Download - KARAKTERISTIK PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA
1
KARAKTERISTIK PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA BESI NUSAKAMBANGAN)
T E S I S
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
RHIGETTI KHEYMAL WIJAYA, Amd.IP, S.Sos
11010110403022
PEMBIMBING :
Dr. EKO SOPONYONO, SH. MH
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2012
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan tumpuan harapan dan kepercayaan
masyarakat untuk mengatur pergaulan hidup bersama. Hukum
merupakan perwujudan atau manifestasi dari nilai kepercayaan.
Maka untuk menegakkan hukum harus didukung peraturan –
peraturan tertulis untuk menegakkan hukum di masyarakat. Tindak
pidana atau kejahatan narkotika merupakan salah satu bentuk
kejahatan tanpa korban (victimless crime). Dalam ilmu hukum
pidana diuraikan dan dijelaskan bahwa kejahatan tanpa korban
biasanya hubungan antara pelaku dan korban tidak kelihatan
akibatnya. Oleh karena itu kejahatan ini lebih tepat disebut sebagai
kejahatan yang disepakati (concensual crimes).1
Lahirnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika yang diharapkan dapat memberantas setiap
penyalahgunaan narkotika di Indonesia pada kenyataannya tindak
pidana penyalahgunaan narkotika dan obat – obat terlarang yang
lainnya tampak masih belum dapat ditekan secara maksimal baik
secara kualitas maupun kuantitas. Tindak pidana narkotika tidak
lagi dilakukan secara perorangan melainkan melibatkan banyak
1 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
Tahun 2003). Hal 119.
1
3
orang secara bersama – sama bahkan merupakan satu sindikat
yang teroganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja sama
secara rapi dan sangat rahasia baik tingkat nasional maupun
internasional maka pemerintah mengesahkan Undang – Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Masalah narkoba
merupakan permasalahan multidemensi yang komplek serta
mendunia yaitu : 2
Tak pandang bulu, narkoba menjerat siapapun yang tak
waspada baik kaum muda sampai kaum tua, dari orang
miskin maupun orang kaya dan dari penggangguran maupun
pejabat pemerintah. Begitu banyak orang yang terlibat
penggunaan narkoba sampai - sampai penjara atau
Lembaga Pemasyarakatan tidak mampu lagi
menampungnya.
Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
mengalami over kapasitas (Over capacity) sehingga menjadikan
Lembaga Pemasyarakatan “Universitas Kejahatan” bagi
penghuninya. Sebagaimana dalam pengaturan atau spesifikasi
kasus pidana tidak diatur dalam Peraturan atau undang-undang
dalam menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan atau
Rumah Tahanan. Sehingga bertemunya narapidana / atau tahanan
narkoba yang memiliki latar belakang kejahatan yang berbeda
(pemakai, pengedar, bandar) dan penempatannya yang tanpa
2 Warta Pemasyarakatan, Portir, (Jakarta, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Nomor 46
Tahun XII, Maret Tahun 2011). Hal 3.
4
sekat, justru mempermudah mereka dalam transaksi dan
memperluas jaringan. 3
Petugas lembaga pemasyarakatan pun ikut terperosok,
terjerat barang haram itu lalu menjadi pesakitan. Petugas
pemasyarakatan yang sebagai penegak hukum yang merupakan
bagian integral dari komponen hukum di Indonesia,
pemasyarakatan seharusnya bekerja sekuat tenaga untuk menutup
pintu masuk dan beredarnya narkoba di negeri ini. Petugas
pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi dan bertugas sebagai
pembinaan pemasyarakatan (narapidana, anak negara, klien
pemasyarakatan dan tahanan) dilaksanakan secara terpadu
dengan tujuan agar mereka setelah selesai menjalani pidana,
pembinaan dan bimbingannya dapat menjadi warga masyarakat
yang baik.
Petugas pemasyarakatan malah sebagai penyalahgunaan
narkotika bersama dengan Warga Binaan Pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan.4 Pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi
pelaksanaan eksekusi pidana yang diatur dalam Undang – Undang
Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu: 5
Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas yang semestinya mampu menjadi tempat yang aman, tempat pembinaan
3 Ibid. Hal 3.
4 Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, (Jakarta, Cetakan I,
Tahun 1990). Hal 23. 5 Warta Pemasyarakatan, Hantu Itu Bernama Narkoba (Dari Penegak Hukum Menjadi
Terhukum), (Jakarta, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Nomor 46 Tahun XII Maret Tahun 2011). Hal 4.
5
Warga Binaan Pemasyarakatan agar mereka menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan banyaknya kasus yang mencuat belakangan ini, disinyalir Lapas atau Rutan tidak lagi steril dari narkoba.
Sasaran pembinaan narapidana perkara narkotika sebetulnya lebih
ditujukan kepada kelompok pemakai atau pecandu yang menjadi
korban kejahatan dari pemasok atau pengedar narkotika (bandar).
Oleh karena itu para terpidana setelah diketahui segala tentang
peradilan, maka pola pembinaan diserahkan kepada lembaga
pemasyarakatan di mana mereka menjalani masa hukuman.6
Dilihat dari pembinaan narapidana narkotika maka
pembinaan yang dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung
makna bahwa pembinaan yang dimaksud itu harus beroirentasi
kepada :7
a) Narapidana dan anak didik masing-masing yang bersangkutan dengan menganggapnya sebagai makluk individu, makluh sosial dan makluk Tuhan.
b) Dalam proses pembinaannya (proses pemasyarakatannya) melibatkan tiga unsur sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dari masyarakat mutlak diperlukan bantuannya (social
support), partisipasinya (social participation), pengawasannya
(social control) dan tanggung jawabnya (social responsibility).
6 Ibid. hal 76.
7 A.Widiada Gunakaya, S.A, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, (Bandung, CV.
Armico, Tahun 1988). Hal 127.
6
Dengan menjadikan masyarakat sebagai masyarakat pembina
terpenuhilah konsep atau ajaran, baik dalam kriminologi maupun
dalam penologi yang mengatakan bahwa :8
(1) Masyarakat itu sebenarnya merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan, baik struktural maupun non struktural.
(2) Pembinaan dan atau anak didik tidak akan banyak berhasil manakala hanya berusaha menghilangkan faktor-faktor penyebab yang ada pada diri narapidana dan atau anak didik masing – masing bersangkutan.
(3) Itulah masyarakat sebabnya maka faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan yan ada dalam masyarakat juga harus dihilangkan sambil mengajak untuk turut atau ambil bagian dalam pembinaan terhadap pelanggar hukum.
Pada dasarnya pembinaan narapidana narkotika tidak jauh
dengan pembinaan narapidana pada umumnya. Sehingga untuk
penanganannya memerlukan karekteristik pembinaan terhadap
para narapidana tindak pidana narkotika baik (pengguna, pengedar
dan Bandar). Untuk pengedar perlu pembinaan yang persuasive
untuk memutus hubungan dengan jaringannya.9
Jumlah narapidana kasus narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan berasal dari
wilayah Jawa terutama Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan
Rumah Tahanan Salemba Jakarta yang terdiri kasus-kasus
narkotika mulai dari Bandar /atau pengedar maupun pemakai dari
8 Ibid hal 127
9 Opcit. Warta Pemasyarakatan. Hal 7.
7
tahun 2001-2011 rata – rata pertahun mencapai sekitar 300
Narapidana.10
Bagaimanapun sempurna program pembinaan terhadap
narapidana kasus narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Besi Nusakambangan tetapi tidak diikuti oleh kualitas sumber daya
manusia para pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Besi
Nusakambangan maka pembinaan terhadap narapidana kasus
narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan tidak sesuai harapan.
Narapidana kasus narkotika terutama pengedar Internasional
yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan yang seharusnya dapat dibina oleh petugas
Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan tetapi dengan dapat melakukan transaksi
narkotika ke jaringannya.11 Narapidana narkotika yang seharusnya
tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum tetapi
melakukan perbuatan yang melanggar Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
B. Perumusan Masalah
Dilihat dari judul tesis tentang Karekteristik Pembinaan
Narapidana Narkotika (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Besi Nusakambangan maka pokok permasalahan yaitu :
10
Data dari Kepala Sub Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan, tanggal 31 Maret 2012.
11 Suara Merdeka, Hukum, (Semarang, Hari Senin Tanggal 28 November 2011). Hal 3
8
1. Bagaimana karekteristik Pembinaan narapidana narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan.?
2. Apa yang menjadi kendala dalam pembinaan narapidana
narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan.?
3. Bagaimana upaya mengatasi kendala-kendala pembinaan
narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Besi Nusakambangan.?
4. Bagaimana pembinaan narapidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan yang
diharapkan dimasa yang akan datang.?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian Karakteristik Pembinaan Narapidana Narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan bersifat
deskriptif analistis yaitu :
1. Untuk mengetahui karekteristik pembinaan narapidana narkotika
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan.
2. Untuk mengetahui kendala pembinaan narapidana narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan.
3. Untuk mengetahui upaya mengatasi kendala pembinaan
narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Besi Nusakambangan.
4. Untuk mengetahui pembinaan narapidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan yang
diharapkan dimasa yang akan datang.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Praktis.
Penelitian tentang karakteristik pembinaan narapidana narkotika
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan) dapat memberikan sumbangsih kepada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI pada umumnya
dan untuk kalangan Lembaga Pemasyarakatan pada
khususnya.
2. Secara Akademis.
Penelitian tentang Karekteristik Pembinaan Narapidana
Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan dapat memberikan pengetahuan untuk
kalangan akademisi khususnya program magister ilmu hukum
pidana Universitas Diponegoro Semarang.
E. Kerangka Pemikiran
Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia dalam
Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indisch(e)12 atau lebih
dikenal dengan kitab Undang - Undang Hukum Pidana, tepatnya
pada pasal 10 yang berbunyi ; Pidana terdiri dari atas ; (a) Pidana
Pokok terdiri dari Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan,
Pidana Denda, Pidana Tutupan. (b) Pidana Tambahan terdiri dari :
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,
12
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Cetakan X, Tahun 1978). Hal 6.
10
pengumuman putusan hakim. Sistem pidana penjara yang
melahirkan sistem kepenjaraan yang berdasarkan kepada
Reglement Penjara.13 Reglement penjara adalah aturan
pelaksanaan pidana penjara pada tahun 1917 mulai jaman
pendudukan Hindia Belanda sedangkan pada tahun 1964 pidana
penjara berubah menjadi sistem pemasyarakatan yang dicetuskan
oleh Sahardjo bahwa penjara atau lembaga pemasyarakatan
bukan tempat penyiksaan dan penjeraan bagi pelanggar hukum
tetapi untuk pembinaan terhadap para pelanggar hukum.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan
di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Penjelasan Umum Undang-
undang Pemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis filosofi
tentang pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
diyatakan bahwa :14
1. Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.
2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP) dan pranata khusus penentuan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45,46 dan 47 KUHP), namun pada
13
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, Tahun 2006). Hal 18.
14 Ibid. Hal 19.
11
dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga intitusi yang dipergunakan sebagi tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
3. Sistem pemenjaraan yang sangat menekan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendaki untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya. Sistem pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan
pidana hilang kemerdekaaan yang dilatar belakangi oleh maksud
dan tujuan penjatuhan pidana sebagai berikut : 15
Pelaksanaan sistem hilang kemerdekaan yang berlangsung
selama kurun waktu tertentu merupakan refleksi historis dalam
perkembangan falsafah peno koreksional dari masa ke masa.
Secara singkat dapat dikatakan sejarah pemasyarakatan
memuat value oriented atau value centered, karena sistem
pemasyarakatan itu sendiri konsisten dengan “sistem nilai”
yang berlaku di masyarakat.
Konsepsi Pemasyarakatan ini, bukan semata-mata
merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem
pembinaan, suatu methodology dalam bidang “Treatment of
Offender”. Sistem pemasyarakatan bersifat multilateral oriented,
dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang
ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada
15
Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membagun Manusia Mandiri), (Jakarta, Dirjen Pemasyarakatan, Tahun 2004). Hal 7.
12
ditengah-tengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan. Secara
singkat sistem pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidana
penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem
pidana hilang kemerdekaan. Pemasyarakatan adalah bagian dari
tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan
narapidana, anak negara dan bimbingan klien pemasyarakatan
yang dilaksanakan secara terpadu (dilaksanakan bersama-sama
dengan semua aparat penegak hukum).
Sistem pemasyarakatan dapat menggunakan pendekatan
sistem. Bahwa pengertian sistem pemasyarakatan dianalogikan
dengan bekerjanya sistem hukum. Sistem hukum dikemukakan
oleh Lawrence M Friedman, bahwa hukum itu merupakan
gabungan antara komponen struktur, substansi dan kultur sebagai
berikut :16
1. Komponen struktur.
yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu
sebagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat
bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan
terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2. Komponen substantif.
yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-
peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh
pihak yang mengatur maupun yang diatur.
3. Komponen kultural.
yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Lawrence M
16
Esmi P Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang, PT. Suryandaru Utama, Tahun 2005). Hal 30.
13
Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah
yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan
antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh
warga masyarakat.
Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama
pemasyarakatan, mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam
Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964
pembinaan narapidana dari sistem penjara menjadi sistem
pemasyarakatan. Sebelumnya Sahardjo telah terlebih dahulu
mengemukakan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana
itu, dalam pidato pengukuhannya sebagai Doctor Honoris Causa di
Istana Negara tanggal 15 Juli 1963.17
Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana
diperlukan landasan sistem pemasyarakatan yaitu : 18
Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari Negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan… Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.
17
Harsono. C.I, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta, Penerbit Djambatan, Tahun 1995). Hal 1.
18 Sahardjo, Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila, Pidato pengukuhan pada tanggal
03 Juli 1963 di Istana Negara, Universitas Indonesia, Hal 8 dan 15.
14
Jadi titik tolak pemikiran Sahardjo, bahwa bukan saja
masyarakat yang diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga
sebagai pelaku tindak pidana perlu diayomi dan diberikan
bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan agar berguna bagi dan di dalam
masyarakat. Pandangan lain yang menarik adalah 19
Bahwa tobat tidak dilakukan dengan penyiksaan, tetapi dengan
bimbingan. Sebab seorang narapidana telah kehilangan
kemerdekaan bergerak, tidak perlu ditambah lagi dengan
pidana penyiksaan atau bentuk lain, tetapi harus diberikan
bimbingan agar kalau tiba waktunya untuk kembali ke
masyarakat agar berguna bagi masyarakat.
Gagasan Sahardjo kemudian dirumuskan dalam
Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang Bandung, dalam
kesepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana.
Sepuluh prinsip pemasyarakatan sebagai berikut :20
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga Negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari Negara.
3. Rasa tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melakinkan dengan bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat seseoarang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelumnya ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
19
Opcit. Harsono, CI. Hal 3. 20
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Pemasyarakatan dalam Prospeksi Membangun Manusia Mandiri, (Jakarta, Ditjen Pas, Tahun 2001). Hal 5.
15
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau Negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan Negara.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan atas Pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan
sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu
hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Kesepuluh prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana
lebih dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Ada tiga
hal yang dapat ditarik dari kesepuluh prinsip pemasyarakatan yaitu
sebagai Tujuan, Proses dan Pelaksanaan pidana penjara di
Indonesia. Dalam usianya yang semakin dewasa, pemasyarakatan
baik sebagai tujuan, proses, pelaksanaan pidana maupun sebagai
disiplin ilmu, telah membuktikan kemandiriannya, sekaligus telah
membuktikan keberhasilan dan kegagalan.21
E.1. PROSES PEMASYARAKATAN
Pemasyarakatan adalah suatu proses terapi saat
narapidana masuk Lembaga Pemasyarakatan yang merasa tidak
harmonis dengan masyarakat sekitarnya. Sistem Pemasyarakatan
juga beranggapan bahwa hakikat perbuatan melanggar hukum oleh
warga binaan pemasyarakatan adalah cerminan dari adanya
keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara
yang bersangkutan dengan masyarakat disekitarnya.
21
Opcit. Harsono CI. Hal 3.
16
Berdasarkan kepada Surat Edaran Nomor : KP.10.13/3/1
tanggal 08 Pebruari 1965 tentang pemsayarakatan sebagai proses,
maka dapat dikemukan bahwa pembinaan narapidana, dewasa
dilaksanakan melalui empat tahap yang merupakan satu kesatuan
proses yang bersifat terpadu, sebagaimana yang akan diurakan
berikut ini :22
Tahap Pertama Pada tahap ini, setiap narapidana yang masuk ke
Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui
segala hal sesuatu mengenai dirinya, termasuk sebab-sebab ia
melakukan pelanggaran, dan segala keterangan tentang dirinya
yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya,
teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas
instansi lain yang telah menangani perkaranya.
Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal.
Kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan
untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan
kepribadian, dan kemandirian, waktunya dimulai pada saat yang
bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3
(sepertiga) dari masa hukuman pidananya. Pembinaan pada tahap
ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya dilaksanakan
secara maksimun.
Tahap Kedua
Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang
bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa
pidana yang sebenarnya, dan menurut pendapat Tim Pengamat
Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain
menunjukan keinsyafan, perbaikan, disiplin, dan patuh pada
peraturan tata tertib yang berlaku di Lapas, maka kepada
narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak
dan ditempatkan pada Lapas melalui pengawasan medium
security.
22
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara (Dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Menjadi
Manusia Mandiri), (Jakarta, Penerbit Teraju (PT Mizan Publika), Tahun 2008). Hal 130.
17
Tahap Ketiga
Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani
½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat
Pemasyarakatan telah mencapai cukup kemajuan, baik secara fisik
ataupun mental, dan juga segi ketrampilannya, maka wadah proses
pembinaannya diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya
terdiri dari dua bagian yaitu waktunya dimulai sejak berakhirnya
tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya.
Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dan
pengawasannya sudah memasuki tahap medium security.
Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan
pertama sampai dengan 2/3 masa hukuman pidananya. Dalam
tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan
selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas dengan pengawasan minimum security.
Tahap keempat
Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 dari masa
pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan.
Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan
berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang
dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan
berakhirnya masa hukuman dari narapidana yang bersangkutan.
Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi
syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat
dan pembinaannya dilakukan di luar Lapas oleh Bapas yang
kemudian disebut Pembimbing Klein Pemasyarakatan.
Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan
kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,
sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani
klien pemasyarakatan.
E.2. PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA
Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap
warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik, anak sipil,
anak negara, klien pemasyarakatan, dan tahanan) dilaksanakan
secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah selesai
18
menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat
menjadi warga masyarakat yang baik.
Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan
disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan Standard Minimum Rules (SMR)
yang tercermin dalam sepuluh prinsip pemasyarakatan. Pada
dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu
dilakukan oleh petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga
binaan pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat tercapai.23
Pembinaan narapidana ialah semua usaha yang ditujukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para
narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (intramural treatment).24
E.3. PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA
Narapidana narkotika baik pemasok/pedagang besar,
pengecer maupun pencandu/pemakai pada dasarnya adalah
merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang
melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan
warga Negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri
ini dari keterpurukan hampir di segala bidang. 25
Sasaran pembinaan narapidana narkotika lebih ditujukan
kepada kelompok pemakai/pecandu yang menjadi korban kejahatan
23 Ibid, hal 133.
24 Ibid. hal
25 Opcit. Moh. Taufik Makaro dkk. 2003. Hal 74.
19
dari para pemasok/pengedar narkotika tersebut. Oleh karena itulah
para terpidana setelah diketahui segala sesuatunya tentang proses
peradilan, maka pola pembinaannya diserahkan kepada lembaga
pemasyarakatan dimana mereka menjalani masa hukumannya.26
Pembinaan narapidana kasus narkotika meliputi beberapa unsur
antara lain :27
1. Mekanisme pembinaan yaitu prosedur, tata cara pembuatan, dan pelaksanaan program pembinaan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan.
2. Para pembina yakni mereka yang secara fungsional bertugas untuk melaksanakan program-program pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan tersebut.
3. Para terpidana ialah mereka yang terpidana karena penyalahgunakan narkotika.
Secara keseluruhan program pembinaan narapidana dapat dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu :
I. Program untuk mengembalikan kesehatan, baik fisik maupun psikologis. Yaitu bahwa lembaga pemasyarakatanmengatur waktu untuk mengadakan kegiatan seperti berkebun, bekerja ketrampilan, berolahraga, dan lain sebagainya
II. Program untuk penambahan wawasan pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum lainnya. Yaitu pembinaan yang dilakukan dengan mendengarkan ceramah yang diselenggarakan oleh petugas lembaga pemasyarakatan atau mengadakan pengajian baik yang beragama Islam, kerohanian bagi yang beragama Nasrani dan diskusi – diskusi baik berkelompok maupun perorangan.
Pembinaan narapidana narkotika perlu tindakan preventif
agar interaksi antara para terpidana yang ada dalam lembaga
26
Ibid hal 75. 27
Ibid. Hal 76
20
pemasyarakatan tidak mengarah pada interaksi yang cenderung
negatif yang mana para narapidana narkotika justru semakin
berminat untuk terus melakukan penyalahgunaan narkotika
termasuk melakukan tindak pidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan.28
Masalah penjara bila ditinjau dari karakteristiknya, menurut
Richard c, Mc corcle and Terance D, bila ditinjau dari karakteristik
penjara adalah tindakan agresif para tahanan dan narapidana pada
umumnya merupakan manipestasi dari adanya perasaan tertekan
dan teraniaya selama menjalani proses hukumannya di dalam
penjara. Oleh karena itu kondisi penjara yang terlalu penuh akan
dapat menambah perasaan tertekan dalam diri seseorang sehingga
retan mengalami berbagai penyimpangan perilaku.29
Penyimpangan perilaku para narapidana dan tahanan di dalam
penjara dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pembinaan
selama mereka menjalani pelaksanaan pidana penjara di Lembaga
Pemasyarakatan.
Menurut Barda Nawawi Arief mengenai efektivitas pidana
penjara yaitu : Kritik terhadap pidana penjara banyak dilontarkan
yang pada umumnya menyatakan bahwa pidana penjara tidak
hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan tetapi juga
28 Ibid. hal 76 29
Richard c, Mc Corcle, Terance D, Mithe and Kriss A Drass; Crime and Delinguency, (Vol
41 A, New York: Devisilition of Sage Publication, Inc, 1995). Hal.13.
21
menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Dengan
terampasnya kemerdekaan seorang juga berarti terampasnya
kemerdekaan berusaha dari orang itu yang mempunyai akibat
serius bagi kehidupan sosial ekonomi keluarganya. Terlebih pidana
penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus
walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan.30
Selanjutnya dikemukakan bahwa upaya pembinaan dalam
sistem pemasyarakatan akan dapat terlaksana dengan baik, jika
sepuluh prinsip pemasyarakatan akan dapat terlaksana dengan
baik, jika sepuluh prinsip-prinsip pemasyarakatan dijadikan sebagai
pedoman dalam mencapai tujuan pemasyarakatan. Kesepuluh
prinsip dalam pembinaan dan bimbingan bagi Tahanan dan
Narapidana tersebut. Berpedoman pada sepuluh prinsip-prinsip
pemasyarakatan tersebut, idealnya Lembaga Pemasyarakatan atau
Rumah Tahanan Negara sebagai institusi atau tempat pelaksanaan
eksekusi pidana dapat memberikan jaminan perlindungan dan Hak
Asasi Manusia para tahanan atau narapidana.
Secara Konsepsi sistem Pemasyarakatan menurut Harsono
yaitu : 31
“Sangat berbeda dengan konsepsi sistem pemenjaraan dimana
dalam sistem pemasyarakatan seorang Tahanan atau
30
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang, CV. Ananta, Tahun 1994). Hal 47-48.
31 Opcit, Harsono, HS, C.I. Hal 2.
22
Narapidana diperlakukan sebagai subyek. Sementara dalam
sistem pemenjaraan seorang tahanan atau narapidana lebih
dipandang sebagai obyek semata.
Dengan demikian sistem pemasyarakatan yang secara historisnya
diperuntukan terhadap penyempurnaan sistem pemenjaraan yang
sangat menganut asas bahwa seburuk apapun tindak kejahatan
atau pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang tahanan atau
narapidana ataupun yang disebut anak didik pemasyarakatan.
Warga Binaan Pemasyarakatan terdiri dari Narapidana, Anak
Negara, klien Pemasyarakatan dan Tahanan Rutan.32 Narapidana
yang dibatasi kemerdekaannya dan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan. Pembinaan narapidana ialah semua usaha yang
ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi
pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada di dalam
Lembaga Pemasyarakatan (intramural treatment).33
Narapidana tetap layak dipandang dan diperlakukan serta
dihargai keberadaannya sebagai satu pribadi atau sebagai bahan
yang tidak terpisahkan dari warga Negara. Dengan demikian
sebagai manusia (subyek), maka seorang tahanan dan narapidana
perlu dibimbing dan dibina melalui pendidikan dan upaya
rehabilitatif serta integrasi. Proses pembinaan inilah yang menjadi
titik fokus dan metode yang diterapkan dalam pemasyarakatan
32
Opcit, Adi Sujatno. Hal 132. 33
Ibid. hal 132.
23
sebagai upaya dalam memperkecil terjadinya tindak kejahatan
kembali.
Dalam perkembangan pembinaan pelaku kejahatan secara
„teurapetik” psikologis tampak mengalami perubahan yang berarti :
“Hal ini terjadi berkembang karena pada sisi makin
berkembangnya tuntutan perlindungan HAM bagi narapidana
dan pada sisi lain, terjadi pendekatan yang keliru dan tidak
manusiawi dalam praktek-praktek pemahaman terhadap kondisi
psikis narapidana (dalam rangka pembinaan kejiwaannya)”. 34
Untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan, untuk
mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga
yang baik, melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya tindak pidananya. Untuk mengantisipasi permasalahan
yang timbul maka perlu penataan baik di bidang administratif
fasilitatif maupun teknis substantif.35 Untuk mencapai tujuan
tersebut maka diperlukan manajemen dan pengorganisasian yang
baik di Lembaga Pemasyarakatan.
Menurut George R Terry manajemen adalah suatu proses
atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau pengarahan
suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional
atau maksud-maksud yang nyata. Menurut George R Terry
manajemen mempunyai fungsi antara lain : 36
34
Paulus Hadisuprapto, Pembinaan Narapidana Manusiawi : Tantangan Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, (Jakarta, Jurnal Kriminologi Indonesia Universitas Indonesia, Tahun
2002). 35
Opcit, Adi Sujatno, Hal 22 36
Brantas, Dasar-dasar Manajemen, Alfabeta Bandung, 2009, hal 56
24
1. Perencanaan (Planning) Perencanaan adalah memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan dating dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
2. Pengorganisasian (Organizing) Mengorganisasikan adalah proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang dan sumber daya di antara anggota organisasi, sehingga mereka dapat mencapai sasaran organisasi.
3. Penggerakan (Actuating) Penggerakan adalah membuat semua anggota kelompok agar mau bekerja sama dan bekerja secara iklas serta bergairah untuk mencapai sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha pengorganisasian.
4. Pengawasan (Controlling) Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Besi berdiri pada tahun
1927 dan pada tahun 2001 menjadi Lembaga Pemasyarakatan
percontohan untuk lembaga pemasyarakatan khusus narkotika di
wilayah Jawa Tengah. Dan pada tahun 2003 dinaikan menjadi
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan dan
menjadi Pilot Plan yaitu sebagai Lembaga Pemasyarakatan
percontohan mengenai lapas narkotika di Indonesia.37
37
Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah, Surat Edaran, Nomor W9.Egg.PK.04.10-566 tangal 10 Pebruari 2001.
25
Kemudian bedasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.75.PR.09-02 tahun 2001
tanggal 31 Desember 2001 di lingkungan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan telah dibentuk direktorat baru yaitu Direktorat Bina
Khusus Narkotika yang kemudian disusul dengan Surat Edaran
tentang Lembaga Pemasyarakatan khusus narapidana narkotika
Nomor : E.PK.04.10-33 Tanggal 6 Mei 2002 bahwa penempatan
narapidana khusus narkotika agar disatukan didalam blok serta
tidak dicampur dengan narapidana.
Untuk mencapai tujuan organisasi maka harus ada kerja
sama diantara semua bagian yang ada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan seperti yang tercantum dalam struktur organisasi
Lapas Kelas IIA Besi Nusakambangan.38 Pembinaan terhadap
narapidana kasus narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Besi banyak melibatkan beberapa seksi terutama seksi pembinaan
dan seksi kegiatan kerja. Pelaksanaan pembinaan melibatkan
seluruh petugas pemasyarakatan. Pada dasarnya arah pelayanan,
pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan oleh petugas ialah
memperbaiki tingkah laku warga binaan pemasyarakatan agar
tujuan pembinaan dapat tercapai. Ruang lingkup pembinaan dapat
dibagi ke dalam dua bidang yaitu :
38
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Surat Edaran, Nomor 04.PR.07.03 Tahun 2003.
26
1. Pembinaan kepribadian
a. Pembinaan kesadaran (kesadaran beragama).
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara.
c. Pembianaan kemampuan intelektual (kecerdasan).
d. Pembinaan kesadaran hukum.
e. Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan.
2. Pembinaan kemandirian
Pembinaan kemandirian meliputi pembinaan yang berupa
ketrampilan dapat mendukung usaha-usaha mandiri.
Berangkat dan fakta tersebut penelitian ini berusaha untuk
mengatahui pembinaan narapidana kasus narkoba yang telah
dilaksanakan dan sekaligus mengajukan model yang tepat untuk
dilaksanakan dalam rangka pembinaan narapidana kasus narkoba.
Pelaksanaan pembaharuan sistem penjara dengan menggunakan
sistem pemasyarakatan dalam arti proses pemasyarakatan
mengharapkan hasil keluaran yang maksimal yaitu dengan
mengoptimalkan seluruh kegiatan untuk memperoleh hasil yang
maksimal (environmental process).
Pembinaan narapidana menggunakan konsep
pemasyarakatan untuk mencapai tujuan pemasyarakatan. Karena
konsep pemasyarakatan adalah proses penjatuhan pelaksanan
pidana yang bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam
belaka, tetapi yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan
pengayoman kepada narapidana agar menjadi manusia yang
27
berguna di masyarakat dan tidak mengulangi lagi tindak pidana
serta menjadi anggota masyarakat yang baik.
Karakteristik pembinaan narapidana kasus narkotika secara
umum tidak jauh berbeda dengan pembinaan pada umumnya yang
bertujuan agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya
sebagaimana yang telah menjadi arah pembangunan nasional
melalui jalur pendekatan :39
a. Memantapkan iman (ketahanan mental) para narapidana. b. Membina narapidana agar mampu berintegrasi secara
wajar di dalam kehidupan kelompok selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidana
Secara khusus pembinaan narapidana ditujukan agar
selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalanani masa
pidananya :
1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya.
2. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.
3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan perilakunya yang tertib disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial.
4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan Negara.
Pembinaan yang diberikan dimaksud sebagai kegiatan untuk
menghindari pemikiran-pemikiran yang negatif bagi narapidana
narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan seperti melarikan diri
39
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan,
Tahun 1990. Cetakan I. Hal
28
dan melakukan transaksi narkotika yang melanggar hukum yang
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Tindak pidana narkotika. Dengan pembinaan, pembimbingan dan
pendidikan terhadap para narapidana kasus narkotika akan
tercapai manusia yang berguna bagi bangsa dan Negara.
F. Metode Penelitian
F.1 Pendekatan Masalah
Penelitian hukum ada dua yaitu penelitian hukum normatif
dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Hal tersebut sesuai
dengan apa yang dikemukan oleh Soerjono Soekanto bahwa : 40
Penelitian hukum itu berdasarkan tujuannya terdiri atas pertama; penelitian hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. Kedua; penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian
karekteristik pembinaan narapidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan dengan
pendekatan yuridis empiris/sosiologis menggunakan pendekatan
kualitatif yang dipentingkan adalah kualitas data, artinya peneliti
40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia-Press, Tahun 2010). Hal 51.
29
melakukan analitis terhadap data - data atau bahan – bahan
hukum yang berkualitas.41
Penelitian karakteristik pembinaan narapidana narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan yang
menggunakan metode analitis kualitatif bertujuan mengetahui dan
upaya mengatasi kendala dalam karakteristik pembinaan
narapidana kasus narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIA Besi Nusakambangan.42
F.2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian penelitian karekteristik
pembinaan narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Besi Nusakambangan menggunakan spesifikasi
penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan
untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan sistematis
mengenai keadaan atau fakta yang ada terhadap permasalahan
yang diteliti.43
Menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian hukum tipe
perencanaan terutama penelitian hukum sosiologis atau empiris
misalnya meneliti taraf kesadaran hukum dengan perencanaan
penelitian case study yang diterapkan pada data sekunder seperti
penelitian terhadap penerapan pembinaan narapidana yang diatur
41
Mukti Fajar ND dkk, Dualisme Penelitian Hukum NORMATIF&EMPIRIS, (Yogyakarta,
Pustka Pelajar, Tahun 2010). Hal 192. 42
Ibid. 192. 43
Opcit, Soerjono Soekanto, hal 55.
30
oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakataan.
Tujuan penelitian karakteristik pembinaan narapidana
narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan adalah menggambarkan karekteristik pembinaan
narapidana kasus narkotika dan bagaiamana upaya mengatasi
kendala pembinaan narapidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi.44
F.3 Jenis Data
a. Data primer
Sumber data primer dalam penelitian pelaksanaan pembinaan
narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Besi Nusakambangan peneliti menggunakan pengambilan
data langsung di lapangan untuk mencari kebenaran dalam
pengambilan data dengan menggunakan teknik wawancara
atau kuesioner terhadap para petugas atau pejabat yang
berkompeten dalam pembinaan narapidana narkotika maupun
pihak yang melaksanakan pembinaan khususnya pembinaan
kepribadian dan pembinaan kemandirian di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan.45
44
Ibid hal 55. 45
Opcit, Mukti Fajar, hal 280.
31
b. Data sekunder
Sumber data sekunder yaitu berupa peraturan-peraturan dan
buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
pokok permasalahan yang diteliti. Data sekunder pada
penelitian ini mengambil bahan-bahan buku perpustakaan
terutama buku tentang pembinaan narapidana umum maupun
narapidana narkotika.46
F.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Data primer
Data primer ini diperoleh melalui wawancara secara
langsung dengan responden dan penyebaran questioner
kepada responden. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik
wawancara, yang dimaksud wawancara adalah melakukan
Tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan
responden atau narasumber atau informan untuk
mendapatkan informasi.47
Ketiga teknik tersebut adalah wawancara, angket atau
kuesioner dan observasi. Ketiga teknik tersebut tidak
menunjukkan bahwa teknik yang satu lebih unggul atau lebih
46
Ibid, hal 280. 47
Ibid hal 161.
32
baik dari yang lain, masing-masing mempunyai kelemahan
dan keunggulan48.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan mempelajari
dokumen-dokumen dan buku-buku yang berhubungan
dengan materi penelitian. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian hukum empiris terdapat 3 (tiga) teknik yang dapat
digunakan, baik digunakan secara sendiri-sendiri atau
terpisah maupun digunakan secara bersama-sama sekaligus.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan teknik wawancara, yang
dimaksud Wawancara adalah melakukan Tanya jawab secara
langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber
atau informan untuk mendapatkan informasi.49
c. Populasi
Populasi atau universe adalah sejumlah masusia atau
unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama.50
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa populasi dapat
berujud sejumlah manusia atau sesuatu, seperti kurikulum,
kemampuan manajemen, alat-lat mengajar, cara
48
Ibid , hal 160. 49
Ibid hal 161 50
Opcit. Soerjono Soekanto. hal 172.
33
pengadministrasian, kepemimpinan dana lain-lain. Penentuan
populasi harus singkron dengan topik penelitian.51
Topik penelitian ini adalah karekteristik pembinaan
narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Besi Nusakambangan adalah narapidana kasus narkotika
yang sudah melaksanaan pembinaan dan petugas yang
menjadi pembina narapidana narkotika yaitu 51 orang
narapidana yang masih menggunakan narkotika dan petugas
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Besi Nusakambangan
yang secara langsung melaksanakan pembinaan terhadap
narapidana kasus narkotika adalah 58 orang petugas. 52
d. Sampel
Sampel adalah contoh dari suatu populasi atau sub
populasi yang cukup besar jumlahnya dan sampel harus dapat
mewakili populasi atau sub populasi.53 Sampel dalam
penelitian ini adalah ¼ x 51 orang narapidana Lembaga
pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan adalah 14
narapidana yang menjadi sampel.
Sampel petugas yang melaksanakan pembinaan
narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Besi Nusakambangan adalah petugas seksi Bimbingan
51
Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum, (Jakarta, PT Ghalia Indonesia,
Tahun 1983). Hal 46. 52
Data Kepala Sub Registrasi Lapas Besi, Bulan November 2011. 53
Opcit, Mukti Fajar ND, hal 172.
34
Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan adalah 13 (tiga belas ) petugas yang secara
langsung melaksanakan pembinaan kepribadian dan
pembinaan kemandirian. Pejabat Struktural baik Kepala
Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Seksi Binadik, Kepala
Seksi kegiatan Kerja dan staf – staf yang langsung
berkompoten dalam pembinaan narapidana kasus narkotika.
Pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian
dalam pembinaan narapidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan dengan
melibatkan proses pembinaan dalam untuk pembinaan
kepribadian meliputi bidang kerohanian (agama dan
kepribadian berbangsa dan bernegara). Pembinaan
kemandirian meliputi pembinaan yang bersifat ketrampilan
untuk bekal hidup setelah selesai menjalani pidana.
e. Teknik Sampling
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penerapan
“Non probability sampling” yaitu tata cara sampling dengan
mempertimbangkan paling sedikit tiga faktor yaitu besarnya
populasi, biaya serta faktor yang mempengaruhi kelancaran
untuk memperoleh data yang diperlukan. Populasi yang ditelti
lebih kecil tanpa menarik sampel dengan menerapkan “case
study” terhadap jumlah narapidana yang masih menggunakan
35
narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan.54
Dengan menggunakan metode judgmental atau
purposive sampling menurut Soerjono Soekanto yaitu :55
1. Tata cara ini mengikuti suatu seleksi secara random, sehingga lebih mudah dan tidak banyak menelan biaya. Kadang-kadang tata cara ini disamakan dengan quota sampling; perbedaannya adalah antara lain, bahwa pada tata cara ini peneliti lebih banyak menaruh perhatian pada unsur-unsur yang harus masuk didalam sample yang ditariknya.
2. Tata cara ini menjamin keinginan peneliti, untuk memasukkan unsur - unsur yang mempengaruhi karekteristik pembinaan narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Besi Nusakambangan.
F.5. Metode Analisis Data
Dalam penelitian karekteristik pembinaan narapidana
narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakmbangan dalam metode analisis data yang digunakan
adalah analisis data kualitatif dan kuantitatif. Bahwa dengan
menggunakan metode kualitatif menurut Soerjono Soekanto
yaitu :56
Suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-
analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara
tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
54
Opcit, Soerjono Soekanto. Hal 173. 55
Ibid. hal 183. 56
Ibid. hal 250.
36
Pada dasarnya pengolahan, analisa dan konstruksi data
dapat dilakukan secara kualitatif dan / atau kuantitatif.57 Kadang-
kadang penyajian hasil-hasil penelitian (sebagai hasil pengolahan
data) disatukan dengan analisa data. Dalam hal ini tidak ada suatu
kemutlakan untuk menekankan pada salah satu cara.58
Ada pendapat yang menyatakan bahwa pengolahan,
analisa dan konstruksi data sekunder biasanya dilakukan secara
kualitatif belaka sedangkan penangannya pada data primer
dilakukan secara kuantitatif belaka, pernyataan itu tidak
seluruhnya benar, oleh karena pengolahan, analisa, konstruksi
data dapat dilakukan secara kuantitatif dan / atau secara
kualitatif.59
Menurut Sugiyono penelitian secara kuantitatif pada
umumnya dilakukan pada sampel yang diambil secara random,
sehingga kesimpulan hasil penelitian dapat digeneralisasikan
pada populasi dimana sampel diambil. Sedangkan penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan),
analisa data bersifat induktif.60
57
Ibid, hal 68. 58
Ibid, hal 69. 59
Ibid, hal 69 60
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung, Alfabeta, Tahun 2010). Hal 8.
37
G. Sistematika Penulisan
Bab I : Latar belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan
Bab II : Tinjauan Pustaka
A. Sistem Pemasyarakatan.
A.I Teori Pembinaan Narapidana
A.II Proses Pembinaan Narapidana
B. Pembinaan Narapidana Narkotika.
C. Teori Manajemen (POAC).
Bab III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian berisi data-data Pembinaan
Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Besi Nusakmbangan.
B. Pembahasan
B.I Karakteristik Pembinaan Narapidana Narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Besi
Nusakambangan.
B.II Kendala –Kendala dalam Pembinaan Narapidana
Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Besi Nusakambangan
B.III Upaya untuk mengatasi kendala Pembinaan
Narapidana Narkotika
B.IV Pembinaan Narapidana Narkotika Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi di Masa yang
Akan datang
Bab IV : Penutup
Berisi Simpulan dan Saran
38
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. SISTEM PEMASYARAKATAN
Pelaksanaan pidana penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
Penjelasan Umum Undang-undang Pemasyarakatan yang
merupakan dasar yuridis filosofi tentang pelaksanaan sistem
pemasyarakatan di Indonesia diyatakan bahwa :61
1. Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.
2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP) dan pranata khusus penentuan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45,46 dan 47 KUHP), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga intitusi yang dipergunakan sebagi tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
3. Sistem pemenjaraan yang sangat menekan pada unsur
balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi
61
Opcit. Dwidja Priyatno. Hal 19.
37
39
berkehendaki untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya.
Sistem pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan
pidana hilang kemerdekaaan yang dilatar belakangi oleh maksud
dan tujuan penjatuhan pidana. Pelaksanaan sistem hilang
kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu
merupakan refleksi historis dalam perkembangan falsafah peno
koreksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat dikatakan
sejarah pemasyarakatan memuat value oriented atau value
centered, karena Sistem Pemasyarakatan itu sendiri konsisten
dengan “sistem nilai” yang berlaku di masyarakat.62
Sistem pemasyarakatan dapat menggunakan pendekatan
sistem. Bahwa sistem pemasyarakatan dapat diartikan dengan
bekerjanya sistem hukum. Sistem hukum dikemukakan oleh
Lawrence M Friedman, bahwa hukum itu merupakan gabungan
antara komponen struktur, substansi dan kultur :63
1. Komponen struktur.
yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu
sebagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat
bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan
terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2. Komponen substantif.
yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-
peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh
pihak yang mengatur maupun yang diatur.
62
Loc cit. Adi Sujatno. Hal 7. 63
Loc cit, Esmi P Warassih. Hal 30.
40
3. Komponen kultural.
yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Lawrence M
Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah
yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan
antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh
warga masyarakat.
Karakteristik pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan
menurut Richard c, Mc corcle and Terance D yaitu :64
“Tindakan agresif para tahanan dan narapidana pada umumnya
merupakan manipestasi dari adanya perasaan tertekan dan
teraniaya selama menjalani proses hukumannya di dalam
penjara. Oleh karena itu kondisi penjara yang terlalu penuh
akan dapat menambah perasaan tertekan dalam diri seseorang
sehingga retan mengalami berbagai penyimpangan perilaku.
Penyimpangan perilaku para narapidana dan tahanan di dalam
penjara dapat menimbulkan dampak negatif terhadap efektifitas
pembinaan selama mereka menjalani pidana penjara di Lembaga
Pemasyarakatan.
Menurut Barda Nawawi Arief mengenai efektivitas pidana
penjara yaitu : 65
Pelaksanaan pidana penjara banyak dilontarkan yang pada
umumnya menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya
mengakibatkan perampasan kemerdekaan tetapi juga
menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.
Dengan terampasnya kemerdekaan seorang juga berarti
terampasnya kemerdekaan berusaha dari orang itu yang
64
Loc cit, Richard c, Mc Corcle, Terance D, Mithe and Kriss A Drass. 65
Loc cit, Barda Nawawi Arief.
41
mempunyai akibat serius bagi kehidupan sosial ekonomi
keluarganya. Terlebih pidana penjara dapat memberikan stigma
yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi
melakukan kejahatan.
Secara Konsepsi sistem Pemasyarakatan menurut Harsono
yaitu : “Sangat berbeda dengan konsepsi sistem pemenjaraan,
dimana dalam sistem pemasyarakatan seorang Tahanan atau
Narapidana diperlakukan sebagai subyek”. 66 Sementara dalam
sistem pemenjaraan seorang tahanan atau narapidana lebih
dipandang sebagai obyek semata. Dengan demikian sistem
pemasyarakatan yang secara historisnya diperuntukan terhadap
penyempurnaan sistem pemenjaraan yang sangat menganut asas
bahwa seburuk apapun tindak kejahatan atau pelanggaran hukum
yang dilakukan seseorang tahanan atau narapidana ataupun yang
disebut anak didik pemasyarakatan.
Warga Binaan Pemasyarakatan terdiri dari Narapidana, Anak
Negara, klien Pemasyarakatan dan Tahanan Rutan.67 Narapidana
yang dibatasi kemerdekaannya dan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan. Pembinaan narapidana ialah semua usaha yang
ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi
66
Opcit, Harsono, HS, C.I. Hal 2. 67
Opcit, Adi Sujatno. Hal 132.
42
pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada di dalam
Lembaga Pemasyarakatan (intramural treatment).68
Narapidana tetap layak dipandang dan diperlakukan serta
dihargai keberadaannya sebagai satu pribadi atau sebagai bahan
yang tidak terpisahkan dari warga Negara. Dengan demikian
sebagai manusia (subyek), maka seorang tahanan dan narapidana
perlu dibimbing dan dibina melalui pendidikan dan upaya
rehabilitatif serta integrasi. Proses pembinaan inilah yang menjadi
titik fokus dan metode yang diterapkan dalam pemasyarakatan
sebagai upaya dalam memperkecil terjadinya tindak kejahatan
kembali.
A.I Teori Pembinaan Narapidana
Konsepsi Pemasyarakatan bukan semata-mata merumuskan
tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan,
suatu methodology dalam bidang “Treatment of Offender”. Sistem
pemasyarakatan bersifat multilateral oriented, dengan pendekatan
yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik pada individu
yang bersangkutan maupun yang ada ditengah-tengah masyarakat,
sebagai suatu keseluruhan. Secara singkat sistem pemasyarakatan
adalah konsekuensi adanya pidana penjara yang merupakan
bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang
kemerdekaan.
68
Ibid. hal 132.
43
Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama
pemasyarakatan, mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam
Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964
pembinaan narapidana dari sistem penjara menjadi sistem
pemasyarakatan. Sebelumnya Sahardjo telah terlebih dahulu
mengemukakan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana
dalam pidato pengukuhannya sebagai Doctor Honoris Causa di
Istana Negara tanggal 15 Juli 1963.69
Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana
diperlukan landasan sistem pemasyarakatan yaitu : 70
Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari Negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan… Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.
Jadi titik tolak pemikiran Sahardjo bahwa bukan saja
masyarakat yang diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga
sebagai 71
“Pelaku tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan
sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari Lembaga
69
Opcit. Harsono. C.I. Hal 1. 70
Opcit. Sahardjo. Hal 8 dan 15. 71
Opcit. Harsono. Hal 3.
44
Pemasyarakatan agar berguna bagi dan di dalam masyarakat.
Pandangan lain yang menarik adalah bahwa tobat tidak
dilakukan dengan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan.”
Sebab seorang narapidana telah kehilangan kemerdekaan
bergerak, tidak perlu ditambah lagi dengan pidana penyiksaan atau
bentuk lain, tetapi harus diberikan bimbingan agar kalau tiba
waktunya untuk kembali ke masyarakat agar berguna bagi
masyarakat.
Gagasan Sahardjo kemudian dirumuskan dalam konferensi
Dinas Kepenjaraan di Lembang Bandung, dalam kesepuluh prinsip
pembinaan dan bimbingan bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk
bimbingan dan pembinaan sebagai berikut :72
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga Negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari Negara. Ini berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik pada umumnya, baik berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana dan anak didik hanya dibatasi kemerdekaannya untuk leluasa bergerak di dalam masyarakat bebas.73
3. Rasa tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melakinkan dengan bimbingan yaitu berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kegiatan – kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.74
72
Opcit. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Hal 5. 73
Ibid, Hal 14. 74
Ibid. hal 14.
45
4. Negara tidak berhak membuat seseoarang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelumnya ia masuk lembaga. Salah satu cara diantaranya agar tidak mencampur-baurkan narapidana dengan anak didik, yang melakukan tindak pidana berat dengan yang ringan dan sebagainya.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Perlu adanya kontak dengan masyarakat yang terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke Lapas dan Rutan/Cabrutan oleh anggota-anggota masyarakat bebas dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarganya.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau Negara saja. Yaitu pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan Negara. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi keperluan jawaban atau kepentingan Negara kecuali paada waktu tertentu saja. Pekerjaan yang terdapat di masyarakat, dan yang menunjang pembangunan, seperti meningkatkan industry kecil dan produksi pangan.75
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan atas Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan semangat kekeluargaan ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping meningkatkan pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai dorongan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan agama yang dianutnya.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.
10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
75
Ibid hal 15
46
Kesepuluh prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana
lebih dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Ada tiga
hal yang dapat ditarik dari kesepuluh prinsip pemasyarakatan yaitu
sebagai Tujuan, Proses dan Pelaksanaan pidana penjara di
Indonesia. Dalam usianya yang semakin dewasa, pemasyarakatan
baik sebagai tujuan, proses, pelaksanaan pidana maupun sebagai
disiplin ilmu, telah membuktikan kemandiriannya, sekaligus telah
membuktikan keberhasilan dan kegagalan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa upaya pembinaan dalam
sistem pemasyarakatan akan dapat terlaksana dengan baik, jika
sepuluh prinsip pemasyarakatan pedoman dalam mencapai tujuan
pemasyarakatan. Kesepuluh prinsip dalam pembinaan dan
bimbingan bagi Tahanan dan Narapidana tersebut. Berpedoman
pada sepuluh prinsip-prinsip pemasyarakatan tersebut, idealnya
Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara sebagai
institusi atau tempat pelaksanaan eksekusi pidana dapat
memberikan jaminan perlindungan dan Hak Asasi Manusia para
tahanan atau narapidana.
Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap
warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik, anak sipil,
anak negara, klien pemasyarakatan, dan tahanan) dilaksanakan
secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah selesai
47
menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat
menjadi warga masyarakat yang baik.
Dalam perkembangan pembinaan pelaku kejahatan
secara „teurapetik” psikologis tampak mengalami perubahan yang
berarti perkembangan pembinaan pelaku kejahatan ini merupakan
tuntutan perlindungan HAM bagi narapidana dan pada sisi lain,
terjadi pendekatan yang keliru dan tidak manusiawi dalam praktek-
praktek pemahaman terhadap kondisi psikis narapidana (dalam
rangka pembinaan kejiwaannya). 76
A.II Proses Pembinaan Narapidana
Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan
disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan Standard Minimum Rules (SMR)
yang tercermin dalam sepuluh prinsip pemasyarakatan. Pada
dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu
dilakukan oleh petugas ialah 77
“Memperbaiki tingkah laku warga binaan pemasyarakatan
agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Pembinaan
narapidana ialah semua usaha yang ditujukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para
narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (intramural treatment).
76
Opcit. Paulus Hadisuprapto. Hal 4. 77
Ibid. hal
48
Proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan dilakukan
di Lapas sesuai dengan Pasal 6 (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan.
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan
azaz sebagai berikut :78
a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan; d. Pembimbingan; e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan; dan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
keluarga dan orang-oang tertentu. Berdasarkan kepada Surat Edaran Nomor : KP.10.13/3/1
tanggal 08 Pebruari 1965 tentang pemasyarakatan sebsagai
proses, maka dapat dikemukan bahwa pembinaan narapidana
dilaksanakan melalui empat tahap yang merupakan satu kesatuan
proses yang bersifat terpadu, sebagaimana yang akan diurakan
berikut ini :79
I. Tahap Pertama
Pada tahap ini, setiap narapidana yang masuk ke
Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk
mengetahui segala hal sesuatu mengenai dirinya, termasuk
sebab-sebab ia melakukan pelanggaran, dan segala
keterangan tentang dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga,
78
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Republik Indonesia. Hal 4.
79 Opcit. Adi Sujatno Hal 130.
49
bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari
perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah
menangani perkaranya.
Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal.
Kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan
lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan
program pembinaan kepribadian, dan kemandirian, waktunya
dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai
narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa hukuman
pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam
Lapas dan pengawasannya dilaksanakan secara maksimun.
II. Tahap Kedua
Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang
bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa
pidana yang sebenarnya, dan menurut pendapat Tim
Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan,
antara lain menunjukan keinsyafan, perbaikan, disiplin, dan
patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lapas, maka
kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan
lebih banyak dan ditempatkan pada Lapas melalui pengawasan
medium security.
III. Tahap Ketiga.
Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani
½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim
Pengamat Pemasyarakatan telah mencapai cukup kemajuan,
baik secara fisik ataupun mental, dan juga segi
ketrampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas
dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian
yaitu waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai
dengan ½ (setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini
pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dan
pengawasannya sudah memasuki tahap medium security.
Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan
pertama sampai dengan 2/3 masa hukuman pidananya.
Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap
asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan
50
bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan
minimum security.
IV. Tahap Keempat
Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa hukuman dari narapidana yang bersangkutan.
Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar Lapas oleh Bapas yang kemudian disebut Pembimbing Klein Pemasyarakatan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan
B. PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA
Narapidana narkotika baik pemasok/pedagang besar,
pengecer, maupun pencandu / atau pemakai pada dasarnya
adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana
narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu
semua merupakan warga Negara Indonesia yang diharapkan
dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala
bidang.80
Sasaran pembinaan narapidana narkotika lebih ditujukan
kepada kelompok pemakai /atau pecandu yang menjadi korban
kejahatan dari para pemasok/pengedar narkotika tersebut. Oleh
80
Opcit, Moh. Taufik Makaro. Hal 74.
51
karena itulah para terpidana setelah diketahui segala sesuatunya
tentang proses peradilan, maka pola pembinaannya diserahkan
kepada lembaga pemasyarakatan dimana mereka menjalani masa
hukumannya.81 Pembinaan narapidana kasus narkotika meliputi
beberapa unsur antara lain : 82
1. Mekanisme pembinaan yaitu prosedur, tata cara pembuatan, dan pelaksanaan program pembinaan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan.
2. Para pembina yakni mereka yang secara fungsional bertugas untuk melaksanakan program-program pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan tersebut.
3. Para terpidana ialah mereka yang terpidana karena penyalahgunakan narkotika.
Secara keseluruhan program pembinaan narapidana dapat
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
I. Program untuk mengembalikan kesehatan, baik fisik maupun psikologis yaitu bahwa lembaga pemasyarakatanmengatur waktu untuk mengadakan kegiatan seperti berkebun, bekerja ketrampilan, berolahraga, dan lain sebagainya.
II. Program untuk penambahan wawasan pengetahuan, baik
pengetahuan agama maupun pengetahuan umum lainnya yaitu pembinaan yang dilakukan dengan mendengarkan ceramah yang diselenggarakan oleh petugas lembaga pemasyarakatan atau mengadakan pengajian baik yang beragama Islam, kerohanian bagi yang beragama Nasrani dan diskusi – diskusi baik berkelompok maupun perorangan.
Pembinaan narapidana narkotika memperlukan tindakan preventif
agar interaksi antara para terpidana yang ada dalam lembaga
pemasyarakatan tidak mengarah pada interaksi yang cenderung
81
Ibid hal 75. 82
Ibid. Hal 76
52
negatif yang mana para narapidana narkotika justru semakin
berminat untuk terus melakukan penyalahgunaan narkotika
termasuk melakukan tindak pidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan.83
Untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan, untuk
mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga
yang baik, melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya tindak pidananya. Untuk mengantisipasi permasalahan
yang timbul maka perlu penataan baik di bidang administratisi
fasilitatif maupun teknis substantif.84 Untuk mencapai tujuan
pembinaan narapidana narkotika maka diperlukan manajemen dan
pengorganisasian yang baik di Lembaga Pemasyarakatan.
C. PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA
Pelaksaanaan pembinaan narapidana narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Besi Nusakambangan melibatkan
komponen baik petugas pemasyarakatan, narapidana narkotika
dan pihak – pihak dalam melaksanakan pembinaan baik tujuan,
sasaran dan hasil yang dicapai menggunakan pendekatan
manajemen. Menurut George R Terry manajemen adalah suatu
proses atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau
pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan
83
Ibid. Hal 76. 84
Opcit, Adi Sujatno, Hal 22
53
organisasional atau maksud-maksud yang nyata. Sedangkan teori
manajemen menurut George R Terry mempunyai fungsi yaitu : 85
1. Perencanaan (Planning) “Planning is the selecting and relating of facts and the making and using of assumptions regarding the future in the visualization and formulation of proposed activations believed necessary to achieve desired results.” (memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan).
2. Pengorganisasian (Organizing) Mengorganisasikan adalah proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang dan sumber daya di antara anggota organisasi, sehingga mereka dapat mencapai sasaran organisasi.
3. Penggerakan (Actuating). “Actuating is setting all members of the group to want to achieve and to strike in achieve the objective willingly and keeping with the managerial planning and organizing efforts” (Penggerakan adalah membuat semua anggota kelompok agar mau bekerja sama dan bekerja secara iklas serta bergairah untuk mencapai sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha pengorganisasian).
4. Pengawasan (Controlling). “Controlling can be defined as the process of determining what is to be accomplished that is the standard; what is being accomplished, that is the performance, evaluating the performance and if necessary applying corrective measure so that performance takes place according to plans, that is, in conformity with the standard”. (Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar).
85
George R Gerry, Principle of Manajemen, 7th ed, Homewood Ilinois, Richard D Irwill Inc.
54
Pembinaan terhadap narapidana kasus narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Besi banyak melibatkan beberapa seksi
terutama seksi pembinaan dan seksi kegiatan kerja. Pelaksanaan
pembinaan melibatkan seluruh petugas pemasyarakatan. Pada
dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu
dilakukan oleh petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga
binaan pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat tercapai.
Ruang lingkup pembinaan dapat dibagi ke dalam dua bidang yaitu :
1. Pembinaan kepribadian
a. Pembinaan kesadaran beragama
Usaha diperlukan agar dapat diteguhkan imannya
terutama memberi pengertian agar warga binaan
pemasyarakatan atau narapidana dapat menyadari
akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar dan
perbuatan-perbuatan salah.
b. Pembinaan berbangsa dan bernegara.
Usaha untuk menyadarkan narapidana agar dapat
menjadi warga Negara yang baik yang dapat berbakti
bagi bangsa dan Negara. Perlu disadari bahwa berbakti
untuk bangsa dan Negara adalah sebagian dari iman
(taqwa).
c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan).
Pembinaan narapidana melalui pendidikan formal
maupun non formal. Pendidikan formal diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah melalui pendidikan program
paket A dan kerja usaha. Pendidikan non formal melalui
kegiatan - kegiatan ceramah umum maupun kerohanian.
55
d. Pembinaan kesadaran hukum.
Pembinaan atau penyuluhan hukum yang bertujuan
untuk membentuk keluarga sadar hukum (KADARKUM)
yang dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan
maupun setelah berada kembali di tengah – tengah
masyarakat.
e. Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pembinaan yang bertujuan agar narapidana setelah
keluar dari lembaga pemasyarakatan mudah diterima
oleh masyarakat dan memiliki sifat-sifat positif untuk
dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
2. Pembinaan kemandirian
Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-
program :86
a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri
b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri
kecil.
c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan
bakatnya masing-masing.
d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri
atau kegiatan pertanian (perkebunan) dengan
menggunakan teknologi madya atau teknologi tinggi.
Penelitian ini berusaha untuk mengatahui pembinaan
narapidana kasus narkoba yang telah dilaksanakan dan sekaligus
mengajukan model yang tepat untuk dilaksanakan dalam rangka
pembinaan narapidana kasus narkoba. Pelaksanaan pembaharuan
sistem penjara dengan menggunakan sistem pemasyarakatan
86
Opcit, Pola Pembinaan Narapidana /Tahanan, hal 16.
56
dalam arti proses pemasyarakatan mengharapkan hasil keluaran
yang maksimal yaitu dengan mengoptimalkan seluruh kegiatan
untuk memperoleh hasil yang maksimal (environmental process)
dengan menerapkan pembinaan kepribadian dan pembinaan
kemandirian dapat tercapai.
Pembinaan narapidana narkotika dapat mencapai hasil
maksimal dengan menggunakan konsep pemasyarakatan sesuai
tujuan, fungsi dan tugas pokok sebagai Pembina dan pembimbing
narapidana. Karena konsep pemasyarakatan adalah proses
penjatuhan pelaksanan pidana yang bukan semata-mata sebagai
pembalasan dendam belaka, tetapi yang paling penting adalah
pemberian bimbingan dan pengayoman kepada narapidana agar
menjadi manusia yang berguna di masyarakat dan tidak
mengulangi lagi tindak pidana serta menjadi anggota masyarakat
yang baik.