KLASIFIKASI ELASTISITAS DAN PERAN RERATA UPAH
MINIMUM PROVINSI TERHADAP KONSUMSI ROKOK
(STUDI KASUS: 2002 – 2018)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.)
Oleh:
Bagus Pamuncak Negoro
NIM. 11150840000032
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari Kamis, tanggal 9 Mei 2019 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama
mahasiswa:
1. Nama : Bagus Pamuncak Negoro
2. NIM : 11150840000032
3. Jurusan : Ekonomi Pembangunan
4. Judul Skripsi : Klasifikasi Elastisitas dan Peran Rerata Upah Minimum
Provinsi terhadap Konsumsi Rokok (Studi Kasus: 2002 –
2018)
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses uji komprehensif maka diputuskan bahwa mahasiswa
tersebut di atas dinyatakan “LULUS” dan diberi kesempatan untuk melanjutkan ke
tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Jakarta, 9 Mei 2019
1. Dr. Muhammad Hartana Iswandi Putra, M.Si.
NIP. 196806052008011023 (.................................)
Penguji
2. Dr. Pheni Chalid, M.A.
NIP. 195605052000121001 (.................................)
Penguji
iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Bagus Pamuncak Negoro
NIM : 11150840000032
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : Ekonomi Pembangunan
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini saya:
1. Tidak menggunakan ide pihak lain tanpa mampu mengembangkan
dan mempertanggungjawabkan.
2. Tidak melakukan plagiat terhadap naskah pihak lain tanpa
menyebutkan sumber asli ataupun tanpa izin pemilik karya.
3. Tidak melakukan manipulasi dan pemalsuan data.
4. Proses pengerjaan dilakukan sendiri dan turut bertanggung jawab atas
segala hal yang berkenaan dengan karya terkait.
Jika di kemudian hari terdapat tuntutan atas karya saya dan telah terbukti
ditemukan pelanggaran pernyataan di atas, maka saya siap untuk dikenakan sanksi
dan melalui proses hukum yang berlaku di Fakultas Ekonomi & Bisnis (UIN)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 4 April 2020
Bagus Pamuncak Negoro
NIM. 11150840000032
iv
LEMBAR PENGESAHAN SIDANG SKRIPSI
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Bagus Pamuncak Negoro
2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September 1997
3. Alamat : Jl. Tanah Sereal XII, RT 08, RW 11, No. 42
Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat.
4. Telepon : 0821-1102-0325
5. Email : [email protected]
B. Pendidikan Formal
1. SDN Keagungan 01 Pagi Tahun 2003 – 2009
2. SMPN 72 Jakarta Tahun 2009 – 2012
3. SMAN 2 Jakarta Tahun 2012 – 2015
4. UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2015 – 2020
C. Pengalaman Organisasi
1. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, 2015 – 2017.
2. Komunitas Investor Saham Pemula, 2016/2017.
3. Generasi Baru Indonesia UIN Syarif Hidayatullah, 2018/2019.
D. Pengalaman Profesional
1. Analis Media; Bidang Monitoring dan Analisis Media, Asisten Deputi
Hubungan Masyarakat, Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan
Kemasyarakatan, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 14
Januari – 26 April 2019.
2. Asisten Peneliti; Wadah Pemikir, Center for Indonesian Policy Studies
(CIPS), Agustus – Oktober 2019.
3. Notulis; Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS), Bank
Indonesia, November 2019.
vi
ABSTRACT
Cigarettes are a very important commodity for the economic life of the Indonesian
people. Contrary, problems related to health are things that need to be addressed.
Government through excise duty instrument seeks to reduce consumers prevalence
by indirectly intervening in price. This study aims to assess the effectiveness of the
cigarette price affected by excise, on the percentage of cigarette consumers. The
author uses two analytical tools which are elasticity and regression. Elasticity is
used as a classifier of cigarette commodity and an effort to see the spectrum of the
elasticity coefficient. Regression is used as a predictor, how far the average
provincial minimum wage influences cigarette consumption decision. The results
show that cigarette is in the inelastic spectrum which explains that the increase in
price is not strong enough to reduce cigarette consumers, both men and women.
While the regression analysis tool shows that the provincial minimum wage
contributes but not heavily impactful to cigarette consumption.
Keywords: Cigarette Prices, Percentage of Consumers, Provincial Minimum Wage
(UMP), Elasticity Classification, Unintended Consequences.
vii
ABSTRAK
Rokok adalah komoditas yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat
Indonesia. Namun di sisi lain, masalah yang berkaitan dengan kesehatan menjadi
hal yang perlu diperhatikan. Pemerintah melalui instrumen cukai, berusaha untuk
mengendalikan prevalensi rokok dengan secara tidak langsung melakukan
intervensi harga. Penelitian ini bertujuan menilai seberapa jauh efektivitas harga
rokok yang dipengaruhi cukai, terhadap persentase konsumen rokok. Penulis
menggunakan dua buah alat analisis yakni elastisitas dan regresi. Elastisitas
digunakan sebagai klasifikator atas komoditas rokok serta upaya untuk melihat
spektrum koefisien yang dihasilkan. Regresi digunakan sebagai alat prediksi
seberapa jauh rerata upah minimum provinsi berpengaruh atas keputusan konsumsi
rokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rokok berada pada spektrum inelastis
yang menjelaskan bahwa kenaikan harga tidak cukup kuat memengaruhi persentase
konsumen rokok, baik laki-laki dan perempuan dewasa. Sedangkan alat analisis
regresi menilai bahwa rerata upah minimum provinsi berkontribusi namun tidak
berdampak terlalu besar terhadap konsumsi rokok.
Kata Kunci: Harga Rokok, Persentase Konsumen, Upah Minimum Provinsi
(UMP), Klasifikasi Elastisitas, Unintended Consequences.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Tuhan YME karena telah melimpahkan segala daya upaya
sehingga membuat Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Klasifikasi
Elastisitas dan Peran Rerata Upah Minimum Provinsi terhadap Konsumsi
Rokok (Studi Kasus: 2002 – 2018)” dengan baik. Penulis juga turut mengucapkan
terima kasih atas segala kondisi dan keadaan yang telah memungkinkan tercapainya
penyelesaian tugas akhir.
Skripsi ini ditujukan sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di
(UIN) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penulis merasa sangat
terbantu dengan keberadaan pihak-pihak yang telah mendukung melalui bermacam
cara. Sebagai ucapan terima kasih, Penulis ingin sedikit memberikan ungkapan rasa
sukacita kepada;
1. Orang tua Penulis, Bapak Prakoso dan Ibu Royani yang selalu mendampingi
Penulis dengan doa dan harapan yang tidak pernah putus. Jiwo dan Paman
yang juga menjadi alasan bagi Penulis untuk terus berpacu dengan waktu.
2. Bapak Dr. Amilin, SE., Ak., M.Si., CA, BKP., QIA selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah.
3. Bapak Dr. M. Hartana I. Putra, M.Si selaku Ketua Program Studi dan Bapak
Deni Pandu Nugraha, SE., M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah.
4. Bapak Sofyan Rizal, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah membantu
Penulis perihal arahan dan saran dalam penyusunan skripsi. Semoga Bapak
selalu diberkahi dengan kebahagiaan.
5. Bapak Drs. Rusdianto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah mendorong Penulis untuk selalu memiliki target tiap semester sebagai
pengingat agar terus mengalami eskalasi.
6. Seluruh jajaran dosen yang telah memberikan bibit berkualitas bagi Penulis
dalam bentuk ilmu yang tak tergantikan, juga sebagai teman diskusi. Jajaran
staf dan karyawan yang telah melayani Penulis perihal kebutuhan birokrasi
administrasi akademis.
ix
7. Superstar Family yang telah menemani Penulis dan turut mengisi kehidupan
kampus dengan cerita, diskusi, serta kesenangan yang tidak terbatas. Terima
kasih telah membuat kampus seperti rumah yang sangat nyaman ditempati.
8. Kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) Aksara 012 yang telah memberi hal
menarik berupa pengalaman tanpa dua. Satu bulan tidak terlalu lama, namun
tidak juga terlalu singkat. Terima kasih telah menerima dan mengajarkan.
9. SEPERGEMBELAN; Harits, Apeb, dan Iim yang selalu menjadi keluarga
kecil meski temporer. Semoga lekas mencapai segala hal yang telah kalian
impikan.
10. Organisasi dalam dan luar kampus yang telah membentuk Penulis menjadi
pribadi matang. Penulis sangat menghargai kesempatan berproses dan maju
bersama. Setiap tekanan adalah peluang untuk mempertajam diri.
11. Entitas dan institusi yang telah memberikan pelajaran berharga luar kampus
melalui pengalaman profesional. Begitu banyak aspek yang Penulis rasa,
sangat menarik untuk dipelajari. Penulis berjanji tidak akan pernah berhenti
mengasah dan memberi makan hasrat ingin tahu.
12. West Coast: Bang Lanu dan Bang Sambas sebagai guru yang memberikan
begitu banyak ilmu hidup melampaui tembok kelas.
13. Seluruh teman-teman Ekonomi Pembangunan 15 sebagai pencipta atmosfer
dan kultur kampus yang paling membuat sejuk.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak ruang
untuk pengembangan. Kesalahan, miskonsepsi, dan alur yang berpikir yang curam
adalah murni kesalahan karena keterbatasan ilmu dan pengalaman pribadi Penulis.
Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan saran, kritik, dan komunikasi semata
untuk mencapai hasil yang lebih sempurna.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jakarta, April 2020
Bagus Pamuncak Negoro
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..............................................................i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ............................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN SIDANG SKRIPSI ....................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................... v
ABSTRACT .............................................................................................................. vi
ABSTRAK .............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiii
DAFTAR GRAFIK ................................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................................................. 7
D. Sistematika Penulisan............................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 10
A. Alfred Marshall dan Kontribusi Ekonomi ............................................................ 10
B. Kebutuhan Manusia (Needs) ................................................................................ 14
C. Nilai Guna (Utilitas) ............................................................................................. 15
D. Teori Elastisitas .................................................................................................... 18
1. Elastisitas Permintaan ....................................................................................... 19
2. Elastisitas Penawaran ........................................................................................ 22
E. Komoditas Rokok dan Hal-Hal yang Melingkupi ................................................ 23
1. Tembakau .......................................................................................................... 23
2. Prevalensi Budaya Merokok ............................................................................. 27
3. Perusahaan Rokok Tanah Air ........................................................................... 28
4. Perihal Cukai ..................................................................................................... 30
F. Dikotomi Jenis Kelamin ....................................................................................... 32
G. Penelitian Terdahulu ............................................................................................ 34
xi
H. Kerangka Pemikiran ............................................................................................. 39
I. Hubungan Antar Variabel .................................................................................... 39
1. Elastisitas .......................................................................................................... 39
2. Regresi .............................................................................................................. 40
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 42
A. Populasi dan Sampel ............................................................................................ 42
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................................. 43
C. Data & Sumber Data ............................................................................................ 43
1. Data Harga Rerata Rokok ................................................................................. 43
2. Data Konsumen Rokok ..................................................................................... 43
3. Data Rerata Upah Minimum Provinsi ............................................................... 43
D. Instrumen Penelitian............................................................................................. 44
E. Metode Pengumpulan Data .................................................................................. 44
F. Metode Analisis Data ........................................................................................... 44
1. Elastisitas .......................................................................................................... 44
2. Regresi .............................................................................................................. 44
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 45
A. Gambaran Objek Penelitian ................................................................................. 45
B. Temuan Hasil Penelitian ...................................................................................... 49
1. Elastisitas .......................................................................................................... 52
2. Regresi .............................................................................................................. 63
C. Pembahasan .......................................................................................................... 74
BAB V SIMPULAN & SARAN ..................................................................................... 78
A. Simpulan .............................................................................................................. 78
B. Saran..................................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 80
LAMPIRAN..................................................................................................................... 85
xii
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
2.1. LDMU Konsumsi Mangga.........................................................................16
2.2. Penelitian Pola Konsumsi...........................................................................33
2.3. Penelitian Terdahulu...................................................................................35
4.1. Harga Rokok Retail/20 Batang...................................................................47
4.2. Harga Rokok/20 Batang di Indonesia.........................................................49
4.3. Prevalensi Konsumen Rokok......................................................................50
4.4. Rerata Upah Minimum Provinsi.................................................................51
4.5. Harga Rokok/20 Batang di Indonesia – Ekstrapolasi..................................53
4.6. Prevalensi Konsumen Rokok – Inter & Ekstrapolasi..................................54
4.7. Penyederhanaan Nilai.................................................................................55
4.8. Perubahan/Delta Variabel Harga Rerata Rokok.........................................57
4.9. Perubahan/Delta Variabel Konsumen Rokok.............................................58
4.10. Uji Normalitas Konsumen Laki-Laki.........................................................64
4.11. Uji Normalitas Konsumen Perempuan.......................................................65
4.12. Uji Heteroskedastisitas...............................................................................68
4.13. Uji Autokorelasi.........................................................................................69
4.14. Koefisien Korelasi......................................................................................70
4.15. Uji Autokorelasi Cochrane-Orcutt..............................................................70
4.16. Output Regresi............................................................................................71
4.17. Output Regresi Dummy..............................................................................73
4.17. Nilai Elastisitas Rokok atas Laki-Laki........................................................74
4.18. Nilai Elastisitas Rokok atas Perempuan......................................................75
xiii
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
2.1. Kombinasi Kurva Elastisitas Harga Permintaan.........................................21
2.2. Kerangka Pemikiran...................................................................................39
4.1. Uji Linearitas Konsumen Laki-Laki...........................................................66
4.2. Uji Linearitas Konsumen Perempuan.........................................................67
xiv
DAFTAR GRAFIK
No. Keterangan Halaman
1.1. Tren Kenaikan Cukai Rokok........................................................................4
1.2. Produksi dan Konsumsi Rokok.....................................................................5
2.1. LDMU Konsumsi Mangga.........................................................................17
2.2. Statistik Luas Areal dan Produksi Tembakau.............................................24
2.3. Volume Ekspor dan Impor Tembakau........................................................24
4.1. Prevalensi Jenis Kelamin Berdasarkan Tipe Tembakau.............................45
4.2. Prevalensi Berdasarkan Tipe Rokok...........................................................46
xv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1. Data Penelitian Output Regresi...................................................................85
2. Data Penelitian Output Regresi Dummy.....................................................86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memiliki pola hidup dan tingkah laku yang kompleks. Argumen
terkait dapat terlihat dari perbedaan situasi interaksi manusia waktu demi waktu.
Beberapa aspek yang menjadi prioritas hidup manusia dekade lalu, tentu berbeda
jika mengambil perspektif waktu saat ini. Dinamisme manusia dalam berinteraksi,
berbudaya, dan berkehidupan adalah suatu hal yang mutlak.
Salah satu aspek hidup yang berubah seiring waktu adalah preferensi. Hal-
hal apa saja yang menarik bagi manusia telah bergeser. Dalam aktivitas ekonomi,
sangat terlihat bahwa leisure economy sebagai contoh, cukup menjadi narasi besar
dalam kegitan modern. Term terkait tidak pernah dikenal dan menjadi hal penting
sebelumnya. Sebuah bukti bahwa zaman membawa banyak perubahan.
Leisure economy adalah term yang mengacu pada pergeseran pola konsumsi
dari goods-based consumption ke experience-based consumption. Kondisi serupa
memberi pandangan bahwa terdapat perubahan preferensi yang terjadi antar setiap
zaman. Istilah-istilah ekonomi lain (sharing economy, industry 4.0, dan artificial
intelligence) yang akhir-akhir ini muncul juga menjadi bukti bahwa memang
manusia telah dan akan selalu berubah terkait preferensi. Preferensi menjelaskan
bagaimana seorang konsumen menilai sejumlah barang dan juga jasa, terkait
kecenderungan antara satu dengan yang lain (Anojan & Subaskaran, 2015: 11).
Melalui preferensi dari banyaknya pilihan komoditas yang beredar di pasar,
aktor ekonomi tanpa sadar berkontribusi dalam ekspansi pemahaman. Semakin
terkonsentrasi pilihan atas suatu komoditas, menunjukkan bahwa komoditas terkait
penting bagi kegiatan ekonomi. Sebaliknya, jika preferensi tidak tertuju pada suatu
komoditas, maka dipastikan komoditas berada dalam kluster yang berlainan.
Beragamnya preferensi yang juga dihasilkan dari beragamnya komoditas,
membuat proses klasifikasi akan mudah dilakukan. Klasifikasi berhasil tercipta dari
polarisasi preferensi. Klasifikasi suatu barang dan jasa dapat memberikan gambaran
bagi pelaku ekonomi dalam kegiatan pengambilan keputusan. Ekonomi di sisi lain,
sangat kental dengan term klasifikasi.
2
Jika ditelaah lebih lanjut, disiplin ilmu ekonomi berkutat dalam proses atas
klasifikasi. Klasifikasi negara berdasarkan pendapatan nasional, klasifikasi sistem
ekonomi, klasifikasi jenis-jenis uang dalam kajian moneter, klasifikasi usaha kecil,
dan sebagainya. Klasifikasi dengan demikian dapat memberikan informasi tertentu
bagi kajian disiplin ilmu ekonomi.
Urgensi klasifikasi sangat fundamental dalam kehidupan. Klasifikasi barang
dan jasa, sangat mampu membantu manusia untuk bersikap adil serta bijak perihal
proses pemilihan yang dilakukan. Masalah utama dalam ekonomi yakni scarcity,
dapat diselesaikan jika pemahaman atas klasifikasi barang dan jasa, renewable atau
inexhaustible, mencapai tingkatan yang menyeluruh (Cuesta, 2013: 14).
Distingsi populer dari klasifikasi yang telah diberikan oleh ilmu ekonomi,
terkait aspek konsumsi, berada pada istilah kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Istilah terkait yang dikenal dengan “tiga wilayah konsumsi” adalah jenis barang dan
jasa yang memiliki nilai dan derajat mandatory berbeda-beda. Tingkatan perbedaan
dapat dipengaruhi oleh utilitas atau nilai guna objek (barang dan jasa) terhadap
subjek (konsumen).
Teori klasifikasi melalui istilah “tiga wilayah konsumsi”, cukup memberi
sedikit gambaran bagaimana manusia menilai komoditas tertentu. Namun terdapat
satu kelemahan jika kita menggunakan term “tiga wilayah konsumsi” sebagai alat
untuk mengukur letak wilayah suatu komoditas, bahwa konsep terkait tidak mampu
memberikan argumen valid karena tidak didukung dengan perhitungan matematis.
Andaian mungkin muncul dan karakteristik pun dapat disesuaikan dengan
kategori tertentu. Lagi, bukan perkara mudah bagi komoditas yang tersebar untuk
diklasifikasikan hanya dengan opini serta anggapan tanpa bukti. Komoditas primer,
sekunder, dan tersier bahkan mungkin telah berpindah wilayah karena dinamisme
zaman terus bergerak ke arah tatanan yang lebih kompleks dan abstrak.
Selain ketiga kategori populer (primer, sekunder, tersier), klasifikasi barang
dan jasa lain yang juga penting adalah elastisitas, dicetuskan oleh ekonom Inggris
bernama Alfred Marshall (1842 – 1924). Sebuah teknik dan juga kalkulasi
matematis untuk mengukur sensitivitas perilaku konsumen, atas perubahan pada
variabel lain yang dependen secara langsung, maupun tidak langsung (Anderson et
al., 1997: 1).
3
Melalui pengukuran elastisitas yang teratur dan sistematis, komoditas akan
mudah diklasifikasikan. Berbeda dengan “tiga wilayah konsumsi”, elastisitas turut
serta memberikan metode-metode dan alat hitung yang selalu dapat dibuktikan serta
diuji. Klasifikasi yang didasarkan pada konsep elastisitas, memiliki dasar yang kuat
sebagai faktor penyangga argumen.
Elastisitas memiliki berbagai macam tipe, sedikitnya terdapat lima yakni
elastis sempurna, elastis, uniter, inelastis, dan inelastis sempurna. Kelima tipe dapat
mewakili jenis barang dan jasa yang juga berbeda-beda. Kategori tipe akhir dari
term elastisitas (koefisien) membantu aktor-aktor ekonomi untuk dapat memahami
suatu komoditas dengan dasar empiris serta ilmiah (Trianto, 2017: 24).
Lebih lanjut, dampak yang diperoleh atas proses klasifikasi elastisitas, dapat
turut serta membantu aktor penting dalam aktivitas ekonomi, yaitu pemerintah
sebagai regulator/pemangku kebijakan. Kebijakan teknis yang berkaitan langsung
dengan komoditas yang terdapat di pasar, perlu memperhatikan aspek elastisitas
karena sifatnya yang akan menyentuh langsung aktivitas tiap-tiap aktor ekonomi.
Salah satu regulasi yang belakangan terjadi terkait dengan suatu komoditas
adalah kenaikan cukai sebagai faktor utama pembentuk harga rokok. Pemerintah
melalui Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani berencana untuk menyesuaikan tarif
cukai tembakau sebesar 23% yang telah ditetapkan pada tahun 2020 (Kementerian
Keuangan, 2019). Alasan dari kenaikan adalah demi mengurangi konsumsi.
Perbedaan opini dialami hampir di segala kalangan, baik masyarakat sipil,
juga akademisi. Berdasarkan satu penelitian, kenaikan tarif cukai berdampak buruk
bagi perekonomian Jawa Tengah. Penurunan output akan terjadi secara keseluruhan
juga sektoral, disebabkan oleh penurunan tingkat konsumsi rokok karena
peningkatan tarif cukai (Ashar & Firmansyah, 2015: 109).
Sedangkan penelitian lain menunjukkan hal yang jauh berbeda. Tobacco
Control Support Center (2012: 1) menyebutkan bahwa manfaat yang dihasilkan atas
kenaikan tarif cukai yakni meningkatkan penerimaan pemerintah dan menurunkan
biaya sosial. Hal-hal semacam ini membuktikan bahwa regulasi terkait cukai harus
selalu dikaji dengan matang secara khusus, dan komoditas lain serupa secara umum.
Ambivalensi adalah hal yang cocok untuk dijadikan narasi dasar. Regulasi
akan berdampak baik jika memperhatikan sejumlah kriteria. Barang dan jasa, perlu
4
dipahami baik seberapa jauh jangkauan bagi ekonomi, efek samping yang mungkin
dihasilkan, dan yang lebih penting, letak, posisi, dan kondisi suatu barang dan jasa
sebagai objek yang dikenakan aturan.
Grafik 1.1. Tren Kenaikan Cukai Rokok
Tren Kenaikan: Persen (%)
Sumber: Katadata Databoks, September 2019.
Grafik di atas menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai hampir selalu terjadi
kecuali di tahun 2014 dan 2019. Kecenderungan tren meningkat dengan sedikit
fluktuasi. Jika melihat interval tahun 2009 – 2020 (12 tahun), 7% dan 23% adalah
angka yang cukup kontras. Peningkatan tarif cukai terendah terjadi di dua tahun
yang telah disebutkan (2014 dan 2019 sebesar 0%) dan peningkatan tertinggi di
tahun 2020 sebesar 23%.
Dikotomi atas opini dimungkinkan karena kompleksitas komoditas rokok
yang penuh dengan ambiguitas. Hasil perolehan cukai bagi penerimaan negara yang
cukup besar, sejajar dengan dampak kesehatan yang dihasilkan. Hampir seluruh
kalangan, baik perempuan dan laki-laki, menjadikan merokok sebagai aktivitas
yang rutin dan seperti yang telah diperkirakan, rokok menyentuh banyak lapisan.
Data lain menunjukkan baik produksi dan konsumsi rokok dari tahun 2011
– 2016, menunjukkan tren kenaikan. Jumlah produksi beranjak naik dari 279 hingga
342 miliar batang. Sisi lain yakni konsumsi juga mengalami hal yang sama, dari
296 hingga 339 miliar batang. Persentase kenaikan produksi adalah 22,41% dan
konsumsi yakni 14,46%. Angka yang cukup signifikan (Zheng et al., 2018: 7).
7
16
6
12.2
8.5
0
8.72
11.19 10.54 10.04
0
23
0
5
10
15
20
25
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
5
Grafik 1.2. Produksi dan Konsumsi Rokok
Produksi & Konsumsi: Miliar Batang
Sumber: The World Bank Group, Mei 2019.
Penulis juga turut memberikan gambaran lebih spesifik bagaimana kondisi
atau prevalensi merokok bagi kalangan pelajar di Indonesia. Aktivitas serupa tidak
hanya terjadi di kalangan dewasa. Penggunaan hasil olahan tembakau, melalui
medium rokok serta instrumen lain, telah menjadi kebiasaan umum untuk sebagian
lapisan masyarakat Indonesia. Penulis tidak beropini atas baik/buruk dari fenomena
terkait. Berikut adalah simpulan yang didapat oleh GYTS (Global Youth Tobacco
Survey) Indonesia Report (2014);
1. Satu dari lima pelajar (20.3%) adalah pengguna tembakau (39.2% laki-laki
dan 4.3% perempuan).
2. Berdasarkan semua pelajar yang menggunakan tembakau (19.4%), dapat
dihitung sekitar 18.3% adalah perokok. Hampir 35.6% pelajar merokok satu
batang sehari. Sedangkan bagi perempuan, 58.3% merokok kurang dari satu
batang sehari.
3. Berdasarkan persentase non-perokok, 43.2% disebutkan pernah setidaknya
merokok pada umur 12-13 tahun.
Jika ingin ditelisik lebih lanjut, maka terdapat beberapa faktor penyebab
remaja melakukan perilaku merokok. Sikap permisif orang tua, lingkungan teman
sebaya, dan kepuasan psikologis yang bersangkutan menjadi alasan (Komasari &
Helmi, 2000: 40). Penulis tidak akan berusaha menyematkan narasi normatif terkait
dengan fenomena remaja yang merokok. Penulis hanya berusaha untuk memahami
hal yang berkaitan dengan lebih holistis.
279.4301
345 344 348 342296.5
320.4 327.7 335 342.5 339.4
0
100
200
300
400
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Produksi Konsumsi
6
Komoditas tembakau dan produk turunan yang dihasilkan, berdampak
penting bagi penerimaan pajak pemerintah juga aspek ekonomi para petani dan
tenaga kerja yang terserap. Tembakau telah berkontribusi pada penerimaan negara
sampai 114 triliun rupiah dan peningkatan pendapatan petani tembakau hingga 70%
di tahun 2014 (Djajadi, 2015: 27).
Selain dari aspek positif, aspek negatif juga perlu diperhatikan. Kematian
yang dihasilkan oleh tembakau di tahun 2016 mencapai 21,37% untuk laki-laki, dan
7,02% untuk perempuan. Bahkan perlu digaris-bawahi, merokok tidak hanya lekat
dengan kaum laki-laki, perempuan di sisi lain juga menjadi konsumen yang perlu
diperhatikan. Biaya ekonomi terhitung sebesar 639 triliun rupiah dalam bentuk
pengeluaran kesehatan dan hilangnya produktivitas karena kematian dini. (The
Tobacco Atlas, 2019: 1).
Catatan dari WHO (World Health Organization) adalah, “Tobacco: deadly
in any form or disguise.” WHO menyatakan bahwa tembakau, baik smoking atau
smokeless, jenis apa saja, bentuk apa saja, sangat mematikan. Tembakau dan produk
hasil olahan yang berkaitan telah menjadi gambaran menakutkan bagi dunia. Opini
terkait dikemukakan WHO karena memperhatikan dampak kesehatan yang timbul.
Kebijakan harus disesuaikan dan memperhatikan derajat elastisitas, terlebih
memperhatikan klasifikasi suatu barang. Apabila tidak, maka potensi kegagalan
dalam perumusan kebijakan akan sulit untuk dihindarkan.
Sampai bagian ini, Penulis berharap bahwa telah jelas maksud dan tujuan
atas penelitian yang akan dilakukan. Berkaitan dengan judul, penentuan klasifikasi
diupayakan memperjelas kondisi rokok dalam pasar. Rokok menjadi variabel utama
karena selain ambiguitas, kenaikan cukai juga cukup ramai dibicarakan. Penulis
akan berusaha melihat prevalensi dari dua sisi sudut pandang jenis kelamin, baik
laki-laki dan perempuan serta dampak upah minimum provinsi.
Kementerian Keuangan beralasan bahwa dengan menaikkan tarif cukai,
maka konsumsi rokok akan menurun. Apa kebijakan tersebut efektif? Bagaimana
jika derajat elastisitas rokok berkata hal sebaliknya? Masyarakat tetap melakukan
konsumsi rokok layaknya beras dengan sifatnya yang inelastis? Penulis pun dengan
ini mengajukan skripsi dengan judul “Klasifikasi Elastisitas dan Peran Rerata
Upah Minimum Provinsi terhadap Konsumsi Rokok (Studi Kasus: 2002 – 2018).
7
B. Rumusan Masalah
Kebijakan harus dilandasi logika dan nalar yang sehat. Konsistensi pola
pikir serta kajian yang menyeluruh diharuskan menjadi landasan urgensi sebuah
regulasi untuk diterapkan. Beberapa kebijakan, tidak berhasil untuk menjadi solusi
atas masalah. Bahkan yang lebih buruk, menimbulkan masalah baru tanpa mampu
untuk menyelesaikan masalah yang lama. Adagium “The road to hell is paved with
good intentions.” adalah sebuah term dimana niat baik terkadang tidak serta merta
menuju hal yang baik pula. Cara-cara yang baik juga perlu diperhatikan.
Berikut adalah rumusan masalah yang akan Penulis coba jawab,
berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan;
1. Berapa derajat elastisitas komoditas rokok yang terjadi di Indonesia pada
tahun 2002 – 2018?
2. Apakah terdapat perbedaan derajat elastisitas antara jenis kelamin laki-laki
dan perempuan?
3. Bagaimana pengaruh antara rerata upah minimum provinsi atas prevalensi
konsumsi rokok di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Berikut adalah tujuan penelitian yang akan Penulis coba capai, berdasarkan
rumusan masalah yang telah diajukan;
1. Mengetahui derajat elastisitas komoditas rokok yang terjadi di Indonesia
pada tahun 2002 – 2018.
2. Mengetahui perbedaan derajat elastisitas antara konsumen rokok laki-laki
dan perempuan.
3. Menganalisis hubungan antara rerata upah minimum provinsi Indonesia
terhadap persentase konsumen rokok laki-laki dan perempuan.
Berikut adalah manfaat penelitian yang Penulis harap dapat terlaksana,
berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan;
1. Penelitian berfungsi untuk mengetahui derajat elastisitas komoditas rokok
yang terjadi di Indonesia pada tahun 2002 – 2018.
8
2. Penelitian berfungsi untuk membandingkan perbedaan derajat elastisitas
antara konsumen rokok laki-laki dan perempuan.
3. Penelitian berfungsi untuk memperkirakan hubungan rerata upah minimum
provinsi Indonesia terhadap persentase konsumen rokok laki-laki dan juga
perempuan.
4. Penelitian berfungsi untuk menjadi bahan diskusi bagi pemangku kebijakan
atas penerapan kenaikan persentase cukai tembakau bagi komoditas rokok.
5. Penelitian berfungsi untuk memberikan gambaran bagi penelitian lanjutan
yang mungkin memiliki kesamaan topik dan pembahasan.
D. Sistematika Penulisan
Berikut adalah sistematika penulisan yang telah disesuaikan;
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
D. Sistematika Penulisan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Alfred Marshall dan Kontribusi Ekonomi
B. Kebutuhan Manusia (Needs)
C. Nilai Guna (Utilitas)
D. Teori Elastisitas
E. Komoditas Rokok dan Hal-Hal yang Melingkupi
F. Dikotomi Jenis Kelamin
G. Penelitian Terdahulu
H. Kerangka Pemikiran
I. Hubungan Antar Variabel
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
B. Tempat dan Waktu Penelitian
C. Data & Sumber Data
D. Instrumen Penelitian
9
E. Metode Pengumpulan Data
F. Metode Analisis Data
BAB IV. TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Objek Penelitian
B. Temuan Hasil Penelitian
C. Pembahasan
BAB V. SIMPULAN & SARAN
A. Simpulan
B. Saran
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Alfred Marshall dan Kontribusi Ekonomi
Alfred Marshall adalah seorang ekonom berkebangsaan Inggris yang lahir
di Clapham pada 26 Juli tahun 1842. Ia merupakan anak dari William Marshall dan
Rebecca Oliver. William Marshal dahulu bekerja sebagai seorang kasir di Bank of
England dan terbiasa dalam struktur keluarga evangelis yang ketat. Alfred Marshall
meninggal pada 13 Juli 1924 pada umur 81 tahun (Keynes, 1924: 311).
Alfred Marshall lahir dalam keluarga yang religius. Ayahnya memiliki hobi
yang berhubungan dengan sastra. William Marshall pun penulis dari risalah teologis
dengan perspektif agama protestan dan konten puritanisme. Meski begitu, William
Marshall akhirnya mengizinkan Alfred belajar matematika di Cambridge alih-alih
belajar di Oxford yang memiliki hubungan erat dengan Gereja Inggris.
Alfred Marshall (yang seterusnya akan disebut Marshall) lebih dekat dengan
sang Ibu. Argumen dibuktikan dengan surat yang dikirim Marshall dari Amerika
Serikat tahun 1875. Selain surat, Marshall sering mengirimkan barang-barang yang
disukai oleh sang Ibu. Kondisi demikian tercipta karena Ibu, Rebecca Oliver sering
menyelamatkan anak-anaknya dari hukuman fisik yang dilakukan sang Ayah.
Kehidupan Marshall sebagai ekonom berawal di tahun 1860. Karya besar
atau magnum opus Marshall adalah Principles of Economics yang terbit pada tahun
1890. Selain The Principles, Marshall juga menulis karya lain; Industry and Trade
(1919), Money, Credit and Commerce (1923), dan Economics of Industry yang
ditulis bersama istrinya di tahun 1879 (Groenewegen, 2007: 2).
Kontribusi spesifik Marshall atas disiplin ekonomi dapat disimpulkan dalam
beberapa paragraf. Namun di samping itu, kekuatan argumen dari Marshall cukup
membuat dampak yang besar bagi generasi ekonom masa depan. Evolusi perspektif
Marshall dijadikan tumpuan untuk menjadi dasar perkembangan kajian mikro-
ekonomi bagi pemikir-pemikir yang berpengaruh.
Berikut adalah hasil dari beberapa pemikiran Marshall, dijabarkan dengan
singkat serta padat. Penulis hanya akan membahas beberapa konsep populer yang
membuat Marshall dikenal dalam disiplin ilmu mikroekonomi, serta yang membuat
Marshall dinilai berpengaruh pada masanya;
11
1. Making Time Itself a Major Factor in The Theory of Value
Marshall menekankan pentingnya jangka waktu perihal analisis ekonomi.
Jangka waktu dapat dibagi menjadi tiga rentang waktu; market period, short
period, dan long run. Dampak yang ditimbulkan mengarah pada perbedaan
penawaran dan karakteristik elastisitas.
2. Internal and External Economies of Scale
Marshall memberikan pandangan bahwa produktivitas sebuah perusahaan
dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor itu
berhubungan, baik langsung atau tidak langsung atas ongkos produksi dan
output yang dihasilkan perusahaan.
3. Representative Firm
Untuk setiap lini industri, dipastikan selalu terdapat entitas perusahaan yang
cukup mampu mewakili keadaan industri berjalan. Perusahaan terkait bukan
pemain lama juga baru, tidak efisien serta tidak juga inefisien dalam derajat
yang ekstrem. Perusahaan berada dalam kondisi rata-rata.
4. Consumer Surplus
Marshall juga memberikan term yang populer dalam disiplin ilmu mikro-
ekonomi. Surplus konsumen berarti perbedaan antara harga yang sanggup
dibayarkan oleh konsumen dengan harga berlaku yang ditetapkan pasar atas
komoditas tertentu. Selisih harga yang diterima dimaknai dengan surplus.
Selain beberapa teori di atas, Marshall juga memperkenalkan alat analisis
seperti elastisitas, substitusi, dan konsep-konsep lain yakni quasi-rent serta yang
berkaitan dengan aspek moneter. Magnum opus Marshall pun dinobatkan menjadi
literatur yang mempopulerkan penggunaan diagram sebagai bentuk ilustrasi. Meski
hanya dalam footnote, upaya terkait membantu menjelaskan argumen ekonomi.
Jika diperhatikan, kontribusi Marshall sangat penting bagi mikroekonomi.
Hingga saat ini, hasil pemikiran Marshall dapat dinikmati serta menjadi pondasi
bagi kajian ekonomi lanjutan. Penulis pun sadar bahwa informasi terkait sangatlah
penting bagi akademisi yang memiliki keterkaitan dengan sejarah dan bagaimana
disiplin mikroekonomi tercipta.
Selanjutnya, Penulis mencoba untuk memberikan sedikit gambaran terkait
konsep elastisitas berdasarkan opini beberapa ekonom. Pro dan kontra tentu mutlak.
12
Upaya untuk mengetahui dan memahami bagaimana harga tercipta, Penulis
akan bertanya, manakah yang lebih penting, permintaan atau penawaran? Dorongan
mana lebih kuat dalam proses pembentukan harga di pasar? Marshall memberikan
analogi yang sempurna untuk menjawab pertanyaan terkait. Pasar, bekerja seperti
gunting; butuh kedua pisau untuk memotong kertas.
Kedua aspek, permintaan dan penawaran, sama-sama penting dalam upaya
untuk menentukan harga menuju equilibrium. Harga barang di pasar tidak tercipta
secara kebetulan dan semata-mata. Harga bergerak melalui interaksi dan kekuatan
aspek permintaan dan penawaran. Melalui argumen semacam ini, Alfred Marshall
menempatkan prinsip dan konsep yang membuat disiplin mikroekonomi muncul.
Marshall bukan seorang teknisi. Marshall pun berhati-hati untuk tidak selalu
membuat ekonomi terlalu matematis. Menurut siswa yang diajar Marshall yakni A.
C. Pigou, menyatakan bahwa kondisi tersebut terjadi bukan karena Marshall kurang
pandai matematika, tetapi Marshall khawatir jika matematika dapat menjauhkan
prinsip ekonomi yang berantakan dan terus berkembang dari pemahaman individu
awam yang cerdas. Jika memang Marshall tidak pandai matematika, Ia tidak akan
mampu mencipta term elastisitas, bukan?
Marshall juga “ayah” dari ekonometrik – Schumpeter. Marshall mencipta
konsep elastisitas, consumer surplus, biaya jangka pendek vs. biaya jangka panjang
dan secara langsung mendorong para ekonom untuk menghitung variabel tersebut.
Adam Smith berkontribusi atas nalar dengan teori spesialisasi dan division of labor,
sedangkan Marshall memperkenalkan prinsip yang membutuhkan perhitungan.
Referensi awal dari term elastisitas dapat ditemukan dalam karya Marshall
berjudul On The Graphic Method of Statistics dalam Jubilee Volume dari Royal
Statistical Society (1885). Pengenalan hanya dalam catatan singkat menggunakan
diagram atas kurva permintaan.
Konsep elastisitas sangat lekat dan familier bagi seluruh ekonom di penjuru
dunia. Akademisi yang memiliki fokus kajian, baik mikro maupun makroekonomi,
pasti pernah mendengar serta berkenalan dengan term elastisitas. Begitu populer
hingga menjadi materi ajar wajib di fakultas ekonomi perguruan tinggi. Tidak sulit
untuk menemukan referensi mengenai elastisitas, baik literatur domestik dan asing.
13
Elastisitas merupakan salah satu bentuk karya penting Alfred Marshall. Ia
adalah inventor term elastisitas. Sangat fundamental bahkan John Maynard Keynes
pernah menulis, “I do not think that Marshall did economists any greater service
than by the explicit introduction of the idea of ‘elasticity’ ... without the aid of which
the advanced theory of Value and Distribution can scarcely make progress.”
“Saya tidak berpikir bahwa apa yang Marshall lakukan bagi para ekonom
adalah selain dari pengenalan eksplisit atas ide mengenai ‘elastisitas’ ... tanpa
bantuannya, teori Nilai dan Distribusi akan sulit menemui progres.” Namun hingga
hari ini, Marshall kurang mendapat pengakuan terkait teori elastisitas. Kontribusi
yang tidak sejalan dengan pengakuan yang seharusnya Marshall dapat.
Elastisitas yang Marshall kembangkan tidak hanya elastisitas permintaan,
namun juga elastisitas penawaran, elastisitas pendapatan, elastisitas pemasaran,
skala elastisitas, elastisitas substitusi intertemporer, serta elastisitas silang. Semua
konsep terkait merupakan buah pemikiran dari Marshall yang mungkin sampai
sekarang masih menjadi kajian bagi ekonom-ekonom modern (Elzinga, 2016: 5).
Meski begitu, tidak semua ekonom sepakat dengan narasi bahwa elastisitas
adalah pencapaian terbesar Marshall. Stigler tidak sepakat dengan Keynes. George
Stigler memiliki pendapat yakni, “... (elasticity) is simply devoid of substantive
economic significance. Elasticities sometimes offer elegant formulations of
relations and have provided an unlimited number of examination questions in
elementary economics. That is all.”
“... (elastisitas) tidak memiliki makna atas signifikansi substansi ekonomi.
Elastisitas terkadang memberikan formula hubungan yang elegan dan menyediakan
jumlah angka yang tidak terbatas dalam pemeriksaan pertanyaan untuk ekonomi
dasar. Itu saja.” Kontroversi serta perbedaan pendapat wajar di kalangan akademisi.
Mungkin bagi sebagian ekonom, elastisitas merupakan hal vital, namun tidak jika
mengacu pendapat ekonomi lain.
Entah Marshall berjasa atau tidak melalui elastisitas, atau Marshall hanya
meletakkan dasar-dasar untuk elastisitas yang selanjutnya dikembangkan ekonom
lain, menurut Kenneth G. Elzinga dari Universitas Virginia, Marshall pantas jika
disandingkan dengan ekonom-ekonom lain terkait kontribusinya bagi disiplin ilmu
mikroekonomi.
14
B. Kebutuhan Manusia (Needs)
Setelah memahami sejarah mengenai term elastisitas serta menyinggung
sedikit terkait kehidupan personal dan profesional Alfred Marshal, maka subbab
selanjutnya akan memberi landasan sebelum masuk ke dalam pembahasan teknis
elastisitas. Subbab terkait dimulai dengan topik kebutuhan manusia berdasarkan
perspektif umum dan khusus.
Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, manusia melakukan
interaksi dengan manusia lain, baik sebagai pemenuhan yang mendasar serta yang
bersifat rekreasional. Kebutuhan-kebutuhan demikian merupakan faktor penting
terkait keberlangsungan hidup. Menurut Lukman (2007: 2), jenis kebutuhan dapat
dibedakan menjadi beberapa macam kategori, di antaranya;
1. Kebutuhan Pokok (Basic Needs): Sandang, pangan, dan papan.
2. Kebutuhan Adat Istiadat (Conventional Needs): Pakaian penganten dan juga
pakaian adat.
3. Kebutuhan Pekerjaan (Occupational Needs): Pegawai dan karyawan.
4. Kebutuhan Pribadi (Personality Needs): Hobi, pendidikan, dan gaya hidup.
Benda-benda yang selanjutnya dapat dikonsumsi untuk memenuhi asupan
kebutuhan di atas, juga dapat dilihat melalui berbagai sudut pandang berdasarkan
jenis tertentu, yakni;
1. Benda Ekonomi (Economic Goods) adalah barang, jasa atau sumber daya
lain yang tersedia dengan ciri-ciri: langka (scarcity), dapat berpindah dan
dipertukarkan (transferable), mempunyai nilai guna (utility), mempunyai
harga (price), dan jika ingin mendapatkan dibutuhkan pengorbanan.
2. Barang Bebas (Free Goods) adalah alat pemuas kebutuhan manusia yang
bebas dan tersedia dalam perekonomian dalam jumlah yang lebih besar dari
kebutuhan manusia dengan ciri-ciri: mudah diperoleh dan tidak mempunyai
harga pasar, sebagai contoh, udara.
3. Barang Masyarakat/Publik (Public Goods) adalah alat pemuas kebutuhan
yang pada umumnya disediakan oleh pemerintah. Alat atau barang tersebut
bersifat ekonomi bagi penyedia, namun bersifat bebas bagi pemakainya,
sebagai contoh, jalan serta trotoar.
15
Perlu digaris bawahi, pendapat mengenai kategori yang telah disinggung di
atas dapat beragam sesuai dengan keperluan disiplin ilmu yang dibutuhkan. Jenis-
jenis yang disebutkan berasal dari sumber tertentu dan dimungkinkan berbeda jika
menjadikan sumber lain sebagai referensi.
C. Nilai Guna (Utilitas)
Nilai guna atau utilitas adalah sebuah term yang penting dalam lingkup ilmu
ekonomi. Utilitas, istilah yang akan selanjunya Penulis gunakan, merupakan ukuran
sejauh mana suatu barang dan jasa dapat memberikan kepuasan bagi konsumen.
Hal terkait merasa perlu dikaji, jika mengingat bahwa konsumen diharuskan untuk
selalu rasional dalam aktivitas yang berkenaan dengan alokasi sumber daya.
Kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seseorang dari kegiatan dalam
konsumsi suatu barang dan jasa, dinamakan nilai guna atau utilitas. Semakin tinggi
kepuasan yang diperoleh, maka semakin tinggi pula nilai guna atau utilitas dari hal
yang dikonsumi. Utilitas pun dapat dibedakan menjadi dua pengertian; utiliti total
dan utiliti marginal (Sukirno, 2016: 154).
Utilitas total diartikan sebagai jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari
aktivitas konsumsi sejumlah barang tertentu. Sedangkan utilitas marginal berarti
penambahan (atau pengurangan) kepuasan sebagai akibat dari penambahan (atau
pengurangan) penggunaan suatu unit barang tertentu. Utilitas total; konsumsi atas
10 buah mangga meliputi seluruh kepuasan yang diperoleh dari konsumsi
keseluruhan mangga. Utilitas marginal: penambahan kepuasan yang diperoleh dari
konsumsi atas mangga ke-10.
Terdapat hipotesis yang melekat dengan term utilitas, yakni terkait “hukum
nilai guna marginal yang semakin menurun” (The Law of Diminishing Marginal
Utility/LDMU). Hukum di atas menyebutkan bahwa tambahan nilai yang akan
diperoleh seseorang dari aktivitas konsumsi suatu barang dan jasa akan menjadi
semakin kecil apabila konsumsi dilakukan terus menerus.
Hipotesis LDMU menjelaskan bahwa penambahan yang terus-menerus atas
aktivitas konsumsi suatu barang, tidak secara terus-menerus pula dapat menambah
kepuasan. Utilitas akan menjadi negatif – apabila konsumsi ditambah satu unit,
maka utilitas total akan semakin kecil. Tambahan aktivitas konsumsi, dalam jangka
16
panjang akan membuat utilitas total menurun dan akan membuat utilitas marginal
menyentuh nilai negatif.
Kondisi demikian perlu dicermati oleh konsumen. Upaya memaksimalkan
barang menjadi utilitas harus dilakukan dengan bijak. Alih-alih membuat diri puas,
perilaku yang berlebihan dapat membuat konsumen telah membuat pilihan yang
tidak rasional. Untuk memahami seperti apa LDMU dengan lebih detail, berikut
Penulis beri contoh terkait fenomena konsumsi atas buah mangga dalam bentuk
tabel;
Tabel 2.1. LDMU Konsumsi Mangga
Kuantitas Konsumsi Mangga Utilitas Total Utilitas Marginal
0 0
1 30 30
2 50 20
3 65 15
4 75 10
5 83 8
6 87 4
7 89 2
8 90 1
9 89 -1
10 85 -4
11 78 -7
Sumber: Sadono Sukirno (Mikroekonomi Teori Pengantar:Edisi Ketiga), 2016.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa hingga mangga yang ke-8, nilai utilitas
marginal masih positif, juga sejalan dengan peningkatan pada utilitas total. Lalu
pada saat konsumsi mangga ke-9 dilakukan, utilitas total menurun dan utilitas
marginal menjadi negatif. Nilai di atas menggambarkan bahwa kepuasan maksimal
adalah pada saat suatu individu melakukan konsumsi mangga sebanyak 8 buah.
Tambahan-tambahan konsumsi mangga yang selanjutnya akan mengurangi
kepuasan adalah alasan mengapa individu harus cermat perihal aktivitas konsumsi.
17
Kuantitas konsumsi yang banyak tidak serta merta membuat utilitas menjadi
lebih banyak pula. Bahkan jika dilihat secara rinci, utilitas konsumsi mangga ke-5
akan lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi mangga ke-11. Perbedaan
yang cukup signifikan terlihat saat penurunan mulai berlangsung.
Tabel tersebut akan Penulis coba ubah dalam bentuk grafik sebagai upaya
untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Berikut adalah grafik yang
juga menggunakan data serupa dari tabel sebelumnya;
Grafik 2.1. LDMU Konsumsi Mangga
Grafik sangat jelas menggambarkan bahwa kurva yang cembung (utilitas
total) akan berbelok sedemikian rupa sejalan dengan penambahan konsumsi. Lalu
untuk utilitas marginal, sejak awal terus-menerus mengalami penurunan. Untuk
mengetahui kepuasan maksimal yang didapat oleh konsumen, dapat dicermati saat
garis utilitas marginal menyentuh angka 0.
Utilitas marginal dengan nilai 0 atau mendekati nilai 0, adalah saat dimana
kepuasan maksimal akan tercapai. Konsumsi mangga sebanyak 8 buah merupakan
pilihan paling rasional dan cocok bagi konsumen. Tidak kurang dan tidak lebih. Hal
terkait lagi-lagi perlu dijadikan perhatian bagi konsumen yang ingin menjalankan
aktivitas konsumsi sebagai upaya ikut serta dalam kegiatan ekonomi keseluruhan.
Perlu diketahui bahwa masing-masing barang dan jasa yang beredar di pasar
memiliki nilai guna yang juga berbeda-beda bagi konsumen. Nilai guna beras dan
nilai guna benda lain seperti meja tentu berlainan. Nilai guna tidak hanya tergantung
seberapa banyak seorang konsumen melakukan konsumsi atas satu jenis barang dan
jasa, tetapi juga berkaitan dengan komoditas yang memiliki karakteristik berbeda.
-20
0
20
40
60
80
100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Utilitas Total Utilitas Marginal
18
LDMU dalam ilmu mikroekonomi termasuk ke dalam bagian dari perilaku
konsumen. Consumer Behaviour memberi sedikit gambaran mengenai perspektif
dan cara-cara konsumen untuk memaksimalkan nilai guna.
Penulis memulai pembahasan dengan topik kebutuhan manusia (needs) dan
nilai guna (utilitas) karena kedua konsep merupakan pondasi awal dari elastisitas.
D. Teori Elastisitas
Setelah memahami bahwa terdapat banyak barang dan jasa sebagai upaya
memenuhi kebutuhan manusia dan tiap-tiap dari barang dan jasa pun memberikan
nilai guna bagi tiap-tiap konsumen, maka untuk merangkum kedua kajian Penulis
akan membahas hal pokok yang menjadi landasan penelitian karya ilmiah, yakni
konsep elastisitas.
Elastis seperti dalam maknanya, yakni mudah berubah bentuk, lentur, dan
luwes. Sedangkan dalam kutub yang sangat berlawanan, inelastis berarti kebalikan
yang dimaknai kekakuan, sulit berubah, dan rigid. Konsep terkait menghubungkan
antara interaksi aktor-aktor ekonomi dengan barang dan jasa yang berkutat dalam
roda perekonomian.
Elastisitas jika dapat dipahami dengan mudah adalah suatu kajian mengenai
sejauh mana suatu aktor ekonomi, baik konsumen, produsen, dan juga aktor-aktor
lain bergantung dengan komoditas tertentu yang beredar di pasar. Sebagai contoh,
bagi seorang tukang bubur, beras dan daging ayam adalah komoditas utama bagi
keberlangsungan aktivitas ekonomi karena menjadi salah satu bahan pokok dalam
menjalankan aktivitas perekonomian yang bersangkutan.
Oleh karena itu, kita dapat asumsikan bahwa perubahan apapun yang terjadi
di pasar baik harga, bahkan pendapatan, tidak akan mengubah keputusan seorang
tukang bubur untuk tidak membeli dua komoditas. Hanya dengan beras dan daging
ayam sebagai bahan utama, tukang bubur mampu menjalankan kehidupan ekonomi.
Argumen tersebut yakni menjelaskan bahwa hubungan tersebut bersifat inelastis.
Sebaliknya, jika terdapat perubahan variabel dalam pasar lalu berpengaruh
signifikan pada keputusan seorang tukang bubur, seperti kenaikan harga kacang
sebesar 0.5%, lalu tukang bubur tersebut memutuskan untuk tidak membeli kacang
mengingat sifatnya yang opsional, maka hubungan yang terjadi adalah elastis.
19
Salah satu variabel berubah atau bahkan tetap, namun kemudian variabel
yang lain ikut berubah, maka elastis. Jika satu variabel berubah dengan derajat yang
cukup besar, namun kemudian variabel yang lain tetap tanpa terganggu sedikit pun,
maka inelastis. Lebih jauh mengenai perspektif akademis terkait definisi, jenis-jenis
dan juga contoh konsep elastisitas akan Penulis jelaskan satu demi satu.
Ketika diperkenalkan pada konsep permintaan dan penawaran, kita terpaku
pada paham bahwa di saat harga naik, konsumen akan mengurangi konsumsi dan
produsen akan meningkatkan produksi. Begitu pun terjadi sebaliknya, harga turun
maka konsumen akan meningkatkan konsumsi dan produsen mengurangi produksi.
Respon serupa dapat dibuktikan dari kurva permintaan dan penawaran.
Namun, konsep demikian sangat bersifat kualitatif, bukan kuantitatif. Kita
hanya memahami apa yang berubah dan bukan seberapa besar derajat perubahan.
Sebagai upaya untuk mengukur respon dari perubahan suatu variabel-variabel, para
ekonom menggunakan konsep elastisitas. Konsep yang digunakan untuk mengukur
persentase perubahan variabel, atas perubahan variabel lain.
Elastisitas hanya memiliki dua bentuk, elastisitas permintaan dan elastisitas
penawaran. Berikut adalah penjelasan mendalam terkait kedua bentuk;
1. Elastisitas Permintaan
Elastisitas permintaan adalah sebuah ukuran kuantitatif yang menunjukkan
perubahan permintaan suatu barang sebagai akibat dari perubahan variabel lain.
Elastisitas permintaan memiliki tiga macam bentuk berupa elastisitas harga,
elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.
1. Elastisitas Harga: Derajat persentase perubahan jumlah barang diminta yang
disebabkan oleh perubahan harga sebesar satu persen. Secara umum dapat
dirumuskan dalam;
𝐸ℎ =% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔
Bila Eh > 1 maka permintaan barang adalah elastis.
Bila Eh < 1 maka permintaan barang adalah inelastis.
Bila Eh = 1 maka permintaan barang adalah uniter.
20
2. Elastisitas Silang / Elastisitas Harga Silang: Derajat persentase perubahan
jumlah barang diminta yang disebabkan oleh perubahan harga barang lain
(substitusi atau komplementer) sebesar satu persen. Secara umum dapat
dirumuskan dalam;
𝐸𝑠 =% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑋 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑌
Jika terdapat dua buah barang, katakanlah X dan Y berhubungan saling bisa
mengganti (substitusi), maka dimungkinkan Es bernilai positif. Namun jika
kedua barang berhubungan saling melengkapi (komplementer), maka sangat
dimungkinkan Es bernilai negatif.
3. Elastisitas Pendapatan: Derajat persentase perubahan dari jumlah barang
diminta yang disebabkan oleh perubahan pendapatan riil konsumen sebesar
satu persen. Secara umum dapat dirumuskan dalam;
𝐸𝑝 =% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑟𝑖𝑖𝑙 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑒𝑛
Jika barang bersifat normal, Ep bernilai positif dan untuk barang inferior, Ep
bernilai negatif. Barang-barang pokok memiliki Ep < 1, lalu untuk barang-
barang mewah memiliki Ep > 1.
Penelitian yang berusaha Penulis cipta adalah berupa kalkulasi matematis
elastisitas harga permintaan. Fokus terkait perlu digarisbawahi. Penulis selanjutnya
tidak akan masuk terlalu dalam untuk membahas elastisitas silang / elastisitas harga
silang dan elastisitas pendapatan. Penulis akan membuat kajian yang mengeliminasi
hal-hal di luar topik agar struktur penelitian menjadi koheren.
Sebelum masuk ke dalam pembahasan elastisitas penawaran, Penulis akan
sedikit menyinggung koefisien-koefisien yang mungkin tercipta atas hasil formula
elastisitas harga permintaan;
21
1. Inelastis Sempurna: Jumlah barang yang diminta tidak memiliki pengaruh
atas perubahan harga. Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah = 0
(sama dengan nol).
2. Elastis Sempurna: Jumlah barang yang diminta memiliki pengaruh atas
perubahan harga. Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah = ∞
(sama dengan tidak terhingga).
3. Elastisitas Tunggal (Uniter): Jumlah barang yang diminta memiliki respon
serupa dengan perubahan harga. Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan
adalah = 1 (sama dengan satu).
4. Elastis: Jumlah barang yang diminta memiliki pengaruh atas perubahan
harga. Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah > 1 (lebih besar dari
satu)
5. Inelastis: Jumlah barang yang diminta tidak memiliki pengaruh atas
perubahan harga. Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah < 1
(kurang dari satu).
Masing-masing dari koefisien di atas dipahami melalui kurva yang berbeda-
beda. Agar lebih mendapatkan gambaran yang menyeluruh, berikut Penulis berikan
kombinasi kurva-kurva dan informasi lanjutan atas koefisien dalam elastisitas harga
permintaan;
Gambar 2.1. Kombinasi Kurva Elastisitas Harga Permintaan
Sumber: Penn State College of Earth and Mineral Sciences, 2018.
22
a. Kurva Inelastis Sempurna / Merah
Kurva inelastis sempurna memberikan gambaran bahwa derajat perubahan
harga tidak berpengaruh terhadap derajat perubahan kuantitas barang yang
diminta.
b. Kurva Elastis Sempurna / Biru
Kurva elastis sempurna memberikan gambaran bahwa meski harga konstan,
derajat perubahan kuantitas barang yang diminta tetap terjadi dan dinamis.
c. Elastisitas Tunggal (Uniter) / Hijau
Kurva elastisitas tunggal (uniter) memberikan gambaran bahwa derajat
perubahan harga memiliki hubungan yang sejalan dan sama besar dengan
derajat perubahan kuantitas barang yang diminta.
d. Elastis / Ungu
Kurva elastis memberikan gambaran bahwa derajat perubahan harga
memiliki pengaruh sangat signifikan atas derajat perubahan kuantitas
barang yang diminta. Persentase perubahan harga lebih kecil jika dibanding
dengan persentase perubahan permintaan kuantitas barang.
e. Inelastis / Kuning
Kurva inelastis memberikan gambaran bahwa derajat perubahan harga
memiliki pengaruh yang tidak signifikan atas derajat perubahan kuantitas
barang yang diminta. Persentase perubahan harga lebih besar jika dibanding
dengan persentase perubahan permintaan kuantitas barang.
2. Elastisitas Penawaran
Konsep elastisitas penawaran tidak berbeda jauh dengan konsep yang telah
dipelajari sebelumnya. Elastisitas penawaran hanya mengukur derajat kepekaan /
respons perubahan kuantitas penawaran sebagai akibat perubahan harga. Koefisien,
jenis, dan kurva juga menjelaskan hal yang serupa namun dalam konteks yang telah
disesuaikan.
Elastisitas penawaran dapat menjelaskan melalui sudut pandang produsen
dan memahami sikap terkait perubahan harga. Penulis tidak akan membahas konsep
terkait elastisitas penawaran lebih lanjut mengingat fokus yang Penulis tentukan
adalah elastisitas permintaan, khususnya elastisitas harga permintaan.
23
E. Komoditas Rokok dan Hal-Hal yang Melingkupi
Penulis sertakan pula referensi terkait hal-hal seputar komoditas rokok yang
memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung. Informasi yang berkaitan dengan
kondisi tembakau Indonesia, prevalensi budaya merokok, industri rokok, juga cukai
sebagai instrumen ekonomi akan berusaha Penulis singgung sebagai langkah untuk
memberikan gambaran atas komoditas rokok.
1. Tembakau
Tembakau telah menjadi salah satu tanaman penting bagi kehidupan rakyat
Indonesia. Sejak dahulu sampai saat ini, tembakau memiliki peranan penting yang
sarat akan kehidupan. Hampir 15 provinsi di Indonesia telah menjadikan tembakau
sebagai tanaman pokok. Tembakau yang pada akhirnya diberi nama sesuai lokasi,
seperti tembakau Temanggung, tembakau Madura, tembakau Kasturi dan lain-lain.
Tembakau hampir selalu digunakan dan terserap untuk industri rokok tanah
air. Tanaman tembakau dan produk turunan yang bersangkutan sangat penting jika
melihat sudut pandang ekonomi baik bagi penerimaan negara, kesejahteraan petani,
dan para buruh yang berada dalam industri rokok. Seperti telah disinggung di awal,
tembakau merupakan aspek penting yang berkaitan dengan berbagai macam lapisan
masyarakat Indonesia.
Tembakau telah berkontribusi bagi penerimaan negara hingga menyentuh
nilai 14 triliun pada tahun 2014. Terkhusus kondisi para petani tembakau, hampir
70% pendapatan dihasilkan melalui tembakau. Nilai tersebut meningkat tiap tahun.
Berdasarkan berita yang Penulis dapat, cukai rokok telah menyumbang 153 triliun
ke kas negara pada tahun 2018, mengutip Kompas. Nilai yang sangat besar.
Berikut sedikit Penulis paparkan data-data terkait area tanam dan produksi
tembakau tanah air mulai dari tahun 1975 – 2017. Angka yang digunakan adalah
gabungan dari pelaku tembakau smallholder, government, dan private. Perlu juga
diperhatikan bahwa untuk tahun 2016, angka bersifat sementara, dan untuk tahun
2017, angka bersifat estimasi.
Selain luas area tanam dan tingkat produksi, Penulis juga akan melihat tren
ekspor/impor dalam satuan volume, mulai dari tahun 1970 – 2016. Untuk informasi
lanjutan terkait tembakau, akan Penulis rangkum dalam poin-poin.
24
Grafik 2.2. Statistik Luas Areal dan Produksi Tembakau
Luas Areal: Hektare (Ha) / Produksi: Ton
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia; Tembakau 2015 – 2017, 2016.
Grafik di atas memberikan suatu informasi. Luas areal sangat berpengaruh
signifikan terhadap kuantitas produksi tembakau tanah air. Kedua variabel, saling
tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Jika Penulis boleh berpendapat, maka
upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tembakau yakni dengan turut serta
memperluas areal tanam tembakau.
Nilai ekspor/impor agaknya perlu untuk sedikit disinggung. Informasi yang
mungkin dapat memberikan suatu gambaran bagaimana persaingan antara produsen
lokal dan produsen tembakau luar. Informasi yang berkaitan juga mampu melihat
bagaimana industri rokok mencukupi kebutuhan penyerapan tembakau. Berikut
adalah grafik yang juga Penulis konversi dari Statistik Perkebunan Indonesia.
Grafik 2.3. Volume Ekspor dan Impor Tembakau
Volume: Ton
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia; Tembakau 2015 – 2017, 2016.
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
197
5
197
7
197
9
198
1
198
3
198
5
198
7
198
9
199
1
199
3
199
5
199
7
199
9
200
1
200
3
200
5
200
7
200
9
201
1
201
3
201
5
201
7
Luas Areal Produksi
0
50000
100000
150000
Ekspor Impor
25
Grafik mengenai volume ekspor dan impor tembakau cukup menarik untuk
diperhatikan. Sejak 1970, tren ekspor dan impor hampir tidak berbeda dan memiliki
kecenderungan besaran yang sama besar. Namun hingga di tahun 2009, kuantitas
ekspor tembakau menurun dan sangat berbeda jauh jika dibanding impor. Kondisi
terkait menunjukkan bahwa tembakau impor semakin mendominasi.
Tidak hanya tembakau, Penulis pun akan sedikit membahas kondisi rokok
global dan juga tanah air melalui berbagai sudut pandang. Tembakau, jika melihat
data dan fakta, memang hampir terserap dalam industri rokok. Tetapi tidak hanya
rokok, terdapat begitu banyak produk turunan yang dihasilkan dari tembakau.
Berikut adalah pembahasan mengenai produk turunan dari tembakau.
Penggunaan tembakau dan rokok sering dibedakan dalam beberapa survei.
Hasil olahan tembakau tidak hanya terbatas pada rokok. Terdapat begitu banyak
produk yang dapat dihasilkan dari tembakau dan perbedaan terlihat melalui kategori
smoking dan smokeless. Untuk lebih memahami produk hasil olahan atas tembakau,
berikut juga Penulis jabarkan (Asma et al., 2015: 16);
a. Kategori Smoked
Manufactured Cigarettes; Produk yang paling banyak dikonsumsi di dunia.
Produk disusun dengan tembakau, diproses dan dicampurkan bahan kimia untuk
cita rasa dan digulung dengan kertas khusus. Rokok pabrik yang umum.
Lazim ditemukan; Dunia.
Kereteks; Rokok yang dicampurkan dengan bahan cengkeh. Kereteks
berasal dari Indonesia dan dapat ditemukan di seluruh dunia. Keretek mengandung
rasa yang dikenal dengan sauce, yang mana berbeda antar tiap merek.
Lazim ditemukan; Indonesia.
Waterpipes; Biasa dikenal dengan sebutan shisha, nargile, hookah, dan juga
hubble-bubble adalah produk tembakau dengan cita rasa tertentu. Produk dapat
digunakan dengan cara dibakar melalui arang dalam wadah berisi air.
Lazim ditemukan; Wilayah Mediterania, Afrika Utara dan sebagian wilayah
Asia, serta sedang menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Electronic Nicotine Delivery Systems (ENDS) / Electronic Non-Nicotine
Delivery Systems (ENNDS); Biasa dikenal dengan sebutan vape pens, vape pipes,
26
hookah pens, electronic pens dan lain sebagainya. Perangkat yang tidak digunakan
dengan cara membakar langsung tembakau, tetapi menggunakan proses penguapan.
Lazim ditemukan; Eropa, Amerika Serikat, serta sedang menyebar di dunia.
b. Kategori Smokeless
Chewing Tobacco; Produk terkait diaplikasikan pada mulut, pipi, serta bibir
dalam bentuk bubuk dan dapat dikunyah juga dihisap. Jenis dari tembakau bubuk
diberi nama gundi, misri, patiwala, dan zarda.
Lazim ditemukan; Amerika Serikat, wilayah Afrika, India, Myanmar dan
berbagai wilayah lain yang memiliki budaya yang mirip.
Snus; Produk pangan tembakau yang dicampur dengan air dan garam serta
diproses dalam temperatur tinggi selama 24 hingga 36 jam. Rasa ditambahkan pada
proses akhir produksi. Biasa dikemas dalam bentuk sachet.
Lazim ditemukan; Denmark, Finlandia, dan negara Skandinavia lain.
Hasil olahan tembakau yang telah dipaparkan di atas adalah sebagian dari
produk tembakau yang tersebar di pasar dunia.
Penulis hanya menjabarkan beberapa produk yang sekiranya mudah untuk
dipahami oleh pembaca Indonesia. Tembakau melalui berbagai proses yang rumit
dalam menghasilkan suatu produk tertentu. Negara yang berbeda juga memandang
tembakau sebagai hal yang berbeda. Oleh karena itu, negara tertentu memiliki suatu
keunikan dalam proses pengolahan tembakau.
Sebagai penutup pembahasan mengenai tembakau tanah air, Penulis sedikit
paparkan trivia terkait tembakau yang mungkin belum banyak diketahui. Berikut
adalah poin-poin yang berhasil dibuat berdasarkan berbagai sumber;
a. Areal penanaman tembakau terluas yang pernah tercatat adalah 288.118 Ha
pada tahun 1985.
b. Jumlah produksi tembakau terbanyak yang pernah tercatat adalah 260.818
ton pada tahun 2012.
c. Volume ekspor tembakau terbesar yang pernah tercatat adalah 57.408 ton
pada tahun 2010.
d. Volume impor tembakau terbesar yang pernah tercatat adalah 137.426 ton
pada tahun 2012.
27
e. Tiga provinsi utama yang berkontribusi dalam total produksi tembakau di
tahun 2015 adalah Nusa Tenggara Barat (34.449 ton), Jawa Tengah (40.564
ton), dan Jawa Timur (99.743 ton).
2. Prevalensi Budaya Merokok
Salah satu alasan mengapa Penulis melibatkan variabel dikotomi jenis
kelamin ke dalam penelitian tidak lain karena terdapat kemungkinan bahwa
prevalensi antara perokok laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Perbedaan yang
kemudian akan berdampak pada perbedaan klasifikasi elastisitas dan alasan lain
bahwa rokok menjadi konsumsi vital bagi dua kehidupan yang berbeda.
Tercatat bahwa sekitar 67.4% pria dan 4.5% wanita yang terdiri dari 36.1%
populasi (61.4 juta) menggunakan tembakau dalam bentuk rokok atau jenis tanpa
asap. Penggunaan tembakau lebih lazim di daerah pedesaan (39.1%) dibandingkan
dengan daerah perkotaan (33.0%) (World Health Organization, 2012: xxiii).
Prevalensi bagi peremuan cukup rendah, namun fluktuatif. Sedangkan bagi
laki-laki, tren peningkatan telah berlangsung beberapa dekade. Sebesar 68.1% dari
pria Indonesia di tahun 2016, diperkirakan merokok. Salah satu tingkat persentase
tertinggi di dunia. Jumlah perokok Indonesia hampir tiga kali lipat, dari 25 juta pada
1980 menjadi sekitar 73,6 juta pada 2015.
Selama satu dekade, dari 2007 – 2017, Indonesia melonjak dari konsumen
rokok terbesar kelima menjadi negara konsumen rokok terbesar ketiga di dunia
setelah Cina dan Rusia. Fenomena terkait adalah argumen yang sangat kuat bahwa
konsumsi rokok di Indonesia sangat masif dan meningkat tahun demi tahun. Bukan
soal mudah memang mengubah suatu kebiasaan.
Lalu untuk komoditas rokok yang tersebar di pasar Indonesia, sedikitnya
terdapat tiga jenis, yakni keretek buatan mesin (Sigaret Keretek Mesin/SKM),
keretek buatan tangan (Sigaret Keretek Tangan/SKT), dan rokok putih (Sigaret
Putih Mesin/SPM). Sekitar 2011 – 2017, pangsa pasar rokok mulai bergeser ke arah
produk SKM yang naik dari 63.75% di 2011 menjadi 74.79% di 2017 (Zheng et al.,
2018: 4).
Kematian yang disebabkan oleh tembakau pada tahun 2016 sebesar 21,37%.
Lebih banyak laki-laki meninggal di Indonesia daripada rata-rata di negara lain.
28
Sekitar 342 miliar batang rokok yang diproduksi di Indonesia di tahun yang sama.
Batang-batang rokok tersebut dikontribusikan hanya dari segelintir pemain yang
menjadi pemimpin di industri rokok.
3. Perusahaan Rokok Tanah Air
Lima pemain rokok tanah air menguasai tiga perempat pasar di Indonesia.
H.M. Sampoerna memimpin, 92.5% dimiliki oleh Philip Morris Internasional –
yang juga membuat rokok dengan merek Marlboro. Selanjutnya diikuti oleh pemain
asli, konglomerat Indonesia, Gudang Garam dan Djarum. Keempat adalah British
American Tobacco yang diwakili oleh Bentoel Group dan Nojorono posisi kelima
(Tjandra, 2018).
Lebih detail mengenai persentase dalam menguasai pasar, H.M. Sampoerna
29%, Gudang Garam 23%, Djarum 13%, British American 7%, Nojorono 5% dan
entitas perusahaan kecil lain yang berkontribusi 23%.
Tidak sulit untuk menemukan informasi terkait siapa dan apa yang mereka
(perusahaan) lakukan karena sebagian telah melakukan proses go public dan
menjadi perusahaan terbuka. Penulis akan sedikit memberikan gambaran mengenai
company profile yang sekiranya dapat membantu Pembaca untuk mengenal lebih
dalam para Indonesia’s Big Five.
Berikut adalah profil singkat dari perusahaan-perusahaan terkait;
a. H.M. Sampoerna
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (“Sampoerna”) telah menjadi bagian
penting dari industri tembakau Indonesia selama lebih dari seratus tahun
sejak berdiri tahun 1913, dengan produk legendaris Dji Sam Soe atau
dikenal dengan “Raja Keretek”. Sampoerna adalah pencetus kategori
Sigaret Keretek Mesin Kadar Rendah (SKM LT) di Indonesia dengan
memperkenalkan produk Sampoerna A pada tahun 1989. Produk Utama
dalam Sampoerna A adalah merek terdepan di pasar rokok Indonesia.
Sampoerna juga memproduksi sejumlah kelompok merek rokok keretek
yang telah dikenal luas termasuk Sampoerna Keretek dan Sampoerna U.
Selama lebih dari 10 tahun, Sampoerna memimpin pasar rokok Indonesia
dengan pangsa pasar sebesar 33.0% pada tahun 2018. Sampoerna adalah
29
anak perusahaan dari PT Philip Morris Indonesia (“PMID”) dan afiliasi dari
Philip Morris International Inc. (“PMI”), perusahaan rokok internasional
terkemuka dengan merek global Marlboro. Ruang lingkup kegiatan
Sampoerna meliputi, antara lain manufaktur, perdagangan dan distribusi
rokok termasuk juga mendistribusikan Marlboro merek rokok internasional
terkemuka yang diproduksi oleh PMID.
b. Perusahaan rokok Gudang Garam adalah salah satu perusahaan terkemuka
dalam industri rokok di Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1958 di
kota Kediri, Jawa Timur. Hingga saat ini, Gudang Garam telah dikenal luas
baik di dalam negeri maupun luar negeri sebagai penghasil rokok keretek
berkualitas tinggi.
Produk Gudang Garam dapat ditemukan dalam banyak varietas, mulai dari
SKL (sigaret keretek klobot atau rokok keretek kulit jagung), SKT (sigaret
keretek linting tangan atau rokok keretek tangan linting, hingga SKM
(sigaret keretek mesin atau mesin – rokok keretek gulung). PT. Gudang
Garam Tbk. memiliki anak perusahaan seperti PT. Surya Pemenang
(Industri Kertas), PT. Graha Surya Media (Layanan Hiburan) dan
sebagainya.
c. Djarum telah berdiri sejak awal tahun 1950-an. Produksi masif berteknologi
tinggi Djarum memproduksi rokok untuk pasar domestik dan internasional.
Produk Djarum domestik; Djarum Super, Djarum Super Mild, Djarum
Super MLD Black Series, Djarum Coklat, Djarum Coklat Extra, Djarum
Coklat Filter, LA Lights, LA Menthol, LA Ice, LA Bold, LA FilteRED,
Djarum Black, Djarum Black Mild, Djarum Black Cappuccino, Djarum
Black Menthol, Cigarillos, Gold Seal, Dos Hermanos dan lain-lain. Produk
Djarum internasional; Djarum Black, Djarum Black Supersmooth, Gold
Seal, Djarum Cherry, Djarum Black Menthol Supersmooth, Spice Island,
LA Lights, LA Menthol Lights, Djarum Super, Djarum Vanilla, and Djarum
Menthol. Informasi lain mengenai Djarum sangat terbatas mengingat entitas
yang belum go public dan karena karakteristik perusahaan yang bersifat
turun-temurun / dikelola oleh keluarga.
30
d. PT. Bentoel Internasional Investama Tbk. ("Bentoel") dan anak perusahaan
adalah anggota British American Tobacco Group, sebuah kelompok usaha
tembakau terbesar kedua di dunia berdasarkan pangsa pasar global dengan
merek yang dijual di lebih dari 200 pasar. Bentoel Group adalah produsen
rokok terbesar keempat di Indonesia dengan pangsa pasar sekitar 7%.
Bentoel memproduksi dan memasarkan beragam produk tembakau; keretek
buatan mesin, keretek buatan tangan, dan rokok putih. Portofolio utama
Bentoel termasuk Dunhill Filter, Dunhill Mild, Club Mild dan Lucky Strike
Mild. Bentoel juga memproduksi merek lokal, seperti Neo Mild, Tali Jagat,
Bintang Buana, Sejati, Star Mild dan Uno Mild, serta merek global, seperti
Lucky Strike dan Dunhill.
Bentoel Group mempekerjakan lebih dari 6.000 orang di seluruh bisnis;
mulai dari kemitraan penanaman daun hingga pembelian dan pemrosesan
daun dan cengkeh, hingga manufaktur, pemasaran, dan distribusi rokok.
PT. Bentoel Internasional Investama Tbk. memiliki anak perusahaan seperti
PT. Bentoel Distribusi Utama (Distributor Rokok), PT. Bentoel Prima
(Manufakturer Rokok) dan sebagainya.
4. Perihal Cukai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, seperti nama yang tersemat, mengatur
perihal cukai. Direktorat terkait berada di bawah naungan Kementerian Keuangan.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah entitas yang memiliki peranan
dalam menjaga hak-hak keuangan negara. Melalui fungsi tertentu, DJBC mengatur
hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas perdagangan internasional serta tuntutan
untuk memenuhi kepentingan nasional.
Berikut Penulis paparkan fungsi utama yang melekat atas entitas DJBC,
dengan berdasar kepada dokumen Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
No. KEP-105/BC/2014 tentang Visi, Misi, dan Fungsi Utama Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai;
a. Meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri melalui pemberian
fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai yang tepat sasaran.
31
b. Mewujudkan iklim usaha dan investasi yang kondusif dengan
memperlancar logistik impor dan ekspor melalui penyederhanaan prosedur
kepabeanan dan cukai serta penerapan sistem manajemen risiko yang
handal.
c. Melindungi masyarakat, industri dalam negeri, dan kepentingan nasional
melalui pengawasan dan/atau pencegahan masuknya barang impor dan
keluarnya barang ekspor yang berdampak negatif dan berbahaya yang
dilarang dan/atau dibatasi oleh regulasi.
d. Melakukan pengawasan kegiatan impor, ekspor, dan kegiatan di bidang
kepabeanan dan cukai lainnya secara efektif dan efisien melalui penerapan
sistem manajemen risiko yang handal, intelijen, dan penyidikan yang kuat,
serta penindakan yang tegas dan audit kepabeanan dan cukai yang tepat.
e. Membatasi, mengawasi, dan/atau mengendalikan produksi, peredaran dan
konsumsi barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik dapat
membahayakan kesehatan, lingkungan, ketertiban dan keamanan
masyarakat melalui instrumen cukai yang memperhatikan aspek keadilan
dan keseimbangan.
f. Mengoptimalkan penerimaan negara dalam bentuk bea masuk, bea keluar,
dan cukai guna menunjang pembangunan nasional.
Jika dilihat dengan lebih saksama, aspek cukai tertulis secara eksplisit. Poin
kelima menegaskan bahwa cukai digunakan sebagai instrumen untuk membatasi,
mengawasi, mengendalikan produksi, peredaran dan konsumsi barang. Cukai lebih
lanjut adalah upaya perlindungan dari pemerintah untuk masyarakat atas ancaman
kesehatan, lingkungan, ketertiban dan keamanan.
Cukai, mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai
adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang, yakni;
a. Konsumsinya perlu dikendalikan.
b. Peredarannya perlu diawasi.
c. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau
lingkungan hidup.
32
d. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan.
Barang tertentu yang sesuai dengan karakteristik di atas, selanjutnya disebut
barang kena cukai (BKC). Cukai dikenakan terhadap BKC yang terdiri dari;
a. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan
dan proses pembuatannya.
b. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan
tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya,
termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol.
c. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris,
dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan
digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam
pembuatannya.
Demikian informasi terkait cukai yang Penulis dapat dari berbagai dokumen
pemerintah. Cukai tersebut dikumpulkan dan diolah oleh negara sebagai kas negara
untuk proses pembangunan. Penerimaan cukai terbesar berasal dari industri hasil
tembakau (IHT), yakni sebesar 90% dari keseluruhan BKC. Terhitung 2004 – 2017,
penerimaan cukai terus meningkat (Magdalena, 2018: 344).
F. Dikotomi Jenis Kelamin
Upaya dalam mengkaji perbedaan jenis kelamin atas hubungan dengan
elastisitas komoditas rokok mungkin penting untuk Penulis jelaskan. Kemungkinan
dalam sebuah opini dan hipotesis selalu mutlak. Begitu juga dengan asumsi-asumsi
yang datang. Laki-laki dan perempuan, dengan gaya hidup yang berbeda, hasrat dan
emosi yang berlainan, sedikit atau banyak berpengaruh terhadap derajat elastisitas.
Penulis mencoba untuk menyediakan kajian-kajian yang membahas tentang
perbedaan pola konsumsi dari laki-laki dan perempuan. Pemaparan terkait berguna
untuk memahami bahwa laki-laki dan perempuan memiliki preferensi lain terkait
kebutuhan dan memiliki prioritas atas pengeluaran. Jenis kelamin antara satu dan
yang lain, dipastikan memiliki alokasi konsumsi yang mengikuti kepentingan.
33
Kenaikan harga rokok bagi perokok dengan jenis kelamin tertentu, mungkin
tidak masalah mengingat kebutuhan sehari-hari yang diperlukan sedikit. Boleh jadi
di lain sisi, kenaikan harga rokok menjadi perhatian yang perlu dipikirkan karena
alokasi berlebih atas suatu komoditas membuat pemenuhan kebutuhan lain menjadi
terbatas bahkan dikesampingkan.
Konsep semacam dapat dilihat melalui penelitian yang dilakukan oleh CIPS
(Center for Indonesian Policy Studies). Kenaikan harga beras sebesar 1.000 rupiah
dapat mempengaruhi kemungkinan untuk memiliki anak yang mengalami stunting
sebanyak 2.44%. Harga yang tinggi juga dapat menurunkan alokasi belanja untuk
beragam nutrisi lewat daging dan bahan pokok lain (Ilman & Wibisono, 2019: 30).
Seperti yang telah disebutkan, berikut adalah sedikit rangkuman dari karya
ilmiah yang menyinggung tentang perbedaan pola konsumsi dua jenis kelamin;
Tabel 2.2. Penelitian Pola Konsumsi
No. Penulis &
Tahun Sampel Hasil
1 (Davy et al.,
2006)
Mahasiswa
Universitas
Midwestern
Penelitian menyatakan bahwa
perempuan memang lebih berhati-hati
dalam upaya konsumsi kebutuhan
sehari-hari. Berbagai hal seperti diet
dan pembatasan konsumsi karbohidrat
menjadi alasan utama. Kultur
semacam adalah sebuah perhatian
yang dimiliki perempuan atas nutrisi
yang dikonsumsi.
2
(Morse &
Driskell,
2009)
Mahasiswa
Universitas
Midwestern
Perbedaan terlihat bahkan dalam
konsumsi makanan cepat saji.
Persentase mahasiswa laki-laki di
Universitas Midwestern yang
mengonsumsi fast-food tercatat lebih
banyak dibanding perempuan. Alasan
yang ditemukan seputar hal-hal yang
berhubungan dengan ekonomi, karena
lebih murah.
3 (Shiferaw et
al., 2012)
Partisipan
FoodNet
Jurnal lain yang berhubungan dengan
dunia medis, memaparkan bahwa
perbedaan konsumsi laki-laki dan
perempuan sangat kontras. Laki-laki
melakukan konsumsi lebih banyak
untuk daging dan berbagai jenis
unggas olahan. Lalu untuk
34
perempuan, buah-buahan dan sayuran
menjadi konsumsi yang
terkonsentrasi.
4 (Hallam et
al., 2016) -
Laki-laki dan perempuan memiliki
hasrat yang berbeda dalam pola
konsumsi. Berbagai macam studi
telah menemukan bahwa tendensi
laki-laki dalam konsumsi makanan
gurih, seperti daging, ikan, dan telur
cukup tinggi. Sedangkan untuk
perempuan cenderung mengonsumsi
makanan manis seperti cokelat, es
krim, dan roti-rotian.
5
(Maimunah
& Julian,
2017)
Mahasiswa
UNILA
Perbedaan jenis kelamin antara
mahasiswa laki-laki dan perempuan,
berpengaruh signifikan terhadap
pengeluaran dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari. Konsumsi
yang dilakukan mahasiswa
perempuan lebih besar dibandingkan
mahasiswa laki-laki sebesar 32.045,58
rupiah.
Apakah laki-laki cukup toleran menghadapi kenaikan harga rokok karena
tidak terlalu memiliki kebutuhan yang kompleks dan beragam? Apakah perempuan
sangat intoleran dan responsif terhadap kenaikan harga rokok yang menyerap cukup
banyak alokasi pengeluaran sedangkan kebutuhan lain perlu dikesampingkan? Atau
mungkin kedua jenis kelamin memiliki derajat yang sama dalam merespons harga?
Pertanyaan-pertanyaan semacam dapat dijawab melalui term elastisitas atas
dikotomi kalkulasi berdasarkan dua jenis kelamin.
G. Penelitian Terdahulu
Penulis turut serta mempelajari beberapa kajian terdahulu, berupa jurnal,
skripsi, maupun karya ilmiah lain, sebagai upaya untuk mendapatkan perspektif
yang menyeluruh. Kesenjangan akademis dan fokus penelitian dapat dengan mudah
dilengkapi. Kajian-kajian yang Penulis pelajari mencakup referensi domestik juga
internasional.
Kajian terkait Penulis bedah dalam beberapa poin, termasuk nama penulis,
tahun terbit, judul, metode, dan hasil, berikut di antaranya;
35
Tabel 2.3. Penelitian Terdahulu
No. Penulis &
Tahun Judul Metode Hasil
1
(Komasari
& Helmi,
2000)
Faktor-Faktor
Penyebab
Perilaku Merokok
pada Remaja
Variabel
Perilaku
Merokok, Sikap
Permisif Orang
Tua, Lingkungan
Teman Sebaya,
Kepuasan
Psikologis
Analisis
Teknik analisis
data yang
digunakan
adalah regresi
ganda.
Sumbangan sikap
permisif orang tua
dan lingkungan
teman sebaya
terhadap perilaku
merokok remaja
sebanyak 38.4%.
Sementara
sumbangan
kepuasan
psikologis sebesar
40.9% terhadap
perilaku merokok.
2
(Hidayat &
Thabrany,
2008)
Model Spesifikasi
Dinamis
Permintaan
Rokok:
Rasionalkah
Perokok
Indonesia?
Variabel
Konsumsi
Rokok, Harga,
Alkohol,
Pendapatan
Analisis
Studi
menganalisis
model spesifikasi
dinamis
permintaan
rokok dengan
OLS, 2SLS,
GMM, dan
System-GMM.
Analisis statistik
menunjukkan
bahwa harga
rokok
berhubungan
negatif dengan
konsumsi.
Elastisitas harga
rokok jangka
panjang (-0.39)
lebih tinggi
ketimbang
elastisitas jangka
pendek (-0.35).
3 (Woyanti,
2011)
Pengaruh
Kenaikan Tarif
Cukai dan Fatwa
Haram Merokok
terhadap Perilaku
Konsumen Rokok
di Kota Semarang
Variabel
Konsumsi
Rokok, Harga,
Pendapatan,
Umur,
Pendidikan,
Cukai, Fatwa
Analisis
Metode
Penarikan
Sampel:
Stratified
Harga Rokok pada
Konsumsi Rokok:
Negatif dan
Signifikan
Pendapatan pada
Konsumsi Rokok:
Positif dan
Signifikan
Umur pada
Konsumsi Rokok:
Negatif dan
Signifikan
36
Random
Sampling
Alat Statistik:
Regresi Linier
Berganda
Teknik
Penaksiran
Model: Ordinary
Least Square
(OLS)
Pendidikan pada
Konsumsi Rokok:
Negatif dan
Signifikan
Cukai pada
Konsumsi Rokok:
Positif dan Tidak
Signifikan
Fatwa pada
Konsumsi Rokok:
Positif dan Tidak
Signifikan
4 (Mandey,
2013)
Promosi,
Distribusi, Harga
Pengaruhnya
terhadap
Keputusan
Pembelian Rokok
Surya Promild
Variabel
Keputusan
Pembelian
Rokok Gudang
Garam Surya
Promild, Strategi
Promosi,
Distribusi, Harga
Analisis
Metode analisis
yang digunakan
adalah regresi
linier berganda.
Secara parsial,
promosi dan
distribusi
berpengaruh
signifikan
terhadap
keputusan
pembelian. Harga
tidak berpengaruh
signifikan
terhadap
keputusan
pembelian.
5
(Sopwa &
Banin,
2015)
Analisis Pengaruh
Perceived Harga,
Kemasan dan
Daya Tarik Iklan
Televisi terhadap
Minat Beli
Konsumen
Produk Rokok
Djarum Super di
Bumiayu
Variabel
Minat Beli,
Perceived Harga,
Kemasan, Daya
Tarik Iklan
Televisi
Analisis
Metode analisis
untuk penelitian
adalah metode
kuantitatif,
digunakan
metode regresi
linier berganda.
Perceived Harga
terhadap Minat
Beli: Positif dan
Signifikan
Kemasan terhadap
Minat Beli: Tidak
Signifikan
Daya Tarik Iklan
Televisi terhadap
Minat Beli: Tidak
Signifikan
6
(Afif &
Sasana,
2019)
Pengaruh
Kemiskinan,
Pendapatan per
Kapita, Harga
Variabel
Konsumsi Rokok
per Kapita,
Kemiskinan,
Kemiskinan
terhadap
Konsumsi Rokok
37
Rokok, Produksi
Rokok terhadap
Konsumsi Rokok
di Indonesia
Pendapatan per
Kapita, Harga
Rokok, Produksi
Rokok
Analisis
Penelitian
menggunakan
model regresi
linier berganda
dengan metode
kuadrat terkecil
atau OLS.
per Kapita: Positif
dan Signifikan
Pendapatan per
Kapita terhadap
Konsumsi Rokok
per Kapita: Positif
dan Signifikan
Harga Rokok
terhadap
Konsumsi Rokok
per Kapita: Tidak
Signifikan
Produksi Rokok
terhadap
Konsumsi Rokok
per Kapita: Positif
dan Signifikan
7 (Hu & Mao,
2002)
Effects of
Cigarette Tax on
Cigarette
Consumption and
The Chinese
Economy
Variabel
Konsumsi
Rokok, Pajak
Rokok
Analisis
Metode analisis
menggunakan
pengukuran
rumus elastisitas
yang telah
diolah.
Kenaikan 25%
dari pajak
tembakau akan
mengurangi
konsumsi rokok
sebesar 4.54 juta
bungkus.
8 (Gallet &
List, 2003)
Cigarette
Demand: A Meta-
Analysis of
Elasticities
Analisis
Penelitian
berusaha
melakukan
estimasi atas
model elastisitas
harga, elastisitas
pendapatan, dan
elastisitas iklan.
Hasil
menunjukkan
bahwa beberapa
asumsi pemodelan
memiliki
pengaruh minor
atau tidak
signifikan secara
statistik pada
perkiraan
elastisitas.
9 (Gallus et
al., 2006)
Price and
Cigarette
Consumption in
Europe
Variabel
Konsumsi
Dewasa
Tahunan, Harga
Hasil dari analisis
mendukung
asosiasi terbalik
antara harga dan
merokok di Eropa.
38
Rokok per
Bungkus
Data
menunjukkan
bahwa rata-rata di
Eropa, konsumsi
rokok menurun
sebesar 7,4% (dan
4,6%) untuk
peningkatan
10,0% dalam
harga rokok
merek asing dan
lokal.
10
(Saenz-de-
Miera et al.,
2010)
Self-Reported
Price of
Cigarettes,
Consumption and
Compensatory
Behaviours in a
Cohort of
Mexican Smokers
Before and After
a Cigarette Tax
Increase
Variabel
Self-Reported
Price of
Cigarettes, Place
of Last Purchase,
Preferred Brand,
Daily
Consumption,
Quit Behaviour
Hasil
menunjukkan
bahwa kenaikan
pajak dirasakan
oleh konsumen.
Setelah dianalisis,
kenaikan pajak
akan
mengakibatkan
penurunan
konsumsi.
11 (Ng et al.,
2014)
Smoking
Prevalence and
Cigarette
Consumption in
187 Countries,
1980 – 2012
Variabel
Data yang
digunakan terkait
dengan
prevalensi
merokok dari
187 negara, baik
jumlah
konsumsi,
populasi
perokok,
persentase laki-
laki dan
perempuan, serta
umur.
Analisis
Algoritme
khusus dibuat
untuk
menyesuaikan
data dan tujuan
yang ingin
dicapai.
Meskipun terdapat
kemajuan dalam
mengurangi
prevalensi
merokok sejak
1980, jumlah
perokok terus
meningkat di
seluruh dunia.
Indikasi awal
bahwa prevalensi
global di antara
pria meningkat
dalam beberapa
tahun terakhir.
39
H. Kerangka Pemikiran
Untuk memberikan sedikit gambaran mengenai proses berpikir dan alur dari
penelitian, berikut Penulis lampirkan kerangka pemikiran;
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
I. Hubungan Antar Variabel
Penelitian terkait menggunakan dua alat analisis yakni formula elastisitas
dan regresi. Berikut adalah pembahasan dari keduanya;
1. Elastisitas
Variabel yang akan Penulis gunakan untuk menganalisis derajat elastisitas
komoditas rokok yakni melalui kalkulasi atas harga rokok dan persentase konsumsi
rokok laki-laki serta perempuan dewasa. Lebih detail, perhitungan matematis akan
menggunakan metode elastisitas permintaan dan melihat seberapa jauh koefisien
nilai akhir yang didapatkan.
40
𝐸ℎ =% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑙𝑎𝑘𝑖 − 𝑙𝑎𝑘𝑖
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 (𝑝𝑒𝑟 20 𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔)
&
𝐸ℎ =% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 (𝑝𝑒𝑟 20 𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔)
Beberapa penelitian terdahulu memiliki hasil dan penggunaan alat analisis
yang berlainan antara satu dengan yang lain. Sebagian menyatakan bahwa korelasi
antara harga rokok dan konsumsi positif, sebagian lain mendapatkan bahwa korelasi
bersifat negatif. Apa yang Penulis berusaha analisis lebih dari hubungan positif dan
negatif dari harga dan konsumsi, tapi juga diklasifikasikan dalam kluster elastisitas.
Kluster elastisitas dapat ditentukan melalui nilai koefisien yang didapatkan.
Kriteria penentuan dapat dilihat sebagai berikut;
a. Inelastis Sempurna:
Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah = 0.
b. Elastis Sempurna:
Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah = ∞.
c. Elastisitas Tunggal (Uniter):
Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah = 1.
d. Elastis:
Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah > 1.
e. Inelastis:
Nilai koefisien elastisitas yang dihasilkan adalah < 1.
2. Regresi
Regresi yang Penulis laksanakan adalah regresi linier sederhana dengan satu
prediktor X berupa rerata upah minimum provinsi. Lalu untuk variabel Y, Penulis
masih menggunakan variabel persentase konsumen rokok. Penulis akan melakukan
dua kali regresi dengan perbedaan antara dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan
agar dapat mengetahui dampak dengan lebih kontras.
𝑦 = ß0 + ß1x + Ɛ
41
Penulis menggunakan data time series atau deret waktu mengingat variabel
yang digunakan adalah berdasarkan perbedaan waktu ( 2002 – 2018). Variabel yang
diamati dari beberapa lintas waktu. Time series sangat baik dalam upaya melakukan
forecasting. Formula elastisitas yang sebelumnya Penulis singgung berfungsi untuk
mengetahui apakah alasan kenaikan harga rokok relevan bagi penurunan konsumsi
rokok, di sisi lain, forecasting pada time series mampu menilai seberapa jauh upah
minimum provinsi berdampak pada konsumsi rokok.
Kedua formula masih terkait dalam upaya menjelaskan fenomena konsumsi
rokok di Indonesia. Kembali pada regresi linier sederhana, Penulis tegaskan bahwa
variabel bebas (independen) yakni rerata upah minimum provinsi, untuk variabel
terikat (dependen) yakni persentase konsumen rokok laki-laki dan perempuan. Lalu
syarat untuk melakukan regresi linier sederhana adalah;
a. Jumlah sampel yang digunakan antara dua variabel sama.
b. Jumlah variabel bebas (X) satu.
c. Nilai residual bersifat normal.
d. Hubungan yang linier antara variabel bebas dan variabel terikat.
e. Tidak terdapat heteroskedastisitas.
f. Tidak terdapat autokorelasi.
Sedangkan tahap demi tahap akan Penulis singgung pada bab selanjutnya.
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
Populasi dari data adalah jumlah keseluruhan harga atas merek rokok yang
tersebar di Indonesia dan persentase konsumen rokok. Lalu, penentuan sampel atas
penelitian adalah harga rerata dari 20 batang rokok tanpa memperhatikan jenis dan
merek rokok, serta sampel dalam bentuk persentase konsumen rokok laki-laki dan
perempuan dewasa (15 – 64). Data lain yakni rerata upah minimum provinsi.
Metode penentuan sampel yang Penulis tetapkan adalah purposive sampling
yakni metode dengan mempertimbangkan maksud dan karakteristik tertentu. Salah
satu alasan Penulis adalah dengan melihat keterbatasan data harga dari beragamnya
jenis rokok Indonesia, serta mayoritas konsumen rokok Indonesia yang berada pada
usia dewasa.
Melalui alasan terkait, Penulis memutuskan untuk hanya menggunakan data
yang tersedia dan representatif. Sangat sulit untuk membuat indeks dari keseluruhan
data harga tiap-tiap jenis rokok yang tersebar di Indonesia. Sedangkan untuk kasus
persentase konsumen rokok, Penulis merasa bahwa konsumen rokok laki-laki dan
perempuan usia dewasa, dapat mewakili kondisi keseluruhan konsumen rokok.
Perihal proses pencarian data, Penulis menemukan hambatan. Sumber yang
telah Penulis jadikan referensi, tidak memberikan data dengan lengkap. Sedikitnya
terdapat beberapa angka dari tahun-tahun tertentu yang kosong dan tidak memiliki
nilai. Penulis juga berusaha untuk mencari sumber lain sebagai pelengkap, namun
tetap tidak mendapatkan hasil.
Sebagai upaya untuk mendapatkan data yang tidak tersedia, Penulis merasa
perlu untuk melakukan interpolasi. Interpolasi merupakan proses pencarian sebuah
titik di antara dua sumbu dengan uji coba matematis (Mulyono, 2009: 1). Interpolasi
dapat membantu untuk mengisi data yang tidak tersedia serta membuat penelitian
menjadi lebih valid. Penulis juga turut melakukan ekstrapolasi.
Data mengenai upah minimum provinsi telah Penulis dapat secara lengkap,
namun tidak dengan data harga rerata rokok dan persentase konsumen rokok laki-
laki dan perempuan. Data terkait tidak tersedia untuk tahun 2002, 2003, 2006, 2008,
2009, 2017, dan 2018.
43
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Wilayah yang menjadi cakupan penelitian adalah Indonesia sebagai negara
konsumen rokok cukup besar di dunia. Interval waktu yang Penulis pilih adalah dari
tahun 2002 sampai tahun 2018 (17 tahun). Penelitian dengan judul “Klasifikasi
Elastisitas dan Peran Rerata Upah Minimum Provinsi terhadap Konsumsi Rokok
(Studi Kasus: 2002 – 2018) dilakukan sejak November 2019 hingga Maret 2020.
C. Data & Sumber Data
Data yang digunakan bersifat kuantitatif serta berasal dari pihak eksternal
dengan bentuk data sekunder. Data diperoleh melalui sumber yang beragam, dari
dokumen pemerintahan, publikasi ilmiah seperti jurnal dan skripsi, kajian literatur,
referensi baik domestik serta internasional. Penulis sadar betul bahwa penelitian
akan sangat kuat dalam argumen jika memiliki referensi dari bermacam medium.
Berikut Penulis singgung mengenai sumber dari data yang Penulis gunakan
dalam penelitian;
1. Data Harga Rerata Rokok
Penulis menggunakan data harga rerata rokok per 20 batang sebagai wakil
dari keseluruhan harga tiap-tiap jenis rokok yang tersebar di Indonesia. Data terkait
Penulis peroleh dari inter-ekstrapolasi dan publikasi World Bank yang membahas
prevalensi rokok bertajuk Cigarette Affordability in Indonesia: 2002 – 2017.
2. Data Konsumen Rokok
Penulis menggunakan data persentase konsumen rokok laki-laki dan juga
perempuan sebagai wakil dari keseluruhan konsumen rokok di Indonesia. Data
terkait Penulis peroleh dari laman resmi World Bank Data, publikasi, dan proses
inter-ekstrapolasi.
3. Data Rerata Upah Minimum Provinsi
Penulis mendapatkan data terkait dari Badan Pusat Statistik. Rerata dipilih
karena cakupan penelitian yang tidak terbatas pada provinsi, namun skala nasional.
Angka rerata diperoleh dari keseluruhan provinsi yang berada di Indonesia. Data
terkait sudah lengkap dan tidak diperlukan pengolahan yang lebih lanjut.
44
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat, metode, dan cara yang membantu Penulis
dalam upaya untuk menjalankan penelitian terkait. Instrumen yang menjadi fokus
Penulis untuk mendapatkan data yakni berupa dokumen-dokumen serta publikasi
formal pemerintah dan non-pemerintah, baik lembaga domestik juga internasional,
melalui laman resmi masing-masing entitas.
E. Metode Pengumpulan Data
Data menjadi suatu kebutuhan mutlak untuk melakukan penelitian. Pertama
yang dapat dilakukan adalah proses pengumpulan. Melalui sumber-sumber kredibel
maka data yang diperoleh akan memiliki argumen yang kuat. Penulis menggunakan
metode studi pustaka untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan. Sebuah metode
yang menekankan pada proses penggalian informasi atas dokumen dan catatan.
F. Metode Analisis Data
Penulis menggunakan alat analisis kuantitatif; elastisitas & regresi. Berikut
adalah tahap demi tahap pelaksanaan dari dua alat secara terpisah, lebih lanjut akan
dijabarkan pada bab selanjutnya;
1. Elastisitas
a. Inter dan Ekstrapolasi
b. Penyederhanaan Nilai
c. Elastisitas
2. Regresi
a. Uji Normalitas
b. Uji Linieritas
c. Uji Heteroskedastisitas
d. Uji Autokorelasi
e. Hipotesis
f. Regresi
g. Interpretasi
45
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Objek Penelitian
Sekitar 67.4% laki-laki dan 4.5% perempuan yang terdiri 36.1% dari
populasi (61.4 juta) menggunakan tembakau dalam bentuk merokok atau tanpa asap
di tahun 2011. Penggunaan tembakau lebih umum dan masif di pedesaan (39.1%),
dibandingkan dengan daerah perkotaan (33%).
Rokok adalah bentuk utama dari penggunaan tembakau, 34.8% (59.9 juta)
dari populasi orang dewasa merokok tembakau dan 1.7% (2.9 juta) orang dewasa
menggunakan produk tembakau tanpa asap (pipa, cerutu, shisha, dan sebagainya).
Rokok keretek (31.5%) adalah produk tembakau paling populer yang digunakan di
Indonesia. Rata-rata 12.8 batang rokok dihisap / hari.
Grafik 4.1. Prevalensi Jenis Kelamin Berdasarkan Tipe Tembakau
Sumber: Global Adult Tobacco Survei; Indonesia Report 2011.
Sebesar 79.8% perokok keretek membeli rokok terakhir mereka di sebuah
kios. Harga rata-rata 20 batang yang dibayarkan perokok keretek adalah Rp12.719.
Gudang Garam adalah merek paling populer yang dibeli oleh perokok keretek tahun
2011 (21.8%). Merek paling populer kedua adalah Djarum (18.8%). Sampoerna,
Laki-Laki
Smoked
Smoked & Smokeless
Smokeless
Perempuan
Smoked
Smoked & Smokeless
Smokeless
46
Dji Sam Soe, dan Tali Jagad dengan 15.4%, 6%, dan 5.3%, yang masing-masing
adalah merek paling populer ketiga, keempat, dan kelima. Penghasilan rata-rata,
4.71% dihabiskan untuk pembelian 100 bungkus rokok keretek pada tahun 2011.
Prevalensi merokok di kalangan perempuan Indonesia agak rendah, namun
mudah berubah. Prevalensi di antara laki-laki dewasa, di sisi lain, telah mengikuti
tren peningkatan yang berlangsung beberapa dekade. Pada 2016, diperkirakan
68.1% laki-laki Indonesia merokok. Salah satu tingkat tertinggi di dunia. Jumlah
perokok Indonesia meningkat tiga kali lipat, dari 25 juta pada 1980 menjadi sekitar
73.6 juta pada 2015.
Dalam satu dekade, dari 2007 – 2017, Indonesia melonjak dari konsumen
rokok terbesar kelima setelah China, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang menjadi
negara konsumen rokok terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Rusia.
Sedikitnya, terdapat tiga jenis rokok diproduksi di Indonesia: sigaret keretek
mesin / SKM, sigaret keretek tangan / SKT, sigaret putih mesin / SPM. Keretek
adalah jenis rokok yang diproduksi di dalam negeri, terdiri dari tembakau, cengkeh,
dan bahan-bahan lainnya. Periode 2011 – 2017 terlihat pergeseran pangsa pasar ke
arah SKM, naik dari 63.75% di 2011 menjadi 74.79% di 2017.
Grafik 4.2. Prevalensi Berdasarkan Tipe Rokok
Sumber: Cigarette Affordability in Indonesia; 2002 – 2017.
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
SKM 63.75% 65.29% 68.58% 72.62% 73.35% 73.82% 74.79%
SKT 30.37% 28.63% 25.43% 21.67% 20.88% 20.72% 20.23%
SPM 5.87% 6.08% 5.99% 5.71% 5.77% 5.47% 4.90%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
47
Produksi dan konsumsi rokok meningkat secara masif di Indonesia. Selama
periode 2011 – 2016, produksi rokok naik dari 279 menjadi 342 miliar batang,
sementara konsumsi meningkat dari 296 menjadi 339 miliar batang. Jika dalam
persentase, produksi rokok Indonesia meningkat 22.41% serta konsumsi meningkat
sebesar 14.46%.
Keterjangkauan tembakau / rokok naik 50% dari awal 1980-an hingga akhir
1990-an. Kemudian meningkat lagi sebesar 50% dari 2003 hingga 2010. Pada 2000-
an, rokok di Indonesia lebih terjangkau daripada di negara-negara berpenghasilan
rendah menengah. Tingkat peningkatan keterjangkauan rokok di Indonesia sangat
cepat, menempati urutan kedua tercepat di antara sepuluh negara berpenghasilan
menengah ke bawah dari tahun 2000 – 2013.
Tabel 4.1. Harga Rokok Retail/20 Batang
Negara Merek Termahal Merek Termurah
Indonesia 2.16 0.45
Bangladesh 2.81 0.64
Brazil 2.28 1.53
Canada 8.56 6.55
China 6.76 0.38
Germany 6.67 5.56
India 3.67 0.87
Malaysia 4.19 2.22
Mexico 2.86 1.27
Philippines 1.26 0.86
Singapore 9.65 7.2
Sri Lanka 7.27 3.84
Rep. of Korea 4.46 3.57
Russian Federation 1.86 0.72
Thailand 2.06 1.15
United Kingdom 13.31 8.17
Vietnam 1.17 0.27
Harga Rokok Retail: Dollar
Sumber: Cigarette Affordability in Indonesia; 2002 – 2017.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa terdapat kenaikan cukai rokok di
tahun 2020 sebesar 23% dan berdampak pada kenaikan harga eceran rokok sebesar
35%. Selama periode 2014 – 2020, cukai meningkat sebanyak empat kali.
48
Kematian yang disebabkan oleh tembakau pada tahun 2016 sebesar 21.37%.
Lebih banyak laki-laki meninggal di Indonesia daripada rata-rata di negara sedang.
Walaupun lebih sedikit orang yang menggunakan tembakau tanpa asap di Indonesia
daripada rata-rata di negara menengah, 8 juta penduduk bukanlah nilai yang patut
diabaikan. Sebuah permasalahan dan tantangan kesehatan yang nyata.
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh budaya merokok di Indonesia
mencapai 639 triliun rupiah, besaran yang termasuk biaya langsung terkait dengan
pengeluaran perawatan kesehatan dan tidak langsung atas hilangnya produktivitas
karena kematian dini dan morbiditas.
Pendapatan gabungan dari enam perusahaan tembakau terbesar dunia pada
tahun 2016 adalah lebih dari USD 346 miliar, setara dengan 38% dari Pendapatan
Nasional Bruto Indonesia. Sebuah kekuatan karena sumber daya luas dan kekuatan
pasar global.
Sekitar 196.300 metrik ton tembakau diproduksi di Indonesia pada tahun
2014, dengan 0.37% lahan pertanian dikhususkan untuk penanaman tembakau, dan
sekitar 342 miliar batang rokok diproduksi di Indonesia pada tahun 2016.
Lima pemain rokok menguasai tiga perempat pasar tembakau di Indonesia,
dipimpin oleh HM Sampoerna, 92.5% dimiliki oleh Philip Morris Internasional –
yang juga membuat rokok dengan merek Marlboro. Kemudian muncul beberapa
konglomerat Indonesia; Gudang Garam dan Djarum, dikenal karena rokok keretek
tradisional. Keempat adalah British American Tobacco, dan grup Indonesia lain
yakni Nojorono Tobacco di posisi kelima. Sampai saat ini, posisi belum berubah.
Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani
dan meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) – bahkan China ada di dalamnya dan membuat
kemajuan yang stabil. Jika melihat kondisi tembakau atau rokok domestik, kondisi
demikian tidak dapat dilihat dengan satu perspektif, harus menyeluruh dan adil.
Demikian kondisi tembakau dan rokok yang telah Penulis paparkan. Data
serta informasi terkait menjadi bahan awal untuk melakukan penelitian elastisitas
yang akan disinggung pada pembahasan selanjutnya. Subab lanjutan akan langsung
menjelaskan mengenai analisis serta pembahasan. Teknik pengolahan data menjadi
panduan untuk mencapai kesimpulan, derajat elastisitas komoditas rokok.
49
B. Temuan Hasil Penelitian
Sebelum masuk ke dalam proses hitung, maka Penulis akan menjawab hal
yang menjadi asumsi dalam penelitian ini, yakni perihal hubungan cukai dan harga
rokok. Penulis akan menjabarkan penelitian yang menjustifikasi cukai adalah salah
satu faktor utama pembentuk harga rokok. Menurut Fadillah & Kiswara (2012: 10),
cukai per unit berpengaruh positif terhadap harga produk rokok per unit.
Bukti ini menunjukkan bahwa semakin besarnya cukai per unit, maka akan
semakin besar juga harga rokok per unit yang terdampak. Kita dapat menilai bahwa
kenaikan harga rokok benar disebabkan oleh cukai yang naik. Cukai memang bukan
satu-satunya pembentuk rokok, tapi jika kenaikan harga rokok tidak berpengaruh
pada konsumsi rokok, maka kenaikan cukai pun terbukti tidak signifikan.
Penelitian kuantitatif Penulis pilih karena sesuai dengan bentuk data berupa
angka. Berikut adalah pemaparan data-data yang digunakan dalam penelitian;
Tabel 4.2. Harga Rokok/20 Batang di Indonesia
Tahun IDR/20 Batang
2002 5381.3
2003 6012.3
2004 6430.8
2005 8222.3
2006 8683.3
2007 9110.2
2008 9316.2
2009 9800.8
2010 10413.5
2011 11578.5
2012 12421.2
2013 13789
2014 15446.4
2015 17291.5
2016 19116.3
Sumber: Cigarette Affordability in Indonesia; 2002 – 2017.
Data diperoleh melalui salah satu publikasi penyumbang utama penelitian
yang berasal dari World Bank, dengan judul Cigarettes Affordability in Indonesia;
2002 – 2017. Penulis merasa data di atas belum cukup layak dan jelas untuk masuk
dalam proses hitung elastisitas, perlu langkah lanjutan.
50
Data konsumen rokok laki-laki dan perempuan dewasa pun masih perlu
melalui proses tambahan. Permasalahan yang Penulis temukan yakni kekosongan
data serta data dalam bentuk persentase keseluruhan total penduduk. Agar
perhitungan elastisitas mudah dilakukan, Penulis merasa perlu untuk mengolah data
konsumen rokok laki-laki dan perempuan lebih lanjut.
Berikut Penulis paparkan data mentah dari persentase konsumen rokok laki-
laki dan perempuan yang berhasil Penulis himpun dari berbagai sumber;
Tabel 4.3. Prevalensi Konsumen Rokok
Tahun Laki-Laki Perempuan
2000 60.6 5.6
2001 62.2 1.3
2002 - -
2003 - -
2004 63.1 4.5
2005 65 4.4
2006 - -
2007 65.6 5.2
2008 - -
2009 - -
2010 70.6 3.6
2011 71.1 3.4
2012 71.9 3.3
2013 73 3.1
2014 74.1 3
2015 75.2 2.9
2016 76.1 2.8
Konsumen Rokok: Persentase
Sumber: World Bank Data & Cigarette Affordability in Indonesia; 2002 – 2017.
Data di atas masih belum cukup untuk masuk tahap hitung elastisitas. Data
tahun tertentu masih tidak tersedia serta perlu dilakukan proses inter dan ekstra-
polasi. Bentuk data yang persentase juga perlu melalui penyederhanaan nilai demi
memudahkan Penulis dalam menghitung elastisitas. Langkah-langkah terkait akan
ditelaah lebih lanjut pada subbab lanjutan. Meski data prevalensi rokok di atas
dimulai dari tahun 2000, Penulis memutuskan hanya menggunakan data dari 2002
sampai 2018.
51
Berbeda dengan dua data sebelumnya, data rerata upah minimum provinsi
tidak perlu melalui tahap lanjutan. Data yang berasal dari Badan Pusat Statistik
telah jelas dan lengkap. Tidak terdapat kekosongan data serta bentuk telah dalam
rupiah. Berikut adalah data yang nantinya akan Penulis gunakan dalam meramalkan
fungsi antara upah minimum provinsi dan persentase konsumen rokok;
Tabel 4.4. Rerata Upah Minimum Provinsi
Tahun Rata-Rata UMP
2002 362700
2003 414700
2004 458500
2005 507697
2006 602702
2007 672480
2008 745709
2009 841530
2010 908824
2011 988829
2012 1088903
2013 1296908
2014 1584391
2015 1790342
2016 1997819
2017 2142855
2018 2268874
2019 2455662
Rerata Upah Minimum Provinsi: Rupiah
Sumber: Badan Pusat Statistik.
Meski data terkait Penulis jabarkan sampai tahun 2019, tetapi dalam proses
hitung Penulis hanya akan menggunakan data sampai tahun 2018. Konsisten data
dalam alat hitung regresi linier sederhana dan time series menjadi fundamental jika
keseluruhan data memiliki tabulasi yang sama. Data rerata upah minimum provinsi
seperti telah disinggung, tidak perlu mendapatkan proses olah lanjutan.
Setelah ketiga data (harga rerata rokok per 20 batang, persentase konsumen
rokok laki-laki dan perempuan dewasa, dan rerata upah minimum provinsi) telah
Penulis paparkan, maka untuk subbab selanjutnya mulai menggunakan alat analisis.
52
1. Elastisitas
a. Inter dan Ekstrapolasi
Interpolasi merupakan suatu metode matematis untuk menentukan data-data
yang hilang dari serangkain data terkumpul. Interpolasi sangat membantu penelitian
jika mengalami keterbatasan data. Sedikitnya terdapat beberapa jenis interpolasi, di
antaranya interpolasi linier, interpolasi kuadrat, interpolasi lagrange, dan interpolasi
newton.
Penulis memilih alat hitung interpolasi linier karena dinilai sesuai dengan
kriteria penelitian. Selain mudah dilakukan, interpolasi jenis linier cukup mampu
memberikan hasil yang memuaskan Penulis. Seperti telah disinggung sebelumnya,
hanya variabel persentase konsumen rokok saja yang butuh tambahan proses untuk
dilengkapi. Oleh karena itu, data terkait akan melalui proses interpolasi linier.
Data yang tidak tersedia dalam kumpulan banyak data, jika ingin masuk ke
dalam proses hitung, terdapat tiga hal yang dapat dilakukan;
i. Data yang hilang atau tidak tersedia, diabaikan.
ii. Data yang hilang atau tidak tersedia, dianggap bernilai 0 (kosong).
iii. Data yang hilang atau tidak tersedia dapat melalui proses interpolasi.
Upaya untuk mendapatkan koefisien elastisitas yang representatif dan valid,
Penulis memilih opsi ketiga. Rerata harga rokok dan persentase konsumen rokok
laki-laki perempuan dewasa dapat melalui proses interpolasi. Berikut akan Penulis
jelaskan sedikit demi sedikit langkah yang harus dilalui untuk mendapatkan nilai
interpolasi, mulai dari rumus serta alat alternatif yang dapat digunakan.
Rumus interpolasi linier, tidak terbatas namun dapat dipahami seperti;
𝑦 = 𝑦1 + (𝑥 − 𝑥1)𝑦2 − 𝑦1
𝑥2 − 𝑥1
Y dan X melambangkan dua informasi data dari variabel yang diinterpolasi.
Sebagai contoh, variabel X dapat menjadi tahun linier, sedangkan Y melambangkan
perubahan yang terjadi pada persentase konsumen rokok laki-laki dan perempuan
dewasa. Nilai-nilai yang hilang dapat diprediksi menggunakan tren data sebelum &
sesudah nilai yang diketahui. Formula interpolasi sangat fleksibel jika ingin ditelaah
lebih lanjut, baik untuk memastikan nilai yang didapat atau pencarian proyeksi.
53
Selain melalui rumus untuk menghitung nilai tertentu, penggunaan alat dan
instrumen altenatif juga dapat dilakukan atas upaya untuk memperoleh interpolasi.
Formula dapat diatur sedemikian rupa pada Microsoft Excel, juga memiliki tingkat
validitas yang cukup kuat. Formula terkait Penulis peroleh berdasarkan uji coba dan
proses perbandingan dari beberapa website resmi panduan Microsoft Excel.
Ekstrapolasi juga tidak lupa penulis terapkan. Jika interpolasi yakni mengisi
nilai di antara dua nilai yang diketahui, maka ekstrapolasi berusaha mendapatkan
nilai masa depan yang didasarkan pada tren beberapa tahun yang lalu. Suatu metode
untuk memperkirakan nilai menggunakan metode matematis yang dapat diketahui
melalui formula di Microsoft Excel. Penerapan yang mudah dan akurat.
Variabel yang butuh proses lanjutan juga telah Penulis uji dengan inter dan
ekstrapolasi. Selanjutnya, Penulis akan paparkan data mentah serta data yang telah
melalui proses inter dan ekstrapolasi. Data yang diberi warna kuning menandakan
bahwa data terkait adalah data yang diperoleh melalui inter/ekstrapolasi.
Berikut adalah data-data yang berhasil dikumpulkan;
Tabel 4.5. Harga Rokok/20 Batang di Indonesia - Ekstrapolasi
Tahun Rerata 20 Batang
2002 5381.3
2003 6012.3
2004 6430.8
2005 8222.3
2006 8683.3
2007 9110.2
2008 9316.2
2009 9800.8
2010 10413.5
2011 11578.5
2012 12421.2
2013 13789
2014 15446.4
2015 17291.5
2016 19116.3
2017 17965.1
2018 18969.5
Rerata 20 Batang: Rupiah
Sumber: Diolah.
54
Tabel 4.6. Prevalensi Konsumen Rokok – Inter & Ekstrapolasi
Sebelum Interpolasi
Setelah Interpolasi
Tahun Laki-Laki Perempuan Tahun Laki-Laki Perempuan
2000 60.6 5.6 2000 60.6 5.6
2001 62.2 1.3 2001 62.2 1.3
2002 - - 2002 62.5 2.4
2003 - - 2003 62.8 3.4
2004 63.1 4.5 2004 63.1 4.5
2005 65 4.4 2005 65 4.4
2006 - - 2006 65.3 4.8
2007 65.6 5.2 2007 65.6 5.2
2008 - - 2008 67.3 4.7
2009 - - 2009 68.9 4.1
2010 70.6 3.6 2010 70.6 3.6
2011 71.1 3.4 2011 71.1 3.4
2012 71.9 3.3 2012 71.9 3.3
2013 73 3.1 2013 73 3.1
2014 74.1 3 2014 74.1 3
2015 75.2 2.9 2015 75.2 2.9
2016 76.1 2.8 2016 76.1 2.8
2017 - - 2017 76.8 3.1
2018 - - 2018 77.9 3.2
Sumber: Diolah.
Berdasarkan tabel di atas, Penulis telah dapatkan beberapa nilai nihil yang
sebelumnya tidak terlengkapi. Tahun 2002, 2003, 2006, 2008, 2009, 2017, dan
2018 baik data rerata harga rokok serta persentase konsumen rokok laki-laki juga
perempuan, tidak dapat Penulis dapatkan dari berbagai sumber. Melalui inter dan
ekstrapolasi, pada akhirnya Penulis berhasil mengisi kekosongan data terkait.
Langkah yang selanjutnya Penulis lakukan adalah menyederhanakan nilai-
nilai dalam bentuk persentase menjadi pecahan agar dapat dengan mudah dihitung
menggunakan metode elastisitas. Hal terkait bagi Penulis sangat penting karena bisa
membantu dalam proses perhitungan.
b. Penyederhanaan Nilai
Data persentase konsumen rokok laki-laki dan perempuan dewasa yang baru
saja melewati proses inter dan ekstrapolasi akan Penulis konversi dalam bentuk
55
pecahan agar dapat dengan mudah masuk ke proses hitung elastisitas. Berikut
adalah hasil terkait dengan konversi nilai dari persentase ke bentuk pecahan;
Tabel 4.7. Penyederhanaan Nilai
Sebelum Penyederhanaan (%)
Setelah Penyederhanaan (Pecahan)
Tahun Laki-Laki Perempuan Tahun Laki-Laki Perempuan
2000 60.6 5.6 2000 0.606 0.056
2001 62.2 1.3 2001 0.622 0.013
2002 62.5 2.4 2002 0.625 0.024
2003 62.8 3.4 2003 0.628 0.034
2004 63.1 4.5 2004 0.631 0.045
2005 65 4.4 2005 0.65 0.044
2006 65.3 4.8 2006 0.653 0.048
2007 65.6 5.2 2007 0.656 0.052
2008 67.3 4.7 2008 0.673 0.047
2009 68.9 4.1 2009 0.689 0.041
2010 70.6 3.6 2010 0.706 0.036
2011 71.1 3.4 2011 0.711 0.034
2012 71.9 3.3 2012 0.719 0.033
2013 73 3.1 2013 0.73 0.031
2014 74.1 3 2014 0.741 0.03
2015 75.2 2.9 2015 0.752 0.029
2016 76.1 2.8 2016 0.761 0.028
2017 76.8 3.1 2017 0.768 0.031
2018 77.9 3.2 2018 0.779 0.032
Sumber: Diolah.
Tabel kiri menunjukkan hasil data yang telah di interpolasi namun belum di
tahap penyederhanaan nilai. Lain hal dengan tabel kanan, data persentase konsumen
rokok laki-laki dan perempuan dewasa telah dikonversi menjadi pecahan. Penulis
kembali mengingatkan bahwa konversi terkait dilakukan agar memudahkan proses
perhitungan elastisitas yang akan dilaksanakan pada pembahasan selanjutnya.
Setelah semua data yang dikumpulkan telah sempurna, baik harga rata-rata
rokok dan konsumen rokok laki-laki dan perempuan dewasa, Penulis merasa bahwa
karakteristik data yang dibutuhkan telah sesuai bagi alat hitung elastisitas. Langkah
lanjutan yakni menghitung elastisitas dari kedua data terkait.
56
c. Elastisitas
Konsep elastisitas telah sampai pada tahap perhitungan. Subbab yang akan
menentukan nilai koefisien dari elastisitas permintaas atas komoditas rokok dalam
negeri. Sebelum masuk pada proses hitung, Penulis kembali menyinggung formula
yang akan dipakai. Formula yang digunakan serupa, baik konsumen laki-laki serta
perempuan. Berikut adalah formula terkait;
𝐸ℎ =% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑙𝑎𝑘𝑖 − 𝑙𝑎𝑘𝑖
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 (𝑝𝑒𝑟 20 𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔)
&
𝐸ℎ =% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑟𝑜𝑘𝑜𝑘 (𝑝𝑒𝑟 20 𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔)
Jika dapat ditulis kembali dengan lebih detail, maka formula elastisitas yang
akan digunakan adalah;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
%∆𝑄
%∆𝑃
Catatan; kedua formula memiliki unsur dan metode perhitungan serupa.
Variabel P dan Q telah ditemukan, Penulis hanya tinggal menghitung nilai
dari delta atau perubahan yang terjadi pada variabel P dan Q (harga rata-rata rokok
dan konsumen rokok laki-laki dan perempuan dewasa). Kedua variabel menjadi hal
vital dalam menentukan koefisien elastisitas. Perlu juga dicatat bahwa Penulis akan
tetap mengikuti aturan-aturan dan konsep yang berlaku dalam perumusan.
Tabel yang selanjutnya menyinggung tentang selisih atau delta sebagai alat
ukur kenaikan merupakan langkah yang terlebih dahulu harus ditempuh. Elastisitas
selain melihat data dari masing-masing tahun, juga membutuhkan selisih dari tahun
yang telah dikumpulkan. Selisih di tahun 2010, sebagai contoh merupakan bentuk
kenaikan dari tahun 2009. Jika naik maka bernilai positif, sebaliknya akan negatif.
Tabel selanjutnya ditujukan untuk menghitung perubahan dari tiap-tiap
variabel, berdasarkan perubahan tahun demi tahun.
57
Tabel 4.8. Perubahan/Delta Variabel Harga Rerata Rokok
Tahun IDR/20 Sticks Selisih
2002 5381.3 -
2003 6012.3 631
2004 6430.8 418.5
2005 8222.3 1791.5
2006 8683.3 461
2007 9110.2 426.9
2008 9316.2 206
2009 9800.8 484.6
2010 10413.5 612.7
2011 11578.5 1165
2012 12421.2 842.7
2013 13789 1367.8
2014 15446.4 1657.4
2015 17291.5 1845.1
2016 19116.3 1824.8
2017 17965.1 -1151.2
2018 18969.5 1004.4
Sumber: Diolah.
Penulis telah mendapatkan delta/selisih perubahan dari tiap nilai rata-rata
harga rokok. Metode yang Penulis lakukan adalah mengurangi tahun terkait dengan
tahun sebelum. Sebagai contoh, untuk menghitung selisih dari tahun 2010, Penulis
melakukan pengurangan harga rerata rokok tahun 2010 dengan harga rerata rokok
tahun 2009. Harga 10413.5 dikurangi dengan 9800.8 menjadi 612.7.
Metode serupa Penulis gunakan pada perhitungan konsumen rokok laki-laki
juga perempuan. Langkah selanjutnya yaitu mencoba menghitung selisih konsumen
rokok laki-laki dan perempuan yang akan Penulis gabungkan dalam satu tabel, agar
memudahkan pembaca dalam memahami bagaimana perubahan tercipta dalam dua
jenis kelamin. Selisih yang terjadi cukup kontras dan fluktuatif.
Lagi-lagi, hanya sebuah asumsi tetapi perbedaan terkait merupakan bentuk
dari perbedaan gaya belanja dan prioritas yang sebelumnya telah Penulis singgung.
Laki-laki dan perempuan sangat berbeda dalam kebutuhan sehari-hari, keadaan bio-
logis bahkan sampai hasrat psikologis. Faktor-faktor terkait menjadi penentu dalam
proses merespons harga komoditas.
Berikut adalah hasil yang Penulis dapatkan;
58
Tabel 4.9. Perubahan/Delta Variabel Konsumen Rokok
Tahun Laki-Laki Selisih Perempuan Selisih
2000 0.606 - 0.056 -
2001 0.622 0.016 0.013 -0.043
2002 0.625 0.003 0.024 0.011
2003 0.628 0.003 0.034 0.01
2004 0.631 0.003 0.045 0.011
2005 0.65 0.019 0.044 -0.001
2006 0.653 0.003 0.048 0.004
2007 0.656 0.003 0.052 0.004
2008 0.673 0.017 0.047 -0.005
2009 0.689 0.016 0.041 -0.006
2010 0.706 0.017 0.036 -0.005
2011 0.711 0.005 0.034 -0.002
2012 0.719 0.008 0.033 -0.001
2013 0.73 0.011 0.031 -0.002
2014 0.741 0.011 0.03 -0.001
2015 0.752 0.011 0.029 -0.001
2016 0.761 0.009 0.028 -0.001
2017 0.768 0.007 0.031 0.003
2018 0.779 0.011 0.032 0.001
Sumber: Diolah.
Jika perubahan tiap-tiap variabel telah selesai ditemukan, maka Penulis bisa
memulai untuk menggunakan formula elastisitas. Penulis akan melakukan dikotomi
atas jenis kelamin. Pertama, koefisien elastisitas akan dilakukan berdasarkan harga
rerata rokok dan konsumen laki-laki dewasa. Lalu yang kedua, koefisien elastisitas
akan menggunakan variabel harga rerata rokok dan konsumen perempuan dewasa.
Pemisahan/dikotomi terkait dilakukan sebagai upaya untuk menilai derajat
elastisitas antara harga rerata rokok dan masing-masing jenis kelamin. Nilai yang
didapat pada saat proses pencarian delta/selisih perubahan tiap jenis kelamin sangat
berbeda. Kemungkinan yang tercipta adalah perbedaan koefisien elastisitas, serta
kluster elastisitas antara masing-masing jenis kelamin.
Selain mengukur derajat elastisitas, Penulis juga berusaha untuk mengubah
perhitungan menjadi klasifikasi. Gambaran klasifikasi akan dapat membantu untuk
memahami letak komoditas rokok antara tiap jenis kelamin. Jika tiap jenis kelamin
memiliki hasil yang serupa, katakanlah inelastis, kita dapat dengan mudah menilai
dan merumuskan kebijakan dengan lebih tepat sasaran.
59
Berikut adalah proses hitung elastisitas, yang dimulai dengan jenis kelamin
laki-laki, untuk P adalah harga rerata rokok dan Q adalah konsumen rokok;
1. Tahun 2002 – 2003;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.003
631𝑥
5381.3
0.625
= 0.04
2. Tahun 2003 – 2004;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.003
418.5𝑥
6012.3
0.628
= 0.06
3. Tahun 2004 – 2005;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.019
1791.5𝑥
6430.8
0.631
= 0.1
4. Tahun 2005 – 2006;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.003
461𝑥
8222.3
0.65
= 0.08
5. Tahun 2006 – 2007;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.003
426.9𝑥
8683.3
0.653
= 0.09
6. Tahun 2007 – 2008;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.017
206𝑥
9110.2
0.656
= 1.14
7. Tahun 2008 – 2009;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.016
484.6𝑥
9316.2
0.673
= 0.45
8. Tahun 2009 – 2010;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.017
612.7𝑥
9800.8
0.689
= 0.39
9. Tahun 2010 – 2011;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.005
1165𝑥
10413.5
0.706
= 0.06
10. Tahun 2011 – 2012;
60
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.008
842.7𝑥
11578.5
0.711
= 0.15
11. Tahun 2012 – 2013;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.011
1367.8𝑥
12421.2
0.719
= 0.13
12. Tahun 2013 – 2014;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.011
1657.4𝑥
13789
0.73
= 0.12
13. Tahun 2014 – 2015;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.011
1845.1𝑥
15446.4
0.741
= 0.12
14. Tahun 2015 – 2016;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.009
1824.8𝑥
17291.5
0.752
= 0.11
15. Tahun 2016 – 2017;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.007
−1151.2𝑥
19116.3
0.761
= (-)0.15
16. Tahun 2017 – 2018;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.011
1004.4𝑥
17965.1
0.768
= 0.25
17. Tahun 2002 – 2018;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.154
13588.2𝑥
5381.3
0.625
= 0.09
Seperti yang terlihat, hampir seluruh dari elastisitas antara masing-masing
dua tahun, memiliki nilai elastisitas yang inelastis. Kondisi demikian terjadi karena
koefisien elastisitas yang berada pada angka < 1. Hanya tahun tertentu yang
memiliki nilai > 1. Lalu untuk keseluruhan interval dari 2002 – 2018, memiliki nilai
inelastis yang cukup jelas, yakni 0.09. Lebih cenderung dekat dengan nilai 0
(inelastis sempurna).
61
Selanjutnya, kita akan memulai perhitungan kedua, yakni mencoba menilai
bagaimana derajat elastisitas antara harga rerata rokok dan konsumen perempuan.
Metode serta langkah yang digunakan serupa dengan konsumen laki-laki.
Berikut adalah proses hitung elastisitas berdasarkan data variabel konsumen
rokok perempuan, untuk P adalah harga rerata rokok dan Q adalah konsumen rokok
perempuan yang telah dewasa;
1. Tahun 2002 – 2003
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.01
631𝑥
5381.3
0.024
= 3.55
2. Tahun 2003 – 2004
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.011
418.5𝑥
6012.3
0.034
= 4.64
3. Tahun 2004 – 2005;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.001
1791.5𝑥
6430.8
0.045
= (-)0.07
4. Tahun 2005 – 2006;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.004
461𝑥
8222.3
0.044
= 1.62
5. Tahun 2006 – 2007;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.004
426.9𝑥
8683.3
0.048
= 1.69
6. Tahun 2007 – 2008;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.005
206𝑥
9110.2
0.052
= (-)4.25
7. Tahun 2008 – 2009;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.006
484.6𝑥
9316.2
0.047
= (-)2.45
8. Tahun 2009 – 2010;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.005
612.7𝑥
9800.8
0.041
= (-)1.95
9. Tahun 2010 – 2011;
62
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.002
1165𝑥
10413.5
0.036
= (-)0.49
10. Tahun 2011 – 2012;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.001
842.7𝑥
11578.5
0.034
= (-)0.4
11. Tahun 2012 – 2013;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.002
1367.8𝑥
12421.2
0.033
= (-)0.55
12. Tahun 2013 – 2014;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.001
1657.4𝑥
13789
0.031
= (-)0.26
13. Tahun 2014 – 2015;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.001
1845.1𝑥
15446.4
0.03
= (-)0.27
14. Tahun 2015 – 2016;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
−0.001
1824.8𝑥
17291.5
0.029
= (-)0.32
15. Tahun 20016 – 2017;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.003
−1151.2𝑥
19116.3
0.028
= (-)1.78
16. Tahun 2017 – 2018;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.001
1004.4𝑥
17965.1
0.031
= 0.57
17. Tahun 2002 – 2018;
𝐸ℎ =∆𝑄
∆𝑃𝑥
𝑃
𝑄 / 𝐸ℎ =
0.008
13588.2𝑥
5381.3
0.024
= 0.13
Hasil perhitungan elastisitas untuk variabel konsumen perempuan sangatlah
beragam/variatif. Beberapa tahun mengalami nilai inelastis, namun di tahun-tahun
lain menunjukkan nilai yang elastis. Konsumen perempuan amat berbeda dibanding
dengan konsumen laki-laki. Perbedaan terkait mungkin karena karakteristik dalam
perbedaan fokus belanja dan gaya hidup perempuan yang kontras tiap individu.
63
Penulis hanya memaparkan data hitung yang telah didapat dan fokus kepada
hasil koefisien elastisitas serta berusaha memperkaya kesenjangan ilmu. Faktor dan
kecenderungan mengapa nilai koefisien laki-laki serta perempuan berbeda, berada
pada hal-hal di luar penelitian yang Penulis tetapkan. Meski Penulis telah menyebut
penelitian terdahulu yang menjadi referensi perbedaan pola belanja jenis kelamin,
hal terkait berfungsi hanya sebagai penunjang dan bukan bagian yang perlu Penulis
bahas lebih dalam.
2. Regresi
Alat analisis yang kedua adalah alat analisis regresi. Regresi Penulis pilih
sebagai alat untuk mengetahui dampak dari kebijakan pemerintah berupa penetapan
upah minimum provinsi terhadap keputusan merokok bagi laki-laki dan perempuan
dewasa. Jika pemerintah ingin menerapkan kebijakan untuk mengurangi konsumsi
rokok, namun di sisi lain terus meningkatkan upah minimum provinsi tiap tahun
yang memiliki kemungkinan linier terhadap permintaan rokok, bukankah hal terkait
adalah sebuah inkonsistensi kebijakan?
Melalui proses regresi yang akan dilakukan, Penulis dapat mengetahui se-
jauh mana dampak kenaikan upah minimum provinsi terhadap fenomena konsumsi
rokok di Indonesia. Gambaran terkait juga dapat menjadi pelengkap atas temuan
elastisitas yang telah Penulis lakukan sebelumnya. Tahap demi tahap menyesuaikan
dengan teknik pengolahan data yang telah disinggung sebelumnya.
Tentu, Penulis akan mulai dengan melakukan uji asumsi klasik, yakni tahap
kelayakan suatu data agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Keseluruhan
proses uji regresi menggunakan Statistical Product and Service Solutions 18.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah salah satu uji asumsi klasik yang berusaha menguji
data untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Jika data
telah terdistribusi dengan normal maka kemungkinan untuk bias sangat kecil. Data
yang baik adalah data yang terdistribusi dengan normal yang juga terlihat melalui
metode Kolmogorov-Smirnov. Penulis turut memberikan hipotesis untuk melihat
data yang berhasil diolah telah normal atau tidak (Apriyono & Taman, 2013: 82).
64
Dasar pengambilan keputusan dalam uji normalitas Kolmogorov-Smirnov
adalah;
a. Jika nilai signifikansi (Sig.) lebih besar dari 0.05 maka data penelitian telah
terdistribusi normal.
b. Jika nilai signifikansi (Sig.) lebih kecil dari 0.05 maka data peneltian tidak
terdistribusi normal.
Penulis melakukan dua uji normalitas pada tiap-tiap jenis kelamin baik laki-
laki juga perempuan, berikut adalah hasil yang didapat;
Tabel 4.10. Uji Normalitas Konsumen Laki-Laki
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Residual_1
N 17
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation .01391420
Most Extreme
Differences
Absolute .142
Positive .142
Negative -.114
Kolmogorov-Smirnov Z .586
Asymp. Sig. (2-tailed) .882
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Tabel output di atas terlihat bahwa nilai signifikansi berada pada 0.882 yang
berarti lebih besar dari 0.05. Nilai yang menandakan bahwa hubungan rerata upah
minimum provinsi serta persentase konsumen laki-laki dewasa telah terdistribusi
dengan normal. Jika data telah terdistribusi dengan normal, maka data terkait dapat
masuk ke proses lebih lanjut.
65
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana hubungan antara variabel rerata
upah minimum provinsi dan persentase konsumen perempuan dewasa dengan tahap
yang serupa;
Tabel 4.11. Uji Normalitas Konsumen Perempuan
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Residual_2
N 17
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation .00692245
Most Extreme
Differences
Absolute .161
Positive .126
Negative -.161
Kolmogorov-Smirnov Z .663
Asymp. Sig. (2-tailed) .771
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Tabel output di atas terlihat bahwa nilai signifikansi berada pada 0.771 yang
berarti lebih besar dari 0.05. Nilai yang menandakan bahwa hubungan rerata upah
minimum provinsi serta persentase konsumen perempuan dewasa telah terdistribusi
dengan normal. Jika data telah terdistribusi dengan normal, maka data terkait dapat
masuk ke proses lebih lanjut.
Tahap pertama uji asumsi klasik yakni uji normalitas menggunakan metode
Kolmogorov-Smirnov telah selesai. Penulis akan coba asumsi klasik kedua yakni
uji linieritas. Asumsi klasik yang sangat penting karena menentukan apakah data
dapat diregresi. Tidak seperti uji asumsi klasik lain yang memiliki solusi alternatif,
uji linieritas harus berhasil baik pada regresi linier sederhana juga berganda. Salah
satu uji fundamental dalam dunia statistik.
66
b. Uji Linieritas
Uji linieritas berfungsi sebagai uji yang membuktikan bahwa variabel yang
akan diregresi memiliki hubungan linier baik positif maupun negatif. Strategi untuk
melakukan verifikasi hubungan linier. Uji liniearitas dilakukan dengan banyak cara,
scatterplot, analisis grafik residual, perbandingan R-kuadrat, metode estimasi kurva
dan berbagai cara lain (Widhiarso, 2010: 2).
Penulis memilih scatterplot sebagai metode uji linieritas karena umum dan
sangat mudah dilakukan. Melalui gambaran yang diberikan scatterplot, linieritas
dapat dengan mudah dipahami. Penulis juga akan melakukan uji linieritas baik data
upah minimum provinsi terhadap konsumen laki-laki dan upah minimum provinsi
terhadap konsumen perempuan. Berikut adalah hasil yang Penulis dapat;
Gambar 4.1. Uji Linieritas Konsumen Laki-Laki
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Linieritas sangat kontras terlihat. Hubungan antara upah minimum provinsi
dan persentase konsumen laki-laki bergerak positif.
67
Hubungan terkait berarti jika satu variabel mengalami kenaikan maka akan
terjadi kenaikan pula pada variabel lain. Melalui hubungan yang linier kesimpulan
pun didapatkan. Variabel upah minimum provinsi dan persentase konsumen laki-
laki siap masuk pada uji asumsi klasik selanjutnya. Selanjutnya, kita akan coba data
upah minimum provinsi dan persentase konsumen perempuan;
Gambar 4.2. Uji Linieritas Konsumen Perempuan
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Perbedaan sangat terlihat antara konsumen laki-laki dan perempuan. Titik-
titik pada konsumen perempuan tidak menunjukkan pola yang linier dan cenderung
acak. Fenomena terkait membuktikan bahwa tidak ada hubungan linier antara data
upah minimum provinsi dan konsumen perempuan. Oleh karena itu, hubungan dua
variabel tidak dapat dilanjutkan lebih lanjut. Selanjutnya, Penulis hanya akan coba
uji asumsi klasik hingga proses regresi, menggunakan hubungan yang linier antara
upah minimum provinsi dan konsumen laki-laki. Uji linieritas seperti yang Penulis
singgung, harus diterima dan sesuai dengan kaidah yang berlaku.
68
c. Uji Heteroskedastisitas
Model regresi yang baik adalah model yang tidak memiliki masalah perihal
heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas adalah uji yang melihat apakah terjadi
ketidaksamaan varian dari residu pada model regresi linier. Salah satu cara untuk
mendeteksi ada atau tidak heteroskedastisitas dalam model regresi adalah dengan
uji glejser.
Seperti halnya uji asumsi klasik, terdapat beberapa hipotesis yang membuat
kita mengetahui apakah model regresi yang kita lakukan mengalami hetero/homo-
kedastisitas. Berikut adalah hipotesis/dasar pengambilan keputusan terkait;
i. Jika nilai signifikansi (Sig.) lebih besar dari 0.05, maka kesimpulan output
adalah tidak terjadi gejala heteroskedastisitas dalam model regresi.
ii. Jika nilai signifikansi (Sig.) lebih kecil dari 0.05, maka kesimpulan output
adalah terjadi gejala heteroskedastisitas dalam model regresi.
Berikut adalah hasil output dari uji glejser yang telah Penulis dapat;
Tabel 4.12. Uji Heteroskedastisitas
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) .013 .004 3.781 .002
UMP -1.641E-9 .000 -.148 -.581 .570
a. Dependent Variable: Abs_RES
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Nilai signifikansi yang berada di atas 0.05 membuktikan bahwa tidak terjadi
gejala heteroskedastisitas dalam model regresi linier sederhana yang akan Penulis
coba jalankan. Selain uji glejser, untuk menentukan gejala heteroskedastisitas dapat
dilakukan metode scatterplot, uji rank spearman, uji park, uji white, melakukan data
transformasi, dan upaya alternatif lain.
69
d. Uji Autokorelasi
Uji asumsi klasik yang terakhir adalah uji autokorelasi. Uji terkait sangatlah
lekat dengan data time series. Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam satu
model regresi linier terdapat korelasi antar kesalahan pengganggu (residual) pada
periode t dengan kesalahan pada periode t-1. Autokorelasi dapat terjadi apabila satu
observasi yang berututan saling berkaitan.
Uji autokorelasi dapat diketahui melalui metode-metode seperti, uji durbin
watson, uji lagrange multiplier, uji breusch godfrey, dan uji run test. Penulis akan
menggunakan uji durbin watson untuk mengetahui apakah terjadi autokorelasi pada
regresi yang akan Penulis jalankan. Sebelum masuk pada hasil output, Penulis juga
melampirkan hipotesis/atau dasar pengambilan keputusan;
i. Jika nilai d (durbin watson) lebih kecil dari dL atau lebih besar dari 4-dL
maka hipotesis nol ditolak yang berarti terdapat autokorelasi.
ii. Jika nilai d (durbin watson) terletak antara dU dan 4-dU maka hipotesis nol
diterima yang berarti tidak terdapat autokorelasi.
iii. Jika d (durbin watson) terletak antara dL dan dU atau di antara 4-dU dan 4-
dL maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.
Nilai dU dan nilai dL dapat dilihat pada Tabel Durbin Watson yang Penulis
lampirkan.
Tabel 4.13. Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model
R
R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Durbin-
Watson
1 .964a .929 .924 .014371 .278
a. Predictors: (Constant), UMP
b. Dependent Variable: LAKILAKI
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Setelah melihat nilai Durbin-Watson, 0.278, data terbukti autokorelasi.
70
Penulis merasa perlu untuk melakukan penyelesaian atas masalah terkait.
Salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah autokorelasi adalah dengan melalui
uji alternatif Cochrane-Orcutt. Metode yang memerlukan proses pencarian nilai dan
koefisien korelasi yang disebut dengan Rho. Berikut adalah hasil Rho yang Penulis
dapatkan;
Tabel 4.14. Koefisien Korelasi
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) .000 .002 .177 .862
Lag_RES .838 .138 .852 6.081 .000
a. Dependent Variable: Residual_1
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Koefisien korelasi yang tertera yakni 0.838. Setelah mendapatkan nilai Rho
maka kita dapat melanjutkan pada proses Cochrane-Orcutt. Berikut adalah Durbin-
Watson terbaru setelah melalui metode Cochrane-Orcutt;
Tabel 4.15. Uji Autokorelasi Cochrane-Orcutt
Model Summaryb
Model
R
R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Durbin-
Watson
1 .796a .633 .607 .00633 1.581
a. Predictors: (Constant), Lag_UMP
b. Dependent Variable: Lag_KLAKILAKI
Nilai Durbin-Watson baru telah membuktikan bahwa data telah terlepas dari
masalah autokorelasi. Uji asumsi klasik pun selesai dan regresi dapat dimulai.
71
e. Hipotesis
Hipotesis atau dasar pengambilan keputusan sangatlah penting dalam proses
regresi. Jika ingin mengetahui ada/tidak pengaruh antara variabel bebas terhadap
variabel terikat, maka hipotesis yang diajukan adalah;
i. H0: Tidak ada pengaruh (X) variabel Upah Minimum Provinsi terhadap (Y)
variabel Persentase Konsumen Rokok Laki-Laki
ii. H1: Terdapat pengaruh (X) variabel Upah Minimum Provinsi dengan (Y)
variabel Persentase Konsumen Rokok Laki-Laki
Lalu untuk menilai hipotesis mana yang akan diterima, kita dapat melihat
nilai signifikansi output yang dibandingkan dengan probabilitas 0.05. Dua kondisi
yang mungkin terjadi adalah;
i. Jika nilai signifikansi (Sig.) lebih kecil dari probabilitas 0.05, maka terdapat
pengaruh antara (X) variabel Upah Minimum Provinsi terhadap (Y) variabel
Persentase Konsumen Rokok Laki-Laki
ii. Jika nilai signifikansi (Sig.) lebih besar dari probabilitas 0.05, maka tidak
terdapat pengaruh antara (X) variabel Upah Minimum Provinsi terhadap (Y)
variabel Persentase Konsumen Rokok Laki-Laki
f. Regresi
Setelah menentukan hipotesis maka berikut adalah output regresi yang telah
didapatkan;
Tabel 4.16. Output Regresi
Model Summaryb
Model
R
R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Durbin-
Watson
1 .796a .633 .607 .00633 1.581
a. Predictors: (Constant), Lag_UMP
b. Dependent Variable: Lag_KLAKILAKI
72
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) .107 .003 30.626 .000
Lag_UMP 5.345E-8 .000 .796 4.913 .000
a. Dependent Variable: Lag_KLAKILAKI
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
g. Interpretasi
Jika melihat output regresi di atas, maka terdapat beberapa informasi yang
dapat Penulis simpulkan. Pertama dan yang paling utama, Penulis ingin mengetahui
keputusan atas hipotesis yang telah diajukan. Melihat nilai signifikansi yang lebih
kecil dari 0.05, yakni 0.000, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara (X)
atas (Y).
Lalu untuk melihat seberapa jauh pengaruh (X) atas (Y), kita dapat melihat
pada nilai R Square pada Tabel Model Summary. Nilai 0.633 menyatakan bahwa
variabel (X) berpengaruh sebesar 63.3% terhadap variabel (Y). Lalu 36.7% berasal
dari faktor-faktor lain di luar variabel yang diteliti. Sebagai penutup dari interpretasi
maka kita mudah untuk membuat model regresi dengan persamaan;
Y = 0.107 + 5.345E-8X + Ɛ
Nilai positif pada nilai koefisien menunjukkan bahwa hubungan (X) dan (Y)
beriringan satu sama lain, kenaikan pada (X) akan diikuti juga oleh kenaikan pada
(Y). Nilai tersebut yakni jika terdapat kenaikan satu persen pada (X) maka terjadi
penambahan (Y) sebesar 5.345E-8.
Setelah mengetahui nilai elastisitas dan beberapa koefisien regresi di atas,
apakah argumen kenaikan cukai rokok sebagai penekan konsumsi telah sesuai? Jika
kita melihat hasil penelitian yang telah dilakukan, mungkinkah pemerintah keliru?
73
Untuk lebih mendapatkan gambaran yang lebih luas, Penulis juga membuat
regresi dummy sebagai upaya untuk melihat dampak jenis kelamin terhadap persen-
tase konsumen rokok. Tidak hanya menggunakan skala nasional, Penulis mengacu
pada data dari berbagai negara (144 negara) di tahun 2016. Semakin banyak data
yang digunakan, maka akan semakin terlihat pola perbedaan, berikut hasilnya;
Tabel 4.17. Output Regresi Dummy
Model Summary
Model
R R Square
Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .666a .443 .441 12.3558
a. Predictors: (Constant), Jenis Kelamin
Sumber: Diolah melalui SPSS 18.
Keeratan hubungan dapat dikelompokkan menjadi enam tipe;
1. Koefisien korelasi 0.00 sampai 0.20 menunjukkan hubungan sangat lemah.
2. Koefisien korelasi 0.21 sampai 0.40 menunjukkan hubungan lemah.
3. Koefisien korelasi 0.41 sampai 0.70 menunjukkan hubungan kuat.
4. Koefisien korelasi 0.71 sampai 0.90 menunjukkan hubungan sangat kuat.
5. Koefisien korelasi 0.91 sampai 0.99 menunjukkan hubungan kuat sekali.
6. Koefisien korelasi 1.00 menunjukkan hubungan sempurna.
Jika melihat nilai yang didapatkan pada hasil regresi, nilai 0.6 menunjukkan
hubungan yang kuat. Maka dengan ini, jenis kelamin berpengaruh kuat terhadap
persentase konsumen rokok, tidak hanya di Indonesia, namun juga di belahan dunia
yang lain. Jika sebelumnya Penulis menggunakan referensi dari jurnal yang menilai
perbedaan konsumsi laki-laki dan perempuan dari sudut pandang biologis, regresi
dummy, sebaliknya ditempuh untuk menilai dari sudut pandang matematis.
Data yang Penulis gunakan, baik dari negara serta persentase laki-laki dan
perempuan, akan Penulis lampirkan secara terpisah.
74
C. Pembahasan
Kita akan kembali pada topik penelitian. Setelah sebelumnya melalui proses
hitung elastisitas, Penulis kembali menjabarkan hasil hitung dalam tabel serta mulai
melakukan pilah klasifikasi. Jika pada bab sebelumnya Penulis hanya fokus dalam
melakukan proses hitung, maka di bab ini kita akan dapat memperhatikan tren yang
berlangsung tiap dua tahunan dan interval 17 tahunan.
Berikut adalah tabel terkait, dimulai dari jenis kelamin laki-laki;
Tabel 4.18. Nilai Elastisitas Rokok atas Laki-Laki
Tahun Koefisien Klasifikasi
2002 - 2003 0.04 Inelastis
2003 - 2004 0.06 Inelastis
2004 - 2005 0.1 Inelastis
2005 - 2006 0.08 Inelastis
2006 - 2007 0.09 Inelastis
2007 - 2008 1.14 Elastis
2008 - 2009 0.45 Inelastis
2009 - 2010 0.39 Inelastis
2010 - 2011 0.06 Inelastis
2011 - 2012 0.15 Inelastis
2012 - 2013 0.13 Inelastis
2013 - 2014 0.12 Inelastis
2014 - 2015 0.12 Inelastis
2015 - 2016 0.11 Inelastis
2016 - 2017 (-)0.15 Inelastis
2017 - 2018 0.25 Inelastis
2002 - 2018 0.09 Inelastis
Sumber: Diolah.
Tren yang sangat konsisten. Berdasarkan data di atas hanya pada tahun 2007
– 2008 kondisi rokok menjadi elastis. Keseluruhan tren dua tahunan, bahkan dengan
interval paling panjang, 2002 – 2018, kondisi rokok selalu berada pada kondisi yang
inelastis. Nilai terkait membuktikan bahwa bagi jenis kelamin laki-laki, harga rokok
tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumen rokok.
Persentase konsumen rokok keseluruhan, tidak bergerak fleksibel mengikuti
harga rokok yang semakin naik. Rasa ketergantungan yang tinggi untuk konsumen
laki-laki, menjadi alasan mengapa komoditas rokok menjadi inelastis. Harga yang
75
berubah tidak dibarengi dengan perubahan yang sama untuk persentase konsumen
rokok tanah air.
Selanjutnya, Penulis akan kembali memberikan hasil elastisitas untuk jenis
kelamin perempuan. Lagi, kita akan dapat dengan mudah melihat tren dua tahunan
yang berlangsung serta tren dengan interval panjang dari 2002 – 2018. Perbedaan
adalah hal yang mutlak jika dibanding dengan jenis kelamin laki-laki, namun sejauh
apa? Berikut adalah tabel terkait, bagi jenis kelamin perempuan;
Tabel 4.19. Nilai Elastisitas Rokok atas Perempuan
Tahun Koefisien Klasifikasi
2002 – 2003 3.55 Elastis
2003 – 2004 4.64 Elastis
2004 – 2005 (-)0.07 Inelastis
2005 – 2006 1.62 Elastis
2006 – 2007 1.69 Elastis
2007 – 2008 (-)4.25 Elastis
2008 – 2009 (-)2.45 Elastis
2009 – 2010 (-)1.95 Elastis
2010 – 2011 (-)0.49 Inelastis
2011 – 2012 (-)0.4 Inelastis
2012 – 2013 (-)0.55 Inelastis
2013 – 2014 (-)0.26 Inelastis
2014 – 2015 (-)0.27 Inelastis
2015 – 2016 (-)0.32 Inelastis
2016 – 2017 (-)1.78 Elastis
2017 – 2018 0.57 Inelastis
2002 – 2018 0.13 Inelastis
Sumber: Diolah.
Jenis kelamin perempuan terlihat fluktuatif namun cenderung memiliki tren
yang serupa dengan laki-laki, yakni dominasi inelastis. Untuk tahun-tahun awal dari
data yang berhasil Penulis himpun, 2002 – 2003, 2003 – 2004, 2005 – 2006, dan
2006 – 2007, beberapa tahun lain memiliki nilai koefisien yang elastis. Keseluruhan
tren interval paling panjang, 2002 – 2018, tercatat masih inelastis.
Berdasarkan dua data terkait, kita dapat menyimpulkan bahwa derajat serta
tingkat elastisitas dari komoditas rokok, baik bagi konsumen dengan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan cenderung berada pada jenis yang inelastis. Derajat yang
76
menjadi bukti bahwa komoditas rokok memiliki fungsi erat bagi kehidupan sehari-
hari masyarakat Indonesia.
Koefisien elastisitas terkait kajian akademis, mewakili jenis barang tertentu
yang beredar di pasar. Elastis; komoditas barang mewah atau barang yang memiliki
substitusi, inelastis; komoditas barang pokok, uniter; komoditas barang sekunder,
elastis sempurna; rempah-rempah, dan inelastis sempurna; obat-obatan. Komoditas
rokok karena koefisien yang inelastis, maka memiliki sifat layaknya barang pokok.
Melihat kecenderungan tren inelastis yang konsisten antara tahun ke tahun,
sangat rasional jika menganggap bahwa rokok serta kondisi ketergantungan pelaku
pasar sulit berubah dalam beberapa waktu yang akan datang. Komoditas rokok telah
menjadi salah satu beras modern bagi keberlangsung hidup masyarakat Indonesia,
barang pokok yang pasti dibutuhkan oleh laki-laki dan perempuan.
Jika kita kembali menengok mengapa penelitian ini dilakukan, dengan dalih
menurunkan konsumsi rokok pemerintah menetapkan cukai yang terus naik, maka
berdasarkan data yang telah Penulis olah dan uji, argumen terkait akan sangat tidak
sesuai serta relevan. Harga yang tinggi tidak akan signifikan menurunkan konsumsi
rokok. Dampak yang ditimbulkan di sisi lain memperparah kondisi finansial.
Koefisien inelastis yang mendekati 0, menuju inelastis sempurna tentu harus
diperhatikan oleh regulator agar menjadi perhatian dalam perumusan. Sejarah data
telah menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak mendapat respons signifikan
bagi penurunan konsumsi dan persentase konsumen perokok. Alasan naiknya cukai
demi menekan konsumsi rokok, sekali lagi tidak pernah dan tidak akan tercapai.
Cukai yang terus menerus naik hanya akan menimbulkan dampak lain yang
berbahaya. Bukan tidak mungkin bahwa kenaikan cukai hanya akan memaksa para
konsumen rokok untuk mencari komoditas tidak legal sebagai upaya menghindar
dari harga rokok yang terus naik. Contoh pada alkohol, mampu menjadi perhatian
bagi para regulator.
Jika pemerintah bersikeras ingin menurunkan konsumsi rokok, maka masih
banyak cara lain yang dapat ditempuh selain melakukan intervensi harga. Subbab
selanjutnya akan membahas tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan pemerintah
untuk menekan konsumsi rokok, melalui sudut pandang alternatif. Intervensi harga,
terkhusus kasus di Indonesia, tidak memberikan hasil yang memuaskan.
77
Melalui perspektif alternatif diharapkan pemerintah akan dapat menerapkan
kebijakan yang cocok bagi kondisi Indonesia dan mampu mencapai tujuan.
Lalu jika melihat hasil yang didapatkan dari hasil regresi, setidaknya kita
mengetahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kenaikan rerata upah
minimum provinsi dan kenaikan persentase konsumen rokok laki-laki.
Y = 0.107 + 5.345E-8X + Ɛ
Apabila kembali melihat fungsi regresi yang didapatkan, nilai positif dapat
menandakan bahwa kenaikan pada suatu variabel akan diikuti oleh kenaikan pada
variabel lain. Kenaikan sebesar satu persen pada Rerata Upah Minimum Provinsi
(X) akan meningkatkan persentase konsumen rokok laki-laki (Y) sebesar 5.345 x
10-8 atau 0.00000005345 dari seluruh penduduk Indonesia.
Upah Minimum Provinsi memiliki dampak namun tidak terlalu besar terkait
perubahan persentase konsumen rokok laki-laki. Masih banyak faktor lain yang bisa
menjadi faktor pembentuk utama kenaikan/penurunan dari konsumen rokok. Perlu
mendapat perhatian bahwa alat analisis regresi hanya menjadi pelengkap dan alat
analisis utama yakni elastisitas.
Cukai yang menjadi faktor pembentuk harga rokok, tidak lagi relevan dalam
perannya sebagai instrumen untuk menurunkan budaya konsumsi rokok. Kebijakan
lain diperlukan untuk mengatasi hal yang telah menjadi momok bagi kesehatan. Hal
lain yang juga dapat diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa Upah Minimum
Provinsi memiliki dampak terhadap kenaikan persentase konsumen rokok, namun
tidak terlalu besar.
78
BAB V
SIMPULAN & SARAN
A. Simpulan
Kita telah sampai pada bab terakhir. Bab ini akan membahas dampak yang
mungkin timbul akibat dari koefisien yang telah diketahui. Perihal nilai elastisitas,
pemerintah harus memperhatikan segala aspek yang berkenaan. Seperti yang telah
disinggung pada awal penelitian, agar kebijakan tidak salah langkah, maka tentang
kajian mendalam, harus dilakukan. Salah langkah adalah hal yang harus ditakuti.
Memang seberapa jauh regulasi dapat dikatakan salah langkah? Penulis pun
tidak dapat memastikan. Namun beberapa kasus telah membuktikan, bahwa di sisi
lain, pemerintah punya potensi kesalahan. Tidak sulit jika kita berbicara mengenai
hal terkait. Regulasi atau kebijakan yang dibuat pemerintah, baik dalam negeri dan
juga skala internasional, tidak luput dari nalar yang timpang dan tak terukur.
Penulis ambil contoh salah satu penelitian yang pernah dilakukan Center for
Indonesian Policy Studies di tahun 2016. Pemerintah (regulator) telah menetapkan
banyak kebijakan demi mengatur dan mengurangi konsumsi minuman beralkohol.
Salah satunya melalui cukai juga perizinan penjualan. Toko kecil serta minimarket
tidak dapat menyediakan minuman terkait dengan mudah (Uddarojat, 2016: 5).
Mungkin sebagian dari kita menilai bahwa kebijakan yang dilakukan sudah
benar. Segala aspek yang dapat digunakan sebagai instrumen pencegah, dikerahkan
dengan maksimal. Akibat yang tidak diperkirakan, tanpa disadari, sangatlah buruk
bagi masyarakat. Hasil yang ditemukan akibat mahal serta sulitnya akses minuman
beralkohol adalah timbulnya cedera dan kematian.
Masyarakat Indonesia, untuk mengatasi mahal dan sulitnya akses minuman
beralkohol legal, memutuskan untuk mengonsumsi jenis minuman beralkohol yang
tidak tercatat (unrecorded alcohol) lima kali lebih banyak dari minuman beralkohol
legal. Minuman beralkohol yang tidak tercatat (palsu dan oplosan) menjadi pilihan.
Kadar metanol beracun menyebabkan kejang-kejang, gagal organ, dan kematian.
Kebijakan seperti ini mutlak dan mungkin terjadi. Pemerintah tidak selalu
tepat dalam penerapan. Niat yang baik telah dimiliki, tapi cara-cara yang baik juga
perlu ditempuh. Penulis, melalui analogi semacam ini ingin mengajak bahwa kritik
atas suatu kebijakan merupakan kebutuhan, terlebih di negara demokrasi.
79
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka Penulis menyarakan agar
pemerintah selaku regulator kembali mengkaji ulang kebijakan kenaikan cukai. Hal
yang berkaitan dengan tujuan mengapa kenaikan cukai diterapkan, tidak serta merta
mendapat hasil yang sesuai. Bukti bahwa komoditas rokok yang inelastis, membuat
pemerintah harus mencari kebijakan alternatif untuk mereduksi konsumsi rokok.
Jika memang pemerintah merasa bahwa rokok memberi dampak yang buruk
bagi masyarakat dibanding aspek positif lain seperti pendapatan petani dan hal-hal
yang berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja serta penerimaan negara, terdapat
kebijakan lain yang dapat dilakukan selain kenaikan cukai. Kenaikan cukai hanya
akan semakin menekan kondisi finansial konsumen dan tidak berdampak langsung
pada penurunan persentase konsumen rokok.
Selain pemerintah, Penulis juga memberi saran bagi akademisi untuk terus
memperkaya kajian dengan menambahkan variabel penelitian, alat analisis dan juga
rentang waktu agar penelitian semakin menyeluruh dan valid. Rokok lagi-lagi yakni
komoditas yang signifikan bagi Indonesia, kajian holistis perlu dilakukan.
80
DAFTAR PUSTAKA
Afif, M. N., & Sasana, H. (2019). Pengaruh Kemiskinan, Pendapatan per Kapita,
Harga Rokok, Produksi Rokok terhadap Konsumsi Rokok di Indonesia.
Diponegoro Journal of Economics, 9.
Anderson, P. L., McLellan, R. D., Overton, J. P., & Wolfram, D. G. L. (1997). Price
Elasticity of Demand. McKinac Center for Public Policy, 2.
Anojan, V., & Subaskaran, T. (2015). Consumer’s Preference and Consumer’s
Buying Behavior on Soft Drinks: A Case Study in Northern Province of Sri
Lanka. Global Journals Inc. (USA), 24.
Apriyono, A., & Taman, A. (2013). Analisis Overreaction pada Saham Perusahaan
Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2005—2009. Nominal,
Barometer Riset Akuntansi dan Manajemen, 2(2).
https://doi.org/10.21831/nominal.v2i2.1665
Ashar, F., & Firmansyah. (2015). Peningkatan Tarif Cukai Rokok dan Dampaknya
terhadap Perekonomian dan Pendapatan Sektoral Jawa Tengah. KINERJA,
19(2), 99. https://doi.org/10.24002/kinerja.v19i2.537
Asma, S., Mackay, J., Song, S. Y., Zhao, L., Morton, J., Palipudi, K. M., Bettcher,
D., Bhatti, L., Caixeta, R., Chandora, R., Dias, R. C., Hsia, J., Husain, M.
J., McAfee, T., Ramanandraibe, N., Rarick, J., Sinha, D., & Talley, B.
(2015). Global Adult Tobacco Survey. CDC Foundation.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2020). Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of
Indonesia 2020.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2016). Statistik Perkebunan Indonesia 2015 –
2017 Tembakau.
Cuesta, J. (2013). Resource Scarcity from an Applied Economic Perspective. Ga.
J. Int’l & Comp. L., 42, 24.
Davy, S. R., Benes, B. A., & Driskell, J. A. (2006). Sex Differences in Dieting
Trends, Eating Habits, and Nutrition Beliefs of a Group of Midwestern
College Students. Journal of the American Dietetic Association, 106(10),
1673–1677. https://doi.org/10.1016/j.jada.2006.07.017
81
Djajadi, D. (2015). Tobacco Diversity in Indonesia. Journal of Biological
Researches, 20(2), 27–32. https://doi.org/10.23869/bphjbr.20.2.20155
Elzinga, K. G. (2016). Alfred Marshall: Why He Matters. Faith & Economics, 24.
Fadillah, R., & Kiswara, E. (2012). Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
dan Cukai Rokok terhadap Skema Finansial Produk Rokok. Diponegoro
Journal of Accounting, 12.
Gallet, C. A., & List, J. A. (2003). Cigarette Demand: A Meta-Analysis of
Elasticities. Health Economics, 12(10), 821–835.
https://doi.org/10.1002/hec.765
Gallus, S., Schiaffino, A., Vecchia, C. L., Townsend, J., & Fernandez, E. (2006).
Price and Cigarette Consumption in Europe. Tobacco Control, 15(2), 114–
119. https://doi.org/10.1136/tc.2005.012468
Groenewegen, P. (2007). Alfred Marshall Economist 1842—1924. Palgrave
Macmillan.
http://public.ebookcentral.proquest.com/choice/publicfullrecord.aspx?p=4
85372
Hallam, J., Boswell, R. G., DeVito, E. E., & Kober, H. (2016). Gender-Related
Differences in Food Craving and Obesity. Yale Journal of Biology and
Medicine 89, 13.
Hidayat, B., & Thabrany, H. (2008). Model Spesifikasi Dinamis Permintaan
Rokok: Rasionalkah Perokok Indonesia? Kesmas: National Public Health
Journal, 3(3), 99. https://doi.org/10.21109/kesmas.v3i3.223
Hu, T. W., & Mao, Z. (2002). Effects of Cigarette Tax on Cigarette Consumption
and The Chinese Economy. Tobacco Control, 11(2), 105–108.
https://doi.org/10.1136/tc.11.2.105
Ilman, A. S., & Wibisono, I. (2019). Mengurangi Stunting melalui Reformasi
Perdagangan: Analisis Harga Pangan dan Prevalensi Stunting di
Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies.
https://doi.org/10.35497/276146
Katadata Databoks. (2019). Tren Kenaikan Cukai Rokok, 2020 Catat Kenaikan
Tertinggi.
82
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019). Pemerintah Tetapkan Rencana
Kebijakan Cukai Hasil Tembakau Tahun 2020.
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-105/BC/2014 tentang
Visi, Misi, dan Fungsi Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Keynes, J. M. (1924). Alfred Marshall, 1842-1924. The Economic Journal,
34(135), 311. https://doi.org/10.2307/2222645
Komasari, D., & Helmi, A. F. (2000). Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok
pada Remaja. Jurnal Psikologi, 11.
Lukman. (2007). Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta.
Magdalena, D. (2018). Perluasan Makna Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat
Mengakibatkan Ketidakpastian Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 15, 12.
Maimunah, E., & Julian. (2017). Pola Konsumsi Mahasiswa di Universitas
Lampung. Prosiding Penelitian FEB Unila, 8.
Mandey, J. B. (2013). Promosi, Distribusi, Harga Pengaruhnya terhadap Keputusan
Pembelian Rokok Surya Promild. Jurnal EMBA, 10.
Morse, K. L., & Driskell, J. A. (2009). Observed Sex Differences in Fast-Food
Consumption and Nutrition Self-Assessments and Beliefs of College
Students. Nutrition Research, 29(3), 173–179.
https://doi.org/10.1016/j.nutres.2009.02.004
Mulyono, H. (2009). Interpolasi dalam Perhitungan Statistik. Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 5.
Ng, M., Freeman, M. K., Fleming, T. D., Robinson, M., Dwyer-Lindgren, L.,
Thomson, B., Wollum, A., Sanman, E., Wulf, S., Lopez, A. D., Murray, C.
J. L., & Gakidou, E. (2014). Smoking Prevalence and Cigarette
Consumption in 187 Countries, 1980—2012. JAMA, 311(2), 183.
https://doi.org/10.1001/jama.2013.284692
Posner, Barry. (2018). “Elasticity and Demand Curve Shapes”, https://www.e-
education.psu.edu/ebf200/node/118, diakses pada Maret 2020.
Sukirno, Sadono. (2016). Mikroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta:
Rajawali Pers.
83
Saenz-de-Miera, B., Thrasher, J. F., Chaloupka, F. J., Waters, H. R., Hernandez-
Avila, M., & Fong, G. T. (2010). Self-Reported Price of Cigarettes,
Consumption and Compensatory Behaviours in a Cohort of Mexican
Smokers Before and After a Cigarette Tax Increase. Tobacco Control,
19(6), 481–487. https://doi.org/10.1136/tc.2009.032177
Shiferaw, B., Verrill, L., Booth, H., Zansky, S. M., Norton, D. M., Crim, S., &
Henao, O. L. (2012). Sex-Based Differences in Food Consumption:
Foodborne Diseases Active Surveillance Network (FoodNet) Population
Survey, 2006 – 2007. Clinical Infectious Diseases, 54(suppl_5), S453–
S457. https://doi.org/10.1093/cid/cis247
Sopwa, N., & Banin, Q. A. (2015). Analisis Pengaruh Perceived Harga, Kemasan
dan Daya Tarik Iklan Televisi terhadap Minat Beli Konsumen Produk
Rokok Djarum Super di Bumiayu. Jurnal Bisnis dan Manajemen (JBIMA),
11.
The Tobacco Atlas. (2018). Indonesia.
Tjandra, Nathalia. (2018). “Disneyland for Big Tobacco: How Indonesia’s Lax
Smoking Laws are Helping Next Generation to Get Hooked”,
http://theconversation.com/disneyland-for-big-tobacco-how-indonesias-
lax-smoking-laws-are-helping-next-generation-to-get-hooked-97489,
diakses pada Maret 2020.
Tobacco Control Support Center. (2012). Peningkatan Cukai Tembakau, Dampak
Perekonomian & Tenaga Kerja.
Trianto, Anton. (2017). Elastisitas Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Sumatera
Selatan. Akuisisi-Vol 13, No. 1.
Uddarojat, Rofi. (2016). Cedera dan Kematian akibat Minuman Beralkohol Palsu
dan Oplosan - Potensi Dampak Pelarangan Minuman Beralkohol di
Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies.
Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
Widhiarso, W. (2010). Uji Linieritas Hubungan. Fakultas Psikologi UGM, 6.
World Health Organization. (2012). Global Adult Tobacco Survey: Indonesia
Report, 2011. World Health Organization.
84
World Health Organization. (2014). Global Youth Tobacco Survey (GYTS):
Indonesia Report, 2014.
Woyanti, N. (2011). Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai dan Fatwa Haram Merokok
terhadap Perilaku Konsumen Rokok di Kota Semarang. Media Ekonomi
Dan Manajemen.
Zheng, R., Marquez, P. V., Ahsan, A., Hu, X., & Wang, Y. (2018). Cigarette
Affordability in Indonesia: 2002 - 2017. World Bank.
https://doi.org/10.1596/30027
85
LAMPIRAN
1. Data Penelitian Output Regresi
UMP KLAKILAKI KPEREMPUAN RES_1 RES_2 Abs_RES
362700 0.625 0.024 -0.01522 -0.01741 0.02
414700 0.628 0.034 -0.01633 -0.00705 0.02
458500 0.631 0.045 -0.01679 0.00425 0.02
507697 0.65 0.044 -0.00168 0.00358 0
602702 0.653 0.048 -0.00618 0.00822 0.01
672480 0.656 0.052 -0.0087 0.0127 0.01
745709 0.673 0.047 0.00252 0.00819 0
841530 0.689 0.041 0.01095 0.00284 0.01
908824 0.706 0.036 0.02263 -0.0017 0.02
988829 0.711 0.034 0.02131 -0.00316 0.02
1088903 0.719 0.033 0.0214 -0.00348 0.02
1296908 0.73 0.031 0.01597 -0.00406 0.02
1584391 0.741 0.03 0.00425 -0.00311 0
1790342 0.752 0.029 -0.00102 -0.00272 0
1997819 0.761 0.028 -0.00841 -0.00231 0.01
2142855 0.768 0.031 -0.01287 0.00168 0.01
2268874 0.779 0.032 -0.01183 0.00353 0.01
UMP KLAKILAKI KPEREMPUAN Lag_RES Lag_UMP Lag_KLAKILAKI RES_3
362700 0.625 0.024
414700 0.628 0.034 -0.02 110757.4 0.1 -0.00837
458500 0.631 0.045 -0.02 110981.4 0.1 -0.00789
507697 0.65 0.044 -0.02 123474 0.12 0.00793
602702 0.653 0.048 0 177251.91 0.11 -0.00787
672480 0.656 0.052 -0.01 167415.72 0.11 -0.00686
745709 0.673 0.047 -0.01 182170.76 0.12 0.00684
841530 0.689 0.041 0 216625.86 0.13 0.00675
908824 0.706 0.036 0.01 203621.86 0.13 0.01104
988829 0.711 0.034 0.02 227234.49 0.12 0.00053
1088903 0.719 0.033 0.02 260264.3 0.12 0.00257
1296908 0.73 0.031 0.02 384407.29 0.13 0.00024
1584391 0.741 0.03 0.02 497582.1 0.13 -0.00403
1790342 0.752 0.029 0 462622.34 0.13 -0.00038
1997819 0.761 0.028 0 497512.4 0.13 -0.00246
2142855 0.768 0.031 -0.01 468682.68 0.13 -0.00146
2268874 0.779 0.032 -0.01 473161.51 0.14 0.00343
-0.01
86
2. Data Penelitian Output Regresi Dummy
Country Laki-Laki Perempuan
Albania 51.2 7.1
Algeria 30.4 0.7
Andorra 37.8 29
Argentina 27.7 16.2
Armenia 52.1 1.5
Australia 16.5 13
Austria 30.9 28.4
Azerbaijan 42.5 0.3
Bahamas, The 20.4 3.1
Bahrain 37.6 5.8
Bangladesh 44.7 1
Barbados 14.5 1.9
Belarus 46.1 10.5
Belgium 31.4 25.1
Benin 12.3 0.6
Bosnia and Herzegovina 47.7 30.2
Botswana 34.4 5.7
Brazil 17.9 10.1
Brunei Darussalam 30.9 2
Bulgaria 44.4 30.1
Burkina Faso 23.9 1.6
Cabo Verde 16.5 2.1
Cambodia 33.7 2
Canada 16.6 12
Chile 41.5 34.2
China 48.4 1.9
Colombia 13.5 4.7
Comoros 23.6 4.4
Congo, Rep. 52.3 1.7
Costa Rica 17.4 6.4
Croatia 39.9 34.3
Cuba 53.3 17.1
Cyprus 52.7 19.6
Czech Republic 38.3 30.5
Denmark 18.8 19.3
Djibouti 24.5 1.7
Dominican Republic 19.1 8.5
Ecuador 12.3 2
87
Egypt, Arab Rep. 50.1 0.2
El Salvador 18.8 2.5
Eritrea 11.4 0.2
Estonia 39.3 24.5
Eswatini 16.5 1.7
Ethiopia 8.5 0.4
Fiji 34.8 10.2
Finland 22.6 18.3
France 35.6 30.1
Gambia, The 31.2 0.7
Georgia 55.5 5.3
Germany 33.1 28.2
Ghana 7.7 0.3
Greece 52 35.3
Haiti 23.1 2.9
Hungary 34.8 26.8
Iceland 15.2 14.3
India 20.6 1.9
Indonesia 76.1 2.8
Iran, Islamic Rep. 21.1 0.8
Ireland 25.7 23
Israel 35.4 15.4
Italy 27.8 19.8
Jamaica 28.6 5.3
Japan 33.7 11.2
Kazakhstan 43.1 7
Kenya 20.4 1.2
Kiribati 58.9 35.9
Korea, Rep. 40.9 6.2
Kuwait 37 2.7
Kyrgyz Republic 50.5 3.6
Lao PDR 51.2 7.3
Latvia 51 25.6
Lebanon 40.7 26.9
Lesotho 53.9 0.4
Liberia 18.1 1.5
Lithuania 38 21.3
Luxembourg 26 20.9
Malawi 24.7 4.4
Malaysia 42.4 1
Maldives 55 2.1
88
Mali 23 1.6
Malta 30.2 20.9
Mauritius 40.7 3.2
Mexico 21.4 6.9
Moldova 44.6 5.9
Mongolia 46.5 5.5
Montenegro 47.9 44
Morocco 47.1 0.8
Mozambique 29.1 5.1
Myanmar 35.2 6.3
Namibia 34.2 9.7
Nauru 36.9 43
Nepal 37.8 9.5
Netherlands 27.3 24.4
New Zealand 17.2 14.8
Niger 15.4 0.1
Nigeria 10.8 0.6
Norway 20.7 19.6
Oman 15.6 0.5
Pakistan 36.7 2.8
Palau 22.7 7.7
Panama 9.9 2.4
Papua New Guinea 48.8 23.5
Paraguay 21.6 5
Philippines 40.8 7.8
Poland 33.1 23.3
Portugal 30 16.3
Qatar 26.9 0.8
Romania 37.1 22.9
Russian Federation 58.3 23.4
Rwanda 21 4.7
Samoa 38.1 16.7
Saudi Arabia 25.4 1.8
Senegal 16.6 0.4
Serbia 40.2 37.7
Seychelles 35.7 7.1
Sierra Leone 41.3 8.8
Singapore 28.3 5.2
Slovak Republic 37.7 23.1
Slovenia 25 20.1
South Africa 33.2 8.1
89
Spain 31.4 27.4
Sri Lanka 27 0.3
Suriname 42.9 7.4
Sweden 18.9 18.8
Switzerland 28.9 22.6
Tanzania 26.7 3.3
Thailand 38.8 1.9
Timor-Leste 78.1 6.3
Togo 14.2 0.9
Tonga 44.4 11.8
Tunisia 65.8 1.1
Turkey 41.1 14.1
Uganda 16.7 3.4
Ukraine 47.4 13.5
United Arab Emirates 37.4 1.2
United Kingdom 24.7 20
United States 24.6 19.1
Uruguay 19.9 14
Uzbekistan 24.7 1.3
Vanuatu 34.5 2.8
Vietnam 45.9 1
Yemen, Rep. 29.2 7.6
Zambia 24.7 3.1
Zimbabwe 30.7 1.6