Download - Konstruksi Sosial Religiusitas Studi Jam
i
Konstruksi Sosial Religiusitas (Studi tentang Religiusitas terhadap Jama’ah
Maiyah di Yogyakarta)
The Social Construction of Religiosity (Study on Religiosity among Maiyah
Community in Yogyakarta)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi persyaratan
mencapai gelar Sarjana Sosiologi
Disusun Oleh :
BARIKUR RAHMAN
09/281876/SP/23331
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
ii
iii
iv
TENTANG PENULIS
Barikur Rahman adalah anak pertama dari pasangan Muhaimin dan Umi Alifah.
Melalui Jurusan Sosiologi, laki-laki yang akrab disapa “Bari” ini memiliki
berbagai cita-cita besar seperti manajer stasiun televisi, dosen dan sosiolog
handal. Juga berharap mampu berkonstribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat yang membutuhkan.
Bari memiliki tiga kata sebagai semboyan hidup :
“hope, belief and struggle”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk yang paling berharga dalam hidup saya :
Allah SWT
Serta Kekasih-Nya tercinta :
Nabi Muhammad SAW
Kepada Ibuk saya Umi Alifah, yang membesarkan dengan penuh kasih sayang
dan nasehat sehingga saya mampu mencapai kesuksesan. Kepada Ayah saya
Muhaimin, yang telah membesarkan dan memberi teladan bagi saya untuk
menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab bagi keluarga dan masyarakat.
Juga Kepada Adik saya Nova Lia Nur Ariza, jadilah anak yang berbakti dan
membanggakan orang tua, dan jadilah apapun kelak yang bermanfaat bagi diri
sendiri, keluarga, masyarakat dan agama.
Serta kepada seluruh keluarga besar saya dari pihak ayah dan pihak ibu semuga
keluarga kita tetap bahagia dan sejahtera, selalu dirahmati Allah SWT dan
diberkahi dengan rizki melimpah yang halal dan baik.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas kebesaran, rahmat, kasih dan
karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan
sesuai target. Skripsi ini telah menuntun saya melakukan penelitian dengan
segenap tenaga dan pikiran. Sehingga skripsi ini saya yakini sebagai takdir yang
akan membawa saya pada kehidupan yang lebih baik di hari esok.
Dalam mengerjakan ini saya akui tidak berjalan sendirian, banyak orang-
orang yang ikut andil dan berperan penting dalam proses perjalanan saya meraih
gelar sarjana sosial ini. Untuk pihak yang telah membantu, saya mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Orang-orang berjasa itu
adalah :
1. Kedua orang tua saya : Ayah Muhaimin dan Ibuk Umi Alifah, serta
Adik Nova Lia Nur Ariza. Terimakasih atas dukunganya untuk bergelut
menuntut ilmu di jurusan sosiologi, pemakluman kalian atas kesibukan
saya sehingga jarang pulang kampung, serta kesediaan kalian
membantu segala sesuatunya baik moril maupun materil hingga detik
ini. Terimakasih.
2. Kepada seluruh keluarga saya dari pihak ayah dan ibuk, terimakasih
atas perhatian dan kasih sayangnya. Semuga kalian semua selalu sehat
wal afiat dan ditambah rizkinya.
3. Dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi saya
Dr. Partini, SU, atas segala masukan dan saran selama mengerjakan
skripsi ini.
4. Kedua dosen penguji saya, Dr. Supraja, M.Si. dan Dr. M. Najib Azca,
MA, yang telah memberikan masukan dan saran terhadap proses
penyajian data skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Jurusan Sosiologi dan Dosen seluruh jurusan Fisipol
UGM lainnya, yang pernah saya ikuti mata kuliahnya. Terimakasih atas
berbagai ilmu yang saya dapatkan.
vii
6. Serta seluruh staf-staf Jurusan Sosiologi dan Fisipol yang senantiasa
membantu kelancaran administrasi dan persyaratan skripsi ini.
7. Terimakasih juga terutama bagi Jama’ah Maiyah yang senantiasa
berbagi cerita dan inspirasi diantaranya, Pak Maskun, Pak Wawan, Pak
Djazuli, Fafa, Halimah, Adit, Bagus, Deni dan Bu Suci.
8. Sahabat-sahabatku yang tak bernyawa: Kuda besi X125R (yang selalu
menemani kemanapun saat suka dan duka), Bilbo (laptop yang
menemani saya kuliah, tugas dan skripsi, walau sekarang hilang entah
kemana tapi semuga engkau tetap bermanfaat bagi siapapun), Aragorn
(laptop saya saat ini yang menemani menyelesaikan dan menjaga
skripsi ini sampai akhir, semuga engkau terus ada selamanya), juga
tidak lupa pada kipas angin, radio dan tas career yang selalu menghibur
hati saya.
9. Terima kasih juga pada buku-buku saya, baik yang di kos, rumah,
perpus fisipol, gramed, shoping, dan lain-lain yang senantiasa
menambah wawasan saya.
10. Sahabat-sahabat saya di jurusan Sosiologi angkatan 2009 terimakasih
atas segala keceriaan dan rasa kangen selama menempuh bangku
perkuliahan ini.
11. Juga sahabat-sahabat saya sesama punggawa galau skripsi di Jurusan
seperti Mbak Puput, Rusme, Defri, Yusuf, Aji, Alfan, Sule, Iyus, Intan,
Zola, Nopa, Bagus, Monita, Rina, dan lain-lain, yang selalu menjadi
partner dikala harus menunggu dosen dan melengkapi persyaratan lulus.
Juga para punggawa galau skripsi di jurusan lain seperti Ikaz, Riza,
Arif, Rina, Yuni, dan lain-lain. Semuga skripsi kalian segera kelar,
semangat..
12. Seluruh sahabat-sahabat KKN Unit 34 saya seperti Mak Uli, Edi, Okta,
David, Prio, Anif, Uci, Nenek, Cindi, Daeng, Adit, Jejep, Mita, Mike,
Martin, Wely, Mak Pit, Ana, Kaswan, Fajar, Petra, Egi, dan masih
banyak lagi, terimakasih masing-masing dari kalian mampu memberi
viii
inspirasi dan pelajaran berharga bagi diri saya dengan cara kalian
masing-masing. Semuga persahabatan kita tak kan pernah terputus.
13. Kepada seluruh sahabat-sahabat saya di Unit Penalaran Ilmiah (UPI)
seperti Mbak Arin, Nur, Gigih, Vinda, Sekar, Indah, Rina, Nadiah,
Dwisty, Afrinda, Wawan, Erik, Rini, Jaiz, dan lain-lain. Ayo terus
ramaikan dan majukan UPI.. saya yakin ditangan kalian UPI akan selalu
hidup dan maju.
14. Kepada temen-temen saya di kampung, yang selalu menemani saat saya
ada di kampung halaman seperti, Kebo(Beni), Rian, Danang, Eri,
Pendik, Umi Khus, Bayu, Mbak Dar, Mamblung (Zudin), dan lain-lain.
Terimakasih atas obrolan aneh dan gak nyambungnya, selalu memberi
keceriaan tersendiri.
15. Kepada sahabat-sahabat saya sesama pendaki gunung nekat seperti
Febi, Agung, Nikol, Rido, Yulika, Balqis, Ita, Nadia, Imam, Pandu,
Een, Intan, dan seterusnya. Bersama kalian sungguh menyenangkan,
terimakasih atas pengalaman menyenangkan sekaligus menegangkan
selama di gunung. Ayo mendaki lagi...
16. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang
telah memberikan bantuan, dorongan serta semangat kepada saya.
Thanks, all of you.
Pada akhirnya skripsi ini tidak hanya dimaknai sebagai sebuah syarat
kelulusan semata, tapi sebuah pengalaman dan cerita hidup yang luar biasa. Akhir
kata semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, terutama sosiologi. Terimakasih..
Barikur Rahman
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
TENTANG PENULIS iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI ix
ABSTRAK xii
BAB I.......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 7
C. Tujuan ............................................................................................................................. 7
D. Tinjauan Teoritis............................................................................................................. 8
1. Realitas dan Pengetahuan ........................................................................................... 8
2. Konstruksi Realitas Sosial ........................................................................................ 10
3. Pemaknaan Realitas Sosial ....................................................................................... 12
4. Religiusitas dalam Kategori Sosial ........................................................................... 13
5. Maiyahan .................................................................................................................. 15
E. Metode Penelitian ......................................................................................................... 16
1. Metode Penelitian Kualitatif Fenomenologi ............................................................. 16
2. Teknik Pengumpulan Data........................................................................................ 18
3. Subjek Penelitian ...................................................................................................... 20
4. Sampel Penelitian ..................................................................................................... 20
5. Lokasi Penelitian....................................................................................................... 24
BAB II ...................................................................................................................................... 25
SEPUTAR MAIYAHAN DAN JAMA’AH MAIYAH ........................................................... 25
A. Gambaran Umum Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta .............................. 25
1. Secara Administratif dan Geografis.......................................................................... 25
2. Visi dan Misi............................................................................................................. 28
3. Setting Sosial Religiusitas ........................................................................................ 29
x
B. Maiyahan ...................................................................................................................... 32
1. Secara Epistemologi ................................................................................................. 32
2. Prosesi dan Setting Acara ......................................................................................... 33
3. Sejarah dan Diskripsi Wilayah Penelitian................................................................. 35
4. Sikap Religiusitas Maiyahan..................................................................................... 37
5. Spesifikasi Informan (Jama’ah Maiyah)................................................................... 41
C. Aktifitas Maiyahan bagi Jama’ah Maiyah .................................................................... 51
1. Maiyahan sebagai Aktifitas Religiusitas................................................................... 51
2. Maiyahan sebagai Aktifitas Hiburan ........................................................................ 56
3. Maiyahan sebagai Aktifitas Sosial............................................................................ 59
4. Maiyahan sebagai Aktifitas Epistemik ..................................................................... 63
5. Maiyahan sebagai Arena Otoritas Kharismatik ........................................................ 65
D. Makna Maiyahan bagi Berbagai Kategori Sosial ......................................................... 71
1. Aktifitas Religiusitas................................................................................................. 80
2. Aktifitas Hiburan ...................................................................................................... 84
3. Aktifitas Diskusi ....................................................................................................... 87
4. Aktifitas Sosial.......................................................................................................... 88
5. Aktifitas Tokoh Kharismatik .................................................................................... 89
BAB III ..................................................................................................................................... 93
KONSTRUKSI SOSIAL RELIGIUSITAS .............................................................................. 93
A. Dasar-dasar Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari................................................ 94
1. Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari................................................................ 95
2. Hubungan Maiyahan dengan Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari........... 99
3. Bahasa dan Pengetahuan religiusitas dalam Maiyahan........................................... 103
B. Maiyahan Sebagai Realitas Objektif........................................................................... 105
C. Maiyahan sebagai Realitas Subjektif .......................................................................... 112
D. Proses Dialektika Religiusitas..................................................................................... 116
BAB IV................................................................................................................................... 121
REALITAS RELIGIUSITAS JAMA’AH MAIYAH............................................................. 121
A. Dinamika Religiusitas Kategori Sosial ....................................................................... 121
1. Kategori Dewasa..................................................................................................... 123
2. Kategori Pemuda..................................................................................................... 128
3. Kategori Laki-laki................................................................................................... 133
xi
4. Kategori Wanita...................................................................................................... 137
5. Kategori Kaya ......................................................................................................... 142
6. Kategori Miskin ...................................................................................................... 146
7. Kategori Pekerja ..................................................................................................... 150
8. Kategori Mahasiswa ............................................................................................... 154
B. Implementasi religiusitas Jama’ah Maiyah................................................................. 158
1. Praktik Religiusitas ................................................................................................. 158
2. Timbulnya Religiusitas ........................................................................................... 163
4. Religiusitas dalam Lingkungan dan Keluarga ........................................................ 169
3. Religiusitas dalam Bersikap.................................................................................... 173
4. Religiusitas dalam Kerja dan Usaha ....................................................................... 175
5. Maiyahan, antara Pribadatan dan Hubungan Sosial................................................ 178
BAB V .................................................................................................................................... 183
PENUTUP .............................................................................................................................. 183
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 183
B. Saran ........................................................................................................................... 196
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 198
xii
ABSTRAK
Religiusitas seringkali muncul dari usaha manusia memenuhieksistensinya, ketika manusia berada dalam masa kekurangan eksistensi sepertikelangkaan, ketidakpastian dan ketidakmampuan. Ketika harapan tidak tercapaiseseorang atau Jama’ah Maiyah cenderung mengalami frustasi, dan Maiyahanmerupakan salah satu lembaga religiusitas yang dianggap paling mampumemberikan motivasi dan obat frustasi tersebut.
Peristiwa tersebut dirasa menarik untuk diteliti, maka digalilahpertanyaan untuk menjawab permasalahan seperti; bagaimana konstruksireligiusitas dalam Maiyahan?; bagaimana Jama’ah Maiyah dari berbagaikategori sosial memaknai aktifitas Maiyahan?; dan bagaimana dinamika danpengaruh religiusitas Maiyahan?. Dalam upaya menjawab permasalahantersebut digunakanlah pisau analisis dari Berger, yaitu teori konstruksi realitasreligiusitas. Dalam teori tersebut secara garis besar membahasa perihal prosesdialektik internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi; dilengkapi dengan konseprealitas subjektif dan realitas objektif.
Data yang diperoleh diantaranya bahwa Maiyahan dimaknai olehJama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial tidak hanya sebagai aktifitasreligiusitas, tetapi juga aktifitas epistemik, aktifitas hiburan, aktifitas sosial, danaktifitas tokoh kharismatik Cak Nun. Perbedaan dan kekhasan pemaknaanMaiyahan tersebut diakibatkan oleh dinamika religiusitas masing-masingJama’ah Maiyah. Dinamika religiusitas cenderung berbeda antar Jama’ahMaiyah dari berbagai kategori sosial. Seperti kategori dewasa dan wanita lebihcenderung memaknai Maiyahan sebagai aktifitas religius, kategori mahasiswadan pemuda lebih cenderung memaknai Maiyahan sebagai aktifitas epistemik,kategori pekerja dan miskin lebih cenderung memakanai Maiyahan sebagaiaktifitas religiusitas sekaligus aktifitas hiburan, dan seterusnya.
Dari keseluruhan penelitian maka ditarik kesimpulan bahwa konstruksirealitas religiusitas terjadi secara berbeda diantara Jama’ah Maiyah antarkategori sosial. Tetapi keseluruhan membuktikan bahwa terjadi proses dialektikareligiusitas mulai dari sosialisasi primer baik dari orang tua, pendidikanreligiusitas, lingkungan religius, atau dari bacaan dan minat tertentu. SedangkanMaiyahan cenderung menempati posisi sebagai sosialisasi sekunder. SeorangJama’ah Maiyah tidak selalu telah mengalami sosialisasi primer dengan baiksebelum mengikuti Maiyahan. Tetapi Maiyahan mampu menjadi sumberreligiusitas bagi seluruh Jama’ah Maiyah baik yang telah banyak mengertireligiusitas maupun yang sedikit. Maiyahan terbuka dan disenangi olehkebanyakan Jama’ah Maiyah dari seluruh kategori sosial.
Kata Kunci : Maiyahan, Jama’ah Maiyah dan Religiusitas
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama merupakan landasan moral bagi perikehidupan manusia. Digunakan
sebagai rasionalitas dalam mengambil keputusan yang mana telah keluar dari nalar dan
kemampuan manusia untuk memecahkannya. Selain materi substantif seperti Tuhan,
Nabi, surga, neraka, ibadah, dan ritual-ritual keagamaan lain, agama juga memiliki
materi fungsional bagi kehidupan manusia dengan sesamanya. Seperti ungkapan
seorang Sosiolog Amerika, Yinger, bahwa agama merupakan sistem kepercayaan dan
peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka mengatasi
persoalan-persoalan tertinggi dalam kehidupan manusia.1
Sebagai dogma dan kepercayaan, agama dapat menjadi penyemangat hidup,
obat frustasi, penyulut kemarahan, pereda pertikaian, hingga alat politik. Tidak
konstan perilaku manusia berlandaskan agama. Terdapat kepercayaan lain yang
bersaing dengan doktrin keagamaan dalam bertindak, seperti misalnya kapitalisme,
sosialisme, sekulerisme, modernism, dan sebagainya, apalagi dalam kehidupan serba
modern saat ini. Bahkan dalam batas tertentu dogma agama tersingkir dan tergantikan
oleh faham-faham tersebut. Tetapi, dalam batas tertentu pula seperti yang diungkapkan
pengkaji sosiologi agama, Betty R. Scharf beserta para pengkaji lain secara umum
bahwa semua masyarakat didunia dalam batas-batas tertentu akan kembali pada
1 Scharf, Betty R. Kajian Sosiologi Agama. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1995). hlm. 31
2
dogma agama walaupun mungkin sekian lama jauh ataupun tidak mengenalnya.
Ketika mencapai batas maka ketika inilah terjadi apa yang dinamakan bersifat religius.
Misalnya, ketika seseorang dalam bencana tsunami tergolek lemah dibawah puing-
puing bangunan tanpa seseorang pun yang menolong, disitulah dia mulai memanggil
Tuhan dan meminta pertolongan. Walaupun mungkin seseorang itu sebelumnya tidak
pernah taat beragama atau bahkan tidak beragama sekalipun.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa seringkali agama memerankan fungsi ganda,
yaitu secara fungsional dan substantif. Hubungan keduanya menciptakan apa yang
disebut manusia religious. Dimana manusia mampu memadukan dengan baik agama
secara fungsional dalam berhubungan dengan sesamanya dan agama secara substantif
dalam hubungan transendental dengan Tuhannya. Disamping itu, religiusitas
seringkali muncul dari usaha manusia memenuhi eksistensinya, ketika manusia berada
dalam masa kekurangan eksistensi seperti kelangkaan, ketidakpastian dan
ketidakmampuan, yang menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi keinginannya
sesuai harapan. Pernyataan ini kiranya lebih relevan diaplikasikan secara humanis dari
pada sekedar bahwa religiusitas timbul karena adanya cobaan atau hidayah dari Tuhan.
Kekurangan eksistensi tersebut berkembang dalam banyak bentuk, yang
menjadi akut dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga timbullah apa yang disebut
sebagai masalah sosial. Menjadi wajar masalah sosial timbul dalam masyarakat,
terimplementasi dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Misalnya
korupsi, kriminalitas, kemiskinan, ketidakadilan, dan lain-lain. Menimbulkan korban
yang dirugikan dari masalah sosial ini, dan tentu saja dari kalangan powerless dalam
masyarakat. Bukan hanya masalah sosial, tetapi juga dalam kehidupan pribadi dimana
3
sering terjadi masalah batin ketika manusia tidak mampu mencapai apa yang dicita-
citakan.
Masalah demi masalah merupakan kenyataan yang menimbulkan penderitaan,
baik dalam taraf biasa yang masih mampu diatasi maupun diluar kewajaran yang
menimbulkan putus asa dan frustasi lahir batin. Namun, merupakan kodrati manusia
untuk berusaha menyelesaikan masalah demi masalah yang melingkupi hidupnya.
Sejarah manusia mengungkapkan usaha-usaha manusia yang bergerak dalam dua
bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kebahagiaan sekarang dan kebutuhan akan
kebahagiaan nanti.2 Baik usaha yang bersifat non-religius karena kebahagiaan tersebut
masih dapat dicapai dengan kekuatan manusiawi, maupun usaha religius dimana
ketika manusia tak berdaya lagi mencapai kebahagiaan. Dengan demikian religiusitas
menjadi alternatif terakhir demi tercapainya kebahagiaan, tidak terkecuali pula dalam
kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Religiusitas tidak akan lepas dari aspek keagamaan, sehingga dibutuhkan arena
religiusitas yang dapat berperan dalam fungsinya melembagakan agama dengan cara
memberikan pedoman bagaimana harus bertingkah laku atau bersikap dalam
menghadapi berbagai masalah yang timbul dan berkembang, terutama yang
menyangkut kebutuhan pokok dalam realitas sehari-hari. Lalu memberikan pegangan
kepada masyarakat bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut
sistem tertentu.3
Maiyahan merupakan salah satu arena bagi perjuangan dan kepentingan
membentuk sisi kehidupan religius, dalam upayanya melembagakan agama dalam
2Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). hlm. 323Ali&Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995) Hlm : 2-3
4
kehidupan sehari-hari. Maiyahan masih dinilai mampu memberi pedoman bertingkah
laku secara religious. Memberikan pegangan hidup dalam pengendalian sosial, serta
mampu menjaga keutuhan masyarakat. Terutama para peserta Maiyahan yang
antusias, yang biasa disebut “Jama’ah Maiyah”.
Maiyahan, atau biasa juga disebut “Mocopat Syafaat” diprakarsai sekaligus
diasuh oleh seorang seniman, budayawan, sastrawan, serta intelektual Indonesia, yaitu
Emha Ainun Nadjib, yang mana selalu tampil disertai grup musiknya yaitu Kiai
Kanjeng. Secara rutin (bulanan) setiap tanggal 17 mulai selepas Isya’ hingga pukul
03.00 WIB. Maiyahan aktif diadakan, melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman
atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara
berfikir, yang juga diselingi pertunjukan seni dari Kiai Kanjeng, seperti musik,
pembacaan puisi, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.4
Jama’ah Maiyah tergabung dari berbagai kategori sosial. Berbagai kategori
sosial tersebut dapat terlihat secara fisik, seperti kategori berdasarkan jenis kelamin
pria atau wanita, usia tua atau muda, sampai pada kategori sosial tidak terlihat secara
fisik seperti kaya, miskin, pekerja atau mahasiswa.
Dalam Maiyahan mereka bersama menikmati acara sekaligus menyerap
berbagai pengetahuan dan merefleksikan pengalaman. Tentu perbedaan kategori sosial
Jama’ah Maiyah memberikan pemaknaan yang berbeda terhadap substansi acara
Maiyahan. Karena pada dasarnya manusia telah memiliki realitas subjektif yang
diperoleh dari buku, keluarga, teman sebaya, masyarakat, lingkungan kerja, dan lain-
lainnya yang melandasi setiap keputusan dan tindakan.
4http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/emha-ainun-nadjib-yang-akrab-dipanggil.html, diunduhpada 21 februari 2013.
5
Misalnya, Jama’ah Maiyah kategori mahasiswa lebih memaknai Maiyahan
sebagai aktifitas epistemik. hal ini menghasilkan makna bahwa Maiyahan merupakan
acara diskusi yang membahas masalah sehari-hari, dan memberikan banyak wawasan.
Maiyahan pun sebagai lambang bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat terhadap
kondisi pemerintahan dan dampak dari pengambilan keputusannya. Diskursus seputar
isu sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, menjadi inti dari tujuan hadir
dalam Maiyahan. Sembari menambah wawasan pengetahuan umum, sekaligus
menambah wawasan spiritual karena diskusi Maiyahan kerap kali mentransformasikan
isu-isu umum kedalam religiusitas sebagai kunci pemecahan masalah.
Begitu pula masyarakat yang datang ke Maiyahan lebih pada keinginan untuk
menikmati alunan musik Kiai Kanjeng. Hal ini bisa memberi makna bahwa Maiyahan
cenderung kepada acara hiburan musik, dilihat dari perlengkapan dalam ruang publik
tersebut. Terdapat objek berupa alat-alat musik baik tradisional seperti gamelan,
maupun modern seperti gitar, bass, piano, drum, dan lain-lain. Apalagi dilengkapi
dengan seperangkat sound sistem lengkap yang menghasilkan suara musik yang apik.
Serta konsep acara yang banyak menyajikan lagu baik pop, klasik, tradisional, jazz,
dangdut, dan sebagainya. Memberi makna bahwa Maiyahan merupakan acara
pagelaran musik, terlebih pada musik religius.
Tujuan Jama’ah Maiyah hadir dalam Maiyahan bisa berarti salah satu dari
beberapa diantaranya. Walaupun bisa juga Maiyahan hanya dimaknai sebagai pelepas
penat dan hiburan semata, sembari menikmati malam dan mengisi aktifitas begadang
dengan lebih bermanfaat, atau bisa juga mengikuti Maiyahan karena menemani teman
yang ingin menonton saja. Mereka tidak hadir secara konsisten dan sebenarnya tidak
6
terlalu berminat dengan acara Maiyahan. Selanjutnya terdapat pula yang hadir karena
menganggap Maiyahan sebagai wadah melepaskan beban depresi akibat kesulitan
dalam hidup sehari-harinya, seperti masalah karir, keuangan, keluarga, cinta, dan lain-
lain. Berharap Maiyahan dapat membantu lebih mendekatkan diri pada Tuhan, hingga
akhirnya tercapai ketenangan batin yang diinginkan.
Maiyahan dapat dikatakan sebagai arena konstruksi sosial religiusitas, yang
dieksternalisasikan dari subjektifitas Grup Kiai Kanjeng yang terdiri atas cendikiawan,
ahli agama, musisi, artis, dan lain-lain; dieksternalisasikan melalui diskursus, musik,
dan doa. Selanjutnya religiusitas tersebut diinternalisasi pada diri Jama’ah Maiyah
melalui pemantapan sosial terus-menerus setelah mengikuti Maiyahan pertama kali.
Realitas religiusitas akan dipahami sebagai landasan berfikir, baik masyarakat
yang sebelumnya cukup mengenal agama ataupun masyarakat yang awam sama sekali
terhadap agama. Hingga pada akhirnya realitas religiusitas tersebut diinternalisasi
melalui peresapan kembali realitas yang telah terobjektifasi menjadi konsensus
bersama dalam Maiyahan. Ditransformasikan berulang kedalam struktur kesadaran
subjektif Jama’ah Maiyah, tentu berdasarkan pemaknaan subjektif berdasarkan
kategori sosial masing-masing.
Oleh karena itu, perlu diadakan suatu penelitian yang mampu menjawab
bagaimana proses humanisasi religiusitas kedalam ruang kehidupan masyarakat di era
modern ini. Mengenai sejauh manakah konstruksi religiusitas dilakukan, dan
bagaimana pemaknaan terhadap proses tersebut.
7
B. Rumusan Masalah
Munculnya Maiyahan merupakan bagian dari dibangunnya tata sosial yang
lebih religius. Konsep acara Maiyahan seperti diskusi, puisi, lagu, shalawat, dan lain-
lain dimaknai oleh Jama’ah Maiyah berdasarkan kategori sosial masing-masing. Tidak
lepas dari realitas religiusitas subjektif Jama’ah Maiyah dalam kehidupan sehari-hari
sebelum mengenal Maiyahan dan realitas religiusitas objektif dalam Maiyahan.
Tergabung dan dibahas dalam proses dialektis internalisasi, objektifasi dan
eksternalisasi sosiologi pengetahuan. Oleh karena itu diambil rumusan masalah
sebagai berikut, yaitu :
1. Bagaimana konstruksi religiusitas dalam Maiyahan?
2. Bagaimana Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial memaknai
aktifitas Maiyahan?
3. Bagaimana dinamika dan pengaruh religiusitas Maiyahan?
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini secara umum ialah untuk mendeskripsikan dan mencari
tahu perihal makna Maiyahan yang berkenaan seputar konstruksi religiusitas terhadap
Jama’ah Maiyah. Tetapi secara khusus penelitian ini juga bertujuan mendeskripsikan
perihal :
1. Mendiskripsikan bagaimana Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial
memaknai Maiyahan.
2. Mengetahui motivasi dibalik keikutsertaan dalam Maiyahan.
8
3. Mendiskripsikan pemahaman Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial
seputar religiusitas dalam realitas kehidupan sehari-harinya (realitas
religiusitas subjektif) maupun dalam Maiyahan (realitas religiusitas objektif).
4. Mendiskripsikan bagaimana pengaruh Maiyahan terhadap Jama’ah Maiyah
dalam kehidupan sehari-harinya.
D. Tinjauan Teoritis
Kerangka pemikiran studi ini berdasarkan pemaknaan seseorang berdasarkan
kategori sosial masing-masing terhadap realitas, baik realitas objektif maupun
subjektif. Dimana keduanya menjadi landasan dalam memperoleh pengetahuan.
Dalam memahaminya perlu dipalajari konsep-konsep berikut :
1. Realitas dan Pengetahuan
Dasar teori konstruksi realitas sosial Berger ialah gagasan mengenai
“pengetahuan dan realitas”. “Pengetahuan” diartikan sebagai “the certainly
that phenomena are real and that they possess specific characteristic”
(kayakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai karakteristik
tertentu). Maksudnya, pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam
kesadaran individu.5 Setiap individu mempunyai bekal pengetahuan masing-
masing yang diyakini dan dilaksanakan. Pengetahuan menjadi suatu kesadaran
5Samuel, Hanneman. Peter Berger, Sebuah Pengantar Ringkas. (Depok: Penerbit Kepik, 2012). Hlm:14
9
individu dan diartikan menurut cara masing-masing individu. Pengetahuan ini
dikenal pula sebagai “realitas subjektif”.
Sedangkan “Realitas” diartikan sebagai “a quality pertaining to
phenomena that we recognize as having a being independent of our volition”
(kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada diluar
kehendak kita). Maksudnya, realitas merupakan fakta sosial yang bersifat
eksternal, umum, dan mempunyai kemampuan memaksa kesadaran masing-
masing individu.6 Realitas tetap ada, terlepas dari manusia suka atau tidak
suka. Realitas ini disebut pula sebagai “realitas objektif”.
Hadirnya suatu realitas baru dalam diri individu akan dihadapkan
dengan pengetahuan subjektif individu, dan juga pengaruh kenyataan dalam
lingkungan pergaulan individu. Sehingga individu berhak merespon dan
memaknai apapun dari realitas baru yang diinternalisasinya, bisa saja
menerima tetapi bisa pula menolak.
Penelitian ini berasumsi bahwa seseorang telah memiliki pengetahuan
atau realitas religius subjektifnya sendiri. Diperoleh sejak sosialisasi primer
dari internalisasi yang diberikan orang tua, lingkungan, pendidikan dan
bacaan sejak kanak-kanak. Tetapi juga tidak mengingkari kemungkinan
terdapat seseorang yang kurang memperoleh pendidikan religiusitas sejak
kanak-kanak. Tetapi baru mengenal religiusitas dengan baik setelah mengikuti
Maiyahan. Sedangkan Maiyahan merupakan fakta sosial yang bersifat
6 Ibid,.
10
eksternal, merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan
mempengaruhi religiusitas pada seseorang.
2. Konstruksi Realitas Sosial
Terdapat tiga momentum atau langkah dialektik konstruksi realitas
sosial, ketiga langkah tersebut ialah internalisasi, objektifasi, dan
eksternalisasi. Ketiganya harus dipahami dengan baik untuk dapat
memperoleh pandangan atas konstruksi secara empiris.
Berger menjelaskan bahwa, internalisasi adalah peresapan realitas
oleh manusia, dan mentransformasikannya dari struktur-struktur dunia
objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Sedangkan objektifasi
adalah disandangnya produk-produk aktifitas itu (baik fisis maupun mental),
suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam
bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap, dan lain dari, para
produser itu sendiri. Lalu eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian
manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisis
maupun mentalnya. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk
masyarakat. Melalui objektifasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas yang
sui generis, unik. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk
manusia.7
7Berger. Peter L, Langit Suci. Agama sebagai Realitas Sosial, (Jakarta: Penerbit LP3ES anggota IKAPI,1991). Hlm: 4-5.
11
Penelitian ini membatasi penerapan teori konstruksi realitas
religiusitas Berger. Terdapat proses berdinamika sejak sebelum seseorang
mengenal Maiyahan, hingga setelah seseorang mengenal Maiyahan. Sebelum
mengenal Maiyahan, proses dialektika religiusitas Jama’ah Maiyah dimulai
dari tahap internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi. Internalisasi terjadi
sejak sosialisasi primer, baik dari orang tua, lingkungan, pendidikan, maupun
bacaan; dalam prosesnya mengenal atau memutuskan sikap religiusitas.
Kemudian objektifasi, yang terjadi ketika seseorang telah mengenal dan
memaknai aktifitas religiusitas lingkungan sekitarnya sebagai realitas objektif.
Lalu ekstenalisasi, berupa ekspresi sikap religiusitas yang diwarisi dari
sosialisasi primer tersebut.
Lalu berjalan pada proses dialektik tahap selanjutnya, ketika seseorang
telah mengenal Maiyahan. Maiyahan merupakan sosialisasi sekunder, atau
kelanjutan dari tahap sosialisasi primer. Ketika ini proses dialektik pada
Jama’ah Maiyah dimulai dari tahap eksternalisasi, objektifasi dan
internalisasi, lalu dieksternalisasi kembali oleh Jama’ah Maiyah. Tahap
eksternalisasi dilakukan oleh berbagai komponen pengisi acara Maiyahan
sehingga berpengaruh terhadap Jama’ah Maiyah. Kemudian objektifasi, ketika
seseorang telah mengenal dan memaknai apa itu Maiyahan sebagai realitas
objektif yang berlaku umum kebenaranya dalam Jama’ah Maiyah yang lain,
lalu mentransformasikannya kedalam realitas subjektif kembali, untuk
kemudian menjadi motivasi yang mendorong dia mengikuti Maiyahan. Lalu,
merupakan internalisasi dimana ilmu dan wawasan religiusitas yang diperoleh
12
dalam Maiyahan akhirnya dijadikan landasan religiusitas individu. Serta yang
terakhir merupakan eksternalisasi atau implementasi religiusitas kembali oleh
Jama’ah Maiyah, dan merupakan praktik dari sikap religiusitas yang
diperolehnya selama mengikuti Maiyahan.
3. Pemaknaan Realitas Sosial
Seseorang selalu berada dibalik realitas objektif dan subjektifnya.
Keduanya tidak dapat lepas sebagai satu kesatuan proses dialektis. Realitas
objektif merupakan seperangkat pengetahuan yang telah ada dalam
masyarakat, dan mempengaruhi kehidupan seseorang sebagai anggota
masyarakat. Sedangkan realitas subjektif berasal dari sosialisasi primer yang
diperoleh sejak awal mula seseorang mampu berinteraksi, atau sejak awal
mula seseorang menginternalisasi suatu hal agar sesuai dengan masyarakat.
Pemaknaan sosial seseorang terhadap realitas tidak dapat lepas dari
realitas objektif dan subjektif. Seseorang menyerap realitas sebagaimana
makna-makna objektif dalam masyarakat, tetapi secara bersamaan memaknai
realitas tersebut dengan pengetahuan subjektif yang dimiliki dari pengalaman-
pengalaman yang membentuk biografinya. Lalu, keduanya membentuk suatu
pengetahuan baru yang berasal dari proses pemaknaan tersebut, yang
selanjutnya akan mempengaruhi tindakan dan pemaknaan atas realitas lain.
13
Dia menjadi tidak saja seseorang yang memiliki makna-makna tersebut tetapi
juga seseorang yang mewakili dan mengekspresikan makna-makna tersebut.8
Dalam penelitian ini realitas subjektif adalah awal dimana dimulai dari
seseorang mengenal religiusitas dari keluarga, lingkungan, pendidikan,
maupun bacaan; tentu sebelum seseorang mengenal Maiyahan. Sedangkan
realitas objektif, ialah ketika seseorang telah mengenal Maiyahan dan
menjadikannya sebagai realitas objektif, untuk kemudian diimplementasikan
sesuai kesadaran baru.
4. Religiusitas dalam Kategori Sosial
Untuk memahami makna dan maksud diterapkanya istilah “religius dan
religiusitas” dalam penelitian ini. Maka dijelaskanlah pengertian terhadap
istilah-istilah tersebut. Secara bahasa (Inggris) terdapat tiga istilah yang
masing-masing kata memiliki perbedaan arti yakni “religi, religiusitas dan
religius”. “Religi” berasal dari kata religion sebagai bentuk dari kata benda
yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya suatu kekuatan kodrati di
atas manusia. Sedangkan “religiusitas”, berasal dari kata religiosity yang
berarti kesalehan, pengabdian yang besar pada agama. Lalu “religius”, berasal
dari kata religious yang berkenaan dengan religi atau sifat religi yang melekat
pada diri seseorang.9 Dengan kata lain “religi” merupakan istilah lain dari
8 Ibid.,9 sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf. (Pdf oleh Drs. H. Ahmad Thontowi,Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses pada 6 Agustus 2013, pukul 10.30
14
“agama”, lalu “religiusitas” merupakan sifat saleh dan mengabdi pada agama,
sedangkan “religius” ialah menunjuk pada sifat religi seseorang.
Religiusitas bertautan dengan kebutuhan manusia akan agama. Terjadi
tatkala manusia tak berdaya sama sekali merebut kebahagiaan dengan
kekuatan sendiri, hingga akhirnya manusia menggunakan tenaga lain yang
dipercaya berada di dunia luar yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera,
namun dirasa mampu membantunya, yaitu agama.10
Religiusitas diungkapkan dalam dua kategori yaitu ungkapan
religiusitas perorangan dan kolektif. Dalam ungkapan religiusitas perorangan,
mengikuti pola-pola kebudayaan tertentu dimana telah diciptakan oleh
pendirinya. Seperti misalnya berdoa dengan menengadahkan tangan, atau pun
berdoa dengan ungkapan bahasa musik. Sedangkan ungkapan religiusitas
kolektif, terpengaruh dari konteks kebudayaan. Dimana tidak hanya
berdimensi illahi tetapi juga berdimensi sosio-budaya, yang hanya dimengerti
oleh budaya yang bersangkutan. Misalnya, upacara kebaktian seperti perayaan
ekaristi, perayaan inisiasi, perayaan sekramen perkawinan, sunatan, dan lain-
lain.
Disamping budaya, religiusitas juga tercermin dari kategori sosial,
karena dalam setiap budaya selalu terdapat berbagai kategori sosial. Proses
pengkategorian sosial tidak dapat dibuat berdasarkan atas kedudukan sosial
yang sama dalam satu lapisan sosial (sosial stratum) tertentu. Tetapi
berdasarkan konteks setting penelitian yaitu Jama’ah Maiyah, dimana
10 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). hlm. 32-33
15
komunitas tersebut merupakan komunitas terbuka bagi siapapun yang ingin
mengikuti, berasal dari berbagai kategori sosial berkumpul dalam satu acara.
Misalnya pria dan wanita, antara tua dan muda, antara mahasiswa dan pekerja.
Karena berdasarkan pengalaman, bahwa dari kategori sosial yang
berbeda-beda dan fungsi yang berbeda-beda pula, sejajar dengan pendidikan
dan keahlian untuk lapisan yang satu dengan yang lain, muncul kebutuhan
yang berbeda-beda, gaya dan pandangan hidup yang berbeda, cara berfikir dan
motivasi yang berbeda, dalam menghayati dan menanggapi tuntutan agama.11
5. Maiyahan
Maiyahan diambil dari kata Ma’a, artinya dengan, bersama, beserta.
Ma’iyatullah, kebersamaan dengan Allah, Ma’iyah itu kebersamaan, Ma’ana
bersama kita, Ma’iya bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab tersebut
‘diplesetkan’ oleh Jama’ah Maiyah (sebutan Cak Nun bagi masyarakat dalam
forum Maiyahan) menjadi Maiya, Maiyah, atau Maiyahan. Jama’ah Maiyah
lebih sering menyebut Maiyahan, dengan akhiran “–an”, sebagai keterangan
kata kerja, hingga berarti bahwa Maiyahan merupakan kata kerja. Maiyahan
juga mempunyai istilah lain, seperti mocopat syafaat dan padhang bulan, tapi
masyarakat lebih akrab dengan sebutan Maiyahan.
Selain kesenian dan musik, terdapat pula proses komunikasi sosial
yang komprehensif. Maiyahan rutin diadakan setiap tanggal 17 malam, mulai
11 Ibid. Hlm : 58
16
selepas Isya’ hingga kurang lebih pukul 03.00 WIB, di Kasihan, Bantul,
Yogyakarta. Selain diadakan rutin setiap tanggal 17, Maiyahan yang diasuh
oleh Emha Ainun Naijib (Cak Nun) dan grup kesenian Kiai Kanjeng ini juga
sering diundang tour berkeliling Indonesia, dan tak jarang pula menjelajah
negeri lain. Maiyahan berusaha menumbuhkan spiritualitas, melalui shalawat,
doa dan wirid, juga demi pencerdasan masyarakat, membangun jiwa
kemandirian, dan menawarkan alternatif kebudayaan yang tidak
membahayakan jiwa masyarakat, tetapi gembira dan diridhoi Allah dunia
akhirat.12
Maiyahan mungkin bisa dibilang pengajian, tetapi berbeda dengan
pengajian pada umumnya. Sebab Maiyahan tidak hanya diperuntukan bagi
orang Islam saja, karena sering dihadiri pula tokoh-tokoh lintas agama, aliran,
dan kepercayaan. Suasana terbuka dan akrab juga menarik Jama’ah Maiyah
dari berbagai kategori sosial untuk datang.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian Kualitatif Fenomenologi
Fenomenologi adalah bagian dari metode penelitian kualitatif, yang
mana Bogdan dan Tylor mendefinisikan “metode kualitatif” sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
12 www.Caknun.com. Diakses pada 6 Maret 2013
17
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13 Pendekatan lebih
pada latar dan individu secara keseluruhan dan utuh, tidak boleh memilah-
milahnya dan mengorganisasikan kedalam variable dan hipotesa.
Fenomenologi banyak digunakan untuk meneliti pandangan manusia
akan makna dunia, yang diperoleh dari pengalaman hidupnya. Dalam
memahami makna perilaku, tindakan, maupun pikiran informan, peneliti
dituntut berfikir fleksibel dan menyesuaikan dengan taraf pemikiran informan.
Dalam memaknai, terjadi suatu kesepakatan bahwa peneliti tidak mau
terjebak hanya pada pemikiran ilmiah sosial tetapi lebih pada interpretasi
terhadap kehidupan keseharian informan yang menginterpretasikan dunia
sosial dalam kerangka besar proses pencarian dalam proses pemahaman
terhadap konstruksi makna dari suatu proses yang bernama
intersubyektivitas.14
Penelitian ini menawarkan tiga model konstruksi religiusitas terhadap
tindakan sosial, yakni : (1) model konsistensi tindakan yang dianggap sebagai
validitas objektif dari konstruksi religiusitas dalam arena Maiyahan yang
membedakan dengan religiusitas masyrakat dalam kehidupan sehari-hari; (2)
model interpretasi subjektif dari hasil pemaknaan Jama’ah Maiyah setelah
mengikuti Maiyahan; sedangkan (3) model kelayakan (kesesuaian) antara arti
makna Maiyahan yang difahami peneliti dengan arti makna Maiyahan dari
yang diteliti.
13 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999). Hlm:314 Nindito, Stefanus. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalamIlmu Sosial. (Jurnal Ilmu Komunikasi: Volume 2, Nomor 1, Juni 2005). Hlm: 89.
18
Berdasarkan penggabungan konsep pemikiran tentang tindakan sosial
tersebut fenomenologi membantu mengkonstruksi metode ilmu sosial untuk
mencoba identifikasi, mengklasifikasi, dan memperbandingkan model tindakan
sosial secara luas namun sebagai sebuah fenomena menuju terbangunnya
sebuah model tindakan baru,15 dalam hal ini tindakan Jama’ah Maiyah yang
lebih religius.
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik, observasi, wawancara mendalam,
dan studi pustaka.
Pengamatan/observasi
Pengamatan penting sebagai cara memperkuat hasil temuan, selain dari
informan dan sumber tertulis. Pengamatan bermanfaat dalam rangka; (1)
mencari pengalaman langsung dengan mengamati peristiwa di arena Maiyahan,
demi memperkuat keyakinan keabsahan data; (2) mengamati, melihat,
kemudian mencatat perilaku dan kejadian dalam Maiyahan; (3) mencatat
peristiwa untuk menyesuaikan dengan proporsi penelitian; (4) mengecek bila
terdapat keraguan dalam data; (5) memahami bila tiba-tiba terjadi situasi yang
unik; dan terakhir (6) pengamatan sangat bermanfaat ketika metode penelitian
lain kurang berfungsi.
Wawancara Mendalam
15 Ibid, Hlm : 90
19
Wawancara dalam penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara
mendalam (indept interview). Sifat wawancara mendalam ialah terbuka.
Pelaksanaanya tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali dengan
intensitas yang tinggi. Peneliti tidak boleh percaya begitu saja terhadap
perkataan informan, tetapi perlu melakukan cek dan ricek dalam kenyataan
melalui pengamatan. Cek dan ricek tersebut dilakukan secara
berkesinambungan atas hasil wawancara dan hasil observasi lapangan, dan
juga hasil wawancara informan satu ke hasil wawancara informan lainnya.
Wawancara mendalam mensyaratkan informan sebagai kunci penelitian
harus memenuhi pertimbangan sebagai berikut:16 1) orang yang bersangkutan
memiliki pengalaman pribadi seseuai dengan permasalahan yang diteliti; 2)
usia orang yang bersangkutan telah dewasa; 3) orang yang bersangkutan sehat
jasmani dan rohani; 4) orang yang bersangkutan bersifat netral, tidak
mempunyai kepentingan pribadi untuk menjelek-jelekan orang lain; 5) orang
yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan
yang diteliti, dan lain-lain.
Studi Pustaka
Studi pustaka digunakan untuk mencari pemerkuat data, atau untuk
mempermudah mengenali data. Cara ini dapat dilakukan dengan membaca
literature berupa buku, e-book, paper, ataupun browsing internet.
16 Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011). Hlm : 101
20
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian atau informan yang dipilih bukan untuk mencari
persamaan-persamaan diantara perbedaan pemaknaan, tetapi untuk mencari
kekhasan atau keunikan pemaknaan seorang informan dari berbagai kategori
sosial. Oleh karena itu peneliti menetapkan informan sebagai berikut :
Jama’ah Maiyah
Jama’ah Maiyah merupakan subjek dalam penelitian ini, yang terdiri
dari sembilan orang informan. Dari kesembilan informan diperoleh data
tentang bagaimana konstruksi religiusitas dan makna Maiyahan bagi Jama’ah
Maiyah berdasarkan berbagai kategori sosial. Serta menjadi pengukur
pengaruh religiusitas yang dibentuk terhadap keputusan Jama’ah Maiyah
dalam bertindak dan berperilaku.
4. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel penelitian penting demi diperolehnya data yang
baik. Moleong17 menegaskan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak ada
sampel acak, tetapi harus sampel bertujuan (purposive sample). Sampel
bertujuan tersebut dikategorikan sebagai berikut :
Jama’ah Maiyah dari Berbagai Kategori Sosial
17 Ibid, Hlm: 3
21
Sampel utama penelitian berasal dari Jama’ah Maiyah, tepatnya
berdasarkan berbagai kategori sosial yang terlibat dalam Maiyahan.
Pengkategorian sosial tidak dibuat berdasarkan atas kedudukan sosial yang
sama yang disadari bersama oleh para anggotanya seperti dalam lapisan sosial,
tetapi menurut akal dan keinginan si peneliti sendiri.18 Berdasarkan kriterium
penggolongan kategorial dalam ciri yang sama yang tidak mereka perhatikan
tetapi secara khusus diperhatikan peneliti. Pengkategorian tersebut diambil
dengan tujuan memperkaya pengetahuan tentang dinamika yang menimbulkan
pemaknaan, motivasi, cara berfikir, pandangan hidup, dan kebutuhan yang
berbeda-beda terhadap religiusitas dan Maiyahan. Sehingga mampu
memperkaya kajian tentang sosiologi agama.
Kategori sosial yang peneliti ambil ialah :
1) Berdasarkan kategori jenis kelamin, dipilih berdasarkan rata-rata Jama’ah
Maiyah terdiri dari :
a. Pria, merupakan rata-rata peserta Maiyahan
b. Wanita, sebagian peserta Maiyahan ialah wanita
2) Berdasarkan kategori usia, dipilih berdasarkan faktor biologik (usia) dan
status perkawinan, terdiri dari :
a. Dewasa, secara usia mereka diluar batas usia pemuda yaitu diatas 30
tahun, dengan status sosial telah kawin. Dewasa juga masuk dalam
pengklasifikasin seseorang yang telah bekerja, sehingga dapat masuk
pula dalam kategori kaya atau miskin.
18 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). hlm. 58
22
b. Pemuda, menurut UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan
menetapkan kategori pemuda dengan cakupan usia 16-30 tahun.19
Pemuda juga masuk dalam pengklasifikasian kategori mahasiswa,
tetapi juga bisa masuk dalam kategori pekerja bila pemuda tersebut
bukan seorang mahasiswa. Pemuda juga masuk dalam kategori kaya
atau miskin dengan kriteria sesuai kriteria status sosial kaya atau
miskin.
3) Berdasarkan kategori status kerja, dipilih berdasarkan rata-rata Jama’ah
Maiyah ialah mahasiswa dan pekerja, terdiri dari :
a. Mahasiswa, mahasiswa dipandang secara spesifik sebagai seseorang
yang sedang menempuh kuliah di universitas tertentu. Walaupun
mahasiswa dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) termasuk kedalam
status kerja. Tetapi demi kepentingan penelitian, status mahasiswa
tidak dimasukan ke dalam kategori pekerja, untuk mempermudah
pengklasifikasian antara pekerja dan mahasiswa. Tetapi mahasiswa
termasuk dalam kategori kaya atau miskin, walau belum
berpenghasilan tetapi status tersebut diukur berdasarkan konsumsi
sehari-hari.
b. Pekerja, kategori pekerja diambil tanpa membedakan jenis pekerjaan,
tetapi sebagai kategori sosial pekerja secara umum. Pekerja juga
masuk dalam klasifikasi kaya atau miskin, karena telah memiliki
penghasilan.
19 Azca&Margono, dkk. Pemuda Pasca Orba, Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. (Yogyakarta:Yousure(Youth Studies Centre) FISIPOL UGM, 2011). Hlm: 70
23
4) Berdasarkan kategori kelas sosial, sulit menentukan kategori berdasarkan
kelas sosial (kaya dan miskin), karena kebanyakan informan tidak mengaku
berapa pendapatan dan pengeluaran rata-rata perbulan. Juga sebenarnya
kriteria kaya atau miskin ini sangat relatif, tidak bisa disamakan sepihak.
Tetapi, berdasarkan informan yang mau mengaku berapa pengeluaran rata-
rata perbulan (kebanyakan pemuda dan mahasiswa) maka: untuk kategori
pemuda dan mahasiswa (belum bekerja) – ditentukan berdasarkan rata-rata
penghasilan orang tua perbulan dan uang saku untuk konsumsi perbulan,
yaitu kaya : penghasilan orang tua rata-rata lebih dari Rp 5000.000/bulan,
dan uang saku rata-rata lebih dari Rp 800.000/bulan. Sedangkan pemuda
atau mahasiswa (telah bekerja) – ditentukan berdasarkan penghasilan yaitu
rata-rata lebih dari Rp 3000.000/bulan. Sedangkan kriteria miskin ialah
kurang dari rata-rata penghasilan yang telah disebutkan.
Tetapi untuk informan yang tidak mengaku pendapatan dan pengeluaran
perbulan (kebanyakan kategori dewasa dan pekerja) maka
pengklasifikasian kelas sosial kaya atau miskin diambil berdasarkan
hubungan pekerjaan – kondisi rumah – kepemilikan sarana transportasi –
serta keluh kesah dan pengakuan informan perihal perekonomian
keluarganya, diantaranya :
a. Kaya
b. Miskin
24
5. Lokasi Penelitian
Maiyahan merupakan acara yang diadakan sebulan sekali, yaitu setiap
bulan tanggal 17 malam, selepas Isya’ hingga kurang lebih pukul 03.00 WIB.
Diadakan di Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Jadi subjek penelitian dapat
dijumpai dalam acara Maiyahan, untuk kemudian menentukan waktu untuk
wawancara.
25
BAB II
SEPUTAR MAIYAHAN DAN JAMA’AH MAIYAH
Bab ini menjelaskan seputar Maiyahan dan Jama’ah Maiyah, dimana keduanya
memiliki pengertian baik secara epistemologi maupun pengertian secara fungsional.
Keduanya berkorelasi bagi terciptanya aktifitas konstruksi realitas religiusitas yang
disosialisasikan dalam Maiyahan. Berlangsung secara khas dan berbeda dari
pengajian-pengajian pada umumnya.
Sejak awal mula didirikan, hingga sekarang Maiyahan tetap konsisten
mengusung faham yang sesuai dengan tujuan mula diadakannya Maiyahan. Sehingga
mampu menarik minat masyarakat dari berbagai kategori sosial untuk hadir dalam
Maiyahan. Secara lebih jelas akan di uraikan sebagai berikut :
A. Gambaran Umum Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
1. Secara Administratif dan Geografis
Yogyakarta merupakan propinsi yang hingga saat ini masih menjaga
tradisi dan adat dengan baik. Hal ini berkat adanya kekuasaan Keraton
Ngayogyokarto Hadiningrat yang terus melaksanakan ritual kekeratonan sejak
dahulu kala hingga saat ini. Selain itu, Yogyakarta menjadi panutan bagi
propinsi-propinsi lain di Indonesia, dimana keberagaman dihargai dan
diapresiasi bai oleh pemerintah dan penduduknya. Oleh karena itu Yogyakarta
merupakan propinsi dengan penerapan demokrasi terbaik di Indonesia. Boleh
26
dikatakan bahwa tonggak persatuan bangsa ini ialah Yogyakarta. Bila
Yogyakarta tidak bersatu lagi mungkin itu ialah awal dari runtuhnya republik
ini karena tidak ada daerah yang dijadikan contoh bagi di lestarikanya
persatuan dan kesatuan diantara berbagai keberagaman. Hal lain yang tidak
boleh dilupakan bahwa Yogyakarta ialah kota pendidikan. Dengan adanya
berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta terbanyak di Indonesia.
Kualitas perguruan-pergurau tinggi tersebut termasuk maju, terbukti dengan
banyaknya pemuda yang datang ke Yogyakarta untuk menempuh jenjang
perguruan tinggi, dan banyak lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta yang
sukses di berbagai karir dan pekerjaan.
Bila memandang Yogyakarta, persepsi orang awam ialah Kota
Yogyakarta saja. Padahal disamping itu terdapat berbagai kabupaten yang tidak
kalah unggul di banding kota Yogyakarta, membentuk satu-kesatuan kekayaan
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Seperti Kulon Progo, Gunung
Kidul, Sleman dan Bantul. Keseluruhan mempunyai kekayaan adat, tradisi,
wisata dan kesenian yang khas dan menarik wisatawan datang ke Yogyakarta.
Berbicara tentang konteks penelitian ini, Bantul menjadi sorotan utama.
Bantul merupakan kabupaten yang terletak di selatan Propinsi DIY, dengan
batasan : Sebelah utara ialah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, sebelah
selatan ialah Samudera Indonesia, sebelah Timur ialah Kabupaten Gunung
Kidul, dan sebelah barat ialah Kabupaten Kulon Progo. Secara geografis
Bantul terletak di antara 070 44’ 04” – 080 00’ 27” lintang selatan dan 1100 12’
34” – 1100 31’ 08” bujur timur. Secara administratif Bantul terdiri dari 17
27
Kecamatan, 75 Desa dan 933 Dusun. Hasil registrasi penduduk awal tahun
2012 menunjukan data bahwa total penduduk Bantul ialah 1.015.465 jiwa,
dimana terdiri dari 306.515 Kepala Keluarga (KK), dengan kepadatan
penduduk 2.012,93 Jiwa/km2.
Bantul terdiri dari 17 Kecamatan diantaranya Kecamatan Bambang
Lipuro, Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Bantul, Kecamatan Dlingo,
Kecamatan Imogiri, Kecamatan Jetis, Kecamatan Kasihan, Kecamatan Kretek,
Kecamatan Pajangan, Kecamatan Pandak, Kecamatan Piyungan, Kecamatan
Pleret, Kecamatan Pundong, Kecamatan Sanden, Kecamatan Sedayu,
Kecamatan Sewon dan terakhir Kecamatan Srandakan. Diantara keseluruhan
kecamatan Bantul memiliki 75 Kelurahan/Desa. Keseluruhan desa tidak akan
disebutkan disini. Hanya saja akan disebutkan Kelurahan/Desa di Kecamatan
Kasihan karena berkaitan dengan lokasi penelitian ini.
Berdasarkan Data Kecamatan pada Juli, Tahun 2013, Kecamatan
Kasihan memiliki luas 3.437,957 Ha, dengan jumlah penduduk 77.261 jiwa,
dihuni sekitar 15.559 KK, dan dengan kepadatan penduduk 2.247 jiwa/km2.
Kecamatan Kasihan terdiri dari 4 Kelurahan/Desa diantaranya: Kelurahan/Desa
Tirtonirmolo, Kelurahan/Desa Ngestiharjo, Kelurahan/Desa Tamantirto, dan
Kelurahan/Desa Bangunwijo.
28
2. Visi dan Misi
Kecamatan Kasihan, sebagaimana bagian dari Kabupaten Bantul
berusaha mewujudkan “Visi” untuk mewujudkan tujuan pembangunan
Kabupaten Bantul yaitu, “BANTUL PROJOTAMANSARI SEJAHTERA,
DEMOKRATIS DAN AGAMIS”.20 Serta “Misi” Kabupaten Bantul sesuai
RPJMD tahun 2011 – 2015 yang terdiri dari empat poin pokok.
Diantara visi dan misi Kabupaten Bantul yang berusaha diusung
Kecamatan Kasihan, keseluruhan tidak akan dijelaskan disini. Walaupun pasti
keseluruhan merupakan sistem fungsional yang saling mempengaruhi
membentuk suatu tujuan yang sesuai dengan apa yang ingin dibahas dalam
penelitian ini. Tetapi terdapat beberapa visi dan misi pokok sesuai dengan apa
yang hendak disampaikan dalam penelitian ini perlu di bahas barang sejenak,
yaitu : Visi “AGAMIS”,21 “dalam artian bahwa kehidupan masyarakat Bantul
senantiasa diwarnai oleh nilai-nilai religiusitas dan budi pekerti yang luhur.
Pentingnya aspek agama tidak diartikan sebagai bentuk primordialisme untuk
suatu agama tertentu, tetapi harus diartikan secara umum bahwa nilai-nilai
luhur yang dianut oleh semua agama semestinya dapat ditentukan dalam
interaksi sosial sehari-hari”. Serta Misi Kabupaten Bantul Poin ke dua, yaitu :
“Maningkatkan kualitas hidup rakyat menuju masyarakat Bantul yang sehat,
cerdas, berakhlak mulia, dan berkepribadian Indonesia dengan memperhatikan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi”.
20 www.Bantulkab.go.id. Diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 10.30 WIB21 Ibid., Diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 10.30 WIB
29
Maiyahan sebagai lembaga religiusitas yang rutin diadakan di
Kelurahan/Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Pripinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara langsung maupun tidak langsung
berperan membantu mewujudkan visi dan misi pemerintah Kabupaten Bantul,
terutama visi dan misi yang disebutkan diatas. Jangka panjang diharapkan
keberadaan Maiyahan dapat mewujudkan kesejahteraan yang didambakan
Jama’ah Maiyah khususnya dan masyarakat pada umumnya.
3. Setting Sosial Religiusitas
Agama dalam system masyarakat Indonesia mempunyai posisi dan
pengaruh yang cukup penting. Oleh karena itu tidak mungkin mengabaikannya
dalam kaitannya dengan proyek-proyek diskursus masyarakat. Gilles Kepel,
misalnya, menggulirkan diskursus tentang kebangkitan agama-agama dari
perspektif jatuhnya komunisme dan krisis modernitas yang telah
mendatangkan kebingungan dikalangan orang-orang beragama, sehingga
mereka merasa perlu mencari sandaran pada penjelasan-penjelasan apokaliptik.
Senada dengan itu, Ernest Gellner misalnya, mengedepankan diskursus
masyarakat sipil sebagai arus balik dari dominasi pendekatan state (serba
Negara) dalam tradisi Hegelian dan juga paradigma Marxian yang menolak
masyarakat sipil serta menganggapinya sebagai gagasan yang menipu.22
22 Zahra, Abu. Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia. (Bandung: Pustaka Hidayah,Anggota IKAPI, 1999) Dalam, Gaus. Hlm : 371-372
30
Tetapi diluar wacana-wacana besar tersebut, akan lebih ditilik
perspektif yang mensinergikan antara agama dan masyarakat, khususnya
masyarakat subjek penelitian (Jama’ah Maiyah). Dimana agama dirujuk
sebagai sarana yang berperan besar dalam kebangkitan masyarakat, baik
melalui transformasi kesadaran umat beragama karena situasi penindasan –
sehingga tumbuh menjadi kekuatan berbasis masyarakat sipil, atau melalui
jaringan kekuatan sosial institusi agama (Maiyahan) yang berdiri dibalik masa
dan gerakan-gerakan rakyat (berbagai kategori sosial) dalam berhadapan
dengan Negara dan pasar dalam era demokrasi.
Agama di Indonesia lebih terkesan menggambarkan situasi sinergi
dengan masyarakat. Tapi terkadang agama terkesan sebagai kekuatan marjinal
yang belum mampu mengakomodasi potensi-potensi masyarakat sipil dalam
menghadapi hegemoni Negara dan pasar , atau malah sebaliknya agama terlalu
terintervensi dan terkooptasi oleh hegemoni pasar dan Negara.
Dalam perkembangannya, sering kita bersentuhan dengan yang biasa
disebut ruang publik keagamaan (religion public sphere), seperti dalam
Maiyahan, yang massif dalam menyebarkan optimisme dalam menghadapi
dampak globalisasi. Seperti dalam masyarakat mulai dari tingkat RT/RW
hingga Kelurahan/Desa, diadakanlah doktrin-doktrin keagamaan yang intinya
melembagakan religiusitas sebagai dasar pegangan masyarakat. Agama
berfungsi sebagai pengandali sosial yang melakukan pengawasan terhadap
berbagai aspek dan sisi kehidupan, yang akan mengkritik atau menentang bila
31
melenceng dari kaidah agama, atau mendukung sesuatu bila bersinergi dengan
kaidah agama walaupun bertentangan dengan hukum Negara.
Situasi tersebut sering digambarkan sebagai gerakan kebangkitan Islam,
yang menawarkan berbagai cara dan harapan bagi penyembuhan penyakit-
penyakit sosial yang marak sebagai dampak modernisasi. Disertai optimisme
untuk mendeteksi sisi-sisi negative dalam diri seorang individu. Sehingga
diharapkan gerakan-gerakan keagamaan tidak hanya berhenti pada indoktrinasi
dan penegakan syariat agama, tetapi juga memberi ketenangan melalui
advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Agama bagaimanapun harus
memiliki kompensasi dan perhatian besar terhadap masalah kemasyarakatan
(seperti tercermin dalam konsep ummah). Realitas masyarakat yang selama ini
cenderung dilihat sebagai persoalan normatif religiusitas, agar dipahami juga
sebagai persoalan etis kemanusiaan dan moralitas struktural.23 Sehingga agama
akan memiliki relevansinya terhadap isu-isu kemiskinan, ketidakadilan,
penindasan, penipuan, kesenjangan sosial, HAM, ruang publik, demokrasi, isu
lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain.
Walau kenyataannya, masih banyak institusi atau lembaga agama yang
terkooptasi oleh kepentingan pasar, atau kepentingan elit politik Negara.
Sehingga wacana belum sepenuhnya terimplementasikan. Oleh karena itu
dibutuhkan gerakan religiusitas yang keluar dari hegemoni pasar atau Negara,
yang melaksanakan wacana kebangkitan agama, dengan dorongan etis
kemanusiaan mampu terjun langsung dalam masyarakat sipil dari berbagai
kalangan, terutama kalangan akar rumput.
23 Ibid, hal : 374
32
Persoalan fenomena kebangkitan agama tersebut menunjukan adanya
tantangan krusial bagi tercapainya agama sebagai mediating structure, atau
agama yang member peran pemberdayaan masyarakat, atau minimal
menumbuhkan energi bagi masyarakat sipil. Mungkin sudah seharusnya bahwa
gerakan agama, menurut perspektif penulis, seperti yang telah dilakukan dalam
Maiyahan – mampu menjaga jarak dengan Negara dan pasar, sehingga tersedia
ruang bagi sikap yang lebih kritis, dalam upaya membangun kesejahteraan
masyarakat sipil.
B. Maiyahan
1. Secara Epistemologi
Maiyahan, secara epistemologi berasal dari bahasa arab, yaitu ma’a,
yang berarti “dengan , bersama, dan beserta”. Menjadi Ma’ana yang berarti
“bersama kita”. Lalu Ma’iya yang berarti “bersamaku”. Sehingga Ma’iyah
berarti “kebersamaan”. Dalam pengucapan masyarakat Indonesia akhirnya
diplesetkan menjadi Maiya, Maiyah, atau Maiyahan. Maiyahan sendiri bisa
dimaknai bahwa “seseorang atau sekelompok orang dalam kondisi mengikuti
acara Maiyah”. Sehingga untuk menggambarkan hal tersebut, secara kebiasaan
jawa, menambahkan kata akhiran “-an” pada akhir kata Maiyah, sehingga
dibaca Maiyahan, yang berarti “sedang mengikuti Maiyah”. Untuk lebih
jelasnya, misal terdapat kalimat ajakan “Ayo ikut Maiyah?”. Akan terasa sulit
diucapkan oleh orang Indonesia, khususnya jawa. Sehingga orang akan
33
mengganti kalimat ajakan dengan “Ayo Maiyahan?”, yang memiliki arti sama
dengan kalimat ajakan sebelumnya.
Sedangkan asal usul Jama’ah Maiyah, secara epistemologi berasal dari
kata “Jama’ dan Maiyah”. Jama’ dalam bahasa arab berarti “kumpulan”,
sedangkan jama’ah berarti “kumpulan orang”, lalu Maiyah berarti “bersama-
sama”. Sehingga arti kata Jama’ah Maiyah secara epistemologi ialah
“kumpulan orang yang bersama-sama” atau disederhanakan menjadi
“kumpulan bersama”.
Penelitian ini memandang berdasarkan prespektif masyarakat, atau
peserta Maiyahan. Dimana masyarakat menyebut acara Maiyah dengan
Maiyahan, sehingga penelitian ini juga menggunakan istilah “Maiyahan” untuk
menyebut acara Maiyah. Lalu, penelitian ini menggunakan istilah “Jama’ah
Maiyah” untuk menunjuk kepada orang-orang yang mengikuti Maiyahan.
2. Prosesi dan Setting Acara
Maiyahan diadakan rutin, setiap bulan pada tanggal 17 malam. Dimulai
selepas Isya yaitu pukul 19.30 hingga pukul 03.00 pagi. Prosesi acara
Maiyahan tidaklah tetap, alias fleksibel. Sebagaimana penjelasan Cak Nun
dalam Jawa Pos, tanggal 3 Maret 2002 berjudul “Wayang Tanpa Pandawa”.
Bahwa Acara Maiyahan itu bisa diisi apa saja asal baik dan menggembirakan
serta patuh pada prinsip Maiyah – misalnya kebersamaan, objektifitas berfikir,
keikhlasan hati, belajar arif, menegaskan diri ini hidup bareng Tuhan apa tidak,
34
dan lain sebagainya. Bisa diisi pencak, fragmen drama, nyanyi lagu pop,
nembang, pidato, serta apa saja yang bermanfaat untuk dinikmati bersama.24
Tetapi secara sederhana, penelitian ini memaknai substansi acara Maiyahan
sebagai acara religi, diskusi dan musik, sedangkan berbagai acara fleksibel
tersebut merupakan tambahan, kondisional, atau situasional.
Dalam segmen acara religiusitas, pembicara utama ialah Cak Nun,
yang berperan sebagai narasumber, yang dianggap paling cakap
menyampaikan pesan religiusitas. Disamping kolaborasinya dengan pakar-
pakar religiusitas lain yang mampu mensosialisasikan religiusitas. Begitu pula
dengan segmen diskusi, dimana Cak Nun tetap menjadi pembicara utama,
sekaligus narasumber dan moderator, bila Cak Nun hadir, disamping pemantik
diskusi lain yang diundang.
Selain itu, setting berbudaya terasa kental dalam Maiyahan, terlihat
dari seperangkat alat musik tradisional yang mengiringi musik Maiyahan, yaitu
gamelan bernama Kiai Kanjeng25. Ekspresi Iman berkolaborasi dengan budaya
telah akrab dalam masyarakat Yogyakarta. Seperti halnya dalam Maiyahan
yang menggabungkan gamelan sebagai perangkat musik tradisional, dengan
rebana yang berciri khaskan musik Islami, serta alat-alat musik modern.
Segmen acara musik, dibawakan oleh Kiai Kanjeng, yang juga sering
mengundang berbagai grup musik pop seperti Letto dan Jasmine, serta
24 Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah. (Yogyakarta: SekertariatHamas, 2002) hlm: 2825 Selain nama gamelan yang dipakai dalam Maiyahan, Kiai Kanjeng juga menjadi nama dari grupmusik yang mengiringi Maiyahan.
35
berbagai pengisi hiburan musik lain. Sehingga Maiyahan juga sering dimaknai
sebagai acara musik.
3. Sejarah dan Diskripsi Wilayah Penelitian
Maiyahan sebagai pokok penelitian dalam tulisan ini lahir pada malam
menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001, tepatnya
tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik semakin memanas,
Emha26 secara khusus menggelar acara “Sholawatan Maulid” di kediamannya
bersama sahabat-sahabat Kiai Kanjeng untuk mensikapi situasi politik yang
semakin tidak menentu27. Kegiatan semacam ini sebenarnya sudah sering
diadakan Cak Nun, tetapi dahulu belum memakai istilah Maiyahan atau
Jama’ah Maiyah, karena kegiatan pengajian ini tidak hendak menekankan pada
eksistensi substantif. Dahulu, Cak Nun dan Kiai Kanjeng tidak berpentas
dipanggung, tetapi mereka berkeliling membentuk putaran, dengan diikuti
peserta berbaris meluas dibelakang putaran. Sampai akhirnya, peserta semakin
bertambah dan lingkaran semakin besar, sehingga tidak kondusif. Akhirnya
Maiyahan dilakukan dengan bentuk panggung dengan pesertaya mengikuti di
depan panggung.
Lokasi Maiyahan Diadakan di rumah Cak Nun, di Kelurahan/Desa
Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Pripinsi Daerah Istimewa
26 Emha, atau Emha Ainun Najib, alias Cak Nun27 http://www.maiyah.net/2012/02/siapakah-jamaah-maiyah.html (Diakses pada 29 Mei 2013, pukul14.30)
36
Yogyakarta, tepatnya di kediaman MH. Ainun Najib. Berikut peta wilayah
lokasi penelitian :
Peta 1: Lokasi Maiyahan28
Pencarian lokasi bisa dimulai dari Jalan Parangtritis, menuju ke arah
selatan hingga sampai perempatan Ring Road Selatan. Setelah sampai Ring
Road Selatan belok kanan, atau ke arah Barat. Lurus terus mengikuti jalur Ring
Road Selatan, hingga di Perempatan Kasihan, terdapat rambu penunjuk arah,
ambil atau belok ke kiri/arah Selatan “Kasihan”. Lurus Hingga ada pohon
beringin di tengah pertigaan jalan disamping lapangan. Ambil kanan/barat,
sekitar 200 meter melewati SDN Kasihan. Tikungan ke dua arah kiri/selatan,
ada petunjuk arah menuju jalan Buntu. Lurus mengikuti jalan sampai
28 www.googlemap.com. Diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pada pukul 10.30 WIB
Ring Road Selatan
Jalan Desa
Tamantirto
Lokasi Maiyahan
37
habis/mentok di gang buntu. Ditengah jalan terdapat tukang parkir,
menunjukan bahwa sudah sampai di lokasi Maiyahan. Pengunjung hanya perlu
parkir dan berjalan 50 meter, sampai lokasi Maiyahan.
4. Sikap Religiusitas Maiyahan
Berdasarkan buku “Materi & Panduan Jama’ah Maiyah”, penjelasan
perihal apa itu Maiyahan, yang secara tidak langsung menunjukan sikap
Maiyahan terhadap religiusitas. Sikap religiusitas Maiyahan tersebut
disampaikan melalui Maiyah Putih, Maiyah Bunyi, Maiyah Kata, Maiyah
Sosial, Maiyah Bahasa dan Maiyah Lingkaran. Kerseluruhan sikap religiusitas
Maiyahan ialah karakteristik substansi religiusitas yang hendak disosialisasikan
pada masyarakat, berikut penjelasannya29 :
Pertama, Maiyah Putih, menunjukan sikap bahwa ketika Maiyahan
seluruh personil Maiyahan mengenakan pakaian serba putih mulai dari celana,
baju, dan penutup kepala (peci). Pakaian serba putih tersebut tidak hendak
menunjukan bahwa mereka ialah orang yang alim, religius, rajin sholat dan
rajin berdzikir. Tetapi menunjukan pada masyarakat bahwa mereka juga sama
seperti masyarakat awam pada umumnya, masih kotor, masih banyak
melakukan dosa dan maksiat, baik kepada manusia atau kepada Tuhan. Dengan
serba putih mengajak pada masyarakat, khususnya diri mereka sendiri untuk
membentuk sikap, suasana hati dan konsentrasi agar kalau bisa tidak terus-
29 Dikutip berdasarkan : Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah.(Yogyakarta: Sekertariat Hamas, 2002)
38
menerus hanya yang kotor-kotor, karena itu belum tentu baik dan benar, tidak
sejati dan tidak abadi.
Kedua, Maiyah Bunyi, menunjukan sikap bahwa apa yang selama ini
Maiyahan lakukan seperti membawa alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi,
berteriak-teriak, menggeremang, bahkan memekik-mekik, pada dasarnya
mereka melakukan itu kepada Tuhan. Misalnya, ketika mereka memekik-
mekik sesungguhnya hati mereka berlari sekencang-kencangnya pada
keharibaan Tuhan, dengan rasa malu yang amat sangat, sebagai pengakuan atas
banyaknya dosa. Mereka bershalawat, wiridan, berdzikir dan bertaubat
memakai musik, dengan tujuan untuk memperasyik lagu puji-pujian kepada
Tuhan. Sembari menunjukan bahwa perilaku-perilaku tersebut merupakan
bagian dari budaya, dan manusia harus mampu mereligiuskan perilaku budaya.
Budaya tidak hanya diperuntukan bagi sesama manusia, tetapi juga kepada
Tuhan.
Ketiga, Maiyah Kata, menunjukan sikap bahwa Maiyahan selalu
bersama kita, jangan takut dan jangan sedih karena kita selalu bersama.
Kepedulian yang berusaha dibangun antara Maiyahan dengan masyarakat.
Dengan terminologi jika engkau bahagia aku juga bahagia, juka engkau beduka
aku juga menderita, jika engkau ditimpa masalah itu juga masalahku, jika
engkau membutuhkan aku akan berusaha mengupayakan, engkau dan aku
saling menyayangi, tolong-menolong dan saling membela satu sama lain.
Keempat, Maiyah Sosial, menunjukan sikap bahwa Maiyahan tidak
hanya ada untuk satu golongan saja. Tetapi kepada seluruh masyarakat tanpa
39
membedakan apapun. Dengan terminologi bahwa Maiyahan disampaikan
kepada seluruh teman-teman, kepada para tetangga, pada sesama umat, sesama
manusia, masyarakat, warganegara, apapun sukunya, bangsanya,
kelompoknya, golongannya, organisasinya, kepercayaannya, pendapatnya –
sesungguhnya kita selalu bersama.
Kelima, Maiyah Bahasa, menunjukan sikap bahwa bahasa kenegaraan
yang disampaikan Maiyahan merupakan sikap religiusitas yang dapat
bersinergi dengan nasionalisme, universalisme, pluralisme, dan heterogenisme
- yang dikelola, dipahami dan direlakan sebagai bagian dari Negara demokrasi.
Selain itu, juga berusaha menyampaikan sikap bahwa bahasa ekonomi yang
disampaikan Maiyahan merupakan sikap religiusitas yang menyampaikan
semangat menghapus kesenjangan penghidupan antara satu orang dengan
orang lain atau suatu kelompok dengan kelompok lain. Berusaha mengajak
bersatu diantara ke Bhineka-an dengan saling menyelamatkan dan
mensejahterakan.
Terakhir atau keenam, Maiyah Lingkaran, dulu Maiyahan dilakukan
dengan melingkar, terserah orang-orang akan bergabung menciptakan lapisan-
lapisan lingkaran selanjutnya atau tidak. Dengan melakukan seluruh aktifitas
yang hanya ditujukan kepada Tuhan. Menunjukan sikap bahwa segala aktifitas
untuk memelihara hubungan baik dengan Tuhan. Sambil mengajak sadar
bahwa bagi orang-orang yang taqwa dan tawakkal, Tuhan berjanji akan
melakukan empat peran bagi mereka. Peran pertama, sebagai pemberi jalan
keluar dan solusi dari masalah apa saja. Kedua, sebagai penabur rizki melalui
40
jalan, cara, metode dan modus yang hanya Dia sendiri yang tahu. Ketiga,
sebagai menejer dan akuntan, yang menjamin nafkah, penghidupan keluarga,
asal manusia mau taqwa dan tawakkal. Dan keempat, sebagai humas dan
public relation bagi manusia, bahwa keperluanmu atas seseorang atau suatu
pihak, kebutuhan atas akses ini dan itu, akan disampaikan oleh Tuhan kepada
yang bersangkutan. Sekali lagi, manusia cukup hanya bertakwa dan tawakkal.
Berbagai pengertian dari sikap religiusitas Maiyahan tersebut
merupakan gambaran dari satu-kesatuan substansi acara Maiyahan dari awal
hingga akhir, tanpa terdapat urutan waktu tertentu, mulai dari ajaran
religiusitas, pagelaran musik, pendidikan masyarakat, pendidikan
nasionalisme, pendidikan berserah diri, dan lain sebagainya. Tetapi yang
menjadi jelas disini, bahwa sikap religiusitas yang disosialisasikan dalam
Maiyahan ditujukan sebagai wadah keluh kesah dan memupuk perasaan
senasib sepenanggungan diantara sesama orang-orang yang gelisah. Gelisah
karena jauh dari agama tetapi juga jauh dari kenikmatan dunia. Maiyahan
melembagakan religiusitas tidak hanya sebatas ritus-ritus keagamaan seperti
sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Tetapi juga tidak melupakan out put
religiusitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan seperti sikap toleransi
antar umat beragama dan kepercayaan, sikap saling tolong-menolong, sikap
saling menghargai pendapat orang lain, serta yang lebih luas lagi seperti sikap
demokratis, humanis, mencintai seni dan budaya, dan seterusnya. Selain itu,
juga out put religiusitas bagi individu berupa sifat tidak mudah marah,
gampang memaafkan, sabar, bersyukur dan ikhlas terhadap berbagai masalah
41
yang menimpa dalam hidup. Maiyahan melembagakan apa itu religiusitas tidak
hanya bila seseorang rajin beribadah, tetapi juga orang-orang yang mau berbuat
baik bagi kehidupan sosialnya.
5. Spesifikasi Informan (Jama’ah Maiyah)
Informan dalam penelitian ini terdiri dari sembilan orang, dimana satu
orang bisa mewakili beberapa kategori sosial; diantaranya kategori dewasa,
kategori muda, kategori laki-laki, kategori wanita, kategori kaya, kategori
miskin, kategori mahasiswa dan kategori pekerja. Keseluruhan informan
tersebut berinisial BN, HM, MD, MF, HS, AD, DE, BG dan SC. Spesifikasi
kesembilan informan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :
Nam
a
Usi
aPekerjaan
Kategori Sosial
Dew
asa
Mud
a
Laki
-laki
Wanit
a
Kay
a
Miski
n
Mah
asis
wa
Peker
ja
BN 49 Buruh √ √ √ √
HM 47 Pengusaha √ √ √ √
MD 50 Seniman √ √ √ √
MF 22 Mahasiswa √ √ √ √
HS 20 Mahasiswa √ √ √ √
AD 24 Pekerja √ √ √ √
DE 22 Mahasiswa √ √ √ √
BG 22 Mahasiswa √ √ √ √
SC 48 Wirausaha √ √ √ √
Tabel 1 : Spesifikasi Kategori Sosial Informan
42
Berdasarkan tabel diatas, informan pertama, berinisial BN, usia 49
tahun, mewakili kategori sosial dewasa, laki-laki, kelas ekonomi miskin, serta
pekerja. Informan kedua, berinisial HM, usia 47 tahun, mewakili kategori
sosial dewasa, laki-laki, kelas ekonomi kaya, serta pekerja. Informan ketiga,
berinisial MD, usia 50 tahun, mewakili kategori sosial dewasa, laki-laki, kelas
ekonomi miskin, dan pekerja. Informan keempat berinisial MF, 22 tahun,
mewakili kategori sosial muda, laki-laki dan mahasiswa. Informan kelima,
berinisial HS, 20 tahun, mewakili kategori sosial muda, wanita, dan mahasiswi.
Informan keenam, berinisial AD, 24 tahun, mewakili kategori sosial muda,
laki-laki, miskin dan pekerja. Informan ketujuh, berinisial DE, berusia 22
tahun, mewakili kategori sosial laki-laki, pemuda, dan mahasiswa. Informan
kedelapan, berinisial BG, berusia 22 tahun, mewakili kategori sosial laki-laki-
pemuda, dan mahasiswa. Sedangkan informan terakhir atau kesembilan,
berinisial SC, berusia 48 tahun, mewakili kategori sosial, wanita, dewasa dan
pekerja.
Berkaitan dengan informan berdasarkan kategori sosial, satu informan
dapat mewakili satu atau lebih kategori sosial. Sehingga jumlah informan
berdasarkan kategori sosial adalah sebagai berikut : pertama, kategori dewasa
terdiri dari empat informan diantaranya BN, HM, MD dan SC; kedua, kategori
pemuda terdiri dari lima informan diantaranya MF, HS, AD, DE dan BG;
ketiga, kategori laki-laki terdiri dari tujuh informan diantaranya BN, HM, MD,
MF, AD, DE dan BG; keempat, kategori wanita terdiri dari dua orang informan
yaitu HS dan SC; kelima, kategori pekerja terdiri dari lima informan
43
diantaranya BN, HM, MD, AD dan SC; keenam, kategori mahasiswa terdiri
dari empat informan diantaranya MF, HS, DE dan BG; ketujuh, kategori kaya
terdiri dari seorang informan yaitu HM; dan kedelapan, kategori miskin terdiri
dari delapan informan diantaranya BN, MD, MF, HS, AD, DE, BG dan SC.
Mengenai spesifikasi informan akan dijabarkan sebagai berikut :
1) BN
BN merupakan warga Janti, Sleman, Yogyakarta. BN bekerja sebagai
buruh tani, distributor rempeyek, dan juga merangkap ketua rebana. BN
mengaku akan bekerja apa saja asalkan dapat memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. BN merupakan warga asli Sleman, pernah bekerja selama 10 tahun di
Solo sebagai pembatik. Tetapi BN bosan dengan pekerjaannya dan memilih
mengikuti hati nuraninya untuk pulang ke Jogja dan bekerja apa saja.
BN mengenal Maiyahan sejak tahun 2001, sejak saat itu hingga
sekarang hanya tiga kali tidak ikut Maiyahan. BN mengaku saat ini hidup lebih
bahagia walaupun dengan pekerjaan yang serabutan.
“Penghasilan tidak menentu, sekarang anak mau masuk kuliahtetapi belum punya uang” tuturnya.30
Selain itu, BN mendirikan grup rebana, yang juga diketuainya, terinspirasi dari
grup Kiai Kanjeng dalam Maiyahan. BN juga mengoleksi buku-buku, kaos dan
stiker seputar Maiyahan. Boleh dibilang BN merupakan peserta aktif
Maiyahan.
Dalam penelitian ini, BN dapat masuk dalam kategori sosial laki-laki,
dewasa (karena berusia lebih dari 49 tahun dan telah kawin), pekerja (bekerja
30 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
44
serabutan), dan miskin (berdasarkan pengakuanya sendiri perihal
perekonomianya).
2) HM
HM ialah warga Magelang, Jawa Tengah. Bekerja sebagai pengusaha
meubel dan tembakau. Hasil wirausahanya menjadikan HM mapan dalam
bidang finansial. Usaha milik HM telah dirintis sejak muda. Sempat bekerja di
sebuah perusahaan besar di Jakarta tapi pada akhirnya memilih untuk
berwirausaha sendiri.
Selain itu, HM merupakan aktivis Muhamadiyah, menjabat sebagai
salah satu pengurus besar Muhamadiyah di Magelang. Aktif di Maiyahan sejak
tahun 2004, sejak saat itu hanya tiga kali tidak mengikuti Maiyahan. Ia
menerangkan bahwa mengikuti Maiyahan sudah merupakan kebutuhan
hidupnya, sebagai isi ulang iman. Agar selalu mengingat Tuhan, HM selalu
merekam keseluruhan acara Maiyahan. Ia menjadikannya koleksi pribadi, dan
terkadang dibagi-bagikan juga pada Jama’ah Maiyah yang lain.
Dalam penelitian ini HM mewakili informan kategori sosial laki-laki,
dewasa (karena telah berusia 47 tahun dan telah kawin), pekerja (wirausaha
dibidang meubel dan distributor tembakau) dan kaya (berdasarkan kondisi
rumah, jenis usaha, dan kendaraan yang dimilikinya).
3) MD
MD merupakan warga Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Setiap hari bekerja
sebagai seniman31. Dari segi ekonomi MD nampak biasa-biasa saja, dengan
rumah sederhana. Tetapi MD memiliki pondokan didekat rumahnya, tempat
31 MD tidak mau menyebutkan jenis usahanya
45
untuk pengajian dan belajar Islam. Hampir setiap malam rumah MD ramai
dikunjungi tamu yang meminta doa dan nasehat. Boleh dikatakan MD
merupakan tokoh masyarakat informal di desanya.
MD mengaku senang berdakwah, tetapi target dakwahnya ialah para
pemabuk dan penjahat. Dahulu di desanya banyak pemabuk dan penjahat,
tetapi saat ini berkurang karena MD berhasil mengajak mereka memperbaiki
diri. MD aktif mengikuti Maiyahan sejak 2001, dan sama seperti yang lain
ketidakhadirannya dalam Maiyahan bisa dihitung dengan jari.
MD, dalam penelitian ini mewakili informan dari kategori sosial laki-
laki, dewasa (karena telah berusia 50 tahun dan telah kawin), pekerja (MD
hanya mengaku bahwa pekerjaanya ialah seniman) dan miskin, berdasarkan
pengakuan :
“Kaya kalau hidup tidak bahagia percuma, mendinganbiasa-biasa saja gak banyak uang penting gak masalah pentingbahagia”.32
4) MF
MF ialah seorang mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta.
Usia muda tidak menghalanginya mendalami ilmu-ilmu agama. Sejak SD
hingga saat ini MF aktif mengikuti ngaji33 di pesantren. Kegemaran MF
mengaji di pesantren diturunkan dari bapaknya, yang keras menyuruh MF
belajar mengaji. Tetapi MF tidak pernah merasa terpaksa untuk menuruti
32 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.0033 Tidak hanya perihal Al-Quran dan Hadist, tetapi juga kitab-kitab Islam dari para pemikir besar Islam
46
kehendak bapaknya, karena MF mengaku senang mengaji walaupun tanpa
suruhan bapaknya.
Kegiatan kampus tidak mengurangi semangat MF untuk aktif
mengikuti Maiyahan. Sebagai pemuda MF mengaku telah mengikuti Maiyahan
sejak 2009, dan MF termasuk salah satu pemuda yang memiliki semangat
untuk aktif mengikuti Maiyahan. Sebagaimana penuturanya :
“Asal tidak ada tanggung jawab lebih penting, sayaakan hadir di Maiyahan, sejak 2009 sepertinya saya hanya duakali tidak hadir, hujan dan aktifitas esok hari tidak jadipenghalang mengikuti Maiyahan”.34
Dalam penelitian ini, MF mewakili informan dari kategori sosial laki-
laki, pemuda (karena baru berusia 22 tahun), mahasiswa, dan miskin
(berdasarkan keterangan MF bahwa penghasilan orang tua kurang lebih Rp
800.000-an/bulan, dan uang saku Rp 400.000-an/bulan).
5) HS
HS ialah seorang mahasiswi di salah satu universitas di Yogyakarta. HS
mengaku sangat menyenangi Maiyahan. Tetapi posisinya sebagai wanita lebih
sering membatasinya mengikuti Maiyahan, apalagi HS tinggal di Pondok
Pesantren. Sejak pertama kali mengenal Maiyahan hingga sekarang HS
mengaku baru tiga kali mengikuti Maiyahan. Pengalaman HS mengikuti
Maiyahan memang sedikit, tetapi HS tertarik dengan Maiyahan, dan berniat
menjadikannya penelitian. HS cukup memiliki pengatahuan perihal Maiyahan
walaupun dirinya jarang mengikutinya. HS mengaku bahwa :
34 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00
47
“Kalau saja Maiyahan tidak diadakan pada jam-jammalam ia akan lebih sering mengikuti Maiyahan.”35
HS dalam penelitian ini, mewakili informan dari kategori sosial wanita,
pemuda (karena masih berusia 20 tahun), mahasiswa dan miskin (berdasarkan
keterangan HS perihal penghasilan orang tuanya yaitu kurang lebih Rp
2000.000-an/bulan, dan uang saku dari orang tuanya kurang lebih Rp 650.000-
an/bulan).
6) AD
AN ialah seorang pekerja sosial bidang penelitian. Tetapi penelitian
tersebut bersifat sementara, bukan dalam suatu lembaga. Bisa dibilang
pekerjaanya sebagai peneliti masih identik dengan serabutan. AD menjadi
pekerja paska menamatkan jenjang S1. AD mengenal Maiyahan sejak SMA
ketika mengantar teman menonton. Tetapi baru tahun lalu dia benar-benar
tertarik mengikuti Maiyahan hingga sekarang. Alasannya karena merasa cocok
dengan religiusitas yang ditawarkan Maiyahan. Maiyahan juga membantu
menentramkan hati dan menambah religiusitasnya.
Dalam penelitian ini, AD mewakili informan dari kategori sosial laki-
laki, pemuda (karena berusia 24 tahun), pekerja (sebagai peneliti sosial) dan
miskin (karena penghasilan AD rata-rata masih Rp 2000.000-an/bulan, dan
tidak lagi bergantung pada orang tua karena telah berpenghasilan sendiri).
7) DE
DE ialah mahasiswa semester akhir di salah satu universitas di
Yogyakarta. Saat ini DE banyak menghabiskan waktunya untuk mengikuti
35 Wawancara HS pada 22 April 2013, pukul 22.00
48
berbagai acara di Yogyakarta, seperti pertunjukan seni, diskusi, pengajian, dan
lain-lain. Sembari mengisi waktu luang disela-sela mengerjakan tugas akhir.
DE mengenal Maiyahan sejak semester dua, tetapi baru aktif mengikuti
Maiyahan saat semester enam. DE mengaku bahwa sejak saat itu hingga
sekarang mengikuti Maiyahan pada tanggal 17 sekitar sepuluh kali. Tetapi juga
sering mengikuti Maiyahan di luar tanggal 17 bersama teman-temanya.
Menurut keterangannya Maiyahan dapat menambah wawasannya baik perihal
religiusitas, sosial maupun politik.
DE hidup dalam lingkungan Muhamadiyah, begitu pula orang tuanya.
Tetapi DE mengaku tidak banyak memperoleh pelajaran agama dari orang
tuanya. Tetapi lebih banyak menyerap religiusitas dari forum-forum
perkumpulan seperti Maiyahan, dan pengajian lain-lain. Walau demikian
pondasi religiusitas telah didapat DE dari orang tuanya. Berupa religiusitas
lebih pada nilai-nilai hidup, seperti hidup harus rajin, tekun, dan seterusnya.
Tidak hanya praktek religiusitas berdasarkan ritus-ritus peribadatan semata.
Dalam penelitian ini DE merupakan informan yang mewakili kategori
sosial laki-laki, pemuda (karena masih berusia 22 tahun), mahasiswa (karena
masih berstatus mahasiswa dan belum bekerja), dan miskin (berdasarkan
keterangan DE perihal penghasilan orang tuanya yaitu kurang lebih Rp
1400.000-an/bulan, dan uang saku dari orang tuanya kurang lebih Rp 300.000-
an/bulan).
8) BG
49
BG merupakan mahasiswa disalah satu universitas di Yogyakarta.
Sama seperti DE, BG merupakan mahasiswa semester akhir yang saat ini
sedang dalam proses menyelesaikan tugas akhir. Disela-sela itu BG juga sering
mengikuti acara-acara diberbagai forum yang menambah wawasan, baik
wawasan religiusitas melalui berbagai pengajian, maupun wawasan global
dengan mengikuti diskusi.
BG mengaku bahwa dirinya termasuk pemuda yang pendiam dan
menyendiri. Mengikuti acara seperti Maiyahan merupakan kesenangan baginya
karena bisa berkumpul bersama teman-temanya, sambil sekali-kali melihat
lawan jenis.
BG hidup dalam lingkungan Muhamadiyah begitu juga orang tuanya.
Tetapi BG tidak hanya belajar religiusitas dari sana, tetapi juga diberbagai
forum religiusitas seperti Maiyahan dan pengajian-pengajian di Masjid, juga
dari buku-buku yang ia baca. BG mengaku menyukai Maiyahan selain dari
berbagai diskursus dan religiusitasnya, juga terutama karena Maiyahan banyak
menyajikan lagu-lagu tradisional, juga dzikir-dzikir yang diiringi musik.
Seakan-akan Maiyahan merekonstruksi budaya tersebut kembali yang asing
selama ini.
Dalam penelitian ini BG merupakan informan yang mewakili kategori
sosial laki-laki, pemuda (karena berusia 22 tahun), mahasiswa (karena belum
bekerja), dan miskin (berdasarkan keterangan BG perihal penghasilan orang
tuanya yaitu kurang lebih Rp 1000.000-an/bulan, dan uang saku dari orang
tuanya kurang lebih Rp 100.000-an/bulan).
50
9) SC
SC ialah seorang ibu tumah tangga. Setiap hari SC berada di rumah,
melaksanakan pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga sekaligus
berwirausaha sebagai penjual di toko kelontong miliknya. Sebenarnya SC ialah
seorang sarjana S1 dari salah satu universitas di Yogyakarta. Tetapi setelah
menikah SC mendapat perintah dari suaminya untuk tidak bekerja, tetapi
menjadi ibu rumah tangga saja di rumah. Walau demikian, suami SC memberi
modal untuk mendirikan toko kelontong di depan rumah, agar SC tidak terlalu
menganggur saat sedang sendirian di rumah. Bagi SC menuruti perintah suami
dan merawat anak di rumah lebih penting dari pada sekedar bekerja untuk
mengejar materi.
SC mengenal Maiyahan berkat sang suami, sejak kurang lebih delapan
tahun yang lalu. SC hampir selalu mengikuti suaminya setiap kali datang ke
Maiyahan, asal tidak ada urusan yang lebih penting lagi. Dengan demikian SC
hanya bisa mengikuti Maiyahan bila ada sang suami.
Dalam penelitian ini, SC merupakan informan yang mewakili kategori
sosial wanita, dewasa (karena telah berusia 48 tahun dan telah kawin), pekerja
(sebagai wirausahawati di toko kelontong miliknya), dan miskin (berdasarkan
penuturan dia dan suamunya perihal kondisi perekonomian mereka).
51
C. Aktifitas Maiyahan bagi Jama’ah Maiyah
Jama’ah Maiyah cenderung beragam dalam menafsirkan apa itu Maiyahan.
Mereka memaknai Maiyahan sesuai kategori sosialnya, serta tergantung pada sudut
pandang “pengetahuan” dan “kepentingan” terhadap apa yang menjadi maksud mereka
mengikuti Maiyahan. Karena tidak terdapat tinjauan paten yang menafsirkan apa itu
Maiyahan, Maiyahan ditafsirkan dinamis oleh setiap pesertanya. Bila menilik bahwa
Maiyahan telah begitu melekat bagi Jama’ah Maiyah, penulis menyimpulkan bahwa
terjadi lima proses pengobjektifikasian perihal “apa itu” aktifitas Maiyahan bagi
Jama’ah Maiyah, diantaranya :
1. Maiyahan sebagai Aktifitas Religiusitas
Maiyahan tidak mungkin lepas dari aspek keagamaan, karena esensi
dari Maiyahan ialah melembagakan agama sebagai pegangan dalam peri
kehidupan sehari-hari. Sedangkan agama sendiri tidak akan lepas dari
religiusitas, karena religiusitas selalu terkait dengan dalih keagamaan. Sebelum
mengetahui bagaimana Maiyahan berperan dalam aktifitas religiusitas, terlebih
dahulu akan dijelaskan apakah yang dimaksud religiusitas.
Terdapat kategori masyarakat yang lebih mengartikan religiusitas
berdasarkan kualitas dan kuantitas dalam ritual peribadatan, seperti sholat,
puasa, takwa, rukun iman, rukun Islam dan sejauh mana pengetahuan fiqihnya.
Bahwa religiusitas lebih bersifat sakral dan gaib. Seperti yang diungkapkan
Chatters bahwa, religiusitas merupakan sebuah proses untuk mencari sebuah
52
jalan kebenaran yang berhubungan dengan suatu yang sakral.36 Juga Majid
yang menyatakan bahwa religiusitas adalah tingkah laku manusia yang
sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu
kenyataan-kenyataan supra empiris. Manusia melakukan tindakan empiris
sebagaimana layaknya tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakan
harga dan makna tindakan empirisnya dibawah supra-empiris.37
Namun terdapat pula kategori masyarakat, berdasarkan penelitian ini
(sebagaimana sikap religiusitas yang disosialisasikan dalam Maiyahan) yang
mengartikan religiusitas tidak hanya berlandaskan ritual peribadatan ataupun
besarnya wawasan keagamaan seperti diatas. Tetapi religiusitas lebih kepada
bagaimana mengaplikasikan pengetahuan agama terhadap kondisi dan
hubungan sosial kemasyarakatan. Dimana religiusitas tidak diukur berdasarkan
kualitas dan kuantitas dalam melakukan ritual peribadatan, atau seberapa besar
wawasan agamanya saja. Tetapi juga bila seseorang mampu berhubungan
sosial dan bertatakrama dengan baik. Walaupun mungkin sebenarnya
seseorang tersebut tidak memiliki wawasan keagamaan yang luas dan hanya
sekedarnya dalam beribadah.
Hal yang belakangan terjadi karena agama dalam masyarakat begitu
kental dengan konteks budaya. Norma, nilai dan adat merupakan konteks lain
diluar agama yang dijadikan pedoman berperilaku oleh masyarakat. Sehingga
religiusitas dapat berarti bila konteks agama mampu menyesuaikan dengan
36 sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf. (Pdf oleh Drs. H. Ahmad Thontowi,Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses pada 6 Agustus 2013, pukul 10.3037 Majid, R. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. (Bandung : Mizan Pustaka, 1997). Dalam :sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf. (Pdf oleh Drs. H. Ahmad Thontowi,Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses pada 6 Agustus 2013, pukul 10.30
53
norma, nilai dan adat dalam budaya masyarakat sekitar. Sehingga agama akan
mudah diaplikasikan bila sesuai dengan ketiga aspek tersebut.
Penelitian ini menunjukan bahwa religiusitas lebih dipandang
berdasarkan aspek budaya, baik nilai, norma dan adat yang berlaku dalam
masyarakat. Jama’ah Maiyah terdiri dari berbagai kategori sosial berdasarkan
berbagai latar belakang. Keseluruhan memandang hubungan sosial dan
kepedulian terhadap sesama ialah aspek terpenting dalam religiusitas. Tidak
hanya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi bagaimana menciptakan
kehidupan yang baik dengan sesama, terlebih memberikan sandaran
kegelisahan batin. Sehingga aktifitas diskusi, puisi, musik dan berbagai acara
pendukung dalam Maiyahan dinilai sebagai aktifitas religiusitas. Walaupun
terkadang apa yang disampaikan tidak langsung menuju pada agama. Misalnya
dalam diskusi, materi yang dibahas seputar demokrasi, kapitalisme, jazz atau
pun alien, tidak terdapat sangkut paut pada religiusitas dalam tema tersebut.
Terkadang Maiyahan juga mengundang bintang tamu non-Islam,
seperti seorang Budhis, Katolik, mahasiswa asing untuk bercerita seputar
kebiasaan-kebiasaan mereka. Begitu pula Cak Nun yang sering bercerita
perihal aktifitas politiknya semasa Orde Baru dan komentarnya seputar kondisi
perpolitikan dewasa ini. Tetapi dari berbagai tema global dalam diskusi
Maiyahan pada akhirnya akan dikaitkan dengan religiusitas. Saran dan nasihat
soal bagaimana Jama’ah Maiyah menanggapi segala hal yang ganjil,
menyebalkan, menyedihkan dari berbagai materi diskusi secara religius dengan
berserah diri pada Tuhan.
54
Begitu pula dengan puisi dan musik dalam Maiyahan, semua ditujukan
pada pembelajaran religiusitas walaupun secara tidak langsung. Misalnya
dalam puisi, yang menggambarkan kegelisahan masyarakat kecil, banyak
bercerita perihal penderitaan rakyat dan kebobrokan sistem pemerintahan. Pada
intinya puisi tersebut mengajak masyarakat yang tidak mampu lepas dari
keterpurukan menggunakan religiusitas sebagai pemecah kegelisahan.
Sedangkan musik yang dibawakan grup Kiai Kanjeng, tidak hanya
musik religi, tetapi juga musik tradisional, jazz, pop, dangdut, dan lain-lain,
dipandang beragam oleh Jama’ah Maiyah. Ada yang memandang bahwa
walaupun terdapat beragam jenis musik yang dibawakan, tapi itu semua hanya
penyedap, inti dari musik Maiyahan tetaplah musik religi. Selain itu terdapat
pula yang menganggap bahwa semua musik dalam Maiyahan adalah penyedap
dalam acara Maiyahan. Sedangkan terdapat pula yang menganggap segala
musik dalam Maiyahan baik itu, pop, rock, dangdut, dan lain-lain bila
dibawakan oleh Kiai Kanjeng dalam Maiyahan akan menjadi musik religi.
Tuntutan akan kebutuhan religiusitas dapat datang dari seluruh kategori
sosial yang berbeda. Hal itu dapat diterangkan dengan memahami Maiyahan
sebagai sistem simbol perwakilan agama yang mampu menyampaikan
ketidakberdayaan masyarakat. Sebagaimana menurut Max Weber, bahwa
harapan serta penantian masyarakat akan keselamatan merupakan ungkapan
adanya tekanan dan penindasan serta ketidakberdayaan dalam bidang sosial,
politik dan ekonomi.38 Agama mampu tampil sebagai sumber keselamatan.
38 Sudarmanto. Agama dan Ideologi. (Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Penelitian Filsafat STFDrikarya Jakarta, 1987) Hlm: 41
55
Sehingga segala aktifitas Maiyahan mampu dimaknai sebagai aktifitas
religiusitas.
Walau demikian, diantara kategori sosial lainnya, kategori dewasalah
yang paling banyak termotivasi dan memanfaatkan Maiyahan sebagai aktifitas
religiusitas. Mereka menjadikan Maiyahan sebagai momen untuk mengecas
iman, serta mendekatkan diri kembali pada Tuhan setelah dalam sebulan
merasa jauh dari-Nya. Akibat berbagai tekanan, ketidak berdayaan, serta
kelelahan yang meliputi tanggung jawab mereka sebagai seorang dewasa.
Banyak diantara kalangan dewasa yang telah menjadi Jama’ah Maiyah
sejak lama, dan mengaku selama itu pula ketidak hadirannya dalam Maiyahan
bisa dihitung dengan jari. Seperti BN yang hanya tiga kali tidak hadir dalam
Maiyahan sejak awal mengikuti Maiyahan pada tahun 2001 hingga sekarang.
Ketidakhadiran mereka hanya ketika terdapat hal-hal yang lebih penting, BN
tidak hadir tiga kali dalam Maiyahan ketika pertama rumah adik kebobolan
maling, kedua dan ketiga karena BN operasi usus buntu. Hal-hal seperti hujan
dan kantuk tidak menghalangi mereka hadir dalam Maiyahan.
Selain aktif mengikuti Maiyahan di Kasongan, mereka bahkan
mengikuti Maiyahan di berbagai tempat di Yogyakarta, jika Kiai Kanjeng dan
Cak Nun diundang di luar Kasongan. Mereka menyediakan waktu khusus
setiap tanggal 17 malam untuk Maiyahan. Sudah menjadi aktifitas rutin setiap
bulan untuk menambah dan menjaga religiusitas. Segala aktifitas diluar
Maiyahan setiap tanggal tersebut akan dialihkan untuk sementara.
56
2. Maiyahan sebagai Aktifitas Hiburan
Setiap manusia selalu membutuhkan hiburan agar hidup mereka tidak
tertekan dan frustasi. Bahkan hiburan telah dianggap sebagai kebutuhan pokok
bagi manusia. Dapat dibayangkan seandainya seseorang tidak pernah mendapat
hiburan, atau paling tidak dirinya tidak pernah merasa terhibur. Maka dapat
dipastikan seorang tersebut akan selalu gelisah, curiga, sensitif dan mudah
marah pada semua orang disekitarnya.
Orang yang suntuk karena kurang mendapat hiburan cenderung akan
menjadikan diri dan lingkungannya negatif. Kurang menghargai dirinya, dan
apapun yang dilakukan orang lain akan dianggap sebagai kepentingan politis
yang bakal merugikan dirinya dan hanya akan menguntungkan orang lain
tersebut. Mereka tidak akan nyaman dan menikmati hidupnya. Akibatnya,
hidup tidak bahagia dan penyakit akan mudah datang, sehingga usia mereka
tidak akan panjang.
Perlu diketahui disini bahwa apa yang disebut hiburan bagi setiap orang
berbeda-beda satu sama lain. Hiburan bagi satu orang belum tentu merupakan
hiburan bagi orang lain. Hiburan sifatnya relatif. Hiburan banyak diartikan
sebagai kegiatan yang membuat senang atau hati tenang. Dalam mencari
hiburan, metode setiap orang berbeda-beda. Asalkan dapat menghilangkan
penat dan frustasi kegiatan apapun itu bisa disebut hiburan.
Dalam kasus penelitian ini, beberapa orang atau Jama’ah Maiyah
dimana hidupnya tidak lah berbeda dari pada -orangorang pada umumnya.
57
Banyak diterpa berbagai kegiatan dan masalah yang menguras tenaga dan
fikiran. Akibatnya mereka sering merasa gelisah, resah dan frustasi karena
beban-beban tersebut.
Tetapi yang menarik disini ialah metode mereka mencari hiburan yaitu
dengan mengikuti Maiyahan. Bagaimanakah gerangan kegiatan Maiyahan
sehingga dapat menjadi penghibur dan obat bagi segala kepenatan dan
keputusasaan hidup? Seperti yang banyak diungkapkan dalam penelitian ini,
Maiyahan bisa berarti aktifitas religiusitas, aktifitas sosial, aktifitas epistemic
dan aktifitas tokoh kharismatik. Tetapi dari keseluruhan aktifitas Maiyahan
yang tersebut juga merupakan aktifitas hiburan bagi Jama’ah Maiyah.
Demikian terjadi karena pada dasarnya berbagai aktifitas asal bisa
membuat senang dan hati tenteram ialah hiburan. Maiyahan lengkap memberi
berbagai sarana hiburan tersebut pada Jama’ah Maiyah. Seperti halnya aktifitas
religiusitas juga berarti merupakan aktifitas hiburan bagi orang-orang yang
merindukan sentuhan agama untuk ketenangan hatinya, dengan
mendapatkannya dalam Maiyahan mereka merasa terhibur. Begitu pula dengan
aktifitas sosial dalam Maiyahan juga bisa menghibur karena seseorang dapat
bertemu dan bercanda dengan teman-temanya saat mengikuti Maiyahan
bersama-sama. Selanjutnya aktifitas epistemic yang mampu memberi hiburan
bagi orang-orang yang haus ilmu. Serta aktifitas tokoh kharismatik, dimana
bagi sebagian orang bertemu dengan tokoh idola mampu memberi hiburan
tersendiri.
58
Juga yang tidak lupa disampaikan disini, bahwa selain gabungan dari
berbagai aktifitas hiburan tersebut yang menjadikan Maiyahan khas ialah
aktifitas musiknya. Boleh dibilang Maiyahan tidak akan menjadi aktifitas
hiburan yang mencakup keseluruhan aktifitas bila tidak terdapat aktifitas musik
didalamnya. Musik ialah hiburan yang dimainkan dikala senggang antara
berbagai aktifitas tersebut. Sebagai pencair suasana agar tidak sumpek,
sehingga materi yang disampaikan mudah diterima dan diserap. Seperti
penuturan MF :
“Musik itu sangat berguna sebagai pencair suasana.Ibarat kendaraan butuh oli, bila ngobrol terus ya sumpek. DiMaiyahan jadi tidak sumpek karena ada musik.”39
Musik senantiasa mengiringi setiap shalawat dan dzikir yang menyenangkan
bagi Jama’ah Maiyah. Apalagi selama ini Jama’ah Maiyah terutama yang
tinggal di perkotaan cenderung kurang mengenal jenis shalawatan dan dzikir
yang diiringi musik. Sehingga shalawat dan dzikir pun jadi semakin khusuk.
Selain itu, musik juga memadukan nuansa tradisional dan modern, sehingga
sekaligus sebagai proses pelestarian budaya tradisional di tengah-tengah era
modern ini. Sebagaimana penuturan BG pula :
“Yang paling saya senangi ketika Maiyahan ialahhiburannya, ketika dinyanyikan lagu-lagu tradisional kembali,dan direkonstruksi pula budaya yang telah dielaborasi, sepertimengenalkan kembali lagu-lagu, dzikiran dan shalawatandengan iringan musik yang selama ini asing di kalanmganmasyarakat perkotaan.”40
39 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.0040 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.00
59
Demikian, sebenarnya selain musik juga terdapat berbagai hiburan lain
dalam Maiyahan, seperti drama, pencak silat, wayang, tarian, dan sebagainya
yang tidak bisa ditebak kehadirannya. Keseluruhan acara Maiyahan mulai dari
berbagai aktifitasnya, musiknya, humornya, bintang tamunya, pengajiannya,
dan materi diskusinya, menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan dari acara
Maiyahan yang mempu menghibur Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori
sosial.
3. Maiyahan sebagai Aktifitas Sosial
Religiusitas memang menjadi aspek penting dalam Maiyahan, baik dari
segi acara maupun aktifitasnya. Tetapi tidak hanya religiusitas yang menjadi
sebab ketertarikan dan keinginan seseorang untuk hadir dalam Maiyahan.
Banyak aktifitas religiusitas lain dalam Maiyahan, seperti halnya pada
pengajian umum lainnya. Tetapi itu semua tidak bisa memberikan apa yang
dicari oleh Jama’ah Maiyah, seperti yang mereka temukan dalam Maiyahan.
Yaitu bahwa Maiyahan mampu menarik peserta dari berbagai kategori sosial
karena konteks acaranya yang tidak membeda-bedakan apa dan darimana
golongan dan statusnya, terlebih lebih mengakomodir kepentingan masyarakat
umum. Disana mereka merasa sama sebagai orang yang belajar dan ingin tahu.
Pendorong utama masyarakat hadir dalam Maiyahan bisa dibilang tidak
hanya religiusitas. Jama’ah Maiyah yang lahir dari Maiyahan merupakan
kumpulan perseorangan yang sebagian saling mengenal. Aktifitas sosial dalam
60
Maiyahan dapat mendorong seseorang akhirnya hadir dalam Maiyahan.
Beberapa mengaku bahwa mereka hadir karena diajak oleh teman, atau pergi
kesana untuk bertemu dengan teman-teman. Selain mendengarkan Maiyahan
mereka juga bersosialisasi dan mengobrol sepanjang acara, dan berkomentar
bersama atas apa yang disampaikan selama diskusi. Sering kali mereka lebih
asik berkumpul dan mengobrol di warung dari pada mendengar Maiyahan.
Dari berbagai orang yang tidak saling mengenal dapat terbuka dan mengobrol
satu sama lain untuk menanyakan asal mana, sama siapa, dan sesering apa
hadir dalam Maiyahan. Bahkan terkadang sebagian saling bertukar nomor
handphone.
Selain itu, beberapa pasangan laki-laki dan wanita juga nampak hadir
bersama menikmati acara berdua. Bisa berarti mereka sekalian berpacaran,
berdekatan, teman, atau pasangan suami istri. Tetapi beberapa memang sering
nampak selalu berdua, tidak pernah berpisah dan terkadang lebih asik
mengobrol berdua dan sesekali berkomentar atas materi acara.
Selain berbagai bentuk hubungan sosial yang terjadi ketika acara,
hubungan sosial juga terjalin diluar acara Maiyahan. Seperti yang
dikemukakan MF, bahwa terdapat perkumpulan yang sering berdiskusi diluar
waktu acara Maiyahan. Dimana kumpulan tersebut sering berbagi pengalaman
pribadi dan berbagai info seputar religiusitas dan Maiyahan. Tujuan kumpulan
tersebut selain bersosialisasi antar sesama Jama’ah Maiyah juga berusaha
merealisasikan apa yang disampaikan dalam Maiyahan, agar apa yang
61
disampaikan tidak hanya menjadi omongan tetapi menjadi wujud nyata yang
dapat dirasakan masyarakat.
Heterogenitas kategori sosial Jama’ah Maiyah juga memperjelas bahwa
Maiyahan merupakan aktifitas sosial yang dapat dinikmati berbagai kalangan,
mungkin lebih dari pada acara sejenis Maiyahan atau pengajian yang lain,
dimana kebanyakan pesertanya homogen. Seperti dalam pengajian di TV yang
mana pesertanya dari kalangan ibu-ibu kaya, pengajian dari suatu aliran Islam
dimana pesertanya juga berasal dari aliran Islam tersebut, pengajian yang
diperuntukan pendukung partai politik tertentu, atau berbagai pengajian yang
ditujukan untuk suatu komunitas homogen.
Dalam Maiyahan heterogenitas nampak jelas dari tidak adanya
kecenderungan pada suatu kalangan tertentu. Sehingga cenderung tidak akan
menimbulkan eksklusifitas yang berujung ketertutupan. Lagi pula Maiyahan
selalu mengajarkan kebersamaan tanpa sedikitpun memandang perbedaan.
Seperti yang diungkapkan MD :
“Maiyahan tidak akan menimbulkan sekterianisme yangberujung pada ketertutupan dan eksklusivitas, tetapi Maiyahanmewariskan semangat kebersamaan tanpa memandangperbedaan.”41
Pluralisme disana dijunjung tinggi, dengan materi diskusi yang
memanusiakan manusia. Bintang tamu ataupun pesertanya terkadang tidak
hanya dari kalangan Muslim, tetapi tidak jarang juga non-Muslim, seperti
seorang Pendeta Budha dan pakar alien yang menjadi pembicara dalam salah
41 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00
62
satu rangkaian acara, ataupun seorang Pastur yang bahkan sering hadir dalam
Maiyahan.
Kedinamisan dalam Maiyahan membuat suasana sosial semakin cair
dan akrab. Sehingga banyak orang, sekali menyaksikan Maiyahan akan tertarik
untuk hadir lagi bulan depan. Mereka mengaku senang pada acara Maiyahan
bukan hanya karena wawasan religiusitas yang disampaikan, tetapi juga
suasana sosial yang ada. Dimana Maiyahan membuat Jama’ah Maiyah tidak
merasa sendiri melalui kesulitan dan kerasnya hidup. Semua orang yang hadir
dalam Maiyahan bertujuan untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seperti pengakuan HM :
“Suasana akrab, dinamis, toleran dan saling memilikiantar sesama manusia yang sedang hidup di Indonesia denganberbagai kebahagiaan dan kesulitannya menjadikan setiaporang dalam Maiyahan serasa telah ditakdirkan saling bertemudan mengenal satu sama lain.”42
Faktor sosial bisa dibilang salah satu daya tarik utama Maiyahan yang
kurang dimiliki berbagai aktifitas lain sejenis. Sehingga hal itulah yang
menjadikan Maiyahan tetap eksis sampai dengan sekarang, dan terus
bertambah pesertanya, terkadang hadir, tidak hadir ataupun rutin hadir setiap
bulan.
42 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30
63
4. Maiyahan sebagai Aktifitas Epistemik
Epistemik berasal kata episteme yang berarti pengetahuan. Dalam hal
ini kehadiran Maiyahan menjadi sarana bagi masyarakat untuk menambah
pengetahuan. Dimana masyarakat dari berbagai kalangan, terutama rakyat kecil
menimba berbagai pengetahuan perihal dinamika kehidupan sosial, politik,
sains, ekonomi, dan sebagainya. Selama ini sedikit lembaga atau institusi yang
memainkan peran terjun langsung dalam rangka mencerdaskan masyarakat.
Maiyahan menjadi aktifitas epistemik dimana masyarakat dapat
menimba ilmu secara gratis. Dimana seluruh kalangan masyarakat
berkesempatan mendapat pengetahuan yang bahkan terkadang hanya bisa
diperoleh dilembaga pendidikan. Aktifitas epistemik ini terjadi dalam ruang
diskusi dengan latar lesehan sesuai panggung Maiyahan. Melibatkan
masyarakat awam untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi melalui tanya jawab
dan kebebasan berpendapat.
Materi diskusi cenderung kritis dan mendalam, dengan menghadirkan
pembicara yang mumpuni dalam bidangnya. Penyampaian materi dilakukan
secara sederhana dengan bahasa yang mudah dimengerti peserta, dimana rata-
rata peserta berasal dari kalangan menengah bawah, dengan tingkat pendidikan
sederhana. Jikalau banyak mahasiswa disana, tapi mereka berasal dari berbagai
disiplin ilmu, yang kerap kali tidak mengenal sama sekali perihal materi
diskusi.
Tema diskusi beragam dan tidak terduga-duga, tetapi secara
keseluruhan kerap menyinggung perihal budaya, sosial dan politik. Cak Nun
64
sebagai penggiat diskusi ialah seorang budayawan, sekaligus pernah terlibat
dalam aktifitas politik. Memiliki wawasan luas perihal materi tersebut,
sehingga sering manggiring materi diskusi kepada persoalan tersebut.
Sebagaimana yang diungkapkan MF, bahwa sebagai mahasiswa dia mendapat
berbagai pengetahuan dalam Maiyahan yang selama ini tidak ia dapatkan
dilingkungan universitas. Dari beberapa segi dia mengungkapkan bahwa
Maiyahan mampu memperluas pengetahuan yang dibutuhkan dalam studinya.
MF memandang bahwa :
“Disana lah sumber ilmu, yang saya dapatkan setiapbulan dan sayang bila dilewatkan. Meteri diskusi yang dibahasselalu membuat saya penasaran, dengan tema dan pembicarayang tidak terduga-duga.”43
Kehadiran Cak Nun tidak dapat dipungkiri ialah pusat aktifitas
epistemik dalam Maiyahan, sebagaimana ruang publik yang memberi
kebebasan berpikir dan berbicara menurut pendapat masing-masing. Proses
tanya jawab dan pengungkapan pendapat menjadi motor utama penggerak
aktifitas epistemik dalam Maiyahan. Materi diskusi bebas, dapat membahas
apapun tidak hanya perihal religiusitas semata. Sehingga terjadi proses take
and give ilmu pengetahuan antar keseluruhan komponen dalam Maiyahan.
Seperti keterangan AD bahwa :
“Maiyahan ialah tempat orang ngobrol bebas danberdiskusi masalah apapun, bisa sosial, politik, agama, budaya,ekonomi dan lain-lain, disana terjadi proses take and give ilmuyang bermanfaat”.44
43 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.0044 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00
65
Beberapa Jama’ah Maiyah, khususnya dari kategori sosial pemuda dan
mahasiswa lebih memandang Maiyahan sebagai aktifitas epistemik, lebih dari
pada aktifitas religiusitas. Aktifitas inilah yang terkadang menjadi pendorong
utama mereka hadir dalam Maiyahan. Kalangan pemuda dan mahasiswa
menganggap bahwa Maiyahan ialah aktifitas epistemik, bisa jadi epistemik
religiusitas ataupun epistemik umum. Maiyahan tidak akan menjadi sebesar itu
bila tidak menghadirkan format acara diskusi yang demikian. Itulah yang
menjadi pembeda antara Maiyahan dengan pengajian-pengajian lain. Dimana
pengajian-pengajian lain hanya berbicara seputar agama, dan seolah-olah
hanya diperuntukan bagi penambahan wawasan keagamaan. Tetapi berbeda
dengan Maiyahan, yang mampu memberikan berbagai wawasan pengetahuan
umum dan global, tidak hanya wawasan keagamaan.
5. Maiyahan sebagai Arena Otoritas Kharismatik
Media baru dan publik secara umum begitu cepat menunjuk pada
politisi, bintang film, atau musisi rock sebagai individu kharismatik. Sering
kali yang mereka maksud sebenarnya adalah bahwa orang tersebut ditopang
dengan kualitas yang luar biasa. Seperti ungkapan Weber bahwa pemimpin
kharismatik dapat memiliki ciri menonjol, kharismanya lebih tergantung pada
kelompok pengikut dan bagaimana mereka mendefinisikan pemimpin
kharismatik. Pengaruh figur kharismatik pada pengikutnya cenderung kuat,
dapat menimbulkan reorientasi subjektif atau internal yang menyebabkan
66
perubahan sikap utama dan arah tindakan secara radikal menjadi orientasi yang
sama sekali baru bagi semua sikap terhadap perbedaan masalah dunia.45
Dalam dunia Islam, aktifitas ini dimiliki oleh tokoh-tokoh agama
seperti kiai pesantren, yang memiliki kharisma yang dihormati santrinya.
Mereka dianggap mempunyai kualitas religiusitas yang tinggi, bahkan sebagai
manusia yang diberkati Tuhan. Sebagaimana pesantren, lembaga religiusitas
non-formal lain kebanyakan memiliki figur kharismatik masing-masing.
Seperti figur Gus Dur di kalangan NU, dan figur Amien Rais di kalangan
Muhamadiyah. Sedangkan dalam Maiyahan figur kharismatik tersebut ialah
Cak Nun.
Figur kharismatik dipandang sebagai seseorang berwawasan luas,
terutama dalam hal religiusitas. Figur ini mampu mempengaruhi pengikutnya
untuk bertindak sesuai keinginan figur kharismatik. Tidak bisa dipungkiri
bahwa keberadaan Cak Nun adalah magnet, yang mampu menarik Jama’ah
Maiyah hadir dalam Maiyahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Jama’ah
Maiyah ialah pengikut Cak Nun.
Jama’ah Maiyah memandang bahwa Cak Nun ialah seorang
budayawan, agamawa, dan intelektual yang berkualitas. Terbukti dengan
materi-materi diskusi yang disampaikan Cak Nun tepat sasaran kepada
Kominitas Maiyah. Partisipasinya dalam dinamika politik Orde Baru kerap ia
ceritakan, menunjukan wawasannya dalam dunia politik cukup luas.
45 Ritzer&Goodman. Teori Sosiologi, dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan MutakhirTeori Sosiologi Postmodern. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010) Hlm: 144-145
67
Keluwasan wawasan Cak Nun membawa pada keberagaman segmen
peserta Maiyahan, yaitu dari berbagai kategori sosial. Seperti kategori
mahasiswa yang menyukai Maiyahan karena materi diskusi Cak Nun yang
kritis terhadap isu sosial politik di Indonesia, dan kategori miskin yang
menyukai Maiyahan karena materi diskusi yang sering dikaitkan dengan
motivasi-motivasi bagi orang miskin.
Pengaruh ajaran yang disampaikan tokoh kharismatik cenderung lebih
cepat dan kuat terinternalisasi dalam diri seseorang, dari pada ajaran yang
disampaikan dari orang biasa. Cak Nun yang senantiasa mengajarkan toleransi,
ternyata mempu menanamkan sikap toleransi yang kuat bagi Jama’ah maiyah.
Sehingga mampu mengubah perspektif seseorang terhadap kelompok-
kelompok lain, tak terkecuali kelompok agama dan kepercayaan lain. Seperti
BN, yang pada awal mula sebelum mengenal Maiyahan cenderung skeptis dan
apatis terhadap orang non-muslim. Tetapi setelah mendengar nasehat Cak Nun
akhirnya dia lebih toleran dan senang bekerjasama dengan orang non-muslim.
Berikut penuturan BN :
“Saya dulunya sebelum mengenal Maiyahan tidak sukadan tidak mau bekerjasama dengan orang non-muslim, tetapisejak mendengar ajaran Cak Nun tentang toleransi umatberagama, saya sekarang dapat bekerjasama dengan siapapuntanpa memandang agamanya.”46
Selain itu, pengaruh tokoh kharismatik juga cenderung membawa
seseorang menyukai apa yang disukai tokoh kharismatik tersebut, seperti
berbagai aktifitas dan benda-benda yang dimiliki. Cak Nun melalui Maiyahan
46 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
68
merupakan penggiat musik tradisional rebana. Hal ini membuat alat musik
rebana semakin dikenal dan disenangi karena identik dengan Cak Nun dan
Maiyahan. Sehingga membuat Jama’ah Maiyah seperti BN juga turut
menyenangi rebana, bahkan turut mendirikan grup musik rebana, setelah
sebelumnya sempat tidak suka rebana karena norak dan kampungan. Seperti
keterangan BN kembali :
“Saya dulu tidak suka dengan musik rebana, karenakampungan, tetapi sejak melihat musik rebana yang dibawakanoleh Kiai Kanjeng dalam Maiyahan, saya sekarang jadimenyukai rebana, bahkan sampai mendirikan grup rebanayang terinspirasi dari Kiai Kanjeng.”47
Tetapi bagi beberapa orang, rupanya pengaruh kharismatik Cak Nun
jauh menjadi daya tarik utama dari pada keseluruhan acara Maiyahan. Banyak
peserta Maiyahan yang datang lebih untuk mendengar ceramah Cak Nun, dari
pada keseluruhan acara Maiyahan. Cak Nun dan Maiyahan diibaratkan bagai
dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Sehingga sulit mencari orang yang
mampu menandingi kharisma Cak Nun. Dikhawatirkan Maiyahan akan
berkurang pesertanya bila tidak dihadiri Cak Nun. Seperti perkataan HS bahwa
:
“Saya sendiri menyukai Maiyahan karena ada Cak Nun,bila tidak ada Cak Nun mungkin saya tidak akan suka padaMaiyahan, mungkin orang-orang yang lain juga begitu. BilaCak Nun meninggal mungkin Maiyahan akan tersendat-sendatdan kehilangan banyak jamaatnya.”48
Ditambah keterangan MD pula bahwa :
47 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3048 Wawancara HS pada 22 April 2013, pukul 22.00
69
“Kebanyakan orang-orang kesana karena ada Cak Nun,Cak Nun dan Maiyahan bagaikan dua sisi mata uang, gak adaMaiyahan kalau gak ada Cak Nun.”49
Sebenarnya, besarnya pengaruh atau kharisma Cak Nun dalam
Maiyahan cenderung karena belum terdapat sosok yang mampu menandingi
atau mengimbangi kualitas intelektual dan religiusitasnya. Bila tidak ada Cak
Nun banyak Jama’ah Maiyah yang lebih memilih mundur dari depan
panggung, ngobrol atau makan-makan di warung. Bahkan sebagian dari
mereka lebih memilih tidur atau pulang lebih awal. Maiyahan tanpa kehadiran
Cak Nun dirasa hambar oleh beberapa Jama’ah Maiyah. Seperti ungkapan MF
:
“Kehadiran Cak Nun sangat penting, kalau tidak adadia Maiyahan terasa hambar, acara jadi kurang menarik, sayapun tidak mendekat ke panggung seperti ketika ada Cak Nun,saya akan mendengar sambil makan-makan diwarung, bahkansebagian orang pulang kalau tidak ada Cak Nun”.50
Berbagai lembaga yang memiliki tokoh kharismatik kebanyakan akan meredup
bila tokoh kharismatiknya sudah tiada, karena tidak adanya pegangan dari
individu yang dijadikan contoh.
Tetapi, mungkin Maiyahan tidak akan meredup bila terdapat tokoh lain
yang mampu mengimbangi kharisma Cak Nun, dan mampu menggantikannya
bila Cak Nun tidak hadir atau telah tiada. Seperti yang telah biasa dilakukan
dalam Maiyahan bila Cak Nun dan Kiai Kanjeng kebetulan tidak dapat hadir
ketika tanggal 17, karena sedang ada kegiatan lain yang lebih penting. Posisi
49 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.0050 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00
70
Cak Nun biasanya digantikan oleh Mas Totok51, atau putera Cak Nun yaitu
Sabrang52. Mereka berdua dinilai mampu mengimbangi Cak Nun, tetapi hanya
dalam beberapa sisi saja. Mas Totok mungkin mampu mengimbangi Cak Nun
dalam hal kharisma, tetapi tidak dalam hal wawasan religiusitas dan
intelektual. Sedangkan Sabrang mungkin mampu menandingi Cak Nun dalam
hal intelektualitas, tetapi tidak dalam hal wawasan religiusitas dan kharisma.
Seperti penjelasan MF :
“Dalam Maiyahan kalau Cak Nun tidak hadir atau bilananti telah meninggal, posisinya bisa digantikan oleh MasTotok yang cukup memiliki kharisma dan wawasan, walaupunmasih jauh dibawah Cak Nun, atau juga dapat digantikan olehSabrang, dia memiliki potensi, intelektualitasnya tinggi,menandingi bahkan melebihi Cak Nun, tetapi dia belummemiliki wawasan religiusitas dan kharisma yang mampumenggantikan Cak Nun.”53
Walau demikian, Maiyahan memiliki beberapa pengikut atau jamaah
yang mengaku menyukai Maiyahan bukan hanya karena ada Cak Nun,
walaupun memang untuk saat ini Cak Nun memang yang paling dia sukai dan
tunggu-tunggu ketika Maiyahan. Mereka datang Maiyahan memang karena
mendapat panggilan hati untuk selalu memperdalam religiusitas, dan dalam
Maiyahan hal tersebut tidak hanya didapat dari Cak Nun. Kehadiran Cak Nun
pun tidak menjadi faktor utama penentu dia datang ke Maiyahan. Cak Nun
ialah simbol Maiyahan, tetapi tidak berarti bukan Maiyahan bila tidak ada Cak
Nun. Seperti ungkapan MD bahwa :
51 Mas Totok ialah salah satu anggota Kiai Kanjeng, sering menjadi MC Maiyahan, dan seringmenggantikan posisi Cak Nun ketika tidak hadir dalam Maiyahan.52 Sabrang ialah putra Cak Nun, biasa dikenal dengan nama Noe Letto, namanya ketika manggungbersama grup band Letto yang dia vokali, sering pula membawakan materi diskusi bersama Cak Nun.53 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00
71
“Cak Nun menurut jamaat yang lain sangat penting,bahkan bila tidak ada dia acara bisa selesai, tetapi bagi sayatidak masalah bila tidak ada Cak Nun, saya bisa belajar sendiri,kalau ada Cak Nun pun tidak kesana juga gak masalah bagisaya, jangan sampai tidak pernah hadir lagi bila tidak ada CakNun.”54
Begitu pula menurut HM :
“Cak Nun tidak ada pun tetap jalan, memang banyakorang yang menilai bahwa Maiyahan itu Cak Nun, tetapi sayatidak setuju, Cak Nun itu hanya simbol Maiyahan.”55
Beragam pendapat dilontarkan perihal kharisma Cak Nun, yang mana
saat ini diakui bahwa Maiyahan seramai sekarang karena ada daya tarik Cak
Nun. Maiyahan dapat dibilang sebagai suatu lembaga religiusitas yang pada
dasarnya memiliki tokoh sentral kharismatik, yang boleh dibilang
kehadirannya sangat menentukan keberlanjutan Maiyahan.
D. Makna Maiyahan bagi Berbagai Kategori Sosial
Demi kelestarianya, wajar bila agama telah dibentuk sebagaimana suatu
lembaga atau institusi yang melakukan fungsi organisasi. Sehingga agama dapat
memapankan kedudukannya dalam masyarakat, demi mencapai tujuannya sebagai
rahmat bagi kehidupan manusia. Lembaga agama memiliki strategi dalam
menyampaikan ajarannya, melakukan pemetaan sosial terhadap segmen masyarakat
setempat, sehingga tepat sasaran sesuai kondisi masyarakat saat itu.
54 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.0055 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30
72
Demikian juga Maiyahan, yang memiliki posisi sebagai lembaga agamanya
rakyat kecil. Melakukan strategi agar ajaran yang disampaikan mampu dipahami
dengan mudah. Sebagaimana tulisan Cak Nun yang dimuat Jawa Pos pada 10 Maret
2002, berjudul “Keputusasaan Menyeluruh”, bahwa musik dan puisi misalnya, tidak
hanya ditujukan bagi pengabdian seni, melainkan bergabung didalam proses
musyawarah sosial, memperingan hati, me-lanyah-kan akal, melembutkan perasaan,
dan menjernihkan jiwa. Itu semua, disamping untuk menghibur, juga untuk mengasah
agar hati kita jujur, pikiran kita fresh sehingga hasil rembugnya nanti bisa semurni
mungkin.56
Rembug yang dimaksud ialah proses dialogis dalam Maiyahan, yaitu diskusi,
bertujuan mencari permasalahan dari akar hingga pangkalnya. Seperti tulisan Cak Nun
kembali di Jawa Pos pada 14 April 2002, berjudul “Gula Kok Manis”, yang
menerangkan bahwa di dalam Maiyahan, kita mendaftari penyakit-penyakit kita
sebagai manusia, sebagai warga Negara, sebagai individu atau mahluk sosial, sebagai
masyarakat, sebagai bangsa, dan seterusnya. Kita identifikasi bersama, kita
rekapitulasi, dipetakan, dihitung, dianalisa, dipelajari itu semua, mana yang bisa
disembuhkan, mana yang sangat lama baru bisa disembuhkan, serta mana yang
mustahil sembuh.57 Cak Nun memiliki berbagai tulisan yang menjelaskan perihal
aktifitas-aktifitas Maiyahan dalam kegiatannya berdakwah. Tetapi perspektif
kemudian berkembang, yang mana aktifitas Maiyahan dimaknai secara bebas oleh
Jama’ah Maiyah, sesuai konteks sosial masyarakat bersangkutan.
56 Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah. (Yogyakarta: SekertariatHamas, 2002) hlm: 2957 Ibid., Hlm: 33
73
Berikut merupakan keterangan dari seluruh informan perihal pemaknaannya
terhadap apa itu aktifitas Maiyahan: Pertama, ungkapan BN yang lebih memaknai
Maiyahan sebagai aktifitas religius. Hal yang paling ia cari dari Maiyahan ialah sisi
religiusitasnya. Segala hal yang disajikan dalam Maiyahan dia pandang mampu
menambah wawasan religiusitasnya. Karena pada dasarnya inti dari Maiyahan
memang acara religiusitas. Entah itu musiknya, syair lagunya, iramanya, dan lain-lain,
semua dilakukan dengan fokus dan menjiwai untuk menyiarkan religiusitas. Sehingga
penyerapan religiusitasnya bagi BN menjadi lebih khusuk dan mudah. Dengan
mengikuti Maiyahan dia merasa bisa lebih dekat dengan Tuhan. Apalagi disana ia
memperoleh wawasan religius seputar apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang,
mana yang pahala dan mana yang dosa, aman yang baik dan mana yang buruk, dan
seterusnya. Semua norma-norma religius dalam agama tersebut terasa murni tanpa
adanya embel-embel kepentingan dari pihak tertentu. Berikut penuturan BN :
“Aktifitas Maiyahan itu, mengajak mengingat Allah, sehinggamampu membedakan mana yang halal dan haram, baik dan buruk,sehingga hidup tidak seenaknya sendiri. Tidak hanya dalam diskusinya,misalnya dalam musik, yang bisa membuat ingat pada Tuhan, alunan,irama, syair, disampaikan dengan tajam dan menjiwai, sehinggamampu mengajak orang memaknai agama.”58
Kedua, HM yang menuturkan secara berbeda tentang makna Maiyahan bagi
dirinya. Dia memandang bahwa Maiyahan itu tidak bisa dipandang dari satu sisi saja.
Ibarat kotak Maiyahan mempunyai banyak sisi, yang bisa dijadikan sudut pandang
dalam menentukan maksud dan tujuanya. Maiyahan bisa memiliki berbagai makna
tergantung dari tujuan apa yang dicari oleh Jama’ah Maiyah ketika mengikuti
Maiyahan. Bisa saja seseorang datang Maiyahan untuk memperdalam agama, berarti
58 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
74
dia memaknai Maiyahan lebih pada aktifitas keagamaan. Bisa juga seseorang datang
untuk berkumpul bersama teman-teman, bisa juga untuk mencari ilmu atau pendidikan
yang disajikan dalam diskusinya, dan seterusnya semua tergantung masing-masing
Jama’ah Maiyah. Berikut penuturan HM :
“Maiyahan dimaknai tergantung sudut pandang masing-masing, misal sudut pandang agama, Maiyahan sebagai metodemendekatkan diri pada Allah dan Rasul, sedang dari sudut pandangsosial, Maiyahan ialah konsep kebersamaan diantara masyarakat, dandari sudut pendidikan, Maiyahan adalah sumber ilmu, biologi, sosial,budaya, tergantung kesana cari ilmu apa saja bisa ditemukan,sedangkan musik, diskusi, puisi hanya bumbu untuk mencapai ilmu.”59
Ketiga, MD yang menyatakan makna dari Maiyahan ialah kebersamaan. Inti
yang diajarkan dalam Maiyahan ialah bagaimana semua orang bisa saling menghargai,
mengerti dan memahami. Disamping berbagai perbedaan yang ada seperti ras, suku,
agama, dan seterusnya. Kehidupan bangsa, terutama Islam semakin heterogen, apalagi
ditengah arus globalisasi yang terus menggerus jiwa manusia. Sering kali
menimbulkan potensi konflik dan kesenjangan, dimana hal demikian selalu memicu
berbagai masalah sosial. Untuk hal ini Maiyahan hadir sebagai pemersatu dalam
kebersamaan. MD menganggap bahwa bagi seorang muslim, mengikuti Maiyahan
sangatlah penting karena membangun Ukhuwah Islamiyah diantara sesama muslim.
Sehingga umat muslim akan tetap bersatu dan lebih religius : Berikut penuturan MD :
“Maiyahan ialah kebersamaan, disana kita tidak memandangras, suku, agama, dalam kehidupan yang serba luas, kita menjalinkebersamaan dalam Islam yang semakin heterogen.”60
59 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.3060 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00
75
Keempat, ialah MF yang menyatakan bahwa Maiyahan bagi dia ialah
sumbernya ilmu. Tidak seperti pengajian lain, Maiyahan merupakan forum ilmu
tempat orang menimba ilmu seperti sekolahan dan universitas. Maiyahan mampu
menjadi public sphere dalam diskusinya, tempat semua orang tanpa memandang status
kelas maupun tingkat pendidikan untuk berbicara dan mengutarakan pendapat di
depan umum. Dalam Maiyahan dia dapat belajar apapun, bahkan melengkapi dari apa
yang tidak ia peroleh di bangku universitas. Segala kegiatan seperti musik, puisi, dan
seterusnya, termasuk berbagai candaan dari Cak Nun; hal tersebut merupakan pencair
suasana agar tidak bosan ditengah-tengah diskusi. Karena tentu akan bosan bila terus-
menerus ngobrol dan berdiskusi tanpa ada selingan yang mengihibur dan
menentramkan jiwa. Berikut penuturan MF :
“Maiyahan ialah forum ilmu, seperti sekolah tempatnyabelajar, belajar apapun, sedangkan aktifitas hiburan seperti musik danpuisi misalnya, berguna sebagai pencair suasana, ibarat kendaraanbutuh oli, karena bila diskusi terus ya sumpek, daya tahan kalaumendengar diskusi paling maksimal dua jam.”61
Lalu kelima, pernyataan HS yang menyatakan bahwa Maiyahan ialah
tempatnya diskusi dan mengobrol apapun. Segala hal yang didiskusikan dalam
Maiyahan selalu bermanfaat bagi penambahan wawasan intelektual dan religiusitas.
Yang utama dan terpenting dari Maiyahan yang cenderung tidak dimiliki oleh
lembaga-lembaga religiusitas lain ialah diskusi; yang mampu diakses masyarakat
kalangan bawah. Maiyahan mampu menjadi sumber ilmunya masyarakat kalangan
bawah, kalangan miskin, kalangan petani, atau siapapun yang boleh dibilang kurang
memperoleh kesempatan pendidikan ditempat lain. Ilmu pengetahuan disampaikan
61 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00
76
dengan bahasa yang sederhana. Sehingga mampu diserap dengan mudah berbagai
kalangan dari tingkat pendidikan. Tidak hanya itu, walaupun peserta Maiyahan yang
hadir kebanyakan ialah kalangan bawah; tetapi juga banyak kalangan atas yaitu orang
kaya, dan seniman yang tertarik mengikuti Maiyahan. Karena memang ilmu yang
disampaikan dalam Maiyahan diperuntukan bagi kalangan bebas. Berikut penuturan
HS bahwa :
“Maiyahan ialah tempatnya diskusi, ngobrolnya kalanganbebas, yang didominasi kalangan bawah, seperti orang desa, pedagangkecil, kelas kaya juga ada, juga tempatnya seniman.” 62
Keenam, ialah AD, seperti kebanyakan informan kategori pemuda. AD lebih
memaknai Maiyahan sebagai aktifitas epistemik. Menurutnya, Maiyahan ialah sumber
ilmu, yang dihasilkan dari diskusi dan pengutaraan pendapat. Sumber ilmu dalam
Maiyahan tidak hanya terpaku pada satu sumber ilmu saja, misalnya ilmu religiusitas.
Tetapi dari berbagai disiplin ilmu, walaupun ilmu tersebut diluar religiusitas. Berbagai
macam ilmu yang diobrolkan tidak lah tetap, terkadang ilmu agama, ilmu sosial, ilmu
politik, dan lain-lain. Walaupun pengaruh Cak Nun dalam sosialisasi ilmu cukup
besar, tetapi tetap terdapat peluang bagi Jama’ah Maiyah atau narasumber yang hadir
untuk mengutarakan pendapatnya, entah setuju atau pun tidak setuju. Karena Cak Nun
sendiri memang membuka peluang bagi Jama’ah Maiyah untuk berpartisipasi dalam
diskusi, dengan cara menawarkan bila ada yang ingin bertanya, berpendapat, ataupun
menyanggah. Sebagaimana menurut AD, disana semua saling take and give
pengetahuan. Menurut AD, yang paling khas dari diskusi Maiyahan ialah kemampuan
memadukan segala ilmu-ilmu pengetahuan, entah itu sosial, politik, budaya,
62 Wawancara HS pada 22 April 2013, pukul 22.00
77
lingkungan, dan lain-lain; dengan ilmu religiusitas. Segala fenomena yang
didiskusikan, yang selama ini menimbulkan masalah bagi Jama’ah Maiyah dapat
dipecahkan secara religius. Sehingga selain mencerdaskan juga menambah wawasan
religiusitas. Berikut penuturan AD :
“Maiyahan merupakan sekumpulan orang yang mau bersamangomongin macem-macem bahan obrolan, entah itu agama, sosial,politik, budaya, lingkungan, dan lain-lain. Disana mereka saling takeand give pengetahuan. Disana kita dapat berdiskusi dibalut denganreligiusitas”.63
Ketujuh, ialah DE yang mencoba mengartikan Maiyahan secara teknis. Bahwa
Maiyahan ialah acara diskusi, lebih tepatnya diskusi perihal ilmu pengetahuan global,
terbukti dengan selalu dihadirkanya pembicara dari kalangan akademisi dan praktisi;
selain itu Maiyahan ialah tempatnya diskusi agama, terbukti dengan hadirnya seorang
agamawan (bisa Cak Nun, bisa agamawan lain); selain itu Maiyahan juga tempatnya
diskusi budaya, terbukti dengan hadirnya seorang budayawan. Berikut penuturan DE :
“Maiyahan adalah kegiatan rutin yang membahas danmembumikan topik-topik tertentu. Biasanya terdiri dari tiga macampembicara diantaranya seorang akademisi atau praktisi, seorangagamawan, dan seorang budayawan.”64
Kedelapan, ialah BG yang memaknai Maiyahan lebih pada aktifitas sosial Cak
Nun terjun langsung ke masyarakat. Maiyahan ialah aktifitas yang tercetus dari
gagasan Cak Nun. Memang Maiyahan dalam formasi sekarang tergolong baru, yaitu
sejak sekitar dua belas tahun yang lalu. Sejak awal Maiyahan memang dilakukan dan
dibentuk oleh Cak Nun, lalu terus-menerus bertambah dengan formasi baru. Maiyahan
menjadi menarik bagi berbagai kalangan masyarakat berkat kecerdikan Cak Nun
63 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.0064 Wawancara DE pada 18 Juni 2013, pukul 20.00
78
memadukan antara religiusitas, musik, dan dikusi ilmu pengetahuan global. Apalagi
ditambah suasana humor dan obrolan yang cair, lebih menambah suasana akrab dalam
Maiyahan. Bagi BG, Maiyahan tidak bisa dibilang merupakan forum diskusi yang
remeh temeh, tetapi sudah merupakan sumber ilmu baru yang luas bagi Jama’ah
Maiyah. Berikut penuturan BG :
“Maiyahan ialah forum yang menarik dari terobosan CakNun, dimana dia bisa membuat forum yang cair dan terbuka bagisemua kalangan, dengan bahasan dan capaian yang luas bagi ilmupengetahuan.”65
Lalu terakhir atau kesembilan, ialah SC yang lebih memaknai aktifitas
Maiyahan sebagai aktifitas religius. Dimana seluruh konsentrasi SC selama mengikuti
Maiyahan ialah menyerap sebanyak-banyaknya wawasan religius yang dihasilkan;
entah itu dari diskusi, musik, puisi, atau pun lainya. Bagi dia Maiyahan ialah inspirasi
bagi dirinya untuk terus-menerus menambah wawasan religius. Terlebih lagi dalam
kahidupan yang serba sulit sekarang, sering menimbulkan kegelisahan dan frustasi
dalam pikiran dan hati. Maiyahan mengajarkan cara mengobat kegelisahan dan frustasi
tersebut, yaitu dengan lebih dekat dengan Tuhan. Sehingga seseorang akan tetap dekat
dengan Tuhan ditengah berbagai pengaruh lingkungan yang merusak iman. Berikut
penuturan SC :
“Maiyahan ialah aktifitas dimana kita mampu memantapkanhati untuk tetap di jalan Tuhan, memantapkan pikiran dan hati, tidakmudah terpengaruh dengan situasi lingkungan sekitar”.66
Berbagai pernyataan Jama’ah Maiyah tersebut menunjukan bahwa terdapat
perbedaan terhadap apa makna Maiyahan. Misalnya, kategori dewasa dan pekerja
65 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.0066 Wawancara SC pada 24 Juni 2013, pukul 10.00
79
seperti BN, MD, HM dan SC, memaknai Maiyahan lebih pada aktifitas religiusitas,
diskusi dan musik hanya media untuk mempermudah penyampaiannya. Sedangkan
kategori pemuda dan mahasiswa seperti MF, HS, AD, DE dan BG memaknai
Maiyahan lebih pada aktifitas diskusi, dengan tidak memungkiri bahwa aktifitas
religiusitas lah inti dari Maiyahan, sedangkan musik dan puisi hanyalah media
penyampaian.
Pemaknaan terhadap Maiyahan merupakan pelegitimasian terhadap apa
esensi acara dari Maiyahan yang ingin dicari. Walau terdapat perbedaan pemaknaan
terhadap Maiyahan. Tetapi inti dari keseluruhan persepsi hampir sama, yaitu
Maiyahan ialah aktifitas religiusitas. Secara spesifik kecenderungan pemaknaan atas
Maiyahan berdasarkan kategori sosial dapat dilihat berdasarkan tabel berikut :
Kategori
Sosial
Makna Maiyahan
Aktifitas
religiusitas
Aktifitas
hiburan
Aktifitas
epistemik
Aktifitas
sosial
Arena
Otoritas
kharismatik
Dewasa √ √ √
Muda √ √ √ √ √
Laki-laki √ √ √
Wanita √ √ √ √
Kaya √ √ √ √
Miskin √ √ √ √
Mahasiswa √ √ √ √ √
Pekerja √ √ √
Tabel 2 : Kecenderungan pemaknaan terhadap aktifitas Maiyahan
Tabel tersebut menunjukan kecenderungan pemaknaan Jama’ah Maiyah
terhadap Maiyahan. Ketika mereka menjawab apa makna Maiyahan bagi mereka, serta
80
apa tujuan dan hal yang ingin dicari dalam Maiyahan. Bila Maiyahan tidak
menghadirkan aktifitas tersebut, seseorang cenderung lebih memilih untuk tidak hadir
dalam Maiyahan, atau hadir tapi pulang sebelum acara usai, atau lebih memilih
aktifitas lain seperti makan di warung atau tidur. Berikut akan dijelaskan sebab umum
perihal mengapa aktifitas-aktifitas Maiyahan dimaknai secara khas oleh Jama’ah
Maiyah dari kategori-kategori sosial tertentu :
1. Aktifitas Religiusitas
Inti acara Maiyahan sebagai lembaga religiusitas ialah
mensosialisasikan religiusitas kepada masyarakat. Walaupun dalam
perkembangannya Maiyahan dimaknai apapun tidak hanya sebagai lembaga
religiusitas. Tetapi rupanya religiusitas Maiyahan cukup menjadi motivasi bagi
kebanyakan Jama’ah Maiyah, karena religiusitas mampu disampaikan secara
mendalam dan toleran. Jama’ah Maiyah yang cenderung memaknai Maiyahan
sebagai aktifitas religiusitas ialah dari kategori :
a. Dewasa; karena tanggung jawab mereka sebagai orang dewasa
menuntut untuk lebih menguasai agama, agar bisa menjadi panutan
bagi generasi muda, keluarga (terutama anak-anaknya) dan masyarakat.
Bagi kategori dewasa Maiyahan mampu memberi seluruh pengalaman
religiusitas tersebut. Bagi mereka sisi religiusitas Maiyahan sangat
mudah dan menyenangkan untuk diterapkan. Karena selalu
menekankan pada keserasian hidup antar manusia, yang sangat penting
81
bagi kehidupan sosial seorang dewasa dalam masyarakat. Walau
demikian bukan berarti Maiyahan meremehkan sisi religiusitas berupa
ritus-ritus peribadatan. Tetapi justru mampu menyadarkan tanpa
perintah, tanpa sikap menggurui, dan tanpa paksaan untuk lebih
mengenal Tuhan. Maiyahan bagi seorang dewasa mampu menjadi
pedoman religiusitas dalam ibadah dan hubungan sosial.
b. Pemuda; Masa muda ialah masa pencarian jati diri. Mereka banyak
melakukan trial and error dalam hidupnya, terkadang berhasil dan
terkadang gagal. Pada saat gagal inilah mereka terusik ketentraman
hatinya. Sehingga mereka juga memerlukan dukungan moril, salah
satunya dengan religiusitas. Sisi religiusitas yang dibutuhkan pemuda
ialah religiusitas yang mampu menjadi obat, nasehat dan petuah untuk
mengatasi kegelisahan hati, dan mampu memberi dukungan moril bagi
mereka; tidak hanya terus-menerus memotifasi untuk beribadah
mencari pahala dan menghindari dosa. Melalui Maiyahan mereka
mengaku memperoleh ketenangan batin dari religiusitas yang
disosialisasikan. Bahkan dalam Maiyahan kategori pemuda tidak segan,
malah senang untuk ikut bershalawat, berdzikir dan berdoa.
c. Laki-laki, dituntut oleh budaya dan agama sebagai pemimpin. Baik
dalam artian pemimpin keluarga atau pun pemimpin masyarakat.
Pemimpin keluarga yang diharapkan mampu memberi teladan
religiusitas bagi seluruh keluarganya. Atau pemimpin masyarakat atau
organisasi yang diharapkan mampu bersikap adil dan membawa pada
82
pencapaian tujuan. Tanggung jawab tersebut menuntut mereka lebih
mengerti agama. Nilai-nilai religiusitas dari Maiyahan dibutuhkan
mereka bagi memenuhi tersebut. Dan Maiyahan dinilai mampu menjadi
pedoman mencapai tujuan tersebut.
d. Wanita; para ahli mengatakan bahwa kecenderungan religiusitas wanita
lebih besar dari pada laki-laki. Entah benar atau tidak, melalui
Maiyahan wanita mampu memiliki ketertarikan terhadap religiusitas
tidak kalah dari pada laki-laki. Dalam Maiyahan mereka mengaku
dapat menyerap prinsip-prinsip religiusitas untuk menjadi wanita yang
lebih baik.
e. Kaya; mereka memperdalam religiusitas untuk menyerap prinsip-
prinsip hidup positif yang bermanfaat bagi kehidupan. Semua hampir
bisa mereka dapatkan, tetapi godaan bagi orang kaya cukup besar,
sehingga mereka harus memperdalam religiusitas untuk menentramkan
hati, supaya tidak khilaf dan frustasi.
f. Miskin; mereka banyak diliputi kesulitan dan ketidakmampuan.
Religiusitas bagi mereka harus mampu dijadikan sandaran untuk
menentramkan hati mereka. Sejauh ini, mereka mengaku bahwa
Maiyahan mampu memberikan hal tersebut. Dalam Maiyahan mereka
selalu diajarkan untuk bersabar, menanti kenikmatan walau belum
kunjung datang. Ikhlas menerima apapun dari Tuhan serta terus tawakal
atau berusaha keras mencapai tujuan. Terserah Tuhan bagaimana
83
menilai kerja keras mereka dan memberi balasan yang setimpal. Karena
Tuhan tahu yang terbaik bagi umatnya.
g. Pekerja, mereka memerlukan prinsip-prinsip dan motivasi keagamaan
untuk bertahan dalam aktifitas mencari nafkah yang sulit. Maiyahan
selalu mengajarkan prinsip-prinsip kerja yang sesuai dengan hukum-
hukum agama. Selain itu juga menggali dasar-dasar religiusitas yang
dibutuhkan bagi para pekerja, misalnya ajaran untuk terus sabar, ikhlas
dan tawakal.
h. Mahasiswa; mereka dalam rangka belajar, apapun target belajarnya
tgermasuk religiusitas. tetapi religiusitas yang cenderung dipilih
mahasiswa ialah sisi religiusitas yang mampu menjadi sandaran bagi
kegelisahan hati. Juga mampu menjadi topangan proses pembelajaran
dan pergaulan. Religiusitas yang dibutuhkan mahasiswa ialah
religiusitas yang tidak mengekangdan tidak menggurui. Sehingga
religiusitas tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk berkembang.
Selain itu, mahasiswa juga cenderung kritis dalam manilai religiusitas.
mereka bahkan bisa menjauh dari religiusitas apabila religiusitas
tersebut hanya berkutat pada ritus-ritus peribadatan; dan juga hanya
membahas hal-hal yang gaib seperti surga, neraka, pahala, dosa, dan
seterusnya. Bagi mereka religiusitas harus mampu diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Maiyahan mereka nilai mampu memberikan sisi
religiusitas sesuai dengan yang mereka harapkan.
84
2. Aktifitas Hiburan
Aktifitas hiburan dalam Maiyahan bisa berarti keseluruhan aktifitas
Maiyah. Dimana seseorang termotivasi mengikuti Maiyahan untuk refresing
dengan mencari hiburan, sambil menikmati aktifitas musik bernuansa budaya,
setelah sekian lama bekerja keras. Atau menghibur hati dengan shalawat dan
dzikir bersama diiringi musik. Serta bisa juga mencari hiburan disertai
menambah pengetahuan dari tokoh intelektual, budayawan sekaligus
agamawan seperti Cak Nun. Dari keterangan seluruh informan dari berbagai
kategori sosial selalu disinggung bahwa mereka mengikuti Maiyahan untuk
mencari hiburan. Segala aktifitas yang memotivasi dirinya untuk hadir dalam
Maiyahan karena aktifitas-aktifitas tersebut mampu menghibur dengan caranya
masing-masing.
Sehingga disimpulkan bahwa hiburan mampu menjadi motivasi bagi
seluruh Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial. Karena aktifitas hiburan
merupakan pengertian normatif dari seluruh aktifitas Maiyahan, yang mampu
menarik Jama’ah Maiyah untuk selalu kangen hadir dalam Maiyahan. Berikut
merupakan penjabaranya mengapa Jama’ah Maiyah memaknai Maiyahan
sebagai aktifitas hiburan:
a. Dewasa; bagi mereka religiusitas lah yang terpenting dari Maiyahan.
Religiusitas sendiri merupakan hiburan, karena seorang dewasa cenderung
lebih tertarik memperdalam religiusitas. Dalam Maiyahan mereka
mengaku senang memperoleh hiburan berkonteks religiusitas. seperti
85
ketika berdoa bersama, shalawatan bersama, dzikir bersama, dan
seterusnya.
b. Pemuda; bagi mereka seluruh konteks acara dalam Maiyahan mampu
menjadi hiburan, entah itu religiusitasnya, musiknya, diskusinya, dan lain-
lain. Mereka mencari hiburan untuk menentramkan hati seklaigus
menambah wawasan. Selain itu dapat bersosialisasi dengan teman-teman
ketika Maiyahan juga menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Bahkan
melihat lawan jenis juga menjadi hiburan yang cukup memotivasi mereka
mengikuti Maiyahan.
c. Laki-laki; mereka cenderung memiliki banyak waktu untuk mencari
hiburan keluar rumah. Walaupun malam hingga pagi hari, mereka mampu
mengikuti keseluruhan acara Maiyahan dari mulai hingga selesai. Bagi
mereka Maiyahan merupakan hiburan untuk mengisi waktu senggang
dengan bermanfaat. Mereka dapat terhibur dengan seluruh acara Maiyahan
apapu aktifitasnya.
d. Wanita; wanita cenderung lebih jarang memperoleh hiburan semacam
Maiyahan, karena selalu diadakan di malam hari. Padahal ketertarikan
mereka terhadap Maiyahan tidak lah kalah dengan laki-laki. Mereka
cenderung terhibur ketika bisa mengikuti Maiyahan, apapun aktifitasnya.
Karena hadir dalam Maiyahan merupakan hal yang langka bagi mereka,
apalagi mengikuti seluruh sesi acara dari awal hingga akhir. Mereka
cenderung tidak bisa hadir sendirian seperti halnya laki-laki. Mereka baru
86
bisa datang bila bersama rombongan, teman, pacar, suami, keluarga, dan
seterusnya.
e. Kaya; Maiyahan mampu menjadi hiburan bagi mereka mengisi waktu
luang. Apapun aktifitas Maiyahan mampu menjadi hiburan bagi mereka.
Terlebih disana mereka terhibur dengan banyak bertemu dan bersosialisasi
dengan orang-orang, ditengah berbagai kesibukan kerjanya sehari-hari.
f. Miskin; kesulitan hidup senantiasa menghantui mereka, terutama kesulitan
dalam hal perekonomian. Mereka terpaksa hidup dalam kondisi pas-pasan.
Hasil usaha yang mereka peroleh sering kali tidak sebesar tenaga dan
keringat yang dikeluarkan. Oleh karena itu mereka membutuhkan hiburan
untuk melepas lelah. Seluruh aktifitas Maiyahan cenderung mampu
mereka serap dan olah menjadi aktifitas yang menghibur. Terutama karena
disana mereka dapat tertawa dan manangis memandang nasib mereka
sehari-hari. Tetapi mereka selalu terhibur dengan motivasi dan dukungan
moril untuk selalu sabar, ikhlas dan tawakal.
g. Pekerja; seluruh pekerja entah kaya atau pun miskin memiliki tingkat
kesulitan masing-masing dalam pekerjaanya. Bagi mereka seluruh aktifitas
Maiyahan mampu menjadi hiburan. Tetapi yang paling penting dari
hiburan tersebut mereka peroleh dari doa-doa, dzikir, shalawat, ataupun
lagu. Dimana keseluruhan selalu mampu memberikan motivasi untuk
selalu ikhlas dan bekerja keras apapun hasilnya.
h. Mahasiswa; seluruh aktifitas Maiyahan mampu menjadi hiburan bagi
mahasiswa. Mereka pandai menyerap ilmu dan menjadikan ilmu tersebut
87
milik mereka. Seluruh aktifitas Maiyahan terkesan menarik, terutama
aktifitas diskusi. Ditambah lagi mereka juga terhibur dengan hubungan
sosial diantara Jama’ah Maiyah ketika mengikuti Maiyahan.
3. Aktifitas Diskusi
Cak Nun, memiliki wawasan yang cukup luas perihal ilmu
pengetahuan, terutama budaya, sosial dan politik. Juga berbagai bintang tamu
dari akademisi atau praktisi berkompeten yang diundang sebagai pemantik
diskusi; membuat diskusi Maiyahan semakin menarik dan berkualitas. Menarik
minat berbagai Jama’ah Maiyah dari kategori sosial untuk mengambil manfaat
dari aktifitas ini. Berikut merupakan kategori sosial yang cenderung
memandang maiyahan sebagai aktifitas diskusi/epistemik, diantaranya :
a. Muda, mereka haus akan ilmu pengetahuan, menyerap dan kritis
terhadap pengetahuan baru. Diskusi menjadi aktifitas menarik untuk
turut berpikir dan belajar. Mereka suka terhadap ilmu-ilmu yang
membuat penasaran. Terlebih lagi ilmu yang mengajarkan perihal
kemanusiaan, keadilan dan kebaikan. Mereka masih jauh dari
kepentingan-kepentingan politik, juga kepentingan-kepentingan demi
keluarga. Sehingga mereka lebih terbuka dan kritis terhadap ilmu-ilmu
baru. Dalam Maiyahan mereka memperoleh pengetahuan-pengetahuan
tersebut melalui berbagai diskusi yang diadakan.
88
b. Kaya, pada umumnya mereka dari kalangan berpendidikan tinggi,
mereka terbuka dan senang terhadap ilmu pengetahuan. Memang
bawaan dari orang kaya, atau yang membuat mereka kaya. Karena
kesempatan dan kesenanganya terhadap ilmu pengetahuan. Mereka
memperoleh hal-hal tersebut dari aktifitas diskusi yang diadakan.
c. Miskin, materi diskusi Maiyahan banyak membahas seputar kehidupan
bangsa, terkait masalah-masalah sosial di Indonesia. Dimana masalah-
masalah sosial tersebut juga merupakan masalah bagi masyarakat
miskin dalam Maiyahan. Sehingga masyarakat miskin merasa cocok
dengan diskusi dalam Maiyahan, supaya mereka kritis terhadap apa saja
yang menjadi sumber kemiskinan mereka.
d. Mahasiswa, diskusi merupakan motivasi utama mahasiswa mengikuti
Maiyahan. Diskusi dalam Maiyahan cukup berkualitas dan intelek,
mereka dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan baru selama diskusi.
Bagi mahasiswa Maiyahan ialah pusat informasi dan pembelajaran
seluruh ilmu pengetahuan.
4. Aktifitas Sosial
Sebagaimana aktifitas sosial yang lain, Maiyahan menciptakan sistem
hubungan sosial yang mampu menjadi motivasi bagi Jama’ah Maiyah hadir
dalam Maiyahan. Kategori sosial yang paling termotivasi mengikuti Maiyahan
karena hubungan sosial diantaranya:
89
a. Muda, mereka memanfaatkan Maiyahan untuk berkumpul bersama
teman sebaya, karena hal itu ialah hal yang menyenangkan bagi
mereka. Biasanya mereka datang Maiyahan bersama teman, terutama
teman yang memiliki minat dan kesukaan yang identik. Ditambah pula
sebagai pemuda, cenderung tertarik terhadap lawan jenis. Maiyahan
juga dimanfaatkan untuk mengajak pasangan atau teman dari lawan
jenis, atau sekedar memandang lawan jenis.
b. Mahasiswa, mahasiswa identik dengan anak muda, kebanyakan dari
mereka termotivasi mengikuti Maiyahan juga karena dapat bertemu dan
bersosialisasi dengan teman-temannya.
c. Wanita, aktifitas sosial tidak hanya menjadi motivasi mereka, tetapi
berkat aktifitas sosial mereka dapat mengikuti Maiyahan. Aktifitas
sosial tersebut, misalnya para wanita datang ke Maiyahan secara
berombongan, bisa dengan teman-teman atau sekeluarga, mereka juga
biasa datang berdua bersama teman, pacar atau suami.
5. Aktifitas Tokoh Kharismatik
Kehadiran Cak Nun sebagai tokoh kharismatik bisa dibilang sebagai
motivasi sebagian besar Jama’ah Maiyah untuk hadir dalam Maiyahan. Cak
Nun merupakan sentral dalam Maiyahan, bisa dibilang bukan Maiyahan kalau
tidak ada Cak Nun. Karena dialah penggagas, pemimpin, narasumber dan
tokoh agama sekaligus yang memiliki wawasan luas dan kharisma. Walaupun
terdapat sebagian orang yang mengaku kesana bukan karena Cak Nun, tetapi
90
karena ingin menambah religiusitas dan mengikuti diskusi. Sepanjang
penelitian kebanyakan yang dikatakan informan ialah “Menurut Cak Nun, apa
yang dikatakan Cak Nun, dan seperti nasehat Cak Nun”. Menunjukan bahwa
kehadiran Cak Nun masih menjadi pusat informasi yang dinanti-nanti,
membawa atsmosfer atau suasana yang lebih menarik bagi Jama’ah Maiyah.
Diperkirakan hal ini karena belum adanya tokoh lain yang menandingi
wawasan dan kharisma Cak Nun. Berikut merupakan penjelasan lengkap
berdasarkan masing-masing kategori sosial :
a. Dewasa; bagi mereka kehadiran Cak Nun sangat penting, karena dia masih
dianggap sumber konstruksi religiusitas utama. Walau demikian
seandainya Cak Nun tidak hadir, tidak terlalu menjadi masalah bagi
seorang dewasa. Karena tujuan utama mereka datang ke Maiyahan ialah
untuk memperdalam religiusitas. masih banyak tokoh-tokoh lain dalam
Maiyahan yang memiliki wawasan religiusitas.
b. Pemuda; kecenderungan tujuan pemuda mengikuti Maiyahan ialah
didorong oleh aktifitas sosial dan diskusinya. Dalam aktifitas sosial ialah
ketika ia bersosialisasi dengan Jama’ah Maiyah lain. Dalam aktifitas
diskusi pemberian materi dari Cak Nun lah yang paling mereka nanti-
nanti. Karena bagi mereka Cak Nun ialah tokoh intelektual yang banyak
memberi pelajaran perihal metode berfikir, bahasan-bahasan tersebut
sangat disenangi pemuda. Selain itu kharisma Cak Nun cukup berpengaruh
bagi mudahnya penyerapan materi yang disampaikan. Terkadang pemuda
91
akan kehilangan mood bila Cak Nun tidak hadir. Bisa saja mereka tidur, ke
warung, makan ke warung, atau pulang sebelum Maiyahan selesai.
c. Laki-laki
Kehadiran Cak Nun seolah mampu memberi inspirasi atau teladan yang
patut dimiliki oleh soralng laki-laki, terutama sebagai pemimpin umat dan
keluarga. Sama halnya dengan Jama’ah Maiyah lain, Cak Nun masih
menjadi daya tarik utama dalam Maiyahan.
d. Wanita; wanita cenderung memandang Cak Nun sebagai seorang
agamawan yang mampu memberikan petuah-petuah religius. Pendapat
tersebut terutama diutarakan oleh seorang perempuan dewasa. Dimana
memang bagi mereka religiusitas sangat penting untuk mendidik anak-
anak mereka.
e. Kaya; bagi mereka Cak Nun ialah magnet Maiyahan. Meski demikian
seandainya Cak Nun tidak hadir pun sebenarnya tidak masalah bagi
mereka. Masih banyak hiburan dari tokoh lain dalam Maiyahan yang bisa
membuat mereka tertawa dan terhibur, sekaligus menambah wawasan.
f. Miskin; bagi kategori miskin kehadiran Cak Nun ialah sebagai motivator
utama yang dapat memberi petuah-petuah dan doa untuk mengatasi
kesulitan hidup. Terlebih lagi bagi mereka Cak Nun mampu memberi
suasana ceria tersendiri dengan lawakan-lawakanya. Cak Nun selalu
memiliki lelucon-lelucon yang bisa membuat mereka tertawa. Bagi mereka
tertawa ialah obat bagi rasa frustasi dan gelisah dalam kehidupan sehari-
hari akibat himpitan ekonomi.
92
g. Pekerja; Cak Nun ialah orang yang paling mahir dalam memberi motivasi,
nasehat dan doa. Bagi kategori ini yang terpenting dari cak Nun ialah dia
mampu memberi motivasi untuk selalu bekerja keras, jujur dan pantang
menyerah dengan menyerahkan seluruh hasilnya kepada Tuhan.
h. Mahasiswa; kebanyakan dari mereka menganggap aktifitas diskusilah yang
menjadi motivasi utama untuk hadir dalam Maiyahan. Bagi mereka Cak
Nun ialah seseorang yang paling mumpuni dalam wawasan religiusitas,
sosial, politik dan budaya, dari pada narasumber-atau pembicara lain
dalam Maiyahan. Apalagi ditambah kemampuan naratif yang baik, disertai
humor-humor yang kritis. Hal tersebut tentu mampu menarik minat
mahasiswa yang menyukai ilmu pengetahuan yang rasional dan sistematis.
Bagi mereka kehadiran Cak Nun sangat penting, ketertarikan mereka
terhadap Maiyahan cenderung berkurang bila Cak Nun tidak hadir.
Sehingga biasanya bila Cak Nun tidak hadir mereka lebih memilih untuk
pulang, tidur, mengobrol, membaca, atau mundur dari barisan dapat.
93
BAB III
KONSTRUKSI SOSIAL RELIGIUSITAS
Berger mengungkapkan gagasan hubungan antara individu dan masyarakat,
yang berkesimpulan bahwa masyarakat merupakan penjara bagi individu, penjara
dalam ruang atau waktu, membatasi gerak individu, namun tidak selamanya individu
menganggapnya belenggu. Tetapi, diterima begitu saja sebagai kenyataan tanpa
adanya pertanyaan. Sejak lahir hingga meninggal, individu senan tiasa hidup dalam
satu penjara ke penjara lainnya, mempengaruhi dirinya dan tidak bisa lepas darinya.
Walau demikian individu tersebut masih memiliki kemampuan untuk melakukan
tindakan sesuai kehendaknya.
Bersama Luckmann, Berger mengembangkan teori konstruksi ini dengan
gagasan “manusia dalam Masyarakat”(man in society) dan “masyarakat dalam
manusia”(society in man). Gagasan manusia dalam masyarakat, menjelaskan bahwa
manusia ialah bagian dari masyarakat, tidak bisa lepas dan selalu terpengaruh olehnya,
bahwa segala tindakan dan gagasan yang dimiliki manusia senantiasa terpengaruh oleh
situasi masyarakat dimana individu tersebut berkembang. Sedangkan gagasan
masyarakat dalam manusia, menjelaskan bahwa masyarakat merupakan hasil dari
pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus kedunia, lahir dari gagasan dan
pemikiran seorang manusia, yang pada akhirnya menyebar dan mempengaruhi aspek
kehidupan masyarakat, hingga akhirnya menjadi gagasan dan pemikiran bersama
dalam masyarakat.
94
Berkaitan dengan kedua gagasan tersebut, Berger dan Luckmann mendasarkan
diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu “realitas” dan “pengetahuan”.
Realitas merupakan situasi dimana fakta sosial bersifat eksternal, yaitu diluar diri
manusia dan berada di dalam masyarakat, mempunyai kekuatan memaksa kesadaran
masing-masing individu dalam masyarakat, suka tidak suka, mau tidak mau realitas
tetap ada. Sedangkan pengetahuan merupakan situasi dimana realitas itu sendiri ialah
milik individu, individu tersebut sadar dan mengetahuinya dan dijadikan seagai
subjektifitas individu.
Hubungan antara gagasan-gagasan tersebut melahirkan apa yang disebut
Berger dan Luckmann sebagai realitas objektif dan realitas subjektif. Realitas objektif
dimana realitas merupakan fakta sosial yang berada dalam masyarakat, dan realitas
subjektif dimana realitas merupakan kesadaran dari dalam diri seorang individu.
A. Dasar-dasar Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari
Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tersebut akan ditampilkan dalam
penelitian ini sebagai konsep dasar bagaimana konstruksi sosial realitas terjadi dalam
masyarakat, yaitu konstruksi sosial realitas religiusitas yang membentuk diri Jama’ah
Maiyah. Berdasarkan analisis dari konsep Berger dan Luckmann, yaitu konsep
religiusitas dalam kehidupan sehari-hari, hubungan Maiyahan dengan interaksi sosial
dalam kehidupan sehari-hari, serta bahasa dan pengetahuan religiusitas dalam
Maiyahan.
95
1. Religiusitas dalam Kehidupan Sehari-hari
Setiap manusia melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang
ditafsirkan secara subjektif sebagai bagian dari hidup. Agama merupakan
bagian dari kenyataan yang dialami oleh seseorang, hadir begitu saja tanpa
diinginkan individu. Tetapi sikap religiusitas dari agama tersebut kadang
merupakan kenyataan yang bersifat universal tidak hanya dimiliki oleh satu
agama saja. Seperti ajaran religiusitas perihal menegakan kebenaran,
melakukan kebaikan, menghormati sesama manusia, saling tolong-menolong,
saling menyayangi satu sama lain, dan seterusnya (bahwa tidak ada agama
yang mengajarkan keburukan). Agama merupakan fundamen dalam
masyarakat, ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin di dalamnya senantiasa dijadikan
landasan bagi terciptanya peri kehidupan masyarakat, hingga akhirnya lebih
spesifik berpengaruh terhadap kehidupan individu dalam kesehariannya.
Tetapi kehadiran agama dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa
dibilang diterima begitu saja sebagai suatu yang pasti oleh masyarakat pada
umumnya, sehingga membutuhkan pemaknaan agama secara subjektif bagi
setiap orang. Walaupun agama telah memiliki syariat dan kitab suci, tetapi
keduanya tidak bisa dipraktikan begitu saja oleh masyarakat awam. Perlu
dimaknai kaidah agama agar sesuai dan kondusif bagi perkembangan
masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu muncul subjektifitas-subjektifitas
dari seseorang yang memaknai agama, katakanlah ahli tafsir, kiai/pastur, atau
guru agama. Terbukti dengan berbagai fenomena yang berkaitan dengan
agama, seperti fenomena pindah agama, fenomena atheis, fenomena aliran-
96
aliran dalam satu agama, dan lain-lain. Salah satu contohnya yang akan dibahas
ialah fenomena aliran-aliran dalam satu agama (fenomena lain yang berkaitan
dengan agama seperti perpindahan agama dan proses menjadi atheis juga dapat
dianalisis dengan cara yang sama). Yaitu corak aliran agama Islam yang
tercermin dari adanya Muhamadiyah, NU(Nahdlatul Ulama), Islam Kejawen,
Islam moderat, Islam Liberal, Islam garis keras, dan lain sebagainya.
Keseluruhan corak Islam tersebut merupakan sikap religiusitas yang
berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan pendahulunya, atau
pencetusnya, yang kemudian dipelihara sebagai suatu syariat agama bagi
tindakan-tindakan religius masyarakat secara objektif. Kenyataan selalu
memiliki objektifikasi-objektifikasi yang berbeda dan beragam. Hal tersebut
juga dimiliki oleh agama, terutama Islam dengan contoh diatas, menunjukan
objektifikasi-objektifikasi yang berbeda dan beragam dalam menyikapi agama.
Corak Islam tersebut menampilkan diri dalam kesadaran masyarakat, bahwa
terdapat berbagai unsur-unsur pembentuk realitas religiusitas yang berbeda-
beda antara satu orang dengan orang lain. Seseorang pun, ketika lahir juga
mewarisi dari orang tuanya tata cara religiusitas sesuai kenyataan corak
religiusitas yang beragam tersebut, dan seseorang pasti memiliki salah satunya,
secara sadar maupun tidak sadar.
Seseorang yang mewarisi corak religiusitas tertentu, akan sulit
mengalami pergeseran ke corak religiusitas lain, sebagaimana seseorang akan
sulit untuk dibujuk berpindah agama. Walaupun kenyataan berpindah agama
bukan lah merupakan suatu hal yang mustahil. Tetapi, dunia adalah sesuatu
97
yang terdiri dari berbagai kenyataan, seperti kenyataan bahwa terdapat
modernisasi yang membawa prinsip-prinsip hedonisme, sekularisme,
konsumerisme, dan sebagainya, yang terkadang menjauhkan seseorang dari
corak religiusitas yang diwarisinya semula. Sehingga memungkinkan
seseorang, selain melupakan syariat dan perintah agamanya, juga mengalami
perpindahan agama atau menjadi atheis.
Tetapi paling tidak agama telah menjadi apa yang disebut Berger
sebagai kenyataan par excellence, atau kenyataan yang memiliki posisi
istimewa dalam kehidupan sehari-hari. Religiusitas seseorang merupakan
ajaran atau pengalaman melalui sosialisasi primer, boleh dibilang mampu
menempati posisi istimewa sebagai par excellence dalam diri seseorang.
Sehingga seseorang tersebut sulit untuk mengabaikan prinsip-prinsip
religiusitas dan sulit melanggarnya, karena religiusitas tersebut
mempengaruhinya dengan cara yang paling massif, mendesak dan mendalam.
Seseorang yang telah mengalami hal ini, akan menganggap religiusitas sebagai
suatu hal yang sebenarnya normal dan sudah jelas dengan sendirinya
membentuk sikap alamiah seseorang.
Walau kenyataannya, tidak semua orang memiliki religiusitas sebagai
kenyataan par excellence-nya. Misalnya, bila seseorang kurang memperoleh
sosialisasi bahwa religiusitas merupakan sikap “saling memanusiakan manusia
antar berbagai agama dan kepercayaan” secara massif dan memadai, seseorang
tidak akan menjadikan sikap religiusitas tersebut sebagai kenyataan yang par
excellence, sehingga dia akan sulit menerima sikap religiusitas tersebut
98
(misalnya terjebak pada aliran Islam garis keras yang tidak kenal toleran).
Tetapi bila, seseorang sejak dini telah mendapatkan sosialisasi religiusitas
secara massif dan memadai, maka secara umum religiusitas akan mampu
menjadi par excellence atau kenyataan utama dalam kehidupan sehari-hari bagi
diri seseorang.
Realitas kehidupan sehari-hari memang tidak hanya terdiri dari yang
“saat ini” dan “sekarang” sebagai realissimum (yang paling nyata) bagi
kesadaran seseorang. Religiusitas hadir pada seseorang dari cakupan
pengalaman-pengalaman dari suatu tempat dan waktu dimasa lalu. Bila sikap
religiusitas tertentu telah menjadi suatu hal yang par excellence maka aktifitas
diluar sikap religiusitas tersebut yang terjadi saat ini hanya menjadi semacam
pilihan untuk “waktu senggang”, walaupun tetap berpengaruh tetapi sifatnya
tidak mendesak dalam kehidupan sehari-hari. Begitulah bagi kebanyakan
realitas hidup seseorang, dimana religiusitas sama-sama dialami oleh banyak
orang sebagai pengetahuan akal sehat (commom sense knowledge).
Boleh dikatakan, eksistensi religiusitas dalam diri seseorang tidaklah
stagnant, tetapi terdapat fenomena naik-turunnya. Pada suatu saat tentu pernah
terjadi masalah atau problem dalam diri seseorang, yang membuatnya sejenak
melupakan religiusitas. Walau demikian dalam konteks penelitian ini, pada
akhirnya mereka memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan religiusitas
pula. Ataupun penggabungan dari dua atau lebih religisitas karena memiliki
sikap yang sama. Sehingga masalah tersebut akan menjadi pengalaman bagi
pendewasaan religiusitas seseorang.
99
Kehadiran problem dan masalah yang mengganggu religiusitas
merupakan finite (wilayah-wilayah makna yang berhingga) yang hadir diluar
dunia bersama kehidupan sehari-hari. Problem dan masalah tersebut dibanding
dengan kenyataan hidup sehari-hari nampak sebagai finite, daerah-daerah
kantong (enclave) di dalam kenyataan utama dalam kehidupan saat ini. Saat
dimana seseorang melupakan religiusitas merupakan suatu pergeseran radikal
dalam diri seseorang, hingga mengakibatkan ketegangan kesadaran. Tetapi,
penting untuk ditandaskan bahwa religiusitas kehidupan sehari-hari akan tetap
mempertahankan statusnya sebagai kenyataan utama sekalipun pernah terjadi
penyimpangan. Seperti perbandingan yang dibuat Berger antara “kenyataan”
dan “mimpi”, dalam hal ini religiusitas merupakan kenyataan diri seseorang,
dan penyimpangannya hanya merupakan mimpi, dan bila telah terbangun dari
mimpi atau sadar akan penyimpangan, seseorang akan kembali pada kenyataan
religiusitasnya.
2. Hubungan Maiyahan dengan Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari
Pengalaman menjadi salah satu aspek penting pembentuk religiusitas
melalui hubungan dengan orang lain. Pengalaman secara “tatap-muka”
merupakan kasus prototipikal dari interaksi sosial yang membentuk
pengalaman. Dalam kasus penelitian ini, Maiyahan menjadi semacam pilihan
diantara berbagai sikap religiusitas bagi seseorang. Maiyahan merupakan
bagian dari interaksi tatap-muka. Ketika mengikuti Maiyahan, seseorang
100
menerima “pengalaman langsung terus-menerus secara tatap-muka”.
Akibatnya, terjadi pertukaran terus-menerus (expressivity) seorang Jama’ah
Maiyah dengan pengisi acara Maiyahan. Baik itu dalam tingkat ekspresi yang
paling sederhana seperti gerakan, senyuman, tertawa, tepuk tangan, dan
seterusnya. Hingga hal yang menyangkut ideologi seperti pandangan,
perspektif, pendapat, dan lain-lain yang penting bagi proses konstruksi sosial
religiusitas.
Penelitian ini akan memandang konstruksi religiusitas sebagai
konstruksi ideologi, dimana ideologi tersebut dikonstruksikan oleh pengisi
acara Maiyahan, misalnya oleh Cak Nun, dalam proses interaksi tatap muka
dengan Jama’ah Maiyah. Antara Cak Nun dan Jama’ah Maiyah terjadi proses
interaksi timbal balik secara terus-menerus melalui proses yang saling
mempengaruhi dalam diskusi. Tidak hanya dalam diskusi, tetapi dalam
bermusik, berdoa, berpuisi, dan seterusnya, keseluruhan menjadi gambaran
proses tatap-muka.
Dalam situasi tatap-muka, terjadi proses konstruksi religiusitas melalui
interaksi, dimana realitas religiusitas subjektif dari Maiyahan, misalnya dari
Cak Nun tersosialisasikan melalui diskusi, musik, shalawat, doa, dan lain-lain.
Tentu saja hal ini dapat terjadi karena Cak Nun ialah tokoh kharismastik
keagamaan (peran Cak Nun dalam aktifitas kharismatik dapat dilihat pada bab
II). Memang dalam prosesnya terjadi pemaknaan yang beragam atas sosialisasi
tersebut, disebabkan oleh keberagaman kategori sosial Jama’ah Maiyah.
Misalnya, kategori dewasa memandang bahwa sosialisasi yang diberikan
101
dalam Maiyahan oleh Cak Nun atau lainnya ialah sosialisasi religiusitas. Tetapi
dipihak lain kategori mahasiswa memandang bahwa sosialisasi yang diberikan
dalam Maiyahan lebih pada sosialisasi ilmu (aktifitas epistemis), walaupun
tidak mengingkari adanya sosialisasi religiusitas. Terdapat berbagai kadar
pemaknaan yang berbeda dalam menanggapi maksud dari acara Maiyahan,
tergantung dari mana kategori sosial seseorang.
Situasi tatap-muka memungkinkan orang lain lebih nyata bagi
seseorang dari pada dirinya sendiri. Religiusitas seseorang semula (misalnya
dari Muhamadiyah atau NU) pada saat Maiyahan pun menjadi tidak lebih
mencolok dibandingkan religiusitas dalam Maiyahan. Oleh sebab itu, Jama’ah
Maiyah menanggalkan sementara religiusitas Muhamadiyah atau NU-nya
ketika mengikuti Maiyahan, karena dalam Maiyahan tidak condong kepada
corak religiusitas apapun, melainkan sikap religiusitas yang berlaku universal.
Tentu saja, dasar religiusitas seseorang tetap tidak akan bisa dilupakan walau
telah mengikuti Maiyahan. Pada saat dalam kehidupan sehari-harinya,
seseorang tetap akan memperaktikan religiusitas Muhamadiyah atau NU-nya,
dan religiusitas Maiyahan sebagai tambahan pengalaman religiusitas, apabila
terbukti terdapat kesesuaian antara sikap religiusitas sebelumnya dan sikap
religiusitas sesudahnya.
Selain corak aliran religiusitas, kategori sosial juga menjadi
pengalaman pribadi yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap
Maiyahan. Keduanya direfleksikan ulang melalui kehadiran Maiyahan,
sehingga memberi kesimpulan perihal “apa Maiyahan itu”. Hubungan-
102
hubungan seseorang dengan orang lain sangat lentur dalam situasi tatap muka.
Sehingga pola-pola apapun konstruksi religiusitas dalam Maiyahan akan terus
menerus dimodifikasi maknanya secara beraneka ragam dalam subjektifitas
masing-masing, tergantung pengalaman-pengalaman pribadi masing-masing
menurut kategori sosialnya. Selain itu, pemaknaan aktifitas Maiyahan lebih
beragam dari seseorang yang mengikuti interaksi tatap muka secara langsung.
Berbeda dari orang yang belum pernah mengikuti Maiyahan secara tatap-
muka, mungkin tidak dapat memaknai Maiyahan secara luas, dan hanya
mampu memaknai Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas. Realitas religiusitas
Maiyahan mengandung skema-skema tipifikasi atas dasar mana Maiyahan
dipahami dalam perjumpaan tatap-muka. Maiyahan melakukan “keseringan”
dalam aktifitas diskusi, shalawat, musik, berdoa, dan seterusnya. Sehingga,
Jama’ah Maiyah dapat memaknai Maiyahan selain sebagai aktifitas
religiusitas, juga sebagai aktifitas epistemik, aktifitas sosial, aktifitas hiburan,
dan lain-lain.
Struktur atau kategori sosial merupakan satu unsur esensial dari
kehidupan sehari-hari. Dimana seseorang dari kategori sosial tertentu juga
memiliki tipifikasi serta pola-pola interaksi yang terjadi berulang-ulang melalui
tipifikasi itu. Sehingga tipifikasi pribadinya menurut kategori sosial akan
berpengaruh terhadap pemaknaannya atas tipifikasi orang lain. Seperti seorang
mahasiswa yang mempunyai kebiasaan akademis di kampus, akan lebih
memaknai aktifitas Maiyahan sebagai aktifitas epistemik.
103
3. Bahasa dan Pengetahuan religiusitas dalam Maiyahan
Berger menggambarkan proses objektifasi (objektification) melalui
pisau yang sengaja dilempar lalu menancap didinding kamar seseorang. Hal ini
memberi isyararat bahwa seseorang yang melempar pisau memberi peringatan
pada si pemilik kamar, bahwa mereka bermusuhan dan saling benci, bahkan
bisa saling membunuh. Dalam konstruksi religiusitas proses objektifasi ini
terjadi misalnya, ketika Kiai Kanjeng dalam Maiyahan membawakan musik
dan bernyanyi Lir-ilir. Sebagai isyarat bahwa musik dapat mengajak dan
mendekatkan diri pada Tuhan.
Satu kasus yang penting dalam objektifasi adalah signifikasi, yakni
pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Semua objektifasi dapat digunakan
sebagai tanda, walaupun sebenarnya tidak di buat untuk maksud tersebut.
Sebuah tanda dapat dibedakan dengan tanda-tanda yang lain, karena tujuan
eksplisitnya untuk memberi isyarat tertentu dari subjektifitas seseorang.
Dimainkannya berbagai macam musik, dari tradisional sampai modern, dari
dalam maupun luar negeri, baik lagu religius maupun non-religius dalam
Maiyahan sebenarnya tidak bermaksud hanya sekedar bermain musik.
Maiyahan menggunakan berbagai instrument musik tersebut sebagai tanda
bahwa musik dapat memberi ketenangan batin, sehingga seseorang lebih
mudah menerima dakwah yang disampaikan dalam Maiyahan. Tidak hanya
melalui musik, aktifitas diskusi, puisi, drama, dan lain-lain juga merupakan
tanda untuk mengobjektifkan religiusitas.
104
Aktifitas-aktifitas tersebut merupakan tanda, yang tidak memiliki
tujuan lain kecuali mensosialisasikan makna religiusitas subjektif dari orang
yang memainkannya, selain itu juga secara objektif diakui oleh seluruh
Jama’ah Maiyah. Pengisi acara Maiyahan mengenali maksud dan makna dari
aktifitas Maiyahan, begitu pula Jama’ah Maiyah. Malahan pengisi acara
memang sengaja menunjukan sinyal “peringatan” objektif tentang maksudnya
menyampaikan religiusitas ketika ia melakukan aktifitas Maiyahan. Walau
demikian, tetap jelas bahwa batasanya sangat kabur antara penggunaan
objektifasi (misalnya musik) sebagai sekedar alat ekspresi musik biasa atau
penggunaanya sebagai tanda konstruksi religiusitas, karena seolah keduanya
telah melebur menjadi satu-kesatuan yang sulit dibedakan tujuan pemain
musiknya. Tanda merupakan objektifasi, dalam arti dapat digunakan
melampaui batas-batas ekspresi subjektif seseorang “di sini dan sekarang”.
Maksudnya bahwa, musik untuk saat lalu maupun yang akan datang akan tetap
dapat digunakan sebagai alat konstruksi religiusitas, dimanapun dan kapanpun,
selain fungsi aslinya dalam seni.
Bahasa, yang dimaksud di sini didefinisikan sebagai sebuah sistem
tanda-tanda suara, dan hal ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Objektifasi umum dari kehidupan sehari-hari, termasuk ekspresi religiusitas
melalui musik dapat dipertahankan oleh signifikasi bahasa. Dengan cara ini,
bahasa dapat menjadi tempat penyimpanan yang objektif dari akumulasi makna
yang kemudian dapat dilestarikan dalam waktu yang diteruskan pada generasi-
generasi mendatang. Bahasa melalui musik sebagai tanda religiusitas tersebut
105
menjadi stok pengetahuan seseorang dan juga seluruh Jama’ah Maiyah.
Sehingga musik dapat dijadikan sebagai tanda bahasa dari sarana
menyampaikan religiusitas.
Interaksi seseorang dalam Maiyahan akan terus-menerus terpengaruh
dan dipengaruhi oleh wacana perihal apa makna dan aktifitas Maiyahan, lalu
terjadilah objektifasi. Walau demikian, cadangan pengetahuan Jama’ah Maiyah
mempunyai struktur relevansinya sendiri-sendiri. Pengetahuan seorang
Jama’ah Maiyah tentang apa itu Maiyahan mungkin sama, atau mungkin tidak
dengan pengetahuan Jama’ah Maiyah lainya. Bahkan mungkin ada beberapa
pengetahuan yang hanya ada khusus pada diri individu Jama’ah Maiyah.
Pengetahuan yang berbeda ini tentu disebabkan oleh latar belakang historis
seseorang, dan juga kategori sosial seseorang yang bersangkutan.
B. Maiyahan Sebagai Realitas Objektif
Berger mengatakan bahwa setiap kegiatan manusia bisa mengalami proses
pembiasaan (habitualisasi). Maksudnya setiap tindakan yang dilakukan berulang-ulang
dapat menjadi suatu pola yang dapat direproduksi dengan upaya seminimal mungkin,
dan dipahami sebagai pola yang baku. Pembiasaan selanjutnya juga berarti bahwa
tindakan-tindakan tersebut bisa dilakukan kembali di masa yang akan datang dengan
cara dan upaya yang sama. Religiusitas, sejak awal turunnya agama (khusunya Islam)
telah mengalami proses pelembagaan dalam penyebarannya. Sampai dengan masa
kini, dimana proses pelembagaan religiusitas telah mengalami berbagai modifikasi
sesuai tuntutan zaman.
106
Masyarakat tercipta sebagai realitas objektif, karena adanya individu-individu
yang mengeksternalisasikan dirinya (atau, mengungkapkan subjektifitasnya melalui
suatu aktifitas). Maiyahan sendiri merupakan realitas objektif seperti halnya
masyarakat, terdapat individu-individu, misalnya Cak Nun, yang melakukan
eksternalisasi atau mengungkapkan subjektifitasnya melalui aktifitas Maiyahan. Sikap
religiusitas Maiyahan bisa dibilang merupakan subjektifitas dari sikap religiusitas Cak
Nun. Dieksternalisasikan secara terus-menerus, baik setiap tanggal 17 atau dimanapun
terdapat Maiyahan diluar tanggal tersebut. Sehingga terjadi proses “habitualisasi”, atau
pengulangan tindakan yang kurang lebih sama di masa lampau, masa sekarang dan
masa depan.
Atas dasar Maiyahan yang telah terhabitualisasi, maka selanjutnya Maiyahan
semakin terinstitusi bagi Jama’ah Maiyah. Sehingga Jama’ah Maiyah akan
menganggap sikap religiusitas yang diajarkan dalam Maiyahan ialah dasar religiusitas
yang paling benar untuk dianut. Proses institusionalisasi sikap religiusitas ini terjadi
lantaran dua hal : Pertama, Jama’ah Maiyah memang sejak awal (semasa kanak-
kanak) atau sebelum mengenal Maiyahan telah memiliki pengalaman religiusitas yang
identik dengan sikap religiusitas Maiyahan. Sehingga mengikuti Maiyahan karena
sependapat dengan sikap religiusitas yang ditawarkan. Hingga akhirnya dia mendapat
pendalaman dan penafsiran lebih lanjut ketika mengikuti Maiyahan. Atau dalam kasus
lain Jama’ah Maiyah merupakan orang awam dalam agama, yang kurang memperoleh
pengalaman religiusitas dengan baik. Maka atas dasar sikap religiusitas yang mudah
difahami dan dipraktekan seseorang akhirnya memilih konsisten mengikuti Maiyahan.
Kedua, sikap religiusitas yang diperoleh dari Maiyahan kemudian dapat dijadikan
107
patokan berperilaku dalam lingkungan Jama’ah Maiyah, dimana perilaku Jama’ah
Maiyah tersebut berpengaruh terhadap lingkungannya. Pada intinya insitusionalisasi
ini terjadi saat sikap religiusitas Maiyahan mampu berlaku secara umum (luas),
eksternal (objektif), dan koersif (memaksa) terhadap kesadaran masing-masing
individu Jama’ah Maiyah.
Maiyahan menjadi pengalaman bersama bagi seluruh Jama’ah Maiyah.
Memberikan perspektif bersama bahwa Maiyahan merupakan pengajian yang
humanis, merakyat, toleran, dan mencerdaskan, berbeda dari pada pengajian pada
umumnya. Walau disamping perspektif bersama tersebut, selalu terdapat perspektif
individu yang memaknai apa itu Maiyahan secara khas (berbeda) dari sekedar
perspektif objektif. Hal ini terjadi karena pada dasarnya Jama’ah Maiyah merupakan
makhluk subjektif yang memiliki kehidupan sehari-hari yang berbeda satu sama
lainnya. Jama’ah Maiyah berbeda, terdiri dari berbagai kategori sosial, sehingga
memiliki kekhasan individu dalam memaknai apa itu Maiyahan.
Mengenai berbagai macam kekhasan individu (berdasarkan kategori sosial)
dalam memaknai Maiyahan dapat dilihat pada bab berikutnya. Tetapi disini akan
diuraikan dimana letak kekhasan pengalaman bersama dibandingkan dengan
pengalaman individu terhadap Maiyahan. Pertama, pengalaman bersama tentang sikap
religiusitas Maiyahan sebenarnya bukan merupakan keseluruhan dari pengalaman
individu Jama’ah Maiyah, tetapi merupakan sebagian saja dari pengalaman individu
yang paling diresapi ketika mengikuti Maiyahan. Maksudnya terdapat berbagai
perspektif tentang Maiyahan, yang mungkin berbeda antara satu orang dengan orang
lainnya. Kedua, sikap religiusitas Maiyahan merupakan pengalaman bersama yang
108
bersifat objektif, sedangkan pengalaman individual lebih bersifat subjektif berdasarkan
kategori sosial. Ketiga, seluruh pengalaman bersama perihal sikap religiusitas
Maiyahan, tidak lepas dari pengalaman bersama lain terdahulu (khususnya aliran
religiusitas terdahulu, atau pengalaman hidup sesuai kategori sosial, dan juga latar
belakang pendidikan, dan lain-lain), sehingga sikap religiusitas tersebut merupakan
akumulasi dari pengalaman bersama ketika sebelum dan setelah mengenal Maiyahan.
Keempat, sikap religiusitas Maiyahan tersebut pada dasarnya juga merupakan sikap
religiusitas seorang individu, tetapi pada akhirnya menjadi patokan objektif bagi
Jama’ah Maiyah.
Sampai sejauh ini, telah banyak dibahas tentang “bagaimana Maiyahan sebagai
realitas objektif?” Untuk itu perlu diketahui pula “bagaimana Jama’ah Maiyah
melegitimasi sifat objektif Maiyahan?”
Fenomena pelegitimasian ini, menurut Berger paling mudah terjadi melalui
“proses pewarisan lintas generasi.” Memang benar adanya, pelegitimasian sikap
religiusitas Maiyahan terhadap Jama’ah Maiyah telah terjadi secara lintas generasi
(dari generasi pendahulu ke generasi selanjutnya, tidak harus dari orang tua ke anak).
Walaupun tidak keseluruhan generasi (terutama generasi pendahulu) mengenal
Maiyahan. Maksudnya, Jama’ah Maiyah sebelum mengenal Maiyahan juga telah
melegitimasi ideologi atau sikap religiusitas yang identik dengan sikap religiusitas
yang ditawarkan dalam Maiyahan, dari berbagai pengalaman yang diperoleh dari
pendahulunya, baik dari orang tua atau guru, maupun pendidikan dan lingkungan yang
telah mapan sebagai realitas objektif. Sehingga Maiyahan merupakan kepanjangan
dari dinamika religiusitas pada diri seseorang, yang kemungkinan sifat-sifat
109
religiusnya telah eksis sebelum adanya Maiyahan. Dan seterusnya akan diwariskan
pada generasi mendatang, hingga akhirnya terjadi proses legitimasi lebih lanjut.
Atas dasar ini, dimungkinkan bila proses pewarisan religiusitas lintas generasi
tidak terjadi, religiusitas juga tidak akan terlegitimasi dengan baik. Dengan kata lain,
misalnya bila seseorang tidak mewarisi pengalaman religious yang identik dengan
sikap religious Maiyahan yang humanis, dimungkinkan untuk selanjutnya ia tidak
akan tertarik terhadap Maiyahan. Atau bila seseorang yang saat ini melegitimasi sikap
religiusitas Maiyahan tidak mensosialisasikannya kepada penerusnya, maka proses
legitimasi tersebut juga dapat terhenti. Misalnya saja, bila seseorang tidak memperoleh
pendidikan religiusitas sejak kecil maka kemungkinan dia tertarik pada Maiyahan
cukup kecil. Tetapi bisa pula terjadi, walaupun seseorang kurang memperoleh
pengalaman religiusitas sejak kecil, dia akan tetap tertarik dengan Maiyahan bila
sebelum mengenal Maiyahan dia telah banyak menginternalisasi ideologi-ideologi
yang sesuai dengan sikap religiusitas Maiyahan, baik melalui pendidikan, bacaan atau
lingkungannya. Pada intinya, proses legitimasi menuntut adanya proses
berkesinambungan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, sikap religiusitas
Maiyahan hanya merupakan bagian dari berbagai sikap religiusitas yang diterima
seseorang dari generasi ke generasi, dan kemungkinan religiusitas Maiyahan
tersosialisasikan pada satu atau beberapa generasi Jama’ah Maiyah.67
Oleh karena itu, penting kiranya dibahas peran dari “aktor”, yaitu Cak Nun,
yang mensosialisasikan sikap religious Maiyahan. Sebagaimana Berger dan Luckmann
yang juga membahas pihak-pihak atau aktor yang “bertugas” melaksanakan legitimasi.
67 Terutama generasi Jama’ah Maiyah dimana terdapatnya Cak Nun dalam Maiyahan.
110
Pada dasarnya legitimasi dilaksanakan oleh manusia, dalam hal ini legitimasi sikap
religiusitas Maiyahan dilaksanakan oleh berbagai pengisi acaranya, terutama Cak Nun,
disamping grup musik Kiai Kanjeng dan berbagai pengisi acara yang diundang. Cak
Nun, yang notabene seorang agamawan dan budayawan juga memiliki berbagai
perspektif kritis sebagai seorang intelektual. Dia memiliki pandangan tersendiri
terhadap religiusitas, yang kemudian ia sampaikan melalui Maiyahan. Dengan
demikian, Cak Nun merupakan aktor yang memainkan peran menyampaikan
religiusitas subjektifnya melalui Maiyahan, sehingga religiusitas tersebut dapat
dilegitimasi oleh Jama’ah Maiyah.
Atas dasar tersebut, dimungkinkan bila proses pewarisan religiusitas lintas
generasi tidak terjadi maka religiusitas juga tidak akan terlegitimasi dengan baik.
Contohnya bila seseorang tidak mewarisi pengalaman religiusitas yang identik dengan
sikap religiusitas Maiyahan yang humanis dimungkinkan selanjutnya ia tidak akan
tertarik terhadap Maiyahan. Atau bila seseorang yang saat ini melegitimasi sikap
religiusitas Maiyahan tetapi tidak mensosialisasikan kepada penerusnya (anak-anak
mereka) maka proses legitimasi religiusitas tersebut juga dapat terhenti.
Seseorang yang kurang memperoleh pengalaman religiusitas sejak kecil
dimungkinkan ketertarikan mereka terhadap Maiyahan juga kecil. Walaupun pada
kenyataanya tidak menutup kemungkinan walau seseorang kurang memperoleh
wawasan religiusitas sejak kecil dia akan tetap bisa tertarik dengan Maiyahan, dengan
syarat bila sebelum mengenal Maiyahan dia telah banyak menginternalisasi ideologi-
ideologi yang seseuai dengan sikap religiusitas Maiyahan. Baik internalisasi yang
diperolehnya dari pendidikan, bacaan atau lingkunganya.
111
Pada intinya proses legitimasi religiusitas menuntut adanya proses
berkesinambungan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, sikap religiusitas
Maiyahan sebenarnya hanya merupakan bagian dari berbagai sikap religiusitas yang
diterima dari generasi ke generasi. Dan kemungkinan sikap religiusitas Maiyahan yang
saat ini paling banyak dieksternalisasi dari subjektifitas Cak Nun dapat
tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Asalkan terdapat berbagai tokoh atau orang
yang berkeinginan meneruskan sikap dan pemahaman Cak Nun.
Oleh karena itu penting kiranya disinggung peran dari ‘aktor’ yaitu Cak Nun
sebagai pencetus utama dan narasumber utama dalam diskursus Maiyahan.
Sebagaimana Berger dan Luckmann juga membahas pihak-pihak atau aktor yang
‘bertugas’ melaksanakan legitimasi. Legitimasi sikap religiusitas Maiyahan
dilaksanakan oleh berbagai pengisi acara terutama Cak Nun disamping grup musik
Kiai Kanjeng beserta seluruh tamu yang diundang. Cak Nun yang notabene seorang
agamawan dan budayawan juga memiliki berbagai perspektif kritis sebagai seorang
intelektual. Dia memiliki pandangan tersendiri terhadap religiusitas yang kemudian ia
sosialisasikan dalam Maiyahan. Dengan demikian Cak Nun merupakan aktor yang
memainkan peran menyapaikan religiusitas subjektifnya melalui Maiyahan. Sehingga
religiusitas tersebut dapat dilegitimasi oleh Jama’ah Maiyah.
Kemunculan realitas religiusitas Maiyahan ini, dimungkinkan karena
terdapatnya proses institusionalisasi (yang berawal dari eksternalisasi, terutama Cak
Nun) yang berkesinambungan dalam Maiyahan. Sedangkan sikap religiusitas
Maiyahan pada akhirnya mampu dilestarikan dengan adanya proses legitimasi, baik
112
yang merupakan sosialisasi terus menerus dari seorang aktor pengisi acara Maiyahan
maupun pembenaran dari Jama’ah Maiyah itu sendiri.
C. Maiyahan sebagai Realitas Subjektif
Diatas telah dianalisis “Maiyahan sebagai realitas objektif”. Demi
keseimbangan perspektif sosiologi, juga akan dianalisis “Maiyahan sebagai realitas
subjektif”. Maksudnya, bahwa penjelasan tidak hanya bertitik tolak pada Maiyahan
saja, tetapi juga pada hubungan timbal-balik (hubungan dialektis) antara Jama’ah
Maiyah dengan Maiyahan.
Berger menjelaskan bahwa manusia lahir sebagai “tabula rasa”, bahwa
manusia lahir dengan kesiapan menerima kehadiran masyarakat dalam kesadarannya,
tentu sesuai dengan perkembangan biologisnya. Dalam masa internalisasi manusia
menyerap segala pengalaman objektif menjadi pengalaman subjektif. Manusia tidak
akan mampu mengabaikan realitas objektif disekitarnya. Internalisasi ini
menerjemahkan realitas objektif menjadi realitas subjektif.
Proses pembentukan religiusitas, juga terbentuk setelah masa kelahiran
individu. Sikap religiusitas senantiasa dibentuk sejak individu masih kanak-kanak,
terutama oleh orang tuanya. Tetapi patut menjadi catatan, pembentukan religiusitas
terhadap anak-anak memiliki metode tersendiri, berbeda dengan pembentukan
religiusitas pada seorang remaja atau dewasa, hal ini melihat perkembangan biologis
seseorang. Kanak-kanak merupakan masa yang mudah untuk menyerap sebanyak-
banyaknya pengalaman objektif, baik dari orang tua, pendidikan, dan lingkungannya.
113
Pada masa ini pembentukan religiusitas paling mudah dilakukan. Meski demikian
internalisasi tidak hanya terjadi ketika seseorang kanak-kanak. Dalam kasus Jama’ah
Maiyah, proses internalisasi religiusitas berdinamika sesuai perkembangan biologis
dari kanak-kanak, remaja atau muda, lalu dewasa. Bisa saja seseorang kurang
memperoleh internalisasi religiusitas ketika kanak-kanak, tetapi baru memperolehnya
ketika muda atau dewasa akibat pengaruh lingkungan dan pendidikan. Atau bisa saja
karena pengaruh Maiyahan. Tentu, diterimanya sikap religiusitas Maiyahan hanya bisa
terjadi bila sejak awal seseorang telah memiliki pengalaman atau ketertarikan tertentu
perihal sikap atau ideologi yang sejalan atau identik dengan sikap religiusitas
Maiyahan.
Internalisasi religiusitas berlangsung dalam dua proses, yaitu proses sosialisasi
primer dan sosialisasi sekunder. Sebagaimana Berger dan Luckmann yang mengutip
Mead, sosialisasi primer maksudnya ialah sosialisasi yang dialami manusia sejak lahir
hingga ia menjadi individu yang memiliki sikap-sikap sebagaimana lazimnya
masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder ialah sosialisasi yang dialami setelah
individu menerima sosialisasi primer, dan materi sosiaslisasi sekunder lebih bersifat
khusus dan spesifik berlaku disektor masyarakat tertentu.
Berdasarkan kasus penelitian ini, dapat dikatakan bahwa sosialisasi religiusitas
juga berlangsung melalui dua proses tersebut. Sosialisasi religiusitas primer ialah
ketika seseorang memperoleh pengalaman religiusitas (terutama pengalaman
religiusitas yang identik dengan sikap Maiyahan), dari orang tua, bacaan, pendidikan
dan lingkungan, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, baik sejak kanak-kanak,
muda maupun dewasa. Sikap religiusitas tersebut diarahkan pada sebagaimana
114
religiusitas masyarakat pada umumnya, yang lebih menekankan pada out put
religiusitas dalam hubungan sosial. Tetapi Jama’ah Maiyah dapat diartikan telah
melalui sosialisasi religiusitas primer tersebut, walaupun masih belum mantap dan
gamang akibat berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya
mereka saat ini sedang dalam proses sosialisasi religiusitas sekunder, demi mencari
kemantapan sikap religious, yaitu dengan mengikuti Maiyahan.
Hal tersebut karena, sebagaimana sosialisasi sekunder, dalam Maiyahan
seseorang memperoleh pengetahuan religiusitas yang mungkin sama atau berbeda dari
yang diajarkan ketika sebelum mengenal Maiyahan. Sikap religiusitas Maiyahan lebih
menekankan pada out put religiusitas secara sosial, yang mencerdaskan, kritis dan
humanis. Materi tersebut sebenarnya telah diperoleh ketika seseorang mengalami
sosialisasi primer. Tetapi masih kurang mantap dalam sikap religious tersebut, dan
masih cenderung menekankan in put religiusitas dalam ritus-ritus peribadatan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Maiyahan ialah bagian sosialisasi
sekunder.
Berkat sosialisasi religiusitas primer dapat dipastikan seseorang telah memiliki
landasan sikap religiusitasnya sendiri. Misalnya dari agama landasan religiusitas
tersebut tidak lah sama, karena pengaruh budaya dan mahzab (panutan), sehingga
tercipta lah berbagai aliran.68 Aliran tersebut senantiasa terdapat pada suatu wilayah
tertentu. Dimana penduduk menjadikanya realitas objektif, dan mengajarkanya dari
generasi ke generasi. Terkadang dalam keadaan “sadar” menyatakan dirinya bagian
dari aliran tertentu. Atau dalam kasus lain seseorang tidak menganggap dirinya
68 Tetapi ragam aliran tersebut tidak akan kita bahas disini.
115
memiliki landasan religiusitas tertentu, tetapi sebenarnya dalam keadaan tidak sadar
seseorang telah memiliki sikap religiusitas aliran tertentu seseuai dengan lingkungan
objektifnya.
Jama’ah Maiyah senantiasa menjadikan Maiyahan sebagai sikap religiusitas
objektif. Walau demikian sebenarnya realitas objektif Maiyahan tidak terinternalisasi
seluruhnya. Tetapi melalui saringan atau penyesuaian dari subjektifitas individu
Jama’ah Maiyah, terutama yang diwarisinya sejak sosialisasi primer. Sehingga dapat
dikatakan bahwa subjektifitas individu ialah penentu seseorang akan tertarik dengan
Maiyahan atau tidak, karena sedikit banyak dibutuhkan hubungan simetris antara
realitas subjektif dengan realitas objektif.
Hubungan simetris, atau kesesuaian antara realitas subjektif dengan realitas
objektif dalam Maiyahan terbantuk melalui dua cara, diantaranya : Pertama, individu
harus bersedia melegitimasi realitas religiusitas Maiyahan, sehingga dia akan bersedia
menerimanya sebagai hal yang memang layak untuk dipercayai. Atau menurut Berger,
bahwa individu harus bersedia merubah realitas objektif menjadi realitas subjektif.
Kedua, ialah dengan cara mempertahankan realitas objektif Maiyahan yang telah
diserap agar tidak tergerus oleh realitas subjektif individu. Maksudnya, apapun
masalah subjektif individu dalam kehidupan sehari-hari, dia tidak akan melupakan apa
yang telah ia pelajari dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan akan menjadi kontrol bagi
subjektifitas individu dalam kehidupan sehari-harinya. Hal inilah yang menyebabkan
Jama’ah Maiyah senantiasa menyerap dan mengamalkan ajaran yang disampaikan
dalam Maiyahan. Sehingga Jama’ah Maiyah diharapkan semakin tabah dan cerdas
dalam menjalani hidup walaupun diterpa banyak masalah.
116
Kedua cara tersebut, merupakan proses yang membuat sikap religiusitas
Maiyahan sebagai realitas objektif menjadi realitas subjektif individu. Walau dalam
hidup senantiasa terdapat situasi kritis, tetapi Jama’ah Maiyah mampu mengatasinya
dengan melakukan aktifitas-aktifitas atau sikap tertentu berdasarkan apa yang
dipelajari dalam Maiyahan.
D. Proses Dialektika Religiusitas
“Dialektika”, memiliki arti penting dalam keseluruhan teori Berger. Secara
keseluruhan sebenarnya proses dialektik religiusitas secara tersirat telah dibahas dalam
pemaparan diatas (Bab ini, poin A, B dan C). Tetapi demi kejelasan pemaparan, kali
ini akan dipaparkan secara tersurat sekaligus sebagai penutup bab ini. Seperti yang
telah banyak dijelaskan, Berger memandang realitas sosial bergerak melalui tiga
proses utama, yaitu internalisasi, objektifasi dan eksternalisasi.
Ketiga proses dialektik pembentuk realitas religiusitas pada diri Jama’ah
Maiyah menunjukan suatu dinamika. Dinamika religiusitas terjadi melalui dua tahap
dialektik, yaitu dialektika religiusitas sebelum Jama’ah Maiyah mengenal Maiyahan,
dan dialektika religiusitas yang terjadi setelah atau ketika Jama’ah Maiyah mengenal
dan mengikuti Maiyahan.
Berikut penjabaran pertama perihal dialektika religiusitas Jama’ah Maiyah
sebelum mengenal Maiyahan: Pertama, proses internalisasi yang terjadi pada diri
seseorang (sebelum menjadi Jama’ah Maiyah). Internalisasi ini terjadi ketika
seseorang tersebut belum mengenal Maiyahan. Seseorang memperoleh religiusitas
melalui berbagai sumber seperti kedua orang tua, pendidikan religiusitas, lingkungan
117
religius, pengajian, serta buku bacaan religiusitas. Tentu terdapat berbagai perbedaan
bagi setiap orang mengenai sumber religiusitas yang mereka internalisasi pertama kali.
Internalisasi ini merupakan sosialisasi primer yang membentuk sikap individu. Bisa
saja sejak awal seseorang tersebut memang dari keluarga religius yang telah banyak
menginternalisasi religiusitas sejak kecil. Tetapi bisa juga pada awalnya seseorang
tersebut tidak banyak menginternalisasi religiusitas sejak kecil. Mungkin karena orang
tuanya yang kurang mengerti agama, orang tuanya yang berbeda agama, atau
seseorang tersebut merupakan muallaf. Ataupun bisa juga dari lingkungan dan
pendidikanya dulu yang menjauhkan dari religiusitas. Internalisasi religiusitas setiap
orang beragam, baik yang telah banyak menginternalisasi religiusitas sejak kecil,
maupun yang kurang menginternalisasi religiusitas sejak kecil dan baru banyak
menginternalisasi religiusitas ketika dewasa. Kedua, proses objektifikasi religiusitas
seseorang sebelum mengenal Maiyahan terjadi ketika seseorang tersebut menyetujui
sikap-sikap religiusitas yang ada dalam masyarakat. Sikap-sikap religiusitas
masyarakat tersebut selain disetujui dan disandang sebagai sikap religiusitas seseorang
tersebut sebagai realitas subjektif, juga disetujui dan disandang sebagai sikap
religiusitas semua orang dalam satu masyarakat secara bersama-sama. Ketiga,
selanjutnya setelah religiusitas masyarakat telah terobjektifikasi ke dalam kesadaran
individu seseorang maka terjadilah proses eksternalisasi. Proses eksternalisasi ini
terjadi ketika seseorang tersebut mengimplementasikan religiusitas yang ia dapat sejak
sosiasliasi primernya.
Setelah ketiga proses dialektika religiusitas seseorang sebelum mengenal
Maiyahan maka selanjutnya ialah tahap menuju proses dialektika religiusitas setelah
118
atau ketika seseorang mengikuti Maiyahan (pada saat seseorang telah menjadi Jama’ah
Maiyah). Biasanya awal mula seseorang mengenal dan mengikuti Maiyahan terjadi
ketika terdapat keseuaian antara sikap religisitas sebelum mengenal Maiyahan dengan
sikap religiusitas yang ditawarkan oleh Maiyahan. Atau bagi orang yang kurang
memperoleh internalisasi religiusitas sejak kecil mereka justru menjadikan Maiyahan
sebagai sumber ilmu dalam mempelajari religiusitas. Biasanya kedudukan seseorang
secara pribadi dalam masyarakat yang digambarkan dalam penelitian ini melalui
kategori sosial juga sangat menentukan pembentukan sikap religiusitas seseorang.
Pada intinya, setelah mengalami kecocokan dengan sikap religiusitas Maiyahan
biasanya tidak lantas seseorang menyukai dan memutuskan untuk aktif mengikuti
Maiyahan.
Seseorang akan menyukai dan memutuskan aktif mengikuti Maiyahan
biasanya karena merasa bahwa sikap religiusitas Maiyahan dirasa mampu menjadi
sandaran dan penopang untuk menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-
hari. Maiyahan sanggup mengayomi berbagai masalah dalam diri seseorang dan
masyarakat terlebih lagi mampu memberi motivasi dalam sulitnya kehidupan sehari-
hari.
Proses dialektika ketika seseorang mengenal dan mengikuti Maiyahan, terlebih
lagi menyukai dan aktif mengikuti Maiyahan tidak dimulai dari internalisasi; tetapi
dimulai dari eksternalisasi yang diberikan oleh aktor-aktor pengisi acara Maiyahan,
baik melalui musik, diskusi, puisi, dan lain-lain. Selengkapnya akan dijelaskan sebagai
berikut : Pertama, dimulai dari tahap eksternalisasi yang dilakukan oleh aktor-aktor
pengisi acara Maiyahan seperti Cak Nun, Kiai Kanjeng, Mas Totok, Sabrang, dan lain-
119
lain. Baik melalui musik, diskusi, puisi, shalawat, dan seterusnya yang bertujuan
mensosialisasikan religiusitas kepada Jama’ah Maiyah. Pada intinya mereka
mengeksternalisasikan sikap religiusitas Maiyahan untuk didengar oleh Jama’ah
Maiyah dengan latar penggung pengajian. Kedua, setelah sikap religiusitas Maiyahan
dieksternalisasi oleh aktor-aktor pengisi acara Maiyahan maka selanjutnya terjadilah
tahap objektifikasi yang dilakukan Jama’ah Maiyah. Tahap objektifikasi ini terjadi
ketika Jama’ah Maiyah dalam Maiyahan menyerap prinsip-prinsip dan sikap-sikap
religiusitas yang disampaikan, lalu menyetujuinya secara bersama-sama sebagai
religiusitas yang memiliki kebenaran umum diantara Jama’ah Maiyah sebagai
religiusitas yang patut dipraktikan. Proses objektifikasi ini terjadi dalam lingkup
Jama’ah Maiyah yang menyetujui dan pada akhirnya menjadikan realitas religiusitas
objektif Maiyahan sebagai realitas religiusitas subjektif pribadi. Hal ini lah yang
melandasi tahap ketiga, yaitu disandangnya sikap religiusitas objektif dalam Maiyahan
menjadi sikap religiusitas subjektif individu melalui tahap internalisasi. Jama’ah
Maiyah pada akhirnya menginternalisasi wawasan religiusitas yang diberikan melalui
Maiyahan ke dalam kesadaran subjektif individu. Sikap religiusitas tersebut menjadi
suatu wawasan religiusitas baru bagi Jama’ah Maiyah yang mampu memberi motivasi,
ketenangan batin, dan kesenangan bagi Jama’ah Maiyah. Sehingga realitas religiusitas
Maiyahan pada akhirnya berbalik membentuk sikap pribadi manusia melalui
mekanisme internalisasi. Untuk selanjutnya keempat, merupakan proses eksternalisasi
kembali dari apa yang telah diinternalisasi dari Maiyahan. Eksternalisasi tersebut dapat
pula disebut dengan implementasi religiusitas yang diperoleh dari Maiyahan.
120
Dalam pada itu berlangsung lah proses saling membentuk – tesis, antithesis
dan sintesis. Realitas religiusitas muncul, bertahan dan berubah pada diri Jama’ah
Maiyah. Hal ini lah yang dimaksud dengan realitas religiusitas dalam hubungannya
antara Jama’ah Maiyah dan Maiyahan.
121
BAB IV
REALITAS RELIGIUSITAS JAMA’AH MAIYAH
Bab ini akan menjelaskan perihal realitas religiusitas yang melingkupi
kehidupan masyarakat, dan berpengaruh dalam sendi-sendi kehidupan seseorang.
Mulai sejak sosialisasi religiusitas primer dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat.
Hingga akhirnya memiliki kematangan sikap religiusitas, yang terbawa hingga
seseorang ditetapkan masuk dalam kategori sosial tertentu. Pada fase ini terbentuklah
“realitas subjektif” seseorang, yang merupakan hasil internalisasi dari sosialisasi
primer. Walau dalam perkembangannya dinamika religiusitas seseorang tidak lantas
berjalan secara mulus. Banyak terdapat fase naik turun religiusitas, karena berbagai
pengaruh eksternal diluar religiusitas yang kadang merusak religiusitas semula.
Sebelum akhirnya timbul motivasi untuk kembali pada jalur religiusitas, yang
dilakukan dengan mengikuti Maiyahan. Sehingga memberi perubahan-perubahan
seseorang dalam memandang realitas religiusitas dalam hidup. Berikut akan dijelaskan
secara rinci :
A. Dinamika Religiusitas Kategori Sosial
Pembahasan berikut merupakan analisis seputar bagaimana konstruksi sosial
religiusitas yang terjadi pada jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial. Dalam
ulasanya, akan disajikan analisis perihal “pengetahuan dan realitas”, yang sejalan
bersamaan dengan proses dialektis terjadinya konstruksi religiusitas. ‘Pengetahuan’
122
merupakan realitas yang diyakini Jama’ah maiyah secara subjektif, sebelum mengenal
Maiyahan. Karena setiap Jama’ah Maiyah telah memiliki pemahaman subjektifnya
perihal religiusitas yang diyakini kebenaranya. Diinternalisasi sejak sosialisasi primer
berdasarkan pengalaman dari keluarga, lingkungan, pendidikan, bacaan, dan
seterusnya. Pengetahuan ini menjadi kesadaran individu, sehingga pengetahuan disini
disebut juga dengan istilah “realitas subjektif”, tetapi dalam pemaparanya tetap disebut
sebagai ‘pengetahuan subjektif’.
Sedangkan ‘realitas’ diartikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena
diluar Jama’ah Maiyah (bukan berasal dari Jama’ah Maiyah sendiri). Realitas
merupakan fakta sosial, berasal dari eksternalisasi perihal religiusitas yang diberikan
pengisi acara ketika Maiyahan. Sehingga eksternalisasi tersebut menjadi realitas
objektif pada seluruh Jama’ah maiyah (pengetahuan objektif tersebut merupakan sikap
religiusitas Maiyahan). Sehingga realitas dalam hal ini dapat pula disebut dengan
“realitas objektif”, dan dalam pemaparan selanjutnya tetap disebut dengan ‘realitas
objektif’ pula.
Dengan kata lain dasar dari konstruksi religiusitas ialah keterkaitan antara
pengetahuan dan realitas pada diri Jama’ah Maiyah. Pada seorang Jama’ah Maiyah
berdasarkan kategori sosial tertentu, telah memiliki seperangkat pengetahuan dan
realitas perihal religiusitas, sehingga menentukan sikap dan keputusanya dalam
menanggapi religiusitas. Dalam penelitian ini, ‘pengetahuan’ dianggap sebagai sikap
religiusitas subjektif yang melekat pada diri seorang Jama’ah Maiyah berdasarkan
kategori sosial tertentu. Terinternalisasikan sejak sosialisasi primer, baik itu dari
keluarga, lingkungan, pendidikan, bacaan, dan seterusnya. Sedangkan ‘realitas’ ialah
123
cerminan dari religius objektif yang diperoleh seorang Jama’ah Maiyah berdasarkan
kategori sosial tertentu dari sosialisasi sekundernya ketika mengikuti proses
eksternalisasi religiusitas yang diberikan dalam Maiyahan. Perihal seperti apa sikap
religiusitas Maiyahan yang diinternalisasi oleh seorang Jama’ah Maiyah berdasarkan
kategori sosial tertentu.
Berikut akan diterangkan deskripsi berdasarkan hasil analisis teori konstruksi
sosial “pengetahuan dan realitas” Berger. Sehingga mencerminkan suatu dinamika
yang membentuk sikap religiusitas Jama’ah Maiyah berdasarkan kategori sosial
tertentu. Berikut pemaparanyan :
1. Kategori Dewasa
Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah
kategori dewasa dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari
(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan
merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap dewasa memiliki
pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya
mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif
seperti apa yang biasanya melekat pada diri seorang dewasa. Berikut
merupakan pemaparanya :
Seorang dewasa dengan segala kedudukanya dalam masyarakat,
tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan urusanya dalam pekerjaan
seringkali menuntut diambilnya keputusan-keputusan sulit. Frustasi banyak
124
menjadi kendala yang menyertai mereka. Apalagi bila telah berkeluarga,
seorang dewasa dituntut memenuhi nafkah keluarganya. Sehingga
perekonomian menjadi salah satu faktor tercapainya kebahagiaan.
Berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, konflik, dan penindasan,
telah mereka rasakan dalam hidup. Terkadang struktur lah yang menindas
mereka sehingga sulit keluar dari masalah sosial dalam hidupnya. Kerap kali
mereka merasa lelah dan putus asa dalam usahanya keluar dari masalah-
masalah tersebut. Sehingga lebih mendekatkan diri pada Tuhan ialah jalan
terbaik yang bisa mereka tempuh.
Banyak dewasa yang menemukan kebahagiaan dengan lebih religius.
Walau mungkin mereka kurang religius semasa muda, tetapi pada akhirnya
mereka semakin religius ketika dewasa, apalagi setelah berkeluarga. Seorang
dewasa kerap kali sadar bahwa dirinya harus menjadi teladan bagi keluarganya.
Juga tumbuhnya kesadaran mereka akan kehidupan akhirat akan membawa
mereka pada ritus-ritus peribadatan yang lebih aktif dari pada sebelumnya.
Mungkin telah terjadi fase pendewasaan religiusitas pula yang terjadi pada
seorang dewasa. Walaupun fase pendewasaan religiusitas ini tidak dapat
diukuyr berdasarkan usia.
Pada saat seorang dewasa telah mengalami fase pendewasaan ini,
dimungkinkan bahwa mereka akan lebih bersikap religiusitas. Ketertarikan
mereka akan religiusitas meningkat. Religiusitas ditempatkan sebagai modal
kehidupan akhirat kelak dan juga sebagai obat bagi rasa frustasi yang
senantiasa mendera seorang dewasa.
125
Ketika ketertarikan akan religiusitas meningkat, ketika ini pula seorang
dewasa berpotensi tertarik terhadap Maiyahan. Sehingga selanjutnya seorang
Jama’ah Maiyah kategori dewasa akan melalui tahap sosialisasi sekundernya
(setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah) dalam hal
religiusitas melalui Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial
yang bersifat eksternal. Merupakan realitas objektif yang mempunyai
kemampuan mempengaruhi sikap religiusitas pada diri seorang dewasa.
Maiyahan merupakan realitas objektif bagi Jama’ah Maiyah. Berikut
merupakan pemaparan dari realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi
oleh Jama’ah Maiyah kategori dewasa dalam Maiyahan :
Maiyahan selalu bahwa sikap religiusitas itu harus bersinergi dengan
kondisi kehidupan sosial seorang dewasa. Dalam hubungan sosial bersama
keluarga misalnya, seorang dewasa harus mampu menjadi teladan bagi anak
muda, terutama anaknya. Juga memberi menjaga harkat dan martabat keluarga
dengan selalu berbuat yang baik dalam masyarakat. Seorang dewasa ialah
bahan contoh bagi para pemuda terutama anak-anak mereka sendiri. Karena
anak-anak cenderung meniru tingkah laku orang tuanya. Oleh karena itu
seorang dewasa harus selalu memberikan contoh yang baik kepada anak-anak
mereka.
Seorang dewasa seharusnya juga mampu memberi kontribusi bagi
perkembangan kehidupan sosial yang lebih baik. Dimana sikap yang baik
kepada sesama ialah bagian dari religiusitas pula. Tidak hanya terbatas pada
ritus-ritus peribadatan dan simbol-simbol religius semata; yang justru
126
menjadikan seorang dewasa minim kontribusi dalam kehidupan sosial seperti
ronda malam, kerja bakti, rapat RT/RW, dan seterusnya; tetapi menjadi
eksklusif yang terlalu banyak mementingkan ibadah dan mengurangi pergaulan
sosialnya.
Selain itu dalam Maiyahan seorang dewasa juga senantiasa diajarkan
bahwa perekonomian bukanlah segala-galanya untuk mencapai kebahagiaan.
Tetapi kedekatan dengan Tuhan-lah ialah jalan mencapai kebahagiaan tersebut.
Karena dengan dekat dengan Tuhan semuanya akan terpenuhi, salah satunya
terpenuhinya perekonomian yang lebih baik. Lagi pula perekonomian bukanlah
penentu bagi seseorang bahagia atau tidak. Bisa saja seseorang miskin secara
perekonomian tetapi bahagia, ataupun juga kaya secara perekonomian tetapi
tidak bahagia. Seperti pernyataan MD, sebagai berikut :
“Banyak orang dewasa memiliki perekonomian mapan
tetapi tidak bahagia dalam hidupnya, tetapi banyak pula orang
miskin yang ternayata hidupnya lebih bahagia dibandingkan
orang kaya”.69
Maiyahan mempertegas perihal bagaimana sikap religiusitas yang
seharusnya dan sepantasnya bagi seorang dewasa. Yaitu sikap religiusitas yang
bersinergi dengan berbagai peran dan tanggung jawab mereka sebagai seorang
dewasa. Disertai sikap syukur atas apa yang telah dimiliki dan tidak dimiliki.
Marx mengatakan bahwa agama ialah candu. Dalam Maiyahan candu
ini sengaja diberikan karena benar-benar dibutuhkan untuk menentramkan hati
seorang dewasa. Paling tidak bahagia barang sejenak sebelum kembali pada
rutinitas seorang dewasa yang sulit keesokan harinya. Doa-doa dan shalawat
69 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00
127
dalam Maiyahan menjadi penuntun bagi dicapainya kebahagiaan secara
religius ini, seolah-olah mampu menjadi wakil atas berbagai peliknya
kehidupan. Sebagaimana diungkapkan BN, bahwa :
“Saya merasa bahwa doa-doa yang dipanjatkan dalam
Maiyahan mampu mewakili diri saya sebagai manusia yang hidup
dalam kehidupan yang serba sulit ini”.70
Maiyahan merupakan tempat bagi para dewasa kembali pada religiusitas
yang telah lama dijauhkan dari mereka oleh kerasnya hidup. Mereka
menginternalisasi kembali religiusitas dari Maiyahan. Walaupun mungkin
religiusitas yang disampaikan ndalam Maiyahan sama atau berbeda sama sekali
dengan religiusitas yang mereka kenal sejak kecil. Tetapi para dewasa dalam
Jama’ah Maiyah sangat menerima religiusitas gaya Maiyahan; dan bersedia
memadukanya dengan religiusitas yang mereka kenal sejak kecil. Seperti
ungkapan BN, bahwa :
“Saya tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga NU,
dan membawa NU sebagai pedoman religius saya. Tetapi ketika
Maiyahan saya bersedia memadukan religiusitas NU saya dengan
Maiyahan”.71
Ditambah dengan pernyataan HM, bahwa :
“Selain sebagai Jama’ah Maiyah, saya juga merupakan
salah satu pengurus besar Muhamadiyah di Magelang. Tetapi
ketika mengikuti Maiyahan saya bersedia melepas identitas dan
sikap saya sebagai seorang warga Muhamadiyah.” 72
Menurut BN dan HM, seorang dewasa yang telah mengikuti Maiyahan
akan memiliki sikap religiusitas yang lebih terbuka dan toleran. Sehingga tidak
70 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3071 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3072 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30
128
mungkin bagi mereka terjerumus dalam kekerasan yang mengatas namakan
agama.
Sebagai seorang dewasa keduanya juga menerangkan bahwa Maiyahan
tidak mengenal aliran agama apapun seperti Muhamadiyah dan NU. Maiyahan
lebih cenderung beraliran religius kemasyarakatan, yaitu religiusitasnya
masyarakat tertindas dan kesulitan, tetapi pantang menyerah pada nasib. Aliran
apapun dapat bersanding secara harmonis dalam Maiyahan, bahkan aliran
agama yang berbeda pun.
2. Kategori Pemuda
Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah
kategori pemuda dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari
(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Setiap
pemuda memiliki pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas
yang patut mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas
subjektif ialah sikap religiusitas yang melekat pada diri seorang pemuda pada
umumnya. Dan si pemuda mengikutinya sebagai kaidah yang berlaku
sebagaimana berlaku juga dikalangan pemuda umumnya (pada pemuda diluar
konteks Jama’ah Maiyah). Berikut merupakan pemaparanya :
Masa muda merupakan masa pencarian identitas diri, dimana identitas
mereka belum terbentuk sepenuhnya. Sehingga pemuda belum memiliki sikap
semantap orang dewasa. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman hidup dan
129
belum tercapainya kematangan berpikir. Mereka belum berhasil mencapai
keseimbangan yang ideal.73
Kemampuan berfikir mereka banyak mengkritisi struktur yang telah
mapan, dan memikirkan kembali apa yang terbaik darinya. Sikap religiusitas
mereka lebih didorong oleh rasa ingin tahu. Mereka cenderung mengaku belum
sepenuhnya mengenal agama dan belum sepenuhnya dapat diakui oleh
masyarakat. Oleh karena itu mereka memuaskan keingintahuan mereka dengan
menambah ilmu untuk masa dewasa mereka.
Pemuda cenderung kritis dalam beragama. Rasionalitas mereka
tumpahkan pula pada agama. Pemuda cenderung tidak akan mengindahkan
anjuran agama bila tidak sesuai dengan rasionalitas mereka. Rasionalitas
beragama bagi pemuda ialah ketika agama mampu memberikan pencerahan
dan mengatasi kesulitan hidup manusia. Religiusitas yang terpenting bagi
pemuda ialah dalam hubunganya dengan sesama manusia, karena religiusitas
bagi mereka merupakan jalan agar diakui oleh orang lain atau masyarakat.
Dalam menginternalisasi religiusitas mereka tidak lagi seperti semasa
kanak-kanak. Dimana kanak-kanak lebih didorong oleh rasa penasaran
terhadap apa yang disampaikan dalam doktrin-doktrin agama. Tetapi setelah
melewati masa remaja atau pemuda, maka rasio lah yang lebih berperan.
Doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat gaib atau abstrak seperti surga,
pahala, dosa dan neraka sulit memotivasi mereka untuk lebih religius.
Penerimaan mereka terhadap agama ialah bila agama dapat dieksploitasi bagi
kepentingan mereka. Seperti bila mereka rajin sholat tahajud dan berdoa
73 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). Hal: 67
130
supaya diterima kerja, mendapat nilai bagus saat ujian, mengobati perasaan
patah hati, dan lain-lain.
Selain itu, lingkungan akademis pemuda mewarnai pula tanggapan
mereka terhadap lembaga religiusitas. Keluesan berfikir mereka membuat
mereka tidak segan mengkritisi lembaga keagamaan yang telah mapan
sekalipun. Mereka cenderung tidak akan mengikuti lembaga keagamaan
tertentu bila tidak sesuai dengan perspektif mereka.
Maiyahan rupanya memenuhi semua harapan pemuda perihal
bagaimana seharusnya religiusitas itu diterapkan. Terjadi kecocokan antara
perspektif religiusitas subjektif pemuda dengan konsep religiusitas yang
ditawarkan dalam Maiyahan. Sehingga pemuda dengan senang hati tanpa
adanya paksaan bersedia rutin mengikuti maiyahan.
Maiyahan pun menjadi sarana para pemuda (setelah mengikuti
Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah) untuk memantapkan sisi religiusitas
sesuai yang pemuda inginkan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial
yang bersifat eksternal. Merupakan realitas objektif yang mempunyai
kemampuan mempengaruhi sikap religiusitas pada diri seorang pemuda.
Berikut merupakan pemaparan dari realitas religiusitas objektif yang
diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori pemuda dalam Maiyahan :
Maiyahan selalu mengajarkan pada pemuda bahwa religiusitas itu tidak
hanya sebatas pelaksanaan ritus-ritus peribadatan seperti rajin sholat, rajin
mengaji, rajin sholat sunah, rajin dzikir; apalagi berwawasan fiqih luas; dan
juga praktik religiusitas sebatas simbolik seperti jidat hitam, celana diatas mata
131
kaki, selalu beristighfar saat terkejut, dan seterusnya. Sikap atau konteks
religius yang diajarkan maiyahan sekaligus yang menjadi daya tarik bagi
pemuda ialah pengajian Maiyahan yang tidak hanya menonjolkan sisi
religiusitas untuk mencapai kebahagiaan, tetapi juga mampu menyajikan
wawasan ilmiah, sosial, politik, budaya, dan lain-lain dalam diskusinya. Seperti
pernyataan dari AD, sebagai berikut :
“Maiyahan tidak hanya forum religiusitas, tetapi juga
sekumpulan orang yang mau duduk bersama membicarakan
bermacam-macam bahan obrolan, seperti agama, sosial, politik,
budaya, dan lain-lain. Disana kita juga tidak pasif, ada proses take
and give dalam diskusinya”74
Sembari mengemas semua itu dengan hiburan berupa musik dan
hiburan-hiburan menarik lain seperti puisi, tarian, pencak silat, dan bintang
tamu yang tidak terduga-duga. Sehingga Maiyahan, selain sebagai sarana
menambah religiusitas bagi pemuda, juga merupakan sarana mengakses hiburan
dan refresing yang pas bagi pemuda. Bahkan momentum Maiyahan juga
dimanfaatkan untuk hubungan sosial diantara lawan jenis, seperti berpacaran,
berpergian bersama, atau juga sekedar melihat lawan jenis. Seperti ungkapan
BG, bahwa :
“Selain dapat berbagai macam ilmu, disana juga
menyenangkan bisa melihat cewek (lawan jenis), lumayan lah buat
refresing.”75
74 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.0075 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.00
132
Ditengah situasi yang sering menimbulkan problematik bagi pemuda,
dikala mereka bekerja, dikala mereka kuliah, dan lain-lain. Maiyahan ialah
aktivitas hiburan yang bisa membuat segar dan rehat pikiran.
Lagi pula bagi pemuda Jama’ah maiyah ini, Maiyahan selalu menjadi
guru yang memberi nasehat-nasehat dan wejangan perihal kearifan hidup.
Pemuda yang masih sering melakukan kesalahan terkadang sering merasa
frustasi dan putus asa. Mereka membutuhkan dukungan moril yang memahami
kebutuhan mereka sebenarnya. Sebagaimana ungkapan BG, bahwa :
“Dalam Maiyahan saya memperoleh banyak stock-stock
petuah, karena sebagai pemuda saya sering melakukan kesalahan
dan grusa-grusu. Forum Maiyahan memberi banyak sentuhan petuah
dan nasehat yang sangat dibutuhkan bagi pemuda seperti saya”.76
Bagi kategori pemuda, Maiyahan memiliki tiga peran utama.
Pertama, sebagai sarana paling menyenangkan dan mudah untuk
mencapai ketenangan batin yang sering terkoyak akibat berbagai
persoalan yang timbul dalam masa muda. Kedua, sebagai sarana
menambah ilmu dengan mengikuti materi yang disampaikan dalam
diskusi Maiyahan. Dan ketiga, sebagai sarana mencari hiburan dan
refresing sekaligus bersosialisasi.
76 Wawancara BG pada 18 Juni 2013, pukul 19.00
133
3. Kategori Laki-laki
Pembahasan perihal sikap religiusitas Jama’ah Maiyah kategori laki-
laki dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari (sebelum dia
mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan merupakan
sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap laki-laki memiliki pengetahuan
subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya mereka yakini
dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif seperti apa yang
biasanya melekat pada diri seorang laki-laki. Berikut merupakan pemaparanya
:
Masyarakat menuntut laki-laki untuk menjadi pemimpin baik dalam
keluarga maupun masyarakat. Tanggung jawab tersebut cenderung mereka
terima sebagai realitas dalam masyarakat. Mereka juga mencoba untuk
memenuhi tanggung jawab tersebut. Dalam keluarga laki-laki merupakan
kepala rumah tangga yang bertanggung jawab untuk memimpin keluarganya.
Selain itu laki-laki juga bertanggung jawab untuk mendidik anak dan istrinya
agar tetap sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik. Dalam masyarakat religius
laki-laki dituntut memiliki pengetahuan religius lebih tinggi dari wanita karena
laki-laki lah yang akan memimpin seorang wanita apalagi setelah berumah
tangga. Selain itu laki-laki juga dituntut mampu memberi contoh bagi anak-
anak mereka, terutama contoh tentang perilaku yang religius.
Laki-laki juga sering kali dituntut memiliki peran dalam masyarakat.
Hal itu juga merupakan syarat bagi laki-laki agar dapat bergaul dengan
masyarakat di lingkunganya. Seringkali seorang laki-laki merasa malu bila
134
tidak mempunyai peran dan tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat di
lingkunganya. Laki-laki akan merasa senang bila dilibatkan dalam aktifitas
masyarakat, walaupun dalam aktifitas sederhana seperti kerja bakti dan jaga
malam. Apalagi dalam lingkungan masyarakat religius, laki-laki akan
cenderung senang bila telah mendapat undangan mewakili keluarganya untuk
mengikuti Tahlilan, peringatan hari kematian, Yasinan, dan lain-lain. Dengan
demikian mereka telah merasa dianggap oleh masyarakat sebagai pemimpin
keluarga yang cukup memiliki peran dalam masyarakat religius.
Selain dituntut bertanggung jawab sebagai pemimpin keluarga dan
masyarakat laki-laki juga dituntut mampu mencari nafkah bagi keluarganya.
Biasanya dalam masyarakat laki-laki ialah pencari nafkah utama, walaupun
mungkin wanita atau istri juga turut bekerja mencari nafkah. Biar demikian
dalam suatu keluarga banyak juga wanita atau istri yang tidak dituntut bekerja
mencari nafkah. Tetapi tidak ada laki-laki dalam suatu keluarga yang tidak
dituntut untuk bekerja mencari nafkah.
Boleh dibilang bahwa tanggung jawab seorang laki-laki memang tinggi.
Oleh karena itu laki-laki juga membutuhkan suatu pedoman moral (terutama
yang terkait dengan religiusitas) untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.
Salah satu cara laki-laki untuk mencari pedoman moral tersebut ialah dengan
mengikuti Maiyahan.
Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana
seharusnya mereka bersikap sebagai laki-laki sesuai dengan kaidah-kaidah
religiusitas. Para laki-laki pun dapat menyerap berbagai prinsip hidup dari
135
Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal
(setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Merupakan
realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi sikap religiusitas
pada diri seorang laki-laki. Berikut merupakan pemaparan dari realitas
religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori laki-laki
dalam Maiyahan :
Maiyahan mengajarkan pada kategori laki-laki agar dapat menjadi
bagian dari masyarakat yang selalu menjunjung tinggi nilai kehidupan sesuai
dengan kaidah agama. Bukan berarti memaksakan kaidah agama kepada
masyarakat, tetapi bagaimana agar kaidah agama dapat berkorelasi positif
dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai pemimpin laki-laki harus
mengerti arah hidupnya. pemimpin harus mampu membawa yang dipimpinya
mencapai tujuan. Dalam keluarga tugas laki-laki ialah memimpin seluruh
anggota keluarganya sejahtera di dunia dan akhirat. Sedangkan di masyarakat
tugas laki-laki sebagai pemimpin ialah untuk membawa masyarakat mencapai
kehidupan sosial kemasyarakatan yang sejahtera.
Sering juga akibat kerasnya hidup mengakibatkan laki-laki merasa
frustasi dan hilang arah. Pada saat ini, Maiyahan rupanya mampu memberikan
obat frustasi dan menunjukan arah yang baik bagi dicapainya kehidupan
bahagia bagi seorang laki-laki. Seperti ungkapan BN :
“Setelah mengikuti Maiyahan saya jadi mengerti kemanaarah hidup saya”.77
77 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
136
Obat frustasi dan arah hidup tersebut ialah dengan cara lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan. Laki-laki memang memiliki berbagai
tanggung jawab, seperti dalam tanggung jawab memenuhi nafkah keluarga.
Walau frustasi sering menimpa akibat sulitnya mencari nafkah tetapi laki-laki
tidak boleh frustasi dan menyerah. Hal tersebut banyak disosialisasikan oleh
Maiyahan, bahwa dalam menghadapi hidup harus selalu santai dan tawakal,
yang penting bekerja keras apapun hasilnya terserah Tuhan karena Tuhan tahu
yang terbaik. Seperti ungkapan BN kembali :
“Maiyahan selalu mengajarkan untuk menghadapiberbagai masalah hidup dengan santai, tetapi tetap tawakal danberusaha keras mencapai tujuan apapun hasilnya terserahTuhan”.78
Maiyahan mengajarkan bahwa religiusitas ialah suatu hal yang penting
bagi manusia, terutama bagi laki-laki. Laki-laki dituntut untuk membawa
keluarganya untuk sejahtera dan selamat dunia dan akhirat. Untuk itu laki-laki
harus mengerti banyak perihal agama. Agama tercermin dari sikap religiusitas
seseorang yang selalu menerapkan peraturan dari Tuhan agar hidupnya tidak
kacau dan berantakan. Siapapun yang mau memakainya akan selamat dunia
akhirat, dan yang tidak memakainya hidupnya bisa gila. Sehingga laki-laki
seperti MD tidak akan melewatkan kesempatan untuk memperdalam
pengetahuan agamanya dari Maiyahan. Berikut penuturan MD :
“Maiyahan selalu mengajarkan bahwa hidup itu harusmemakai aturan agama, agama ialah aturan dari Tuhan. Agama
78 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
137
juga ibarat pakaian, siapa memakainya akan selamat duniaakhirat, barangsiapa tidak memakainya sama dengan gila”.79
Ungkapan para informan tersebut cukup menggambarkan apa yang
diinternalisasi Jama’ah Maiyah kategori laki-laki dari realitas religiusitas
objektif dalam Maiyahan. Sebenarnya apa yang disampaikan cukup berlaku
umum bagi semua kalangan. Tidak terdapat perbedaan yang menonjol atas apa
yang menjadi pengetahuan Jama’ah Maiyah kategori laki-laki sejak sebelum
mengenal Maiyahan sampai realitas religiusitas yang disampaikan dalam
Maiyahan perihal bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab laki-
laki. Oleh karena itu Maiyahan seolah menjadi sarana untuk menambah,
memperdalam dan memantapkan kembali wawasan religiusitas memang
seharusnya dimiliki oleh laki-laki. Terdapat berbagai sisi moral religiusitas dari
apa yang disampaikan dalam Maiyahan yang dapat dijadikan landasan moral
bagi laki-laki.
4. Kategori Wanita
Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah
kategori wanita dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari
(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan
merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap wanita memiliki
pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya
mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif
79 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00
138
seperti apa yang biasanya melekat pada diri seorang wanita pada umumnya.
Berikut merupakan pemaparanya :
Weber mengungkapkan bahwa perilaku religiusitas wanita cenderung
berbeda dengan pria. Golongan wanita menunjukan daya reseptif yang kuat
terhadap semua hal religius terkecuali yang berorientasi kemiliteran.80
Mungkin maksud Weber disini ialah bahwa wanita memiliki daya kepatuhan
dan kedisiplinan lebih tinggi dari pada laki-laki perihal praktik keagamaan.
Weber juga menyatakan pula bahwa kategori wanita cenderung memiliki
ketertarikan yang tinggi untuk terlibat secara emosional dalam kegiatan
religiusitas (entah itu lebih pada ritus-ritus peribadatan atau religiusitas
kemasyaraatan) bahkan sampai bisa disebut histeris.
Gambaran sederhana Weber memang tidak bisa dijadikan acuan dalam
menilai sikap religiusitas wanita. Apalagi dilokasi dan zaman yang berbeda
dengan Weber menarik hipotesa. Tetapi gambaran Weber tersebut cukup
memberi pencerahan bahwa kenyataanya dalam kehidupan di Indonesia pun
peran wanita dalam kegiatan keagamaan memang cukup tinggi, tidak kalah
bahkan terkadang lebih dari pada laki-laki. Wanita cenderung aktif mengikuti
aktifitas keagamaan. Seperti dalam ritus-ritus peribadatan wanita cenderung
rajin sholat, mengaji, puasa, dan lain-lain. Wanita juga berperan besar dalam
pembentukan sikap religiusitas anaknya, dimana wanita cenderung lebih
banyak memberikan sosialisasi religiusitas kepada anaknya. Hal ini tentu saja
karena wanita/ibu dari pada laki-laki/ayah biasanya lebih dekat dengan
anaknya. Peluang wanita pun lebih banyak untuk memberikan wawasan
80 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). Hlm: 68
139
religiusitas pada si anak. Oleh karena itu wanita dituntut oleh masyarakat dan
keluarga untuk menciptakan generasi muda yang lebih baik secara religiusitas.
Sehingga wanita pun harus memiliki banyak wawasan dan pengetahuan
religiusitas.
Wanita cenderung kepada sifat emosional, berbeda dengan laki-laki
yang cenderung bersifat rasional. Akibatnya wanita cenderung lebih sering
merasakan kegelisahan dalam batinya. Hal tersebut ialah gerbang bagi mudah
masuknya religiusitas bagi kaum wanita. Sehingga wanita cenderung lebih
dekat dengan nilai-nilai yang serba gaib dan kontemplatif, yang tidak dapat
ditangkap oleh kerja rasio; tetapi manfaat bagi rohani dan ketenangan batinya
langsung dapat dirasakan.
Berbagai pengetahuan subjektif perihal wanita tersebut mampu menjadi
motivasi mengikuti Maiyahan. Dalam Maiyahan mereka mendapatkan
pengalaman rohani dan ketenangan batin yang mereka butuhkan. Ketertarikan
mereka terhadap Maiyahan tidak kalah tinggi dari pada laki-laki. Mereka lebih
banyak mengikuti Maiyahan diluar tanggal 17, karena Maiyahan tanggal 17
terlalu larut malam buat mereka. Sehingga jarang wanita yang mengikuti
Maiyahan tanggal 17. Umumnya wanita mengikuti Maiyahan tanggal 17 hanya
bila dengan seseorang yang dipercaya seperti pacar, suami, teman, keluarga,
dan seterusnya. Para informan Jama’ah Maiyah kategori wanita yang mengaku
sering mengikuti Maiyahan bahkan pada tanggal 17, memaparkan bahwa nilai-
nilai religiusitas banyak ia peroleh dari Maiyahan.
140
Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana
seharusnya mereka bersikap sebagai wanita sesuai dengan kaidah-kaidah
religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori wanita pun dapat menyerap berbagai
prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang
bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).
Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi
sikap religiusitas pada diri seorang wanita. Berikut merupakan pemaparan dari
realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori
wanita dalam Maiyahan :
Maiyahan mengajarkan pada wanita untuk selalu hidup dalam
religiusitas. Sama saja dengan semua manusia, wanita juga harus menjalankan
semua perintah Tuhan dan menjauhi laranganya. Tentu saja hal tersebut harus
mampu dilaksanakan secara continous. Hal tersebut memang materi religiusitas
yang umum disampaikan dalam banyak pengajian. Tetapi melalui Maiyahan
nasehat religius tersebut terasa lebih tertanam kuat pada diri seorang wanita,
dari pada bila disampaikan oleh lembaga religiusitas lain.
Seorang Jama’ah Maiyah wanita seperti SC mengaku bahwa dirinya
memperoleh banyak pengalaman religius selama Maiyahan. Terutama yang
paling SC internalisasi ialah bahwa wanita (terutama posisinya sebagai seorang
istri) harus selalu patuh pada suamu. Merupakan dosa besar kalau istri
menentang atau membelot dari perintah suami, asalkan perintah suami tersebut
tidak bertentangan dengan agama. Istri harus melayani suami dengan baik,
dimulai dari hal paling sederhana seperti menyiapkan makan dan minumnya,
141
menyeterika pakaianya, menyiapkan handuk, menyiapkan sarung, dan lain-
lain, serta menjaga seluruh harta benda dirumahnya. Ajaran yang disampaikan
dalam Maiyahan semakin memantapkan SC untuk berusaha menjadi istri yang
baik bagi suaminya. Seperti penuturanya sendiri :
“Setelah mengikuti Maiyahan saya akan berusaha menjadiistri yang lebih baik bagi suami saya. Dimaulai dari hal sederhanasaja seperti menyiapkan makan dan minumnya, menyiapkanhanduk buat mandinya, menyiapkan sarungnya, menyeterikapakaianya, dan lain-lain”.81
Maiyahan juga mengajarkan pada dirinya untuk selalu mengingat
Tuhan kapanpun, dimanapun dan saat melakukan apapun. Di toko kelontong
yang sederhana pun SC mempraktikan ajaran tersebut untuk selalu mengingat
Tuhan, dengan cara shalawat dan dzikir saat memasukan beras dalam karung
sekalipun, bahkan sering kali dengan dinyanyikan dengan keras. Seperti
penuturan SC sebagai berikut :
“Sejak mengikuti Maiyahan hati saya jadi semakin tenang,saya pun semakin sering mengingat Tuhan dengan cara shalawatdan dzikir dengan bernyanyi keras, bahkan saat memasukan beraske karung sekalipun”.82
Pada intinya Maiyahan mengajarkan bagaimana sikap religiusitas yang
patut dilaksanakan tidak hanya kepada wanita tetapi pada seluruh Jama’ah
Maiyah. Walau demikian wanita cenderung mampu memaknai sendiri
berdasarkan internalisasinya perihal manfaat apa yang mampu diperoleh dari
realitas religiusitas objektif dalam Maiyahan bagi dirinya sendiri.
81 Wawancara SC pada 24 Juni 2013, pukul 10.0082 Wawancara SC pada 24 Juni 2013, pukul 10.00
142
5. Kategori Kaya
Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah
kategori kaya dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari
(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan
merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap orang kaya memiliki
pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya
mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif
seperti apa yang biasanya melekat pada diri orang kaya pada umumnya.
Berikut merupakan pemaparanya :
Kaya dalam hal ini bearti seseorang yang memiliki lebih banyak
kesempatan untuk mengakses kesejahteraan. Meliputi perekonomianya yang
tinggi, rumahnya yang bagus/mewah, kendaraanya yang mewah, dan lain-lain.
Banyak hipotesa dari para ahli bahwa orang kaya cenderung jauh dari
religiusitas. Mereka banyak digambarkan jauh dari religiusitas dan hanya
mementingkan kehidupan diniawi semata. Setiap hari mereka hanya bekerja
untuk mencari uang dan mengungmpulkanya. Sampai-sampai mereka lupa
akan ibadah. Bahkan menurut Weber, golongan kaya/hartawan cenderung tidak
menaruh gagasan tentang keselamatan, dan agama mereka anggap sebagai
suatu fungsi pembenaran bagi pola kehidupan dan situasi mereka di dunia.83
Selama ini religiusitas lebih banyak dipandang melekat pada orang
miskin, begitu juga yang banyak dikonstruksikan dalam media televisi. Tetapi
sebenarnya hal tersebut hanya pandangan umum. Karena memang jumlah
83 Thoman F. Dalam Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI),1983). Hlm: 66
143
orang miskin lebih banyak dari pada orang kaya. Orang kaya dengan berbagai
fasilitas yang dimiliki, misalnya kemana-mana memakai mobil mewah.
Memberi kesan bahwa mereka jauh dari kesulitan, sehingga mereka cenderung
jarang mendekatkan diri dan memohon pada Tuhan karena semua telah
dimiliki. Sedangkan orang miskin yang kehidupanya penuh kesulitan
cenderung dipandang lebih religius dari orang kaya, karena dia akan lebih
sering mendekatkan diri dan memohon pada Tuhan.
Tetapi berbeda antara orang kaya dalam pandangan tersebut, dan
pandangan kebanyakan sosiolog, bahkan Weber; dengan orang kaya yang
menjadi cikal bakal Jama’ah Maiyah. Seseorang kategori kaya Jama’ah
Maiyah cenderung memiliki sikap religiusitas yang baik bahkan sebelum
mengenal Maiyahan. Banyak orang kaya yang religius, bahkan mungkin
karena kereligiusanya lah mereka mampu menjadi kaya. Karena pada dasarnya
agama tidak pernah mengajarkan untuk menjadi miskin. Sebaliknya agama
mengajarkan untuk mencari rizki sebanyak-banyaknya agar mampu menolong
sesama. Lagi pula agama banyak memiliki prinsip-prinsip kerja, seperti jujur,
kerja keras, dan ikhlas, yang mungkin bila diterapkan dengan baik akan
mampu membawa seseorang menjadi kaya.
Hal tersebutlah yang diterapkan oleh HM salah seorang Jama’ah
Maiyah aktif, yang masuk dalam kategori kaya karena memiliki rumah mewah
dan beberapa mobil; bahkan memiliki usaha besar seperti meubel dan
tembakau. Memang dia tidak menjadi kaya setelah mengikuti Maiyahan, tetapi
usaha tersebut telah dirintisnya sejak muda. Tetapi HM mengaku bahwa
144
Maiyahan mampu membuat dia lebih bersyukur dan rendah hati. Sehingga
mampu bergaul dengan siapapun dari golongan manapun. Orang dari
perekonomian miskin pun tidak sungkan bergaul dengan HM.
Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana
seharusnya mereka bersikap sebagai orang sesuai dengan kaidah-kaidah
religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori kaya pun dapat menyerap berbagai
prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang
bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).
Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi
sikap religiusitas pada diri orang kaya. Berikut merupakan pemaparan dari
realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori
kaya dalam Maiyahan :
Maiyahan selalu mensosialisasikan bahwa tidak boleh seseorang
memandang orang lain berdasarkan status, kedudukan dan kelas sosialnya.
Semua orang sama hak dan kewajibanya baik kepada, Tuhan, agama dan
negara. Jadi tidak ada perbedaan antara seluruh Jama’ah Maiyah. Sehingga
orang kaya pun akan berbaur dan tidak ada perbedaan dengan yang lain dalam
Maiyahan. Oleh karena itu mengklasifikasikan kategori sosial berdasarkan
perekonomian pun cukup sulit dilakukan, karena Jama’ah Maiyah sulit
mengakui pekerjaan mereka, apalagi penghasilan dan pengeluaran mereka
perbulan. Kebanyakan mereka tidak mengaku kaya atau miskin, tetapi biasa-
biasa saja. Hal tersebut merupakan ajaran dari Maiyahan yang diinternalisasi
oleh orang kaya perihal kerendahan hati. Berpandangan bahwa tidak ada kaya
145
atau miskin, bila banyak harta itu hanya titipan dari Tuhan, tidak kekal dan
tidak dibawa mati. Jadi tidak boleh membangga-banggakan harta.
Jama’ah Maiyah dari golongan kaya tidak jauh berbeda dengan
Jama’ah Maiyah yang lain. Status ekenomi rupanya tidak memberikan gap atau
kesenjangan diantara Jama’ah Maiyah. Mereka semua berteman dan
berkomunikasi tanpa adanya rasa saling canggung satu sama lain. Si kaya tidak
menunjukan kekayaannya selama Maiyahan, dan si miskin tidak sungkan
berkomunikasi dengan siapapun karena dalam Maiyahan mereka merasa sama.
Maiyahan memang mangajarkan bahwa semua orang duduk sama rendah dan
berdiri sama tinggi. Sehingga yang kaya tidak merasa dirinya sombong,
sedangkan yang miskin tidak merasa minder.
Pemaknaan orang kaya terhadap Maiyahan tidak jauh berbeda dengan
yang lain. Walaupun memiliki akses dan sumber daya lebih mereka masih
merasa butuh menambah ilmu agama dalam Maiyahan. Bahkan HM pun
menuturkan bahwa Maiyahan adalah kebutuhan hidupnya setiap bulan. Mereka
menganggap bahwa mengikuti Maiyahan menambah kemampuan bersyukur
pada Tuhan. Dalam bekerja rizki harus halal dan berkah, sehingga bekerja
harus jujur dan bersungguh-sungguh. HM mengaku pula bahwa ajaran-ajaran
yang disampaikan dalam Maiyahan mengandung prinsip agar seseorang
menjadi kaya, terutama dengan cara yang berkah dan direstui Tuhan. HM juga
selalu mengingat-ingat dan menerapkan apa yang diinternalisasinya dari
Maiyahan, bahwa segala kecurangan dan kelicikan dalam mencari nafkah atau
bekerja (teruatama dalam berdagang seperti pekerjaan HM) tidak akan
146
menambah rizki seseorang; bahkan hanya akan mengurangi rizki sehingga
seseorang akan menjadi semakin miskin, karena menghapus segala berkah dari
kerja keras sebelumnya. Sebagaimana penuturan HM :
“Seperti dalam berdagang, orang tidak akan kaya biladia tidak jujur, sekeras apapun dia bekerja bila seringmelakukan riba seperti mencurangi timbangan, Tuhan tidakakan menambah rizkinya, sehingga dia akan tetap miskin”.84
Boleh dibilang bahwa seseorang akan melupakan kekayaan dan
identitasnya yang lain saat mengikuti Maiyahan. Orang kaya dalam Maiyahan
memiliki kesederhanaan dan respek yang lebih terhadap orang dengan status
sosial berbeda. Mereka cenderung rendah hati dalam mengungkapkan
kekayaanya.
6. Kategori Miskin
Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah
kategori miskin dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari
(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan
merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap orang miskin
memiliki pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang
seharusnya mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas
subjektif seperti apa yang biasanya melekat pada diri orang miskin pada
umumnya. Berikut merupakan pemaparanya :
84 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30
147
Bagi kaum miskin agama merupakan pembebasan, pengalaman mereka
menyadarkan bahwa manusia hanya mahluk yang serba terbatas
kemampuannya, tidak sanggup mengatasi segala rintangan. Maka jika ada
agama ataupun ideologi yang menawarkan kepadanya pembebasan dari
penderitaan mereka tidak akan menolaknya.85 Di satu sisi kaum miskin ialah
kaum yang paling rawan kehilangan imannya, tetapi disisi lain kaum miskin
juga berpeluang untuk semakin mantap kualitas imannya. Oleh karena itu
banyak kasus kriminalitas yang dilakukan oleh orang miskin seperti mencuri,
juga kasus syirik seperti meminta-minta pada makam dan pohon. Tetapi
banyak pula orang miskin yang hidupnya kental akan religiusitas sebagai
sandaran akan kesulitan hidupnya.
Agama harus berperan sebagai pegangan bagi orang miskin agar
memiliki motivasi hidup. Karena bila tidak kaum miskin akan meninggalkan
agama, dan mencari kepercayaan atau ideologi lain yang mampu menolong dan
memotivasi jiwa mereka. Religiusitas tidak akan menambah pundi-pundi harta
mereka, tetapi mereka percaya bahwa religiusitas mampu mendekatkan dirinya
pada Tuhan, sehingga Tuhan akan menolong mereka keluar dari kemiskinan.
Mereka sangat termotivasi dengan ajaran perihal barokah, rizki dan
keberuntungan yang akan mereka peroleh bila mendekatkan diri pada Tuhan.
Banyak pengajian-pengajian yang cenderung nampak seperti
diperuntukan bagi kelas-kelas tertentu, karena lokasinya yang eksklusif.
Seperti misalnya, banyak terlihat dari pengajian di televisi-televisi, dimana
peserta yang hadir nampak seragam, rapi dan berdandan mewah, bahkan
85 Ibid., Hlm: 65
148
terkadang dihadiri sejumlah artis. Kaum miskin akan sungkan menghadiri
pengajian seperti ini.
Maiyahan disebut sebagai tempatnya menempa religiusitas kaum
miskin dan tertindas. Saat mengikuti Maiyahan mereka tidak dituntut
berdandan seragam dan rapi. Datang dalam Maiyahan pun gratis, hanya keluar
uang 2000 rupiah untuk warga yang menjadikan lahannya sebagai parkir. Oleh
karena itu Maiyahan merupakan kesempatan bagi kaum miskin untuk
menambah wawasan religiusitasnya, dan melupakan kesulitan-kesulitasn
hidupnya sementara dengan berbagai macam hiburan yang diberikan dalam
Maiyahan.
Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana
seharusnya mereka bersikap sebagai orang miskin sesuai dengan kaidah-kaidah
religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori miskin pun dapat menyerap berbagai
prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang
bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).
Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi
sikap religiusitas pada diri orang kaya. Berikut merupakan pemaparan dari
realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori
miskin dalam Maiyahan :
Materi ceramah merupakan realitas objektif yang disampaikan dalam
Maiyahan. Banyak berisi pelajaran dan motivasi kepada kaum miskin untuk
terus bersyukur dan percaya bahwa kebahagiaan tidak hanya dicapai dengan
harta. Menjadi kaya tidak akan menimbulkan kebahagiaan yang hakiki bagi
149
mereka. Mungkin kemiskinan saat ini ialah takdir terbaik bagi mereka. Hanya
saja dalam Maiyahan juga selalu berdoa semuga Tuhan senantiasa menambah
rizki, dan memberikan kebahagiaan walaupun bukan berupa harta.
Maiyahan senantiasa mengajarkan prinsip kesederhanaan, bahwa harta
bukan lah segala-galanya. Harta juga bukanlah sumber kebahagiaan, hanya
kedekatan dengan Tuhan lah yang mampu memberi kebahagiaan. Maiyahan
mengajarkan Jama’ah Maiyah terus bersyukur bagaimana pun kondisi mereka
saat ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh BN, bahwa disaat
perekonomiannya sedang down dia bertemu dengan Maiyahan. Pada saat itu
Cak Nun mengucapkan suatu perkataan yang membandingkan situasi
kehidupan Jama’ah Maiyah saat ini, bila sedang merasa miskin tidaklah
sepantasnya tidak bersyukur, karena Nabi Muhamad sebenarnya hidup jauh
lebih miskin dari kondisi kemiskinan Jama’ah Maiyah saat ini. Kata-kata
tersebut terus mengiang-ngiang di benak BN sampai saat ini. Berikut
merupakan perkataan Cak Nun yang dikutip oleh BN :
“Kalau kamu merasa miskin, itu karena kamu kurangbersyukur, Nabi Muhammad saja satu hari makan dan tiga haritidak, pantaskah kamu tidak bersyukur.”86
Kalimat tersebut memotivasi BN untuk terus bersabar dan bersyukur
bagaimanapun kondisi perekonomianya saat ini. Hingga dia menangis tersedu
dan memeluk Cak Nun. Kaum miskin merasa mendapat tempatnya disana.
Maiyahan selalu mengajarkan bahwa walaupun saat ini dalam kondisi miskin
mungkin suatu saat anak-anak atau cucu yang berkesempatan hidup lebih kaya,
86Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
150
atau pun kekayaan tersebut diganti dengan kekayaan bentuk lain, tidak hanya
kekayaan berupa harta.
Maiyahan juga memberi wawasan global bagi kaum miskin perihal
struktur yang menindas mereka, hingga mengakibatkan mereka sulit mentas
dari kemiskinan. Kesadaran kritis dibangun dengan materi yang disampaikan
dalam bahasa yang sederhana, sehingga orang miskin yang kebanyakan
berpendidikan sederhana mampu menyerap apa yang disampaikan dengan
baik.
Maiyahan juga berperan sebagai aktifitas epistemik yang
menginternalisasi berbagai wawasan pengetahuan kepada orang miskin, yang
mana wawasan pengetahuan tersebut tidak pernah mereka peroleh dilembaga
pendidikan manapun. Banyak keuntungan yang diperoleh kaum miskin dengan
mengikuti Maiyahan.
7. Kategori Pekerja
Pembahasan perihal dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah
kategori pekerja dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari
(sebelum dia mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan
merupakan sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap pekerja memiliki
pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religiusitas yang seharusnya
mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religiusitas subjektif
seperti apa yang biasanya melekat pada diri seorang pekerja pada umumnya.
Berikut merupakan pemaparanya :
151
Semua jenis pekerjaan, dari yang tidak punya kekuasaan sampai
kekuasaan tertinggi dan dari penghasilan paling rendah hingga penghasilan
tertinggi, semuanya mempunyai tanggung jawab, baik terhadap masyarakat,
keluarga, dan terutama kepada Tuhan. Sikap religiusitas pekerja umumnya
diperuntukan bagi tercukupinya kebutuhan ekonomi. Mereka selalu berdoa
meminta agar Tuhan memberi jalan bagi kelancaran rizkinya.
Agama memberi pegangan bagi para pekerja, seperti harus bekerja
keras dan jujur dalam usaha. Barang siapa yang menerapkan prinsip kerja
tersebut maka Tuhan akan melancarkan rizkinya. Sedangkan bila seseorang
curang dan licik dalam bekerja Tuhan akan menjauhkan dia dari rizki.
Memang terkadang pekerjaan juga membuat seseorang lupa akan
religiusitas. Misalnya terkadang seseorang cenderung menunda-nunda bahkan
meninggalkan sholat ketika telah tiba waktu sholat. Ataupun seseorang yang
selalu sibuk bekerja berangkat pagi pulang malam, seringkali membuat dia
kurang bergaul dengan keluarganya, apalagi masyarakat. Padahal bergaul
dengan keluarga dan masyarakat juga merupakan bagian dari religiusitas.
Disisi lain, kerap kali pekerjaan juga mendekatkan seseorang pada
religiusitas. Seperti bila seseorang setiap kali bekerja keras mencari nafkah,
dengan harapan mampu memperbaiki perekonomian keluarga. Pada saat ini ia
cenderung akan lebih religius dengan berdoa semuga Tuhan mengabulkan
permintaanya dengan memperbaiki rizkinya.
Atas dasar ini Maiyahan dirasa cocok bagi para pekerja untuk
menambah wawasan religiusitasnya. Sekaligus mendapat motivasi diri tentang
152
sesuatu yang berada di luar batas kemampuan manusia, yaitu rizki. Manusia
hanya bisa berusaha dan Tuhan lah yang menentukan.
Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana
seharusnya mereka bersikap sebagai pekerja sesuai dengan kaidah-kaidah
religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori pekerja pun dapat menyerap berbagai
prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang
bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).
Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi
sikap religiusitas pada diri pekerja. Berikut merupakan pemaparan dari realitas
religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori pekerja
dalam Maiyahan :
Maiyahan mampu memberikan motivasi dan pedoman yang baik bagi
para pekerja. Ajaran agama dalam Maiyahan lebih menekankan pada ajakan
untuk bersabar, ikhlas, tawakal, dan syukur. Disamping ajaran tentang mana
yang halal dan haram, mana yang diperbolehkan dan mana dianjurkan, atau
mana yang pahala dan mana yang dosa. Maiyahan juga mengajarkan
bagaimana agar seseorang tidak mudah frustasi, terutama ketika keinginan
tidak tercapai walaupun telah bekerja dengan maksimal; caranya yaitu dengan
bersyukur dan ikhlas. Dalam bekerja seseorang harus percaya bahwa semua
indah pada waktunya. Kebahagiaan tidak hanya dicapai dengan harta. Bila
dengan bekerja belum diperoleh harta yang cukup, mungkin harta tersebut akan
diganti dengan jenis kebahagiaan yang lain. Seperti pernyataan BN :
153
“Bila bekerja tapi penghasilan tetap saja sedikit, orangharus bersyukur karena bila tidak dia akan mudah frustasi. Kitaharus percaya bahwa semua indah pada waktunya, bila tidakdalam hal ekonomi mungkin itu karena bukan yang terbaik,pasti Tuhan akan menggantinya dengan jenis kebahagiaan lainyang lebih baik.”87
Maiyahan juga mengajarkan prinsip tanggung jawab dalam kerja. Serta
prinsip wirausaha dengan memuliakan pelanggan dengan melayani pelanggan
dengan baik. Dengan sebisa mungkin mencontoh prinsip Rosulullah dalam
bekerja, seseorang akan mampu mencapai kebahagiaan, terlebih lagi akan
dilancarkan rizkinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Maiyahan juga berperan
bagi perekonomian. Seperti ungkapan BN pula bahwa :
“Maiyahan mengajarkan saya tanggung jawab,sehingga saya bisa melayani orang lain dalam bekerja,kerjapun harus semakin keras demi membahagiakankeluarga.”88
Bagi para pekerja Maiyahan seolah menjadi sarana untuk refresing dari
rasa penat atau kekecewaan dalam pekerjaan. Sebagaimana perkataan AD,
yang pernah mengalami kekecewaan sewaktu gagal dalam melamar kerja.
Padahal AD begitu berharap terhadap pekerjaan tersebut. Dan telah banyak
menghabiskan waktu untuk mengejar pekerjaan tersebut selama setengah
tahun. Berikut pemaparan AD :
“Saya pernah mengalami kekecewaan besar soalpekerjaan, ketika rencana saya kerja di perusahaan gagal,padahal sudah menghabiskan waktu untuk ngejar kerja diperusahaan itu selama setengah tahun. Maiyahan bisa merefres
87 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.3088 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
154
saya secara psikologi dari berbagai kekecewaan dalampekerjaan seperti itu.”89
Maiyahan menempatkan dirinya sebagai ilmu agama yang mendukung
semangat kerja. Selain memberi hiburan dari penatnya lingkungan kerja.
Maiyahan menjadikan religiusitas sebagai sandaran batin, bukan hanya ritus-
ritus peribadatan. Maiyahan sangat tepat diberikan bagi para pekerja yang
sering dihinggapi kegelisahaan batin karena tekanan didunia.
8. Kategori Mahasiswa
Pembahasan perihal dinamika sikap religius kategori mahasiswa
dimulai dari pengetahuanya dalam kehidupan sehari-hari (sebelum dia
mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Pengetahuan merupakan
sesuatu yang diyakini secara subjektif. Setiap mahasiswa memiliki
pengetahuan subjektif perihal bagaimana sikap religius yang seharusnya
mereka yakini dan terapkan. Maksudnya pengetahuan religius subjektif seperti
apa yang biasanya melekat pada diri seorang mahaswa pada umumnya. Berikut
merupakan pemaparanya :
Rata-rata mahasiswa ialah pemuda, sebagaimana pemuda mereka
dalam masa mencari jati diri. Mahasiswa menempuh jalan pendidikan tinggi
untuk mempersiapkan masa dewasa mereka. Masa muda menuntut mereka
banyak melakukan trial and error, kegagalan demi kegagalan mengiringi
perjuangan mereka. Perkembangan mereka sebagai pemuda menuntut
89 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00
155
pencarian jati diri yang menguras pikiran dan tenaga. Mereka harus berusaha
keras menyiapkan masa depan mereka, sesuai tuntutan keluarga dan
masyarakat. Tak jarang mereka merasa gelisah dan frustasi karena tidak bisa
memandang masa depan dengan pasti. Mereka memerlukan pegangan dan
nasehat sebagai motivasi disaat mereka diterpa kegelisahan atas masalah yang
tidak bisa mereka pecahkan. Salah satu yang mereka perlukan ialah motivasi
religiusitas. Saran-saran religiusitas seperti sholat, mengaji, dan berdoa akan
mereka terima untuk mencari ketenangan batin.
Tetapi sikap religiusitas mereka belum stabil, terkadang lebih religius
ketika gelisah, dan terkadang melupakan religiusitasnya ketika terlalu
bersenang-senang. Seperti ungkapan HS, kadang saat asik berkomunikasi
dengan pacarnya, sampai hampir terlewat batas waktu sholat. Begitu pula MF,
yang sering hampir kelewat batas waktu sholat ketika sedang asik mengobrol
dan berorganisasi. Tetapi latar belakang dan pengalaman religiusitas
mahasiswa sewaktu sosialisasi primer menentukan tingkat kesadaran akan
keharusan mereka bersikap religiusitas. Sulit hilang walaupun mereka telah
banyak terinternalisasi wawasan-wawasan baru diluar religiusitas.
Selain itu, lingkungan pergaulan juga mempengaruhi preferensi tentang
sikap religiusitas mahasiswa, seperti keputusan memakai jilbab gaul atau jilbab
besar, atau mengikuti organisasi keagamaan atau organisasi non-keagamaan,
dan lain-lain.
Termasuk juga preferensi mahasiswa untuk memilih Maiyahan sebagai
salah satu sumber motivasi religiusitas. Kebanyakan Mahasiswa mengikuti
156
Maiyahan karena mereka lebih tertarik terhadap aktivitas diskursus yang
mengkaji isu sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Dari pada
pengajian yang hanya berkutat pada ritus-ritus keagamaan, mereka lebih
tertarik dengan pengajian yang mampu memberi wawasan global selain
wawasan spiritual.
Maiyahan banyak memberi pelajaran-pelajaran penting bagaimana
seharusnya mereka bersikap sebagai mahasiswa sesuai dengan kaidah-kaidah
religiusitas. Jama’ah Maiyah kategori mahasiswa pun dapat menyerap berbagai
prinsip hidup dari Maiyahan. Sehingga Maiyahan merupakan fakta sosial yang
bersifat eksternal (setelah mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah).
Merupakan realitas objektif yang mempunyai kemampuan mempengaruhi
sikap religiusitas pada diri mahasiswa. Berikut merupakan pemaparan dari
realitas religiusitas objektif yang diinternalisasi oleh Jama’ah Maiyah kategori
mahasiswa dalam Maiyahan :
Maiyahan menjadi pilihan yang menarik bagi Jama’ah Maiyah kategori
mahasiswa. Tentu karena Maiyahan merupakan pengajian yang tidak hanya
menambah wawasan religiusitas, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan. Lagi
pula Maiyahan juga selalu melatih mahasiswa untuk berfikir kritis,
menganalisis segala permasalahan di dunia dengan mengandalkan kekuatan
pikiran. Aktifitas kritis seperti ini tidak banyak didapatkan mahasiswa dari
pengajian-pengajian lain. Aktifitas selain pengajian pun jarang mengajak
kepada aktifitas berfikir kritis seperti ini. Bahkan kampus pun juga lebih sering
membuat pikiran mahasiswa terkotak-kotak dan terkekang. Sehingga
157
mahasiswa hanya berpikir sempit dan mudah percaya dengan berbagai
kebohongan yang menyengsarakan kaum-kaum tertindas. Dikhawatirkan
kampus malah menjadi agen yang mencetak mahasiswa yang kaku dan sempit
dalam wawasan berpikir. Hal ini tentu berbeda sekali dengan apa yang
diajarkan Maiyahan. Dimana Maiyahan selalu mengajak mahasiswa untuk
berpikir kritis, terbuka dan mendalam. Menembus segala sistem yang telah
mapan, dan mencari akar permasalahan yang selama ini menimbulkan
problem. Sebagaimana perkataan MF :
“Maiyahan tidak lantas membuat saya berfikir sempit,tetapi malah membangun daya berpikir kritis saya, menjadikansaya lantas tidak mudah percaya begitu saja dengan sistemyang telah mapan. Berbeda dengan kampus yang kadangcenderung terlalu berpihak pada kanan atau pemerintah”.90
Maiyahan pun selalu aktif melibatkan mahasiswa dalam aktifitas
diskusinya dengan kesempatan bertanya dan mengutarakan pendapat. Sehingga
tidak salah bila mungkin dikatakan bahwa rata-rata Jama’ah Maiyah ialah
mahasiswa, atau paling tidak seseorang yang pernah mengenyam pendidikan
universitas.
Maiyahan juga tidak hanya forum religiusitas, tetapi juga disana
merupakan ruang publik bagi siapapun untuk mampu dan berani berfikir bebas
tanpa adanya kekangan. Boleh dibilang bahwa Maiyahan ialah forum
demokrasi yang sebenarnya. Maiyahan selalu mengajarkan mahasiswa untuk
tidak bosan-bosanya belajar. Selain itu Maiyahan juga merupakan forum ilmu,
ilmu apapun bahkan yang tidak diperoleh mahasiswa saat di kampus. Seperti
ungkapan MF kembali bahwa :
90 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00
158
“Maiyahan merupakan forum ilmu, seperti sekolahtempatnya belajar. Belajar apapun mulai dari ilmu sosial,politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Terakhir kali malahbelajar soal musik jazz”.91
Maiyahan memberi pengetahuan baru bagi para mahasiswa, entah itu
pengetahuan religiusitas, politik, ekonomi, musik, budaya, dan lebih banyak
lagi. Keseluruhan tentu sangat berguna bagi diri dan studi mahasiswa.
Mahasiswa pun menjadikan Maiyahan sebagai salah satu opsi penting dalam
mencari ilmu untuk bekal masa depan.
B. Implementasi religiusitas Jama’ah Maiyah
Implementasi merupakan pelaksanaan terhadap apa yang telah dipelajari.
Implementasi religiusitas Jama’ah Maiyah merupakan bentuk pelaksanaan, atau
eksternalisasi, baik sejak seseorang belum mengikuti dan menjadi Jama’ah Maiyah
hingga seseorang tersebut telah mengenal, mengikuti dan menjadi Jama’ah Maiyah.
Uraian selengkapnya akan diterangkan dibawah ini :
1. Praktik Religiusitas
Agama memberi kepercayaan bagi pemeluknya, sebagai jalan untuk
mengatasi ketidakpastian, kelangkaan dan ketidakmampuan. Dimana hal itu
sering mengakibatkan gelisah dan frustasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kepercayaan akan kehidupan setelah mati dijadikan landasan bagi tindakan-
91Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00
159
tindakan reliugius. Bahwasanya hidup ditentukan oleh amal ibadah didunia,
sehingga menentukan apakah seseorang akan berada di surga atau neraka
kelak.
Esensi dari sifat manusia ialah percaya pada hal-hal diluar nalar
manusia. Bahwa terdapat suatu kekuatan besar yang mengatur seluruh
kehidupan alam semesta. Menyebabkan kepercayaan manusia terhadap doktrin
agama atas Tuhan Yang Maha Esa, surga, neraka, malaikat, iblis, dan
seterusnya.
Terdapat ungkapan religiusitas jawa bahwasanya “urip iku namung
mampir ngombe”. Artinya “hidup didunia hanya sebentar seperti minum”,
sehingga manusia harus beragama sebaik mungkin dalam kehidupan di dunia,
agar kelak dapat hidup di surga selamanya. Ketika mampir ngombe di dunia,
manusia berhubungan dengan manusia-manusia lain. Sehingga agama
mengajarkan pula, selain tata cara peribadatan, juga kaidah-kaidah hubungan
sosial dengan sesama manusia. Seperti misalnya, kewajiban untuk berzakat
fitrah sebagai tanda bahwa agama mengajarkan untuk saling berbagi dengan
orang miskin, kewajiban menghormati kedua orang tua sebagai tanda bahwa
agama memberi dasar bagi keselarasan hidup, kewajiban memuliakan anak
yatim sebagai tanda bahwa agama peduli terhadap orang yang tidak mampu,
kewajiban untuk berusaha keras sebagai tanda bahwa agama mengajarkan
rasionalitas dalam ekonomi, dan seterusnya. Bahwasanya agama diturunkan
atau diciptakan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Aspek sosiologis
160
agama berperan dalam hal ini, menganalisis peri kehidupan antar manusia
sesuai tuntunan agama.
Manusia melalui berbagai dinamika hidup untuk mengenal religiusitas,
walaupun kebanyakan agama ialah warisan turun-temurun. Hal tersebut
menjadikan Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.
Agama selalu terkait dengan faktor perkembangan kepribadian, dari
anak-anak, muda, lalu dewasa. Pada masa kanak-kanak seseorang mulai
melalui tahap internalisasi agama pertamanya dari orang tua. Tahap
selanjutnya internalisasi ini ditambahkan oleh lingkungan sekitar, misalnya
lingkungan desa yang religius, yang mengajak si anak bersama teman-
temannya mengikuti tradisi-tradisi peribadatan seperti Yasinan, Tahlilan,
Istighosah, selapanan, dan lain-lainnya. Internalisasi religiusitas si anak
diperoleh pula dari lembaga-lembaga pendidikan formal sekolah, maupun
lembaga pendidikan informal seperti sekolah Diniyah ataupun pesantren.
Tetapi intensitas internalisasi religiusitas tersebut tidaklah sama antara
satu orang dengan orang lain. Bisa saja seseorang hanya memperoleh
internalisasi religiusitas dari orang tua saja, atau dari sekolah saja, atau
memperoleh internalisasi religiusitas dari lingkungan saja, tanpa memperoleh
dari orang tuanya. Keseluruhan memungkinkan seseorang memutar balikan
sikap religiusitasnya, seperti yang terjadi pada seorang muallaf. Atau pun
memadukan sikap religiusitas yang sesuai, asal sikap religiusitas tersebut
dimiliki dan berlaku universal antar berbagai agama. Seperti sikap religiusitas
yang tercermin dari sikap baik dalam bergaul dan bersosialisasi.
161
Seseorang yang melalui banyak pengalaman religiusitas dalam
sosialisasi primer akan cenderung memegang religiusitas. Lebih menerapkan
religiusitas sebagai landasan hidupnya. Berbeda dari seseorang yang kurang
kurang memperoleh sosialisasi primer sikap religiusitas akan cenderung kurang
memiliki kebutuhan akan religiusitas. Sehingga dia akan mencari dan
menentukan sendiri ideologi-ideologi yang akan dijadikan landasan hidupnya.
Seseorang yang banyak memperoleh pengalaman religiusitas selama
sosialisasi primer akan cenderung memilih cara bersosialisasi sesuai dengan
kaidah religiusitas. Bila seseorang sejak kecil telah terbiasa diajarkan
menghormati agama dan kepercayaan orang lain. Akan menganggap bahwa
kekerasan dalam menegakan agama adalah sesuatu yang salah. Walaupun
dengan berbagai dalil yang diucapkan, untuk membujuknya, dia cenderung
tidak terjurumus dengan sikap religiusitas yang bertentangan dengan sikap
religiusitas yang diajarkan sejak kecil tersebut.
Pada umumnya, sikap religiusitas Jama’ah Maiyah menjadikan agama
tidak akan lepas dari pengaruh budaya, tetapi menjadi filter bagi masuknya
budaya. Mereka terbuka terhadap budaya apapun di luar religiusitas, selama
budaya tersebut tidak melenceng dari agama. Lagi pula dasar agama Indonesia
juga bukanlah Islam, seperti di Negara-negara Timur Tengah
Budaya masyarakat juga mengatur tingkah laku atas gender, dimana
laki-laki masih dianggap lebih mampu daripada wanita. Tetapi agama
memandang keduanya memiliki posisi yang setara, dan memiliki kewajiban
masing-masing dalam beragama. Seperti laki-laki yang wajib dikhitan, wajib
162
mandi besar setelah mimpi basah, wajib sholah jumat, dan seterusnya.
Sedangkan wanita yang tidak diperbolehkan beribadah ketika haid, tidak
diperbolehkan puasa ketika haid, tidak diwajibkan sholat jumat, dan
seterusnya. Posisi agama atas gender berkomparasi dengan budaya, seperti
tidak baik keluar rumah “surub-surub” atau menjelang maghrib, tidak boleh
makan di depan pintu karena bisa sulit jodoh, laki-laki adalah kepala keluarga
dan pencari nafkah, serta wanita ditabukan keluar dan pulang larut malam.
Tradisi-tradisi budaya tersebut kerap di legitimasi agama, dan menjadi tradisi
umat beragama pula.
Agama selain terkait dengan faktor perkembangan kepribadian dan
budaya, juga terkait dengan faktor ekonomi. Hidup dalam kemiskinan dan
keterpurukan karena rendahnya tingkat perekonomian sering membuat manusia
frustasi. Agama memainkan peran penting disini sebagai sandaran, karena
kepercayaan akan pertolongan Tuhan. Manusia percaya bahwa Tuhan ialah
pencipta segala yang ada di alam semesta. Tuhan dengan mudah merubah
nasib seseorang jika dia mau berdoa, beribadah, dan melakukan berbagai
syariat agama. Kelebihan ajaran agama inilah yang membuat agama tetap eksis
dalam masyarakat, apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang hidup
dalam kondisi serba sulit dan miskin.
Selain itu, religiusitas juga tidak lepas kaitan dengan faktor pendidikan.
Religiusitas akan dimaknai secara lebih rasional, sesuai dengan jenis dan
tingkat pendidikan yang diperoleh. Seseorang dengan pendidikan rendah
cenderung untuk menjadi miskin, karena tidak mampu mengakses potensi-
163
potensi ekonomi. Sebagaimana orang miskin, dia akan berpeluang menjadi
semakin religius, seperti yang disampaikan dalam dua paragraph diatas. Tetapi
dia juga berpeluang menjadi semakin jauh dari kaidah-kaidah religiusitas.
Karena agama dianggap tidak mampu menjadi sandaran, dan dia menemukan
sandaran lain di luar agama, yang kadang menyalahi kaidah agama. Disisi ini
pendidikan dan kemiskinan berkolerasi kuat terhadap perkembangan
religiusitas.
Agama memiliki ajaran-ajaran dalam mengatasi berbagai masalah
dalam kehidupan sehari-hari, dan memberi kenyamanan manusia dalam hidup.
Tetapi tidak semua lembaga-lembaga agama mampu mensosialisasikan fungsi
agama sesuai perkembangan kepribadian, budaya, perekonomian dan
pendidikan. Dalam implementasi religiusitasnya, paling tidak Jama’ah Maiyah
berpendapat bahwa Maiyahan mampu memberi inspirasi religiusitas, sehingga
mampu memberikan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Timbulnya Religiusitas
Awal seseorang mengenal religiusitas ialah saat sosialisasi primer.
Sosialisasi primer diperoleh tidak hanya ketika seseorang masih kanak-kanak.
Tetapi mungkin juga baru saja beranjak muda atau dewasa. Sosialisasi tersebut
merupakan pelajaran pokok pertama yang menjadi pondasi dan landasan dasar
bagi keputusan diterima atau tidaknya internalisasi dari sosialisasi sekunder.
164
Sosialisasi primer ini dapat diperoleh dari mana saja seperti dari orang tua,
guru, buku, pendidikan, dan lain-lain.
Sosialisasi primer akan tertanam kuat pada pribadi seseorang, sulit
lepas walaupun telah mendapat pengaruh eksternal dari sosialisasi sekunder.
Tetapi sosialisasi sekunder cenderung akan mudah diterima bila sesuai dan
identik dengan sosialisasi primer. Maksudnya sikap religiusitas yang diperoleh
sejak sosialisasi primer akan tertanam kuat, sulit diubah. Tetapi bila sikap
religiusitas yang diperoleh saat sosialiasi sekunder ternyata sesuai dan identik
dengan sikap religiusitas yang diperoleh ketika sosialisasi primer, tidak
mengubah kemungkinan bahwa seseorang akan memadukan diantara
keduanya. Seperti pengalaman AD, walaupun dia merupakan mualaf yang baru
masuk agama Islam ketika berumur 12 tahun tetapi dia merasa memiliki
kecocokan dengan Maiyahan. Padahal dia tidak pernah mendapat internalisasi
religiusitas agama Islam dengan baik sejak kecil, hanya sedikit saja dari ayah
yang abangan. Berikut ungkapan AD :
“Ayah saya abangan, Ibu saya Katolik, jadi saya sedikitsekali menerima pengetahuan agama, hanya dari Ayah. Lagipula saya awalnya Katolik dan baru masuk Islam ketikaberumur 12 tahun. Biar demikian saya sangat senang mengikutiMaiyahan.”92
AD tidak banyak memiliki pengalaman religiusitas agama Islam,
Apalagi pengalaman religiusitas yang bersifat ritus-ritus keagamaan seperti
ilmu fiqih dan Quran dan Hadist. Bahkan ketika masih Katolik AD malah aktif
menerima pengalaman religiusitas agama Katolik, sering ikut kebaktian di
Gereja dan kumpul-kumpul dirumah Romo. Tapi AD merasa sejak lama telah
92 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00
165
memperoleh prinsip-prinsip religiusitas, yang berlaku sama dalam seluruh
agama yaitu prinsip sosial kemanusiaan sebagai dasar dari religiusitas. Apalagi
ditambah minat AD yang condong pada ilmu sosial.
AD mengaku semakin peka terhadap kehidupan sosial. Aktifitas
religiusitas dititik beratkan dalam aktifitas kebaikan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Satu prinsip dan sikap religiusitas yang sama antara
religiusitas agama Katolik yang pernah dipeluknya dengan minatnya terhadap
ilmu sosial dan kemasyarakatan. Sikap religiusitas yang ditawarkan Maiyahan,
membuat dia sangat senang mengikuti Maiyahan. Sehingga saat ini AD merasa
benar-benar telah beragama Islam. Seperti pengakuanya :
“Dari segi psikologis saya sekarang sudah benar-benar Islam.”93
Selain pengalaman AD, dimana hal ini lebih umum terjadi dalam proses
timbulnya religiusitas dari pada yang terjadi ialah religiusitas yang dibentuk
oleh orang tua kepada seseorang ketika kanak-kanak.
Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga religius cenderung
terdorong mengidentifikasi dirinya sesuai keluarganya. Sehingga perilaku anak
tersebut mencerminkan perilaku religius keluarga. Bila keluarganya religius
maka seseorang akan cenderung religius. Eratnya hubungan anak dengan
keluarga atau orang tuanya menjadi saat yang tepat bagi internalisasi
religiusitas bagi si anak.
Religiusitas si anak akan terbawa hingga masa remajanya sebagai
relitas objektif, yang diyakini dan dilaksanakan sebagai suatu kebenaran.
Tetapi bukan berarti pengaruh eksternal tidak berdampak pada dirinya.
93 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00
166
Pergaulan dan informasi yang diperoleh dari luar kelompok primer seringkali
di internalisasi oleh remaja tersebut sebagai realitas objektif pula. Pada saat ini
wawasan seseorang akan semakin luas, dalam artian wawasan religiusitas
maupun non-religiusitas.
Pengaruh internal maupun eksternal menjadi pertimbangan bagi
pengambilan sikap seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Krech dan
Crutchfield bahwa sikap seseorang terbentuk berdasarkan penglihatannya atas
apa yang ia jumpai baik kearah yang menguntungkan maupun tidak
menguntungkan. Tetapi pengaruh religiusitas akan bertahan paling lama dalam
sistem tingkah lakunya dari pada pengaruh non-religiusitas dari luar.94
Pengaruh religiusitas semasa kanak-kanak ini akan mewarnai kehidupan dan
sikap seseorang dimasa muda dan dewasanya.
Sebagaimana dalam penelitian ini, sebelum seseorang mengenal dan
mengikuti Maiyahan, seseorang jama’ah sebenarnya tidak menjadikan
Maiyahan sebagai kelompok primer dalam sosialisasi religiusitasnya. Dia tidak
memulai wawasan religiusitasnya dari awal dalam Maiyahan, tetapi telah
memiliki landasan religiusitas subjektif sejak masa kanak-kanaknya. Maiyahan
menjadi pertimbangan sikap religiusitasnya. Terlebih Maiyahan sebagai
wahana seseorang kembali mengenal dan mengembangkan religiusitas yang
sebenarnya telah terinternalisasi dalam diri seseorang sejak kanak-kanak.
Seperti BN yang menyatakan bahwa sebelum mengikuti Maiyahan,
sejak kanak-kanak ia sudah diajarkan religiusitas oleh keluarganya. BN berasal
dari kalangan NU(Nahdhatul Ulama), bapak ialah fanatik NU, juga adik BN
94 Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983). Hlm.104
167
yang pernah menjadi banser NU.95 BN mewarisi ajaran NU dari bapaknya, lalu
membawanya dalam HMI(Himpunan Mahasiswa Islam) semasa kuliah. Tetapi
BN merasa agama hanya menjadi warisan keluarga, BN tidak mampu meresapi
perihal agama sesungguhnya, hanya melaksanakan sebagai keharusan semata.
Setelah lulus kuliah, BN bekerja di Batik Keris Laweyan Solo. Tidak
lama setelahnya BN segera mendapatkan istri dan menikah. BN bekerja di
Batik Keris sejak tahun 1989 hingga 2000, dikaruniai dua orang anak, dan
tinggal sekeluarga mengontrak rumah di Solo. BN mengaku bahwa hidupnya
terasa membosankan, tidak menemukan dunia dan tidak menemukan akhirat.
BN merasa tidak berbahagia semasa itu. Akhirnya BN memutuskan keluar dari
pekerjaan dan kembali ke Jogja mengajak seluruh keluarganya. Sebagai
pengangguran masa ini terasa berat bagi BN, perekonomian terguncang karena
tidak ada pekerjaan tetap. BN bekerja serabutan, pernah sebagai supir dan
buruh bangunan, asal bisa buat makan dan minum keluarga. Motor satu-
satunya terpaksa dijual untuk menutupi hutang bank. Hingga akhirnya BN
terpaksa meminjam motor dari adik untuk bekerja seadanya.
Penghujung tahun 2000, akhirnya BN mengenal Maiyahan berkat
secara tidak sengaja mendengar pengajiannya di radio. Karena tersentuh sejak
awal mendengarkan di radio, BN lantas menelepon pihak radio dan
menanyakan lokasi Maiyahan, BN pun melacak hingga akhirnya menemukan
lokasi Maiyahan. BN mengaku apatis saat pertama kali mengikuti Maiyahan,
95 Banser adalah barisan pemuda NU yang dikenal dengan penampilannya, mulai dari pakaian, sepatu,topi, hingga atribut-atribut lainnya, yang mirip dengan pasukan militer. (Diakses dari,http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,40610-lang,id-c,nasional-t,Banser+NU-.phpx.Pada 17 Mey 2013, pukul 13.00)
168
hanya menonton dari pinggir pagar, tetapi pada akhir acara BN tergugah
hatinya. Apa yang disampaikan dalam Maiyahan mampu mewakili dirinya
sebagai manusia yang sedang gelisah. Doa-doa yang dipanjatkan Cak Nun
mewakili posisi dirinya sebagai orang miskin. Pada saat itu BN menangis,
langsung maju kedepan dan naik keatas panggung, lalu memeluk Cak Nun. BN
mengaku menemukan ketenangan batin dalam Maiyahan, dan sejak saat itu BN
aktif mengikuti Maiyahan. Hingga sekarang hanya tiga kali BN tidak hadir
dalam Maiyahan.
Keterangan hampir serupa diperoleh dari informan-informan lain,
dengan kisah hidup beragam. Keseluruhan menunjukan adanya dinamika
religiusitas yang mewarnai kehidupannya. Sebagian informan mengaku
memiliki bekal ilmu religiusitas sejak kecil diajarkan oleh orang tuanya. Walau
pada masa muda mereka sempat tergoncang karena masalah hidupnya, tetapi
bekal ilmu religiusitas sejak kecil melekat hingga akhirnya mampu membawa
mereka kembali pada arus religiusitas. Walau dalam taraf berbeda dari
religiusitas yang mereka pelajari sejak kecil, religiusitas sekarang ternyata
mampu membuat mereka nyaman. Berbagai latar belakang dan kisah hidup
menentukan preferensi seseorang dalam hidupnya, termasuk dalam religiusitas.
Maiyahan mampu menjadi pilihan bagi Jama’ah Maiyah kembali
memperdalam religiusitas.
169
4. Religiusitas dalam Lingkungan dan Keluarga
Keluarga memerankan fungsi-fungsi pokok yang sulit dirubah dan
digantikan orang lain, dimana terjadi sejak seorang anak dilahirkan. Fungsi-
fungsi tersebut diantaranya:96 1) fungsi biologik, yaitu tempat dimana orang tua
melahirkan anak-anaknya. 2) Fungsi afeksi, yaitu dimana terjadi hubungan
sosial yang penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, sehingga timbullah
hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, dan persamaan
pandangan tentang nilai-nilai, yang penting bagi perkembangan pribadi anak.
3) Fungsi sosialisasi, tempat dimana anak membentuk kepribadiannya dengan
mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai
dalam masyarakat melalui keluarganya. Ketiga fungsi keluarga ini merupakan
sosialiasasi primer yang akan mempengaruhi pembentukan pribadi anak.
Internalisasi primer banyak diberikan ketika seseorang kanak-kanak.
Salah satunya ialah internalisasi religiusitas, tetapi seiring keterbatasan waktu
dan wawasan religiusitas, keluarga akan melibatkan anak dalam lingkungan
yang menyediakan pendidikan, pengalaman dan pelatihan agama. Sehingga
terjadilah proses sosialisasi selanjutnya berupa internalisasi religiusitas
terhadap si anak oleh lingkungannya.
Dalam era kontemporer saat ini dengan masivnya arus informatika,
sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral si anak. Pada masa muda
dan dewasa peran orang tua, cenderung berkurang digantikan oleh lingkungan
dan teman sepermainan. Seperti masa muda, tingkah laku lebih didorong oleh
96 Khairuddin. Sosiologi Keluarga. (Yogyakarta: Liberty, 2008). Hlm: 48-49
170
keingintahuan sesuai naluri masa transisi dari muda ke dewasa. Sedangkan
masa dewasa lingkungan kerja sangat mempengaruhi kepribadian seseorang.
Walau demikian, lingkungan tidak selalu menjadi faktor utama penentu
sikap religiusitas seorang pemuda dan dewasa. Melainkan pengalaman religius
subjektif sejak dini, yang akan menjadi filter terhadap pengaruh lingkungan di
luar religiusitas. Data serupa diperoleh berdasarkan penelitian ini, dimana
beberapa Jama’ah Maiyah sebenarnya telah memiliki pondasi religiusitas sejak
dini. Tetapi patut menjadi catatan, bahwa bukan lah pondasi religiusitas
menurut ritus-ritus peribadatan, tetapi lebih pada pondasi religiusitas yang
identik dengan sikap religiusitas Maiyahan.
Terdapat beberapa informan menyatakan bahwa sebenarnya sosialisasi
religiusitas telah mereka peroleh sejak dini. Mereka dibesarkan dalam keluarga
yang taat beragama, juga diajarkan oleh orang tua, pendidikan formal maupun
informal. Tetapi religiusitas yang diperoleh sejak dini tidak hanya diukur
berdasarkan kualitas dan kuantitas prosesi peribadatan. Melainkan telah
tercampur dengan adat dan tradisi, norma dan nilai dalam lingkungan
masyarakat. Kebanyakan unsur religiusitas telah berpadu dalam kearifan lokal
dan nilai-nilai hidup tertentu seperti sikap jujur, tekun dan usaha keras. Seperti
ungkapan DE :
“Orang tua sendiri lebih ngajarin religiusitas dari seginilai-nilai hidup, seperti hidup harus selalu jujur, tekun dalamberusaha, dan lain-lain.”97
97 Wawancara DE pada 18 Juni 2013, pukul 20.00
171
Berdasarkan kategori sosial menurut usia, misalnya antara dewasa dan
pemuda. Jama’ah Maiyah usia muda cenderung memiliki tingkat intelektualitas
yang mumpuni, karena posisi mereka sebagai mahasiswa atau sarjana.
Memungkinkan mereka mampu mencari konsep religiusnya sendiri yang
sesuai dengan minat dan pengetahuannya. Pengaruh lingkungan terhadap
pemuda cenderung lebih besar dari pada pengaruh keluarga, baik pemuda yang
jauh dari keluarga maupun pemuda yang tinggal bersama keluarga. Karena
pemuda cenderung merasa ingin mandiri dan memutuskan sendiri
keinginannya untuk bersikap, bergaul, dan bersosialisasi.
Pemuda memiliki pengalaman yang khas perihal sikap religiusitas,
yang ternyata identik dengan sikap religiusitas Maiyahan. Sehingga perilaku
dan keputusannya tidak akan jauh melenceng dari. Terlihat dari mengikuti
Maiyahan.
Seperti pengalaman HS, seorang gadis berusia 20 tahun. Lahir dari
keluarga yang cukup mengenal agama. Sejak SMP, SMA, hingga kuliah saat
ini dia selalu tinggal di Pondok Pesantren. Pendidikan agama lebih banyak ia
dapatkan di pesantren dari pada keluarga. Tetapi walaupun begitu pondasi awal
yang melatarbelakangi HS tinggal di pesantren juga atas usulan keluarga.
Pengalaman religiusitas sejak lama memberikan pengetahuan subjektif
tersendiri, sehingga ia tertarik terhadap Maiyahan. Walau lingkungan
universitas memberikan pengaruh perihal kebebasan perilaku, penampilan dan
keputusan, tetapi HS mengaku selektif terhadap pengaruh dari luar tersebut,
172
hanya mengambil positifnya asal masih sesuai dengan etika dan kaidah
berdasarkan pengetahuan subjektif yang ia peroleh semasa di pesantren.
Begitu pula MF, MF berasal dari lingkungan keluarga yang biasa-biasa
saja religiusitasnya. Hanya saja selalu keluarga mengajarkan untuk melakukan
syariat-syariat agama sejak MF kecil. Tetapi keluarganya bukanlah kalangan
yang ekstrim dalam beragama. MF cukup aktif dalam aktifitas keagamaan.
Sejak SD, SMP, SMA hingga sekarang dia terlibat aktif dalam aktifitas
pesantren. Ajaran orang tua menganjurkan dia mendalami ilmu di pesantren.
Sehingga pengalaman religiusitas MF banyak diperoleh dari pesantren. Posisi
dia sebagai anak pesantren dan mahasiswa, membuat dia banyak berpikir
perihal religiusitas yang tidak tepat dalam masyarakat.
Pengaruh lingkungan akademis pemuda pemikiran serta wawasan
religiusitasnya. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, mereka lebih
mengungkapkan religiusitas terkait aktifitas budaya, politik dan perekonomian
masyarakat, daripada religiusitas perihal prosesi peribadatan dan penerapan Al-
Quran dan Hadist.
Sedangkan pada kategori dewasa, religiusitas tidak hanya berpengaruh
terhadap dirinya, tetapi mereka telah menjadi agen yang mengembangkan
religiusitas dilingkungan dan keluarga mereka. Mereka telah memiliki posisi
dan peran dalam masyarakat, serta diakui keberadaannya sebagai bagian dari
masyarakat. Pengaruh lingkungan terhadap dirinya memang sering terjadi,
tetapi mereka telah memiliki kedewasaan dalam beragama, karena dituntut
untuk memberi contoh pada anak-anak dan keluarga mereka.
173
Seperti ungkapan MD, bahwa dia merupakan penggerak paguyuban
religiusitas didesanya. Dahulu, banyak warga di desanya yang gemar mabuk,
dan takut ke Masjid. Kesadaran MD akan religiusitas membawa panggilan
untuk menyadarkan pemabuk-pemabuk tersebut. Dengan metode bergaul
dengan pemabuk-pemabuk, MD berperan sebagai penuang minuman keras
pada gelas-gelas mereka. Setelah mabuk dan sadar, sedikit demi sedikit MD
mulai mengajarkan religiusitas pada mereka. Lama-kelamaan metode MD
berhasil menyadarkan pemabuk-pemabuk tersebut. Hingga akhirnya mereka
berhenti mabuk, sering membaca Al-Quran di Masjid dan sering mengikuti
siraman-siraman religiusitas sederhana di pondokan yang dibangun MD di
dekat rumahnya. Saat ini, ketika pemabuk-pemabuk didesanya telah berkurang,
hampir setiap malam banyak orang datang ke rumah MD untuk meminta doa,
nasehat dan arahan seputar masalah hidup. Kategori dewasa cenderung
memberi pengaruh religiusitasnya terhadap lingkungan, dan begitu pula
keluarga dan anak-anaknya secara tidak langsung akan menjadikannya panutan
sebagai dasar religiusitas.
3. Religiusitas dalam Bersikap
Sebagaimana lembaga religiusitas pada umumnya, Maiyahan mengajak
Jama’ah Maiyah untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Ibadah menjadi
metode penting dalam usahanya. Rangkaian acara ibadah Maiyahan terdiri dari
doa-doa dan shalawat, dengan tujuan mengingat Tuhan dan Rasulnya.
174
Aktifitas diskusi, musik, puisi, dan lain-lainnya ialah sarana bagi
tersampaikannya ajaran religiusitas dengan mudah.
Ibadah dapat berupa hubungan transendental dengan Tuhan melalui
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Tetapi ibadah juga dapat berupa
hubungan dengan sesama manusia, seperti menghormati orang tua, membantu
orang yang kesulitan, mencari ilmu, bekerja dan berbagai kegiatan bertujuan
baik lainnya, bahkan hingga mengambil duri dari jalan. Segala aktifitas akan
menjadi ibadah bila bertujuan baik dan mengharap kebaikan Tuhan, bukan
karena gengsi, pamer, pencitraan, dan lain-lain. Begitu pula Maiyahan,
dianggap sebagai aktifitas ibadah oleh Jama’ah Maiyah. Disana mereka
memperoleh banyak kebaikan seperti ilmu, doa dan shalawat. Selain itu,
Maiyahan juga memberikan pelajaran untuk menyikapi aktifitas sehari-hari
sebagai ibadah. Seperti ungkapan BN bahwa :
“Baik saat kerja, jalan, bahkan kencing harus ingatAllah, semua akan menjadi ibadah”.98
Maiyahan juga merubah pola pikir para mahasiswa, yang membuktikan bahwa
Maiyahan bukan hanya sekedar pengajian, tetapi aktifitas yang mencerdaskan.
Seperti ungkapan MF yang mendapat pelajaran bahwa tidak boleh menilai
seenaknya dan berfikir sempit. Maiyahan menggali potensi kritis MF sehingga
dia tidak mudah percaya begitu saja dan mampu berfikir lebih mendalam dan
tajam. Berikut penuturan MF:
“Manfaat Maiyahan yang saya rasakan ialah sekarangsaya tidak lantas berfikir sempit dan terkoyak, Maiyahan
98 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
175
membuat saya mampu berfikir meluas dan mendalam, saya jadilebih kritis dan tidak mudah percaya”.99
Sebagaimana pengakuan para informan, Jama’ah Maiyah mengaku
bahwa dirinya memperoleh perubahan tersendiri dalam bersikap, walau
kemungkinan bentuk dan substansinya dapat berbeda-beda. Tetapi intinya
Maiyahan mampu menjadikan sikap Jama’ah Maiyah semakin religius dalam
menanggapi segala aktifitas duniawi.
4. Religiusitas dalam Kerja dan Usaha
Terdapat suatu hubungan yang saling mendukung antara sikap
religiusitas dengan sistem perilaku kerja. Dimana perilaku kerja diperuntukan
bagi usaha memperoleh komersil. Dengan kata lain ialah perihal “etos kerja”
masyarakat religius. Etos, menurut Geertz100 adalah sikap yang mendasar
terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif,
yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini bisa dinyatakan: Apakah kerja dalam
hal yang lebih khusus, usaha komersil, dianggap sebagai suatu keharusan demi
hidup, atau sesuatu yang impretatif dari diri, ataukah sesuatu yang terikat pada
identitas diri yang telah bersifat sakral? Identitas diri dalam hal ini adalah suatu
yang telah diberikan oleh agama.101
99 Wawancara MF pada 10 April 2013, pukul 10.00100 C, Geertz. Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols, dalam Interpretation of Culture.(New York : Basic Book, 1973). Hlm 126-127.101 Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. (Jakarta: LP3ES, Buku Obor,1978) Hlm: 3
176
Agama memainkan perannya sebagai sandaran bagi masyarakat miskin.
Agama mengajarkan bahwa kerja keras ialah jalan meraih perbaikan ekonomi
yang dicita-citakan. Tuhan memerintahkan untuk bekerja keras, karena Tuhan
tidak akan merubah nasib seseorang bila dia tidak mau merubahnya sendiri.
Perubahan nasib masyarakat miskin berkaitan dengan aspek komersil dalam
kerja. Dimana komersil akan diperoleh seiring kerja yang dilakukan.
Masyarakat miskin pada umumnya memiliki pekerjaan yang sederhana,
lebih menguras tenaga dari pada pikiran. Konteks masyarakat modern
membayar lebih mahal kualitas pikiran dari pada otot. Sehingga masyarakat
yang bekerja dengan otot akan terpuruk dalam kemiskinan karena upah yang
rendah.
Kerja keras yang melelahkan tetapi minim komersil menyebabkan
frustasi. Ketidakberdayaan masyarakat miskin mengakses hiburan, menjadikan
agama satu-satunya pelampiasan bagi kekecewaan mereka, apalagi agama
memang mamainkan fungsi dalam hal ini. Motivasi untuk bersabar dan ikhlas
misalnya, membuat orang miskin akan terus bersabar dalam kerja keras dan
ikhlas seberapapun hasil yang diperoleh. Lalu motivasi untuk tawakal, ketika
telah bekerja keras dan apapun hasilnya orang harus tetap bersyukur karena itu
lah hasil terbaik baginya.
Banyak lembaga agama yang menyampaikan hal ini, tetapi tidak
banyak dari segi pengemasan acara yang memfasilitasi masyarakat miskin
untuk tidak minder, atau mampu membayar untuk mengikuti segmen acara
tersebut. Misalnya acara ceramah di televisi, yang berlokasi di tempat mewah
177
dengan pesertanya yang berseragam dan berhias rapi, kadang dengan dihadiri
sejumlah artis. Masyarakat miskin akan sulit mengakses acara seperti ini,
malah kadang menimbulkan apatisme dari masyarakat miskin. Karena ceramah
agama tentang kemiskinan tetapi diadakan di lokasi yang serba mewah. Hal ini
menunjukan bahwa penyampaian doktrin-doktrin agama sering kali mengalami
kesalahan dalam implementasinya.
Lembaga religiusitas, salah satunya Maiyahan berusaha tampil dengan
segmen merakyat, dengan pakaian yang sederhana lokasi terbuka, dan gratis.
Tidak mensyaratkan apapun bagi pesertanya, boleh datang dengan kaos
oblong, rapi, agamis, dan sebagainya. Menjadikan masyarakat miskin merasa
cocok dengan acara. Disertai konsep acara yang menghibur dan informal,
mampu mengundang tawa dan kesenangan bagi mereka. Apalagi materi yang
disampaikan mewakili keluh-kesah kebanyakan masyarakat miskin. Misalnya,
menyoroti kehidupan yang serba sabar dan ikhlas karena kesulitan dan
kekurangan, tetapi tidak menyerah karena Tuhan menjamin surga dan
kebahagiaan dunia bagi mereka.
Seperti diungkapkan BN bahwa Maiyahan telah menanamkan sifat
sabar pada dirinya. Bahwa yang terpenting dari mencari rizki dalam kerja ialah
kerja keras dan tawakal. Walaupun mungkin dengan segala kerja keras dan
tawakal pun BN tetap belum memperoleh yang ia harapkan, BN akan tetap
sabar dan menanggapi semua kejadian tersebut dengan santai dan ikhlas.
Berikut penuturan BN :
178
“Setelah mengikuti Maiyahan saya jadi menyikapikesulitan hidup dengan santai, tetap usaha keras dan tawakal,walaupun mungkin setelah kerja keras tapi apa yang sayainginkan belum juga tercapai, itu tidak apa-apa, yang pentingqona’ah.”102
Begitu pula Maiyahan berperan bagi terjamin dan berkembangnya
usaha orang kaya dengan prinsip-prinsip yang diajarkannya. Sekaligus menjadi
bukti bahwa yang disampaikan dalam Maiyahan merupakan realitas yang dapat
menjadi kenyataan. Bahwa kerja keras dan terus tawakal merupakan kunci
kesuksesan. Seperti yang terjadi kepada HM, bahwa ajaran Maiyahan telah
menjadikan usaha dia semakin berkembang dan besar. Berikut penuturan BN :
“Maiyahan selalu mengajarkan untuk tawakal, yangpenting kerja keras, saya jadi tidak takut gagal dalamberwirausaha, hingga akhirnya usaha saya semakin besarseperti sekarang.”103
Implementasi religuisitas masyarakat dalam bidang ekonomi tidak
dapat dipandang secara jumlah komersil. Karena pada dasarnya terdapat
berbagai faktor lain yang mempengaruhi perekonomian dari segi komersil.
Pengaruh agama dalam ekonomi ialah sebagai sandaran, prinsip hidup, dan
motivasi, yang mempengaruhi implementasi dari kerja masyarakat ekonomi.
5. Maiyahan, antara Pribadatan dan Hubungan Sosial
Kedudukan manusia setara dimata Tuhan, tetapi tidak dimata sesama
manusia. Seseorang cenderung merasa lebih nyaman bila berada diantara
102Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30103 Wawancara BN pada 9 Maret 2013, pukul 17.30
179
sesamanya, terlebih senasib sepenanggungan. Begitu pula dalam hidup
beragama, maka dari itu muncul sekte-sekte keagamaan tertentu yang
beribadah dan menanggapi agama secara berbeda satu sama lain. Bahkan
terkadang antara satu sekte dengan sekte lain kerap terjadi konflik, padahal
masih dalam satu agama. Hal ini menunjukan bahwa terdapat berbagai sudut
pandang dan pemahaman dalam memaknai agama. Sehinga timbul istilah
aliran sesat, liberal, kejawen, dan seterusnya untuk menggambarkan perbedaan
sudut pandang tersebut. Terkadang perbedaan menimbulkan intoleransi, tetapi
perbedaan juga membawa pada solidaritas dalam masing-masing kelompok.
Pada umumnya lembaga religiusitas seperti dakwah dan pengajian,
memiliki segmen jamaatnya sendiri. Misalnya, pengajian yang diadakan oleh
NU, maka jamaat yang hadir juga merupakan warga NU. Begitu juga pada
kebanyakan pengajian-pengajian rutin di Masjid-masjid Yogyakarta yang mana
segmennya juga dari kalangan tertentu. Walaupun seandainya diadakan untuk
umum, bila pengajian diadakan oleh segmen tertentu, maka orang diluar
segmen tersebut akan enggan menghadirinya. Watak eksklusif dalam beragama
terkadang masih mewarnai pola kehidupan beragama masyarakat.
Maiyahan memainkan peran yang berbeda sebagaimana pengajian-
pengajian pada umumnya. Dalam Maiyahan tidak terdapat segmen-segmen
khusus. Berbagai suku, golongan, organisasi, kepercayaan, status sosial,
keseluruhan menyatu dalam satu kumpulan. Mereka semua berbeda tetapi
seakan-akan telah mengenal satu sama lain dan akrab. Sebagaimana menurut
MD :
180
“Seluruh Jama’ah Maiyah itu seolah berhubungan,menyatu dan saling mengenal, padahal mereka berbeda-beda.”104
Dalam Maiyahan mereka bersosialisasi dan saling berkenalan satu sama lain.
Tak jarang mereka saling bertukar nomor handphone untuk saling memberi
kabar bila Kiai Kanjeng atau Cak Nun mempunyai hajad diluar tanggal 17
malam di Kasongan.
Menurut BN, Maiyahan memang didesain demikian oleh penggagas
utamanya yaitu Cak Nun. Selain rutin di Kasihan Bantul Maiyahan juga
berkeliling dimana-mana, golongan, kelompok, wilayah dan daerah untuk
menyuarakan innahum ma’iya, atau mereka ada bersamaku. Bersamaku dalam
arti dua hal, yaitu “bersamaku” bersama Maiyah, atau “bersama-Ku” bersama
Allah SWT. Sebagaimana dalam buku panduan Jama’ah Maiyah yang
berbunyi:105
“Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama umat,
masyarakat, warga Negara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya,
golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya –
tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak
haruskah – engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga : innahum ma’iya,
sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada
bersama mereka.”
Metode dakwah Maiyahan cukup memotivasi seseorang sejak pertama
kali mengikuti Maiyahan untuk hadir kembali dalam Maiyahan berikutnya.
104 Wawancara MD pada 7 April 2013, pukul 22.00105 Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah. (Yogyakarta: SekertariatHamas, 2002) hlm: 5
181
Sebagaimana pengakuan seluruh informan, bahwa suasana akrab dan
menyenangkan baik yang diberikan selama acara maupun sesama Jama’ah
Maiyah memberikan ketertarikan tersendiri. Mereka mengaku tidak ada
lembaga religiusitas dalam dakwah yang mampu memberikan suasana tersebut,
terasa damai dan memberi ketenangan batin.
Maiyahan juga membangun jembatan bagi terciptanya hubungan sosial
lintas agama. HM menerangkan bahwa tidak hanya orang muslim yang sering
hadir dalam Maiyahan, tetapi juga dari kalangan non-muslim, bahkan seorang
pendeta Katholik seperti Pak Roni dari Semarang, dan tokoh Katholik Gereja
bernama Pak Untung dari Gereja Puger Bantul. Selain itu bukan hanya orang
yang beragama dan percaya Tuhan, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan
atau atheis pun tidak segan-segan mengikuti Maiyahan. Sebagaimana
penuturan HM :
“Tidak hanya tokoh lintas iman, tetapi juga kalanganatheis, walaupun tidak mengenal Tuhan tetapi mereka senangmengikuti Maiyahan yang bahkan semalaman membicarakanTuhan, hal ini tidak ada kalau tidak di Maiyahan.” 106
Walau kental akan suasana sosial dan budaya, tidak bisa dipungkiri
bahwa pada dasarnya Maiyahan merupakan acara religius, dan merupakan
bagian dari ibadah. Ibadah yang mampu menentramkan jiwa dalam kehidupan
sehari-hari yang penuh cobaan. Sehingga Maiyahan pun menjadi kebutuhan
bagi Jama’ah Maiyah. Seperti pengakuan HM :
106 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30
182
“Maiyahan telah menjadi suatu kebutuhan setiap bulan”.107
Karena ibadah tidak hanya sebatas sholat, puasa, zakat, seagaimana
rukun Islam, dan tidak hanya sebatas percaya pada Allah, Rasul, Malaikat, dan
seterusnya. Disana tidak hanya wirid, berdoa dan ceramah agama terus-
menerus, tetapi diselingi dengan beragam hiburan musik dan puisi, juga diskusi
masalah-masalah aktual dan up to date.
Maiyahan seolah-olah mempertegas bahwa mengenal dan berhubungan
sosial dengan orang lain, siapapun dia tanpa memandang status dan golongan
merupakan bagian dari ibadah. Bahkan hanya dengan bertemu dan
bersosialisasi dengan orang lain dalam Maiyahan dapat membantu AD untuk
lebih religius. Apalagi mengikuti Maiyahan juga merupakan aktifitas religius.
Bisa dibilang Jama’ah Maiyah ialah seseorang yang religius. Sehingga bersama
dengan mereka yang ibadahnya lumayan akan membuat seseorang tertular
untuk melakukan gaya hidup yang lebih religius. Seperti yang
diungkapkannya,
“Ke Maiyahan gaul dan ketemu temen-temen yangibadahnya lumayan jadi ikut terbawa dalam gaya hidup religiuspula. Berkat itu saya sekarang merasa sudah beragama Islamsecara psikologis.”108
Maiyahan menjadi bukti bahwa segala kegiatan dapat dinilai ibadah.
Tidak hanya hal-hal yang berhubungan dengan ritus-ritus peribadatan dan
pengetahuan fiqih semata. Segala aktifitas sosial asalkan tidak bertentangan
dengan agama dan baik untuk kehidupan bersama juga merupakan ibadah.
107 Wawancara HM pada 22 maret 2013, pukul 18.30108 Wawancara AD pada 2 Juni 2013, pukul 13.00
183
BAB V
PENUTUP
Pluralisme di Indonesia membawa agama, khususnya Islam, lebih banyak
dikembangkan secara inklusif. Seperti dalam Maiyahan, dimana sisi religiusitas tidak
menampilkan diri dalam bentuk yang eksklusif dan simbolik, seperti cadar, janggut,
jidat kehitaman, celana diatas mata kaki, dan lain-lain. Religiusitas yang ditampilkan
lebih mengintegrasikan kegiatannya dalam aktifitas bangsa secara keseluruhan.
Maiyahan mengusung tema-tema gerakan dan pilihan masalah yang jelas, yakni apa
yang dihadapi bangsa. Paradigmanya adalah merawat bangsa dengan agama.109
Dengan berbagai sikap religiusitas yang humanis, cocok diterapkan oleh berbagai
masyarakat tanpa membeda-bedakan, termasuk tanpa membedakan agama sekalipun.
Karena sikap religiusitas humanis yang disosialisasikan merupakan kebenaran yang
dimiliki semua agama.
Sebagai penutup dalam penelitian ini akan dijelaskan secara singkat melalui
kesimpulan dan saran, perihal konstruksi realitas religiusitas dalam Maiyahan, sesuai
rumusan pertanyaan dan bahasan bab-bab sebelumnya :
A. Kesimpulan
Kesimpulan pertama, membahas bagaimana proses konstruksi realitas
religiusitas terhadap Jama’ah Maiyah. Dan merupakan jawaban atas rumusan masalah
109 Musa, Masykur. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. (Jakarta : Erlangga, 2010) Hlm: 110
184
pertama yaitu; “Bagaimana konstruksi religiusitas dalam Maiyahan?” berikut
pemaparannya :
Proses konstruksi sosial religiusitas terjadi secara berbeda diantara
Jama’ah Maiyah antar kategori sosial. Tetapi keseluruhan membuktikan bahwa
terjadi proses dialektika religiusitas mulai dari sosialisasi primer baik dari
orang tua, baik ketika seseorang kanak-kanak atau saat seseorang tidak lagi
kanak-kanak, pendidikan religiusitas, lingkungan religius, atau dari bacaan dan
minat tertentu. Walaupun bacaan dan minat tersebut tidak memaparkan perihal
religiusitas tetapi mencerminkan sikap hidup religius yang identik dengan
sikap religiusitas yang disampaikan dalam Maiyahan. Seperti sikap religiusitas
yang tercermin dari ideologi humanisme, pluralisme, toleransi, tolong-
menolong, demokrasi, dan seterusnya.
Intinya terjadi dua proses dialektika dalam konstruksi religiusitas;
“tahap pertama”, dimulai dari seseorang(Jama’ah Maiyah) belum mengenal
Maiyahan. Dialektika religiusitas diawali oleh ‘internalisasi’ religiusitas
seseorang yang didapat dari sosialisasi primernya. Sosialisasi primer tersebut
bisa berasal dari mana saja. Bisa dari kedua orang tua, lingkungan, pendidikan
keagamaan atau bacaan sejak mereka kanak-kanak; atau bisa saja dari salah
satu atau dua dari komponen tersebut, seperti bacaan saja, pendidikan saja,
lingkungan saja, atau lainya. Karena tidak semua Jama’ah Maiyah mengenal
religiusitas dengan baik sejak kanak-kanak. Bisa saja salah satu dari Jama’ah
Maiyah dulunya merupakan seorang gali (mantan penjahat) yang saat ini telah
insaf dan aktif mengikuti Maiyahan. Atau bisa saja salah satu dari Jama’ah
185
Maiyah dulunya adalah penganut agama lain, tetapi saat ini telah memeluk
agama Islam (muallaf) dan mengikuti Maiyahan secara aktif. Bagi gali atau
muallaf tersebut dimungkinkan keduanya kurang memperoleh inetrnalisasi
religiusitas sejak kecil. Tetapi baru menerimanya ketika muda atau dewasa,
bahkan tua. Dan sosialisasi primer mereka tentu tidak banyak berasal dari
orang tua, mungkin dari lingkungan, bacaan, minat, teman, atau bisa dari siapa
saja. Jadi internalisasi religiusitas dari sosialisasi primer tidak hanya diperoleh
ketika seseorang kanak-kanak. Serta sosialisasi primer religiusitas merupakan
awal bagi terbentuknya ‘pengetahuan subjektif’ (realitas subjektif) yang
membentuk subjektifitas seseorang sesuai kewajaran religiusitas masyarakat
pada umumnya
Proses konstruksi religiusitas pertama selanjutnya ialah ‘objektifasi’,
yang terjadi ketika seseorang telah melalui internalisasi dari sosialisasi
religiusitas primer. Pada saat ini, seseorang mencoba memahami realitas
religiusitas yang ada dalam masyarakat. Kemudian seseorang tersebut
menyetujui realitas religiusitas masyarakat tersebut dan menjadikan realitas
religiusnya. Bedanya pada saat ini ternyata orang-orang yang lain, tergabung
dalam suatu masyarakat ternyata juga menyetujui dan mempraktikan realitas
religiusitas tersebut dan menjadikanya realitas religiusitas mereka pula. Jadi
proses objektifasi disini terjadi ketika banyak orang, atau yang tergabung
dalam suatu masyarakat menyetujui dan mempraktikan suatu realitas objektif
yang sama dan menjadikan realitas religiusitas tersebut suatu kebenaran.
186
Proses konstruksi religiusitas pertama terakhir ialah ’eksternalisasi’,
disini terjadi ketika seseorang yang telah melakukan internalisasi dan
objektifikasi terhadap realitas religiusitas dan mulai mempraktikanya dalam
kehidupan sehari-hari, sesuai dengan sikap religiusitas yang telah disetujui.
Eksternalisasi religiusitas juga dapat disebut dengan implementasi dari
religiusitas. Setiap Jama’ah Maiyah dari setiap kategori sosial memiliki
eksternalisasinya masing-masing dalam menanggapi religiusitas dari sosialisasi
primernya. Bisa saja eksternalisasi tersebut berupa praktik ketaatan terhadap
religiusitas yang telah didapat, atau juga merupakan pembangkangan atau
ketidaktaatan terhadap religiusitas yang diperoleh dari sosialisasi primernya.
Demikian beberapa paragraf diatas menjelaskan perihal konstruksi
religiusitas pertama sebelum seseorang mengenal Maiyahan. Selanjutnya
merupakan pembahasan perihal konstruksi religiusitas yang terjadi setelah
seseorang mengenal Maiyahan, atau setelah seseorang mengenal Maiyahan.
Konstruksi religiusitas dalam Maiyahan ini peneliti sebut sebagai konstruksi
religiusitas “tahap kedua”. Proses konstruksi ini dimulai dari ‘eksternalisasi’,
objektifasi, internalisasi, lalu diakhiri kembali dengan eksternalisasi.
Eksternalisasi dilakukan bukan oleh Jama’ah Maiyah, tetapi dalam hal ini
dilakukan oleh ‘aktor-aktor’ pengisi acara Maiyahan. Lebih tepatnya seseorang
dari Maiyahan, bisa Cak Nun, Mas Totok, Sabrang, Kiai Kanjeng,atau
pembicara lainya; baik dengan diskusi, musik, puisi, atau berbagai bentuk
konsep acara lainya.
187
Konstruksi religiusitas tahap kedua selanjutnya ialah proses
‘objektifasi’, dimana seseorang atau Jama’ah Maiyah telah menyutujui sikap
religiusitas yang disosialisasikan dalam Maiyahan sebagai kebenaran umum
yang juga diakui oleh Jama’ah Maiyah yang lain antar berbagai kategori sosial.
Dimana seluruh informan Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial
cenderung mengobjektifkan sikap religiusitas Maiyahan sebagai sikap
religiusitas yang lebih humanis, kritis, merakyat, dinamis, mengayomi, dan
demokratis.
Lalu, konstruksi religiusitas tahap kedua selanjutnya ialah
‘internalisasi’ yaitu ketika Jama’ah Maiyah secara pribadi yang telah
menyetujui sikap religiusitas Maiyahan sebagai sikap religiusitas yang ideal
dan baik kedalam pemahaman subjektifnya, dan menjadikanya sebagai realitas
subjektif individu.
Ditutup dengan proses dialektik tahap kedua terakhir, yaitu
‘eksternalisasi’ kembali dari apa yang telah diinternalisasi selama mengikuti
Maiyahan. Eksternalisasi dapat disebut juga dengan implementasi atas
religiusitas yang diperoleh selama Maiyahan.
Kesimpulan kedua menjawab rumusan masalah kedua pula yaitu, “Bagaimana
Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial memaknai aktifitas Maiyahan?” Makna
Maiyahan yang diungkapkan Jama’ah Maiyah juga merupakan realitas objektif atas
apa itu Maiyahan. Tentu pengobjektifikasianan ini tidak terjadi sama antar berbagai
kategori sosial, tetapi terdapat perbedaan dan kekhasan tersendiri perihal
188
pengobjektifikasian tersebut. Misalnya kategori dewasa secara objektif memaknai
Maiyahan lebih pada aktifitas religiusitas, kategori mahasiswa secara objektif lebih
memaknai Maiyahan sebagai aktifitas diskusi, kategori pemuda secara objektif lebih
memaknai Maiyahan sebagai aktifitas tokoh kharismatik Cak Nun, kategori miskin
lebih memaknai Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas pula, dan sebagainya. Terdapat
berbagai macam pengobjektifikasian perihal Maiyahan, yang juga merupakan
pemaknaan terhadap apa itu aktifitas Maiyahan. Semua pengobjektifikasian tersebut
bisa jadi sama antar berbagai kategori sosial, juga bisa berarti berbeda, juga bisa
berarti pula satu kategori sosial mengobjektifkan Maiyahan tidak hanya dengan satu
aktifitas saja, tetapi banyak aktifitas. Seperti misalnya kategori wanita
mengobjektifkan Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas, juga sebagai aktifitas
hiburan, sekaligus aktifitas sosial, juga aktifitas tokoh kharismatik Cak Nun; misalnya
lagi kategori pekerja mengobjektifkan Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas,
sekaligus sebagai aktifitas hiburan, dan juga aktifitas tokoh kharismatik Cak Nun; dan
seterusnya. Berbagai pemaknaan terhadap Maiyahan oleh berbagai kategori sosial
tersebut diantaranya :
1) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas religiusitas, bahwa pada dasarnya segala
aktifitas Maiyahan apapun itu ialah bertujuan pada mensosialisasikan
religiusitas.
2) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas sosial, dimana Maiyahan merupakan
tempat bersosialisasi antar Jama’ah Maiyah.
189
3) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas hiburan, dimana apapun itu, berbagai
kegiatan Maiyahan dianggap sebagai aktifitas hiburan, karena selalu membuat
senang dan hati tenteram.
4) Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas epistemik, ketika Maiyahan mampu
mencerdaskan pesertanya, memberi wawasan global dan menumbuhkan jiwa
kritis.
5) Serta Maiyahan dimaknai sebagai aktifitas kharismatik tokoh, dimana
Maiyahan dianggap sebagai acara Cak Nun, dan Maiyahan tidak akan sesukses
ini bila tanpa kehadiran Cak Nun.
Realitas objektif atas Maiyahan selanjutnya ditransformasikan oleh
Jama’ah Maiyah menjadi realitas subjektif, yang kemudian menjadi pemaknaan
Jama’ah Maiyah sesuai kategori sosial atas apa itu Maiyahan yaitu, diantaranya :
1) Maiyahan sebagai aktifitas religiusitas, dimaknai oleh seluruh Jama’ah Maiyah
dari berbagai kategori sosial.
2) Maiyahan sebagai aktifitas hiburan, dimakanai pula oleh Jama’ah Maiyah dari
seluruh kategori sosial.
3) Maiyahan sebagai aktifitas diskusi, dimakanai oleh Jama’ah Maiyah dari
kategori sosial muda, kaya, miskin dan mahasiswa.
4) Maiyahan sebagai aktifitas sosial, dimaknai oleh Jama’ah Maiyah dari kategori
sosial muda, mahasiswa dan wanita.
5) Dan Maiyahan sebagai aktifitas ceramah tokoh kharismatik, dimaknai oleh
Jama’ahf Maiyah dari seluruh kategori sosial
190
Dengan kesimpulan bahwa, seseorang dari kategori sosial tertentu yang
telah memaknai Maiyahan sesuai subjetifitasnya sebagai aktifitas tertentu,
cenderung timbul bersamaan dengan apa yang menjadi ketertarikan utama
mengikuti Maiyahan. Sehingga seseorang akan cenderung akan hadir dalam
Maiyahan karena terdapat aktifitas yang ingin menjadi ketertarikanya. Tetapi
cenderung tidak hadir, pulang terlebih dahulu, tidur, mundur dari panggung,
makan-makan diwarung, atau mengobrol sendiri bila aktifitas yang menjadi
ketertarikanya tidak ada. Boleh dibilang bahwa pemaknaan seseorang atas
Maiyahan merupakan pembentuk motivasi seseorang menghadiri Maiyahan.
Tetapi keseluruhan telah menjadi serangkaian acara Maiyahan yang tidak
terpisahkan, dan melalukan fungsi-fungsinya dengan baik hingga saat ini.
Sehingga Maiyahan tetap eksis sebagai lembaga religiusitas yang melakukan
konstruksi religiusitas kepada Jama’ah Maiyah.
Kesimpulan ketiga, mampu menjawab rumusan masalah ketiga yaitu,
“Bagaimana dinamika dan pengaruh religiusitas Maiyahan?” Dinamika religiusitas
berisi seputar pengalaman religiusitas sejak seseorang belum mengenal Maiyahan
hingga setelah seseorang mengenal Maiyahan. Mungkin terjadi perbedaan atau
perkembangan sikap religiusitas yang terjadi antara sebelum dan sesudah seseorang
mengenal Maiyahan.
Masing-masing orang dari berbagai kategori sosial tentu berbeda dalam
dinamika religiusitas tersebut, yang terjadi akibat pengaruh eksternal berbagai
191
pengalaman lain yang meliputi kehidupan shari-hari seseorang, baik setelah
atau sebelum mengenal Maiyahan.
Dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah menurut kategori sosial
dimulai dari pengetahuan religiusitasnya dari kehidupan sehari-hari (sebelum
seseorang tersebut mengikuti Maiyahan dan menjadi Jama’ah Maiyah). Berikut
penjabaranya berdasarkan kategori sosial :
1) Kategori Dewasa : Seorang memiliki kedudukan dalam masyarakat,
tanggung jawab terhadap keluarga, dan urusan dalam pekerjaan seringkali
menuntut diambilnya keputusan-keputusan sulit. Frustasi banyak menjadi
kendala yang menyertai mereka. Apalagi bila telah berkeluarga, seorang
dewasa dituntut memenuhi nafkah keluarganya. Banyak dewasa yang
menemukan kebahagiaan dengan lebih religius. Walau mungkin mereka
kurang religius semasa muda, tetapi pada akhirnya mereka semakin religius
ketika dewasa, apalagi setelah berkeluarga.
2) Kategori Pemuda : Pemuda cenderung kritis dalam beragama. Rasionalitas
mereka tumpahkan pula pada agama. Pemuda cenderung tidak akan
mengindahkan anjuran agama bila tidak sesuai dengan rasionalitas mereka.
Rasionalitas beragama bagi pemuda ialah ketika agama mampu
memberikan pencerahan dan mengatasi kesulitan hidup manusia.
Religiusitas yang terpenting bagi pemuda ialah dalam hubunganya dengan
sesama manusia, karena religiusitas bagi mereka merupakan jalan agar
diakui oleh orang lain atau masyarakat.
192
3) Kategori Laki-laki : Masyarakat menuntut laki-laki untuk menjadi
pemimpin baik dalam keluarga maupun masyarakat. Selain itu laki-laki
juga bertanggung jawab untuk mendidik anak dan istrinya agar tetap sesuai
dengan kaidah-kaidah yang baik. Boleh dibilang bahwa tanggung jawab
seorang laki-laki memang tinggi. Oleh karena itu laki-laki juga
membutuhkan suatu pedoman moral (terutama yang terkait dengan
religiusitas) untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.
4) Kategori Wanita : Weber mengungkapkan bahwa perilaku religiusitas
wanita cenderung berbeda dengan pria. peran wanita dalam kegiatan
keagamaan memang cukup tinggi, tidak kalah bahkan terkadang lebih dari
pada laki-laki. Wanita cenderung aktif mengikuti aktifitas keagamaan.
Seperti dalam ritus-ritus peribadatan wanita cenderung rajin sholat,
mengaji, puasa, dan lain-lain. Wanita juga berperan besar dalam
pembentukan sikap religiusitas anaknya, dimana wanita cenderung lebih
banyak memberikan sosialisasi religiusitas kepada anaknya.
5) Kategori Kaya : Seseorang kategori kaya Jama’ah Maiyah cenderung
memiliki sikap religiusitas yang baik bahkan sebelum mengenal Maiyahan.
Banyak orang kaya yang religius, bahkan mungkin karena kereligiusanya
lah mereka mampu menjadi kaya. Karena pada dasarnya agama tidak
pernah mengajarkan untuk menjadi miskin. Sebaliknya agama mengajarkan
untuk mencari rizki sebanyak-banyaknya agar mampu menolong sesama.
Lagi pula agama banyak memiliki prinsip-prinsip kerja, seperti jujur, kerja
193
keras, dan ikhlas, yang mungkin bila diterapkan dengan baik akan mampu
membawa seseorang menjadi kaya.
6) Kategori Miskin : Bagi kaum miskin agama merupakan pembebasan,
pengalaman mereka menyadarkan bahwa manusia hanya mahluk yang
serba terbatas kemampuannya, tidak sanggup mengatasi segala rintangan.
Mereka sangat termotivasi dengan ajaran perihal barokah, rizki dan
keberuntungan yang akan mereka peroleh bila mendekatkan diri pada
Tuhan.
7) Kategori Pekerja : Sikap religiusitas pekerja umumnya diperuntukan bagi
tercukupinya kebutuhan ekonomi. Mereka selalu berdoa meminta agar
Tuhan memberi jalan bagi kelancaran rizkinya. Agama memberi pegangan
bagi para pekerja, seperti harus bekerja keras dan jujur dalam usaha.
Barang siapa yang menerapkan prinsip kerja tersebut maka Tuhan akan
melancarkan rizkinya.
8) Kategori Mahasiswa : Masa muda menuntut mereka banyak melakukan
trial and error, kegagalan demi kegagalan mengiringi perjuangan mereka.
Tak jarang mereka merasa gelisah dan frustasi karena tidak bisa
memandang masa depan dengan pasti. Mereka memerlukan pegangan dan
nasehat sebagai motivasi salah satu yang mereka perlukan ialah motivasi
religiusitas.
Dinamika sikap religiusitas Jama’ah Maiyah menurut kategori sosial
selanjutnya yang diinternalisasi berdasarkan realitas religiusitas objektif yang
mereka peroleh dari Maiyahan (setelah seseorang tersebut mengikuti Maiyahan
194
dan menjadi Jama’ah Maiyah). Berikut penjabaranya berdasarkan kategori
sosial :
1) Kategori dewasa : Maiyahan selalu mengajarkan bahwa sikap religiusitas
itu harus bersinergi dengan kondisi kehidupan sosial seorang dewasa.
Dalam hubungan sosial bersama keluarga misalnya, seorang dewasa harus
mampu menjadi teladan bagi anak muda, terutama anaknya. Juga
bermanfaat bagi kehidupan sosial kemasyarakatan, selain sebagai
penambah kepercayaan diri bagi dewasa, juga merupakan religiusitas di
bidang sosial.
2) Kategori Pemuda : Maiyahan memiliki tiga peran utama. Pertama, sebagai
sarana paling menyenangkan dan mudah untuk mencapai ketenangan batin
yang sering terkoyak akibat berbagai persoalan yang timbul dalam masa
muda. Kedua, sebagai sarana menambah ilmu dengan mengikuti materi
yang disampaikan dalam diskusi Maiyahan. Dan ketiga, sebagai sarana
mencari hiburan dan refresing sekaligus bersosialisasi.
3) Kategori Laki-laki : Maiyahan mengajarkan pada kategori laki-laki agar
dapat menjadi bagian dari masyarakat yang selalu menjunjung tinggi nilai
kehidupan sesuai dengan kaidah agama. Dalam keluarga tugas laki-laki
ialah memimpin seluruh anggota keluarganya sejahtera di dunia dan
akhirat. Sedangkan di masyarakat tugas laki-laki sebagai pemimpin ialah
untuk membawa masyarakat mencapai kehidupan sosial kemasyarakatan
yang sejahtera.
195
4) Kategori Wanita : Maiyahan selalu mengajarkan bahwa seorang wanita
harus senantiasa menjaga kehirmatanya. Apalagi bagi yang telah berusami,
selain menjaga kehormatanya sendiri juga menjaga kehirmatan suami dan
keluarganya. Terlabih lagi harus melayani suamu dan merawat anak agar
memahami agama dengan baik.
5) Kategori Kaya : Maiyahan yang diinternalisasi oleh orang kaya perihal
kerendahan hati. Berpandangan bahwa tidak ada kaya atau miskin, bila
banyak harta itu hanya titipan dari Tuhan, tidak kekal dan tidak dibawa
mati. Jadi tidak boleh membangga-banggakan harta.
6) Kategori Miskin : Banyak pelajaran dan motivasi kepada dari Maiyahan
kaum miskin untuk terus bersyukur dan percaya bahwa kebahagiaan tidak
hanya dicapai dengan harta. Menjadi kaya tidak akan menimbulkan
kebahagiaan yang hakiki bagi mereka. Mungkin kemiskinan saat ini ialah
takdir terbaik bagi mereka. Hanya saja dalam Maiyahan juga selalu berdoa
semuga Tuhan senantiasa menambah rizki, dan memberikan kebahagiaan
walaupun bukan berupa harta.
7) Kategori Pekerja : Maiyahan mengajarkan bagaimana agar seseorang tidak
mudah frustasi, terutama ketika keinginan tidak tercapai walaupun telah
bekerja dengan maksimal; caranya yaitu dengan bersyukur dan ikhlas.
Dalam bekerja seseorang harus percaya bahwa semua indah pada
waktunya.
8) Kategori Mahasiswa : Maiyahan merupakan pengajian yang tidak hanya
menambah wawasan religiusitas, tetapi juga mendidik dan mencerdaskan.
196
Lagi pula Maiyahan juga selalu melatih mahasiswa untuk berfikir kritis,
menganalisis segala permasalahan di dunia dengan mengandalkan
kekuatan pikiran.
B. Saran
Konstruksi religiusitas memang telah banyak dilakukan lembaga-lembaga
agama di Indonesia. Tetapi tidak keseluruhan mampu menarik masyarakat dari akar-
akar rumput untuk mendalami religiusitas. Masyarakat kecil akar rumput lah yang
paling rawan terhadap kriminalitas, kemiskinan, penindasan, dan ketidakmampuan.
Untuk itu dibutuhkan lembaga religiusitas yang mampu diakses dan menarik minat
masyarakat akar rumput. Sekaligus menjadi pencerahan karena pendidikan humanis
dan kritis. Lembaga religiusitas seperti Maiyahan yang mampu menyediakan hal
tersebut merupakan sarana yang tepat bagi konstruksi religiusitas masyarakat
Indonesia. Terdapat tiga subjek yang diberikan rekomendasi saran, diantaranya :
1) Bagi lembaga-lembaga religiusitas diluar Maiyahan ialah :
a. Harusnya tidak terlihat eksklusif, agar masyarakat kecil tidak canggung
mengikuti.
b. Tidak berlokasi di tempat mewah, karena terkesan tidak memihak
masyarakat kecil.
c. Sebaiknya gratis.
d. Tidak hanya memberi wawasan religiusitas, tetapi wawasan global dan
uptodate.
197
e. Tidak terlalu kaku dan berfikir sempit mengenai religiusitas.
f. Lebih memahami kondisi masyarakat yang terkadang keluar dari kaidah-
kaidah religiusitas, karena selama ini hanya mendikte tetapi kurang
memahami.
g. Tidak terlalu kanan dan tidak terlalu kiri.
h. Memiliki seorang tokoh kharismatik.
2) Bagi Maiyahan
a. Menemukan seseorang yang menandingi Cak Nun, agar bila Cak Nun tidak
hadir, atau telah meninggal, terdapat sosok kharismatik yang mampu
mengganti Cak Nun, sehingga tidak banyak orang yang selama ini hadir
dalam Maiyahan karena Cak Nun yang meninggalkan Maiyahan.
b. Mempublikasikan Maiyahan lebih masiv, tidak hanya melalui ADI TV,
bisa melalui media cetak lokal dan nasional, agar Maiyahan semakin dapat
dinikmati masyarakat secara luas.
3) Bagi Jama’ah Maiyah
a. Mengaktifkan komunitas yang berusaha mengimplementasikan hasil
Maiyahan.
b. Lebih banyak saling mengenal antar sesama Jama’ah Maiyah dan bertukar
nomor handphone, agar dapat saling berinteraksi dan bertukar pengetahuan
perihal Maiyahan, religiusitas, dan lain-lain.
c. Mencatat setiap apa materi yang dianggap penting dalam Maiyahan, agar
mampu diingat dan dipelajari lebih dalam.
198
DAFTAR PUSTAKA
Jurdi, Syarifuddin. Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern teori, fakta, dan aksi
sosial. (Jakarta: Kencana, 2010).
Berger & Luckman. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah tentang Sosioloigi
Pengetahuan. (Jakarta: LP3ES, Anggota IKAPI, 2012)
Ali&Daud. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1995).
Samuel, Hanneman. Peter Berger, Sebuah Pengantar Ringkas. (Depok: Penerbit
Kepik, 2012).
Berger, Peter L. Langit Suci. Agama sebagai Realitas Sosial. (Jakarta: Penerbit
LP3ES anggota IKAPI, 1991).
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999).
Nindito, Stefanus. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan
Realitas dalam Ilmu Sosial. (Jurnal Ilmu Komunikasi: Volume 2, Nomor 1,
Juni 2005).
Scharf, Betty R. Kajian Sosiologi Agama. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogyakarta, 1995).
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat. (Bandung: Mizan, 1996)
Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1983)
Hamas, Sekertariat. Salam Maiyah, Materi dan Panduan Jama’ah Maiyah.
(Yogyakarta: Sekertariat Hamas, 2002)
Khairuddin. Sosiologi Keluarga. (Yogyakarta: Liberty, 2008).
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta : PT Bulan Buntang, 1986)
199
Zahra, Abu. Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia. (Bandung:
Pustaka Hidayah, Anggota IKAPI, 1999)
Sudarmanto. Agama dan Ideologi. (Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Penelitian
Filsafat STF Drikarya Jakarta, 1987)
C, Geertz. Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols, dalam
Interpretation of Culture. (New York : Basic Book, 1973)
Musa, Masykur. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. (Jakarta : Erlangga, 2010)
Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. (Jakarta: LP3ES,
Buku Obor, 1978)
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011)
sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf (Pdf oleh Drs. H. Ahmad
Thontowi, Widyaiswara Madya balai Diklat Keagamaan Palembang). Diakses
pada 6 Agustus 2013, pukul 10.30
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,40610-lang,id-c,nasional-
t,Banser+NU-.phpx. Diakses pada 17 Mey 2013, pukul 13.00)
www.caknun.com. Diakses pada 17 Mey 2013, pukul 13.00)
http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/emha-ainun-nadjib-yang-akrab-
dipanggil.html. (Diakses pada 29 Mei 2013, pukul 14.30)
http://www.maiyah.net/2012/02/siapakah-jamaah-maiyah.html (Diakses pada 29 Mei
2013, pukul 14.30)
www.bantulkab.go.id. (Diakses pada 2 Juli 2013, pukul 10.30)
www.googlemap.com. (Diakses pada 2 Juli 2013, pukul 10.30)