Download - Kearifan Tradisional
KEARIFAN TRADISIONAL LINGKUNGAN
Belajar dari Kasus Komunitas-Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional
Oleh
Munsi Lampe
Pendahuluan
Kearifan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat
(tradisional) dan secara turun-menurun dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Kearifan tradisional tersebut umumnya berisi ajaran untuk memelihara dan
memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan. Subak di
Bali dan sasi di Maluku merupakan contoh kearifan trad isional yang masih dilaksanakan
oleh masyarakat setempat dan mampu memelihara sumberdaya alam sehingga dapat
memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat secara berklanjutan. Dari sisi
lingkungan hidup keberadaan kearifan tradisional sangat menguntungk an karena secara
langsung atau pun tidak langsung sangat membantu dalam memelihara lingkungan serta
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Namun demikian dengan makin meningkatnya kebutuhan ekonomi akibat
perkembangan jumlah penduduk serta meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat,
kearifan tradisional tersebut banyak yang telah ditinggalkan dan diganti dengan
perhitungan ekonomi tanpa mampertimbangkan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal
ini dapat dilihat dengan makin rusaknya sumberdaya hutan, hi langnya mata air/ sumber
air, rusaknya hutan mangrove, dan lain -lain.
Mengingat begitu pentingnya peranan kearifan tradisional dalam upaya memelihara
dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, maka kearifan tradisional tersebut perlu terus
dipelihara dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari -hari. Upaya ini antara lain
dapat dilakukan dengan memasukkan kearifan tradisional menjadi salah satu mata ajar
dalam pendidikan lingkungan hidip KLH maupun diklat -diklat yang lain baik di pusat
maupun daerah.
Untuk biasa menjadi salah satu mata ajar dalam pendidikan lingkungan yang
pelaksanaannya dibatasi oleh waktu, maka diperlukan materi dan sistematika yang baik
yang kemudian akan disusun menjadi kurikulum pada mata ajar “peranan kearifan
tradisional dalam pengendalian kerusakan lingkungan” oleh Pusdiklat Lingkungan Hidup
KLH.
==Kearifan lingkungan di Indonesia menjadi topik perbincangan yang menarik,
bahkan mendesak kepentingannya sehubungan dengan isu program rehabilitasi dan
pengelolaan lingkungan, khususn ya lingkungan ekosistem laut (mangrof dan terumbu
karang) yang mengalami kerusakan pada hampir semua daerah perairan pantai dan pulau -
pula, yang menurut hasil penelitian, banyak diakibatkan oleh perilaku pemanfaat,
terutama komunitas-komnitas nelayan itu sendiri. Di Indonesia, realitas hubungan
manusia dengan lingkungan yang disebut oleh Vayda dan McCay (1975) dan McCay
(1978) sebagai “disrupsi sistem dan relasi tidak seimbang” ini dapat ditunjukkan pada
eksploitasi sumber daya perikanan secara berlebihan (dalam Saad, 2000; Semedi, 2001);
pengrusakan ekosistem mangrof di Aceh dan Jawa (dalam Saad, 20000), di Sulawesi
Selatan (Winarto dkk, 1999), dan di Irian Jaya (Laksono dkk, 2000); pengrusakan
ekosistem terumbu karang (Raharjo, 1995; Lampe dkk, 1996/1997; 1997/1998; Tim
Peneliti PSTK, 2000); dan pencemaran laut yang pada gilirannya telah berakibat pada
terjadinya persaingan dan konflik-konflik antarindividu dan antar kelompok pemanfaat
sumber daya laut dari berbagai tempat asal dan etnik (Dahuri dkk, 1996; Kusumaatmadja,
1999), dan meluasnya kemiskinan penduduk desa -desa nelayan pesisir dan pulau-pulau.
Isu masalah tak kalah pentingnya ialah lenyapnya ratusan hektar lahan tambak di Aceh,
Lampung, dan Sulawesi Selatan oleh ombak akibat hilangnya hutan bakau ( mangrove)
sebagai pelindung dari ancaman abrasi ombak laut. Akhir -akhir ini, korban tsunami
berupa ratusan ribu jiwa penduduk dan pemukimann di Aceh banyak dihubungkan
dengan rusaknya ekosistem mangrof di sepanjang pantai Aceh tersebut.
Dari fenomena tersebut patut dipertanyakan, apakah konsep -konsep ekosistem,
kelembagaan, kepercayaan/keyakinan, nilai -nilai atau norma-norma masyarakat pada
tingkat populasi desa, komunitas etnis, dan kelompok -kelompok yang berbeda-beda yang
diasumsikan oleh sebagian paka r ekologi manusia/antropologi ekologi sebagai
mekanisme regulasi pemanfaatan sumber daya alam secara merata, berkelanjutan , dan
lestari tidak berfungsi lagi atau dalam kondisi sedang terkikis? Fakta ditunjukkan di muka
juga lebih merupakan indikator kegaga lam daripada keberhasilan dari berbagai kebijakan
formal pemerintah (berupa larangan) dan kontribusi dari kalangan akademisi dan LSM
berupa paradigma atau pendekatan -pendekatan pengembangan atau pegelolaan
keterpaduan (integrated management), kemitraan (co-management), atau berbasis
masyarakat (community-based management).
Untuk penulisan makalah dalam rangka lokakarya Menggali Kearifan Lingkungan
ini, baik kiranya mengidentifikasi dan belajar dari sisa -sisa pengetahuan (kepercayaan,
nilai), institusi, dan praktik indigen yang arif lingkungan, yang masih difungsikan di
beberapa tempat, termasuk Sulawesi Selatan, meskipun dalam kondisi sedang terkikis,
atau sudah tergeser oleh kekuatan usaha -usaha perikanan kapitalis dan modern dari luar
tetapi masih diidamkan oleh komunitas pendukungnya. Berikut interpretasi teoretis dan
efektivitas praktik kearifan lingkungan. Sebagai penutup ialah saran -saran.
Batasan Tentang Kearifan Tradisional Lingkungan
Kearifan lokal merupakan gagasan/pandangan, pengetahuan, kepercaya an, nilai,norma, moral dan etika, kelembagaan (melibatkan norma, praktik atau tindakan berpola,organisasi), dan teknologi yang menyumbang kepada tercipta dan tetap terpeliharanyakondisi tatanan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, kemajuan, dan terj aganyakondisi ekosistem lingkungan dan sumberdaya sehingga pemanfaatannya oleh kelompokatau komuniti manusia di situ (sebagai salah satu komponen ekosistem) berlangsungsecara berkesinambungan.
Hadirnya kearifan lokal dalam suatu masyarakat pesisir, khus usnya komunitinelayan, bisa merupakan tradisi ataupun rekayasa baru dari masyarakat pendukungnya,tetapi bisa bersumber dari kebijakan pemerintah, kreasi lembaga perguruan tinggi,inisiatif LSM, dan lain-lain, yang tersosialisasi kepada dan telah diprakti kkan untukselanjutnya ditradisikan oleh masyarakat nelayan pesisir dan pulau -pulau.
Dalam berbagai komuniti/masyarakat bahari (pesisir dan pulau -pulau), termasukdi Indonesia, kearifan tradisional dalam berbagai wujudnya sebagian masih bertahan dandifungsikan, sebagian mulai terkikis, dan sebagian besar lainnya sudah menghilang,sementara ide-ide dan praktik-praktik baru yang ideal dan potensial belum lagiterlembagakan dan mengakar dalam masyarakat.
Berbagai hasil penelitian pada komuniti -komuniti pesisir dan pulau-pulau,terutama di Sulawesi Selatan, diperoleh berbagai keterangan/informasi mengandungkearifan lokal, terutama berkaitan dengan etos ekonomi/berusaha, keselamatanpelayaran, kehidupan kolektif dan jaminan sosial ekonomi, dan kelestarian ling kungan.
Identifikasi dan Gambaran Sisa -sisa Kearifan Lingkungan dalam KomunitasDesa-desa Petani dan Nelayan
1. Pemeliharaan Sumberdaya Air
2. Pemeliharaan Sumberdaya Perikanan
Panglima Menteng di Rajuni sebagai sebuah kelembagaan komunalism di
Masa Lau. Di masa lalu (hingga awal 1950-an), menurut keterangan nelayan Bajo,
pemanfaatan sumberdaya laut dikelola dengan sistem kepemimpinan tradisional. Laut
dan sumberdaya dikandungnya bukanlah milik dan dimanfaatkan oleh semua seperti yang
dipahami dan dipraktikkan penduduk nelayan kemudian. Pada intinya, sistem
pengelolaan tradisional tersebut dilukiskan oleh seorang nelayan Ar (67 tahun) (dalam
Lampe, 2004) sebagai berikut.
“Dahulu kala di masa kolonial dan sebelumnya, wilayah kawasan Taka Bonerate iniadalah milik masyarakat/penduduk kawasan sendiri. Mereka pada umumnya adalahorang keturunan Bajo atau peranakan Bajo -Bugis, Bajo-Selayar/Makassar, dansebagainya. Sistem ekonomi perikanan yang merupakan mata pencaharian pokok,berada di bawah pengaturan para ponggawa laut yang mengatur tentang: jenis -jenissumberdaya laut yang diambil, jadwal/waktu -waktu pengambilan, alat yangdigunakan, lokasi-lokasi operasi, dan lain-lain. Misalnya: periode bulan 7 – 8nelayan mengambil kima dan jenis -jenis kerang lainnya; bulan 9 – 12 sebagianbesar nelayan memancing, sebagian menggunakan pukat dan jaring; bulan 11 – 12(hanya 1 bulan) adalah musim menyelam mengambil teripang; dan, bulan 1 – 15(kecuali bulan 4) merupakan musim pancaroba, waktu mana kondisi lautbergoncang tak henti-hentinya yang sangat berbahaya, sehingga nelayan padaumumnya tinggal di darat memperbaiki alat -alat tangkap. Hasil tangkapan nelayan,oleh ponggawa laut diserahkan kepada ponggawa lolo, yang dapat dianalogikandengan pengelola koperasi pada masa sekarang. Oleh ponggawa lolo hasil -hasil lauttersebut dibagi-bagikan kepada pedagang lokal yang seterusnya mereka jual ke luar,seperti ke Bulukumba, Bantaeng, dan tempat -tempat lainnya. Penunjukanorang/pedagang lokal juga biasanya berdasarkan kesepakat an antar ponggawa lolo,ponggawa laut, kepala-kepala kampung berkedudukan seorang kepala pemerintahanpuncak, yang bergelar “Panglima Menteng”, yang dapat disederajatkan denganpresiden sekarang ini. Siapa-siapa yang melanggar, khususnya berkaitan dengansistem penangkapan dan pemasaran hasl -hasil laut, akan diberikan sanksi berupateguran, denda dan sebagainya, tetapi pada kenyataannya jarang sekali terjadikasus-kasus pelanggaran.” (Wawancara, Mei 2004).
Sistem pengelolaan pemanfaatan sumberdaya laut kaw asan karang (taka-taka dalam
istilah Bugis dan Makassar) di bawah kepemimpinan tradisional Panglima Menteng yang
berpusat di Rajuni mengandung sekurang -kurangnya delapan ciri komunalisme, yaitu (1)
kelembagaan kepemilikan komunal atas wilayah perikanan, (2) pembagian bidang-bidang
kegiatan sosial ekonomi dan politik secara kolektif, (3) a kses keterlibatan masyarakat
secara meluas, termasuk wanita, dalam pemanfaatan sumberdaya laut, (4) pengaturan
jadwal kegiatan eksploitasi jenis -jenis sumberdaya perikanan menurut musim, jadi
mengandung juga sistem kuota, (5) pengaturan mengenai tipe teknologi produksi yang
digunakan, (6) aspek kelembagaan pemasaran/koperasi nelayan, (7) ciri ekonomi
subsisten, dan (8) menguatnya jiwa dan ketaatan kolektif pada adat dan norm a. Tatanan
komunalisme lokal seperti ini menurut keterangan, secara relatif menjamin keseimbangan
ekologi/ekosistem, pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan, dan integrasi
masyarakat komunal yang stabil dalam kawasan Taka Bonerate, khususnya Rajuni.
Rumpon dan Bagang sebagai Institusi Penguasaan Lokasi Perikanan Secara
Individual. Rumpon merupakan sarana bantu tangkap untuk usaha perikanan pukat yang
telah dipertahankan oleh nelayan Bugis sejak ratusan tahun silam. Rumpon merupakan
konstruksi berupa rakit yang terbuat dari puluhan batang bambu panjang. Pada rakit yang
terapung di permukaan laut diikat dan dihubungkan dengan jangkar di dasar laut dengan
sebuah tali induk yang panjang (rotan atau nilon) dan kuat. Pada tali induk sekitar 5 m
hingga 20 m di bawah air dipasang daun-daun kelapa (rumpon) yang berfungsi sebagai
sarana pemikat ikan-ikan untuk terkonsentrasi pada rumpon, yang pada gilirannya
dikepung dengan jala lompo/panja’ (pukat besar tradisional). Sejak kira -kira 20 tahun
terakhir sebagian besar nelayan telah menggunakan gae/rengge’ (pukat cincin ukuran
besar) yang eksploitatif.
Ditinjau dari aspek kelestarian lingkungan, teknik rumpon mengandung dua bentuk
kearifan lingkungan, yaitu pada wujud teknik/praktik dan aturan hak kepemilikan lokasi
perikanan. Pertama, karena teknik penangkapan selektif pada ikan -ikan dewasa yang
hidup di permukaan (ukuran net disesuaikan dengan jenis -jenis ikan tangkapan), maka
gejala penangkapan berlebih (overexploitation) dan penangkapan ank-anak ikan (growth
overexploitation) dapat dihindarkan. Kedua, rumpon sekaligus merupakan aturan adat
penguasaan lokasi-lokasi rumpon secara individual/keluarga/kelompok nelayan
(individual/family/groups proverty rights ). Lokasi rumpon minimal seluas 100 m keliling
diukur dari tempat/posisi rumpon. Dengan hak-hak penguasaan yang eksklusif tersebut
memungkinkan kondisi dasar, termasuk area terumbu karang, dapat telindungi dari
pemanfaatan secara terbuka (open access/use) yang potensial merusak habitat terumbu
karang.
Seperti halnya rumpon, bagang pun mengandung aturan adat kepemilikan hak atas
area perikanan di laut. Perikanan bagang terdiri dari komponen-komponen material
utama berupa pondok yang dipasang pada sebuah perahu bagang (berbentuk perahu
lesung yang panjang), pukat besa r berbentuk empat persegi dengan ukuran lubang yang
sangat kecil (diperuntukkan bagi penangkapan ikan -ikan kecil yang hidup di permukaan
laut), dan lampu-lampu (petromak, lampu gas, lampu listrik) sebagai sarana penerang
untuk memikat ikan-ikan di waktu malam bulan gelap. Karena di Sulawesi Selatan
nelayan kebanyakan mengoperasikan bagang di area taka-taka yang dalam sehingga
lokasi-lokasi terumbu karang tertentu dapat terlindungi dari perilaku pemanfaatan secara
terbuka, terutama dengan penggunaan sarana t angkap destrktif seperti bius, bom, dan
lain-lain.
2. Tempat-Tempat Dikeramatkan yang Menyimpan Kearifan Lingkungan.
Hantu atau Jin Laut di Taka Kayu Bulan, Taka Balaloong, dan Taka Kumai
(Taka Bonerate). Dari banyak nelayan senior di Taka Bonerate di peroleh cerita rakyat
tentang adanya tempat-tempat keramat yang ditakuti nelayan dalam kawasan Taka
Bonerate bagian selatan dan tenggara. Misalnya, Taka Kayu Bulan, Taka Balaloong, dan
Taka Kumai, menurut cerita orang Pasitallu dan Jinato, adalah angker ya ng dijaga oleh
jin-jin atau hantu-hantu laut yang dapat mengubah-ubah dirinya dalam wujud-wujud yang
mengerikan. Mahluk-mahluk keramat ini seringkali menjebak nelayan dengan
memunculkan jenis-jenis tangkapan bernilai ekonomi tinggi, seperti teripang hitam,
kerang mutiara, dan lain-lain dalam jumlah banyak. Nelayan yang serakah dan takabbur
yang langsung mengambilnya, menurut cerita nelayan, akan menjadi korban kesakitan
atau mati di tempat.
Cerita rakyat tersebut, menurut keterangan setempat, masih dipercay ai oleh
bsebagian besar nelayan lokal. Dengan kepercayaan tersebut maka sebelum memulai
penangkapan di tempat-tempat tersebut nelayan terlebih dahulu meminta izin dan sangat
berhati-hati. Setiap nelayan yang masuk ke lokasi -lokasi tersebut menahan diri dar i sikap
takabbur, berbicara sembarangan, bahkan tidak begitu saja mengambil biota -biota yang
yang sudah ada di depan matanya. Untuk memasuki lokasi -lokasi tersebut nelayan pun
mempersiapkan mantra-mantra dan doa-doa yang diandalkan. Pokoknya, kepercayaan
tersebut menjadi pembimbing bagi nelayan untuk bertindak dengan penuh kehati -hatian.
Roh Bulek di Taka Meriam dan Taka Balanda. Nelayan Jinato, Pasitallu Tengah,
Pasitallu Timur, menurut keterangan setempat, juga mempercayai kedua Taka Meriam
dan Taka Balanda sebagai tempat-tempat yang keramat. Kedua taka tersebut, menurut
nelayan dari ketiga pulau tersebut, dijaga oleh roh -roh manusia yang menyerupai orang
Bulek. Menurut cerita nelayan setempat bahwa pada kedua taka tersebut di masa lalu
banyak tentara Belanda gugur dalam perang melawan pasukan Kesultanan Buton dan
Kerajaan Gowa yang berjuang mati -matian dalam mempertahankan wilayah Kepulauan
Macan (sekarang Taka Bonerate). Termasuk dalam pasukan pribumi tersebut ialah orang -
orang Bajo (penghuni Kep. Macan ) yang tahu seluk beluk gugusan taka-taka yang sulit
dimasuki orang asing. Roh-roh tentara Belanda inilah yang menurut cerita setempat
bergentayangan di kedua taka tersebut hingga sekarang. Itulah sebabnya banyak nelayan
setempat takut beroperasi pada kedu a taka yang cukup kaya dengan teripang, kerang,
ikan karang jenis sunu dan kerapu.
Keramik Kembar dan Gurita Raksas di Taka Gantarang (Taka Bonerate).
Nelayan bagian utara kawasan Taka Bonerate, khususnya Tarupa, mempercayai beberapa
taka, terutama Taka Gantarang, sebagai tempat yang angker. Di Taka Gantarang,
menurut cerita orang Tarupa, terdapat keramik kembar dan seekor gurita raksasa yang
menjaganya. Keangkeran lokasi tersebut, menurut cerita nelayan, ditimbulkan oleh
kekuatan supernatural keramik kuno dan keganasan gurita raksasa yang menetap di situ
sejak dahulu kala. Menurut cerita seorang nelayan Tarupa bahwa siapa saja berniat jahat
mau mengambil keramik karena menilainya sebagai harta karun, dipastikan orang
tersebut nantinya terkena musibah. Janga nkan sudah menyentuh mulut tembikar, baru
saja memasuki lokasi taka di mana tembikar berada, orang-orang yang berniat jahat pasti
merasakan ancaman musibah yang bakal terjadi berupa kelumpuhan/keram, pingsang,
dan atau bahkan kematian. Karena kepercayaanny a pada cerita rakyat yang telah
menyebar luas dalam masyarakat Taka Bonerate, maka tidak ada orang setempat berani
mencoba mendekati, apalagi menyentuh benda kuno tersebut. Hingga sekarang ini orang -
orang yang masih mempercayai folklore tersebut harus memi nta izin kepada kekuatan
supernatural dan gurita raksasa sebelum melakukan penangkapan ikan di situ. Itulah
sebabnya, menurut keterangan, Taka Gantarang merupakan Taka paling kaya dengan
biota bernilai ekonomi tinggi, terutama ikan -ikan sunu, kerapu, dan napoleon.
Mahluk halus atau Jin Penjaga Taka Latondu dan Taka Rajuni (Taka
Bonerate). Dari Latondu dan Rajuni diperoleh cerita tentang adanya beberapa taka yang
angker di sekitar kedua pulau tersebut karena dijaga oleh mahluk -mahluk halus atau jin-
jin. Di tempat-tempat tersebut, menurut cerita, sudah banyak nelayan hilang di masa lalu.
Bahkan belum lama ini (tahun 2000), menurut orang Latondu dan Rajuni, ada dua orang
pencari gurita hilang di pantai di saat air laut surut. Itulah sebabnya menurut keterangan ,
sebelum turun ke laut orang harus berdoa dahulu untuk meminta keselamatan dan riski
dari Allah. Jadi dengan doa-doa itu semata, menurut nelayan, keangkeran benda -benda
kuno yang ada di beberapa taka dan keganasan mahluk-mahluk alam di situ bisa
dijinakkan. Menghindari sikap takabbur dan tindakan sembrono, selalu berpegang pada
kekuatan Allah, dan penuh kehati -hatian merupakan petuah-petuah yang dipegang teguh
nelayan dari generasi ke generasi sebagai pedoman perilaku pemanfaatan sumberdaya
laut di taka-taka.
Meminta Izin Kepada atau Menghindar dari Hantu Laut di Taka Limpoge dan
Taka Alusie dalam Perairan Pulau Sembilan, Sinjai. Beberpa taka dalam gugusan taka-
taka Pulau Sembilan, menurut cerita nelayan setempat, dikenal sebagai tempat -tempat
yang keramat. Dua taka di antaranya, yaitu Taka Limpoge dan Taka Alusie dipercayai
oleh kebanyakan nelayan sebagai tempat -tempat paling angker. Menurut cerita beberapa
nelayan, pada siang hari ketika nelayan sedang kelelahan atau mengantuk di atas
perahunya tiba-tiba mendengar bunyi ayam jantan atau bahkan melihat bintang
menyerupai kerbu atau kuda. Kemudian, ketika menyelam di dasar tanpa mengingat
keangkeran taka-taka tersebut, orang yang sudah dalam keadaan terjebak sering melihat
dasar karang menyerupai pemandangan di darat, ada pohon nangka, nenas, bambu,
bahkan sering menyerupai pemukiman dengan jalan raya beraspal dan rumah -rumah
penduduk. Di kedua Taka ini, menurut cerita nelayan, sudah ada beberapa nelayan
setempat dan pendatang hilang dan belum didapat sampai s ekarang.
Di awal tahun 2004 ketika saya (Munsi Lampe) sedang berada di Kambuno (Pulau
Sembilan) dalam rangka melengkapi data untuk penulisan disertasi, masyarakat
Kambuno digemparkan oleh peristiwa meninggalnya seorang nelayan akibat sakit keram
karena menyelam di salah satu dari kedua taka yang angker tersebut. Kematian nelayan
tersebut, menurut cerita teman kelompok kerjanya, disebabkan oleh terlalu banyaknya
waktu yang digunakannya menyelam di dasar karena tergiur dengan dan mau menangkap
beberapa ekor lobster mutiara yang berada di dasar yang dalam. Nelayan tersebut,
menurut perbincangan masyarakat Kambuno, tidak sadar kalau lobster -lobster yang
dilihatnya mulai dari bagian dasar yang dangkal sampai pada bagian yang dalam
sebetulnya merupakan jebakan han tu atau jin penjaga taka tersebut. Karena angkernya
taka-taka tersebut sehingga di situ masih selalu ada biota -biota bernilai ekonomi tinggi
sedangkan pada sebagian besar taka lainnya sudah terkuras sumberdayanya sejak
pertengahan tahun 1990-an.
Meminta restu kepada Raja Teripang/Teripang Berdiri (Gugusan Taka
Kepulauan Spermonde). Dalam gugusan taka-taka Kepulauan Spermonde, terutama
dalam perairan Kodya Makassar dan Pangkep, menurut cerita nelayan setempat, terdapat
beberapa taka yang keramat. Di taka-taka yang keramat tersebut masih sering ditemukan
biota-biota bernilai ekonomi tinggi yang pada sebagian besar taka-taka lainnya sudah
menjadi biota langka karena intensifnya penangkapan. Salah satu tanda dari keramatnya
sebuah taka ialah bilamana di situ ditemukan teripang jenis termahal dalam posisi berdiri,
itulah raja teripang. Dipastikan, menurut cerita nelayan, bahwa di sekitar tempat teripang
berdiri terdapat banyak teripang lainnya. Meskipun demikian, menurut nelayan, biasanya
nelayan yang menemukannya lebih suka memutuskan mencari tempat lainnya daripada
melanjutkan operasinya di situ. Beberapa nelayan yang mempunyai ilmu tinggi ketika
menemukan teripang berdiri lalu duduk bersila di dasar meminta izin dan restu kepada
raja teripang dan mahluk-mahluk halus untuk mengambil teripang -teripang lainnya yang
bersembunyi di lokasi tersebut.
3. Praktik Pemanfaatan Sumber Daya Laut dan Pengelolaan Pantai yang Arif Lingkungan
Memancing sunu pada sarang ikan yang dirahasiakan. Komunitas nelayan yang
secara kolektif mempertahankan usaha pancing sejak dahulu kala ialah nelayan Pulau
Liang-Liang di Pulau Sembilan. Tangkapan pancing ialah jenis -jenis ikan karang utama
seperti sunu, kerapu, dan katamba (kakap). Di masa lalu, ikan-ikan ditangkap dalam
kondisi segar, kemudian sejak awal periode 1990 -an dalam kondisi hidup untuk diekspor
ke Hongkong dan Singapura. Nelayan yang kebanyakan beroperasi secara perorangan
memancing di lokasi-lokasi batu (sarang ikan) pada beberapa taka yang sudah
diketahuinya masing-masing. Bagi nelayan Liang-Liang, batu-batu yang berada pada
kedalaman 20 m sampai 30 m menyerupai milik komunal. Pengetahuan nelayan tentang
letak-letak batu-batu bukan diperoleh dengan penemuannya sendiri, melainkan melalui
pewarisan secara turun-temurun. Selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya hanya
nelayan pancing Liang-Liang yang mengetahui dan memanfaatkan sumber daya
perikanan dari batu-batu pada beberapa taka. Karena merupakan milik komunal, sebuah
lokasi batu bisa dilabuhi beberapa perahu panc ing. Jadi, meskipun sebagian besar
nelayan bekerja sendiri-sendiri, namun mereka merupakan kelompok -kelompok juga
karena posisi perahu-perahunya saling berdekatan satu dengan lainnya. Letak -letak batu-
batu di beberapa taka dalam dan sekitar Pulau Sembilan, menurut keterangan nelayan
setempat, seperti pada tabel di bawah ini.
Nama Taka Letak BatuTaka Malambere selatanTaka Pasi’loangnge utara dan selatanTaka Pangampi ujung timurTaka Limpoge utara dan tengahTaka Lakaranga (wil. Bone) utara dan selatanTaka Lagenda (wil. Bone) timurTaka Laborao’ (wil. Bone) timurTaka Alusi timurTaka Tamprahidi (wil. Bone) tengahTaka Malambere selatan
Menurut keterangan nelayan setempat, terdapat dua alasan utama sehingga nelayan
Liang-Liang tetap mempertahankan usaha pancing ikan karang di taka-taka, yaitu alasan
keberlangsungan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dengan penghasilan dari usaha
pancing sehingga kehidupan ekonomi penduduk nelayan relatif sejahtera. Dengan teknik
pancing yang ramah lingkungan sehingga tidak terjadi penangkapan berlebih dan
kelestarian ekosistem terumbu karang te tap terjaga. Persoalannya karena sejak akhir
periode 1990-an hingga sekarang praktik nelayan Liang -Liang yang arif lingkungan tidak
berfungsi lagi karena terdominasi oleh aktivitas nelayan bius dari pulau lain.
Kemerosotan sumberdaya perikanan dan kerusaka n ekosistem terumbu karang pun terjadi
serta keterancaman penduduk dari kemiskinan.
Budidaya laut yang melindungi lokasi dari praktik pemboman dan pembiusan di
Batanglampe, Pulau Sembilan. Di banyak desa nelayan di Indonesia sebetulnya sudah
dimulai praktik budidaya laut, bahkan di beberapa tempat usaha yang prospektif tersebut
sudah memberikan hasil yang cukup memuaskan bagi pengelolanya. Di Takalar,
Jenneponto, Bantaeng, Bulukumba (Sulawesi Selatan) (lihat Anand Gaffar, 2005;
Abraham Laode, 2005) dan beberapa daerah dalam provinsi Sulawesi Tenggara (lihat
Tang dkk, 2005) sudah banyak petani nelayan budidaya rumput laut yang memperoleh
hasil panen yang memuaskan. Demikian halnya beberapa keluarga nelayan Pulau
Sembilan (Sinjai) telah mencoba budidaya rumpu t laut, pembesaran bibit lobster dan
kerang (japing, mutiara) dalam keramba sejak beberapa tahun lalu. Ruskimin di
Batanglampe mengaku sudah berkali -kali memanen lobster, seperti halnya H.Duskin di
Kambuno yang sudah pernah mengambil biji -biji mutiara hasil budidaya kerangnya
(Lampe, 2006). Usaha budidaya di Pulau Sembilan tersebut sebetulnya merupakan
alternatif nelayan (pengelolanya) dari aktivitas menangkap ikan yang dari hari ke hari
hasilnya semakin merosot akibat dari penangkapan berlebih dan kerusaka n habitat
terumbu karang.
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi nelayan, praktik usaha budidaya dari
berbagai jenis biota laut bernilai ekonomi tinggi semestinya didorong dan difasilitasi
pengembangannya. Upaya pengembangan usaha budidaya laut sebetulny a bukan hanya
menjanjikan pendapatan ekonomi rumah tangga nelayan, tetapi juga merupakan suatu
proses yang secara otomatis mengarah pada pembentukan dan penguatan kelembagaan
hak-hak individual, kelompok keluarga, atau komunal atas lokasi -lokasi perairan tertentu.
Terbentuknya kelembagaan hak -hak pemilikan dan kontrol seperti ini akan
mengkondisikan terbentuknya pola -pola pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan
dan tumbuhnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat pengelola usaha perikanan
budidaya laut.
3. Pemeliharaan Sumberdaya Hutan: Kasus Penanaman Mangrof
Menanam bakau bagi perlindungan pemukiman dan pantai dari abrasi ombak di
Tongke-tongke, Sinjai Timur. Penanaman dan pemeliharaan bakau di Tongke -Tongke
dan sekitarnya merupakan salah satu contoh dari praktik komunitas pantai yang arif
lingkungan yang efektif. Area hutan bakau Sinjai Timur dan Sinjai Utara sekarang telah
menutupi kawasan pantai sepanjang minimal 5 km dengan lebar (ketebalan) bervariasi
dari 50 m hingga 750 m ke laut. Dalam wilayah Dusun Tongke-Tongke saja ketebalan
hutan bakau bervariasi dari 500 m hingga 750 m atau lebih. Seperti halnya di mana -mana,
lahan bakau itu pada mulanya adalah laut secara yang secara berangsur -angsur muncul
sebagai tanah timbul dari proses penumpukan siss a-sisa yang tersaring pada akar-akar
bakau. Umur pohon bakau Tongke -Tongke bervariasi dari 2 tahun hingga 25 atau 30
tahun. Hutan bakau yang luas tersebut terdiri dari petak -petak yang luasnya bervariasi
dimiliki oleh keluarga-keluarga yang menanamnya. Hin gga sekarang, menurut Toyyeb
(70 tahun) (tokoh masyarakat sekaligus ketua lembaga konservasi hutan bakau “Aku
Cinta Lingkungan” (ACL), bahwa sampai sekarang (tahun 2004) masyarakat Tongke -
Tongke masih terus menanam bakau. Bagi mereka, aktivitas menanam bak au adalah
mudah karena tersedianya bibit lokal yang melimpah dan mereka mempunyai
keterampilan melakukan pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan.
Bagi masyarakat Tongke-Tongke yang sebagian besar nelayan, bakau sekarang
mempunyai berbagai fungsi macam, sep erti untuk perlindungan pemukiman dari abrasi
ombak laut, perolehan lokasi perumahan dari tanah timbul, perolehan lahan tambak yang
dikonfersi dari lahan bakau, memanfaatkan daun -daun bakau untuk makanan kambing,
perolehan kayu bakar, dan bahan bangunan ru mah kayu, dan sewaktu-waktu lahan bakau
dapat diperjualbelikan ketika pemiliknya (mereka yang menanam bakau) memerlukan
uang secara mendadak. Fungsi yang tak kalah pentingnya dari hutan bakau ialah sebagai
tempat perkembangbiakan berbagai jenis biota (sumb erdaya perikanan) seperti kerang,
kepiting, ikan, udang, dan lain -lain.
Pada mulanya, menurut keterangan Pak Toyyeb, fungsi yang diharapkan dari
menanam bakau hanyalah untuk perlindungan lahan pemukiman pantai dari ancaman
abrasi ombak laut. Ketika hutan b akau semakin besar dan meluas areanya barulah
masyarakat sadar akan berbagai kegunaannya yang praktis seperti tersebut di atas.
Pembangunan Ballasa’ Untuk Mencegah Abrasi Pantai di Perairan Pantai
Dalam Wilayah Desa Pasir Putih, Kec. Bola, Kab. Wajo. kkkk
4. Pemeliharaan Sumberdaya Lahan Pertanian
Ideologi/kepercayaan dan Praktik Perladangan Berpindah -pindah pada SukuMuyu di Merauke –Papua (Rahmatia Lebu, 2005: hal 58 -86).
Pekerjaan berkebun, khususnya membuka lahan dilakukan secara bergotong royongyang dipimpin oleh kepala suku. Dia yang memerintahkan kepada wargamasyarakat dan rumpun kerabat.
Memilih tanah berwarna hitam karena subur dan cocok untuk hamper semua jenistanaman: pisang (jum), jemen andu (keladi), kombili (wan), ubi jalar (bonding),sayur-sayuran, dan lain-lain.
Ada kewajiban adat bagi setiap orang dewasa (terutama yang berkeluarga) memilikilahan dan berkebun (jongbon).
Tidak dikenal jual beli tanah/lahan pertanian.
Lahan yang dibuka adalah hutan rimba primer dan sekunder subur yang pe rnahdiolah dan menjadi miliknya (3 -4 ha), dimiliki dan diwariskan secara turu -temurun.
Pembuktian kesuburan diperoleh dengan upacara/tritual: menyalakan api unggundari kumpulan kayu-kayu kering. Setelah padam dan mendingin, di situ ditanamisalah satu atau beberapa dari jenis-jenis tanaman pokok tsb.
Kalau tanaman tumbuh dan berbuah dengan baik (subur, buah berisi, bersih, lurus)berarti cocok dan umur pemilik dipanjangkan Tuhan, kalau pertumbuhan kerdil,batang atau tandan patah berarti kurus dan salah s atu dari pemilik (suami, istri)sakit-sakitan atau meninggal dunia.
Tanah yang bagus: basah, lembab, berwarna hitam.
Tanah yang sudah tidak subur dimaknai penghuni/penguasa tanah (Ibu Pertiwi)tidak merestui lagi. Di mana-mana di hutan ada penguasa tanah.
Tanpa seizing denganNya, panen gagal dan sial/celaka
Setiap memulai kegiatan bercocok tanam terlebih dahulu berdoa memohon restukepada Ibu Pertiwi.
Hari dan angka tujuh adalah hari keberuntungan.
Proses pekerjaan: mengundang warga/kerabat, meminta izin, p akai waruk/manteradibaca dalam hati, setiap orang tahu:
-Pohon ditebang kira-kira 1 meter diatas pangkal, supaya bertunas lagi nantinya.
-Tidak boleh jatuh bersusun dan bersilangan/acak -acakan karena merumitkanpekerjaan
-Dua minggu daun berguguran
-Dahan dipotong lalu dipindahkan ke pinggir jadi pagar pelindung tanaman daribabi hutan
-Daun tidak dibakar, karena nanti kepanasan kulit ibu, jadi terjadipembusukan/humus secara merata, tanah gembur.
-Tanah tidak digali/dicangkul karena melukai dan menyakiti ibu,
-Menanam dengan menancapkan kayu keras/tongkat yang diruncingkan (adot)untuk membuat lubang tanaman/bibit, tidak menyakiti ibu.
-Tanaman tidak disiangi karena rumput liar adalah saudara kandung tanaman; kalausudah panen jerami dan rumput liar yang s udah tua dibabat dan cepat lapuk, tidak
dibakar. Baru menanam lagi Rumput/tanaman liar akan alang -alang tumbuh bersamabibit dan memberikan kehidupan baik dan keberhasilan tanaman. Karena rumputmempunyai tugas pelindung tanaman, jadi nanti rela dipangkas kalau tanaman sudahhamper dipanen, agar proses panen lancer juga. Panen/pencabutan umbi dansebagainya diawali dengan upacara syukuran dan doa pada Tuhan dan roh -roh halus,dan diundang warga kampong. Pemilik hanya memantau saja kebun dan tanaman.Hasil panen dikumpulkan dan tidak boleh dilangkahi dan diinjak, karena dia yangmenghidupi, diangkut dengan baik ke rumah masing -masing, dijunjung atau dijinjingoleh ibu-ibu, bukan laki-laki, karena laki-laki tinggi derajatnya. Keladi dan kombilitinggi derajatnya, lebih awal daripada sagu dan umbi -umbian lainnya, suci, tidakboleh dijual, hanya dibagi -bagi, menjualnya sama dengan hina, harus dengan doabaru dikonsumsi..
-Kebun adalah tempat suci, karenanya orang/keluarga memasukinya dalam keadaanbersih, laki perempuan tidak boleh beriringan masuk, kalau dilanggar buah tanamantidak akan sehat, keluarga akan damai bahagiakalau dipatuhi..
-Langit adalah Tuhan suami ibu yang menurunkan hujan kesuburan yangmenggemburkan tanah.
-jadi dengan upacara menghadirkan dan berkomunikasi dengan Tuhan Ibu Pertiwi,Bapak di langit, dan roh-roh halus di hutan.
-Tanah adalah milik individual/keluarga yang diwariskan secara turun -temurun dantidak diperjual bel8ikan.
Hitungan hari tujuh: mim, ayop, ayomin, kaming, anggo, kum, dan ef (hari terbaik).
Ibu berperanan dalam mengundang dan mengumpulkan warga kerabata untuktenaga kerja.
Makanan: sagu, babi, dan umbi -umbian, buah-buahan.
Semua hasil adalah dinikmati keluarga, kerabat, dan warga masyarakat.
(Bandingkan dengan pola pengelo laan hutan di Kajang).
Praktik Penggunaan Pupuk Organik dan Pupuk Berimbang Pada Petani
Manjalling, Kab. Goa. Petani sudah mengenal pupuk organik, bahan sejak dua musim
penanaman terakhir petani melalui kelompok taninya memperoleh bantuan dari
pemerintah pusat berupa mesin penghancur jeramih, daun -daunan dan sampahorganik
lainnya untuk bahan pupuk organik. Untuk menghasilkan pupuk kompos yang baik, maka
petani mendapat pembelajaran dari pakar pertanian dan pelatihan oleh penyuluh
lapangan. Ada pun bahan untuk membuat pupuk organic atau pupk kompos, yaitu jerami,
ceeng gondok, tongkol jagung atau daun -daunan lainnya, air gula merah (gula aren) dan
EM4 (zat organik yang berfungsi mempercepat pembusukan)
Jerami dan daun-daunan yang telah dihancurkan diberi camp uran larutan air gula
dan diberi larutan EM4 yang dicampurkan ke dalam air alalu disemprotkan pada jerami
dan daun-daunan yang telah dihancurkan. Menurut petani, bahwa beberapa jenis
tanaman, termasuk jerami padi disamping berfungsi penyubur tanah, juga sek aligus
sebagai racun bagi hama tanaman. Buktinya, menurut petani, padi yang menggunakan
kompos tersebut lebih sedikit terserang penyakit dari pada yang hanya menggunakan
pupuk dari bahan kimia. Ada beberapa petani yang memanfaatkan sampah rumah tangga
yang tidak mengandung bahan kimia, kotoran ternak ayam, tahi kambing, dan daun -
daunan yang telah membusuk sebagai bahan penyubur tambahan yang disebarkan begitu
saja ke bagian sawah yang agak kurus tanahnya.
Secara umum petani mengikuti aturan pengguna pupuk b erimbang berdasarkan
kebutuhan lahan. Jenis-jenis pupuk yang digunakan adalah : UREA, SP36, ZA dan KCL.
Untuk lahan 1 Ha jika menggunakan pupuk berimbang dengan campuran 4 sak (200kg)
UREA, 2 sak (100 kg) SP36, 2 sak (100 kg) ZA dan 2 sak (100 kg) KCL (ses uai dengan
anjuran penyuluh pertanian), dapat menghasilkan 6 ton gabah, tetapi jika menggunakan
pupuk kompos 250 kg dengan campuran pupuk setengah berimbang yaitu 100 kg Urea,
50 kg SP36, 50 kg ZA dan 50 kg KCL, maka akan menghasilkan 4 ton gabah. Dengan
menggunakan pupuk kompos dan setengah berimbang, petani dapat menghemat biaya
untuk membeli pupuk hingga 50%. Hanya saja hingga sekarang masih kurang petani
yang menggunakan pupuk kompos, alasannya karena proses pembuatannya cukup rumit
dan memerlukan waktu yang lama.
Interpretasi Teoretis dan Efektivitas dari Praktik Kearifan Lingkungan
Interpretasi Teoretiss. Segenap kasus lelembagan, kepercayaan/keyakinan, dan
praktik yang dianggap mengandung kearifan lingkungan dapat dianalisis/dijelaskan dan
dipahami dengan beberapa perspektif ekologi manusia yang dikemukakan di muka. Dari
perspektif neofungsionalisme ekosistemik, kelembagaan Panglima Menteng, pranata
usaha rumpon dan bagang, praktik-praktik budidaya laut, tradisi memancing pada batu-
batu yang dirahasiakan, dan menanam bakau dapat dijelaskan dan dipahami sebagai
mekanis pengelolaan lingkungan dan sumberdaya laut. Mekanisme tersebut dimaksudkan
oleh masyarakat setempat dalam rangka menjaga kondisi keseimbangan hubungan antara
manusia (pemanfaat) dan sumber daya laut atau sumberdaya perikanan. Perspektif
ekosistem(ik) tersebut mengajukan asumsi -asumsi “keseimbangan” (equilibria), “sistem
tertutup” (closed system) atau “sistem yang mengatur dirinya sendiri” ( self regulating
system) (Rappaport, 1968; Vayda dan Rappaport, 1968).
Meskipun asumsi-asumsi dari fungsionalisme ekosistemik tersebut telah dikritik
oleh para pakar ekologi manusia generasi baru karena tidak sesuai dengan realitas
(degradasi lingkungan, keterbukaan sistem, konflik -konflik antar pemanfaat) yang terjadi
selama ini, namun beberapa kelembagaan, kepercayaan, dan praktik nelayan yang arif
lingkungan digambarkan di muka masih memperkuat asumsi -asumsi neofungsionalisme
ekosistemik tersebut. Lagi pula bahwa tatanan ekologi yang komunalistis seperti
Panglima Menteng masih diinginkan oleh sebagian besar komunitas nelayan Bajo dalam
kawasan Taka Bonerate sekarang.
Dari perspektif materialisme budaya (salah satu varian neofungsionalisme dalam
ekologi manusia) (Harris, 1987), kepercayaan dan keyakinan ber bagai komunitas nelayan
terhadap tempat-tempat keramat seperti telah diidentifikasi di muka, dapat dipahami
sebagai pranata-pranata hasil pertimbangan rasional untung rugi ( cost-benefit
considerations) masyarakat nelayan generasi sebelumnya dalam rangka me mpertahankan
keseimbangan kondisi sumberdaya laut dan pemanfaatannya masing -masing, sebaliknya
praktik-praktik eksploitatif yang dapat menimbulkan kerugian material harus
dihindarikan. Memadainya pranata -pranata seperti itu tecermin dari keyakinan atau
kepercayaan serta praktik-praktik yang penuh kehati -hatian, tidak serakah, tidak
takabbur, memohon, menyandarkan diri, atau menghindar, dan sebagainya. Adapun
pertimbangan-pertimbangan rasional untung rugi ( cost-benefit considerations) yang
mendasari praktik berada pada tataran bawah sadar komunitas -komunitas masyarakat
nelayan generasi baru sekarang.
Fenomena kepercayaan terhadap tempat -tempat keramat di laut yang
mempengaruhi praktik-praktik nelayan yang arif lingkungan rupanya tepat juga
dijelaskan dan dipahami menurut perspektif komunalisme dari Palsson (1996).
Komunalisme yang disenangi oleh Palsson, adalah salah satu dari ketiga paradigma yang
dibangunnya (orientalisme, paternalisme, dan komunalisme) untuk menjelaskan dan
memahami fenomena relasi komunita s-komunitas nelayan Islandia dengan lingkungan
alam lautnya. Ketiga paradigma tersebut dibangun berdasarkan realitas sosial budaya
masyarakat nelayan Islandia dari era tradisional (komunalistis) ke era pembangunan
ekonomi (perikanan) nasional (paternalisti s) melalui era ekonomi perikanan modern yang
kapitalistis (orientalistis). Dengan kedua orientalisme dan paternalisme, manusia
dianggap sebagai penguasa dan pemilik ( masters) alam (nature), bedanya karena yang
pertama ‘mengeksploitasi’ (exploits) dan mendominasi, sedangkan yang kedua
‘melindungi’ (protects). Komunalisme berbeda dengan kedua sistem relasi pertama,
karena ini menolak perbedaan dan pemisahan ekstrim antara alam dan masyarakat dan
antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan praktis. Dari segi ci ri-ciri tatanan dan
kronologi sejarahnya, ketiga paradigma tersebut adalah aplikatif dalam menjelaskan dan
memahami kompleksitas interaksi nelayan dengan lingkungan ekosistem terumbu karang
di kawasan Taka Bonerate, dari masa awal yang dicirikan dengan sis tem-sistem
tradisional lokal (komunalisme), ke masa berikutnya yang dicirikan dengan
komersialisasi, kapitalisme, dan pasar global (orientalisme), hingga periode yang ditandai
dengan intervensi pemerintah nasional, para saintis, LSM dan Lembaga -lembaga donor
dalam negri dan luar negri (paternalisme).
Dari perspektif/paradigma konstruksionisme (dari Palsson, 1996), kepercayaan atau
keyakinan terhadap tempat-tempat keramat di laut dilihat sebagai pola -pola hubungan
antara subjek-subjek manusia dan mahluk-mahluk halus, hantu, jin, Tuhan, dewa, benda -
benda berkekuatan supernatural, dan sumberdaya hayati laut itu sendiri. Hubungan -
hubungan antara subjek-subjek tersebut membentuk kesatuan komunalisme, bukan
hubungan antara subjek manusia dan objek alam yang dieksp loitasi. Kondisi positif
kelestarian lingkungan dan kelimpahan sumberdaya laut dipahami sebagai dampak -
dampak yang dimaksudkan ( intended consequencies) atau diprediksikan dari tatanan
hubungan ekologi antarsubjek yang komunalistis.
Untuk studi ilmiah mengenai fenomena kearifan lingkungan dalam rangka
revitalisasi dan pengembangan kelembagaan, pengetahuan, dan praktik -praktik
tradisional berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang
berkelanjutan dan lestari tepat juga digunakan pendekat an masalah praktis lingkungan
(salah satu pendekatan ekologi manusia) dari Milton (dalam Ossewijer, 2001). Dengan
pendekatan tersebut, milton menawarkan tiga peranan antropolog/etnografer (semacam
fokus studi). Pertama, untuk sampai pada suatu pemahaman ya ng lebih baik mengenai
hubungan dialektik antara manusia dan lingkungan alamnya diperlukan suatu fokus
penelitian pada cara-cara suatu komunitas memahami lingkungan alamnya, bagaimana
caranya berinteraksi dengan lingkungan dalam bentuk aktivitas eksploitas i, kenapa
mereka melakukannya, dan dampak apa ditimbulkan oleh aktivitas -aktivitas tersebut pada
lingkungan (negatif atau positif). Peranan ini sesungguhnya merupakan suatu
kontinyuitas peranan antropologi ekologi, yang mana pengetahuan hasil koleksi para
antropolog dapat menginformasikan dan menginstruksikan kepada orang -orang tentang
cara-cara hidup berkelanjutan.
Kedua, menjadikan environmentalism itu sendiri sebagai suatu objek studi dengan
memahaminya sebagai fenomena budaya dunia. Konsep environmentalism sebagaimana
digunakan orang-orang dari berbagai latar budaya -- birokrasi regional dan nasional,
organisasi donor multilateral, ornop lingkungan internasional dan nasional -- diteliti para
antropolog agar supaya memahami motivasi -motivasi dan kegiatan-kegiatan mereka
dalam arena politik internasional. Peranan kedua tersebut, menurut Escobar, Milton, dan
Brosius (Osseweijer, 2001: 12), dapat ditempatkan di bawah antropologi ekologi ‘klasik’
yang dipengaruhi oleh postmodernisme dan didasarkan pada pendeka tan ekologi politik.
Ketiga, keterlibatan antropologi dalam isu environmentalism telah meluas
melampaui aspek akademisi murni dengan perspektif kritisnya pada wacana lingkungan.
Dengan peranan tersebut, menurut Brosius, antropologi terlibat dalam suatu ben tuk
praksis lingkungan (Osseweijer, 2001: 13).
Efektivitas dari Praktik Arif Lingkungan. Kearifan lingkungan laut sebagaimana
digambarkan dan dianalisis dari beberapa perspektif ekologi manusia di atas harus
dibuktikan dengan realitas evektivitasnya menuru t pengakuan masyarakat pendukung
yang mempraktikkannya. Di masa lalu ketika kelembagaan Panglima laut (berpusat di
Rajuni) masih difungsikan oleh msyarakat nelayan Bajo, menurut beberapa orangtua
yang pernah mengalaminya secara langsung, lingkungan kawasan Taka Bonerate yang
tertutupi hamparan terumbu karang dalam kondisi sangat baik, sementara berbagai biota
yang hidup di situ, khususnya sumberdaya perikanan, tetap dalam kondisi berkecukupan.
Terdapat empat ciri perilaku dan aturan pemanfaatan setempat yan g menjamin terjaganya
kondisi tersebut, yaitu sistem penjadwalan aktivitas penangkapan dan aturan kuota
tradisional, tidak digunakannya teknologi eksploitasi yang merusak lingkungan dan
menguras populasi sumberdaya perikanan, kepercayaan terhadap tempat -tempat keramat
di laut, dan diterapkannya sistem penguasaan wilayah (kawasan Taka Bonerate) secara
komunal setempat, yang tertutup bagi orang -orang luar.
Usaha perikanan rumpon dan bagang, menurut nelayan pengelolannya, secara
relatif menjamin kelestarian ekosistem laut dan keseimbangan populasi ikan -ikan target.
Seperti dijelaskan di muka bahwa unsur kearifan lingkungan dari kedua bentuk usaha
perikanan tradisional tersebut terletak pada fungsinya sebagai pranata penguasaan lokasi
perikanan dan sifat selekti f dari net pukat yang digunakannya. Efetivitas dari usaha
rumpon antara lain diceritakan oleh nelayan rumpon dari Kampung Nipa (Bulukumba
Barat) dan Kampung Kassi (Bulukumba Timur). Menurut keterangan nelayan bahwa
ketika kedua unsur aturan dan teknik masi h difungsikan secara ketat hingga pertengahan
periode 1980-an, maka kondisi terumbu karang pada gugusan taka-taka di perairan pesisr
Bulukumba bagian barat dan Teluk Bone pada umumnya masih baik sekali. Di lokasi -
lokasi rumpon pada musim ikan, menurut ceri ta nelayan, kelompok-kelompok ikan dari
berbagi jenis di situ tampak bagaikan pagar yang bersusun -susun di dasar dan
permukaan laut. Cerita seperti ini juga diungkapkan oleh nelayan -nelayan generasi tua
dari Burungloe – Pulau Sembilan (Sinjai) dan nelayan Madello (Barru).
Mengenai tempat-tempat yang dianggap keramat, efektivitasnya bukan hanya
ditunjukkan dengan cerita-cerita nelayan generasi tua yang pernah mengalaminya sendiri
di masa lalu, mlainkan juga oleh nelayan -nelayan generasi muda dari berbagai k omunitas
di Sulawesi Selatan yang seringkali beroperasi pada tempat -tempat keramat tersebut di
masa sekarang. Dari nelayan Taka Bonerate diperoleh keterangan bahwa meskipun pada
kebanyakan taka dalam kawasan Taka Bonerate sudah terkuras populasi jenis -jenis
sumberdaya perikanannya, namun pada taka-taka Bulan, Balaloong, Kumai (bagian
selatan), Taka Balanda, Taka Meriam (bagian tenggara), Bungin Tinanja (bagian timur),
Taka Latondu, Taka Rajuni (bagian barat), Taka Lamungan, dan Gantarang (bagian
utara) ternyata nelayan masih seringkali melihat cukup banyak biota laut dari berbagai
jenis bernilai ekonomi tinggi berupa ikan, teripang, kerang (terutama kima), dan lain -
lainnya. Demikian pula, menurut keterangan, terumbu karang pada taka-taka tersebut
masih dalam kondisi baik atau lumayan. Kondisi ekosistem terumbu karang dan
sumberdaya di situ dimungkinkan oleh ketidakleluasaan dan sikap kehati -hatian pada
atau penghindaran kebanyakan nelayan dari tempat -tempat keramat tersebut. Mengenai
Taka Gantarang yang dipercayai sangat keramat, saya pernah menanyakannya kepada
seorang nelayan dari Pulau Jinato, yang dikenal sebagai pembom paling terkenal dan
berani dalam Kawasan Taka Bonerate. Dia mengungkapkan:
“Saya lebih memilih berurusan dengan pihak keamanan dan masuk k eluar daritahanan daripada masuk dan membom dalam lokasi yang keramat itu. Tempat itupaling saya takuti di Kawasan Taka Bonerate selama ini.” (Wawancara bulan Juli,1997/1998).
Seorang nelayan senior sekaligus tokoh tokoh masyarakat Desa Tarupa (Kawasan
Taka Bonerate) juga menceritakan kondisi sumberdaya perikanan di Taka Gantarang
yang keramat yang mengatakan:
“Dahulu, lokasi pada dan sekitar tembikar kembar kuno yang keramat dipenuhidengan ikan-ikan besar dan kecil, banyaknya sulit diungkapkan dengan k ata-kata.Di lokasi itu ada sejenis ikan yang sangat ganas, kalau perahu lewat di situ orangtidak berani menurunkan kakinya ke air laut karena takut dikerumuni dan digigitoleh ikan-ikan yang ganas itu. Pada mulut lubang gurita yang menjaga tembikarkeramat itu tampak ana-anak ikan yang luar biasa banyaknya masuk keluar darilubang tersebut. Pada musim timur di bulan sembilan hingga bulan sepuluh, ikan -ikan karang di sini melakukan peneluran dengan cara melompat -lompat ke atassambil melepaskan telurnya. Tempa dalam dan sekitar lokasi tembikar dan lubanggurita rupanya pusat peneluran dan pembiakan ikan -ikan dalam kawasan TakaBonerate.” (Wawancara bulan Juli 1997/1998).
Kepercayaan pada adanya tempat -tempat keramat dalam gugusan Taka Pulau
Sembilan dan gugusan Taka Kepulauan Spermonde juga memperlihatkan indikator
efektivitasnya sebagai mekanisme perlindungan ikan -ikan dan biota-biota bernilai
ekonomi lainnya dari ancaman penangkapan yang intensif. Buktinya bahwa meskipun
sejak paruh kedua periode 1990 -an hingga sekarang kebanyakan taka dalam perairan
Pulau Sembilan sudah terkuras sumberdaya perikanannya, namun pada beberapa taka
yang dianggap keramat, termasuk Taka Limpoge dan Taka Alusie nelayan masih
seringkali mlihat banyak teripang, ikan, kerang, dan lo bster yang besar-besar di situ.
Sama halnya dalam gugusan Taka Kepulauan Spermonde, yang menurut keterangan
nelayan, taka-taka di mana bertempat raja teripang, masih sering ditemukan banyak
teripang termasuk jenis-jenis yang bernilai ekonomi tinggi.
Praktik memancing ikan-ikan pada batu-batu (sarang ikan pada batu-batu karang)
juga evektif di masa lalu sebelum lokasi -lokasi sarang ikan yang dirahasiakan dan
dimiliki nelayan Liang-Liang (Pulau Sembilan) secara kolektif belum diterobos dan
dikuasai oleh nelayan pengguna bius dari pulau tetangganya. Indikator efektivitas praktik
tersebut ialah terjaganya kelestarian ekosistem terumbu karang dan melimpahnya
populasi dari berbagai jenis biota laut bernilai ekonomi tinggi, khususnya ikan sunu,
kerapu, kakap, napoleon, yang menjadikan terumbu karang sebagai habitatnya. Seorang
nelayan senior Liang-Liang menceritakan:
“Di sore hari dalam tahun 1980 -an, saya pernah memancing di sebuah taka tidakjauh dari Pulau Liang-Liang ini. Karena banyaknya ikan di taka itu sehing ga tidaksampai setengah jam lamanya saya memancing lalu perahu sampanku sudah penuhdengan sunu, kerapu, dan katamba (kakap). Napoleon yang tertangkap sayalepaskan kembali karena belum laku di pasar pada waktu itu. Karena banyaknyatangkapan sehingga dalam pelayaran kembali ke pulau ini perahuku hampirtenggelam.” (Wawancara bulan September, 2003).
Mengenai praktik budidaya laut, meskipun belum lama dicoba oleh sebagian
komunitas nelayan, namun terbukti juga telah menunjukkan tanda -tanda dampak
positifnnya bagi pemulihan ekosistem terumbu karang yang pernah mengalami kerusakan
serius karena perilaku nelayan pengguna bahan peledak dan bius beracun. Ruskimin (52
tahun) di Batanglampe (Pulau Sembilan), seorang nelayan yang sejak tahun 1995 mulai
mempraktikkan peneluran dan pembesaran bibit lobster dan kerapu dalam keramba.
Selain lobster dan ikan, Ruskimin juga membudidayakan teripang dan rumput laut.
Karena lokasi dalam dan sekitar budidaya diawasinya setiap saat sehingga karang -karang
yang pernah mengalami kerusakan parah di dasar mulai bertunas dan tumbuh dengan
segar. Lokasi tersebut juga mulai kaya dengan anak -anak ikan dan lobster, yang menurut
Ruskimin, pada mulanya dari bibit yang menetas dalam keramba -keramba miliknya. Di
sini ada proses pemulihan atau pembentukan habitat atau ekosistem baru melalui praktik
budidaya laut. Sejak tahun 1996, menurut Ruskimin yang berpikiran jenius, keluarganya
sudah menikmati hasil yang lumayan dari usaha budidayanya.
Penanaman bakau oleh komunitas nelayan pantai di Tongk e-Tongke merupakan
praktik pengelolaan pantai yang paling menyolok indikator keberhasilannya di Sulawesi
Selatan. Atas inisiatif masyarakat setempat secara kolektif, maka area laut sejauh 750 m
hingga 800 m ke laut telah dirampas dan diubah menjadi hutan b akau. Menurut
pengakuan masyarakat, bahwa dengan hutan bakau tersebut pemukimannya telah aman
dari ancaman abrasi ombak laut yang ganas di musim timur dan pancaroba, perahu -
perahu nelayan yang diparkir terlindungi dari terik matahari, dan sebagian besar ke luarga
nelayan telah mendapatkan area tanah timbul untuk berbagai kepentingan (lahan
pemukiman dan tambak yang baru).
Hal berkaitan dengan fungsi konservasi lingkungan bahwa hutan bakau telah
membentuk ekosistem baru dengan rantai ekosistem yang kompleks. Hutan bakau pada
lapisan dasar telah membentuk rantai ekosistem dari berbagai jenis ikan, kepiting, kerang,
belut laut, ular, biawak, dan lain -lain. Pada lapisan permukaan, hutan bakau menjadi
habitat dari berbagai jenis burung, terutama kelelawar. Pada ti ngkat fungsi makronya,
hutan bakau Tongke-Tongke dan sekitarnya telah mampu melindungi pemukiman
penduduk pantai timur Sinjai dari peristiwa tsunami yang berpusat di Maomere pada awal
tahun 1990-an. Demikian pula sebaliknya, ekosistem tersebut hingga batas -batas tertentu
dapat melindungi pertumbuhan terumbu karang kawasan Taka Pulau Sembilan dari
pencemaran yang bersumber dari darat di musim penghujan. Perlu diingat bahwa kondisi
terjaganya ekosistem mangrof Tongke -Tongke ditentukan oleh pengelolaan komunit as
sebagai komponen pemanfaat dan penyumbang dari ekosistem tersebut.
Penutup
Pada bagian pendahuluan telah ditunjukkan mengenai fenomena kerusakan
ekosistem-ekosistem terumbu karang dan mangrof serta kemerosotan sumber daya
perikanan bernilai ekonomi bera sosiasi dengan ekosistem-ekosistem tersebut sebagai
akibat penggunaan sarana tangkap yang destruktif dan eksploitatif. Bahkan kondisi
lingkungan dan sumber daya laut tersebut telah berdampak lebih jauh pada konflik -
konflik antara kelompok-kelompok nelayan dan meluasnya kemiskinan penduduk
nelayan pulau-pulau. Kalau demikian halnya, dampak dari perilaku tersebut sebetulnya
telah melampaui bahaya ‘ tragedy of the commons ’, yang semata mempersoalkan
kemerosotan sumber daya perikanan milik umum.
Mengacu pada pendekatan masalah praktis lingkungan dalam ekologi
manusia/antropologi ekologi dari Milton (dalam Osseweijer, 1999), dalam makalah ini
diajukan beberapa saran penting sebagai berikut. Pertama, studi -studi tentang kearifan
lingkungan, khususnya lingkun gan laut, perlu digalakkan untuk memperoleh
data/informasi akurat sebanyak mungkin yang diperlukan dalam rangka membuat
berbagai model pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang
berkelanjutan dan lestari.
Kedua para pakar budaya (antropolog atau etnografer) diharapkan keterlibatannya
secara aktif dalam mengkaji visi dan misi kaum environmentalism dunia sebagai
fenomena budaya dunia. Kaum environmentalism melibatkan lingkungan birokrasi
regional dan nasional, organisasi donor multilatera l, ornop lingkungan internasional dan
nasional. Fenomena environmentalism tersebut perlu dikaji agar dapat dipahami
motivasi-motivasi dan kegiatan-kegiatan mereka dalam arena politik internasional.
Ketiga, antropolog/etnografer perlu dilibatkan lebih jauh dalam bentuk-bentuk
praksis lingkungan (menggali informasi dari masyarakat, membujuk para stakeholders,
ikut serta dalam perumusan kebijakan dan penyususnan program kegiatan, berpartisipasi
dalam kegiatan konservasi lingkungan, evaluasi, dan sebagainya). Salah satu contoh
keikutsertaan para praktisi antropologi dalam program kegiatan konservasi lingkungan
ialah penanaman bakau bersama petani tambak dan nelayan di Wajo tahun 1998. Konon
sekarng, bakau yang ditanam sudah mulai membentuk dinding pelindung pan tai (green
belt).
Untuk melakukan pemberdayaan dan pengembangan komunitas -komunitas nelayan
pesisir berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya laut
secara berkelanjutan dan lestari (membangun sistem ekologi dengan paradigma
komunalisme terbuka) diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dan aplikatif. Dengan
menyesuaikan pada karakteristik ekosistem laut (terumbu karang, mangrof) yang
mencakup komponen dan perilaku komunitas manusia pemanfaat dari berbagai tempat
dan kelompok etnis (ci ri keterbukaan ekosistem) di Sulawesi Selatan, maka bukan
pendekatan dari atas (top-down/government-based management), bukan pula pendekatan
sepenuhnya dari bawah (buttom-up/extreme community-based management) yang
dianggap lebih tepat, melainkan memilih s uatu pendekatan yang menggabungkan
kekuatan-kekuatan dari berbagai pendekatan yang ada. Untuk itu, disarankan
menggunakan pendekatan pengelolaan terpadu/kemitraan ( integrated/co-management).
Pendekatan tersebut dimaksudkan sebagai pelibatan semua pihak yan g berkepentingan
(stakeholders) seperti nelayan, pedagang, pengusaha, pemerintah dengan berbagai
instansi terkait, lembaga ilmiah dan perguruan tinggi, LSM, lembaga donor, dan lain -lain.
Pelibatan tersebut bukan hanya dalam membicarakan bersama kepentingan -kepentingan
atau kebutuhan-kebutuhan masing-masing, persosalan yang dihadapi, dan menyiapkan
resep-resep pemecahan masalah, melainkan juga dalam merumuskan kebijakan -kebijakan
formal, implementasi dari program -program kegiatan yang dibuat bersama, dan
pengawasan serta evaluasi terhadap jalannya dan hasil dari implementasi kebijakan dan
program yang telah disepakati.
Daftar Pustaka
Anand Gaffar, Muhammad. 2005. Analisis Produksi Petani Rumput Laut di KelurahanBintarore Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Buluk umba. Tesis S2. ProgramPascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Arifin, Ansar dan Munsi Lampe. 1999/2000. Model Pengembangan Sosial EkonomiNelayan di Sulawesi Selatan yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan .Hasil penelitian oleh Yayasan Pengem bangan Agro-Maritim (YPMA) dibiayaiBappeda Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Dahuri, Rokhmin dkk. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan LautanSecara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Harris, Marvin. 1987. The Rise of Anthropologi Theory . Crowell, New York.
Kusumaatmadja, Sarwono. 1999. “Pokok -pokok Kebijakan Pembangunan KelautanNasional”. Makalah. Seminar Nasional Pembangunan Kelautan, Indonesia(peringatan 40 th Deklarasi Djuanda). Kerjasama Antar Badan KerjasamaPerguruan Tinggi Negeri Se Indonesia Timur (BKS PTN INTIM) denganDepartemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, Makassar.
Laksono, P.M. dan kawan-kawan. 2000. Perempuan di Hutan Mangrove: KearifanEkologis Masyarakat Papua . Galang Press: Yogyakarta.
Lampe, Munsi. 1995. Sistem Penguasaan Wilayah Perikanan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati di Laut oleh Masyarakat Nelayan Bugis dan Makassar di SulawesiSelatan. Diterbitkan oleh Bagian Proyek Pengkajian dan Nilai -nilai BudayaSulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R I.
______1999. Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman UntukIntervensi Berbasis Masyarakat (Abd. Rahman Patji ed.). Kerjasama antaraProyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) denganPuslitbang Kependudukan dan Kete nagakerjaan Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (PPT-LIPI) Jakarta.
______2006. Pemanfaatan Sumberdaya Taka oleh Nelayan Pulau Sembilan: StudiTentang Variasi Perilaku Nelayan dan Konsekuensi Lingkungan dalam KonteksInternal dan Eksternal. Disertasi. Progr am Studi Antropologi, SekolahPascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lampe, Munsi, Darmawan salman, dan Ansar Arifin. 1996/1997. “Studi Analisa Sosial –COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan”. Laporan penelitian . UniversitasHasanuddin –PPT-LIPI. Jakarta. Proyek Dibiayai Bank Dunia.
______1997/1998. “Studi Analisa Sosial – COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan”.Laporan penelitian . Universitas Hasanuddin – PPT -LIPI. Jakarta, Proyekdibiayai oleh Bank Dunia.
Lampe, Munsi, Mardiana, dan Ramli A.T.2000. “ Studi Pemanfaatan Sumberdaya Lautdalam Rangka Optimasi Zonasi Taman Nasional Taka Bonerate”. Laporanpenelitian. Universitas Hasanuddin Bekerjasama COREMAP LIPI, Jakarta.
Laode, Abraham. 2005. Pemberdayaan Komunitas Petani Rumput Laut di BorongKalukua di Kelurahan Pallantikang Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng.Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
McCay, Bonnie J. 1978. “System Ecology, People Ecology, and the Anthropology ofFishing Communities”. Human Ecology. Vol. 6, No. 4 : 397-422.
Osseweijer, Manon. 2001. Taken at the Flood: Marine Resource Use and Management inthe Aru Islands (Maluku, Eastern Indonesia). Disertasi, Universiteit Leiden,Nederland.
Palsson, Gisli. 1991. Coastal Economies, Cultural Accounts: Human Ecolo gy andIcelandic Discourse. Manchester University Press.
______1999. “Human-Environmental Relations: Orientalism, Paternalism, andCommunalism.” Dalam Nature and Society: Anthropological Perspectives(Philippe Descola dan Gisli Palsson eds.). Routledge, L ondon, New York.
Pujo Semedi. 2001. “Closed to the Stone, Far From the Throne: The Story of A JavaneseFishing Community, 1820s-1990s”. Disertasi. Faculteit der Maatschappij -enGedragswetenchappen, Universiteit van Amsterdam.
Raharjo, Yulfita. 1995. “Propo sal Studi Analisis Sosial Untuk Perencanaan Rehabilitasidan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) di Indonesia”. PPT -LIPI, Jakarta.
Rappaport, Roy A. 1968. Pigs for The Ancestors: Ritual In the Ecology of New GuineaPeople. Yale University Press, New Haven.
Saad, Sudirman. 2000. “Hak Pemeliharaan dan Penangkapan ikan, Eksistensi danProspek Pengaturannya di Indonesia”. Disertasi. Progaram Studi Hukum,Fakultas. Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Tang, Mahmud dan Munsi Lampe. 2005. Bentuk -bentuk Sekuritas Sosial dalamKomunitas-komunitas Nelayan Miskin Perkotaan Kawasan Timur Indonesia.Laporan Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitian Unhas dengan DepartemenSosial RI.
Tim PSTK-Unhas. 2001/2002. Penataan Lingkungan Kawasan Bahari Terpadu di PulauSembilan – Sulawesi Selatan” (2001/2002). Laporan Penelitian. Direktorat
Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau -pulau Kecil Depatemen Kelautan danPerikanan Bekerja sama Dengan Pusat Studi Terumbu Karang Unhas.
Vayda, Andrew P. dan Bonnie J. McCay. 1975. “New Directions in Ecology andEcological Anthropology”.
Vayda, Andrew P. dan R. A. Rappaport. 1968. “Ecology, Culture and Non -culture”. InJ.A. Clifton (ed.), Introduction to Cultural Anthropology . Houghton-Mefflin,Boston, pp. 477 – 497.
Wahyono, Ary dkk. 2000. Hak U layat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Penerbit MediaPressindo (Anggota IKAPI) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI danthe Ford Foundation.
Winarto, T. dkk. 1999. Abrasion, mangrove Conservation, Coral Reef Degradation .Departemen Antropologi Fisip – Univ. Indonesia dan UNESCO, Jakarta.
LOKAKARYA MENGGALI NELAYAN -NELAYAN KEARIFANLINGKUNGAN DI SULAWESI SELATAN
KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM WUJUD KELEMBAGAAN,KEPERCAYAAN/KEYAKINAN, DAN PRAKTIK
Belajar dari Kasus Komunitas-Komunitas Nelayan Pesisir dan Pulau -Pulau Sulawesi Selatan
OlehMunsi lampe
Laboratorium Jurusan Antropologi bekerjasamadengan Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lokakarya diadaka npada tanggal 10 Agustus 2006 di Ruang Bangun Praja
PPLH Regional Semapapua, Makassar.