KONFLIK PERTANAHAN
DIKABUPATEN BINTAN
( Studi Pada Konflik antara Kantor
Pertanahan Kabupaten Bintan dengan
Pihak Swasta )
Oleh :
DEBY SUSILAWATY
NIM : 100565201172
ABSTRAK
Penangan Konflik Pertanahan yang
melibatkan satu individu dengan individu
lain, maupun antara satu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat
lainnya, tentu saja membutuhkan
penanganan khusus, serta pihak yang secara
khusus ditunjuk dan memiliki kewenangan
dalam upaya penyelesaian konflik
pertanahan, yakni Badan Pertanahan
Nasional di tingkat pusat maupun yang
berkedudukan di tingkat Kabupaten dan
Kota. Penanganan masalah pertanahan
melalui lembaga mediasi Badan Pertanahan
Nasional biasanya didasarkan dua prinsip
utama, yaitu: kebenaran secara formal dari
fakta-fakta yang mendasari permasalahan
persengketaan dan keinginan yang bebas
dari pihak yang berkonflik. Oleh karena itu,
rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Bagaimana cara pengelolaan konflik
yang dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional Kabupaten Bintan dengan pihak
swasta PT. Sunny Mas Prima Agung
dengan masyarakat setempat (Toapaya
Utara)?.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui, mengambarkan dan
menjelaskan penyelesaian konflik
pertanahan yang dilakukan oleh Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Bintan
antara pihak PT. Sunny Mas Prima Agung
dengan masyarakat setempat (Toapaya
Utara). Dalam penelitian yang akan
dilakukan bersifat deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, dimana berusaha
untuk memaknai keadaan atau fenomena
serta menjelaskan gambaran yang nyata,
dalam hal ini yang dijadikan objek adalah
Lembaga Mediasi Badan Pertanahan
Nasional yang ditunjuk sebagai mediator
dalam menyelesaikan konflik sengketa
lahan antara pihak perusahaan dengan
pihak masyarakat setempat di Toapaya
Utara Kabupaten Bintan.
Kesimpulan dari hasil penelitianan
ini bahwa penerapan penyelesaian konflik
pertanahan melalui Lembaga Mediasi, atas
kesepakatan bersama kedua belah pihak
yang menunjuk Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Bintan sebagai mediator dalam
pengelolaan penyelesaian konflik
persengketaan memberikan hasil yang
positif dan tidak ada merugikan kedua
belah pihak.
Kata Kunci: Kebijakan Publik,
Manajemen Konflik, Badan Pertanahan
Nasional
ABSTRACT
Conflict Handlers Land that
involves one individual with another
individual, as well as between one
community group and other community
groups, of course requires special handling,
as well as parties specifically appointed and
authorized to solve land conflicts, namely
the National Land Agency at the central
level as well as Which is located at the
Regency and Municipal level. The handling
of land issues through the National Land
Agency's mediation agency is usually based
on two main principles, namely: the formal
truth of the facts underlying the dispute
problem and the free will of the conflict
party. Therefore, the formulation of the
problem in this research is how the conflict
management conducted by the National
Land Agency of Bintan Regency with the
private sector of PT. Sunny Mas Prima
Agung with the local community (Toapaya
Utara) ?.
This study aims to identify, describe
and explain the settlement of land conflicts
conducted by the National Land Agency of
Bintan Regency between the PT. Sunny
Mas Prima Agung with the local
community (North Toapaya). In the
research that will be conducted is
descriptive with qualitative approach,
which try to interpret the situation or
phenomenon and explain the real picture, in
this case the object is the National Land
Agency Mediation Institution appointed as
a mediator in resolving land dispute
conflicts between the parties with the
parties Local community in North Toapaya
Bintan Regency.
The conclusion of this research is
that the implementation of land conflict
settlement through Mediation Institution,
on mutual agreement between the parties
appointing the National Land Agency of
Bintan Regency as mediator in the
management of conflict dispute resolution
give positive result and there is no harm to
both parties.
Keywords: Public policy, Conflicy
management, National Land Agency
BAB I PENDAHULUAN
Keterbukaan informasi terkait
dengan berbagai hal-hal yang
dibutuhkan diantaranya penyediaan
arsip serta melakukan upaya untuk
menghimpun data dan fakta-fakta yang
dilapangan. Upaya penyelesaian konflik
juga dilakukan dalam proses
penyebarluasan informasi sebagai
bentuk upaya persuasif guna
meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap tertib administrasi pertanahan,
hingga pada upaya penanganan sengketa
pertanahan. Dengan upaya ini,
diharapkan di masa mendatang
sengketa-sengketa pertanahan dapat
diminimalisir.
Penangan Konflik Pertanahan
yang melibatkan satu individu dengan
individu lain, maupun antara satu
kelompok masyarakat dengan kelompok
masyarakat lainnya, tentu saja
membutuhkan penanganan khusus, serta
pihak yang secara khusus ditunjuk dan
memiliki kewenangan dalam upaya
penyelesaian konflik pertanahan, yakni
Badan Pertanahan Nasional (BPN) di
tingkat pusat maupun yang
berkedudukan di tingkat Kabupaten dan
Kota. Hal ini tercantum didalam
Peratuan Presiden Nomor 10 tahun 2006
tentang Badan Pertanahan
Nasional.Seiring dengan permasalahan
masih banyaknya tanah yang belum
memiliki sertipikat.Badan Pertanahan
Nasional mengeluarkan kebijakan mulai
dari Prona hingga Larasita dengan
Konsep jemput bola.
Namun beberapa program yang
sudah berjalan tersebut belum dapat
menekan permasalahan sengketa di
Kabupaten Bintan.Permasalahan yang
terjadi adalah jumlah laporan kasus
sengketa lahan dari masyarakat Bintan
mencapai puluhan, tetapi sebagian besar
lemah dalam memberikan data kepada
penyidik. Sehingga laporan yang
disampaikan sulit untuk ditindak lanjuti
secara hukum (Sumber: Suhardi Heri
Heryanto: batamtoday.com di Mapolres
Bintan, Selasa (16/12/2014).
Melihat masih ada permasalahan
yang sering terjadi berkaitan dengan
sengketa tanah di Kabupaten Bintan
maka Kantor Pertanahan akan mengatasi
konflik PT. Sunnymas Prima Agung
dengan masyarakat. Permasalahan kerap
terjadi, salah satu permasalahan yang
terjadi adalah konflik antara Kantor
Pertanahan sendiri dengan pihak swasta
seperti adanya tumpang tindih
kepemilikan sertipikat tanah yang
disinyalir karena adanya kesalahan dari
pihak Kantor Pertanahan itu
sendiri.Salah satu permasalahan yang
saat ini terjadi adalah mengatasi konflik
antara Kantor Pertanahan dengan pihak
swasta yaitu PT. Sunnymas Prima
Agung. Konflik tersebut berhubungan
dengan Surat Ukur Nomor : 01 /
Tuapaya / 1991 tanggal 7 Februari 1991
merupakan perbuatan melanggar
hukum, karena dianggap tidak sesuai
dengan tata cara prosedur pembuatan
sertipikat tanda bukti hak atas tanah.
(Laporan: BPN Kabupaten Bintan,
2014).
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kebijakan Publik.
Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA), Hukum Tanah Nasional yang
akan dibangun didasarkan pada hukum
adat dalam pengertian hukum adat yang
telah di-"seneer", maka harus diartikan
bahwa norma- norma hukum adat yang
telah dibersihkan dari unsur-unsur
pengaruh asing dan norma hukum adat
itu dalam kenyataannya masih hidup dan
mengikat masyarakat. Selanjutnya
konsiderans tersebut menunjukkan,
bahwa hukum adat merupakan sumber
utama dalam pembangunan hukum
tanah nasional. Hal tersebut dapat dilihat
dari rumusan konsiderans undang-
undang :
“Komunalistik religius yang
memungkinkan penguasaan tanah
secara individual dengan hak-hak
atas tanah yang bersifat pribadi
sekaligus mengandung
kebersamaan.”
Sifat komunalistik religius yang
bersumber dari hukum adat sebagai
salah satu ciri yang tertuang dalam
konsepsi Hukum Tanah Nasional juga
ditunjukkan dalam Pasal 1 Ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang menyatakan bahwa :
“Seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa adalah bumi, air,
dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.”
Tanah ulayat sebagai salah satu
wujud hak yang bersumber dari hukum
adat merupakan tanah bersama para
warga masyarakat hukum adat yang
kemudian dalam konsepsi hukum tanah
nasional dikembangkan bahwa semua
tanah dalam wilayah negara menjadi
tanah bersama seluruh rakyat Indonesia
yang bersatu menjadi bangsa Indonesia
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1
Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA).
Sifat religius hukum tanah
nasional juga tampak dengan apa yang
tersurat dalam konsiderans dan rumusan
Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA), yang memuat kandungan suatu
pesan atau peringatan kepada pembuat
undang-undang agar dalam membangun
hukum tanah nasional tidak
mengabaikan, melainkan harus
mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
Konsepsi hukum tanah nasional
dengan mengacu untuk
mengembangkan pengertian yang
bersumber dari hak ulayat sebagaimana
dalam Pasal 1 Ayat (2), serta
memerhatikan rumusan Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria (UU
PA) mengakui dan menempatkan hak
bangsa sebagai hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi atas seluruh wilayah
Indonesia sebagai kesatuan tanah air
terhadap seluruh rakyat Indonesia yang
telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Hal ini berarti bahwa hak-hak
penguasaan atas tanah yang lain,
termasuk hak ulayat dan hak-hak
individual atas tanah sebagaimana
dimaksudkan oleh penjelasan um um
secara langsung atau pun tidak langsung
semuanya bersumber pada hak bangsa.
Pengertian hak bangsa tersebut,
meliputi semua tanah dalam rumusan
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), artinya dengan kata
"seluruh" berarti seluruh bumi, air, dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya di wilayah
Republik Indonesia menunjukkan
bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di
negara Republik Indonesia yang
merupakan tanah yang tidak bertuan (res
nullius).
Adapun hubungan antara bangsa
dan bumi, air, dan ruang angkasa
Indonesia adalah hubungan yang bersifat
abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia masih ada dan selama bumi,
air serta ruang angkasa Indonesia masih
ada pula dalam keadaan bagaimanapun
tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut. Hak bangsa yang meliputi
semua tanah dalam wilayah negara
Republik
Indonesia, di samping
mengandung unsur hukum publik juga
mengandung unsur privat. Dalam
pengertian unsur hukum publik bahwa
sumber-sumber alam yang merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai
salah satu unsur pendukung utama bagi
kelangsungan hidup dan peningkatan
kemakmuran bangsa sepanjang masa
dan potensi sumber-sumber alam
tersebut dianggap sebagai modal dasar
pembangunan nasional.
Pemberian karunia Tuhan Yang
Maha Esa harus diartikan pula
mengandung "amanat" berupa beban
tugas untuk mengelolanya dengan baik,
bukan saja untuk generasi sekarang,
melainkan juga untuk generasi-generasi
yang akan datang. Tugas mengelola
berupa mengatur dan, memimpin
penguasaan dan penggunaan tanah
bersama tersebut menurut sifatnya
termasuk bidang hukum publik.
Tugas kewajiban pengelolaan
tanah dalam bidang hukum publik tidak
mungkin dilaksanakan sendiri oleh
seluruh bangsa Indonesia, maka
penyelenggaraannya oleh bangsa
Indonesia sebagai pemegang hak dan
pengemban amanat tersebut pada
tingkatan yang tertinggi dikuasakan
kepada Negara Republik Indonesia
sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat (Pasal 2 Ayat (1) UUPA).
Pemberian kuasa tersebut dituangkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 oleh
wakil-wakil bangsa Indonesia pada
waktu dibentuknya Negara Republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945
dengan kata-kata: "Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat".
Hubungan hukum yang
menyangkut pertanahan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dirumuskan dengan
istilah "dikuasai" dapat dinyatakan
secara normarif sebagai hubungan
bersifat hukum publik. Sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) memuat rincian kewenangan
hak menguasai negara, berupa kegiatan:
1. Mengatur dan
menyelenggarakan,
peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air, dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan;
bumi, air, dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum
antara orangorang dan
perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
Dalam lingkup hak bangsa juga
dimungkinkan para warga negara
Indonesia sebagai pihak yang
mempunyai hak bersama atas tanah
bersama tersebut, masing-masing
menguasai dan menggunakan sebagian
dari tanah bersama itu secara individual
dengan hak-hak yang bersifat pribadi.
Menguasai dan menggunakan tanah
secara individual berarti bahwa tanah
yang bersangkutan boleh dikuasai secara
perorangan, dan tidak ada keharusan
untuk menguasainya bersamasama
orang lain secara kolektif, namun dibalik
ketentuan/peraturan menguasai dan
menggunakan tanah secara kolektif
bersama terbuka kemungkinan untuk
diperbolehkan. Hal ini diatur dalam
Pasa1 4 Ayat (1) yang menyatakan bahw
a:
"Atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut
tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-
orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum".
Dalam konsepsi hukum tanah
nasional, di samping diakui hak
perorangan atas tanah bersifat pribadi
hak-hak individual juga diakui unsur
kebersamaan atas hak-hak atas tanah.
Sifat pribadi hak-hak individual
dimaksudkan menunjuk kepada
kewenangan pemegang hak untuk
menggunakan tanah yang bersangkutan
bagi kepentingan dan dalam memenuhi
kebutuhan pribadi dan keluarganya,
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9
Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) menyatakan bahwa :
“Tiap-tiap warga negara Indonesia
baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya
baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya.”
Rumusan kata untuk mendapat
manfaat dan hasilnya baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya
menunjukkan sifat pribadi hak-hak atas
tanah dalam konsepsi Hukum Tanah
Nasional. Oleh karena itu, konsepsi
Hukum Tanah Nasional, hak-hak atas
tanah yang individual berunsur pribadi
juga mengandung norma unsur
kebersamaan. Unsur kebersamaan yang
bersifat kemasyarakatan tersebut ada
pada tiap hak atas tanah, karena semua
hak atas tanah secara langsung ataupun
tidak langsung bersumber pada hak
bangsa yang merupakan hak bersama.
1. Pengertian Konflik Pertanahan.
Konflik menurut pengertian
hukum adalah perbedaan pendapat,
perselisihan paham, sengketa antara
dua pihak tentang hak dan kewajiban
pada saat dan keadaaan yang sama.
Secara umum konflik atau
perselisihan paham, sengketa,
diartikan dengan pendapat yang
berlainan antara dua pihak mengenai
masalah tertentu pada saat dan
keadaan yang sama.
Selanjutnya, kata "konflik"
menurut Kamus Ilmiah Populer
adalah pertentangan, pertikaian,
persengketaan, dan perselisihan.
Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia diartikan dengan
pertentangan, percekcokan Merujuk
pada pengertian tersebut, dapat
dipahami bahwa kata "'konflik"
mempunyai pengertian yang lebih
luas, oleh karena istilah konflik tidak
hanya digunakan dalam kasus
pertanahan yang terkait dengan
proses perkara pidana, juga terkait
dalam proses perkara perdata dan
proses perkara tata usaha negara.
Dalam penelitian ini konflik yang
dimaksudkan adalah konflik
pertanahan yang terkait proses
perkara pidana, khususnya ketentuan
perundang-undangan di luar
kodifikasi hukum pidana.
Sebutan "tanah" dalam bahasan
ini dapat dipahami dengan berbagai
arti, maka penggunaannya perlu
diberi batasan agar diketahui dalam
arti apa istilah tersebut digunakan.
Dalam hukum tanah sebutan istilah
"tanah" dipakai dalam arti yuridis,
sebagai suatu pengertian yang telah
diberi batasan resmi oleh Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA)
dinyatakan bahwa; "Atas dasar hak
menguasai dari Negara ...,
ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah yang dapat diberikan
dan dipunyai oleh orang-orang.".
Tanah dalam pengertian yuridis
mencakup permukaan bumi
sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Hak tanah
mencakup hak atas sebagian tertentu
yang berbatas di permukaan bumi.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang dengan hak-hak yang
disediakan oleh Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) untuk
digunakan atau dimanfaatkan.
Diberikannya dan dipunyai tanah
dengan hak-hak tersebut tidak akan
bermakna jika penggunaannya
terbatas hanya pada tanah sebagai
permukaan bumi saja.
Untuk keperluan apa pun tidak
bisa tidak, pasti diperlukan juga
penggunaan sebagai tubuh bumi yang
ada di bawahnya dan air serta ruang
angkasa yang di permukaan bumi.
Oleh karena itu, dalam Pasal 4 Ayat
(2) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dinyatakan bahwa hak-hak
atas tanah bukan hanya memberikan
wewenang untuk menggunakan
sebagian tertentu permukaan bumi
yang bersangkutan yang disebut
"tanah", tetapi juga tubuh bumi yang
ada di bawahnya dan air serta ruang
angkasa yang ada di atasnya, dengan
demikian yang dipunyai dengan hak
atas tanah adalah tanahnya, dalam arti
sebagian tertentu dari permukaan
bumi, tetapi wewenang
menggunakan yang bersumber
dengan hak tersebut diperluas hingga
meliputi juga penggunaan sebagian
tubuh bumi yang ada di bawah tanah,
air serta ruang yang ada di atasnya.
Menurut Parlindungan tanah
hanya merupakan salah satu bagian
dari bumi. Pembatasan pengertian
tanah dengan permukaan bumi
seperti itu juga diatur dalam
penjelasan Pasal Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 bagian II
angka I bahwa dimaksud dengan
tanah ialah permukaan bumi.
Pengertian tanah dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 51
PRPTahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang
Berhak atas Kuasanya, dirumuskan:
1) Tanah yang langsung
dikuasai oleh negara;
2) Tanah yang tidak dikuasai
oleh negara yang dipunyai
dengan sesuatu hak oleh
perorangan atau badan
hukum.
Tanah dalam pengertian
geologis agronomis, diartikan lapisan
permukaan bumi yang paling atas
yang dimanfaatkan untuk menanam
tumbuh-tumbuhan yang disebut tanah
garapan, tanah pekarangan, tanah
pertanian, tanah perkebunan, dan
tanah bangunan yang digunakan
untuk mendirikan bangunan.
Beberapa pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa yang dimaksud
dengan pengertiam tanah ialah bagian
permukaan bumi termasuk tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada
di bawah air yang langsung dikuasai
oleh negara atau dipunyai dengan
sesuatu hak oleh perorangan atau
badan hukum.
Fokus kajian dalam tesis ini
dibatasi pada konflik pertanahan di
permukaan bumi sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 4 Ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), khususnya yang
terkait dengan hak milik atas tanah.
Konflik pertanahan menurut A.
Hamzah diistilahkan dengan delik di
bidang pertanahan, yang pada garis
besarnya dapat dibagi atas dua
bagian, yang meliputi:
1) Konflik pertanahan yang
diatur dalam kodifikasi
hukum pidana, yakni konflik
(delik) pertanahan yang
diatur dalam beberapa Pasal
yang tersebar dalam
kodifikasi hukum pidana
(KUHP);
2) Konflik pertanahan yang
diatur di luar kodifikasi
hukum pidana, yakni konflik
(delik) pertanahan yang
khusus terkait dengan
peraturan perundang-
undangan pertanahan di luar
kodifikasi hukum pidana.
2. Teori-teori Gaya Manajemen
Konflik.
Teori Frid.
Para pakar telah
mengembangkan berbagai teori
mengenai gaya manajemen konflik
R.R Blake dan J. Mounton (1994)
merupakan pendahulu yang
menggunakan istilah gaya
manajemen konflik. Teorinya
mengenai gaya manajemen konflik
merupakan bagian dari teorinya
mengenai gaya kepemimpinan
mereka. Kerangka teori gaya
manajemen konflik itu disusun
berdasarkan dua dimensi: (1)
perhatian manajer terhadap orang/
bawahan (concern for people) pada
sumbu horizontal dan (2) perhatian
manajer terhadap produksi (concerm
for production) pada sumbu vertikal.
Berikut adalah kelima jenis gaya
manajemen konflik tersebut.
(1) Memaksa (forcing) ;
(2) Konfrontasi (condrontation)
;
(3) Komromi (compromising) ;
(4) Menarik diri (withdrawal) ;
(5) Mengakomodasi
(smoothing).
Teori Thomas dan Kilmann
Kenneth W. Thomas dan Ralp
H. Kilmann (1974) mengembangkan
taksonomi gaya manajemen konflik
berdasarkan dua dimensi : (1) kerja
sama (cooperativeness), (2)
keasertifan (assertiveness),
berdaasarkan kedua dimensi ini,
thomas dan kilmann mengemukakan
lima jenis gaya manajemen konflik.
a. Kompetisi (competing) gaya
manajemen dengan tingat
keaserifan tinggi dan tingkat
kerja sama rendah.Berikut
adalah alasan pihak yang
terlibat konflik
menggunkana gaya
manajemen konflik
kompetisi.
- Merasa mempunyai
kekuasaan dan sumber-
sumber lainnya untuk
memaksakan sesuatu
kepada lawan konfliknya;
- Tindakan dan keputusan
perlu diambil dengan
cepat diambil dengan
cepat, misalnya dalam
keadaan darurat.
- Dalam tindakan yang
tidak populer, terdapat
hal yang harus dilakukan,
seperti mengurangi biaya,
peraturan baru dan
pendisiplinan pegawai.
- Melindungi perusahaan
dari kebangkrutan dan
keadaan yang dapat
merusak citra
perusahaan.
b. Kolaborasi (collaborating)
gaya manajemen konflik
denagn tingkat keasertifan
dan kerja sama yang tinggi.
Menurut Derr (1975)
kolaborasi merupakan gaya
manajemen konflik yang
paling penting disukai
sebab; a. Mendorong
hubungan interpersonal; b.
Kekuatan kreatif untuk
inovatif dan perbaikan; c.
Meningkatkan balikan dan
lairan informasi, serta ; d.
Mengembangkan iklim
organisasi yang lebih
terbuka, percaya,
pengambilan risiko dan
perasaan baik terhadap
integritas.
c. Kompromi (compromising)
gaya manajemen konflik
tengah atau menengah.
d. Mnghindar (avoiding). Gaya
manajemen konflik dengan
tingkat keasertifan dan kerja
sama yang rendah.
e. Mengakomodasi
(accomodating) gaya
manajemen dengan tingkat
keasertifan rendah dan
tingkat kerja sama tinggi.
3. Mengatasi Konflik.
Istilah konflik menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti percekcokan, perselisihan,
pertentangan. Menurut asal katanya,
istilah ‘konflik’ berasal dari bahasa
Latin ‘confligo’, yang berarti
bertabrakan, bertubrukan, terbentur,
bentrokan, bertanding, berjuang,
berselisih, atau berperang. Dalam
pustaka Sosiologi, ada banyak
definisi mengenai konflik sosial.
Ada banyak definisi mengenai
konflik sosial. Berikut adalah
beberapa di antaranya:
a. Konflik social adalah
perselisihan mengenai nilai-
nilai atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status,
kuasa, dan sumber-sumber
kekayaan yang
persediaannya terbatas.
Pihak-pihak yang sedang
berselisih tidak hanya
bermaksud untuk
memperoleh sumber-sumber
yang diinginkan, tetapi juga
memojokkan, merugikan
atau menghancurkan lawan
mereka. (Lewis A. Coser).
b. Konflik social adalah suatu
proses social dimana orang
perorangan atau kelompok
manusia berusaha untuk
memenuhi apa yang menjadi
tujuannya dengan jalan
menentang pihak lain
disertai dengan ancaman
dan/atau kekerasan.
(Leopold von Wiese);
c. Konflik social adalah
konfrontasi kekuasaan /
kekuatansosial. (R.J.
Rummel);
d. Konflik social adalah
kondisi yang terjadi ketika
dua pihak atau lebih
mengangga pada perbedaan
‘posisi’ yang tidak selaras,
tidak cukup sumber, dan /
atau tindakan salah satu
pihak menghalangi,
mencampuri atau dalam
beberapa hal membuat
tujuan pihak lain kurang
berhasil. (Duane Ruth-
Heffelbower).
Pemahaman Teoretik
Mengenai Konflik Sosial Ada dua
sudut pandang yang umumnya
digunakan untuk memahami
kenyataan konflik dalam masyarakat,
yaitu pendekatan konsensus
(teorifungsional-struktural) dan
pendekatan konflik (teorikonflik).
Secara ringkas, perbandingan antara
pendekatan consensus dan
pendekatan konflik.
Konflik berasal dari kata
kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses
social antara dua orang atau lebih
(bias juga kelompok) di mana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan
menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Tidak
satu masyarakat pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilator belakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi.
Perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut cirri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawa sertanya
ciri-ciri individual dalam interak
sisosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri. Konflik
bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat.
Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
Robbin (1996: 431)
mengatakan konflik dalam organisasi
disebut sebagai The Conflict
Paradoks, yaitu pandangan bahwa di
sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok,
tetapi di sisi lain kebanyakan
kelompok dan organisasi berusaha
untuk meminimalisasikan konflik.
Pandangan ini dibagi menjadi tiga
bagian, antara lain:
1) Pandangan Tradisional (The
Traditional View).
Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik itu hal yang
buruk, sesuatu yang negatif,
merugikan, dan harus
dihindari. Konflik
disinonimkan dengan istilah
violence, destruction, dan
irrationality. Konflik ini
merupakan suatu hasil
disfungsional akibat
komunikasi yang buruk,
kurang kepercayaan,
keterbukaan di antara orang
– orang, dan kegagalaan
manajer untuk tanggap
terhadap kebutuhan dan
aspirasi karyawan.
2) Pandangan hubungan
manusia (The Human
Relation View. Pandangan
ini menyatakan bahwa
konflik dianggap sebagai
suatu peristiwa yang wajar
terjadi di dalam kelompok
atau organisasi. Konflik
dianggap sebagai sesuatu
yang tidak dapat dihindari
karena di dalam kelompok
atau organisasi pasti terjadi
perbedaan pandangan atau
pendapat antar anggota.
Oleh karena itu, konflik
harus dijadikan sebagai
suatu hal yang bermanfaat
guna mendorong
peningkatan kinerja
organisasi. Dengan kata lain,
konflik harus dijadikan
sebagai motivasi untuk
melakukan inovasi atau
perubahan di dalam tubuh
kelompok atau organisasi.
3) Pandangan Interaksionis
(The Interactionist View).
Pandangan ini cenderung
mendorong suatu kelompok
atau organisasi terjadinya
konflik. Hal ini disebabkan
suatu organisasi yang
kooperatif, tenang, damai,
dan serasi cenderung
menjadi statis, apatis, tidak
aspiratif, dan tidak inovatif.
Oleh karena itu, menurut
pandangan ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat
minimum secara
berkelanjutan sehingga tiap
anggota di dalam kelompok
tersebut tetap semangat,
kritis – diri, dan kreatif.
Sedangkan menurut Scannell
(2010: 2) konflik adalah suatu hal
alami dan normal yang timbul
karena perbedaan persepsi, tujuan
atau nilai dalam sekelompok
individu. Hunt and Metcalf (1996:
97) membagi konflik menjadi dua
jenis, yaitu intrapersonal conflict
(Konflik Intrapersonal) dan
interpersonalconflict (Konflik
Interpersonal).
1) Konflik intrapersonal adalah
konflik yang terjadi dalam
diri individu sendiri,
misalnya ketika keyakinan
yang dipegang individu
bertentangan dengan nilai
budaya masyarakat, atau
keinginannya tidak sesuai
dengan kemampuannya.
Konflik intrapersonal ini
bersifat psikologis, yang jika
tidak mampu diatasi dengan
baik dapat menggangu bagi
kesehatan psikologis atau
kesehatan mental
(mentalhygiene) individu
yang bersangkutan.
2) Konflik Interpersonal ialah
konflik yang terjadi antar
individu. Konflik ini terjadi
dalam setiap lingkungan
sosial, seperti dalam
keluarga, kelompok teman
sebaya, sekolah, masyarakat
dan negara. Konflik ini
dapat berupa konflik antar
individu dan kelompok, baik
di dalam sebuah kelompok
(intragroupconflict) maupun
antar kelompok (intergroup
conflict). Dalam penelitian
ini titik fokusnya adalah
pada konflik social remaja,
dan bukan konflik dalam diri
individu (intrapersonal
conflict).
4. Fungsi dan Akibat Konflik.
George Simmel menyatakan
bahwa masyarakat yang sehat tidak
hanya membuthkan hubungan sosial
yang sifatnya integrative dan
harmonis, tetapi juga membutuhkan
adanya konflik (Veeger, 1990).
Berdasarkan pandangan Simmel
tersebut, Lewis Coserdan Joseph
Himes melakukan studi lebih lanjut
mengenai fungsi positif konflik bagi
kelangsungan masyarakat.
Menurut Coser (1956), konflik
memiliki fungsi positif, yaitu:
a. Konflik akan meningkatkan
solidaritas sebuah kelompok
yang kurang kompak.
b. Konflik dengan kelompok
tertentu akan melahirkan
kohesi dengan kelompok
lainnya dalam bentuk
aliansi. Misalnya, konflik
antara Perancis dengan
Amerika Serikat tentang
serangan ke Irak
memunculkan kohesi yang
lebih solid antara Perancis
dan Jerman.
c. Konflik di dalam
masyarakat biasanya akan
menggugah warga yang
semula pasif untuk
kemudian memainkan peran
tertentu secara lebih aktif.
d. Konflik juga memiliki
fungsi komunikasi.
BAB III GAMBARAN UMUM
LOKASI PENELITIAN
3.1.1. Kabupaten Bintan. Kabupaten Bintan sebelumnya
bernama Kabupaten Kepulauan Riau.
Perubahan nama ini dimaksudkan
agar tidak timbul kerancuan antara
Provinsi Kepulauan Riau dan
Kabupaten Kepulauan Riau dalam
hal administrasi dan korespondensi
sehingga nama Kabupaten Kepulauan
Riau (Kepri) diganti menjadi
Kabupaten Bintan. Perubahan nama
Kabupaten Kepulauan Riau menjadi
Kabupaten Bintan sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor
5 Tahun 2006, tertanggal 23
Februari 2006.
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006
tertanggal 23 Februari 2006 tentang
Perubahan Nama Kabupaten
Kepulauan Riau Menjadi Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau :
a. bahwa untuk membedakan
penyebutan nama
Kabupaten Kepulauan Riau
yang dibentuk dengan
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah
Otonom Kabupaten
Kepulauan Riau dalam
Lingkungan Daerah
Propinsi Sumatera Tengah
dengan nama Provinsi
Kepulauan Riau yang
dibentuk dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun
2002 tentang Pembentukan
Provinsi Kepulauan Riau,
perlu diadakan perubahan
nama Kabupaten
Kepulauan Riau menjadi
Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau;
b. bahwa perubahan nama
tersebut diusulkan oleh
Pemerintah Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau
setelah memperoleh
persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau
sebagaimana tertuang
dalam Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau
Nomor
33/KPTS/DPRDKEPRI/20
05 tanggal 3 Desember
2005 tentang Perubahan
Nama Kabupaten
Kepulauan Riau menjadi
Kabupaten Bintan;
c. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan
huruf b serta sesuai dengan
ketentuan Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
mengenai perubahan nama
Daerah, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah
tentang Perubahan Nama
Kabupaten Kepulauan Riau
menjadi Kabupaten Bintan
Provinsi Kepulauan Riau;
- Jarak Antara Kota Bandar Seri Bentan
merupakan ibu kota Kabupaten
Bintan yang terletak di Kecamatan
Teluk Bintan, saat ini Kabupaten
Bintan terdiri dari 10 kecamatan.
Tambelan merupakan Ibu Kota
kecamatan. Tambelan yang
memiliki jarak terjauh dengan Ibu
Kota Kabupaten Bintan yaitu 360
Km. sedangkan Bandar Seri
Bentanyang terletak di satu
kecamatan dengan Ibu Kota
Kabupaten Bintan yaitu di
kecamatan Teluk Bintan memiliki
Jarak yang paling dekat yaitu 1 Km.
Kabupaten Bintan memiliki
240 buah pulau besar dan kecil. Dari
jumlah tersebut hanya 49 buah
diantaranya yang berpenghuni,
sedangkan sisanya walau pun belum
berpenghuni namun sudah
dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian, khususnya usaha
perkebunan. Secara administrasi,
Kabupaten Bintan terdiri dari 10
kecamatan, 36 desa, dan 15
kelurahan. 3 kecamatan terletak di
luar Pulau Bintan yaitu Kecamatan
Bintan Pesisir, Kecamatan Mantang
dan Kecamatan Tambelan sedangkan
sisanya terletak di Pulau Bintan.
Pada tahun 2007, Pemerintah
Kabupaten Bintan melakukan
pemekaran wilayahnya melalui
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun
2007 tentang Pembentukan
Kelurahan Toapaya Asri di
Kecamatan Gunung Kijang, Desa
Dendun, Desa Air Glubi di
Kecamatan BintanTimur, Kelurahan
Tanjung Permai, Kelurahan Tanjung
Uban Timur di Kecamatan Bintan
Utara, Kelurahan Tembeling Tanjung
di Kecamatan Bintan Teluk Bintan,
Desa Kukup dan Desa Pengikik di
Kecamatan Tambelan dan Kelurahan
Kota Baru di Kecamatan Teluk
Sebong.
Selain itu juga dilakukan
Pemekaran Kecamatan melalui
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2007 tentang Pembentukan
Kecamatan Toapaya, Kecamatan
Mantang, Kecamatan Bintan Pesisir
dan Kecamatan Seri Kuala Lobam.
Dengan terjadinya pemekaran
wilayah maka jumlah Kecamatan
yang terdapat di wilayah Kabupaten
Bintan bertambah dari 6 (enam)
Kecamatan menjadi 10 (sepuluh)
kecamatan, yaitu Kecamatan Teluk
Bintan, Sri Kuala Lobam, Bintan
Utara, Teluk Sebong, Bintan Timur,
Bintan Pesisir, Mantang, Gunung
Kijang, Toapaya, dan Tambelan.
3.1.2. PT. Sunnymas Prima Agung.
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT), modal
dasar PT adalah sebesar Rp 50
jutadengan minimal 25% nya
disetorkan sebagai modal disetor PT.
Persyaratan ini kerap menjadi
kendala bagi mereka yang ingin
mendirikan PT tapi modalnya pas-
pasan. Padahal mereka paham bahwa
mendirikan PT yang memiliki badan
hokum dapat mengurangi risiko
berbisnis di kemudian hari.
Pemerintah kemudian
mengeluarkan aturan baru dimana
besaran modal dasar untuk pendirian
PT tergantung pada kesepakatan para
pendirinya. Hal ini disebutkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 2016 tentang Perubahan
Modal Dasar Perseroan
Terbatas (“PP 29/2016”). Meski
demikian, persyaratan modal ini
hanya berlaku bagi UMKM (Usaha
Mikro, Kecil, danMenengah).
PT Sunnymas Prima Agung,
Terletak Di Desa Toapaya Utara,
Toapaya, Teluk Bakau, Dan
Kelurahan Toapaya Asri (Dahulu
Desa Toapaya, dalam Sertipikat
Tertulis Desa Tua Paya), Kecamatan
Gunung Kijang dan Toapaya (Dahulu
Kecamatan Bintan Timur),
Kabupaten Bintan (Dahulu
Kabupaten Kepulauan Riau),
Provinsi Kepulauan Riau (Dahulu
Propinsi Riau), memiliki HakGuna
Usaha Nomor 00001 seluas
2.787,151 Ha, terletak di Desa
Toapaya Utara, Toapaya, Teluk
Bakau, dan Kelurahan Toapaya Asri,
Kecamatan Gunung Kijang dan
Toapaya, Kabupaten Bintan, Provinsi
Kepulauan Riau.
PT. Sunnymas Prima Agung,
suatu Perseroan Terbatas, yang
didirikan berdasarkan hukum Negara
Republik Indonesia, berkedudukan di
Jakarta, yang dalam hal ini diwakili
oleh Gatot Sugiarto dalam
kedudukannya selaku Direktur
Utama, dan berkantor pusat di
Gedung Rabana, 4th floor, Jalan
Tomang Raya Nomor 48 A, Jakarta
11430, didirikan berdasarkan Akta
Pendirian Perseroan Terbatas Nomor
27 tanggal 8 Agustus 1986 dan Akta
Nomor 3 tanggal 3 Maret 1987,
keduanya dibuat dihadapan
JACINTA SUSANTI, S.H., Notaris
di Jakarta, dan telah memperoleh
pengesahan dari Menteri Kehakiman
Republik Indonesia dengan Surat
Keputusannya Nomor : C2-
4709.HT.01.01.Th.87 tanggal 6 Juli
1987; yang telah beberapa kali
dilakukan perubahan dan terakhir
diubah dengan Akta tertanggal 5
Februari 2010 Nomor 34.
3.1.3. Kantor Pertanahan Provinsi
Kepulauan Riau.
Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 14
Tahun 2006 Tentang Pembentukan
Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Kepulauan Riau.
Bahwa berdasarkan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2002
tentang Pembentukan Provinsi
Kepulauan Riau yang merupakan
pemekaran wilayah Provinsi Riau,
maka dalam rangkapeningkatan
pelayanan kepada masyarakat di
bidang pertanahan pada Provinsi
Kepulauan Riau, perlu dibentuk
Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional, bahwa untuk membentuk
Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional di Provinsi tersebut, perlu
ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
Persetujuan tertulis Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara dalam Surat Nomor
B/505/M.PAN/2/2006 tanggal 22
Pebruari 2006 perihal Usul
Pembentukan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasionaldan Kantor
Pertanahan. Menetapkan
Pembentukan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi
Kepulauan Riau. Berdasarkan Pasal 1
Membentuk Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi
Kepulauan Riau yang berkedudukan
di Tanjung Pinang.
Berdasarkan Undang-
UndangNomor 25 Tahun 2002 Pasal
2 ayat (1) Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi
Kepulauan Riau membawahi Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota yang
semula dibawah Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Riau, yang terdiriatas :
1. Kantor Pertanahan
Kabupaten Bintan;
2. Kantor Pertanahan
Kabupaten Karimun;
3. Kantor Pertanahan
Kabupaten Natuna;
4. Kantor Pertanahan Kota
Batam; dan
5. Kantor Pertanahan Kota
Tanjung Pinang.
Berdasarakan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2002 ayat
(2) Dengan dibentuknya Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Kepulauan Riau, maka
Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
yang berada dibawah Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Riau dikurangi dengan Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota
sebagaimana tersebut dalam ayat (1).
Pasal 3 Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 adalah berdasarkan
ketentuan Pasal 1 sampai dengan
Pasal 28 dan Pasal 57 sampai dengan
Pasal 61 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2006
tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan Kantor Pertanahan.
3.1.4. Kantor Pertanahan Kabupaten
Bintan.
Bahwa untuk melaksanakan
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 105
ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional tentang Penetapan Hasil
Pemetaan dan Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah Bidang
Pertanahan.
Badan Pertanahan Nasional
(disingkat BPN) dahulu bernama
Kantor Agraria merupakan lembaga
yang dimiliki pemerintah yang
bertugas melaksanakan tugas
pemerintah di bidang Pertanahan
yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan tugas pokok
dan funsi diatur dalam peraturan
Presiden (PREPES) Nomor 20 tahun
2015. BPN dahulu dipimpin oleh
seorang kepala, namun sejak berganti
pemerintah pada masa Pemerintah
Presiden Jokowi, tugas dari BPN dan
Direktorat Jenderal Tata Ruang
Kemeneterian Pekerjaan Umum
digabung dalam satu lembaga
Kementerian Agraria dan Tata
Ruang, adanya perubahan tersebut,
sejak tanggal 27 Juli 2016 Jabatan
Kepala BPN dijabat oleh seorang
Menteri, yaitu Menteri Agraria dan
Tata Ruang.
BPN memiliki Visi “ Menjadi
lembaga yang mampu mewujudkan
tanah dan Pertanahan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, serta
keadilan dan keberlanjutan sitem
kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Republik Indonesia”.
Makauntuk mencapai visi tersebut
BPN memiliki Misi mengembangkan
dan menyelengarakan politik dan
kebijakan pertanahan untuk :
a. Peningkatan kesejahteraan rakyat,
pencitraan sumber-sumber baru
kemakmuran rakyat, pengurangan
kemiskinan dan kesenjangan
pendapatan, serta pemantapan
ketahanan pangan.
b. Pengingkatan tatanan kehidupan
berseama yang lebih berkeadilan
dan bermartabat dalam kaitannya
dengan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan
tanah (P4T).
c. Perwujudan tatanan kehidupan
bersama yang harmonis dengan
mengatasi berbagai sengketa,
Konflik dan perkara pertanahan
diseluruh tanah air dan penataan
perangkat hukum dan sistem
pengolahan pertanahan sehingga
tidak melahirkan sengketa, konflik
dan perkara di kemudian hari.
d. Keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, kebanggan dan
kenegaraan Indonesia dengan
memberikan akses seluas-luasnya
pada generasi yang akan datang
terhadap tanah sebagai sumber
kesejahteraan masyarakat.
Menguatkan lembaga pertanahan
sesuai dengan jiwa, semangat,
prinsip dan aturan yang tertuang
dalam UUPA dan aspirasi rakyat
secara luas.
Fungsi
Fugsi Badan Pertanahan
Nasional sebagaimana yang
tercantum dalam Peraturan Presiden
Nomor 20 Tahun 2015, diantaranya
yaitu, penyusunan dan penetapan
kebijakan dibidang pertanahan
perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang Survei,
Pengukuran dan pemetaan, penetapan
hak tanah, pendaftaran tanah
pemberdayaan masyarakat,
pengaturan penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan,
pengadaan, tanah, penangaan
sengketa pertanahan serta
melaksanakan tugas dibidang
pertanahan meliputi pengembangan
SDM pada bidang pertanahan, selain
itu memiliki fungsi mengelola data
informasi lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan informasi tentang
pertanahan.
BAB IV ANALISIS DATA Penyelesaian persengketaan
pertanahan melalui lembaga mediasi BPN,
merupakan penyelesaian persengketaan di
luar pengadilan (non-letigasi), sebagaimana
diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Arternatif
Penyelesaian Sengketa. Dalam hal ini dapat
dilakukan dengan salah satu cara melalui
Mediasi. Mediasi merupakan
pengendalian konflik (pertanahan) yang
dilakukan dengan cara membuat
consensus diantara dua pihak yang
berkonflik untuk mencari pihak ketiga
yang berkedudukan netral sebagai
mediator dalam penyelesaian konflik.
Dalam penyelesaian konflik
melalui cara mediasi, kedua belah pihak
sepakat mencari nasehat dari pihak
ketiga. Penyelesaian konflik melalui
bentuk ini dilakukan atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak yang
berkonflik bahwa masalah mereka akan
diselesaikan melalui bantuan seorang
atau beberapa penasehat ahli maupun
melalui mediator. Pihak ketiga yang
bersifat netral serta independen dalam
artian ini tidak dapat diintervensi oleh
pihak lainnya. Oleh karena itu, kedua
belah pihak yang berkonflik yaitu PT
Sunnymas Prima Agung dengan
masyarakat setempat Desa Toapaya
Utara atas dasar kesepakatan kedua
belah pihak yang berkonflik menunjuk
BPN Kabupaten Bintan sebagai
mediator dalam penyelesaian konflik,
serta disaksikan oleh saksi-saksi.
Penanganan masalah pertanahan melalui
lembaga mediasi oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) biasanya didasarkan
dua prinsip utama, yaitu:
1. Kebenaran Secara Formal Dari
Fakta-Fakta Yang Mendasari
Permasalahan Persengketaan.
Kebenaran secara formal
merupakan langkah pertama yang
harus diperhatikan dalam prosedur
mediasi, sebagaimana BPN
Kabupaten Bintan ditunjuk sebagai
mediator terlebih dahulu menerima
pengaduan dari salah satu pihak yang
berkonflik. Pengaduan yang disertai
bukti secara formal (dokumen) inilah
kemudian akan diproses hingga
ditemukan adanya penyelesaian atas
konflik tersebut.
Berdasarkan surat-surat tanah
yang dimiliki oleh pihak masyarakat
setempat dan sertifikat yang dimiliki
oleh PT. Sunnymas Prima Agung
bahwa benar PT. Sunnymas Prima
Agung memiliki sertifikat Hak Guna
Usaha Nomor : 00001 / Tuapaya dan
Surat Ukur Nomor : 01 / Tuapaya /
1991 tanggal 7 Februari 1991 seluas
2.787, 151 m2 (Dua ribu tujuh ratus
delapan puluh tujuh koma seratus
lima puluh satu hektar) yang
ditunjukan lokasi oleh Sdr.
DALIMIN dan tanda batas-batas
terdiri dari batu 1 s/d 68 yang telah
memenuhi ketentuan OLA No. 8 /
1961 pasal 2 ayat b.
2. Keinginan Yang Bebas Dari Pihak
Yang Berkonflik.
Konflik yang merupakan suatu
proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana
konflik yang terjadi berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Pengelolaan konflik persengketaan
melalui lembaga mediasi, dimana
BPN Kabupaten Bintan yang
ditunjuk sebagai mediator oleh kedua
belah pihak yang berkonflik dalam
penyelesaiannya, dapat
meningkatkan suatu kinerja dalam
kelompok organisasi, yang berusaha
untuk meminimalisasikan konflik
yang terjadi antara pihak Perusahaaan
dengan masyarakat setempat.
Adapun penyelesaian konflik
sengketa dengan jalan mediasi yang
menjadikan pihak BPN Kabupaten
Bintan sebagai mediator dalam
penyelesaiannya, merupakan jalan
untuk mengetahui keinginan yang
bebas bagi kedua belah pihak yang
berkonflik.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan berdasarkan masalah
penelitian cara pengelolaan konflik yang
dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Kabupaten Bintan
dengan pihak swasta PT. Sunny Mas
Prima Agung dengan masyarakat
setempat (Toapaya Utara) melalui
Lembaga mediasi,maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Menurut pasal 1 ayat (7) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008, mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator.
2. Mediasi adalah satu diantara sekian
banyak Alternatif Penyelesaian
Sengketa atau biasa dikenal dengan
istilah Alternative Dispute
Resolution (ADR). Mediasi
merupakan salah satu bentuk
penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (non–litigasi) yang
merupakan salah satu bentuk dari
Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) atau Alternative Dispute
Resolutions (ADR) akan tetapi dapat
juga berwujud mediasi peradilan
sebagaimana amanat Pasal 130 HIR
atau Pasal 154 Rbg.
3. Penerapan alternatif penyelesaian
konflik pertanahan melalui Mediasi
untuk mewujudkan kepastian hukum
di Badan Pertanahan Nasional RI
dilaksanakan oleh Seksi Sengketa,
Konflik dan Perkara di tingkat Kantor
Pertanahan, Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan di tingkat Kantor Wilayah
Provinsi, dan Deputi Bidang
Pengkajian dan Penanganan Sengketa
dan Konflik Pertanahan di tingkat
pusat karena Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia
merupakan lembaga yang
mempunyai fungsi pelaksanaan
mediasi berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2006.
4. Peraturan yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan mediasi
di bidang pertanahan adalah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan
No. 3 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Pengkajian Dan
Penanganan Kasus Pertanahan
sebagai penjabaran Pasal 23
Peraturan Presiden No. 10 Tahun
2006 jo. Pasal 345 Peraturan
KepalaBadan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006. Dari data yang didapat, di
Indonesia sejumlah sengketa dan
konflik pertanahan bisa diselesaikan
melalui mediasi dan mediasi bisa
diterapkan di hampir seluruh wilayah
Kabupaten Bintan.
5. Hasil penyelesaian konflik
persengketaan yang terjadi antara
pihak masyarakat (warga setempat)
toapaya utara dan pihak perusahaan
(PT Sunnymas Prima Agung) melalui
lembaga mediasi BPN Kabupaten
Bintan atas kesepakatan bersama
kedua belah pihak yang berkonflik,
menerima :
a. Kesepakatan atas kejelasan
sertifikat yang dikeluarkan sebagai
kebenaran secara formal, bahwa
lahan yang menjadi pemicu
konflik merupakan lahan
masyarakat yang dipergunakan
oleh perusahaan untuk kegiatan
usaha.
b. Keinginan Kebebasan yang
diharapkan oleh kedua belah pihak
yang berkonflik melalui lembaga
mediasi memberikan hasil positif,
dimana lahan masyarakat yang
telah dipakai oleh pihak
perusahaan akan dikembalikan.
Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU)
yang sudah diterbitkan oleh BPN
Kabupaten Bintan dulunya akan
dicabut. Pencabutan HGU ini
didasarkan atas lahan yang
digunakan perusahaan sudah tidak
dioperasikan kegiatan usahanya
selama 3 Tahun sebelumnya.
Keputusan ini diterima atas
kesepakatan bersama kedua belah
pihak dan atas dasar peraturan
yang berlaku dalam permasalahan
Agraria.
6. Penerapan penyelesaian konflik
pertanahan melalui Lembaga
Mediasi, atas kesepakatan bersama
kedua belah pihak yang menunjuk
BPN Kabupaten Bintan sebagai
mediator dalam pengelolaan
penyelesaian konflik persengketaan
memberikan hasil yang positif dan
tidak ada merugikan kedua belah
pihak.
7. Mediasimemberikankepadaparapiha
kperasaankesamaankedudukandanu
payapenentuanhasilakhirperundinga
ndicapaimenurutkesepakatanbersam
atanpatekananataupaksaan
B. Saran
Secara prinsip bentuk
penyelesaian Konflik dengan
menggunakan lembaga mediasi adalah
merupakan terjemahan dari Karakter
budaya bangsa Indonesia yang selalu
mengedepankan semangat kooperatif.
Semangat Kooperatif sudah mengakar
sehingga nuansa musyawarah selalu
dihadirkan dalam setiap upaya
menyelesaikan setiap sengketa dalam
masyarakat melalui upaya musyawarah
untuk mencapai mufakat. Adapun saran
yang dapat diberikan adalah :
1. Diharapkan Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Kabupaten Bintan
sebagai Aparatur Negara yang
menangani masalah Agraria dapat
meningkatkan kinerja dengan
wewenang yang dimiliki.
2. Diharapkan sebagai Lembaga
mediasi BPN Kabupaten Bintan,
dapat menjalani tugas dan fungsinya
sebagaimana mestinya guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
3. Diharapkan bagi Pihak perusahaan
untuk lebih memahami masalah
sertifikat yang dikeluarkan oleh
Pihak BPN atas Hak Lahan.
4. Diharapkan Masyarakat Setempat,
khususnya warga Toapaya Utara
lebih berhati-hati dan mampu
memahami hak atas lahan yang
dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Adurrasyid, Priyatna, 2002. Arbitrase &
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jakarta: Fikahati Aneska
Arianto, Suharsini, 2006. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik.Jakarta : Rineka Cipta
Davey, K.J Pembiayaan Pemerintah Daerah
– Praktek Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga
(terjemahan). Jakarta : UI Press
Fauzan, Ali, (2010), Implementasi PP
Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
Terkait Dengan Peran BPD Dalam
Menyusun Dan Menetapkan
Peraturan Desa Menyusun Dan
Menetapkan Peraturan Desa, Tesis,
Universitas Diponegoro. Semarang.
Handoko, T. Hani, 2003.Manajemen Edisi
Kedua. Yogyakarta : BPEE
Hamdi, Muchlis, 2002, Bunga Rampai
Pemerintah. Jakarta : Yarsif
Eatampone
Kreitner, Robert dan Kanicki, Angelo.
2005. Perilaku Organisasi, Buku 2,
Edisi 5 (Terjemahan). Jakarta :
Salemba Empat.
Labolo Mahadam, 2013.Memahami Ilmu
Pemerintahan Suatu Kajian Teori
Konsep dan Pengembangannya.
Jakarta : Rajawali Pers.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.
Remaja Rosdakaya.
March, James G Dan Simon Herbert A.
1958. Organization, Jhon Wiley &
Sans. New York (Dalam Ndaraha,
Taliziduhu. 2011. Kybernologi Il,u
Pmerintahan Baru). Jakarta : Rhineka
Cipta.
Ndara, Taliziduhu, 2011.Kybernologi Ilmu
Pemerintahan Baru I. Jakarta :
Rhineka Cipta.
Soemardjono, Maria S.W. 2001.
Kebijakan: Antara Regulasi dan
Implementasi, Jakarta : Kompas
Sunyoto, Danang Dan Buhanudin,
2015.Teori Perilaku Keorganisasian.
Yogyakarta : CAP (center of
academik publishing service)
Suparman, Erman, 2004. Kitab Undang-
undang PTUN ( Peradilan Tata
Usaha Negara ), Bandung :
Fokusmedia.
Syarief, Elza, 2014. Menuntaskan Sengketa
Tanah Melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan, Jakarta : PT. Gramedia.
Wijaya, Gunawan, 2001. Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
Winardi. J. 2007. Motivasi dan
Promotivasian. Jakarta : Penerbit
Raja Grafindo Persad
Dokumen-Dokumen :
Keputusan Menteri Pendagunaan Aparatur
Negara Nomor 63 Tahun 2003
Tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Tentang Layanan Rakyat
untuk Sertipikat Tanah No : 18 tahun
2009.
Keputusan Kepala BPN-RI Nomor 34
Tahun 2007 tentang petunjuk teknis
penanganan dan penyelesaian
masalah pertanahan.
Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan
Pengkajian Dan Penanganan Kasus
Pertanahan
Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun
2006 Tentang BPN-RI.
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor : 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Publik
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Arternatif Penyelesaian Sengketa