Download - LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
OBAT ANTI TUBERKULOSIS DAN OBAT ANTI ASMA
Asisten:
Khafizati Amalina Fitri Rosadi
G1A009136
Kelompok XI
Pradani Eva A. G1A010097Rona Lintang Harini G1A010094Hesti Putri A. G1A010099Hayin Naila N. G1A010102Khoirur Rijal A. G1A010106Intan Puspita Hapsari G1A010109Dicky Bramantyo A.P. G1A010113Keyko Lampita Mariana S. G1A010074Khairisa Amrina Rosyada G1A010039Nurul Setyawan G1A008091
BLOK RESPIRASIJURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok XI
Pradani Eva A. G1A010097Rona Lintang Harini G1A010094Hesti Putri A. G1A010099Hayin Naila N. G1A010102Khoirur Rijal A. G1A010106Intan Puspita Hapsari G1A010109Dicky Bramantyo A.P. G1A010113Keyko Lampita Mariana S. G1A010074Khairisa Amrina Rosyada G1A010039
Nurul Setyawan G1A008091
disusun untuk memenuhi persyaratan
mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok Respirasi
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
diterima dan disahkan
Purwokerto, 17 Maret 2012
Asisten,
Khafizati Amalina Fitri Rosadi
NIM. G1A00913
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberculosis
(TB) menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus, tidak berspora, tidak
berkapsul, berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Indonesia masih
menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.
Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat
TB. Di Indonesia tuberkulosis merupakan pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (PDPI, 2006).
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di
seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang
(wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness),
dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. Asma merupakan
penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk
dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun
dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (PDPI, 2006).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Obat Anti Tuberkulosis
1) Rifampisin
a. Jenis
Rifampisin merupakan derivate semisintetik rifamisin B yang
merupakan salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang
disebut rifamisin. Obat ini digunakan sebagai obat anti tuberkulostatik
pilihan pertama. Selain itu juga obat ini digunakan untuk terapi pada
lepra. Rifampisin merupakan ion zwitter yang larut dalam pelarut
organik dan air yang pHnya asam (Schmitz, 2009; Syarif, 2009).
b. Farmakodinamik
Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh.
Rifampisin yang berikatan pada subunit β menghambat RNA
polymerase yang bergantung pada DNA sehingga sintesis RNA
diblokir. RNA mitokondria mamalia dapat dihambat oleh rifampisin
tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi untuk menghambat kuman
(Schmitz, 2009; Syarif, 2009).
Efek yang diberikan oleh obat ini adalah bakterisid. Rifampisin
merupakan obat anti tuberculosis (OAT) spektrum luas yang selain
mampu membunuh Mycobacteria juga dapat membasmi bakteri gram
positif dan gram negatif, Klamidia dan dalam konsentrasi yang sangat
tinggi (in vitro) juga membasmi virus dan protozoa (Schmitz, 2009).
Rifampisin merupakan pemacu metabolism yang
kuat sehingga berbagai obat misalnya hipoglikemik oral,
kortikosteroid dan kontrasepsi oral berkurang
efektifitasnya bila diberikan bersama rifampisin. Sulfonil
urea yang diberikan pada orang dengan diabetes
mellitus akan berkurang efeknya bila diberikan bersama
dengan rifampisin sehingga harus ditambahkan
dosisnya (Syarif, 2009).
c. Farmakokinetik
Kadar puncak dalam plasma darah dicapai dalam waktu 2-4 jam
setelah pemakaian oral. Absorbsinya dihambat oleh asam
aminoparasalisilat. Apabila keduanya harus digunakan bersamaan maka
harus diberi jarak 8-12 jam (Syarif, 2009).
Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan
akan memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Efek samping dari
Rifampisin dapat mengakibatkan air seni menjadi merah. Hal ini terjadi
karena rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh dengan baik bahkan ke
cairan otak. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien karena tidak
memerlukan penanganan (Syarif, 2009).
Tabel 1. Farmakokinetik rifampisin (Syarif, 2009).
d. Sediaan dan posologi
Di Indonesia rifampisin terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan
300 mg. Selain itu terdapat pula sediaan tablet 450 dan 600 mg serta
suspense yang mengandung 100mg/ 5mL rifampisin. Pada beberapa
sediaan dikombinasi dengan isoniazid. Obat ini sebaiknya diberikan
sehari sekali sebaiknya 1 atau 2 jam sesudah makan. Dosis untuk orang
dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg adalah 450g/hari
sedangkan untuk yanmg lebih dari 50kg adalah 460mg/hari. Dosis
untuk anak-anak adalah 10-20 mg/kgBB per hari dengan dosis
maksimum 600 mg/hari (Syarif, 2009).
e. Efek Samping
1) Gangguan fungsi hati
2) Keluhan gastrointestinal
3) Gangguan fungsi ginjal
4) Reaksi alergis
5) Efek teratogen pada percobaan hewan
f. Indikasi dan Kontraindikasi
f.1. Indikasi
1) Tuberkulosis (TB)
2) Leprosy
3) Legionnaire's disease
4) Brucellosis
5) Infeksi stafilokokus
f.2. Kontraindikasi
1) Hipersensitif terhadap golongan obat ini
2) Penyakit kuning (jaundice)
3) Severe hepatic disease
4) Gangguan hati yang berat
g. Contoh Penulisan Resep
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Rifampisin mg 650 tab No.XXX
S 1dd. Tab I. Pc om.
P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat :Purwokerto
2) Isoniazid
a. Jenis
Isoniazid merupakan obat yang paling aktif dalam terapi
tuberculosis yang disebabkan oleh galur yang rentan. Bentuknya kecil
dan larut dengan bebas dalam air (Katzung, 2010).
b. Farmakodinamik
Isoniazid menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan
komponen penting dalam dinding sel mikrobakterium. Isoniazid
merupakan precursor obat yang diaktifkan oleh katG, suatu katalase-
peroksidase milik mikrobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk
kompleks kovalen dengan protein pembawa-asil (AcpM) dan KasA,
suatu sintetase protein pembawa beta-ketoasil, yang menyekat sintesis
asam mikolat dan membunuh sel (Katzung, 2010).
c. Farmakokinetik
Isoniazid cepat diserap dari saluran cerna. Dosis oralnya sebesar
300 mg (5 mg/kg pada anak) mencapai kadar puncak dalam plasma
sebesar 3-5 mcg/ml dalam 1-2 jam. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam
semua cairan tubuh dan jaringan. Metabolisme isoniazid terutama
asetilasi oleh N-asetiltransferase hati ditentukan secara genetic. Kadar
isoniazid plasma rerata pada asetilator cepat adalah sekitar sepertiga
hingga separuh kadar tersebut pada asetilator lambat. Waktu paruh
rerata pada keduanya masing-masing sebesar kurang dari 1 jam dan 3
jam. Bersihan isoniazid yang lebih cepat oleh asetilator cepat biasanya
tidak berdampak pada terapi jika dosis diberikan setiap hari, tetapi
kadarnya bisa saja tidak mencukupi untuk terapi jika obat diberikan
sekali seminggu atau jika terjadi malabsorpsi. Metabolit isoniazid dan
sejumlah kecil isonazid yang tidak mengalami perubahan diekskresi
terutama melalui urin. Dosisnya tidak perlu disesuaikian pada gagal
ginjal (Katzung, 2010).
d. Sediaan
Tablet 50, 100, 300, dan 400 mg
Sirup 10 mg/ml
(Syarif, 2009)
e. Dosis
Dosis isoniazid sebesar 5 mg/kg/hari. Dosis dewasa umumnya 300
mg yang diberikan sekali sehari. Pada keadaan infeksi berat atau
malabsorpsi, dosis tersebut dapat diberikan hingga 10 mg/kg/hari. Dosis
15 mg/kg/hari atau 900mg dapat digunakan pada regimen obat yang
diberikan dua kali seminggu dalam kombinasi dengan agen
antituberkulosis kedua (misalnya rifampisin 600 mg) (Katzung, 2010).
f. Efek samping
Demam, ruam pada kulit, hepatitis yang dapat disertai hilangnya
nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri, neuropati perifer, dan
berbagai reaksi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia
defisiensi piridoksin, tinnitus, dan keluhan saluran cerna (Katzung,
2010).
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Isoniazid sebagai suatu agen tunggal diindikasikan dalam terapi
tuberkulosis laten. Dosisnya sebesar 300 mg/hari (5 mg/kg/hari) atau
900 mg dua kali seminggu selama 9 bulan (Katzung, 2010).
Kontraindikasi
Kontraindikasi isoniazid pada pasien dengan hipersensitivitas
terhadap isoniazid itu sendiri. Isoniazid juga dikontraindikasikan pada
pasien dengan penyakit hepar akut atau dulunya pernah melakukan
pengobatan hepar (Becker, 2007).
h. Contoh penulisan resep
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Isoniazid mg 300 Tab. No. XXX
S 1.dd Tab I a.c Om. P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat :Purwokerto
3) Pirazinamid
a. Jenis
Aldinamide, Tebrazid (Lullmann, et al,2000).
b. Farmakodinamik
Pirazinamid bekerja secara bakterisid in vitro hanya pada pH asam.
Aktivitas pirazinaid pada pH asam sangat ideal karena Mycobacterium
tuberculosis bertempat di dalam fagosom yang bersifat asam pada
makrofag. Basil tuberkel di dalam monosit in vitro dihambat atau
dibunuh pada konsentrasi obat sebesar 12.5 mg/ml. Target pirazinamid
yaitu gen asam lemak sintase I dari mycobacterium, termasuk
biosintesis asam mikolat. Pirazinamid diubah menjadi asam pirazinoat
—bentuk aktif obat ini—oleh enzim mycobacterium pyrazinamidase
yang dikode oleh pncA. Resistensi bisa terjadi dengan cepat apabila
pirazinamid digunakan sebagai obat tunggal atau diberikan sendiri.
Resistensi terjadi karena mutasi pada pncA yang mengakibatkan
terganggunya perubahan pirazinamid menjadi bentuk aktifnya (Petri,
2006; Katzung, 2006).
c. Farmakokinetik
Pirazinamid mudah diabsorbsi di usus dan tersebar luas ke seluruh
tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 µg/mL pada
dua jam setelah pemberian obat. Distribusi pirazinamid secara luas ke
sistem saraf pusat, paru, dan liver melalui pemberian secara oral.
Penetrasi sangat baik ke dalam cairan serebrospinal. Pirazinamid
dihidrolisis menjadi asam pirazinoat, kemudian dihidrolisis lagi
menjadi asam 5- hidroksipirazinoat yang merupakan hasil metabolit
utama untuk diekskresi. Ekskresinya terutama melalui filtrasi
glomerulus. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam (FKUI,
2009; Petri, 2006).
d. Sediaan
Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg
(FKUI, 2009).
e. Dosis
Dosis oral yaitu 20-35 mg/kgBB/hari. Dosis maksimal 2-3 gram
sehari, tergantung pada berat badan. Dosis untuk anak yaitu 15-30
mg/kgBB/hari dan dosis per hari tidak boleh melebihi 2 gram.
Pirazinamid efektif dan aman untuk pemberian 2-3 kali dalam
seminggu (Petri, 2006; FKUI, 2009).
f. Efek samping
Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 gram per hari, maka
muncul gejala-gejala penyakit hati seperti ikterus dan nekrosis hati yang
menyebabkan kematian. Sebaiknya melakukan pemeriksaan fungsi hati
sebelum memberikan terapi dengan pirazinamid dan selalu memantau
transaminase secara berkala selama pengobatan berlangsung. Jika jelas
menimbulkan kelainan hati, pirazinamid harus dihentikan. Selain itu,
pirazinamid juga menghambat ekskresi asam urat sehingga
menyebabkan hiperuricemia, arthralgia, anoreksia, mual dan muntah,
dysuria, malaise, dan demam (FKUI, 2009).
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Pengobatan tahap awal (intensif) semua kategori OAT untuk TB
(FKUI, 2009).
Kontraindikasi
1) Pasien ikterus
2) Pasien dengan kelainan hati kronis
3) Pasien dengan gagal ginjal
4) Pasien dengan hiperuricemia (gout)
(FKUI, 2009)
h. Contoh penulisan resep
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Pirazinamid mg 500 Tab. No. LX
S 1.dd Tab II a.c Om.
P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat :Purwokerto
4. Ethambutol
a. Jenis
OAT lini pertama
b. Farmakodinamik
Ethambutol merupakan isomer turunan etilendiamina sederhana
yang memutar ke kanan, yang merupakan spektrum kerjanya hanya
terbatas pada mikobakteri saja. Hampir semua galur M. tuberculosis
dan M.kansasii sensitif terhadap ethambutol. Ethambutol tidak efektif
untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman
tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin.
Mekanisme kerjanya ethambutol akan menghambat arabinosyl
transferase (disandikan oleh operon embCAB) yang terlibat dalam
sintesis arabinogalactan, komponen dari dinding sel mikobakteri.
Perlawanan terjadi dengan cepat melalui mutasi pada gen emb jika obat
digunakan sendirian (Katzung, 2009).
c. Farmakokinetik
Obat ini diserap dengan baik secara oral dan didistribusikan ke
sebagian besar jaringan – jaringan termasuk Sistem Saraf Pusat (SSP).
Setelah pemberian oral sekitar 75 – 80% ethambutol diserap dari
saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2 – 4
jam setelah pemberian. Masa paruh eliminasinya 3 – 4 jam. Kadar
ethambutol dalam eritrosit 1 – 2 kali kadar dalam plasma. Dalam waktu
24 jam, 50% ethambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk
asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan
asam karboksilat. Ethambutol tidak dapat menembus sawar darah otak,
tetapi pada meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam
cairan otak (Katzung, 2009; Syarif, 2009).
d. Sediaan
Tablet 250 mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur
dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap (Syarif, 2009).
e. Dosis
Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula
yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama,
kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kgBB. Pengurangan dosis
diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal. (Katzung, 2009;
Syarif, 2009).
f. Efek samping
Efek samping yang biasa dialami oleh pasien adalah gangguan
penglihatan, biasanya bilateral yang merupakan neuritis retrobulbar
yaitu berupa turunnya ketajaman penglihatan, hilangnya kemampuan
membedakan warna, mengecilnya lapang pandangan, dan skotoma
sentral maupun lateral. Selain itu juga dapat terjadi ruam alergi, ikterus,
neuritis perifer, gangguan sistem saraf pusat (SSP), hiperurisemia,
untuk gangguan gastrointestinal jarang terjadi (Syarif, 2009; Evaria,
2011)
g. Indikasi dan Kontraindikasi
g.1. Indikasi
Untuk terapi TB paru yang resisten
g.2. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap ethambutol, neuritis optik, anak dibawah 13
tahun (Evaria, 2011).
h. Contoh penulisan resep
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Etambutol mg 250 Tab. No. LX
S 1.dd Tab III p.c om.
P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat :Purwokerto
5. Streptomisin
a. Jenis
OAT lini pertama.
b. Farmakodinamik
Streptomisin in-vitro bersifat bakteriosatik dan bakterisid
terhadap kuman TB. Kadar serendah 0,4 µg/mL dapat menghambat
pertumbuhan kuman. Sebagian besar M. tuberculosis strain human dan
bovin dihambat pada kadar 10 µg/mL. Adanya mikroorganisme yang
hidup dalam abses atau kelenjar limfe regional serta hilangnya
pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep
bahwa kerja streptomisin in vivo adalah supresi, bukan eradikasi. Obat
ini dapat mencapai kavitas, tetapi relative sukar berdifusi ke cairan Intra
sel (Istiantoro & Setiabudy, 2008).
c. Farmakokinetik
Setelah diserap dari tempat suntikan, hamper semua
streptomisin berada di dalam plasma. Hanya sedikit yang berada di
dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan
ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma,
terikat protein plasma. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi
glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis yang diberikan parenteral
diekskresi dalam bentuk utuh selama 24 jam pertama. Sebagian besar
jumlah ini diekskresi dalam waktu 12 jam. Masa paruh pada orang
dewasa sekitar 2-3 jam, dan dapat memanjang pada gagal ginjal
(Istiantoro & Setiabudy, 2008).
d. Sediaan
Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1
dan 5 gram.
e. Dosis
Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gram/hari
selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian dikurangi
menjadi 2-3 kali seminggu. Dosis harus dikurangi untuk orang lansia,
anak-anak, orang dewasa yang berbadan kecil, dan pasien dengan
gannguan fungsi ginjal (Istiantoro & Setiabudy, 2008).
f. Efek samping
Ototoksisitas dan nefrotoksisitas adalah hal yang harus
diwaspadai pada pemberian streptomisin dan aminoglikosida lain. Efek
toksik berhubungan dengan usia lanjut dan insufisiensi ginjal (Belknap,
2004). Pada 515 pasien dengan tuberkulosis yang diberi
aminoglikosida, 8,2% berefek merugikan, setengahnya mengenai fungsi
auditori dan vestibulum dari nervus kranialis kedelapan. Efek lainnya
adalah ruam dan demam (Petri, 2006).
g. Indikasi dan Kontraindikasi
g.1. Indikasi
TBC dan infeksi lain yang membutuhkan streptomisin.
g.2. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap aminoglikosida lain (Evaria, 2011).
h. Contoh penulisan resep
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Streptomisin inj gram 1 vial No. XXX
S. imm
P
R/ Aquades 5 ml No. XXX
S.imm
P
R/ Spuit 5 cc No. XXX
S.imm
P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat : Purwokerto
6. Penulisan resep obat anti tuberculosis kategori I
Pada pengobatan pasien TB, kategori penyakit digolongkan
menjadi tiga kategori berdasarkan kasus dari penderita TB dan
kebutuhan pengobatan dalam program. Kasus TB kategori I
merupakan suatu kasus baru TB dengan BTA (+) yang mana kasus
baru di sini bermakna bahwa pasien baru pertama kali mengalami TB
dan belum pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya atau sudah pernah
minum OAT tetapi < 1 bulan. TB kategori I ini merupakan kasus baru
pada pasien dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritif masif atau bilateral dan penderita
dengan sputum (-) tetapi kelainan parunya luas yang apabila pada
gambaran foto rontgen, terdapat infiltrat yang lebih dari spatium
intercostalis 2 (SIC 2) (Muttaqin, 2008).
Pada pasien yang termasuk kasus baru/kategori I, maka pengobatan
yang harus diberikan adalah OAT kategori I dengan aturan sebagai
berikut :
Tabel 2. Panduan OAT Kategori I (Muttaqin, 2008)
Penderita TB
Kategori I
Panduan Obat
Fase Awal (tiap hari
atau 3x seminggu)
Fase Lanjut
Kasus baru TB paru, dahak
(+)
2 RHZE (RHZS) 4HR
Kasus baru TB paru dahak (-)
dengan kerusakan parenkim
luas
2 RHZE (RHZS) 6HE
Kasus baru TB extra paru 2 RHZE (RHZS) 4 H3R3
Contoh penulisan resep:
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ OAT 4FDC Kategori I Fase intensif Tab. No. LXXXIV
S 1.dd Tab III. Pc. On. PPro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat : Purwokerto
Fase lanjutan diberikan ketika setelah pengobatan fase
awal/intensif selama 2 bulan, apabila sputum masih tetap (+). setelah
fase lanjutan masih tetap BTA (+), maka dapat dilakukan pengobatan
fase awal lagi dengan diperpanjang 2-4 minggu (Muttaqin, 2008).
Contoh penulisan resep:
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ OAT 2FDC Kategori I Fase lanjutan Tab. No. XXXVI
S seminggu tiga kali Tab III. Pc. On.
PPro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat : Purwokerto
7. Penulisan resep obat anti tuberculosis kategori II
Paduan OAT kategori ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
telah diobati sebelumnya:
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal
3) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
Setelah fase intensif, maka diberikan obat fase lanjutan.
Tabel 3. Panduan OAT kategori II (Kemenkes, 2009)
Contoh penulisan resep OAT kategori II fase intensif :
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ OAT FDC Kategori II Fase intensif Tab. No. LXXXIII
S 1.dd Tab III. Pc. On. PR/ Streptomisin inj gram 1 vial fl. No. XXX
S 1.dd 750 mg IM P
R/ Spuit 5 cc No. XXX
S. imm P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat : Purwokerto
Contoh penulisan resep OAT kategori II fase lanjutan :
Berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, resepnya:
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ OAT FDC Kategori II Fase lanjutan Tab. No. XXXVI
S 1.dd Tab III. Pc. On. P
R/ Etambutol mg 500 Tab No. LX
S 1.dd Tab II Pc.On P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat : Purwokerto
B. Obat Asma
1. Aminofilin
a. Jenis
Golongan bronkodilator yang merupakan derivat dari metilxantin.
b. Farmakodinamik
Teofilin, kafein dan teobromin memiliki efek farmakologi yang
sama yaitu dapat menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot
polos bronkus, merangsang sistem saraf pusat, otot jantung, dan
meningkatkan diuresis. Pada dosis rendah dan sedang, metilxantin
dapat menyebabkan sedikit cortical arousal dengan peningkatan
kewaspadaan dan rasa lelah, sedangkan pada dosis tinggi dapat
menyebabkan kegelisahan dan tremor terutama pada penggunaan
aminopilin pada penderita asma. Metilxantin juga dapat memiliki efek
kronotropik dan inotropik positif langsung pada jantung yang terjadi
karena peningkatan rilis katekolamin yang disebabkan oleh hambatan
reseptor adenosine prasinaps (Katzung, 2002).
Efek terapi dari metilxantin ini diduga tidak hanya terbatas pada
jalan napas, sebab mereka memperkuat kontraksi otot rangka terpisah
pada penelitian in vitro, dan mempunya efek kuat baik dalam
memperbaiki kontraktilitas maupun dalam memperbaiki kepenatan
diafragma pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis. Teofilin
mempunyai kemampuan untuk meningkatkan respon ventilasi pada
keadaan hipoksia dan mengurangi sesak, bahkan pada pasien dengan
obstruksi aliran udara yang ireversibel (Katzung, 2002).
c. Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian secara oral, rectal
atau parenteral. Sediaan dalam bentuk cair atau tablet tidak bersalut
akan diabsorbsi secara cepat dan lengkap. Asorbsi juga berlangsung
lengkap untuk beberapa jenis sediaan lepas lambat. Absorbs teofilin
dalam bentuk garam yang mudah larut, seperti teofilin Na gkisinat
atau teofilin kolin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin
bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar
puncak plasma dalam waktu 2 jam (FKUI, 2007).
Pada umumnya adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat kecepatan absorbs teofilin tetapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorbs. Metilxantin didistribusikan ke seluruh
tubuh, dapat melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Volume
distribusi nya antara 400 dan 600 ml/kg. eliminasi dari metilxantin
terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian besar akan
diekskresikan bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau
metilxantin (FKUI, 2007).
d. Sediaan
Teofilin berbentuk kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air.
Untuk penggunaan oral, tersedia :
Kapsul : 130 mg
Tablet : 150 mg
Tablet salut selaput lepas lambat : 125 mg, 250 mg, 300 mg
Sirup :50 mg/5ml, 130 mg/15ml, 150
mg/15 ml
Ampul :10ml, mengandung 24 mg
aminofilin setiap mililiternya.
(FKUI, 2007).
e. Dosis
Kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 µg/ml, sedangkan efek toksik
mulai terlihat pada kadar 15µg/ml dan lebih sering pada dosis diatas 20
µg/ml. Dosis aminofilin diberikan 6 mg/kgBB diberikan secara infus
selama 20-40 menit. Setelah itu untuk efek yang optimalkan
dipertahankan dengan pemberian infuse 0,5 mg/kgBB/jam untuk
dewasa normal dan bukan perokok. Untuk anak-anak dan orang
dewasa perokok memerlukan dosis 0,8-0,9 mg/kgBB/jam. Teofilin oral
bagi orang dewasa adalah 400 mg/hari (FKUI, 2007).
f. Efek samping
1) SSP : gugup, ansietas, sakit kepala, insomnia, kejang
2) Kardiovaskular : takikardia, palpitasi, aritmia, angina pektoris
3) GI : mual, muntah, anoreksia, kram (Deglin, 2005).
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Digunakan pada penyakit asma bronchial, PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik), apnea pada bayi prematur (FKUI, 2007).
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap obat ini (FKUI, 2007).
h. Contoh penulisan resep
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Aminofilin mg 100 tab No.XXX
S 1.dd Tab I. Pc. P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat : Purwokerto
2. Salbutamol
a. Jenis
Bronkodilator golongan Agonis β-2 kerja cepat (pedoman pengendalian
asma).
b. Farmakodinamik
Kerja obat : mengakibatkan akumulasi siklik adenosine menofosfat
(cAMP) pada reseptor adrenergic beta, menyebabkan bronkodilatasi,
relative selektif terhadap reseptor beta2 (paru) (Deglin, 2005).
c. Farmakokinetik
1) Absorpsi: Diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral, namun
dengan cepat akan mengalami metabolism ekstensif.
2) Distribusi: Tidak banyak diketahui. Sedikit terdapat didalam air susu
ibu (ASI).
3) Metabolisme dan Ekskresi: Dimetabolisme secara ekstensif oleh hati
dan jaringan lain.
4) Waktu paruh: 3,8 jam (Deglin, 2005).
d. Sediaan
Oral (Tablet, Sirup, Kapsul), Inhalasi aerosol, Inhalasi cair, Injeksi
(Theodorus, 2007).
e. Dosis
1) Oral
a) Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari
b) Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari
c) Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari
d) Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1
kali minum sebesar 8 mg
Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif
sebesar 2 mg
2) Inhalasi aerosol
a) Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200
mcg (2 hisapan) bila perlu.
b) Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari
3) Inhalasi cair
a) Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali
sehari atau 5 kali bila perlu.
b) Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih
diragukan.
4) Injeksi subkutan atau intramuscular
Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu
5) Injeksi intravena lambat
Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu (Theodorus, 2007).
f. Efek samping (Deglin, 2005).
1) System saraf pusat : gugup, gelisah, insomnia, tremor, sakit kepala.
2) Kardiovaskular : hipertensi, aritmia, angina
3) Endo : hiperglikemia
4) Gastrointestinal : mual, muntah.
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Asma, sesak nafas yang disebabkan bronchitis kronis, emfisema;
mencegah kelahiran prematur (Deglin, 2005).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas. Hati-hatu pada penderita dengan hipertensi, penyakit
arteri koroner, diabetes, gangguan aritmia, hipertiroid (Deglin 2005).
h. Contoh penulisan resep
Pemberian oral untuk anak usia 12 tahun:
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Salbutamol . 2 mg . tab . No XV
S. 3 d d . tab 1 . pc .
Pro : Budi
Usia : 12 tahun
Alamat : Purwokerto
3. Ipratropium bromide
a. Jenis
Antagonis reseptor muskarinik.
b. Farmakodinamik
Ipratropium bromida adalah antagonis kolinergik asetilkolin pada
reseptor kolinergik, yang memblok asetilkolin.
c. Farmakokinetik
1) Absorpsi : setelah oral inhalasi, hanya sedikit yang diabsorpsi dari
permukaan paru atau saluran cerna.
2) Distribusi : 0-9% terikat dengan albumin plasma dan a1-acid
glycoprotein secara in vitro.
3) Metabolisme: sebagian dimetabolisme melalui hidrolisis ester
4) Ekskresi: feses, ginjal 3.7-5.6% dalam bentuk tidak berubah
d. Sediaan
Inhaler 20 mcg/semprot. Inhalation Solution 250 mcg/ml.
e. Dosis
1) Inhaler 20-40 mcg, 3-4 kali sehari.
2) Anak s/d 6 th : 20 mcg 3 kali sehari; 6 -12 th : 20-40 mcg 3 kali
sehari
3) Inhalation solution: 250 - 500 mcg, 3-4 kali sehari.
4) Anak s/d 6 th : 125-250 mcg, dapat diulang tiap 4-6 jam, dosis
maksimum sehari 1 mg; 6-12 th : 250 mcg
(Evaria, 2011)
f. Efek samping
Mulut kering, mual, konstipasi, sakit kepala, takikardi, fibrilasi atrial.
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Terapi simptomatik bronkospasme yang reversibel, berhubungan
dengan obstruksi kronis saluran nafas.
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap obat ini.
(Evaria, 2011)
h. Contoh penulisan resep
Jika berat badan pasien 40 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Ipatoprium bromide mcg 40 tab No.XXX
S 3 dd Tab I. Pc. On. P
Pro : Budi
Usia : 12 tahun
Alamat : Purwokerto
4. Kromolin
a. Jenis
Kromolin atau natrium kromolin atau garam dinatrium dimasukkan
sebagai obat antihistamin atau sebagai stabilisator sel mast karena
menghambat degranulasi pelepasan histamin, TNF-α dan mediator
inflamasi lainnya, sehingga kromolin digolongkan sebagai obat anti-
inflamasi non-steroid dan merupakan obat pengendali (profilaksis)
(Deglin, et al., 2004; Zi-qing, et al., 2008).
b. Farmakodinamik
Kromolin bekerja menghambat degranulasi sel mast. Kromolin
tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin juga tidak
menghambat respons otot tersebut terhadap berbagai obat yang bersifat
spasmogenik. Terapi kromolin menghambat pelepasan histamin dan
autakoid lain termasuk leukotrin dari paru-paru manusia selama proses
alergi yang diperantarai IgE. Hambatan pelepasan leukotrin penting
bagi penderita asma bronchial karena leukotrin merupakan penyebab
bronkokonstriksi. Kromolin bekerja pada mast cell paru-paru, yaitu
sasaran primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin tidak
menghambat ikatan IgE dengan mast cell atau interaksi antara
kompleks sel IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan respons
sekresi akibat reaksi tersebut (FKUI, 2007; Schmitz, et al., 2008).
c. Farmakokinetik
1) Absorbsi : kromolin bersifat buruk setelah pemberian secara apapun,
kerjanya bersifat lokal. Sejumlah kecil dapat mencapai sirkulasi
sistemik setelah inhalasi, lebih sedikit lagi dari rute yang lain
(Deglin, et al., 2004).
2) Distribusi : karena hanya sejumlah kecil yang diabsorbsi, maka
distribusinya tidak diketahui. Tidak menembus membran biologik
dengan baik (Deglin, et al., 2004).
3) Metabolisme dan ekskresi : sejumlah kecil yang diabsorbsi
diekskresi dalam empedu dan urin tanpa mengalami perubahan
(Deglin, et al., 2004).
4) Waktu Paruh : 80 menit (Deglin, et al., 2004).
d. Sediaan
Kapsul inhaler (kapsul berisi bubuk halus) 20 mg diberikan melalui
turbo inhaler. Dapat pula berbentuk larutan kromolin 4% yang
mengandung 5,2 mg dengan menggunakan nebulizer. Tersedia pula
larutan kromolin 4% untuk tetes mata (FKUI, 2007).
e. Dosis
1) Dewasa: 200 mg 4 kali sehari.
2) Anak-anak 2-12 tahun : 100 mg 4 kali sehari.
3) Anak-anak sampai 2 tahun : 20 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis
terbagi, bisa ditingkatkan menjadi 30 mg/kg/hari.
4) Inhalasi (dewasa dan anak-anal > 5 tahun) : 20 mg kapsul inhaler
atau larutan nebulizer atau 2 spray sebagai aerosol 4 kali sehari.
Untuk mencegah bronkospasme, gunakan aerosol 2 spray 10-15
menit sebelum pajanan situasi pencetus.
5) Nasal (dewasa dan anak-anak > 6 tahun) : 1 spray untuk setiap
lubang hidung 3-4 kali sehari (sampai 6 kali sehari).
6) Oft (dewasa dan anak-anak > 4 tahun) : 1 tetes untuk setiap mata 4-6
kali sehari (Deglin, et al., 2004).
f. Efek samping
1) SSP : semua rute : sakit kepala, iritabilitas, sulit tidur.
2) Mata dan THT, pada nasal : iritasi hidung, bersin, kongesti hidung.
3) Oftal : rasa terbakar pada okuler, rasa tersengat dan rasa tidak enak.
4) Respirasi; inhalasi : iritasi tenggorok dan trakhea, batuk,
bronkospasme, wheezing.
5) Dermal : ruam, eritema, urtikaria.
6) Lain-lain : mialgia, reaksi alergik, mual, disuria, mulut kering
termasuk anafilaksis atau memburuknya kondisi yang sedang
diobati (Deglin, et al., 2004; FKUI, 2007; FK Unsri, 2008).
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Penggunaan utama kromolin untuk terapi profilaktik asma
bronkial. Efek protektif kromolin berakhir setelah beberapa jam.
Kromolin tidak bermanfaat untuk terapi asma bronkial akut atau pada
status asmatikus. Kromolin diindikasikan pula untuk rhinitis alergika,
konjungtivis, alergi makanan, colitis ulcerosa, proctitis ulcero-
haemorrhagica dan penyakit atopik mata. Selain itu juga efektif untuk
asma kronik ringan atau sedang (FKUI, 1987; Schmitz, et al., 2008;
Storms dan Kaliner, 2005).
Kontraindikasi
Kontraindikasi dari kromolin yaitu pada pasien dengan
hipersensitivitas dan serangan asma akut. Perlunya pengawasan dan
hati-hati apabila digunakan oleh wanita dalam status kehamilan dan
laktasi (keamanan penggunaan belum ditetapkan). Untuk anak-anak < 2
tahun lebih baik penggunaan oral untuk mengatasi mastositosis yang
parah. Tidak dapat mengurangi bahkan memperburuk bronkospasme
akut (secara inhalasi) (Deglin, et al., 2004). Serta dikontraindikasikan
pada pasien dengan infiltrat eosinofil pneumonik (Schmitz, et al.,
2008).
h. Contoh penulisan resep
5. Dexametason
a. Jenis
Kortikosteroid
b. Farmakodinamik
Obat ini tidak secara langsung berefek bronkodilator, tetapi sebagai
antiinflamasi. Obat ini bekerja dengan menghambat produksi sitokin
dan kemokin, sintesis eikosanoid, penigkatan basofil, eosinofil, lekosit
lain di paru serta menurunkan permeabilitas vaskuler (Suherman &
Ascobat, 2008).
c. Farmakokinetik
Kortisol dan sintetiknya di absorbs cukup baik. Untuk efek cepat
dapat diberikan secara IV. 90% kortisol terikat pada protein plasma.
Pada kadar rendah atau normal, kortikosteroid terikat pada globulin
(Suherman & Ascobat, 2008).
d. Sediaan
Deksametason terdapat dalam bentuk tablet, inhalasi, dan injeksi.
e. Dosis
Pada status asmatikus atau asma kronis yang berat, glukokortikoid
dosis besar harus segera diberi; metal prednisolon-Na-suksinat 60-100
mg setiap 6 jam secara IV. Bila gejala mereda , dapat diikuti pemberian
prednisone oral 40-60 mg perhari. Eksaserbasi akut asma dapat
diberikan prednisone 30 mg, 2 kali sehari selama 5 hari (Suherman &
Ascobat, 2008).
f. Efek samping
Inhalasi glukokortikoid sering menimbulkan kandidiasis orofaring
tanpa gejala, pencegahan dengan berkumur setelah pemakaian
(Suherman & Ascobat, 2008).
g. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Asma akut dan asma kronik.
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap obat ini.
h. Contoh penulisan resep
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka
resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas
SIP. G1A010097
Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto
Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012
R/ Deksametason mg 50 tab No.VII
S 1 dd tab I p.c o.n
P
Pro : Budi
Usia : 45 tahun
Alamat : Purwokerto
KESIMPULAN
1. Obat anti tuberkulosis terdiri dari obat kategori I dan II disesuaikan dengan
status penyakit dan riwayat pengobatan pasien. Pemberian obat sesuai dengan
rumus:
a. Kategori I : 2HRZE/4(HR)3
b. Kategori II : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3
2. Obat asma terdiri dari obat pengontrol dan pelega yang masing-masing berbeda
dalam waktu penggunaannya. Obat pengontrol digunakan untuk obat rutin
sedangkan pelega untuk obat saat serangan. Contoh obat pengontrol adalah dari
golongan antileukotrien (zafirlukast), kortikosteroid sistemik
(metilprednisolon, prednison), dan agonis β-2 kerja lama (prokaterol,
formoterol, salmeterol). Sedangkan obat pelega antara lain golongan agonis β-2
kerja cepat (salbutamol, terbutalin), antikolinergik (ipratropium bromide,
fenoterol), metilsantin (teofilin, aminofilin), dan kortikosteroid sistemik
(metilprednisolon, prednison).
3. Bentuk sediaan obat bervariasi, dapat berupa tablet, kapsul, sirup, injeksi, dan
inhaler.
4. Baik obat anti tuberkulosis maupun asma keduanya selain mempunyai manfaat
dalam pengobatan juga mempunyai efek samping yang juga harus
diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Becker, C., J.B. Dressman, G.L. Amidon., et al. 2007. Biowaiver Monographs for
Immediate Release Solid Oral Dosage Forms : Isoniazid. American :
Willey Interscienc
Belknap, Steven M. 2004. Aminoglikcoside Antibiotics. Modern Pharmacology
With Clinical Application Sixth Edition.
Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2004. Pedoman Obat untuk
Perawat Edisi 4. Jakarta : EGC.
Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2005. Pedoman Obat untuk
Perawat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal :43
Evaria. 2011. MIMS Indonesia: Petunjuk Konsultasi Edisi 11. Jakarta: PT
Medidata Indonesia.
FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 253-258
FK Unsri. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta : EGC.
Istiantoro, Yati H, Setiabudy, Rianto. 2008. Tuberkulostatik dan Leprostatik.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba
Medika. hal : 590-593
Katzung, Bertram G. 2006. Basic and Clinical Pharmacology 10th Edition. San
Fransisco : McGraw Hill.
Katzung, Bertram G. 2009. Pharmacology Examination and Board Review 9th
edition. San Fransisco: McGraw-Hill.
Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC.
Kemenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(TB).
Lullmann, Heinz., Albrecht Ziegler, Klaus Mohr, et al. 2000. Color Atlas of
Pharmacology 2nd edition. Stuttgart : Thieme. 346 hal.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika. hal : 81.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. PPOK. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : PDPI.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
Petri, William A. 2006. Chemotherapy Of Tuberculosis, Mycobacterium Avium
Complex Disease, And Leprosy In : Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis Of Therapeutics - 11th Ed. San Fransisco :
McGraw Hill.
Schmitz, Gery; Hans Lepper, Michael Heidrich. 2008. Farmakologi dan
Toksikologi. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Schmitz, Gery; Hans Lepper, Michael Heidrich. 2009. Farmakologi dan
Toksikologi. Jakarta: EGC.
Storms, William, Michael A. Kaliner. 2005. Cromolyn Sodium : Fitting an Old
Friend into Current Asthma Treatment. Journal of Asthma, vol. 42 : 79-
89.
Suherman, Suharti K., Ascobat, Purwantyastuti. 2008. Adrenokotikotropin,
Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya. Farmakologi
dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Syarif, Amir. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Theodorus. 2007. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta: EGC
Zi-qing, Hei, Gan Xiao-liang. 2008. Influence of Ketotifen, Cromolyn Sodium,
and Compound 48/80 on the survival rates after intestinal ischemia
reperfusion injury in rats. BMC Gastroenterology, vol 8 : 1186-471.