KEPAILITAN PERSEORANGAN YANG TERIKAT PERKAWINAN
(Studi Kasus Abdul Haris – Yati Effendi Melawan Oman Saepurohman)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum (S.H.)
OLEH :
AHMAD ULAMA
1111048000068
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018M
iii
ABSTRAK
AHMAD ULAMA, NIM: 1111048000068, Kepailitan Perseorangan Yang Terikat
Perkawinan Dalam Kasus Abdul Haris – Yeti Effendi Melawan Oman Saepurohman,
Strata satu (S1), Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1439 H/2018 M. vii + 84
halaman.
Skripsi ini membahas tentang permasalahan tentang kepailitan perseorangan dan
penetapan status istri apabila suaminya dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kepustakaan bersifat normatif.
Normatif artinya penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif
(norma hukum), yaitu mengadakan penelitian terhadap masalah hukum dan perilaku
yang ada di masyarakat.
Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah pemberlakuan prinsip concursus
creditorium dalam kepailitan berdasarkan bukti-bukti tertulis yang tertuang dalam
perjanjian para pihak. Adanya 2 kreditor dalam Perjanjian Utang Piutang dan Status
Harta Istri Ketika Harta suami dinyatakan pailit serta memiliki hubungan perjanjian
utang piutang.
Kata Kunci : Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pembimbing : Dra. Hj. Hafni Muhtar, SH., MH., MM.
H. Syafruddin Makmur, SH., MH
Daftar Pustaka : Tahun 1960 sampai Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil ‘alamin terucap
dengan ikhlas segala rasa syukur kepada-Nya atas terselesaikannya skripsi ini oleh
penulis. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi besar
kita Nabi Muhammad SAW.
Dengan penuh rasa tulus peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya
yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang peneliti temui.
Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan ilmu
pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka
duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini.
Peneliti sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua
pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan. Pada
kesempatan kali ini izinkanlah peneliti untuk mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. dan Drs. Abu Thamrin SH., M.Hum.
Ketua Prodi Ilmu Hukum, dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. Dan Syafrudin Makmur, SH., MH.,
Dosen Pembimbing peneliti yang selalu sabar dalam membimbing penulis dan
selalu membantu serta memotivasi peneliti dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
4. Ismail Hasani, SH. MH. Dosen Pembimbing Akademik Peneliti Dari
Semester Awal Hingga Semester Akhir Perkuliahan serta Seluruh dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Program Studi Ilmu
Hukum.
5. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama UIN SyarifHidayatullah Jakarta serta
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukun UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
6. Kedua Orang Tua penulis Bapak Chotib Zubair dan Ibu Ayuni yang selalu
mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan motivasi, doa dan
selalu mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.
Atas semua jasa, dukungan dan bantuan dari semua pihak yang telah
disebutkan diatas penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan selalu
mendoakan semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang berlipat
ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta membantu
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu
vi
memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih sayang-Nya
kepada kita semua. Amin Allahuma Amin.
Jakarta, Juli 2018
Ahmad Ulama
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah .......................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 5
D. Metode Penelitian.............................................................................. 6
E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep ............................................................................. 11
B. Kerangka Teori ................................................................................. 34
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ................................................ 55
BAB III DATA PENELITIAN
A. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga .................................... 58
B. Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga ............................ 60
C. Hakim Pengadilan Niaga................................................................... 64
D. Kompetensi Pengadilan Niaga ......................................................... 67
vii
BAB IV KASUS POSISI DAN ANALISA YURIDIS
A. Kasus Posisi ...................................................................................... 73
B. Putusan Pengadilan Niaga ................................................................ 74
C. Upaya Hukum Peninjauan Kembali ................................................. 74
D. Putusan Mahkamah Agung .............................................................. 75
E. Analisis Kasus .................................................................................. 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 79
B. Rekomendasi .................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya Tuhan Maha Esa telah diberikan
Cipta, Rasa, dan Karsa. Oleh karenanya untuk dapat melanjutkan keturunan, manusia
mewujudkan hal tersebut melalui cara yang berbudaya pula, yaitu melalui
perkawinan yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga perkawinan
ditempatkan dalam posisi yang penting dan sakral.1
Tujuan dari adanya perkawinan itu adalah membentuk keluarga. Menurut
Abdul Manaf, “tidak akan ada keluarga tanpa adanya perkawinan, dan juga tidak
ada perkawinan yang tidak membentuk keluarga.”2
Pasal 26 KUH Perdata hanya menyatakan bahwa Undang-Undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Menurut
Prof. Subekti, Pasal 26 KUH Perdata hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan
yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam
KUH Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.3
Salah satu bentuk harta benda perkawinan tersebut berupa harta bersama yang
nantinya akan digunakan untuk keperluan hidup bersama.4Harta bersama merupakan
harta benda yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan berlangsung, dengan
tidak mempermasalahkan pihak mana yang menghasilkannya (baik suami atau istri
saja, ataupun suami dan istri secara bersama-sama), maka harta tersebut menjadi
milik bersama diantara suami dan istri.5Oleh karena itu, mengenai harta bersama,
suami dan istri dapat bertindak bersama-sama, atau hanya salah satu pihak yang
1 Isis Ikhwansyah, dkk, Hukum Kepailitan, (Bandung: Keni Media), 2012, h. 1.
2Abdul Manaf, Aplikasi Atas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri Dalam Penjaminan
Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2006), h. 2. 3Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI, (Jakarta: Intermasa, 1994), h. 23.
4 Isis Ikhwansyah, dkk, Hukum Kepailitan, …, h. 2.
5Isis Ikhwansyah, dkk, Hukum Kepailitan, …,h. 3.
2
bertindak, tetapi atas persetujuan pihak lainnya.Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
Konsep harta bersama dalam perkawinan sama halnya memahami mengenai
hak milik bersama. Kata “bersama” menggambarkan terhadap kepemilikan suatu
benda oleh lebih dari satu orang.Kepemilikan suatu benda oleh lebih dari satu orang
diatur dalam Pasal 526 Perdata6, yang menyatakan bahwa “Dengan kebendaan milik
badan-badan kesatuan yang dimaksud ialah kebendaan milik bersama dari
perkumpulan-perkumpulan.”Sedangkan dalam Pasal 527 KUH Perdata menyebutkan
bahwa “Dengan kebendaan milik seseorang yang dimaksud ialah, kebendaan milik
satu orang atau lebih dalam perseorangan.” Dari kedua pasal tersebut bahwa, KUH
Perdata membedakan konsep milik bersama kedalam:
1. Milik bersama yang terikat (Pasal 526 KUH Perdata);
2. Milik bersama yang bebas (Pasal 527 KUH Perdata).
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, hak milik bersama
yang terikat dengan hak milik bersama yang bebas harus dibedakan yang merupakan
bentuk mede eigendom pula, tetapi antara para pemiliknya tidak ada suatu hubungan
kecuali mereka bersama-sama pemiliknya atau eigenaar-nya (umpama dua orang
atau lebih bersama-sama membeli sesuatu). Dalam pengertian hak milik bersama
yang terikat tidak dapat ditunjukan bagian masing-masing, artinya tidak dapat
ditentukan bahwa milik suami atau istri itu adalah separuh-paruh.Akan tetapi dapat
dengan tepat dinyatakan bahwa suami-istri masing-masing mempunyai hak atas harta
itu, namun mereka tidak dapat melakukan penguasaan (beschikking) atas bagian
mereka masing-masing.7Persatuan harta kekayaan suami-istri bersifatkan hak milik
bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom) yaitu suatu bentuk mede-eigendom,
yang terjadi kalau antara para pemiliknya terdapat suatu hubungan.8
6 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 23.
7R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. V,
(Bandung: Alumni, 1986), h. 59. 8R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga,Cet V, ..., h. 58-
59.
3
Akibat dari banyaknya kebutuhan yang terjadi setelah berumah tangga, suami
dan istri mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah agar segala kebutuhan rumah
tangga tersebut dapat terpenuhi. Pemberian pinjaman oleh kreditor kepada debitor
dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman
tersebut tepat waktu. Dalam hal ini, adanya pemberian jaminan oleh debitor kepada
kreditor, sehingga ada kepastian bahwa debitor akan membayar utangnya atau
mengembalikkan pinjamannya.9
Permasalahan yang terjadi ketika adanya perjanjian pinjam-meminjam uang
yang dilakukan oleh debitor yang terikat perkawinan yang sah adalah perjanjian
pinjam-meminjam uang yang dilakukan tanpa diketahui ataupun disetujui oleh
pasangannya masing-masing.Apabila salah satu pihak berutang tersebut, misalkan
dipailitikan, maka pihak yang lainnya tidak bersedia turut bertanggung jawab dengan
alasan tidak mengetahui atau tidak menyetujui perjanjian utang piutang yang dibuat
oleh salah satu pihak tersebut.
Padahal secara langsung ataupun tidak langsung pasangan yang terlibat
perjanjian utang piutang tersebut ikut menikmati hasil dari perjanjian yang dibuat
oleh salah satu pihak tersebut. Menurut ketentuan peraturan kepailitan, apabila salah
satu pihak yang terikat perkawinan yang sah dinyatakan pailit, maka pasangannya
pun secara yuridis akan ikut pailit, dan harta persatuan mereka akan disita untuk
dijadikan pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut.
Dengan kata lain, utang suami atau istri mengakibatkan juga utang suami atau istri
yang kawin dalam persatuan harta kekayaan (tidak membuat perjanjian pisah harta
dalam perkawinan mereka).10
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Membayar Utang, bahwa pernyataan pailit dapat dimohon oleh salah
seorang atau lebih kreditor, debitor atau jaksa penuntut umum untuk kepentingan
9 Isis Ikhwansyah, dkk, Hukum Kepailitan, …, h. 4.
10 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Failissementsverordening Juncto
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003), h. 208.
4
umum. Kepailitan tidak membebaskan seseorang yang dinyatakan pailit dari
kewajiban untuk membayar utang-utangnya.
Kalimat “pernyataan pailit dapat dimohon oleh seorang kreditor
ataulebih…)menunjukkan bahwa masalah siapa yang mengajukan permohonan pailit
tidak bersifat imperatif. Ketentuan ini menunjukkan fleksibilitas bahwa masalah
permohonan pailit tidak harus dimohon oleh satu kreditor tetapi kreditor-kreditor itu
dapat bertindak sendiri maupun secara bersama-sama. Adanya beberapa kreditor yang
memohon pailit secara bersama-sama(kumulasi subjektif)dimungkinkan.Artinya
semua kreditor memiliki wewenang bertindak didepan sidang pengadilan(persona
standi injudicio).
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:“Kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan
untuk didahulukan”.
B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
b. Adanya 2 kreditor atau Lebih.
c. Pengangkatan pihak ketiga atau curator.
d. Kedudukan seorang istri bila suami dinyatakan pailit.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat cukup luasnya pembahasan mengenai kepailitan, maka dalam
penelitian skripsi ini peneliti membatasi hanya membahas kepailitan
perseorangan dalam kasus peminjaman uang yang tidak dapat dilunasi.
5
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang :
a. Bagaimana pengaturan kepailitan perseorangan di Indonesia ?
b. Bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam perkara
nomor:58/PAILIT/ 2013/PN.NIAGA.JKT.PST?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian :
a. Untuk mengetahui pengaturan kepailitan perseorangan di Indonesia..
b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam
perkara nomor:58/PAILIT/ 2013/PN.NIAGA.JKT.PST
2. Manfaat Penelitian :
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum perdata khususnya mengenai
kepailitan perseorangan.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
perseorangan yang terikat perkawinan dan masyarakat mengenal masalah
kepailitan perseorangan akibat adanya peminjaman utang serta pembuat
undang-undang apabila ingin menyempurnakan peraturan perundang-
undangan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat kualitatif yang
lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada kuantitas atau
6
banyaknya data.11
Seiring dengan itu, dikaitkan dengan disiplin ilmu hukum
penelitian ini termasuk dalam penelitian yuridis normative.Dengan demikian
penelitian ini selalu mengacu kepada asas-asas hukum, peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi dan doktrin-doktrin hukum yang menitikberatkan pada
penelitian kepustakaan di bidang hukum.Langkah awal dalam penelitian ini
adalah menginventarisasi hukum positif yang berlaku. Hukum positif yang telah
diinventarisasi kemudian dipilah menurut norma-normanya untuk menentukan
mana yang merupakan norma hukum dan mana yang bukan norma hukum. Hasil
norma-norma yang telah dipilih tersebut ditelaah untuk melihat kesesuaiannya
atau sinkronisasi, pencerminan asas-asas dan hirarkhi tata urutan perundang-
undangan.
Sifat penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis.12
Disebut
deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara
menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang diteliti.
2. Jenis Data Penelitian
Data sekunder atau data kepustakaan merupakan data utama yang
digunakan.Kepustakaan yang dominan adalah kepustakaan dalam hukum perdata
yang spesifikasinya adalah hokum ekonomi, khususnya mengenai hokum tentang
kepailitan.Dalam hal ini termasuk pulsa studi dokumen berupa putusan yang
berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini.Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi,
yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti
sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu
sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam
suatu kerangka tertentu13
.Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian
11
Lexy Melong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karja, 2000), h. 3. 12
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi I, (Jakarta: Granit, 2004), h. 129. 13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.
7
hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat
perspektif, bukan sekedar know-about.Sebagai kegiatan know-how penilitian
hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.Di sinilah
dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan
penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian
memberikan pemecahan atas masalah tersebut14
.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, sesuai
dengan jenis dan sumber datanya. Sumber data yang kemudian disebut bahan
penelitian ini diperoleh lewat penelitian kepustakaan yang akan diinventarisasi
dan dianalisis. Sedangkan penelitian lapangan hanya sebagai pelengkap.
Bahan-bahan hukum yang diperoleh lewat penelitian kepustakaan meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.Bahan
hukum yang diperlukan, diinventarisasi kemudian terhadap bahan hukum yang
berkenaan dengan pokok masalah atau tema sentral diidentifikasi untuk
digunakan sebagai bahan analisis. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Bahan Hukum Primer,15
yaitu yang mengikat terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Keajiban Pembayaran Utang.
b. Bahan Hukum Sekunder,16
yaitu bahan hukum yang menjelaskan Bahan
Hukum Primer terdiri dari:
1) Buku-buku yang berkaitan dengan materi penelitian.
2) Hasil-hasil penelitian mengenai kepailitan perseorangan.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2013), h. 60.
15Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, …,h. 141.
16Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, …,h. 155.
8
3) Kepailitan perseorangan.
4) Kepustakaan lain seperti jurnal, artikel, makalah, dan internet.
c. Bahan Hukum Tersier,17
yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terdiri
dari:
1) Kamus Hukum.
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3) Kamus Bahasa Inggris.
4) Berbagai majalah dan surat kabar.
Alat yang digunakan dalam penelitian tidak menggunakan teknik
observasi maupun wawancara, tetapi hanya tertuju kepada studi literature dan
studi dokumen hukum kepailitan.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan
dengan hukum kepailitan, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis
peroleh dari internet.
5. Metode Analisis Data
Dalam hal melakukan penelitian hukum normatif, definisi yang akan
diuraikan adalah definisi yang diambil dari peraturan perundang-undangan dan
buku-buku referensi sehingga dapatlah dijadikan pedoman dalam pengumpulan
data, pengolahan dan analisis data.
Dalam penulisan ini, penelitiakan mempergunakan beberapa istilah yang
berkaitan dengan materi, agar terdapat kesamaan persepsi mengenai pengertian
dari istilah-istilah tersebut dibawah ini nantinya sehingga tidak akan terjadi
17
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, …,h. 163.
9
kesalahpahaman, maka definisi yang dipakai oleh penulis dalam hal ini adalah
sebagai berikut:
a. Kepailitan adalah sita umum atas kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas.
b. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
c. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-
Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
d. Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan.
e. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor
pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang.
f. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang
timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
Debitor dan bila tidak dipenuhi member hak kepada Kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2017.
10
E. Sistematika Penulisan
Bab I :Pendahuluan Berisi Tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis,
Metode Penelitian, Dan Sistematika Penelitian.
Bab II :Kajian Pustaka berisi tentang Kerangka Konsep, Kerangka Teori dan
Tinjauan (review) Kajian Terdahulu.
Bab III :Data Penelitian Berisi Tentang Latar Belakang Lahirnya Pengadilan
Niaga, Kedudukan Dan Pembentukan Pengadilan Niaga, Hakim
Pengadilan Niaga Dan Kompetensi Pengadilan Niaga.
Bab IV :Uraian Berisi Tentang Kasus Posisi Dan Analisis Yuridis
Bab V :PenutupBerisi Uraian Tentang Kesimpulan Menjawab Perumusan
Masalah Dan Rekomendasi Terhadap Kesimpulan Tersebut.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep
1. Definisi Perjanjian
Perkataan ”perikatan“ (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas
dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam buku III itu diatur juga perihal
hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan
atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang
melanggar hukum (onrechmatigedaad) dan perihal perikatan yang timbul dari
pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(Zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar buku III ditujukan pada perikatan-
perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum
perjanjian (“perikatan” merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit).1
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.2Sedangkan Abdulkadir Muhammad memberikan
definisi perjanjian yaitu suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan.3Menurut Pittlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak
yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas
sesuatu prestasi.4
1 Subekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1987), h. 122.
2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:Intermasa, 1987), h. 1.
3 Abudulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 225.
4R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1994), h. 2.
12
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang
menentukan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang lain atau lebih. Definisi
perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal tersebut adalah kurang
lengkap dan terlalu luas.Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya
mengenai perjanjian sepihak saja.
Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan ”perbuatan”
tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi
tersebut yaitu: Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu
perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hokum, Menambahkan
perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313. Sehingga
perumusannya menjadi persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.5
2. Macam–Macam Perjanjian
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa berdasarkan kriterianya
terdapat beberapa jenis perjanjian, antara lain :6
a. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
b. Perjanjian Cuma
Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang
dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
5R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1994), h. 49.
6Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001), h. 66.
13
1) Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap
prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak
lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
2) Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai
nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut
diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan
tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat
dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata.
3) Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst)
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak
diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat.
Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan
dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.
4) Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak
dan kewajiban diantara para pihak.
5) Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan
benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).
6) Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua
belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan
perjanjian.Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai
kekuatan mengikat (Pasal 1338).
14
7) Perjanjian Real
Perjanjian real adalah suatu perjanjian yang terjadinya itu
sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
8) Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari
kewajiban yang ada (Pasal 1438 KUHPerdata).
9) Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian
apakah yang berlaku di antara mereka.
10) Perjanjian Untung–untungan
Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan
perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya,
mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi
sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.
11) Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau
seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang
bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara
keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated),
jadi tidak dalam kedudukan yang sama (co-ordinated).
12) Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung
berbagai unsur perjanjian didalamnya.
13) Perjanjian Baku
Perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak
antara dua pihak atau lebih yang mempunyai kedudukan yang
seimbang dan kedua pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan yang
diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui proses negosiasi di
15
antara para pihak. Namun yang terjadi pada saat ini memperlihatkan
bahwa perjanjian/kontrak dalam dunia bisnis tidak terjadi melalui
negosiasi yang seimbang antara para pihak, tetapi perjanjian terjadi
dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku
pada formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan
kepada pihak lainnya untuk disetujui sehingga hampir tidak
memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak yang lainnya untuk
melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan.7
Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan perjanjian baku
adalah perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak
dalam perjanjian tersebut, bahkan seringkali perjanjian tersebut sudah
dicetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh
salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut
ditandatangani, umumnya para pihak hanya mengisikan data-data
informatif tertentu dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausul-
klausulnya dan pihak lain tidak mempunyai kesempatan atau hanya
sedikit kesempatan untuk menegosiasikan klausul-klausul yang sudah
dibuat.8
Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang
sering dilakukan dalam praktek adalah:9
a) Kontrak (polis) asuransi.
b) Kontrak di bidang perbankan.
c) Kontrak sewa guna usaha.
d) Kontrak jual beli (rumah/apartemen dari perusahaan real estate).
7 Sutan RemySjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: IBI, 1993), h. 66. 8 MunirFuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bhakti, 2001), h. 76. 9 MunirFuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bhakti, 2001), h. 77.
16
e) Kontrak sewa-menyewa.
f) Kontrak pembuatan kartu kredit.
g) Kontrak pengiriman barang.
Meskipun kontrak baku ini nyata-nyata dibutuhkan dalam
praktek, para ahli hukum masih berbeda pendapat tentang eksistensi
dari perjanjian baku. Sluijter mengatakan perjanjian baku bukanlah
perjanjian, sebab kedudukan pengusaha itu adalah seperti pembentuk
undang-undang swasta (legio particuliere wetgever), sedangkan Pitlo
menyatakan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa. Berbeda dari
pendapat kedua pakar hukum tersebut, Stein menyatakan bahwa
perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi
adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada
perjanjian itu. Asser-Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang
menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang
ditandatanganinya.10
3. Asas–Asas Dalam Hukum Perjanjian
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang terpenting
dalam hukum perjanjian. Hal ini secara implisit ternyata dari ketentuan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 1335, 1336 dan 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Hukum Kontrak mengenal tiga asas pokok, dimana satu dengan lainnya saling
berkaitan, yaitu asas konsensualime, asas kekuatan mengikatnya kontrak dan
asas kebebasan berkontrak.11
Asas kebebasan berkontrak yang dalam istilah
bahasa Inggris dikenal dengan istilah freedom of contract atau liberty of
10
Sutan Remy Sjahdeiny, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: IBI, 1993), h. 66.
11Arthur S. Hartkamp dan Marianne M. M. Tillema, Contract Law, (Devender: Kluwer, 1993),
h. 7.
17
contract atau party autonomy. Selain ketiga istilah tersebut, kebebasan
berkontrak dalam kepustakaan sistem civil law dikenal pula istilah private
autonomy terdiri dari hak orang secara individual untuk menentukan sesuatu
sesuai dengan keinginannya, dalam hubungan hukum mereka sepanjang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.12
Banyak pendapat ahli-ahli hukum tentang asas-asas dalam suatu
perjanjian, namun pada dasarnya bertujuan untuk tercapainya kepastian
hukum, ketertiban hukum, dan keadilan berdasarkan asas konsensualisme
(berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian).13
Dari penjelasan tersebut, maka terdapat 5 (lima) asas penting dalam
suatu perjanjian, yaitu :
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Sebagaimana hasil analisis Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan
Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
3) Menentukan isi perjanjian dengan siapapun.
4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam
hal membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid).Asas ini dapat
disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa
segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal
12
Sutan Remy Sjahdeiny, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, …, h. 19.
13 Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi (Bambang Poerdyatmono, jurnal.uajy.ac.id
18
tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua
belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan
bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa
untuk membuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga
diperbolehkan mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat
dalam KUH Perdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka
(open baar system).
Mereka diperbolehkan membuat ketentuan sendiri yang
menyimpang dari pasal-pasal hukum Perjanjian.Mereka diperbolehkan
mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang
mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, itu
berarti mereka mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Biasanya orang yang
mengadakan perjanjian tidak mengatur secara rinci semua persoalan yang
bersangkutan dengan perjanjian itu.Biasanya mereka hanya menyetujui
hal-hal yang pokok saja.Biasanya juga tidak ada perselisihan mengenai
hal itu, tetapi bilamana timbul perselisihan, maka menyerahkannya pada
hukum dan Undang-Undang.14
Pada Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa itikad baik merupakan salah satu unsur dalam
mengadakan perjanjian. Menurut Treitell, Asas kebebasan Berkontrak
digunakan untuk merujuk dua asas umum.15
Asas umum yang pertama
menentukan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh
dibuat oleh para pihak, asas tersebut tidak membebaskan berlakunya
syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian
tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak.Asas yang kedua
14
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), h. 13. 15
GH Treitel, An Outline of Law of Contract, Butterworths, London, 1998, h. 3-4.
19
menentukan bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat
dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian.16
Maka adanya unsur
pemaksaan atau pembatasan kepada individu dalam mengadakan
perjanjian akan mengakibatkan penjajahan terhadap kebebasan
berkontrak.
Contoh Asas Kebebasan Berkontrak:
Kontrak Kerja Jasa Konstruksi (pasal 14 s.d Pasal 22 UU Nomor 18
Tahun 1999 jo Pasal 20 s.d Pasal 23 PP Nomor 29 Tahun 2000 jo Pasal 29
s.d Pasal 35 Keppres Nomor 80 Tahun 2003).
b. Asas Konsensualisme
Sebagaimana dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.Maksud dari
asas ini ialah bahwa suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari
mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain,
kecuali perjanjian yang bersifat formil. Ini jelas sekali terlihat pada syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian dimana harus ada kata sepakat dari mereka
yang membuat perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata).Sedangkan dalam
pasal 1329 KUH Perdata tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di
samping kata sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa
setiap perjanjian itu adalah sah. Artinya mengikat apabila sudah tercapai
kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan.
Terhadap asas konsensualitas ini terdapat pengecualian yaitu
apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam
perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas
tersebut, misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian mengenai benda
tidak bergerak.Jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan
dengan akta notaris.Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis
16
GH Treitel, An Outline of Law of Contract, Butterworths, London, 1998, h. 5.
20
dan sebagainya.Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu
formalitas tertentu dinamakan perjanjian formil.17
Contoh kasus dari Asas Konsensualisme:
Perjanjian standart bank biasanya debitur itu hanya di terangkan
saja kepadanya saat pembacaan PK dan lain-lain inti-intinya saja, ternyata
ada klausula yang debitur tidak setuju, dan ia tidak mengerti, lalu di
tandatangani saja, berarti ada ketidaksepakatan walaupun ia
menandatangani tapi ia tidak tau ada klausula itu.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat perjanjian. Asas
ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang” Selain itu pada asas ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim
atau pihak ketiga) harus menghormati dan tidak boleh mengintervensi
substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Asas Pacta Sun Servada adalah suatu asas dalam hukum
perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian.
Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi
mereka yang membuat seperti kekuatan mengikat suatu undang-undang,
artinya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan
mengikat mereka seperti undang-undang.
Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan
perlindungan kepada para konsumen bahwa mereka tidak perlu khawatir
akan hak-haknya karena perjanjian karena perjanjian itu berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Contoh Asas Pacta Sunt Servanda:
17
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), h. 16.
21
Perwujudan asas pacta sunt servanda dalam hukum nasional
Indonesia terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) persetujuan
itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Kemudian pasal 4 ayat (1) UU No 24 Tahun 2000
menyatakan:Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian
internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional,
atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para
pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan
iktikad baik.
d. Asas Itikat Baik (Goede Trouw)
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat
baik”. Asas itikat baik ini merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para
pihak. Asas itikat baik ini dibagi 2 (dua): itikad baik nisbi, dimana orang
memperhatikan tingkah laku nyata orang atau subjek. Sedangkan itikat
baik mutlak, penilaiannnya terletak pada akal sehat dan keadilan, dan
penilaian keadaan yang dibuat dengan ukuran objektif (penilaian yang
tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Contoh Asas Itikad Baik (Goede Trouw):
Kasus yang terjadi di Belanda, pengadilan telah mengakui adanya
itikad baik pada saat pra-kontrak, hal ini tercermin dalam Arress Hoge
Raad tanggal 18 Juni 1982, NJ 1983, 723. Pada akhir tahun 1974 Plas
memasukkan penawaran untuk melakukan pemborongan di kotamadya
22
Valrug dan dalam suatu rapat walikota mengatakan bahwa penawaran Plas
dapat diterima oleh kotamadya Valbrug dan dalam suatu rapat, namun
harus diputuskan melalui rapat Dewan Kotamadya. Akan tetapi dalam
rapat Dewan Kotamdya, ternyata yang diterima adalah penawaran dari
pemborongan yang lain. Gugatan Plas dimenangkan oleh Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi, ganti kerugian yang diberikan hanya biaya-
biaya yang telah dikeluarkan oleh Plas atas dasar bahwa itikad baik sudah
ada pada tahap pra-kontrak.Karena belum ada kontrak, maka Plas tidak
dapat menuntut kehilangan keuntungan yang diharapkan.Akan tetapi,
Hoge Raad berpendirian bahwa suatu perundingan yang sudah mencapai
tingkat yang hampir final, maka dapat juga diajukan gugatan atas
kehilangan keuntungan yang diharapkan.
e. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan
melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang
berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan
atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya”. Namun ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana
yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan :
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian
kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk
kepentingan pihak ketiga.
Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya
23
dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Untuk
kepentingan: diri sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang yang
memperoleh hak dari padanya.
Syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur pada Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merupakan suatu hal yang mutlak untuk
dipenuhi, karena apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan
pembatalannya oleh salah satu pihak. Sehingga tidak akan tercipta suatu
perjanjian. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable atau
vernietigbaar, artinya selalu diancam bahaya pembatalan.18
Pihak yang
dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya secara tidak bebas.
Contoh Kasus Asas Kepribadian:
Dalam hal suatu janji untuk pihak ketiga, kita dapat membuat
suatu perjanjian dan sekaligus memberikan hak-hak yang kita peroleh dari
perjanjian itu kepada orang lain. Suatu conth untuk janji dari pihak ketiga
misalnya: A menjual mobil kepada si B, dengan perjanjian bahwa selam
satu bulan mobil itu boleh dipakai dulu oleh si C.
Hak yang diperjanjikan untuk pihak ketiga, memang dapat
dianggap sebagai suatu beban yang dipikul kepada pihak lawan. Dengan
jalan lain yang singkat, kita dapat memberikan hak-hak kepada seorang
pihak ketiga secara lebih singkat.
4. Syarat–Syarat Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yaitu:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
18
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), h. 16.
24
d. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan kedalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek
(pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dandua unsur pokok
lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur
objektif).19
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut
diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat
pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum dengan
pengertian bahwa kreditur tidak dapat menuntut terpenuhinya perikatan yang
lahir dari perjanjian tersebut (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif).20
5. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit menurut hukum perdata Indonesia, adalah salah satu
dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam. Dalam bentuk apapun juga
pemberian kredit itu diadakan pada hakekatnya, adalah suatu perjanjian
pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) pada pasal 1754 s/d 1769.21
KUHPer membedakan
antara perjanjian yang mempunyai nama tertentu dan yang tidak mempunyai
nama tertentu.
Perjanjian yang mempunyai nama tertentu atau yang disebut
perjanjian bernama adalah perjanjian yang diberi nama khusus dan diatur
dalam undang-undang, terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku III
KUHPer, seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian
sewa-menyewa dan perjanjian pinjam-meminjam. Sedangkan perjanjian tidak
bernama adalah perjanjian yang di dalam undang-undang tidak dikenal
19
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 31.
20Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, ..., h. 32.
21Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1993), h. 227.
25
dengan suatu nama tertentu. Jenis perjanjian ini tidak diatur dalam dalam
KUHPer, tetapi ada di dalam masyarakat, seperti perjanjian beli sewa.22
Perjanjian kredit termasuk ke dalam golongan perjanjian tidak
bernama (innominaat contract/ onbenoemde overeenkomst).Dalam kegiatan-
kegiatan bisnis, banyak ditemukan perjanjian-perjanjian tidak bernama, yaitu
perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata.Hal tersebut
merupakan konsekuensi, karena hukum perjanjian di Indonesia menganut asas
kebebasan berkontrak.Jadi perjanjian tidak bernama yang banyak dilakukan
adalah penerapan dari asas tersebut.23
Namun Sjahdeini mengatakan, pada perjanjian kredit, kredit harus
digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan didalam perjanjian dan
pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank
untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak , maka berarti nasabah
debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya
berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian
kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian
kredit bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam
meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit
bank tidak berlaku ketentuan bab ketiga belas buku ketiga Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Indonesia.24
Menurut Usman, perjanjian kredit bank tidak identik dengan
perjanjian pinjam-meminjam uang sebagaimana dimaksud dalam kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian kredit ini tidak tunduk kepada
ketentuan bab ketiga belas dari buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum
22
Sri Gambir Melati, Beli Sewa sebagai Perjanjian Tak Bernama; Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, (Bandung: Alumni, 2000), h. 124-125 .
23 Yudha Bakti A, Causa Materials Hukum Bisnis; Tinjauan Perjanjian Baku dalam Hukum
Perjanjian Indonesia, Makalah; disampaikan sebagai bahan ceramah kuliah Hukum Bisnis pada Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta: Pascasarjana Universitas Jayabaya), 2005.
24Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003), h. 262.
26
Perdata. Dengan kata lain perjanjian kredit bank adalah perjanjian tidak
bernama (Onbenoemdeovereenkomst) sebab tidak terdapat ketentuan khusus
yang mengaturnya, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
maupun dalam undang-undang Perbankan yang diubah. Dasar hukumnya
dilandaskan kepada persetujuan atau kesepakatan antara bank dan calon
debiturnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.25
Pada perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam
yang diatur dalam bab XIII buku III KUHPerdata, baik dari pengertian, subjek
pemberi kredit, pengaturan, tujuan dan jaminannya. Akan tetapi dengan
perbedaan tersebut tidaklah dapat dilepaskan dari akarnya, yaitu perjanjian
pinjam-meminjam.26
Oleh karenanya, perjanjian kredit tetap masih berakar
pada perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam KUHPerdata, tetapi
mengalami berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan jaman. Penulis tidak
sependapat perjanjian kredit dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama
(Onbenoemde overeenkomst).27
Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku
(standard Contract), dimana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit
tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko),
tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu (Vorn vrij).28
Menurut Ch.
Gatot Wardoyo,29
perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi:
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian
lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
25
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama,2003), h. 263. 26
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross collateral Sebagai UpayaPenyelesaian Kredit Bermasalah, ..., h. 28.
27Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross collateral Sebagai UpayaPenyelesaian Kredit
Bermasalah, ..., h. 29. 28
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, h. 265. 29
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross collateral Sebagai UpayaPenyelesaian Kredit Bermasalah, h. 30.
27
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa unsur – unsur pemberian
kredit adalah sebagai berikut30
:
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan
datang.
b. Tenggang waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
Dengan kata lain, terkandung pengertian bahwa nilai uang ada sekarang
lebih tinggi nilainya dari nilai uang yang akan diterima pada masa yang
akan datang.
c. Degree of risk, yaitu risiko yang akan dihadapi setiap akibat dari adanya
jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra
prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit
diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena sejauh-jauh
kemampuan manusia untuk memprediksi masa depan, maka masih selalu
terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah
yang menyebabkan timbulnya unsur risiko, sehingga timbul adanya unsur
jaminan sebagai salah satu upaya pengembalian kredit.
d. Prestasi obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi
juga dalam bentuk barang atau jasa. Namun dalam kehidupan ekonomi
modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka hanya transaksi-
30
Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 146.
28
transaksi yang menyangkut uang yang sering dijumpai dalam praktek
perkreditan.
Lembaga penyedia jasa keuangan dalam memberikan kredit
hendaknya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut31
:
a. Prinsip Kepercayaan.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa unsur dari kredit adalah
kepercayaan, yaitu kepercayaan kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi
debitur sekaligus kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat
membayar kembali kreditnya, Untuk memenuhi unsur kepercayaan ini
kreditur harus dapat melihat apakah calon debitur dapat memenuhi
berbagai kriteria yang diberlakukan terhadap pemberian suatu kredit, oleh
karena itu timbul prinsip lain yang disebut kehati-hatian.
b. Prinsip Kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian ini adalah suatu konkretisasi dari prinsip
kepercayaan dalam suatu pemberian kredit.Untuk mewujudkan prinsip
kehati-hatian ini, dilakukan berbagai usaha pengawasan baik oleh lembaga
penyedia jasa keuangan itu sendiri (internal) maupun oleh pihak luar
(external).Keharusan adanya jaminan hutang dalam setiap pemberian
kredit sebenarnya juga mempunyai tujuan agar kredit diluncurkan secara
hati-hati sehingga ada jaminan bahwa kredit yang bersangkutan akan
dibayar kembali oleh pihak debitur. Prinsip kehati-hatian ini dapat dilihat
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
c. Prinsip 5 C, yaitu
Dalam dunia perbankan dikenal prinsip 5 C yang disebut "the five
of credit analysis”.32
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
31
Johannes Ibrahim, Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, (Bandung: CV. Utomo, 2004), h. 100-103.
32 Johannes Ibrahim, Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, h. 104.
29
1) Character(watak)
Tujuan bank melakukan penilaian terhadap watak debitur
adalah untuk mengetahui apakah pemohon kredit ada kemampuan
untuk membayar utangnya apabila permohonannya dikabulkan oleh
bank.Dalam hal ini yang diperhatikan bukannya hanya nasabah dalam
berhubungan dengan bank saja, tetapi meliputi pula dengan pihak
yang lainnya.Titik perhatian bank di sini ditentukan pada masalah
kejujuran dan itikad baik debitur, untuk itu dari data yang disampaikan
nasabah dapat diketahui sejauh mana kebenaran yang dikemukakan di
dalamnya.
2) Capacity (kemampuan)
Pada prinsipnya nasabah harus dapat mengelola dengan baik
usaha yang akan dibiayai dengan kredit, sebab kalau tidak usaha
nasabah tidak berkembang dan akan menjadi macet sama sekali, yang
berarti nasabah akan kesulitan membayar kembali kreditnya. Sebelum
bank mengabulkan permohonan kreditnya, bank menilai kemampuan
debitur untuk mengelola usaha yang akan dibiayai dengan kredit.
Bank perlu mengetahui, apakah nasabah mempunyai pengetahuan
yang cukup di bidang usaha tersebut, apakah cukup pengalaman
mengelola usaha tersebut dan sebagainya.
3) Capital (modal)
Dalam praktek selama ini bank jarang sekali memberikan
kredit untuk membiayai seluruh dana yang diperlukan nasabah. Bank
hanya berfungsi untuk memberikan tambahan modal.
4) Collateral (jaminan)
Untuk keamanan pemberian kredit, nasabah diharuskan
menyediakan harta kekayaan untuk dijadikan jaminan.Barang yang
dapat dijadikan jaminan baik barang bergerak maupun barang tidak
30
bergerak.Disamping jaminan berupa barang.Dalam praktek pribadi
pengurus perusahaan penerima kredit dapat diminta pula untuk diikat
secara borgtocht (penanggung utang).
5) Condition of Economy
Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro
merupakan faktor penting pula untuk dianalisis sebelum suatu kredit
diberikan.terutama yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha
atau pekerjaan pihak debitur.
d. Prinsip 5 P, yaitu
1) Party (para pihak)
Merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap
pemberian kredit.Untuk itu, pihak pemberi kredit harus memperoleh
kepercayaan terhadap para pihak dalam hal ini debitur.
2) Purpose (tujuan)
Tujuan pemberian kredit harus diketahui oleh kreditur. Harus
dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif dan
harus pula diawasi agar kredit tersebut benar–benar diperuntukkan
untuk tujuan tersebut seperti diperjanjikan dalam perjanjian kredit.
3) Payment (Pembayaran)
Perlu dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberi kredit nanti
debitur punya sumber pendapatan dan apakah pendapatan tersebut
cukup untuk membayar kembali kreditnya.
4) Profitability (Perolehan Laba)
Perolehan laba dari debitur tidak kalah penting dalam suatu
pemberian kredit.
5) Protection (Perlindungan)
Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan
debitur.Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan atau
31
jaminan pribadi milik perusahaan penting diperhatikan, terutama
untuk berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal diluar yang
disekenariokan atau di luar prediksi semula.
e. Prinsip 3 R, yaitu :
1) Return (Hasil yang diperoleh)
Merupakan hasil yang akan diperoleh debitur, dalam hal ini
kredit telah dimanfaatkan harus diantisipasi oleh calon kreditur.
Artinya perolehan kembali kredit, bunga, ongkos-ongkos dan lain
sebagainya.
2) Repayment (Pembayaran Kembali)
Kemampuan bayar dari pihak debitur juga masih
dipertimbangkan dan apakah kemampuan bayar tersebut sesuai dengan
jadwal pembayaran kembali kredit yang akan diberikan itu juga tidak
boleh diabaikan.
3) Risk Bearing Ability(kemampuan menanggung risiko)
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah sejauh mana
terdapatnya kemampuan debitur untuk menanggung risiko.
6. Wanprestasi
Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi. Dan jika ia tidak
melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa maka
debitur dianggap melakukan ingkar janji.
Ada tiga (3) bentuk ingkar janji, yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Terlambat memenuhi prestasi dan
c. Memenuhi prestasi secara tidak baik.33
Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut:
33
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1994), h. 17-18.
32
1) Pemenuhan prestasi;
2) Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
3) Ganti rugi;
4) Pembatalan persetujuan timbal balik;
5) Pembatalan dengan ganti rugi.34
Menurut Fuadi,35
banyak hal yang apabila dilakukan oleh pihak
debitur maka debitur tersebut akan dianggap dalam keadaan default
(wanprestasi). Antara lain:
a. Wanprestasi pembayaran ( payment default)
Dalam hal ini debitur diangap melakukan wanprestasi seandainya
dia gagal melakukan pembayaran kembali pokok pinjaman atau bunga,
pada tanggal jatuh tempo, atau tidak membayar biaya-biaya lainnya yang
merupakan kewajibannya menurut perjanjian kredit atau dokumen lainnya
yang terikat.
b. Wanprestasi karena pailit (Bankruptcy default)
Debitur juga dianggap dalam keadaan wanprestasi jika dia (pribadi
atau badan hukum) dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang
atau dilikuidasi.
c. Wanprestasi karena keterlambatan pelaksanaan perjanjian (Completion
datedefault)
Dalam suatu perjanjian kredit biasanya ditentukan kapan suatu
prestasi dari salah satu pihak atau kedua belah pihak telah selesai dilakukan .
Misalnya jika diambil kredit untuk membangun sesuatu proyek, maka sampai
dengan tanggal tertentu (completion date) proyek tersebut belum juga jadi,
debitur yang bersangkutan dianggap dalam keadaan wanprestasi.
34
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, ..., h. 18. 35
Munir Fuady,Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h. 50-53.
33
Sementara menurut Yahya Harahap,36
menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan wanprestasi adalah:“Pelaksanaan kewajiban yang tidak
tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Seorang
debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam
melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga”terlambat” dari jadwal
waktu yang ditentukan atau dalam melakukan prestasi tidak menurut
sepatutnya atau selayaknya”.
Menurut Subekti,37
wanprestasi dapat berupa empat kategori, yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
B. Kerangka Teori
1. Definisi Kepailitan
Menurut pasal 1 angka 1 UUK-PKPU 2004, kepailitan adalah sita
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, sedangkan
pengertian debitor berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU adalah debitor
yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak dapat membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri, maupun atas pemintaan
seseorang atau lebih kreditornya.
36
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross collateral Sebagai UpayaPenyelesaian Kredit
Bermasalah, (Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 55. 37
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross collateral Sebagai UpayaPenyelesaian Kredit Bermasalah, ..., h. 55-56.
34
Hukum kepailitan timbul karena adanya pinjaman yang diberikan dari
pihak kreditor kepada pihak debitor.Pinjaman dari kreditor kepada debitor
disebut kredit (credit) yang berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan
atau trust. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
dasarnya faktor pertimbangan utama dari pemberian kredit oleh kreditor
kepada debitor adalah kepercayaan kreditor bahwa debitor akan
mengembalikan pinjamannya dengan tepat waktu.
Dalam kehidupan memang tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau
suatu badan hukum yang ingin memperoleh pinjaman dari pihak lain (orang
lain atau badan hukum lain), pihak yang memperoleh pinjaman itu disebut
debitor sedangkan pihak yang memberikan pinjaman itu disebut kreditor.38
Untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan secara
nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman berakhir,
dalam hukum terdapat beberapa asas. Asas tersebut menyangkut
jaminan.Terdapat dua asas yang penting. Asas pertama menentukan, apabila
debitor ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditor
karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaan debitor, baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akanada di
kemudian hari, menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijual
untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di dalam KUHPerdata
dituangkan dalam Pasal 1131 yang bunyinya sebagai berikut :“segala harta
kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
telah ada maupun yang akanada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk
segala perikatan debitor.”
Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menetukan, harta kekayaan debitor
bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang
diperoleh dari perjanjian utang piutang diantara mereka, tetapi untuk
38
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 2.
35
menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor.Sebagaimana
menurut ketentuan pasal 1233 KUHPerdata, suatu perikatan (antara debitor
dan kreditor) timbul atau lahir karena adanya perjanjian diantara debitor dan
kreditor maupun timbul atau lahi karena adanya ketentuan undang-undang.
Menurut pasal 1234 KUHPerdata, wujud perikatan adalah “untuk
memberikan sesuatu”,”untuk berbuat sesuatu”, atau “untuk tidak berbuat
sesuatu”. Dalam istilah hukum, perikatan dalam wujudnya yang demikian itu
disebut pula dengan istilah “prestasi”. Pihak yang tidak melaksanakan
prestasinya disebut telah melakukan”wanprestasi”. Apabila perikatan itu
timbul karena perjanjian yang dibuat diantara debitor dan kreditor, maka
pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut sebagai telah melakukan
“cidera janji” atau “ingkar janji”, atau dalam bahasa Inggris disebut “in
default”.39
Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator
dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan
hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang
debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan
struktur kreditor.40
2. Tujuan Kepailitan
Dalam penjelasan umum UU No. 37 Tahun 2004 dikemukakan
mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu :
a. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang
sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
39
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 3-4.
40 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 27-28.
36
b. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa
memperhatikan debitor atau para kreditor lainnya;
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh
salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha
untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor
tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan
curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan
maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.
3. Prinsip – Prinsip Kepailitan
a. Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor)
Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor)
menentukan bahwa kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua
harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya,
maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor.41
Prinsip paritas
creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik
yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta
yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari
akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.42
Adapun filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa
merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda,
sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan.
Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi
hukum menjadi jaminan terhadap utang-utangnya, meski harta tersebut
tidak terkait langsung dengan utang-utangnya.43
41
Mahadi, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), h. 135. 42
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 27-28.
43 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, …,h. 28.
37
Menurut Kartini Muljadi, peraturan kepailitan didalam UUK-
PKPU adalah penjabaran dari Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132
KUHPerdata. Hal ini dikarenakan:
1) Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya;
2) Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak
atasnya, tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya
atau memindahkan haknya atau mengagunkannya;
3) Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit.44
Namun demikian, prinsip ini tidak dapat diterapkan secara
letterlijk karena hal ini akan menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak
ketidakadilan tersebut adalah para kreditor berkedudukan sama antara satu
kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip ini tidak membedakan perlakuan
terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang besar maupun
kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan. Oleh karenanya,
ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan
prinsip pari passu pro rata parte dan prinsip structured
creditors.45
Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailiatan yang
menerapkan prinsip paritas creditorium, maka didalam
Faillissementsverordening tidak menganut prinsip paritas creditorium.46
Didalam Pasal 1 Faillissementsverordening menyatakan bahwa
setiap debitor yang tidak mampu membayar kembali utang tersebut baik
atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau
lebih dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor
yang bersangkutan dalam keadaan pailit.47
Ketentuan tersebut, tersurat
44
Kartini Muljadi, Actio Paulina dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy A. Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), h. 300.
45 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, … ,h. 29.
46 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, … , h. 73
47 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, … ,h. 73-74.
38
bahwa pernyataan pailit hanya memerlukan dua syarat saja, yaitu debitor
harus berada dalam keadaan telah berhenti membayar, dan harus ada
permohonan pailit baik oleh debitor sendiri maupun seorang kreditor atau
lebih. Ketentuan didalam Faillissementsverordening yang tidak menganut
prinsip paritas creditorium merupakan kelalaian pembuat undang-undang.
Pentingnya prinsip paritas creditorium untuk dianut di dalam
peraturan kepailitan adalah sebagai pranata hukum untuk menghindari
unlawful execution akibat berebutnya para kreditor untuk memperoleh
pembayaran piutangnya dari debitor dimana hal itu akan merugikan baik
debitor sendiri maupun kreditor yang datang terakhir atau kreditor yang
lemah.48
b. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan
tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya
harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara
para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan
dalam menerima pembayaran tagihannya. Prinsip ini menekankan pada
pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor
secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-
pond gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari passu pro rata
parte ini bertujuan memberikan keadilan.49
Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan memberikan
keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana
kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan
porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang
memiliki piutang lebih kecil daripadanya.50
Adapun pengaturan mengenai
48
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, … ,h. 74. 49
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, … ,h. 30. 50
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, … ,, h. 30.
39
prinsip ini diatur pula di dalam Pasal 189 ayat (4) dan (5) dan penjelasan
Pasal 176 huruf a UUK-PKPU.
c. Prinsip Structured Pro Rata
Prinsip structured pro rata atau yang disebut juga dengan istilah
structured Creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum
kepailitan yang memberikan jalan keluar/keadilan diantara kreditor.
Prinsip ini adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan
berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing.Didalam
kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kreditor
separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.51
Kreditor yang
berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren saja,
melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor
separatis) dan kreditor yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan
(kreditor preferen).52
d. Prinsip Debt Collection
Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu
konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih
klaimnya terhadap debitor atau harta debitor. Menurut Tri Hernowo,
kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaaan dan
pemerasan. Sedangkan menurut Emmy Yuhassarie, hukum kepailitan
dibutuhkan sebagai alat collective proceeding, yang berarti tanpa adanya
hukum kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba-lomba secara
sendiri-sendiri mengklaim aset debitor untuk kepentingan masing-masing.
Oleh karenanya, hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut dengan
51
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 280.
52 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, …,h. 33.
40
collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu
masing-masing kreditor.53
Menurut Setiawan, peraturan kepailitan pada prinsipnya adalah
debt collection law dan bahwa kepailitan merupakan suatu aksi kolektif
(collective action) dalam debt collection. Douglas G. Bird menyatakan
bahwa hukumkepailitan bertujuan untuk digunakan sebagai alat collective
proceeding. Debt collection principle merupakan prinsip yang
menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar dengan harta yang
dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin untuk menghindari itikad
buruk dari debitor dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan
terhadap segenap harta bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan
umum bagi kreditornya.54
Berkaitan dengan peraturan atau hukum kepailitan yang ada di
Indonesia, di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU
sangat memegang teguh bahwa kepailitan adalah sebagai pranata debt
collection. Persyaratan dipailitkan hanya berupa dua syarat kumulatif,
yakni debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih
yang belum dibayar lunas, serta memiliki dua atau lebih kreditor.Di dalam
undang-undang kepailitan tersebut tidak mensyaratkan adanya jumlah
minimum utang tertentu atau disyaratkannya keadaan insolven dimana
harta kekayaan debitor (aktiva) lebih kecil daripada utang-utang yang
dimiliki (passive).Prinsip debt collection didalam undang-undang
kepailitan Indonesia lebih mengarah kepada kemudahan untuk melakukan
permohonan kepailitan.55
53
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 38.
54 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 40-41. 55
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, … ,h. 80-81.
41
e. Prinsip Utang
Didalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang
menjadi sangat penting dan esensial (menentukan) karena tanpa adanya
utang maka tidaklah mungkin perkara kepailitan akan dapat diperiksa.
Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan
adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk
membayar utang-utangnya terhadap para kreditor.56
Demikian pula dengan konsep utang dalam hukum kepailitan
Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia dengan asal konkordansi
dalam peraturan kepailitan, bahwa utang adalah suatu bentuk kewajiban
untuk memenuhi prestasi dalam suatu perikatan. Fred B.G Tumbuan
menyatakan bahwa dalam hal seseorang karena perbuatannya atau tidak
melakukan sesuatu mengakibatkan bahwa ia mempunyai kewajiban
membayar ganti rugi, memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu,
maka pada saat itu juga ia mempunyai utang, mempunyai kewajiban
memenuhi prestasi. Jadi, utang sam dengan prestasi.57
f. Prinsip Debt Pooling
Prinsip Debt Pooling merupakan prinsip yang mengatur
bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara para kreditornya.
Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang
pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte
serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured
creditors principle).58
56
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, ….,h. 34. 57
Fred B.G Tumbuan, “Mencermati Makna Debitor, Kreditor, dan Undang-Undang Berkaitan Dengan Kepailitan”, Dalam : Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), h. 7.
58 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 41.
42
Black menjelaskan debt pooling sebagai:“arrangement by which
debtor adjust many debt by distributing his assets among several creditor,
who may or may not agree to take less than is owed; or and arrangement
by which debtor agree to pay in regular installments a sum of money to
one creditor who agreas to discharge all his debt”.59
Emmy Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjustment sebagai
suatu aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan untuk mengubah
hal distribusi dari para kreditor sebagai suatu grup.Dalam
perkembangannya prinsip ini mencakup pengaturan dalam system
kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan pailit
harus dibagi diantara kreditornya. Prinsip debt pooling ini juga merupakan
artikulasi dari kekhususan sifat-sifat yang melekat di dalam proses
kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai
penagih yang tidak lazim (oinegenlijke incassoprocedures), pengadilan
yang khusus menangani kepailitan dengan kompetensi absolute yang
berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam kepailitan,
terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum acara yang
spesifik.60
4. Asas–Asas Hukum Kepailitan
Undang–undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU
(UUK-PKPU) didalam penjelasan umumnya mengemukakan telah
mengadopsi beberapa asas, yaitu:
a. Asas Keseimbangan
UUK-PKPU mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh
debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat
59
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, …, h. 41-42. 60
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, …, h. 42.
43
mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor
yang beritikad baik.
b. Asas Kelangsungan Usaha
Asas Kelangsungan Usaha dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada perusahaan debitor yang prospektif untuk tetap
melanjutkan usahanya. Implementasi terhadap asas ini dalam UUK-PKPU
hanya sebatas pada kelangsungan usaha debitor setelah jatuhnya putusan
pailit atas debitor tersebut, sedangkan untuk debitor yang belum
dinyatakan pailit hal tersebut tidak berlaku, mengingat syarat untuk
dipailitkannya debitor tidak memperdulikan apakah keadaan keuangan
debitor masih solven atau tidak. UUK-PKPU memberikan hak kepada
kurator selama masa pengangguhan hak eksekusi kreditor (masa tunggu
90 hari semenjak putusan pernyataan pailit diucapkan) untuk
menggunakan harta pailit berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak dalam rangka kelangsungan usaha debitor.UUK-PKPU juga
memberikan hak kepada kurator dan kreditor untuk mengusulkan agar
perusahaan debitor pailit dilanjutkan jika di dalam rapat pencocokan
piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau rencana perdamaian
yang ditawarkan tidak diterima.Hal lain yang berkaitan di dalam UUK-
PKPU adalah memberi kewajiban hakim pengawas untuk mengadakan
rapat apabila kurator atau kreditor mengajukan usul kepadanya untuk
melanjutkan perusahaan debitor pailit yang harus diadakan paling lambat
14 hari setelah pengajuan usul.
c. Asas Keadilan
Asas Keadilan dalam hukum kepailitan memberikan pengertian
bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi
para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan dapat mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan para kreditor dalam mengusahakan
44
penagihan pembayaran atas besaran tagihan masing-masing kepada
debitor dengan tidak memperhatikan kreditor lainnya.
Pada prakteknya penerapan terhadap asas ini di dalam UUK–
PKPU antara lain:
1) Pengaturan bahwa selama berlangsungnya kepailitan, segala tuntutan
untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit hanya dapat
diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokan.
2) Segala tuntutan hukum di pengadilan yang bertujuan untuk
memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit, menjadi gugur
demi hukum setelah diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap
debitor.
3) Pengaturan bahwa hak eksekusi kreditor pemegang gadai, fidusia, hak
tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya
ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal
putusan pernyataan pailit diucapkan; dan sebagainya.
5. Syarat-Syarat Kepailitan
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit
dapat diajukan, jika persyaratan kepailitan tersebut di bawah ini telah
terpenuhi:
a. Debitor tersebut memiliki dua atau lebih kreditor.
b. Harus ada utang.
c. Debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih.
Walau dengan adanya persyaratan yang limitatif tersebut, suatu
kreditor tetap dapat dengan mudah mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitornya, namun dalam prakteknya masih menimbulkan beberapa
masalah yang berawal dari perbedaan interpretasi terhadap substansi yang
tidak secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan
45
permohonan pailit.61
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat
yang harus dipenuhi adalah debitor harus mempunyai dua kreditor atau lebih.
Pakar hukum kepailitan, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa
eksistensi UUK-PKPU diperlukan karena harus ada ketentuan hukum yang
mengatur mengenai cara membagi harta kekayaan debitor di antara para
kreditornya dalam hal debitor memiliki lebih dari satu seorang kreditor. Hal
tersebut sebagai konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata.
Rasio kepailitan ialah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor
yang setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai
perdamaian atau accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda
debitor untuk kemudian hasil perolehannya dibagi-bagikan kepada semua
kreditornya sesuai dengan tata urutan tingkat kreditor sebagaimana diatur oleh
undang-undang.62
Secara umum ada 3 macam kreditor yang dikenal dalam KUH
Perdata:
a. Kreditor Separatis
Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan, yang dapat bertindak sendiri.Golongan kreditor ini tidak
terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka
tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor.Kreditor
pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak
agunan atas kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditor separatis.
Separatis yang dimaksudkan adalah terpisahnya hak eksekusi atas
benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitor pailit.
Dengan demikian, kreditor separatis mendapatkan posisi paling utama
61
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), h. 42-43.
62 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 53.
46
dalam proses kepailitan, sehubungan dengan hak atas kebendaan yang
dijaminkan untuk piutangnya. Sepanjang nilai piutang yang diberikan oleh
kreditor separatis tidak jauh melampaui nilai benda yang dijaminkan dan
kreditor berkuasa atas benda tersebut, maka proses kepailitan tidak akan
banyak berpengaruh pada pemenuhan pembayaran piutang kreditor
tersebut.
Berdasarkan UUK-PKPU, apabila kuasa atas benda yang
dijaminkan ada pada debitor pailit atau pada kurator, maka hak esekusi
terpisah tersebut di atas ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama
(90) sembilan puluh hari sejak pernyataan pailit dijatuhkan.Sedangkan,
jika nilai eksekusi benda tersebut ternyata tidak mencukupi untuk
menutup utang debitor, maka kreditor separatis dapat meminta dirinya
ditempatkan pada posisi kreditor konkuren untuk menagih sisa
piutangnya.
Oleh karena demi kepastian hukum, hak eksekusi langsung yang
dimiliki oleh kreditor separatis hanya bisa digunakan dalam jangka waktu
dua bulan setelah terjadinya keadaan insolvensi. Setelah lewat jangka
waktu tersebut, eksekusi hanya dapat dilakukan oleh kurator, meskipun
hak yang dimiliki kreditor separatis sebagai kreditor pemegang jaminan
tidak berkurang. Perbedaan proses eksekusi tersebut akan berakibat pada
perlu tidaknya pembayaran biaya kepailitan dari hasil penjualan benda
yang dijaminkan.
b. Kreditor Preferen
Kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau
hak prioritas.UUK-PKPU menggunakan istilah hak-hak istimewa,
sebagaima yang diatur dalam KUH Perdata.Hak istimewa mengandung
makna “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang
47
berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang
lainnya.
Berdasarkan ketentuan KUH Perdata, ada dua jenis hak istimewa,
yaitu hak istimewa khusus dan hak istimewa umum. Hak istimewa khusus
adalahhak yang menyangkut benda-benda tertentu, sedangkan hak
istimewa umum berarti menyangkut seluruh benda, sesuai dengan KUH
Perdata pula, hak istimewa khusus di dahulukan atas hak istimewa umum.
c. Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren adalah kreditor yang harus berbagi dengan para
kreditor lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut
perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta
kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Istilah yang
digunakan dalam Bahasa Inggris untuk kreditor konkuren adalah
unsecured creditor.
Kreditor ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak
memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada
maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi
dengan kewajiban membayar piutangnya kepada kreditor pemegang hak
jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa.
6. Putusan Atas Pailit Dan Eksekusinya
Hakim Niaga memiliki kewenangan untuk memproses dan
mengabulkan permohonan pailit dalam bentuk putusan dan bukan dalam
bentuk ketetapan.Putusan pailit yang dijatuhkan Pengadilan bersifat dapat
dilaksanakan terlebih dahulu meski terhadap putusan tersebut diajukan upaya
hukum kasasi atau upaya hukum peninjauan kembali (PK).63
Apabila upaya
hukum peninjauan kembali dikabulkan yang menyebabkan batalnya putusan
63
Kartini Muljadi, Actio Paulina dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy A. Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), h. 300.
48
pailit tersebut, semua tindakan hukum yang dilakukan kurator sebelum atau
pada tanggal kurator menerima pemberitahuan pembatalan putusan tersebut
tetap berlaku dan mengikat debitor.
7. Akibat Hukum Dari Kepailitan
Kepailitan mengakibatkan Debitur yang dinyatakan pailit kehilangan
segala hak keperdataan untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang
telah dimasukkan ke dalam harta pailit.“Pembekuan” hak perdata ini
diberlakukan oleh Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU terhitung sejak saat
keputusan pernyataan pailit diucapkan.Hal ini juga berlaku bagi suami atau
istri dari Debitur pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan.64
Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 24 ayat (1)
UUK-PKPU, seperti diuraikan di atas maka setiap dan seluruh perbuatan
hukum, termasuk perikatan antara Debitur yang dinyatakan pailit dengan
pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak
dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut
mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Terhadap tindakan atau
perbuatan hukum Debitur yang berupa transfer dana melalui bank atau
lembaga lain selain bank yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan
tetapi pada hari pernyataan pailit diucapkan tetap dianggap sah dan dapat
dilanjutkan atau diteruskan transfer dana tersebut. Dalam hal ini termasuk
juga transaksi jual beli efek di bursa efek yang dilakukan sebelum pernyataan
pailit diucapkan tetapi pada hari pernyataan pailit diucapkan tetap dianggap
sah dan tetap dilanjutkan.65
Gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit selama dalam kepailitan yang diajukan
64
Gunawan Widjaja, Resiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Pailit, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 15-16.
65 Gunawan Widjaja, Resiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Pailit,(Jakarta: Forum Sahabat,
2009), h. 47.
49
secara langsung kepada Debitur pailit hanya dapat diajukan dalam bentuk
laporan untuk pencocokan.Apabila pencocokan tidak disetujui, maka pihak
yang tidak menyetujui pencocokan tersebut demi hukum mengambil alih
kedudukan Debitur pailit dalam gugatan yang sedang berlangsung
tersebut.Walaupun gugatan tersebut hanya memberikan akibat hukum dalam
bentuk pencocokan, namun hal tersebut sudah cukup untuk dijadikan sebagai
salah satu bukti yang dapat mencegah berlakukan daluwarsa atas hak dalam
gugatan tersebut.66
8. Kepailitan Perseorangan
Debitor yang tidak mampu untuk membayar utangnya kepada para
kreditornya merupakan objek dari UUK-PKPU.Kepailitan perseorangan di
negara–negara yang menganut common law system dibedakan pengaturannya,
sedangkan di Indonesia berdasarkan UUK-PKPU tidak ada pembedaan aturan
bagi kepailitan debitor perorangan maupun badan hukum.
Hukum perorangan (personenrecht) merupakan salah satu bidang
dalam hukum perdata materiil yang mengatur mengenai pribadi alamiah
(manusia) sebagai subjek hukum.Hukum perorangan diatur oleh buku I
didalam sistematika KUHPerdata.
Yang diatur di dalam hukum perorangan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam hukum, hak dan kewajiban
subjektif seseorang, serta hal-hal yang mempunyai pengaruh terhadap
kedudukan seseorang sebagai subjek hukum, seperti jenis kelamin, status
menikah, umur, domiili, status di bawah pengampuan atau pendewasaan, serta
mengenai registrasi pencatatan sipil.67
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum. Manusia sebagai penyandang hak dan kewajiban
66
Gunawan Widjaja, Resiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Pailit, …, h. 47. 67
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 35-36.
50
tidak selalu mampu atau cakap dalam melaksanakan sendiri hak dan
kewajibannya, ada golongan orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan
hak dan kewajiban.Dalam perspektif hukum, tidak setiap subjek hukum orang
yang menyandang kewenangan hukum, dapat bertindak sendiri dalam
melakukan perbuatan hukum.Subjek hukum orang tersebut dapat berwenang
bertindak sendiri apabila dirinya oleh hukum dianggap telah cakap, mampu
atau pantas untuk bertindak dalam melakukan perbuatan hukum (handeling
bekwaamheid).
Namun sebaliknya, subjek hukum orang yang cakap bertindak
menurut hukum, dapat saja dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan
hukum (rechtbevoegheid).
Pasal 1329 KUHPerdata mengatur bahwa setiap orang dianggap cakap
melakukan perbuatan hukum, kecuali jika yang bersangkutan oleh undang-
undang dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Subjek hukum
yang orang yang dianggap belum cakap adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa atau lebih cukup umur seperti yang
ditentukan di dalam Pasal 330 KUHPerdata atau tidak lebih dahulu
melangsungkan perkawinan.
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang yang
dewasa yang selalu berada di dalam keadaan kurang ingatan, sakit jiwa
(orang gila), mata gelap, dan pemboros.
c. Semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang melakukan
perbuatan hukum tertentu, misalnya putusan pernyataan pailit mengubah
status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan oleh pengadilan.
51
9. Asas Insolvensi Test
Menurut Fridmen, Jack P dalam Munir Fuady adalah68
“ketidak
sanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti
layaknya dalam bisnis, atau kelebihan kewajiban dibandingkan dengan
asetnya dalam waktu tertentu”.
Berikut beberapa pengertian Insolvensi
a. Menurut Faillissmentsverodening
Dasar insolvensi diartikan sebagai keadaan “berhenti membayar”,
terdapat pada Pasal 1 ayat (1).Tidak ada pertimbangan oleh hakim bahwa
debitor baru sekali atau dua kali tidak membayar utangnya yang telah
jatuh temponya dapat dijatuhkan pailit.Sedangkan menurut Tirta
Atmidjaja, bahwa debitor yang baru sekali saja menolak pembayaran
maka hal itu belumlah merupakan suatu keadaan berhenti membayar.69
b. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
Dasar insolvensi diartikan sebagai keadaan “tidak membayar”,
tertuang dalam Pasal 1 angka (1). Prajoto mengartikan sebagai menolak
untuk membayar; cidera janji atau wanprestasi; keadaan tidak membayar
tidak sama sekali dengan keadaan kekayaan debitor tidak cukup untuk
melunasi seluruh utangnya; tidak diharuskan debitor memiliki
kemampuan untuk membayar (overmogen) dan memikul seluruh
utangnya; atau istilah tidak membayar harus diartikan sebagai naar de
letter, yaitu debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah
sama sekali berhenti membayar utangnya.
68
Munir Fuady, Hukun Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: citra Aditya Bakti, 1999), Hal. 135.
69 M. H. Tirta Admadjaja, Pokok-pokok Hukum Perniagaan, (Jakarta: Djambatan, 1970), Hal.
128
52
c. Menurut Undang-Undang No. 37 tahun 2004
Dasar insolvensi dapat diartikan sebagai keadaan “tidak membayar
lunas”, tertuang dalam Pasal 2 ayat (1).Keadaan tidak membayar lunas
diartikan sebagai sedah membayar sekali, dua kali, dan seterusnya tetapi
tidak seluruhnya, atau debitor sudah membayar pokoknya tetapi belum
membayar utangnya.
10. Tahap-Tahapan Insolvensi Test
a. Setelah dinyatakan pailit. Keadaan insolvensi terjadi dengan sendirinya
tanpa putusan hakim apabila dalam rapat pencocokan utang tidak di
tawarkan accord, atau ada accord tetapi tidak disetujui oleh rapat
verifikasi, atau ada accord yang sudah disetujui tetapi tidak mendapat
homologasi dari hakim pemutus kepailitan, atau ada accord yang sudah
diholomogasi, tetapi ditolak oleh hakim banding.
b. Melalui PKPU. Apabila dalam waktu 270 hari setelah putusan
pembayaran sementara diucapkan rencana perdamaian tersebut tidak
diterima oleh para kreditor, atau perdamaian tersebut tidak disahkan oleh
pengadilan niaga, atau tidak ada persetujuan apapun yang telah dicapai,
hakim pengawas akan memberitahukan pengadilan niaga kemudian harus
menyatakan debitor pailit. Dalam keadaan inilah debitor masuk fase
insolvensi.
11. Rumus Test Insolvensi
a. The Ability to Pay Solvency Test
Tes yang menentukan pakah suatu debitor dapat membayar
utangnya ketika utangnya telah jatuh tempo. Melihat masa depan kondisi
keuangan debitor dan dilakukan hanya dengan melihat apakah utang
seorang debitor telah jatuh tempo dan tidak mampu untuk membayar.
53
Rumus perhitungan solvabilitas jangka pendek :
N1 x P1 + N2 x P2 = FUTURE CASH FLOW
N : Nominal
P : Probability (Peluang)
Contoh :
Diketahui perusahaan x memiliki utang yang telah jatuh tempo disatu
tahun buku sebesar Rp. 100.000 dan perusahaan x tidak memiliki aset
(dana). Seandainya perusahaan x akan memiliki uang sebesar Rp.
1.000.000. tapi kemungkinan mendapatkannya 15% atau kemungkinan
mendapatkan Rp. 0 dengan kemungkinan 85%
Intinya : 85% perusahaan x tidak akan mampu membayar utangnya
(Insolvennya) ketika jatuh tempo. 15% mampu membayar utangnya dan
dapat untung Rp. 900.000 (Rp. 1.000.000 – Rp. 100.000)
Ditanya :hitung Future Cash Flownya dan apakah perusahaan masih
solven ?
Jawaban :
N1 x P1 + N2 x P2
Rp. 1.000.000 x 15% + Rp. 0 x 85%
Rp. 150.000 (cash solven future)
Perusahaan masih solven karena aset yang akan didapat (Rp. 150.000)
> kewajiban (Rp. 100.00)
Rumus perhitungan solvabilitas jangka panjang
Net Cash Provided By Operation Activities : Average Total Liabilities =
Cash Debt Coverage Ratio
>1 maka semakin solven perusahaan itu
<1 maka semakin insolven perusahaan itu
(intermediate accounting)
54
Contoh:
Diketahui: perusahaan x (debitor) dalam menjalankan usahanya selama 5
tahun buku akan memiliki 2 proyek dengan total nilai Rp. 8.000.000 dan
di penghujung tahun ke-5 perusahaan memiliki utang sebesar Rp.
6.000.000
Ditanya: solvabilitas ?
Jawab: Rp. 8.000.000 : Rp. 6.000.000 = 1,33
Tingkat solven bagus karena rasio 1,3 adalah angka yang positif.
b. The Balance Sheet Test
Apabila utang telah melebihi aset nya, kondisi keuangan lebih
besar daripada asetnya berdasarkan penilaian yang wajar.
Rumus: Aliran uang yang akan masuk : 1 + presentase kenaikan nilai uang
(inflasi) = nilai uang saat ini.
Contoh:
Diketahui: perusahaan x menjalankan usaha dan memiliki utang Rp.
100.000 yang harus dibayar dalam satu akhir tahun, perusahaan tidak
memiliki uang tunai kecuali proyek yang akan menghasilkan nilai uang
Rp. 108.000, lalu diketahui bahwa kenaikan inflasi dalam rangka untuk
membayar utang sebesar 10%.
Ditanya: apakah perusahaan x solven dimasa akan dating ?
Jawab: Rp. 108.000:1 + 10% = Rp. 98.180
Perusahaan tidak solven dan dapat dipailitkan
c. The Capital Adequancy Test/ analisis transaksional
Tes ini jarang dilakukan Introduction to Analysis Economic of
Law.Pendekatan analisis ekonomi atas hokum dalam kasus Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan tujuan untuk
mengajukan rencana perdamaian dengan tujuan debitor tidak dipailitkan.
55
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti akan
menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan
kajian materi yang akan dibahas. Klimaks dari ketidakmampuan mengembalikan
pinjaman (kredit) adalah dipailitkannya usaha-usaha debitur. Kepailitan ini
terjadi setelah permohonan 2 (dua) atau lebih kreditor diputus oleh pengadilan
(dalam hal ini pengadilan niaga) pasal 2 ayat (1) UUKPKPU. Akibat lebih lanjut
adalah debitur kehilangan hak untuk mengurus harta kekayannya. Hak debitur ini
beralih kepada kurator yang akan melakukan pemberesan harta debitur pailit
(Budel pailit). Skripsi yang disusun oleh Gilang M Santosa dari Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, tahun 2012, dengan judul ”Keberlakuan Prinsip Kepailitan
dalam studi kasus Kepailitan Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC
Securities.”
Peneliti melakukan analisa yuridis terhadap kasus kepailitan Manwani
Santosh Tekchand melawan OCBC Securities, yang permohonan pailitnya
didasarkan pada putusan pengadilan asing. Dalam mengomentari aspek – aspek
tersebut, penulis berusaha melihat pokok permasalahan dari sisi Undang-undang
Nomor 37 tahun 2004 mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisannya,
adalah mengenai pengaturan hukum kepailitan dalam kasus tersebut dan apakan
putusan pengadilan asing yang telah memutus bahwa seorang debitor diwajibkan
membayar utang kepada kreditor dapat dijadikan dasar kepailitan terhadap debitor
tersebut di Indonesia.
NO ASPEK PERBANDINGAN STUDI TERDAHULU
1. Judul Skripsi ”Keberlakuan Prinsip
Kepailitan dalam studi
kasus Kepailitan
Manwani Santosh
56
Tekchand melawan
OCBC Securities.”
2. Fokus Penulis melakukan
analisa yuridis terhadap
kasus kepailitan Manwani
Santosh Tekchand
melawan OCBC
Securities, yang
permohonan pailitnya
didasarkan pada putusan
pengadilan asing. Dalam
mengomentari aspek –
aspek tersebut, penulis
berusaha melihat pokok
permasalahan dari sisi
Undang-undang Nomor
37 tahun 2004 mengenai
Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran
Utang. Yang menjadi
pokok permasalahan
dalam penulisannya,
adalah mengenai
pengaturan hukum
kepailitan dalam kasus
tersebut dan apakan
putusan pengadilan asing
yang telah memutus
57
bahwa seorang debitor
diwajibkan membayar
utang kepada kreditor
dapat dijadikan dasar
kepailitan terhadap
debitor tersebut di
Indonesia.
3. Waktu dan Tempat Gilang M Santosa dari
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia,
tahun 2012
58
BAB III
DATA PENELITIAN
A. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga
Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah
Pasal 27 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi:
1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 UU.No.48 Tahun 2009.
2. Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dan Oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Beberapa bentuk
Pengadilan khusus lainnya, antara lain seperti Pengadilan Hubungan Industrial
yang ditetapkan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang berada di bawah lingkunganPeradilan umum,
Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan UU No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup Peradilan Umum1.
Demikian halnya UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU
No.8 Tahun 2004 Tentang peradilan Umum, dalam Pasal 8 dinyatakan secara
tegas “Di lingkungan Peradilan Peradilan Umum dapat diadakan Pengkhususan
yang diatur dengan Undang-Undang”. Undang-Undang memberikan ruang untuk
terbentuknya Pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan Peradilan
Umum dengan syarat bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan
1 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 81-82.
59
melalui UU.Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa
perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang
cukup berarti.Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga
merupakan bahagian khusus di dalam lingkungan Peradilan Umum2.
Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat
menjadi sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara para pihak yaitu
Debitor dan kreditor secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan
demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan
perekonomian pada umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan
kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta3, hal
ini merupakan salah satu langkah positif dalam hal memperbaiki carut-marutnya
UUK terdahulu yang lahirakibat desakan International Monetery Fund (IMF)
karena peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan kolonial
Belanda selama ini kurang memadai dan kurang memenuhi tuntutan zaman4.
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak
(absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan
menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan
untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU)5.Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa
gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil
gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan
lain6.
2 Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: Sofmedia, 2010), h. 227.
3 Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 229.
4 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepalitan, (Jakarta: Rajawali Pers,
1999), h. 1-2. 5 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepalitan, …, h. 230.
6 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepalitan, …, h. 230.
60
B. Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga
Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai
fungsi penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata
yakni Pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap hutang-
hutangnya7.
Menurut Pasal 1131, segala kebendaan berhutang baik yang bergerak
maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan.
Pasal 1132 menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama
bagi semua orang yang mengutangkan padanya.Pendapatan penjualan benda-
benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan.
Kedua pasal tersebut diatas memberikan jaminan kepastian kepada
kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/lunas dengan jaminan
dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada
dikemudian hari Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata itu
merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas
transaksi-transaksi yang telah diadakan8.
Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur
merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara proporsional,
kecuali bagi krediturnya dengan hak mendahului (hak preferensi).Jadi pada
dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH perdata dan 1132
KUH perdata ini adalah bahwa UU mengatur tentang hak menagih bagi
kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur.
Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai lex generalis, maka ketentuan
kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.
7 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: Departemen Pendidikan Nasional, 2002), h. 10.
8 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, …, h. 10.
61
Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya
mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu :
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa
debitur tidak akan berbuat curang, dan bertanggung jawab atas semua
hutang-hutangnya kepada semua kreditur-krediturnya.
2. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.
Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga
atausebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat
asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132
KUH Perdata.
Oleh karena itu lembaga kepailitan berfungsi sebagai pengawas
implementasi pelaksanaan Peraturan Kepailitan dan mekanisme pembayaran
utang terhadap semua kreditur dengan mengacu yang diperintahkan Pasal 1131
dan Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan dasar hukum dari kepailitan9.
Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga, menurut Sudargo
Gautama merupakan pencangkokan institusi baru, Artinya Pencangkokkanya
itu diambil dari berbagai lembaga baru dalam sistem hukum dan praktek
hukum yang sudah ada dalam rangka Faillisemen.Dianggap wajar oleh
pembuat Undang-Undang, jika dalam rangka untuk menyediakan sarana
hukum sebagai landasan untuk menyelesaikan hutang piutang, dianggap perlu
peraturan kepailitan yang dapatmemenuhi kebutuhan dunia usaha yang makin
berkembang secara cepat dan bebas10
.PERPU (Peraturan pemerintah Pengganti
Undang-undang) No.1 Tahun 1998 dipilih untuk melakukan penyempurnaan
9 Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum, (Semarang: Elips Project, 1997), h. 5. 10
Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), H. 9.
62
atas peraturan Faillissemen yang sudah ada. Karena dengan demikian dapat
diharapkan bertindak lebih cepat dengan dasar pertimbanganya yaitu:
1. Adanya kebutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya
mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung
secara cepat, adil, terbuka, dan efektif untuk menyelesaikan piutang
perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional.
2. Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi
sejak pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah utang
piutang di kalangan dunia usaha nasional, dianggap perlu adanya
penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini. Untuk itu perlu kesediaan
perangkat hukum untuk memenuhi kebutuhan. Penyelesaian masalah utang
piutang. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi
secara normal. Bila kegiatan ekonomi berjalan kembali, akan berarti
pengurangan tekanan sosial yang menurut pengamatan pemerintah sudah
terasa banyak di lapangan kerja. Maka perlu diwujudkan penyelesaian
utang-piutang ini secara cepat dan efektif11
.
Dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Umum
disebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan ‘diadakanya pengkhususan’ ialah
adanyadiferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya
Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi”. Dengan
demikian dalam UU No. 4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga
yang merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU secara tegas menentukan :
1. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU,
berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan
yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang.
11
Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, …, h. 9.
63
2. Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan
secara bertahap dengan Keputusan Presiden (KEPRES), dengan
memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan
mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit,
dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki
kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan
kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)12
. Konsekuensinya, bahwa suatu
Pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan
kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang
lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain13
.
Pasal 300 ayat (1) memberikan kekuasaan kepada Pengadilan Niaga
untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan selain
perkara Kepailitan dan PKPU. Namun tidak terdapat penjelasan apa yang
dimaksud dengan perkara lain di bidang perniagaan tersebut, hal ini
disebabkan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan
demikian, Undang-Undang yang akan mengatur hal tersebut kelak, hendaknya
harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan
yurisdiksi dalam mengadili antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan
Negeri. Undang-Undang di bidang HAKItelah secara tegas menetukan bahwa
perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan
Niaga.Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain
menyelesaikan sengketa–sengketa di bidang kepailitan dan PKPU, juga
menyelesaikan sengketa HAKI.
12
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 229. 13
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 229.
64
C. Hakim Pengadilan Niaga
Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua
Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim
sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 ayat (2), adalah :
1. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum.
2. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-
masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan.
3. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
4. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim
pada pengadilan.
Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada
Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan Presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai
hakim Ad-hoc, baik pada tingkat pertama, Kasasi, maupun pada Peninjauan
Kembali (Pasal 302 UUK-PKPU).
Dalam hal pemeriksaan perkara Kepailitan, ada 2 jenis hakim yang
dapat memeriksa perkara Kepailitan yaitu14
:
1. Hakim Tetap
Hakim Tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi Hakim Pengadilan
Niaga.Landasan hukumnya dapat merujuk pada Pasal 302 ayat (1), dan pasal
302 ayat (2) UUK-PKPU.
2. Hakim Ad-Hoc
Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses
penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan dibentuknya
Pengadilan Niaga, juga di introdusir hakim Ad-hoc untuk dapat menjadi
bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga.
14
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 234.
65
Ide awal keterlibatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada
penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir”
cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-
perkara pada lingkup Niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar
dari “Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi
“Hakim Niaga”15
.
Pengangkatan hakim Ad-hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam UU No.4
Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan kembali dalam UU No. 37 Tahun 2004.
Selama berlakunya UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan oleh
UU No.37 tahun 2004, pengangkatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga telah
dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama, Keppres
No. 71/M/1999 tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang
hakim ad-hoc untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.Kedua, Keppres No.108/M/2000,
berisikan Pengangkatan 9 (sembilan) hakim Ad-hoc.Penempatan hakim Ad-hoc
dalam majelis hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim Ketua
Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih
dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara (Pemohon
Pailit).
Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283
ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998, maka bila tidak ada permintaan dari pihak
tersebut, maka hakim Ad-hoc tersebut tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara
lain mengakibatkan sistem hakim Ad-hoc tidak bekerja. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 303 ayat (3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai hakim Ad-
hoc yang membedakan dengan hakim Pengadilan Niaga lain adalah hakim ad-hoc
tersebut haruslah seorang “ahli”.
Jadi berdasarkan usulan dengan “hakim Niaga”dari Ketua Mahkamah
Agung melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang
15
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 235.
66
yang ahli sebagai hakim Ad-hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama
dengan “hakim Niaga” atau “hakim karir” seperti mempunyai kemampuan
pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan
Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi16
.
Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa kemungkinan
pengangkatan hakim Ad-hoc (sebagai hakim pengawas atau hakim majelis)
adalah17
:
1. Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan penetapan
Ketua Pengadilan Niaga yang selayaknya diberikan jika wajar (should not
bereasonably).
2. Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas
kewenanganyasendiri.
Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup terdapat
checkand balance.Biaya atau imbalan bagi hakim Ad-hoc tersebut, jika perlu
tambahandapat diambil dari harta Pailit.
Dalam Pasal 304 UUK-PKPU menentukan bahwa Perkara yang pada
waktu UU ini berlaku:
1. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah
diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dibidang Kepailitan sebelum berlakunya UU ini.
2. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan ketentuan
dalam UU ini.
Pasal 305 UUK-PKPU menentukan bahwa:“Semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU tentang Kepailitan
(Faillissements-verordening, Stbld 1905:217 jo Stbld 1906: 348)yang diubah
dengan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan
16
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 235-236. 17
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 235-236.
67
yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No.4 Tahun 1998 pada saatundang-
undangdiundangkan masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau
belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini.Berlakunya UUK-
PKPU No.37 tahun 2004 mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi
(Faillissements-verordening Staatblad 1905:217 jo Staablad 1906:348) dan UU
No.4 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 UUK-PKPU yang menyatakan:“Pada
saat UU ini mulai berlaku, UU Tentang Kepailitan (Fv dan UU No.4 Tahun 1998)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.Selain Hakim tetap dan Hakim Ad-hoc di
atas ada 1 hakim lagi yang berperan dalam perkara Kepailitan yakni Hakim
Pengawas.Hakim pengawas ini berperan untuk mengawasi pelaksanaan
pemberesan harta pailit, dalam keputusan Kepailitan, yang diangkat oleh
Pengadilan.Dahulu untuk hakim pengawas tersebut disebut sebagai hakim
komisaris, tetapi jika ada keberatan terhadap hakim pengawas dapat ditempuh
prosedur keberatan.Dan Pengadilan wajib mendengar pendapat hakim pengawas
sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta
pailit18
.
Secara umum, tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit, seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 UUK-PKPU,
yang intinya sama dengan ketentuan Pasal 63 Fv yang tidak diubah dan dicabut
oleh UU No.4 Tahun 1998.
D. Kompetensi Pengadilan Niaga
Menurut UUK-PKPU, pengadilan yang berwenang untuk mengadili
perkara permohonan Kepailitan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi daerah tempat kedudukan hukum si debitur. Dan apabila debitur
adalah badan Hukum maka merujuk pada kedudukan hukum yang terdapat
18
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan: Perusahaan Dan Asuransi, (Bandung: Alumni, 2007), h. 56.
68
pada anggaran dasarnya (Pasal 3 ayat (5) Dalam hal Debitor telah
meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang
berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan Pailit adalah
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir
Debitor. Bila dalam hal Debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga
berwenang memutuskan. Dalam hal Debitur tidak berkedudukan di wilayah
negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di
wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan
adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau
kantor pusat si debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara
Republik Indonesia.
Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan
hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.Yang
dimaksud pengadilan menurut UUK-PKPU ini adalah Pengadilan Niaga yang
merupakan pengkhususan Pengadilan di bidang Perniagaan yang dibentuk
dalam lingkup Peradilan Umum.Pengadilan Niaga yang pertama kali di dirikan
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Pembentukan Pengadilan Niaga dilakukan
secara bertahap dengan keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan
dan kesiapan sumber daya yang di perlukan.Sebelum Pengadilan Niaga
terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkupkewenangan Pengadilan Niaga
diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Hal ini berdasarkan pasal 281 ayat (1) PERPU No.1 Tahun 1998 jo.UU
No.1 tahun 1998 kemudian dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan
memutus perkara yang menjadi lingkup Pengadilan Niaga sebagaimana dalam
bagian ketentuan Penutup Bab VII Pasal 306 UUK-PKPU tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang bunyinya adalah sebagai
berikut:Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk
69
berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang
memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan
Niaga.
Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang mana Pengadilan Niaga tersebut berwenang untuk menerima
permohonan Kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup di seluruh wilayah
Indonesia dan untuk pertama kali Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diberikan
yurisdiksi terbatas yaitu untuk memeriksa permohonan Pailit19
. Namun dengan
lahirnya UUK-PKPU maka pengaturan kewenangan Pengadilan Niaga harus
mengacu pada UUK-PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 306 UUK-PKPU
yaitu:Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk
berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat 1 PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang
perubahan atas UU No.4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa
dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.
Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga, kewenangan
mengadili (Kompetensi Absolut) hanyalah meliputi pemeriksaan dan
pemutusan perkara permohonan Kepailitan dan PKPU saja, dan untuk pertama
kali Pengadilan Niaga dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.Untuk menjalankan proses pemeriksaan perkara
Kepailitan Pasal 301 UUK-PKPU menentukan:
1. Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan
majelis hakim.
2. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 300 ayat 1, Ketua Mahkamah Agung dapat
19
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan: Perusahaan Dan Asuransi, …, h. 76.
70
menetapkan jenis dannilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan
diputus oleh hakim tunggal.
3. Dalam menjalankan tugasnya, hakim Pengadilan dibantu oleh seorang
panitera atau seorang panitera pengganti dan juru sita.
Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian perkara
Kepailitan adalah tentang kewenangan Pengadilan antara Pengadilan Niaga
dan Pengadilan Negeri. Berdasarkan cetak biru Pengadilan Niaga, maka
terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan di Pengadilan Niaga tidak
efektif. Hal ini terjadi karena sering kali ada perkara-perkara Kepailitan yang
ternyata menimbulkan persinggungan antara Pengadilan Negeri dengan
Pengadilan Niaga20
.
Persinggungan yang terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah
dinyatakan Pailit dan seharusnya berdasarkan UUK-PKPU dikelola oleh
kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.Hal ini
dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut menjadi kompetensi
pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri21
.
Untuk mencegah terjadi persinggungan perlu ada mekanismenya.
Pasalnya, selama ini bila ada perkara-perkara Kepailitan dan HAKI yang
diajukan ke Pengadilan Negeri tidak ada mekanisme pencegahannya, Karena
berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim tidak boleh menolak perkara
dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Selain menangani perkara kepailitan
dan PKPU serta perkara-perkara dibidang perniagaan lainnya, Pengadilan
berwenang menangani perkara pernyataan permohonan Pailit dari para pihak
yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang menentukan bahwa: Pengadilan berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan Pailit dari para pihak
yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase, sepanjang utang yang
20
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 231. 21
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), …, h. 231-232.
71
menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UU ini.
Menurut Sutan Remy, pembentukan Pengadilan Niaga dalam mengadili
perkara-perkara Perniagaan, didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan
efektifitas, perkara-perkara Kepailitan. Upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara
Kepailitan adalah langsung Kasasi ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding
melalui PengadilanTinggi. Dengan demikian, perkara Kepailitan akan berjalan
lebih cepat bila dibanding dengan pemeriksaan biasa di Pengadilan Negeri22
.
Putusan perkara permohonan kepailitan akan lebih efektif oleh karena
menurut Undang-undang kepailitan putusan perkara permohonan Kepailitan
tersebut bersifat serta merta artinya, kurator telah dapat menjual harta Pailit
meskipun pernyataan putusan pernyataan Pailit tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum tetap, karena terhadap putusan itu diajukan upaya hukum
kasasi23
.
Pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya memberikan Jalan bagi
proses reformasi hukum Kepailitan itu sendiri, tetapi memiliki efek lebih jauh
yaitu melapangkan jalan bagi reformasi Peradilan dalam bidang perekonomian
lainya24
, tanpa mengesampingkan asas yang ada dalam Undang-Undang
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang antara lain:
1. Asas Keseimbangan
Merupakan perwujudan dari asas keseimbangan yaitu, di satu pihak,
terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga Kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak,
22
Sutan Remy Sjahdeny, Hukum Kepailitan: Memahami Failissementsverordening juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafity, 1992), h. 149.
23 Elijana S, Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), h. 15-16. 24
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan: Perusahaan Dan Asuransi, …, h. 75.
72
terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga Kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang
prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Bahwa ketentuan mengenai Kepailitan dapat memenuhi rasa
keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.Asas keadilan ini untuk
mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor,
dengan tidak memperdulikan Kreditor lainya.
4. Asas Integrasi
Bahwa sistem hukum Formil dan hukum materiilnya merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata
nasional.
73
BAB IV
KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS KASUS KEPALITAN ABDUL
HARIS – YATI EFFENDI MELAWAN OMAN SAEPUROHMAN
A. Kasus Posisi
Permasalahan yang terdapat dalam putusan ini adalah permohonan pailit
pada pemeriksaan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 58/Pdt.Sus.Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst
tanggal 8 Januari 2004 yang diajukan oleh Abdul Haris dan Yati Effendi kepada
Oman Saepurohman atas utang yang telah jatuh tempo sesuai Akte Pengakuan
Hutang No. 4 Tanggal 22 Januari 2013, yang dibuat oleh Nuniek Indah Puspita,
SH. Telah berhutang kepada para pemohon masing-masing sejumlah Rp.
95.000.000,- (Sembilan puluh lima juta rupiah) dan Rp. 405.000.000,- (empat
ratus lima juta rupiah) atas pembelian sejumlah materai untuk kebutuhan usaha
termohon. Masing–masing pinjaman tersebut telah jatuh tempo tanggal 20
September 2012 (in casu Pemohon I) dan tanggal 10 September 2012 (in casu
Pemohon II), seseuai cek–cek Bank BJB No. 064518 senilai Rp. 95.000.000,-
(Sembilan puluh lima juta rupiah) dan Rp. 405.000.000,- (empat ratus lima juta
rupiah) yang diberikan oleh termohon kepada para pemohon dan diperpanjang
lagi menjadi tanggal 20 september 2013 untuk Pemohon I dan Tanggal 10 April
2013 untuk Pemohon II.
Bahwa pada saat jatuh tempo hutang Termohon setelah perpanjangan
masa pelunasan hutang, para Pemohon melalui telepon berulang kali menagih
kepada Termohon agar melunasi hutangnya, namun yang diperoleh hanya janji
akan dibayar. Kemudian Para Pemohon melalui Kuasa Hukumnya, dengan surat,
masing-masing tanggal 23 September 2013 dan tanggal 25 September 2013
menegur dan memperingatkan Termohon agar dalam waktu 7 hari sejak tanggal
74
surat dikirimkan telah melakukan pembayaran kepada Para Pemohon, namun
itupun gagal dan tidak dihiraukan oleh Termohon.
Selain itu, Termohon juga memiliki utang kepada Kreditur lainnya.
Termohon meminjam dan memakai uang dari Hj. Eli Awalia sebesar Rp.
480.000.0000, H. Rizal Marzali sebesar Rp. 1.005.975.102 dan Aziz Rusli
sebesar Rp. 175.000.0000,.
B. Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pengadilan NegeriJakarta Pusat telah memberikan putusan Nomor
58/Pailit/2013/ PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 8 Januari 2014.Dari putusan Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat tersebut telah menjatuhkan bahwasanya menolak segala
permohonan para pemohon. Pertimbangan Hukum Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat dengan Amar sebagai berikut :
1. Menolak permohonan para Pemohon/Pemohon I dan Pemohon II
untukseluruhnya;
2. Menghukum para Pemohon /Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar
biayaperkara yang hingga kini ditaksir sebesar Rp316.000,- (tiga ratus enam
belas ribu rupiah.
C. Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)
Sesudah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut yaitu
putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
58/Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst diucapkan pada tanggal 8 Januari 2014, terhadap
putusan tersebut, oleh Pemohon I dan II melalui kuasanya, berdasarkan surat
kuasa khusus tanggal 20 Januari 2014, mengajukan permohonan pemeriksaan
Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat pada
tanggal 23 Januari 2014, sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan
Kembali Nomor 3 PK/Pdt.Sus-Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Nomor:
75
58/Pdt.Sus-Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 23 Januari 2014, permohonan
tersebut disertai dengan memori Peninjauan Kembali yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 23
Januari 2014 itu juga.
Alasan-alasan peninjauan kembali telah disampaikan kepada Termohon
pada tanggal 23 Januari 2014, akan tetapi Termohon tidak mengajukan jawaban
alasan peninjauan kembali. Permohonan pemeriksaan peninjauan kembali a quo
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 295, 296, 297
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, oleh karena itu permohonan pemeriksaan
Peninjauan Kembali tersebut secara formal dapat diterima.
D. Putusan Mahkamah Agung
Dalam Putusannya Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
pemeriksaan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: Abdul
Haris, dan Yati Effendi tersebut serta Membatalkan putusan Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 58/Pailit/ 2013/PN.Niaga.Jkt.Pst
tanggal 8 Januari 2014:
1. Mengabulkan permohonan Pernyataan Pailit dari Para Pemohon.
2. Menyatakan Termohon/Debitur Pailit dengan segala akibat hukumnya.
3. Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
untuk menunjuk seorang Hakim Pengawas yang ada di Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut untuk perkara ini.
4. MengangkatSdr. Reza Syafa'at Rizal, SH., MH., sebagai Kurator dalam
Kepailitan Termohon; Menetapkan imbalan jasa bagi kurator akan ditentukan
kemudian setelah kepailitan berakhir.
76
5. Menghukum Termohon Peninjauan Kembali/Debitor untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan dan pemeriksaan peninjauan kembali,
yang dalam pemeriksaan peninjauan kembali ditetapkan sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).
E. Analisis Kasus
1. Tentang Persyaratan Permohonan Pernyataan Pailit.
Telah terbukti secara sederhana Termohon Peninjauan Kembali
berutang pada dua atau lebih kreditur yang telah jatuh tempo dan tidak
mampu membayar lunas utang-utangnya, Abdul Haris dan Yati Effendi
kepada Oman Saepurohman atas utang yang telah jatuh tempo sesuai Akte
Pengakuan Hutang No. 4 Tanggal 22 Januari 2013, yang dibuat oleh Nuniek
Indah Puspita, SH. Selain itu, Termohon juga memiliki utang kepada Kreditur
lainnya. Termohon meminjam dan memakai uang dari Hj. Eli Awalia sebesar
Rp. 480.000.0000, H. Rizal Marzali sebesar Rp. 1.005.975.102 dan Aziz Rusli
sebesar Rp. 175.000.0000,.
Dalam hal ini debitur diangap melakukan wanprestasi dia gagal
melakukan pembayaran kembali pokok pinjaman atau bunga, pada tanggal
jatuh tempo, atau tidak membayar biaya-biaya lainnya yang merupakan
kewajibannya menurut perjanjian kredit atau dokumen lainnya yang
terikat1.Menurut Subekti,
2 wanprestasi dapat berupa empat kategori, yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
1Munir Fuady,Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h.
50-53. 2Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross collateral Sebagai UpayaPenyelesaian Kredit
Bermasalah, ..., h. 55-56.
77
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Serta menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan pernyataan
pailit dapat diajukan, jika persyaratan kepailitan tersebut di bawah ini telah
terpenuhi:
a. Debitor tersebut memiliki dua atau lebih kreditor.
b. Harus ada utang.
c. Debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih.
Walau dengan adanya persyaratan yang limitatif tersebut, suatu
kreditor tetap dapat dengan mudah mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitornya, namun dalam prakteknya masih menimbulkan beberapa
masalah yang berawal dari perbedaan interpretasi terhadap substansi yang
tidak secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan
permohonan pailit.3Dalam kasusnya, Termohon juga memiliki utang kepada
Kreditur lainnya. Termohon meminjam dan memakai uang dari Hj. Eli
Awalia sebesar Rp. 480.000.0000, H. Rizal Marzali sebesar Rp.
1.005.975.102 dan Aziz Rusli sebesar Rp. 175.000.0000,.Menurut Pasal 2
ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah debitor
harus mempunyai dua kreditor atau lebih4.
2. Tentang Prosedur Permohonan Pailit
Peneliti Berpendapat bahwa prosedur permohonan pernyataan pailit
yang diajukan oleh Abdul Haris dan Yati Effendi kepada Oman Saepurohman
atas utang yang telah jatuh tempo sesuai Akte Pengakuan Hutang No. 4
Tanggal 22 Januari 2013, yang dibuat oleh Nuniek Indah Puspita, SH. Telah
sesuai dengan ketentuan prosedur permohonan pernyataan pailit sebagaimana
3 Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), h. 42-43. 4Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia, …, h. 42-43.
78
diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang5. Pemohon
mengajukan permohonan pernyataan Pailit kepata Ketua Pengadilan Niaga.
Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada
tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon
diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
Upaya hukum setelah Pengadilan Niaga menjatuhakan putusan atas
permohonan pernyataan pailit, maka upaya hukum yang dapat diajukan
terhadap putusan tersebuit adalah upaya hukum luar biasa (Peninjauan
Kembali), dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam
Undang-Undang. Yang dimaksud dengan “hal atau keadaan tertentu” dalam
ketentuan ini, antara lain adalah ditemukannya bukti baru dan/atau
kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya. Dalam Undang-
Undang Kepailitan juga menentukan alasan atau dasar yang dapat digunakan
untuk mengajukan Peninjauan Kembali secara limitatif.Dalam pasal 295 ayat
(2) Undang-Undang Kepailitan, ditentukan alasan atau syarat atau dasar-dasar
yang dapat digunakan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali6.
5 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 87.
6 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 98.
79
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan :
1. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam perkara Nomor: 58/PAILIT/2013/
PN.NIAGA.JKT.PST untuk menetapkan Subjek Pemohon Kepailitan yang
dapat dikriteriakan sebagai Concursus Creditorium (memenuhi syarat adanya
dua atau lebih kreditor), dalam pertimbangan hukumnya tidak mengabulkan
permohonan para pemohon dan menghukum para pemohon.
2. Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya tentang Concursus
Creditorium (perbarengan kreditor) dalam perkara ini menerapkan teks
Undang-Undang (pasal 2 ayat (1) UUKPKPU) terhadap kasus in concreto,
namun belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi
hanya sekedar menerapkan silogisme. Hal tersebut terbaca pada pertimbangan
hukum Mahkamah Agung yang pada satu sisi tidak memberikan suatu alasan
tentang persyaratan kedudukan kreditor lain sebagai ikut Penggugat (kumulasi
subjektif) melainkan persyaratan concursus creditorium dianggap telah
dipenuhi pada saat kreditor lain berkedudukan sebagai saksi di pengadilan.
3. Prinsip Concursus Creditorium ternyata merupakan syarat mutlak untuk
pengajuan permohonan kepailitan, yang harus diajukan oleh dua atau lebih
kreditor terhadap debitor yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
B. Rekomendasi :
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis menyarankan untuk:
1. Merubah perumusan mengenai syarat-syarat kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU, khususnya mengenai kalimat yang menyebutkan ”Baik
80
ataspermohonan sendiri” dengan kalimat ”Baik atas permohonan debitor”
supaya tidak menimbulkan makna ganda;
2. Menambah perumusan penjelasan Pasal 2 ayat (1), agar dalam kalimat ”dua
atau lebihkreditor” dalam perumusan itu mengandung maksud “dua atau
lebihkreditor” dalam arti sebagai Penggugat atau sebagai penggugat sekaligus
saksi;
3. Penjelasan mengenai status harta bersama yang terikat perkawinan apabila
salah satu dari pihak mengalami kepailitan.
81
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi I. Jakarta: Granit.2004.
Anisah, Siti. Perlindungan Kepemtingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum
Kepailitan Di Indonesia.
Atmadjaja, M. H. Tirta. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan. Jakarta: Djambatan.1970.
Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.2001.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.1993.
E. Suherman. Faillisement (Kepailitan). Bandung: Binacipta. 1988.
Elijana S. Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Bandung: Alumni.2001.
Fuady, Munir. Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.2009.
Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.2010.
Gautama, Sudargo. Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti.1998.
Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: Departemen Pendidikan Nasional.2002.
Hartkamp, Arthur S. dan Marianne M. Tillema. Contract Law. Devender:
Kluwer.1993.
Hartono, Sri Redjeki. Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam Kerangka
Pembangunan Hukum. Semarang: Elips Project.1997.
Hikmah, Mutiara. Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Perkara-
Perkara Kepailitan. Bandung : Refika Aditama.2007.
Ibrahim, Johannes. Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian
Kredit Bermasalah. Bandung: CV. Utomo.2004.
82
Ikhwansyah, Isis dkk. Hukum Kepailitan.Bandung: Keni Media.2012.
Irawan, Bagus. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan, dan Asuransi, cet. 1.
Jakarta : PT. Alumni. 2007.
Lontoh, Rudi A. dkk, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung : Alumni.2001.
Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.2013.
Mahadi. Falsafah Hukum: Suatu Pengantar. Bandung : Alumni. 2003.
Manaf, Abdul. Aplikasi Atas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri Dalam
Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung. Bandung: CV.
Mandar Maju.2006.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.2009.
Penilitian Hukum, cet. VIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2013.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.1997.
Muljadi, Kartini. Actio Paulina dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam
Rudhy A. Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung : Alumni. 2001.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2004.
Melati, Sri Gambir. Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia. Bandung: Alumni.2000.
Melong, Lexy.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karja.2000.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet.
V. Bandung: Alumni.1986.
R. Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: PT. Bina Cipta.1994.
Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.2008.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI. Jakarta: Intermasa.1994.
Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.1987.
83
Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.1987.
Sunarmi. Hukum Kepailitan (edisi 21). Jakarta: Sofmedia.2010.
Suyatno, Thomas. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta: Gramedia.1993.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.1986.
Soekardono. Hukum Dagang Indonesia Jilid 1. Jakarta : Soeroenga. 1960.
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta:
IBI.1993.
Hukum Kepailitan Memahami Failissementsverordening Juncto Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.2003.
Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.2009.
Tumbuan,Fred B.G. “Mencermati Makna Debitor, Kreditor, dan Undang-Undang
Berkaitan Dengan Kepailitan”, Dalam : Emmy Yuhassarie, Undang-Undang
Kepailitan dan Perkembangannya. Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum.2005.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.2003.
Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika. 2006.
Widjaja, Gunawan. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis: Pemilikan, Pengurusan,
Perwakilan, dan Pemberian Kuasa dalam Sudut Pandang KUH Perdata.
Jakarta: Kencana.2004.
Resiko Hukum Dan Bisnis Perusahaan. Jakarta: Forum Sahabat.2009.
Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta: Rajawa;I
Pers.1999.
84
Artikel Dan Outline
GH Treitel, An Outline of Law of Contract. Butterworths. London.1998.
Bakti A, Yudha. Causa Materials Hukum Bisnis: Tinjauan Perjanjian Baku Dalam
Hukum Perjanjian Indinesia. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas
Jayabaya.2005
Peraturan Perundang - Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata