�
Bismillahirrahmanirrahim,Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
TAhun 2007 ini merupakan tahun ketiga dalam pemerintahan di bawah kepemimpinan saya. Sebagaimana dua tahun sebelumnya, tekad kita untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat, dengan jalan memantapkan fokus pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terus kita konsolidasikan. Karena itu, sebagaimana pada tahun 2006 yang lalu, tahun 2007 ini pun, Pemerintah kembali menyusun dan menerbitkan Buku Pegangan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah. Mengingat pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, maka Pemerintah terus memberikan perhatian yang sungguhsungguh terhadap kelangsungan dan keberhasilan pembangunan di daerah. Perspektif inilah yang mendasari penyusunan buku ini, dan diformulasikan ke dalam tema “Pengembangan Ekonomi Daerah dan Sinergi Kebijakan Investasi Pusat dan Daerah”.
Pemerintah Daerah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penyelenggara pemerintahan, sekaligus sebagai penyelenggara utama pembangunan di daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, Pemerintah Daerah berperan menata kehidupan masyarakat dalam kerangka regulasi. Sedangkan sebagai penyelenggara utama pembangunan di daerah, Pemerintah Daerah berperan sebagai pelaksana dan penanggung jawab utama atas keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah, yaitu dalam kerangka investasi, penyediaan barang dan pelayanan publik. Semua ini harus dilakukan secara benar, sehingga tujuan desentralisasi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan dan akuntabilitas pemerintahan, dapat dicapai secara terukur.
Kata Sambutan
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
��
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
Dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi di daerah yang lebih berkualitas dan berkelanjutan, perekonomian daerah perlu didukung dengan investasi di sektorsektor produktif dan jasa. Saat ini, kita merasakan betapa pentingnya peranan investasi swasta, mengingat keterbatasan kapasitas fiskal pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota). Keterbatasan ini akan semakin menyulitkan kita dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, bila pertumbuhan ekonomi di daerah pun mengandalkan konsumsi masyarakat. Saya akui, tidak ada jurus kunci dan jalan mulus untuk memecahkan semua itu, tetapi saya percaya bila Pemerintah Daerah bersungguhsungguh bekerja dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi yang dirangsang oleh investasi swasta akan terus mekar, dan pada akhirnya akan menyejahterakan rakyat di daerah.
Kita semua telah mengetahui bahwa investasi dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan, tatkala semua pihak mendapat manfaat (gain) maksimal dari aktivitas tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktifitas, meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja, dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi pengangguran. Kita pun sudah sangat paham iklim investasi di daerah belum tercipta sebagaimana diharapkan. Daya saing antardaerah di bidang ini juga masih sangat timpang. Ada daerah yang memiliki daya saing tinggi, berbanding terbalik dengan daerah lain, yang daya saingnya sangat rendah.
Kendalakendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah memang beragam. namun sejauh yang telah diketahui, kendalakendala yang dirasakan pada saat ini, berakar pada kekeliruan pikiran dan nilai dasar (mindset) mengenai hakikat otonomi. Akibatnya tidak sedikit daerah yang seolaholah berlomba menciptakan regulasi, yang substansinya menimbulkan beban biaya ganda bagi dunia usaha, dan pada akhirnya berakibat terjadinya ekonomi biaya tinggi. hal ini tidak dapat kita biarkan terusmenerus mewarnai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
���
Pemerintah Daerah perlu mengambil langkahlangkah kreatif dan inovatif dalam menciptakan iklim yang kondusif, terutama pemerintahan, dan lingkungan ekonomi. Bila hal ini dapat dilakukan oleh semua Pemerintah Daerah, maka akan tercipta lingkungan ekonomi yang kompetitif. Setiap wilayah atau daerah akan memiliki keunggulan tertentu yang dapat merangsang para pengusaha untuk berinvestasi. Dalam hubungan itu, pemerintahan yang memiliki wilayah dengan keunggulan yang relatif sama, bahkan berbeda sekalipun perlu menjalin kerjasama yang bersifat produktif dalam menciptakan lingkungan ekonomi yang berdaya saing.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, merupakan dua sisi kegiatan yang saling berhubungan satu sama lain. Performa pembangunan di daerah, sesungguhnya merupakan cerminan atas performa penyelenggaraan pemerintahan, begitu sebaliknya. Karena itu, ke depan kita perlu melakukan langkahlangkah konsolidasi terhadap cara berpikir seperti ini dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Tujuannya adalah agar kita tidak salah kaprah dalam mewujudkan visi pembangunan dalam kerangka otonomi daerah.
upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik, walaupun telah menghasilkan kemajuan di beberapa daerah, namun kita harus mengakui sejujurjurnya bahwa di daerah lain hal ini belum sepenuhnya dapat diwujudkannya. Sekarang saatnya kita melakukan percepatan untuk merealisasikan hal itu. Konsep ini memerlukan kecerdasan tertentu, baik pada tataran memahami maupun melaksanakannya. Sebagai sebuah konsep, tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif. Di dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat.
Mewujudkan tata kepemerintahan yang baik membutuhkan komitmen kuat, tekad untuk berubah menjadi lebih baik dan sikap konsisten. hal ini memang tidak mudah, karena diperlukan pembelajaran, pemahaman,
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
�v
serta implementasi nilainilai atau prinsipprinsipnya secara utuh. namun, betapapun sulitnya, kita tidak memiliki pilihan lain, kecuali harus melaksanakannya. Transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas, merupakan empat prinsip utama dalam konsep ini. Prinsipprinsip ini perlu dikembangkan dan dielaborasi menjadi prinsipprinsip turunan yang bersifat implementatif dalam tugas pokok setiap organisasi.
Akhirnya, secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada Menteri negara Perencanaan Pembangunan nasional/Kepala Bappenas yang telah mengordinasikan penyusunan Buku Pegangan Tahun 2007 ini bersama jajaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Departemen Keuangan dan Departemen Dalam negeri.
Saya instruksikan kepada seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu beserta jajarannya, serta kepada para Kepala Daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota untuk menggunakan Buku Pegangan Tahun 2007 ini sebaikbaiknya dalam rangka pelaksanaan tugastugas pemerintahan dan pembangunan di daerah. Di atas segalagalanya hal ini dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat kita, dan demi peningkatan harkat dan martabat mereka.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi upaya kita dalam membangun bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini.
Sekian dan Selamat bekerja.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 17 April 2007
PRESIDEn REPuBLIK InDOnESIA,
DR. h. SuSILO BAMBAnG YuDhOYOnO
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
Daftar Isi
�
KATA SAMBUTAN .................................................................................................... i
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................................... I - 2
1.2 FUNGSI PEMERINTAH DAERAH .............................................................. I - 6
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN ............................................................................. I - 7
1.4 SISTEMATIKA PEMBAHASAN ................................................................... I - 8
BAB II PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH2.1 REVITALISASI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN
OTONOMI DAERAH..................................................................................... II - 2
2.1.1 Review Pelaksanaan Grand Strategy Implementasi
Otonomi Daerah ............................................................................... II - 3
(1) Penataan Urusan Pemerintah ...................................................... II - 3
(2) Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah ........................ II - 5
(3) Penataan Kepegawaian Daerah .................................................. II - 6
(4) Revitalisasi Peran Lembaga Perwakilan Daerah ................... II - 6
(5) Penataan Pengelolaan Keuangan Daerah .............................. II - 7
(6) Peningkatan Pelayanan Publik ..................................................... II - 8
(7) Pembinaan dan Pengawasan ....................................................... II - 9
2.1.2 Penataan Daerah Otonom Baru .................................................. II - 10
2.2 STATUS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN
PEMBANGUNAN DAERAH (KONDISI TERKINI) .................................. II - 11
2.3 RENCANA AKSI NASIONAL DESENTRALISASI FISKAL (RANDF) ... II - 17
2.4 KERJASAMA ANTAR DAERAH .................................................................. II - 19
2.5 ISU-ISU STRATEGIS ...................................................................................... II - 21
Daftar Isi
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�i
(1) Tata Kepemerintahan yang Baik .................................................. II - 21
(2) Standar Pelayanan Minimum (SPM) ........................................... II - 23
(3) Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan ... II - 24
(4) Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ................ II - 24
(5) Pengembangan Kapasitas ............................................................. II - 25
2.6. KELEMBAGAAN TERKAIT PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
DAERAH DAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI DI DAERAH .............. II - 26
(1) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ................................................ II - 26
(2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) .................. II - 28
(3) Asosiasi Pemerintah Daerah ......................................................... II - 29
(4) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ....................... II - 29
BAB III PEMBANGUNAN DAERAH, PENINGKATAN INVESTASI, DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN3.1. PEMBANGUNAN DAERAH ........................................................................ III - 2
3.2. PERANAN INVESTASI BAGI PEMBANGUNAN DAERAH ................... III - 6
(1) Keragaan Investasi di Daerah ....................................................... III - 8
(2) Kendala dan Tantangan Investasi di Daerah ........................... III - 11
(3) Daya Tarik Investasi Daerah ........................................................... III - 15
(4) Daya Saing Daerah ........................................................................... III - 17
3.3. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH YANG BERPENGARUH
TERHADAP INVESTASI ................................................................................ III - 24
(1) Kerangka Regulasi ............................................................................ III - 25
(2) Kerangka Anggaran ......................................................................... III - 27
(3) Peningkatan Kualitas Pelayanan ................................................. III - 29
(4) Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) dan Koperasi ...................................................................... III - 31
(5) Pengembangan Klaster .................................................................. III - 33
BAB IV SINKRONISASI PUSAT DAN DAERAH DALAM PERBAIKAN IKLIM INVESTASI4.1. PAKET KEBIJAKAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI .............................. IV - 2
(1) Bidang Umum .................................................................................... IV - 3
(2) Bidang Kepabeanan dan Cukai .................................................... IV - 6
Daftar Isi
�ii
(3) Bidang Perpajakan............................................................................ IV - 7
(4) Bidang Ketenagakerjaan ................................................................ IV - 13
(5) Bidang Pemberdayaan UKMK ...................................................... IV - 14
4.2. PAKET KEBIJAKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR ......................................................................................... IV - 15
(1) Sektor Perhubungan ........................................................................ IV - 18
(2) Sektor Energi ...................................................................................... IV - 22
(3) Sektor Telekomunikasi .................................................................... IV - 25
(4) Sektor Air Minum ............................................................................. IV - 29
(5) Kemajuan Pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan
Pembangunan Infrastruktur ......................................................... IV - 31
4.3. PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN .............................................. IV - 33
(1) Stabilitas Sistem Keuangan ........................................................... IV - 34
(2) Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Bank ..................... IV - 34
(3) Pasar Modal ......................................................................................... IV - 35
4.4. KEBIJAKAN PERTANAHAN ........................................................................ IV - 40
4.5. PEMANTAPAN KEAMANAN, KETERTIBAN, DAN
STABILITAS POLITIK ..................................................................................... IV - 49
4.6. PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS ........................... IV - 51
(1) Kriteria Penetapan Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus
di Indonesia ....................................................................................... IV - 53
(2) Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus ................................ IV - 54
BAB V RENCANA KERJA PEMERINTAH DAN KEBIJAKAN ANGGARAN 20075.1. TEMA DAN PRIORITAS RKP TAHUN 2007 ............................................ V - 2
5.2 SASARAN-SASARAN RKP TAHUN 2007 ................................................ V - 3
5.3 PRIORITAS ANGGARAN 2007 .................................................................. V - 8
5.3.1 Arah Kebijakan Fiskal, Asumsi Ekonomi Makro
dan Postur APBN ............................................................................... V - 8
(1) Arah Kebijakan Fiskal ....................................................................... V - 8
(2) Asumsi Ekonomi Makro .................................................................. V - 10
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�iii
(3) Postur APBN ........................................................................................ V - 11
5.3.2 Belanja Negara ................................................................................... V - 13
(1) Belanja Pemerintah Pusat .............................................................. V - 13
(2) Belanja Daerah ................................................................................... V - 13
LAMPIRAN
1 Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) PMDN
Menurut Lokasi, 2001-September 2006 ............................................ L - 2
Perkembangan Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) PMA
Menurut Lokasi, 2001-September 2006 ............................................. L - 3
2 Indikator Utama dan Variabel Penentu Daya Saing Daerah ........ L - 4
3 Rekapitulasi Alokasi Anggaran Tahun 2007
Menurut Lokasi (Provinsi) dan Kementerian / Lembaga .............. L - 10
4 Penetapan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam
Pertambangan Umum Tahun Anggaran 2007
untuk Kabupaten/kota se-Indonesia .................................................. L - 18
5 Rincian Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota Tahun 2007 ......................................................... L - 31
6 Dana Penyesuaian DAU Tahun 2007 .................................................... L - 46
7 Penetapan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun
Anggaran 2007 untuk Kabupaten/kota se-Indonesia .................. L - 47
8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan dan Lainnya
Tahun 2007 ................................................................................................... L - 56
9 Posisi Penghimpunan Dana Bank Umum Menurut
Lokasi Dati.I .................................................................................................. L - 63
10 Perkembangan Inflasi 45 Kota ............................................................... L - 64
11 Perkembangan Jumlah BPR Nasional ................................................. L - 66
12 Perkembangan Jumlah Kantor Bank Syariah ................................... L - 67
13 Posisi Kredit Bank Umum Menurut Lokasi Proyek Dati.I .............. L - 68
ix
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ....................................... II - 12Tabel 2.2 Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 ....................................... II - 16Tabel 2.3 Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 25 tahun 2004 ....................................... II - 17
Tabel 3.1 Distribusi Investasi di Indonesia menurut Provinsi Tahun 2005 (dalam %) .................................................. III - 9Tabel 3.2 Kontribusi Investasi terhadap PDRB menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2005 (dalam %) ........................ III - 10Tabel 3.3 Perbandingan Kemudahan Memulai Usaha Negara- Negara di Kawasan Asia Tenggara, China, dan India ......... III - 14Tabel 3.4 Indikator dan Sub Indikator Penentu Daya Saing Daerah ......................................................................... III - 22Tabel 3.5 Komposisi Skala Usaha Menurut Wilayah .............................. III - 32
Tabel 4.1 Rekapitulasi Jumlah Tindakan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi .............................................................. IV - 3Tabel 4.2 Bidang Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu ....................... IV - 9Tabel 4.3 Rekapitulasi Jumlah Keluaran Paket Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Tahun 2006 ....... IV - 16Tabel 4.4 Rekapitulasi Jumlah Kebijakan, Program dan Tindakan Paket Kebijakan Sektor Keuangan ........................ IV - 34Tabel 4.5 Perkembangan Jumlah Bank Umum ....................................... IV - 37Tabel 4.6 Matriks Perbandingan Perpres Nomor 36/2005 dan Perpres Nomor 65/2006 ............................................................... IV - 42
Tabel 5.1 Asumsi Ekonomi Makro ................................................................ V - 11Tabel 5.2 APBN-P 2006 dan APBN 2007 dalam triliun rupiah ............ V - 12Tabel 5.3 Alokasi Dana Alokasi Khusus ...................................................... V - 16
Daftar Tabel
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
x
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Pelaku Pembangunan ............................................................ I - 7
Gambar 2.1 Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance ....................... II - 22
Gambar 3.1 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pembangunan Daerah, dan Pembangunan Nasional ....................................................................................... III - 4Gambar 3.2 Hubungan Kinerja Pembangunan Daerah dan Kinerja Pembangunan Nasional ......................................... III - 5Gambar 3.3 Daya Tarik Investasi Daerah Berdasarkan Persepsi Dunia Usaha ............................................................. III - 16Gambar 3.4 Kerangka Kebijakan Investasi Daerah ............................... III - 26
Gambar 4.1 Kawasan Ekonomi Khusus di Guangzhou, Cina ............ IV - 52
xi
Daftar Singkatan
AAMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan APBD : Anggaran Pendapatan Belanja DaerahAPBN : Anggaran Pendapatan Belanja NegaraAPEKSI : Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia API : Arsitektur Perbankan Indonesia APKASI : Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia APPSI : Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh IndonesiaAPS : Angka Partisipasi Sekolah
BBAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBBN-KB : Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor BKPM : Badan Koordinasi Penanaman Modal BLK : Balai Latihan KerjaBPK : Badan Pemeriksa KeuanganBPN : Badan Pertanahan NasionalBTB : Bantuan Tunai BersyaratBUMD : Badan Usaha Milik Daerah
CCIP : Competitiveness Industrial Performance
DDAK : Dana Alokasi KhususDAU : Dana Alokasi UmumDBH : Dana Bagi HasilDepdagri : Departemen Dalam NegeriDME : Dimethyl EtherDP : Dana PenyesuaianDPD : Dewan Perwakilan DaerahDPOD : Dewan Pertimbangan Otonomi DaerahDPR : Dewan Perwakilan RakyatDPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Daftar Singkatan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
xii
EEDI : Electronic Data InterchangeEPPD : Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
FFDR : Financing to Deposit Ratio FSAP : Financial Sector Assessment Program
GGTL : Gas to Liquid
IIICE : Indonesian Infrastructure Conference and ExhibitionIKM : Industri Kecil dan Menengah IMB : Ijin Mendirikan BangunanIMD : Institute of Management and Development Inpres : Instruksi Presiden
KKBI : Kawasan Barat Indonesia KEK : Kawasan Ekonomi Khusus KEKI : Kawasan Ekonomi Khusus IndonesiaKEN : Kebijakan Energi Nasional KKN : Korupsi, Kolusi & NepotismeKPBC : Kantor Pelayanan Bea dan CukaiKPPOD : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah KPT : Kantor Pelayanan Terpadu KUA : Kebijakan Umum AnggaranKWBC : Kanwil Ditjen Bea dan Cukai
LLKPKD : Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah LLAJ : Lalu Lintas dan Angkutan Jalan LPEI : Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional LPPD : Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Daftar Isi
xiii
MMPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
NNJKP : Nilai Jual Kena Pajak NPF : Non Performing Financing
OOrnop : Organisasi non-pemerintah
PP4T : Pemanfaatan, Penggunaan, Penguasaan dan Pemilikan Tanah PAD : Pendapatan Asli DaerahPBB : Pajak Bumi dan BangunanPDAM : Perusahaan Daerah Air MinumPDB : Produk Domestik BrutoPDRB : Produk Domestik Regional Bruto PEN : Pengelolaan Energi Nasional Perda : Peraturan DaerahPermendagri : Peraturan Menteri Dalam NegeriPerpres : Peraturan PresidenPILKADA : Pemilihan Kepala Daerah PJP : Pajak Penerangan Jalan PKB : Pajak Kendaraan Bermotor PLTG : Pusat Listrik Tenaga GasPMA : Penanaman Modal Asing PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak PNS : Pegawai Negeri SipilPP : Peraturan PemerintahPPh : Pajak Penghasilan PPN : Pajak Pertambahan Nilai PPP : Public Private Partnership PRONA : Proyek Operasional Nasional Agraria/Pertanahan PRONADA : Proyek Operasional Nasional Agraria/Pertanahan Daerah PSO : Public Service Obligation
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
xi�
RRPP : Rancangan Peraturan PemerintahRAD-PK : Rencana Aksi Daerah Pemberantasan KorupsiRANDF : Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal RAN-PK : Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi RAPBN : Rencana Anggaran Pendapatan Belanja NegaraRAPERDA : Rancangan Peraturan Daerah Renja SKPD : Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat DaerahRenstra SKPD : Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat DaerahRKA-SKPD : Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat DaerahRKP : Rencana Kerja Pemerintah RKPD : Rencana Kerja Pemerintah DaerahRPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah DaerahRPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah RUU : Rencana Undang-Undang
SSDA : Sumber Daya AlamSE : Surat EdaranSEZ : Special Economic ZonesSIABE : Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor SIB-ES : Sistem Informasi Baseline Economic Survey SI-LMUK : Sistem Informasi Lending Model Usaha Kecil SIMTANAS : Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional SIPKD : Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan DaerahSI-PMK : Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit SI-PUK : Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha KecilSistranas : Sistem Transportasi Nasional SPKUI : Sistem Penunjang Keputusan untuk Investasi SPM : Standar Pelayanan Minimal
TTAGP : Trans ASEAN Gas PipelineTFP : Total Factor ProductivityTKI : Tenaga Kerja IndonesiaTPB : Tempat Penimbunan Berikat
x�
UUU : Undang-UndangUMKM : Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah UNIDO : United Nations Industrial Development Organization UPT : Unit Pelayanan Terpadu USO : Universal Service Obligation
WWEF : World Economic Forum
Daftar Singkatan
BAB I
Pendahuluan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
I - 2
1.1 LATAR BELAKANG
Tujuan utama kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Kita semua mengetahui bahwa landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Sudah barang tentu, reformasi pola kepemerintahan ini diharapkan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, meskipun hal ini jelas melibatkan proses yang berjangka waktu lama. Dengan mendekatkan pengambilan keputusan ke masyarakat, perumusan strategi dan langkah-langkah pembangunan diharapkan lebih responsif menangkap kebutuhan ataupun isu yang berkembang. Bahkan, dengan perspektif yang lebih demokratis tersebut, diharapkan nilai tambah ekonomi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dan manfaatnya dirasakan lebih langsung oleh seluruh masyarakat.
Investasi adalah salah satu faktor penting penentu keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberadaannya merupakan modal dasar bagi perwujudan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam jangka panjang, bila dibarengi dengan peningkatan daya saing, investasi akan
Melalui Buku Pegangan yang diterbitkan setiap tahun ini, semua pihak yang berkepentingan diharapkan dapat memperoleh gambaran umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Tema utama tahun 2007 ini adalah pengembangan ekonomi daerah dan sinergi kebijakan investasi pusat dan daerah. Dengan demikian, upaya pencapaian sasaran pembangunan nasional khususnya yang berkaitan dengan peningkatan investasi dapat tersinergi secara harmonis dengan sasaran pembangunan daerah, serta sesuai dengan potensi dan kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah.
Tujuan utama kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah
adalah percepatan terwujudnya peningkatan
kesejahteraan seluruh
masyarakat.
Investasi adalah salah satu faktor
penting penentu keberhasilan konkrit
dari pembangunan ekonomi.
BABI PENDAHULUAN
Pendahuluan
I - �
meningkatkan penawaran melalui peningkatan stok kapital yang pada gilirannya akan meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output atau melakukan kegiatan-kegiatan produksi. Kegiatan produksi tersebut akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan proses tersebut pada akhirnya meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi karena diversifikasi kegiatannya.
Peningkatan nilai tambah perekonomian di daerah tersebut akan memberikan dampak positif pada besaran balas jasa terhadap faktor-faktor produksi, misalnya dalam bentuk sewa tanah, upah, bunga dan keuntungan akan meningkat karena adanya aktivitas penanaman modal. Selain itu, meningkatnya intensitas perekonomian akan membuka peluang kerja bagi perekonomian dan penduduk di daerah sekitar penanaman modal. Dengan demikian, secara langsung dan tidak langsung akan terwujud efek multiplier terhadap kegiatan ekonomi dan pendapatan penduduk di kawasan-kawasan sekitar dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan daerah secara keseluruhan. Lingkaran ekonomi ini akan semakin besar dengan munculnya investasi pada potensi-potensi baru dalam membangun sektor industri lainnya. Dengan diserahkannya kewenangan atas sejumlah urusan pemerintahan, termasuk di bidang ekonomi kepada pemerintah daerah, maka para pelaku usaha akan lebih banyak berhubungan langsung dengan pemerintah daerah, daripada dengan pemerintah pusat. Oleh karena itu, jelas bahwa kinerja dan pembangunan ekonomi nasional akan makin terkait erat dengan kinerja penyelenggaraan fasilitasi usaha oleh pemerintah. Hanya bila masing-masing pemerintahan daerah melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan mengembangkan berbagai inovasi dalam pembangunan ekonomi yang dibarengi pula dengan peningkatan transparansi dan akuntabilitas, maka perwujudan suatu perekonomian daerah yang sehat dan berdaya saing serta mampu menciptakan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat setempat akan tercipta. Pada gilirannya, terwujudnya kondisi ini di berbagai daerah akan memperkuat ketahanan dan daya saing ekonomi nasional.
Kinerja dan perkembangan ekonomi serta investasi secara nasional tidak lagi dapat dilepaskan dari kinerja penyelenggaraan fasilitasi usaha di berbagai daerah.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
I - �
Kondisi ideal sebagaimana yang digambarkan di atas belum terjadi. Negara kita, dewasa ini masih dihadapkan pada sejumlah masalah mendasar. Meskipun stabilitas ekonomi makro terus terjaga, sebagian besar pelaku usaha merasa belum mantap untuk mengambil keputusan berinvestasi karena kondisi lingkungan berusaha sering dipandang belum bersahabat. Rendahnya investasi bersamaan dengan turunnya total factor productivity (TFP) menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah pada periode 1998 – 2005. Pertumbuhan ekonomi yang rendah menyulitkan upaya penyerapan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan masih sangat mengkhawatirkan. Rendahnya investasi juga memperkecil peluang alih teknologi dan teknokrasi yang dibawa oleh investasi. Adanya langkah sinergis seluruh komponen bangsa dalam rangka meningkatkan investasi menjadi semakin mendesak dan perlu. Oleh karena itulah, mempertimbangkan berbagai hal tersebut di atas, perekonomian daerah dan investasi menjadi tema sentral dari Buku Pegangan 2007 ini.
Permasalahan investasi di Indonesia secara ringkas tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009. Secara lebih spesifik, rinciannya adalah sebagai berikut: (1) Prosedur perijinan yang terkait dengan investasi yang panjang,
dimana prosedur perijinan untuk memulai usaha di Indonesia termasuk relatif lebih lama, mahal dan cukup rumit dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di kawasan Asia-Pasifik;
(2) Masih rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta kebijakan antar sektor;
(3) Belum menariknya insentif bagi kegiatan investasi, dimana jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk tertinggal di dalam menyusun insentif investasi;
(4) Rendahnya kualitas dan kapasitas infrastruktur yang sebagian besar terus memburuk sejak krisis;
(5) Iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif; dan (6) Kurangnya jaminan keamanan untuk melakukan kegiatan investasi/
usaha.
Adanya langkah sinergis seluruh
komponen bangsa dalam rangka
meningkatkan investasi menjadi
semakin mendesak dan perlu.
Pendahuluan
I - �
Dalam kerangka pola pemerintahan yang telah terdesentralisasi, peningkatan investasi merupakan hasil dari sebuah kemitraan yang sinergis antara para pemeran (stakeholders) ekonomi, baik yang ada di tingkat nasional maupun daerah. Kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab antara berbagai tingkatan pemerintahan menjadi sangat penting di dalam mewujudkan pola pengelolaan secara efisien berbagai sumber daya yang tersedia untuk menciptakan kesempatan lapangan kerja dan menggiatkan (stimulasi) ekonomi (nasional dan daerah).
Dengan bentang geografisnya yang luas hingga meliputi tiga zona waktu, wilayah Indonesia terdiri dari perairan dan daratan yang di dalamnya terkandung berbagai sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Keragaman ini seharusnya merupakan modal potensial sebagai daya tarik investasi. Namun perlu diingat bahwa daya tarik investasi suatu negara atau suatu daerah tidak terjadi dengan serta merta, dan yang lebih penting lagi, tidak melulu tergantung dari ketersediaan SDA dan tenaga kerja yang murah tetapi juga adanya infrastruktur yang memadai, insentif, dan kondisi kelembagaan yang menyediakan kemudahan iklim usaha. Kombinasi ketersediaan faktor-faktor tersebut akan menciptakan kekuatan yang solid untuk meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing daerah. Dinamika kemampuan daerah-daerah dalam mengembangkan potensi unggulannya, baik secara agregat maupun sinergi antardaerah selanjutnya akan meningkatkan daya saing nasional.
Secara lebih spesifik, investasi atau penanaman modal membutuhkan iklim usaha yang sehat, kemudahan serta kejelasan prosedur. Iklim investasi meliputi kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa datang, yang dapat mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Tiga faktor utama dalam iklim investasi yang sehat tersebut mencakup: (1) kondisi ekonomi makro: termasuk stabilitas ekonomi makro, keterbukaan ekonomi, persaingan pasar, dan stabilitas sosial dan politik; (2) pengelolaan kepemerintahan dan berbagai aturan main seperti perpajakan dan kebijakan fiskal, kompetensi lembaga fasilitasi
Peningkatan investasi merupakan sebuah kemitraan yang sinergis antara para pemeran (stakeholders) ekonomi, baik yang ada di tingkat nasional maupun daerah.
Investasi membutuhkan iklim usaha yang sehat, kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
I - �
kegiatan usaha, fleksibilitas pasar tenaga kerja serta keberadaan tenaga kerja yang terdidik dan terampil; dan (3) infrastruktur yang mencakup antara lain sarana ekonomi seperti lembaga keuangan sampai dengan sarana fisik seperti jaringan transportasi, serta kapasitas telekomunikasi, listrik, dan air.
Pembentukan daya tarik investasi, berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh banyak aspek. Faktor ekonomi, politik dan kelembagaan, sosial dan budaya, diyakini merupakan beberapa faktor kunci pembentuk daya tarik investasi suatu negara atau daerah. Keberhasilan negara atau daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investasi salah satunya tergantung dari komitmen dan kemampuan negara atau daerah dalam merumuskan dan mengimplementasikan secara konsisten kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha.
Dalam konteks pembangunan nasional dewasa ini, kepentingan peningkatan investasi sesungguhnya memiliki tujuan yang lebih luas daripada hanya sekedar penciptaan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Berkaitan dengan isu dan permasalahan yang kita hadapi, misi peningkatan investasi pada dasarnya mencakup tiga tujuan yang saling berkaitan, yaitu: (1) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan lapangan kerja; (2) berkurangnya jumlah penduduk miskin, dan pada gilirannya (3) terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Berkenaan dengan tujuan tersebut, upaya peningkatan investasi sangat terkait erat dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Dalam kaitan inilah, diperlukan kepemimpinan yang visioner untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dan upaya memobilisasi para pelaku, organisasi dan sumberdaya.
1.2 FUNGSI PEMERINTAH DAERAH
Pemerintah Daerah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penyelenggara pemerintahan dan sekaligus sebagai penyelenggara utama dalam
Faktor ekonomi, politik dan
kelembagaan, sosial dan budaya,
diyakini merupakan beberapa faktor
kunci pembentuk daya tarik investasi suatu negara atau
daerah.
Diperlukan kepemimpinan
yang visioner untuk mengintegrasikan
berbagai kepentingan dan
upaya memobilisasi para pelaku,
organisasi dan sumberdaya.
Pendahuluan
I - 7
pembangunan di daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, Pemerintah Daerah berperan utama mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat di daerah dalam kerangka regulasi. Sedangkan sebagai penyelenggara utama dalam pembangunan daerah, Pemerintah Daerah berperan sebagai pelaksana dan penanggung jawab utama dalam keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah, yaitu dalam kerangka investasi dan penyediaan barang dan pelayanan publik (Gambar 1.1). Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah tetap berprinsip pada asas umum dalam penyelenggaraan negara, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektivitas.
Gambar 1.1 Pelaku Pembangunan
1.� MAKSUD DAN TUJUAN
Buku ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antara Pemerintah Pusat dan Daerah tentang hak, kewajiban, dan tanggungjawab serta peranan dari masing-masingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, khususnya upaya peningkatan investasi
Pemerintah Daerah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penyelenggara pemerintahan dan sekaligus sebagai penyelenggara utama dalam pembangunan di daerah.
Buku ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
I - �
dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.
Secara spesifik, tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Memantapkan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah khususnya dalam upaya perbaikan iklim investasi;
(2) Meningkatkan pemahaman mengenai berbagai landasan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah khususnya dalam upaya perbaikan iklim investasi;
(3) Meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah khususnya dalam upaya perbaikan iklim investasi;
(4) Memahami berbagai permasalahan strategis dan solusi pemecahan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah khususnya dalam upaya perbaikan iklim investasi;
(5) Mengembangkan dan memantapkan sistem pengendalian dan pengawasan (safeguarding system) terhadap pelaksanaan RKP 2007;
(6) Mengembangan dan memantapkan sistem peringatan dini (early warning system) terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di daerah;
(7) Optimalisasi investasi pemerintah dan investasi swasta di daerah.
1.� SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Materi buku ini sesungguhnya terbagi atas 3 (tiga) bagian besar. Bagian pertama berkenaan dengan deskripsi mengenai progres pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sampai dengan akhir tahun 2006 lalu dan berbagai pemikiran yang akan dikembangkan untuk merevitalisasi pelaksanaan dalam tahun 2007 ini. Bagian ini dibahas dalam Bab 2. Bagian kedua menguraikan berbagai prinsip dan perspektif tentang urgensi dari pengembangan ekonomi dan peningkatan investasi daerah serta berbagai inisiatif yang telah diselenggarakan terutama oleh pemerintah pusat didalam mewujudkan iklim usaha sehat. Diharapkan
Pendahuluan
I - �
dengan informasi ini, berbagai daerah dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara sinergis. Bagian ini diuraikan dalam Bab 3 dan Bab 4. Sedangkan bagian yang terakhir adalah merupakan deskripsi dari program dan arah kebijakan pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam RKP 2007. Bagian ini diuraikan dalam Bab 5.
BAB IIPenyelenggaraanPemerintahanDaerah
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 2
2.1 REVITALISASI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
Salah satu tujuan desentralisasi yang diakui secara universal berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 (Pemerintahan Daerah) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 (Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) adalah mendorong terciptanya demokratisasi dalam pemerintahan. Tujuan demokrasi akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani (civil society).
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang efektif diharapkan mampu mendorong proses transformasi pemerintahan daerah yang efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. Untuk itu, dalam tataran pelaksanaan diperlukan sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa peraturan atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis guna menunjang keberhasilan tersebut.
Secara khusus bab ini menguraikan beberapa komponen utama desentralisasi dan otonomi daerah diantaranya: elemen-elemen dasar desentralisasi, status peraturan perundang-undangan dan peraturan turunan terkait, rencana aksi nasional desentralisasi fiskal, kerjasama antar daerah dalam penyediaan pelayanan publik dasar dan sejumlah isu-isu strategis.
Pada bagian akhir bab ini, akan dipaparkan sejumlah lembaga kunci (strategis) yang berperan dalam menunjang keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Salah satu tujuan desentralisasi
adalah mendorong terciptanya
demokratisasi dalam
pemerintahan.
BABII PENYELENGGARAANPEMERINTAHANDAERAH
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - �
Disamping itu, desentralisasi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan serta akuntabiltas pemerintahan. Tujuan ini menuntut Pemerintah Daerah untuk melaksanakan percepatan pembangunan daerah, penyediaan kualitas dan kuantitas pelayanan yang lebih baik dan mendorong pemerintah menjadi lebih akuntabel terhadap masyarakat.
2.1.1 Review Pelaksanaan Grand Strategy Implementasi Otonomi Daerah
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai instrumen demokratisasi dan peningkatan kesejahteraan di tingkat lokal, telah disusun Strategi Besar (Grand Strategy) Pelaksanaan Otonomi Daerah dengan tujuan menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah secara efektif, efisien, ekonomis dan akuntabel. Grand Strategy Pelaksanaan Otonomi Daerah ini akan dipayungi dalam bentuk Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri. Elemen dasar pemerintahan daerah mencakup: (1) urusan pemerintahan, (2) kelembagaan, (3) personil, (4) perwakilan, (5) keuangan daerah, (6) pelayanan publik, dan (7) pengawasan.
(1) Penataan Urusan Pemerintah
Salah satu permasalahan yang menonjol dalam konteks kebijakan desen-tralisasi dan otonomi daerah adalah perbedaan persepsi yang luas mengenai pengertian “kewenangan” (authority) dan “urusan” (functions). Secara konseptual, istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan istilah urusan pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen (pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan, pengawasan). Sedangkan urusan pemerintahan lebih melekat pada pengertian fungsi publik (Hoessein, 1993).
Penataan urusan pemerintahan bertujuan untuk memperjelas dan menentukan pembagian kewenangan masing-masing tingkatan
Telah disusun Grand Strategy Implementasi Otonomi Daerah dengan tujuan menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah secara efektif, efisien, ekonomis dan akuntabel.
Kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen
Desentralisasi juga bertujuan untuk meningkat kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan serta akuntabiltas pemerintahan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - �
pemerintahan secara proporsional sehingga nantinya prinsip “money follows functions” dan “structures follows functions” dapat direalisasikan. Kriteria pembagian urusan pemerintahan adalah sebagai berikut :
Pertama, urusan menjadi urusan Pemerintah Pusat mencakup: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama.
Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dikelola bersama antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Pembagian urusan tersebut berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Ketiga, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Beberapa bidang yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Tindak lanjutnya, pemerintah telah menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. RPP tersebut akan mengatur pembagian kewenangan yang meliputi 31 bidang urusan pemerintahan, yaitu: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, penataan ruang, perumahan, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga
Pemerintah telah menyelesaikan
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - �
sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, koperasi dan usaha kecil menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah-pemerintahan umum-administrasi keuangan daerah-perangkat daerah-kepegawaian dan persandian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, kearsipan, perpustakaan, komunikasi dan informatika, pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, energi dan sumberdaya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan perindustrian. Sampai dengan saat ini (Januari 2007), ada 6 (enam) bidang yaitu pendidikan nasional, lingkungan hidup, perhubungan, pertanahan, badan koordinasi penanaman modal, dan arsip yang belum disepakati (defenitif) dan dikonsultasikan kembali ke departemen teknis oleh Departemen Dalam Negeri ke departemen terkait.
(2) Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah (pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (yang terdiri dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, yang masing-masing merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota).
Untuk menciptakan kelembagaan yang berorientasi pada pelayanan publik masing-masing daerah dalam menyusun kelembagaan peme-rintahan daerah perlu memperhatikan: dimensi right sizing, jumlah penduduk dan sumber daya aparatur pemerintah daerah (nilai rasio pemberi pelayanan dan jumlah yang dilayani), potensi dan kemampuan keuangan daerah (PDRB dan PAD), dan kemampuan untuk menggerakkan investasi melalui kerjasama kemitraan antara pemerintah-masyarakat-swasta.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - �
(�) Penataan Kepegawaian Daerah
Sejalan dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sistem manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) menggunakan gabungan dari unified system dan separated system. PNS baik di Pusat maupun di Daerah diharapkan memiliki kualitas yang setara dan memiliki norma, standar, dan prosedur manajemen kepegawaian yang sama. Selain itu, pelaksanaan mutasi kepegawaian baik vertikal maupun horisontal perlu dikonsultasikan kepada organisasi pemerintah di atasnya agar terwujud prinsip pembinaan karier PNS yang utuh dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Hal tersebut akan sangat membantu dalam mewujudkan akurasi data mutasi pegawai dalam mendukung pengalokasian dana perimbangan secara nasional.
Dengan penataan urusan pemerintahan secara benar, pembentukan kelembagaan secara tepat, dan personil yang memiliki kapasitas dan profesionalisme memadai, penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan akan semakin membaik dan mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Pada saat ini sedang disusun pola pengembangan karier PNS meliputi standar kompetensi, kebijakan minus growth, perencanaan karir dan pengembangan karir dan pengembangan jabatan untuk fungsional (mengurangi tekanan pada jabatan struktural).
(�) Revitalisasi Peran Lembaga Perwakilan Daerah
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 secara garis besar telah diatur beberapa prinsip pengaturan mengenai tugas, wewenang dan kewajiban, serta larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sedangkan pengaturan tentang eksistensi dan peran DPRD selain diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 juga diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Secara lebih rinci pengaturan untuk DPRD dilengkapi dengan PP Nomor 24 Tahun 2004 yang disempurnakan dengan PP Nomor 37 Tahun 2005;
Pada saat ini sedang
disusun pola pengembangan
karier PNS
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 7
dan PP Nomor 25 Tahun 2004 yang disempurnakan dengan PP Nomor 53 Tahun 2005. Secara khusus PP Nomor 37 Tahun 2006 akan ditinjau ulang agar tidak merugikan negara.
Dengan terbitnya berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, masing-masing lembaga diharapkan dapat menjalankan tugas dan fungsi secara optimal sekaligus mempertegas hubungan kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Kedudukan yang setara bermakna bahwa lembaga pemerintahan daerah memiliki kedudukan yang sama, sejajar dan tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam pembuatan kebijakan daerah (berdasarkan aspirasi masyarakat) berupa peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsinya sehingga antara kedua lembaga itu terbangun suatu hubungan kerja yang sinergis.
(�) Penataan Pengelolaan Keuangan Daerah
Melalui desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah dituntut untuk mengelola keuangan daerah secara akuntabel dan transparan. Dengan kebijakan normatif yang ada, pemerintah daerah diberi kesempatan untuk melakukan perubahan kebijakan dan sistem pengelolaan keuangan daerah. Dasar-dasar yang melatarbelakangi perubahan adalah : pertama, perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan seiring otonomi daerah dan desentralisasi, kedua, semangat reinventing governance dan good governance, dan ketiga, realitas regulasi dan instrumen pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk peraturan pelaksanaan yang baru dan mendorong terciptanya iklim investasi yang baik.
Hak Pemerintah Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah adalah: (1) memungut pajak dan restribusi daerah serta mengelola kekayaan daerah; (2) memperoleh dana perimbangan, dan (3) melakukan pinjaman. Dalam melaksanakan hak tersebut, Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk: (1) mengelola sumber keuangan daerah secara efektif, efisien, transparan, akuntabel dan taat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2) mensinergikan kebijakan pembangunan daerah dan kebijakan nasional; serta (3)
Masing-masing lembaga diharapkan dapat menjalankan tugas dan fungsi secara optimal sekaligus mempertegas hubungan kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Pemerintah Daerah dituntut untuk mengelola keuangan daerah secara akuntabel dan transparan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - �
melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada pemerintah pusat dan masyarakat.
Beberapa kinerja yang telah dicapai pada aspek ini adalah : (1) penataan regulasi di bidang keuangan daerah dengan menerbitkan: PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah (telah disampaikan ke Departemen Hukum dan HAM), RUU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (sedang dalam proses pembahasan dengan DPR); (2) Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah meliputi Penyusunan Pedoman Evaluasi Perda APBD, Evaluasi Raperda Propinsi tentang APBD dan Rapergub tentang Penjabaran APBD TA 2005 dan 2006, Sosialisasi dan Bimbingan Teknis PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006; (3) Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Sistem Informasi Keuangan Daerah melalui pengembangan Daerah Media Inkubator SIPKD di 71 Daerah Terpilih.
(�) Peningkatan Pelayanan Publik
Penyelenggaraan kebijakan desentralisasi merupakan upaya nyata dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemberian pelayanan umum yang lebih optimal. Sebagai acuan penyediaan pelayanan masyarakat, pemerintah daerah harus berpedoman kepada PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang akan dijabarkan dalam bentuk peraturan menteri yang bersangkutan.
Untuk itu setiap pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM. Rencana pencapaian SPM dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). Untuk target tahunan pencapaian SPM, dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan
Pemerintah daerah harus berpedoman
kepada PP Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) sebagai pegangan hukum
bagi pelaksana SPM.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - �
Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah.
(7) Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Pemerintah Pusat melalui Menteri dan Pimpinan Lembaga Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan teknis masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan provinsi dan dikoordinasikan oleh Gubernur untuk tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Pengawasan pemerintah terutama dilakukan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam upaya mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemberian sanksi akan dilakukan apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaraan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Salah satu pedoman dalam pembinaan dan pengawasan ini, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Disamping itu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasann Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 10
2.1.2 Penataan Daerah Otonom Baru
Sejak pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, telah terbentuk 363 Kabupaten, 93 Kota, dan 33 Provinsi (tidak termasuk 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten Administratif di DKI Jakarta).
Hasil evaluasi awal terhadap beberapa daerah otonom baru, hanya sebagian kecil daerah yang mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Sebagian besar daerah otonom baru lainnya masih menghadapi permasalahan mendasar seperti: keterbatasan pembiayaan, penetapan batas wilayah, rencana tata ruang dan wilayah, penyerahan aset, dan kedudukan ibukota
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Departemen Dalam Negeri, animo masyarakat (kelompok tertentu) untuk membentuk daerah otonom baru relatif tinggi. Hal ini dapat terlihat dari data usulan pembentukan daerah otonom hingga saat ini (Januari 2007) sebanyak 21 usulan pembentukan provinsi dan 110 usulan pembentukan kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut terdapat 16 calon kabupaten/kota yang sudah dibahas dalam sidang DPOD, dan selebihnya ditunda pembahasannya menunggu penyelesaian PP pengganti PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Kelemahan mendasar dari PP ini adalah menggunakan “sistem agregat” (tanpa ada komponen yang mempunyai bobot tertentu baik bobot teknis dan administratif) dalam menentukan kelayakan pembentukan daerah otonom baru. Revisi PP tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman (acuan ) penataan daerah ke depan. Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam revisi PP ini adalah : penambahan pengeluaran eksekutif dan legislatif harus proposional dengan pengeluaran untuk kesejahtraan masyarakat dan pelayanan publik (nasional, propinsi, kabupaten dan kota), pembentukan daerah otonom baru harus terintegrasi dan selaras dengan arah pembangunan daerah secara nasional.
Hasil evaluasi awal terhadap
beberapa daerah otonom baru,
hanya sebagian kecil daerah
yang mampu memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 11
Berdasarkan pasal 6 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah dapat dihapuskan dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonom daerah.
2.2 STATUS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN
DAERAH (KONDISI TERKINI)
Untuk mempercepat pelaksanaan otonomi daerah yang diamanatkan UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004, pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil inventarisasi, terdapat 28 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan 2 Permendagri yang merupakan penjabaran langsung UU Nomor 32 Tahun 2004.
Perkembangan penyusunan peraturan pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 sampai saat ini sebagai berikut : sudah selesai sebanyak 12 (dua belas) PP, 1 (satu) Perpres, 2 (dua) Permendagri, sudah disampaikan ke Dapartemen Hukum dan HAM/Setneg sebanyak 6 (enam) RPP, serta dalam proses finalisasi draft di Departemen Dalam Negeri sebanyak 10 (sepuluh) RPP dan 1 (satu) Rancangan Perpres (tabel 2.1).
Terdapat 28 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan 2 Permendagri yang merupakan penjabaran langsung UU Nomor 32 Tahun 2004.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 12
Tabel 2.1
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. �2 Tahun 200�
No. PERATURANPELAKSANAAN
DASARPENGATURANUU
32/2004
STATUSPENYUSUNAN
I.PERATURANPEMERINTAH
1. PP tentang pemilihan, pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 33 ayat (3) Selesai dengan diterbitkannya PP No. 6 Tahun 2005
2. PP tentang Pedoman Pembentukan dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja
Pasal 148 ayat (2) Selesai dengan diterbitkannya PP No 32 Tahun 2004
3. PP tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Pasal 184 Selesai dengan diterbitkannya PP No 24 Tahun 2005
4. PP tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tatatertib DPRD
Pasal 43 ayat (8), Pasal 46 ayat (2), Pasal 54 ayat (6), dan Pasal 55 ayat (5)
Selesai dengan diterbitkannya PP no.53 tahun 2005
5. PP tentang Kedudukan Protokoler, Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD
Pasal 44 ayat (2) Selesai dengan diterbitkannya PP no. 37 tahun 2005
6. PP tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan
Pasal 199 Dalam proses penyelesaian
7. PP tentang Desa Pasal 203, Pasal 208, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 213, Pasal 214, dan Pasal 216
Selesai dengan diterbitkannya PP No. 72 tahun 2005
8. PP tentang Kelurahan Pasal 127 Selesai dengan diterbitkannya PP no. 73 tahun 2005
9. PP tentang Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS
Pasal 202 Dalam proses penyelesaian
10. PP tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 178 Selesai dengan diterbitkannya PP No.6 Tahun 2006
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 1�
No. PERATURANPELAKSANAAN
DASARPENGATURANUU
32/2004
STATUSPENYUSUNAN
11. PP tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pasal 223 Selesai dengan diterbitkannya PP No. 79 Tahun 2005
12. PP tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (5)
Dalam proses penyelesaian
13. PP tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6
Dalam proses penyelesaian
14. PP tentang Pedoman Penyusunan Standar dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Pasal 11 ayat (4) Selesai dengan diterbitkannya PP No. 65 Tahun 2005
15. PP tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerin-tahan Kabupaten/Kota
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2)
Dalam proses penyelesaian
16. PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 168 ayat (1) Dalam proses penyelesaian
17. PP tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3)
Dalam proses penyelesaian
18. PP tentang Laporan Keterangan Pertanggung jawaban Kepala Daerah
Pasal 42 ayat (1) huruf h
Dalam proses penyelesaian
19. PP tentang Hubungan Pelayanan Umum Antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerntah Daerah
Pasal 15 dan Pasal 16 Dalam proses penyelesaian
20. PP tentang Perubahan Batas, Perubahan Nama dan Pemindahan Ibukota
Pasal 7 ayat (2) Dalam proses penyelesaian
21. PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu
Pasal 9 ayat (3) Dalam proses penyelesaian
22. PP tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus
Pasal 9 ayat (6) Dalam proses penyelesaian
23. PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah
Pasal 197 Dalam proses penyelesaian
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 1�
No. PERATURANPELAKSANAAN
DASARPENGATURANUU
32/2004
STATUSPENYUSUNAN
24. PP tentang Penegasan Batas Daerah
Pasal 229 Dalam proses penyelesaian
25. PP tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah
Pasal 128 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Dalam proses penyelesaian
26. PP tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
Pasal 154 Dalam proses penyelesaian
27. PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah
Pasal 38 ayat (3) Dalam proses penyelesaian
28. PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah
Pasal 38 ayat (4) Dalam proses penyelesaian
29. PP tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Darurat
Pasal 165 ayat (3) Dalam proses penyelesaian
30. PP tentang Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Masyarakat/Investor
Pasal 176 Dalam proses penyelesaian
31. PP tentang Pedoman Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah
Pasal 135 ayat (2) Dalam proses penyelesaian
32. PP tentang Pembentukan Kecamatan
Pasal 127 Dalam proses penyelesaian
II.PERATURANPRESIDEN
1. Peraturan Presiden tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
Pasal 224 Selesai dengan diterbitkannya Perpres No. 28 Tahun 2005 tentang DPOD
2. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah
Pasal 140 ayat (3) Dalam proses penyelesaian
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 1�
No. PERATURANPELAKSANAAN
DASARPENGATURANUU
32/2004
STATUSPENYUSUNAN
3. Peraturan Presiden tentang Pedoman Pengembangan Kapasitas dalam Mendukung Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah
Dalam proses penyelesaian
III.PERATURANMENTERIDALAMNEGERI
1. Peraturan Mendagri tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah
Pasal 131 ayat (2) Selesai dengan diterbitkannya Permendagri No 10 Tahun 2006 tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
Pasal 229 Selesai dengan diterbitkannya Permendagri No.1 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Tata Cara Perubahan Batas, Perubahan Nama dan Pemindahan Ibukota
Pasal 7 ayat (2) Dalam proses penyelesaian
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 1�
Tabel 2.2
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. �� Tahun 200�
No. PERATURANPELAKSANAAN
DASARPENGATURANUU
33/2004
STATUSPENYUSUNAN
A.PERATURANPEMERINTAH
1. PP tentang Dana Perimbangan
Pasal 26, 37, dan 42 Telah selesai dengan keluarnya PP No 55 Tahun 2005
2. PP tentang Pinjaman Daerah
Pasal 65 (Juga diamanatkan oleh UU No 32/2004 Pasal 171 ayat 1)
Telah selesai dengan keluarnya PP No 54 Tahun 2005
3. PP tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah
Pasal 104 Telah selesai dengan keluarnya PP No 56 Tahun 2005
4. PP tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 86 (Juga diamanatkan oleh UU No 32/2004 Pasal 23 ayat 2, Pasal 194 dan Pasal 182)
Telah selesai dengan keluarnya PP No 58 Tahun 2005
5. PP tentang Hibah ke daerah Pasal 45 Telah selesai dengan keluarnya PP No 57 Tahun 2005
6. PP tentang Pengelolaan Dana Darurat
Pasal 48 Dalam proses penyelesaian
7. PP tentang Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Pasal 92 dan 99 Sedang dalam tahap persiapan
8. PP tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
- Telah selesai dengan keluarnya PP No 23 Tahun 2005
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 17
Tabel 2.�
Perkembangan Penyusunan Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 2� tahun 200�
No. PERATURANPELAKSANAAN
DASARPENGATURANUU25/2004
STATUSPENYUSUNAN
A.PERATURANPEMERINTAH
1. PP tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Pasal 30 Telah selesai dengan keluarnya PP No 39 Tahun 2006
2. PP tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2)
Telah selesai dengan keluarnya PP No 40 Tahun 2006
2.� RENCANA AKSI NASIONAL DESENTRALISASI FISKAL (RANDF)
Sebagai bagian dari pelaksanaan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, khususnya Bab 12 Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah, dan penjabaran dari Grand Strategy Pelaksanaan Otonomi Daerah, pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RANDF). RANDF diharapkan menjadi payung kebijakan dan peraturan perundang-undangan bagi pelaksanaan Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Penyusunan RANDF dikoordinasikan oleh tiga Menteri Negara, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS.
Tujuan penyusunan RANDF adalah untuk menyediakan suatu kerangka kerja yang akan membantu meningkatkan efisiensi dan pemerataan dari aliran fiskal pemerintah pusat terhadap daerah dan juga untuk mendukung efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Secara khusus
RANDF diharapkan menjadi payung kebijakan dan peraturan perundang-undangan bagi pelaksanaan Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 1�
RANDF bertujuan untuk : (1) menjabarkan berbagai tujuan, strategi, dan aksi pemerintah yang berhubungan dengan desentralisasi fiskal dalam waktu lima tahun ke depan; (2) menyediakan suatu kerangka kerja yang akan membantu meningkatkan efisiensi dan pemerataan transfer keuangan pemerintah pusat terhadap daerah; serta (3) mendukung pengelolaan keuangan daerah secara efektif.
RANDF menjelaskan sembilan (9) tujuan kunci untuk perbaikan desentralisasi fiskal dan memuat strategi dan aksi untuk membantu mencapai berbagai tujuan sebagai berikut :
(1) Memperjelas kewenangan pengeluaran antartingkat pemerintahan yang berbeda;
(2) Memastikan keseimbangan antara kewenangan pengeluaran dan dana yang tersedia;
(3) Merestrukturisasi pengeluaran publik untuk pelayanan sesuai prioritas pembangunan;
(4) Meningkatkan kapasitas penerimaan;(5) Meningkatkan keseimbangan horisontal dan vertikal dalam
hubungaan pusat dan daerah;(6) Memfasilitas sistem pinjaman daerah guna mendukung investasi;(7) Meningkatkan efektivitas, disiplin, dan akuntabilitas dari pengelolaan
lokal;(8) Memperkuat kapasitas pengelolaan keuangan pusat dan daerah;
dan(9) Meningkatkan koordinasi keseluruhan dari berbagai masalah fiskal
di bawah payung DPOD.
Berbagai strategi serta rincian kegiatan dalam RANDF dapat dikelompokkan menurut isu-isu sebagai berikut: (1) pengaturan urusan; (2) perimbangan urusan dan pendanaan; (3) standar pelayanan minimum; (4) restrukturisasi organisasi pemerintah daerah; (5) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (6) Dana Bagi Hasil (DBH); (7) Dana Alokasi Umum (DAU); (8) Dana Alokasi Khusus (DAK); (9) Pinjaman daerah; (10) pengelolaan aset dan keuangan; (11) akuntabilitas; (12) pengembangan kapasitas; dan (13) koordinasi, monitoring dan evaluasi.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 1�
Salah satu kendala dalam pelaksanaan RANDF adalah belum selesai-nya revisi PP 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, yang menjadi landasan hukum bagi pengaturan pembagian kewenangan atas urusan peme-rintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
2.� KERJASAMA ANTAR DAERAH
Setiap Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom dituntut dapat menyediakan pelayanan publik yang optimal. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten/Kota juga diharapkan kreatif dan inovatif dalam mengelola sumberdaya bagi pembangunan ekonomi. Perbaikan pelayanan publik akan meningkatkan daya tarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Salah satu kendala dalam peningkatan pelayanan publik dan pengembangan ekonomi daerah adalah keterbatasan kapasitas daerah (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, kelembagaan dan asset daerah). Salah satu inovasi untuk mengatasi masalah tersebut adalah kerjasama antardaerah. Pengalaman di berbagai negara dan prakarsa yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kerjasama antardaerah akan meningkatkan kapasitas Pemda dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan terjangkau, dan percepatan pembangunan daerah.
Kerjasama antardaerah akan menjadi pilihan yang paling rasional di masa depan dengan empat pertimbangan. Pertama, sebagian besar daerah menghadapi permasalahan keterbatasan fiskal. Kerjasama antardaerah yang berdekatan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dalam penyediaan pelayanan publik. Kedua, perkembangan wilayah dan dinamika pergerakan manusia semakin mengaburkan batas-batas administratif. Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, kerjasama
Kerjasama antardaerah akan menjadi pilihan yang paling rasional di masa depan.
Setiap pemerintah kabupaten/kota sebagai daerah otonom dituntut dapat menyediakan pelayanan publik yang optimal.
Kendala dalam pelaksanaan RANDF adalah belum adanya aspek legal yang menjadi landasan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 20
mendorong pengembangan klaster industri untuk meningkatkan daya saing produk. Sumberdaya masing-masing daerah dapat dikembangkan secara sinergis menjadi suatu keunggulan bersama yang saling melengkapi. Ketiga, adanya eksternalitas dalam setiap kegiatan pembangunan, baik positif maupun negatif. Kerjasama antardaerah dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pemecahan masalah eksternalitas negatif yang sering terjadi seperti bencana banjir, kekeringan, kebakaran dan tanah longsor sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang bijaksana. Kerjasama antardaerah juga akan menciptakan eksternalitas positif berupa pengelolaan sumberdaya, peningkatan produktivitas, perluasan pemasaran dan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk sekitar. Keempat, adanya kesenjangan antardaerah dan antarpenduduk dan munculnya masalah sosial baru sebagai akibat migrasi penduduk dari daerah miskin ke daerah kaya. Kerjasama antardaerah akan meningkatkan efektivitas pemecahan masalah kependudukan dan kemiskinan. Kelima, terjadinya tumpang tindih perizinan pengelolaan sumber daya alam. Pengeluaran surat izin, surat keterangan dan bukti hak atas kepemilikan tanah ulayat yang terjadi di wilayah perbatasan antardaerah oleh masing-masing daerah seringkali tumpang tindih sehingga mengakibatkan konflik horisontal dan berdampak pada terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Kerjasama antardaerah dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya, dan pemecahan masalah lintasdaerah dalam bidang: (1) peningkatan pelayanan publik; (2) penataan ruang antardaerah; (3) penanggulangan kemiskinan dan masalah sosial lain; (4) pengembangan kawasan perbatasan; (5) penanggulangan bencana; (6) penanganan potensi konflik; dan (7) pengembangan ekonomi dan promosi. Peran pemerintah provinsi sangat penting dalam mendorong dan memfasilitasi kerjasama antardaerah.
Beberapa contoh kerjasama antardaerah yang telah berjalan baik selama ini antara lain adalah: (1) KARTAMANTUL (bentukan kerjasama antara Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul); (2) SUBOSUKAWONOSRATEN (kerjasama diantara 6 kabupaten dan 1
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 21
kota eks Karesidenan Solo: Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten), (3) JAvA PROMO (beranggotakan sebanyak 14 kab/kota, di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah); (4) BARLINGMASCAKEB (kerjasama antar daerah yang melibatkan Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen); (5) Pengelolaan sampah terpadu di JABODETABEKJUR (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur); (6) Kerjasama Pengembangan Wilayah PAWONSARI (Pacitan, Wonogiri, dan Gunung Kidul); (7) Badan Kerjasama Pegunungan Tengah dan Pantai Selatan (BK-PTSP) yang meliputi Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Jayawijaya, Mimika, Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Mimika, Asmat, Boven Digoel dan Kaimana.
Pada saat ini sudah diusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Peraturan ini akan menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah untuk melakukan kerjasama sesuai dengan karateristik dan kebutuhan lokal. Di samping itu, kerjasama antara daerah diharapkan menjadi salah satu solusi (terobosan) untuk mengurangi dorongan pemekaran daerah.
2.� ISU-ISU STRATEGIS
(1) Tata Kepemerintahan yang Baik
Tata kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata kepemerintahan untuk sektor publik (good public governance) yang merujuk pada lembaga penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan tata kepemerintahan untuk dunia usaha swasta (good corporate governance), serta adanya partisipasi aktif dari masyarakat (civil society). Para pihak inilah yang sering disebut sebagai 3 (tiga) pilar penyangga penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Tata kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 22
Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik membutuhkan komitmen kuat, tekad untuk berubah menjadi lebih baik, sikap konsisten, dan waktu yang tidak singkat karena diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai atau prinsip-prinsipnya secara utuh oleh seluruh komponen bangsa termasuk oleh aparatur pemerintah dan masyarakat luas. Di samping itu, perlu kesepakatan bersama serta sikap optimistik yang tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
Secara umum terdapat 4 (empat) prinsip utama dalam tata kepe-merintahan yang baik, yakni transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas. Berbagai pihak mengembangkan dan melakukan elaborasi lebih lanjut dalam berbagai prinsip turunan tata kepemerintahan yang baik, serta melaksanakannya sesuai dengan tugas pokok organisasi, seperti prinsip wawasan ke depan, supremasi hukum, demokrasi, profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap, keefisienan dan keefektifan, desentralisasi, kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat, komitmen pada pengurangan kesenjangan, komitmen pada lingkungan hidup, dan komitmen pada pasar yang fair.
Gambar 2.1 Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance
Upaya mewujudkan tata kepemerintahan
yang baik membutuhkan
komitmen kuat, tekad untuk berubah
menjadi lebih baik, sikap konsisten, dan
waktu yang tidak singkat.
Empat prinsip utama dalam tata
kepemerintahan yang baik, yakni
transparansi, partisipasi,
penegakan hukum dan akuntabilitas.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 2�
Beberapa pemerintahan daerah (Kabupaten Sragen-Jawa Tengah, Kabupaten Sidoarjo-Jawa Timur, Kabupaten Solok-Sumatera Barat, Kota Pare-Pare-Sulawesi Selatan, Provinsi Gorontalo dan daerah lainnya) sedang melakukan perbaikan dalam menerapkan good governance melalui reformasi birokrasi yang diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan publik, pelayanan prasarana dasar, perbaikan manajemen pemerintahan dan aspek lainnya.
(2) Standar Pelayanan Minimum (SPM)
Pelaksanaan SPM secara luas menghadapi beberapa kendala dan tantangan yaitu : (1) belum jelasnya pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai akibat dari belum selesainya revisi PP Nomor 25 Tahun 2000; (2) kompleksitas dalam merancang SPM; (3) ketersediaan dan kemampuan penganggaran relatif terbatas; (4) penyusunan SPM bidang kesehatan, pendidikan, dan layanan dasar lainnya perlu dilakukan melalui proses konsultasi publik untuk menentukan norma dan standar tertentu yang disepakati bersama. Hal ini untuk menghindari adanya perbedaan persepsi di dalam memberikan pelayanan publik sesuai SPM.
Beberapa langkah yang sudah dilakukan dalam rangka pelaksanaan penerapan SPM antara lain (1) Penerbitan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM). PP ini diharapkan menjadi acuan standar dalam penyusunan SPM sehingga menghasilkan pelayanan minimum yang setara untuk seluruh wilayah di Indonesia; (2) Penetapan prioritas dalam standar pelayanan minimum khususnya bidang kesehatan, pendidikan dan prasarana dasar oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Hal ini diarahkan dalam upaya meningkatkan penggunaan indeks pembangunan manusia (human development index) sebagai indikator kemajuan pembangunan di suatu daerah, dengan cara : menyusun indikator SPM sejalan dengan Millenium Development Goals (MDGs); dan mengumpulkan data yang telah dikoordinasikan dengan instansi terkait (kantor statistik, dinas terkait) sebagai input perhitungan indikator SPM; (3) Pengembangan
Pelaksanaan SPM secara luas mendapat beberapa tantangan besar.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 2�
Instrumen Analisis Rencana dan Penganggaran Pencapaian SPM berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah yang ditetapkan dengan Permendagri sebagai alat bantu Pemerintah Daerah dalam mengkaji kemampuannya dan menyusun rencana pencapaian SPM; (4) Pengembangan Modul Pelatihan untuk Pelatihan Penyusunan dan penerapan standar pelayanan minimal di tingkat Pemerintah Pusat dan Daerah. Modul tersebut akan berguna sebagai bahan (materi khusus) bagi peningkatan pengetahuan aparat pemerintah dalam memahami SPM secara lebih baik; (5) Pengembangan instrumen Monitoring dan Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini diperlukan untuk mengawasi dan mengevaluasi jaminan pelayanan minimum yang telah direncanakan untuk diberikan, standar pelayanan minimum yang sudah dicapai, dan mengantisipasi persoalan-persoalan berkenaan dengan standar pelayanan minimum.
(�) Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, merupakan upaya Pemerintah dalam meningkatkan proses penilaian efektivitas rencana pembangunan di pusat dan daerah. PP Nomor 39 Tahun 2006 tersebut merupakan komitmen Pemerintah untuk terus berupaya mengevaluasi proses pelaksanaan pembangunan, baik dalam proses realisasi anggaran pembangunan (APBN dan APBD), kemajuan fisik dan distribusi pelaksanaan pembangunan di daerah, sampai pada evaluasi dampak dan hasil pembangunan bagi kondisi sosial dan ekonomi di daerah. Hasil ini selanjutnya digunakan sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan dan sinkronisasi program pembangunan dalam siklus perencanaan pem-bangunan tahun berikutnya. Evaluasi juga dimaksudkan dalam rangka mendorong dan mendukung percepatan pembangunan di daerah.
(�) Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) adalah proses pengumpulan data, analisis data, dan penyajian informasi secara
PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan,
merupakan upaya Pemerintah dalam
meningkatkan proses penilaian
efektivitas rencana pembangunan di
pusat dan daerah.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 2�
sistematis yang meliputi pengukuran kinerja, analisis sistem, penilaian kebijakan atas program dan kegiatan; dan sekaligus penetapan tingkat perkembangan dari waktu ke waktu atas penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah disertai dengan penjelasan faktor kesuksesan dan hambatan dalam rangka perbaikan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efisien dan lebih efektif untuk mencapai tujuan otonomi daerah.
Tujuan utama dilaksanakannya EPPD ini adalah untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan mengoptimalkan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerintah daerah dengan masyarakat.
Guna menjamin proses evaluasi dapat berjalan dengan baik, Pemerintah menggunakan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) sebagai dasar EPPD. LPPD ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU 32/2004 disampaikan Kepala Daerah kepada Pemerintah sebagai dasar EPPD dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Di samping LPPD, evaluasi juga menggunakan berbagai sumber informasi atau laporan lain, baik yang berasal dari sistem informasi pemerintah, laporan atas permintaan pemerintah, tanggapan atas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ), maupun laporan dari masyarakat.
Tindak lanjut hasil evaluasi dapat digunakan untuk : (1) evaluasi kemampuan daerah dalam rangka pemekaran; (2) evaluasi perkembangan daerah pemekaran; (3) evaluasi program pembangunan daerah; (4) evaluasi perda; (5) evaluasi operasional urusan pemerintahan daerah, kelembagaan daerah, personalia daerah, keuangan daerah, perencanaan daerah, majemen pelayanan publik; dan (6) evaluasi tertentu lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
(�) Pengembangan Kapasitas
Kinerja pemerintahan daerah yang optimal ditentukan oleh kemampuan dan kapasitas daerah yang bersangkutan. Pengembangan kapasitas
Tujuan utama dilaksanakannya EPPD ini adalah untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan mengoptimalkan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerintah daerah dengan masyarakat.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 2�
dilakukan dengan berbagai masukan dari berbagai pihak terkait melalui Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD). Hasil evaluasi tersebut merupakan salah satu indikator bagi pengembangan kapasitas dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan kapasitas mencakup ruang lingkup yang terdiri dari tiga tingkatan : (1) Sistem, (2) Kelembagaan, dan (3) Individu.
Dalam implementasinya, pengembangan kapasitas dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:(1) Mengidentifikasikan dan merumuskan kebutuhan-kebutuhan
pengembangan dan peningkatan kapasitas secara komprehensif dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, DPRD, lembaga pendukung dan penyedia pelayanan, organisasi non-pemerintah (Ornop) serta organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi daerah;
(2) Mengidentifikasi dan merumuskan prioritas bagi prakarsa-prakarsa pengembangan dan peningkatan kapasitas;
(3) Menetapkan rencana tindak (action plan) pengembangan dan peningkatan kapasitas secara keseluruhan yang terkoordinir dan efisien; dan
(4) Menyediakan acuan atau rujukan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mengalokasikan kegiatan dan anggaran guna mendukung percepatan pelaksanaan otonomi daerah.
2.� KELEMBAGAAN TERKAIT PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI DI DAERAH
(1) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 membawa perubahan besar pada lembaga legislatif pada tingkat pusat, yaitu dengan dibentuknya
Kinerja pemerintahan
daerah yang optimal ditentukan oleh
kemampuan dan kapasitas daerah
yang bersangkutan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 27
Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Dengan perubahan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tersusun dari DPR RI dan DPD RI. Masing-masing lembaga legislatif tersebut memiliki tugas dan wewenang tersendiri. Kedudukan DPD RI merupakan unsur perwakilan daerah, sementara DPR RI merupakan unsur perwakilan partai-partai politik. Jika DPR RI dan DPD RI digabungkan, keduanya membentuk MPR RI.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR RI, DPR RI, DPD RI, dan DPRD mencantumkan ketentuan konstitusional mengenai komposisi dan struktur DPD RI, serta mendefinisikan DPD RI yang merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Konstitusi yang sudah diamandemen dan UU Susunan dan Kedudukan menempatkan DPD RI sebagai lembaga yang memiliki peran untuk memberikan pertimbangan terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dilakukan oleh DPR. Kewenangannya terbatas pada isu-isu yang terkait dengan kepentingan daerah; hubungan antara pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam; perimbangan keuangan pusat dan daerah; dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi. DPD RI juga memiliki kewenangan mengawasi di bidang-bidang ini, dan juga terhadap APBN serta RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang hasilnya disampaikan ke DPR RI.
Sesuai dengan konstitusi, format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait sebagaimana berikut ini. Dalam fungsi legislasi, tugas dan wewenang DPD adalah (1) dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR, dan (2) ikut membahas RUU pada bidang-bidang yang terkait dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedudukan DPD RI merupakan unsur perwakilan daerah.
DPD RI merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
DPD RI sebagai lembaga yang memiliki peran untuk memberikan pertimbangan terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dilakukan oleh DPR.
Format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - 2�
Pada fungsi pertimbangan, tugas dan wewenang DPD adalah memberikan pertimbangan kepada DPR tentang RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, dan Pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Sementara itu pada fungsi pengawasan, tugas dan wewenang DPD adalah (1) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; dan (2) menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Adapun bidang-bidang yang terkait dengan tugas dan wewenang tersebut adalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam serta sumberdaya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dan pajak, pendidikan, dan agama.
(2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang dibentuk di tingkat nasional mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden terhadap kebijakan otonomi daerah. DPOD diharapkan dapat memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai rancangan kebijakan :(a) pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus ; (b) perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah, yang meliputi 1) perhitungan bagian masing-masing daerah atas dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan, 2) formula dan perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) masing-masing daerah berdasarkan besaran pagu DAU sesuai dengan peraturan perundangan, 3) Dana Alokasi Khusus (DAK) masing-masing daerah untuk setiap tahun anggaran berdasarkan besaran pagu DAK dengan menggunakan kriteria sesuai dengan peraturan perundangan; dan (c) penilaian kemampuan daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah (DPOD) mempunyai
tugas memberikan saran dan
pertimbangan kepada Presiden
terhadap kebijakan otonomi daerah.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
II - 2�
(�) Asosiasi Pemerintah Daerah Dalam rangka mewujudkan implementasi kebijakan otonomi daerah dan meningkatkan kerjasama antar pemerintah daerah, para Bupati seluruh Indonesia mendeklarasikan pembentukan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Inisiatif yang sama kemudian diikuti dengan pembentukan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia (APPSI).
Sebagai lembaga wadah pemerintah daerah (APKASI, APEKSI, dan APPSI) sangat potensial memainkan peran sebagai fasilitator dan mediator kerjasama antardaerah, termasuk dalam pengembangan investasi di daerah. Ketiga asosiasi ini pernah menyelenggarakan expo dalam rangka mempromosikan keanekaragaman potensi daerah.
(�) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
BKPM adalah lembaga pelayanan urusan investasi di tingkat nasional yang fungsi utamanya adalah mengimplementasikan misi pemerintah dalam peningkatan penanaman modal. Dalam menjalankan fungsi tersebut BKPM memiliki kewenangan:a. Menyiapkan perencanaan investasi di tingkat nasional;b. Merumuskan kebijakan investasi;c. Mengembangkan sistem informasi investasi;d. Memberikan persetujuan dan mengendalikan implementasi
investasi yang berisiko tinggi.
Upaya pelayanan investasi terus dilakukan oleh BKPM, dengan sasaran akhir terwujudnya “one stop service” kepada para investor, baik asing maupun domestik. Untuk mengarah ke sana BKPM mengembangkan beberapa jenis pelayanan sebagai berikut :
a. Pelayanan Informasi Investasi, mencakup informasi tentang : potensi dan peluang investasi, mitra usaha potensial baik asing maupun
APKASI, APEKSI, dan APPSI memainkan peran sebagai fasilitator dan mediator kerjasama antardaerah.
Upaya pelayanan investasi terus dilakukan oleh BKPM, dengan sasaran akhir terwujudnya “one stop service”
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
II - �0
domestik bagi investor yang berniat melakukan joint venture di Indonesia, kebijakan pemerintah, peraturan dan perundang-undangan terkait kegiatan investasi, statistik investasi, dan informasi terkini terkait investasi di Indonesia.
b. Panduan dan konsultansi bagi para investor dalam mempersiapkan aplikasi investasi baru, pengembangan investasi, dan perubahan proyek investasi.
c. Monitoring dan evaluasi atas kemajuan kegiatan investasi, termasuk menyediakan panduan dan konsultasi bagi investor dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi selama pelaksanaan proyek investasi.
BAB IIIPembangunan Daerah,Peningkatan Investasi,dan Peningkatan Kesejahteraan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 2
3.1 PEMBANGUNAN DAERAH
Pembangunan daerah, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang andal dan profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan untuk mengelola sumber daya ekonomi daerah secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan daerah dilaksanakan melalui pengembangan otonomi daerah dan pengaturan sumber daya yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya tata kepemerintahan
Pemulihan kondisi ekonomi makro yang berjalan saat ini belum diimbangi dengan membaiknya kinerja sektor riil. Tanpa ada perbaikan kinerja sektor riil, pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan akan menjadi kian sulit. Mengingat salah satu faktor penyebab rendahnya kinerja sektor riil adalah oleh rendahnya investasi, maka perbaikan iklim investasi sangat penting dan mendesak. Langkah perbaikan ini memerlukan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah dengan kewenangan dan sumber daya yang semakin besar mempunyai peran penting dalam memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan kinerja pembangunan daerah. Dalam bab ini akan diuraikan konsepsi umum pembangunan daerah, peranan investasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang berkelanjutan, serta strategi kunci dalam rangka meningkatkan daya tarik dan daya saing investasi. Bab ini juga membahas berbagai inisatif pemerintah daerah dalam menciptakan iklim investasi yang baik.
Pembangunandaerah dilaksanakan
melalui pengembangan otonomi daerah dan pengaturan
sumber daya yang memberikan
kesempatan bagi terwujudnya tata kepemerintahan
yang baik.
BAB III PEMBANGUNAN DAERAH, PENINGKATAN INVESTASI, DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 3
yang baik. Pembangunan daerah juga merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat di seluruh daerah sehingga tercipta suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik, maju, tenteram, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan masyarakat bagi peningkatan harkat, martabat, dan harga diri.
Visi dari pembangunan daerah adalah terwujudnya kapasitas daerah yang maju dengan masyarakat yang mandiri. Sedangkan misi pembangunan daerah adalah: (1) memantapkan otonomi daerah dalam pelaksanaan tugastugas pemerintahan dan pembangunan; (2) mempercepat pengembangan wilayah dengan mengutamakan peningkatan daya saing sebagai dasar pertumbuhan daerah; (3) pemerataan antardaerah; (4) pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan; (5) meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memberikan hak kepada masyarakat untuk pengembangan diri; serta (6) mempercepat penyelesaian masalah sosial, ekonomi, politik serta hukum di beberapa daerah.
Pembangunan daerah dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi pembangunan sektoral. Pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah. Kedua, dari segi pembangunan wilayah yang meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Ketiga, pembangunan daerah dilihat dari segi pemerintahan. Tujuan pembangunan daerah hanya dapat dicapai apabila pemerintah daerah berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pembangunan daerah merupakan usaha mengembangkan dan memperkuat pemerintahan daerah dalam rangka makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab.
Visi dari pembangunan daerah adalah terwujudnya kapasitas daerah yang maju dengan masyarakat yang mandiri.
Pembangunan daerah dapat dilihat dari segi pembangunan sektoral, pembangunan wilayah dan pemerintahan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - �
Kinerja pembangunan nasional merupakan agregat dari kinerja
pembangunan seluruh daerah.
Dengan pemahaman pembangunan daerah sebagai penjabaran dari pembangunan nasional, kinerja pembangunan nasional merupakan agregat dari kinerja pembangunan seluruh daerah. Pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional merupakan agregasi dari pencapaian semua provinsi, dan pencapaian tujuan di tingkat provinsi merupakan agregasi pencapaian tujuan di tingkat kabupaten/kota. Dengan demikian tanggungjawab untuk mencapai tujuan dan sasaransasaran dalam pembangunan nasional menjadi kewajiban bersama antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Perencanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Sinkronisasi kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sangat penting untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang terbatas.
Gambar 3.1. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah, PembangunanDaerah, dan Pembangunan Nasional
Gambar 3.1 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pembangunan Daerah,
dan Pembangunan Nasional
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - �
Pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah dapat dilihat dari perkembangan indikator ekonomi yang ada. Pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar telah menunjukkan perbaikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8 persen lebih tinggi dibanding tahun 2005 sebesar 5,6 persen. Inflasi tahun 2006 sebesar 6,6 persen jauh lebih rendah dibanding inflasi tahun 2005 sebesar 2005. Sejak Juli 2006, nilai tukar rupiah relatif stabil pada rentang Rp. 9.000Rp. 9,200 per satu USD, dan secara keseluruhan tahun 2006 ratarata nilai tukar rupiah mencapai Rp. 9.168 per satu USD.
Perbaikan kinerja ekonomi makro belum disertai dengan membaiknya kinerja sektor riil yang tercermin dari kondisi dunia usaha, industri, dan investasi. Implikasi dari lambannya pemulihan kondisi sektor riil adalah pengurangan pengangguran dan kemiskinan belum menunjukkan capaian yang diharapkan. Hal ini menegaskan bahwa membaiknya indikator ekonomi makro merupakan kondisi yang dibutuhkan, tetapi
Pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah dapat dilihat dari perkembangan indikator ekonomi.
Gambar 3.2. Hubungan Kinerja Pembangunan Daerah dan KinerjaPembangunan Nasional
Kinerja PembangunanKabupaten/Kota
Kinerja PembangunanKabupaten/Kota
Kinerja PembangunanKabupaten/Kota
Kinerja PembangunanKabupaten/Kota
KinerjaPembangunan
Provinsi
KinerjaPembangunan
Nasional
KinerjaPembangunan
Provinsi
Agregasi
Agregasi
Agregasi
Gambar 3.2 Hubungan Kinerja Pembangunan Daerah dan
Kinerja Pembangunan Nasional
Perbaikan kinerja ekonomi makro belum disertai dengan membaiknya kinerja sektor riil yang tercermin dari kondisi dunia usaha, industri, dan investasi.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - �
belum mencukupi untuk mendorong pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, keberhasilan menciptakan stabilitas ekonomi makro perlu dipandang sebagai landasan untuk meningkatkan kinerja sektor riil dalam rangka pemulihan ekonomi.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab bersama dalam memberikan stimulan bagi pengembangan sektor riil melalui peningkatan investasi. Investasi akan menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian. Peningkatan investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi juga meningkatkan penawaran agregat melalui meningkatnya stok kapital dan kapasitas produksi. Kegiatan produksi akan menyerap tenaga kerja. Investasi, khususnya yang datang dari luar negeri atau luar wilayah, juga akan mendorong proses alih teknologi dan inovasi. Proses ini pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas, memacu pertumbuhan dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Untuk itu investasi yang perlu ditingkatkan adalah investasi yang dapat menciptakan kesempatan kerja, menggunakan sumber daya ekonomi daerah yang ada, dan dapat memberikan nilai tambah yang besar terutama investasi di sektor pertanian dan industri yang dapat menyerap tenaga kerja. Demikian pula, penataan dan pembenahan sektor informal seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) termasuk pedagang kaki lima (PKL) juga sangat penting dalam mengembangkan sektor riil.
3.2 PERANAN INVESTASI BAGI PEMBANGUNAN DAERAH
Pertumbuhan ekonomi daerah saat ini sebagian besar bersumber dari peningkatan konsumsi baik pemerintah maupun masyarakat. Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh konsumsi sulit dijaga keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah seperti itu tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi akan kurang menciptakan nilai tambah dan memicu peningkatan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah mempuyai tanggung jawab
bersama dalam memberikan
stimulan bagi pengembagan
sektor riil.
Pertumbuhan ekonomi daerah saat ini sebagian besar bersumber dari peningkatan
konsumsi baik pemerintah maupun
masyarakat.
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 7
inflasi. Dalam upaya menciptakan pertumbuhan yang lebih berkualitas dan berkelanjutan, perekonomian daerah perlu didukung oleh kegiatan investasi di sektor produktif dan jasa. Investasi swasta dirasakan semakin penting mengingat kapasitas fiskal pemerintah (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) yang terbatas sehingga sulit untuk selalu dijadikan sebagai sumber utama pertumbuhan. Dampak pengganda yang diciptakan dari peningkatan investasi adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan produksi, berkembangnya kegiatan perdagangan antardaerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Investasi juga mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan tenaga kerja) secara lebih mudah dan murah. Percepatan ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah.
Investasi dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat (gain) maksimal dari aktivitas tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima. Kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan/atau berinvestasi. Bagi pemerintah, meningkatnya aktivitas produksi dan perdagangan, upah dan daya beli berarti meningkatnya penerimaan pajak, yang memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Investasi swasta dirasakan semakin penting mengingat kapasitas fiskal pemerintah.
Investasi dapat menjadi pendorong roda ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat (gain) maksimal dari aktivitas tersebut.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - �
Globalisasi yang diikuti oleh meningkatnya arus barang, modal dan jasa antarnegara dan antardaerah menyediakan peluang bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan investasi sebagai sumber utama pembangunan ekonomi di daerah. Tantangan yang harus diatasi oleh pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan melakukan reformasi birokrasi, membenahi perijinan, dan menghapuskan berbagai hambatan struktural.
(1) Keragaan Investasi di Daerah
Perkembangan investasi di Indonesia saat ini belum menyebar secara merata antar daerah. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai investasi tertinggi atau setara dengan 27,9 persen dari total investasi di Indonesia. Lebih dari 60 persen investasi terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Provinsi Maluku Utara dan Maluku adalah dua provinsi dengan nilai investasi terendah. Sebaran investasi menurut provinsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Pola persebaran investasi tersebut selain disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur juga disebabkan oleh kemudahan dalam mendapatkan layanan perijinan, dukungan sumber daya, dan komitmen pemerintah daerah dalam meningkatkan investasi.
Kotak 3.1. Investasi pemerintah mulai pulih, swasta belum
Secara total, investasi pemerintah dan swasta meski mengalami pertumbuhan pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing 14,6 persen dan 9,9 persen, namun proporsinya hanya mencapai 22 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2005. Pada tahun 2006 diperkirakan investasi pemerintah telah pulih ke level sebelum krisis sekitar 7 persen dari PDB, di mana 50 persen lebih investasi pemerintah kini dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Namun investasi swasta belum beranjak banyak. Dalam kurun 2000-2005 kontribusi investasi swasta terhadap PDB hanya bertambah dari 16,9 persen menjadi 17,5 persen. Sebagai perbandingan, pada tahun 1996 total investasi hampir mencapai 30 persen dari PDB, dengan komposisi 22,6 persen investasi swasta dan 7 persen investasi pemerintah. Sebelum desentralisasi, investasi pemerintah didominasi oleh pemerintah pusat.
Pemerintah menciptakan iklim
investasi yang kondusif dengan melakukan reformasi birokrasi,
membenahi perijinan, dan menghapuskan berbagai hambatan
struktural.
Perkembangan investasi di Indonesia
saat ini belum menyebar secara
merata antar daerah.
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - �
Tabel 3.1
Distribusi Investasi di Indonesia menurut Provinsi
Tahun 200� (dalam %)
No Provinsi Proporsi Investasi No Provinsi Proporsi
Investasi1 DKI Jakarta 27.91% 18 Papua 1.05%2 Jawa Timur 12.74% 19 Nusa Tenggara Barat 1.01%3 Jawa Barat 11.21% 20 Bali 0.78%4 Jawa Tengah 6.51% 21 Sulawesi Utara 0.63%5 Riau 5.31% 22 Kalimantan Selatan 0.60%6 Sumatera Utara 4.01% 23 Nusa Tenggara Timur 0.57%7 Kepulauan Riau 3.78% 24 Sulawesi Tengah 0.57%8 Kalimantan Timur 3.78% 25 Sulawesi Tenggara 0.53%9 Banten 3.68% 26 Jambi 0.51%10 Sumatera Selatan 2.88% 27 Irian Jaya Barat 0.44%11 Sulawesi Selatan 1.93% 28 Kep. Bangka Belitung 0.38%12 Kalimantan Barat 1.91% 29 Gorontalo 0.19%13 Sumatera Barat 1.48% 30 Bengkulu 0.15%14 DI. Yogyakarta 1.36% 31 Sulawesi Barat 0.08%15 Lampung 1.34% 32 Maluku 0.03%16 Kalimantan Tengah 1.33% 33 Maluku Utara 0.02%
17Nanggroe Aceh Darussalam
1.29%
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik*) Investasi menggunakan data Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto atas dasar harga konstan tahun 2000.
Perbedaan nilai investasi antardaerah ini juga memperlihatkan perbedaan sumbangan investasi dalam menggerakkan perekonomian daerah. Data tahun 2005 tentang rasio dari pembentukan modal tetap domestik bruto terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) menunjukkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau memiliki kontribusi investasi tertinggi dengan investasi sebesar 45,5 persen dari total aktivitas perekonomian daerah tersebut. Di sisi lain, terdapat empat provinsi yang selain nilai investasinya rendah juga kontribusi investasi dalam perekonomian daerah relatif rendah, yakni kurang dari 10 persen. Provinsi tersebut antara lain adalah Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku dan Maluku Utara (lihat Tabel 3.2).
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi memiliki proporsi investasi lebih rendah dibanding ratarata nasional. Hanya 11 (sebelas)
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 10
provinsi yang memiliki kontribusi investasi lebih tinggi dibanding ratarata nasional. Kenyataan ini membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah daerah untuk dapat mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam bentuk sinkronisasi kebijakan.
Tabel 3.2.
Kontribusi Investasi terhadap PDRB menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 200� (dalam %)
No Provinsi
Proporsi Investasiterhadap
PDRB
No Provinsi
Proporsi Investasiterhadap
PDRB
1 Kepulauan Riau 45.49% 18 Sulawesi Tengah 17.68%2 Kalimantan Tengah 34.91% 19 Papua 17.19%3 DKI Jakarta 34.53% 20 Kep. Bangka Belitung 16.83%4 Gorontalo 33.91% 21 Lampung 16.74%5 Irian Jaya Barat 30.07% 22 Jawa Barat 16.67%6 Kalimantan Barat 29.75% 23 Sumatera Utara 16.66%7 DI. Yogyakarta 29.35% 24 Jawa Tengah 16.63%8 Riau 24.48% 25 Jambi 14.86%9 Nusa Tenggara Barat 24.34% 26 Kalimantan Timur 14.75%
10 Sulawesi Tenggara 24.24% 27Nanggroe Aceh Darussalam
13.49%
11 Banten 23.13% 28 Bali 13.44%12 Nusa Tenggara Timur 21.56% 29 Kalimantan Selatan 10.13%13 Sumatera Selatan 21.21% 30 Sulawesi Barat 9.09%14 Sulawesi Selatan 19.35% 31 Bengkulu 8.51%15 Sumatera Barat 18.48% 32 Maluku 3.48%16 Jawa Timur 18.15% 33 Maluku Utara 3.32%17 Sulawesi Utara 18.12%
Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik, 2006Catatan: Dihitung pada data atas dasar harga konstan Tahun 2000
Menurut jenis investasi, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) sebagian besar sangat dominan berada di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI). Dalam periode tahun 2001 sampai September 2006, realisasi investasi di wilayah ini sekitar 98 persen untuk PMDN dan 99 persen untuk PMA. Konsentrasi investasi di KBI berada di Pulau Jawa, yang porsinya mencapai 50 persen untuk PMDN dan sekitar 7080 persen untuk
Sebagian besar provinsi memiliki proporsi investasi
lebih rendah dibanding rata-rata
nasional.
Realisasi penanaman modal sebagian besar
sangat dominan berada di wilayah
Kawasan Barat Indonesia (KBI).
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 11
PMA secara nasional. Pulau Sumatera adalah wilayah kedua yang menjadi lokasi berinvestasi, namun dengan selisih yang cukup besar bila dibandingkan dengan Pulau Jawa, yaitu sekitar 40 persen untuk PMDN dan sekitar 13 persen untuk PMA (lihat Lampiran 1). Investasi di Pulau Jawa khususnya dan KBI umumnya telah mendukung pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil khususnya pada periode sebelum krisis 1997/1998.
(2) Kendala dan Tantangan Investasi di Daerah
Dalam era otonomi daerah, daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, memilih pimpinan, mengelola aparatur daerah, memungut pajak dan retribusi daerah, mengelola kekayaan daerah dan juga dapat mendapatkan sumber pembiayaan yang berasal dari daerah sendiri yang sah. Selain itu, daerah mempunyai kewajiban untuk menyediakan layanan publik dan membangun daerah. Bagi daerah yang kurang siap dengan otonomi, kewajiban tersebut akan menjadi beban berat dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Namun, apabila daerah telah siap, pelaksanaan otonomi daerah akan menjadi peluang bagi percepatan pembangunan daerah.
Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa belum semua daerah dapat melaksanakan otonomi dengan sebaikbaiknya. Hal tersebut terlihat dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama terkait dengan permasalahan regulasi (peraturan daerah), serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya keuangan melalui pengeluaran atau belanja daerah. Dengan kewenangan yang dimiliki, daerah menerbitkan dan memberlakukan Perda baru, khususnya terkait dengan pungutan pajak dan retribusi daerah yang sering tidak sejalan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di atasnya, dan menambah beban bagi masyarakat dan dunia usaha di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, sumber daya keuangan yang dimiliki daerah juga belum dialokasikan dan didistribusikan secara efisien dan efektif, baik dalam penyediaan barang dan pelayanan publik maupun dalam mendorong kinerja sektor riil di daerah.
Belum semua daerah dapat melaksanakan otonomi dengan sebaik-baiknya.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 12
Perda bermasalah yang muncul pada awal pelaksanaan desentralisasi mengakibatkan terjadinya ekonomi biaya tinggi di daerah, rendahnya investasi baru yang masuk ke daerah dan lemahnya daya saing usaha. Perda yang bermasalah tersebut mungkin disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama, Perdaperda tersebut sebenarnya merupakan pelaksanaan dari undangundang (UU) mengenai pajak dan retribusi daerah, tetapi Perdaperda tersebut memberikan penafsiran yang salah terhadap UU tersebut. Akibat penafsiran yang salah tersebut, suatu aktivitas yang seharusnya tidak terkena pajak atau retribusi daerah menurut pengertian UU pajak dan retribusi daerah ternyata dikenakan pajak atau retribusi daerah.
Kedua, Perdaperda tersebut memang dibuat untuk menciptakan pajak atau retribusi baru yang tidak ada dalam UU yang berlaku seperti sumbangan wajib, pajak ekspor (retribusi terhadap hasil bumi daerah yang dijual ke luar daerah), pajak komoditas (pajak yang dikenakan terhadap komoditas daerah tertentu dan bertentangan dengan UU pajak nasional), serta retribusi tenaga kerja (pungutan terhadap perusahaan yang memakai tenaga kerja bukan lokal dan dapat mengganggu pergerakan orang antardaerah). Hal ini akan berdampak terhadap memburuknya iklim usaha dan menghambat upaya pengembangan ekonomi. Perda bermasalah juga memicu reaksi publik yang menganggap bahwa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ternyata hanya menciptakan hambatan birokratis dan beban pungutan bagi perusahaan yang berlokasi di daerah. Muncul juga pendapat yang menyatakan bahwa desentralisasi seolaholah tidak bermanfaat atau bahkan mengganggu upaya pemulihan perekonomian nasional.
Dunia usaha, terutama para pengusaha dan investor di daerah banyak yang mengeluhkan keberadaan Perdaperda yang bermasalah tersebut. Keluhan utama adalah ketidakpastian mengenai besarnya jumlah yang harus dibayar dan kerumitan administrasi yang ditimbulkan oleh begitu banyaknya jenis pajak dan retribusi daerah. Dari sisi Pemerintah Daerah, keberadaan Perdaperda tersebut tanpa disadari telah menurunkan daya saing perekonomian daerah.
Perda bermasalah mengakibatkan
terjadinya ekonomi biaya tinggi,
rendahnya investasi baru dan lemahnya
daya saing usaha.
Dunia usaha, banyak yang mengeluhkan
keberadaan Perda-perda yang
bermasalah tersebut
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 13
Terbatasnya sumber daya keuangan yang dimiliki daerah dan besarnya tanggung jawab daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya seringkali menjadi alasan penyebab munculnya Perdaperda yang bermasalah. Dengan relatif kecilnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominasi dana perimbangan yang mencakup dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi khusus (DAK)) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagian besar daerah masih mengandalkan pada alokasi dana perimbangan sebagai sumber utama. Kondisi ini akhirnya memaksa daerah untuk menempuh berbagai cara dalam meningkatkan PAD yang tidak sejalan dengan UU No. 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tanpa ada upaya melakukan efisiensi.
Pada saat ini Pemerintah Pusat (cq. Departemen Dalam Negeri) telah mengevaluasi sebanyak 5.550 Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak lebih dari 1.200 Perda direkomendasikan untuk dibatalkan. Sehubungan dengan itu telah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan 600 Perda tersebut, sedangkan sisanya masih dalam proses pembatalan.
Di samping itu, terdapat sekitar 130 Perda tentang Pungutan Daerah yang Terkait dengan Pelaksanaan Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, yang telah dievaluasi oleh Pemerintah Pusat. Perdaperda tersebut mengatur pungutan berkaitan dengan menara telekomunikasi, jembatan timbang, dan lalu lintas barang. Dari jumlah tersebut, 130 Perda telah dibatalkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan 60 Perda masih dalam proses pembatalan.
Berbagai bentuk peraturan yang menghambat proses mendapatkan usaha akan mengganggu upaya meningkatkan investasi di daerah. Dalam lingkup global, laporan ”Doing Business in 2005” yang dipublikasikan oleh World Bank dan the International Finance Corporation melakukan perbandingan antarnegara dalam hal kemudahan melakukan usaha. Laporan tersebut menyoroti aspek kemudahan memulai usaha, ketenagakerjaan (sistem rekrutmen dan pemutusan hubungan kerja), sertifikasi properti, akses perkreditan, perlindungan terhadap investor,
Terbatasnya sumber daya keuangan yang dimiliki daerah dan besarnya tanggung jawab daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya seringkali menjadi alasan penyebab munculnya Perda-perda yang bermasalah.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 1�
penegakan kontrak, dan penutupan usaha. Dalam hal kemudahan memulai usaha, proses perijinan di Indonesia masih memerlukan pembenahan untuk dapat bersaing dengan negaranegara tetangga di Asia (lihat Tabel 3.3). Jumlah prosedur perijinan di Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dibanding negaranegara Asia lainnya. Namun, jumlah hari yang diperlukan untuk memperoleh ijin usaha di Indonesia ternyata termasuk yang paling lama. Begitu pula biaya yang diperlukan di Indonesia termasuk yang termahal dibanding negaranegara tetangga.
Tabel 3.3
Perbandingan Kemudahan Memulai Usaha Negara-Negara
di Kawasan Asia Tenggara, China, dan India
No. Negara Jumlah Prosedur
Waktu (hari)
Biaya (% pendapatan
perkapita)
Modal Minimum (% pendapatan
perkapita)
1. Cambodia 11 94 480.1 394.02. China 12 41 14.5 1104.23. India 11 89 49.5 0.04. Indonesia 12 151 130.7 125.65. Lao PDR 9 198 18.5 28.56. Malaysia 9 30 25.1 0.07. Philippines 11 50 19.5 2.28. Singapura 7 8 1.2 0.09. Thailand 8 33 6.7 0.010. Vietnam 11 56 28.6 0.0
Sumber: World Bank & IFC, 2005
Kendala yang dihadapi oleh para pelaku usaha atau investor di tingkat nasional dan daerah ternyata berbeda. Hasil Studi Bank Dunia (2006) menyebutkan bahwa persepsi para pelaku usaha di tingkat nasional menyoroti masalah kepastian hukum, stabilitas ekonomi makro, dan perijinan sebagai tiga hambatan paling utama dalam melakukan usaha. Hambatan lain yang mengurangi minat investasi adalah masalah keamanan, perpajakan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur.
Persepsi pelaku usaha di perdesaan tentang perijinan usaha menyebutkan hambatan dalam usaha, yaitu infrastruktur, akses perkreditan, dan pemasaran. Hambatan lainnya adalah pungutan liar, perijinan, ketenagakerjaan, stabilitas ekonomi makro, serta kepastian hukum dan
Para pelaku usaha di tingkat nasional
menyoroti masalah kepastian hukum, stabilitas ekonomi
makro, dan perijinan sebagai
tiga hambatan paling utama dalam
melakukan usaha.
Persepsi pelaku usaha di perdesaan
tentang perijinan usaha menyebutkan
hambatan dalam usaha,
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 1�
berusaha. Berbagai kendala tersebut menegaskan perlunya prioritas kebijakan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memperbaiki iklim investasi.
Selain itu, berbagai peraturan perundangundangan telah menghambat perdagangan antardaerah. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam membuat dan memberlakukan peraturan daerahnya sendiri memungkinkan timbulnya hambatan bagi perdagangan antardaerah, baik berupa distorsi pasar maupun non pasar. Distorsi pasar terdiri dari pajak dan retribusi daerah yang dikenakan pada komoditi yang diperdagangkan, sedangkan distorsi non pasar terdiri dari regulasi perdagangan yang mendorong terjadinya monopoli dan monopsoni, serta kuota perdagangan dan hambatan persaingan usaha.
Semua hambatan tersebut berpotensi meningkatkan biaya produksi, meningkatkan harga produk yang dibayar konsumen, yang berarti secara relatif menurunkan daya beli konsumen. Berbagai hambatan tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, tapi justru menimbulkan permasalahan baru, yaitu meningkatnya kemiskinan di daerah.
(3) Daya Tarik Investasi Daerah
Seiring dengan meningkatnya persaingan global, semua negara dan daerah berlombalomba menarik investor–domestik maupun asing–untuk menanamkan modal di wilayahnya. Pelaku usaha atau investor akan memilih lokasi yang paling memberikan kemudahan dan keuntungan bagi usahanya. Penciptaan iklim usaha yang kondusif merupakan elemen utama di dalam peningkatan investasi. Keberhasilan suatu negara/daerah menarik investor menggambarkan daya tarik dan daya saing negara/daerah yang bersangkutan.
Wilayah perairan dan daratan Indonesia yang luas mempunyai kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hampir setiap daerah memiliki potensi sumber daya alam yang khas, berbeda dengan daerah lainnya. Keragaman ini seharusnya merupakan modal potensial sebagai daya tarik investasi. Namun, menurut laporan
yaitu infrastruktur, akses perkreditan, dan pemasaran
Berbagai peraturan perundang-undangan telah menghambat perdagangan antardaerah.
Penciptaan iklim usaha yang kondusif merupakan elemen utama di dalam peningkatan investasi.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 1�
IFC tahun 2006, daya tarik investasi Indonesia masih berada di peringkat 135, tertinggal jauh dari Singapura di peringkat 1, Thailand di peringkat 18, Malaysia di peringkat 25, China di peringkat 93, Vietnam di peringkat 104, dan Filipina di peringkat 126.
Untuk melihat perbandingan daya tarik investasi di berbagai daerah di Indonesia, sejak tahun 2001 Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) secara berkala melakukan kajian daya tarik investasi daerah kabupaten/kota. Kajian ini dilakukan terhadap 134 Kabupaten/Kota di Indonesia. Kajian daya tarik investasi tersebut didasarkan pada persepsi para pengusaha yang mempunyai usaha di daerah baik pengusaha lokal, pengusaha nasional, maupun pengusaha multinasional. Fokus kajian KPPOD adalah persepsi pengusaha tehadap 5 (lima) faktor utama, yaitu (1) kelembagaan, (2) sosial politik, (3) ekonomi daerah, (4) tenaga kerja dan produktivitas, dan (5) infrastruktur fisik. Dari setiap faktor tersebut kemudian dipilih variabel dan indikator yang relevan, dan dilakukan pembobotan untuk masingmasing faktor utama, variabel dan indikator. Berbagai faktor, variabel, dan indikator penentu daya tarik investasi serta nilai bobotnya dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3
Daya Tarik Investasi Daerah Berdasarkan Persepsi Dunia Usaha
(sumber: KPPOD, 200�)
Gambar 3.3 Daya Tarik Investasi Daerah Berdasarkan Persepsi DuniaUsaha (sumber : KPPOD, 2006)
DAYA TARIK INVESTASI DAERAH
KELEMBAGAAN KEAMANAN,POLITIK, SOSBUD
EKONOMI DAERAH TENAGA KERJA INFRASTRUKTUR FISIK
KEPASTIAN HUKUM
APARATUR &PELAYANAN
KEBIJAKANDAERAH
KEPEMIMPINANLOKAL
KEAMANAN
POLITIK
SOSIAL BUDAYA
POTENSI EKONOMI
STRUKTUREKONOMI
KETERSEDIAANTENAGA KERJA
KUALITAS TENAGAKERJA
BIAYA TENAGAKERJA
KETERSEDIAANINFRASTRUKTUR
KUALITASINFRASTRUKTUR
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 17
(�) Daya Saing Daerah
Daya saing dapat dilihat menurut wilayah (negara atau daerah) dan menurut sektor atau pelaku (industri dan perusahaan). Kedua pemahaman tersebut saling berkaitan. Daya saing suatu industri atau perusahaan akan menentukan daya saing negara atau daerah. Daya saing negara atau daerah akan memberi pengaruh terhadap kemampuan suatu industri dan perusahaan.
Daya saing suatu negara sering dikaitkan dengan kemampuan suatu negara dalam memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain. Pengertian ini dipeluas oleh World Economic Forum (WEF), yaitu kemampuan suatu perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globalitas dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan hubunganhubungan tersebut kedalam suatu model ekonomi dan sosial.
Daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional. Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan memasarkan barang dan jasa disebut mempunyai daya saing tinggi. Kini, lingkup persaingan tidak lagi hanya dalam wilayah suatu negara, tetapi juga dengan wilayah yang berada di negara lain.
Daya saing perusahaan adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan suatu produk yang diminati konsumen relatif terhadap perusahaan lain. Daya saing perusahaan ditentukan oleh tingkat produktivitas perusahaan itu, yaitu nilai output yang dihasilkan oleh setiap tenaga kerja perusahaan itu. Dalam hal ini terdapat hubungan saling mempengaruhi antara pemerintah dan dunia usaha.
Daya saing suatu negara sering dikaitkan dengan kemampuan suatu negara dalam memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 1�
Daya saing nasional ditentukan oleh daya saing daerahdaerah yang ada di negara tersebut. Selanjutnya daya saing negara/daerah ditentukan oleh daya saing perusahaanperusahaan yang ada di negara/daerah tersebut dan berbagai variabel lainnya. Kualitas kebijakan dan kelembagaan di suatu negara dan daerah akan mempengaruhi kemampuan perusahaanperusahaan di wilayahnya meningkatkan produktivitas.
Dengan pengertian itu, daya saing negara/daerah tidak hanya ditentukan oleh daya saing perusahaan saja. Yang bersaing memang bukan negara/daerah, tetapi perusahaan atau industri yang ada dalam negara/daerah yang bersangkutan dengan perusahaan atau industri yang berada di negara/daerah lain. Suatu negara/daerah yang memiliki daya saing tinggi belum tentu seluruh perusahaan dan industri di negara/daerah tersebut memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional. Daya saing negara/daerah lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Bila perusahaan kalah bersaing, maka perusahaan bisa bangkrut dan selanjutnya keluar dari bisnis yang digelutinya. Namun, negara/daerah tidak memiliki bottom line atau tidak akan pernah “keluar dari arena persaingan”.
Kotak 3.2. Posisi Daya Saing Indonesia
Menurut catatan WEF, posisi daya saing Indonesia menurun dari urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti pada tahun 2004 menjadi yang ke-71 dari 117 negara pada tahun 2005. Meski posisi tersebut masih lebih baik dari posisi ke-72 pada tahun 2003, namun posisi tersebut relatif lebih buruk dibanding beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN. Menurut tolok ukur WEF, terdapat 5 (lima) faktor penting yang menonjol. Faktor-faktor tersebut adalah 3 (tiga) faktor pada tataran makro, yaitu: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan usaha.
Daya saing nasional ditentukan oleh daya saing daerah-daerah
yang ada di negara tersebut.
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 1�
Menurut catatan IMD yang menerbitkan World Competitiveness Report setiap tahun, posisi Indonesia turun dari urutan 58 pada tahun 2004 menjadi 59 pada tahun 2005 dari 60 negara yang diteliti. Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing Indonesia disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (1) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (2) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (3) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (4) terbatasnya ketersediaan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) juga mengembangkan indikator Competitiveness Industrial Performance (CIP) yang diterapkan untuk mengukur peringkat daya saing industri manufaktur di 93 negara dalam periode 1980 - 2000. Dalam Industrial Development Report 2004, ukuran indikator CIP tersebut terdiri dari 4 (empat) variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah industri manufaktur per kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c) intensitas industrialisasi yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada PDB dan kontribusi industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada sektor industri manufaktur, dan (d) kualitas ekspor yang diukur dari kontribusi ekspor manufaktur dalam total ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi menengah dan tinggi dalam nilai ekspor industri manufaktur. Hasil pemeringkatan menunjukkan bahwa kinerja industri manufaktur Indonesia meningkat dari urutan ke-75 pada tahun 1980 menjadi urutan ke-54 pada tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000. Namun, peningkatan posisi Indonesia memang relatif terpuruk dibanding negara pesaing utama di Asia Timur (termasuk ASEAN). Dengan memperhatikan perkembangan perekonomian dan masih terpuruknya kegiatan sektor produksi, peringkat sektor industri manufaktur di Indonesia kembali turun setelah tahun 2000. Meskipun kondisi ekonomi makro makin membaik dalam beberapa tahun terakhir, prestasi di atas belum cukup membawa ke arah pemulihan aktivitas sektor produksi, terutama industri manufaktur, ke tataran sebelum krisis apalagi mendongkrak peningkatan daya saingnya.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 20
Keunggulan daya saing daerah penting karena dua alasan. Pertama, untuk menyadarkan bahwa keunggulan kompetitif suatu perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada kemampuan internal masingmasing perusahaan. Ada tempattempat di mana orang atau perusahaan lebih mudah menciptakan usaha yang kompetitif dibanding tempat lain. Hal ini tidak hanya berlaku untuk negara, tetapi juga berlaku untuk wilayah dalam suatu negara.
Kedua, ada dua tipe keunggulan kompetitif yang harus dikenali, yaitu keunggulan kompetitif statis dan keunggulan kompetitif dinamis. Keunggulan kompetitif statis merujuk pada faktor lokasi geografis, sedangkan keunggulan kompetitif dinamis merujuk pada permasalahan tenaga kerja (seperti upah, kualitas, kedisiplinan, dan produktivitas), iklim usaha, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap industri di daerah itu. Lokasi geografis merupakan faktor daya saing yang penting, tetapi hal tersebut juga dimiliki banyak daerah lain. Di samping itu ke depan kemajuan teknologi dan globalisasi lambat laun akan mengurangi signifikansi faktor lokasi. Dalam kondisi demikian, faktorfaktor lain seperti kualitas tenaga kerja dan iklim usaha akan menjadi keunggulan kompetitif yang penting terutama ketika di daerah lain hal itu merupakan masalah.
Dalam era desentralisasi dan globalisasi, peningkatan daya saing yang berbasis pada pengetahuan, teknologi dan inovasi menjadi kian penting dalam pengembangan ekonomi daerah. Dalam globalisasi, tatanan sistem ekonomi baru yang dihadapi memiliki ciri yang cukup berbeda dengan tatanan ekonomi lama. Perbedaan tersebut terlihat baik dari karakteristiknya maupun peranan dari para pelakunya. Dalam tatanan ekonomi baru, persaingan yang terjadi adalah persaingan global, persaingan antardaerah tinggi, dan sumber keunggulan daya saing berasal dari inovasi, kualitas, waktu penyampaian ke pasar, dan biaya.
Daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi, dan vitalitas ekonomi merupakan hasil langsung dari persaingan industri lokal. Berbagai faktor yang dapat menentukan daya saing antara lain:
Peningkatan daya saing yang berbasis pada pengetahuan,
teknologi dan inovasi menjadi
kian penting dalam pengembangan ekonomi daerah
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 21
1. Kondisi Faktor seperti tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, sumber daya alam, infrastruktur khusus yang tersedia, dan hambatanhambatan tertentu;
2. Kondisi Permintaan seperti permintaan sektor rumah tangga atau pelangganpelanggan lokal akan produk berkualitas yang mendorong perusahaanperusahaan untuk berinovasi;
3. Dukungan Industri Terkait: industriindustri pemasok lokal yang kompetitif yang menciptakan infrastruktur bisnis dan memacu inovasi dan memungkinkan industriindustri untuk spin off;
4. Strategi, Struktur, dan Persaingan Perusahaan (Iklim Usaha): tingkat persaingan antar industri lokal yang lebih memberikan motivasi dibanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan “budaya” lokal yang mempengaruhi perilaku masingmasing industri dalam melakukan persaingan dan inovasi;
5. Peranan Pemerintah: Peristiwa historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan secara signifikan dalam peningkatan daya saing daerah; dan
6. Kemampuan dan sinergi dari para pelaku usaha, yaitu usahawan/pengusaha, profesional, dan pekerja/buruh.
Sementara itu, konsep dan pengukuran daya saing daerah pernah dikeluarkan Bank Indonesia pada tahun 2002, yang menekankan pada perkembangan ekonomi daerah. Tujuan pengukuran daya saing daerah ini adalah melakukan identifikasi potensi dan prospek ekonomi daerah dan menetapkan peringkat daya saing antar daerah di Indonesia. Dengan pengukuran tersebut, pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan memperbaiki daya saing daerah sesuai dengan kewenangan.
Dalam konsep ini, daya saing daerah diartikan sebagai kemampuan perekonomian daerah dalam meningkatkan kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Dengan mengacu pada pengertian tersebut, pengukuran daya saing daerah menggunakan 9 (sembilan) indikator utama, yaitu (1) perekonomian daerah, (2) keterbukaan, (3) sistem keuangan, (4) infrastruktur dan sumber daya alam, (5) ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) sumber daya manusia, (7) kelembagaan, (8) governance
Daya saing daerah diartikan sebagai kemampuan perekonomian daerah dalam meningkatkan kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 22
dan kebijakan pemerintah, dan (9) manajemen dan ekonomi mikro. Masingmasing indikator utama tersebut diuraikan ke dalam sub indikator, dan sub indikator diuraikan kembali ke beberapa variabel penentu daya saing daerah (lihat Tabel 3.4).
Tabel 3.�
Indikator dan Sub Indikator Penentu Daya Saing Daerah
INDIKATOR UTAMA SUB-INDIKATORJUMLAH
VARIABELDESKRIPSI
I. Perekonomian Daerah
• Nilai Tambah• Invetasi • Tabungan• Konsumsi • Kinerja Sektoral• Biaya Hidup
22 variabel Merupakan ukuran kinerja secara umum perekonomian daerah secara makro
II. Keterbukaan • Internasionalisasi• Perdagangan Antar Daerah
26 variabel Mengukur seberapa jauh perekonomian daerah terbuka terhadap perdagangan internasional dan perdagangan antar daerah
III. Sistem Keuangan • Biaya Modal• Ketersediaan Modal• Efisiensi Sektor Perbankan• Efisiensi Sektor Keuangan Non-Bank
12 variabel Mengukur seberapa baik sistem finansial, perbankan maupun lembaga keuangan non-bank dapat memfasilitasi aktivitas perekonomian daerah
IV. Infratruktur dan Sumber Daya Alam
• Infrastruktur Fisik• Infrastruktur Informasi dan Komunikasi• Sumber Daya Alam
24 variabel Mengukur seberapa besar sumber daya: modal fisik, letak geografis, sumber daya alam, mendukung aktivitas perekonomian daerah
V. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
• Kegiatan Penelitian• SDM di Bidang Teknologi
7 variabel Mengukur kemampuan daerah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya dalam kegiatan ekonomi yang meningkatkan nilai tambah
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 23
Kapasitas dan kualitas institusi Pemerintah Daerah merupakan syarat penting dari iklim investasi yang kondusif.
INDIKATOR UTAMA SUB-INDIKATORJUMLAH
VARIABELDESKRIPSI
VI. Sumber Daya Manusia
• Karakteristik Penduduk• Ketenagakerjaan• Pendidikan• Kualitas Hidup• Perilaku dan Nilai Sosial
29 variabel Mengukur ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia yang meningkatkan daya saing perekonomian daerah.
VII. Kelembagaan • Aspek Hukum dan Keamanan• Aspek Sosial, Politik, dan Budaya
17 variabel Mengukur seberapa kondusif iklim sosial, politik, hukum dan aspek keamanan dalam mendukung perekonomian daerah.
VIII. Governance dan Kebijakan Pemerintah
• Prediktabilitas Peraturan dan Kebijakan• Hambatan Birokrasi• Efisiensi Sektor Publik• Kebijakan Pemerintah
24 variabel Mengukur kualitas administrasi pemerintah daerah dalam menyediakan infrastruktur fisik, peraturan serta aturan main dari kompetisi.
IX. Manajemen dan Ekonomi Mikro
• Produktivitas• Efisiensi Manajemen• Budaya Perusahaan
32 variabel Mengukur bagaimana perusahaan/industri di daerah tersebut dikelola secara inovatif, menguntungkan dan bertanggung jawab.
Sumber:Bank Indonesia, 2002
Survei yang dilakukan oleh KPPOD (2006) mengindikasikan bahwa kapasitas dan kualitas institusi Pemerintah Daerah merupakan syarat penting dari iklim investasi yang kondusif. Selain itu, syarat penting lainnya adalah kondisi sosial, politik, dan keamanan setempat. Kedua faktor tersebut bahkan dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan potensi perekonomian daerah itu sendiri. Dari hasil survei ini dapat disimpulkan bahwa upaya memangkas ekonomi biaya tinggi di tingkat daerah harus dimulai dari Pemerintah Daerah itu sendiri.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 2�
3.3 KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH YANG BERPENGARUH TERHADAP INVESTASI
Untuk mempercepat perbaikan iklim bisnis dan kinerja sektor riil di daerah, harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya persaingan antardaerah dalam menarik investasi sebanyakbanyaknya ke daerah tersebut. Pemerintah Daerah dituntut untuk selalu giat dalam menarik investasi sekaligus mempertahankan dan meningkatkan investasi yang sudah ada di daerah masingmasing. Berbagai kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk Perdaperda diharapkan mendukung penciptaan iklim usaha yang kondusif, dan memberikan berbagai insentif serta kemudahan bagi investor dalam melakukan usaha.
Dengan otonomi yang dimiliki, peran pemerintah daerah kini menjadi sama pentingnya dengan pemerintah pusat dalam peningkatan investasi. Pemerintah Daerah dituntut dapat berkreasi dalam menangani permasalahan iklim investasi di daerah masingmasing melalui berbagai kebijakan yang mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat. Pemerintah Daerah juga dituntut untuk dapat bersaing dengan Pemerintah Daerah lainnya dalam meningkatkan daya tarik investasi daerah. Hal ini disebabkan oleh motivasi pelaku usaha atau investor untuk berpindah atau melakukan investasi di daerah lain yang memiliki daya tarik lebih tinggi. Investor akan memilih lokasi yang menawarkan peluang keuntungan lebih besar dengan risiko lebih kecil.
Efektivitas kebijakan pemerintah daerah dalam meningkatkan investasi dipengaruhi oleh instrumen kebijakan, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Instrumen kebijakan untuk meningkatkan investasi berupa: (1) peraturan perundangan dalam kerangka regulasi, (2) pengelolaan belanja daerah dalam kerangka investasi dan layanan publik, antara lain untuk penyediaan layanan terpadu. Mengingat jumlahnya yang mayoritas dan kontribusinya yang besar terhadap perekonomian nasional dan daerah selama ini, maka sangatlah wajar jika fokus perhatian diberikan kepada upaya pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah dan koperasi, yang dilakukan antara lain dengan pendekatan pengembagan sektor unggulan melalui klaster industri.
Kebijakan pemerintah daerah
dalam meningkatkan investasi
dipengaruhi oleh instrumen kebijakan,
pelaksanaan, dan pengendalian
terhadap pelaksanaan
kebijakan tersebut.
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 2�
(1) Kerangka Regulasi
Globalisasi telah membawa persaingan dalam menarik investasi dan persaingan merebut pasar, baik lokal maupun luar negeri, semakin ketat. Indonesia sekarang tidak hanya bersaing dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina, tetapi juga China, Vietnam, dan mungkin akan menyusul Kamboja. Dengan melihat kondisi tersebut, Indonesia harus lebih aktif dalam menarik investasi. Untuk itu, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan paket kebijakan investasi berupa deregulasi dalam lima bidang, yakni masalah umum (termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan daerah dan pusat), kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, dan usaha kecil, menengah, dan koperasi. Paket kebijakan investasi tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2006 yang berlaku sejak akhir tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Dalam setiap bidang paket kebijakan investasi tersebut terdapat kebijakan, program, tindakan, keluaran, tenggat waktu, dan penanggung jawab. Paket kebijakan tersebut disusun melalui konsultasi dengan kalangan dunia usaha dalam dan luar negeri serta masyarakat internasional yang menaruh perhatian atas kondisi iklim investasi di tanah air.
Pemerintah Daerah perlu melakukan berbagai pembenahan dan pengembangan insentif investasi di daerah masingmasing untuk mendukung pelaksanaan paket kebijakan tersebut.
Sehubungan dengan itu, Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam pasal 176, telah memberikan payung hukum bagi diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi. Ketentuan dalam pasal tersebut mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah, dalam rangka meningkatkan perekonomian daerahnya, dapat memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa insentif dan/atau kemudahan investasi tersebut mencakup antara lain penyediaan sarana, prasarana, dan stimulan, pemberian modal usaha, pemberian bantuan teknis, keringanan biaya dan percepatan pemberian ijin.
Globalisasi telah membawa persaingan dalam menarik investasi dan persaingan merebut pasar, baik lokal maupun luar negeri, semakin ketat.
Pemerintah Pusat mengeluarkan Paket kebijakan investasi tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2006.
Pemerintah Daerah perlu melakukan berbagai pembenahan dan pengembangan insentif investasi di daerah masing-masing untuk mendukung pelaksanaan paket kebijakan tersebut.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 2�
Pemerintah daerah juga perlu melakukan sinkronisasi dan koordinasi antarlembaga untuk memadukan tugas dan fungsi serta kebijakan yang bersifat lintas sektor. Bagi Pemerintah Daerah, persaingan yang makin tajam membuat tugas ke depan semakin berat. Dalam hal ini, daerah harus menyiapkan diri sedemikian rupa sehingga mampu menjadi daerah tujuan ivestasi dan pusat pengembangan industri yang tidak dihalangi oleh batas wilayah (daerah dan negara).
Gambar 3.4. Kerangka Kebijakan Investasi daerah
KualitasInstitusi Daerah
“Perencanaan Strategis”
untuk Promosi dan Pengelolaan
Investasi Daerah:
- Integrasi PerencanaanPembangunan Daerah
- Koordinasi AntarStakeholders
- Identifikasi Produk Utama
InvestasiDaerah
Sektor
Pendukung:
- Infrastruktur- Pendidikan- Ramah
Lingkungan
MembangunKapasitas Pemda:
- ReformasiBirokrasi
-
Koordinasi
Kebijakan dalam
Pengelolaan Investasi
Daerah
- Pajak dan RetribusiDaerah
Kebijakan dalam
Promosi Investasi
Daerah
- Pemasaran Daerah
PertumbuhanEkonomi Daerah
Gambar 3.� Kerangka Kebijakan Investasi Daerah
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 27
Komunikasi, koordinasi dan konsultasi perlu pula dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan para pengusaha (investor). Pemerintah Daerah harus menyadari bahwa pengusaha adalah pelaku utama perekonomian daerah dan peningkatan pendapatan daerah hanya dapat dilakukan dengan dukungan dunia usaha. Para pengusaha akan memandang kebijakan otonomi daerah dan paket kebijakan investasi yang dikeluarkan merupakan sebuah peluang dan sekaligus tantangan. Kebijakan tersebut menjadi sebuah peluang apabila Pemerintah Daerah memiliki persepsi dan konsistensi dalam memajukan investasi dan kegiatan usaha secara sungguhsungguh. Sebaliknya, kebijakan tesebut akan menjadi sebuah tantangan apabila pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan munculnya ketidaksesuaian antara kebijakan yang dikeluarkan dengan kebutuhan pelaku usaha. Hal ini terjadi apabila Pemerintah Daerah mengabaikan suara dunia usaha dalam merencanakan dan menerapkan kebijakan. Untuk itu, Pemerintah Daerah dan para pengusaha/investor diharapkan dapat duduk bersama untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Dalam hubungan ini tumbuhnya berbagai forum kemitraan lintas pemangku kepentingan (multi stakeholders) di daerah patut dihargai dan didukung.
(2) Kerangka Anggaran
Bagi masyarakat, Pemerintah Daerah dianggap berhasil apabila dapat memberikan layanan publik yang memadai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Daerah harus bekerja keras untuk menumbuhkan investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Investor potensial dapat berasal dari pengusaha daerah itu sendiri maupun pengusaha luar daerah, bahkan pengusaha luar negeri. Siapapun calon investornya, syarat utama berkembangnya investasi di suatu daerah adalah adanya iklim investasi yang sehat dan kondusif, sehingga tidak terjadi ekonomi biaya tinggi. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu mengelola APBD secara efisien, efektif, relevan, ekonomis dan tanpa kebocoran sebagai instrumen untuk menggerakkan perekonomian daerah, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu mengelola APBD secara efisien dan efektif tanpa kebocoran sebagai instrumen untuk menggerakkan perekonomian daerah, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Komunikasi, koordinasi dan konsultasi perlu pula dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan para pengusaha (investor).
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 2�
Beberapa daerah telah berhasil melakukan efisiensi dan efektivitas pengeluaran/belanja, dan bahkan akhirnya dapat memberikan beberapa pelayanan publik yang lebih baik terhadap masyarakat, walaupun pada awalnya sulit untuk dilakukan. Pengelolaan APBD perlu mempertimbangkan fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi secara efisien dan efektif dalam membiayai pembangunan daerah. Dari fungsi alokasi, belanja daerah dilakukan untuk menyediakan barang dan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak di daerah dan tidak dapat disediakan sendiri oleh masyarakat daerah. Selain itu, belanja daerah juga dapat dialokasikan dalam kerangka investasi. Investasi yang dilakukan harus pada sektorsektor prioritas yang dimiliki daerah sehingga diharapkan dapat menggerakkan perekonomian daerah, menciptakan lapangan kerja baru, dan akhirnya memperbaiki pendapatan masyarakat setempat. Sektor prioritas yang dimaksud adalah sektor infrastruktur dan sektorsektor yang mampu memberikan nilai tambah dan output yang cukup tinggi bagi perekonomian serta dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Selain untuk investasi, belanja daerah juga diharapkan dapat dialokasikan kepada halhal yang dapat mendorong kinerja sektor riil, seperti misalnya perbaikan sistem pelayanan, infrastruktur, pelatihan keterampilan tenaga kerja, penyediaan dana stimulan, pemberian modal usaha dan bantuan teknis, dan lainlain.
Dari fungsi distribusi, belanja daerah juga harus berpihak terhadap masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah dan wilayah yang masih tertinggal. Masyarakat miskin dan wilayah yang masih tertinggal perlu penanganan khusus melalui berbagai program pembangunan daerah yang lintas sektor. Fungsi yang dijalankan Pemerintah Daerah mampu menciptakan distribusi pendapatan dan pembangunan yang merata, baik antar individu masyarakat maupun antar bagian wilayah di daerahnya.
Fungsi stabilisasi dari belanja daerah dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menjaga kestabilan perekonomian daerah. Pada saat
Pengelolaan APBD perlu
mempertimbangkan fungsi alokasi, distribusi dan
stabilisasi secara efisien dan efektif dalam membiayai
pembangunan daerah. Dari fungsi
alokasi, belanja daerah dilakukan untuk
menyediakan barang dan pelayanan publik
yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak di daerah dan tidak
dapat disediakan sendiri oleh
masyarakat daerah.
Dari fungsi distribusi, belanja daerah juga
harus berpihak terhadap masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah dan
wilayah yang masih tertinggal.
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 2�
perekonomian daerah sedang lesu, Pemerintah Daerah dapat melakukan belanja daerah yang bersifat ekspansif untuk memacu perekonomian daerah sehingga hasilnya akan dapat meningkatkan peranan masyarakat dan swasta dalam perekonomian daerah. Kemudian pada saat perekonomian daerah bergerak cepat didukung oleh swasta, belanja Pemerintah Daerah perlu diarahkan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dengan mengutamakan pada penguatan jaringan pemasaran, pengembangan teknologi informasi dan pemeliharaan lingkungan.
(3) Peningkatan Kualitas Pelayanan
Dalam era persaingan global yang menuntut efisiensi dan akurasi, pelayanan birokrasi yang cepat, murah, dan berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan klien sudah menjadi kebutuhan umum. Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan, khususnya percepatan dan simplifikasi perijinan di daerah, pemerintah berusaha melakukan terobosan reformasi birokrasi dengan diberlakukannya Permendagri No. 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Beberapa kabupaten/kota telah menerapkan inovasi pelayanan prima sejak beberapa tahun sebelum peraturan tersebut disusun.
Saat ini, sekitar 80 kabupaten/kota telah melakukan berbagai upaya inovatif dalam membenahi kualitas pelayanan bagi investor dan masyarakatnya dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT). Pemerintah Daerah Sragen, Parepare, dan Sidoarjo telah memperoleh sertifikasi standar mutu menejemen ISO 9001:2000. Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut adalah mempercepat proses perijinan tidak lebih dari tujuh (7) hari. Hal ini lebih cepat dari ketentuan yang diatur dalam Kepmendagri selama 15 hari. Kecepatan, transparansi, dan keramahan petugas palayanan perijinan telah memberikan dampak positif bagi daerah yang bersangkutan.
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah misalnya telah mengembangkan kebijakan ramah investasi dengan mengembangkan kantor pelayanan
Fungsi stabilisasi dari belanja daerah dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menjaga kestabilan perekonomian daerah.
Kecepatan, transparansi, dan keramahan petugas palayanan perijinan telah memberikan dampak positif bagi daerah yang bersangkutan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 30
terpadu (KPT) yang dapat memberikan layanan one stop service atas 52 perizinan dan 10 jenis pelayanan administrasi kependudukan yang masuk dalam kategori non perizinan sejak akhir tahun 2002. Dampak dari kemudahan yang diberikan lewat KPT terlihat dari perbandingan kondisi ekonomi sebelum dan sesudah ada KPT (tahun 2002 dan 2003). Investasi industri mikro, kecil, dan menengah di Kabupaten Sragen meningkat dari Rp 30,7 miliar menjadi Rp 35,2 miliar (naik 16,6 persen). Investasi industri besar meningkat dari Rp 110 miliar menjadi Rp 394,8 miliar (naik 213 persen). Sedangkan penyerapan tenaga kerja sektor industri juga meningkat dari 28.976 orang menjadi 41.800 orang (naik 44,29 persen) (Kompas, 22 September 2006).
Kotak 3.3. Pelayanan Terpadu Sragen
Sejak dibangunnya KPT (Kantor Pelayanan Terpadu) di Sragen tahun 2002 jumlah perijinan yang dikeluarkan telah meningkat dari 2.027 pada tahun 2003 menjadi 3.170 pada tahun 2004, dan meningkat lagi menjadi 4.072 pada tahun 2005. Hingga tahun 2005, perusahaan yang telah memiliki legalitas usaha tercatat sebanyak 8.105 perusahaan. Hal ini lebih tinggi dari jumlah perusahaan yang tercatat pada tahun 2002 sebanyak 6.373 perusahaan. Nilai investasi meningkat dari Rp 592 miliar pada tahun 2002 menjadi Rp 703 miliar tahun 2004, dan Rp 955 miliar tahun 2005. Hal ini berdampak pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja dari 40.785 orang pada tahun 2002 menjadi 46.794 orang pada tahun 2005. Pendapatan Asli Daerah juga meningkat dari Rp 22,5 miliar pada tahun 2002 menjadi 43,5 miliar pada tahun 2004.
Pemerintah Kota Parepare juga melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan pelayanan terpadu. Seiring dengan penerapan UPT, PAD Kota Parepare telah meningkat dari Rp 8.017 miliar pada tahun 2002 menjadi Rp 1.340,2 miliar pada tahun 2004, dan hingga pertengahan tahun 2005 telah mencapai Rp 1.769,1 miliar.
Kotak 3.3. Pelayanan Terpadu Sragen
Sejak dibangunnya KPT (Kantor Pelayanan Terpadu) di Sragen tahun 2002 jumlah perijinan yang dikeluarkan telah meningkat dari 2.027 pada tahun 2003 menjadi 3.170 pada tahun 2004, dan meningkat lagi menjadi 4.072 pada tahun 2005. Hingga tahun 2005, perusahaan yang telah memiliki legalitas usaha tercatat sebanyak 8.105 perusahaan. Hal ini lebih tinggi dari jumlah perusahaan yang tercatat pada tahun 2002 sebanyak 6.373 perusahaan. Nilai investasi meningkat dari Rp 592 miliar pada tahun 2002 menjadi Rp 703 miliar tahun 2004, dan Rp 955 miliar tahun 2005. Hal ini berdampak pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja dari 40.785 orang pada tahun 2002 menjadi 46.794 orang pada tahun 2005. Pendapatan Asli Daerah juga meningkat dari Rp 22,5 miliar pada tahun 2002 menjadi 43,5 miliar pada tahun 2004.
Pemerintah Kota Parepare juga melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan pelayanan terpadu. Seiring dengan penerapan UPT, PAD Kota Parepare telah meningkat dari Rp 8.017 miliar pada tahun 2002 menjadi Rp 1.340,2 miliar pada tahun 2004, dan hingga pertengahan tahun 2005 telah mencapai Rp 1.769,1 miliar.
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 31
(�) Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Koperasi
Berbeda dengan usaha skala menengah dan besar yang terkonsentrasi di kotakota besar saja, UMKM tersebar luas di seluruh daerah. Keberadaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi berperan besar dalam penyediaan lapangan kerja dan penyediaan keperluan barang dan jasa dalam negeri. Keberadaan tersebut memberi petunjuk bahwa kebijakan pemberdayaan UMKM dan koperasi sangat strategis untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan bagi sebagian besar rakyat sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan.
Orientasi pemberdayaan UMKM dan koperasi mencakup dua fokus, yaitu pemberdayaan usaha mikro, dan pemberdayaan UKM dan koperasi. Pemberdayaan usaha mikro pada dasarnya diarahkan untuk mendukung penanggulangan kemiskinan dan peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah. Sedangkan pemberdayaan UKM dan koperasi diarahkan untuk menurunkan angka pengangguran dan mendorong ekspor bersamaan dengan upaya mendorong perekonomian daerah.
Dengan jumlah unit usaha yang sangat besar, pemberdayaan UMKM perlu dilaksanakan melalui langkahlangkah yang terencana, sistematis, institusional dan konsisten dengan didukung partisipasi masyarakat yang luas. Langkah pemberdayaan yang penting adalah membuka kesempatan berusaha, meningkatkan akses kepada sumberdaya produktif, dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia UMKM dan koperasi, terutama jiwa kewirausahaannya.
Perluasan kesempatan berusaha bagi UMKM dan koperasi diwujudkan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui upaya bersama pemerintah pusat dan daerah untuk (1) menyederhanakan proses perizinan usaha serta menyediakan adanya kepastian lokasi usaha; (2) mengurangi biaya transaksi, terutama menghapus biayabiaya pungutan yang tidak wajar; (3) memberikan perlindungan terhadap praktik
Keberadaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi berperan besar dalam penyediaan lapangan kerja dan penyediaan keperluan barang dan jasa dalam negeri
Dengan jumlah unit usaha yang sangat besar, pemberdayaan UMKM perlu dilaksanakan melalui langkah-langkah yang terencana, sistematis, institusional dan konsisten dengan didukung partisipasi masyarakat yang luas.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 32
praktik usaha yang curang; serta (4) memantau dan memperbaiki regulasi dan kebijakan baik sektoral maupun daerah yang menghambat perkembangan UMKM dan koperasi.
Peningkatan akses terhadap sumberdaya produktif meliputi akses kepada sumbersumber permodalan/pembiayaan, teknologi, pasar dan informasi. Pengembangan institusi/lembaga yang dapat menjalankan fungsi intermediasi berbagai sumberdaya produktif tersebut di seluruh daerah menjadi program penting agar UMKM dan koperasi dapat memanfaatkan peluang yang tersedia. Di samping itu, pelatihan dan pendampingan yang berkesinambungan bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia UMKM dan koperasi juga menjadi satu kesatuan dari upaya pemberdayaan tersebut.
Kotak 3.�. Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Selama periode 2002-2005, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) terus meningkat dari 40,88 juta usaha pada tahun 2002 menjadi 44,69 unit usaha pada tahun 2005. Peningkatan jumlah usaha terjadi baik untuk skala usaha kecil maupun menengah. Dengan jumlah tersebut, proporsi UKM terhadap jumlah total unit usaha di Indonesia mencapai 99,99 persen.
Tabel 3.�. Komposisi Skala Usaha Menurut Wilayah
SKALA USAHA
2002 2003 2004 2005
JMLH % JMLH % JMLH % JMLH %
Kecil 0,820,966 99.84 42,331,474 99.84 43,641,094 99.84 44,621,823 99.84
Menengah 60,618 0.15 63,546 0.15 66,318 0.15 67,765 0.15
UKM 40,881,584 99.99 42,395,020 99.99 43,707,412 99.99 44,689,588 99.99
Usaha Besar 3,628 0.01 3,894 0.01 4,068 0.01 4,171 0.01
Total 40,885,212 100.00 42,398,914 100.00 43,711,480 100.00 44,693,759 100.00
Sumber: BPS, 2005
Dari sisi investasi, jumlah investasi UKM juga meningkat dari Rp 149,87 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp 275,37 triliun pada tahun 2005. Demikian juga kontribusinya terhadap investasi nasional, peranan investasi usaha kecil meneningkat dari 18,37 persen pada tahun 2002 menjadi 18,94 persen pada tahun 2003, 19,42 persen pada 2004, dan meningkat lagi menjadi 20,45 persen pada tahun 2005. Secara keseluruhan, peranan investasi UKM terhadap investasi nasional pada tahun 2005 mencapai 45,91 persen. Sedangkan laju pertumbuhan investasi UKM pada tahun 2005 adalah 14,90 persen, lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan investasi usaha besar yang mencapai 6,18 persen.
Pembangunan Daerah, Peningkatan Investasi, dan Peningkatan Kesejahteraan
III - 33
(�) Pengembangan Klaster
Peningkatan daya saing suatu daerah dapat ditempuh dengan mengembangkan sektor unggulan berbasis pada sumberdaya lokal dengan didukung pengetahuan, teknologi dan informasi. Pengembangan sektor unggulan tersebut dilakukan melalui suatu perencanaan yang terfokus dan strategis pada suatu wilayah khusus yang dikenal sebagai klaster bisnis. Pengembangan suatu klaster ditujukan untuk memusatkan berbagai kegiatan usaha di kawasan tertentu yang satu sama lain saling melengkapi (komplementer), saling bergantung, dan saling bersaing dalam melakukan aktivitas bisnis. Perusahaan atau industri yang dikembangkan dalam suatu klaster bisnis umumnya berskala kecil dan menengah meliputi industri berbasis pertanian (agroindustri), industri kerajinan, industri pengolahan, industri teknologi dan informasi, dan lainlain. Perusahaan atau industri yang berusaha dalam wilayah khusus tersebut memiliki persamaan kebutuhan terhadap tenaga kerja, teknologi, dan infrastruktur.
Pengembangan klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam membangun ekonomi daerah secara lebih mantap, dan mempercepat pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Klaster industri meningkatkan hubungan antar berbagai industri dan lembaga yang terlibat di dalam klaster tersebut. Dalam konteks peningkatan daya saing, pengembangan klaster memberikan beberapa keuntungan. Pertama, klaster akan meningkatkan produktivitas melalui efisiensi dalam mengakses input produksi, kemudahan koordinasi, difusi teknologi, dan suasana kompetisi di tingkat lokal. Kedua, klaster akan mendorong lahirnya inovasi. Persaingan yang sehat antarperusahaan dalam suatu klaster akan memacu berbagai inovasi untuk menurunkan biaya produksi, meningkatkan mutu barang dan menekan harga jual. Hal ini akhirnya akan meningkatkan daya saing daerah. Ketiga, klaster akan mendorong tumbuhnya usahausaha baru dalam rumpun industri terkait. Tersedianya jaringan dan keterkaitan antar industri dalam klaster akan mempermudah usaha baru untuk memulai usaha.
Pengembangan klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam membangun ekonomi daerah secara lebih mantap, dan mempercepat pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Peningkatan daya saing suatu daerah dapat ditempuh dengan mengembangkan sektor unggulan berbasis pada sumberdaya lokal dengan didukung pengetahuan, teknologi dan informasi.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
III - 3�
Keberhasilan suatu klaster dapat oleh faktor penentu kekuatan klaster, yaitu: (1) spesialisasi; (2) kapasitas penelitian dan pengembangan; (3) pengetahuan dan keterampilan; (4) pengembangan sumber daya manusia; (5) jaringan kerjasama dan modal sosial; (6) kedekatan dengan pemasok; (7) ketersediaan modal; (8) jiwa kewirausahaan; dan (9) kepemimpinan dan visi bersama.
Pemerintah Daerah dapat berperan sebagai fasilitator, koordinator, dan supervisor dalam pengembangan klaster. Pemerintah Daerah dapat menjadi fasilitator untuk pengembangan kerjasama/kemitraan dan jaringan usaha (networking) diantara pelaku bisnis dalam klaster. Pemerintah Daerah juga dapat berperan dalam mengkoordinasikan dukungan teknis dan permodalan usaha bagi pengembangan klaster bisnis. Di samping itu, Pemerintah Daerah juga dapat berperan penting dalam menumbuhkan permintaan terhadap produkproduk klaster (melalui belanja pemerintah), terutama di daerahdaerah dimana usaha kecil dan menengah banyak mengalami kesulitas dalam mengakses pasar dan sumber pembiayaan usaha.
Pemerintah Daerah dapat berperan
sebagai inisiator, koordinator, dan
supervisor dalam pengembangan
klaster
BAB IVSinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 2
4.1 PAKET KEBIJAKAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI
Dalam menghadapi persaingan dengan negara Asia lainnya dalam menarik investasi, Pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 tahun 2006 pada tanggal 27 Februari 2006, dan berbagai paket kebijakan lainnya.
Inpres No. 3 Tahun 2006 ini memuat sejumlah kebijakan, program, tindakan, keluaran, sasaran waktu dan penanggungjawab setiap keluaran yang diinginkan. Serangkaian program dan tindakan tersebut pada intinya bertujuan memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Perumusan program dan tindakan tersebut disusun melalui serangkaian dialog dan
Upaya peningkatan investasi memerlukan berbagai dukungan berupa penciptaan iklim usaha yang kondusif, kapasitas infrastruktur yang memadai, intermediasi lembaga keuangan, tata kepemerintahan yang baik serta keamanan dan ketertiban. Dalam jangka panjang, peningkatan daya tarik investasi dan daya saing nasional juga ditentukan oleh dukungan sumber daya manusia berkualitas. Berbagai upaya peningkatan investasi tersebut perlu disiapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara konsisten dan sinergis. Bab ini akan membahas berbagai paket kebijakan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, penguatan sektor keuangan, pertanahan, dan pengembangan kawasan ekonomi khusus. Uraian ini diharapkan dapat memberikan gambaran utuh langkah-langkah yang telah diambil dan yang sedang disiapkan oleh pemerintah, serta dukungan yang diharapkan dari pemerintah daerah.
Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang
tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
3 tahun 2006.
Isi dari paket kebijakan ini meliputi aspek umum
(termasuk penguatan kelembagaan pelayanan
investasi dan sinkronisasi peraturan pusat dan
daerah),
BAB IV SINKRONISASI PUSAT DAN DAERAH DALAM PERBAIKAN IKLIM INVESTASI
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - �
konsultasi dengan kalangan pengusaha dalam dan luar negeri, serta pemangku kepentingan lainnya. Isi dari paket kebijakan ini meliputi aspek umum (termasuk penguatan kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan pusat dan daerah), serangkaian program di bidang kepabeanan, perpajakan, ketenagakerjaan, serta dukungan bagi usaha kecil, menengah dan koperasi.
Tabel 4.1
Rekapitulasi Jumlah Tindakan Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi
BIDANG KEBIJAKAN PROGRAM TINDAKAN
Umum 3 6 11
Kepabeanan dan Cukai 4 8 20
Perpajakan 5 13 20
Ketenagakerjaan 6 6 24
Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi 1 4 10
Jumlah 19 37 85
(1) Bidang Umum
Kebijakan yang ditempuh untuk memperbaiki iklim investasi adalah sebagai berikut.1. Memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dengan program
sebagai berikut:a. Merevisi Undang-undang (UU) Penanaman Modal yang
memuat prinsip-prinsip dasar antara lain: perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor domestik dan asing (di luar Negative List) dan Dispute Settlement;
b. Mengubah peraturan-peraturan yang terkait dengan penanaman modal;
c. Revitalisasi Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi;
d. Percepatan perizinan kegiatan usaha dan penanaman modal serta pembentukan perusahaan;
serangkaian program di bidang kepabeanan, perpajakan, ketenagakerjaan, serta dukungan bagi usaha kecil, menengah dan koperasi.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 4
2. Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah (Perda) de-ngan program utama peninjauan Perda-perda yang menghambat investasi;
3. Memperjelas ketentuan tentang kewajiban melakukan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dengan program perubahan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kewajiban Wajib AMDAL.
Dalam hal kelembagaan pelayanan investasi, untuk memberikan pedoman yang lebih jelas dan sederhana bagi penanaman modal, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanaman Modal sebagai revisi atas UU Penanaman Modal yang lama. Penyiapan RUU Penanaman Modal tersebut dilakukan agar prosedur penanaman modal sesuai dengan standar dan praktik internasional. RUU ini memuat azas-azas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas dan perlakuan yang sama antara investor asing (PMA) dan domestik (PMDN), tidak membedakan asal negara penanam modal, serta tidak membedakan antara investor besar dan kecil. RUU ini juga memuat prinsip-prinsip dasar mengenai penyelesaian sengketa (dispute settlement). Saat ini RUU masih dalam proses pembahasan dengan Komisi VI DPR-RI.
Sejalan dengan penyelesaian RUU ini pemerintah juga tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka dengan aturan yang jelas, sederhana, tegas dan transparan; memperjelas pembagian tugas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk urusan penanaman modal; dan merevitalisasi Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Pembagian kewenangan dalam penanaman modal disesuaikan dengan semangat desentralisasi. Hal ini sesuai dengan amanat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13 yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi juga meliputi pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Pasal 14 menyebutkan salah satu kewenangan wajib pemerintahan kabupaten/kota, yaitu pelayanan administrasi penanaman modal.
Pemerintah telah mempersiapkan RUU
Penanaman Modal agar prosedur penanaman modal sesuai dengan
standar dan praktik internasional.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - �
Penyederhanaan perijinan ditujukan untuk mempercepat proses perijinan di bidang perdagangan, pembentukan perusahaan dan ijin usaha. Hal ini dilakukan dengan merealisasikan sistem pelayanan terpadu, dan penyediaan informasi mengenai perijinan yang diperlukan. Dengan langkah ini, waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan perusahaan dan perijinan usaha diharapkan dapat dikurangi dari 150 hari menjadi 30 hari. Pelaksanaan kebijakan ini dengan mendelegasikan wewenang pengesahan badan hukum kepada Kantor Wilayah (Kanwil) Hukum dan HAM di tingkat provinsi.
Dalam rangka sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah telah dibentuk Tim Bersama untuk mengawasi penyusunan dan mengevaluasi Perda-perda yang menghambat investasi. Pelaksanaan program ini ditandai dengan dibentuknya Tim Asistensi dan Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) dan Peraturan Daerah (PERDA) melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 900.05-152 Tanggal 29 Maret 2006. Tim ini bertugas antara lain melakukan asistensi dan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka peningkatan pengelolaan keuangan daerah.
Penyederhanaan perijinan ditujukan untuk mempercepat proses perijinan di bidang perdagangan, pembentukan perusahaan dan ijin usaha.
Kotak 4.1. Evaluasi Perda-Perda tentang Pajak dan Pungutan Daerah
Hingga saat ini Departemen Dalam Negeri telah menerima dan mengevaluasi 5.550 perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang diterbitkan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.219 perda direkomendasikan dibatalkan dan 201 lainnya disarankan untuk direvisi. Sebanyak 600 perda akhirnya dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Di luar perda yang telah dievaluasi, Depdagri memperkirakan potensi jumlah perda yang belum diterima dan dievaluasi mencapai 10.477 perda. Terkait dengan pelaksanaan Inpres Nomor 3 tentang Perbaikan Iklim Investasi, 70 perda telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri dari total 130 perda yang dievaluasi meliputi 17 perda tentang pungutan yang berkaitan dengan menara telekomunikasi, 3 perda berkaitan dengan jembatan timbang, dan 110 perda yang berkaitan lalu lintas barang. Dengan demikian masih ada 60 perda yang sedang dalam proses pembatalan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �
Upaya peningkatan investasi di daerah juga harus memperhatikan dampaknya terhadap kualitas lingkungan hidup. Pemberian izin usaha oleh pemerintahan daerah perlu disertai dengan mekanisme pengawasan dan pengendalian secara cermat untuk menghindari dampak negatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Oleh sebab itu, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) tertanggal 2 Oktober 2006 yang merupakan revisi dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001. Pemerintahan daerah dapat mendukung kebijakan ini melalui pemantauan terhadap permasalahan lingkungan dengan mengefektifkan peranan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab mengenai hal ini.
(2) Bidang Kepabeanan dan Cukai
Kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah mempercepat arus barang, mendorong pengembangan kawasan berikat, meningkatkan pemberantasan penyelundupan, dan debirokratisasi di bidang cukai. Beberapa langkah yang ditempuh dalam rangka percepatan arus barang ialah penyederhanaan prosedur pemeriksaan kepabeanan, penerapan teknologi informasi dengan sistem EDI (electronic data interchange), penerapan sistem aplikasi ekspor-impor dengan teknologi berbasis web, pemantapan kriteria yang jelas dan transparan tentang penggunaan jalur hijau dan merah, percepatan pemrosesan kargo dan pengurangan biaya di pelabuhan dan bandara. Dengan sistem EDI time release bisa dipersingkat, masing-masing menjadi 30 menit di jalur hijau dan 3 hari di jalur merah.
Dalam pengembangan peranan kawasan berikat, langkah-langkah yang ditempuh adalah perluasan fungsi tempat penimbunan berikat (TPB), penyempurnaan ketentuan dan otomatisasi kegiatan di TPB, dan perluasan penerapan sistem kepabeanan seperti yang berlaku di Batam ke kawasan berikat lainnya.
Upaya peningkatan investasi di
daerah juga harus memperhatikan
dampaknya terhadap kualitas lingkungan
hidup.
Kebijakan yang ditempuh
pemerintah adalah mempercepat arus
barang, mendorong pengembangan
kawasan berikat, meningkatkan
pemberantasan penyelundupan, dan
debirokratisasi di bidang cukai.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 7
Dalam upaya memberantas penyelundupan, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah peningkatan koordinasi antarinstansi terkait, dan intensifikasi pengawasan melalui audit kepabeanan dan cukai.
Sejalan dengan berbagai langkah tersebut, Pemeritah melakukan debirokratisasi di bidang cukai dengan mempercepat proses registrasi dan permohonan fasilitasi cukai tanpa perlu melalui Kanwil Ditjen Bea dan Cukai (KWBC), tetapi cukup melalui KPBC (Kantor Pelayanan Bea dan Cukai).
(�) Bidang Perpajakan
Pemerintah telah menetapkan lima kebijakan dengan tujuan untuk mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi. Kelima langkah kebijakan tersebut adalah: 1. Insentif perpajakan untuk investasi;2. Melaksanakan sistem self assessment secara konsisten;3. Perubahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk mempromosikan
ekspor;4. Melindungi hak wajib pajak;5. Mempromosikan transparansi dan disclosure.
Pemerintah telah menetapkan PP Nomor 1 Tahun 2007 untuk merevisi PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu. Dengan peraturan tersebut, mulai tanggal 1 Januari 2007 pemberian empat paket insentif pajak penghasilan (PPh) diberlakukan untuk 15 jenis usaha yang melakukan investasi baru atau memperluas usaha di seluruh wilayah Indonesia. Jenis usaha tersebut adalah sebagai berikut: (1) industri makanan; (2) industri tekstil dan pakaian jadi; (3) industri bubur kertas (pulp), kertas dan kertas karton; (4) industri bahan kimia industri; (5) industri kimia lainnya (bahan farmasi); (6) industri karet dan barang dari karet; (7) industri barang dari porselen; (8) industri logam dasar, besi, dan baja; (9) industri logam dasar bukan besi; (10) industri mesin dan perlengkapannya; (11) industri
Pemerintah telah menetapkan PP Nomor 1 Tahun 2007 untuk merevisi PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �
motor listrik, generator, dan transformator; (12) industri elektronika dan telematika; (13) industri alat angkut darat; (14) industri pembuatan dan perbaikan kapal/perahu; dan (15) industri pembuatan logam dasar bukan besi. Menurut PP tersebut, terhitung sejak 1 Januari 2007 pelaku usaha yang melakukan kegiatan menurut jenis usaha tersebut akan mendapatkan potongan pajak penghasilan (PPh). Fasilitas ini tidak berlaku bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan di kawasan ekonomi terpadu.
Peraturan Pemerintah tersebut juga berlaku bagi pelaku usaha yang berusaha di daerah-daerah tertentu seperti daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi dan layak dikembangkan, tetapi prasarana ekonomi kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum. Daerah yang termasuk dalam kategori ini adalah perairan laut berkedalaman lebih dari 50 meter yang memiliki cadangan mineral dan gas.
Kelompok bidang usaha lain yang mendapatkan insentif PPh hanya untuk daerah-daerah tertentu adalah: (1) industri pengolahan makanan di daerah; (2) industri pengolahan sumber daya alam berbasis agro; (3) kemasan dan kotak dari kertas dan karton; (4) barang dari plastik; (5) semen, kapur dan gips; (6) furniture; (7) penangkapan ikan laut dan pengolahannya; (8) penangkapan udang laut dan pengolahannya; serta (9) penangkapan “mollusca” (cumi dan hewan sejenis yang kulitnya lunak) laut dan usaha terpadu. Secara lebih rinci, insentif PPh yang diberikan pada bidang usaha tertentu di daerah-daerah tertentu dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - �
Tabel 4.2
Bidang Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu
No. BIDANG USAHA KBLI CAKUPAN PRODUK DAERAH/PROVINSI
1. Kelompok Industri Pengolahan Makanan Industri Pengalengan Ikan dan biota perairan lainnya
15121 *) Maluku, Maluku Utara, Papua, Irian Jaya Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo
2. Kelompok Industri Pengolahan SDA berbasis Agroa. Industri minyak goreng
dari minyak kelapa
b. Industri berbagai macam tepung dari padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan sejenisnya
15143
15322
*)(Harus terintegrasi usaha budidaya)
tepung dari jagung (Harus terintegrasi usaha budidaya)
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo
c. Industri gula pasir
d. Industri gula lainnya
15421
15423
Gula pasir dari tebu (kapasitas minimal 70.000 ton gula/ tahun, terintegrasi usaha budidaya)Gula dari ubi kayu (Harus terintegrasi usaha budidaya)
Di Luar Jawa
Di Luar Jawa
e. Industri Persiapan Serat Tekstil
17111 Serat kapas (Harus terintegrasi usaha budidaya)
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat,Nusa Tenggara Timur
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 10
No. BIDANG USAHA KBLI CAKUPAN PRODUK DAERAH/PROVINSI
3. Kelompok Industri Kemasan dan Kotak dari Kertas dan Karton Industri Kemasan dan Kotak dari Kertas dan Karton
21020 *) Di Luar Jawa
4. Kelompok Industri Barang dari Plastik Industri Kemasan dari Plastik
25205 *) Di Luar Jawa
5. Kelompok Industri Semen, Kapur, dan Gips Industri Semen
26411 *) Papua, Irian Jaya Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat
6. Kelompok Industri Furnitura. Industri Furnitur dari
Kayub. Industri Furnitur dari
rotan, dan atau bambu
3610136102
*)*)
Di Luar JawaDi Luar Jawa
7. Penangkapan Ikan di Laut dan Pengolahannya (Usaha Terpadu)• Pengalengan • Penggaraman/
pengeringan• Pengasapan• Pembekuan• Pemindangan• Pengolahan/
pengawetan lainnya
05011 dan 15121 s/d 15129
• Tuna• Cakalang• Hiu/Cucut• Layur• Tenggiri• Lumuru• Bawal• Kakap Merah
Provinsi yang berbatasan dengan Samudera Hindia: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua
8. Penangkapan Crustacea Laut dan pengolahannya (Usaha Terpadu)• Pengalengan • Penggaraman/
pengeringan• Pengasapan• Pembekuan• Pemindangan• Pengolahan/
pengawetan lainnya
05012 dan 15121 s/d 15129
• Udang• Kepiting• Lobster• Rajungan
Provinsi yang berbatasan dengan Samudera Hindia: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 11
No. BIDANG USAHA KBLI CAKUPAN PRODUK DAERAH/PROVINSI
9. Penangkapan Mollusca Laut dan pengolahannya (Usaha Terpadu) • Pengalengan • Penggaraman/
pengeringan• Pengasapan• Pembekuan• Pemindangan• Pengolahan/
pengawetan lainnya
05013 dan 15121 s/d 15129
• Cumi • Sotong• Teripang• Ubur-ubur
Provinsi yang berbatasan dengan Samudera Hindia: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua
Sumber: website www.pajak.go.id Lampiran II PP No. 1/2007
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan empat jenis insentif pajak yang diberikan kepada sektor usaha terpilih. Pertama, bagi industri tertentu mendapatkan pengurangan PPh netto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal yang dibebankan selama enam tahun masing-masing lima persen pertahun. Kedua, menetapkan penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Ketiga, kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Keempat, PPh atas dividen diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen. Sektor usaha terpilih adalah kegiatan ekonomi yang mendapatkan prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya yang berorientasi ekspor. Insentif ini juga diberikan kepada sektor-sektor usaha yang merupakan perintisan atau pionir.
Kebijakan pemberian insentif perpajakan untuk meningkatkan investasi juga dilakukan dengan menurunkan tarif pajak daerah yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga barang/jasa. Upaya ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut.1. Menurunkan tarif pajak kendaraan bermotor untuk jenis kendaraan
angkutan umum. Kebijakan ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2006 tanggal 27 Januari 2006 yang mengatur penurunan tarif pajak kendaraan bermotor untuk jenis angkutan umum sebagaimana
PP Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan empat jenis insentif pajak yang diberikan kepada sektor usaha terpilih.
Kebijakan pemberian insentif perpajakan untuk meningkatkan investasi juga dilakukan dengan menurunkan tarif pajak daerah yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga barang/jasa.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 12
dinyatakan dalam Pasal 7 bahwa ”Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) untuk kendaraan umum diturunkan menjadi 60% dari nilai jual kendaraan”.
2. Menurunkan tarif Pajak Penerangan Jalan bagi industri dan non industri. Penurunan tarif Pajak Penerangan Jalan (PPJ) dari 3% menjadi 1,5% bagi industri telah diakomodasikan ke dalam RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. Menurunkan masalah pungutan pajak/retribusi daerah untuk beberapa jenis pungutan, antara lain:a. Menara telekomunikasi. Hasil monitoring terhadap Inpres
Nomor 3 Tahun 2006 hingga bulan September 2006 telah mengambil sejumlah tindakan, antara lain:
(i) Himbauan kepada seluruh operator telekomunikasi untuk tidak membayar pungutan daerah berkaitan dengan menara telekomunikasi selain retribusi IMB (dalam proses);
(ii) Rekomendasi pembatalan semua pungutan daerah terhadap menara telekomunikasi kecuali retribusi IMB yang tertuang dalam rekomendasi Menteri Keuangan No. S-074/MK.10/2006 tertanggal 22 Mei 2006;
(iii)Penyesuaian tarif retribusi IMB untuk menara teleko-munikasi (dalam proses);
(iv) Peningkatan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) PBB untuk menara hingga 100% (dalam proses).
b. Jembatan timbang. Hasil monitoring terhadap Inpres No.3 Tahun 2006 hingga bulan September 2006 telah mengambil dua tindakan, yaitu:
(i) Rekomendasi pembatalan semua pungutan daerah yang berkaitan dengan jembatan timbang yang tertuang dalam rekomendasi Menteri Keuangan No. S-074 /MK.10/2006 tertanggal 22 Mei 2006.
(ii) Penyesuaian tarif Pajak Kendaraan Bermotor untuk hasil penerimaan di earmark bagi perbaikan kerusakan jalan.
c. Lalu lintas barang. Hasil monitoring terhadap Inpres No.3 Tahun 2006 hingga bulan September 2006 telah mengambil dua tindakan, yaitu:
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 1�
(i) Rekomendasi pembatalan semua pungutan daerah yang merintangi lalu lintas barang, jasa, dan orang yang ter-tuang dalam rekomendasi Menteri Keuangan No. S-074 /MK.10/2006 tertanggal 22 Mei 2006.
(ii) Penyesuaian tarif Pajak Kendaraan Bermotor untuk perbaikan kerusakan jalan.
(4) Bidang Ketenagakerjaan
Perbaikan kebijakan diarahkan untuk menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja, meningkatkan perlindungan dan memperbaiki penempatan TKI di luar negeri, mempercepat proses penerbitan perijinan ketenagakerjaan, serta menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan produktif. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:1. Penyusunan draft perubahan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 terutama yang menyentuh ketentuan tentang PHK, pesangon dan hak-hak pekerja, ketentuan pengupahan, outsourcing, dan ijin mempekerjakan tenaga kerja asing;
2. Penyusunan draft perubahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi TKI, peningkatan pelatihan bagi calon mediator, konsiliator, arbitrer dan hakim adhoc untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
3. Penyederhanaan prosedur pemberian visa dan ijin tinggal bagi investor/tenaga kerja asing;
4. Percepatan proses sertifikasi kompetensi tenaga kerja;5. Pengembangan bursa kerja dan informasi pasar kerja secara online;6. Terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka
perluasan lapangan kerja.
Kebijakan ketenagakerjaan ini semakin mendesak mengingat adanya kecenderungan peningkatan pengangguran terbuka. Pemerintahan daerah yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi harus bekerja keras dalam mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di daerahnya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat adalah sebagai berikut.
Perbaikan kebijakan diarahkan untuk menciptakan iklim hubungan industrial
Pemerintahan daerah yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi harus bekerja keras dalam mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di daerahnya.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 14
1. Melakukan pembinaan terhadap calon tenaga kerja dan TKI dengan mengintensifkan peranan Balai Latihan Kerja;
2. Membina hubungan yang harmonis dan komunikatif antara tenaga kerja dan penyedia lapangan kerja dalam hubungan tripartit;
3. Mendukung kerangka perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat serta mempercepat proses perizinan ketenagakerjaan tersebut;
4. Menciptakan suasana kondusif bagi berkembangnya investasi di daerah sehingga dapat membuka lapangan kerja baru;
5. Adopsi kebijakan transmigrasi dalam lingkup daerah dalam rangka penciptaan lapangan kerja baru.
(�) Bidang Pemberdayaan UKMK
Kebijakan pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) diarahkan untuk menyederhanakan perijinan, mendorong pengembangan jasa konsultasi bagi industri kecil dan menengah (IKM), meningkatkan akses permodalan, dan memperkuat kemitraan usaha besar dan UKMK. Untuk mendorong pengembangan jasa konsultansi bagi IKM telah diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 37/M-IND/PER/6/2006 tertanggal 27 Juni 2006 tentang Pengembangan Jasa Konsultasi bagi Industri Kecil dan Menengah. Dalam upaya peningkatan akses permodalan bagi UKMK, pemerintah sedang menyiapkan rancangan skema kredit investasi bagi UKMK dan insentif fiskal bagi UKMK yang memanfaatkan teknologi inovatif.
Dukungan peraturan perundang-undangan tersebut saat ini sedang disiapkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM bersama Departemen Keuangan. Di samping itu, sebuah tim lintas kementerian/lembaga (Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Menko Perekonomian, BPN, Depdagri, Departemen Kelautan dan Perikanan) bersama BRI saat ini memfasilitasi sertifikasi tanah bagi UKMK di 20 provinsi dengan target pembuatan 10.250 sertifikat tanah milik UKMK.
Kebijakan pemberdayaan usaha kecil, menengah dan
koperasi (UKMK) diarahkan untuk
menyederhanakan perijinan, mendorong
pengembangan jasa konsultasi bagi industri
kecil dan menengah (IKM), meningkatkan
akses permodalan, dan memperkuat
kemitraan usaha besar dan UKMK.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 1�
4.2. PAKET KEBIJAKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
Sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997, penyediaan dan pelayanan infrastruktur mengalami penurunan drastis, baik kuantitas maupun kualitas. Sebelum 1997, total investasi pemerintah dan swasta pertahun di bidang infrastruktur 5-6 persen kemudian turun menjadi 1-2 persen dari PDB pertahun pada 1997-2000. Hingga tahun 2004, rasio tersebut meningkat kembali, namun masih di bawah 3 persen. Keterbatasan keuangan negara, dan pada saat yang sama prioritas pemerintah di-arahkan untuk merestrukturisasi perbankan dan sektor keuangan serta program jaring pengaman sosial telah mengurangi kemampuan pemerintah untuk membangun, merehabilitasi dan memelihara infra-struktur. Infrastruktur yang buruk menghambat pemulihan ekonomi nasional dan meningkatkan beban masyarakat.
Rehabilitasi, peningkatan infrastruktur yang ada, dan pembangunan infrastruktur baru, membutuhkan investasi yang sangat besar yang sangat sulit dipenuhi oleh pemerintah. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dan dunia usaha perlu ditingkatkan, khususnya pada proyek-proyek yang bersifat komersial dan layak secara finansial. Di sisi lain, pemerintah tetap berkewajiban menyediakan infrastruktur dasar non-komersial yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak.
Upaya meningkatkan partisipasi swasta dalam pembangunan infra-struktur memerlukan pendekatan yang holistik, termasuk tersedianya kerangka regulasi dan kelembagaan yang efektif dan menunjang. Iklim investasi yang lebih baik dan berkelanjutan juga harus diciptakan. Untuk itu, Pemerintah telah meluncurkan paket reformasi di bidang infrastruktur yang meliputi tiga elemen yang saling terkait, yaitu (1) menghilangkan segala bentuk monopoli dan menciptakan kompetisi yang sehat; (2) menghapuskan praktik diskriminatif yang menghambat partisipasi swasta; dan (3) reposisi peran pemerintah, di antaranya dengan memisahkan peran regulator dan operator.
Infrastruktur yang buruk menghambat pemulihan ekonomi nasional dan meningkatkan beban masyarakat.
Partisipasi masyarakat dan dunia usaha perlu ditingkatkan, pemerintah tetap berkewajiban menyediakan infrastruktur dasar non komersial yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak.
Pemerintah telah meluncurkan paket reformasi di bidang infrastruktur yang meliputi tiga elemen yang saling terkait.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 1�
Elemen-elemen reformasi tersebut mencakup empat kerangka kebijakan yang termuat dalam paket kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur, yaitu: (1) reformasi kebijakan lintas sektor strategis, (2) reformasi kebijakan sektor dan korporat serta restrukturisasi industri untuk meningkatkan kompetisi, (3) perbaikan regulasi untuk mencegah penyalahgunaan hak monopoli dan untuk melindungi konsumen dan investor, (4) penataan fungsi dan peran menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah sebagai regulator dan BUMN/BUMD sebagai operator.
Untuk menjalankan kerangka kebijakan tersebut, pada tahun 2006 pemerintah telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mengembangkan kerangka kebijakan, regulasi dan kelembagaan yang efektif; (2) reformasi sektor-sektor yang meliputi transportasi darat, perkeretaapian, transportasi laut, transportasi udara, jalan tol dan non-tol; infrastruktur energi; kelistrikan; pos dan telekomunikasi; air minum, sanitasi, perumahan, dan sumber daya air; (3) mendorong partisipasi pemerintah daerah; dan (4) merealisasikan transaksi proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
Tabel 4.�
Rekapitulasi Jumlah Keluaran Paket Kebijakan Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Tahun 200�
No. ISU KEBIJAKAN JUMLAH KELUARAN
I. Kerangka Kebijakan, Peraturan dan Kelembagaan 33
II. Kebijakan Sektor 86
a. Perhubungan Darat 7
b. Perkeretaapian 5
c. Perhubungan Laut 7
d. Perhubungan Udara 5
e. Jalan Tol 9
f. Infrastruktur Minyak dan Gas 3
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 17
No. ISU KEBIJAKAN JUMLAH KELUARAN
g. Kelistrikan 4
h. Telekomunikasi 14
i. Air Minum, Sanitasi, Sumber Daya Air 15
j. Perumahan 17
III. Pemerintah Daerah 5
IV. Paket Transaksi Proyek Infrastruktur 32
TOTAL 156
Sumber: KKPPI, 2006
Guna mendorong partisipasi dan peran pemerintah daerah, langkah-langkah lebih lanjut yang dilakukan pemerintah adalah: 1. menyusun rancangan undang-undang tentang Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD); 2. memperjelas peran pemerintah daerah sebagai pemberi kontrak
khususnya dalam pelayanan transportasi, kelistrikan (off grid), air minum dan sanitasi;
3. melakukan revisi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2003 dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2006 tentang Tata Cara Pemberian Hibah Kepada Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2006 tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri. Langkah itu ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan pemerintah daerah;
4. menerbitkan pula Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor PER.005/M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Langkah ini dilakukan untuk sinkronisasi perencanaan kegiatan dan perencanaan keuangan dari sumber pinjaman/hibah luar negeri.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 1�
(1) Sektor Perhubungan
Sasaran pembangunan sektor transportasi tahun 2007 adalah melan-jutkan pemantapan sistem transportasi nasional melalui koordinasi dan konsolidasi serta penyusunan transportasi pulau terpadu antarmoda sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) nasional, RTRW pulau dan Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). Keberlanjutan peren-canaan dan implementasi dalam rangka pencapaian sasaran tersebut akan dipantau, dikaji dan dievaluasi secara berkala dan dipersiapkan kesinambungannya dalam perencanaan jangka menengah berikutnya.
Untuk mencapai hal tersebut, dalam kurun waktu 2005 hingga 2006, pemerintah telah berupaya melakukan restrukturisasi dan reformasi kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang memungkinkan peran pemerintah daerah dan swasta dalam penyediaan transportasi. Upaya yang telah dilakukan adalah merevisi Undang-Undang di bidang transportasi, diantaranya UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Saat ini status revisi perundang-undangan tersebut telah sampai pada tahap pembahasan di DPR.
Revisi atas perundang-undangan di atas dimaksudkan untuk (1) menyesuaikan kerangka regulasi sektor transportasi dengan semangat desentralisasi; dan (2) memperjelas reposisi pemerintah terkait peran regulator dan operator. Undang-undang yang baru diharapkan dapat menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi investasi di sektor transportasi di daerah, baik dalam penyediaan prasarana maupun penyelenggaraan transportasi. Di samping itu, UU baru juga diharapkan dapat memberikan landasan kebijakan tentang penataan tarif, garansi, konsesi, manajemen risiko, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang disesuaikan dengan perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam globalisasi ekonomi dan era otonomi daerah.
Pemerintah telah berupaya melakukan
restrukturisasi dan reformasi kebijakan,
peraturan dan perundang-undangan yang memungkinkan
peran pemerintah daerah dan swasta dalam penyediaan
transportasi.
UU baru diharapkan dapat memberikan landasan kebijakan
tentang penataan tarif, garansi, konsesi,
manajemen risiko, hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang disesuaikan dengan perkembangan dan
tantangan yang dihadapi dalam
globalisasi ekonomi dan era otonomi
daerah.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 1�
Beberapa langkah yang telah dilakukan dalam kaitan Paket Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur di sektor perhubungan adalah restrukturisasi kebijakan yang meliputi: (1) penyusunan cetak biru (blue print) rencana umum keselamatan transportasi darat, perkeretaapian, dan revisi cetak biru transportasi laut dan udara; serta cetak biru sistem jaringan jalan (high grade highway) termasuk jalan tol dan jalan non tol, serta intermoda lainnya; (2) reformasi peraturan dan perundang-undangan di sektor transportasi untuk menyesuaikan dengan semangat desentralisasi dan menghilangkan monopoli oleh BUMN melalui pemisahan peran regulator dan operator; (3) adopsi kebijakan tarif sesuai dengan prinsip-prinsip kerjasama dalam Perpres 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Sektor Transportasi; (4) pembentukan Dewan Keselamatan Transportasi Jalan Nasional; (5) pengembangan kerangka kebijakan PSO (Public Service Obligation) untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan transportasi di daerah terpencil dan kurang berkembang; (6) memenuhi sertifikasi pelabuhan internasional agar sesuai dengan International Ships and Facility of Port Security Code dalam rangka meningkatkan keselamatan dan keamanan pelabuhan dan kapal; (7) peningkatan kapasitas kelembagaan transportasi; (8) pengkajian penerapan Revolving Fund untuk pengadaan tanah serta pembentukan institusi khusus pengadaan tanah dalam pembangunan prasarana transportasi; (9) pengkajian ulang alternative pendanaan melalui sistem road user charges dan kelayakan road fund; serta (10) peningkatan pemeliharaan jalan termasuk perhitungan beban kendaraan untuk meningkatkan keselamatan di jalan.
Dalam rangka restrukturisasi dan reformasi kebijakan dan peraturan di daerah, peran pemda sangat penting dan strategis terutama sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah yang dinilai menghambat inves-tasi seperti berbagai pungutan, retribusi dan biaya lain yang dipungut di pelabuhan, jalan, dan jembatan timbang yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Peran Pemda sangat penting dan strategis terutama sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah yang dinilai menghambat investasi.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 20
Penyediaan pelayanan transportasi perintis sangat membantu dalam membuka akses ke daerah terisolir/terpencil. Peran Pemda sangat penting dalam melakukan berbagai terobosan melalui kerjasama dengan penyedia layanan/operator untuk menyediakan pelayanan keperintisan transportasi darat, laut dan udara. Sebagai contoh, dalam penyediaan pelayanan keperintisan transportasi udara, pemerintah daerah dapat menyediakan pesawat yang dioperasikan oleh operator yang dipilih melalui lelang. Demikian pula untuk pelayanan penyeberangan laut, Pemda dapat menyediakan kapal yang dioperasikan oleh operator.
Kotak 4.2. Peningkatan Kualitas Jalan: Tanggung Jawab Bersama
Total panjang jalan secara nasional mencapai 339.005 km, terbagi dalam klasifikasi jalan tol 649 km, jalan nasional 34.628 km, jalan provinsi 37.164 km, dan jalan kabupaten 240.946 km. Dari panjang jalan tersebut yang terlapisi aspal masing-masing 90 persen untuk jalan nasional, 89 persen untuk jalan provinsi, dan 52 persen untuk jalan kabupaten. Secara kualitas, 80 persen jalan nasional termasuk sedang sampai baik. Sementara untuk jalan provinsi dan kabupaten, masing-masing hanya 63 dan 49 persen yang berada dalam kondisi sedang sampai baik. Tingkat kualitas jalan tersebut berkorelasi dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan masing-masing tingkatan pemerintahan. Pada tahun 2004 belanja pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten untuk pemeliharaan jalan besarnya masing-masing 1.105 milyar, 609 milyar, dan 590 milyar. Di luar itu juga ada pemeliharaan oleh PT Jasa Marga sebesar 2.508 milyar. Mengingat peran strategis jalan dalam memfasilitasi aktivitas ekonomi, sinergi antar tingkatan pemerintahan diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas jalan. Di perdesaan, kualitas jalan yang buruk dianggap sebagai salah satu hambatan utama dalam menjalankan usaha, di mana sebagian besar pelakunya adalah UMKM. Oleh karena itu, dukungan dan komitmen Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja pembangunan khususnya bagi pemeliharaan jalan-jalan kabupaten dan provinsi.
Dibanding beberapa negara Asia, proporsi jalan beraspal di Indonesia yang berkisar 58 persen terhitung cukup tinggi dibanding Kamboja (4 persen), Laos (14 persen), Philipina (22 persen). Namun, dibanding China dan Thailand, Indonesia masih jauh tertinggal. Di kedua negara tersebut proporsi jalan beraspal masing-masing 91 dan 97 persen.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 21
Dalam pengembangan sistem transportasi yang handal, peran Pemda sangat penting untuk memadukan tujuan transportasi perintis agar dapat lebih efektif dan efisien memberikan pelayanan bagi masyarakat setempat sesuai kebutuhan. Di samping itu, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi subsidi perintis dan/atau PSO, Pemda diharapkan mampu mengembangkan jaringan transportasi perintisan yang disubdisi menjadi jaringan trasportasi komerasial. Pengembangan jaringan transportasi tersebut harus sejalan dengan rencana Pemda dalam pembangunan daerah secara terpadu dengan sektor-sektor lainnya. Peran Pemda juga sangat dibutuhkan dalam monitoring dan evaluasi pelayanan jasa transportasi perintis.
Berkaitan dengan infrastruktur jalan, peran pemerintah daerah sangat penting mengingat besarnya proporsi infrastruktur seperti jalan raya yang berada di bawah kewenangan pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota. Hingga pertengahan tahun 2006, proporsi jalan kabupaten/kota dari total panjang jalan mencapai 78 persen dengan kondisi permukaan jalan yang belum/tidak diaspal masih sekitar 44,7 persen.
Dengan adanya pertambahan jumlah kendaraan bermotor secara signifikan, peningkatan kuantitas dan kualitas jalan raya ini semakin mendesak. Data Kepolisian Daerah (Polda) seluruh tanah air mencatat adanya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sebesar 15,2 persen pada tahun 2004 dibanding tahun sebelumnya. Dari 30,77 juta kendaraan bermotor pada tahun 2004, sekitar 75 persen merupakan sepeda motor dan sisanya adalah kendaraan mobil penumpang (14,5 persen), bis (3 persen) dan truk (7,5 persen). Di satu sisi, peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini dapat memfasilitasi mobilitas manusia dan barang namun di sisi lain membutuhkan komitmen lebih besar dalam rangka pemeliharaan jalan. Di sisi lain, Pemerintah daerah mempunyai kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan jalan yang menjadi kewenangannya mengingat masyarakat pengguna jalan telah membayar Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
Peran Pemda sangat penting dalam melakukan berbagai terobosan melalui kerjasama dengan penyedia layanan/operator.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 22
(2) Sektor Energi
Pemenuhan energi makin penting di masa datang baik dalam rangka pelayanan kepada masyarakat yang terus meningkat maupun untuk memfasilitasi peningkatan investasi di sektor riil. Upaya itu ditempuh dengan menyiapkan sarana dan prasarana lintas sektor, menghilangkan monopoli baik di sisi bisnis hulu maupun di sisi bisnis hilir untuk sektor migas, serta pengembangan prasarana pembangkit, transmisi dan distribusi untuk sektor energi baru dan terbarukan lainnya.
Reformasi sektor energi ditandai dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, dan UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang kemudian melahirkan Badan Pelaksana (BP) Migas dan Badan Pengatur (BPH) Migas sebagai badan independen. Dengan adanya UU tersebut, pemisahan fungsi regulator dan operator dalam penyediaan energi dapat dilakukan secara tegas. Selain itu, saat ini bersama DPR pemerintah sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi. Kenaikan harga minyak memberikan efek negatif bagi Indonesia, yaitu meningkatnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah sehubungan dengan impor sekitar 500 ribu barel minyak bumi. Impor tersebut harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu, langkah-langkah pengembangan energi alternatif seperti gas bumi, batubara, panas bumi, dan energi alternatif lainnya perlu dilakukan untuk menggantikan peranan minyak bumi sekaligus mengembangkan energi mix dalam rangka mengamankan jaminan pasokan energi.
Untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri sekaligus mewujudkan jaminan pasokan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (PEN) 2005-2025. Dalam KEN tersebut ditetapkan sasaran untuk energi primer mix pada tahun 2025 adalah sebagai berikut: (1) peranan minyak bumi turun menjadi kurang dari 20 persen, (2) peranan gas bumi meningkat menjadi lebih dari 30 persen, (3) peranan batubara menjadi lebih dari
Reformasi sektor energi ditandai
dengan terbitnya UU Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas, dan UU Nomor 27 Tahun
2003 tentang Panas Bumi
Langkah-langkah pengembangan energi alternatif
seperti gas bumi, batubara, panas
bumi, dan energi alternatif lainnya
perlu dilakukan
Pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
5 Tahun 2005 tentang Kebijakan
Energi Nasional (KEN) dan Blueprint Pengelolaan Energi
Nasional (PEN) 2005-2025.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 2�
33 persen, (4) peranan bahan bakar nabati (biofuel) meningkat menjadi lebih dari 5 persen, (5) peranan panas bumi menjadi lebih dari 5 persen, (6) peranan energi baru dan energi terbarukan lainnya meningkat menjadi lebih dari 5 persen, dan (7) peranan batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2 persen .
Pemenuhan energi (final) sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur untuk memproses dan mengubah energi primer menjadi energi final, serta transmisi dan distribusi ke konsumen (industri, transportasi, rumah tangga, dan komersial). Sasaran utama penyediaan infrastruktur energi sebagaimana tertuang dalam blueprint KEN adalah sebagai berikut :1. jaringan pipanisasi BBM di Jawa, kilang, depot, dan terminal
transit;2. jaringan pipanisasi gas Kalimantan-Jawa, Jawa Barat-Jawa Timur;
terminal regasifikasi LNG, Integrated Indonesian Gas Pipeline, embrio dari Trans ASEAN Gas Pipeline (TAGP);
3. sarana dan prasarana transportasi dari mulut tambang batubara ke pelabuhan, pelabuhan suplai dan di lokasi konsumen, serta sarana dan prasarana distribusi; dan
4. transmisi listrik Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, ASEAN Power Grid.
Dalam rangka mempercepat transaksi pembangunan infrastruktur, Pemerintah telah menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit (Indonesian Infrastructure Conference and Exhibition-IICE) dan berhasil melakukan proses lelang untuk proyek perpipaan gas Cirebon-Gresik (dipecah menjadi Semarang-Gresik dan Cirebon-Semarang) dan Kaltim-Jateng.
Beberapa kebijakan regulasi lain yang telah ditetapkan adalah (1) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, (2) Inpres Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan sebagai Bahan Bakar Lain, Inpres Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi, dan (3) Keputusan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 24
Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.
Program pengembangan energi alternatif dilaksanakan sesuai dengan permintaan dari masing-masing bidang, yaitu : (1) Bidang Pembangkitan tenaga listrik: batubara, gas, panasbumi, tenaga air, DME (Dimethyl Ether), mikro hidro, energi surya, tenaga angin, energi in situ, nuklir, biodiesel; (2) Bidang Transportasi: gas, listrik, biofuel, bahan bakar batubara cair (Coal Liquefaction), GTL (Gas to Liquid), Bahan Bakar Hidrogen, Fuel Cell, Hidrat Gas Bumi; (3) Bidang Industri: Gas, Batubara, Biomassa, Hidrat Gas Bumi; dan (4) Bidang rumah tangga dan komersial: listrik, elpiji, briket, gas kota, biogas, energi surya, fuel cell, dan hidrat gas bumi.
Program pengembangan energi alternatif yang saat ini memasuki tahap pengkajian dan implementasi adalah pemakaian elpiji dan briket batubara sebagai substitusi minyak tanah untuk rumah tangga dan pemakaian bahan bakar bio (biofuel) untuk transportasi dan industri.
Sampai saat ini, penyediaan infrastruktur energi sebagian besar dilakukan oleh pemerintah pusat, BUMN, dan swasta. Peran serta pemerintah daerah masih sangat terbatas. Dalam penyediaan energi, peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah pengembangan energi alternatif baru terbarukan yang bersifat lokal seperti tenaga surya, energi angin, dan bahan bakar nabati (jarak pagar, singkong, tetes tebu, kelapa sawit dan lain-lain).
Dalam sistem ketenagalistrikan nasional, kondisi penyediaan listrik saat ini masih belum stabil terutama di beberapa wilayah sebagai akibat lemahnya kemampuan investasi dan melonjaknya harga minyak. Setelah pembangunan pembangkit PLTG Muara Tawar 6x145 MW di Bekasi Jawa Barat selesai pada tahun 2004, kondisi sistem ketenagalistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada akhir tahun 2005 memiliki cadangan (reserved margin) yang masih memadai, yaitu sebesar 32 persen. Sedangkan untuk sistem luar Jamali, sekalipun daya terpasang mencapai
Dalam penyediaan energi, peran yang
dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
adalah pengembangan energi alternatif baru
terbarukan yang bersifat lokal seperti tenaga surya, energi
angin, dan bahan bakar nabati (jarak
pagar, singkong, tetes tebu, kelapa sawit dan
lain-lain).
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 2�
5.970 MW, namun daya mampunya sangat rendah, yaitu hanya sekitar 78,2 persen atau sekitar 4.670 MW. Hal ini terjadi karena banyak pembangkit listrik sudah berumur tua dan berbahan bakar diesel. Daya mampu yang ada tersebut sudah termasuk penambahan kapasitas sebesar 150 MW dari hasil operasi beberapa proyek pembangkit listrik di wilayah Sumatera seperti PLTA Sipansihaporas 50 MW, PLTA Renun 82 MW, serta PLTG/U Palembang Timur 100 MW. Di sisi lain, beban puncak yang dimiliki adalah sekitar 4.420 MW. Dengan demikian, penyediaan listrik untuk luar Jamali hanya memiliki cadangan sekitar 5 persen. Candangan ini masih jauh dari kondisi wajar dengan cadangan yang dibutuhkan sekitar 25 persen dari daya mampu yang dimiliki. Selain itu, kondisi tersebut tidak merata pada berbagai subsistem yang ada di luar Jamali.
Dalam penyediaan listrik perdesaan, sampai dengan akhir tahun 2006 jumlah desa yang telah mendapat distribusi listrik sebanyak 52.127 desa atau 79,4 persen dari seluruh desa. Pemerintah terus mengupayakan penyediaan listrik perdesaan melalui pembangunan pembangkit mini dan mikro yang menggunakan energi non-konvensional setempat terutama energi terbarukan.
(�) Sektor Telekomunikasi
Dalam era persaingan global saat ini informasi mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kemampuan untuk mendapatkan, memanfaatkan dan mengolah informasi mutlak dimiliki suatu bangsa untuk mening-katkan daya saing sekaligus pertumbuhan ekonomi bangsa tersebut. Kemampuan yang sama juga mutlak dimiliki setiap daerah untuk me-ningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Ketersediaan akses informasi terutama infrastruktur telekomunikasi sangat esensial untuk membuka keterisolasian suatu daerah sekaligus membuka peluang ekonomi bagi daerah tersebut.
Secara nasional, ketersediaan infrastruktur telekomunikasi saat ini masih terbatas. Hingga tahun 2005, infrastruktur sambungan tetap baru mencapai sekitar 12 juta satuan sambungan yang terkonsentrasi
Dalam sistem ketenagalistrikan nasional, kondisi penyediaan listrik saat ini masih belum stabil terutama di beberapa wilayah sebagai akibat lemahnya kemampuan investasi dan melonjaknya harga minyak.
Pemerintah terus mengupayakan penyediaan listrik perdesaan melalui pembangunan pembangkit mini dan mikro yang menggunakan energi non konvensional setempat terutama energi terbarukan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 2�
di wilayah barat Indonesia. Di sisi lain, walaupun layanan sambungan bergerak sudah menjangkau ke seluruh kabupaten dengan total pelanggan mencapai 50 juta orang, jumlah pelanggan terbesar tetap terkonsentrasi di Jawa, Bali dan Sumatera. Disparitas infrastruktur telekomunikasi juga terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Secara umum, teledensitas sambungan tetap di wilayah Jabodetabek dan daerah perkotaan lain masing-masing mencapai 35 persen dan 11-25 persen, sedangkan wilayah perdesaan baru mencapai 0,2 persen. Saat ini masih terdapat 43 ribu desa yang belum memiliki fasilitas telekomunikasi yang memadai atau bahkan belum memiliki fasilitas telekomunikasi sama sekali. Wilayah-wilayah ini diidentifikasi sebagai wilayah Universal Service Obligation (USO).
Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi secara langsung menye-babkan semakin lebarnya kesenjangan digital (digital divide) baik antara Indonesia dengan negara lain maupun antardaerah di Indonesia. Dari sisi penawaran, keterbatasan infrastruktur antara lain disebabkan oleh: 1. Terbatasnya kemampuan pembiayaan operator. Perkembangan tek-
nologi telekomunikasi yang sangat cepat membawa dampak kepada meningkatnya kebutuhan investasi baru dalam waktu yang lebih singkat sehingga investasi jangka panjang menjadi tidak menarik lagi. Sementara itu, pembangunan infrastruktur telekomunikasi itu sendiri membutuhkan perencanaan dan implementasi yang cukup panjang dengan waktu pengembalian modal yang panjang.
2. Masih tingginya hambatan masuk (barrier to entry). Sebagai transisi dari monopoli ke kompetisi, penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap masih menganut sistem duopoli. Oleh karena itu, penguasaan akses penting masih dikuasai oleh incumbent, seperti penomoran dan interkoneksi. Kondisi ini tentu membuat operator baru sulit berkembang. Untuk bertahan saja, operator baru memerlukan investasi yang sangat besar untuk melakukan roll out infrastruktur dan membangun basis pelanggan. Sementara itu, pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan bergerak yang sudah dilakukan secara kompetisi sejak awal, permasalahan utama bagi operator baru adalah terbatasnya ketersediaan spektrum frekuensi
Secara nasional, ketersediaan infrastruktur
telekomunikasi saat ini masih terbatas.
Keterbatasan infrastruktur
telekomunikasi secara langsung
menyebabkan semakin lebarnya
kesenjangan digital (digital divide) baik
antara Indonesia dengan negara lain
maupun antardaerah di Indonesia.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 27
karena sebagian besar alokasi spektrum frekuensi sudah ditetapkan untuk operator existing.
3. Terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi. Perkem-bangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat belum dapat di-manfaatkan secara optimal karena terbatasnya kemampuan penyedia layanan untuk melakukan adopsi dan adaptasi teknologi. Perangkat regulasi yang ada juga umumnya belum dapat mengantisipasi per-kembangan teknologi secara cepat sehingga pemanfaatannya masih terbatas.
Adapun dari sisi permintaan, keterbatasan infrastruktur disebabkan oleh terbatasnya kemampuan daerah untuk mendukung masuknya operator. Secara umum, penyediaan layanan telekomunikasi oleh operator dipengaruhi oleh kepadatan penduduk; daya beli (purchasing power); serta konsentrasi dan jenis aktivitas masyarakat. Daerah perkotaan yang padat penduduk dan memiliki daya beli tinggi, atau daerah yang memiliki kegiatan industri merupakan daerah target utama penyedia layanan. Sebaliknya, daerah yang mempunyai kemampuan terbatas menjadi tidak menarik bagi penyedia layanan.
Dengan memperhatikan perbedaan kemampuan/kapasitas setiap daerah tersebut, diperlukan strategi yang berbeda dalam peningkatan infrastruktur dan layanan telekomunikasi. Pada daerah yang berkapasitas tinggi, peningkatan infrastruktur dilakukan melalui penciptaan kompetisi yang setara (level playing field). Sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi oleh operator dengan dana pemerintah (program USO) dilakukan pada daerah-daerah yang berkapasitas rendah. Pada daerah yang berkapasitas menengah dapat dilakukan dua pendekatan, yaitu melalui perkuatan regulasi untuk mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif sehingga menarik minat operator, atau melalui mekanisme kerjasama pemerintah dan swasta (public private partnership atau PPP). Melalui skema PPP diharapkan operator yang berpotensi baik skala nasional maupun regional dapat berperan lebih aktif dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Pada daerah yang berkapasitas tinggi, peningkatan infrastruktur dilakukan melalui penciptaan kompetisi yang setara penyelenggaraan telekomunikasi oleh operator dengan dana pemerintah dilakukan pada daerah-daerah yang berkapasitas rendah.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 2�
Untuk mendorong penyediaan infrastruktur telekomunikasi, pemerintah sejak tahun 1999 sudah memulai reformasi sektor telekomunikasi yang pada prinsipnya menghapus bentuk monopoli serta membuka peluang usaha sebesar-besarnya kepada BUMN, BUMD, swasta dan koperasi. Melalui Paket Kebijakan Infrastruktur yang diterbitkan pemerintah pada bulan Februari 2006 yang lalu, beberapa rencana tindak percepatan penyediaan infrastruktur telekomunikasi telah diidentifikasi. Rencana tindak yang telah diselesaikan adalah penerbitan perangkat regulasi yang mengatur interkoneksi dan perkuatan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Adapun rencana tindak yang masih dilakukan (dalam proses) adalah pembaharuan cetak biru dan penyusunan road map telekomunikasi, serta evaluasi terhadap struktur industri telekomunikasi.
Dalam upaya meningkatkan pemerataan pelayanan telekomunikasi peran pemerintah daerah sangat diperlukan. Paling tidak, dukungan pemerintah daerah diharapkan dalam mendukung:1. Penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah. Merujuk kepada
Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, salah satu kebijakan yang ditempuh adalah sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah (perda). Sejauh ini memang terdapat perda yang menghambat investasi seperti pungutan yang berlebihan atas pendirian menara layanan seluler. Kebijakan daerah yang tidak kondusif justru akan menciptakan barrier to entry bagi daerah tersebut. Selain itu, juga terdapat pemerintah daerah yang melakukan penetapan alokasi spektrum frekuensi. Sebagaimana diketahui bahwa spektrum frekuensi merupakan sumberdaya terbatas yang dikuasai oleh negara. Mengingat pengalokasian spektrum frekuensi harus memperhatikan beberapa faktor teknis seperti ketersediaan spektrum dan kemungkinan interferensi, serta harus mengacu kepada ketentuan internasional, maka perencanaan dan penetapan alokasi spektrum frekuensi dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjamin ketertiban dan efisiensi pemanfaatannya. Pemerintah daerah diharapkan bekerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis Balai Monitoring yang berada di setiap daerah untuk melakukan penga-wasan (monitoring) terhadap penggunaan spektrum frekuensi.
Pemerintah sejak tahun 1999 sudah
memulai reformasi sektor telekomunikasi yang pada prinsipnya
menghapus bentuk monopoli serta
membuka peluang usaha sebesar-
besarnya kepada BUMN, BUMD, swasta
dan koperasi.
Dalam upaya meningkatkan
pemerataan pelayanan
telekomunikasi peran pemerintah daerah sangat diperlukan.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 2�
2. Pelaksanaan program USO. Pada tahun 2006, program USO diran-cang dengan pendekatan yang berbeda, yaitu (1) pembiayaan yang bersumber dari kontribusi operator melalui Pendapatan Negara Bukan Pajak; (2) pemilihan operator yang dilakukan secara lelang; dan (3) kegiatan USO yang meliputi pembangunan dan pengelolaan aset untuk menjamin keberlangsungan program. Secara umum, daerah USO dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu non-mature, semi-mature, dan mature sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Sebagai tahap awal, pemerintah telah mengidentifikasi daerah-daerah USO dan sedang melakukan klarifikasi dengan pemerintah daerah yang terkait. Sehubungan dengan hal ini, pemerintah daerah diharapkan dapat membantu dengan memberikan informasi yang akurat atau mengusulkan desa yang dianggap sesuai untuk disertakan dalam program USO.
(4) Sektor Air Minum
Penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah seringkali belum memperhitungkan ketersediaan air minum. Hal ini terlihat dari pembangunan kawasan industri yang masih kurang mem-perhatikan ketersediaan pasokan air minum yang diperlukan dalam proses produksi. Upaya untuk mencukupi kebutuhan air minum bagi keperluan industri sebagian besar diambil dari air tanah dalam. Kondisi tersebut didorong oleh terbatasnya cakupan pelayanan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).
Secara nasional, data Susenas 2005 menunjukkan bahwa pelayanan air minum perpipaan di Indonesia baru 31 persen rumah tangga di perkotaan dan 5 persen rumah tangga di perdesaan, Sedangkan sisanya berusaha memenuhi kebutuhan air minum dari sumber air tanah, sumur, air sungai, dan air hujan. Lambatnya pembangunan jaringan air minum perpipaan, bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan ekonomi menyebabkan terjadinya persaingan dalam pemanfaatan air tanah untuk rumah tangga dan industri, khususnya di kota-kota besar. Pemanfaatan air tanah yang berlebihan akan menyebabkan permukaan
Penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah seringkali belum memperhitungkan ketersediaan air minum.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �0
air tanah cenderung terus menurun. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan menyebabkan terjadinya penurunan tanah (land subsidence) dan intrusi air laut pada kawasan permukiman yang dekat dengan garis pantai.
Penyediaan air minum utama seharusnya bersumber pada pasokan dari PDAM. Dengan tingkat cakupan yang masih rendah saat ini, upaya pemenuhan pelayanan air minum baik bagi rumah tangga maupun industri memerlukan percepatan pembangunan jaringan baru yang membutuhkan biaya sangat besar. Sementara itu, sebagian besar PDAM masih menghadapi banyak masalah tingginya tingkat kebocoran, belum efisiennya sistem produksi dan jaringan pelayanan, rendahnya kinerja manajemen, serta masih adanya sekitar 60 persen PDAM yang terlilit utang. Permasalahan tersebut menghambat PDAM dalam mencari sumber-sumber pembiayaan untuk merehabilitasi sistem pelayanan dan investasi pengembangan jaringan. Rendahnya kinerja PDAM tersebut juga akan berdampak pada makin meningkatnya kesenjangan penyediaan air minum.
Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut ditempuh beberapa langkah simultan. Pertama, mendorong penerapan prinsip good corporate governance dalam pengelolaan PDAM secara konsisten. Kedua, meningkatkan kinerja pengelolaan aset (asset management). Ketiga, restrukturisasi hutang PDAM. Keempat, memperbaiki prasarana dan sarana PDAM. Selain itu, saat ini sedang dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969. Revisi undang-undang tersebut diharapkan dapat mendorong pengelolaan PDAM secara profesional, mandiri (tidak dicampuri kepentingan birokrasi) serta berorientasi kepada konsumen. Berbagai langkah tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja PDAM, baik teknis maupun finansial, sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas (cakupan) pelayanan air minum.
Di masa yang akan datang diharapkan hanya ada dua jenis BUMD, yaitu Perusahaan Umum Daerah (Perumda) dan Perusahaan Perseroan
Penyediaan air minum utama seharusnya
bersumber pada pasokan dari PDAM.
Sementara itu, sebagian besar PDAM
masih menghadapi banyak masalah
tingginya tingkat kebocoran, belum
efisiennya sistem produksi dan jaringan pelayanan, rendahnya
kinerja manajemen, serta masih adanya
sekitar 60 persen PDAM yang terlilit
utang.
Upaya untuk mengatasi
permasalahan tersebut ditempuh beberapa langkah
simultan bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan kinerja PDAM, baik teknis maupun finansial, sehingga mampu
meningkatkan kualitas dan kuantitas (cakupan) pelayanan
air minum.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - �1
Daerah (Perseroda). Hal ini didasarkan kepada pengertian bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan.
(�) Kemajuan Pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Sampai dengan akhir bulan Desember 2006, dari hasil pemantauan kemajuan pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur adalah sebagai berikut.1. Dari target semula sebayak 156 keluaran, 18 keluaran telah dibatalkan
berdasarkan usulan menteri terkait sehingga target keluaran menjadi 138 keluaran. Pengurangan jumlah keluaran ini disebabkan oleh karena beberapa hal sebagai berikut:a. Adanya keluaran yang seharusnya dilakukan oleh departemen
lain telah dimasukkan sebagai bagian dari keluaran departemen bersangkutan sehingga keluaran tersebut tidak dapat dihasilkan;
b. Terdapat keluaran yang merupakan hasil kajian dan bukan keluaran kebijakan, sehingga tidak akan menjadi bagian dari kebijakan yang akan diluncurkan;
c. Keluaran yang direncanakan adalah identik dengan kebijakan yang telah diluncurkan, atau keluaran tersebut identik dengan tugas dan fungsi suatu badan yang telah berdiri, contohnya pendirian PPP (Public Private Partnership) Node di Departemen Pekerjaan Umum yang ternyata identik dengan TUPKOSI Badan Pengawas Jalan Tol (BPJT) dan BPP SPAM.
2. Keluaran yang diselesaikan sebanyak 92 keluaran atau 59 persen dari target awal dan 67 persen dari target setelah perubahan. Dari target keluaran yang belum dicapai, 46 keluaran diusulkan untuk diselesaikan pada tahun 2007, dan 18 keluaran diusulkan untuk dikeluarkan dari paket kebijakan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �2
Kotak 4.�. Pelaksanaan Paket Kebijakan Percepatan
Pembangunan Infrastruktur
Beberapa keluaran yang berhasil diselesaikan merupakan landasan dan kerangka kebijakan, regulasi dan kelembagaan kerjasama Pemerintah dan pihak Swasta dalam pembangunan infrastruktur meliputi:1. RUU sektor transportasi (Darat. Laut, Udara, Perkeretaapian), dan ketenaga-
listrikan;2. Peraturan-peraturan lintas sektor tentang Sekretariat KKPPI, Prosedur dan
Kriteria Proyek-proyek yang akan dikerjasamakan dengan pihak swasta; 3. Unit Pengelola Risiko dan Badan Layanan Umum Pertanahan; 4. Perpres 65/2006 tentang pertanahan (revisi Perpres 36/2005);5. Terselenggaranya Indonesia Infrastructure 2006 (IICE 2006) dengan sukses;6. P3 Center dan P3 nodes di Depatemen Perhubungan; 7. Keppres Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan;8. SOP BPJT dan BPPSPAM; terselesaikannya Operation, Guideline, and Manual
untuk PPP; 9. Berbagai peraturan sektoral, blue print, road map, dan rencana induk
transportasi, telekomunikasi, listrik, dan infrastruktur minyak dan gas bumi; 10. Policy paper tentang PSO, dan lembaga pembiayaan infrastruktur; dan 11. Pedoman, toolkit, dan template tentang PPP.
Adapun agenda yang belum selesai dan akan dilaksanakan pada tahun 2007, diantaranya adalah sebagai berikut:1. Finalisasi terhadap RUU Transportasi, BUMD, Ketenagalistrikan, Energi, Pos
dan Telekomunikasi, Pajak, Sanitasi, Sekuritisasi, Penanaman Modal Asing (terkait dengan PP turunan yang terkait dengan infrastruktur) dan Peraturan turunannya.
2. Tender terhadap 10 Model Proyek KPS dan penyelesaian beberapa proyek infrastruktur.
3. Operasionalisasi P3-Center dan P3 Node untuk mendukung PPP network di Bidang Infrastruktur.
4. Road Map Public Service Obligation (PSO).5. Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Penyiaran Digital.6. Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Penyiaran, Perpres tentang Standar Penyiaran Digital.7. Badan Layanan Umum Rusunawa.8. Badan Layanan Umum Pertanahan.9. Pembentukan Infrastructure Fund dan Guarantee Fund.10. Pedoman tentang Pembebasan Tanah.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - ��
4.� PAKET KEBIJAKAN SEKTOR KEUANGAN
Pemerintah dan Bank Indonesia telah menandatangani Surat Kepu-tusan Bersama (SKB) tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia sebagai otoritas fiskal dan moneter, melanjutkan langkah-langkah reformasi memperkuat industri perbankan, lembaga keuangan non-bank dan pasar modal. SKB yang ditandatangani oleh Menko Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, melengkapi dua paket kebijakan sebelumnya, yaitu Paket Perbaikan Iklim Investasi dan Paket Percepatan Pembangunan Infrastruktur yang telah diterbitkan pada awal tahun ini.
Melalui paket kebijakan sektor keuangan ini diupayakan perbaikan infrastruktur pasar dan kelembagaan, peningkatan aksesibilitas pelaku usaha terhadap modal dan penyempurnaan struktur sektor keuangan yang lebih kuat, seimbang dan stabil. Dengan demikian stabilitas makroekonomi yang sudah mulai pulih beberapa bulan belakangan ini diharapkan dapat terjaga dan menjadi basis yang solid bagi pemulihan sektor riil yang mendapat dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan dan pasar modal.
Dalam menyusun Paket ini, Pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan berbagai konsultasi dengan dunia usaha, lembaga keuangan terkait, dan para pemangku kepentingan lainnya. Rincian dari paket ini menunjukkan komitmen yang kuat dari masing-masing instansi yang bertanggunjawab untuk melaksanakan masing-masing program dan tindakan yang ada dalam paket itu, lengkap dengan produk keluaran dan sasaran waktu yang jelas.
Paket Kebijakan Sektor Keuangan terdiri dari tiga kelompok kebijakan, yaitu stabilitas sistem keuangan, lembaga keuangan perbankan dan nonbank, dan pasar modal dan privatisasi BUMN.
Pemerintah dan Bank Indonesia telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan
Dalam menyusun Paket ini, Pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan berbagai konsultasi dengan dunia usaha, lembaga keuangan terkait, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �4
Tabel 4.4
Rekapitulasi Jumlah Kebijakan, Program dan Tindakan
Paket Kebijakan Sektor Keuangan
KELOMPOK KEBIJAKAN KEBIJAKAN PROGRAM TINDAKAN
Stabilitas Sistem Keuangan
2 3 7
Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Bank
7 18 31
Pasar Modal dan Lain-lain 5 13 18
Jumlah 14 34 55
(1) Stabilitas Sistem Keuangan
Sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan ini adalah peningkatan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter yang sudah semakin baik menyusul mini-crisis yang terjadi pada kuartal keempat tahun lalu. Hal itu dicapai antara lain melalui program penyusunan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan dan Operasionalisasi Forum Stabilitas Sektor Keuangan. Forum yang beranggotakan wakil dari lembaga-lembaga otoritas keuangan ini diharapkan dalam beberapa bulan mendatang menghasilkan beberapa keputusan penting antara lain tentang Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia dan persiapan pelaksanaan Financial Sector Assessment Program (FSAP).
(2) Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Bank
Kelompok kebijakan perbankan terdiri dari dua kebijakan utama, yaitu Kebijakan Memperkuat Lembaga Perbankan dan Kebijakan Peningkatan Kinerja Bank BUMN. Sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan ini adalah memperkuat reformasi lembaga perbankan yang dilaksanakan melalui enam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Hal itu antara lain dilakukan melalui perubahan regulasi yang terkait dengan penyelesaian kredit bermasalah bank BUMN disertai dengan langkah pengamanan pelaksanaannya.
Paket Kebijakan Sektor Keuangan
terdiri dari tiga kelompok kebijakan,
yaitu stabilitas sistem keuangan, lembaga
keuangan perbankan dan nonbank, dan
pasar modal dan privatisasi BUMN.
Sasaran yang ingin dicapai adalah
peningkatan koordinasi antara otoritas fiskal dan
moneter
Sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan
adalah memperkuat reformasi lembaga
perbankan
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - ��
Penguatan industri jasa keuangan non-bank yang mencakup perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan dan perusahaan modal ventura menjadi perhatian pemerintah dan akan terus ditingkatkan. Langkah-langkah konkret yang akan segera dilakukan Pemerintah untuk memperkuat industri jasa keuangan non bank tersebut mencakup aspek prudensial kelembagaan seperti penguatan struktur permodalan untuk perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan modal ventura, penanganan perusahaan asuransi yang tidak sehat dan penerapan kebijakan yang lugas terhadap perusahaan yang tidak dapat disehatkan, serta penetapan pedoman good governance untuk dana pensiun. Selain itu, kebijakan keuangan non bank juga mencakup peningkatan perlindungan konsumen dalam industri asuransi dengan operasionalisasi Badan Mediasi Asuransi Indonesia, perbaikan perlakuan perpajakan, dan peningkatan kualitas dan efektivitas pengawasan terhadap usaha jasa keuangan non bank, serta pengembangan peraturan mengenai kegiatan usaha asuransi dan reasuransi syariah.
(�) Pasar Modal
Kebijakan reformasi di bidang pasar modal diarahkan pada peningkatan likuiditas dan efisiensi, serta integritas pasar modal, yang mampu tumbuh secara berkesinambungan dan stabil. Langkah-langkah kon-kret yang akan diambil mencakup penguatan infrastruktur pasar, peningkatan perlindungan konsumen dan investor, penyempurnaan kerangka peraturan dan perundang-undangan untuk memperkuat fungsi supervisi dan penegakan hukum, serta penyetaraan perangkat aturan dan ketentuan dengan standar dan praktek internasional.
Pengembangan infrastruktur pasar diarahkan pada peningkatan transparansi informasi harga dan perbaikan sistem perdagangan yang lebih kredibel, efisien, efektif, dan handal, serta terdapatnya mekanisme yang mampu menjaga likuiditas dan stabilitas pasar sekunder. Selain itu, akan diambil langkah-langkah konkrit bagi perluasan basis investor dengan pengembangan variasi instrumen pasar, seperti antara lain obligasi ritel, efek berbasis syariah, Exchange Traded Fund, dan lainnya, dan peningkatan partisipasi dan kultur masyarakat sebagai investor pasar modal.
Kebijakan reformasi di bidang pasar modal diarahkan pada peningkatan likuiditas dan efisiensi, serta integritas pasar modal, yang mampu tumbuh secara berkesinambungan dan stabil.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - ��
Paket kebijakan ini juga akan mempertegas arah kebijakan privatisasi BUMN dengan akan dibentuknya Komite Privatisasi dan penyusunan blue print Strategi Privatisasi. Selain itu upaya pengembangan pembiayaan ekspor akan semakin diperkuat dengan menyampaikan Rancangan Undang-Undang Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional (LPEI) kepada DPR sebagai dasar hukum pembentukan lembaga itu.
Dalam upaya mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan 8 butir arah dan strategi kebijakan selama tahun 2007, yaitu: Pertama, BI akan akan berperan lebih aktif sebagai katalisator dalam proses mendorong fungsi intermediasi perbankan ke sektor riil. Dalam hal ini, BI diharapkan dapat menjadi database perekonomian nasional sekaligus sebagai pusat informasi kajian-kajian ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak. Kedua, BI berupaya meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan Pemerintah untuk menata kembali industri perbankan, khususnya melalui revitalisasi peran bank-bank BUMN. Ketiga, BI akan berupaya memfasilitasi proses merger.
Keempat, BI akan memfasilitasi kelancaran pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan yang menjadi pokok permasalahan industri perbankan dewasa ini. Kebijakan BI yang akan diterbitkan dalam waktu dekat selain akan mengubah isi PBI tertentu, juga surat penegasan atas penafsiran beberapa ketentuan yang pernah dikeluarkan antara lain ketentuan Mengenai Tata Cara Penilaian Kolektibilitas Kredit dan penyesuaian berapa ketentuan yang terkait dengan Prinsip Kehati-hatian Perbankan. Kelima, BI mengeluarkan guideline yang akan memandu bank asing untuk dapat berkontribusi lebih optimal dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya dalam meningkatkan fungsi intermediasi. Keenam, BI akan berperan proaktif dalam mengembangkan pasar dan instrumen keuangan. Ketujuh, BI akan membuat program akselerasi pengembangan perbankan syariah Indonesia. Dan kedelapan, BI akan berupaya mengarahkan kembali peran, fungsi dan pola operasional BPR agar sesuai dengan kondisi dan kebiasaan sosial setempat, tanpa harus mengurangi arti penting
Dalam upaya men-dorong peningkatan
fungsi intermediasi perbankan,
Bank Indonesia mengeluarkan 8 butir
arah dan strategi kebijakan selama
tahun 2007
BI akan memfasilitasi kelancaran pelak-
sanaan fungsi intermediasi
perbankan yang menjadi pokok permasalahan
industri perbankan dewasa ini.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - �7
pengelolaan risiko. Peran BPR yang semula ditujukan untuk mengisi kebutuhan pembiayaan masyarakat kecil harus semakin diberdayakan. Selama tahun 2006, Bank Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan untuk meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan pembangunan dan mendorong upaya penguatan industri perbankan melalui konsolidasi sesuai arah API dan Paket Kebijakan Perbankan Oktober 2006. Selain itu, upaya lain yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan tersebut antara lain:a. Melaksanakan linkage program, yaitu penerusan kredit UMKM dari
bank umum atau bank syariah kepada BPR/BPR syariah;b. Menyelenggarakan ”Bazaar Intermediasi Perbankan” dan workshop
”Prospek Dunia Usaha dan Potensi Pembiayaannya oleh Perbankan”, baik di Kantor Pusat maupun di daerah, yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada perbankan mengenai sektor riil (dunia usaha) yang memiliki prospek baik dan berpotensi untuk dibiayai namun belum diketahui oleh perbankan;
c. Memberikan bantuan teknis (technical assistance);d. Menyediakan informasi kredit;e. Mengembangkan Skim Penjaminan Kredit Daerah, yang merupakan
kerjasama antara PT. Askrindo, BPD setempat dan perbankan.
Tabel 4.�
Perkembangan Jumlah Bank Umum
KELOMPOKBANK
Des 00 Des 01 Des 02 Des 03 Des 04 Des 05 Des 06Bank Persero 5 5 5 5 5 5 5BUSN
Devisa38 38 36 36 34 34 35
BUSN NonDevisa
43 42 40 40 38 37 36BP 26 26 26 26 26 26 26Bank Campuran 29 24 24 20 19 18 17Bank Asing 10 10 10 11 11 11 11T O T A L 151 145 141 138 133 131 130
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - ��
Salah satu arah dan strategi kebijakan di bidang Perbankan yang akan ditempuh adalah program akselerasi perbankan syariah dengan fokus pada sosialisasi intensif perbankan syariah, pengayaan produk dan perluasan jaringan pelayanan (di daerah dapat juga berbentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau Unit Usaha Syariah dari Bank Pembangunan Daerah), serta mendorong masuknya dana investasi luar negeri ke industri perbankan syariah. Pengembangan industri perbankan syariah merupakan sebagai salah satu langkah strategis dalam mendukung pengembangan sektor riil di daerah. Hal ini mengingat karakteristik dan kinerja perbankan syariah yang cukup baik dengan Financing to Deposit Ratio (FDR atau LDR dalam perbankan konvensional) yang mencapai rata-rata di atas 90 persen dan Non Performing Financing (NPF atau NPL dalam perbankan konvensional) yang terpelihara secara rata-rata di bawah 5 persen.
Dalam rangka peningkatan peran BPR dan kontribusinya dalam melaksanakan fungsi intermediasi perbankan, Pemerintah/Instansi-Instansi Daerah diharapkan dapat bekerjasama dengan BPR dalam menyalurkan dana-dana untuk kepentingan usaha masyarakat melalui Pola Linkage Program. Dengan dana murah dari Pemerintah, BPR dapat membiayai UKMK dengan suku bunga yang rendah sehingga tidak memberatkan UKMK. Selain itu, upaya peningkatan peran serta BPR tersebut harus didukung pula dengan penguatan permodalan BPR terutama BPR milik Pemda yang sudah berdiri untuk mengatasi risiko usaha yang timbul, meningkatkan daya saing dan jangkauan pelayanan kepada UMK, dengan cara merger atau konsolidasi agar memiliki permodalan yang kuat dan beroperasi secara efisien, serta memenuhi ketentuan persyaratan modal disetor. Dalam upaya memperluas jangkauan pelayanan BPR, Pemda diharapkan dapat mendirikan BPR baru terutama di luar Pulau Jawa dan Bali.
Untuk memberikan informasi yang lengkap dalam upaya pengembangan UMKM, Bank Indonesia telah menyusun Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil atau disingkat dengan SI-PUK. SI-PUK merupakan kumpulan sistem informasi usaha kecil berbasis internet
Salah satu arah dan strategi
kebijakan di bidang Perbankan adalah
program akselerasi perbankan syariah
Pemerintah/Instansi-Instansi
Daerah diharapkan dapat bekerjasama dengan BPR dalam
menyalurkan dana-dana untuk
kepentingan usaha masyarakat melalui
Pola Linkage Program. Dengan dana murah dari
Pemerintah
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - ��
yang disusun secara terpadu sehingga dapat menyajikan informasi yang mudah diakses oleh pengguna. Informasi lengkap mengenai SI-PUK dapat diakses melalui internet dengan alamat http:/www.bi.go.id/sipuk.SI-PUK terdiri dari beberapa sub sistem, yaitu :(a) Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIBES). Sistem Informasi BES merupakan sistem informasi yang menyajikan
hasil penelitian BES yang bertujuan memberikan informasi tentang sub sektor/komoditas yang potensial untuk dikembangkan (komoditas unggulan).
(b) Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE). SIABE merupakan sistem informasi yang menyajikan hasil penelitian
Agroindustri Berorientasi Ekspor yang bertujuan memberikan informasi tentang komoditas agroindustri yang potensial untuk diekspor dan informasi lainnya seperti profil komoditas, daftar eksportir, daerah potensi komoditas, dll.
(c) Sistem Informasi Lending Model Usaha Kecil (SI-LMUK). SILM merupakan sistem informasi yang menyajikan hasil penelitian
Lending Modal yang bertujuan memberikan informasi mengenai pola pembiayaan suatu komoditas di suatu daerah.
(d) Sistem Penunjang Keputusan untuk Investasi (SPKUI). SPKUI merupakan pendamping SI-LMUK guna membantu
memudahkan pengguna apabila akan melakukan simulasi terhadap perubahan data dan asumsi yang terdapat dalam Lending Model. Dengan simulasi perhitungan dimaksud diharapkan pengguna segera memperoleh gambaran kelayakan finansial suatu komoditas sesuai dengan kondisi/waktu dan daerah komoditas tersebut.
(e) Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit (SI-PMK). Merupakan sistem informasi yang memuat tata cara dalam
mengajukan kredit kepada bank secara umum, karena pada dasarnya setiap bank mempunyai tatacara sendiri yang bervariasi.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 40
4.4 KEBIJAKAN PERTANAHAN
Pertanahan menjadi salah satu isu strategis dalam upaya peningkatan investasi. Isu pertanahan tidak hanya terkait dengan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, tetapi juga pengembangan UMKM. Dalam pembangunan infrastruktur, masalah pengadaan tanah akan menentukan kelancaran implementasi proyek. Tersedianya kerangka regulasi yang jelas akan membantu percepatan pembangunan infrastruktur strategis khususnya dalam rangka pelayanan publik. Dalam pengembangan UMKM, pendaftaran status kepemilikan (sertifikasi) tanah milik pelaku UMKM sangat membantu peningkatan akses permodalan melalui tersedianya kolateral.
Secara umum, kebijakan pengelolaan pertanahan disusun dengan landasan prinsip-prinsip berikut: 1. Pertanahan dan keagrariaan harus berkontribusi nyata dalam
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan dapat membangkitkan sumber-sumber kemakmuran baru bagi rakyat;
2. Pertanahan harus berkontribusi nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan. Prinsip keadilan perlu diutamakan mengingat pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah (P4T) selama ini masih memunculkan masalah ketimpangan pertanahan;
3. Pertanahan harus berkontribusi nyata dalam menjamin keberlanjutan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan;
4. Pertanahan harus berkontribusi nyata dalam mewujudkan harmoni sosial.
Prinsip-prinsip kebijakan pertanahan nasional di atas dituangkan secara lebih operasional dalam 11 agenda reforma agraria sebagai berikut: 1. Membangun kepercayaan masyarakat kepada Badan Pertanahan
Nasional (BPN); 2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta
sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia;3. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah;
Dalam pembangunan infrastruktur, masalah
pengadaan tanah akan menentukan
kelancaran implementasi proyek
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 41
4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air;
5. Menangani dan menyelesaikan perkara masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara sistematis;
6. Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia;
7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pem-berdayaan masyarakat;
8. Membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;
9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan;
10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional; 11. Mengembangkan dan memperbaharui politik hukum dan kebijakan
pertanahan.
Sejalan dengan upaya peningkatan investasi di daerah, BPN akan melaksanakan tiga skema kegiatan pengelolaan pertanahan. Pertama, mengalokasikan anggaran publik untuk rakyat miskin dan UMKM. Kedua, memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk membiayai diri sendiri dengan membuka akses masyarakat terhadap pendanaan dari perbankan. Ketiga, mendukung akselerasi program-program khusus pemerintah pusat maupun daerah, dengan prioritas utama pada revitalisasi pertanian dan perdesaan, pembangunan perumahan rakyat dan percepatan pembangunan infrastruktur.
Untuk memberikan landasan regulasi yang lebih jelas dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan, Pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Beberapa perubahan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang dapat menjadi pedoman dalam pengadaan tanah bisa dilihat dalam Tabel 4.6.
BPN akan melaksanakan tiga skema kegiatan pengelolaan pertanahan
Pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 42
Tabel 4.�
Matriks Perbandingan Perpres Nomor ��/200� dan
Perpres Nomor ��/200�
PASAL PERPRES NOMOR 36 TAHUN 2005
PERPRES NOMOR 65 TAHUN 2006
Pasal 1 angka (3)
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah
Pasal 2 ayat (1)
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara:a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, ataub. pencabutan hak atas tanah
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
Pasal 3 (1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah
(2) Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf b dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 4�
PASAL PERPRES NOMOR 36 TAHUN 2005
PERPRES NOMOR 65 TAHUN 2006
Pasal 5 Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi : a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di
atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang
bawah tanah), saluran air minum/air bersih,
saluran pembuangan air dan sanitasi;b. Waduk, bendungan, bendung irigasi dan bangunan perairan lainnya;c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;d. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta
api, dan terminal;e. Peribadatan;f. Pendidikan atau sekolah;g. Pasar umum;h. Fasilitas pemakaman umum;i. Fasilitas keselamatan umum;j. Pos dan telekomunikasi;k. Sarana olah raga;l. Stasiun penyyaiaran radio, televisi dan
sarana pendukungnya;m. Kantor pemerintah, pemerintah daerah,
perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesiadan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
o. Lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan;
p. Rumah susun sederhana;q. Tempat pembuangan sampah;r. Cagar alam dan cagar budaya;s. Pertamanan;t. Pantai sosial;u. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga
listrik.
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi : a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta
api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan perairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;f. Cagar alam dan cagar budaya;g. Pembangkit, transmisi, distribusi
tenaga listrik.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 44
PASAL PERPRES NOMOR 36 TAHUN 2005
PERPRES NOMOR 65 TAHUN 2006
Pasal 10 ayat (1)
Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama
Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama
Pasal 10 ayat (2)
Apabila setelah musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan
Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan
Pasal 13 (1) Bentuk ganti rugi dapat berupa:a. Uang; dan / ataub. Tanah pengganti; dan / atauc. Pemukiman kembali
(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Bentuk ganti rugi dapat berupa:a. Uang; dan / ataub. Tanah pengganti; dan / atauc. Pemukiman kembali; dan / ataud. Gabungan dari dua atau lebih
bentuk ganti kerugian sebagai mana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 15 ayat (1) huruf a
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:a. Nilai jual obyek pajak (NJOP) atau
nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga / tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:a. Nilai jual obyek pajak (NJOP) atau
nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian lembaga / tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 4�
PASAL PERPRES NOMOR 36 TAHUN 2005
PERPRES NOMOR 65 TAHUN 2006
Pasal 18A
Tidak ada Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar mendapat ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.
Badan Pertanahan Nasional saat ini sedang menyusun Pedoman Pelak-sanaan Pengadaan Tanah. Tujuan dari penyusunan pedoman tersebut adalah (1) memberikan landasan perolehan tanah yang diperlukan untuk menunjang kegiatan pembangunan; (2) memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak yang tanahnya diambilalih dan pihak yang memerlukan tanah; (3) memberikan jaminan perlindungan kepada pihak-pihak yang terkena dampak berkaitan de-ngan kesejahteraan sosial ekonominya.
Terkait dengan kegiatan pelayanan Penetapan Hak atas Tanah, Pemerintah telah menetapkan beberapa kategori besaran uang pemasukan dalam rangka penetapan hak atas tanah. Penetapan ini diatur dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Klasifikasi kategori tersebut antara lain: (1) Badan Keagamaan, Badan Sosial, Masyarakat Miskin atau Masyarakat
Tidak Mampu dibebaskan dari Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali;
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 4�
(2) Tarif pengukuran rincian dalam kegiatan Redistribusi Tanah Secara Swadaya ditetapkan sebesar 75 persen dari ketentuan tarif terendah di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(3) Pengenaan Uang Pemasukan Dalam Rangka Penetapan Hak Atas Tanah dapat dikenakan sebesar Rp. 0,00 (nol rupiah) terhadap : a. Pemberian Hak Milik atas tanah : 1) Tanah Negara dalam rangka Proyek Operasional Nasional
Agraria/Pertanahan (PRONA), Proyek Operasional Nasional Agraria/Pertanahan Daerah (PRONADA), Proyek Hak Daerah Transmigrasi, Redistribusi dan Konsolidasi tanah;
2) Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang berasal dari Obyek PRONA, PRONADA, PRONA Swadaya, Proyek Hak Daerah Transmigrasi dan Konsolidasi tanah yang masih tercatat atas nama bekas pemegang semula yang diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini;
3) Yang telah dibeli atau dibebaskan haknya dari Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/ Kota/Desa; atau
4) Penguasaan Pemilikan Perorangan Milik Belanda dan Presidium Kabinet Nomor 5 Tahun 1965.
b. Pemberian Hak Guna Usaha yang berasal dari Hak Milik yang telah dibebaskan;
c. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah : 1) Yang telah diperoleh atau dibebaskan haknya dari Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota;
2) Hak Milik yang telah dibebaskan atau kepunyaan pemohon sendiri, atau
3) Penguasaan Pemilikan Perorangan Milik Belanda dan Presidium Kabinet Nomor 5 Tahun 1965.
d. Pemberian Hak Pakai atas tanah : 1) Yang telah diperoleh atau dibebaskan haknya dari Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota;
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 47
2) Hak Milik yang telah dibebaskan atau kepunyaan pemohon sendiri;
3) Hak Pakai dengan jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu kepada Instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Lembaga Internasional yang diakui Pemerintah, Badan Keagamaan/Sosial sesuai ketentuan yang berlaku; atau
4) Penguasaan Pemilikan Perorangan Milik Belanda dan Presidium Kabinet Nomor 5 Tahun 1965.
e. Pemberian Hak Pengelolaaan.(4) Kepada Pegawai Negeri maupun anggota TNI/POLRI, termasuk
janda/duda mereka, anggota masyarakat golongan ekonomi lemah/tidak mampu, yayasan/perkumpulan yang bergerak di bidang keagamaan dan sosial ditetapkan Uang Pemasukan kepada Negara sebesar 50 persen dan untuk Pensiunan, anggota Veteran serta jandanya sebesar 10 persen dari nilai Uang Pemasukan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - 4�
Keg iatan Pe la yanan Pe ne tap an H ak atasTanah d ila kukan de ngan m em be rikan U angPem asukan (P s . 15 , PP No . 46 /2002 1) .
Jenis -Jen is P ene tap an H ak atas T anah :a. H ak Milikb. H ak G una Us aha ;c. H ak G una B angunan;d. H ak P aka i;e. H ak Pe nge lo laan.
Untuk Kepentingan PenanamanModal
Pem be rian, pe rp an jang an d anpem baha ruan hak atas tanahd ila kukan deng an pem be rian uangpem asukan deng an pe rhi tung anjum lah sesuai PP No . 46 /2002 P s .17 , 18 , 19 d an Ang ka 7 .
Apabila jangka waktu Hak yang pertama kalidiberikan atas tanah berakhir
Penerima Hak wajib melaporkanpermohonan perpanjangan waktukepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat.
Kepala Kantor Pertanahanmelakukan penelitian ke Lapangan
Apabila perpanjangan jangka waktu Hakatas tanah berakhir
Penerima Hak wajib melaporkan danmendaftarkan kembali pembaharuan haknyakepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.
Hasil Penelitian dituangkan padaLaporan konstatasi 2
Kepala Kantor Pertanahan MembuatKonfirmasi Status Hak Atas Tanah
Penerima Hak membayar biayapendaftaran tanah sesuai ketentuan
PP No. 46/2002
Penetapan hak atas tanah
Keterangan : 1) Peraturan Pemerintah RI No. 46 Tahun 2002
Tentang Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berlaku pada Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
2) Laporan Konstatasi adalah laporan yang
didasarkan pada temuan di lapangan atau
temuan beberapa studi.
Kotak 4.4
SKEMA PEMBERIAN HAK ATAS TANAHUNTUK KEPENTINGAN PENANAMAN MODAL
(Berdasarkan SE Kepala BPN Tanggal 23 Januari 2003 No. 110-170)
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - 4�
4.� PEMANTAPAN KEAMANAN, KETERTIBAN, DAN STABILITAS POLITIK
Kondisi keamanan, ketertiban dan penanggulangan kriminalitas secara umum masih ditandai oleh adanya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Daya beli masyarakat yang semakin menurun, tingkat pengangguran yang tinggi, kemiskinan yang bertambah menyebabkan masih tingginya tingkat kriminalitas. Tindak pidana konvensional dengan skala lokal seperti pencurian, penipuan, perampokan, kekerasan rumah tangga, pembunuhan atau kejahatan susila yang merupakan karakteristik cerminan kondisi perekonomian intensitasnya masih cukup tinggi dan semakin bervariasi. Di sisi lain, penerapan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung telah menimbulkan gangguan keamanan di beberapa wilayah akibat adanya perselisihan antarpendukung dan antargolongan. Rendahnya kemampuan aparat keamanan sebagai akibat keterbatasan sarana dan prasarana me-nyebabkan upaya pencegahan, penanggulangan gangguan keamanan belum dapat memberikan hasil yang optimal.
Gangguan keamanan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia, terutama gangguan pelayaran penumpang maupun barang masih menunjukkan kerawanan. TNI sebagai unsur penegak kedaulatan di laut dan Polri sebagai unsur penegak hukum di laut, mulai meningkatkan kemampuan dan melakukan upaya intensif dalam rangka menegakkan kedaulatan dan penindakan pelanggaran hukum di laut. Upaya lain yang sedang diupayakan adalah meningkatkan pelaksanaan koordinasi keamanan laut untuk menciptakan harmonisasi peran dan fungsi lembaga di ruang laut yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut. Dalam lingkup regional Asia Tenggara, pada tahun 2007 masih diperlukan perhatian yang serius pada permasalahan potensi konflik wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan sejumlah negara seperti Malaysia, Phillipine, China, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia.
Kondisi keamanan, ketertiban dan penanggulangan kriminalitas secara umum masih ditandai oleh adanya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Gangguan keamanan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia, terutama gangguan pelayaran penumpang maupun barang masih menunjukkan kerawanan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �0
Meski bahaya separatisme di NAD telah berhasil diselesaikan secara bermartabat, masih terdapat upaya kegiatan separatisme di wilayah lain, seperti Papua yang diperkirakan masih akan berlangsung. Berbagai upaya mendiskreditkan posisi Indonesia yang dilakukan oleh kelompok separatis, diperkirakan masih akan terus berlangsung. Aktivitas seperti mencari suaka politik, mempermasalahkan pelanggaran HAM, isu pemekaran wilayah, eksploitasi sumber daya alam, atau proses pemilihan kepala daerah dianggap masih efektif untuk menginternasionalisasi masalah Papua. Aksi terorisme yang bernuansa lokal intensitasnya cenderung menurun, namun di daerah konflik dan pasca konflik khususnya Poso, aksi-aksi terorisme melalui upaya membenturkan kepentingan politik dan SARA antarmasyarakat atau antaraparat masih sering dijumpai. Selain teror bom yang diledakkan di sejumlah tempat ibadah bertepatan dengan acara keagamaan, serta terjadinya teror individual yang bertujuan menciptakan konflik merupakan indikasi rumitnya penyelesaian masalah Poso. Sementara itu di wilayah-wilayah lain relatif aman dari gangguan terorisme yang bernuansa lokal seiring dengan makin mantapnya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Keberhasilan aparat kepolisian menewaskan tokoh utama terorisme di Indonesia yang diduga terlibat serangkaian peledakan bom di Bali, Jakarta, tampaknya masih menghadapi tantangan terkait dengan belum tertangkapnya tokoh kunci lain dan pengungkapan jaringannya. Selanjutnya, pada tahun 2007, berbagai upaya akan terus dilakukan termasuk upaya memutus jaringan terorisme yang melibatkan dan bersentuhan dengan masyarakat awam.
Gangguan keamanan dan ketertiban tersebut berdampak sangat sig-nifikan terhadap upaya-upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif di dalam negeri. Oleh karena itu, kemampuan pencegahan, penanggulangan, dan tindakan tepat sasaran dalam menanggulangi gangguan tersebut adalah tolok ukur keberhasilan utama mengaman-kan aktivitas dunia usaha. Meski permasalahan pencegahan dan penang-gulangan gangguan keamanan dan ketertiban menjadi tanggung jawab
Berbagai upaya akan erus dilakukan termasuk
upaya memutus jaringan terorisme
yang melibatkan dan bersentuhan dengan
masyarakat awam.
Peran pemerintah daerah juga sangat menentukan dalam
penyelesaian masalah keamanan teritorial
seperti masalah keamanan laut dan
kerawanan perbatasan.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - �1
langsung Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah mempunyai peran yang tidak kalah penting dalam mendukung dan mewujudkan kondisi aman dan damai. Penyelesaian masalah masyarakat lokal secara dini dan pembinaan masyarakat menjadi sangat penting sebagai upaya preventif yang efektif sebelum menjadi gangguan keamanan berskala besar. Mengingat hal tersebut, pemerintah daerah agar mencermati dinamika masyarakat dan melaksanakan koordinasi yang harmonis dengan institusi pertahanan dan keamanan setempat. Peran pemerintah daerah juga sangat menentukan dalam penyelesaian masalah keamanan teritorial seperti masalah keamanan laut dan kerawanan perbatasan karena adanya hubungan timbal balik antara kinerja pembangunan daerah di daerah rawan tersebut dengan kondisi aman dan damai yang ingin dicapai.
4.� PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Perkembangan ekonomi global serta geo-ekonomi dan geo-strategis regional memberi indikasi yang kuat bahwa Indonesia perlu memfokuskan peningkatan ekpor dan investasinya pada beberapa kawasan khusus yang mendapatkan beberapa fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan infrastruktur pendukungnya sedemikian rupa sehingga dapat bersaing dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi asing masuk ke Indonesia dan sekaligus juga membantu mengembangkan wilayah dan kawasan. Kawasan-kawasan khusus inilah yang sementara ini akan dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau Special Economic Zones (SEZ). Dalam konstelasi perdagangan dan investasi global sebenarnya Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang seharusnya dapat menjadi peluang dalam menarik investasi. Beberapa keunggulan Indonesia antara lain adalah:• Lokasi Indonesia sangat ideal bagi pengembangan pusat logistik
dan distribusi karena dilewati oleh jalur maritim internasional dari Eropa ke Asia, Asia Tenggara ke Asia Utara/Amerika dan dari Asia ke Australia;
• Lokasi Indonesia menguntungkan sebagai pusat produksi karena terletak di tengah pasar yang sangat besar, yaitu pasar ASEAN
Indonesia perlu memfokuskan peningkatan ekpor dan investasinya pada beberapa kawasan khusus yang mendapatkan beberapa fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan infrastruktur pendukungnya
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �2
sekitar 500 juta jiwa, pasar Cina sekitar 1,3 milyar jiwa dan pasar India sekitar 1,1 milyar jiwa;
• Indonesia memiliki pasar tenaga kerja yang sangat besar dengan upah yang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain di sekitarnya.
Gambar 4.1
Kawasan Ekonomi Khusus di Guangzhou, Cina
Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dimaksudkan antara lain untuk memberi peluang bagi peningkatan investasi melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan dan siap menampung kegiatan industri, ekspor-impor serta kegiatan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Tujuan pembentukan KEK ini adalah: 1. Meningkatkan investasi termasuk Foreign Direct Investment;2. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tak
langsung;
Pengembangan (KEK) dimaksudkan antara lain untuk memberi
peluang bagi peningkatan investasi
melalui penyiapan kawasan yang
memiliki keunggulan dan siap menampung
kegiatan industri, ekspor-impor serta kegiatan ekonomi
yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - ��
3. Meningkatkan penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan ekspor;
4. Menghemat penggunaan devisa dengan adanya importasi bahan baku sebagai pengganti importasi barang jadi (substitusi impor);
5. Meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor;6. Meningkatkan keunggulan kompetitif produk asal KEK dibanding-
kan dengan produk impor yang sejenis;7. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayanan dan
kapital bagi peningkatan ekspor;8. Mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui alih
teknologi.
Dengan maksud dan tujuan tersebut, Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia didefinisikan sebagai:“Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia adalah kawasan tertentu di mana diberlakukan ketentuan khusus di bidang perpajakan dan kepabeanan serta perizinan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan. Selain ketentuan tersebut, kawasan ekonomi khusus juga didukung dengan ketersediaan infrastruktur yang andal serta badan pengelola yang profesional dengan standar internasional”.
(1) Kriteria Penetapan Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia
Berdasarkan kajian atas penetapan kawasan sejenis di berbagai negara, lokasi yang akan dipilih menjadi Kawasan Ekonomi Khusus harus memenuhi persyaratan pokok yang telah ditetapkan oleh Tim Pelaksana Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia yang meliputi: 1. Adanya Komitmen dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan
untuk melaksanakan pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. Sesuai dengan arahan pengembangan wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah serta layak menurut Kajian AMDAL;
Lokasi yang akan dipilih menjadi Kawasan Ekonomi Khusus harus memenuhi persyaratan pokok yang telah ditetapkan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - �4
3. Terletak pada posisi yang strategis yaitu dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berhadapan dengan alur laut Indonesia, dan layak untuk dikembangkan secara ekonomis;
4. Telah tersedia dukungan infrastruktur dan kemungkinan pengem-bangannya;
5. Tersedia lahan dengan luas minimal 500 Ha dengan status yang jelas;
6. Memiliki batas yang jelas, baik alam maupun buatan.
Secara prinsip, 6 kriteria di atas akan dipergunakan untuk melihat kelayakan daerah untuk dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Hal yang dinilai adalah pemenuhan dari setiap kriteria. Adapun pengusulannya bisa dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
(2) Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus
Isu kelembagaan menjadi isu yang sangat sentral dalam pengembangan KEKI ke depan. Hal yang perlu diingat adalah peningkatan daya tarik dan daya saing investasi di KEKI dibentuk oleh faktor-faktor penye-derhanaan prosedur investasi, insentif perpajakan dan kepabeanan, dukungan infrastruktur terpadu dan aturan-aturan khusus lainnya. Kesemuanya itu memerlukan koordinasi yang sangat intensif di antara lembaga-lembaga KEKI, kementerian/lembaga terkait di tingkat pusat dan Pemerintah Daerah setempat. Pada saat yang sama diperlukan pembagian tugas dan kewenangan yang jelas di antara lembaga-lembaga tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kerelaan baik dari kementerian/lembaga terkait maupun Pemerintah Daerah untuk berbagi kewenangan dan tanggungjawab dengan lembaga-lembaga KEKI.
Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus pada hakekatnya cenderung seperti kelembagaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Institusi pembina di tingkat pusat adalah Dewan Pengembangan Kawasan yang dibentuk melalui Keputusan Presiden dan diketuai oleh Menteri yang mengkoordinasikan bidang perekonomian dengan
Diperlukan kerelaan baik dari
kementerian/lembaga terkait
maupun Pemerintah Daerah untuk berbagi
kewenangan dan tanggungjawab
dengan lembaga-lembaga KEKI.
Institusi pembina di tingkat pusat
adalah Dewan Pengembangan
Kawasan yang dibentuk melalui
Keputusan Presiden dan diketuai oleh
Menteri yang mengkoordinasikan
bidang perekonomian
Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Perbaikan Iklim Investasi
IV - ��
keanggotaan para Menteri/kepala lembaga pemerintah non-departemen terkait. Dewan Pengembangan Kawasan bertugas:a. Menetapkan kebijakan umum tingkat nasional tentang pengem-
bangan Kawasan Ekonomi Khusus;b. Melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah untuk dijadikan
Kawasan Ekonomi Khusus; c. Memberikan rekomendasi kepada Presiden mengenai wilayah yang
dapat dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus.d. Melakukan monitoring atas pelaksanaan pengelolaan Kawasan
Ekonomi Khusus, dan memberikan laporan mengenai hal tersebut kepada Presiden;.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Dewan Pengembangan Kawasan di-bantu Tim Pelaksana Kawasan Ekonomi Khusus. Uraian tugas dan kewenangan, struktur kelembagaan, dan keanggotaan Dewan Pengem-bangan Kawasan dan Tim Pelaksana Kawasan Ekonomi Khusus diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Institusi pembina di tingkat daerah adalah Badan Pengembangan Kawasan. Uraian tugas dan kewenangan, struktur kelembagaan dan keanggotaan Badan Pengembangan Kawasan diatur dengan keputusan Ketua Dewan Pengembangan Kawasan.
Adapun gambaran tugas Badan Pengembangan Kawasan adalah:a. Menetapkan kebijakan umum tingkat kawasan, membina, meng-
awasi, dan mengkoordinasikan kegiatan pengusahaan;b. Mengusulkan struktur kelembagaan dan personil Badan Pengusa-
haan kepada Dewan pengembangan Kawasan;c. Membuat ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan
Undang-Undang ini serta perundang-undangan yang berlaku;d. Melakukan monitoring atas pelaksanaan pengelolaan Kawasan
Ekonomi Khusus dan menyampaikan hasil monitoring tersebut kepada Dewan Pengembangan Kawasan.
Institusi pembina di tingkat daerah adalah Badan Pengembangan Kawasan.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
IV - ��
Uraian tugas dan kewenangan, struktur kelembagaan dan keanggotaan Badan Pengembangan Kawasan diatur dengan keputusan Ketua Dewan Pengembangan Kawasan. Sedangkan institusi di tingkat kawasan adalah Badan Pengusahaan Kawasan yang dibentuk dengan keputusan Ketua Badan Pengembangan Kawasan. Badan Pengusahaan Kawasan berupa badan usaha yang berbentuk badan hukum dan dikelola secara profesional. Badan Pengusahaan Kawasan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan dan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan tersebut.
Badan Pengusahaan Kawasan berupa
badan usaha yang berbentuk badan
hukum dan dikelola secara profesional
BAB VRencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 2
5.1 TEMA DAN PRIORITAS RKP TAHUN 2007
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007 merupakan pelaksanaan tahun ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, dan merupakan kelanjutan RKP Tahun 2006. RKP ini telah digunakan sebagai acuan bagi penyusunan RAPBN Tahun 2007.
RKP Tahun 2007 disusun berdasarkan berbagai kemajuan yang sudah dicapai di tahun 2005 dan tahun 2006, masalah dan tantangan yang dihadapi pada tahun 2007, serta berbagai sasaran yang harus dicapai dalam RPJMN dalam pelaksanaan 3 Agenda Pembangunan, yaitu: Mewujudkan Indonesia Yang Aman dan Damai; Menciptakan Indonesia Yang Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.
Perencanaan pembangunan perlu diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan pembangunan yang nyata, spesifik, dan jelas besaran alokasi pendanaannya. Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004–2009 dituangkan dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007 yang memuat kebijakan, program dan kegiatan pembagunan yang telah disepakati bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bab ini akan menjelaskan ringkasan RKP 2007 terutama prioritas pembangunan dan sasaran yang akan dicapai pada tahun 2006. Bab ini juga menyajikan informasi tentang pendanaan pembangunan daerah termasuk alokasi Kementerian/Lembaga Pemerintah per provinsi, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Pelaksanaan berbagai prioritas pembangunan tersebut menggunakan
kerangka regulasi untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dan kerangka pelayanan
investasi Pemerintah dan pelayanan umum.
BAB V RENCANA KERJA PEMERINTAH DAN KEBIJAKAN ANGGARAN 2007
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - �
Berdasarkan pemahaman tersebut, tema pembangunan tahun 2007 adalah ”Meningkatkan Kesempatan Kerja dan Menanggulangi Kemiskinan dalam rangka Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat”. Tema ini dijabarkan dalam 9 (sembilan) prioritas pembangunan, yaitu: 1. Penanggulangan Kemiskinan;2. Peningkatan Kesempatan Kerja, Investasi, dan Ekspor; 3. Revitalisasi Pertanian dalam arti luas dan Pembangunan Per-
desaan; 4. Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan; 5. Penegakan Hukum dan HAM, Pemberantasan Korupsi, dan Re-
formasi Birokrasi; 6. Penguatan Kemampuan Pertahanan, Pemantapan Keamanan dan
Ketertiban, serta Penyelesaian Konflik; 7. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
Nias (Sumatera Utara), Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta Mitigasi dan Penanggulangan Bencana;
8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur; dan 9. Pembangunan Daerah Perbatasan dan Wilayah Terisolir.
Pemilihan prioritas ini didasarkan pada pertimbangan antara lain memiliki dampak yang besar terhadap pencapaian sasaran pembangunan, mendesak dan penting untuk segera dilaksanakan; merupakan tugas Pemerintah, serta realistis untuk dilaksanakan. Pelaksanaan berbagai prioritas pembangunan tersebut menggunakan kerangka regulasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan kerangka pelayanan investasi Pemerintah dan pelayanan umum. Dengan adanya prioritas dan fokus prioritas pembangunan, segenap aparatur negara dan seluruh lapisan masyarakat diharapkan mempunyai kesamaan arah dan pandangan dalam membangun negeri ini.
5.2 SASARAN-SASARAN RKP TAHUN 2007
Dalam RKP Tahun 2007 ini, tiap-tiap prioritas diarahkan untuk mencapai sasaran pembangunan secara terukur dengan fokus yang terarah dan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 4
kegiatan-kegiatan penting yang mampu mendorong pencapaian sasaran pembangunan pada masing-masing prioritas pembangunan.
Sasaran prioritas penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007 adalah menurunnya penduduk miskin menjadi 14,4 persen dengan fokus: (a) perluasan akses masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar; (b) perlindungan sosial; (c) penanganan gizi kurang dan kerawanan pangan; (d) perluasan kesempatan kerja; serta (e) peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat. Salah satu kegiatan utama dalam penanggulangan kemiskinan adalah memperluas cakupan wilayah program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat. Selain itu dalam rangka membangun sistem jaminan sosial bagi masyarakat miskin, Pemerintah akan mengembangkan program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) di beberapa provinsi. BTB bersyarat ini diharapkan memberikan dampak yang lebih luas bagi kesejahteraan masyarakat sekaligus merupakan upaya untuk membangun sumber daya manusia melalui akses yang lebih besar ke pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat yang kurang beruntung.
Dalam prioritas peningkatan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor, sasaran yang akan dicapai pada tahun 2007 adalah menurunnya angka pengangguran menjadi 10,4 persen, meningkatnya investasi berupa pembentukan modal tetap bruto sebesar 11,8 persen, meningkatnya industri pengolahan nonmigas sebesar 7,9 persen, meningkatnya penerimaan ekspor nonmigas dan penerimaan devisa dari pariwisata sebesar 15 persen dengan fokus pada: (a) penciptaan pasar tenaga kerja yang lebih luwes, (b) perbaikan iklim investasi dan usaha, (c) perluasan negara tujuan dan produk ekspor, (d) peningkatan dayasaing industri manufaktur, (e) pengembangan industri berbasis agro untuk penguatan dayasaing daerah, (f) penguatan industri berorientasi ekspor, (g) peningkatan intensitas pariwisata, serta (h) peningkatan produktivitas dan akses UKM terhadap sumber daya produktif.
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan pada tahun 2007 adalah tumbuhnya
Dalam prioritas peningkatan
kesempatan kerja, investasi, dan
ekspor, sasaran yang akan dicapai pada tahun 2007 adalah
menurunnya angka pengangguran
menjadi 10,4 persen, meningkatnya investasi
berupa pembentukan modal tetap bruto
sebesar 11,8 persen, meningkatnya
industri pengolahan nonmigas sebesar 7,9
persen, meningkatnya penerimaan ekspor
nonmigas dan penerimaan devisa dari
pariwisata sebesar 15 persen.
Tiap-tiap prioritas diarahkan untuk
mencapai sasaran pembangunan secara terukur
dengan fokus yang terarah.
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - 5
sektor pertanian sebesar 2,7 persen dan meningkatnya pembangunan perdesaan dengan fokus pada: (a) peningkatan ketahanan pangan nasional, (b) peningkatan kualitas produksi pertanian dalam arti luas, dan (c) pengembangan diversifikasi ekonomi dan infrastruktur perdesaan. Selain itu, dalam upaya mengembangkan sumber energi yang berkelanjutan, pengembangan energi alternatif seperti bahan bakar nabati (biofuel) juga mendapat perhatian tersendiri di dalam prioritas ini.
Sasaran prioritas peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan pada tahun 2007 antara lain adalah meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7–12 tahun menjadi 99,5 persen dan APS penduduk usia 13–15 tahun menjadi 91,1 persen, menurunnya angka buta aksara, meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas III, meningkatnya penanganan penderita demam berdarah dan malaria masing-masing mencapai 100 persen, serta meningkatnya persentase desa yang mencapai cakupan imunisasi anak universal sebesar 92 persen. Fokus pada prioritas ini adalah (a) percepatan pemerataan, peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dasar 9 tahun; (b) peningkatan aksesibilitas, pemerataan, dan relevansi pendidikan menengah dan tinggi yang berkualitas; (c) peningkatan ketersediaan dan kualitas pendidik dan tenaga pendidikan; (d) penurunan buta aksara; (e) peningkatan aksesibilitas, pemerataan, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin; (f) pencegahan dan pemberantasan penyakit terutama penyakit menular dan wabah termasuk penanganan terpadu flu burung; (g) penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi, dan anak balita; serta (h) peningkatan ketersediaan obat generik esensial, pengawasan obat makanan, dan keamanan pangan.
Di bidang prioritas penegakan hukum dan HAM, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi, sasaran umum yang akan dicapai pada tahun 2007 adalah meningkatnya upaya penegakan hukum dan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dengan fokus pada penegakan
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan pada tahun 2007 adalah tumbuhnya sektor pertanian sebesar 2,7 persen dan meningkatnya pembangunan perdesaan.
Di bidang prioritas penegakan hukum dan HAM, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi, sasaran umum yang akan dicapai pada tahun 2007 adalah meningkatnya upaya penegakan hukum dan kualitas pelayanan publik kepada masyarakatSasaran yang akan dicapai dalam prioritas penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban, serta penyelesaian konflik pada tahun 2007 adalah meningkatnya kemampuan pertahanan dan keamanan, serta meningkatnya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 6
hukum dan pemberantasan korupsi terutama pada sektor-sektor pengguna anggaran negara terbesar, serta reformasi birokrasi untuk peningkatan kualitas pelayanan publik. Upaya preventif pemberantasan korsupsi akan ditempuh melalui penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) di tingkat nasional sebagai acuan daerah dalam menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD-PK) di setiap instasi pemerintah dengan fokus pemberantasan tindak pidana korupsi di bidang pelayanan publik, peningkatan dan penyempurnaan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan di bidang pengadaan barang dan jasa, pertanahan, samsat, investasi, dan perpajakan.
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban, serta penyelesaian konflik pada tahun 2007 adalah meningkatnya kemampuan pertahanan dan keamanan, serta meningkatnya keamanan dan ketertiban masyarakat dengan fokus: (a) peningkatan kemampuan TNI dan Polri; (b) pencegahan dan pemberantasan narkoba; (c) peningkatan peran industri pertahanan nasional; (d) penanggulangan dan pencegahan tindak terorisme; (e) penyelesaian dan pencegahan konflik; (f) penanggulangan dan pencegahan berbagai bentuk kejahatan, baik konvensional maupun lintas negara; (g) peningkatan kualitas intelijen; (h) percepatan pembangunan jaringan komunikasi sandi negara; serta (i) penanggulangan dan pencegahan gangguan keamanan laut.
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas rehabilitasi dan rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Nias (Sumatera Utara), Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta mitigasi dan penanggulangan bencana pada tahun 2007 adalah terlaksananya rehabilitasi dan rekonstruksi NAD dan Nias serta terselesaikannya kegiatan tanggap darurat pada beberapa daerah pascabencana alam pada tahun-tahun sebelumnya dengan fokus: (a) NAD dan Nias; (b) Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah; (c) Alor dan Nabire, serta bencana di daerah lainnya; (d) penguatan kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat nasional dan daerah; (e) penguatan kelembagaan dalam rangka penegakan rencana tata ruang dan rencana wilayah; (f) pengurangan dan pencegahan resiko bencana; serta (g) peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Sasaran yang akan dicapai dalam
prioritas rehabilitasi dan rekonstruksi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), Nias (Sumatera Utara),
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Tengah, serta mitigasi dan penanggulangan
bencana pada tahun 2007 adalah
terlaksananya rehabilitasi dan
rekonstruksi NAD dan Nias serta
terselesaikannya kegiatan tanggap
darurat pada beberapa daerah pascabencana
alam.
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - 7
Dalam prioritas percepatan pembangunan infrastruktur, yang meliputi sumber daya air, transportasi, energi, pos dan telematika, ketenagalistrikan, serta perumahan dan permukiman, sasaran yang akan dicapai pada tahun 2007 adalah meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur dengan fokus pada: (a) peningkatan pelayanan infrastruktur sesuai dengan standar pelayanan minimal; (b) peningkatan peran infrastruktur dalam mendukung daya saing sektor riil; serta (c) peningkatan investasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur.
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas pembangunan daerah perbatasan dan wilayah terisolir pada tahun 2007 adalah tertatanya garis batas negara, meningkatnya pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil, serta wilayah terisolir, dengan fokus pada: (a) penegasan dan penataan batas negara di darat dan di laut termasuk sekitar pulau-pulau kecil terluar; (b) peningkatan kerja sama bilateral di bidang politik, hukum, dan keamanan dengan negara tetangga; (c) penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (d) pemihakan kebijakan pembangunan untuk percepatan pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar; (e) pengembangan sarana dan prasarana ekonomi di daerah terisolir; serta (f) peningkatan sarana dan prasarana pelayanan sosial di daerah terisolir.
Keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan dan pelaksanaan prioritas pembangunan tersebut memerlukan suatu kerja sama dan koordinasi yang solid antara pemerintah pusat dan daerah. Setiap kementerian/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah mempunyai tanggung jawab dan peran yang penting dalam mengelola anggaran secara efektif dan efisien untuk mencapai sasaran pembangunan tahun 2007. Selain itu, keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan juga ditentukan oleh partisipasi aktif masyarakat.
Dengan kerjasama dan koordinasi yang solid antar kementerian/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah dalam mewujudkan prioritas pembangunan tersebut, serta peranan masyarakat yang meningkat dalam pembangunan, perekonomian Indonesia pada tahun 2007
Dalam prioritas percepatan pembangunan infrastruktur.
Sasaran yang akan dicapai pada tahun 2007 adalah meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur.
Sasaran yang akan dicapai dalam prioritas pembangunan daerah perbatasan dan wilayah terisolir pada tahun 2007 adalah tertatanya garis batas negara, meningkatnya pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil, serta wilayah terisolir.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - �
diharapkan akan lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 diperkirakan mencapai lebih dari 6 persen. Dari sisi pengeluaran, sumber pertumbuhan ekonomi diharapkan berasal dari peningkatan investasi, konsumsi masyarakat, serta ekspor barang dan jasa. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong oleh industri pengolahan, terutama nonmigas, pertanian, serta sektor-sektor lainnya.
Dengan kemampuan ekonomi yang meningkat, pada tahun 2007 jumlah pengangguran terbuka diharapkan turun menjadi 10,4 persen dan jumlah penduduk miskin turun menjadi 14,4 persen.
5.� PRIORITAS ANGGARAN 2007
5.�.1 Arah Kebijakan Fiskal, Asumsi Ekonomi Makro dan Postur APBN
(1) Arah Kebijakan Fiskal
Pokok-pokok kebijakan fiskal dalam RAPBN 2007 dapat dijelaskan berdasarkan arah kebijakan, strategi kebijakan, dan garis besar postur RAPBN 2007. Berdasarkan arah kebijakan, pertama, kebijakan fiskal dalam RAPBN 2007 diarahkan untuk dapat membiayai pengeluaran dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien dan bebas dari pemborosan maupun korupsi. Kedua, kebijakan fiskal diarahkan untuk dapat turut serta dalam memelihara dan memantapkan stabilitas perekonomian, dan berperan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kebijakan fiskal diarahkan untuk dapat mengatasi masalah mendasar yang menjadi prioritas pembangunan, yaitu: (a) Penanggulangan kemiskinan; (b) Peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor; (c) Revitalisasi pertanian dan pembangunan
Pertumbuhan ekonomi pada tahun
2007 diperkirakan mencapai lebih dari 6
persen.
Pokok-pokok kebijakan fiskal
dalam RAPBN 2007 dapat dijelaskan
berdasarkan arah kebijakan, strategi
kebijakan, dan garis besar postur RAPBN
2007.
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - 9
perdesaan; (d) Peningkatan kualitas dan aksesibilitas terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan; (e) Penegakan hukum dan HAM, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi; (f) Penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban, serta penyelesaian konflik; (g) Mitigasi dan penanggulangan bencana; (h) Percepatan pembangunan infrastruktur; dan (i) Pembangunan daerah perbatasan dan wilayah terisolir. Keempat, kebijakan fiskal diarahkan untuk mendukung keberlanjutan proses konsolidasi desentralisasi fiskal dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dengan tujuan antara lain untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta antar daerah, dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah.
Adapun strategi kebijakan fiskal tahun 2007 meliputi: 1. Meningkatkan konsolidasi fiskal untuk mempertahankan kesinam-
bungan fiskal (fiscal sustainability); 2. Mengupayakan penurunan beban utang, pembiayaan yang efisien
dan menjaga kredibilitas pasar modal; 3. Menurunkan defisit anggaran menjadi sekitar 0,9 persen terhadap
PDB; 4. Meningkatkan penerimaan negara yang bersumber dari pajak dan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP); 5. Mengendalikan dan meningkatkan efisiensi belanja negara; 6. Memberikan stimulus guna mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas; 7. Melanjutkan reformasi administrasi perpajakan, kepabeanan, dan
cukai; 8. Mempertajam prioritas alokasi anggaran belanja pemerintah pusat
antara lain dengan: a. Perbaikan pendapatan aparatur negara dan pensiunan;b. Pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang;c. Peningkatan kualitas pelayanan operasional pemerintahan dan
pemeliharaan aset negara;d. Investasi pemerintah di bidang infrastruktur;
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 10
e. Subsidi untuk menstabilkan harga barang dan jasa yang ber-dampak pada masyarakat;
f. Peningkatan anggaran pendidikan sejalan dengan amanat UUD 1945;
g. Kesinambungan bantuan langsung kepada masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan; dan
h. Pengembangan energi alternatif non BBM (biofuel dan biodiesel).
9. Mengalokasikan alokasi anggaran belanja ke daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, antara lain melalui: a. penyempurnaan dan percepatan proses perhitungan, peng-
alokasian, penetapan dan penyaluran dana bagi hasil; b. pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 26 persen
dari PDN neto, yang disertasi dengan peningkatan akurasi data dasar perhitungan DAU;
c. pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendanai ke-giatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar.
10. Mengoptimalkan kebijakan pembiayaan defisit anggaran dengan biaya dan tingkat risiko yang rendah antara lain dengan: a. Melakukan pengelolaan portofolio SUN dengan pembayaran
bunga dan pokok secara tepat waktu;b. Melanjutkan kebijakan privatisasi;c. Memanfaatkan dana eks-moratorium untuk rekonstruksi dan
rehabilitasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias;d. Menggunakan sebagian dana simpanan pemerintah; dane. Mengedepankan prinsip kemandirian dengan memprioritaskan
dana dalam negeri.
(2) Asumsi Ekonomi Makro
(i) Pertumbuhan ekonomi tahun 2007 diperkirakan sebesar 6,3 persen; sedikit lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN maupun Proyeksi 2006.
(ii) Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat diperkirakan sebesar Rp 9.300/US$.
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - 11
(iii) Laju inflasi sebesar 6,5 persen, membaik dibanding tahun se-belumnya.
(iv) Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sebesar 8,5 persen.
(v) Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude oil Price, ICP) di pasar internasional diperkirakan sebesar US$ 63 per barel, sedangkan rata-rata tingkat produksi (lifting) minyak mentah Indonesia sebesar 1,0 juta barel per hari.
Asumsi ekonomi makro di atas dapat digambarkan secara ringkas pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Asumsi Ekonomi Makro
No. ASUMSI APBN 2007
1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,3
2. Inflasi (%) 6,5
3. Nilai Tukar (Rp/US$) 9.300
4. Tingkat Bunga SBI 3 Bulan 8,5
5. Harga Minyak (US$/barel) 63,0
6. Lifting Minyak (juta barel/hari) 1,000
7. Produk Domestik Bruto (triliun Rp) 3.531,088
(�) Postur APBN
Besarnya beban pengeluaran negara antara lain pada pos pengeluaran pembayaran hutang luar negeri termasuk pembayaran pokok dan bunga, serta subsidi yang secara keseluruhan merupakan 36,5 persen dari belanja pemerintah pusat atau 24,2 persen dari belanja negara di tahun 2007. Kondisi ini memberikan keterbatasan pada anggaran negara. Namun demikian, selaras dengan semangat otonomi daerah, bagian anggaran yang diserahkan kepada daerah mengalami peningkatan.
Untuk tahun 2007, dari seluruh belanja negara dianggarkan sebanyak 33,9 persen diserahkan kepada daerah.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 12
Untuk tahun 2007, dari seluruh belanja negara dianggarkan sebanyak 33,9 persen diserahkan kepada daerah, angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yaitu sebesar 31,6 persen dari seluruh belanja negara (APBN-P 2006) sebagaimana digambarkan dalam Tabel 5.2. berikut ini.
Tabel 5.2
APBN-P 2006 dan APBN 2007 dalam triliun rupiah
2006 2007
APBN-P % PDB APBN % PDB
A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Bukan Pajak II. Hibah
B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat - Pembayaran Bunga Utang - Subsidi
II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian a. Dana Otonomi Khusus b. Dana Penyesuaian C. Keseimbangan Primer
D. Surplus / Defisit Anggaran
E. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri (netto)
659,1654,9425,1229,8
4,2
699,1478,2
82,5107,6
220,8216,8
59,6145,7
11,64,1
3,50,6
42,5
-40,0
40,055,3
-15,3
21,121,013,6
7,40,1
22,415,3
2,63,5
7,17,01,94,70,40,1
0,10,0
1,4
-1,3
1,31,8
-0,5
723,1720,4509,5210,9
2,7
763,6504,8
85,1103,0
258,8250,3
68,5164,8
17,18,5
4,04,4
44,6
-40,5
40,555,1
-14,6
20,520,414,4
6,00,1
21,614,3
2,42,9
7,37,11,94,70,50,2
0,10,1
1,3
-1,1
1,11,6
-0,4
Memorandum Items Rasio Pembayaran Bunga Utang thd Belanja Pemerintah Pusat 17,3 16,9Rasio Subsidi thd Belanja Pemerintah Pusat 22,5 20,4 Rasio Belanja Daerah thd Belanja Negara 31,6 33,9
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - 1�
5.�.2 Belanja Negara
Anggaran Belanja Negara TA 2007 direncanakan sebesar Rp 763,6 triliun terdiri dari:(1) Anggaran belanja pemerintah pusat direncanakan sebesar Rp 504,8
triliun; dan(2) Anggaran belanja daerah direncanakan sebesar Rp 258,8 triliun.
(1) Belanja Pemerintah Pusat
Kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2007 lebih diarahkan pada langkah-langkah strategis dalam memperbaiki kualitas pengeluaran, antara lain dengan mempertajam prioritas alokasi anggaran, untuk: (i) perbaikan pendapatan aparatur negara dan pensiunan; (ii) pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang; (iii) peningkatan kualitas, efisiensi dan efektivitas pelayanan dan pe-
nyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan, serta peme-liharaan aset negara;
(iv) peningkatan investasi pemerintah, terutama di bidang infrastruktur dasar untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional;
(v) pemberian subsidi untuk membantu menstabilkan harga barang dan jasa yang berdampak luas kepada masyarakat;
(vi) peningkatan anggaran pendidikan sejalan dengan amanat UUD 1945; serta
(vii) kesinambungan bantuan langsung kepada masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan.
(2) Belanja Daerah
Kebijakan belanja daerah dalam tahun 2007 diarahkan untuk men-dukung keberlanjutan konsolidasi desentralisasi fiskal guna menunjang pelaksanaan otonomi daerah, sebagai upaya meningkatkan peran dan kemandirian daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah. Kebijakan tersebut, antara lain diarahkan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah,
Kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2007 lebih diarahkan pada langkah-langkah strategis dalam memperbaiki kualitas pengeluaran.
Kebijakan belanja daerah dalam tahun 2007 diarahkan untuk mendukung keberlanjutan konsolidasi desentralisasi fiskal guna menunjang pelaksanaan otonomi daerah.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 14
antardaerah, serta untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah (public service provision gap).
Alokasi anggaran belanja daerah dalam tahun anggaran 2007 ditetapkan sebesar Rp 258.794,6 miliar yang terdiri dari:(1) Dana perimbangan sebesar Rp 250.342,8 miliar terdiri dari:
(i) Dana bagi hasil direncanakan sebesar Rp 68.461,3 miliar;(ii) Dana alokasi umum direncanakan sebesar Rp 164.787,4 miliar;(iii) Dana alokasi khusus direncanakan sebesar Rp 17.094,1 miliar.
(2) Dana otonomi khusus dan penyesuaian sebesar Rp 8.451,8 miliar yang terdiri dari:(i) Dana otonomi khusus bagi provinsi Papua direncanakan sebesar
Rp 4.045,7 miliar; dan(ii) Dana penyesuaian direncanakan sebesar Rp 4.406,1 miliar.
Dana Bagi Hasil
• Dana Bagi Hasil terdiri atas: (i) Dana Bagi Hasil Pajak dan (ii) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA).
• Dana Bagi Hasil TA 2007 ditetapkan sebesar Rp 68.461,3 miliar dengan rincian sebagai berikut:a. Dana Bagi Hasil Pajak sebesar Rp 33.065,3 miliar, yang terdiri
dari: (i) Pajak Penghasilan sebesar Rp 7.475,3 miliar; (ii) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp 20.198,7 miliar; (iii) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Rp 5.391,3
miliar.b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sebesar Rp 35.396,0
miliar, yang terdiri dari: (i) Minyak bumi sebesar Rp 15.827,1 miliar; (ii) Gas Alam sebesar Rp 11.623,2 miliar; (iii) Pertambangan Umum sebesar Rp 6.035,5 miliar; (iv) Kehutanan sebesar Rp 1.710,3 miliar; (v) Perikanan sebesar Rp 200,0 miliar.
Dana otonomi khusus dan penyesuaian
sebesar Rp 8.451,8 miliar.
Dana Bagi Hasil TA 2007 ditetapkan
sebesar Rp 68.461,3 miliar.
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - 15
Dana Alokasi Umum
• Jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum Tahun 2007 ditetapkan 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam Anggaran pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2007.
• Proporsi Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai berikut:a. Untuk Daerah provinsi sebesar 10% (sepuluh persen) dari
jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umumb. Untuk daerah Kabupaten/Kota sebesar 90% (sembilan puluh
persen) dari jumlah keseluruhan Dana Alokasi Umum.• Alokasi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Dana Alokasi Khusus
• DAK tahun 2007 dialokasikan dengan menggunakan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.i. Kriteria umum yang digunakan untuk menentukan daerah
penerima alokasi DAK tahun 2007 yaitu daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata nasional. Kemampuan fiskal daerah tersebut didasarkan pada selisih antara realisasi Penerimaan Umum Daerah (Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil) dengan belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah pada APBD Tahun Anggaran 2005.
ii. Kriteria khusus yang digunakan untuk menentukan daerah penerima alokasi DAK tahun 2007 yaitu daerah-daerah tertentu yang memiliki karakteristik dan/atau berada di wilayah: (a) Provinsi Papua yang merupakan daerah Otonomi Khusus; (b) daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan daerah pariwisata; (c) daerah rawan banjir/longsor, daerah penampung transmigrasi, daerah
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 16
yang memiliki pulau-pulau kecil terdepan, daerah yang alokasi DAU-nya dalam tahun 2007 tidak mengalami kenaikan, daerah rawan pangan dan/atau kekeringan, daerah pascakonflik, daerah penerima pengungsi.
iii. Kriteria teknis yang dirumuskan dalam bentuk Indeks Teknis (IT) dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis terkait. Kriteria Teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana/prasarana pada masing-masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK, dengan memperhatikan berbagai variabel yang berkaitan dengan bidang/kegiatan yang akan didanai DAK tahun anggaran 2006.
• Alokasi DAK untuk Tahun Anggaran 2007 ditetapkan sebesar Rp 17.094.100.000.000,00 (tujuh belas triliun sembilan puluh empat miliar seratus juta rupiah). DAK dialokasikan untuk membantu daerah mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang merupakan prioritas nasional di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur (jalan, irigasi, dan air bersih), kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, serta lingkungan hidup, dengan alokasi masing-masing sebagai berikut:
Tabel 5.�
Alokasi Dana Alokasi Khusus
DANA ALOKASI KHUSUSTOTAL PAGU 2007
(dalam miliar Rupiah)
Pendidikan 5.195,290
Kesehatan 3.381,270
Infrastruktur Jalan 3.113,060
Infrastruktur Irigasi 858,910
Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi 1.062,370
Prasarana Pemerintahan Daerah 539,060
Kelautan dan Perikanan 1.100,360
Pertanian 1.492,170
Lingkungan Hidup 351,610
Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Anggaran 2007
V - 17
Alokasi Dana Otonomi Khusus untuk tahun 2007 sebesar Rp 4.045,7 miliar.
• Prioritas DAK diberikan untuk: (i) membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar yang sudah merupakan urusan daerah; dan (ii) menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana diwilayah pemekaran dan pesisir dan kepulauan, perbatasan dengan negara lain, tertinggal / terpencil, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan.
• Daerah penerima DAK tahun anggaran 2007 wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10 persen dari alokasi DAK. Namun demikian, untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu, dimana selisih antara penerimaan umum APBD dengan belanja pegawai sama dengan nol atau negatif, tidak diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping tersebut (sesuai dengan penjelasan pasal 41 ayat (3) UU No.33 Tahun 2004)
• Alokasi DAK untuk kabupaten/kota dapat dilihat pada Lam- piran 7.
Dana Otonomi Khusus
• Alokasi dana otonomi khusus sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, untuk pembiayaan peningkatan pendidikan dan kesehatan, yang jumlahnya setara dengan 2 (dua) persen dari pagu dana alokasi umum (DAU) secara nasional dan berlaku selama 20 tahun sejak tahun 2002. Alokasi Dana Otonomi Khusus untuk tahun 2007 sebesar Rp 4.045,7 miliar.
• Penyaluran dilakukan oleh Menteri Keuangan setiap triwulan, yaitu triwulan I sebesar 15 persen, triwulan II sebesar 30 persen, triwulan III sebesar 40 persen, dan triwulan IV sebesar 15 persen.
• Mekanisme penyaluran ke kabupaten/kota dilaksanakan melalui Gubernur, yang difasilitasi oleh tim teknis yang dibentuk Pemerintah.
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
V - 1�
Dana Penyesuaian
• Dana Penyesuaian (DP) terdiri dari Dana Penyesuaian Murni sebesar Rp 842,913 milyar dan Dana Penyesuaian Ad-hoc sebesar Rp 3,563 trilyun.
a. Dana Penyesuaian Murni dialokasikan sebagai pelaksanaan atas penerapan kebijakan formula DAU agar tidak menimbulkan adanya daerah provinsi dan kabupaten/kota yang mendapatkan DAU lebih kecil daripada DAU ditambah dengan Dana Penyesuaian Murni Tahun 2006 (hold harmless).
b. Dana Penyesuaian Adhoc dialokasikan untuk daerah-daerah tertentu yang memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan diprioritaskan penggunaannya untuk kegiatan-kegiatan pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan dan sarana/prasarana fisik lainnya, irigasi dan pengairan, serta pertanian, kelautan dan perikanan yang merupakan kebutuhan daerah.
Dana Penyesuaian (DP) terdiri dari Dana
Penyesuaian Murni sebesar Rp 842,913
milyar dan Dana Penyesuaian Ad-hoc
sebesar Rp 3,563 trilyun.
lAMPIRANBuku Pegangan 2007Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
2 - Lampiran
Lampiran 1
PerkemBangan realisasi investasi (izin Usaha tetaP) PmDn menUrUt lokasi, 2001-sePtemBer 2006
WilayahJUmlah Proyek
2001 2002 2003 2004 2005 2006Sumatera 20 12 18 20 40 18
Jawa 114 76 81 88 141 74
Bali 8 3 1 5 11 5
Kalimantan 11 10 13 7 11 11
Nusa Tenggara - 3 - 2 3 3
Sulawesi 5 3 5 3 5 4
Maluku 2 - 1 - 1 1
Papua - 1 - 4 2 1kBi 153 101 113 120 203 108kti 7 7 6 9 11 9Jumlah 160 108 119 129 214 117
Wilayahnilai Proyek (rP, milyar)
2001 2002 2003 2004 2005 2006Sumatera 3.029,4 199,1 1.228,3 1.286,7 13.501,7 3.332,7
Jawa 5.070,1 10.878,1 9.917,0 7.886,3 14.796,6 7.325,0
Bali 311,4 31,6 49,1 66,1 46,4 40,7
Kalimantan 902,0 1.330,4 418,8 5.141,8 1.747,6 1.572,9
Nusa Tenggara - 14,7 - 174,3 19,7 64,2
Sulawesi 571,4 36,0 275,5 164,4 509,0 68,6
Maluku 6,5 - 1,3 - 0,9 0,2
Papua - 10,1 - 545,1 43,1 21,4KBI 9.312,9 12.439,2 11.613,2 14.380,9 30.092,3 12.271,3
kti 577,9 60,8 276,8 883,8 572,7 154,4
Jumlah 9.890,8 12.500,0 11.890,0 15.264,7 30.665,0 12.425,7 Sumber: BKPM, 2006
Lampiran
Lampiran - �
PerkemBangan realisasi investasi (izin Usaha tetaP) Pma menUrUt lokasi, 2001-sePtemBer 2006
WilayahJUmlah Proyek
2001 2002 2003 2004 2005 2006Sumatera 57 25 26 37 50 29
Jawa 358 372 503 471 719 585
Bali 25 17 17 25 109 59
Kalimantan 5 10 14 6 13 11
Nusa Tenggara 3 9 3 2 8 8
Sulawesi 4 6 6 3 6 9
Maluku 1 0 0 0 4 0
Papua 1 3 1 0 0 1kBi 445 424 560 539 891 684kti 9 18 10 5 18 18Jumlah 454 442 570 544 909 702
Wilayahnilai Proyek (Us$ JUta)
2001 2002 2003 2004 2005 2006Sumatera 906,7 90,1 501,7 850,4 1.224,6 526,6
Jawa 2.481,6 2.740,1 4.515,6 3.248,1 7.251,2 3.143,9
Bali 28,5 3,4 23,8 104,7 97,5 98,1
Kalimantan 53,5 188,5 137,2 368,0 181,8 499,5
Nusa Tenggara 5,6 3,4 1,4 2,5 5,1 7,3
Sulawesi 7,1 60,5 266,6 27,4 145,3 15,5
Maluku 1,8 0,0 0,0 0,0 9,1 0,0
Papua 24,8 4,1 4,1 0,0 0,0 0,6KBI 3.470,3 3.022,1 5.178,3 4.571,2 8.755,1 4.268,1
kti 39,3 68,0 272,1 29,9 159,5 23,4
Jumlah 3.509,6 3.090,1 5.450,4 4.601,1 8.914,6 4.291,5
Sumber: BKPM, 2006
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
� - Lampiran
Lampiran 2
inDikator Utama Dan variaBel PenentU Daya saing Daerah
inDikator Utama variaBel
i. Perekonomian Daerah 1 PDRB
2 Laju Pertumbuhan PDRB
3 PDRB Perkapita
4 Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita
5 Koefisien Gini
6 Investasi Domestik
7 Investasi Domestik (% terhadap PDRB)
8 Laju Pertumbuhan Investasi
9 Tabungan
10 Persentase Tabungan terhadap PDRB
11 Laju Pertumbuhan Tabungan
12 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
13 Laju Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
14 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
15 Laju Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
16 Produktivitas Sektor Pertanian
17 Laju Pertumbuhan Produktivitas Sektor Pertanian
18 Produktivitas Sektor Industri
19 Laju Pertumbuhan Produktivitas Sektor Industri
20 Produktivitas Sektor Jasa
21 Laju Pertumbuhan Produktivitas Sektor Jasa
22 Laju Inflasi
ii. keterbukaan 1 Volume Perdagangan Internasional
2 Ekspor Barang dan Jasa
3 Ekspor Barang dan Jasa pada (% PDRB)
4 Laju Pertumbuhan Ekspor
5 Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke daerah
6 Diversifikasi Pasar Ekspor
7 Kredit dan Asuransi Ekspor
8 Impor Barang dan Jasa
9 Impor Barang dan Jasa (% PDRB)
Lampiran
Lampiran - �
inDikator Utama variaBel
10 Laju Pertumbuhan Impor
11 Terms of Trade
12 Pangsa Pasar Ekspor
13 Laju Pertumbuhan Pangsa Pasar Ekspor
14 Keterbukaan Budaya Daerah
15 Penanaman Modal Asing (PMA)
16 Laju Pertumbuhan PMA
17 Nilai Kumulatif PMA terhadap PDRB
18 Hambatan Birokrasi dan Administrasi Perdagangan Antar Daerah
19 Hambatan Tidak Resmi Perdagangan Antar Daerah
20 Pajak dan Retribusi Perdagangan Antar Daerah
21 Aliran Barang dan Jasa ke daerah lain
22 Aliran Barang dan Jasa ke daerah lain (% PDRB)
23 Laju Pertumbuhan Aliran Barang dan Jasa ke daerah lain
24 Aliran Barang dan Jasa dari daerah lain
25 Aliran Barang dan Jasa dari daerah lain (% PDRB)
26 Laju Pertumbuhan Aliran Barang dan Jasa dari daerah lain
iii. sistem keuangan 1 Tingkat Bunga Riil Jangka Pendek
2 Biaya Modal Perbankan
3 Biaya Modal Non-Perbankan
4 Posisi Kredit Bank Umum terhadap PDRB
5Persentase Mobilisasi Dana Pihak Ketiga di Perbankan Terhadap Total Aktiva Bank Umum
6 Persentase Kredit terhadap Tabungan
7 Persentase Kredit kepada Dunia Usaha terhadap Total Kredit
8 Kemudahan penyaluran kredit ke dunia usaha
9 Margin Antara Tingkat Bunga Pinjaman dan Tingkat Bunga Tabungan
10 Transparansi Institusi Perbankan
11 Kualitas Pendidikan di Bidang Keuangan dan Perbankan
12 Transparansi Lembaga Keuangan Bukan Bank
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
� - Lampiran
inDikator Utama variaBel
iv. infrastruktur dan sumber Daya alam
1 Panjang Jalan per Luas Wilayah
2 Kualitas Jalan Raya
3 Panjang Rel Kereta Api per Luas Wilayah
4 Pelabuhan Udara
5 Penggunaan Angkutan Udara untuk Penumpang
6 Penggunaan Angkutan Udara untuk Barang
7 Kualitas Transportasi Udara
8 Pelabuhan Laut
9 Penggunaan Angkutan Laut untuk Penumpang
10 Penggunaan Angkutan Laut untuk Barang
11 Kualitas Angkutan Laut
12 Penggunaan Transportasi Sungai Untuk Barang
13 Luas Wilayah Perkotaan
14 Produksi Listrik
15 Kualitas Aliran Listrik
16 Fasilitas Telepon per Kapita
17 Kualitas Pelayanan Telepon
18 Surat Kabar
19 Kualitas Akses Internet
20 Penggunaan Internet oleh Sektor Usaha
21 Ketersediaan dan Kualitas Sumber daya lahan/tanah
22 Sumber daya Air perkapita
23 Sumber Daya Hutan (ha)
24 Nilai tambah sektor pertambangan dan penggalian
v. ilmu Pengetahuan dan teknologi
1 Pentingnya Penelitian Bagi Perusahaan
2 Kerjasama Penelitian
3 Kerjasama Teknologi Antar Perusahaan
4 Sumber Dana Untuk Litbang
5 Brain Drain dari Tenaga Ahli di Bidan IPTEK
6 Insinyur yang berkualitas
7 Ketersediaan tenaga ahli di bidang teknologi informasi (IT)
vi. sumber Daya manusia 1 Angka Ketergantungan
2 Tingkat Harapan Hidup
3 Angkatan Kerja
Lampiran
Lampiran - 7
inDikator Utama variaBel
4 Angkatan Kerja (%)
5 Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja
6 Persentase Penduduk Usia Produktif Terhadap Total Penduduk
7 Laju Pertumbuhan Penduduk Usia Produktif
8 Tenaga Kerja Ahli
9 Jumlah Penduduk yang Bekerja
10 Persentase Penduduk Yang Bekerja Terhadap Total Penduduk
11 Prospek Kesempatan Kerja
12 Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja
13 Pengangguran
14 Tingkat Partisipasi SD
15 Tingkat Partisipasi SLTP
16 Tingkat Partisipasi SLTA
17 Tingkat Partisipasi Perguruan Tinggi
18 Rasio Jumlah Guru Terhadap Murid SD
19 Rasio Jumlah Guru Terhadap Murid SLTP
20 Rasio Jumlah Guru Terhadap Murid SLTA
21 Angka Melek Huruf
22 Laju Pertumbuhan Angka Melek Huruf
23 Lama Pendidikan
24 Indeks Pembangunan Manusia (HDI)
25 Populasi Penduduk di Perkotaan
26 Kualitas Pelayanan Kesehatan
27 Fleksibilitas dan Adaptabilitas
28 Kesetaraan dalam Kesempatan
29 Nilai-nilai kemasyarakatan
vii. kelembagaan 1 Keadilan dan Ketidakberpihakan
2 Kejujuran dan Kebersihan
3 Kecepatan proses peradilan
4 Biaya peradilan
5 Konsistensi
6 Penegakan keputusan
7 Perlindungan terhadap kontrak dan kepemilikan
8 Keamanan
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
� - Lampiran
inDikator Utama variaBel
9 Tingkat Kejahatan
10 Stabilitas Politik
11 Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah
12 Aktivitas Legislatif DPRD dan Pemda
13 Kegiatan Unjuk Rasa Masyarakat
14 Independensi Media Masa Daerah
15 Konflik sosial
16 Spirit/Motivasi Kerja
17 Kebersihan dan kesehatan
viii. governance dan kebijakan Pemerintah
1 Perubahan Peraturan dan Kebijakan
2 Masukan dunia usaha dalam pembuatan peraturan/kebijakan
3 Tendensi prediktabilitas peraturan dan kebijakan pemda
4 Pelaksanaan peraturan yang konsisten
5 Korupsi dan Suap
6 Pungutan tidak resmi
7 Favoritisme dari aparat pemerintah
8 Indenpendensi Aparat Pemerintah
9 Waktu yang diperlukan dalam urusan birokrasi
10 Produktivitas aparat pemerintah
11 Kompetensi aparat pemerintah
12 Efisiensi dalam pelayanan publik
13 Besarnya biaya transaksi
14 Gaji aparat pemerintah
15 Moral/Budaya Malu
16 Peraturan Pemda tentang Pendirian Usaha Baru
17 Peraturan Pemda yang mendistorsi harga
18 Peraturan Pemda tentang perdagangan
19 Peraturan Pemda tentang regulasi tenaga kerja
20 Peraturan Pemda tentang pajak dan retribusi daerah
21 Peraturan Pemda tentang lingkungan
22 Peduli pada AMDAL daerah (perencanaan)
23 Aturan pemda bidang investasi
24 Kebijakan visi bisnis yang sama pada aparat pemda
Lampiran
Lampiran - �
inDikator Utama variaBel
iX. manajemen dan ekonomi mikro
1 Strategi Perusahaan
2 Keunggulan Kompetitif
3 Perusahaan Berorientasi Ekspor
4 Merek Dagang Internasional
5 Pengembangan Teknologi
6 Perancangan Produk
7 Proses Produksi
8 Tingkat reliabilitas suplai faktor produksi
9 Teknik Pemasaran
10 Orientasi terhadap Pelanggan
11 Distribusi dan Pemasaran Global
12 Pendekatan terhadap Sumberdaya Manusia
13 Pendelegasian Wewenang
14 Kebijakan Kompensasi
15 Kompetensi Manajemen Senior
16 Pendidikan Manajemen
17 Efektivitas Komisaris Perusahaan
18 Kemampuan dalam memenuhi standar internasional
19 Tingkat Kompensasi
20 Upah Tenaga Kerja di Sektor Industri Pengolahan
21 Jumlah Perusahaan Unggul
22 Ketersediaan manajer senior
23 Pengalaman Internasional
24 Kesehatan, keamanan dan lingkungan kerja
25 Relasi Industrial
26 Motivasi Tenaga Kerja
27 Pelatihan Tenaga Kerja
28 Pengendalian Proses Produksi
29 Budaya Pemasaran
30 Kewirausahaan
31 Tanggung jawab sosial
32 Etika Bisnis
Sumber: PPSK-BI, 2002
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
10 - Lampiran
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANG
GARA
N (d
alam
Rib
u Ru
piah
) N
AD
SUM
UT
SUM
BAR
RIAU
JAM
BI SU
MSE
L B
ENGK
ULU
12.
723.
346.
178
7.9
39.3
58.8
30
3.5
38.7
13.6
74
2.9
08.0
32.8
90
2.19
5.54
6.26
8 5.
415.
251.
694
1.7
55.4
13.1
14
1M
AJEL
IS P
ERM
USYA
WAR
ATAN
RAK
YAT
2DE
WAN
PER
WAK
ILAN
RAK
YAT
3BA
DAN
PEM
ERIK
SA K
EUAN
GAN
21.
855.
821
16.
228.
732
18.
107.
492
8.3
15.4
52
10.
508.
612
4M
AHKA
MAH
AGU
NG 9
6.59
7.43
2 1
15.5
47.4
10
91.
737.
888
64.
572.
846
57.
936.
643
49.
125.
270
35.
938.
406
5KE
JAKS
AAN
AGUN
G 3
7.87
1.00
8 6
4.16
4.89
6 3
6.68
0.39
9 5
7.00
5.08
2 3
2.48
9.61
6 3
9.67
0.33
5 2
3.07
1.85
5 6
SEKR
ETAR
IAT N
EGAR
A7
DEPA
RTEM
EN D
ALAM
NEG
ERI
94.
639.
920
104
.801
.476
7
3.86
3.18
6 2
6.68
1.31
1 3
4.14
9.43
3 6
3.50
9.74
3 2
8.72
2.53
5 8
DEPA
RTEM
EN LU
AR N
EGER
I9
DEPA
RTEM
EN P
ERTA
HANA
N 3
43.9
84.9
03
560
.148
.771
1
42.1
67.0
49
217
.968
.839
7
8.39
3.80
6 3
29.8
10.5
37
63.
701.
297
10DE
PART
EMEN
HUK
UM D
AN H
AK A
SASI
MAN
USIA
RI
69.
745.
860
191
.843
.333
5
9.19
7.40
9 8
4.01
8.08
3 4
6.50
8.27
5 9
6.16
1.52
0 3
6.54
5.61
9 11
DEPA
RTEM
EN K
EUAN
GAN
133
.783
.824
2
08.0
86.2
05
53.
187.
434
87.
542.
547
54.
044.
552
117
.403
.306
2
9.31
7.38
8 12
DEPA
RTEM
EN P
ERTA
NIAN
119
.225
.603
2
82.6
59.7
81
194
.335
.607
9
6.99
9.80
9 1
14.8
73.0
17
169
.231
.774
7
0.02
4.96
7 13
DEPA
RTEM
EN P
ERIN
DUST
RIAN
15.
913.
308
33.
030.
366
30.
125.
349
3.3
00.0
00
3.8
00.0
00
11.
144.
505
4.3
00.0
00
14DE
PART
EMEN
ENER
GI D
AN SU
MBE
R DA
Y A
MIN
ERAL
31.
205.
836
134
.361
.433
3
2.29
6.23
4 5
0.28
2.30
5 2
6.05
3.24
6 1
28.0
66.3
65
25.
326.
311
15DE
PART
EMEN
PER
HUBU
NGAN
178
.054
.480
2
68.5
32.9
30
50.
658.
016
143
.702
.117
2
7.22
0.17
4 3
28.8
36.6
69
55.
896.
945
16DE
PART
EMEN
PEN
DIDI
KAN
NASI
ONAL
666
.652
.899
1.
716.
039.
966
961
.988
.923
5
73.9
68.2
38
378
.063
.337
8
50.8
11.6
58
301
.381
.483
17
DEPA
RTEM
EN K
ESEH
ATAN
238
.114
.718
4
31.9
73.7
44
313
.710
.724
1
11.8
34.9
28
170
.728
.822
3
68.0
49.6
88
123
.647
.860
18
DEPA
RTEM
EN A
GAM
A 5
16.7
87.8
07
520
.811
.737
3
36.2
11.7
96
336
.163
.446
2
97.3
04.3
46
358
.726
.979
1
71.7
39.7
16
19DE
PART
EMEN
TENA
GA K
ERJA
DAN
TRAN
SMIG
RASI
63.
749.
073
59.
703.
041
36.
412.
843
34.
589.
831
40.
749.
671
71.
697.
438
62.
686.
123
20DE
PART
EMEN
SOSI
AL 3
1.40
3.17
9 2
9.13
3.39
0 3
8.04
1.33
6 2
9.79
7.72
2 2
7.09
2.23
7 3
1.74
9.70
5 2
4.25
5.58
2 21
DEPA
RTEM
EN K
EHUT
ANAN
29.
545.
120
70.
382.
167
20.
690.
538
50.
413.
114
48.
510.
466
62.
884.
941
16.
154.
618
22DE
PART
EMEN
KEL
AUTA
N DA
N PE
RIKA
NAN
30.
731.
921
65.
406.
919
43.
681.
791
21.
293.
713
34.
972.
426
53.
780.
473
24.
941.
480
23DE
PART
EMEN
PEK
ERJA
AN U
MUM
651
.397
.368
7
84.9
43.4
89
475
.713
.157
3
39.0
85.3
55
348
.884
.826
6
43.4
37.1
16
358
.834
.970
24
KEM
ENTE
RIAN
KOO
RDIN
ATOR
BID
ANG
POLI
TIK
DAN
KEAM
ANAN
25KE
MEN
TERI
AN K
OORD
INAT
OR B
IDAN
G PE
REKO
NOM
IAN
26KE
MEN
TERI
AN K
OORD
INAT
OR B
IDAN
G KE
SEJA
HTER
AAN
RAKY
AT27
DEPA
RTEM
EN K
EBUD
AYAA
N DA
N PA
RIW
ISAT
A 6
.978
.907
1
2.16
2.09
1 6
.196
.168
4
.190
.411
1
.542
.854
28
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
BADA
N US
AHA
MIL
IK N
EGAR
A29
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
RISE
T DAN
TEKN
OLOG
I 7
.000
.000
30
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
LING
KUNG
AN H
IDUP
14.
157.
453
31KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A KO
PERA
SI D
AN U
KM 6
.757
.000
6
.449
.000
5
.506
.000
5
.051
.000
3
.843
.000
6
.634
.000
4
.463
.000
32
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
I’EM
BERD
AYAA
N PE
REM
PUAN
33KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
NDAY
AGUN
AAN
APAR
ATUR
NEG
ARA
34BA
DAN
INTE
LIJE
N NE
GARA
35LE
MBA
GA SA
NDI N
EGAR
A
Lampiran �
rekaPitUlasi alokasi anggaran tahUn 2007 menUrUt lokasi (Provinsi) Dan kementerian / lemBaga
Lampiran
Lampiran - 11
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANG
GARA
N (d
alam
Rib
u Ru
piah
) N
AD
SUM
UT
SUM
BAR
RIAU
JAM
BI SU
MSE
L B
ENGK
ULU
12.
723.
346.
178
7.9
39.3
58.8
30
3.5
38.7
13.6
74
2.9
08.0
32.8
90
2.19
5.54
6.26
8 5.
415.
251.
694
1.7
55.4
13.1
14
36DE
WAN
KET
AHAN
AN N
ASIO
NAL
37BA
DAN
PUSA
T STA
TIST
IK 3
0.92
7.37
1 4
6.42
7.76
2 2
7.91
0.96
2 2
2.54
6.47
5 1
8.15
8.62
3 2
7.67
3.08
6 1
4.44
9.63
8 38
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PPN
/ BAP
PENA
S39
BADA
N PE
RTAN
AHAN
NAS
IONA
L 2
9.35
3.91
8 6
7.81
5.63
6 4
2.24
5.50
2 4
0.07
1.45
4 3
0.22
3.50
4 5
3.74
5.84
0 2
4.41
4.34
0 40
PERP
USTA
KAAN
NAS
IONA
L REP
UBLI
K IN
DONE
SIA
350
.000
3
00.0
00
1.1
50.0
00
4.3
00.0
00
350
.000
3
00.0
00
750
.000
41
DEPA
RTEM
EN K
OMUN
IKAS
I DAN
INFO
RMAT
IKA
7.5
43.5
17
13.
912.
022
4.7
07.3
43
8.1
80.4
88
4.8
62.4
68
5.8
35.1
64
5.7
91.9
51
42KE
POLI
SIAN
NEG
ARA
REPU
BLIK
INDO
NESI
A 4
38.4
33.7
82
755
.985
.308
3
83.7
86.3
85
395
.671
.403
2
53.3
20.3
14
442
.689
.403
2
00.6
54.3
00
43BA
DAN
PENG
AWAS
OBA
T DAN
MAK
ANAN
10.
221.
524
10.
707.
550
9.3
42.9
14
9.7
60.5
28
7.6
81.5
85
8.0
43.1
98
7.4
42.6
46
44LE
MBA
GA K
ETAH
ANAN
NAS
IONA
L45
BADA
N KO
ORDI
NASI
PEN
ANAM
AN M
ODAL
46BA
DAN
NARK
OTIK
A NA
SION
AL47
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PEM
BANG
UNAN
DAE
RAH
TERT
INGG
AL48
BADA
N KO
ORDI
NASI
KEL
UARG
A BE
RENC
ANA
NASI
ONAL
22.
084.
752
25.
499.
099
15.
392.
876
14.
690.
412
11.
815.
402
19.
169.
701
12.
010.
373
49KO
MIS
I NAS
IONA
L HAK
ASA
SI M
ANUS
IA50
BADA
N M
ETEO
ROLO
GI D
AN G
EOFI
SIKA
4.8
50.6
02
16.
675.
249
9.0
26.1
24
4.0
38.5
82
2.8
31.8
61
3.8
32.7
16
4.5
73.5
30
51KO
MIS
I PEM
ILIH
AN U
MUM
34.
626.
923
35.
309.
209
26.
551.
417
16.
493.
861
14.
926.
229
20.
396.
757
13.
566.
597
52M
AHKA
MAH
KON
STIT
USI R
I53
PUSA
T PEL
APOR
AN D
AN A
NALI
SIS T
RANS
AKSI
KEU
ANGA
N54
LEM
BAGA
ILM
U PE
NGET
AHUA
N IN
DONE
SIA
55BA
DAN
TENA
GA N
UKLI
R NA
SION
AL56
BADA
N PE
NGKA
JIAN
DAN
PENE
RAPA
N TE
KNOL
OGI
1.1
75.2
07
57LE
MBA
GA P
ENER
BANG
AN D
AN A
NTAR
IKSA
NAS
IONA
L58
BADA
N KO
ORDI
NASI
SURV
EY D
AN P
EMET
AAN
NASI
ONAL
59BA
DAN
STAN
DARI
SASI
NAS
IONA
L60
BADA
N PE
NGAW
AS TE
NAGA
NUK
LIR
61LE
MBA
GA A
DMIN
ISTR
ASI N
EGAR
A62
ARSI
P NA
SION
AL R
EPUB
LIK
INDO
NESI
A 1
70.0
00
160
.000
1
55.0
00
155
.000
1
50.0
00
150
.000
1
50.0
00
63BA
DAN
KEPE
GAW
AIAN
NEG
ARA
11.
064.
251
11.
090.
343
15.
161.
794
64BA
DAN
PENG
AWAS
AN K
EUAN
GAN
DAN
PEM
BANG
UNAN
8.0
86.4
02
18.
219.
633
8.6
73.8
63
9.4
26.5
53
7.9
63.3
75
13.
795.
943
6.0
63.0
28
65DE
PART
EMEN
PER
DAGA
NGAN
2.6
00.0
00
3.0
91.8
54
2.0
64.3
20
1.9
36.8
00
1.8
34.6
75
1.5
00.0
00
1.7
36.2
80
66KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
RU M
AHAN
RAK
YAT
67KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
MUD
A DA
N OL
AH R
AGA
3.4
25.4
64
4.6
43.5
16
4.1
29.9
14
3.1
35.7
60
3.3
04.4
76
3.1
74.6
04
2.8
60.2
76
68KO
MIS
I PEM
BERA
NTAS
AN K
ORUP
SI69
DEW
AN P
ERW
AKIL
AN D
AERA
H (D
PD)
70KO
MIS
I YUD
ISIA
L RI
71BA
DAN
KOOR
DINA
SI N
ASIO
NAL P
ENAN
GANA
N BE
NCAN
A72
BADA
N RE
HABI
LITA
SI D
AN R
EKON
STRU
KSI N
AD -
NIAS
8.7
45.6
75.9
36
.253
.136
.864
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
12 - Lampiran
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANGG
ARAN
(dal
am R
ibu
Rupi
ah)
LAM
PUNG
BAB
EL
KEP
RIA
U DK
I JAK
ARTA
JABA
RJA
TENG
DIY
JA
TIM
BAN
TEN
3.2
68.8
57.3
23
970
.253
.468
1
.066
.511
.275
11
1.64
6.33
9.11
9 1
6.38
9.48
9.71
8 1
3.20
9.81
7.54
9 4
.091
.771
.514
16
.730
.893
.068
3.
554.
835.
208
1M
AJEL
IS P
ERM
USYA
WAR
ATAN
RAK
YAT
196
.121
.325
1
3.85
9.26
2 2
DEW
AN P
ERW
AKIL
AN R
AKYA
T 1
.519
.174
.351
3
BADA
N PE
MER
IKSA
KEU
ANGA
N 8
.712
.017
8
27.6
69.6
71
18.
809.
884
23.
387.
401
4M
AHKA
MAH
AGU
NG 6
0.40
6.96
2 1
9.25
4.13
3 1
8.34
3.52
3 7
94.1
57.3
93
174
.336
.121
2
35.3
97.4
09
65.
059.
316
242
.755
.407
4
0.18
3.00
1 5
KEJA
KSAA
N AG
UNG
36.
955.
807
22.
839.
400
10.
412.
055
453
.631
.297
9
0.45
8.65
8 1
07.7
85.1
88
59.
388.
317
121
.944
.794
2
5.79
9.51
0 6
SEKR
ETAR
IAT N
EGAR
A 1
.544
.153
.107
2
4.44
9.69
5 1
1.61
6.68
3 7
DEPA
RTEM
EN D
ALAM
NEG
ERI
69.
785.
167
15.
980.
276
10.
798.
930
1.7
53.1
73.8
10
287
.482
.385
1
99.3
57.9
35
87.
500.
955
211
.014
.315
4
9.27
8.80
4 8
DEPA
RTEM
EN LU
AR N
EGER
I 2
.457
.356
.517
9
DEPA
RTEM
EN P
ERTA
HANA
N 1
35.1
44.5
80
49.
986.
872
56.
135.
388
1.5
95.2
47.7
24
1.8
71.1
84.5
71
1.0
94.9
29.5
68
207
.352
.308
2
.781
.290
.702
2
01.1
69.0
06
10DE
PART
EMEN
HUK
UM D
AN H
AK A
SASI
MAN
USIA
RI
71.
537.
214
21.
026.
068
64.
128.
605
1.4
39.5
95.2
19
224
.491
.669
2
39.5
59.4
44
52.
686.
754
263
.919
.251
9
6.06
6.47
1 11
DEPA
RTEM
EN K
EUAN
GAN
63.
182.
310
23.
882.
418
130
.854
.860
6
.317
.702
.279
3
46.4
47.5
79
310
.948
.951
1
09.9
07.1
90
467
.266
.473
8
8.62
2.56
2 12
DEPA
RTEM
EN P
ERTA
NIAN
182
.500
.919
3
3.85
9.76
2 2
1.68
7.79
9 3
.161
.977
.235
7
50.4
56.7
54
450
.755
.663
1
18.3
38.2
64
747
.071
.191
1
39.0
64.5
31
13DE
PART
EMEN
PER
INDU
STRI
AN 1
6.87
5.86
7 3
.000
.000
2
.400
.000
1
.345
.148
.240
1
40.4
08.7
87
20.
005.
811
79.
600.
406
23.
465.
600
4.0
95.7
00
14DE
PART
EMEN
ENER
GI D
AN SU
MBE
R DA
Y A
MIN
ERAL
32.
049.
354
21.
128.
412
2.7
00.0
00
2.1
07.4
27.4
64
953
.169
.673
2
45.9
56.5
23
14.
731.
423
526
.876
.038
2
3.42
2.11
9 15
DEPA
RTEM
EN P
ERHU
BUNG
AN 7
9.48
3.77
0 5
4.29
4.25
8 1
07.3
33.6
24
4.2
80.8
54.9
74
201
.325
.410
9
67.5
91.6
51
308
.477
.448
3
84.6
44.0
70
90.
900.
234
16DE
PART
EMEN
PEN
DIDI
KAN
NASI
ONAL
779
.635
.628
3
7.90
4.78
4 1
23.7
40.5
85
4.9
63.7
00.4
07
4.3
09.8
90.8
89
3.4
12.1
82.4
58
.149
.787
.938
3
.849
.678
.849
1.
527.
864.
374
17DE
PART
EMEN
KES
EHAT
AN 1
46.6
59.9
61
61.
889.
117
95.
477.
694
9.7
71.5
50.3
34
724
.593
.814
8
06.8
46.6
07
271
.504
.040
6
27.4
07.9
13
101
.087
.486
18
DEPA
RTEM
EN A
GAM
A 3
36.2
92.0
54
78.
793.
582
53.
512.
627
2.5
35.2
63.1
95
1.2
46.0
52.8
47
1.4
96.3
79.2
30
289
.824
.893
1
.785
.394
.520
3
65.7
29.7
74
19DE
PART
EMEN
TENA
GA K
ERJA
DAN
TRAN
SMIG
RASI
30.
200.
885
14.
441.
034
14.
487.
768
1.1
88.4
01.0
18
114
.906
.399
1
09.5
42.5
54
36.
970.
430
48.
782.
195
29.
745.
011
20DE
PART
EMEN
SOSI
AL 2
6.70
3.02
8 2
0.73
8.46
7 1
3.29
5.37
9 2
.266
.051
.980
9
6.94
3.86
1 7
0.06
6.46
2 4
8.86
1.03
1 3
6.35
8.17
8 2
1.69
0.26
8 21
DEPA
RTEM
EN K
EHUT
ANAN
40.
481.
814
2.7
23.3
59
1.4
85.7
80
951
.611
.854
3
47.0
44.3
10
42.
093.
699
39.
015.
378
57.
673.
119
8.2
01.6
35
22DE
PART
EMEN
KEL
AUTA
N DA
N PE
RIKA
NAN
37.
315.
894
32.
780.
414
42.
258.
183
1.5
89.1
94.6
48
130
.682
.602
1
24.2
47.6
44
20.
301.
823
138
.150
.195
4
3.06
2.58
8 23
DEPA
RTEM
EN P
EKER
JAAN
UM
UM 6
01.2
00.1
26
85.
008.
657
110
.006
.085
4
.723
.981
.933
1
.910
.843
.290
1
.347
.003
.788
4
15.6
75.9
44
2.1
33.8
79.4
59
306
.737
.061
24
KEM
ENTE
RIAN
KOO
RDIN
ATOR
BID
ANG
POLI
TIK
DAN
KEAM
ANAN
150
.959
.709
25
KEM
ENTE
RIAN
KOO
RDIN
ATOR
BID
ANG
PERE
KONO
MIA
N 1
43.0
42.6
89
26KE
MEN
TERI
AN K
OORD
INAT
OR B
IDAN
G KE
SEJA
HTER
AAN
RAKY
AT 1
04.5
48.8
07
27DE
PART
EMEN
KEB
UDAY
AAN
DAN
PARI
WIS
ATA
3.2
21.5
39
736
.096
.378
3
0.51
4.47
0 2
1.00
0.24
4 2
6.08
9.84
5 1
1.74
4.47
3 6
.282
.620
28
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
BADA
N US
AHA
MIL
IK N
EGAR
A 2
17.3
19.1
62
29KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A RI
SET D
AN TE
KNOL
OGI
439
.234
.990
30
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
LING
KUNG
AN H
IDUP
462
.064
.335
1
2.25
2.80
0 31
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
KOPE
RASI
DAN
UKM
5.0
13.0
00
3.3
05.0
00
3.1
00.0
00
1.2
81.3
94.5
68
9.0
37.0
00
9.3
88.0
00
5.2
82.0
00
11.
036.
000
2.0
00.0
00
32KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A I’E
MBE
RDAY
AAN
PERE
MPU
AN 1
65.1
43.3
43
33KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
NDAY
AGUN
AAN
APAR
ATUR
NEG
ARA
247
.509
.082
34
BADA
N IN
TELI
JEN
NEGA
RA 1
.072
.616
.049
35
LEM
BAGA
SAND
I NEG
ARA
913
.941
.978
Lampiran
Lampiran - 1�
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANGG
ARAN
(dal
am R
ibu
Rupi
ah)
LAM
PUNG
BAB
EL
KEP
RIA
U DK
I JAK
ARTA
JABA
RJA
TENG
DIY
JA
TIM
BAN
TEN
3.2
68.8
57.3
23
970
.253
.468
1
.066
.511
.275
11
1.64
6.33
9.11
9 1
6.38
9.48
9.71
8 1
3.20
9.81
7.54
9 4
.091
.771
.514
16
.730
.893
.068
3.
554.
835.
208
36DE
WAN
KET
AHAN
AN N
ASIO
NAL
30.
180.
806
37BA
DAN
PUSA
T STA
TIST
IK 2
5.35
9.23
5 1
1.72
5.08
3 1
3.84
8.32
1 4
23.9
43.4
26
69.
034.
452
78.
736.
667
19.
558.
299
89.
854.
632
19.
029.
134
38KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PP
N / B
APPE
NAS
360
.498
.787
39
BADA
N PE
RTAN
AHAN
NAS
IONA
L 4
3.23
3.41
5 1
0.67
7.54
8 1
8.41
3.16
4 3
83.9
32.7
21
176
.513
.971
2
11.1
39.0
98
58.
589.
528
200
.439
.712
4
5.67
7.14
2 40
PERP
USTA
KAAN
NAS
IONA
L REP
UBLI
K IN
DONE
SIA
350
.000
1
67.8
83.0
17
17.
250.
000
1.0
50.0
00
350
.000
5
.864
.022
2
50.0
00
41DE
PART
EMEN
KOM
UNIK
ASI D
AN IN
FORM
ATIK
A 6
.331
.089
4
.478
.454
9
.015
.258
2
.142
.604
.745
2
3.74
3.55
9 2
5.11
5.95
3 4
9.22
4.43
5 1
5.49
7.53
7 6
.169
.380
42
KEPO
LISI
AN N
EGAR
A RE
PUBL
IK IN
DONE
SIA
335
.291
.317
1
3.88
6.51
6 1
10.8
65.5
10
6.1
93.6
94.5
92
1.3
70.7
12.1
16
1.4
27.5
36.3
89
383
.464
.876
1
.729
.175
.763
2
60.8
42.0
92
43BA
DAN
PENG
AWAS
OBA
T DAN
MAK
ANAN
9.2
88.3
37
235
.363
.643
1
1.26
4.85
9 1
1.66
3.60
8 1
0.11
7.59
2 1
2.65
2.14
9 44
LEM
BAGA
KET
AHAN
AN N
ASIO
NAL
151
.477
.917
45
BADA
N KO
ORDI
NASI
PEN
ANAM
AN M
ODAL
341
.854
.729
46
BADA
N NA
RKOT
IKA
NASI
ONAL
278
.203
.843
47
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PEM
BANG
UNAN
DAE
RAH
TERT
INGG
AL 6
57.9
74.7
81
48BA
DAN
KOOR
DINA
SI K
ELUA
RGA
BERE
NCAN
A NA
SION
AL 1
8.26
3.57
5 7
.767
.657
6
.700
.185
4
98.8
37.7
48
50.
038.
314
53.
740.
663
11.
690.
406
53.
401.
483
12.
988.
949
49KO
MIS
I NAS
IONA
L HAK
ASA
SI M
ANUS
IA 5
9.71
6.28
6 50
BADA
N M
ETEO
ROLO
GI D
AN G
EOFI
SIKA
24.
519.
417
3.7
82.6
76
9.6
64.4
84
337
.405
.185
8
.678
.201
1
0.29
0.18
1 1
.961
.011
1
4.20
2.06
8 2
4.48
1.35
5 51
KOM
ISI P
EMIL
IHAN
UM
UM 1
5.60
6.22
9 1
0.92
7.33
3 9
.773
.201
1
32.0
41.0
96
37.
120.
709
49.
389.
029
11.
815.
327
53.
707.
925
10.
407.
701
52M
AHKA
MAH
KON
STIT
USI R
I 1
96.7
56.1
31
53PU
SAT P
ELAP
ORAN
DAN
ANA
LISI
S TRA
NSAK
SI K
EUAN
GAN
98.
004.
497
54LE
MBA
GA IL
MU
PENG
ETAH
UAN
INDO
NESI
A 5
.894
.909
3
43.7
93.8
26
162
.446
.740
1
.900
.927
3
.260
.118
6
.113
.283
55
BADA
N TE
NAGA
NUK
LIR
NASI
ONAL
278
.501
.487
1
7.94
0.84
3 3
6.72
0.96
3 56
BADA
N PE
NGKA
JIAN
DAN
PENE
RAPA
N TE
KNOL
OGI
10.
313.
262
500
.668
.661
3
.169
.355
6
.383
.235
57
LEM
BAGA
PEN
ERBA
NGAN
DAN
ANT
ARIK
SA N
ASIO
NAL
163
.978
.568
2
6.85
1.03
2 1
.795
.587
58
BADA
N KO
ORDI
NASI
SURV
EY D
AN P
EMET
AAN
NASI
ONAL
252
.163
.842
59
BADA
N ST
ANDA
RISA
SI N
ASIO
NAL
66.
027.
632
60BA
DAN
PENG
AWAS
TENA
GA N
UKLI
R 6
3.20
3.45
2 61
LEM
BAGA
ADM
INIS
TRAS
I NEG
ARA
114
.957
.464
4
5.14
4.63
3 62
ARSI
P NA
SION
AL R
EPUB
LIK
INDO
NESI
A 1
45.0
00
145
.000
1
45.0
00
103
.628
.602
1
50.0
00
172
.000
1
45.0
00
150
.000
1
40.0
00
63BA
DAN
KEPE
GAW
AIAN
NEG
ARA
226
.411
.001
1
1.12
5.99
0 1
7.40
1.72
0 1
5.51
9.53
7 64
BADA
N PE
NGAW
ASAN
KEU
ANGA
N DA
N PE
MBA
NGUN
AN 9
.137
.905
2
54.7
60.8
43
49.
573.
900
18.
887.
717
30.
328.
339
24.
238.
182
65DE
PART
EMEN
PER
DAGA
NGAN
1.7
27.3
80
1.4
00.0
00
1.0
00.0
00
1.3
47.0
30.0
69
55.
538.
035
2.8
28.6
60
1.6
00.0
00
2.8
82.6
10
1.2
50.0
00
66KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
RU M
AHAN
RAK
YAT
532
.654
.422
67
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PEM
UDA
DAN
OLAH
RAG
A 3
.259
.896
2
.627
.188
1
.705
.728
5
50.6
74.0
75
5.6
18.4
76
6.3
27.8
28
3.3
39.4
75
5.2
75.2
00
2.5
96.7
00
68KO
MIS
I PEM
BERA
NTAS
AN K
ORUP
SI 2
47.6
60.2
00
69DE
WAN
PER
WAK
ILAN
DAE
RAH
(DPD
) 2
81.5
98.5
11
70KO
MIS
I YUD
ISIA
L RI
101
.909
.089
71
BADA
N KO
ORDI
NASI
NAS
IONA
L PEN
ANGA
NAN
BENC
ANA
61.
490.
202
72BA
DAN
REHA
BILI
TASI
DAN
REK
ONST
RUKS
I NAD
- NI
AS
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
1� - Lampiran
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANGG
ARAN
(da
lam
Rib
u Ru
piah
)BA
LI N
TB
NTT
K
ALBA
R K
ALTE
NG
KAL
SEL
KAL
TIM
SU
LUT
SULT
ENG
3.3
80.0
43.8
06
2.59
2.25
2.19
1 3
.460
.948
.986
3
.119
.944
.301
2
.749
.569
.327
2
.863
.829
.314
3.52
0.77
2.61
3 2
.978
.081
.411
2.
036.
086.
406
1M
AJEL
IS P
ERM
USYA
WAR
ATAN
RAK
YAT
2DE
WAN
PER
WAK
ILAN
RAK
YAT
3BA
DAN
PEM
ERIK
SA K
EUAN
GAN
14.
663.
517
15.
731.
326
8.7
02.6
01
6.6
52.6
59
12.
271.
501
21.
053.
646
4M
AHKA
MAH
AGU
NG 8
1.30
4.35
5 4
6.68
4.31
6 8
9.66
5.49
7 7
1.15
3.10
5 4
3.12
5.79
5 7
4.20
2.66
7 7
1.59
9.73
6 4
6.90
2.23
9 4
6.84
1.20
8 5
KEJA
KSAA
N AG
UNG
32.
961.
305
26.
766.
053
42.
127.
722
31.
849.
126
34.
057.
417
33.
784.
305
41.
758.
071
32.
427.
534
27.
594.
293
6SE
KRET
ARIA
T NEG
ARA
14.
603.
916
7DE
PART
EMEN
DAL
AM N
EGER
I 2
6.54
0.13
8 5
0.79
0.22
2 7
2.59
8.08
8 5
7.70
2.74
6 2
5.92
4.57
3 3
6.56
5.64
5 1
6.49
4.44
3 4
5.04
1.81
5 4
2.80
1.87
1 8
DEPA
RTEM
EN LU
AR N
EGER
I9
DEPA
RTEM
EN P
ERTA
HANA
N 2
37.7
19.3
81
87.
084.
332
184
.820
.219
2
67.0
01.4
48
53.
450.
258
143
.831
.157
2
33.2
74.2
86
118
.045
.011
6
1.15
4.11
3 10
DEPA
RTEM
EN H
UKUM
DAN
HAK
ASA
SI M
ANUS
IA R
I 7
4.53
0.34
4 4
0.51
7.64
2 7
7.00
5.13
2 7
9.08
1.33
1 4
3.41
6.05
4 6
7.74
4.78
8 8
1.08
5.37
5 6
8.88
4.87
8 4
5.07
5.09
5 11
DEPA
RTEM
EN K
EUAN
GAN
88.
980.
767
69.
022.
265
56.
051.
114
102
.224
.837
5
7.49
3.17
6 9
2.01
6.77
5 9
6.09
7.77
9 5
6.44
6.55
7 6
4.43
4.55
9 12
DEPA
RTEM
EN P
ERTA
NIAN
107
.121
.562
1
72.8
74.2
37
192
.889
.654
1
48.4
44.6
37
89.
662.
733
171
.499
.893
1
12.3
41.2
42
107
.615
.888
9
6.63
6.18
3 13
DEPA
RTEM
EN P
ERIN
DUST
RIAN
8.0
66.2
08
5.6
43.0
25
5.3
67.0
00
16.
329.
289
6.5
82.0
00
10.
836.
552
12.
971.
279
10.
713.
275
6.2
22.5
65
14DE
PART
EMEN
ENER
GI D
AN SU
MBE
R DA
Y A
MIN
ERAL
11.
454.
004
31.
145.
981
100
.721
.026
5
2.77
4.23
9 2
9.27
6.09
8 3
2.56
5.99
2 1
95.0
11.4
04
123
.558
.492
3
7.43
8.36
0 15
DEPA
RTEM
EN P
ERHU
BUNG
AN 8
1.35
0.40
6 5
7.98
9.08
7 2
41.8
35.7
61
84.
506.
232
171
.379
.102
6
1.72
0.87
7 2
41.3
71.3
26
212
.291
.622
1
22.0
42.9
59
16DE
PART
EMEN
PEN
DIDI
KAN
NASI
ONAL
667
.465
.967
5
48.5
61.2
08
650
.029
.636
5
65.0
99.8
29
326
.269
.565
4
92.7
36.4
06
537
.538
.554
5
95.0
30.8
67
395
.517
.847
17
DEPA
RTEM
EN K
ESEH
ATAN
273
.485
.978
1
51.7
74.3
89
165
.172
.324
2
00.9
37.1
06
136
.511
.802
1
27.1
15.2
84
142
.827
.924
2
67.9
12.6
83
124
.911
.551
18
DEPA
RTEM
EN A
GAM
A 1
09.6
96.7
29
272
.813
.092
1
60.4
77.0
54
167
.041
.909
1
66.2
53.0
82
311
.897
.459
1
53.3
45.7
00
128
.647
.253
1
49.5
19.0
22
19DE
PART
EMEN
TENA
GA K
ERJA
DAN
TRAN
SMIG
RASI
15.
874.
663
44.
134.
328
62.
506.
562
108
.727
.000
9
7.41
3.72
6 6
2.57
0.46
4 6
8.04
9.89
5 2
1.38
2.75
7 3
1.43
6.97
7 20
DEPA
RTEM
EN SO
SIAL
25.
306.
977
32.
053.
690
39.
782.
978
28.
445.
053
25.
461.
664
37.
957.
588
28.
226.
703
32.
616.
363
33.
875.
439
21DE
PART
EMEN
KEH
UTAN
AN 4
2.52
2.86
3 3
3.85
6.09
1 5
6.33
1.61
3 5
2.22
4.55
0 3
6.87
5.17
5 4
7.37
3.09
2 7
8.14
2.02
8 4
9.40
8.84
1 3
4.27
4.36
7 22
DEPA
RTEM
EN K
ELAU
TAN
DAN
PERI
KANA
N 5
0.72
8.35
6 4
2.25
5.34
3 4
3.22
6.08
6 5
8.47
4.10
3 2
0.33
2.00
9 3
1.08
6.46
7 2
7.38
2.24
6 6
9.41
5.77
6 3
1.60
2.01
3 23
DEPA
RTEM
EN P
EKER
JAAN
UM
UM 6
87.8
97.5
80
464
.414
.522
6
61.7
15.7
06
467
.113
.062
1
.004
.205
.717
5
40.6
91.1
83
826
.783
.022
5
00.8
03.6
99
299
.460
.196
24
KEM
ENTE
RIAN
KOO
RDIN
ATOR
BID
ANG
POLI
TIK
DAN
KEAM
ANAN
25KE
MEN
TERI
AN K
OORD
INAT
OR B
IDAN
G PE
REKO
NOM
IAN
26KE
MEN
TERI
AN K
OORD
INAT
OR B
IDAN
G KE
SEJA
HTER
AAN
RAKY
AT27
DEPA
RTEM
EN K
EBUD
AYAA
N DA
N PA
RIW
ISAT
A 3
9.48
3.60
0 2
.704
.062
1
.589
.996
3
.965
.337
28
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
BADA
N US
AHA
MIL
IK N
EGAR
A29
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
RISE
T DAN
TEKN
OLOG
I30
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
LING
KUNG
AN H
IDUP
11.
712.
748
7.7
92.2
40
31KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A KO
PERA
SI D
AN U
KM 6
.171
.000
9
.986
.000
6
.575
.000
5
.413
.000
3
.947
.000
5
.689
.000
5
.831
.000
5
.955
.000
4
.533
.000
32
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
I’EM
BERD
AYAA
N PE
REM
PUAN
33KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
NDAY
AGUN
AAN
APAR
ATUR
NEG
ARA
34BA
DAN
INTE
LIJE
N NE
GARA
35LE
MBA
GA SA
NDI N
EGAR
A
Lampiran
Lampiran - 1�
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANGG
ARAN
(da
lam
Rib
u Ru
piah
)BA
LI N
TB
NTT
K
ALBA
R K
ALTE
NG
KAL
SEL
KAL
TIM
SU
LUT
SULT
ENG
3.3
80.0
43.8
06
2.59
2.25
2.19
1 3
.460
.948
.986
3
.119
.944
.301
2
.749
.569
.327
2
.863
.829
.314
3.52
0.77
2.61
3 2
.978
.081
.411
2.
036.
086.
406
36DE
WAN
KET
AHAN
AN N
ASIO
NAL
37BA
DAN
PUSA
T STA
TIST
IK 2
1.06
4.31
1 1
9.18
3.26
4 3
1.50
7.75
0 2
2.85
3.98
0 2
0.75
5.56
9 2
5.85
4.06
5 2
6.06
4.04
1 1
7.96
1.58
6 1
8.59
8.90
6 38
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PPN
/ BAP
PENA
S39
BADA
N PE
RTAN
AHAN
NAS
IONA
L 4
4.19
4.98
0 3
3.95
7.56
4 3
4.06
8.17
5 4
3.97
6.63
7 3
3.87
8.50
6 4
4.75
3.27
6 4
1.10
2.18
5 2
7.14
4.85
2 2
5.48
5.57
3 40
PERP
USTA
KAAN
NAS
IONA
L REP
UBLI
K IN
DONE
SIA
300
.000
7
50.0
00
500
.000
3
00.0
00
350
.000
3
00.0
00
300
.000
3
00.0
00
350
.000
41
DEPA
RTEM
EN K
OMUN
IKAS
I DAN
INFO
RMAT
IKA
7.8
47.8
76
4.4
17.8
10
8.7
93.3
58
5.7
17.6
72
3.7
56.3
92
11.
618.
445
12.
414.
005
9.5
90.3
70
3.9
45.3
37
42KE
POLI
SIAN
NEG
ARA
REPU
BLIK
INDO
NESI
A 5
02.1
73.5
98
297
.685
.298
4
00.3
11.7
37
382
.779
.353
2
60.4
21.4
03
324
.557
.877
3
86.0
95.0
70
337
.002
.316
2
78.6
77.1
47
43BA
DAN
PENG
AWAS
OBA
T DAN
MAK
ANAN
8.8
08.9
11
7.7
82.9
50
5.6
08.4
26
6.9
10.1
86
7.0
62.1
16
7.0
90.8
33
8.2
66.6
91
9.1
31.5
93
7.1
91.3
72
44LE
MBA
GA K
ETAH
ANAN
NAS
IONA
L45
BADA
N KO
ORDI
NASI
PEN
ANAM
AN M
ODAL
46BA
DAN
NARK
OTIK
A NA
SION
AL47
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PEM
BANG
UNAN
DAE
RAH
TERT
INGG
AL48
BADA
N KO
ORDI
NASI
KEL
UARG
A BE
RENC
ANA
NASI
ONAL
12.
562.
684
14.
577.
221
16.
318.
015
14.
960.
805
12.
723.
878
15.
269.
977
11.
194.
524
13.
002.
036
12.
730.
090
49KO
MIS
I NAS
IONA
L HAK
ASA
SI M
ANUS
IA50
BADA
N M
ETEO
ROLO
GI D
AN G
EOFI
SIKA
11.
913.
762
4.8
82.1
15
17.
053.
120
27.
045.
169
5.4
96.0
19
2.9
61.7
75
6.8
09.3
89
8.4
84.9
89
5.1
44.3
29
51KO
MIS
I PEM
ILIH
AN U
MUM
13.
529.
097
13.
863.
597
23.
578.
021
17.
893.
493
19.
908.
757
18.
949.
125
18.
897.
625
13.
976.
097
15.
039.
229
52M
AHKA
MAH
KON
STIT
USI R
I53
PUSA
T PEL
APOR
AN D
AN A
NALI
SIS T
RANS
AKSI
KEU
ANGA
N54
LEM
BAGA
ILM
U PE
NGET
AHUA
N IN
DONE
SIA
6.2
01.9
44
1.0
92.3
94
994
.323
55
BADA
N TE
NAGA
NUK
LIR
NASI
ONAL
56BA
DAN
PENG
KAJIA
N DA
N PE
NERA
PAN
TEKN
OLOG
I 1
.952
.684
57
LEM
BAGA
PEN
ERBA
NGAN
DAN
ANT
ARIK
SA N
ASIO
NAL
1.8
36.0
60
58BA
DAN
KOOR
DINA
SI SU
RVEY
DAN
PEM
ETAA
N NA
SION
AL59
BADA
N ST
ANDA
RISA
SI N
ASIO
NAL
60BA
DAN
PENG
AWAS
TENA
GA N
UKLI
R61
LEM
BAGA
ADM
INIS
TRAS
I NEG
ARA
6.2
55.5
16
62AR
SIP
NASI
ONAL
REP
UBLI
K IN
DONE
SIA
154
.000
1
67.0
00
155
.000
1
55.0
00
160
.000
1
55.0
00
165
.000
1
70.0
00
170
.000
63
BADA
N KE
PEGA
WAI
AN N
EGAR
A 2
2.34
0.34
3 9
.588
.504
7
.296
.898
64
BADA
N PE
NGAW
ASAN
KEU
ANGA
N DA
N PE
MBA
NGUN
AN 1
1.79
8.73
2 8
.981
.212
7
.425
.951
8
.078
.048
7
.602
.418
8
.723
.848
8
.642
.805
65
DEPA
RTEM
EN P
ERDA
GANG
AN 2
.137
.520
1
.984
.555
1
.650
.000
1
.884
.865
1
.450
.000
1
.450
.000
2
.040
.395
2
.371
.070
1
.500
.000
66
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PERU
MAH
AN R
AKYA
T67
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PEM
UDA
DAN
OLAH
RAG
A 3
.421
.000
3
.542
.600
3
.526
.000
3
.227
.140
3
.267
.140
3
.074
.140
3
.370
.000
3
.811
.900
3
.240
.000
68
KOM
ISI P
EMBE
RANT
ASAN
KOR
UPSI
69DE
WAN
PER
WAK
ILAN
DAE
RAH
(DPD
)70
KOM
ISI Y
UDIS
IAL R
I71
BADA
N KO
ORDI
NASI
NAS
IONA
L PEN
ANGA
NAN
BENC
ANA
72BA
DAN
REHA
BILI
TASI
DAN
REK
ONST
RUKS
I NAD
- NI
AS
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
1� - Lampiran
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANGG
ARAN
(da
lam
Rib
u Ru
piah
) SU
LSEL
SU
LTRA
G
ORON
TALO
SU
LBAR
MAL
UKU
MAL
UT
IRJA
BAR
PAPU
A 6
.879
.667
.337
2
.056
.102
.955
1
.201
.020
.933
7
75.1
09.0
44
2.9
58.6
08.4
06
1.7
83.5
80.8
05
1.3
86.6
92.8
19
3.6
62.2
95.3
67
1M
AJEL
IS P
ERM
USYA
WAR
ATAN
RAK
YAT
2DE
WAN
PER
WAK
ILAN
RAK
YAT
3BA
DAN
PEM
ERIK
SA K
EUAN
GAN
11.
957.
960
8.3
78.6
05
9.4
47.6
82
9.7
93.8
26
19.
245.
972
4M
AHKA
MAH
AGU
NG 1
49.8
81.5
14
34.
339.
819
21.
748.
437
16.
342.
349
33.
752.
669
24.
719.
064
16.
721.
238
61.
393.
141
5KE
JAKS
AAN
AGUN
G 5
6.16
8.34
6 2
1.33
9.22
0 2
3.12
7.62
4 8
.648
.715
2
5.79
0.69
1 2
2.66
4.31
1 7
.002
.749
2
7.89
8.90
5 6
SEKR
ETAR
IAT N
EGAR
A7
DEPA
RTEM
EN D
ALAM
NEG
ERI
95.
619.
705
44.
622.
349
24.
369.
779
23.
540.
259
43.
048.
590
39.
131.
593
26.
661.
050
56.
903.
007
8DE
PART
EMEN
LUAR
NEG
ERI
9DE
PART
EMEN
PER
TAHA
NAN
495
.910
.695
6
1.61
1.21
9 2
6.89
9.81
6 2
4.75
1.24
3 2
71.1
95.6
99
48.
529.
737
120
.827
.785
5
00.0
87.3
90
10DE
PART
EMEN
HUK
UM D
AN H
AK A
SASI
MAN
USIA
RI
113
.239
.196
3
3.20
3.21
5 1
4.89
2.41
9 5
5.13
1.23
9 4
6.14
3.80
2 4
6.08
3.34
0 7
2.12
8.01
1 11
DEPA
RTEM
EN K
EUAN
GAN
125
.798
.474
2
6.45
9.20
2 2
2.15
5.76
9 7
.480
.956
3
7.50
1.06
7 2
6.58
9.93
3 3
4.11
3.80
9 9
5.43
0.45
7 12
DEPA
RTEM
EN P
ERTA
NIAN
339
.710
.653
1
00.4
35.4
58
88.
981.
234
54.
475.
560
97.
053.
764
86.
353.
575
63.
830.
307
106
.628
.812
13
DEPA
RTEM
EN P
ERIN
DUST
RIAN
39.
526.
504
5.7
03.4
35
3.0
00.0
00
2.8
50.0
00
13.
550.
809
6.3
00.0
00
3.6
00.0
00
5.5
00.0
00
14DE
PART
EMEN
ENER
GI D
AN SU
MBE
R DA
Y A
MIN
ERAL
262
.803
.259
2
9.58
6.77
8 2
8.29
2.45
4 2
.800
.000
7
3.71
4.36
7 4
8.05
9.08
9 3
.125
.887
4
0.77
5.31
7 15
DEPA
RTEM
EN P
ERHU
BUNG
AN 3
79.2
33.3
16
89.
236.
896
60.
041.
233
34.
654.
740
312
.431
.610
1
71.7
39.8
52
173
.631
.751
4
34.3
01.9
56
16DE
PART
EMEN
PEN
DIDI
KAN
NASI
ONAL
.350
.830
.766
4
49.8
88.8
50
211
.242
.219
12
3.13
6.10
4 5
25.5
92.1
50
251
.994
.777
1
59.5
91.5
93
429
.573
.910
17
DEPA
RTEM
EN K
ESEH
ATAN
489
.074
.478
1
17.5
04.9
12
53.
614.
153
73.
048.
081
122
.156
.139
1
28.8
95.8
99
87.
340.
953
208
.923
.305
18
DEPA
RTEM
EN A
GAM
A 6
40.4
68.6
91
165
.158
.030
1
03.3
99.5
15
62.
021.
495
166
.330
.386
1
33.3
70.2
91
49.
628.
594
134
.244
.249
19
DEPA
RTEM
EN TE
NAGA
KER
JA D
AN TR
ANSM
IGRA
SI 9
8.60
7.47
4 5
4.37
1.72
3 2
8.32
1.45
4 2
6.87
8.22
0 5
4.51
0.61
1 7
8.84
9.93
9 4
0.43
4.23
7 3
1.47
7.99
5 20
DEPA
RTEM
EN SO
SIAL
49.
075.
320
28.
300.
079
22.
860.
587
11.
367.
763
40.
130.
152
41.
698.
406
18.
001.
316
39.
779.
717
21DE
PART
EMEN
KEH
UTAN
AN 9
7.46
6.75
8 2
7.72
3.89
5 1
0.00
8.84
9 3
.165
.242
4
1.02
9.12
6 9
.629
.781
4
2.06
7.50
1 5
2.90
8.71
5 22
DEPA
RTEM
EN K
ELAU
TAN
DAN
PERI
KANA
N 8
3.28
9.06
4 5
9.33
6.83
2 2
7.91
2.79
5 1
2.97
0.00
0 1
23.9
77.6
09
52.
472.
207
46.
783.
844
51.
831.
046
23DE
PART
EMEN
PEK
ERJA
AN U
MUM
992
.714
.571
3
53.4
91.9
75
246
.914
.194
18
6.16
7.63
5 4
62.4
13.5
87
310
.170
.332
2
61.8
93.3
47
609
.963
.048
24
KEM
ENTE
RIAN
KOO
RDIN
ATOR
BID
ANG
POLI
TIK
DAN
KEAM
ANAN
25KE
MEN
TERI
AN K
OORD
INAT
OR B
IDAN
G PE
REKO
NOM
IAN
26KE
MEN
TERI
AN K
OORD
INAT
OR B
IDAN
G KE
SEJA
HTER
AAN
RAKY
AT27
DEPA
RTEM
EN K
EBUD
AYAA
N DA
N PA
RIW
ISAT
A 2
6.77
6.75
1 2
4.00
8.66
4 1
4.00
0.00
0 3
.736
.423
28
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
BADA
N US
AHA
MIL
IK N
EGAR
A29
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
RISE
T DAN
TEKN
OLOG
I30
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
LING
KUNG
AN H
IDUP
15.
909.
319
1.8
00.0
00
4.5
00.0
00
31KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A KO
PERA
SI D
AN U
KM 1
2.38
8.00
0 4
.835
.000
2
.703
.000
2
.010
.000
2
5.00
0.00
0 1
0.00
0.00
0 2
.996
.000
6
.156
.000
32
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
I’EM
BERD
AYAA
N PE
REM
PUAN
33KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
NDAY
AGUN
AAN
APAR
ATUR
NEG
ARA
34BA
DAN
INTE
LIJE
N NE
GARA
35LE
MBA
GA SA
NDI N
EGAR
A
Lampiran
Lampiran - 17
NOKE
MEN
TERI
AN /
LEM
BAGA
ANGG
ARAN
(da
lam
Rib
u Ru
piah
) SU
LSEL
SU
LTRA
G
ORON
TALO
SU
LBAR
MAL
UKU
MAL
UT
IRJA
BAR
PAPU
A 6
.879
.667
.337
2
.056
.102
.955
1
.201
.020
.933
7
75.1
09.0
44
2.9
58.6
08.4
06
1.7
83.5
80.8
05
1.3
86.6
92.8
19
3.6
62.2
95.3
67
36DE
WAN
KET
AHAN
AN N
ASIO
NAL
37BA
DAN
PUSA
T STA
TIST
IK 3
7.88
4.60
3 1
9.52
8.90
1 1
1.28
9.36
6 1
1.50
1.61
2 1
5.18
3.47
5 1
1.91
0.01
9 1
8.18
9.70
6 2
9.30
9.13
5 38
KEM
ENTE
RIAN
NEG
ARA
PPN
/ BAP
PENA
S39
BADA
N PE
RTAN
AHAN
NAS
IONA
L 6
8.60
7.08
8 3
1.12
5.06
1 1
1.77
5.28
5 1
6.43
0.87
5 2
3.00
4.96
3 1
1.92
2.57
9 1
4.28
4.19
9 2
9.51
7.98
2 40
PERP
USTA
KAAN
NAS
IONA
L REP
UBLI
K IN
DONE
SIA
5.6
50.0
00
350
.000
2
50.0
00
250
.000
3
50.0
00
250
.000
3
00.0
00
41DE
PART
EMEN
KOM
UNIK
ASI D
AN IN
FORM
ATIK
A 1
2.82
8.99
5 5
.138
.700
5
.221
.456
7
.293
.333
1
6.28
9.13
9 1
0.95
2.46
1 42
KEPO
LISI
AN N
EGAR
A RE
PUBL
IK IN
DONE
SIA
672
.875
.945
2
32.3
83.1
29
129
.781
.247
5
1.44
2.04
7 2
73.0
11.4
38
139
.854
.175
1
04.1
90.4
05
472
.225
.704
43
BADA
N PE
NGAW
AS O
BAT D
AN M
AKAN
AN 1
1.30
3.13
5 7
.184
.718
7
.287
.250
2
.500
.000
9
.351
.475
44
LEM
BAGA
KET
AHAN
AN N
ASIO
NAL
45BA
DAN
KOOR
DINA
SI P
ENAN
AMAN
MOD
AL 2
.750
.000
46
BADA
N NA
RKOT
IKA
NASI
ONAL
47KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
MBA
NGUN
AN D
AERA
H TE
RTIN
GGAL
48BA
DAN
KOOR
DINA
SI K
ELUA
RGA
BERE
NCAN
A NA
SION
AL 2
2.93
2.59
4 1
2.26
7.64
6 7
.095
.221
6
.958
.129
9
.835
.960
8
.630
.053
7
.495
.401
1
2.96
3.92
9 49
KOM
ISI N
ASIO
NAL H
AK A
SASI
MAN
USIA
50BA
DAN
MET
EORO
LOGI
DAN
GEO
FISI
KA 1
3.31
3.93
9 4
.730
.960
2
.073
.758
7
17.3
50
10.
578.
027
5.1
11.2
87
10.
569.
880
39.
376.
022
51KO
MIS
I PEM
ILIH
AN U
MUM
32.
186.
445
15.
254.
229
8.5
87.0
69
8.5
91.0
69
12.
376.
465
12.
806.
965
14.
344.
097
29.
084.
662
52M
AHKA
MAH
KON
STIT
USI R
I53
PUSA
T PEL
APOR
AN D
AN A
NALI
SIS T
RANS
AKSI
KEU
ANGA
N54
LEM
BAGA
ILM
U PE
NGET
AHUA
N IN
DONE
SIA
12.
846.
225
776
.004
55
BADA
N TE
NAGA
NUK
LIR
NASI
ONAL
56BA
DAN
PENG
KAJIA
N DA
N PE
NERA
PAN
TEKN
OLOG
I57
LEM
BAGA
PEN
ERBA
NGAN
DAN
ANT
ARIK
SA N
ASIO
NAL
3.8
36.5
63
4.9
05.4
99
58BA
DAN
KOOR
DINA
SI SU
RVEY
DAN
PEM
ETAA
N NA
SION
AL59
BADA
N ST
ANDA
RISA
SI N
ASIO
NAL
60BA
DAN
PENG
AWAS
TENA
GA N
UKLI
R61
LEM
BAGA
ADM
INIS
TRAS
I NEG
ARA
35.
236.
196
62AR
SIP
NASI
ONAL
REP
UBLI
K IN
DONE
SIA
155
.000
1
65.0
00
173
.000
1
45.0
00
170
.000
1
73.0
00
181
.500
1
81.5
00
63BA
DAN
KEPE
GAW
AIAN
NEG
ARA
13.
354.
293
13.
890.
213
64BA
DAN
PENG
AWAS
AN K
EUAN
GAN
DAN
PEM
BANG
UNAN
14.
201.
897
6.6
02.7
89
7.2
91.6
59
13.
492.
405
65DE
PART
EMEN
PER
DAGA
NGAN
3.7
72.8
30
2.1
79.3
30
1.4
50.0
00
1.0
50.0
00
13.
000.
000
15.
000.
000
1.6
50.0
00
2.6
00.0
00
66KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
RU M
AHAN
RAK
YAT
67KE
MEN
TERI
AN N
EGAR
A PE
MUD
A DA
N OL
AH R
AGA
5.0
77.0
00
3.6
65.0
00
2.8
39.0
00
1.7
14.6
00
4.0
63.0
00
3.3
21.0
00
1.6
58.5
04
4.4
81.0
00
68KO
MIS
I PEM
BERA
NTAS
AN K
ORUP
SI69
DEW
AN P
ERW
AKIL
AN D
AERA
H (D
PD)
70KO
MIS
I YUD
ISIA
L RI
71BA
DAN
KOOR
DINA
SI N
ASIO
NAL P
ENAN
GANA
N BE
NCAN
A72
BADA
N RE
HABI
LITA
SI D
AN R
EKON
STRU
KSI N
AD -
NIAS
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
1� - Lampiran
Lampiran �
PenetaPan alokasi Dana Bagi hasilsUmBerDaya alam PertamBangan UmUm
tahUn anggaran 2007UntUk kaBUPaten/kota se-inDonesia
(dalam rupiah)
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
( 1 ) ( 2 ) ( 3 ) ( 4 ) ( 5 )
I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
32.400.000 29.772.720 62.172.720
1 Kab. Aceh Barat 648.000 9.785.088 10.433.088
2 Kab. Aceh Besar 12.960.000 1.599.360 14.559.360
3 Kab. Aceh Selatan 648.000 648.000
4 Kab. Aceh Singkil 648.000 559.488 1.207.488
5 Kab. Aceh Tengah 648.000 648.000
6 Kab. Aceh Tenggara 648.000 648.000
7 Kab. Aceh Timur 648.000 648.000
8 Kab. Aceh Utara 648.000 648.000
9 Kab. Bireun 648.000 648.000
10 Kab. Aceh Pidie 648.000 11.874.240 12.522.240
11 Kab. Simeulue 648.000 648.000
12 Kota Banda Aceh 648.000 648.000
13 Kota Sabang 648.000 648.000
14 Kota Langsa 648.000 648.000
15 Kota Lhokseumawe 648.000 648.000
16 Kab. Nagan Raya 648.000 648.000
17 Kab. Aceh Jaya 648.000 648.000
18 Kab. Aceh Barat Daya 648.000 648.000
19 Kab. Gayo Lues 648.000 648.000
20 Kab. Aceh Tamiang 648.000 648.000
21 Kab. Bener Meriah 648.000 648.000
Prov. Nanggroe Aceh Darussalam 6.480.000 5.954.544 12.434.544
II Provinsi Sumatera Utara 0 713.762.840 713.762.840
22 Kab. Asahan
23 Kab. Dairi 78.143.808 78.143.808
24 Kab. Deli Serdang
25 Kab. Tanah Karo
26 Kab. Labuhan Batu
27 Kab. Langkat
28 Kab. Mandailing Natal 172.944.288 172.944.288
29 Kab. Nias
30 Kab. Simalungun
Lampiran
Lampiran - 1�
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
31 Kab. Tapanuli Selatan 163.804.992 163.804.992
32 Kab. Tapanuli Tengah 78.239.040 78.239.040
33 Kab. Tapanuli Utara 35.354.880 35.354.880
34 Kab. Toba Samosir
35 Kota Binjai
36 Kota Medan
37 Kota Pematang Siantar
38 Kota Sibolga
39 Kota Tanjung Balai
40 Kota Tebing Tinggi
41 Kota Padang Sidempuan 29.536.800 29.536.800
42 Kab. Pakpak Bharat 2.898.624 2.898.624
43 Kab. Nias Selatan
44 Kab. Humbang Hasundutan 10.087.840 10.087.840
45 Kab. Serdang Berdagai
46 Kab. Samosir
Prov. Sumatera Utara 142.752.568 142.752.568
III Provinsi Sumatera Barat 3.247.018.668 448.026.564 3.695.045.232
47 Kab. Limapuluh Kota 72.155.970 4.128.000 76.283.970
48 Kab. Agam 72.155.970 72.155.970
49 Kab. Kepulauan Mentawai 72.155.970 72.155.970
50 Kab. Padang Pariaman 72.155.970 72.155.970
51 Kab. Pasaman 72.155.970 1.113.600 73.269.570
52 Kab. Pesisir Selatan 72.155.970 27.720.000 99.875.970
53 Kab. Sawahlunto Sijunjung 126.555.970 64.746.384 191.302.354
54 Kab. Solok 72.155.970 1.874.912 74.030.882
55 Kab. Tanah Datar 72.155.970 72.155.970
56 Kota Bukit Tinggi 72.155.970 72.155.970
57 Kota Padang Panjang 72.155.970 72.155.970
58 Kota Padang 72.155.970 72.155.970
59 Kota Payakumbuh 72.155.970 72.155.970
60 Kota Sawahlunto 1.244.407.467 255.238.355 1.499.645.822
61 Kota Solok 72.155.970 72.155.970
62 Kota Pariaman 72.155.970 72.155.970
63 Kab. Pasaman Barat 72.155.970 72.155.970
64 Kab. Dharmasraya 72.155.970 3.600.000 75.755.970
65 Kab. Solok Selatan 72.155.970 72.155.970
Prov. Sumatera Barat 649.403.734 89.605.313 739.009.046
IV Provinsi Riau 7.307.200.000 1.193.993.520 8.501.193.520
66 Kab. Bengkalis 292.288.000 54.810.880 347.098.880
67 Kab. Indragiri Hilir 292.288.000 10.654.080 302.942.080
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
20 - Lampiran
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
68 Kab. Indragiri Hulu 1.979.680.000 256.261.152 2.235.941.152
69 Kab. Kampar 292.288.000 58.343.040 350.631.040
70 Kab. Kuantan Singingi 1.028.128.000 298.263.808 1.326.391.808
71 Kab. Pelalawan 292.288.000 255.725.856 548.013.856
72 Kab. Rokan Hilir 292.288.000 292.288.000
73 Kab. Rokan Hulu 292.288.000 5.120.000 297.408.000
74 Kab. Siak 499.648.000 16.016.000 515.664.000
75 Kota Dumai 292.288.000 292.288.000
76 Kota Pekanbaru 292.288.000 292.288.000
Prov. Riau 1.461.440.000 238.798.704 1.700.238.704
V Provinsi Riau Kepulauan 28.842.600.000 830.398.535 29.672.998.535
77 Kab. Bintan 4.211.985.000 58.712.000 4.270.697.000
78 Kab. Natuna 2.390.673.000 2.390.673.000
79 Kab. Karimun 8.500.113.000 237.404.256 8.737.517.256
80 Kota Batam 2.390.673.000 2.390.673.000
81 Kota Tanjung Pinang 2.390.673.000 2.390.673.000
82 Kab. Lingga 2.869.713.000 26.496.000 2.896.209.000
Provinsi Kepulauan Riau 6.088.770.000 507.786.279 6.596.556.279
VI Provinsi Jambi 4.687.200.000 569.375.897 5.256.575.897
83 Kab. Batanghari 208.320.000 96.364.320 304.684.320
84 Kab. Bungo 1.874.880.000 86.451.182 1.961.331.182
85 Kab. Kerinci 208.320.000 208.320.000
86 Kab. Merangin 208.320.000 154.214.400 362.534.400
87 Kab. Muaro Jambi 208.320.000 208.320.000
88 Kab. Sarolangun 208.320.000 73.422.496 281.742.496
89 Kab. Tanjung Jabung Barat 208.320.000 20.728.320 229.048.320
90 Kab. Tanjung Jabung Timur 208.320.000 208.320.000
91 Kab. Tebo 208.320.000 24.320.000 232.640.000
92 Kota Jambi 208.320.000 208.320.000
Provinsi Jambi 937.440.000 113.875.179 1.051.315.179
VII Provinsi Sumatera Selatan 90.180.000.000 2.383.359.187 92.563.359.187
93 Kab. Lahat 8.259.057.231 238.704.032 8.497.761.263
94 Kab. Musi Banyuasin 2.774.769.231 441.945.452 3.216.714.683
95 Kab. Musi Rawas 2.774.769.231 256.977.600 3.031.746.831
96 Kab. Muara Enim 30.587.712.000 469.426.931 31.057.138.931
97 Kab. Ogan Komering Ilir 2.774.769.231 2.774.769.231
98 Kab. Ogan Komering Ulu 2.774.769.231 308.813.440 3.083.582.671
99 Kota Palembang 2.774.769.231 2.774.769.231
100 Kota Pagar Alam 2.774.769.231 2.774.769.231
101 Kota Lubuk Linggau 2.774.769.231 2.774.769.231
102 Kota Prabumulih 2.774.769.231 2.774.769.231
Lampiran
Lampiran - 21
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
103 Kab. Banyuasin 2.774.769.231 132.908.086 2.907.677.317
104 Kab. Ogan Ilir 2.774.769.231 2.774.769.231
105 Kab. OKU Timur 2.774.769.231 57.911.808 2.832.681.039
106 Kab. OKU Selatan 2.774.769.231 2.774.769.231
Provinsi Sumatera Selatan 18.036.000.000 476.671.837 18.512.671.837
VIII Provinsi Bangka Belitung 104.520.000.000 9.848.890.348 114.368.890.348
107 Kab. Bangka 14.194.861.314 2.254.288.000 16.449.149.314
108 Kab. Belitung 7.920.000.000 317.338.080 8.237.338.080
109 Kota Pangkal Pinang 6.968.000.000 76.768.000 7.044.768.000
110 Kab. Bangka Selatan 18.284.832.701 1.585.752.758 19.870.585.459
111 Kab. Bangka Tengah 16.533.094.307 1.202.308.800 17.735.403.107
112 Kab. Bangka Barat 11.291.211.679 1.394.376.000 12.685.587.679
113 Kab. Belitung Timur 8.424.000.000 1.048.280.640 9.472.280.640
Provinsi Bangka Belitung 20.904.000.000 1.969.778.070 22.873.778.070
IX Provinsi Bengkulu 2.371.500.000 366.590.028 2.738.090.028
114 Kab. Bengkulu Selatan 118.575.000 17.996.502 136.571.502
115 Kab. Bengkulu Utara 675.180.000 138.632.480 813.812.480
116 Kab. Rejang Lebong 118.575.000 6.996.480 125.571.480
117 Kota Bengkulu 118.575.000 118.575.000
118 Kab. Kaur 118.575.000 10.638.739 129.213.739
119 Kab. Seluma 391.995.000 115.679.821 507.674.821
120 Kab. Mukomuko 118.575.000 118.575.000
121 Kab. Lebong 118.575.000 118.575.000
122 Kab. Kepahiang 118.575.000 3.328.000 121.903.000
Provinsi Bengkulu 474.300.000 73.318.006 547.618.006
X Provinsi Lampung 15.750.000 322.861.272 338.611.272
123 Kab. Lampung Barat 700.000 26.069.760 26.769.760
124 Kab. Lampung Selatan 4.966.667 11.742.400 16.709.067
125 Kab. Lampung Tengah 700.000 700.000
126 Kab. Lampung Utara 700.000 700.000
127 Kab. Lampung Timur 700.000 700.000
128 Kab. Tanggamus 2.033.333 215.918.138 217.951.471
129 Kab. Tulang Bawang 700.000 700.000
130 Kab. Way Kanan 700.000 4.558.720 5.258.720
131 Kota Bandar Lampung 700.000 700.000
132 Kota Metro 700.000 700.000
Provinsi Lampung 3.150.000 64.572.254 67.722.254
XI Provinsi DKI Jakarta
XII Provinsi Jawa Barat 15.630.260.026 268.868.453 15.899.128.479
133 Kab. Bandung 260.504.334 10.173.227 270.677.560
134 Kab. Bekasi 260.504.334 260.504.334
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
22 - Lampiran
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
135 Kab. Bogor 6.251.690.010 116.230.880 6.367.920.890
136 Kab. Ciamis 260.504.334 260.504.334
137 Kab. Cianjur 260.504.334 27.857.920 288.362.254
138 Kab. Cirebon 260.504.334 260.504.334
139 Kab. Garut 260.504.334 21.754.368 282.258.702
140 Kab. Indramayu 260.504.334 260.504.334
141 Kab. Karawang 260.504.334 260.504.334
142 Kab. Kuningan 260.504.334 260.504.334
143 Kab. Majalengka 260.504.334 260.504.334
144 Kab. Purwakarta 260.504.334 1.568.000 262.486.334
145 Kab. Subang 260.504.334 260.504.334
146 Kab. Sukabumi 260.504.334 35.694.400 296.198.734
147 Kab. Sumedang 260.504.334 260.504.334
148 Kab. Tasikmalaya 260.504.334 1.815.968 262.320.302
149 Kota Bandung 260.504.334 260.504.334
150 Kota Bekasi 260.504.334 260.504.334
151 Kota Bogor 260.504.334 260.504.334
152 Kota Cirebon 260.504.334 260.504.334
153 Kota Depok 260.504.334 260.504.334
154 Kota Sukabumi 260.504.334 260.504.334
155 Kota Cimahi 260.504.334 260.504.334
156 Kota Tasikmalaya 260.504.334 260.504.334
157 Kota Banjar 260.504.334 260.504.334
Provinsi Jawa Barat 3.126.052.005 53.773.691 3.179.825.696
XIII Provinsi Banten 476.621.392 15.370.800 491.992.192
158 Kab. Lebak 190.648.557 11.439.040 202.087.597
159 Kab. Pandeglang 38.129.711 857.600 38.987.311
160 Kab. Serang 38.129.711 38.129.711
161 Kab. Tangerang 38.129.711 38.129.711
162 Kota Cilegon 38.129.711 38.129.711
163 Kota Tangerang 38.129.711 38.129.711
Provinsi Banten 95.324.278 3.074.160 98.398.438
XIV Provinsi Jawa Tengah 585.900.000 30.849.000 616.749.000
164 Kab. Banjarnegara 6.892.941 6.892.941
165 Kab. Banyumas 6.892.941 6.892.941
166 Kab. Batang 6.892.941 6.892.941
167 Kab. Blora 6.892.941 6.892.941
168 Kab. Boyolali 6.892.941 6.892.941
169 Kab. Brebes 6.892.941 6.892.941
170 Kab. Cilacap 17.724.706 3.933.440 21.658.146
171 Kab. Demak 6.892.941 6.892.941
Lampiran
Lampiran - 2�
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
172 Kab. Grobogan 6.892.941 6.892.941
173 Kab. Jepara 6.892.941 6.892.941
174 Kab. Karanganyar 6.892.941 6.892.941
175 Kab. Kebumen 6.892.941 6.892.941
176 Kab. Kendal 6.892.941 6.892.941
177 Kab. Klaten 6.892.941 6.892.941
178 Kab. Kudus 6.892.941 6.892.941
179 Kab. Magelang 6.892.941 6.892.941
180 Kab. Pati 6.892.941 6.892.941
181 Kab. Pekalongan 6.892.941 6.892.941
182 Kab. Pemalang 6.892.941 6.892.941
183 Kab. Purbalingga 6.892.941 6.892.941
184 Kab. Purworejo 223.528.235 20.745.760 244.273.995
185 Kab. Rembang 6.892.941 6.892.941
186 Kab. Semarang 6.892.941 6.892.941
187 Kab. Sragen 6.892.941 6.892.941
188 Kab. Sukoharjo 6.892.941 6.892.941
189 Kab. Tegal 6.892.941 6.892.941
190 Kab. Temanggung 6.892.941 6.892.941
191 Kab. Wonogiri 6.892.941 6.892.941
192 Kab. Wonosobo 6.892.941 6.892.941
193 Kota Magelang 6.892.941 6.892.941
194 Kota Pekalongan 6.892.941 6.892.941
195 Kota Salatiga 6.892.941 6.892.941
196 Kota Semarang 6.892.941 6.892.941
197 Kota Surakarta 6.892.941 6.892.941
198 Kota Tegal 6.892.941 6.892.941
Provinsi Jawa Tengah 117.180.000 6.169.800 123.349.800
XV Provinsi DI Yogyakarta 32.145.120 32.145.120
199 Kab. Bantul
200 Kab. Gunung Kidul
201 Kab. Kulon Progo 25.716.096 25.716.096
202 Kab. Sleman
203 Kota Yogyakarta
Provinsi D.I.Yogyakarta 6.429.024 6.429.024
XVI Provinsi Jawa Timur 268.943.360 164.418.520 433.361.880
204 Kab. Bangkalan 2.907.496 2.907.496
205 Kab. Banyuwangi 14.022.739 427.520 14.450.259
206 Kab. Blitar 2.907.496 2.907.496
207 Kab. Bojonegoro 2.907.496 2.907.496
208 Kab. Bondowoso 2.907.496 2.907.496
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
2� - Lampiran
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
209 Kab. Gresik 2.907.496 2.907.496
210 Kab. Jember 2.907.496 57.871.296 60.778.792
211 Kab. Jombang 78.752.685 16.321.120 95.073.805
212 Kab. Kediri 2.907.496 2.907.496
213 Kab. Lamongan 2.907.496 2.907.496
214 Kab. Lumajang 2.907.496 8.070.400 10.977.896
215 Kab. Madiun 2.907.496 2.907.496
216 Kab. Magetan 2.907.496 2.907.496
217 Kab. Malang 2.907.496 2.907.496
218 Kab. Mojokerto 2.907.496 2.907.496
219 Kab. Nganjuk 2.907.496 2.907.496
220 Kab. Ngawi 2.907.496 2.907.496
221 Kab. Pacitan 2.907.496 2.907.496
222 Kab. Pamekasan 2.907.496 2.907.496
223 Kab. Pasuruan 15.985.560 23.436.160 39.421.720
224 Kab. Ponorogo 2.907.496 8.339.200 11.246.696
225 Kab. Probolinggo 2.907.496 2.907.496
226 Kab. Sampang 2.907.496 2.907.496
227 Kab. Sidoarjo 2.907.496 2.907.496
228 Kab. Situbondo 2.907.496 2.907.496
229 Kab. Sumenep 2.907.496 2.907.496
230 Kab. Trenggalek 75.388.473 17.069.120 24.607.967
231 Kab. Tuban 2.907.496 2.907.496
232 Kab. Tulungagung 2.907.496 2.907.496
233 Kota Blitar 2.907.496 2.907.496
234 Kota Kediri 2.907.496 2.907.496
235 Kota Madiun 2.907.496 2.907.496
236 Kota Malang 2.907.496 2.907.496
237 Kota Mojokerto 2.907.496 2.907.496
238 Kota Pasuruan 2.907.496 2.907.496
239 Kota Probolinggo 2.907.496 2.907.496
240 Kota Surabaya 2.907.496 2.907.496
241 Kota Batu 2.907.496 2.907.496
Provinsi Jawa Timur 53.788.672 32.883.704 86.672.376
XVII Provinsi Kalimantan Barat 675.000.000 2.538.274.680 9.288.274.680
242 Kab. Bengkayang 245.454.545 43.825.376 289.279.921
243 Kab. Landak 245.454.545 245.454.545
244 Kab. Kapuas Hulu 245.454.545 40.960.000 286.414.545
245 Kab. Ketapang 2.209.090.909 1.047.840.384 3.256.931.293
246 Kab. Pontianak 245.454.545 245.454.545
247 Kab. Sambas 245.454.545 46.771.360 292.225.905
Lampiran
Lampiran - 2�
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
248 Kab. Sanggau 736.363.636 623.945.600 1.360.309.236
249 Kab. Sintang 245.454.545 212.877.024 458.331.569
250 Kota Pontianak 245.454.545 245.454.545
251 Kota Singkawang 245.454.545 245.454.545
252 Kab. Sekadau 245.454.545 6.400.000 251.854.545
253 Kab. Melawi 245.454.545 8.000.000 253.454.545
Provinsi Kalimantan Barat 1.350.000.000 507.654.936 1.857.654.936
XVIII Provinsi Kalimantan Tengah 20.406.060.000 3.416.190.063 23.822.250.063
254 Kab. Barito Selatan 627.878.769 138.384.243 766.263.012
255 Kab. Barito Utara 627.878.769 529.057.472 1.156.936.241
256 Kab. Kapuas 627.878.769 157.235.459 785.114.228
257 Kab. Kotawaringin Barat 960.186.462 26.710.304 986.896.766
258 Kab. Kotawaringin Timur 627.878.769 1.635.840 629.514.609
259 Kota Palangkaraya 627.878.769 21.176.064 649.054.833
260 Kab. Barito Timur 627.878.769 45.347.663 673.226.433
261 Kab. Murung Raya 7.750.362.462 1.336.823.280 9.087.185.741
262 Kab. Pulang Pisau 627.878.769 627.878.769
263 Kab. Gunung Mas 627.878.769 275.568.349 903.447.118
264 Kab. Lamandau 627.878.769 59.752.960 687.631.729
265 Kab. Sukamara 627.878.769 627.878.769
266 Kab. Katingan 707.632.615 126.547.072 834.179.687
267 Kab. Seruyan 627.878.769 14.713.344 642.592.113
Provinsi Kalimantan Tengah 4.081.212.000 683.238.013 4.764.450.013
XIX Provinsi Kalimantan Selatan 460.489.960.000 5.070.693.174 465.560.653.174
268 Kab. Banjar 29.586.825.625 374.805.984 29.961.631.609
269 Kab. Barito Kuala 15.349.665.333 15.349.665.333
270 Kab. Hulu Sungai Selatan 17.833.558.437 36.107.200 17.869.665.637
271 Kab. Hulu Sungai Tengah 15.349.665.333 10.008.288 15.359.673.621
272 Kab. Hulu Sungai Utara 15.349.665.333 15.349.665.333
273 Kab. Kota Baru 52.876.430.030 1.565.791.603 54.442.221.633
274 Kab. Tabalong 38.267.566.053 351.212.640 38.618.778.693
275 Kab. Tanah Laut 43.959.151.455 428.265.606 44.387.417.061
276 Kab. Tapin 20.913.643.938 191.505.088 21.105.149.026
277 Kota Banjar Baru 16.331.745.333 123.111.168 16.454.856.501
278 Kota Banjarmasin 15.349.665.333 15.349.665.333
279 Kab. Balangan 38.534.964.613 348.027.368 38.882.991.981
280 Kab. Tanah Bumbu 48.689.421.182 627.719.594 49.317.140.776
Provinsi Kalimantan Selatan 92.097.992.000 1.014.138.635 93.112.130.635
XX Provinsi Kalimantan Timur 1.156.529.400.000 8.940.042.333 1.165.469.442.333
281 Kab. Berau 63.778.160.000 815.081.952 64.593.241.952
282 Kab. Bulungan 38.796.500.000 215.189.120 39.011.689.120
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
2� - Lampiran
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
283 Kab. Kutai Kartanegara 91.997.568.624 1.689.294.074 93.686.862.698
284 Kab. Kutai Barat 85.909.060.000 588.869.155 86.497.929.155
285 Kab. Kutai Timur*) 269.994.500.000 2.285.181.766 272.279.681.766
286 Kab. Malinau 39.287.540.000 58.993.600 39.346.533.600
287 Kab. Nunukan 44.757.180.000 166.738.240 44.923.918.240
288 Kab. Pasir 83.903.980.000 1.082.656.967 84.986.636.967
289 Kota Balikpapan 38.550.980.000 38.550.980.000
290 Kota Bontang 38.550.980.000 2.042.726 38.553.022.726
291 Kota Samarinda 52.185.911.376 179.986.266 52.365.897.642
292 Kota Tarakan 38.550.980.000 38.550.980.000
293 Kab. Penajam Paser Utara 38.960.180.000 68.000.000 39.028.180.000
Provinsi Kalimantan Timur 231.305.880.000 1.788.008.467 233.093.888.467
XXI Provinsi Sulawesi Utara 1.733.617.852 1.477.551.932 3.211.169.783
294 Kab. Bolaang Mongondow 693.447.141 1.082.135.792 1.775.582.933
295 Kab. Minahasa 86.680.893 86.680.893
296 Kab. Sangihe 86.680.893 86.680.893
297 Kota Bitung 86.680.893 2.795.268 89.476.160
298 Kota Manado 86.680.893 116.600 86.680.893
299 Kab. Kepulauan Talaud 86.680.893 86.680.893
300 Kab. Minahasa Selatan 86.680.893 40.515.264 127.196.157
301 Kota Tomohon 86.680.893 86.680.893
302 Kab. Minahasa Utara 86.680.893 56.478.622 143.159.515
Provinsi Sulawesi Utara 346.723.570 295.510.386 642.233.957
XXII Provinsi Gorontalo 77.690.956 77.690.956
303 Kab. Boalemo 3.136.000 3.136.000
304 Kab. Gorontalo 14.925.837 14.925.837
305 Kota Gorontalo
306 Kab. Pohuwato 11.887.632 11.887.632
307 Kab. Bone Bolango 32.203.296 32.203.296
Provinsi Gorontalo 15.538.191 15.538.191
XXIII Provinsi Sulawesi Tengah 398.994.924 398.994.924
308 Kab. Banggai
309 Kab. Banggai Kepulauan
310 Kab. Buol 5.196.096 5.196.096
311 Kab. Toli-Toli 15.668.640 15.668.640
312 Kab. Donggala 16.722.144 16.722.144
313 Kab. Morowali 222.479.808 222.479.808
314 Kab. Poso
315 Kota Palu 52.524.579 52.524.579
316 Kab. Parigi Moutong 38.604.672 38.604.672
317 Kab. Tojo Una Una
Provinsi Sulawesi Tengah 79.798.985 79.798.985
Lampiran
Lampiran - 27
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
XXIV Provinsi Sulawesi Selatan 110.452.340.424 1.019.341.704 111.471.682.128
318 Kab. Bantaeng 2.008.224.371 2.008.224.371
319 Kab. Barru 2.008.224.371 2.008.224.371
320 Kab. Bone 2.008.224.371 5.888.000 2.014.112.371
321 Kab. Bulukumba 2.008.224.371 2.008.224.371
322 Kab. Enrekang 2.008.224.371 5.953.190 2.014.177.562
323 Kab. G o w a 2.008.224.371 2.008.224.371
324 Kab. Jeneponto 2.008.224.371 5.740.800 2.013.965.171
325 Kab. Luwu 2.008.224.371 48.666.528 2.056.890.899
326 Kab. Luwu Utara 2.008.224.371 36.406.464 2.044.630.835
327 Kab. M a r o s 2.008.224.371 2.008.224.371
328 Kab. Pangkajene Kepulauan 2.008.224.371 2.008.224.371
329 Kab. Pinrang 2.008.224.371 2.008.224.371
330 Kab. Selayar 2.008.224.371 2.008.224.371
331 Kab. Sidenreng Rappang 2.008.224.371 23.757.408 2.031.981.779
332 Kab. Sinjai 2.008.224.371 2.008.224.371
333 Kab. Soppeng 2.008.224.371 2.008.224.371
334 Kab. Takalar 2.008.224.371 11.406.131 2.019.630.503
335 Kab. Tana Toraja 2.008.224.371 2.008.224.371
336 Kab. Wajo 2.008.224.371 1.662.394 2.009.886.765
337 Kota Pare-pare 2.008.224.371 2.008.224.371
338 Kota Makassar 2.008.224.371 2.008.224.371
339 Kota Palopo 2.008.224.371 2.008.224.371
340 Kab. Luwu Timur 44.180.936.170 675.992.448 44.856.928.618
Provinsi Sulawesi Selatan 22.090.468.085 203.868.341 22.294.336.426
XXV Provinsi Sulawesi Barat
341 Kab. Majene
342 Kab. Mamuju
343 Kab. Polewali Mandar
344 Kab. Mamasa
345 Kab. Mamuju Utara
Provinsi Sulawesi Barat
XXVI Provinsi Sulawesi Tenggara 34.773.285.558 735.759.200 35.509.044.758
346 Kab. Buton 1.545.479.358 25.006.016 1.570.485.374
347 Kab. Konawe 1.545.479.358 121.764.672 1.667.244.030
348 Kab. Kolaka 13.909.314.223 259.318.592 14.168.632.815
349 Kab. Muna 1.545.479.358 1.545.479.358
350 Kota Kendari 1.545.479.358 1.545.479.358
351 Kota Bau-bau 1.545.479.358 1.545.479.358
352 Kab. Konawe Selatan 1.545.479.358 82.238.784 1.627.718.142
353 Kab. Bombana 1.545.479.358 19.814.208 1.565.293.566
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
2� - Lampiran
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
354 Kab. Wakatobi 1.545.479.358 1.545.479.358
355 Kab. Kolaka Utara 1.545.479.358 80.465.088 1.625.944.446
Provinsi Sulawesi Tenggara 6.954.657.112 147.151.840 7.101.808.952
XXVII Provinsi Bali
356 Kab. Badung
357 Kab. Bangli
358 Kab. Buleleng
359 Kab. Gianyar
360 Kab. Jembrana
361 Kab. Karangasem
362 Kab. Klungkung
363 Kab. Tabanan
364 Kota Denpasar
Provinsi Bali
XXVIII Provinsi Nusa Tenggara Barat 135.356.664.000 2.111.995.760 137.468.659.760
365 Kab. Bima 6.767.833.200 21.332.416 6.789.165.616
366 Kab. Dompu 6.767.833.200 105.149.952 6.872.983.152
367 Kab. Lombok Barat 6.767.833.200 6.767.833.200
368 Kab. Lombok Tengah 6.767.833.200 6.767.833.200
369 Kab. Lombok Timur 6.767.833.200 6.767.833.200
370 Kab. Sumbawa 6.767.833.200 644.958.720 7.412.791.920
371 Kota Mataram 6.767.833.200 6.767.833.200
372 Kota Bima 6.767.833.200 6.767.833.200
373 Kab. Sumbawa Barat 54.142.665.600 918.155.520 55.060.821.120
Provinsi Nusa Tenggara Barat 27.071.332.800 422.399.152 27.493.731.952
XXIX Provinsi Nusa Tenggara Timur 182.000.000 44.928.800 226.928.800
374 Kab. Alor 4.853.333 4.853.333
375 Kab. Belu 4.853.333 4.853.333
376 Kab. Ende 4.853.333 4.853.333
377 Kab. Flores Timur 4.853.333 4.853.333
378 Kab. Kupang 4.853.333 4.853.333
379 Kab. Lembata 4.853.333 4.853.333
380 Kab. Manggarai 72.800.000 29.629.440 102.429.440
381 Kab. Ngada 4.853.333 4.853.333
382 Kab. Sikka 4.853.333 4.853.333
383 Kab. Sumba Barat 4.853.333 4.853.333
384 Kab. Sumba Timur 4.853.333 4.853.333
385 Kab. Timor Tengah Selatan 4.853.333 4.853.333
386 Kab. Timor Tengah Utara 4.853.333 4.853.333
387 Kota Kupang 4.853.333 4.853.333
388 Kab. Rote Ndao 4.853.333 4.853.333
Lampiran
Lampiran - 2�
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
389 Kab. Manggarai Barat 4.853.333 6.313.600 11.166.933
Provinsi Nusa Tenggara Timur 36.400.000 8.985.760 45.385.760
XXX Provinsi Maluku 9.062.400 9.062.400
390 Kab. Maluku Tenggara Barat 4.209.920 4.209.920
391 Kab. Maluku Tengah
392 Kab. Maluku Tenggara 3.040.000 3.040.000
393 Kab. Pulau Buru
394 Kota Ambon
395 Kab. Seram Bagian Barat
396 Kab. Seram Bagian Timur
397 Kab. Kepulauan Aru
Provinsi Maluku 1.812.480 1.812.480
XXXI Provinsi Maluku Utara 88.080.076.705 1.283.732.181 89.363.808.886
398 Kab. Halmahera Tengah 5.281.756.218 195.513.553 5.477.269.771
399 Kab. Halmahera Barat 5.033.147.240 5.033.147.240
400 Kota Ternate 5.033.147.240 5.033.147.240
401 Kab. Halmahera Timur 30.175.821.247 685.681.152 30.861.502.399
402 Kota Tidore Kepulauan 5.033.147.240 5.033.147.240
403 Kab. Kepulauan Sula 5.033.147.240 5.033.147.240
404 Kab. Halmahera Selatan 5.033.147.240 1.544.320 5.034.691.560
405 Kab. Halmahera Utara 9.840.747.697 144.246.720 9.984.994.417
Provinsi Maluku Utara 17.616.015.341 256.746.436 17.872.761.777
XXXII Provinsi Papua 531.055.444.800 2.772.065.880 533.827.510.680
406 Kab. Biak Numfor 11.180.114.627 11.180.114.627
407 Kab. Jayapura 11.180.114.627 24.507.360 11.204.621.987
408 Kab. Jayawijaya 11.180.114.627 71.801.952 11.251.916.579
409 Kab. Merauke 11.180.114.627 11.180.114.627
410 Kab. Mimika 212.422.177.920 480.252.000 212.902.429.920
411 Kab. Nabire 11.180.114.627 447.367.200 11.627.481.827
412 Kab. Paniai 11.180.114.627 495.887.904 11.676.002.531
413 Kab. Puncak Jaya 11.180.114.627 81.810.240 11.261.924.867
414 Kab. Yapen Waropen 11.180.114.627 11.180.114.627
415 Kota Jayapura 11.180.114.627 11.180.114.627
416 Kab. Sarmi 11.180.114.627 315.283.392 11.495.398.019
417 Kab. Keerom 11.180.114.627 116.584.800 11.296.699.427
418 Kab. Yahukimo 11.180.114.627 11.180.114.627
419 Kab. Pegunungan Bintang 11.180.114.627 11.180.114.627
420 Kab. Tolikara 11.180.114.627 121.215.456 11.301.330.083
421 Kab. Boven Digoel 11.180.114.627 11.180.114.627
422 Kab. Mappi 11.180.114.627 11.180.114.627
423 Kab. Asmat 11.180.114.627 11.180.114.627
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�0 - Lampiran
no Provinsi/kaBUPaten/kota royalti lanDrent JUmlah DBh
424 Kab. Waropen 11.180.114.627 692.942.400 11.243.057.027
425 Kab. Supiori 11.180.114.627 11.180.114.627
Provinsi Papua 106.211.088.960 544.413.176 106.765.502.136
XXXIII Provinsi Irian Jaya Barat 281.941.776 281.941.776
426 Kab. Sorong
427 Kab. Manokwari
428 Kab. Fak Fak
429 Kota Sorong
430 Kab. Sorong Selatan
431 Kab. Raja Ampat 11.727.821 11.727.821
432 Kab. Teluk Bintuni
433 Kab. Teluk Wondama
434 Kab. Kaimana 213.825.600 213.825.600
Provinsi Irian Jaya Barat 56.388.355 56.388.355
Total Nasional 2.803.974.242.784 47.396.948.567 2.851.371.191.351
Lampiran
Lampiran - �1
Lampiran �
rinCian Dana alokasi UmUm Daerah Provinsi Dan kaBUPaten/kota*)
tahUn 2007
(dalam ribuan rupiah)
no Daerah JUmlah
i Provinsi nanggroe aceh Darussalam 487,934,000
1 Kab. Aceh Barat 267,201,000
2 Kab. Aceh Besar 335,436,000
3 Kab. Aceh Selatan 277,663,000
4 Kab. Aceh Singkil 206,859,000
5 Kab. Aceh Tengah 274,186,000
6 Kab. Aceh Tenggara 252,480,000
7 Kab. Aceh Timur 285,679,000
8 Kab. Aceh Utara 203,868,000
9 Kab. Bireun 345,885,000
10 Kab. Aceh Pidie 431,940,000
11 Kab. Simeulue 184,733,000
12 Kota Banda Aceh 308,839,000
13 Kota Sabang 171,896,000
14 Kota Langsa 193,579,000
15 Kota Lhokseumawe 211,310,000
16 Kab. Nagan Raya 221,841,000
17 Kab. Aceh Jaya 191,893,000
18 Kab. Aceh Barat Daya 200,729,000
19 Kab. Gayo Lues 200,632,000
20 Kab. Aceh Tamiang 213,428,000
21 Kab. Bener Meriah 198,360,000
ii Provinsi sumatera Utara 657,357,000
1 Kab. Asahan 546,637,000
2 Kab. Dairi 304,080,000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�2 - Lampiran
no Daerah JUmlah
3 Kab. Deli Serdang 708,480,000
4 Kab. Tanah Karo 373,637,000
5 Kab. Labuhan Batu 536,778,000
6 Kab. Langkat 545,650,000
7 Kab. Mandailing Natal 338,364,000
8 Kab. Nias 343,779,000
9 Kab. Simalungun 586,985,000
10 Kab. Tapanuli Selatan 501,085,000
11 Kab. Tapanuli Tengah 259,019,000
12 Kab. Tapanuli Utara 320,942,000
13 Kab. Toba Samosir 239,982,000
14 Kota Binjai 254,241,000
15 Kota Medan 748,707,000
16 Kota Pematang Siantar 278,407,000
17 Kota Sibolga 184,634,000
18 Kota Tanjung Balai 197,642,000
19 Kota Tebing Tinggi 200,708,000
20 Kota Padang Sidempuan 225,865,000
21 Kab. Pakpak Bharat 145,900,000
22 Kab. Nias Selatan 231,315,000
23 Kab. Humbang Hasundutan 234,493,000
24 Kab. Serdang Berdagai 344,516,000
25 Kab. Samosir 202,774,000
iii Provinsi sumatera Barat 546,332,000
1 Kab. Limapuluh Koto 344,547,000
2 Kab. Agam 377,132,000
3 Kab. Kepulauan Mentawai 236,058,000
4 Kab. Padang Pariaman 352,452,000
5 Kab. Pasaman 263,891,000
6 Kab. Pesisir Selatan 380,657,000
7 Kab. Sawahlunto Sijunjung 243,480,000
8 Kab. Solok 325,791,000
Lampiran
Lampiran - ��
no Daerah JUmlah
9 Kab. Tanah Datar 334,472,000
10 Kota Bukit Tinggi 211,433,000
11 Kota Padang Panjang 169,805,000
12 Kota Padang 565,100,000
13 Kota Payakumbuh 205,435,000
14 Kota Sawahlunto 167,833,000
15 Kota Solok 182,247,000
16 Kota Pariaman 194,522,000
17 Kab. Pasaman Barat 271,069,000
18 Kab. Dharmasraya 218,596,000
19 Kab. Solok Selatan 188,488,000
iv Provinsi riau 277,659,000
1 Kab. Bengkalis 206,723,000
2 Kab. Indragiri Hilir 368,790,000
3 Kab. Indragiri Hulu 235,911,000
4 Kab. Kampar 241,850,000
5 Kab. Kuantan Singingi 272,524,000
6 Kab. Pelalawan 188,874,000
7 Kab. Rokan Hilir 91,848,000
8 Kab. Rokan Hulu 198,579,000
9 Kab. Siak 95,609,000
10 Kota Dumai 124,459,000
11 Kota Pekanbaru 327,161,000
v Provinsi riau kepulauan 333,333,000
1 Kab. Bintan 152,286,000
2 Kab. Natuna 159,405,000
3 Kab. Karimun 224,259,000
4 Kota Batam 219,300,000
5 Kota Tanjung Pinang 206,735,000
6 Kab. Lingga 161,174,000
vi Provinsi Jambi 415,018,000
1 Kab. Batanghari 237,751,000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no Daerah JUmlah
2 Kab. Bungo 302,950,000
3 Kab. Kerinci 356,557,000
4 Kab. Merangin 310,445,000
5 Kab. Muaro Jambi 244,321,000
6 Kab. Sarolangun 240,533,000
7 Kab. Tanjung Jabung Barat 230,642,000
8 Kab. Tanjung Jabung Timur 205,866,000
9 Kab. Tebo 253,907,000
10 Kota Jambi 335,549,000
vii Provinsi sumatera selatan 510,197,000
1 Kab. Lahat 370,487,000
2 Kab. Musi Banyuasin 190,145,000
3 Kab. Musi Rawas 410,612,000
4 Kab. Muara Enim 335,566,000
5 Kab. Ogan Komering Ilir 462,135,000
6 Kab. Ogan Komering Ulu 296,154,000
7 Kota Palembang 659,611,000
8 Kota Pagar Alam 163,339,000
9 Kota Lubuk Linggau 191,501,000
10 Kota Prabumulih 161,515,000
11 Kab. Banyuasin 384,981,000
12 Kab. Ogan Ilir 260,428,000
13 Kab. OKU Timur 326,475,000
14 Kab. OKU Selatan 224,738,000
viii Provinsi Bangka Belitung 319,357,000
1 Kab. Bangka 240,378,000
2 Kab. Belitung 218,195,000
3 Kota Pangkal Pinang 216,914,000
4 Kab. Bangka Selatan 190,478,000
5 Kab. Bangka Tengah 169,892,000
6 Kab. Bangka Barat 188,769,000
7 Kab. Belitung Timur 192,853,000
Lampiran
Lampiran - ��
no Daerah JUmlah
iX Provinsi Bengkulu 405,858,000
1 Kab. Bengkulu Selatan 242,370,000
2 Kab. Bengkulu Utara 341,399,000
3 Kab. Rejang Lebong 291,055,000
4 Kota Bengkulu 311,197,000
5 Kab. Kaur 174,316,000
6 Kab. Seluma 209,887,000
7 Kab. Mukomuko 200,305,000
8 Kab. Lebong 183,357,000
9 Kab. Kepahiang 190,558,000
X Provinsi lampung 509,656,000
1 Kab. Lampung Barat 288,264,000
2 Kab. Lampung Selatan 600,921,000
3 Kab. Lampung Tengah 599,805,000
4 Kab. Lampung Utara 395,803,000
5 Kab. Lampung Timur 487,543,000
6 Kab. Tanggamus 495,346,000
7 Kab. Tulang Bawang 400,619,000
8 Kab. Way Kanan 274,211,000
9 Kota Bandar Lampung 464,191,000
10 Kota Metro 202,405,000
Xi Provinsi Dki Jakarta 119,943,000
Xii Provinsi Jawa Barat 933,436,000
1 Kab. Bandung 1,351,912,000
2 Kab. Bekasi 430,417,000
3 Kab. Bogor 962,196,000
4 Kab. Ciamis 775,730,000
5 Kab. Cianjur 757,052,000
6 Kab. Cirebon 730,886,000
7 Kab. Garut 911,801,000
8 Kab. Indramayu 610,891,000
9 Kab. Karawang 622,602,000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no Daerah JUmlah
10 Kab. Kuningan 544,045,000
11 Kab. Majalengka 555,540,000
12 Kab. Purwakarta 366,484,000
13 Kab. Subang 560,645,000
14 Kab. Sukabumi 759,683,000
15 Kab. Sumedang 551,711,000
16 Kab. Tasikmalaya 718,561,000
17 Kota Bandung 827,608,000
18 Kota Bekasi 522,199,000
19 Kota Bogor 355,776,000
20 Kota Cirebon 304,470,000
21 Kota Depok 381,095,000
22 Kota Sukabumi 285,095,000
23 Kota Cimahi 270,848,000
24 Kota Tasikmalaya 369,950,000
25 Kota Banjar 273,232,000
Xiii Provinsi Banten 330,597,000
1 Kab. Lebak 507,639,000
2 Kab. Pandeglang 524,411,000
3 Kab. Serang 605,720,000
4 Kab. Tangerang 693,643,000
5 Kota Cilegon 223,328,000
6 Kota Tangerang 376,145,000
Xiv Provinsi Jawa tengah 1,050,732,000
1 Kab. Banjarnegara 452,544,000
2 Kab. Banyumas 654,154,000
3 Kab. Batang 362,659,000
4 Kab. Blora 447,775,000
5 Kab. Boyolali 528,505,000
6 Kab. Brebes 657,982,000
7 Kab. Cilacap 743,064,000
8 Kab. Demak 438,288,000
Lampiran
Lampiran - �7
no Daerah JUmlah
9 Kab. Grobogan 563,699,000
10 Kab. Jepara 461,230,000
11 Kab. Karanganyar 459,156,000
12 Kab. Kebumen 585,365,000
13 Kab. Kendal 453,755,000
14 Kab. Klaten 694,207,000
15 Kab. Kudus 421,953,000
16 Kab. Magelang 548,521,000
17 Kab. Pati 559,748,000
18 Kab. Pekalongan 411,159,000
19 Kab. Pemalang 530,443,000
20 Kab. Purbalingga 416,181,000
21 Kab. Purworejo 471,735,000
22 Kab. Rembang 361,876,000
23 Kab. Semarang 455,990,000
24 Kab. Sragen 513,575,000
25 Kab. Sukoharjo 460,662,000
26 Kab. Tegal 550,407,000
27 Kab. Temanggung 389,124,000
28 Kab. Wonogiri 556,874,000
29 Kab. Wonosobo 389,671,000
30 Kota Magelang 235,917,000
31 Kota Pekalongan 235,899,000
32 Kota Salatiga 212,614,000
33 Kota Semarang 586,736,000
34 Kota Surakarta 374,501,000
35 Kota Tegal 220,303,000
Xv Provinsi Di yogyakarta 437,379,000
1 Kab. Bantul 524,293,000
2 Kab. Gunung Kidul 459,851,000
3 Kab. Kulon Progo 374,760,000
4 Kab. Sleman 543,065,000
5 Kota Yogyakarta 365,042,000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no Daerah JUmlah
Xvi Provinsi Jawa timur 1,091,155,000
1 Kab. Bangkalan 430,851,000
2 Kab. Banyuwangi 698,228,000
3 Kab. Blitar 587,733,000
4 Kab. Bojonegoro 552,361,000
5 Kab. Bondowoso 397,430,000
6 Kab. Gresik 452,286,000
7 Kab. Jember 861,126,000
8 Kab. Jombang 532,595,000
9 Kab. Kediri 635,830,000
10 Kab. Lamongan 540,603,000
11 Kab. Lumajang 479,591,000
12 Kab. Madiun 421,464,000
13 Kab. Magetan 451,962,000
14 Kab. Malang 880,921,000
15 Kab. Mojokerto 450,454,000
16 Kab. Nganjuk 539,899,000
17 Kab. Ngawi 493,983,000
18 Kab. Pacitan 371,997,000
19 Kab. Pamekasan 410,702,000
20 Kab. Pasuruan 532,901,000
21 Kab. Ponorogo 490,926,000
22 Kab. Probolinggo 484,750,000
23 Kab. Sampang 370,902,000
24 Kab. Sidoarjo 588,073,000
25 Kab. Situbondo 383,831,000
26 Kab. Sumenep 492,667,000
27 Kab. Trenggalek 431,681,000
28 Kab. Tuban 470,385,000
29 Kab. Tulungagung 564,916,000
30 Kota Blitar 194,040,000
31 Kota Kediri 350,377,000
Lampiran
Lampiran - ��
no Daerah JUmlah
32 Kota Madiun 238,456,000
33 Kota Malang 417,300,000
34 Kota Mojokerto 212,039,000
35 Kota Pasuruan 203,153,000
36 Kota Probollinggo 225,555,000
37 Kota Surabaya 639,590,000
38 Kota Batu 188,025,000
Xvii Provinsi kalimantan Barat 610,890,000
1 Kab. Bengkayang 262,219,000
2 Kab. Landak 319,568,000
3 Kab. Kapuas Hulu 458,779,000
4 Kab. Ketapang 588,702,000
5 Kab. Pontianak 485,795,000
6 Kab. Sambas 395,227,000
7 Kab. Sanggau 389,605,000
8 Kab. Sintang 488,394,000
9 Kota Pontianak 369,581,000
10 Kota Singkawang 237,907,000
11 Kab. Sekadau 216,970,000
12 Kab. Melawi 256,154,000
Xviii Provinsi kalimantan tengah 571,290,000
1 Kab. Barito Selatan 290,368,000
2 Kab. Barito Utara 282,513,000
3 Kab. Kapuas 434,371,000
4 Kab. Kotawaringin Barat 328,975,000
5 Kab. Kotawaringin Timur 399,216,000
6 Kota Palangkaraya 299,830,000
7 Kab. Barito Timur 233,714,000
8 Kab. Murung Raya 352,655,000
9 Kab. Pulang Pisau 263,522,000
10 Kab. Gunung Mas 273,756,000
11 Kab. Lamandau 231,480,000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�0 - Lampiran
no Daerah JUmlah
12 Kab. Sukamara 239,689,000
13 Kab. Katingan 349,098,000
14 Kab. Seruyan 300,900,000
XiX Provinsi kalimantan selatan 427,994,000
1 Kab. Banjar 339,303,000
2 Kab. Barito Kuala 263,669,000
3 Kab. Hulu Sungai Selatan 267,283,000
4 Kab. Hulu Sungai Tengah 263,020,000
5 Kab. Hulu Sungai Utara 218,943,000
6 Kab. Kota Baru 313,543,000
7 Kab. Tabalong 226,888,000
8 Kab. Tanah Laut 252,597,000
9 Kab. Tapin 233,526,000
10 Kota Banjar Baru 190,679,000
11 Kota Banjarmasin 361,095,000
12 Kab. Balangan 160,641,000
13 Kab. Tanah Bumbu 224,935,000
XX Provinsi kalimantan timur 235,743,000
1 Kab. Berau 295,970,000
2 Kab. Bulungan 204,324,000
3 Kab. Kutai Kartanegara 297,814,000
4 Kab. Kutai Barat 331,974,000
5 Kab. Kutai Timur 273,571,000
6 Kab. Malinau 370,745,000
7 Kab. Nunukan 141,814,000
8 Kab. Pasir 173,168,000
9 Kota Balikpapan 179,471,000
10 Kota Bontang 75,718,000
11 Kota Samarinda 288,805,000
12 Kota Tarakan 72,991,000
13 Kab. Penajam Paser Utara 52,632,000
Lampiran
Lampiran - �1
no Daerah JUmlah
XXi Provinsi sulawesi Utara 447,037,000
1 Kab. Bolaang Mongondow 427,184,000
2 Kab. Minahasa 337,027,000
3 Kab. Sangihe 306,399,000
4 Kota Bitung 243,233,000
5 Kota Manado 374,754,000
6 Kab. Kepulauan Talaud 221,981,000
7 Kab. Minahasa Selatan 303,705,000
8 Kota Tomohon 182,495,000
9 Kab. Minahasa Utara 227,809,000
XXii Provinsi gorontalo 291,394,000
1 Kab. Boalemo 174,613,000
2 Kab. Gorontalo 335,122,000
3 Kota Gorontalo 230,813,000
4 Kab. Pohuwato 192,720,000
5 Kab. Bone Bolango 196,016,000
XXiii Provinsi sulawesi tengah 502,129,000
1 Kab. Banggai 387,407,000
2 Kab. Banggai Kepulauan 236,725,000
3 Kab. Buol 219,916,000
4 Kab. Toli-Toli 274,713,000
5 Kab. Donggala 451,257,000
6 Kab. Morowali 343,480,000
7 Kab. Poso 330,252,000
8 Kota Palu 320,761,000
9 Kab. Parigi Moutong 323,158,000
10 Kab. Tojo Una Una 218,426,000
XXiv Provinsi sulawesi selatan 599,508,000
1 Kab. Bantaeng 206,737,000
2 Kab. Barru 229,246,000
3 Kab. Bone 494,234,000
4 Kab. Bulukumba 332,719,000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�2 - Lampiran
no Daerah JUmlah
5 Kab. Enrekang 230,254,000
6 Kab. G o w a 379,657,000
7 Kab. Jeneponto 280,676,000
8 Kab. Luwu 289,606,000
9 Kab. Luwu Utara 268,664,000
10 Kab. M a r o s 286,004,000
11 Kab. Pangkajene Kepulauan 266,302,000
12 Kab. Pinrang 313,755,000
13 Kab. Selayar 217,506,000
14 Kab. Sidenreng Rappang 265,277,000
15 Kab. Sinjai 255,440,000
16 Kab. Soppeng 292,386,000
17 Kab. Takalar 264,008,000
18 Kab. Tana Toraja 362,625,000
19 Kab. Wajo 305,940,000
20 Kota Pare-pare 208,125,000
21 Kota Makassar 583,842,000
22 Kota Palopo 202,459,000
23 Kab. Luwu Timur 216,885,000
XXv Provinsi sulawesi Barat 279,253,000
1 Kab. Majene 221,772,000
2 Kab. Mamuju 313,748,000
3 Kab. Polewali Mandar 301,085,000
4 Kab. Mamasa 188,531,000
5 Kab. Mamuju Utara 163,409,000
XXvi Provinsi sulawesi tenggara 461,841,000
1 Kab. Buton 290,634,000
2 Kab. Konawe 404,024,000
3 Kab. Kolaka 339,571,000
4 Kab. Muna 374,261,000
5 Kota Kendari 286,250,000
6 Kota Bau-bau 229,205,000
Lampiran
Lampiran - ��
no Daerah JUmlah
7 Kab. Konawe Selatan 275,125,000
8 Kab. Bombana 193,896,000
9 Kab. Wakatobi 181,345,000
10 Kab. Kolaka Utara 207,298,000
XXvii Provinsi Bali 436,533,000
1 Kab. Badung 263,808,000
2 Kab. Bangli 233,791,000
3 Kab. Buleleng 468,732,000
4 Kab. Gianyar 347,800,000
5 Kab. Jembrana 278,583,000
6 Kab. Karangasem 313,036,000
7 Kab. Klungkung 247,321,000
8 Kab. Tabanan 371,722,000
9 Kota Denpasar 331,448,000
XXviii Provinsi nusa tenggara Barat 447,658,000
1 Kab. Bima 374,364,000
2 Kab. Dompu 262,090,000
3 Kab. Lombok Barat 420,874,000
4 Kab. Lombok Tengah 445,821,000
5 Kab. Lombok Timur 522,757,000
6 Kab. Sumbawa 365,080,000
7 Kota Mataram 287,589,000
8 Kota Bima 204,865,000
9 Kab. Sumbawa Barat 147,770,000
XXiX Provinsi nusa tenggara timur 553,589,000
1 Kab. Alor 256,249,000
2 Kab. Belu 344,589,000
3 Kab. Ende 278,452,000
4 Kab. Flores Timur 271,659,000
5 Kab. Kupang 382,802,000
6 Kab. Lembata 188,166,000
7 Kab. Manggarai 348,963,000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no Daerah JUmlah
8 Kab. Ngada 278,275,000
9 Kab. Sikka 279,124,000
10 Kab. Sumba Barat 302,572,000
11 Kab. Sumba Timur 293,655,000
12 Kab. Timor Tengah Selatan 355,802,000
13 Kab. Timor Tengah Utara 258,755,000
14 Kota Kupang 277,705,000
15 Kab. Rote Ndao 182,910,000
16 Kab. Manggarai Barat 206,094,000
XXX Provinsi maluku 476,048,000
1 Kab. Maluku Tenggara Barat 374,271,000
2 Kab. Maluku Tengah 500,035,000
3 Kab. Maluku Tenggara 243,635,000
4 Kab. Pulau Buru 250,617,000
5 Kota Ambon 318,722,000
6 Kab. Seram Bagian Barat 256,229,000
7 Kab. Seram Bagian Timur 170,543,000
8 Kab. Kepulauan Aru 191,940,000
XXXi Provinsi maluku Utara 370,724,000
1 Kab. Halmahera Tengah 193,844,000
2 Kab. Halmahera Barat 191,424,000
3 Kota Ternate 244,043,000
4 Kab. Halmahera Timur 197,485,000
5 Kota Tidore Kepulauan 206,550,000
6 Kab. Kepulauan Sula 233,404,000
7 Kab. Halmahera Selatan 271,379,000
8 Kab. Halmahera Utara 240,244,000
XXXii Provinsi Papua 876,295,000
1 Kab. Biak Numfor 309,850,000
2 Kab. Jayapura 422,740,000
3 Kab. Jayawijaya 356,119,000
4 Kab. Merauke 607,522,000
Lampiran
Lampiran - ��
no Daerah JUmlah
5 Kab. Mimika 221,664,000
6 Kab. Nabire 402,255,000
7 Kab. Paniai 410,794,000
8 Kab. Puncak Jaya 361,492,000
9 Kab. Yapen Waropen 251,360,000
10 Kota Jayapura 322,303,000
11 Kab. Sarmi 461,469,000
12 Kab. Keerom 270,045,000
13 Kab. Yahukimo 356,889,000
14 Kab. Pegunungan Bintang 324,659,000
15 Kab. Tolikara 277,690,000
16 Kab. Boven Digoel 398,819,000
17 Kab. Mappi 373,497,000
18 Kab. Asmat 376,173,000
19 Kab. Waropen 299,579,000
20 Kab. Supiori 182,311,000
XXXiii Provinsi irian Jaya Barat 464,871,000
1 Kab. Sorong 261,519,000
2 Kab. Manokwari 377,745,000
3 Kab. Fak Fak 333,914,000
4 Kota Sorong 240,153,000
5 Kab. Sorong Selatan 383,109,000
6 Kab. Raja Ampat 264,871,000
7 Kab. Teluk Bintuni 287,441,000
8 Kab. Teluk Wondama 209,232,000
9 Kab. Kaimana 336,312,000
total Provinsi 16,478,740,000
total kabupaten / kota 148,308,660,000
total nasional 164,787,400,000
*) Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2006, Tanggal 18 Desember 2006
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
Lampiran �
Dana PenyesUaian DaU tahUn 2007
(dalam ribu rupiah)
no Daerah Jumlah
1 Provinsi DKI Jakarta 653,081,500
2 Provinsi Kalimantan Timur 21,365,200
3 Provinsi Gorontalo 99,996,500
4 Kota Kediri 8,754,900
5 Kab. Minahasa Utara 6,023,500
6 Kab. Sinjai 29,262,900
7 Kab. Jayapura 11,972,000
8 Kab. Mimika 12,457,000
Total Provinsi 774,443,200
Total Kabupaten / Kota 68,470,300
Total Nasional 842,913,500
MENTERI KEUANGAN,ttd, SRI MULYANI INDRAWATI
Lampiran
Lampiran - �7
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
I Pr
ovin
si N
angg
roe
Aceh
Dar
ussa
lam
1
Kab.
Ace
h Ba
rat
10.9
81.0
007.
757.
000
8.12
7.00
02.
062.
000
2.90
0.00
02.
583.
000
4.69
4.00
01.
054.
000
40.1
58.0
002
Kab.
Ace
h Be
sar
11.5
33.0
008.
974.
000
8.83
5.00
03.
074.
000
3.48
3.00
02.
644.
000
4.66
4.00
078
7.00
043
.994
.000
3Ka
b. A
ceh
Sela
tan
11.0
27.0
008.
235.
000
7.28
3.00
02.
510.
000
2.91
8.00
02.
798.
000
3.40
4.00
081
9.00
038
.994
.000
4Ka
b. A
ceh
Sing
kil
11.2
12.0
008.
085.
000
6.26
5.00
01.
738.
000
3.19
0.00
02.
287.
000
4.04
1.00
02.
895.
000
821.
000
40.5
34.0
005
Kab.
Ace
h Te
ngah
11
.515
.000
9.09
9.00
07.
819.
000
2.75
3.00
03.
471.
000
2.44
4.00
04.
575.
000
858.
000
42.5
34.0
006
Kab.
Ace
h Te
ngga
ra
9.77
3.00
06.
386.
000
6.58
5.00
02.
799.
000
2.65
3.00
02.
341.
000
4.60
0.00
082
4.00
035
.961
.000
7Ka
b. A
ceh
Tim
ur
11.3
33.0
0010
.464
.000
9.43
3.00
01.
927.
000
3.62
1.00
03.
086.
000
6.08
0.00
02.
813.
000
919.
000
49.6
76.0
008
Kab.
Ace
h U
tara
11
.009
.000
11.0
66.0
0010
.114
.000
1.40
9.00
03.
729.
000
2.79
3.00
03.
983.
000
2.46
9.00
069
5.00
047
.267
.000
9Ka
b. B
ireun
10
.822
.000
9.23
5.00
09.
132.
000
2.47
5.00
03.
056.
000
2.78
3.00
05.
222.
000
3.01
1.00
077
3.00
046
.509
.000
10Ka
b. A
ceh
Pidi
e 14
.844
.000
9.05
4.00
09.
209.
000
3.71
7.00
04.
674.
000
2.51
9.00
05.
135.
000
899.
000
50.0
51.0
0011
Kab.
Sim
eulu
e 13
.321
.000
7.73
7.00
07.
678.
000
2.31
2.00
02.
443.
000
2.81
5.00
03.
427.
000
3.43
5.00
079
1.00
043
.959
.000
12Ko
ta B
anda
Ace
h 12
.804
.000
6.29
3.00
06.
873.
000
2.19
7.00
02.
176.
000
3.02
7.00
072
8.00
034
.098
.000
13Ko
ta S
aban
g 10
.371
.000
6.14
6.00
06.
733.
000
2.08
1.00
02.
359.
000
2.78
7.00
074
3.00
031
.220
.000
14Ko
ta L
angs
a 9.
169.
000
5.32
9.00
05.
937.
000
1.96
6.00
01.
950.
000
2.31
3.00
097
0.00
068
8.00
028
.322
.000
15Ko
ta L
hoks
eum
awe
8.93
1.00
04.
780.
000
4.70
5.00
01.
877.
000
1.79
4.00
01.
968.
000
927.
000
721.
000
25.7
03.0
0016
Kab.
Nag
an R
aya
10.1
64.0
007.
980.
000
6.31
3.00
01.
829.
000
2.55
7.00
02.
489.
000
3.35
7.00
02.
153.
000
821.
000
37.6
63.0
0017
Kab.
Ace
h Ja
ya
8.99
6.00
05.
745.
000
5.25
4.00
01.
674.
000
2.51
5.00
02.
177.
000
2.98
4.00
02.
243.
000
763.
000
32.3
51.0
0018
Kab.
Ace
h Ba
rat D
aya
9.28
6.00
06.
692.
000
5.75
3.00
02.
061.
000
2.33
3.00
01.
965.
000
2.98
5.00
01.
867.
000
765.
000
33.7
07.0
0019
Kab.
Gay
o Lu
es
7.82
2.00
04.
890.
000
4.38
4.00
01.
435.
000
2.20
6.00
01.
475.
000
2.48
0.00
01.
298.
000
689.
000
26.6
79.0
0020
Kab.
Ace
h Ta
mia
ng
9.71
8.00
06.
800.
000
6.58
8.00
01.
106.
000
2.52
8.00
02.
048.
000
3.10
0.00
01.
655.
000
718.
000
34.2
61.0
0021
Kab.
Ben
er M
eria
h 11
.017
.000
7.15
1.00
06.
917.
000
1.94
7.00
02.
209.
000
1.87
8.00
03.
105.
000
2.06
8.00
075
5.00
037
.047
.000
II Pr
ovin
si S
umat
era
Uta
ra
22Ka
b. A
saha
n 21
.933
.000
11.5
21.0
0013
.429
.000
2.08
8.00
03.
041.
000
3.19
1.00
05.
385.
000
857.
000
61.4
45.0
0023
Kab.
Dai
ri 12
.121
.000
9.49
0.00
013
.132
.000
2.66
9.00
02.
547.
000
2.23
2.00
03.
858.
000
783.
000
46.8
32.0
0024
Kab.
Del
i Ser
dang
23
.587
.000
11.4
88.0
009.
106.
000
2.82
4.00
02.
890.
000
2.77
4.00
04.
685.
000
846.
000
58.2
00.0
0025
Kab.
Tan
ah K
aro
13.2
95.0
0010
.187
.000
10.0
47.0
004.
589.
000
2.73
9.00
02.
069.
000
4.29
7.00
077
6.00
047
.999
.000
26Ka
b. L
abuh
an B
atu
2.66
8.00
02.
113.
000
2.48
2.00
063
3.00
067
0.00
061
8.00
01.
270.
000
162.
000
10.6
16.0
0027
Kab.
Lan
gkat
16
.874
.000
10.1
82.0
009.
277.
000
2.69
3.00
03.
060.
000
2.96
0.00
04.
546.
000
849.
000
50.4
41.0
0028
Kab.
Man
daili
ng N
atal
12
.048
.000
9.07
2.00
010
.733
.000
2.00
8.00
03.
381.
000
3.74
6.00
03.
151.
000
7.84
8.00
085
7.00
052
.844
.000
29Ka
b. N
ias
18.2
79.0
0014
.113
.000
15.3
97.0
002.
864.
000
3.60
9.00
04.
270.
000
3.92
8.00
089
0.00
063
.350
.000
30Ka
b. S
imal
ungu
n 23
.163
.000
9.30
7.00
012
.043
.000
4.24
7.00
02.
610.
000
2.51
0.00
04.
642.
000
757.
000
59.2
79.0
0031
Kab.
Tap
anul
i Sel
atan
16
.076
.000
15.4
96.0
0015
.723
.000
2.57
7.00
07.
957.
000
2.33
9.00
05.
656.
000
897.
000
66.7
21.0
0032
Kab.
Tap
anul
i Ten
gah
11.7
79.0
007.
922.
000
6.75
0.00
02.
744.
000
2.51
1.00
02.
379.
000
2.93
2.00
067
5.00
037
.692
.000
33Ka
b. T
apan
uli U
tara
15
.015
.000
9.19
2.00
08.
470.
000
3.12
7.00
02.
787.
000
2.28
8.00
03.
561.
000
773.
000
45.2
13.0
0034
Kab.
Toba
Sam
osir
13.5
34.0
009.
070.
000
11.6
37.0
002.
938.
000
2.83
0.00
02.
416.
000
3.66
7.00
08.
460.
000
809.
000
55.3
61.0
0035
Kota
Bin
jai
8.12
1.00
04.
067.
000
4.19
6.00
01.
698.
000
1.45
2.00
02.
026.
000
826.
000
22.3
86.0
0036
Kota
Med
an
2.50
8.00
01.
907.
000
1.96
0.00
057
4.00
060
5.00
074
2.00
021
8.00
08.
514.
000
37Ko
ta P
emat
ang
Sian
tar
10.1
81.0
004.
426.
000
4.51
5.00
01.
717.
000
1.59
4.00
01.
992.
000
853.
000
25.2
78.0
0038
Kota
Sib
olga
9.
185.
000
4.98
4.00
04.
654.
000
1.90
7.00
02.
254.
000
2.36
3.00
01.
392.
000
26.7
39.0
0039
Kota
Tan
jung
Bal
ai
9.07
6.00
04.
881.
000
4.80
6.00
02.
028.
000
1.71
1.00
02.
140.
000
873.
000
25.5
15.0
0040
Kota
Tebi
ng T
ingg
i 8.
372.
000
4.24
6.00
04.
586.
000
992.
000
1.74
4.00
01.
642.
000
1.95
5.00
093
7.00
024
.474
.000
41Ko
ta P
adan
g Si
dem
puan
8.
323.
000
4.49
8.00
04.
042.
000
1.42
6.00
01.
755.
000
1.63
2.00
02.
257.
000
882.
000
751.
000
25.5
66.0
0042
Kab.
Pak
pak
Bhar
at
10.1
07.0
006.
354.
000
6.99
2.00
01.
912.
000
2.27
3.00
02.
004.
000
2.74
3.00
02.
150.
000
751.
000
35.2
86.0
0043
Kab.
Nia
s Se
lata
n 12
.335
.000
10.8
47.0
009.
943.
000
3.10
6.00
03.
221.
000
3.21
8.00
03.
743.
000
2.98
1.00
088
7.00
050
.281
.000
44Ka
b. H
umba
ng H
asun
duta
n 10
.220
.000
6.13
9.00
06.
619.
000
1.53
4.00
02.
288.
000
1.77
7.00
02.
570.
000
941.
000
704.
000
32.7
92.0
0045
Kab.
Ser
dang
Ber
daga
i 12
.521
.000
8.35
8.00
07.
341.
000
1.45
6.00
02.
553.
000
2.32
9.00
02.
811.
000
960.
000
709.
000
39.0
38.0
0046
Kab.
Sam
osir
13.4
43.0
009.
109.
000
10.0
37.0
002.
817.
000
3.18
4.00
02.
415.
000
3.72
2.00
02.
783.
000
827.
000
48.3
37.0
00III
Pr
ovin
si S
umat
era
Bara
t 47
Kab.
Lim
apul
uh K
ota
15.1
41.0
0010
.040
.000
9.30
5.00
03.
944.
000
2.58
2.00
02.
355.
000
5.01
9.00
077
9.00
049
.165
.000
48Ka
b. A
gam
14
.509
.000
10.0
37.0
009.
864.
000
4.21
4.00
02.
617.
000
2.86
2.00
04.
785.
000
848.
000
49.7
36.0
00
PenetaPan alokasi Dana alokasi khUsUs tahUn anggaran 2007UntUk kaBUPaten/kota se-inDonesia
Lampiran 7
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
50Ka
b. P
adan
g Pa
riam
an
15.3
46.0
009.
199.
000
10.6
90.0
004.
004.
000
2.56
5.00
03.
001.
000
5.24
1.00
08.
323.
000
801.
000
59.1
70.0
0051
Kab.
Pas
aman
13
.213
.000
7.05
2.00
07.
076.
000
2.98
4.00
02.
322.
000
2.79
0.00
03.
692.
000
859.
000
39.9
88.0
0052
Kab.
Pes
isir
Sela
tan
15.0
14.0
0010
.676
.000
12.0
50.0
008.
725.
000
2.82
6.00
03.
871.
000
4.92
3.00
092
7.00
059
.012
.000
53Ka
b. S
awah
lunt
o Si
junj
ung
10.4
12.0
006.
883.
000
7.65
0.00
01.
762.
000
2.27
0.00
01.
885.
000
3.96
1.00
080
3.00
035
.626
.000
54Ka
b. S
olok
13
.633
.000
8.27
4.00
010
.825
.000
4.04
3.00
02.
503.
000
2.30
4.00
04.
376.
000
820.
000
46.7
78.0
0055
Kab.
Tan
ah D
atar
13
.282
.000
8.12
9.00
09.
401.
000
3.49
4.00
02.
351.
000
2.23
0.00
04.
653.
000
768.
000
44.3
08.0
0056
Kota
Buk
it Ti
nggi
9.
293.
000
4.91
0.00
05.
651.
000
1.30
0.00
01.
919.
000
1.89
4.00
02.
365.
000
676.
000
28.0
08.0
0057
Kota
Pad
ang
Panj
ang
8.26
2.00
03.
744.
000
4.31
5.00
01.
068.
000
1.71
1.00
01.
657.
000
2.04
5.00
079
4.00
023
.596
.000
58Ko
ta P
adan
g 12
.358
.000
7.64
8.00
07.
741.
000
2.13
9.00
02.
210.
000
2.68
3.00
079
5.00
035
.574
.000
59Ko
ta P
ayak
umbu
h 8.
027.
000
3.76
9.00
04.
154.
000
921.
000
1.73
7.00
01.
624.
000
2.02
7.00
01.
732.
000
23.9
91.0
0060
Kota
Saw
ahlu
nto
9.25
7.00
05.
103.
000
5.42
3.00
01.
328.
000
2.00
0.00
01.
874.
000
2.27
8.00
091
3.00
028
.176
.000
61Ko
ta S
olok
9.
372.
000
5.10
1.00
05.
475.
000
1.37
2.00
01.
935.
000
1.94
0.00
02.
371.
000
827.
000
28.3
93.0
0062
Kota
Par
iam
an
9.44
4.00
05.
228.
000
7.88
7.00
03.
416.
000
2.03
4.00
03.
425.
000
2.32
4.00
095
9.00
083
5.00
035
.552
.000
63Ka
b. P
asam
an B
arat
11
.955
.000
6.93
2.00
07.
389.
000
2.57
5.00
02.
262.
000
1.97
6.00
04.
382.
000
1.97
0.00
077
2.00
040
.213
.000
64Ka
b. D
harm
asra
ya
10.4
87.0
007.
028.
000
6.93
3.00
02.
005.
000
2.08
5.00
01.
834.
000
3.40
4.00
01.
928.
000
783.
000
36.4
87.0
0065
Kab.
Sol
ok S
elat
an
10.3
08.0
006.
368.
000
6.60
8.00
02.
641.
000
2.66
3.00
01.
901.
000
2.74
7.00
01.
970.
000
787.
000
35.9
93.0
00IV
Pr
ovin
si R
iau
66Ka
b. B
engk
alis
2.
407.
000
1.95
1.00
02.
786.
000
436.
000
604.
000
603.
000
924.
000
188.
000
9.89
9.00
067
Kab.
Indr
agiri
Hili
r 2.
663.
000
2.13
4.00
02.
271.
000
587.
000
667.
000
647.
000
1.40
9.00
022
6.00
010
.604
.000
68Ka
b. In
drag
iri H
ulu
2.42
7.00
01.
992.
000
2.14
2.00
060
7.00
064
1.00
056
2.00
01.
132.
000
187.
000
9.69
0.00
069
Kab.
Kam
par
2.43
1.00
02.
026.
000
2.42
8.00
051
9.00
066
0.00
063
1.00
01.
236.
000
222.
000
10.1
53.0
0070
Kab.
Kua
ntan
Sin
ging
i 10
.513
.000
5.69
8.00
05.
784.
000
1.31
6.00
02.
822.
000
1.14
8.00
03.
241.
000
7.10
2.00
080
5.00
038
.429
.000
71Ka
b. P
elal
awan
2.
234.
000
1.83
3.00
01.
632.
000
613.
000
580.
000
544.
000
877.
000
4.83
9.00
017
7.00
013
.329
.000
72Ka
b. R
okan
Hili
r 11
.224
.000
8.92
4.00
07.
758.
000
2.27
5.00
02.
419.
000
2.25
4.00
03.
971.
000
8.19
7.00
01.
144.
000
48.1
66.0
0073
Kab.
Rok
an H
ulu
10.1
21.0
005.
054.
000
5.45
7.00
02.
730.
000
2.23
6.00
01.
338.
000
3.24
9.00
07.
063.
000
946.
000
38.1
94.0
0074
Kab.
Sia
k 2.
173.
000
1.75
5.00
01.
528.
000
378.
000
547.
000
524.
000
696.
000
3.70
4.00
014
8.00
011
.453
.000
75Ko
ta D
umai
2.
241.
000
1.77
3.00
01.
795.
000
439.
000
569.
000
548.
000
723.
000
5.20
3.00
013
2.00
013
.423
.000
76Ko
ta P
ekan
baru
2.
335.
000
1.81
4.00
01.
860.
000
559.
000
564.
000
742.
000
155.
000
8.02
9.00
0V
Prov
insi
Ria
u Ke
pula
uan
77Ka
b. B
inta
n 2.
433.
000
2.04
1.00
02.
630.
000
578.
000
602.
000
675.
000
972.
000
5.95
9.00
015
4.00
016
.044
.000
78Ka
b. N
atun
a 8.
559.
000
6.13
3.00
05.
034.
000
867.
000
1.80
8.00
04.
177.
000
1.97
2.00
07.
830.
000
581.
000
36.9
61.0
0079
Kab.
Kar
imun
2.
305.
000
1.86
5.00
01.
851.
000
572.
000
664.
000
759.
000
5.75
7.00
013
2.00
013
.905
.000
80Ko
ta B
atam
2.
320.
000
1.87
0.00
01.
926.
000
568.
000
698.
000
738.
000
5.54
0.00
013
1.00
013
.791
.000
81Ko
ta T
anju
ng P
inan
g 9.
747.
000
5.68
7.00
05.
518.
000
2.01
5.00
02.
143.
000
2.37
2.00
01.
017.
000
712.
000
29.2
11.0
0082
Kab.
Lin
gga
10.4
29.0
006.
034.
000
7.30
9.00
01.
413.
000
1.95
3.00
08.
600.
000
2.12
5.00
097
3.00
067
6.00
039
.512
.000
VI
Prov
insi
Jam
bi
83Ka
b. B
atan
ghar
i 9.
842.
000
5.74
5.00
07.
477.
000
1.04
6.00
02.
254.
000
2.60
4.00
03.
867.
000
923.
000
33.7
58.0
0084
Kab.
Bun
go
8.92
0.00
05.
636.
000
7.60
0.00
01.
967.
000
2.59
8.00
01.
594.
000
4.50
2.00
084
2.00
033
.659
.000
85Ka
b. K
erin
ci
13.6
93.0
008.
136.
000
8.92
6.00
03.
120.
000
3.27
0.00
02.
426.
000
4.72
7.00
080
4.00
045
.102
.000
86Ka
b. M
eran
gin
9.97
5.00
06.
980.
000
8.04
3.00
01.
484.
000
2.77
4.00
01.
819.
000
5.01
5.00
099
6.00
037
.086
.000
87Ka
b. M
uaro
Jam
bi
9.74
9.00
08.
237.
000
8.91
2.00
03.
948.
000
2.58
4.00
02.
886.
000
3.60
8.00
07.
910.
000
871.
000
48.7
05.0
0088
Kab.
Sar
olan
gun
9.94
3.00
05.
461.
000
7.22
8.00
02.
997.
000
2.20
4.00
01.
657.
000
3.41
5.00
07.
249.
000
846.
000
41.0
00.0
0089
Kab.
Tan
jung
Jabu
ng B
arat
2.
509.
000
2.03
2.00
02.
200.
000
672.
000
627.
000
596.
000
1.05
9.00
018
2.00
09.
877.
000
90Ka
b. T
anju
ng Ja
bung
Tim
ur
9.91
3.00
07.
324.
000
8.23
4.00
01.
772.
000
2.18
4.00
02.
300.
000
3.60
2.00
07.
817.
000
920.
000
44.0
66.0
0091
Kab.
Tebo
10
.289
.000
6.37
5.00
07.
554.
000
1.99
3.00
02.
179.
000
1.92
8.00
04.
164.
000
7.67
6.00
097
1.00
043
.129
.000
92Ko
ta Ja
mbi
10
.449
.000
5.65
4.00
05.
132.
000
1.82
7.00
02.
624.
000
2.32
2.00
082
8.00
028
.836
.000
VII
Prov
insi
Sum
ater
a Se
lata
n 93
Kab.
Lah
at
14.1
45.0
008.
493.
000
4.81
9.00
04.
023.
000
4.10
4.00
01.
772.
000
3.60
5.00
080
3.00
041
.764
.000
94Ka
b. M
usi B
anyu
asin
14
.251
.000
11.3
34.0
009.
746.
000
1.54
2.00
02.
974.
000
1.94
3.00
04.
956.
000
2.39
0.00
049
.136
.000
95Ka
b. M
usi R
awas
15
.077
.000
11.2
60.0
009.
546.
000
4.28
6.00
03.
104.
000
2.26
5.00
05.
215.
000
1.38
3.00
01.
161.
000
53.2
97.0
0096
Kab.
Mua
ra E
nim
2.
642.
000
2.12
4.00
02.
035.
000
1.01
2.00
069
8.00
058
6.00
01.
325.
000
201.
000
10.6
23.0
0097
Kab.
Oga
n Ko
mer
ing
Ilir
15.6
48.0
009.
602.
000
6.29
8.00
01.
082.
000
3.11
0.00
03.
736.
000
4.41
1.00
01.
370.
000
45.2
57.0
0098
Kab.
Oga
n Ko
mer
ing
Ulu
15
.911
.000
6.71
7.00
05.
115.
000
1.55
4.00
02.
278.
000
2.44
3.00
04.
306.
000
694.
000
39.0
18.0
0099
Kota
Pal
emba
ng
2.56
9.00
01.
900.
000
1.86
9.00
058
7.00
055
4.00
076
9.00
013
9.00
08.
387.
000
Lampiran
Lampiran - ��
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
101
Kota
Lub
uk L
ingg
au
7.54
5.00
03.
699.
000
3.93
6.00
01.
682.
000
1.63
3.00
01.
718.
000
1.99
4.00
062
1.00
022
.828
.000
102
Kota
Pra
bum
ulih
7.
333.
000
3.31
6.00
02.
609.
000
677.
000
1.56
3.00
01.
449.
000
1.70
5.00
085
6.00
068
4.00
020
.192
.000
103
Kab.
Ban
yuas
in
13.7
87.0
009.
995.
000
5.06
0.00
096
9.00
02.
725.
000
2.02
9.00
04.
306.
000
1.36
4.00
094
3.00
041
.178
.000
104
Kab.
Oga
n Ili
r 9.
765.
000
6.56
0.00
06.
734.
000
1.24
3.00
02.
693.
000
3.53
2.00
03.
071.
000
1.66
8.00
082
2.00
036
.088
.000
105
Kab.
OKU
Tim
ur
12.2
96.0
007.
249.
000
6.37
1.00
01.
272.
000
2.98
6.00
02.
047.
000
3.28
8.00
094
3.00
075
8.00
037
.210
.000
106
Kab.
OKU
Sel
atan
8.
710.
000
6.00
5.00
04.
318.
000
1.53
2.00
02.
078.
000
3.05
3.00
02.
909.
000
1.31
5.00
072
0.00
030
.640
.000
VIII
Prov
insi
Ban
gka
Belit
ung
107
Kab.
Ban
gka
14.4
55.0
008.
181.
000
8.87
6.00
01.
811.
000
2.55
2.00
02.
987.
000
4.46
3.00
01.
030.
000
44.3
55.0
0010
8Ka
b. B
elitu
ng
10.6
44.0
007.
527.
000
7.30
5.00
01.
665.
000
2.34
5.00
08.
886.
000
3.63
6.00
081
8.00
042
.826
.000
109
Kota
Pan
gkal
Pin
ang
10.9
36.0
006.
630.
000
5.99
6.00
02.
156.
000
2.63
6.00
02.
844.
000
729.
000
31.9
27.0
0011
0Ka
b. B
angk
a Se
lata
n 9.
585.
000
6.39
8.00
08.
258.
000
2.95
6.00
02.
233.
000
3.11
1.00
02.
453.
000
2.01
9.00
074
8.00
037
.761
.000
111
Kab.
Ban
gka
Teng
ah
9.92
2.00
06.
636.
000
6.67
4.00
01.
507.
000
2.13
4.00
02.
771.
000
2.64
6.00
01.
023.
000
747.
000
34.0
60.0
0011
2Ka
b. B
angk
a Ba
rat
11.5
41.0
008.
268.
000
8.66
6.00
01.
952.
000
2.52
7.00
02.
978.
000
3.02
9.00
01.
128.
000
832.
000
40.9
21.0
0011
3Ka
b. B
elitu
ng T
imur
10
.079
.000
6.47
2.00
06.
206.
000
1.47
0.00
02.
151.
000
3.06
9.00
02.
632.
000
2.10
0.00
072
8.00
034
.907
.000
IX
Prov
insi
Ben
gkul
u 11
4Ka
b. B
engk
ulu
Sela
tan
16.5
73.0
0011
.629
.000
10.8
19.0
003.
500.
000
3.44
1.00
03.
692.
000
6.06
3.00
01.
203.
000
56.9
20.0
0011
5Ka
b. B
engk
ulu
Uta
ra
15.1
05.0
0012
.003
.000
12.9
60.0
003.
680.
000
3.27
8.00
03.
283.
000
6.21
3.00
01.
276.
000
57.7
98.0
0011
6Ka
b. R
ejan
g Le
bong
12
.490
.000
10.0
03.0
0011
.030
.000
2.98
8.00
02.
895.
000
2.59
7.00
05.
450.
000
913.
000
48.3
66.0
0011
7Ko
ta B
engk
ulu
11.4
85.0
007.
303.
000
6.61
0.00
01.
939.
000
2.19
7.00
02.
277.
000
3.03
7.00
074
3.00
035
.591
.000
118
Kab.
Kau
r 11
.112
.000
8.62
0.00
06.
539.
000
2.27
9.00
02.
607.
000
3.10
6.00
03.
218.
000
2.44
7.00
081
0.00
040
.738
.000
119
Kab.
Sel
uma
11.0
10.0
008.
960.
000
8.06
6.00
02.
207.
000
2.67
8.00
02.
479.
000
3.76
7.00
02.
366.
000
803.
000
42.3
36.0
0012
0Ka
b. M
ukom
uko
9.97
7.00
07.
645.
000
6.71
8.00
02.
346.
000
2.28
8.00
02.
285.
000
2.92
2.00
02.
064.
000
804.
000
37.0
49.0
0012
1Ka
b. L
ebon
g 10
.616
.000
7.09
8.00
06.
492.
000
2.50
0.00
02.
543.
000
2.94
1.00
02.
285.
000
780.
000
35.2
55.0
0012
2Ka
b. K
epah
iang
15
.726
.000
10.1
82.0
009.
750.
000
3.36
7.00
02.
820.
000
2.74
8.00
04.
577.
000
3.24
4.00
091
6.00
053
.330
.000
X Pr
ovin
si L
ampu
ng
123
Kab.
Lam
pung
Bar
at
12.2
00.0
008.
898.
000
9.76
6.00
02.
487.
000
2.27
5.00
03.
308.
000
825.
000
39.7
59.0
0012
4Ka
b. L
ampu
ng S
elat
an
21.3
88.0
0011
.714
.000
8.77
4.00
01.
961.
000
3.30
5.00
05.
262.
000
5.92
8.00
077
8.00
059
.110
.000
125
Kab.
Lam
pung
Teng
ah
21.3
22.0
009.
586.
000
10.4
86.0
001.
959.
000
2.55
4.00
02.
317.
000
6.36
9.00
07.
856.
000
903.
000
63.3
52.0
0012
6Ka
b. L
ampu
ng U
tara
15
.567
.000
6.63
1.00
07.
114.
000
1.12
7.00
02.
071.
000
1.74
3.00
03.
527.
000
702.
000
38.4
82.0
0012
7Ka
b. L
ampu
ng T
imur
19
.386
.000
10.2
07.0
009.
947.
000
1.66
2.00
02.
660.
000
3.49
1.00
04.
679.
000
8.10
8.00
091
8.00
061
.058
.000
128
Kab.
Tan
ggam
us
15.6
83.0
008.
854.
000
6.75
5.00
04.
558.
000
3.05
3.00
02.
646.
000
4.26
3.00
080
4.00
046
.616
.000
129
Kab.
Tul
ang
Baw
ang
14.0
13.0
008.
651.
000
5.66
9.00
01.
331.
000
2.82
7.00
06.
407.
000
5.16
2.00
01.
082.
000
45.1
42.0
0013
0Ka
b. W
ay K
anan
10
.539
.000
6.04
7.00
07.
538.
000
718.
000
2.08
9.00
01.
466.
000
3.39
0.00
07.
148.
000
682.
000
39.6
17.0
0013
1Ko
ta B
anda
r Lam
pung
11
.868
.000
9.42
4.00
05.
179.
000
2.11
6.00
02.
023.
000
2.63
2.00
01.
034.
000
34.2
76.0
0013
2Ko
ta M
etro
7.
947.
000
3.47
5.00
03.
283.
000
1.65
1.00
01.
595.
000
1.91
8.00
07.
317.
000
777.
000
27.9
63.0
00XI
Pr
ovin
si D
KI Ja
kart
a XI
I Pr
ovin
si Ja
wa
Bara
t 13
3Ka
b. B
andu
ng
3.67
2.00
02.
331.
000
1.93
6.00
051
5.00
070
4.00
069
0.00
01.
028.
000
136.
000
11.0
12.0
0013
4Ka
b. B
ekas
i 2.
653.
000
1.88
1.00
01.
770.
000
508.
000
627.
000
547.
000
880.
000
126.
000
8.99
2.00
013
5Ka
b. B
ogor
3.
193.
000
2.22
3.00
01.
997.
000
533.
000
705.
000
586.
000
915.
000
137.
000
10.2
89.0
0013
6Ka
b. C
iam
is
33.6
54.0
0011
.963
.000
8.35
4.00
05.
153.
000
3.47
2.00
03.
790.
000
6.07
8.00
088
0.00
073
.344
.000
137
Kab.
Cia
njur
28
.930
.000
11.2
56.0
009.
877.
000
2.89
6.00
03.
670.
000
5.20
6.00
05.
022.
000
817.
000
67.6
74.0
0013
8Ka
b. C
irebo
n 2.
753.
000
2.12
2.00
01.
921.
000
591.
000
688.
000
585.
000
1.13
0.00
014
1.00
09.
931.
000
139
Kab.
Gar
ut
32.5
19.0
0013
.101
.000
7.99
4.00
02.
743.
000
4.01
3.00
04.
344.
000
5.52
0.00
082
1.00
071
.055
.000
140
Kab.
Indr
amay
u 2.
834.
000
2.11
2.00
01.
950.
000
2.77
1.00
067
3.00
071
3.00
01.
188.
000
156.
000
12.3
97.0
0014
1Ka
b. K
araw
ang
2.63
2.00
02.
039.
000
1.94
4.00
052
3.00
066
9.00
058
3.00
096
8.00
013
3.00
09.
491.
000
142
Kab.
Kun
inga
n 20
.293
.000
8.63
0.00
08.
930.
000
2.37
2.00
02.
689.
000
2.13
0.00
03.
923.
000
776.
000
49.7
43.0
0014
3Ka
b. M
ajal
engk
a 18
.271
.000
8.76
2.00
05.
705.
000
7.49
8.00
02.
444.
000
2.17
4.00
03.
996.
000
708.
000
49.5
58.0
0014
4Ka
b. P
urw
akar
ta
12.0
58.0
005.
789.
000
4.74
1.00
01.
775.
000
2.20
9.00
02.
537.
000
2.83
9.00
070
0.00
032
.648
.000
145
Kab.
Sub
ang
22.4
09.0
0011
.046
.000
8.14
0.00
010
.896
.000
2.79
5.00
02.
879.
000
4.71
3.00
081
9.00
063
.697
.000
146
Kab.
Suk
abum
i 32
.803
.000
11.2
00.0
0011
.234
.000
2.39
8.00
03.
154.
000
4.59
9.00
05.
488.
000
791.
000
71.6
67.0
0014
7Ka
b. S
umed
ang
18.0
50.0
008.
589.
000
5.28
8.00
01.
908.
000
2.33
3.00
02.
518.
000
4.39
4.00
070
5.00
043
.785
.000
148
Kab.
Tas
ikm
alay
a 31
.417
.000
12.0
87.0
007.
456.
000
1.59
1.00
03.
634.
000
4.75
9.00
05.
576.
000
2.46
9.00
078
5.00
069
.774
.000
149
Kota
Ban
dung
2.
488.
000
1.90
8.00
01.
728.
000
561.
000
540.
000
658.
000
283.
000
8.16
6.00
0
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�0 - Lampiran
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
151
Kota
Bog
or
2.29
7.00
01.
822.
000
1.76
9.00
055
4.00
054
1.00
071
0.00
012
7.00
07.
820.
000
152
Kota
Cire
bon
9.72
1.00
06.
259.
000
5.59
8.00
01.
962.
000
2.18
8.00
02.
626.
000
853.
000
29.2
07.0
0015
3Ko
ta D
epok
2.
375.
000
1.79
2.00
01.
581.
000
562.
000
534.
000
685.
000
4.22
7.00
012
1.00
011
.877
.000
154
Kota
Suk
abum
i 8.
115.
000
3.93
1.00
03.
773.
000
1.65
0.00
01.
387.
000
2.26
3.00
059
6.00
021
.715
.000
155
Kota
Cim
ahi
7.49
7.00
03.
460.
000
2.78
0.00
01.
492.
000
1.37
1.00
01.
593.
000
806.
000
613.
000
19.6
12.0
0015
6Ko
ta T
asik
mal
aya
9.96
1.00
04.
384.
000
2.88
8.00
076
2.00
01.
714.
000
1.43
2.00
01.
802.
000
821.
000
660.
000
24.4
24.0
0015
7Ko
ta B
anja
r 10
.403
.000
6.25
3.00
06.
757.
000
2.14
2.00
02.
030.
000
2.88
2.00
01.
022.
000
749.
000
32.2
38.0
00XI
II Pr
ovin
si B
ante
n 15
8Ka
b. L
ebak
21
.663
.000
9.04
8.00
08.
946.
000
3.65
6.00
03.
761.
000
2.63
9.00
04.
884.
000
870.
000
55.4
67.0
0015
9Ka
b. P
ande
glan
g 16
.939
.000
9.68
5.00
07.
691.
000
4.60
3.00
03.
425.
000
3.53
3.00
04.
353.
000
823.
000
51.0
52.0
0016
0Ka
b. S
eran
g 25
.961
.000
10.0
03.0
007.
937.
000
2.16
6.00
03.
760.
000
3.11
8.00
04.
196.
000
837.
000
57.9
78.0
0016
1Ka
b. T
ange
rang
21
.659
.000
11.0
80.0
009.
317.
000
1.61
2.00
03.
988.
000
3.05
2.00
03.
644.
000
705.
000
55.0
57.0
0016
2Ko
ta C
ilego
n 2.
271.
000
1.76
2.00
01.
663.
000
440.
000
562.
000
548.
000
719.
000
4.83
6.00
012
6.00
012
.927
.000
163
Kota
Tan
gera
ng
2.30
3.00
01.
786.
000
1.49
9.00
055
5.00
052
7.00
064
5.00
011
8.00
07.
433.
000
XIV
Prov
insi
Jaw
a Te
ngah
16
4Ka
b. B
anja
rneg
ara
18.9
97.0
007.
950.
000
5.87
8.00
01.
931.
000
2.78
7.00
01.
890.
000
4.19
2.00
071
4.00
044
.339
.000
165
Kab.
Ban
yum
as
2.78
5.00
02.
095.
000
2.00
5.00
082
3.00
066
5.00
057
9.00
01.
041.
000
153.
000
10.1
46.0
0016
6Ka
b. B
atan
g 15
.732
.000
9.02
4.00
06.
951.
000
3.48
3.00
02.
706.
000
2.32
0.00
03.
631.
000
781.
000
44.6
28.0
0016
7Ka
b. B
lora
18
.839
.000
7.65
8.00
05.
418.
000
2.00
2.00
02.
399.
000
1.61
4.00
04.
745.
000
701.
000
43.3
76.0
0016
8Ka
b. B
oyol
ali
18.3
94.0
008.
312.
000
4.79
5.00
01.
213.
000
2.37
8.00
01.
932.
000
3.42
4.00
071
7.00
041
.165
.000
169
Kab.
Bre
bes
2.89
1.00
02.
137.
000
1.99
9.00
079
2.00
069
1.00
068
8.00
098
1.00
015
5.00
010
.334
.000
170
Kab.
Cila
cap
26.2
70.0
0011
.803
.000
8.48
4.00
03.
319.
000
3.26
2.00
03.
011.
000
4.20
1.00
081
8.00
061
.168
.000
171
Kab.
Dem
ak
18.0
24.0
009.
566.
000
6.96
2.00
06.
419.
000
2.99
2.00
03.
316.
000
3.99
6.00
084
2.00
052
.117
.000
172
Kab.
Gro
boga
n 2.
870.
000
2.10
2.00
02.
134.
000
648.
000
656.
000
577.
000
1.18
3.00
015
5.00
010
.325
.000
173
Kab.
Jepa
ra
17.1
71.0
009.
119.
000
7.52
0.00
04.
356.
000
2.54
0.00
03.
215.
000
3.66
5.00
082
0.00
048
.406
.000
174
Kab.
Kar
anga
nyar
15
.682
.000
8.22
0.00
07.
213.
000
2.95
8.00
02.
300.
000
2.03
9.00
03.
944.
000
781.
000
43.1
37.0
0017
5Ka
b. K
ebum
en
19.5
19.0
0011
.432
.000
7.70
3.00
02.
466.
000
3.26
3.00
02.
325.
000
4.67
0.00
082
5.00
052
.203
.000
176
Kab.
Ken
dal
17.7
62.0
009.
217.
000
7.72
1.00
01.
947.
000
2.70
2.00
02.
885.
000
3.74
0.00
076
7.00
046
.741
.000
177
Kab.
Kla
ten
18.5
79.0
0010
.310
.000
7.41
0.00
04.
754.
000
2.88
3.00
02.
320.
000
3.77
2.00
083
9.00
050
.867
.000
178
Kab.
Kud
us
14.1
84.0
007.
525.
000
6.18
2.00
02.
166.
000
2.23
5.00
02.
100.
000
2.99
1.00
083
5.00
038
.218
.000
179
Kab.
Mag
elan
g 20
.761
.000
9.35
9.00
06.
179.
000
1.87
0.00
02.
876.
000
2.38
6.00
04.
456.
000
767.
000
48.6
54.0
0018
0Ka
b. P
ati
20.3
19.0
008.
871.
000
5.46
2.00
03.
135.
000
2.83
8.00
03.
964.
000
4.63
2.00
075
5.00
049
.976
.000
181
Kab.
Pek
alon
gan
16.5
43.0
009.
875.
000
8.39
8.00
02.
450.
000
2.81
4.00
02.
355.
000
3.16
8.00
082
5.00
046
.428
.000
182
Kab.
Pem
alan
g 2.
659.
000
2.05
5.00
02.
083.
000
666.
000
638.
000
613.
000
998.
000
159.
000
9.87
1.00
018
3Ka
b. P
urba
lingg
a 15
.476
.000
7.17
6.00
06.
094.
000
2.59
9.00
02.
348.
000
1.94
6.00
03.
233.
000
734.
000
39.6
06.0
0018
4Ka
b. P
urw
orej
o 16
.180
.000
8.52
7.00
07.
928.
000
2.13
4.00
02.
837.
000
2.32
3.00
03.
703.
000
769.
000
44.4
01.0
0018
5Ka
b. R
emba
ng
13.9
90.0
007.
562.
000
5.91
2.00
03.
240.
000
2.57
2.00
02.
513.
000
4.51
1.00
070
5.00
041
.005
.000
186
Kab.
Sem
aran
g 15
.672
.000
8.13
0.00
07.
324.
000
4.87
7.00
02.
418.
000
1.97
0.00
04.
731.
000
762.
000
45.8
84.0
0018
7Ka
b. S
rage
n 16
.433
.000
8.56
9.00
07.
954.
000
1.76
5.00
02.
432.
000
2.27
1.00
04.
506.
000
779.
000
44.7
09.0
0018
8Ka
b. S
ukoh
arjo
15
.791
.000
8.27
6.00
06.
446.
000
1.92
8.00
02.
299.
000
2.25
6.00
03.
672.
000
856.
000
41.5
24.0
0018
9Ka
b. Te
gal
2.79
7.00
02.
049.
000
1.95
5.00
067
0.00
064
5.00
059
6.00
01.
006.
000
162.
000
9.88
0.00
019
0Ka
b. Te
man
ggun
g 12
.705
.000
7.36
8.00
05.
817.
000
4.08
3.00
02.
381.
000
2.79
7.00
03.
809.
000
714.
000
39.6
74.0
0019
1Ka
b. W
onog
iri
20.2
05.0
0010
.660
.000
7.79
8.00
04.
140.
000
2.65
6.00
02.
489.
000
5.59
8.00
076
0.00
054
.306
.000
192
Kab.
Won
osob
o 16
.469
.000
9.20
5.00
07.
079.
000
3.57
7.00
02.
751.
000
2.17
9.00
03.
535.
000
753.
000
45.5
48.0
0019
3Ko
ta M
agel
ang
8.04
8.00
03.
578.
000
4.08
3.00
01.
649.
000
1.57
4.00
02.
817.
000
1.17
4.00
022
.923
.000
194
Kota
Pek
alon
gan
10.7
98.0
005.
173.
000
5.09
3.00
01.
913.
000
2.13
4.00
02.
398.
000
1.17
2.00
028
.681
.000
195
Kota
Sal
atig
a 7.
955.
000
3.57
3.00
05.
395.
000
920.
000
1.64
3.00
01.
535.
000
1.78
6.00
085
3.00
023
.660
.000
196
Kota
Sem
aran
g 2.
448.
000
1.85
5.00
01.
702.
000
494.
000
572.
000
553.
000
708.
000
168.
000
8.50
0.00
019
7Ko
ta S
urak
arta
10
.267
.000
4.92
8.00
04.
580.
000
1.74
6.00
01.
631.
000
1.82
4.00
01.
557.
000
26.5
33.0
0019
8Ko
ta Te
gal
9.42
7.00
04.
335.
000
4.14
3.00
01.
699.
000
2.01
9.00
01.
890.
000
1.22
3.00
024
.736
.000
XV
Prov
insi
DI Y
ogya
kart
a 19
9Ka
b. B
antu
l 15
.137
.000
9.76
9.00
09.
016.
000
2.91
3.00
02.
435.
000
2.80
6.00
04.
748.
000
885.
000
47.7
09.0
0020
0Ka
b. G
unun
g Ki
dul
17.0
80.0
0010
.140
.000
8.15
4.00
02.
731.
000
2.81
6.00
02.
308.
000
5.17
4.00
076
4.00
049
.167
.000
201
Kab.
Kul
on P
rogo
13
.820
.000
8.24
7.00
07.
956.
000
2.21
2.00
02.
282.
000
2.71
4.00
04.
102.
000
786.
000
42.1
19.0
00
Lampiran
Lampiran - �1
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
203
Kota
Yog
yaka
rta
9.87
0.00
04.
974.
000
4.17
0.00
092
1.00
01.
707.
000
1.59
2.00
01.
893.
000
1.66
1.00
026
.788
.000
XVI
Prov
insi
Jaw
a Ti
mur
20
4Ka
b. B
angk
alan
16
.340
.000
8.84
5.00
04.
649.
000
1.20
5.00
02.
583.
000
2.24
4.00
04.
955.
000
697.
000
41.5
18.0
0020
5Ka
b. B
anyu
wan
gi
26.3
35.0
0012
.061
.000
7.60
4.00
03.
968.
000
3.24
4.00
03.
257.
000
5.31
7.00
079
6.00
062
.582
.000
206
Kab.
Blit
ar
19.6
27.0
009.
768.
000
8.13
9.00
03.
059.
000
2.73
8.00
02.
182.
000
4.65
6.00
076
6.00
050
.935
.000
207
Kab.
Boj
oneg
oro
2.75
8.00
02.
051.
000
2.08
7.00
047
6.00
068
0.00
055
8.00
01.
281.
000
151.
000
10.0
42.0
0020
8Ka
b. B
ondo
wos
o 10
.289
.000
7.11
0.00
06.
967.
000
2.71
0.00
02.
868.
000
1.86
4.00
04.
067.
000
686.
000
36.5
61.0
0020
9Ka
b. G
resi
k 2.
559.
000
1.98
8.00
01.
796.
000
539.
000
638.
000
706.
000
971.
000
141.
000
9.33
8.00
021
0Ka
b. Je
mbe
r 27
.665
.000
14.2
11.0
008.
121.
000
3.21
0.00
03.
431.
000
2.62
2.00
06.
378.
000
847.
000
66.4
85.0
0021
1Ka
b. Jo
mba
ng
2.72
1.00
02.
052.
000
1.83
3.00
082
3.00
062
9.00
057
7.00
01.
103.
000
155.
000
9.89
3.00
021
2Ka
b. K
ediri
2.
709.
000
2.11
2.00
02.
094.
000
561.
000
637.
000
572.
000
1.19
5.00
015
2.00
010
.032
.000
213
Kab.
Lam
onga
n 24
.151
.000
12.4
30.0
006.
628.
000
2.20
9.00
03.
750.
000
4.92
7.00
04.
937.
000
830.
000
59.8
62.0
0021
4Ka
b. L
umaj
ang
13.4
44.0
008.
651.
000
8.07
8.00
05.
823.
000
2.69
6.00
02.
204.
000
5.38
7.00
076
0.00
047
.043
.000
215
Kab.
Mad
iun
13.1
03.0
008.
124.
000
6.76
6.00
02.
059.
000
2.17
0.00
01.
708.
000
3.71
1.00
070
6.00
038
.347
.000
216
Kab.
Mag
etan
15
.173
.000
8.84
5.00
06.
969.
000
5.05
8.00
02.
452.
000
1.98
1.00
04.
231.
000
786.
000
45.4
95.0
0021
7Ka
b. M
alan
g 29
.882
.000
13.0
71.0
008.
954.
000
3.27
7.00
03.
217.
000
2.70
7.00
06.
236.
000
840.
000
68.1
84.0
0021
8Ka
b. M
ojok
erto
17
.354
.000
8.91
6.00
06.
557.
000
2.26
1.00
02.
696.
000
1.93
2.00
04.
447.
000
822.
000
44.9
85.0
0021
9Ka
b. N
ganj
uk
19.6
46.0
008.
505.
000
5.97
6.00
01.
904.
000
2.50
3.00
01.
724.
000
4.05
3.00
073
0.00
045
.041
.000
220
Kab.
Nga
wi
16.9
82.0
007.
806.
000
5.55
1.00
02.
527.
000
2.29
4.00
01.
720.
000
3.85
4.00
072
7.00
041
.461
.000
221
Kab.
Pac
itan
16.7
24.0
009.
143.
000
9.70
2.00
02.
151.
000
2.81
2.00
03.
438.
000
4.32
3.00
081
9.00
049
.112
.000
222
Kab.
Pam
ekas
an
18.5
14.0
007.
491.
000
6.20
2.00
01.
297.
000
2.77
2.00
01.
938.
000
3.67
3.00
073
5.00
042
.622
.000
223
Kab.
Pas
urua
n 24
.020
.000
11.4
92.0
008.
510.
000
1.77
4.00
03.
290.
000
2.38
8.00
04.
598.
000
829.
000
56.9
01.0
0022
4Ka
b. P
onor
ogo
18.9
96.0
009.
717.
000
7.62
5.00
02.
341.
000
2.81
9.00
01.
921.
000
4.52
8.00
076
1.00
048
.708
.000
225
Kab.
Pro
bolin
ggo
17.8
96.0
0011
.679
.000
8.09
4.00
02.
741.
000
3.37
3.00
02.
654.
000
5.15
5.00
079
6.00
052
.388
.000
226
Kab.
Sam
pang
19
.273
.000
8.07
0.00
05.
289.
000
1.27
3.00
02.
693.
000
2.10
9.00
04.
444.
000
705.
000
43.8
56.0
0022
7Ka
b. S
idoa
rjo
2.48
4.00
01.
881.
000
1.70
3.00
069
3.00
060
8.00
063
4.00
078
5.00
015
8.00
08.
946.
000
228
Kab.
Situ
bond
o 12
.931
.000
6.98
4.00
07.
041.
000
1.75
5.00
02.
452.
000
1.94
4.00
03.
893.
000
683.
000
37.6
83.0
0022
9Ka
b. S
umen
ep
2.77
8.00
02.
097.
000
1.99
1.00
055
9.00
067
8.00
067
6.00
01.
298.
000
145.
000
10.2
22.0
0023
0Ka
b. T
reng
gale
k 16
.963
.000
9.53
4.00
09.
746.
000
2.96
7.00
02.
792.
000
4.27
7.00
03.
927.
000
805.
000
51.0
11.0
0023
1Ka
b. T
uban
2.
637.
000
2.00
0.00
01.
813.
000
579.
000
632.
000
604.
000
1.27
4.00
014
6.00
09.
685.
000
232
Kab.
Tul
unga
gung
17
.713
.000
9.90
7.00
010
.157
.000
2.16
4.00
02.
724.
000
4.27
9.00
04.
592.
000
742.
000
52.2
78.0
0023
3Ko
ta B
litar
9.
345.
000
4.48
5.00
04.
891.
000
1.15
4.00
01.
825.
000
1.66
6.00
02.
609.
000
983.
000
26.9
58.0
0023
4Ko
ta K
ediri
8.
245.
000
4.45
3.00
03.
572.
000
996.
000
1.71
1.00
01.
567.
000
2.39
1.00
095
6.00
023
.891
.000
235
Kota
Mad
iun
7.29
1.00
02.
892.
000
2.64
1.00
01.
507.
000
1.26
5.00
02.
020.
000
997.
000
18.6
13.0
0023
6Ko
ta M
alan
g 9.
200.
000
5.24
0.00
03.
935.
000
933.
000
1.75
7.00
02.
459.
000
2.25
7.00
01.
153.
000
26.9
34.0
0023
7Ko
ta M
ojok
erto
8.
089.
000
3.64
5.00
03.
600.
000
1.67
4.00
01.
479.
000
2.54
5.00
01.
200.
000
22.2
32.0
0023
8Ko
ta P
asur
uan
13.9
23.0
004.
638.
000
4.93
6.00
01.
856.
000
1.91
9.00
02.
400.
000
1.08
5.00
030
.757
.000
239
Kota
Pro
bolin
ggo
8.91
6.00
04.
657.
000
4.89
3.00
01.
230.
000
1.83
9.00
01.
832.
000
2.34
2.00
096
0.00
026
.669
.000
240
Kota
Sur
abay
a 2.
455.
000
1.91
9.00
01.
699.
000
554.
000
569.
000
666.
000
213.
000
8.07
5.00
024
1Ko
ta B
atu
8.94
7.00
04.
761.
000
4.14
3.00
01.
345.
000
1.84
9.00
01.
689.
000
2.41
3.00
092
4.00
073
4.00
026
.805
.000
XVII
Prov
insi
Kal
iman
tan
Bara
t 24
2Ka
b. B
engk
ayan
g 11
.753
.000
9.23
4.00
011
.376
.000
1.73
2.00
03.
056.
000
2.56
3.00
04.
359.
000
2.29
0.00
085
7.00
047
.220
.000
243
Kab.
Lan
dak
13.5
21.0
008.
689.
000
6.84
5.00
02.
102.
000
4.92
0.00
01.
766.
000
3.16
8.00
02.
508.
000
851.
000
44.3
70.0
0024
4Ka
b. K
apua
s H
ulu
14.7
70.0
0013
.215
.000
8.58
3.00
02.
558.
000
3.30
3.00
01.
867.
000
2.98
3.00
01.
766.
000
49.0
45.0
0024
5Ka
b. K
etap
ang
14.4
65.0
0015
.752
.000
11.2
30.0
001.
963.
000
3.53
8.00
04.
644.
000
5.78
9.00
01.
584.
000
58.9
65.0
0024
6Ka
b. P
ontia
nak
16.3
62.0
0011
.283
.000
8.27
8.00
01.
837.
000
3.23
6.00
07.
694.
000
4.54
4.00
01.
153.
000
54.3
87.0
0024
7Ka
b. S
amba
s 14
.862
.000
13.2
85.0
0012
.094
.000
3.23
9.00
03.
601.
000
3.60
3.00
05.
427.
000
3.02
5.00
01.
045.
000
60.1
81.0
0024
8Ka
b. S
angg
au
16.9
64.0
0012
.944
.000
10.4
15.0
002.
525.
000
4.62
3.00
02.
396.
000
5.71
0.00
01.
217.
000
56.7
94.0
0024
9Ka
b. S
inta
ng
13.8
60.0
0013
.476
.000
5.89
1.00
01.
180.
000
3.81
8.00
02.
035.
000
4.74
1.00
01.
428.
000
46.4
29.0
0025
0Ko
ta P
ontia
nak
12.0
33.0
007.
486.
000
6.22
9.00
02.
089.
000
1.90
6.00
02.
769.
000
1.15
5.00
033
.667
.000
251
Kota
Sin
gkaw
ang
10.5
93.0
006.
982.
000
7.64
6.00
02.
274.
000
2.26
9.00
02.
334.
000
3.01
7.00
01.
063.
000
773.
000
36.9
51.0
0025
2Ka
b. S
ekad
au
11.4
98.0
008.
603.
000
6.49
2.00
01.
872.
000
3.13
9.00
02.
004.
000
3.29
3.00
02.
252.
000
856.
000
40.0
09.0
0025
3Ka
b. M
elaw
i 10
.549
.000
8.28
8.00
06.
300.
000
1.25
3.00
03.
212.
000
1.87
3.00
03.
018.
000
1.89
6.00
086
1.00
037
.250
.000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�2 - Lampiran
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
254
Kab.
Bar
ito S
elat
an
10.5
74.0
007.
619.
000
6.19
9.00
01.
535.
000
3.01
0.00
01.
825.
000
3.24
9.00
084
5.00
034
.856
.000
255
Kab.
Bar
ito U
tara
10
.001
.000
7.26
2.00
06.
942.
000
2.78
8.00
02.
796.
000
1.85
0.00
03.
056.
000
1.25
5.00
035
.950
.000
256
Kab.
Kap
uas
15.7
35.0
0013
.533
.000
11.0
99.0
002.
690.
000
4.34
7.00
02.
603.
000
5.09
8.00
01.
456.
000
56.5
61.0
0025
7Ka
b. K
otaw
arin
gin
Bara
t 13
.253
.000
11.2
79.0
009.
338.
000
2.06
2.00
03.
374.
000
2.82
7.00
04.
620.
000
1.07
4.00
047
.827
.000
258
Kab.
Kot
awar
ingi
n Ti
mur
2.
616.
000
2.23
0.00
02.
369.
000
945.
000
673.
000
605.
000
1.43
1.00
027
4.00
011
.143
.000
259
Kota
Pal
angk
aray
a 12
.578
.000
6.97
2.00
06.
930.
000
1.39
2.00
02.
023.
000
1.85
6.00
02.
698.
000
763.
000
35.2
12.0
0026
0Ka
b. B
arito
Tim
ur
9.11
6.00
05.
585.
000
6.47
9.00
099
2.00
02.
059.
000
1.60
0.00
02.
880.
000
905.
000
675.
000
30.2
91.0
0026
1Ka
b. M
urun
g Ra
ya
8.20
1.00
07.
148.
000
6.08
7.00
081
8.00
02.
382.
000
1.31
9.00
02.
161.
000
831.
000
957.
000
29.9
04.0
0026
2Ka
b. P
ulan
g Pi
sau
11.0
44.0
009.
565.
000
8.88
4.00
03.
032.
000
3.08
7.00
02.
285.
000
3.67
1.00
02.
346.
000
997.
000
44.9
11.0
0026
3Ka
b. G
unun
g M
as
8.46
0.00
06.
023.
000
5.56
7.00
092
9.00
03.
210.
000
1.53
5.00
02.
510.
000
1.43
6.00
064
8.00
030
.318
.000
264
Kab.
Lam
anda
u 7.
966.
000
5.50
7.00
05.
980.
000
1.94
6.00
01.
549.
000
2.30
3.00
01.
390.
000
693.
000
27.3
34.0
0026
5Ka
b. S
ukam
ara
9.19
9.00
06.
152.
000
6.07
8.00
01.
797.
000
2.43
8.00
01.
897.
000
2.46
9.00
01.
957.
000
711.
000
32.6
98.0
0026
6Ka
b. K
atin
gan
9.73
8.00
08.
660.
000
6.04
9.00
01.
902.
000
3.71
5.00
03.
145.
000
3.35
1.00
01.
733.
000
1.03
7.00
039
.330
.000
267
Kab.
Ser
uyan
9.
825.
000
9.00
8.00
05.
635.
000
1.52
4.00
02.
321.
000
2.11
4.00
03.
506.
000
2.13
4.00
099
0.00
037
.057
.000
XIX
Prov
insi
Kal
iman
tan
Sela
tan
268
Kab.
Ban
jar
16.2
74.0
009.
852.
000
9.06
1.00
04.
241.
000
3.72
6.00
02.
766.
000
5.66
9.00
089
0.00
052
.479
.000
269
Kab.
Bar
ito K
uala
15
.260
.000
10.8
90.0
008.
978.
000
2.90
4.00
03.
811.
000
2.46
1.00
04.
497.
000
855.
000
49.6
56.0
0027
0Ka
b. H
ulu
Sung
ai S
elat
an
13.5
92.0
008.
650.
000
7.91
5.00
01.
339.
000
2.45
7.00
01.
858.
000
3.20
4.00
070
1.00
039
.716
.000
271
Kab.
Hul
u Su
ngai
Teng
ah
14.1
90.0
008.
022.
000
7.23
3.00
01.
520.
000
2.49
0.00
01.
892.
000
3.27
1.00
070
7.00
039
.325
.000
272
Kab.
Hul
u Su
ngai
Uta
ra
10.4
08.0
006.
535.
000
6.03
9.00
01.
311.
000
2.80
3.00
01.
740.
000
2.52
4.00
068
3.00
032
.043
.000
273
Kab.
Kot
a Ba
ru
2.49
2.00
02.
134.
000
2.05
7.00
066
4.00
064
3.00
066
2.00
01.
117.
000
182.
000
9.95
1.00
027
4Ka
b. T
abal
ong
2.48
6.00
02.
019.
000
2.08
1.00
064
7.00
062
2.00
057
8.00
01.
085.
000
154.
000
9.67
2.00
027
5Ka
b. T
anah
Lau
t 2.
483.
000
2.01
2.00
02.
159.
000
566.
000
622.
000
631.
000
1.14
7.00
015
6.00
09.
776.
000
276
Kab.
Tap
in
10.1
08.0
007.
567.
000
6.73
4.00
01.
431.
000
2.35
5.00
06.
609.
000
4.03
1.00
071
5.00
039
.550
.000
277
Kota
Ban
jar B
aru
8.89
6.00
04.
693.
000
6.01
8.00
01.
151.
000
1.83
9.00
01.
790.
000
2.24
7.00
07.
765.
000
576.
000
34.9
75.0
0027
8Ko
ta B
anja
rmas
in
15.0
94.0
007.
204.
000
5.76
3.00
02.
094.
000
1.85
4.00
02.
617.
000
704.
000
35.3
30.0
0027
9Ka
b. B
alan
gan
9.59
9.00
05.
269.
000
4.58
5.00
01.
341.
000
2.33
2.00
01.
409.
000
2.30
8.00
089
4.00
062
4.00
028
.361
.000
280
Kab.
Tan
ah B
umbu
9.
256.
000
6.23
4.00
06.
713.
000
2.98
7.00
02.
292.
000
2.63
8.00
03.
389.
000
962.
000
790.
000
35.2
61.0
00XX
Pr
ovin
si K
alim
anta
n Ti
mur
28
1Ka
b. B
erau
2.
365.
000
2.10
1.00
02.
106.
000
518.
000
623.
000
604.
000
1.33
8.00
019
8.00
09.
853.
000
282
Kab.
Bul
unga
n 2.
327.
000
1.97
6.00
02.
169.
000
490.
000
609.
000
600.
000
945.
000
205.
000
9.32
1.00
028
3Ka
b. K
utai
Kar
tane
gara
2.
433.
000
2.07
8.00
01.
828.
000
522.
000
692.
000
671.
000
1.02
8.00
022
2.00
09.
474.
000
284
Kab.
Kut
ai B
arat
11
.735
.000
12.2
23.0
006.
830.
000
2.71
6.00
04.
357.
000
3.57
6.00
03.
264.
000
2.68
4.00
01.
451.
000
48.8
36.0
0028
5Ka
b. K
utai
Tim
ur*)
10
.879
.000
12.4
71.0
007.
215.
000
3.27
7.00
02.
801.
000
2.64
0.00
03.
593.
000
8.36
3.00
01.
252.
000
52.4
91.0
0028
6Ka
b. M
alin
au
10.0
22.0
0011
.609
.000
6.01
8.00
01.
285.
000
3.00
0.00
01.
889.
000
2.89
5.00
08.
276.
000
1.18
9.00
046
.183
.000
287
Kab.
Nun
ukan
10
.838
.000
9.52
9.00
06.
461.
000
1.87
4.00
03.
506.
000
2.55
0.00
03.
316.
000
3.30
9.00
01.
118.
000
42.5
01.0
0028
8Ka
b. P
asir
2.35
1.00
02.
000.
000
1.91
4.00
048
4.00
063
0.00
058
3.00
01.
009.
000
178.
000
9.14
9.00
028
9Ko
ta B
alik
papa
n 2.
206.
000
1.73
6.00
01.
448.
000
379.
000
533.
000
533.
000
642.
000
124.
000
7.60
1.00
029
0Ko
ta B
onta
ng
2.23
3.00
01.
731.
000
1.51
4.00
054
7.00
055
0.00
068
7.00
04.
935.
000
128.
000
12.3
25.0
0029
1Ko
ta S
amar
inda
2.
296.
000
1.77
8.00
01.
698.
000
442.
000
559.
000
534.
000
723.
000
132.
000
8.16
2.00
029
2Ko
ta T
arak
an
2.15
6.00
01.
683.
000
1.39
8.00
054
2.00
053
3.00
062
1.00
012
0.00
07.
053.
000
293
Kab.
Pen
ajam
Pas
er U
tara
2.
194.
000
1.75
6.00
01.
588.
000
467.
000
546.
000
538.
000
746.
000
876.
000
129.
000
8.84
0.00
0XX
I Pr
ovin
si S
ulaw
esi U
tara
29
4Ka
b. B
olaa
ng M
ongo
ndow
17
.335
.000
11.2
24.0
0010
.716
.000
8.13
4.00
03.
106.
000
3.18
0.00
04.
850.
000
884.
000
59.4
29.0
0029
5Ka
b. M
inah
asa
16.7
28.0
0011
.188
.000
11.1
59.0
005.
317.
000
3.05
0.00
03.
814.
000
6.92
7.00
01.
006.
000
59.1
89.0
0029
6Ka
b. S
angi
he
19.9
45.0
0011
.779
.000
10.0
00.0
002.
545.
000
3.19
2.00
04.
176.
000
4.92
4.00
083
8.00
057
.399
.000
297
Kota
Bitu
ng
10.4
00.0
006.
433.
000
5.82
8.00
01.
636.
000
2.19
8.00
02.
230.
000
2.94
5.00
078
0.00
032
.450
.000
298
Kota
Man
ado
12.0
67.0
007.
222.
000
6.11
8.00
01.
841.
000
2.17
1.00
02.
180.
000
2.81
8.00
096
2.00
035
.379
.000
299
Kab.
Kep
ulau
an T
alau
d 13
.633
.000
10.4
11.0
009.
612.
000
3.53
2.00
02.
862.
000
3.08
0.00
05.
088.
000
3.21
6.00
084
3.00
052
.277
.000
300
Kab.
Min
ahas
a Se
lata
n 15
.781
.000
10.0
71.0
009.
687.
000
6.39
9.00
02.
887.
000
3.32
0.00
04.
905.
000
1.17
0.00
090
2.00
055
.122
.000
301
Kota
Tom
ohon
18
.117
.000
14.1
45.0
0014
.811
.000
4.74
5.00
03.
713.
000
4.13
6.00
06.
265.
000
1.60
3.00
01.
175.
000
68.7
10.0
0030
2Ka
b. M
inah
asa
Uta
ra
20.2
43.0
0016
.617
.000
15.9
89.0
008.
901.
000
4.09
7.00
04.
664.
000
8.21
7.00
01.
680.
000
1.25
8.00
081
.666
.000
XXII
Prov
insi
Gor
onta
lo
303
Kab.
Boa
lem
o 10
.270
.000
7.24
5.00
08.
540.
000
1.67
0.00
02.
412.
000
2.22
3.00
03.
536.
000
8.35
8.00
086
7.00
045
.121
.000
Lampiran
Lampiran - ��
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
305
Kota
Gor
onta
lo
10.6
47.0
007.
088.
000
6.95
0.00
02.
199.
000
2.16
6.00
02.
950.
000
745.
000
32.7
45.0
0030
6Ka
b. P
ohuw
ato
10.1
87.0
007.
065.
000
9.25
8.00
05.
080.
000
2.66
2.00
03.
562.
000
4.18
3.00
02.
024.
000
811.
000
44.8
32.0
0030
7Ka
b. B
one
Bola
ngo
11.4
81.0
008.
265.
000
8.62
0.00
01.
990.
000
2.58
1.00
02.
304.
000
4.12
7.00
02.
497.
000
811.
000
42.6
76.0
00XX
III
Prov
insi
Sul
awes
i Ten
gah
308
Kab.
Ban
ggai
13
.805
.000
11.3
19.0
009.
009.
000
2.04
8.00
03.
038.
000
5.18
7.00
05.
363.
000
903.
000
50.6
72.0
0030
9Ka
b. B
angg
ai K
epul
auan
12
.846
.000
8.10
7.00
08.
777.
000
1.31
1.00
02.
575.
000
4.37
4.00
02.
930.
000
8.12
0.00
073
9.00
049
.779
.000
310
Kab.
Buo
l 10
.134
.000
6.52
5.00
07.
227.
000
1.84
0.00
02.
094.
000
2.13
0.00
04.
456.
000
7.90
1.00
076
7.00
043
.074
.000
311
Kab.
Toli-
Toli
11.7
75.0
008.
423.
000
8.77
0.00
02.
034.
000
2.54
5.00
02.
599.
000
4.07
6.00
084
1.00
041
.063
.000
312
Kab.
Don
ggal
a 17
.331
.000
12.4
79.0
0010
.967
.000
4.35
3.00
03.
787.
000
4.29
0.00
07.
391.
000
2.51
3.00
01.
129.
000
64.2
40.0
0031
3Ka
b. M
orow
ali
11.6
81.0
009.
290.
000
6.85
7.00
02.
171.
000
2.63
7.00
02.
614.
000
3.09
2.00
07.
632.
000
866.
000
46.8
40.0
0031
4Ka
b. P
oso
11.9
45.0
0010
.266
.000
10.1
69.0
002.
190.
000
2.63
7.00
03.
221.
000
4.98
0.00
01.
002.
000
46.4
10.0
0031
5Ko
ta P
alu
10.6
58.0
007.
412.
000
7.45
0.00
01.
741.
000
2.23
2.00
02.
083.
000
3.36
0.00
081
9.00
035
.755
.000
316
Kab.
Par
igi M
outo
ng
13.7
03.0
009.
462.
000
7.85
4.00
02.
482.
000
2.82
0.00
03.
410.
000
3.58
3.00
02.
106.
000
867.
000
46.2
87.0
0031
7Ka
b. To
jo U
na U
na
11.5
55.0
009.
303.
000
7.80
1.00
02.
099.
000
2.67
7.00
03.
924.
000
3.15
6.00
02.
442.
000
887.
000
43.8
44.0
00XX
IV
Prov
insi
Sul
awes
i Sel
atan
31
8Ka
b. B
anta
eng
10.8
63.0
007.
205.
000
7.21
5.00
05.
105.
000
2.29
0.00
02.
564.
000
3.86
0.00
077
3.00
039
.875
.000
319
Kab.
Bar
ru
11.5
01.0
006.
880.
000
7.40
8.00
01.
643.
000
2.47
5.00
02.
662.
000
3.66
5.00
076
9.00
037
.003
.000
320
Kab.
Bon
e 19
.786
.000
9.71
5.00
09.
836.
000
4.82
6.00
03.
358.
000
3.65
3.00
05.
810.
000
854.
000
57.8
38.0
0032
1Ka
b. B
uluk
umba
14
.467
.000
7.72
4.00
08.
498.
000
3.39
9.00
02.
574.
000
3.36
2.00
04.
701.
000
794.
000
45.5
19.0
0032
2Ka
b. E
nrek
ang
11.2
82.0
006.
379.
000
7.21
8.00
03.
476.
000
2.15
3.00
02.
555.
000
3.41
6.00
072
3.00
037
.202
.000
323
Kab.
G o
w a
15
.844
.000
8.99
4.00
09.
129.
000
5.66
5.00
02.
628.
000
2.52
1.00
05.
263.
000
830.
000
50.8
74.0
0032
4Ka
b. Je
nepo
nto
11.5
58.0
006.
518.
000
6.28
4.00
04.
657.
000
2.27
4.00
05.
855.
000
3.53
7.00
070
8.00
041
.391
.000
325
Kab.
Luw
u 14
.034
.000
8.04
0.00
08.
312.
000
5.46
9.00
02.
888.
000
6.72
7.00
03.
978.
000
2.17
1.00
079
4.00
052
.413
.000
326
Kab.
Luw
u U
tara
13
.128
.000
8.32
9.00
011
.091
.000
5.44
7.00
02.
735.
000
2.77
4.00
03.
286.
000
8.23
6.00
095
7.00
055
.983
.000
327
Kab.
M a
r o
s 13
.692
.000
8.88
2.00
010
.025
.000
4.60
6.00
02.
777.
000
4.25
3.00
04.
558.
000
841.
000
49.6
34.0
0032
8Ka
b. P
angk
ajen
e Ke
pula
uan
13.8
65.0
007.
738.
000
6.98
1.00
03.
079.
000
2.45
2.00
03.
506.
000
3.50
7.00
073
8.00
041
.866
.000
329
Kab.
Pin
rang
13
.750
.000
7.95
7.00
07.
522.
000
1.61
7.00
02.
377.
000
3.05
0.00
04.
595.
000
784.
000
41.6
52.0
0033
0Ka
b. S
elay
ar
11.5
87.0
008.
874.
000
8.60
2.00
01.
692.
000
2.43
5.00
03.
754.
000
3.38
0.00
076
5.00
041
.089
.000
331
Kab.
Sid
enre
ng R
appa
ng
12.1
68.0
006.
167.
000
7.75
1.00
07.
499.
000
2.03
9.00
03.
751.
000
3.53
6.00
069
5.00
043
.606
.000
332
Kab.
Sin
jai
16.1
83.0
009.
719.
000
10.4
09.0
005.
713.
000
2.66
6.00
03.
532.
000
4.66
1.00
088
6.00
053
.769
.000
333
Kab.
Sop
peng
12
.048
.000
7.36
9.00
07.
131.
000
4.45
3.00
02.
154.
000
2.93
8.00
03.
267.
000
740.
000
40.1
00.0
0033
4Ka
b. T
akal
ar
13.0
24.0
009.
023.
000
9.18
1.00
02.
694.
000
2.59
3.00
03.
483.
000
4.12
4.00
085
7.00
044
.979
.000
335
Kab.
Tan
a To
raja
15
.461
.000
7.78
5.00
011
.124
.000
2.32
9.00
02.
158.
000
2.04
0.00
04.
388.
000
756.
000
46.0
41.0
0033
6Ka
b. W
ajo
15.9
55.0
008.
033.
000
8.78
9.00
01.
798.
000
2.43
4.00
03.
022.
000
4.15
0.00
075
7.00
044
.938
.000
337
Kota
Par
e-pa
re
10.2
59.0
005.
973.
000
6.76
7.00
01.
594.
000
2.09
0.00
02.
254.
000
2.63
5.00
082
7.00
032
.399
.000
338
Kota
Mak
assa
r 2.
498.
000
1.96
1.00
01.
889.
000
596.
000
621.
000
823.
000
147.
000
8.53
5.00
033
9Ko
ta P
alop
o 9.
087.
000
5.15
2.00
04.
879.
000
1.53
3.00
01.
942.
000
5.25
6.00
02.
534.
000
958.
000
739.
000
32.0
80.0
0034
0Ka
b. L
uwu
Tim
ur
12.1
19.0
007.
793.
000
7.31
1.00
05.
590.
000
2.40
4.00
02.
412.
000
3.65
6.00
02.
104.
000
709.
000
44.0
98.0
00XX
V Pr
ovin
si S
ulaw
esi B
arat
34
1Ka
b. M
ajen
e 10
.883
.000
6.50
2.00
06.
525.
000
1.79
5.00
02.
095.
000
2.19
7.00
02.
684.
000
1.02
9.00
033
.710
.000
342
Kab.
Mam
uju
16.0
43.0
0010
.492
.000
8.46
9.00
04.
935.
000
3.04
4.00
03.
624.
000
5.45
3.00
03.
331.
000
55.3
91.0
0034
3Ka
b. P
olew
ali M
anda
r 12
.484
.000
8.02
3.00
07.
495.
000
5.51
3.00
02.
697.
000
3.51
7.00
04.
622.
000
1.43
8.00
045
.789
.000
344
Kab.
Mam
asa
9.45
5.00
04.
964.
000
3.99
2.00
01.
267.
000
2.35
3.00
01.
630.
000
2.34
6.00
01.
447.
000
2.14
5.00
029
.599
.000
345
Kab.
Mam
uju
Uta
ra
10.7
08.0
007.
425.
000
6.45
3.00
03.
522.
000
2.56
8.00
02.
400.
000
3.70
7.00
02.
435.
000
1.39
1.00
040
.609
.000
XXVI
Pr
ovin
si S
ulaw
esi T
engg
ara
346
Kab.
But
on
16.3
00.0
0010
.887
.000
10.5
41.0
002.
247.
000
3.19
5.00
05.
664.
000
5.46
3.00
02.
933.
000
878.
000
58.1
08.0
0034
7Ka
b. K
onaw
e 15
.273
.000
10.9
47.0
009.
508.
000
2.69
8.00
03.
626.
000
3.88
8.00
06.
216.
000
1.01
7.00
053
.173
.000
348
Kab.
Kol
aka
13.0
49.0
009.
476.
000
9.11
1.00
02.
820.
000
2.83
0.00
04.
365.
000
5.50
6.00
081
9.00
047
.976
.000
349
Kab.
Mun
a 16
.909
.000
9.66
7.00
08.
514.
000
1.71
2.00
02.
976.
000
5.16
8.00
05.
351.
000
775.
000
51.0
72.0
0035
0Ko
ta K
enda
ri 11
.630
.000
6.89
5.00
07.
597.
000
1.73
5.00
02.
250.
000
2.63
3.00
03.
164.
000
975.
000
36.8
79.0
0035
1Ko
ta B
au-b
au
10.7
38.0
007.
334.
000
6.96
6.00
01.
915.
000
2.30
9.00
02.
360.
000
2.93
7.00
01.
095.
000
768.
000
36.4
22.0
0035
2Ka
b. K
onaw
e Se
lata
n 16
.246
.000
11.3
71.0
008.
896.
000
3.57
6.00
03.
215.
000
3.34
4.00
04.
977.
000
2.98
1.00
090
0.00
055
.506
.000
353
Kab.
Bom
bana
13
.124
.000
10.0
77.0
009.
878.
000
2.68
4.00
03.
092.
000
3.03
7.00
05.
042.
000
3.20
8.00
091
7.00
051
.059
.000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
355
Kab.
Kol
aka
Uta
ra
10.2
10.0
007.
048.
000
5.88
8.00
01.
569.
000
2.22
5.00
02.
803.
000
2.70
3.00
02.
187.
000
739.
000
35.3
72.0
00XX
VII
Prov
insi
Bal
i 35
6Ka
b. B
adun
g 12
.134
.000
6.78
2.00
06.
907.
000
1.59
2.00
02.
089.
000
2.41
6.00
03.
174.
000
701.
000
35.7
95.0
0035
7Ka
b. B
angl
i 10
.568
.000
7.11
3.00
07.
320.
000
1.96
2.00
02.
321.
000
2.33
7.00
04.
109.
000
735.
000
36.4
65.0
0035
8Ka
b. B
ulel
eng
16.0
42.0
009.
560.
000
9.94
1.00
02.
857.
000
2.62
5.00
02.
791.
000
5.20
7.00
083
8.00
049
.861
.000
359
Kab.
Gia
nyar
14
.608
.000
8.47
5.00
07.
661.
000
2.84
2.00
02.
306.
000
2.53
1.00
03.
967.
000
757.
000
43.1
47.0
0036
0Ka
b. Je
mbr
ana
12.3
48.0
008.
248.
000
9.31
2.00
02.
603.
000
2.38
3.00
02.
770.
000
4.22
6.00
080
7.00
042
.697
.000
361
Kab.
Kar
anga
sem
14
.733
.000
8.66
4.00
08.
148.
000
4.24
1.00
02.
563.
000
2.64
4.00
05.
017.
000
766.
000
46.7
76.0
0036
2Ka
b. K
lung
kung
11
.443
.000
7.81
6.00
07.
963.
000
2.17
5.00
02.
427.
000
3.00
1.00
03.
861.
000
786.
000
39.4
72.0
0036
3Ka
b. T
aban
an
13.8
47.0
009.
248.
000
8.86
0.00
03.
751.
000
2.42
2.00
02.
673.
000
4.65
5.00
077
3.00
046
.229
.000
364
Kota
Den
pasa
r 2.
318.
000
1.81
6.00
01.
766.
000
564.
000
563.
000
777.
000
131.
000
7.93
5.00
0XX
VIII
Prov
insi
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
36
5Ka
b. B
ima
16.2
18.0
0010
.559
.000
10.6
39.0
003.
244.
000
2.89
0.00
03.
696.
000
5.38
1.00
02.
589.
000
835.
000
56.0
51.0
0036
6Ka
b. D
ompu
11
.192
.000
6.66
7.00
06.
193.
000
2.76
3.00
02.
065.
000
2.64
8.00
03.
653.
000
701.
000
35.8
82.0
0036
7Ka
b. L
ombo
k Ba
rat
15.8
20.0
009.
579.
000
9.07
7.00
03.
373.
000
3.81
3.00
03.
505.
000
5.52
5.00
078
8.00
051
.480
.000
368
Kab.
Lom
bok
Teng
ah
19.2
39.0
0010
.018
.000
8.82
9.00
02.
811.
000
3.05
4.00
03.
506.
000
5.85
9.00
081
5.00
054
.131
.000
369
Kab.
Lom
bok
Tim
ur
20.1
36.0
0010
.014
.000
9.49
6.00
05.
083.
000
3.32
3.00
03.
336.
000
5.64
3.00
074
1.00
057
.772
.000
370
Kab.
Sum
baw
a 15
.134
.000
12.8
69.0
009.
971.
000
3.08
6.00
03.
303.
000
4.02
2.00
05.
712.
000
830.
000
54.9
27.0
0037
1Ko
ta M
atar
am
11.3
57.0
006.
253.
000
6.25
9.00
01.
592.
000
2.13
0.00
02.
034.
000
2.69
9.00
070
4.00
033
.028
.000
372
Kota
Bim
a 9.
405.
000
6.37
4.00
06.
831.
000
1.94
4.00
01.
989.
000
1.94
6.00
02.
495.
000
977.
000
697.
000
32.6
58.0
0037
3Ka
b. S
umba
wa
Bara
t 9.
105.
000
5.24
6.00
04.
760.
000
1.65
3.00
02.
084.
000
2.09
2.00
02.
932.
000
1.77
2.00
061
9.00
030
.263
.000
XXIX
Pr
ovin
si N
usa
Teng
gara
Tim
ur
374
Kab.
Alo
r 12
.543
.000
9.75
5.00
010
.361
.000
1.99
8.00
02.
965.
000
3.28
7.00
03.
425.
000
791.
000
45.1
25.0
0037
5Ka
b. B
elu
12.1
46.0
0010
.066
.000
9.19
3.00
02.
304.
000
2.98
4.00
02.
449.
000
5.75
6.00
078
6.00
045
.684
.000
376
Kab.
End
e 14
.052
.000
8.42
8.00
012
.145
.000
2.10
1.00
02.
945.
000
2.87
0.00
04.
007.
000
778.
000
47.3
26.0
0037
7Ka
b. F
lore
s Tim
ur
15.0
40.0
009.
901.
000
9.65
4.00
02.
090.
000
2.75
8.00
02.
902.
000
3.56
6.00
078
4.00
046
.695
.000
378
Kab.
Kup
ang
15.9
50.0
0012
.054
.000
10.7
27.0
003.
108.
000
3.31
7.00
03.
772.
000
5.82
5.00
02.
680.
000
862.
000
58.2
95.0
0037
9Ka
b. L
emba
ta
12.7
59.0
007.
920.
000
8.18
6.00
01.
659.
000
2.55
0.00
02.
579.
000
2.87
3.00
08.
547.
000
749.
000
47.8
22.0
0038
0Ka
b. M
angg
arai
17
.538
.000
10.4
38.0
0010
.573
.000
2.34
0.00
03.
586.
000
2.57
3.00
04.
268.
000
787.
000
52.1
03.0
0038
1Ka
b. N
gada
15
.577
.000
10.9
99.0
0011
.625
.000
2.56
1.00
02.
973.
000
3.18
3.00
04.
967.
000
842.
000
52.7
27.0
0038
2Ka
b. S
ikka
13
.566
.000
9.22
9.00
09.
185.
000
2.32
1.00
02.
958.
000
3.30
0.00
03.
484.
000
782.
000
44.8
25.0
0038
3Ka
b. S
umba
Bar
at
14.1
05.0
009.
203.
000
9.00
4.00
02.
693.
000
3.02
2.00
02.
691.
000
5.73
6.00
078
7.00
047
.241
.000
384
Kab.
Sum
ba T
imur
12
.845
.000
9.55
7.00
011
.698
.000
2.78
5.00
02.
920.
000
3.06
0.00
05.
659.
000
765.
000
49.2
89.0
0038
5Ka
b. T
imor
Teng
ah S
elat
an
15.1
26.0
008.
672.
000
9.53
3.00
01.
715.
000
3.12
5.00
02.
021.
000
4.39
6.00
071
4.00
045
.302
.000
386
Kab.
Tim
or Te
ngah
Uta
ra
13.2
28.0
009.
462.
000
9.11
2.00
02.
219.
000
2.80
2.00
02.
512.
000
4.29
2.00
079
1.00
044
.418
.000
387
Kota
Kup
ang
10.3
44.0
006.
607.
000
7.59
1.00
02.
157.
000
2.14
0.00
02.
612.
000
848.
000
32.2
99.0
0038
8Ka
b. R
ote
Nda
o 11
.302
.000
8.03
4.00
06.
127.
000
1.90
4.00
02.
470.
000
3.51
6.00
03.
294.
000
2.36
6.00
077
6.00
039
.789
.000
389
Kab.
Man
ggar
ai B
arat
12
.600
.000
10.0
24.0
009.
932.
000
2.48
8.00
03.
123.
000
3.54
3.00
03.
790.
000
3.01
7.00
088
3.00
049
.400
.000
XXX
Prov
insi
Mal
uku
390
Kab.
Mal
uku
Teng
gara
Bar
at
12.2
87.0
0012
.986
.000
12.1
24.0
003.
187.
000
4.60
8.00
03.
191.
000
8.99
5.00
080
5.00
058
.183
.000
391
Kab.
Mal
uku
Teng
ah
16.5
02.0
0012
.419
.000
11.6
54.0
002.
220.
000
3.47
4.00
04.
273.
000
4.40
9.00
01.
156.
000
56.1
07.0
0039
2Ka
b. M
aluk
u Te
ngga
ra
11.0
99.0
0010
.698
.000
13.1
35.0
001.
610.
000
2.62
9.00
06.
302.
000
3.04
2.00
092
9.00
049
.444
.000
393
Kab.
Pul
au B
uru
9.65
2.00
07.
225.
000
5.58
9.00
01.
334.
000
2.55
1.00
02.
382.
000
3.38
0.00
08.
249.
000
749.
000
41.1
11.0
0039
4Ko
ta A
mbo
n 11
.464
.000
8.29
9.00
08.
425.
000
2.38
6.00
02.
584.
000
3.19
3.00
077
8.00
037
.129
.000
395
Kab.
Ser
am B
agia
n Ba
rat
20.1
88.0
0017
.950
.000
17.1
53.0
004.
632.
000
4.27
6.00
05.
121.
000
6.61
6.00
05.
842.
000
1.34
9.00
083
.127
.000
396
Kab.
Ser
am B
agia
n Ti
mur
10
.831
.000
8.61
5.00
07.
307.
000
1.84
4.00
02.
336.
000
3.05
7.00
02.
964.
000
2.54
5.00
090
1.00
040
.400
.000
397
Kab.
Kep
ulau
an A
ru
11.5
20.0
008.
789.
000
7.94
2.00
01.
950.
000
2.54
8.00
03.
711.
000
3.10
5.00
02.
808.
000
1.03
4.00
043
.407
.000
XXXI
Pr
ovin
si M
aluk
u U
tara
39
8Ka
b. H
alm
aher
a Te
ngah
12
.886
.000
9.62
8.00
09.
692.
000
2.77
4.00
04.
196.
000
4.53
9.00
03.
317.
000
987.
000
48.0
19.0
0039
9Ka
b. H
alm
aher
a Ba
rat
10.6
60.0
007.
879.
000
10.6
32.0
004.
713.
000
2.63
9.00
08.
211.
000
3.36
8.00
02.
400.
000
750.
000
51.2
52.0
0040
0Ko
ta Te
rnat
e 10
.844
.000
6.93
8.00
08.
934.
000
2.44
6.00
08.
883.
000
3.22
6.00
03.
374.
000
885.
000
45.5
30.0
0040
1Ka
b. H
alm
aher
a Ti
mur
10
.129
.000
8.18
1.00
07.
095.
000
1.55
7.00
02.
242.
000
2.89
2.00
02.
890.
000
2.31
7.00
080
3.00
038
.106
.000
402
Kota
Tid
ore
Kepu
laua
n 10
.964
.000
8.15
2.00
07.
327.
000
2.14
6.00
02.
281.
000
3.01
6.00
03.
394.
000
3.38
5.00
078
4.00
041
.449
.000
Lampiran
Lampiran - ��
no
D
aera
h Bi
dang
Pe
ndid
ikan
Bi
dang
ke
seha
tan
Bida
ng in
fras
truk
tur
Bida
ng
kela
utan
da
n Pe
rika
nan
Bida
ng
Pert
ania
n Bi
dang
Pr
aspe
m
Bida
ng
ling
-ku
ngan
h
idup
to
tal
Jala
nir
igas
ia
ir B
ersi
h
404
Kab.
Hal
mah
era
Sela
tan
11.3
17.0
009.
937.
000
8.43
0.00
03.
116.
000
5.33
5.00
03.
095.
000
2.32
5.00
076
5.00
044
.320
.000
405
Kab.
Hal
mah
era
Uta
ra
12.3
96.0
0010
.031
.000
9.51
9.00
02.
851.
000
3.93
7.00
03.
688.
000
2.94
4.00
090
9.00
046
.275
.000
XXXI
I Pr
ovin
si P
apua
40
6Ka
b. B
iak
Num
for
15.0
22.0
0011
.892
.000
13.2
45.0
003.
024.
000
4.02
1.00
04.
118.
000
858.
000
52.1
80.0
0040
7Ka
b. Ja
yapu
ra
11.0
25.0
0013
.282
.000
13.1
63.0
001.
954.
000
3.02
8.00
02.
905.
000
5.29
1.00
01.
787.
000
52.4
35.0
0040
8Ka
b. Ja
yaw
ijaya
14
.455
.000
13.4
87.0
008.
632.
000
1.85
8.00
08.
845.
000
2.96
9.00
04.
570.
000
1.29
7.00
056
.113
.000
409
Kab.
Mer
auke
13
.784
.000
22.2
40.0
0017
.764
.000
3.24
2.00
03.
327.
000
6.30
2.00
04.
981.
000
1.54
1.00
073
.181
.000
410
Kab.
Mim
ika
10.4
16.0
0011
.903
.000
7.02
3.00
02.
854.
000
3.29
2.00
03.
445.
000
4.14
7.00
094
7.00
044
.027
.000
411
Kab.
Nab
ire
9.36
8.00
012
.467
.000
11.8
85.0
001.
366.
000
2.72
0.00
02.
852.
000
3.19
7.00
080
8.00
044
.663
.000
412
Kab.
Pan
iai
8.64
5.00
014
.291
.000
19.8
71.0
004.
721.
000
2.49
5.00
03.
013.
000
5.07
9.00
060
5.00
058
.720
.000
413
Kab.
Pun
cak
Jaya
10
.301
.000
11.8
13.0
0013
.827
.000
5.32
4.00
01.
719.
000
2.68
8.00
06.
794.
000
787.
000
53.2
53.0
0041
4Ka
b. Y
apen
War
open
11
.955
.000
8.89
8.00
010
.312
.000
2.59
2.00
03.
583.
000
3.49
5.00
01.
025.
000
41.8
60.0
0041
5Ko
ta Ja
yapu
ra
14.6
61.0
0010
.065
.000
11.3
12.0
002.
807.
000
3.96
4.00
04.
126.
000
991.
000
47.9
26.0
0041
6Ka
b. S
arm
i 8.
831.
000
12.6
99.0
006.
064.
000
1.41
9.00
02.
844.
000
1.96
7.00
02.
457.
000
1.52
9.00
095
3.00
038
.763
.000
417
Kab.
Kee
rom
12
.332
.000
10.8
06.0
0011
.041
.000
2.09
5.00
02.
653.
000
2.34
9.00
04.
183.
000
3.26
3.00
092
2.00
049
.644
.000
418
Kab.
Yah
ukim
o 10
.320
.000
12.5
53.0
009.
474.
000
6.10
6.00
01.
941.
000
2.64
4.00
03.
098.
000
1.66
8.00
047
.804
.000
419
Kab.
Peg
unun
gan
Bint
ang
12.7
30.0
0015
.664
.000
12.8
13.0
004.
632.
000
2.53
9.00
04.
154.
000
4.06
8.00
097
4.00
057
.574
.000
420
Kab.
Tolik
ara
11.7
54.0
0010
.527
.000
13.2
59.0
002.
258.
000
4.48
6.00
03.
230.
000
3.02
2.00
03.
275.
000
853.
000
52.6
64.0
0042
1Ka
b. B
oven
Dig
oel
11.9
21.0
0014
.278
.000
8.69
8.00
02.
835.
000
2.93
6.00
02.
443.
000
3.21
3.00
03.
126.
000
935.
000
50.3
85.0
0042
2Ka
b. M
appi
10
.683
.000
13.7
67.0
008.
887.
000
1.70
4.00
02.
879.
000
2.60
3.00
02.
936.
000
2.91
2.00
082
4.00
047
.195
.000
423
Kab.
Asm
at
12.8
35.0
0015
.219
.000
8.72
6.00
03.
169.
000
4.09
1.00
02.
949.
000
3.88
5.00
03.
656.
000
3.50
8.00
058
.038
.000
424
Kab.
War
open
10
.950
.000
11.3
46.0
009.
928.
000
2.32
9.00
04.
324.
000
2.66
9.00
02.
558.
000
1.02
9.00
045
.133
.000
425
Kab.
Sup
iori
15.3
14.0
0012
.201
.000
11.9
67.0
003.
269.
000
3.53
8.00
04.
719.
000
4.49
6.00
01.
005.
000
56.5
09.0
00XX
XIII
Prov
insi
Iria
n Ja
ya B
arat
42
6Ka
b. S
oron
g 9.
704.
000
8.05
6.00
07.
510.
000
2.63
7.00
02.
216.
000
3.17
6.00
03.
192.
000
2.00
6.00
038
.497
.000
427
Kab.
Man
okw
ari
12.3
21.0
0011
.365
.000
10.8
87.0
001.
771.
000
3.70
0.00
03.
301.
000
4.58
1.00
02.
086.
000
50.0
12.0
0042
8Ka
b. F
ak F
ak
9.30
5.00
09.
392.
000
11.4
59.0
001.
887.
000
2.29
8.00
05.
023.
000
2.69
6.00
01.
819.
000
43.8
79.0
0042
9Ko
ta S
oron
g 10
.413
.000
7.03
6.00
06.
369.
000
3.00
0.00
03.
071.
000
2.80
6.00
03.
394.
000
826.
000
36.9
15.0
0043
0Ka
b. S
oron
g Se
lata
n 11
.219
.000
11.9
29.0
008.
387.
000
1.37
6.00
02.
476.
000
6.24
4.00
03.
251.
000
2.36
5.00
02.
975.
000
50.2
22.0
0043
1Ka
b. R
aja
Am
pat
13.5
00.0
0012
.496
.000
8.01
1.00
02.
479.
000
3.12
1.00
05.
780.
000
3.67
5.00
03.
532.
000
1.58
6.00
054
.180
.000
432
Kab.
Telu
k Bi
ntun
i 9.
105.
000
9.78
1.00
05.
536.
000
1.31
4.00
02.
595.
000
2.30
7.00
02.
618.
000
2.26
3.00
02.
358.
000
37.8
77.0
0043
3Ka
b. Te
luk
Won
dam
a 11
.920
.000
10.2
68.0
0010
.202
.000
2.98
7.00
03.
634.
000
3.48
7.00
03.
202.
000
1.06
1.00
046
.761
.000
434
Kab.
Kai
man
a 9.
990.
000
10.6
45.0
004.
809.
000
2.43
3.00
03.
070.
000
3.19
2.00
02.
425.
000
1.80
9.00
038
.373
.000
Tota
l Nas
iona
l 5.
195.
290.
000
3.38
1.27
0.00
03.
113.
060.
000
858.
910.
000
1.06
2.37
0.00
01.
100.
360.
000
1.49
2.17
0.00
053
9.06
0.00
035
1.61
0.00
017
.094
.100
.000
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
Lampiran �
Dana PenyesUaian inFrastrUktUr Jalan Dan lainnya tahUn 2007
(dalam ribu rupiah)
no Daerah PenDiDikan kesehatanJalan Dan
Prasarana Fisik lainnya
irigasi & Pengairan
air Bersih & lingkUngan
hiDUP
Pertanian, kelaUtan
Dan Perikanan
total
I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
1 Kab. Aceh Besar 5,000,000 5,000,000
2 Kab. Aceh Selatan 4,400,000 4,400,000
3 Kab. Aceh Singkil 4,400,000 4,400,000
4 Kab. Aceh Tengah 5,000,000 5,000,000
5 Kab. Bireun 15,000,000 15,000,000
6 Kota Banda Aceh 5,000,000 5,000,000
7 Kota Sabang 4,400,000 4,400,000
8 Kab. Aceh Jaya 5,000,000 5,000,000
II Provinsi Sumatera Utara 20,000,000 20,000,000
9 Kab. Deli Serdang 29,000,000 29,000,000
10 Kab. Tanah Karo 29,000,000 29,000,000
11 Kab. Langkat 32,000,000 32,000,000
12 Kab. Mandailing Natal 10,000,000 7,000,000 17,000,000
13 Kab. Nias 2,000,000 2,000,000
14 Kab. Simalungun 9,000,000 15,000,000 24,000,000
15 Kab. Tapanuli Selatan 15,000,000 15,000,000
16 Kab. Tapanuli Tengah 10,000,000 10,000,000
17 Kab. Tapanuli Utara 14,500,000 14,500,000
18 Kota Medan 12,000,000 3,000,000 33,000,000 9,000,000 4,000,000 61,000,000
19 Kota Pematang Siantar 15,000,000 15,000,000
20 Kota Padang Sidempuan 5,500,000 17,000,000 8,000,000 30,500,000
21 Kab. Humbang Hasundutan 10,000,000 10,000,000
III Provinsi Sumatera Barat 20,000,000 20,000,000
22 Kab. Agam 5,000,000 5,000,000
23 Kab. Pesisir Selatan 5,000,000 5,000,000
24 Kab. Tanah Datar 5,000,000 5,000,000
25 Kota Bukit Tinggi 5,000,000 5,000,000
26 Kota Padang 5,000,000 5,000,000
27 Kota Pariaman 10,000,000 10,000,000
28 Kab. Dharmasraya 5,000,000 5,000,000
29 Kab. Solok Selatan 9,500,000 9,500,000
Lampiran
Lampiran - �7
no Daerah PenDiDikan kesehatanJalan Dan
Prasarana Fisik lainnya
irigasi & Pengairan
air Bersih & lingkUngan
hiDUP
Pertanian, kelaUtan
Dan Perikanan
total
IV Provinsi Riau 20,000,000 20,000,000
30 Kab. Bengkalis 2,000,000 2,000,000
31 Kab. Indragiri Hulu 15,000,000 15,000,000
32 Kab. Kampar 2,000,000 1,000,000 8,000,000 1,000,000 1,000,000 2,000,000 15,000,000
33 Kab. Rokan Hilir 10,000,000 10,000,000
34 Kota Dumai 1,000,000 10,000,000 9,500,000 500,000 21,000,000
35 Kota Pekanbaru 4,000,000 1,000,000 35,000,000 2,000,000 42,000,000
V Provinsi Riau Kepulauan 30,000,000 30,000,000
36 Kab. Karimun 25,000,000 25,000,000
37 Kota Batam 10,000,000 15,000,000 32,500,000 3,000,000 60,500,000
38 Kota Tanjung Pinang 25,000,000 25,000,000
39 Kab. Lingga 20,000,000 20,000,000
VI Provinsi Jambi 20,000,000 20,000,000
40 Kab. Bungo 19,000,000 19,000,000
41 Kab. Kerinci 10,000,000 2,000,000 12,000,000
42 Kab. Muaro Jambi 18,000,000 18,000,000
43 Kab. Tanjung Jabung Timur 17,000,000 17,000,000
VII Provinsi Sumatera Selatan 20,000,000 20,000,000
44 Kab. Lahat 23,000,000 23,000,000
45 Kab. Musi Banyuasin 4,400,000 20,000,000 24,400,000
46 Kab. Musi Rawas 20,000,000 20,000,000
47 Kab. Muara Enim 6,500,000 12,500,000 2,000,000 2,000,000 23,000,000
48 Kab. Ogan Komering Ilir 3,000,000 3,000,000
49 Kab. Ogan Komering Ulu 5,000,000 5,000,000
50 Kota Palembang 14,000,000 14,000,000
51 Kota Pagar Alam 7,000,000 3,000,000 10,000,000
52 Kota Prabumulih 4,400,000 4,400,000
53 Kab. Ogan Ilir 3,000,000 3,000,000
54 Kab. OKU Timur 8,000,000 8,000,000
55 Kab. OKU Selatan 3,000,000 3,000,000
VIII Provinsi Bangka Belitung
56 Kab. Bangka Selatan 9,000,000 9,000,000
IX Provinsi Bengkulu
57 Kab. Rejang Lebong 8,000,000 5,000,000 13,000,000
58 Kab. Mukomuko 29,000,000 29,000,000
X Provinsi Lampung
59 Kab. Lampung Barat 4,400,000 4,400,000
60 Kab. Lampung Selatan 7,400,000 9,000,000 2,000,000 18,400,000
61 Kab. Lampung Tengah 10,000,000 10,000,000
(dalam ribu rupiah)
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no Daerah PenDiDikan kesehatanJalan Dan
Prasarana Fisik lainnya
irigasi & Pengairan
air Bersih & lingkUngan
hiDUP
Pertanian, kelaUtan
Dan Perikanan
total
62 Kab. Lampung Utara 8,400,000 10,000,000 18,400,000
63 Kab. Lampung Timur 5,400,000 5,400,000
64 Kab. Tulang Bawang 10,000,000 10,000,000
65 Kota Bandar Lampung 6,000,000 3,000,000 9,000,000
XI Provinsi DKI Jakarta
XII Provinsi Jawa Barat
66 Kab. Bandung 10,000,000 10,000,000
67 Kab. Bekasi 13,000,000 5,000,000 18,000,000
68 Kab. Bogor 15,000,000 15,000,000
69 Kab. Ciamis 10,000,000 10,000,000
70 Kab. Cianjur 5,000,000 5,000,000
71 Kab. Cirebon 14,000,000 6,000,000 20,000,000
72 Kab. Indramayu 5,000,000 29,000,000 4,000,000 38,000,000
73 Kab. Kuningan 11,500,000 11,500,000
74 Kab. Majalengka 10,000,000 10,000,000
75 Kab. Sukabumi 5,000,000 5,000,000
76 Kab. Tasikmalaya 11,000,000 11,000,000
77 Kota Bandung 8,500,000 10,000,000 18,500,000
78 Kota Bekasi 5,000,000 5,000,000
79 Kota Bogor 9,500,000 9,500,000
80 Kota Depok 5,000,000 9,000,000 5,000,000 19,000,000
81 Kota Cimahi 10,000,000 10,000,000
82 Kota Banjar 11,500,000 11,500,000
XIII Provinsi Banten
83 Kab. Pandeglang 5,000,000 5,000,000
XIV Provinsi Jawa Tengah
84 Kab. Cilacap 1,400,000 1,400,000
85 Kab. Demak 5,000,000 5,000,000
86 Kab. Grobogan 10,000,000 10,000,000
87 Kab. Jepara 10,000,000 15,000,000 25,000,000
88 Kab. Kudus 5,000,000 35,000,000 40,000,000
89 Kab. Magelang 4,400,000 4,400,000
90 Kab. Pati 15,000,000 15,000,000
91 Kab. Purbalingga 7,000,000 5,000,000 12,000,000
92 Kab. Purworejo 9,000,000 9,000,000
93 Kab. Rembang 1,650,000 1,650,000
94 Kab. Semarang 4,650,000 4,650,000
95 Kab. Sragen 30,000,000 30,000,000
(dalam ribu rupiah)
Lampiran
Lampiran - ��
no Daerah PenDiDikan kesehatanJalan Dan
Prasarana Fisik lainnya
irigasi & Pengairan
air Bersih & lingkUngan
hiDUP
Pertanian, kelaUtan
Dan Perikanan
total
96 Kab. Temanggung 5,000,000 5,000,000
97 Kab. Wonosobo 10,000,000 10,000,000
98 Kota Semarang 5,000,000 5,000,000
99 Kota Surakarta 12,996,500 12,996,500
XV Provinsi DI Yogyakarta
100 Kab. Bantul 10,500,000 4,000,000 3,000,000 17,500,000
101 Kab. Kulon Progo 13,500,000 13,500,000
102 Kab. Sleman 8,000,000 8,000,000
XVI Provinsi Jawa Timur
103 Kab. Bangkalan 5,000,000 5,000,000
104 Kab. Blitar 25,000,000 5,000,000 30,000,000
105 Kab. Bondowoso 5,000,000 5,000,000
106 Kab. Gresik 7,500,000 7,500,000
107 Kab. Kediri 20,000,000 20,000,000
108 Kab. Lamongan 3,000,000 3,000,000
109 Kab. Lumajang 3,000,000 3,000,000
110 Kab. Madiun 10,000,000 10,000,000
111 Kab. Mojokerto 7,500,000 2,500,000 10,000,000
112 Kab. Pamekasan 10,000,000 5,000,000 15,000,000
113 Kab. Pasuruan 1,000,000 1,000,000 1,000,000 3,000,000
114 Kab. Probolinggo 10,000,000 10,000,000
115 Kab. Trenggalek 5,000,000 20,000,000 25,000,000
116 Kab. Tulungagung 10,000,000 10,000,000
117 Kota Mojokerto 10,000,000 10,000,000
118 Kota Pasuruan 10,000,000 5,000,000 15,000,000
119 Kota Probolinggo 20,000,000 5,000,000 5,000,000 30,000,000
120 Kota Batu 10,000,000 10,000,000
XVII Provinsi Kalimantan Barat
121 Kab. Bengkayang 4,000,000 5,400,000 9,000,000 1,000,000 19,400,000
122 Kab. Landak 15,000,000 15,000,000
123 Kab. Ketapang 3,000,000 3,000,000
124 Kab. Pontianak 15,000,000 15,000,000
125 Kab. Sanggau 1,000,000 1,000,000 6,500,000 1,000,000 2,000,000 1,000,000 12,500,000
126 Kota Pontianak 5,000,000 5,000,000
XVIII Provinsi Kalimantan Tengah 65,000,000 65,000,000
127 Kab. Kotawaringin Barat 2,000,000 2,000,000 10,000,000 5,000,000 1,000,000 20,000,000
128 Kab. Kotawaringin Timur 3,000,000 3,000,000 15,000,000 2,500,000 1,000,000 1,000,000 25,500,000
129 Kota Palangkaraya 4,500,000 4,000,000 8,500,000
(dalam ribu rupiah)
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�0 - Lampiran
no Daerah PenDiDikan kesehatanJalan Dan
Prasarana Fisik lainnya
irigasi & Pengairan
air Bersih & lingkUngan
hiDUP
Pertanian, kelaUtan
Dan Perikanan
total
130 Kab. Pulang Pisau 2,000,000 2,000,000 16,500,000 4,500,000 2,000,000 10,000,000 37,000,000
131 Kab. Lamandau 30,000,000 30,000,000
132 Kab. Katingan 1,000,000 2,000,000 9,000,000 3,000,000 15,000,000
133 Kab. Seruyan 11,250,000 5,000,000 16,250,000
XIX Prov. Kalimantan Selatan 50,000,000 50,000,000
134 Kab. Banjar 5,000,000 5,000,000
135 Kab. Kota Baru 2,000,000 2,000,000 4,000,000 1,000,000 2,000,000 4,000,000 15,000,000
136 Kota Banjarmasin 14,690,000 14,690,000
137 Kab. Tanah Bumbu 5,000,000 5,000,000
XX Provinsi Kalimantan Timur
138 Kab. Berau 5,000,000 5,000,000
139 Kab. Bulungan 14,000,000 14,000,000
140 Kab. Kutai Barat 5,000,000 5,000,000
141 Kab. Nunukan 5,000,000 5,000,000
142 Kota Tarakan 14,500,000 14,500,000
143 Kab. Penajam Paser Utara 10,000,000 10,000,000
XXI Provinsi Sulawesi Utara 20,000,000 20,000,000
144 Kab. Bolaang Mongondow 5,000,000 5,000,000
145 Kab. Minahasa 3,000,000 3,000,000
146 Kab. Sangihe 5,000,000 5,000,000
147 Kota Bitung 10,000,000 10,000,000
148 Kota Manado 43,000,000 43,000,000
149 Kab. Kepulauan Talaud 5,000,000 36,000,000 5,000,000 46,000,000
150 Kab. Minahasa Selatan 1,000,000 1,000,000 11,750,000 1,000,000 2,000,000 1,000,000 17,750,000
151 Kab. Minahasa Utara 5,000,000 5,000,000
XXII Provinsi Gorontalo
152 Kab. Boalemo 10,000,000 10,000,000
153 Kab. Gorontalo 10,000,000 5,000,000 15,000,000
154 Kab. Pohuwato 17,500,000 17,500,000
XXIII Provinsi Sulawesi Tengah
155 Kab. Banggai 18,000,000 18,000,000
156 Kab. Banggai Kepulauan 2,000,000 2,000,000 4,000,000
157 Kab. Toli-Toli 17,000,000 17,000,000
158 Kab. Donggala 4,650,000 4,000,000 8,650,000
159 Kab. Morowali 10,000,000 10,000,000
160 Kab. Poso 4,400,000 4,400,000
161 Kota Palu 7,400,000 7,400,000
162 Kab. Tojo Una Una 17,000,000 17,000,000
(dalam ribu rupiah)
Lampiran
Lampiran - �1
no Daerah PenDiDikan kesehatanJalan Dan
Prasarana Fisik lainnya
irigasi & Pengairan
air Bersih & lingkUngan
hiDUP
Pertanian, kelaUtan
Dan Perikanan
total
XXIV Provinsi Sulawesi Selatan 20,000,000 20,000,000
163 Kab. Barru 8,000,000 8,000,000
164 Kab. Bone 5,000,000 5,000,000
165 Kab. Enrekang 5,000,000 40,000,000 45,000,000
166 Kab. G o w a 5,000,000 5,000,000
167 Kab. Jeneponto 5,000,000 5,000,000
168 Kab. Luwu Utara 4,400,000 4,400,000
169 Kab. M a r o s 4,400,000 4,400,000
170 Kab. Pangkajene Kepulauan 5,000,000 5,000,000
171 Kab. Selayar 5,000,000 5,000,000
172 Kab. Sidenreng Rappang 6,400,000 4,000,000 4,000,000 14,400,000
173 Kab. Sinjai 5,000,000 5,000,000 10,000,000
174 Kab. Soppeng 5,000,000 5,000,000
175 Kota Pare-pare 4,500,000 4,500,000
176 Kota Palopo 3,000,000 3,000,000
XXV Provinsi Sulawesi Barat
177 Kab. Mamuju 3,000,000 3,000,000
178 Kab. Polewali Mandar 9,000,000 9,000,000
179 Kab. Mamuju Utara 40,000,000 40,000,000
XXVI Provinsi Sulawesi Tenggara 10,000,000 10,000,000
180 Kab. Buton 8,000,000 8,000,000
181 Kab. Konawe 15,000,000 4,000,000 19,000,000
182 Kab. Kolaka 1,000,000 11,000,000 1,000,000 1,000,000 14,000,000
183 Kab. Muna 15,000,000 15,000,000
184 Kab. Bombana 6,100,000 6,100,000
185 Kab. Wakatobi 7,000,000 9,000,000 9,000,000 25,000,000
XXVII Provinsi Bali 20,000,000 20,000,000
186 Kab. Badung 10,000,000 10,000,000
187 Kab. Bangli 10,000,000 25,000,000 35,000,000
188 Kab. Gianyar 10,000,000 10,000,000 20,000,000
189 Kab. Karangasem 2,500,000 5,000,000 2,500,000 10,000,000
XXVIII Provinsi Nusa Tenggara Barat
190 Kab. Bima 5,000,000 5,000,000
191 Kab. Dompu 5,000,000 5,000,000
192 Kab. Lombok Tengah 4,000,000 3,000,000 7,000,000
193 Kab. Sumbawa 7,000,000 7,000,000
194 Kota Mataram 9,000,000 9,000,000
195 Kab. Sumbawa Barat 7,000,000 7,000,000
(dalam ribu rupiah)
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�2 - Lampiran
no Daerah PenDiDikan kesehatanJalan Dan
Prasarana Fisik lainnya
irigasi & Pengairan
air Bersih & lingkUngan
hiDUP
Pertanian, kelaUtan
Dan Perikanan
total
XXIX Prov. Nusa Tenggara Timur 25,000,000 25,000,000
196 Kab. Ende 4,400,000 5,000,000 9,400,000
197 Kab. Kupang 2,000,000 2,000,000 1,000,000 2,000,000 7,000,000
198 Kab. Lembata 5,000,000 5,000,000
199 Kab. Manggarai 7,000,000 29,000,000 36,000,000
200 Kab. Ngada 8,400,000 20,000,000 28,400,000
201 Kab. Sikka 4,400,000 4,400,000
202 Kab. Timor Tengah Selatan 2,000,000 2,000,000 6,300,000 3,000,000 2,000,000 2,200,000 17,500,000
203 Kota Kupang 5,500,000 2,000,000 4,500,000 4,000,000 1,000,000 2,000,000 19,000,000
204 Kab. Manggarai Barat 1,000,000 1,000,000 2,000,000 4,000,000
XXX Provinsi Maluku
205 Kab. Maluku Tengah 5,500,000 5,500,000
206 Kota Ambon 3,000,000 2,000,000 5,000,000 1,000,000 1,500,000 1,500,000 14,000,000
207 Kab. Seram Bagian Timur 1,000,000 1,000,000 23,950,000 1,000,000 2,000,000 1,000,000 29,950,000
XXXI Provinsi Maluku Utara 15,000,000 15,000,000
208 Kab. Halmahera Tengah 4,000,000 4,000,000
209 Kab. Halmahera Barat 15,000,000 15,000,000
210 Kab. Halmahera Timur 2,000,000 1,000,000 6,500,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 12,500,000
211 Kab. Kepulauan Sula 5,000,000 5,000,000
212 Kab. Halmahera Selatan 10,000,000 4,000,000 8,000,000 22,000,000
XXXII Provinsi Papua
213 Kab. Jayapura 10,000,000 10,000,000
214 Kab. Merauke 50,000,000 50,000,000
215 Kab. Nabire 9,000,000 9,000,000
216 Kota Jayapura 5,000,000 3,000,000 8,000,000
217 Kab. Keerom 10,000,000 10,000,000
218 Kab. Yahukimo 25,000,000 25,000,000
219 Kab. Pegunungan Bintang 22,500,000 10,000,000 32,500,000
220 Kab. Tolikara 7,000,000 7,000,000 45,500,000 10,500,000 70,000,000
221 Kab. Boven Digoel 45,500,000 5,000,000 50,500,000
XXXIII Provinsi Irian Jaya Barat
222 Kab. Sorong 5,000,000 3,500,000 8,500,000
223 Kab. Manokwari 2,500,000 34,000,000 2,000,000 2,000,000 8,000,000 48,500,000
224 Kab. Fak Fak 25,000,000 25,000,000
225 Kab. Sorong Selatan 1,000,000 1,000,000 17,000,000 1,000,000 2,000,000 4,500,000 26,500,000
total nasional 69,000.000 453,050.000 2,674,246.500 179,000.000 89,190.000 98,700.000 3,563,186.500
MENTERI KEUANGAN,ttdSRI MULYANI INDRAWATI
(dalam ribu rupiah)
Lampiran
Lampiran - ��
no Dati i 2002 2003 2004 2005 2006
1 Nanggroe Aceh Darussalam
6.111 7.139 7.947 13.952 22.105
2 Sumatera Utara 34.555 39.962 45.002 51.735 59.808
3 Sumatera Barat 6.335 7.412 8.122 8.956 11.431
4 R i a u 16.879 19.349 23.903 29.407 40.138
5 Jambi 3.829 4.544 5.287 5.735 7.478
6 Sumatera Selatan 10.119 12.207 14.449 17.436 20.804
7 Bangka Belitung 2.174 2.580 3.307 3.985 5.106
8 Bengkulu 1.223 1.531 1.783 2.090 2.761
9 Lampung 5.302 6.052 6.529 7.588 9.436
10 Banten 14.201 16.493 19.722 26.177 28.781
11 DKI Jakarta 466.132 482.939 499.269 579.121 631.445
12 Jawa Barat 74.779 77.380 81.607 93.164 106.144
13 Jawa Tengah 39.894 43.525 46.804 53.420 62.698
14 DI Yogyakarta 8.242 9.157 10.213 11.461 13.902
15 Jawa Timur 81.706 88.911 95.514 113.388 126.820
16 B a l i 12.221 12.806 15.280 17.377 19.029
17 Nusa Tenggara Barat 2.462 2.808 3.339 3.924 4.893
18 Nusa Tenggara Timur 3.348 3.934 4.337 4.874 6.570
19 Kalimantan Barat 6.934 6.770 8.891 10.450 12.793
20 Kalimantan Tengah 2.532 3.033 3.353 4.108 5.493
21 Kalimantan Selatan 4.988 5.738 7.041 8.399 10.829
22 Kalimantan Timur 14.474 15.833 17.620 23.509 30.612
23 Sulawesi Utara 3.156 4.216 4.592 5.302 6.052
24 Gorontalo 630 710 853 1008 1398
25 Sulawesi Tengah 2.321 2.681 2.883 3.358 4.448
26 Sulawesi Selatan 11.215 13.360 14.619 17.212 21.847
27 Sulawesi Tenggara 1.695 1.978 1.999 2.285 3.323
28 Maluku Utara 825 990 1215 1.528 2.184
29 Maluku 1.780 2.134 2.458 2.816 4.164
30 Papua 4.953 6.151 7.142 10.322 16.269
J U m l a h : 845.015 902.323 965.080 1.134.087 1.298.761
Lampiran �
Posisi PenghimPUnan Dana Bank UmUm menUrUt lokasi Dati.i 1)
(Rp miliar)
1) Penghimpunan dana oleh Bank yang berada di Dati I tersebut data di BI masih mencakup 30 propinsi
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no nama kota 2003 2004 2005 2006
1 LHOKSEUMAWE 4,00 7,35 17,58 11,47
2 BANDA ACEH 3,87 6,97 41,11 9,54
3 PADANG SIDEMPUAN 4,38 8,99 18,47 10,02
4 SIBOLGA 2,85 6,64 22,39 5,03
5 PEMATANG SIANTAR 1,76 7,30 19,67 6,07
6 MEDAN 6,10 6,65 22,91 5,96
7 PADANG 4,73 6,97 20,47 8,05
8 PAKANBARU 7,06 8,93 17,11 6,31
9 BATAM 3,43 4,22 14,79 4,59
10 JAMBI 4,67 7,24 16,50 10,66
11 PALEMBANG 4,43 8,94 19,92 8,44
12 BENGKULU 3,42 4,67 25,23 6,52
13 BANDAR LAMPUNG 4,74 5,22 21,18 6,03
14 PANGKAL PINANG 6,74 9,00 17,45 6,42
15 JAKARTA 5,65 5,87 16,06 6,03
16 TASIKMALAYA 3,23 5,92 20,83 8,44
17 BANDUNG 6,09 7,56 19,57 5,33
18 CIREBON 3,36 3,27 16,83 6,30
19 PURWOKERTO 3,38 6,32 14,54 8,45
20 SURAKARTA 2,34 5,15 13,88 6,18
21 SEMARANG 5,60 5,97 16,47 6,07
22 TEGAL 3,06 5,25 18,39 7,73
23 YOGYAKARTA 5,36 6,95 14,98 10,40
24 JEMBER 4,63 6,24 16,86 6,84
25 KEDIRI 1,96 6,38 16,84 7,78
26 MALANG 3,53 6,28 15,74 5,91
27 SURABAYA 5,20 6,06 14,12 6,70
28 SERANG/CILEGON 6,04 6,40 16,11 7,67
29 DENPASAR 5,76 5,97 11,30 4,30
30 MATARAM 2,62 6,61 17,73 4,17
31 KUPANG 6,95 8,28 15,16 9,72
Lampiran 10
PerkemBangan inFlasi 45 kota
(2002=100)
Lampiran
Lampiran - ��
no nama kota 2003 2004 2005 2006
1 LHOKSEUMAWE 4,00 7,35 17,58 11,47
2 BANDA ACEH 3,87 6,97 41,11 9,54
3 PADANG SIDEMPUAN 4,38 8,99 18,47 10,02
4 SIBOLGA 2,85 6,64 22,39 5,03
5 PEMATANG SIANTAR 1,76 7,30 19,67 6,07
6 MEDAN 6,10 6,65 22,91 5,96
7 PADANG 4,73 6,97 20,47 8,05
8 PAKANBARU 7,06 8,93 17,11 6,31
9 BATAM 3,43 4,22 14,79 4,59
10 JAMBI 4,67 7,24 16,50 10,66
11 PALEMBANG 4,43 8,94 19,92 8,44
12 BENGKULU 3,42 4,67 25,23 6,52
13 BANDAR LAMPUNG 4,74 5,22 21,18 6,03
14 PANGKAL PINANG 6,74 9,00 17,45 6,42
15 JAKARTA 5,65 5,87 16,06 6,03
16 TASIKMALAYA 3,23 5,92 20,83 8,44
17 BANDUNG 6,09 7,56 19,57 5,33
18 CIREBON 3,36 3,27 16,83 6,30
19 PURWOKERTO 3,38 6,32 14,54 8,45
20 SURAKARTA 2,34 5,15 13,88 6,18
21 SEMARANG 5,60 5,97 16,47 6,07
22 TEGAL 3,06 5,25 18,39 7,73
23 YOGYAKARTA 5,36 6,95 14,98 10,40
24 JEMBER 4,63 6,24 16,86 6,84
25 KEDIRI 1,96 6,38 16,84 7,78
26 MALANG 3,53 6,28 15,74 5,91
27 SURABAYA 5,20 6,06 14,12 6,70
28 SERANG/CILEGON 6,04 6,40 16,11 7,67
29 DENPASAR 5,76 5,97 11,30 4,30
30 MATARAM 2,62 6,61 17,73 4,17
31 KUPANG 6,95 8,28 15,16 9,72
32 PONTIANAK 5,77 6,06 14,43 6,31
33 SAMPIT 2,47 6,67 11,90 7,75
34 PALANGKARAYA 5,32 7,24 12,12 7,72
35 BANJARMASIN 6,88 7,53 12,93 11,04
36 BALIKPAPAN 8,59 7,60 17,28 5,52
37 SAMARINDA 6,89 5,64 16,65 6,50
38 MANADO 2,79 4,69 18,73 5,09
39 PALU 5,10 7,01 16,33 8,69
40 MAKASSAR 2,53 6,47 15,20 7,21
41 KENDARI 4,66 7,73 21,46 10,57
42 GORONTALO -0,03 8,64 18,56 7,54
43 AMBON 3,01 3,45 16,67 4,80
44 TERNATE 6,46 4,82 19,43 5,12
45 JAYAPURA 8,46 9,45 14,15 9,52
5,06 6,40 17,11 6,60
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no. Propinsi 2003 *) 2004 *) 2005 2006
1 Nangroe Aceh Darussalam 20 20 15 152 Sumatera Utara 56 56 54 543 Sumatera Barat 104 104 100 1034 Riau 11 13 12 135 Jambi 3 4 5 76 Sumatera Selatan 13 14 12 137 Bangka Belitung **) 1 18 Bengkulu 4 4 3 39 Lampung 25 29 27 27
10 Banten ***) 79 7611 DKI Jakarta 13 18 20 2412 Jawa Barat 581 558 440 42313 Jawa Tengah 586 598 510 38414 DI Yogyakarta 65 65 63 6115 Jawa Timur 346 349 339 34116 Bali 143 143 142 14217 Nusa Tenggara Barat 64 64 63 6318 Nusa Tenggara Timur 4 4 4 519 Kalimantan Barat 8 9 12 1520 Kalimantan Selatan 25 25 24 2421 Kalimantan Tengah 1 1 1 122 Kalimantan Timur 6 7 8 923 Sulawesi Utara 23 24 20 1624 Gorontalo ****) 5 725 Sulawesi Tengah 3 4 4 626 Sulawesi Selatan 22 26 22 2227 Sulawesi Tenggara 5 6 6 628 Maluku Utara 1 1 1 129 Maluku 1 2 2 230 Papua 6 6 5 531 Kep. Riau 2 4 10 11
Jumlah 2141 2158 2009 1880
Lampiran 11
PerkemBangan JUmlah BPr nasional
NB : *) Jumlah BPR tahun 2003 dan 2004 termasuk BPRS**) Tahun 2003 dan 2004 Propinsi Bangka Belitung termasuk propinsi Sumatera Selatan***) Tahun 2003 dan 2004 Propinsi Banten termasuk Jawa Barat****) Tahun 2003 dan 2004 Propinsi Gorontalo termasuk Propinsi Sulawesi Utara
Lampiran
Lampiran - �7
no. Propinsi2004 2005 2006
1 Nangroe Aceh Darussalam 6 7 92 Sumatera Utara 11 12 163 Sumatera Barat 7 7 74 Riau 4 6 65 Jambi 2 2 36 Sumatera Selatan 3 4 57 Bangka Belitung 18 Bengkulu 1 2 29 Lampung 2 2 410 Banten 5 6 811 DKI Jakarta 26 25 2812 Jawa Barat 23 28 2913 Jawa Tengah 12 15 1614 DI Yogyakarta 4 5 515 Jawa Timur 17 20 2116 Bali 1 2 217 Nusa Tenggara Barat 2 3 418 Nusa Tenggara Timur 119 Kalimantan Barat 2 3 420 Kalimantan Selatan 6 7 721 Kalimantan Tengah 1 1 122 Kalimantan Timur 5 6 923 Sulawesi Utara 2 224 Gorontalo 1 1 125 Sulawesi Tengah 2 2 226 Sulawesi Selatan 5 6 627 Sulawesi Tenggara 1 1 128 Maluku Utara 1 1 129 Maluku 130 Papua 1 2 331 Kep. Riau 2 2 5
Jumlah 153 180 210
Lampiran 12
PerkemBangan JUmlah kantor Bank syariah 1)
1) Terdiri atas kantor Bank Syariah Murni dan Unit Usaha Syariah
Buku Pegangan 2007 Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
�� - Lampiran
no Dati i 2002 2003 2004 2005 2006
1 Nanggroe Aceh Darussalam 2.173 2.544 4.002 4.700 5.8122 Sumatera Utara 14.929 19.326 26.509 35.676 41.2373 Sumatera Barat 4.178 5.734 7.187 8.130 9.3564 R i a u 14.254 13.696 21.207 25.712 30.0465 Jambi 2.870 3.450 4.357 5.455 6.5476 Sumatera Selatan 6.007 7.240 9.600 11.543 12.8227 Bangka Belitung 863 932 1274 1.933 2.3828 Bengkulu 836 1008 1417 1814 23279 Lampung 4.420 5.262 6.595 8.961 10.997
10 Banten 17.612 22.591 27.548 32.826 35.82711 DKI Jakarta 142.923 167.666 200.754 248.766 286.07312 Jawa Barat 48.932 57.574 73.981 91.313 100.93513 Jawa Tengah 25.439 30.857 38.529 48.237 53.55414 DI Yogyakarta 2.424 3.233 4.460 5.916 6.38815 Jawa Timur 38.770 46.809 59.206 74.809 82.95016 B a l i 6.555 7.507 8.732 10.991 11.95017 Nusa Tenggara Barat 1.528 1.955 2.667 3.374 4.09218 Nusa Tenggara Timur 1.352 1.677 2.171 2.665 3.28119 Kalimantan Barat 3.136 3.948 5.436 6.374 7.35320 Kalimantan Tengah 1.676 2.199 2.759 3.616 4.72321 Kalimantan Selatan 4.124 4.689 6.450 7.468 8.62222 Kalimantan Timur 5.541 7.914 12.584 16.022 18.65923 Sulawesi Utara 2.012 3.077 3.598 4.586 5.49124 Gorontalo 403 496 796 998 1.06125 Sulawesi Tengah 1.393 2.029 2.680 3.350 3.86226 Sulawesi Selatan 8.390 10.644 13.395 17.387 21.77527 Sulawesi Tenggara 803 1126 1751 2135 312428 Maluku Utara 191 321 457 620 72129 Maluku 409 626 1107 1434 135130 Papua 1.267 1.813 2.342 2.856 3.819
J U M L A H : 365.410 437.943 553.551 689.667 787.137
Lampiran 1�
Posisi kreDit Bank UmUm menUrUt lokasi Proyek Dati.i. 1)
(Rp miliar)
1) Kredit yang disalurkan oleh Bank seluruh Indonesia ke Dati I tersebut data di BI masih mencakup 30 propinsi