Download - Komplikasi Sinusitis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal.1 Sinusitis mungkin
hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis
jika tanpa pengobatan yang adekuat.2
Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis
lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita
sinusitis karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada
berbagai usia dengan cara lain.2
Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik.
Pasien sering kali masih mengaitkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, sumbatan hidung,
drenase post-nasal, kelemahan, halitosis dan dispepsia dengan disfungsi sinus. Namun
demikian, penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang
hanya bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya. 2
Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah dengan drainase sinus, pemberian
antibiotik, dan mencegah komplikasi. Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, terutama pada organ-organ vital di sekitarnya.
Bahaya komplikasi ini bergantung seberapa besar derajat kerusakan jaringan. Komplikasi
tersering adalah perluasan penyakit hingga ke orbita, susunan saraf pusat, dan meluas
secara sistemik. 2
Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit sinusitis, maka pada
makalah ini akan dipaparkan berbagai hal yang berkenaan dengan sinusitis dan
komplikasinya. 2
.
1.2 Batasan Masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada komplikasi sinusitis.
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis khususnya
mengenai komplikasi sinusitis.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.
1.5 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman mengenai
komplikasi sinusitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1,2
2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Terdapat beberapa faktor etiologi dan predisposisi sinusitis, antara lain ISPA akibat virus,
bermacam-macam rinitis, polip hidung, kelainan anatomi (seperti septum deviasi atau
hipertropi konka), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia (sindroma
Kartagener) dan penyakit fibrosis kistik.1,2
Hipertropi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis pada anak, sehingga perlu
dilakukan adenoidektomi. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang
berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1,2
2.3 Patofisiologi
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya tekanan negatif dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi yang mula-mula serous. Kondisi ini disebut rinosinusitis
non-bakterial yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.1,2
Bila kondisi ini berlanjut, sekret yang menumpuk akan menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri, dan sekret akan menjadi purulen. Keadaan ini disebut rinosinusitis
bakterial akut dan memerlukan terapi antibiotik.1,2
Jika terapi gagal, inflamasi akan berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan
berkembang. Mukosa makin membengkak dan akan terus berlangsung sampai akhirnya
perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertropi, polipoid atau membentuk kista dan polip.
Pada keadaan ini dibutuhkan operasi.1,2
2.4 Klasifikasi
Menurut Konsensus tahun 2004 sinuitis dibagi atas:1,2
1. Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu
2. Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan
3. Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan lokasinya, sinusitis dapat dibagi menjadi:4
a. Sinusitis maksilaris
b. Sinusitis frontalis
c. Sinusitis etmoidalis
d. Sinusitis sfenoidalis
2.5 Diagnosis
Diagnosis sinusitis akut bila terdapat gejala/tanda:2
1. Riwayat rinorea purulen yang berlangsung 7 hari
2. Keluhan lain: sumbatan hidung, nyeri tekan wajah, nyeri kepala, demam, post-nasal drip,
batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbita, nyeri gigi, nyeri telinga, dan serangan mengi
meningkat pada asma.
3. Rhinoskopi anterior: Sekret purulen di meatus medius dan superior
4. Rhinoskopi posterior: sekret purulen di nasofaring (post-nasal drip)
Diagnosis sinusitis kronis ditegakkan bila gejala yang diderita (pada sinusitis akut) melebihi
12 minggu, dengan ketentuan memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor 2 minor menurut
International Consensus on Sinus Disease 2004:2
2.6 Terapi
Terapi medikamentosa sinusitis akut berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik
yang diberikan lini I, yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan,
yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau
kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai
mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II
selama 7 hari, yakni amoksisilin-klavulanat / ampisilin-sulbaktam, cephalosporin generasi
II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai
mencukupi 10-14 hari.2
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-
endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis, yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. Terapi pembedahan pada sinusitis akut
jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau
bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.2
Terapi untuk sinusitis kronis: .
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14
hari. 2
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-
14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka
dilakukan tindakan bedah, yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi
maka evaluasi diagnosis. 2
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit. 2
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.2
e. Pembedahan
Radikal: Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc, Sinus ethmoid dengan
ethmoidektomi, Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian. 2
Non-Radikal: Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal. 2
2.7 Komplikasi
Meskipun komplikasi sinusitis sudah jarang dijumpai pada era antibiotik sekarang ini,
komplikasi serius masih dapat terjadi. Yang harus diingat komplikasi rinosinusitis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapatkan penanganan yang baik dan
adekuat. Letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan
pada infeksi rinosinusitis akut ataupun kronik. 2
Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena: 2
1. Terapi yang tidak adekuat
2. Daya tahan tubuh yang rendah
3. Virulensi kuman, dan
4. Penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.
Komplikasi dapat terjadi, baik pada sinusitis akut, subakut, atau kronis. Angka kejadian
komplikasi yang rendah menyebabkan insidensinya tidak diketahui pasti. Komplikasi
biasanya berhubungan dengan area di sekitar sinus. CT-Scan penting dilakukan dalam
menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan
lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau
berkomplikasi. 2
Adapun komplikasi sinusitis yang terjadi dapat berupa komplikasi ringan hingga berat, yang
dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu lokal, orbital, intrakranial, dan distansial (jauh). 2
2.7.1 Komplikasi Lokal
1. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus. Kista
ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi
mukus dan biasanya tidak berbahaya. 2,3
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui
atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.
Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan
dengan menekan saraf didekatnya. 2,3
Mukokel primer (atau disebut kista retensi) berkembang akibat hambatan duktus kelenjar
saliva mayor, terutama pada sinus maksilaris. Mukokel sekunder disebabkan obstruksi
ostium sinus sebagai komplikasi obstruktif dari rinosinusitis, polip, trauma, pembedahan,
dan tumor. Nyeri kepala dan berkurangnya visus merupakan gejala tersering pada
mukokel di sinus frontal, dimana gejala berlangsung perlahan seiring membesarnya
mukokel dalam beberapa tahun. 2,3
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai nyeri kepala bagian frontal dan proptosis, serta
bergesernya bola mata ke bawah atau ke atas. Nyeri hidung dan periorbita dalam dapat
ditemukan. Berbeda dengan sinusitis akut atau kronik, obstruksi nasal dan rinorhea justru
jarang didapat. Meskipun diagnosis dapat diduga berdasarkan temuan klinis, pemeriksaan
radiografi perlu dilakukan untuk memperkuat analisis dan mengetahui letak dari mukokel.
Pada pemeriksaan CT scan, mukokel tampak sebagai massa hipodens. Massa dapat
mengisi kavum sinus. Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. 2,3
Terapi umum mukokel adalah dengan mengangkat secara total mukokel, dan umumnya
melalui bedah terbuka. Saat ini, teknik endoskopik transnasal digunakan untuk mengatasi
komplikasi ini. Marsupialisasi mukokel, dibanding mengangkat total, merupakan konsep
terapi yang mementingkan kemampuan mukosa sinus untuk kembali ke kondisi normal
atau mendekati normal. 2,3
2. Osteomielitis dan Tumor Pott
Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang kranium menyebabkan
osteitis yang akan mengakibatkan erosi pada bagian anterior tulang frontal. Gejala klinis
tampak udem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan penimbunan pus di
superiosteum. Berlanjutnya kelainan ini akan menyebabkan terjadinya suatu kondisi yang
disebut Pott’s Tumor. 2,3
Tumor Pott merupakan massa tumor bundar yang tidak nyeri, pertama kali diperkenalkan
oleh Percival Pott pada tahun 1760. Infeksi yang masuk ke sinus frontalis dan
menyebabkan osteomyelitis progresif di sana, pada akhirnya akan membentuk abses
subperiosteal perikranial anterior, abses periorbita, atau abses epidural. Penumpukkan pus
subperiosteal pada dahi tersebut akan membentuk struktur berupa benjolan yang fluktuatif
dan sembab (tumor Pott). 2,3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
penunjang yang mendukung adalah CT scan dan MRI. Dapat pula dilakukan bone
scanning untuk melihat osteomyelitis. 2,3
Penanganan untuk kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena, drainase
abses, dan bila perlu debridement tulang. Pada beberapa kasus, dapat dilakukan
sinusostomi frontaal. Antibiotik intravena diberikan selama 3 minggu, dilanjutkan dengan
pemberian oral 3-5 minggu. 2,3
3. Otitis Media
Ruang telinga tengah dihubungkan ke faring melalui tuba Eustachii. Terdapat banyak
kesamaan kejadian klinis antara otitis media dan sinusitis. Bila pada telinga tengah, tuba
Eustcahii yang berperan penting sebagai ventilasi dan drainase ke faring, maka pada
sinus, yang berperan adalah ostium sinus. Kesamaan lainnya adalah tipe mukosa yang
sama antara telinga tengah dan sinus, yaitu epitel pseudostratifikasi kolumnar bersilia.
Tiga patogen mayor pada otitis media dan sinusitis juga sama, yaitu S. Pneumoniae, H.
Influenzae, M catarrhalis. 2
Sinusitis hampir selalu disertai dengan rinitis, sehingga disebut rinosinusitis. Pada
keadaan inflamasi, akan terjadi edema mukosa dan hipersekresi mukus, yang
menyebabkan penumpukkan sekret di bagian faring. Seringkali keadaan ini menyebabkan
oklusi tuba Eustachii, yang selanjutnya menyebabkan fungsi ventilasi dan drainase telinga
tengah terganggu. Bila keadaan tersebut menetap, maka akan terjadi efusi telinga tengah
yang rentan terinfeksi. Selanjutnya, akan terjadi otitis media sesuai dengan perjalanan
penyakitnya. 2
Penanganan awal otitis media adalah dengan membuka sumbatan tuba Eustachii untuk
normalisasi ventilasi dan drainase telinga tengah. Penanganan lanjutan disesuaikan
dengan sejauh mana proses penyakit berlangsung. Pemberian antibiotik, kortikosteroid,
dekongestan, dan antihistamin dapat dilakukan. Tindakan bedah dilakukan pada kasus
kronik, dan dilakukan bersamaan atau setelah keadaan sinus diperbaiki. 2
2.7.2 Komplikasi Orbita dan Periorbita
Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial sinus etmoid dan
sfenoid, batas superior sinus frontal, dan batas inferior sinus maksila. Sinusitis merupakan
salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre antibiotik hampir 50 % terjadi
komplikasi ke mata, 17 % berlanjut ke meningen dan 20 % terjadi kebutaan. 2
Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
Direk / langsung : melalui defisiensi kongenital ataupun adanya erosi pada tulang
barier terutama lamina papirasea. 2
Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan
langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. 2
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Etmoiditis
sering menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis tersering. Etmoiditis sering
menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis frontal dan maksila. Komplikasi ke
orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak lebih sering. Intervensi tindakan
operatif lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa. Pembengkakan
orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus
maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita. 2
Menurut Chandler et al, terdapat lima klasifikasi komplikasi orbita dan periorbita pada
sinusitis, yaitu: 2,3,5
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan (selulitis preseptal).
Peradangan atau selulitis preseptal menunjukkan infeksi yang terbatas di kulit dan
jaringan subkutan palpebra anterior hingga septum orbita. Kelainan ini merupakan
komplikasi orbita tersering (70% komplikasi sinusitis secara keseluruhan) dan jarang
parah. Kelainan ini dapat menyebabkan sumbatan vena dan drainase limfatik akibat
obstruksi sinus. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea
yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur
ini. 2,3,5
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang menunjukkan adanya
edem palpebra, eritema, tenderness. Visus, reaksi pupil, dan gerakan bola mata umumnya
tidak terganggu. CT scan tidak dianjurkan pada kelainan pada tahap ini, kecuali bila
terdapat perubahan visus, gangguan refraksi, ptosis, dan tanda-tanda selulitis post-septal
lainnya. 2,3,5
Penatalaksanaan selulitis preseptal adalah dengan pemberian antibiotik oral spektrum
luas, elevasi kepala, kompres hangat, dan penanganan penyebab yang mendasari.
Meskipun antibiotik intravena merupakan terapi standar untuk anak-anak sebelum adanya
vaksinasi H.influenzae, antibiotik oral spektrum luas saat ini lebih dianjurkan karena
kasus yang ringan dan lebih aman. Pemberian dekongestan hidung, mukolitik, dan irigasi
saline dapat membantu drainase sinus. 2,3,5
2. Selulitis orbita
Selulitis orbita ditandai adanya proses infeksi yang meliputi bagian-bagian di belakang
septum orbita, termasuk tulang-tulang yang membentuk kavum orbita. Isi orbita terlihat
edem difus dengan sel-sel peradangan dan plasma, bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk. Edem orbita disebabkan oleh peningkatan tekanan
sinus venosus yang menyebabkan transudasi cairan melalui dinding pembuluh ke
orbita.2,3,5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya edema palpebra, proptosis ringan, dan kemosis.
Nyeri orbita terjadi pada 85% pasien. Pada kasus berat, gerak orbita menjadi sangat
terbatas, meskipun visus belum terganggu. Apabila diduga terjadi selulitis orbita, maka
konsultasi ke ahli mata dapat dilakukan, untuk meninjau kembali akuisitas visual, reaksi
pupil, gangguan lapang pandangan, melihat warna, motilitas ekstraokular, proptosis,
posisi bola mata, tekanan intraokular, dan keadaan saraf II. CT scan dengan kontras dapat
memperlihatkan adanya sejumlah jaringan edematous orbita. 2,3,5
Penanganan kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena dan pemeriksaan
imaging dilakukan untuk melihat sejauh mana kelainan mata terjadi. Apabila antibiotik
gagal (ditandai dengan hilangnya penglihatan secara progresif, demam menetap selama
36 jam, keadaan klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada perubahan apa pun
selama 72 jam paska pemberian antibiotik), maka terapi drainse bedah dapat dilakukan,
yang memenuhi satu dari lima syarat berikut: 2,3,5
CT scan membuktikan adanya pembentukan abses
Visus 20/60 (atau lebih buruk) pada evaluasi awal
Komplikasi orbita berat (misalnya kebutaan atau hilangnya refleks pupil) pada
evaluasi awal
Gejala orbita yang semakin berat meskipun mendapat terapi medic
Tidak ada perbaikan selama 48 jam paska pengobatan medik.
3. Abses subperiosteal
Abses subperiosteal merupakan komplikasi sinusitis yang sering terjadi di orbita
superomedial atau inferomedial, yang berhubungan dengan sinusitis etmoidalis. Abses
berkembang setelah infeksi menembus lamina papirasea atau melalui foramen etmoidalis
anterio/posterior. Terkumpulnya cairan subperiosteal yang meluas dapat menyebabkan
kebutaan, yaitu sebagai akibat langsung penekanan saraf II, peningkatan tekanan
intraorbita, atau proptosis yang menyebabkan peregangan saraf II. Dengan penanganan
medik dan intervensi bedah agresif sekalipun, sekitar 15-30% pasien akan mengalami
sekuele gangguan visus. 2,3,5
Diagnosis kelainan ini memerlukan evaluasi oftalmologik. Secara klinis abses
subperiosteal dicurigai bila pada pasien dengan selulitis orbita, mengalami proptosis dan
gangguan lapang pandang yang semakin berat, akibat peningkatan tekanan intraorbita.
Kehilangan persepsi warna merah/hijau dapat mendahului penurunan visus. 2,3,5
Penanganan dan penentuan pendekatan pembedahan masih merupakan kontroversi.
Meskipun pemberian antibiotik intravena dapat dimulai pada tahap awal, beberapa ahli
THT tetap menganjurkan drainase sinus secepatnya. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya kasus abses subperiosteal yang responsif terhadap pengobatan konvensional,
terutama pada anak-anak yang lebih muda, karena virulensi kuman lebih rendah. Kriteria
inklusi untuk pengobatan medikamentosa adalah usia lebih muda dari 9 tahun, tidak
terdapat sinusitis frontalis, lokasi abses di medial, tidak terbentuk gas abses, ukuran abses
kecil, bukan kasus berulang, tidak terdapat gangguan saraf optik dan retina, dan tidak
terdapat infeksi gigi. 2,3,5
Berdasarkan kriteria Oxford, maka tindakan bedah ditunda dan diberikan penanganan
konservatif, bila memenuhi seluruh kriteria: 2,5
Visus, reaksi pupil, dan keadaan retina normal
Tidak ada oftalmoplegia
Tekanan intraokular kurang dari 20 mmHg
Proptosis maksimal 5 mm
Ukuran abses maksimal 4 mm.
Drainase operatif dilakukan bila terjadi penurunan visus, defek pupil, demam yang
berlangsung selama 36 jam, klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada
perbaikan setelah pemberian obat-obatan. Pendekatan bedah yang digunakan pada kasus
ini meliputi pendekatan eksternal, endoskopik, dan kombinasi. Etmoidektomi eksternal
dapat dilakukan untuk drainase abses. Pada anak-anak, sebaiknya dilakukan pendekatan
endoskopik untuk menghindari perdarahan dan inflamasi mukosa akut. Teknik
endoskopik meliputi etmoidektomi, skeletonizing lamina papiracea, drainase orbita.
Drainase transkarankular merupakan salah satu contoh pendekatan kombinasi yang
diperkenalkan oleh Pelton pada tahun 1996. Dengan cara ini, dilakukan insisi di area
antara karankula dan lipatan semilunar. Periosteum orbita diinsisi tajam dan dibuka untuk
mengeluarkan abses. Pendekatan ini dapat diterapkan pada dinding medial orbita pada sisi
lamina papiracea. 2,3,5
4. Abses orbita
Terjadinya komplikasi ini menunjukkan sekuele dari sinus paranasal yang berkembang
progresif akibat keterlambatan diagnosis dan terapi, atau akibat kondisi imunologi yang
buruk. Abses orbita dapat terjadi di dalam atau di luar otot, ketika selulitis orbita berubah
menjadi kumpulan pus. Pada keadaan ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan
kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin
bertambah. 2,3,5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa proptosis, kemosis, oftalmoplegia
total, dan gangguan visus, yang berlangsung progresif menuju tahap kebutaan
irreversibel. Substansi purulen dapat keluar secara spontan melalui kelopak mata. CT
scan menunjukkan gambaran infiltrasi difus intraconal dan ekstraconal. Gambaran
radiologik dapat menunjukkan proptosis masif, dilatasi ekstraokular, dan pembentukan
gas. Pada MRI, didapatkan gambaran jaringan nekrotik. 2,3,5
Penanganan abses yang berkembang adalah dengan drainase operatif pada sinus dan
abses. Drainase endoskopik abses pada medial orbita dilakukan seperti pada abses
subperiosteal. Insisi periorbita dilakukan untuk penyaliran abses intraorbita.
Etmoidektomi posterior diindikasikan bila terdapat kelainan di etmoid posterior dan abses
yang meluas hingga ke apeks orbita. Tindakan ini dilakukan dengan kerjasama dengan
ahli mata. 2,3,5
5. Trombosis sinus kavernosus
Komplikasi ini merupakan akibat perluasan infeksi dari kavum sinonasal (sfenoid >
ethmoid > frontal), atau dari bagian sepertiga tengah wajah. Sindrom dapat terjadi sebagai
komplikasi dari selulitis orbita. Perluasan ini dipermudah oleh sinus kavernosus yang
bebas anastomosis dan tidak terdapat sistem katup vena, sehingga infeksi dapat terjadi
secara retrograd dari arah superior dan inferior vena oftalmika. 2,3,5
Diagnosis komplikasi ini relatif sukar, meskipun penting untuk membedakannya dengan
selulitis atau abses orbita, karena dalam perjalanan penyakitnya akan terjadi keadaan yang
mengancam jiwa. Tanda klinis yang terpenting adalah gangguan orbita bilateral, kemosis
dan oftalmoplegia yang progresif, kelainan retina berat, demam melebihi 40oC ,dan
protrasi. Tanda klinis yang sering terlihat pada trombosis sinus kavernosus berkaitan
dengan struktur anatominya, yaitu adanya kerusakan langsung saraf III hingga VI, dan
gangguan aliran vena dari orbita dan mata. Stasis aliran vena akan menyebabkan
papiledema, perdarahan retina, dan kehilangan penglihatan. Perluasan infeksi ke sinus
kavernosus kontralateral (melalui sinus interkavernosus) umumnya terjadi dalam 24 – 48
jam setelah infeksi pertama terjadi. Trombosis karotid dapat mengikuti komplikasi ini,
dan berakibat serangan stroke, empiema subdural, abses otak, atau meningitis. 2,3,5
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
Oftalmoplegia
Kemosis konjungtiva
Gangguan penglihatan yang berat
Kelemahan pasien
Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan
saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak
Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi yang mampu melewati
sawar darah otak dan secara langsung dapat membunuh sebagian besar kuman patogen.
Terapi empiris dapat mencakup pemberian nafcilin, ceftriaxone, metronidazol, atau
vankomisin. Pemberian antibiotik biasanya selama 3-4 minggu, atau selama 6-8 minggu
bila komplikasi intrakranial terjadi. 2,3,5
Intervensi bedah dilakukan untuk drainase sinus yang terkena. Observasi dilakukan
sehubungan dengan risiko terjadinya sepsis, trombosis, dan perluasan infeksi. Pemberian
antikoagulansia bertujuan untuk mencegah progresivitas trombosis, mengingat kejadian
ini sukar diprediksi. Banyak penelitian membuktikan efektivitas pemberian
antikoagulansia dan jarang sekali pemberian tersebut menyebabkan komplikasi
perdarahan. Pemberian heparin bersama antibiotik terbukti menurunkan angka morbiditas
secara bermakna. Pemberian kortikosteroid masih belum ditetapkan sebagai terapi
tambahan yang efektif. 2,3,5
2.7.3 Komplikasi Intrakranial
Sinusitis yang tersering menyebabkan komplikasi intrakranial adalah sinusitis frontalis,
diikuti sinusitis ethmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris. Komplikasi intrakranial dapat terjadi
pada infeksi sinus yang akut, ekaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih sering
pada laki-laki dewasa, diduga ada faktor predileksi yang berhubungan dengan pertumbuhan
tulang frontal dan meluasnya sistem anyaman pembuluh darah yang terbentuk. Beberapa jalur
untuk terjadinya infeksi ini antara lain: 2
Secara langsung melalui defek atau erosi tulang.
Secara hematogen melalui anyaman pembuluh darah.
Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal:
1. Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial tersering dari sinusitis. Sinusitis frontal
jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali karena infeksi sekunder dari sinus
etmoid dan sfenoid. Lapisan arakhnoid pada dewasa relatif lebih resisten terhadap invasi
langsung bakteri, namun pada anak-anak infeksi dapat lebih mudah menyebar karena
jaringan yang masih immatur. Infeksi dari sinus paranasalis dapat pula menyebar
sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti melalui dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara
ethmoidalis. 2
Gejala-gejala tampak jelas: adanya demam, sakit kepala, tanda rangsang meningeal,
kejang, diikuti kesadaran menurun sampai koma. Kelemahan saraf kranial sering pula
terjadi, dan yang paling menonjol adalah gangguan pergerakan bola mata. 2
Penanganan awal untuk meningitis adalah pemberian antibiotik spektrum luas secara
intravena, yang dapat menembus sawar darah otak. Terapi pembedahan dilakukan bila
terapi konvensional tidak berhasil dalam 48 jam pengobatan, dengan catatan pasien masih
dalam keadaan stabil. Sekuele neurologik dapat terjadi pada pasien ini, berupa gangguan
kejang dan kelemahan sensorineural. Kehilangan pendengaran terjadi pada 25% pasien
dengan komplikasi meningitis. 2
2. Epidural abses
Abses epidural merupakan komplikasi kedua tersering dari sinusitis. Komplikasi ini lebih
sering mengikuti sinusitis frontal, yang kemungkinan disebabkan banyaknya komunikasi
vena dan renggangnya duramater. Pada kelainan ini didapatkan timbunan pus di antara
duramater dan ruang kranium yang sering tampak pada tulang frontal dimana duramater
melekat longgar pada tulang dahi. Mikroorganisme tersering yang membentuk abses
adalah Staphylococcus aureus dan Streptococci. 2
Gejala sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama
dirasakan makin berat dan sedikit demam. Diagnosis dapat diperkuat dengan pemeriksaan
CT scan kepala dan MRI. 2
Penanganan abses epidural adalah dengan pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan
drainase sinus dan abses, meskipun beberapa ahli menyatakan pembedahan tidak
diperlukan bila abses berukuran kecil. 2
3. Subdural empiema
Abses atau empiema subdural merupakan komplikasi intrakranial tersering ketiga dari
sinusitis. Apabila komplikasi ini terjadi, maka angka mortalitasnya cukup tinggi, yaitu
25-35%. Sekitar 30% pasien yang sembuh, menunjukkan adanya gangguan neurologik.
Abses ini seringkali merupakan komplikasi dari sinusitis frontalis, karena barier anatomi
yang kurang baik, maka empiema dapat meluas dengan cepat hingga menyelubungi
korteks dan masuk ke area interhemisfer. Kelainan ini umumnya unilateral.
Mikroorganisme penyebab tersering adalah Streptococci. 2
Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark korteks seperti hemiparesis,
hemiplegi, paralisis nervus facialis, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, demam
tinggi, lekositosis, dan akhirnya kesadaran menurun. Pada keadaan yang mengancam,
penanganan bersifat emergensi karena deteriorasi yang begitu cepat. Gejala meningitis
dapat terlihat, defisit neurologi fokal dalam berbagai derajat akan muncul sesuai dengan
area abses. CT Scan dan MRI dapat membantu menegakkan diagnosis. 2
Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan drainase operatif
dari sinus dan abses. Pemberian steroid dan antikonvulsi secara rutin disesuaikan dengan
keadaan penderita. 2
4. Abses intraserebral
Abses intraserebral dapat terjadi dan paling sering pada lobus frontal dan frontoparietal,
karena disebabkan sinusitis frontal yang menyebar secara retrograde, septik emboli dari
anyaman pembuluh darah. Namun, dapat pula infeksi menyebar dari sinus ethmoidalis
dan sfenoidalis. 2
Gejala umum berupa demam, nyeri kepala, mual-muntah, letargi, dan gejala-gejala lain
sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Bila abses timbul perlahan, gejala
neurologi tak jelas tampak, bila edem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan
meningkat, gejala-gejala neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila
abses ruptur. Diagnosis diperkuat dengan pemeriksaan MRI dan CT scan. 2
Penanganan untuk komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dosis tinggi dan
drainase operatif dari sinus dan abses. Pemberian kortikosteroid dan antikonvulsi dapat
dibenarkan. 2
5. Trombosis Sinus Venosus (Sinus Sagitalis Superior dan Sinus Kavernosus)
Infeksi yang meluas ke sinus sagitalis superior dan sinus kavernosus dapat terjadi secara
retrograd dari tromboflebitis sinus frontalis. Trombosis sinus kavernosus telah
dibicarakan pada bahasan sebelumnya. Trombosis sinus sagitalis superior umumnya
berkaitan dengan komplikasi lain seperti abses subdural, abses epidural, atau abses
intraserebral. 2
Derajat keparahan bergantung pada luasnya trombosis dan sumbatan pembuluh darah.
Oklusi akut sinus dural biasanya berimplikasi buruk dan dapat memicu edema serebral
masif, kongesti vena, dan infark. Pasien dapat merasa sangat nyeri, demam tinggi yang
meningkat tajam, tanda meningeal positif, atau sejumlah komplikasi neurologik serius
lainnya. Seringkali, pasien dengan trombosis sinus dural menunjukkan gejala yang
ringan, karena oklusi yang inkomplit atau adanya sistem kolateral. Gambaran yang lebih
jelas adalah dengan MRI menggunakan kontras gadolinium, MR angiogram dan
venogram yang menunjukkan sejauh mana proses berlangsung. 2
Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan drainses sinus
paranasal. Pemberian antikoagulansia sistemik diberikan hingga pemeriksaan radiologik
yang memadai membuktikan bahwa trombus telah teratasi. Penanganan utama untuk
trombosis sinus akut masih kontroversial. Bedah rekonstruksi dilakukan pada kasus yang
berat dan luas. Dapat pula dilakukan trombektomi terbuka yang dikombinasikan dengan
terapi trombolisis endovaskular, misalnya dengan pemberian urokinase atau streptokinase
ke sinus sagitalis superior melalui kateter yang melewati burr-hole kraniotomi. Teknik
serupa yang terbukti efektif adalah dengan pemberian agen trombolitik bersamaan dengan
venografi melalui vena femoralis. 2
2.7.4 Komplikasi Distansial
1. Asma dan Bronkhitis
Hubungan antara sinusitis dengan eksaserbasi asma dan bronkhitis masih belum jelas,
meskipun sejumlah teori telah berupaya menjelaskannya. Hubungan sinusitis dan asma
cukup tinggi, bahkan terdapat satu penelitian yang melaporkan 100% respondennya yang
mengalami sinusitis, juga mendapat serangan asma. Pada penelitian lainnya, terbukti
keterkaitan keduanya dari hasil CT scan sinus, kadar eosinofil serum dan sputum, dan
derajat ekshalasi nitrit oksida. Sinusitis berhubungan dengan asma dan bronkhitis, yaitu
adanya hiperplasia kronik eosinofilik yang dijumpai pada sinusitis yang turut
memperparah dan menginduksi serangan asma. 2
Beberapa mekanisme yang menjelaskan keterkaitan tersebut antara lain, refleks
nasofaringeal-bronkhial, aspirasi sel inflamatori dan mediatornya, inhalasi udara kering,
dan inflamasi lokal saluran napas atas yang memicu inflamasi pulmonar. Adanya
peningkatan sel eosinofil dalam darah tepi dan sputum dapat memediasi berulangnya
asma. Hal ini ditambah dengan dilepaskannya berbagai mediator inflamasi dan sitokin,
baik ke dalam sirkulasi, maupun per inhalasi ke saluran napas. Keterkaitan keduanya juga
diperkuat oleh bukti yang menunjukkan menurunnya gejala asma setelah keadaan
sinusitis dikoreksi. 2
Diagnosis asma terkait sinusitis relatif mudah, yaitu dengan anamsesis dan menemukan
tanda-tanda sinusitis dan tanda-tanda asma. Tanda asma berupa batuk berdahak, wheezing
saat ekspirasi, dan dispnea. 2
Penanganan meliputi pemberian antibiotik dan drainase untuk menangani sinusitis,
sedangkan untuk asma dapat diberikan bronkodilator berupa agonis-β secara nebulasi.
Pemberian kortikosteroid sebanyak 0,5-1 mg/KgBB selama 3 hari dapat diberikan. Bila
gejala berat, dapat diberikan oksigen 2-4 liter/menit dan foto thoraks untuk mengetahui
komplikasi lanjut dari asma. 2
2. Sepsis
Meski relatif jarang, sinusitis yang neglected dapat berkembang dan menimbulkan
komplikasi sepsis. Sepsis adalah keadaan menyebarnya mikroorganisme dan toksinnya ke
dalam sirkulasi, dan selanjutnya menimbulkan respons inflamasi sistemik. Diagnosis
ditegakkan bila bukti-bukti adanya infeksi diperkuat dengan dua dari empat gejala SIRS:2
Temperatur oral > 38oC atau < 36oC
Frekuensi napas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
Nadi > 90 kali/menit
Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3
Sepsis disebabkan oleh respons imun yang meningkat akibat endotoksin yang dihasilkan
mikroorganisme, sehingga merangsang dilepaskannya berbagai mediator inflamasi,
terutama TNF-α., yang kemudian memicu dilepaskannya berbagai mediator lainnya,
seperti IL-1β, IFN-γ, IL-8 yang secara keseluruhan menyebabkan reaksi inflamasi luas
berupa vasodilatasi, takikardia, takipnea, DIC, dan syok. 2
Mengingat bahaya yang ditimbulkan dapat berlangsung cepat, maka penanganannya juga
harus cepat, yaitu dengan eliminasi infeksi, stabilisasi respirasi dan hemodinamik.
Pemberian antibiotik intravena dosis tinggi seperti ceftriaxon (1 gram/12 jam) atau
tikarsilin-klavulanat (3 gram/ dibagi 4 dosis). Gentamisin dan tobramisin dapat
ditambahkan (5 mg/Kgbb/ setiap 12 jam). Bila terjadi asidosis, diberikan Natrium
bikarbonat sesuai kebutuhan. Sedangkan bila telah terjadi syok, maka langkah utama
adalah dengan stabilisasi hemodinamik dengan pemberian adrenalin 0,3-0,5 cc
dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid. Bila kegawatan telah tertangani, maka
drainase sinus harus segera dilakukan untuk mencegah berkembangnya komplikasi. 2
3. Toxic Shock Syndrome
Toxic Shock Syndrome merupakan salah satu komplikasi sistemik akibat pelepasan
toksin superantigen dan enterotoksin yang dihasilkan oleh koloni bakteri Streptococci dan
Staphylococci. Insidensi meningkat pada orang dengan infeksi fokal oleh kedua bakteri
tersebut. Komplikasi ini melibatkan multisistem dengan onset cepat. 2
Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 6 kriteria mayor menurut CDC: demam tinggi,
rash, deskuamasi, hipotensi, gangguan fungsi tiga atau lebih sistem organ
(gastrointestinal, muskular, membran mukosa, renal, hepatik, hematologik, dan SSP), dan
tidak ada penyebab lain yang memungkinkan untuk keadaan tersebut. Gejala hipotensi
berlangsung dalam 48 – 72 jam dan terus meningkat. Kerusakan organ dapat disebabkan
perfusi jaringan yang buruk dan akibat langsung dari toksikemia. 2
Penanganan komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiorik intravena dosis tinggi
yang sensitif untuk kedua kuman penyebab dan drainase fokus infeksi di sinus. Antibiotik
yang diberikan dapat penicilin atau seftriakson ditambah klindamisin atau eritromisin.
Penanganan suportif dilakukan untuk manajemen kegagalan organ dan hipotensi.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan selama 3 atau 4 hari. 2
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Rahmawan A et al. Berbagai Komplikasi Sinusitis dan Penatalaksanaannya. Tinjauan
Pustaka. Banjarmasin: FKUNLAM; 2009.
3. Adams GL et al. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Jakarta: EGC;
1997.
4. Sambuda Adi. Korelasi antara Rhinitis dengan Sinusitis pada Pemeriksaan Sinus
Paranasalis di Instalasi Radiologi RSUP DR.Moewardi Surakarta. Skripsi. Surakarta:
FK Universitas Sebelas Maret; 2008.
5. Elango S et al. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J. 1990; 31:
341-344.