Download - KERAGAMAN BUDAYA BANGSA INDONESIA.docx
KERAGAMAN BUDAYA BANGSA INDONESIA
Keragaman budaya bangsa Indonesia ada yang berbentuk religi/keagamaan, kesenian, bahasa
daerah, rumah adat, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, dan peralatan hidup. Budaya
daerah yang beraneka ragam merupakan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, budaya
daerah merupakan akar budaya nasional yang perlu dikembangkan dan dilestarikan.
RELIGI/KEAGAMAAN
Upacara adat tiap suku bangsa di negara kita berbeda, termasuk upacara perkawinan,
kematian, dan kelahiran yang dimilikinya. Di Bali ada upacara pembakaran mayat. Di daerah
Toraja, Sulawesi Selatan ada juga upacara bagi orang yang telah meninggal, di arak ke
tempat pemakamannya yang terletak di goa-goa di lereng gunung. Di daerah-daerah lain juga
terdapat upacara menurut adat istiadat dan corak budaya setempat. Upacara-upacara adat
sering menggunakan simbol-simbol adat, tari-tarian, dan bahasa daerah setempat sehingga
menarik perhatian wisatawan domestik dan mancanegara. Umpamanya, Suku Tengger di
Jawa Timur terbiasa melakukan upacara Kasadha. Upacara tersebut juga disaksikan oleh
wisatawan.
UPACARA PEMBAKARAN JENAZAH DI BALI PALING MEGAH DI DUNIA
Untuk masyarakat Bali, hanya melalui pembakaran jenazahlah jiwa dapat dilepaskan dari
dunia sementara untuk mendapatkan kehidupan setelah kematian. Dan untuk menjalani ini
beberapa upacara dan ritual harus diikuti, terutama ketika keturunan kerajaan meninggal.
Pada kematian tubuh harus dibakar oleh api karena jiwa harus kembali pada lima elemen
yang dikenal dengan Panca Maha Buta (bumi, angin, api, air dan eter) hal ini bertujuan
untuk mengirim jiwa pada kehidupan setelah kematian.
Hanya dengan mengikuti upacara dan ritual yang layak dan tepat, jiwa akan bebas dari tubuh
untuk dilahirkan kembali dan akhirnya menggapai Moksa, kelepasan atau kebebasan dari
ikatan duniawi.
Upacara pembakaran jenazah di Bali mewah dan mahal. Lebih tinggi status seseorang,
persiapan megah dan dekorasi yang dibutuhkan akan semakin tinggi. Oleh karena itu, jenazah
Almarhum harus dikubur untuk beberapa saat sebelum keluarga dan masyarakat bisa
mengumpulan dana yang cukup. Ini merupakan adat yang umum bagi masyarakat biasa untuk
menunggu pembakaran jenazah seorang bangsawan atau pemuka agama yang nantinya
digabung dalam ritual ngiring untuk pembakaran jenazah keluarga mereka jika diizinkan.
Beberapa hari sebelum hari pembakaran, jiwa Almarhum yang mengembara dipanggil untuk
bersatu dengan tubuhnya, biasanya disimbolkan oleh patung orang, dibawa ke rumah untuk
dimandikan berulang-ulang, dipersiapkan oleh anggota keluarga.
Pada malam pembakaran, para pendeta mempersembahkan persembahan pada kekuatan
supranatural yang diminta untuk membuka jalan bagi jiwa, sementara para anggota keluarga
berdoa untuk membebaskan jiwa Almarhum ke surga.
Hari berikutnya, jenazah dibawa ke alam terbuka dimana pembakaran diadakan, yang
biasanya setelah matahari melewati titik puncaknya. Ketika semua tubuh sudah terbakar,
anggota keluarga mengumpulkan debu-debu dan tulang Almarhum, dan kemudian patung
orang yang meninggal tersebut dibawa dalam prosesi di laut atau sungai, kemudian debu
dituangkan ke dalam air, kedalam perlindungan dewa laut.
Bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya setelah pembakaran, ketika dana sudah cukup
terkumpul, akan ada upacara-upacara lagi untuk meyakinkan pemisahan jiwa yang sempurna
dari ikatan keduniawian, bertujuan untuk melepaskan jiwa ke surga. Pada upacara terakhir
disebut upacara nyagara-gunung, keluarga mengekpresikan terima kasih mereka pada dewa
laut di candi-candi gunung dimana jiwa yang suci diabadikan di candi, untuk menunggu
kelahiran kembali atau kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali.
(Sumber: Periplus Guide to Bali ; dan Indonesian Heritage Books: Religion and Ritual)
PERTUNJUKAN RAKYAT
Di Indonesia, pertunjukan seringkali dikaitkan dengan pelaksanaan upacara. Seni pertunjukan
di Indonesia memiliki ciri khas di setiap daerah dan merupakan sebuah bentuk ungkapan
budaya. Ketoprak dari Jawa Tengah, Ludruk dari Jawa Timur, Topeng Cirebon dari Jawa
Barat, Lenong Betawi dari DKI Jakarta, Makyong dari Kepulauan Riau, Inong Rampak dari
Aceh.
LUDRUK, KESENIAN GUYONAN ASAL JAWA TIMUR
Jika masyarakat Jawa Tengah memiliki ketoprak sebagai pertunjukan hiburan, masyarakat
Jawa Timur pun memiliki pertunjukan hiburan. Namanya ludruk.
Walau sama-sama bersifat menghibur, tapi ada perbedaan mencolok antara ludruk dengan
ketoprak. Salah satu perbedaan tersebut adalah cerita yang diangkat.
Dalam setiap pertunjukannya, ludruk mengangkat cerita kehidupan sehari-hari, cerita
perjuangan, atau sebagainya. Latar waktu cerita yang dibawakan adalah saat ini. Sementara,
ketoprak membawakan kisah yang terjadi di masa lalu (berdasarkan sejarah atau dongeng).
Karena cerita yang dibawakan merupakan cerita sehari-hari, yang dekat dengan kehidupan
masyarakat, ludruk pun digemari oleh semua kalangan masyarakat. Selain itu, walau
menggunakan bahasa Jawa Timur, guyonan yang dilontarkan para pemain ludruk pun dapat
dimengerti oleh orang dari luar Jawa Timur. Ini dikarenakan para pemain tidak hanya
mengandalkan guyonan dalam bentuk perbincangan, tapi juga dalam gerak.
Pertunjukan ludruk akan dimulai oleh tari remo. Berbeda dengan pertunjukan tari remo pada
biasanya, tari remo yang menjadi pembukaan pertunjukan ludruk hanya dibawakan oleh
seorang penari.
Tidak ada pakem yang pasti mengenai pertunjukan ini, mengenai jumlah pemain, jumlah
babak, dan sebagainya. Begitu pula dengan cerita yang dibawakan. Biasanya, dalam
pertunjukan ludruk, sangat dipentingkan kemampuan para pemain untuk dapat berimprovisasi
dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat.
Saat ini, salah seorang pemain ludruk yang terkenal adalah Kartolo. Pria kelahiran Surabaya,
Jawa Timur, ini sudah puluhan tahun menggeluti kesenian ludruk. Kemampuannya
membawakan sebuah cerita pun sudah diakui. Penonton akan dibuat terpingkal-pingkal oleh
guyonan yang dilontarkannya. [Agung/IndonesiaKaya]
RUMAH ADAT
Setiap daerah di Indonesia memiliki rumah adatnya sendiri. Rumah adat di setiap daerah
memiliki ciri yang khas sesuai Provinsi (Daerah)
RUMAH ADAT LAMIN KALIMANTAN TIMUR
Tentang Rumah Lamin
Sebagian besar penduduk Kalimantan Timur khususnya suku Dayak hidup secara
berkelompok atau kekerabatan suku Dayak sangatlah kuat. Maka hal ini dibuktikan dengan
rumah yang mereka bangun, sebagian besar rumah yang dibangun mereka secara
berkelompom juga, selalu saja lebih dari 1 kepala kelaurga. Contohnya Rumah Adat Lamin
yang diresmikan pada tahun 1987. Rumah yang berbentuk panggung tersebut tidak kurang
dihuni 12 kepala keuarga atau skitar 50-100 orang. Diperkirakan ukuran rumah lamin sekitar
dengan panjang mencapai 30 meter, lebar 15 meter dan tinggi sekitar 3 meter.
Ciri-ciri Rumah Lamin
Setiap rumah adat pastinya mempunya ciri khas yang menjadi daya tarik suku Dayak. Dalam
rumah Lamin sendiri ada bebarapa ciri yang sangat kental seperti pada pada ukiran atap ada
terdapat patung yang ebrbebtuk naga dan bunrung enggan. Yang mengandung arti kesaktian
dan kewajiban masayarakat Dayak. Pada bagian dinding yang paling em,nonjol adalah dari
segi warna. Rumah ini dominan dengan warna kuning, putih dan hitam yang berbentuk salur
pakis dan mata yang masyarakat percaya mengandung makna suku Dayakmampu niat buruk
orang lain yang akan mencelakakan suku Dayak dan melambangkan persaudaraan suku
Dayak. Selain itu juga pada bagian kaki yang berbnetuk ukiran kerangka manusia dan juga
binatang wanita memakai kain, serta bentuk semi-abstrakyang melambangkan persaudaraan
suku Dayak desa Pampang. Masayarat percya ukiran dan patung tersebut berfungsi untuk
mengusir roh-roh jahat mengingat kepercayaan suku Dayak yang masih percaya dengan
kekuatan-kekuatan gaib atau animisme.
Bahan utama bangunan rumah adat Lamin adalah kayu ulin atau banyak orang yang
menyebutnya sebagai kayu besi. Disebut kayu besi karena memang jenis kayu tersebut adalah
kayu yang sangat kuat. Bahkan banyak orang mengatakan jika kayu ulin terkena air maka
justru tingkat kekuatannya akan semakin keras. Mungkin hal inilah yang membuat banyak
orang yang membangun rumah di atas dataran rawa atau pinggiran sungai namun tahan lama
umur bangunannya. Selain bangunan, totem-totem yang ada di bagian depan Lamin juga
terbuat dari bahan kayu ulin. Menurut saya pribadi, bangunan yang terbuat dari bahan kayu
ulin memiliki kesan mewah karena warna hitam khasnya. Hanya saja menurut penduduk
sekitar saat ini agak sulit untuk mencari pohon ulin karena ada alih konversi lahan serta
perambahan hutan-hutan.
Di bagian dalam lamin terdapat beberapa alat yang biasa digunakan dalam melakukan
upacara adat tertentu. Di bagian dalam Lamin sempat ada beberapa tengkorak kepala kerbau
yang bertuliskan tanggal waktu. Menurut saya tanggal tersebut menunjukkan kapan
seseorang tersebut meninggal. Dan juga Saya yakin tengkorak tersebut adalah bagian dari
upacara melepas kematian yang biasa dilakukan oleh suku Dayak. ‘Menyembelih’ kerbau
adalah rangkaian puncak dari upacara Kuangkai (lihat postingan saya sebelumnya) yang
dilakukan untuk upacara kepergian seseorang yang telah meninggal).
TARIAN DAERAH
Indonesia memiliki banyak tarian yang menampilkan gerakan yang indah. Sebagian dikenal
sejak berabad-abad di antara rakyat jelata, yang lainnya berkembang di istana. Tari yang
berakar dari tari adat misalnya tari Pendet dari Bali. Ada juga tari yang bersumber pada seni
bela diri, seperti tari Alan Ambek dari Sumatra Barat.
TARI PENDET
Tari Pendet merupakan salah satu tarian paling tua di pulau Bali. Berdasarkan catatan yang
ada bahwa tahun 1950 merupakan tahun kelahiran tari pendet. Tari pendet adalah tari
pemujaan yang sakral yang hanya dilaksanakan di pura tempat ibadah umat hindu di bali,
sehingga tari pendet sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual
masyarakat hindu di Bali. Pendet artinya menyambut tamu agung karena tari pendet
merupakan sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara menyambut Dewata yang turun
ke dunia
Tari Pendet tidak memerlukan latihan intensif karena memiliki pola gerak yang lebih
dinamis sehingga bisa dilakukan oleh semua orang. Tari pendet merupakan gerakan dasar tari
Bali. Tari pendet yang dilaksanakan di pura-pura dibawakan sekelompok remaja putri yang
masing-masing membawa mangkok perak berisi bunga warna warni dan sesaji. Sekelompok
remaja putri ini mengikuti gerakan penari senior yang berada di depan mereka sebagai wujud
simbolis bahwa wanita yang lebih tua memiliki tanggung jawab dalam memberikan contoh
perilaku yang baik.
Pada perkembangannya para seniman Bali I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng
mengubah TariPendet menjadi tari sambutan selamat datang yang lebih universal tetapi
tetap mengandung nilai religius. Pada akhir tarian, para penari menaburkan bunga-bunga
yang mereka bawa kepada tamu yang mereka sambut sebagai ucapan selamat datang.
Selanjutnya kedua seniman tari tersebut menciptakan tari pendet penyambutan dengan empat
orang penari yang dipentaskan pada sejumlah hotel sebagai bagian dari pertunjukan
kepariwisataan. Pada tahun 1961 I Wayan Beratha mengembangkan tari pendet dan
menambah jumlah penari menjadi lima orang seperti yang ditampilkan sekarang. Pada tahun
1962 I Wayan Beratha dan kawan-kawannya kembali mengembangkan tari pendet dengan
jumlah penari 800 orang yang ditampilkan dalam acara Asian Games di Jakarta.
ALAT MUSIK DAERAH
Alat musik daerah digunakan untuk mengiringi tari-tarian adat dan lagu daerah. Berikut
adalah gambar beberapa alat musik daerah. Gong dari Jawa Tengah, Kolintang dari Sulawesi
Utara, Rebana dari DKI Jakarta, Tifa dari Papua, Ketepang dari Kalimantan, Bonang dari
Jawa Timur.
ALAT MUSIK BONANG – INSTRUMEN GAMELAN
Alat musik bonang adalah salah satu alat musik yang termasuk dalam instrumen gamelan
Jawa. Bonang bisa dikatakan sebagai instrumen melodi yang paling terkemuka dalam dunia
Degung Gamelan Sunda.
Cara memainkan alat musik ini adalah dengan cara dipukul atau ditabuh pada bagian atasnya
yang menonjol atau disebut dengan pencu / pencon dengan menggunakan dua pemukul
khusus yang terbuat dari tongkat berlapis yang disebut dengan sebutan bindhi.
Bonang merupakan kumpulan dari gong-gong kecil yan terkadang juga disebut dengan nama
“pot” atau “ceret”), kesemuanya diletakkan dan disusun berjajar pada bingkai kayu (yang
disebut “rancak”) dalam dua baris. Baris pertama atau baris yang bagian disebut dengan
nama Jaleranatau bisa juga disebut dengan Brunjung, sedangkan baris yang kedua/bawah
disebut dengan sebutan setren/dhempok.
Jenis-Jenis Alat Musik Bonang
Untuk masyarakat Jawa Tengah, Mereka membagi alat musik bonang menjadi tiga jenis,
yakni sebagai berikut :
Bonang Barung yang ukuran berukuran sedang, bonang barung ini dimainkan untuk
menentukan ketukan pembukaan atau sebagai patokan tempo dan juga sebagai
patokan dinamika. Dalam Ansambel, alat ini juga bisa dikatakan sebagai adalah salah
satu yang berperan penting hal itu dikarenakan ia banyak sekali
memberikan/menentukan isyarat kepada pemain lain dalam instrumen gamelan.
Bonang Panerus memiliki ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan bonang
barung. Bonang jenis ini dimainkan setengah ketukan dari bonang barung yang
apabila mereka dibunyikan secara bersama-sama akan membuat efek suara yang
bersahutan. Notasi dari bonang penerus lebih tinggi 1 oktaf dari bonang barung
namun untuk jumlah kepinggannya sama dengan bonang barung.
Bonang Panembung, untuk yang satu ukurannya terbesar dari dua bonang diatas.
Namun nada yang dihasilkan dari bonang panembung ini nada yang paling rendah.
Jika dibandingkan dengan instrumen yang ada dalam musik gamelan tugas dari bonang
barung dan juga bonang panerus terasa lebih kompleks sehingga bisa diangaap instrumen ini
sebagai salah satu yang mengelaborasi.
PAKAIAN ADAT
Keanekaragamaan bangsa Indonesia termasuk di dalamnya adalah pakaian adat. Tiap suku
bangsa yang ada di Indonesia memiliki pakaian adat. Pakaian tersebut biasa dipakai pada
waktu upacara-upacara adat, misalnya kematian, perkawinan, kelahiran, dan kegiatan ritual
dari masing-masing suku tersebut.
PAKAIAN ADAT SUMATERA UTARA
Ulos merupakan pakaian adat dari Sumatera Utara. Ulos adalah kain tenun khas Batak, yang
secara harfiah berati selimut yang menghangatkan tubuh; melindungi dari terpaan udara
dingin. Ulos bisa merankan berbagai fungsi sandang, sebagai selendang, sarung, penutup
kepala, dan lain sebagainya. Hari ini, Ulos masih lestari di lingkungan masyarakat Sumatera
Utara. Ulos telah dengan mulus berakulturasi dengan berbagai jenis sandang modern, seperti
kemeja dan jas.
Ulos dianggap sebagai peninggalan leluhur orang Batak, yang merupakan bangsa yang hidup
di dataran-dataran tinggi pegunugan. Dengan maksud tetap menjaga tubuh tetap hangat, kain
Ulos mereka kenakan untuk menghalau dingin selama mereka berladang dan beraktivitas
lainnya. Konon, dari tradisi ini juga lahirnya uangkapan bahwa, bagi leluhur orang Batak, ada
tiga sumber yang memberi kehangatan pada manusia, yakni matahari, api dan Ulos. Jika
sumber panas matahari dan api terbatas oleh ruang dan waktu, maka tidak demikian dengan
Ulos, yang bisa memberi kehangatan kapanpun dan dimanapun.
Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, dari mulai sebagai kain penutup kepala,
penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain
sebagainya. Ulos dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang
berbeda-beda, misalnya pada masyarakat Batak Simalungun, Ulos penutup kepala wanita
disebut suri-suri, Ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, atau yang
digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Ulos dalam pakaian pengantin
Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut dalihan natolu, yang
terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).
Muhar Omtatok, salah seorang Budayawan Simalungun, berpendapat bahwa, awalnya
Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap (Berwarna
putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian, Tuan Bandaralam
Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari tren penutup kepala ala melayu berbentuk
tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah,
kemudian orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.
Sementara, Ulos penutup kepala pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan
sebutanSorotali. Sortali itu sendiri adalah ikat kepala yang fungsinya seperti mahkota.
Biasanya dibuat dari bahan tembaga yang disepuh dengan emas, lalu dibungkus dengan kani
merah. Sortali ini digunakan pada pesta-pesta besar. Sortali digunakan laki-laki dan
perempuan. Akan tetapi sama seperti ulos, penggunaan sortali tidak sembarangan dan
memiliki aturan sendiri.
SENJATA TRADISONAL DAERAH
SENJATA TRADISIONAL MADURA "CLURIT"
Clurit memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa
Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak dahulu kala
hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas etnis Madura ini.
Saking populernya, clurit kerap diidentikkan dengan berbagai tindak kriminal. Bahkan celurit
juga digunakan oleh massa saat terjadi kerusuhan maupun demonstrasi di pelosok Nusantara
untuk menakuti lawannya.
Boleh jadi, begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang
alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi
benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan clurit dengan pelaku
utamanya orang Madura.
Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah clurit itu dibuat
hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, clurit pada mulanya hanyalah sebuah arit. Petani pun
kerap menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Dalam
perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata
ketika menghadapi musuh.
Clurit adalah alat pertanian yang berfungsi sebagai alat potong yang berbentuk melengkung
menyerupai bulan sabit. Meskipun memiliki bentuk yang sama dengan arit /
sabit, Clurit lebih mengacu pada senjata tajam sedangkan Arit atau Sabit cenderung bersifat
sebagai alat pertanian.
Clurit merupakan senjata khas dari suku Madura Provinsi Jawa Timur digunakan sebagai
senjata carok. Legenda senjata ini adalah senjata yang biasa digunakan oleh tokoh yang
bernama Sakera yang kontra dengan dengan penjajah Belanda. Kini senjata clurit sering
digunakan masyarakat Madura untuk carok. Sebelum digunakan clurit diisi dulu dengan
asma’ / khodam dengan cara melafalkan do’a-do’a sebelum melakukan carok.
Carok dan celurit tak bisa dipisahkan. Carok merupakan simbol kesatria dalam
memperjuangkan harga diri ( kehormatan ). Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura
sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M.
Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu
menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri.
Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang
tanah daripada menanggung malu.
Penyelesaian dengan cara carok pasti salah satu ada yang mati. Oleh karena itu walaupun
salah satu khasanah budaya rakyat Indonesia, Pemerintah tetap menetapkan sebagai
pelanggaran hukum.
LAGU DAERAH
BUNGONG JEUMPA
Aceh
Bungong jeumpa bungong jeumpa
Megah di Aceh
Bungong telebeh-telebeh
Indah lagoina
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah thah ruah
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah thah ruah
Lam sinar buleun lam sinar buleun
Angen peu ayon
Ruroh mesuson-mesuson
Nyang mala-mala
Mangat that mebe’i menyo tat him com
Lepah that harum si bungong jeumpa
Mangat that mebe’i menyo tat him com
Lepah that harum si bungong jeumpa
Arti Lagu Bungong Jeumpa :
Bunga Jeumpa Bunga Jeumpa
Megah di Aceh
Bunga yang lebih indah
Dari bunga2 yang lain
Putih kuning bercampur merah
Kembang jeumpa yang indah sekali
Putih kuning bercampur merah
Kembang jeumpa ini yang indah sekali
Dalam sinar bulan dalam sinar bulan
Angin berayun
Jatuh berguguran
Yang selama-lamanya
Enak sekali bauknya kalau kita cium
Sangat harum si bunga jeumpa
Enak sekali bauknya kalau kita cium
Sangat harum si bunga jeumpa
BAHASA DAERAH
BERBAHASA BANJAR
Bahasa Banjar adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh suku (etnis) Banjar untuk
berkomunikasi dalam pergaulan.
Suku atau etnis Banjar ini mayoritas mendiami wilayah Propinsi Kalimantan Selatan,
sehingga identik dengan propinsi tersebut, apalagi kata “Banjar” sendiri melekat pada nama
ibukota Propinsi Kalimantan Selatan yakni Banjarmasin, juga pada nama Kabupaten Banjar
yang beribukota Martapura, serta Kota Banjarbaru yang dulunya merupakan Kota
Administratif.
Perihal bahasa Banjar ini terbagi menjadi 2 dialek; bahasa Banjar Hulu, dipergunakan oleh
masyarakat yang berada di kawasan yang kini disebut Banua Anam (Benua Enam) yang
dulunya sebelum terjadi pemekaran kabupaten masih disebut Banua Lima. Kawasan Banua
Anam ini terbagi menjadi beberapa kabupaten yakni; Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan,
Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Kabupaten Tabalong.
Kemudian bahasa Banjar dialek lainnya adalah Bahasa Banjar Kuala (Muara). Dialek ini
dipergunakan oleh masyarakat etnis Banjar yang mendiami kawasan Kabupaten Banjar, Kota
Banjarbaru, Banjarmasin, Kabupaten Barito Kuala, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru.
Perbedaan kedua dialek Bahasa Banjar ini terletak pada kosa kata, pengucapan, dan
penggunaan huruf vokal. Pada dialek Bahasa Banjar Hulu terdapat banyak kosa kata yang
sudah jarang digunakan pada dialek banjar Kuala. Kemudian cara pengucapan kalimat pada
percakapan, dimana Banjar Hulu terdapat irama tertentu, serta cara pengucapannya yang agak
cepat sehingga mereka yang belum mengerti bahasa dan dialek tersebut akan kesulitan
menangkap arti dan maksudnya. Kemudian penggunaan vokal pada dialek Banjar Hulu yang
dipakai hanya vokal A, I, dan U, sedangkan pada Dialek Banjar Kuala sebaliknya
menggunakan seluruh huruf vokal yang tersedia.
Jadi pada dialek Banjar Hulu tak dikenal penggunaan huruf vokal O, E, dan E pepet. Bahkan
untuk huruf vokal O lebih lazim disebut sebagai “U bulat”, sedangkan vokal U sendiri
disebut dengan “U pecah”.
Adapun dialek Banjar Kuala sebagian besar sudah hampir mirip dengan Bahasa Indonesia.
Susunan cara membentuk kalimat dalam Bahasa Banjar tak berbeda jauh dengan Bahasa
Indonesia, yakni menggunakan pola SPO (Subjek + Predikat + Objek) dan keterangan waktu.
Subjek dalam Bahasa Banjar adalah : AKU (saya), IKAM (kamu), KITA (kita),
BUBUHANNYA (mereka), dan INYA (dia lelaki/perempuan). Namun beberapa subjek
tersebut akan mengalami perubahan jika lawan bicara lebih tua atau merupakan orang yang
dituakan, dan atau untuk orang yang dihormati. Misalnya ; subjek AKU berubah menjadi
ULUN (sopan), IKAM menjadi PIAN (sopan), dan INYA menjadi SIDIN (sopan). Kemudian
diantara subjek itu akan berubah pula jika penyebutannya dalam dialek Banjar Kuala, yakni
subjek AKU berubah menjadi UNDA, dan IKAM menjadi NYAWA, namun pengunaan
perubahan ini biasanya digunakan pada percakapan terhadap orang yang sebaya, jarang
digunakan untuk percakapan yang melibatkan beberapa orang yang berbeda level baik usia
maupun strata sosial.
Lalu predikat atau kata kerja dalam Bahasa Banjar, pada kata dasarnya kebanyakan hampir
mirip dengan yang digunakan pada Bahasa Indonesia. Hanya saja dikarenakan ada beberapa
huruf vokal yang diganti (pada dialek Banjar Hulu), tapi hampir tak terjadi pada dialek
Banjar Kuala. Misalnya, kata kerja MENULIS (kata dasarnya TULIS) akan menjadi
MANULIS, membaca (baca) > MAMBACA, menangis (tangis) > MANANGIS, berjalan
(jalan) > BAJALAN, berangkat > BARANGKAT, mengetik (ketik) > MANGATIK, tertawa
(tawa) > TATAWA, meloncat (loncat) > MALUNCAT, dlsbnya.
Namun banyak pula terdapat predikat atau kata kerja dalam Bahasa Banjar yang sama sekali
tak sama, tak serupa dengan Bahasa Indonesia. Ini contoh beberapa predikat tersebut ;
GURING (tidur), GAWI (kerja), TULAK (pergi), KAMIH (buang air kecil), HIRA (buang
air besar), GANA (diam/tinggal), HADANG (tunggu), TUNTUNG (selesai),dllnya.