5
TINJAUAN PUSTAKA
Bakso Daging.
Menurut SNI-01-3819-1995 (BSN 1995b) bakso daging adalah produk
makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging
ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat
digunakan untuk membuat daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging
kelinci, daging ayam, daging ikan, udang dan cumi (Sunarlim 1992).
Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia
adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang
tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral
diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat
khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging
sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya
antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin
dan asam pantotenat (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Kandungan protein bakso
menurut SNI minimal 9,0% b/b dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso
ditentukan oleh kandungan dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati)
nya. Semakin tinggi kadar dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso
yang baik, kandungan patinya tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging.
Kandungan pati akan mempengaruhi mutu dan harga bakso tersebut (Winarno
1997). Hasil penelitian Anindita (2003) pada pedagang bakso di Desa Babakan
dan Kelurahan Cibadak Bogor didapat bahwa kandungan protein bakso sapi yang
dibuat sendiri oleh pedagang 75,0% di bawah nilai SNI sedangkan kandungan
lemaknya seluruhnya di atas SNI.
Bakso biasanya dijual dalam bentuk butiran untuk diolah kembali menjadi
aneka jenis masakan, atau dijual dengan campuran mie dan kuah ditambah
sayuran, bumbu, saos tomat dan sambal yang siap disantap oleh pembeli.
Karakteristik bakso yang disukai konsumen adalah rasanya gurih (sedang, agak
asin, mempunyai rasa daging yang kuat), beraroma daging rebus, tekstur empuk
dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran 3-5 cm
6
(Andayani 1999). Cara paling mudah untuk menilai mutu bakso menurut
Wibowo (1999) adalah dengan menilai mutu sensorisnya. Ada lima parameter
utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, seperti
yang tercantum pada Tabel 1 .
Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso daging.
Parameter Kriteria
Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur atau berlendir.
Warna Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau cokelat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lainnya yang mengganggu.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan tanpa bau tengik, masam (basi) atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo (1999).
Menurut Sunarlim (1992) bahan baku untuk pembuatan bakso terdiri dari
bahan utama yaitu daging dan bahan tambahan yaitu bahan pengisi (tepung-
tepungan), garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada dan bahan penyedap.
Daging yang baik untuk dibuat bakso adalah daging yang sesegar
mungkin, yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan
(Sunarlim 1992). Komponen daging yang penting dalam pembuatan bakso
adalah protein. Daging segar yang belum mengalami rigor mortis lebih disukai
oleh para pedagang daripada daging yang sudah dilayukan atau daging beku.
Daging segar mengandung protein aktin dan miosin yang belum berikatan (bebas)
sehingga dapat diekstrak dalam jumlah banyak. Sebagaimana diketahui bahwa
protein aktin dan miosin merupakan protein yang mudah larut dalam larutan
garam encer (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Pada proses penggilingan
daging, protein-protein ini akan terekstrak dan akan membentuk emulsi dengan
7
bahan-bahan lainnya. Semakin tinggi kadar protein yang bebas semakin baik
emulsi yang dihasilkan (Sunarlim 1992).
Bahan pengisi yang digunakan biasanya tepung berkadar protein rendah
seperti tapioka atau sagu aren. Fungsi bahan pengisi adalah : (1) memperbaiki
daya ikat air, (2) meningkatkan stabilitas emulsi (3) mengurangi penyusutan
selama pemasakan, (4) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa (5) mengurangi
biaya produksi. Bahan tambahan yang terbanyak digunakan adalah air dalam
bentuk es yaitu banyaknya kira-kira 15% dari berat daging. Fungsi es adalah
untuk mempertahankan suhu daging tetap rendah selama penggilingan dan
pembuatan adonan (emulsifikasi) (Sunarlim 1992).
Penambahan garam dapur (NaCl) bertujuan untuk : (1) memberi cita rasa
produk, (2) pelarut protein aktin, (3) sebagai pengawet karena dapat mencegah
pertumbuhan mikroba (4) meningkatkan daya ikat air (Wilson et al. 1981).
Proses pembuatan bakso pada prinsipnya dibagi menjadi empat tahap
yaitu (1) tahap penghancuran daging dengan alat atau tangan, (2) tahap
penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung, es, bumbu-bumbu dan garam
sehingga membentuk adonan, (3) tahap pencetakan bakso dan (4) tahap
pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983).
Untuk menghasilkan bakso yang kering, kesat dan kenyal biasanya
ditambahkan bahan tambahan makanan. Para pembuat bakso komersial biasa
menambahkan boraks ke dalam adonan bakso dengan kadar 0,1 – 05 % dari berat
adonan (Winarno 1997). Beberapa pembuat bakso menambahkan bahan pemutih
titanium oksida (TiO) untuk menghindari bakso yang berwarna gelap. Pada tahap
perebusan biasanya ditambahkan tawas pada air rebusan agar bakso bertekstur
kesat dan tidak lengket (Anindita 2003).
Bakso yang dibuat oleh pedagang bakso rumahan menggunakan daging
sapi yang dibeli di pasar. Daging ini kemudian dibawa ke tempat penggilingan
daging di pasar untuk dijadikan adonan bakso. Tempat penggilingan daging
tersebut juga menyediakan bahan tambahan pembuatan bakso seperti bumbu-
bumbu, pati, bahan tambahan makanan, es batu, serta mie dan sayuran. Setelah
itu adonan bakso dibawa pulang ke rumah, kemudian dibentuk menjadi bulatan
8
bakso, direbus, didinginkan dan dijual atau disimpan (Anindita 2003). Diagram
alur proses pembuatan bakso sapi secara garis besar dapat dilihat pada gambar 1.
1. DAGING SAPI
2. STANDARISASI
3. PENGHANCURAN KASAR
4. PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN (Es, bahan pengisi, bumbu-bumbu, garam, BTM)
5. PEMBENTUKAN BULATAN BAKSO
6. PEREBUSAN 70O
7. PEREBUSAN 100
C, 10 MENIT (hingga naik ke permukaan)
O
8. PENDINGINAN DAN PENYIMPANAN
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso sapi pada pedagang bakso (Surjana 2001).
C, 10-15 MENIT (hingga bakso matang)
Proses 1-4 dilaksanakan di tempat penggilingan daging di pasar
Proses 5-8 dilakukan di rumah
9
Bahan Tambahan Makanan
Bahan tambahan makanan adalah bahan yang tidak digunakan sebagai
makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai
atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan
untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada saat pengolahan,
penyiapan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk
memperbaiki penampakan, cita rasa , tekstur atau sifat penyimpanannya (BSN
1995a). Bahan tambahan makanan yang diizinkan yang dapat digunakan pada
makanan terdiri dari golongan antioksidan, antikempal, pengatur keasaman,
pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental,
pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa dan
sekuestran. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan
yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet kimia adalah semua bahan
yang bila ditambahkan pada pangan dapat mencegah atau menghambat kerusakan
kimia maupun biologis makanan. Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah
bahan makanan tambahan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan
sistem dispersi yang homogen pada makanan. Garam dapur, gula cuka, rempah
atau minyak rempah tidak termasuk pengawet kimia (BSN 1995a).
Bahan tambahan makanan (Food Additives) diklasifikasikan berdasarkan
fungsinya, yaitu sebagai pengawet (preservatives), memperbaiki atau menjaga
nilai nutrisi makanan, menambah atau memberi warna makanan, menambah atau
memberi aroma makanan, memperbaiki tekstur makanan dan membantu pada
prosesing makanan (Branen dan Haggerty 2002).
Pengawet makanan digunakan untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan biologis dan kimia pada makanan. Untuk mencegah kerusakan kimia
terdiri dari antioksidan ( mencegah autooksidasi dari pigmen, lemak, vitamin
dan aroma), senyawa antibrowning (mencegah pencoklatan secara enzimatis
maupun non enzimatis) dan senyawa antistaling (mencegah perubahan tekstur),
sedangkan untuk mencegah kerusakan secara biologis dikenal sebagai
antimikroba. Dalam memilih bahan antimikroba yang akan digunakan sebagai
pengawet makanan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu spektrum
10
aktivitas antimikroba, sifat fisika-kimia dan komposisi makanan yang
diawetkan, jenis dan proses pengawetan serta sistem penyimpanan yang
digunakan (Davidson dan Branen 2005).
Pemakaian pengawet pada bakso pada umumnya bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan dengan cara mengurangi atau menghambat
perkembangan mikroorganisme. Bahan pengawet yang diperkenankan dipakai
pada bakso adalah asam sorbat, kalium sorbat, asam propionat, kalsium dan
natrium propionat, asam benzoat, natriumbenzoat, kalium sulfit, natrium dan
kalium bisulfit, silikon dioksida, asam sitrat dan nitrium karbonat, dan bahan
pengemulsi yang dianjurkan adalah Sodium Tripolyphosphate (Surjana 2001).
Beberapa senyawa kimia yang diizinkan sebagai bahan antimikroba pada
makanan di negara-negara Uni Eropa dan tercantum dalam Codex Alimentarius
(Tabel 2).
Tabel 2. Peraturan perizinan penunjukkan Food Antimicrobial di Uni Eropa (E Numbers) dan dalam Codex Alimentarius (INS Numbers)
Senyawa Nomor E / INS Senyawa Nomor E / INS Sorbic acid K sorbate Ca sorbate Benzoic acid Na benzoate K benzoate Ca benzoate Ethyl paraben Na Ethyl paraben Propyl paraben Na propyl paraben Methyl paraben Na methyl paraben Sulfur dioxide Na sulfite Na hydrogen sulfite Na methbisulfite K methbisulfite Ca sulfite Ca hydrogen sulfite K hydrogen sulfit Niasin
200 202 203 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 226 227 228 234
Natamycin Dimethyl dicarbonate K nitrit Na nitrite Na nitrate Ka nitrat Acetic acid K acetate Na acetate Na diacetate Ca acetate Lactic acid Propionic acid Na propionate Ca propionate K propionate Boric acid Na tetraborate Na lactate K lactate Ca lactate
235 242 249 250 251 252 260 261 262 262 263 270 280 281 282 283 284 285 325 326 327
Sumber : Verbrugen 2002
11
Boraks (Na2B4O7.10H2O)
Boraks (Natrium tertaborat, Na2B4O7.10H2O) merupakan kristal lunak
yang mengandung unsur boron, tidak berwarna, tidak berbau dan mudah larut
dalam air. Bila terekspos di udara kering dan hangat sering dilapisi serbuk warna
putih seperti kapur. Natrium tetraborat mengandung sejumlah Na2B4O7 yang
setara dengan tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 105,0 %
Na2B4O7.10H2O. Larutan boraks bersifat basa terhadap fenolftalein, mudah larut
dalan air mendidih dan dalam gliserin; tidak larut dalam etanol (Ditjen POM
1995).
Boron adalah unsur mineral alam yang terdapat pada kulit bumi dalam
jumlah relatif kecil, yaitu kurang dari 10 ppm (Woods, 1994). Konsentrasi pada
air laut berkisar antara 0,5 – 9,6 ppm dengan rata-rata 4,6 ppm, sedangkan pada
air tawar berkisar antara <0,01 – 1,5 ppm. Di alam boron tidak ditemukan
bebas tetapi selalu berikatan dengan oksigen, biasanya sebagai asam (boric acid,
H3BO3) atau garamnya yang disebut borates misalnya Natrium tetraborat
(Na2B4O7.10H2
O O O O O
O) atau yang dikenal dengan boraks.
Asam borat dan garamnya (utamanya boraks atau sodium tetraborat)
secara luas digunakan pada industri gelas, fiberglass, porselin, enamel, keramik
glasur dan meta alloy. Senyawa ini juga digunakan sebagai fire retardant, pupuk,
bahan laundry, herbisida dan insektisida (USEPA-IRIS 2004)
B B B B O O Na Na
Gambar 2. Rumus bangun Boraks-anhidrat (Na2B4O7)
12
Tabel 3. Sifat fisik dan kimia Boron dan beberapa senyawanya
Boron Asam borat Boraks Boraks anhidrat Boron oksida
Nomor registrasi CAS
7440-42-8 10043-35-3 1303-96-4 1330-43-4 1303-86-2
Rumus molekul B H3BO
Na3
2B4O7.10H2Na
O 2B4O B7 2O3
Berat Molekul 10,81 61,83 381,43 201,27 69,62
% Boron 100 17,48 11,34 21,49 31,06
Bentuk fisik Kristal hitam atau kuning-coklat, serbuk amorf
Putih atau tdk berwarna, kristal granur atau serbuk
Putih atau tdk berwarna, kristal granur atau serbuk
Putih atau tdk berwarna, granul bening
Putih atau tdk berwarna, granul bening
Gaya berat spesifik (@ 20o
2,34 C)
1,51 1,73 2,37 2,46
Titik lebur (o 2300 C) pd ruang tertutup
171 >62 t.a.d t.a.d
Titik lebur (o 2300 C) bentuk kristal
450 742 742 450
Kelarutan dlm air (%w/w) Tdk larut
4,72 @ 20oC 27,53@ 100o
4,71 @ 20C
oC 65,63 @ 100o
2,48 @ 20C
oC 34,5 @ 100o
Cepat terhidrasi mjd asam borat
C
Tekanan uap (mm Hg)
1,56 x.10-5 atm @ 2140o t.a.d C t.a.d t.a.d t.a.d
Sumber : USEPA-IRIS 2004.
Boraks dapat berubah dengan mudah menjadi asam borat atau borate
(H3BO3) bila dilarutkan dalam air. Boraks ada dalam tubuh sebagai asam borat.
Pemakaian boron per oral diserap dengan mudah (> 90% ) di dalam saluran
pencernaan manusia sebagai asam borat dan cepat terdistribusi melalui cairan
tubuh secara difusi pasif ke dalam jaringan lunak dan tulang. Ratio asam borat
dalam darah dan jaringan lunak adalah 1 : 1 dan ratio dalam darah dan tulang
adalah 1 : 4 (Murray 1998). Boron (asam borat) tidak diakumulasi dalam
jaringan lunak hewan dan manusia. Penelitian pada tikus menunjukan akumulasi
boron 3000 sampai 9000 ppm pada tulang setelah waktu 1 minggu, kemudian
menurun menjadi 10% setelah 8 minggu dan hanya 3 kali levelnya dari kelompok
13
kontrol 32 minggu setelah pemberian dihentikan (Chapin et al. 1997).
Akumulasi boron pada tulang mungkin ada hubungannya dengan manfaat asam
borat dalam kaitannya dengan metabolisme kalsium (Devirian dan Volpe 2003).
Ekskresi asam borat terutama melalui ginjal dan asam borat adalah satu-
satunya senyawa yang dapat diidentifikasi dalam urin dan ditemukan dalam
jumlah > 90% dari total boron yang dikonsumsi (WHO 1998). Asam borat
diekskresi dari tubuh bersama urin dengan recovery rate antara 84% (Samman
et al. 1998) dan 92% dalam 96 jam (Schou et al. 1984). Waktu paruh untuk
eliminasi asam borat adalah sekitar 21 jam pada pemberian intra vena (Jansen
et al. 1984a) maupun oral (Jansen et al. 1984b).
Asam borat adalah asam lemah dengan nilai pKa = 9,2 dan terutama
berada dalam bentuk tidak terdisosiasi (undissociated acid) yaitu H3BO3 dalam
larutan air pada pH fisiologis, seperti halnya garam borat (Woods 1994). Nilai
pKa suatu asam adalah nilai pH dimana konsentrasi molekul asam yang
terdisosiasi dan yang tidak terdisosiasi berada dalam jumlah yang seimbang.
Ketika pH turun, konsentrasi asam yang tidak terdisosiasi akan meningkat. Asam
kuat memiliki nilai pKa rendah ( ≤ 1) dan asam lemah memiliki nilai pKa tinggi
(Brown dan Booth 1991).
Asam lemah yang berfungsi sebagai pengawet adalah yang tidak
terdisosiasi pada kondisi pH dari makanan. Aktifitas antimikrobialnya tidak
hanya disebabkan oleh konsentrasi H+, tetapi juga karena efek penghambatan dari
asam tidak terdisosiasi atau anionnya. Dalam bentuk tidak terdisosiasi beberapa
asam lemah bersifat lipofilik, sehingga dapat dengan mudah menembus membran
sel mikroba. Di dalam sel mikroba, asam akan terdisosiasi karena pH intraseluler
lebih tinggi (bersifat basa) dari pada pH ekstraseluler, dan akan terjadi
peningkatan H+ yang tidak terkendali di dalam sitoplasma sel sehingga terjadi
pengasaman dan menghambat metabolisme dan transport intraseluler (Davidson
et al. 2005; Brown dan Booth 1991). Untuk mencegah penurunan pH
sitoplasma sel, maka mikroorganisme berusaha mengeluarkan proton-proton
hasil disosiasi tersebut ke luar sel. Untuk mengeluarkan proton dari dalam sel
dibutuhkan energi, sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat
bahkan berhenti sama sekali (Fardiaz 1992).
14
Dosis letal akut boraks atau asam borat pada manusia adalah 15 -20 gram
untuk dewasa , 5 – 6 gram untuk anak-anak dan 2 – 3 gram untuk bayi (setara
dengan 2,6 – 3,5 gram boron untuk dewasa). Keracunan akut pada dosis
5 mg/kg/hari ditandai dengan dermatitis, alopesia, anoreksia dan indigesti,
sedangkan keracunan akut pada dosis tinggi ditandai dengan mual, muntah, diare,
sakit kepala, rush di kulit, desquamasi, kerusakan ginjal, stimulasi syaraf pusat
diikuti dengan depresi, ataksia, konvulsi dan kematian dalam 5 hari akibat
kegagalan sirkulasi (Ellenhorn 1997, EGVM 2003). Keracunan akut boron
menyebabkan gangguan ginjal dengan gejala mulai dari adanya sedimen pada urin
sampai kepada proteinuria, oligouria, anuria dan azotemia (Pahl et al 2005)
Keracunan kronis dosis tinggi terutama dapat diamati pada hewan percobaan.
Gangguan reproduksi dilaporkan terjadi pada anjing, tikus, mencit dan kelinci
berupa atrofi testis, gangguan pembentukan sperma, hilangnya sel benih dan
perubahan morfologi sperma epididimis. Pengaruh terhadap pertumbuhan antara
lain penurunan berat badan fetus, malformasi kardiovaskuler fetus, malformasi
skelet, malformasi susunan syaraf pusat, termasuk pembesaran ventrikel lateral
otak, hidrosefalus dan peningkatan resorpsi. Efek tersebut terlihat pada dosis > 10
mg boron/kg/hari (Ellenhorn 1997, EGVM 2003).
Produk pestisida yang mengandung boraks dan asam borat banyak
digunakan sebagai insektisida, fungisida dan herbisida. Sebagai insektisida
boraks dan asam borat merupakan racun perut untuk semut, kecoa, ngengat dan
rayap dan menyebabkan kerusakan eksoskeleton. Sebagai herbisida boraks
menghambat fotosintesis tanaman dan sebagai fungisida digunakan sebagai
pengawet kayu untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan mencegah
produksi konidia atau spora aseksual. Asam borat dan boraks adalah juga
merupakan bahan tetap pada produk-produk pestisida sebagai sekuestran atau
pengikat bahan logam (USEPA 2008). Toksisitas boraks dan asam borat pada
beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 4.
15
Tabel 4. Toksisitas akut boraks dan asam borat
Jenis uji coba Hasil Kategori Toksisitas
Asam Borat (Boric Acid)
Toksisitas akut oral/tikus
LD50 jantan = 3.450 mg/kg LD50 betina
III = 4.080 mg/kg Toksisitas akut oral/anjing beagle LD50 III > 631 mg/kg
Toksisitas akut kulit/kelinci LD50 III > 2 g/kg
Toksisitas akut inhalasi/tikus LD50 II > 0,16 mg/L
Toksisitas akut mata/kelinci
Iritasi konjuktiva, sembuh dlm 4 hari III
Iritasi akut kulit/ kelinci Iritasi III
Boraks (Sodium tetraborate decahydrate)
Toksisitas akut oral/tikus
LD50 jantan = 4.550 mg/kg LD50 betina
III = 4.980 mg/kg Toksisitas akut oral/anjing LD50
III > 974 mg/kg
Toksisitas akut kulit/kelinci LD50 III > 2.000 mg/kg
Toksisitas akut mata/kelinci Korosif I
Iritasi akut kulit/ kelinci Non-iritasi IV
Sumber : US EPA (2008)
Toksisitas akut yang disebabkan oleh boraks pada pemakaian peroral dan
topikal (kulit) dikategorikan ke dalam Toksisitas Tingkat III (toksisitas sedang),
sedangkan efek iritasi boraks pada mata dikategorikan sebagai Toksisitas
Tingkat I (toksisitas tinggi) (USEPA 2008). Boraks diserap dengan cepat dan
sempurna oleh tubuh dan tidak mengalami metabolisme ataupun akumulasi
kecuali dalam jumlah kecil dapat dideposit di tulang. Penelitian pada manusia
menunjukan bahwa lebih dari 90% boraks yang termakan oleh manusia
dieliminasi dalam waktu 4 hari melalui urin, feses dan sedikit melalui keringat.
Mengkonsumsi borat dalam waktu yang lama akan diakumulasi di testes dan
menyebabkan atrofi. Pengamatan selama dua tahun pada manusia yang minum
air dengan kandungan boron tinggi mengurangi jumlah sperma dan menurunkan
libido (Sheftel 2000).
16
Lowest Observed Adverse Effect Levels (LOAELs) adalah level terendah
boron (asam borat) yang memberikan efek negatif yang dapat diamati, dan
Observed Adverse Effect Levels (NOAELs) adalah level boron (asam borat) yang
memberikan efek negatif yang tidak dapat diamati. Nilai LOAELs dan NOAELs
pada beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. LOAELs dan NOAELs boron (asam borat) pada perkembangan dan reproduksi
Jenis Hewan
LOAELs (mg/kgbb/hr)
NOAELs (mg/kgbb/hr) Efek Negatif Referensi
Tikus 79 43 Gangguan perkembangan
Heindel et al. 1992
Tikus besar
26 52
- 26
Hambatan pengeluaran sperma Atrofi testis
Ku et al. 1993
Tikus besar
50 25 Aplasia tubular germinal
Lee et al. 1979
Tikus besar
13,3 9,6 Penurunan BB fetus Price et al 1996a
Tikus besar
25 12,9 Gangguan perkembangan tulang rusuk XIII
Price et al. 1996a (phase II)
Kelinci 43,8 21,9 Malformasi fetus Price et al. 1996b
Tikus besar
58,5 17,5 Penurunan berat testis, atrofi testis, peningkatan berat otak/tiroid
Weir dan Fisher 1972
Anjing 29,0 8,75 4,4 3,6
Atrofi testis
Weir dan Fisher 1972 . EGVM 2003
Sumber : Health Canada (2007) Boraks dalam bentuk tidak murni (dikenal sebagai air bleng, garam bleng
atau pijer) sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi
atau kerupuk gendar yang secara lokal di beberapa daerah di Jawa disebut Karak.
Disamping itu boraks ternyata digunakan untuk industri makanan lainnya, seperti
pembuatan mie, lontong, ketupat, bakso, pempek, bahkan juga untuk pembuatan
kecap Berbeda dengan pembuatan karak, konon pembuatan mie pabrik dan
makaroni biasanya menggunakan asam borat murni (Winarno 1997). Pemakaian
air bleng atau garam bleng membuat tekstur makanan menjadi kenyal.
17
Pada beberapa pembuat bakso komersial, penambahan boraks 0,1 – 0,5 % dari
berat adonan menghasilkan bakso yang kering, kesat dan tekstur yang kenyal
(Surjana 2001). Senyawa asam borat yang terdapat pada boraks memiliki sifat
antiseptik, yaitu bersifat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu
boraks juga digunakan pada makanan untuk tujuan sebagai pengawet terhadap
pembusukan atau kerusakan akibat aktifitas mikroorganisme. Pengawetan bakso
daging dengan boraks untuk penyimpanan pada suhu kamar telah dilakukan oleh
industri bakso kecil dan menengah (Anindita 2003). Penelitian yang
dilakukan Novita (2003) pada pabrik bakso di Kota Tangerang menunjukkan
bahwa semua pabrik bakso yang diperiksa positif menggunakan boraks dengan
kandungan tertinggi 0.731 ppm dan terendah 0,197 ppm
Cemaran Mikroba
Pengujian mikrobiologik pada pangan, baik pada bahan baku, selama
proses maupun pada produk akhir, dilaksanakan dalam rangka pengawasan
keamanan dan kualitas pangan. Pengujian mikrobiologik bertujuan untuk
mengetahui jumlah mikroorganisme, keberadaan mikroorganisme tertentu,
jumlah mikroorganisme indikator, jumlah mikroorganisme patogen tertentu dan
keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Lukman 2004).
Perkembangan mikroorganisme bahan pangan dipengaruhi oleh faktor-
faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang ada pada bahan
pangan tersebut, yaitu : pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, nutrisi,
antimikroba dan struktur biologis. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berada di
luar bahan pangan tersebut, yaitu : temperatur, kelembaban relatif, ketersediaan
oksigen dan proses pengolahan (Sanjaya et al. 2007).
1. Coliform dan Escherichia coli
Coliform atau bakteri bentuk koli adalah bakteri berbentuk batang, tidak
berspora, bersifat aerob atau fakultatif anaerob, gram negatif memfermentasi
laktosa dengan membentuk asam dan gas pada suhu 35oC dalam 48 jam. Pada
media Endo Agar membentuk koloni gelap dengan kilau logam. Bakteri Coliform
18
termasuk ke dalam famili Enterobactericeae yang terdiri dari empat genera, yaitu
Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay et al 2005).
Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan
hewan. Selain itu mungkin juga ditemukan di tanah, air dan tumbuhan. Coliform
sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator sanitasi, terutama dalam
pengujian kualitas air dan untuk menilai sanitasi pada industri pengolahan pangan.
Selain itu Coliform sering digunakan sebagai indikator keberadaan
mikroorganisme patogen. Coliform dibagi menjadi Coliform fecal dan non-fecal.
Salah satu Coliform fecal adalah Escherichia coli (Lukman 2004). Keberadaan
E. Coli pada makanan menunjukan adanya penggunaan air yang terkontaminasi
oleh feses hewan atau manusia (Todar 2008).
Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae, bersifat Gram
negatif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk kokoid atau kokus kadang motil
dan tidak membentuk spora. Semua spesies memfermentasi glukosa dengan
membentuk asam dan gas, mereduksi nitrat dan nitrit, oksidase positif dan
katalase positif. Bakteri ini hidup normal sebagai mikroflora pada saluran
pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, terutama di usus besar, walaupun
beberapa spesies bisa terdapat di organ lain, pada tanaman dan tanah dan beberapa
spesies adalah patogen (Bell dan Kyriakides 2002).
Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk
mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan
pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah : (1) bakteri ini hanya
terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, (2) harus ditemukan dalam
jumlah yang sangat banyak di dalam feses, (3) harus memiliki daya tahan hidup
yang tinggi pada lingkungan di luar usus, (4) relatif mudah diisolasi dan
dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Jay et al. 2005).
Makanan yang sering terkontaminasi bisanya adalah daging ayam, daging
babi, daging sapi, makanan hasil laut, telur dan produk olahan telur, sayuran, buah
dan sari0 buah. E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, dapat
tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC dengan suhu optimum 37oC. Pertumbuhan
optimum pada pH 7,0-7,5 dan Aw minimum 0,96. Untuk mencegah
19
pertumbuhannya sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah di bawah 10oC
(Fardiaz 1987).
Strain E. coli patogen penyebab gastroenteritis adalah serotipe O157:H7.
Strain ini banyak ditemukan dalam saluran intestin sapi, tumbuh optimal pada
suhu 100C – 420C pH > 5 dan Aw 0,92 (Cramer 2006). Strain E. coli serotipe
O157:H7 sering dikaitkan dengan kejadian gastroenteritis akibat mengkonsumsi
daging sapi terkontaminasi. Berdasarkan bukti epidemiologi dan hasil survey
pada sapi diketahui bahwa sapi adalah reservoar paling penting bagi patogen
penyebab food-borne disease ini (Gonzales 2005). Berdasarkan gejala dan
sifat penyakitnya serta grup serologinya dikenal 5 grup virulen E. Coli, yaitu
enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enteropathogenic
E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli (EAEC) dan enterohaemorrhagic E.
coli (EHEC) (Jay et al. 2005).
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan resiko infeksi E. coli
yaitu : adanya kontaminasi bahan baku oleh kotoran hewan; makanan dibuat tidak
melalui proses pemasakan; makanan terkontaminasi setelah matang; dijual
sebagai menu siap saji dan kontak dengan orang atau hewan sakit
(Bell dan Kyriakides 2002). Ternak sapi merupakan reservoar utama E. coli
diantaranya daging mentah (Bach et al. 2002).
2. Salmonella ssp
Salmonella adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae berbentuk batang
halus, bersifat Gram negatif tidak membentuk spora dan umumnya motil,
aerob/anaerob fakultatif, memfermentasi glukosa, umumnya tidak memfermentasi
laktosa. Salmonella tumbuh pada suhu 2-47oC dengan pertumbuhan cepat pada
25-43o
Habitat normal adalah saluran gastrointestinal mamalia, reptil, burung dan
insekta (Jay et al. 2005). Walaupun merupakan bakteri usus, Salmonella
C, tahan pada pH 4 – 8 dan Aw 0,94 serta bertahan hidup pada pembekuan
(Cramer 2006). Genus Salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella
enterica dan Salmonella bongori. S. enterica mempunyai 6 sub spesies dan
tidak kurang 2449 serovar sedangkan S. bongori mempunyai 20 serovar (D’aoust
2001).
20
ditemukan secara luas di lingkungan seperti di peternakan, pembuangan
kotoran manusia dan tempat-tempat yang terkontaminasi oleh feses
(Wray et al. 2003).
Kejadian salmonellosis pada manusia sering berkaitan dengan kejadian
salmonellosis pada hewan. Salmonella merupakan patogen saluran pencernaan
yang potensial dan menyebabkan foodborne illness. Pangan dapat bertindak
sebagai perantara terutama bahan pangan asal hewan di Amerika Serikat seperti
daging ayam, telur, daging sapi, daging babi, susu , jus buah dan sayuran
(Patterson dan Isaacson 2003).
Salmonella dapat menimbulkan sindrom penyakit berbeda pada manusia,
yaitu typhoid fever, bacteriemia dan enterocolitis. Typhoid fever disebabkan oleh
S. enterica serotipe Typhi dan Paratyphi A, B dan C, bacteriemia disebabkan
oleh S. enterica serotipe Dublin dan Cholerasuis dan enterocolitis disebabkan
oleh paling tidak 5 seritipe, yaitu S. enterica serotipe Typhimurium,
S. enterica serotipe Enteritidis, S. enterica serotipe Hiedelberg,
S. enterica serotipe Newport dan S. enterica serotipe Hadar (Rabsch et al.
2003).
Salmonella memiliki kemampuan bertahan hidup pada kondisi buruk (suhu
tinggi), pH suboptimal dan nutrisi sedikit sehingga menjadi tantangan dalam
keamanan pangan. Kemampuan salmonella untuk tumbuh pada suhu lemari es
(4-10oC) merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan makanan.
Makanan yang mudah rusak harus segera didinginkan segera setelah dimasak dan
disimpan pada tempat yang berbeda dengan bahan makanan mentah di lemari es.
Salmonella dihambat pertumbuhannya dengan NaCl > 3%. Peningkatan suhu
pada kisaran 10-30oC akan meningkatkan toleransi organisme terhadap garam dan
asam. Salmonella tumbuh pada pH 3,6-9 (optimum pada pH netral) dan aw
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk shperic atau
coccoid, tidak membentuk spora, berukuran kecil + 1 mikrometer dan sering
berkelompok membentuk seperti anggur, memfermentasi karbohidrat, katalase
0,93
(D’aoust. 2001).
3. Staphylococcus aureus
21
positif, tumbuh pada temperatur 440F – 1150F, pH 5,2 dan Aw 0,86. Koloni pada
media tumbuh biakan memproduksi pigmen kuning (Sutherland dan Varnam
2002 dan Cramer 2006). Kemampuan tumbuhnya pada media yang
mengandung 3,5 M NaCl dan bertahan hidup pada Aw < 0,8 menjadi problem
penting karena mikroorganisme lain tidak mungkin tumbuh atau terhambat
tumbuh pada kondisi tersebut sehingga tidak ada kompetisi (Naim 2004).
Staphylococcus aureus normal terdapat pada permukaan kulit seperti pada
hidung, ketiak, daerah inguinal dan perineal. Lebih kurang 30% orang sehat
membawa bakteri ini pada kulit dan rongga hidungnya. Sumber pencemaran
makanan yang paling penting dari bakteri ini adalah discharge hidung dan
tenggorokan, luka pada kulit, bisul dan jerawat dari orang yang menangani
makanan (Sutherland dan Varnam 2002). Beberapa hewan domestik merupakan
sumber bakteri ini , misalnya streptococcal mastitis pada sapi perah , dimana susu
yang dihasilkan bila dikonsumsi atau diolah menjadi keju dapat menyebabkan
intoksikasi (Jay et al. 2005).
Staphylococcus aureus pada bahan pangan dan olahannya dapat mengancam
kesehatan masyarakat karena beberapa galur dapat memproduksi enterotoksin
yang dapat menyebabkan keracunan pangan (staphylococcal food poisoning).
Keracunan oleh enterotoksin terjadi termakannya racun yang disintesa oleh kuman
selama tumbuh dalam makanan. Enterotoksin yang diproduksi oleh
Staphylococcus aureus pada makanan akan bertahan dalam makanan serta tidak
rusak oleh pemanasan karena toksin ini lebih tahan panas dibandingkan sel
bakterinya. Keberadaan kuman ini pada bahan makanan menandakan
penanganannya yang kurang baik dan kurang higienis oleh manusia.
Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah
dimasak. Staphylococcus menghasilkan sebelas macan toksin, yaitu A, B, C1, C2,
C3
Manusia dapat mencemari bahan makanan atau olahannya melalui tangan,
pakaian atau alat-alat yang dipergunakan. Staphylococcus hidup optimal dan
dapat memproduksi toksin pada suhu 35-37
, D, E, F, G, H dan I. Enterotoksin A dan D dihasilkan pada saat fase
logaritmik dan enterotoksin B dan C dihasilkan pada akhir fase logaritmik sampai
awal fase stasioner (Sutherland dan Varnam 2002).
oC, tetapi beberapa spesies dapat
22
tumbuh pada 10-45o
Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan
pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi
(Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek
C dengan pH optimaum 7-7,5. Keracunan pangan terjadi
apabila kandungan Staphylococcus aureus dalam jumlah besar pada makanan dan
menghasilkan toksin (Doyle 1989).
Higiene dan Sanitasi Pangan
Higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah
semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan
kelayakan makanan pada setiap tahap dalam rantai makanan. Keamanan pangan
(food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada
saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya, sedangkan kelayakan
pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk
konsumsi manusia menurut penggunaannya (FAO-WHO 1997).
Menurut UU RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, sanitasi pangan adalah
upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya
jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan
bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia, sedangkan
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budidaya
hingga pangan tersebut siap disantap (safe from farm to table). Penerapan sistem
keamanan pangan pada setiap tahap produkasi harus dilakukan dengan baik agar
pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budidaya perlu
diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen
dilakukan Good Handling Practices (GHP). Pada tahap pengolahan penerapan
Good Manufacturing Practices (GMP) atau Good Hygienic Practices (GHP)
sangat diperlukan, sedangkan pada tahap distribusi harus diterapkan Good
Distribution Practices (GDP) agar produk pangan sampai ke konsumen dalam
keadaan aman (Djaafar dan Rahayu 2007).
23
higiene sanitasi merupakan persyaratan dasar mutlak. Adanya cemaran
mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan praktek
higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut.
Untuk menciptakan pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh,
Halal) maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal
hewan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya secara bertahap,
terencana dan berkesinambungan.
Sistem jaminan keamanan pangan yang telah dikenal adalah sistem Hazard
Analysis Critical Control Points (HACCP), yaitu suatu sistem yang menjamin
keamanan pangan dengan melakukan analisa terhadap kemungkinan terjadinya
bahaya (hazard) pada sistem produksi, serta tindak pengawasan terhadap titik
kendali kritis (CCP). Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan
dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk
menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya
dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan
daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem
HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan peralatan,
prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi. Pengendalian bahaya-bahaya
(Hazards) dalam sistem HACCP dilaksanakan dengan penerapan dan pengawasan
higiene dan sanitasi (GMP dan SSOP) yang dituangkan dalam SOP (BSN 1998).
Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu :
1. Analisis potensi bahaya , bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya pada
setiap tahapan produksi, menyeleksi bahaya atas dasar analisa resiko dan
mengembangkan tindakan pencegahan / pengendalian (preventive / control
measure).
2. Penentuan titik kendali kritis (CCP), untuk mengendalikan bahaya-bahaya
tersebut terutama pada tahapan dengan tingkat bahaya sedang dan tinggi.
3. Penetapan batas kritis, yaitu batasan yang digunakan untuk menjamin
proses yang berlangsung menghasilkan produk yang aman.
24
4. Penetapan sistem pemantauan, yaitu pemantauan terhadap CCP, apakah
terjadi hilang kendali dan penyimpangan pada CCP. Pemantauan harus
bersifat efektif dan mampu mendeteksi dengan cepat adanya penyimpangan
CCP.
5. Penetapan tindakan koreksi, jika hasil pemantauan pada CCP menyimpang
atau mengarah kepada penyimpangan (out of control) melampaui batas
kritis.
6. Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur untuk memastikan
bahwa sistem HACCP terpelihara dan berjalan dengan efektif. Langkah ini
juga dapat menunjukan jika rencana HACCP memerlukan modifikasi.
7. Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen untuk keperluan audit.
dan inspeksi.
Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam
rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, setiap unit
usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi
pangan asal hewan. Bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah
memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi diberikan sertifikat kontrol veteriner .
Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang
selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai
bukti tertulis yang sah telah dipenuhinyan persyaratan higiene sanitasi sebagai
kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan
asal hewan. Unit usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV adalah
Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan
Babi, usaha budidaya unggas petelur, usaha pemasukan, usaha pengeluaran, usaha
distribusi, usaha ritel dan usaha pengolahan pangan asal hewan. Kebijakan
pembinaan dan pengawasan keamanan pangan asal hewan adalah penerapan
sistem jaminan keamanan pangan pada unit usaha pangan asal hewan secara
bertahap mulai dari penerapan praktek higiene sanitasi, pemberian NKV dan
penerapan sistem HACCP (Ditkesmavet 2006).