Download - karsinoma Sinonasal fix.docx
BAB 1
PENDAHULUAN
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik
yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas
hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan
leher. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang
dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah
dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan
tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.1
Insiden tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1 dalam
100.000 orang per tahun. Tumor ini terjadi paling umum pada orang kulit putih, dan kejadian
pada laki-laki adalah dua kali lipat dari perempuan. Meskipun tumor dari rongga hidung dibagi
antara jenis jinak dan ganas, tetapi kebanyakan tumor sinus paranasal yang ganas. Sekitar 55%
dari tumor sinonasal berasal dari sinus maksila, 35% dari rongga hidung, 9% dari sinus ethmoid,
dan sisanya dari frontal dan sinus sphenoid. Menurut histologi, Karsinoma sel skuamosa adalah
yang paling umum (sekitar 70-80%) diikuti oleh karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma
(sekitar 10%).2
Sementara itu,Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2 – 3,6
per 100.000 penduduk pertahun. Di departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo,
keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih
banyak dengan rasio laki-laki dibanding wanita sebesar 2:1.1
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal sangat dekat dengan struktur vital. Keganasan
sinonasal dapat tumbuh dengan ukuran yang cukup dan terapi agresif mungkin diperlukan di
daerah dekat dasar tengkorak, orbita, saraf kranial, dan pembuluh darah vital.
Meskipun jarang, keganasan sinonasal merupakan masalah yang cukup penting. Masalah ini
diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal (misalnya, epistaksis, obstruksi hidung)
menyerupai tanda-tanda dan gejala kondisi umum tetapi kurang serius. Oleh karena itu,
1
pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan
mengobati tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Anatomi rongga
hidung dan sinus paranasal menyebabkan tumor untuk timbul dalam stadium lanjut dan
mempersulit pengobatan mereka. Mereka berada berdekatan dengan struktur penting seperti
dasar tengkorak, orbit, saraf kranial, dan struktur vascular penting. 2
2
BAB II
TNJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI HIDUNG & SINUS PARANASALIS
2.1.1 HIDUNG
Hidung terdiri atas hidung luar dan cavum nasi. Cavum nasi dibagi oleh septum nasi
menjadi dua bagian, kanan dan kiri.3
Hidung Luar
Hidung luar mempunyai dua lubang berbentuk lonjong disebut nares, yang dipisahkan
satu dengan yang lain oleh septum nasi Pinggir lateral, ala nasi, berbentuk bulat dan dapat
digerakkan. Rangka hidung luar dibentuk oleh os nasale, processus frontalis maxillaris, dan pars
nasalis ossis frontalis. Di bawah, rangka hidung dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan
hialin.3
Kulit hidung luar mendapatkan darah dari cabang-cabang arteria ophthalmica dan arteria
maxillaris. Kulit ala nasi dan bagian bawah septum mendapatkan darah dari cabang-cabang
arteria facialis. Suplai Saraf Sensoris Hidung Luar melalui N.infratrochlearis dan rami nasales
externae nervus ophthalmicus (Nervus cranialis V) dan ramus infraorbitalis nervus maxillaris
(Nervus cranialis V) mengurus hidung luar. 3
Cavum Nasi
Cavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke apertura nasalis posterior atau
choanae di belakang, di mana hidung bermuara ke dalam nasopharynx. Vestibulum nasi adalah
area di dalam cavum nasi yang terletak tepat di belakang nares. Cavum nasi dibagi menjadi dua
bagiarn kiri dan kanan oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh cartilago septi nasi, lamina
verticalis osis ethmoidalis, dan vomer. 3
Setiap beiahan cavum nasi mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial
atau dinding septum.Dasar dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan lamina horizontalis
ossis palatini.Atap sempit dan dibentuk di sebelah anterior mulai dari bagian bawah batang
hidung oleh os nasale dan os frontale, di tengah oleh lamina cribrosa ossis ethmoidalis, terletak
di bawah fossa cranii anterior, dan di sebelah posterior oleh bagian miring ke bawah corpus ossis
3
sphenoidalis.Dinding lateral mempunyai tiga tonjolan tulang disebut concha nasalis superior,
media, dan inferior.Area di bawah setiap concha disebut meatus.3
Recessus sphenoethmoidalis adalah sebuah daerah kecii yang terletak di atas concha
nasalis superior. Di daerah ini terdapat muara sinus sphenoidalis.Meatus nasi superior terletak di
bawah concha nasalis superior. Di sini terdapat muara sinus ethmoidales posterior.Meatus nasi
media terletak di bawah concha nasalis media. Meatus ini mempunyai tonjolan bulat disebut
bulla ethmoidalis, yang dibentuk oleh sinus ethmoidales medii yang bermuara pada pinggir
atasnya. Sebuah celah melengkung, disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bul1a .
Ujung anterior hiatus yang menuju ke dalam sebuah saluran berbentuk corong disebut
infundibulum,yang akan berhubungan dengan sinus frontalis. Sinus maxillaris bermuara ke
dalam meatus nasi melalui hiatus semilunaris.Meatus nasi inferior terletak di bawah concha
nasalis inferior dan merupakan tempat muara dari ujung bawah ductus nasolacrimalis, yang
dilindungi oleh sebuah lipatan membrana mucosa. 3
Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Bagian atas dibentuk oleh lamina verticalis
ossis ethmoidalis dan os vomer Bagian anterior dibentuk oleh cartilago septalis. Septum ini
jarang terletak pada bidang median, sehingga belahan cavum nasi yang satu lebih besar dari
belahan sisi lainnya.Vestibulum dilapisi oleh kulit vang telah mengalami modifikasi dan
mempunvai rambut yang kasar. Area di atas concha nasalis superior dilapisi membrana mucosa
olfactorius dan berisi ujung - ujung saraf sensitif reseptor penghidu.Bagian bawah cavum nasi
dilapisi oleh membrana mucosa respiratorius. Di daerah respiratorius terdapat sebuah anyaman
vena yang besar di dalam submucosa jaringan ikat. 3
Suplai Saraf Cavum Nasi yaitu Nervus olfactorius yang berasal dari membrana mucosa
olfactorius berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuiu ke bulbus olfactorius
(Gambar 2-3). Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus ophthalmicus (N.Vl)
dan nervus maxillaris (N.V2) divisi nervus trigeminus. 3
Pendarahan cavum nasi berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris, yang merupakan
salah satu cabang terminal arteria carotis externa. Cabang yang terpenting adalah arteria
4
sphenopalatina. Arteria sphenopalatina beranastomosis dengan ramus septalis arteria labialis
superior yang merupakan cabang dari arteria facialis di daerah vestibulum.Darah di dalam
anyaman vena submucosa dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.Pembuluh limfe
mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain cavum nasi dialirkan
limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores. lahir terdapat dalam bentuk yang
rudimenter, setelah usla delapan tahun menjadi lumayan besar, dan pada masa remaja telah
berbentuk sempurna. 3
2.1.2. SINUS PARANASAL
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar
nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya. Terdapat empat pasang
sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan maksilaris. Sinus
maksilaris dan etmoidalis mulai berkembang selama dalam masa kehamilan. Sinus maksilaris
berkembang secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat usia tujuh tahun
hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau empat sel menjadi 10-15
sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun.2,3
5
Gambar 1. Anatomi Hidung
Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin
manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal sekitar hari 65 kehamilan.
Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak pada foto polos sampai bayi berusia 4-5 bulan.
Pertumbuhan dari sinus ini bifasik dengan periode pertama di mulai pada usia tiga tahun dan
tahap kedua di mulai lagi pada usia tujuh hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini,
pneumatisasi meluas secara menyamping hingga dinding lateral mata dan bagian
inferior ke prosesus alveolaris bersamaan dengan pertumbuhan gigi permanen. Perluasan
lambat dari sinus maksilaris ini berlanjut hingga umur 18 tahun dengan kapasitasnya pada
orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media.2,3
Sel etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan janin.
Sinus etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal dan bercabang ke
samping dengan membentuk sinus etmoidalis posterior dan terbentuk pada bulan keempat
kehamilan. Saat dilahirkan sel ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen.
Saat usia satu tahun sinus etmoidalis baru bisa dideteksi melalui foto polos dan setelah itu
membesar dengan cepat hingga usia 12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini
dibatasi oleh lamina basalis. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total
volume rata-rata 14-15 ml. Sinus etmoidalis anterior mengalirkan sekret ke dalam meatus
media, sedangkan sinus etmoidalis posterior mengalirkan sekretnya ke dalam meatus
superior. Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan
dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan. Daerah pertama adalah daerah arteri
etmoid anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika, terdapat di atap sinus etmoidalis dan
membentuk batas posterior resesus frontal. Arteri ini berada pada dinding koronal yang sama
dengan dinding anterior bula etmoid. Daerah yang kedua adalah variasi anatomi yang disebut
dengan sel onodi. Sel onodi adalah sel udara etmoid posterior yang berpneumatisasi
ke postero-lateral atau postero-superior terhadap dinding depan sinus sfenoidalis dan
melingkari nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus sfenoidalis.2,3
Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan,
merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus frontalis
6
jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau enam tahun setelah itu
perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinus frontalis mengalami kegagalan
pengembangan pada salah satu sisi sekitar 4-15% populasi. Sinus frontalis mengalirkan
sekretnya ke dalam resesus frontalis.2,3
Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang
merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus ini berupa suara
takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika mulai pneumatisasi lebih
lanjut, Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella tursika pada umur tujuh tahun dan
menjadi ukuran orang dewasa setelah umur 18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis
mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.
Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel
Goblet, dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi.
Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia,
kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang.2,3
7
2.2 KARSINOMA SINONASAL
2.2.1 DEFINISI
Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana kanker ( tumor ganas ) sel ditemukan
dalam jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung.5
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika daripada di
Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling
umum dan kanker leher karsinoma nasofaring belakang. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering
dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun.
Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30%
terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid
(sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.2
Kejadian tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1 dalam
100.000 orang per tahun. Tumor ini paling sering terjadi dalam kulit putih, dan insiden pada
laki-laki adalah dua kali dari perempuan. Tumor epitel yang paling sering hadir dalam dekade
kelima dan keenam usia.4
2.2.3 ETIOLOGI
Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan kulit
semua telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor ganas sinonasal. Eksposur
khusus, kayu debu dan penyamakan kulit baik berhubungan dengan peningkatan risiko
adenokarsinoma lain. Agen etiologi telah dilaporkan termasuk minyak mineral, dan
senyawa kromium kromium, minyak isopropil, cat pernis, solder dan las. 1,2
Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras, merupakan
faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50
kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek
paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan
menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras
radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan. 4
8
Tembakau dan penggunaan alkohol belum dibuktikan secara meyakinkan
sebagai factor penyebab dalam pengembangan tumor sinus paranasal. Namun, agen
virus, khususnya human papilloma virus (HPV), juga mungkin memainkan peran penyebab.3
2.2.4 PATOFISIOLOGI
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor seperti yang
sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal
bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat
menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen
proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang
peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat
diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel
kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta
progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel
menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami
inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati
tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi
dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang
berbeda.6
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan
waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul
kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in
situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan
tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung
sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis
dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase
invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker
menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun
waktu 1-5 tahun.6
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan dan
gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan
infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.6
9
2.2.5 KLASIFIKASI TUMOR
1. Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip
dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama
eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted.
Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini
sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada
anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau
maksilektomi media. 1
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi
rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke
anterior.1
2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul
oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Sinus maksila adalah yang tersering
terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus
sphenoid dan frontal jarang terkena.1
Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat
miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan
pipi yang kaya akan system limfatik.Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%)
dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.1
3. Invasi Sekunder
a. Pituitary adenomas
b. Chordomas
c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik, neoplasma
skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus lakrimal).4
Klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut WHO:
A. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal
10
dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan non
keratinizing.Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus
maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus
sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%).Simtom berupa rasa penuh atau hidung tersumbat,
epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang
tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi
proptosis, diplopia atau lakrimasi. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan
perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti
pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik, karsinoma
sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh,
berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif. 2
B. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi mukosa
lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin
ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik)
dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau
sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan.
Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai berupa diferensiansi baik,
sedang atau buruk . 2
C. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang dikarakteristikkan
dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat menginvasi ke dalam
jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi
sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus
dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin. 2
D. Undifferentiated Carcinoma
Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang ditemukan,
sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang
11
cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan
melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa
proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola
seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan
bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti
menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis
meningkat dengan gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis.
Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi
molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat
membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya. 2
E. Limfoma Maligna
Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural
killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa
limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang ditemukan
di western countries, umumnya dijumpai di negara-negara Asia .Dikarakteristikkan dengan
infiltrat limfomatosa difus yang meluas ke mukosa nasal dan sinus paranasal, dengan
pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar sehingga memperlihatkan clear cell change.
Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies selalu ditemukan. Dinding pembuluh
darah sering ditemukan angiosentrik, angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Sel-sel limfoma
ukurannya bervariasi mulai dari kecil, medium hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki
sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat dilihat dengan
pewarnaan Giemsa. Beberapa kasus berhubungan dengan infiltrat inflamatori yang
mengandung limfosit kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil. Terkadang hiperlasia
pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan, menyerupai
karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik. 2
F. Adenokarsinoma
Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif
12
lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini
timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering
ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Simtom primer berupa hidung tersumbat,
nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada
lokasinya. Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile, papilari dan
alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak
dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis . Prognosis jelek dan biasanya penderita
meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.2
G. Melanoma Maligna
Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria
dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik, massa
polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45% kasus. Di dalam kavum
nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah posterior septum nasal
diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah atau
limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal. 2
2.2.6 MANIFESTASI KLINIK
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam
sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau
menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau
intrakranial. 1
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya
sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak
tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya
berbau karena mengandung jaringan nekrotik. 1
2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis atau
penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. 1
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
13
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau
gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi
tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. 1
4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai
nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus. 1
5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak
lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang
dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis. 1
Saat pasien datang ke dokter, biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal ini
mungkin disebabkan karena diagnosis yang terlambat yang dikarenakan gejala dini nya
mirip dengan rinitis atau sinusitis sehingga sering kali diabaikan oleh pasien atau kurang
diperhatikan oleh dokter. 1
2.2.7 STAGING
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem TNM
didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi subkategori untuk
melukiskan keadaan masing– masing pada T, N, dan M dengan memberi indeks angka dan
huruf, yaitu:
1. T = Tumor primer
a. Indeks angka : Tx, Tis, T0, T1, T2, T3, dan T4.
b. Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst.
2. N = Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional
a. Indeks angka : N0, N1, N2, dan N3.
b. Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst.
3. M = Metastase jauh
Indeks angka saja : M0 dan M1.7
Tiap–tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti sendiri–sendiri untuk tiap jenis
14
atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma tidak sama dengan kulit, dsb.
Untuk satu jenis kanker tertentu tidak semua indeks harus dipakai. Rinciannya sebagai
berikut :
Penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, yaitu:
Sinus Maksillaris Tx Tumor primer tidak dapat ditentukanT0 Tidak terdapat tumor primerTis Karsinoma in situ
T1Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi tulang.
T2Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid.
T3Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis.
T4aTumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal.
T4bTumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus.
Kavum Nasi dan Ethmoidal
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukanT0 Tidak terdapat tumor primerTis Karsinoma in situ
T1Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
T2Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi tulang
T3Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris, palatum atau fossa kribriformis.
T4aTumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau frontal.
T4bTumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus.
Kelenjar Getah Bening Regional (N)
Nx Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
15
N0 Tidak ada pembesaran kelenjarN1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm
N2Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm
N2cMetastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Metastasis Jauh (M)
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilaiM0 Tidak terdapat metastasis jauhM1 Terdapat metastasis jauh
Stadium Tumor Ganas dan Sinus Paranasal
0 Tis N0 M0I T1 N0 M0II T2 N0 M0III T3 N0 M0
T1 N1 M0T2 N1 M0T3 N1 M0
Iva T4a N0 M0T4a N1 M0T1 N2 M0T2 N2 M0T3 N2 M0T4a N2 M0
Ivb T4b Semua N M0Semua T N3 M0
Ivc Semua T Semua N M1
2.2.8 PEMERIKSAAN FISIK
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri
atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi
anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda
tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus
16
maksila. 1
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini
jarang bermetastasis ke kelenjar leher. 1
2.2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan dibawah
mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan, dan organ untuk
mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi diagnosis
apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat
seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka tumor hanya diambil sebagian untuk
contoh pemeriksaan tumor yang sudah diangkat. Hasil pemeriksaan patologi anatomi
(PA) dengan cara seperti inilah yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu
tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas
atau kanker, maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali
atau diberikan kemoterapi atau radioterapi.6
2. Pemeriksaan endoskopi endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa
fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga dapat
membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan terevaluasi
dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan endoskopi dapat merupakan
pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi sebagai media biopsi dan juga terapi
bedah pada tumor sinonasal yang jinak.6
3. Radiologic Imaging penting untuk menentukan staging. Plain film menunjukkan
destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat menunjukkan keadaan
normal. 1,2
4. Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film untuk
menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film. Pasien
beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang
berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan
simtomp persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic
17
resonance imaging (MRI). CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk
menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan
kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri
karotid. 1,2
5. MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue,
membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion,
menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada
sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI
image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan
optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal
berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari
lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak. 1,2
6. Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher
untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan
anatomic detail membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya
tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan kepala dan
leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada nasal dan sinus
paranasal. 1,2
7. Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita yang akan
menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon
exclusion digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT), xenon CT scan atau
trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak
iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi
iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik. 1,2
8. CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan tumor yang
bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma kistik
adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk
dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika
tumor telah menginvasi meningen atau otak. 1,2
2.2.10 DIAGNOSIS
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di
18
rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor
sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc
yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. 1,
Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan
sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi. 1
2.2.11 PENATALAKSANAAN
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus
eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang
hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita,
serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi
dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan
letaknya/ekstensinya.4,7
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis,
lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open
surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita,
total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan
kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana
kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti
19
mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull
base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal.
Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan
disamping dilakukannya maksilektomi. 1,7,13
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan
gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia
prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-
pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik
dan chiasma optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah
mencegah insisi pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya
perawatan di rumah sakit lebih singkat.4,13
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit
an menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah
penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah,
restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara,
menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.1,4,7
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit
sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya terapi
utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan
penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di
zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada
pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa
teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal). 2
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh
adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh
20
tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut
kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi
tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun
neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi
paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi,
ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan
radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti
pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.4
2.2.12 PROGNOSIS
Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris sekitar
40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga 80%.
Pasien dengan tumor dioperasi diobati dengan radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup
kurang dari 20%. Tingkat ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena
kemajuan di operasi tengkorak-basis. 5
2.2.13 KOMPLIKASI
Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan dan
rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan, kebocoran LCS, infeksi,
anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial lainnya. 5
1. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan. Masalah ini dapat
terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak ada perdarahan aktif dicatat sampai
setelah operasi. Arteri ethmoid dan sphenopalatina anterior dan posterior dapat dibakar,
dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan perdarahan. Jika diperlukan,
radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu dengan intra-arteri melingkar untuk
mengontrol perdarahan. 5
2. Kebocoran CSF
Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak. Manajemen
yang tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin termasuk Rhinorrhea jelas, rasa asin di
21
mulut, tanda halo, atau tanda reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran dapat
dibuat endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes untuk tau atau beta
transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi mungkin butuh beberapa hari untuk hasil
untuk diproses. Manajemen konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan
untuk 5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik. Jika resolusi tidak
terjadi, intervensi bedah harus digunakan, termasuk menambal dengan allograft kulit,
tulang turbinate, dan mukosa hidung. Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan
untuk menutup kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned. Untuk kebocoran
besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk memungkinkan cangkok dan teknik
penyegelan untuk memperkuat dan mengintegrasikan. 5
3. Epiphora
Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi pada
saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada puncta lacrimalis, karung,
atau saluran.Perawatan harus diambil untuk marsupialize duktus lakrimal jika terkoyak atau
rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi.Tindak lanjut dacryocystorhinostomy
endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan. 5
4. Diplopia
Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang melibatkan kerucut
orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital adalah kunci untuk mencegah komplikasi ini,
tetapi dalam beberapa kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan teliti
rekonstruksi. Dalam kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling sederhana untuk
koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit oleh jaringan parut dari operasi
sebelumnya dan pengobatan radiasi. Konsultasi Oftalmologi adalah standar perawatan. 5
5. Rekonstruksi
Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan fungsi.
Sebuah flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin diperlukan untuk melindungi
struktur vital, atau prostetik wajah dapat digunakan. Prostesis wajah dapat ditawarkan
untuk meningkatkan hasil kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim dan pasien
adalah keharusan. Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan pasien yang paling
penting dan dapat menyebabkan stres sosial dan psikologis yang cukup besar. 5
22
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana kanker (tumoir ganas) sel ditemukan
dalam jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Sekitar 60-70% dari keganasan
sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung
sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa
neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid
Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal
dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan non
keratinizing.Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus
maksilaris
Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan kulit
semua telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor ganas sinonasal.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di
rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor
sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-
Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya
angofibroma,Diagnosis adalah dengan angiografi
23
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad efiaty dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala & Leher.2007.Edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Klem C. Malignant Tumor of the Sinus.[online].2015 march 31[Cited 2015 july 27] .
Available From: URL: http://emedicine.medscape.com/article/847189-overview#a4
3. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem.2011.Hal 35-42.JakartaEGC
4. Carrau RL. Malignant Tumor of the Nasal Cavity,.[Online] [Cited 2015 july 27].
Available From: URL : http://emedicine.medscape.com/article/846995-
overview#showall
5. Slomski G..Paranasal Sinus Cancer. Gale Encyclopedia of Cancer. .2002 [Online].[Cited:
2015 july 27].Available From:URL: http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-
3405200357.html
6. Agussalim, dr. Tumor Sinonasal. 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited 2015 july 27].
Available From:URL : :http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/24571/.../Chapter%20II.pdf
24
25