RIRIN ANGRIANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
KOMPARASI MORFOPATOLOGI MENCIT (Mus musculus)
YANG TIDAK DAN DIBERI PARAQUAT DOSIS BERLEBIH:
TINJAUAN ORGAN LAMBUNG DAN USUS SAMPAI 48 JAM
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Komparasi
Morfopatologi Mencit (Mus musculus) yang Tidak dan Diberi Paraquat Dosis
Berlebih: Tinjauan Organ Lambung dan Usus Sampai 48 Jam” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Ririn Angriani
NIM B04120217
ABSTRAK
RIRIN ANGRIANI. Komparasi Morfopatologi Mencit (Mus musculus) yang
Tidak dan Diberi Paraquat Dosis Berlebih: Tinjauan Organ Lambung dan Usus
Sampai 48 Jam. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO dan
EVA HARLINA.
Paraquat merupakan salah satu herbisida yang masih digunakan dalam
bidang pertanian, namun bersifat toksik sehingga tanpa sengaja dapat
menyebabkan kematian hewan domestik maupun liar. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari perubahan post mortem hewan yang keracunan paraquat
dengan menggunakan mencit sebagai hewan model dengan tinjauan khusus pada
organ lambung dan usus. Sebanyak 72 ekor mencit dibagi dalam dua kelompok,
yaitu kelompok yang diberi paraquat dosis LD50 berlebih (LD50 paraquat: 120
mg/KgBB) secara intragastrik, dan kelompok yang euthanasia dengan dislokasi
cervicalis. Pengamatan post mortem cadaver keseluruhan dan tinjauan lambung
dan usus dilakukan pada jam ke -0, 1, 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 24, 36 dan 48 setelah
kematian. Hasil penelitian menunjukkan kelompok paraquat lebih cepat
menghasilkan bau dan pseudomelanosis namun lebih lambat didatangi serangga.
Patologi anatomi lambung dan usus kelompok paraquat berwarna hijau gelap
sedangkan kelompok yang tidak diberi paraquat merah kehitaman. Pembusukan
jaringan seperti detached mucosa, penyebaran gas, dan perubahan inti sel lebih
cepat terjadi pada kelompok paraquat.
Kata kunci: lambung, mencit, paraquat, usus
ABSTRACT
RIRIN ANGRIANI. Morfopathology comparison on Mice (Mus musculus) with
and without Paraquat Overdose: Review on Stomach and Intestines for 48 Hours.
Supervised by BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO and EVA HARLINA.
Paraquat is an herbicide that still used in agriculture, but it toxicity could
kill domestic and wild animals. The aim of this research is to study post mortem
changes due to paraquat toxicity in animals using mice as an animal model. A
total of 72 mice were divided into two major groups, the paraquat group was
administered paraquat LD50 over dose (LD50 paraquat: 120 mg/KgBB)
intragastrically and waited until die, and the other group was euthanized by
cervical dislocation. Post mortem changes of the cadaver and special review on
gastric and intestine were observed at 0, 1, 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 24, 36 and 48
hours post mortem. The results showed that paraquat group more quickly
produced odor, pseudomelanosis and later of insects arrival. The stomach and
intestine in paraquat group were greenish, meanwhile untreated group were
reddish black. Decomposing of tissue was faster in paraquat group as detached
mucosa, gas distribution and cell changes.
Keywords: intestines, mice, paraquat, stomach
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
RIRIN ANGRIANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
KOMPARASI MORFOPATOLOGI MENCIT (Mus musculus)
YANG TIDAK DAN DIBERI PARAQUAT DOSIS BERLEBIH:
TINJAUAN ORGAN LAMBUNG DAN USUS SAMPAI 48 JAM
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini adalah
Komparasi Morfopatologi Mencit (Mus musculus) yang Tidak dan Diberi
Paraquat Dosis Berlebih: Tinjauan Organ Lambung dan Usus sampai 48 Jam.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Bapak Nizam, Ibu Marleni, Kak Niko, Kak Wawan, Adelia, dan seluruh
keluarga atas segala doa dan kasih sayang.
2. Dosen pembimbing Prof Drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD, APVet,
DACCM dan Dr Drh Eva Harlina, MSi, APVet yang telah dengan sabar
membimbing penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Drh Mawar Subangkit MSi, APVet, yang telah membuka jalan dan saran untuk
penelitian ini.
4. Tenaga Kependidikan Ibu Kiki, Bapak Kasnadi, Bapak Soleh dan Bapak
Endang yang telah banyak membantu selama proses penelitian.
5. Dr Drh H Akhmad Arif Amin sebagai dosen pembimbing akademik.
6. PT Bukit Asam (persero) Tbk Tanjung Enim yang sudah banyak membantu
dalam masalah biaya perkuliahan selama proses pendidikan berlangsung.
7. Seluruh teman-teman atas segala doa dan bantuannya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, terutama
di bidang medis veteriner. Semoga karya ini ilmiah bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016
Ririn Angriani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 1
Paraquat 1
Lambung 2
Usus 2
Pembusukan 3
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Alat dan Bahan 4
Prosedur Penelitian 4
Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Hasil 5
Pembahasan 11
SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL
1 Perubahan makroskopis mencit kelompok yang tidak diberi paraquat 6
2 Perubahan makroskopis mencit kelompok paraquat 6
3 Perubahan patologi anatomi lambung dan usus mencit kelompok
paraquat dan yang tidak diberi paraquat 7
4 Hasil pengamatan histopatologi lambung mencit kelompok paraquat
dan yang tidak diberi paraquat 8
5 Hasil pengamatan histopatologi usus mencit kelompok paraquat dan
yang tidak diberi paraquat 9
DAFTAR GAMBAR
1 Komposisi kimia paraquat 2
2 Histologi normal organ pencernaan 3
3 Pengamatan kedatangan serangga 5
4 Perubahan post mortem lambung mencit pada jam ke-48 7
5 Perubahan post mortem usus mencit 8
6 Grafik perbandingan keadaan inti sel lambung kelompok yang tidak
diberi paraquat 9
7 Grafik perbandingan keadaan inti sel lambung kelompok paraquat 9
8 Grafik perbandingan keadaan inti sel usus kelompok yang tidak diberi
paraquat 10
9 Grafik perbandingan keadaan inti sel usus kelompok paraquat 10
10 Deskuamasi epitel dan detached mucosa 10
11 Penyebaran gas dan penyebaran bakteri 11
12 Perubahan inti sel pada usus jam ke-6 11
13 Mekanisme kerja paraquat pada saluran pencernaan 15
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kasus kematian pada hewan liar sulit untuk dideteksi dan jarang dilaporkan
(Listos et al. 2015), sehingga perlu dilakukan investigasi melalui forensik
veteriner. Tujuan dan tugas forensik veteriner sama pada otopsi manusia yaitu
menentukan keadaan, waktu, dan penyebab kematian. Menetapkan postmortem
interval merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam penyelidikan
forensik (Collier 2005). Agar dapat melakukan identifikasi kematian diperlukan
pengetahuan lebih banyak tentang perubahan postmortem bangkai baik secara
makroskopis maupun mikroskopis.
Identifikasi kematian hewan berguna untuk mengetahui penyebab kematian,
yang dapat disebabkan karena keracunan, penyalahgunaan hewan, kecelakaan,
perburuan liar, penyelundupan, efek anastesi, dan sebagainya (Brown 2009).
Keracunan merupakan masalah yang sering tejadi. Sebagai contoh yaitu matinya
tujuh ekor anjing di Portland, Amerika karena keracunan paraquat (Cope et al.
2004). Hal tersebut dikarenakan paraquat merupakan salah satu herbisida dengan
toksisitas tinggi. Keracunan paraquat pada hewan telah dilaporkan dibeberapa
negara seperti Yunani, Spanyol, dan Italia (Caloni et al. 2012). Paraquat telah
lama dan masih digunakan dalam bidang pertanian di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Menurut Gawarammana dan Buckley (2011), toksisitas paraquat terjadi
secara langsung dan belum ada pengobatan yang efektif.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perubahan post mortem
pada hewan dengan menggunakan mencit sebagai hewan model.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi untuk
mengidentifikasi kematian hewan dan memperkirakan waktu kematian hewan
sesuai dengan forensik veteriner.
TINJAUAN PUSTAKA
Paraquat
Paraquat (1,1’-dimetil-4,4’-bipydril) dengan rumus molekul C12H14N2
(Gambar 1) merupakan pestisida dari golongan biperidil. Paraquat adalah
herbisida non selektif dan memiliki reaksi cepat ketika digunakan sebagai
herbisida paska tumbuh (Sriyani dan Salam 2008). Toksisitas zat ini terjadi akibat
pembentukan radikal bebas. Keracunan kronis pestisida paraquat bersifat
karsinogenik (Raini 2007). Lesio toksisitas paraquat anatara lain mukosa yang
edema, ulserasi di mulut, faring, esofagus, lambung, dan usus yang sangat nyeri
2
(Oliveira 2008). Bahan aktif paraquat termasuk golongan II (moderately
hazardous). Gejala keracunan paraquat adalah sakit perut, mual, muntah, diare,
dalam 2-3 hari terjadi kerusakan ginjal, peningkatan kreatinin dan kerusakan paru-
paru (Raini 2007).
Gambar 1 Komposis kimia paraquat (Indika dan Buckley 2011)
Lambung
Lambung secara histologis terdiri atas empat lapisan yaitu lapisan mukosa,
submukosa, muskularis, dan serosa. Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel
silinder yang berlekuk-lekuk (foveolae gastricae), tempat bermuaranya kelenjar
lambung yang spesifik. Kelenjar pada daerah cardiac dan pylorus hanya
memproduksi mukus, sedangkan kelenjar pada daerah corpus dan fundus
memproduksi mukus, asam klorida dan enzim proteolitik. Karena itu pada
kelenjar corpus dan fundus ditemukan 3 jenis sel, yaitu sel yang memproduksi
mukus yaitu sel mukus, sel yang menghasilkan HCl yaitu sel parietal, dan sel
yang menghasilkan enzim proteolitik yaitu sel epitel mukosa (Sukirno 2008).
Lamina propria terdiri atas anyaman serat retikuler dan kolagen, serta sedikit
elastin (Bloom dan Fawcett 2002).
Lapisan muskularis mukosa terdiri atas lapisan otot polos tipis yang
tersusun sirkuler di bagian dalam serta lapisan longitudinal di bagian luar (Gartner
dan Hiatt 2001). Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar.
Lapisan serosa merupakan lapisan paling luar yang merupakan bagian dari
peritonium visceralis, terdiri atas jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis.
Jaringan ikat yang menutupi peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak.
Usus
Usus halus dibagi kedalam empat lapisan yaitu tunica serosa, tunica
muscularis, submucosa, dan tunica mucosa. Tunica serosa merupakan peritoneum
visceral dengan epitel squamosa simpleks, yang diisi pembuluh darah dan sel-sel
lemak. Dua selubung otot polos tak bergaris membentuk tunica muscularis usus
halus. Submucosa terdiri atas jaringan ikat longgar yang terletak diantara tunica
muskularis dan lapisan tipis lamina muskularis mukosa, yang terletak di bawah
mukosa. Tunica mucosa usus halus, kecuali pars superior duodenum, tersusun
dalam lipatan sirkular dan lapisan transversa. Masing-masing lipatan ini ditutup
dengan vili (Xu dan Cranwell 2003).
3
Gambar 2 Histologi normal organ pencernaan. (A). Lambung: 1. Epitel; 2. Gastric
pits; (B). Usus: 1. Vili usus; 2. Lamina propria; 3. Kelenjar mucosa
(Aughey dan Frye 2001).
Pembusukan
Dekomposisi jaringan adalah pemecahan struktur sel menjadi bagian-bagian
kecil pembentuk sel yang sudah terprogram karena kehilangan pasokan nutrisi dan
oksigen, yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk mendistribusikan
darah karena kematian (Nandy 2000). Pembusukan jaringan disebut sebagai
putrefaction dan autolisis. Putrefaction merupakan pembusukan yang terjadi
karena bakteri sedangkan autolisis terjadi karena enzim-enzim yang ada dalam
tubuh. Akan tetapi untuk gambaran mikroskopis dipengaruhi juga oleh variabel
lain sehingga hanya bisa dipergunakan bila lama kematian tidak lebih dari 72 jam
(Henssge dan Benard 2002).
Menurut Gennard (2007), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap.
Tahap pertama, fresh stage, yang dimulai pada saat kematian. Serangga yang
pertama kali datang adalah lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae.
Lalat betina akan meletakkan telurnya di daerah yang terbuka seperti daerah
kepala. Tahap kedua, bloated stage, merupakan tahapan pembusukan. Gas yang
dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan
penggelembungan pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama
tahapan ini sebagai akibat dari aktivitas pembusuk dan aktivitas metabolisme
larva lalat. Tahap ketiga, active or decay stage, yang ditandai adanya kerusakan
kulit dan mengakibatkan gas keluar dari tubuh. Pada tahap ini juga ada beberapa
serangga lain seperti kumbang, tawon, dan semut yang berdatangan. Tahap
keempat, postdecay stage or advanced, yaitu tinggal sisa-sisa tubuh seperti kulit,
kartilago dan usus yang sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan
tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator tahap ini adalah hadirnya
kumbang dan berkurangnya lalat. Tahap kelima, remains or skeletal stage, pada
tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut.
4
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium,
Paddock, serta Divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), dari Februari sampai
Mei 2016.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 72 ekor mencit (Mus
musculus) strain DD Webster jantan dan betina berumur 10 minggu dengan berat
badan 20-30 g, Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, herbisida paraquat, xylazin,
alkohol, parafin, xylol, dan pewarnaan Haematoksilin-Eosin (HE). Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah alat bedah minor, Hygrometer, spuit, sonde
lambung, box mencit, tissue cassete, mesin prosesor otomatis, lemari es, tissue-tek,
waterbath, cetakan blok parafin, mikrotom, kaca objek, kaca penutup, inkubator,
mikroskop, dan kamera webcam.
Prosedur Penelitian
Sebanyak 72 ekor mencit dibagi menjadi dua kelompok, 36 ekor kelompok
yang tidak diberi paraquat dan 36 ekor kelompok yang diberi paraquat. Mencit
kelompok yang tidak diberi paraquat diberi xylazine 0,1 ml intraperitonial sebagai
sedatif lalu dieuthanasi dengan cara dislokasi cervicalis, sedangkan mencit
kelompok paraquat diberi paraquat dosis LD50 120 mg/kgBB (Dere dan Polat
2001) berlebih secara intragastrik dan ditunggu hingga mati. Waktu pengamatan
dilakukan pada jam ke 0, 1, 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 24, 36, dan 48 setelah kematian.
Mencit-mencit tersebut diletakkan di atas tanah. Observasi dilakukan terhadap
perubahan makroskopis kadaver dan organ lambung serta usus, dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis lambung dan usus. Observasi dimulai pada jam 11.30
WIB.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Organ dipotong dengan ketebalan 3 mm, kemudian disusun ke dalam tissue
cassette dan direndam dalam larutan BNF 10% selama 48 jam. Jaringan kemudian
menjalani proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat (70%-absolut), clearing
dengan xylol dan infiltring dalam paraffin cair dalam mesin prosesor otomatis
selama 17 jam 30 menit. Tahap selanjutnya adalah embedding jaringan dalam
parafin cair dan cutting jaringan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5µ.
Jaringan siap diwarnai dengan pewarna Haemotoksilin Eosin (Kent 1985).
Pengamatan Makoskopis dan Mikroskopis
Parameter pengamatan makroskopis pada kadaver mencit adalah bau, warna
kulit, kerontokan rambut, kedatangan serangga dan bentuk mata, serta patologi
5
anatomi lambung dan usus. Suhu dan kelembapan lingkungan juga dicatat saat
pengamatan.
Pengamatan mikroskopis pada usus dan lambung dilakukan secara deskriptif
dengan parameter deskuamasi epitel, detached mucosa, penyebaran gas,
penyebaran bakteri dan perubahan inti sel yaitu piknosis, karyorheksis dan
karyolisis. Pengamatan bakteri dan perubahan inti sel dilihat pada 5 lapang
pandang. Hasil pengamatan dibuat skala dengan ketentuan 0 = tidak ada
perubahan, 1 = kerusakan mulai terjadi (25%), ditemukan perubahan sel dan
bakteri pada 1 lapang pandang, 2 = kerusakan terjadi pada sebagian jaringan
(50%), ditemukan perubahan sel dan bakteri pada 2 lapang pandang, 3 =
kerusakan terjadi hampir seluruh jaringan (75%), ditemukan perubahan sel dan
bakteri pada 3 lapang pandang, 4 = kerusakan terjadi seluruh jaringan (100%),
ditemukan perubahan sel dan bakteri pada 4-5 lapang pandang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil pengamatan makroskopis kadaver mencit selama 48 jam pada
kelompok yang tidak diberi paraquat dan paraquat disajikan pada Tabel 1 dan 2,
dan hasil pengamatan serangga yang datang disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Pengamatan kedatangan serangga. (A). Lalat hijau pada kelompok yang
tidak diberi paraquat jam ke-24; (B). Semut merah pada kelompok
paraquat jam ke- 16; dan (C). Belatung pada kelompok yang tidak
diberi paraquat jam ke-48.
Hasil pengamatan patologi anatomi lambung dan usus mencit selama 48 jam
disajikan pada Tabel 3, dan gambaran makroskoskopis lambung dan usus
disajikan pada Gambar 4 dan 5.
6
Tabel 1 Perubahan makroskopis mencit kelompok yang tidak diberi paraquat
Jam
ke -
Parameter perubahan
Bau Warna kulit Kerontok
an rambut
Serangga Bentuk
mata
Suhu dan
kelembapan
0 - - - - - 23 oC/73 %
1 - Merah pucat - Lalat + - 25 oC/76 %
2 - Pseudomelanosis - - - 28 oC/66 %
4 - Pseudomelanosis - - - 26 oC/70 %
6 - Pseudomelanosis - - - 24 oC/77 %
8 - Pseudomelanosis - - - 24 oC/72 %
12 - Pseudomelanosis - Jangkrik + - 24 oC/76 %
16 - Pseudomelanosis - - Cekung
keruh
22 oC/74 %
20 - Pseudomelanosis - - Cekung
keruh
23 oC/73 %
24 - Pseudomelanosis + Lalat + Cekung
keruh
29 oC/51 %
36 + Pseudomelanosis ++ Semut +;
Jangkrik +;
Belatung +
Mata
hilang
25 oC/71 %
48 ++ Pseudomelanosis ++ Lalat ++;
Belatung ++
Mata
hilang
32 oC/40 %
Tabel 2 Perubahan makroskopis mencit kelompok paraquat
Jam
Ke -
Parameter perubahan
Bau Warna kulit Kerontokan
rambut
Serangga Bentuk
mata
Suhu dan
kelembapan
0 - - - - - 23 oC/73 %
1 - Pseudomelanosis - - - 25 oC/76 %
2 - Pseudomelanosis - - - 28 oC/67 %
4 + Pseudomelanosis - Lalat + - 25 oC/74 %
6 + Pseudomelanosis - - - 24 oC/77 %
8 + Pseudomelanosis - Jangkrik
+
- 23 oC/77 %
12 + Pseudomelanosis - Semut + - 24 oC/76 %
16 + Pseudomelanosis - Semut ++ Cekung
keruh
23 oC/74 %
20 + Pseudomelanosis - Semut ++
Lalat ++
Cekung
keruh
23 oC/74 %
24 + Pseudomelanosis + Semut ++ Cekung
keruh
31 oC/40 %
36 ++ Pseudomelanosis + Semut ++ Mata
hilang
25 oC/70 %
48 ++ Pseudomelanosis ++ Semut ++ Mata
hilang
24 oC/70 %
Keterangan: Tabel 1 & 2: (-): belum ada perubahan; (+): mulai terjadi bau, rambut rontok,
serangga dalam jumlah sedikit (<5); (++): bau lebih menyengat, banyak kerontokan
rambut, serangga dalam jumlah lebih banyak (>5).
7
Tabel 3 Perubahan patologi anatomi lambung dan usus mencit kelompok paraquat
dan yang tidak diberi paraquat
Jam
ke -
Lambung Usus
Tidak diberi
paraquat
Paraquat Tidak diberi
paraquat
Paraquat
0 Merah muda Merah muda
sedikit hijau
Merah muda Merah muda
sebagian kuning
1 Merah muda Merah muda
sedikit hijau
Merah muda Merah muda
sebagian kuning
2 Merah muda
sedikit kuning
Merah muda
sedikit hijau
Merah muda Merah muda
sedikit hijau
4 Merah muda
sebagian kuning
Hijau terang Merah muda
sebagian kuning
Merah muda
sedikit hijau
6 Merah muda
sebagian kuning
Hijau terang Merah muda
sebagian kuning
Merah muda
sedikit hijau
8 Merah muda
sebagian kuning
Hijau terang Merah muda
sebagian kuning
Merah kehijauan
12 Merah muda
sebagian kuning
Hijau terang Merah muda
sebagian kuning
Merah kehijauan
16 Merah muda
sebagian kuning
Hijau terang Merah kehijauan Hijau terang
20 Merah muda
sebagian kuning
Hijau terang Merah kehijauan Hijau terang
24 Merah muda
sebagian kuning
Hijau gelap Merah kehijauan Hijau gelap
36 Merah kehitaman Hijau gelap Merah kehijauan Hijau gelap
48 Merah kehitaman Hijau gelap Merah kehitaman Hijau gelap
Gambar 4 Perubahan post mortem lambung mencit pada jam ke-48. (A). Lambung
kelompok yang tidak diberi paraquat berwarna merah kehitaman, dan
(B). Lambung kelompok paraquat berwarna hijau gelap.
Hasil pengamatan histopatologi lambung dan usus mencit kelompok yang
tidak diberi paraquat dan paraquat disajikan pada Tabel 4 dan 5.
8
Gambar 5 Perubahan post mortem usus mencit. (A). Kelompok yang tidak diberi
paraquat jam ke-0, berwarna merah muda; (B). Kelompok yang tidak
diberi paraquat jam ke-48 berwarna merah kehitaman; (C). Kelompok
paraquat jam ke-0 berwarna merah muda dengan sedikit kehijauan; (D).
Kelompok paraquat jam ke-48 berwarna hijau gelap.
Tabel 4 Hasil pengamatan histopatologi lambung mencit kelompok paraquat dan
yang tidak diberi paraquat
Jam ke
-
Paramater perubahan
Deskuamasi
epitel
Detached mucosa Penyebaran gas Bakteri
T P T P T P T P
0 0 0 0 1 0 1 0 0
1 1 1 1 1 1 1 0 0
2 1 1 1 1 1 1 0 0
4 1 1 1 3 1 2 0 0
6 2 2 1 3 1 2 0 0
8 2 3 1 3 1 3 1 2
12 2 3 2 3 2 3 1 2
16 2 4 2 4 2 4 4 2
20 4 4 4 4 4 4 4 2
24 4 4 4 4 4 4 4 2
36 4 4 4 4 4 4 4 3
48 4 4 4 4 4 4 4 4 Keterangan: T: Tidak diberi paraquat , P: Paraquat
9
Tabel 5 Hasil pengamatan histopatologi usus mencit kelompok paraquat dan yang
tidak diberi paraquat
Jam ke
-
Paramater perubahan
Deskuamasi
epitel
Detached mucosa Penyebaran gas Bakteri
T P T P T P T P
0 0 0 0 0 0 1 0 0
1 1 1 1 1 1 1 0 0
2 1 1 1 1 1 1 0 0
4 2 2 1 2 2 2 0 0
6 2 2 1 3 2 2 1 0
8 2 2 1 3 2 2 2 0
12 3 4 2 4 3 4 2 3
16 4 4 4 4 4 4 3 3
20 4 4 4 4 4 4 4 3
24 4 4 4 4 4 4 4 4
36 4 4 4 4 4 4 4 4
48 4 4 4 4 4 4 4 4 Keterangan: T: Tidak diberi paraquat , P: Paraquat
Perbandingan keadaan inti sel piknosis, karyorheksis, dan karyolisis sel-sel
lambung mencit pada kelompok paraquat maupun yang tidak diberi paraquat
disajikan pada Gambar 6 dan 7, dan perubahan inti yang sama pada sel-sel usus
kedua kelompok mencit disajikan pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 6 Grafik perbandingan keadaan inti sel lambung kelompok yang tidak
diberi paraquat
Gambar 7 Grafik perbandingan keadaan inti sel lambung kelompok paraquat
0
1
2
3
4
5
0 1 2 4 6 8 12 16 20 24 36 48
Sk
ala
ker
usa
ka
n
Jam pengamatan pasca kematian (jam)
piknosis
karyorheksis
karyolisis
0
1
2
3
4
5
0 1 2 4 6 8 12 16 20 24 36 48
Sk
ala
ker
usa
ka
n
Jam pengamatan pasca kematian (jam)
piknosis
kayoheksis
karyolisis
10
Gambar 8 Grafik perbandingan keadaan inti sel usus kelompok yang tidak diberi
paraquat
Gambar 9 Grafik perbandingan keadaan inti sel usus kelompok paraquat
Gambaran perubahan mikroskopis usus seperti deskuamasi epitel,
detached mucosa, penyebaran gas, penyebaran bakteri, dan keadaan inti sel
disajikan pada Gambar 10, 11, dan 12.
Gambar 10 A. Deskuamasi usus kelompok paraquat jam ke-1 dengan skor (+); B.
Detached mucosa usus kelompok yang tidak diberi paraquat jam ke-
12, dengan skor (+++). Pewarnaan HE, bar 20 μm.
0
1
2
3
4
5
0 1 2 4 6 8 12 16 20 24 36 48
Sk
ala
ker
usa
ka
n
Jam pengamatan pasca kematian (jam)
piknosis
karyorheksis
karyolisis
0
1
2
3
4
5
0 1 2 4 6 8 12 16 20 24 36 48
Skal
a ke
rusa
kan
Jam pengamatan pasca kematian (jam)
piknosis
karyorheksis
kayolisis
11
Gambar 11 A. Penyebaran gas pada lambung kelompok paraquat jam ke-8,
dengan skor (+++); B. Penyebaran bakteri bentuk batang berwarna
biru di jaringan usus. Pewarnaan HE, bar 20 μm.
Gambar 12 Perubahan inti sel pada usus jam ke-6. Inti sel piknosis (tanda panah
merah), inti karyorheksis (tanda panah biru) dan karyolisis (tanda
panah kuning). Bar 20 μm.
Pembahasan
Hasil pengamatan pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan lalat mulai mendekat ke
kadaver pada jam ke-4 pada mencit kelompok paraquat, sedangkan kelompok
yang tidak diberi paraquat pada jam ke-1. Lalat merupakan serangga yang
pertama kali datang pada kadaver (Lord dan Goff 2003). Lalat pada kelompok
paraquat lebih lambat datang karena pada jam-jam awal akumulasi paraquat masih
tinggi sehingga lalat enggan mendekat pada kadaver. Lalat yang datang dari jenis
lalat hijau yang termasuk dalam famili Calliphoridae. Menurut Oliveira et al.
(2011), Calliphoridae memiliki peran yang sangat penting dalam proses
dekomposisi. Selanjutnya, jangkrik mulai terlihat pada jam ke-8 untuk kelompok
paraquat, dan jam ke-12 untuk kelompok yang tidak diberi paraquat. Jam ke-8
hari sudah malam sehingga lalat sudah tidak beraktivitas lagi. Menurut Hadi dan
Soviana (2010), lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai
cahaya, sehingga pada malam hari lalat biasanya menjadi tidak aktif. Kedatangan
lalat juga tergantung pada iklim, cuaca, dan lokasi (Catts 1992).
12
Selain lalat dan jangkrik, semut juga mendekat pada kelompok paraquat
pada jam ke-12, sedangkan kelompok yang tidak diberi paraquat pada jam ke-36.
Semut lebih cepat hadir pada kelompok paraquat, karena semut mulai berdatangan
pada jam waktu paruh paraquat mulai hilang. Waktu paruh paraquat bekisar 5-84
jam. Kedatangan semut lebih lambat daripada lalat. Hal tersebut karena dalam
proses pembusukan kedatangan semut terjadi pada tahap ketiga yaitu, active or
decay stage ( Gennard 2007).
Lalat merupakan invertebrata primer yang mendekomposisi komponen
organik hewan. Lalat mendekat karena tertarik dengan bau bangkai dan untuk
mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh bangkai. Serangga yang
tertarik pada bangkai secara umum dapat dikategorikan menjadi empat kelompok
yaitu spesies necrofagus, parasit dan predator yang memakan spesies necrofagus,
dan spesies omnivora. Spesies omnivora misalnya semut, tawon, dan beberapa
kumbang yang memakan jaringan tubuh bangkai serta serangga tertentu (Goff
1991).
Pada mencit kelompok yang tidak diberi paraquat jam ke-36, ditemukan
belatung pada organ-organnya. Belatung merupakan larva lalat, yang
keberadaannya sesuai dengan siklus hidup lalat. Telur lalat menetas setelah 12
jam, tergantung dari suhu sekitarnya. Telur yang baru menetas disebut larva Instar
I, berukuran panjang 2 mm. Setelah 1-4 hari kulit terlepas, keluar larva Instar II
(Wahyu 2009). Menurut Pangaila et al. (2014), larva lalat akan dijumpai setelah
terjadi pembentukan gas pembusukan, yaitu kira-kira 36-48 jam pasca kematian.
Pada kelompok paraquat tidak ditemukan belatung. Hal ini disebabkan paraquat
yang bersifat toksik untuk serangga, sehingga larva lalat tidak bisa berkembang.
Larva lalat ditemukan di rongga perut, karena lalat meletakkan telur di bagian
tubuh terbuka sehingga dengan mudah larva lalat mencari tempat berkembang
dalam rongga tubuh. Menurut Pangaila et al. 2014, kumpulan telur lalat telah
dapat ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung
dan diantara bibir. Selain itu, lalat tertarik pada bagian tubuh yang terbuka, luka
terbuka, dan darah pada kadaver untuk mendapatkan makanan dan meletakkan
telur (Catts 1992).
Bau bangkai pada mencit kelompok paraquat mulai tercium pada jam ke-4,
sedangkan pada kelompok yang tidak diberi paraquat mulai dapat tercium pada
jam ke-36. Menurut Pangaila et al. (2014), adanya bakteri yang memproduksi gas
menyebabkan bau busuk. Bau pada kelompok paraquat terjadi lebih cepat,
disebabkan paraquat mempercepat proses dekomposisi.
Pada pengamatan warna kulit, pseudomelanosis kulit kelompok paraquat
terjadi mulai jam ke-1, sedangkan kelompok yang tidak diberi paraquat terjadi
pada jam ke-2. Menurut Bardale (2012), kulit akan mengalami perubahan
morfologi pada periode post mortem. Pseudomelanosis terjadi diakibatkan radikal
bebas yang dihasilkan paraquat memutuskan ikatan antara hemoglobin dan
oksigen (Yuningsih 2013). Terbentuknya Fe-S dari reaksi sulfhemoglobin (Sulf-
Hb) akan mewarnai jaringan (Pangaila et al. 2014).
Pada jam ke-16, mata mencit kelompok paraquat dan yang tidak diberi
paraquat mulai berubah menjadi cekung dan keruh. Mata cekung terjadi akibat
penurunan tekanan intraokuler setelah kematian (Aggarawal 2004), sedangkan
kekeruhan mata diakibatkan kekeringan pada lensa mata (Pierro-Bonete et al.
2015).
13
Pada jam ke-24, kedua kelompok sama-sama mulai mengalami kerontokan
rambut. Menurut Pangaila et al. 2014, akibat proses pembusukan rambut mudah
dicabut. Terhentinya suplai darah dan oksigen ke folikel rambut menyebabkan
folikel rambut mati.
Pada jam ke-36, sebagian organ seperti mata, mandibula, dan otak sudah
menghilang pada kedua kelompok mencit. Hilangnya organ-organ tersebut karena
dimakan serangga.
Pada pengamatan suhu dan kelembaban, suhu lingkungan berkisar antara
22 °C-32 °C dengan kelembaban 40%-77%. Suhu dan kelembaban lingkungan
penelitian cukup untuk lalat bertelur dan larva lalat berkembang. Menurut
Adamski et al. (2016), tekanan atmosfer dan temperatur yang tinggi dapat
mempercepat dekomposisi, sedangkan menurut Nandy (2000), jarak optimal
temperatur untuk dekomposisi adalah 21 °C-38 °C. Temperatur yang optimal akan
membantu dekomposisi, dengan membantu pemecahan kimiawi jaringan dan
perkembangan mikroorganisme yang membantu pembusukan. Temperatur yang
ekstrim (<0 °C atau >45 °C) akan memperlambat dekomposisi secara kasat mata.
Menurut Pangaila et al. (2014), pembusukan lebih mudah terjadi pada udara
terbuka dengan suhu lingkungan yang panas dan kelembaban tinggi. Jenis tanah
juga akan mempercepat dekomposisi mayat (Carter et al. 2010). Selain faktor
eksternal, faktor internal juga mempengaruhi dekomposisi seperti umur, jenis
kelamin, kondisi tubuh, penyebab kematian, dan adanya perlukaan luar tubuh
(Nandy 2000).
Hasil pengamatan patologi anatomi lambung pada jam ke-48 kelompok
yang tidak diberi paraquat berwarna merah kehitaman, sedangkan kelompok
paraquat berwana hijau gelap (Gambar 4). Warna lambung merah kehitaman
karena adanya akumulasi Fe-S dari lisisnya eritrosit pada proses pembusukan,
sedangkan lambung hijau pekat karena akumulasi cairan paraquat pada lambung.
Jam ke-0 usus kelompok yang tidak diberi paraquat berwarna merah muda,
sedangkan kelompok paraquat berwarna merah muda sebagian kuning. Pada jam
ke-48 usus kelompok yang tidak diberi paraquat menjadi merah kehitaman,
sedangkan kelompok paraquat berwarna hijau gelap (Tabel 3, Gambar 5).
Menurut Nandy (2000), tanda-tanda mulainya dekomposisi mayat adalah
terjadinya pembengkakan pada bagian inferior tubuh karena cairan turun
mengikuti gravitasi. Integritas dari organ juga sudah lebih rapuh secara fisiologis.
Konsistensi kulit, otot, dan organ-organ lain akan berubah menjadi sangat
terdisosiasi.
Pada 24-36 jam setelah kematian, di perut dan usus akan muncul bercak
merah kehitaman di dinding posterior, yang perlahan menyebar ke dinding
anterior lalu terbentuk kista berisi gas. Organ kemudian menjadi lembek dan
cokelat kehitaman. Selain itu, pada 24 jam postmortem akan tampak warna
kehijauan yang dimulai dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan
berbau busuk karena terbentuk gas HCN dan H2S. Warna hijau tersebut
disebabkan oleh terbentuknya sulf-Hb, dimana H2S yang berasal dari pemecahan
protein akan bereaksi dengan Hb yang akan membentuk Hb-S dan Fe-S. Bakteri
yang masuk dan berkembang biak pada pembuluh darah menyebabkan hemolisis.
Adanya reaksi hemoglobin dan hydrogen sulfide kemudian mewarnai dinding
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya sehingga hitam kehijauan (Pangaila et al.
2014). Menurut Yuningsih et al. (2013), pemberian herbisida paraquat diklorida
14
per-oral juga berpengaruh pada organ-organ lain seperti hati, saluran pencernaan,
paru-paru, jantung, ginjal, dan otak.
Lambung pada kedua kelompok sama-sama mulai mengalami deskuamasi
epitel pada jam ke-1. Deskuamasi epitel adalah lepasnya sel epitel dari permukaan
mukosa, sebagai respon pertahanan jaringan terhadap suatu rangsangan (iritan).
Deskuamasi epitel juga terjadi pada reaksi fisiologis tubuh. Dalam keadaan
normal, lapisan sel-sel epitel saluran pencernaan terus-menerus berganti dan
regenerasi dengan cara deskuamasi setiap 1-3 hari. Detached mucosa dan
penyebaran gas kelompok paraquat terjadi mulai jam ke-0, sedangkan kelompok
yang tidak diberi paraquat mulai jam ke-1. Detached mucosa merupakan
terpisahnya tunika muskularis dengan lapisan submukosa akibat adanya gas.
Menurut Windarti et al. (2015), pengaruh paraquat di jaringan akan terlihat dalam
hitungan jam setelah absorbsi. Munculnya bakteri pada kedua kelompok
bersamaan, yaitu pada jam ke-8.
Hasil pengamatan mikoskopis usus menunjukkan usus kedua kelompok
sama-sama mulai mengalami deskuamasi epitel dan detached mucosa pada jam
ke-l. Penyebaran gas pada kelompok paraquat mulai terjadi pada jam ke-0,
sedangkan pada kelompok yang tidak diberi paraquat mulai jam ke-1. Menurut
Silva et al. (2015), perubahan yang terjadi pada usus merupakan reaksi pertahanan
jaringan dalam melawan penyerapan paraquat. Penyebaran bakteri terjadi mulai
jam ke-6 pada kelompok yang tidak diberi paraquat dan jam ke-12 pada kelompok
paraquat. Menurut Wahyu (2009), kerusakan jaringan disebabkan oleh bakteri
yang berasal dari usus seperti Clostridium welchii dan proses autolisis akibat kerja
digestif enzim-enzim yang dilepaskan sel setelah kematian. Bakteri yang teramati
berbentuk batang.
Inti sel piknosis pada sel lambung kelompok yang tidak diberi paraquat
mulai terjadi pada jam ke-1, sedangkan kelompok paraquat jam ke-0. Inti sel
karyorheksis mulai terjadi pada jam ke-2 untuk kelompok yang tidak diberi
paraquat dan jam ke-1 untuk kelompok paraquat. Menurut Pallot et al. (1991),
dalam 2 jam kematian inti sel akan memperlihatkan hiperkromatik dan sitoplasma
yang lebih eosinofilik, yang dikenal dengan piknosis. Inti sel karyolisis mulai
terjadi pada jam ke-4 kelompok yang tidak diberi paraquat dan jam ke-1 pada
kelompok paraquat. Kelompok paraquat lebih cepat mengalami perubahan inti sel.
Hal tersebut karena paraquat dapat menginduksi lipid peroksidase, sehingga
menyebabkan gangguan fungsi sel membran akibat hilangnya regulasi Ca2+
intra
seluler (Indika & Buckley 2011).
Proses dekomposisi pada kedua kelompok mencit berjalan menuju autolisis.
Autolisis pada kelompok paraquat dimulai pada jam ke-16, sedangkan kelompok
yang tidak diberi paraquat pada jam ke-20. Lambung, usus dan vesika urinaria
akan mengalami lisis 12 jam postmortem, sedangkan hati pada 24 jam
postmortem. Kelompok paraquat lebih cepat mengalami perubahan inti sel karena
kemampuan paraquat mempengaruhi siklus redoks dan membentuk ROS,
sehingga enzim lambung terpengaruh. Mekanisme kerja paraquat dapat dilihat
secara lengkap pada Gambar 13 (Muhartono et al. 2016).
Menurut Karadzic et al. (2010), autolisis terjadi lebih cepat di jaringan yang
memiliki enzim autolitik, seperti pankreas dan lambung. Proses autolisis
menyebabkan hilangnya struktur jaringan dan sel. Kerusakan jaringan lambung
juga diperparah oleh bakteri. Tingkat autolisis sangat bervariasi sesuai dengan
15
suhu lingkungan, ukuran badan, status nutrisi, dan penyakit yang diderita.
Autolisis lebih cepat terjadi pada suhu tubuh 37 °C, sesuai dengan suhu optimal
enzim (Lilingan et al. 2016).
Inti sel usus juga mengalami piknosis, karyorheksis, dan karyolisis. Inti sel
piknosis mulai terjadi pada jam ke-1 pada kelompok yang tidak diberi paraquat,
sedangkan kelompok paraquat pada jam ke-0. Inti sel karyorheksis mulai terjadi
pada jam ke-2 kelompok yang tidak diberi paraquat, sedangkan kelompok
paraquat jam ke-1. Inti sel karyolisis mulai terjadi pada jam ke-4 pada kelompok
yang tidak diberi paraquat dan jam ke-1 pada kelompok paraquat. Usus kelompok
paraquat lebih cepat mengalami autolisis yaitu pada jam ke-12, sedangkan untuk
kelompok yang tidak diberi paraquat jam ke-16. Hal tersebut dikarenakan
terserapnya paraquat mono-cation radical (PQ) oleh vili-vili usus (Muhartono et al.
2016). Paraquat sangat cepat diabsorbsi melalui inhalasi dan melalui usus setelah
tertelan. Absorbsi setelah intake oral sekitar 10%, dan tempat absorbsi utama dari
paraquat adalah usus halus.
Menurut Yadav et al. (2015), kematian sel pada organisme hidup disebut
nekrosis yaitu kematian sel lokal, sedangkan kematian sel seluruh tubuh setelah
kematian seseorang disebut sebagai autolisis post mortem. Sel yang mengalami
kematian mempunyai perubahan pada inti yang tipikal yaitu piknosis, karyoreksis,
dan karyolisis.
Gambar 13 Mekanisme kerja paraquat pada saluran pencernaan (Muhartono et al.
2016)
Herbisida paraquat diklorida
Paraquat mono-cation radical (PQ+
)
Masuk ke usus halus, menyebabkan ulserasi pada usus halus
Masuk melalui oral, dan menyebabkan ulserasi pada esofagus
Di dalam saluran pencernaan, paraquat dimetabolisme oleh beberapa sistem
enzim seperti NADPH-Cytochrome p450 reductase, xantin oksidase, NADH,
ubiquinone oxireductase, dan nitric oxide synthase
Paraquat mono-cation radical (PQ+
) diserap oleh vili-vili di usus halus,
masuk ke kapiler yang terdapat pada lamina propria
16
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kelompok mencit yang diberi paraquat secara intragastrik lebih cepat
mengalami pembusukan dibanding kelompok yang tidak diberi paraquat yang
ditandai adanya bau, pseudomelanosis dan serangga yang datang lebih lambat.
2. Kerusakan jaringan lambung dan usus kelompok paraquat lebih hebat
dibanding kelompok yang tidak diberi paraquat, dengan parameter detached
mucosa, penyebaran gas, dan perubahan inti sel.
3. Hasil penelitian ini dapat dikembangkan untuk kepentingan forensik veteriner.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti penambahan parameter
pengamatan rigor mortis, jumlah dan jenis serangga yang datang, identifikasi
bakteri, dan analisis DNA.
DAFTAR PUSTAKA
Adamski M, Zmudzki P, Chrapusta T, Baber B, Kaminski A, Zabagiok,
Latkawska E, Bialczyk. 2016. Effect of pH and temperature on the stability of
cylindrospermopsin characterization of decomposition products. Algal
Research. 15:129-134.
Aggrawal A. 2014. APC Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. Ne
Delhi (IN): Avicahal Pub.
Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical
Correlates. Spain: Manson Publishing Ltd.
Bardale RV, Tumram NK, Dixt PG, Deshmukh AY. 2012. Evaluation of
histologis changes of skin in postmortem period. Am J Forensic Med Pathol.
33 (4):357-361.
Bloom, Fawcett. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi 9. Jakarta (ID): EGC.
Brown J. 2009. Veterinary Forensics Giving a Voice to Those Who Cannot Speak
For Themselves. USA: Washington State University.
Caloni F, Berny P, Croubels S, Sachana M, Guitart R. 2012. Veterinary
Toxicology Basic and Clinical Principle. London (UK): Elsevier.
Carter DO, Yellowlees D, Tibbet M. 2010. Moisture can be the dominant
Environmental parameter governing cadaver decomposition in soil. Forensic
Science International. 200:60-66.
Catts EP. 1992. Problems in estimating the postmortem interval in death
investigations. J Agric Entomsl. 9(4):245-255.
Collier JH. 2005. Estimating the postmortem interval in forensic case through the
analysis of postmortem deterioration of human head hair [thesis]. Louisiana
(USA): Northwestern State University.
Cope RB, Bildfell RJ, Valentine BA, White KS, Cooper BJ, Oncken A. 2004.
Fatal paraquat poisoining in seven Portland, Oregon, dogs. Vet Hum Toxicol.
46(5):258-64.
17
Dere E, Polat F. 2001. The effect of paraquat on the activity of some enzymes in
different tissue of mice (Mus musculus – Swiss albino). Turk J Biol. 25:323-
332.
Gartner L, Hiatt JL. 2001. Colour Textbook of Histology. Philadelphia: W.B
Saunders Company. hlm 383-396.
Gawarammana IB, Buckley NA. 2011. Medical management of paraquat
ingestion. Br J Clin Pharmacol. 72(5): 745-57.
Gennard DE. 2007. Forensic Entomology : An Introduction. West Sussex: John
Wiley & Sons Ltd.
Goff ML. 1991. Comparison of insect species associated with decomposing
remains recovered inside dwellings and outdoors on the Island of Oahu,
Hawaii. J Forensic Sci. 36:784-753.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektopaasit : Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.
Henssge C, Bernard K. 2002. The Estimation of The Time Since Death in The
Early Postmortem Period. London: Arnold.
Indika G, Buckley N. 2011. Medical Management of Paraquat Ingestion.
Australia : British Journal of Clinical Pharmacology.
Karadzic R, Ilic G, Antovic A, Banovic LK. 2010. Autolytic ultrastructural
changes in rat and human hepatocytes. Rom J Leg Med. (18):247 – 252.
Kent A. 1985. Laboratory Manual Hisopatologi. Bogor (ID): Balai Penelitian
Veteriner.
Lilingan M, Kalangi SJR, Wangko S. 2016. Gambaran histologik gaster pada
hewan coba selama 24 jam postmortem. Jurnal e-Biomedik (eBm). 4 (1).
Listos Piotr, Magdalena G, Marek K. 2015. Analysis of cases of forensic
veterinary opinions produced in a research and teaching unit. Journal of
Forensic and Legal Medicine. 36:84 – 89.
Lord WD, Goff ML. 2003. Forensic entomology: application of entomological
methods to the investigation of death. In: Froede RC (ed) Handbook of
Forensic Pathology, 2nd
edition. CAP Illinois.
Muhartono, Windarti I, Septo D, Susianti. 2016. Risiko Herbisida Paraquat
Diklorida terhadap Ginjal Tikus Putih Spraque Dawley. Jurnal Kedokteran
Brawijaya. 29 (1).
Nandy A. 2000. Identification of Individual in Principle of Forensic Medicine 2nd
Edition. Calcuta: New Central Book Agency Publisher.
Oliveira RJ. 2008. Paraquat poisonings : mechanism of lung toxicity, clinical
features, and treatment. Critical Reveiws in Toxicology. 38:13-71.
Oliveira AR, Farinha A, Rebalu MT, Dias D. 2011. Forensic entomology :
Molecular identification of blowfly species (Diptera: Calliphoridae) in Portugal.
Forensic science international. (3):e439-e440.
Pallot DJ, Seker M, Abramovici A. 1992. Postmortem changes in the normal rat
carotid body : possible implication for human histopathology. Virchows Archiv
A Pathol Anat. 420:31 – 35.
Pangaila SKI, Kristanto EG, Mallo JF. 2014. Gambaran kecepatan pembusukan
hewan coba di daerah pesisir pantai Manado [skripsi]. Manado (ID):
Universitas Sam Ratulangi.
18
Pierro-bonete G, Perez-carceles MD, Luna A. 2015. Morphological and
histological changes in eye lens: possible application for estimating postmotem
inteval. Elsevier. 17(6):437-442.
Raini M. 2007. Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan
Pestisida. MedLitBang Kes. 17(3):10-18.
Silva R, Carrno H, Vilas BV, Barbosa DJ, Monteiro M, Dinho PG, Bastos ML,
Rernia. 2015. Several transport systems contribute to the intestinal uptake of
paraquat modulating its cytotoxic effects. Toxicology Letters. 232:271 – 283.
Sriyani M, Salam AK. 2008. Penggunaan Metode Bioassay untuk Mendeteksi
Pergerakan Herbisida Pasca Tumbuh Paraquat dan 2,4-D dalam Tanah. J.
Tanah Trop. 13(3):199-208.
Sukirno. 2008. SaluranPencernaan [Internet]. [2016 Feb 25]. Tersedia pada:
http://sukirnosukirn.com.
Wahyu N. 2009. Perbedaan genus larva lalat pada bangkai tikus wistar diletakkan
di darat, air tawar, dan air laut [skripsi]. Semarang (ID): Unversitas
Diponegoro.
Windarti I, Muhartono, Widayana IGE. 2016. Pengaruh herbisida paraquat
dichlorida oral terhadap derajat kerusakan pada eosfagus tikus. JuKe Unila.
5(9).
Xu RJ, Cranwell PD. 2003. The Neotanal Pig: Gastrointenstinal Phisiology and
Nutrition. United Kingdom (GB): Nottingham University Press.
Yadav AB, Angadi PV, Kale AD, Yadov SK. 2015. Histological assesment of
cellular changes in postmortem gingival specimens for estimation of time since
death. Journal of Forensic Odontostomatology. 33(1):19 – 26.
Yuningsih, Rini D, Prima MW. 2013. Efek Pemberian Hijauan yang Telah Diberi
Herbisida Paraquat (Gramoxone) Terhadap Kelainan Patologis pada Organ
Kambing. Didalam: Ekayanti MK, Wien K, Dwi S, Asrul , Judhi R, Paskah PA,
Wulansih DA, Baharuddin T, Yantyati W, Puspita L, Syahruddin S, Ramlanto,
Muhamad DA, Warda T, editor. Seminar Nasional dan Forum Komunikasi
Industri Peternakan; 2013 sept 18-19; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat
Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 642-651.
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Puding Baru, Sumatera Selatan pada tanggal
28 oktober 1994. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan
Nizam dan Marleni. Pada tahun 2006 penulis masuk ke SMPN No. 01 Lawang
Kidul hingga tahun 2009. Selanjutnya, penulis masuk ke SMA Bukit Asam
Tanjung Enim dan lulus tahun 2012. Penulis melanjutkan studi dengan mengikuti
jalur Beasiswa Utusan Daerah IPB tahun 2012 dan diterima sebagai mahasiswa
Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi dan
kepanitiaan kampus, yaitu pengurus Divisi Pendidikan pada Himpro Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) dan pengurus Divisi Kajian
Strategis Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (PC IMAKAHI IPB)
periode 2014 – 2016. Di luar kampus, penulis juga bergabung dalam Ikatan
Mahasiswa Bumi Sriwijaya.