KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN MENURUT NURCHOLISH
MADJID
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Syarifuddin
NIM: 11150331000001
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
أ
Tidak dilambangkan
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
te dengan garis di bawah ط
zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ء
y ye ي
Vokal Panjang
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ā a dengan topi di atas أ
ī i dengan topi di atas إي
ū u dengan topi di atas أو
v
ABSTRAK
Kebahagiaan dan kesengsaraan merupakan salah satu gagasan Nurcholish
Madjid, selain sosial, politik, ekonomi, negara, dan lain-lain, yang dibangun dari
pemikiran etika Islamnya. Ia merasa perlu adanya rekonstruksi pemahaman
mengenai makna kebahagiaan dan kesengsaraan itu sendiri, yang merupakan
tujuan utama dari perjalanan hidup manusia. Karena di zaman modern ini, makna
kebahagiaan mulai menyimpang dari yang sebenarnya. Gaya hidup yang
konsumtif dan bendawi dianggap sebagai kebahagiaan yang sejati.
Kebahagiaan dan kesengsaraan menurut Nurcholish Madjid bukanlah
pengalaman jasmani dan hal yang bersifat bendawi, melainkan pengalaman rohani
atau keadaan psikologis. Negasi dan afirmasi dalam syahadat pertama menjadi
metode yang dikonsepkan Nurcholish Madjid dalam menuju kebahagiaan yang
sejati. Nurcholish Madjid menggunakan multipendekatan dalam merumuskan
konsep-konsepnya. Meskipun demikian, sumber utamanya adalah tetap al-Qur‟an.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka
(library research). Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber
literatur perpustakaan. Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan
menggunakan metode anilisis deskriptif, di mana pandangan-pandangan
Nurcholish Madjid tentang kebahagiaan dan kesengsaraan dijabarkan terlebih
dahulu secara objektif untuk kemudian dianalisis. Data yang telah dideskripsikan
dan dianalisis lalu disajikan menggunakan teknik penulisan berdasarkan pada
buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Jakarta:
Ceqda, 2007.
Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa metode negasi
dan afirmasi merupakan metode yang mengarahkan manusia tidak hanya berbuat
baik dalam aspek dengan Tuhannya, melainkan juga dalam aspek sosialnya.
Menjalin hubungan baik terhadap aspek sosialnya dan usaha terus-menerus
menempuh jalan Allah sambil harap-harap cemas merupakan kebahagiaan sejati.
Sedangkan berbuat buruk terhadap aspek sosial dan berhenti usaha menempuh
jalan Allah dikarenakan merasa mengetahui Sang Kebenaran merupakan
kesengsaraan yang pasti.
Kata kunci: Kebahagiaan, Kesengsaraan, Negasi, Afirmasi.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelasaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “KEBAHAGIAAN
DAN KESENGSARAAN MENURUT NURCHOLISH MADJID” dengan lancar.
Sholawat dan salam semoga tetap kepada nabi Muhammad SAW, beserta
keluarganya dan sahabatnya.
Skripsi ini sebagai tugas akhir dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Agama (S. Ag) pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
ini selesai berkat bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis merasa perlu menyampaikan ucapan terima kasih yang
mendalam terutama kepada:
1. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils. selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia membimbing dan memberikan waktunya kepada penulis.
2. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA. selaku ketua prodi Aqidah dan Filsafat Islam
sekaligus dosen penasihat akademik. Juga Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.
Pd. Selaku sekretaris prodi Aqidah dan Filsafat Islam.
3. Kedua orang tua penuli , Ibu Mu‟dimah dan Bapak Su‟ied yang tak henti-
hentinya mendoakan, memberi semangat, menjadi pendengar yang baik, dan
yang pertama mengulurkan tangannya di saat terjatuh. Juga kepada adik
penulis, Lugi, yang selalu antusias menanyakan kapan wisuda.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 9
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 10
E. Metode Penelitian ................................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 13
BAB II BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Latar Belakang Keluarga ..................................................................... 15
B. Riwayat Pendidikan............................................................................. 23
C. Karya-Karya ........................................................................................ 32
D. Kiprah dan Wafat ................................................................................ 36
BAB III KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN
A. Definisi Kebahagiaan dan Kesengsaraan ............................................ 41
B. Menurut Filsafat Islam ........................................................................ 42
C. Menurut Tasawuf ................................................................................ 46
D. Aliran dalam Etika Islam..................................................................... 48
BAB IV KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN MENURUT
NURCHOLISH MADJID
A. Kebahagiaan dan Kesengsaraan: Jasmani atau Rohani? ..................... 52
B. Pembebasan ......................................................................................... 61
C. Tanyalah Jalan ( l l-an) ............................................................... 63
D. Corak Etika Kebahagiaan Nurcholish Madjid .................................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 71
B. Saran .................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memperjuangkan hidup karena mempunyai tujuan di dalamnya,
entah itu tujuannya bersifat personal maupun kelompok. Tak dapat dipungkiri
bahwa tujuan itu secara substansial adalah untuk memperoleh kebahagiaan (
dah) dan sebisa mungkin menghindari kesengsaraan ( wah). Kita selalu
mendengar adagium yang sering diucapkan orang bahwa hidup itu tidaklah
mudah, sebab tidak semua keinginan kita terwujud, atau hidup itu sendiri berjalan
tidak seperti yang diinginkan. Hal ini menjadikan kebahagiaan dan kesengsaraan
menjadi suatu hal yang harus diperjuangkan. Ia menjadi cita-cita dari upaya yang
dilakukan manusia setiap harinya.1
Secara umum, kebahagiaan adalah suatu keadaan dimana perasaan merasa
terbebas dari hal-hal yang dibebani dan ditakuti. Sedangkan kesengsaraan adalah
sebaliknya, suatu keadaan di mana ia ma ih berada dalam „lingkaran‟ beban dan
ketakutan-ketakutan. Karena masalah kebahagiaan dan kesengsaraan merupakan
masalah kemanusiaan yang paling hakiki maka bukan hal yang tabu jika semua
ajaran baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata
membicarakan masalah itu. Ajaran-ajaran itu menjanjikan kebahagiaan bagi
pengikutnya dan mengancam para penentangnya dengan kesengsaraan. Gambaran
tentang wujud kebahagiaan dan kesengsaraan itu beraneka ragam. Namun semua
1 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Cet. IV (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
214.
2
ajaran dan ideologi selalu mengatakan bahwa kebahagiaan yang dijanjikannya
atau kesengsaraan yang diancamnya adalah sejati atau abadi.2
Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk senantiasa mencari dan terus
mengejar kebahagiaan. Ketika kebahagiaan dicapai maka otomatis akan jauh dari
kesengsaraan. Islam mengharuskan kepada pemeluknya untuk mengimani adanya
surga dan neraka, dimana hal itu merupakan tempat terakhir dari hirarki
kehidupan manusia, mulai dari alam dunia, alam kubur, hingga alam akhirat.
Meskipun banyak muncul penafsiran mengenai surga dan neraka yang berbeda-
beda, semuanya berkeyakinan surga sebagai tempat seluruh kebahagiaan dan
neraka sebagai tempat yang penuh dengan kesengsaraan.
Dalam kehidupan modern saat ini, manusia menghadapi berbagai persoalan
makna dan tujuan hidup. Diantaranya adalah tekanan yang berlebihan kepada segi
material kehidupan. Kemajuan dan kecanggihan teknologi menggiring kepada
pola pikir manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat praktis dan
lahiriyah saja. Bahagia dalam kosa kata manusia modern hampir-hampir identik
hanya dengan keberhasilan atau tercapainya angan-angan dalam kehidupan
material, meskipun hampir semuanya sepakat bahwa tidak ada kaitan atau bentuk
hubungan yang mantap antara kebahagiaan dan kesengsaraan dengan keadaan
kaya atau miskin.3 Ukuran bahagia dan tidaknya kebanyakan terbatas hanya
kepada seberapa jauh ia bersangkutan menampilkan dirinya secara lahiriyah,
dalam kehidupan material.
2 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, dalam Budhy
Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. II (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), h. 103.
3 Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Jakarta: Mizan, 2013), h. 44.
3
Hendaknya tidak terjadi salah paham, agama Islam sangat menghargai kerja
keras dan kekayaan material sehingga seorang yang beriman menjadi lebih kuat.4
Yang dikhawatirkan di atas adalah gaya hidup kebendaan yang berlebihan. Karena
potensi ke arah yang salah itu selalu ada pada manusia modern. Upaya untuk
mengejar kekayaan material begitu rupa menguasai hidup manusia modern
sehingga terkecoh oleh kehidupan fana dan rendah di dunia ini, dan melupakan
kehidupan yang lebih tinggi yaitu akhirat. Maksud yang di ebut dengan “terkecoh
dengan kehidupan rendah” adalah kurang lebih juga eperti apa yang di ebut oleh
ahli kontemporer ebagai gejala “kepanikan epi temologi ” akibat peni bian yang
berlebihan dalam pandangan hidup. Seperti di Eropa, misalnya, kini memang
sedang mengalami kepanikan tentang pengetahuan dan makna, yang kedua-
duanya itu merupakan persoalan utama yang menjadi topik bahasan epistemologi
dalam filsafat. Hidup di bawah gelimang harta terdapat perasaan yang seringkali
merasakan putus asa. Perasaan takut karena tidak adanya makna, tidak tetapnya
pengetahuan, dan bingung terhadap apa yang sebenarnya ia ketahui atau bahkan
apakah ia memang tahu. Segala hal tentang kemodernan membuat jiwa tak
menemukan makna kebahagiaan yang sejati. Makna hidup dan gempuran
pengetahuan sama nisbinya.5
Di negara maju, banyak terjadi kasus bunuh diri. Dibandingkan dengan
negara-negara lain justru negara yang paling maju yang menempati posisi
4 Sebuah hadis Nabi menyebutkan bahwa Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
Allah dari pada Mukmin yang lemah, tetapi pada keduanya ada kebaikan. Mukmin dianjurkan untuk bersungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya, dan mintalah tolong pada Allah dalam segala urusan. Lihat di https://almanhaj.or.id/3841-mukmin-yang-kuat-lebih-baik-dan-lebih-dicintai-oleh-allah-subhanahu-wa-taala.html /diakses pada 28 April 2019.
5Budhy Munawar-Rachman, ed., Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Keislaman,
Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019), h. 2432-2433.
4
terbanyak kasus bunuh diri, seperti Rusia, Korea, Amerika Serikat, dan Jepang.6
Kosongnya jiwa akan makna hidup mempunyai dampak yang sangat besar dan
mendasar. Hal itu membuat sesorang tidak memiliki rasa harga diri yang kukuh
dan tidak siap dengan segala persoalan hidup yang dihadapi, dengan hidup yang
kadang tak sesuai dengan apa yang diimpikan. Sampai di sini kita mendapat
pemahaman bahwa penekanan hanya terhadap kehidupan material atau bersifat
duniawi tidak membawa manusia kepada kebahagiaan yang sejati.
Oleh karena itu, ajaran Islam dirasa sangat relevan dijadikan pegangan
terhadap kehidupan manusia modern. Di dalam Islam mengajarkan kebahagiaan
dan kesengsaraan yang bersifat jasmani dan ruhani atau duniawi dan ukhrawi,
namun tetap membedakan keduanya. Dalam Islam dianjurkan untuk mengejar
kebahagiaan di akhirat, namun juga tidak lupa atau mengabaikan kebahagiaan
hidup di dunia ini. Seperti dalam QS. Al-Qashash/28: 77.7
Sekarang, apa yang dimaksud dengan kebahagiaan yang sejati? Mungkin
salah satunya menurut manusia modern adalah satu hal yang mesti didukung oleh
pertimbangan akal (rasional). Namun tidak semuanya dapat diketahui melalui
pertimbangan akal, karena kebahagiaan tidak sepenuhnya hanya berada di dalam
dunia empirik. Boleh disebutkan bahwa kebahagiaan harus dicari dari sumber-
sumber yang berasal dari luar akal manusia, meskipun tidak boleh bertentangan
dengan akal itu sendiri.
Karena kebahagiaan tidak bisa sepenuhnya dicari melalui proses-proses
rasional maka pasti ada jalan lain yang kiranya bisa mengantarkan kepada jalan
6http://m.detik.com/news/berita/d-4391681/tingkat-bunuh-diri-indonesia-dibanding-
negara-negara-lain /diakses pada 27 April 2019. 7 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 105-106.
5
menuju kebahagiaan itu. Menurut Nurcholish Madjid, salah satunya adalah
melalui jalan “beribadat dan berfikir” yang berlanda kan dengan keimanan yang
kokoh dan benar. Beriman yang benar akan melapangkan jalan pikiran dan
mengarahkan kepada perbuatan yang benar pula.8
Beribadat dan berfikir merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan.9
Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak ayat yang menyuruh kita menggunakan akal
untuk berfikir, merenungkan, dan lain sebagainya. Dengan berfikir tersebut maka
kita dapat beriman atau manambah keimanan dalam praktik ibadat kita.
Manusia memerlukan teleskop untuk mengetahui wujud alam yang besar
ini, salah satunya seperti luar angkasa. Sedangkan untuk mengetahui benda-benda
yang kecil seperti bakteri dan amoeba, manusia membutuhkan mikroskop. Tapi
alat-alat itu hanya untuk membantu kita melihat objek yang bersifat indrawi atau
lahiriyah, sedangkan untuk hal-hal yang tidak bersifat indrawi atau lahiriyah maka
alatnya adalah al-Qur‟an.
Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak seruan untuk mengamalkan amalan-
amalan keagamaan. Amalan-amalan keagamaan seperti bersyukur, istighfar, doa,
dan lain sebagainya adalah untuk mendidik kita agar memiliki pengalaman
ketuhanan dan menanamkan kesadaran yang sedalam-dalamnya. Sebab dari
kesadaran ketuhanan itulah berpangkal dan memancar seluruh sikap hidup yang
benar, dan dengan kesadaran ketuhanan itu pula kita akan dibimbing ke arah
8 Budhy Munawar-Rachman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid, h. 2435.
9 Budhy Munawar-Rachman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid, h. 2435.
6
kebajikan atau amal saleh yang mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat.10
Di samping persoalan keimanan yang erat hubungannya dengan
kebahagiaan dan kesengsaraan, perlu ditegaskan juga bahwa pengamalan iman
tersebut janganlah dipandang sempit atau keimanan yang secara vertikal saja,
tetapi secara universal, dengan aspek horizontal dalam kehidupan sehari-hari.
Keimanan secara horizontal adalah seperti yang disebutkan dalam al-Qur‟an surat
al-Baqarah/2:177; Ialah tentang orang yang mendermakan hartanya sekalipun dia
cinta sekali kepada harta itu untuk kerabat dan keluarga yang memerlukan, untuk
anak-anak yatim, orang-orang miskin, mereka yang terlantar dalam perjalanan,
mereka yang meminta-minta dengan kesungguhan, dan untuk membebaskan
budak.11
Sederhananya, hemat penulis, iman secara vertikal bisa direalisasikan
dengan “ m- ’- h l h”, menegakkan shalat sebagai komunikasi dengan Tuhan,
sedangkan secara horizontal dengan “ l- k h”, mendermakan akat
sebagai komunikasi dengan sesama manusia dengan semangat
berperikemanusiaan.
Kebahagiaan dan kesengsaraan merupakan topik yang selalu hangat
diperbincangkan. Meskipun zaman bergerak dinamis namun setiap manusia
mempuyai cita-cita keinginan yang tetap, apapun jalannya, kebahagiaan sebagai
muaranya dan kesengsaraan dihindarinya. Ada banyak tokoh intelektual Islam
sejak zaman klasik sampai modern saat ini menuangkan dan mencurahkan
10
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. III (Jakarta: Paramadina, 2008), h. 161.
11 Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Takwa Nurcholish: Kumpulan Khutbah Jum’at di
Paramadina, Cet. IV (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 172.
7
pemikirannya bagaimana memahami tentang pengertian, konsep, metode untuk
mencapai kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan tersebut. Seperti Al-Farabi,
Ikhwan al-Safa, dan lain-lain.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendongkrak semangat religiusitas dan
kesadaran dalam diri penulis maupun pembaca bahwa optimisme keagamaan
dalam hidup sangat diperlukan demi terangnya jalan makna dan tujuan hidup yang
sebenarnya, yaitu menemukan kebahagiaan yang sejati. Dari sekian banyak
pemikiran tentang hal itu, di sini penulis tertarik dengan pandangan Nurcholish
Madjid tentang kebahagiaan dan kesengsaraan. Seorang tokoh intelektual Islam
dan sebagai salah satu tokoh perubahan di Indonesia yang memiliki karya tulisan
yang banyak dan berkompeten di bidangnya. Tulisan-tulisannya banyak
mengupas berbagai hal, tak jarang juga tulisan-tulisannya juga menyinggung
mengenai etika Islam, seperti di dalam bukunya yang berjudul Fatsoen,
Masyarakat Religius, Islam Doktrin dan Peradaban, dan lain-lain.
Dasar dari etika Islam menurut Nurcholish Madjid adalah al-Qur‟an. Di
dalam karya-karyanya yang lain, Nurcholish Madjid memposisikan gagasan-
gagasan etika Islam ke dalam konsep bersosial, politik, negara, dan lain-lain.
Lebih dari itu, etika Islam bukan hanya menyangkut persoalan horizontal atau
hubungan manusia dengan sesama, tetapi juga vertikal atau hubungan manusia
dengan Tuhannya.
Mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan, adalah salah satu gagasan
Nurcholish Madjid yang erat kaitannya dengan etika Islam. Selain itu, tulisannya
mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan adalah sebagai pengalaman keagamaan
(pribadi) yang akan menyangkut konsep-konsep kefilsafatan dan kesufian.
8
Nurcholish Madjid berusaha melakukan penafsiran-penafsiran terhadap konsep
keagamaan mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan dengan metode falsafi
sekaligus mistis.
Nurcholish Madjid memiliki pandangan unik dan multi pendekatan terkait
teks-teks ayat suci yang berbicara masalah kebahagiaan dan kesengsaraan.
Apakah kebahagiaan dan kesengsaraan yang secara harfiah tergambar secara fisik
benar-benar seperti itu adanya? atau bukan seperti itu dan harus dilakukan
penafsiran secara metaforis ( ’ il) yang berarti teks-teks ayat suci itu bersifat
tamsil ibarat? Dan kemudian bagaimana caranya untuk menemukan kebahagiaan
itu dalam pandangan Nurcholish Madjid? Hal ini akan menjadi kajian yang
menarik dan dirasa perlu diketahui oleh kita semua. Maka dari itu penulis akan
membuat skripsi dengan judul “Kebahagiaan dan Ke eng araan Menurut
Nurcholi h Madjid”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas dan untuk menjaga efektifitas
pembahasan, penulis membatasi pembahasan mengenai kebahagiaan dan
kesengsaraan yang notabenenya banyak perspektif istilah, konsep, metode, dan
lain sebagainya, hanya kepada pandangan kebahagiaan dan kesengsaraan menurut
Nurcholish Madjid.
Berdasarkan pada latar belakang dan batasan masalah seperti tersebut di
atas, penulis merumuskan permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kebahagiaan dan kesengsaraan menurut Nurcholish Madjid?
9
2. Bagaimana metode meraih kebahagiaan yang sejati menurut Nurcholish
Madjid?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan beberapa rumusan masalah di atas, diharapkan penelitian ini dapat
menemukan capaian tujuan sebagai berikut:
1. Memperoleh informasi atau pemahaman pandangan Nurcholish Madjid
tentang hakikat kebahagiaan dan kesengsaraan.
2. Mengenalkan kembali pemikiran Nurcholish Madjid tentang
kebahagiaan dan kesengsaraan kepada khalayak umum dengan harapan
sebagai rujukan dalam berkehidupan sehari-hari.
3. Mendapatkan gelar Sarjana Strata 1 (S1) Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ketajaman dan keluasan pikiran Nurcholish Madjid mengenai persoalan
kebahagiaan dan kesengsaraan diharapkan menjadi tambahan bacaan
bagi siapa saja yang ingin mendalami khazanah pemikiran Islam.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Memperkokoh keimanan serta keyakinan yang kuat di kalangan
masyarakat, terutama umat Islam dalam menghadapi persoalan-
persoalan makna dan tujuan hidup.
2. Merangsang gairah keagamaan untuk semakin memantapkan Iman,
Islam, dan Ihsan.
3. Meneladani pemikiran-pemikiran segar yang dibawa oleh Nurcholish
Madjid dalam memahami realitas serta makna hidup.
10
D. Tinjauan Pustaka
Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh intelektual Islam di
Indonesia, maka menjadi hal biasa jika pemikiran-pemikiran beliau banyak ditulis
kembali baik berupa artikel, skripsi, tesis dan lain-lain. Namun pengamatan
penulis sampai sekarang ini tidak ada tulisan karya ilmiah yang membahas
pandangan beliau mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan.
Sejauh pengamatan penulis, terdapat bebarapa skripsi yang membahas
tentang pemikiran Nurcholish Madjid yang sedikit bersinggungan dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis, diantaranya adalah:
Skripsi yang ditulis oleh Anwar Sodik, “Tauhid dan Nilai-Nilai
Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid” (Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah 2008). Di dalamnya dikatakan bahwa ukuran bertauhid
tidaknya seseorang adalah tergantung totalitas sikapnya dalam kepasrahan, yang
tidak menyekutukan Tuhan kepada sesuatu yang pada dirinya tidak memiliki
kualitas ilahiah.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Fandi Ro adi, “Pandangan Nurcholi h
Madjid Pada Etika Beragama” (Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2010). Di dalamnya dibahas mengenai pandangan Cak Nur bagaimana
cara beretika dan beragama yang baik. Etika yang dimaksud adalah ilmu yang
menerangkan arti baik dan buruknya sesuatu, menjelaskan bagaimana seharusnya
sikap yang diambil sebagai orang yang beragama kepada sesama manusia. Agama
semestinya dijadikan media untuk menciptakan kedamaian dan menumbuhkan
rasa hormat terhadap segala perbedaan.
11
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Bahrur Ro i, “Kalimah Sa ā Sebagai
Kon ep Teologi Inklu if Nurcholi h Madjid” (Fakulta U huluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017). Di dalamnya berusaha dijelaskan mengenai pemikiran
Cak Nur tentang keislaman, keindonesiaan dan kemodernan yang pada tahun
1992 banyak menuai kritikan. Cak Nur tidak hanya menggunakn istilah Kalimah
pada keislaman saja, tapi juga pada konsep kenegaraan, yaitu dengan
menyingkronkan antara lim h dengan Pancasila. Hal tersebut digunakan
Cak Nur guna untuk membangun perdamaian antara ras, suku, dan bangsa.
Keempat, skripsi yang ditulis oleh Roman ah, “Pemikiran Nurcholi h
Madjid Tentang Fil afat Perenial” (Fakulta U huluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017). Di dalamnya dipaparkan relevansi filsafat perenialnya Cak Nur
dengan kehidupan berbangsa dan beragama. Filsafat perenial dalam kehidupan
beragama berusaha mencari titik temu beragamnya pemahaman yang ada
sehingga common platform yang menunjukkan adanya keberagaman tersebut
merupakan keniscayaan dan memberikan makna bagi kebersamaan.
Adapun setelah penulis melakukan tinjauan pustaka, maka bisa dipastikan
bahwa pandangan Nurcholish Madjid tentang kebahagiaan dan kesengsaraan
merupakan pertama kali dibahas, dan tidak ditemukan hasil penelitian yang sama.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research) yang
bersifat kualitatif, yang mana data diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan tulisan-
12
tulisan lain yang mendukung penelitian ini dan bisa dipertanggungjawabkan
secara akademik.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, ada dua sumber data yang digunakan. Pertama, sumber
primer, yaitu sumber atau karya yang menyediakan bahan utama yang menjadi
objek penelitian. Dalam hal ini yang menjadi sumber data primernya adalah
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Islam
Agama Peradaban, dan Pesan-Pesan Takwa yang merupakan karya Nurcholish
Madjid sendiri.
Kedua, sumber data sekunder, yaitu tulisan atau karya orang lain yang
mendukung gagasan, dan ide pemikiran mengenai objek penelitian ini. Seperti di
antaranya adalah Api Islam Nurcholish Madjid karya Ahmad Gaus, Penjara-
Penjara Kehidupan karya Komaruddin Hidayat, dan beberapa sumber lain yang
terkait.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena dalam penelitian ini termasuk library research maka teknik
pengumpulan data dilakukan di sebagian besar perpustakaan. Baik Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpusatakaan Fakultas Ushuluddin,
Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Nurcholish Madjid Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau perpustakaan lain yang
menyediakan literatur atau referensi yang berkaitan dengan tema yang akan
dibahas di penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dikumpulkan dan
13
diklasifikasi berdasarkan relevansinya terhadap penelitian ini, guna memperkuat
data-data yang ada.
4. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang dilakukan penulis adalah teknik analisis isi
(content analysis), dalam bentuk deskriptif, yaitu mencatat informasi secara
faktual yang menggambarkan suatu apa adanya juga menggambarkan secara rinci
akurat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan segala bentuk yang diteliti.
Oleh karena itu penulis dalam penelitian ini mendeskripsikan permasalahan yang
dibahas dan menggali materi-materi yang sesuai dengan pembahasan atau
penelitian, kemudian dilakukan analisis lalu dipadukan sehingga menghasilkan
kesimpulan.
5. Pedoman Penulisan
Mengenai pedoman penulisan dan transliterasi dalam penulisan skripsi ini,
penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah memahami terhadap permasalahan yang dikaji
dalam penelitian ini, maka disusun sistematika pembahasan secara utuh dan
sistematis yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab tersusun dari
bebarapa sub bab. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:
14
Bab pertama, memaparkan bebarapa hal yang menjadi permulaan dalam
penelitian ini, sehingga pembaca akan diarahkan untuk masuk ke dalam
pembahasan penelitian. Bab pertama ini meliputi latar belakang masalah yang
berisi tentang gambaran umum mengenai masalah kebahagiaan dan kesengsaraan
serta alasan penulis tertarik terhadap pemikiran tokoh Nurcholish Madjid,
kemudian signifikansi dan metodologi yang akan diaplikasikan.
Bab kedua, mengurai tentang biografi Nurcholish Madjid. Mulai dari kisah
perjuangan beliau di masa mudanya dalam mencari ilmu, membangun keluarga
kecil hingga organisasi-organisasinya, karya dan peran beliau terhadap keislaman
dan keindonesiaan, serta wafatnya.
Bab ketiga, berisi uraian landasan teori, di dalamnya membahas tentang
definisi kebahagiaan dan kesengsaraan secara umum baik dari segi bahasa
maupun istilah, kemudian menurut Filsafat Islam utamanya menurut tokoh-tokoh
yang juga membahas kebahagiaan dan kesengsaraan seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Maskawaih, kemudian dalam ilmu Tasawuf seperti menurut al-Ghazali dan
Hamka, kemudian terakhir dijelaskan mengenai aliran dalam etika Islam yang
menguraikan ciri-ciri serta aliran-alirannya.
Bab keempat, membahas kebahagiaan dan kesengsaraan menurut
Nurcholish Madjid, yang di dalamnya dibahas mengenai apakah kebahagiaan dan
kesengsaraan merupakan pengalaman jasmani atau rohani, kemudian metode-
metode yang harus dilakukan untuk menuju kebahagiaan, serta corak aliran etika
Islamnya Nurcholish Madjid
Bab kelima, merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari uraian-
uraian yang dibahas dan dideskripsikan dalam penelitian ini serta saran.
15
BAB II
BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Latar Belakang Keluarga
Nurcholish Madjid atau biasa dipanggil Cak Nur merupakan putra pertama
dari pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah. Nurcholish Madjid lahir di
Mojoanyar, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, pada Jumat Legi, tanggal 17
Maret 1939.1 Ayahnya, H. Abdul Madjid adalah seorang santri dari tokoh pendiri
Nahdlatul Ulama, Hadratu y Syaikh Ha yim A y‟ari di Pe antren Tebuireng,
Jombang. Semasa nyantri, hubungan Abdul Madjid dengan Kiai Hasyim bukan
hanya sekedar santri dengan kiai, melebihi itu Abdul Madjid sudah dianggap
seperti anak sendiri dan sangat dipercayai oleh sang kiai. Alhasil, karena
kedekatan itu, Kiai Hasyim menjodohkan Abdul Madjid dengan cucunya sendiri
yang bernama Halimah. Usia perkawinannya berlangsung sampai 12 tahun,
namun tidak dikaruniai anak. Sehingga mereka memutuskan untuk berpisah.
Kemudian Kiai Hasyim menjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonah, putri Kiai
Abdullah Sajjad, pendiri Pondok Pesantren Gringging, Kediri.2
Ketika partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dibentuk pada
November 1945 dan jabatan ketua umumnya dipercayakan kepada Kiai Hasyim,
H. Abdul Madjid bergabung ke Masyumi. Bahkan ketika Kiai Hasyim sudah tidak
aktif lagi di Masyumi karena NU keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri
1 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta:
Kompas, 2010), h. 3. 2 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 2.
16
sebagai partai tersendiri pada tahun 1952, H. Abdul Madjid tetap konsisten
menjadi anggota Masyumi.1 Dengan begitu Nurcholish Madjid lahir di tengah-
tengah keluarga NU yang berafiliasi politik modernis.
Pada awalnya, H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah menamai anak
pertamanya dengan nama Abdul Malik, kemudian diubah menjadi Nurcholish
Madjid pada usianya yang keenam tahun. Perubahan nama itu karena Malik kecil
sering sakit-sakitan. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, anak yang sering sakit
dianggap “kabotan jeneng” atau keberatan nama. Ala an lain juga bera al dari
Malik sendiri. Pada saat diajari mengaji oleh ibunya dan ketika membaca surat al-
Fatihah ia elalu meminta agar kata „maliki‟ (yaumiddin) dalam ayat ke-4 surat itu
diloncati saja. Malik kecil berkata: “Mak, nggak atik maliki-maliki Mak!” (Mak,
tidak u ah pakai „maliki-maliki‟ Mak!).2
Nurcholish Madjid adalah anak pertama dari lima bersaudara. Adik
Nurcholish Madjid berturut-turut adalah Radliyah atau Mukhli ah, Qani‟ah
(meninggal pada usia 15 tahun), Syaifullah Madjid dan Muhammad Adnan.3
Nurcholish Madjid meskipun lahir di lingkungan keluarga pesantren, tapi tidak
tinggal di lingkungan pesantren. Ketika Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar,
Kawasan itu masih didominasi kaum abangan. Mojoanyar, Kecamatan Bareng,
pada waktu itu memang salah satu tempat yang bisa dikatakan belum dominan
dari segi kultur dan pendidikan Islamnya dibandingkan wilayah lain di Kabupaten
Jombang.
1Faisal Ismail, Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu
Sekularisasi Islam (Jakarta: Lasswell Visitama, 2002), h. 18. 2 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 1.
3 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 3.
17
Pada tahun 1946, H. Abdul Madjid mendirikan Madrasah Diniyah al-
Wathoniyah. Dengan berdirinya Lembaga itu, menjadi sekolah Islam pertama di
desa tersebut dan menjadi cikal bakal terbentuknya tradisi pendidikan Islam di
Kecamatan Berang. Dinamakan al-Wathoniyah karena didirikan pada masa
revolusi, berharap siswa-siswi yang lahir dari rahim madrasah tersebut memiliki
pengetahuan dan semangat Islam serta berjiwa patriot.4
Hj. Fathonah, ibunda Nurcholish Madjid mengambil alih tugas mendidik
kaum perempuan di Mojoanyar. Pada awalnya ia mendengar laporan bahwa anak-
anak perempuan di dusun itu tidak bisa membaca al-Qur‟an, tidak mengerti tata
cara wudhu dan shalat yang benar. Jadi ia kemudian mengajari mereka. Tidak
hanya itu, ia juga mengajari hal-hal lainnya yang dirasa perlu diajarkan, seperti
fikih yang berhubungan dengan perempuan.5
Madrasah al-Wathoniyah yang didirikan oleh H. Abdul Madjid untuk
mengimbangi pendidikan sekular (Sekolah Rakyat/SR). ketiadaan lembaga
pendidikan agama merupakan salah satu alasan rusaknya perbuatan dan akhlak
kaum muda waktu itu, seperti suka berjudi dan minum minuman keras. H. Abdul
Madjid ingin merangkul dan membina generasi muda di lingkungannya agar tidak
semakin terjerumus kepada perbuatan yang jauh dari nilai-nilai agama Islam.
Nurcholish Madjid kecil adalah seorang yang pendiam. Jika sedang tidak
ada hasrat untuk bermain, ia hanya duduk di bawah pohon dan mengeluarkan
secarik kertas berisikan catatan pelajaran. Ketika teman-temannya satu-persatu
menghampirinya, ia kemudian menciptakan suasana belajar dengan menanyakan
4 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 3.
5 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 9.
18
mereka satu persatu dan membetulkannya jika jawaban mereka salah. Sejak kecil
Nurcholish sudah kelihatan menonjol di antara teman-temannya.
Ahmad Kholil, salah satu teman masa kecil Nurcholish, menuturkan
permainan yang sangat disukai Nurcholish ialah membuat saluran-saluran air di
sawah, menyusuri rel kereta api, dan bermain kapal-kapalan terbang. Saat bermain
kapal terbang Nurcholish membedakan konstruksi pesawat dari masing-masing
negara. Seperti, kapal terbang Inggris dibuat dengan ukuran sedang dan diberi
warna merah. Kapal terbang Jepang dibuat dengan ukuran kecil, dan kapal terbang
Amerika dibuat dengan ukuran paling besar dan dilumurinya dengan kapur putih.
Di lain hari, saat Nurcholish berjalan menyusuri rel kereta api dan sampai di
stasiun, ia kagum pada sang Masinis yang mampu menggerakkan rangkaian
gerbong yang sangat panjang. Kemudian kekaguman itulah yang menjadi awal
mula cita-cita Nurcholish Madjid kecil ketika ditanya oleh gurunya, yaitu ingin
menjadi Masinis.6
Nurcholish Madjid berencana akan menikah pada usia 30 tahun. Waktu
yang dirasa sudah cukup matang untuk membina rumah tangga. Pada tahun 1966,
atau tepat tiga tahun sebelumnya, ia pernah meminta kepada gurunya di Gontor
yang bernama Abdullah Mahmud untuk dicarikan teman hidupnya. Abdullah
Mahmud menyanggupi hal tersebut, kemudian ia segera menghubungi temannya
yang bernama H. Kasim (aktifis pergerakan Serikat Islam, donatur PII, dan
pengusaha bioskop di Madiun). Kebetulan Abdullah Mahmud memang tinggal di
rumah H. Kasim, jadi ia tahu kalau H. Kasim mempunyai banyak anak
perempuan. Kemudian H. Kasim menanggapinya dengan segera mengirim foto
6 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 8.
19
putrinya yang bernama Qomarijah atau biasa dipanggil Omi Komaria kepada
Nurcholish Madjid.7
Dalam suatu kesempatan bertugas keliling Jawa Timur, tepatnya di Madiun,
waktu itu ia menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI, saat itulah kesempatan
terbuka baginya untuk melihat secara langsung Omi Komaria. Strategi pertama
yang dilakukan Nurcholish Madjid adalah dengan menginap di rumah H. Kasim.
Sebelumnya, antara Nurcholish Madjid dan H. Kasim sudah saling kenal karena
beberapa kesempatan pernah bertegur sapa di Gontor saat pada zamannya ia
masih mondok, Organisasi PII sempat berkembang di sana. Saat Nurcholish
Madjid sedang asyik ngobrol dengan H. Kasim di ruang tamu rumahnya,
keluarlah Omi dari dalam rumah membawa teh hangat untuk dirinya. Itulah
perjumpaan pertama Nurcholish Madjid dengan perempuan yang kelak akan
menemani hidupnya. Saat itu Omi berusia 17 tahun, masih duduk di bangku kelas
dua SMA, dan Omi tidak adar kalau tamu yang ia uguhi teh itu edang „melihat‟
dirinya dan akan menjadi suaminya kelak.8
Nurcholish Madjid menyadari kalau perempuan yang ditaksirnya itu masih
terlalu muda untuk memasuki jenjang pernikahan. Karena itu sesampainya di
Jakarta, ia bersegera mengirim surat kepada H. Kasim dan menyatakan bahwa
dirinya mau berjuang dahulu mengingat Omi masih belum cukup umur.
Pada tahun 1968, sewaktu Nurcholish Madjid di Tanah Suci Mekkah, ia
memohon dengan kerendahan hati kepada Allah SWT agar sekiranya pulang dari
Mekkah ia diberikan jodoh yang membuat hidupnya lebih baik dan terlengkapi.
Kemudian ingatannya menerawang ke beberapa tahun lalu saat perjumpaannya
7 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 55.
8 Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa (Jakarta: Kompas, 2014), h. 71.
20
dengan perempuan yang ia taksir. Pertemuan yang hanya sekejap itu
membersitkan sebuah cahaya akan terbukanya jalan jodoh baginya. Ia berdoa di
depan Ka‟bah, jika perempuan itu memang ditakdirkan untuknya, maka
mudahkanlah urusannya. Maka dibuatlah sepucuk surat lamaran untuk
memastikan apakah perempuan itu masih belum ada yang memiliki dan sekarang
dimana keberadaanya karena ia segera ingin menemuinya saat pulang dari
Mekkah. Alamat surat itu ia tujukan kepada Abdullah Mahmud. Abdullah
Mahmud pun segera menyampaikan surat itu kepada H. Kasim. Ketika surat itu
diberikan kepada Omi, Omi pun terkejut dan terdiam sejenak, lalu mikir-mikir
dan akhirnya menja ab, “Ya udah, terima aja”.9
Pada tahun 1969, Omi sudah menjadi Mahasiswi semester empat di
Universitas Islam Indonesia di Solo. Saat ada acara PB HMI di Solo, Nurcholish
Madjid berniat menemui Omi di sana. sebelum itu, ia mampir di sekretriat HMI
cabang Solo, yang pada waktu itu Ketua Umumnya bernama Miftah Farid.
Nurcholish Madjid meminta bantuan Miftah agar dipertemukan dengan Omi.
Kemudian Miftah segera menemui Omi untuk mengajaknya ke Sekretariatnya
HMI Cabang Solo. Namun saat itu Omi tidak bisa karena ada kuliah. Kumudian,
Omi janjian dengan Miftah di salah satu apotek di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Di
tempat itulah Omi dikenalkan Miftah kepada temannya, dan dia adalah
Nurcholish Madjid. Omi ternyata sudah lupa dengan wajah Nurcholish Madjid.
Malamnya mereka jalan-jalan berdua keliling Solo pakai becak. Ngomong ngolor-
ngidul, membicarakan aktifitas, dan lain-lain. Bahkan pada malam itu juga
9 Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 72.
21
Nurcholish Madjid mengajak nikah Omi jikalau memang bersedia. Omi pun
mengiyakan ajakan baiknya.10
Dalam perjalanan di dalam bis antara Madiun dan Solo, Nurcholish Madjid
memberi sebuah nama kepada perempuannya, sebuah nama panggilan khusus
sebagai tanda sayang. Ia mengeja nama Qomarijah di buku kecilnya, kemudian
mencorat-coret huruf dalam nama itu, kemudian ia berkata: “Dik Qom, aya mau
ka ih nama”. “Ah, yang betul aja, memangnya kenapa?” tanya Qomarijah. “Ya
nggak apa-apa, ebagai tanda ayang aja, aya ka ih nama Omi, ya.” ja ab
Nurcholish Madjid. “Wah, bagu ekali” ahutnya dengan girang. Mendengar
jawaban itu Nurcholish Madjid tersenyum. Kemudian ia juga menyederhanakan
ejaan dalam nama Qomarijah. Kalau diindonesiakan, katanya, huruf Q diganti
huruf K, huruf J (ejaan lama) dan akhiran H dihilangkan. Kemudian nama itu
menjadi Omi Komaria. Sejak saat itulah asal-usul nama Omi Komaria dan
digunakannya.11
Kemudian perihal pernikahan mereka bicarakan berdua sebelum
disampaikan kepada orang tua masing-masing. Nurcholish Madjid pun tak lupa
memberi pe an kepada Omi: “Kalau kita nanti udah menikah, haru aling
mengerti satu sama lain, jangan karena sudah menikah, kita tidak bisa lagi aktif di
organi a i”. Pertemuan itu merupakan pertemuan kedua Nurcholish Madjid
dengan Omi Komaria.12
Hari yang sangat dinanti-nanti akhirnya telah tiba. Nurcholish Madjid dan
Omi Komaria menikah pada tanggal 30 Agustus 1969. Namun karena sangat
sibuk mengurus organisasi dan juga belum memiliki rumah sendiri, setelah
10
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 72. 11
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 58. 12
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 72.
22
melangsungkan pernikahan, beberapa bulan keduanya tidak tinggal satu atap.
Nurcholish Madjid tinggal di Sekretariat PB HMI di Jakarta, sementara Omi tetap
tinggal di rumah orang tuanya di Madiun. Kemudian setelah Nurcholish Madjid
mendapat kepastian dari temannya yang bernama Hartono, yang rela
meminjamkan rumahnya untuk ditempati Nurcholish Madjid dan istrinya, Omi
akhirnya dibawa ke Jakarta. Sejak tahun 1970 Nurcholis Madjid tinggal bersama
istrinya di rumah pinjaman seorang wartawan yang dermawan. Rumah itu terletak
di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Hartono tidak hanya meminjamkan rumahnya, ia
juga tiap bulan mengirimkan beras dan uang bulanan ala kadarnya. Bersamaan
dengan itu, nama Nurcholish Madjid begitu melejit ke permukaan lantaran
tuli annya yang menghebohkan: “Keharu an Pembaruan Pemikiran I lam dan
Ma alah Integra i Umat”. Karena hal itu, ia juga dituduh ebagai antek Orde
Baru, dan lain-lain. Tuduhan itu otomatis mengisyaratkan bahwa Nurcholish
Madjid telah mendapatkan keuntungan yang banyak secara materi dari rezim Orde
Baru. Akan tetapi hal demikian jauh dari kebenaran. Melihat kenyataan yang
sebenarnya terjadi pada keluarga Nurchlish Madjid, dalam segi ekonomi,
sangatlah sederhana. Makan sehari-harinya pun hanya memakai lauk tempe dan
garam. Bahkan pernah suatu saat putri pertamanya yang bernama Nadia, lahir
pada 26 Mei 1970, lagi sakit, sang istri tidak mempunyai uang sedikitpun untuk
membelinya, padahal obat tersebut hanya Rp. 1000 saja. Untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari yang begitu mendesak, sang istri kerap kali menjual barang-
barang miliknya, seperti baju bekas, perabotan, dan lain-lain, ke pedagang loak.13
13
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 73.
23
Bagi Nurcholish Madjid, masalah ekonomi dan hal kecil lainnya di dalam
keluarganya bukanlah sebagai penghambat dan penjara bagi kecerdasan
intelektualnya. Nurcholish Madjid tetap menjadi sosok yang produktif serta aktif
di berbagai organisasi yang selama ini digelutinya. Tentunya kehebatan dan
ketangguhan seorang Nurcholish Madjid ada sosok perempuan di belakangnya
yang selalu mendukung dan melengkapinya tiap waktu. Dialah seorang Omi
Komaria, sosok yang menerima Nurcholish Madjid dan selalu siap melawan sepi
di rumahnya saat ditinggal ke luar kota. Sosok perempuan yang menjadi the secret
power dibalik semua kesuksesannya.
B. Riwayat Pendidikan
Nurcholish Madjid lahir di dalam keluarga pesantren. Maka sejak kecil ia
berada dan tumbuh dalam dunia pesantren. Ayahnya, H. Abdul Madjid
mendirikan Madrasah al-Wathoniyah pada tahun 1946, maka madrasah itu
menjadi Pendidikan Islam dasar bagi Murcholish Madjid. Pada mulanya
Madrasah al-Wathoniyah sistemnya hanya dilakukan secara semi formal di dalam
mushalla yang masih berupa papan dan anyaman bambu. Baru pada tahun 1947
ayahnya mendirikan bangunan al-Wathoniyah di atas lahan kosong miliknya, di
bawah naungan Yayasan Wakaf Umat Sejahtera yang juga ayahnya dirikan
bersama Kiai Abdul Mukti.14
Di dalam Madrasah al-Wathoniyah, para siswa diajari berbagai macam ilmu
keagamaan, seperti Bahasa Arab, Nahwu, Sharraf, dan lain-lain. Berkat sekolah di
Madrasah itulah, Nurcholish Madjid hafal beberapa kitab pelajaran agama, seperti
14
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 7.
24
dat-u al- m, Imri hi, dan lain-lain. Kelak kemampuan Nurcholish Madjid
dalam bidang kitab-kitab agama membuat ia unggul daripada teman-temannya di
sekolah lanjutan yang akan ia masuki.
Selain sekolah di Madrasah al-Wathoniyah, Nurcholish Madjid juga sekolah
di SR (Sekolah Rakyat). Hal itu dijalaninya pada pagi hari, sementara sorenya di
Madrasah al-Wathoniyah. Demikian dilakukannya untuk menyeimbangi antara
pelajaran agama dengan non agama.15
Meskipun salah satu pamannya yang
bernama Ahmad Zaini melarang Nurcholish Madjid sekolah di SR karena semua
guru-gurunya beragama Kristen.16
Hal itu tidak menjadi hambatan, karena
bagaimanapun juga nurcholish Madjid adalah seorang anak yang cerdas yang
dapat menyerap pengetahuan dari manapun ia berasal.
SR dijalani oleh Nurcholish Madjid sampai tamat selama lima tahun. Ia
lulus pada tahun 1953 saat usianya 14 tahun. Kemudian H. Abdul Madjid,
ayahnya, memasukkan ia ke Pondok Pesantren Darul Ulum, yang kemudian
sekarang lebih dikenal dengan Pondok Pesantren Rejoso, karena terletak di Desa
Rejoso, Kecamatan Peterongan. Ia tidak jadi dikirim ke Pesantren Tebu Ireng,
tempat ayahnya mondok dulu, karena pengasuh Pondok Pesantren tersebut, Kiai
Hasyim sudah wafat.
Di Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Nurcholish Madjid langsung
diterima masuk kelas enam tingkat ibtidaiyah (dasar), dikarenakan ia sudah
banyak belajar ilmu-ilmu agama di Madrasah al-Wathoniyah, dan juga sebagian
mata pelajaran di Pesantren Darul Ulum ia kuasai. Setelah tamat ibtidaiyah, ia
melanjutkan ke tingkat tsanawiyah. Di Pesantren Rejoso, merupakan pesantren
15
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 11. 16
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 7.
25
yang waktu itu berani menyebut diri sebagai Sekolah Menengah Pertama Islam
(SMPI) meski dalam tanda kurung masih disebut dengan tsanawiyah. Pada waktu
itu orang-orang masih belum bisa membayangkan bahwa sekolah menengah Islam
di pesantren disebut SMPI, biasanya umumnya pada waktu itu disebut
tsanawiyah. Dan Nurcholish Madjid pada waktu itu masuk SMPI pada tahun
1954.17
Pada tahun 1955, saat menjelang pemilu, dimana NU dan Masyumi terjadi
pertentangan yang sengit di wilayah Jombang. Situasi itu berefek juga kepada
Nurcholish Madjid. Ia sering diolok-olok “anak Ma yumi ke a ar” oleh teman-
temannya, bahkan oleh satu Kiai di Rejoso. Itu bukanlah hal yang mengejutkan,
karena memang Pesantren Rejoso adalah Pesantren berbasis NU. Hal demikian
lama kelamaan membuat Nurcholish Madjid terganggu. Kemudian hal tersebut
oleh Nurcholish diadukan kepada ayahnya. Menanggapi hal tersebut, kemudian
ayahnya bercerita, mengapa saat NU keluar dari Masyumi, ia memilih tetap dan
bergiat di Masyumi. Ia tetap di Masyumi karena fatwa Kiai Hasyim yang
mengatakan bahwa tidak ada partai politik Islam di Indonesia yang sah kecuali
Masyumi. Dan sampai Kiai Hasyim wafat pun, beliau tidak pernah mencabut
fatwa itu.
H. Abdul Madjid ternyata menanggapi apa yang dialami oleh Nurcholish
Madjid dengan serius. Puncaknya adalah ia memutuskan untuk menarik Nurholish
keluar dari pesantren Rejoso. Nurcholish Madjid dipindahkan ke Pesantren
Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Keputusan untuk memindahkan Nurcholish
Madjid ke Gontor bisa dikatakan cukup berani. Karena di kalangan masyarakat
17
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 13.
26
dan komunitas NU Jombang, Pesantren Gontor di cap haram, bahkan disebut
setengah kafir. Pernah terjadi pada tahun 1950-an seorang santri lulusan Gontor
diusir dan ditolak mentah-mentah saat mau mengajar di Jombang.18
Pesantren
Gontor dianggap bukan pesantren NU, melainkan pesantren Masyumi.
Belakangan setelah belajar dan tinggal di Pesantren Gontor, Nurcholish Madjid
menyadari bahwa pesantren ini bukanlah pesantren Masyumi. Para siswa dan
gurunya datang dari berbagai daerah dan kultur keagamaan. Bahkan pendirinya,
seperti K.H. Ahmad Sahal, K.H. Imam Zarkasyi, dan K.H. Zainuddin Fanani,
bukanlah orang-orang Masyumi.19
Pesantren Gontor memang sebuah pesantren yang sangat modern kala waktu
itu. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai kegiatannya, sistemnya, dan metodologi
pengajaran yang diterapkan sehari-hari. Di Gontor, bidang olahraganya sangat
maju. Bahkan hampir semua cabang olahraga ada fasilitasnya pada waktu itu.
jangankan hanya itu, kesenian pun menjadi suatu bidang yang diseriusi, seperti
drum band. Dalam bidang bahasa, para santri dilatih untuk bisa dan fasih dalam
tiga bahasa, seperti bahasa Inggris, Arab, dan Belanda. Makanya tidak heran jika
di kalangan komunitas NU Jombang, Pesantren Gontor dianggap kafir, karena ada
mata pelajaran bahasa orang kafir.
Selain itu, para guru di Pesantren Gontor, kalau mau masuk kelas, maka
mereka menggunakan dasi. Bahkan menurut KH. Zarkasyi, saat para guru
mengajar di kelas, lebih baik memakai dasi dari pada peci.20
18
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 16. 19
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 15. 20
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap berjilbab (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 4.
27
Nurcholish Madjid merasa lebih senang nyantri di Pesantren Gontor.
Karena di sana ia bisa mempelajari ilmu pasti, seperti ilmu alam, ukur, dan hitung.
Alasan lain yang membuat Nurcholish Madjid lebih senang lagi belajar di Gontor
adalah karena di sana ada olahraga, musik, drama juga kesenian yang lainnya.
Demikian karena bukan ia menguasai di bidang itu, akan tetapi karena disela-sela
beratnya pelajaran dan hidup di pesantren, dengan adanya itu (olahraga, musik,
drama dan kesenian lainnya) terasa menjadi lebih ringan.
Nurcholish Madjid adalah santri yang tekun dan fokus dalam belajar
apapun. Terutama belajar bahasa Arab dan Inggris. Motif terbesarnya adalah
bagaimana mendapatkan nilai dan prestasi akademik yang tinggi. Selain belajar
bahasa Arab dan Inggris, ia juga belajar bahasa Prancis. Semangat membaca
Nurcholish Madjid mulai tumbuh sejak di Gontor. Perpustakaan Pesantren Gontor
pada waktu itu belum dapat diakses atau terbuku untuk umum, bahkan para santri
pun masih belum bisa bebas mengaksesnya. Yang bisa diakses tapi secara tidak
langsung adalah perpustakaan pribadi milik Kiai Zarkasyi, dan itu pun terbatas
hanya untuk santri kelas lima dan enam. Di perpustakaan Kiai Zarkasyi para santri
diberi tugas membaca buku-buku tertentu, yang kemudian pada pertemuan
selanjutnya para santri diminta untuk menjelaskan apa yang ada di dalam buku
tersebut. Rata-rata buku itu dalam Bahasa Arab. Dengan cara seperti itu, semangat
santri tumbuh pesat. Sewaktu Nurcholish Madjid di Gontor, buku-buku karya
Buya Hamka sudah popular, seperti Tasawuf Modern. Bahkan buku-buku dari
luar seperti Sivilization on Trial karya seorang sejarawan, Arnold Toynbee, sudah
biasa dibaca oleh Nurcholish Madjid dan santri lainnya. karena semangat
membaca santri Gontor, juga termasuk Nurcholish Madjid itulah, khazanah
28
pengetahuan mereka cukup luas dan terbuka. Semangat membaca itu mendorong
Nurcholish Madjid untuk mengirimkan surat ke kedutaan besar asing di Jakarta.
Upaya itu rupanya berhasil mendapatkan tanggapan. Nurcholish Madjid sering
mendapat kiriman buku berbahasa Inggris Hero with the Thousands Thesis dan
Mysticism: East dan West yang diterima dari UNESCO. Selain itu Nurcholish
Madjid juga berlangganan koran berbahasa Inggris seperti Jakarta Time. Yang
sekarang sudah tidak diterbitkan lagi.21
Pada tahun 1960, Nurcholish Madjid lulus dari Pesantren Gontor. Ia lulus
lebih cepat satu tahun daripada santri yang lainnya. yang seharusnya masa
belajarnya adalah enam tahun. Ia loncat dari kelas satu langsung ke kelas tiga.
Nurcholish Madjid ingin melanjutkan kuliah ke Fakultas Keguruan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Muhammadiyah di Solo. Akan tetapi karena Nurcholish
Madjid tidak bisa diterima karena salah satu syarat masuk kampus tersebut adalah
harus mempunyai ijazah SMA. Sementara Nurcholish Madjid tidak mempunyai
ijazah. Akhirnya ia kembali ke Gontor dan memilih mengajar di sana selama
setahun. Pernah ia menceritakan masalahnya yang tidak bisa masuk di FKIP
kepada Kiai Zarka yi, lalu kiai mere pon dengan mengatakan, “Sudahlah, nanti
kalau ada ke empatan ke Me ir, kamu akan aya kirim ke ana”. hal itu membuat
Nurcholish Madjid menjadi senang dan sedikit berharap akan terkabulkan.
Namun, nyatanya waktu itu Indonesia lagi krisis ekonomi dan mulai melakukan
penghematan devisa yang juga berimbas kepada Nurcholish Madjid, maka Kiai
Zarkasyi menyarankan untuk kuliah di IAIN Jakarta saja.22
21
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 23-24. 22
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 26.
29
Di Jakarta, Nurcholish Madjid menghubungi teman-temannya sesama
alumni Gontor, karena ia tidak mempunyai famili satu pun di sana. ia menginap di
rumah Arifuddin Manaf, putra H. Abdul Manaf pendiri Pondok Pesantren
Darunnajah Jakarta. Arifuddin Manaf juga sesama alumni Gontor. Nurcholish
Madjid juga menghubungi teman-teman alumni lainnya untuk membangun
koneksi dan mencari informasi pendaftaran masuk IAIN. Pada tahun 1961,
Nurcholish Madjid resmi menjadi mahasiswa IAIN. Ia memilih masuk ke
Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab. Selain juga karena minat, Nurcholish Madjid
memilih masuk ke Fakultas Adab adalah karena salah satu dosen di fakultas
tersebut ada yang lulusan dari Gontor, namanya Abdurrahman Partosentono. Ia
adalah orang yang berjasa memudahkan Nurcholish Madjid masuk ke IAIN.
Karena memang pada waktu itu ijazah pesantren belum diakui dan tentunya tidak
bisa diterima masuk IAIN. Mahasiswa IAIN pada waktu itu umumnya adalah
lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Hal
tersebut membuat Nurcholish madjid kecewa, karena menurutnya lulusan
pesantrenlah yang sangat berkepentingan dengan IAIN atau sebaliknya. 23
Bagi Nurcholish Madjid, sistem yang diterapkan oleh IAIN adalah ngawur
dan tidak mengerti metodologi dan filsafat pendidikan, sehingga kebijakan-
kebijakan yang dibentuk sangat membingungkan. Karena kalau misalkan alumni
pe antren yang ingin ma uk IAIN ditolak maka IAIN akan hanya menjadi „tempat
ampah‟ yang tiap tahunnya akan dima uki oleh i a-siswa lulusan SMA yang
tidak bisa masuk di perguruan tinggi negeri ternama seperti UI, ITB, UGM, dan
lain-lain, yang karena desakan harus kuliah, akhirnya mau tidak mau harus
23
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 24.
30
memilih IAIN sebagai pilihan terakhir. Artinya, IAIN akan menjadi perguruan
tinggi yang hanya menampung siswa yang bukan terbaik. Sementara, alumni
pesantren jelas akan memilih IAIN sebagai kampus utama mereka. Lulusan
terbaik pesantren tidak akan ragu untuk memilih IAIN sebagai tempat meneruskan
belajar mereka.
Konon, setelah dua tahun kuliah di IAIN, Kiai Zarkasyi memberitahu
Nurcholish Madjid kalau ia mau kuliah di Mesir, bisa, asalkan ia keluar dari IAIN
secara sah prosedural dan baik-baik. Mendengar itu Nurcholish Madjid kaget dan
terharu. Ternyata apa yang pernah diucapkan kiainya dulu, kini ditepatinya.
Namun karena berbagai faktor seperti banyaknya waktu yang terbuang jika ia
keluar IAIN dan kuliah di Mesir, ditambah lagi pada waktu ia masih menjabat
sebagai ketua HMI cabang. Hal yang tidak mudah ia tinggalkan begitu saja.24
Selama kuliah di IAIN, Nurcholish Madjid seringkali berpindah-pindah
tempat tinggal. Ia bersama temannya yang bernama Hafidz Dasuki dan Badjuri
pernah tinggal di rumah kecil milik dosennya, yang bernama Abdurrahman
Partosentono di kompleks perumahan IAIN, lalu pindah ke daerah Legoso, lalu ke
Ulujami sebuah rumah milik H. Shiddiq, kemudian ke Jalan Dempo, rumah milik
Muhtar Sarhi teman se fakultas, lalu di Jalan K.H. Ahmad Dahlan, dekat
Mayestik. Sampai akhirnya pindah ke Masjid Agung al-Azhar. Di Masjid itulah ia
lama tinggal, sekitar 6 tahunan. Sejak dari tidak ada asramanya hingga dibangun
asrama. Juga untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Buya Hamka hingga
mereka dekat.25
24
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 26. 25
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 31.
31
Pada tahun 1965, Nurcholish Madjid lulus dan berhasil meraih gelar sarjana
muda (BA) bidang Sastra Arab di IAIN Jakarta. Kemudian tiga tahun setelahnya,
pada tahun 1968, ia menyelesaikan studi strata satunya (S1) dengan menyandang
gelar Doktorandus di jurusan yang sama dan lembaga yang sama pula, dengan
judul skripsi: Al-Qur’ n: r i un Lugh n l mi un M ’n n.26
Kemudian, pada tahun 1978, Nurcholish Madjid berangkat ke Amerika
Serikat untuk melanjutkan studi program pascasarjananya ke Universitas Chicago,
ia berangkat dengan beasiswa dari Ford Foundation. Pertama-tama ia masuk ke
Departemen Ilmu Politik. Selama dua tahun ia belajar ilmu politik di bawah
bimbingan Prof. Leonard Binder. Ilmu politik, menurut Nurcholish Madjid
merupakan ilmu yang instrumental. Maka tentu saja ilmu politik bukanlah tujuan
utama Nurcholish Madjid. Setelah dirasa ia menguasai terhadap ilmu politik,
maka ia pindah ke filsafat dan pemikiran Islam di Departemen Bahasa dan
Peradaban Timur Dekat. Pada waktu itu, di Universitas Chicago diperbolehkan
mengambil jurusan apa saja asal tidak sampai dua pertiga. Di jurusan itu, ia
berada di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman. Di jurusan ini, jiwa Nurcholish
Madjid lebih bergelora dan bersemangat, karena itu merupakan disiplin ilmu,
yang menurutnya, lebih instrinsik.27
Menurut Nurcholish Madjid, berada di bawah bimbingan Prof. Fazlur
Rahman, dari sisi psikologis, ia merasa lebih tenang, daripada di bawah
bimbingan Prof. Leonard Binder. Karena dari latar belakang keduanya pun
memang sangat berbeda. Prof. Leonard Binder, pada masa mudanya adalah
seorang aktivis Haganah, organisasi terror yang bertugas membunuh dan
26
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 79. 27
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 96.
32
mengusir orang Palestina menjelang berdirinya Israel pada tahun 1948. Semasa di
Palestina itulah Prof. Leonard mulai tertarik dengan Islam dan Timur Tengah dan
ingin mempelajarinya. Hingga akhirnya ia berada di Universitas Chicago, dan
pandangannya pun tentang Timur Tengah dan Islam, lambat laun mulai berubah.28
Pada tahun 1984, di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman, Nurcholish
Madjid berhasil menyelesaikan studi doktornya, dengan disertasi yang berjudul:
Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in
Islam. Ia lulus dengan predikat Cumlaude dan mendapat gelar Ph.D.29
Alasan
kenapa ia memilih tokoh Ibn Taymiyah sebagai kajian desertasinya, karena
manurutnya, Ibn Taymiyah adalah tokoh intelektual Islam yang tampaknya tidak
banyak dipahami, padahal intelektualnya itu baik apabila dikembangkan lebih
lanjut yang berguna dalam menghadapi persoalan zaman, dan juga yang akan
membuat banyak warna dalam khazanah ilmu keislaman.30
C. Karya-Karya
Nurcholish Madjid merupakan tokoh yang banyak gemar membaca buku
dan manulis, maka menjadi hal yang tak heran jika buku-buku yang tulis sangat
banyak. Di Indonesia, ia merupakan salah satu tokoh yang bukunya seringkali
dijadikan bahan acuan dalam dunia pemikiran Islam, baik dari Falsafah Islam,
kenegaraan, sosial kemasyarakatan, keorganisasian (HMI) dan kemodernan.
Adapun karya-karyanya adalah:
28
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 146. 29
Ahmad Suaedy, dkk., Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara (Kuala Lumpur: SEAMUS, 2009), h. 120.
30 Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 97.
33
1. Khazanah Intelektual Islam. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid bermaksud
ingin mengenalkan kepada kita salah satu aspek kekayaan intelektual Islam
terutama dalam bidang falsafah dan teologi. Di buku ini dibahas pemikiran al-
Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan lain-lain.
2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Dalam buku ini tertuang bagaimana
seharusnya sikap umat beriman dalam mengaplikasikan kehidupan sehari-
harinya di dalam sebuah negara demokrasi. Juga bagaimana memahami
makna Islam yang sesungguhnya dalam bersosial dengan masyarakat yang
majemuk.
3. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Dalam buku ini dijelaskan
tentang pentingnya mengokohkan iman sebagai hal yang paling dasar dan
penting dalam beragama. Beragama tanpa keimanan adalah hal yang sia-sia,
dan beriman tanpa beragama adalah omong kosong. Iman yang kuat dan
beragama yang benar akan membuat seseorang mengetahui makna hidup
yang sesungguhnya.
4. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan. Dalam buku ini Nurcholish Madjid
berusaha memecahkan persoalan yang kerap terjadi pada sebuah negara.
Persoalan antara rakyat dan pemerintah. Nurcholish Madjid, di buku ini juga
membicarakan tentang pentingnya bersungguh-sungguh dalam membangun
cita-cita agar terwujud keadilan sosial yang merata.
5. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Merupakan kumpulan tulisan-
tulisan Nurcholish Madjid dan kawan-kawan yang berbicara tentang Islam
dan penafsirannya dengan konteks masa kini. Pesan-pesan yang terkandung
34
dalam kitab suci al-Qur‟an beru aha mereka ungkap dan diperjelas agar
mudah dipahami oleh khalayak umum.
6. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid mecoba
menghadirkan solusi mengenai persoalan-persoalan dalam konteks
ketuhanan. Tuhan yang absolut, yang serta merta kita tidak mungkin secara
in tan untuk „dekat‟ dengan-Nya, menjadi keinginan setiap hamba dan juga
menjadi hal yang sulit apabila kita tidak bisa memahami kandungan al-
Qur‟an dan I lam itu endiri. Berfikir dan beribadah yang merupakan korela i
lanjutan dari berilmu dan beriman, merupakan salah satu cara, menurut
Nurchlosih Madjid, untuk kita menuju Tuhan.
7. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam. Buku
ini berbicara tentang potret pemikiran Islam di Indonesia dalam konteks Islam
universal. Juga membahas tradisi di Indonesia dan relevansinya dengan
agama, serta tantangan yang akan dihadapi kedepannya.
8. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Di dalam buku ini ditulis tentang pendekatan sejarah dalam
memahami kodifikasi dan keaslian kitab suci al-Qur‟an, pendekatan ejarah
dalam memahami i ra‟ mi‟raj erta hijrah dalam arti yang ebenarnya. Juga
dibahas tentang Islam yang merupakan agama yang melampaui peradaban itu
sendiri.
9. Kaki Langit Peradaban Islam. Buku ini merupakan tulisan Nurcholish
Madjid yang membahas tentang pasang surutnya dunia keilmuan Islam, serta
ironi yang terjadi antara Barat versus Timur. Di dalamnya juga dibahas
tentang pemikiran al-Ghazali, Ibn Ruyd, Ibn Taymiya dan Ibn Khaldun.
35
10. Pesan-Pesan Takwa. Merupakan buku yang mengupas tentang ritual ibadah
yang dilakukan sehari-hari, serta bagaimana caranya menjadi hamba yang
baik dalam hubungan vertikal. Buku ini adalah sekumpulan khutbah jumat
Nurcholish Madjid di Paramadina.
11. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Buku
ini membahas kesenjangan intelektual dan kultural antara Indonesia dengan
dunia Islam lainnya, peta pemikiran Islam di Indonesia, juga peran agama
dalam perubahan masyarakat Indonesia yang pluralistik.
12. Masyarakat Religius. Buku ini membahas tentang betapa pentingnya
penerapan pendidikan agama dalam keluarga, pendidikan tasawuf dan akhlak
bagi anak, serta pranata keislaman, musyawarah, juga kebebasan.
13. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Buku yang mengupas
tentang peran pesantren terhadap keberlangsungan tradisi keilmuan Islam di
Indonesia, serta pentingnya langkah dan kontribusi pesantren terhadap politik
dan negara. Pesantren merupakan lembaga warisan luhur dari kiai-kiai sepuh
dan Ulama Nusantara. Di mana sistem pembelajaran di dalamnya merupakan
sistem yang paling komplit serta bersanad jelas.
14. Cendikiawan dan Religiuitas. Dalam bukunya ini, Nurcholish Madjid menulis
beberapa pengalaman religius pribadi, kedaulatan negara, Islam inklusif, dan
juga banyak tulisannya yang membahas mengenai manusia dan
keberagamaannya.
15. Fatsoen. Buku yang membahas tentang masalah spiritual yang merupakan
nyawa sosial, bahaya kemiskinan, pemulihan krisis bangsa, juga
pemberantasan korupsi.
36
16. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer. Buku ini merupakan kumpulan wawancara yang banyak
berserakan di berbagai media massa sejak tahun 1970 sampai 1996. Buku ini
meliputi berbagai macam persoalan seperti politik, budaya, pendidikan,
oposisi, dan lain-lain.
17. Cita-Cita Politik Islam di Era Reformasi. Buku yang merupakan kisah
perjalanan panjang politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan di
Indonesia. Nurcholish Madjid dalam buku ini mencontohkan Kota Madinah
sebagai kota sempurna yang cocok diterapkan kini. Karena nilai-nilai di
dalamnya sudah modern, bahkan terlalu modern bagi zamannya.
18. Indonesia Kita. Buku ini merupakan karya tulis Nurcholis Madjid yang
terakhir. Di dalamnya, ia membahas persoalan bangsa dari masa lampau
hingga sekarang, juga dimuat pemikiran Nurcholish Madjid ketika
mencalonkan diri sebagai Presiden RI, meskipun kandas, melalui konvensi
Partai Golkar yang terkenal dengan “Sepuluh Platform Membangun Kembali
Bang a”.
Masih ada beberapa buku, artikel, dan tulisan lainnya, baik dalam Bahasa
Indonesia maupun Bahasa Inggris, yang penulis tidak bisa sebut satu-satu secara
terperinci.
D. Kiprah dan Wafat
“Ketika ma uk di IAIN Jakarta, aya ma uk HMI, dan etelah dibe arkan
dalam HMI itu lawan diaolog saya adalah orang-orang Masyumi bukan orang-
37
orang NU” tutur Nurcholi h Madjid dalam kore ponden i dengan Mr. Roem.31
Nurcholish Madjid memulai kariernya dalam berorganisasi dimulai ketika ia
masuk HMI Cabang Ciputat. Alasan ia memilih HMI karena pandangan umum
waktu itu bahwa HMI merupakan kelanjutan dari Pelajar Islam Indonesia (PII),
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) waktu itu belum ada, dan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga masih kecil. Menjadi hal yang wajar pada
waktu itu jika Nurcholish Madjid memilih masuk HMI.32
Pada tahun 1963, Nurcholish Madjid terpilih menjadi Ketua Umum HMI
Cabang Ciputat. Satu tahun kemudian, ia diminta dan diangkat menjadi Ketua IV
PB HMI yang membidangi masalah pengkaderan. Alasan kenapa Nurcholish
Madjid begitu cepat ditarik ke PB HMI adalah karena tulisannya tentang Dasar-
Dasar Islamisme yang selalu diceramahkan dalam setiap kesempatan. Hal yang
Nurcholish Madjid lakukan itu kemudian diketahui oleh Ketua Umum PB HMI
yang bernama Munajat Aminarto. Kemudian Nurcholish Madjid diminta untuk
menyeramahkannya bahkan hingga ke seluruh Indonesia. Salah satunya mungkin
karena itulah, Nurcholish Madjid kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PB
HMI periode 1966-1968 di Kongres Solo, pada September 1966. Alasan yang
lebih spesifik adalah waktu kongres di Solo, Nurcholish Madjid, yang sebagai
peserta biasa, mampu membuat peserta kongres terpukau dengan penjelasannya
terkait permasalahan yang rumit, yang dialami oleh PB HMI itu sendiri.
Nurcholish Madjid yang awalnya tidak pernah menyangka menjadi Ketua Umum
31
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, h. 7. 32
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 33.
38
PB HMI dan hadir sebagai peserta biasa, kemudian mendapat dukungan oleh
semua peserta kongres.33
Kemudian pada tahun 1969, PB HMI menggelar kongresnya yang ke-9 di
Kota Malang pada tanggal 3 sampai 10 Mei. Kongres memberi mandat kepada
Nurcholish Madjid untuk menjadi Ketua Umum PB HMI untuk yang kedua
kalinya. Yaitu untuk periode 1969 sampai 1971. Kongres juga meminta kepada
Nurcholish Madjid untuk menyempurnakan naskah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan
(NDP). 34
Kiprah Nurcholish Madjid lainnya adalah menjadi ketua sekaligus pendiri
Pemiat (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) yang secara langsung diminta
oleh Menteri Luar Negeri, Adam Malik. Pada waktu itu, organisasi yang gabung
ke dalam Pemiat adalah HMI Indonesia, Persatuan Kebangsaan Pelajar-Pelajar
Islam Malaysia (PKPIM) dari Malaysia, dan University of the Singapore Moslem
Society (USMS) dari Singapura. Tujuan program itu sebenarnya salah satunya
adalah upaya untuk menormalisasikan hubungan antara Indonesia dengan
Malaysia. Nurcholish Madjid beserta teman-temannya dari PB HMI pergi ke
Kuala Lumpur. Pertemuan untuk membentuk Pemiat itu bertempat di Petalling
Jaya. Di situlah ia terpilih menjadi ketua Pemiat periode 1967-1969.35
Pada bulan November 1968, Nurcholish Madjid memenuhi undangan
Council for Leaders and Specialist (CLS) yang berpusat di Washington untuk
mengunjungi Amerika Serikat. Di sana ia bertemu dengan Hasaan Turabi dari
Sudan, Farid Mustafa dari Riyadl dan Totonji. Hubungan mereka sangat dekat,
bahkan saat pulang ke tanah air pun, Nurcholish Madjid, masih sering melakukan
33
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 39. 34
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 58. 35
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 49.
39
surat menyurat dengan mereka. Pada suatu kesempatan akhirnya Nurcholish
Madjid melakukan agenda pertemuan dengan mereka di Achen, Jerman. Mereka
berkumpul di Masjid Bilal Musyi, dan membentuk Internatinal Islamic
Federation of Student Organization (IIFSO). Nama organisasi itu sendiri atas
usulan Nurcholish Madjid. Di organisasi itu tidak ada sistem ketua, yang ada
hanyalah sekretaris jenderal. Totonji dipilih menjadi sekjen, dan Nurcholish
Madjid menjadi wakilnya.36
Nurcholish Madjid juga pernah ikut berpatisipasi dalam pembentukan
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan ia juga tercatat sebagai salah
satu pendiri ICMI.
Selain yang telah disebutkan di atas, sebenarnya banyak kiprah yang telah
dilakukan oleh Nurcholish Madjid, seperti kiprahnya dalam kelembagaan,
diantaranya adalah: LIPI (sejak 1976), Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, anggota Dewan Pers Nasional (1990-1996), anggota Komnas HAM
(1993), anggota MPR RI (periode 1987-1992 dan 1992-1997) dan aktif di
Yayasan Wakaf Paramadina (1986-2005).37
Seperti itulah kehidupan Nurcholish Madjid yang penuh dengan perjuangan
dan harapan yang besar untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang baik dan
berintelek. Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh neo-modernis Islam di
Indonesia.38
Pemikiran pembaharuan Islam yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid
pada waktu itu sulit diterima oleh banyak orang, mungkin karena faktor politik
36
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 68. 37
Muhamad Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sang Guru Bangsa, h. 104. 38
Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 22.
40
dan dogma ideologi pada waktu itu. Namun kenyataannya, saat ini, pemikirannya
kemudian menjadi ajang baik dalam diskusi-diskusi di seminar, maupun dimuat
dan dibahas dalam tulisan ilmiah.39
Di penghujung pengabdiannya, Nurcholish
Madjid mengidap penyakit kelainan hati dan ginjal. Hal tersebut membuat
kesehatannya menurun drastis. Pernah suatu ketika ia bilang kepada istrinya
bahwa akan kedatangan Kiai Zarkasyi dari Gontor, padahal Kiai sudah lama
meninggal. Sontak hal itu membuat Omi Komaria kaget dan sadar bahwa
Nurcholish Madjid tidak akan lama lagi. Nurcholish Madjid wafat pada tanggal 25
Agustus 2005, pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah dalam usia 66 tahun dan
dimakamkan di TMP Kalibata.40
Nurcholish Madjid wafat dengan meninggalkan anak biologis yaitu Nadia
Madjid dan Ahmad Mikail Madjid. Nadia Madjid bersuamikan orang Amerika
Serikat. Mengenai karirnya ia sempat mengajar jurusan sastra Inggris di Fakultas
Ilmu Budaya di Universitas Indonesia, dan juga ia bergabung di VOA dan
bertanggung jawab atas produksi acara berita.41
Sementara untuk anak ideologis
yang sampai sekarang ini masih melanjutkan perjuangannya tak terhitung
jumlahnya dan tersebar dimana-mana, salah satunya seperti yang terkumpul di
Nurcholish Madjid Society yang rutin setiap tahun mengadakan haul dalam rangka
memperingati wafatnya Nurcholish Madjid.
39
Armein Daulay, Gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid: Suatu Pandangan Politik (Tangerang Selatan: Mega Kreasi Media, 2010), h. iii.
40 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 295.
41 https://www.voaindonesia.com/author/nadia-madjid/_iqqp / diakses pada 22 Januari
2020
41
BAB III
KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN
A. Definisi Kebahagiaan dan Kesengsaraan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebahagiaan adalah suatu keadaan
kesenangan, ketentraman hidup, emosi yang baik, kemujuran, keberuntungan,
prihal kepuasan, penuh cinta.1 Para Filosof sering mendefinisikan kebahagiaan
dalam kaitan dengan kehidupan yang baik dalam banyak aspek.
Sedangkan kesengsaraan adalah suatu keadaan yang sebaliknya dari
kebahagiaan. Keadaan mental atau emosional yang tidak stabil, yang ditandai
dengan tidak menemukannya kepuasan, cinta, atau kegembiraan yang intens.
Pemahaman umum mengenai kesengsaraan adalah suatu keadaan yang tidak
searah dengan tujuan. Meskipun tujuan hidup tiap-tiap individu berbeda, keadaan
demikian akan tetap disebut sebagai kesengsaraan.
Dalam bahasa Yunani, kebahagiaan dikenal dengan istilah eudaimonia.
Sedangkan kesengsaraan dikenal dengan istilah hli’psis, yang berarti kesesakan,
kesukaran, atau penderitaan akibat keadaan yang menekan.
Secara harfiah kata eudaimonia berarti “memiliki roh penjaga yang baik”.
Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti memilik jiwa yang baik.2 Bahkan ada
sebuah pandangan yang disebut dengan eudaimonisme yang menganggap bahwa
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, lihat di https://kbbi.web.id / diakses pada
22 Januari 2020. 2 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Jogjakarta: kanisius, 1999), h. 108.
42
kebahagiaan adalah tujuan utama hidup yang paling dasar. Kebahagiaan yang
bukan hanya pada aspek emosional individu saja, melainkan menyangkut seluruh
aspek lingkungan sosial.
Melihat dari definisi kebahagiaan dan kesengsaran di atas, dapat dipastikan
bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan adalah suatu keadaan, bukan benda.
Kebahagiaan dan kesengsaraan adalah hal universal yang sifatnya relatif tapi
tetap. Universal karena berkaitan erat dengan kehidupan manusia, relatif karena
perspektif dan tujuan tiap individu berbeda, serta tetap karena sampai kapan pun
menjadi tujuan utama.
B. Menurut Falsafah Islam
1. Al-Kindi
Menurut al-Kindi, kebahagiaan bukanlah dengan mencapai keinginan yang
bersifat indrawi, duniawi, tetapi kebahagiaan diperoleh melalui pencapaian
keinginan yang bersifat rasional, baik dalam meneliti, memikirkan, dan mengenal
hakikat segala sesuatu. Sedangkan mengenai kesengsaraan, al-Kindi menulis
karya dalam bidang etika yang berjudul Fi al-Hila Li-Daf al-Ahzan (Mengenai
Cara Menghalau Kesedihan). Ia meyakini bahwa kesengsaraan atau kesedihan
berasal dari tiga hal: hasrat untuk memiliki sesuatu yang tak dapat atau sulit
dicapai; timbulnya pengharapan akan hal-hal yang ingin dimiliki tersebut; lalu
43
kemudian apa yang terjadi pada kita ketika hal-hal tersebut hilang atau tak pernah
tergapai.1
Adapun cara untuk menghindari kesengsaraan, al-Kindi menyarankan agar
hanya memberi nilai pada hal-hal yang sungguh-sungguh penting bagi kita. Kita
harus berjuang mengekang hasrat dalam diri, dalam rangka memelihara apa yang
ia sebut dengan keseimbangan rohani. Al-Kindi menempatkan nilai lebih kepada
manusia, gagasan, pengalaman, dan agama daripada kekayaan berupa benda atau
hal-hal yang berupa materi.2 Penelitian yang dilakukan oleh kalangan psikolog
juga menyebutkan bahwa mendapatkan pengalaman hidup yang baru nilainya
lebih tinggi dan awet tingkat kebahagiaannya ketimbang mendapatkan sesuatu
yang bersifat konsumtif.3
2. Al-Farabi
Menurut al-Farabi, kebahagiaan itu adalah jika jiwa manusia menjadi
sempurna di dalam wujud di mana ia tidak membutuhkan dalam eksistensinya
kepada materi. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang diperoleh baik di
dunia maupun di akhirat. Mengenai kebahagiaan, al-Farabi menulis buku yang
berjudul Tahshi al- ’ d h (Mencari Kebahagiaan) dan al-Tambih al- ’ d h
(membangun kebahagiaan). Meskipun inti utama falsafah al-Farabi bukan
kebahagiaan, namun materi mengenai itu merupakan penyempurna falsafahnya.4
1 Toni Abboud, Seri Tokoh Islam: Al-Kindi Perintis Dunia Filosofi Arab (Jakarta: Muara,
2013), h. 75. 2 Toni Abboud, Seri Tokoh Islam: Al-Kindi Perintis Dunia Filosofi Arab, h. 76.
3 Komaruddin Hidayat, Penjara-Penjara Kehidupan (Jakarta: Noura Books, 2015), h. 234.
4 Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 1996), h. 228.
44
Al-Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi
perhatian untuk memperoleh kebahagiaan. Pertama, keutamaan teoritis, yaitu
prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan
asalnya, juga diperoleh dengan cara berkontemplasi, serta penelitian dan
mengajar. Kedua, keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang
mengetahui sesuatu yang bermanfaat dalam bertujuan, termasuk dalam hal
tersebut kemampuan dalam membuat aturan-aturan, yang disebut dengan
keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah madaniyyah). Ketiga, keutamaan
akhlak, yaitu yang bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini juga menjadi
syarat dasar dari keutamaan pemikiran. Keempat, keutamaan berkreasi (berkarya
dan kerja keterampilan), yaitu keutamaan yang bisa diperoleh dengan cara
pernyataan-pernyataan yang memuaskan jiwa.5
Menganalisa dari keempat keutamaan yang telah disebutkan, bisa ditarik
benang merahnya dari konsep pemikiran al-Farabi mengenai kebahagiaan. Dasar
utama dari itu adalah akhlak dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
mengarahkan seseorang untuk berpikir rasional dan kejernihan berpikir,
sedangkan akhlak mengarahkan kepada tindakan yang benar. Kebahagiaan
merupakan sesuatu atau sebuah tujuan yang suci. Maka cara yang harus ditempuh
adalah dengan perbuatan suci pula. Perilaku yang tidak baik, akhlak yang rusak,
akan jauh dari kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan hal tersebut
akan membawa manusia kepada kesengsaraan.
3. Ibn Maskawaih
5 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 43.
45
Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan adalah tercapainya kesempurnaan
bagi manusia, serta aktualisasinya dalam perbuatannya. Kesempurnaan itu sendiri
adalah kemampuan manusia untuk mencapai derajat tertinggi dengan cara meniti
jalan ilmu pengetahuan tentang alam semesta, sehingga pengetahuannya akan
terus meningkat hingga mencapai pengetahuan Tuhan, menerima anugerah-Nya,
memiliki kearifan, keadilan, dan keberanian. Semua itu harus diaktualisasikan ke
dalam perbuatan ketika berinteraksi dengan sosial masyarakat. Menurutnya, ada
tiga tingkat kebahagiaan, pertama, tercapainya kemaslahatan hidup di dunia. Di
tingkat ini seseorang masih terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat inderawi, tapi
dalam batas yang wajar, sehingga ia masih mampu membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk, sehingga ia masih berbuat baik. Kedua, terbebasnya jiwa
dari hal-hal yang bersifat inderawi. Jiwa yang suci mampu mencapai kebahagiaan
yang lebih tinggi daripada kebahagiaan inderawi. Jiwa yang suci akan mendapat
karunia Tuhan. Pada tingkatan ini, manusia tidak akan tertarik dengan hal-hal
inderawi yang rendah. Ketiga, tercapainya kebaikan mutlak, hal itu terjadi apabila
seseorang tidak lagi menginginkan sesuatu yang tidak pasti ataupun sesuatu yang
telah terlewati. Juga tidak mengharapkan balasan kebaikan ataupun ia mengeluh
dengan keburukan yang ia terima. Karena semua yang ia lakukan semata hanya
untuk Tuhan. Sehingga perbuatan-perbuatannya mengandung kebaikan bagi
dirinya maupun masyarakat sekelilingnya.6
Jalan meraih kebahagiaan menurut Ibn Maskawaih ini adalah dengan
menguasai kemampuan teoritis dan praktis. Melalui kemampuan tersebut,
manusia akan mengetahui pengetahuan sehingga berfikir akurat, serta
6 Ibn Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, penerjemah Helmi Hidayat (Bandung:
Mizan, 1994), h. 97- 101.
46
mengaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kebahagiaan akan
tercapai apabila semua hal kebaikan yang ia lakukan bukan untuk medapatkan
balasan kebaikan juga atau menghindari keburukan. Jika hal tersebut masih
melekat dalam konsep berfikir seseorang maka tekanan-tekanan dan harapan semu
(kesengsaraan) yang akan didapat . Karena sejatinya perlakuan baik atau kebaikan
yang dilakukan untuk manusia, belum tentu kebaikan pula sebagai balasannya.7
C. Menurut Tasawuf
1. Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa dicapai dengan
perubahan kimiawi di dalam diri seorang manusia dan bukan perubahan fisikawi.
Perubahan kimiawi yang dimaksudnya adalah perubahan yang tidak berupa fisik,
yaitu perubahan jiwa, batin, pikiran, perasaan. Manusia terdiri dari dua unsur,
yaitu jasad dan ruh. Ruh bersifat non materi. Ruh mulanya berada di tempat yang
suci (lauhil mahfudh), kemudian ia mendapatkan jasad, maka ruh menjadi tersiksa
dan sengsara. Maka dari itu, bagi ruh, akan mendapatkan kebahagiaan apabila ia
tidak terbelenggu oleh hal-hal yang sifatnya materi. Menurut al-Ghazali,
kebahagiaan akan diraih ketika seseorang telah memahami empat teori dasar.
Pertama, pengetahuan tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Tuhan. Ketiga,
pengetahuan tentang dunia ini. Keempat, pengetahuan tentang akhirat.8
Selain itu, hati dan jiwa yang bersih juga merupakan salah satu jalan untuk
meraih kebahagiaan, karena kebahagiaan sejati itu bersifat non fisik, bukan fisik.
7 Ibn Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 104.
8 Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan, penerjemah
Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 2014), h. 9-10.
47
Hati di sini bukanlah segumpal daging yang diketahui oleh semua orang dan
berada di sisi kiri manusia. Tetapi hati adalah kelembutan rohani Tuhan yang tak
lain merupakan hakikat manusia.9 Untuk membersihkan jiwa dan hati maka dapat
dilakukan dengan cara taubat, sabar, fakir, tawakkal, cinta, dan ikhlas. Dan pada
tahap ikhlas itulah kebahagiaan sejati didapatkan.10
Adapun penyebab sulitnya mendapat kebahagiaan salah satunya adalah
egoi me diri. Sebuah ki ah menceritakan bah a, Baya id, i ufi “mabuk” yang
terkenal, didekati oleh seorang pria yang tidak Bahagia, yang mengeluh bahwa ia
berpuasa selama 30 tahun, tetapi tidak semakin dekat dengan kebahagiaan
spritual. Sang sufi mengatakan kepadanya bahwa bahkan 300 tahun tidak akan
cukup karena keegoisan berdiri diantaranya-lelaki tidak bahagia-dengan Tuhan.11
2. Haji Abdul Malik Karim Abdullah (Hamka)
Menurut Hamka, kebahagiaan adalah jalan yang direntangkan oleh agama.
Sementara cara mendapatkannya adalah dengan melalui atau melewati jalan itu
agama itu sendiri. Di dalamnya, ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu itikad
yang bersih, yakin, iman, dan agama. Itikad adalah berkeyakinan yang kokoh, ia
letakanya ada di dalam hati. Dengan itikad maka setiap perbuatan akan terjaga
dari kerusakan-kerusakan.12
Yakin dalam bahasa Arab adalah nyata dan terang. Keyakinan ada tiga
tingkatan, yaitu ainul yaqin, ilmul yaqin, dan haqqul yaqin. Keyakinan merupakan
9 Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis dan Perkembangannya
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 210. 10
Imam Al-Ghazali, Intisari Ikhya Ulumuddin, penerjemah Mukhtasar (Jakarta: PT Serambi Semesta Distribusi, 2017), h. 498-597.
11 Richard Schoch, The Secret of Happiness: Three Thousand Years of Searching for the
Good life, penerjemah Hanif (Jakarta: Hikmah, 2006), h. 254. 12
Hamka, Tasawuf Modern, cet. XII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 37.
48
hal yang krusial dalam beragama. Dengan keyakinan itu kapasitas keimanan
seseorang akan semakin kokoh.
Iman secara etimologi artinya percaya. Secara terminologis iman adalah
suatu perbuatan yang lahir dari batin. Iman yang sesungguhnya terlingkup di
dalam Islam. Iman, kata Hamka, lebih umum dari Islam dan lebih meliputi. Iman
menghasilkan amal saleh. Amal saleh adalah Islam. Karena itu Islam adalah
manifestasi dari iman. Ibarat sebuah pohon, akarnya adalah iman, sedangkan
pohonnya adalah Islam, dan pupuknya adalah ihsan.13
Agama dalam bahasa Arab adalah al-Din yang berarti menyembah, tunduk,
patuh. Menurut Hamka, agama adalah hasil atau buah kepercayaan yang tertanam
kuat dalam hati. Bisa dikatakan bahwa agama adalah puncak dari itikad dan iman.
Beragama yang baik dapat menjadikan manusia selamat dari perdebatan dan
konflik yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan. Menurut Hamka, jika
perdebatan dan konflik dapat dihilangkan maka hati manusia akan mendapatkan
nur Tuhan, sehingga akan merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, ketiadaan nur
Tuhan akan menyebabkan manusia sering terjerumus ke dalam konflik-konflik
dan pertikaian, yang itu merupakan bibit dari kesengsaraan.14
D. Aliran Dalam Etika Islam
Perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari seringkali dilandasi oleh
ajaran agama. Oleh karenanya, etika sangat erat kaitannya dengan agama.
Meskipun begitu, tentu perbuatan manusia tidak semua atas dasar perintah atau
13
Hamka. Tasawuf Modern, h. 41-42. 14
Hamka. Tasawuf Modern, h. 70.
49
larangan agama. Landasan berperilaku bisa berasal dari banyak sumber, salah
satunya adat istiadat. Namun demikian pandangan-pandangan dari ajaran agama
memiliki peran yang paling besar dalam pembentukan tingkah laku manusia.
Perbuatan yang sesuai dengan perintah Tuhan disebut beretika, bermoral, atau
berakhlak. Sebaliknya, perbuatan yang melanggar disebut tidak beretika, immoral,
atau tak berakhlak.
Kata etika dan moral, seringkali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan dianggap sama maknanya. Hal itu wajar karena pada dasarnya istilah
tersebut sama-sama berhubungan erat dengan perbuatan manusia. Namun
sebenarnya istilah-istilah tersebut memiliki perbedaan satu sama lain.
Menurut K. Bertens, etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos yang
artinya tempat tinggal biasa, adat istiadat, akhlak, watak, dan cara berpikir.
Menurut para ahli bahasa Indonesia bahwa istilah dengan akhiran “-ika” haru
dipakai untuk menunjukkan ilmu. Maka etika adalah ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang apa yang baik dan buruk serta hak dan kewajiban di
dalamnya.15
Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin yaitu mores. Mores sama dengan
ethos dalam Bahasa Yunani, yaitu adat istiadat, tingkah laku, akhlak.16
Dengan
demikian etika dan moral memang sangat erat dalam segi arti. Kemudian apa
yang membedakannya? Yaitu penerapannya. Etika digunakan untuk meninjau
15
K. Bertens, Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 3-5. 16
K. Bertens, Etika, h. 6.
50
perbuatan manusia dari segi teoritik atau keilmuan tentang perbuatan tersebut
(ilm al-akhlâq), sedangkan moral adalah praktiknya (akhlâq).17
Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri. Sebagai ilmu
yang membahas perilaku manusia, ia berhubungan dengan seluruh ilmu tentang
manusia. Ia berhubungan erat dengan antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi,
politik, hukum, dan lain-lain. Di dalam Islam, etika merupakan salah satu ilmu
yang diharuskan bagi pemeluknya untuk mempelajarinya. Sumber utama etika
dalam Islam atau yang biasa disebut dengan akhlak adalah al-Qur‟an dan Sunnah.
Ciri-ciri etika Islam itu, salah satunya adalah adanya teori tentang etika yang
bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya, baik muslim ataupun non
muslim, memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Juga, karena etika
Islam berkaitan erat dengan manusia serta upaya pengaturan kehidupan dan
perilakunya, maka lebih jauh lagi ia diyakini bahwa pada puncaknya akan
mendapatkan kebahagiaan bagi pelakunya.18
Selain ciri-ciri, juga terdapat aliran dalam etika Islam19
, yaitu:
1. Moralitas Skriptualis. Yaitu aliran yang mendasarkan pada pernyataan-
pernyataan atau quasi-quasi moral dalam al-Qur‟an dan Sunnah.
2. Etika Teologis. Yaitu aliran yang mendasarkan pemikiran etika dari al-Qur‟an
dan Sunnah dengan menformulasikan pada pemikiran-pemikiran teologis.
Kelompok etika eperti ini ada pada kelompok aliran Mu‟ta ilah dan
A y‟ariyah.
17
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 22. 18
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 23. 19
Madjid Fakhry, Etika dalam Islam, Penerjemah Zakiyuddin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. xiv-xix.
51
3. Etika Filosofis. Yaitu aliran yang mencoba menggabungkan pemikiran-
pemikiran filsafat Yunani, seperti Plato dan Aristoteles dengan argumentasi-
argumentasi Islam.
4. Etika Religius. Menurut Madjid Fakhry adalah bentuk terbaik dari pemikiran
etika Islam. Yaitu aliran yang memadukan pandangan al-Qur‟an, kon ep-
konsep teologi, filsafat, dan mistisisme Islam. Unsur utama pemikiran etika
ini biasanya terkonsentrasi pada dunia dan manusia. Tipe pemikiran etika ini
lebih kompleks.
74
BAB IV
KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN MENURUT NURCHOLISH
MADJID
A. Kebahagiaan dan Kesengsaraan: Jasmani atau Rohani?
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, di dalam agama-agama,
gambaran mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan itu tergambar dalam konsep
surga dan neraka, dan tentu tentang hal itu berbeda-beda ilustrasi dan interpretasi.
Kebahagiaan dan kesengsaraan itu hanya ada di dunia saja seperti dalam
ajaran Marxisme, atau di akhirat saja seperti dalam sekte-sekte1 di Eropa dan
Amerika yang mengatakan bahwa kehidupan jasmani hanyalah tempat
kesengsaraan semata karena sifatnya yang membelenggu jiwa manusia, atau di
dunia dan di akhirat seperti dalam Islam.2
Hampir semua agama memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat
rohani. Seperti keyakinan terhadap adanya kehidupan yang lebih tinggi dan kekal
daripada kehidupan di dunia sekarang. Di kehidupan yang lebih tinggi itu diyakini
juga terdapat kebahagiaan dan kesengsaraan yang lebih tinggi pula nilainya. Hal
1 Umumnya sekte-sekte yang terdapat di Eropa dan Amerika di cap sebagai sekte sesat.
Karena mengajak dan merekrut anggota yang kemudian disuruh untuk melakukan bunuh diri massal. Aksi bunuh diri itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang ada di dunia. Juga ada beberapa sekte yang melakukan aksi bunuh diri massal dengan berkeyakinan bahwa dengan meninggalkan dunia ia akan menyucikan roh dan menuju kehidupan yang lebih tinggi. Ada empat sekte terkenal di Eropa dan Amerika yaitu: Sekte Gerbang Surga, Sekte Kuil Matahari, Sekte David Koresh, Sekte Peoples Temple. Lihat di https://m.merdeka.com/dunia/4-kasus-bunuh-diri-massal-sekte-sesat-paling-mengejutkan-dunia.html /diakses Rabu, 6 November 2019
2 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 103.
53
seperti itu merupakan titik temu yang paling besar dari agama-agama, di samping
kepercayaan kepada Tuhan.
Di dalam agama Islam, utamanya di dalam al-Qur‟an terdapat banyak
ilustrasi dan penegasan yang kuat mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan, salah
satunya seperti:
ظ ف ركهى لد أ و ث ا ر ئ ل ۦ ى ف ذ شق عع ب٥٠١ نٱفأي ا ز بن ى نبس ٱفف شق ف
ش ق صف ش خ ٥٠١ به ذ ٱدايذ يبف ٱد نغ سثك ءشب يبئ لض س ل بل سثكئ بفع ن
ش ذ أيب۞٥٠١ ٱ ذ ا نز خ جخ ن ٱفف ع ع به ذ ٱدايذ يبف ٱد نغ يبئ لض س ل
ء عطب سثك ءشب ٥٠١ز ر يج شغ
Artinya: “Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang
berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada
yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang
celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka
mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana
terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang
berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putu nya”.
(QS. Hud/11:105-108)
Di zaman modern ini, persoalan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan itu
diyakini sebagai uatu hal yang final dan “taken for granted” mengenai
keberadaannya, tak perlu disangkal dan diperdebatkan lagi apakah ia ada atau
tidak ada. Yang menjadi persoalan pelik adalah masalah interpretasi di dalamnya.
Apakah tentang wujud kebahagiaan dan kesengsaraan itu berupa pengalaman
kerohanian semata, atau pengalaman jasmani semata, ataukah pengalaman
jasmani dan rohani sekaligus.
Di dalam agama Islam, kebahagiaan dan kesengsaraan merupakan hal yang
maujudi, di dunia dan akhirat. Namun keduanya tetap dibedakan. Seseorang
54
dianjurkan mengejar kebahagiaan di akhirat dan juga tidak lupa atau lalai terhadap
kebahagiaan dunia. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur‟an:
ب زغ ث ٱ اسٱلل ٱكءارى ف ٱنذ شح ل لخ جكرظ ص ٱي أح ب نذ ب غ أح ك لل ٱغ لك ئ ن
ٱغ رج ٱف فغبدن ض س ل ٱئ تللل ف ن ٱ ح ذ ١١غ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
keru akan”. (QS. Al-Qashash/28:77)
Dalam hal tertentu, itu berarti bahwa mendapatkan kebahagiaan di dunia
belum tentu mendapatkan kebahagiaan di akhirat, dan sebaliknya, mendapatkan
kebahagiaan di akhirat belum tentu mendapatkan kebahagiaan di dunia.1 Di luar
persoalan itu, karena memang dalam al-Qur‟an dijelaskan bahwa ada beberapa
perilaku yang bisa mengantarkan kita kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat
sekaligus seperti, berbuat baik, jujur, amanah, kerja keras, tulus, dan lain-lain
yang semuanya itu merupakan ciri-ciri dari orang beriman yang dinamis, untuk
terus menuju kesempurnaan sebagai hamba. Nurcholish Madjid memperkuat
argumennya dengan Firman-Nya:
مي به ح ص ع ركش ي ثى أ أ إ ي فه ح ي ۥ ح حنج طجخ ى ث أح ش ىأج ض غ
ا يب ع كب ه ٧١
Artinya: “Barang iapa yang mengerjakan amal aleh, baik laki-
laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-Nahl/16:97)2
1 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 105.
2 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 6.
55
Juga, terdapat penjelasan mengenai perilaku yang akan mengantarkan kita
kepada kesengsaraan di dunia sekaligus di akhirat seperti, berbuat jahat, ingkar
terhadap kebenaran, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang jauh dari sifat orang
beriman.
ب أي ٱ ا نز أ فغق ى ف ب نبس ٱى ه ك ا خ أا أساد ج ش ذ ا ب ي بأ ع مف ق ا ن ى ر ق
ز ىنز يٱنبس ٱعزاة ك ۦث ث ق ى٠٠ر كز ن ز ٱعزاة ن ٱي ى د ل ٱعزاة ن ٱد نعه ى جش ك ل
ش ع ٠٥ج
Artinya: “Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka
tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar
daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada
mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu
mendustakannya. Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka
sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar
(di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
(QS. Al-Sajdah/32:20-21)3
Islam menjelaskan bahwa kebahagiaan dan kesengseraan itu ada di dunia
dan akhirat, yang tentu saja kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat itu lebih
tinggi tingkatannya daripada di dunia. Pangkal dari semua itu adalah surga dan
neraka.
Mengenai surga dan neraka, para ulama berselisih mengenai penafsirannya.
Perselisihan itu mengenai apakah pendekatan memahami teks-teks secara harfiah,
atau memahami teks secara metaforis ( ’ il).4 Bagi mereka yang memahami
teks-teks suci secara harfiah, penggambaran tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan akan cenderung bersifat fisik, karena hampir semua keterangan dan
3 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 106
4Dalam Kamus Linguistik, “metafora” (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau
ungkapan untuk suatu objek atau konsep berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu kosa kata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna lain. Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 106.
56
penggambaran tentang surga dan neraka dalam al-Qur‟an menggambarkan tentang
pengalaman kebahagiaan dan kesengsaraan yang serba fisik.5
Berhubungan dengan semua itu, Nurcholish Madjid memaklumi mereka
yang memahami teks-teks suci secara harfiah. Ia sepakat dengan Ibn Rusyd
mengenai terbaginya manusia. Ibaratnya, manusia ada yang berada di susunan
yang tinggi, ada yang berada di susunan rendah. Semacam piramida eksistensial.
Manusia yang berada di susunan tinggi atau puncak piramida disebut kaum
khawas (al-khawas, orang-orang khusus, the specials). Sedangkan manusia yang
berada di bawah sampai dasar piramida disebut kaum awam (al-awam, orang-
orang umum kebanyakan, the commons). Kaum awam ini biasanya menempati
struktur terbesar dalam piramida masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid,
pendekatan yang dilakukan oleh Ibn Rusyd ini tidak dapat ditolak, karena
kenyataannya dalam masyarakat, yang sanggup memahami kebenaran-kebenaran
hakiki melalui alegori-alegori dengan melakukan al-i’ i r ke pengertian-
pengertian sebenarnya di balik alegori-alegori tidaklah banyak. Bagi kaum
khawas, keterangan-keterangan mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan yang
berbentuk gambaran kehidupan surga dan neraka dalam al-Qur‟an, nyatanya
adalah metafor atau makna kiasan (majaz). Bagi kaum khawas yang melakukan
pendekatan melalui al-i’ i r adalah mustahil atau absurd jika teks-teks suci itu
ditafsiri secara harfiah.6
Namun, menurut Ibn Rusyd, perbedaan-perbedaan penafsiran terhadap teks-
teks suci, tidak ada masalah yang cukup signifikan. Karena memang dalam al-
Qur‟an banyak mengilustrasikan kebahagiaan dan kesengsaraan secara fisik.
5 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 107.
6 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 107.
57
Mengingat al-Qur‟an mengilustasikan tentang itu untuk membuat orang-orang
biasa atau awam terkesan sehingga mereka tahu tentang pentingnya hidup dengan
menaati agama. Ibn Rusyd percaya bahwa hanya sebagian kecil, orang-orang
memutuskan untuk taat beragama karena mereka merasa itu adalah hal yang benar
untuk dilakukan. Sedangkan sebagian besar yang lain butuh untuk diiming-imingi
dengan hadiah kebahagiaan yang abadi atau ancaman kesengsaraan yang abadi.7
Senada dengan itu, Nurcholish Madjid juga mengatakan bahwa Tuhan Maha
Adil dan Maha Kasih Sayang kepada semua ummat-Nya. Maka tentu mustahil al-
Qur‟an diturunkan atau dikhusukan hanya kepada orang-orang khawas saja yang
jumlahnya sedikit itu. Oleh karena itu, Tuhan mengarahkan sabda-Nya kepada
khalayak umum yang sesuai dengan cara berfikir serta kemampuan mereka
menangkap pesan-pesan yang terkandung. Penggambaran terhadap surga dan
neraka secara fisik, sudah sesuai dengan cara yang sekiranya akan mendorong
mereka berbuat baik dan meninggalkan perbuatan jahat.8
Di dalam al-Qur‟an banyak ayat-ayat yang mendukung penafsiran secara
alegoris atau ’ il, termasuk juga mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan.
Nurcholish Madjid memperkuat pendapatnya dengan firman berikut:
نقذ ف ق ش ن ٱزا ف ن هبط بصش ءا يثم ك مي نبط ٱثش أك فأثى س ئ ل ف ١٧اك
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang
kepada manusia dalam al-Qur‟an ini tiap-tiap macam perumpamaan,
tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya).
(QS. al-I ra‟/17:89)
ثم ۞ ذنز ٱجخ ن ٱي ع ن ٱ زق ش يرج برح ي ٱز بش ل ه ب ئ ى دا أ ك ه ظ ق كر ه ٱجىع نز
ٱق رقا ع ك ن ٱجى ٥١نبس ٱف ش
7 Liz Sonneborn, Seri Tokoh Islam: Averroes, Terj. Muhammad Abe (Jakarta: Muara, 2013),
h. 79. 8 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 108.
58
Artinya: “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-
orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di
dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian
pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa,
sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka”. (QS.
al-Rad/13:35)9
Oleh karena itu, gambaran tentang surga dan neraka disebut sebagai ’ il
atau tamsil-ibarat dalam al-Qur‟an, maka sepatutnya tidaklah dipahami menurut
makna bunyi lafal lahiriahnya. Hal demikian merupakan pemahaman tentang
keagamaan yang lebih batini (esoterik) daripada lahiri (eksoterik). Seperti itulah
kira-kira pemahaman yang dikejar oleh para failasuf dan kaum sufi. Pendekatan
esoterik memang cukup sulit dipahami oleh orang awam, sehingga banyak
disalahpahami yang kemudian menimbulkan polemik dan kontroversi. Beberapa
pelopor pemahaman esoterik seperti al-Hallaj dan Suhrawardi mendapat
pertentangan-pertentangan dari orang-orang yang tidak sepaham dan harus
menemui kematian di tangan penguasa akibat intrik-intrik yang menjerat
mereka.10
Dalam pandangan kefilsafatan dan kesufian, tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan cendrung mengarah kepada pengertian-pengertian yang lebih
psikologis daripada fisiologis.11
Selain berdasarkan isyarat tentang banyaknya
kandungan al-Qur‟an yang disebut sebagai tamsil-ibarat, di dalam al-Qur‟an juga
terdapat ayat yang mengatakan bahwa diantara banyak kebahagiaan ada satu
kebahagiaan yang paling agung.
9 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 109.
10 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 110.
11 Psikologis menurut Kamus Ilmiah Populer adalah secara ilmu jiwa; bersifat kejiwaan.
Sedangkan fisiologis berkenaan dengan fisiologi.
59
عذ إ ن ٱلل ٱ إ ن ٱي ذ ي ش يرج ذ ج برح ي ٱز خ ش ل به ذ يغ ف ك
س ض عذ ذ ج ف طجخ ن كر جش أك لل ٱي ن ٱ ى ن ٱص ف ١٠عظ
Artinya: “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki
dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-
tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih
besar; itu adalah keberuntungan yang be ar”. (QS. al-Tawbah/9:72)12
Dalam hal tersebut, Nurcholish Madjid sepakat dengan pendapatnya Sayyid
Quthub yang telah melakukan penafsiran dengan pendekatan filosofis dan mistis
soal kebahagiaan yang agung. Bahwa kebahagiaan tertinggi dan paling agung
adalah keridlaan Allah SWT. Yaitu sebagai pengalaman kesaksian rohani akan
wujud Maha Benar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu semua bentuk
kebahagiaan yang lain menjadi tidak ada apa-apanya. Hal tersebut disebut dengan
kasyaf (terbukanya tabir, pengalaman spiritual akan kehadiran Kebenaran Ilahi).13
Bagi kaum khawas yang melakukan penafsiran secara alegoris, yang
terpenting dari teks-teks suci bukanlah penggambaran terhadap surga dan neraka
yang cendrung bersifat fisik itu, melainkan nilai iman dan mengaplikasikan
perintah-perintah kebaikan di dalamnya sebagai hamba yang taat beragama.
Keimanan yang kuat dan ketaatan yang mantap akan membawa kita kepada
kesadaran ketuhanan.
Terinspirasi dari pendapat Sayyid Quthub tentang kebahagiaan yang agung.
Nurcholish Madjid menggunakan istilah kesadaran ketuhanan. Kesadaran
ketuhanan menurutnya adalah pengalaman kesadaran keruhaniaan yang tinggi.
Suatu pengalaman yang hanya diperoleh seseorang yang telah mencapai tingkat
tinggi dalam perkembangan kehidupan rohaninya melalui proses sikap takwa dan
12
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 111. 13
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 111.
60
olah rohani dalam ibadat-ibadat.14
Seseorang yang mencapai kesadaran ketuhanan
akan dibukakan terhadapnya jalan menuju kebenaran, yang akan selalu
mengajarkan sikap tunduk (din) dan pasrah (islam) kepada-Nya. Dengan seperti
itu maka seseorang akan dilimpahi kebahagiaan. Adapun salah satu cara untuk
mencapai kesadaran ketuhanan adalah dengan melalui beribadat yang baik dan
benar termasuk di dalamnya istighfar, yukur, dan do‟a.15
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk
ketuhanan. Maksudnya, manusia adalah makhluk yang menurut tabiatnya sejak
masa primordialnya selalu mencari dan merindukan Tuhan. Dengan perintah-Nya
kepada manusia untuk selalu berbuat baik, taat beragama, dan mengokohkan
iman, secara tidak langsung Dia menunjukkan sifat Maha Kasih Sayang, agar
manusia kembali kepada fitrahnya, yang dengan itu akan merasakan kebahagiaan
dan jauh dari kesengsaraan. Namun, kebanyakan manusia tidak menyadarinya.
B. Pembebasan
Setelah kita mengetahui bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan yang sejati
itu adalah pengalaman yang sifatnya rohani, maka selanjutnya akan dibahas
metode atau jalan yang harus dipahami dan ditempuh oleh seseorang untuk
mendapatkan kebahagiaan, juga guna menghindari kesengsaraan.
Pembebasan yang dimaksud di sini, menurut Nurcholish Madjid adalah
sebuah pengosongan diri dan bebas dari setiap belenggu yang menghalangi jalan
kepada Tuhan. Pembebasan adalah salah satu tema pokok seruan nabi kepada
14
Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Takwa Nurcholish, h. 260. 15
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, h. 161-172.
61
umat manusia, termasuk pembebasan dari belenggu budaya dan tradisi jika
menghalangi kepada kebenaran.16
Dalam konsep ini, Nurcholish Madjid mengacu pada kalimat syahadat.
Utamanya pada syahadat pertama. Kalimat syahadat merupakan induk dari semua
keimanan dan keislaman. Bentuk-bentuk keimanan yang lain hanyalah cabang
darinya.17
Term “laa ilaaha” merupakan kalimat per ak ian yang dimulai dengan
al-nafy atau peniadaan dalam fa e negatif “tiada Tuhan”, maka tujuannya adalah
pembebasan diri dari setiap belenggu. Karena etelah term “laa ilaaha” adalah
“illallah” yang berarti peneguhan dalam fa e afirmatif “kecuali Allah”.18
Maka
pembebasan diri dari setiap belenggu yang dimaksudkan adalah ketundukan
hanya kepada Allah, sebagai Tuhan yang sebenar-benarnya dan tidak tunduk
kepada apa dan siapa selain-Nya. Allah adalah Wujud yang tak bisa dibandingkan
dengan sesuatu apapun dan tidak ada suatu apapun yang sebanding dengan-Nya,
maka ketundukan pada-Nya adalah tunduk dalam makna yang dinamis, berupa
usaha yang tulus serta terus-menerus untuk mencari. Usaha seperti itu akan
membawa pada pembebasan diri dari selain-Nya.19
Jadi sesungguhnya, menurut Nurcholis Madjid, kebahagiaan dimulai dengan
negasi dan afirmasi, suatu proses pembebasan dan ketundukan. Mengenai negasi
yang membawa kita kepada afirmasi, atau pembebasan yang menuntun kita
kepada ketundukan dinamis, Nurcholish Madjid memperkuat argumennya dengan
firman-Nya:
16
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 112. 17
Sayyid Quthub, Petunjuk Jalan, Terjemahan A. Rahman Zainuddin MA, Cet. III (Jakarta: Media Da’wah, 1987), h. 138
18 Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Takwa Nurcholish, h. 249.
19 Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 112.
62
ئ ق م ى ءاثب كب ك أث ؤ ى ب ك ئ خ ؤ ى أص ك ى ك شر ك ىج عش أي بزشف ق ٱل ر ج ز شح
رخ يغ كغبدبش رش ك أحتب ض ىئ ن ك لل ٱي سع ن بد ۦ ج ف ه ا ۦعج فزشثص
أ حزى ث أي لل ٱر للل ٱۦ ش ن ٱذ ي ف ن ٱوق ق ٠٢غ
Artinya: “Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-
saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fa ik”. (QS. al-Tawbah/9:24)
Nurcholish Madjid mengatakan, bahwa firman Allah ini janganlah dipahami
bahwa Nabi Muhammad datang untuk membawa pertentangan dengan keluarga,
juga tidak mendorong manusia untuk meninggalkan kegiatan duniawi, karena al-
Qur‟an sendiri sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara kerukunan dan
kasih sayang antar keluarga dan menganjurkan juga untuk tidak meninggalkan
hal-hal yang bersifat duniawi. Akan tetapi, Firman Allah tersebut hanya
menegaskan bahwa jalan menuju Kebenaran dapat ditempuh setelah seseorang
membebaskan diri dari lingkungannya, baik sosio-kultural (orang tua, keluarga,
dan masyarakat) maupun sosio-ekonomi (pekerjaan dan kedudukan) apabila
sekiranya hal tersebut membelenggu dan menghalangi jalan kepada Allah, maka
bebaskanlah diri dengan ikatan itu.20
Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang ada di dalam Kitab
Suci, yang merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada bagian
pertama kalimat yahadat, “tiada Tuhan”. Tetapi pembeba an dari belenggu-
belenggu yang sekiranya menghalangi jalan, itu hanyalah separuh dari jalan
menuju kebahagiaan sejati.
‘20
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 114.
63
C. Tanyalah Jalan ( l-an)
Menurut Nurcholish Madjid, term l l-an, dalam al-Qur‟an adalah
sebuah nama sumber mata air yang sejuk, yang terdapat dalam surga. Sebuah
metafor yang sangat indah. Dalam bahasa arab sal-sabil-a itu arti harfiahnya
adalah “tanyalah jalan”.21
Setelah metode pembebasan, seperti yang dibahas sebelumya, menurut
Nurcholish Madjid, jalan separuh lagi yang harus ditempuh oleh seseorang yang
bertekad menuju kebenaran adalah yang dilambangkan dalam pernyataan tekad
untuk tunduk kepada Sang Kebenaran itu sendiri, yang merupakan konsistensi
penyataan afirmatif atau penegasan (al-itsbat) pada term “illallah” atau “kecuali
Allah”. Sebagaimana yang telah di ebutkan di ata bah a ketundukan itu adalah
ketundukan yang dinamis. Artinya, seorang hamba tidak kenal lelah dalam usaha
terus-menerus mencari, mendekat (taqarrub) untuk bertemu (liqa) dengan
Kebenaran. Wujud nyata dari usaha terus-menerus itu beragam. Dalam dimensi
yang lebih fisik disebut dengan jihad, yang biasa ditempuh oleh orang ahli perang
dan pahlawan. Dalam dimensi intelektual disebut dengan ijtihad, yang biasa
ditempuh oleh para pemikir. Sedangkan dalam dimensi spiritual disebut dengan
mujahadah, yang bia a ditempuh oleh kaum ufi dan ahli „Irfan.22
Mengenai ragam bentuk dari usaha terus-menerus yang disebut oleh
Nurcholish Madjid di atas, tentu saja tidak hanya terbatas pada ahli perang atau
pahlawan, pemikir, dan kaum sufi saja, akan tetapi penulis simpulkan juga kepada
masyarakat umum secara luas atau kaum awam. Lalu apa bentuk dari usaha terus-
21
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 117. 22
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 115.
64
menerus yang dapat dilakukan bagi kaum awam? Yaitu memulai dengan
konsistensi beribadat dan berfikir yang telah disebutkan di muka.
Beribadat dan berfikir adalah berhakikat tunggal. Tidak dapat dipisahkan.
Juga tidak bertentangan satu sama lain. Beribadat adalah korelasi iman, sedangkan
berfikir adalah korelasi ilmu. Di dalam Kitab Suci al-Qur‟an terdapat banyak ayat-
ayat yang menganjurkan manusia untuk berfikir. Hal tersebut bukan tanpa tujuan,
melainkan karena berfikir membuat lebih mudah untuk beriman. Demikian juga
sebaliknya, dengan keimanan yang apabila sudah benar, akan melapangkan jalan
pikiran yang benar pula.23
Mengenai keimanan, yang menjadi dasar dalam beribadat, tidaklah
dipandang sempit. Artinya keimanan tersebut haruslah bersifat dinamis. Iman
yang dinamis merupakan bagian dari proses ketundukan dinamis, yang merupakan
konsistensi dari pernyataan afirmatif atau penega an pada term “illallah” atau
“kecuali Allah”.
Menurut Nurcholish Madjid, Iman yang dinamis adalah iman yang tidak
hanya cukup dengan percaya saja. Maksudnya, kita tidak hanya cukup percaya
saja pada adanya Allah, tetapi harus pula mempercayai bahwa Allah itu dalam
kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan, dan
sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apapun yang
lain. Selanjutnya, konsekuensi dari mempercayai Allah, maka kita tidak boleh
bersandar dan menggantungkan harapan kepada selain-Nya.24
23
Budhy Munawar-Rachman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid, h. 2435. 24
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 5.
65
Kemudian, setelah pola pikir tentang konsep iman sudah benar, maka yang
harus dilakukan adalah menjaga kemurniannya. Iman yang ada pada diri manusia
memang tidak akan selalu kuat atau besar, sewaktu-waktu akan juga melemah.
Hal itulah yang memang jadi tantangan bagi manusia untuk selalu berusaha
menjaga kemurniannya, agar tidak tercampuri oleh kejahatan-kejahatan atau
perbuatan buruk lainnya. Dengan demikian akan ia mendapatkan manisnya iman,
yaitu rasa aman. Nurcholish Madjid memperkuat argumennya dengan ayat:
ٱ نى ا ءاي نز ه ا ج غ ى ث ظ ه ىئ ن ٱن ى ئ كأ ى ي ل ي ١٠زذ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah
yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS. al-An am/6:82)25
Adanya anjuran dalam al-Qur‟an untuk elalu beru aha menjaga kemurnian
iman dengan tidak menodainya dengan perbuatan-perbuatan yang buruk, bisa
juga dengan cara seperti yang dituliskan di muka yang mengatakan iman tidak
hanya secara vertikal saja tetapi juga secara horizontal, yaitu secara vertikal salah
satunya bisa direalisasikan dengan menegakkan shalat sebagai komunikasi dengan
Tuhan. Sedangkan secara horizontal salah satunya bisa direalisasikan dengan
menunaikan zakat, sebagai salah satu bentuk kewajiban juga komunikasi baik
dengan sesama manusia.
Gagasan Nurcholish Madjid tentang iman yang dinamis dan juga pemurnian
iman, yang kemudian berimplikasi pada paham bahwa iman bersifat vertikal dan
horizontal, yang semua itu adalah bagian dari metode afirmatif, maka disini
penulis menemukan kesamaan dengan pemikiran Ibn Maskawaih. Jika Ibn
25
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 6.
66
Maskawaih mengatakan salah satu jalan menuju kebahagiaan adalah dengan
menguasai kemampuan teoritis dan praktis, maka Nurcholish Madjid menawarkan
salah satu jalan menuju kebahagiaan adalah menjadi manusia berketuhanan dan
bermasyarakat yang baik, dengan berlandaskan iman yang dinamis dan murni.
Dengan pemaparan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa iman dan ilmu
menjadi modal utama dalam malakukan usaha yang terus-menerus, yang
disebutkan oleh Nurcholish Madjid. Usaha terus-menerus untuk mencari itu
di ebut menempuh “Jalan Allah” (sabil al-Lah). Jalan Allah yang harus ditempuh
itu di ebut juga dengan “jalan luru ” (al-shirath al-mustaqim). Jalan yang
membentang langsung antara fitrah manusia yang suci dengan Kebenaran Mutlak.
Akan tetapi, menurut Nurchalish Madjid, Kebenaran Mutlak itu tidak akan
terjangkau. Maka dalam menempuh jalan lurus itu tidak boleh berhenti, justru
harus terus menerus bertanya, apa selanjutnya? Apakah tak ada kemungkinan
sama sekali bahwa jalan yang sudah ditempuh dan jalan yang akan ditempuh,
akan menyesatkan kita dari Kebenaran?26
Pertanyaan demi pertanyaan akan muncul seiring waktu. Hal demikian
merupakan hal yang eksistensial dan biasa dialami oleh seseorang yang sedang
menempuh jalan lurus. Sekali lagi, ketulusan hati dan kokohnya iman yang
menentukan di setiap perjalanannya.
Nurcholish Madjid mengatakan, seorang hamba yang benar-benar tunduk
patuh kepada Tuhan, akan terus meminta petunjuk jalan yang lurus itu. Dalam
kesungguhan mencari dan menempuh jalan itu tidak perlu takut membuat
kekeliruan, asalkan tidak disengaja. Nurcholish Madjid juga mengatakan bahwa
26
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 115.
67
sikap berhenti mencari adalah bentuk pembelengguan diri. Karena sikap berhenti
mencari adalah indikasi dari keyakinan diri bahwa telah mengetahui Tuhan.
Dalam hal pengetahuan tentang Tuhan, seperti dikutip oleh Nurcholish Madjid
dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibn Arabi
“Barangsiapa mengaku dengan pasti bahwa Allah bergaul
dengan dirinya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu adalah
tanda bahwa ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang tahu Allah kecuali
Allah sendiri. Maka waspadalah. Sebab yang sadar di antaramu
tentulah tidak seperti yang alpa. Ketiadaan kemampuan menangkap
pengertian adalah ma‟rifat. Begitulah memang pandangan akan hal itu
bagi yang berakal sehat. Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang
pujian kepada-Nya tidak terbilang. Dia adalah Yang Maha Suci, maka
janganlah kamu buat bagi-Nya perbandingan”.27
Bahwa dalam usaha menuju kepada Kebenaran, membuang asumsi-asumsi diri
bahwa telah mengetahui Tuhan harus terus dilakukan. Dan ini merupakan suatu
hal yang amat sulit. Perjalanan kepada Tuhan adalah perjalanan yang
mensyaratkan kekosongan pikiran perbandingan mengenai Tuhan dan bebas dari
asumsi tentang-Nya.
Dalam dunia sufi, pengosongan itu disebut dengan takhalli. Jika dalam
konteks duniawi berpikir selalu menuntut adanya pra-asumsi atau premis, maka
dalam konteks mencari Kebenaran sejati, pra-asumsi atau premis harus
dilepaskan. Tapi meskipun melepaskan pra-asumsi atau premis, berpikir dalam
konteks kesufian tidaklah berarti tiadanya rasionalitas. Karena dalam al-Qur‟an
sendiri dianjurkan untuk menggunakan akal dalam mencari Kebenaran. Rasio dan
pengalaman keagamaan tidaklah bertentangan. Justru, menurut Nurcholish
27
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 118.
68
Madjid, tasawuf sebagai keilmuan dalam bidang esoterik keagamaan adalah suatu
bentuk perkembangan rasionalitas tertinggi.28
Dalam pandangan kesufian dan falsafah Islam, menurut Nurcholish Madjid
semuanya itu adalah jalan yang sebenarnya menuju kebahagiaan. Metafor yang
telah disebutkan bahwa mata air di surga yang bernama l l-an atau arti
harfiahnya dalam baha a arab “tanyalah jalan”, meluki kan bah a kebahagiaan
tidaklah bersumber dari perasaan kepastian dalam pengalaman mencari
Kebenaran, justru pengalaman rohani ketika dengan penuh ketulusan, niat yang
sungguh-sungguh, serta tak berhenti bertanya tentang petunjuk, atau bisa
dikatakan perasaan penuh ketegangan antara kecemasan dan harapan (khawf-an
h m ’ n), kecemasan kalau gagal menemukan Kebenaran dan perjumpaan
(liqa). Itulah menurut Nurcholish Madjid, sumber sejati cita rasa kebahagiaan
yang melimpah (k ’ n dihaqan).29
Sementara kesengsaraan sendiri bisa
disimpulkan dari beberapa pembahasan di muka, adalah merasa tahunya diri
kepada Tuhan, karena menganggap diri telah sampai kepada Kebenaran.
Sementara adalah suatu hal yang mustahil jika sesuatu yang nisbi mengetahui
Yang Mutlak.
D. Corak Etika Kebahagiaan Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid seringkali memposisikan etika Islam ke dalam gagasan-
gagasannya, baik mengenai negara, politik, hukum, sosial, ekonomi, pun juga
dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Etika Islam layaknya nadi dalam
28
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 117. 29
Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan”, h. 120.
69
tubuh pemikiran-pemikirannya. Menurutnya, fondasi dari etika Islam adalah al-
Qu‟ran. Yang merupakan umber dari egala ajaran agama I lam, baik itu
berbentuk perintah ataupun larangan.
Dalam QS. al-Imran/3:79, dijelaskan bahwa tujuan para Rasul Allah adalah
mewujudkan masyarakat berketuhanan (rabbaniyun). Yaitu masyarakat yang
para anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai ridha Allah, melalui perbuatan
baik bagi sesamanya dan kepada seluruh makhluk hidup. Seluruh bidang-bidang
etika, menurut Nurcholish Madjid haruslah dibangun dari dasar itu.30
Makna rabbaniyah itu sama dengan beriman dan bertakwa. Dari sudut
pandang keagamaan, iman dan takwa merupakan asas yang benar bagi semua
segi kehidupan manusia. Pandangan hidup yang berorientasi ketuhanan itu terkait
dengan pengakuan sadar bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang mutlak,
tidak ada yang menyamai, tidak pula dapat disamai, serta tidak dapat dijangkau
oleh akal manusia. Tetapi hal demikian dapat diinsyafi sedalam-dalamnya
tentang keberadannya.31
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan-
Nya. Bahkan manusia tinggi dan baik daripada alam. Hal demikian bukan lantas
untuk disombongkan, melainkan manusia harus menjaga dan merawat alam
sebagai bentuk syukur dan apresiasi atas karunia Tuhan.32
Dengan begitu
hubungan yang baik antara manusia dengan penciptanya, dengan sesama, dengan
alam, dan lingkungan sosial akan tercipta. Lebih lanjut lagi, dengan terciptanya
30
Budhy Munawar-Rachman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid, h. 4699. 31
Budhy Munawar-Rachman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid, h. 4777. 32
Budhy Munawar-Rachman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid, h. 4771.
70
hubungan baik maka akan terciptalah perdamaian. Yang semua itu merupakan
proses menuju kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat.33
Metode untuk menuju kebahagiaan dan menjauhi kesengsaraan yang
ditawarkan oleh Nurcholish Madjid memiliki pendekatan yang kompleks. Di
dalamnya, ia bukan hanya mempersoalkan antara manusia dengan Tuhannya,
tetapi juga manusia dengan sesamanya, termasuk juga lingkungannya. Maka dari
itu, tentu etika Islam sebagai ilmu baik dan buruk, ilmu tingkah laku, turut andil
dalam persoalan tersebut.
Terdapat banyak aliran atau corak dalam etika Islam, salah satu aliran yang
paling kompleks adalah etika religius, yang menurut pandangan penulis adalah
corak etika Islam yang digagas Nurcholish Madjid dalam konsep kebahagiaan
dan kesengsaraannya. Etika yang memadukan konsep dalam al-Qur‟an,
pandangan filosofis, teologis dan mistisisme.
33
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, h. 220.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan pembahasan mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan
menurut Nurcholish Madjid, maka penulis simpulkan bahwa, dari berbagai
macam metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an mengenai apakah kebahagiaan dan
kesengsaraan bersifat pengalaman jasmani atau rohani, Nurcholish Madjid
menegaskan bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan yang sejati dalam pandangan
kefilsafatan dan kesufian, adalah cenderung bersifat psikologis daripada fisiologis
atau bersifat pengalaman rohani daripada jasmani.
Di dalam Syahadat pertama terdapat negasi dan afirmasi. Meskipun itu
adalah konsep yang umum untuk pengokohan tauhid di dalam berketuhanan,
namun oleh Nurcholish Madjid ditawarkan sebagai metode untuk menuju
kebahagiaan. Di lain sisi hubungan manusia dengan Tuhannya, ia juga tak
mengesampingkan hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan lingkungan
sosialnya. Karena kebahagiaan dan kesengsaraan adalah meliputi segala aspek,
baik secara vertikal maupun horizontal.
Lebih rinci lagi, metode negasi dan afirmasi, dari sisi tasawuf erat kaitannya
dengan apa yang disebut maqam dan ahwal. Maqam, yang di dalamnya meliputi
sikap r ’, zuhud, taubat, tawakkal, fakir, ridha, serta ahwal yang meliputi
muraqabah, khauf, r j ’ dan lain-lain adalah harus diterapkan oleh seseorang
untuk menuju kebahagiaan. Sedangkan dari sisi filsafat Islamnya, metode negasi
72
dan afirmasi senada dengan apa yang disebutkan oleh Ibn Miskawaih, yaitu
kemampuan teoritis dan praktis.
Di dalam ajaran Islam, kebahagiaan dan kesengsaraan adalah nyata adanya,
baik di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di akhirat, menurut Nurcholish
Madjid adalah paling tinggi nilainya, yaitu yang disebut dengan kebahagiaan
Agung; keridlaan Allah SWT, yaitu pengalaman kesaksian rohani akan wujud
Yang Maha Benar. Sementara kebahagiaan di dunia, menurut Nurcholish Madjid
adalah usaha terus-menerus berjalan di jalan Allah (mencari kebenaran) tanpa
henti, dengan bermodalkan iman dan ilmu yang kokoh namun perasaan itu sendiri
cemas dan khawatir gagal menemukan kebenaran itu sendiri.
Tuhan tidak mungkin dicapai oleh dan dengan kondisi yang nisbi. Maka
jika kita merasa bahwa diri sudah mencapai dan mengetahui Sang Kebenaran,
sungguh itu adalah mustahil. Jika demikian, perasaan seperti itu adalah
kesengsaraan yang sebenar-benarnya.
B. Saran
Perlunya menghidupkan dan mengaktualisasikan kembali pemikiran-
pemikiran segar tentang keislaman dari para tokoh-tokoh intelektual muslim
Indonesia, salah satunya seperti Nurcholish Madjid ini.
. Di tengah-tengah gersangnya kehidupan di zaman modern ini, agama
Islam seperti oase di tengah gurun. Hadirnya selalu menyejukkan bagi siapa saja
yang mau menaati. Maka, pemahaman-pemahaman dan penjelasan yang dalam
dari tokoh-tokoh yang mumpuni sangat diperlukan dan diajarkan kembali kepada
kaum penerus muda.
73
DAFTAR PUSTAKA
A Partanto, Pius. dkk. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 2001.
Alfan, Muhammad. Filsafat Etika Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Abboud, Toni. Seri Tokoh Islam: Al-Kindi Perintis Dunia Filosofi Arab, Terj.
Adzimattinur Siregar. Jakarta: Muara, 2013.
Al-Taftazani, Abu Wafa‟ al-Ghanimi . Tasawuf Islam Telaah Historis dan
Perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Aziz, Ahmad Amir. Neo-Modernisme Islam di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
1999.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Jogjakarta: kanisius, 1999.
_________. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Daulay, Armein. Gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid:
Suatu Pandangan Politik. Tangerang Selatan: Mega Kreasi Media, 2010.
Nasr, Sayyed Hossen dan Leaman, Oliver, ed. Ensiklopedia Tematis Filsafat
Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Fakhry, Madjid. Etika dalam Islam, Terj. Zakiyuddin. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Gaus, Ahmad. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Jakarta: Kompas, 2010.
Al-Ghazali. Intisari Ikhya Ulumuddin, Terj. Mukhtasar. Jakarta: PT Serambi
Semesta Distribusi, 2017.
_________. Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan, Terj.
Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 2014.
Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, cet. XII.
Hidayat, Komaruddin. Penjara-Penjara Kehidupan. Jakarta: Noura Books, 2015.
74
Irham, M. Iqbal. Panduan Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Qur’ n. Jakarta:
Hikmah, 2011.
Ismail, Faisal. Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu
Sekularisasi Islam. Jakarta: Lasswell Visitama, 2002.
Kemenag RI. Alquran al-Karim. Jakarta: Tahun 2018.
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 1983.
Madjid, Nurcholish. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina & Dian
Rakyat, 1994. cet. IV.
_________________. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2001, cet. III.
_________________. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan. Jakarta: Mizan,
2013, cet. V.
_________________. Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan
Khutbah
Maskawaih, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat. Bandung:
Mizan, 1994.
Nafis, Muhammad Wahyuni. Cak Nur, Sang Guru Bangsa. Jakarta: Kompas,
2014.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Quthub, Sayyid. Petunjuk Jalan, Terj. A. Rahman Zainuddin MA. Jakarta: Media
Da‟ ah, 1987, cet. III.
Rachman, Budi Munawar, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.
Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995, cet. II.
Saridjo, Marwan. Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap
berjilbab. Jakarta: Penamadani, 2005.
Schoch, Richard. The Secret of Happiness: Three Thousand Years of Searching
for the Good life, Terj. Hanif. Jakarta: Hikmah, 2006.
Sonneborn, Liz. Seri Tokoh Islam: Averroes, Terj. Muhammad Abe. Jakarta:
Muara, 2013.
75
Suaedy, Ahmad. Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara.
Kuala Lumpur: SEAMUS, 2009.
Sumber lain:
http://m.detik.com/news/berita/d-4391681/tingkat-bunuh-diri-indonesia-
dibanding-negara-negara-lain. Diakses 28 April 2019.
https://almanhaj.or.id/3841-mukmin-yang-kuat-lebih-baik-dan-lebih-dicintai-oleh-
allah-subhanahu-wa-taala.html. Diakses 28 April 2019.
https://m.merdeka.com/dunia/4-kasus-bunuh-diri-massal-sekte-sesat-paling-
mengejutkan-dunia.html. Diakses 6 November 2019.
https://kbbi.web.id / diakses pada 22 Januari 2020.
https://www.voaindonesia.com/author/nadia-madjid/_iqqp / diakses pada 22
Januari 2020.