Download - Laporan Skenario 1 Blok 10
LAPORAN DK - TUTORIAL
SKENARIO 1 BLOK 10
Disusun oleh : Kelompok A
1. Aulia Rizki (04121004007)2. Hendrik Redhian (04121004008)3. Mei Puspita Mentari (04121004009)4. Anna Pratiwi (04121004010)5. Rismaulina Sitanggang (04121004011)6. Selvi Tri Septiarini (04121004012)7. Yurika Handayani (04121004013)8. Dedeh Reska Sari (04121004014)9. Masayu Rizkika (04121004021)10. Maretha Dwi (04121004038)11. Lidya Astria (04121004039)12. Dewi Kurniasih (04121004040)13. Bebbi Arisya (04121004058)14. Harentya Suci Sabilah (04121004059)15. Haritsa Budiman (04121004060)
Dosen Pembimbing : drg. Sri
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
T.I.U :
1. Mahasiswa memahami gigi impaksi dan penatalaksanaannya
2. Mahasiswa memahami penyakit-penyakit sistemik yang berkaitan dengan
perawatan dental
3. Mahasiswa memahami tata cara konsul ke bagian lain
4. Mahasiswa memahami anastesi lokal
JUDUL : Gigi Bungsu
Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang ke RSGM dengan keluhyan gigi
geraham bungsu setelah kanan bawah belum tumbuh, padahal geraham bungsu
lainnya sudah tumbuh. Pasien memiliki riwayat penyakit asma yang cukup sering
kambuh. Pada pemeriksaan intra oral 48 belum erupsi, sedangkan 18, 28, 38,
sudah erupsi. Palpasi pada regio 48 negatif. Hasil rontgen panoramik, terlihat gigi
48 impaksi dengan posisi mesioangular, keseluruhan mahkota terbenam di dalam
ramus serta posisi mahkota berada di bawah serviks 47. Pada hasil rontgen
panoramik terlihat pula adanya impaksi 13pada palatum dengan posisi horizontal.
Doktergigi melakukan konsul ke dokter spesialis penyakit dalam sehubungan
dengan rencana perawatan bedah untuk mengambil gigi 48 dengan anastesi lokal.
I. Klarifikasi Istilah
1. Geraham bungsu
Gigi molar tiga (gigi bungsu) adalah gigi yang terakhir tumbuh dan terletak
di bagian paling belakang dari rahang. Biasanya gigi ini tumbuh pada akhir
masa remaja atau pada awal usia 20-an.
2. Penyakit asma
Penyakit asma Adalah suatu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang
berhubungan dengan luas inflamasi, obstruksi jalan napas reversible baik
secara spontan maupun dengan pengobatan dan hipereaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan dan yang dengan terapi spesifik dapat secara
total ataupun parsial diredakan gejalanya
3. Erupsi gigi
Erupsi gigi merupakan suatu proses yang berkesinambungan dimulai dari
awal pembentukan melalui beberapa tahap sampai gigi muncul ke rongga
mulut. Ada dua fase yang penting dalam proses erupsi gigi, yaitu erupsi
aktif dan pasif. Erupsi aktif adalah pergerakan gigi yang didominasi oleh
gerakan ke arah vertikal, sejak mahkota gigi bergerak dari tempat
pembentukannya di dalam rahang sampai mencapai oklusi fungsional
dalam rongga mulut, sedangkan erupsi pasif adalah pergerakan gusi ke
arah apeks yang menyebabkan mahkota klinis bertambah panjang dan akar
klinis bertambah pendek sebagai akibat adanya perubahan pada perlekatan
epitel di daerah apikal.
4. Palpasi gigi 48 negatif
5. Gigi impaksi
Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi kedalam lengkung geligi
dengan posisi normal pada saatnya tumbuh atau mengalami kesukaran
dalam erupsi baik seluruhnya maupun sebagian akibat terhalang oleh
tulang, jaringan lunak atau gigi tetangganya, tulang yang tebal serta
jaringan lunak yang padat.
6. Impasi posisi mesioangular
Posisi mesioangular merupakan posisi yang paling sering
didapatkan padakasus impaksi gigi. Pada posisi ini, gigi molar ketiga
berinklinasi ke arah mesial sehinggamendorong gigi molar kedua bawah.
7. Ramus
Ramus mandibula adalah bagian dari mandibula yang meninggi ke arah
vertikal dan membentuk sudut rahang dengan badan mandibula. Pada
bagian ini terletak prosesus koronoid (tempat perlekatan otot-otot) dan
prosesus kondilaris (yang membentuk sendi dengan tulang temporal).
8. Impasi gigi pada palatum dengan posisi horizontal
Pada posisi horizontal, kaninus impaksi hampir mendekati apeks dari gigi
insisivus dan tegak lurus dengan sumbu panjang gigi insisivus.
9. Anastesi lokal
Anestesi regional atau anestesi lokal merupakan penggunaan obat analgetik
lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri
dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversible). Anestesi
lokal adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai
hilangnya kesadaran
II. Identifikasi Masalah
1. Seorang laki-laki 25 tahun mengeluhkan gigi geraham bungsu sebelah
kanan belum tumbuh padahhal geraham bungsu kirinya sudah tumbuh.
2. Pasien memiliki riwayat penyakit asma
3. Pemeriksaan gigi 48
a. Intraoral belum erupsi
b. paslpasi negatif
c. rontgen panoramik : impaksi dengan posisi mesioangular keseluruhan
mahkota terbenam diramus, serta posisi mahkota berada di bawah
serviks 47
4. Pemeriksaan gigi 13, rontgen panoramik: impaksi pada palatum dengan
posisi horizontal
5. Dokter gigi melakukan konsul ke dokter spesialis penyakit dalam
sehubungan dengan rencana perawattan bedah untuk mengambil gigi 48
dengan anastesi lokal
III. Analisis Masalah
1. Gigi geraha bungsu
a. Kapan waktu erupsi normal gigi geram bungsu?
b. Apa penyebab gigi geraham bungsu sebelah kanan tersebut belum
erupsi?
c. Bagaimana klasifikasi impaksi gigi geraham bungsu?
d. Bagaimana interpretasi pemeriksaan, palpasi negatif, intraoral, dan
rontgen panoramik pada kasus tersebut?
e. Pemeriksaan apa saja yang dapat dilkukan pada kasus tersebut?
f. Bagaimana penatalaksanaan terhadap gigi tersebut?
2. Gigi impaksi 13
a. Bagaimana klasifikasi impaksi dari gigi 13?
b. Kapan waktu erupsi normal pada gigi 13?
c. Apa yang menyebabkan gigi impasi 13?
d. Bagaimana interpretasi rontgen panoramik pada gigi 13?
e. Pemeriksaan apa saja yang dilakukan pada kasusu tersebut?
f. Bagaimana penatalaksanaan gigi tersebut?
3. Penyakit asma
a. Apa saja yang harus diwaspadai pada saat tindakan pada pasien dengan
penyakit asma?
b. Adakah hubungan penykit asma dengan pemilihan bahan anastesi?
c. Mengapa perlu dilakukan rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam?
d. Bagaimana tata cara konsul ke dokter spesialis penyakit dalam?
4. Anastesi lokal
a. Apa saja bahan anastesi lokal?
b. Apa saja indikasi dan kontraindikasi anastesi lokal?
c. Apa saja jenis anastesi lokal yang dapat dilakukan pada gigi 48 dan 13?
d. Apa sajakah teknik anastesi yang dilakukan pada kasus tersebut?
e. Saraf apa saja yang akan di anastesi pada gigi 48 dan 13?
f. Apa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari anastesi lokal?
IV. Hipotesis
Seorang laki-laki berusia 25 tahun mengalami impaksi kelas III C pada posisi
gigi 48 dan impaksi kelas I pada gigi 13 serta pasien mempunyai riwayat
penyakit asma sehingga dokter gigi merujuk pasien ke dokter spesialis
penyakit dalam sehubungtan dengan rencana perawatan bedah umum
mengambil gigi 48 dengan anastesi lokal.
V. Learning Issue
1) Waktu erupsi normal gigi
2) Gigi impaksi
a. Defenisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
Gigi C
Gigi M3
d. Pemeriksaan
Jenis
Prosedur
interpretasi
e. Penatalaksanaan
Gigi M3
Gigi C
3) Penyakit asma
a. defenisi
b. etiologi
c. patofisiologi
d. patogenesis
e. penatalaksanaan perawatan dental
4) Tata cara konsul ke bagian lain
5) Anastesi lokal
a. defenisi
b. jenis
c. indikasi dan kontraindikasi
d. bahan
e. prosedur kerja
f. komplikasi
6) Odontotektomi
a. defenisi
b. jenis
c. indikasi dan kontraindikasi
d. prosedur
e. komplikasi
f. tindakan pasca perawatan
GIGI IMPAKSI
Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi kedalam lengkung geligi
dengan posisi normal pada saatnya tumbuh atau mengalami kesukaran dalam
erupsi baik seluruhnya maupun sebagian akibat terhalang oleh tulang, jaringan
lunak atau gigi tetangganya, tulang yang tebal serta jaringan lunak yang padat.
KLASIFIKASI IMPAKSI KANINUS
Lokasi yang jelas dari gigi kaninus impaksi sangat penting dalam
menunjang diagnosa dan rencana perawatan, sebab itu perlu diketahui klasifikasi
dan beberapa pemeriksaan. Klasifikasi dari kaninus impaksi dibagi menjadi 2
yaitu klasifikasi kaninus impaksi berdasarkan radiografi dan klasifikasi kaninus
impaksi berdasarkan transmigrasi/perpindahan kaninus impaksi.
1. Berdasarkan radiografi
Beberapa ahli mengklasifikasi gigi kaninus impaksi seperti berikut:
A. Archer mengklasifikasi dalam 5 klas yaitu :
Klas I : Gigi berada di palatum dengan posisi horizontal, vertikal atau semi
vertikal.
Klas II : Gigi berada di bukal dengan posisi horizontal, vertikal atau semi
vertikal.
Klas III : Gigi dengan posisi melintang berada diantara dua gigi dengan
korona berada di palatinal dan akar di bukal atau sebaliknya korona di bukal
dan akar di palatinal sehingga disebut juga posisi intermediate.
Klas IV : Gigi berada vertikal di prosesus alveolaris diantara gigi insisivus
dua dan premolar.
Klas V : Kaninus impaksi berada di dalam tulang rahang yang edentulos.
B. Yavuz dan Buyukkurt mengklasifikasi berdasarkan kedalaman kaninus
impaksi dalam 3 tingkat (Gambar 1) yaitu:
Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan kedalaman kaninus impaksi.
Level A : Korona kaninus impaksi berada pada garis servikal dari gigi
tetangganya.
Level B : Korona kaninus impaksi berada diantara garis servikal dan apikal
dari akar gigi tetangganya.
Level C : Korona kaninus impaksi berada dibawah apikal dari akar gigi
tetangganya.
C. Stivaros dan Mandall mengklasifikasi posisi kaninus impaksi terhadap mid-
line dan dataran oklusal, posisi akar kaninus impaksi secara horizontal,
panjang kaninus impaksi secara vertikal dan posisi kaninus impaksi terhadap
lebar akar insisivus.3
1. Klasifikasi posisi kaninus impaksi terhadap mid-line dan dataran oklusal
(Gambar 2).
Gambar 2. Klasifikasi kaninus impaksi terhadap mid-line dan dataran
oklusal.
Grade 1 : Gigi kaninus impaksi berada pada sudut 0 - 15o
Grade 2 : Gigi kaninus impaksi berada pada sudut 16 – 30o
Grade 3 : Gigi kaninus impaksi berada pada sudut ≥ 31o
2. Klasifikasi posisi akar kaninus impaksi secara horizontal (Gambar 3).
Grade 1 : Akar kaninus impaksi berada diatas regio dari kaninus.
Grade 2 : Akar kaninus impaksi berada diatas regio dari premolar satu.
Grade 3 : Akar kaninus impaksi berada diatas regio dari premolar dua.
3. Klasifikasi panjang kaninus impaksi secara vertikal (Gambar 4).
Gambar 4. Klasifiksi panjang kaninus impaksi secara vertikal.
Grade 1 : Kaninus impaksi berada dibawah CEJ (Cemento Enamel Junction)
dari insisivus.
Grade 2 : Kaninus impaksi berada diatas CEJ, tetapi kurang dari setengah
panjang akar insisivus.
Grade 3 : Kaninus impaksi berada lebih dari setengah, tetapi belum sampai
keseluruhan panjang akar insisivus.
Grade 4 : Kaninus impaksi berada diatas keseluruhan panjang akar insisivus.
4. Klasifikasi posisi kaninus impaksi terhadap lebar akar insisivus (Gambar 5).
Gambar 5. Klasifikasi posisi kaninus impaksi
terhadap lebar akar insisivus.3
Grade 1 : Korona kaninus impaksi tidak menimpa/overlap akar insisivus.
Grade 2 : Korona kaninus impaksi menimpa/overlap kurang dari setengah
lebar akar insisivus.
Grade 3 : Korona kaninus impaksi menimpa/overlap lebih dari setengah,
tetapi belum sampai keseluruhan lebar akar insisivus.
Grade 4 : Korona kaninus impaksi menimpa/overlap keseluruhan atau lebih
lebar akar insisivus.
2. Berdasarkan transmigrasi / perpindahan kaninus
Transmigrasi / perpindahan kaninus adalah suatu keadaan kaninus berpindah
melewati mid-line dari posisi normal yang dapat dilihat dari radiografi. Keadaan
ini dilaporkan lebih banyak terjadi pada mandibula daripada maksila. Akan tetapi,
hal ini merupakan suatu keadaan yang sangat jarang didapat.
Mupparapu mengklasifikasikan 5 tipe berdasarkan transmigrasi / perpindahan
kaninus:
Tipe 1 : Kaninus impaksi mesio-angular melewati mid-line, labial atau lingual ke
gigi anterior dengan korona dari gigi kaninus melewati mid-line (Gambar 6).
Gambar 6. Transmigrasi kaninus impaksi tipe 1.
Tipe 2 : Kaninus impaksi hampir mendekati apeks dari gigi insisivus (Gambar 7).
Gambar 7. Transmigrasi kaninus impaksi tipe 2.
Tipe 3 : Kaninus erupsi ke mesial atau distal ke gigi kaninus yang berlawanan.
Tipe 4 : Kaninus impaksi hampir mendekati apeks dari gigi premolar atau molar
dari sisi yang berlawanan (Gambar 8).
Gambar 8. Transmigrasi kaninus impaksi tipe 4.
Tipe 5 : Kaninus impaksi melewati garis tengah secara vertikal (Gambar 9).
Gambar 9. Transmigrasi kaninus impaksi tipe 5.
KLASIFIKASI IMPAKSI MOLAR 3
1. Klasifikasi Menurut Pell & Gregory
a. Berdasarkan hubungan antara ramus mandibula dengan M2 dengan
caramembandingkan lebar mesio-distal M3 dengan jarak antara bagian
distal M2 ke ramusmandibula.
Kelas I : Terdapat ruang yang cukup untuk erupsi
Ukuran mesio-distal molar ketiga lebih kecil dibandingkan jarak
antara
distal gigi molar kedua dengan ramus ascendens mandibula.
Kelas II : Ruang untuk erupsi lebih kecil
Ukuran mesio-distal molar ketiga lebih besar dibandingkan jarak
antara
distal gigi molar kedua dengan ramus ascendens mandibula.
Kelas III : Tidak terdapat ruang untuk erupsi
Seluruh atau sebagian besar molar ketiga berada dalam ramus
mandibula.
b. Berdasarkan letak molar ketiga di dalam tulang
Posisi A
Bagian tertinggi dari gigi M3 sama atau lebih tinggi dari bidang
oklusal M2.
Posisi B
Bagian tertinggi dari gigi M3 berada di bawah bidang oklusal M2,
tetapi masih lebih tinggi daripada garis servikal M2.
Posisi C
Bagian tertinggi dari gigi M3 terletak di bawah garis servikal M2.
Kedua klasifikasi ini biasanya digunakan berpasangan.Misalnya,Klas
I tipe B artinyapanjang mesio-distal molar ketiga lebih kecil dibandingkan
jarak distal molar kedua ramusmandibula dan posisi molar ketiga berada
dibawah garis oklusal tetapi masih di atas servikal gigimolar kedua.
2. Klasifikasi Menurut George Winter
Berdasarkan posisi gigi M3 terhadap gigi M2
a. Vertikal
b. Horizontal
c. Inverted
d. Mesioangular (miring ke mesial)
e. Distoangular (miring ke distal)
f. Buccoangular (miring ke bukal)
g. Linguoangular (miring ke lidah)
h. Posisi tidak biasa lainnya yang disebut unusual position
3. Klasifikasi Menurut Archer
Acher memberikan klasifikasi untuk impaksi yang terjadi di rahang
atas.
a. Klasifikasi ini sebetulnya sama dengan klasifikasi Pell danGregory.
Bedanya,klasifikasi ini berlaku untuk gigi atas.
Kelas A
Bagian terendah gigi molar ketiga setinggi bidang oklusal molar
kedua.
Kelas B
Bagian terendah gigi molar ketiga berada diatas garis oklusalmolar
kedua,tetapi masih dibawah garis servikal molar kedua.
Kelas C
Bagian terendah gigi molar ketiga lebih tinggidaripada garis
servikalmolar kedua.
b. Klasifikasi ini sebetulnya sama dengan klasifikasi George Winter.
Berdasarkanhubungan molar ketiga dengan sinus maksilaris.
Sinus Approximation
Bila tidak dibatasi tulang atau ada lapisan tulangyang tipis di antara
gigi impaksi dengan sinusmaksilaris.
Non Sinus Approximation
Bila terdapat ketebalan tulang yang lebih dari 2mm antara gigi molar
ketiga dengan sinusmaksilaris.
PEMERIKSAAN
1. Riwayat dan Pemeriksaan Klinis
Ada banyak penderita gigi terpendam atau gigi impaksi. Terkadang
diketahui adanya gigi impaksi pada seseorang diawali karena adanya
keluhan, namun tidak semua gigi impaksi menimbulkan keluhan dan
kadang-kadang penderita juga tidak mengetahui adanya kelainan pada
gigi geliginya.Untuk mengetahui ada atau tidaknya gigi impaksi dapat
diketahui dengan pemeriksaan klinis, meliputi :
Perikoronitis
Perikoronitis dengan gejala-gejala :
1) Rasa sakit di region tersebut
2) Pembengkakan
3) Mulut bau (foeter exore)
4) Pembesaran limfe-node sub-mandibular
Karies pada gigi tersebut
Dengan gejala ; pulpitis, abses alveolar yang akut.Hal yang sama
juga dapat terjadi bila suatu gigi mendesak gigi tetangganya, hal ini
dapat menyebabkan terjadinya periodontitis.
Pada penderita yang tidak bergigi
Rasa sakit ini dapat timbul karena penekanan protesa sehingga
terjadi perikonitis.
Pada pemeriksaan ekstra oral yang menjadi perhatian adalah :
Adanya pembengkakan
Adanya pembesaran limfenode
Adanya parastesi
Pada pemeriksaan intra oral yang menjadi perhatian adalah :
Keadaan gigi, erupsi atau tidak
Adanya karies, perikoronitis
Adanya parastesi
Warna mukosa bukal, labial dan gingival
Adanya abses gingival
Posisi gigi tetangga, hubungan dengan gigi tetangga
Ruang antara gigi dengan ramus (pada molar tiga mandibula)
2. Pemeriksaan Radiografik
Pemeriksaan radiografik harus didasarkan pada penelusuran
riwayat dan pemeriksaan klinis.Pemeriksaan radiografik sangat penting
sebelum pembedahan dilakukan namun tidak perlu dilakukan saat
pemeriksaan awal, jika terdapat infeksi atau gangguan lokal lainnya.
Pemeriksaan radiologis gigi impaksi harus dapat menguraikan hal-hal
berikut ini:
Tipe dan orientasi impaksi serta akses untuk mencapai gigi
Ukuran mahkota dan kondisinya
Jumlah dan morfologi akar
Tinggi tulang alveolar, termasuk kedalaman dan densitasnya
Lebar folikuler
Status periodontal dan kondisi gigi tetangga
Hubungan atau kedekatan gigi-geligi rahang atas dengan kavitas
nasal atau sinus maksilaris
Hubungan atau kedekatan gigi-geligi rahang bawah dengan saluran
interdental, foramen mentale, batas bawah mandibula.
Jenis radiografi yang dapat digunakan, antara lain:
Periapikal, tomografi panoramik [atau oblique lateral] dan CT scan
untuk gigi molar tiga rahang bawah
Tomografi panoramik [atau oblique lateral, atau periapikal yang
adekuat] untuk gigi molar tiga rahang atas
Parallax film [dua periapikal atau satu periapikal dan satu film
oklusal] untuk gigi kaninus rahang atas
Radiografi periapikal dan true occlusal untuk gigi premolar dua
rahang bawah; radiografi panoramik juga dapat digunakan jika
radiografi periapikal tidak dapat menggambarkan seluruh gigi yang
tidak erupsi.
EVALUASI KLINIS
Pemeriksaan awal harus berupa sebuah riwayat medis dan dental, serta
pemeriksaan klinis ektra oral dan intra oral yang menyeluruh.Hasil penemuan
positif dari pemeriksaan ini seharusnya dapat mendeterminasikan apakah
pencabutan diindikasikan atau disarankan, dan harus mengikutsertakan
pemeriksaan radiologi.
1. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan umum harus dilakukan dengan cara yang sama dengan
prosedur pembedahan lainnya. Adanya gangguan sistemik atau penyakit
sistemik harus dideteksi dan kehati-hatian harus diterapkan sebelum
pembedahan.Pasien juga harus diperiksa apakah sedang menjalani terapi
tertentu, seperti terapi irradiasi, terapi cytostatic, dan transplantasi organ.
2. Pemeriksaan Lokal
1. Status erupsi gigi impaksi
Status erupsi gigi impaksi harus diperiksa karena status
pembentukan mendeterminasikan waktu pencabutan.Idealnya, gigi
dicabut ketika duapertiga akar terbentuk.Jika akar telah terbentuk
sempurna, maka gigi menjadi sangat kuat, dan gigi terkadang displitting
untuk dapat dicabut.
2. Resorpsi molar kedua
Karena kurangnya ruang molar ketiga yang impaksi sehingga
memungkinkan terjadi resorpsi akar pada molar kedua.Setelah
pencabutan gigi molar ketiga yang impaksi, molar kedua harus diperiksa
untuk intervensi endodontik atau periodontik tergantung pada derajat
resorpsi dan keterlibatan pulpa.
3. Adanya infeksi lokal seperti periokoronitis
Infeksi ini merupakan sebuah inflamasi jaringan lunak yang
menyelimuti mahkota gigi yang sedang erupsi yang hampir seluruhnya
membutuhkan penggunaan antibiotik atau prosedur yang jarang
dilakukan, eksisi pembedahan pada kasus rekuren.Periokoronitis rekuren
terkadang membutuhkan pencabutan gigi impaksi secara dini.
4. Pertimbangan ortodontik
Karena molar ketiga yang sedang erupsi, memungkinkan terjadi
berjejal pada regio anterior setelah perawatan ortodonti yang
berhasil.Oleh karena itu, disarankan untuk mencabut gigi molar ketiga
yang belum erupsi sebelum memulai perawatan ortodontik.
5. Karies atau resorpsi molar ketiga dan gigi tetangga
Akibat kurangnya ruang, kemungkinan terdapat impaksi makanan
pada area distal atau mesial gigi impaksi yang menyebabkan karies
gigi.Untuk mencegah karies servikal gigi tetangga, disarankan untuk
mencabut gigi impaksi.
6. Status periodontal
Adanya poket sekitar gigi molar ketiga yang impaksi atau molar
kedua merupakan indikasi infeksi.Penggunaan antibiotikdisarankan harus
dilakukan sebelum pencabutan gigi molar ketiga impaksisecara bedah
untuk mengurangi komplikasi post-operatif.
7. Orientasi dan hubungan gigi terhadap infeksi saluran akar gigi
Hal iniakan didiskusikan secara detail pada pemeriksaan
radiologi.
8. Hubungan oklusal
Hubungan oklusal molar ketiga rahang atas terhadapmolar ketiga
rahang bawah harus diperiksa. Ketika gigi molar ketiga rahangbawah
yang impaksi berada pada sisi yang sama diindikasikan untukekstraksi,
sisi yang satunya juga harus diperiksa.
9. Nodus limfe regional
Pembengkakan dan rasa nyeri pada nodus limferegional mungkin
terindikasi infeksi molar ketiga.
10. Fungsi temporomandibular joint
3. Teknik Rontgenografi dalam Penentuan Gigi Impaksi
Sejalan dengan perkembangan teknik roentgenografi intraoral
maupunekstraoral, dimulai dengan ditemukannya panagrafi sampai dengan
panoramikdengan demikian dimulailah roentgenogram gigi khususnya untuk
melihat gigiimpaksi.Hasilnya dapat merupakan penuntun kerja bagi ahli
bedah mulut dalammenentukan dan penatalaksanaan kausatif lebih lanjut
untuk gigi impaksi tersebut.Saat ini teknik roentgenografi sangat diperlukan
untuk penentuan lokasi gigiimpaksi, dengan kualitas hasil foto yang baik dan
interpretasi yang akurat akanmeringankan penatalaksanaan yang tepat bagi
operator. Dalam teknikroentgenografi penentuan lokasi gigi impaksi terdapat
beberapa teknik proyeksidengan nama sendiri-sendiri, tetapi sangat penting
pula dalam pemrosesan film yang baik agar didapat kualitas gambar yang
baik pula, yang akhirnya kita bisa menginterpretasi lokasi dari gigi tersebut
sehingga kendala atau faktor-faktor kesulitan dalam penatalaksanaan gigi
impaksi dapat dikurangi.
Teknik roentgenografi untuk lokasi gigi belakang berbeda dengan
teknik roentgenografi untuk lokasi gigi depan. Berikut akan dijelaskan
mengenai teknik roentgenografi untuk lokasi gigi belakang. Teknik
roentgenografi ini dikenal sebagai roentgenografi right angle procedure.
1. Teknik proyeksi
Pada teknik proyeksi ini mula-mula dilakukan teknik periapikal
kesejajaran biasa setelah diketahui gigi impaksi (gigi premolar dan
molar) maka dilakukan proyeksi true oklusal dengan menggunakan film
periapikal no.2 atau film oklusal no.4.Proyeksi sinar X diarahkan tegak
lurus pada film sedangkan fiksasi filmnya dioklusal plane diusahakan
dalam proyeksi ini sinar X menelurusi inklinasi gigi impaksi.
2. Interpretasi
Pada roentgenogram proyeksi true oklusal, terlihat gambaran
radiopak dari gigi impaksi bila dekat dengan kortek tulang rahang bukalis
maka gigi tersebut berada di bukal atau bila gigi impaksi tersebut dekat
dengan kortek tulang rahang di lingualis atau palatalis maka gigi tersebut
berada di lingualis atau palatalis.Untuk rahang bawah teknik ini lebih
mudah dilakukan daripada rahang atas karena inklinasi rahang bawah
lebih vertikal dibanding rahang atas.
Hal-hal Penting dalam Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis gigi impaksi harus dapat menguraikan
hal-hal berikutini.
1. Tipe dan orientasi impaksi serta akses untuk mencapai gigi
2. Ukuran mahkota dan kondisinya
3. Jumlah dan morfologi akar
4. Tinggi tulang alveolar, termasuk kedalaman dan densitasnya
5. Lebar folikuler
6. Status periodontal dan kondisi gigi tetangga
7. Hubungan atau kedekatan gigi-geligi rahang atas dengan kavitas
nasal atausinus maksilaris
8. Hubungan atau kedekatan gigi-geligi rahang bawah dengan saluran
interdental,foramen mentale, batas bawah mandibula.
Jenis Radiografi
Jenis radiografi yang dapat digunakan, antara lain:
1. Periapikal, tomografi panoramik [atau oblique lateral] dan CT scan
untuk gigimolar tiga rahang bawah.
2. Tomografi panoramik [atau oblique lateral, atau periapikal yang
adekuat]untuk gigi molar tiga rahang atas.
3. Parallax film [dua periapikal atau satu periapikal dan satu film
oklusal] untukgigi kaninus rahang atas
4. Radiografi periapikal dan true occlusal untuk gigi premolar dua
rahang bawah;radiografi panoramik juga dapat digunakan jika
radiografi periapikal tidakdapat menggambarkan seluruh gigi yang
tidak erupsi.
KRITERIA PERAWATAN GIGI IMPAKSI
PENATALAKSANAAN IMPAKSI GIGI MOLAR 3 RAHANG BAWAH
1. Anastesi
Persyaratan pertama untuk keberhasilan pembedahan gigi impaksi adalah
pasien yang relaks dan anestesi lokal yang efektif atau pasien yang teranestesi
dengan selamat. Pemberian sedatif oral tertentu pada sore hari sebelum dan 1 jam
sebelum pembedahan merupakan teknik yang bisa diterima. Sering kali anestesi
umum merupakan pilihan yang cocok untuk pembedahan impaksi.
2. Desain Flap
Ada pendapat bahwa persyaratan kedua untuk pembedahan impaksi adalah
flap yang didesain dengan baik dan ukurannya cukup. Flap mandibula yang paling
sering digunakan adalah envelope tanpa insisi tambahan, direfleksikan dari leher
M1 dan M2 tetapi dengan perluasan distal kearah lateral atau bukal kedalam
region M3 (trigonum retromolare). Aspek lingual mandibula dihindari untuk
mencegah cedera pada n.lingualis. Jalan masuk menuju M3 impaksi yang dalam
(level C) pada kedua lengkung rahang sering diperoleh dengan insisi serong
tambahan ke anterior.
3. Pengambilan Tulang
Pengambilan tulang mandibula terutama dilakukan dengan bur dan dibantu
dengan irigasi larutan saline. Tekik yang biasa dilakukan adalah membuat parit
sepanjang bukal dan distal mahkota dengan maksud melindungi crista oblique
externa namun tetap bisa mendapatkan jalan masuk yang cukup kepermukaan
akar yang akan dipotong.
4. Pengambilan Gigi
Gigi bawah yang impaksi biasanya dipotong-potong. Kepadatan dan sifat
tulang mandibula menjadikan pemotongan terencana pada kebanyakan gigi
impaksi menjadi sangat penting apabila ingin diperoleh arah pengeluaran yang
tidak terhalang. Tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
fraktur dinding alveolar lingual atau tertembusnya bagian tersebut dengan bur
karena ada kemungkinan terjadi cedera n.lingualis.
Dasar pemikiran dari pemotongan adalah menciptakan ruang yang bisa
digunakan untuk mengungkit atau mengeluarkan segmen mahkota atau sisa akar.
Berbagai cara pemotongan berdasarkan arah impaksi :
Impaksi Mesioangular
Untuk pemotongan bagian distal mahkota atau separh bagian distal gigi
bawah yang impaksi mesioangular, sesudah pembuatan parit disekitar gigi, bur
fisur diletakkan pada garis servikal dan dengan gerakan seperti menggergaji atau
menyikat, gigi dipotong ke aksial dari 2/3 atau ¾ menembus dari lingual ke bukal.
Elevator lurus yang kecil digunakan untuk menyelesaikan pemisahan bagian-
bagian gigi, mematahkan bagian distal mahkota atau memecah gigi menjadi dua
daerah bifurkasi. Sesudah mahkota bagian distal dikeluarkan, sisa gigi impaksi
didorong kearah celah yang terbentuk sebelumnya dengan menggunakan elevator
Crane Pick #41 yang diinsersikan pada bagian mesio-bukal atau pada tempat yang
sama dengan pengeluaran bagian distal. Gaya ini melepaskan gigi dari linggir
distal gigi sebelahnya.
TINDAKAN PEMBEDAHAN IMPAKSI KANINUS RAHANG ATAS
Teknik pembedahan
Prinsip pembedahan gigi impaksi tidak berbeda dengan pembedahan lain.
Sebelum melakukan pembedahan, perlu dibuatkan informed consent. Dalam hal
ini pasien atau keluarganya menanda tangani persetujuan operasi, setelah
mendapat penjelasan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan dan akibat yang
dapat terjadi pada saat bedah maupun pasca badah.
Terdapat lima tahap pembedahan gigi kaninus impaksi yaitu :
1. Mendapat daerah gigi impaksi terlihat dengan jelas. Ini dapat dilakukan
dengan pembuatan flap jaringan yang adekuat. Pola pembuatan flap pada
gigi kaninus rahang atas dapat dilakukan melalui akses bukal, palatal atau
keduanya tergantung posisi gigi impaksi.
2. Kebutuhan untuk pengambilan tulang yang cukup, sehingga pemotongan
gigi dapat dilakukan.
3. Memecah gigi menjadi beberapa bagian dengan bor atau chisel.
4. Pengungkitan gigi dengan elevator
5. Pembersihan luka dengan irigasi dan debridement mekanik menggunakan
6. kuratase serta menutup luka dengan penjahitan.
PENYAKIT ASMA
Definisi
Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh
hiperaktivitas bronkus, yaitu epekaan saluran nafas terhadap berbagai rangsangan.
Etiologi
Penyebab asma belum diketahui secara pasti. Namun yang menjad factor
pencetus asma diantaranya allergen, infeksi terutama pada saluran nafas bagian
atas, iritasi, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis. Pada sebagian besar penderita
asma, ditemukan riwayat alergi, selain tu serangan asmanya juga sering dipicu
pajanan terhadap alergen. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa terdapat factor
genetikyang menyebabkan seseorang menderita asma. Faktor genetic yang
diturunkan adalah kecenderungan memproduksi antibody jenis igE yang
berlebihan.
Patofisiologi
Keadaanyangdapat menimbulkan seragan asma menstimulasi terjadinya
bronkospasme melalui salah satu dari 3 mekanisme, yaitu;
1. Degranulasi sel mast dengan melibatkan igE
2. Degranulasi se mast tanpa melibatkan igE
3. Stimulasi langsung otot bronkus tanpa mellibatkan sel mast
Berikut tanda dan gejala yang sering ditemui:
- Batuk- batuk
- Rasa berat di dada
- Bunyi mengi (suara nafas keras dan tinggi yang terdengar ketika bernafas)
- Sesak nafas
PATOGENESIS ASMA / INFLAMASI SALURAN NAPAS
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan
asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator
yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan sel
mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi
mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-
5. Sitokin IL-5 akan menuju ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi
eosinofil. Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai
mengalami migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah
daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis.
Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui
perlekatannya dengan integrin di superfamili immunoglobulin protein adhesi yaitu
vascular-cell adhesion molecule (VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule
(ICAM)-1.
Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran
napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperi RANTES, eotaksin,
monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-
1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator
inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran napas.
Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi
saluran napas yang persisten. Untuk keterangan lebih jelas tentang
proses inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah.
Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang
dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa
asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa
lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belum
diketahui secara pasti. Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan
patofisiologi penting baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik
akibat degranulasi sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah.
Sedangkan efek fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi
oleh sel mast terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan
obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam
merespons inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat
dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas atas
dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis
alergi daripada asma.
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi
melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel.
Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan melepas
beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinins. Hal
tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melalui pengaruh langsung
terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada
reseptor otot polos. Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast
dan akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit.
Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea.
Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi,
hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan mengi. Gejala rinitis maupun
asma yang timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.
PENATALAKSANAAN PADA PERAWATAN DENTAL (ASMA)
Potensi bahan gigi dan produk yang memperburuk penyakit asma. Bahan ini
meliputi:
pasta gigi
fissure sealant
gigi enamel debu
metil metakrilat
fluoride dan gulungan kapas juga telah terlibat dalam menyebabkan asma
orang asma tergantung obat kortikosteroid mungkin memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk memiliki reaksi yang merugikan
terhadap sulfit.
Sebelum Perawatan Dental
Ketika seorang pasien denagn riwayat penyakit asma ingin melakukan perawatan
dental, yang harus dilakukan dokter gigi professional sebelum perawatan :
Menilai tingkat resiko penyakut asma pasien dengan mengambil riwayat
penyakit.
Memastikan frekuensi dan tingkat keparahan.
Meninjau obat pasien secara menyeluruh (karena obat tersebut
memberikan indikasi keparahan penyakit).
Menentukan agen khusus yang dapat memicu penyakit.
Harus diakui bahwa perawatan gigi dapat meminta penurunan yang signifikan
dalam fungsi paru pada pasien asma. Telah menunjukkan bahwa ada pengurangan
fungsi paru-paru pada 15 persen pasien asma yang diteliti saat menerima
perawatan gigi.
Selama Perawatan Dental
Yang paling mungkin kali untuk eksaserbasi akut adalah:
1. Selama dan segera setelah pemberian anestesi lokal.
2. Dengan prosedur merangsang seperti ekstraksi, operasi, dan ektirpasi pulpa
Pada setiap kunjungan pastikan:
Mengkonfirmasi bahwa mereka telah menjadwalkan dosis obat mereka.
Kortikosteroid inhalasi digunakan untuk terapi pemeliharaan dan tidak
meningkatkan serangan akut.
Setiap Pasien inhaler bronkodilator harus di tangan pada setiap kunjungan
untu meminimalkan risiko serangan.
Janji pasien harus di pagi hari atau sore hari.
Jika pasien asma tidak menggunakan bronkodilator, pastikan mempunyai
emergensi darurat memiliki baik bronkodilator dan oksigen.
Dosis profilaksis 2 agonis bronkodilator dapat mencegah fungsi paru-paru
berkurang selama pengobatan gigi. H1-blocking antihistamin, juga telah
terbukti berguna dalam menumpulkan respon bronchoconstrictor dengan
dosis pretreatment. Prometazin dan diphenhydramine memiliki manfaat
yang antiemetik dan obat penenang serta antihistaminic.
Kecemasan adalah pemicu asma pada saat perawatan gigi adalah yang
sering membuat serangan asma akut. Oleh karena itu,bahwa pasien harus
menggunakan obat antiasthma sebelum pengobatan.
Selain itu, teknik manajemen stres substantif harus digunakan.
Penggunaan N2O pada pasien dengan asma ringan sampai sedang dapat
mencegah gejala stres yang berhubungan dengan akut. Namun, karena
potensi untuk menyebabkan iritasi saluran napas, N2O merupakan
kontraindikasi untuk digunakan pada pasien dengan asma berat.
Dianjurkan untuk mendapatkan konsultasi medis sebelum pemberian N2O
untuk pasien tersebut.
Akibatnya, pasien dengan asma persisten berat dan mereka yang rentan
terhadap episode mendadak parah obstruksi jalan napas yang terbaik yang
diberikan perawatan gigi di rumah sakit.
Penatalaksanaaan asma serangan akut
Hentikan prosedur gigi dan memungkinkan pasien untuk mengambil posisi
yang nyaman.
Membangun dan memelihara jalan napas paten dan mengelola 2 agonis
melalui inhaler atau nebulizer.
Mengadministrasikan oksigen 6-10 liter melalui masker wajah, kap hidung
atau kanula. Jika tidak ada perbaikan diamati dan gejala yang memburuk,
mengelola epinefrin subkutan (1: 1.000 solusi, 0,01 miligram / kilogram
berat badan untuk dosis maksimum 0,3 mg).
Ketika keadaan semakin buruk lebih baik di bawa kerumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan
TATA CARA KONSULTASI
Definisi Konsultasi
Upaya meminta bantuan profesional penanganan suatu kasus penyakit yang
sedang ditangani oleh seorang dokter kepada dokter lainnya yang lebih ahli
Karakteristik konsultasi
1. Ruang lingkup kegiatan, konsultasi memintakan bantuan profesional dari
pihak ketiga.
2. Kemampuan dokter, konsultasi ditujukan kepada dokter yang lebih ahli
dan atau yang lebih pengalaman.
3. Wewenang dan tanggung jawab, konsultasi wewenang dan tanggung
jawab tetap pada dokter yang meminta konsultasi.
Manfaat konsultasi
1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (bila sistemnya berjalan
sesuai dengan yang seharusnya)
2. Kebutuhan dan tuntutan kesehatan pasien akan terpenuh
Masalah konsultasi dan rujukan
1. Rasa kurang percaya pasien terhadap dokter (bila konsultasi inisiatif
dokter)
2. Rasa kurang senang pada diri dokter (bila konsultasi atas permintaan
pasien)
3. Bila tidak ada jawaban dari konsultasi
4. Bila tidak sependapat dengan saran/ tindakan dokter konsultan
5. Bila ada pembatas (sikap/ perilaku, biaya, transportasi)
6. Apabila pasien tidak bersedia untuk dikonsultasikan
Untuk Mengurangi Timbulnya Permasalahan
1. Usul mengadakan konsultasi datang dari dokter pertama, didorong
kemampuan dokter atau keinginan pasien. Pasien berhak memilih
konsulen, tetapi dokter yang menangani boleh mengusulkan.
2. Pemeriksaan pasien oleh konsultan dihadiri dokter pertama
3. Apabila pasien dikirim ke dokter konsultan, sebaiknya disertai
surat/informasi tertutup dari dokter pertama tentang keadaan dan
penangangan terhadap pasien
4. Tidak dibenarkan konsultan memberitahukan kepada pasien tentang
kekeliruan dokter pertama
Tingkat Konsultasi
1. Single-visit Consultation : pemeriksaan fisik, pemeriksaan medical record
pasien, tindakan diagnostik. Hasilnya dikembalikan kepada dokter pertama
secara tertulis untuk melakukan perawatan.
2. Continuing Collaborative Care (rawat bersama) : Dokter konsultan dan
dokter pertama memberikan perawatan bersama-sama karena resiko yang
tinggi.
3. Transfer of primary care responsibility (alih rawat) : sepenuhnya
diserahkan kepada dokter konsultan.
Tata cara konsultasi dan rujukan
Dasar: kepatuhan thd kode etik profesi yg telah disepakati bersama, dan sistem
kesehatan terutama sub sistem pembiayaan kesehatan yang berlaku
Pasal 15 Kode Etik Kedokteran Indonesia menyatakan
“Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilanya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib
merujuk / berkonsultasi kepada dokter yang mempunya keahlian dalam penyakit
tersebut.”
Tata Cara Konsultasi (McWhinney, 1981):
1. Penjelasan lengkap kepada pasien alasan untuk konsultasi
2. Berkomunikasi secara langsung dengan dokter konsultan (surat, form
khusus, catatan di rekam medis, formal/ informal lewat telfon)
3. Keterangan lengkap tentang pasien
4. Konsultan bersedia memberikan konsultasi
Pembagian Wewenang danTanggungJawab
1. Interval referral, pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penderita
sepenuhnya kepada dokter penderita sepenuhnya kepada dokter konsultan
untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka waktu tersebut dokter tsb
tidak ikut menanganinya
2. Collateral referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab
penanganan penderita hanya untuk satu masalah kedokteran khusus saja
masalah kedokteran khusus saja
3. Cross referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan
penderita sepenuhnya kepada dokter lain untuk selamanya
4. Split referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan
penderita sepenuhnya kepada beberapa dokter konsultan, dan selama
jangka waktu pelimpahan wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter
pemberi rujukan tidak ikut campur.
ANASTESI LOKAL
Anestesi lokal adalah obat yang bila diberikan secara lokal (topikal atau
suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambat hantaran impuls pada saraf
yang dikenai oleh obat tersebut. Obat-obat ini menghilangkan rasa/sensasi nyeri
(dan pada konsentrasi tinggi dapat mengurangi aktivitas motorik) terbatas pada
daerah tubuh yang dikenai tanpa menghilangkan kesadaran.
Jenis
Berdasarkan basis anatominya, anestesi lokal dapat dibedakan menjadi tiga
yaitu anestesi topikal, anestesi infiltrasi, dan anestesi regional atau sering disebut
dengan anestesi blok. Anestesi blok juga dapat dibedakan menjadi anestesi blok
pada maksila dan anestesi blok mandibula.
Secara garis besar, terdapat beberapa jenis anestesi lokal yang sering
digunakan di mandibula, yaitu lingual nerve block, incisive nerve block, mental
nerve block, long buccal nerve block, dan inferior alveolar nerve block. Nervus
lingualis biasanya diblokade di ruang pterygomandibular yang terletak pada
anteromedial syaraf alveolaris inferior mandibula, sekitar 1 cm dari permukaan
mukosa. Oleh karena itu, anestesi blok syaraf lingualis bisa dilakukan sebelum
atau sesudah anestesi blok alveolaris inferior mandibula dilakukan. Incisive nerve
block merupakan salah satu pilihan pada anestesi lokal mandibula yang terbatas
pada gigi anterior. Anestesi blok syaraf insisivus memberikan anestesi pulpa pada
sekitar gigi anterior seperti insisivus dan kaninus sampai foramen mental. Mental
nerve block bertujuan untuk menganestesi syaraf mental dan ujung dari cabang
syaraf inferior alveolar mandibula. Syaraf mental terletak pada foramen mental
yang berada di antara apikal premolar satu dan premolar dua. Daerah yang
dianestesi oleh teknik ini adalah mukosa bukal bagian anterior, daerah foramen
mental sekitar gigi premolar dua, midline dan kulit dari bibir bawah.
Long buccal nerve block atau sering disebut buccal nerve block dan
buccinators nerve block menganestesi nervus buccal yang merupakan cabang dari
syaraf mandibula bagian anterior. Daerah yang dianestesi adalah jaringan lunak
dan periosteum bagian bukal sampai gigi molar mandibula. Anestesi ini sering
digunakan pada perawatan yang melibatkan daerah gigi molar. Keuntungan dari
teknik long buccal nerve block adalah mudah dilakukan dan tingkat
keberhasilannya tinggi.
Inferior Alveolar Nervus Block atau yang sering juga disebut dengan blok
mandibular. Daerah yang dianestesi dengan metode ini adalah gigi mandibula
sampai ke midline, body of mandible, bagian inferior dari ramus, mukoperiosteum
bukal, membrane mukosa anterior sampai daerah gigi molar satu mandibula, 2/3
anterior lidah dan dasar dari kavitas oral, jaringan lunak bagian lingual dan
periosteum, external oblique ridge, dan internal oblique ridge.
Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi Inferior Alveolar Nervus Block adalah untuk prosedur pencabutan
beberapa gigi mandibula dalam satu kuadran, prosdur pembedahan yang
melibatkan jaringan lunak bagian bukal anterior sampai molar satu serta jaringan
lunak bagian lingual.
Kontraindikasi Inferior Alveolar Nervus Block adalah pasien yang
mengalami infeksi atau inflamasi akut pada daerah penyuntikan serta pasien
dengan gangguan kontrol motorik menggigit bibir atau lidah secara tiba tiba.
Bahan
Dari beberapa jenis bahan anestetikum lokal yang berkembang di bidang
kedokteran gigi, bahan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai bahan
anestetikum lokal yang ideal. Bahan anestetikum lokal mempunyai persyaratan
yaitu harus poten, bersifat sementara, tidak menimbulkan reaksi lokal, sistemik,
maupun alergi, onset of action singkat, duration of action cukup untuk melakukan
perawatan, tidak mengiritasi jaringan, tidak menimbulkan kerusakan pada syaraf,
tidak menimbulkan efek toksisitas, harus stabil dalam larutan, dapat disterilkan,
serta terjangkau dari segi ekonomi.
Lidokain merupakan bahan anestetikum lokal yang sering digunakan di
bidang kedokteran gigi. Jika dibandingkan dengan prokain, lidokain memiliki
onset of action yang lebih cepat dengan duration of action yang lebih lama.
Penggunaan lidokain juga hanya membutuhkan sedikit penambahan
vasokonstriktor karena lidokain tidak atau sedikit menyebabkan vasodilatasi.
Penambahan vasokonstriktor pada lidokain HCl 2% dapat menambah durasi kerja
anestesi. Vasokonstriktor yang sering ditambahkan pada lidokain adalah adrenalin
1:80.000 atau 1:100.000. Dengan penambahan vasokonstriktor, durasi kerja
menjadi lebih lama dari ½-2 jam menjadi 3-4 jam. Waktu onset of action dari
lidokain juga bervariasi, sekitar 3-10 menit. Walaupun penggunaan lidokain
bersifat toksik, jika digunakan dengan dosis yang tepat, maka tidak dapat
menimbulkan masalah yang serius. Dengan penambahan vasokonstrikor, dosis
maksimal yang dapat diterima pada orang dewasa adalah sekitar 350 mg atau
maksimal sekitar 6 mg/kgBB. Pada praktiknya, 2% lidokain HCl umumnya
dikemas dalam bentuk ampul 2 ml atau sama dengan 36 mg, sehingga dosis
maksimum pengunaan lidokain pada orang dewasa adalah sekitar 8-10 ampul.
Berbagai bahan anestetikum lokal selain lidokain juga banyak digunakan
dalam perawatan di bidang kedokteran gigi. Mepivakain merupakan salah satu
bahan anestetikum yang sering digunakan di bidang kedokteran gigi sebagai
bahan anestetikum lokal. Bahan anestetikum lokal ini sudah mulai terkenal sejak
pertama kali digunakan secara klinis sejak tahun 1950. Kecepatan onset of action,
duration of action, potensi dan toksisitasnya hampir mirip dengan lidokain. Sifat
vasokonstriktor mepivakain lebih rendah daripada lidokain. Pada umumnya,
mepivakain digunakan dalam bentuk larutan dengan penambahan adrenalin
1:80.000. Dosis maksimal yang dapat digunakan dengan penambahan
vasokonstriktor adalah 5 mg/kg berat badan. Onset of action mepivakain tidak
berbeda jauh dengan lidokain. Efek anestesi mepivakain timbul setelah 3 menit
penyuntikan dengan duration of action sekitar 2-2½ jam.
KOMPLIKASI ANASTESI LOKAL
Komplikasi anestesi lokal
1. Kegagalan anestesi
Penyebab :
- teknik yang salah
- respon purulen dari jaringan
terhadap injeksi
- anestetikum yang buruk
- daya tahan
- anatomi rahang yang menyimpang
Pencegahan :
* pengalaman
* anestesi diulang kembali
* penguasaan anatomi
2. Rasa sakit
Penyebab :
- jarum tidak lurus, tidak runcing, berkarat
- teknik menyuntik salah
- larutan anestetikum kurang baik
- deponir cepat
Pencegahan :
. jarum stainless steel, tajam, dan lurus
. menguasai teknik menyuntik
. larutan anestetikum yang baik
. deponir perlahan-lahan
3. Ekimosis, Hematom
Penyebab :
- jarum masuk ke pembuluh darah dan mengenai plexus
venosus Pterigoideus untuk menyuntik nervus alveolaris
posterios superior
- Plexus venosus infra orbitalis untuk menyuntik nervus
infra orbitalis
Pencegahan :
. menghindari jarum masuk ke pembuluh darah karena sifat
vaskularisasi
. melakukan aspirasi untuk mengetahui bahwa tidak ada
cairan lain yang masuk selain anestetikum dan jarum tidak
mengenai pembuluh darah
4. Trismus
kesukaran membuka rahang karena
ketegangan
musculus (otot pengunyahan), bisa
diikuti rasa sakit, demam, dan infeksi
Penyebab :
- injeksi ke ramus pterigoideus
mandibularis
- injeksi ke musculus pterigoideus medius
5. Paralisis facialis
Penyebab :
pada injeksi nervus alveolaris inferior, jarum
masuk terlalu ke belakang à ramus
ascendens à glandula parotis mengenai
nervus facialis, musculus facialis
Pencegahan :
injeksi jangan terlalu ke belakang
Biasanya pulih 3 jam kemudian.
6. Hilangnya sensasi yang berkepanjangan
Penyebab :
- trauma ujung jarum
- nervus terluka
- perdarahan
- infeksi
Pencegahan :
. hindari trauma ujung jarum
. tidak membuat komplikasi
Gejala : bibir bawah baal
Terapi : Massage, termoterapi, neuroterapi, fisio
terapi, bedah
7. Jarum patah
Pencegahan :
- gunakan jarum stainless steel
- jarum disterilkan pra injeksi
- jarum disposable
Terapi :
. jujur pada pasien
. radiografi
. buat catatan kejadian
dan minta saran/konsul ke ahli bedah
8. Infeksi
Pencegahan : bekerja serba steril
Terapi : beri antibiotika
9. Trauma pada bibir
Penyebab :
- pasca anestesi rahang bawah, pasien
menggigit-gigit bibir bawah
- res thermal seperti minum yang panas sekali,
merokok sehingga menimbulkan ulkus pada
bibir
10. Gangguan visual
unilateral atau bilateral/komplit
kejulingan dan kebutaan sementara
Penyebab :
- injeksi maxilla yang komplikasi
- intra arteri dimana injeksi mengenai nervus
opticus atau otot motorik mata.
Pencegahan :
bekerja hati-hati
biasanya pulih setelah 3 jam
11. Sinkop à serebral anemi
Tanda : pucat, pusing, penglihatan gelap,
keringat dingin, denyut nadi kecil
Pertolongan :
pasien diletakkan dengan kepala
direndahkan (posisi Trandelenburg)
12. Efek toksis
Ringan : nausea, vomitus, denyut nadi
cepat, dispnoe
Berat : kejang, depresi jantung, serebral anemi,
pingsan, tremor, spasmus, dll.
13. Alergi : urtikaria, sesak napas, pucat, nadi
lemah, syok
14. Xerostomia
àtakut, anestesi nervus lingualis melewati
kelenjar saliva
15. Dysphagia dan gagging
Anestesi palatum (n. palatinus anterior)
terlalu ke posterior à otot-otot faring
ODONTEKTOMI
DEFINISI:
1. Odontektomi adalah operasi bedah mulut untuk mengangkat gigi. Jika gigi terhadap erupsinya oleh struktur keras dan sekelilingya (gigi tumor) atau terbenm dalam tulang sepenuhnya. (Tetsch 1992 hal 5).
2. Gigi yang jalan erupsi (keluar) normalnya terhalang / terblokir biasanya oleh gigi didekatnya atau jaringan patologis.
3. Odontektomi merupakan istilah yang digunakan untuk mengambil gigi yang mempunyai posisi impaksi total ataupun erupsi sebagian yang tidak dapat diambil dengan cara pencabutan biasa sehingga harus menggunakan
tindakan pembedahan.
ETIOLOGI:
1. Implikasi total : dikelilingi seluruhnya oleh jaringan.2. Implikasi sebagian : perforasi mukosa mulut oleh mahkota.3. Ketidakseimbangan diantara jumlah / ukuran gigi dengan ukuran rahang
atau tempat tumbuhnya sesudah ditempati gigi lain.4. Gusi gigi.5. Tumor.6. Kista.
INDIKASI
1. Kurangnya fungsi2. Profilaksis infeksi3. Profilaksis ortodonti4. Indikasi prostetik5. Indikasi protestik6. Indikasi bedah mulut7. Perikoronitis8. Karies dan kelainan pulpa9. Dugaan adanya tumor 10. Sakit neuralgia11. Sepsis fokal
KONTRAINDIKASI
1. Sebelum panjang akar mencapai sepertiga atau dua pertiga dari gigi dan apabila tulang menutupinya terlalu banyak
2. Jika kemungkinan besar akan terjadi kerusakan pada struktur penting di sekitarnya atau kerusakan tulang pendukung yang luas
3. Apabila tulang yang menutupinya sangat tereliminasi dan padat, yaitu pasien yang berusia lebih dari 26 tahun
4. Apabila kemampuan pasien untuk menghadapi tindakan pembedahan terganggu oleh kondisi fisik atay mental tertentu atau keadaan umjum pasien itu sendiri yang kurang baik
PENATALAKSANAAN IMPAKSI GIGI RAHANG ATAS
ALAT DAN BAHAN
Syringe dengan jarum 27 dan 30 gauge
Larutan anastetikum; yang mengandung epinefrin/adrenalin
Alat diagnostic
Bur tulang
Cotton rolls
Gauze
Instrumen lain yang umum digunakan disajikan dalam gambar berikut ini:
TAHAP-TAHAP DALAM PENCABUTAN GIGI MOLAR TIGA
IMPAKSI
1. Sedasi
Persyaratan pertama untuk keberhasilan pembedahan gigi impaksi adalah
pasien yang relaks dan anastesi lokal yang efektif atau pasien yang
teranastesi dengan selamat. Seringkali anastesi umum merupakan pilihan
yang cocok untuk pembedahan impaksi. Anastesi yang dipakai yaitu
pleksus anastesi dan sub mukus infiltrasi anastesi.
2. Pembukaan Flap
Flap harus didesain dengan baik dan dalam ukuran yang cukup.Insisi di
bagian oklusal tuber maksila yang berjalan ke anterior kemudian
melanjut ke bukal molar dua dan dilanjutkan dengan insisi verikal ke
anterior di sebelah bukalmolar satu. Setelah insisi selesai buka muko
perios flap dan kemudian flap dipegang dengan pinset chirurgis, untuk
melihat gigi atau tulang maka dipergunakan kaca mulut karena sukar
dilihat langsung, disampIng itu penerangan harus cukup baik.
3. Pengambilan tulang
Pengambilan tulang tidak begitu sukar oleh karena tuberositas maksila
lebih poreus daripada tulang mandibula. Dengan memakai pahat dan
tokokan minimal saja sudah putus atau dengan memakai bur juga lebih
mudah membuangnya. Pada pembungan tulang harus diperhatikan betul,
jangan sampai bagian gigi atau tulang tertolak masuk ke dalam sinus
maksilaris. Tulang yang dibuang adalah bagian bukal, oklusal, distal.
Yang tidak boleh dibuang adalah bagian palatianal. Pada rahang atas
pengambilan sering digunakan dengan elevator lurus yang digunakan
sebagai pencungkil tulang atau dengan osteotom dan tekanan tangan.
Kadang-kadang tulang ini mudah dikupas dengan menggunakan elevator
periosteal #9 atau elevator lurus yang kecil, untuk menyingkap folikel di
bawahnya. Untuk melihat anatomi mahkota dan untuk menentukan
sumbu panjang gigi impaksi, folikel dihilangkan sebagian dengan
menggunakan elevator periosteal atau elevator lurus dan hemostat kecil.
Sekali jalan masuk ke M3 impaksi cukup untuk memasukkan elevator
miller atau pott pada servik, pengungkitan ke distal-bukal bisa dilakukan.
4. Pemotongan yang terencana
Gigi molar tiga impaksi maksila jarang dikeluarkan dengan pemotongan.
Jika pemotongan M3 maksila atas yang impaksi diperlukan, biasanya
mahkota dipotong agar akat dapar digerakkan ke bukal-oklusal.
5. Pengeluaran gigi
Setelah gigi impaksi bebas dari tulang sekitarnya, kita harus membuat
ruangn yang cukup bagi bein atau elevator supaya dapat masuk diantara
gigi dan tulang alveolus agar dapat menolak gigi ke arah oklusal. Pada
waktu mengeluarkan gigi, harus hati-hati jangan sampai gigi terlepas dan
masuk kekerongkongan karena dapat mengganggu/menyumbat seluruh
pernafasan. Dengan anastesi umum, lebih mudah karena kerongkongan
sudah ditutup dengan kasa.
6. Pembersihan luka
Setelah gigi keluar, maka dilakukan penghalusan tulang alveolus yang
tajam, sisa-sisa folikel dibersihkan seluruhnya. Kegagalan untuk
melakukan hal ini bisa mengakibatkan penyebuhan yang lama dan
perkembangan patologis dari sisa epitel odontogenik. Setelah folikel
dibersihkan, alveolus diirigasi dengan saline dan periksa dengan teliti.
Kemudian diletakkan tampon.
7. Penutupan luka
Flap dikembalikan dan dijahit. Penjahitan dilakukan untuk menahan
kedua tepi potongan jaringan lunak sehingga membantu penyembuhan,
untuk menahan jaringan lunak yang longgar, untuk meminimalkan
kontaminasi terhadap debris makanan dan untuk menghambat
pendarahan. Penjahitan dapat dilakukan dengan benang hitam steril dan
dapat dipilah jahitan ‘terputus’ (interrupted0 sederhana atau jahitan
matras horizontal. Jarum yang digunakan jarum Lane yang dipegang
dengan alat pemegang jarum (needle holder).
TEKNIK ODONTEKTOMI
Gambar A. Insisi envelope [amplop] seringkali digunakan untuk membuka
jaringan lunak mandibula dalam pencabutan gigi impaksi molar tiga:
Perluasan insisi ke posterior harus divergen ke arah lateral agar tidak terjadi
perlukaan saraf lingual.
Gambar B. Insisi envelope dibuka ke arah lateral sehingga tulang yang
menutupi gigi impaksi terbuka.
Gambar C. Jika digunakan flap tiga-sudut, insisi pembebas dibuat pada aspek
mesial gigi molar dua.
Gambar D. Saat flap jaringan dibuka pada insisi pembebas, akan diperoleh
lapangan pandang yang lebih luas, terutama pada aspek apikal daerah
pembedahan.
Gambar E. Setelah jaringan lunak dibuka, tulang yang menutupi permukaan
oklusal gigi dibuang menggunakan bur fissure atau chisel tangan.
Gambar F. Kemudian, tulang pada aspek bukal dan distal gigi impaksi
dibuang menggunakan bur.
TEKNIK ODONTEKTOMI BERDASARKAN TIPE IMPAKSI GIGI
Impaksi vertical
Jika gigi yang terbentuk tidak erupsi sempurna menembus batas gusi.
Tulang pada aspek bukal dan distal mahkota dibuang, dan gigi dipotong menjadi
bagian mesial dan distal.Jika akar gigi bengkok, menyatu atau tunggal, bagian
distal mahkota dipotong seperti dalam impaksi mesioangular [diuraikan di bawah
ini].Aspek posterior mahkota diungkit terlebih dahulu menggunakan Cryer
elevator sampai ke titik pengeluaran pada sisi distal gigi.
Elevator digunakan untuk mengangkat aspek mesial gigi dengan gerakan putar
dan ungkit.
Impaksi mesioangular
Impaksi mesioangular merupakan tipe yang sering ditemukan [43% kasus]. Gigi
menjorok ke depan, mengarah ke depan mulut.
Dalam pencabutan impaksi mesioangular, tulang pada sisi bukal dan distal
dibuang agar mahkota gigi dan batas servikalnya terlihat.Aspek distal mahkota
dipotong.Terkadang, perlu dilakukan pemotongan seluruh gigi menjadi dua
bagian, bukan hanya memotong bagian distal mahkota saja.
Setelah bagian distal mahkota dikeluarkan, diinsersikan elevator kecil pada titik
ungkit di aspek mesial gigi molar tiga, dan gigi dikeluarkan menggunakan
gerakanputar dan ungkit.
Impaksi Horisontal
Impaksi horisontal jarang ditemukan [3%], yang terjadi jika gigi memiliki
sudut 90 derajat, tumbuh ke arah gigi molar dua.
Saat dilakukan pembedahan impaksi horisontal, tulang yang menutupi gigi-
yaitu, tulang pada aspek distal dan bukal gigi-dibuang menggunakan bur.
Mahkota dipisahkan dari akarnya dan dikeluarkan dari soket.Akar jamak
dikeluarkan bersamaan atau sendiri-sendiri menggunakan Cryer elevator
dengan gerakan rotasi. Terkadang, akar perlu dipotong menjadi dua bagian:
pembuatan titik ungkit pada akar akan mempermudah Cryer elevator untuk
mengeluarkan akar. Akar mesial diungkit dengan cara yang sama.
Impaksi Distoangular
Pada tipe impaksi ini, gigi menjorok ke belakang, ke bagian belakang mulut.
Dalam impaksi distoangular, tulang oklusal, bukal dan distal dibuang
menggunakan bur. Harus diingat bahwa tulang distal harus dibuang lebih banyak
dibandingkan dalam impaksi tipe vertikal atau mesioangular. Mahkota gigi
dipotong menggunakan bur dan dikeluarkan menggunakan elevator lurus. Titik
ungkit diletakkan pada bagian akar gigi, dan akar dikeluarkan menggunakan
Cryer elevator dalam gerakan wheeland-axle [roda-dan-jeruji, jika akar divergen,
terkadang perlu dilakukan pemotongan akar sendiri-sendiri.
Setelah gigi impaksi dikeluarkan dari prosesus alveolar, dokter bedah harus
melakukan debridemen luka dengan cermat dan hati-hati untuk membersihkan
semua potongan tulang kecil dan debris lainnya. Metode terbaik untuk
melakukannya adalah dengan melakukan debridemen mekanis pada soket dan
daerah di bawah flap menggunakan kuret periapikal. Bone file digunakan untuk
menghaluskan tepi-tepi tulang yang tajam dan kasar. Hemostat mosquito
digunakan untuk membuang sisasisa folikel gigi dengan hati-hati. Terakhir, soket
dan luka diirigasi menggunakan salin atau air steril [optimal: 30-50 ml]. Dalam
kasus-kasus tertentu, dibutuhkan irigasi, yaitu pada pasien yang beresiko
mengalami dry socket, gangguan penyembuhan, atau komplikasi lainnya.
Flap dikembalikan ke posisi awalnya, dan dilakukan penjahitan
menggunakanresorbable suture pada aspek posterior gigi molar dua. Jahitan
tambahan dapat dilakukan jika perlu.
POSISI OPERATOR DAN PASIEN
1. Gigi anterior rahang atas
Yang harus diperhatikan saat hendak melakukan ekstraksi dan pembedahan
gigi adalah:
1. Posisi dental chair
Posisi dental chair adalah faktor yang penting bagi pasien dan operator.
Kesalahan pada posisi dan tinggi dapat menyebabkan ketidaknyamanan
dan ketegangan otot pada operator, yang berakibat kelelahan yang tidak
perlu dan kemungkinan untuk terjadi kesalahan ekstraksi.
- Untuk ekstraksi dan pembedahan gigi pada kedua kuadran atas, posisi
melakukan tindakan sebaiknya setinggi siku dengan sudut penurunan
kursi kira-kira 45-600
2. Posisi operator
Tindakan ekstraksi ataupun pembedahan pada semua gigi di upper arch
dan molar bawah kiri dan gigi anterior dilaksanakan dengan operator
berdiri di hadapan pasien, di samping kiri dental chair
Gambar. posisi operator dan pasien saat ekstraksi dan pembedahan gigi
anterior Rahang Atas.
Posisi kursi, pasien dan operator
a. Axis Kursi - Kursi adalah dimundurkan sehingga bidang oklusal rahang
atas pada sudut sekitar 60 º ke lantai
b. Ketinggian kursi - Kursi diturunkan setinggi siku operator
c. Kepala Pasien - Pasien diminta untuk mengangkat kepala dan berpaling
ke operator untuk akses dan visualisasi
d. Operator - Operator pada posisi jam 9 relatif terhadap pasien
e. Asisten operator - Operator kedua berdiri atau duduk pada posisi jam 3
dan membantu untuk retraksi, penyedotan, irigasi, dan rahang stabilisasi.
Posisi Kerja Dalam Four Handed Dentistry
Posisi kerja operator dan asisten berdasarkan arah jarum jam baik dalam
keadaan duduk maupun berdiri.
Pembagian zona kerja. Ada 4 zona pada posisi kerja berdasarkan arah jarum jam:
Zona operator berada pada posisi arah jarum jam 7-12
Zona asisten berada pada posisi arah jarum jam 2-4
Zona statis (untuk instrumen dan bahan) berada pada posisi arah jarum
jam 12-2
Zona transfer berada pada posisi arah jarum jam 4-7
Ketinggian kursi :Harus 8 cm atau 3 inchi dibawah bahu operator
Posisi operator :Sebelah kanan pasien
Operator harus di posisi pukul 9 atau pukul 12 apabila area kerja seperti yang terlihat pada gambar berwarna hijau.Sedangkan operator harus di posisi pukul 10 atau pukul 12 apabila area kerja seperti yang terlihat pada gambar berwarna biru.
Posisi pasien :
1. Badan : Bagian belakang kursi harus membentuk sudut 45 derajat dari lantai
2. Kepala : Dipinggir tempat kepala pada kursi
3. Dagu : Mendongak
3. Gigi posterior rahang atas kiri
Posisi Operator
Gambar B adalah posisi ekstraksi gigi maksila bagian kiri
a) Untuk ekstraksi dan pembedahan gigi maxilla, dental chair diposisikan
sekitar 60 derajat terhadap lantai
b) Pada ekstrakdi dan pembedahan kuadran maxilla sebelah kiri, kepala
pasien hanya sedikit diarahkan ke operator.
KOMPLIKASI ODONTOTEKTOMI
Komplikasi Odontektomi pada saat Pembedahan.
1. Perdarahan masif dapat terjadi. Penanganannya dengan penekanan dan
penjahitan.
2. Fraktur tuberositas maksila pada odontektomi molar tiga atas.
Penanganannya yakni dengan penempatan kembali fragmen dan ikat
dengan penjahitan atau dental wireselama 3-4 minggu, kemudian
rencanakan untuk pencabutan gigi setelah terjadipenyembuhan dari
tuberositas atau pengeluaran fragmen dan penutupan lukadengan
penjahitan primer rapat.
3. Pada odontektomi molar tiga atas atau kaninus atas .Gigi menembus dasar
sinus. Penanganannya tempatkan kembali gigi dan splint pada posisi
tersebut, lalututup dengan kassa yang dibasahi antiseptik yang akan
dikeluarkan 2-3 minggukemudian. Jika fistula 2-6 mm dilakukan
pengurangan ujung socket tulang danpenjahitan pinggirannya dengan
metode delapan.
4. Pemindahan tempat/displacement. Penanganannya hentikan
prosedursecepatnya untuk mencegah berpindahnya gigi kejaringan yang
lebih dalam.Lakukan rontgen paling sedikit dari dua tempat untuk
menentukan posisi dari gigiyang berpindah. Amati tanda-tanda peradangan
yang berhubungan denganpindahnya gigi. Pemberian analgesik dan
antibiotik. Penjadwalan kembali untukpengambilan fragmen.
5. Fraktur akar/mahkota. Penanganannya lakukan rontgen foto untuk melihat
posisidari fragmen fraktur. Pemberian analgesik dan antibiotik.
Penjadwalan kembaliuntuk pengambilan fragmen fraktur.
6. Fraktura mandibula pada odontektomi molar tiga bawah
7. Empisema karena penggunaan tekanan udara yang berlebihan
8. Kerusakan jaringan lunak.
9. Cedera pada N. Alveolaris inferior atau N. Lingualis.
10. Patahnya alat bedah.
11. Fraktura: akar, proc.alv.lingual, tulang rahang bagian lingual, mandibula
terutama daerah angulus.
12. Trauma pd gigi terdekat rusak, goyang, sampai tercabut.
13. Rusaknya tumpatan atau mahkota pada gigi molar kedua di samping molar
ketiga yang dilakukan odontektomi.
14. Masuknya gigi/sisa akar gigi ke dalam submandibula Space, kanalis
mandibularis atau spasia regio lingual.
15. Alergi pada obat-obatan yang diberikan : antibiotika, analgetika maupun
anaestesi lokal.
16. Syok anafilaktik.
Komplikasi Pasca Bedah.
1. Alveolitis/ dry socket
Penanganannya dengan cara dilakukan irigasi dengan normal salin
dandiaplikasikan bahan-bahan yang bersifat analgesik seperti yang
mengandungeugenol
2. Perdarahan sekunder
3. Trismus
4. Edema, untuk pencegahan dapat diberikan kompres es segera
setelahpembedahan selama 20 menit.
5. Parestesi, dapat ditanggulangi dengan pemberian neurotropik vitamin
6. Problema periodontal pada gigi sebelahnya
7. Hematoma
8. Rasa sakit atau pernah mengalami rasa sakit di regio gigi molar ketiga
impaksi
9. Infeksi pada jaringan lunak maupun tulang.
10. Memar jaringan lunak ekstraoral dan dapat meluas sampai ke regio leher
dan dada di regio odontektomi atau bilateral.
11. Facial abses.
12. Trismus
13. Luka di daerah sudut bibir.
TINDAKAN PASCA ODONTEKTOMI
Hal yang perlu diperhatikan setelah pengoperasian gigi
A. Instruksi untuk mempercepat proses penyembuhan
Usahakan beristirahat sepanjang hari dan tidak mengerjakan pekerjaan
berat.
Hindari merokok. Bila memungkinkan selama proses penyembuhan
(3-4 hari), minimal selama 24 jam setelah operasi.
Hindari berkumur atau menggosok gigi selama 24 jam setelah operasi
Setelah 24 jam, kebersihan daerah operasi dapat dijaga dengan
berkumur air hangat bergaram (1 sendok teh garam untuk 1 gelas air)
minimal 4 kali sehari. Berkumurlah dengan hati-hati karena tekanan
dapat menyebabkan lubang bekas operasi terbuka lagi dan terjadi
pendarahan.
Setelah 24 jam, meggosok gigi dapat dilakukan dengan hati-hati,
terutama di daerah operasi.
Bila diberi obat penahan sakit dan antibiotik, minumlah sesuai
petunjuk dokter. Antibiotik harus dihabiskan walaupun gigi sudah
tidak terasa sakit. Sebaliknya, obat penahan sakit dapat dihentikan bila
sakit mereda.
Makan dan minumlah seperti biasanya. Hindari berdiet, karena makan
dan minum yang cukup sangat penting untuk proses penyembuhan.
Hindari minum menggunakan sedotan karena tekanannya dapat
melepaskan gumpalan darah pada lubang operasi.
Hindari minuman bersoda karena busanya diperkirakan dapat
melepaskan gumpalan darah pada lubang operasi. Minuman jus buah
terutama jeruk sangat disarankan.
Makan tambahan vitamin C dianjurkan.
Untuk menghindari pembengkakan, setelah operasi rahang sebaiknya
dikompres dengan es atau air dingin. Tempelkan kompres dingin
selama 15 menit, diseling 10 menit tanpa kompres, diulang sampai saat
istirahat malam.
Pada hari-hari setelah hari operasi, rahang dapat dikompres dengan
kompres hangat, untuk menstimulasi peredaran darah di daerah gigi
bungsu yang dapat mempercepat penyembuhan.
Selain hal-hal di atas, pembiusan yang dilakukan sebelum operasi juga
dapat berpengaruh pada kemampuan psikis dan mekanis. Jangan
berkendara, melakukan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi
tinggi, atau menandatangani dokumen penting pada hari yang sama.
Bila menggunakan bius total, usahakan ada seseorang yang dapat
menemani selama minimal satu hari tersebut.
B. Instruksi penanganan apabila terjadi masalah setelah odontektomi
1. Pendarahan
Pendarahan tidak dapat dihindari dan dapat berlangsung selama satu hari
penuh. Berkumur pada saat pendarahan terjadi sangat tidak dianjurkan.
Pendarahan akan berhenti saat darah mulai menggumpal di lubang
pencabutan, dan berkumur dapat menyebabkan gumpalan darah terlepas.
Hal ini dapat memperlambat proses penyembuhan dan menyebabkan
pendarahan terjadi lebih lama.
Bila terjadi pendarahan, letakkan gulungan kecil kasa steril (umumnya
diberikan oleh dokter gigi) pada lubang bekas pencabutan. Kasa harus
digigit dengan baik dengan tekanan secukupnya. Cara ini akan membantu
menghentikan pendarahan, tetapi jangan dilakukan telalu berlebihan
sehingga menimbulkan iritasi pada lubang pencabutan. Gulungan kasa
hanya boleh digigit selama sekitar 20 menit. Bila terlalu lama, darah
dapat membeku pada kasa dan gumpalan darah dapat terlepas lagi saat
kasa dibuang. Bila pendarahan masih terjadi setelah 20 menit, ganti
dengan kasa yang baru. Demikian seterusnya hingga pedarahan
berkurang atau berhenti.
Bila pendarahan terus berlanjut setelah 1 hari, segera kembali ke dokter
gigi dan laporkan. Pendarahan yang terus menerus menunjukkan masalah
pada proses penyembuhan.
2. Lubang operasi tidak tertutup sempurna (Dry socket)
Pada umumnya, setelah pengoperasian, darah akan menggenangi lubang
bekas gigi dan menggumpal. Terbentuknya gumpalan darah ini sangat
penting karena berfungsi sebagai tempat gusi kemudian akan tumbuh
menutupi lubang. Diperkirakan sebanyak 5-10% kasus mengalami
penutupan lubang yang tidak sempurna atau terlepasnya gumpalan darah
sebelum waktunya, sehingga syaraf pada gusi dan bahkan tulang rahang
menjadi terbuka (dry socket). Telah diketahui bahwa umumnya penderita
dry socket adalah perempuan yang minum pil kontrasepsi. Diperkirakan
dry socket dapat dihindari dengan melakukan operasi pada hari ke-22
hingga ke-28 siklus, yaitu saat kadar estrogen sedang pada titik terendah.
3. Infeksi
Infeksi yang terjadi saat proses penyembuhan dapat dihindari dengan
minum antibiotik dan menjaga kebersihan mulut. Berkumur dengan air
garam setiap selesai makan dapat membantu membersihkan daerah
operasi.
4. Pembengkakan pada pipi daerah pencabutan.
Pembengkakan pasca operasi gigi molar ini biasa terjadi, dan umumnya
makin bertambah besar hingga hari ke-3 namun perlahan-lahan akan
mengecil. Untuk meminimalkan pembengkakan, sebaiknya pipi
dikompres dingin selama 24 jam pertama. Hari selanjutnya lakukan
kompres hangat untuk menstimulasi peredaran darah dan mempercepat
penyembuhan.
5. Rasa sakit berdenyut setelah pengaruh obat bius hilang.
Rasa sakit pasti akan terasa, terutama setelah pengaruh obat bius hilang.
Dokter gigi yang melakukan tindakan akan meresepkan obat untuk
menangani hal tersebut, jadi dibutuhkan kedisiplinan pasien untuk
mematuhi instruksi obat yang diberikan.
6. Makanan terjebak di tempat bekas pencabutan
Gigi yang diambil akan meninggalkan soket/lubang sehingga gusi harus
dijahit. Biasanya makanan sering terjebak dan sulit dibersihkan di daerah
tersebut. Namun jangan mencongkel-congkel daerah tersebut apalagi
dengan alat tajam dan tidak bersih. Lebih baik kumur perlahan dengan air
atau air garam hangat untuk mengeluarkannya.
7. Buka mulut terbatas, dan terasa nyeri bila mulut dibuka lebar
Karena pembengkakan yang terjadi di pipi, biasanya ada keterbatasan
saat membuka mulut. Oleh karena itu pilih makanan yang lunak dan
mudah dikunyah, dan kunyah makanan secara perlahan.
8. Rasa kebal atau kaku yang terus berlanjut lebih dari 1 hari setelah
pencabutan.
Hal ini dapat terjadi pada posisi gigi yang terbenam dalam tulang cukup
dalam dan ada syaraf yang tersenggol atau cedera saat disuntik anestesi.
Pasien dianjurkan untuk kembali menemui dokter gigi yang melakukan
operasi agar dapat diresepkan obat yang dapat meredakan kondisi ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedersen W.G.,1996.Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC2. Peterson L.J.,2003.Contemporary Oral Maxillofacial Surgery.4th Ed.St.Louis:
Mosby3. Kumpulan kuliah farmakologi/Staf Departemen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Ed. 2. Jakarta:EGC,2008 4. Andreasen J.O. 1997. Textbook and Color Atlas of Tooth Impactions
Diagnosis Treatment Prevention, 1st ed. CV Mosby Company.5. Archer W.H. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery, 5th ed. W.B. Saunders.6. Gans, Benjamin J. 1972. Atlas of Oral Surgery. CV Mosby Company.