Kiprah Muslimat NU Pada Masa Kepemimpinan
Asmah Sjachruni
1979-1994
Disusun oleh :
Nuril Mahdia Firdausiyah 103022027516
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
KIPRAH MUSLIMAT NU
PADA MASA KEPEMIMPINAN ASMAH SJACHRUNI
1979-1994
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai
Gelar Sarjana Humaniora
Oleh
NURIL MAHDIA FIRDAUSIYAH
NIM : 103022027516
Di Bawah Bimbingan
AWALIA RAHMA, MA
NIP : 150 318 444
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Kiprah Muslimat NU Pada Masa Kepemimpinan
Asmah Sjachruni 1979-1994 telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas
Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 18 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) pada program Studi Sejarah dan
Peradaban Islam.
Jakarta, 18 September 2008
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA Usep Abdul Matin, S. Ag., MA, MA
NIP : 150 247 010 NIP : 150 283 304
Anggota
Penguji, Pembimbing
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA Awalia Rahma, MA
NIP : 150 247 010 NIP : 150 318 444
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 September 2008
Nuril Mahdia Firdausiyah
ABSTRAKSI
Muslimat NU merupakan organisasi yang berdiri sejak tanggal 29 Maret
1946. Proses berdirinya organisasi ini diwarnai oleh konflik dalam tubuh NU,
karena pada saat itu ada sebagian Kyai yang setuju, namun sebagian besar
menentang berdirinya organisasi ini.
Asmah Sjachruni merupakan ketua PP Muslimat NU selama tiga periode,
yaitu dari tahun 1979-1984, 1984-1989, 1989-1994. Ia adalah seorang guru SD
yang mengajar di Kalimantan selatan. Sifatnya yang keras dan tegas semakin
menonjolkan dirinya sebagai seorang pemimpin hingga ia dipercaya menjadi
ketua PP Muslimat NU walaupun bukan berasal dari pulau Jawa dan ia menjadi
satu-satunya hingga saat ini mantan ketua PP Muslimat NU non Jawa.
Kiprahnya dalam perkembangan Muslimat NU cukup besar. Ia
mempelopori pembuatan Kartu anggota Muslimat NU yang hasil pendapatannya
digunakan untuk kemaslahatan Muslimat NU. Ia juga mempelopori pendirian
cabang-cabang Muslimat di daerah-daerah terpencil untuk menarik anggota dan
mendirikan TK-TK sebagai sarana mencerdaskan anak bangsa. Walaupun ia
menjabat juga sebagai anggota DPR pada saat ia menjabat sebagai Ketua PP
Muslimat NU, namun ia tidak pernah melepaskan tanggung jawab diantara
keduanya. Suami dan anak-anaknya sangat mendukung semua kegiannya.
Hingga saat ini beliau masih menjabat sebagai Dewan Penasehat di
Muslimat NU walaupun ia sempat terkena stroke.
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim.
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya kepada setiap mahluk ciptaan-Nya.
Hanya dengan ridho dan inaya-Nya-lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan
kita Baginda Nabi Muhammad SAW.
Selama dalam proses pembuatan skripsi ini banyak hambatan dan
kesulitan yang dialami penulis, baik yang mengenai pengaturan waktu,
pengumpulan data, pembiayaan, dan proses penyusunan. Namun berkat limpahan
rahmat-Nya dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak,
maka kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, sudah sepantasnyalah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Illahi
Rabbi dan mengucapkan termiakasih serta menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu.
Di kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing
Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.
2. Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, S. Ag.,
MA, MA, selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam.
3. Ibu Awalia Rahma, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu
bersahabat dalam memberikan pengarahan dan bimbingan.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu
pengetahuan, semoga penulis dapat memanfaatkan dan mengamalkan
dengan baik sesuai dengan syariat Islam serta berguna bagi agama, nusa
dan bangsa.
5. Rasa Ta’zim dan bakti penulis yang tertinggi dan setulus-tulusnya kepada
Mama dan Ayahku tercinta dan tersayang yang selalu memberikan
limpahan kasih sayang dalam mengasuh hingga penulis dapat menempuh
pendidikan dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi dan
memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya.
Dan untuk adik-adik tercinta (Fikar, Rifki, Fachry, Hani dan Muti), kepada
kakak sekaligus tanteku Siti Mutaalimah, Shi, Kepada Suamiku terkasih
Sulistya Perdhana Putra, SE yang selalu sabar menungguku. Keberadaan
kalian memberikan motivasi kepadaku untuk terus maju.
6. Ibu Hj. Asmah Syachruni, Ibu Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Ibu Hj. Latifah
Hasyim, yang telah memberikan banyak informasi, saran-saran, dan data-
data yang dibutuhkan penulis dalam penulisan ini. Semoga Allah selalu
mengarahkan kita ke Jalan yang Ia Ridhoi dalam perjuangan ini.
7. Untuk teman-temanku di SPI (Aci, Sulis, Ipung, Hamid, Agus, Riza,
Willy, Dena, Shinta, dll). Teman-teman kost (teh Nana, Fitri, Dini, Nylam,
Ayu, Reny). Sahabat setiaku Putri Permata Sari, SE. kalian yang selalu
memberi kesan tersendiri di hati penulis dan yang tak bisa sebutkan
namanya satu-persatu.
8. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang
telah banyak membantu memberikan pelayanan bagi penulis.
Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga apa yang telah
diberikan kepada penulis diterima sebagai amal saleh dan mendapatkan pahala
dari Allah SWT. Amien.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenya
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik pembaca sehingga memotivasi
penulis untuk dapat berkarya lebih baik lagi dimasa mendatang. Insya Allah.∗
Jakarta, 18 September 2008
Penulis
∗
(email: [email protected]/ mobile: 085710338544).
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6
D. Metode Penelitian 6
E. Survei Pustaka 8
F. Sistematika Penulisan 10
BAB II SEJARAH BERDIRINYA MUSLIMAT NU
A. Latar Belakang Berdirinya Muslimat NU 12
B. Pergerakan Wanita Sebelum Berdirinya Muslimat NU 16
C. Lahirnya Muslimat NU 22
BAB III RIWAYAT HIDUP ASMAH SJACHRUNI
A. Latar Belakang Keluarga 33
B. Latar Belakang Pendidikan 34
C. Perjalanan Karir Politik Dan Organisasi 36
D. Asmah Sjachruni Di Mata Sahabat 42
E. Gambaran Singkat Pengalaman Asmah Sjachruni
Dalam Kepemimpinannya Selama Tiga Periode
(1979-1994) 45
BAB IV PERANAN MUSLIMAT NU PADA MASA KEPEMIMPINAN
ASMAH SJACHRUNI
A. Periode Pertama Kepemimpinannya 51
B. Periode Kedua Kepemimpinannya 53
C. Periode Ketiga Kepemimpinannya 56
BAB V PENUTUP
Kesimpulan 68
DAFTAR PUSTAKA 73
LAMPIRAN 76
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Gerakan-gerakan yang melatar belakangi kelahiran Nahdlatul Ulama
adalah Tashwirul Afkar, sebagai lembaga pengembangan pemikiran dan
penalaran, Nahdlatul Tujar, organisasi perdagangan, Nahdlatul Wathan,
lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan, Nahdlatus Syuban,
organisasi kepemudaan, dan lain-lain. Kelahiran Nahdlatul Ulama sendiri
dipicu oleh kasus ditolaknya wakil Kyai/Ulama untuk ikut dalam delegasi
Islam Indonesia yang akan menghadiri rapat Khilafah di Mekkah atas
undangan Raja Saud. Penolakan tersebut dengan alasan wakil Kyai/Ulama
tidak memiliki organisasi. Kemudian dibentuklah panitia aksi dengan nama
Komite Hijaz yang berhasil menggalang dana dan mengirimkan wakilnya
sendiri ke Arab Saudi.
Keberhasilan aksi ini, menumbuhkan rasa percaya diri untuk
membentuk organisasi permanen berskala Nasional. Organisasi itulah yang
kemudian dikenal dengan Nahdlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan
Ulama. Besarnya pengaruh Kyai/Ulama lewat lembaga pendidikan pesantren
mengakibatkan NU cepat melebarkan sayap organisasinya dengan
pembentukan cabang-cabang. Dan pada saat yang sama, NU kian
menancapkan pengaruh dan peranannya dalam persoalan kehidupan berbangsa
dan bernegara, sesuai dengan tuntutan kondisi yang ada.1
Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan
yang bersifat tradisional. Meski begitu, bukan berarti dalam NU tidak ada
upaya pembaruan, karena tampilnya NU sendiri justru merupakan sebuah
gerakan pembaruan di lingkungan kaum santri. Perubahan dan pembaruan
yang terjadi di lingkungan NU, antara lain digagas oleh KH Wahid Hasyim.
Akan tetapi, di samping beliau, ada lagi seorang tokoh pembaruan NU yang
juga amat berpengaruh yakni KH Muhammad Dahlan. Kalau Kiai Wahid
membolehkan hakim wanita, maka dalam NU Kiai Dahlan mempelopori
berdirinya organisasi Wanita NU yakni Muslimat. Bahkan dengan
kegigihannya, ia meyakinkan KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Hasbullah,
yang akhirnya didukung seluruh Nahdliyin.
Kiai. Dahlan adalah seorang organisator yang ulet dan mahir
berargumentasi. Bintangnya makin bersinar saat ia menghadiri kongres NU
XIII di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938. Sejarah mencatat bahwa
kongres NU di Menes merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi
proses terbentuknya organisasi Muslimat NU. Dalam kongres tersebut, untuk
pertama kalinya muncul usulan tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak
yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui
organisasi NU.
Usul disetujui. Dan sejak itu, kaum wanita secara resmi diterima
menjadi anggota NU meski sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan
1Muchith Muzadi, NU dan Fiqh Kontekstual, (Yogyakarta, LKPSM NU DIY: 1995)
cet ke 2
pengikut saja, tanpa boleh menduduki kursi kepengurusan. Itu terus
berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.
Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang
usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri dengan mempunyai
kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Kiai Dahlan termasuk pihak yang
gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima. Begitu tajamnya
pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, hingga kongres sepakat
menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.
Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat belum didapat. Kiai
Dahlan-lah yang berupaya membuat semacam pernyataan penerimaan
Muslimat untuk ditandatangani KH Hasyim Asyari dan KH A Wahab
Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas tanda persetujuan kedua tokoh besar
NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar. Bersama A Aziz
Dijar, Kiai Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan
peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari.
Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi
Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggal 29 Maret 1946. Sebagai
ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, yang tak lain adalah isteri
Kiai Dahlan.2
Mulai tahun 1946-1952 kongres NU ke XVII di Madiun dan ke XVIII
di Jakarta ditandai dengan suasana perjuangan mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Kemerdekaan memberikan corak baru
2 http://www.republika.co.id, direkam pada 25 Okt 2007 .
pada pergerakan wanita Indonesia. Organisasi-organisasi dituntut untuk
memperkembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman.3
Muslimat NU adalah salah satu organisasi kewanitaan yang cukup tua
di Indonesia. organisasi ini banyak memperjuangkan wanita. Organisasi ini
bertekad untuk meningkatkan kwalitas perempuan Indonesia yang cerdas,
trampil, dan kompetitif, mempersatukan gerak kaum perempuan Indonesia,
khususnya perempuan Islam Ahlussunah Waljamaah, serta organisasi ini
banyak bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah.4
Hj. Asmah Sjachruni merupakan salah satu ketua Muslimat NU yang
memimpin Muslimat selama tiga periode berturut-turut dari tahun 1979-1995.
beliau merupakan profil wanita yang pemberani dan berhasil menjalankan
kehidupan di Jakarta dari pulau seberang, di pedalaman Kalimantan selatan.
Hj. Asmah Sjachruni mulai aktif di PP Muslimat NU pada tahun 1959.
pada saat itu dalam kongres VII di Jakarta 1959, Muslimat memberi
kepercayaan padanya untuk menangani bidang sosial. Kemudian duduk
sebagai ketua II dalam susunan PP Muslimat NU hasil kongres VIII di Solo,
tahun 1962 dan kongres IX di Surabaya tahun 1967. baru kemudian duduk
sebagai ketua umum tahun 1979, hasil kongres X di Semarang.5 Beliau
merupakan ketua ke tiga setelah Hj. Chodidjah Dahlan dan Hj. Mahmudah
Mawardi.
Kepemimpinan dan ketokohan Ibu Hj. Asmah Sjachruni di kalangan
Muslimat NU sangat terasa. Beliau mempunyai ketegasan dan keteguhan
3 Saifuddin Zuhri, dkk, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (PP. Muslimat NU,
Jakarta:1979), h. 63 4 http://www.muslimat-nu.or.id . 18 April 2008
5 Asmah Sjachruni, dkk, 50 tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan
Bangsa,(LAKPESDAM, Jakarta:1996) h. 139
pendirian. Beliau bersikap proaktif tetapi tetap teguh mengikuti aturan dan
ketentuan yang masih berlaku dalam organisasi.6 Berkat kepemimpinannya
yang tegas dan konsekwen, banyak pihak menaruh kepercayaan terhadap
Muslimat NU untuk membuka hubungan kerjasama. Pemerintah
menempatkan Muslimat NU sebagai mitra pembangunan bangsa dalam
berbagai bidang.
Dengan alasan itulah, penulis mengajukan judul “Kiprah Muslimat
NU Pada Masa Kepemimpinan Asmah Sjachruni 1979-1994” sebagai
judul skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
A. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah penulis sampaikan, maka penulis hanya
membatasi pada pokok-pokok permasalahan yang berkaitan dengan judul yang penulis ajukan, yaitu tentang “Kiprah Muslimat NU Pada Masa
Kepemimpinan Asmah Sjachruni 1979-1994”. Sesuai dengan pengajuan
judul tersebut, maka masalah-masalah yang akan penulis kaji adalah:
1. Bagaimana sejarah berdirinya Muslimat NU serta perkembangannya?
2. Apa saja peranan Muslimat NU untuk mengangkat derajat perempuan
Muslim Indonesia dalam bidang pendidikan dan dakwah pada masa
kepemimpinan Asmah Sjachruni?
B. Tujuan dan Manfaat penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan yang hendak penulis capai adalah:
6 Pendapat Salahuddin Wahid dalam buku Asmah Sjachruni, Muslimah Pejuang
Lintas Zaman, Ali Zawawi, dkk, (Pustaka Indonesia Satu, Jakarta:2002) h. 206
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Muslimat NU serta
perkembangannya
2. Untuk mengetahui apa saja peranan Muslimat NU untuk mengangkat
derajat perempuan Muslim Indonesia dalam bidang pendidikan dan
dakwah pada masa kepemimpinan Asmah Sjachruni
Secara akademik, penelitian ini dibuat untuk menambah khazanah
ilmu pengetahuan.
Secara praktis, penelitian ini dibuat sebagai informasi eksplisit
mengenai sejarah dan perkembangan sebuah organisasi di bawah NU yang
bernama Muslimat NU yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan.
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian mengenai Muslimat NU, penulis merasa perlu melakukan
penelitian langsung untuk mendapatkan data-data yang akurat. Tapi, untuk
menunjang kevalidan penelitian, penulis juga menggunakan literature yang
ada. Untuk itu, penulis menggunakan pendekatan Historical Method yang
mencakup Heuristik, Kritik, Interprestasi, dan Historiografi.
Heuristik, yaitu pencarian sumber data dari wawancara, berbagai arsip dan
berbagai sumber lain baik yang bersifat data primer maupun sekunder.
Kritik, yaitu kritik terhadap sumber data yang ada untuk memastikan validitas
data dan kecenderungan sumber. Hal ini dilakukan untuk menjaga objektifitas
penelitian. Dengan demikian, informasi yang tersaji akan menjadi fakta
sejarah yang objektif.
Interpretasi, dilakukan terhadap fakta sejarah yang telah diseleksi melalui
proses diatas dan disajikan dengan menggunakan pendekatan
multidimensional agar fakta-fakta tersebut menjadi sebuah kisah sejarah yang
menarik bagi berbagai kalangan.
Historiografi, yaitu penulisan sejarah.
Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai kajian tersebut, metode
penelitian yang penulis gunakan, yaitu;
1. Teknik Pengumpulan Data
Penelian ini menggunakan wawancara langsung dengan pihak yang
berkaitan selain juga menggunakan study kepustakaan (Library Reseach)
yaitu penelitian dari literatur-literatur yang ada.
2. Metode Analisa Data
Setelah data-data yang diperlukan telah terpenuhi, maka langkah selanjutnya
adalah mengadakan identifikasi untuk selanjutnya mengkaji secara analitis
dengan menggunakan pendekatan yang akurat dengan metode induksi, yaitu
metode berfikir yang bertitik tolak pada data-data yang bersifat khusus yang
mempunyai kesamaan, kemudian di implikasi menjadi kesimpulan yang
bersifat umum. Kemudian penulis juga menggunakan metode analisa (Content
Analysis), yaitu suatu analisa tentang pesan yang tersirat dari komunikasi
yang penulis lakukan pada pihak-pihak yang bersangkutan dan analisa dari isi
yang terkandung dalam suatu data kemudian diolah dan disusun secara logis.
Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Sumber Data Primer
Yaitu berupa wawancara langsung dengan Asmah Sjachruni dan buku-
buku yang beliau tulis langsung.
2. Sumber Data Sekunder
Yaitu dengan mengumpulkan data-data melalui wawancara dengan orang
terdekat, buku-buku, artikel dan berita dari situs internet, serta makalah-
makalah yang berhubungan dengan Muslimat NU dan perkembangannya
Pada Masa Kepemimpinan Asmah Sjachruni.
Mengenai teknik penulisan, penulisan skripsi ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang
disusun oleh TIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
D. Survei Pustaka
Survei pustaka yang penulis lakukan adalah dengan membaca buku-
buku berkaitan dengan Muslimat NU dan kiprah Asmah Sjachruni dalam
Muslimat NU. Buku pertama adalah Buku yang ditulis oleh Asmah Sjachruni,
dkk, 50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan Bangsa. Buku
ini memuat perjuangan Muslimat untuk tetap eksis dan diakui oleh Nahdlatul
Ulama juga oleh pemerintah. Hingga saat ini Muslimat diakui sebagai salah
satu organisasi Perempuan yang eksis dan diakui dunia Internasional.7
Buku kedua yang penulis baca adalah buku karangan Ali Zawawi
yang berjudul Asmah Sjachruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman,
Jakarta:Pustaka Indonesia Satu, 2002. Buku ini memuat tentang Kiprah
Asmah Sjachruni dalam beberapa bidang yang Ia geluti terutama dalam
7 Asmah Sjachruni, dkk, 50 tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan
Bangsa,(LAKPESDAM, Jakarta:1996)
bidang ke muslimatan. Ia sangat mencintai Muslimat NU hingga saat ini.
Walaupun Ia telah melepaskan jabatan dari Ketua Umum, namun Ia masih
mendampingi Muslimat dan kader-kader Muslimat NU dalam berbagai
aktivitas.
Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa Asmah Sjachruni hingga saat
ini merupakan satu-satunya Ketua Muslimat yang berasal dari luar Jawa dan
berhasil memimpim Muslimat dalam tiga periode yaitu dari tahun 1979-1984,
kemudian dipercaya lagi untuk memimpin Muslimat pada periode 1984-1989,
selanjutnya berliau menjabat lagi sebagai ketua Muslimat NU pada periode
1989-1994. Hal itu membuktikan bahwa selain beliau cukup di hargai dan
mendapatkan penghormatan dari kalangan warga Nahdliyin, beliau juga
memiliki kecakapan dalam memimpin Muslimat NU.8 Buku ini menjadi buku
primer sekaligus sekunder penulis dalam pembuatan skripsi ini
Buku ketiga yang menjadi bahan rujukan penulis adalah Buku Sejarah
Muslimat Nahdlatul Ulama yang ditulis oleh Tim Sejarah Muslimat NU di
terbitkan tahun 1979 oleh PP Muslimat NU Jakarta. Dalam buku itu
dijelaskan mengenai sejarah berdirinya Muslimat NU. Dari mulai pergerakan
perempuan sebelum Muslimat muncul sampai perjuangan Nyai-Nyai untuk
melahirkan Muslimat NU di tengah-tengah Mahdlatul Ulama yang di
dominasi oleh laki-laki.9 Buku ini menjadi sumber sekunder bagi penulis
dalam menjelaskan mengenai sejarah keorganisasian Muslimat NU.
8 Ali Zawawi, dkk, Asmah Sjachruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman dari
Kalangan Nahdlatul Ulama, (Jakarta:Pustaka Indonesia Satu, 2002) 9Tim sejarah Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PP.
Muslimat Nahdlatul Ulama, 1979)
E. Sistematka Penulisan
Secara sistematis, penulisan skripsi ini terbagi dari lima bab yang
berisikan:
BAB I Bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metotologi penelitian, survey Pustaka, dan sistematika
penulisan
BAB II Bab ini akan membahas mengenai keadaan dunia dan Indonesia
menjelang berdirinya Muslimat NU, sejarah pergerakan perempuan
dari sebelum berdirinya Muslimat NU sampai lahir dan
berkembangnya Muslimat NU.
BAB III Bab ini membahas tentang biografi Asmah Sjachruni yang akan
membahas tentang latar belakang keluarga dan pendidikan beliau,
perjalanan politik dan organisasinya dalam Muslimat NU, pendapat
orang-orang terdekat mengenai beliau, serta gambaran singkat
pengalaman Ibu Asmah Syahruni dalam kepemimpinannya selama
tiga periode
BAB IV Bab ini membahas mengenai periode-periode kepemimpinan beliau
selama tiga periode dalam Muslimat NU, kemudian peranan
organisasi Muslimat NU dalam bidang Pendidikan dan dakwah
pada masa kepemimpinan Ibu Asmah Sjachruni
BAB V Merupakan bab penutup yang akan menguraikan beberapa
kesimpulan dari materi yang telah di uraikan.
BAB II
SEJARAH BERDIRINYA MUSLIMAT NU
A. Latar Belakang Berdirinya Muslimat NU
1. Kondisi Di Dunia Secara umum Menjelang Berdirinya Muslimat
Menjelang berdirinya Muslimat NU di Asia sedang mengalami
perang yang berkembang sangat cepat. Ditambah dengan Rusia yang
kemudian mengumumkan perang dengan Jepang, yang mengakibatkan
Jepang mengalami kekalahan-kekalahan. Puncaknya Pada tanggal 6
Agustus 1945 kota Hiroshima dibom atom.
Di India, sedang terjadi pergolakan menjelang berdirinya Muslimat
NU. Timbul pemikiran mengenai berdirinya tanah air Muslim yang
diprakarsai oleh Muhammad Iqbal pada tahun 1930. Dalam sebuah
pertemuan akbar di tahun 1930, Ia menyerukan penggabungan Punjab,
provinsi perbatasan di wilayah barat laut, Sind, dan Baluchistan menjadi
sebuah Negara tunggal. Dari tahun 1938-1945 propaganda dilancarkan
untuk menggalang kekuatan Muslim menuju perjuangan yang telah jelas
itu. Setelah pemilu tahun 1945 gerakan menuju sebuah negara nasional
Muslim tidak dapat dibendung. Pada tahun 1946 partai kongres maupun
Liga Muslim menolak rencana Inggris untuk membentuk sebuah
pemerintahan federal. Akhirnya, pada tanggal 14 Agustus 1947 lahirlah
Negara Pakistan, dan pada tanggal 15 Agustus Pakistan menjadi Negara
Merdeka.10
Perang Dunia ke II mengakibatkan terjadinya perubahan besar
terhadap kehidupan Melayu, hal ini disebabkan oleh penyerahan
kekuasaan Inggris kepada aristokrasi Melayu dan pembentukan negara
Melayu yang merdeka di perintah oleh elit tradisionalnya. Kemerdekaan
Melayu bermula pada tahun 1946, dengan rencana Inggris membentuk
sebuah kesatuan Melayu yang digabungkan atau melepaskan beberapa
Negara kesultana Melayu, Singapura, Malaka, dan Penang. Inggris ingin
mengakhiri kesultanan dan membentuk sebuah pemerintahan pusat dan
menberikan kesempatan pada imigran Cina dan India untuk mengakses
kekuasaan politik. Rencana tersebut ditentang oleh aristokrasi Melayu
yang pada tahun 1946 membentuk Organisasi Kesatuan Nasional Melayu.
Perlawanan tersebut memaksa pihak Inggris memodifikasi rencana
tersebut dengan sebuah Pemerintahan federasi Melayu pada tahun 1948
dengan tetap mempertahankan keberadaan sejumlah pemerintahan Melayu
dan menjamin supremasi kepentingan warga Melayu.11
2. Kondisi Di Indonesia Secara Umum Menjelang Berdirinya Muslimat
Pada tahun 1938-1945 terjadi Perang Dunia ke II antara Jerman,
Itali dan Jepang berhadapan dengan sekutu yang terdiri dari Inggris,
Perancis, Rusia, ditambah dengan Amerika. Hindia Belanda di bawah
jajahan Belanda mengumumkan perang kepada Jepang. Dengan demikian,
10
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian ke III, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1999) h. 298 11 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam… h. 355-356
Indonesia menjadi salah satu sasaran Jepang, hal ini mengakibatkan satu
per satu wilayah Hindia Belanda yang menjadi sumber minyak dikuasai
Jepang. Tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Jawa. Bandung
yang saat itu menjadi pusat pertahanan Belanda dibombardir Jepang
hingga Belanda menyerah tanpa syarat.12 Mulai saat itu Indonesia di
kuasai Jepang sampai tahun 1945.
Gerakan pemberontakan Islam yang terbesar adalah Dar al-Islam,
yang didirikan oleh mantan aktivis Sarekat Islam bernama Kartosuwiryo.
Pada tahun 1940 Kartosuwiryo mendirikan lembaga Suffah sebagai pusat
propaganda dan pusat pelatihan untuk menghasilkan kader-kader untuk
tugas dakwah Islam dan untuk pasukan militer Muslim, Hizbullah yang
diorganisir Jepang atas bantuan Masyumi. Pada tahun 1945, ia ditunjuk
untuk mengelola unit-unit militer Masyumi di Jawa Barat. Ia berperang
melawan Belanda pada tahun 1947 dan pada tahun 1948 ia tidak mau
menerima perjanjian Renville13 antara Indonesia dan kekuatan Belanda,
keluar dari partai Masyumi, dan menyatakan dirinya sebagai Imam untuk
sebuah pemerintahan Islam sementara, Negara Islam Indonesia.
Pertempuran militer melawan Belanda dan berlanjut menjadi melawan
pemerintahan Indonesia terus berlangsung hingga gerakan ini akhirnya
dibasmi pada tahun 1962.14
12
Taufik Abdullah, (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Majels Ulama Indonesia, 1991) h. 272
13 Perjanjian Renville ditandatangani tanggal 17 Januari 1948. Isi perjanjian terdiri
atas persetujuan gencatan senjata, prisip politik, dan beberapa prinsip tambahan dari KTN.
Perjanjian Renville mengakibatkan wilayah Indonesia semakin sempit dan dikurung oleh wilayah
pendudukan Belanda. 14 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam… h. 341
Menjelang berdirinya Muslimat Nahdlatul Ulama, Indonesia dalam
keadaan mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah. Pada bulan
Januari 1946, pendudukan kembali Belanda atas Jakarta semakin kuat
sehingga diputuskan untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta, yang
tetap menjadi ibukota Indonesia yang merdeka selama masa revolusi.15
Pada tanggal 10 Februari 1946 konsesi Belanda yang maksimal
terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia diumumkan16
yang intinya
adalah Belanda menolak kemerdekaan bagi Indonesia. Pengumuman ini
segera melahirkan reaksi-reaksi baik dari kalangan rakyat Indonesia
maupun kalangan Belanda. Namun demikian, dengan ini mulailah secara
resmi diplomasi antara Indonesia dan Belanda untuk menentukan nasib
nusantara.
Pertempuran-pertempuran di Jakarta meluas ke luar kota, dari
Bogor sampai Bandung terjadi pertempuran setiap hari. Diplomasi yang
dijalankan antara Indonesia dan Belanda terus berlangsung.
Di Sumatera Timur, kelompok-kelompok bersenjata yang sebagian
besar terdiri atas orang-orang Batak dan di pimpin oleh kaum kiri,
menyerang raja-raja Batak Simalungun dan Batak Karo pada bulan Maret
1946, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1942.
Kabinet Syahrir dengan dukungan penuh Soekarno-Hatta berjuang
menhadapai dua Front, front terhadap Belanda, dan front dalam negeri,
yang sama-sama mengancam. Keadaan rakyat semakin sulit. Bahan
15
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu
Semesta, 2007) h. 443 16
A.H.Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid III, (Bandung,
Angkasa,1978) h. 22
makanan dan pakaian mulai susah didapatkan karena terjadi peperangan
dimana-mana setiap hari.
B. Pergerakan Wanita Sebelum Berdirinya Muslimat NU
Pada Permulaan abad ke-20, gerakan perjuangan Bangsa Indonesia
menuju kemerdekaannya mengalami perubahan. Apabila perjuangan merebut
kemerdekaan sebelumnya sangat bergantung pada kharisma seorang
pemimpin, maka sejak tahun 1908 tidak demikian lagi karena yang
menentukan adalah tata nilai baru yang dilembagakan dalam bentuk organisasi
yang maju. Rakyat bergerak dengan teratur, tersusun dalam suatu himpunan.
Sedangkan pemimpinnya dipilih dan ditunjuk oleh orang-orang yang
tergabung dalam organisasi tersebut.17
Kesadaran historis yang senantiasa menghendaki adanya perubahan ke
arah perbaikan melahirkan perubahan-perubahan di berbagai bidang, yang
layak disebut dengan kesadaran harga diri sebagai bangsa dan manusia.
Dengan kesadaran harga diri itulah kemudian bangkit gerakan-gerakan
kemerdekaan untuk memerdekakan dan untuk melepaskan diri dari belenggu
penjajahan.
Dalam konteks Indonesia, kesadaran baru itu ditandai dengan lahirnya
Budi Oetomo tahun 1908 yang kemudian disusul dengan berbagai organisasi-
organisasi lainnya termasuk organisasi wanita. Pergerakan kaum wanita
Indonesia sangat erat kaitannya dengan pergerakan kebangsaan Indonesia, dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan organisasi-
17
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat Nu Berkhidmad untuk Agama dan
Bangsa, (Jakarta: Lakpesdam, 1996) h.2
organisasi kebangsaan lainnya. Seiring dengan lahirnya organisasi-organisasi
kebangsaan, lahir pula organisasi-organisasi kebangsaan wanita Indonesia,
dengan berbagai latar belakang budaya dan trdisinya.
Pergerakan wanita Indonesia pada permulaan abad ke-20 merupakan
lanjutan sejarah perjuangan wanita sebelumnya. Kesadaran itu telah dirintis
oleh para tokoh-tokoh pahlawan dan perintis wanita, seperti RA. Kartini dari
Jawa Tengah, Martha Christina Tiyahahu dari Maluku, Cut Nyak Dien dan
Cut Nyak Meutia dari Aceh, Nyai Ahmad Dahlan dari Yogyakarta, Rahmah
el-Yunusiyah dari Sumatera Barat dan Dewi Sartika dari Jawa Barat. Secara
langsung atu tidak langsung mereka telah memberikan inspirasi dan dorongan
yang sangat berharga bagi perkembangan pergerakan wanita di Indonesia.
Pada tahun 1904, ketika RA. Kartini wafat, tidak tercatat reaksi
langsung dari bangsa sendiri, maupun Bangsa Belanda, kecuali dari kawan
dekat dan keluarga. Namun demikian, pengaruh atau tanggapan terhadap sikap
dan keteguhan hati Kartini, pada hakikatnya cukup nyata, baik dalam
meneladani sikap dan mengikuti jejak Kartini. Banyak wanita tidak segan-
segan lagi untuk menuntut pendidikan setaraf dengan kaum pria. Pemerintah
Belanda maupun swasta mulai memperbolehkan perempuan dari berbagai
kalangan untuk bersekolah. Selain itu, di kalangan keluarga yang berada,
banyak wanita membuka kelas-kelas pengajaran di rumah untuk mendidik
gadis-gadis di wilayah sekitarnya. 18
Secara umum ada tiga aliran dalam pergerakan wanita Indonesia.
Pertama adalah golongan kebangsaan yang liberal. Kedua golongan agama.
18
Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli, Kartini Pribadi Mandiri, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1990) h. 105
Ketiga golongan feminis demokrat yang perjuangannya tak berbeda dengan
wanita barat, bergumul dengan masalah kedudukan wanita.19 Penggolongan
ini didasarkan atas perbedaan latar belakang budaya, ideologi dan tradisi yang
hidup dalam masing-masing komunitas organisasi. Bagaimanapun, pergerakan
yang terjadi di Indonesia merupakan perjuangan seluruh komponen bangsa
yang saling mempengaruhi.
Dinamika politik kebangsaan sangat diwarnai dengan keterlibatan
kaum wanita. Hal ini dapat dilihat tidak hanya dari aktivitas organisasi remaja
Islam yang berpusat di sekolah-sekolah agama, tetapi juga pada kegiatan
wanita dalam partai radikal, seperti Perhimpunan Musliman Indonesia (Permi)
di Sumatera Barat. Bahkan ketika tokoh partai laki-laki ditangkap dan dibuang
serta beberapa tokoh wanita dipenjarakan, partai radikal yang revolusioner ini
dengan berani menampilkan wanita sebagai ketua umum. Tokoh wanita Permi
yang dipenjarakan ialah Rangkayo Rasuna Said dan Rasimah Ismail, gadis
yang berusia 18 tahun pada tahun 1932, sedangkan wanita yang kemudian
tampil menjadi pemimpin Permi adalah Ratna Sari di tahun 1933.20
Gerakan organisasi kebangsaan dengan berbagai nuansa dan corak
kegiatannya ini mempunyai satu visi dan orientasi, yaitu memerdekakan
bangsa Indonesia. Perbedaannya hanya dalam pendekatan cara perjuangannya.
Beberapa menggunakan cara radikal revolusioner, beberapa lagi menggunakan
pendekatan kultural dengan memanfaatkan pendidikan sebagai basis
perjuangannya.
19
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.4 20 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.5
Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, berbagai organisasi lain
menyusul dibentuk, termasuk juga organisasi wanita. Pada tanggal 22
Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama.
Kongres ini berhasil membentuk Perserikatan Perkoempoelan Perempoean
Indonesia (PPPI), yang merupakan asal-usul historis badan federasi yang saat
ini dinamakan Kowani.21
Pada tahun 1929 PPPI berubah menjadi Perserikatan
Perkoempoelan Istri Indonesia (PPPI), kemudian berubah lagi menjadi
Kongres Perempoean Indonesia pada tahun 1935.
Pada tanggal 15-17 Desember 1945 bertempat di Klaten diadakan
kongres wanita untuk pertama kali setelah proklamasi kemerdekaan.
Perkumpulan yang sama azas tujuannya masuk dalam gabungan baru yang
bernama Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang membentuk
suatu badan fusi, diantaranya Perwani, Wani, dan lain-lain. Perkumpulan-
perkumpulan lain seperti PPI (Pemuda Puteri Indonesia), Muslimaat, Aisyiah,
Persatuan Wanita Kristen, dan lain-lain tidak termasuk dalam fusi itu.
Sebagai lanjutan dari putusan kongres yang pertama tersebut, maka
pada tanggal 24-26 Februari 1946 diadakan konvensi di Solo yang berhasil
membentuk suatu badan gabungan yang bernama Badan Kongres Wanita
Indonesia.22
Akhirnya, pada bulan Juni tahun 1946 menjadi Kongres Wanita
Indonesia (KOWANI) sampai saat ini.23
Kiprah perjuangan wanita merupakan
artikulasi yang berkembang dalam masyarakat. Kejadian-kejadian yang
dianggap bertentangan dengan rasa keadilan dan perikemanusiaan menjadi
21
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.6 22
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia: Dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1981) h. 179 23 http://www.kowani.or.id
dorongan munculnya perjuangan kaum wanita untuk meninggikan harkat dan
martabatnya.
Tujuan didirikannya KOWANI yaitu:
1. menggalang persatuan dan membina kerjasama segenap potensi wanita
Indonesia,
2. menggariskan dan melaksanakanpokok-pokok perjuangan wanita
Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
menjamin pelaksanaan hak-hak wanita Indonesia debagai manusia dan
wanita,
3. melaksanakan Ampera dalam rangka mengisi kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menempatkan wanita di dalam
masyarakat sesuai dengan kedudukan fungsi dan profesinya,
4. menjelmakan pribadi wanita Indonesia yang mampu menjalankan dan
meyalurkan fungsi dan profesinya dengan baik serta mengintensifkan
partisipasi kaum wanita dalam pembangunan negara,
5. memupuk dan memelihara perdamaian dunia serta membina persahabatan
antar bangsa berdasarkan persamaan hak dan derajat.24
pada tahun 1930, didirikanlah Perkumpulan Pembasmi Penjualan
Perempuan dan Anak-anak (P4A), karena pada saat itu banyak gadis-gadis
anak petani miskin yang dijual pada Cina mendering (rentenir Tionghoa)
untuk menebus hutang petani tersebut. Dibentuk juga Komite Pembela Buruh
Perempuan Indonesia untuk membantu buruh perempuan yang diperlakukan
24
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Indonesia Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1983) .
secara kejam di pabrik-pabrik di berbagai tempat.25
Tujuan utama
dibentuknya P4A dan Komite Pembela Buruh Perempuan Indonesia adalah
untuk melindungi hak-hak wanita sebagai manusia, juga memerangi
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi pada saat itu.
Kowani berhasil menggabungkan berbagai organisasi wanita yang saat
itu sudah ada di Indonesia dengan corak yang berbeda-beda. Kowani hadir
menyatukan visi dan misi berbagai organisasi yang bergabung dengan corak
yang berbeda-beda, agar menjadi kekuatan untuk perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Namun, terkadang perbedaan yang tidak dapat dikesampingkan
oleh masing-masing anggota menjadi potensi konflik yang menyebabkan
perkembangan Kowani mengalami pasang surut.
Kowani kemudian mendapatkan kesulitan lagi pada saat terjadinya
Gerakan 30 September 1965, karena ada pemimpin Kowani yang mendukung
gerakan ini. Kemudian timbulah Kesatuan Aksi Wanita (KAWI), yang
merupakan gabungan organisasi-organisasi Islam. KAWI mengadakan
kegiatan bersama dengan kesatuan aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),
Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), untuk
melawan gerakan-gerakan pendukung Gerakan 30 September 1965
(G30S/PKI).26
Selain KOWANI, berdiri juga Perkumpulan Istri Sedar pada tahun
1930. Pendirinya adalah Suwarni Pringgodigdo. Perkumpulan ini tidak mau
25
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.8 26 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.6.
bergabung dengan Kowani. Mereka berpendirian bahwa bagi bangsa yang
dijajah, agar cepat memperoleh kebebasan, kaum wanita harus sederajat
kedudukannya dengan kaum pria. Padahal tujuan keduanya sama, yaitu
terwujudnya hak dan kedudukan yang sama antara pria dan wanita untuk
mempercepat pencapaian kemerdekaan Indonesia.
C. Lahirnya Muslimat NU
Organisasi wanita Islam disemangati ajaran tentang kesederajatan
antara sesama manusia di sisi Allah SWT. Gerakan wanita ini pada awalnya
lebih cenderung bergerak dalam bidang pendidikan. Kesadaran berpendidikan
bagi wanita muncul hamper serempak di berbagai wilayah Indonesia berkat
hadirnya RA. Kartini. Para remaja Islam perempuan mulai masuk sekolah
umum dan madrasah. Sekolah-sekolah mulai menerima murid perempuan, dan
tidak sedikit juga yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk perempuan.
Sepanjang sejarahnya, Organisasi Wanita Islam di Indonesia, tidak
tampil sebagai pencetus gagasan dan pemikiran sosial baru. Organisasi wanita
baru muncul sebagai pencetus gagasan atau ide dalam hal-hal yang khusus
menyangkut masalah kewanitaan dan keperempuanan. Organisasi wanita lebih
banyak memainkan peranan sebagai penafsir dalam tindakan, pembela dalam
diskursus dan penunjang dalam gerakan sosial politik dari para pemula
gagasan baru. Andaipun ada yang baru, hal itu baru menyangkut masalah
kewanitaan yang eksklusif. Dalam sejarah, organisasi wanita kelihatan lebih
menampilkan diri sebagai pelaksana misi daripada pencetus gagasan.
Di Sumatera misalnya, hampir di seluruh pelosok ada sekolah-sekolah
Thawalib dan Diniyah yang menerima murid laki-laki dan perempuan.
Sekolah yang menerima murid perempuan adalah Diniyah Puteri di Padang
Panjang. Sekolah-sekolah Sumatera Thawalib juga mendirikan Perkumpulan
Sumatera Thawalib pada tahun 1922. Perkumpulan inilah yang menjadi basis
berdirinya Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) pada tahun 1930 di
Sumatera Barat. Permi adalah gerakan politik revolusioner yang menuntut
Indonesia merdeka. Dalam sejarah, Permi pernah dipimpin oleh seorang
wanita setelah pemimpin prianya ditangkap dan dipenjarakan. Permi
kemudian dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937.
Di Jawa, pesantren-pesantren yang semula hanya menerima santri laki-
laki, membuka pintu untuk murid-murid perempuan. Pesantren pertama yang
menerima santri-santri perempuan adalah Pesantren Denanyar, Jombang pada
tahun 1930. Di kalangan pesantren lahir pula madrasah-madrasah khusus
perempuan seperti Madrasatul Banaat di Malang, Surabaya, Solo, Menes dan
tempat-tempat lainnya di seluruh Pulau Jawa. Aisyiyah (Wanita
Muhammadiyah) di Yogyakarta mendirikan macam-macam sekolah umum
dan kejuruan, kebidanan, dan sekolah guru untuk wanita di seluruh
Indonesia.27
Gerakan kemajuan ini berjalan terus. Sekolah-sekolah menghasilkan
gadis-gadis dan wanita-wanita terpelajar. Bersamaan dengan itu, munculah
gerakan-gerakan dan perserikatan-perserikatan wanita, baik yang bercorak
27Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.11-12
kebangsaan maupun keagamaan. Salah satunya adalah lahirnya Muslimat
Nahdlatul Ulama.
Ciri khas yang membedakan ormas perempuan Islam dengan
organisasi-organisasi perempuan pada umumnya yaitu pada upaya dan kerja-
kerja mereka dalam melapangkan dialog yang intensif antara prinsip-prinsip
keadilan dan kesetaraan pada tataran normatif ajaran agama dengan realitas
kehidupan sehari-hari. Terutama menyangkut perlakuan diskriminatif terhadap
perempuan. Karena itu ormas-ormas perempuan Islam lebih banyak menekuni
program-program yang menggugah kesadaran masyarakat dan adanya perilaku
diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini yang memunculkan kesadaran
bersama antara ormas-ormas perempuan Islam untuk bergerak bersama dalam
melawan diskriminasi.28
Proses lahirnya Muslimat Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari
perkembangan Nahdlatul Ulama (NU). Pada suatu perkembangan tertentu NU
memerlukan hadirnya peranan wanita untuk menangani masalah kewanitaan
di kalangan wanita Ahlusunah wal-Jamaah yang pada saat itu hanya memiliki
hak untuk mendengarkan dan memberikan saran pemikiran, hingga Muktamar
NU ke-19 di Palembang pada tahun 1952.
Sebenarnya, gagasan tentang pentingnya dibentuknya Muslimat
Nahdlatul Ulama sudah muncul sejak Muktamar NU yang pertama pada tahun
1926. Hal ini ditandai dengan hadirnya beberapa tokoh perempuan, meskipun
28
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Perempuan Pembaharu Keagamaan,
(Bandung: Mizan, 2005)
saat itu perempuan belum menjadi bagian dari NU.29
Sejak didirikannya NU
hingga Kongres ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938 yang diwarnai
dengan perdebatan sengit, kaum wanita telah aktif berorganisasi. R. Djuarsih
dan Siti Syarah tampil sebagai pembicara, mewakili warga jamaah perempuan.
Setahun kemudian, ide tentang Muslimat NU kiat terasa kuat ketika
berlangsung Muktamar ke-14 di Magelang tahun 1939.30
Nahdlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926
merupakan potensi kejuangan para ulama Indonesia yang setia terhadap
komitmennya pada perjuangan Bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, NU
mempunyai pengalaman perjuangan yang cukup panjang dalam meraih dan
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa penjajahan
Belanda, pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, NU ikut berperan
secara aktif, bahkan salah satu perumus UUD 1945.31 Kegigihan NU inilah
yang menggugah kaum perempuan Nahdlatul Ulama untuk menghimpun
potensi dirinya untuk bersama NU melakukan perjuangan Indonesia dari
penjajahan, terutama kemerdekaan kaum perempuan.
Rumusan mengenai pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi
mulai diakui saat Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahu 1940, yaitu dengan
diterimanya rumusan pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi NU,
masyarakat pendidikan dan dakwah dengan Anggaran Dasar dan pengurus
besarnya. Tetapi pada saat itu Muslimat NU belum mendapat pengakuan resmi
dari peserta Muktamar. Lahirnya Muslimat NU didorong oleh rasa
29
Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta, PP. Muslimat NU, 1979) 30
Asmah, Sjachruni, dkk, 50 Tahun.. h. 21 31
Sejarah Singkat Muslimat NU, (Yogyakarta: Seksi Publikasi dan Dokumentasi
Muktamar NU ke 28, 1989)
keprihatinan yang mendalam terhadap keadaan sikap, pandangan dan
perlakuan yang dirasakan tidak adil terhadap wanita.
Latar belakang paham Ahlussunah wal Jamaah sebagai paham
keagamaan menjadi motivasi bagi berdirinya Muslimat NU, karena warga
jamaah wanita NU sebagai satu kesatuan budaya dan paham keagamaan
merasa terpanggil untuk bersama-sama warga Jam’iyah pria mengusahakan
berlakunya paham tersebut di kalangan wanita. Pengertian Ahlussunah wal
Jamaah yang menjadi paham Muslimat NU adalah paham yang menjadikan
Islam sebagai nilai universal yang mencakup segala aspek kehidupan dan
tolok ukur perjuangan Muslimat NU.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, pada tanggal 29
Maret 1946, bertepatan dengan 26 Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jamaah
wanita NU untuk berorganisasi diterima dengan suara bulat oleh para utusan
Muktamar NU di Purwokerto, dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat
(NOM).32 Diresmikannya Muslimat NU sebagai bagian NU merupakan
tuntutan sejarah yang dinilai oleh Jamiah NU pada saat itu sudah sampai pada
tahap perkembangan yang memerlukan hadirnya wanita dalam kancah
perjuangan dan organisasi. Pandangan ini dikemukakan hanya oleh sebagian
kecil ulama NU, seperti KH. Muhammad Dahlan, KH. Wahab Chasbullah dan
KH. Syaifuddin Zuhri.
Lambang Muslimat NU sama dengan lambang NU, yaitu gambar bola
dunia diikat dengan tali, dilingkari lima bintang diatas garis khatulistiwa dan
yang terbesar diantaranya terletak di bagian atas. Sedangkan empat bintang
32 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.20
lainnya terletak di bawah khatulistiwa, sehingga jumlah seluruhnya adalah
sembilan bintang serta terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf Arab
yang melintasi bola dunia dan menyelusuri garis khatulistiwa. Lambang
tersebut dilukiskan dengan warna putih di atas dasar warna hijau.
Dalam Forum Komite Nasional Indonesia (KNIP) setelah Proklamasi
Kemerdekaan, Muslimat NU diwakili oleh Chadidjah Dahlan (1948-1956).
Pada kongres NU ke-19 tahun 1952 di Palembang, Muslimat NU memperoleh
status sebagai organisasi otonomi NU. Hal itu berarti Muslimat NU dapat
mengatur rumah tangganya sendiri, tanpa terlalu banyak campur tangan dari
Nahdlatul Ulama. Dengan otonomi itu, Muslimat NU lebih bebas bergerak
dalam memperjuangkan hak-hak wanita maupun kepentingan nasional lainnya
secara mandiri.
Kelahiran Muslimat NU membuktikan bahwa kepedulian ulama
wanita yang hidup di alam pesantren tidak kalah dengan potensi-potensi
perjuangan wanita Indonesia yang lain. Pada perkembangan berikutnya,
Muslimat NU berperan dalam perjuangan kemerdekaan, baik perjuangan fisik
maupun non fisik. Dalam perjuangan fisik, tercatat bahwa Muslimat NU
tergabung dalam barisan perjuangan revolusi, seperti menjadi kurir,
melaksanakan dapur umum, mengumpulkan bahan makanan, pakaian, obat-
obatan hingga pada perjuangan memanggul senjata. Mereka tergabung dalam
barisan Hizbullah, Sabilillah, Palang Merah Indonesia (PMI) dan kesatuan-
kesatuan perjuangan lainnya.33
33 Muktamar NU ke-28, (Yogyakarta: Sie. Publikasi NU, 1989) h.33
Dalam perkembangannya, Muslimat NU bekerjasama dengan
organisasi wanita Indonesia lainnya. Misalnya, Muslimat NU bergabung
dengan KOWANI, sebuah federasi organisasi wanita tingkat nasional. Dengan
kehadirannya di badan federasi itu, Muslimat NU memiliki peranan cukup
penting. Hal ini terbukti dari adanya beberapa posisi yang ditempati tokoh
Muslimat
• Tahun 1956-1965 Anggota Presidium KOWANI Machmudah Mawardi
• Tahun 1966-1968 Anggota DP KOWANI HSA. Wahid Hasyim
• Tahun 1968-1973 Anggota DP KOWANI Asmah Syachruni
• Tahun 1978-1981 Anggota DP KOWANI Dra. Farida Purnomo34
Selain menjadi anggota KOWANI, Muslimat NU juga aktif dalam
Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI), suatu badan yang
bertugas melakukan riset tentang kedudukan wanita yang dibentuk pemerintah
bersama-sama dengan KOWANI dan KAWI tahun 1956. Muslimat NU di
KNKWI di wakili oleh
• Chadijah Imron Rosyadi pada tahun 1968-1970
• Malichah Agus pada tahun 1970-197335
Untuk mempersatukan langkah wanita Islam dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan bersama, Muslimat NU juga ikut mendirikan Badan
Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) pada tahun 1967.
Keanggotaan dari badan ini adalah pusat dari organisasi Islam Wanita
Indonesia. Yang pernah duduk sebagai anggota presidium BMOIWI adalah
34
Team Sejarah Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PP
Muslimat NU, 1979) h.65 35 Muktamar NU ke 28, (Yogyakarta: Sie. Publikasi NU, 1989)
Machmudah Mawardi (1967-1977) dan Asmah Sjachruni (1977-1979). Dalam
melakukan kegiatannya badan ini bekerja sama dengan Departemen Agama,
Departemen Sosial dan Majelis Ulama Indonesia.
Pada masa perjuangan penegakan Orde Baru, Muslimat NU membantu
untuk menentang komunisme yang merajalela di Indonesia.36 Muslimat NU
bekerjasama dengan ABRI. Kerjasama ini tidak hanya pada saat meletusnya
G30S/PKI, tetapi jauh sebelumnya dalam usaha ketahanan nasional. Dalam
badan kerjasama militer, HSA. Wahid Hasyim dari Muslimat NU duduk
sebagai bendahara, kemudian Malichah Agus antara tahun 1960-1962.37
Dari segala upaya Muslimat NU dalam perkembangannya, Muslimat
NU melahirkan tonggak-tonggak sejarah yang cukup penting. Yang dimaksud
dengan tonggak perkembangan adalah peristiwa-peristiwa penting
perkembangan sejarah Muslimat NU yang dilahirkan secara langsung atau
tidak langsung oleh gagasan-gagasan, ide-ide, pokok-pokok pikiran,
pandangan atau pendirian Muslimat NU mengenai berbagai masalah yang
berkembang di dalam kehidupan masyarakat bangsa dari masa ke masa. Arah
dan tonggak-tonggak perjuangan Muslimat NU senantiasa mengikuti
perkembangan pandangan, pendirian dan visi tentang berbagai masalah serta
prinsip-prinsip yang dianutnya.
Di bidang internasional, Muslimat NU aktif dalam penyelenggaraan
Konferensi Islam Asia Afrika di Bandung tahun 1964. Dalam bidang
legislative, Muslimat NU bergabung dalam Partai NU, baik ketika Pemilu
1955 maupun Pemilu 1971. Salah satu hasil yang terasa hingga saat ini adalah
36
Muktamar NU ke-28 h.34 37 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.25-27
perjuangan Muslimat NU untuk menentang RUU Perkawinan yang diajukan
pemerintah (1974) dan melalui juru bicara PPP antara lain Ny. Asmah
Syahruni, RUU Perkawinan tersebut dihapus dari ketentuan yang berlawanan
dengan Agama Islam.
Saat ini, Muslimat NU berkarya di bidang kemasyarakatan setelah NU
kembali ke Khittah (1926). Fokus kegiatannya secara garis besar adalah
bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Dalam bidang pendidikan, Muslimat
NU mendirikan Yayasan Pendidikan Muslimat yang bertugas mengelola
proyek/ kegiatan pendidikan yang terdiri dari pendidikan formal (sekolah) dan
non formal (luar sekolah). Pendidikan formal yang dikelola Muslimat NU
difokuskan pada Taman Kanak-kanak (TK). Di bidang pendidkan non formal,
Muslimat NU melakukan upaya pemberantasan buta huruf Arab dan latin,
disamping kegiatan-kegiatan pendidikan keterampilan.
Dalam bidang dakwah, Muslimat NU terutama mengarahkan pada
upaya amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, bentuknya pun bermacam-
macam, dari yang berupa pengajian-pengajian, majelis taklim, ceramah,
seminar maupun penerbitan jurnal dan buku-buku.
Bidang sosial merupakan yang paling penting bagi Muslimat NU.
Yang ditangani adalah kesehatan ibu dan anak, serta panti-panti asuhan anak
yatim. Untuk itu, Muslimat NU mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat
(YKM) yang mengelola Rumah Sakit Bersalin, BKIA, Klinik KB, Panti
Asuhan Yatim Piatu, Poliklinik dan sebagainya.38.
38 Muktamar NU ke-28, h.35
Namun dalam skripsi ini penulis hanya membatasi kiprah Muslimat
NU pada bidang pendidikan dan dakwah pada masa kepemimpinan Hj. Asmah
Sjahruni (1979-1994).
BAB III
RIWAYAT HIDUP ASMAH SYAHRUNI
Dalam sejarah gerakan bangsa-bangsa di dunia dan komunitas pemeluk
agama, selalu lahir pemimpin dan orang-orang yang ditokohkan dalam banyak
persoalan kehidupan. Pemimpin tokoh-tokoh itu lahir di masa dan komunitas
tertentu sesuai kebutuhan sejarah yang memanggilnya serta komitmen yang
dimilikinya. Terlepas apakah pemimpin dan tokoh itu yang mengubah sejarah atau
boleh jadi sebaliknya, kekuatan sejarah yang tak gampang dipahami itu sendiri
yang secara sengaja sesuai dengan logika sejarah yang melahirkan sang pemimpin
dan sang tokoh. Tetapi sesuatu yang sulit diingkari adalah bahwa ketokohan
seseorang atau sekelompok orang hanya ada di dalam dan dari sebuah komunitas.
Tidak bisa dilepaskan pula salah satu tokoh muslimat NU yang satu ini.
Salah seorang pemimpin organisasi kewanitaan yang ada di tubuh NU ini telah
membawa organisasi tersebut mampu menunjukkan kekuatannya. Ia adalah orang
yang mampu membawa organisasi kewanitaan ini berkembang dan memiliki
kekuatan yang sejajar dengan organisasi-organisasi wanita lainnya.
Keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan yang korup tidak
disangkal lagi. Ia adalah sosok wanita pemberani dalam menyuarakan
Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masanya.39
39
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Bangsa
dan Negara, P.P. Muslimat NU, Jakarta, 1996, h. 137, 140.
A. Latar Belakang Keluarga
Asmah lahir pada tanggal 28 Februari 1927 di Rantau, Kandangan,
Kalimantan Selatan dari pasangan Buhajar dan Imur. Kedua orang tuanya
adalah orang yang sangat teguh memegang tradisi. Ia adalah anak pertama dari
sembilan bersaudara, delapan perempuan dan satu laki-laki. Ketiga adik
perempuannya meninggal dunia di saat mereka masih kecil. Sebagai anak
yang paling tua, Asmah selalu dekat dengan keluarga dan senantiasa
menggantikan peran orang tua dalam hal tanggung jawab.
Waktu Asmah masih di Sekolah Dasar, bibinya sudah menjadi guru. Ia
mulai menyadari bahwa bibinya adalah seorang nasionalis tulen. Dia diajari
oleh bibinya sebuah syair yang mengandung makna perjuangan untuk merebut
kemerdekaan. Menurutnya pada saat itu, syair seperti itu tidak ada yang berani
melantunkannya secara terbuka. Begitupun dengan Asmah dan bibinya.
Mereka hanya membaca atau melantunkan syair itu di dalam kamar. Syair itu
berjudul “Di Timur Matahari” yang berbunyi: “ Di Timur Matahari, mulai
bercahya, bangun dan berdiri kawan semua, marilah mengatur barisan kita,
pemuda-pemudi Indonesia”.
Asmah bersuami bernama Syahruni. Syahruni termasuk orang yang
masih memiliki hubungan keluarga dengan dirinya. Kedua orang tua mereka
dari pihak ayah masih sepupu. Asmah dan Syahruni sama-sama sebagai
seorang guru. Syahruni adalah kakak kelasnya dalam satu perguruan. Mereka
menikah tiga bulan setelah pertunangannya. Selain gaji bulanan sebagai
seorang guru, untuk menunjang ekonomi keluarga Asmah dan suaminya juga
memiliki kebun karet yang hasilnya cukup untuk menambah biaya hidup
rumah tangga.40
Ketika lahir anaknya yang pertama, dia dan suaminya sudah
memiliki rumah sendiri hasil dari jerih payahnya sebagai seorang guru dan
kebun karet yang digarapnya.
Sebagai anak dari orang yang tahu agama, Asmah kerap diajari oleh
ayahnya bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan baik, fiqih dan tauhid
sebagai dasar. Sejak kecil Ia sudah pandai membaca Al-Qur’an. Namun,
ayahnya juga menginginkan agar Asmah mengecap pendidikan umum untuk
bekal masa depannya. Untuk masuk dalam pendidikan umum, agak sulit
didapatkan, walaupun hanya pada tingkat SR (Sekolah Rakyat).
B. Latar Belakang Pendidikan
Pada saat itu bisa dikatakan bahwa perempuan masih sulit
mendapatkan hak pendidikan. Mungkin sebuah kenyataan yang harus
dipahami bahwa; pertama, anggapan sebuah keluarga yang menganggap
bahwa pendidikan itu tidak penting bagi anak perempuan, kedua, tenaga kerja
diperlukan untuk terjun ke sawah dan sebagainya, oleh karenanya anak
perempuan harus segera dicarikan suami untuk menambah tenaga kerja dalam
keluarga, ketiga, adalah aib kalau anak perempuannya tidak segera menikah.
Yang terakhir ini mungkin budaya yang diciptakan penjajah terhadap orang
pribumi agar tidak pernah maju.41
Hal di atas tidak berlaku dalam diri Asmah Syahruni. Sebagai orang
yang ingin maju, dia teguh dalam pendiriannya untuk masuk ke sekolah
umum. Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada akhirnya Asmah
40
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka
Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. 10, 17, 18. 41 Ibid, h. 19.
Syahruni bisa dengan mudah masuk ke sekolah umum. Kakeknya sebagai
tokoh masyarakat dan bibinya sebagai guru telah memudahkannya untuk bisa
masuk ke sekolah umum, walaupun sekolah itu harus ditempuh dengan jarak
jauh dan berjalan kaki. Sekolah umum di daerahnya pada waktu itu hanya ada
di kecamatan. Itupun hanya (Sekolah Rakyat), lima tahun yang dibuat dua
jenjang. Jenjang pertama dari kelas satu sampai dengan kelas tiga, dan
mendapatkan ijazah. Lalu dilanjutkan ke jenjang yang kedua yaitu dari kelas
empat sampai dengan kelas lima.
Sejak masuk kelas empat, Asmah Syahruni mulai merasakan
perbedaan cara berfikir dirinya dengan orang tuanya. Pandangannya mulai
jauh ke depan. Meski perempuan, dia bisa menikmati pendidikan, meskipun
terkadang muncul pertentangan dengan keluarga, terutama dari keluarga
ayahnya. Kebetulan dalam keluarga ayahnya tidak ada saudara perempuannya
yang sekolah. Saat itu ia juga sempat diberhentikan sekolah oleh ayahnya
selama dua tahun. Dan meneruskannya kembali, akhirnya pada usia 14 tahun
dia lulus kelas lima. Setelah menikah dia mengajar di SR III, sementara
suaminya mengajar di SR I.42
Dengan bekal pendidikan itu, Asmah Syahruni menjadi guru selama
kurun waktu 1943-1954. Dengan Beslit Mienseibu Tjokan (saat ini disebut
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan ), dia menjadi guru pembantu pada
Futsu Tjo Gakko (setingkat SD bentukan Jepang) di Rantau I, kemudian
menjadi Wakil Kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III. Selanjutnya ia terus
42 Ibid. h. 14, 21.
malang melintang sebagai pendidik. Ia juga menjadi guru SR VI di Rantau III,
SR VI Batang Kulur Kandangan dan SR VI di Ulin Kandangan.
Pergulatan Asmah Syahruni di dunia pendidikan sebenarnya tidak
terbatas pada pendidikan umum saja, melainkan pendidikan agama.
Bersamaan dengan karirnya sebagai seorang guru, Asmah Syahruni juga aktif
dalam mengikuti pendidikan keagamaan. Berdasarkan rasa kekurangannya
dalam soal agama, membuat tokoh yang satu ini kerap mengikuti pengajian-
pengajian yang diadakan oleh kiai-kiai NU. Hal ini juga memberikan hikmah
tersendiri baginya. Karena dengan aktivitasnya sebagai seorang jam’iyah
pengajian pada waktu itu, membuatnya bisa mengenal dan dikenal oleh tokoh-
tokoh NU. Menurut pengakuannya, dari aktivitasnya dalam mengikuti
pengajian inilah yang pada akhirnya membuat dirinya faham akan NU,
bergabung dengan NU dan pada akhirnya dapat aktif dalam Muslimat NU.43
Pada tahun 1952, Asmah Syahruni diangkat menjadi konsulat
Muslimat NU di wilayah Kalimantan Selatan sampai 1956. Sejak saat itulah ia
mengubah arah kehidupannya, dari dunia pendidikan ke dunia politik dan
organisasi.44
C. Perjalanan Karir Politik dan Organisasi
Abad XX adalah abad kebangkitan bangsa-bangsa dunia. Bangkitnya
bangsa di Timur Asia melahirkan gerakan-gerakan kemerdekaan di Indonesia.
Pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20, kebangkitan yang bersifat perlawanan
43
Wawancara pribadi dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008.
Tanggal, 6 Juni 2008 44 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, H. 138.
terhadap keadaan dan penderitaan mulai bersifat gerakan-gerakan sosial.45
Kondisi seperti itu kerap terjadi dalam kurun waktu selama puluhan tahun
hingga datangnya Jepang ke wilayah nusantara.
Kondisi di atas tentu saja mempengaruhi pola dan perilaku hidup untuk
mencari jalan bagaimana keadaan seperti itu bisa di atasi dengan membawa
bendera perjuangan dan kemerdekaan. Getaran dari berbagai irama yang
bergolak di kalangan masyarakat itu telah mewarisi semangat perjuangan bagi
bangsa yang beragam ini. Sendi-sendi perjuangan untuk memajukan bangsa
masuk dalam tiap jiwa yang sadar akan kemampuan dirinya tanpa memandang
perbedaan gender. Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan seorang Asmah
Syahruni merubah arah hidupnya dari dunia pendidikan ke dunia politik dan
organisasi.
Pada zaman pendudukan Jepang, Asmah Syahruni aktif di Fujinkai,
perkumpulan wanita bentukan Jepang di daerah-daerah yang diketuai oleh
bupati. Fujinkai adalah perkembangan lanjut dari impian Jepang Asia Timur
Raya dengan gerakan AAA (atau Tiga A – Nippon Pelindung Asia, Nippon
Pemimpin Asia dan Nippon cahaya Asia). Saat itu, semua organisasi wanita
pribumi yang ada dibubarkan. Ia mengawali dunia barunya ketika NU
menyatakan sikapnya keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik
tersendiri pada tahun 1952.46
Aktivitas Asmah Syahruni di organisasi wanita mengundang dirinya
untuk berkiprah lebih luas. Ia merasakan itu ketika bergabung dalam
organisasi kewanitaan NU. Ia beranggapan bahwa ajaran NU yang selalu
45
PP. Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta, 1979, h. 39. 46 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 138.
mengikuti petunjuk wanita ternyata tidak mengekang wanita. Ia aktif di
Muslimat NU sejak tahun 1952. Ia kemudian diberi kepercayaan untuk
memimpin Muslimat NU di Kalimantan Selatan dan mendapat hak untuk
membentuk beberapa cabang.47
Kronologi awal keterlibatan Asmah Syahruni dalam Muslimat NU
tidak bisa dilepaskan dengan aktivitasnya dalam mengikuti pengajian rutin
yang diadakan oleh kiai-kiai NU di daerahnya seperti yang telah dijelaskan di
atas di satu sisi, dan seorang teman seprofesinya (seorang guru) yang
membuatnya dapat dikenal oleh tokoh-tokoh NU di sisi lain.48
Otonomi
organisasi wanita dalam tubuh NU ini dicapai pada saat ia menjabat sebagai
ketua wilayah. Ini memang merupakan salah satu cita-cita utama dalam
kepemimpinannya dalam ketua PP Muslimat NU yang akan dibicarakan pada
bab berikutnya.
Pada tahun 1954 diadakan muktamar NU sekaligus kongres Muslimat
NU di Surabaya. Dari situ dia mulai dikenal banyak kalangan, bukan hanya
dari kalangan wilayahnya sendiri di Kalimantan, tapi juga di luar Kalimantan
seperti Jawa dan lain-lain.
47
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang, h. 30. 48
Sebelum muktamar NU di palembang tahun 1952, Asmah Syahruni dipanggil oleh
pimpinan NU di wilayahnya atas usulan teman seprofesinya (seorang guru) yang bernama Asri.
Asri menceritakan beberapa kelebihan yang dimiliki Asmah sebagai seorang yang layak dijadikan
pemimpin dalam memajukan Muslimat NU di wilayah itu. Dalam sebuah pertemuan kecil 1952
dibentuklah ketua wilayah (saat itu di tubuh Muslimat NU belum ada ketua wilayah untuk Daerah
Kalimantan Selatan, walaupun sudah memiliki beberapa cabang). Asri mencalonkan Asmah Syahruni yang saat itu mengungsi di rumah dirinya untuk dijadikan sebagai ketua wilayah. Atas
dukungan Ahmad Efendi selaku ketua cabang NU sekaligus sebagai orang yang aktif di
departemen penerangan dan dukungan dari berbagai pihak termasuk tokoh-tokoh NU di wilayah
itu, akhirnya Asmah Syahruni siap untuk mengemban amanat berat sebagai ketua Wilayah
Muslimat NU. (Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008).
Tanggal 6 Juni 2008
Apalagi topik sentral yang dibahas dalam muktamar adalah persiapan
pemilu yang akan dilaksanakan pada 1955 dan ia dipilih sebagai anggota
Panitia Penyusunan Calon anggota konstituante dan DPR untuk maju dalam
pemilu mendatang. Tetapi pada akhirnya Muslimat menunjuknya sebagai
wakil ketua.
NU pada saat itu belum diperhitungkan sebagai partai yang dapat
memenangkan pemilu. Namun kenyataannya, NU menang mutlak di
Kalimantan Selatan. Dari enam calon masuk DPR Pusat, tiga kursi disapu oleh
NU. Masyumi memperoleh dua kursi dan satu kursi diraih Partai Nasional
Indonesia (PNI).49
Saat itulah ia terpilih menjadi anggota DPR dari daerah
Kalimantan Selatan. Akhirnya dia berangkat ke Jakarta. Pada tahun 1959 di
Jakarta, ia mulai aktif di Pucuk Pimpinan (PP) Muslimat NU di samping di
DPR. Kongres VII di Jakarta pada 1959 memberi kepercayaan pada dirinya
untuk menangani bidang sosial. Kemudian duduk sebagai Ketua II dalam
susunan PP Muslimat hasil Kongres VIII di Solo tahun 1962 dan Kongres IX
di Surabaya tahun 1967. Akhirnya pada tahun 1979, hasil kongres X di
Semarang mengangkatnya sebagai ketua umum.50
Titik balik seseorang dalam menempuh perjuangannya tentu tidak bisa
dilepaskan dari kekuatan mental, keberanian dan pengorbanan. Hal ini juga
dialami oleh Asmah Syahruni ketika Ia melangkahkan kakinya di Ibu Kota
demi cita-cita besar dalam perjuangannya.51
49
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang, h. 33, 36. 50
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 139. 51
Demi tercapainya cita-cita besar serta pemenuhan tanggung jawab sebagai anggota DPR
sekaligus aktivis Muslimat, Asmah Syahruni rela menjual rumahnya untuk mengongkosi
keberangkatan bersama suaminya. Ketika sesampainya di Jakarta Ia hanya memegang uang sisa
untuk mengontrak rumah tanpa perabotan, walaupun pada akhirnya, lewat pengurus NU di Jakarta
Dalam setiap kepemimpinan di organisasi manapun, sang pemimpin
sebagai individu pasti memiliki model atau ciri khas tersendiri. Begitu pun
dengan wanita yang satu ini. Banyak dari kalangan Muslimat yang
menyatakan bahwa model kepemimpinan Asmah Syahruni sangat luwes,
responsif dan sikap yang diambilnya dalam menanggapi berbagai persoalan
bangsa berorientasi pada pemahaman fiqh dan tradisi keilmuan ulama.
Sebagai organisasi otonom yang berada dalam tubuh NU, sikap ini mungkin
wajar. Hampir semua kebijakan Muslimat NU selalu berpedoman pada fatwa
ulama syuriah NU. Ketika NU menuntut pembubaran PKI tahun 1965 Asmah
Syahruni tampil memimpin demontrasi besar yang diikuti wanita-wanita ibu
kota, jauh sebelum muncul kesatuan-kesatuan aksi menuju Kostrad.52
Sebelum menginjakkan kakinya ke dunia politik, Asmah Syahruni
memang lebih dulu aktif di organisasi yang didirikan pada 1926 di Surabaya
itu. Dari situ ia mulai dikenal oleh banyak orang. Lewat karirnya yang lebih
awal sebagai pengurus Muslimat NU di wilayah Kalimantan Selatan, lalu dia
terpilih sebagai anggota konstituante dan DPR Pusat untuk menghadapi
Pemilu 1955 pada Muktamar NU di Surabaya. Akhirnya dia terpilih sebagai
salah satu kandidat anggota dewan untuk wilayah pilihan Kalimantan Selatan
dan dia berhasil meraih suara terbanyak. Dari situlah dia memulai karirnya di
dunia politik. Namun demikian, bukan berarti dia meninggalkan aktivitasnya
Syaifuddin Zuhri, Ia mendapat bantuan dari Wahab untuk dapat mengontrak rumah plus
perabotan, mengingat pada saat itu anggota DPR tidak diberikan fasilitas oleh pemerintah. Ia pun terharu kalau mengingat hal itu. (Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta
Pusat, 2008). Tanggal 6 Juni 2008 52
Di atas tank, Asmah Syahruni menyerukan kutukan terhadap PKI dan menuntut agar
ABRI bertindak untuk membubarkan PKI. Lih. Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun
Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa, P.P. Muslimat NU, Jakarta, 1996,
h. 140
sebagai salah satu aktivis perempuan di tubuh NU. Dia menjadi anggota
parlemen sekaligus menjadi anggota Pimpinan Pusat Muslimat NU.
Ketua PP Muslimat NU pada masa sesudahnya menyatakan bahwa
Asmah Syahruni adalah tokoh yang pemberani, pemimpin yang pintar dan
bijak serta memiliki rasa hormat kepada kawannya yang lebih tua dan
mencintai kawan-kawannya yang lebih muda. Keberaniannya dalam dunia
politik tidak dipungkiri lagi.
Kekuatan dan kiprahnya sebagai Pimpinan Pusat Muslimat NU
tercermin dalam pidatonya pada kongres Muslimat NU ke XII di Yogyakarta.
Dalam sambutannya, Asmah Syahruni menekankan pentingnya peranan
wanita dalam perjuangan untuk membangun bangsa. Dia memberi contoh
kepada para wanita untuk bisa bangkit dari kelemahan dan kebodohan. Ia
bertolak pada pengalaman-pengalaman wanita di luar Indonesia seperti
Benazir Butto sebagai seeorang wanita yang menjabat Perdana Menteri di
Pakistan, Cori Aquino sebagai seorang wanita yang menjabat presiden
Pilipina. Ia juga menekankan akan pentingnya organisasi wanita sebagai
wadah aspirasi kaum hawa dalam mengaplikasikan langkah perjuangannya.53
Kekuatan yang dimilikinya sebagai seorang ketua telah membawa organisasi
kewanitaan yang ada di tubuh NU ini mampu menyeimbangi kekuatan
organisasi wanita lain seperti Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah dari
Muhammadiyah, Organisasi Peristri dari Persis, wanita Syarikat Islam dari
Sarikat Islam (SI) dan lain-lain.
53 Keputusan Kongres Muslimat NU KE-XII, Yogyakarta, 1989, h. 165-1966.
Asmah Syahruni menjabat sebagai ketua PP Muslimat NU selama tiga
periode yaitu, periode pertama pada tahun 1979 dalam Kongres X di
Semarang, periode kedua pada tahun 1984 pada Kongres XI di Probolinggo
dan periode ketiga pada tahun 1989 pada Kongres XII di Yogyakarta. Ia
merupakan pemimpin ketiga dalam organisasi tersebut setelah Chodidjah
Dahlan dan Mahmudah Mawardi.54
D. Asmah Syahruni Di mata Sahabat
Sebagai seorang pimpinan selama tiga periode dalam Muslimat NU,
tentunya Asmah Syahruni telah memunculkan kesan tersendiri di mata orang
lain dan para sahabatnya. Aisyah Aminy sebagai seorang ketua PPP pada saat
itu menyatakan bahwa Asmah adalah seorang pejuang perempuan yang
membela dan mendukung kaum perempuan untuk menjadi pemimpin parpol.
Di samping itu, menurutnya Asmah adalah sosok yang bisa bergaul dengan
siapapun dan dari manapun latar belakangnya. Lain halnya dengan Aisyah
Aminy, Aisyah Hamid Baidlowi mengatakan bahwa Asmah adalah seorang
pemimpin yang luwes namun berwatak keras. Menurutnya, Asmah adalah
sosok pemimpian perempuan yang memiliki banyak gagasan, kritis dan
kooperatif terhadap pemerintah dan warga Muslimat NU.55
Hampir sama dengan pendapat Aisyah Aminy, Husin Kasah
mengatakan bahwa Asmah adalah seorang pelopor pejuang perempuan.
Menurut wakil gubernur Kalimantan Selatan ini Asmah adalah sosok seorang
politikus yang cukup disegani dan memiliki strategi yang cukup matang.
54
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 137. 55
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka
Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h 108
Sosok Asmah bagi masyarakat Kalimantan Selatan tidaklah asing, karena
pengaruhnya dalam organisasi sosial politik dan kemasyarakatan sangat
membekas.56
Lathifah Hasyim berpendapat bahwa Asmah merupakan sosok yang
energik dan dinamik. Dalam setiap pengambilan keputusan ia mampu
menampung masukkan dari berbagai pendapat dan mencernanya dengan baik.
Menurutnya Asmah adalah pemimpin yang pintar dan bijak serta tetap hormat
kepada kawan-kawannya yang lebih tua dan sangat menghormati kawan-
kawannya yang lebih muda.57
Lain lagi dengan kesan yang disampaikan oleh Maftuchah Yusuf.
Menurut mantan ketua PP Aisyiah dan mantan anggota DPR ini Asmah adalah
sosok perempuan yang mampu menjinakkan pemimpin laki-laki dan teguh
dalam memegang prinsip. Hal ini juga senada dengan pendapat Moeinah
Wahyudi (mantan anggota DPR RI) dan Slamet Effendy Yusuf (Mantan
Anggota DPR RI dan mantan ketua PP GP Ansor).58
Pendapat senada disampaikan juga oleh Aisyah Hamid Baidlowi. Ia
menyampaikan bahwa Asmah merupakan tipe perempuan pejuang yang
mampu menunjukkan kekuatannya di muka publik. Ia terkenang saat Asmah
dengan bijak menasehatinya saat ia menggantikan Asmah sebagai pemimpim
Muslimat NU di periode 1995-2000. Walaupun Asmah memiliki sifat yang
56
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka
Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h 138 57
Wawancara Pribadi dengan Lathifah Hasyim ( Kalibata, Jakarta Selatan, 2008). Tanggal 24 april
2008 58
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka
Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h 158
keras, serius, dan sering tidak cocok dengan Gus Dur, namun ia mampu
memisahkan antara urusan politik dan pribadi.59
Salahuddin Wahid selaku ketua PBNU dan ketua Badan Pendiri Forum
Indonesia Satu menyatakan bahwa Asmah Syahruni adalah tokoh pejuang
gerakan perempuan berparadigma Islam. Menurutnya semenjak Asmah
memangku jabatan ketua PP Muslimat NU, gerakan untuk memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan martabat perempuan kian meluas
dan kian semarak. Kepemimpinan dan ketokohan Asmah di kalangan
Muslimat NU sangat terasa. Ia memiliki ketegasan dan keteguhan pendirian.
Ia bersifat proaktif tetapi tetap teguh mengikuti aturan dan ketentuan yang
masih berlaku.60
Terlepas dari beberapa pendapat di atas mengenai Asmah Syahruni,
kesan yang paling menonjol tokoh perempuan yang satu ini di mata orang lain
atau teman terdekatnya adalah sikap yang dimilikinya sebagai ciri khas
seorang Asmah yaitu; seorang yang pemberani, teguh pendirian dan kuat
dalam prinsip.
Namun yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa tak ada satupun
manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Betatapun seorang Asmah Syahruni banyak memiliki kelebihan di mata orang
lain atau para sahabat, itu tidak bisa menghindari bahwa ia adalah manusia
biasa yang masih memiliki kekurangan.
59
Wawancara pribadi dengan Aisyah Hamid Baidlowi ( Kemang, Jakarta Selatan).
Tanggal 10 Maret 2008 60
Hal ini terlihat ketika Asmah menolak tawaran untuk duduk dalam Dewan Syuro DPP
PKB. Ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa ia masih menjadi salah satu ketua DPP PKU..
E. Gambaran Singkat Pengalaman Asmah Syahruni dalam
Kepemimpinannya Selama Tiga Periode
Sebagai seorang pimpinan organisasi selama tiga periode, tentunya
Asmah mengalami berbagai macam peristiwa dari satu periode ke periode
berikutnya selama ia menjabat. Dan dari periode satu ke periode yang lainnya,
tentunya memiliki persoalan yang berbeda sesuai dengan kondisi yang
mengitarinya.61
Walaupun pada periode pertama kepemimpinannya masih
perupakan kelanjutan dari program kerja yang belum sempat terlaksanakan
oleh pimpinan pada periode sebelumnya. Namun pada periode kedua dan
ketiga jabatannya banyak hal-hal yang diambil oleh Asmah sebagai benang
merah untuk merealisasikan program-programnya sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat dan negara pada saat ia masih menjabat sebagai PP Muslimat
NU.62
Pada periode pertama kepemimpinannya, Asmah Syahruni lebih
menekankan kegiatannya pada konsolidasi. Persoalan yang dihadapai pada
periode pertama ini adalah hilangnya beberapa cabang kantor Muslimat. Ini
terjadi karena adanya pengelompokan wanita pegawai. Dari mulai istri-istri
pegawai, lurah, dan guru. Mereka semua dikelompokkan dan dijadikan satu
wadah menjadi PKK. Pada saat itu ada larangan bagi wanita-wanita tersebut
untuk ikut dalam organisasi wanita NU (Muslimat NU), padahal banyak dari
wanita-wanita tersebut adalah orang NU, dan banyak dari mereka yang sudah
menjadi anggota Muslimat NU terpaksa keluar karena adanya larangan.
Lambat laun, hilanglah beberapa cabang Muslimat akibat dari kebijakan
61
Lih. Mustafa Helmy, Saifullah Ma’shum, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas
Zaman, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. 206 62 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 140.
tersebut. Alasan inilah yang mendasari Asmah Syahruni pada periode
pertamanya lebih pada kegiatan konsolidasi. Walaupun kegiatan ini dilakukan
dengan cara diam-diam.
Pada periode kedua kepemimpinannya, program yang direalisasikan
Asmah Syahruni penekanannya lebih pada pemeliharaan cabang-cabang baru,
menekankan kembali Muslimat NU sebagai organisasi yang mampu berdiri
sendiri, pemantapan organisasi, mengadakan kegiatan yang bertaraf nasional
dan melakukan evaluasi.
Adapun pada periode ketiga kepemimpinannya, ia lebih menekankan
program kegiatannya pada suatu kelanjutan dari program periode kedua, yaitu
pemantapan organisasi. Namun program utama dari perode ini tetap
dijalankan, yaitu mengembalikan program-program yang menjadi andalan
Muslimat NU diantaranya: Kegiatan dalam bidang pendidikan, bidang dakwah
dan bidang sosial. Pada masa kepemimpinannya, Asmah Syahruni berhasil
mendirikan beberapa yayasan yang dimiliki Muslimat NU; Yayasan Haji,
Yayasan Sosial dan lain-lain.63
Selain itu, hubungan kelembagaan yang dibangun pada masa
kepemimpinannya juga meningkat dari tahun ke tahun, bukan hanya dari
frekuensi dan kuantitas, tapi juga kualitasnya. Berkat kepemimpinannya,
banyak pihak menaruh kepercayaan terhadap Muslimat NU untuk membuka
hubungan kerja sama. Dengan pemerintah, Muslimat NU menempatkan diri
sebagai mitra pembangunan bangsa dalam berbagai bidang. Kepercayaan itu
diwujudkan dalam berbagai bentuk kerja sama. Bahkan, Bank Dunia
63
Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008. tanggal 6
Juni 2008
menawarkan penanganan salah satu segmen kegiatan program desa tertinggal.
Kepercayaan juga datang dari lembaga-lembaga donor dalam dan luar negeri,
yang kemudian membantu program-program Muslimat. Di lingkungan
organisasi-organisasi wanita, Muslimat NU juga terlibat secara aktif dalam
KOWANI, badan federasi yang dibentuk pada Kongres Perempuan Indonesia
yang pertama pada 22 Desember 1928. Pada tahun 1985, KOWANI
memberikan penghargaan kepada Asmah sebagai “Tokoh Wanita Indonesia”,
atas jasa dan pengabdiannya dalam meningkatkan harkat dan martabat kaum
wanita.64
Banyak hal yang mendasari langkah-langah Asmah Syahruni dalam
Muslimat NU. Langkah-langkah itu juga sesuai dengan tujuan organisasi
tersebut di antaranya :
1. Melaksanakan tujuan jam’iyah NU di kalangan kaum wanita untuk
mengadakan dan mengusahakan ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah
dalam masyarakat.
2. Meningkatkan kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara bagi kaum
wanita Islam Indonesia.
3. Menyadarkan wanita Indonesia akan hak dan kewajibannya, baik sebagai
pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
4. Meningkatkan kemampuan kaum wanita untuk lebih berperan dalam
pembangunan bangsa dan negara.
Beberapa hal yang paling menonjol berkaitan dengan ranah perjuangan
yang dimainkan wanita asal Kalimantan Selatan ini adalah penekanannya pada
64 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 140
independesi organisasi Muslimat NU. Ia berupaya untuk menjadikan
organisasi ini menjadi sebuah organisasi yang independen tanpa
menggantungkan diri dengan NU. Ia memulainya dengan merubah mental
wanita NU dari sikap ketergantungannya kepada NU berubah menjadi sikap
yang mampu berdiri sendiri. Apa yang telah melekat dalam dirinya adalah
sebuah prinsip bahwa “kemampuan harus dibangun dari diri sendiri, bukan
mendompleng pada orang lain”.65
Adapun salah satu hal yang menonjol berkenaan dengan persoalan
yang dihadapi Asmah Syahruni ketika ia menjabat sebagai ketua PP Muslimat
NU adalah ketika NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan meninggalkan
kancah politik praktis tahun 1984. Asmah sebagai salah seorang tokoh
perempuan yang mendukung penuh keterlibatan perempuan dalam politik
mengalami dilema. Di satu sisi ia dituntut untuk menarik kader-kadernya dari
gelanggang politik praktis, di sisi lain dia ingin membiarkan saja tapi dengan
konsekuensi kehilangan kader-kader terbaiknya karena harus hengkang dari
Muslimat. Dan persoalan inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik
internal yang cukup tajam dalam organisasi tersebut. Walaupun pada akhirnya
ia menerima dengan arif keputusan NU untuk kembali ke Khittah dan
melepaskan kader-kader terbaiknya untuk mengabdikan dirinya di medan
yang lain.66
65
Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008. tanggal, 6
Juni 2008 66 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 tahun Muslimat NU, h. 141.
Sikap Asmah di atas terlihat dalam laporan pertanggung jawabannya
pada Kongres Muslimat NU XII.67 Dari keputusan yang diambil terkait
kembalinya Kittah NU 1926, nampak sikap Asmah yang selalu berhati-hati
dalam melakukan kebijakan pada kadernya sebagai ketua PP Muslimat.
Terkait dengan hal di atas, nampak pula dalam laporannya pada
Kongres XIII tahun 1995, dimana ia mulai mengakhiri jabatannya sebagai
ketua PP Muslimat NU dalam tiga periode berturut-turut. Beberapa point
penting yang disinggung dalam laporannya adalah :
1. Pemasyarakatan Khittah 1926 sejatinya dihayati oleh pelaksana organisasi
maupun anggota. Pengertian Khittah sendiri secara istilah masih perlu
ditingkatkan sesuai dengan perkembangan bahasa dan aspek-aspek hokum
yang ditimbulkannya.
2. Salah satu tujuan Khittah 1926 melepaskan organisasi dari tingkah laku
politik praktis masih perlu pendekatan psikologis dengan pribadi-pribadi
yang terkait dari unsur kepemimpinan organisasi dan unsur-unsur pribadi
yang memilih minat terhadap politik praktis.
3. Khittah 1926 dalam pengertian secara fisiknya tetap memberikan
kesempatan kepada para anggotanya untuk memilih aliran politik dalam
pemilu, baik sebagai pemilih juga aktif dalam kepemimpinan aliran politik
yang bersangkutan.68
67
Upaya memasyarakatkan Khittah 1926, menjaga jarak yang sama dengan tiga golongan
politik pada pemilu 1987, tetapi tetap berpartisipasi sebagai warga negara dalam pemilu (tidak golput) dan usaha memelihara persatuan dan kesatuan organisasi. Sebagai organisasi wanita,
Muslimat NU senantiasa berusaha menjaga kedudukan Muslimat sebagai bagian dari organisasi
keagamaan. Lih. Laporan Pertanggung Jawaban PP Muslimat NU pada Kongres XII,
Kaliurang, Yogyakarta, 1989, h. 11. 68
Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU pada Kongres Muslimat NU XIII,
Jakarta, 1995, h. 9.
Sikap Asmah dalam Kongres XIII ini nampak keberatan akan tidak
adanya keterlibatan sama sekali antara kader atau anggota Muslimat dengan
politik. Sejak awal semangatnya untuk memajukan kaum wanita dalam
berbagai bidang memang tidak dipungkiri. Maka dari itu, sebuah keberhasilan
yang menonjol selama ia memimpin organisasi wanita Islam ini adalah
kemampuannya dalam mengangkat organisasi itu sejajar dengan organisasi-
organisasi wanita lainnya.69
Penekanan ini nampak dalam Kongresnya yang
ke-12.70
Ia berhasil membawa Muslimat pada suatu terminal perkembangan di
mana anggota-anggotanya tidak merasa kecil di tengah-tengah pergumulan
wanita di Tanah Air. Masa-masa krisis yang menyertai perkembangan
Muslimat NU berhasil dilewatinya dengan selamat, tanpa gejolak. Hubungan
kelembagaan dengan berbagai pihak terbina dengan baik. 71 Tidak sampai di
situ, ia juga berhasil membawa Muslimat NU menjadi organisasi yang otonom
dan mandiri.
69 Saifullah Ma,shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 137. 70
Sebagai organisasi wanita, Muslimat NU senantiasa berusaha menjaga keseimbangan
antara Muslimat NU sebagai organisasi dengan kedudukan Muslimat sebagai bagian dari organisasi keagamaan Islam. Diskusi-diskusi mengenai kedudukan mitra sejajar dengan kaum pria,
pembahasan peran ganda wanita, perubahan nilai disebabkan peningkatan peran wanita baik dalam
karis maupun di lingkungan kemasyarakatan, kemajuan di bidang IPTEK, suasana alih teknologi
dan sebagainya diikuti oleh Muslimat NU. Lih. Laporan Pertanggung Jawaban P.P. Muslimat NU
pada Kongres Muslimat NU XII, Kaliurang, Yogyakarta, 1989, h. 11. 71 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 137.
BAB IV
PERANAN MUSLIMAT NU PADA MASA KEPEMIMPINAN
ASMAH SYACHRUNI
Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa kepemimpinan
Asmah Syahruni dalam Muslimat NU cukup lama yaitu, selama tiga periode.
Periode pertama pada tahun 1979 dalam Kongres X di Semarang, periode kedua
pada tahun 1984 pada Kongres XI di Probolinggo dan periode ketiga pada tahun
1989 pada Kongres XII di Yogyakarta.72 Peranannya dalam Muslimat NU
tentunya bisa dilihat dalam tiga periode ini, dimana ia menjabat sebagai pucuk
pimpinannya. Berikut adalah beberapa peranan yang dimainkan oleh Asmah
Syahruni. Namun, sebelum menjelaskan mengenai bidang-bidang garapan yang
dimainkan Asmah Syahruni, penulis akan mencoba menguraikan terlebih dahulu
gambaran singkat peranan Asmah Syahruni dari satu periode ke periode
berikutnya.
A. Periode Pertama Kepemimpinannya
Secara singkat telah dijelaskan dalam bab tiga bahwa pada periode
pertama kepemimpinannya, Asmah Syahruni lebih menekankan kegiatannya
pada konsolidasi. Karena bertepatan dengan masa awal kepemimpinannya itu,
Muslimat NU mengalami persoalan intern yang harus dibenahi dari dalam.
Namun demikian, bukan berarti hal-hal yang menyangkut dengan program-
program Muslimat itu diabaikan.
72
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat Untuk Agama,
Negara dan Bangsa, P.P. Muslimat NU, Jakarta, 1996, h. 137.
Kongres X di Semarang telah menetapkan program Bidang Sosial
Kesehatan dan mengamanatkan kepada PP Muslimat NU Bidang Sosial dan
segenap jajarannya untuk melaksanakan program tersebut. Dalam periode
1979-1984, kegiatan di bidang sosial-kesehatan makin berkembang dan
mantap, penghayatan terhadap tugas-tugas sosial-kesehatan makin mendalam.
Sejak diputuskan dalam kongres VIII bahwa tanggal 10 Muharam
dijadikan titik awal langkah sosial Muslimat NU, maka PP Muslimat Bagian
Sosial senantiasa memberikan tuntunan dan petunjuk sehingga Hari Sosial
Muslimat NU telah memasyarakat dan bahkan membudaya di lingkungan
warga Muslimat.
Di luar itu, pada periode pertama kepemimpinannya, Asmah
Syahruni juga telah menampilkan peranannya dalam pelaksanaan program
selain yang disebutkan di atas. Di antara peranan penting yang dimainkan
Asmah Syahruni pada periode pertama kepemimpinannya yaitu:
1. Menyelenggarakan Konferensi antar wilayah untuk mentakhfidz
keputusan Kongres pada 25 s/d 27 Maret 1981 diteruskan dengan Diskusi
Panel tentang :
a. Undang-Undang Perkawinan dan pelaksanaannya
b. Kedudukan wanita dalam Hukum Islam dan Hukum Negara
2. Bagian Dakwah telah mengadakan Lokakarya Peningkatan Dakwah
Wanita Muslimat.
3. PP. Muslimat NU menerima tawaran kerja sama dari The Pathfinder Fund
Indonesia dalam upaya memasyarakatkan Undang-Undang Perkawinan.
Oleh PP. Muslimat NU ini dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk
mengadakan peninjauan ke daerah-daerah.73
Adapun terkait peranannya dalam bidang-bidang garapannya yang
merupakan program inti dari Muslimat NU akan dibahas paba sub-bab di
bawah. Karena bagaimanapun juga, ketika kita bicara mengenai peranan yang
dimainkan oleh seorang tokoh dalam sebuah periode dalam sebuah organisasi,
tentunya tak bisa dilepaskan dari peranannya untuk melaksanakan program-
program inti dari organisasi itu sendiri. Betapapun ada beberapa kegiatan yang
menonjol dalam suatu periode tertentu, ini tidak bisa menghalangi organisasi
ini untuk melaksanakan program inti yang telah ditetapkan.
Begitu juga dengan seorang Asmah Syahruni yang merupakan Pucuk
Pimpinan organisasi kewanitaan Islam ini. Dalam setiap periode, kendatipun
mengalami berbagai macam persoalan yang mengitari organisasinya, ia tetap
melaksanakan program-program utama dari organisasi itu di samping
berimprovisasi untuk melaksanakan program lain yang sesuai dengan tuntutan
isu yang berkembang, baik lokal maupun nasional.
B. Periode Kedua Kepemimpinannya
Periode kedua kepemimpinan Asmah Syahruni memperlihatkan
kegiatannya pada cakrawala yang lebih luas. Tidak hanya pada batas-batas
untuk melanjutkan program-program baku yang sudah ditetapkan dalam
organisasi seperti kegiatan di bidang sosial, kesehatan, dakwah dan lain-lain.
Lebih dari itu, isu-isu politik dan isu-isu penting terkait adanya Khittah NU
73
Laporan Pertanggungjawaban PP. Muslimat NU Periode 1979-1984, Probolinggo Jawa
Timur, 1984.
1926, membawanya dalam suatu tindakan di mana ia harus mampu
memposisikan organisasi yang dipimpinya itu berada dalam posisi yang
proporsional.
Dalam laporannya, ia menyatakan; upaya memasyarakatkan Khittoh
NU 1926, menjaga jarak yang sama dengan tiga golongan politik pada pemilu
1987, tetapi tetap berpartisipasi sebagai warga negara dalam pemilu (tidak
golput) dan usaha memelihara persatuan dan kesatuan organisasi. Sebagai
organisasi wanita, Muslimat NU senantiasa berusaha menjaga keseimbangan
antara Muslimat NU sebagai organisasi, dengan kedudukan Muslimat NU
sebagai bagian dari organisasi keagamaan Islam.
Dalam realisasi kembali ke Khittah 1926, PP. Muslimat berusaha
menjelaskan pengertian itu, karena ada pihak Muslimat yang mengaggap
bahwa dengan Khittah tersebut Muslimat tidak usah mengurus organisasi
secara khusus sebab semuanya akan diurus oleh NU sampai kepada pemberian
Tanda Anggota. Sementara di lain pihak NU yang mengharuskan agar segala
yang menyangkut Muslimat diurus oleh NU saja mulai dari pembentukan
cabang-cabang baru.
Asmah Syahruni sebagai pimpinan Muslimat yang memiliki cita-cita
penuh dalam kemandirian organisasi yang dipimpinnya itu dengan sekuat
tenaga memperkuat organisasi ini agar tetap menjadi badan otonom. Dengan
keberhasilannya mempertahankan otonomisasi organisasi tersebut, maka
diadakanlah kerjasama dengan organisasi otonom/lembaga NU seperti
lembaga pendidikan, yayasan dan lain-lain.
Hal-hal yang terkait dengan program jangka panjang antara lain :
1. Mengusahakan terselenggaranya Penataran P4 bagi anggota Muslimat NU.
2. Mengadakan kursus kader usaha bagi anggota Muslimat NU.
3. Mengadakan kursus administrasi kesekretariatan .
4. Mengadakan kursus manajemen dan kursus lainnya.
5. Mengintensifkan kader Muslimat NU.
6. Mengadakan supervisi ke TK Muslimat.
7. Melaksanakan tentang struktur/mekanisme kerja di bidang pendidikan
yang disesuaikan dengan struktur jam’iyah NU.
Adapun hal-hal yang terkait dengan program jangka pendek adalah :
1. penyelenggaraan KPPD (Kursus Pembinaaan Pengetahuan Dasar) KEJAR
“Kerja dan Belajar”.
2. Memasyarakatkan Program PKK.
3. Penyuluhan Undang-Undang perkawinan melalui pengajian dan kursus
serta penataran bagi penyelenggaraan TK di cabang-cabang.
Di atas merupakan gambaran umum dan dan khusus mengenai
kegiatan yang dijalankan oleh organisasi.74
Selain beberapa kegiatan di atas yang direalisasikan Asmah Syahruni
pada periode kedua, program lain yang direalisasikannya pada periode itu
adalah pemeliharaan cabang-cabang baru, menekankan kembali Muslimat NU
sebagai organisasi yang mampu berdiri sendiri, pemantapan organisasi,
mengadakan kegiatan yang bertaraf nasional dan melakukan evaluasi seperti
apa yang telah disebutkan dalam bab tiga.
74
Laporan Pertanggungjawaban PP. Muslimat NU pada Kongres Muslimat NU XII,
Kaliurang, Yogyakarta, 1989, h. 14, 23, 25.
C. Periode Ketiga Kepemimpinannya
Masa bakti 1989-1995 yang merupakan periode ketiga dalam
kepemimpinan Asmah Syahruni ditandai dengan berbagai peristiwa nasional
kenegaraan maupun perkembangan di lingkungan khusus.
Pemasyarakatan Khittah 1926 makin dihayati oleh pelaksana
organisasi maupun oleh anggota. Salah satu tujuan Khittah 1926 melepaskan
organisasi dari tingkah laku politik praktis masih perlu pendekatan psikologis
dengan pribadi-pribadi yang terkait dari unsur kepemimpinan organisasi dan
unsur-unsur pribadi yang memilih minat terhadap politik praktis.
Khittah NU dalam pengertian secara fisiknya tetap memberikan
kesempatan kepada para anggotanya untuk memilih aliran politik dalam
pemilu, baik sebagai pemilih juga aktif dalam kepemimpinan aliran politik
yang bersangkutan.
Konsolidasi yang dilakukan di beberapa daerah luar Jawa telah
mampu membangkitkan rasa percaya diri kepada anggota masyarakat warga
Muslimat NU, sehingga daerah-daerah yang sebelumnya dianggap rawan
konsolidasi berjalan dengan lancar.
Keikutsertaan Muslimat NU dalam badan-badan, lembaga-lembaga
kemasyarakatan seperti MUI, Forum Lembaga Dakwah, Persaudaraan Haji
Indonesia dan sebagainya telah memberi arti penting akan kehadiran
organisasi ini.
Kerjasama dengan LSM, Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan,
pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pandapatan keluarga dan peningkatan
Sumber Daya Manusia (SDM) meningkat tajam, baik dari program fisik,
seperti pemasyarakatan vitamin A, operasi mata katarak, pemberian modal
kerja, pemberian alat medis di Rumah Bersalin di lingkungan Muslimat NU.
Jaringan kerjasama dengan LSM dalam negeri maupun dengan badan
atau lembaga bantuan luar negeri telah menimbulkan dampak yang cukup
mengesankan, baik tentang hasil yang dirasakan secara fisik maupun dampak
yang diperoleh oleh organisasi.
Program yang menyangkut pelayanan masyarakat seperti
peningkatan pengetahuan calon jama’ah haji, peningkatan dakwah yang
sifatnya monolog menjadi dakwah yang dialogis dengan materi dakwah yang
bervariasi, misalnya memberikan jasa konsultasi keluarga, perkawinan,
pertanahan, waris dan lain-lain.75
Di atas adalah gambaran beberapa kegiatan yang dilaksanakan
Muslimat NU pada periode ketiga. Namun secara keseluruhan, pada periode
ini dapat dikatakan lebih menekankan program kegiatannya pada suatu
kelanjutan dari program periode kedua, yaitu pemantapan organisasi. Namun
program utama dari perode ini tetap dijalankan, yaitu mengembalikan
program-program yang menjadi andalan Muslimat NU di antaranya: Kegiatan
dalam bidang pendidikan, bidang dakwah dan bidang sosial.
Ketiga bidang itu merupakan harga mati bagi organisasi ini. Karena
sejak didirikannya hingga sekarang, organisasi wanita ini tidak pernah
melepaskan kegiatannya dari ketiga bidang utama itu.
75
Laporan Pertanggungjawaban PP. Muslimat NU Pada Kongres XIII Periode 1989-
1994, H. 9, 10, 12, 13.
Selanjunya, sebagai interpretasi terkait peranan yang dimainkan
Asmah Syahruni selama ia menjabat sebagai PP. Muslimat NU, akan dibahas
pada sub-bab di bawah.
a) Bidang Pendidikan
Seperti dalam organisasi lainnya bahwa setiap pimpinan pada
masing-masing periode bisa dipastikan memiliki perbedaan dalam
beberapa hal yang paling menonjol. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa
pimpinan dalam periode tersebut terkadang hanya melanjutkan atau
menyempurnakan program yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh
pimpinan dalam periode sebelumnya. Hal ini juga terjadi dalam
kepemimpinan Muslimat NU pada masa Asmah Syahruni.
Namun, yang menarik dalam organisasi kewanitaan ini adalah
adanya tiga periode dalam kepemimpinan oleh orang yang sama. Artinya
orang tersebut memegang Pucuk Pimpinan selama tiga periode berturut-
turut. Ini bisa dikatakan bahwa dalam periode pertama jabatannya sebagai
pimpinan, Ia hanya melanjutkan atau menyempurnakan program-program
yang telah dilaksanakan oleh pimpinan pada periode sebelumnya. Asmah
Syahruni sebagai orang yang menjabat ketua umum dalam periode ini
menyatakan dalam laporan pertanggung jawabannya dalam periode
1979/1984 (periode ini adalah periode di mana Ia menjabat sebagai ketua
umum yang pertama Muslimat NU) pada Kongres Muslimat NU ke-XI
bahwa periode ini merupakan (masih berada) pada sisa-sisa transisi
sebagian permasalahan yang belum terselesaikan dalam periode
sebelumnya. Periode ini juga merupakan sebagai penyempurnaan program
kerja, misalnya tentang atribut Taman Kanak-Kanak, tentang sikapnya
terhadap PKK dan lain-lain.76
Berbicara mengenai pendidikan, keberadaan Muslimat NU
memang tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Sejak semula, dunia
pendidikan mempunyai tempat tersendiri dan perhatian khusus di
organisasi ini. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) Muslimat NU dengan tegas dinyatakan bahwa salah satu tujuan
didirikannya organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan
derajat kehidupan masyarakat, terutama kaum wanita Indonesia. Hal ini
tentunya harus ditunjang dengan pendidikan.
Pandangan Muslimat NU tentang pendidikan tercermin dalam
hasil kongres pertama. Pembangunan materil hanya berhasil jika
diimbangi dengan pembangunan spiritual. Oleh karena itu harus ada usaha
untuk mengintensifkan dan memperluas lembaga-lembaga pendidikan bagi
kaum wanita untuk menyadarkan para wanita Indonesia akan
kewajibannya agar menjadi ibu yang sejati. Sehingga mereka dapat ikut
serta memperkuat dan membantu pekerjaan NU dalam menegakkan dan
melestarikan agama Islam.77
Usaha bidang pendidikan secara lebih jelas
lagi dirumuskan dalam kongres ke III. Dalam kongres yang berlangsung di
Jakarta, 30 April – 3 Mei 1950 disahkan orientasi program dalam
menangani kegiatan pendidikan khususnya pendidikan bagi anak-anak dan
kaum wanita dalam urgensi programnya.78
76
Asmah Syahruni, Laporan Pertanggung Jawaban P.P. Muslimat NU Periode
1979/1984 pada Kongres Muslimat NU KE-XI, Probolinggo, 1984. h. 3. 77
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 31 78 Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, P.P. Muslimat NU Jakarta, 1979. h. 79
Dalam Kongres VIII di Solo Desember 1962, diputuskan
program organisasi bidang pendidikan. Pada tiap-tiap cabang Muslimat
NU harus diusahakan paling tidak berdiri satu Sekolah Taman Kanak-
Kanak (STK). Pada kongres ini Muslimat NU juga membuat rekomendasi
yang ditujukan pada LP Ma’arif NU agar lembaga itu mendirikan akademi
dakwah.79
Hal ini bertujuan untuk menciptakan kader-kader dakwah yang
pada saat itu dirasa sangat penting. Saat itu Muslimat telah memiliki 400
STK di seluruh Indonesia.80
PP LP Ma’arif dalam konferensi besarnya tanggal 30 Agustus
1969 menyerahkan tugas pengelolaan taman kanak-kanak kepada
Muslimat NU. Saat itu Muslimat telah lama mengintruksikan kepada
cabang-cabangnya untuk mensukseskan pendidikan pra-sekolah dengan
mendirikan STK Muslimat NU disetiap ranting. Dasar pemikiran ini
adalah karena taman kanak-kanak merupakan lembaga pendidikan yang
pertama kali memberikan bimbingan dan pembinaan rohani maupun
jasmani untuk perkembangan anak di bawah tujuh tahun secara
sistematis.81
Pada tahun 1987 Muslimat menempuh Langkah strategis dan
berjangka panjang. Untuk menangani kegiatan bidang pendidikan yang
semakin besar jumlah dan tuntutannya, Muslimat membentuk Yayasan
Bina Bakti Wanita. Yayasan ini pada mulanya memang hanya menangani
kegiatan pendidikan dan latihan keterampilan bagi perempuan, hasil
79
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 34 80
Ali Zawawi, dkk, Asmah Sjahruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman dari kalangan
Nahdlatul Ulama, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. 65 81 Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 133
kerjasama Muslimat dengan Depnaker. Namun, sejak 12 Oktober 1990,
yayasan ini tidak hanya berfungsi mengelola kegiatan pendidikan dan
latihan keterampilan, tapi juga mulai dilimpahi tugas untuk mengelola
seluruh kegiatan pendidikan yang bernaung di bawah bendera Muslimat
NU. Untuk keperluan itu, maka Yayasan Bina Bakti Wanita pada tanggal 1
April 1992 diubah namanya menjadi Yayasan Pendidikan Islam Muslimat
NU Bina Bakti Wanita (YPM NU Nabawi). Sampai tahun 1995, yayasan
ini telah berkembang di enam Provinsi dan delapan Kabupaten. Untuk
menjalankan program bidang pendidikan, yayasan menjalin kerjasama
dengan beberapa instansi dan LSM di dalam dan luar negeri sebagai mitra,
seperti Depnaker, YIS, Yayasan Melati, Unicef, AIDAB, HKI, dan WHO.
82
Pada masa kepemimpinan Asmah Syahruni tahun 1989,
Muslimat NU telah berhasil membangun 3.916 buah TK dan 56 buah
Diniyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian pada masanya,
Muslimat NU telah mengikutsertakan anggotanya untuk mengikuti kursus
administrasi kesekretarisan yang diadakan KOWANI.83
Setelah ia
melepaskan jabatannya pada tahun 1995 jumlahnya meningkat menjadi
4.491 STK dan 1.525 TPQ.
Pada tahun 1993, Muslimat menyusun buku panduan
penyelenggaraan STK dan TPQ serta panduan pelaksanan pesantren kilat.
Selain itu juga menyelenggarakan lokakarya pembangunan dan pembinaan
pendidikan Muslimat NU. Keinginan Muslimat untuk bisa
82
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 41 83
Laporan Pertanggung Jawaban PP MUslimat NU Pada Kongres Muslimat NU Ke XII,
Kaliurang, Yogyakarta, 1989.
menyelenggarakan kegiatan pendidikan selain STK dan TPQ cukup besar,
terutama untuk bidang-bidang pendidikan yang berkaitan dengan
kebutuhan pengembangan sumber daya manusia wanita.
Selain lembaga pendidikan formal, Muslimat juga
menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan non-formal. Misalnya
Muslimat menjalin kerjasama dengan pengasuh pesantren putri untuk
meningkatkan pendidikan dan pengajaran di kalangan santri putri.
Pesantren putri merupakan basis Muslimat dan para santrinya merupakan
calon kader-kader pimpinan Muslimat NU.
Kegiatan pendidikan yang dikelola Muslimat NU secara garis
besarnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu TK/TPQ dan Madrasah Diniyah
(MD), Majlis Taklim Ibu-ibu dan pelatihan keterampilan. Untuk
menyelenggarakan kegiatan pendidikan ini, Muslimat NU bekerjasama
dengan Departemen tenaga Kerja Republik Indonesia dan Lakpesdam
(Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia).
b) Bidang Dakwah
Dakwah adalah salah satu karakteristik yang sangat menonjol
pada NU, begitupun pada Muslimat NU. Tradisi kehidupan mimbar sangat
identik dengan warga nahdliyin. Banyak Da’iyah yang ternama di
Muslimat. Penggalangan potensi dalam bidang ini menjadi salah satu
kegiatan yang juga memperoleh perhatian intensif dari Muslimat NU
untuk menunjang program penyuluhan dan bimbingan keagamaan di
kalangan wanita Indonesia. Peranan yang dimainkan Muslimat NU pada
masa Asmah Syahruni juga tidak lepas dari kegiatan dalam bidang dakwah
tersebut.
Pada tanggal 30 April 1981, dibentuk Perhimpunan Dakwah
Indonesia (NADWAH) untuk menunjang kegiatan Nahdliyin. Namun
sangat disayangkan pada saat itu wadah ini belum terbina dengan baik
mengenai nama maupun mengenai pembinaan wadah ini. Walaupun belum
terbina dengan baik, namun dibeberapa daerah telah ada cabang
NADWAH yang berjalan dengan baik.84
Untuk menggalang potensi dalam bidang ini dan untuk
mengefektifkan dalam bidang dakwah, maka para da’iyah Muslimat NU
bersama Fatayat NU pada tahun 1984 dalam Kongres XI di Paiton, Jawa
Timur membentuk Himpunan Da’iyah Muslimat dan Fatayat (HIDMAT)
NU. Melalui wadah inilah Muslimat NU secara terencana dan intensif
melakukan kegiatan penerangan dan dakwah di tengah-tengah masyarakat.
Pengajian atau tabligh akbar merupakan salah satu kegiatan rutin yang
diselenggarakan wadah ini.
Bagi Muslimat NU, dakwah merupakan panggilan hidup untuk
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu forum-forum
pengajian, ceramah-ceramah, dan sejenisnya berkembang sangat pesat.
Bahkan forum seperti itu pada mulanya dinilai cukup efektif untuk
menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengadakan transformasi sosial di
kalangan warga Muslimat NU.
84 Laporan Pertanggung Jawaban PP. Muslimat NU Periode 1979-1984 h. 6
Beberapa kegiatan yang dilakukan HIDMAT NU, antara lain
pengajian rutin, lailatul ijtima’, peringatan hari-hari besar Islam, tahlil
kubro, tabligh akbar, dan kegiatan dakwah Islamiyah lainnya. Untuk
mengefektifkan kegiatan dakwah, selain menempuh jalur penerangan dan
dakwah secara oral, Muslimat juga memanfaatkan media penerbitan.
Selain mengadakan orientasi dan kursus junalistik, PP Muslimat NU
pernah menerbitkan Risalah Muslimat NU, Gema Muslimat dan Gema
Harlah Muslimat serta bulletin Yasmin yang diterbitkan secara berkala.
Pemberitaannya mencakup segala bidang dan perkembangan-
perkembangan Muslimat NU, serta sebagai sarana memelihara
kelangsungan komunikasi antara pusat dan daerah. Pada periode ini,
Muslimat pernah mendapat kesempatan mengikuti seminar Dakwah
Wanita di Kuala Lumpur yang diwakili oleh Aisyah Dahlan yang pada saat
itu menjabat sebagai Wakil Ketua III PP Muslimat juga ketua bidang
dakwah.85
Sejauh mana mengukur keberhasilan Asmah Syahruni dalam
kepemimpinan Muslimat NU, bisa kita bandingkan dengan tokoh perempuan lain
dalam suatu organisasi lain pula yang sezaman dengannya. Muslimah Humam, ia
adalah salah satu dari sekian tokoh Nasyi’atul Aisyiyah (NA), suatu organisasi
keputrian yang bernaung di bawah Muhammadiyah.
Dalam membandingkan ketokohan seseorang pada sebuah oragnisasi,
tentu kita tidak bisa mengukurnya hanya pada tataran pribadi orang itu sendiri.
Lebih dari itu, bagaimana orang tersebut memiliki kemampuan dalam
85 Laporan Pertanggung Jawaban PP. Muslimat NU Periode 1979-1984 h. 2
melaksanakan program-programnya. Adapun untuk mengukur suatu keberhasilan
dari sebuah organisasi di mana mereka terlibat, tentunya kita bisa melihat
program-program apa saja yang telah direalisasikan sesuai dengan amanat
organisasi tersebut. Untuk itu sebagai perbandingan, di sini penulis mencoba
mengukurnya melalui program-program pada masing-masing organisasi yang
telah diamanatkan kepada tokoh organisasi itu sendiri.
Secara garis besar, kedua organisasi ini memiliki program-program baku
yang telah ditetapkan sejak didirikannya. Namun yang membedakan di sini
adalah, jika Asmah Syahruni sebagai tokoh Muslimat dari satu periode ke periode
berikutnya mampu mengembangkan program-programnya,86
sementara Muslimah
Humam sebagai tokoh Nasyi’atul Aisyiah memiliki kemampuan melanjutkan
pelaksanaan program-program yang telah ditetapkan oleh organisasinya.87
Namun demikian, bisa dilihat bahwa Asmah Syachruni dalam
kepemimpinannya mencoba untuk merealisasikan semua program-program yang
telah ditetapkan, sementara Muslimah Humam mengambil prioritas utama dalam
pelaksanaan program dalam setiap periode. Di antara lima program yang telah
ditetapkan, prioritas utama yang dijalankan Muslimah Humam adalah kaderisasi
(1985-1990) dan kemubalighatan (1990-1995).88
86
Pada periode pertama jabatannya sebagai Pucuk Pimpinan Muslimat NU, program-
program atau bidang garapan Asmah Syahruni adalah; Bidang Sosial/Kesehatan, Bidang
pendidikan, Bidang Dakwah, Bidang Usaha/Ekonomi dan proyek khusus Penataran Undang-
Undang Perkawinan. Pada periode kedua di tambah satu bidang Ikatan Hajjah Muslimat (IHM).
Pada periode ketiga bidang IHM tidak ada lalu diganti Bidang Organisasi dan Litbang. Lih. Asmah
Syachruni, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 1979-1984, 1984-1989,
1989-1995, h. 4, 6, 19-20. 87
Bidang-bidang kelanjutan yang dijalankan kedua tokoh Nasyi’atul Aisyiah adalah;
Bidang Konsolidasi Organisasi, Bidang Kaderisasi, Bidang Dakwah, Bidang Kemasyarakatan dan
Bidang Pengkajian. Lih. Pengurus Pusat Nasyi’atul Aisyiah, Keputusan Munas Nasyi’atul
Aisyiah II, Yogyakarta, 1995. 88
Pengurus Pusat Nasyi’atul Aisyiah, Sejarah Singkat Nasyi’atul Aisyiyah dan Khittah
Perjuangannya, Ypgyakarta, 1996.
Secara keseluruhan, perbandingan di antara kedua tokoh organisasi wanita
ini adalah; Asmah Syahruni dalam membidangi organisasinya lebih fleksibel,
dalam arti ia adalah sosok yang bisa beradaptasi dengan keadaan atau kultur yang
ada di organisasi yang memang berkultur Islam tradisional ini. Ini mungkin bisa
dipahami bahwa dari dulu pendekatan-pendekatan yang dilakukan para tokoh NU
dari pimpinan sampai bawahan lebih bersifat kekeluargaan, bukan bersifat
keorganisasian. Ini juga diperkuat dengan adanya slogan “manut ulama”. Maka
tak heran jika Asmah Syahruni dalam kepemimpinannya sama sekali tidak
menunjukkan superioritas dalam organisasinya. Hal ini bisa berpengaruh pada
sebuah pelaksanaan program yang lebih bersifat semangat kekeluargaan yang
terkesan tidak formal. Walau demikian program tetap terlaksana. Karena itu
merupakan langkah strategis bagi kalangan Muslimat NU dalam merealisasikan
program-program garapannya.
Lain halnya dengan Muslimah Humam, sebagai orang yang bernaung
dalam organisasi yang lebih modern, ia selalu melaksanakan program-programnya
sesuai dengan aturan-aturan formal dan prosedural. Ini memang sudah menjadi
ciri daripada organisasi yang menaunginya, yaitu Muhammadiyah.
Bagaimana jika dibandingkan dengan Aisyiyah, sebuah organisasi wanita
Muhammadiyah. Di mana letak kekurangan dan kelebihan kedua organisasi
wanita tersebut. Sulit untuk mencari kelebihan dan kekurangan sebuah organisasi
tanpa kita, minimal pernah mengalami atau ikut terlibat langsung dalam kedua
organisasi tersebut. Walau demikian, ini tidak menghalangi suatu penilaian
terhadap sebuah organisasi.
Secara organisatoris, Aisyiyah memiliki program utama di antaranya,
bidang kesehatan, tablig, pengkaderan dan pembinaan generasi muda, pendidikan,
ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan sosial, partisipasi
kebangsaan serta konsolidasi. Namun seiring jalannya waktu, Aisyiyah juga
menambah agenda kegiatan berupa pengkajian dan iptek, hukum dan hak asasi
manusia. Ini bisa dilihat dari muktamar-muktamar yang diadakannya, di mana
Aisyiyah selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan perannya dalam
memperjuangkan terbentuknya masyarakat madani.89
Mufnaetty Shofa, sebagai orang yang pernah menjadi tokoh Aisyiyah pada
masanya telah mampu membawa Aisyiyah menjadi organisasi wanita yang cukup
berpengaruh di Indonesia. Dengan kemampuannya, ia membawa organisasi ini
mampu bekerja sama dengan pemerintah, pihak swasta dalam maupun luar negeri
serta kerjasama dengan organisasi wanita setingkat. Dalam kepemimpinannya, ia
mengedepankan kekompakan dan kerjasama. Menurutnya, untuk memperoleh
kualitas kepemimpinan tersebut dari satu orang bukanlah hal yang mudah, tetapi
karena kepemimpinan bersifat kolegial, kualitas tersebut dapat dipenuhi dengan
kepemimpinan kolektif dalam sebuah tim yang terdiri dari berbagai keahlian.
Kepemimpinan kolegial akan bermakna ketika pimpinan mampu menghidupkan
kerjasama dalam menghimpun dan mengkombinasikan sumberdaya yang ada
serta mampu menghidupkan permusyawaratan. 90
89
Mufnaetty Shofa, Aisyiyah dan Dinamika Dakwah, www.suaramerdeka.com, 02 Juli
2005. 90 Mufnaetty Shofa, Aisyiyah dan Dinamika Dakwah.
BAB V
KESIMPULAN
Dari pembahasan skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa menjelang
berdirinya Muslimat Nahdlatul Ulama, Indonesia dalam keadaan mempertahankan
kemerdekaan dari para penjajah.
Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, berbagai organisasi lain
menyusul dibentuk, termasuk juga organisasi wanita. Pada tanggal 22 Desember
1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Kongres ini berhasil
membentuk Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), yang
merupakan asal-usul historis badan federasi yang saat ini dinamakan Kowani.
Pada tahun 1929 PPPI berubah menjadi Perserikatan Perkoempoelan Istri
Indonesia (PPPI), kemudian berubah lagi menjadi Kongres Perempoean Indonesia
pada tahun 1935.
Sekolah-sekolah mulai menghasilkan gadis-gadis dan wanita-wanita
terpelajar. Bersamaan dengan itu, munculah gerakan-gerakan dan perserikatan-
perserikatan wanita, baik yang bercorak kebangsaan maupun keagamaan. Salah
satunya adalah lahirnya Muslimat Nahdlatul Ulama.
Gagasan tentang pentingnya dibentuknya Muslimat Nahdlatul Ulama
sudah muncul sejak Muktamar NU yang pertama pada tahun 1926. Hal ini
ditandai dengan hadirnya beberapa tokoh perempuan, meskipun saat itu
perempuan belum menjadi bagian dari NU. Sejak didirikannya NU hingga
Kongres ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938 yang diwarnai dengan
perdebatan sengit, kaum wanita telah aktif berorganisasi. R. Djuarsih dan Siti
Syarah tampil sebagai pembicara, mewakili warga jamaah perempuan. Setahun
kemudian, ide tentang Muslimat NU kian terasa kuat ketika berlangsung
Muktamar ke-14 di Magelang tahun 1939.
Pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan dengan 26 Rabiul Akhir 1365 H,
keinginan jamaah wanita NU untuk berorganisasi diterima dengan suara bulat
oleh para utusan Muktamar NU di Purwokerto, dengan nama Nahdlatoel Oelama
Moeslimat (NOM).91
Diresmikannya Muslimat NU sebagai bagian NU
merupakan tuntutan sejarah yang dinilai oleh Jamiah NU pada saat itu sudah
sampai pada tahap perkembangan yang memerlukan hadirnya wanita dalam
kancah perjuangan dan organisasi. Pandangan ini dikemukakan hanya oleh
sebagian kecil ulama NU, seperti KH. Muhammad Dahlan, KH. Wahab
Chasbullah dan KH. Syaifuddin Zuhri. Kemudian Mulimat di pimpin oleh Hj.
Chodijah Dahlan dalam dua periode dan Mahmudah Mawardi dalam satu periode
Asmah Syahruni merupakan pemimpin setelah Mahmudah Mawardi. Ia
memimpin Muslimat NU cukup lama yaitu, selama tiga periode. Periode pertama
pada tahun 1979 dalam Kongres X di Semarang, periode kedua pada tahun 1984
pada Kongres XI di Probolinggo dan periode ketiga pada tahun 1989 pada
Kongres XII di Yogyakarta.
Perkembangan selanjutnya dalam beberapa periode kepemimpinannya,
Asmah Syahruni telah mampu membawa organisasi ini mampu berdiri sendiri
sebagai organisasi kemuslimatan. Ia juga mampu merubah organisasi wanita ini
menjadi sebuah organisasi yang besar, di mana kebesaran organisasi ini sejajar
dengan organisasi wanita lain yang ada di Indonesia.
91 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.20
Sebagai seorang pimpinan, Asmah Syahruni selalu bersikap tegas. Namun
demikian, bukan berarti ia otoriter dalam kepemimpinannya. Sikap ketegasannya
diiringi dengan sikap ramahnya terhadap sesama anggota. Ia selalu kuat dalam
keputusannya. Namun demikian, tidak jarang ia bersikap lentur terhadap apa yang
telah menjadi keputusan para kiai NU.
Ciri khas kepemimpinan Asmah Syahruni melalui cara pendekatan
kekeluargaan telah membawa organisasi ini semakin memiliki banyak anggota.
Dengan cara itu pula organisasi ini pada akhirnya mampu menjalankan program-
programnya. Beberapa program yang telah direalisasikan Asmah Syahruni selama
tiga periode dalam kepemimpinannya di Muslimat NU adalah :
1. Mengadakan konsolidasi dengan para anggota
2. Menyelenggarakan Konferensi antar wilayah untuk mentakhfidz
keputusan Kongres pada 25 s/d 27 Maret 1981 diteruskan dengan
Diskusi Panel tentang :
a. Undang-Undang Perkawinan dan pelaksanaannya
b. Kedudukan wanita dalam Hukum Islam dan Hukum Negara
3. Bagian Dakwah telah mengadakan Lokakarya Peningkatan Dakwah
Wanita Muslimat.
4. Pelaksanaan tawaran kerja sama dengan The Pathfinder Fund Indonesia
dalam upaya memasyarakatkan Undang-Undang Perkawinan. Oleh PP.
Muslimat NU ini dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk mengadakan
peninjauan ke daerah-daerah.
5. Mengadakan kegiatan sosial. Ini merupakan kegiatan rutin yang selalu
dijalankan oleh Muslimat dalam setiap periode.
Di atas merupakan kegiatan yang direalisasikan Asmah Syahruni dalam
periode pertama kepemimpinannya.
Periode kedua kepemimpinan Asmah Syahruni memperlihatkan kegiatannya
pada cakrawala yang lebih luas. Tidak hanya pada batas-batas untuk melanjutkan
program-program baku yang sudah ditetapkan dalam organisasi seperti kegiatan di
bidang sosial, kesehatan, dakwah dan lain-lain. Lebih dari itu, isu-isu politik dan
isu-isu penting terkait adanya Khittah NU 1926, membawanya dalam suatu
tindakan di mana ia harus mampu memposisikan organisasi yang dipimpinnya itu
berada dalam posisi yang proporsional.
Asmah Syahruni sebagai pimpinan Muslimat yang memiliki cita-cita penuh
dalam kemandirian organisasi yang dipimpinnya itu dengan sekuat tenaga
memperkuat organisasi ini agar tetap menjadi badan otonom. Dengan
keberhasilannya mempertahankan otonomisasi organisasi tersebut, maka
diadakanlah kerjasama dengan organisasi otonom/lembaga NU seperti lembaga
pendidikan, yayasan dan lain-lain.
Selain beberapa kegiatan di atas yang direalisasikan Asmah Syahruni pada
periode kedua, program lain yang direalisasikannya pada periode itu adalah
pemeliharaan cabang-cabang baru, menekankan kembali Muslimat NU sebagai
organisasi yang mampu berdiri sendiri, pemantapan organisasi, mengadakan
kegiatan yang bertaraf nasional dan melakukan evaluasi.
Masa bakti 1989-1995 yang merupakan periode ketiga dalam kepemimpinan
Asmah Syahruni ditandai dengan berbagai peristiwa nasional kenegaraan maupun
perkembangan di lingkungan khusus.
Pemasyarakatan Khittah 1926 makin dihayati oleh pelaksana organisasi
maupun oleh anggota. Salah satu tujuan Khittah 1926 melepaskan organisasi dari
tingkah laku politik praktis masih perlu pendekatan psikologis dengan pribadi-
pribadi yang terkait dari unsur kepemimpinan organisasi dan unsur-unsur pribadi
yang memilih minat terhadap politik praktis.
Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa, sebagai orang yang memiliki
tiga periode dalam kepemimpinannya, Asmah Syahruni mengalami beberapa
peristiwa penting yang melingkupinya, baik peristiwa lokal yang ada di dalam
Muslimat NU sendiri, maupun peristiwa nasional yang akan berpengaruh pada
roda kepemimpinannya. Hal ini pada akhirnya membuat Asmah Syahruni
memiliki kekuatan tersendiri dalam memimpin organisasinya dengan cara mencari
alternatif sebagai improvisasi untuk melaksanakan kegiatannya sesuai dengan isu
yang dihadapi pada masanya. Tak heran jika dikatakan bahwa Asmah Syahruni
merupakan orang yang memiliki kemampuan dalam memimpin organisasinya
dalam berbagai kondisi atau keadaan suatu bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991
Abdullah, Taufik, dalam Ensiklopedi Indonesia Jilid IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1983
Hasyim, Wahid, A, Mengapa Memilih NU? Konsepsi Tentang Agama,
Pendidikan dan Politik, Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985
Helmi, Mustafa, Asmah Sjachruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Jakarta:
Pustaka Indonesia Satu, 2002
Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta:
DEPAG RI, 2004
Kartodirdjo, Sartono, dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4, Jakarta: Balai
Pustaka, 1977
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Garamedia
Pustaka, 1974
Lapidus, Ira, M, Sejarah Sosial Umat Islam Bag III, Jakarta: PT Grafindo
Persada, 1999
Muhammadiyah, Hilmy, NU, Identitas Islam Indonesia, Jakarta: Elsas, 2004
Muzadi, A Mukhith, NU dan Fiqh Kontekstual, Yogyakarta: LKPSM NU, 1995
Nasution, AH, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid III, Bandung:
Angkasa, 1978
PP Muslimat NU, Ibu Kartini Seratus Tahun, Jakarta: LAKPESDAM, 1979
PP. Muslimat NU, Keputusan Kongres ke-XII, Yogyakarta: 1989
PP. Muslimat NU, laporan Muktamar NU ke 28
PP Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 1979-
1984
PP Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 1984-
1989
PP. Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode
1989-1994
PP. Muslimat NU, Sejaraht Muslimat NU, Jakarta: LAKPESDAM, 1979
Ricklefs, MC, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2007
PP Muslimat NU, Laporan Pertanggung Jawaban PP Muslimat NU Periode
1984-1994
PP. Muslimat NU, Sejarah Singkat NU, Yogyakarta: Sie. Publikasi dan
Dokumentasi Muslimat NU, 1989
Situmpul, Einar Mahatan, NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam
Perjuangan Umat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Sjachruni, Asmah, dkk, 50 tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan
Bangsa, Jakarta:LAKPESDAM, 1996
Soebadio, Haryati, Kartini Pribadi Mandiri, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1990
Suryochondro, Sukanti, Potret Pergerakan Wanita Indonesia Cet. 1, Jakarta: CV
Rajawali, 1984
Suwondo, Nani, kedudukan Wanita Indonesia: Dalam Hukum dan Masyarakat,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
Tim Sejarah Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta: PP.
Muslimat Nahdlatul Ulama, 1979
Zuhri, Syaefuddin, dkk, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta: PP.
Muslimat Nahdlatul Ulama, 1979
Zawawi, Ali, dkk, Asmah Sjachruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Jakarta:
Pustaka Indonesia Satu, 2002
Wawancara Pribadi dengan Aisyah Hamis Baidlowi, Jakarta: 10 Maret 2008
Wawa.cara pribadi dengan Asmah Sjachruni, Jakarta: 6 Juni 2008
Wawancara pribadi dengan Lathifah Hasyim, Jakarta:24 April 2008
www.gp-ansor.org , sabtu, 4 Agustus 2007
www.kapanlagi.com/h/0000197812.html , 13 November 2007
www.kowani.or.id , 11 April 2007
www.muslimat-nu.or.id, 18 April 2008
www.pikiran-rakyat.com , 8 November 2007
www.republika.co.id , 25 Oktober 2007
www.suaramerdeka.com , Shofa, Mufnaetty, Aisyiyah dan Dinamika Dakwah,
2 Juli 2005
www.tempointeraktif.com , 31 Maret 2006