Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Teori Dalam Komunikasi Organisasi
Metode Ujian: Paper
Pengajar:
1. Prof. Andre Hardjana
2. Dr. Dorien Kartikawangi
Karisma Megawati dan Pesona Jokowi: Gejala Groupthink dalam Arena
Kontestansi Kandidat Presiden Partai PDI-P
Disusun oleh:
Gibthi Ihda Suryani
1306427743
Program Pascasarjana
Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2013
Pag
e2
Karisma Megawati dan Pesona Jokowi: Gejala Groupthink dalam Arena Kontestansi
Kandidat Presiden Partai PDI-P
Gambar di atas1, momen saat Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kiri) memberi hormat kepada Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri sebelum membacakan Dedication of Life dalam acara pembukaan Rakernas III
PDIP di Ancol, Jakarta, Jumat (6/9/2013). Rakernas yang dihadiri 1.330 fungsionaris dan kader
PDIP seluruh Indonesia tersebut berlangsung pada 6-8 September 2013.
Rapat kerja nasional (Rakernas) PDIP berakhir denngan menyimpan pertanyaan besar,
apakah Jokowi akan didaulatkan Megawati untuk menjadi calon presiden (capres) PDIP 2014?
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri hanya melempar sinyal. Gubernur DKI Jakarta,
Joko Widodo (Jokowi), diminta membacakan dedication of life-nya Bung Karno yang dibuat 10
September 1966, serta semobil dengan Megawati.
Kemungkinan itu telah terbuka, dengan demikian, warga DKI Jakarta harus pasrah seperti
warga Solo. Penulis tidak akan sejauh itu mengulasnya tapi ingin mengkaji dugaan tentang
gejala groupthink yang menjangkiti PDI-P dalam pengambilan keputusan dan komunikasi
organisasi khususnya dalam konteks Rakernas yang telah berlangsung awal September 2013
1 Gambar diambil dari
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/07/2051325/Di.Meja.Makan.Jokowi.Tak.Bahas.Politik.dengan.Megawati. Diakses tanggal 30 Desember 2013.
Pag
e3
lalu. Penulis memulai kajiannya dengan tinjauan teori dari karya Irving Lester Janis, groupthink
mulai dari akar teoritis teori-teori fungsional hingga beragam kritik tentang teori ini. Metode yang
digunakan adalah studi dokumen sekunder berupa tinjauan literatur, serta penelusuran berita
liputan Rakernas PDI-P dari konten yang tersedia di website resmi PDI-P ataupun situs berita
online.
Jangkauan teori groupthink ini sangat memikat dan mengagumkan. Groupthink adalah
satu dari sedikit model dalam ilmu sosial yang benar-benar memiliki dampak multidisipliner.
Sebagai contoh, meski hanya sepintas teori ini meninjau literatur dari ilmu politik, komunikasi,
teori organisasi, psikologi sosial, manajemen, strategi, konseling, ilmu komputer, teknologi
informasi, manajemen teknik, kesehatan bahkan marketing memberikan nuansa dan
pengaruhnya pada konsep groupthink. Kita perlu mengapresiasi bagaimana teori ini bisa fit
dalam berbagai disiplin ilmu dan masih dipandang relevan hingga saat ini (Turner & Pratkanis,
1998).
Akar teoritis: teori-teori fungsional komunikasi kelompok
Karya dalam tradisi ini sangat dipengaruhi oleh pengajaran pragmatis tentang diskusi-diskusi
komunikasi kelompok kecil (Littlejohn, 2002: p.266). Selama awal abad ke-20, John Dewey
mengembangkan metode untuk menggambarkan proses bahwa seseorang harus melalui saat
mereka bekerja pada pemecahan masalah. Pada tahun 1910, pada bukunya, How We Think,
Dewey mengemukakan bahwa proses berpikir reflektif melibatkan lima langkah (Littlejohn &
Foss (2009: p. 416-420)
(1) mengekspresikan kesulitan-kesulitan,
(2) mendefinisikan masalah,
(3) usulan kemungkinan solusi,
(4) pengembangan penalaran dan konsekuensi dari solusi, dan
(5) pengamatan lebih lanjut dari percobaan yang mengarah pada penerimaan atau
penolakan.
Pengaruh kedua pada pengembangan teori ini adalah karya Robert Bales. Bales et al,
mengkaji pada kemampuan anggota kelompok untuk menangani empat masalah fungsional:
adaptasi, kontrol instrumental, ekspresi, dan integrasi. Adaptasi dan kontrol instrumen
berhubungan dengan pengelolaan pembuatan keputusan, sedangkan ekspresi dan integrasi
berkaitan dengan manajemen pengelolaan hubungan. Kelompok berusaha untuk menjaga
keseimbangan dalam kedua masalah ini dan komunikasi kelompok merupakan sarana utama
mempertahankan keseimbangan itu (Littlejohn & Foss (2009: p. 416-420).
Pag
e4
Pengaruh ketiga pada pengembangan teori fungsional dari pengambilan keputusan
yang efektif adalah karya Irving Janis pada pengambilan keputusan dengan penuh
pertimbangan. Janis mengembangkan teori bahwa kelompok sangat kohesif seringkali
mengalami keputusan yang salah, hal ini dikarenkan tekanan yang diberikan kepada anggota
kelompok tersebut untuk mencapai konsensus. Janis menamai kondisi ini sebagai groupthink.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh kelompok dengan penuh pertimbangan adalah (Littlejohn
& Foss, 2009: 416-420):
(a) survei kemungkinan alternatif solusi,
(b) survei tujuan yang akan dicapai,
(c) memeriksa risiko dan manfaat yang terkait dengan alternatif,
(d) melakukan pencarian informasi,
(e) memproses informasi,
(f) memperkirakan alternatif risiko dan manfaatnya sebelum membuat pilihan akhir, dan
(g) menyusun rencana untuk menerapkan pilihan yang diinginkan bersama.
Di ketiga pengaruh tersebut, sifat fungsional komunikasi adalah fokus, dengan kata lain,
komunikasi adalah tujuan untuk mencapai beberapa tujuan. Dalam metode pemikiran reflektif
Dewey, komunikasi adalah fungsional karena bila diterapkan pada diskusi kelompok
memungkinkan kelompok untuk mencapai resolusi efektif dari masalah. Dalam pendapat Bales,
komunikasi ada untuk mengaktifkan kelompok itu sendiri. Sedangkan, bagi Janis, komunikasi
bersifat fungsional karena itu ada sarana untuk mencapai anggota kelompok agar memenuhi
setiap karakteristik kewaspadaan.
Teori fungsional dari keputusan kelompok yang efektif bersandar pada asumsi bahwa
efektivitas pengambilan keputusan tidak terpengaruh oleh produksi perilaku komunikatif
tertentu, tetapi harus memenuhi suatu persyaratan. Persyaratan ini disebut oleh Gouran dan
Hirokawa pada tahun 1983 sebagai syarat fungsional (Littlejohn & Foss, 2009: 416-420). Untuk
membuat keputusan yang efektif, kelompok tersebut harus melakukan hal-hal berikut ini:
(1) Memahami masalah dengan berbagai pertimbangan.
(2) Menentukan karakteristik agar suatu jawaban dapat diterima.
(3) Menyusun berbagai alternatif yang realistis di antaranya jawaban yang telah diterima.
(4) Kritis memeriksa setiap alternatif yang digunakan untuk menentukan jawaban.
(5) Memilih alternatif yang terbaik sesuai dengan karakteristik dari suatu jawaban.
Stohl dan Holmes mengusulkan perpanjangan dengan menyarankan memahami masa lalu,
kini, dan masa depan untuk memahami hubungan kelompok itu dengan lingkungannya. Gouran
dan Hirokawa juga mengajukan revisi dalam bukunya Communication and Group Decision
Pag
e5
Making. Dalam identifikasi ini ada pengakuan akan pentingnya dimensi relasional kelompok
dalam membuat keputusan yang efektif. Di antaranya adalah faktor-faktor afiliatif (kekhawatiran
terhadap hubungan kelompok), kognitif (pengolahan informasi yang terhambat), dan egosentris
(motivasi personal yang mendominasi). (Littlejohn & Foss, 2009: 416-420).
Asumsi Dasar
Teori komunikasi kelompok fungsional merupakan perpaduan dan keseluruhan dari proposisi,
asumsi, dan klaim-klaim yang menjelaskan bagaimana dan mengapa komunikasi berhubungan
dengan kualitas pembuatan keputusan oleh kelompok. Teori ini berpengaruh dalam
membimbing peneliti dan praktisi memandang bagaimana komunikasi mempengaruhi
pengambilan keputusan kelompok. (Littlejohn & Foss, 2009: 416-420).
Pengaplikasian Teori
Teori ini diaplikasikan dalam diskusi kelompok. Bagaimana kelompok membuat suatu
keputusan dengan memerhatikan syarat-syarat tertentu agar dapat menghasilkan satu suara.
Seperti pemikiran Janis yang mengkaji mengenai fenomena groupthink.
Cohesiveness: Persoalan bagi Pengambilan Keputusan dan Tindakan
Organisasi?
Janis dalam karyanya menelaah hal detil yang diperlukan dalam keputusan dan
tindakan kelompok. Menekankan pada cara berpikir kritis, Janis menunjukkan bagaimana
kondisi tertentu dapat mengiring pada kepuasan kelompok tapi dengan hasil yang tidak efektif.
Cohesiveness telah menjadi variabel yang krusial dalam keefektifan kelompok. Hal ini pertama
kali dikemukakan oleh Kurt Lewin di tahun 1930-an. Cohesiveness merupakan derajat dari
kesamaan kepentingan—mutual of interest dari para anggota kelompok. Dalam kelompok
dengan cohesiveness yang tinggi, suatu kesamaan dalam identifikasi membuat kelompok tetap
bertahan (Littlejohn, 2002: p.268).
Cohesiveness adalah hasil dari derajat dimana sekuruh anggota kelompok menganggap
tujuan mereka dapat dicapai dalam kelompok. Bukan berarti tiap anggota kelompok harus
memiliki kesamaan sikap tetapi tiap anggota punya kebebasan dan bergantug pada satu sama
lain untuk mencapai tujuan bersama yang diharapkan dalam kelompok (Littlejohn, 2002: p.268).
Cohesiveness punya sisi positif, selain membuat anggota kelompok tetap bersama dan
juga meningkatkan hubungan interpersonal dalam kelompok. Janis dalam teori gropthink-nya
melihat cohesiveness juga memiliki potensi bahaya. Pada satu titik, kelompok dengan
Pag
e6
kohesivitas yang tinggi dapat menaruh terlalu banyak energy untuk membangun citra
baik/maksud baik dalam kelompok dan dapat merugikan dalam pengambilan keputusan dalam
kelompok. (Littlejohn, 2002: p.268).
Pengertian fenomena Groupthink.
Irving L. Janis dalam bukunya, Victims of Groupthink: A Psycological Study of Foreign
Dcisions and Fiascoes (1972) menggunakan istilah groupthink sebagai moda/cara berpikir
yangmana orang terlibat secara mendalam dalam kelompok yang kohesif, ketika anggota
kelompok berupaya keras untuk mencapai kebulatan suara namun mengesampingkan motivasi
mereka untuk secara realistik menilai tindakan-tindakan alternatif dalam pengambilan
keputusan. Groupthink hanya terjadi pada kondisi kohesivitas yang tinggi dalam kelompok. Hal
ini berarti bahwa anggota kelompok memiliki “we-feeling’' yang kuat akan solidaritas dan
berkeinginan untuk mempertahankan hubungan diantara anggota kelompok di atas segalanya.
Ketika rekanan bertindak dalam mode groupthink, mereka akan secara otomatis menggunakan
uji ―preserve group harmony‖—memelihara keharmonisan kelompok, pada setiap keputusan
yang mereka hadapi. Janis menggambarkan kelompok seperti ini seperti dalam ―warm clubby
athmospere‖. (Griffin, 1997: 237)
Jika Martin Shaw meyakini bahwa kelompok kohesif tinggi lebih efektif dalam mencapai
tujuan masin-masing. Tapi Janis secara konsisten berpegangan bahwa “superglue”—perekat
super dari solidaritas yang menyatukan orang sering menyebabkan proses mental menjadi
mandek.
―Semakin ramahtamah dan esprit de corps diantara anggota kelompok pembuat
kebijakan, semakin besar bahaya yangmana berpikir bebas akan tergantikan dengan
groupthink….Kendala sosial terdiri dari anggota yang memiliki keinginan kuat untuk menjaga
keharmonisan dalam kelompok, yang membelokkan mereka untuk menghindari menciptakan
argumen yang bernada sumbang atau perpecahan. (Janis dalam Griffin, 1997: p.237).
Goldhaber (1993) menyebutkan pada dasarnya perpecahan atau konflik bisa
memberikan efek pengurangan pada fenomena groupthink. Pendekatan Janis tentang untuk
teori groupthink adalah dengan membuat kajian atas enam peristiwa bersejarah dalam
pengambilan keputusan penting di Amerika Serikat, mulai dari invasi Teluk Babi, ketidaksiapan
terhadap serangan Pearl Harbor, eskalasi perang Vietnam, perang Korea, krisis missil Kuba,
dan Marshall Plan. Empat peristiwa pertama menghasilkan efek yang negatif, sedangkan dua
peristiwa terakhir menghasilkan efek yang postif (Mulyana, 1999). Kroon dalam Goldhaber
Pag
e7
(1993) menyebutkan akuntabilitas individu meningkatkan kualitas keputusan kelompok seiring
dengan berkurangnya kecenderungan groupthink.
Asumsi
(disarikan dari Turner, 2008; Griffin 1997; dan Littlejohn, 2002)
Berangkat dari pemikiran fungsional mengenai pembagian jenis kelompok : (1) problem-
solving group, (2) task-oriented group, dimana:
• Kondisi dalam kelompok menyebabkan tingginya kohesivitas. Anggota kelompok memiliki
sentimen yang sama dan cenderung memelihara identitas kelompok. Maksudnya, jika suatu
kelompok berada dalam suatu kondisi yang stabil dimana anggota-anggotanya dapat
dengan mudah berinteraksi satu sama lain, maka satu sama lain dari anggota kelompok
tersebut akan saling mengetahui sifat, nilai dan perilaku dari anggota yang lainnya yang
akan memicu terjadinya kohesivitas.
• Proses pemecahan masalah dalam kelompok. Biasanya memelihara persatuan adalah hal
penting karena berkaitan dengan keutuhan dari kelompok. Individu seyogyanya tak
mempersulit proses pengambilan keputusan di dalam kelompok. Ketika kohesivitas sudah
tinggi, maka akan ada kesamaan persepsi dan perasaan mengenai suatu masalah
sehingga dalam penyelesaiannya, mereka akan cenderung memelihara kestabilan
kelompok daripada memperpanjang ketegangan dengan memberikan masukkan yang lain.
Para anggota kelompok cenderung akan bersikap baik dan tidak ingin mengganggu
jalannya pengambilan keputusan. Di sini, terdapat istilah affiliative constraints yang berarti
bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan pendapatnya karena takut ditolak.
Hal tersebut menyebabkan kecenderungan dari anggota kelompok untuk memberikan
perhatian lebih pada pemeliharaan kelompok daripada menaruh perhatian pada isu yang
sedang dibicarakan/dipertimbangkan. Oleh karena itu anggota kelompok akan mengikuti
keputusan dari pemimpin ketika pengambilan keputusan tiba.
• Kelompok dan pengambilan keputusan kelompok seringkali kompleks. Asumsi ketiga ini
menggarisbawahi sifat-sifat kelompok dan bagaimana kompleksnya proses pemecahan
masalah dan menyelesaikan tugas-tugas dalam kelompok. Kelompok, dalam
menyelesaikan masalah dan tugas haruslah mampu menemukan alternatif dan
membedakan masing-masing alternatif tersebut dari segi baik dan buruknya. Anggota
kelompok juga tidak hanya memahami tugas yang sedang mereka kerjakan, tetapi juga
memahami masukkan dari orang-orang mengenai tugas tersebut. Dalam pengambilan
keputusan, terdapat dua konsep penting yaitu: (1) homogenitas. Yaitu kemiripan dalam
Pag
e8
kelompok. Kelompok yang memiliki homogenitas tinggi, akan lebih kondusif terhadap
groupthink. (2) Proses yang dianggap penting daripada hasil yang efektif. Dalam
pengambilan keputusan sebenarnya proses lebih penting daripada hasil yang dicapai.
Karena, misalnya, dalam proses tersebut, anggota kelompok dapat mempelajari banyak sisi
negatif dan positif dari suatu alternatif yang nantinya dapat dijadikan bahan pertimbangan
untuk masalah-masalah selanjutnya. Dan dari proses tersebut itulah nantinya akan
ditemukan suatu kesepakatan yang tidak akan menyinggung pihak manapun jika memang
semua anggota kelompok memberikan masukkannya terhadap masalah yang sedang
dibahas.
Kondisi Antecedent Groupthink (Hal-Hal Yang Menimbulkan Groupthink)
(disarikan dari Turner, 2008; Griffin 1997; dan Littlejohn, 2002)
Group Cohesiveness/Kohesivitas Kelompok (decision makers constitue a cohesive group).
Kohesivitas antara satu kelompok akan berbeda dengan kelompok lainnya. Dalam
beberapa kelompok, kohesi dapat menuntun pada perasaan positif mengenai pengalaman
kelompok dan anggota kelompok lain. Kelompok yang tingkat kohesivitasnya tinggi mungkin
akan lebih antusias mengenai tugas-tugas mereka dan anggotanya akan dianggap mampu
untuk menyelesaikan tugas-tugas lain. Tetapi di sisi lain, kelompok yang sangat kohesif juga
menghasilkan hal yang mengganggu groupthink. Menurut Janis, kelompok dengan
kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk
menaati standar kelompok karena ketika kohesivitas tinggi, maka euforia dari kohesivitas
tersebut akan mematikan alternatif lain yang bisa muncul. Hal ini ditandai dengan
enggannya para anggota kelompok yang lain untuk mengemukakan pendapatnya ataupun
keberatan mereka mengenai solusi yang ada.
Faktor Struktural (structural faults of the organization). Menurut Janis, karakteristik struktural
yang spesifik (yang berupa kesalahan) akan mendorong terjadinya groupthink. Faktor-faktor
ini termasuk: (1) insulation of the group, yaitu kemampuan kelompok untuk tidak
terpengaruh oleh dunia luar. Kelompok akan kebal terhadap pengaruh dari luar meskipun
mereka sering bertemu dengan banyak orang di luar kelompok mereka, ataupun terdapat
orang luar kelompok yang ada dalam organisasi tetapi tidak dimintai partisipasinya. (2) lack
of tradition of impartial leadership, yang berarti bahwa anggota-anggota kelompok dipimpin
oleh seorang yang memiliki minat pribadi terhadap hasil akhir dari pengambilan keputusan
kelompok tersebut. (3) lack of norms requiring methodical procedures, beberapa kelompok
memiliki sedikit (jika ada) prosedur untuk mengambil keputusan. Menurut Dennis Gouran
Pag
e9
dan Randy Hirokawa, jika suatu kelompok menyadari adanya masalah, mereka masih harus
mencari tahu penyebabnya dan sejauh apa masalah itu. Oleh karena itu, kelompok padat
dipengaruhi oleh suara-suara yang dominan dan mengikuti mereka yang memilih untuk
mengemukakan pendapatnya.
Group Stress (Tekanan Kelompok)—provocative situational context. Tekanan kelompok
dapat berupa tekanan internal dan eksternal. Kedua-duanya dapat memunculkan
groupthink. Tekanan eksternal dan internal kelompok merupakan penggunaan tekanan
terhadap kelompok dengan membuat isu yang berasal dari dalam kelompok maupun dari
luar kelompok. Ketika pembuat keputusan mendapatkan tekanan yang berat baik dari dalam
maupun luar kelompok, dia cenderung tidak dapat menguasai emosi. Ketika tekanan tinggi,
biasanya kelompok akan mengikuti pimpinan mereka dan menyatakan keyakinan mereka
terhadap pilihan mereka itu.
Jika pengukuran analisis teoritis dari groupthink ini gagal, kita dapat mengenali kehadiran
groupthink dengan mengobservasi gejala-gejala dari groupthink (Griffin, 1997).
Gejala Groupthink
(disarikan dari Turner, 2008; Griffin 1997; dan Littlejohn, 2002)
Kata kunci yang paling mendasar adalah concurrence seeking—mencari persetujuan.
Merupakan usaha-usaha untuk mencari kesepakatan bersama dalam kelompok. Ketika
concurrence seeking telah berjalan terlampau jauh, maka menurut Janis hal tersebut akan
menimbulkan gejala groupthink.
Ada tiga kategori gejala dari groupthink:
(1) Overestimation of the group yaitu keyakinan yang keliru bahwa suatu kelompok itu
lebih baik dari dirinya (seorang anggota kelompok) yang sebenarnya. Terdapat dua gejala
spesifik dari kategori ini yaitu illusion of invulnerability yang adalah keyakinan kelompok bahwa
mereka cukup istimewa dalam mengatasi tantangan atau masalah apapun; belief in the inherent
morality of the group yaitu asumsi bahwa anggota-anggota kelompok adalah orang-orang yang
bijaksana dan baik oleh karena itu keputusan yang mereka buat juga akan baik.
(2) Close-minded merupakan kondisi dimana suatu kelompok tidak menghargai
perbedaan yang ada antara individu yang satu dengan yang lain dalam suatu kelompok dan ini
akan membawa kelompok pada keputusan yang tidak baik. Kategori ini memiliki dua gejala
spesifik yaitu out-group stereotypes yang merupakan persepsi stereotip mengenai lawan atau
musuh yang menekankan fakta bahwa lawan terlalu lemah atau terlalu bodoh untuk membalas
taktik yang ofensif; collective razionalization merujuk pada situasi di mana anggota-anggota
Pag
e10
kelompok tidak mengindahkan peringatan yang dapat mendorong mereka untuk
mempertimbangkan kembali pemikiran dan tindakan mereka sebelum akhirnya menemukan
keputusan akhir.
(3) Pressure toward uniformity, suatu keadaan yang terjadi ketika para anggota
kelompok berusaha untuk menjaga hubungan baik antaranggota yang akan memungkinkan
para anggota kelompok terlibat dalam groupthink. Terdapat empat gejala yaitu self-censorship
yang merujuk pada kecenderungan pada anggota kelompok untuk meminimalkan keraguan
mereka dan adanya argumen-argumen yang menentang; illusion of unanimity yaitu keyakinan
bahwa diam merupakan tanda setuju, self-appointed mindguards dimana anggota kelompok
akan menjadi kelompok dari informasi yang tidak mendukung demi menjaga kepentingan
terbaik kelompok mereka; pressures on dissenters yang merupakan pengaruh langsung
terhadap para anggota kelompok yang menyumbangkan pendapat yang bertolakbelakang
dengan pendapat kelompok.
Janis mengklaim bahwa kepastian dari gejala ini menggiring kita pada tujuh kesalahan
prosedur yakni: (1) kurangnya survey-survey alternatif; (2) kurangnya survey dari tujuan-tujuan;
(3) kegagalan untuk mengenali resiko dari pilihan yang diambil; (4) kegagalan untuk menilai
ulang alternatif-alternatif awal yang telah ditolak; (5) Kurangnya penelusuran informasi; (6) bisa
selektif dalam pemrosesan informasi sejak awal; (7) kegagalan untuk menyusun rencana-
rencana kontigensi.
Lalu apakah ketika semua ini terdeteksi maka secara otomatis akan memberikan
keputusan yang salah atau gagal? Tidak selalu, karena mungkin saja kelompok memiliki
peruntungan dari waktu ke waktu. Terdapat pula kebiasaan rutin dimana moda groupthink bisa
bermanfaat, karena kelompok bisa mempercepat pengambilan keputusan dan keramah
tamahan konsensus pada isu-isu yang tingkat kepentingannya rendah. Tapi berdasarkan Janis,
ketika kelompok berhadapan dengan tantangan besar atau kesempatan besar, concurerence-
seeking hampir selalu menjadi solusi yang inferior.
Pag
e11
Kerangka analisis teoritis Groupthink.
Sumber: Griffin (1997)
Pag
e12
Kritik terhadap teori Groupthink
Griffin (1997) memaparkan terdapat beberapa kritik akan teori groupthink ini.
Kebanyakan pengikut teori groupthink ini mengambil kasus yang skalanya besar dari
pengambilan keputusan dimana kejadiannya menjadi bencana dan kemudian menggunakan
model groupthink dari Janis ini untuk menelaah bencana ini. Mereka cenderung menganggap
kehadiran dari groupthink adalah sesuatu yang pasti terjadi (taken for granted) dan perlu
dibuktikan atau mengkonfimasi terjadi atau tidaknya group think ini dala pengambilan
keputusan. Untuk kemudian menggunakan teori ini sebagai peringatan agar tidak mengambil
keputusan bodoh dikemudian hari. Analisis yang rektrospektif—berlaku surut, seperti ini baik
untuk penyusunan teori, tapi menghasilkan tidak adanya dasar komparatif untuk menerima atau
menolak teori ini. Sebagai contoh kurangnya bukti pada beberapa situasi yang menjustifikasi
terjadinya kohesif dalam grup dalam kasus meledaknya peluncuran Challenger. Menurut Janis,
masuk akal jika kita menguji hipotesis groupthink dalam penelitian eksperimen laboratorium,
untuk memperoleh pembuktian dalam bidang keilmuan. Saran dari Janis mengundang banyak
keraguan, karena uji minimal dari teorinya yang menguji kondisi anteseden seperti yang terlihat
pada bagan (dapat dilihat di appendix) yang membutuhkan lebih dari 7000 orang partisipan.
Namun, sedikit sekali eksperimen dari groupthink yang cenderung untuk focus dalam
kohesivitas—karena kualitasnya sulit untuk dikondisikan dan diamati dalam eksperimen
laboratorium. Janis dan pengikutnya dengan kata lain tidak pernah mengkaji ataupun mengukur
tingkat kohesivitas dalam grup yang terlibat. Menurut Griffin sebaiknya diukur terlebih dahulu
derajat/tingkat kohesivitas kelompok (mengingat penelitian dari Griffin ini sangat kuantitatif)
untuk kemudian memperhatikan gejala-gejala groupthink yang dikemukakan oleh Griffin.
Meskipun hal itu tampaknya tidak menjadi cara yang pasti untuk membuktikan teori
Janis itu benar atau salah, konsep groupthinknya berlanjut untuk memberi gambaran imajinatif
bagi mereka yang tergabung dalam kelompok yang erat/kompak tapi membuat keputusan yang
sangat keliru. Sebagai contoh, pernyataan dari teknisi Challenger bahwa tujuannya adalah
untuk kebaikan semua, yang ini di kejadian selanjutnya bisa kita sebut sebagai proses
groupthink.
Turner & Pratkanis (1998) menelaah apa yang kemudian dapat dikatakan tentang
groupthink setelah seperempat abad, dalam suatu makalah yang memberikan kesatuan respon
atas pertanyaan dari teori ini. Namun. evolusi penelitian groupthink juga memberikan beberapa
pelajaran tentang pelaksanaan ilmu pengetahuan dan sifat akumulatif--cumulativeness
penelitian. Mereka mencatat ada empat pelajaran yakni: (1) The power of intuitive appeal; (2)
Pag
e13
Critically replication research; (3) The importace of cumulative controlled designs; (4) The
dangers of unconditional acceptance.
Relevansi dan rekomendasi teori Groupthink dalam Konteks Indonesia
Mulyana (1999) dalam tulisannya ―Groupthink: dari Kennedy hingga Soeharto‖
mempertanyakan apakah konsep-konsep yang kita gunakan jika kita menelaah groupthink versi
Janis (1972) ini dari enam kasus ini hanya dapat ditemukan di Amerika Serikat? Apakah
fenomena sejenis bisa terjadi di dunia timur dengan budaya feodal dan patrenalistiknya masih
sangat kuat seperti di Indonesia? Mulyana (1999) menjelaskan bahwa setiap teori atau konsep
memang terikat budaya (culture-bound), dan karena itu belum tentu berlaku dalam budaya lain.
Groupthink boleh jadi muncul dalam komunikasi kelompok di kalangan elite politik Indonesia.
Hanya saja dengan ciri-ciri yang mungkin berbeda.
Mulyana (1999) mengemukakan ketertarikannya untuk bisa menelaah tentang
bagaimana Soeharto dan para pembantunya yang menghasilkan tindakan-tindakan yang
dianggap keliru fatal yang semuanya berakumulasi, merugikan rakyat banyak, menciptakan
ketidakpuasan dan akhirnya menimbulkan krisis politik dan ekonomi Indonesia dikemudian hari.
Ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan Mulyana (1999) yang dapat menjadi dasar untuk
kajian lebih lanjut mengenai fenomena groupthink dalam pengambilan keputusan Soeharto dan
para pengikut setianya, sebagai berikut:
Seberapa jauh keterlibatan para pembantu (menteri) terkait dalam pengambilan
keputusan Soeharto tersebut?
Apakah keputusan-keputusan di atas merupakan inisiatif Soeharto sendiri yang
kemudian diamini para pembantu terkait?
Sejauhmanakah kohesivitas kelompok yang menghasilkan keputusan tersebut, bila
keputusan itu dibuat kelompok?
Adakah diantara para pemteri atau dirjen yang menjadi mindguards?
Adakah diantara para menteri itu yang berperan sebagai devil advocate?
Sejauhmanakah kerugian yang ditimbulkan dari keputusan-keputusan tersebut,
khususnya yang dialami rakyat?
Sejauhmanakah nilai-nilai budaya (Jawa) yang dianut Soeharto mempengaruhi
keputusan-keputusan tersebut, dan nilai-nilai budaya apa yang berperan dalam konteks
ini?
Pag
e14
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan studi yang lebih seksama dan
melalui wawancara yang mendalam dengan orang-orang yang pernah terlibat dalam pengabilan
keputusan tersebut dan dokumen-dokumen yang relevan. Dibutuhkan kajian yang
multidisipliner untuk menjawab tantangan ini dalam melihat proses historis dan poitik yang
berlangsung dalam pemerintahan Orde Baru yang hingga saat ini masih baik secara
langsung/tidak langsung berpengaruh pada kondisi Indonesia saat ini.
Rakernas: Fokus Agenda dan Hasil Rekomendasi
Fokus agenda utama dalam Rakernas PDI-P kali ini adalah konsolidasi internal
partai2. Modal besar partai adalah menumbuhkan semangat gotong royong dalam
memenangkan partai. Agenda kedua yang dibahas adalah masalah pemerintahan.
Pemerintahan selanjutnya akan diwarisi sejumlah persoalan multidimensi yang tidak
menggembirakan. Oleh karenanya, PDI-P secara khusus mengagendakan menggodok pokok
program haluan partai seperti dulu ada GBHN, melalui Mega Institute. Ini tentang bagaimana
pembangunan bangsa untuk lima tahun hingga 30 tahun mendatang, Rakernas memiliki
Steering Committee yang diketuai oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidajat.
Steering Committee ini yang akan menjadi kelompok pengambil keputusan dari Rakernas.
Agenda ketiga yang dibahas dalam sidang-sidang Rakernas adalah terkait
kepemimpinan nasional. Rakernas ini bertujuan untuk menangkap dinamika yang berkembang
di masyarakat akan sosok yang diharap menjadi pemimpin nasional selanjutnya. PDI-P
berupaya mencari seorang pemimpin nasional yang mampu bergerak sesuai platform
pergerakan yang telah ditetapkan PDI Perjuangan.
Agenda terakhir yang dibahas yakni tentang strategi dan program partai dalam rangka
menyiapkan kader partai untuk mengisi jabatan-jabatan publik di tingkat nasional dan lokal.
Adapun, tema Rakernas ketiga kali ini adalah ―Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat‖ dengan
sub tema ―Menuju Tahun Penentuan‖.
Rakernas dihadiri lebih dari 1.300 pengurus PDI-P dari tingkat Dewan Pimpinan Pusat, Dewan
Pimpinan Daerah (Ketua, Sekretaris dan Bendahara), dan Dewan Pimpinan Cabang (Ketua
dan Sekretaris). Selain itu, para anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, kepala daerah yang
merupakan kader PDI Perjuangan, badan-badan partai di tingkat pusat, sayap-sayap partai
ditingkat pusat, dan perwakilan partai di luar negeri. Ada beberapa pembicara dari luar partai
2 Arsip berita situs resmi PDI-P.
http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1012:4-agenda-utama-Rakernas-iii-&catid=39:nasional&Itemid=12. Diakses tanggal 31 Desember 2013.
Pag
e15
yang didatangkan untuk mendukung pembahasan agenda Rakernas diantaranya Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad , Ketua Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Husni Kamil Manik dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) Budi
Susilo Supandji.
Rakernas III PDI-P menghasilkan 17 rekomendasi yakni3:
1. Dalam rangka memantapkan ideologi bangsa, Pemerintah Republik Indonesia hasil
Pemilu 2014 meminta untuk menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir
Pancasila dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.
2. Dalam rangka memantapkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai
dengan jati diri bangsa Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia hasil Pemilu 2014
diminta membentuk suatu Badan Khusus untuk melaksanakan program sosialisasi dan
pembudayaan Empat Pilar Berbangsa sebagai konsensus dasar Bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 sebagai Konstitusi Negara, Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai bentuk Negara yang bersifat final, dan Bhineka Tunggal Ika
sebagai sistem sosial budaya Bangsa Indonesia. Pelaksanaan program sosialisasi dan
pembudayaan Empat Pilar Berbangsa tersebut dapat dikoordinasikan dengan lembaga
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3. Agar arah dan haluan pembangunan nasional tetap sesuai dengan amanah ideologi
Pancasila dan cita-cita Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, PDI Perjuangan
mengajak semua elemen bangsa untuk mengusulkan pengembalian kewenangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk merancang, merumuskan,
dan menetapkan Garis-garis Besar Pembangunan Nasional Semesta Berencana.
4. Berkaitan dengan target pemenangan Pemilu Legislatif, PDI Perjuangan menargetkan
perolehan suara sebesar 27,02 % atau 152 kursi DPR RI. Penetapan target ini
dilakukan berdasarkan kalkulasi yang matang dengan mempertemukan berbagai
variabel penting seperti hasil perolehan suara partai berdasarkan hasil Pemilu tahun
1999, 2004, dan 2009; Hasil konsolidasi organisasi partai, pemetaan basis politik PDI
Perjuangan dan dinamika politik nasional berkaitan dengan daya saing partai politik
peserta Pemilu;
3 Siaran media Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan.
http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1015:rekomendasi-Rakernas-iii&catid=39:nasional&Itemid=127. Diakses tanggal 30 Desember 2013
Pag
e16
5. Untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional demi mewujudkan cita-cita
Proklamasi 1945, PDI Perjuangan merekomendasikan prinsip dasar haluan
penyelenggaraan pemerintahan Negara tahun 2014-2019 melalui penyusunan
Pembangunan Semesta dan Berencana yang disusun sebagai penjabaran Pancasila 1
Juni 1945, melalui jalan Trisakti. Berkaitan dengan hal tersebut maka kepemimpinan
nasional pada periode tersebut harus memiliki kesamaan ideologi, memiliki agenda
transformasi perekonomian nasional yang disusun berdasarkan Pasal 33 UUD 1945,
dan mampu mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial.
Guna menopang periode transisional tersebut, maka nation and character building
harus digelorakan kembali guna membangkitkan kebanggaan dan martabat sebagai
bangsa.
6. Mendesak Pemerintah Indonesia bersama komunitas dunia melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meningkatkan peran aktifnya dalam menyelesaikan krisis
politik di Suriah, Mesir, dan Kawasan Timur Tengah lainnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, Rakernas menolak intervensi serangan militer, dan berbagai bentuk aksi
yang melanggar kedaulatan wilayah politik suatu negara merdeka manapun, serta
mendesak pemerintah untuk meningkatkan peran aktifnya di dalam mencari solusi
damai guna mewujudkan perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana menjadi
spirit politik luar negeri bebas aktif.
7. Menegaskan komitmen PDI Perjuangan untuk tidak membiarkan korban berjatuhan
dari rakyat sebagai akibat konflik sosial, ataupun perlakuan tidak adil yang dialami oleh
setiap warga bangsa, termasuk yang bekerja di luar negeri. Berkaitan dengan hal
tersebut sesuai perintah konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, maka pemerintah tidak boleh kalah oleh kepentingan
manapun, khususnya di dalam membela rakyat yang menjadi korban ketidakadilan.
8. Mendesak pemerintah untuk secepatnya melakukan stabilisasi atas krisis pangan yang
ditandai dengan tingginya harga kebutuhan pokok rakyat. Berkaitan dengan hal
tersebut maka diperlukan perombakan total terhadap politik pangan pemerintah untuk
menghentikan impor dan bertumpu pada swasembada nasional. Pemerintah wajib
mendorong peningkatan kemampuan produksi petani melalui dukungan penelitian dan
pemanfaatan penelitian yang dilakukan anak bangsa, khususnya terhadap benih
unggul, peningkatan infrastruktur pertanian, penyediaan pasar lelang, serta akses
permodalan dan jaminan bagi petani untuk mendapatkan keuntungan. Kebijakan
liberalisasi di sektor pertanian harus diakhiri.
Pag
e17
9. Berkaitan dengan krisis ekonomi sebagai akibat membengkaknya defisit transaksi
berjalan, melemahnya nilai mata uang rupiah, utang luar negeri yang sangat besar
(swasta dan pemerintah), dan ketergantungan terhadap produk impor, maka Rakernas
mendesak pemerintah untuk mengatasi krisis, memperkuat tingkat kepercayaan publik,
dan menghasilkan kebijakan kongkrit seperti perubahan APBN ekonomi yang
memberikan kepastian bergeraknya perekonomian rakyat dan usaha nasional;
10. PDI Perjuangan menentang kebijakan politik yang memiskinkan kaum buruh dan
pekerja Indonesia. Mendesak dihapuskannya praktek tenaga kerja outsourcing (alih
daya) dan kontrak yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan; dan menolak
politik upah murah. Untuk itu, Rakernas III kembali merekomendasikan kepada DPP
PDI Perjuangan agar menugaskan Fraksi PDI Perjuangan DPR RI memperjuangkan
UU Sistem Pengupahan yang antara lain mempertimbangkan upah survei berdasarkan
komponen hidup layak, dan meperkecil struktur kesenjangan penggajian antara upah
tertinggi dan terendah serta kondisi setempat. Selain itu, menugaskan pemerintah
daerah dari PDI Perjuangan agar terlibat aktif dalam penentuan upah sesuai dengan
garis kebijakan partai dan menginisiasi lahirnya kebijakan yang melindungi industri
dalam negeri di wilayahnya masing-masing seperti penghapusan pungli, kemudahan
dan penyerderhankan perijinan dan penyiapan infrastruktur industri.
11. Menyerukan kepada pemerintah untuk berani bersikap tegas di dalam menegakkan
hukum terhadap pihak-pihak yang mengancam kebebasan memeluk
agama/kepercayaan dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Untuk itu PDI Perjuangan
menginstruksikan seluruh pimpinan dan kader PDI Perjuangan di daerah untuk
bekerjasama dengan aparat hukum dan masyarakat dalam melindungi warga
masyarakat dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas yang
mengatasnamakan agama, suku, ras atau primordialisme yang
mengancam kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada saat
bersamaan, dialog antar tokoh agama, tokoh masyarakat, pimpinan parpol, ormas dan
pimpinan TNI dan Polri untuk kembali ke prinsip-prinsip Pancasila harus terus
ditingkatkan.
12. Meminta pemerintah untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai halaman
terdepan NKRI. Dengan demikian dikawasan tersebut pemerintah harus hadir untuk
menjamin terlaksananya fungsi dasar negara dibidang pendidikan, kesehatan,
keamanan dan percepatan peningkatan kesejahteraan diwilayah tersebut.
Pag
e18
13. Berkaitan dengan politik legislasi yang akan diperjuangan Fraksi PDI Perjuangan DPR
RI, Rakernas merekomendasikan hal-hal sbb:
a. Agar politik anggaran DPR RI lebih difokuskan untuk mengatasi krisis,
khususnya melalui kebijakan fiskal untuk mendorong terwujudnya tujuan
bernegara; menyediakan fungsi dasar negara di bidang pendidikan, dan
kesehatan yang tidak dikomersialisasikan; peningkatan kemampuan rakyat
untuk berproduksi, terutama di sektor pertanian dan kelautan; dan penciptaan
lapangan kerja yang layak bagi rakyat.
b. Mendorong perubahan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar, dan UU No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Hal ini penting untuk meningkatkan kedaulatan bangsa di bidang ekonomi.
c. Mempercepat penyelesaian pembahasan Rancangan Undang-undang tentang
Keperawatan. Undang-undang ini penting sebagai dasar legalitas untuk
meningkatkan kualitas dan ketersediaan perawat hingga desa-desa, selain
pemberian perlindungan hukum dan kesejahteraan terhadap profesi
keperawatan.
d. Mempercepat penyelesaian pembahasan perubahan Undang-Undang No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Undang-Undang tentang
Kebijakan Energi Nasional. Undang-Undang ini sangat penting sebagai dasar
legalitas untuk meneguhkan pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
e. Memastikan dilaksanakannya undang-undang tentang sistem jaminan sosial
nasional dan Undang-undang Badan Penyelenggara jaminan Sosial, termasuk
memastikan kewajiban pemerintah untuk menjalankan Jaminan Kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia pada tanggal 1 Januari 2014.
f. Rakernas III menegaskan kembali terhadap upaya memberikan perlindungan
terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sebagaimana telah
direkomendasikan pada Rakernas II.
g. Mendesak pemerintah untuk lebih serius membela pekerja Indonesia diluar
negeri, khususnya yang terancam hukuman mati dan menyiapkan langkah
yang diperlukan terhadap rencana deportasi ratusan ribu TKI dari Malaysia dan
Arab Saudi.
h. Merekomendasikan kepada DPP partai untuk menugaskan kembali Fraksi PDI
Perjuangan DPR RI agar mempercepat penyelesaian Revisi UU tentang
Pag
e19
Pekerja Indonesia Diluar Negeri. Revisi UU terserbut diperlukan untuk
memastikan tanggung jawab pemerintah didalam melindungi Pekerja
Indonesia, memastikan terpenuhinya hak-hak Pekerja Indonesia di Luar Negeri,
meningkatkan kualitas Pekerja Indonesia di Luar Negeri atau mendidik dan
melatih tenaga kerja Indonesia sebelum ditempatkan di Luar Negeri yang
arahnya perlindungan dalam proses migrasi menyeluruh, dan menyiapkan
tenaga kerja yang berkualitas terdidik dan terlatih.
i. Menugaskan kepada Fraksi PDI Perjuangan DPR RI untuk mengambil inisiatif
maksimal dalam merancang sejumlah Undang-Undang inisiatif untuk
melindungi dan menjamin hak asasi manusia terutama yang berkaitan dengan
hajat hidup orang banyak (misalnya hak-hak sosial ekonomi, hak atas tanah,
hak sumber daya alam, pangan, dan lain-lain). Perlindungan dan penjaminan
ini dilaksanakan berdsarkan Konstitusi UUD 1945.
j. Menugaskan Fraksi PDI Perjuangan DPR RI untuk terus menerus dan
sungguh-sungguh mengawal proses penegakan hukum yang belum tuntas
karena belum memberikan keadilan kepada korban pada kasus penyerbuan
kantor DPP PDI di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996. Proses pengawalan
terhadap penegakan hukum ini merupakan upaya partai melindungi hak-hak
para korban dan sekaligus mengungkap pelanggaran ini secara terbuka.
14. Sebagai jawaban terhadap harapan publik atas pentingnya regenerasi kepemimpinan,
Rakernas III memberikan dukungan sepenuhnya kepada Ketua Umum DPP PDI
Perjuangan dalam melaksanakan fungsi kaderisasi di internal partai. Kaderisasi
kepemimpinan tersebut ditempatkan dalam empat dimensi utama: (1) alih generasi ke
Generasi Politik Abad XXI; (2) penuntasan agenda Reformasi; (3) perombakan
paradigma pembangunan Indonesia menjadi Paradigma Perjuangan Rakyat
berdasarkan Trisakti; dan (4) penuntasan krisis sosial, politik, ekonomi, dan budaya
Indonesia untuk meletakkan dasar-dasar bagi kebangkitan Indonesia tahun 2045.
15. Menegaskan bahwa kepemimpinan nasional yang dipersiapkan oleh PDI
Perjuangan merupakan kepemimpinan transformatif yang mampu menghadapi
tantangan politik, ekonomi, dan sosial yang tidak ringan, bahkan merupakan
kepemimpinan untuk menghadapi situasi krisis akibat melemahnya kedaulatan
nasional, ketergantungan terhadap impor, dan meningkatnya konflik sosial.
16. Atas dasar butir 16 di atas, maka kualifikasi kepemimpinan nasional ke depan selain
memenuhi apsek ideologis, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
Pag
e20
diusung PDI Perjuangan harus mencerminkan kemampuan pengelolaan pemerintahan
negara untuk secara konsisten memegang prinsip haluan pemerintahan negara
sebagaimana digambarkan dalam Pancasila dan UUD 1945, didukung oleh
kemampuan manajemen pemerintahan yang handal, serta mempunyai agenda
transformasi kepemimpinan nasional, guna mewujudkan kedaulatan politik dan
ekonomi bangsa.
17. Merekomendasikan kepada Ketua Umum DPP PDI Perjuangan agar pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden disampaikan pada momentum yang tepat sesuai dengan
dinamika politik nasional, kesiapan jajaran internal partai, dan kepentingan ideologis
partai.
Kondisi Anteseden Groupthink
Berdasarkan hasil rekomendasi yang dikemukakan di atas, tiga agenda utama Rakernas PDI-P
dirasa berhasil dicapai, namun satu agenda berkenaan dengan penentuan calon pemimpin
pilihan partai yang ‗tidak berhasil‘ dicapai kesepakatan. Poin terakhir dari rekomendasi yang
dihasilkan dari Rakernas ketiga PDI-P ini yang menjadi indikasi dalam pembahasan gejala
groupthink. Kerangka analisis teori Groupthink menjadi alur berpikir penulis dalam mengkaji.
Karisma Megawati: Kohesivitas dan Faktor Struktural
Faktor Mega dalam kekhasan politik PDIP bisa menjadi potensi kekuatan sekaligus
kelemahan. Politik yang memapankan trah dan ideologi figur biasanya membentuk basis
tradisional yang loyal pada elite utamanya. Secara faktual, PDIP masih memiliki simpul perekat
organisasi yakni Mega. Upaya berbagai pihak baik internal maupun eksternal partai menarik
PDIP ke dalam kekuasaan saat ini, terbukti dipatahkan oleh pilihan sikap politik Mega.
Kelemahannya, PDIP kerap terjebak pada sistem kepartaian yang feodal, terutama jika
tak mampu mentrans formasikan kekuatan politik figur tersebut pada bangunan sistem dan
kader organisasi. Keinginan banyak pihak di internal PDIP untuk tetap mencalonkan Mega
sebagai presiden menjadi penanda bahwa putri Bung Karno ini memiliki posisi sangat dominan.
Bahkan bisa dikatakan, PDIP sangat identik dengan sosok Mega dan sulit
menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan alternatif di luar sosok Mega. Mega secara
faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power) dari Soekarno. Karena itu, Mega
kerap diposisikan tak hanya sekadar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, tapi
juga representasi basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya.
Karena itu, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini maupun ke
depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil
Pag
e21
kebijakan utama di partai ini. Faktor historisitas berjenjang PDIP menempatkan Mega di puncak
hierarki otoritas.
Mega sukses menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto dan simpul utama
politik PDIP pascareformasi yang rentan dengan perpecahan karena kepentingan politik elite di
pusat maupun daerah. Bertahannya Mega di kursi PDIP-1 sejak Orde Baru hingga sekarang
menjadi penanda bahwa Mega memiliki sumber daya otoritatif (authoritative resources) lebih
dibanding figur lain.
Pesona Jokowi sebagai Provocative Situational Contexts
Dalam dua tahun terakhir ini situasi menunjukkan betapa Jokowi muncul sebagai
pemimpin yang diidolakan banyak orang. Fenomena Jokowi itu mengulang fenomena Megawati
pada akhir 1990-an. Jokowi dapat mendongkrak elektabilitas PDIP pada 2014 mendatang jika
Jokowi dideklarasikan sebagai capres PDIP sebelum pemilu legislatif. Bila Megawati dapat
mendongkrak suara PDIP sampai 33% pada Pemilu Legislatif 1999, Jokowi diharapkan dapat
mendongkrak suara PDIP sampai 26% atau lebih.4
Joko Widodo kerap disebut sebagai media darling karena popularitasnya di berbagai
media dan portal berita. Lembaga penelitian asal Singapura, Purengage, melakukan penelitian
yang menunjukkan bahwa selain populer, Jokowi juga menjadi favorit di portal berita.
Lembaga penelitian asal Singapura, Purengage menempatkan Jokowi di urutan teratas
dengan skala 1.75. Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan
berada di urutan kedua dan ketiga dengan porsi 1.18 dan 1.05. Sementara itu, Kedua Dewan
Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berada di peringkat selanjutnya dengan skala 0.40.
Apa yang membuat Jokowi sukses menjadi media darling? Berdasarkan hasil penelitian
Purengage, disimpulkan Jokowi berhasil menjadi media darling karena sukses mengelola opini
media massa melalui kerjanya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Selain popularitas dan tingkat
paling difavoritkan di portal berita, menurut penelitian ini, Jokowi hanya berada di urutan ketiga
dengan skala 1.03. Peringkat satu dan dua secara berurut ditempati Gita (1.34) dan Dahlan
(1.24). Prabowo tetap berada di peringkat keempat dengan skala 0.76.
Hanya saja, Purengage menilai popularitas dan keterfavoritan Jokowi di media dianggap
tidak natural karena saat ini media hanya dikuasai oleh segelintir kelompok elite saja. Menurut
4 Bhakti, Ikrar Nusa. 2013. Sinyal Politik buat Jokowi. http://www.aipi-politik.org/kolom-aipi/216-sinyal-
politik-buat-jokowi. Diakses tanggal 30 Desember 2013.
Pag
e22
lembaga ini, popularitas dan keterfavoritan di Twitter yang lebih natural. Twitter dianggap dapat
mewakili opini setiap orang dan tidak memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.5
Pesona Jokowi memang menjadi ‗godaan‘ tersendiri bagi para anggota untuk mendesak
pemimpin acuannya mengikuti trend partai lain yang sudah menentukan siapa capres yang
menjadi perwakilan pilihan partai. Namun, demi kepentingan menjaga keharmonisan partai
menjelang Pemilu 2014, kondisi provokatif ini tidak ada sesuatu yang manjur selain
mengembalikan keputusan pada empunya partai.
Gejala Groupthink dalam Arena Kontestansi Kandidat Presiden Partai PDI-P
Kondisi antesenden yang memuat tendensi groupthink begitu nampak dalam forum
Rakernas PDI-P yang mendorong kuatnya gejala ketergantungan PDIP pada Mega, yakni
faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama
ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap
Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat menjadi perekat agar kelompok tetap utuh.
Kedua, dari faktor struktural yang paling nampak bagaimana Megawati menyadari
betul banyaknya desakan dari dalam dan luar partainya agar ia segera memutuskan nama
capres yang akan diusung di 2014. Hasil Kongres PDI Perjuangan pun menyebutkan,
penentuan capres merupakan hak prerogatifnya sebagai Ketua Umum dan ia bertanggung
jawab penuh atas keputusannya.6
Faktor struktural ini berhubungan dengan konteks situasional yang provokatif baik
dari dalam dan luar partai. Pesona Jokowi yang media darling, hasil survey yang selalu
membuktikan elektabilitasnya begitu tinggi menimbulkan tingginya tekanan bagi anggota. Efendi
Ghazali menganalogikan sikap dari Jokowi, semakin menggemaskan untuk dipinang. Ibarat
Jokowi adalah gadis, pemuda adalah pihak yang mau meminangnya, sedangkan PDIP adalah
kedua orangtuanya yang memiliki hak atas anak. Tradisi 'gadis' jika hendak dipinang kerap
mengatakan, 'tunggu dulu, ndak lihat saya sedang fokus ke kerjaan'. "Lalu Jokowi melempar ke
PDIP, persis seperti gadis mau dipinang akan bilang, 'coba tanya dong ke orangtua saya‘.7
5http://nasional.kompas.com/read/2013/09/08/0853309/Purengage.Ini.Sebabnya.Jokowi.Berhasil.Jadi.Me
dia.Darling. Diakses tanggal 30 Desember 2013. 6http://nasional.kompas.com/read/2013/09/06/1739318/Megawati.Tentukan.Capres.Setelah.Pemilu.Legisl
atif. Diakses tanggal 30 Desember 2013.
7 Dikutip dari
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/07/0927418/Jokowi.Makin.Menggemaskan.untuk.Dipinang.
Diakses tanggal 31 Desember 2013.
Pag
e23
Kompas.com memberikan laporan lengkap usulan pandangan kelompok wilayah yang
mewakili 33 DPD PDI Perjuangan, sebagian besar di antaranya mengusung nama Jokowi.
Hanya sebagian kecil yang mengusulkan nama Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani
sebagai capres8. Berikut laporan lengkap usulan pandangan delapan kelompok wilayah
tersebut:
1. Aceh, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan
Pandangan daerah dari kelompok wilayah ini disampaikan oleh Ketua DPD PDI
Perjuangan Sumatera Utara Panda Nababan. Panda mengawali pandangan daerah
dengan mengusulkan momentum penetapan pilpres. "Jangan tunggu sehari sebelum
pilpres! Kita intro dulu, kita main cantik," teriak Panda yang langsung disambut tepuk
tangan ribuan pengurus yang hadir. Seisi ruangan pun langsung meneriakkan nama
Jokowi. Sebelum rapat digelar, Panda juga sempat menyebutkan aspirasi di daerah
mendukung Jokowi.
2. Sumatera Barat, Jambi, Bangka Belitung, dan Lampung
Pembacaan kelompok ini dibacakan oleh Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Barat
Alex Indra Lukman. Alex menuturkan, mayoritas DPD di wilayah ini meminta agar
deklarasi calon presiden dilakukan pada Januari 2014. Mengenai kandidatnya, Alex
mengungkapkan nama Jokowi paling kuat diaspirasikan kader di daerah. Ia
mencontohkan efek Jokowi sampai terjadi di Sumatera Barat. "Tanggal 31 Oktober lalu,
ada kuliah umum Jokowi di Unand (Universitas Andalas Sumbar). Ribuan orang datang,
sampai mereka protes supaya kuliah umum dipindahkan ke luar agar menampung orang
lebih banyak," ucap Alex. Oleh karena itu, Alex meminta agar Ketua Umum PDI
Perjuangan melihat dinamika yang berkembang.
3. Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat
Usulan pengurus daerah di kelompok wilayah ini sepakat menyerahkan penetapan calon
Presiden kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Namun,
sejumlah aspirasi dari akar rumput juga disampaikan. Masyarakat di wilayah ini
disebutkan sedang ramai-ramainya mendukung setiap kebijakan yang dibuat Jokowi di
Ibu Kota.
4. Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur
8http://nasional.kompas.com/read/2013/09/07/1942170/Dari.Aceh.sampai.Papua.Dukung.Jokowi.Jadi.Ca
pres. Diakses tanggal 31 Desember 2013.
Pag
e24
Kelompok wilayah ini memiliki dua usulan nama kandidat capres yakni Megawati dan
Jokowi. "Kami inginnya ditetapkan tidak terlalu dekat dengan 9 April (pileg)," ujar
perwakilan DPD PDI Perjuangan Jatim, Bambang Prasetyo.
5. Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat
Kelompok wilayah ini tidak memberikan satu nama pun di dalam forum Rakernas terkait
kandidat capres yang dinilai layak diusung. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada
Megawati untuk menetapkan capres dan cawapres.
6. Kalimantan
Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Selatan Ardiansyah membacakan pandangan
pengurus DPD di seluruh Kalimantan. Ardiansyah menyatakan dukungannya terhadap
pencalonan Jokowi sebagai presiden. Ardiansyah menuturkan efek Jokowi telah terjadi
di Kalimantan. Ia mencontohkan sebuah pentas pewayangan di mana sang dalang
berasal dari Jawa. "Isinya wayang itu ternyata tentang pimpinan masa depan Jokowi
dan ternyata sambutan masyarakat luar biasa. Namun, kami sadar keputusan ada di
Ketum," kata Ardiansyah.
7. Sulawesi
Ketua DPD PDI Perjuangan Sulawesi Selatan Palaguna membacakan pandangan dari
DPD di seluruh wilayah Sulawesi. Dia menyebutkan, pembacaan pidato Bung Karno
berjudul "Dedication of Life" oleh Jokowi telah menggetarkan seluruh pengurus daerah
yang ada. "Ini menginspirasi kami saat berdiskusi kemarin telah menggetarkan gedung
ini dan telah menggetarkan seluruhnya. Dan, kami sudah ditelepon pelosok desa kami
betapa Rakernas ini berikan getaran tertentu dan telah memberikan warna PDI-P," puji
Palaguna akan sosok Jokowi saat membacakan pidato Bung Karno. Oleh karena itu,
kelompok wilayah ini meminta PDI Perjuangan untuk mendeklarasikan capres pada 10
Januari 2014, tepat di hari ulang tahun partai ini.
8. Papua, Papua Barat, dan Maluku
Nama Jokowi kembali diteriakkan dari sisi ruangan paling belakang. Di situ adalah
tempat para pengurus DPD bagian Papua, Papua Barat, dan Maluku. Meski mendapat
banyak dukungan, kelompok wilayah ini juga mengusulkan dua nama lainnya, yakni
Puan Maharani dan Megawati Soekarnoputri. Pengurus daerah di kelompok wilayah ini
juga meminta deklarasi capres dilakukan pada Januari 2014. Maluku menjadi pihak
yang paling siap menjadi tuan rumah pendeklarasian itu.
Pag
e25
Meski suara mayoritas dan tekanan eksternal (khususnya media) menginginkan penetapan
Jokowi sebagai capres, namun kohesivitas yang tinggi memunculkan self-censorship bagi
para anggota dan terjadi dilema moral menyalahi standar etika kepartaian. Misal, pendapat
Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Kalimantan Barat M Jimi yang mengaku
tersinggung dengan suara-suara teriakan yang mendukung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
menjadi capres dalam forum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDI Perjuangan. Perasaan
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dinilai seharusnya dijaga9. Ini menjadi
standar etika untuk berjalannya sistem dalam pengambilan keputusan di PDI-P. Hasil kongres
terdahulu menjadi self-appointed mindguards bahwa yang memiliki hak mengusulkan capres
adalah partai politik dan ketua umumnya dan anggota tidak boleh menyalahi aturan yang telah
menjadi konsensus tersebut.
Megawati selaku pembuat keputusan memiliki rasionalisasi tersendiri yang mau tidak
mau ‗diamini‘ oleh setiap anggota organisasi—collective rationalization. Menurutnya
pencalonan capres terkait dengan ambang batas presidential threshold dan menyiratkan bakal
segera mengambil keputusan setelah hasil pileg (Pemilu Legislatif) diketahui. Kegagalan pada
Pemilu 1999 (PDI-P menjadi pemenang namun bukan Megawati menjadi presiden), serta Pemilu
2009 (PDI-P terlalu cepat mengumumkan Megawati sebagai capres) adalah dasar penentuan
keputusan Megawati untuk menunda penentuan capres dari forum Rakernas ketiga 2013 PDI-P.
Kepercayaan diri untuk bisa memenangkan pemilu legislatif, membuat kelompok elite—steering
committee Rakernas III PDI-P tahun 2013 menggunakan streotipe yang menjadi gejala close-
minded—ketertutupan pemikiran bahwa fakta bahwa lawan terlalu lemah atau terlalu bodoh untuk
membalas taktik yang ofensif.
Kesimpulan
Kata kunci yang paling mendasar dari apa yang terjadi dalam isu kontestansi capres di
forum Rakernas ketiga 2013 PDI-P adalah concurrence seeking—mencari persetujuan. Hal ini
merupakan usaha-usaha untuk mencari kesepakatan bersama dalam kelompok. Ketika
concurrence seeking telah berjalan terlampau jauh, maka menurut Janis hal tersebut akan
menimbulkan gejala groupthink. Faktor kohesivitas ideologi dan soekarnoisme ditambah kondisi
struktural dari hasil Rakernas sebelumnya membuat gejala terjadinya groupthink menjadi kuat.
Pesona Jokowi sebagai konteks situasional yang provokatif teredam oleh pembelajaran dari
9 http://nasional.kompas.com/read/2013/09/08/1159229/PDI-P.Perasaan.Megawati.Juga.Harus.Dijaga. Diakses
tanggal 31 Desember 2013.
Pag
e26
pengalaman kegagalan dari setiap pemilihan presiden yang dilalui oleh partai yang dibesarkan
oleh era reformasi ini.
Analisis gejala groupthink yang penulis buat memang tidak cukup kuat, ketiadaan fakta
data primer yang dipergunakan. Begitu pula dengan keterbatasan analisis yang hanya sampai
pada gejala saja, karena gejala ketidakefektifan pengambilan keputusan belum dapat
diidentifikasi saat ini. Perlu menjadi catatan bahwa groupthink tidak selamanya negatif,
tergantung konteks. Dalam konteks Rakernas PDI-P ini memiliki kecenderungan yang masih
seimbang, bisa positif maupun negatif. Namun seperti yang dikemukakan oleh Kroon dalam
Goldhaber (1993) menyebutkan akuntabilitas individu meningkatkan kualitas keputusan
kelompok seiring dengan berkurangnya kecenderungan groupthink. Menarik untuk ada kajian
yang lebih komperhensif atau atau bahkan dengan dukungan data empirik untuk yang bisa
menjawab kelemahan atau bahkan menyanggah teori groupthink ini.
Referensi
Goldhaber, Gerald. 1993. Organizational Communication. New York: McGraw Hill.
Griffin, Em. 1997. A First Look at Communication Theory, 3rd Edition. New York: McGraw Hill
Griffin, Em. 2009. A First Look at Communication Theory, 3rd Edition. New York: McGraw Hill
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. 7th Edition. Belmont, CA:
Wadworth/Thomson Learning.
Littlejohn, Stephen W. II. Foss, Karen A. 2009. Encyclopedia of Communication Theory.
America: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. p. 416-420.
Mulyana, Deddy. 1999. Groupthink: dari Kennedy hingga Soeharto (dengan contoh kasus
Reagan: Pengiriman Senjata As ke Iran). Nuansa-nuansa Komunikasi.
Turner, Marlene, Anthony Pratkanis. 1998. Twenty-Five Years of Groupthink Theory and
Research: Lessons from the Evaluation of a Theory. Journal Organizational Behavior
and Human Decision Processes. Vol.73, No.2/3, February/March, p. 105-115.
Turner, Lynn, Richard L. West. 2008. Introducing Communication Theory: Analysis and
Application. New York: McGraw –Hill