Download - Konsep Gender
Implikasi Demografi Terhadap Aspek Gender
TUGAS MATA KULIAH
DINAMIKA KEPENDUDUKAN
Diselesaikan guna memenuhi tugas Mata Kuliah Dinamika Kependudukan
Oleh :
Riski Fatika 102110101004
Amalia Listi 1021101010
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATUNIVERSITAS JEMBER
2 0 1 2
Implikasi Demografi Pada Aspek GenderPembangunan Berdasarkan Kesetaraan Gender
PendahuluanBanyaknya peraturan perundangan serta berdirinya lembaga serta komunitas-
komunitas yang memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah bukti
bahwa tingginya semangat para perempuan untuk mendapatkan kesetaraan serta keadilan
gender. Budaya Indonesia yang sangat dekat dengan sistem patriarki mengharuskan para
perempuan untuk melangkah lebih cepat sehingga bisa berjalan sejajar dengan kaum laki-
laki. Perjuangan para perempuan untuk dapat berjalan berdampingan dengan laki-laki ini
tidak lain adalah karena keinginan perempuan untuk mendapatkan hak asasi dasar sebagai
manusia serta untuk berkontribusi terhadap pembangunan bangsa. Patriarki menempatkan
seorang laki-laki sebagai seorang penentu otoritas, termasuk otoritas terhadap keluarganya.
Pembatasan hak dalam mendapatkan pendidikan, berpendapat, serta berpartisipasi dalam
masyarakat menjadi dasar munculnya perjuangan persamaan hak antar gender. Indonesia
mempunyai Kartini sebagai pelopor pendobrak system patriarki, dan sampai sekarang ini
Indonesia tetap membanggakan Kartini sebagai alasan memperjuangkan emansipasi atau
kesetaraan serta keadilan antar gender. Lantas apakah perjuangan Kartini bisa dikatakan
sukses, jika sekarang ini sistem patriarki masih melekat dalam budaya masyarakat serta
masih tingginya angka buta aksara pada perempuan Indonesia, dari data Jenderal Pendidikan
Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional 2010 menyatakan bahwa
6,5 juta buta aksara, ini menggambarkan bahwa masih banyak perempuan yang tidak
mendapatkan kesempatan belajar maupun mengeyam dunia pendidikan. Sensus penduduk
2010 menyatakan jumlah perempuan 118.010.413 jiwa dan 38,1 adalah tenaga kerja
perempuan, ini berarti bahwa masih sangat sedikit perempuan yang mendapatkan kesempatan
untuk bekerja. Walaupun akses perempuan terhadap dunia pendidikan dan pekerjaan
terutama di daerah urban masih sangat terbatas, tetapi banyak hal lain yang menjadi alasan
mengapa perjuangan Kartini dikatakan sukses, salah satunya adalah pemenuhan hak untuk
berpendapat, sekarang ini semua orang berhak untuk berpendapat, berhak untuk
mengungkapkan pikirannya tanpa terhalang suatu sistem.
Peran kesetaraan gender terhadap demografi adalah sebagai tiang, jika kududukan
tiang ini tidak sejajar maka rumah yang dibangunpun tidak akan bertahan lama. Begitu juga
demografi suatu negara, perlu adanya keseimbangan, kesetaraan, serta keadilan terhadap
masing-masing gender sehingga laki-laki dan perempuan bisa saling bekerja sama dalam
membangun dan mempersiapkan masa depan sebuah negara. Indonesia bisa dikatakan
beruntung karena rasio jenis adalah 101, berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100
perempuan, sangat berbeda dengan Cina yang sampai sekarang mempunyai replacement level
rendah, yang berati penduduk perempuannya lebih sedikit daripada penduduk laki-laki karena
dengan proporsi penduduk tersebut Indonesia seharusnya bisa membangun negara yang lebih
kokoh dan terarah dengan adanya kerjasana antar gender.
Konsep Gender
1. Pengertian gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New
World, gender diartikan sebagai “ perbedaaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari seginilai dan tingkah laku”. Sedangkan dalam Women’s studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”. “gender merujuk pada peranan dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat dan
budaya (UNESCO, 2007).
Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender
dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender
bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu
(Nasaruddin Umar, 1999: 34).
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat
menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses
seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga
dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya,
gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat
keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan
seseroang akan menjadi apa nantinya.
Gambaran sosial kultural di Indonesia, pandangan gender masyarakat masih
dipengaruhi oleh budaya lama, yang memiliki karakteristik stratifikasi social yang amat
kental termasuk dalam kaitannya dengan gender. Dengan demikian konsep gender tidak
mengacu kepada ciri-ciri biologis yang melekat paten secara kodrati, tetapi mengacu kepada
persepsi masyarakat. Perbedaan konsep gender karena perbedaan pandangan masyarakat
yang terhimpun menjadi norma social yang berlaku pada masyarakat tertentu yang
merepresentasikan peran sosial laki-laki dan perempuan berbeda, walaupun pada
kenyataannya dapat dipertukarkan. Konsep gender yang berlaku pada masyarakat bisa
berkembang dan berubah sejalan dengan berubahnya pandangan masyarakat.
2. Perbedaan Jenis kelamin
Laki-Laki Perempuan
Ciri –Ciri Fisik Utama Penis`Zakar`Sperma
`Vagina`Sel telur`Payudara
Ciri –Ciri Fisik Tambahan `Jakun`Kumis dan janggut`dada bidang
`Kulit halus`Pinggul besar
3. Perbedaan antara gender dengan jenis kelamin
Jenis kelamin Contoh Gender Contoh
1. Tidak dapat dirubah
Alat kelamin laki dan wanita
Dapat berubah Peran dalam kegiatan sehari-hari,sepertiDi rumah wanita memasakTetapi direstoran banyak laki-laki menjadi juru masak
2. Tidak dpt ditukar
Jakun pd laki dan payudarapd wanita
Dpt dipertukar-kan Seorang suami yang mengasuh anak ketika istri sedang bekerja
3. Berlaku sepanjang masa
Status sebagaiLaki2 atau perempuan
Tergantung budaya dan kebiasaan
Di pulau Jawa Jaman BelandaWanita tidak memperoleh hak pendidikan.Setelah merdeka mempunyai
Kebebasan mengikuti pendidikan
4. Berlaku di mana saja
Di rumah, dikantor, dan dimanapun berada ,seorang laki-laki dan perempuan tetap laki-laki dan perempuan
Tergantung budaya setempat
Pembatasan kesempatan di bidang pekerjaanterhadap perempuan dikarenakan bu-daya setempat a.l:diutamakan utk mjd perawat,guru tk,pengasuh anak
5. Merupakan kodrat Tuhan
Laki-laki mempunyai cirri-ciriutama yg berbeda dg cirri-ciri utama perempuan, misal jakun
Bukan merupakan kodrat Tuhan
Pengaturan Jumlah anakdalam suatukeluarga
6. Ciptaan Tuhan Perempuan biasanya haid,hamil,melahirkan,dan menyusui sedang laki-laki tidak
Buatan manusia Laki-laki dan perempuan berhak menjadiCalon ketua RT,Kades, bahkan Presiden
Teori Gender
Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-
teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang
dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender,
terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan
untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi.
Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk
memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan
beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.
1. Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang
diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu
masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-
unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap
unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak
sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di
antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan
sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan
menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem.
Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra industri yang
terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan
perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada di
luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Peran
perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung,
memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan
berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi
peran gender sangat ditentukan oleh sex (jenis kelamin).
Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam
masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian peran secara
seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang
seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau
tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami
ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi peran gender senantiasa
mengacu kepada posisi semula.
2. Teori Sosial-Konflik
Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama
dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan
menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas
kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu pada akhirnya
dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi,
1999: 76).
Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx,
karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F.
Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender
antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan
bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam
konsep keluarga. Hubungan laki-laki dan perempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan
hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata
lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi
karena konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx
seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.
3. Teori Feminisme Liberal
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.
Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara
laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara
laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan
membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999:
228).
4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai
kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang
menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan
kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok
tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak
diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para
perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda
dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal
atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor
seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya.
5. Teori Feminisme Radikal
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis,
teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan
sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi
laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-
laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu
keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan.
6. Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi
dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga
teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminism modern berasumsi bahwa
individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak
menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih
komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya
(Ratna Megawangi, 1999: 189).
Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin
yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya,
tetapi justru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk dalam perangkap sistem
maskulin yang hierarkis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya)
telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin.
Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh
nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan)
dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya
solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya
(Ratna Megawangi, 1999: 183).
7. Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini
mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal
ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang
tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut
Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik
biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua
sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan
agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan
tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian
dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id
(Nasaruddin Umar, 1999: 46). Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah
takdir yang tidak dapat dirubah.
Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat
mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari
penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun)
perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini
melahirkan pembedaan formasi social berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki
dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999:41).
Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap
ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai
saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya,
seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model).
Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-
laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya
sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.
Implikasi demografi pada aspek Gender
Dikriminasi berdasarkan Gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh
dunia. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender
dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah.
Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati
kesetaraan dalam hak hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam
kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi
di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat
ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua
orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok pembangunan-suatu
tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri. Kesetaraan gender akan memperkuat
kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara
efektif. Dengan demikian mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari
strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-
perempuan dan laki-laki-untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf
hidup mereka.
Ketidaksetaraan Gender Menurunkan Kesejahteraan dan Menghambat Pembangunan
Ketidaksetaraan Gender merugikan bagi kesehatan dan kesejahteraan laki-laki,
perempuan, serta anak-anak, dan memiliki dampak terhadap kemampuan mereka
meningkatkan taraf kehidupan. Selain itu, ketidaksetaraan gender juga mengurangi
produktifitas peternakan dan wirausaha, sehingga mengurangi prospek mengentaskan
kemiskinan dan jaminan kemajuan ekonomi. Ketidaksetaraan gender dapat melemahkan
pemerintahan suatu Negara dan dengan demikian berakibat pada buruknya efektifitas
kebijakan pembangunannya.
Hal yang paling merugikan dari ketidaksetaraan gender adalah menurunnya kualitas
kehidupan. Sulit untuk mengidentifikasi dan mengukur seluruh kerugian ini, namun banyak
bukti dari banyak Negara di dunia yang menunjukkan bahwa masyarakat dengan
ketidaksetaraan gender mengalami banyak persoalan kemiskinan, kekurangan gizi, berbagai
penyakit, dan banyak kerugian lainnya.
a. Cina, Korea dan Asia Selatan memiliki angka kematian perempuan di atas normal.
Mengapa demikian? Norma-norma sosial yang mengistimewakan anak laki-laki,
ditambah kebijakan satu-anak di Cina, telah mendorong angka kematian anak
perempuan menjadi lebih besar daripada laki-laki. Beberapa prediksi
mengindikasikan bahwa jumlah perempuan yang hidup saat ini seharusnya 60-100
juta lebih banyak bila tidak ada diskriminasi gender.
b. Tingkat buta huruf dan keterbatasan jenjang pendidikan ibu secara langsung
merugikan anak-anak. Jenjang pendidikan yang rendah berakibat pada kualitas
perawatan anak yang buruk dan juga angka kematian bayi dan kurang gizi yang lebih
tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu, semakin besar
kemungkinannya menyesuaikan diri dengan standar kesehatan, misalnya memberikan
imunisasi kepada anaknya
Sebagaimana halnya jenjang pendidikan ibu, pendapatan
Rumah tangga yang lebih tinggi juga erat terkait dengan angka kelangsungan hidup
anak dan gizi yang lebih baik. Penghasilan tambahan oleh perempuan dalam rumah tangga
cenderung berpengaruh lebih besar dibandingkan penghasilan tambahan oleh laki-laki, seperti
yang diperlihatkan hasil penelitian di Bangladesh, Brazil, dan Pantai Gading. Sayangnya,
norma-norma sosial yang kaku tentang pembagian kerja berdasarkan gender dan kecilnya
upah kerja bagi perempuan membatasi kemampuan perempuan menghasilkan pendapatan.
Ketidaksetaraan gender dalam jenjang pendidikan dan pekerjaan di perkotaan
mempercepat penyebaran HIV (gambar 5). Epidemi AIDS akan menyebar cepat dalam waktu
mendatang, sehingga satu dari empat perempuan dan satu dari lima laki-laki akan terinfeksi
HIV. Kasus ini sendiri sudah terjadi di beberapa negara di Sub-Sahara Afrika. Sementara
perempuan dan anak perempuan, khususnya yang miskin, mengalami diskriminasi
berdasarkan gender, ketidaksetaraan gender juga membebani laki-laki. Selama transisi
ekonomi di Eropa Timur, laki-laki telah mengalami penurunan tingkat harapan hidup dalam
tahun-tahun belakangan ini. Kenaikan rata-rata jumlah kematian laki-laki-paling banyak
terjadi di masa damai- berhubungan dengan peningkatan stres dan kegelisahan yang
disebabkan banyaknya pengangguran di antara kaum laki-laki.
Mengapa Ketidaksetaraan Gender Masih Tetap Terjadi?
Jika ketidak setaraan Gender menurunkan kesejahteraan dan prospek suatu negara untuk
melakukan pembangunan, mengapa ketidaksetaraan yang berbahaya ini masih tetap bertahan
di begitu banyak negara? Mengapa jenis-jenis ketidaksetaraan gender tertentu jauh lebih sulit
dihilangkan daripada yang lain? Misalnya, perbaikan telah banyak terjadi dalam sejumlah
dimensi seperti kesehatan dan akses terhadap jenjang pendidikan, tapi perbaikan dalam
partisipasi politik dan persamaan hak milik berjalan jauh lebih lambat. Faktor-faktor apa saja
yang menghalangi transformasi hubungan gender dan penghapusan ketidaksetaraan gender?
Institusi, rumah tangga, dan ekonomi.
Institusi masyarakat, seperti norma sosial, adat istiadat, hak dan hokum sebagaimana
halnya institusi ekonomi, seperti pasar, membentuk peran dan hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Institusi-institusi tersebut mempengaruhi jenis sumber daya yang dapat diakses
oleh perempuan dan laki-laki, jenis aktifitas yang boleh atau tidak boleh mereka lakukan, dan
dalam bentuk apa mereka dapat berpartisipasi dalam ekonomi dan masyarakat. Institusi
tersebut mewujudkan insentif yang dapat mendorong ataupun mengerem prasangka. Bahkan
ketika institusi formal dan informal tidak secara eksplisit membedakan laki-laki dan
perempuan, mereka umumnya dibentuk (baik secara eksplisit maupun implisit) oleh norma
sosial yang berkaitan dengan peran yang sepantasnya bagi masingmasing gender. Institusi
masyarakat seperti ini memiliki enersinya sendiri serta biasanya konservatif dan sulit untuk
diubah, namun demikian sifatnya sama sekali tidak statis.
Seperti halnya institusi, rumahtangga memainkan peran cukup sentral dalam
membentuk hubungan gender sejak dini dan dalam mewariskannya dari satu generasi ke
generasi lain. Seseorang membuat banyak keputusan yang paling mendasar dalam hidupnya
di dalam lingkup rumahtanggaseperti keputusan untuk mempunyai dan merawat anak,
menentukan tempat bekerja dan berekreasi, dan melakukan investasi untuk masa depan.
Bagaimana tugas dan sumber daya produktif dialokasikan di antara anak laki-laki dan
perempuan, seberapa banyak kebebasan yang diberikan kepada mereka, apakah ada
perbedaan harapan atau ekspektasi di antara mereka, semua ini menciptakan, memperkuat,
atau mengurangi ketidaksetaraan gender. Tetapi rumah tangga tidak mengambil keputusan
sendirian. Mereka membuat keputusan dalam konteks komunitas dan melalui cara-cara yang
mencerminkan pengaruh insentif yang ditegakkan oleh institusi dan lingkungan yang lebih
luas.
Oleh karena ekonomi menentukan kesempatan-kesempatan yang dimiliki seseorang
untuk meningkatkan standar kehidupannya, kebijakan ekonomi dan pembangunan berdampak
sangat besar terhadap ketidaksetaraan gender. Pendapatan yang lebih tinggi berarti
berkurangnya tekanan-tekanan sumber daya dalam rumahtangga yang memaksa orang tua
untuk memilih antara mengalokasikan investasi untuk anak laki-laki atau perempuan. Namun
bagaimana perempuan dan laki-laki terkena dampak pembangunan ekonomi tepatnya
tergantung pada aktifitas apa saja yang tersedia yang menghasilkan pendapatan, bagaimana
aktifitas-aktifitas tersebut dikelola, bagaimana ketrampilan dan usaha dihargai, serta apakah
perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi secara setara. Tentu saja, bahkan kebijakan
pembangunan yang jelas-jelas netral gender sekalipun dapat menghasilkan sesuatu yang
terbedakan secara gender, sebagian diakibatkan oleh cara-cara dimana keputusan-keputusan
institusi dan rumah-tangga saling terjalin untuk membentuk peran dan hubungan gender.
Pembagian kerja berdasarkan gender di rumah, norma-norma dan prasangka-
prasangka sosial, serta kapasitas akses atas sumber daya yang tidak setara menghalangi
perempuan dan laki-laki untuk memperoleh keuntungan yang setara dalam kesempatan
ekonomi atau menghadapi goncangan ekonomi secara setara. Kegagalan dalam mengenali
hambatan-hambatan yang gender differentiated ini sewaktu merancang kebijakan dapat
melemahkan efektivitas kebijakan tersebut, baik dari pespektif keadilan maupun efisiensi.
Jadi, institusi kemasyarakatan, rumahtangga, dan ekonomi makro bersama-sama menentukan
kesempatan dan prospek hidup seseorang berdasarkan gender. Ketiganya juga
merepresentasikan pintu-pintu masuk yang cukup penting bagi kebijakan publik untuk
mengatasi ketidaksetaraan gender yang masih terus bertahan.
PenutupKata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta
perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, namun
kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang
kepantasan dalam berperilaku, hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Peran gender ini berbeda
antar masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Gender sebagai kategori social juga
dapat menentukan jalan hidup dan partisipasi seseorang dalam masyarakat dan ekonomi.
Istilah kesetaran gender bisa diartikan secara berbeda-beda apabila dikaitkan dengan
konteks pembangunan. Dalam tulisan kami menyimpulkan bahwa kesetaraan gender adalah
kesetaraan dibidang hokum, kesempatan (termasuk kesetaraan upah kerja, kesetaraan akses
terhadap sumber daya manusia, dan sumber-sumber produktif lainnya yang memperluas
kesempatan), aspirasi (untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam hal
pembangunan).
Untuk itu perjuangan menyetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara
untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Mempromosikan
kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk
memberdayakan masyarakat. Dengan begitu diharapkan bahwa adanya kesetaraan gender
akan meningkatkan partisipasi perempuan terhadap pembangunan serta dapat meningkatkan
kerjasama antar gender sehingga pembangunan dalam berbagai sektor termasuk
pembangunan demografi dapat lebih terarah.
Daftar Pustaka
Ir. Nurmala S. MEng.Sc. 2011. Kesetaraan Gender Dalam Penyelenggaraan Infrastruktur Jalan & Jembatan.
Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender. Bandung: Mizan. Cet. I.
Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an.
Jakarta: Paramadina. Cet. I.
Marzuki. 2009. Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender. (jurnal )
http://data.tnp2k.go.id
http://www.republika.co.id