KIPRAH KH ABDUL WAHID HASYIM DALAM
PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA TAHUN 1945
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
Desi Fitria
NIM: 11140220000088
PRODI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini
telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan
hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari
karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 13 Agustus 2018
Desi Fitria
KIPRAH KH ABDUL WAHID HASYIM DALAM
PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA TAHUN 1945
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
Desi Fitria
NIM:11140220000088
Pembimbing
Imam Subchi, MA
NIP: 196708102000031001
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan
Piagam Jakarta Tahun 1945 telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 20 Agustus 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam.
Ciputat,30 Agustus 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Nurhasan, MA Solikhatus Sa’diyah, M. Pd
NIP: 196907241997031001 NIP: 197504172005012007
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum Dr. Abd. Wahid Hasyim, MA
NIP: 195410101988031001 NIP: 195608171986031006
Pembimbing,
Imam Subchi, MA
NIP: 196708102000031001
ABSTRAK
Desi Fitria, Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam
Perumusan Piagam Jakarta Tahun 1945.
Tulisan ini mengkaji kiprah KH Abdul Wahid Hasyim
dalam perumusan Piagam Jakarta di tahun 1945 dan responsnya
terhadap penghapusan tujuh kata kompromi. Kajian penulisan ini
sengaja penulis angkat untuk memperkaya khazanah keilmuan,
tidak hanya berhenti pada penulisan biografi akan tetapi
mengenai tokoh Islam yang berperan dalam perjuangan
kemerdekaan dan perumusan Dasar Negara. Metode penulisan ini
menggunakan langkah heuristik, interpretasi, historiografi dan
metode Library Research. Lalu menggunakan teori Peranan
(Role) pendekatan sejarah, dan politik.
Temuan yang penulis dapatkan yakni KH Abdul Wahid
Hasyim menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta,
alasannya demi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia karena
jika terus dipaksakan Indonesia bagian Timur akan memisahkan
diri dan Indonesia akan terpecah belah. Hal ini dilihat dari buku
memoir Mohammad Hatta yang ia tulis, kemudian dilihat dari
data Mohammad Yamin terkait kehadiran anggota PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945. Namun ada juga pendapat yang
mengemukakan bahwa Wahid Hasyim tidak hadir dalam
lobbying yang dilakukan Hatta.
Kata Kunci: Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim, Piagam
Jakarta, Kontroversi Nasionalis Sekuler dan Nasionalis
Islam, Rancangan Dasar Negara, Penghapusan Tujuh Kata.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam senantiasa penulis limpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, keluarga, serta sahabat-sahabatnya.
Karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Strata 1 (S-1) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan diselesaikan ya penulisan
skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis hadapi, baik yang menyangkut manajemen waktu,
pengumpulan sumber, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan
niat dan keteguhan hati, serta kerja keras dan dorongan, bantuan,
dan doa yang datang dari berbagai pihak, hambatan-hambatan
yang penulis hadapi dapat teratasi sedkit demi sedikit.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari
bahwa semua ini tidaklah semata berhasil dengan tenaga dan
upaya sendiri, namun banyak pihak yang telah berpartisipasi
dalam penyelesaian skripsi ini, baik yang bersifat moril maupun
materil, maka dengan ini sepatutnya penulis menyampaikan
banyak terimakasih atas kerjasamanya dan dorongannya. Untuk
itu penulis mengucapkan terimakasih yang terdalam kepada Ibu
dan Bapak serta nenek dengan nasehat-nasehat yang dahsyat dan
support tiada batas dari mereka telah membakar semangat penulis
untuk terus belajar dan berkarya. Satu saudari perempuanku yang
selalu menjadi penawar hati dari berbagai masalah, Tuti Laelah.
ii
Kepada semua teman-teman Ashabul Masyamah teman-
teman Kost We Huizen, teman-teman SPI 2014, Forum Lingkar
Pena (FLP) Ciputat, Ikatan Remaja Masjid Fatullah (IRMAFA),
teman-teman Aktualitangsel.com. Mereka semua turut serta
memberikan semangat kepada penulis sehingga terselesaikannya
skripsi ini.
Tak lupa penulis mengucap banyak terimakasih kepada
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Sukron Kamil selaku Dekan
Fakultas Adab dan Humaniora, Juga kepada Nurhasan, M.A.
selaku Kepala Jurusan dan Ibu Shalikhatus Sa’diyah, M.Pd selaku
sekretaris Jurusan yang telah membantu administrasi dalam
kelancaran skripsi. Drs. Imam Subchi, M.A. selaku dosen
pembimbing yang dengan ikhlas dan tulus memberikan ilmu,
arahan, dan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing
penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. Ucapan
terimakasih juga saya haturkan kepada dosen pembimbing
akademik Drs. Azhar Saleh, M.A. selaku dosen pembimbing
akademik yang telah mengizinkan penulis untuk mengajukan
lingkup penelitian ini. Dan tidak lupa penulis haturkan
terimakasih kepada dosen penguji Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.
Hum selaku penguji I, dan Drs. Abd. Wahid Hasyim, MA.
Semoga Allah SWT memberikan ganjaran yang berlimpah.
Ciputat, Agustus 2018
Desi Fitria
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ......................................................... 8 C. Batasan Masalah ............................................................... 8
D. Rumusan Masalah ............................................................ 9 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 9
F. Sistematika Penulisan ..................................................... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................... 13
A. Landasan Teori ............................................................... 13 B. Tinjauan Pustaka ............................................................ 14
C. Metode Penelitian ........................................................... 16 D. Kerangka Berpikir .......................................................... 24
BAB III BIOGRAFI KH ABDUL WAHID HASYIM ......... 29
A. Riwayat Hidup KH Abdul Wahid Hasyim ..................... 29 B. Pendidikan KH Abdul Wahid Hasyim ........................... 35 C. Karya-karya KH Abdul Wahid Hasyim ......................... 43
D. Pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim ............................ 51
iv
BAB IV POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG DI
INDONESIA ............................................................................. 59
A. Politik Pemerintahan Jepang di Indonesia ...................... 59
B. Pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI .... 67
C. Hubungan KH Abdul Wahid Hasyim dengan Jepang .... 73
BAB V KIPRAH KH ABDUL WAHID HASYIM DALAM
PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA ..................................... 79
A. Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan
Piagam Jakarta ................................................................ 79
B. Respons KH Abdul Wahid Hasyim dan Kelompok
Islam terhadap Penghapusan Tujuh Kata dalam
Piagam Jakarta ................................................................ 89
C. Berdirinya Kementerian Agama sebagai Pengganti
Dihapuskannya Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta ........99
BAB VI PENUTUP ................................................................. 107
A. Kesimpulan ................................................................... 107
B. Implikasi ....................................................................... 109
C. Saran ............................................................................. 109
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 111
GLOSARIUM
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Begitu panjang masa penjajahan Belanda, berlanjut
dengan masa penjajahan oleh bangsa Asia sendiri yakni bangsa
Jepang. Tidak kalah hebat penderitaan yang dirasakan masyarakat
pribumi saat itu, meskipun Jepang lebih singkat menduduki
Indonesia terhitung dari 1942 sampai 1945 sekitar tiga setengah
tahun, dibandingkan dengan kedudukan Belanda di Indonesia tiga
setengah abad.1 Kedudukan para penjajah di Indonesia membuat
luka mendalam pada rakyat, penderitaan, penindasan, kekejaman,
dan kesewenang-wenangan menjadi kenangan pahit dan
mempengaruhi seluruh penduduk untuk melawan fasisme
Jepang.2 Rakyat dipekerjakan tanpa diberikan upah dan makanan,
mereka kelaparan dan akhirnya meninggal dalam keadaan haus
dan lapar, tubuh mereka kurus kering, sampai hanya terlihat kulit
dan tulang saja.
Kemudian tumbuhlah rasa nasionalisme setelah sekian
lama terpuruk dengan penjajahan, terjadi peningkatan kesadaran
politik, keinginan untuk merdeka semakin menggebu mengingat
kesewenang-wenangan dan penindasan yang terjadi.3 Disusul
1Mayjen T. B. Simatupang, Pelopor dalam Perang Pelopor dalam
Damai, (Jakarta: Sapdodadi NV, 1981), 59. 2D. Rini Yunarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI,
(Jakarta: Kompas, 2003), 55. 3Awalnya rakyat memang menyambut kedatangan Jepang, Jepang
berhasil mengusir Belanda dalam waktu satu minggu. Wajarlah rakyat senang anmengagung-agungkan Jepang saat itu, namun lambat laun rakyat semakin
2
dengan lahir dan hadirnya tokoh-tokoh yang memberi semangat
serta pola pikir masyarakat untuk menjunjung kemerdekaan.
Terdapat beberapa golongan yang memperjuangkan
kemerdekaan, dua di antaranya yakni nasionalis sekuler dan
nasionalis Islam. Tidak hanya nasionalis sekuler, nasionalis Islam
pun ikut berperan dalam cita-cita kemerdekaan.
Sempat terjadi perdebatan dua kelompok mengenai dasar
negara, bentuk negara Indonesia, dan kepala negara dalam sidang
BPUPKI. Kita mengenalnya dengan dua kelompok terdiri dari
nasionalis sekuler yang menginginkan negara berdasarkan
kebangsaan dan nasionalis Islam yang mengajukan dasar negara
berdasakan Islam,4 kedua kelompok inilah yang membentuk dan
mempersiapkan kemerdekaan, bentuk negara, dan pemerintahan.
Sehingga lahir sebuah preambule (pembukaan Undang-Undang
Dasar) sering disebut-sebut sebagai Piagam Jakarta5 (Jakarta
Charter) yang disahkan pada 22 Juni 1945 oleh sembilan panitia
atau Panitia Sembilan dan dibacakan dalam sidang BPUPKI pada
10 Juli 1945 oleh Soekarno. Panitia Sembilan terdiri dari Ir.
Sukarno, Moh. Hatta, Abikusno Tjakrasujoso, Abdul Ahmad
sadar bahwa Jepang hanya ingin memanfaatkan tenaga rakyat Indonesia untuk kepentingan perangnya melawan sekutu. Timbul kebencian terhadap Jepang sebagai reaksi dari tindakan-tindakan Jepang terhadap rakyat Indonesia, mulai dari pengurasan tenaga SDM maupun SDA. Lihat Mayjen T. B. Simatupang, Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, (Jakarta: Sapdodadi NV, 1981).
4Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1981), 3.
5Piagam Jakarta ini dianggap sebagai jalan tengah antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler, lihat Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, T.pn, t. th, 36.
3
Subardjo, Kahar Muzakir, Muhammad Yamin, KH Abdul Wahid
Hasyim, H. Agus Salim, dan A. A Maramis.6
Terjadi perbedaan pendapat setelah hasil kompromi
Panitia Sembilan dibacakan oleh Soekarno di hadapan sidang
BPUPKI. Pada pertemuan 11 Juli 1945 mulailah pendapat satu
sama lain saling bergesekan. Perdebatan tersebut mengenai dasar
negara, bertitik pada usul sila pertama yang terdapat dalam
Piagam Jakarta dengan penambahan kata, “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
(selanjutnya disebut tujuh kata kompromi), dengan alasan
kelompok lain akan merasa di anak tirikan. KH Abdul Wahid
Hasyim (selanjutnya disebut Wahid Hasyim) dan Kahar Muzakir,
serta teman-teman yang lain dari golongan Islam, mengusulkan
dasar negara adalah Islam. Pertimbangannya pada waktu itu,
karena sebagian besar penduduk bangsa Indonesia (90%)
beragama Islam.7 Usulan selanjutnya mengenai presiden dan
wakil presiden haruslah beragama Islam di samping harus
berkebangsaan Indonesia asli.
Soekarno sebagai penengah berusaha mengingatkan dan
menegaskan pada anggota sidang yang hadir, keputusan dan
rancangan tersebut sudah menjadi kesepakatan bersama antara
nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang terdiri dari berbagai
6Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2011), 209. 7Djauharuddin AR, Peranan Ummat Islam dalam Proses Pembentukan
dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, (Bandung: Angkasa, 1985), 33.
4
golongan dan kepercayaan. Akhirnya rapat BPUPKI
menghasilkan Piagam Jakarta.8
Piagam Jakarta salah satu tanda bahwa Islam pernah ikut
berpolitik, meskipun kemudian gagal karena pendapat Wahid
Hasyim dan tokoh Islam lainnya mengenai dasar negara ditolak
dan dihilangkan dalam waktu relatif singkat. Padahal Wahid
Hasyim telah berusaha keras mengusulkan dan mempertahankan
agar unsur-unsur Islam dalam Piagam Jakarta tetap tercantum.
Awalnya memang telah disepakati, namun sehari setelah
proklamasi kemerdekaan tepatnya 18 Agustus 1945,9 tujuh kata
kompromi tersebut dan unsur-unsur Islam lainnya yang
terkandung dalam dasar negara dihapuskan, berikut judul
“Mukaddimah” pada Piagam Jakarta diganti dengan
“Pembukaan”.10 Pergolakan mengenai penghapusan Piagam
Jakarta masih saja disebut-sebut hingga saat ini, masih ada
golongan yang menginginkan Indonesia berdasarkan Islam, tidak
sedikit pula masyarakat terpengaruh dengan adanya aliran
tersebut, bahkan parahnya muncul bom-bom teroris di Indonesia.
mereka inilah yang mengatasnamakan Tuhan lalu membinasakan
umat yang berbeda keyakinan. Salah satu penyebab maraknya
fundamentalisme ini akibat dari kegagalan negara dalam
8Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, (Bandung: Mizan Pustaka, 2011), 208.
9Lihat Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007). Lihat juga Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1999), 39.
10Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, 56. Lihat juga Djauharuddin AR, Peranan Ummat Islam dalam Proses Pembentukan dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Vi.
5
mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan
sosial dan terciptanya kesejahteraan sosial yang merata. Padahal
dilihat dari proses pembentukan dasar negara sudah disepakati
bersama bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan.11
Kembali pada pembentukan dasar negara, inilah salah satu
peran Islam selain dalam memperjuangkan kemerdekaan pada
masa pergerakan nasional juga berperan aktif dalam rancangan
Piagam Jakarta. Salah satu tokoh Islam yang berperan dalam
pergerakan nasional dan dalam perumusan Piagam Jakarta yakni
Wahid Hasyim,12 dialah yang mengusulkan penambahan tujuh
kata kompromi, kepala negara, dan bentuk negara haruslah
berdasarkan Islam. Sebelumnya, berbagai usaha dan gerakan
telah ia lakukan, khususnya pada masa pergerakan. Perjuangan
baik oleh tokoh-tokoh pribumi maupun oleh masyarakat sendiri
ternyata mampu mengantar pada kemerdekaan. Memang pada
masa pendudukan Jepang di Indonesia tokoh-tokoh Islam mulai
mendapat ruang dalam pemerintah, sehingga kemudian Wahid
Hasyim dapat ikut berkecimpung di dalamnya, berbagai
organisasi dan partai politik digunakan untuk mewujudkan
kemerdekaan oleh tokoh-tokoh Islam begitupun kedudukan-
kedudukan Wahid Hasyim dalam pemerintahan ia gunakan untuk
mempersiapkan kemerdekaan.13
11Abdurrahman Wahid, Ed., Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), 8-10. 12Wahid Hasyim aktif di berbagai organisasi pada masa pendudukan
Jepang seperti MIAI, Masyumi, BPUPKI, PPKI. Kedudukan tersebut ia manfaatkan untuk mencari celah menuju kemerdekaan.
13Ahdi Makmur, Relasi Ulama Umara: Profil Historis Perilaku Politik Ulama NU di Indonesia Era Presiden Soekarno (1959-1963), (Yogyakarta: IAIN Antasari Press), 26.
6
Dia tampil menjadi tokoh nasional yang turut berjasa
besar dalam melahirkan negara Indonesia merdeka berdasarkan
Pancasila.14 Hal ini tak luput dari kepiawaiannya dalam
berorganisasi, salah satu organisasi yang ia geluti yakni Nahdatul
Ulama (NU).15 Sekitar tahun 1938 ia memang sudah mulai aktif
dalam keorganisasian NU.16 Lalu aktivitas Wahid Hasyim terus
berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu Wahid
Hasyim tercatat pernah menduduki jabatan-jabatan penting dalam
Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Shumubu
(Kantor Urusan Agama Pusat).17 Jepang membentuk Shumubu
untuk menggalang dukungan dari para kiyai.18 MIAI dan
Masyumi merupakan lembaga yang didirikan oleh pemerintahan
Jepang untuk mengontrol kegiatan politik para ulama Indonesia,
namun kemudian lebih ditekankan untuk kepentingan Indonesia
oleh tokoh-tokoh bangsa.
Dari uraian di atas kita dapat melihat cukup besar
sumbangsih Wahid Hasyim, tokoh yang menjunjung tinggi nilai
14Azyumardi Azra, Saiful Umam, Ed., Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), 84.
15Alasan Wahid Hasyim memilih NU telah disarikan dalam tulisannya berjudul “Mengapa Saya Memilih Nahdatul Ulama?” di majalah Gema Muslimin eidisi November 1953. Tulisan itu merupakan penjelasan mengapa ia memilih Nahdatul Ulama pada tahun 1938. Ia perlu menulis artikel itu karena pada waktu itu banyak partai dan organisasi yang berlomba mencari pengikut. Lihat seri buku saku Tempo Tokoh Islam di awal kemerdekaan, Wahid Hasyim untuk Repulik dari Tebuireng.
16Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, (Jogjakarta: Garasi, 2009), 60.
17Ali Yahya, Sama tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wahid Hasyim, (Jombang: Yayasan K.H.A. Wahid Hasyim, 2007), 20.
18Hal ini karena Jepang mengetahui rakyat Indonesia sangat mempercayai tokoh ulama, sehingga Jepang menggunakan politik mendekati tokoh-tokoh ulama dan menjalin hubungan sampai dengan melibatkan tokoh ulama dalam pemerintahan, agar masyarakat ikut mempercayai Jepang.
7
Islam dan berusaha menuangkan serta menerapkannya dalam
dasar negara, meskipun pada akhirnya pemikiran-pemikiran
Wahid Hasyim dan tokoh-tokoh Islam19 mengenai dasar negara
dihapuskan demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal
ini merupakan suatu tonggak sejarah konsensus nasional tokoh
nasionalis Islam.20 Jauh sebelumnya Wahid Hasyim telah
berusaha masuk dalam pemerintahan untuk mengambil celah
dengan cara mengusulkan berbagai pendapat pada Jepang tak lain
untuk kepentingan Indonesia sendiri, salah satunya permintaan
untuk didirikannya Hizbullah21 saat ia masih menjabat sebagai
ketua dewan Masyumi. Kiprahnya tidak berhenti hanya pada
masa pergerakan, setelah kemerdekaan ia di angkat sebagai
Menteri Agama, Kementerian Agama antara lain sebagai
pengganti dihapuskannya tujuh kata kompromi.
Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis
kiprah Wahid Hasyim dalam perumusan Piagam Jakarta, lalu
mencoba mengungkapkan respons Wahid Hasyim dan tokoh
Islam lainnya terhadap penghapusan tujuh kata kompromi
tersebut, meski penulis sadari cukup minim sumber mengenai
respons tersebut. Oleh karenanya penulis memutuskan untuk
mengkaji dan menjadikan ini sebagai objek kajian skripsi dengan
judul “Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan
Piagam Jakarta Tahun 1945.”
19Kahar Muzakir, Agus Salim, KH Mansur, dll. 20Djauharuddin AR, Peranan Ummat Islam dalam Proses Pembentukan
dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Vi.
21Semacam pelatihan kemiliteran yang diberikan pada pemuda.
8
B. Idenftifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penulis
mengidentifikasi tiga permasalahan yang perlu diungkapkan.
Pertama, siapakah tokoh Wahid Hasyim sebagai tokoh nasionalis
Islam yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam perumusan
Piagam Jakarta. Kedua, peta politik menjelang kemerdekaan
meliputi politik pemerintahan Jepang dan pembentukan
BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI. Ketiga, peranan Wahid
Hasyim dalam merumuskan Piagam Jakarta dan respons Wahid
Hasyim mengenai penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Sehingga perlu mengkaji peristiwa pembentukan Piagam Jakarta,
agar dapat melihat sisi di mana Islam juga berperan dalam
nasionalisme, dan dasar negara sudah disepakati oleh kedua belah
pihak yakni nasionalis Islam dan nasionalis sekuler.
C. Batasan Masalah
Dikarenakan pembahasan mengenai Wahid Hasyim
sangatlah luas, karena kiprahnya tidak hanya di bidang politik
namun juga di bidang pendidikan. Oleh karena itu, penulis
berusaha membatasi permasalahan ini pada kiprah Wahid Hasyim
pada masa perjuangan kemerdekaan sebagai salah satu anggota
BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI dalam rancangan Piagam
Jakarta dan responsnya terhadap penghapusan tujuh kata
kompromi dalam Piagam Jakarta.
9
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas dapat
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Biografi KH Abdul Wahid Hasyim?
2. Bagaimana politik pemerintahan Jepang dan pembentukan
BPUPKI, Panitia Sembilan, PPKI?
3. Bagaimana perjuangan KH Abdul Wahid Hasyim dalam
merumuskan Piagam Jakarta dan responsnya terhadap
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis ialah:
1. Untuk mengetahui biografi KH Abdul Wahid Hasyim di
samping untuk mengambil pelajaran hidupnya yang
diakui telah berkontribusi dalam persiapan kemerdekaan
dan rancangan pembentukan pembukaan dasar negara
(Piagam Jakarta).
2. Untuk mengetahui peta politik pemerintahan Jepang serta
pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI.
3. Untuk mengetahui perjuangan KH Abdul Wahid Hasyim
dalam merumuskan Piagam Jakarta dan responsnya
terhadap penghapusan tujuh kata kompromi dalam
Piagam Jakarta?
Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan manfaat
sebagai berikut: pertama, agar dapat memberikan wawasan
kepada mahasiswa ataupun masyarakat umum tentang kiprah
10
KH Abdul Wahid Hasyim sebagai salah satu tokoh Islam
dalam perumusan Piagam Jakarta. Kedua, dapat dijadikan
bahan kajian dan memperkaya khazanah pengetahuan tokoh-
tokoh Nasionalis Islam dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia dan mendirikan negara Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Untuk menjaga terfokusnya penelitian ini, diperlukan
suatu sistematika agar tidak terjadi kerancuan dalam
penguraiannya. Karenanya penulis membaginya menjadi enam
bab. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan, dalam bab ini penulis akan
menguraikan latar belakang, permasalahan yang akan dijawab,
kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian,
berikutnya sebagai pedoman dan arahan yang akan menjadi
parameter dan sekaligus acuan dalam penelitian ini diperlukan
satu tinjauan metodelogis penelitian dan pendekatan, terakhir
sistematika penulisan.
Bab kedua, dalam bab ini diuraikan landasan teori,
kajian pustaka, dan kerangka berpikir.
Bab ketiga, diuraikan biografi KH Abdul Wahid
Hasyim, mulai dari riwayat hidup karya-karya sampai dengan
pemikirannya.
Bab keempat, dalam bab ini penulis mendeskripsikan
politik pemerintahan Jepang di Indonesia dan pembentukan
BPUPKI sampai PPKI.
11
Bab lima, bab ini penulis mendeskripsikan kiprah KH
Abdul Wahid Hasyim dalam perancangan pembukaan Undang-
Undang Dasar (Piagam Jakarta) serta responsnya terhadap
penghapusan tujuh kata kompromi.
Bab enam, bab ini merupakan penutup proposal yang
mencakup kesimpulan, implikasi dan saran sebagai jawaban
eksplisit atas apa yang dipersoalkan dalam rumusan.
12
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Dalam studi ini peranan sebagai kunci dalam penulisan
skripsi ini. Dengan demikian penulis menggunakan teori peran
sebagai landasan kerangka teori. Gross, Masson dan McEachern
mendefinisikan peranan sebagai harapan-harapan yang dikenakan
pada individu-individu yang menempati suatu kedudukan
sosial.22 Kadang para sosiolog menggambarkan peranan-peranan
dalam arti apa yang diharapakan dan dituntut oleh masyarakat.23
Dalam buku Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi karya David
Berry menjelaskan, manusia di dalam masyarakat diungkapkan
dalam konsep peranan. Bagi para sosiolog manusia dilihat dari
peranan-peranan sosial. Di mana seseorang dapat dikatakan
berperan jika ia menjalankan statusnya, sehingga ia memberi
manfaat dan bermanfaat untuk orang lain.24 Misalnya peranan
seseorang sebagai pemimpin masyarakat, usahawan, suami, ayah,
pemain golf, dsb. Petter Burke pun mengungkapkan bahwa teori
peranan ialah pola-pola atau norma-norma yang diharapkan pada
orang yang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur
sosial.25
22David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1983), 99. Lihat juga Imam Subchi, Pengantar Antropologi, 175-178.
23David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, 100. 24Status menurut Ralph Linton ialah acollection of right and duties
kumpulan suatu hak dan kewajiban. Lihat Imam Subchi, Pengantar Antropologi, 176.
25Petter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Obor, 2015), cet. 2, 68. Baca juga Imam Subchi, Pengantar Antropologi, ciri dasar struktur sosial
14
B. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka diperlukan untuk menyusun peta konsep
dan landasan bagi peneliti. Melalui tinjauan pustaka peneliti
dapat mengumpulkan beberapa buku acuan dan teori yang akan
digunakan dalam pembahasan nantinya.
Karya-karya yang membahas tokoh KH Abdul Wahid
Hasyim sudah mulai banyak ditulis dalam bentuk skripsi maupun
buku. Tapi karya tulis tentang perjuangan KH Abdul Wahid
Hasyim dalam konstitusi Piagam Jakarta, apalagi skripsi
mengenai respons KH Abdul Wahid Hasyim terhadap
penghapusan tujuh kata dalam Undang-undang Dasar belumlah
penulis jumpai. Beberapa hasil penelitian dan buku-buku yang
berkaitan dengan studi ini di antaranya:
1. Buku Wahid Hasjim untuk Republik dari Tebuireng,
membahas tentang Wahid Hasyim selama menimba ilmu,
hubungannya dengan Jepang, dan kiprahnya dalam bidang
pendidikan. Sejarah mengenai biografi KH Abdul Wahid
Hasyim yang terlengkap ditulis oleh Aboebakar berjudul
Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim. Buku ini memberikan
gambaran mulai dari masa kecil Wahid Hasyim,
keorganisasiannya, kiprah dalam bidang politik, sampai
dengan kiprahnya sebagai Menteri Agama RIS. Dengan
melihat paparan karya ilmiah di atas, penulis meyakini
bahwa titik urgen dari penelitian ini terletak pada peranan
Wahid Hasyim dalam konstitusi dasar negara dan ada yang
ialah bahwa suatu status tidak hanya melibatkan satu peranan terkait akan tetapi sejumlah peranan terkait.
15
belum dibahas mengenai respons Wahid Hasyim mengenai
penghilangan tujuh kata kompromi dalam Piagam Jakarta.
2. Wahid Hasyim; Biografi Singkat 1914-1953 buku ini ditulis
oleh Mohammad Rifai, terbit pada 2009 oleh penerbit
GARASI. Buku ini memaparkan perjuangan Wahid Hasyim
dan pemikiran-pemikirannya dalam agama, politik,
pergerakan, sampai pada pemikirannya dalam pembaharuan
pendidikan. Dengan adanya buku ini penulis dapat terbantu
dalam pencarian sumber perjuangan Wahid Hasyim dalam
konstitusi Piagam Jakarta.
3. KH A. Wahid Hasyim; Peletak Dasar Islam Nusantara, karya
Miftahuddin. Mendeskripsikan jejak perjuangan Wahid
Hasyim dari pra kemerdekaan, keterlibatannya dalam
keorganisasian dari berbagai oraganisasi seperti NU, MIAI,
Masyumi, dll. Jejaknya tak terhenti sampai kemerdekaan, ia
juga memberikan perubahan-perubahan mengenai perjalanan
haji dan pendidikan selama menjadi Menteri Agama.
4. Tulisan Riky Haryanto (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat)
yang membahas perjuangan dan pemikiran Wahid Hasyim.
Hal yang membedakan antara skripsi karya Riky Haryanto
dengan skripsi yang saya tulis antara lain ia lebih membahas
mengenai perjuangan dan pemikiran Wahid Hasyim. Kajian
tersebut berusaha melihat pemikiran-pemikiran Wahid
Hasyim dalam pendidikan, agama, dan politik, serta kiprahya
16
menjelang kemerdekaan. Sementara saya lebih memaparkan
kiprahnya dalam perumusan dasar negara pra-kemerdekaan
dan responsnya terhadap penghapusan kalimat-kalimat yang
mencerminkan Islam dalam Undang-undang Dasar, serta
pengaruh Wahid Hasyim dalam Kementerian Agama pasca
kemerdekaan. Sehingga adanya skripsi ini sebagai penerus
atau pelengkap skripsi yang sebelumnya sudah ada, dengan
fokus pada perjuangan Wahid Hasyim dalam konstitusi
pembentukan Dasar Negara (perumusan Piagam Jakarta).
5. Pemikiran KH Wahid Hasjim Tentang Pembaharuan Islam
Karya Safiq Ahmad Mughni, Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Jakarta
diterbitkan pada tahun 1434 H / 2013 M. Dalam skripsi ini
lebih membahas pada pemikiran Wahid Hasyim dalam
pembaharuan pendidikan Islam, sementara yang ingin
penulis angkat ialah bagaimana peranan Wahid Hasyim
dalam rancangan Piagam Jakarta dan responsnya saat
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, serta
kebijakan-kebijakannya dalam Kementerian Agama di mana
Kementerian Agama itu sendiri sebagai pengganti yang
diberikan pemerintah atas kegagalan politik umat Islam.
C. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan penulis dalam
penyusunan skripsi ini adalah pendekatan sejarah, dan
17
politik. Pendekatan sejarah mempunyai pemaparan
(description) dan penjelasan (explanation), pendekatan
sejarah juga suatu proses menguji dan menganalisis secara
kritis peninggalan yang sudah ada.26 Kemudian ilmu sosial
memperhatikan secara mendasar kejadian-kejadian sosial
dengan mendasarkan pada data-data seperti sejarah untuk
informasinya.27 Sementara itu pendekatan politik selalu
berkaitan dengan pemerintahan, kekuasaan, konflik, partai
politik, atau upaya-upaya yang ditempuh perseorangan
maupun kelompok untuk memperjuangkan kepentingan
warga negara. Ada beberapa pandangan mengenai politik, di
antaranya politik sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga
negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan
bersama. Kedua, politik berkaitan dengan penyelenggaraan
negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kegiatan
untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam
masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan perumusan. Kelima, politik sebagai konflik
dalam rangka sumber daya ekonomi dan kualitas kehidupan
beragama.28
Kajian penelitian ini menekankan kepada sejarah
biografi, di mana fokus utama dari penulisan sejarah biografi
ini adalah menguraikan jalan hidup seseorang dalam
26Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985), 39. 27Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 144-145. 28Imam Suprayogo, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai,
(Malang: UIN Malang Press, 2009), 44.
18
hubungannya dengan lingkungan sosial-historis yang
mengitarinya. Bagaimana seorang tokoh tersebut mengatasi
berbagai hambatan, apa yang dicita-citakan, apa yang
dilakukan dan bagaimana dia melakukannya serta sampai di
mana sukses yang bisa dicapai bagi dirinya dan
perjuangannya untuk kepentingan ummat.
2. Metode Pengumpulan Data.
Dalam penelitian perlu adanya metode atau jalan.
Metodologi berasal dari bahasa Yunani metodos, terdiri atas
dua suku kata, yaitu metha berarti melalui atau melewati dan
hodos yang berarti jalan atau cara. Jadi metodologi adalah
ilmu atau kajian yang membahas kerangka pemikiran
(frameworks) tentang konsep-konsep, cara atau prosedur,
yang maksudnya untuk menganalisis tentang prinsip atau
prosedur yang akan menuntun, mengarahkan dalam
penyelidikan serta penyusunan suatu bidang ilmu. Dengan
demikian metodologi atau science of methods adalah ilmu
yang membicarakan tentang cara.29 Metode penelitian ini
menggunakan library research (studi pustaka) dan metode
kualitatif dengan mengacu kepada buku panduan penulisan
karya ilmiah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, menurut Bogdan dan Taylor metode kualitatif itu
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tulisan atau lisan dari orang-orang
29Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode, Contoh
Aplikasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 73.
19
dan perilaku yang dapat diamati. Kemudian Kirk dan Miller
juga mengatakan bahwa metode kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia
dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-
orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.30
Kemudian penelitian ini menggunakan beberapa langkah
metode penelitian sejarah yang terdiri dari kegiatan heuristik,
kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
3. Heuristik
Kegiatan menggali sumber untuk mendapatkan data-
data atau materi sejarah, atau evidensi sejarah.31 Sumber-
sumber sejarah terdiri dari sumber pimer dan sumber
sekunder. Sumber primer dalam penulisan ini sendiri penulis
menggunakan tulisan-tulisan Wahid Hasyim, naskah Yamin,
dan tulisan Hatta yang telah penulis lampirkan dalam
lampiran, adapun sumber sekunder penulis temukan baik di
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jl. Merdeka
Selatan, Perpustakaan Nasional Salemba, Perpustakaan
PBNU, Perpustakaan MPR, Arsip Nasional Republik
Indonesia, RRI, buku milik pribadi penulis, buku milik
30Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset, 1993), 3. 31Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode, Contoh
Aplikasi, 93.
20
koleksi dosen FAH, Imam Subchi, M.A, buku milik pribadi
teman SPI, penulis juga mendownload artikel dari internet
baik dari J-Store maupun Google Cendikia.
4. Kritik Sumber
Kritik Sumber dilakukan setelah sumber sejarah
terkumpul. Kritik sumber dalam penelitian sejarah
merupakan salah satu tahapan yang terpenting dan pokok.32
Secara teoritis, kritik sumber dibedakan menjadi dua macam:
kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal,
dimaksudkan untuk menguji dan mengungkap keabsahan
tentang otentisitas (keaslian) suatu sumber baik berbentuk
fisik maupun non fisik. Sedangkan kritik internal
dimaksudkan untuk menguji sekaligus mengungkap
keabsahan atau kebenaran suatu sumber.33 Dalam penelitian
penulis mengunjungi beberapa tempat untuk memperoleh
sumber. Di antaranya Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia di Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, Gambir,
Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10110, penulis
menemukan buku-buku dan beberapa sumber primer seperti
tulisan-tulisan Wahid Hasyim dalam majalah Mimbar Agama
yang berjudul Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak yaitu
dengan Meninggalkan Hawa Nafsu dan Menjalani
Kebenaran, Kebangkitan Dunia Islam, Kedudukan Ulama’
32Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan
Praktik), (Jakarta: Restu Agung, 2006), 68. 33Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan
Praktik), 69.
21
dan Masyarakat Islam di Indonesia, Pendidikan Ketuhanan,
Sekitar Pembentukan Kementrian Agama RIS, Perbaikan
Perjalanan Haji. Di sini penulis terbantu dengan melihat apa
yang terjadi dan ditulis Wahid Hasyim pada masanya.
Kemudian tulisan Hamka, Kementrian Agama Supaya
Ditinjau Kembali, di sini penulis mendapatkan tambahan
informasi mengenai berdirinya Kementrian Agama yang
digubris dan tidak disetujui oleh nonmuslim. Penulis juga
menemukan rekaman wawancara Sarman Sulaiman dengan
Sayuti Melik yang menceritakan soal pengetikan naskah
proklamasi. Tulisan Mas’uddin Noor, Almarhum K.H.A.
Wahid Hasjim” dalam tulisan ini penulis membandingkan
informasi di buku tentang kematian Wahid Hasyim, penulis
mendapatkan informasi mengenai kronologi kematian Wahid
Hasyim.
Sementara itu penulis mendapatkan koran sebagai
sumber primer tambahan di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia lama di Jl. Salemba Raya, No. 28A, Senen, Jakarta
Pusat, DKI Jakarta di antaranya ialah koran Tjahaja,
“Pembubaran MIAI” penulis mendapatkan informasi
pembubaran MIAI sebagai kritik dari buku yang menyatakan
pembubaran MIAI, sehingga dengan adanya koran ini
penulis mengetahui pasti kapan MIAI dibubarkan. Soerara
Asia, “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” penulis
menemukan informasi terkait semangat tokoh-tokoh
22
Indonesia menyongsong kemerdekaan termasuk di dalamnya
pidato Wahid Hasyim.
Arsip poto Wahid Hasyim di Arsip Nasional Republik
Indonesia di Jl. Ampera Raya No. 7, RT.3/RW.4, Cilandak
Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12560,
penulis jadikan sebagai lampiran foto. Selain itu penulis juga
menemukan naskah Yamin yang menggambarkan rapat
selama pembentukan tata negara, penulis juga menemukan
naskah Piagam Jakarta dalam naskah Yamin. Selain arsip,
koran, dan majalah penulis juga menggunakan jurnal sebagai
salah satu sumber karya ilmiah ini, Jurnal Review Politik:
Kajian Islam dan Politik berjudul “Potret Pastisipasi NU di
Indonesia dalam Lintasan Sejarah” penulis mendapat
informasi organisasi politik pada masanya dalam perjuangan
kemerdekaan, jurnali ini terdapat di Lt. 6 Perpustakaan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta beralamat di Ciputat, Tangerang
Selatan. Jurnal di Jstore ditulis oleh RE Elson berjudul
“Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945”
penulis mendapat informasi mengenai kontroversi golongan
Islam dengan golongan sekuler mengenai dasar negara.
Penulis juga ke beberapa perpustakaan yang berada di
daerah sekitar penulis maupun daerah Jakarta seperti
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jl. Medan
Merdeka Selatan No. 11, Gambir, Senen, Jakarta Pusat, DKI
Jakarta, 10110, Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di Jl. Ir. H. Djuanda No. 95, Cempaka
Putih, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten, 15412,
23
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora di Jl.
Tarumanegara No. 17B, Pisangan, Ciputat Timur, Kota
Tangerang Selatan, Banten 15419, Perpustakaan Universitas
Indonesia di Gedung Crystal of Knowledge Kampus UI,
Pondok Cina, Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424,
Perpustakaan PBNU di Jl. Kramat Raya No. 164,
RT.7/RW.2, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta
10430, penulis menemukan majalah Soeara NU dan Berita
Nahdatoel Oelama, Perpustakaan MPR di Jl. Gatot Subroto
No.6, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta, untuk lebih lengkap
dan jelas buku-buku yang penulis kumpulkan dapat dilihat di
daftar pustaka yang telah penulis cantumkan, dan buku
pribadi milik teman dan dosen FAH, Drs. Imam Subchi, MA
berjudul Ilusi Ngara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, editor KH. Abdurrahman
Wahid, di sini penulis mendapat tambahan pengetahuan
semakin pentingnya membahas skripsi mengenai dasar
negara ini mengingat banyaknya para teroris yang tak
bertanggung jawab. Kemudian buku Aguk Irawan, Penakluk
Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta:
Qalam Nusantara, 2016, cet. IV dan Mohammad Rifa’i,
Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, Jogjakarta:
Garasi, 2009. Di sini penulis mendapatkan informasi
mengenai keluarga Wahid Hasyim dan karya-karya Wahid
Hasyim.
24
5. Interpretasi
Interpretasi menguraikan fakta-fakta sejarah dan
kepentingan topik sejarah. Tidak ada masa lalu dalam
konteks sejarah yang aktual karena yang ada hanyalah
interpretasi historis. Interpretasi disebut juga sebagai
penafsiran, tidak ada interpretasi yang bersifat final, sehingga
setiap generasi berhak menerangkan interpretasinya sendiri.34
Sehingga sejarawan yang jujur akan mencantumkan data
yang ia peroleh.35 Tujuan kaum interpretivis sendiri yakni
mempelajari dan meneliti proses di mana orang memberi
makna kepada dunia dan prilaku di dalamnya.36
6. Historiografi
Langkah terakhir yakni historiografi, merupakan fase
terakhir dalam metode sejarah yang meliputi cara penulisan,
pemaparan atau pelaporan hasil penilitian sejarah yang telah
dilakukan. Pada fase ini aspek kronologi sangat diperlukan
karena ini merupakan penulisan sejarah.37
D. Kerangka Berpikir
Dalam sebuah penyusunan sebuah Dasar Negara
perlu adanya musyawarah dan kemufakatan bersama.
Sehingga tidak terjadi pergesekan antar kelompok.
34Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, 107. 35Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2013), 78. 36Lihat Imam Subchi, Pengantar Antropologi, 291-293. 37Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 80-81.
25
Perancangan Dasar Negara ini membawa berbagai kalangan
baik nasionalis sekuler maupun nasionalis Islam kepada
permasalahan yang meruncing. Panjangnya proses
perumusan Dasar Negara, sampai-sampai terjadi beberapa
kali konstitusi. Bagaimana membuat suatu Undang-undang
yang akan dijadikan Dasar Negara, mencakup kebutuhan
beragam suku di Indonesia, dengan tujuan kesetaraan meski
berbeda suku dan bahasa, tidak ada kecemburuan sosial.
Sempat terjadi perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler
dan nasionalis Islam mengenai preambule (pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945), atau sering juga disebut
Piagam Jakarta. Terjadi reses “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
kalimat terebut dianggap diskriminasi karena hanya
mencakup umat Islam saja, tanpa penganut agama umat lain.
Kemudian kalimat tersebut dihapus sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, tepatnya 18 Agustus 1945. Wahid
Hasyim sebagai tokoh Islam yang memberikan usul kalimat
tersebut masih dipertanyakan apa benar menyetujui
dihapuskannya tujuh kata tersebut ketika Mohammad Hatta
mengajak nasionalis Islam untuk merundingkan kembali
demi persatuan Indonesia.
Pendekatan yang digunakan yakni sejarah, sosiologis,
dan politik. Ditulis secara deskriptif berdasarkan periodesasi
waktu, menyangkut kepentingan bersama dan lingkungan
masyarakat sehingga menggunakan teori sosiologis, serta
perlunya pendekatan politik karena membahas perdebatan
26
tujuh kata tetap dipertahankan atau dihapuskan. Teori yang
digunakan yakni rule (peran) menempatkan peranan seorang
tokoh yang berpengaruh untuk masyarakat sekitar, di mana
masyarakat berharap perannya dapat berhasil merealisasikan
keperluan yang diharapkan masyarakat.
27
Hubungan Wahid Hasyim dengan Jepang
KH Abdul Wahid Hasyim
Penghapusan 7 Kata dalam
Piagam Jakarta
Politik pemerintahan
Jepang
Konstitusi Rancangan Pembukaan Dasar
Negara
Teori Peranan
Pendekatan
PolitikSosiologis Sejarah
Peran KH Abdul Wahid Hasyim
dalam Perumusan
Effect Penghapusan 7
Kata dalam Piagam Jakarta
Respons KH Abdul Wahid
Hasyim terhadap Penghapusan 7
kata
Perdebatan Nasionalis
Sekuler dan Nasionalis
Islam
28
29
BAB III
BIOGRAFI KH ABDUL WAHID HASYIM
A. Riwayat Hidup KH Abdul Wahid Hasyim
Wahid Hasyim ialah putra kelima dari pasangan KH
Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti kiai Ilyas
(selanjutnya disebut Nafiqah), Wahid Hasyim lahir pada Jumat,
1 Juni 1914 M/ 5 Rabi’ul Al-Awwal 1333 H di Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur. Nama aslinya adalah Abdul Wahid,
tetapi ketika dewasa ia sering menulis namanya dengan A.
Wahid dan ditambah nama ayahnya di belakangnya, sehingga
menjadi A. Wahid Hasyim dan kemudian ia lebih dikenal
dengan Abdul Wahid Hasyim,38 tapi biasanya Nafiqah selalu
memanggil Abdul Wahid kecil dengan sebutan “Mudin.”39
Berikut silsilah keluarga KH Abdul Wahid Hasyim:
38Azyumardi Azra, Saiful Umam, Ed., Menteri-Menteri Agama
RI:Biografi Sosial-Politik, 99. 39Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
(Bandung: Marja, 2017), 25.
KH Abdul Wahid Hasyim
KH Hasyim Asy’Ari
Abdurrahman Wahid
Khadijah Aisyah Shalahudin Al-Ayubbi
Hasyim Wahid
KH Bisri Syamsuri
Nyai Nafiqah
Solichah
Umar
Nyai Khadijah
30
Kembali membahas masa kecil Wahid Hasyim, ketika ia
masih berada dalam kandungan, Nafiqah merasa khawatir
karena kehamilan kali ini berbeda dengan kondisinya saat hamil
anak-anak sebelumnya, saat mengandung Wahid Hasyim ia
merasa sangat kelelahan dan lemas. Ia menceritakan hal ini pada
suaminya (KH Hasyim Asy’ari), kemudian Hasyim Asy’ari pun
menenangkan Nafiqah, bahwasanya anak adalah rahasia
Allah.40 Selama hamil ia selalu merasa lemas dan sakit-sakitan,
seolah tidak kuat menahan kehamilan. Suatu saat ia berdoa agar
diberikan kesehatan untuk dirinya dan anak yang dikandung,
lalu ia bernazar. Bila nanti anak ini lahir dalam keadaan sehat
wal afiat, ia akan membawanya menghadap guru ayahnya di
Bangkalan, Madura, yaitu KH Kholil.41 Kembali pada
kehamilan ibu Wahid Hasyim, kondisi kehamilan Nafiqah
semakin hari semakin membaik. Kemudian lahirlah Wahid
Hasyim.42
40Aguk Irawan, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara,
(Jakarta: Imania, 2016), 28. 41Berdasarkan penelitian Zamakhsyari Dhofier KH Cholil Bangkalan
merupakan salah seorang dari enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren di Indonesia. Enam tokoh yang dimaksud yakni Kiai Cholil (Bangkalan), Syaikh Ahmad Khatib (Minangkabau), Syaikh Nawawi al-Jawi (Banten), Syaikh KH Mahfuz at-Tarmisi (Termas), Syaikh KH Abdul Karim (Banten), Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Jombang). Banyak pengasuh pesantren baik dari madura maupun Jawa Timur yang menyebut Kiai Cholil sebagai leluhur intelektual dan spiritual mereka, hampir semua kiai besar di tanah Jawa pernah berguru kepada Kiai Kholil, demikian itu karena guru dari guru-guru mereka pernah nyantri di pesantren yang diasuh olek Kiai Cholil. Begitu pula para tokoh pendiri NU yang terkemuka seperti KH Hasyim asy’ari dan KH Wahab Chasbullah juga pernah nyantri kepada kiai Cholil. Lihat. Mokh. Syaiful Bakhri, Syaichona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura, (Sidogiri Kraton Pasuruan: Cipta Pusaka Utama, 2009), 21-22.
42Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 158. Mengenai nama Asy’ari ada juga yang berpendapat diambil dari nama kakeknya.
31
Sesuai dengan nazarnya dulu, ketika merasa
kesehatannya sudah pulih dan bayi Mudin43 sudah cukup kuat,
Nafiqah pergi ke Madura untuk menghadap guru KH Hasyim
Asy’Ari yakni Kiai Kholil. Saat itu, usia Wahid Hasyim sekitar
tiga bulan. Dari Jombang, Nafiqah tidak sendirian ia ditemani
oleh Mbah Abu pergi menuju Surabaya menggunakan kereta
api. Setelah Nafiqah sampai di Surabaya,44 Nafiqah dan Mbah
Abu meneruskan perjalanan ke pelabuhan untuk naik kapal
yang akan menyeberangkan mereka ke Pulau Madura.
Sesampainya di Pelabuhan Madura, mereka melanjutkan
perjalanan dengan andong menuju Desa Kademangan rumah
Kiai Kholil.
Turun dari andong45, kedua perempuan itu masih harus
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Nafiqah sudah
kepayahan karena harus terus menggendong bayinya. Ketika
sampai di tempat yang dituju, hari sudah malam dan hujan deras
turun mengguyur Desa Kademangan. Kiai Kholil yang sangat
masyhur ternyata tinggal di pondok yang sangat sederhana
dikelilingi pekarangan yang sekaligus menjadi dinding rumah.
Pondok itu sepi dan gelap, tidak tampak ada penghuninya.
Sudah beberapa kali Nafiqah memanggil dan mengucapkan
salam, namun belum ada jawaban dari pemilik rumah. Dalam
bahasa Madura, Nafiqah kembali memanggil, “Pangapora,
43Nama panggilan Wahid Hasyim saat masih kecil. 44Untuk lebih detail cerita tentang Nafiqah menuju Bangkalan dapat
dilihat dalam buku Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 26.
45Kereta kuda sebagai kendaraan.
32
Non.”46 Dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya, “Permisi,
Tuan.” Setelah sekian lama menunggu, akhirnya muncul juga
tuan rumah. Kiai Kholil lalu berkata, “Kalian tidak aku izinkan
masuk ke rumah, tetapi aku juga tidak mengizinkan kalian
untuk pergi dari situ, sampai ada perintah dariku.” 47
Karena patuh pada sang guru, kedua perempuan itu tak
berani bergeser ke mana-mana hingga badannya basah kuyup.
Saat itu hujan memang turun sangat deras, diiringi petir yang
terus menyambar-nyambar. Karena kasihan dengan bayinya,
Nafiqah memberanikan diri meletakkan bayinya di beranda
rumah Kiai Kholil. Namun tidak lama kemudian, Kiai Kholil
keluar dari pondok lagi. Kiai Kholil mengatakan ia tidak
mengizinkan bayi itu ditaruh di bawah lindungan atap rumah,
dan harus dibawa lagi ke tengah halaman di tengah hujan lebat.
Nafiqah tidak membantah sedikit pun. Ia menurut, bersegeralah
Nafiqah mengambil bayinya kembali.48 Akhirnya, Kiai Kholil
minta kepada Nafiqah agar meninggalkan tempat itu. Maka
tidak ada pilihan lain, Nafiqah pun pulang ke Jombang dengan
banyak tanda tanya yang tidak terjawab saat itu, mengapa Kiai
Kholil berbuat seperti itu. Tidak mengizinkan mereka masuk ke
rumah meskipun sedang membawa bayi yang baru berusia tiga
bulan dan hujan sedang turun lebat, namun tidak pula
mengizinkan mereka untuk pulang. Rupanya, kejadian luar
46Ucapan permisi dalam bahasa Jawa. 47Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
27. 48Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
27-28.
33
biasa itu menjadi sebuah pertanda bahwa kelak Wahid Hasyim
akan menjadi orang besar.49
Sebagaimana lahirnya tokoh-tokoh besar di dunia ini,
kelahiran mereka selalu dipenuhi tanda-tanda, entah itu sebuah
peristiwa besar yang membarenginya, entah itu hari lahirnya
adalah hari sakral dan lain sebagainya. Seperti halnya kelahiran
Nabi Muhammad SAW yang dibarengi dengan peristiwa
Pasukan Gajah yang mati karena serangan burung. Begitu pula
dengan proses kelahiran Wahid Hasyim. Ini mungkin kebetulan,
tetapi bagaimana jika “kebetulan” tersebut selalu menjadi
biografi kelahiran orang-orang besar.50 Namun ada pula yang
mengaitkan peristiwa tersebut dengan kematian melalui
kecelakaan mobil saat ia menuju Bandung. Situasinya memang
mirip dengan yang terjadi di rumah Kiai Kholil pada 1914.
Di dalam buku Sejarah Hidup K.H. Wahid Hasjim, Abu
Bakar menyebutkan dengan agak rinci bagaimana fisik Wahid
Hasyim yang dikaitkan pula dengan tanda dan karakter jika
mempunyai ciri fisik tersebut. Ini disebut ilmu firasat, semacam
tafsir ilmu lokal atau kejawen, seperti dalam kitab primbon
Jawa. Bentuk badan Wahid Hasyim agak pendek.51 Ia gemuk,
tetapi tegap. Warna kulitnya tidak terlalu kuning dan tidak pula
terlalu hitam. Rambutnya hitam berkilat, yang menurut ilmu
49Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 20. 50Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 20.
Lihat juga karya Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. 51Kutipan ini juga terdapat dalam tulisan Aboebakar Sejarah Hidup
K.H.A. Abdul Wahid Hasjim, dimuat lagi dalam buku Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. Kutipan di sini merujuk pada sumber terakhir, 22.
34
firasat menandakan banyak teorinya. Matanya bulat agak lebar
dan samar-samar tampak bila bangun dari tidur agak tiada sama
lebar kedua biji matanya, menunjukkan hati jujur, tetapi mudah
jemu jika menghadapi sebuah perkara.
Hidungnya mancung, hanya ujungnya agak tumpul
sedikit, yang memberi arti kemauannya keras, hingga kadang-
kadang sampai menimbulkan pendirian yang sangat keras dan
tegas, rambutnya ikal.52 Lehernya pendek, mengisyaratkan
seorang pemberani dan konsekuen. Tulang di bawah kedua
gerahamnya menonjol, memberi alamat kuat pembelaan
terhadap sesama kawan dan sangat setia kawan. Tahi lalatnya
antara lain tampak di dada, bahu kiri sebelah atas, dan pada
salah satu ujung jarinya. Dadanya bidang, sedangkan anggota
sebelah bawah tiada seimbang dengan atas, yakni ukuran bagian
kaki lebih pendek dari punggung. Adapun tabiatnya, sebagian
banyak berlawanan dengan bentuk keadaan anggota yang
ditebak ilmu firasat. Demikian itu mungkin karena Ia memiliki
keistimewaan (atau telah mempelajari ilmu firasat) dalam ilmu
firasat, hingga oleh karenanya ia dapat mengetahui kekurangan-
kekurangannya menurut ilmu tersebut dan kemudian
kekurangan-kekurangan itu diisi dengan yang patut.53
Demikianlah kisah kelahiran Wahid Hasyim dan ciri-ciri fisik
yang dimilikinya.
52Aguk Irawan, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara,
45. 53Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 22.
35
Lalu ia menikah pada usia 25 tahun dengan Solichah,
dikaruniai enam orang anak54 di antaranya Abdurrahman Al-
Dakhil (Gus Dur), Aisyah, Sholahuddin Al-Ayubi, Umar
Wahid, Khodijah, dan Hasyim Wahid.55 Sayangnya ia tidak
memiliki kesempatan banyak mendidik anak-anaknya, Wahid
Hasyim meninggal pada 19 April 1953 di usianya yang ke 39, 56
meninggalkan Wahid Hasyim lantaran kecelakaan mobil yang
dialaminya di Cimindi (antara daerah Cimahi dan Bandung),
kemudian dimakamkan di kampung halamannya Tebuireng,
Jombang. Kabar ini disiarkan melalui radio bahwa mantan ketua
Menteri Agama telah meninggal.57
B. Pendidikan KH Abdul Wahid Hasyim
Sejak kecil, Wahid Hasyim dikenal sangat cerdas. Ia
pendiam, tapi ramah dan pandai mengambil hati orang. Ia gemar
menolong kawan, suka bergaul dengan banyak orang tanpa
membeda-bedakan agama, pangkat, atau tingkat kekayaan. Selain
itu, Ia juga senang berkorban untuk kawan, tetapi gampang
tersinggung. Bahkan, sejak kecil hingga remaja, Wahid Hasyim
dikenal pemarah. Sifat ini lenyap ketika ia beranjak dewasa.
Hilangnya sifat pemarah itu, menurut penuturan Wahid Hasyim
54Lihat silsilah keluarga pada halaman sebelumnya. 55Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang,
(Jawa Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015), 193.
56Mas’uddin Noor, “Almarhum K.H. A. Wahid Hasjim,” Mimbar Agama, No. 4, tahun ke 3, April 1953, 32. Kecelakaan ini terjadi pada Sabtu sekitar pukul 13:00, kemudian Wahid Hasyim langsung dibawa ke rumah sakit dan meninggal pada Minggu, 19 April 1953. Kemudian jasadnya dibawa ke Surabaya pada 20 April untuk dimakamkan di Tebuireng.
57Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 326.
36
sendiri setelah ia berpuasa sunah selama bertahun-tahun. Di
kalangan kaum santri, istilah untuk orang yang gemar berpuasa
adalah “ahli tirakat”. Menurut KH M. Syatari, pemimpin
Pesantren Arjawinangun, Cirebon, kebiasaan puasa sunah ini
memang sudah diajarkan sejak kecil oleh ayahnya, KH Hasyim
Asy’ari.58
Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di
bangku sekolah Pemerintahan Hindia-Belanda. Dia lebih banyak
belajar secara autodidak hal ini karena ayahnya tidak
memperbolehkannya belajar di sekolah Hindia-Belanda
disamping itu Wahid Hasyim memang gemar membaca.59 Ia
banyak mempelajari kitab-kitab dan buku bahasa Arab. Wahid
Hasyim mendalami syair-syair bahasa Arab hingga hafal di luar
kepala, selain itu juga menguasai maknanya dengan baik.60
Sejak usia lima tahun Wahid Hasyim belajar membaca
Al-Quran kepada ayahnya dan sudah pandai membaca kitab suci
tersebut, ia juga belajar kitab Fathul-Qarib, Minhajul Qawim,
Mutammimah pada ayahnya di usia tujuh tahun.61
Pada usia 12 tahun, setelah tamat dari Madrasah, ia
membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak
sebayanya. Ia mengajari adiknya, A. Karim Hasyim kitab ‘Izi di
58Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 28-29.
59Azyumardi Azra, Saiful Umam, Ed., Menteri-Menteri Agama RI:Biografi Sosial-Politik, 100.
60Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 22. 61Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT), Profil
Pahlawan Nasional, (Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kepahlawanan Sosial Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial RI, 2014), 20. Lihat juga dalam buku Mohammad Rifai, Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953, 23.
37
malam hari. Pada masa itu pula, ia giat mempelajari ilmu-ilmu
kesastraan Bahasa Arab. Cara belajarnya sebagian besar dengan
kekuatan muthala’ah dan membaca sendiri. Ini menunjukkan
betapa kuatnya ia membaca dan berpikir yang sejak kecil sudah
tertanam dalam dirinya. Zaini memberikan informasi dalam buku
karangannya K.H. Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan
Islam, bahwa Wahid Hasyim juga tercatat sebagai anggota
perpustakaan Surabaya. Tidak seperti anggota lainnya yang
membaca berdasar sesuatu yang menjadi keinginan mereka,
Wahid Hasyim membaca semua buku yang tersedia di
perpustakaan. Sayangnya informasi yang berkaitan dengan hal ini
sangat sedikit. Bisa jadi benar bahwa beliau membaca seluruh
buku yang ada, karena jumlah buku yang tersedia saat itu masih
terbatas, atau beliau meringkas buku tersebut untuk melihat isi
buku, kemudian beliau membaca secara selektif sesuai dengan
minatnya. Singkat kata, melalui autodidak, pengetahuan yang
didapatnya sangat luas, mulai dari tafsir, hadits, fiqih, sampai
pengetahuan sejarah politik, dan filsafat.
Dia juga sempat mondok di Pondok Siwalan Pandji,
Sidoardjo, tapi hanya dalam hitungan hari. Demikian pula yang
terjadi ketika ia mencoba menimba ilmu di Pondok Pesantren
Lirboyo, Kediri.62 Pada usia 13 tahun inilah Wahid Hasyim
memulai pengembaraannya dari satu pesantren ke pesantren
62Penulis belum menemukan secara detile ilmu apa saja yang dipelajari
KH Abdul Wahid Hasyim di pesantren-pesantren yang pernah ia belajar, bahkan dalam buku Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A Wahid Hasjim, padahal buku ini dikenal paling lengkap merangkum sejarah hidup KH Abdul Wahid Hasyim.
38
lainnya.63 Wahid Hasyim mulai nyantri64 namun dari beberapa
pondok pesantren yang ia tempati, tidak begitu lama ia nyantri.
Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam
hitungan hari itu, menurut Wahid Hasyim keberkahan guru lebih
penting bukan ilmunya, karena soal ilmu, mungkin dalam
pikirannya, bisa dipelajari di mana saja dan dengan apa saja.
Akan tetapi soal memperoleh berkah harus berhubungan dengan
kiai.65
Semangat belajarnya tidak pernah padam terutama belajar
secara autodidak. Pembuktian lain tentang pola belajar Wahid
Hasyim yang hasilnya sangat bagus adalah meskipun ia tidak
bersekolah di lembaga pendidikan Hindia-Belanda akan tetapi
pada usia 15 tahun ia mengenal huruf latin, menguasai bahasa
Inggris dan bahasa Belanda.66 Kedua bahasa itu ia pelajari dari
hasil membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri maupun
kiriman luar negeri. Dalam bukunya Barton menyebutkan bahwa
kecerdasan Wahid Hasyim tak terlepas dari peran Nafiqah atas
pengetahuan dan keahlian Wahid Hasyim terhadap bahasa
asing.67
Nafiqah meminta salah seorang Eropa yang bekerja
sebagai manajer di pabrik gula untuk mengajarkan Wahid
Hasyim Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Sehingga tidak
63Lihat juga buku yang ditulis oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Enslikopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), 978.
64Nyantri adalah menimba ilmu di Pondok Pesantren, orang yang menimba ilmu di Pondok Pesantren disebut santri.
65Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 23. 66Lihat, Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh
Abad 20, 35. 67Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 24.
39
hanya ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu dunia ia pelajari.68 Hal
tersebut bisa dijadikan modal Wahid Hasyim untuk bisa masuk
menjadi elite perkotaan. Dalam belajar autodidaknya ia
berlangganan majalah Penyebar Semangat, Daulat Rakyat, dan
Panji Pustaka, majalah Indonesia ini diterbitkan oleh kelompok
nasionalis. Sedangkan dari luar negeri (Timur Tengah) ia
berlangganan Ummul Qura, Shautul Hijaz, Al-Latha’iful Al-
Musyawarah, Kllusyai-in-wad-Dunnya dan Alitsnain.69 Sejak itu
pula, ia belajar bahasa Belanda dengan jalan berlangganan dari
“Sumber Pengetahuan” Bandung yang waktu itu masih bernama
tiga bahasa. Ia mengambil dua macam bahasa, yaitu bahasa
Belanda dan Arab. Akhirnya setelah selesai dan tamat, barulah ia
kemudian mengambil bahasa Inggris. Dalam buku Sejarah Hidup
K.H. A. Wahid Hasjim yang disusun oleh Aboebakar,
menjelaskan Wahid Hasyim sudah mulai mengajar agama pada
teman-temanya sejak usia 12.70 Mulai umur 15 tahun itu pulalah,
ia benar-benar menjadi penggemar bacaan yang sesungguhnya.
Hal demikian itu mungkin disebabkan ia merasakan kenikmatan
membaca atau mungkin mengamalkan nasihat dari pepatah
Inggris “Read anything five hours a day you shall soon be
learned” yang artinya kurang lebih: baca apa saja lima jam
sehari, maka segeralah engkau menjadi terpelajar. Karena saking
68Aguk Irawan, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara,
97. 69Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), 176.
70Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 84.
40
serius dan rajinnya atau gemarnya membaca, hingga ia harus
mengenakan kaca mata sejak awal ia memasuki umur remaja.71
Hasil dari gemarnya ia membaca dan proses berpikirnya
yang disiplin serta ketat itu dibuktikan dengan munculnya buah
tulisan tangannya yang terdapat dalam salah satu buku peringatan
milik adik kandungnya. Tulisan tersebut dibuatnya pada 1929
(pada saat usia 15 tahun). Ini adalah awal dari seorang penulis,
seorang penulis pastilah juga seorang pembaca yang rajin. Dari
sini ia terus belajar apa saja yang bermanfaat bagi kehidupannya
dan umat manusia secara keseluruhan. Pada tahun 1931 ia mulai
mengajarkan kitab Ad-Durarul Bahiyah dan Kafrawi di muka
pelajar-pelajar di malam hari, dan kadang-kadang diminta untuk
berpidato jika ada rapat umum. Pendek kata, pengaruhnya sudah
mulai tampak sekalipun hanya samar-samar. Ini adalah proses
belajar mental menjadi calon pendidik dan pemimpin kelak di
masa depan.72
Sementara itu sejak usianya menginjak umur 18 tahun
(1932), ia pergi ke Makkah. Kepergiannya di samping
menunaikan ibadah haji juga memperdalam ilmu agama.
Kepergiannya ke Makkah ditemani oleh saudara sepupunya,
Muhammad Ilyas. Selama dua tahun itu ia belajar di Makkah,
namun tidak ada banyak data yang menjelaskan aktivitas Wahid
Hasyim selama menimba ilmu di kota suci (Makkah). Hanya
menjelaskan bagaimana Wahid Hasyim yang banyak bergaul
dengan macam-macam orang dari berbagai bangsa. Namun,
71Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 25. 72Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 25.
41
menurut catatan riwayat hidupnya yang diterbitkan oleh
Gunseikanbu73 Jepang, ia pernah mengajar di Makkah.74 Hal ini
menjadikan Wahid Hasyim berpikir secara luas, terbuka, dan
tidak fanatik dalam menghadapi suatu persoalan. Wahid Hasyim
juga meyakini jika ajaran Islam dapat mencapai kemajuan dan
persatuan. Sepulangnya dari Makkah, Wahid Hasyim merasa
perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan di
bidang sosial, keagamaan, pendidikan, dan politik.75
Selama belajar dua tahun di Tanah Suci, dengan bekal
bahasa Inggris, Arab, dan Belanda ia dapat dengan leluasa
mempelajari sendiri pelbagai buku.76 Hasil belajar aoutodidak
yang dilakukan Wahid Hasyim ketika masih di Indonesia
sangatlah membantu. Ia sama sekali tidak canggung berinteraksi
dengan orang-orang dari berbagai negara di Makkah. Meski tidak
membawa satu pun gelar akademik, ilmu pengetahuan yang
diperoleh Wahid Hasyim selama di Makkah sangat banyak.
Hingga akhirnya dengan kemahirannya dalam membaca, sekitar
tahun 1941 Wahid Hasyim sudah mulai aktif dan menghasilkan
banyak tulisan di Suluh Nahdatul Ulama, sebelumnya ia aktif
menulis di media Berita Nahdatul Ulama dan Suara Nahdatul
Ulama. Hal ini menunjukkan bahwa ia benar-benar suka
membaca dilihat dari hasil-hasil tulisannya yang banyak di
73Gunseikanbu ialah staf pemerintahan militer pusat, Sejarah Lengkap
Indonesia, 286. 74Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 84. 75Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 26. 76Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
35.
42
beberapa media.77 Kecintaannya dalam dunia tulis-menulis
diungkapkan pula oleh Muchit salah satu murid Wahid Hasyim,
suara mesin tulis selalu terdengar setiap malam dari salah satu
kamar di ujung kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur. Para santri yang masih terjaga merasa terganggu.
Tapi siapa berani memprotes? Sang pengetik Abdul Wahid
Hasyim putra KH Hasyim Asy’ari pengasuh pondok pesantren.78
Sepulangnya dari Makkah pada akhir 1933, saat usia
Wahid Hasyim 19 tahun. Tiba di Tebuireng, dari ratusan santri
yang ada, Wahid Hasyim hanya memilih empat orang untuk
diasuh setiap hari secara intensif. Keempat santri itu adalah A.
Wahab Turham dari Surabaya; A. Moghni Rais dari Cirebon,
Meidari asal Pekalongan, dan Faqih Hassan dari Sepanjang.
Dengan memilih sedikit santri, Wahid Hasyim rupanya hendak
membuat proyek rintisan bagi model baru pendidikan pesantren.
Selama melakukan perjalanan ke beberapa tempat, termasuk ke
Arab Saudi, banyak sekali pengetahuan yang diperoleh Wahid
Hasyim. Dia mulai membanding-bandingkan model pendidikan
pesantren dan di luar pesantren. Ia kemudian berpikir ingin
memperbarui sistem, materi pelajaran, mental, serta cara atau
metodologi pembelajaran. Dengan berbagai pembaharuan itu,
diharapkan lulusan pesantren tidak kalah unggul dengan lulusan
non-pesantren.79
77Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng:
Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), 62.
78Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng: Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, 20.
79Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 38.
43
Atas dasar pemikiran itulah, pada 1935 saat berusia 21
tahun, Wahid Hasyim di Tebuireng berhasil mendirikan madrasah
modern yang diberi Madrasah Nizamiyah. Materi pembelajaran
yang diberikan ialah hasil ramuan Wahid Hasyim sendiri, yang
belum pernah dikenal di dunia pesantren. Selain pelajaran agama,
di Madrasah Nizamiyah juga diberikan pembelajaran umum
seperti Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda. Tentang pelajaran
bahasa asing ini, Wahid Hasyim memegang hadits Nabi: “Barang
siapa mengetahui bahasa dari suatu golongan, ia akan aman dari
‘perkosaan’ golongan itu.” Juga pepatah mengatakan “Bahasa
adalah ilmu pengetahuan.” Dengan madrasah model baru ini,
Wahid Hasyim banyak menerima kritik tajam dari berbagai
kalangan. Namun ia tetap kukuh dalam pendiriannya. Untuk
angkatan pertama, murid berjumlah 29 orang yang dikumpulkan
dalam satu kelas. Ternyata dalam waktu singkat Madrasah
Nizamiyah menarik perhatian banyak orang, dan kelas semakin
bertambah, karena di samping mahir berbahasa Arab, murid-
murid juga dapat memperoleh dan mempelajari bahasa Inggris
dan bahasa Belanda.
C. Karya-karya KH Abdul Wahid Hasyim
Atas jasa dan prestasi beliau bagi bangsa dan masyarakat
Indonesia umumnya, pemerintah berdasarkan Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24
Agustus 1964, Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan
44
Nasional Kemerdekaan Indonesia.80 Selain prestasi tersebut,
Wahid Hasyim juga meninggalkan karya-karya tulis yang patut
kita apresiasi. Sayangnya, masih sedikit kaum cendekia yang
melakukan hal ini, karya-karya tulis tersebut masih dalam
keadaan mentah dan belum ada kajian secara sistematis tentang
karya-karya tersebut. Kebanyakan buku-buku yang membahas
perjuangan dan pemikiran beliau mungkin sudah tidak bisa
ditemukan di pasaran lagi, seperti Sejarah Hidup K.H. Wahid
Hasyim. Buku ini memuat semua karya artikelnya dan pidatonya,
tapi buku ini sudah lama dan menggunakan ejaan kuno pula.
Kemudian, buku K. H. Wahid Hasyim, Riwayat Hidup dan
Perjuangannya. Walaupun relatif belum terlalu lama, tetapi sulit
didapatkan di pasaran.
Berikut beberapa karya Wahid Hasyim:
1. Karya dengan Tema Agama.
a. “Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia.” Karya ini
merupakan pidatonya pada acara pembukaan Perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW yang diadakan di Istana Negara, Jakarta,
pada 2 Januari 1950, dan merupakan perayaan Maulid pertama
sesudah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia.
b. “Kebangkitan Dunia Islam.” Karya ini merupakan tulisannya
dimuat di media Mimbar Agama edisi No. 1-12, Maret – April
1951. Dalam artikel ini Wahid Hasyim membahas mengenai
tumbuh suburnya agama Islam, padahal sebelum Islam
80Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan, Profil Pahlawan
Nasional, (Jakarta: Direktorat Kepahlawanan dan Kesetiakawanan Sosial Direktorat Jenderal Pemberdayaan Soial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial RI, 2014), 21.
45
memimpin masyarakat kala itu, keadaan mereka sangat kurus
kering, kuatnya Islam antara lain karena wahyu Sang Pencipta.
Bahkan Persia dan Romawi pun takut pada Islam, padahal .
contoh lain mengenai kegagahan Islam yakni Raja Al-Mansjur
penguasa Spanyol, waktu itu orang Barat menjuluki dia sebagai
“Martilnya kemurkaan Tuhan”. Dapat dilihat betapa gagahnya
Islam waktu itu.81
c. “Tidak Mudah Memenuhi Tuntunan Otak, jaitu dengan
Meninggalkan Hawa Nafsu dan Mendjalani Kebenaran” dimuat
pada majalah Mimbar Agama edisi Juni-Juli 1951. Tulisan ini
menggambarkan tingginya derajat manusia karena adanya otak
dan akal pikiran sehingga dapat memakmurkan dunia dan
membuatnya lemah menjadi kuat, namun kemudian menjadi
lemah karena adanya hawa nafsu yang dimilikinya.82
d. “Beragamalah dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan.”
Karya ini merupakan semacam pidato untuk perayaan Hari Raya
Idul Fitri yang pada saat itu, Indonesia masih berbentuk serikat
atau RIS (Republik Indonesia Serikat).
e. “Hari raya sebagai Ukuran Maju –Mundurnya Umat.” Tulisan ini
dimuat dalam Berita Nahdatul Ulama, No. 3 Th. ke 7, Desember
5, 1937, hlm 2-5.
f. “Arti dan Isi AL-Fatihah” dalam Berita Nahdatul Ulama, No. 14,
Th. ke VII, 15 Mei 1938, hlm 1-3.
81Wahid Hasjim, “Kebangkitan Dunia Islam,” Mimbar Agama, No. 1-
12, Maret-April, Th. 1951, 29. 82Wahid Hasjim, “Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak, yaitu
dengan Meninggalkan Hawa Nafsu dan Menjalani Kebenaran”, Mimbar Agama, No. 1-12, Juni-Juli, Th.1951, 3.
46
g. “Islam Agama Fitrah [Dasar Manusia]” dalam Suara Muslimin
Indonesia, No. 7, Th. Ke II, April, 1994, hlm. 2-4.
h. “Latihan Lapar Adalah Kebahagiaan Hidup Perdamaian Dunia”
dalam Penyiaran kementerian Agama, No. 4, 1309, hlm. 3-4.
2. Karya dengan Tema Politik.
a. “Perkembangan Politik Masa Pendudukan Jepang” dari Nota
Politik (November 1945).
b. “Apakah Meninggalnya Stalin Membawa Pengaruh Pada Umat
Islam? Juga Pada Umat Islam Indonesia?” dari Gema Muslimin
Tahun I No. 2, 1 April 1953.
c. “Di Belakang Layar Perebutan Kekuasaan Jendral Najib Di
Mesir,” ceramah (1952) (dari bundel catatan).
d. “Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Perimbangan
Kekuatan Politik Dari pada Partai-Partai dan Golongan-
Golongan,” catatan (disiarkan dalam kalangan terbatas pada
1952).83
3. Karya dengan Tema Pergerakan.
a. “Suluh”, dalam Th. I, Berita Nahdatul Ulama, No. I, Th. 1, April
1941, hlm. 1-12.
b. “Masyumi Lima Tahun”, Kutipan dari Suara Partai Masyumi,
No. 11 tahun ke-5, Desember 1950.
c. “Mengapa Saya Memilih Nahdatul Ulama?” dalam Gema
Muslimin Tahun ke-1 November 1953.
83Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 44.
47
d. “Analisis Kelemahan Penerangan Islam”, salah satu uraian untuk
konferensi, mungkin sekitar tahun 1951.
4. Karya dengan Tema Perjuangan Umat Islam.
a. “Fanatisme dan Fanitisme” dalam Gempita Muslimin No. 1 tahun
ke-1 (15 Maret 1955).
b. “Siapakah yang Akan Menang dalam Pemilihan Umum yang
Akan Datang?”, dalam Gema Muslimin, tahun ke-1 Maret 1953.
c. “Akan Menangkah Umat Islam dalam Pemilihan Umum yang
Akan Datang?” kemungkinan dari sumber yang sama dalam
waktu sedikit berbeda.
d. “Agama dalam Indonesia Merdeka,” dalam koran Asia Raya, 11
Mei 1945.84
e. “Kedudukan Ulama dalam Masjarakat Islam di Indonesia”, dalam
Mimbar Agama, September 1950. Dalam tulisan ini wahid
Hasjim mengisahkan kedudukan Ulama sangat dihormati dan di
anak emaskan oleh Jepang saat konferensi, terutama pada dua
tahun awal pendudukan Jepang di Indonesia.85
f. “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, Tetapi Pemimpin-
Pemimpinnya Tidak Tahu”. Tulisan ini ditulis dengan
menggunakan nama samaran “Makmum Bingung” pada awal 22
Desember 1951.86
84Pitoyo Darmosugito, ed., Menjelang Indonesia Merdeka: Kumpulan
Tulisan Tentang Bentuk dan Isi Negara yang Akan Lahir, (Jakarta: Gunung Agung, Anggota IKAPI, 1982), 109.
85Wahid Hasjim, “Kedudukan Ulama’ dan Masjarakat Islam di Indonesia”, Mimbar Agama, September 1950, 37.
86Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 45.
48
5. Karya dengan Tema Pendidikan dan Pengajaran.
a. “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik” dalam Suluh Nahdatul
Ulama (NU), Agustus 1941, tahun ke-1 No. 5.87
b. “Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa” dalam Suara
Ansor, Rajab 1360 Th. IV No. 3, ditulis dengan nama Banu
Asy’ari.
c. “ Pendidikan Ketuhanan” dalam Mimbar Agama Tahun I No. 5-6,
17 November -17 Desember 1950. Ini disampaikan dalam
konferensi Pendidikan Agama di Yogyakarta. Membahas
mengenai Indonesia telah bangun sejak 50 tahun yang lalu, dan
bangkitnya Indonesia membuat orang yang berkepentingan
dengan bangsa Indonesia kaget, karena mereka tidak lagi dapat
menyanyikan lagu tidur lagi untuk Indonesia. Kemudian
mengenai pendidikan masyarakat Indonesia terbagi menjadi dua.
Pertama, golongan maghrur atau arrogant yang menganggap
dirinya lebih tau dan lebih baik dari orang lain. Kedua, golongan
maqhuur, menganggap dirinya kurang dari pada orang lain.88
d. “ Perguruan Tinggi Islam”, pidato menyambut berdirinya
Universitas Islam Sumatera Utara di Medan 21 Juni 1952.
e. “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”, pidato pada
pembukaan dan penyerahan PTAIN di Yogyakarta 26 September
1951.
87Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
32. 88Wahid Hasjim, “Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, No-5-6,
November-Desember 1950, 4.
49
f. “Pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa Pembangunan”, termuat
dalam kata sambutan dalam kitab Terjemah Hadis Bukhari
(1953) diterbitkan Fa, Widjaja: Jakarta.
g. “Tuntutan Berpikir”, kata pendahuluan agenda Kementerian
Agama 1951-1952.
6. Karya dengan Tema Mistik dan Kebatinan.
“Islam: Antara Materialisme dan Mistik”, ceramah pada malam
purnamasidi Kamis malam, 4 Desember 1952, di Jl. Pegangsaan
Timur No. 56, Jakarta. Diambil dengan tulisan cepat oleh Abd.
Halim.
7. Karya dengan Tema Kementerian Agama.
a. “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama RIS” dalam Mimbar
Agama Tahun 2 No. 3-4, Maret–April 1951. Tulisannya kali ini
membahas cikal bakal Kementerian Agama sampai dengan
terbentuknya Kementerian Agama. Di mana awalnya
kementerian ini tidak disetujui untuk didirikan.89
b. “Penyusunan Kementerian Agama RIS”, termuat hampir di
semua surat kabar, di antaranya dalam buku Peringatan Hari-
Hari Besar Islam, Maulid Nabi Muhammad saw.
c. “Kedudukan Islam di Indonesia”, nota Tentang Penerangan
Agama (Ucapan dalam salah satu konferensi sekitar 1949).
d. “Tugas Pemerintah Terhadap Agama”, pidato yang diucapkan
dalam konferensi antara kementerian agama dan pengurus-
89Wahid Hasjim, “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama RIS,”
Mimbar Agama, No. 3-4, Tahun ke-2, Maret-April 1951, 2.
50
pengurus besar organisasi Islam non-politik, Jakarta 4-6
November 1951.
e. “Membangkitkan Kesadaran Beragama”, pidato diucapkan dalam
sidang resepsi konferensi kementerian agama di Bandung 21-22
Januari 1951.
f. “Perbaikan Perjalanan Haji”, Mimbar Agama, No. 1-12, Agustus
1950. Menceritakan perbaikan perjalanan ibadah haji sebagai
ikhtiar perbaikan dan bertujuan masyarakat lebih cerdas selama
dalam perjalanan haji, selain itu ia juga menceritakan keburukan
perjalanan ibadah haji saat itu.90
g. “Laporan Perjalanan ke Jepang”, dikemukakan kepada P.H.I.
Kementerian Agama dan Pemerintah pada 1952.91
8. Karya dengan Tema Revolusi.
a. “Melenyapkan yang Kolot” dalam Majalah Suara Muslimin
Indonesia, 1 Juni 1944.
b. “Kebangkitan Dunia Islam” dalam Suara Muslimin Indonesia, 15
Agustus 1944, Th. Ke-2, No. 16.
90Wahid Hasjim, “Perbaikan Perjalanan Hadji”, Mimbar Agama, No. 1-
12, Agustus 1950, 8. 91Memang cukup sulit menemukan tulisan-tulisan Wahid Hasyim,
karena ia jarang mencantumkan namanya dalam tulisannya yang dimuat di beberapa majalah, seperti Soeara Nahdatoel Oelama, Berita Nahdatoel Oelama, Mimbar Agama, dan lain-lain. Beberapa tulisan kumpulan tulisan Wahid Hasjim penulis temui dalam buku Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 46-47. Sehingga dalam sub-bab ini penulis banyak mengutip buku Mohammad Rifa’i.
51
D. Pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim.
a. Pemikiran Tentang Agama
Soal pemikirannya mengenai agama dilihat berdasarkan
pidatonya pada saat pembukaan perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW, di Istana Negara pada 2 Januari 1950. Bagi
Wahid Hasyim agama dihadirkan di muka bumi untuk kebaikan
seluruh penghuninya karena di dalam agama diajarkan bagaimana
menolong satu sama lain. Jadi, konteks memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah menempatkan
bagaimana inti ajaran sebuah agama, terutama agama Islam, tidak
lain adalah persaudaraan manusia. Bagi Wahid Hasyim, Islam
bukan sekedar menghargai akal dan otak yang sehat, melainkan
juga menganjurkan orang supaya menyelidiki, memikirkan, dan
mengupas segala ajaran Islam, Islam tahu bahwa ajaran-ajarannya
tahan uji.
Wahid Hasyim mencontohkan konteks kelahiran Nabi
Muhammad Saw itu bukan hanya untuk orang Islam saja,
melainkan untuk semua orang. Kelahiran Nabi Muhammad hadir
di tengah-tengah masyarakat jahiliah yang selalu mengagung-
agungkan materi, dan merendahkan kaum yang lemah, orang
miskin, janda, dan anak yatim. Jadi, konteks memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah menempatkan
bagaimana inti ajaran sebuah agama, tidak lain adalah
persaudaraan manusia. Dari sinilah Wahid Hasyim mengaitkan
perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW dengan kondisi
bangsa yang saat itu setelah lepas dari penjajahan.92
92Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 94.
52
b. Pemikiran Tentang Politik
Kita melihat Wahid Hasyim sebagai kalangan yang sangat
intens mencermati perkembangan politik. Hal ini menunjukkan
bahwa ia memiliki bakat seorang politisi atau memiliki minat di
dunia politik yang cukup kuat, dan ia memang menjadi politisi
tangguh. Wahid Hasyim membagi masyarakat dan kalangan
pergerakan Indonesia dalam tiga golongan, baik itu semasa
penjajahan Jepang sampai Indonesia mencapai kemerdekaan,
kemudian Indonesia mengalami masa mempertahankan
kemerdekaan dari hasrat menjajah kembali pihak Belanda dan
sekutunya. Ketiga golongan masyarakat dan pergerakan tersebut
adalah nasionalis sekuler, golongan ini adalah golongan yang
tidak begitu banyak memiliki semangat keagamaan. Kedua,
nasionalis Islam, golongan yang memiliki semangat tinggi
keagamaan, seperti saat pembentukan Kementerian Agama,
golongan ini sangat berharap dan mendukung berdirinya
Kementerian Agama. Ketiga, komunis/sosialis golongan
minoritas agama.93 Ketiga pembagian ini sebenarnya bisa
dikerucutkan menjadi dua saja, yaitu golongan lunak dan
kelompok radikal. Penggolongan ini merupakan hasil analisis
seorang pengamat politik ataupun politisi modernis yang suka
mengklasifikasikan. Analisis ini sungguh menarik jika melihat
latar belakang Wahid Hasyim yang berasal dari kalangan
tradisional, yaitu seorang santri.94
93Azyumardi Azra, Saiful Umam, ed., Menteri-Menteri Agama
RI:Biografi Sosial-Politik, 90. 94Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 99.
53
Wahid Hasyim menilai bahwa penjajahan Jepang menciptakan sistem pemerintahan diktator. Dalam pemerintahan tersebut, yang berkuasa adalah militer, dalam hal ini Jepang. Dalam pemerintahan tersebut, Jepang tidak memberikan kebebasan di waktu damai, apalagi perang kepada pemerintah sipil dalam hal ini seluruh warga Indonesia. Selain mengamati kondisi politik nasional, Wahid Hasyim juga mengamati perkembangan politik global (dunia). Perkembangan itu dapat diakses olehnya karena pergaulannya yang luas, ia mudah bergaul sampai di Makkah pun ketika ibadah haji tak sedikit teman yang ia miliki. Hal ini juga karena ia suka membaca dan berlangganan majalah, baik dari Eropa maupun Timur Tengah sehingga inilah modal dasar dalam melihat perkembangan baik dalam negeri maupun luar negeri.
c. Pemikiran Tentang Pergerakan
Peran Wahid Hasyim dalam pergerakan memang sudah tidak diragukan lagi. Beliau pernah menjadi ketua MIAI, (cari buku yang menyatakan Wahid Hasyim ketua MIAI, ketua Masyumi,95 dan Ketua PBNU dan beberapa oraganisasi yang ia bentuk seperti LMI (Liga Muslimin Indonesia), yang ia buat setelah NU keluar dari Masyumi. Namun, dalam setiap organisasinya, ia selalu bersikap kritis. Hal ini tertuang dalam artikelnya berjudul “Masyumi Lima Tahun”. Dalam artikel ini
95Berdirinya organisasi-organisasi ini antara lain untuk mengambil hati
dan menarik perhatian orang Islam, akhirnya Jepang mendirikan Masyumi. Lihat, Bambang Suprijadi, ed., Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa Berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/KEP/2002, (Jakarta: Kerjasama antara Assosiasi Guru dan Pendidikan Pancasila Jatim dan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Asri Press, 2012), 57.
54
Wahid Hasyim mengamati dan mencermati perjalanan pergerakan politik Masyumi selama lima tahun. Ia menilai terkadang berbagai agenda Masyumi tidak terkontrol atau bisa dikatakan morat-marit. Menurutnya, ketidak teraturan ini apabila dibiarkan secara terus menerus, tidak baik untuk kemajuan pergerakan politik Masyumi dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Untuk itu, beliau menawarkan pemikiran untuk membangkitkan semangat pergerakan tersebut. Pertama peningkatan efektivitas dan pola kerja sama. Kedua, peningkatan kualitas dari masa atau anggota Masyumi. Secara garis besar, ini semua penting agar sebuah pergerakan politik Masyumi terlihat kedinamisannya dalam pergerakan di Indonesia.96
Selanjutnya Wahid Hasyim aktif di MIAI, organisasi ini
merupakan persatuan seluruh organisasi Islam. Terbentuknya
MIAI berawal dari ketidak puasan atas pemerintah kolonial
Jepang, sehingga terbentuklah front bersama untuk meningkatkan
komunikasi dan musyawarah secara teratur. Kemudian hadir
tokoh muda seperti Wahid Hasyim dan Mahfud Siddiq, kedua
tokoh muda ini mewakili NU di MIAI. MIAI melarang pemuda
Indonesia ikut serta dalam pertahanan dan pergerakan yang
diorganisir oleh Jepang.97
d. Pemikiran Tentang Pendidikan
Sementara itu, untuk mengkaji pemikiran Wahid Hasyim
tentang dunia pengajaran dan pendidikan, dapat kita lihat dari
96Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 106. 97Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan
Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, Agustus 2012, 100.
55
beberapa artikel yang pernah Ia tulis, di antaranya “Abdullah
Ubaid Sebagai Pendidik” (Suluh NU, Agustus 1941, Th. I No.5),
dalam artikel ini Wahid Hasyim menunjukan bahwa dirinya
adalah seorang pendidik yang humanis. Pendekatan kemerdekaan
dan kebebasan bagi yang dididik tidak lagi ditempatkan sebagai
objek, tetapi subjek, guru dan murid adalah sama-sama belajar.
Hal ini berawal dari kisah bagaimana Abdullah Ubaid
mengajarkan anaknya mandiri dan berani melalui secangkir teh
panas yang takut tumpah menyiram anaknya saat hendak
diminum, namun Ubaid tidak memberikan bantuan secara
tindakan, Ia hanya memberikan sokongan agar anaknya berani
mencoba dan terus belajar.
Bagi Wahid Hasyim, pendidikan sejak dini dengan
menanamkan nilai keberanian, kemerdekaan, dan kebebasan
berkreasi sangat penting. Pentingnya menanam nilai keberanian,
kemerdekaan, dan kebebasan berkreasi bukan hanya menurut
ukuran biasa, melainkan jika si anak tidak dididik demikian,
maka hidupnya di kemudian hari besar kemungkinannya akan
gagal dan menyesal.98 Dari sini kita melihat bahwa Wahid
Hasyim tokoh pendidik yang cermat, teliti, dan tangguh. Dalam
artikel ini, Ia banyak mencontohkan pendidikan itu dilakukan
dalam sebuah keluarga, dengan segala medannya dan
perkakasnya, tempat semua menjadi pendidik dan sekaligus
dididik satu sama lain. Mengenai soal pendidikan Wahid Hasyim
juga mencermati pentingnya kemajuan bahasa, menurutnya
98Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 119.
56
kemajuan bahasa Indonesia merupakan salah satu hal yang dapat
memperkuat karakter bangsa.
Kemudian, dalam artikel berjudul “Kemajuan Bahasa
Berarti Kemajuan Bangsa” (Suara Anshor, Rajab Th. IV No. 3),
Wahid Hasyim mengkhawatirkan gejala banyak anak muda dan
beberapa pemimpin yang suka memakai bahasa asing ketimbang
bahasanya sendiri. Pemakaian bahasa asing itu menunjukkan si
pemakai kurang percaya diri atas bahasa yang dimiliki
bangsanya, bahasa Indonesia. Jika ini diteruskan, maka
pembentukan karakter kebangsaan dan proses kemajuan bangsa
akan terhambat. Untuk itulah Wahid Hasyim menyarankan agar
kita semua warga Indonesia, tidak malu memakai bahasa
Indonesia. Dari bahasa inilah kita bersatu untuk memperjuangkan
kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan ini, kita harus berani dan
memperkuat pemakaian bahasa Indonesia. Dalam hal ini Wahid
Hasyim tidaklah menghambat atau menghalangi seseorang untuk
belajar dan menyukai berbagai bahasa asing. Penguasaan bahasa
asing merupakan hal yang penting, tetapi jangan sampai
melupakan bahasa Indonesia. Karena penggunaan bahasa
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari merupakan bentuk
penguatan karakter sebuah bangsa yang masih muda seperti
Indonesia.
Selanjutnya ia juga mengubah sistem pendidikan di Pondok
Pesantren Tebuireng, mula-mula tradisional hanya mempelajari
ilmu-ilmu agama, hadirnya Wahid Hasyim menambahkan mata
pelajaran tidak hanya di bidang ilmu agama, namun juga ilmu
pengetahuan umum, seperti bahasa Inggris, dan lain-lain sehingga
57
terbentuklah istilah pesantren modern, demikian juga Madrasah
Nizhamiyah yang ia bangun sendiri pada 1935,99 tidak hanya soal
keagamaan, bahasa Inggris, bahasa Belanda, organisasi dan
pidato pun diajarkan, lalu setahun setelahnya ia membangun
Ikatan Pelajar-Pelajar Islam (IPPI).100 Selain itu ia membangun
taman baca di lingkungan pesantren, majalah dan buku yang ia
miliki diletakkan di perpustakaan hal ini bertujuan agar minat
baca para santri atau golongan Islam semakin tinggi, karena tidak
hanya ilmu agama pengetahuan umum juga perlu dipelajari dan
diketahui mengingat lingkungan semakin berubah. Umat Islam
terbelakang pun karena rendahnya minat baca. Wahid Hasyim
berpendapat umat Islam terbelakang dan dikuasai umat lain
karena kurangnya minat membaca, hal inilah yang membuatnya
terus berusaha memajukan pendidikan.101
Selanjutnya, Wahid Hasyim juga pernah mengatakan dalam
pidatonya saat pembukaan Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri, ia mengaku senang dan menyambut berderinya PTAIN
tersebut. dengan berdirinya PTAIN, lemahnya tenaga kehidupan
umat Islam dapat memiliki kesempatan untuk menjadi lebih
memperkuat kehidupan umat Islam dengan langkah ini. Sehingga
ilmu pengetahuan umat dapat bertambah. Kedua, ummat islam
sebagai golongan terbesar di Indonesia mendapat jembatan
99Azyumardi Azra, Saiful Umam, ed., Menteri-Menteri Agama
RI:Biografi Sosial-Politik, 103. 100Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh
Pergerakan Nasional, 14. Lihat juga buku Yanto Bashri, Retno Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), 413.
101Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, 414.
58
berupa pendidikan untuk membangunkan rakyat dan negara.
Ketiga, sebagai penyempurna pendidikan tinggi umat Islam.
Dengan pendidikan akan tercegah suatu bahaya yang hingga kini
mengancam, meskipun banyak tidak disadari oleh orang-orang,
bahaya tersebut yakni terbelahnya generasi muda yang akan
datang menjadi dua bagian, golongan mutihan (dari perkataan
putih) dan golongan ngabangan (dari perkataan abang=merah)
seperti pada masa kolonial, mereka ditekan dan sulit untuk
berkembang. Kemungkinan tersebut tidak akan terjai jika para
pemikir bangsa menyadari dan menghindari hal-hal yang
berbahaya tersebut, oleh karenanya pendidikan sangat penting
dan perlu perhatian lebih.102
102Pidato Wahid Hasjim, “Pidato J. M. Menteri Agama Mengenai
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri,” Mimbar Agama, no. 11, Th. 2.
59
BAB IV
POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG DI INDONESIA
A. Politik Pemerintahan Jepang di Indonesia
Kolonialisme dan imperialisme membuat rasa
nasionalisme dan benih-benih kebangkitan nasional rakyat
Indonesia tumbuh.103 Tahun 1942 Jepang telah menguasai
seluruh pulau Jawa, bala tentara Jepang mendarat pertama kali di
Pulau Tarakan, Kalimantan Timur.104 Jepang tidak mendapat
banyak perlawanan dari Belanda yang sudah merosot moralnya
setelah Hitler menduduki tanah air mereka, Belanda menyerah
tanpa syarat di Kalijati, Bandung. Saat itu pula rakyat Indonesia
gembira karena Belanda telah pergi dari Indonesia, menurut
kepercayaan rakyat hal ini telah diramalkan oleh Jayabaya bahwa
Belanda akan segera diusir oleh bangsa berkulit kuning dari utara,
kemudian bangsa Indonesia akan merdeka pada gilirannya saat
bangsa kulit kuning dari utara tersebut terusir dari Indonesia.
Jepang disambut baik oleh rakyat Indonesia karena mereka
percaya atas ramalan Jayabaya,105 Jepang juga memberikan janji
kemerdekaan pada bangsa Indonesia. Ketika itu krisis ekonomi
sedang melanda Jepang, melihat Indonesia kaya bila dilihat dari
segi ekonomi dan jumlah penduduk Indonesia yang padat untuk
memasarkan produk Jepang. Maka Jepang melakukan supermasi
103Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1989), 29. 104Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang,
(Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), 23. 105Lihat Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3ES, 1985), 97.
60
ekonominya di Indonesia. Indonesia dibanjiri barang-barang
produksi Jepang yang harganya sangat murah sehingga
pemerintah Hindia-Belanda merasa adanya tekanan dari Jepang,
ekspor dan impor menjadi tidak seimbang untuk itulah Belanda
menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat proteksi untuk
menyehatkan ekonomi menganai ekspor, impor, tenaga kerja,
perdagangan, imigrasi, penangkapan ikan, perkapalan, dan lain-
lain. Hal ini tentu tidak Jepang sukai, maka dari itu Jepang
melakukan strategi mendekati penduduk pribumi untuk
mendapatkan hati rakyat Indonesia. Jepang juga mengatakan akan
membela Islam yang katanya selalu diperlakukan sewenang-
wenang oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Namun disamping
itu Jepang masih melakukan perundingan dengan Belanda,
Jepang terus menekan Belanda agar peraturan proteksinya
terhadap barang-barang Jepang dicabut Jepang semakin berani
menekan Belanda lantaran ia tahu bahwa Belanda sudah diduduki
Jerman. Baik Jepang maupun Belanda keduanya terus
memertahankan diri untuk mendapatkan kekuasaan di Indonesia,
sampai pada akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat.106
Akan tetapi kekejaman rezim militer Jepang lama
kelamaan semakin tampak jelas, rakyat mulai menolak
keberadaan Jepang di Indonesia. Secara bertahap Jepang
melakukan kebijakan kerja paksa pada rakyat, perampasan bahan
makanan atau hasil perkebunan, serta propaganda mengenai
mereka sendiri yang tidak ada habis-habisnya. Akibat perbuatan
106Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang,
(Jakarta: Anggota IKAPI, 1985), 16-18.
61
Jepang, rakyat tejangkit berbagai penyakit dan bencana
kelaparan. Obat Kina yang diproduksi di Bandung tidak lagi
rakyat dapatkan karena perdagangan telah dimonopoli Jepang.107
Agar terus mendapat dukungan dari rakyat, Jepang
berusaha menyambung kerjasama baik dengan tokoh-tokoh
agama maupun tokoh-tokoh nasionalis. Di antara beberapa
lembaga yang Jepang dirikan yakni PETA yang terdiri dari
72.000 pemuda, pasukan lainnya Heiho yang berkekuatan kurang
lebih 25.000 anggota lembaga ini diberi pelatihan militer oleh
Jepang tak lain hanya untuk kepentingannya sendiri dalam
peperangan melawan sekutu. Jepang juga mendirikan Hizbullah
sebagai salah satu laskar yang bergerak di bidang militer, terdiri
dari para pemuda Islam berumur 18-22 tahun dibentuk dan dilatih
untuk kepentingan pertahanan. Kemudian Jepang membentuk
BPUPKI sebagai salah satu realisasi Jepang untuk mewujudkan
cita-cita merdeka Indonesia, ini pun karena rakyat Indonesia terus
menagih janji Jepang, maka segeralah badan ini dibentuk.
Dengan sedikit keleluasaan yang diberikan Jepang terhadap
tokoh-tokoh Indonesia dalam pemerintahan, mereka
memanfaatkan dengan baik kesempatan ini untuk mempersiapkan
kemerdekaan.108
Indonesia sangat kaya akan rempah-rempah mulai barang
tambang, timah, minyak tanah, dan lain-lain untuk keperluan
peperangannya melawan sekutu. Selain minyak bumi, banyak
tenaga manusia yang sangat dibutuhkan Jepang dalam
107Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, 72. 108Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, 78.
62
peperangan, itulah sebenarnya alasan utama Jepang mendekati
Indonesia dengan motif akan memberikan kemerdekaan, dan
mendekati para pemimpin pergerakan nasional dan perintis
kemerdekaan. Para tokoh pemimpin Indonesia pun menyadari hal
ini.109 Kedatangan Jepang memang membawa perubahan
signifikan, di bawah Kolonel Horie Choso Jepang melakukan
upaya dengan cara mempengaruhi sentimen Muslim agar
mendukung tujuan mereka, berusaha merekrut dukungan para
tokoh Islam (kiai). Jepang berupaya mengajak para pemimpin
Islam untuk bekerja sama dengan mereka. Salah satu usaha
Jepang untuk menarik perhatian para kiai yaitu dengan
mendirikan kursus jangka pendek untuk para kiai, selain itu ada
juga sekolah khusus untuk guru madrasah.110 Kemudian hal yang
membuat umat Muslim tidak bisa menafikan untuk membantu
Jepang dalam peperangan yakni Jepang ikut serta dalam perayaan
maulid Nabi di Ikada Persegi pada tahun 1944. Selanjutnya
Jepang juga membentuk Shummubu (1944)111, MIAI, Masyumi,
BPUPKI, sampai dengan PPKI demi mengambil perhatian rakyat
dan mendapatkan apa yang telah menjadi incarannya. MIAI salah
satu lembaga bentukan Jepang, mengasosiasikan dirinya sebagai
109Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang,
27. 110R.E Elson, “Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945”,
Jstore, Southeast Asia Program Publications at Cornell University (2009), diakses pada 8 Maret 2018 pukul 8:05 WIB, 106.
111Lihat Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 98, Shumubu berdiri pada Agustus 1944, kurang lebih seperti Kantor Urusan Pribumi pada masa pendudukan Belanda kemudian berkembang menjadi lembaga yang mengurusi masalah-masalah yang dulunya berada di bawah lembaga Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman, dan Departemen Pendidikan dan Upacara Keagamaan Umum.
63
lembaga anti kolonialisme, karena inilah Jepang membubarkan
MIAI pada 28 Oktober 1943 di Jakarta bentuk MIAI yang baru
akan diumumkan selanjutnya,112 ternyata kemudian Jepang
membentuk Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) sebagai
pengganti MIAI, Jepang khawatir MIAI malah akan melawan dan
menyerang Jepang. Dibentuknya Masyumi dengan harapan
mudah dikontrol. Dengan memberikan kebijaksanaan tersebut
Jepang sekaligus menjinakkan umat Islam.113 Bagi umat Islam
yang diwakili oleh Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim, ini
merupakan langkah awal memasuki jaringan politik dalam bidang
pemerintahan, inilah salah satu jasa Jepang terhadap umat Islam.
Pada masa pendudukan Jepang inilah para tokoh Islam
(kiai/ulama)114 mulai diikut sertakan dalam pemerintahan, sangat
berbeda dengan Belanda sedikit sekali memberi kesempatan pada
pribumi untuk ikut serta dalam pemerintahan dan politik, menurut
Kasman Singodimedjo kebijakan Jepang terhadap pemimpin
Islam yang tidak lain dipandang sebagai pemimpin formal, tapi
juga sebagai tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh, Jepang
menyadari sangat besarnya potensi ulama,115 sehingga inilah awal
mulai tokoh Islam berkecimpung dalam pemerintahan, termasuk
112Pemboebaran MIAI, (Tjahaya: Kemis Zyuitigatu 2603). 113Ahmad Safii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1955), cet. Ke-III, 189. 114Istilah ulama mengacu pada mereka yang dikenal ahli dalam
khazanah kitab kuning, pemimpin pesantren, dan berafiliasi dengan NU. Dalam perkembangannya ulama tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang keagamaan, tapi juga di bidang sosial bahkan politik. Baca, Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi, Ed., Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, 2003), 1-2.
115Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 100.
64
KH Abdul Wahid Hasyim yang menjadi objek penelitian skripsi
ini. Tidak hanya itu, untuk keberhasilan pendekatan mereka,
Jepang mengizinkan pengibaran bendara Merah-Putih di mana
pada masa pendudukan Belanda hal ini sangat dilarang. Selain itu
Jepang juga membolehkan agar lagu kebangsaan Indonesia Raya
dilantunkan dan disiarkan melalui pemancar-pemancar radio serta
pengibaran bendera Merah Putih boleh dikibarkan.116 Tindakan
selanjutnya yang membuat rakyat dan para pemimpin nasional
simpatik yakni pelarangan menggunakan bahasa Belanda di
seluruh penjuru Indonesia.
Sementara menurut Dr. De Graaf, Jepang tidak pernah
menyatakan akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia.
Politik pemerintahan Jepang semuanya tertuju pada kebutuhan
tujuan perang. Makin memburuknya militer dan ekonomi Jepang,
harga yang harus dibayar dalam kerja sama semakin meningkat.
Keadaan inilah yang memaksa Jepang untuk menjanjikan
kemerdekaan pada orang-orang Indonesia dalam waktu singkat
karena Jepang saat itu sangat membutuhkan tenaga untuk
perang.117 Tanggal 8 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan
Radjiman dipanggil oleh Jenderal Terauchi. Jika nantinya tidak
ada perubahan jadwal kemerdekaan, pemerintahan Jepang,
Terauchi menjanjikan kemerdekaan akan diberikan pada 24
Agustus 1945.118
116Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato tahun 1945-1949, (Jakarta:
Yayasan Idayu Press, 1981), 53. 117Mr. Ahmad Soebardjo, Lahirnya Republik Indonesia, (Jakarta: PT
Kinta, 1977), 56. 11820 Tahun Indonesia Merdeka, Departemen Penerangan RI, (T. pn:
T.pn, t.t,), Jilid II.Jilid II, 130.
65
Untuk dapat menyukseskan usahanya, Jepang berusaha
membuat berbagai propaganda. Seperti membuat ungkapan-
ungkapan sebagai salah satu usaha memberikan energi pada
rakyat Indonesia, hingga melahirkan semboyan gerakan A tiga,
Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya
Asia. Namun hal ini belum cukup, karena itu Jepang membentuk
Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Namun Putera tidak bertahan
lama, karena kurang menggerakkan hati rakyat untuk mendukung
Jepang dalam usaha peperangan.119 Propaganda lainnya yakni
Jepang mengaku sebagai saudara tua yang akan membantu
Indonesia bebas dari penjajah.120 Namun pada kenyataannya
rakyat hanya berganti tuan penjajah, Jepang tidak berbeda dengan
Belanda. Tujuan utamanya yakni mendapatkan tenaga buruh di
Indonesia dengan upah yang relatif rendah, menjadikan Indonesia
sebagai tempat penyuplai bahan mentah.121 Berbagai penderitaan
dialami rakyat, tindakan pertama kali yang dilakukan pihak
Jepang yakni pembekuan segala kegiatan politik. Pemerintahan
Jepang menerapkan sistem fasisme dan menerapkan garis politik
pemerintah yang benar-benar harus ditaati oleh seluruh rakyat.
Rakyat tidak diberikan kebebasan berpendapat sama sekali,
semua pergerakan rakyat yang berhaluan politik dilarang. Dapat
diakui bahwa kemenangan Jepang memenangkan hati rakyat
berikut wilayahnya relatif singkat dan sangat menakjubkan,
119Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang, 32. 120Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia, (Yogyakarta: DIVA
Press, 2014), Cet. I, 281. 121Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia, 284.
66
dengan segala janji manisnya akan memberikan kemerdekaan. Ia
pun berhasil mengusir penjajah yang sudah berabad-abad
mengakar di Indonesia.122 Di samping itu, para tokoh nasionalis
terus berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat.
Sekitar awal tahun 1944 rasa simpati terhadap Jepang sudah
mulai hilang,123 mulai terjadi pula perlawanan-perlawanan dari
rakyat karena Jepang lama kelamaan tidak jauh berbeda dengan
Belanda yang ingin mengeksploitasi Sumber Daya Alam dan
Sumber Daya Manusia Indonesia, hanya keuntungan yang ingin
Jepang dapatkan. Para pemuda maupun tua melakukan
perlawanan, ketika itu para pemuda mempersiapkan diri untuk
pemberontakan bersenjata, baik pemuda yang memiliki
kemampuan militer maupun tidak semangat pemberontakannya
semakin meningkat. Seperti yang telah diketahui ada beberapa
gerakan yang dilakukan di bawah tanah, guna menghindari
musuh (Jepang) agar pergerakan semakin aman.124
Singkat cerita, tanggal 14 Agustus 1945 seluruh dunia
mendengar bahwa Jepang telah menyerah tanpa sarat. Radio
Tokyo juga menyiarkan, pidato Kaisar Hirohito bahwa Jepang
telah mengakhiri perlawanan. Pada tanggal yang sama Sutan
Syahrir menemui Soekarno dan Hatta mengabarkan bahwa
Jepang telah menyerah tanpa syarat, Syahrir mendesak Soekarno
untuk memproklamasikan kemerdekaan dan jangan sampai PPKI
122Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai
Kemerdekaan, 7. 123Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia, 290. 124A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1992), Jilid I Proklamasi, Cet. IV, 110.
67
yang melakukannya karena PPKI bentukan Jepang. Kemudian
segeralah Soekarno melakukan perundingan untuk
mempersiapkan proklamasi.125 Perundingan isi dan pelaksanaan
proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Maeda, sementara
pengetikan teks proklamasi dilakukan oleh Sayuti Melik, namun
sebenarnya awal penyusunan teks proklamasi oleh Soekarno
Sayuti Melik kemudian mengubah yang perlu diubah lalu
mengetiknya.126 Singkat cerita, dalam persiapan kemerdekaan ini
tak hanya nasionalis sekuler yang berperan namun tokoh-tokoh
nasionalis Islam juga ikut berkecimpung di dalamnya seperti
Agus Salim, Wahid Hasyim, dan lain-lain. Tepat pada 17 Agustus
1945 Proklamasi dibacakan oleh Soekarno di rumah Soekarno
Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.127
B. Pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI.
Pengorbanan rakyat Indonesia terhadap Jepang cukup
besar. Jepang dengan program Romusha-nya128 yang telah
membunuh ribuan jiwa dan program Kumiai yang mendatangkan
bencana kelaparan, telah menjadikan kesadaran bersama baik dari
125A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 203. 126Wawancara Sarman Soelaiman dengan Pengetik Nasah Proklamasi
Kemerdekaan RI Sayuti Melik, 14 September 1986. 127Aman, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan: 1945-1998,
(Yogyakarta: Ombak, 2015), 11. 128Romusha rakyat dikerahkan untuk bekerja demi kepentingan militer
Jepang tanpa bayaran. Ribuan rakyat dikerahkan untuk kepentingan tersebut, ribuan rakyat banyak yang mati di tengah perjalanan atau di tempat kerja sehingga para pekerja yang diberangkatkan untuk Romusha jarang kembali pulang ke kampung halaman. Jika pun mereka kembali wujudnya sangat menyedihkan, kurus kering seperti tinggal kulit dan tulang, dan pakaiannya compang camping. lihat buku Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan karya Slamet Muljana, 11.
68
kalangan tokoh-tokoh di Indonesia hingga golongan rakyat. Inilah
yang mendasari desakan rakyat untuk segera ingin merdeka dan
menagih janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan.
Desakan tersebut membuahkan hasil, dibentuklah Dokuritsu
Zyunbi Tyosakai (BPUPKI),129 selain itu Jepang juga
mempersiapkan Lembaga Latihan Nasional, yang akan memberi
kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk menjadi pemimpin
yang nantinya akan bekerja di pemerintahan negara baru, dan
memperluas pembicaraan-pembicaraan tentang kemerdekaan
Indonesia.130
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), lembaga ini telah sah dan berdiri pada 1
Maret 1945. Diumumkan oleh Panglima Tentara Jepang, Seiko
Shisikan Kumaichi Harada. Pembentukan lembaga ini sebagai
salah satu realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan
pada Indonesia. Berlanjut dengan pengumuman pengurus dan
anggota BPUPKI pada 29 Maret 1945.131 Anggota BPUPKI
awalnya berjumlah 62 orang kemudian bertambah enam hingga
berjumlah 68 orang. BPUPKI melakukan sidang selama dua kali,
di antaranya pada 29 Mei-1 Juni 1945, dan 10 Juli-17 Juli
1945,132 BPUPKI resmi dibubarkan pada 7 Agustus 1945.
129Zainul Milal Bizawie, Laskar-laskar Ulama Santri dan Resolusi
Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), (Pustaka Compass: Tangerang, 2014), 157.
130Rokhmani Santoso, Yusmar Basri, dkk, Hari-hari Menjelang Kemerdekaan 17 Agustus 1945, (Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1988), 5.
131D. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, 3. 132Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai
Kemerdekaan, 19.
69
Menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito dari 68 anggota
BPUPKI hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi
Islam sebagai dasar negara jika dipersentasekan hanya sekitar 20
persen. Wakil-wakil golongan Islam itu antara lain KH. Ahmad
Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Masykur, Abdul Kahar
Muzakkir, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH Masykur, Sukiman
Wirdjosandjojo, Abikusno Tjokrosudjoso, Agus Salim, dan KH
Abdul Halim.133 Kemudian lahir Panitia Sembilan, disebut
demikian karena jumlah anggota tim tersebut berjumlah sembilan
orang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis,
Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, Agus Salim, A.
Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim, dan Mohammad Yamin.134
Panitia Sembilan dibentuk di Gedung Chuo Sang In,135 adanya
panitia ini guna menyempurnakan rumusan Pancasila dari pidato
Soekarno dalam versi Piagam Jakarta.136 Soekarno sebagai ketua
Panitia Sembilan memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In
(berdiri 1943) pada 18-21 Juni di Jakarta untuk membicarakan
soal tugas-tugas Panitia Sembilan. Panitia Sembilan bertugas
merumuskan rancangan Pembukaan Undang - Undang Dasar
(Preambule), membuat Dasar Negara.137 Dibentuknya panitia ini
sebagai ikhtiar agar bersatunya pandangan golongan kebangsaan
133Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 102. 134Moh. Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang
U.U.D 1945, (Bandung: ALUMNI, 1983), 74. 135Chuo Sangi In adalah Badan Pertimbangan Pusat, lihat Hari-hari
Menjelang Proklamasi, 4. 136Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), Cet. Ke-V, 39.
137Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 76.
70
dan golongan Islam, akhirnya pada 22 Juni 1945 Panitia
Sembilan berhasil membentuk Rancangan Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum tujuan dan dasar
negara, naskah pembukaan tersebut kemudian dikenal dengan
Istilah Piagam Jakarta.138
Kemudian berdiri Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) oleh Jepang pada 7 Agustus 1945, diresmikan
pada tanggal 12 Agustus 1945 rencananya akan mulai bekerja
pada tanggal 19 Agustus 1945 untuk menyelesaikan konstitusi,139
dengan jumlah anggota 21 orang, ketua Ir. Soekarno dan wakil
ketua Moh. Hatta termasuk di dalamnya Wahid Hasyim sebagai
anggota. Jepang telah terdesak menghadapi sendiri musuh-
musuhnya sementara Italia dan Jerman telah lebih dulu
menyerah,140 kemudian kota Nagasakti dan Hirosima dibom atom
oleh sekutu (Amerika) pada 6 Agustus dan 9 Agustus,141 dan
penyerahan tanpa sarat dari Jepang. Pada 14 Agustus 1945 para
delegasi Indonesia yang datang dari Saigun memberitakan bahwa
Kota Nagasakti dan Hirosima sudah dibom, ini merupakan
kesempatan bagus untuk Indonesia segera memerdekakan diri,
138Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Piagam Jakarta: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), 43.
139Penyambutan pembentukan PPKI dilakukan pada tanggal 12 Agustus 1945 di Tidar Undozyo Magelang, hal ini mendapat sambutan dan perhatian besar dari penduduk dan semua golongan. Lihat. “Rapat Besar Menyamboet Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” Asia Raya, Agoest 2605 Th. ke IV No. 191.
140Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (B.P.S.I.M), Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945-1950, 105.
141Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, 31.
71
soal kemerdekaan sudah berada di tangan Indonesia sebagai hak
dan wewenang rakyat. 18 Agustus 1945 merupakan awal
pertemuan membicarakan lembaga tersebut untuk membicarakan
konstitusi.142 Awalnya PPKI dibentuk sebagai badan yang
mengurus persiapan penyerahan pemerintahan dari Jepang ke
pihak PPKI. Selain itu PPKI juga bertugas menyelesaikan dan
mengesahkan Rancangan UU Dasar dan Falsafah Negara
Indonesia yang sudah dipersiapkan oleh BPUPKI,143
memusyawarahkan cara proklamasi kemerdekaan Indonesia,
memilih presiden dan wakil presiden,144 serta membicarakan
struktur negara menurut Undang - Undang Dasar 1945.145
Pada 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia, memilih Ir. Soekarno-
Moh. Hatta sebagai Presiden dan wakil Presiden,146 dibentuknya
Komite Nasional,147 menetapkan bahwa Indonesia bukanlah
142R.E Elson, Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945,
(Jstore: Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 2009), diakses pada 8 Maret 2018 pukul 8:05 WIB, 119.
143Hatta mengatakan dalam sambutannya pada saat pemebntukan PPKI, bahwa PPKI ini bertugas dan berkewajiban menyusun kemerdekaan Indonesia dengan selekas-lekasnya. Wahid Hasyim juga mengatakan dalam sambutannya bahwa PPKI sebagai langkah yang paling akhir ke arah Indoneisa merdeka. Lihat, “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” Soeara Asia, Kemis Pon, 9 Agoest 2605, Th ke IV, No. 191.
144D. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, 30. 145Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: PT Tintamas Indonesia, 1979),
cet. I, 461. 14620 Tahun Indonesia Merdeka, (Departemen Penerangan RI), Jilid II,
117. 147Beberapa upaya Komite Nasional yakni menyatakan keamanan
rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu pada segala tempat di seluruh Indonesia, membantu keamanan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum, membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita Bangsa
72
negara Islam melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan lain-lain. Dalam waktu yang panjang tanggal 1 Juni 1945
dapat diartikan sebagai hari lahir Pancasila, pada hari itulah lima
prinsip dasar negara dikemukakan. Meskipun begitu lima prinsip
dasar tersebut memerlukan persetujuan kolektif dari anggota
lainnya melalui perumusan Piagam Jakarta (22 Juni 1945).
Kemudian mendapat keputusan akhir melalui proses pengesahan
konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945.148 Sejak disahkan
secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, sejak itu pula
Pancasila dapat dikatakan sebagai falsafah negara, padangan
hidup, ideologi negara, dan pemersatu peri kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan Indonesia.
PPKI dipandang sebagai salah satu kekuatan dan patokan
Indonesia kokoh. Karena PPKI memiliki tanggung jawab
mendudukkan Indonesia agar kokoh dan tegap berdasarkan sendi-
sendi yang akan mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Wahid
Hasyim juga mengatakan PPKI ialah langkah yang paling akhir
untuk menuju kemerdekaan, di sinilah letak bangun atau
jatuhnya, mulia atau hancurnya bangsa Indonesia. Namun
meskipun begitu PPKI bukan berarti sumber yang dapat
menghitamkan atau memutihkan Indonesia, atau menegakkan dan
meruntuhkannya, akan tetapi kembali kepada dorongan rakyat
Indonesia sendiri untuk membangun dan mengokohkan Indonesia
Indonesia, dan di daerah membantu pemerintah daerah untuk kesejahteraan umum. Lihat arsip “Sekretariat Negara RI 1945-1949”, No. Inventaris 155, Thn. 1945, 4.
148Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 40.
73
melalui sokongannya terhadap PPKI dalam pembentukan dan
perumusan dasar negara, dll.149 Pembentukan PPKI ini sangat
tidak disangka-sangka oleh beberapa pemimpin dan tokoh
Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Radjiman
bahwasanya pembentukan PPKI di luar dugaannya, terbentuk
lebih cepat pada 7 Agustus 1945.
C. Hubungan KH Abdul Wahid Hasyim dengan Jepang
Selain aktif dalam bidang politik dan organisasi seperti
NU, MIAI,150 Masyumi, Wahid Hasyim aktif juga dalam bidang
tulis menulis. Ia mengelola seperti Soeloeh Nahdatoel Ulama,
Berita Nahdatoel Oelama151 pada majalah ini ia menjadi seorang
redaktur. Wahid Hasyim juga membentuk Badan Propaganda
Islam, setiap anggota Badan Propaganda Islam giat berorasi
melalui radio-radio dan pada rapat-rapat umum.152 Wahid
Hasyim selalu optimis dan meyakini bahwa kemerdekaan sudah
semakin dekat, maka dari itu rakyat Indonesia harus lebih
memiliki rasa nasionalisme untuk bebas dari kesulitan yang
149Soeara Asia “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, Kemis Pon, 9 Agustus 1945, Tahun ke VI-No. 191.
150MIAI merupakan salah satu organisasi yang mewadahi Wahid Hasyim dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bisa dilihat dalam majalah “Ma’loemat Dewan M.I.A.I”, Berita Nahdatoel Oelama, November, No. 1, Th. ke.11, 9/9.
151Dapat dilihat di cover majalah Soeloeh Nahdatoel Oelama dan Berita Nahdatoel Oelama Wahid Hasyim tertera sebagai salah satu redaktur, hal ini menunjukkan bahwa ia cukup berpengaruh dalam tulisan, namun sayangnya kebanyak tulisan Wahid Hasyim tidak disertakan nama penulis (anonim).
152Lihat laporan penelitian Choirun Niswah, “Wahid Hasyim dan Pancasila: Studi Pemikiran atas Pemikirannya tentang Dasar Negara (1945-1953),” (Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang (1999/2000).
74
diciptakan para penjajah. Sesekali Wahid Hasyim menyinggung
Jepang di mana berwacana akan memerdekakan Indonesia di
kemudian hari, baik dalam pidato maupun tulisan.153 Di samping
itu, Jepang memang sudah berminat dan sengaja mendekati
pemimpin Islam dari pada pemimpin nasionalis sekuler, dengan
harapan para pemimpin Islam dapat digunakan sebagai bahan
propaganda.154 Sebenarnya awal dari Wahid Hasyim mendekati
Jepang bermula saat Pesantren Tebuireng ditutup oleh Jepang,
kemudian KH Hasyim Asy’ari155 dipenjarakan oleh Jepang hal
ini karena KH Hasyim Asy’ari memiliki banyak pengikut dan
dianggap akan mengancam keberadaan Jepang, apalagi saat
Hasyim Asy’ari menolak seikeirei156 ia dipenjarakan dengan
alasan membuat kerusuhan di pabrik gula Jombang, padahal ini
hanya tak tik Jepang untuk menjauhkan Hasyim Asy’ari dengan
masyarakat. Namun akhirnya dibebaskan pada 18 Agustus 1942
karena mendapat banyak protes dari pemuka agama, Jepang
khawatir simpati masyarakat berkurang karena Jepang telah
memenjarakan tokoh yang paling masyarakat segani dan
153Nugroho Dewanto, Wahid Hasjim dari Tebuireng untuk Republik,
92. 154Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan
Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, Agustus 2012, 101.
155KH Hasyim Asy’ari merupakan ayah dari KH Abdul Wahid Hasyim. Kh Hasyim Asy’ari merupakan pendiri NU, lihat. Aguk Irawan MN, Penakluk Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Qalam Nusantara, 2016), cet. IV, 404-417.
156Seikeirei merupakan acara ritual membungkukkan badan ke arah kaisar Tenno Haika, yang dipercaya oleh Jepang sebagai Dewa Matahari. Namun ritual ini ditolak karena dianggap bertentangan dengan ilmu tauhid ummat Islam. Lihat. Munawir Haris, “Potret Partisipasi Politik NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” Junral Review Politik, Vol. 02, No. 02, Agustus 2012, 101.
75
percayai.157 Kekejaman Jepang semakin hari semakin nyata, tidak
hanya kerugian bidang materiil, tapi juga dari sisi mentalitas dan
kehormatan, ketika itu para perempuan Indonesia dijadikan
sebagai pemuas seks tentara Jepang, tak hanya itu rakyat juga
tidak bebas mengeluarkan berpendapat.158
Akhirnya Wahid Hasyim pergi ke Jakarta mencari dan
menjalin hubungan dengan pembesar-pembesar Jepang.
Kemudian ia bertemu dengan Hamid Nobuharu Ono orang yang
mengerti Islam dari Jepang, dan kebetulan ia tertarik pada
Nahdatul Ulama, sehingga sering mengikuti acara peci hitam di
majelis KH Hasyim Asy’ari. Lewat Hamid Ono akhirnya KH
Hasyim Asy’ari dibebaskan dari penjara pada akhir tahun 1943.
Perkenalan melalui Hamid Ono inilah menjadi kesempatan
Wahid Hasyim untuk melancong ke Jepang, bukan untuk tunduk
pada Jepang tapi untuk kepentingan rakyat Indonesia sendiri
seperti untuk memudahkan pergi haji dengan membeli kapal laut
sendiri khusus untuk rakyat tidak lagi menggunakan milik
penjajah.159 Usahanya mendekati Jepang berjalan sesuai rencana,
ia diajak bergabung untuk mengurus pemerintahan, Wahid
Hasyim ditunjuk sebagai ketua Masjlis Syuro Muslimin
157Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan
Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, (Agustus 2012), 101.
158Nidjo Sandjojo, Abdul Latif Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945, (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 2011), 23.
159Nugroho Dewanto, Wahid Hasjim dari Tebuireng untuk Republik, 94.
76
Indonesia (Masyumi)160 dalam kesempatan ini Wahid Hasyim
membentuk sebuah barisan Hizbullah161 yang akan membantu
masyarakat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,
Hizbullah berdiri pada tahun 1944.162 Awalnya Jepang
mencurigai barisan Hizbullah, namun Wahid Hasyim berhasil
membuat Jepang percaya bahwa barisan Hizbullah tersebut untuk
kemenangan Asia Timur Raya.163 Akhirnya latihan militer Jepang
berikan lewat Hizbullah pada para pemuda Islam, sehingga tidak
hanya ilmu agama yang dipelajari tapi juga militer. Setelah
mendapat pelatihan militer di Hizbullah banyak pemuda yang
ikut bergabung dengan PETA.164 Di sini dapat kita lihat bahwa
betapa cerdasnya dan begitu baiknya hubungan antara Wahid
Hasyim dengan Jepang sehingga Jepang pun memercayai Wahid
160Masyumi ialah sebagai organisasi umat Islam yang bergerak di
bidang Politik. Lihat, Titik Triwulan Tutik dan Jonaedi Efendi, Membaca Peta Politik Nahdatul Ulama: Sketsa Politik Kiai dan Perlawanan Kaum Muda NU, (Jakarta: Tim Lintas Pustaka, 2008), 41.
161Barisan Hizbullah semacam barisan ketentaraan yang dibuat untuk mempersiapkan kemerdekaan, dibentuk Wahid Hasyim saat ia menjabat sebagai ketua MIAI. Bandingkan dengan Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” 101. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwasanya Wahid Hasyim meminta Jepang untuk mengajarkan para santri ilmu atau pelatihan ketentaraan yang dipusatkan Cibarusa ketika ia menjabat sebagai dewan Chuo Sangi In. Kemudian lahirlah Hizbullah dan Sabilillah. Kemudian dapat kita lihat bahwa tak hanya Hizbullah, namun kantor urusan agama dan MIAI pun hadir di tengah masyarakat hasil perjuangan para pemimpin para Islam dan ulama. Memalui organisasi dan lembaga tersebut Islam dapat lebih bebas bergerak, dan kehadirannya nyata dalam pemerintahan, kenegaraan, politik, dan kemasyarakatan. Baca Ahdi Makmur, Relasi Ulama Umara: Profil Historis Prilaku Politik Ulama NU di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN Antarsari Press, 2014), 27.
162Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: PT Pusaka Utama Grafiti, 1987), 28.
163Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, 96.
164Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 28.
77
Hasyim dengan mudah. Kemudian Jepang membentuk MIAI,165
eksistensi MIAI semakin hari semakin baik dengan segala tugas-
tugasnya dan diperhitungkan oleh para penguasa. Tercatat bahwa
sudah dua kali Jepang mengadakan pertemuan dengan para
pemimpin MIAI,166 membicarakan banyak hal, salah satunya
mengenai kemaslahatan umat Islam. Jepang pula memberikan
penghargaan pada MIAI, dengan diberikannya fasilitas berupa
gedung sebagai kantor MIAI di Jakarta.
Wahid Hasyim sendiri pernah menjabat sebagai ketua
Dewan MIAI, namun kemudian dalam surat maklumat Dewan
MIAI disampaikan bahwasanya Wahid Hasyim mengundurkan
diri sebagai Ketua Dewan MIAI. Hal ini dikarenakan KH Hasyim
Asy’Ari (ayah Wahid Hasyim) sudah lanjut usia untuk itu ia
meminta untuk Wahid Hasyim menggantikannya untuk mengurus
dan memangku Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang yang
berjumlah kurang lebih 1500 murid. Akhirnya Wahid Hasyim
diperbolehkan mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan MIAI,
karena tidak mungkin Wahid Hasyim sekaligus menyandang dan
mengurus kedua tanggung jawab besar tersebut.167 Meskipun
demikian, dalam surat Dewan MIAI kepada HBNO (Himpunan
165Sekitar pembentukan MIAI sudah dijelaskan pada bab IV, berdiri
pada 1937 di Surabaya, berdirinya MIAI atas prakarsa beberapa tokoh Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah di antaranya KH Mas Mansyur, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Ahmad Dahlan, dan KH Hasyim Asy’ari. MIAI berdiri sebagai wadah dari organisasi-organisasi Islam seperti SI, Muhammadiyah, Al-Islam, Al-Irsyad, NU, dan lain-lain. lihat Artawijaya, Belajar dari Partai Masyumi, 52-53.
166MIAI diketuai oleh Wahid Hasyim, lihat. Berita Nahdatoel Oelama, Th. ke 10, 15 Mei 1941, h. 8/310.
167 “Ma’loemat Dewan MIAI,” Berita Nahdatoel Oelama, No.1 Th. ke-11, November, 10/10.
78
Besar Nahdatoel Oelama), 23 September 1941 No. 788/DM
mengatakan sangat menyayangkan Wahid Hasyim
mengundurkan diri dari MIAI, padahal buah pikirnya sangat
bagus untuk perkembangan MIAI sendiri. Berhentinya Wahid
Hasyim tentulah berpengaruh kurang baik untuk MIAI, karena
organisasi terebut kehilangan tokoh penting. Meskipun Wahid
Hasyim sudah tidak menjabat sebagai Ketua Dewan MIAI, ia
tetap saja masih diundang satu minggu sekali untuk berkunjung
pada MIAI Surabaya.168
Selain mendirikan MIAI, Jepang pun mengizinkan untuk
penerbitan majalah Islam yang bernama Soeara Islam.169
Kemudian Wahid Hasyim juga pernah diangkat sebagai ketua
Shumubu, awalnya tugas ini diberikan pada KH Hasyim Asy’ari
sebagai simbol yang dapat mempengaruhi masyarakat170, namun
KH Hasyim Asy’ari melimpahkan tugas sebagai ketua Shumubu
kepada Wahid Hasyim. Selanjutnya pernah menjadi salah satu
anggota Chu Shang In171 atau Badan Pertimbangan Pusat,
bertugas memberikan usul kepada pemerintah Jepang dan
menentukan tindakan yang akan dilakukan bala tentara Jepang.172
168Berita Nahdatoel Oelama, Th. ke-11. 169Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
(Bandung: Marja, 2017), 94. 170Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3ES, 1985), 98. 171Chu Shang In berdiri pada September 1943, lihat Mohammad Hatta,
Memoir. 172Rokhmani Santoso, dkk, Hari-hari Menjelang Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, (Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1988), 3.
79
BAB V
KIPRAH KH ABDUL WAHID HASYIM DALAM
PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA
A. Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan Piagam
Jakarta
Seiring dengan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wahid
Hasyim lagi-lagi terpilih menjadi salah satu anggota. BPUPKI
dibentuk oleh pemerintah Jepang dengan nama Dokuritsu Junbi
Cosakai, sebagai bentuk tindakan untuk kemerdekaan Indonesia,
selain itu Jepang juga mempersiapkan Lembaga Latihan
Nasional, dan lebih banyak membicarakan soal kemerdekaan
Indonesia.173 Sidang-sidang BPUPKI dilakukan di Gedung
Chusang In, kini Gedung Pancasila, Jalan Pejambon, Jakarta
Pusat.174 Rapat BPUPKI kesulitan mengambil keputusan
mengenai dasar negara. Hingga rapat terakhir, belum ada
keputusan yang bisa diambil ihwal dasar negara. Maka
dibentuklah tim kecil terdiri atas sembilan orang.175 Karena
berjumlah sembilan orang, tim kecil tersebut juga sering disebut
“Tim Sembilan” atau “Panitia Sembilan” Wahid Hasyim menjadi
salah satu anggotanya. Panitia Sembilan terdiri dari Soekarno
173M.Yamin, Sapta Dharma : Patriotisme Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Prapanca, 1959), 5. 174Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng,
98. 175D. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI. 26.
Lihat juga Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 50.
79
80
(nasionalis muslimm sekuler), Mohammad Hatta (nasionalis
muslim sekuler), A. A Maramis (nasionalis Kristen sekuler),
Abikoesno Tjakrasoejoso (nasioalis Islam tokoh Partai Syarikat
Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakkir (nasionalis Islam tokoh
Muhammadiyah), Haji Agus Salim (nasionalis Islam tokoh Partai
Penyadar), Achmad Soebardjo (nasionalis muslim sekuler),
Muhammad Yamin (nasionalis muslim sekuler), dan Wahid
Hasyim (nasionalis Islam tokoh Nahdatul Ulama).176 Tugas
utama Panitia Sembilan, sebagaimana dinyatakan oleh ketua
BPUPKI, Dr. Radjiman Widyodiningrat, ada dua. Pertama,
memeriksa dan menerima usulan anggota BPUPKI. Kedua,
menyusun rancangan pembukaan (preambule) undang-undang
dasar negara. Panitia Sembilan inilah yang bertugas membuat
rancangan atau draf Preambule (pembukaan) Dasar Negara.177
Panitia ini berusaha menghasilkan suatu rumusan yang
menggambarkan tujuan dan asas dari pembentukan negara
Indonesia Merdeka.178 Mengenai tugas pertama, Panitia Sembilan
mencatat, hingga berlangsungnya sidang hari itu, ada 40 usulan
dari anggota. Oleh Tim Sembilan, 40 usulan tersebut
dikelompokkan dalam sembilan jenis permasalahan di antaranya:
1) Mengenai permintaan agar Indonesia segera merdeka
2) Mengenai Dasar Negara
176Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah,
(Jakarta: Majlis Himpunan Mahasiswa Islam Loyal untuk Bangsa (Mahmilub), 2007), 16.
177Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Mizan, 2007), 54.
178Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, 15.
81
3) Mengenai bentuk negara apakah negara kesatuan atau
federasi
4) Mengenai kepala negara,
5) Mengenai warga negara
6) Mengenai daerah
7) Mengenai soal agama dan negara
8) Mengenai pembelaan negara
9) Mengenai keuangan.179
Soal tugas kedua, Panitia Sembilan dengan kesepakatan
bulat mengajukan draf pembukaan Undang-undang yang juga
dikenal sebagai Piagam Jakarta.180
Kesepakatan bersama dari sembilan orang yang tergabung
dalam tim perumusan pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia, disepakati secara resmi pada 22 Juni 1945.
Alinea pertama mencantumkan kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,”
anak kalimat ini merupakan usul Wahid Hasyim. Setelah
Pancasila berhasil dirumuskan sebagai dasar negara, para tokoh
berdiskusi mencari landasan untuk menyusun sebuah otoritas
untuk mengatur ketatanegaraan Republik Indonesia.181
Hasil sidang panitia sembilan mengenai pembukaan
Undang - Undang Dasar resmi dibacakan Soekarno di hadapan
179Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang - Undang Dasar
1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), Jilid I, 147. 180Piagam Jakarta terlampir dalam lampiran-lampiran penulisan karya ilmiah ini. 181A. Khoirul Anam, dkk, Enslikopedia Nahdatul Ulama: Sejarah,
Tokoh, dan Khazanah Pesantren, (Jakarta Pusat: Nata Bangsa dan Nahdatul Ulama bekerja sama dengan PT Bank Mandiri, 2014), 212.
82
sidang BPUPKI pada 10 Juli 1945, dan telah resmi
ditandatangani oleh sembilan anggota panitia sembilan di Jakarta
pada 22 Juni 1945 oleh karena itulah pembukaan Undang -
Undang Dasar disebut Piagam Jakarta. Pada 11 Juli 1945
Latuharhary182 merasa keberatan dengan klausa “...dengan
kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” dapat menimbulkan kekacauan seperti dalam
bidang adat-istiadat.183 Kemudian Agus Salim berargumen untuk
menanggapi pendapat Latuharhary soal hukum agama dan hukum
adat sudah selesai, lagi pula agama lain tidak perlu khawatir
karena keamanannya tidak tergantung pada kekuasaan negara,
karena Islam bersifat melindungi saat berkuasa. Otoritas agama
dengan otoritas negara dalam Islam bisa dibedakan.184
Anggota BPUPKI lainnya yang turut mengomentari
usulan Wahid Hasyim adalah Prof. Djadjadiningrat, Mr.
Wongsonegoro, dan Oto Iskandar Dinata. Ketiganya cenderung
tidak setuju dengan usulan Wahid Hasyim, tujuh kata tersebut
akan menimbulkan fanatisme dan seakan-akan memaksa
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.185 Namun kemudian
Soekarno kembali mengingatkan rancangan ini sudah
berdasarkan kesepakatan dua golongan, nasionalis Islam dan
182Salah satu anggota BPUPKI berasal dari golongan Protestan dan termasuk pada kelompok nasionalis sekuler.
183Menanggapi pendapat Latuharhary mengenai penolakannya terhadap anak kalimat dalam sila pertama, Wahid Hasyim dari kursi nomor 50 dengan lantang mengatakan, “Ada yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.”
184Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasioalitas, dan Aktulitas Pancasila, 73.
185Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 76.
83
nasionalis sekuler. Golongan Islam berpandangan negara tidak
dapat dipisahkan dengan agama. Sedangkan golongan
kebangsaan menginginkan negara dan agama dipisahkan saja
supaya lebih netral. Masing-masing golongan memiliki
pandangan tersendiri, begitu pun golongan Islam tidak semua
berpandangan bahwa urusan negara dan urusan agama harus
digabungkan.186
Sementara itu ada beberapa kalangan Islam sendiri yang
menyampaikan tidak setuju, yaitu H. Ahmad Sanoesi dan Ki
Bagoes Hadikoesoemo. Ki Bagoes Hasikoesoemo187 mengatakan,
“Saya menguatkan pendapat H. Ahmad Sanoesi dalam
pembukaan di sini yang mengatakan bahwa perkataan, “dengan
kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menurut
keterangan H. Ahmad Sanoesi menambah janggal kata-kata. Saya
harap klausa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja. Saya
masih ragu-ragu bahwa di Indonesia banyak perpecahan dan pada
praktiknya maksudnya sama saja. Itulah pendapat saya yang
menguatkan permintaan H. Ahmad Sanoesi.”188 Sementara itu,
Soepomo, anggota BPUPKI, mengomentari perdebatan itu
186Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, 69. 187Ki Bagus Hadikoesoemo ialah tokoh dari organisasi Muhammadiyah,
lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 31.
188Sependapat dengan Kiai Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikoesoemo tidak menyetujui rumusan “negara berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ia mengusulkan agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja, lihat. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 21.
84
sebagai “polarisasi yang terbentuk sejak awal BPUPKI bersidang
Indonesia sebagai negara Islam atau bukan”.189 Kemudian
Soekarno menegaskan kembali bahwa hal ini telah disepakati
dengan bulat oleh Panitia Sembilan dan hasil jerih payah
nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Jika dihapuskan akan
menimbulkan kekecewaan golongan Islam.
Kemudian pada 13 Juli 1945, dalam persidangan
BPUPKI, Wahid Hasyim mengusulkan dua hal untuk dimasukkan
dalam rancangan UUD. Pertama, pasal 4 ayat 2 yang mengatur
tentang Presiden dan Wakil Presiden. Mula-mula draf pasal 4
ayat 2 berbunyi, “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil
Presiden hanya orang Indonesia asli”.190 Wahid Hasyim
mengusulkan agar ayat ini ditambahkan dengan kata-kata, “yang
beragama Islam.” Jadi, pasal 4 ayat 2 akan berbunyi, “Yang dapat
menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli
yang beragama Islam.”191 Usulan kedua, agar pasal 29 mengenai
agama diubah. Dalam draf pasal 29 berbunyi, “Negara Indonesia
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-
masing.” Wahid Hasyim mengusulkan agar pasal 29 ini diganti
dengan kalimat, “Agama negara adalah agama Islam, dengan
189Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, 99-100.
190Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 75.
191Menurut Saifuddin Zuhri salah satu sifat Wahid Hasyim yakni mudah bertoleransi namun jika menyangkut negara Ia memang bersifat kaku dan tidak mudah untuk ditawar-tawar. Termasuk saat memberikan pendapat mengenai kepala negara dan agama resmi negara dalam sidang-sidang BPUPKI. Lihat, Ahdi Makmur, Relasi Ulama Umara: Profil Historis Politik Ulama NU di Indonesia, 29.
85
menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain,....” Hal
ini, menurut dia, berkaitan erat dengan pembelaan negara.192
Berbeda dengan respons sebelumnya, mendengar dua
usulan ini, Haji Agus Salim langsung menolak dan meminta agar
masalah ini diserahkan ke Badan Permusyawaratan Rakyat.193
Sebaliknya, Soekiman mendukung usulan Wahid Hasyim dengan
mengatakan, “Usulan-usulan Wahid Hasyim akan memuaskan
rakyat, dan pada hakikatnya tidak akan ada akibat apa-apa, maka
saya setuju dengan usulan Wahid Hasyim. Begitu juga KH
Masykur, ia juga berpandangan bahwa kepala negara haruslah
beragama Islam mengingat 95% penduduk beragama Islam,
karena jika bukan seorang muslim tidak akan menjalankan
hukum dengan seksama dan tidak akan diterima oleh orang Islam.
Sementara Kahar Muzakkir menginginkan seluruh kalimat
berunsur Islam dalam undang-undang untuk dihapus secara
keseluruhan.
Kahar Muzakkir,194 berbicara dengan keras sambil
memukul meja. Ia mengatakan, “Saya mau mengusulkan
192Pendapat Wahid Hasyim mengenai pasal 4 ayat 2 memiliki argumen
kuat tersendiri, alasannya untuk masyarakat Islam penting sekali hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, jika presiden orang Islam maka perintah-perintah akan berbau Islam. Kemudian usul pada pasal 29 ia berpendapat bahwa kenapa agama negara harus agama Islam? Ini berhubungan dengan pembelaan, karena menurut ajaran agama nyawa hanya boleh diserahkan hanya untuk ideologi agama. Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 30.
193H. Agus Salim menanyakan saat persidangan jika presiden harus beragama Islam, lalu bagaimana dengan wakil presiden, duta-duta, dan pejabat lain. Poin mengenai presiden ini menjadi pembahasan yang berliku dan panjang dalam rapat.
194Abdul Kahar Muzakir adalah salah satu wakil Islam.
86
kompromi, Paduka Tuan Ketua, kami sekalian yang dinamakan
wakil-wakil umat Islam mohon dengan hormat, supaya dari
permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal di
dalam Undang - Undang Dasar itu, yang menyebut-nyebut Allah
atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali. Hal ini
lantaran Kahar Muzakkir merasa kecewa usulan golongan Islam
tidak diindahkan oleh Soekarno. Soekarno mengatakkan
memahami usul mengenai kepala negara haruslah beragama
Islam, namun menurutnya kepala negara Indonesia akan
beragama Islam dengan sendirinya tanpa harus dicantumkan
dalam dasar negara, karena Indonesia mayoritas Islam. Sehingga
kaum nasionalis berkepercayaan penuh orang yang akan dipilih
masyarakat ialah kepala negara beragama Islam.195 Usul Kahar
Muzakkir ini didukung Ki Bagoes Hadikoesoemo, Islam
mengandung ideologi negara sehingga tidak dapat dipisahkan
dari negara, sehingga jika ideologi Islam tidak diterima maka
negara ini tidak berdiri berdasarkan agama Islam. “kalau ideologi
Islam tidak diterima, tidak diterima! Maka jelas Indonesia netral”
demikian ungkapan Ki Bagoes Hadikoesomo dalam
pesidangan,196 suasana sidang semakin memanas.
195Baca Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan
Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 35-36.
196Lihat juga Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Mencari Isi, Bentuk, dan Makna, 38. Tanggal 15 Juli terjadi debat, Kahar Muzakkir dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dengan nada keras mengatakan jika Piagam Jakarta tidak disetujui, maka lebih baik semua usul yang beracuan pada agama Islam dihapuskan saja sekalian. Hingga akhirnya Soekarno pada tanggal 16 Juli memnta toleransi pada nasionalis sekuler untuk mengalah.
87
Poin mengenai presiden akhirnya diputuskan dalam
sidang 16 Juli. Soekarno meminta pemahaman kepada segenap
kelompok sekuler untuk menerima usul dari kelompok Islam.
“Baiklah kita terima bahwa di dalam Undang - Undang Dasar
dituliskan bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah orang
Indonesia asli dan beragama Islam.197 “Saya minta, apa yang
telah diusulkan mengenai pasal 4, pasal 28 ayat 1 dan 2 dapat
diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya
mengetahui bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat-
hebatnya, terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum
patriot Latuharhary dan Maramis, yang tidak beragama Islam.
Hal ini supaya kita bisa lekas segera merdeka, bisa lekas damai.
“Demikianlah Paduka Tuan Ketua yang mulia penjelasan saya.
Saya harap, Paduka Tuan Ketua yang mulia suka mengusahakan
supaya sedapat mungkin dengan lekas mendapat kebulatan dan
persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa
yang saya usulkan tadi itu,” kata Soekarno.198
Ketua sidang Radjiman Widyodiningrat kemudian
menanyakan kepada anggota sidang apakah usulan Soekarno bisa
diterima. Soepomo menjelaskan pendapatnya. Ia menyatakan
sepakat dengan usulan panitia perancang undang-undang.
Akhirnya, untuk mengambil keputusan, Radjiman meminta
seluruh anggota BPUPKI menyatakan pendapat. Pihak yang
setuju dengan Soekarno diminta berdiri. Ternyata hanya tiga
197Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng,
102. 198Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
80.
88
anggota dari kalangan Tionghoa yang menyatakan tidak mufakat.
Akhirnya, persidangan hari itu ditutup Radjiman dengan
mangatakan, “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya. Saya
ulangi lagi, undang-undang dasar ini kita terima dengan sebulat-
bulatnya.” Itulah hasil persidangan BPUPKI sebelum akhirnya
badan ini dibubarkan pemerintah Jepang.199 Di sini terlihat jelas
kaum nasionalis Islam ikut berperan dalam pembentukan Piagam
Jakarta, dengan pendapat-pendapatnya yang berusaha
memasukkan ruh Islam pada Dasar Negara.200
Rumusan-rumusan yang menggambarkan perjuangan
Wahid Hasyim untuk memasukkan ruh Islam ke dalam Negara
Indonesia mendapat persetujuan bulat anggota BPUPKI,
meskipun dalam prosesnya ada banyak tantangan dan sanggahan.
Piagam Jakarta ini merupakan hasil akhir perjuangan Panitia
Sembilan dalam perjuangan untuk kemerdekaan, dan dalam
waktu yang sama menjadi titik pembangunan dan perkembangan
di masa mendatang. hal ini juga diungkapkan oleh Yamin
“Adapun isi proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945
itu sesuai yang tertulis dalam Piagam Jakarta”.201 Tetapi setelah
BPUPKI pada 7 Agustus 1945 dibubarkan Jepang, dan sebagai
gantinya dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), seluruh rumusan dan usulan Wahid Hasyim menyangkut
Islam jatuh berguguran.
199Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 81. 200Moh. Mahfud, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 16. 201Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan
Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 41.
89
B. Respons KH Abdul Wahid Hasyim dan Kelompok Islam
terhadap Penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta
Pengumuman resmi mengenai hilangnya rumusan-
rumusan yang berunsur Islam itu dibacakan Mohammad Hatta
dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945. Hilangnya frasa “yang
beragama Islam” dalam pasal (6 alinea 1), yang mengatur tentang
Presiden dan Wakil Presiden; dan tujuh kata dalam pasal 29, yang
mengatur soal agama, menurut penjelasan Hatta, merupakan
perubahan maha penting yang menyatukan segala bangsa. Berikut
lampiran usul perubahan pembukaan dan batang tubuh Undang -
Undang Dasar:
1) Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata
“Pembukaan”.
2) Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat:
“Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
diubah menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang
Maha Esa”.
3) Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli
dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam”
dicoret.
4) Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka
pasal 29 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara
berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban
90
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”.202
Soekarno menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar
yang dibuat ini merupakan Undang-Undang Dasar Sementara,
Undang-Undang Dasar Kilat, Revolutiegrondwet. Hal ini telah
dibicarakan dengan Dokuritsu Zyunbi Tyosakai, Soekarno
meminta agar dalam perundingan ini hanya akan dibahas hal
yang penting-penting dan secara umum, hal-hal yang kecil akan
dikesampingkan agar Undang - Undang Dasar segera tersusun
dalam waktu singkat.203 Ia juga menyampaikan untuk diingatkan
perihal Undang - Undang Dasar Kilat ini, agar dikemudian hari
dapat disempurnakan kembali.204 Banyak pihak mempertanyakan
mengenai hilangnya ketentuan-ketentuan penting tersebut. Asal
mula hilangnya “tujuh kata” dalam preambule serta batang tubuh
UUD 1945 itu bermula dari informasi yang disampaikan Hatta.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sore hari, 17 Agustus
1945, Hatta menerima telepon dari Nhisijima, pembantu
Laksamana Maeda. Dia bertanya apakah Hatta bersedia bertemu
dengan opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang), yang ingin
mengemukakan hal penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri
akan menjadi juru bicaranya. Hatta pun mempersilahkan mereka
datang.205
202Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan
Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 42.
203 Tantang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid I, (T. tp: T.pn, t.t, ), 311.
204 Tantang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid I, 316.
205Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 82.
91
Hatta diberi tahu bahwa rakyat di Indonesia timur, yang
beragama Katolik dan Protestan, akan menolak masuk ke dalam
Republik Indonesia, yang baru saja diproklamasikan, jika di
dalam undang-undang dasar terdapat rumusan, “ke-Tuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.” Mereka merasa ada semacam diskriminasi bila
rumusan itu dipertahankan. Berdasarkan informasi perwira
Jepang inilah, pada 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI
dimulai, Hatta membujuk (lobbying) empat wakil kalangan Islam
untuk mencoret semua rumusan yang berbau Islam dari
konstitusi, di antaranya Ki Bagoes Hadikoesomo, Wahid Hasyim,
Kasman Siongodimedjo, Teuku Muhammad Hassan.206 Reaksi
positif dari Teuku Hassan atas perubahan yang diajukan Hatta
dapat kita pahami, karena ia bukanlah golongan kelompok
nasionalis Islam. Kasman Singodimedjo baru mendapat undangan
pada pagi hari 18 Agustus sebagai tambahan anggota baru,207 ia
juga baru pertama kalinya melihat rancangan UUD sehingga
belum memahami betul permasalahannya. Sementara itu ada
perdebatan mengenai kehadiran Wahid Hasyim dalam lobbying
Hatta ada yang mengatakan bahwa Wahid Hasyim tidak hadir
dalam perundingan ini208 namun ada pula yang mengatakan hadir
206Muhammad Hatta, Memoir, 459. Lihat juga Panitia Peringatan 75
Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang:Kasman Singodimedjo 75 Tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 130.
207S.U Bajasut, Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusaswito, (Surabaja: Documenta, 1972), 312.
208Lihat buku, S.U Bajasut, Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusaswito, (Surabaja: Documenta, 1972), 320. Menjelaskan bahwa Wahid Hasyim tidak ada dalam lobbying Hatta, karena masih dalam perjalanan di Jawa Timur.
92
dan ia pun menyetujui dihapuskannya tujuh kata dalam
pembukaan dasar negara, mengenai kehadiran Wahid Hasyim
dijelaskan dalam memoir Muhammad Hatta. Bahkan menurut
Kasman Singodimedjo, Wahid Hasyim yang berusaha
meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo.209 Tak hanya memoir
yang ditulis oleh Mohammad Hatta yang membuktikan
bahwasanya Wahid Hasyim hadir dalam rapat 18 Agustus 1945,
naskah Yamin pun menjadi penguat. Di mana ia menuliskan
secara rinci siapa saja yang hadir dalam persidangan PPKI, pada
18 Agustus persidangan diketuai oleh Ir. Soekarno, wakil Moh.
Hatta anggota sebagai berikut:
1. Soepomo
2. Radjiman
3. Suroso
4. Sutardjo
5. Wahid Hasyim
6. Ki Bagus Hadikusumo
7. Oto Iskandardinata
8. Abdul Kadir
9. Surjohamidjojo
10. Purubojo
11. Yap Tjwan Bing
12. Latuharhary
13. Dr. Amir
14. Abd. Abbas
209Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan
Makna, 39-40.
93
15. Moh. Hassan
16. Hamdhani
17. Ratulangi
18. Andipangeran
19. I Gusti Ktut Pudja
20. Wiranata Kusuma
21. Ki Hajar Dewantara
22. Mr. Kasman
23. Sajuti
24. Kusuma Sumantri
25. Subardjo
Dari data di atas terlihat bahwa Wahid Hasyim ikut serta
dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945,210 sehingga memungkinkan
ketika itu ia bertemu Hatta dan mengompromikan soal
penghapusan tujuh kata bersama tokoh Islam lainnya.211 Nugroho
Notosusanto (mengutip Lembaga Sejarah Hankam) menuliskan
orang-orang yang hadir dalam upacara Proklamasi kemerdekaan
Indonesia, di antaranya Soekarno, Hatta, Abikoesno
Tjokrosoedjoso, Soekardjo Wirjopranoto, Soetardjo
Karthohadikoesoemo, Wahid Hasyim, Radjiman
Wedyodiningrat, dan lain-lain.212 Kehadiran Wahid Hasyim
210Kasman juga menerangkan bahwa Wahid Hasyim ikut serta dalam
lobbying Hatta. Baca Hidup Itu Berjuang:Kasman Singodimedjo 75 Tahun,130.
211Untuk lebih lengkap soal persidangan PPKI, seperti siapa saja anggota yang hadir dan apa yang dibicarakan dalam persidangan, dapat dilihat pada buku karya Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang - Undang Dasar 1945, 399.
212Untuk lebih lengkap mengetahui siapa saja yang hadir dalam upacara Proklamasi, lihat. Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, 34.
94
dalam Proklamasi kemerdekaan mendukung keterangan Hatta
bahwa Wahid Hasyim pada tanggal 18 Agustus 1945 hadir dalam
persidangan.213
Tersisa Ki Bagoes Hadikoesoemo, ia sangat gigih
mempertahankan Piagam Jakarta dengan anak kalimatnya namun
akhirnya ia pun terbujuk Kasman dan menyetujui hal-hal yang
disampaikan Hatta dengan berat hati. Usaha membujuk Ki
Bagoes Hadikoesoemo dilakukan oleh Kasman Singodimedjo
dengan berbagai argumentasi.214 Saifuddin Zuhri menceritakan
bagaimana Wahid Hasyim menjelaskan kesepakatan tersebut: “Pertama: situasi politik dan keamanan dalam permulaan
revolusi memang memerlukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua:
sebagai golongan minoritas mereka memang dapat melakukan politik
ofensif bahkan disertai tekanan politik (chantage) seolah-olah
ditindaas oleh golongan mayoritas. Sebagai golongan yang paling
berkepentingan tergalangnya persatuan dan kesatuan dalam
menghadapi Belanda yang masih memiliki kaki tangan di mana-mana,
para pemimpin Islam dan nasionalis memenuhi tuntutan mereka.
Dengan pengertian: Bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya akan dapat ditampung dengan melaksanakan
fasal 29 ayat 2 UUD 45 secara jujur yaitu ayat yang berbunyi: Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaan itu.”
213Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta:Tinjauan Hukum dan Sejarah,
34-35. 214Untuk lebih lengkapnya dapat membaca buku Endang Saifuddin
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 47-50.
95
Akhirnya kelompok Islam menerima hasil pertemuan 18
Agustus 1945 berupa keputusan penghapusan kalimat-kalimat
yang berciri Islam. Dengan demikian negara kembali pada
gagasan negara persatuan.215 Seperti yang telah diterangkan
sebelumnya, hal ini karena situasi dan kondisi tanah air masih
dalam bahaya, di mana tentara sekutu sudah mengelilingi
Indonesia akan mengembalikan kolonialisme Belanda untuk
menjajah kembali.216 Meskipun begitu, sebenarnya umat Islam
merasa sulit dan menyakitkan menerima kenyataan bahwa tujuh
kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan, terutama tokoh-tokoh
yang memberikan usul dan mencurahkan gagasan-gagasan di
dalam persidangan, mereka beradu gagasan dan bertukar pikiran
bersama kelompok lain untuk merumuskan Undang-undang
Dasar dan dasar negara Indonesia.217
Namun karena saat itu situasi darurat dan menjepit, sekali
lagi dijelaskan bahwa kaum nasionalis Islam menerima dengan
lapang dada, lagi pula Soekarno mengatakan, ini hanya Undang -
Undang Sementara yang suatu saat akan dapat diubah dan
dirundingkan kembali jika situasi memungkinkan.218 Masa
revolusi bukanlah saat yang tepat bagi para nasionalis Islam
untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islam mereka. Bagi
215Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 83-85.
216Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 59.
217Artawijaya, Belajar dari Partai Masyumi, (Jakarta: Al-Kautsar, 2014), 54-55.
218A. Syafi’i Maarif, Deliar Noer, dkk, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, 6.
96
mereka mempertahankan persatuan dan kemerdekaan Indonesia
jauh lebih penting dan harus didahulukan. Pandangan seperti ini
antara lain tersimpul dalam pidato Kasman Singodimedjo dalam
konstituante yang mengutarakan mengapa kelompok Islam tidak
mengajukan protes ketika ketentuan Islami dihilangkan dalam
Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada saat seperti
itu, katanya, mengingat kalahnya Jepang dan mendaratnya tentara
sekutu, tidaklah tepat membicarakan materi tersebut dengan
mendalam. Itulah sebabnya mengapa kelompok Islami
mengesampingkan prinsip-prinsip mereka sendiri tentang filsafat
negara dan konstitusi, dengan pengharapan di masa yang akan
datang, di mana keadaan mengizinkan akan ada musyawarah
kembali terkait dasar negara.219
Tercantumnya tujuh kata dalam pembukaan Undang -
Undang Dasar dianggap mengadakan diskriminasi terhadap kaum
minoritas. Demikianlah kenapa dihapuskannya anak kalimat
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”.220 Anak kalimat (tujuh kata kompromi) ini tidak
hanya tercantum dalam preambule namun juga tertulis dalam
Undang - Undang Dasar pasal 29 ayat 1.221 Sebenarnya Hatta
berusaha meyakinkan bahwa adanya kalimat tersebut bukan suatu
diskriminasi, penetapan itu hanya untuk yang beragama Islam.
219Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 60.
220Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Jilid IV, 43.
221Ahmad Safii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, 194.
97
Lagi pula A.A Maramis (non muslim) sebagai salah satu anggota
Panitia Sembilan hadir sewaktu perumusan Pembukaan Undang -
Undang Dasar dan menandatangani Pembukaan Undang -
Undang pada 22 Juni 1945, ia tidak keberatan dengan tujuh kata
kompromi tersebut.222
Hilangnya anak kalimat tersebut dirasakan sebagai kerugian
besar dan tidak sedikit yang menyayangkan atas dihapuskannya
anak kalimat tersebut. Namun dihilangkannya anak kalimat itu
dimaksudkan agar kelompok minoritas (golongan Protestan dan
Katolik) tidak memisahkan diri dari Indonesia. Beberapa
pendapat mengatakan salah satunya Alamsjah Ratu
Perwiranegara pada 1987 (Menteri Agama pada saat itu)
dihapuskannya tujuh kata kompromi tersebut sebagai salah satu
hadiah dari kelompok Islam demi kesatuan Bangsa
Indonesia.223lobbying Hatta terhadap nasionalis Islam berhasil,
penghapusan tujuh kata kompromi pada 18 Agustus 1945 resmi
disetujui kelompok Islam. Namun kemudian sila pertama pada
Pancasila berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” hal ini
sebagai salah satu peredam kegagalan politik kelompok Islam.
Dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah karya Mohammad
Roem, dikatakan bahwa Ki Bagus Hadikusumo setuju dengan
penghapusan tujuh kata kompromi, namun diganti dengan
kalimat “Yang Maha Esa”.224 Menurut Hatta, Wahid Hasyim
222Mohammad Hatta, Memoir, cet. I, 458. 223Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3ES, 1985), 109. 224Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), Jilid IV, 82. Bandingkan dengan Wahid Hasyim dalam buku Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 37.
98
dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sama saja dengan tauhid
dalam Islam. Sementara Agus Salim mengatakan berusaha untuk
menerima dihapuskannya tujuh kata kompromi, karena semakin
tidak menerima maka rasa sakit hati semakin terasa. Ia juga
berpandangan bahwa sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan
Yang Maha Esa” sudah bermakna akidah agama, ruh Piagam
Jakarta akan selalu ada meski tanpa teks tertulis.225 Nilai-nilai
ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritual dianggap sangat
penting untuk kehidupan bernegara. Di samping itu, Indonesia
bukanlah negara sekuler yang sangat ekstrem memisahkan agama
dan negara dengan memojokkan peran agama ke ruang
komunitas. Negara diharapkan dapat melindungi dan
mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama
diharapkan dapat menguatkan etika sosial.226 Oleh karenanya
Islam percaya bahwa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945
terdapat ruh Islam yang mampu mengatur umat Islam dan
mewujudkan cita-citanya untuk negara dan menerima Pancasila
sebagai asas tunggal.227
Kesepakatan ini menandakan bahwa para pemimpin
tersebut saat itu memang benar-benar mementingkan persatuan
bangsa. Meskipun tujuh kata telah di hapuskan dalam Piagam
Bahwa Wahid Hasyim memberikan komentar kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sesuai dengan Tauhid dalam Islam, dan kalangan Islam akan puas dengan kalimat pengganti ini.
225Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Jilid IV, 83.
226Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 43.
227Bachtiar Effendy, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, (Bandung: Mizan, 2000), 49.
99
Jakarta, namun tetap hadir karena ada kalimat Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam Pancasila dan Dasar Negara.228 Singkat kata,
berkat perundingan dengan tokoh perwakilan umat Islam, Hatta,
yang selalu mengingatkan pentingnya menjaga Indonesia dari
perpecahan, resmi mencoret semua rumusan yang berunsur Islam
dalam konstitusi, termasuk tujuh kata yang menjadi kontroversi
utama. Meskipun usulan Wahid Hasyim berguguran, sejarah tetap
mencatat namanya sebagai wakil umat Islam yang
memperjuangkan iman hingga titik terakhir. Meski pandangan-
pandangannya akhirnya ditolak, ia telah memperjuangkan
keyakinannya, dan mungkin juga keyakinan mayoritas umat
Islam Indonesia. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk
menunjukkan kiprahnya sebagai pemimpin.229 Sangat
disayangkan Piagam Jakarta yang banyak menerima penghargaan
tersebut hanya dapat bertahan selama 56 hari.230
C. Berdirinya Kementerian Agama sebagai Pengganti
Dihapuskannya Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta
Kementerian Agama terbentuk pada 3 Januari 1946,
lembaga ini lahir lima bulan setelah kemerdekaan Indonesia.
Tepatnya setelah kabinet Soekarno jatuh, dan dimulailah kabinet
228Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: PT Tintamas Indonesia, 1979),
cet. I, 459. 229Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara,
83. 230A. Syafi’i Maarif, Deliar Noer, dkk, Syariat Islam Yes Syariat Islam
No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), 6.
100
Syahrir, pada kabinet Syahrirlah Kementerian Agama berdiri.231
Jika dilihat dari sisi historis terbentuknya Kementerian Agama,
Indonesia termasuk negara yang religius dilihat pada waktu
kemerdekaan Indonesia presentasi umat Islam berjumlah 90%.
Agama ialah salah satu dasar yang membuat masyarakat
memperjuangkan untuk mengusir penjajah dari tanah air.
Gagasan terbentuknya Kementerian Agama digagas oleh anggota
BPUPKI, gagasan ini diperjuangkan melalui Badan Komite
Nasional Indonesia Pusat (BKNIP). Usaha ini berhasil sampai
akhirnya dikeluarkan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor
1/SD tanggal 3 Januari 1946, tentang pendirian Departemen
Agama.232 Peranan gerakan-gerakan politik Islam dalam
memperjuangkan kemerdekaan tidak dapat diabaikan, apalagi
soal gagalnya susunan Piagam Jakarta dicantumkan dalam
Pancasila dan Dasar Negara. Untuk itu dibentuknya Kementerian
Agama sebagai pengganti penghapusan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta, antara lain berfungsi untuk mengatasi urusan-urusan
umum pemerintah di bidang keagamaan. Dibentuknya
Kementerian Agama dalam susunan pemerintahan yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan pemenuhan
dari suatu kebutuhan, dan pemenuhan sebagai realisasi sila
pertama dalam Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.233
231Hamka, “Kementerian Agama Supaja Ditinjau Kembali,” Mimbar
Agama, Th. ke-2, No- 6-7, Djuni-Djuli 1951, 13. 232Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Piagamm Jakarta: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), 153.
233Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Piagamm Jakarta: Jakarta: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, 155.
101
Menurut B.J. Boland Kementerian Agama memiliki dua
arti penting, pertama berfungsi memberikan jalan bagi agama-
agama khususnya Islam seefektif mungkin dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Kedua, di dalam negara yang
penduduknya mayoritas Islam, departemen ini sebagai jalan
tengah antara negara sekuler dan negara Islam. Hamka juga
mengatakan bahwa kalangan Islam merasa puas karena Republik
Indonesia yang ikut mereka perjuangkan dengan harta, darah, dan
tenaga tidak lagi memandangnya tersisih dengan berdirinya
Kementerian Agama, artinya umat Islam tidak lagi tersisih. Umat
Kristen dan Katolik pun puas lantaran kementerian tersebut
bernama Kementerian Agama bukanlah Kementerian Islam.
Namun terkadang masih saja kaum Katolik dan Protestan merasa
dianaktirikan, sementara itu umat Islam merasa Katolik dan
Protestan terlalu dimanjakan oleh negara. Pandangan seperti ini
masih saja sering terjadi, bahkan sampai saat ini.234 Awalnya
umat Kristen juga menginginkan agar Kementerian Agama
dibubarkan saja, karena hanya dibentuk untuk umat Islam. Tahun
1946 saat Kementerian Agama sudah berdiri, ketika itu Wahid
Hasyim yang menyandang sebagai ketua menteri. Hadirnya
Kementerian Agama terus saja digubris, berbagai argumen
tentang berapa tidak pentingnya departemen ini terus bergulir.
234Hamka, “Kementerian Agama Supaja Ditinjau Kembali,” Mimbar Agama, 16. Lihat juga Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna,43. Dalam buku ini juga dijelaskan terjadi kotroversi atas pembentukan Kementrian Agama lantaran dianggap memberikan otonomi kepada pemuka agama dalam urusan pengajaran agama, pengaturan ibadah dan haji, seolah mengizinkan pembentukan negara dalam negara. Selain anggapan tersebut,, terbentuknya Kementrian Agama dianggap sebagai sentalisasi lembaga-lembaga Islam.
102
Wahid Hasyim terus mempertahankan Kementerian Agama
dengan argumennya, dan terus mengembangkan Kementerian
Agama.235 Namun kemudian mereka diyakinkan kembali bahwa
berdirinya kementerian ini sebagai wadah berbagai agama di
Indonesia. Bukan hanya untuk umat Islam, hanya saja perhatian
pemerintah terhadap Islam bisa saja dianggap lebih karena
jumlahnya memang mayoritas Indonesia, dan ini wajar. Namun
pelayanan dalam Kementerian Agama baik Islam maupun non
Islam tetaplah sama. Sehingga sampai saat ini masihlah berdiri
Kementerian Agama.
Dalam Kementerian ini Wahid Hasyim kembali
berkiprah, bahkan sampai tiga periode terhitung dari tahun 1949-
1950 pada masa Kabinet Hatta, 1950-1951 Kabinet Natsir, dan di
1951-1952 pada massa Kabinet Sukiman.236 Sebelumnya Wahid
Hasyim juga pernah menyandang tugas sebagai Menteri Negara
pada tahun 1946 dalam Kabinet Presidentil pertama, dan Menteri
Negara pada Kabinet Syahrir pada 1946-1950.237 Menurut Wahid
Hasyim Kementerian Agama ada beberapa hal yang perlu
235Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad
20, 38-39. 236Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Teritan (KDT), Profil
Pahlawan Nasional, 20. Untuk lebih jelas mengenai kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Kementerian Agama dapat dilihat dalam buku Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim, 702. Lihat juga Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, 16. Untuk melihat susunan kabinet lengkap dapat membaca buku Undang -Undang Dasar 1945 (Amandemen), (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009), cet. IV. Dalam buku ini dijelaskan susunan kabinet-kabinet, sejarah singkat nusantara dari tahun 400 sampai dengan 1945, Teks Proklamasi, Piagam Jakarta, dekrit presiden 5 Juli 1959, Tritura, dan Supersemar.
237Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 38.
103
diuraikan berkaitan dengan Kementerian Agama di antaranya
soal pandangan dan dasar-dasar untuk mengadakannya.
Sebelumnya pada masa pendudukan Jepang memang sudah ada
Kantor Urusan Agama yang khusus mengurus urusan agama,
kantor ini sebagai pengganti Kantor Adviseur voor Inlandsche
Zaken pada masa pendudukan Belanda. Di mana kantor ini
memiliki beberapa tugas, pertama memberikan pertimbangan-
pertimbangan soal keagamaan. Kedua, melakukan penyelidikan
dan pengawasan kepada kegiatan politik Islam.238
Lalu setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada
17 Agustus 1945, orang-orang berpandangan dengan teorinya
bahwa urusan negara harus dipisahkan dengan agama, tidak perlu
ada departemen atau lembaga tersendiri yang mengurus soal
agama dalam susunan pemerintahan. Namun pada praktiknya
banyak persoalan agama yang haru diurus seperti pernikahan,
perjalanan Haji,239 pendidikan rohani, dan lain-lain. Persoalan-
persoalan tersebut diurus oleh beberapa lembaga sebelum
berdirinya Kementerian Agama seperti Departemen Dalam
Negeri ada juga yang diserahkan pada kepala-kepala daerah.
Timbul pertanyaan apakah dasar dibentuknya
Kementerian Agama? Tidaklah cukup jika diurus oleh beberapa
departemen dalam pemerintahan? Pada kenyataannya masalah-
238K.H.A. Wahid Hasjim, “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama R.I.S.,” Mimbar Agama, Th. ke-2, No. 1, Juni- Juli 1950, 5-6.
239Pada saat Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama ia melakukan perbaikan administrasi perjalanan haji menjadi lebih teratur, sehingga terjadi peningkatan jumlah pemberangkatan haji dari Indonesia. Untuk lebih jelas mengenai bagaimana pemikiran dan kebijakan Wahid Hasyim tentang perjalanan haji dapat ditelusuri melalui tulisannya berjudul “Perbaikan Perdjalanan Hadji,” Mimbar Agama, 17 Agustus 1950 No.2, 8.
104
masalah keagamaan cukup banyak baik urusan agama golongan
mayoritas di Indonesia maupun minoritas. Karena banyak sekali
soal keagamaan yang perlu ditangani dan tidak mungkin dari
banyaknya persoalan tersebut tercampur oleh beberapa
departemen, maka sangat perlunya didirikan departemen yang
khusus mengurus soal keagamaan. Maka dibentuklah
Kementerian Agama pada Kabinet Parlementer pertama, ini
merupakan jalan tengah antara teori memisahkan agama dengan
negara dengan teori menyatukan agama dengan negara.240
Selama menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim berhasil
menjalankan beberapa kebijakan seperti memperbaiki
administrasi perjalanan haji. Di mana pada masa penjajahan,
sangat sulit akses untuk pergi haji. Dipersulitnya para jemaah haji
lantaran mereka dianggap seorang “priest” sepulang berhaji,
sangat dihormati karena dianggap wali yang memiliki
pengetahuan spiritual yang tinggi. Hal inilah yang dianggap
berbahaya oleh penjajah, karena orang tersebut dapat
menggerakkan pengikutnya sesuai yang ia inginkan. Usaha
pemerintah kolonial dalam pengawasan dan pengekangan ibadah
haji dilakukan melalui beberapa kebijakan, di antaranya
memberlakukan sistem pajak yang begitu tinggi pada para jamaah
haji, jika tidak membayar maka akan mendapatkan denda.
Penjajah juga menaikkan ongkos paspor dua kali lipat dari
sebelumnya. Tidak hanya itu, para haji juga diadakan ujian
terlebih dahulu sebelum diperbolehkan memakai gelar dan
240K.H.A. Wahid Hasjim, “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama
R.I.S.,” Mimbar Agama, 5.
105
pakaian haji.241 Setelah Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama,
sistem perjalanan haji dirapikan dan diperbaiki sehingga lebih
administratif dan teratur, jumlah korban jiwa pun menurun
selama dalam perjalanan, dan jumlah jamaah haji menjadi
meningkat.
241Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai
Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), 42.
106
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa KH
Abdul Wahid Hasyim merupakan seorang tokoh dan ulama yang
mempunyai kontribusi dalam mempersiapkan kemerdekaan dan
perumusan Piagam Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian penulis
dapat disimpulkan bahwa:
KH Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu anak dari
KH Hasyim Asy’ari, tidak hanya pandai dalam bidang ilmu
agama namun ilmu pengetahuan umum juga ia pelajari, seperti
bahasa Inggris, Arab, dan Belanda. Kemudian ia mengikuti
beberapa lembaga seperti NU (1938), MIAI pada tahun 1939, dan
Masyumi pada 1943. Pengalaman politik dan ilmu pengetahuan
yang ia miliki mengantarkannya pada pemerintahan Jepang. Ia
direkrut oleh Jepang sebagai salah satu dewan pemerintahan, di
antaranya ketua dewan MIAI, dan ketua Masyumi, dan salah satu
anggota Shummubu.
Penelitian ini juga menunjukkan Wahid Hasyim sebagai
salah satu anggota Panitia Sembilan memberikan usul dalam
rumusan pembukaan (preambule) Undang - Undang Dasar 1945
atau disebut juga Piagam Jakarta. Ia mengusulkan anak kalimat
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” setelah kata “ke-Tuhanan.” Soekarno membacakan
hasil rapat Panitia Sembilan mengenai Piagam Jakarta pada 10
Juli 1945 di depan sidang BPUPKI. Namun kemudian mendapat
107
108
penolakan, karena anak kalimat ini dianggap akan mendapat
penolakan bagi warga negara non muslim, selain itu juga
dianggap diskriminasi dan terlalu fanatik. Akhirnya terjadi
perdebatan antara nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Di
mana nasionalis Islam menginginkan Indonesia berasaskan Islam
karena 90% penduduk beragama Islam, sementara nasionalis
sekuler menginginkan Indonesia berasaskan kebangsaan karena
Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, dan adat.
Selain itu Wahid Hasyim juga mengusulkan pasal 4 ayat 2
tentang presiden dan wakil presiden haruslah orang Indonesia asli
dan beragama Islam, selanjutnya mengusulkan agar pasal 29 ini
diganti dengan kalimat, “Agama negara adalah agama Islam,
dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain.
Di samping itu penelitian ini juga menjelaskan mengenai
peristiwa sehari setelah kemerdekaan, tepatnya 18 Agustus 1945
Mohammad Hatta melakukan kompromi dengan Wahid Hasyim,
Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Teuku
Mohammad Hassan. Hatta menyampaikan bahwa orang
Indonesia dari Timur tidak menyetujui dicantumkannya tujuh
kata kompromi tersebut dalam Piagam Jakarta, mereka merasa
didiskriminasikan. Kompromi Hatta dan empat tokoh yang
mewakili Islam tidak memakan waktu lama, akhirnya Wahid
Hasyim dan beberapa tokoh Islam lainnya menerima
dihapuskannya tujuh kata kompromi (anak kalimat dari
“Ketuhanan”), hal ini demi persatuan bangsa karena keadaan
pada saat itu sedang masa pertahanan khawatir kemerdekaan
Indonesia direbut penjajah, karena baik Jepang maupun Belanda
masih ingin menguasai Indonesia. Lagi pula Soekarno
mengatakan Piagam Jakarta ini hanya UUD sementara, di lain
waktu akan dirundingkan kembali sampai benar-benar mendapat
kemufakatan. Sebagai pengganti dihapuskannya usul-usul tokoh
Islam dalam konstitusi maka didirikanlah Kementerian Agama
dan tujuh kata “dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” digantikan dengan “Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
B. Implikasi
Pentingnya mengetahui peranan seorang tokoh seperti KH
Abdul Wahid Hasyim sebagai salah satu tokoh Islam yang ikut
andil dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan segala
organisasi yang mewadahinya. Ia ikut merumuskan Piagam
Jakarta sebagai pembukaan Undang - Undang Dasar, banyak
unsur Islam yang ia masukkan ke dalamnya meskipun kemudian
dihilangkan pada 18 Agustus 1945. Sifat dan sikap Wahid
Hasyim patut dipelajari sebagai tokoh cendekia dan aktif
memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, serta
persatuan bangsa Indonesia. Ini dapat menjadi teladan bagi
masyarakat, khususnya para pemuda karena saat itu usia Wahid
Hasyim masih tergolong muda.
C. Saran
Penulis berharap kemerdekaan yang telah diperjuangkan
oleh para pahlawan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya karena
kemerdekaan ini tidak mudah dicapai, banyak sekali pengorbanan
110
baik dari tokoh-tokoh nasionalis Islam dan nasionalis sekuler
sampai kepada berdiri Republik Indonesia. Selain itu, penulis
juga mengharapkan penulisan mengenai tokoh Islam yang
berperan dalam perjuangan kemerdekaan tidak hanya sampai di
sini, namun lebih dikembangkan lagi oleh penulis-penulis
selanjutnya, karena penulisan biografi bisa dijadikan percontohan
dan motivasi bagi pembaca. Kemudian, perlunya pemerintah
untuk menjaga arsip-arsip agar terus bertahan, bahkan jangan
sampai ada arsip yang hilang guna bahan riset di masa
mendatang.
111
DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah
Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, Jakarta:
Mizan, 2011. Aman, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan: 1945-1998,
Yogyakarta: Ombak, 2015. Anam, A. Khoirul. dkk. Enslikopedia Nahdatul Ulama: Sejarah,
Tokoh, dan Khazanah Pesantren, Jakarta: Nata Bangsa dan Nahdatul Ulama bekerjasama dengan PT Bank Mandiri, 2014.
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1981. Azra, Azyumardi dan Umam, Saiful, ed. Menteri-Menteri
Agama RI:Biografi Sosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998. AR, Djauharuddin, Peranan Ummat Islam dalam Proses
Pembentukan dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Bandung: Angkasa, 1985.
Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (B.P.S.I.M), Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945-1950, Jakarta: BPSIM, 1978, Jilid I.
Bajusit, S.U., Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito, Surabaja: Documenta, 1972.
Bakhri, Mokh. Syaiful, Syaichona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura, Sidogiri Kraton Pasuruan: Cipta Pusaka Utama, 2009.
111
112
Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan Praktik), Jakarta: Restu Agung, 2006.
Bashri, Yanto dan Suffatni, Retno, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta: LKIS, 2004
Berry, David, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Jakarta: Rajawali Pers, 1983.
Bizawie, Zainul Milal, Laskar-laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Tangerang: Pustaka Compass, 2014.
Burhanuddin, Jajat dan Baedowi, Ahmad, ed., Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, 2003.
Burke Petter, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Obor, 2015.
Pitoyo, Darmosugito, ed. Menjelang Indonesia Merdeka: Kumpulan Tulisan Tentang Bentuk dan Isi Negara yang Akan Lahir, Jakarta: Gunung Agung, Anggota IKAPI, 1982.
Dewanto, Nugroho, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011.
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kia Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKIS, 1999.
Effendy, Bachtiar, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, (Bandung: Mizan, 2000.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985.
Hatta, Mohammad, Kumpulan Pidato tahun 1945-1949, Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1981.
Hatta, Mohammad, Memoir, Jakarta: PT Tintamas Indonesia, 1979, cet. I.
Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007.
113
Irawan, Aguk MN, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara, Jakarta: Imania, 2016.
Irawan, Aguk, Penakluk Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Qalam Nusantara, 2016, cet. IV.
Isya, Marjani Gustiana, Wajah Toleransi NU: Sikap NU terhadap Kebijakan Pemerintah atas Umat Islam, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012.
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.
Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015, Cet. Ke-V.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Noer Deliar, dkk, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001.
Maarif, Ahmad Safi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Mahfud, Moh, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Makmur, Ahdi, Relasi Ulama Umara: Potret Historis Politik Ulama NU di Indonesia 1959-1965 Era Sukarno, IAIN Antasari Press, 2014.
Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Mansoer, Moh. Tolchah, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang U.U.D 1945, Bandung: ALUMNI, 1983.
Marjani, Gustiana Isya, Wajah Toleransi NU: Sikap NU terhadap Kebijakan Pemerintah atas Umat Islam, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012.
Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, Bandung: Marja, 2017.
Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, T.pn, t. th.
114
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1993.
Muljana, Slamet, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: LKIS, 2008, Jilid II.
Nasution, A.H, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Bandung: Angkasa, 1992, Jilid I Proklamasi, Cet. IV.
Niswah, Choirun, “Wahid Hasyim dan Pancasila: Studi Pemikiran atas Pemikirannya tentang Dasar Negara (1945-1953).” Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang 1999/2000.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pusaka Utama Grafiti, 1987.
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang:Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT), Profil Pahlawan Nasional, Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kepahlawanan Sosial Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementrian Sosial RI, 2014.
Ridwan, Nur Khalik, NU dan Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik dan Kekuasaan, Jogjakarta, Ar-ruz Media Group, 2010.
Rifa’i, Mohammad, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, Jogjakarta: Garasi, 2009.
Roem, Mohammad, Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, Jilid IV.
Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.
Saidi, Ridwan, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta: Majlis Himpunan Mahasiswa Islam Loyal untuk Bangsa (Mahmilub), 2007.
Sandjojo, Nidjo, Abdul Latif Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945, Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 2011.
115
Santoso, Rokhmani, Basri Yusmar, dkk, Hari-hari Menjelang Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1988.
Soebardjo, Ahmad, Lahirnya Republik Indonesia, Jakarta: PT Kinta, 1977.
Subchi, Imam, Pengantar Antropologi, Tangerang Selatan: LP2M UIN Syaif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Sudirman, Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Yogyakarta: DIVA Press, 2014, Cet. I.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Piagamm Jakarta: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995.
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode, Contoh Aplikasi, Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Suprijadi, Bambang, ed., Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa Berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/KEP/2002, Jakarta: Kerjasama antara Assosiasi Guru dan Pendidikan Pancasila Jatim dan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Asri Press, 2012.
Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, Jawa Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015.
Suprayogo, Imam, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai, Malang: UIN Malang Press, 2009.
20 Tahun Indonesia Merdeka, Departemen Penerangan RI, (T. pn: T.pn, t.t,), Jilid II.
Tantang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, (T. pn: T.pn, t.t,), Jilid I.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Enslikopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Tutik, Titik Triwulan, Efendi Jonaedi, Membaca Peta Politik Nahdatul Ulama: Sketsa Politik Kiai dan Perlawanan Kaum Muda NU, Jakarta: Tim Lintas Pustaka, 2008.
116
Tanpa Nama, Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen), Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009, cet. IV.
Wahid, Abdurrahman, ed., Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009.
Wijaya, Kerta, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, Jakarta: Restu Agung, 2007.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, Jilid I.
Yahya, Ali, Sama tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wahid Hasyim, Jombang: Yayasan K.H.A. Wahid Hasyim, 2007.
Yuniarti, D. Rini, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta: Kompas, 2003. Jurnal:
Elson R.E, “Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945” Jstore (2009), diakses pada 8 Maret 2018 pukul 8:05 WIB.
Haris Munawir, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, Agustus 2012.
Sa’adillah Rangga, “Pendidikan Karakter Menurut KH. Wahid Hasyim,” artikel diakses pada Minggu, 19 November 2017, pukul 15:59. Arsip:
“Sekretariat Negara RI 1945-1949”, No. Inventaris 155, Th. 1945.
Foto KH Abdul Wahid Hasyim, Arsip Nasional Republik Indonesia. No. P04/122.
“Mohammad Yamin”, No. Inventaris 560. “Mohammad Yamin”, No. Inventaris 553.
117
Koran:
“Pemboebaran MIAI.” Tjahaya, Kemis Zyuitigatu 2603. “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia
Persapan Kemerdekaan Indonesia.” Soeara Asia, Kemis Pon, 9 Agustus 1945, Tahun ke VI-No. 191.
“Rapat Besar Menyamboet Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.” Asia Raya, Agoest 2605 Th. ke IV No. 191.
“Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” Soeara Asia, Kemis Pon, 9 Agoest 2605, Th ke IV, No. 191.
Majalah:
Hamka, “Kementrian Agama Supaja Ditinjau Kembali,”
Mimbar Agama, Th. ke-2, No- 6-7, Djuni-Djuli 1951 Hasjim, Wahid, “Kebangkitan Dunia Islam,” Mimbar
Agama, No. 1-12, Maret-April, Th. 1951 Jilid III/IV. Hasjim, Wahid, “Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak,
yaitu dengan Meninggalkan Hawa Nafsu dan Menjalani Kebenaran”, Mimbar Agama, No. 1-12, Juni-Juli, Th.1951 Jilid II.
Hasjim, Wahid, “Kedudukan Ulama’ dan Masjarakat Islam di Indonesia”, Mimbar Agama, No. 3, 17 September 1950 Jilid I.
Hasjim, Wahid, “Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, No-5-6, 17 November- 17 Desember 1950 Jilid I.
Hasjim, Wahid, “Sekitar Pemetukan Kementrian Agama RIS,” Mimbar Agama, No. 1, Maret-April 1951 Jilid I.
Hasjim, Wahid, “Perbaikan Perjalanan Hadji”, Mimbar Agama, No. 1-12, Agustus 1950 jilid I.
Noor, Mas’uddin, “Almarhum K.H. A. Wahid Hasjim,” Mimbar Agama, No. 4, tahun ke 3, April 1953.
118
“Ma’loemat Dewan M.I.A.I.,” Berita Nahdatoel Oelama, November, No. 1, Th. ke.11.
“Ma’loemat Dewan MIAI,” Berita Nahdatoel Oelama, November, No.1 Th. ke-11. Rekaman:
Wawancara Sarman Soelaiman dengan Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI Sayuti Melik, 14 September 1986.
GLOSARIUM
A3 Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia,
Jepang Cahaya Asia
BKNIP Badan Komite Nasional Indonesia Pusat
BPUPKI Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
Chuo Sangi Badan Pertimbangan Pusat
DKI Jakarta Daerah Khusus Ibukota Jakarta
FAH Fakultas Adab dan Humaniora
Gunseikanbu Staf pemerintahan militer pusat
Hizbullah Barisan kemiliteran Islam
IPPI Ikatan Pelajar-Pelajar Islam
Kaigun Angkatan Laut Jepang
KH Kiai Haji
Kumiai Program Jepang yang menimbulkan kelaparan
pada masyarakat
LMI Liga Muslimin Indonesia
Masyumi Majelis Syura Muslimin Indonesia
MIAI Majelis Islam A’la Indonesia
NU Nahdatul Ulama
PBNU Pengurus Besar Nahdatul Ulama
PETA Pembela Tanah Air
PHI Panitia Haji Indonesia
PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PTAIN Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
Putera Pusat Tenaga Rakyat
Shummubu Kantor Urusan Agama masa pendudukan Jepang
UIN Universitas Islam Negeri
UUD Undang-Undang Dasar
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
Foto KH Abdul Wahid Hasyim
(Sumber Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia. No. P04/122)
Dari Kiri ke kanan:
KH Sjudja, ketua PHI Kapitan kapal Tarakan, JM Menteri Agama KH A. Wahid Hasjim dan R. Moeh. Kafrawi, Sek. Djendral Kem. Agama.
(Sumber Foto: Mimbar Agama, Th ke 2, Agustus 1950, 11)
Ketika J.M Menteri Agama sedang bercakap-cakap dengan kapitan Tarakan.
(Sumber Foto: Mimbar Agama, Th ke 2, Agustus 1950, 11)
Jenazah KH Abdul Wahid Hasyim sedang dinaikkan ke atas
pesawat G.I.A untuk mengantarkannya ke tempat pemakaman di
Jombang, Jawa Timur. J.M Menteri Agama Faqih Usman, Sekjen
Kementrian Agama, dan KH Masykur juga ikut mengantar
jenazah.
(Sumber Foto: Mimbar Agama, Th ke 2, April 1953)
Lampiran II
RAPAT PANITIA PERSIAPAN KEMERDEKAAN
INDONESIA242
Pada tanggal 18 bulan 8 tahun 2605
Ketua : Ir. Soekarno
Wakit Ketua : Drs. Moh. Hatta
Anggota :
1. Supomo
2. Radjiman
3. Suroso
4. Sutardjo
5. W. Hasjim
6. Ki Bagus Hadikusumo
7. Oto Iskandardinata
8. Abdul Kadir
9. Surjohamidjojo
10. Purubojo
11. Yap Tjwan Bing
12. Latuharhary
13. Dr Amir
14. Abd. Abbas
15. Moh. Hassan
242Dikutip dari Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-
Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), 399.
16. Hamdhani
17. Ratulangi
18. Andipangeran
19. I Gusti Ktut Pudja
20. Wiranata Kusuma
21. Ki Hajar Dewantara
22. Mr. Kasman
23. Sajuti
24. Kusuma Sumantri
25. Subardjo
Lampiran III
PIAGAM DJAKARTA243
Bahwa sesungguhnya kemedekaan itu ialah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjdjahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan.
Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat
sentausa mengantarkan rakjat Indonesia ke depan pintu gerbang
Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur.
Atas berkat Rahmat Allah jang Maha Kuasa, dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan
dengan ini kemerdekaanja.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk
memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan
Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
243Dikutip dari naskah “Mohammad Yamin”, No. Inventaris 560.
susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakjat,
dengan berdasarkan kepada: ke-Tuhanan, dengan kewadjiban
mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut
dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjukan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Djakarta, 22-6-2605 Ir. Soekarno
Drs Mohammad Hatta
Mr. A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Mr Achmad Soebardjo
Wachid Hasjim
Mr Muhammad Yamin.
Lampiran IV
Rumusan yang disahkan sebagai Pembukaan UUD 1945 berbunyi
sebagai berikut:
Pembukaan244
“Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan sebab itu, maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
“Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara
Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
“Atas berkat rahmat Allah Jang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan
kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya.”
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah-darah Indonesia dan untuk memadjukan
kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
undang Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat
244Dikutip dari S.U. Bajasut, Alam Pikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito, (Surabaja: Documenta, 1972), 310-311.
dengan berdasar kepada: Ketuhanan Jang Maha Esa,
Kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusjawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.”
SIL
SIL
AH
KH
AB
DU
L W
AH
ID H
ASY
IM
SIL
SIL
AH
NY
A S
OL
ICH
AH
NYA
I NAF
IQAH
KH
HAS
YIM
ASY
’ARI
Abdu
l Kho
liq H
asyi
m
Abdu
l Wah
id H
asyi
m
Soch
ib B
isri
Yusu
f Has
yim
Abdu
l Kar
im H
asyi
m
Siti
Azza
h
Nya
i Cho
iriya
h
Nya
i Aisy
ah
Abdu
l Aziz
Bizr
i
Mus
yarr
ofah
Solic
hah
Mua
ssom
ah
Ahm
ad B
ishri
KH B
ISRI
SAN
SURI
N
YAI K
HODI
JAH
Lampiran V
SILS
ILAH
PU
TRA
PUTR
I KH
ABD
UL
WAH
ID H
ASYI
M D
AN N
YAI S
OLI
CHAH
Alis
ha Q
otru
nnad
a
Um
mu
Atiy
ah
Irfa
n A
sy’a
ri
Fitr
ia L
atifa
h
N
urul
Fat
chiy
ati
A
. Azi
s
Zann
uba
Arif
ah
Abd
ul W
ahid
Iq
bal H
umam
Nov
ita S
ofia
h
A
bdul
Hak
im
K
arim
ah
Ani
ta H
ayat
un N
A
fifah
Afia
ni
Arin
a Sa
rasw
ati
Fat
ich
Wal
uyo
Mar
ia A
dvia
nti
Inay
ah W
ulan
dari
Asy
riani
A
rief R
ahm
an
(Sum
ber S
ilsila
h: S
hole
h H
ayat
, Kia
i dan
San
tri d
alam
Per
ang
Kem
erde
kaan
, (Ja
wa
Tim
ur: P
W L
TNN
U Ja
wa
Tim
ur, 2
016)
, 21-
22)
Abdu
rrah
man
+
Shin
ta N
uriy
ah
NYA
I SO
LICH
AH
A W
AH
ID H
ASY
IM
Aisy
ah +
Ha
mid
Ba
idlo
wi
Sala
hudd
in +
Fa
rida
Saifu
ddin
Um
ar +
En
dang
Su
listin
ah
Hasy
im +
Ti
oria
N
apitu
pulu
Lily
Kho
dija
h +
Naj
amud
din
Lampiran VI
Lampiran VII
Tulisan-tulisan KH Abdul Wahid Hasyim
Sumber: “Kebangkitan Dunia Islam”, Mimbar Agama, Jilid III/IV, Maret-April 1951 No. 3-4, 28-30.
Sumber: “Sekitar Pembentukan Kementrian Agama RIS”, Mimbar Agama, Jilid I, 17 Juni 1950 No.1, 5-6.
Sumber: “Perbaikan Perdjalanan Hadji”, Mimbar Agama, Jilid I, 17 Agustus 1950 No.3, 8-15.
Sumber: “Kedudukan ‘Ulama dalam Masjarakat Islam di Indonesia”, Mimbar Agama, Jilid I, 17 September 1950 No.3, 38-39.
Sumber: “Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, Jilid I 17 November-17 Desember 1950, 4-5.
Sumber: “Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak, Jyaitu dengan Meninggalkan Hawanafsu dan Mendjalani Kebenaran”, Mimbar Agama, Jilid III, Juni-Juli 1951 No.6-7, 3-4.