1
2
KOMODIFIKASI BALE SAKARORAS: Studi Perubahan Arsitektur Tradisional Bali dalam Industri Pariwisata
Oleh
Dr. Ir. Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si
A. Pendahuluan
Pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian Bali, kerap
dipandang sebagai penyebab perubahan sosial-budaya yang cepat dan
massif. Komodifikasi menjadi implikasi yang sulit dihindari karena industri
pariwisata cenderung memosisikan subjek dan objek wisata sebagai
komoditas. Hal ini sejalan dengan pendapat Burns (1995:31) bahwa:
“The tourist has become a symbol, a form of postmodern commodity,
which passes between countries, encouraging international money to
flow in persuit of it. The ‘gaze’ may be seen from two different views.
The tourist may be seen as a ‘commodity’ by countries bringing
economic benefits, while the tourist may ‘gaze’ upon the destination,
as a form of commodity competing with other alternative purchases
for his/her discretionary income”.
(‘Wisatawan telah menjadi bentuk simbol komoditas posmodern
yang melewati batas negara, mendorong aliran keuangan
internasional secara bebas. Pariwisata dapat dipandang dari dua
sudut pandang yang berbeda. Wisatawan dipandang sebagai
komoditas oleh suatu daerah yang mendapatkan keuntungan dari
kehadirannya, sedangkan wisatawan memandang daerah tujuan
wisata sebagai komoditas dengan harga yang kompetitif sehingga
dapat dipilih untuk dikunjungi sesuai kemampuannya’).
Wisatawan merupakan subjek utama komodifikasi. Berbagai objek
wisata dikomodifikasi untuk kepentingan wisatawan, sebaliknya wisatawan
itu sendiri adalah komoditas bagi industri pariwisata. Hubungan timbal balik
inilah yang menyebabkan komodifikasi merambah semua aspek yang
bersangkut-paut dengan kepariwisataan, baik alam maupun budaya. Dalam
konteks ini, arsitektur bangunan tradisional Bali ternyata juga tidak lepas
dari terjadinya proses komodifikasi tersebut. Salah satunya adalah bangunan
bale sakaroras sebagai unsur penting struktur rumah tinggal tradisional
Bali. Komodifikasi bale sakaroras ini nyaris terjadi pada semua wilayah
destinasi utama wisata di Bali, seperti Ubud dan Kuta.
3
Pada masa lalu, bale sakaroras merupakan bangunan utama dalam
struktur rumah tempat tinggal orang bali. Bale sakaroras menempati posisi
di sebelah timur (kangin) atau selatan (kelod) dekat dengan dapur (paon).
Bentuk denah bangunan adalah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 6 x 6
meter. Konstruksi atap limasan berpuncak satu (konstruksi payung), dengan
atap dari alang-alang. Jumlah tiang atau saka sebanyak 12 (dua belas) buah
yang berfungsi sebagai penerus beban atap ke tanah melalui jongkok asu
(sendi). Bale sakaroras mempunyai fungsi untuk sumanggen atau kegiatan
adat dan serba guna. Namun seiring terjadinya komodifikasi, bale sakaroras
pun mengalami perubahan bentuk, fungsi, dan maknanya. Atas dasar itulah,
komodifikasi bale sakaroras dibahas dalam artikel ini.
B. Pembahasan
1. Telaah Teoretik
Dalam Webster's New World Encyclopedia dijelaskan bahwa
komodifikasi berasal dari kosa kata Inggris, yakni 'commodification' dari
akar kata 'commodity', yang artinya something produced for sale (‘sesuatu
dibuat untuk dijual’). Pengertian ini berkembang pada seputaran abad XIX
seiring meluasnya pengaruh gagasan Marxis mengenai ekonomi kultural.
Dalam kerangka inilah, Lash (2004:54) merumuskan konsep komodifikasi
adalah proses sosial budaya yang menempatkan seluruh objek kultural
sebagai komoditas.
Menurut Marx, komoditas merupakan keberadaan yang memiliki
nilai tukar dan berarti mereka yang dijual ke pasar. Nilai merupakan faktor
yang ada bersama dalam hubungan pertukaran. Komodifikasi berasal dari
keinginan konsumen, tidak pada nilai guna yang konkret dan khusus dari
suatu produk, melainkan terhadap nilai tukarnya sehingga konsumen dapat
menentukan produk yang ingin dikonsumsinya karena kemampuannya
untuk membayar (Lash, 2004:55-59). Hal yang mencolok terjadi dalam
kecenderungan ini adalah tumbuhnya consumer culture di kota-kota yang
menjadi bagian dari proses ekspansi pasar. Konsumsi menjadi faktor penting
yang mengubah tatanan nilai dan tatanan simbolis (Abdullah, 2006:113).
4
Komodifikasi merupakan proses sosial budaya yang dominan terjadi
pada masyarakat modern. Hal ini ditegaskan oleh dua postulat utama Marx
dan Engels tentang determinisme ekonomi dan mekanisme perubahan.
Pertama, Marx menyatakan bahwa faktor ekonomi merupakan penentu
fundamental bagi struktur dan perubahan masyarakat. Kedua, mekanisme
perubahan sosial harus dipahami dalam tiga tahap yang selalu tampak, yaitu
tesis (arfirmasi), antitesis (negasi), dan sintesis (rekonsiliasi). Dari ketiga
tahap tersebut, setiap sistem produksi dan ekonomi selalu mulai sebagai
suatu tesis, yaitu orde yang paling baik (Garna, 1992:43-44).
Singkatnya, Marx memandang bahwa bangunan dasar suatu
masyarakat dan segala perubahan sosial berpusat pada ekonomi. Dengan
demikian seluruh struktur sosial, baik itu superstruktur (ideologi, hukum,
agama, standar moral, estetika dan seni) maupun infrastruktur (standar
modal/kepemilikan dan standar industri/alat-alat produksi) seluruhnya
merupakan bangunan ekonomi kapitalis. Kapitalisme telah melahirkan
model ekonomi kultural secara meluas sehingga seluruh objek kultural
adalah komoditas. Komoditas merupakan keberadaan yang memiliki nilai
tukar, berarti bahwa mereka dijual di pasar (Lash, 2004:55).
Marx mengatakan bahwa sebelum kapitalisme objek-objek kultural
memiliki nilai guna, tetapi kapitalisme menekankan pada nilai tukarnya.
Nilai guna bersifat kualitatif, sedangkan nilai tukar bersifat kuantitatif.
Menurut Marx, komoditas memiliki empat ciri yang terdiri atas: dua ciri dari
“penawaran”, yaitu (a) nilai; dan (b) nilai guna, dan dua ciri dari
“permintaan”, yaitu (a) nilai tukar; dan (b) nilai guna bagi konsumen. Ciri
pertama menunjukkan nilai pada lingkup produksi, yaitu nilai dan nilai guna
dari keberadaan objek kultural itu sendiri. Ciri kedua bahwa objek kultural
ditempatkan pada lingkup konsumsi, yaitu nilai tukar dan nilai guna bagi
konsumen. Di sini, objek-objek kultural memiliki karakter ganda dalam
dirinya sendiri. Namun bagi Marx, ciri pokok komodifikasi adalah nilai
tukar yang direalisasikan dan berkuasa sehingga mengesampingkan ketiga
ciri yang lain (Lash, 2004:56).
5
2. Industri Pariwisata dan Proses Komodifikasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:431)
dijelaskan bahwa industri pariwisata adalah usaha di bidang pariwisata
seperti, hotel, restoran, biro perjalanan, dan toko seni (artshop). Industri,
pariwisata sengaja dikelola dan dikembangkan untuk tujuan meningkatkan
pendapatan daerah, maupun peningkatan perekonomian masyarakat. Konsep
ini menegaskan bahwa industri pariwisata memang berorientasi pada
perolehan keuntungan (profit oriented).
Industri pariwisata menjadi primadona pembangunan perekonomian
Bali, bahkan sebagai tulang punggungnya. Bali mengembangkan konsep
pariwisata budaya (culture tourism) karena kebudayaan adalah modal dasar
Bali yang berfungsi secara normatif dan operasional. Secara normatif bahwa
peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan
identitas, pegangan dasar, pola pengendalian sehingga keseimbangan dan
ketahanan budaya dapat diwujudkan. Sementara itu, secara operasional
kebudayaan diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan
pariwisata (Mantra, 1994:35).
Industri pariwisata memang terbukti memberikan pengaruh yang
signifikan bagi perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun
budaya. Hal itu menuntut perhatian lebih dari para pengambil kebijakan di
sektor pariwisata untuk mempertimbangkan kembali pola pengembangan
kawasan wisata agar masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya.
Dengan kata lain, kawasan wisata harus mampu membuka peluang pelibatan
aktif masyarakat sebagai subjek dalam kegiatan industri pariwisata, bukan
sekedar objek. Sekaligus menjadi catatan bahwa faktor kemanusiaan dan
entitas budaya lokal tidak boleh diabaikan. Artinya kehidupan masyarakat
tidak boleh tercerabut dari akar budayanya hanya karena adanya penekanan
segi komersial dari tourism (Taufiq, 2007).
Walaupun demikian, industri pariwisata memang bersifat paradoks
dalam dirinya sendiri. Pada satu sisi. pariwisata yang dikembangkan dengan
mempertahankan entitas budaya lokal dapat memberikan nilai tambah bagi
masyarakat. Sebaliknya, kuatnya tarikan finansial menjadikan industri
6
pariwisata begitu rentan dengan terjadinya komodifikasi. Tuntutan untuk
mendapatkan nilai tukar secara material menjadi orientasi utama industri
pariwisata sehingga unsur-unsur budaya dipandang semata-mata sebagai
komoditas yang layak dilempar ke pasar. Artinya, hubungan antara industri
pariwisata dan proses komodifikasi tidak lepas dari perubahan cara pandang
(perspective) dan sudut pandang (point of view) terhadap orientasi
pengembangan pariwisata itu sendiri. Apabila pariwisata semata-mata
dipahami sebagai komoditas, maka proses komodifikasi pasti berlangsung.
3. Komodifikasi Bale Sakaroras
(a) Sekilas Arsitektur Bangunan Tradisional Bali
Menurut Windhu (1984:12) bahwa rumah orang Bali berpegang
pada ajaran yang tercantum dalam berbagai lontar seperti asta kosala-kosali,
asta bumi, widhi tattwa, dan sebagainya. Bangunan-bangunan dibentuk
sesuai dengan fungsinya menurut petunjuk lontar-lontar tersebut. Semua
unsur, seperti tata letak dan tata ruang menjadi pertimbangan utama. Secara
tradisional, arsitektur bangunan tradisional Bali mewujudkan ajaran tri hita
karana sebagai berikut: (a) Sanggah/Merajan adalah tempat suci keluarga
(parhyangan); (b) rumah tempat tinggal merupakan tempat berinteraksi
antaranggota keluarga (pawongan), sedangkan (c) natah (halaman) dan teba
(pekarangan) adalah unsur palemahan.
Lebih lanjut, Windhu (1984:14) menjelaskan bahwa ajaran tri hita
karana diterapkan dalam bangunan tradisional dapat dilihat sebagai berikut:
Bangunan tradisional benar-benar dianggap dan diperlakukan sebagai
makhluk hidup, sehingga dianggap memiliki kepala, badan, dan kaki. Atap
dengan kerangkanya sebagai kepala; kerangka tiang dan tembok sebagai
badannya, dan pondasi serta lantai bawah sebagai kaki. Sebagai makhluk
hidup ia memiliki atma, jiwa dan tenaga, maka dari itu ia perlu dihidupkan
melalui proses pangurip-urip melalui ritual keagamaan. Setelah melalui
proses itu, bangunan dianggap sudah hidup seperti makhluk lainnya. Hal ini
sangat erat hubungannya dengan konsep tri hita karana yang mendasari
hidup para undagi dan masyarakat pada umumnya.
7
Sumbu orientasi bangunan tradisional Bali dibagi dua. Pertama,
menurut arah matahari terbit dan terbenam disebut sumbu kangin – kauh
(timur – barat) yang religius. Kedua, sumbu kaja – kelod (utara – selatan)
sebagai sumbu bumi, masing-masing dengan nilai utama untuk kaja dan
kangin, nilai madia di tengah dan nilai nista untuk arah kelod dan kauh.
Sumbu ke arah vertikal yaitu bhur loka (alam bawah), bhwah loka (alam
tengah) dan swah loka (alam atas) yang masing-masing dengan nilai utama,
madia, nista. Bila pembagian tiga zone ke arah kangin–kauh dan tiga zone
kearah kaja–kelod disilangkan, terjadi sembilan zone dengan nilainya
masing-masing (Windhu, 1984:18).
Ruangan dalam tembok batas pekarangan mempunyai fungsi untuk
tempat massa-massa bangunan dan di tengah-tengah untuk ruang kosong
disebut natah (halaman tengah). Fungsi natah adalah sebagai pusat orientasi
dan sirkulasi. Natah juga berfungsi untuk penempatan bangunan sementara
(sesalon) pada saat menyelenggarakan upacara agama. Ruangan di luar
tembok pekarangan berupa ruangan di depan pintu masuk pekarangan (kori)
yang disebut lebuh dan ruangan antara tembok pekarangan dengan jalan
yang disebut telajakan. Fungsi lebuh adalah sebagai ruang peralihan keluar
masuk pekarangan dan juga tempat memasang sarana upacara agama
seperti: sanggah cucuk, penjor dan sebagainya. Sedangkan telajakan
berfungsi untuk tempat tanaman hias (Windhu, 1984:19).
Bangunan arsitektur tradisional Bali umumnya memiliki ciri sebagai
berikut. (a) bangunan-bangunan arsitektur tradisional Bali terdiri dari gugus-
gugus kecil, sederhana, dan seimbang; (b) konstruksi kap (kepala bangunan)
berupa kerangka-kerangka yang terdiri dari unsur-unsur lambang, pemade,
pemucu, langit-langit, bentangan balok tarik (pamentang), menjadi satu
kesatuan yang sangat tahan terhadap goncangan. Kerangka kap diperkuat
dengan adanya usuk-usuk yang menyebar ke seluruh lambang, sineb
maupun kolong yang dijepit dengan apit-apit. Hubungan konstruksi tidak
mati (kaku/statis) sehingga dapat mengimbangi goncangan yang mungkin
terjadi. Sistem sambungan titik buhul menggunakan sistem purus dan lait
(pasak); (c) konstruksi badan bangunan terdiri dari bagian kerangka dan
8
bagian dinding. Bagian kerangka berfungsi meneruskan beban atap ke
pondasi melalui tiang-tiang bangunan (saka). Sedangkan bagian dinding
berfungsi sebagai pembatas ruangan dan tidak ikut memikul beban atap.
Bangunan arsitektur tradisional Bali memakai ukuran yang sangat
spesifik, tidak memakai ukuran metrik, dengan mengambil ukuran dari
bagian-bagian tubuh manusia (biasanya diambil dari ukuran orang yang
membangun/pemilik bangunan). Macam-macam ukuran (dimensi)
tradisional Bali adalah (a) Dimensi tradisional untuk konstruksi bangunan :
nyari kacing, nyari lek, nyari lenjong, nyari tujuh, aguli madu, useran tujuh,
aguli, tri adnyana, pitung gana, catur agan kana, sigra pramana, panca
brahma sandi, sangga; (b) Dimensi tradisional untuk halaman: astha, musti,
sedema, cengkang (sakilan), lengkat, tapak, tapak ngandang; (c) Dimensi
tradisional untuk perumahan: depa alit, depa madia, depa agung, astha,
musti, tapak.; dan (d) Dimensi tradisional modul-modul dasar konstruksi :
rai, sirang, paduraksa, caping.
Rumah tempat tinggal merupakan unit-unit perumahan yang diatur
dalam kelompok-kelompok banjar sebagai unit sub lingkungan dalam
sebuah desa. Tingkatan-tingkatan kasta, status sosial serta peranannya di
masyarakat merupakan faktor yang menentukan perwujudan rumah tempat
tinggal yaitu utama, madya, nista (sederhana). Pengelompokan rumah-
rumah tempat tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas
pekarangan, susunan ruang, bentuk bangunan, bahan dan penyelesaiannya
(Mayun, 1985:35).
Nama rumah tempat tinggal ditentukan oleh kasta penghuninya,
sedangkan nama bangunannya ditentukan oleh fungsi dan tipenya. Geria
adalah rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana, puri adalah rumah
tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan, jero,
yaitu rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang
pemerintahan secara langsung, umah, yaitu rumah tempat tinggal untuk
kasta wesia, atau untuk mereka yang bukan dari kasta brahmana atau
ksatria, sedangkan kubu, adalah rumah tempat tinggal di luar pusat
permukiman (Mayun, 1985:36-39).
9
Tipe rumah tinggal yang terkecil bertiang empat dengan luas sekitar
3 x 2,5 m, disebut sakapat, berkembang menjadi bertiang enam (6 x 2 m)
disebut sakanem, bertiang delapan (5 x 2,5 m) disebut sakutus, bertiang
delapan dengan empat tiang diikat dengan balai-balai, dan empat tiang
lainnya diikat dengan sanggahwang sebagai stabilitas (4 x 5 m) disebut
astasari, bertiang sembilan disebut tiangsanga, dan bertiang dua belas (6 x
6 m) disebut sakaroras.
Bangunan sakaroras merupakan bangunan utama untuk perumahan
utama. Bentuk denah bangunan bujur sangkar. Konstruksi atap limasan
berpuncak satu. Dua balai-balai masing-masing mengikat empat tiang. Dua
tiang yang di tengah dari deretan tengah pada ujungnya berisi kencut
sebagai kepala tiang. Bangunan tertutup tembok di dua sisi dan terbuka
kearah natah. Letak bangunan di bagian Timur atau Selatan. Fungsi
bangunan sakaroras untuk sumanggen atau kegiatan adat dan serba guna.
Bangunan sakaroras juga disebut Bale Murdha bila hanya satu balai-balai
mengikat empat tiang di tengah-tengah. Disebut
Pintu masuk pekarangan disebut kori atau kori agung untuk tempat-
tempat yang diagungkan. Fungsinya untuk keluar masuk, sehingga disebut
pemesuan untuk bentuk yang sederhana, atau pemedalan untuk perumahan
dari penghuni yang berkasta. Penyengker karang adalah batas pekarangan
pada keempat sisi pekarangan. Penyengker bangunan pemujaan (tempat
suci) bentuknya memanjang ke arah Timur – Barat. Sedangkan untuk
tembok penyengker perumahan memanjang kearah Utara – Selatan. Selisih
panjang tembok antara tembok ke arah panjang dan ke arah lebar adalah
satu atau dua depa ditambah pengurip. Tinggi tembok batas pekarangan
rata-rata apengadeg untuk rakyat biasa, sedangkan untuk puri apanyuhjuh.
Tembok penyengker dibangun dengan pondasi sebagai kaki, badan tembok
dan atap sebagai kepala tembok. Pada sudut-sudut tembok penyengker
dibangun pilar yang disebut paduraksa, dengan nama masing-masing yaitu
di sudut Timur Laut (kaja kangin) disebut Sariraksa, di sudut Tenggara
(kelod kangin) Ajiraksa, di sudut Barat Daya (kelod kauh) Rudraraksa dan
di sudut Barat Laut (kaja kauh) disebut Kalaraksa (Mayun, 1985:62).
10
(b) Bale Sakaroras
Bale sakaroras adalah bangunan utama untuk perumahan utama.
Bahan bangunan, konstruksi dan penyelesaiannya sesuai dengan fungsinya.
Bentuk bangunan, denah bujur sangkar dengan konstruksi atap limasan
berpuncak satu. Luas bangunan sekitar 6,00 m x 6,00 m. Jumlah tiang 12
buah. Posisi penempatan tiang adalah empat-empat tiga deret dari luan ke
teben. Fungsi tiang adalah sebagai pemikul beban atap dan meneruskannya
ke tanah lewat pondasi tiang. Dinding/tembok bangunan hanya berfungsi
sebagai dinding pembatas ruangan, tidak turut berfungsi sebagai pemikul
beban atap. Bangunan tertutup dua sisi, terbuka ke arah natah. Letak bale
sakaroras di bagian kangin atau kelod dari pekarangan.
Ukuran-ukuran yang dipakai adalah ukuran menurut Hasta Kosali
(depa, hasta, tapak, lengkat, nyari, rai dan sebagainya. Ukuran diambil dari
ukuran pemilik bangunan. Warna bahan bangunan/material sifatnya natural
sesuai dengan warna asli dari bahan tersebut seperti warna coklat, abu-abu,
kuning, hijau, hitam, dan merah. Bahan-bahan adalah bahan-bahan yang
mudah didapat di sekitarnya, murah dan mudah dikerjakan.
Fungsi bale sakaroras adalah untuk sumanggen atau kegiatan adat
dan serba guna. Dalam fungsinya sebagai sumanggen atau kegiatan adat,
bale sakaroras dipergunakan untuk tempat mempersiapkan dan / atau
tempat melaksanakan upakara-upacara yajña (Panca Yajña). Sedangkan
dalam fungsinya sebagai serba guna, bale sakaroras berfungsi untuk tempat
menerima tamu, tempat belajar anak-anak, dan sebagainya.
Secara niskala, bale sakaroras sebagai bhuwana agung memberi
makna ketenangan bathin karena ia adalah merupakan satu kesatuan yang
harmonis dengan manusia pemilik bangunan sebagai bhuwana alit, dimana
semua ukuran yang dipakai dalam pembuatan bale sakaroras, diambil dari
unsur-unsur badan manusia (pemilik bangunan) dan selalu diikuti upacara
yajña sejak persiapan sampai bangunan selesai, serta berfungsi untuk
sumanggen atau kegiatan adat/agama. Sedangkan secara sekala, bale
sakaroras memberikan makna kenyamanan yaitu tempat berlindung
pemiliknya dari gangguan alam seperti hujan, angin, panas dan sebagainya.
11
(b) Bentuk Komodifikasi
Penggolongan arsitektur tradisional Bali secara sederhana diluar
terminologi yang lazim dalam ilmu arsitektur (Sularto, 1971:11. Arsitektur
tradisional murni adalah arsitektur yang masih mengikuti pola, ukuran,
proses, material dan lain-lain yang ditentukan dalam aturan-aturan bangunan
tradisional (umpamanya hasta bhumi, dan hasta kosala kosali). Arsitektur
tradisional, adalah pola arsitektur yang masih mengikuti pola arsitektur
tradisional murni, dengan mengikuti aturan-aturan mengenai ukuran, proses,
material dan lain-lain, tetapi sudah ditafsirkan atau diperkirakan dari
pengertian yang didapat secukupnya mengenai arsitektur tradisional.
Arsitektur tradisional semu adalah pola arsitektur tradisional dengan
mengadakan pembaharuan-pembaharuan di bidang ukuran, proses, material
secara sebagian atau seluruhnya yang tidak adequate (memadai) dengan
arsitektur tradisional murni.
Salah satu di antara massa arsitektur bangunan tradisional Bali
adalah bale sakaroras. Pada zaman dahulu, bangunan sakaroras merupakan
bangunan utama untuk perumahan utama. Bahan bangunan, konstruksi dan
penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bale sakaroras menempati
posisi di sebelah Timur (kangin) atau Selatan (kelod) dekat dengan dapur
(paon). Bentuk denah bangunan adalah bujur sangkar dengan ukuran sekitar
6 x 6 meter. Bale sakaroras mempunyai fungsi untuk sumanggen atau
kegiatan adat dan serba guna.
Dari segi sosial, bangunan sakaroras adalah merupakan bangunan
arsitektur Tradisional Bali yang mempunyai fungsi sebagai bangunan serba
guna. Dari segi agama, bangunan sakaroras merupakan unsur penting
bangunan perumahan arsitektur tradisional Bali yang paling dominan
dipergunakan sebagai tempat kegiatan upacara-upakara keagamaan sehingga
disebut juga dengan nama balai adat atau sumanggen. Bale sakaroras,
merupakan salah satu unsur bangunan perumahan arsitektur tradisional Bali
sangat rentan terhadap berbagai pengaruh, baik pengaruh dari dalam
maupun pengaruh dari luar yang berdampak terjadinya komodifikasi pada
bale sakaroras tersebut.
12
C. Penutup (Rekomendasi)
(a) Perkembangan arsitektur tradisional Bali dalam satu atau dua
generasi mendatang akan sulit ditemui lagi dengan adanya berbagai
faktor yang mempengaruhinya dan akan menimbulkan masalah pula,
kemana arsitektur tradisional tersebut akan dibawa, terbawa, dan
membawa diri selanjutnya.
(b) Terjadi perubahan dan perkembangan sudut pandang serta pola
hidup masyarakat Bali sejalan dengan kemajuan zaman dan laju
perkembangan IPTEK, dan industri pariwisata.
(c) Akomodasi pariwisata rentan berpengaruh terhadap kemungkinan
terjadinya komodifikasi pada bangunan arsitektur tradisional Bali.
(d) Pertambahan jumlah anggota keluarga di masing-masing rumah
tangga di satu sisi, dan terbatasnya persediaan lahan perumahan di
sisi lainnya, dapat memberikan pengaruh terhadap komodifikasi
pada bangunan arsitektur tradisional Bali.
D. Daftar Pustaka
Adhimastra, I Nyoman. 2004. “Penerapan Sistem Metrik dalam Satuan
Gegulak untuk Ukuran Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali”.
Program Magister (S2) Ergonomi Universitas Udayana Denpasar.
Burns. L. 1995. Tourism A New Perspective. London Inc.
Gantini, Ni Wayan. 1994. “Kajian Proporsi Bangunan Tradisional Bali.
Studi Kasus Naskah Hasta Kosali asal Gria Lodrurung Riang Gede
Tabanan – Bali”. Tesis. Program Pascasajana (S2) Arsitektur di
Institut Teknologi Bandung,
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Mayun, I.G.P. 1985. Arsitektur Tradisional Daerah Bali.
Sujadnja, I Putu. 1998. “Kenyamanan Bale Meten serta Faktor yang
Mempengaruhinya di Desa Gianyar”. Tesis. Program Magister (S2)
Ergonomi Universitas Udayana Denpasar.
Sularto. 1971. Arsitektur & Pariwisata Budaya.
Windhu, Ida Bagus. 1984. Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya.