup
ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi
sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin
yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa
inkubasi. Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena
cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga
siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus.
Belum lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak,
karena anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana
penunjang kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan
dana sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.
1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.
3. Tahun 2017 terjadi penurunan kasus rabies yang cukup tinggi di Provinsi
Bali.
4. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak
disebabkan oleh anjing yang belum pernah divaksin rabies dan berasal dari
anjing yang berpemilik dan diliarkan.
Saran:
1. Penurunan kasus rabies di Provinsi Bali di tahun 2017 ini menjadi
momentum yang baik dalam upaya pengendalian dan pemberantasan
rabies di Bali dan menjadi contoh bagi NTT, diantaranya melakukan
vaksinasi masal secara masif dan berkelanjutan
85
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
2. Kebijakan depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan
tokoh masyarakat setempat, serta penyuluhan tentang bahaya rabies
secara terus menerus perlu digalakkan agar masyarakat paham betul akan
bahaya rabies.
2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan
penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.
86
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
DAFTAR PUSTAKA
Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B., Cliquet, F.,Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M., Kooi, E.A., Mooney, J.,Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez, S., Sunreczak, M., Fooks, A.R.,Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B (2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic ofLyssaviruses-Results of a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol.8. Issue 3. E5
Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D., Buttke, D.,Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H., Ruppecht, C.E. andMarano, N (2013). Prevention and Control of Rabies in an Age of Global Travel: AReview of Travel and Trade Associated Rabies Events, United States, 1998-2012.Zoonoses Public Health. 22: 12071
Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009). Rhabdoviridae. In:Veterinary Virology, 3rd Ed. 429-439.
Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra,A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies di Bali: Enam BulanPasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar,Vol. XXI, 74.13-26
Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004). The RabiesEpidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393
Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease in Shifting ClimateContext. Anim. Health Res. Rev. 23: 1-4
Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N.,Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) . Rabies Pada HewanDi Provinsi Bali Tahun 2008-2012 Bulletein Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar
Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra, A.A.G.,Haydon, D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines for Disease Elimination:A Case Study of Canine Rabies. Comparative Immunology, Microbiology andInfectious Diseases. 36. 249-261.
87
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHYDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2017
I. Ketut Eli Supartika dan Gede Agus Joni Uliantara
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Bovine spongiform encephalopathy (BSE) merupakan penyakit zoonosis serta menimbulkankerugian ekonomi yang cukup besar bagi perokonomian negara tertular. Balai Besar VeterinerDenpasar telah melakukan surveilans BSE yang bertujuan untuk mendeteksi berdasarkanpemeriksaan histopatologi dan menganalisa kemungkinan masuknya penyakit BSE pada sapiBali sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap keberadaan BSE di wilayah kerja BBVetDenpasar.
Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB danNTT menyebutkan bahwa tidak ada indikasi peternak sapi memberikan pakan yang didugamengandung meat bone meal (MBM) untuk diberikan kepada ternak sapi.
Secara histopatologis, 197 sampel medula oblongata dari sapi yang dipotong di RPHsemuanya negatif BSE, ditandai dengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis,reaksi astrosit ataupun plak amiloid.
Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebasdari BSE.
Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangWilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, merupakan daerah tujuan wisata
banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan
hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan
sumber potensial penularan penyakit sapi gila/BSE. Disamping itu, intensifikasi
pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan
88
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun
belum bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak
mempergunakan MBM sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula
bahwa pakan/konsentrat tersebut tidak mempergunakan MBM hasil importasi.
Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan
surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah
kerja (Supartika dkk, 2010, Hartawan dkk, 2013; Supartika dkk, 2014), namun
demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor. 367/Kpts/T
N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Dari
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor: 4026/Kpts/OT.140/3/2013 dimana BSE belum ada di Indonesia namun
berpotensi muncul dan menimbulkan kerugian ekonomi, kemanusiaan,
lingkungan dan kesehatan masyarakat maka dipandang perlu untuk melakukan
kegiatan monitoring patologi BSE di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar secara terstruktur dan berkesinambungan sebagai pembuktian
bahwa Indonesia masih bebas dari BSE.
1.2. Rumusan Masalah.a. BSE merupakan penyakit zoonosis, keberadaannya di wilayah kerja BBVet
Denpasar perlu dimonitoring agar penyakit ini tidak masuk ke Indonesia
pada umumnya dan wilayah kerja BBVet Denpasar pada khususnya.
b. Indikasi penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat sebagai pakan
ternak juga perlu dipantau karena diduga merupakan sumber potensial
penularan BSE.
1.3. Tujuan KegiatanKegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2017 dilaksanakan dengan tujuan
untuk :
89
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
a. Mendeteksi kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak
sapi yang dipotong di RPH.
b. Penelusuran kemungkinan adanya penggunaan limbah hotel dan pakan
jadi/konsentrat yang diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai
Besar Veteriner Denpasar.
1.4. Manfaat Kegiatan.Manfaat dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2017 adalah :
a. Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak
sapi yang dipotong di RPH yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar.
b. Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan limbah hotel dan
pakan jadi/kosentrat yang diberikan ke ternak sapi potong.
c. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah
dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.
1.5. Keluaran/ OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2017
adalah:
a. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara
histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
b. Tersedianya data untuk pemetaan BSE diwilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar.
c. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaanlimbah hotel dan
pakan jadi/konsentrat diberikan ke ternak sapi potong.
II. TINJAUAN PUSTAKA.
90
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
BSE merupakan penyakit neurodegeneratif pada sapi disebabkan oleh prion
yakni “Proteinaceous infectious particles” yang diindentifikasi tahun 1982 oleh
ilmuwan Amerika, Stanley Prusiner. BSE pada sapi menimbulkan gejala klinis
ditandai dengan gejala syaraf dan selalu berakhir dengan kematian. Muncul
pertama kali di Inggris tahun 1986. Penyakit ini menular ke manusia
menibulkan penyakit new varian Creutzfeld Jacob Disease (nvCJD). Masa
inkubasi BSE cukup panjang, menimbulkan penyakit kronis berkelanjutan pada
system saraf pusat. Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada gejala klinis
berupa hiperaesthia dan inkoordinasi didukung dengan pemeriksaan
histopatologi berupa adanya degenerasi pada neuron, reaktif astrositosis dan
mikrogliosis. Dampak sosial ekonomi BSE sangat besar, disamping bersifat
zoonosis juga berdampak pada perdagangan internasional. Negara-negara
tertular BSE dilarangan mengekspor produk ternak sapinya ke luar negeri.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi.Kegiatan analisa risiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2017
dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi (Medulla oblongata) di
Rumah Potong Hewan yang berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah/
Dinas Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar. Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex dari
medulla oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal dari
sapi yang berumur 2 tahun keatas.
3.2. Metode.Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pemeriksaan histopatologik. Pada
kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal
sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,
gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2002),
91
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid. Surveilans
berbasis risiko akan diterapkan dalam kegiatan surveilans BSE ini. Data
penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat oleh peternak diperoleh
melalui teknik wawancara dengan peternak dan staf petugas dinas peternakan
yang membidangi fungsi peternakan di masing-masing kabupaten/kota di
Provinsi Bali, NTB dan NTT
IV. HASIL
Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau
TPH yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel
didampingi oleh petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah
Provinsi Bali, sampel otak diambil di RPH Kabupaten Badung, Denpasar dan
Tabanan. Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH Kota Mataram,
sedangkan di Provinsi NTT diambil di RPH di Kota Kupang (Tabel 1). Selama
tahun 2017, jumlah sampel medulla oblongata sapi yang di periksa BBVet
Denpasar sebanyak 197 sampel. Jumlah sampel otak yang diambil dan jenis
kelamin sapi yang dipotong di masing-masing RPH kabupaten/kota di Provinsi
Bali, NTB dan NTT disajikan pada Grafik 1, 2, 3.
Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasilpemeriksaan histopatologi sampel otak yang berasal dari RPHkabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2017.
Jenis Kelamin Hasil UjiProvinsi Kabupaten/Kota Jumlah SampelJantan Betina BSE (+) BSE (-)
Bali Badung 19 1 18 0 19Denpasar 20 3 17 0 20Tabanan 7 7 0 0 7Jumlah 46 11 35 0 46
NTB Kota Mataram 76 76 0 0 76Jumlah 76 76 0 0 76
NTT Kota Kupang 75 28 47 0 75Jumlah 75 28 47 0 75Jumlah Keseluruhan 197 115 82 0 197
92
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 1. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2017.
Hasil pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di
RPH tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis
kelamin betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-
sapi yang dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di
NTT sapi-sapi kebanyakan dilepas pada padang gembalaan. Informasi dari
peternak dan staf dinas peternakan kabupaten/kota yang membidangi fungsi
peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat langsung ke lapangan
bahwa peternak tidak ada memberikan pakan komersiil untuk ternak sapinya
apa lagi pemberian pakan unggas komersiil yang diduga mengandung MBM
atau pemberian limbah hotel dan restoran.
93
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Grafik 2. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH Majeluk, Kota Mataram di Provinsi NTB tahun 2017.
Grafik 3. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH Oeba, Kota Kupang, Provinsi NTT tahun 2017.
Sapi-sapi peternak kebanyakan makan rumput, kadang-kadang diberi pakan
tambahan berupa dedak dan juga rumput gajah. Pada pemeriksaan sampel
medulla oblongata semua sampel yang berasal dari RPH kabupaten/kota di
Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif BSE. Hasil pemeriksaan histopatologi tidak
94
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
ditemukan adanya lesi yang mengarah ke BSE seperti: degenerasi vakuoler
neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang, reaksi astrosit dan
kadang-kadang menimbulkan plak amyloid (Gambar 1B).
Gambar 1. A. Mesencefalon sapi positif BSE, terlihat adanya vakuolisasi pada neuron,tanpa ada sel radang (H&E, 400X; Sumber: Gubler et al., 2007) B. Histopatologi medulaoblongata negatif BSE, tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksiastrosit ataupun plak amyloid (H&E; 200X)
V. PEMBAHASAN
Bovine spongiform encehalopathy merupakan penyakit neurogedegeneratif
fatal dan bersifat zoonosis. Negara-negara yang terjangkit BSE mengalami
kerugian ekonomi yang sangat besar serta berusaha keras untuk
membebaskan kembali negaranya dari penyakit infeksius ini. Indonesia sampai
saat ini merupakan negara bebas BSE. Untuk mempertahankan Indonesia
tetap bebas dari BSE, pemerintah telah mengambil langkah-langkah antara
lain: penghentian importasi hewan ruminansia dan produknya yang berasal dari
negara tertular BSE, pelarangan penggunaan tepung daging dan tulang (TDT)
dan MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia serta melakukan
deteksi dini melalui surveilans dan kajian resiko setiap tahun secara
berkelanjutan. Namun demikian, sejak kasus BSE menurun secara drastis di
sejumlah negara yang pernah terjangkit BSE, pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian
1
3
A B
95
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Republik Indonesia Nomor 23/Permentan/PK.130/4/2015 tentang Pemasukan
dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Hewan Ke dan Dari Wilayah Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa impor bahan pakan asal hewan harus
berasal dari negara-negara yang bebas BSE.
Hasil surveilan melalui pemeriksaan histopatologi. yang dilakukan oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar tahun 2017 di RPH yang ada di kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ditemukan adanya sapi-sapi
yang positif BSE. Pemeriksaan histopatologi merupakan pengujian gold
standar untuk peneguhan penyakit BSE (Cooley et al., 2001). Di Provinsi Bali,
NTB dan NTT tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Peternakan
sapi merupakan peternakan rakyat, sebagai usaha sambilan bukan merupakan
usaha pokok. Di Provinsi Bali petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali
sebanyak 2 ekor. Pakan yang diberikan adalah rumput, kadang-kadang ada
diberikan dedak atau sedikit mineral blok. Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi
ada yang dikandangkan dan ada juga dilepas di padang pengembalaan. Tidak
ada pemberian pakan komersial yang mengandung MBM atau TDT. Sistem
peternakan sapi yang dilaksanakan oleh sebagian besar peternak sapi di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar sejak dari jaman dahulu telah
menerapkan prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami
diberikan rumput sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang
berasal dari hewan.
Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui
pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia
yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung
antar ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak
telah menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di
dalam saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke
organ limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk
selanjutkan diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004).
PrPsc selanjutnya melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem
96
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
saraf tepi dan sistem saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi
spesifik yaitu: degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik
tanpa diikuti adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan
hiperplasia (Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994).
Pada sapi menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak,
spinal cord , retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.
Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan
data bahwa jumlah sapi betina yang dipotong lebih banyak dibandingkan
dengan sapi jantan. Para ahli menyebutkan bahwa jenis kelamin sapi bukan
merupakan faktor resiko penularan penyakit BSE, sehingga baik sapi jantan
maupun betina mempunyai peluang yang sama untuk tertular penyakit BSE
selama mendapatkan perlakuan atau mempunyai resiko paparan yang sama.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan.a. Berdasarkan hasil surveilans BSE yang diadakan di RPH yang ada di
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disimpulkan bahwa
Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari penyakit BSE.
b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat/pakan komersiil untuk dijadikan
pakan ternak sapi.
2. Saran.Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya
kasus BSE oleh karena itu pengawasan impor MBM dilakukan secara ketat,
begitu juga terhadap distribusi dan penggunaan MBM tersebut.
97
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt, C.J., Udy, H.J.,MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E., Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M.,Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.R and Wells, G.A.H (1996). Transmissiondynamics and epidemiology of BSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.
Cooley, W.A., Clark, J.K., Ryder, S.J., Davis, L.A., Farrelly, S.S., and Stack, M.J (2001).Evaluation of a Rapid Western Immunoblotting Procedure for the Diagnosis of BovineSpongiform Encephalopathy (BSE) in the UK. J Comp Pathol. 125(1):64-70.
Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistry of PrPsc withinbovine spongiform encephalopathy brain samples with graded autolysis. The Journal ofHistochemistry & Cytochemistry. 49. pp. 1519-1524.
Gubler, E., Hilbe, M and Ehrensperger, F (2007). Lesion profiles and gliosis in the brainstem of135 Swiss cows with bovine spongiform encephalopathy (BSE). Schweiz ArchTierheilkd.149(3):111-22.
Hartawan, D.H., Wirata, I.K dan Saputra, I.G.N.A.W. (2013). Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Laporan Tahunan. Balai Besar VeterinerDenpasar Tahun 2013.
Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmission of priondiseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Nurlatifah, I., Saraswati, N.K.H, Dharma, D.M.N dan Djusa, E(2010) Surveilans Penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Rumah PotongHewan Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Bulletin Veteriner.Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXII. 76. 33-37
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., dan Uliantara, I.G.A.J (2014) Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur Tahun 2014. Laporan Tahunan. Balai Besar VeterinerDenpasar Tahun 2014.
Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovine spongiformencephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibril protein (PrP) and vacuolation inbrain. Veterinary Microbiology. 23. pp. 295-304.
Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration and topographic distributionof PrP in the central nervous system in bovine spongiform encephalopathy: animmunohistochemistry study: Ann NY Acad Sci. 724. pp. 350-352.
Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting disease of mule deer(Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni). Veterinary Pathology. 30. pp.36-45.
98
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PROGRAM MONITORING DAN SURVEILANS RESIDUDAN CEMARAN MIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN DI
PROVINSI BALI, NTB DAN NTT TAHUN 2017
Dewi, A.A.S, Ardiana, P.B. Frimananda, G.Y.Suryawan, N.Riti., D.Purnawati,R.C.Saputro
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Daging, susu dan telur serta hasil olahannya adalah pangan asal hewan yang kaya akan zatgizi terutama protein, vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan,kesehatan dan kecerdasan. Agar aman dikonsumsi, selayaknya pangan asal hewan tidakmengandung bibit penyakit atau bahan bahan lain yang dapat mengganggu kesehatanmanusia. Program Monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba (PMSR-CM) padapangan asal hewan tahun 2017 di Provinsi Bali, NTB dan NTT telah dilakukan denganpendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanya melakukan beberapajenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan) berbasis kepada pendekatanproduk dan disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah. Pengambilan sampeldilakukan di rumah potong hewan (RPH), tempat pemotongan hewan (TPH) dan pasartradisional, kios pengecer (retail) dan perusahaan pemasok daging (importir) dengan totaljumlah sampel adalah 1875 sampel. Hasil uji terhadap cemaran mikroba terutama Total PlateCount (TPC) menunjukkan bahwa sebanyak 56,9% sampel mengandung total jumlah kumanmelebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 7388:2009yaitu 1x106 koloni/gram, sedangkan hasil uji terhadap E.coli menunjukkan sebanyak 78,4%sampel mengandung bakteri E.coli melebihi BMCM yaitu 1 x 101 koloni/gram. Hasil uji terhadapbakteri S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter sp menunjukkan hasil negatif. Hasil ujicemaran mikroba ini terutama total kuman mengindikasikan bahwa secara umum tingkathigiene dan sanitasi pada mata rantai produksi pangan relatif rendah sehingga tingkat higienekhususnya daging segar tersebut juga relatif rendah. Sementara itu hasil uji terhadap residuantibiotika menunjukkan bahwa masih ditemukan adanya residu antibiotika 5,5-13,3% padasampel telur ayam dan hati sapi. Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya perhatian terhadapmasa henti obat (withdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sedangkan hasil uji terhadapresidu logam berat timbal (Pb), Aflatoksin M1, Hormon Trenbolon Acetat (TBA) dan Identifikasispesies babi dan tikus menunjukkan negatif dan hasil uji anti mikrobial resistant (AMR)menunjukkan bahwa bakteri E.coli cenderung resistan terhadap beberapa antibiotika.
Kata kunci : Monitoring, surveilans, Residu , Cemaran Mikroba, Pangan Asal Hewan
99
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging, susu dan telur serta hasil olahannya adalah pangan asal hewan yang
kaya akan zat gizi terutama protein, vitamin dan mineral yang sangat
bermanfaat untuk pertumbuhan, kesehatan dan kecerdasan. Agar aman
dikonsumsi, selayaknya pangan asal hewan tidak mengandung bibit penyakit
atau bahan bahan lain yang dapat mengganggu kesehatan konsumen. Dalam
undang undang no.7 tahun 1996, keamanan pangan dinyatakan sebagai
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran bilogis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia (Anon, 1996).
Dalam sistem budidaya peternakan saat ini, ketergantungan akan bahan kimia
terutama obat hewan semakin tinggi untuk menjaga kesehatan hewan. Selain
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, obat hewan juga digunakan
sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan (growth promotors).
Kondisi ini cenderung menimbulkan penggunaan antibiotika yang berlebihan
sehingga mengakibatkan terbentuknya residu antibiotika di dalam produk
hewan. Keberadaan residu antibiotika pada pangan asal hewan tidak aman
untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan resistensi, reaksi alergis atau
menimbulkan gangguan fisiologis.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat
membahyakan keselamatan hidup manusia serta mengganggu ketentraman
batin masyarakat termasuk kehalalan, dan guna mendorong pelaku usaha
untuk dapat menghasilkan produk hewan yang memenuhi persyaratan
keamanan dan mutu produk hewan yang diproduksi, dimasukkan dari dan/atau
dikeluarkan ke luar negeri, dan yang diedarkan di dalam negeri, perlu dilakukan
pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu produk hewan
Berdasarkan hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba
(PMSR-CM) tahun 2016 di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tingkat kontaminasi
mikroba pada pangan asal hewan masih relatif tinggi yaitu sebanyak 65,9%
100
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
pangan asal hewan khususnya daging segar mengandung total jumlah kuman
(TPC) melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang dipersyaratkan dalam
Standar Nasional Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya
tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai penyediaan pangan asal hewan
ditingkat unit usaha atau unit proses Sementara itu, pangan asal hewan
terutama telur belum terbebas dari residu antibibiotika karena masih ditemukan
residu antibiotika pada sampel tersebut.
Oleh karena itu pelaksanaan PMSR-CM tahun 2017 dilakukan dengan
pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanya
melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan
pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan
komoditas yang beredar di suatu daerah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan yaitu sampai sejauh mana tingkat keamanan pangan asal
hewan yang beredar di wilayah kerja BB-Vet Denpasar (Provinsi Bali, NTB dan
NTT) tahun 2017 ditinjau dari kandungan residu dan cemaran mikroba dan
faktor-faktor yang berasosiasi terhadap tingginya tingkat cemaran mikroba dan
residu.
1.3. Tujuan Kegiatan
Untuk mendapatkan prevalensi kejadian residu dan cemaran mikroba pada
produk asal hewan tahun 2017, dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan
tingginya tingkat cemaran mikroba dan residu.
1.4. Manfaat Kegiatan
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui prevalensi residu dan
Cemaran mikroba pada pangan asal hewan yang beredar di wilayah kerja BB-
Vet Denpasar yaitu Provinsi (Bali, NTB dan NTT) sehingga hasil pelaksanaan
101
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PMSR-CM yang dilakukan dapat ditindaklanjuti sebagai bahan kebijakan dalam
penjaminan keamanan produk hewan
1.5. Output
1. Informasi ilmiah untuk tindak lanjut rekomendasi perbaikan di tingkat unit
usaha atau unit proses (peningkatan/ perbaikan praktek hyginie dan sanitasi
di unit usaha)
2. Informasi ilmiah sebagai data dasar yang perlu dikaji lebih lanjut dalam
rangka penilaian risiko terhadap ancaman potensial hazard bagi konsumen
produk hewan.
II. MATERI DAN METODE
2.1 Materi
2.1.1. Bahan
Program Monitoring dan Surveilans Residu-Cemaran Mikroba (PMSR-CM)
tahun 2017 dilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian food
safety key indicators (hanya melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi
indikator keamanan pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan
disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah.
Jenis sampel yang diperiksa adalah daging segar ( sapi, babi, ayam), daging
sapi beku import, hati (sapi, babi), telur (ayam, bebek, puyuh), telur asin,
daging olahan dan susu dengan parameter uji yang berbeda-beda untuk
masing-masing jenis sampel. Pengambilan sampel dilakukan di rumah potong
hewan (RPH), tempat pemotongan hewan (TPH), pasar tradisional, retail
(pengecer) dan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT.
102
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Total jumlah sampel yang diambil sebanyak 1875 yang terdiri dari 237 sampel
daging sapi, 40 sampel daging sapi beku import, 148 sampel daging babi, 340
sampel daging ayam , 161 sampel hati sapi, 37 .sampel hati babi, 178 sampel
daging olahan, 40 sampel susu, 560 sampel telur ayam, 30 sampel telur asin,
9 sampel telur bebek dan 95 sampel telur puyuh.
Sedangkan bahan (media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba
(TPC) mencakup plate count agar (PCA), BPW 0,1%.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose
broth, tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate
agar, hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate
tryptose broth, brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s
eosin methylene blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’
citrate broth, tryptone broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen
metyl red indikator, reagen voges proskauer.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp
antara lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth,
TSA, koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter
enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1%
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian residu antibiotika, residu hormon
trenbolon acetat, logam berat dan identifikasi bakteri Campylobacter jejuni ,
identifikasi spesies babi dan tikus mencakup bakteri (Bacillus cereus ATCC
11778, Bacillus cereus ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus ATCC 7953
dan Kocuria rizophilla ATCC 9341, Campylobacter jejuni ATCC 33560), bacto
pepton, bacto agar, beef extract, yeast extract, glucosa, dextrosa, tryptone, tert
butylmetylether, enzim β- glucoronidase, kit elisa TBA, kit elisa aflatoksin M1,
HNO3, primer babi (Forward 5’ ATG AAA CAT TGG AGT AGT CCT ACT ATT
TAC C 3’, Reverse 5’ CTA CGA GGT CTG TTC CGA TAT AAG G 3’) ukuran
amplicon (bp) 149 bp, primer HipO untuk Campylobacter jejuni CJ-F (5’-
103
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
ACTTCTTTATTGCTTGCTGC-3’) dan CJ-R (5’-
GCCACAACAAGTAAAGAAGC-3’), primer tikus F (5’-
CATGTGGGACGAGGACTATACTATG-3’), primer R (5’-
GTAGTCCCAATGTAAGGGATAGCTG-3’), master mix.
2.1.2. Alat
Peralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan
petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic
jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham,
tabung volumetrik, labu erlenmeyer, ose, api bunsen, pH meter, biosafety
cabinet, laminar air flow, autoclave, gelas ukur, oven, colony counter,
mikroskop, evaporator, homogenizer, elisa reader, AAS, termocycler,
elektroforesis, microwave digestion system, fume hood.
2.2 Metode
2.2.1 Pemilihan lokasi
Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji cemaran mikroba, residu
(antibiotika, logam berat), aflatoksin M1 dan identifikasi spesies daging babi
dan tikus adalah lokasi yang berdasarkan analisis risiko memiliki risiko yang
cukup tinggi, yaitu pada kabupaten/kota yang memiliki RPH/TPH , pasar/retail
dan unit usaha.
Untuk sampel pengujian residu hormon, lokasi pengambilan sampel dipilih
berdasarkan pertimbangan bahwa ditempat tersebut dijual daging sapi yang
berpeluang berasal dari sapi yang diberi perlakuan growth promotor hormonal
(daging impor diambil dari perusahaan importir daging, untuk sapi lokal diambil
organ hati di RPH)
Pengambilan sampel di Provinsi Bali dilakukan di 4 (empat) Kabupaten/Kota
(Badung, Tabanan, Buleleng dan Denpasar), di Provinsi NTB dilakukan di
2 (dua) Kota (Mataram dan Bima) dan di Provinsi NTT dilakukan di
2 Kabupaten/Kota (Sikka dan Kupang).
104
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Sampel daging segar diambil di rumah potong hewan (RPH)/tempat
pemotongan hewan (TPH), dan pasar tradisional sedangkan sampel telur, susu
dan daging olahan diambil di pasar tradisional dan retail (pengecer).
Pengambilan sampel khususnya daging sapi beku import juga dilakukan di
beberapa perusahaan (importir) untuk pemeriksaan residu hormon trenbolon.
2.2.2. Metode sampling
Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu
lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan
sampel berdasarkan pertimbangan adanya RPH/TPH, pasar dan pengecer
(daging, daging olahan, susu,telur), dan perusahaan importir daging. Pemilihan
sampel daging, daging olahan, susu, telur pada pasar dan kios (pengecer)
dilakukan secara random sederhana.
2.2.3. Sampel size
Mengingat keterbatasan sumber daya maka proses sampling diperlukan. Untuk
itu sampel size( jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili) dihitung
berdasarkan rumus n = [ Zα/2 ]2 x P x Q]
L2
Keterangan : n = Jumlah sampel
Z = Nilai standar normal (baku)
P = proporsi = prevalensi
Q = Peluang tidak terjadi cemaran
L = Tingkat ketelitian
α = tingkat kepercayaan
Dalam hal ini nilai P (prevalensi) yang diambil adalah 34% (prevalensi TPC
tahun 2014), α yang dipilih adalah 5%, L yang dipilih 5%.
Perhitungan :
n = [2]2 x 0,34 x (1-0,34) = 35,9 dibulatkan 36
(0,05)2
105
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Untuk meningkatkan ketelitian (untuk menekan bias) maka sample size
terhitung 36 x 3 = 108 (Martin,T.,1987). Namun mengingat keterbatasan
sumber daya dan untuk meningkatkan efisiensi maka sample size yang diambil
adalah diatas jumlah sampel minimal (diatas 36).
2.2.4 Penanganan dan transportasi sampel
Semua sampel (daging segar) yang diambil ditangani secara aseptis. Sampel
yang diperoleh disimpan dan ditransportasikan pada suhu dingin, sedangkan
sampel telur diletakkan dalam wadah telur. Selain sampel primer (daging),
akan diambil juga sampel sekunder antara lain : sampel air di RPH, swab
pisau, meja (alas daging) dan timbangan di pasar tradisional
2.2.5 Pengujian sampel
a. Cemaran mikroba (TPC, E.coli, S.aureus, Salmonella sp.,Campylobacter sp.)Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian
dimasukkan dalam mwadah steril, ditambahkan 225 ml BPW 0,1% dan
dihomogenkan selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat pengenceran
seri berkelipatan 10. Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran
tersebut dan dituangkan ke dalam cawan petri steril. Kemudian dituangkan
12-15 ml plate count agar dan diinkubasikan pada suhu 350C selama 24-
48 jam Koloni yang tumbuh dihitung sebagai Total Plate Count (TPC).
Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap
tabung LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham
dan diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-
tabung yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri
E.coli. Uji peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC
broth yang positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan
diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari
masing-masing L-EMB dipindahkan ke PCA miring untuk uji morphologi
106
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
dan biokimia. Bakteri E.coli dihitung dengan nilai MPN berdasarkan
jumlah tabung dalam pengenceran EC broth yang positif.
Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran
diambil masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3
ml) dipupuk pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk.,
diinkubasikan pada suhu 350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan
ditemukan koloni yang khas S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan
dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI broth, kemudian diinkubasikan pada suhu
350C selama 18-24 jam. Sebanyak 0,5 ml koagualse plasma kelinci
ditambahlan ke biakan BHI broth dan diaduk, selanjutnya diinkubasikan
pada suhu 350C dan diperiksa setiap 6 jam untuk melihat terbentuknya
gumpalan.
Pengujian bakteri Salmonella sp, sebanyak 25 gram sampel ditambahkan
225 ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2
jam. Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml
tetrathionate broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2
jam. Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media HE, XLD
dan BSA, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni yang
khas untuk bakteri Salmonella sp diuji pada media TSIA dan LIA. Koloni
yang dicurigai diuji dengan reaksi biokimia dan serologi.
Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan
ditambah 100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16000 rpm selama 15
menit kemudian supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml
endapan ke dalam botol sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment
broth. Suspensi tersebut diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam
dalam kondisi anaerobik. Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C
selama 24 jam. Dari suspensi tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml
dimasukkan ke dalam 9,9 ml pepton 0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari
suspensi ke media agar mCCDA, diinkubasikan pada suhu 420C selama
24-48 jam dalam kondisi anaerobic (Anon, 2008)
107
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
b. Residu antibiotika (bioassay)
Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan
pelarut dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus
diambil supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah
ditambahkan bakteri uji sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji,
kemudian ditetesi dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika
sebanyak 75 ul, diinkubasikan selama 16-18 jam untuk golongan makrolida
dan aminoglikosida pada temperatur 360C ± 10C, golongan tetrasiklin pada
temperatur 300C ± 10C dan golongan penisillin pada temperatur 550C ± 10C.
Diameter hambatan yang terbentuk pada sampel sebaiknya berada dalam
kisaran kurva baku, apabila diameter hambatan yang terbentuk melebihi
nilai kurva baku maka sampel harus diencerkan (Anon, 2008)
c. Uji Residu logam berat
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan dalam tabung
microwave. Sampel ditambahkan 5 ml HNO3, kemudian destruksi di dalam
microwave. Selanjutnya pindahkan larutan hasil destruksi ke dalam labu
takar 50 ml. Bilas labu destruksi 3 kali masing-masing dengan 5 ml air
deionisasi. Tepatkan dengan asam nitrat 0,1M. Selanjutnya sampel
dianalisa dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) (Anon,
2013)
d. Uji Hormon Trenbolon Acetat (TBA)
Sebanyak 10 gram sampel di ekstraksi dan dipurifikasi, selanjutnya
dilakukan uji Elisa : ditambahkan 20 ul tiap-tiap larutan standard atau
sampel dan ditambahkan 50 ul larutan enzim conjugate pada masing-
masing lubang plate (well). Selanjutnya ditambahkan 50 ul larutan anti-
trenbolon antibody pada masing-masing well, plate dikocok secara manual
dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian di cuci dengan
aquadest sebanyak 2 kali.
108
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Pada masing-masing well ditambahkan 50 substrat dan 50 ul cromogen,
dikocok pelan-pelan secara manual, diinkubasi pada suhu kamar selama
30 menit dalam ruangan gelap. Selanjutnya ditambahkan 100 ul stop
solution pada masing-masing well. Setelah 30 menit, plate dibaca pada
filter 450 nm.
e. Uji Aflatoksin M1
Pengujian Aflatoksin M1 dalam sampel susu dilakukan dengan metode
ELISA kompetitif. Sampel susu dikondisikan pada suhu 10 °C, kemudian
disentrifuse pada 3500 g selama 10 menit. Krim pada lapisan atas
dihilangkan menggunakan pipet pasteur, kemudian 100 μl susu yang telah
dihilangkan lemaknya digunakan untuk pengujian. Larutan antibodi anti-
aflatoxin M1 sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur dari microwell,
dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 °C) selama 15
menit. Larutan antibodi dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell
pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali
dengan 250 μL larutan washing buffer pada setiap sumur. Standar AFM1
dan sampel masing-masing sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap
sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan
gelap selama 30 menit.
Cairan standar dan sampel dibuang dengan cara membalikkan posisi
microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak
3 kali dengan 250 μl larutan washing buffer. Enzim konjugat (100 μl)
ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu
ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Cairan dibuang dengan cara
membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan
pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 μl larutan washing buffer.
Substrat/chromogen sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur dan
dihomogenkan, kemudian diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan
gelap selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 μl
stop solution ke setiap sumur. Absorbansi diukur dengan ELISA reader
109
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dilakukan dalam jangka
waktu 15 menit setelah penambahan stop solution dengan melihat nilai
optical density (OD) yang tercetak dari ELISA reader, kemudian
diintegrasikan ke dalam bentuk kurva kalibrasi standar menggunakan
software.
f. Uji Identifikasi Spesies Babi (Pemalsuan daging babi)
Ekstraksi sampel : Waterbath/blok pemanas disiapkan pada suhu 55 0 dan
700 kemudian sebanyak 25 mg daging dimasukkan ke dalam mikrotube.
kemudian ditambahkan 180 µl lysis buffer (L6) dan 20 µl proteinase K
kedalam tube, dan diinkubasikan pada suhu 550C selama 30 menit.
Sebanyak 20 µl RNase A ditambahkan dan diinkubasikan pada suhu
ruangan selama 2 menit. Kemudian sentrifuse dengan kecepatan 13.000
rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke tube baru dan
ditambahkan 10 % SDS sebanyak 10 µl dan divorteks. Kemudian sebanyak
200 µl Binding Buffer (L3) ditambahkan ke dalam tube dan di vortex dan
diinkubasikan pada suhu 700C selama 10 menit.
Sebanyak 200 µl etanol 90-100% kemudian ditambahkan ke dalam tube.
Selanjutnya cairan yang ada dalam tube di pindahkan ke spincolumn dan
disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik. Cairan dibuang
dan ditambahkan kembali W4 kemudian disentrifus dengan kecepatan
12.000 rpm selama 30 detik. Cairan dibuang, sebanyak 500 µl wash buffer
(W5) ditambahkan ke dalam tube kemudian dengan kecepatan 12.000 rpm
selama 30 detik dan diulangi sekali lagi. Cairan dibuang dan disentrifus
dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik. Masukkan ke dalam
collection tube dan sebanyak 100 µl elution buffer (E1) ditambahkan
kemudian diinkubasikan pada temperatur ruangan selama 1 menit.
Kemudian disentrifuse pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit.
Dilanjutkan dengan uji PCR .
110
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
g. Uji Identifikasi Spesies Tikus (Pemalsuan daging tikus)
Pembuatan suspensi 20% : sampel dipotong kecil-kecil, ditimbang
sebanyak 0,2 gram, selanjutnya sampel digerus dengan menambahkan 1
ml PBS 1%.
Ekstraksi sampel : Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan Purelink
Viral RNA/DNA minikit. Sebanyak 200 ul suspensi sampel ditambhakan 200
ul lysis buffer dan 24 ul Proteinase K dan dicampurkan ke dalam tube 1,5
ml. Suspensi di vortex dan diinkubasikan pada waterbath pada suhu 560C
selama 15 menit. Suspensi ditambahkan ethanol sebanyak 200 ul dan
diinkubasikan pada suhu ruang selama 5 menit. Suspensi dimasukkan ke
dalam spin column dan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1
menit. Cairan pada collection tube dibuang. Selanjutnya pada collection
tube dituangkan lagi whasing buffer sebanyak 500 ul dan disentrifus dengan
kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Collection tube diganti dan
disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Collection tube
diganti dengan recovery tube ukuran 1,5 ml dan ditambahkan 50 ul
nuclease free water (NFW), kemudian disentrifus dengan kecepatan 12.000
rpm selama 1 menit. Dioxynucleic acid (DNA) yang diperoleh dapat secara
langsung (segera) diamplifikasi atau bisa disimpan dalam freezer suhu -
200C sampai -800C.
Hasil amplifikasi DNA daging tikus menunjukkan hasil positif mengandung
DNA tikus dengan panjang amplikon 188 bp.
h. Uji Identifikasi Campylobacter jejuni dengan metode PCR
Ekstraksi isolat murni bakteri standar : beberapa koloni isolat standar
American Type Culture Collection (Campylobacter jejuni ATCC 33560) hasil
isolasi dimasukkan ke dalam 1 ml aquades kemudian dikocok dengan
menggunakan vortex. Kekeruhan diukur pada OD 0,3 dengan panjang
gelombang 600 nm dan disentrifus dengan kecepatan 12000 rpm selama 5
menit. Purifikasi DNA dilakukan dengan cara menambahkan aquades 1 ml
111
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
pada pelet, kemudian dipanaskan dalam air mendidih dengan suhu 1000C.
Setelah 10 menit dipanaskan , segera didinginkan dan segera disentrifus
kembali dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, suspensi yang
diperoleh merupakan DNA.
Ekstraksi sampel : Sampel daging ayam dalam suspensi media enrichment
broth yang telah diinkubasikan, diambil sebanyak 1 ml kemudian disentrifus
dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 40C selama 10 menit. Pelet yang
diperoleh ditambah 1 ml aquades dan disentrifus kembali dengan
kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Purifikasi DNA dilakukan dengan
cara menambahkan aquades 1 ml pada pelet, kemudian dipanaskan dalam
air mendidih dengan suhu 1000C. Setelah 10 menit, suspensi segera
didinginkan dan disentrifus kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama
5 menit, selanjutnya suspensi yang ada diambil sebagai DNA.
Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran dari masing-masing fragmen
atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari marker. Hasil
amplifikasi menunjukkan hasil positif mengandung DNA Campylobacter
jejuni dengan panjang amplikon 323 bp.
i. Uji Anti Mikrobial Resistant (AMR)Satu loop penuh dari biakan isolat bakteria pada media NA diambil dan
dibuat suspensi ke dalam 1 ml NaCl fisiologis steril. Kekeruhan yang
terbentuk disetarakan dengan kekeruhan 0,5 McFarland secara visual.
Dengan menggunakan swab steril, inokulasikan suspensi bakteria dalam
NaCl fisiologis tersebut ke seluruh permukaan media agar secara merata.
Media dibiarkan sesaat agar mengering. Setelah suspensi mengering pada
permukaan agar, tempelkan disk antimikrobial yang akan diujikan pada
permukaannya. Kemudian media diinkubasikan pada suhu 350C selama 16-
18 jam. Bakteria refference E.coli ATCC 25922 digunakan untuk kontrol
kualitas pengujian susceptibilitas.
112
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Isolat bakteria ditentukan susceptibilitasnya terhadap antimikrobial
dengan mengukur diameter halo yang terbentuk. Penentuan susceptible
(S), intermediate (I), dan resistant (R) melalui ukuran diameter halo yang
terbentuk berdasarkan rekomendasi standar NCCLS.
III. HASIL
Hasil uji Total Plate Count (TPC) sampel daging segar (daging babi dan sapi)
dan daging olahan yang berasal dari RPH, TPH dan pasar/retail di Bali bila
dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) TPC (total
kuman) dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu 1x106 koloni/g untuk
daging segar dan 1x105 koloni/g untuk daging olahan, hasil uji menunjukkan
sebanyak 25 dari 48 sampel (52,1%) daging segar yang berasal dari RPH
mengandung total kuman melebihi batas maksimum. Hasil uji 5 sampel daging
segar asal TPH menunjukkan semua sampel (100%) mengandung total kuman
melebihi batas maksimum. Sedangkan hasil uji sampel daging segar dan
adging olahan asal pasar/retail menunjukkan sebanyak 94 (56,9%) dari 165
sampel mengandung total kuman melebihi maksimum. Hasil selengkapnya
tersaji dalam tabel 1 di bawah ini.
113
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 1. Hasil Uji Total Plate Count (TPC) pada sampel daging segar dandaging olahan asal Bali, NTB dan NTT tahun 2017
Hasil Uji Total Plate Count (TPC)RPH TPH Pasar/retailAsal
SampelJenis
sampel ∑sampel
>BMCM
∑sampel
>BMCM
∑sampel > BMCM
Dg. Sapi 17 6(35,3%)
0 0 17 15(88,2%)
Dg. Babi 4 0 5 5(100%)
27 20(74,1%)
Dg.Olahan
0 0 0 0 42 10(23,8%)
Bali
Jumlah
21 6(28,6%)
5 5(100%)
86 45(52,3%)
Dg. Sapi 10 9(90,0%)
0 0 30 22(73,3%)
Dg.Olahan
0 0 0 0 10 10(100%)
Telur asin 0 0 0 0 10 0
NTB
Jumlah
10 9(90,0%)
0 0 50 34(68,0%)
Dg. Sapi 12 5(41,7%)
0 0 10 6(60,0%)
Dg. Babi 5 5(100%)
0 0 9 4(44,4%)
Dg.Olahan
0 0 0 0 10 5(50,0%)
NTT
Jumlah
17 10(58,8%)
0 0 29 15(51,7%)
Total 48 25(52,1%) 5 5
(100%) 16594
(56,9%)
Keterangan : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji TPC pada daging segar : 1x106 koloni/g,daging olahan : 1x105 koloni/g
Sementara itu batas maksimum cemaran E.coli pada daging segar adalah
1x101 koloni/g. Hasil uji (E.coli) sampel daging segar (sapi, babi dan ayam)
menunjukkan, sebanyak 26 dari 47 sampel (55,3%) yang berasal dari RPH ,
sebanyak 10 dari 10 sampel (100%) berasal dari TPH dan sebanyak 102 dari
130 sampel (78,46%) berasal dari pasar/retail mengandung E.coli melebihi
batas maksimum. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 2 di bawah ini.
114
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 2. Hasil Uji E.coli pada sampel daging segar asal Bali, NTB dan NTTtahun 2017
Hasil Uji E.coliRPH TPH Pasar /RetailAsal
SampelJenis
sampel ∑sampel
>BMCM
∑sampel > BMCM ∑
sampel>
BMCMDg.Sapi
16 5(31,3%)
0 0 0 0
Dg.Babi
4 0 5 5(100%)
21 17(80,9%)
Dg.Ayam
0 0 0 0 55 51(92,7%)
Bali
Jumlah
20 5(25,0%)
5 5(100%)
76 68(89,5%)
Dg.Sapi
10 8(80,0%)
0 0 10 4(40,0%)
Dg.Ayam
0 0 5 5(100%)
25 18(72,0%)
NTB
Jumlah
10 8(80,0%)
5 5(100%)
35 22(62,9%)
Dg.Sapi
12 8(66,7%)
0 0 0 0
Dg.Babi
5 5(100%)
0 0 9 5(55,6%)
Dg.Ayam
0 0 0 0 10 7(70,0%)
NTT
Jumlah
17 13(76,5%)
0 0 19 12(63,2%)
Total 47 26(55,3%)
10 10(100%)
130 102(78,4%)
Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard Nasional Indonesia(SNI) 7388-2009 untuk parameter uji E.coli pada daging segar : 1x101koloni/g.
Sedangkan hasil uji terhadap cemaran bakteri Staphylococcus aureus
(S.aureus) disajikan dalam tabel 3 di bawah ini. Hasil uji menunjukkan bahwa
sebanyak 10 sampel daging olahan yang berasal dari unit usaha dan 67
sampel daging olahan dan telur asin yang berasal dari pasar/retail tidak
mengandung (negatif) bakteri S.aureus.
115
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 3. Hasil Uji S.aureus pada sampel daging olahan dan telur asalBali, NTB dan NTT tahun 2017
Hasil Uji Staphylococcus aureusUnit Usaha Pasar/RetailAsal
SampelJenis
sampel∑ sampel > BMCM ∑ sampel > BMCM
Dg. olahan 0 0 42 0BaliJumlah 0 0 42 0 (0,0%)
Dg. olahan 5 0 5 0Telur asin 0 0 10 0
NTB
Jumlah 5 0 (0,0%) 15 0 (0,0%)Dg. olahan 0 0 10 0NTT
Jumlah 0 0 10 0 (0,0%)Total 10 0 (0,0%) 67 0 (0,0%)
Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard Nasional Indonesia(SNI) 7388-2009 untuk parameter uji Staphylococcus aureus pada telur asin :1x101koloni/g, daging olahan : 1 x 102 koloni/g .
Hasil uji terhadap Salmonella sp, menunjukkan sebanyak 59 sampel daging
sapi, babi dan ayam yang berasal dari RPH/TPH dan sebanyak 478 sampel
daging dan telur asal pasar/retail tidak mengandung (negatif) bakteri
Salmonella sp.Hasil selengkapnya tersaji dalam table 4 di bawah ini.
116
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 4. Hasil uji Salmonella sp pada sampel daging segar dan telur asalBali, NTB dan NTT tahun 2017
Hasil Uji Salmonella spRPH/TPH Pasar/RetailAsal
SampelJenis
sampel∑ sampel > BMCM ∑ sampel > BMCM
Dg. sapi 16 0 20 0Dg. babi 9 0 26 0Dg. ayam 0 0 55 0Telur ayam 0 0 98 0Telur bebek 0 0 5 0Telur puyuh 0 0 2 0
Bali
Jumlah 25 0 (0, 0%) 206 0 (0,0%)Dg. sapi 10 0 30 0Dg. ayam 5 0 25 0Telur ayam 0 0 80 0Telur asin 0 0 10 0
NTB
Jumlah 15 0 (0,0%) 145 0 (0,0%)Dg. sapi 12 0 10 0Dg. babi 5 0 9 0Dg. ayam 2 0 8 0Telur ayam 0 0 100 0
NTT
Jumlah 19 0 (0,0%) 127 0 (0,0%)Total 59 0 (0,0%) 478 0 (0,0%)
Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard Nasional Indonesia (SNI)7388-2009 untuk parameter uji Salmonella sp pada daging segar : negatif/25 g, telursegar : negatif/25g, telur asin : negatif/25g.
Sementara itu, hasil uji terhadap residu antibiotika disajikan dalam tabel 5 di
bawah ini. Dari 601 sampel daging, hati dan telur yang diperiksa, hasil uji
menunjukkan sebanyak 80 sampel (13,3 %) mengandung residu golongan
penicillin, 33 sampel (5,5%) mengandung residu golongan tetrasiklin, 54
sampel (9,0%) mengandung residu golongan aminoglikosida dan 46 sampel
(7,6%) mengandung residu golongan makrolida.
117
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 5. Hasil Uji Residu Antibiotika sampel daging dan telur asal Bali,NTB dan NTT tahun 2017
∑ Sampel Positif Residu AntibiotikaAsalSampel
JenisSampel
JumlahSampel PC’s TC’s AG’s MC’s
Dagingayam
50 0 0 0 0
Dagingbabi
5 0 0 0 0
Telurayam
102 40(39,2%)
0 6 (5,9%) 4 (3,9%)
Telurbebek
4 0 0 0 2 (50,0%)
Telurpuyuh
63 8(12,7%)
0 1 (1,6%) 2 (3,2%)
Hati sapi 26 0 7(26,9%)
0 0
Hati babi 25 0 0 0 0
Bali
Jumlah
275 48(17,5%)
7(2,5%)
1 (0,4%) 8 (2,9%)
Dagingayam
30 0 1(3,3%)
0 0
Telurayam
80 6 (7,5%) 0 2 (2,5%) 1 (1,3%)
Telurpuyuh
30 2 (6,7%) 0 5 (16,7%) 1 (3,3%)
Hati sapi 42 9 (2,1%) 11(26,2%)
0 8 (19,0%)
NTB
Jumlah
182 17(9,3%)
12(6,6%)
7 (3,8%) 10 (5,5%)
Dagingayam
10 0 0 0 0
Telurayam
100 3 (3,0%) 0 32(32,0%)
16(16,0%)
Hati sapi 22 12(54,5%)
10(45,4%)
11(50,0%)
9 (40,9%)
Hati babi 12 0 4(33,3%)
3 (25,0%) 3 (25,0%)
NTT
Jumlah
144 15(10,4%)
14(9,7%)
46(31,9%)
28(19,4%)
Total 601 80(13,3%)
33(5,5%)
54 (9,0%) 46 (7,6%)
Ket : PC’s : golongan Penisillin, TC’s : golongan Tetrasiklin, AG’s : golonganAminoglikosida, MC’s : golongan Macrolida
118
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Hasil uji terhadap residu hormon trenbolon acetat (TBA), menunjukkan bahwa
40 sampel daging sapi beku import dan 48 sampel hati sapi lokal negatif
residu hormon trenbolon acetat. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 6 di
bawah ini.
Tabel 6. Hasil Uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA) pada sampeldaging dan hati sapi asal Bali, NTB dan NTT tahun 2017
Hasil Uji TBAAsalSampel Jenis Sampel Jumlah
sampel Konsentrasi(ppt) Interpretasi
Daging sapi beku
import
40 109,68 -313,98 NegatifBali
Hati sapi lokal 16 123,09-230,91 Negatif
NTB Hati sapi lokal 20 104,04-395,66 Negatif
NTT Hati sapi lokal 12 162,38-316,91 Negatif
Total 88 104,04-162,38 Negatif
Batas Maksimum Residu (BMR) hormon trenbolon acetat yang ditetapkan CodexAlimentarius Commision (CAC) pada daging : 2 ppb (2000 ppt) ; hati : 10 ppb (10000 ppt)
Dalam tabel 7 tersaji hasil uji residu logam berat khususnya Pb (timbal). Hasil
uji menunjukkan, sebanyak 23 sampel hati sapi negatif residu logam berat Pb
(timbal)
Tabel 7. Hasil uji Residu Logam Berat (Pb) pada sampel hati sapi asalBali, NTB dan NTT tahun 2017
Hasil Uji Residu Pb (Timbal)AsalSampel
Jenissampel
lokasisampel
Jumlahsampel Konsentrasi (ppm) Interpretasi
Bali Hati sapi RPH 7 (-0,0196) – (-0,0909)
Negatif
NTB Hati sapi RPH 4 (-0,012) – (-0,043)
Negatif
NTT Hati sapi RPH 12 (-0,0026) – (-0,169)
Negatif
Total 23 (-0,0026) - (-0,169) Negatif
Batas Maksimum Residu (BMR) logam berat (Pb) berdasarkan SNI 7387:2009, dalamJeroan sapi : 0,5 mg/kg (ppm) (CAC, 2003)
119
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Hasil uji terhadap Aflatoksin M1 dan Identifikasi spesies babi (pemalsuan
daging babi), menunjukkan bahwa semua sampel (35 sampel susu sapi )
negatif Aflatoksin M1. Hasil uji PCR ID spesies (uji pemalsuan) menunjukkan
sebanyak 54 sampel daging olahan negatif spesies babi dan tikus (tidak ada
pemalsuan daging babi dan tikus). Hasil uji PCR identifikasi bakteri
Campylobacter jejuni menunjukkan bahwa sebanyak 60 sampel daging ayam
negatif bakteri Campylobacter jejuni. Hasil uji tersaji dalam tabel 8, 9 dan 10 di
bawah ini.
Tabel 8. Hasil Uji Aflatoksin M1 pada sampel susu asal Bali, NTB dan NTTtahun 2017
Hasil Uji Aflatoksin M1AsalSampel
Jenissampel
Lokasisampel
Jumlahsampel Nilai (ppt) Interpretasi
Bali SusuUHT
Retail 15 <125- 168,97 Negatif
NTB SusuUHT
Retail 10 <125 Negatif
NTT SusuUHT
Retail 10 <125- 150,43 Negatif
Total 35 <125-168,97 Negatif
Ket: Batas Maksimum Residu (BMR) Aflatoksin M1 dalam SNI 7385-2009 : 500 ppt
Tabel 9. Hasil Uji PCR Identifikasi Spesies (pemalsuan daging babi dantikus) pada sampel daging olahan asal Bali, NTB dan NTT tahun2017
AsalSampel
JenisSampel
LokasiSampel
JumlahSampel
Hasil UjiID spesies
tikusJumlahSampel
Hasil UjiID Spesies
BabiBali Daging
olahanRetail/pasar 34 Negatif 34 Negatif
NTB Daging olahan
Retail/pasar 10 Negatif 10 Negatif
NTT Dagingolahan
Retail/pasar 10 Negatif 10 Negatif
Total 54 Negatif 54 Negatif
120
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 10. Hasil Uji PCR Identifikasi bakteri Campylobacter jejuni padasampel daging ayam asal Bali, NTB dan NTT tahun 2017
AsalSampel
JenisSampel
LokasiSampel
JumlahSampel
Hasil Uji PCRCampylobacter
jejuniBali Daging
ayamPasar 34 Negatif
NTB Daging ayam
Pasar 20 Negatif
NTT Dagingayam
Pasar 6 Negatif
Total 60 Negatif
Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard Nasional Indonesia (SNI)7388-2009 untuk parameter uji Campylobacter sp pada daging segar : negatif/25 g
Dalam table 11 disajikan hasil uji anti mikrobial Resistant (AMR) terhadap isolat
E.coli dari sampel daging segar (daging sapi, babi, ayam). Hasil uji
menunjukkan bahwa dari 68 isolat E.coli yang diuji, sebanyak 30 isolat (44,1%)
resistant terhadap Sulfamethoxazole, 63 isolat (92,6%) resistant terhadap
Gentamycin, 64 isolat (94,1%) resistant terhadap Cephalotin, 40 isolat (58,8%)
resistant terhadap Tetracyclin, 60 isolat (88,2%) resistant terhadap
Erythromycin dan 0% isolat resistant terhadap Chloramphenicol (semua isolat
E.coli sensitif terhadap Chloramphenicol).
121
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 11. Hasil uji AMR (Anti Mikrobial Resistant) terhadap isolat E.coli
Hasil uji AMR terhadap isolat E.coli(∑ isolat yang resistant terhadap jenis antibiotika)Asal
sampel
sumberisolatE.coli
Jumlah
isolatE.coli SXT CN KF TE E. C
Dg. sapi 4 3 4 4 3 0 0
Dg. babi 5 0 5 5 2 5 0
Bali
Dg.ayam
15 10 12 11 10 14 0
Dg. sapi 5 2 4 5 1 3 0
Dg.ayam
10 7 10 10 10 10 0
NTB
Dg. babi 5 1 4 5 1 4 0
Dg. sapi 7 0 7 7 6 7 0
Dg.babi 10 0 10 10 0 10 0
NTT
Dg.ayam
7 7 7 7 7 7 0
Total 68 30(44,1%)
63(92,6%)
64(94,1%)
40(58,8%)
60(88,2%)
0(0,0%)
Ket : SXT = Sulfamethoxazole, CN = Gentamycin, KF = Cephalotin, TE = Tetracyclin,E. = Erythromycin, C = Chloramphenicol
122
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
IV. PEMBAHASAN
Cemaran mikroba seperti Total Plate Count (TPC), Coliform, Eschericia coli,
Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Campylobacter sp dan Listeria
monocytogenes berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No.7388:2009
adalah mikroba yang keberadaannya dalam pangan pada batas tertentu dapat
menimbulkan risiko terhadap kesehatan (Anon., 2009).
Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah mikroba dalam suatu produk.
Winarno
(1980) menambahkan bahwa TPC adalah suatu metode yang berfungsi untuk
menentukan kecukupan sanitasi dan kontrol suhu selama proses
pengangkutan dan penyimpanan bahan pangan, menentukan kapan suatu
kerusakan bahan pangan itu dimulai dan untuk menyatakan sumber
kontaminasi. Purwanti (2006) menyatakan bahwa jumlah mikroba pada daging
dapat meningkat karena beberapa faktor antara lain kontaminasi lingkungan,
adanya perkembangan mikroba secara normal di dalam daging, sanitasi dan
higiene yang buruk dan adanya kontaminasi selama proses penanganan awal
hingga penanganan akhir.
Berdasarkan hasil uji TPC pada pangan asal hewan terutama daging segar
yang diambil di beberapa RPH dan pasar tradisional menunjukkan bahwa
tingkat cemaran mikroba relatif tinggi yaitu sebanyak 52,1% sampel daging
segar yang berasal dari RPH, 100% sampel daging segar yang berasal dari
TPH dan 56,9% sampel daging segar dan daging olahan yang berasal dari
pasar/retail mengandung TPC melebihi nilai batas maksimum cemaran
mikroba (MBCM) yang dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
7388 : 200 yaitu 1 x 106 koloni/g untuk daging segar dan 1x105 koloni/g untuk
daging olahan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat higiene dan sanitasi di
beberapa RPH, TPH dan pasar/retail relatif kurang memenuhi standar higiene
dan sanitasi yang baik.
123
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Hasil pengujian terhadap cemaran E.coli menunjukkan bahwa tingkat cemaran
E.coli juga relatif tinggi yaitu sebanyak 55,3% sampel daging segar asal RPH,
100% sampel asal TPH dan 78,4% sampel asal pasar/retail mengandung E.coli
melebihi nilai batas maksimum. Hal ini juga mengindikasikan rendahnya tingkat
kebersihan (sanitasi) di tempat penyediaan pangan tersebut.
Escherichia .coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek, gram negatif,
ukuran 0,4 um – 0,7 um x 1,4 um, dan beberapan strain mempunyai kapsul.
Terdapat beberapa strain E.coli yang patogen dan non patogen. Strain patogen
E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua kelompok usia
melalui endotoksin yang dihasilkannya. Sumber pencemaran E.coli adalah
feses, saluran pencernaan hewan atau manusia. Escherichia. coli yang
bersifat hemolitik dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari
kuman tersebut diabsorbsi pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak
terdapat seperti di ginjal sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti
haemolitik uremik syndrome (HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga
menimbulkan gejala syaraf. Sanitasi yang baik, memasak daging sampai suhu
650 C merupakan cara untuk mengontrol E.coli.
Sementara itu, dari hasil uji terhadap terhadap beberapa bakteri yang
dikatagorikan membahayakan (patogen) seperti S.aureus, Salmonella spdan
Campylobacter jejuni menunjukkan bahwa sampel daging dan telur yang
diperiksa tidak terkontaminasi bakteri patogen. Hal ini ditunjukkan dari
pengujian terhadap sampel daging dan telur, hasil uji menunjukkan semua
sampel tidak mengandung bakteri S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter
jejuni , meskipun dalam persyaratan yang ditetapkan dalam SNI bahwa
bakteri S.aureus masih diperbolehkan ada dalam pangan asal hewan
sebanyak 1 x 102 koloni/gram, sedangkan bakteri Salmonella sp dan
Campylobacter sp tidak boleh ada dalam pangan asal hewan.
124
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Salmonella merupakan mikroflora normal pada beberapa hewan, terutama babi
dan unggas. Sumber mikroba ini antara lain air, tanah, serangga, lingkungan
pabrik, dapur, feses hewan, daging mentah, unggas mentah dan lain lain.
Pangan asal hewan berupa daging dan telur mentah sering ditemukan bakteri
Salmonella terutama pada kasus sporadik dan wabah Salmonellosis pada
manusia (Schlundt, et al., 2004). Berdasarkan kajian keamanan pangan
sesuai SNI 7388 : 2009 kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini
biasanya terjadi jika manusia menelan pangan yang mengandung Salmonella
dalam jumlah signifikan.
Jumlah Salmonella yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara 107 –
109 koloni/gram. Kontaminasi Salmonella juga dapat terjadi pada ternak.
Kontaminasi pada ternak dapat terjadi sebelum disembelih yaitu akibat
kontaminasi horizontal eksternal pada telur-telur saat pengeraman telur ayam
pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S.
enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (Supardi
dan Sukamto, 1999).
Sementara itu, daging olahan sering tercemar bakteri S.aureus, namun pada
surveilans ini tidak ditemukan adanya bakteri S.aureus mencemari pangan
tersebut. Bakteri S.aureus sering ditemukan sebagai mikroflora normal pada
kulit dan selaput lendir manusia. Dapat meyebabkan infeksi baik pada manusia
maupun pada hewan. Pada susu jumlah bakteri S.aureus sebanyak 107
koloni/gram akan memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan
gastroenteritis atau radang lapisan saluran usus. Walaupun pengolah pangan
merupakan sumber pencemaran pangan yang utama, peralatan dan
lingkungan dapat juga menjadi sumber pencemaran S.aureus. Mencuci tangan
dengan teknik yang benar, membersihkan peralatan dan membersihkan
permukaan penyiapan pangan diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri
ke pangan.
125
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Campylobacter jejuni merupakan salah satu bakteri patogen yang mencemari
ayam maupun karkasnya. Cemaran bakteri ini pada ayam tidak menyebabkan
penyakit, tetapi mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan nama
campylobacteriosis pada manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan diare
yang hebat disertai demam, kurang nafsu makan,
muntah,danleukositosis,(Admin,2010a). Menurut Poloengan et al. (2005),
20−100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan
Tangerang tercemar bakteri C. jejuni. Oleh karena itu, berkembangnya industri
jasa boga di Indonesia perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam
kaitannya dengan penyediaan pangan asal unggas.
Secara umum, hasil uji ini menunjukkan bahwa tingkat higiene daging yang
beredar di Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah yang ditunjukkan dari hasil
uji TPC dan E.coli. Hal ini bisa mengakibatkan waktu paruh atau masa simpan
daging tersebat pendek (tidak bertahan lama pada suhu ruang) sehingga
menyebabkan daging cepat busuk. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa
status higiene dan sanitasi pada mata rantai produksi pangan asal hewan
relatif kurang memenuhi persyaratan sanitasi yang baik. Namun demikian
pangan asal hewan tersebut tidak mengandung bakteri patogen.
Untuk dapat menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH)
maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis,
mengingat RPH merupakan lokasi tranformasi dari ternak hidup menjadi
produk pangan (daging). Berdasarkan hasil pemantauan, ada beberapa RPH
yang memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik, namun sebagian besar
kondisi RPH di Provinsi Bali, NTB dan NTT saat ini cukup memprihatinkan dan
tidak memenuhi persyaratan teknis baik fisik (bangunan dan peralatan),
sumber daya manusia serta prosedur teknis pelaksanaanya. Hal ini dibuktikan
dengan tidak semua RPH memilki nomor kontrol veteriner (NKV) sebagai
standar pelaksanaan higiene dan sanitasi pada sebuah RPH.
126
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Demikian juga situasi di pasar tradisional, meskipun ada beberapa pasar yang
sudah memiliki kios daging, namun sebagian besar pasar tradisional tidak
memiliki kios daging. Situasi di pasar tradisional dengan segala kegiatan dan
kondisi lingkungannya memiliki potensi banyak penyimpangan atau ketidak-
asuhan. Disadari bahwa untuk dapat mewujudkan penyediaan pangan asal
hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di pasar tradisional
kenyataannya relatif berat mengingat permasalahan yang dihadapi tidak
sekedar masalah teknis tetapi juga masalah sosial yang justru lebih dominan
(Anon, 2013).
Selain diuji terhadap cemaran mikroba, sampel pangan asal hewan (daging,
hati dan telur) juga diuji terhadap 4 (empat) golongan residu antibiotika yaitu
golongan penicillin, tetrasiklin, aminoglikosida dan makrolida. Hasil uji
menunjukkan bahwa ke empat golongan residu antibiotika masih ditemukan
pada pangan asal hewan terutama telur ayam dan beberapa hati sapi. Dari
601 sampel yang diuji, residu antibiotika golongan penisillin ditemukan
sebanyak 80 sampel (13,3%), golongan tetrasiklin sebanyak 33 sampel (5,5%),
golongan aminoglikosida sebanyak 54 sampel (9,0%%) dan golongan
makrolida sebanyak 46 sampel (7,6%).
Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil metabolit yang
tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta kandungan
yang tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan sekitar
(Anon., 2005). Pangan asal hewan seperti telur lebih banyak mengandung
residu antibiotika dibandingkan daging. Hal ini bisa terjadi mengingat ternak
unggas terutama ayam petelur yang dipelihara secara intensif dan dalam kurun
waktu yang cukup lama sehingga seluruh waktu hidupnya mendapatkan
antibiotika yang ditambahkan dalam pakan maupun dalam minuman.
Sedangkan residu antibiotika yang ditemukan pada sampel hati sapi
mengindikasikan bahwa kurangnya pengawasan terhadap penggunaan
antibiotika di peternakan.. Disamping itu juga kurangnya perhatian terhadap
withdrawal time (waktu henti obat) sebelum ternak dipotong.
127
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Antibiotika golongan aminoglikosida (streptomysin) yang dikombinasi dengan
penisillin banyak dipergunakan pada ternak unggas dan babi. Antibiotika
golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan
efektif terhadap berbagai spesies Gram negatif dan Gram positif. Antibiotika
golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk
menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi
konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994).
Penggunaan antibiotika tersebut mempunyai peranan yang cukup penting,
tidak hanya untuk menjamin kesehatan ternak tetapi juga mencegah terjadinya
transmisi penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan meningkatkan
efisiensi sistem produksi. Namun demikian, aplikasinya harus disertai dengan
kontrol yang baik dan memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) agar
tidak menimbulkan residu pada pangan asal hewan. Pangan asal hewan yang
mengandung residu, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia.
Sementara itu, sebanyak 40 sampel daging sapi yang diambil dari 4
perusahaan (importir) dan 48 sampel hati sapi yang diambil dari RPH dan
pasar tradisional diperiksa terhadap residu hormon trenbolon asetat (TBA).
Hasil uji menunjukkan bahwa nilai kandungan hormon TBA dengan Elisa
terdeteksi pada sampel daging sapi beku impor dengan nilai konsentrasi
berkisar antara 109,68-313,98 ppt dan pada sampel hati sapi lokal berkisar
antara 104,04-316,91 ppt. Nilai kandungan hormon TBA ini masih dibawah limit
deteksi yaitu 200 ppt sehingga diinterpretasikan tidak terdeteksi (negatif).
128
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Demikian juga nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan
maximum residue limits (MRL) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius
Commisions (CAC) yaitu 2 ppb (2000 ppt) dan 10 ppb (10.000 ppt) pada
sampel hati sapi (Horie, 2000). Rendahnya nilai konsentrasi TBA tersebut
menunjukkan bahwa penggunaan TBA di negara asal telah mengikuti aturan
waktu henti obat (withdrawal times) yang telah ditetapkan yaitu sekitar 60 hari
(Widiastuti, dkk. 2007), sehingga sampel daging sapi beku import dan hati sapi
lokal tersebut aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon
trenbolon asetat.
Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan
untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.
Trenbolon asetat adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara
subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolon asetat
pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa
17α-trenbolon. Trenbolon memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi
mamalia dari berbagai spesies (Jecfa, 1988).
Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,
Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak
digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan
dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat
keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.
Widiastuti, dkk (2001) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi
dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap
residu hormon tersebut.
Sementara itu dari hasil uji Aflatoksin M1 terhadap 35 sampel susu
menunjukkan bahwa semua sampel susu yang diuji tidak mengandung residu
Aflatoksin M1 atau konsentrasinya di bawah batas maksimum residu (BMR).
Batas maksimum residu Aflatoksin M1 dalam SNI 7385 : 2009 adalah 500 ppt
sehingga secara umum sampel susu tersebut dikatagorikan belum
membahayakan untuk dikonsumsi.
129
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Namun demikian perlu tetap diwaspai mengingat susu (segar, pasteurisasi,
UHT, olahan) merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang potensial
sebagai sumber masuknya aflatoksin melalui rantai makanan manusia melalui
terbentuknya Aflatoksin M1 (Aycicek et al, 2001). Aflatoksin M1 merupakan
metabolit sekunder dari Aflatoksin B1 yang diketahui sebagai senyawa alami
yang memiliki efek toksik dan karsinogenik paling tinggi diantara jenis
mikotoksin lainnya sehingga dikelompokkan sebagai kelompok 1 oleh IARC
(Richard, 2007).
Hasil uji terhadap residu logam berat khususnya Timbal (Pb) terhadap 23
sampel hati sapi dalam surveilans ini menunjukkan tidak terdeteksi (negatif).
Namun demikian beberapa penelitian menemukan residu Timbal pada
beberapa hati sapi. Menurut Bahri (2008), pencemaran Timbal (Pb) pada
pangan hewani dapat terjadi pada proses praproduksi, produksi, dan proses
pasca-produksi. Praproduksi mencakup proses pembibitan dan pemeliharaan
hewan ternak. Pencemaran pada saat praproduksi bisa saja terjadi melalui
udara yang tercemar dari kendaraan bermotor. Rumput liar yang digunakan
sebagai pakan ternak mengandung kadar Timbal (Pb) yang cukup tinggi,
terutama rumput yang diambil dari lokasi dekat dengan jalan raya karena
tingginya emisi Timbal (Pb) dari kendaraan bermotor.
Oleh karena itu perlu diperhatikan sumber pakan dan lokasi pemeliharaan sapi.
Sumber pakan dan kualitas udara sekitar peterrnakan merupakan faktor resiko
pencemaran timbal (Pb) terhadap sapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memilih lokasi yang jauh dari jalan raya dan tempat pembuangan sampah baik
untuk lokasi peternakan sapi maupun lokasi sumber pakan sapi. Akan tetapi
masih banyak peternak yang tidak memperdulikan hal ini.
Hasil uji Identifikasi spesies daging babi dan tikus (pemalsuan daging babi dan
tikus) terhadap beberapa daging olahan menunjukkan bahwa tidak ada
penambahan daging babi atau tikus pada sampel daging olahan. Hal ini
mengindikasikan bahwa sampel daging olahan tersebut utuh (tidak dicampur)
dengan daging babi atau tikus.
130
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Sementara itu, resistensi anti mikroba kemudian disebut dengan Anti Mikrobial
Resistance (AMR) adalah resistensi yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap
obat-obatan mikroba untuk yang sebelumnya sensitive. Organisme yang
resistant (termasuk didalamnya bakteri, virus dan beberapa parasit) mampu
melawan serangan obat-obatan anti mikroba seperti antibiotik, anti virus dan
anti malaria, sehingga pengobatan standar menjadi tidak efektif lagi. Sehingga
infeksi yang muncul akan bertahan dan dapat menyebar kepada orang atau
populasi lain. AMR merupakan konsekuensi logis dari penggunaan
antimikroba, termasuk didalamnya didalamnya adalah penggunaan reguler
maupun penyalahgunaan.
Hasil uji anti mikrobial resistant (AMR) terhadap isolat E.coli dari sampel daging
sapi, ayam dan babi menunjukkan bahwa dari 68 isolat E.coli yang diuji,
sebanyak 44,1% resistant terhadap sulfamethoxazole ; 92,6% resistant
terhadap gentamycin ; 94,1 % resistant terhadap cephalotin; 58,8% resistant
terhadap tetracycline; 88,2% resistant terhadap erythromycin. Sedangkan
semua isolat E.coli sensitif terhadap chloramphenicol. Hasil uji ini
mengindikasikan bahwa bakteri E.coli cenderung resisten terhadap beberapa
antibiotika.
Salah satu yang dapat menyebabkan terjadinya penyebaran bakteria resisten
antimikroba dari hewan ke manusia, dapat berasal dari kontaminasi produk
hewan yang dikonsumsi sebagai sumber pangan oleh manusia. Resistensi
antimikroba dapat disebarkan oleh bakteria patogen atau bakteri non-patogen
seperti bakteria komensal yang membawa gen yang bersifat reisten. Apabila
pangan tercemar bakteri seperti E.coli maupun Salmonella akan dapat
mengakibatkan infeksi pada manusia yang mengkonsumsinya. Jika bakteri
tersebut resisten terhadap antibiotika maka dapat mengakibatkan penyakit
yang serius akibat kegagalan pengobatan.
131
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Pemakaian antibiotika yang tidak bijaksana untuk pengobatan maupun
pemakaian antibiotika pada hewan sebagai pengobatan , pencegahan penyakit
dan pemacu pertumbuhan dapat menjadi kontribusi terjadinya resistensi
antibiotika baik pada manusia maupun hewan (Barton, 2000). Oleh sebab itu
pemakaian antibiotika pada peternakan sebaiknya dikontrol dengan melakukan
pengawasan yang ketat terhadap pemakaian antibiotika di peternakan.
V. SIMPULAN DAN SARANV.1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat higiene
pangan asal hewan khususnya daging segar yang beredar di wilayah Provinsi
Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah bila dibandingkan dengan persyaratan
yang ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Rendahnya higiene daging tersebut
karena masih relatif tingginya prevalensi cemaran mikroba terutama total
jumlah kuman (TPC) dan E.coli yang mencemari daging tersebut. Hal ini
mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat higiene dan sanitasi pada mata
rantai proses produksi pangan.
Dengan masih ditemukannya residu antibiotika pada pangan asal hewan
khususnya telur ayam dan hati sapi mengindikasikan bahwa pemakaian
antibiotika dipeternakan ayam dan sapi masih cukup tinggi dan kurangnya
pengawasan terhadap penggunaannya dan kurangnya pengetahuan terhadap
waktu henti obat (witdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sementara itu,
pangan asal masih aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu
hormon Trenbolon Acetat (TBA), Aflatoksin M1, Logam berat Timbal (Pb), dan
Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging babi dan tikus).
Dari hasil pengujian anti mikrobial resistant (AMR) terhadap isolat E.coli yang
diisolasi dari sampel daging sapi, babi, dan ayam menunjukkan bahwa bakteri
E.coli cenderung resisten beberapa antibiotika.
132
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
V.2. Saran
Untuk dapat menyediakan pangan asal hewan yang memenuhi standar
jaminan mutu (ASUH), disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Derah
melalui Dinas Peternakan agar meningkatkan higiene dan sanitasi mata rantai
proses produksi dengan cara merevitalisasi RPH dan pembuatan kios-kios
daging di pasar tradisional.
Petugas juga perlu melakukan pengawasan terhadap peredaran dan
pemakaian obat-obatan di peternakan untuk menghindari adanya residu pada
pangan asal hewan dan resistensi antibiotika.
AFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996tentang pangan. Departemen Pertanian Biro Hukum 1996.
Aycicek, H., E. Yarsan, B. Sarimeh Metoglu and O. Cakmak. 2002. AflatoxinM1 in white cheese and butter consumed in Istanbul Turkey. Vet.Human Toxicol. 44: 295 – 296.
Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat KesehatanMasyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.Departemen Pertanian.
Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dansusu serta hasil olahannya. SNI 2897 : 2008. Standar NasionalIndonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonimus, 2008. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika padadaging, telur dan susu secara bioassay. SNI 7424 : 2008. StandarNasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI7388 :2000. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonimus, 2013. Metode pengujian kadar logam berat (Pb) dan kadmium (Cd)dalam daging, telur, susu dan olahannya dengan menggunakanSpektrofotometer Serapan Atom (SSA). SNI 7853 :2013. StandarNasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
133
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Anonimus, 2013. Kumpulan Peraturan Menteri Pertanian Bidang KesehatanMasyarakat Veteriner dan Pasca Panen. Direktorat Kesmavet danPasca Panen, Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,Kementerian Pertanian.
Barton, M.D.2000. Antibiotic use in animal feed and its impact on humanhealth. Nutrition Research Review. 13 (2) : 1-19.
Bahri, S., 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia,Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, Hal 225- 242.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah MadaUniversity Press. Yogyakarta.
Supardi, I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme Penyebab Penyakit Menular.Dalam Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Pangan. EdisiPertama, Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal.157-173
Schlundt, J., H. Toyofuku, J. Jansen dan S.A. Herbst , 2004. Emerging Food-Borne Zoonoses. Rev.Sci.Tech.Off.Int.Epiz 23(2): 512-515, 522-527.
Richard, J.L., 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis : Anoverview. International Journal of food Microbiology 11:3-10.
Widiastuti, R., Indraningsih, T.B. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2007. Residutrenbolon pada jaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakanongole yang diimplantasi dengan trenbolon acetat. JITV. 12 (1) : 60,67.
134
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS DAN MONITORING DALAM RANGKA UPAYAPEMBEBASAN PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALI
TAHUN ANGGARAN 2017
Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, Erni PuspitasariI Ketut Mayun, I Nengah Mundera, I Wayan Ekaana.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Penyakit Jembrana (Jembrana disease/JD) merupakan salah satu penyakit hewan menularstrategis (PHMS) yang perlu mendapatkan prioritas dalam pengendalian danpemberantasannya. JD di Bali sudah endemik dan hingga saat ini merupakan salah satukendala dalam pengeluaran sapi bibit dari Bali. Pada bulan September sampai denganDesember 2017 telah dilakukan surveilans untuk mengetahui situasi JD di Bali dalam rangkapemetaan penyakit dan upaya pembebasan JD di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukandi tujuh Kabupaten di Bali, berbasis desa dan selama pelaksanaan surveilans berhasildikumpulkan sebanyak 9800 sampel serum dan 9800 sampel darah dengan antikoagulanEDTA. Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6 histidin,sedangkan sampel darah EDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan tidak ditemukanadanya gejala klinis dan kasus positif JD di semua lokasi surveilans. Hasil uji ELISAmenunjukkan dari 9800 sampel serum yang diuji ELISA hanya 14 (0.14 %) diantaranyaseropositif JD. Sedangkan hasil uji PCR terhadap 9800 sampel darah EDTA , menunjukkansemua sampel negatif virus JD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkan bahwa situasi JD diBali cukup terkendali dengan persentase seropositif sangat rendah, dan tidak ditemukanhewan carrier / positif virus JD. Perlu dilakukan surveilans/monitoring secara periodik danterstruktur, peningkatan pengawasan lalu lintas ternak serta pengendalian dan pemberantasanvektor.
Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans, sapi Bali
135
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sapi Bali adalah salah satu dari tiga ras sapi di dunia , merupakan salah satu
plasma nutfah/ primadona Indonesia dan diharapkan mampu menggantikan
posisi sapi import dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena sapi Bali memiliki beberapa keunggulan antara lain
mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan,
calving interval yang sangat pendek, kualitas daging yang cukup bagus namun
di balik keunggulan yang dimiliki tersebut sapi Bali memiliki kelemahan yaitu
sangat peka terhadap penyakit Jembrana.
Penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) merupakan salah satu penyakit
virus yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae.
(Wilcox et al., 1992). Kasus JD di Bali pertama kali dilaporkan terjadi pada
tahun 1964, hingga saat ini JD endemik di Bali dan telah menyebar ke
beberapa daerah di luar Bali seperti Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Tengah (Hartaningsih, 2005).
Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan salah satu kendala
dalam pengiriman sapi bibit ke luar Bali sehingga berdampak dalam
pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan karena
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No: 46 Tahun 2011
mensyaratkan agar semua bibit sapi Bali yang akan diantapulaukan harus
benar-benar bebas JD untuk mencegah penyebaran JD ke luar pulau Bali
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian : SK Mentan No
:4026/Kpts.OT.140/3/2013, JD merupakan salah satu penyakit strategis di
Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam penanggulangan dan
pemberantasannya. Salah satu upaya pencegahannya adalah dengan cara
136
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
vaksinasi. Dalam upaya pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali
telah melakukan vaksinasi JD dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15,
produksi Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar berturut-turut selama 4 tahun
dari tahun 2001-2004 dengan cakupan vaksinasi kurang dari 70%. Vaksinasi
hanya dapat dilakukan di beberapa daerah saja karena keterbatasan jumlah
vaksin yang tersedia, sehingga cakupan vaksinasi sangat rendah, akibatnya
masih banyak sapi yang berisiko terserang penyakit Jembrana. Dalam kurun
waktu 2005 sampai dengan 2011 vaksinasi JD tidak pernah dilakukan lagi,
Vaksinasi JD dilakukan kembali mulai akhir tahun 2012, tahun 2013 dan 2014
terbatas pada beberapa Kelompok Ternak SIMANTRI dan ternak masyarakat.
Dalam rangka mengetahui situasi JD di Bali, BBVet Denpasar telah melakukan
surveilans dan monitoring JD secara rutin setiap tahun dan melakukan uji
serologis (ELISA) untuk mendeteksi antibodi terhadap JD dan uji PCR untuk
mendeteksi adanya virus JD. Hasil surveilans dan monitoring JD yang
dilakukan BBVet Denpasar, selama lima tahun terakhir menunjukkan trend
terjadinya penurunan seropositif dan positif virus JD,. Berdasarkan data
tersebut sangat mungkin dilakukan upaya pembebasan JD di Bali . Selain itu
tidak adanya pemasukan sapi ke provinsi Bali juga sangat mendukung
pembebasan JD di provinsi Bali. Bebasnya JD di Bali akan berdampak positif
terhadap pengembangan peternakan sapi di Bali karena bibit sapi asal Bali
akan dapat dintarpulaukan sehingga akan meningkatkan pendapatan
peternak dan pendapatan asli daerah (PAD) Bali
Upaya pembebasan JD di Bali telah diputuskan oleh Dirjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan, pada rapat bersama dengan BBVet Denpasar, BBPMSOH,
dan Pusvetma tanggal 14 Pebruari 2015 di Denpasar Selain itu upaya
pembebasan JD di Bali juga telah disetujui oleh Dinas Peternakan Provinsi
Bali, dan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota se-Bali, Kepala BBVet
Denpasar dan staf , Expert penyakit Jembrana (Dr Hartaningsih, Dr Anak
Agung Gde Putra) dan ahli epidemiologi Prof. Setyawan Budiharta pada rapat
khusus penyakit Jembrana di Denpasar tanggal 3 Maret 2015, Untuk
137
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
mengetahui situasi JD di provinsi Bali pada tahun 2017, maka dilakukan
surveilans dan monitoring JD.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Sampai saat ini penyakit Jembrana (JD) di Bali bersifat endemik, sehingga
ada larangan pengeluaran bibit sapi Bali dari provinsi Bali.
2. Hasil monitoring BBVet Denpasar selama lima tahun terakhir
menunjukkan rendahnya seropositif JD , namun kasus JD tidak pernah
terjadi.
1.3. Tujuan KegiatanSurveilans dan monitoring ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka upaya pembebasan JD
sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan
2. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus JD sebagai
dasar penentuan program surveilans selanjutnya
1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di Bali sebagai bahan
masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam
upaya pembebasan JD di Bali
2. Terpetakannya situasi JD di Bali dalam rangka pembebasan JD
1.5. OutputOutput/keluaran yang diharapkan dari surveilans dan monitoring ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD, terkait upaya
pembebasan JD di Provinsi Bali .
138
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
2. Provinsi Bali bebas JD sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan
untuk meningkatkan PAD provinsi Bali dan mendukung penyediaan bibit
sapi Nasional.
II. MATERI DAN METODA
BAHAN DAN ALAT
Bahan dalam surveilans ini meliputi bahan-bahan untuk isolasi PBMC, KIT
untuk ekstraksi DNA, bahan untuk uji ELISA dan PCR, sedangkan alat-alat
dalam surveilans ini meliputi : alat-alat untuk pengambilan sampel darah dan
serum, alat-alat untuk uji ELISA dan PCR
METODE
Program pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam tiga
tahapan sampling yaitu Langkah pertama preliminary studi, langkah kedua
merupakan survey deteksi penyakit di tingkat kecamatan, desa, sensus tingkat
individu ternak dan tahap ketiga adalah eliminasi ternak carrier serta evaluasi
program pembebasan. Algoritme tahapan dan pengujian sampel upaya
pemberantasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dapat dilihat sebagai
berikut;
139
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
A. Metode SurveilansSurveilans Terstruktur
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum dan darah sapi Bali
dari ternak Simantri dan masyarakat di wilayah Bali. Surveilans
pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam dua
tingkat unit observasi yaitu :
1. Unit observasi desa
Desa yang akan dilakukan pengambilan sampel dipilih menggunakan
metode detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n =[1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan 95 %, n adalah
besaran sampel, P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di
dalam jumlah unit sampel tersebut, d adalah harapan minimal jumlah
unit sampel yang terinfeksi dengan asumsi prevalensi sebesar 1 % dan
N adalah jumlah populasi unit observasi yaitu populasi desa di provinsi
Bali sebanyak 716 desa.Pemilihan desa tersebut dilakukan secara
random dengan menggunakan metode random dalam aplikasi online
(Ausvet, 2016) sehingga terpilih 287 desa. Pada tahun anggaran 2016
telah dilakukan survey di 116 desa dan sisanya sebanyak 171 desa
akan disurvei pada tahun 2017.
2. Unit Observasi Ternak
Pengambilan sampel unit ternak yang akan dilakukan dengan
menggunakan metode detect presence of the disease dari Martin et al
(1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan
95 % n adalah besaran sampel, P1 adalah probability ditemukan paling
tidak 1 kasus di dalam jumlah unit sampel tersebut, d adalah harapan
minimal jumlah unit sampel yang terinfeksi dengan asumsi prevalensi
sebesar 1 % dan N adalah jumlah populasi unit observasi yaitu populasi
ternak di masing – masing desa di provinsi Bali Adapun tabulasi jumlah
sampel ternak yang akan diambil adalah sebagai berikut ;
140
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 2. Tabulasi jumlah sampel tingkat Ternak program pembebasanpenyakit Jembrana di Bali Tahun 2017
Tahun 2017Kabupaten Jumlah
Kecamatan2017
Jumlah Target Sampel Desa2017
Jumlah TargetSampel Ternak
Badung 5 14 2.457
Bangli 3 19 4.906
Buleleng 9 34 7.528
Denpasar 3 7 -
Gianyar 6 15 2.860
Jembrana 4 9 1.973
Karangasem 7 18 4.820
Klungkung 4 18 3.773
Tabanan 10 37 5.904Grand Total 51 171 34.221
Pengujian sampel dilakukan secara paralel antara uji ELISA dan PCR, dengan
prosedur uji sebagai berikut :
a. UJI ELISA
Uji ELISA yang digunakan untuk deteksi antibodi JD adalah uji ELISA standar
sesuai SOP BBVet Denpasar (Agustini, et al., 2002). Pengujian sampel serum
dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja sebagai berikut : antigen
J Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating buffer 1:50 kemudian
ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl, mulai dari well B2 sampai
dengan G12. Masukkan 50 µl hanya coating buffer (tanpa antigen) ke dalam
lubang blank A1 dan B1.. Kocok dengan shaker dan diinkubasikan pada suhu
40C selama 24 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA
washer. Blok plate dengan menambahkan ke masing-masing well sebanyak 50
141
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
µl larutan skim milk 5% dalam PBST dan plate diinkubasikan selama 1 jam
pada suhu ruangan. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA
washer. Siapkan sampel serum, kontrol positif dan serum kontrol negatif.
fengan cara sebagai berikut: Sampel yang akan diuji diencerkan 1: 100 dalam
skim milk 5% dan 50 µl serum tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing
lubang test. Serum Kontrol Positif (PM) diencerkan mulai dari pengenceran
1 : 100 hingga 1 : 400 dalam skim milk 5% dan tiap-tiap pengenceran
dimasukkan pada lubang B2, C2 dan D2. Serum Kontrol Negatif (PM)diencerkan 1 :100 dimasukkan ke dalam lubang B3 dan C3. Serum sampel
yang sudah diencerkan dimasukkan masing-masing 50 ul ke well uji dan
dhomogenkan dengan dishaker selanjutnya inkubasikan pada suhu 370C
selama 1 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer.
Encerkan conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA) perbandingan 1 :
1000 dalam PBST buffer. Masukkan 50 µl conjugate yang telah diencerkan
tersebut pada setiap lubang baik yang mengandung serum maupun lubang
blank dan kontrol. Inkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Cuci plate
dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Tambahkan campuran
satu bagian substrate Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9 bagian
(solution A) atau 2,2- Azino-bis (3-ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid
diamonium salt). Masukkan 50 µl substrate ke dalam setiap well (blank, kontrol
dan serum sampel), diamkan selama 2 menit. Kemudian stop reaksi dengan
menambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2 % ke semua well.
Pembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang
gelombang 405 nm. Bila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD
pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan positif antibodi JD sedangkan
bila nilai OD sampel lebih kecil dari OD pengenceran 1 : 100 maka sampel
dikatakan negatif antibodi JD.
142
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
b. UJI POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
DNA virus JD dari PBMC diisolasi dengan menggunakan QIAmp DNA Blood
Kit (Qiagen). Tabung eppendorf yang sudah berisi DNA filtrat diberi label dan
disimpan pada -20oC sampai siap diuji. Sedangkan metoda uji PCR yang
dipakai untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah metoda PCR yang
dikembangkan oleh Tenaya dkk., (2003 & 2004). Bahan-bahan yang diperlukan
dalam teknik PCR JD antara lain: Master mix, PCR water,Primer JDV–1,
Primer JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%, TAE buffer, dan Ethidium
Bromide. Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer JDV–
3.Forward primer (JDV –1) dengan sekuen
5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’.Reverse primer (JDV – 3)
dengan sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al.,
1995).
Untuk setiap reaksi PCR digunakan 12.5 µL Master Mix, 1 µL primer JDV-1,
satu uL primer JDV-3, 8.5 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL.
Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume
500 µL. Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35
siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5
menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama
1 menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir
siklus, ada program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi
pemanjangan DNA yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di
bawah suhu ruang, biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus
adalah selama 2 jam 15 menit.
Analisa dan dokumentasi hasil PCRHasil PCR kemudian dielectrophoresis dengan 1% gel agarose yang
mengandung 5 ug Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan
voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi
143
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program
Gel Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.
HASIL
Dalam perencanaan awal surveilans JD tahun 2017 jumlah desa terpilih adalah
sebanyak 171 desa, di 51 Kecamatan di Provinsi Bali namun dalam
pelaksanaannya tidak seluruh desa terpilih bisa dilakukan pengambilan
sampel. Pengambilan sampel pada surveilans JD di Provinsi Bali Tahun 2017
hanya dilakukan di 52 desa di 19 kecamatan se-provinsi Bali. Hal ini
disebabkan karena di beberapa desa terpilih terjadi penurunan jumlah
populasi dan adanya alih fungsi lahan sehingga target sampel tidak bisa
terpenuhi akibatnya dilakukan pemindahan lokasi pengambilan sampel oleh
Dinas setempat. Pada tahun 2017 untuk Kota Denpasar tidak bisa dilakukan
pengambilan sampel karena tidak ada populasi sapi di desa terpilih akibat
adanya alih fungsi lahan.. Pengambilan sampel pada tahun 2017 juga tidak
bisa dilakukan di Kabupaten Karangasem karena adanya erupsi gunung Agung
Sisa target sampel yang tidak bisa diambil pada tahun 2017 akan diambil pada
surveilans tahun 2018
Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan sapi yang menunjukkan
gejala klinis JD dan berhasil dikumpulkan sebanyak 9800 sampel serum dan
9800 sampel darah EDTA. Hasil surveilans JD tahun 2017 menunjukkan 14
sampel seropositif JD, sedangkan konfirmasi dengan uji WB menunjukkan
seronegatif JD. Hasil uji PCR tehadap sampel darah EDTA menunjukkan
semua sampel negatif virus JD. Hasil uji ELISA dan PCR dari sampel
Kabupaten/kota se- Bali Tahun 2017 seperti tersaji pada Tabel 1 dan 2. .
144
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 1. Hasil Uji ELISA JD sampel dari Kabupaten/Kota di Provinsi BaliTahun 2017.
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL
JUMLAHPOSITIF
PERSENTASESEROPOSITIF
(%)1 Badung 1010 2 0.19
2 Bangli 1910 0 0
3 Buleleng 2485 4 0.16
4 Denpasar 0 0 0
5 Gianyar 469 2 0.4
6 Jembrana 1380 5 0.36
7 Karangasem 0 0 0
8 Klungkung 1211 1 0.08
10 Tabanan 1375 0 0
TOTAL 9800 14 0.14
Tabel 2. Hasil Uji PCR JD sampel dari Kabupaten/Kota di Provinsi BaliTahun 2017
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL
JUMLAHPOSITIF
PERSENTASEPOSITIF JD
1 Badung 1010 0 0
2 Bangli 1910 0 0
3 Buleleng 2485 0 0
4 Denpasar 0 0 0
5 Gianyar 469 0 0
6 Jembrana 1380 0 0
7 Karangasem 0 0 0
8 Klungkung 1211 0 0
9 Tabanan 1375 0 0
TOTAL 9800 0 0
145
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PEMBAHASAN
Saat ini pemerintah sedang melaksanakan program pengembangan ternak
sapi Bali di Indonesia khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Salah satu
alasan dipilihnya sapi Bali untuk dikembangkan adalah karena sapi Bali
memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kualitas
daging yang cukup baik. Pengembangan Sapi Bali di Indonesia diharapkan
dapat membantu memenuhi penyediaan daging sapi Nasional. Terkait hal
tersebut ketersediaan sapi bibit sangat diperlukan untuk mendukung
keberhasilan program penyediaan daging sapi Nasional. Salah satu
persyaratan untuk pengadaan sapi bibit khususnya bibit sapi Bali adalah harus
bebas JD
Keberadaan JD di Bali merupakan kendala utama dalam pengeluaran sapi bibit
untuk diantapulaukan ke luar Bali. Berdasarkan alasan tersebut maka BBVet
Denpasar, melakukan surveilans JD setiap tahun dalam rangka upaya
pembebasan JD di provinsi Bali. Bebasnya JD di Bali akan berdampak
terhadap pengeluaran sapi bibit dari Bali untuk diantarpulaukan. Hasil
surveilans JD tahun 2017 menunjukkan masih ditemukan adanya seropositive
JD di Bali sebanyak 0.14% (14 dari 9800 sampel).
Terjadinya seropositif JD tersebut disebabkan karena antigen J Gag 6
Histidine yang digunakan pada uji ELISA masih menimbulkan adanya “cross
reaction” antara JDV dan BIV. Dari data pengambilan sampel menunjukkan
bahwa sampel seropositif JD tersebut berasal dari sapi yang tidak pernah
divaksinasi . Untuk memastikan antibodi yang terdeteksi bukan antibodi JD ,
maka dilakukan konfirmasi dengan uji Western Immunoblotting (WB). Hasil uji
WB menunjukkan semua sampel negatif antibodi. Hasil ini semakin
memperkuat dugaan bahwa antibodi yang terdeteksi bukan merupakan
antibodi JD melainkan antibodi Bovine Immunodefisiensi Virus (BIV). Hasil
penelitian Hartaningsih.,1996 menemukan bahwa virus BIV sudah ada di Bali
dan antibodinya terdeteksi di beberapa Kabupaten/Kota di Bali .
146
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Untuk memastikan apakah antibodi yang terdeteksi merupakan antibodi JDV
atau BIV maka dilakukan konfirmasi dengan uji PCR. Hasil uji PCR terhadap
9800 sampel darah EDTA menunjukkan negatif virus JD. Hasil uji PCR inilah
yang diigunakan sebagai acuan untuk menentukan hewan positif JD atau tidak.
Saat ini uji PCR digunakan sebagai “gold standard” untuk diagnosa JD. Hal ini
disebabkan karena primer yang digunakan pada uji PCR yaitu primer JDV-1
dan JDV-3 sangat spesifik , dimana primer tersebut mampu membedakan
antara proviral DNA JDV dan BIV. Selain itu uji PCR mampu mendeteksi
keberadaan proviral DNA setelah hewan sembuh (carrier).
Hasil surveilans JD 2017 ini membuktikan bahwa situasi JD di Bali cukup
terkendali Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD di Bali
rendah disebabkan karena virus JD dan hewan carrier JD tidak ditemukan di
semua lokasi surveilans JD di Bali
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanDari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :
Situasi JD di Bali cukup terkendali dengan persentase seropositif JD
sangat rendah hanya 0.14%
Hewan “carrier JD” (positif virus JD) tidak ditemukan di semua lokasi
surveilans)
Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD sangat rendah
disebabkan karena virus JD (hewan carrier JD) tidak ditemukan di semua
lokasi surveilans di Kabupaten /Kota di Bali .
Saran
Surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur , peningkatan
pengawasan lalu lintas ternak. dan pemberantasan vektor harus dilakukan.,
untuk mencegah terjadinya penyakit Jembrana.
147
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Upaya pembebasan JD di Provinsi Bali harus dilanjutkan sehingga
dengan bebasnya JD di Bali bibit sapi Bali boleh diantarpulaukan untuk
memenuhi kebutuhan bibit sapi Bali di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
surveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan
kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel. Penulis
juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan
Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu
dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. 2002. Uji Elisa untuk Mendeteksi Antibodi LentivirusMenggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. .Manual Diagnosa Laboratorik JD.Materi Kursus Peningkatan Metode Diagnosa JD ACIAR-BPPV VI.
Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test for JDV Antibodiesand Antibody Respons of Infected Cattle. In Jembrana Disease and the BovineLentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page 79-84
Hartaningsih, N. 2005. Laporan Hasil Investigasi JD di Kalimantan Timur. Laporan TahunanBalai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Denpasar
Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA Virus Jembranapada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase Chain Reaction.Buletin Veteriner. 63:44-48, BPPV VI Denpasar.
Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals by PCR.BuletinVeteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.
Wilcox G.E., Kertaydnya G., Hartaningsih N., Dharma D.M.N., Soeharsono S., and RobertsonT (1992). Evidence for viral aetiology of Jembrana disease in Bali cattle. VeterinaryMicrobiology 33: 367-374
148
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, Erni Puspitasari,I Ketut Mayun, I Nengah Mundera dan I Wayan Ekaana
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Sejak Rabies dilaporkan terjadi di Bali tahun 2008, berbagai tindakan pengendalian sudahdilakukan, Vaksinasi merupakan salah satu upaya pencegahan dan pengendalian Rabies.Pemerintah provinsi Bali telah melakukan vaksinasi massal Rabies sejak tahun 2010 danvaksinasi massal tahun 2017 telah memasuki Round 8 (delapan). Walaupun vaksinasi massaldilakukan setiap tahun namun kejadian Rabies masih terus terjadi. Serosurveilans untukmengetahui seroprevalensi, Rabies di provinsi Bali dan NTT sudah dilakukan pada bulanSeptember sampai dengan Desember 2017. Serosurveilans Rabies di provinsi Bali dilakukan di9 kabupaten/kota. Pengambilan sampel serum di provinsi Bali dibagi menjadi tiga kelompok,yaitu anjing rumahan (diikat/dikandangkan), anjing berpemilik diliarkan dan anjing liar.Pengambilan sampel serum di provinsi NTT dilakukan di tiga kabupaten yaitu : Flores Timur,Ngada, dan Nagekeo. Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabiesproduksi Pusat Veteriner Farma Surabaya. Hasil uji ELISA terhadap 564 sampel serum yangdiambil di provinsi Bali menunjukkan seroprevalensi Rabies sebesar 55,7% , SeroprevalensiRabies pada anjing berpemilik dliarkan sebesar 56.9%, seroprevalensi pada anjing liar sebesar: 54.5% dan seroprevalensi pada anjing rumahan (dikandangkan/diikat) 51.3%. Hasil uji Elisamenunjukkan seroprevalensi Rabies di provinsi NTT sebesar 24,8%. Rincian seroprevalensiRabies di masing-masing Kabupaten di NTT: Kabupaten Flores Timur sebesar 28,1 %,Kabupaten Nagekeo 32% dan kabupaten Ngada : 14 %. Vaksinasi massal di provinsi Balimampu merangsang terbentuknya antibodi dengan nilai seroprevalensi sebesar 55,7%. Untukmeningkatkan persentase seroprevalensi Rabies di Bali dan NTT perlu dilakukan vaksinasiulang terhadap anjing yang memililiki titer antibodi < 0.5 IU/ml.
Kata Kunci : rabies, serosurveilans, vaksinasi
149
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
I. PENDAHULUANI.1. Latar Belakang
Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut
menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari
famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.,2009; Fischer et al., 2013). Rabies
ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)
melalui gigitan atau jilatan pada luka.
Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing
dalam masa inkubasi yang dibawa oleh pelaut asal Sulawesi Selatan (Putra
et.al., 2009). Sejak munculnya kasus rabies di desa Kedonganan kecamatan
Kuta Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008
provinsi Bali secara resmi dinyatakan sebagai daerah tertular rabies.
Kejadian Rabies di provinsi NTT khususnya pulau Flores sudah terjadi sejak
tahun 1998 berawal dari kejadian Rabies di Kabupaten Sikka , kemudian
menyebar ke Ende tahun 1999, Ngada Juni 2000, dan Manggarai Juli 2000
Sejak tahun 2008 hingga saat ini kejadian kasus Rabies di Bali masih terjadi
walaupun jumlah kasus sudah menurun. Anjing masih merupakan hewan
penular Rabies (HPR) utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada
hewan di Bali periode tahun 2008-2013 semuanya ditularkan oleh anjing
Rabies. (Supartika et.al., 2013). Cepatnya penyebaran rabies di Bali dan
Flores tidak terlepas dari tingginya populasi anjing di kedua daerah tersebut
dan hampir setiap rumah tangga di Bali dan Flores memiliki anjing. Tingginya
angka kepemilikan anjing khususnya di Flores disebabkan karena anjing
memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang sangat tinggi serta sangat
dibutuhkan pada upacara adat. Walaupun anjing memiliki nilai ekonomi dan
sosial budaya yang tinggi di pulau Flores namun, sistim pemeliharaan anjing di
150
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Flores, mayoritas masih diliarkan, sehingga sangat berpotensi menjadi sumber
penularan rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.
Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan
eliminasi anjing secara selektif dan tertarget terutama anjing liar/diliarkan,
program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR).
Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk pencegahan dan
pengendalian Rabies. Pemerintah provinsi Bali setiap tahun rutin telah
melakukan vaksinasi massal terhadap HPR .Seiring dengan pelaksanaan
vaksinasi Rabies massal Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar melakukan
serosurveilans Rabies di provinsi Bali.
1.2. Rumusan Masalah1. Pemerintah provinsi Bali secara rutin telah melakukan vaksinasi massal
Rabies namun kasus rabies masih terus terjadi sehingga perlu diketahui
penyebabnya.
1.3.Tujuan KegiatanKegiatan serosurveilans ini bertujuan untuk
1. Mengetahui seroprevalensi Rabies di provinsi Bali dan NTT
1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah:
1. Diiketahuinya seroprevalensi Rabies di Bali dan NTT
1.5. Keluaran/OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan serosurveilans ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang seroprevalensi Rabies , terkait
upaya pembebasan penyakit Rabies di provinsi Bali
151
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
II. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans Rabies ini meliputi : KIT
ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.
2.1.2. AlatAlat yang digunakan untuk surveilans meliputi : spuite disposible 3 ml, , tabung
effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, microtip pipet 300 ul dan 1000 ul,
microshaker, ELISA washer, inkubator, ELISA reader
2.2. Metode2.2.1. Metode Pengambilan sampel
a. Penentuan Lokasi.Lokasi pengambilan sampel serum di provinsi Bali adalah seluruh
Kabupaten/kota. Pemilihan desa tempat pengambilan sampel ditentukan
secara random disesuaikan dengan jadwal pelaksanaan vaksinasi di masing-
masing kabupaten/kota
Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Flores Timur,
Nagekeo dan Ngada.
b. Metode Pengambilan sampelMetode pengambilan sampel di provinsi Bali dilakukan secara acak.
Pengambilan sampel serum dikelompokkan berdasarkan sistem pemeliharaan
anjing yaitu anjing liar, berpemilik diiarkan dan rumahan (dikandangkan/diikat).
3.2.2. Metode Pengujian SampelSampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA menggunakan KIT ELISA
Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya dengan prosedur sebagai
berikut :
152
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1. Sebelum dilakukan pengujian, semua sampel serum diinaktivasi pada
suhu 56 °C selama 30 menit.
2. Sampel serum yang akan diuji diencerkan dengan menambahkan 2.5 µl
serum ke dalam pelarut PBST sebanyak 247.5 µl pada mikroplate
(template), sehingga menghasilkan 50 kali pengenceran. Urutan sampel
serum dalam template mikroplate didisain sedemikian rupa sehingga
enceran sampel dapat dipindahkan ke dalam sumuran-sumuran pada
mikroplate uji.
3. Serum kontrol positif diencerkan dengan cara sebagai berikut : siapkan 6
tabung dan ke dalam masing-masing tabung dimasukkan 500 µl PBST.
Kecuali pada tabung pertama ditambahkan sebanyak 990 µl PBST.
Selanjutnya ditambahkan 10 ul serum kontrol positif ke dalam tabung
pertama campur sampai homogen sehingga diperoleh kontrol positif
pengenceran (K4 EU). Sebanyak 500 ul serum kontrol positif K4 EU
dipindahkan ke dalam tabung kedua yang sudah berisi 500 ul PBST,
dicampur sampai homogen sehingga diperoleh pengenceran K2 EU,.
Selanjutnya 500 ul kontrol positif K2 EU dipindahkan kedalam tabung
ketiga yang sudah berisi 500 ul PBST, sehingga diperoleh kontrol positif
pengenceran (K1 EU). Selanjutnya 500 ul pengenceran K1 EU
dimasukkan ke dalam tabung keempat yang telah berisi 500 ul PBST
sehingga diperoleh pengenceran kontrol positif 0.5 EU. Sebanyak 500 ul
kontrol positif pengenceran 0.5 EU ditambahkan ke dalam tabung kelima
yang sudah berisi 500 ul PBST sehingga diperoleh pengenceran kontrol
positif K 0.25 EU Terakhir tambahkan 500 ul Kontrol positif K 0.25 EU ke
dalam tabung keenam yang telah berisi 500 ul PBST sehingga diperoleh
pengenceran 0.125 EU.
4. Pengenceran kontrol negatif dilakukan dengan cara menambahkan 2.5 ul
kontrol negatif ke dalam 247.5 ul PBST , kemudian dicampur sampai
homogen.
5. Pengenceran Kontrol Standar dilakukan dengan cara menambahkan 2.5
ul kontrol standar 1 EU ke dalam 247.5 ul PBST, dicampur sampai
homogen.
153
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
6. Pindahkan enceran serum dengan pipet multichanel ke mikroplate uji
sebanyak 100 µl. Sumuran H11 dan H12 sebagai kontrol pelarut.
7. Pindahkan masing-masing sebanyak 100 ul serum kontrol positif secara
duplo ke dalam masing-masing sumuran : serum kontrol K4 EU ke dalam
sumuran A1 dan A2, serum kontrol positif K2 EU ke dalam sumuran B1
dan B2, serum kontrol K1 EU ke dalam sumuran C1 dan C2, serum
kontrol 0.5 EU ke dalam sumuran D1 dan D2, serum kontrol 0.25 EU ke
dalam sumuran E1 dan E2, dan serum kontrol 0.125 EU ke dalam
sumuran F1 dan F2.
8. Penambahan kontrol standar dilakukan dengan menambahkan 100 ul
kontrol standar yang sudah diencerkan ke dalam sumuran G1 dan G2.
9. Penambahan kontrol serum negatif dilakukan dengan cara memasukkan
100 ul kontrol serum negatif yang sudah diencerkan ke dalam sumuran
H1 dan H2.
10. Tutup mikroplate dengan plastik penutup dan inkubasikan pada suhu
37°C selama 45-60 menit.
11. Siapkan conjugate/ antibodi sekunder (rec-protein A-HRP) pada
pengenceran 16000 kali dengan PBST.
12. Buang cairan serum pada mikroplate uji dan lakukan pencucian sebagai
mana prosedur ELISA sebanyak minimal 5 kali.
13. Keringkan cairan pencuci yang masih tersisa dalam jumlah kecil dengan
cara membalikkan mikroplate di atas kertas tissu tebal.
14. Tambahkan konjugate yang sudah diencerkan 1:16000 sebanyak masing-
masing 100 µl pada semua sumuran.
15. Tutup mikroplate dengan plastik penutup dan inkubasikan pada suhu
37°C selama 45-60 menit.
16. Buang cairan dan lakukan pencucian seperti prosedur di atas.
17. Tambahkan substrat sebanyak masing-masing 100 µl pada semua
sumuran. Inkubasikan pada suhu kamar pada kondisi gelap selama 15-30
menit. Selama inkubasi diamati timbulnya warna kebiruan. Bila warna
antara kontrol positif dan negatif bisa dibedakan secara visual lakukan
154
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
penghentian dengan penambahan stop solution sebanyak 100 µl pada
semua lubang.
18. Baca Densitas Optic (Optical Density) pada ELISA reader dengan
panjang gelombang 405 nm
Perhitungan Hasil
Perhitungan hasil uji ELISA Rabies dilakukan menggunakan persamaan garis (Excel)
a. Cara Membuat Kurva.
X = Nilai Equivalent Unit K4 EU; K2 EU; K1 EU; K 0.5 EU; K 0.25 EU;
dan K 0.125 EU
Y = nilai Optical Density rata-rata Kontrol positif
1. Blok X dan Y
2. Arahkan kursor pada chart wizart, klik
3. Pilih XY (scater)
4. Pilih gambar grafik Scater with smooth line and markers
5. Arahkan kursor pada grafik , klik kanan
6. Pilih Add trendline
7. Pilih logaritmic
8. Pilih display equation on chart dan display R-squared value on chart
b. Keluar persamaan garis mis: Y=(0.660Ln(X) +1.402 dan R2 = 0.978.
Persamaan garis dapat diterima apabila R2 mendekati angka
1 (antara 0.9-1)
c. Masukkan persamaan garis Y-1.402 = 0.660 Ln(X)
d. LnX = (Y – 1.402)/0.660
e. X = Exp (Inverse LnX)
155
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Interpretasi Hasil
Jika nilai perhitungan hasil (Titer) sampel ≥ 0.5 IU maka sampel
dikategorikan positif antibodi Rabies
Jika nilai perhitungan hasil (Titer) sampel < 0.5 IU maka sampel
dikategorikan negatif antibodi Rabies
III. HASIL
Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan
gejala klinis yang mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan
sebanyak 721 sampel serum yang terdiri dari 564 sampel serum asal provinsi
Bali, dan 157 sampel dari provinsi NTT
Hasil uji ELISA sampel serum yang diambil dari Bali menunjukkan
seroprevalensi Rabies sebesar 55.7% Seroprevalensi di masing-masing
Kabupaten/kota di Bali bervariasi antara 35% - 87.5%. Seroprevalensi
tertinggi terjadi di Kabupaten Badung (87.5%) sedangkan seroprevalensi
terendah terjadi di Kota Denpasar (35%). Seroprevalensi dari masing-masing
Kabupaten Kota di Bali selengkapnya seperti terlihat pada Tabel 1 , Gambar 1
Tabel 1. Seroprevalensi Rabies di Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2017
Kabupaten Seronegatif Seropositif Grand Total ProsentaseBadung 5 35 40 87.5Bangli 44 37 81 45.7Buleleng 37 64 101 63.4Denpasar 13 7 20 35.0Gianyar 37 23 60 38.3Jembrana 34 46 80 57.5Karangasem 19 23 42 54.8Klungkung 33 27 60 45.0Tabanan 28 52 80 65.0Grand Total 250 314 564 55.7
156
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Gambar 1. Seroprevalensi Rabies di Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2017
Berdasarkan sistem pemeliharaan anjing maka sampel serosurveilans Rabies
di Bali dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu anjing rumahan
(dikandangkan/diikat), berpemilik diliarkan dan anjing liar. Hasil serosurveilans
menunjukkan seroprevalensi anjing berpemilik diliarkan lebih tinggi
dibandingkan dengan anjing liar dan anjing rumahan (diikat/dikandangkan).
Seroprevalensi anjing berpemilik diliarkan 56.9%. anjing liar (54.5%) dan anjing
rumahan (diikat/dikandangkan ).sebesar 51.3%. (Hasil pengujian selengkapnya
seperti pada Tabel 2 ,3, 4 Gambar.2, 3 dan 4).
0
20
40
60
80
100
120
Jml Sampel
Jml Protektif
Prosentase Protektif
157
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 2. Seroprevalensi Rabies anjing berpemilik diliarkan
KabupatenBerpemilik diliarkan
TotalProsentase
ProtektifTidak Protektif Protektif
Badung 3 33 36 91.7Bangli 32 30 62 48.4Buleleng 26 47 73 64.4Denpasar 12 7 19 36.8Gianyar 31 21 52 40.4Jembrana 27 40 67 59.7Karangasem 11 14 25 56.0Klungkung 25 20 45 44.4Tabanan 18 32 50 64.0Total 185 244 429 56.9
Gambar 2. Seroprevalensi Rabies pada anjing berpemilik diliarkan
0102030405060708090
100
Jumlah sampel
Jml Protektif
Prosentase Protektif
158
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 3. Seroprevalensi Rabies anjing liar di Kabupaten/Kota di Bali
LiarKabupatenTidak Protektif Protektif
TotalProsentaseProtektif
Badung 1 1 2 50Bangli 2 0 2 0Buleleng 2 2 4 50Denpasar 1 0 1 0Gianyar 0 1 1 100Jembrana 1 0 1 0Karangasem 3 3 6 50Klungkung 0 2 2 100Tabanan 0 3 3 100Total 10 12 22 54.5
Gambar 3. Seroprevalensi Rabies pada anjing liar
0102030405060708090
100
Jml sampel
Jml protektif
Persentase protektif
159
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 4. Seroprevalensi Rabies pada anjing rumahan (dikandangkan/diikat)
Dikandangkan TotalKabupaten
Tidak Protektif Protektif DikandangkanProsentase
Protektif
Badung 1 1 2 50Bangli 10 7 17 29.2Buleleng 9 15 24 62.5Denpasar 0 0 0 0Gianyar 6 1 7 13.3Jembrana 6 6 12 50Karangasem 5 6 11 54.5Klungkung 8 5 13 38.5Tabanan 10 17 27 63.0TOTAL 55 58 113 51.3
Gambar 4. Seroprevalensi Rabies anjing rumahan ( dikandangkan/diikat)
160
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Hasil uji ELISA terhadap sampel serum dari provinsi NTT menunjukkan
seroprevalensi Rabies di provinsi NTT sebesar 24.8%. Hasil uji dari masing-
masing sampel serum yang diambil di NTT menunjukkan bahwa seroprevalensi
tertinggi terjadi di Kabupaten Nagekeo sebesar 32%, kabupaten Flores Timur
sebesar 28,1% dan Kabupaten Ngada 14 % Hasil selengkapnya seperti pada
Tabel 5.
Tabel 5. Seroprevalensi Rabies di provinsi NTT tahun 2017
No Kabupaten JumlahSampel
JumlahProtektif
ProsentaseProtektif
1 Flores Timur 57 16 28.12 Nagekeo 50 16 323 Ngada 50 7 14
Total 157 39 24.8
Gambar 5. Seroprevalensi Rabies di provinsi NTT Tahun 2017
161
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
IV. PEMBAHASAN
Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan
pemberantasan Rabies di Indonesia. Hasil uji ELISA terhadap 564 sampel
serum dari provinsi Bali, menunjukkan seroprevalensi Rabies sebesar 55.7%.
Hasil uji ELISA ini mengindikasikan bahwa vaksinasi massal Rabies di Bali
mampu merangsang terbentuknya antibodi terhadap Rabies. Seroprevalensi
Rabies di Bali masih di bawah yang dipersyaratkan oleh OIE yaitu sebesar
70%. Vaksinasi Rabies akan merangsang sistim imun membentuk antibodi
sehingga mampu memberikan proteksi pada HPR terhadap infeksi Rabies.
Rendahnya seroprevalensi Rabies di Bali tahun 2017, kemungkinan
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : interval waktu pelaksanaan
vaksinasi dengan pengambilan sampel yang tidak tepat, serta tidak validnya
informasi (data) vaksinasi yang dilaporkan.
Seroprevalensi Rabies di masing-masing kabupaten/kota di Bali sangat
bervariasi. Seroprevalensi Rabies tertinggi 87,5% terjadi di Kabupaten Badung
Tingginya seroprevalensi inilah yang memberikan proteksi sehingga kejadian
Rabies bisa ditekan. Anjing akan mampu bertahan terhadap rabies apabila
anjing tersebut memilki titer antibodi yang cukup di dalam tubuhnya. Menurut
OIE anjing dikatakan protektif Rabies apabila memiliki titer antibodi, lebih besar
atau sama dengan 0.5 IU.
Pemerintah provinsi Bali telah melakukan vaksinasi massal Rabies sejak tahun
2010, namun sampai saat ini kasus Rabies pada anjing masih dilaporkan
terjadi. Hal ini diperkuat oleh hasil pengujian FAT yang dilakukan di
laboratorium Patologi BBVet Denpasar . Hasil pengujian terhadap 1058 sampel
otak menunjukkan sebanyak 92 sampel (8,7%) positif virus Rabies. Terjadinya
kasus positif tersebut erat kaitannya dengan rendahnya titer antibodi terhadap
Rabies. Rendahnya seroprevalensi terhadap Rabies juga berpotensi terhadap
terjadinya positif Rabies di Bali.
162
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Hasil serosurveilans 2017 menunjukkan bahwa seroprevalensi pada anjing
berpemilik diliarkan paling tinggi dibandingkan dengan anjing liar dan anjing
rumahan (dikandangkan/diikat). Hal ini disebabkan karena anjing berpemilik
diliarkan tersebut mayoritas divaksinasi Rabies, sehingga mampu merangsang
terbentuknya antibody protektif. Selain itu menurut Widodo , 2009 salah satu
faktor yang mempengaruhi terbentuknya antibodi adalah status gizi. Selain
makanan yang disiapkan oleh pemiliknya anjing berpemilik diliarkan juga
memperoleh makanan dari tempat-tempat sampah. Hasil uji ELISA
menunjukkan sebanyak 54.3 % anjing liar memiliki titer antibodi protektif. Hasil
ini membuktikan bahwa vaksinasi massal di provinsi Bali juga dilakukan pada
kelompok anjing liar.
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk menurunkan insidensi
kasus rabies dan melindungi infeksi virus rabies pada hewan dan manusia
(Mattos dan Rupprecht, 2001). Menurut Taiwo et al., (1998) cakupan vaksinasi
rendah, tingkat kekebalan protektif rendah, serta program vaksinasi yang
menyisakan anjing liar merupakan sumber utama dan potensial dalam
penyebaran virus rabies.
Menurut Ohore et al., 2007 dan Utami , et al., 2008, pembentukan titer antibodi
dipengaruhi beberapa hal, antara lain umur, jenis kelamin, bangsa/ras anjing ,
jenis vaksin, dan periode pascavaksinasi. Semakin pendek jarak pengambilan
sampel dengan periode pelaksanaan vaksinasi maka semakin tinggi titer
antibodi yang terdeteksi, sebaliknya, semakin lama interval waktu pengambilan
sampel dengan periode pelaksanaan vaksinasi, semakin rendah titer antibodi
yang terdeteksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sage et al.,
(1992) dan Cliquet et al., (2003; 2007 ) bahwa anjing yang divaksin setelah
satu tahun titer antibodinya rendah.
Ada kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah pernah
divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama kali .
Menurut Simani et al., 2004 menyatakan bahwa booster penting dilakukan
163
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
untuk mempertahankan titer antibodi protektif . Hal ini juga sesuai dengan
yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa satu dosis
vaksin tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama sehingga perlu
dilakukan booster. Sistem pemeliharaan anjing di Bali kebanyakan masih
diliarkan sehingga menyebabkan pelaksanaan vaksinasi ulangan secara
massal sangat sulit dilakukan. Kesulitan tersebut meliputi kesulitan melakukan
penangkapan anjing, karena aplikasi vaksin Rabies umumnya melalui suntikan.
Berdasarkan fakta tersebut perlu dipikirkan atau dicarikan alternatif
penggunaan vaksin Rabies lainnya yang lebih mudah aplikasinya namun
mampu memberikan kekebalan lebih lama terutama untuk anjing-anjing yang
diliarkan/tidak diikat. Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan vaksinasi Rabies
karena anjing tersebut mempunyai potensi sangat besar untuk menyebarkan
Rabies. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soeharsono (2007),
bahwa anjing liar/anjing geladak (stray dogs) merupakan pelestari Rabies yang
potensial karena hidup bebas sehingga sangat berpotensi menyebarkan
Rabies ke hewan lain, bahkan juga ke manusia.
Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTT tahun 2017 menunjukkan
seroprevalensi Rabies di provinsi NTT hanya 24.8%, Rendahnya
seroprevalensi ini kemungkinan disebabkan mayoritas sampel yang diambil
berasal dari anjing yang tidak divaksinasi. Rendahnya seroprevalensi akan
perpotensi sebagai penyebab terjadinya kasus rabies.
Menurut Yanuarso, 2017 seroprevalensi akan berpengaruh terhadap herd
immunity dimana herd immunity akan terjadi apabila cakupan vaksinasi dan
seroprevalensi lebih besar dari 80%. Sementara itu jika cakupan vaksinasi dan
seroprevalensi kurang 60% maka akan berisiko terjadinya kejadian luar biasa.
Agustina, 2017 mengatakan bahwa kekebalan kelompok akan terbentuk,
ketika sebagian populasi telah divaksinasi, sehingga populasi yang
divaksinasi tersebut mampu memberikan proteksi terhadap populasi lainnya
yang tidak divaksinasi.
164
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Walaupun sudah dilakukan vaksinasi massal namun masih banyak anjing yang
belum menunjukkan titer antibodi protektif. Rendahnya titer antibodi yang
terbentuk diduga kuat karena anjing-anjing yang diambil sampel serumnya
tersebut baru pertama kali divaksinasi sehingga belum mampu menghasilkan
titer antibodi protektif. Selain itu interval waktu pelaksanaan vaksinasi dan
pengambilan sampel yang terlalu lama juga berpengaruh terhadap
seroprevalensi.
Keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia masih menjadi kendala utama dalam
pelaksanaan vaksinasi di NTT sehingga tidak bisa mengcover semua populasi
yang ada. Selain itu kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor demografi NTT yang
sangat sulit dijangkau, juga berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan
vaksinasi Rabies di NTT. Mengingat vaksinasi merupakan faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan pemberantasan Rabies maka perlu diupayakan
penggunaan vaksin Rabies oral untuk meningkatkan persentase cakupan
vaksinasi. terutama pada anjing-anjing yang diliarkan /tidak diikat.
V. KESIMPULAN DAN SARANKESIMPULANBerdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :
Vaksinasi massal Rabies di provinsi Bali mampu merangsang
terbentuknya antibodi dengan seroprevalensi sebesar 55.7%
Seroprevalensi Rabies pada anjing berpemilik dliarkan (56.9%) lebih tinggi
dari anjing liar (54.5%) dan anjing rumahan (diikat/dikandangkan),
seroprevalensinya 51.3%
Seroprevalensi rabies di provinsi NTT sangat rendah hanya 24.8%
SARAN
Mengingat seroprevalensi Rabies di Bali dan NTT masih di bawah 70%
maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing yang memiliki
titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.
165
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Perlu dilakukan vaksinasi massal Rabies secara periodik sehingga mampu
meningkatkan seroprevalensi Rabies
Perlu diperhatikan jarak antara waktu pelaksanaan vaksinasi dan
pengambilan sampel sehingga diperoleh data seroprevalensi yang lebih
valid.
Sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR dan
pengendalian populasi perlu dilakukan untuk mendukung program
pemberantasan Rabies di provinsi Bali dan NTT
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan
Kabupaten, Flores Timur, Ngada dan Nagekeo beserta staf, serta kepada
Medik dan Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah
membantu dalam pengambilan dan pengujian sampel.
166
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous 2010. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali
Agustini, N.L.P., Dilasdita K.P., dan Melyantono, S., 2015. Laporan Teknis SerosurveilansRabies di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Tahun2015. Laporan Teknis Hasil Surveilans , monitoring dan Pengembangan Metode UjiBalai Besar Veteriner Denpasar Tahun 2015. Hal : 201-216
Chiliquet, F.Verdier,Y.,Sagne,L.Aubert,M. Schereffer,J.L.2003. Neutralising antibody titration in25,000 sera of dogs and cats vaccinated against rabies in France, in the frameworkof the new regulations that offer an alternative to quarantine.
Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., 2007.Comparison of antibody responses aftervaccination with two inactivated rabies vaccines,
Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B., Cliquet, F.,Vasquez-Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M., Kooi, E.E., Mooney,J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez, S., Sunreczak, W., Fooks,A.R., Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B. 2013. A step Forward in moleculardiagnostic of Lyssaviruses Result of a Ring Trial among European LaboratoriesPLOS ONE. Vol 8 Issue 3E5.
Mattos CA, Rupprecht A. 2001. Rhabdoviruses. In: Fields Virology. New York: LippincottWilliam & Wilkins, 1245-1277
Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila(Rabies) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009. Rhabdoviridae inVeterinaty Virology, 3nd Ed. 429-439
Ohore OG.,Emikpe, BO., Oluwayelu, DO., 2007. The seroprofile of Rabies antibodies incompanion urban dogin Ibadan, Nigeria, Journal of Animal and Veterinary Advances6(1) : 53-56
Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji,G., Putra, A.A.G.,Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi Rabies di Bali Enam BulanPasca Program Pemberantasan . Buletin Veteriner . Balai Besar VeterinerDenpasar. Vol.: XXI, 74: 13-26.
Sage G., Henry W., Tepsumethanon W, Hemachuda T. 1992. Immune response to rabiesvaccine in Alaskan dogs: failure to achieve a consistently protective antibodyrespons. Transaction of the royal society for tropical medicine and and hygiene 87:593596.
Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion,N.Howaizi, N.Eslami,A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas. 2004. Evaluation of The Effectiveness of PreExposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251-255.
Soeharsono 2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit KanisiusJogyakarta.
Sri Utami, Bambang Sumiarto, Heru Susetya. 2008. Status vaksinasi Rabies pada anjing diKota Makasar. J. Sain Vet . Vol 26, No: 2 tahun 2008
167
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diarmita, I.K. 2014. Surveilans danmonitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat Dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Buletin Veteriner. Balai BesarVeteriner Denpasar . Vol. XXVI, No. 84. Edisi Juni 2014. Hal :46-59
Taiwo VO, Antia RE., Adeniran GA., Adeyemi IG, Alaka OO., Ohore OG., 1998.Rabies in dogand cats in southwestern Nigeria. Laboratory reports Trop. Vet 16:9-13
Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin,and H.Wilde.2004. Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats.Brief Report. ClinicalInfectious Diseases. 39 : 278-280
.WHO, Guidelines for dog rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987
Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre
Yanuarso, B., 2017. Mengenal Herd Immunity. http//hellosehat.com
168
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS DAN MONITORING HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT yang bertujuan untukmendeteksi antigen / kasus dan mengetahui proporsi seropositive antibodi Hog Cholera, baikpada babi yang divaksinasi maupun yang terindikasi terinfeksi penyakit ini. Pengujian dilakukandengan metode Elisa antibodi dan antigen capture dengan menggunakan Kit Elisa Hog Cholera.Pada saat surveilans diperoleh sebanyak 159 sampel darah EDTA babi dari wilayah provinsiBali. Seluruh sampel tersebut menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Untuk di provinsiNTB diperoleh sebanyak 100 sampel darah EDTA babi dan semua sampel menunjukkan hasilnegatif virus Hog cholera. Sedangkan untuk provinsi NTT diperoleh sebanyak 155 sampel darahEDTA babi dan 17 sampel (10,9 %) diantaranya menunjukkan hasil positif virus Hog cholera.Sementara kegiatan pengambilan sampel serum babi juga dilakukan untuk mendeteksi antibodiHog cholera. Jumlah sampel yang diperoleh di provinsi Bali sejumlah 272 sampel serum babidan 136 sampel (50%) diantaranya positif antibodi Hog cholera. Untuk di provinsi NTB, dari 100sampel serum yang diuji semuanya negatif antibodi Hog cholera. Sementara di provinsi NTTdiperoleh hasil 43 dari 180 sampel (23,9%) positif antibodi Hog cholera.
Kata kunci: Hog cholera. antigen capture. antibodi Elisa
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Classical Swine Fever atau (HC) merupakan penyakit hewan yang sangat
menular pada babi yang disebabkan oleh virus HC dari genus Pestivirus
(Ressang, 1986). Virus HC merupakan virus RNA berukuran kira kira 38-44 nm,
berbentuk bundar dan memiliki amplop (selubung). Virus HC stabil pada pH 5-
10. Virus HC juga diketahui bersifat imunosupresif. Masa inkubasi pada
umumnya berkisar antara 3- 6 hari dan viremia terjadi segera setelah beberapa
jam virus HC menginfeksi babi. Babi merupakan satu satunya hewan yang
169
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
rentan terhadap HC. Hog Cholera ditularkan terutama melalui kontak langsung
antara babi sakit dan sehat, juga melalui sekreta dan ekskreta yang segar baik
secara langsung maupun tidak langsung. Penyebaran penyakit dipercepat
dengan perpindahan babi sakit ke daerah baru. Kendaraan dan peralatan yang
tercemar juga dapat menularkan virus HC dari satu peternakan ke peternakan
lainnya. Disamping itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak babi yang
dipotong untuk konsumsi pada stadium permulaan penyakit. Pada stadium ini
organ tubuh mengandung kosentrasi virus yang cukup tinggi dan virus ini dalam
daging segar dapat tahan hidup untuk jangka waktu yang panjang. Hog Cholera
sering ditularkan melalui limbah cucian daging yang berasal dari pemotongan
babi yang terinfeksi yang diberikan pada ternak babi lainnya. Tingkat morbiditas
dan mortalitas dapat mencapai 95 – 100%. Penyakit dapat terjadi secara akut
tetapi dapat juga menjadi kronis. Tanda klinis yang pertama terlihat ialah babi
tampak lesu, nafsu makan menghilang, depresi, demam tinggi hingga 41O C,
muntah, dan diare yang berseling dengan konstipasi. Perubahan warna kulit
merah kebiruan dapat ditemukan pada pangkal telinga dan pada daerah perut.
Pada stadium lanjut akan tampak gejala saraf, dimana babi terlihat terhuyung-
huyung, kejang lalu rebah dengan kaki bergerak gerak seperti mendayung
sepeda (Dharma dan Putra, 1997).
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 4026/Kpts/OT.140/4/2013
tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS), Hog
Cholera termasuk dalam 25 jenis penyakit hewan menular strategis yang
menjadi prioritas nasional dalam pengendalian dan penanggulangan di
Indonesia (Direktorat Kesehatan Hewan, 2015). Pada awal tahun 1994 kasus
Hog Cholera pertama kali ditemukan di Provinsi Sumatera Utara. Dalam kurun
waktu 3 tahun kasus Hog Cholera telah menyebar ke beberapa provinsi di
Indonesia. Hog Cholera di Bali dilaporkan pertama kali di Banjar Suwung Batan
Kendal, Desa Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar pada Oktober
1995 yang diperkuat dengan Keputusan Menteri Pertanian No.
888/Kpts/TN.560/9/1997 dan sejak itu penyakit menyebar di seluruh
kabupaten/kota di Bali. Sementara di NTT, kasus penyakit Hog Cholera pertama
170
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
kali ditemukan di Tarus, Kabupaten Kupang pada tahun 1997, yang diduga
berasal dari lalu lintas ternak babi atau produknya dari Provinsi Timor Timur dan
pada tahun 1998, penyakit ini telah menyebar ke beberapa pulau di NTT
termasuk Pulau Sumba, Pulau Rote, Pulau Sabu dan beberapa kabupaten di
Pulau Timor. Untuk di Nusa Tenggara Barat yang awalnya masih berstatus
bebas Hog Cholera, namun sejak Desember 2012 telah merubah status NTB
menjadi daerah tertular dengan ditemukan adanya kasus Hog Cholera di Desa
Giri Temesi, Kecamatan Gerung , Lombok Barat dan di Desa Tegal Maja,
Kecamatan Tanjung, Lombok Utara.
Ternak babi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, pada umumnya
dikembangkan sebagai peternakan rakyat dan memiliki nilai sosial budaya dan
ekonomi yang tinggi. Sampai saat ini peternakan babi masih terkendala dengan
adanya letupan kasus Hog Cholera di wilayah kerja BBVet Denpasar. Untuk itu
perlu dilakukan surveilans yang efektif untuk mengetahui status daerah terhadap
Hog Cholera.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status Hog Cholera di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di Tahun 2017.
Tujuan kegiatan
Mengetahui situasi /status Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat
dan dan Nusa Tenggara Timur. Tahun 2017.
171
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Manfaat Kegiatan
Hasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah mengenai situasi / status Hog Cholera di Provinsi Bali, NTB dan NTT,
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan dalam
rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar..
Out put
Termonitornya situasi / status Hog Cholera yang ada di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai Besar
Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans Hog cholera sebagai salah satu
penyakit hewan menular strategis prioritas di Indonesia.
Out come
Terwujudnya lingkungan ternak bebas Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO HOG CHOLERA DI BALI, NTB DAN NTT
Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.
Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala
umur. Besarnya dampak Hog Cholera terhadap populasi babi yang rentan tidak
hanya mempengaruhi industri babi secara local, namun juga internasional
melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak internasional
ini, Hog Cholera termasuk salah satu penyakit yang harus dilaporkan menurut
OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Hog Cholera di Bali, NTB dan NTT
antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara
optimal, pengawasan lalu lintas ternak babi (pergerakan babi) masih lemah,
172
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
pencampuran babi di setiap rantai pasar, status biosekuriti terbatas, dan
minimnya manajemen produk peternakan babi dan hasil sampingannya (by
product).
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring HC diwilayah kerja BBVet Denpasar dapat
diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring HC di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai
Melakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.
2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)
Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.
4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian
173
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alatpengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.
MATERI DAN METODE
MateriBahan : Serum dan PBMC babi
Kit Elisa Hog Cholera (VDProCSFV)
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum
venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.
Metode Sampling
Sampel yang diambil pada kegiatan surveilans HC di provinsi Bali dan NTT
adalah ternak babi pada peternakan tradisional. Besaran sampel yang diambil
selanjutnya di uji dan di analisis adalah sebanyak 414 sampel darah EDTA babi
untuk uji deteksi antigen dengan metode ELISA dengan rincian sampel sebagai
berikut : Bali 159 sampel, NTB 100 sampel dan NTT 155 sampel. Sedangkan
untuk mengetahui antibodi Hog Cholera di uji 552 serum babi dengan metode
ELISA dengan rincian sampel sebagai berikut : Bali 272 serum, NTB 100 serum
dan NTT 180 sampel serum.
174
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Prosedur Uji
Prosedur uji Elisa HC Antigen
Darah babi diambil dari vena jugularis menggunakan tabung yang berisi EDTA.
Kemudian darah disentrifus dengan kecepatan 2.500 rpm selama 10 menit.
Kemudian ambil sebanyak 1 ml lapisan leukosit dengan menggunakan pipet dan
tambahkan sebanyak 0.5 ml. Sentrifus larutan tersebut dengan kecepatan 3000
rpm selama 1 menit dan buang supernatant. Kemudian tambahkan pellet ke
dalam 300 µl STB 1x, vortex dan inkubasi selama 1 jam di suhu ruangan,
kemudian sentrifus sampel dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit dan
gunakan supernatant untuk uji. Inkubasi semua komponen kit pada suhu
ruangan. Buka tutup plate dari tempatnya, selanjutnya masukkan 50 µl dilution
buffer ke setiap well. Masukkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol
negative ke dalam well yang telah berisi dilution buffer (1:2). Tutup plate dan
inkubasi selama 90 menit atau semalaman pada suhu ruangan. Setelah
inkubasi, cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per
well) dan buang konten dalam well setiap tahap pencucian. Setelah itu,
tambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-CSFV (CSFV-CAB) ke dalam setiap well.
Tutup plate dan inkubasi selama 60 menit pada suhu ruangan. Cuci setiap well
sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per well) dan buang konten
dalam well setiap tahap pencucian. Tahap elanjutnya, tambahkan 100 µl TMB
Substrat ke dalam setiap well dan tutup plate dan inkubasi selama 10 menit
pada suhu ruangan. Amati densitas perkembangan warna pada kontrol negative.
Stop reaksi enzymatic dengan menambahkan 50 µl stop solution ke setiap well
dan baca pada panjang gelombang 450 nm. Validasi dan hitung hasilnya
175
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Interpretasi hasil
Hitung % kompetisi (%PC) sampel menggunakan rumus sebagai berikut:
(OD sampel - Rata-rata OD Kontrol negatif)PI = x 100
(Rata-rata OD Kontrol positif - Rata-rata OD Kontrol negatif)
Interpretasi
%SP value ≥20% : Positif virus Hog Cholera%SP value15-20% : Suspected virus Hog Cholera%SP value <15% : Negatif virus Hog Cholera
Prosedur uji Elisa HC Antibodi
Darah babi diambil dari vena jugularis babi, setelah menjendal kemudian serum
dipisahkan dengan cara disentrifus dengan kecepatan 2.500 rpm selama 10
menit. Serum ditampung dalam tabung bertutup kuning (yellow cuptube) dan
disimpan pada suhu -20°C atau -70°C sampai digunakan. Pada saat dilakukan uji
ELISA, sebanyak 200 µl serum sampel masing-masing dipindahkan pada plat
mikrotiter bentuk datar. Inkubasi semua komponen kit pada suhu ruangan. Dan
buka plate yang telah dilapisi CSFV gp55 dari tempatnya. Masukkan 50 µl
dilution buffer ke setiap well yang telah dilapisi dengan antigen CSFV gp55.
Masukkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol negative ke dalam well yang
telah berisi dilution buffer (1:2). Tutup plate dan inkubasi selama 60 menit atau
semalaman pada suhu ruangan. Cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing
buffer 1X (300 µl per well) dan buang konten dalam well setiap tahap pencucian.
Setelah itu ditambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-CSFV (CSFV-CAB) ke dalam
setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 30 menit pada suhu ruangan. Cuci
setiap well sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per well) dan buang
konten dalam well setiap tahap pencucian. Tambahkan 100 µl TMB Substrat ke
dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 15 menit pada suhu
ruangan. Amati densitas perkembangan warna pada kontrol negative. Stop
176
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
reaksi enzymatic dengan menambahkan 50 µl stop solution ke setian well dan
baca pada panjang gelombang 450 nm. Validasi dan hitung hasilnya.
Interpretasi hasil
Hitung % kompetisi (%PC) sampel menggunakan rumus sebagai berikut:
(Rata-rata OD Kontrol negatif – OD sampel)PI = x 100
(Rata-rata OD Kontrol negatif – Rata-rata OD Kontrol positif)
Interpretasi
%PC value ≥40% : Positif antibodi spesifik HC dalam serum.%PC value <40% : Negatif antibodi spesifik HC dalam serum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Hasil pengujian sampel untuk mendeteksi antigen penyebab Hog Cholera di
Bali, NTB dan NTT pada tahun 2017, disajikan pada Tabel 2.
177
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 2. Deteksi virus hog cholera di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2017.
Provinsi Kabupaten Kecamatan NegatifAg
PositifAg
JumlahSampel
Bali Badung Abiansemal 25 0 25Bangli Tembuku 25 0 25
Denpasar DenpasarSelatan 7 0 7
Denpasar Timur 25 0 25Gianyar Tegalalalng 25 0 25Jembrana Mendoyo 25 0 25Tabanan Baturiti 2 0 2
Tabanan 25 0 25Total 159 0 159
NTB Lombok Barat Batulayar 50 0 50Lombok Utara Gangga 33 0 33
Tanjung 17 0 17Total 100 0 100
NTT Alor Alor TengahUtara 27 0 27
Teluk Mutiara 28 0 28Ende Nanggapanda 1 6 7Manggarai Barat Lembor 0 1 1
Mbeliling 7 1 8Welak 2 3 5
Manggarai Timur Kota Komba 19 0 19Nagekeo Wolowae 0 1 1Ngada Bajawa 3 4 7
Soa 1 0 1Saburaijua Sabu Barat 50 0 50Sumba Timur Pandawai 0 1 1
Total 138 17 155Grand Total 397 17 414
178
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan
NTT diperoleh sebanyak 414 sampel PBMC babi. Di Provinsi Bali diambil
sejumlah 159 sampel dari 6 Kabupaten / Kota yaitu Kabupaten Bangli, Badung,
Gianyar, Jembrana, Tabanan dan Kota Denpasar. Di provinsi NTB diambil
sejumlah 100 sampel dari kabupaten Lombok Barat, dan Lombok Utara. Hasil
laboratorium dari kedua provinsi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada sampel
yang terdeteksi positif virus Hog cholera (0 %). Sedangkan di provinsi NTT
diambil 155 sampel dari kabupaten Alor, Ende, Manggarai Timur, Ngada,
Nagekeo, Manggarai Barat, Saburaijua, dan Sumba Timur. Hasil laboratorium
menunjukkan bahwa 6 sampel terdeteksi positif virus Hog Cholera yaitu di
Kecamatan Nanggapanda, Kabupaten Ende dan 1 sampel terdeteksi positif virus
Hog Cholera yaitu di Kecamatan Lembor, 1 sampel di Kecamatan Mbeliling, dan
Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat. Di kabupaten Nagekeo
terdeteksi satu sampel positif virus HC dari kasus di Kecamatan Wolowae. Virus
HC juga terdeteksi pada 4 sampel positif dari kasus kematian babi di Kecamatan
Bajawa, Kabupaten Ngada. Sementara di Pulau Sumba pada tahun 2017 ini
terdeteksi pula virus HC di Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur,
sehingga total sampel yang terdeteksi positif virus Hog Cholera di NTT adalah
17 sampel (10, 9%).
Kegiatan surveilans Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar juga dimaksudkan untuk melihat proporsi antibodi Hog cholera di
provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2017. Hasil yang diperoleh dalam
kegiatan ini di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3).
179
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 3. Deteksi antibodi Hog Cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2017.
Provinsi Kabupaten Kecamatan SeroNegatif
SeroPositif
JumlahSampel
Bali Badung Abiansemal 14 11 25Kuta Utara 3 33 36Petang 16 8 24
Bangli Bangli 4 9 13Tembuku 12 13 25
Denpasar Denpasar Barat 1 15 16Denpasar Selatan 2 4 6Denpasar Timur 25 0 25
Gianyar Tegalalalang 27 8 35Jembrana Mendoyo 25 0 25
Negara 1 0 1Tabanan Baturiti 5 11 16
Tabanan 1 24 25Total 136 136 272
NTB Lombok Barat Batulayar 50 0 50Lombok Utara Gangga 17 0 17
Tanjung 33 0 33Total 100 0 100
NTT Alor Alor Tengah Utara 25 2 27Teluk Mutiara 27 1 28
Kota Kupang Kelapa Lima 10 0 10Manggarai Ruteng 6 0 6Manggarai Barat Lembor Selatan 4 4 8
Mbliling 24 0 24Manggarai Timur Kota Komba 7 0 7Nagekeo Boawae 1 1 2
Wolowae 2 0 2Ngada Bajawa 3 10 13
Riung Barat 0 2 2Soa 0 1 1
Saburaijua Sabu Barat 28 22 50Total 137 43 180
Grand Total 373 179 552
180
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan provinsi Bali, NTB dan NTT
diambil sejumlah 552 sampel serum babi. Dari Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan hasil 179 (32,4%) sampel serum babi yang berasal dari wilayah
kerja BBVet Denpasar positif antibodi Hog cholera. Untuk di provinsi Bali
diperoleh hasil 136 sampel dari 272 sampel serum positif antibodi Hog cholera
(50 %). Untuk di provinsi NTB, dari 100 sampel serum yang diuji, tidak satupun
sampel yang menunjukkan antibodi Hog cholera (0%). Sementara di provinsi
NTT diperoleh hasil 43 dari 180 sampel positif antibodi Hog cholera (23,9 %).
PEMBAHASAN.
Pada tahun 2017 di Provinsi Bali tidak terdeteksi positif virus HC sedangkan
untuk deteksi antibodi mencatat ada 136 sampel seropositif HC dari 272 sampel
yang diuji. Tidak diketahui secara pasti apakah hasil positif antibodi ini
disebabkan karena pemberian vaksinasi anti Hog Cholera atau karena infeksi
alam oleh virus Hog Cholera. Walaupun diyakinin oleh beberapa peternak
bahwa sebagian besar babi-babi mereka tersebut telah pernah dilakukan
vaksinasi terhadap Hog Cholera. Namun mengingat recording vaksinasi babi
babi tersebut tidak mampu telusur, sehingga hasil ini tidak bisa digunakan
sepenuhnya untuk menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan program vaksinasi
terkait upaya pengendalian dan atau pemberantasan. Hasil pengamatan di
lapangan selama tahun 2017 ini menunjukkan bahwa tidak ada dilaporkan kasus
HC oleh petugas di masing masing kecamatan di Bali. Hal ini di dukung oleh
hasil konfirmasi laboratorium bahwa semua sampel darah babi yang diambil
pada saat surveilans, negatif virus HC. Kondisi ini menunjukkan kasus HC di Bali
sudah terkendali dengan baik hingga nol kasus. Supaya kondisi ini tetap terjaga,
maka vaksinasi perlu terus dilakukan hingga mencapai herd immunity untuk
memutus penularan HC.
181
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Hasil surveilans pada tahun 2017 di Provinsi NTT menunjukkan hasil 17 sampel
positif virus HC yang terkonfirmasi seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi NTT, pada wabah kasus HC di
Pulau Flores pada tahun 2017 dilaporkan 10.056 kasus kematian babi akibat
HC dengan kerugian ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat mencapai
25 miliar (Prisma, 2017). Penyebab utama penyebarluasan HC di NTT
khususnya di Flores karena pergerakan atau lalu lintas ternak babi
antarkabupaten dan antar pulau yang belum dikontrol secara maksimal.
Disamping itu, populasi babi di Flores sangat rentan terhadap HC karena kurang
dari 10 % dari populasi yang tervaksinasi (Dinas Peternakan Provinsi Nusa
Tenggara Timur, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak ternak babi
yang belum memperoleh vaksinasi Hog Cholera sehingga herd immunity masih
sangat rendah. Untuk melindungi peternakan babi dari Hog Cholera cakupan
vaksinasi di suatu daerah perlu terus ditingkatkan sehingga terbentuk herd
immunity yang mampu melindungi populasi dari infeksi Hog Cholera. Upaya
pemberantasan Hog Cholera di NTT, khususnya di Flores menjadi sangat
relevan, mendesak dan prioritas dalam rangka menjaga Flores sebagai lumbung
babi di NTT. Flores berkontribusi 44% terhadap populasi babi di NTT. Usaha
peternakan babi merupakan salah satu urat nadi perekonomian NTT. Ternak
babi juga memiliki nilai social budaya yang tinggi karena merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakat NTT.
Untuk di Nusa Tenggara Barat yang awalnya masih berstatus bebas Hog
Cholera, namun sejak Desember 2012 telah merubah status NTB menjadi
daerah tertular dengan ditemukan adanya kasus Hog Cholera di Desa Giri
Temesi, Kecamatan Gerung , Lombok Barat dan di Desa Tegal Maja,
Kecamatan Tanjung, Lombok Utara.
Berdasarkan hasil pengujian sampel surveilans Balai Besar Veteriner Denpasar
menunjukkan hasil uji negatif virus HC dan seronegatif untuk masing-masing uji.
Tidak adanya kasus penyakit HC di Nusa Tenggara Barat kemungkinan besar
karena biosekuriti telah dilaksanakan dengan baik, peran pengawasan lalu lintas
182
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
ternak beserta produknya memiliki peran yang sangat berarti. Dari
pendokumentasian kasus HC dan hasil surveilans BBVet Denpasar, sejak tahun
2013 di Provinsi NTB sudah tidak pernah dilaporkannya kasus HC. Dengan
kondisi tersebut seyogyanya Pemda NTB segera melakukan kajian pembebasan
HC bersama BBVet Denpasar melalui surveilans yang efektif yaitu surveilans
berbasis risiko. Mengingat dalam pedoman pengendalian dan penanggulangan
Hog Cholera, disebutkan pembagian status daerah dengan kriteria bebas adalah
sebagai berikut : adanya batasan alam (barrier alami) berupa laut dan tidak
pernah dilaporkan kasus HC dalam 3 tahun terakhir baik secara klinis,
epidemiologis dan konfirmasi laboratorium, melalui surveilans.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Proporsi hasil positif deteksi virus Hog cholera tahun 2017 di provinsi NTT
sebesar 10,9%, sedangkan provinsi Bali dan NTB tidak terdeteksi sampel
yang positif virus Hog cholera (0 %).
2. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera pada tahun 2017 di Provinsi di
Bali 50 %, NTB sebesar 0 %, dan di NTT 23,9%.
3. Antigen Hog cholera masih terdeteksi di Provinsi NTT yaitu di Flores
(kabupaten Ende, Manggarai Barat, Nagekeo, Ngada) dan Pulau Sumba
(kabupaten Sumba Timur)
Saran
1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui
indikator antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak
melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga
untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB
sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.
183
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk
melakukan vaksinasi Hog cholera dan pengawasan lalu lintas ternak babi
secara ketat serta mengimplementasika prinsip prinsip biosecurity.
3. Mengembangkan sistem surveilans berbasis risiko dan sindromik yang akan
diusulkan untuk dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas
dan spesifisitas surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus
Hog cholera.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans Hog Cholera, sehingga surveilans dapat dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA.
Dharma, D.M.N dan Putra, A.A.G (1997). Penyidikan Penyakit Hewan. Bali Media.
Dibia, N., Melyanto, S.E., Abioga, D.P., Purnatha, N., Suryadinata, L.M.F., Kurniawan F.R.(2017). Surveilans dan Monitoring Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur tahun 2016. Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar.
Direktorat Kesehatan Hewan (2015). Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan ClassicalSwine Fever. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.
184
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKUDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA
TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah dilakukan melalui surveilans dan monitoring diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selama surveilans berhasildikumpulkan sampel sebanyak 190 sampel serum di provinsi Bali dan 100 sampel serum diNusa Tenggara Barat dan 220 sampel serum di Nusa Tenggara Timur. Hasil pengamatan danpemeriksaan selama pelaksanaan surveilans, tidak ditemukan ternak sapi dan babi yangmenunjukkan gejala klinis PMK. Demikian pula hasil uji dengan metode ELISA menggunakanPriocheck FMDV NS Elisa Kit menunjukkan semua sampel serum negatif antibodi PMK. Dapatdisimpulkan bahwa provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tetap bebasPMK.
Kata Kunci : Deteksi, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Mulut dan Kuku adalah penyakit viral yang sangat menular dan
menyerang semua hewan berkuku belah/ genap seperti sapi, kerbau, kambing,
domba dan babi. PMK disebabkan oleh virus yang termasuk genus
Aphthovirus dari family Picornaviridae, berukuran sangat kecil yaitu sekitar 20
milimikron. Virus PMK terdiri dari 7 serotipe yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-
3, dan Asia-1 (Ressang, 1986). Penyakit ditularkan melalui kontak langsung
antara hewan sakit dengan yang sehat atau secara kontak tidak langsung
melalui makanan yang tercemar (terutama peternakan yang mempraktekan
swill feeding) atau melalui lalu lintas bahan bahan lain yang tercemar. Masa
inkubasi PMK pada umumnya antara 2-5 hari atau lebih. Penyakit ini ditandai
185
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
dengan adanya pembentukan vesikel / lepuh dan erosi pada mukrosa mulut,
lidah, gusi, nostril, ambing, dan pada kulit diantara kuku (Donaldson, 1993).
Pada hewan ruminansia dapat membawa virus setelah sembuh dan virus tetap
persisten dalam faring sapi selama 3 tahun.
Kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik / mewabah. Tingkat
morbiditas PMK sangat tinggi yakni dapat mencapai 100% tetapi tingkat
kematian penderita sangat rendah. Meskipun demikian kerugian yang
ditimbulkan sangat besar yakni terjadi penurunan berat badan, penurunan
produksi susu, dan hambatan lalu lintas ternak.
Pada tahun 1986, pemerintah menyatakan Indonesia bebas PMK melalui SK
Mentan 260/1986, selanjutnya OIE mengirim tim ahli ke Indonesia dan secara
resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau Office International
des Epizooties (OIE) pada tahun 1990 seperti tercantum dalam resolusi OIE
No. XI tahun 1990. Masuknya PMK ke Negara bebas pada umumnya melalui
importasi daging atau importasi ternak. Mengingat Indonesia setiap tahun
masih mengimport daging beku atau sapi bakalan maka masuknya PMK perlu
diwaspadai. Disamping itu, wilayah kerja BBVet Denpasar pada umumnya
dikenal sebagai daerah tujuan wisata dunia sehingga tingginya arus lalu lintas
manusia dari daerah tertular PMK ke Indonesia juga berpotensi menyebarkan
PMK. Untuk itu surveilans / monitoring dalam rangka mengevaluasi status
bebas dan deteksi dini penyakit Mulut dan Kuku di wilayah kerja BBVet
Denpasar (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur )
perlu dilakukan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut; Apakah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur masih bebas Penyakit Mulut dan Kuku ?
186
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tujuan Kegiatan
Mendeteksi virus PMK di wilayah kerja BBVET Denpasar melalui surveilans
sindromik dan uji serologis dengan indikator antibodi untuk membuktikan
bahwa Bali, NTB dan NTT masih bebas PMK.
Manfaat Kegiatan
Hasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah status PMK di wilayah kerja BBVet Denpasar serta dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka peningkatan kewaspadaan dini terhadap PMK
Out put
Termonitornya status bebas penyakit Mulut dan Kuku di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Out come
Terwujudnya lingkungan ternak bebas PMK di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO PMK DI BALI, NTB DAN NTT
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar belum mampu memenuhi
kebutuhan daging sapi / kerbau secara lokal. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, Indonesia harus melakukan importasi baik dalam bentuk daging beku
maupun sapi bakalan. Tingginya arus perdagangan internasional yang masuk
tentunya meningkatkan potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK) ke Indonesia termasuk ke wilayah kerja BBVet Denpasar (Bali, NTB dan
NTT). Selama ini sebagian besar wabah PMK di beberapa Negara di dunia
selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan / lalu lintas hewan
187
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan
tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu daging dan
produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk
hewan, hijauan pakan ternak, jerami, dan beberapa jenis material lainnya dapat
juga berperan dalam penyebaran PMK. Meningkatnya jumlah penumpang
internasional dari daerah / negara tertular juga merupakan salah satu potensi
ancaman masuknya PMK yang cukup besar. Berdasarkan hasil kajian peneliti
sebelumnya menyatakan bahwa virus PMK dapat disebarkan oleh orang
melalui sepatu, tangan dan pakaian yang tercemar.
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring PMK diwilayah kerja BBVet Denpasar
dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring PMK di Wilayah KerjaBalai Besar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilan sampel tidak
sesuai
Melakukan koordinasi dengan
dinas peternakan atau yang
menangani peternakan dan
kesehatan hewan terkait
kepastian waktu pengambilan
sampel sebelum keberangkatan
sehingga dapat disesuaikan
dengan kegiatan lain pada Dinas /
instansi terkait.
2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengan
dinas terkait sehingga jumlah
sampel minimal terpenuhi.
188
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
3 Rusaknya sampel akibat tidak
tersedianya sarana penyimpanan
yang layak (pendingin)
Berkoordinasi dengan dinas
setempat untuk dapat menitipkan
sampel yang diperoleh pada
kulkas atau freezer, untuk
selanjutnya dalam perjalanan ke
Denpasar menggunakan cooler
box beserta ice pack sehingga
sampel masih tetap baik sampai
di laboratorium.
4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensif
dengan tim pengadaan barang
dan jasa BBVet Denpasar terkait
ketersediaan bahan pengujian
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan Kasubbag
RTP terkait perbaikan alat
pengujian yang rusak. Untuk
sementara waktu dapat
menggunakan alat yang sama di
laboratorium lain di BBVet
Denpasar untuk kelancaran
pengujian.
MATERI DAN METODE
Materi
Bahan : Serum hewan peka (sapi dan babi),
Kit Elisa antibodi PMK (PrioCHECK FMDV NS)
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum
venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.
189
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Metode
a. Metode sampling
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah serum ternak peka PMK pada
peternakan di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans PMK di provinsi Bali,
NTB dan NTT menggunakan rumus Detect present of the Disease (Martin et al,
1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan asumsi
prevalensi adalah 1 %, serta ukuran populasi di masing-masing provinsi di atas
10.000 ekor maka diperlukan 299 sampel untuk mendeteksi setidaknya satu
positif dengan peluang 0,95.
b. Metode pengujian
Pengujian sampel serum untuk mendeteksi antibodi Non Struktural Protein
virus penyebab PMK akibat infeksi alam (OIE, 2014) menggunakan Kit Elisa
antibodi PMK (Priocheck FMDV NSP), dengan prosedur uji sebagai berikut :
Hari pertama proses pengujian1. ELISA buffer sebanyak 80 µl dimasukkan ke semua well plate yang sudah
dilapisi antigen virus PMK
2. Serum kontrol negatif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well A1 dan B1
3. Serum kontrol positif lemah sebanyak 20 µl dimasukkan ke well C1 dan D1
4. Serum kontrol positif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well E1 dan F1
5. Sampel serum sebanyak 20 µl dimasukkan ke masing masing well yang
masih kosong.
6. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah disediakan
7. Plate uji digoyang dengan pelan
8. Plate uji di inkubasi semalaman (16-18 jam) pada suhu 22 °C
190
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Hari kedua proses pengujian1. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan selanjutnya plate dicuci
menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing-masing
200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang
terakhir.
2. Konjugat sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
3. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah tersedia.
4. Plate uji diinkubasi selama 60 menit pada suhu 22 °C
5. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan dan cuci plate tersebut
menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing masing
200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang
terakhir.
6. Substrat chromogen (TMB) sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
7. Plate uji diinkubasi selama 20 menit pada suhu 22 °C
8. Stop solution sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
9. Mix semua bagian di wells plate uji untuk di ukur
10. Densitas diukur dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang
gelombang 450 nm setelah 15 menit
11. Nilai OD450 dihitung sebagai berikut:
OD450 sampel
PI = 100 - OD450 sampel x 100
OD450 max
Interpretasi Hasil
1. OD450 max (rata-rata OD450 kontrol negatif harus >1.000
2. Rata-rata persetase inhibisi kontrol positif lemah harus >50%
3. Rata-rata persetase inhibisi kontrol positif harus >70%
4. Bila tidak menemukan kriteria itu, berarti hasilnya tidak terpakai
5. Bila PI ≥50% = seropositif PMK
191
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Bali pada tahun 2017
dilakukan di delapan kabupaten/kota yaitu Bangli, Buleleng, Gianyar,
Jembrana, Klungkung dan Tabanan. Jumlah sampel yang diambil sejumlah
190 sampel yang terbagi dari seluruh kabupaten yang disampling. Dari hasil
pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif antibodi Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK), seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di provinsi Bali Tahun 2017.
Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
BALI Bangli Kintamani 0 20 20Buleleng Banjar 0 10 10
Gerogak 0 10 10Kubu Tambahan 0 10 10Tejakula 0 10 10
Gianyar Payangan 0 10 10Tampaksiring 0 10 10Tegalalang 0 10 10
Jembrana Melaya 0 40 40Pekutatan 0 30 30
Klungkung Nusa Penida 0 10 10Tabanan Baturiti 0 20 20
Total 0 190 190
Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
pada tahun 2017 dilakukan di sembilan kabupaten/kota yaitu Bima, Dompu,
Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara, Kota Mataram,
Sumbawa dan Sumbawa Barat Jumlah sampel yang diambil berjumlah 100
sampel. Dari hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif
antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti disajikan pada Tabel 3.
192
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 3. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di provinsi Nusa Tenggara Barat , Tahun 2017.
Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
Bima Mada Pangga 0 10 10Dompu Pekat 0 10 10Lombok Barat Gerung 0 10 10Lombok Tengah Batu Kliang 0 10 10Lombok Timur Aikmel 0 20 20Lombok Utara Pemenang 0 10 10Mataram Sandubaya 0 10 10Sumbawa Moyo Hulu 0 10 10
NUSATENGGARABARAT
Sumbawa Barat Taliwang 0 10 10
Total 0 100 100
Sampel yang diuji dari provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 220 sampel
serum, yang diambil di 22 kabupaten / kota yaitu Alor, Belu, Ende, Flores
Timur, Kota Kupang, Kupang, Lembata, Malaka, Manggarai, Manggarai Barat,
Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Rotendao, Saburaijua, Sikka, Sumba
Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Sumba Timur, Timor Tengah
Selatan, Timor Tengah Utara. Dari hasil pengujian diperoleh hasil semua
sampel negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti Tabel 4.
193
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 4. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di provinsi Nusa Tenggara Timur.
Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
Alor Alor Barat Daya 0 5 5
Alor Timur 0 5 5Belu Tasifeto Timur 0 10 10Ende Nanga Panda 0 10 10Flores Timur Larantuka 0 8 8
Wulanggitang 0 2 2Kota Kupang Maulafa 0 10 10Kupang Kupang Timur 0 10 10Lembata Ili Ape 0 10 10Malaka Malaka Tengah 0 10 10Manggarai Satamese 0 10 10Manggarai Barat Komodo 0 10 10ManggaraiTimur Ranamese 0 10 10Nagekeo Boawae 0 10 10Ngada Bajawa Utara 0 10 10Rote Ndao Rote Barat Daya 0 10 10Sabu Raijua Sabu Barat 0 10 10Sikka Waigete 0 10 10Sumba Barat Kota Waikabubak 0 10 10Sumba BaratDaya Wewewa Tengah 0 10 10Sumba Tengah Umbu Ratu Nggay 0 10 10Sumba Timur Waingapu 0 10 10Timor TengahSelatan Kota Soe 0 10 10
NTT
Timor TengahUtara Kota Kefamenanu 0 10 10
Total 0 220 220
194
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
PEMBAHASAN
Penyakit Mulut dan Kuku merupakan penyakit hewan menular yang
mempunyai dampak ekonomi yang sangat besar, antara lain karena
kehilangan produktivitas, pemusnahan ternak terinfeksi, kehilangan peluang
ekspor dan biaya eradikasi. Telah diketahui secara umum bahwa lalu lintas
ternak dan produk asal ternak serta bahan bahan lainnya yang tercemar virus
merupakan sarana penular / pembawa virus PMK atau sumber penular. Oleh
karenanya, terhadap bahan-bahan tersebut di atas pada saat terjadinya wabah
atau adanya ancaman wabah perlu memperoleh pengawasan yang sangat
ketat. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Thailand,
Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja) masih tertular PMK, sehingga selalu
menjadi ancaman yang besar terhadap kemungkinan introduksi PMK ke
Indonesia. Mengingat kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik /
mewabah, dan menyebar sangat cepat serta dapat melintasi batas batas
negara, maka perlu dicermati secara seksama agar Indonesia yang telah
bebas dari PMK tidak tertular kembali, yang pada akhirnya akan sangat
merugikan perekonomian nasional.
Hasil surveilans dan monitoring Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar tahun 2017 di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan tidak ada kasus klinis PMK yang
ditemukan dilapangan dan secara serologis semua sampel serum negatif
antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Hasil ini mengukuhkan bahwa Bali,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur masih tetap bebas Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK). Bebasnya wilayah ini dari Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK) karena telah dilakukan tindak pencegahan melalui pengawasan lalu
lintas/ tindak karantina yang sangat ketat terhadap pemasukan atau import
ternak ruminansia dan produknya dari negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK).
195
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Surveilans PMK di daerah yang memiliki risiko paling tinggi untuk kemungkinan
masuknya hewan/produk hewan dari negara tertular PMK merupakan kunci
utama dalam rangka mempertahankan status bebas PMK di Indonesia. Untuk
itu, dipandang perlu penguatan system surveilans untuk membangun suatu
sistem deteksi dini (early detection system) yang memiliki sensitivas tinggi
terhadap PMK terutama di daerah / kawasan yang memiliki potensi ancaman
karena penyelundupan hewan atau produk hewan dari negara tertular, dan
lokasi dengan peternakan babi yang pakannya menggunakan sisa hotel (swill
feeding). Disamping itu, dalam rangka mengantisipasi kemungkinan masuknya
PMK ke Indonesia, mengingat beberapa negara tetangga di Asia Tenggara
telah tertular, dipandang perlu segera ditetapkan rencana aksi darurat yang
bertujuan untuk menguraikan prosedur-prosedur yang perlu dilaksanakan,
struktur manajemen dan peran yang harus dijalankan oleh masing-masing
pihak yang terlibat apabila ada dugaan / kasus PMK.
KESIMPULAN DAN SARAN.
KesimpulanBerdasarkan kegiatan surveilans / monitoring PMK oleh BBVet Denpasar pada
tahun 2017 dapat disimpulkan ;
1. Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan ternak yang menunjukkan
gejala klinis PMK.
2. Dari 510 sampel serum yang diuji, tidak terdeteksi antibodi PMK (negatif
antibodi PMK).
3. Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur masih tetap
bebas PMK.
SaranMengingat ancaman masuknya PMK ke Indonesia sangat tinggi dan
berlangsung setiap saat, maka kegiatan surveilans/ monitoring perlu
dilaksanakan secara berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang berisiko
tinggi dengan metode surveilans yang memiliki sensitivitas yang tinggi
196
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga surveilans dapat
dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Donaldson, A.I (1993). Eidemiology of Foot and Mouth Disease the Curent andNew Perspective. Diagnosis and epidemiology of foot and mouthdisease in southeast Asia. Aciar Proceeding No 51, 9-15.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and MethodsVeterinary Epidemiology. IOWA State University Press. USA.
OIE, (2014). Manual Diagnostic and Vaccine for Terestrial, Chapter 2.1.5.Office International des Epizooties.
Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.
197
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans berbasis risiko di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan NusaTenggara Timur yang bertujuan untuk mengetahui distribusi kasus dan mendeteksi keberadaanvirus Avian Influenza pada unggas dan lingkungan. Pengujian dilakukan dengan metodeisolasi virus pada telur ayam berembrio dan teknik Konvensional / Real Time PolymeraseChain Reaction (RT-PCR). Pada saat surveilans diperoleh sampel unggas (swab nasal dankloaka / lingkungan / organ unggas dari wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masingsebanyak 890 sampel, 398 sampel dan 609 sampel. Hasil pengujian sampel menunjukkanproporsi positif virus AI di pasar unggas hidup di Provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masingsebesar 6,6%, 1,2% dan 0,9%. Kondisi ini menunjukkan bahwa Avian Influenza masihbersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Kata kunci: Avian Influenza, Surveilans, Bali, NTB, NTT.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Avian Influenza adalah penyakit hewan menular yang menyerang unggas,
disebabkan oleh virus influenza tipe A, family Orthomyxoviridae. Virus
influenza A dibedakan menjadi sub-sub tipe berdasarkan karakter glikoprotein
pada permukaan virus yang berperan dalam menyusun hemaglutinin (HA) dan
neuraminidase (NA). Secara genetik diketahui ada 16 macam HA (H1-H16)
dan 9 NA (N1-N9). Dengan demikian virus influenza A mempunyai 144 subtipe
kemungkinan. Virus AI memiliki kemampuan mutasi dan reasorsi genetik
sehingga terjadi antigenic drift dan atau antigenic shift yang dapat
198
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
mempengaruhi sifat antigenik, patogenesitas dan spesifisitas hospesnya.
Kondisi tersebut akan dapat menyebabkan sistem kekebalan induk semang
sulit mengenali virus yang telah bermutasi tersebut.
Dugaan kasus pertama HPAI sub tipe H5N1 pada unggas di Indonesia terjadi
di Jawa Tengah, sekitar bulan Agustus 2003 dan baru dikukuhkan
keberadaannya secara definitif pada Januari 2004. Pada awalnya, virus H5N1
yang diisolasi di Indonesia termasuk dalam kelompok keturunan genetik
(clade) 2.1, kemudian berkembang menjadi clade 2.1.3, selanjutnya menjadi
clade 2.1.3.1, 2.1.3.2 dan clade 2.1.3.3. Hasil kajian lapangan dan penelitian
laboratorium menunjukkan bahwa virus H5N1 clade 2.1 patogen pada unggas
dari golongan gallinaceous seperti ayam layer, ayam broiler, ayam kampung
dan puyuh, sedangkan itik dan unggas air lainnya relatif tahan. Sejak akhir
2012, muncul virus clade 2.3.2.1 yang merupakan virus H5N1 introduksi baru
ke Indonesia dan menyebabkan wabah pada itik dan entok. Sampai saat ini AI
bersifat endemik di 32 dari 34 provinsi di Indonesia, kecuali Provinsi Maluku
Utara dan Maluku.
Avian Influenza khususnya HPAI menyebabkan kerugian ekonomi sangat
besar karena morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi, menyebabkan
penurunan produksi telur dan daging, serta penurunan kesempatan berusaha
di bidang peternakan ayam. Dari aspek kesehatan masyarakat, AI merupakan
penyakit zoonosis dan telah menyebabkan kematian manusia. Mengingat
virus AI memiliki sifat yang mudah bermutasi genetik sehingga berpotensi
menimbulkan pandemi influenza yang sangat berbahaya (Direktorat
Kesehatan Hewan, 2016). Untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif
untuk mengetahui status daerah terhadap Avian Influenza di wilayah kerja
BBVet Denpasar.
199
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status Avian
Influenza di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di
Tahun 2017 ?
Tujuan kegiatan
Mengetahui situasi /status Avian Influenza di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan dan Nusa Tenggara Timur. Tahun 2017.
Manfaat Kegiatan
Hasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah mengenai situasi / status Avian Influenza di Provinsi Bali, NTB dan
NTT, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan
dalam rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza
di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Out put
Termonitornya situasi / status Avian Influenza yang ada di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai
Besar Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans Avian Influenza sebagai
salah satu penyakit hewan menular strategis prioritas di Indonesia.
Out come
Terwujudnya lingkungan ternak unggas bebas Avian Influenza di Provinsi Bali,
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
200
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
ANALISA RISIKO AVIAN INFLUENZA DI BALI, NTB DAN NTT
Avian Influenza merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.
Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi unggas dan bersifat zoonosis.
Besarnya dampak Avian Influenza terhadap populasi unggas yang rentan tidak
hanya mempengaruhi industri perunggasan secara local, namun juga
internasional melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak
internasional ini, Avian Influenza termasuk salah satu penyakit yang harus
dilaporkan menurut OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Avian Influenza di
Bali, NTB dan NTT antara lain manajemen kesehatan hewan belum
terimplementasikan secara optimal, pengawasan lalu lintas ternak unggas
masih lemah, pencampuran unggas di setiap rantai pasar, status biosekuriti
terbatas, dan minimnya manajemen produk peternakan unggas dan hasil
sampingannya (by product).
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring AI diwilayah kerja BBVet Denpasar
dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring AI di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilansampel tidak sesuai
Melakukan koordinasi dengan dinaspeternakan atau yang menanganipeternakan dan kesehatan hewanterkait kepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikan dengankegiatan lain pada Dinas / instansiterkait.
2 Target sampel tidakterpenuhi
Melakukan koordinasi dengan dinasterkait sehingga jumlah sampelminimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibat Berkoordinasi dengan dinas setempat
201
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
tidak tersedianya saranapenyimpanan yang layak(pendingin)
untuk dapat menitipkan sampel yangdiperoleh pada kulkas atau freezer,untuk selanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan cooler boxbeserta ice pack sehingga sampelmasih tetap baik sampai dilaboratorium.
4 Bahan pengujian belumtersedia
Berkomunikasi secara intensif dengantim pengadaan barang dan jasa BBVetDenpasar terkait ketersediaan bahanpengujian
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alat pengujianyang rusak. Untuk sementara waktudapat menggunakan alat yang samadi laboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaran pengujian.
MATERI DAN METODE
Materi1. Bahan dan Alat untuk pengujian Isolasi AI :
- Telur ayam berembrio umur 9-11 hari.- PBS 1x pH 7,4, stok antibiotika (10.000 IU/ml penisilin, 10.000 µg/ml
streptomisin).
- Biohazard Cabinet Containment Level II, inkubator (37°C), sentrifus,gunting, skalpel, pinset, mortar, alu, spuit 1 ml, tabung, kotak lamputeropong telur.
2. Bahan dan Alat untuk pengujian PCR AI :
- Kit ekstraksi (Invitrogen, No Katalog : 2280-050, 12280-096)
- Kit Master Mix (Ag Path – IDTM One Step RT-PCR Kit, P/NAM 1005)
- BSC, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl, 50 µl, Mikrotube2 ml
202
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
3. - Primer Type A
IVAF-D161 M :5’-AGATGAGYCTCCTAACCGAGGTCG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAAAACATCYTCAAGTCTCTG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAACACATCYTCAAGTCTCTG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAAGACATCYTCAAGTCTCTG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAATACATCYTCAAGTCTCTG
Probe : - Probe Influenza/ 6158014-1/C6
- Primer H5
Clade 2.1.3
H5IVA-D148H5 F : 5’-AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT
H5IVA-D148H5 R: 5’-AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC
Clade 2.3.2
Primer IVA-D204 (F) : 5’-ATGGCTTCCTCGGRAACCC
Primer IVA-D205 (R) : 5’-TTYTCCACTATGTAAGACCATTCCG
Probe: - Probe Influenza/ 5712289-1/ A7
- Probe H5/ 5712289-2/ A8
- Primer H7
FLI-H7 Fwd : 5’-AYAGAATACAGATWGACCCAGT-3’
FLI-H7 Rev : 5’-TAGTGCACYGCATGTTTCCA-3’
FLI-H7 Probe : 5’-FAM-TGGTTTAGCTTCGGGGCATCATG-BHQ1-3’
- Primer H9
203
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
H9 Fwd : 5’-ATGGGGTTTGCTGCC-3’
H9 Rev : 5’-TTATATACAAATGTTGCAC(T)CTG-3’
H9 Probe : 5’-FAM-TTCTGGGCCATGTCCAATGG-TAMRA-3’
- Primer N1
AI N1 1316F Fwd : 5’-GYGGGAGCAGCATATCYTT-3’
AI N1 1379R Rev : 5’-CCGTCTGGCCAAGACCAA-3’
AI N1 1336P Probe :5’-FAM-TGTGGTGTAAAYAGTGACAC-BHQplus3’
- Primer N2IVA-Ntype_N2-F : 5’- GCATGGTCCAGYTCAAGYTG -3’IVA-Ntype_N2-R : 5’- CCYTTCCAGTTGTCTCTGCA -3’
Metode
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab kloaka dan trakea ternak
unggas (ayam, itik, entok) dan swab lingkungan (swab meja tempat penjualan
atau tempat pemotongan karkas unggas, tempat pemotongan ternak unggas,
keranjang unggas hidup yang ada di pasar, lingkungan sekitar pasar unggas
hidup, baju atau celemek pedagang karkas unggas dan peralatan yang
digunakan untuk memotong unggas).
Prosedur Pengujian:
1. Isolasi pada Telur Ayam berembrioTelur ayam berembrio yang berumur 9-11 hari yang berasal dari ayam
yang tidak divaksinasi AI atau telur SAN disiapkan untuk pengujian,
kemudian diperiksa pada teropong lampu. Dilakukan pemilihan embrio
yang aktif kemudian dibuat batas di atas rongga udara dan disucihamakan
dengan alkohol 70% setelah itu dibor dengan bor grinder atau jarum
204
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
venoject. Selanjutnya suspensi jaringan di inokulasi (sebagai inokulum).
Suspensi jaringan sebagai inokulum disuntikkan sebanyak 100 µl langsung
ke dalam ruang allantois. Masing-masing sampel menggunakan 3-5 telur
ayam berembrio. Kemudian lubang ditutup dengan kutex atau lilin,
selanjunya telur diinkubasi selama 5 hari pada suhu 37°C. Pengamatan
dilakukan setiap hari, apabila ada embrio yang mati setelah 24 jam atau 4
hari pasca inokulasi, dikeluarkan dari inkubator dan disimpan dalam kulkas
(4°C) selama 1 sampai 24 jam sebelum cairan allantois dipanen untuk
pengujian.
Selanjutnya telur dikeluarkan dari kulkas kemudian kulit telur didesinfeksi
dengan alkohol 70%. setelah itu kulit telur dibuka dan cairan allantois
ditampung dalam tabung steril untuk selanjutnya dilakukan identifikasi
dengan teknik hemaglutinasi (HA) dan hambatan hemaglutinasi (HI).
Interpretasi hasilEmbrio ayam yang terinfeksi virus ditandai dengan kematian, kerdil dan
perdarahan seluruh tubuh dan kaki.
2. Uji HA (Uji Hemaglutinasi)
Pada semua lubang plat mikrotiter bentuk V/U ditambahkan 25 µl PBS
setelah itu ditambahkan 25 µl antigen (cairan allantois) dan lakukan
pengenceran secara seri kelipatan dua. Untuk menentukan ketepatan titer
HA dilakukan pengenceran secara seri. Selanjutnya, sebanyak 25 µl PBS
ditambahkan pada semua lubang, dan sebanyak 25 µl suspensi sel darah
merah ayam 1% juga ditambahkan pada semua lubang. Plat diinkubasi
pada suhu kamar (20°C) selama 40 menit atau pada suhu 4°C apabila
ambien suhu tinggi, dan diamati adanya hemaglutinasi dibandingkan
dengan kontrol sel. Jika ada hemaglutinasi pada sumuran mikroplate maka
pengujian dilanjutkan ke uji hambatan hemaglutinasi/hemaglutinasi inhibisi
(HI) sebagai konfirmasi adanya virus AI
205
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Interpretasi hasilTiter antigen dinyatakan sebagai pengenceran tertinggi dari antigen yang
masih mampu mengaglutinasi 100% sel darah merah ayam.
3. Uji HI (Uji Hambatan Hemaglutinasi)
Pada semula lubang plat mikrotiter bentuk V/U ditambahkan PBS 25 ul,
setelah itu ditambahkan 25 µl serum unggas yang akan diuji pada deret
lubang A1-H1, selanjutnya dilakukan pengenceran secara seri kelipatan
dua sampai lubang 11, lubang 12 sebagai kontrol sel. Kemudian sebanyak
25 ul antigen 4 unit HA ditambahkan pada semua lubang, kecuali deret
lubang 12 sebagai kontrol sel. Kemudian plat diinkubasi pada suhu kamar
(18-20°C) selama 30 menit. Selanjutnya sebanyak 25 µl suspensi sel darah
merah ayam 1% ditambahkan pada semua lubang, sambil diayak dan
diinkubasi pada suhu kamar (20°C) selama 40 menit.
Interpretasi hasilTiter serum (HI) adalah pengenceran tertinggi dari serum yang
memperlihatkan hambatan komplek terhadap 4 unit HA antigen. Titer HI >
16 (24) : positif antibodi.
4. Pengujian Real Time PCR AIPERSIAPAN CARRIER RNA
Sebanyak 310 ul RNAse Free Water ditambahkan ke dalam 310 µg
lypolized Carrier RNA. Kemudian dicampurkan dengan baik dan dialiquot ±
20 ul/tabung dan disimpan pada suhu -20˚C.
Menghitung Carrier RNA yang akan dipakai dengan rumus sbb:
1 Sampel Lysis Buffer = 0,21 ml
206
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1 Sampel carrier RNA = 5,88 ml
Cara kerja :Ekstraksi sampelSebanyak 200 µl lysis buffer (add carrier RNA) + 200 µl specimen + 25 µl
Proteinase K dimasukkan ke dalam mikrotube. Kemudian mikrotube
tersebut divortex dan diinkubasi pada suhu 56˚C selama 15 menit dan
dispin beberapa detik. Selanjutnya sebanyak 250 µl alkohol absolute
(ethanol absolute) ditambahkan ke dalam mikrotube tersebut dan
diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruangan, kemudian divortex dan
dispin lagi. Selanjutnya suspensi ditransfer dalam spin kolom dan
disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya
collection tube diganti dan supernatant dibuang dan ditambahkan 500 µl
washing buffer dan di sentifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1
menit. . Selanjutnya collection tube diganti dan supernatant dibuang dan
ditambahkan 500 µl washing buffer dan di sentifuse dengan kecepatan
8000 rpm selama 1 menit. . Selanjutnya collection tube diganti dan
disentrifuse kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit.
Kemudian collection tube diganti dengan mikrotube 1,5 ml recovery + 50 ul
RNAse Free Water dan diinkubasi selama 1 menit pada suhu ruangan,
selanjutnya disentrifuse lagi dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit.
RNA siap dilakukan pengujian.
Pembuatan Master Mix Type A
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel(…..x)
1 2x Reaction Mix 12.5 µl2 Premix 3.5 µl3 Enzyme 0.5 µl4 NFW 3.5 µl5 Template 5 µl
207
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Total Volume 25 µl
Pembuatan Master Mix Subtype H5
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel (….x)
1 2x ReactionMix
12.5 µl
2 Duplex H5 6.5 µl3 Enzyme 0.5 µl4 NFW 0.5 µl5 Template 5 µl
Total Volume 25 µl
Pembuatan Master Mix Subtype H7
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel (….x)
1 2x ReactionMix
12.5 µl
2 Duplex H7 4.25 µl3 Enzyme 1 µl4 NFW 2.25 µl5 Template 5 µl
Total Volume 25 µl
Pembuatan Master Mix Subtype H9
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel (….x)
1 2x ReactionMix
12.5 µl
2 Duplex H9 3.75 µl3 Enzyme 1 µl4 NFW 2.75 µl
208
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
5 Template 5 µlTotal Volume 25 µl
Pengaturan Suhu Amplifikasi Real Time PCR
Step Suhu One-StepRT-PCR Waktu
Hot Start 45 oC 10 MenitDenaturasi 95 oC 10 MenitAmplifikasi (45kali)- Annealing 95 oC 15 Detik- Elongasi 60 oC 45 etik
Interpretasi Hasil
Uji RT-PCR dinyatakan positif antigen AI bila nilai ct < 40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari hasil pengambilan sampel di pasar unggas hidup terpilih dan dari
beberapa kasus kematian unggas di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun
2017, diperoleh hasil seperti Tabel 2 sampai Tabel 7.
209
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 2. Sampel terdeteksi positif virus AI dari seluruh kabupaten/kota diProvinsi Bali.
Kabupaten Kecamatan NamaHewan Negatif Type
APositif
(H5)Positif
(H9)JumlahSampel
Badung Kuta Ayam 1 1Kuta Utara Ayam 7 7
Lingkungan 20 5 25Mengwi Itik 1 1
Lingkungan 23 1 1 25Bangli Bangli Lingkungan 48 2 50Buleleng Banjar Ayam 13 2 15
Itik 5 5Seririt Ayam 21 4 25
Itik 4 1 5
Denpasar DenpasarTimur Ayam 1 1
Burung 1 1DenpasarUtara Lingkungan 59 1 60
Gianyar Blahbatuh Ayam 3 3Lingkungan 19 1 20
Gianyar Ayam 45 45Lingkungan 15 15
Sukawati Ayam 2 2Burung 6 6Lingkungan 14 1 15
Jembrana Jembrana Ayam 43 7 50Lingkungan 1 1
Melaya Ayam 134 134Negara Ayam 90 90
KarangAsem Bebandem Burung 1 1
KarangAsem Ayam 54 54
Selat Ayam 2 2Sidemen Itik 9 2 11
Klungkung Klungkung Itik 1 1Lingkungan 39 8 1 2 50
Nusapenida Ayam 15 7 1 23Tabanan Baturiti Ayam 29 29
Kediri Ayam 3 3Lingkungan 25 25
Kerambitan Ayam 4 4Marga Ayam 1 1Penebel Ayam 29 2 31Pupuan Ayam 5 5Selemadeg Ayam 3 3
210
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SelemadegBarat Ayam 1 1
SelemadegTimur Ayam 13 13
Tabanan Ayam 1 1Lingkungan 20 10 30
Total 831 33 4 22 890
Tabel 3. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI dari seluruhkabupaten/kota di Provinsi Bali.
Positif AINo Kabupaten Negatif
AI TypeA* H5 H7 H9
Jumlahsampel
ProporsiPositif (%)
1 Badung 52 6 - - 1 59 11,92 Bangli 48 2 - - - 50 43 Buleleng 43 - - - 7 50 144 Denpasar 61 - - - 1 62 1,65 Gianyar 104 - - - 2 106 1,86 Jembrana 268 - - - 7 275 2,57 Karang Asem 66 - 2 - - 68 2,98 Klungkung 55 15 2 - 2 74 25,79 Tabanan 133 10 - - - 143 6,9
Total 831 33 4 - 22 890 6,6
Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.
Tabel 4. Sampel terdeteksi positif virus AI dari kabupaten / kota diProvinsi NTB.
Kabupaten Kecamatan NamaHewan Negatif Type
APositif
(H5)Positif
(H9)JumlahSampel
Bima Bolo Ayam 81 81Parado Ayam 0 1 1Woha Ayam 19 1 20
LombokBarat Gerung Ayam 15 15
Lingkungan 15 15Kuripan Ayam 50 50
Itik 15 15Lingkungan 10 10
Lembar Ayam 2 2LombokTimur Pringgabaya Ayam 3 3
Sakra Timur Ayam 1 1Mataram Cakranegara Ayam 20 20
Lingkungan 29 1 30Sandubaya Ayam 25 25
211
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Itik 5 5Lingkungan 18 2 20
SumbawaBarat Taliwang Ayam 29 29
Entok 5 5Lingkungan 66 66
Total 393 0 5 0 398
Tabel 5. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI dari kabupaten / kota diProvinsi NTB.
Positif AINo Kabupaten Negatif
AI TypeA* H5 H7 H9
Jumlahsampel
ProporsiPositif
(%)1 Bima 100 - 2 - - 102 1,92 Lombok Barat 92 - - - - 92 03 Lombok Timur 4 - - - - 4 04 Mataram 97 - 3 - - 100 35 Sumbawa Barat 100 - - - - 100 0
Total 393 - 5 - - 398 1,2Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.
Tabel 6. Sampel terdeteksi positif virus AI dari kabupaten/kota di Provinsi NTT.
Kabupaten Kecamatan NamaHewan Negatif Type
APositif
(H5)Positif
(H9)JumlahSampel
Ende EndeSelatan Ayam 53 - - - 53
Lingkungan 52 - - - 52KotaKupang Oebobo Ayam 100 - - - 100
Kupang KupangTimur Ayam 277 - - - 277
Itik 3 - - - 3Lingkungan 4 - - - 4
Ngada Bajawa Ayam 5 - 2 - 7Bebek 0 - 1 - 1Entok 3 - 1 - 4
Sikka Alok Ayam 5 - - - 5Alok Timur Ayam 0 - 1 - 1
Entok 0 - 1 - 1Waigete Ayam 1 - - - 1
SumbaTimur
KotaWaingapu Ayam 60 - - - 60
Lingkungan 40 - - - 40Total 603 0 6 0 609
Tabel 7. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI dari kabupaten/kota diProvinsi NTT.
212
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Positif AINo Kabupaten Negati
f AI TypeA* H5 H7 H9
Jumlahsampel
ProporsiPositif (%)
1 Ende 105 - - - - 105 02 Kota Kupang 100 - - - - 100 03 Kupang 284 - - - - 284 04 Ngada 8 - 4 - - 12 33,35 Sikka 6 - 2 - - 8 256 Sumba Timur 100 - - - - 100 0
Total 603 6 609 0,9
Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.
Pembahasan
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang serius terhadap ancaman
AI, sampai Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden No.1
Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian
Influenza). Presiden menugaskan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat,
Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Ksehatan, Panglima TNI,
Gubernur dan Bupati / Walikota se Indonesia sesuai dengan kewenangannya
melakukan langkah konkrit dalam pengendalian AI. Kebijakan teknis
pencegahan, pengendalian dan pemberantasan AI di Kementerian Pertanian
dilakukan sesuai Keputusan Dirjennak No. 17/Kpts/PD.640/F/02.04. Kebijakan
diarahkan pada biosekuriti peternakan unggas, pengendalian lalu lintas dan
biosekuriti unggas. Penyebaran AI ke provinsi Bali, NTB dan NTT diperkirakan
melalui karena lalu lintas unggas terinfeksi, produk unggas maupun peralatan
yang terkontaminasi virus AI. Salah satu factor yang diyakinin berperan dalam
penyebaran dan lestarinya AI di Bali, NTB dan NTT adalah pola kegiatan
perniagaan unggas di pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live
bird markets).
Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel swab unggas dan lingkungan di
pasar unggas tradisional menunjukkan bahwa proporsi hasil positif virus AI
sebesar 6,6% (Bali), 1,2% (NTB) dan 0,9% (NTT). Proporsi positif virus AI di
Bali menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan NTB dan NTT yaitu sebesar
6,6%. Dari 59 sampel yang positif terdeteksi virus AI di Bali terkonfirmasi sub
213
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
tipe H5N1 (4 sampel), H9N2 (22 sampel) dan 33 sampel positif terdeteksi tipe
A namun bukan sub tipe H5, H7 dan H9. Sementara di NTB terkonfirmasi 5
sampel positif virus AI sub tipe H5N1 dari kabupaten Bima dan kota Mataram.
Hasil pengujian sampel dari NTT terdeteksi 6 sampel positif virus AI (H5N1)
yaitu di kabupaten Ngada dan Sikka dari kasus kematian unggas, sedangkan
sampel dari kabupaten / kota lain di NTT tidak satupun yang terdeteksi positif
AI.
Situasi sirkulasi dan penyebaran virus AI di wilayah kerja BBVet Denpasar
sesuai dengan hasil kajian virus AI di Hongkong dan China, yang
menunjukkan bahwa pasar unggas hidup merupakan lingkungan yang
berperan terhadap terjadinya reassortment dari virus AI tersebut. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sistem perdagangan atau penjualan unggas hidup di pasar,
meningkatkan potensi terjadinya spill over AI dengan adanya pencampuran
unggas dari berbagai macam ras dan jenis dalam satu kandang. Penempatan
unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang di pasar juga
menjadi salah satu factor risiko terjadinya penularan AI (Yee et al., 2009).
Menurut Brown et al. (2008) daya tahan virus AI di lingkungan berhubungan
dengan tempratur, kelembaban dan kondisi pH lingkungan. Suspensi virus AI
tetap infektif pada temperature 17oC selama lebih dari 100 hari dan dapat
bertahan dalam waktu tak terbatas pada suhu di bawah -50oC (Harder dan
Warner, 2006).
Pengujian yang lebih lanjut terhadap clade dari sub tipe H5N1 yang ditemukan
baik di Bali , NTB maupun NTT, semuanya terdeteksi clade 2.3.2.1. Clade ini
telah dilaporkan untuk pertama kalinya oleh Wibawa, et al., (2012), dari kasus
penyakit pada itik dengan tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi di beberapa
peternakan itik di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
periode September – Desember 2012. Lebih lanjut diungkapkan bahwa clade
2.3.2.1 tersebut merupakan sebuah clade baru virus AI di Indonesia. Hasil
surveilans ini juga menguatkan dugaan adanya introduksi virus clade baru ini
214
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
ke wilayah kerja BBVet Denpasar, yang sebelumnya hanya terdeteksi clade
2.1.3.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dalam kegiatan surveilans AI di pasar unggas hidup dan kasus penyakit pada
unggas di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2017 dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Virus Avian Influenza masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar .
2. Proporsi positif virus AI di pasar unggas hidup adalah 6,6% (Bali), 1,2%
(NTB) dan 0,9% (NTT).
3. Virus avian influenza yang terdeteksi adalah sub tipe H5N1 clade 2.3.2.1,
sub tipe H9N2 dan tipe A (bukan sub tipe H5, H7 maupun H9).
SaranSaran saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan
surveilans dan monitoring AI di pasar unggas hidup adalah sebagai berikut ;
1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya baik antar
wilayah maupun dalam wilker BBVet Denpasar yang melalui pusat rantai
perdagangan yakni pasar unggas hidup, harus diawasi dan dilakukan
tindakan antisipasi terhadap munculnya AI dengan memperkuat
biosecurity pasar tersebut.
2. Perlu dilakukan desinfeksi atau fumigasi menyeluruh pada lokasi pasar
tempat penjualan unggas di seluruh pasar unggas hidup di Wilker BBVet
Denpasar untuk mencegah terjadinya penularan AI .
3. Melakukan Public Awareness atau KIE kepada masyarakan luas tentang
penyakit AI.
4. Kegiatan monitoring dan investigasi harus terus dilakukan sebagai dasar
pemetaan AI dan untuk menganalisis kejadian kasus serta factor-faktor
penyebab kejadian AI tersebut.
215
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans Avian Influenza tahun 2017, sehingga surveilans ini dapat
dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA.
Brown, J.D., Goekijan,G., Poulsan, R., Valeika,S. dan stallknecht, D.E. (2008). Avian InfluenzaVirus in Water Infectivity is depend on pH, Salinity and Temperatur. J.Vet.Microbiol.Doi : 10.1016/ j.vetmic. 10.027.
Direktorat Kesehatan Hewan (2016). Profil Kesehatan Hewan Indonesia Menuju ImplementasiOne Health.
Harder, T. C., dan Warner, O., (2006). Avian Influenza. Influenza Report,www.Influenzareport.com.
Wibawa, H., Prijono, W. B., Irianingsih, S.H., Miswati, Y., Rohmah, A., Andhesfha, E.,Dharmayati, N.L.P.I., Rasa, F.S.T. (2012). Investigasi outbreak penyakit pada itik diJawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur: Identifikasi sebuah clade baru virus avianinfluenza sub tipe H5N1 di Indonesia.
Yee, K.S., Carpenter, T.E., Cardona, C.J., 2009. Epidemiology of H5N1 Avian Influenza. J.Comp. immunol., microbiol and infect. dis 32 (2009) p. 325-340.
215
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS DAN MONITORING IBR DAN BVDDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans IBR dan BVD di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan NusaTenggara Timur tahun 2017 yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan virus IBR dan BVDserta mengetahui seropositive antibody IBR dan BVD pada ternak sapi. Pengujian serologis IBRdan BVD dilakukan menggunakan metode ELISA, sedangkan untuk deteksi virus IBR dan BVDdengan teknik Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Pada saat surveilans diperolehsampel serum dan swab sapi di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT. Jumlah sampel serum sapiuntuk mendeteksi antibody BVD dan IBR masing-masing 640 sampel dan 1.159 sampel,disamping itu 50 sampel serum diuji pula untuk mendeteksi keberadaan antigen BVD. Untukmendeteksi keberadaan virus IBR digunakan sampel swab nasal dan swab vagina masing masingsebanyak 197 sampel. Hasil pengujian sampel menunjukkan proporsi positif virus IBR di ProvinsiBali, NTB dan NTT sebesar 0%, sedangkan proporsi positif antibody IBR masing-masing sebesar2,52% (Bali), 18,86% (NTB) dan 18,18 % (NTT). Proporsi positif antibodi BVD masing masingsebesar 35% (Bali), 74% (NTB) dan 14% (NTT). Dari sampel serum yang diuji dengan PCRsemuanya negatif antigen BVD. Kondisi ini menunjukkan bahwa reactor IBR dan BVD masihterdeteksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Kata kunci : Surveilans, IBR, BVD, Bali, NTB, NTT
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka mendukung Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS
SIWAB) untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia, maka penyakit hewan
yang bersifat menular dan mengganggu sistem reproduksi ternak sapi
merupakan kendala yang harus segera diatasi. Dua diantaranya adalah
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) dan Bovine Viral Diarrhea (BVD).
216
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Mengingat dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar, sehingga
kedua penyakit ini dikatagorikan sebagai penyakit hewan menular strategis di
Indonesia.
Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang dapat menginfeksi sapi
pada semua kelompok umur dan jenis kelamin dengan gejala klinis yang
bervariasi, belum diketahui secara pasti kapan virus BVD masuk ke Indonesia,
kemungkinan akhir tahun 1980 an. Sejumlah penelitian mengenai BVD telah
dilaporkan, berkaitan dengan kasus diare atau dikenal sebagai wabah diare
ganas antara lain di : Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT dan NTB. Pada surveilans serologi
yang dilakukan BBVet Denpasar beberapa tahun sebelumnya dilaporkan adanya
antibody BVD pada sapi di Bali, NTB dan NTT sebagai indikasi telah terjadinya
paparan virus BVD, mengingat bahwa tidak pernah dilakukan vaksinasi BVD
pada kelompok sapi tersebut.
Bovine herpes virus type 1 (BHV-1) termasuk dalam family herpesviriae.
Berdasarkan sifat antigenic dan genomic, BVH-1 dibedakan menjadi subtype 1
(BVH-1.1) dan subtype 2 (BVH-1.2). Kedua subtype tersebut dapat menimbulkan
penyakit dengan gejala klinis yang berbeda pada sapi. BVH-1.1 menyebabkan
infeksi saluran pernafasan yang disebut Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR).
Subtipe BVH-1.2 seringkali berhubungan dengan penyakit penyebab gangguan
genital yang dikenal sebagai Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV) pada sapi
betina yang dapat mengakibatkan keguguran atau Infectious Pustular
Balanopostitis (IPB) pada sapi jantan. IBR ke Indonesia tidak diketahui secara
pasti, namun secara serologi telah terdeteksi tahun 1985 yaitu di Jawa NTB, NTT,
Bali, Sumatera, dan Kalimantan dengan prevalensi yang bervariasi dari 1%
sampai 65%.
Dampak dan nilai strategis infeksi BVD menimbulkan kerugian bagi para peternak
sapi karena penyakit ini mengakibatkan penurunan produksi susu dan daging,
gangguan reproduksi, abortus, supresi sistem kekebalan tubuh, dan kematian.
217
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Infeksi persiten virus BVD pada pedet bersifat carrier dan merupakan faktor
predisposisi terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri atau virus lainnya.
Sementara dampak dan nilai strategis penyakit IBR dapat mengakibatkan
keguguran pada umur kebuntingan lebih dari tiga bulan. Pada pusat pusat
perbibitan, sapi harus terbebas dari infeksi virus IBR, sehingga penyakit ini
mendapat prioritas dalam pendeteksiannya, karena semen sapi tertular IBR
dapat mengandung virus IBR.
Mengingat infeksi virus BVD dan IBR berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi
yang sangat besar bagi masyarakat khususnya peternak sapi dan pemerintah,
untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif untuk mengetahui status daerah
terhadap BVD dan IBR di wilayah kerja BBVet Denpasar.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status IBR dan BVD di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di Tahun 2017 ?
Tujuan kegiatan
Mengetahui situasi / status IBR dan BVD di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat
dan dan Nusa Tenggara Timur. Tahun 2017.
Manfaat Kegiatan
Hasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah mengenai situasi / status IBR dan BVD di Provinsi Bali, NTB dan NTT,
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan dalam
rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan IBR dan BVD di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
218
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Out put
Termonitornya situasi / status BVD dan IBR yang ada di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai Besar
Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans BVD dan IBR sebagai salah satu
penyakit hewan menular strategis di Indonesia.
Out come
Terwujudnya lingkungan ternak sapi bebas IBR dan BVD di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO IBR DAN BVD DI BALI, NTB DAN NTT
IBR dab BVD merupakan penyakit yang cepat menyebar dalam populasi sapi.
Penyakit ini terbukti sangat merugikan secara ekonomi. Besarnya dampak IBR
dan BVD terhadap populasi ternak sapi baik secara lokal maupun nasional,
mewajibkan setiap unit perbibitan sapi di Indonesia bebas dari infeksi IBR dan
BVD. Beberapa faktor risiko penyebaran BVD dan IBR di Bali, NTB dan NTT
antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara
optimal, pengawasan lalu lintas ternak sapi masih lemah, dan biosekuriti
terbatas.
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring IBR dan BVD diwilayah kerja BBVet
Denpasar dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan
pada Tabel 1.
219
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring IBR dan BVD di WilayahKerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilan
sampel tidak sesuai
Melakukan koordinasi dengan dinas
peternakan atau yang menangani
peternakan dan kesehatan hewan terkait
kepastian waktu pengambilan sampel
sebelum keberangkatan sehingga dapat
disesuaikan dengan kegiatan lain pada Dinas
/ instansi terkait.
2 Target sampel tidak
terpenuhi
Melakukan koordinasi dengan dinas terkait
sehingga jumlah sampel minimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibat
tidak tersedianya sarana
penyimpanan yang layak
(pendingin)
Berkoordinasi dengan dinas setempat untuk
dapat menitipkan sampel yang diperoleh
pada kulkas atau freezer, untuk selanjutnya
dalam perjalanan ke Denpasar
menggunakan cooler box beserta ice pack
sehingga sampel masih tetap baik sampai di
laboratorium.
4 Bahan pengujian belum
tersedia
Berkomunikasi secara intensif dengan tim
pengadaan barang dan jasa BBVet
Denpasar terkait ketersediaan bahan
pengujian
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan Kasubbag RTP
terkait perbaikan alat pengujian yang rusak.
Untuk sementara waktu dapat menggunakan
alat yang sama di laboratorium lain di BBVet
Denpasar untuk kelancaran pengujian.
220
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
II. MATERI DAN METODE
MATERI PENGUJIAN IBR
Bahan dan Alat untuk pengujian PCR IBR
- Swab Kit ekstraksi (Invitrogen, No Katalog : 2280-050, 12280-096)
- Kit VetmaxTM IBR/BHV-1 Reagents (P/N 4414203) dan Plus qPCR
Master Mix (P/N 4415327)
- BSC, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl, 50 µl,
Mikrotube 2 ml
METODE PENGUJIAN IBR
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab nostril dan
vagina sapi
Prosedur Pengujian :
PERSIAPAN CARRIER RNA
Sebanyak 310 ul RNAse Free Water ditambahkan ke dalam 310 µg lypolized
Carrier RNA. Kemudian dicampurkan dengan baik dan dialiquot beberapa
mikron (± 20 ul/tabung) dan disimpan pada suhu -20˚C.
Menghitung Carrier RNA yang akan dipakai sebagai berikut:
1 Sampel Lysis Buffer = 0,21 ml
1 Sampel carrier RNA = 5,88 ml
CARA KERJA
Ekstraksi sampel
Sebanyak 200 µl lysis buffer (add carrier RNA) + 200 µl specimen + 25 µl
Proteinase K di campur ke dalam mikrotube. Kemudian mikrotube tersebut
221
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
divortex dan diinkubasi pada suhu 56˚C selama 15 menit dan dispin
beberapa detik. Selanjutnya sebanyak 250 µl alkohol absolute (ethanol
absolute) ditambahkan ke dalam mikrotube tersebut dan diinkubasi selama
5 menit pada suhu ruangan, kemudian divortex dan dispin lagi. Selanjutnya
suspensi ditransfer dalam spin kolom dan disentrifuse dengan kecepatan
8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dan
supernatan dibuang dan ditambahkan 500 µl washing buffer dan di
sentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. . Selanjutnya
collection tube diganti dan supernatan dibuang dan ditambahkan 500 µl
washing buffer dan di sentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1
menit. Selanjutnya collection tube diganti dan disentrifuse kembali dengan
kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Kemudian collection tube diganti
dengan mikrotube 1,5 ml recovery + 50 ul RNAse Free Water dan
diinkubasi selama 1 menit pada suhu ruangan, selanjutnya disentrifuse lagi
dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. RNA siap dilakukan
pengujian.
Pembuatan Master Mix untuk sampel dan NTC
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel(…..x)
1 2x qPCR Master Mix 12.5 µl2 VetmaxTM IBR/BHV-1 Reagents 1 µl3 XenoTM DNA Control (10,000 copies/
µl1 µl
4 Nuclease-Free Water 2.5 µl5 Template 8 µl
Total Volume 25 µl
222
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Pembuatan Master Mix untuk Kontrol Positif
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel(…..x)
1 2x qPCR Master Mix 12.5 µl2 VetmaxTM IBR/BHV-1
Reagents1 µl
4 Nuclease-Free Water 2.5 µl5 VetmaxTM IBR/BHV-1
Reagents Controls8 µl
Total Volume 25 µl
Pengaturan Suhu Amplifikasi Real Time PCR
Step Suhu One-StepRT-PCR Waktu
Hot Start 45 oC 10 MenitDenaturasi 95 oC 10 MenitAmplifikasi (45 kali)- Annealing 95 oC 15 Detik- Elongasi 60 oC 45 Detik
Interpretasi Hasil
Uji RT-PCR dinyatakan positif antigen IBR bila nilai ct < 40
MATERI PENGUJIAN BVD
Bahan dan Alat untuk pengujian Elisa BVD
- VDPro® BVD AB ELISA (Median Diagnostics), No Catalog EB-
BVD-01
223
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
- Multi Channel, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl, 50
µl, Distilled Water, Elisa Reader 450 nm
METODE PENGUJIAN BVD
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum sapi
Prosedur Pengujian :
Pada setiap well yang telah dilapisi dengan BVDV E2, dimasukkan 50 µl
dilution buffer, kemudian ditambahkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol
negative dimasukkan ke dalam well yang telah berisi dilution buffer (1:2).
Langkah berikutnya, plate ditutup dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu
ruangan, kemudian setiap well dicuci sebanyak 3X dengan washing buffer 1X
(300 µl per well). Buang konten dalam well setiap tahap pencucian, setelah
dilakukan pencucian berikutnya ditambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-
BVDV E2 ke dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 30 menit
pada suhu ruangan, kemudian setiap well dicuci sebanyak 3X dengan
washing buffer 1X (300 µl per well). Dan buang konten dalam well setiap tahap
pencucian, setelah itu menambahkan 100 µl TMB Substrat ke dalam setiap
well, kemudian plate ditutup dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu
ruangan. Densitas perkembangan warna diamati. Pada kontrol negative,
setelah terlihat perkembangan warna dilakukan penambahan stop solution ke
dalam setiap well sebanyak 50 µl untuk menghentikan reaksi enzymatik dan
baca pada panjang gelombang 450 nm, kemudian di validasi dan dihitung
hasilnya.
Interpretasi hasil
Penghitungan % kompetisi (S/N) sampel menggunakan rumus sebagaiberikut:
OD sampel
224
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SN = x 100Rata-rata OD Kontrol negatif
Interpretasi
S/N value ≤ 0.70: Positif antibodi spesifik BVD dalam serum.
S/N value > 0.70: Negatif antibodi spesifik BVD dalam serum.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari pengujian sampel untuk mengetahui antibodi dan antigen IBR dan BVD di
wilayah kerja BBVet Denpasar diperoleh hasil seperti Tabel 2 sampai Tabel 5.
Tabel 2. Sampel terdeteksi positif antibodi IBR di Bali, NTB dan NTT.
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIFANTIBODI
JUMLAHSPESIMEN
BALI Badung Petang 0 10Bangli Kintamani 1 20Buleleng Banjar 0 10
Buleleng 0 32Gerokgak 0 9Kubutambahan 0 10
Tejakula 0 10
Denpasar DenpasarSelatan 4 90
Gianyar Payangan 0 10Tampak Siring 0 10Tegallalang 0 10
Jembrana Melaya 2 40Pekutatan 14 530
Klungkung Nusa Penida 0 10Tabanan Baturiti 0 32
Total 21 833
225
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
NUSATENGGARABARAT
Bima Mada Pangga 4 10
Dompu Pekat 7 10
Lombok Barat Gerung 0 10
Kediri 0 6LombokTengah Batukliang 0 10
Lombok Timur Aikmel 0 20
Lombok Utara Pemenang 1 10
Mataram Sandubaya 0 10Sumbawa Moyo Hulu 7 10SumbawaBarat Taliwang 1 10
Total 20 106
NUSATENGGARATIMUR
Alor Alor BaratDaya 0 5
Alor Timur 0 5Belu Tasifeto Timur 1 10Ende Nanga Panda 1 10Flores Timur Larantuka 0 8
Wulanggitang 0 2Kota Kupang Maulata 2 10Kupang Kupang Timur 0 10Lembata Ile Ape 1 10
Malaka MalakaTengah 0 10
Manggarai Satarmese 0 10ManggaraiBarat Komodo 0 10
ManggaraiTimur Ranamese 0 10
Nagekeo Boawae 1 10Ngada Bajawa Utara 2 10
Rote Ndao Rote BaratDaya 9 10
Sabu Raijua Sabu Barat 1 10Sikka Waigete 0 10
226
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Sumba Barat KotaWaikabubak 7 10
Sumba BaratDaya
WewewaTengah 2 10
SumbaTengah
Umbu RatuNggay Barat 6 10
Sumba Timur Waingapu 5 10
Timor TengahSelatan Kota Soe 0 10
Timor TengahUtara
KotaKefamenanu 2 10
Total 40 220Grand Total 81 1159
Tabel 3. Sampel terdeteksi positif antigen IBR di Bali, NTB dan NTT
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIFANTIGEN
JUMLAHSPESIMEN
BALI Jembrana Pekutatan 0 16Total 0 16
NUSATENGGARABARAT
Bima Mada Pangga 0 5
Dompu Pekat 0 5
Lombok Barat Gerung 0 4
LombokTengah Batukliang 0 5
Lombok Timur Aikmel 0 10
Suka Mulia 0 9Suralaga 0 11
Lombok Utara Pemenang 0 5
Mataram Sandubaya 0 5Sumbawa Moyo Hulu 0 5SumbawaBarat Taliwang 0 5
227
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Total 0 69
NUSATENGGARATIMUR
Alor Alor BaratDaya 0 5
Belu Tasifeto Timur 0 5Ende Nanga Panda 0 5Flores Timur Larantuka 0 5
Wulanggitang 0 2Kota Kupang Maulata 0 5Kupang Kupang Timur 0 5Lembata Ile Ape 0 5
Malaka MalakaTengah 0 5
Manggarai Satarmese 0 5ManggaraiBarat Komodo 0 5
ManggaraiTimur Ranamese 0 5
Nagekeo Boawae 0 5Ngada Bajawa Utara 0 5
Rote Ndao Rote BaratDaya 0 5
Sabu Raijua Sabu Barat 0 5Sikka Waigete 0 5
Sumba Barat KotaWaikabubak 0 5
Sumba BaratDaya
WewewaTengah 0 5
SumbaTengah
Umbu RatuNggay Barat 0 5
Sumba Timur Waingapu 0 5
Timor TengahSelatan Kota Soe 0 5
Timor TengahUtara
KotaKefamenanu 0 5
Total 0 112Grand Total 0 197
228
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 4. Sampel terdeteksi positif antibodi BVD di Bali, NTB dan NTT.
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIFANTIBODI
JUMLAHSPESIMEN
BALI Badung Petang 10 10Bangli Kintamani 2 20Buleleng Banjar 5 10
Buleleng 8 32Gerokgak 8 10Tejakula 1 10
Denpasar DenpasarSelatan 53 90
Gianyar Payangan 1 10Tegallalang 2 10
Jembrana Melaya 16 40Pekutatan 3 36
Klungkung Nusa Penida 0 10Tabanan Baturiti 3 32
Total 112 320
NUSATENGGARABARAT
Bima Mada Pangga 8 10
Dompu Pekat 7 10
Lombok Barat Gerung 10 10
LombokTengah Batukliang 7 10
Lombok Timur Aikmel 16 20
Lombok Utara Pemenang 5 10
Mataram Sandubaya 7 10Sumbawa Moyo Hulu 9 10
229
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SumbawaBarat Taliwang 5 10
Total 74 100
NUSATENGGARATIMUR
Alor Alor BaratDaya 0 5
Alor Timur 0 5Belu Tasifeto Timur 1 10Ende Nanga Panda 0 10Flores Timur Larantuka 0 8
Wulanggitang 0 2Kota Kupang Maulata 0 10Kupang Kupang Timur 0 10Lembata Ile Ape 0 10
Malaka MalakaTengah 2 10
Manggarai Satarmese 0 10ManggaraiBarat Komodo 1 10
ManggaraiTimur Ranamese 0 10
Nagekeo Boawae 9 10Ngada Bajawa Utara 9 10
Rote Ndao Rote BaratDaya 0 10
Sabu Raijua Sabu Barat 0 10Sikka Waigete 1 10
Sumba Barat KotaWaikabubak 0 10
Sumba BaratDaya
WewewaTengah 0 10
SumbaTengah
Umbu RatuNggay Barat 0 10
Sumba Timur Waingapu 0 10
Timor TengahSelatan Kota Soe 0 10
Timor TengahUtara
KotaKefamenanu 9 10
Total 32 220Grand Total 218 640
230
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 5. Sampel terdeteksi positif antigen BVD di Bali, NTB dan NTT
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIFANTIGEN
JUMLAHSPESIMEN
BALI Jembrana Pekutatan 0 50Total 0 50
Grand Total 0 50
Pembahasan
Sejak program UPSUS SIWAB dijadikan salah satu program unggulan pada
Kementerian Pertanian. Pemerintah memberikan perhatian yang serius untuk
meningkatan populasi ternak sapi di Indonesia dengan regulasi, sarana dan
prasarana yang memadai. Beberapa komponen terkait telah difasilitasi untuk
mendukung keberhasilan UPSUS SIWAB tersebut, salah satunya adalah
penanganan gangguan reproduksi. Terganggunya sistem reproduksi ternak
akibat infeksi penyakit menular akan sangat merugikan peternak akibat
keguguran, penurunan fertilitas bahkan kemajiran. Kebijakan pemerintah dalam
pengendalian BVD dan IBR antara lain dengan meningkatkan tindakan biosekuriti
terhadap pemasukan sapi ke suatu wilayah bebas, dan untuk UPT perbibitan
harus bebas infeksi IBR maupun BVD. Jika ada reactor harus segera dilakukan
eliminasi terhadap ternak sapi yang terinfeksi persisten virus BVD maupun infeksi
laten IBR.
Dari kegiatan surveilans dan monitoring IBR tahun 2017 diwilayah kerja BBVet
Denpasar menunjukkan bahwa proporsi positif antibody sebesar 6,98% dengan
proporsi positif antibodi di Bali paling rendah yaitu sebesar 2,52% dibandingkan
NTT sebesar 18,18%, sedangkan proporsi tertinggi terdapat di NTB yaitu sebesar
18,86%. Hasil ini membuktikan bahwa pernah terjadi infeksi alam pada ternak
231
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
sapi tersebut, karena sapi yang diambil sampelnya untuk diuji belum pernah
divaksivasi IBR. Hasil proporsi positif antibody IBR pada tahun 2017, sedikit
berbeda namun tidak signifikan dengan hasil surveilans dan monitoring IBR pada
tahun 2014 khususnya di Bali, dimana untuk propinsi Bali sebesar 2,26%, NTB
(23,09%) dan NTT (27,94%). Menurunnya proporsi positif di NTB dan NTT
mengindikasikan manajemen sistem peternakan dalam di NTB dan NTT sudah
lebih baik dari tahun sebelumnya. Sementara dari 197 sampel swab nasal dan
vagina yang diuji dari sapi sapi peternak baik di Bali, NTB dan NTT, tak satupun
terkonfirmasi IBR. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadinya infeksi laten
virus IBR pada sapi sapi tersebut, walaupun mukosa hidung disebutkan sebagai
tempat infeksi laten virus IBR tersebut. Dalam keadaan laten, virus infeksius
tidak dapat diisolasi dari leleran ingus pada hidung. Setelah terjadi infeksi, virus
IBR dapat menyebar dari infeksi lokal ke system syaraf dengan cara virus
memasuki sel syaraf tepi. Selanjutnya, virus akan mencapai ganglia sensoris
seperti ganglia trigeminal dan lumbosacral dan akhirnya infeksi laten menetap
disana (Vogel et al, 2004). Disamping itu, tonsil (Winkler et al., 2000),
limfoglandula , peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) serta mukosa mata
juga disebutkan sebagai tempat menetapnya infeksi laten. Sekali terinfeksi oleh
BHV-1, maka ternak sapi tersebut akan berpotensi untuk mengeluarkan virus
(shedding) selama hidupnya. Virus laten ini merupakan reservoar dalam inang
kebal yang pada suatu saat akan terekskresikan bila terjadi pengaktifan kembali
(reaktivasi) (Rola et al., 2003).. Stress dapat mengaktifkan kembali virus dalam
keadaan laten Rola et al., 2005)., seperti transportasi yang berkepanjangan
(Thiry et al., 1987), atau pemberian perlakuan dengan kortikosteroid (Rola et al.,
2005).
Sementara dari kegiatan surveilans dan monitoring BVD tahun 2017 diwilayah
kerja BBVet Denpasar menunjukkan bahwa proporsi positif antibody sebesar
34% dengan proporsi positif antibodi di NTT paling rendah yaitu sebesar 14 %
dibandingkan Bali sebesar 35%, sedangkan proporsi tertinggi terdapat di NTB
yaitu sebesar 74%.. Sementara dari 50 sampel serum yang diuji PCR tak
satupun terkonfirmasi antigen BVD. Kondisi ini sesuai dengan yang tertuang
232
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
dalam OIE (2008) bahwa dalam beberapa kasus BVD, virus tidak dapat diisolasi
dari ternak tersebut demikian pula dengan PCR. Sampel yang terdeteksi
seropositif kemungkinan telah terjadi infeksi alam di lapangan karena tidak ada
riwayat vaksinasi BVD pada sapi tersebut. Disamping itu Elisa antibody dapat
mendeteksi adanya persisten infection pada fetus yang dilahirkan oleh induk
yang terinfeksi oleh BVD pada kebuntingan tua (Jalali et al. 2004). Sedangkan
setelah lahir, infeksi alam dapat terjadi melalui kontak dengan udara luar atau
percikan ekskresi yang mencemari pakan ataupun lingkungan dan melalui kawin
alam / inseminasi buatan dari semen yang tercemar virus BVD (Akoso, 1996).
Pencegahan terhadap infeksi virus BVD dan IBR dapat dilakukan melalui
program vaksinasi dan pemeriksaan terhadap pejantan yang akan digunakan
sebagai sumber semen dalam program IB. Deteksi dini kasus pada kelompok
ternak di lapangan menjadi bagian penting dalam pencegahan dan pengendalian
penyakit ini.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada tahun 2017, keberadaan infeksi alami virus BVD dan virus IBR masih terjadi
pada ternak sapi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Saran
Surveilans dan monitoring BVD dan IBR berkelanjutan perlu dilakukan untuk
memantau status kesehatan ternak sapi di wilayah kerja BBVet Denpasar.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan surveilans
233
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
BVD dan IBR tahun 2017, sehingga surveilans ini dapat dilaksanakan dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T., (1996). Kesehatan Sapi. Kanisius Yogyakarta. Cetakan ke 6. Hal. 117 -120.
Jalali, A., Torstenson, M., and Linberg, A. (2004). Using a commercial indirect antibody detectionElisa to identify dams carrying PI fetuses –a complementary measure in BVDV control /eradication programmes Svanova Vet Diagnostic . www.svanova.com (13 Desember2007).
OIE. (2008). Bovine Viral Diarrhoea. Manual of Standard for Diagnostic Tests and Vaccines.Chapter 2.4.8.
Rola, J., Larska, M and Polak, M.P. (2005). Detection of Bovine herpesvirus-1 from an outbreak ofinfectious bovine rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst. Pulawy 49: 267– 271.
Rola, J., Polak, M.P., and Zmudzinski, J.F. (2003). Amplification of DNA BHV-1 isolated fromsemen of naturally infected bulls. Bull. Vet. Inst. Pulawy 47: 71 – 75.
Thiry, E., Saliki, J., Bublot, M., Pastoret, P.P. (1987). Reactivation of infectious bovine rhinotracheitisvirus by transport. Comp. Immunol. Microbiol. Infect Dis 10 (1) : 59-63.
Vogel, F.S.F.,Flores, E.F., Weiblen, R., Winkelmann, E.R., Moraes, M.P. and Raganca. J.F.M(2004). Intrapreputial infection of young bulls with Bovine herpesvirus type 1.2 (BHV-1.2):Acute balanoposthitis, latent infection and detection of viral DNA in regional neural andnon-neural tissues 50 days after experimental reactivation. Vet. Microbiol. 98: 185 – 196
234
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAI PEMBIBITANTERNAK UNGGUL HIJAUAN PAKAN TERNAK (BPTU-HPT)
TAHUN 2017
Ni Made Sri Handayani
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilaksanakan surveilans di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan TernakDenpasar dan Dompu yang terletak di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat untukmengetahui situasi penyakit hewan menular serta menyusun rekomendasi yang dapat menjadimasukan dalam upaya menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.Sejumlah 370 spesimen dari BPTU-HPT Denpasar dan 115 dari BPTU- Dompu dengan jenisspesimen serum, darah, swab, preparat ulas darah dan feses dikoleksi secara acak sejakbulan Mei sampai Bulan Desember 2017. Seluruh sampel diperiksa terhadap penyakitBrucellosis, Jembrana, SE, IBR, BVD, parasit gastrointestinal dan parasit darah. hasilpengujian sampel serum untuk deteksi antibodi penyakit JD, SE, IBR dan BVD di BPTU-HPTDenpasar.Hasil pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi penyakit JD, SE, IBR, Brucellosis danBVD di BPTU-HPT Dompu, sebanyak 3 (3,0%) dari 100 sampel positif antibodi JD, sebanyak 3(5,0%) dari 60 sampel positif antibodi SE dan 4 (13,3%) dari 30 sampel positif Helminthiasisdengan jenis parasit gastro intestinal Paramphistomum sp dan Cooperia sp. dan protozoaEimeria sp. Hasil uji PCR IBR dan JD menunjukkan semua sampel yang diperiksa negatif.Hasil pemeriksaan 30 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal dari BPTU-HPTDenpasar dan Dompu menunjukkan semua negatif Trypanosomiasis/Surra. Hasil inimenunjukkan bahwa masih perlu dilakukan tata cara pemeliharaan sapi yang baik danmelakukan pengendalian dengan melakukan pendekatan epidemiologi menggunakan suatuprogram pengendalian yang tepat dan efektif untuk menghasilkan bibit berkualitas.
Kata Kunci : Penyakit Hewan, BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
235
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kerjasama antar Unit Pelayanan Teknis (UPT) lingkup Kementerian
Pertanian yang merujuk pada surat tugas No. 22038/ OT.140/F/07/2013
tentang pelaksanaan Bimbingan teknis UPT Perbibitan Pusat di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka perlu dilakukan suatu program
untuk mencegah, melindungi dan memelihara proses kegiatan produksi
sapi bibit yang sesuai dan berkualitas. Dengan melakukan program
surveilans dan monitoring yang terstruktur akan sangat membantu dan
berguna buat BPTU-HPT Bali dalam menghasilkan bibit sapi bali
berkualitas dan tersertifikasi, bebas dari penyakit menular strategis dan
memenuhi kriteria bibit sapi unggul, serta mewujudkan tujuan Renstra
setiap tahunnya.
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari Balai Besar Veteriner
Denpasar yaitu monitoring dan surveilans penyakit hewan, laboratorium
kesehatan hewan dan status bebas penyakit hewan menular, diharapkan
Balai Besar Veteriner Denpasar dapat memberikan kontribusi teknis
terhadap UPT Perbibitan pusat yang ada di wilayah kerjanya yakni Balai
Perbibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) dalam
mewujudkan Tugas Pokok BPTUHPT sesuai SK Menteri Pertanian No.13 /
Permentan / OT.140 / 2 / 2007, adalah melaksanakan pelestarian,
pemuliaan, pembibitan, produksi dan pengembangan serta penyebaran
hasil produksi bibit Sapi Bali Murni Unggul secara Nasional.
Untuk memperoleh data yang lebih akurat perlu dilakukan surveilans yang
berkelanjutan. Oleh karena itu tahun 2017 surveilans dan monitoring akan
dilanjutkan untuk memantau situasi penyakit serta mencegah masuknya
penyakit hewan menular sehingga hasilnya dapat meningkatkan performa
BPTU-HPT Bali sebagai salah satu Balai Perbibitan yang menghasilkan
ternak Sapi Bali Bibit yang berkualitas dan tersertifikasi.
236
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1.2. Tujuan.1. Untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular yang ada di BPTU-
HPT Denpasar Bali dan Dompu.
2. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT
Denpasar Bali dan Dompu.
3. Menyusun rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam upaya
menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.
1.3. Manfaat.1. Mendapatkan informasi tentang status dan situasi Penyakit Hewan
Menular di UPT BPTU-HPT Denpasar Kabupaten Jembrana dan
Kabupaten Dompu NTB.
2. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-
HPT Denpasar dan Dompu
3. Menghasilkan rekomendasi berdasarkan kajian ini untuk meningkatkan
produksi bibit sapi bali yang berkualitas.
1.4. SasaranMendeteksi penyakit hewan menular strategis yang tidak diperbolehkan
pada pusat pembibitan sapi, status penyakit di BPTU-HPT Denpasar dan
Dompu dapat diidentifikasi dan sebagai salah satu usaha kewaspadaan
dini terhadap munculnya penyakit baru.
1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit hewan menular
strategis serta tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) hasil
vaksinasi JD dan SE di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu ;
2. BPTU-HPT Denpasar dan Dompu dapat menghasilkan bibit berkualitas,
unggul dan tersertifikasi.
237
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1.6. Out come1. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan penyakit
SE di wilayah kerja.
2. Terciptanya lingkungan ternak bebas penyakit hewan menular strategis
di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu.
1.7. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis
Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) di BPTU-HPT
Risiko PemasukanTernak
AsalWilayah
SistemPemeliharaan
StatusVaksinasi
ManajemenResiko
Kriteria Lokasi
Penyakit PHMS(SE,JD,Anthrax,IBR,BVD,Brucellosis diBPTU-HPT
BebasPemetaanSerologispenyakit SE,JD,
Wilayahkabupaten yangpernah tercatatpositif antibodiSE,JD
EndemisAda
Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD,
Wilayah kasus danada lalu lintasternak
Lepas
Tidak Surveilansdeteksi penyakit
Wilayah kasus danada lalu lintasternak
Ada
KandangAda
Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD
Wilayah kasus danada lalu lintasternak
TidakSurveilansdeteksi penyakit
Wilayah kasus danada lalu lintasternak
Ada
Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
Tidak
Lepas
TidakSurveilansdeteksi penyakit
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
AdaSurveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternakKandang
Tidak Surveilansdeteksi penyakit
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
238
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1.8. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans Penyakit Hewan Menulardi BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
Berikut ini disajikan pada Tabel 2 analisa risiko kegiatan surveilans penyakit
hewan menular di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu.Tabel 2. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans PHMS di BPTU-HPT
No Risiko Manajemen Risiko/Solusi1 Jumlah target sampel tidak tercapai Berkoordinasi dengan BPTU-HPT, terkait data
populasi ternak pada lokasi yang akandisampling dan agar dikoordinasikan tentangpentingnya pengambilan sampel yang akandilakukan.
2 Lokasi target tidak sesuai denganunit sampel yang direncanakan
Berkoordinasi dengan BPTU-HPT mengenaikondisi geografis, alur transportasi ke lokasi dankesiapan pemilik ternak pada lokasi yang akandisampling.
3 Waktu pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdirencanakan
Berkoordinasi BPTU-HPT mengenai kepastianwaktu pengambilan sampel sebelum menujulokasi pengambilan sampel.
4 Jadwal transportasi dari Balai keBPTU-HPT yang akan dikunjungitidak sesuai dengan waktu kegiatanyang direncanakan (kendala nonteknis)
Segera berkoordinasi ulang dengan BPTU-HPTterkait mengenai penjadwalan ulang waktukegiatan pengambilan sampel termasuk kepadapeternak agar dapat menyesuaikan perubahanjadwal kegiatan
5 Tidak ada rute transportasi (udara,laut, darat) menuju Kabupaten/Kotayang akan dikunjungi sebagai lokasisurveilans
Transportasi seperti penerbangan dan lainnyaagar dialihkan ke lokasi terdekat dariKabupaten/Kota yang dituju sehingga terjangkauoleh transportasi yang digunakan.
6 Surat pemberitahuan serta jadwalsurvailans dan monitoring tidaksampai/terlambat diterima olehDinas Kabupaten/Kota yang akandituju.
Koordinasi dengan BPTU-HPT atau contactpersonnya sebelum hari keberangkatan dengansarana telekomunikasi yang tersedia mengenaijadwal pengambilan sampel yang akandilakukan.
7 Rusaknya sampel yang diambil dilapangan karena tidak tersedianyasarana penyimpanan (mesinpendingin) yang layak di lokasipengambilan sampel
Sampel dapat kita titipkan pada petugas dilapangan/tempat menginap agar disimpandalam mesin pendingin, selanjutnya dalamperjalanan agar menggunakan es batu/ice packuntuk menjaga sampel tetap dalam keadaanbaik sampai di laboratorium.
239
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
II. MATERI DAN METODE
2.1. MateriKegiatan Surveilans dan Monitoring penyakit Hewan Menular ini akan
diambil data dan sampel dari individu sapi yang disampling, kelompok sapi
yang dipelihara sesuai kualifikasinya. Sampel yang diambil adalah serum,
darah dan feses Sapi Bali yang dipelihara di padang penggembalaan dan
di kandang isolasi di BPTU-HPT di Denpasar Kabupaten Jembrana
Provinsi Bali dan Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Sampel tersebut akan
diuji untuk beberapa penyakit Hewan Menular seperti penyakit Brucellosis,
Jembrana Disease, Anthrax, SE, BVD, IBR dan identifikasi parasit
gastrointestinal serta parasit darah. Bahan dan materi pengujian akan
disesuaikan dengan metode uji yang dilakukan di Balai Besar Veteriner
Denpasar.
2.2. Metode2.2.1. Metode sampling
Dalam surveilans dan monitoring penyakit Hewan Menular di BPTU-HPT
Denpasar dan Dompu ini dilakukan pengambilan sampel serum untuk
pemeriksaan Elisa BVD, IBR, SE, Jembrana Desease dan Brucellosis.
Pengambilan sampel swab untuk pemeriksaan PCR IBR dan isolasi SE
(Pasteurella multocida), pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
PCR Jembrana Desease, pengambilan sampel PUD untuk pemeriksaan
parasit darah (Surra) dan pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan
parasit gastro intestinal. Pelaksanaan Surveilans dan monitoring akan
dilakukan dengan pengambilan sampel di lapangan untuk unit ternak.
Estimasi jumlah sampel dapat dilihat pada tabel berikut :
240
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 3. Estimasi Jumlah Sampel dan Distribusi PengambilanSampel Penyakit Hewan Menular di BPTU-HPT Denpasardan Dompu
No Jenis Sampel Jumlah Spl Jenis PengujianSerum 100 Elisa JDSerum 20 Elisa IBRSerum 15 PCR IBRSerum 60 RBT BrucellaSerum 60 Elisa SESerum 20 Elisa PMKSerum 20 Elisa BVDPUD 20 Identifikasi AnthraxPUD 30 Parasit DarahFeses 30 Parasit Gastro Intestinal
1
Darah 100 PCR JDTOTAL 475
Total Jumlah sampel yang diambil dari BPTU-HPT Denpasar Jembrana
dan Dompu sebanyak 475 sampel.
2.2.2. Metode pengujianPengujian sampel serum, darah dan feses untuk mendeteksi antibodi
dan agen penyakit Hewan Menular dapat dilihat pada tabel berikut ;
Tabel 4. Daftar penyakit yang diuji berdasarkan jenis sampel yang diambildalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular diBPTUHPT Sapi Bali
Jenis SampelPenyakit yangdiuji Serum Darah Feses Urine PUD
Jenis Pengujian
BVD Elisa BVDIBR Elisa IBRJD Elisa dan PCR JDBrucelosis RBPTSE Elisa SEParasit Gastro Identifikasi
ParasitParasit Darah MikroskopisAnthrax Identifikasi
241
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
2.3. Analisis DataSemua data sampel, hasil uji dan informasi ditabulasikan dan dianalisis
secara dekriptif.
2.4. Tempat Pelaksanaan KegiatanPelaksanaan surveilans dilaksanakan di lokasi Kandang perbibitan
BPTU-HPT Denpasar yang berlokasi di Desa Pangyangan Kecamatan
Pekutatan Kabupaten Jembrana, Bali dan Kabupaten Dompu Nusa
Tenggara Barat.
242
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. HasilKegiatan surveilans di UPT Balai Pembibitan Ternak Unggul dan
Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) pada Tahun 2017 bertujuan untuk
mengetahui situasi penyakit hewan menular yang ada di UPT tersebut.
Hasil pengambilan sampel surveilans di UPT BPTU-HPT Denpasar dan
Dompu berhasil mengumpulkan sampel sebanyak 485 sampel serum,
darah, feses dan swab. Sampel tersebut diperiksa untuk mengetahui
berbagai jenis penyakit hewan menular seperti : JD, IBR, BVD, SE,
Anthrax, Brucellosis, parasit darah dan juga parasit gastro intestinal.
Berikut ini disajikan prevalensi penyakit hewan secara umum di BPTU
HPT pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Denpasar dan Dompu
No JenisPenyakit
JenisPengujian
JenisSampel
JumlahSampel
JumlahPositif
Prevalensi(%)
Elisa JD Serum 100 3 3,01 JDIBR Elisa IBR Serum 20 0 0
2 IBR PCR IBR Serum 15 0 0RBT Brucella Serum 60 0 03 Brucellosis
SE Elisa SE Serum 60 3 5,0Elisa PMK Serum 20 0 04 PMK
BVD Elisa BVD Serum 20 0 0IdentifikasiAnthrax
PUD 20 0 05 Anthrax
Trypanosomiasis Parasit Darah PUD 30 0 06 Helminthiasis Parasit Gastro
IntestinalFeses 30 4 13,3
7 JD PCR JD Darah 100 0 0TOTAL 485 10 2,1
243
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) dari BPTU-HPT Denpasar
No JenisPenyakit
JenisPengujian
JenisSampel
JumlahSampel
JumlahPositif
Prevalensi(%)
Elisa JD Serum 100 3 31 JDIBR Elisa IBR Serum 10 0 0
2 IBR PCR IBR Serum 10 0 0RBT Brucella Serum 40 0 03 Brucellosis
SE Elisa SE Serum 40 2 5Elisa PMK Serum 10 0 04 PMK
BVD Elisa BVD Serum 10 0 0IdentifikasiAnthrax
PUD 20 0 05 Anthrax
Trypanosomiasis Parasit Darah PUD 10 0 06 Helminthiasis Parasit Gastro
IntestinalFeses 20 4 20
7 JD PCR JD Darah 100 0 0TOTAL 370 9 2,4
Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Dompu
No JenisPenyakit
JenisPengujian
JenisSampel
JumlahSampel
JumlahPositif
Prevalensi(%)
Elisa IBR Serum 10 0 01 IBRPCR IBR Swab 5 0 0RBT Brucella Serum 20 0 02 Brucellosis
SE Elisa SE Serum 20 1 5,0Elisa PMK Serum 10 0 03
4PMKBVD Elisa BVD Serum 10 0 0
IdentifikasiAnthrax
PUD 20 0 056
Anthrax
Trypanosomiasis Parasit Darah PUD 10 0 07 Helminthiasis Parasit Gastro
IntestinalFeses 10 2 20
TOTAL 115 3 2,6
244
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Prosentase hasil pemeriksaan terhadap titer antibodi berbagai penyakit seperti
SE, JD IBR dan BVD menunjukkan 2,1 dan 2,6 untuk BPTU-HPT Denpasar
dan Dompu, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kemungkinan
vaksinasi baru dilaksanakan saat surveilans dilakukan atau vaksinasi sudah
terlalu lama dilakukan sehingga titer antibodinya menurun atau bisa juga
disebabkan karena inveksi alam karena tidak dilakukannya vaksinasi. Data
vaksinasi dari lapangan sangat minim sehingga diharapkan petugas yang
melakukan surveilans melengkapi data vaksinasi agar memudahkan dalam
melakukan analisa.
Hasil pengujian deteksi antigen penyakit IBR dan JD di BPTU-HPT Denpasar
dan Dompu semua menunjukkan hasil negatif, sedangkan parasit gastro
intestinal ditemukan berbagai macam parasit gastro seperti cacing
Paramphistomum sp, Cooperia sp dan Eimeria sp, demikian pula halnya
parasit darah dan Brucelosis semua sampel yang diuji menunjukkan negatif,
hasil selengkapnya ditampilkan pada Tabel 7 dan 8.
Hasil pemeriksaan 30 sampel feses sapi yang berasal dari BPTU-HPT
Denpasar dan Dompu dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil uji Floatasi
dan Sedimentasi sampel feses menurut Whitlock (1980) menunjukkan bahwa
sapi bali di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu serta peternak binaan
disekitarnya secara umum terinfeksi oleh parasit gastro intestinal
(Helminthiasis) dengan rata-rata prevalensi di BPTU-HPT Denpasar 4 (20%)
dan BPTU-HPT Dompu 2 (20%). Jenis parasit gastrointestinal yang
menginfestasi terdiri dari jenis Trematoda (Paramphistomum sp) dan
Nematoda (Cooperia sp), disamping itu juga ditemukan protozoa dari genus
Eimeria sp. di BPTU Denpasar dengan prosentase 10% dari sampel yang
diperiksa.
Helminthiasis atau yang sering disebut kasus cacingan pada ternak sapi sering
terjadi terutama pada sistem pemeliharaan tradisional di mana ternak jarang
diberikan obat cacing. Sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif memiliki
resiko lebih tinggi terpapar Cacingan dibandingkan dengan sistem
pemeliharaan intensif. Namun pada sistem pemeliharaan intensif pun bisa
245
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
terpapar Cacingan apabila rumput yang diberikan tidak dilayukan terlebih
dahulu. Rumput yang dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada
ternak dapat mencegah Cacingan serta kembung. Pedet dan sapi muda di
bawah 2 tahun lebih beresiko terinfeksi cacing. Gejala klinis yang muncul pada
kasus sapi kekacingan adalah diare, tidak nafsu makan, bobot badan menurun
dari hari ke hari, mata berair, bulu kusam dan tidak mengkilap.
Pencegahan terhadap kasus kecacingan dapat dilakukan pemberian obat
cacing secara teratur setiap 3 hingga 6 bulan sekali. Selain itu pula pencegahan
dapat dilakukan dengan menghindari kepadatan populasi ternak di dalam
kandang dan padang penggembalaan, tidak menggembalakan pedet di tempat
yang habis dipakai untuk menggembalakan ternak dewasa. Pemberian pakan
yang berkualitas baik pada pedet dan sapi muda juga sanget diperlukan untuk
menguatkan sistem pertahanan tubuh, di mana bila kondisi badan sehat larva
cacing yang masuk akan tidak berkembang. Kondisi lingkungan padang
penggembalaan dan kandang perlu diperhatikan untuk menghindari tanah
yang lembab dan basah serta banyak kubangan. Penggembalaan sebaiknya
dilakukan secara bergiliran atau dirotasi. Kebersihan kandang sangat penting
diperhatikan, sisa pakan dan kotoran yang bertumpuk sebaiknya dibersihkan
dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos.
Eimeria sp merupakan protozoa yang menyebabkan koksidiosis sapi dan
menyerang pada hewan-hewan muda. Biasanya terdapat pada anak sapi umur
3 minggu sampai 6 bulan. Anak sapi yang umurnya lebih tua bahkan dewasa
dapat terserang pada kondisi pencemaran berat, tetapi biasanya mereka tidak
memperlihatkan gejala penyakit dan bersifat Carrier. Anak-anak sapi terkena
infeksi karena menelan ookista-ookista bersama-sama dengan pakan atau
dengan melalui air minum. Mortalitas yang cukup tinggi dapat di temukan pada
anak anak sapi yaitu berkisar antara 26-42%. Keparahan penyakit tergantung
pada jumlah ookista yang menginfeksi. Jika ookista yang masuk sedikit maka
tidak ada tanda-tanda penyakit, infeksi yang berulang-ulang dapat
menghasilkan imunitas terhadap penyakit tersebut, dan begitupun juga
246
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
sebaliknya. Secara ekonomis penyakit ini mempunyai arti yang penting karena
dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan, pertumbuhan
terhambat dan penurunan produksi. Penyebaran penyakit terjadi melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan ookista yang telah
bersporulasi.
Pengendalian dan pencegahan Coccidiosis dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan kandang, air minum dan lingkungan sekitarnya. Manajemen
pemberian pakan yang baik, menghindarkan sapi dari memakan pakan yang
jatuh ke tanah. Memisahan ternak tua dan ternak muda, pembuatan program
antikoksidiosis dalam pakan, melakukan karantina ternak yang baru masuk,
melakukan Isolasi hewan yang terkena koksidiosis dan pengobatan. Cara
lainnya adalah dengan meminimalkan stres lingkungan, suhu, kelembaban dan
faktor lain yang meningkatkan resiko koksidiosis (ventilasi yang buruk, nutrisi
buruk, kepadatan kandang). Sedangkan usaha pengobatan yang dapat
dilakkan adalah dengan menggunakan preparat sulfa.
Hasil pemeriksaan sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal dari
BPTU-HPT Denpasar dan Dompu menunjukkan semua negatif selengkapnya
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 10. Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra pada Sapi Bali diBPTU – HPT Denpasar dan Dompu
Lokasi JumlahSampel
NegatifTrypanosoma
PositifTrypanosoma
Prevalensi(%)
Denpasar 10 10 10 0Dompu 10 10 0 0Total 20 20 0 0
Hasil pemeriksaan parasit darah mengindikasikan bahwa tidak adanya
kejadian Trypanosomiasis/Surra pada sapi bali di BPTU HPT Denpasar dan
Dompu. Penyakit parasit darah merupakan masalah kesehatan hewan yang
menimbulkan kerugian ekonomi pada ternak sapi di Indonesia.
247
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
IV. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa disimpulkan bahwa :
1. Ternak sapi bali di BPTU-HPT Denpasar hasil pemeriksaan penyakit
SE, JD, IBR dan BVD dengan metode isolasi dan PCR di BPTU-HPT
Denpasar dan Dompu menunjukkan semua negatif.
2. Ternak sapi di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu terinfeksi cacing
dengan prevalensi di BPTU-HPT Denpasa dan BPTU-HPT Dompu
masing-masing 20%, sedangkan protozoa Genus Eimeria menginfeksi
dengan prevalensi 10% untuk BPTU-HPT Denpasar
3. Tidak ditemukan adanya indikasi penyakit parasit darah
Trypanosomiasis/Surra pada sapi bali di BPTU HPT Denpasar dan
Dompu
4.2. Saran
Saran yang ingin disampaikan untuk BPTU-HPT Denpasar dan Dompu adalah:
1. Melakukan pemberian obat cacing dari usia 3 bulan secara kontinyu dan
pemberian obat preparat sulfa untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh protozoa secara rutin sesuai dengan petunjuk dokter
hewan serta melakukan tata cara pemeliharaan sapi yang baik.
2. Melakukan pengendalian dengan melakukan pendekatan epidemiologi
dengan suatu program pengendalian yang tepat dan efektif, kajian
tentang data dasar yang berkaitan dengan jenis parasit, prevalensi,
tingkat parasitemia dan berbagai faktor risiko yang berpengaruh pada
kejadian infeksi parasit darah.
248
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2004.Ivermectin.http://cal.vet.upenn.edu/dxendopar/drug%20pages/fenbendazole.htm.Diakses 24 Januari 2017
Brown, J. D., Goekijan, G., Poulsan, R., Valeika, S., dan Stallknecht, D. E., 2008. AvianInfluenza Virus in Water Infectivity is depend on pH, Salinity and Temperature. VetMicrobiol. Doi : 10.1016/j.vetmic.1 Veterinary Epidemiology. IOWA State UniversityPress/ames. USA.
Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- TheNatural History of Anaplasma Marginale. Vet Parasitol. 167:95-1070.027.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods
Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di LimaKecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
249
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
SURVEILANS PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKITGANGGUAN REPRODUKSI DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT
TAHUN 2017
Ni Made Sri Handayani
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Untuk pemenuhan produk pangan asal hewan, produktifitas ternak masih ditemukan masalah,yaitu rendahnya angka kelahiran dan terjadinya gangguan reproduksi dan penyakit gangguanreproduksi. Untuk mengetahui sejauh mana terjadinya gangguan reproduksi pada ternak danpenyebaran penyakit gangguan reproduksi, maka tahun 2017 Balai Besar Veteriner Denpasarmelaksanakan Surveilans Penyidikan dan Pengujian Penyakit Gangguan Reproduksi padaternak sapi/kerbau yang bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit menular yangberkaitan dengan gangguan reproduksi sehingga dapat menjadi acuan dalam pencegahan danpengendalian terhadap penyakit tersebut. Pengambilan sampel dilakukan di wilayah kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar dengan total sampel 10004 sampel serum dan swab. Dari 189sampel serum yang diuji dengan Elisa BVD dan 700 sampel serum yang diuji RBT Brucellasemua sampel menunjukkan hasil negatif dan hasil uji 115 sampel swab yang diuji PCR IBRmenunjukkan semua sampel negatif virus IBR.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pencapaian target populasi ternak dilakukan dengan berbagai cara.
Kemampuan reproduksi ternak adalah kunci dalam mengembang biakan tenak.
Adanya penyakit-penyakit yang akan mengganggu kemampuan reproduksi
perlu diketahui dan dipetakan dengan akurat, sehingga upaya pengendalian,
pencegahan dan penangananya bisa membuahkan hasil yang optimal. Semua
upaya itu berujung pada tercapainya derajat kesehatah ternak yang optimal
untuk menghasilkan keturunan-keturunan yang sehat pula sehingga mencapai
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan akan daging. Sebagai salah satu Unit
Pelayanan Teknis (UPT) di bawah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Balai Besar Veteriner Denpasar diharapkan juga memberikan andil dalam
250
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
penyidikan, pengujian ataupun pemetaan penyakit yang berkaitan dengan
gangguan reproduksi. Sehingga dengan optimalisasi kerja berbagai elemen
dalam mendukung pencapaian target populasi ternak akan dapat terwujud.
Dengan memperhatikan hal itu, maka kegiatan yang mendukung evaluasi dan
monitoring penyakit gangguan reproduksi perlu terus dilakukan, disamping
kegiatan kegiatan pendukung lainnya seperti kebijakan tunda potong betina
produktif, dan sebagainya. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung
peningkatan populasi sapi potong dan kerbau. Namun, hingga saat ini masih
sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan
rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa penurunan angka kebuntingan dan
jumlah kelahiran pedet, sehingga mempengaruhi penurunan populasi sapi dan
pasokan penyediaan daging secara nasional.
Gangguan reproduksi pada sapi potong dan kerbau secara garis besar
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : cacat anatomi saluran
reproduksi, gangguan fungsional, infeksi organ reproduksi. Gangguan
fungsional salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya
gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas
bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Penyakit
Reproduksi yang disebabkan oleh infeksi menjadi perhatian utama dalam
surveilan dan pengujian yang dilakukan Balai Besar Veteriner Denpasar. Hal ini
mengingat sampai saat ini Balai Besar Veteriner Denpasar lebih memperkuat
dalam pendiagnosaan penyakit yang disebabkan agen infeksius. Lebih khusus
lagi penyakit infeksi yang spesifik, yaitu yang disebabkan virus dan bakteri.
Penyakit Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus ini seringkali
menyebabkan kejadian keguguran pada ternak yang bunting. Biasanya
keguguran terjadi pada umur kebuntingan 7 bulan. Angka kematian induk
sangat kecil atau tidak terjadi, namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan
sangat besar berupa keluron anak, anak lahir lemah dan kemudian mati, dan
gangguan alat reproduksi yang menyebabkan kemajiran, dan pada sapi perah
251
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
sering terjadi penurunan produksi susu. Spesies bakteri Brucella yang sering
menjadi masalah adalah; Brucella melitensis menyerang kambing, Brucella
abortus menyerang sapi, dan Brucella suis menyerang babi. Brucellosis ini bisa
juga menyerang manusia. Penularan kepada manusia terjadi karena minum
susu yang tidak dimasak sempurna, karena menolong kelahiran sapi atau
mengambil plasenta yang tertinggal. Penularan Brucellosis biasanya terjadi
secara oral, melalui hidung atau mata. Selain itu penularan dapat juga terjadi
secara congenital dimana anak yang dilahirkan dari induk penderita, cenderung
menjadi latent carier dan akan mengalami abortus pada saat terjadi
kebuntingan yang pertama. Pada saat keguguran, fetus dan membrannya
mengandung banyak kuman dan menjadi sumber penularan. Penyebaran
Brucellosis di wilayah kerja BBVet Denpasar masih bersifat endemis di Provinsi
Bali dan beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
Penyakit IBR merupakan penyakit infeksius yang sangat menular yang
disebabkan oleh Bovine Herpesvirus- 1 (BHV-1). Selain menyebabkan penyakit
pernafasan, virus ini dapat menyebabkan conjunctivitis, aborsi, encephalitis,
dan infeksi sistemik secara umum. Gejala klinis yang disebakan oleh virus ini
dapat dikelompokan menjadi : infeksi saluran pernafasan. infeksi mata, aborsi ,
infeksi kelamin, infeksi otak, infeksi umum pada anak sapi yang baru lahir.
Penularan dapat melalui air, pakan, kontak langsung maupun tidak langsung.
Gejala yang nampak dalam berbagai bentuk, yaitu: Respiratorik bagian atas
(demam, anorexia, depresi, leleran hidung, nodula/bungkulbungkul pada
hidung, pharynx, trachea, batuk, penurunan produksi susu). Konjungtival
(hyperlakrimasi dengan eksudat mukopurulen, konjungtiva merah dan
bengkak, adanya pustula pada konjungtiva dan ulcer nekrotik. Penyakit BVD-
MD yang menyerang sapi dengan gejala klinis demam tinggi, depresi,
anorexia, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan, abortus pada
2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang.
252
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Secara umum maksud/tujuan dilakukannya Surveilans penyakit gangguan
reproduksi adalah:
1. Mengetahui keberadaan penyakit yang bisa berakibat pada adanya
gangguan reproduksi pada ternak sapi.
2. Memberikan informasi hasil laboratorium tentang adanya agen agen atau
penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan reproduksi pada sapi.
II. MATERI DAN METODE
2.1. MATERI Bahan yang digunakan dalam penulisan laporan kegiatan ini adalah hasil
pemeriksaan laboratorium Virologi (IBR dan BVD), laboratorium Bakteriologi
(Brucellosis). Semua pemeriksaan dilakukan di laboratorium Balai Besar
Veteriner Denpasar.
2.2. METODESampel kegiatan lapangan diambil adalah sampel serum dan swab dari
Provinsi Bali, NTB dan NTT yang diperiksa terhadap penyakit BVD, IBR dan
Brucelosis dengan metode PCR (Polymerase Chaine Reaction), Elisa (Enzim
Lynked Immunosorbance Assay) dan RBT (Rose Bengal Test)
253
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASILHasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini :
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan BVD dan IBRHasil Uji
Elisa BVDHasil UjiPCR IBR
Provinsi Kabupaten Hewan Spesimen Jumlah Seropos
Seroneg + -
BALI Badung Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
Bangli Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
Klungkung Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
Tabanan Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
NTB Bima Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
Dompu Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
Lombok Barat Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
Lombok Tengah Sapi SerumSwab
55
00
105
00
105
Lombok Timur Sapi SerumSwab
95
00
105
00
105
Lombok Utara Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Mataram Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Sumbawa Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Sumbawa Barat Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
NTT Belu Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Ende Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Flores Timur Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Kupang Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Lembata Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Ngada Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Sikka Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Sumba Barat Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Sumba Barat Daya Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
Sumba Tengah Sapi SerumSwab
105
00
105
00
105
JUMLAH 304 0 304 0 304
254
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 304 sampel yang diuji dengan Elisa BVD dan
PCR IBR hasilnya semua sampel negatif.
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan RBT BrucellaHasil Uji RBT
BrucellaProvinsi Kabupaten Hewan Spesimen Jumlah Sero
posSeroneg
BALI Badung Sapi Serum 50 0 50Bangli Sapi Serum 50 0 50Klungkung Sapi Serum 50 0 50Tabanan Sapi Serum 20 0 20Buleleng Sapi Serum 50 0 50
NTB Bima Sapi Serum 20 0 20Dompu Sapi Serum 20 0 20Lombok Barat Sapi Serum 50 0 50Lombok Tengah Sapi Serum 50 0 50Lombok Timur Sapi Serum 50 0 50Lombok Utara Sapi Serum 30 0 30Mataram Sapi Serum 20 0 20Sumbawa Sapi Serum 20 0 20Sumbawa Barat Sapi Serum 20 0 20
NTT Belu Sapi Serum 20 0 20Ende Sapi Serum 20 0 20Flores Timur Sapi Serum 20 0 20Kupang Sapi Serum 20 0 20Lembata Sapi Serum 20 0 20Ngada Sapi Serum 20 0 20Sikka Sapi Serum 20 0 20Sumba Barat Sapi Serum 20 0 20Sumba Barat Daya Sapi Serum 20 0 20Sumba Tengah Sapi Serum 20 0 20JUMLAH 700 0 700
Pemeriksaan terhadap 700 sampel serum yang diuji menunjukkan semua
sampel negatif Brucella.
3.2 PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan terhadap penyakit BVD (Bovine Virus Diarrhea)
menunjukkan semua sampel neghatif virus tersebut. BVD adalah penyakit
infeksius pada sapi yang disebabkan oleh virus dan secara klinis terlihat
adanya stomatitis erosif akut, gastroenteritis dan diarhea. Penyakit ini bisa
berdampak terhadap masalah reproduksi. Dan sapi merupakan spesies yang
255
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
rentan terhadap penyakit ini. Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini yang
paling menyolok adalah diare yang profuse dan berair, berbau busuk berisi
mukus darah. Sedangkan akibat yang ditimbulkan yang berkaitan dengan
masalah reproduksi adalah pada sapi bunting dapat mengalami keguguran
akibat infeksi, biasanya setelah fase akut lewat, bahkan bisa sampai 3 bulan
setelah kesembuhan. Penyakit ini lebih umum terjadi pada sapi potong
dibanding sapi perah. Jika terjadi wabah morbiditas mencapai 25% dan
kematian dapat mencapai 90 – 100 % dari hewan yang sakit. Bila penyakit ini
memasuki suatu peternakan maka biasanya bersifat sporadik. Pada
peternakan penggemukan biasanya terjadi out break beberapa hari setelah
sapi datang. Cara penularan secara kontak langsung maupun tidak langsung.
Penyebaran yang utama melalui makanan yang tercemar feses, urine atau
leleran hidung. Apabila penyakit sudah masuk pada suatu peternakan, kasus
baru yang terjadi bersifat sporadik. Gejala klinis yang tampak bisa bersifat akut,
sub akut atau kronis. Pengujian BVD secara serologis telah dilakukan secara
rutin di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar dengan metode Elisa
BVD.
Dari pemeriksaan yang dilakukan pada tahun sebelumnya dapat dijelaskan
bahwa penyakit BVD ini telah ditemukan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar. Namun pada tahun 2018 ini pemeriksaan BVD yang dilakukan Balai
Besar Veteriner Denpasar memberi gambaran hasil yang cukup
menggembirakan, dari semua sampel serum yang diambil dari tiga propinsi
dengan uji Elisa BVD semua sampel sebanyak 345 serum semuanya
menunjukkan hasil seronegatif BVD. Hasil ini menggambarkan paparan virus
BVD di alam tidak terjadi lagi di tiga provinsi yang dilakukan pengambilan
sampel.
Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) dapat menimbulkan infeksi
sekunder berupa broncho pneumonia, keguguran dan kematian pada anak
sapi. Mortalitas penyakit rendah dan morbiditas tinggi. Sapi yang sembuh dari
infeksi alami menjadi kebal dalam waktu yang lama. Kekebalan secara pasif
256
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
yang diperoleh pedet dari kolostrum dapat menimbulkan kekebalan kurang
lebih empat bulan. Penularannya bisa secara vertikal maupun horizontal.
Secara vertikal dapat melalui infeksi intra uterina, sedangkan horizontal dapat
melalui inhalasi cairan hidung yang mengandung virus dan melalui semen.
Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi cukup berarti. Kerugian
terutama akibat adanya infeksi sekunder yang dapat menyebabkan
pneumonia, keguguran dan kematian pada anak sapi. Diagnosa laboratorium
dapat dilakukan secara histopatologi dan virologi. Pemeriksaan adanya virus
dapat dilakukan secara isolasi dari usapan vagina atau trachea. Dapat pula
menggunakan metode ELISA dan yang lebih akurat lagi adalah dengan
metode PCR. Meskipun bahan yang digunakan berupa kit Elisa cukup mahal,
pengujian dengan metode ini bisa lebih cepat dan mudah dilakukan dan bisa
memberikan gambaran adanya antibodi maupun antigen IBR pada sapi yang
diambil sampelnya. Banyaknya penyakit yang menunjukkan gejala klinis yang
mirip (differensial diagnosa) dengan penyakit IBR ini menjadi alasan perlunya
pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosa penyakit ini. Beberapa penyakit
yang merupakan diagnosa banding (differnsial diagnosa) dari penyakit IBR ini
antara lain: Pasteurollosis, Bovine Viral Diarrhea (BVD), Diphteria, Shipping
Fever, Rhinitis karena alergi, dan Malignan Catarrhal Fever (MCF). Untuk lebih
memberikan kecepatan dan ketepatan diagnosa IBR, Balai Besar Veteriner
Denpasar juga melakukan pendiagnosaan IBR dengan metode PCR. Hasilnya
bisa dilihat pada Tabel.1 untuk pemeriksaan serum dengan metode ELISA dan
untuk pemeriksaan secara PCR.
Hasil pemeriksaan RBT Brucella terhadap 700 sampel menunjukkan semua
sampel yang diuji negatif, Brucellosis atau penyakit keluron menular
merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis karena penularannya
yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan
lalulintas ternak yang ketat (Ditjennak, 1988). Brucellosis mengakibatkan
tingginya angka keguguran pada sapi, pedet lahir mati/ lemah, infertilitas,
sterilitas dan turunnya produksi susu (Hubbert et al., 1975).
257
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
4.1 KESIMPULAN
Dari hasil pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dari 189 sampel serum darah yang diperiksa Elisa BVD menunjukkan
semuanya seronegatif.
2. Dari 115 sampel swab yang diperiksa PCR IBR menunjukkan semua sampel
negatif virus IBR.
3. Sebanyak 700 sampel serum yang diperiksa RBT Brucella menunjukkan
semua sampel negatif Brucellosis.
4. SARAN
1. Perlunya peningkatan pengawasan lalu lintas ternak
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut terhadap penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan gangguan reproduksi.
258
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2017
V. DAFTAR PUSTAKA
DITJENNAK. 1981. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian PenyakitMenular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan. Jakarta.
Hazumi, T., dkk. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi. Japan International CooperationAgencyIndonesia. Singosari.
Hazumi, T., dkk. 2002. Reproduksi Klinik. Japan International Cooperation Agency- Indonesia.Singosari. Hardjopranjoto, S, 1995.
HUBBERT, W.T., W.F. MCCULLOH, and P.R. SCHNURENBERGER. 1975. DiseaseTransmitted from Animals to Man. 6th. Ed. Charles C. Thomas. Publisher.Sprongfield. USA.
Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya. Ratnawati.d., dkk., 2007,
Petunjuk Teknis Peanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong, PUSLITBANGNAK,Pasuruan.
Ressang,A.A., 1988. Penyakit Viral Pada Hewan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).Jakarta
Riady.m., 2006., Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010 Strategi danKendala, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,PUSLITBANGNAK.
Schnurrenberger.P.R., et al., 1991, Ikhtisar Zoonosis, Penerbit ITB Bandung. Subronto, 1993.Ilmu Penyakit Ternak I. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.