LAPORAN
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENERAPAN
DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI
TIM PENELITI
Ketua : I Made Budi Arsika, SH, LLM (NIDN.0010068102)
Anggota : Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH, MKn, LLM (NIDN.0016058202)
Sagung Putri M.E. Purwani, SH, MH (NIDN.0013037106)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
Kode/Bidang Ilmu: 596/Ilmu Hukum
ii
HALAMAN PENGESAHAN
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
Judul Penelitian : Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam
Penerapan Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing Di
Bali
Bidang Ilmu : Ilmu Hukum
Ketua Peneliti : a. Nama lengkap dengan gelar : I Made Budi Arsika, ,SH.,LLM
b. NIP/NIDN : 19810610 200501 1 003/0010068102 c. Pangkat/Gol : Penata /IIIc
d. Jabatan Fungsional/Stuktural : Lektor/- e. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV)
f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum
g. Fakultas : Hukum h. Alamat Rumah / HP : Jl.Tukad Pancoran I/18 Denpasar /081936281062
i. E-mail : [email protected] Jumlah Tim Peneliti : 3 (tiga) orang
Pembimbing : a. Nama lengkap dengan gelar : I Ketut Sudiarta,SH.,MH
b. NIP/NIDN : 19621505 1988 03 1 004 c. Pangkat/Gol : Pembina / IV/a
d. Jabatan Fungsional/Stuktural : Lektor Kepala / Pembantu Dekan I e. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV)
f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum g. Fakultas : Hukum
Lokasi Penelitian : Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali
Kerjasama (jika ada) a. Nama Instansi : - b. Alamat : -
Jangka waktu penelitian :
Biaya Penelitian : Rp. 9.000.000,- (Sembilan Juta Rupiah )
Denpasar, 30 Oktober 2015
Mengetahui,
Ketua Bagian, Ketua Peneliti
Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH.,MH I Made Budi Arsika,SH.,LLM
NIP. 19730220 200312 1 001 NIP: 1981 20050610 01 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Prof.Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH.
NIP: 19530401 198003 1 004
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
RINGKASAN ............................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 7
1.2 Rumusan Masalah,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 8
2.1 Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing di Indonesia ................... 8
2.2 Deportasi dan Hak Asasi Manusia ..................................................... 10
BAB III MANFAAT DAN TUJUAN PENELITIAN ............................................ 14
3.1 Tujuan Penelitian ............................................................................... 14
3.2 Manfaat Penelitian ............................................................................. 14
3.3 Urgensi Penelitian ............................................................................. 15
BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................................... 16
4.1 Jenis Penelitian................................................................................... 16
4.2 Jenis Pendekatan ................................................................................ 16
4.3 Sumber Bahan Hukum ....................................................................... 17
4.4 Lokasi Penelitian ................................................................................ 17
4.5 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................. 18
4.6 Tehnik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ............................... 18
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 19
5.1 Pengaturan Hukum Keimigrasian Mengenai Tindakan Deportasi
Terhadap Tenaga Kerja Asing di Indonesia Dalam Kaitannya
Dengan Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi
Manusia ................................................................................................ 19
5.1.1 Izin bagi Warga Asing untuk dapat Bekerja di Indonesia ...... 19
5.1.2 Sanksi Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing sebagai
Tindakan Keimigrasian ........................................................... 21
5.1.3 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga
Kerja Asing .............................................................................. 21
5.1.4 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga
Kerja Asing .............................................................................. 22
5.1.5 Tinjauan mengenai Penghormatan, Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Asasi Manusia ............................................... 24
5.2 Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan Untuk Menjamin Tindakan
Deportasi yang Dilakukan oleh Pejabat Kemigrasian Tidak
Melanggar Hak Asasi Manusia Tenaga Kerja Asing di Bali ............... 26
5.2.1 Aspek Substansi ....................................................................... 26
iv
5.2.2 Aspek Prosedural ..................................................................... 27
5.2.3 Aspek Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Asasi Manusia .......................................................................... 28
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 31
6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 31
6.2 Saran .................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33
v
RINGKASAN
Sejumlah tindakan deportasi yang dikenakan kepada para Warga Negara Asing
(WNA) yang menyalahgunakan Visa Kunjungan sebagai dalih untuk bekerja di Bali
merupakan latar belakang utama dari penelitian ini. Dari informasi yang dapat
ditelusuri, peneliti mengasumsikan belum petugas keimigrasian belum terlalu
memperhatikan aspek terpenuhinya standar pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan
hak-hak asasi manusia (HAM) dalam tindakan deportasi yang dilakukan.
Ada dua hal yang menjadi tujuan penelitian ini. Pertama, penelitian ini
bermaksud untuk menganalisis pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM
dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga
kerja asing di Indonesia. Kedua, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis aspek-
aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang
dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar HAM yang dimiliki oleh tenaga
kerja asing tersebut dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja
asing di Bali. Secara praktis, hasil penelitian ini nantinya akan sangat berguna bagi para
pengambil kebijakan keimigrasian berkaitan dengan penyempurnaan dalam prosedur
operasi standar (standard operational procedure/SOP) tindakan deportasi yang memuat
aspek-aspek HAM.
Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian hukum normatif yang akan
meneliti bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan isu dan pengaturan hukum
mengenai deportasi dan tenaga kerja asing. Dalam desain ini, akan dilakukan penelitian
kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
bahan hukum tersier. Sebagai suatu tinjauan Hukum HAM, penelitian hukum normatif
ini juga akan dipadukan dan diperkaya dengan metode penelitian HAM. Dalam
penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara normatif, pengaturan hukum
keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia telah
memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Selanjutnya, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan proses
deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali, ada sejumlah aspek yang perlu
diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat
kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki oleh tenaga kerja
asing tersebut, yaitu aspek substansi, aspek prosedural, dan aspek penghormatan,
perlindungan,dan pemenuhan HAM.
Kata Kunci: Deportasi, Tenaga Kerja Asing, Hukum Hak Asasi Manusia
1
JUDUL PENELITIAN :
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENERAPAN DEPORTASI
BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses deportasi sejumlah warga negara asing (WNA) yang menyalahgunakan visa
kunjungan ke Bali untuk bekerja ternyata menjadi sorotan berbagai pihak. Menuruk pada data
yang dilansir oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Provinsi Bali, I Gusti Kompiang Adyana pada tanggal 26 Januari 2015 lalu, diungkapkan
bahwa pihaknya telah mendeportasi 408 WNA yang datang ke Bali selama kurun waktu
tahun 2014, sedangkan untuk awal tahun 2015 telah terdapat 11 orang WNA yang sedang
dalam proses deportasi.1
Menariknya, tenaga kerja asing tersebut tidak sepenuhnya bekerja di Bali Selatan
sebagai wilayah yang selama ini diasumsikan sebagai konsentrasi industri pariwisata yang
menyerap banyak tenaga kerja baik domestik maupun asing. Faktanya, Sebagaimana
dinyatakan oleh Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Singaraja Aditya, sebanyak 282 WNA yang
sebagian besar berasal dari Tiongkok jusru dideportasi Kantor Imigrasi Kelas II Singaraja
selama tahun 2014.2 Dijelaskan pula bahwa selama kurun tahun 2014 terdapat 675 orang
Tenaga Kerja Asing di Buleleng yang mana sejumlah 225 orang di antaranya merupakan
pekerja asing baru.
Tenaga kerja asing yang bekerja dengan memiliki ijin di Bali sesungguhnya cukup
banyak. Pada tanggal 21 Januari 2015 lalu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Bali I Gusti Agung Sudarsana, menyebutkan ada 1800 orang tenaga kerja asing yang
bekerja di Bali.3 Keberadaan Tenaga Kerja Asing tersebut sesungguhnya berkontribusi bagi
Bali melalui retribusi perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) kepada
Pemerintah Provinsi Bali sebesar US $ 100 per orang per bulan, sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali dan Peraturan Gubernur Bali.4
1 Surat Kabar Pos Bali, Artikel “408 WNA Dideportasi dari Bali”, 27 Januari 2015,
http://posbali.com/408-wna-dideportasi-dari-bali/ 2 Beritabali.com, Artikel “282 WNA Dideportasi Imigrasi Singaraja Selama 2014”, 18 Desember 2014
http://beritabali.com/index.php/page/berita/bll/detail/2014/12/18/282-WNA-Dideportasi-Imigrasi-Singaraja-
Selama-2014/201412180001 3 Sinar Harapan, Artikel “Ada 1800 Tenaga Kerja Asing di Bali”, 21 Januari 2015,
http://sinarharapan.co/news/read/150121031/ada-1800-tenaga-kerja-asing-di-bali 4 Pasal 25D Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu dan Pasal 6 Peraturan
2
Perihal tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia sesungguhnya telah memiliki
pengaturan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kemudian, keberadaan tenaga kerja asing resmi yang bekerja di Bali juga relatif tidak
menimbulkan masalah. Problematika justru hadir sehubungan dengan maraknya tenaga kerja
asing yang dianggap terlalu leluasa menjalankan usahanya dan merebut pekerjaan-pekerjaan
yang sebenarnya bisa ditangani oleh pekerja lokal, yang ternyata telah lama dikeluhkan oleh
berbagai kalangan. Dalam suatu diskusi di Bali Tourism Board, pengurus Majelis Utama
Desa Pakraman (MUDP) Bali Gde Nurjaya mengungkapkan modus yang dilakukan banyak
orang asing yang masuk ke desa-desa dan menikahi orang lokal lalu membuka usaha atas
nama istrinya.5 Demikian pula halnya Ketut Rasna dari Gabungan Pengusaha Wisata Bahari
(GAHAWISRI) Bali yang menemukan perusahaan jasa selam yang seluruh pekerjanya orang
asing dari level manager sampai guide. Isu penegakan hukum terhadap para tenaga kerja
asing ilegal juga dikemukakan oleh Ketut Rasna yang menyatakan bahwa para pekerja asing
itu tidak mempedulikan razia oleh para pengusaha, namun mereka tunduk apabila berhadapan
dengan pihak Imigrasi karena takut dideportasi.6 Mengenai hal ini, Kepala Seksi Informasi
dan Komunikasi Kantor Imigrasi Kelas I Denpasar, Saroha Manullang menegaskan bahwa
pihaknya sudah sering melakukan sosialisasi dan penertiban, hanya saja masalahnya orang
asing di Bali sangat banyak sementara jumlah petugas masih kurang.7
Isu tenaga kerja asing ternyata telah menjadi perhatian pemerintah dalam kaitkannya
dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Mengantisipasi isu ini,
Kantor Imigrasi di seluruh wilayah Provinsi Bali tahun ini akan lebih menekankan penegakan
hukum dalam pengawasan terhadap warga negara asing dalam kerangka MEA 2015 yang
diprediksi akan meningkatkan jumlah para pekerja yang memiliki keahlian khusus memasuki
negara-negara di kawasan Asia Tenggara, selain pergerakan pasar bebas untuk barang dan
jasa lainnya.8
Gubernur Bali Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5
Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi
Perizinan Tertentu 5Tempo.Co, Artikel “Bali Dibanjiri Pekerja Asing Ilegal”, 25 Maret 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/058565217/Bali-Dibanjiri-Pekerja-Asing-Ilegal . 6 Tempo.Co, Artikel Selasa, “Pekerja Asing Ilegal di Bali Dikeluhkan”, 25 Maret 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/090565312/Pekerja-Asing-Ilegal-di-Bali-Dikeluhkan 7Tempo.Co, Artikel “Bali Dibanjiri Pekerja Asing Ilegal”, 25 Maret 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/058565217/Bali-Dibanjiri-Pekerja-Asing-Ilegal . 8 Imigrasi Tekankan Penegakan Hukum WNA Terkait MEA
http://www.imigrasi.go.id/index.php/berita/berita-utama/654-imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-
wna-terkait-mea dan http://posbali.com/imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-terkait-mea/
3
Dalam kaitannya dengan tindakan deportasi bagi tenaga asing tersebut, perlu kiranya
diketahui mengenai makna dari deportasi itu sendiri. Deportasi merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Inggris, yaitu deportation, yang memiliki sejumlah padanan kata yaitu
expulsion dan exile. Istilah ini seringkali didengar oleh masyarakat karena pemberitaan media
berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap para WNA yang melanggar ijin tinggal.
Istilah deportasi juga kerap diasosiasikan sebagai tindakan pengusiran terhadap orang asing
dari wilayah Indonesia. Dalam konteks hukum nasional, pengaturan mengenai deportasi
dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Keimigrasian) yang mendefinisikan deportasi
sebagai tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia.9 Selanjutnya,
Pasal 75 Undang-Undang Keimigrasian Deportasi juga menentukan bahwa deportasi
merupakan salah satu bentuk Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing
yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga
membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati
peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan oleh Pejabat Imigrasi berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya.
Deportasi sebagai tindakan administratif keimigrasian juga memiliki dimensi
penegakan hukum pidana. Hal ini dikenal dengan istilah „tindak pidana keimigrasian
sebagaimana dikualifikasikan berdasarkan Pasal 109 Undang-Undang Keimigrasian10
yang
merupakan tindak pidana khusus‟, sehingga hukum formal dan hukum materiilnya berbeda
dengan hukum pidana umum, yang juga dilengkapi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Keimigrasian yang menjalankan tugas dan wewenang secara khusus pula.11
Salah satu kasus yang menarik untuk dicermati adalah pendeportasian terhadap empat
orang WNA yaitu Nicholas William Thomas (Inggris), Nancy May (Inggris), Steven Thomas
(Inggris), dan Marina Naloni (Amerika Serikat) sebagaimana diberitakan oleh Surat Kabar
Pos Bali, 19 November 2014 lalu.12
Terungkap bahwa mereka menyalahgunakan Visa on
Arrival untuk bekerja di salah satu salon di jalan Oberoi Seminyak. Dalam konferensi pers
9 Pasal 1angka 36 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
10 Disebutkan bahwa “Terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal
127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133 huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 dapat
dikenai penahanan.” 11
Lihat Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Bagian Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian 12
Uraian kasus dalam paragraf ini disarikan dari Surat Kabar Pos Bali, Artikel “Gunakan VoA untuk
Kerja, Empat WNA Dideportasi”, 19 November 2014, http://posbali.com/gunakan-voa-untuk-kerja-empat-wna-
dideportasi/
4
terkait kasus ini, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi
Kelas I Khusus Ngurah Rai, Mohamad Soleh yang didampingi oleh Kepala Seksi
Pengawasan Keimigrasian, Tri Hernanda Reza dan Kepala Seksi Sarana Komunikasi
Keimigrasian, Danny Ariana menjelaskan bahwa alat bukti berupa video, foto dan pengakuan
keempat WNA tersebut menunjukkan bahwa mereka telah bekerja di salon tersebut sejak
awal bulan November 2014. Menariknya, berita ini melansir bahwa Kepala Bidang
Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai justru
menyebutkan bahwa keempat WNA tersebut harus menerima sanksi yang tertuang dalam
Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, di mana
sanksinya berupa deportasi plus penangkalan (atau di-black list) untuk masuk kembali ke
Indonesia selama enam bulan ke depan terhitung setelah dideportasi.
Tampak ada sedikit kejanggalan apabila kita mencermati berita tersebut. Isi dari Pasal
122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sesungguhnya
memuat ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi setiap orang asing yang dengan sengaja
menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya. Namun berdasarkan pemberitaan tersebut,
sanksi yang diberikan bukanlah pidana penjara ataupun pidana denda, namun bentuknya
justru berupa deportasi dan penangkalan yang merupakan bentuk tindakan administratif.13
Bahkan ada pula kasus aktual pelaksanaan deportasi yang dianggap terlalu cepat
dilakukan oleh pihak imigrasi di Kalimantan Timur. Kapolres Balikpapan AKBP Andi Aziz
Nizar pada bulan November 2014 lalu sangat menyayangkan situasi ini karena deportasi
dilakukan padahal pihak kepolisian belum cukup banyak mengorek keterangan dan
mengumpulkan bukti-bukti terhadap dugaan pidana yang dilakukan WNA yang dideportasi.14
Isu deportasi sesungguhnya tidak hanya menjadi urusan aparat keimigrasian di daerah
Bali saja, sebab kebijakan strategis mengenai deportasi juga merupakan ranah pemerintah
pusat, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Direktorat
Jenderal Keimigrasian. Faktanya, berbagai kalangan telah mendesak Menteri Hukum dan
13
Lihat Pasal 234 dan 236 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 14
Balikpapan Pos, Artikel “WNA Mengarah Kejahatan Dunia Maya: Kapolres Sayangkan Imigrasi
Cepat Melakukan Deportasi”, 4 November 2014 http://www.balikpapanpos.co.id/berita/detail/139882-wna-
mengarah-kejahatan-dunia-maya.html ,
5
Hak Asasi Manusia (Menkumham) agar mendeportasi WNA bermasalah.15
Secara normatif,
Menkumham telah menyampaikan komitmennya untuk melakukan deportasi terhadap WNA
pelanggar aturan.16
Fenomena di atas sesungguhnya mengandung sejumlah isu hukum. Pertama, terdapat
isu penyalahgunaan visa kunjungan yang digunakan oleh WNA untuk bekerja di Bali yang
melahirkan apa yang kerap disebut sebagai tenaga kerja asing ilegal. Kedua, dalam situasi
yang tidak terkendali dan teratur, eksistensi tenaga asing berpotensi mengancam hak tenaga
kerja lokal dalam hal kesempatan kerja. Ketiga, pemerintah menerapkan deportasi sebagai
upaya penegakan hukum terhadap WNA yang menjadi tenaga kerja asing di Bali yang
melanggar peraturan perundang-undangan.
Menjadi suatu diskursus yang menarik pula untuk mengaitkan isu deportasi ini dengan
teori kewenangan aparat keimigrasian dalam menerapkan teori kedaulatan teritorial Negara
untuk memaksakan hukum nasionalnya berlaku bagi orang asing. Dalam adagium Romawi
hal ini disebut dengan qui in territorio meo est, etiam meus subditus est, yang dalam konteks
ini dapat dimaknai sebagai individu yang mendiami suatu wilayah tertentu haruslah tunduk
dan patuh pada kekuasaan hukum dai Negara yang memiliki wilayah tersebut.17
Ada sejumlah bidang hukum yang selama ini dilekatkan dalam isu ini. Hukum
Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) tentu menjadi bidang hukum yang paling relevan
berkaitan dengan hak dan kewajiban tenaga kerja, termasuk tenaga kerja asing. Hukum
Keimigrasian juga menjadi aspek penting dalam menentukan keabsahan tindakan aparat
keimigrasian dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dalam hal pelanggaran
imigrasi oleh orang asing di Indonesia. Sayangnya, hukum hak asasi manusia nampaknya
belum terlalu mengeksplorasi isu ini.
Dalam konteks HAM, tindakan deportasi yang semena-mena sesungguhnya dapat
dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan politik yang dimiliki setiap
individu. Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dalam konteks Hak atas Rasa Aman, Pasal 34
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa
15
Okezone.com, Artikel, Menkumham Didesak Deportasi WNA Bermasalah, 11 September 2014
http://news.okezone.com/read/2014/09/11/339/1037694/menkumham-didesak-deportasi-wna-
bermasalah 16
Tribunnews, Artikel “Menkumham : Kami Akan Deportasi WNA Pelanggar Aturan”, 24 Juni 2014,
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/24/menkumham-kami-akan-deportasi-wna-pelanggar-
aturan 17
Saru Arifin, 2014, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h.33-34.
6
“Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang
secara sewenang-wenang”.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai instrumen
hukum HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia juga memberikan pembatasan
tindakan deportasi untuk dapat diterapkan oleh Indonesia. Pasal 13 ICCPR juga
menggariskan bahwa orang asing yang berada secara sah di Indonesia dapat diusir dari
Indonesia hanya menurut keputusan yang dikeluarkan berdasarkan hukum dan, kecuali ada
alasan-alasan kuat sehubungan dengan keamanan nasional, ia harus diberi kesempatan
mengajukan keberatan terhadap pengusiran dirinya, dan meminta agar kasusnya ditinjau
kembali dan diwakili untuk keperluan ini, oleh pihak yang berwenang atau orang-orang yang
secara khusus ditunjuk oleh pihak yang berwenang.
Lebih jauh, Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) memberikan
klarifikasi makna Pasal 13 ICCPR dalam kaitannya dengan penerapan deportasi bagi orang
asing yang statusnya masih di „area abu-abu‟, sebagai berikut “if the legality of an alien’s
entry or stay is in dispute, any decision on this point leading to his expulsion or deportation
ought to be taken in accordance with article 13”.18
Dapat diartikan bahwa terhadap situasi
dalam hal legalitas orang asing untuk tinggal masih belum jelas, maka deportasi terhadapnya
harus memperhatikan Pasal 13 ICCPR.
Peneliti telah mencoba menelusuri karya karya ilmiah yang membahas deportasi.
Namun tinjauan karya ilmiah tersebut cenderung berfokus pada aspek administrasi.19
Ulasan
yang membahas tenaga kerja asing di Indonesia juga relatif sedikit, karena kebanyakan
membahas hak-hak para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Demikian pula halnya dengan
sedikitnya pembahasan mengenai segi Hak Asasi Manusia dalam deportasi yang selama ini
cenderung dikaitkan dengan ekstradisi.20
Mengingat dalam pergaulan antar bangsa, isu deportasi orang asing dapat menjadi
masalah diplomatik, sesungguhnya penerapan tindakan deportasi yang dilandasi prinsip
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM mereka amat diharapkan Terlebih fakta
18
General comment of the Human Rights Committee No. 15: The position of aliens under the
Covenant, Twenty-seventh session
http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=INT%2fCCPR%2fGEC%2f6
625&Lang=en 19
Sebagai contoh, lihat Sunit Budhi Cahyono, Tinjauan Terhadap Deportasi Warga Negara Asing
Karena Pelanggaran Batas Ijin Tinggal Dan Akibat Hukum Oleh Kantor Imigrasi Surakarta (Studi Kasus
Pendeportasian Mohamed Tarek Mohamed Mohamed El Atreiry), abstrak skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=10920 20
Sebagai contoh, lihat Smith, Rhona K, 2010, Textbook on International Human Rights, Oxford
University Press Inc., New York, Bagian 15.2.2.2 Extradition, Expulsion, and Deportation, h. 249-250
7
bahwa Bali telah menjadi salah satu primadona bagi tenaga kerja asing untuk mencari
penghidupan, maka stereotip kurang baik mengenai tindakan administratif yang melanggar
HAM orang asing akan menjadi sangat kontraproduktif bagi citra Indonesia dan Bali pada
khususnya.
Dari uraian di atas, dapat tergambar betapa pentingnya memberikan analisis hukum
yang bersifat teoritik maupun bersifat praktis kepada para pemangku kepentingan di bidang
keimigrasian, ketenagakerjaan, dan Hak Asasi Manusia maupun kepada para akademisi. Hal
inilah yang sesungguhnya menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melaksanakan dan
menyusun penelitian dengan judul “TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA
DALAM PENERAPAN DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI”
1.2. Rumusan Masalah
Ada dua masalah hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu;
a. Apakah pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga
kerja asing di Indonesia telah memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia?
b. Dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali, aspek-
aspek apakah yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang
dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia yang dimiliki
oleh tenaga kerja asing tersebut?
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Telah menjadi pendapat umum bahwa negara mempunyai kewajiban mengutamakan
tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di negeri sendiri untuk dapat memakmurkan negaranya
dan dalam perekrutan tenaga kerja pada dasarnya mengutamakan tenaga kerja Indonesia dari
pada tenaga kerja asing.21
Isu ini sesungguhnya membuka ruang bagi perdebatan mengenai
diskriminasi dalam ketenagakerjaan (discrimination in employment) yang telah cukup lama
tidak terselesaikan.22
Dalam Pasal 1 angka (13) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing didefinisikan sebagai warga negara asing pemegang visa
dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Lebih jauh, penggunaan tenaga kerja asing
diatur secara khusus dalam Bab VIII undang-undang tersebut. Sebagai prinsip umum, dapat
dikutip Pasal 42 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya
habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing
lainnya.
Ketentuan lain di dalam Bab ini mengatur mengenai rencana penggunaan tenaga kerja
asing oleh pemberi kerja,23
ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku
bagi tenaga kerja asing,24
kewajiban pemberi kerja tenaga kerja asing,25
pembatasan jabatan-
jabatan terntu bagi tenaga kerja asing,26
pembayaran kompensasi,27
kewajiban pemulangan ke
21
Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, h.50-51. 22
Hal ini dapat dilihat dalam Chapter 8 mengenai “Discrimination in Employment” dalam buku
Duncan, Nigel, 2008, (The City Law School, City University London) “Employment Law in Practice, 8th
Edition, Oxford University Press, New York, h. 191-227 23
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 24
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 25
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 26
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 27
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
9
negara asal,28
serta ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping.29
Mengingat peluang kerja bagi orang asing di Bali ada pada sektor pariwisata, ada
baiknya untuk mengutip ketentuan mengenai Tenaga Kerja Ahli Warga Negara Asing dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam Pasal 56 ayat (1)
disebutkan bahwa “Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga kerja ahli warga
negara asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ayat (2) semakin
memperjelas bahwa tenaga kerja ahli warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari organisasi asosiasi pekerja profesional
kepariwisataan.
Pemerintah juga telah menetapkan pembatasan mengenai jabatan-jabatan yang hanya
boleh diisi oleh tenaga kerja asing. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Jabatan-Jabatan Tertentu
Yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing disebutkan beberapa larangan tersebut, yaitu:
Nama Jabatan
No Indonesia Kode Inggris
1. Direktur Personalia 1210 Personnel Director
2. Manajer Hubungan Industrial 1232 Industrial Relation Manager
3. Manajer Personalia 1232 Human Resource Manager
4. Supervisor Pengembangan
Personalia
1232 Personnel Development Supervisor
5. Supervisor Perekrutan Personalia 1232 Personnel Recruitment Supervisor
6. Supervisor Penempatan Personalia 1232 Personnel Placement Supervisor
7. Supervisor Pembinaan Karir
Pegawai
1232 Employee Career Development Supervisor
8. Penata Usaha Personalia 4190 Personnel Declare Administrator
9. Kepala Eksekutif Kantor 1210 Chief Executive Officer
10. Ahli Pengembangan Personalia dan
Karir
2412 Personnel and Careers Specialist
11. Spesialis Personalia 2412 Personnel Specialist
12. Penasehat Karir 2412 Career Advisor
13. Penasehat tenaga Kerja 2412 Job Advisor
14. Pembimbing dan Konseling Jabatan 2412 Job Advisor and Counseling
15. Perantara Tenaga Kerja 2412 Employee Mediator
16. Pengadministrasi Pelatihan
Pegawai
4190 Job Training Administrator
17. Pewawancara Pegawai 2412 Job Interviewer
18. Analis Jabatan 2412 Job Analyst
28
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 29
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
10
Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa tidak semua jenis pekerjaan dapat
dilakukan oleh tenaga kerja asing di Indonesia.
2.2. Deportasi dan Hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights/UDHR) secara umum dianggap sebagai sumber penting dalam Hukum HAM
Internasional karena memuat prinsip-prinsip fundamental HAM yang bersifat universal30
dan
menjadi dasar bagi perlindungan dan pemajuan HAM di seluruh dunia dan didukung semua
negara termasuk Indonesia31
serta telah menjadi kewajiban moral untuk diterapkan oleh
seluruh negara anggota PBB.32
Mengenai deportasi, Pasal 9 UDHR menyebutkan “No one
shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile”. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak
seorangpun dapat dipaksa pergi dari suatu tempat tertentu secara sewenang-wenang.
Ketentuan ini sesungguhnya dapat dikaitkan dengan Pasal 13 UDHR yang menyatakan
bahwa setiap orang bebas untuk bergerak/pergi menuju dan tinggal di dalam batas-batas
wilayah setiap negara33
serta memiliki hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk
negaranya, dan kembali ke negaranya.34
Secara argumentum a contrario, ketentuan ini dapat
diartikan sebagai adanya hak yang dimiliki setiap orang untuk tidak kembali ke negaranya
atas alasan apapun, termasuk karena paksaan.
Selain UDHR, ada sejumlah perjanjian internasional utama di bidang HAM (core
human rights treaties) yang juga berkaitan dengan isu deportasi. Apabila UDHR memiliki
karakter soft law, berbeda halnya dengan sejumlah perjanjian internasional berikut yang
memiliki kekuatan hukum mengikat bagi negara yang meratifikasinya.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), sesungguhnya
menegaskan substansi yang terdapat di Pasal 13 UDHR dengan menyatakan bahwa setiap
orang yang secara sah berada di dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk
bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya di wilayah tersebut.35
Ketentuan
yang spesifik mendekati isu deportasi dapat dilihat dalam Pasal 13 ICCPR yang berbunyi
sebagai berikut:
30
Lihat Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peran, dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, 2011, h. 679-68. 31
Yahya Ahmad Zein, 2012, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), Liberti, Yogyakarta, h. 16. 32
Max Boli Sabon, 2014, Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan untuk Perguruan Tinggi, Universitas
atma Jaya, Jakarta, h. 17 33
Pasal 13 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 34
Pasal 13 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights 35
Pasal 12 (1) International Covenant on Civil and Political Rights
11
“An alien lawfully in the territory of a State Party to the present Covenant may be
expelled therefrom only in pursuance of a decision reached in accordance with law and
shall, except where compelling reasons of national security otherwise require, be
allowed to submit the reasons against his expulsion and to have his case reviewed by,
and be represented for the purpose before, the competent authority or a person or
persons especially designated by the competent authority”
(terjemahan: Orang asing yang berada secara sah di wilayah Negara Pihak pada
Kovenan ini dapat diusir dari Negara tersebut hanya menurut keputusan yang
dikeluarkan berdasarkan hukum dan, kecuali ada alasan-alasan kuat sehubungan
dengan keamanan nasional, ia harus diberi kesempatan mengajukan keberatan
terhadap pengusiran dirinya, dan meminta agar kasusnya ditinjau kembali dan
diwakili untuk keperluan ini, oleh pihak yang berwenang atau orang-orang yang secara
khusus ditunjuk oleh pihak yang berwenang)
Terlihat di dalam ketentuan di atas bahwasanya orang asing yang tinggal di suatu
negara secara sah tidak dapat diusir (dideportasi) tanpa adanya keputusan yang dikeluarkan
berdasarkan hukum. Dengan demikian, legalitas daripada suatu tindakan deportasi akan
ditentukan oleh suatu prosedur berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kepentingan politik
yang berpotensi sewenang-wenang. Penting juga untuk mengutip kesimpulan kritis yang
diambil Sarah Joseph Jenny Schultz, and Mellissa Castan dalam mengomentari Pasal 13
ICCPR tersebut yang menyatakan sebagai berikut, “Article 13 does not provide aliens with a
guarantee against expulsion. Indeed, its procedural nature may mean that is not even a
comprehensive guarantee against arbitrary expulsion”.36
Kesimpulan ini tentu mereduksi
pandangan bahwa Pasal 13 ICCPR merupakan dasar hukum yang kuat untuk menjustifikasi
adanya pelanggaran HAM dalam tindakan deportasi.
Selanjutnya, ada dua konvensi hak asasi manusia internasional yang menentukan
pembatasan tindakan deportasi dengan alasan bahwa tindakan tersebut justru kemungkinan
membahayakan hidup pihak yang dideportasi. Hal ini dapat dilihat dalam Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang
secara tegas melarang suatu negara pihak untuk mengusir seseorang dari wilayah negaranya
karena ada situasi yang meyakinkan bahwa orang tersebut akan disiksa di negara lain37
serta
di dalam International Convention for the Protection of All Persons from Enforced
Disappearance (CPED) yang juga secara tegas melarang suatu negara pihak untuk mengusir
seseorang dari wilayah negaranya karena ada situasi yang meyakinkan bahwa orang tersebut
36
Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Mellissa Castan, 2004, The International Covenant on Civil and
Political Rights: Cases, Materials, and Commentary, Second Edition, Oxford University Press Inc., New York,
h. 387 37
Pasal 3 ayat (1) Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment
12
akan menghadapi situasi bahaya atau dapat dihilangkan secara paksa di negara lain.38
Dalam
hukum internasional, penghilangan paksa (enforced disappearance) dianggap sebagai suatu
pelanggaran terhadap martabat manusia,39
yang mana martabat manusia merupakan prinsip
fundamental dalam HAM.40
Terdapat pula pengaturan deportasi dalam kaitannya dengan HAM yang dimiliki
seorang anak. Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 9 (4) Convention on the Rights of the Child
(CRC) yang secara explisit menyebut deportasi sebagai berikut:
“Where such separation results from any action initiated by a State Party, such as the
detention, imprisonment, exile, deportation or death (including death arising from any
cause while the person is in the custody of the State) of one or both parents or of the
child, that State Party shall, upon request, provide the parents, the child or, if
appropriate, another member of the family with the essential information concerning
the whereabouts of the absent member(s) of the family unless the provision of the
information would be detrimental to the well-being of the child. States Parties shall
further ensure that the submission of such a request shall of itself entail no adverse
consequences for the person(s) concerned.”
Pengaturan hak asasi manusia internasional yang paling rinci mengenai deportasi dapat
ditemukan dalam Pasal 22 International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW) yang menentukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran kebijakan
pengusiran secara massal. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan
sendiri-sendiri.
2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya hanya dapat diusir dari wilayah suatu
Negara Pihak atas suatu keputusan yang diambil oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan hukum.
3. Keputusan tersebut wajib dikomunikasikan kepada mereka dalam bahasa yang mereka
pahami. Atas permintaan mereka, kecuali merupakan kewajiban, keputusan itu wajib
disampaikan secara tertulis dan, kecuali dalam keadaan terkait keamanan nasional,
beserta alasan-alasannya. Orang-orang yang bersangkutan wajib diberi tahu mengenai
hak-hak ini sebelum atau selambat-lambatnya pada saat keputusan itu diambil.
38
Pasal 16 ayat (1) International Convention for the Protection of All Persons from Enforced
Disappearance 39
Smith, Rhona. K, 2010, Text and Materials on International Human Rights, Second Edition,
Routledge, New York, h. 488. 40
Bantekas, Ilias and Lutz Oette, 2013, International Human Rights Law and Practice, Cambridge
University Press, New York, h.74.
13
4. Kecuali, apabila suatu keputusan akhir telah ditetapkan oleh pengadilan yang berwenang,
orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk menyampaikan alasan-alasan
mengapa mereka tidak boleh diusir dan untuk meminta kasusnya ditinjau kembali oleh
pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan sebaliknya, dengan alasan keamanan
nasional. Selama menunggu peninjauan kembali, orang-orang yang bersangkutan harus
memiliki hak untuk meminta penundaan keputusan pengusiran tersebut.
5. Apabila keputusan pengusiran yang telah ditetapkan kemudian dibatalkan, orang yang
bersangkutan harus memiliki hak untuk menuntut ganti rugi menurut hukum, dan
keputusan yang pertama tidak boleh dipergunakan untuk mencegahnya memasuki
kembali negara yang bersangkutan.
6. Dalam hal pengusiran, orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak atas
kesempatan yang cukup sebelum atau sesudah keberangkatannya, untuk menyelesaikan
pembayaran gaji atau hak lain yang harus diberikan dan juga utang-utangnya.
7. Tanpa mengurangi pelaksanaan keputusan pengusiran, seorang pekerja migran atau
anggota keluarganya yang menjadi sasaran keputusan tersebut dapat memohon untuk
memasuki suatu negara yang bukan negara asalnya.
8. Dalam hal pengusiran seorang pekerja migran atau anggota keluargannya, biaya
pengusiran tidak boleh dibebankan kepadanya. Orang yang bersangkutan dapat diminta
untuk membayar biaya perjalanannya sendiri.
9. Pengusiran dari negara tempat bekerja tidak boleh mengurangi hak apa pun yang telah
diperoleh pekerja migran atau anggota keluarganya sesuai dengan hukum negara
tersebut, termasuk hak untuk menerima gaji dan hak lain yang harus diterimanya.
Pengaturan mengenai deportasi dapat juga ditemui dalam sejumlah instrumen hak asasi
manusia regional. Di kawasan Eropa Article 1 Protocol 7 European Convention on Human
Rights merupakan instrumen yang menegaskan bahwa bahwa orang asing yang secara sah
tinggal di suatu negara tidak dapat diusir kecuali berdasarkan suatu keputusan berdasarkan
hukum. Mengenai penggunaan kata „expulsion‟, Explanatory Report dari ketentuan ini
menyebutkan bahwa istilah ini harus diartikan sebagai konsep otonom yang berbeda dari
definisi yang dikenal di lingkup domestik.41
Di kawasan Asia Tenggara, Pasal 15 ASEAN
Human Rights Declaration tidak mengatur secara spesifik mengenai deportasi, tetapi hanya
menyebut bahwa setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan tinggal di dalam batas-batas
suatu negara (Every person has the right to freedom of movement and residence within the
borders of each State).
41
Flinterman, Cees (rev) dalam Dijk, Pieter van, Fried van Hoof, Arjen van Rijn and Leo Zwaak (Eds),
2006,, Theory and Practice of the ECHR, Intersentia, Antwerpen-Oxford, h. 966
14
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi keberlakuan Hukum Hak
Asasi Manusia dalam fenomena-fenomena hukum yang berkembang di Indonesia, khususnya
di Bali. Secara khusus, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut, yaitu;
a. Untuk menganalisis pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia
dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga
kerja asing di Indonesia
b. Untuk menganalisis aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa
tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi
manusia yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut dalam kaitannya dengan proses
deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali.
3.2 Manfaat Penelitian
Ada sejumlah manfaat yang kiranya dapat dipetik bagi sejumlah kalangan dari
penelitian ini :
a. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan suatu rujukan akademik di
bidang hukum hak asasi manusia, mengingat saat ini penelitian di bidang ini masih
sedikit dilakukan di Indonesia.
b. Bagi praktisi hukum, penelitian ini dapat memberikan deskripsi dan analisis ilmiah
mengenai praktik ideal penerapan deportasi bagi WNA, khususnya Tenaga Kerja Asing.
c. Bagi para pengambil kebijakan, penelitian ini bermanfaat bagi perumusan kebijakan
nasional berkaitan dengan penyempurnaan dalam prosedur operasi standar (standard
operational procedure/SOP) tindakan deportasi yang memuat aspek-aspek HAM.
d. Bagi lembaga pendidikan, khususnya Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH
UNUD), penelitian ini dapat menjadi tindak lanjut dan pengembangan terhadap materi-
materi yang disajikan dan dibahas di dalam perkuliahan, seperti misalnya Hukum Hak
Asasi Manusia, Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan, Hukum Ketenagakerjaan,
dan Hukum Internasional.
15
3.3 Urgensi Penelitian
Penelitian ini amat penting untuk dilakukan mengingat adanya tren peningkatan kasus
penyalahgunaan visa kunjungan yang melibatkan warga negara asing di Indonesia sekaligus
tren peningkatan jumlah tenaga kerja asing yang mencari sumber penghidupan di Bali.
Sebagai destinasi pariwisata, Bali merupakan tempat potensial bagi warga negara asing untuk
bekerja sebagai tenaga kerja asing. Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) juga
menjadikan penelitian ini urgen untuk dilakukan dalam rangka memberikan analisis hukum
mengenai proporsionalitas bagi tindakan administratif keimigrasian yang dapat dikenakan
terhadap tenaga kerja asing yang nantinya bekerja di Indonesia, khususnya di Bali, dalam
framework dan arrangement MEA.
Penelitian ini juga relevan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi terhadap tenaga
kerja asing di Indonesia, khususnya Bali, sesuai dengan instrumen HAM nasional dan
internasional terkait yang telah diratifikasi, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvensi
Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Members of Their Families)
16
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian hukum normatif yang akan meneliti
bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan isu dan pengaturan hukum mengenai deportasi
dan tenaga kerja asing. Dalam desain ini, akan dilakukan penelitian kepustakaan, baik
terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Sebagai
suatu tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia, penelitian hukum normatif ini juga akan
dipadukan dan diperkaya dengan metode penelitian Hak Asasi Manusia yang telah mulai
digunakan dalam berbagai penelitian HAM saat ini.42
4.2. Jenis Pendekatan
Penelitian hukum normatif dikenal beberapa metode pendekatan, yakni pendekatan
peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach),
pendekatan analisis /konsep (analytical or conceptual approach), pendekatan filsafat
(philosophical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan
pendekatan kasus (case approach).43
Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan
adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis /konsep, dan
pendekatan fakta.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah
instrumen-instrumen hukum nasional dan internasional yang mengatur tentang isu deportasi
dan tenaga kerja asing. Pendekatan analisis/konsep (analytical or conceptual approach)
selanjutnya akan digunakan dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai aspek-aspek
hak asasi manusia dalam penerapan deportasi terhadap tenaga kerja asing. Terakhir,
pendekatan fakta dimaksudkan untuk menganalisis fakta-fakta mengenai penerapan tindakan
deportasi bagi tenaga kerja asing di Indonesia, khususnya di Bali.
42
Sebagai salah satu rujukan referensi adalah Buku yang berjudul Methods of Human Rights Research
yang merupakan kompilasi metode penelitian HAM oleh Fons Coomans, Fred Grunfeld, dan Menno T
Kamminga (Eds), Methods of Human Rights Research, Maastricht Centre for Human Rights, Intersentia,
Antwerp, 2009. 43
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
93 - 95
17
4.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum, secara umum dipahami bahwa sumber bahan hukum
dibedakan antara bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Ketiga jenis bahan hukum tersebut akan dipergunakan dalam penelitian ini.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah instrumen hukum nasional,
di antaranya Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian serta peraturan perundang-
undangan lainnya. Sejumlah instrumen internasional juga akan digunakan sebagai bahan
hukum primer, di antaranya Universal Declaration on Human Rights, International Covenant
on Civil and Political Rights, International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of Their Families.
Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau bahan-
bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel,
jurnal, hasil penelitian, makalah dan bahan bacaan lainnya yang terkait dengan deportasi,
tenaga kerja asing, hukum dan hak orang asing, keimigrasian, Hak Asasi Manusia, dan
bacaan lain yang menunjang penelitian ini.
Sebagai pelengkap dari bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum tersier juga
akan digunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum tersebut dapat berupa kamus umum,
kamus hukum dan dokumen-dokumen lainnya, serta bahan penunjang di luar bidang hukum,
di antaranya bahan dari ilmu politik yang dapat mendukung dan memperjelas bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. 44
Dalam penelitian ini, selain sumber hukum yang diperoleh dari sumber hukum primer,
sekunder, dan tersier, akan ditunjang pula dengan hasil wawancara kepada aparat
Keimigrasian di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali.
4.4. Lokasi Penelitian
Selain penelitian kepustakaan yang nampaknya akan lebih banyak dilakukan, lokasi
penelitian yang direncanakan pada penelitian ini adalah Kantor Imigrasi yang berada di
bawah lingkup Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali.
44
Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h.41
18
4.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum berupa telaah
pustaka dengan menggunakan sistem kartu (card system) yaitu meneliti berbagai literatur
yang ada kaitanya dengan materi yang akan dibahas dalam penelitian ini dan untuk
selanjutnya dicatat dalam kartu lepas dengan mencantumkan nama pengarang, judul buku,
nama penerbit, alamat/kota tempat penerbit, tahun, serta nomor halaman yang dikutip.45
Langkah awal pengumpulan data yang akan dilakukan adalah kegiatan inventarisasi,
kemudian dilakukan pengoleksian dan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem
informasi yang komprehensif sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali
bahan-bahan yang diperlukan. Dalam rangka memperkaya informasi serta melakukan
konfirmasi mengenai substansi-substansi penelitian ini, akan dilakukan wawancara dengan
aparat keimigrasian di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi
Bali.
4.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada hakekatnya
merupakan kegiatan untuk melakukan sistemisasi terhadap bahan-bahan hukum. Dalam hal
ini bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah
menganalisa bahan-bahan tersebut. Setelah itu dilakukan interpretasi hukum yang berkaitan
dengan kata-kata dari peraturan hukum yang dapat memberikan penafsiran yang berbeda-
beda serta ketidakpastian hukum.46
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap bahan hukum
yang diolah untuk dapat melakukan penelitian terhadap bahan-bahan yang diperoleh,
sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai ada atau tidaknya pengormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai
tindakan deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia serta mengenai aspek-aspek yang
perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat
kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut
dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali.
45
Lihat Setyo Yowono Sudikni, 1983, Pengantar Karya Ilmiah, Cet.III, Aneka Ilmu, Jakarta, h. 37
46
LB. Curzon, 1979, Yurisprudence, M&E Handbooks, Mac Donald and Evans, Ltd., Estover,
Plymouth PL6 7PZ, h. 253 – 255.
19
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengaturan Hukum Keimigrasian Mengenai Tindakan Deportasi Terhadap Tenaga
Kerja Asing di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Pengormatan, Perlindungan,
dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia
Ada sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian yang mengatur
mengenai isu deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia. Dalam legislasi Indonesia,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang Keimigrasian) merupakan instrumen hukum nasional yang di antaranya
mengatur isu tenaga kerja asing, keimigrasian, dan deportasi. Dalam penjabarannya lebih
lanjut, telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian.
Sistematika Pembahasan sub bab 5.1 ini akan dimulai dengan analisis mengenai
dimungkinkannya warga asing untuk mendapat izin sebagai tenaga kerja asing di Indonesia.
Selanjutnya akan dibahas pula kualifikasi sanksi deportasi bagi tenaga kerja asing sebagai
tindakan keimigrasian dan aspek pidana berkaitan dengan deportasi terhadap tenaga kerja
asing. Terakhir, akan dilakukan semacam tinjauan komprehensif mengenai pengormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
5.1.1. Izin bagi Warga Asing untuk dapat Bekerja di Indonesia
Dalam Pasal 39 huruf a Undang-undang Keimigrasian digariskan bahwa Visa tinggal
terbatas diberikan kepada Orang Asing yang berprofesi sebagai pekerja. Penjelasan atas
ketentuan tersebut mejabarkan lebih lanjut bahwa Visa tinggal terbatas dalam penerapannya
dapat diberikan untuk melakukan kegiatan dalam rangka bekerja, yaitu:
a. sebagai tenaga ahli;
b. bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di
wilayah perairan Nusantara, laut territorial, atau landas kontinen, serta Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;
c. melaksanakan tugas sebagai rohaniwan;
d. melakukan kegiatan yang berkaitan dengan profesi dengan menerima bayaran, seperti
olahraga, artis, hiburan, pengobatan, konsultan, pengacara, perdagangan, dan kegiatan
profesi lain yang telah memperoleh izin dari instansi berwenang;
e. melakukan kegiatan dalam rangka pembuatan film yang bersifat komersial dan telah
mendapat izin dari instansi yang berwenang;
20
f. melakukan pengawasan kualitas barang atau produksi (quality control);
g. melakukan inspeksi atau audit pada cabang perusahaan di Indonesia;
h. melayani purnajual;
i. memasang dan reparasi mesin;
j. melakukan pekerjaan nonpermanen dalam rangka konstruksi;
k. mengadakan pertunjukan;
l. mengadakan kegiatan olahraga profesional;
m. melakukan kegiatan pengobatan; dan
n. calon tenaga kerja asing yang akan bekerja dalam rangka uji coba keahlian.
Ketentuan di atas secara ekspilisit mengatur bahwa secara administratif, orang asing
dapat bekerja di Indonesia dengan memegang Visa tinggal terbatas. Lebih jauh, mereka juga
dapat bekerja di Indonesia dengan memegang izin tinggal tetap, sebagaimana diatur di dalam
Pasal 54 ayat (1) huruf a Undang-undang Keimigrasian.
Dengan demikian, warga negara asing yang bekerja di Indonesia dalam waktu yang
relatif lama tentu tidak cukup memiliki Visa tinggal terbatas saja, karena substansi visa
adalah keterangan tertulis yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan
perjalanan ke Wilayah Indonesia.47
Adapun izin tinggal sebagai suatu izin yang diberikan
kepada Orang Asing untuk berada di Wilayah Indonesia,48
khususnya izin tinggal tetap, tentu
lebih memiliki status hukum yang lebih kuat karena mereka diberikan izin bertempat tinggal
dan menetap di Wilayah Indonesia dalam status sebagai penduduk Indonesia.49
Hak untuk bekerja bagi warga negara asing tersebut vis a vis juga menimbulkan
sejumlah kewajiban. Dalam kaitannya dengan konteks ketenagakerjaan, salah satu kewajiban
tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 71 yang menentukan bahwa setiap Orang Asing yang
berada di Wilayah Indonesia wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai
identitas dirinya serta melaporkan setiap perubahan status pekerjaan dan Penjamin kepada
Kantor Imigrasi setempat.50
Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk memperlihatkan dan
menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh
Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.51
47
Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 48
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 49
Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 50
Pasal 71 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 51
Pasal 71 Huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
21
5.1.2 Sanksi Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing sebagai Tindakan Keimigrasian
Bab VII Undang-undang Keimigrasian mengatur tentang Tindakan Administratif
Keimigrasian. Ditentukan bahwa orang asing yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut
diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak
menaati peraturan perundang-undangan dapat dikenakan tindakan administratif keimigrasian
oleh Pejabat imigrasi yang berwenang.52
Ada sejumlah tindakan Administratif Keimigrasian
sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 75 ayat (2), yaitu:
a. pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;
b. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;
c. larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
d. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
e. pengenaan biaya beban; dan/atau
f. Deportasi dari Wilayah Indonesia.
Apabila Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Keimigrasian mendefinisikan deportasi
sebagai tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia, maka ketentuan
Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Keimigrasian memperjelas kualifikasi bahwa deportasi
merupakan salah satu bentuk tindakan administratif keimigrasian.
Menariknya, tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi dapat juga dilakukan
terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia karena berusaha menghindarkan diri
dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya.53
Secara teoritik, hal ini tentu
menjadi diskursus mengenai upaya ekstradisi yang dapat juga diterapkan dalam situasi
serupa.
Berkaitan dengan batas waktu ijin tinggal dan pembayaran biaya beban, deportasi dapat
dikenakan bagi Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang tidak membayar biaya beban
karena telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia kurang
dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu Izin Tinggal. Selain itu, deportasi juga dapat
dikenakan bagi Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya
dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu
Izin Tinggal bagi. Namun demikian, pengenaan tindakan deportasi dalam situasi ini bersifat
opsional, karena hal serupa dapat pula dikenakan tindakan administratif lain, yaitu
penangkalan.54
52
Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 53
Pasal 75 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 54
Lihat Pasal 78 dan Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
22
Pengenaan sanksi deportasi ternyata memiliki konsekuensi hukum bagi izin tinggal
yang dimiliki oleh pemegang izin tersebut yang ternyata dideportasi. Undang-undang
Keimigrasian menentukan bahwa tindakan deportasi secara otomatis mengakhiri izin tinggal
kunjungan,55
izin tinggal terbatas,56
dan izin tinggal tetap.57
Bagi Tenaga Kerja asing yang
dideportasi tetapi ternyata tidak mempunyai Dokumen Perjalanan yang sah dan masih
berlaku atau perwakilan negaranya di Wilayah Indonesia, maka dapat diberikan Surat
Perjalanan Laksana Paspor.58
Konsekuensi hukum ternyata tidak hanya berlaku terhadap orang asing saja, tetapi juga
bagi para penjamin. Berdasarkan Pasal 63 ayat (3) huruf b Undang-undang Keimigrasian
disebutkan bahwa Penjamin berkewajiban untuk membayar biaya yang timbul untuk
memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia
apabila Orang Asing yang bersangkutan dikenai Tindakan Deportasi.
5.1.3 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga Kerja Asing
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya di bagian latar belakang laporan ini,
deportasi sebagai tindakan administratif keimigrasian juga memiliki dimensi penegakan
hukum pidana yang dikualifikasikan sebagai „tindak pidana keimigrasian‟ berdasarkan Pasal
109 Undang-Undang Keimigrasian.59
Tindak pidana keimigrasian juga digolongkan sebagai
„tindak pidana khusus‟ yang mana memiliki hukum formal dan hukum materiil tersendiri,
berbeda dengan hukum pidana umum. Bahkan aparat penegakan hukum keimigrasian juga
juga dilengkapi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian yang
menjalankan tugas dan wewenang secara khusus sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1
angka 8 dan Penjelasan Bagian Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Bab XI Undang-Undang Keimigrasian mengatur mengenai Ketentuan Pidana yang
dimuat di dalam undang-undang ini. Menariknya, ada substansi ketentuan pidana yang dalam
penegakannya nampaknya justru berpotensi dikenakan tindakan administratif deportasi. Hal
ini dapat dilihat di dalam Pasal 116 yang mengatur bahwa setiap Orang Asing yang tidak
55
Pasal 51 huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 56
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 57
Pasal 62 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 58
Pasal 58 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 59
Disebutkan bahwa “Terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal
127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133 huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 dapat
dikenai penahanan.”
23
melakukan kewajibannya untuk memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai
identitas diri serta melaporkan setiap pekerjaan dan Penjamin maupun tidak melakukan
kewajibannya untuk memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin
Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka
pengawasan Keimigrasian,60
dapat dikenakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama
3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah).
Ketentuan lain dapat dilihat dalam Pasal 122 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ketentuan ini memuat ancaman pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) bagi setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan
kepadanya ataupun bagi setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada
Orang Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud
atau tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.
Sepanjang penelusuran penulis, berkaitan dengan sanksi deportasi bagi orang asing,
termasuk tenaga kerja asing, ternyata terjadi ketidakjelasan antara pemidanaan dan tindakan
administratif. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa tindakan administratif lebih diutamakan
karena alasan efisiensi61
ataupun karena minimnya keinginan untuk mengadili kasus
keimigrasian menjadi suatu mekanisme pro justitia.62
Hal ini dapat dilihat dari kasus pendeportasian terhadap empat orang WNA yaitu
Nicholas William Thomas (Inggris), Nancy May (Inggris), Steven Thomas (Inggris), dan
Marina Naloni (Amerika Serikat), sebagaimana sebelumnya diuraikan di bagian latar
belakang laporan ini. Keempat WNA ini diduga menyalahgunakan Visa on Arrival untuk
bekerja di salah satu salon di jalan Oberoi Seminyak sejak awal bulan November 2014
dengan alat bukti berupa video, foto dan pengakuan yang menunjukkan bahwa mereka telah
bekerja di salon tersebut sejak awal bulan November 2014. Namun dalam konferensi pers
terkait kasus ini, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi
Kelas I Khusus Ngurah Rai justru menyebutkan bahwa keempat WNA tersebut harus
60
Lihat Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 61
Lihat Lalu Hartadi, Pelaksanaan Pengawasan Wisatawan Asing yang Menggunakan Visa Kunjungan
Saat Kedatangan (Visa On Arrival): Studi di Wilayah Kerja Kantor Imigrasi Mataram), Jurnal, Program Studi
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2015, h. 14 62
Bahkan keengganan ini juga terjadi di negara lain, yang mana Hakim enggan untuk mengintervensi
isi deportasi. Lihat Helen Fenwick and gavin Phillipson, Text, Cases, and Materials on Public Law and Human
Rights, Routledge-Cavendish, Oxon, 2006, h.844.
24
menerima sanksi yang tertuang dalam Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian, di mana sanksinya berupa deportasi plus penangkalan (atau di-
black list) untuk masuk kembali ke Indonesia selama enam bulan ke depan terhitung setelah
dideportasi. Hal ini tentu mengindikasikan seolah pengenaan tindakan administratif atau
proses pidana menjadi pilihan yang membuka ruang interpretasi dan diskresi bagi aparat
keimigrasian dalam kasus-kasus yang ditanganinya.
5.1.4. Tinjauan mengenai Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi
Manusia
Penyusunan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian ternyata
dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek HAM. Pada Konsideran menimbang huruf b
Undang-undang tersebut mengakui diperlukannya peraturan perundang-undangan yang
menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan
hak asasi manusia. Selanjutnya, pada bagian Umum Penjelasan atas undang-undang tersebut
dinyatakan sebagai berikut:
“… bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat
kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan, mendorong adanya kewajiban
untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian
kehidupan universal … Berdasarkan kebijakan selektif (selective policy) yang
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, diatur masuknya Orang Asing ke dalam
Wilayah Indonesia, demikian pula bagi Orang Asing yang memperoleh Izin Tinggal
di Wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya berada di Indonesia.
Berdasarkan kebijakan dimaksud serta dalam rangka melindungi kepentingan
nasional, hanya Orang Asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan
keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di Wilayah
Indonesia”
Penghormatan terhadap nilai HAM dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian (Selanjutnya disebut sebagai Peraturan
Pemerintah tentang Keimigrasian). Pada dasarnya, terdapat penegasan bahwa Pejabat
Imigrasi berwenang menempatkan orang asing (tenaga kerja asing) dalam Ruang Detensi
Imigrasi maupun Rumah Detensi Imigrasi dalam hal Orang Asing menunggu pelaksanaan
Deportasi.63
Selanjutnya, dalam Pasal 214 Peraturan Pemerintah tentang Keimigrasian
disebutkan bahwa Pendetensian terhadap Orang Asing dilakukan sampai Deteni di Deportasi
63
Pasal 208 (1) huruf d dan Pasal 209 huruf d Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Keimigrasian
25
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. Terhadap orang asing ini, Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk dapat memberikan izin berada di luar Rumah Detensi Imigrasi
kepada Deteni.64
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah tersebut ternyata memuat penerapan terhadap nilai
HAM, yang menyatakan sebagai berikut”
“Terhadap Orang Asing yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan,
dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian, menunggu pelaksanaan Deportasi, atau
ditolak masuk ke Wilayah Indonesia, Pejabat Imigrasi berwenang untuk
menempatkannya di Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi dan
berkewajiban untuk pemulangan atau pendeportasian :terhadap Orang Asing Deteni
dimaksud. Dalam rangka penerapan nilai hak asasi manusia khusus terhadap deteni
yang hingga dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun belum juga dapat
dipulangkan atau dideportasi, kepada Deteni tersebut dapat diberikan izin berada di
luar Rumah Detensi Imigrasi berdasarkan persetujuan Menteri, dengan tetap
mewajibkannya melapor secara periodik/berkesinambungan kepada Pejabat Imigrasi.”
Selain itu, dalam konteks otoritas, keimigrasian merupakan bidang yang dipimpin oleh
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia65
yang secara lebih teknis diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Imigrasi sebagai unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia di bidang Keimigrasian.66
Realitas struktural ini tentu mengasumsikan bahwa isu
keimigrasian tidak terlepas dari hak asasi manusia.
Pemahaman HAM yang dimiliki oleh aparat keimigrasian dalam menerapkan prosedur
dan mekanisme deportasi tentu sangat diharapkan. Sebagaimana telah menjadi rambu etika
institusi, petugas imigrasi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia dituntut memiliki etika dalam penyelenggaraan pemerintahan
untuk menghormati, memajukan, memenuhi, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang di dalam
Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.HH-07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.67
Secara khusus, Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-02.KP.05.02
Tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi juga menentukan bahwa etika pegawai
64
Pasal 220 ayat (1) Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 65
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 66
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 67
Pasal 5 huruf I Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-
07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia
26
imigrasi dalam bernegara meliputi pula perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia
setiap orang dengan tetap menjunjung tinggi kedaulatan negara.68
5.2 Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan Untuk Menjamin Tindakan Deportasi yang
Dilakukan oleh Pejabat Kemigrasian Tidak Melanggar Hak Asasi Manusia Tenaga
Kerja Asing di Bali
Dalam melakukan tindakan Deportasi terhadap Tenaga Kerja Asing di Bali, ada
sejumlah aspek yang perlu diperhatikan agar tindakan yang Dilakukan oleh Pejabat
Kemigrasian Tidak Melanggar Hak Asasi Manusia yang dimiliki TKA tersebut.
5.2.1 Aspek Substansi
Ada sejumlah hal substansi yang perlu diklarifikasi sebelum mengenakan tindakan
administratif deportasi kepada TKA. Dalam istilah lain, proses ini dapat disebut sebagai due
dilligent obligation.
Berkaitan dengan unsur pelanggaran yang dijadikan dasar bagi pengenaan sanksi,
misalnya seorang TKA dapat dideportasikan karena bekerja di luar profesi atau jabatan atau
jenis pekerjaan yang diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan Indonesia. Di Bali misalnya, cukup sering terdengar rumor yang
menyebutkan bahwa orang lokal hanya bekerja sebagai pekerja biasa, sementara „bos‟nya
adalah orang asing. Terhadap hal ini, petugas imigrasi dan dinas ketenagakerjaan terkait tentu
penting untuk memastikan jenis-jenis pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang asing
sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Jabatan-Jabatan Tertentu Yang Dilarang Diduduki
Tenaga Kerja Asing, yang sebelumnya telah diuraikan di sub bab 2.1.
Status pekerja ilegal atau yang biasa dikenal sebagai undocumented worker69
juga
perlu dicermati sebagai aspek substantif bagi pengenaan tindakan deportasi. Hal lain adalah
mengenai kejelasan status orang yang akan dideportasi tersebut apakah memang masih
tercatat sebagai TKA atau tidak. Terhadap hal ini, klarifikasi dapat dilakukan kepada pemberi
kerja dan/atau Dinas Ketenagakerjaan
Dalam aspek substansi, ada satu catatan lagi yang kiranya penting untuk dicermati.
Berkaitan dengan isu Hak Asasi Manusia yang akan lebih lanjut dibahas pada sub bab 5.2.3,
68
Pasal 6 huruf d Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.HH-02.KP.05.02 Tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi 69
Lihat Chizuko Hayakawa, Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers in Japan, Japan
Labor Review, vol. 7, no.3, Summer 2010, h. 24-25
27
perlu dilakukan penelusuran bahwa rekomendasi dilakukannya deportasi bukan disebabkan
oleh praktik yang terjadi di tempat kerja, seperti misalnya diskriminasi ras, diskriminasi
jender, sexual harassment, orientasi seksual, diskriminasi agama, diskriminasi berbasis
kewarganegaraan, diskriminasi usia, diskriminasi kaum difabel.70
5.2.2 Aspek Prosedural
Selain aspek substansi, seperangkat prosedur internal juga perlu diperhatikan untuk
memastikan bahwa tindakan deportasi diambil melalui prosedur yang benar. Dengan
demikian, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dan Direktur Jenderal Keimigrasian yang berkaitan dengan isu deportasi tentu perlu
untuk ditaati.
Koordinasi dengan pemerintah daerah, khususnya dinas ketenagakerjaan baik di
tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan Kota di Bali juga perlu dilakukan. Contoh yang baik
mengenai kerjasama antara Dinas Tenaga Kerja dan Kantor Imigrasi di Palembang
memperlihatkan sinergi di antara kedua instansi pemerintah lintas sektoral tersebut.71
Selain itu, koordinasi dengan perwakilan pemerintah asing mengenai warga
negaranya yang merupakan tenaga kerja asing di Indonesia yang mengalami deportasi juga
penting untuk dilakukan. International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of their Families yang telah diratifikasi melalui Undang-
undang Nomor 6 tahun 2012 mengatur hal bagi pekerja asing yang mengalami deportasi.
Dalam Pasal 23 Konvensi tersebut dinyatakan bahwa pekerja asing harus memiliki hak untuk
memperoleh pilihan meminta perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari
Negara asalnya atau Negara yang mewakili kepentingan Negara tersebut, apabila hak-hak
yang diakui dalam Konvensi ini dilanggar. Bahkan khusus dalam hal deportasi, orang yang
bersangkutan wajib diinformasikan mengenai hak ini dengan segera dan pejabat dari Negara
yang melakukan pengusiran wajib memfasilitasi pelaksanan hak tersebut.
70
Isu ini dibahas oleh Dawn D. Bennett-Alexander dan Laura P. Hartman, Employment Law for
Business, Fifth Edition, Mc. Graw-Hill Irwin, New York, 2007, Part Two. 71
http://palembang.tribunnews.com/2015/10/19/disnaker-dan-imigrasi-akan-deportasi-tenaga-kerja-
asing-bermasalah
28
5.2.3 Aspek Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Sangatlah penting bagi petugas imigrasi untuk menjamin tidak terjadi pelanggaran
HAM dalam proses deportasi. Salah satu bentuk ekstrim dari kesengajaan deportasi oleh
petugas imigrasi ini dapat tergambar dari tulisan Matthew J. Gibney dalam sebuah Jurnal
bernama Refugee Survey Quarterly sebagai berikut:72
“At the extreme, deportation is a form of international movement that is all push and no
pull. The push is provided by the agents of the State who use detention centres,
handcuffs, physical force and, sometimes even drugs, to effect departure. Deportation is
a form of forced migration in which individuals who do not leave the State under their
own steam will be shackled, bound, and literally carried out the State.”
Berangkat dari deskripsi tersebut, maka Pembahasan berikut akan memfokuskan pada
aspek Hak Asasi Manusia, khususnya mengenai jaminan bahwa tindakan deportasi tidak
melanggar HAM. Analisis akan didasarkan pada kewajiban internasioal Indonesia yang lahir
dari perjanjian-perjanjian internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi.
Pada prinsipnya, ada sejumlah HAM yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang
perlu dipenuhi oleh petugas imigrasi dalam proses deportasi TKA, khususnya yang memuat
keputusan untuk melakukan detensi, yaitu implementasi terhadap Pasal 11 International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang telah diratifikasi Indonesia melalui
Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 yaitu mengenai Hak TKA yang akan dideportasi
untuk mendapatkan makan dan minum yang layak (right to adequate food), mendapatkan
pakaian yang layak (right to adequate clothing), dan hal untuk mendapat tempat tinggal yang
layak (right to adequate housing and shelter). Adapun pemenuhan terhadap hak-hak tersebut
perlu dipahami sebagai pemenuhan dalam situasi detensi di ruang detensi imigrasi atau rumah
detensi imigrasi.
Selanjutnya, terdapat pula sejumlah hal yang juga perlu diperhatikan. Pertama,
petugas imigrasi harus menjamin bahwa TKA tidak boleh disiksa selama TKA yang
menunggu proses deportasi berada di dalam ruang detensi imigrasi atau rumah detensi
imigrasi. Istilah detensi di sini nampaknya dapat diperluas maknanya sebagaimana halnya
detensi (detention) yang dikenal dalam proses acara pidana yang pada dasarnya
menghilangkan kebebasan bergerak seseorang untuk sementara waktu. Sebagaimana
umumnya diketahui, penyiksaan (torture) merupakan suatu pelanggaran HAM. Indonesia
juga telah meratifikasi Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
72
Gibney, Matthew J., 2013, Is Deportation a Form of Forced Migration?, Refugee Survey Quarterly,
Vol. 32, No. 2, pp. 116–129, h. 117. http://rsq.oxfordjournals.org/content/32/2/116.full.pdf+html
29
Treatment or Punishment (CAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998. Jika merujuk
Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 Konvensi ini, maka petugas keimigrasian seyogyanya telah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk tdak melakukan penyiksaan dalam proses
interogasi maupun penahanan (detensi) dan metode pelaksanaannya pun telah memperhatikan
aspek pencegahan terjadinya kasus penyiksaan.
Kedua, khusus dalam hal masih terdapat proses penentuan terdapatnya unsur
pelanggaran yang dapat berpotensi diberikan tindakan administratif deportasi atau justru
merupakan tindak pidana keimigrasian, maka petugas keimigrasian perlu memperhatikan
substansi yang terdapat di dalam Pasal 14 ICCPR, di antaranya:
a. Menghormati prinsip praduga tidak bersalah
b. Memberikan kesempatan untuk mempersiapkan pembelaan dan berkomunikasi
dengan pengacaranya.
c. Dalam hal petugas imigrasi dan TKA yang akan dideportasi menemui kesulitan dalam
berkomunikasi karena keterbatasan pemahaman bahasa yang dialami oleh salah satu
pihak atau kedua belah pihak, maka petugas imigrasi perlu menyediakan penerjemah.
Ketiga, Petugas imigrasi juga perlu memperhatikan perlakuan yang tidak diskriminatif
dalam menerapkan tindakan administratif deportasi. Adapun diskriminasi dimaksud dapat
berupa diskriminasi ras, diskriminasi jender, diskriminasi agama, maupun diskriminasi
berbasis kewarganegaraan.
Keempat, tindakan deportasi hanya dilakukan terhadap TKA secara individual.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada sub bab 2.2, Pasal 22 ayat (1) International
Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their
Families menentukan bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh
menjadi sasaran kebijakan pengusiran secara massal. Diatur lebih lanjut bahwa setiap kasus
pengusiran harus diperiksa dan diputuskan sendiri-sendiri.
Kelima, Petugas imigrasi juga perlu memberikan Perlakuan khusus terhadap TKA
yang masih dikualifikasikan sebagai anak-anak dan TKA yang merupakan kaum disabilitas.
Anak-anak perlu mendapatkan perlakukan khusus dalam proses detensi sebagaimana
dilindungi di dalam Pasal 14 ayat (4) ICCPR. Secara lebih mengkhusus, hak anak juga diatur
di dalam Pasal 9 ayat (4) Convention on the Rights of Child yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Berikut merupakan kutipan
ketentuan tersebut:
30
“Where such separation results from any action initiated by a State Party, such as the
detention, imprisonment, exile, deportation or death (including death arising from any
cause while the person is in the custody of the State) of one or both parents or of the
child, that State Party shall, upon request, provide the parents, the child or, if
appropriate, another member of the family with the essential information concerning the
whereabouts of the absent member(s) of the family unless the provision of the
information would be detrimental to the well-being of the child. States Parties shall
further ensure that the submission of such a request shall of itself entail no adverse
consequences for the person(s) concerned.”
Adapun kekhususan bagi TKA yang merupakan penyandang disabilitas harus
dilakukan merujuk pada ketentuan yang tertuang di dalam Convention on the Rights of
Persons with Disabilities sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 19
tahun 2011. Merujuk Pasal 14 ayat (2), maka Indonesia, dalam hal ini pemerintah melalui
petugas imigrasi harus menjamin bahwa jika penyandang disabilitas dicabut kebebasannya
melalui proses apa pun, mereka berhak, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap
jaminan-jaminan yang selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional dan harus
diperlakukan sesuai dengan tujuan dan prinsip Konvensi ini, termasuk ketentuan akomodasi
yang beralasan.
Keenam, perlu diterapkan prinsip kehati-hatian mengenai kewarganegaraan TKA.
Dalam kasus Stewart v Canada (583/93), CCPR menyimpulkan bahwa keputusan deportasi
tidak sah dan merupakan pelanggaran HAM berdasarkan Pasal 12 ayat (4) ICCPR.73
73
Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Mellissa Castan, Op.Cit, h. 369-374.
31
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berikut merupakan kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas:
1. Secara normatif, pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap
tenaga kerja asing di Indonesia telah memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Keimigrasian. Secara lebih spesifik, hal ini terefleksikan dari norma yang
menerapkan nilai hak asasi manusia bagi deteni yang hingga dalam jangka waktu 10
(sepuluh) tahun belum juga dapat dipulangkan atau dideportasi, untuk dapat diberikan
izin berada di luar Rumah Detensi Imigrasi berdasarkan persetujuan Menteri, dengan
tetap mewajibkannya melapor secara periodik/berkesinambungan kepada Pejabat
Imigrasi.
2. Dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali, ada
sejumlah aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang
dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) yang
dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut, yaitu aspek substansi, aspek prosedural, dan
aspek penghormatan, perlindungan,dan pemenuhan HAM. Aspek substansi berkaitan
dengan unsur pelanggaran yang dijadikan dasar bagi pengenaan sanksi, kejelasan status
pekerja baik mengenai klasifikasinya maupun mengenai masa efektivitas tercatat sebagai
Tenaga Kerja Asing, serta penelusuran bahwa deportasi bukan dilakukan karena praktik
diskriminasi yang terjadi di tempat kerja. Dari aspek prosedural, seperangkat prosedur
internal juga perlu diperhatikan untuk memastikan bahwa tindakan deportasi diambil
melalui prosedur yang benar. Selain itu, koordinasi dengan pemerintah daerah, khususnya
dinas ketenagakerjaan baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan Kota di Bali serta
koordinasi dengan perwakilan pemerintah asing mengenai warga negaranya yang
merupakan tenaga kerja asing di Indonesia yang mengalami deportasi juga penting untuk
dilakukan. Mengenai aspek penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM pada
prinsipnya, ada sejumlah HAM yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu
dipenuhi oleh petugas imigrasi dalam proses deportasi TKA, khususnya yang memuat
32
keputusan untuk melakukan detensi, yaitu hak untuk mendapatkan Makan dan minum
yang layak (right to adequate food), mendapatkan pakaian yang layak (right to adequate
clothing), dan hal untuk mendapat tempat tinggal yang layak (right to adequate housing
and shelter). Selanjutnya, terdapat pula sejumlah hal yang juga perlu diperhatikan, yaitu
jaminan bahwa TKA tidak boleh disiksa selama TKA yang menunggu proses deportasi
berada di dalam ruang detensi imigrasi atau rumah detensi imigrasi, penghormatan
terhadap prinsip praduga tidak bersalah, pemberian kesempatan untuk mempersiapkan
pembelaan dan berkomunikasi dengan pengacaranya, penyediaan penerjemah apabila
diperlukan, pencegahan atas perlakuan yang diskriminatif dalam menerapkan tindakan
administratif deportasi, kepastian bahwa tindakan deportasi hanya dilakukan terhadap
TKA secara individual, pemberian perlakuan khusus terhadap TKA yang masih
dikualifikasikan sebagai anak-anak dan TKA yang merupakan kaum disabilitas serta
penerapan prinsip kehati-hatian mengenai kewarganegaraan TKA.
6.2 Saran
1. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu menginisiasi Pendidikan dan
Pelatihan yang melibatkan aparat-aparat Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali serta Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota se- Bali, khususnya dinas ketenagakerjaan dalam rangka memberikan
wawasan mengenai aspek Hak Asasi Manusia dalam isu deportasi dan sekaligus
memberikan pelatihan teknis mengenai penerapan tindakan deportasi bagi Tenaga Kerja
Asing di Bali.
2. Dalam rangka pencegahan dan koordinasi, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Provinsi Bali dan Pemerintah Daerah di Bali hendaknya melakukan
diseminasi yang memadai bagi konsulat pemerintah asing yang berada di Bali mengenai
perkembangan pengaturan dan praktik deportasi terhadap tenaga kerja asing.
33
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Jurnal
Bantekas, Ilias and Lutz Oette, 2013, International Human Rights Law and Practice,
Cambridge University Press, New York
Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional: Pengertian, Peran, dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Keempat.PT. Alumni, Bandung
Coomans, Fons, Fred Grunfeld, dan Menno T Kamminga (Eds), 2009, Methods of Human
Rights Research, Maastricht Centre for Human Rights, Intersentia, Antwerp
Chizuko Hayakawa, 2010, Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers in
Japan, Japan Labor Review, vol. 7, no.3.
Curzon, LB, 1979, Yurisprudence, M&E Handbooks, Mac Donald and Evans, Ltd., Estover,
Plymouth PL6 7PZ
Dawn D. Bennett-Alexander dan Laura P. Hartman, 2007, Employment Law for Business,
Fifth Edition, Mc. Graw-Hill Irwin, New York.
Dijk, Pieter van, Fried van Hoof, Arjen van Rijn and Leo Zwaak (Eds), 2006, Theory and
Practice of the European Convention of Human Rights, Intersentia, Antwerpen-Oxford
Duncan, Nigel, 2008, (The City Law School, City University London) “Employment Law in
Practice, 8th
Edition, Oxford University Press, New York
Fenwick, Helen and gavin Phillipson, 2006, Text, Cases, and Materials on Public Law and
Human Rights, Routledge-Cavendish, Oxon.
Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Gibney, Matthew J., 2013, Is Deportation a Form of Forced Migration?, Refugee Survey
Quarterly, Vol. 32, No. 2, pp. 116–129.
http://rsq.oxfordjournals.org/content/32/2/116.full.pdf+html
Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Mellissa Castan, 2004, The International Covenant on
Civil and Political Rights: Cases, Materials, and Commentary, Second Edition, Oxford
University Press Inc., New York
Lalu Hartadi, 2015, Pelaksanaan Pengawasan Wisatawan Asing yang Menggunakan Visa
Kunjungan Saat Kedatangan (Visa On Arrival): Studi di Wilayah Kerja Kantor Imigrasi
Mataram), Jurnal, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Max Boli Sabon, 2014, Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan untuk Perguruan Tinggi,
Universitas atma Jaya, Jakarta
34
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Saru Arifin, 2014, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta
Setyo Yowono Sudikni, 1983, Pengantar Karya Ilmiah, Cet.III, Aneka Ilmu, Jakarta.
Smith, Rhona K, 2010, Textbook on International Human Rights, Oxford University Press
Inc., New York
Smith, Rhona. K, 2010, Text and Materials on International Human Rights, Second Edition,
Routledge, New York.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.
Sunit Budhi Cahyono, Tinjauan Terhadap Deportasi Warga Negara Asing Karena
Pelanggaran Batas Ijin Tinggal Dan Akibat Hukum Oleh Kantor Imigrasi Surakarta
(Studi Kasus Pendeportasian Mohamed Tarek Mohamed Mohamed El Atreiry), abstrak
skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=10920
Yahya Ahmad Zein, 2012, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), Liberti, Yogyakarta
B. Peraturan Perundang-Undangan Nasional dan Lokal
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-
07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-
02.KP.05.02 Tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu
Peraturan Gubernur Bali Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu
35
C. Instrumen Internasional
ASEAN Human Rights Declaration
Convention on the Rights of Child
Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment
European Convention on Human Rights (Protocol 7)
General comment of the Human Rights Committee No. 15: The position of aliens under the
Covenant, Twenty-seventh session
International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families
International Covenant on Civil and Political Rights
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
Universal Declaration of Human Rights
D. Artikel
Balikpapan Pos, Artikel “WNA Mengarah Kejahatan Dunia Maya: Kapolres Sayangkan
Imigrasi Cepat Melakukan Deportasi”, 4 November 2014
http://www.balikpapanpos.co.id/berita/detail/139882-wna-mengarah-kejahatan-dunia-
maya.html
Beritabali.com, Artikel “282 WNA Dideportasi Imigrasi Singaraja Selama 2014”, 18
Desember 2014 http://beritabali.com/index.php/page/berita/bll/detail/2014/12/18/282-
WNA-Dideportasi-Imigrasi-Singaraja-Selama-2014/201412180001
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Surat Kabar Pos
Bali, dan Antara News, Artikel “Imigrasi Tekankan Penegakan Hukum WNA Terkait
MEA dan Surat Kabar Pos Bali” http://www.imigrasi.go.id/index.php/berita/berita-
utama/654-imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-terkait-mea,
http://posbali.com/imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-terkait-mea/
danhttp://antarabali.com/berita/66957/imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-
terkait-mea
36
Okezone.com, Artikel, Menkumham Didesak Deportasi WNA Bermasalah, 11 September
2014
http://news.okezone.com/read/2014/09/11/339/1037694/menkumham-didesak-
deportasi-wna-bermasalah
Sinar Harapan, Artikel “Ada 1800 Tenaga Kerja Asing di Bali”, 21 Januari 2015,
http://sinarharapan.co/news/read/150121031/ada-1800-tenaga-kerja-asing-di-bali
Surat Kabar Pos Bali, Artikel “Gunakan VoA untuk Kerja, Empat WNA Dideportasi”, 19
November 2014, http://posbali.com/gunakan-voa-untuk-kerja-empat-wna-dideportasi/
Surat Kabar Pos Bali, Artikel “408 WNA Dideportasi dari Bali”, 27 Januari 2015,
http://posbali.com/408-wna-dideportasi-dari-bali/
Tempo.Co, Artikel “Bali Dibanjiri Pekerja Asing Ilegal”, 25 Maret 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/058565217/Bali-Dibanjiri-Pekerja-Asing-
Ilegal .
Tempo.Co, Artikel Selasa, “Pekerja Asing Ilegal di Bali Dikeluhkan”, 25 Maret 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/090565312/Pekerja-Asing-Ilegal-di-Bali-
Dikeluhkan
Tribunnews, Artikel “Menkumham : Kami Akan Deportasi WNA Pelanggar Aturan”, 24 Juni
2014, http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/24/menkumham-kami-akan-
deportasi-wna-pelanggar-aturan
I Made Budi Arsika
Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati
Sagung Putri M.E. Purwani
Made Maharta Yasa
Economic Rights of Foreign Workers
in Tourism Industry in Bali:
A Human Rights Law Perspective
International Seminar
Economic Approach to Law in Tourism Industry
Bali, 28 August 2015
OUTLINE Background
Facts and Figures
Legal Issues
Methodology
Scope of Analysis
Relevant Concept
Analysis on relevant instruments
Case Laws
Some Notes
Conclusion
Recommendation
BACKGROUND Tourism industry in Bali
The coming of foreign workers to Bali
Medias mostly make reports on the negative impacts of the foreign
workers, especially for the local workers
Most issues are dealing with the readiness of local workers to
compete with foreign workers
Some violations of law and administrative procedure by illegal
foreign workers
The recognition of economic rights of foreign workers?
Measures should be taken by the National and Local
Governments?
http://www.balidiscovery.com/messages/message.asp?id=7744
Facts and Figures
Minister of Manpower and Transmigration: It is estimated 68.000- 70.000 foreign workers are working in Indonesia until August 2015.
Director General Immigration: Some 6.236 foreigners have been deported between January-June 2015, including illegal foreign workers. Most of them are nationals of Bangladesh, Myanmar, PRC, Thailand, Vietnam, Malaysia, and Cambodia.
Head of Manpower and Transmigration Office of the Bali Province: Government has issued 1.019 License to Employ Foreign Worker (IjinMempekerjakan Tenaga Kerja Asing/IMTA) between January-June 2015. Most of them are Malaysian, Singaporean, American, and Japanese who predominantly work in tourism sector (hotel, travel, and other accommodation service) and hold “top” manager position.
Foreign workers have to pay US$ 100 per month to Provincial Government of Bali. The Government of Bali Province targeted IDR 21 Billion revenue in 2015 getting from this license.
Legal Issues
What are the obligations of the governments to protect the
economic rights of foreign workers in tourism industry?
Should government consider human rights perspective to
ensure the enjoyment of economic rights of foreign workers
in tourism industry in Bali?
METHODS
Legal Research methods:
- Conceptual approach : Explore and define the legal concept
- Statutory approach: Inquiries on relevant international,
regional, national, and local instruments
- Case approach
Methods of Human Rights Research
Scope of Analysis
Exploring and analyzing the existing laws and regulations
(lex lata)
Proposing what the law should be(lex ferenda)
Relevant Concepts
Human Rights: Second generation rights
Economic Rights: the right to work, the right to the free
choice of employment and to just and favourable conditions
of work; the right to form and join trade unions; the right to
own property. etc
Rights of Nationals and Non-nationals
Workers and Foreign Workers
Tourism and tourism industry
Relevant Instruments
International
Regional
National
Local
International Instruments
ILO Conventions No 111 concerning Discrimination in Respect
of Employment and Occupation (ratified by Act of the Republic
of Indonesia No. 21 Year 1999)
International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of their Families (ratified by Act
of the Republic of Indonesia No. 6 Year 2012)
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(ratified by Act of the Republic of Indonesia No. 12 Year 2005)
Global Code of Ethics for Tourism (The principles were adopted
in Act of the Republic of Indonesia No. 10 Year 2009)
ILO Conventions No 111 concerning Discrimination
in Respect of Employment and Occupation
• Article 1 (1) (a)
For the purpose of this Convention the term discriminationincludes-- any distinction, exclusion or preference made on the basis of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origin, which has the effect of nullifying or impairing equality of opportunity or treatment in employment or occupation;
• Article 2
Each Member for which this Convention is in force undertakes to declare and pursue a national policy designed to promote, by methods appropriate to national conditions and practice, equality of opportunity and treatment in respect of employment and occupation, with a view to eliminating any discrimination in respect thereof.
International Convention on the Protection of the Rights
of All Migrant Workers and Members of their Families
Article 25
1. Migrant workers shall enjoy treatment not less favourable than that whichapplies to nationals of the State of employment in respect of remuneration and:
(a) Other conditions of work, that is to say, overtime, hours of work, weekly rest,holidays with pay, safety, health, termination of the employment relationshipand any other conditions of work which, according to national law andpractice, are covered by these terms;
(b) Other terms of employment, that is to say, minimum age of employment,restriction on home work and any other matters which, according to nationallaw and practice, are considered a term of employment.
2. It shall not be lawful to derogate in private contracts of employment from theprinciple of equality of treatment referred to in paragraph 1 of the presentarticle.
3. States Parties shall take all appropriate measures to ensure that migrantworkers are not deprived of any rights derived from this principle by reason ofany irregularity in their stay or employment. In particular, employers shall notbe relieved of any legal or contractual obligations, nor shall their obligations belimited in any manner by reason of such irregularity.
International Covenant on Economic,
Social, and Cultural RightsArticle 2
1. Each State Party to the present Covenant undertakes to take steps, individually and through international assistance and co-operation, especially economic and technical, to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant by all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measures.
2. The States Parties to the present Covenant undertake to guarantee that the rights enunciated in the present Covenant will be exercised without discrimination of any kind as to race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.
3. Developing countries, with due regard to human rights and their national economy, may determine to what extent they would guarantee the economic rights recognized in the present Covenant to non-nationals.
Global Code of Ethics for Tourism Article 9 Rights of the workers and entrepreneurs in the tourism
industry
(1) The fundamental rights of salaried and self-employed workers in the tourism industry and related activities, should be guaranteed under the supervision of the national and local administrations, both of their States of origin and of the host countries with particular care, given the specific constraints linked in particular to the seasonality of their activity, the global dimension of their industry and the flexibility often required of them by the nature of their work;
(2) Salaried and self-employed workers in the tourism industry and related activities have the right and the duty to acquire appropriate initial and continuous training; they should be given adequate social protection; job insecurity should be limited so far as possible; and a specific status, with particular regard to their social welfare, should be offered to seasonal workers in the sector;
(4) Exchanges of experience offered to executives and workers, whether salaried or not, from different countries, contributes to foster the development of the world tourism industry; these movements should be facilitated so far as possible in compliance with the applicable national laws and international conventions;
Regional ASEAN Human Rights Declaration
Article 27.
(1) Every person has the right to work, to the free choice of employment, to enjoy just,
decent and favourable conditions of work and to have access to assistance schemes for
the unemployed.
(2) Every person has the right to form trade unions and join the trade union of his or her
choice for the protection of his or her interests, in accordance with national laws and
regulations.
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers
Obligations of Receiving States:
- Intensify efforts to protect the fundamental human rights, promote the welfare and
uphold human dignity of migrant workers (Article 5)
- Promote fair and appropriate employment protection, payment of wages, and adequate
access to decent working and living conditions for migrant workers (Article 8)
National
Act of the Republic of Indonesia No. 103Year 2003 concerning Manpower: Chapter VIII concerning Employment of Foreign Worker
Act of the Republic of Indonesia No. 10 Year 2009 concerning Tourism
Article 56
(1) Tourism enterprises may employ foreign expert worker in accordance with the provisions in the statutory regulation
(2) The foreign expert worker referred to paragraph (1) shall have prior recommendation from tourism professional workers association
Local Regulation
Provincial Regulation of Bali Province No. 2Year 2012
concerning Bali’s Cultural Tourism: determines that every
person has right to work in tourism industry
Provincial Regulation of Bali Province No. 5 Year 2013:
includes provision on the extension of License to Employ
Foreign Worker (Ijin Mempekerjakan Tenaga KerjaAsing/IMTA)
in Bali
The Nature of State Obligation
in Economic Rights
The Maastricht Guidelines On Violations Of Economic,
Social And Cultural Rights mentions the following obligations on
ecosoc rights
Obligation to respect
Obligation to protect
Obligation to fulfil
Obligations of conduct
Obligation of result
Main Issue: Obligation to Protect:
1. Government must protect the enjoyment of economic
rights of the foreign workers by continuously monitoring
the proper job and responsible payment scheme --including
the compliance of minimum wage-- are provided by
business entities that employed foreign workers
2. Government must protect foreign workers from any
economic discrimination based on segregation between
nationals and non-nationals (discrimination based on
national extraction)
Case Laws
Decision of the Indonesian Supreme Court No. 777
K/Pdt.Sus/2011 , Case between PT. Royal Bali Leisure
(Peninsula Beach Resort) vs. Gavin Michael David Wilson
(UK); Issues covered: Dismissal, Job Contract, KITAS,
Illegal working relationship; The Supreme Court annulled the
decision of Industrial Relation Court of Denpasar.
Decision of the Indonesian Supreme Court Nomor 286
K/Pdt.Sus-PHI/2013 ,Case between PT. Siemens Indonesia
vs. Stephen Michael Young: Judges consider constitutional
rights of equality legal treatment applied to national and non-
nationals.
Some Notes
Most foreign workers in Bali occupied high-rank job (“top”
manager position) and have status as foreign expert worker.
As the employers need their expertise, economic rights of
this kind of foreign workers seems not violated.
Potential Case: Dismissal and Interpretation of Contract.
Link between public and private dimensions
CONCLUSION
1. Government must protect the exercise of economic rights
of the foreign workers and must also protect foreign
workers from any economic discrimination based on
national extraction.
2. The government should use a human rights-based
approach to ensure the enjoyment of economic rights of
foreign workers in tourism industry in Bali.
RECOMENDATION
National government should ensure that the rights of fair
trial of the foreign workers in defending their economic
rights on litigation proceedings, are protected.
Local Government should identify some potential cases
arising from the violation of economic rights of foreign
workers who work in tourism industry in Bali. The results
should be used as a basis to create anticipative policies and
regulations.
THANK YOU VERY MUCH