Download - Keriba-Keribo FREE Compress
KERIBA-KERIBO
PERSONAL LITERATURE
Keriba-Keribo©
Kresnoadi DH - 2014
Desain cover
Kresnoadi DH
Doodles
Rian Nofitri
Ilustrasi
Febryan Prasetyo
Penata letak
Abdusa Alam
PRAKATA
Ehem. Sebelumnya, kenalan dulu, deh. Gue Kresnoadi. Biasa dipanggil Mas Adi sama tukang batagor, Dek Adi kalau di rumah, dan Si Kampret yang Jarang Bayar Utang kalo kata temen-temen. Gue sering banget diledekin dengan sebutan ‘kribo’, ‘keriting’, ‘kibo’, ‘brekele’. Padahal, itu semua tidak benar. ITU SEMUA TIDAK BENAR! Gue itu tidak keribo dan gue juga nggak tahu kenapa temen-temen manggil dengan sebutan itu.
Gue masih ingat betul, ketika itu gue lagi duduk-duduk lucu sambil ngemilin makanan lebaran di rumah sodara. Pas lagi nyomot nastar dari dalem toples, Om gue tiba-tiba nanya, ‘Lho, Di, kamu kok rambutnya tiba-tiba jadi keriting?’ Gue cuman mesem-mesem malu sampe dia lanjutin, ‘…pasti sering make celana dalem di kepala, ya?’
Gue diem. Terus lari keluar nyeburin diri ke kolam ikan.
Gue masih gak ngerti kenapa orang-orang sering mengasosiasikan rambut keriting/kribo/sejenisnya dengan make kancut di pala. Gue mikir, emang semua yang dipakein kancut bakal jadi keriting? Tapi kalo gitu, gue gak pernah tuh nemu orang yang pas ditanya dokter, ’Apa keluhan kamu?’ jawabnya, ‘Ini, Dok. Titit saya kusut lagi.’
Kalo udah ngomongin keriting, pasti gak jauh-jauh sama mie instan. ‘Lo tuh jangan kebanyakan makan mie, nanti makin keriting,’ kata seorang temen. Lha? Emang apa hubungannya makanan sama kondisi fisik seseorang? Emangnya kalo makan kue tete, tete gue bakal nambah jadi enam kayak sapi di peternakan?
Yah, tapi biarlah orang ngomong apa.
Seperti kata peribahasa, “Anjing menggonggong, tandanya laper.” Eh, bener gak sih? Pokonya gitu deh.
Astaghfirullah. Nulis apa gue barusan.
Sekarang lanjut bahas buku ini. Jadi, buku ini berisi kumpulan kisah hidup Kresnoadi. Sebagian besar diambil dari blognya www.keriba-keribo.blogspot.com. Di buku ini tidak ada cerita tentang rambut yang keriting, jari yang keriting, atau titit yang keriting.
Sebagaimana hidup, buku ini gue tulis dengan random abis. Buku ini punya banyak rasa. Mulai dari yang bikin ketawa puas, bikin sedih, sampe ke yang bikin mesam-mesem unyu. Dari yang komedinya sadis-ekstremis sampai ke yang samar. Yang mengapung.
Dan, sebagaimana hidup, ngebikin buku ini juga ngebuat gue berpikir. Ngingetin gue kalo kita, manusia, harus terus maju. Bergerak dari satu titik ke titik di depannya. Sampai kita mencapai batas, titik terluar masing-masing individu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Gue sengaja bikin bab ini biar gaya kayak buku beneran. Tadinya gue udah nge-list siapa-siapa aja yang bakal gue kasih ucapan terima kasih. Tapi kertas list-nya keburu diminta sama tukang gorengan buat bungkus cabe-cabean. Jadi kalo ada yang kurang, mohon maaf ya.
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan hidup yang sangat tragis kepada gue. Kegoblokan gue, terkadang membawa hikmah bagi orang lain. Mereka jadi sadar kalo di dunia ini… ada orang yang IQ-nya sama kayak pohon mangga.
Terima kasih kepada temen-temen seperbegoan. Radit. Nurul. Agung. Dan teman-teman lain yang udah bikin hidup gue makin ancur. Kalianlah yang berkontribusi merusak otak gue. Karena kalian gue jadi sadar… kalo ada yang lebih bego dari pohon mangga.
Terima kasih kepada para penerbit. Karena kalian gue jadi lebih giat lagi nulis. Terima kasih kepada temen-temen blogger. Baik yang kenal secara langsung maupun yang cuman kenal lewat dunia maya.
Terima kasih kepada bapak ketua PLN (apa pula itu ketua PLN?) yang sering matiin listrik tiba-tiba sehingga laptop gue sering mati pas nyusun buku ini. Makasih loh, Pak.
Terima kasih kepada Rian Nofitri. Febryan Prasetyo. Abdusa Alam. Dan teman-teman lain yang membantu mewujudkan buku digital ini.
Dan yang terpenting, terima kasih buat yang udah sering mampir dan main ke web blog gue, www.keriba-keribo.blogspot.com. Kalian yang sering ngasih komen maupun yang enggak. Pokoknya, kalian the best. Macho. Asik. Gaul. Keren. Mantap.
Salam macho,
Kresnoadi
DAFTAR ISI (klik judul untuk melompat ke halaman yang diinginkan)
BO..BO.. BOBO _________________________________________ 14
ANAK WONOSOBO ITU ______________________________________ 33
CATATAN AKHIR PEKAN _______________________________ 56
LEMAH _______________________________________________ 70
TERNODA KARENA TORNADO _________________________ 92 ANTARA YANG SEJATI DAN YANG SEENAK JIDAT ________________________________________ 122 HILANG BUKAN BERARTI KOSONG, NAK ________________________________________ 129
PERTAMA BUKAN YANG TERAKHIR ____________________ 152 PERJUMPAAN (KEMBALI) DENGAN VE AMALIA __________________________________ 180
KERIBA-KERIBO ______________________________________ 198
CURHATAN PENULIS __________________________________ 198
EXTRAS-
DAPUR RAHASIA ______________________________________ 357
- PENGGALIAN IDE _________________________________________ 340 - INSPIRASI _____________________________________________ 343 - MEMBUAT JOKE _______________________________________ 354 - TEKNIS PEMBUATAN EBOOK __________________________ 367
PERIHAL KERIBA-KERIBO _____________________________ 433
30 HARI BERSAMA HUJAN _____________________________ 433
BO..BO.. BOBO
KATA temen-temen di kampus, gue adalah orang yang punya dua
sifat. Gue semacam punya alter ego di dalam diri. Kalau pas lagi
biasa-biasa aja, gue gampang banget molor. Tidur di mana pun
dan kapan pun. Kalau ngeliat kasur, hati gue kayak meronta-ronta,
‘Adi hampiri dia! Tiduri dia! Tiduri!’
Meski kedengerannya malah kayak orang mesum, tapi
beneran. Gue gampang banget tidur. Nempel bantal dikit, molor.
Senderan di tembok, tidur. Udah jam 12 malem, bawaannya
pengen tidur. Nah, di sisi yang berbeda, gue kalo lagi keasikan
main/ngerjain sesuatu malah jadi males tidur. Gue kayak ngerasa
tidur adalah kegiatan yang membuang-buang waktu.
Pas lagi ngerjain buku ini, misalnya. Gue pernah begadang
semaleman. Mungkin, karena ngeliat lampu kamar yang masih
menyala, pagi-pagi buta Bokap masuk ke kamar. Dengan kaus
oblong putih yang sedikit kebesaran, dia nyamperin gue yang lagi
asik ngetik. Dia lalu mengelus-ngelus punggung gue, kemudian,
layaknya seorang Bapak, dia bilang, ‘Nak, tidurlah…’
Gue cuman nanggepin sambil santai dan tetep ngetik di
laptop. Sampai kemudian dia meneruskan kalimatnya yang
terpotong,
‘…nanti kamu mati.’
ANJIR! Sebuah wejangan di pagi buta yang sangat horor.
Gak kebayang Bokap pas pacaran dulu. Apa dia sering menyuruh
Nyokap tidur dengan kalimat seperti ini?
‘Sayang, udah malem nih. Kok belum tidur? …nanti mati,
loh.’ Bukannya ngerasa romantis, yang ada Nyokap mengira kalo
Bokap seorang psikopat.
Dan betul aja lho. Besoknya, setelah kejadian Bokap yang
nyuruh gue tidur (karena dia takut gue mati), dia langsung ngasih
tunjuk berita tentang orang yang mati gara-gara kurang tidur.
Berita itu sukses ngebuat gue tidur seharian.
Namun, di sisi satunya, kita tetap tidak boleh kebanyakan
tidur. Sekali-kali, kita juga butuh keluar, menyadari kalau dunia ini
seru. Gue punya dua pengalaman simpel tentang itu:
Satu.
Kamis, Agustus 23 2012
'THE Expendables 2 mau gak?’ tanya Ega di seberang telepon.
Gue, yang memang menunggu-nunggu film itu, menjawab
lantang, ‘Yok!’ kata gue. ‘Siapa aja?’
‘Gue udah ajak Agung ama Nurul.’
‘Sip.’
Sebelumnya, biar gue perkenalkan mereka. Ega: jawara
menaklukan wanita. Rambutnya lurus dan lemas, dengan tinggi
badan yang sedikit di bawah gue dan kulit yang terlalu matang.
Nurul: cowok berambut pendek dan agak keriting. Seperti ada
tanaman rambat yang menjalar di kepalanya. Kulitnya putih.
Badannya gemuk berisi, serta memakai kacamata. Agung: cowok
dengan gaya rambut belah tengah. Bahunya tegap. Kekar, tetapi
tidak bisa goyang-goyangin tetek sambil bersenandung ‘Tegangan
cinta tak dapat dihindar lageee! Astutii!!’
‘Rul, bawa motornya santai aja, ya.’ Gue duduk di jok
belakang sambil mengenakan masker.
‘Siap, Di. Santai!’ jawab Nurul.
Meski begitu, Nurul tetap tak terkontrol. Melihat jalanan
yang lengang, Nurul menjadi kesetanan. Ia layaknya orang yang
mau balapan melawan Valentino Rossi: ngebut abis.
‘Jarang-jarang Jakarta lengang kayak gini, ‘ katanya penuh
semangat. ‘Cuman pas lebaran nih bisa gini.’
Betul, Nurul bukanlah Nurul kalau tidak mengebut.
Bayangkan, tiap belokan dengkul harus menyentuh aspal. Hal ini
amat berbeda dengan gue yang kalau bawa motor kayak siput.
Kalo pengen terasa ngebut, kepala tinggal gue nunduk-nundukin.
Sampai kejedot stang.
Pernah sambil menengok ke belakang, Nurul berkata, ‘Hari
gini nggak usah takut sama polisi. Kalau ditilang, polisinya yang
bayar. Bukan kita!’ Sungguh suatu pernyataan yang sombong
sekali. Mendengar kata-katanya yang sok itu, gue hanya merespon
dengan menepuk bahu Nurul sambil berkata datar, ‘O, gitu ya,
Rul.’ Kemudian bertanya di dalam hati: Nurul ini anak siapa ya
Allah?!
Sebagai anak motor sejati, gue sudah sangat hafal akan
karakter orang-orang dalam mengendarai motor. Dari yang
duduknya terlalu ke depan, menungging ke belakang, sampai yang
miring-miring (yang ini biasanya nahan boker, jadi pantatnya
disumbat dengan pinggiran jok).
Tapi, dari begitu banyak orang yang naik motor, ada orang
yang paling bikin geli sekaligus bikin iri: yang pacaran di motor.
Sungguh, manusia-manusia jenis ini harus kita musnahkan
dari muka bumi. Lempar ke laut lepas. Lalu kita tebar pelet
makanan ikan di atas mayatnya.
Entah kenapa, semakin ke sini, gue perhatiin orang yang
pelukan di motor semakin meresahkan (oke, gue memang suka
merhatiin hal yang tidak penting). Mereka semakin berani
mengumbar kemesraan di motor. Mereka tidak punya tenggang
rasa!! Gaya pelukannya juga aneh-aneh. Dari yang masukin tangan
ke dalam kantung jaket si cowok, sampai yang meluk bahu tapi
dillit-lilitin dulu ke lengan cowoknya. Mungkin, tidak lama lagi,
bakal ada cewek yang boncengannya naik ke pundak si cowok,
lalu ngibarin bendera slank.
04:45 PM:
Begitu sampe di mal, kita langsung ngebagi tugas. Gue dan Agung
jalan di depan, berperan sebagai perintis. Membuka jalan menuju
XXI. Di belakang kita ada Ega mengendap-endap. Sebagai
bluetoother, tugasnya adalah searching for devices. Mencari mana
perempuan yang pantas dipandangi, dan mana yang jadi-jadian.
Sementara di paling belakang, ada Nurul, kita iket di parkiran
kuda.
‘Mbak, pesen tiket The Expendables 2, ya. Jam lima.’ Nurul
mengacungkan empat jarinya ke udara. ‘Empat orang.’
‘Wah, untuk jam lima sudah habis, Mas.’
Nurul meletakkan satu sikutnya ke atas meja, ‘…tapi kalo
nomer hape, ada kan?’
‘kalau yang jam tujuh masih banyak, kok, kursinya.’
FAIL.
Kita yang akhirnya membeli tiket untuk jam 7, harus
lontang-lantung di Cilandak. Karena gak ada kerjaan, kita
memutuskan buat naik ke lantai dua. Senderan di pinggir kaca,
ngeliatin orang lalu-lalang. 15 menit pertama kita ngerasa keren.
Gaul. Nongkrong rame-rame ngeliatin orang-orang di bawah.
Sampai 3 detik berikutnya kita pada mau kena asam urat, si Ega
mengusulkan supaya pindah ke j.co.
‘Jangan di sini, deh,’ kata gue, sesampainya di depan j.co.
‘Kenapa?’ Ega menyahut. ‘Kan mantep. Liat tuh, meja
sebelah sana.’ Ega menunjuk meja paling ujung yang kosong, yang
di depannya terdapat beberapa cewek lagi nongkrong. Instingnya
mungkin mengatakan kalau kita ke meja sana, kita bisa kenalan
sama cewek seberang. Sementara insting gue mengatakan kalau
kita duduk di meja sana, kita bisa bikin mata cewek-cewek itu
numbuh bisul dalam lima detik pertama.
‘Gue belum pernah nongkrong di tempat beginian.’ Gue
akhirnya jujur.
‘Udah, tenang aja.’
Ega masuk, ninggalin gue.
Entah kenapa, ada perasaan grogi tiap gue pergi ke
tempat-tempat nongkrong yang gaul. Gue merasa sedang berada
di habitat yang salah. Gue melangkah ke tempat duduk.
Mengangguk pelan ke kasir. Mbak kasir lalu membalas senyum,
yang malah di pikiran gue seperti mengatakan, ‘Kemarilah anak
muda. Habiskan seluruh harta yang kamu miliki. Hihihi!
IHIHIHIHIK!’
Kita udah di meja, duduk saling tatap-tatapan. Gue
menyelipkan tangan ke paha, mencoba menyesuaikan diri dengan
habitat baru ini. Di antara kita cuman Ega yang terlihat paling
tenang dan santai.
‘Lo mau minum apa?’ tanya Ega, kalem.
‘Eng… gue? Gak usah deh.’
‘Elo, Gung?’
‘Sama, deh. Gue nggak usah.’
‘Elo, Rul?’
‘Emm…,’ Nurul berpikir sebentar, ‘Es teh manis, dah.’
‘Goblok. Ini coffee shop!’ kata Ega, heran kenapa IQ
temennya bisa setara kadal. ‘Udah, gue yang pilihin, deh.’
Ega menatap mata Nurul tajam. Mungkin Ega memikirkan
minuman yang cocok dari bentuk kepala seseorang. Lama
berpikir, Ega terlihat masih bingung menentukan minuman yang
cocok buat Nurul. Mungkin dari bentuk kepalanya, Nurul paling
pas minum… hot traditional drinking water. Atau dalam bahasa
sehari-hari: aer putih anget.
‘Udah deh, standar aja. Hot cappuccino. Pesen gih.’ Ega
menyurul Nurul.
Nurul pun dengan jumawa pergi ke kasir. Tidak berapa
lama, si mbak-mbaknya menaruh segelas minuman di atas meja
dan berteriak, ‘MBAK RITA!’
Nurul puter balik. Cemen.
Selanjutnya, biar Ega sang Leboy yang melakukan
semuanya. Kita pun berhasil memesan enam potong donat
cokelat… dan segelas hot cappuccino milik Nurul. Tidak sampai di
situ saja tingkah Nurul, dia juga meledek Agung yang makan donat
belepotan sambil berteriak-teriak.
‘Ah elu, Gung, gitu aja belepotan. Gimana, sih, malu-maluin
aja! HAHAHAHA!’ cela Nurul sambil menyeruput kopi panasnya.
Lalu kopinya tumpah ke selangkangan.
Suara tawa Nurul berlanjut, ‘HAHAHAHAARRRGGHH…
PANASSSHH.. PANAASS!! TIDAAAAAAAAAAAAAAAAKK!!’
Dan Agung pun membalas dengan elegan, ‘Ah elu, Rul, gitu
aja tumpah. Malu-maluin.’
Karma does exist.
Sebelum dimutilasi oleh pengunjung j.co (saking
rusuhnya), kita memutuskan pergi ke foodmart untuk membeli air
mineral.
05.30 PM
Sampai sekarang, kulit item si Ega belum juga kelihatan. Kita
emang pada males masuk ke dalem, jadi cuman nungguin di
seberang kasir. Di stand motor yang ada SPG cakepnya. Ehehe.
Ehehehehe.
Tak disangka tak diduga, di stand sebelah kami. Ada.
Cewek. Yang. Cihui. Banget. Rambutnya hitam panjang terurai
seperti perempuan di iklan shampo. Matanya bulat, mirip telur
rebus mini yang mengilap dan minta disantap. Dari gelagatnya, dia
seperti sedang menunggu seseorang. Bertemu cewek cantik yang
asing membuat gue inget perkataan Ega. Katanya, ‘Hati-hati sama
cewek ADH.’ ADH sendiri adalah kategori cewek yang dibuat oleh
Ega. Menurutnya, ADH adalah cewek yang kalo dari belakang
keliatan “Aduhai” sementara pas diliat mukanya jadi pengen
bilang, ‘Aduuuuuh… solat tobat… solat tobat.’
‘Di,’ Agung menyenggol tangan gue. ‘Tuh, si Leboy1 udah di
kasir.’
‘Akhirnyaaaaaa,’ jawab gue, mengelus batang leher, haus.
Di depan Ega berdiri seorang cewek gendut, berkacamata kotak
hitam besar, dengan tas hitam kinclong penuh manik-manik
sedang menunggu belanjaannya dihitung kasir.
‘Gung,’ gue balik menyenggol balik Agung. Mengarahkan
bibir ke cewek di depan Ega. ‘Dia.. gemuk juga ya…’
Gue tidak sadar telah mengeluarkan kata-kata jahat.
‘Ah, paling satu genus sama manusia. Tapi beda spesies!’
Agung terkutuk.
Agung melanjutkan, ‘iya, Di. Dia homo.. tapi bukan
sapiens. Dia hommooooo.’
Si homo tiba-tiba melambaikan tangannya. Kita yang lagi
ngatain dia langsung panik. Sampai kita semua sadar kalau orang
yang dia sapa adalah si. Cewek. Iklan. Shampo. Omaigat. Suatu
keajaiban bagaimana dua manusia yang berbeda spesies bisa
hidup berdampingan.
1 playboy
Masih dalam keterkejutan tingkat tinggi, si homo berjalan
menuju stand samping kami, tempat si iklan shampo berdiri.
Tetapi, setelah gue perhatiin lebih jauh, kayaknya ada yang aneh
sama si cewek gendut ini. Jalannya lemas dan tidak teratur. Miring
ke kanan, miring ke kiri. Lalu…
GEDUBRAK!
Si homo jatoh. Tanah pun bergetar. Bumi terbelah. Muncul
hewan yang bisa bicara. Keluar darah dari pantat kita semua
(horor).
Lalu, gue, dengan memadu-padankan jiwa penolong yang
tinggi serta otot yang kecil, langsung nyamperin dan berusaha
mengangkat si paus homo itu. Tapi kesusahan. Melihat hal
tersebut, para penjaga stand ikut membantu gue dalam
mengangkat perempuan bongsor ini. Setelah dia sadar, barulah
gue kembali ke Agung dan Nurul.
‘Elu gimana, sih, kok malah bantuin ngangkat dia?’ tanya
Agung, setengah ngomel.
‘Hah? Emang kenapa?’
‘Harusnya kan… yang lo angkat cewek rambut panjang itu,’
kata Agung, menunjuk si cewek iklan shampo. ‘Cakep, Di. Hehehe,’
Agung cengengesan. Sialan juga si otot ini.
…
KARENA udah mau jam 7, kita bergegas menuju bioskop. Kita
sangat antusias untuk menyaksikan film yang memang sudah
lama dinanti ini. The Expendables 2. Gila. Seru abis. Filmnya
selesai pukul sembilan malam. Menonton film ini ngebuat tingkat
kemachoan pria bertambah. Kita keluar bioskop langsung
ngikutin gaya Chuck Norris dengan membusungkan dada,
mengangkat dagu, serta jalan dengan kaki yang mengangkang.
Kayaknya kita lupa kalo macho beda sama abis sunat.
Hari di mana tulisan ini dibuat: Kamis, 23 Agustus 2012, gue tidak menyangka kalo pergi main dengan seseorang yang sejiwa, yang otaknya sama-sama miring, bakal ngebuat kita menemukan keseruan-keseruan baru. Keseruan yang tidak akan kita dapatkan ketika cuman tidur di rumah. Bahkan, hanya dengan sebuah perjalanan kecil seperti keluar rumah, lalu pergi menonton.
Dua.
Minggu, September 30 2012
SETELAH sekian lama kerja di Purwodadi, hari ini Bokap pulang.
Selama dia di rumah gue akan bersikap baik. Itulah tekad gue.
Namun tekad itu kandas karena:
06.30 AM:
TING TONG!
Gue melongok dari jendela kamar. Bokap udah berdiri di
depan pager. Rambut putihnya sedikit keluar dari kupluk. Selama
ini gue belom pernah potong rambut. Jadi kehadiran Bokap
sekaligus buat mamerin rambut gue yang udah panjang. Gue lalu
keluar ngebuka gerbang dan meminta tasnya untuk gue bawa
masuk. Diapun dengan kumis abu-abu yang melekat dan senyum
khas seorang Bapak, memberikan tasnya ke gue. Dengan suaranya
yang berat, sambil meremas rambut gue, dia berkata, ‘Nak, muka
kamu mana? Potong rambut sana.’
Niat gue yang semula ingin mengambil tas Bokap, kini
berubah menjadi niat ingin mengambil celurit dan
membacokkannya ke leher sendiri.
12.05 PM
‘Tok, Tok, Tok!’
‘Masuk.’
Nyokap membuka pintu kamar, berdiri di muka pintu,
kemudian memerlihatkan sebuah celana jeans.
‘Ini punya kamu?’
‘Iya.’ Gue menegakkan badan. ‘Kenapa?’
Nyokap menunjuk bagian lutut celana tersebut, ‘Udah
bolong, nih,’ katanya. ‘Kayak gembel aja. Beli yang baru, gih.’
Nyokap ngelempar celana tersebut ke pinggir kasur, lalu
keluar kamar. Menyisakan gue yang kebingungan.
Tidak berapa lama, Nyokap masuk lagi.
‘Tiga ratus ribu cukup, kan?’ Nyokap kemudian menaruh
uang tersebut di atas meja, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia
pergi keluar.
Gue menatap uang tersebut. Heran.
Bukan. Gue heran bukan karena dibilang gembel, itu sudah
biasa. Tetapi gue heran dengan perilaku Nyokap yang ganjil ini.
Biasanya kalau gue minta sesuatu, Nyokap bakal ngeles, nyari
alesan supaya enggak ngebeliin barang yang gue minta. Pada
umumnya, ia akan mengaitkan barang tersebut dengan barang
lain yang pernah dia beliin. Gue pernah minta beli sepatu, Nyokap
langsung nyamber, ‘Lho, kemaren, kan, baru beli sweater. Masa
beli-beli lagi?’ Sungguh alasan yang tidak nyambung. Nyokap
mungkin berpikir bahwa sweater bisa digunakan sebagai alas kaki
sehingga gue tidak membutuhkan sepatu. Jangan-jangan, kalo gue
minta beli makan, Nyokap bakal bilang, ‘Lha, kemaren kan baru
beli celana dalem. Gigit aja sampe kenyang.’
Karena sekarang mood Nyokap lagi bagus, gue tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini. Gue lalu menelepon Nurul, salah
seorang teman SMA:
‘Halo, Rul. Temenin gue beli celana, yuk.’
‘Hah?! Mau beli daleman di mana emang, Di?’
‘Serius, Rul.’ Gue menghela napas. ’Celana jeans. Bukan
kancut.’
‘Lah, emangnya kancut ada yang bahan jeans, Di?’
‘BUKAN KANCUT!’ Gue menegaskan. ‘Celana JEANNSS!’
‘Ooo… celana jiin.’
‘Iya.’
‘…jin dan jun?’
Klik. Gue menutup telepon.
Selang beberapa detik, setelah membaca doa-doa penolak
bala, gue telepon lagi.
‘Gimana Rul, bisa temenin gak?’
‘Kayaknya enggak, deh. Gue demam nih…’
’Oh gitu. Ya ud-’
‘… tadi pagi gue mandinya kelamaan.’
‘BODO AMAT!!’
Klik. Gue menutup telpon.
Daripada IQ gue turun, gue memutuskan untuk pergi
sendiri. Pilihan pun jatuh kepada ITC di daerah BSD. Tempat-
tempat seperti ITC sangat cocok untuk orang bermental anak kos
seperti gue. Gak apa-apa celana murah, yang penting sisa uangnya
bisa dipake hura-hura. Toh beli jeans ini. Nggak kelihatan bedanya
antara yang murah dan mahal. Makanya, gue bingung dengan
orang yang rela beli celana jeans sampe ngabisin uang ratusan
ribu bahkan jutaan. Malah ada temen gue yang niat banget bikin
ke tukang jahit. Katanya lebih enak dipake di pantat. Helo? make
celana kan emang di pantat. Emangnya kalo yang harganya murah,
make celananya ditusukin ke ubun-ubun?
02:00 PM:
‘Buset. Ini mal liar banget. Kayak pasar di AC-in,’ gue
membatin.
Seperti di ITC mana pun, di sini jualannya dempet-dempet
banget. Untuk jalan aja ribet, nyenggol sana-sini. Dibanding
mencari celana jeans, gue malah terlihat seperti sedang
melakukan perjalanan umroh.
Karena bingung, gue kembali keluar, nyamperin satpam di
pintu masuk.
‘Mas, kalo yang jual celana jeans di mana, ya?’
‘Di toko baju, Dek.’
Gue diem.
Hampir ngejepit leher si satpam di pintu masuk, gue lalu
sadar kalo pintunya pake pintu otomatis. Akhirnya gue tanya lagi,
‘Maksudnya, toko bajunya di mana?’
‘Ooh..,’ si satpam nyengir. ‘Ada Ramayana di lantai dua.
Silakan Mas ke sana.’
‘Oke. Makasih, Mas.’
Gue langsung melengos. Tidak lama, gue ngedenger si
satpam memanggil di belakang.
‘Eh Mas, Mas!! Tunggu!’
Biar dramatis, gue menoleh dengan slow motion. Si satpam
juga ikut-ikutan slow motion. Dia berlari-lari di udara dan
mencoba berbicara, ‘Tungguuu! guu… gu.. gu..’
Gue berbalik arah. Tangan gue menggapai-gapai angin.
Menjawab: ‘Kenapaa.. pa.. paa..’
‘Ramayana emang ada di lantai dua, TAPI KALO MASUK
MALL HELMNYA DILEPAS DULU?!’ teriak satpam sambil
menunjuk kepala gue. Kalimat menohok ini seakan menggema di
kuping gue: ‘Lepas duluu.. lu.. lu.. begok. gok.. gook..’
Gue malu abis.
…
SETELAH menaruh helm di parkiran, gue kembali mengumpulkan
rasa percaya diri. Gue menarik napas dalam-dalam, berkaca di
spion sambil mengecek ada tidaknya hal yang dapat
mempermalukan hidup gue lagi. Setelah merasa cukup, gue masuk
lagi. Untuk kedua kalinya. Lewat pintu yang sama. Dengan satpam
yang biadab sama pula.
Si satpam di depan pintu tolak pinggang ngeliatin gue,
‘Nah gitu dong, Mas. Dilepas dulu helmnya.’ Si satpam nyengir, lalu
mengacungkan jempol. ‘Seeep!’
Pengen gue cekek dia.
Tidak mau cari perkara, gue lalu pergi ke Ramayana, membeli celana yang paling murah
1) Turutilah kemauan Ibu Anda, sekalipun hanya membeli celana jeans
2) Lepaskan helm Anda sebelum memasuki mal
3) Kita harus menghargai para pria yang mengantarkan pacarnya belanja. Maka, ketika kita melihat ada cowok teriak-teriak sendirian di belakang pacarnya, hampirilah, lalu tepuk-tepuk pundaknya.
CATATAN AKHIR PEKAN
Sabtu, Maret 23 2013
GUE lagi sebel. Banget. Sama tukang parkir.
Pernah gak kalian kesel sama tukang parkir? Baru parkir
bentar, eh motor udah ditandain sama tukang parkir pake kerdus.
Kalo gue belanjanya banyak, mah, nggapapa. Tapi kalau cuma beli
air mineral dua ribuan di Alfamart, terus dipaksa bayar parkir
seribu kan nyebelin. Itu setengah harga sendiri. Kancut.
Gue juga ngerasain kalo semakin lama keagresifan tukang
parkir semakin tinggi. Temen gue pernah ninggalin motornya buat
nyari temen, eh balik-balik motor udah dikardusin. Keagresifan
tukang parkir juga melanda teman gue yang lain. Motornya
dikardusin pas dia BEDIRI di samping motornya sendiri.
Bayangkan betapa agresifnya tukang parkir zaman sekarang.
Kalau begini terus, ada kemungkinan di masa depan nanti, saking
agresifnya, tukang parkir bakal dateng ke rumah-rumah sambil
nawarin, ‘Pak, kardusnya, Pak... Boleh, Pak…’
Keriba-keribo,
Siang tadi nyokap menyuruh gue untuk beli alat tes gula
darah buat bokap. Karena cuman ke apotek deket rumah, maka
gue mendedikasikan diri make celana pendek dan singlet
seadanya. Dan berangkatlah gue ke apotek menggunakan avanza
terbang motor tercinta.
Ternyata di sana alat tes gula darah yang gue cari nggak
ada. Naasnya, sewaktu ke parkiran, motor gue udah dihadang
sama dua tukang parkir. Karena ngggak beli apa-apa, gue jadi
males buat bayar parkir. Melihat si tukang parkir yang
tampangnya kayak anak SMP, gue pun memutuskan untuk
melakukan aksi macho: memelototi mereka dalam-dalam.
Berharap mereka takut, minta ampun, kemudian jalan ngesot ke
arah gue sambil sambil salim bolak-balik (emangnya eyang
subur?).
Sayang, seribu sayang. Bukannya takut, mereka malah
melototin gue balik. Gue, setelah menyadari bahwa
berpenampilan seperti mamang-mamang tukang jaga toko
material, daripada dianiaya, akhirnya menyerahkan seribuan.
Mereka SMP. Gue kuliah. Mamah, aku lemah.
Selanjutnya gue pergi dari dua tukang parkir jahanam tadi
dan menuju apotek lainnya. Berbekal pengalaman di apotek
sebelumnya, gue memilih untuk parkir tepat di depan pintu
masuk. Alasannya: kalau obatnya ngga ada, gue bisa langsung ke
motor dan kabur dari tukang parkir. Gue tidak mau seribuan gue
kembali hilang cuma-cuma. Akhirnya, setelah bersiap dengan
menarik sedikit napas, gue lari masuk ke apotek, nanya obat,
ternyata ngga ada, buru-buru keluar, ngeliat ke motor, kemudian
jerit kayak orang sedeng, ‘DAUS MINI KOLONG WEWE, KARDUS
SAPA NI DI MOTOR GUE!!!’
Saking stresnya, teriaknya malah jadi pantun.
Huhuhu. Pokoknya gitu, deh. Gue benci sama tukang
parkir. Aku benci benci benci.
Tapi satu hal yang gue tahu. Dan, pengetahuan gue ini
merupakan fakta yang akurat dan tak terbantahkan bagi kalangan
pertukangparkiran. Faktanya adalah, tukang parkir itu mirip
jelangkung: datang tak dijemput, pulang minta cenggo.
Tapi emang bener, deh. Tukang parkir tuh kayak siluman.
Dia bisa tiba-tiba dateng entah dari mana asalnya. Mungkin di
suatu keluarga tukang parkir, pas ada anak tukang parkir bingung
nyari bapaknya, dia bakal datengin ibunya bilang, ‘Bu, bapak di
mana?’ lalu si ibu menatap anaknya dalam-dalam. ‘Tenanglah
anakku. Sebentar lagi dia akan datang.’ Si Ibu kemudian ngeluarin
motor… lalu muncul si bapak dari rumah tetangga bawa-bawa
kerdus sambil teriak, ‘Rous! Rous! Ooooop!!’
Oh, tapi biarlah. Setelah melewati peristiwa-peristiwa
mengenaskan tersebut, gue menyerah. Biarlah tukang parkir
dengan segala kelakuannya yang keparat itu berada di lingkungan
kita. Belakangan gue malah menyadari bahwa terdapat sebuah
fenomena fantastis mengenai perilaku tukang parkir. Tukang
parkir, secara naluriah, akan memberikan pelayanan yang
berbeda tergantung besaran duit yang mereka terima.
Kurang lebih hasil dari riset gue begini: kalau kita ngasih
gopek, si tukang parkir bakal langsung nyomot duit itu dari
tangan kita, lalu pergi sambil menggerutu. Kalo kita ngasih seribu,
si tukang parkir akan tersenyum, kemudian bantu narikin motor
kita. Kalo kita ngasih lima puluh ribu, dia bakal naik ke motor kita,
lalu mengantarkan kita sampai ke rumah.
Keriba-keribo,
Karena lagi giat-giatnya belajar nulis dan buka-buka
tesaurus, gue jadi sadar kalau ternyata banyak kata-kata yang
dipakai tidak pada tempatnya. Kalian pernah denger ngga, pas
orang lagi main Playstation, atau apalah. Ada orang yang bilang,
‘Itu, kalau ngoper bola, ‘pijit’ x.’ Berhubung gue lagi belajar kata-
kata, kalimat tersebut malah ngebuat otak gue benar-benar
membayangkan si orang tersebut sedang memijit joystick. Pake
minyak arab. Dikasih kemben, dioles-oles, diraba-raba. Hoeek.
Sama halnya ketika tawuran. Banyak anak sekolah yang
pas tawuran tereak, ‘Woi, seraaaangg. Ayoo sikaat, sikkaaaaat!?’
Gue kan bingung, itu tawuran atau kerja bakti? Pakai bawa-bawa
sikat segala. Sekalian aja nanti bilang, ‘Woi seraaang. Sikaat!
Gosook, gosook! Ayo, kita jemur mereka!’
Jadi, untuk kalian wahai para pencinta kedamaian. Apabila
kalian disuruh berantem sama orang yang ngomong, ‘Abisiin aja
orang kayak dia! Abisiiin!!’ Tolaklah dengan berkata, ‘Wah, sorry,
Men. Gue bukan kanibal.’
Minggu, April 14 2013
HALO keriba-keribo,
Hari minggu ini gue udah mendingan. Alhasil bisa nulis
lagi.
Selama bed rest seminggu kemarin, gue jadi lebih dekat
dengan Nyokap (di rumah memang cuma ada dia, Bokap kerja di
luar kota). Gue yang sering punya pikiran untuk “tidak mau
pulang ke rumah” dengan alasan capek, males, atau di rumah ngga
ada temen, mau ngapain kalau gue sama nyokap doang
beduaan? Mending di kosan banyak temennya.
Sekarang, gue mengubah pola pikir tersebut.
Ironis, pikir gue. Ketika gue punya dua hari lengang di
setiap minggunya, gue memilih untuk istirahat di Bogor. Kalaupun
pulang, biasanya gue akan mencari aktivitas yang gue suka,
full selama sabtu dan minggu. Gue jadi kurang menghargai waktu,
badan gue, dan yang terpenting: Nyokap.
Dan tapi, selama bed rest, gue jadi memahami betapa
sepinya hidup sendirian. Gue beranggapan bahwa ada baiknya,
satu dari dua hari kosong itu kita serahkan untuk kedua orangtua
kita. Sepi yang gue hindari, secara tidak sadar, justru dilahap
Nyokap setiap hari.
Nyokap, setiap hari berangkat kerja mulai pukul lima pagi
dan pulang pukul tujuh malam. Mana di rumah ngga ada orang.
Sebelum ngantor, sendiri. Pulang ngantor juga sendiri. Selain itu,
nyokap masih harus mengerjakan pekerjaan rumah. Gue jadi
benar-benar mengerti, betapa Nyokap itu kuat. Dan gue, juga jadi
ingat, bahwa tiap kali gue sibuk menjadi dewasa, orangtua gue
juga sibuk bertambah tua.
Yah, jadi ada hikmahnya juga gue tepar di rumah: gue
lebih dekat dengan Nyokap.
Karena bed rest ini juga, gue jadi lebih banyak ketemu
nyokap. Dan itu artinya: quality time. Nyokap jadi lebih banyak
cerita. Tentang kegiatannya. Tentang perkerjaan kantornya. Juga
tentang gosip-gosip yang ada di kantor dia—ternyata kantor
nyokap banyak cerita anehnya. Mungkin kalau difilmkan, bakal
menelurkan sebuah film yang bombastis. Sebut saja Jabatan Yang
Tertukar, Cinta ku Tersapu Office Boy, sampai Bosku Yang Minta
Digampar.
Jadi, buat kalian wahai makhluk yang sok-sokan nggak
mau dibilang anak mami—lantaran kepengin dianggap dewasa—
sehingga jarang ketemu orangtua. Insyaflah.
Keriba-keribo,
Selama empat hari kemarin, selain berkelumit dengan Nyokap,
kerjaan gue cuman nontonin tivi sambil baringan. Setelah nyokap
berangkat kerja, gue biasanya bakal tiduran di kursi panjang
depan tivi. Mainin remote. Gonta-ganti channel… sampai gue
ketemu acara musik itu.
Astaga. Kenapa sih sekarang sebagian besar acara musik
di televisi lagi hobi bikin kuis berhadiah yang sengaja dipersulit
untuk mendapatkan hadiahnya, dengan cara yang menurut gue
sangat aneh.
Contohnya di salah satu acara televisi. Acara ini membuat
games menebak orang di dalam bilik dengan memberikan tiga
petunjuk. Nah, petunjuknya ini yang menurut gue sangatlah
maksa. Tadi gue menonton, kira-kira seperti ini: (setel musik
serem supaya tegang)
MC: klu yang pertama… orang ini… suka makan teri.
MC: klu yang kedua… dia.. suka lagu pop.
MC: klu yang ketiga… dia senang jalan-jalan ke Bali.
MC: Apakah kamu (si MC menunjuk peserta) sudah tahu,
siapakah orang tersebut?
Peserta: Jokowi!
MC: Oke, jawaban kami kunci.
Si MC masuk ke dalam bilik, lalu keluar membawa
seseorang berjubah hitam.
‘Dan, kita lihat… apakah Jokowi? Yaaaaak…’ (suara musik
semakin menggelegar) ‘Ternyata, Siti Badriah! Maaf, Anda salah.
Dengan begitu, besok uangnya akan kami lipat-gandakan tetap
ikuti kuis blablabla.”
‘Njir! Apa-apaan nih!’ Gue mengambil remot, ‘Ngga niat
amat sih bagi-bagi duit!’ Gue tetap memegang remot, berkedip
sebentar hingga menyadari suatu hal: ‘SITI BADRIAH ITU SIAPE
KAMFRET! GUE KAGA KENAL!!’
Gue tidak abis pikir. Semakin semakin saja acara
pertelevisian kita. Kalau seperti itu caranya, gue akan membuat
acara sendiri. Hadiahnya 10 Miliar. Adapun petunjuk yang gue
berikan: dia pemakan nasi, pencinta gratisan, dan udah jarang ikut
arisan. Jeng jeng jeng jeng… lalu Nyokap gue keluar dari bilik.
Pasti ngga ada yang bisa nebak. Rasakan.
Lain halnya dengan acara satunya. Dengan konten “Mister
Tajir” yang (katanya) memberikan soal seputar musik. Salah satu
soalnya begini: ‘Saat Gisel dan Gading pre-wedding ke Milan, apa
nama danau yang mereka kunjungi?’
Itu mah bukan soal musik. Itu soal gosip. Sekalian aja
pertanyaannya: ‘Dalam lagu buka dikit joss, berapa kali
penyanyinya nge-joss?’
Njir.
Keriba-keribo,
Beberapa hari yang lalu sodara gue pada ke rumah. Dan dari
kumpul-kumpul keluarga tersebut, gue mendapat pelajaran
tentang perempuan. Perempuan, yang selama ini kita kenal
sebagai makhluk paling suci, paling manis, paling unyu, ternyata
merupakan mahluk yang penuh fatamorgana.
Pada kasus kumpul keluarga, fatamorgana pada
perempuan dapat dilihat dari sifatnya yang malu-malu najong.
Pada jam-jam makan siang, formasi yang terbentuk dalam
sebuah kumpul keluarga ialah begini: bapak-bapak bersama para
pemuda mengobrol di pojokan sambil nungguin makanan.
Sementara cewek-cewek, selapar apapun mereka, se-pengen-mati
apapun, mereka akan sibuk saling menyuguhkan makanan,
‘Udah, ibu aja yang makan duluan…’
‘Ah engga, ibu aja yang duluan.’
‘Udah, ibu aja...’
‘Udah, duluan aja…’
‘Lo lah yang duluan!
‘Woi, makan duluan gak lo!’
‘Bangsat! Buruan duluan lo makan!’
‘Lo duluan lah, Njing!’
Untuk menghadapi situasi seperti ini, solusi yang
sebaiknya dilakukan adalah: Hiraukan ibu-ibu tersebut. Datangi
meja makan. Ambil makanan. Makan.
Solusi yang tidak sebaiknya dilakukan: Hadapi ibu-ibu
tersebut. Datangi meja makan, gebrak sambil teriak, ‘DEMI
TUHAAAN!!’ ‘DEMI TUHAN GUE LAPEEERRR!?’
Setelah gue telisik secara mendalam, fatamorgana malu
pada wanita ini tidak hanya terjadi sewaktu kumpul keluarga.
Fatamorgana wanita dapat dilakukan kapanpun, kepada siapapun,
dan pada umur berapapun. Kejam sangat memang.
Sewaktu gue menonton acara mamah dedeh, misalnya. Di
sana, sering sekali ibu-ibu pengajian melakukan fatamorgana
malu. Tiap pertanyaan yang diajukan kepada si mamah selalu
diawali dengan kata ‘tetangga’. Mereka malu mengakui bahwa
merekalah yang melakukan hal tersebut. Contoh percakapannya
sebagai berikut:
Pelaku: Mah, tetangga saya anaknya belum bayar SPP. Terus gimana mah menurut kaidah islam?
Mamah: Gimana apanye, ya bayar lah! Pelaku: Tap-tapi, Mah. Mamah: Tapi apanye? Pelaku: Iya. Jadi, suaminya pengangguran. Masa harus istrinya yang
bayar? Itukan kewajiban suami ya, Mah? Mamah: Ya kalau gitu, mah, bayar aje. Kan istrinya kerja! Pelaku: Tap-tap-tapi, Mah. Mamah: Udah kaga ade tapi-tapian lagi. Tinggal bayar doang,
repot! Pelaku: Yah, tau gitu mah mending istrinya kaga usah kerja deh.
Contoh lain:
Pelaku: Mah, tetangga saya kan punya 4 anak, Mah. Nah, temen dari tetangga saya itu punya peliharaan. Peliharaannya dikasih sama om dari keponakannya tetangga saya. Itu gimana, Mah?
Mamah: Maksud pertanyaannya gimana? Mamah bingung nih. Pelaku: Saya juga bingung, Mah. Mamah: Lho, yang benar dong. Pelaku: Jadi begini, Mah. Salah satu anak teman saya pengen masuk TK.
Itu hukumnya apa, Mah? Mamah: Hukum, hukum, jidat lu sobek. Ya tinggal masukin aje. Susah
amat! Pelaku: Tap-tapi, Mah. Mamah: Kenape? Ngga ada duit? Udeh, sini mamah yang bayarin. Pelaku: Tapi si Badrun udah empat puluh enam tahun, Mah.
Adapun efek samping dari penggunaan fatamorgana malu sambil
curhat ke Mamah Dedeh ialah: terlihat kepo dengan tetangga.
Baiklah, sampai jumpa di akhir pekan selanjutnya,
keriba-keribo.
LEMAH
SEHARUSNYA semua orang suka liburan. Tapi tidak dengan
Fakultas gue. Pada masa liburan kenaikan tingkat ini, gue dan
seluruh mahasiswa dari Fakultas Kehutanan akan pergi ke
berbagai jenis hutan.
Betul, gue adalah anak kehutanan.
Di kampus gue, sesuatu yang berbau kehutanan itu sangar.
Keren. Laki-laki. Bengal. Hampir tiap mahasiswa takut kalo denger
kata kehutanan.
Sayangnya, itu cuman berlaku di kampus.
Begitu keluar kampus, ketika reunian sama temen-temen
lama, pas gue bilang tentang kehutanan. Mereka pada bingung.
‘Emang ada ya, kuliah kehutanan?’
‘Ada dong!’ jawab gue, mantap. Merasa keren karena di
kampus Fakultas kami begitu disegani.
‘Terus kerjanya jadi apa? Tarzan?’ salah satu temen yang
lain nyeletuk.
‘HAHAHAHA!! IYA TARZAN! TARZAN!!’ Yang lain langsung
ketawa heboh.
Gue ketawa garing.
Begitu pada beres ketawa, gue baru ngomong lagi, ‘Kagak.
Jadi pohon penunggu dunia lain. PUAS LO?!’
Bagi gue dan temen-temen kelas, masuk kehutanan itu
seperti pilihan Illahi. Ada yang sebenernya pengin masuk Ilmu
Gizi, eh malah keterima di Kehutanan. Gue sendiri salah satu yang
kelempar jauh. Penginnya dapet Ilmu Komputer di UI. Malah
keterima di Kehutanan IPB.
Dari komputer ke hutan. Jauh mampus.
Jauhnya itu kayak lo mesen American bourbon whiskey di
sebuah bar. Dan begitu pelayannya beres bikin dan naroh gelas ke
atas meja… ternyata wedang jahe.
Tapi gue bersyukur soalnya anak Kehutanan di kampus
lumayan ditakuti oleh kalangan mahasiswa lain. Hal ini bukan
tanpa alasan. Kita, anak Kehutanan, mengalami masa orientasi
(ospek) yang cukup lama. Yaitu setahun. IYA SETAHUN!
BAJINGAN!!
Desas-desus ini sudah tercium ketika gue masih di asrama.
Ketika itu di kantin asrama. Gue lagi ribet misahin duri ikan di
piring tiba-tiba temen gue duduk dan bilang, ‘Di, lo gak takut
masuk kehutanan? Ospeknya kan setahun?’
‘Ah, nggak mungkin,’ jawab gue tidak percaya.
Pas udah beres ospek dan gue itung-itung… eh beneran
setahun. LOBANG PANTAT!
Hal yang paling gue inget tentang ospek adalah sebuah
kata mistis nan menggemaskan yang sering diucapkan senior-di
kehutanan. Kata tersebut adalah: lemah.
Betul, lemah.
Lemah, pada mulanya digunakan senior untuk ngatain kita
yang emang kondisi fisiknya cemen. Kalo pas lagi lari ngelilingin
kampus ada yang ketahuan jalan, senior bakal nyamperin dan
tereak kenceng di samping kuping si mahasiswa, ‘LEMAH!’ kalo
kita lagi disuruh push-up dan ada yang ngeluh, senior langsung
datengin maba (mahasiswa baru) dan lagi-lagi tereak di kuping:
‘LEMAH!’
Saking seringnya diucapkan senior, kata-kata lemah ini
jadi kebawa-bawa sama gue. Kalo ada temen yang nggak kuat
mandi pagi gara-gara airnya dingin, gue langsung nyamperin dan
ngomong di kupingnya, ‘LEMAH!’ Kalo ada yang pagi-pagi udah
ngeluh laper, langsung gue samber, ‘LEMAH!’ Kalo ada temen gue
yang nonton Maria Ozawa tapi biasa aja, gue tereakin, ‘LEMAH
SYAHWAT!’
Pokoknya, lemah sudah berubah. Konteks lemah tidak lagi
menandakan kondisi fisik seseorang. Apa-apa jadi lemah. Gue
takut, di masa yang akan datang, sewaktu adek kelas gue nanti
jadi senior, kata lemah sudah jauh mengalami pergeseran makna.
Mereka bisa aja make kata ini dengan lebih absurd seperti:
Apa!! kamu gak bisa makan lewat lubang idung? Dasar
LEMAH!
Apa!! kamu gak bisa masukin tuyul ke dalem botol? Dasar
LEMAH!!
Apa!! kamu bapak saya? Minal aidzin ya, Pak.
…
Senin, Juni 04 2012
PAGI ini seluruh mahasiswa kehutanan udah ngumpul bareng di
lapangan gede depan ATM. Kita dibagi jadi beberapa kelompok. Di
belakang kita udah banyak bus jejer-jejer. Tas carrier banyak
numpuk di pintu bus. Kami bentar lagi akan pergi praktik ke
hutan. Masing-masing kelompok akan ditempatkan di tempat
yang berbeda. Gue sendiri mendapatkan tempat di kawasan cagar
alam Leuweng Sancang, Garut. Di sana kelompok gue bakal
mendatangi hutan pantai, mangrove, dan hutan dataran rendah.
Perjalanan ke Garut rencananya akan memakan waktu
enam jam. Hmm, gue ngangguk-ngangguk. Berarti gue nggak usah
mikirin pantat. Enam jam nggak terlalu jauh, pikir gue. Setelah doa
bersama, salah satu dosen menutup dengan memberikan
wejangan-wejangan.
Dan berangkatlah kami.
Yosh.
Dari awal perjalanan, anak-anak langsung rusuh. Kayak
hewan-hewan di kebon binatang yang dilepas dari kandangnya.
Gila. Pokoknya gila. Ada yang langsung nyanyi-nyanyi heboh. Ada
yang heboh maen games. Ada yang make baju dari spanduk
Telkomsel diiket di kursi belakang. Oh sorry, itu orang gila
beneran. Pokoknya, semua heboh, tapi tidak dengan gue. Nggak
ada hal seru yang gue lakukan selama perjalanan. Sebagian besar
hanya gue habiskan dengan tidur. Bukannya nggak mau ikut
ngerusuh dan gila-gilaan bareng. Gue mabok darat. Lemah.
‘Halo Haloo. Tess.. tes… satu dua….’ Suara dosen lewat
megaphone ngebangunin gue.
‘Yak, anak-anak. Kita makan siang dulu! Perjalanan
selanjutnya dilanjutkan menggunakan elf!’ Suara dari toa
menggema ke dalam kepala. Gue sedikit pusing. Gue menengok
sekeliling, hmm tempat yang asing. Gue ngambil hape, ngecek jam:
pukul dua siang. Pantes aja gue laper.
Gue lalu turun dari mobil, menghirup oksigen sebanyak-
banyaknya. Huah. Bau AC mobil bikin gue eneg. Gue lalu
nyamperin temen-temen lain yang udah pada kumpul di pelataran
masjid.
‘Lo udah mindahin barang?’ tanya Yusuf, temen
bertampang Arab.
‘Hah? Mindahin? Ke mana?’ Gue belom konek.
‘Ke elf.’
‘Oooh.’ jawab gue asal, masih belom konek.
Gue lalu balik ke bus mengambil tas carrier dan sebuah
ransel biru. Tidak lupa sebelumnya gue ke warung bentar buat
beli obat anti mabok. Gue mengelus perut. Sudah cukup setengah
perjalanan ini perut gue berasa ada yang ngaduk-ngaduk.
Sambil jalan ke lapangan yang ditunjuk Yusuf, gue mereka-
reka, elf itu apa ya? Gue tidak punya bayangan sama sekali. “Elf”
yang gue tahu dari permainan game online adalah sejenis peri
yang mampu terbang dengan kencang.
Pasir di jalan mulai masuk ke dalem sepatu. Gue mulai
bingung. ‘Kayaknya tadi si Ucup (Semua orang bernama Yusuf,
entah kenapa dipanggilnya Ucup) nunjuk ke arah sini, deh.’
Gue lalu nyopot tas carrier. Bagian bawahnya jadi cokelat
kena pasir. Gue keliling dan tetep gak nemu kendaraan elf seperti
yang ada di pikiran gue: sebuah kendaraan… berbentuk peri
(Agak menghayal memang gue). Di depan gue hanya ada banyak
angkot biasa. Ooh, atau jangan-jangan… nanti gue dan yang lain
memejamkan mata dulu, kemudian akan muncul seorang ibu-ibu
paruh baya bersayap. Dia lalu bilang, ‘Lala, kamu tidak perlu takut
lagi, di sini ada ibu peri.’ Kemudian Tring, sampailah gue di
Sancang. Gue bangga sekaligus bingung.
Tanpa pikir panjang, gue kembali ke masjid tempat yang
lain berkumpul.
‘Di situ, Di!’
‘Ah, tadi gue liat cuman angkot?’
‘Ya emang itu.’
Masih dalam keadaan bingung, gue balik ke tempat
angkot-angkot tadi. Ternyata pas gue cek ke dalem, udah banyak
tumpukan tas temen gue. Dari luar gak keliatan karena jendelanya
cukup tinggi. Setelah masukin barang, gue mengitari angkot,
masih heran kenapa namanya elf. Dengan penuh penghayatan, gue
hempaskan kedua lutut ke tanah. Gue bersimpuh. Gue menghadap
langit, ‘KENAPA ANGKOT DINAMAIN ELF YA ALLAH. APA YANG
TERJADI DENGAN DUNIA INI?!!’
02.15 PM:
Perjalanan dilanjutkan dengan angkot… yang diberi nama elf. Dan
kali ini gue sudah meminum pil antimabok. Jadi, gue tidak akan
tidur-tidur loyo-loyo lagi. Huh, gue sudah macho sekarang. Lihat
aku teman-teman. Aku adalah Adi, si antimabok darat—kalau
sudah minum antimo.
Lima belas menit berlalu dan gue akhirnya sadar mengapa
si angkot sok keren ini diberi julukan elf. Ternyata, hal tersebut
tidak lain tidak bukan karena si sopir mengendarai mobil seperti
kesetanan. Beringas abis. Saking ngebutnya, angkotnya berasa
terbang. Kecepatannya gue taksir sekitar seratus kilometer per
jam.
Bentuk jalanan makin nyeremin. Dengan jalan yang muat
cuman satu setengah mobil (kalo ada mobil dari depan, salah satu
mobil harus minggir keluar dari aspal). Dan penuh belokan tajem
serta jurang di kiri-kanan, si sopir tetap santai. Dia malah
menyetel musik dangdut koplo dari tape mobil lalu menghadap
belakang,
‘Joget dulu anak-anaaak?!’
Gak tau kenapa si sopir keliatan santai banget. Satu
sikutnya dikeluarin ke jendela. Dia kayak udah terbiasa dengan
trek yang biadab ini. Sementara kita di belakang pada pucet. Gue
sempet kepikiran kalo si sopir emang berniat ngebunuh kita
semua dengan cara yang hipster: mati di dalem mobil sambil
dengerin Jenita Janet.
Baru mau goyangin jempol, si sopir tiba-tiba mengerem.
Kami langsung pada kelempar ke depan. Selang beberapa detik,
dia langsung menginjak pedal gas dengan kuat. Kami semua
terpental ke belakang. Keributan terjadi di dalam mobil. Bukannya
joget, kami malah pada jerit ‘helep, helep!’ Persis yang orang Sunda
katakan tentang kendaraan ini.
04.00 PM:
Sancang Barat, Garut. Lewat celah jendela, aroma angin laut
menerobos masuk. Badan gue seakan melayang. Tanah cokelat
mulai berganti jadi pasir putih.
‘Di! Buruan dong keluar!’
Gue menoleh ke belakang. Teman-teman sewot. Nggak
bisa keluar karena kehalangan gue.
Gue melirik ke kanan-kiri: kosong.
*Seketika angin mengembuskan daun-daun kering*
‘Woi lama! Cepatan turun!’ protes teman-teman.
Gue menggaruk kepala, ‘Iya, iya, gue turun.’
Gue pun keluar mobil dengan penuh wibawa.
Di Sancang, kita udah ditunggu oleh Pak Aris1. Dia adalah
salah satu dosen di kampus. Penampilannya macho. Necis. Jantan.
Sepatu bot serta jaket pelindung dengan banyak kantung
membuatnya tampak lebih muda. Rambutnya cepak tipis dan
sudah berwarna putih.
Setelah berkenalan dengan sang dosen yang tampak
jantan nan rupawan ini, kami dibagi-bagi lagi ke dalam kelompok
yang lebih kecil. Selanjutnya, kami diajak berkeliling. Terdapat
sebuah rumah mungil berwarna krem dengan cat yang memudar
di beberapa bagian. ‘Hmm.. Walaupun ngga bisa dibilang bagus-
bagus amat, tapi ini bangunan terbaik di sini. Pasti nanti kita tidur
di sini,’ pikir gue. Tepat di belakangnya, ada jalan menurun
menuju sumur. Gue yakin sekaligus ngeri, kalau-kalau gue
terpaksa mandi di tempat ini. Terakhir kali gue mandi di tempat
1 Nama disamarkan. Demi kelangsungan hidup penulis di kampus.
terbuka adalah sewaktu gue kelas 4 SD di garasi rumah. Mandinya
sepuluh menit, masuk anginnya dua hari. Lemah tingkat tinggi.
Lanjut. Di samping rumah yang paling bagus tadi, terdapat
satu bangunan yang dibentuk dari papan-papan kayu. Lantainya
masih tanah. Terdapat kubangan dengan bekas nasi di deket
rumah itu. ‘Hmm… ini pasti semacam dapur.’ Terakhir, kita
dibawa ke sebuah bangunan yang udah ancur. Nggak ada pintu,
apalagi lantai. Cuman ada dinding di bagian belakang dan tersisa
empat pilar berjajar pertanda bahwa sebelumnya bangunan ini
terdiri dari ruangan-ruangan kecil. Gue mengangguk sotoy,
‘Hmm… pasti tempat ini dulunya kos-kosan yang rusak diterjang
tsunami.’
‘Yak. Yang cowok tinggal di sini,’ kata Pak Aris. Suaranya
keras dan kuat.
Pak Aris menunjuk ke arah seberang, ‘Untuk yang
perempuan, kalian bisa tidur di sana.’
Rada mendingan, tapi lebih kecil dari milik cowok. Masih
berdinding. Pintunya tidak bisa dibuka sehingga orang-orang
masuk lewat jendela yang ditutupi koran.
‘Sampai di sini, ada pertanyaan? Tidak benar-benar
bertanya, Pak Aris melanjutkan. ‘Bapak tinggal di sana, ya.
Bangunan yang paing bagus itu. Ehehehe.’
Kami semua diam.
07.00 PM:
Kita baru selesai ngebersihin bangungan yang bakal jadi mes
kami. Lantai dari cor-an sudah ditutupi spanduk dan berbagai
terpal. Tas-tas besar ditumpuk di pojok. Sementara ransel-ransel
kecil sudah berjejer di atas sleeping bag masing-masing.
Sekarang waktunya makan. Kita kumpul di depan mes Pak
Aris. Sebagian duduk di tikar, sebagian di kursi kayu panjang yang
ujungnya menempel ke pohon. Tampang gue kumel. Karena
belom mandi dari pagi, bau badan gue udah kayak bau di
peternakan sapi. Hari ini, atau bahkan selama empat hari di sini,
gue nggak tahu apa gue bakalan mandi. Gue masih menimang-
nimang untuk mandi di sumur. Biliknya cuman muat menutupi
perut ke bawah. Lebih lagi karena posisinya yang di bawah, orang
yang lewat bisa ngeliat gue dengan sentosa. Gue belum mau
orang-orang terkesima dengan badan gue. Yang. Masya Allah.
Tulang. Semua. Ini.
Satu-satunya harapan gue supaya bisa mandi hanyalah di
kamar mandi perempuan. Letaknya persis di kiri mes cowok.
Namun, bisa dipastikan segerombolan cewek sudah mengantri
dengan liar. Gue tidak mau jadi satu-satunya cowok yang ikut
mengantri, dan masuk ambulans karena dislepetin pake anduk.
Cewek-cewek ini, mengijinkan cowok make kamar
mandinya hanya ketika kami terdesak. Atau dalam bahasa
lainnya: pengen boker. Gue pernah sekali waktu nyoba mandi
dengan alasan kebelet boker, tetapi ketauan. Ketika itu, gue keluar
dari kamar mandi. Cewek-cewek buas itu langsung mengendus
penuh curiga. Mana ada orang boker badannya wangi, katanya.
Saat itu gue cuma bisa garuk kepala sambil ngeles-ngeles kecil,
‘Eng-engga kok. Tadi… di dalem. Gue benaran boker. Tapi, ngga
tahu kenapa, tiba-tiba, sabunnya, nempel sendiri ke badan gue.
Daripada mubazir, gue gosok-gosokin aja ke badan sekalian.
Ehehe. Ehehehehe. Ehehehehe.’ Kontan mereka menyoraki gue,
‘Woooooooo!!!!’
Untung gue gak mati saat itu.
Selasa, Juni 05 2012
HARI ini kita bakal menjelajah hutan pantai.
Mantab.
Untuk mencapai pantai, kita harus terlebih dahulu
mencuci kaki menyeberang semacam genangan air laut yang
surut. Begitu sampai ke seberang, baru deh keliatan keindahan
laut Sancang. Nggak ada awan sama sekali. Dari atas ke bawah,
kanan ke kiri, semuanya biru. Semakin ke ujung, birunya semakin
gelap. Bunyi derum ombak seakan menentramkan jiwa. Tarik
napaas. Embuuus. Aaah. Lama banget gue nggak setenang ini.
Biasanya, pagi-pagi gue udah ngampus, di jalan berisik banyak
kendaraan klakson sana-sini. Polusi juga bikin paru-paru gue
mencret.
Di sini gue ngerasa beda banget. Tiap jalan, pasir berasa
ngisep kaki. Anginnya kenceng, bikin rambut gue terbang. Tiap
ada angin, gue merasa jadi pemeran iklan shampo. Pergerakan
gue seakan melambat. Gue meremas rambut. Terus jari gue nggak
bisa ditarik keluar. Terus gue ngejerit dramatis, ‘AAAHHH JARI
GUEE NYANGKUT DI RAMBUUT… TOLOONNGG?! TOLOONNGG?!!’
Satu setengah jam berlalu dan gue udah pengin mampus. Gue
pikir kita bakal hepi-hepi aja tapi ternyata itu semua dugaan yang
salah. Baru setengah perjalanan dan dengkul gue udah pengen
copot! Tenggorokan gue mulai kering. Berusaha menghilangkan
capek, cewek-cewek mulai sibuk foto-foto.
Salah satu tanda sudah sampai yaitu adanya pohon
pedada. Sejenis pohon yang buahnya menyerupai matahari
berhidung pinokio. Ada juga pohon si api-api yang akarnya
menjulang. Mirip tombak yang menancap keluar dari tanah.
Kerjaan kita di sana mengukur diameter, tinggi, dan
ngedata jenis pohon apa aja dalam areal dua puluh kali enam
puluh meter. Selain itu kita juga ngejelajah, ngecek satwa yang
ada, serta menguji keadaan tanah sekitar. Capeknya sih lumayan.
Lumayan bikin ginjal bedarah.
Menjelang malam, kami kumpul di mes. Di sini listrik tidak
masuk sampe malem. Gue juga gak gitu ngerti kenapa, yang jelas,
begitu lewat jam lima sore, genset dinyalain. Karena kalo enggak…
kita bakal demo rame-rame. Hehehe.
Pas lagi ngumpul-ngumpul, temen gue sering banget
ngebahas soal kehutanan. Karena banyak dari mereka yang suka
ngedaki gunung, mereka cerita soal gunung (ya iyalah!). Banyak di
antara mereka yang cerita pernah ngedaki gunung a, ketemu
setan di gunung b, ngeliat sunset di gunung c. Gue, yang waktu itu
lebih suka ngumpulin daki di leher, cuman bisa dengerin sambil
nyengir mesum.
Satu hal yang gue tangkap dari pembicaraan temen-temen
adalah, ketika seseorang ngedaki atau naik gunung, kita bakal
nggak jaim (kebukti dari temen gue yang baru nyampe langsung
jemur kancut). Kita, kata temen gue, bakal ngeluarin sifat aslinya.
Nggak bakal sok malu-malu. Paling malu-maluin.
‘Gitu ya, Yan?’
‘Hooh. Keren kan!’ kata Adrian, ngacungin jempol.
Keren juga ya gunung. Gue berpikir. Pantesan selama ini
gue pas ngeliat gunungnya Jupe bawaannya pengin langsung
ngedaki (lho?).
‘Tapi emang bener, sih’, gue ngelanjutin mikir. Kemaren,
begitu nyampe sini anak-anak langsung ngebaur. Kayak nggak ada
rasa canggung. Gue jadi berpikir, orang yang lagi PDKT, biar nggak
sok jaim harusnya dibawa ke gunung aja. Nanti si cowok tinggal
ngomong, ‘Wahai wanita, aku ingin mengenalmu lebih dekat. Mari
kita ke gunung.’
Rabu, Juni 06 2012
HARI ini, menurut perintah Mister Aris, gue dan anak-anak akan
dibawa ngeliat bunga Rafflesia sekaligus pergi ke hutan mangrove.
Gue langsung semangat. Gimana enggak, hutan mangrove itu
identik dengan sesuatu yang macho. Gue pernah liat di salah satu
TERNODA KARENA TORNADO
Minggu, Desember 09 2012
GUE cuma punya lima belas jam kurang sedikit sebelum malaikat
maut ikut dalam perjalanan gue bersama pacar. Sejak pukul lima
pagi tadi, gue udah mulai ngehafal jalan menuju Ancol. Kamar gue
penuh dengan barang-barang bekas begadang: gelas isi kopi,
serak-serakan biskuit, kertas, pulpen, anaconda (horor abis). Gue
memungut handphone dari balik selimut kembang-kembang.
Mencatat nama jalan yang tertera di laptop ke note hape.
Hari ini, gue dan si pacar bakal main ke Dufan.
Sebuah perjalanan yang bakal keren nan asik sekali
sebenernya. Masalahnya adalah, gue belum pernah ke sana. Oh,
durjana, ternyata hamba lemah.
Ponsel gue berdering. Si pacar SMS. Gue menghela napas
sebentar sebelum akhirnya membuka pesan.
‘Nanti jadi kan ke dufan?’
Gue membalas, ‘Jadi.’
Kita janjian untuk ketemuan di Permata Hijau, Jakarta
Barat, pukul sembilan.
Gue gugup. Gue takut, karena nggak hafal jalan gue bakal
nyasar dan dianggap sebagai lelaki yang tidak macho. Gue tidak
mau seperti itu.
Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Bak
ayam jago yang ditusuk bokongnya (atau yang versi manusia: Bak
laki-laki yang pantatnya disodok Sumanto), gue berjalan ke kamar
mandi dengan lemas. Jarang banget gue mandi jam segini.
Ngomong-ngomong soal mandi, gue suka risih kalau pas
lagi di kamar mandi, tau-tau ada yang gedor-gedor dari luar.
Nyuruh buru-buru. Buat gue, mandi adalah sesuatu yang sakral,
yang harus dilakukan dengan khidmat. Adapun orang yang
biasanya rusuh ngegedor-gedor pintu kamar mandi, tidak lain
tidak bukan, adalah Tiyo, Abang gue. Biasanya, sambil memukul-
mukul pintu, dia akan memberikan pertanyaan-pertanyaan aneh
yang tidak penting untuk dijawab. Contohnya, ‘Buruan dong!
Ngapain sih lo di kamar mandi?’
Ya menurut lo? Kalo di kamar mandi gue ngapain?
manasin motor?
…
JAM dinding bergambar Spongebob menunjukkan pukul tujuh
lewat tiga puluh. Gue menarik napas, bangkit dari kursi, lalu
menggelayutkan tas selempang cokelat pupus.
Gue melihat ke arah pintu kayu di depan yang sedikit
terbuka. Layaknya di film-film, dari celah pintu merambat masuk
cahaya terang. Seperti orang yang memiliki penyakit traumatis
tertentu, semakin lama cahayanya makin terang. Lalu gue inget
kenangan buruk bersama pacar.
Bogor, malam hari:
Waktu itu kita baru aja nonton Skyfall. Motor yang waktu
itu jarang diservis, tetap gue pakai. Hasilnya bisa ditebak:
suaranya sember dan tarikannya payah. Ketika gue tarik tuas
gasnya, motor gue meraung-raung. Suaranya kayak orang kena
ashma. Rantainya udah karatan dan sering copot. Kalo motor gue
manusia, mungkin udah dalam kondisi di mana ada dokter yang
ngomong, ‘Mohon maaf, kami sudah bekerja semampu kami.
Namun apa daya, dua kali kentut lagi dia akan mati. Itulah
takdirnya…’
Filmnya asik, tapi perjalanan pulangnya enggak asik.
Beberapa lampu jalan yang mati membuat remang jalanan.
Sepanjang perjalanan badan gue geter-geter kedinginan.
Tiga ratus meter di depan adalah pertigaan menuju
stasiun Bogor. Betapa beruntungnya gue karena begitu mendekat
lampu hijau tiba-tiba menyala. Dengan terampil gue longgarkan
tarikan gas, lalu gue tarik rem dengan penuh perasaan. Dan dalam
sepersekian detik saja, gue ubah transmisinya menjadi netral.
Laksana Chrisopher Colombus, gue membelokkan kemudi dengan
cekatan. Beberapa detik dan jemari gue menggenggam kuat-kuat
tuas gasnya. Lantas gue tarik-lepas dengan gagahnya hingga
menimbulkan suara yang macho abis, ‘Rong!! Rong..! Rong..!’
persis bunyi sepeda yang roda belakangnya disangkut akua gelas.
Belum lama beraksi, seorang bapak-bapak pengendara
motor di sebelah kiri tereak, ‘PAK, ITU RANTENYA PUTUS, PAK?!’
Dia menunjuk sekitar roda bagian belakang.
Suara orang itu diikuti oleh bunyi besi yang beradu.
Berdentingan lagi kusut. Berbenturan tak keruan, lalu mendadak
hilang. Lenyap bagai disulap.
Seketika saja, laju motor tidak terkendali. Tuas gas nggak
bisa gue kontrol. Gue panik. SANGAT. Di satu sisi, gue harus
mengantarkan si pacar pulang. Di sisi lain, ini udah malem banget.
Kalau rantainya benaran putus, gue gak yakin masih ada bengkel
yang buka. Andaikata ada, gue rasa pemiliknya siluman kus-kus.
Sembari menyeimbangkan motor, gue menengok ke ban
belakang. Berusaha mengecek rantai motor.
‘Hei,’ si pacar mencolek pundak gue, ‘lihat ke depan.’
‘Ha?’ kata gue, masih ngeliat ke bagian rantai motor.
‘Kamu harus lihat depan, buruan!’
‘Ha-?’
‘ITU DI DEPAN ADA GOT! AAAAAAHHHH!!’
Gue menggelengkan kepala, membuyarkan memori kelam nan
gembel yang barusan muncul.
Gue melihat jam: tujuh lewat empat puluh lima menit.
Berarti, sudah waktunya.
09.00 AM:
Permata Hijau, Jakarta Selatan. Gue duduk di pinggir jalan,
menunggu si pacar.
‘Bentar ya, satu halte lagi.’ Si pacar sms.
‘Sip.’
Tidak berapa lama, si pacar muncul dari halte busway. Dia
jalan (iyalah, masa koprol) melalui jembatan penyebrangan
menuju tempat gue menunggu.
‘Maaf ya, lama,’ katanya, berdiri di samping gue. Aroma
tubuhnya seperti bedak bayi. Sebuah bau yang sudah cocok di
hidung gue.
Kita berangkat. Dan, salah satu kebiasaan yang gue dan
pacar lakukan ketika pergi naik motor adalah, kami melakukan
permainan yang bernama ‘Membuat Kalimat Dari Plat Nomor’. Di
mana dalam permainan ini, yang kalah akan mendapat hinaan.
Sementara yang menang akan mendapat kepuasan karena
menghina yang kalah. Lebih sederhananya, permainan ini dapat
disebut sebagai: kurang kerjaan.
Terkadang, singkatan yang kita buat sangat garing:
‘Itu ada motor B 1872 NCS.’ Si pacar diam sejenak. ‘Hmm..
Nohkan, Capek Sayanyaa. Kamu bisa buat apa, hayo?’
‘Njir! Cucah Sekali.’
Terkadang pula, gue memanfaatkan situasi:
Si pacar menunjuk sebuah angkot. ‘Tuh, B 6659 SKS,’
katanya. ‘Sukanya.. Ku… Ah susah. Nyerah deh. Kamu?’
‘Sayang Kamu Selalu, dong. Ihihiihi.’
Tapi yang paling mengenaskan,
‘Itu truk ayam, platnya AGS, AGS!’ seru gue antusias. ‘Adi
Ganteng Sekali!’
‘Kayaknya bensin kamu mau abis deh,’ kata si pacar, datar.
Datar sekali.
…
MASUK ke Dufan ternyata tidak semudah yang gue bayangkan.
Sebelumnya gue berpikir bahwa: Ancol = Dufan. Ternyata, oh
ternyata, itu semua salah besar saudara-saudara! Ancol itu bukan
Dufan. Dan Ancol itu luas. Banget! Tapi bukan Adi namanya kalau
masalah cemen gini bikin gelagapan. Gue segera mengedar
pandangan ke seluruh penjuru, mencari papan penunjuk jalan
sembari mengalihkan perhatian si pacar dengan mengajak
ngobrol.
‘Wah, jadi Ancol kayak gini, ya,’ kata gue, mengaku kalo
belum pernah ke sini. ‘Keren banget! Aku jadi biasa aja nih.’
‘Wooooooooo, belaguuuu!’ Si pacar memukul-mukul unyu
pundak gue.
Gue melihat papan penunjuk jalan, lalu berteriak gembira,
‘Itu diaaaa! Dufaaann! Dufaaaaannn! Tinggal belok kiri, sampe
dehh!’
‘Eh, nanti dulu,’ kepala si pacar tiba-tiba nongol di sebelah
kanan. ‘Kita kan belum ambil uang. Ke atm dulu aja, yuk.’
‘Uh. Ada aja masalah di dunia ini ya...’
‘Kamu bilang apa?’
‘NJIR! KEREN BANGET DUFAAN! LAGUNYA JUGA
MANTEP! NEEENG NENG NENG NEENG NENG NENG NENG..
NEEENG..’
Satu hal yang gue pelajari dari kencan ini: jadi cowok
harus jago ngeles.
Wahana pertama yang akan dikunjungi semua orang begitu
sampai Dufan adalah mengantri. Yak, NGANTRI! Karena lagi
diskon, loket penuh banget. Satu hal yang gue pahami dari adat
orang Indonesia: kalo ngantri barisnya trapesium! Barisannya
ngasal abis. Gue. Kagak. Bisa. Napas. ASU! Tidak ingin mati
kegencet, gue berpikir bagaimana caranya supaya bisa masuk
dengan cepat. Aha, gue punya ide. Seperti di film action, gue bakal
menyandera salah seorang pengunjung. Gue tinggal cari
pengunjung cewek yang paling cantik, lalu gue bekep pake ketek
dan bilang, ‘Serahkan saya dua tiket Dufan dan biarkan saya
masuk!’
Sebuah gagasan yang sangat brilian… dan idiot.
Setelah mendapat tiket dan nyaris osteoporosis karena
kelamaan berdiri, kita memasuki pelataran Dufan. Di area ini ada
badut bekantan lagi joget-joget innocent diiringi soundtrack
Dufan. Di belakangnya ada barisan pengunjung yang hendak
distempel.
‘Mau distempel di mana, Mas?’ kata mbak-mbak tukang
stempel.
Karena waktu itu gue anak yang biasa aja, maka gue
menyodorkan punggung tangan sebelah kiri. PLOK! Dan punggung
tangan gue distempel. Coba kalo saat itu gue tergolong anak yang
gahul. Begitu mbaknya bilang, ‘Mau distempel di mana, Mas?’ Gue
langsung ngejawab sambil nyengir, ‘Di hatimuuu dooonnggg…’
Selesai adegan ngecap-ngecap itu, gue tiba-tiba deg-degan.
Entah semangat entah gelisah. Gue mulai panik sendiri karena
belom pernah ke Dufan. Gue bertanya-tanya di dalam hati. Gimana
ya di dalem? Serem nggak ya? Ada alay ngga ya? Eh taunya ada.
Sialan.
Begitu sampai di dalem, si pacar menantang gue untuk
menaiki sebuah wahana yang katanya serem abis. Namanya Kora-
kora. Katanya juga, setelah naik wahana ini, banyak pengunjung
yang muntah-muntah.
Gue diam.
Gue bingung.
‘Itu yang namanya Kora Kora.’ Si pacar menunjuk sebuah
perahu besar yang mengayun. ‘Takut muntah, ya?’
Gue mikir bentar. Satu-satunya hal yang bikin gue muntah
adalah ketika lupa make deodoran dan ngga sengaja nyium ketek
sendiri.
‘Siapa takut. Ayo!’ jawab gue, macho.
Kita pun masuk ke dalam barisan. Barisannya panjang dan
berputar-putar. Mulai banyak pengunjung yang keringetan.
Panasnya emang lagi bikin mampus. Sesekali terdengar teriakan
dari Kora-Kora. Gue, si macho ini, mulai tegang.
Waktunya naik. Si pacar meminta untuk duduk di kursi
paling belakang. Kursi yang katanya paling serem. Gue, si macho
ini, tentu mengiyakan. Sampai safety belt terpasang, kursi paling
belakang, yang katanya paling serem itu, hanya terdiri dari empat
orang. Oh, lemah sekali para pengunjung Dufan ini.
‘Hei.’ Si pacar mencolek pundak gue. ‘Kalau takut, teriak
aja yang kenceng.’
Gue mengangguk.
Si Kora-kora mulai bergerak. Satu goyangan, dua
goyangan, tiga goyangan, dugaan gue tidak salah. Si Kora-kora ini
nggak beda jauh sama ayunan. Goyangan keempat, lima, enam,
semakin lama benda berbentuk perahu ini mengayun semakin
tinggi. Orang di depan gue mulai histeris.
‘Kyaaaaaa!’
‘Haaaaaaa!!! Kyaaaaa!’
Semakin curam, curam, dan semakin curam saja si perahu
rongsok ini bergoyang. Mulai ada sensasi aneh di perut. Gue yang
naik odong-odong aja mual, mendadak pengen muntah. Demi
menghilangkan rasa mual, gue mengalihkan perhatian dengan
melihat pemandangan sekitar.
‘Kyaaaaaa!!!’ Tangan si pacar erat mencengkerami gue.
Gue—berpura-pura—tidak peduli. Tetap stay cool,
mengontrol pikiran sambil memandangi sekitar supaya gak
kerasa mual… sampai gue sadar kalo di depan gue ada sesosok
manusia yang tidak lazim. Manusia itu. Rambutnya abu-abu.
Tangannya keriput. Dia. Kembang Tahu! Oh, bukan. Sorry. Maksud
gue, nenek-nenek! Oh yes oh no, tidak mungkin. Bagaimana bisa
ada nenek-nenek naik Kora-kora? Gue yang macho aja berasa
pengin brojol lewat mulut. Gue sempat berpikir bahwa si nenek
emang sudah stres dan memilih untuk mengakhiri hidupnya
dengan mati sambil mangap di atas Kora-Kora.
Namun, tak disangka tak diduga, dengan rambut yang
hampir seluruhnya abu-abu, berkibar-kibar kena angin, si nenek
malah tersenyum lebar ke gue. Rongga mulutnya terlihat luas
karena giginya tinggal segelintir.
‘Heeee,’ katanya.
Di antara semua pengunjung yang teriak kencang, lantang,
brutal, penuh energi dan kepanikan, si nenek ini cuman bilang,
‘Heeee’.
Jagoan.
Semakin tinggi ayunan si perahu Kora-Kora ini. Ke atas, ke
bawah. Naik-turun dengan penuh tenaga. Sewaktu tertarik ke
belakang, semua orang terdiam. Lantas si Kora-Kora terjun bebas
ke bawah, membuat orang-orang berteriak dengan keras.
‘Kyyyaaaaaa… Kyyaaaaaa!!’
‘Heee,’ si nenek tetap cengar-cengir.
Entah goyangan ke berapa, si Kora-Kora mengayun
dengan sangat ekstrem. Gue taksir posisinya hampir sembilan
puluh derajat dengan permukaan bumi. Curam mampus. Saat
tertarik ke belakang, mendadak. Di hadapan. Gue. Adalah. Tanah.
Emak. Tolonglah. Anakmu.
Pengunjung histeris, ‘Kyyyaaaa..! Aaaaaa… Kyyaaaa!!’
Gue, yang macho ini, menjerit sambil panik, ‘ANJIIRRRR
ANJJJIIIRRR AAAAAA TIDAAKKK TOLOONG TOLOONNG!!’
‘Heeee.’
Beberapa saat kemudian, setelah goyangan mahadahsyat
itu, permainan berakhir. Si nenek keluar dengan santainya.
Seolah-olah naik Kora-Kora sama dengan duduk-duduk santai di
kursi goyang.
Gue kebalikannya, turun dengan terhuyung-huyung.
Kondisi gue menyedihkan. Tangan gemetaran. Kulit sedingin es. Di
dalem perut berasa ada kodok lompat-lompat. Pokoknya mual
semual-mualnya. Gue mirip TKI yang dibius oleh majikan,
dicincang kecil-kecil, lalu dimasukkan ke dalam freezer selama
empat belas hari.
Si pacar menatap dari dekat, ‘Kamu enggak kenapa-
kenapa, kan?’ dengan penekanan pada kata ‘kenapa-kenapa’nya.
Gue, yang tidak mau terlihat cemen di depan pacar sendiri,
bilang, ‘Iya nggakpapa. Gitu doang, mah, cemeeeen!’ Dia gak tahu
aja, kalau ngga ada dia, pasti gue udah tergeletak di aspal, kejang-
kejang dengan mulut mengeluarkan busa.
‘Ooo gitu,’ kata si pacar, yang dari nadanya, tidak percaya
dengan jawaban gue. ‘Ya udah, sekarang kita ke mana lagi nih?’
‘Istana Boneka,’ jawab gue, cepat.
Gue, yang macho ini.
…
WAHANA selanjutnya—setelah Istana Boneka, gue tentu tidak
akan bercerita bagaimana gue di dalam Istana Boneka menjerit
sepanjang jalan dan kemudian kehilangan jati diri sebagai lelaki
sejati—adalah Niagara-Gara. Sesuai dengan namanya, permainan
yang namanya diambil dari air terjun di perbatasan Amerika dan
Kanada ini tidak lepas dari basah-basahan. Sepertinya cukup
menyegarkan mengingat matahari sudah mendekati titik puncak.
Anggapan gue bahwa permainan ini menyegarkan pupus
setelah 5 menit mengantri. Belum apa-apa gue udah mandi
keringet. Ge. Rah. Barangkali nama Niagara-Gara harus diganti,
pikir gue. Gue pun coba mencari nama yang cocok untuk wahana
yang lebih mirip tempat sauna ini. Ah, sauna. Nama yang oke. Dan,
supaya tidak terlalu banyak mengubah, gue akan tetap
menggunakan kaidah kata ulang dalam “Niagara-Gara”. Sepertinya
nama ‘Sauna-Sauna’ cocok untuk wahana ini.
‘Ehem. Maju bisa kali, Mas.’
Njir. Karena terlalu asik berimajinasi, gue jadi tidak sadar
kalau barisan di depan sudah jauh. Cewek-cewek di belakang
langsung demo dengan rusuh. Dasar wanita. Baiklah. Demi
menghargai aspirasi mereka, gue tambahkan saja kata ‘girls’ di
belakang Sauna-sauna tadi. Sekarang, si maderfaker Niagara-Gara
ini gue resmikan menjadi Sauna-Sauna Girls.
Balok kayu datang. Lebih tepatnya, perahu yang
berbentuk balok kayu. Perahu-perahu ini hanya mampu
menampung empat orang. Setelah bercucuran keringat, gue, si
pacar, beserta dua orang ibu-ibu berbadan setengah bola akhirnya
mendapat sebuah perahu. Perahu di depan gue dinaiki oleh tiga
pemuda alay yang bertingkah kayak simpanse kekurangan gizi
ANTARA YANG SEJATI DAN YANG SEENAK JIDAT
PERKENALKAN. Saya Beler alias Si tampan alias A’ong. Nama terakhir dipanggil oleh mereka yang mengaku anak geng motor. A’ong, kependekan dari Adi bodong. Bukan berarti karena bodong, terus saya suka mamerin udel ke orang-orang di pinggir jalan. Melainkan karena motor yang saya pakai saat nongkrong bareng rekan-rekan sejawat adalah motor bodong. Saya ketua geng motor paling bengis di Indonesia. Nama geng motor saya adalah Geng Buntu. Geng Buntu bukanlah geng motor sembarang geng motor. Kami adalah anak geng motor baik-baik. Visi dan Misi Geng Buntu sangat jelas: menumpas kaum-kaum yang hobinya pacaran di motor (maksudnya yang duduk-duduk di atas motor, ya, kalau di bawah motor namanya kelindes). Aktivitas yang kami lakukan demi mewujudkan visi dan misi tersebut ialah:
menggiring orang-orang yang pacaran di motor ke dalam gang buntu lalu mengklakson mereka keras-keras sampai kuping mereka keluar nanah. Oh, betapa mulianya pekerjaan kami.
Ehem. Uhuk. Uhuk. Duh, saya jadi grogi kalau bicara serius kayak gini. Mungkin ini efek kebanyakan ngisep knalpot.
Baiklah, mari kita kembali ke pembahasan. Jadi, pada kesempatan kali ini, saya diminta oleh Kresnoadi, empunya buku ini, untuk menunjukkan perbedaan antara anak motor sejati dan anak motor seenak jidat. Tapi, sebelumnya saya akan sedikit menjelaskan tentang motor beserta komponennya terlebih dahulu.
…
Siapa sangka bahwa mahluk beroda dua, alias motor, merupakan sebuah benda multifungsi? Motor dapat dijadikan ojek. Motor bisa dimodifikasi menjadi bajaj. Motor juga bisa digunakan sebagai tunggangan tukang loper koran. Sekarang, tukang-tukang sudah banyak yang memanfaatkan motor. Tukang bubur naik motor. Tukang bakso naik motor. Tukang somay mulai ada yang naik motor. Tinggal tukang minta-minta aja yang belum naik motor.
Komponen dari motor itu sendiri juga memiliki manfaat yang beragam. Joknya bisa buat
pacaran di motor. Spionnya bisa digunakan untuk ngaca sebelum pacaran di motor. Gir-nya pun dapat dimanfaatkan jomblo buat ngebacok orang yang pacaran di motor.
Nah, makanya, supaya tidak ada kesalahpahaman dalam penggunaannya, saya akan memberi tahu perbedaan antara motor yang dipakai oleh anak motor sejati dan anak motor seenak jidat. Berikut sepuluh perbedaan mendasar antara anak motor sejati dan yang seenak jidat sendiri versi on the ngepot:
Anak motor sejati Tiap hari motor dipanasin, sering dicuci, supaya kelihatan kinclong.
Anak motor seenak jidat Kadang dipanasin, kadang tidak. Sewaktu hujan, motor diparkir di jalan supaya kecuci.
Anak motor sejati Di gang sempit pelan-pelan. Di jalan raya okelah gigi empat.
Anak motor seenak jidat Bawa motor ugal-ugalan. Gigi satu 80km/jam. Gigi empat motor meledug.
Anak motor sejati Perlengkapan komplit. Dari jaket, sarung tangan sampai sepatu semua lengkap.
Anak motor seenak jidat Makin bugil semakin asoy.
Biar semriwing.
Anak motor sejati Sewaktu ngebut posisi badan tegak, tenang. Agak bungkuk dikit tak masalah. Ada belokan ngerem perlahan-lahan.
Anak motor seenak jidat Sewaktu ngebut kepala harus nunduk. Muka dijedotin ke stang. Ada belokan dengkul seretin ke aspal.
Anak motor sejati Jauh dekat pakai helm SNI. Keselamatan is number one.
Anak motor seenak jidat Mau naik motor pakai peci. Yang penting inget Tuhan.
Anak motor sejati Stangnya dan spion bawaan pabrik.
Anak motor seenak jidat Spion dikecilin. Supaya gaul,
stangnya pake stang gerobak.
Anak motor sejati Motor ngga usah dianeh-anehin. Ketemu polisi tidur ngeremnya santai.
Anak motor seenak jidat Motor diceperin. Ketemu polisi tidur, motor diangkat. Kalo masih mentok juga, motornya dipikul.
Anak motor sejati Ketika belok lampu sein dinyalakan.
Anak motor seenak jidat Ketika belok tangan
mengepak riang. Kalo belom pada minggir juga tendang pakai kaki
Anak motor sejati Sedia bensin. Premium atau pertamax. Knalpot bawaan pabrik.
Anak motor seenak jidat Bensinnya aftur. Knalpotnya
knalpot bajaj.
Itulah tadi 10 perbedaan anak motor sejati dan seenak jidat. Kalau kalian tidak masuk di antara keduanya, bisa jadi kalian adalah anak mobil… atau anak otoped. Sekian dari saya.
Salam brum brum hoek hoek,
A’ong
Ketua geng buntu yang tampan dan penuh codet.
Anak motor sejati Sewaktu touring pakai perlengkapan lengkap. Tidak lupa membawa bekal untuk disantap bersama rekan-rekan yang lain.
Anak motor seenak jidat Sewaktu touring, naik ojek.
PERTAMA BUKAN YANG TERAKHIR
BAGI banyak orang, SMA adalah zaman yang keren. Zaman yang
tidak mungkin dilupakan karena lagi macho-machonya.
Buat gue, SMA merupakan zaman culun-culunnya.
Sebuah masa di mana gue belajar menjadi manusia.
Saat di mana anak lain mulai mendengarkan musik keras
seperti metal atau rock, gue malah lagi seneng dengerin lagu
reggae. Which is setiap kali sekolah gue ngadain pensi1, anak-anak
pada pake baju item-item, lari ke tengah lapangan buat moshing.
Sementara gue di pinggir lapangan. Make gelang merah-kuning-ijo
sambil sesekali menjerit, ‘Yomaaaann…!’
Namun, sama seperti SMA kebanyakan, masa SMA gue
juga memberikan beragam kesan yang menarik. Mulai dari
1 Pentas seni.
ngelobi satpam biar dibolehin masuk pas telat. Ngumpet-ngumpet
ngelewatin meja piket. Main kucing-kucingan sama guru yang
hobi motongin rambut. Sampe nongkrong di kantin bareng anak
sekelas.
Buat gue, SMA adalah tempat memulai semuanya. Tempat
gue pertama kali make celana panjang ke sekolah. Tempat gue
pertama kali bolos kelas. Gue pertama kali coba manjangin
rambut pas SMA. Jerawat pertama gue pun tumbuh saat SMA. Dan
SMA, adalah tempat gue pertama kali merasakan yang namanya
jatuh.
Namun gue bukanlah seseorang yang mengerti dunia
percintaan. Gue menyebut diri gue seorang pemula. Gue adalah
orang yang cemen. Gue bahkan tidak tahu caranya ngedeketin
cewek. Gimana mau PDKT, tatapan sama cewek aja gue langsung
pipis lewat pori-pori.
Jadi, sebagaimana yang seorang pemula biasa lakukan, gue
mengagumi dia dari kejauhan.
Gue tidak mengetahui namanya dan tidak berani mencari
tahu namanya. Gue juga tidak berharap. Karena seorang pemula,
dengan kebodohan dan kecemenannya, tidak akan berani
bertindak. Seorang pemula justru akan pergi, cenderung
menghindari orang yang dicintainya. Karena seorang pemula,
pada dasarnya adalah penakut. Ia takut, membuat orang yang
dicintai pergi karenanya. Dalam kasus ini, gue tidak mau si cewek
basket itu pergi karena gue.
Waktu berputar terus hingga soak. Dan seperti magic, semesta
berkehendak lain. Gue dipertemukan dengan si cewek basket itu
saat kelas tiga.
Benar, kita sekelas.
Gue belom tahu namanya sampai salah seorang dari kelas
lain masuk dan mencari seseorang bernama Ve.
Ve. Namanya Ve.
‘Lu harus add facebook-nya!’ perintah Radit di kamarnya,
sesaat setelah gue menceritakan bahwa gue sekelas dengan Ve.
‘Ha-harus kayak gitu emang, Dit?’
‘Iya. Elu harus mengambil tindakan. Enggak boleh diem
aja!’ Radit mendorong gue ke kursi. ‘Dunia maya adalah cara
paling gampang buat kenalan… buat pemula kayak elu.’
‘Tap-tapi Dit.’
‘Udah, buruan!’
‘Engga ah!’ kilah gue yang langsung berdiri. ‘Gue takut!’
Gue lalu duduk di kasur setelah mengambil sebuah bantal mickey
mouse. Gue meremas bantal tersebut dengan keras, berusaha
menenggelamkan telapak tangan yang mulai basah karena
keringat.
‘Ya udah, sini. Gue buka pake akun gue.’ Radit duduk dan
mengetik di laptopnya. ‘Siapa tadi namanya?’
‘Ve-Ve Amalia.’
‘Udah gue add, tuh. Tinggal tunggu confirm.’
‘Eeeeeeehhh!!’ pekik gue, kayak orang mau ketabrak
Kopaja. ‘Elu ngapain nge-add diaaa?!’ Gue panik. Gue lemparkan
bantal mickey mouse tepat ke muka Radit.
Bahkan, untuk seorang pemula, nge-add facebook
merupakan hal yang sulit.
‘Ya abis, gue minder kalo deket dia.’
‘Minder gimana?’
‘Ya gitu, dia siapa-gue siapa.’
‘Maksudnya?’
‘Ya dia tenar, cakep, anak basket pula. Elu kan tahu, basket
itu olahraga dengan kasta kekerenan tertinggi di sekolah gue. Lha,
gue, baru sekali nyoba ekskul bola juga batok dengkul langsung
pindah ke pala.’ Gue melanjutkan, ‘Dia juga orangnya supel. Dia
malah deket sama salah satu guru sekolah. Gue? satu-satunya
orangtua yang ngedeketin gue di sekolah paling ibu-ibu depan
gerbang. Ngemis minta gopean.’
‘Duh. Jomplang abis, ya.’
‘Iya kan. Jomplang abis.’
‘Hmmmm,’ Radit manggut-manggut, menganalisa perihal
perbedaan derajat gue dan Ve. Setelah beberapa detik, bak
seorang dukun yang memberikan saran kepada pasiennya, dia
berucap, ‘Dia anak basket, kan? Kalo gitu, main basketlah kau.’
…
SEMENJAK disuruh Radit, gue jadi rajin latihan basket. Gue juga
jadi sering ngaca sendiri. Sewaktu ngaca, gue sering ngebayangin
Ve memuji permainan basket gue. Namun, setelah berlatih agak
lama, gue tampaknya ragu dengan bayangan tersebut. Tepukan
gue payah. Manuver gue mudah ditebak. Gerakan gue patah-patah.
Persis robot gedek. Gue cuman jago main basket di game play
station. Lawan easy. Itu juga musuhnya gue gebok-gebokin semua.
Pernah sekali waktu, gue dan Arif, teman satu kelas,
beradu main three point shoot. Kita secara bergantian melakukan
tembakan dari jarak tiga poin. Apabila salah satu dari kita ada
yang memasukkan bola, maka lawannya harus menggendong
orang tersebut dari ujung ke ujung lapangan. Ini kesempatan yang
bagus untuk menarik perhatian Ve, batin gue. Namun, jangankan
menarik perhatian, gue malah berhasil menurunkan tinggi badan
sebanyak tiga inci karena kebanyakan menggendong Arif.
Latihan basket pun gue coret dalam daftar rencana
deketin Ve.
Waktu terus berjalan sampai gue sadar bahwa ujian
sebentar lagi, gue kembali berkonsultasi ke Radit. ‘Maka dari itu,
belajarlah. Belajarlah sampai ke negeri China,’ katanya. Gue yang
waktu itu masih culun membalas dengan jawaban standar, ‘Oh
gitu ya, Dit.’ Gue diem bentar, lalu kepikiran sesuatu, ‘Tapi… China
kan jauh?’ Radit, mendengar jawaban gue yang kayak anak imbisil
itu, menggelengkan kepala. ‘Adi, Adi, Adi,’ katanya. ‘Kalo gitu, beli
aja buku made in China. Beda-beda dikit lah.’
Gue, sebagaimana seorang sahabat sejati, kembali
mengikuti petuah Radit. Besoknya gue keliling tukang fotokopian
demi mendapatkan Buku made in China. Tapi susah. Sampai di
tukang fotokopian kedua (betul, gue memang ngga niat), gue
capek dan akhirnya berpikir untuk membeli buku tulis biasa.
Setelah menyerahkan uang kepada mas-mas tukang fotokopian,
gue melihat sebentar cover buku ini: gambar bebek kuning yang
besar.
Pelajaran ya? hmmm gue senyum sendiri. Gue rasa ini
adalah cara yang cocok untuk ngedeketin Ve.
Setelahnya, gue belajar dan belajar dan belajar dan
sebagaimana orang yang penuh usaha, pengorbanan gue tidak sia-
sia. Ketika itu ujian kimia, Ve pernah sekali waktu nanya ke gue,
dan di ujian itu dia dapet nilai 80. Dia ngerasa dapet nilai bagus
karena bantuan gue.
Momen itu ngebuat kepala gue pengen meledak.
Pada saat itu, gue mulai merasa, kalau seorang pemula
juga punya harapan.
Ya.
Harapan.
Ve: ga belajar bareng lg? gatau gw juga ga ikut kayaknya, jauh betul rumahnya
Gue dan Ve jadi dekat. Gue mulai berani mengirim SMS. Gue juga
sudah menjadi temen facebook-nya. Kita mulai suka chat
walaupun isi chat kita banyak haha-hihi-nya. Haha-hihi di sini,
benar-benar haha-hihi. Hampir di setiap chat kita ketawa, penting
atau tidak, lucu ataupun tidak. Berikut salah satu potongan chat
gue dengan Ve:
Ve: oh haha mandi lu mandi aheahe Rumahnya di xxx kalo ga salah. Lagi tiduran doang pegel saya
Gue: haha udah dong.. ehehe wew, xxx itu apa yaah?? Hehe haha kebanyakan joget pegel2
Gue: haha ngga lah capek ini aja baru balik. Haha emang dimana dah rumahnya?
haha… aheahe… ehehe.. hehe…
Dari potongan percakapan yang tidak jelas apa
maksudnya tersebut, terlihat jelas bahwai Ve adalah sosok
seorang the beauty, sedangkan gue dapat diibaratkan sebagai…
the alay.
Tetapi, pada kenyataannya, memang cinta—yang pertama,
(yang paling banyak) membuat kita tersenyum bukan?
Seiring kedekatan ini, gue mulai mencari tahu lebih
banyak tentang dia. Gue harus kenal Ve lebih dalam.
Maka, gue mengajak Nurul (temen satu kelas saat itu)
untuk mencari rumah Ve yang alamatnya gue telah dapatkan
dengan mencuri database kelas.
…
HARI ini tiba. Hari di mana kita bakal nyari rumah si Ve. Gue dan
Nurul udah janjian buat ketemu di parkiran sekolah. Waktu itu,
rasanya pengin banget cepet-cepet denger bel sekolah. Hati udah
dag-dig-dug abis. Perjalanan gue ke parkiran, yang sebenarnya
tidak jauh itu, seakan melambat. Gue seperti bergerak dengan
slow motion. Panasnya matahari, entah kenapa, terasa
PERJUMPAAN(KEMBALI)DENGANVEAMALIA
KALIAN percayadenganjatuhcintapadapandanganpertama?
Kalau di dalam sinetron, jatuh cinta pada pandangan
pertamadiawalidenganadegantabrakanantarasicowokdansi
cewek, kemudian si cewek menjatuhkan saputangan dan
dilanjutkandenganadegantatap-tatapanslowmotion.Merekalalu
jatuhcintadanmenikah.Assimpleasthat.
Di kehidupan nyata, bagi perempuan, jatuh cinta tidak
semudah ketemu cowok ganteng berotot di gym atau naksir
karena tatapan pertama. Bagi cewek, jatuh cinta timbul karena
adanya rasa nyaman danseringnya komunikasi . Maka buat
cewek-cewekjombloyang lagibaca ini,kalian tidakperlukuatir,
Profil-
Kresnoadi DH (lahir pada 22 Januari 1993) merupakan mahasiswa kehutanan yang berkuliah di IPB. Ia sering diledeki teman-temannya dengan sebutan ‘kribo, keriting, kibo, brekele’ meski rambutnya lurus. Benar, LURUS. Keriba-keribo merupakan blog pribadinya selain Said It Sad. Kresnoadi memiliki hobi card flourish, belakangan keranjingan menulis, dan kini sedang mencoba berlatih beatbox (meski mulutnya kelibet sendiri).
Extras-
2
Perihal keriba-keribo-
Panggil aku Merah.
Ya, ya, ya, aku bohong. Merah hanyalah nama tengahku. Terserah
Tuanku mau menambahkan apa pada depan dan belakang namaku.
Si Merah Butut, Mesin Merah Biadab, Benda Merah Sialan. Betul,
apapun. Tuanku memberiku nama tengah Merah karena warnaku.
Bukan merah setara malu-malunya wanita, tapi merah pijar api.
Merah redam. Sayangnya, Tuanku tidak suka warna merah. Ia lebih
menyukai warna susu, atau hitam, atau biru. Ia hampir menempeli
punggungku dengan lembaran kertas warna susu supaya sesuai
dengan kesukaannya. Namun untungnya, hal itu belum terlaksana
sampai sekarang. Tuanku memang penunda yang ulung. Hih.
Aku sebenarnya bukan benda mati. Aku benda hidup. Sama
seperti manusia, sapi, kuda, mangga, hiu, ilalang, meranti. Aku hanya
berpura-pura mati ketika Tuanku menekan-nekan tubuhku. Aku
tersenyum meskipun Tuanku tidak tahu. Ia terlalu serius menatap
kalimat-kalimat di layarku. Menggonta-ganti kata, membuat unsur-
unsur komedi, memanipulasi alphabet, memukul-mukul spasi,
membenamkan backspace. Lihat saja, sekarang aku juga bisa
menulis. Benar, menulis, seperti yang dilakukan Tuanku pada
halaman-halaman sebelum ini.
Awalnya aku jengah karena harus memelototi rambut yang
dianggapnya lurus itu. Huh, lurus apanya. Mencong sana-sini gitu
mengaku lurus. Tak ada malunya dia. Tetapi, lama-kelamaan aku
menikmati juga tekanan jemarinya pada tombol-tombolku. Aku
mulai mengenalnya—Tuanku yang berbadan ceking itu—saat ia
rajin menulis. Ia jadi tidak terlalu memperbabu aku. Ia mulai rajin
merawat dan mengelus-elus badanku. Mengusap dan meniupi
muka—atau dalam bahasa manusia adalah monitor—ketika
diserang semut dan debu. Tentu saja kemesraan kami tidak dalam
konteks homoseksual. Walaupun aku jantan dan ia lelaki, tetapi
penyamaranku akan menghilangkan status homo antara aku dan
tuanku.
Baiklah, mungkin sekarang saat yang tepat untuk aku
membeberkan kepada kalian tentang Tuanku dan tentang apa yang
kalian pegang ini—keriba-keribo.
Nama Tuanku adalah Adi. Kresnoadi tepatnya. Kesan pertama
begitu kalian melihatnya adalah badannya yang kerempeng, tulang-
belulangnya yang padat, keras, seakan hanya dililiti urat dan
ditempeli kulit. Wajahnya datar serupa pelamun. Tuanku—sejauh
yang aku kenal—adalah seorang pemalas. Pemalas bukan sembarang
pemalas. Ia pemalas yang bekerja keras. Pola pikirnya sedikit edan.
Mungkin itu yang membuat rambutnya belingsatan ke sana-sini. Di
antara warna susu, hitam, dan biru, Tuanku adalah si maniak biru.
Jangan heran kalau kau melihatnya berwarna biru dari kepala
sampai tumit. Biru, biru, dan biru. Maka pesanku satu: jangan sekali-
kali kau ceburkan Tuanku ini ke laut. Selain perenang yang buruk, ia
juga sulit dibedakan dengan warna air.
Tuanku, tuanku. Dialah seorang cuek. Ia cuek kepadaku, kepada
perempuan-perempuan, kepada lelaki, kepada kuda, kepada tanah,
kepada rerumputan, dan ia cuek kepada dia. Engselku telah menjadi
saksi atas kepayahannya menjadi seorang pemerhati. Seenaknya saja
ia meletakkanku ke ransel, lalu dibawanya ugal-ugalan dengan
motor bututnya itu. Sekarang, mengangalah ini engsel kananku. Baru
tahu rasa si bedebah itu—untuk kasus yang satu ini, sepertinya
Tuanku layak dijuluki bedebah.
Kamis, Agustus 21 2013
Olala. Sesaat setelah wajahku ditegakkan, aku melihat tulisan
‘free wifi’. Duduk di depanku adalah orang yang tidak aku kenal.
Tampangnya sangar. Di mana Tuanku?
‘Nih.’ Tuanku mendekat, menyerahkan segelas susu kepada pria
belah tengah di hadapanku, lalu menaruh gelas warna hijau di
sampingku. ‘Itu kayaknya di belakang kursi ada colokan, deh. Charger
ada di tas gue. Hape lo batrenya abis, kan?’
Huh. Enak banget mereka. Duduk di sofa hijau yang empuk.
Dapat menenggelamkan setengah pantatnya begitu. Sementara aku
digeletakkan di atas meja kayu. Keras, dan… cokelat muda. Huh, aku
tidak suka warna cokelat. Terkesan kotor dan bau.
‘Gimana, enak nggak?’ tuanku bertanya ke orang di hadapanku.
Kenapa wajah Tuanku gelisah begitu? Apa itu minuman
rekomendasi Tuanku, sehingga ia takut kalau orang di hadapanku ini
tidak suka?
‘Hoek… Elu cobain deh. Mantab, Di!’
Mantab? Sepertinya pria di hadapanku membual. Ekspresinya
menjelaskan semua itu.
Tuanku tertawa geli, ‘Hahaha Elu, sih. Gaya banget pesen Chai
Thai Tea.’ Ia kemudian bangkit meninggalkanku dan si pria belah
tengah, ‘Gue ambil gula deh,’ kata Tuanku.
Apa itu? Chai Thai tea? Aku baru mendengar nama susu seasing
itu.
Tuanku kembali ke meja dengan menggenggam dua bungkus gula
putih dan sebungkus gula cokelat. Ia merenggut gelas berwarna susu
itu. Ditimang-timangnya itu minuman, ‘Emang rasanya kayak apa
sih?’ Alisnya mengerut, pertanda ia sedang serius.
‘Hoeeeeeekk. Njir. Mahal-mahal rasanya kayak jamu buyung upik!’
Jamu? Susu rasa jamu? seperti apa rasanya. Hik, aku ingin
muntah membayangkannya.
‘Nih, kalo mau. Minum aja green tea gue. Makanya Gung, lain kali
kalo mesen jangan ngasal.’
O, jadi gelas hijau ini green tea. Yeah, pilihan Tuanku memang
selalu tepat.
‘Jadi gimana Di. Mengenai tulisan lo? Apa... kibal-kibul?’
‘Keriba-keribo.’
‘Nah, iya itu.’
Tuanku bertukar posisi dengan orang di hadapanku, aku sebut
saja dia Gung, sesuai dengan yang Tuanku panggil terhadapnya.
Tuanku lantas menyentuhkan jemarinya ke mini touchpad-ku. Ia
menggoyang-goyangkan telunjuknya di sana. Beberapa klak-klik, lalu
kupampangkan sebuah lembar kerja Microsoft word.
‘Ya sejauh ini sih masih lancar. Elu doain aja nanti ada penerbit
sarap yang mau realisasiin ini.’
Gung meremas Chai Thai Tea, menempelkan bibirnya ke sedotan,
Sebelum ia menyedot itu cairan ke dalam mulut, ia bicara, ‘Hahaha.
Amin dah. Kalau elu sukses kan gue juga seneng.’ Gung menyeruput
sedikit cairan susu itu sebelum melanjutkan, ‘Emang, ide lu pertama
kali bikin kibal-kibul ini apa sih?’
‘Keriba-keribo.’
‘Nah, iya itu.’
‘Jujur, awalnya sih mainstream banget, Gung. Blog. Keriba-keribo
ini asalnya dari blog gue dengan nama serupa. Yah, sama lah kayak
orang lain. Lama-lama jadi kepikiran untuk punya buku sendiri.’
‘Blog? Berarti non-fiksi, dong?’
‘Ho’oh.’
Tuanku menaruh tangannya di belakang kepala, sementara Gung
mulai menyesap green tea milik Tuanku. Aku sendiri sebenarnya tak
peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Aku lebih tertarik kepada
wanita di balik etalase sana. Ia memakai celemek hijau, lagipula
senyumnya lucu.
‘Kalau gitu sama dong kayak Raditya Dika? Terus apa bedanya
sama buku lawak yang lain?’
‘Ya, secara nggak langsung pasti sama. Tapi kalo udah dibaca,
beda. Mudah-mudahan sih. Soalnya gue gabungin beberapa “gaya”
orang di dalem sini. Dari bukunya David Sedaris, Jeff Kinney, film-film
komedi yang liar sampe ke yang komedi romantis. Tulisan gue juga
banyak di-influence sama tulisan-tulisan bergaya jadul. Malah ada
yang dipengaruhin sama puisinya Joko Pinurbo. Nggak nyambung
sama sekali sama komedi.’
Siapa pula itu Raditya Dika, David Sedaris, Jeff? Aku sih lebih suka
menonton lawak dibanding harus membacanya. Wendy Cagur dan
Andre Stingky menurutku lebih oke.
Tuanku kini menegakkan posisi duduknya—tidak lagi bersandar
di sofa—lantas ia berbicara dengan nada serius, ‘Dengan keriba-
keribo, gue mau menerangkan kalau sebenarnya seorang penulis juga
mampu ‘tumbuh’ di dalam sebuah buku. Dari bab-bab awal di depan
yang cem-’
‘Jo!’ Wanita bercelemek itu berteriak dan menaruh setangkup
gelas di atas etalase. Pikiranku bercabang, tak lagi ku dengar kata-
kata Tuanku.
‘Dari bab ke bab, dari halaman ke halaman, dari kalimat ke
kalimat.’
‘Untuk sesuatu yang berbau komedi, elu serius juga ya, Di.’
Tuanku terkekeh. Tapi senyumnya tidak selucu wanita
bercelemek itu. Malah, kupikir, anak kecil akan kabur dan memilih
untuk memasukkan dirinya ke dalam mesin pengaduk semen
daripada harus melihat taring Tuanku yang mirip stalaktit itu.
Bunyi bising mendadak muncul. Aku tidak tahu apa itu, mungkin
semacam bunyi benturan besi dengan benda keras.
Tangan Tuanku mulai menggelitiki perutku (bahasa kalian
mungkin menggunakan istilah “tombol”). Ia mengetik dan lebih
sering menekan backspace. Ini lucu, aku kegelian.
‘Terus, isi ceritanya tentang apa, Di?’
Satu hal yang aku tahu dari Tuanku ialah, ia selalu gagal untuk
melakukan dua kegiatan sekaligus. Setiap membuka mulutnya, ia
pasti menjauhkan jemarinya dari tombolku. Tangannya berganti
fungsi, berkelak-kelok di udara, seperti menegaskan kalimat yang ia
ucapkan.
‘Isinya sih banyak, Gung. Dari mulai tukang parkir, celana jeans,
Radit, cerita kuliah, sampai asmara. Benang merahnya adalah gimana
kita, sebagai manusia, harus berani mengejar mimpi, atau hal-hal
apapun yang mau kita lakukan. Karena pada dasarnya, manusia
nggak boleh berdiam diri. Kita, sebagai manusia harus keluar, melaju
dari titik nol, semakin keluar ke titik satu, dua, tiga, hingga pada
akhirnya, kita akan bertemu dengan titik terluar itu sendiri,
kematian.’
‘Emangnya di keriba-keribo ini... Bener kan gue nyebutnya? elu
bercerita tentang ‘keluar’ apaan? Pengeluaran bulanan? Hahaha.’
‘Ya itu tadi. Sepele sih. Dari keluar Friendster, keluar dari Bogor,
keluar dari pilihan gue sendiri untuk kuliah di ilmu komputer. Soal
Mbah gue dan Bobby, yang sekarang udah bener-bener “keluar”. Dari
sana gue mulai paham kalau ‘keluar’ tidak selamanya buruk. Juga soal
asmara, soal yang paling susah gue mengerti. Dan, semenjak nulis
keriba-keribo, gue mulai sadar kalo cinta pertama, atau kedua, atau
ketiga, belum tentu merupakan cinta yang terakhir. Masih ada
kesempatan bagi mereka, orang-orang yang kita simpan rapat-rapat
di hati kita, memilih untuk keluar dari sana. Karena sejatinya, di
dalam hati kita, terdapat hati orang lain juga yang sepatutnya
diperlakukan dengan hati-hati.’
Beep-beep.
Sinyal biru berkedap-kedip di ujung kanan badanku. Aku mulai
kelelahan. Kelopak mataku menutup sedikit demi sedikit. Buram.
Kini aku hanya bisa mendengar, penglihatanku lamat-lamat jadi
hitam.
‘Dzinggg!’
Suara bising itu kembali muncul. Suaranya sama, lama waktunya
juga sama. Aku penasaran, tapi tak dapat kubuka mataku.
‘Mbak Erika, vanilla latte-nya, grande! Terima kasih!’
‘Udah jam delapan nih, Gung. Cabut yuk. Cari makan.’
Aku terlelap. Di dalam hitam ini, aku baru sadar bahwa Tuanku,
selain manusia cengengesan seperti orang yang kebanyakan
menghisap ganja, adalah orang yang cukup serius.
‘Ayok, Di.’
Leherku dilipat. Kemudian aku merasa seperti diikat, ditekan dari
segala sisi. Aku pasti sudah di ransel denim milik Tuanku. Tidak salah
lagi.
Aku pun tertidur dengan sangat pulas. Di dalam tidurku—tentu
masih di dalam ransel yang membuat semuanya bertambah gelap—
aku bermimpi didatangi malaikat. Perempuan. Rambutnya mengilap,
layaknya rambut yang baru dikeramas. Matanya bening seperti di
dalamnya berenang-renang sembilan ikan koi dengan penuh cakap.
Celananya cokelat pupus, setinggi lutut. Kausnya ketat. Hitam.
Terbalik dengan kulit putihnya.
Dan, tepat di depan kausnya itu, melekat sebuah celemek
berwarna hijau. Seperti yang pernah kulihat, namun entah di mana.
Ia berjalan ke arahku dan mulai mendekatkan bibirnya ke telingaku.
Napasnya lembut. Berbeda dengan suara dan parasnya yang setara
kapas, kalimat yang ia sampaikan keras sekeras batu granit. Kuat
sekuat pukulan Chris John. Katanya, ia akan menyampaikan pesan
penting. Pesan kepada seluruh umat manusia. Pesan bagi mereka
yang ingin maju.
Tunggu. Aku tidak ingin tulisan ini menjadi eksplisit dan jadi
tidak sekeren milik Tuanku.
Jadi, silakan tutup matamu lima detik,
dan dengarkan suara wanita itu.
BELAKANGLAYAR
Kamutidakkenalsaya,lalukenapabukuiniadadikamu?
Dapur rahasia-
DapurrahasiaKresnoadi
MULAI halaman ini, saya akan membocorkan beberapa resep dal am membuat
buku digital Keriba-Keribo. Dimulai dari penggalian ide, pemilihan cerita-cerita,
inspirasi, beberapa cara saya dalam membuat joke, sampai teknis pembuatan
membuat ebook.
Penggalianide
BAGI sebagian orang, ide bisa didapatkan di mana saja. Bisa sec ara �dak
sengaja sewaktu duduk di angkot ke�ka perjalanan ke kampus, ke�ka
menonton acara favorit, bahkan, yang paling sering saya baca, orang-orang
paling banyak menemukan ide di kamar mandi.
Untuk saya, itu bisa iya, bisa juga �dak. Kenapa?
Kebanyakan orang diam menunggu ide datang. Bagi saya, ide seharusnya
dicari. Digali. Bukan ditunggu keberadaannya seper� menunggu pilihan
jawaban yang menyala paling terang sewaktu mengerjakan ulangan. Buat saya,
ide yang ditemukan secara �dak sengaja adalah keberuntungan yang
mahadahsyat (karenanya harus cepat-cepat dicatat supaya �dak keburu lupa).
Sebelum saya menceritakan tentang penggalian ide untuk buku ini, biarkan
saya bercerita sesuatu dulu.
Waktu itu sekitar tahun 2012, saya sedang jalan-jalan santai di Gramedia
daerah Bintaro. Dari berbagai banyak pilihan rak, saya sok-sokan menuju ke
rak ‘sastra’. Rasanya macho sekali waktu itu. Dalam memilih buku di gramedia,