Download - kASUS PKN
Secara sederhana, demokrasi sering diartikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Maka aktualisasi demokrasi di dalam suatu negara tidak lain tidak bukan adalah
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, demokrasi seharusnya menjadi semangat dari terbentuknya
suatu negara yang menginginkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
Menurut penulis, keadilan dan kemakmuran rakyat diukur dari sejauh mana hak asasi
manusia (HAM) ditegakkan. HAM merupakan hak dasar setiap insan yang harus dihargai.
Walaupun Undang-Undang Dasar dan peraturan lainnya sudah mengatur dan menjamin hak
seseorang, namun apakah hak asasi manusia sudah ditegakkan dengan benar masih sulit
untuk dijawab. Maka kita perlu mengkaji bagaimana penegakkan HAM di negara kita yang
berasaskan demokrasi ini. Dan hal inilah yang menjadi latar belakang saya untuk menulis
artikel ini.
Demokrasi sering digadang-gadang sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat. Memang benar, demokrasi merupakan satu-satunya konsep pemikiran yang berkembang pesat saat ini, sebagai wujud penyuaraan aspirasi rakyat secara langsung terhadap pemerintah atau jajaran pemerintahan tinggi negara. Dalam era reformasi sekarang, kita punya hak mengkritik pemerintah, baik melalui aksi demonstrasi (damai bukan anarki), melalui tulisan, diskusi maupun jejak pendapat. Hal ini merupakan bentuk kemajuan kongkret yang diterapkan pada sistem pemerintahan Indonesia.
Namun, demokrasi justru menjadi sebuah boomerang yang pelaksanaannya sangat kontradiktif. Secara hukum rakyat memiliki hak mutlak untuk mengaspirasikan segala bentuk ketidakadilan yang mengancam kesejahteraan mereka, selama aspirasi tersebut tidak melewati batas demokrasi yang diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang ras, suku, agama, serta kedudukan dan kepentingan golongan. Namun apa yang terjadi? Banyak ketidakadilan yang malah dirasakan oleh masyarakat.
Demokrasi yang tidak bersifat adil terhadap rakyat telah berlangsung lama di tengah bangsa kita. Beberapa kekerasan dan perlakuan semena-mena oleh oknum aparat penegak hukum pada penyelesaian konflik pelanggaran HAM merupakan bukti yang nyata. Arti demokrasi yang selama ini dipahami sebagai berpihak kepada rakyat mulai berubah maknanya menjadi istilah demo-keras-i. Demokrasi sudah berubah bahasa dan pengertian menjadi mengerasi atau berlaku bengis dan kejam. Sentuhan kekerasan oknum aparat penegak hukum itu sudah terjadi berulangkali, namun lembaga seolah tak pernah bercermin dan belajar.
Sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, beberapa oknum polisi selaku
aparat penegak hukum sepertinya semakin tak punya batas dalam menggunakan
kekuasaannya. Melalui demokrasi, seharusnya rakyat memperoleh hidup yang selayaknya
seperti jaminan kemakmuran dan rasa aman, yang tertera dalam UUD 1945. Sekarang ini
jaminan itu sulit dicapai apalagi didukung oleh fakta perlakuan kekerasan oknum aparat
penegak hukum pada kasus PT. Freeport, Mesuji, dan Bima.
Setelah penulis mempelajari berbagai konflik di tanah air, konflik-konflik yang terjadi
dalam kurun waktu beberapa pekan terakhir merupakan konflik berdarah antara polisi dengan
masyarakat kita sendiri. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian terhadap
masyarakat sipil ini telah menunjukkan bagaimana wajah polisi Republik Indonesia saat ini.
Bagaimana oknum polisi sebagai lembaga keamanan negara yang katanya pelindung,
pengayom, dan pelayan rakyat itu justru seolah-olah menganggap masyarakat yang tanpa
senjata, dan tanpa kekuatan sebagai musuh yang patut di-door, dengan bedil atau senapan
besar, senjata dan adu jotos.
Akibatnya pelanggaran HAM pun banyak terjadi. Dalam konflik PT. Freeport dengan
warga Papua, 2 orang masyarakat tewas dengan bukti adanya penembakan. Kejadian ini
justru setelah terlaksananya kongres antara warga dengan pihak kepolisian. Sedangkan kasus
Mesuji telah menelan korban 9 orang dengan bukti adanya penembakan dan pemakaian
benda tajam. Sementara itu, konflik Bima pun kejadiannya hampir serupa, bahwa secara
terang-terangan oknum polisi melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat dengan
tembakan dan penganiayaan terhadap para pendemo, hingga 2 orang tewas tertembak dan
puluhan lain dalam kondisi kritis. Lalu yang menjadi pertanyaannya, pantaskah seorang
pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat berlaku sedemikian bengis?
Biasanya konflik dipicu oleh aksi demonstrasi yang dilakukan warga. Fakta
membuktikan alasan utama bagi sekelompok orang untuk mengadakan aksi massa atau demo
dipicu oleh kegelisahan bersama akan sejumlah harapan yang tidak sesuai dengan realitas,
penyimpangan-penyimpangan yang merajalela baik dalam sisi keadilan, kesejahteraan,
HAM, dan kekuasaan. Justru melalui demokrasi harusnya kita sama-sama membenahi bangsa
ini ke arah yang lebih baik, tidak malah berpihak kepada kesalahan dan memusuhi rakyat.
Rakyat hanya meminta kembali hak-haknya kepada pemerintah. Paling tidak dengan aksi itu,
pemerintah tergerak hatinya untuk memberikan sedikit perhatian terhadap kondisi rakyatnya.
Latar belakang mengapa kebanyakan rakyat berdemonstrasi adalah seperti yang
terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Masyarakat Bima melakukan orasi
atau seperti aksi mogok atau pemblokadean karena ketidakadilan yang mereka rasakan yang
menjadikan posisi mereka terpinggirkan sejak beroperasinya perusahaan pertambangan di
Bima.
Namun tampaknya, pemerintah kurang mencermati apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat sejak disetujuinya SK pembukaan tambang di Bima, seolah-olah pemerintah
hanya terfokus pada investasi yang dihasilkan, sedang kondisi masyarakat adalah nomor
kesekian. Sama halnya dengan kasus PT. Freeport dan Mesuji, pemerintah pun tetap
melakukan kekeliruan yang sama. Maka dengan kondisi demikianlah mengapa Soekarno
sejak dulu anti-kapitalisme. Menurut beliau mereka adalah lintah darat yang awalnya bicara
manis dan pada akhirnya kekayaan alam bangsa kita lambat laun semakin disedotnya. Lalu
yang dirugikan siapa? Tampaknya pemerintah perlu mengkaji lebih dalam akar permasalahan
terjadinya berbagai konflik tersebut.
Lalu polisi sebagai bagian yang seharusnya ada di pihak rakyat sepertinya perlu untuk
membenahi diri, belajar untuk bisa menjadi sahabat karib, dan memahami posisi rakyat yang
memilih jalan demonstrasi sebagai bentuk aspirasi terhadap kondisi yang semakin membelit
ekonomi mereka. Polisi seharusnya menjadi pihak yang netral dan cermat dalam mengambil
sikap, apakah penting melakukan tindakan represif, ataukah polisi hanya menegakkan
wibawa/kekuasaan, bukan hukum. Polisi jangan mau dibutakan oleh kebutuhan finansial
yang diperoleh dari pihak yang seharusnya bertanggungjawab atas persoalan yang terjadi.
Sebagai warga negara Indonesia yang berbahasa satu, bertanah air satu, dan
bertumpah darah satu, seharusnya kita bekerjasama dalam upaya melindungi segala hal yang
mengancam keamanan dan pertahanan bangsa, yang bisa saja berasal dari luar. Kita dituntut
untuk setia menegakkan keadilan, berpihak pada yang benar, dan berjuang bersama demi
menciptakan kehidupan yang aman, tenteram, dan damai. Karena hal inilah yang menjadi
buah perjuangan Soekarno dan kawan-kawan bagi bangsa Indonesia. Rakyat adalah objek
sekaligus subjek dari sebuah bangsa, rakyat adalah kekayaan bangsa, dan rakyat seharusnya
diberi perlindungan yang wajar dan adil sebagai manusia yang sejatinya memiliki hak asasi.
Semoga pemerintah dan segala jajaran yang bertugas semakin belajar dari banyak
permasalahan yang ada. Semoga aparat penegak hukum benar-benar melindungi,
mengayomi, dan melayani rakyat, berbenah diri agar tragedi Mesuji, PT. Freeport, dan Bima
tidak terulang lagi di kemudian hari. Semoga Pancasila dan UUD 1945 masih tetap menjadi
pilar bangsa yang masih berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi hak asasi manusia dan
demi rakyat Indonesia semoga tidak ada lagi praktik demo-keras-i.