i
Hasil Penelitian Strategis
KAJIAN HUKUM TENTANG KEBERADAAN HAK PRIORITAS DALAM PENYELESAIAN MASALAH
PERTANAHAN
Oleh:
Tjahjo Arianto
Haryo Budhiawan
Dwi Wulan Titik Andari
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
Y0GYAKARTA 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Hasil Penelitian Strategis 2015
Judul :
KAJIAN HUKUM TENTANG KEBERADAAN HAK PRIORITAS
DALAM PENYELESAIAN MASALAH PERTANAHAN
Yogyakarta , 15 Nopember 2015
Mengetahui :
Kepala PPPM
(Dr. Sutaryono, MSi.)
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Allah SWT, atas segala
petunjuk, bimbingan, dan Inayahnya sehingga penyusunan hasil
penelitian strategis Tahun Anggaran 2015 yang berjudul "
KAJIAN HUKUM TENTANG KEBERADAAN HAK
PRIORITAS DALAM PENYELESAIAN MASALAH
PERTANAHAN ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini telah melakukan kajian hukum secara
mendalam terhadap tentang keberadaan hak prioritas dalam
penyelesaian masalah pertanahan. Selanjutnya peneliti
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Kepala Pusat
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat yang telah
memberikan kepercayaan kepada peneliti untuk
melaksanakan penelitian ini;
2. Para anggota Team Evaluasi Penelitian Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional yang memberi bimbingan dan petunjuk
serta arahannya dalam penelitian ini.
Tentunya proposal penelitian ini masih ditemukan
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan peneliti, untuk itu
saran dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan
hasil penelitian ini sangat diharapkan.
Yogyakarta, 15 Nopember 2015
Penyusun
TJAHJO ARIANTO
HARYO BUDHIAWAN
DWI WULAN TITIK ANDARI
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN ...................................................
1.1. Latar Belakang Masalah ...................................
1.2. Permasalahan ..................................................
1.3. Rumusan Masalah ............................................
1.4. Tujuan Penelitian .............................................
1.5. Kegunaan Penelitian .......................................
1.6. Keaslian Penelitian .........................................
Bab II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Hak Kebendaan ............................
2.2. Lahirnya Hak Atas Tanah ................................
2.3. Lahirnya Hak Eigendom ..................................
2.4. Hapusnya Hak Atas Tanah ..............................
2.5. Landasan Teori ..............................................
Bab III METODE PENELITIAN ..................................
3.1. Jenis Penelitian ................................................
3.2. Bahan Hukum ..................................................
3.3. Analisis Bahan Hukum ....................................
3.4. Lokasi Penelitian .............................................
3.5. Kegiatan Penelitian ..........................................
Bab IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN .............
4.1. Gambaran Umum Wilayah ................................
4.2. Kabupaten Sidoarjo .........................................
4.3. Kabupaten Gresik .............................................
4.4. Kota Surabaya ...................................................
Bab V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan ....
i
ii
iii
iv
1
2
2
3
3
4
4
5
5
7
18
21
23
26
26
27
28
28
28
29
29
30
36
44
48
48
v
5.1.1. Prioritas Pemilikan Tanah Bekas Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Asal Konversi Hak
Barat. ............................................................
5,1,2. Prioritas Pemilikan Tanah Pertanian .............
5.1.3. Prioritas Investor Untuk Usaha Pertanian
Dan Perkebunan .............................................
5.1.4. Prioritas Warga Negara Asing Memiliki Tanah
Di Indonesia .....................................................
5.1.5. Prioritas Dengan Hapusnya Hak Atas Tanah
5.2. Pendekatan Kasus .............................................
5.2.1. Kasus di Kabupaten Gresik ...........................
5.2.2. Kasus di Kota Surabaya ...............................
5.2.3. Kasus di Kabupaten Sidoarjo ........................
5.2.4. Kasus dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa Timur .....................
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................
6.1. Kesimpulan .....................................................
6.2. Saran ................................................................
DAFTAR PUSTAKA
48
51
53
54
56
56
59
69
73
91
91
92
93
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Pemilikan tanah oleh seseorang atau kelompok orang berarti hak untuk menikmati
penggunaan dan kemampuan memanfaatkannya. Pemilikan suatu benda dalam hal ini tanah
tidak terlepas dari kekuatan fisik menguasai benda berkaitan erat dengan hak keperdataan.
Pemilikan dan penguasaan atas tanah merupakan masalah fakta lapangan. Hak menurut filosofi
hukum adat merupakan kewenangan, kekuasaan dan kemampuan orang untuk bertindak atas
benda.
Hak Milik atas tanah dalam teori hukum Romawi lahir berdasarkan suatu proses
pertumbuhan yang dimulai dari pendudukan dan penguasaan nyata untuk sampai pengakuan
Negara melalui keputusan pemerintah. Seseorang yang awalnya menguasai fisik bidang tanah
secara nyata atau de facto orang tersebut diakui memiliki hak kepunyaan atau disebut jus
possessionis. Selanjutnya dalam perjalanan waktu yang cukup lama tanpa sengketa maka hak
kepunyaan tersebut mendapatkan pengakuan hukum lebih kuat yang disebut jus possidendi.
Bila pemerintah memberi pengakuan sah terhadap hak kepunyaan jus possessionis berubah
memiliki kekuatan hukum de jure sehingga dari de facto yang diikuti dengan de jure menjadi
disebut hak milik sebagai hak pribadi yang tertinggi.1
Mereka yang mempunyai hak kepunyaan atau jus possessionis seperti uraian di atas
inilah yang diakui sah oleh pemerintah, selanjutnya sering disebut dengan mempunyai
prioritas atau hak prioritas. Hak prioritas tanpa disadari telah diakui secara nyata digunakan
di berbagai penyelesaian masalah hukum pertanahan, seperti pada pemberian hak atas tanah,
perpanjangan hak, land reform, penataan ruang maupun pengadaan tanah.
Hak prioritas ini dalam pelaksanaan hukum pertanahan sudah diakui eksistensinya.
Melalui hak prioritas seseorang dapat memperoleh hak atas tanah atau memperpanjang waktu
hak atas tanahnya, karena hak prioritas seseorang bahkan dapat kehilangan hak atas tanahnya
1 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press,
Yogyakarta 2012, halaman 17,
2
dan karena hak prioritas pula hak atas tanah seseorang dicabut . Namun demikian masih ada
yang berpendapat bahwa hak prioritas ini bukan hak yang harus diakui keberadaannya.
1.2. Permasalahan.
Sampai saat ini masih belum terdapat pengertian yang seragam di kalangan penegak hukum,
praktisi maupun akademisi tentang konsep tanah negara, aset negara maupun konsep tentang
hak prioritas khususnya dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
maupun swasta. Perbedaan pemahaman para penegak hukum seperti jaksa, hakim, polisi,
advokat dan pejabat Badan Pertanahan Nasional dalam memahami hak prioritas terjadi
khususnya dalam pelaksanaan tugasnya. Apakah perbedaan pemahaman para penegak hukum
ini akibat tidak jelasnya peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan multi tafsir
atau memang penegak hukum itu kurang mendalami filosofi substansinya. Bahkan sampai saat
ini masih terdapat perbedaan penafsiran sejak kapan tanah dengan status Hak Milik yang
dilepaskan pemegang haknya menjadi “tanah penguasaan negara”.
Perbedaan pendapat tentang hak prioritas khususnya antara jaksa dengan praktisi hukum
lainnya seperti pejabat Badan Pertanahan Nasional2, pejabat pemerintah daerah sering
bermuara menjadi perkara tindak pidana korupsi khususnya kepada pejabat yang terlibat di
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, sering juga berakibat merugikan
masyarakat. Panitia Pengadaan tanah berpendapat bahwa seseorang berhak memperoleh ganti
rugi dari pemerintah karena yang bersangkutan mempunyai mempunyai hak prioritas,
sedangkan Jaksa berpendapat sebaliknya bahwa bekas pemegang Hak Guna Bangunan yang
habis masa berlakunya tidak perlu mendapat ganti rugi dari pemerintah. Banyak pejabat
pemerintah dikriminalisasi oleh karena hak prioritas.
Seseorang yang menguasai dan memanfaatkan secara fisik suatu bidang tanah cukup
lama, misalnya dengan membuka hutan atau menggarap tanah timbul dan masyarakat
sekitarnya karena berjalannya waktu mengakuinya sebagai kepunyaan orang tersebut (jus
possessionis), maka orang tersebut mendapat prioritas untuk memperoleh hak atas tanah
dengan cara mengajukan permohonan kepada pemerintah. Namun apabila ternyata tata ruang
dari bidang tanah tersebut oleh pemerintah akan digunakan untuk kepentingan umum, maka
permohonan orang tersebut untuk memperoleh hak atas tanah akan ditolak oleh pemerintah.
Karena tanah tersebut diperlukan oleh pemerintah maka hak prioritas orang tersebut
untuk memperoleh hak atas tanah menjadi hapus, hak prioritas orang tersebut berubah menjadi
2 Bahkan di kalangan pejabat tinggi di Badan Pertanahan Nasional pun masih terjadi perbedaan pendapat.
3
hak prioritas untuk memperoleh ganti rugi penguasaan fisik atau lebih dikenal dengan hak
garap atau di Jakarta sering disebut hak atas. Pemberian ganti rugi terhadap hak prioritas
penguasaan fisik ini sering dianggap merugikan pemerintah, pejabat yang memberikan ganti
rugi dianggap melakukan tindak pidana korupsi.
1. 3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, melahirkan pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan hak prioritas di bidang pertanahan ?
2) Kapan hak prioritas di bidang pertanahan mulai muncul?
3) Bagaimana keberadaan hak prioritas ini digunakan dalam penyelesaian
masalah pertanahan .?
4) Mengapa sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat tentang hak
prioritas di bidang pertanahan?
1. 4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini akan mengungkapkan beberapa masalah tentang pengakuan dan
keberadaan hak prioritas yang terjadi atau menjadi fakta hukum khususnya dalam pelaksanaan
hukum pertanahan. Selanjutnya dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh titik temu tentang
perbedaan pendapat mengenai hak prioritas.
1.5. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat menjadi masukan untuk menambah
wawasan para praktisi hukum, penegak hukum dan akademisi. Pada akhirnya dapat mengisi
kekosongan hukum sehingga bermanfaat untuk penyusunan peraturan perundang-undangan
pertanahan khususnya yang berkaitan tentang hak prioritas.
1.6. Keaslian Penelitian
Melalui penelusuran dan pengamatan melalui internet berkaitan dengan keaslian
penelitian, calon peneliti menyatakan bahwa belum ada peneliti yang menulis tentang hak
prioritas. Banyak penelitian, skripsi, tesis maupun disertasi yang menulis masalah pertanahan
yang di dalamnya sebenarnya mengandung hak prioritas, tetapi tidak pernah dikaji keberadaan
hak prioritas tersebut.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pengertian Hak Kebendaan
Penelitian tentang hak prioritas dapat diawali dengan pengertian hukum benda dan hak
kebendaan. Hukum benda mengatur pengertian tentang benda, pembedaan macam-macam
benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak
kebendaan3. Hak kebendaan ( zakelijkrecht) ialah hak mutlak atas sesuatu benda dalam hal
ini hak itu memberikan kekuasaan langsung suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap
siapapun juga. Rachmadi Usman mengemukakan bahwa inti dari hukum benda atau hukum
kebendaan itu adalah serangkaian ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum secara
langsung antara seseorang dengan benda, yang melahirkan berbagai hak kebendaan (zakelijk
recht). Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang dalam penguasaan
dan kepemilikan atas sesuatu benda di mananapun bendanya berada.4
Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) yang mengatur
mengenai benda, dan hak-hak kebendaan sudah tidak berlaku lagi. Namun demikian bukan
berarti kita tidak perlu mempelajari buku kedua KUHPerd tersebut. Menurut sistem Hukum
Perdata barat sebagaimana diatur dalam KUHPerd adanya benda tidak bergerak yaitu seperti
tanah dan segala sesuatu yang melekat di atasnya misalnya seperti pohon, dan benda bergerak
seperti ternak dan mobil. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) tidak mengenal
pembedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak. Hukum adat hanya mengenal
pembedaan benda atas tanah dan bukan tanah, hukum adat juga tidak mengenal pembedaan
atas benda bergerak dan benda tak bergerak.5
Teori hak kepemilikan atas tanah (jus propietatis) dibedakan dengan hak milik mutlak
dan sempurna (domain). Hak kepemilikan hanya satu yaitu hak milik (domain) yang sempurna
dan mutlak dalam memiliki tanah sebagai harta kekayaan (jus propietatis). Hak milik (domain)
dalam teori hukum Romawi, lahir berdasarkan suatu proses pertumbuhan yang dimulai dari
pendudukan dan penguasaan nyata (occupare de facto) untuk sampai pada pengakuan hukum
(de yure) Negara melalui keputusan (decisio) pemerintah.
3 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Penerbit Lyberty, Yogyakarta 1981,
halaman 12 4 Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta 2011, halaman 3 5 Ibid, halaman 21.
5
Pada awal penguasaan ‘de facto’ orang diakui memiliki hak kepunyaan (jus
possessionis), setelah berjalannya waktu cukup lama tanpa sengketa dan mendapat pengakuan
hukum yang lebih kuat sehingga haknya disebut ‘jus possidendi’. Setelah diperoleh pengakuan
sah dari pemerintah dengan suatu keputusan menjadi memiliki kekuatan hukum ‘de jure’
sehingga disebut dengan hak miik (domain) sebagai hak pribadi atau privat yang tertinggi,
sempurna, dan mutlak.6
UUPA yang berlandaskan hukum adat dengan demikian mengenal juga tanah sebagai
suatu benda. Herman Soesangobeng, peneliti, analis adat dan pertanahan menyampaikan
bahwa selama ini terdapat kerancuan pandangan menganggap pengembangan norma hukum
agraria berarti sama dengan mengembangkan hukum pertanahan, karena menganggap istilah
‘agraria’ dipandang lebih luas dari ‘tanah’.
Tafsiran yang keliru ini tampaknya diawali dari penjelasan dan tafsiran Gow Giok
Siong yang menyatakan bahwa istilah ‘hukum agraria’ lebih luas dari hukum tanah. Padahal,
kajian perbandingan sistim hukum Romawi, civil law, common law, maupun hukum adat,
membuktikan sebaliknya cakupan masalah yang diatur hukum pertanahan lebih luas daripada
hukum agaria. Kerancuan serta kesatanah tafsir tentang arti hukum agraria (agrarian law),
agrarischerecht) dan hukum pertanahan (land law, grondrecht), perlu dipertegas arti serta
lingkup masalah yang diatur masing-masing hukum tersebut.
Kajian perbandingan hukum membuktikan, setiap sistim hukum mengenal perbedaan
tegas antara hukum pertanahan dengan hukum agraria. Hukum pertanahan mengatur tanah
sebagai benda tetap / tidak bergerak bertalian erat dengan hukum harta kekayaan sedangkan
hukum agraria mengatur perbuatan hukum untuk mengolah serta memanfaatkan tanah dalam
hal ini benda-benda di atas tanah dikategorikan sebagai benda bergerak.
Pada hukum pertanahan itulah, tanah dibedakan jenisnya menurut kedudukan hukum
serta subjek pemegang hak yang berhak memiliki dan mengurusnya. Berbicara tentang hak
prioritas penguasaan atau pemilikan tanah dengan demikian akan berbicara mengenai Hukum
Pertanahan dan juga Hukum Agraria.
2.2. Lahirnya Hak Atas Tanah.
6 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press,
Yogyakarta 2012, halaman 16-17.
6
Di beberapa negara pendudukan tanah yang dikenal dengan istilah adverse tapi tidak
menimbulkan keributan, setelah beberapa waktu menimbulkan akuisisi atau acquisition
sepenuhnya atas tanah tersebut. Akuisisi sering diuraikan secara keliru oleh sebagian pihak
sebagai pencurian tanah, ketentuan mengenai hak melalui cara pemilikan demikian merupakan
proses sah untuk menciptakan rasa aman bagi mereka yang tidak mampu membuktikan
pemilikan semula. Akuisisi ini apabila diikuti pengakuan masyarakat sekitarnya akan menjadi
hak kepunyaan yang selanjutnya menjadi hak prioritas untuk memperoleh pengakuan hak dari
pemerintah atau untuk mengajukan permohonan hak.
Lahirnya hak atas tanah masyarakat adat di Indonesia sebelum UUPA dikenal melalui
proses pertumbuhan berdasarkan interaksi tiga unsur utama yaitu:
a. pertama, penguasaan nyata untuk didiami dan dikelola;
b. kedua, pengaruh lamanya waktu;
c. ketiga, pewarisan7
Penguasaan nyata didapat antara lain melalui cara individualisasi hak ulayat, membuka
hutan dan hadiah dari raja.8
Selanjutnya Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengatur lahirnya hak
milik sebagai berikut:
1. Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi
karena:
a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan undang-undang
Van Vollenhoven menyebut hak menguasai dari masyarakat adat dengan
‘beschikkingsrecht’ yaitu hak untuk mengatur penyediaan, pemberian kuasa menggunakan dan
memanfaatkan tanah agar hasilnya bisa dinikmati orang pribadi, keluarga, maupun masarakat
hukum adat. Hak menguasai masarakat hukum adat itu dengan demikian bukan hak milik
tertinggi yang mutlak di atas hak milik perorangan secara pribadi, keluarga maupun organisasi
7Herman Soesangobeng, Penjelasan Serta Tafsiran Tentang Kedudukan Hukum Adat dan Hak Menguasai
Adat dan Hak Menguasai dari Negara bagi Pembentukan Hukum Pertanahan Indonesia, Tidak diterbitkan,
Jakarta 2005, hlm. 31.
8 Contoh di Yogyakarta, tadinya pemanfaat tanah hanya diberi hak magersari kemudian diberi hadiah raja
dengan hak andarbeni atau prioritas memanfaatkan menjadi prioritas memilik. Hak Andarbeni ini menurut
UUPA dikonversi menjadi Hak Milik.
7
masyarakat. Karena itu, hak menguasai masarakat hukum adat itu, tidak dapat disamakan
dengan hak milik mutlak tertinggi yang dipahami pada ajaran dan azas hukum Common
Inggeris dan Anglo-Saxon Amerika.
Hak menguasai dalam Hukum Pertanahan Adat itu, lebih bersifat mengatur
penggunaan tanah dan menjaga keamanan pemilikan individu, agar tanah bisa terus
dimanfaatkan oleh warga dan keturunannya sampai kapanpun, tanpa batas waktu. Warga
masyarakat hukum pun dianggap tidak pernah lenyap, melainkan tetap hidup dalam masyarakat
meskipun dalam bentuk roh-roh nenek moyang. Maka setiap tindakan manusia atas
tanahnya, harus selalu dilakukan dalam bentuk dialog dan perjanjian sacral antara manusia
dengan roh-roh nenek moyang dan tanah yang juga dipandang berjiwa untuk menghidupkan
manusia. Konsepsi filosofis inilah yang mendasari adanya kekuasaan serta hubungan
abadi antara manusia dengan tanah miliknya, sehingga Ter Haar menyebutnya sebagai sebuah
hubungan hukum yang kuat dan abadi. Jadi kedudukan hukum dari hak menguasai
masarakat hukum adat itu adalah sebagai tuan (empunya) yang mempunyai tanah dengan
‘hak kepunyaan’, yang belum sekuat dan sepenuh untuk menjadi hak milik.
Konsep ‘hak menguasai tanah’ sebagai ‘empu’ atau ‘tuan’-nya dari masrakat hukum
adat itu, terbukti telah diterjemahkan kembali dan ditafsirkan secara kontemporer, bahkan
sudah dilembagakan menjadi norma dasar konstitusional dalam pasal 33 UUD 1945 serta pasal
2 ayat 1 dan 2 UU No. 5/1960 (UUPA 1960). Juga keabadian hubungan manusia-masarakat
dan tanah, pun sudah dibakukan kembali dalam rumusan pasal 1 ayat 3 UUPA 1960. Jadi
konsep filosofi adat tentang hak kekuasaan masarakat hukum adat serta keabadian hubungan
manusia dengan tanah dan masarakat hukumnya itu, telah diterjemahkan dengan penafsiran
baru serta dilembagakan kembali menjadi norma-norma dasar konstitusional Indonesia dalam
rumusan pasal 33 UUD 1945 maupun peraturan pelaksananya dalam pasal 2 UUPA 1960.9
Masarakat hukum adat dan hak-hak adatnya, harus otomatis diakui ah sebagai
pemilik tanah dengan hak milik, karena baik warga masarakat hukum maupun masarakat
hukum adatnya, keberadaannya telah diakui dalam UUD 1945. Pengakuan mana menyebabkan
warga masarakat hukum adat otomatis beralih status hukum menjadi warga Negara Indonesia,
dan kedudukan hukum masarakat hukum adat pun tetap diakui keberadaannya oleh UUD 1945.
Maka setiap rumusan peraturan perundang-undangan yang bersifat menyangkal atau
9 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press,
Yogyakarta 2012, halaman 209
8
menafikan kedudukan serta pengakuan UUD 1945 itu, adalah inkonstitusional dan dapat
dikategorikan sebagai perbuatan pidana atau kriminal. Karena rumusan dan tindakan hukum
yang dilakukan pejabat itu adalah bersifat melanggar hak azasi kewarganegaraan dari
warga Negara Indonesia terhadap hak kepemilikannya atas tanah. Maka penguasaan dan
pendudukan tanah secara syah berdasarkan hukum adat dalam lingkungan kuasa suatu
masarakat hukum, baik oleh perorangan warga persekutuan maupun persekutuan hukum adat,
adalah otomatis karena/demi hukum, merupakan hak milik dari pemegang hak, sepanjang
yang bersangkutan tidak kehilangan kedudukan hukumnya sebagai warga Negara
Indonesia, atau persekutuan hukum adatnya tidak dibubarkan oleh warga persekutuan hukum
adatnya. Karena filosofi, teori, dan ajaran Hukum Adat tentang pembentukan persekutuan
hukum adat, adalah berdasarkan ajaran keabadian hubungan perikatan hukum yang bersifat
magis antara orang dengan tanahnya. Maka tidak seorangpun dari warga persekutuan hukum
yang berniat membubarkan persekutuan hukumnya.
Karena itu, kategori pernilaian keberadaan masyarakat hukum adat menurut
PMA No. 5/1999, dan rumusan pasal 3 maupun 5 UUPA 1960, adalah salah dan melanggar
prinsip dasar hukum adat, sebab menggunakan kategori paradigma hukum Hindia Belanda
yang ingin menghapus hukum adat untuk diganti dengan hukum Sipil Belanda
(BW/KUHPInd.). Masyarakat hukum adat harus tetap diakui keberadaannya, sampai dapat
dibuktikan bahwa masyarakat hukum adat tertentu, telah dibubarkan oleh warga
persekutuan hukumnya. Dalam hal masyarakat hukum adat dipindahkan ke tempat
lain oleh Pemerintahan Negara, ke daerah transmigrasi, maka masyarakat hukum adatnya pun
berpindah ke tempat baru bersama dengan perpindahan warga masyarakatnya sebagai
penduduk.
Hak keperdataan adat lahir dari proses pertumbuhan hak sebagai salah satu dalil pokok
Hukum Pertanahan Adat Indonesia. Proses itu membuktikan bahwa hak keperdataan atas
tanah, bertumbuh dan berkembang melalui penguasaan dan pendudukan bidang tanah untuk
dimanfaatkan dan digunakan oleh warga masarakat hukum. Penguasaan dan pendudukan itulah
dasar bagi lahirnya hak keperdataan atas tanah yang kuat dan penuh, berdasarkan empat dasar
utama yaitu:
a. karena kedudukan hukum orang sebagai warga persekutuan masyarakat hukum,
b. karena sudah mendapatkan perkenan berupa ijin dan dengan
sepengetahuan kepala persekutuan masarakat hukum adat,
9
c. karena maksud dan tujuan penguasaannya adalah untuk dikelola sendiri secara
langsung agar bisa dinikmati hasilnya,
d. tidak ada maksud dan tujuan penguasaan tanah untuk dijadikan obyek
perdagangan bagi keuntungan diri sendiri.
Terpenuhinya keempat syarat ini oleh orang yang menguasai dan menduduki tanah, dan
dibenarkan oleh warga masyarakat serta kepala masarakat hukum adat, menyebabkan lahirnya
pengakuan hak keperdataan orang atas bidang tanah yang diduduki serta dikuasainya. Maka
sifat hak keperdataan warga masarakat hukum adat atas tanahnya, menjadi kuat dan pasti
dengan jaminan masarakat hukumnya. Sementara hak keperdataan masarakat sebagai
organisasi persekutuan hukum adat, berada dalam keadaan menguncup dan mengembang
terhadap hak perorangan atau individu; sekalipun hak keperdataan masarakat itu tidak pernah
hapus pengaruhnya terhadap hak perorangan atau individu.
Hak keperdataan warga masarakat hukum adat atas tanahnya, merupakan suatu hak dasar
yang bersifat azasi, yang tidak boleh dilanggar dengan sewenang-wenang oleh warga
masarakat maupun penguasa masyarakat hukum adat, baik dalam bentuk mencabut hak
miliknya ataupun menjualnya kepada orang luar yang menyebabkan terjadinya pemutusan
abadi hak kekuasaan masyarakat. Bahwa tanah masarakat hukum adat, tidak boleh dijual
lepas untuk selama-lamanya kepada orang asing, karena mereka bukan anggota masyarakat
hukum adat.10
Masyarakat hukum adat maupun hak-haknya atas tanah, tetap diakui Negara RI,
keberadaan masarakat hukum adat pun ditegaskan dalam UUD 1945. Maka terhadap tanah-
tanah yang semula dimiliki oleh masyarakat persekutuan hukum adat, kemudian digunakan
oleh perusahaan maupun Negara, bisa dikembalikan menjadi milik masyarakat, setelah masa
pemakaiannya berakhir. Namun penggunaan serta pemanfaatannya oleh masyarakat hukum
adat, harus diatur sesuai dengan ketetapan Pemerintah. Masarakat hukum adat, tidak pernah
harus kehilangan apalagi dicabut hak kepemilikan adatnya oleh Negara. Azas dan
ajaran ini, bersumber pada ajaran ke-enam dari Hukum Pertanahan Adat, yang sudah
ditafsirkan dan dilembagakan menjadi norma dasar konstitusional dalam rumusan pasal 33
UUD 1945, sehingga paradigmanya disebut ‘hak menguasai dari Negara’ (HMDN).
Maka dengan paradigma HMDN, Negara RI tidak berhak memutuskan hak keperdataan
kepemilikan tanah WNI termasuk hak masarakat hukum adat melalui lembaga pencabutan
10 Ibid halaman 235
10
hak.
Tetapi Negara RI, berkewenangan hukum untuk menetapkan (beschikken)
penggunaan tanah milik masarakat hukum adat, melalui perundingan dan kesepakatan bersama
atas area atau bidang-bidang tanah yang akan digunakan baik oleh Pemerintah maupun
perorangan dan badan usaha swasta. Misalnya area atau bidang-bidang tanah milik
masyarakat hukum adat akan digunakan untuk kepentingan umum atau pelayanan publik atau
masarakat, ataupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Negara, maka
perundingan bisa dilakukan untuk memberikan hak pakai abadi atau selama secara nyata
masih digunakan oleh pihak pemakai.
Terhadap tanah-tanah masarakat hukum adat yang diserahkan untuk digunakan bagi
pelayanan publik atau kepentingan umum dan pertahanan serta keamanan Bangsa dan
Negara, maka kedudukan hukum tanahnya dalam struktur hukum Pertanahan dan
Keagrariaan Nasional adalah menjadi tanah yang ‘dibebaskan atau dikeluarkan dari hubungan
perdagangan’. Tanah masarakat yang diserahkan itu hanya boleh digunakan untuk
kepentingan umum atau keamanan Negara yang bersifat nirlaba. Fungsi dan peranan dalam
penggunaan tanah masarakat yang nirlaba itulah, yang harus dijelaskan kepada warga
masarakat hukum dan dibuktikan dalam penggunaannya, agar masarakat dan warganya tidak
menuntut ‘retribusi’, berupa hasil berupa laba usaha atas pengotanah tanah kepunyaan
masarakat, yang harus dibayarkan pemakai tanah kepada masarakat hukum adat. Rasa
keadilan inilah yang diabaikan Pemerintah RI ketika mengambil tanah milik masyarakat
hukum adat, sehingga sering timbul sengketa pengembalian kembali tanah-tanah yang
digunakan Negara maupun badan usaha swasta. Penafsiran dan paradigma hukum terhadap
masyarakat hukum adat dan hak atas tanahnya seperti di atas ini, adalah akibat hukum logis
dari teori ‘de facto-de jure’ yang menggantikan teori ‘eigendom’ BW/KUHPerd. Dan
‘domeinverklaring’. Karena masyarakat hukum adat yang mempunyai tanah sebagai ‘milik’
dengan hak ‘kepunyaan’ adat, tidak pernah hapus.
Pengakuan atas penguasaan bidang tanah oleh masyarakat sekitarnya akan melahirkan
hak prioritas, apabila pemerintah mengakui hak prioritas itu sebagai pemilikan adat maka
pemilikan itu secara otomatis atau dikonversi menjadi hak atas tanah dengan status Hak Milik
sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA.
Sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang mengatur terjadinya hak milik menurut
hukum adat yang merupakan perintah UUPA Pasal 22 ayat (1) belum pernah terbit padahal
11
perintah itu sudah 55 tahun yang lalu, hal ini menjadi pertanyaan tersendiri. Terjadinya hak
milik tidak cukup diatur dengan Peraturan Peraturan Pemerintah, hal-hal menyangkut
keperdataan orang atau badan hukum seharusnya diatur dengan undang-undang. Namun
terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang sesuai perintah UUPA Pasal 22 ayat (2)
huruf b. sampai saat ini belum juga pernah diundangkan, sungguh memprihatinkan. Di
Indonesia dengan demikian sesudah berlakunya UUPA, pemilikan tanah dapat terjadi karena
bekas milik adat (Pasal 22 ayat (1) yang sampai saat ini belum diatur dengan Peraturan
Pemerintah maupun Undang-Undang dan karena penetapan pemerintah melalui pemberian hak
(Pasal 22 ayat (2) angka 2a). Peraturan perundang-undangan yang telah terbit mengatur
tentang hak ulayat dan tanah ulayat yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dan menyusul Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun
2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
mengatur sebagai berikut :
1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak
ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan
hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat
hukum adat tertentu.
3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun
atas dasar keturunan.
4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat lebih jelas mengatur tentang keberadaan
masyarakat adat. Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mempertegas keberadaan
masyarakat hukum adat sebagai berikut:
12
1. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup
berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan
atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan
hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya,
hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
2. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya
alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan
secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat
yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah
ulayat atau hutan adat.
3. Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis,
yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai
budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati dan
dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.
Sebagai contoh munculnya hak prioritas pada kejadian tanah timbul yang terbentuk
karena peristiwa alam yang terjadi secara pertanah dan bertahap ataupun secara cepat. Tanah
timbul ini sering menjadi rebutan. Tanah timbul dapat terbentuk di tepi sungai atau di pantai
tepi laut. Di tepi sungai tanah timbul terbentuk dari tanah hasil erosi tepi sungai dan
mengendap di tepi lainnya. Terjadinya tanah longsor yang menutup bagian dari sungai akan
membelokkan arah sungai yang berakibat bidang tanah musnah di salah satu sisi dan timbul
bidang tanah baru di sisi lainnya, atau karena erosi selama puluhan sampai ratusan tahun
bentuk aliran sungai yang meliuk-liuk seperti huruf S yang di sambung sambung (meander)
menjadi lurus sehingga terbentuk sungai baru sedang bekas sungai lama menjadi tanah kering
menjadi daratan baru .
Tanah timbul di tepi laut atau pantai terbentuk karena sungai membawa lumpur dari
tanah hasil erosi dari hulu yang dalam hal ini sering akibat ulah manusia yang melakukan
penebangan pohon-pohon secara membabi buta. Lumpur yang di bawa aliran sungai ke laut
sesampainya muara oleh ombak air laut di dorong dan dihempaskan kembali ke pantai dan
terjadilah endapan yang terus menerus sehingga terbentuk daratan baru. Manusia yang
memperhatikan proses terjadinya tanah timbul sering ikut membantu mempercepat proses
terbentuknya dengan berbagai cara antara lain membuat penghalang lumpur hanyut ke lautan
lepas dengan menanami tanaman tertentu, di kemudian hari masyarakat yang menanami
tanaman tersebut atau upaya lain yang mempercepat terbentuknya daratan baru menjadi merasa
paling berhak atau mempunyai prioritas atas penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut.
Mereka yang merasa paling berhak ini yang selanjutnya dapat mengajukan permohonan untuk
memperoleh hak atas tanah, hal ini yang disebut oleh Pasal 22 ayat (2) huruf a yaitu hak milik
13
terjadi karena penetapan Pemerintah yang saat ini diatur dengan peraturan pelaksanaannya
Pasal 3 dan Pasal 7 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara yang mengatur sebagai berikut :
Pasal 3: Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya memberi keputusan mengenai :
1. pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha
(duahektar);
2. pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2
(dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
3. pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program:
a. transmigrasi;
b. redistribusi tanah;
c. konsolidasi tanah;
d. pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan
pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik.
Pasal 7: Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan
mengenai :
1. pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 HA (dua hektar);
2. pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5.000 m2
(lima ribu meter persegi), kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3.
Peraturan pelaksanaan untuk memperoleh hak atas tanah di atas dicabut dan dirubah dengan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 yang selanjutnya dicabut
lagi dan dirubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013
sebagai berikut:
Pasal 3: Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai:
a. pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya tidak
lebih dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter persegi).
b. pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya
tidak lebih dari 3.000 m² (tiga ribu meter persegi).
c. pemberian Hak Milik untuk badan hukum keagamaan dan sosial yang telah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-
Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah, atas tanah non pertanian
yang luasnya tidak lebih dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter persegi).
d. pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program:
1. transmigrasi;
2. redistribusi tanah;
3. konsolidasi tanah;
14
4. Program yang dibiayai oleh APBN dan/atau APBD; dan
5. Pendaftaran Tanah yang bersifat strategis dan massal.
Pasal 7 : Kepala Kanwil BPN memberi keputusan mengenai:
a. pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih
dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari luas batas maksimum
kepemilikan tanah pertanian perorangan.
b. pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya
lebih dari 3.000 m² (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 m² (sepuluh ribu
meter persegi).
c. pemberian Hak Milik untuk badan hukum keagamaan dan sosial yang telah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-
Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah, atas tanah non pertanian
yang luasnya lebih dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari
150.000 m² (seratus lima puluh ribu meter persegi).
Bila kita perhatikan penggunaan istilah hukum tanah Negara yang ‘dikuasai langsung’
dan ‘tidak langsung’ tidak memiliki dasar hukum, bahkan bertentangan dengan filosofi
dasar hak konstitusional Negara Republik Indonesia dalam pasal 33 UUD 1945, yang
diterjemahkan dalam pasal 2 UUPA 1960 menjadi ‘hak menguasai dari Negara’. Istilah ‘tanah
Negara’ dengan demikian tetap bisa dipergunakan sebagai istilah hukum, akan tetapi
arti dan maknanya, bukan dalam arti dikuasai ‘langsung’ dan ‘tidak langsung’. Melainkan
dalam pengertian ‘dikuasai’ untuk diatur penggunaannya. Artinya Negara RI, secara hukum,
hanya memiliki hak dan kewenangan konstitusional untuk mengatur hak agraria, yang
akan digunakan WNI maupun orang asing atau Warga Negara asing (WNA), agar tanah bisa
menghasilkan hasil yang bisa dinikmati rakyat.
Akibat hukum selanjutnya adalah Negara RI, tidak berhak dan berkewenangan
hukum memberikan keputusan yang bersifat memberikan hak milik kepada WNI-nya. Hak
dan kewenangan hukum Negara RI, adalah hanya untuk memberikan ijin penguasaan dan
pendudukan bagi penggunaan serta pemanfaatan tanah dengan hak agraria oleh WNI
ataupun WNA. Alasan hukumnya, adalah karena pemilik tanah sebenarnya, adalah WNI
bukan Negara RI. Karena itu Negara, tidak berhak memberikan keputusan pemberian hak milik
kepada WNI-nya.
2.3. Lahirnya hak Eigendom
Pada masa Hindia Belanda bagi seseorang warga Negara Belanda, Eropah, orang Timur
Asing, dan Bumiputra yang menguasai bidang tanah dan akan mengajukan pemilikan bidang
15
tanahnya dengan hak ‘eigendom” harus terlebih dahulu memperoleh:
a. surat keputusan penetapan (beschikken) Hakim Pengadilan Negeri tentang status hak
kebendaan atas bidang tanah termohon yang disebut ‘gerechtelijk acte van zakelijk
recht’ dan
b. surat penetapan (beschiken) Hakim Pengadilan Negeri tentang pemberian hak milik
‘eigendom privaat’ kepada pemohon yang disebut ‘gerechtelijk acte van eigendoms
recht’
Bagi orang Timur Asing, seperti Cina, Arab, India, Moor atau Bumiputra, tidak serta
merta diakui sama dengan orang Eropah. Orang-orang timur asing ini yang ingin dipersamakan
kedudukannya dengan orang Belanda (gelijkgestelde Europeanen), sebelum memperoleh dua
surat keputusan dari Hakim Pengadilan Negeri tersebut harus terlebih dahulu membuktikan
dirinya telah memiliki surat keputusan dari Direktur Departemen Dalam Negeri Hindia
Belanda tentang persamaan kedudukan haknya dengan warga Negara Belanda atau kedudukan
sosial mereka disamakan dengan orang Eropah (gelijkgestelde besluit.) sehingga layak tunduk
pada hukum perdata barat. Persamaan kedudukan ini penting sekali, sebab menentukan, apakah
pemilikan ‘acte van eigendom’ dari seorang Timur Asing atau Bumi Putra, dapat diakui sah
atau tidak sebagai hak keperdataan yang diatur dalam Pasal 570 BW/ KUHPerdt. Surat
keputusan (besluit) penyamaan kedudukan hukum kepada orang Bumiputra maupun Timur
Asing itu baru diberikan, bilamana orang yang bersangkutan memenuhi lima syarat: (a).
berhasil menunjukkan bahwa dia bisa berbahasa Belanda dengan fasih seperti halnya orang
Belanda; (b). berpakaian seperti orang Belanda; (c). bergaul dalam komunitas Belanda; (d).
kemungkinan memperlancar usaha perdagangan orang Belanda; dan (e). sedapat mungkin
beragama sama dengan orang Belanda yaitu Kristen atau Katolik. Tanpa dipenuhinya
sebahagian besar persyaratan tersebut, maka baik orang Bumiputra maupun golongan Timur
Asing tertentu, tidak akan mendapatkan surat keputusan persamaan kedudukan hukum
dengan orang Belanda.
Sebelum memperoleh dua surat keputusan Hakim Pengadilan Negeri harus terlebih
dahulu minta surat keterangan mengenai kepastian hukum letak batas objek tanahnya dari
Kantor Kadaster (Kadastral Dients) yang berkedudukan di bawah Departemen Kehakiman
yang disebut “Surat Keterangan Tanah Terdaftar” (landmeter kennis) beserta gambar yang
16
menerangkan tentang letak batas bidang tanah 11 Landmeter Kenis ini sekarang seperti Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dilampiri gambar letak batas bidang tanah.
Setelah memperoleh dua keputusan Hakim Pengadilan Negeri yang aslinya disimpan
di Pengadilan Negeri yang disebut ‘ minuut’, pemohon memperoleh salinan aslinya disebut
‘grosse acte”. Selanjutnya pemohon menghadap Notaris untuk memperoleh “surat bukti
kepemilikan” yang disebut dengan ‘acte van eigendom’ ‘Acte van eigendom’ ini wajib
didaftarkan ke Kantor Kadaster untuk dicatat dalam “daftar umum’ memenuhi asas publisitas
pendaftaran tanah agar mempunyai kekuatan sebagai alat bukti otentik.
Hanya pemegang ‘acte van eigendom’ yang telah memiliki penetapan hak ‘eigendom’
dari Hakim Pengadilan Negeri (juristerij beschikking) dan yang ‘notareel acte’-nya
dicatatkan dalam ‘daftar umum’ (openbare register) sajalah, yang diakui syah sebagai
pemegang hak keperdataan yang bersifat kebendaan (zakelijk recht) dan diatur oleh
BW/KUHPInd. sehingga dilindungi penuh oleh Negara. Mereka yang memiliki ‘acte van
eigendom’ yang tidak didasarkan pada keputusan penetapan ‘eigendom’ Hakim
Pengadilan Negeri, dan tidak didaftarkan, atau terlambat mendaftarkan ‘acte’-nya di dalam
‘daftar umum, hanya diakui sebagai pemegang hak ‘anggapan’ sehingga tidak sepenuhnya
dilindungi Negara.
Terhadap hak eigendom ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengatur ketentuan-
ketentuan konversi yang diatur dalam Pasal I sebagai berikut:
(1) Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat
tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut
dalam pasal 21.
(2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah
kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi
hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tersebut di atas.
(3) Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang
tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu
20 tahun.
(4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak
11 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press,
Yogyakarta 2012, halaman 76
17
erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak
guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1), yang membebani hak milik yang bersangkutan selama
sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak
erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal
atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6) Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom
tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3) pasal ini, sedang
hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini.
2.4. Hapusnya Hak Atas Tanah
Tanah dapat hilang atau musnah karena peristiwa alam, peristiwa alam yang murni
maupun peristiwa alam akibat ulah manusia seperti penebangan hutan yang mengakibatkan
banjir bandang hingga memusnahkan bidang-bidang tanah. Hak atas tanah hapus kalau
tanahnya musnah, diatur secara jelas di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagai berikut:
Pasal 27.
Hak milik hapus bila:
a. tanahnya jatuh kepada negara,
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.
Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Pasal 40.
Hak guna-bangunan hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
18
tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
Tanah yang semakin lama semakin langka, seharusnya benar-benar digunakan dan
dimanfaatkan seefisien mungkin untuk kesejahteraan masyarakat, namun fakta di lapangan
banyak ditemui tanah diterlantarkan tidak dipelihara apalagi dimanfaatkan. Memelihara tanah
merupakan kewajiban pemilik tanah yang diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor
Tahun 1960 sebagai berikut:
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban
tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan
memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Apabila pemilik tanah sesudah peristiwa musnahnya tanah yang berakibat kehilangan
hak atas tanahnya melakukan melakukan pengurukkan atau reklamasi, sehingga batas-batas
bidang tanahnya kembali semula seperti yang digambarkan dalam Surat Ukur. Pemilik tanah
dengan melakukan reklamasi tidak serta merta hak atas tanahnya kembali seperti semula, hal
ini merupakan resiko dari pemilik tanah yang tidak atau lalai memelihara batas tanahnya.
Tanah hasil reklamasi tersebut statusnya menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara,
negara akan mengatur peruntukkan dan pemanfaatannya. Pemilik tanah semula dapat
mengajukan kembali melalui permohonan hak, namun tergantung dari Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) apakah tanah tersebut masih dapat diberikan dengan sesuatu hak. Tanah
yang cenderung mengalami abrasi atau erosi untuk kelestarian lingkungan dan situasi alam,
tanah tersebut seyogyanya Pemerintah sebagai penyelenggara Negara yang mempunyai
kewenangan mengatur peruntukan dan penggunaan tanahnya harus menetpakan sebagai ruang
terbuka hijau, dengan demikian pemegang hak semula tidak dapat lagi memperoleh hak atas
tanah tersebut.
Menyikapi hal tersebut Badan Pertanahan Nasional membuat Surat Edaran bahwa
terhadap tanah-tanah yang hilang secara alami, akibat abrasi pantai, tenggelam atau hilang
karena longsor, tertimbun atau gempa bumi, atau pindah ke tempat lain karena pergeseran
tempat (land slide) maka tanah-tanah tersebut dinyatakan hilang dan haknya hapus dengan
19
sendirinya. Selanjutnya pemegang haknya tidak dapat minta ganti rugi kepada siapapun dan
tidak berhak menuntut apabila di kemudian hari di atas bekas tanah tersebut dilakukan
reklamasi/penimbunan dan/atau pengeringan12. Tanah yang hilang secara alami artinya hak
atas tanah dan hak prioritas hapus secara bersamaan.
2.5. Landasan Teori
Teori yang digunakan peneliti sebagai landasan dalam menganalisis permasatanah-
permasatanah di dalam penelitian yaitu : Teori Kebijakan, Teori Hak Milik dan Teori Keadilan
1). Teori Kebijakan: Kebijakan merupakan salah satu instrumen hukum yang digunakan
pemerintah untuk mengatur negara dan masyarakat. Kebijakan yang diambil selain
berpedoman dengan hukum tertulis harus juga memperhatikan aspek dan norma yang
hidup di masyarakat, dalam kasus ini norma yang hidup di masyarakat tentang hak
prioritas di bidang pertanahan. Agar kebijakan yang diambil tidak merugikan masyarakat.
Menurut Talcott Parson, ada empat sub sistem dalam masyarakat yang perlu diperhatikan
dalam mengambil kebijakan. Tiap-tiap sub sistem mempunyai fungsi masing-masing,
yaitu: 13
a. Sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi, yaitu, bagaimana masyarakat tersebut dapat
memanfaatkan sumber daya di sekitarnya. Pemanfaatan sumber daya yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pengaturan kebijakan pemerintah memberikan prioritas
kepada siapa pemanfaatan tanah diberikan. Kebijakan yang diambil harus bertujuan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
b. Sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan, yaitu setiap warga masyarakat selalu
mempunyai kebutuhan untuk mengetahui arah mana tujuan masyarakat itu digerakkan,
dengan politik masyarakat dihimpun sebagai satu totalitas untuk menentukan satu
tujuan bersama.
c. Sub sistem sosial berfungsi integrasi, yaitu, proses-proses di dalam masyarakat
diintergrasikan menjadi satu sehingga masyarakat dapat merupakan satu kesatuan.
Peraturan mengenai pembatasan prioritas perolehan hak atas tanah juga harus melalui
proses sosialisasi atau tahapan-tahapan agar dalam masyarakat tidak muncul suatu
12 Surat Edaran Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 9 Mei 1996
Kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan seluruh Indonesia perihal
Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi.
13 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta
1996, halaman 298 - 299
20
perpecahan dan masyarakat akan menyesuaikan diri atau berintegrasi dengan kebijakan
tersebut.
d. Sub sistem budaya berfungsi mempertahankan pola, yaitu tanpa budaya maka
masyarakat tidak dapat berintegrasi, tidak dapat berdiri menjadi satu kesatuan.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hendaknya melihat budaya yang ada di
masyarakat. Masyarakat Indonesia memang memiliki keragaman budaya, sehingga
dalam pengambilan kebijakan harus melihat unsur-unsur yang ada dalam budaya-
budaya tersebut. Kebijakan yang mengatur masalah tanah juga harus melihat unsur
budaya itu. Unsur budaya yang harus diperhatikan dalam mengambil kebijakan
pertanahan tidak terlepas dari sejarah dan yang menjadi latar belakang tanah itu.
2). Teori Hak Milik : Menurut Robert Nozick, pemilikan hak ditentukan oleh perolehan hak
milik semula, pemindahan hak milik, dan pembetulan hak milik. Menurut konsep ini, setiap
orang berhak atas apa yang yang telah dikerjakannya atau yang secara bebas diterima dari
orang lain berdasarkan pemindahan hak milik.
3). Teori Keadilan: Persoalan tentang keadilan terutama mengenai sifat dasarnya dan
pengertiannya telah dibahas oleh banyak filsuf dengan teori-teori keadilan yang
diungkapkan mereka. Konsep keadilan tersebut juga akan dipergunakan untuk melihat
implementasinya. Berbicara mengenai keadilan memang tidak akan pernah selesai karena
setiap orang memiliki nilai atau ukuran yang berbeda mengenai keadilan. Oleh sebab itu,
ada beberapa konsep keadilan yang akan digunakan untuk melihat fakta yang berkaitan
dengan hak prioritas. Menurut John Rawls, suatu perlakuan yang sama bagi semua anggota
masyarakat yang terakomodasi dalam keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung akan
kebebasan dan kesamaan bagi semua orang. Pengakuan itu memperlihatkan adanya
kesadaran sosial yang mendasar bahwa kebebasan dan kesamaan adalah nilai yang
sifatnya tidak dapat dikorbankan. Konsep keadilan Rawls yang berakar pada prinsip hak
mengandung arti bahwa semua orang tidak harus diperlakukan secara sama tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang ada pada setiap individu.
Ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan apabila
kebijakan yang dikeluarkan demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang.
Konsep keadilan yang diungkapkan Rawls tersebut memberikan tempat dan menghargai
hak setiap orang untuk menikmati hidup yang layak sebagai manusia. Menurut Rawls,
kekuatan dari keadilan terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh
21
memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada
kebebasan. Pembatasan terhadap hak dan kebebasan hanya dapat dilakukan demi
melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Ketidaksamaan dalam
nilai sosial dan ekonomi tidak harus diartikan sebagai suatu ketidakadilan.
Menurut Robert Nozick, adil adalah kalau setiap orang memiliki apa yang ia berhak
atasnya. Namun, dalam suatu masyarakat kemungkinan terjadi keterbatasan sumber atau
kelangkaan benda sehingga asas historis dan pemilikan hak saja tidak menciptakan
keadilan. Setiap orang memiliki suatu hak terhadap sesuatu benda yang telah dimiliki
selama pemilikan oleh orang itu tidak memperburuk situasi dari orang-orang lain akan
dikatakan adil.
Ketiga teori ini dipergunakan untuk memahami dan menganalisis apakah penerapan hak
prioritas telah sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3. 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dipilih penelitian
hukum karena fakta yang diteliti merupakan isu hukum. Penelitian hukum adalah suatu proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Metode penelitian hukum tidak mengenal analisis
kualitatif dan kuantitatif dan tidak diperlukan adanya hipotesis.14 Isu hukum dalam penelitian
ini adalah tentang keberadaan hak prioritas di bidang penguasaan, pemanfaatan dan pemilikan
tanah, pengadaaan tanah dan penyelesaian masalah pertanahan.
Pemecahan masalah terhadap isu hukum penelitian ini dilakukan melalui cara
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi,
yang bersangkutan dengan isu hukum yang dalam hal ini isu hukumnya adalah sudut pandang
yang berbeda tentang hak prioritas. Konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang
dengan undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar dalam hal
ini :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir.
c. Undang-Undang Nomor : 3 Prp 1960, Tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap
Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda”
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Pasal 1, 2, 4, 6, 16 ayat (1) dan
18;
e. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
f. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum.
g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Pemerintahan Daerah
h. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
i. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Pemberian Hak Atas Tanah
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta 2005, halaman 35.
23
Pendekatan kasus dilakukan dengan mempelajari ratio decidendi, yaitu seperti alasan –
alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.15 Pendekatan
kasus penelitian ini dilakukan terhadap alasan-alasan pejabat Badan Pertanahan Nasional
mengambil keputusan dalam mengakui dan atau memberikan hak atas tanah karena hak
prioritas atau mencabut hak atas tanah karena hak prioritas. Pendekatan-pendekatan hukum
tersebut digunakan untuk eksplanasi hukum sesuai dengan tujuan penelitian untuk
mewujudkan pemahaman yang sama terhadap substansi peraturan perundang-undangan
khususnya yang berkaitan dengan hak prioritas.
3.2. Bahan Hukum
Bahan hukum penelitian ini terdiri dari bahan hukum atas:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
yurisprudensi atau putusan pengadilan yang berkaitan dengan hak prioritas yang
diperoleh melalui internet atau perpustakaan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri dari bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan membantu menganalisis bahan
hukum primer seperti pendapat para pakar hukum, jaksa, hakim, advokat,
pejabat Badan Pertanahan Nasional dan praktisi di bidang pertanahan lainnya
yang diperoleh melalui buku, jurnal, karya ilmiah, surat kabar, internet atau
melalui wawancara.
3.3. Analisis Bahan Hukum
Analisis penelitian ini dilakukan dengan cara mengolah secara sistimatis bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder dengan cara membuat klasifikasi bahan-bahan hukum
tersebut. Pengklasifikasian bahan-bahan hukum tersebut untuk mempermudah proses analisis
sehingga akan diperoleh pemahaman yang sama tentang hak prioritas.
3.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di lakukan di Kantor Pertanahan Kota Surabaya, Kantor Pertanahan
Kabupaten Sidoarjo dan Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik dan Kantor Wilayah Badan
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta 2005, halaman 119
24
Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi tersebut karena diperoleh
informasi bahwa banyak permasalahan tanah yang menyangkut tentang hak prioritas .
3.5. Kegiatan Penelitian
Kegiatan penelitian telah dilakukan dengan pengumpulan bahan hukum primer maupun
sekunder dilakukan studi kepustakaan, internet, mencari warkah dan informasi di Kantor
Pertanahan, di Kantor Wilayah Badan Pertanahan, wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, wawancara dengan Kepala Kantor
Pertanahan.
25
BAB IV
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Wilayah
Wilayah penelitian langsung merupakan wilayah pesisir utara Pulau Jawa yaitu
Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya dan yang tidak langsung
memperoleh beberapa fakta hukum dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Jawa Timur tentang kasus- kasus yang menyangkut hak prioritas di Provinsi Jawa Timur.
Wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik merupakan daerah
yang mempunyai potensi sumber daya alam seperti sumber daya mineral, minyak bumi,
kegiatan tambak perikanan dan pertanian. Di ketiga wilayah tersebut bermuara sungai-sungai
besar sehingga menjadi wilayah yang subur dan berkembang pesat menjadi pusat perdagangan
dan permukiman manusia yang terdiri berbagai macam profesi seperti petani, nelayan dan
pedagang. Bermuaranya sungai-sungai besar secara alami pada masa silam merupakan sarana
lalu lintas yang menuju pusat perdagangan dan pemukiman sehingga bidang tanah menjadi
penting nilainya.
Sumber daya alam di wilayah tersebut telah dimanfaatkan secara beraneka ragam yang
seringkali berbeda antara sektor satu dengan sektor lainnya bergantung pada kebutuhan.
Pemanfaatan yang beraneka ragam antar sektor ini dapat mengarah terjadinya perebutan
bidang tanah yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik yang pada akhirnya akan
mengganggu keseimbangan ekosistem wilayah pesisir itu sendiri. Permasalah pelik di ke tiga
wilayah tersebut adalah konflik kepentingan antara konservasi sumber daya alam dan
pembangunan ekonomi, terutama yang menyangkut konversi ekosistem alamiah (manggrove,
terumbu karang dan ekosistem tanah basah lainnya) menjadi tanah pertanian, permukiman, dan
kawasan industri kota pantai (waterfront city), dan peruntukan lainnya.
Bagi perencana pembangunan ekonomi, melalui tata ruang merupakan hal yang wajar
untuk menyulap tanah basah yang terdapat di kawasan pesisir tiga wilayah terebut untuk
kepentingan pertanian seperti tambak ikan atau tambak udang, dan menjadikan areal
permukiman dan peruntukan lainnya seperti untuk areal industri. Ekosistem tanah basah dapat
dianggap kecil sekali nilai ekonominya atau bahkan dianggap sebagai tanah mubazir (waste
land), namun hal ini masih diperkenankan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
sepanjang kegiatan tersebut tidak mengganggu fungsi lindung/konservasi. Di ketiga wilayah
okupasi masyarakat terhadap pemanfaatan tanah timbul ( de facto) di muara sungai yang sering
disebut dengan “delta” menjadi marak.
26
4.2. Kabupaten Sidoarjo
4.2.1. Gambaran Wilayah
Kabupaten Sidoarjo secara administratif berbatasan dengan wilayah-wilayah sebagai
berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Madura.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto
Peta Administrasi Kabupaten Sidoarjo
Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu dari 29 wilayah Kabupaten dan 9 Kota yang
ada di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu penyangga Ibukota Provinsi
Jawa Timur merupakan daerah yang mengalami perkembangan pesat. Keberhasilan ini dicapai
karena berbagai potensi yang ada di wilayahnya seperti industri dan perdagangan, pariwisata,
serta usaha kecil dan menengah dapat dikemas dengan baik dan terarah. Adanya berbagai
potensi daerah serta dukungan sumber daya manusia yang memadai, maka dalam
perkembangannya Kabupaten Sidoarjo mampu menjadi salah satu daerah strategis bagi
pengembangan perekonomian regional.
Kabupaten Sidoarjo terletak antara 112̊ 5’- 112̊ 9’ Bujur Timur dan antara 7̊ 3’- 7̊ 5’
Lintang Selatan. Kabupaten Sidoarjo dengan luas wilayahnya 71.424,25 km2 terbagi atas 18
27
Kecamatan dan 322 desa serta 31 kelurahan. Secara rinci tentang jumlah desa masing-masing
Kecamatan, serta luas wilayahnya sebagaimana disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel Pembagian Wilayah Administrasi dan Luas Tiap Kecamatan
No Nama Kecamatan Jumlah Luas Wilayah
(Ha) Desa Kelurahan
1 Sidoarjo 10 14 6256
2 Buduran 15 - 4102.5
3 Candi 24 - 4066.8
4 Porong 13 6 2982.3
5 Krembung 19 - 2955
6 Tulangan 22 - 3120.5
7 Tanggulangin 19 - 3229
8 Jabon 15 - 8099.8
9 Krian 19 3 3250
10 Balongbendo 20 - 3140
11 Wonoayu 23 - 3392
12 Tarik 20 - 3606
13 Prambon 20 - 3422.5
14 Taman 16 8 3153.5
15 Waru 17 - 3032
16 Gedangan 15 - 2405.8
17 Sedati 16 - 7943
18 Sukodono 19 - 3267.8
Total 322 31 71424.5
Sumber : Kabupaten Sidoarjo
Daratan kabupaten Sidoarjo berasal dari tanah timbul atau sering disebut dengan delta.
Ribuan tahun yang lalu wilayah Kabupaten Sidoarjo ini masih laut, karena endapan lumpur
Sungai Brantas secara perlahan terbentuklah daratan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian
ataupun permukiman.
Penggunaan tanah di Kabupaten Sidoarjo terdiri dari penggunaan untuk kawasan lindung
maupun kawasan budidaya. Berdasarkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Sidoarjo tahun 2009-2029, prosentase penggunaan tanah di Kabupaten Sidoarjo, yaitu berupa
permukiman (26,65%), kebun (4,97%), industri (1,75%), tanah sawah (32,39%),
pekarangan/tanah kosong/ yasan/ pematangan tanah (3,61%), kolam/tambak (26,14%), fasum
(1,12%), bakau(1,41%), ruang terbuka hijau (0,66%) dan lain-lain (1,61%).
Sejak ditetapkannya Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009-2029 disebutkan di dalam Pasal 68
bahwa Kecamatan Sidoarjo, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Krian yang kemudian
disingkat menjadi Siborian merupakan salah satu kawasan strategis pembangunan
28
perekonomian di Kabupaten Sidoarjo. Pengembangan kawasan tersebut meliputi: Kecamatan
Sidoarjo yaitu berada di sepanjang Jalan Lingkar Timur Sidoarjo untuk pengembangan industri
dan perdagangan; Kawasan Jabon akan dikembangkan kawasan mix use untuk kegiatan
industri; dan pengembangan By Pass Krian untuk kawasan industri dan perdagangan. Kawasan
mix use merupakan penggunaan tanah campuran dalam hal ini terdapat beberapa kegiatan
yang menjadi satu area yang berdekatan seperti permukiman, perdagangan dan jasa,
pemerintahan serta industri yang terdapat pada satu lokasi
Siborian memiliki daya tarik bagi investasi usaha karena adanya potensi-potensi yang
dimiliki oleh masing-masing kawasan industri tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kedekatan Kabupaten Sidoarjo dengan Surabaya ibukota provinsi Jawa Timur merupakan daya
tarik utama karena kota Surabaya memiliki hampir seluruh fasilitas yang dibutuhkan oleh
industri, seperti besarnya jumlah konsumen produk industri, sumber-sumber daya yang
diperlukan bagi industri (manusia, pembiayaan/ perbankan, mesin-mesin, dan sebagainya),
serta adanya pelabuhan udara dan dermaga laut bagi kepentingan distribusi produk baik
domestik maupun internasional. Peralihan fungsi tanah pertanian ke bukan pertanian untuk
permukiman dan industri di Kabupaten Sidoarjo sangat dinamis. Bahkan terdapat 150 lebih
perusahaan pengembang perumahan yang berinvestasi di Kabupaten Sidoarjo.
Penggunaan tanah terbesar di Kabupaten Sidoarjo untuk pertanian/sawah yang luasnya
mencapai 23.139 ha. Tingginya penggunaan tanah pertanian tersebut disebabkan Kabupaten
Sidoarjo merupakan daerah delta yang sangat subur. Aktifitas pertanian di Kabupaten Sidoarjo
selain untuk tanaman padi juga untuk menanam tebu, sayuran/palawija, serta buah-buahan.
Penggunaan tanah terbesar kedua adalah untuk permukiman dengan luas 19.037,987 ha.
Perkembangan permukiman di Kabupaten Sidoarjo terjadi tidak merata, beberapa kawasan
tumbuh relatif cepat sedangkan kawasan lainnya relatif lambat. Pertumbuhan permukiman
yang terjadi dengan cepat antara lain berada di Kecamatan Sidoarjo, Kecamatan Taman,
Kecamatan Waru dan Kecamatan Sedati, sebagai akibat dari adanya kegiatan industri dan
Bandara Juanda.
Penggunaan tanah lain yang cukup dominan adalah budidaya perikanan khususnya
tambak dengan luas 18.672,796 ha. Kegiatan budidaya perikanan yang ada meliputi perikanan
tambak, perikanan kolam, keramba dan mina padi, dengan hasil produksi unggulannya berupa
bandeng dan udang. Wilayah tambak Sidoarjo membentang dari Kecamatan Waru sampai
Kecamatan Jabon, dalam hal ini Kecamatan-Kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan
Selat Madura.
Aktivitas ekonomi sektor industri juga memanfaatkan tanah yang cukup besar di
29
Kabupaten Sidoarjo, yaitu seluas 1.253,371 ha, lokasinya tersebar di seluruh Kecamatan.
Lokasi industri yang berupa kawasan/mengelompok terdapat pada Kawasan industri Berbek
dan kawasan industri Tambak Sawah di Kecamatan Waru, kawasan industri di Kecamatan
Gedangan, dan Kecamatan Jabon. Sedangkan aktivitas industri non kawasan lokasinya tersebar
di setiap Kecamatan. Untuk Industri kecil nonformal/ kerajinan rakyat, lokasinya paling banyak
terdapat di Kecamatan Waru, Kecamatan Taman, dan Kecamatan Sidoarjo.
30
4.2.2. Gambaran Umum Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo.
Pada tahun 2014 jumlah bidang tanah permohonan hak baru 348, perpanjangan hak
477, pembaharuan hak 246 dan pendaftaran hak 780. Pegawai di Kantor Pertanahan
Kabupaten Sidoarjo berjumlah 103 orang dan dibantu dengan pegawai tidak tetap yang
berjumlah 84 orang.
Tabel 4. Daftar Jumlah PNS Menurut Jabatan
No. Seksi Eselon III Eselon IV Eselon V Staf Jumlah
1. TU 1 1 2 21 25
2. SPP - 1 2 28 31
3. HTPT - 1 4 25 30
4. PPP - 1 2 7 10
5. PP - 1 2 1 4
6. SKP - 1 2 - 3
Jumlah 1 6 14 82 103
Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo 2015
Daftar Permohonan Subseksi Pendaftaran Hak bulan Januari – Mei 2015
No. Jenis Mata Anggaran
Kegiatan Jenis Prosedur Layanan Jumlah
1 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah Blokir 37
2 Pelayanan Pendaftaran
Tanah Pendaftaran SK Hak 210
3 Pelayanan Pendaftaran
Tanah
Pendaftaran SK
Perpanjangan/Pembaruan Hak 25
4 Pelayanan Pendaftaran
Tanah
Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Konversi/Pengakuan/Penegasan
Hak
3535
5 Pelayanan Pendaftaran
Tanah
Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Pengakuan/Penegasan Hak 1114
6 Pelayanan Pendaftaran
Tanah
Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Pengakuan/Penegasan Hak
Wakaf
8
7 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah Pengangkatan Sita 21
8 Pelayanan Informasi
Pertanahan Pengecekan Sertipikat 13625
9 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah
Pengukuran Ulang Dan
Pemetaan Kadastral+Sertipikat
Pengganti Karena Blanko Lama
126
31
10 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah
Pengukuran Ulang Dan
Pemetaan Kadastral+Sertipikat
Pengganti Karena Hilang
64
11 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah
Sertipikat Pengganti Karena
Blanko Lama 1
12 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah
Sertipikat Pengganti Karena
Hilang 19
13 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah
Sertipikat Pengganti Karena
Rusak 19
14 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah Sita 40
15 Pelayanan Informasi
Pertanahan
Surat Keterangan Pendaftaran
Tanah 558
16 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah
Wakaf dari Tanah Yang Sudah
Bersertipikat 5
17 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah Pencabutan Blokir 5
18 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah Pemecahan Bidang 457
19 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah Pemisahan Bidang 62
20 Pelayanan Pemeliharaan
Data Pendaftaran Tanah Penggabungan Bidang 157
Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo 2015
Daftar Permohonan Subseksi Penetapan Hak Tanah bulan Januari-Mei 2015
No. Jenis Mata Anggaran
Kegiatan Jenis Prosedur Layanan Jumlah
1 Pelayanan Pemeriksaan
Tanah
Pendaftaran Tanah Pertama
Kali Pengakuan/Penegasan
Hak
1126
2 Pelayanan Pemeriksaan
Tanah
Pendaftaran Tanah Pertama
Kali Pengakuan/Penegasan
Hak Wakaf
8
3 Pelayanan Pemeriksaan
Tanah
Permohonan SK
Pembaharuan/Perpanjangan
Hak
29
4 Pelayanan Pemeriksaan
Tanah
Permohonan SK Pemberian
Hak 346
5 Pelayanan Pemeriksaan
Tanah
Permohonan SK Pemberian
Hak Dengan Konstatasi 33
6 Pelayanan Pemeriksaan
Tanah
Permohonan SK Pemberian
HGB/HP di atas HPL 2
32
Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo 2015
4.3. Kabupaten Gresik
Gambaran umum kabupaten Gresik dan Kantor Pertanahannya sebagai berikut :16
1. Letak Astronomis
Kabupaten Gresik terletak di sebelah Barat Laut dari Ibukota Provinsi Jawa Timur
(Surabaya) yang memiliki luas 1.191,25 kilometer persegi dengan panjang Pantai ± 140
kilometer persegi. Secara geografis, wilayah Kabupaten Gresik terletak antara 112ᵒ–
113ᵒ Bujur Timur dan 7ᵒ – 8ᵒ Lintang Selatan. Wilayahnya merupakan dataran rendah
dengan ketinggian 2 – 12 meter di atas permukaan air laut kecuali Kecamatan Panceng
yang mempunyai ketinggian 25 meter di atas permukaan air laut.
2. Administrasi Wilayah
Secara administrasi pemerintahan, wilayah Kabupaten Gresik terdiri dari 18
Kecamatan, 330 Desa dan 26 Kelurahan. Hampir sepertiga bagian dari wilayah
Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir dan pantai, yaitu sepanjang Kecamatan
Kebomas, sebagian Kecamatan Gresik, Kecamatan Manyar, Kecamatan Bungah dan
Kecamatan Ujungpangkah. Sedangkan Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan
Tambak berada di Pulau Bawean. Sebagaimana daerah-daerah lain, Kabupaten Gresik
juga berdekatan dengan kabupaten/kota yang tergabung dalam Gerbangkertasusila,
yaitu Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan.
16 Gresik Dalam Angka Tahun 2013, BAPPEDA dan BPS Kabupaten Gresik, hal.3-4
33
Peta Kabupaten Gresik
Batas wilayah Kabupaten Gresik sebagai berikut :
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Selat Madura
Sebelah Selatan : Kab. Sidoarjo, Kab.Mojokerto Kota Surabaya
Sebelah Barat : Kab. Lamongan
34
Kecamatan yang ada di Kabupaten Gresik
No KecamatanLuas Wilayah
(Km²)Jumlah Desa
Jumlah
Dusun/Pedukuhan
1 Wringinanom 62.62 16 72
2 Driyorejo 51.30 16 49
3 Kedamean 65.96 15 60
4 Menganti 68.71 22 78
5 Cerme 71.73 25 60
6 Benjeng 61.26 23 78
7 Balongpanggang 63.88 25 85
8 Duduksampeyan 74.29 23 39
9 Kebomas 30.06 21 56
10 Gresik 5.54 21 -
11 Manyar 95.42 23 47
12 Bungah 79.43 22 67
13 Sidayu 47.13 21 16
14 Dukun 59.09 26 38
15 Panceng 62.59 14 14
16 Ujungpangkah 94.82 13 28
17 Sangkapura 118.72 17 116
18 Tambak 78.70 13 90
Jumlah 1191.25 356 993
Sumber : Gresik dalam Angka tahun 2013
3. Keadaan Alam
Secara keseluruhan kondisi topografi wilayah Kabupaten Gresik berada pada
kemiringan 0 – 2%, dan sebagian kecil mempunyai kelerengan 3 – 15 %, dan 16 – 40
%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Gresik termasuk daratan yang
relatif datar. Kondisi kelerengan ini memudahkan pemanfaatan wilayah Kabupaten
Gresik untuk berbagai jenis peruntukan ruang.17
Hampir seluruh bagian wilayah Kabupaten Gresik memiliki jenis tanah Aluvial.
Namun pada bagian daerah pegunungan kapur, wilayah Kabupaten Gresik memiliki
tanah relatif kurang subur. Adapun kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm.
17 BAPPEDA Kabupaten Gresik, Master Plan RTH Gresik Tahun 2012 hal. 19
35
Daerah peresapan air berupa ruang-ruang terbuka hijau di Kecamatan Gresik dan
Kecamatan Kebomas. Penggunaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan
Gresik adalah 89,39 Ha atau sebesar 16,14 % dari total penggunaan lahan dengan
penjabaran 4,59 % berupa makam, 0,91 % kolam, 7,75 % lahan kosong, 2,88 % belukar.
Sementara itu, di Kecamatan Kebomas penggunaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau
adalah 562,17 Ha atau sebesar 18,7 % dari total penggunaan lahan dengan penjabaran
0,18 % berupa makam, 1,99 % kolam, 0,92 % lahan kosong, 14,21 % belukar, 0,22 %
tanah urug dan 1,19 % tambang kapur. Jadi, total Ruang Terbuka Hijau di wilayah
perencanaan adalah 651,56 Ha atau sebesar 18,3 % dari total penggunaan lahan.
Secara makro, penggunaan lahan di Kabupaten Gresik cukup bervariatif. Daerah
permukiman, banyak terdapat di daerah kota yaitu Kecamatan gresik. Hal ini juga
ditunjang dengan banyaknya kegiatan perdagangan dan jasa. Sedangkan yang belum
terbangun. Beberapa penggunaan lahan yang dapat diidentifikasi di wilayah
perencanaan antara lain :
4. Penggunaan Tanah
a. Perumahan/Pemukiman
Perumahan dan pemukiman terpusat di Kecamatan Gresik, karena Kecamatan
Gresik adalah pusat kota Kabupaten Gresik. Untuk penggunaan tanah, pemukiman
atau perumahan mencakup sekitar 6,48% dari luas wilayah kabupaten Gresik.
Daerah pemukiman hampir merata di setiap Kecamatan. Daerah perumahan atau
pemukiman yang paling banyak berada di Kecamatan Gresik, karena merupakan
daerah perkotaaan sekaligus merupakan daerah pelabuhan. Disamping itu juga
perumahan dan pemukiman banyak tersebar di daerah selatan Kabupaten Gresik
yaitu sekitar Kecamatan Driyorejo dan Kecamatan Wringinganom, karena
berbatasan langsung dengan Kota Surabaya. Sebaliknya di bagian utara Kabupaten
Gresik, terbilang kurang daerah pemukimannya.
Jenis perumahan di wilayah Gresik berupa perumahan permanen (bangunan
perumahan lama dan baru). Perumahan baru banyak berkembang di luar pusat
perkotaan menempati lahan kering maupun bekas galian industri Semen Gresik,
antara lain berkembang di Kelurahan Kembangan Perumahan Griya Kembangan
(bekas galian), Perumahan Graha Kembangan Asri, Perumahan Gresik Kota Baru,
36
Bakti Pertiwi, Sidorukun Indah, Kelurahan Suci Perumahan Suci Permai, Kelurahan
Sidomukti, dan Kelurahan Kedanyang, Perumahan Griya Kedanyang Giri.
b. Tanah Industri/Pergudangan
Kegiatan Industri dan jasa banyak dijumpai di pusat Kota Gresik, yaitu di sepanjang
Jl. Usman Badar, Jl. G. Suryo, Jl. Sindujoyo, Jl. Kh. Kholil, Jl. Santri, Jl. Malik
Ibrahim, Jl. Pahlawan dan Jl. Jagung Suprapto (sepanjang jalan Kolektor Primer).
Bentuk kegiatan perdagangan dan jasa ini di antaranya adalah pertokoan, toko,
warung, bengkel (bengkel truk, bengkel sepeda motor dan mobil), pasar, plasa,
pedakang kaki lima, perdagangan barang bekas, dan wartel. Saat ini kegiatan
tersebut juga mulai berkembang di sepanjang Jalan Arteri di wilayah Kecamatan
Kebomas, yaitu Jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Jalan R.A. Kartini dan Jalan
Pahlawan. Penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa di Kabupaten
Gresik adalah 320 Ha atau sebesar 0,24 % dari total penggunaan tanah.
c. Perairan Darat
Perairan darat di Kabupaten Gresik terdiri atas penggunaan tanah sebagai tambak
garam, tambak, waduk dan tanah rawa. Dari keempat perairan darat tersebut, tambak
mempunyai luasan yang paling luas yaitu sekitar 24,28% dari luas wilayah
Kabupaten Gresik. Daerah tambak banyak tersebar di Kecamatan Cerme,
Duduksampeyan, Kebomas, Manyar, Bungah, Sedayu dan Pongkah.
d. Tanah Pertanian
Perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu dekade terakhir dari lahan
persawahan menjadi kawasan terbangun perkotaan mengakibatkan makin sempitnya
lahan persawahan di daerah perkotaan. Penggunaan lahan untuk pertanian/tanah
sawah di Kabupaten Gresik, yaitu sebesar 42642,92 Ha atau sebesar 36,33 % dari
total penggunaan lahan. Tanah pertanian tersebut terdiri atas tegalan, sawah tadah
hujan dan sawah irigasi
e. Hutan
Kawasan hutan ini terdiri dari hutan rawa dan hutan, yang keseluruhan luasnya yaitu
8.021 Ha atau sekitar 4,81% dari keseluruhan total penggunaan tanah di Kabupaten
Gresik. Kawasan hutan banyak terdapat di pulau Bawean, sedangkan hutan rawa
banyak terdapat di pesisir pantai, khususnya di Kecamatan Bungah, Sedayu dan
Pungkah.
37
f. Kebun
Kawasan kebun memiliki luasan sekitar 14031,88 ha atau 8,41 % dari total
penggunaan tanah di Kabupaten Gresik. Daerah perkebunan banyak tersebar merata
di selatan kabupaten Gresik, yaitu Kecamatan Wringinanom, Kedamean dan
Driyorejo.
Gambaran Umum Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik
Pada tahun 2014 jumlah bidang tanah permohonan hak baru 273, perpanjangan dan
pembaharuan hak 80. Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik terletak di Kecamatan Kebomas
Kabupaten Gresik tepatnya di Jalan Dr. Sudirohusodo Nomor 234 Gresik dengan luas tanah
4.096 m2 yang difungsikan sebagai gedung kantor dengan luas bangunan 1.980 m2, ruang arsip
seluas 200 m2. Sebelumnya, Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik beralamat di Jalan Pahlawan
Nomor 27 Gresik. Sejak tahun 2006, Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik menempati
bangunan baru di Kecamatan Kebomas. Bangunan yang lama yang berada di pusat kota, masih
tetap digunakan untuk menyimpan sebagian warkah dan arsip lainnya. Rencananya bangunan
kantor yang lama ini, akan ditukargulingkan dengan bangunan milik Pemerintah Daerah Gresik
yang berada tepat di samping bangunan kantor yang baru.
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu unsur kunci dalam dalam
pelaksanaan tugas-tugas pertanahan. Berjalannya suatu organisasi dengan baik diibaratkan
sebagai orkestra yang memerlukan keharmonisan irama kerja semua komponen agar diperoleh
pencapaian standar kinerja pelayanan publik yang optimal. Jumlah pegawai kantor pertanahan
kabupaten Gresik sebanyak 62 orang yang berstatus PNS dan di dukung oleh pegawai tidak
tetap sebanyak 42 orang. Gambaran profil sumber daya manusia, Profil pegawai pada kantor
pertanahan kabupaten Gresik adalah sebagai berikut ;
Tabel 3. Profil pegawai menurut golongan / ruang
L P IV / b IV / a III / d III / c III / b III / a II / d II / c II / b II / a I / d I / c
PNS 43 19 1 2 20 9 14 4 7 1 1 2 - 1
Honorer 28 14 - - - - - - - - - - - -
SDM
GolonganJenis Kelamin
Tabel 4. Profil pegawai menurut tempat tugas
38
L P L P L P L P L P L P L P
PNS 43 19 7 5 16 1 11 7 4 1 1 1 2 1
Honorer 28 14 3 3 13 4 11 4 2 2 1 1 - -
PPPM SKP
Distribusi Masing-masing Seksi
SDMJenis Kelamin
TU SPP HTPT PPP
Bagan alur Proses Pemberian Hak Atas Tanah atau Proses hak kepunyaan yang dilekati hak
prioritas menjadi mempunyai hak atas tanah.
Sesuai dengan Peraturan Kepala BPN. No.1 Tahun 2010
Kegiatan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, kegiatan ini terkait dengan hak
prioritas memperoleh ganti rugi.
No Nama Kegiatan Dasar / Sk Penetapan Lokasi
1 Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Jalan TOL SUMO
SK. GUBERNUR JATIM,
No. 188/164/KPTS/013/2006
BAGAN ALIRPROSES PEMBERIAN HAK MILIK/HAK GUNA BANGUNAN/HAK PAKAI/HAK PENGELOLAAN
(PENDAFTARAN SK HAK)
PEMOHON
KANTOR PERTANAHAN
LOKETLOKET PELAYANAN LOKET PEMBAYARAN
PROSES LAYANAN KANTOR WILAYAH BPN RI
PENERIMAANDAN
PEMERIKSAANDOKUMEN
PERMOHONAN
1
PENERIMAANPEMBAYARAN
BIAYAPENDAFTARAN
2
PENERBITANSURAT
KEPUTUSANKANTAH
4aPENERBITAN
SURATKEPUTUSAN
KANWIL
4b
Perlu Ijin
Perlu Ijin
PENGUKURANDAN
PEMERIKSAANTANAH
(PEMOHONHARUS HADIR)
3
Proses Kantah
PENERIMAANPEMBAYARAN
UP DANPENDAFTARAN
SK. HAK
PEMBUKUANHAK DAN
PENERBITANSERTIPIKAT
PENERBITANSURAT
KEPUTUSANBPN RI
PENERIMAANPED. SK HAK +
BUKTIPEMBAYARAN
BPHTB
PEMBAYARANPENDAFTARAN
SK HAK
PEMBAYARAN UP
5a
5b
4c
6
PENYERAHANSERTIPIKAT
7
PEMBAYARANBPHTB
39
Tanggal 16-05-2006
2
Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Bendung Gerak
Sembayat (BGS)
SK. GUBERNUR JATIM
No. 188/642/KPTS/013/2010
Tanggal. 27-09-2010
3
Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Stadion Olah Raga
Gunung Lengis
SK. BUPATI GRESIK
No. 503.01/494/HK/437.12/2012
Tanggal. 10-08-2012
4 Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Lapangan Terbang
Perintis Bawean
SK. BUPATI GRESIK
No. 10 TAHUN 2003
Tanggal 21-11-2003
SK. GUBERNUR JATIM
No. 551/9028/021/2003
Tanggal. 20-11-2003
SK. MENHUB.
No. KM 19 TAHUN 2004
Tanggal. 09-03-2004
5
Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Tanggul Begawan
Solo
SK. GUBERNUR JATIM
No. 188/624/KPTS/013/2010
Tanggal. 27-09-2010
6
Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Jalur Ganda Kereta
Api Antara Bojonegoro – Surabaya
Pasar Turi
SK. GUBERNUR JATIM
No. 188/616/KPTS/013/2012
Tanggal. 02-11-2012
40
4.4. Kota Surabaya
Pada tahun 2014 jumlah bidang tanah untuk kegiatan melayani hak prioritas:
1). permohonan hak baru 578,
2). perpanjangan dan pembaharuan hak 632.
Gambaran umum kota Surabaya dan Kantor Pertanahan Surabaya sebagai berikut:
A. Gambaran Umum Kota Surabaya
Peta Kota Surabaya
Kota Surabaya memiliki luas wilayah sekitar 33.306,30 Ha, terdiri dari 31 Kecamatan
dan 160 Kelurahan. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, serta
pendidikan di Jawa Timur dan sekaligus di kawasan Indonesia bagian timur.
Secara Geografis Kota Surabaya terletak pada 70 9’ – 70 21‘ LS dan 1120 36’ - 1120
54‘ BT, dengan struktur tanah yang terdiri atas tanah aluvial, hasil endapan sungai dan pantai.
pada bagian sebelah barat terdapat perbukitan yang mengandung kapur tinggi. Kota Surabaya
41
memiliki ketinggian 3-6 m Dpl, sehingga termasuk daerah dataran rendah, Adapun wilayah
Kota Surabaya berbatasan dengan;
Sebelah Utara: Selat Madura
Sebelah Timur: Selat Madura
Sebelah Selatan: Kabupaten Sidoarjo
Sebelah Barat: Kabupaten Gresik
Sebagai Kota metropolis dengan jumlah penduduk sebesar 3.110.187 jiwa. Kantor
Pertanahan Kota Surabaya II merupakan Kantor Pertanahan yang terbentuk sejak tahun 2008,
yang diawali dari Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Surabaya. Terbentuknya Perwakilan
Kantor Pertanahan Kota Surabaya didasarkan atas pertimbangan bahwa volume pekerjaan pada
Kantor Pertanahan Kota Surabaya mengalami peningkatan yang sangat cepat, sehingga
kapasitas Kantor Pertanahan Kota Surabaya dirasa tidak memadai lagi. Sehingga berdasarkan
pertimbangan permasalahan sebagaimana dimaksud maka pada tanggal 31 Januari 2008
ditetapkanlah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Pembentukan Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Surabaya Provinsi
Jawa Timur.
Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Surabaya merupakan bagian dari Kantor Pertanahan
Kota Surabaya sebagai induk dan merupakan satu kesatuan oganisasi, administrasi dan
keuangan yang tidak terpisahkan keberadaannya dalam pelaksanaan pelayanan pertanahan
kepada masyarakat. Adapun wilayah kerja yang ditetapkan dalam peraturan ini untuk
Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Surabaya meliputi 16 Kecamatan yang terdiri dari:
Kecamatan Semampir, Kenjeran, Bulak, Tambaksari, Wonokromo, Tegalsari, Genteng,
Bubutan, Simokerto, Gubeng, Rungkut, Tenggilis Mejoyo, Gunung Anyar, Sukolilo,
Mulyorejo dan Wonocolo.
Perkembangann nama Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Surabaya berjalan selama
lebih kurang satu tahun. Pertimbangan untuk meningkatkan efektifitas dan peningkatan
kualitas pelayanan di bidang pertanahan di Kota Surabaya, maka dipandang perlu untuk
melakukan pemekaran Kantor Pertanahan Kota Surabaya Menjadi Kantor Pertanahan Kota
Surabaya I dan Kantor Pertanahan Kota Surabaya II, sehingga pada tanggal 6 Maret 2009
ditetapkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tentang
Pemekaran Kantor Pertanahan Kota Surabaya Di Provinsi Jawa Timur. Dalam rangka
melaksanakan peraturan tersebut maka Nama Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Surabaya
berubah menjadi Kantor Pertanahan Kota Surabaya II hingga saat ini.
42
Kantor Pertanahan Kota Surabaya II terletak di Jalan Krembangan Barat No. 57
Surabaya, memberikan pelayanan pertanahan kepada masyarakat di 15 Kecamatan dan 81
Kelurahan di Kota Surabaya. Kantor Pertanahan Kota Surabaya II didukung oleh sumber daya
manusia yang terdiri dari 151 Orang Pegawai, dengan rincian 87 orang bestatus Pegawai
Negeri Sipil dan 64 Pegawai Tidak Tetap. Berikut perinciannya dalam bentuk tabel.
Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Unit Kerja
Kepala Kantor
T U Seksi I Seksi II Seksi III Seksi IV Seksi V
Strata 2
Manaje-men
- - 1 - - - -
Hukum - - 1 2 - - -
Strata 1
Hukum 1 8 4 11 1 3 1
Sosial - 1 - - - - 1
Pertani-an
- - - - 1 1 -
D IV
STPN - 2 3 5 1 - 1
D III - - - 2 - - -
D I
STPN - - 1 - - -
SMA
- - 4 10 14 1 - 3
Tabel 3. Pegawai Berdasarkan Golongan
Unit Kerja
Kepala Kantor
T U Seksi I Seksi II Seksi III Seksi IV Seksi V
Golongan
IV 1 - - - - - -
III - 15 17 35 4 4 6
II - - 2 - - - -
Tata Laksana Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
a. Jenis Pekerjaan/Pelayanan
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006
bahwa Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah mempunyai tugas menyiapkan bahan
dan melakukan penetapan hak dalam rangka pemberian hak atas tanah, perpanjangan dan
pembaruan hak tanah, pengadaan tanah, perijinan, pendataan dan penerbitan berkas tanah
43
hak, pendaftaran, peralihan, pembebanan hak atas tanah serta pembinaan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
Volume Pekerjaan/Target di Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
NO JANGKA WAKTU
JENIS PELAYANAN JUMLAH
1
Januari 2015-Mei 2015
Januari 2015-Mei 2015
Pendaftaran Pertama Kali Pengakuan/Penegasan Hak
479
2 Permohonan SK Pemberian Hak 179
3 Perubahan Hak Atas Tanah 595
4 Permohonan Pembaharuan/Perpanjangan Hak
122
5 Pengecekan Sertipikat 7610
6 Pemecahan Bidang 200
7 Peralihan Hak- Jual Beli 2256
8 Peralihan Hak- Pewarisan 218
9 Peralihan Hak- Lelang 15
10 Peralihan Hak- Pembagian Hak Bersama 45
11 Surat Keterangan Pendaftaran Tanah 553
12 Roya 1692
13 Hak Tanggungan 3384
14 Ganti Nama Pemegang Hak Tanggungan
84
Sumber: Laporan Pekerjaan Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah melalui aplikasi KKP Kantor
Pertanahan Kota Surabaya II
Jumlah sumber daya manusia pada Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor
Pertanahan Kota Surabaya II ada 25 (dua puluh lima) orang. Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya juga dibantu oleh 26 (dua
puluh enam) orang tenaga pembantu pelaksana mengingat banyaknya volume pekerjaan pada
seksi ini. Sembilan orang tenaga membantu Subseksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT,
13 (tiga belas) orang tenaga membantu Subseksi Pendaftaran Hak dan 4 (empat) orang tenaga
membantu Subseksi Penetapan Hak.
44
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (statute approach).
5.1.1. Prioritas Pemilikan Tanah Bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal
Konversi Hak Barat.
Kata prioritas yang terkait dengan pemberian hak baru atas tanah pertama kali muncul di
Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 sebagai berikut :
Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal Konversi hak barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan diprioritaskan kepada rakyat yang mendudukinya setelah dipenuhi persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang haknya.
Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 di atas
menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap pengusaan fisik. Penguasaan fisik secara de
facto menjadikan penguasaan fisik tersebut sebagai hak kebendaan (zakelijkrecht) selanjutnya
melahirkan hak kepunyaan ‘jus possessionis’ setelah berjalannya waktu cukup lama tanpa
adanya keberatan dari masyarakat, segala kepentingan bekas pemegang telah diselesaikan dan
tidak terjadi sengketa, maka akan dan mendapat pengakuan hukum yang lebih kuat sehingga
haknya disebut ‘jus possidendi’. Dari jus possidendi penguasa fisik memperoleh prioritas
untuk mengajukan permohonan hak atas tanah. Bila hak prioritas itu digunakan akan diperoleh
hak atas tanah, dengan demikian secara berurutan penguasaan fisik menjadi hak kepunyaan
yang memperoleh prioritas untuk memperoleh hak atas tanah secara ‘de jure’. Dari Pasal 5
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 dapat ditarik pengertian bahwa
pasal tersebut dimaksud untuk perlindungan hukum bagi bekas pemegang hak.
Perlindungan hukum harus diberikan kepada bekas pemegang hak yang sekaligus
pemilik tanah agar segala hal yang menyangkut kepentingan terhadap tanah dapat dipenuhi,
perlindungan hukum dapat diperoleh masyarakat yang menguasai tanah untuk mendapat
prioritas memperoleh hak atas tanah sebagai kepastian hukum. Ada tiga unsur utama yang
harus selalu diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu: kepastian hukum (rechssicherheit),
kemanfaatan (zweckmassigheit), dan keadilan (gerechtigheit).
Beberapa pakar hukum selalu mengajarkan asas prioritas terhadap tiga nilai dasar hukum
tadi dengan prioritas pertama selalu pada keadilan baru kemanfaatan dan kepastian hukum.
Namun asas prioritas ini bersifat kasuistis, sehingga tidak selalu prioritas pertama pada
keadilan, dapat juga prioritas pertama pada kepastian hukum baru keadilan dan kemanfaatan.
45
Tidak adil rasanya kalau kepentingan bekas pemegang hak tidak diperhatikan karena bekas
pemegang hak pada dasarnya mempunyai hak keperdataaan atas tanah tersebut.
Unsur kemanfaatan diberikan kepada penguasa fisik karena pihak yang memanfaatkan
tanah, sedang kepada bekas pemegang hak yang pernah dilekati hak kepunyaan diterapkan
unsur keadilan dengan cara penguasa fisik memperoleh prioritas setelah dipenuhinya terlebih
dahulu kepentingan bekas pemegang hak. Hal tersebut di atas terkait dengan teori kebijakan
dari Talcott Parsons yaitu sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi, yaitu bagaimana masyarakat
yang menguasai bidang tanah telah memanfaatkan sumber daya di sekitarnya. Pemerintah
menyikapi dengan memberikan kepastian hukum melalui peraturan perundang-undangan.
Kebijakan merupakan salah satu instrumen hukum yang harus digunakan pemerintah
untuk mengatur masyarakat dalam hal ini masyarakat yang mengusai fisik bidang tanah yang
tidak dimanfaatkan oleh bekas pemegang hak. Kebijakan yang diambil selain berpedoman
dengan hukum tertulis harus juga memperhatikan aspek dan norma yang hidup di masyarakat,
dalam kasus ini norma yang hidup di masyarakat tentang hak prioritas di bidang pertanahan
yaitu untuk memperoleh hak atas tanah, agar kebijakan yang diambil pemerintah tidak
merugikan masyarakat dan bertujuan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat sesuai amanat
Pasal 33 UUD 1945 maka untuk menjamin kepastian hukum hal-hal yang sudah menjadi norma
kehidupan masyarakat dijadikan hukum tertulis.
Konsep keadilan Rawls yang berakar pada prinsip hak mengandung arti bahwa semua
orang tidak harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan
penting yang ada pada setiap individu, dalam hal ini perbedaan antara bekas pemegang hak
atas tanah dan pemanfaat tanah. Disebut bekas pemegang hak atas tanah karena karena hak atas
tanahnya telah hilang tetapi hak kepunyaannya tidak hilang, hak kepunyaan inilah merupakan
kepentingan bekas pemegang hak yang harus dipenuhi oleh pemanfaat tanah yang dalam Pasal
5 Keppres tersebut dituangkan dengan kalimat “setelah dipenuhi persyaratan-persyaratan yang
menyangkut kepentingan bekas pemegang haknya”.
Menurut Rawls, kekuatan dari keadilan terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan
dibenarkan sejauh memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas
pada kebebasan, dalam hal ini pemanfaat tanah jelas mendapat keuntungan sedang bekas
pemegang masih untung hak kepunyaannya diperhatikan. Pembatasan terhadap hak dan
kebebasan hanya dapat dilakukan demi melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan
itu sendiri. Ketidaksamaan dalam nilai sosial dan ekonomi dari pemanfaat tanah dengan bekas
pemegang hak tidak harus diartikan sebagai suatu ketidakadilan.
46
5.1.2. Prioritas Pemilikan Tanah Pertanian.
Prinsip Tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Hal ini sesuai dengan
amanat Pembukaan dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sehingga pasal 6 UUPA menyatakan
tanah itu berfungsi sosial. Tetapi kenyataannya saat tanah ini alat sumber investasi, menjadi
barang spekulan dan dagangan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan amanat tersebut. Menghindari
tanah sebagai alat investasi jelas mengarah ke faham Kapitalis, maka pemilikan tanah pertanian
hanya diprioritaskan untuk penduduk Kecamatan setempat atau penduduk Kecamatan
berbatasan lokasi tanah, hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian jo PP No.41 / 1964
tentang Perubahan dan Penambahan PP No. 224 Tahun 1961.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 mengatur sebagai berikut:
1. Pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.
2. Kewajiban tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan tempat letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar Kecamatan
4. tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di Kecamatan itu.
Pasal 3 tersebut di atas walaupun tidak mencantumkan kata prioritas, namun secara tegas
menjelaskan bahwa pemilikan tanah pertanian dengan hak atas tanah hanya diprioritaskan pada
penduduk Kecamatan atau Kecamatan berbatasan dari lokasi tanah. Bahkan bila terjadi tanah
pertanian dijual melalui akta PPAT kepada subjek hukum bukan penduduk Kecamatan atau
Kecamatan lokasi tanah18, maka sejak tanggal akta itu ditandatangani maka demi hukum hak
atas tanah bidang tanah tersebut hapus dan status tanahnya menjadi tanah yang dikuasai
Negara19 , dengan demikian hak prioritas dapat menghapus hak atas tanah dalam hal ini hak
atas tanah dengan status hak milik, karena pembelinya tidak mempunyai hak prioritas memiliki
tanah tersebut dengan hak atas tanah.20 Peneliti mendapat informasi dari Kantor Wilayah
18 Pasal 3d Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 mengatur sebagai berikut: Dilarang untuk
melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang
bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan dimana ia bertempat tinggal.
19 Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. Sk. 35/Ka/1962 tentang Pelaksanaan Penguasaan
Tanah Pertanian Absentee tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
20 Surat teguran Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jember Nomor 200.353.4- xxx tanggal 4 Maret 2002
kepada PPAT yang telah membuat akta tersebut, surat tersebut di tembuskan ke Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur.
47
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur yang memperoleh tembusan surat teguran
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jember terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
membuat akta jual beli tanah pertanian di Jember yang pembelinya penduduk Surabaya. Di
dalam surat tersebut diinformasikan bahwa setelah akta jual beli disampaikan ke Kantor
Pertanahan, Kepala Kantor Pertanahan langsung mencatat hapusnya hak atas tanah Hak Milik
pada Buku Tanah dan Sertipikatnya.21
Pembeli tanah tersebut tetap mempunyai hak kepunyaan (jus possessionis) atau sering
disebut dengan hak keperdataan. Artinya pembeli tanah tersebut masih dapat menjual tanah
tersebut dengan status Tanah Negara22 kepada orang yang mempunyai prioritas memiliki tanah
tersebut dengan hak atas tanah yaitu penduduk Kecamatan atau Kecamatan berbatasan dari
lokasi tanah. Penduduk setempat dapat membeli tanah tersebut kepada pemegang hak
kepunyaan dengan hak prioritas yang dimilikinya23. Bila tanah abseente tersebut dibeli oleh
penduduk Kecamatan letak tanah tersebut bukan berarti bidang tanah dengan status hak atas
tanah Hak Milik yang telah menjadi tanah negara sejak tanggal akta dibuat akan kembali
menjadi bidang tanah dengan status Hak Milik. Selanjutnya pembeli harus mengajukan
permohonan hak atas tanah terlebih dahulu untuk memiliki tanah tersebut dengan hak atas
tanah status Hak Milik.
Orang yang mempunyai prioritas atau disebut hak prioritas memiliki tanah pertanian
pada dasarnya karena yang bersangkutan bertempat tinggal yang memungkinkan secara aktif
memanfaatkan dan mengelola tanah dengan baik, hal ini merupakan implementasi Pasal 10
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang
dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai berikut:
“ Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan”.
Kebijakan pemerintah tentang pemilikan tanah pertanian ini sesuai dengan teori
kebijakan Talcott Parson bahwa sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi, yaitu, bagaimana
masyarakat tersebut dapat memanfaatkan sumber daya di sekitarnya dengan baik. Masyarakat
bila tempat tinggalnya jauh yang dalam hal ini di luar Kecamatan atau Kecamatan berbatasan
jelas akan sulit mengerjakan atau memanfaatkan tanah dengan baik.
21 Surat Teguran Kepada Pejabat Pembuat Akta Notaris Jember yang tembusannya disampaikan ke Kanwil
BPN.
22 Jual hak keperdataan atau bahasa populernya “ hak garap”
23 Pembelian dilakukan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Camat atau Notaris bukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
48
Hapusnya hak prioritas mempunyai bidang tanah pertanian dengan hak milik ini juga
berlaku terhadap ahli waris yang memperoleh warisan tanah pertanian, sedangkan ahli waris
itu sendiri tidak tinggal di Kecamatan lokasi tanah itu. Namun hapusnya hak prioritas
mempunyai tanah pertanian ini tidak langsung sejak ia memperoleh warisan sebagaimana
terjadi pembelian tanah pertanian abseente dengan akta jual beli PPAT yang saat akta jual beli
ditanda tangani sejak itu pula tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.
Analogi hukum dengan prioritas terhadap pemilikan tanah pertanian ini terjadi di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang mempunyai larangan warga negara Non Pribumi mempunyai tanah
dengan hak atas tanah Hak Milik. Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor K.898/I/A/1975 Tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada
Seorang WNI Non Pribumi telah membatasi hak prioritas Warga Negara Indonesia Non
Pribumi untuk memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan status Hak Milik. WNI
Non Pribumi hanya dapat memiliki tanah dengan status Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.
Kesulitan pelaksanaan instruksi ini terletak dalam menentukan seseorang yang termasuk
kategori Non Pribumi.
WNI Non Pribumi di Yogyakarta bila ingin membeli tanah di di Yogyakarta yang
statusnya Hak Milik, penjual harus pembuat pelepasan hak di depan Kepala Kantor Pertanahan
atau Notaris atau Camat sehingga Hak Milik tersebut menjadi berstatus tanah negara untuk
kepentingan si pembeli dalam hal ini WNI Non Pribumi. Selanjutnya pembeli yang telah
mempunyai hak kepunyaan secara otomatis mempunyai hak untuk mengajukan pemohonan
hak atas tanah yang sifatnya terbatas hanya boleh HGB atau HP, artinya hak prioritasnya
dibatasi. Alternatif lainnya penjual merubah status Hak Miliknya menjadi HGB atau Hak Pakai
baru kemudian WNI Non Pribumi tersebut melakukan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Diskriminasi ini dikategorikan diskriminasi positif seperti halnya atau analogi
diskriminasi terhadap pemilikan tanah pertanian.
Fakta menunjukkan setiap orang memiliki perbedaan dalam hal kemampuan dan atau
jasanya terhadap masyarakat, serta tidak sama kebutuhannya dan prioritasnya masing-masing.
Apabila dalam kondisi lebih banyak orang yang membutuhkan sesuatu, namun kemampuan
untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidak
adilan. Perkecualian terhadap hal ini berupa perlakuan khusus dapat dilakukan, asalkan dapat
dipertanggung jawabkan. Hukum dalam hal ini menyodorkan apa yang dinamakan corrective
justice atau disebut juga positive discrimination24.
24Maria, S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2005, hlm. 175-176.
49
Berdasarkan teori keadilan Robert Nozick, pembatasan prioritas Warga Negara Indonesia
non pribumi memperoleh hak milik di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat dikatakan adil
karena tanah tersebut sebelumnya telah dimiliki oleh Sultan maupun Pakualam dan digunakan
untuk kesejahteraan atau kepentingan masyarakat DIY. Pembatasan perolehan hak bagi WNI
Non Pribumi dapat dikatakan adil juga menurut teori ini karena terjadi keterbatasan tersedianya
tanah di DIY dan masih banyak masyarakat DIY yang belum memiliki tanah. Seyogyanya
Instruksi tersebut dipertegas dengan Peraturan Daerah sebagai aturan istimewa
5.1.3. Prioritas Investor untuk Usaha Pertanian atau Perkebunan.
Bila investor akan berusaha di bidang pertanian atau perkebunan, pada saat ini ada 3
(tiga) alternatif atau tiga prioritas peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu
dengan memperoleh:
1) Hak Pakai di atas gabungan Hak Milik sekian banyak bidang (100 atau 1000 bidang)
tanah milik petani hal ini diatur oleh Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
2) Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan diatur oleh Pasal 41 huruf b 44 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah.
3) Hak Guna Usaha yang diatur oleh Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA jo Pasal
2 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Prioritas alternatif 1) dan alternatif 2) belum pernah ada pelaksanaannya, prioritas
alternatif 3) yang marak dipilih oleh investor. Pasal-pasal tentang Hak Guna Usaha apabila
dikaji bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 karena kebijakan pertanahan
kita seharusnya tidak ke arah Kapitalis, akan lebih adil bila usaha perkebunan oleh investor
prioritasnya dibatasi dengan alternatif 1) atau alternatif 2), dengan demikian pasal-pasal
tentang HGU seharusnya dihapus dari UUPA.
Pemegang HGU menjadi pemilik tanah. Bila HGU beserta hak prioritas untuk
mengajukan permohonan hak dicabut dari pemegang haknya (misalnya karena diterlantarkan),
hal ini tidak menghapus prioritas hak kepunyaan atau sering disebut hak keperdataan atas
bidang tanah tersebut. Fakta di lapangan investor diberikan HGU bukan mendatangkan
investasi justru sebaliknya dengan diberikan HGU mereka justru menjadikannya HGU itu
sebagai jaminan memperoleh kredit. Sudah saatnya hanya prioritas alternatif 1) dan 2) yang
50
diberikan untuk usaha pertanian atau perkebunan. Investor untuk berusaha di bidang pertanian
maupun perkebunan maupun pembangunan perumahan, apartemen tidak harus dengan
memiliki tanah, cukup kerja sama dengan pemilik tanah atau pemegang Hak Pengelolaan.
5.1.4. Prioritas Warga Negara Asing Memiliki Tanah di Indonesia.
Pasal 42 UUPA memberi peluang warga negara Asing mempunyai hak atas tanah dengan
status hak pakai di atas Tanah Negara. Pasal 42 UUPA mengatur sebagai berikut :
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
a. warga negara Indonesia
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia
Warga Negara Asing dalam hal ini memperoleh prioritas mempunyai tanah hak pakai
dengan syarat berkedudukan di Indonesia dan pembatasan waktu dari hak pakai itu sendiri.
Selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang berkedudukan di Indonesia.
Warga negara Asing dan warga negara Indonesia yang beralih menjadi warga negara
Asing, dengan demikian menurut UUPA tidak mempunyai prioritas mempunyai tanah dengan
status Hak Milik. Bahkan apabila terlanjur terjadi jual beli bidang tanah dengan status Hak
Milik kepada orang asing maka bidang tanah dengan status hak milik langsung saat itu jual
belinya batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara.25
Menurut pendapat peneliti, Pasal 42 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang
berkedudukan di Indonesia perlu ditinjau kembali. Seharusnya Warga Negara Asing
prioritasnya dibatasi hanya dapat mempunyai bangunan saja karena yang dibutuhkan mereka
adalah rumah tempat tinggal bukan tanah, mempunyai rumah atau bangunan tidak harus
dengan mempunyai tanah, pasal 42 UUPA tersebut mengaturnya dengan Warga Negara Asing
memiliki tanah. Peraturan Perundangaan yang ada sekarang telah mengatur Warga Negara
Asing dapat mempunyai rumah apartemen tanpa memiliki tanah yaitu dengan status Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun dengan tanah bersamanya Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan26 atau
memiliki apartemen dengan Sertipikat Kepemilikan Bangunan Gedung dengan tanah
bersamanya barang milik Pemerintah Daerah27, Warga Negara Asing juga masih dapat
membangun rumah dengan status Hak Pakai di atas Hak Milik. Memberi kesempatan Warga
Negara Asing memiliki tanah dengan status Hak Pakai di atas Tanah Negara artinya memberi
25 Pasal 26 ayat (2) UUPA jo. Pasal 7 huruf c Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2011 26 Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. 27 Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
51
kesempatan atau memberi prioritas Warga Negara Asing mempunyai hak kepunyaan atas
tanah, prioritas semacam ini akan dapat menjadikan Warga Negara Asing menjadi spekulan
tanah.
Dari teori keadilan menurut Rawls yang telah diuraikan dalam landasan teori di bab
sebelumnya rasanya tidak adil kalau Warga Negara Asing masih diberi kesempatan
mempunyai tanah walaupun dengan status Hak Pakai karena yang dibutuhkan bukan tanah
tetapi rumah tempat tinggal, hal ini untuk kepentingan Warga Negara Indonesia agar
memperoleh prioritas utama untuk memiliki tanah dan dapat menikmati hidup yang layak.
5.1.5. Prioritas dengan Hapusnya Hak Atas Tanah.
Tanah dapat hilang / musnah karena peristiwa alam, peristiwa alam yang murni maupun
peristiwa alam akibat ulah manusia seperti penebangan hutan yang mengakibatkan banjir
bandang hingga memusnahkan bidang-bidang tanah. Hak atas tanah hapus kalau tanahnya
musnah, diatur secara jelas di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Hak atas tanah hapus bila tanahnya musnah. Hal ini ditegaskan UUPA pada Pasal 27
huruf b. untuk Hak Milik, Pasal 34 huruf f untuk Hak Guna Usaha dan Pasal 40 huruf f untuk
Hak Guna Bangunan. Bersamaan dengan hapusnya hak atas tanah karena musnah menjadi
hapus pula hak kepunyaan dan hak prioritas dari subjek bekas pemegang untuk memperoleh
hak atas tanah.
Berbeda dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai yang telah habis
jangka waktunya maka hapus juga hak atas tanahnya. Subjek bekas pemegang hak atas tanah
masih dilekati hak kepunyaan atau disebut dengan bahasa hukumnya hak keperdataan. Kepada
bekas pemegang tersebut masih melekat hak kepunyaan dan hak prioritas untuk mengajukan
permohonan kembali hak atas tanahnya. Apabila bidang tanah tersebut terkena proyek
pemerintah untuk kepentingan umum maka hak prioritas untuk untuk memperoleh kembali hak
atas tanah menjadi hapus dan yang masih melekat adalah hak kepunyaan. Hak kepunyaan yang
masih melekat pada subjek bekas pemegang hak ini dapat juga disebut dengan hak prioritas
untuk yang bersangkutan memperoleh ganti rugi. Bila status tanah dengan Hak Milik
dilepaskan haknya untuk kepentingan pembangunan, maka dalam waktu yang bersamaan
sekaligus hapus hak atas tanah, hak prioritas dan hak kepunyaan.
52
5.2. Pendekatan Kasus (case approach)
5.2.1. Kasus di Kabupaten Gresik
Ditemukan beberapa kasus di Kabupaten Gresik yang berkaitan dengan hak prioritas
sebagai berikut:
5.2.1.1. Kasus Hak Pakai atas nama PT. Semen Gresik (Persero).
Pada tahun 2007 saat Hak Pakai atas nama PT. Semen Gresik yang pemanfaatannya
untuk pengambilan bahan galian tambang kapur sebagai bahan baku pembuatan semen habis
masa hak atas tanahnya dan PT. Semen Gresik mengajukan pembaharuan hak. Bersamaan
dengan habisnya masa hak pakai, saat itu bahan tambang kapur sudah dinyatakan habis. Karena
di lokasi tersebut bahan tambangnya habis, Pemerintah Kabupaten Gresik berpendapat bahwa
PT. Semen Gresik tidak berhak mengajukan permohonan pembaharuan hak atau PT. Semen
53
Gresik tidak mempunyai prioritas lagi memperoleh hak atas tanah karena bahan galian tambang
kapur sudah habis dan hak prioritas bahkan aset (hak kepunyaan) beralih ke Pemerintah
Kabupaten Gresik. Keberatan Pemkab. Gresik atas permohonan pembaharuan hak dari
PT. Semen Gresik sampai diajukan ke Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Mediasi dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, selanjutnya Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Gresik mengambil jalan tengah, Pemkab. Gresik menjalankan
kewenangannya yaitu menentukan peruntukan dan pemanfaatan tanah tersebut sedang PT.
Semen Gresik tetap dapat memperoleh hak atas tanah dengan Hak Pakai. Akhirnya PT.
Semen Gresik yang dahulu memperoleh Hak Pakai untuk persediaan galian tambang kapur
sekarang
PT. Semen Gresik berubah memperoleh Hak Pakai untuk penggunaan “daerah terbuka
hijau” sesuai tata ruang daerah.
Dari kasus ini hak prioritas untuk memperoleh hak atas tanah tidak hilang namun dibatasi
penggunaan dan pemanfaatannya, dalam hal ini harus disesuaikan dengan tata ruang daerah.
5.2.1.2. Kasus Hak Pengelolaan.
Pemerintah Kabupaten Gresik dan PT. Pelindo merupakan subjek yang mempunyai
prioritas memperoleh Hak Pengelolaan (HPL) di kawasan pesisir pantai Kabupaten Gresik.
Sempat terjadi ketidak sepahaman dari Pemkab Gresik tentang lokasi HPL dari PT. Pelindo.
Pemkab Gresik mendasarkan pada Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
diperbarui dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan sebagai berikut:
(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
54
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh neIayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangperundangan.
Bila dilakukan reklamasi terhadap laut yang berbatasan dengan daratan, Pemerintah
Daerah menjadikan Pasal 18 ayat (3) ini sebagai dasar hukum Pemerintah Daerah mempunyai
hak kepunyaan dari hasil reklamasi dan prioritas memperoleh Hak Pengelolaan terhadap
bidang tanah tersebut.
Di posisi lain Pasal 1 angka 53 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
mengatur tentang Reklamasi sebagai berikut:
‘Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur kedalaman perairan.’
PT. Pelindo adalah Badan Usaha Milik Negara yang mengelola pelabuhan dan termasuk
subjek hak yang dapat memperoleh Hak Pengelolaan. PT. Pelindo yang melakukan reklamasi
untuk pengelolaan pelabuhan untuk kepentingan pelayaran, dengan demikian mempunyai hak
kepunyaan dan prioritas memperoleh Hak Pengelolaan pada lokasi tertentu daripada
Pemerintah Daerah. Hak prioritas memperoleh hak pengelolaan beralih karena kewenangan
yang diatur peraturan perundang-undangan.
5.2.1.3. Prioritas Ganti Rugi Yang Diberikan Untuk Pengadaan Tanah.
Setiap pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, harus ditentukan siapa yang
berhak diberi gantirugi, atau dengan kalimat lain, siapa yang memperoleh prioritas diberi ganti
rugi. Kesatanah menentukan kepada siapa gantirugi diberikan, akan dapat menyebabkan
kerugian negara. Pemerintah Kabupaten Gresik akan membangun Stadion Olahraga beserta
fasilitas penunjangnya. Tetapi pada saat proses pelaksanaan pengadaan tanah terbentur oleh
beberapa kendala antara lain dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta peraturam
pelaksanaannya yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, kesulitan menentukan
apakah penghuni tanah negara yang telah menempati selama 20 tahun secara turun temurun
atau terhadap penghuni tanah yasan berhak atau mendapat prioritas mendapatkan pembayaran
ganti rugi dan berapa berapa besarnya.
55
Kondisi dan posisi kasus seperti tersebut di atas Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik
tidak dapat menentukan atau memutuskan sendiri tetapi meminta pendapat/advis hukum dari
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik dengan surat
Nomor: 180/196/437.12/2013 tanggal 13 Februari 2013. Kemudian Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur memberikan Pendapat Hukum (Legal Opinion), dengan Suratnya tanggal 8 April 2013
dengan Nomor: B.1853/O,5/Gs/04/2013 yang isinya antara lain sebagai berikut :
1. Peraturan yang dapat dijadikan dasar dalam melaksanakan pembayaran ganti rugi tanah
untuk pembangunan stadion Gresik adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan
Presiden 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala
BPN Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksaanaan Perpres No. 36 Tahun
2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Yang Telah Diubah Dengan Perpres No, 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Perpres No. 36 Tahun 2005.
2. Warga Masyarakat yang menempati tanah negara secara turun temurun (sudah
beberapa generasi) dan terus menerus selama 20 tahun atau warga masyarakat yang
menempati tanah yasan berhak menerima pembayaran ganti rugi.
3. Besarnya nilai ganti rugi yang dibayarkan dapat menggunakan penetapan berdasarkan
penilaian Lembaga/TIM Penilai Harga Tanah.
56
Stadion Gelora Joko Samudro Gresik
Pendapat Hukum (Legal Opinion) dari Jaksa Pengacara Negara selengkapnya sebagai berikut:
Pengadaan tanah untuk pembangunan stadion Gresik tersebut dapat dianalisa ditinjau
berdasarkan Hukum Pertanahan :
- Pada dasarnya masalah tanah di Negara R.I telah diatur dengan jelas di dalam Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan
bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-bbesar kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut dijabarkan lebihh
lanjut dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sehingga
dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
- Dalam Penjelasan II butir 2 UU No. 5 Tahun 1960, menegaskan bahwa hak menguasai negara
meliputi semua tanah dalam wilayah Negara RI, baik tanah yang sudah ada haknya maupun
tanah yang belum ada haknya. Tanah yang belum ada haknya tersebut biasa disebut tanah yang
dikuasai oleh negara dan juga biasa disebut Tanah Negara,
- Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, juga telah diatur
dengan tegas bahwa Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah
tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.
- Dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka sepanjang memenuhi
syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, setiap warga negara
57
Indonesia dapat menempati tanah negara dan dapat dimohonkan untuk diterbitkan hak atas
tanahnya.
- Tanah yang belum ada haknya, termasuk tanah negara yang dapat diberikan hak kepada
perorangan atau Badan Hukum dengan sesuatu hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
UU No. 5 Tahun 1960 sesuai dengan peruntukannya.
Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1960,pada
dasarnya dipergunakan sebagai tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UU No. 5 Tahun 1960 sehingga ada
suatu kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah.
Tanah Negara yang dikuasai oleh warga masyarakat secara turun temurun (sudah beberapa
generasi), terus menerus selama 20 tahun atau terhadap tanah yasan yang akan dipergunakan
untuk pembangunan stadion Gresik, jika dikaji menurut peraturan perundang-undangan
pertanahan, maka secara yuridis dapat disimpulkan bahwa:
a. Semua warga masyarakat tersebut mempunyai hak yang sama untuk menempati dan
memperoleh sertipikat hak atas tanah negara tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 UU No.5 Tahun 1960.
b. Perbedaan hak kepemilikan atas bidang tanah negara dari warga masyarakat setempat yang
telah memiliki sertipikat hak atas tanah dengan warga masyarakat yang belum memiliki
hanya terletak pada suatu kepastian dan perlindungan hukum karena warga masyarakat
yang telah memiliki sertpikat hak atas tanah akan diakui oleh Negara sebagai pemilik yang
sah menurut hukum sedangkan yang tidak memiliki sertipikat hak atas tanah tidak serta
merta28 dapat diakui oleh Negara sebagai pemilik yang sah.29
Dari surat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang berupa legal opinion tersebut dapat
diambil pengertian, bahwa terhadap penguasaan tanah negara (jus possessionis) walaupun
belum memperoleh hak atas tanah tetap dapat prioritas mendapat ganti rugi. Andaikata tidak
terjadi pembangunan Stadion maka yang mengusai tanah negara tersebutlah yang memperoleh
hak prioritas mengajukan permohonan hak atas tanah, dengan demikian hak prioritas
memperoleh hak atas tanah karena tanahnya diperlukan untuk kepentingan pembangunan hak
prioritasnya berubah dari hak prioritas memperoleh hak atas tanah menjadi hak prioritas
memperoleh ganti rugi.
5.2.2. Kasus di Kota Surabaya.
Tidak terjadi permasalahan tanah terhadap Hak Pengelolaan atas pantai di kota Surabaya
dan juga tidak terjadi ketidak sepahaman atas siapa yang mempunyai hak prioritas atas
pengelolaan pantai antara PT. Pelindo dan Pemerintah Kota Surabaya seperti terjadi di
28 Tidak serta merta artinya perlu diteliti atau dicari alat bukti tertulis tentang penguasaan atas tanah negara
tersebut atau yang disebut dengan hak kepunyaan.
29 Terlampir surat dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
58
Kabupaten Gresik. Batas Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Surabaya dan Hak Pengelolaan
PT.Pelindo di peta maupun di lapangan terlihat jelas.
5.2.2.1. Pantai Surabaya Timur Sebagai Daerah Konservasi.
Tanah timbul pantai Surabaya tiap tahunnya bertambah menjorok ke laut sepanjang 75
meter30, hal ini banyak di manfaatkan oleh masyarakat untuk menjadi tempat pemukiman yang
ujung-ujungnya hak penguasaan atas tanah timbul itu dijual ke pengembang perumahan.
Banyaknya pembangunan perumahan baru dan pembuatan tambak-tambak di tanah oloran
(tanah timbu) di pantai Surabaya mengakibatkan rusaknya eko sistem pantai dan rusaknya
hutan Mangrove.
Hasil pemantauan di wilayah Pesisir Timur Kota Surabaya oleh Badan Pengendalian
Lingkungan Provinsi Jawa Timur telah menemukan perusakan mangrove yang dikhawatirkan
dapat menyebabkan banjir di wilayah kota Surabaya khususnya kawasan kampus Institut
Teknologi Surabaya dan sekitarnya. Hasil pemantauan tersebut dilaporkan ke Walikota
Surabaya dengan suratnya Nomor 600.1/297/2007. Fakta di lapangan Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) kepada
masyarakat yang memanfaatkan tanah negara tanah timbul sebagai tambak, pengusaan fisik
bidang tanah dengan memanfaatkannya ( jus possessionis) lama kelamaan akan timbul hak
kepunyaan (jus possidendi) dapat melahirkan hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak
atas tanah. Namun tata ruang wilayah Kota Surabaya menyatakan lain.
Wilayah pantai timur Surabaya dinyatakan sebagai kawasan lindung sebagaimana diatur
Pasal 20 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Surabaya membatasi hak-hak masyarakat yang menggunakan dan
memanfaatkan tanah, sebagai berikut :
Pasal 20
(1) Setiap zona pengembangan wilayah laut memiliki fungsi kegiatan utama yang terintegrasi dengan
fungsi kegiatan dan pemanfaatan tanah di wilayah darat, dengan memperhatikan fungsi lindung dan
fungsi budidaya.
(2) Fungsi kegiatan pada masing-masing zona pengembangan wilayah laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah :
a. zona I Teluk Lamong, dengan fungsi utama sebagai pengembangan pelabuhan / waterfront city
dan alur pelayaran kapal besar;
b. zona II Tanjung Perak, dengan fungsi utama pelabuhan dan angkutan penyeberangan, pangkalan
Militer Angkatan Laut dan industri perkapalan, dan alur pelayaran kapal besar;
30 Sumber Kantor Pertanahan Kota Surabaya II
59
c. zona III Tambak Wedi – Kenjeran, dengan fungsi utama wisata bahari/laut, areal penangkapan
dan budidaya perikanan dan alur pelayaran kapal nelayan;
d. zona IV Pesisir dan Laut Timur, dengan fungsi utama konservasi dan rehabilitasi lingkungan laut
dan pantai serta sebagai areal penangkapan dan budidaya perikanan.
Pada lokasi yang tersebut Pasal 20 ayat (2) huruf d, hak prioritas seseorang untuk mengajukan
permohonan hak hilang atau dengan kata lain tata ruang akan menentukan adanya hak prioritas
seseorang untuk memperoleh hak atas tanah. Hanya pada lokasi tertentu yang cocok untuk
budidaya perikanan akan diperbolehkan untuk diajukan permohonan hak atas tanah dengan
peruntukan terbatas yaitu tambak.
Terhadap bidang tanah yang masuk areal tata ruang tertentu akan menutup hak prioritas
seseorang untuk memperoleh hak atas tanah. Namun hal ini tidak menutup hak kepunyaan
atau menutup hak prioritas memperoleh ganti rugi, diatur sebagai berikut:
Pasal 70
(1) Terhadap perubahan jenis dan pemanfaatan tanah yang dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat
pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, masyarakat berhak memperoleh penggantian yang layak atas
kondisi yang dialami sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengedepankan prinsip
musyawarah.
(2) Bentuk penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang dan/atau tanah pengganti
dan/atau pemukiman kembali.
(3) Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk penggantian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan dengan pemanfaatan tanah oloran menjadi tambak oleh masyarakat yang telah
merusak hutan mangrove, Walikota Surabaya berkirim surat yang ditujukan ke Kepala Kantor
Pertanahan Kota Surabaya dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kota Surabaya
dengan Nomor: 660.1/819/436.6.3/ 2007 tanggal 27 Februari 2007. Isi surat tersebut antara
lain:
a. Kantor Pelayanan Pajak Bumi Bangunan meninjau kembali SPPT Pajak Bumi Bangunan
yang telah diterbitkan di lokasi pesisir pantai timur Kota Surabaya serta tidak
menerbitkan / memproses penerbitan SPPT PBB yang diajukan petani tambak.
b. Kantor Pertanahan Kota Surabaya untuk tidak memproses permohonan hak atas tanah
terhadap tanah tambak oloran yang kemungkinan akan diajukan oleh petani tambak di
wilayah pesisir pantai timur Kota Surabaya.
Satu surat langsung ditujukan ke Kantor Pertanahan dan Kantor Pelayanan PBB karena
memang isinya sangat berkaitan. SPPT PBB yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan PBB
60
dapat merupakan bukti tertulis pengusaan dan pemanfaatan fisik bidang tanah yang dapat pula
sebagai bukti hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas tanah ke Kantor
Pertanahan.
Pantai Timur Surabaya
Hutan Manggrove Wonorejo Rungkut
5.2.2.2 Hutan Kota Surabaya
61
Pembangunan di Daerah harus diarahkan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara
berdayaguna, berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Rencana Tata Ruang
Wilayah dibuat untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan
masyarakat, maka Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan arahan lokasi investasi
pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah/Pemerintah Daerah, masyarakat, dan/atau dunia
usaha.31
Hutan kota mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam menunjang kehidupan
manusia dan mahluk hidup lainnya guna menciptakan kelestarian, keserasian dan
keseimbangan ekosistem perkotaan. Agar fungsi dan peran hutan kota dalam menciptakan
kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan
sosial dan budaya dapat dipertahankan maka dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai
pembangunan pengelolaan hutan kota di wilayah Kota Surabaya dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 tentang Hutan Kota mengatur
adanya hutan kota, adanya hutan kota akan mengurangi hak-hak masyarakat dalam
memanfaatkan tanah, namun tidak ada peraturan perundangan yang menghapus hak prioritas
memperoleh hak atas tanah akan menghapus hak kepunyaan seseorang.
Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk keindahan, kelestarian, keserasian dan
keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hutan
kota dapat menekan/mengurangi peningkatan suhu udara dan pencemaran udara di perkotaan;
mencegah terjadinya penurunan air tanah dan permukaan tanah; dan mencegah terjadinya
banjir atau genangan, kekeringan, intrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam
air. Hutan Kota berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; .
membuka lebih luas daerah resapan air; menciptakan keseimbangan dan keindahan lingkungan
kota; memberikan tempat bagi eco-edukasi; menjaga nilai estetika; memberikan kenyamanan
dan kesejukan; dan memberikan dampak penghijauan lingkungan; mendukung pelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia. Hutan Kota dapat dimanfaatkan untuk adalah untuk
pariwisata alam perkotaan; rekreasi dan/atau olah raga; penelitian dan pengembangan;
pendidikan; pelestarian plasma nutfah; dan budi daya dan konservasi tanaman hutan kota.32
Selanjutnya Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 15 Tahun 2014 tentang Hutan Kota
mengatur sebagai berikut:
31 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Wilayah 32 Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 15 Tahun 2014.
62
Pasal 6 (1) Penunjukan hutan kota terdiri dari :
a. penunjukan lokasi hutan kota; b. penunjukan luas hutan kota.
(2) Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. (3) Penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Walikota. Pasal 7 Lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Wilayah Daerah.
Pasal 8
(1) Lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat berada pada tanah negara atau tanah hak.
(2) Terhadap tanah hak yang ditunjuk sebagai lokasi hutan kota diberikan kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemilik bidang tanah yang dilekati hak atas tanah yang dijadikan hutan kota diakui hak-
haknya dengan diberi kompensasi, namun yang bersangkutan tidak harus kehilangan hak
kepunyaannya maupun hak atas tanahnya. Namun hak prioritas untuk penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya menjadi terbatas.
Pasal 17
(1) Tanah hak yang karena keberadaannya dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan kota oleh
pemegang hak tanpa pelepasan hak atas tanah.
(2) Pemegang hak dapat memperoleh insentif atas tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota.
(3) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
(4) Tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai hutan kota untuk jangka waktu
paling sedikit 15 (lima belas) tahun.
(5) Penetapan tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan tanpa melalui proses
penunjukan dan pembangunan.
(6) Tanah hak yang dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. terletak di wilayah perkotaan di Daerah;
b. merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi pepohonan;
c. mempunyai luas yang paling sedikit 0,25 (dua puluh lima perseratus) hektar; dan
d. mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika dan berfungsi sebagai resapan air.
(7) Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagai hutan kota ditetapkan oleh Walikota.
(8) Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dilakukan
berdasarkan permohonan dari pemegang hak.
Pasal 17 ini mengatur bahwa peruntukan sebagai hutan kota di lokasi tanah seseorang
dapat dengan tidak menghapus status hak atas tanahnya, hanya yang bersangkutan akan
kehilangan hak prioritas untuk mendirikan bangunan. Kehilangan hak prioritas untuk
mendirikan bangunan ini yang memperoleh ganti rugi berupa insentif (Pasal 17 ayat (3)).
63
Pasal 21
(1) Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah negara dapat dilakukan oleh :
a. Pemerintah Daerah; dan/atau
b. masyarakat.
(2) Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah hak dapat dilakukan oleh pemegang hak.
(3) Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh masyarakat bukan
pemegang hak atau Pemerintah Daerah melalui perjanjian dengan pemegang hak.
Pasal 21 ayat (2) mengatur bahwa pemegang hak atas tanah walaupun lokasi bidang
tanahnya telah ditetapkan menjadi hutan kota masih diberi hak prioritas mengelola hutan
tersebut bahkan ayat (3) nya mengatur pengelolaan hutan kota masih diperkenankan dikelola
bukan pemegang hak atas tanah atau Pemerintah Daerah melalui perjanjian.
Bila suatu bidang tanah negara yang dikuasai masyarakat atau perorangan ditetapkan
sebagai hutan kota maka hak prioritas masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah menjadi
hapus yang bersangkutan hanya mempunyai hak mengelola atau memanfaatkan saja ( Pasal
21 ayat (1) ).
Pemerintah Kota Surabaya menargetkan bisa memenuhi target luasan hutan kota sesuai
Perda 15 Tahun 2014 yakni sebesar 10 persen atau 3.300 hektare dari total luas wilayah
Surabaya di kisaran 33.000 ha. Hutan kota yang sudah dimiliki Surabaya tersebar di sejumlah
wilayah, misalnya di Pakal (13 ha), Balas Klumprik (4,3 ha), dan kawasan Pamurbaya (500
ha).33
33 Sumber Dinas Pertanian Kota Surabaya
64
Hutan Bambu hutan di Keputih Kota Surabaya
5.2.2.3. Kasus Perbedaan Pendapat Antara Kepala Kantor Pertanahan tentang Hak
Prioritas perpanjangan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 244 Kelurahan Rungkut Tengah Surabaya tanggal
21 Nopember 1987 Luas 3519 m2, HGB nomor 371 Kelurahan Rungkut Menanggal Surabaya
tanggal 21 Nopember 1987 Luas 4301 m2, HGB Nomor 1403 Kelurahan rungkut Menaggal
Surabaya Luas 1965 m2 dan HGB Nomor 1634 Kelurahan Rungkut Tengah Surabaya tanggal
11 Desember 1995 Luas 1300 m2 atas nama PT. Ketabangkali berdiri di atas Hak Pengelolaan
PT. SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara.
Pada saat akan berakhir jangka waktu dari HGB tersebut PT. Ketabangkali mengajukan
perpanjangan haknya ke Kantor Pertanahan Surabaya. Karena masih ada kewajiban PT.
Ketabangkali selaku pemegang HGB yang belum dipenuhi, maka PT. SIER selaku pemegang
Hak Pengelolaan mengajukan pemblokiran dan ke Kantor Pertanahan Kota Surabaya untuk
tidak memenuhi permohonan perpanjangan HGB atas nama PT, Ketabangkali di atas HPL atas
nama PT. SIER tersebut. Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II tahun 2008 mencatat
pemblokiran tersebut pada Buku Tanah empat HGB atas nama PT. Ketabang Kali tersebut.
65
Pada saat terjadi pergantian Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II, Kepala Kantor yang
baru mengabaikan catatan pemblokiran pada Buku Tanah. Kepala Kantor Pertanahan
menerbitkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II tentang Perpanjangan
HGB PT. Ketabang Kali di atas HPL PT. SIER dengan Nomor: 301/HGB/BPN.35.80/2009
dan Nomor 302/HGB/BPN.35.80/2009. Pemblokiran PT. SIER sebagai pemegang Hak
Pengelolaan dianggap oleh Kepala Kantor Pertanahan sudah habis jangka waktu
pemblokirannya karena pencatatan pembalokirannya sudah berlangsung lebih dari satu bulan.
Selanjutnya Surat Keputusan perpanjangan tersebut didaftarkan dan terbit perpanjangan HGB
atas nama PT. Ketabang Kali tersebut di atas. Perpanjangan HGB atas nama PT. Ketabangkali
yang masih diblokir ini dianggap merugikan keuangan negara, kasus ini berujung di perkara
pidana Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1942/Pid.B/2010/PN.Sby.
Terhadap kasus ini terjadi perbedaan pendapat tentang hak prioritas mengajukan
perpanjangan hak atas tanah antara Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II tahun 2008 dan
penggantinya. Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II tahun 2008 berpendapat bahwa
pemblokiran yang dilakukan oleh pemilik tanah dalam hal ini PT. SIER sebagai pemegang Hak
Pengelolaan tidak ada batas waktunya sehingga hak prioritas untuk memperpanjang HGB
menjadi beku atau tidak dapat dilaksanakan. Kepala Kantor Pertanahan penggantinya
berpendapat hak prioritas itu sudah cair karena pemblokiran PT. SIER telah habis jangka
waktu sebagaimana diatur Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 126
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah sering ditafsirkan keliru untuk setiap pemblokiran dianggap
66
diatur oleh pasal ini, pemblokiran yang diatur pasal ini untuk yang akan dijadikan objek
gugatan di pengadilan dan pemblokirannya disertai salinan surat gugatan.
5.2.3. Kasus di Kabupaten Sidoarjo
5.2.3.1. Kasus Rekayasa Hak Prioritas Gantirugi Lumpur Lapindo
Bencana lumpur Lapindo dapat dikatakan termasuk bencana yang diakibatkan oleh
faktor non alam yaitu berupa kegagalan teknologi pengeboran. Lumpur panas menyembur dan
meluber menggenangi permukaan tanah baik tanah untuk pemukiman, tanah lokasi industri
maupun tanah pertanian yang terjadi sesudah dilakukan pengeboran untuk mencari minyak.
Bencana lumpur Lapindo telah membuat pemilik tanah kehilangan hak untuk menggunakan
dan memanfaatkan tanah.
Apakah kasus lumpur Lapindo ini termasuk kategori tanah musnah? PT. Minarak
Lapindo yang harus bertanggung jawab tidak mau mengganti hilangnya hak menggunakan dan
memanfaatkan tanah ini dengan istilah ganti rugi. PT. Minarak Lapindo maunya bidang tanah
yang dimiliki masyarakat yang terendam lumpur itu dibeli hak kepunyaannya dan bukan
dengan istilah ganti rugi. Masyarakat yang menerima uang dari PT. Minarak Lapindo
dilakukan sebagai transaksi jual beli tanah, artinya hak kepunyaan atas tanah yang terendam
lumpur beralih dari masyarakat menjadi hak kepunyaan PT. Minarak Lapindo. Bila semburan
lumpur ini berhenti maka PT. Minarak Lapindo akan menjadi yang empunya tanah dan
mempunyai hak prioritas untuk mengajukan hak atas tanah atau mempunyai hak prioritas
memperoleh ganti rugi bila tanah tersebut diinginkan oleh pihak lain termasuk oleh pemerintah.
Bagi PT. Minarak Lapindo akan lebih menguntungkan dengan transaksi jual beli dari pada
dengan transaksi ganti rugi, hal ini perlu dikaji lebih lanjut.
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo hari Senin
tanggal 27 April 2015 diperoleh informasi adanya oknum yang mengambil keuntungan dengan
adanya bencana lumpur. Ditemukan adanya rekayasa subjek hak penerima ganti rugi lumpur
Lapindo. Siapa subjek yang akan memperoleh ganti rugi menjadi tanggung jawab dari Tim
Verifikasi yang anggotanya yaitu dari Kepala Desa, pihak Kepolisian dan pihak Badan
Pertanahan Nasional. Ditemukan bidang tanah halaman masjid yang terkena dampak lumpur
Lapindo hak prioritas penerima gantirugi diberikan kepada 4 (empat) orang yang tidak berhak.
Halaman masjid tersebut seluas 1 ha diberi ganti rugi sebesar Rp. 4 Miliard dan direkayasa
kepada orang yang tidak memiliki prioritas menerima gantirugi. Kasus ini membawa Kepala
Desanya menjadi terpidana.
67
5.2.3.2. Peta Bidang Tanah Dianggap sebagai Bukti Hak Prioritas.
Seseorang atau badan hukum yang ingin menggunakan hak kepunyaan dan hak
prioritasnya untuk memperoleh hak atas tanah harus terlebih dahulu mempunyai kepastian
hukum atas obyeknya atau atas bidang tanahnya. Kepastian hukum pemilikan tanah harus
selalu diawali dengan kepastian hukum dari objeknya. Kepastian hukum dari objek bidang
tanah ditentukan dari letak batas bidang tanah yang ditentukan oleh pemilik tanah dan pemilik
tanah yang berbatasan yang disebut dengan asas kontradiktur delimitasi.
Batas bidang tanah yang terlihat di lapangan yang belum ditentukan letak tepatnya sering
disebut dengan “batas umum” (general boundary), batas umum yang telah ditentukan letak
tepatnya melalui kontradiktur delimitasi disebut dengan “batas pasti” (fixed boundary).
Selanjutnya terhadap “batas pasti” tersebut untuk merekam posisi letak batasnya supaya tidak
berubah maka dilakukan penetapan batas atau pengukuran letak batas oleh Pemerintah. Letak
batas tersebut direkam dalam bentuk koordinat yang bersifat “unik” atau “tidak ada duanya”,
koordinat letak batas akan disimpan di Kantor Pertanahan sepanjang tanah itu masih ada atau
data koordinat letak batas disimpan oleh Kantor Pertanahan sampai kiamat. Data koordinat
letak batas bidang tanahnya yang tersimpan di Kantor Pertanahan setiap saat dapat digunakan
untuk pengembalian batas bila tanda batas itu hilang, baik karena bencana alam atau karena
ulah tangan manusia. Pemerintah dalam hal ini Kantor Pertanahan ‘menjamin’ apabila tanda
batas itu hilang akan dapat dikembalikan melalui rekonstruksi batas ke posisi semula sama
dengan posisi pada saat batas itu ditentukan oleh pemilik tanah dan pemilik tanah yang
berbatasan.
“Batas pasti” yang telah diukur oleh Kantor Pertanahan dan data ukuran dapat untuk
rekonsruksi kembali bila batas itu hilang disebut dengan “Batas Terjamin” (guaranteed
boundary), disebut batas terjamin karena Kantor Pertanahan menjamin bila batas hilang dapat
direkonstruksi kembali. Letak batas bidang tanah yang telah mempunyai kekuatan hukum dan
disajikan di atas kertas disebut dengan Peta Bidang.
Pada tahun 1980 terbit peta bidang atas nama Pusat Koperasi Karyawan (Puskopkar)
dalam rangka permohonan hak atas tanah. Permohonan hak atas tanah yang diajukan
Puskopkar mengalami hambatan karena adanya sengketa dengan pihak lain mengenai alas hak
atau alat bukti hak kepunyaan. Tahun 1990 Bank memberikan kredit kepada Puskopkar atas
dasar Peta Bidang tersebut, bank menganggap bahwa Peta Bidang merupakan bukti hak
kepunyaan. Bank menganggap mempunyai Peta Bidang dapat sebagai bukti hak prioritas
mengajukan permohonan hak dan dapat pula sebagai bukti hak kepunyaan. Peta Bidang ini
68
walaupun telah mempunyai kekuatan hukum karena ditentukan oleh pemilik tanah dan pemilik
tanah yang berbatasan tetapi sebagai bukti hak kepunyaan dan hak prioritas terhadap bidang
tanah tersebut masih perlu dilengkapi alat bukti tertulis siapa pemilik tanah tersebut.
5.2.3.3. Kasus Tanah Gogolan
Keberadaan tanah dengan status gogol gilir dan gogol tetap masih ditemukan di
Kabupaten Sidoarjo. Ketentuan – ketentuan konversi UUPA Pasal VII mengatur tentang hak
gogolan sebagai berikut:
Pasal VII
(1) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-
undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
(2) Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada
pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh
pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini
(3) Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap, maka
Menteri Agrarialah yang memutuskan.
Keberadaan tanah gogol di Kabupaten Sidoarjo berada di Desa Tasik Kecamatan
Tulangan. Prioritas pemanfaatan tanah pertanian dengan di Desa Tarik dengan cara gogol ini
dilakukan secara bergiliran dengan pergeseran pemanfaatan bidang lokasi tanah setiap selesai
panen. Setiap selesai panen maka petani pada musim tanam berikutnya akan menanam atau
mendapat giliran memanfaatkan bidang tanah sebelahnya (misal sebelah kanannya), sedang
bidang tanah baru saja dipanen akan dimanfaatkan oleh petani yang sebelumnya menggarap
tanah di sebelahnya kirinya, demikian seterusnya secara bergiliran atau dapat disebut “atok
sirah gilir galeng” sebagai mana diatur dengan KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI
AGRARIA DAN MENTERI DALAM NEGERI No. 30/DEPAG/65 - No. 11/DDN/1965
tentang Penegasan Konversi Menjadi Hak Pakai dan Pemberian Hak Milik Atas Tanah Bekas
Hak Gogolan Tidak Tetap sebagai berikut:
Diktum Menimbang :
a. bahwa hak gogolan (sanggan/pekulen) yang tidak memenuhi syarat hak gogolan tetap
sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960
dan Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Agraria dan Menteri Dalam Negeri No.
40/Ka/1964 adalah hak gogolan tidak tetap;
b. bahwa hak gogolan tidak tetap itu menurut Pasal VII ayat 2 ketentuan-ketentuan Konversi
Undang-Undang Pokok Agraria dikonversi menjadi hak pakai, yang memberi wewenang
dan kewajiban sebagai dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-
Undang tersebut;
69
c. bahwa konversi hak gogolan tidak tetap menjadi hak pakai itu menurut hukumnya terjadi
sejak tanggal 24 September 1960, sehingga sejak itu berlakulah ketentuan-ketentuan hak
pakai yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya
dan selama peraturan-peraturan tersebut belum ada, berlaku ketentuan-ketentuan Desa
setempat yang telah disesuaikan dengan jiwa U.U.P.A.;
d. bahwa pemberian tanah hak pakai bekas hak gogolan tidak tetap dengan hak milik akan
membawa kemantepan, kegairahan bekerja dalam rangka meningkatkan produksi
pangan dan memang sesuai dengan tujuan landreform;
Pemanfaatan tanah gogol di Desa Tarik Kecamatan Tulangan ini termasuk tanah gogol
sebagaimana Diktum Ketiga huruf A yang menetapkan sebagai berikut:
KETIGA : Panitya Landreform Kecamatan berdasarkan Ketentuan-ketentuan yang berlaku pada mulai
berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, menegaskan bahwa hak gogolan tidak tetap yang terdapat pada
masing-masing desa yang bersangkutan adalah tergolong dalam bentuk A, B atau C dari bentuk-bentuk tanah
gogolan dibawah ini. Bentuk-bentuk itu ialah :
A. Hak menggarap/menguasai tanah itu bersifat turun-temurun, tetapi tanah yang digarap/dikuasai
berganti-ganti (atok sirah gilir galeng).
Tanah gogol di Desa Tarik yang sejak tanggal 24 September 1960 dikonversi menjadi
Hak Pakai ini selanjutnya dapat diajukan dengan status hak atas tanah Hak Milik sebagaimana
diatur diktum kelima :
KELIMA : Setelah ada penegasan dari Panitya Landreform Kecamatan atau Panitya Landreform daerah Tingkat
II sebagai dimaksud dalam diktum KETIGA atau KEEMPAT maka tanah bekas hak gogolan tidak tetap
(yang telah dikonversi menjadi hak pakai) itu diberikan dengan hak milik oleh Kepala Kantor Inspeksi
Agraria yang bersangkutan menurut cara sebagai dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dan dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Bersama ini.
KESEMBILAN :
a. Daftar sebagai tesebut dalam diktum KEENAM, KETUJUH dan KEDELAPAN setelah disahkan oleh Panitya
Landreform Daerah Tingkat II disampaikan kepada Kepala Kantor Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
Berdasarkan daftar atau hasil musyawarah tersebut dikeluarkan Keputusan pemberian hak milik atas tanah-
tanah yang bersangkutan.
Permasalahan terjadi di lapangan setelah petani menerima Sertipikat Hak Milik atas
tanah yang selama ini digarap secara “atok sirah gilir galeng”, petani menerima sertipikat atas
bidang tanah yang sudah tetap lokasinya, namun kenyataan di lapangan mereka tetap
menggarap secara bergilir secara “atok sirah gilir galeng’ tidak berpedoman dengan bidang
tanah yang tergambar pada Sertipkatnya. Perjalanan waktu karena pesatnya pembangunan
dengan adanya perubahan tata ruang menyebabkan petani yang menerima sertipikat menjual
bidang tanah tersebut, bidang tanah yang ditunjuk pada saat dijual adalah bidang tanah yang
70
saat itu sedang digarap. Jelas hal ini tidak sesuai dengan bidang tanah yang tercantum pada
sertipikat yang atas nama petani tersebut, hal ini menjadi permasalahan tersendiri.
Semula tanah gogol gilir tersebut hanya memperoleh prioritas dapat di konversi menjadi
hak pakai, dengan KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGRARIA DAN MENTERI
DALAM NEGERI No. 30/DEPAG/65 - No. 11/DDN/1965 tentang Penegasan Konversi
Menjadi Hak Pakai dan Pemberian Hak Milik Atas Tanah Bekas Hak Gogolan Tidak Tetap
dalam diktum menimbang huruf d ditegaskan dapat memperoleh hak prioritas menjadi tanah
dengan status hak atas tanah “hak milik.” Keputusan bersama dua menteri tersebut telah
menjadi “lex spesialis” dari Pasal VII ayat (2) UUPA yang mengatur bahwa gogol tidak tetap
dikonversi menjadi Hak Pakai, artinya hak prioritasnya meningkat dari memperoleh Hak Pakai
menjadi memperoleh Hak Milik.
5.2.4. Kasus dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur
5.2.4. 1. Hapusnya Hak Prioritas karena Menelantarkan Tanah Hak Guna Usaha.
Hak menguasai Negara sesuai dengan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi antara
lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-I/2003, 002/PUU-I/2003, 21/PUU-
V/2007 dan 22/PUU-V/2007, diartikan mempunyai kewenangan untuk mengadakan
kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. UUPA telah mengatur macam-macam hak atas tanah,
namun belum mengatur secara lebih rinci mengenai perpanjangan dan hapusnya hak-hak atas
tanah. 34 Hapusnya hak kepunyaan atas bidang tanah belum diatur juga dengan Undang-
Undang.
Tanah yang diindikasikan terlantar adalah tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan atas
tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Tanah terlantar adalah
tanah yang diindikasikan terlantar yang telah diidentifikasi dan telah ditetapkan oleh Kepala
BPN RI. Penertiban tanah terlantar adalah proses identifikasi, penelitian dan peringatan
terhadap hak atas tanah dan atau dasar penguasaan atas tanah. Tanah terlantar adalah tanah
yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang
34 Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional Hendarman Supandji Pada Pertemuan Para Pengajar Dan
Pemerhati Hukum Agraria Seluruh Indonesia, Jakarta, 4 Juli 2013
71
telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penelantaran tanah makin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan
rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan, sehingga perlu dilakukan penertiban terhadap
pihak-pihak yang memperoleh hak atas tanah tetapi tidak menggunakan dan memanfaatkan
tanah sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
PT. Minalaksa Djatim yang berkedudukan di Situbondo sebagai pemegang Hak Guna
Usaha Nomor 5/Situbondo seluas 7,3095 ha terletak di Desa Tanjung Kamal, Kecamatan
Mangaran, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, sesuai dengan hasil pemantauan dan
evaluasi pada akhir peringatan III masih menelantarkan tanah seluas 7,3095 ha. Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur telah melaksanakan identifikasi dan
penelitian tanggal 23 Maret 2011 yang dilanjutkan identifikasi dan penelitian Panitia C Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur dan hasilnya dituangkan dalam
Berita Acara Identifikasi dan Penelitian Tanah Hak Guna Usaha yang Terindikasi Terlantar
tanggal 20 Juli 2011, dilanjutkan dengan Peringatan I Nomor 1541/16-35/VIII/2011 tanggal 19
Agustus 2011, Peringatan II Nomor 1760/16-35/X/2011 tanggal 4 Oktober 2011, Peringatan
III Nomor 2055/16-35/XI/2011 tanggal 18 Nopember 2011, serta pemantauan dan evaluasi
oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur pada akhir Peringatan
III, pemegang hak masih menelantarkan tanah Hak Guna Usahanya;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa Timur melalui surat Nomor 399/16-35/II/2012 tanggal 24 Februari
2012 mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk
menetapkan tanah Hak Guna Usaha Nomor 5/ Situbondo atas nama PT. Minalaksa Djatim
sebagai tanah terlantar. Pasal 34 huruf e UUPA mengatur bahwa hak atas tanah Hak Guna
Usaha hapus apabila tanahnya diterlantarkan. Bagaimana tanah dapat dinyatakan terlantar
diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar. Usulan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Jawa Timur disetujui sehingga terbit Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 70/PTT – HGU/ BPN RI / 2013 tanggal 15 Juli 2013 yang menetapkan tanah
terlantar yang berasal dari Hak Guna Usaha Nomor 5/Situbondo atas nama PT. Minalaksa
Djatim yang ditegaskan dalam Diktum Pertama Keputusan tersebut.
Dilanjutkan pada Diktum kedua Keputusan tersebut menyatakan sebagai berikut:
72
Keputusan penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA sekaligus
menetapkan hapusnya hak atas tanah, memutuskan hubungan hukum, dan tanah dimaksud langsung dikuasai
oleh negara.
Setelah kalimat “hapusnya hak atas tanah” diikuti kalimat “memutuskan hubungan
hukum” maksud kalimat “memutuskan hukum” pada diktum kedua ini perlu penjelasan
hubungan hukum yang bagaimana?. Hapusnya hak atas tanah maka tanah langsung dikuasai
oleh negara atau sering disebut kembali menjadi Tanah Negara. Bekas pemegang hak guna
usaha (HGU) selain kehilangan hak atas tanah juga kehilangan hak untuk mengajukan
permohonan kembali hak guna usaha tersebut. Jadi bekas pemegang HGU kehilangan hak
prioritas untuk memperoleh HGU kembali pada bidang tanah tersebut. Tanah dikuasai oleh
negara bukan berarti dimiliki oleh negara35 . Timbul pertanyaan: siapa pemilik tanah (jus
possessiones) bekas HGU tersebut? Apakah hak kepunyaan akan hapus karena tanah
diterlantarkan? UUPA secara jelas dan tegas mengatur bahwa hak atas tanah hapus karena
diterlantarkan bukan menghapus hak kepunyaan, dengan demikian apa maksud kalimat
“memutuskan hubungan hukum” dalam diktum kedua. Peneliti berpendapat bahwa
memutuskan hubungan hukum di sini untuk menegaskan hapusnya hak atas tanah, dengan
hapusnya hak atas tanah maka putuslah hubungan hukum subjek hak tersebut dengan
penggunaan dan pemanfaatan tanah, dalam hal ini Hak Guna Usaha tetapi tidak memutuskan
hubungan keperdataan (hak kepunyaan) subjek bekas pemegang HGU dengan bidang tanah
tersebut. Dapat diartikan juga bahwa dengan status tanah kembali dikuasai negara maka status
tanah tersebut kembali seperti sebelum diajukan permohonan HGU. Bekas pemegang HGU
yang tanahnya diterlantarkan sebelum mengajukan HGU harus lebih dahulu memiliki hak
kepunyaan atas bidang tanah, dengan dasar hak kepunyaan tersebutlah hak prioritas diperoleh
untuk kemudian dapat mengajukan permohonan HGU. Badan Pertanahan Nasional tidak
mempunyai kewenangan membatalkan hak kepunyaan (hak keperdataan), hanya pengadilan
umum yang berwenang. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang membatalkan
HGU dengan demikian hanya membatalkan hak atas tanah dalam hal ini HGU dan sekaligus
membatalkan hak prioritas untuk mengajukan permohonan HGU tetapi tidak membatalkan hak
kepunyaan/hak keperdataan.
5.2.4.2. Hapusnya Hak Kepunyaan Karena Menelantarkan Tanah.
(Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 30/Pdt.G/ 2004/PN.JR)
35 Penjelasan Umum UUPA Romawi II angka (2)
73
Pelaksanaan penertiban tanah terlantar yang sering diangkat baru menjangkau terhadap
tanah yang diterlantarkan yang diberikan dengan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
yang dimiliki badan hukum. Terhadap Hak Milik yang diterlantarkan masih belum terjangkau
walaupun di lapangan ditemukan beberapa Hak Milik yang diterlantarkan, yang memerlukan
penyelesaian untuk kepastian hukum atas penguasaan dan pemanfaatannya. Diperoleh
informasi bahwa di Kabupaten Jember ditemukan Hak Milik diterlantarkan seluas 6 ha yang
yang telah dimanfaatkan untuk tempat tinggal sampai sejumlah 100 Kepala Keluarga. Hak
milik tersebut adalah tanah di desa Wirolegi dengan sertipikat:
Hak Milik Nomor 26 atas nama P.Din,
Hak Milik Nomor 27 atas nama P. Muhamad,
Hak Milik Nomor 28 atas nama P. Warno, dan
Hak Milik Nomor 29 atas nama P. Moerdijanto
Keempat bidang tanah tersebut luasnya masing-masing 1500 m2 sehingga totalnya 6 ha.
Bahwa ke-4 (empat) SHM tanah tersebut diterbitkan Berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Inspeksi Agraria Jawa Timur tanggal 29 April 1961 No. 1/Agr./46/HM/Bks/61;
Pada awalnya tanah tersebut tanah negara bekas Hak Erfpact yang tercatat dalam
Verponding Nomor 414 seluas 354,825 ha tercatat atas nama Landbouw Maatschappij Oud
Djember (LMOD) yang telah berakhir 5 Pebruari 1954, dalam hal ini sebagian tanah tersebut
kurang lebih 6 ha menjadi objek sengketa.
Sejak tahun 1992 berusaha mencari alamat pemilik tanah dengan sertipikat tersebut
dengan antara lain bersurat ke Bank Indonesia untuk meneruskan ke bank-bank. Namun tidak
menemukan adanya agunan di bawah tangan karena pada Buku Tanahnya bersih tidak
ditemukan catatan-catatan. Fakta di lapangan tanah tersebut telah dikuasai oleh Amri, dkk sejak
sekitar tahun 1960 dan tidak ada gangguan dari pihak manapun. Namun ketika beberapa warga
akan melakukan permohonan pendaftaran tanahnya ke Kantor Pertanahan Kabupaten Jember,
ternyata diketahui bahwa tanah yang akan diajukan permohonan sertipikat tersebut sudah
bersertipikat dan merupakan bagian dari bidang tanah sertipikat hak milik atas nama 4 orang
yakni Pak Din, Muhamad, Warno dan Moerdijanto tersebut.
Amri, dkk sempat akan melakukan tindakan anarkis kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten Jember karena permohonan pensertipikatan tanahnya tidak dapat diproses oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten Jember. Kemudian para pemohon yang diwakili oleh beberapa
74
orang pemohon yang tergabung dalam Panitia Pemohon Pensertipikatan Tanah berusaha untuk
melakukan upaya menyelesaikan permasalahan tersebut dengan jalan musyawarah. Namun
pada kenyataannya para pemohon tidak pernah bertemu dan mengenal nama-nama pemegang
Hak Milik tersebut. Sehingga permasalahan tersebut diselesaikan melalui jalur litigasi.
Gugatan ke Pengadilan Negeri Kelas I Jember oleh Amri, dkk sejumlah 33 orang
penggugat merupakan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Amri, dkk sejumlah 33
orang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan
dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Wakil kelompok (class
representatif) dalam hal ini adalah Pak Amri, dkk sebanyak 33 orang, sedangkan anggota
kelompok (class member) dalam perkara ini sebanyak 96 orang.
Penunjukan advokat (pengacara) dalam perkara penyelesaian tanah Hak Milik
terlantar nomor 26, 27, 28, dan 29/Wirolegi dilakukan dengan menggunakan surat kuasa
khusus.. Perkara penyelesaian tanah hak milik terlantar tersebut tercacat dalam buku register
perkara perdata Negeri Kelas I Jember Nomor 30/pdt.G/2004/PN.Jr tanggal 21 April 2004.
Setelah surat gugatan terdaftar dan sudah ditentukan hari sidang pertamanya, maka
panitera atau jurusita membuat dan mengirimkan surat panggilan kepada penggugat, turut
tergugat, dan tergugat. Kantor Pertanahan Kabupaten Jember dalam hal ini duduk sebagai turut
tergugat. Turut tergugat dalam praktiknya dipergunakan bagi orang-orang yang tidak
menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi
lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Mereka dalam petitum hanya sekedar
dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim.36 Risalah panggilan kepada tergugat
pemegang hak milik nomor 26, 27, 28, dan 29/Wirolegi atas nama Pak Din, Muhamad, Warno,
dan Moedijanto yang secara faktual tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia maupun di
luar negeri, maka Pengadilan Negeri Jember melakukan pemanggilan secara sah dan patut
berdasarkan undang-undang.
Pada hari sidang pertama yang telah ditetapkan yaitu pembacaan gugatan, ternyata Pak
Din, Muhamad, Warno, dan Moedijanto (para tergugat) tidak datang dan tidak pula
mengirimkan wakilnya menghadap di persidangan, walaupun sudah dipanggil dan diberitahu
dengan patut dan sah oleh panitera (jurusita). Selanjutnya pada sidang kedua yaitu
penyampaian jawaban gugatan dari pihak tergugat maupun turut tergugat, para tergugat
36 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Mandar Maju, 1995), halaman 2
75
dan/atau kuasanya juga tidak hadir. Namun, walaupun tergugat dan/atau kuasanya tidak hadir
pada saat sidang pertama, Kantor Pertanahan Kabupaten Jember selaku turut tergugat
menyampaikan jawaban atas gugatan tersebut. Jawaban pertama turut tergugat dalam perkara
Nomor 30/Pdt.G/2004/PN.JR tanggal 10 Juni 2004 atas gugatan para penggugat tanggal 21
April 2004 (lampiran 5) adalah sebagai berikut:
1. Bahwa benar turut tergugat telah menerbitkan 4 (empat) buah Sertipikat Hak Milik
(SHM) atas objek sengketa terletak di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Sumbersari
(dahulu Desa Wirolegi Kecamatan Wirolegi) yakni:
a. SHM No. 26/Wirolegi Luas: ± 15.000 m² atas nama P. Din (Tergugat I)
b. SHM No. 27/Wirolegi Luas: ± 15.000 m² atas nama P. Muhamad (Tergugat II)
c. SHM No. 28/Wirolegi Luas: ± 15.000 m² atas nama P. Warno (Tergugat III)
d. SHM No. 29/Wirolegi Luas: ± 15.000 m² atas nama P. Moerdijanto (Tergugat
IV)
Selanjutnya pada sidang ketiga yaitu penyampaian replik penggugat, para tergugat dan/atau
kuasanya juga tidak hadir. Para penggugat (Amri, dkk) melalui kuasanya menyampaikan replik
dalam surat tertanggal 19 Juli 2004, bahwa setelah para penggugat membaca, memperhatikan,
dan mencermati dengan seksama Jawaban Pertama Turut Tergugat, pada pokoknya Turut
Tergugat telah tidak menyangkal atau membantah keseluruhan dalil-dalil Gugatan Para
Penggugat; atau dengan kata lain Turut Tergugat dalam jawabannya tersebut secara tegas telah
membenarkan atau mengakui kebenaran dalil-dalil Gugatan Para Penggugat, sehingga
konsekuensi yuridisnya sesuai dengan asas-asas maupun ketentuan Hukum Acara Perdata yang
berlaku, terhadap dalil-dalil gugatan yang tidak disangkal atau tidak dibantah kebenarannya
tidak perlu dibuktikan lagi;
Bahwa berdasarkan laporan dari Kepala Kelurahan Karangrejo Kecamatan Sumbersari
Kabupaten Jember dengan suratnya tanggal 28 September 1991 No. 570/96/513.07/1991 dan
hasil penelitian turut tergugat, maka berkenaan dengan keberadaan 4 (empat) buah sertipikat
atas tanah sengketa telah ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:
a. Secara prosedural penerbitan 4 (empat) buah sertipikat tersebut adalah cacat hukum;
b. Semenjak 4 (empat) sertipikat tersebut diterbitkan, pemegang hak atau ahli warisnya
hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya dan tidak pernah menguasai dan
mengelola tanahnya;
76
c. Sejak sebelum Surat Keputusan pemberian hak atas tanah atas nama para pemegang
hak tersebut diterbitkan, tanah sengketa telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat
setempat (in casu para penggugat) untuk pertanian dan sebagian untuk perumahan.
Bahwa atas dasar fakta tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keempat pemegang
hak (Para Tergugat) fiktif belaka.
Selama proses persidangan, ternyata tergugat tidak pernah hadir atau mengirimkan
kuasanya, sehingga dengan demikian, perkara Nomor 30/Pdt.G/2004/PN.JR diputus dengan
putusan verstek oleh pengadilan. Apabila gugatan penggugat dikabulkan tanpa kehadiran
tergugat (verstek), maka tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan
verstek itu kepada hakim. Berdasarkan Pasal 129 ayat (2) HIR dan Pasal 153 ayat (2) RBg,
verzet dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan putusan
verstek tersebut kepada tergugat secara pribadi (in person). Apabila pemberitahuan itu tidak
disampaikan kepada tergugat pribadi, maka perlawanan dapat diajukan sampai hari ke-8
(kedelapan) setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu atau apabila tergugat tidak
datang menghadap untuk ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8
(kedelapan) sesudah putusan verstek itu dijalankan. Namun pada kenyataannya, sampai upaya
perlawanan verzet tersebut habis waktu (mengalami kadaluarsa), para tergugat tidak
mengajukan perlawanan verzet. Akibatnya putusan verstek hakim atas perkara Nomor
30/Pdt.G/2004/PN.JR telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkract van gewijsde).
Hasilnya Putusan Pengadilan Negeri Kelas I Jember Nomor 30/Pdt.G/2004/PN.Jr
tanggal 29 Oktober 2004 menyatakan 4 (empat) buah sertipikat hak milik tersebut cacat hukum
sehingga dibatalkan, dan menyatakan bahwa tanah tersebut kembali menjadi tanah negara,
selanjutnya bisa dimohonkan haknya melalui pemberian hak oleh masyarakat yang
menguasainya (Amri, dkk). Kemudian terhadap tanah-tanah tersebut sampai saat ini sudah
dapat didaftar dan dimohon pensertipikatannya atas nama masing-masing masyarakat yang
menguasainya dengan dasar Putusan Pengadilan Negeri Kelas I Jember Nomor
30/Pdt.G/2004/PN.Jr tanggal 29 Oktober 2004 tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri Kelas I Jember Nomor 30/Pdt.G/2004/PN.Jr tanggal 29
Oktober 2004 tersebut selain telah menghapus hak kepunyaan dan sekaligus hak atas tanah
keempat pemegang Hak Milik, telah melahirkan hak kepunyaan dan hak prioritas para
penggugat untuk memperoleh hak atas tanah.
77
5.2.4.3. Putusan Pengadilan tentang Penguasaan Tanah “Panitia Pelaksana
Penguasaan Milik Belanda” (P3MB) PUTUSAN Nomor: 02/Pdt.G/2013/PN.Ngjk.
Sebidang tanah di atasnya berdiri 2 (dua) bangunan rumah yaitu 1 (satu) bangunan rumah
induk dan 1 (satu) bangunan rumah paviliun terletak di jalan RA. Kartini No. 36 (dulu RA. Kartini
nomor 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten
Nganjuk adalah tanah bekas hak Eigendom, Verponding No. 113 atas nama Victoria
(Victorine) Agnes Wedding, Janda Frans Engelbrect Wolff, luas 1.556 M2 (seribu lima ratus
lima puluh enam meter persegi) dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara : Jl. R.A Kartini
Selatan : Tanah?Rumah Halim Hutomo
Timur : Jl. P. Diponegoro
Barat : Tanah/Rumah Suwardi alias Wardi Oetomo
Berdasarkan Surat Keterangan Kantor Daerah Imigrasi Surabaya, Direktorat Jenderal
Imigrasi Nomor : 29/Reg.3/Vic/1975 tanggal 9 Juni:1975 menerangkan bahwa Victoria
(Victorine) Agnes telah pergi meninggalkan Negara Republik Indonesia sejak tahun 1949.
Karena sebidang tanah di atasnya berdiri 2 (dua) bangunan rumah, yang terletak di Jalan R.A.
Kartini No. 36 (dulu RA. Kartini Nomor : 28) RT. 004 / RW. 001 Kelurahan Mangundikaran
Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk "telah ditinggal pemiliknya ke Negeri Belanda” maka berdasarkan
Undang-Undang Nomor : 3 Prp 1960, lembaran Negara Nomor : 19 / 1960 Tentang Penguasaan
Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda” maka Tanah dan Bangunan Rumah tersebut menjadi milik Panitia
Pelaksana Penguasaan Milik Belanda (P3MB) Daerah Jawa Timur, di Surabaya.
Kurang lebih sejak tahun 1970-an, sebidang tanah diatasnya berdiri 2 (dua) bangunan
rumah terletak di Jalan R.A. Kartini Nomor : 36 (Dulu R.A. Kartini Nomor : 28) RT. 004 RW.
001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk “Dihuni dan Ditempati” oleh
Let. Kol Soemino (Dan Dim 0810 Nganjuk). Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Prpl960 junto
Peraturan Pemerintah Nomor : 223 Tahun 1961, menerangkan “Penghuni diperkenankan
membeli sebidang tanah diatas nya berdiri 2 (dua) bangunan rumah terletak di Jalan RA.
Kartini Nomor 36 (Dulu Jalan RA. Kartini Nomor 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan
Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk melalui Panitia Pelaksana
Penguasaan Milik Belanda (P3MB) Jawa Timur di Surabaya.
Sebidang tanah di atasnya berdiri 2 (dua) bangunan rumah terletak di Jalan RA. Kartini
No. 36 (dulu Jalan RA. Kartini No. 28) Desa Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten
Nganjuk, mulai “Dihuni dan ditempati”, oleh Letkol, Soemino sampai berubah statusnya
menjadi Sertipikat Hak Milik nomor : 01432 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk
78
Kabupaten Nganjuk, Surat Ukur nomor : 00296/Mangundikaran/2002 tanggal 04-02-
2002 Luas 1556 m2, dengan nama pemegang hak, para ahli waris Let. Kol
SOEMINO,(Alm.) yaitu :
1) Muhadi Prabowo
2) Soesilo Poedjaningsih
3) Soesilo Poedji Astoeti
4) Susilo Pudji Agus Trisnowati
5) Soesilo Juli Widjajanto
Para ahli waris Letkol. Soemino selanjutnya sebagai pihak Penggugat dengan formasi
sebagai berikut:
1. NY. SOESILO PUDJANINGSIH, Pekerjaan Ibu Rumah tangga, beralamatkan di
Komplek Perumtel nomor 20 Kampung Melayu Besar RT. 010 RW. 001 Kebon Baru
Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT I;
2. NY. SOESILO POEDJI ASTUTI, Pekerjaan Karyawati, beralamatkan di Komplek
Perumtel nomor 20 Kampung Melayu Besar RT. 010 RW. 001 Kebon Baru Kecamatan
Tebet Jakarta Selatan, Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT II;
3. Ir. SOESILO JULIWIDJAJANTO, Pekerjaan Pegawai, beralamatkan di Komplek
Kembang Larangan RT. 004 RW. 001 Larangan Selatan, Kecamatan Larangan Kota
Tangerang 15155, Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT III.
4. MUHADI PRABOWO Ak. Mba, Pekerjaan karyawan, beralamatkan di Jalan Pandan
Wangi III Blok B X Nomor 13 RT. 03. RW. 12 Kelurahan Larangan Selatan Kecamatan
Larangan Kota Tangerang, Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT IV;
5. ALOYSIUS ALI MUDIANTO (sebagai Suami dari Almarhumah Ny. AY SOESILO
POEDJI AGOES TRISNOWATI, dan sekarang bertindak sebagai Penggugat
berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari para ahli waris pengganti tanggal 17 Desember
2012): Pekerjaan swasta, beralamatkan di Jalan Perkici VI EA. 6/3 EJTR 5 RT/RW
006/010 Jurang Mangu Timur Pondok Aren Tangerang, Selanjutnya disebut sebagai
PENGGUGAT V;
Para Penggugat mengajukan alat bukti sebagai berikut:
1) Surat sdr. Soemino tertanggal 24 Oktober 1973 yang diketahui/disetujui oleh
Pangdam VIII/Brawijaya kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Kabupaten
79
Nganjuk tentang permohonan untuk membeli tanah /bangunan tersebut di atas
(bukti surat P1).
2) Surat keterangan Kepala Desa Mangundikaran, Kecamatan Nganjuk,
Kabupaten Nganjuk tanggal 18 Desember 1973 (dikuatkan oleh Camat Kota
Nganjuk) yang menerangkan bahwa Letkol Soemino adalah penghuni tunggal
atas tanah bekas RVE Verp. Nomor 113 (bukti surat P2).
3) Surat sdr. Soemino tertanggal 18 Desember 1973 kepada P3MB Daerah Jawa
Timur untuk membeli tanah /rumah bekas RVE Verp. Nomor 113. (bukti surat
P3)
4) Surat keterangan Komandan Korem 081 Dhirot Saha Jaya tanggal 2 Januari
1974 yang menerangkan bahwa Letkol Soemino belum pernah mendapat rumah
dari pemerintah dan belum mempunyai rumah sendiri (bukti surat P4)
5) Surat keterangan Kantor Daerah Imigrasi Surabaya, Direktorat Jenderal
Imigrasi nomor 29/Reg.3/Vic/1975 tanggal 9 Juni 1975 yang menerangkan
bahwa Victoria (Victorine) Agnes telah pergi meninggalkan Indonesia sejak
tahun 1949. (bukti surat P5)
6) Surat keterangan Bupati/Kepala Daerah Tk. II Nganjuk tertanggal 18 Juni 1975
tentang persetujuan (tidak keberatan) pembelian rumah eks hak eingendom
verp. Nomor 113 oleh Sdr. Soemino. (bukti surat P6)
7) Surat keterangan PT Kantor Tata Usaha Versluis nomor 046/L/1975 tanggal 19
Juni 1975 yang menerangkan bahwa PT. Kantor Tata Usaha Versluis tidak
mengurus rumah di JL RA Kartini Nomor 28 Nganjuk. (bukti surat P7)
8) Surat P3MB nomor 104/P3MB/A/76 tanggal 5 Februari 1976 kepada Menteri
Dalam Negeri /Direktur Jenderal Agraria tentang pertimbangan untuk
mengabulkan permohonan Sdr. Soemino. (bukti surat P8)
9) Surat keterangan pendaftaran tanah Sub Direktorat Agraria, Kabupaten
Nganjuk nomor 6/ktr/l976 tanggal 15 Maret 1976. (bukti surat P9)
10) Surat idzin pembelian Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria nomor
Peta/6/DA/84/76 tanggal 7 Oktober 1976. (bukti surat P10)
11) Surat P3MB nomor DA/553/PMB/B/76 tanggal 9 November 1976 kepada sdr.
Soemino tentang panggilan untuk menemui koordinator sekretariat P3MB
dan/atau Sekretaris P3MB. (bukti surat P11)
80
12) Berita Acara Panitia Penaksir nomor T.1795/P3MB/Jatim tanggal 19 Desember
1976 yang memutuskan bahwa harga material dari rumah/tanah di Jl. RA.
Kartini 28 Nganjuk ditaksir sebesar Rp. 866.000,00 (bukti surat P12)
13) Daftar penetapan harga Panitia Penaksir nomor T. 1795/P3MB/Jatim tanggal
19 Desember 1976. (bukti surat P13)
14) Surat P3MB nomor DA/85/P3MB/A./76 tanggal 19 Desember 1976 kepada
Menteri Dalam Negeri tentang permohonan untuk membeli rumah/tanah
terletak di Jl Kartini 28 Nganjuk atas nama Sdr. Soemino. (bukti surat P14)
15) Salinan surat keputusan Menteri Dalam Negeri nomor Peta 7/DA/36/77 tanggal
12 April 1977 tentang persetujuan menjual tanah/bangunan di Jl Kartini 28
Nganjuk kepada Sdr. Soemino seharga Rp. 762.000,00 dengan hak guna
bangunan selama 20 tahun. (bukti surat P15)
16) Surat Sub Direktorat Agraria, Kabupaten Nganjuk nomor Sda.
548/PHT/&/VII/77 tanggal 20 Juli 1977 tentang permohonan HGB Sdr.
Soemino atas tanah bekas hak eingendom Verp. 113 di Jl. Kartini 28 Nganjuk
di kabulkan. (bukti surat P16)
17) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah nomor 60/1977 tanggal 10 November
1977 yang diterbitkan oleh Sub Direktorat Agraria, Kabupaten Nganjuki (bukti
surat P17)
18) Tanda Terima Setor nomor 47, nomor 140 dan nomor 66 tahun 1978 pada PN
Pos dan Giro sebagai pembayaran lunas harga rumah. (bukti surat P18)
19) Surat Kantor Perbendaharaan Negara Kediri, Kanwil DJA Surabaya nomor 1-
12- 60/2877/E tanggal 29 Maret 1980 perihal penyetoran uang kepada negara
berdasarkan SK Mendagri nomor Peta. 7/DA/36/77 tanggal 12 April 1977
sebesar Rp. 649.500,00. (bukti surat P19)
20) Surat kantor agraria kabupaten Nganjuk nomor Sda/829/P/7/IV/80 tanggal
23 April 1980 kepada Sdr. Soemino tentang sertipikat hak guna bangunan
berdasarkan SK Mendagri nomor Peta 7/DA/36/77 tanggal 12 April 1977.
(bukti surat P20)
21) Bukti pengiriman uang dengan surat BRI Kanca Nganjuk nomor 00676/1/T
tanggal 28 Maret 1981 atas nama Soemino kepada Yayasan Dana Land-Reform
sebesar Rp. 112.500,00 sesuai ketetapan P3MB nomor T.1795/EN/P3MB
tanggal 19 Desember 1976. (bukti surat P21)
81
22) Sertipikat (tanda bukti hak) Hak Guna Bangunan nomor 41 tanggal 22 Februari
1982. (bukti surat P22)
23) Pada tanggal 20 Desember 1999, dilakukan peralihan hak kepada para ahli
waris berdasarkan Surat Penetapan Pengadilan Negeri Nganjuk nomor
89/Pdt.P/1994/PN.NGJK tanggal 18 Agustus 1994. (bukti surat P23)
24) Peningkatan hak menjadi hak milik pada tahun 2002, sertipikat Hak Milik No.
01432 tanggal 4 Februari 2002. (bukti surat P24)
Sebagai tergugat adalah :
1. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Cq. KEMENTERIAN PERTAHANAN RI
Cq. PANGLIMA TENTARA NASIONAL INDONESIA Cq. KEPALA STAF
ANGKATAN DARAT (KASAD)) Cq. KOMANDO DAERAH MILITER (KODAM)
V BRAWIJAYA Cq. KOMANDO RESORT MILITER (KOREM) 081 DHIROT
SAHA JAYA Cq. KOMANDO DISTRIK MILITER (KODIM) 0810 berkedudukan di
Jalan Panglima Sudirman No. 11 Nganjuk, Selanjutnya disebut TERGUGAT I.
2. YAYASAN KARTIKA JAYA, beraiamat di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 37
Jakarta, Selanjutnya disebut TERGUGAT II.
Duduk Perkaranya:
Sebidang tanah di atasnya berdiri 2 (dua) bangunan rumah yaitu 1 (satu) bangunan
rumah Induk dan 1 (satu) bangunan rumah paviliun terletak di Jalan RA. Kartini nomor 36
(dulu Jalan RA. Kartini Nomor 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan
Nganjuk Kabupaten Nganjuk oleh TERGUGAT I dimasukkan dalam daftar registrasi dengan
nomor Registrasi 30810025-00001 atau berstatus OKUPASI TNI-AD hal ini terbukti dengan
adanya Surat ZENI DAERAH MILITER. V BRAWIJAYA DETASEMEN ZENI
BANGUNAN 3 / V nomor : B/92/V/2003 perihal : Laporan data tanah / bangunan aset TNI
AD yang ditujukan kepada Komandan Kodim 0810 Nganjuk, dengan penjelasan pelepasan
asset TNI AD harus melalui KASAD (bukti surat P. 25). Berdasarkan Surat Dan Dim 0810
(TERGUGAT I) nomor B / 254/V/1978 tanggal 26-5-1978 tentang penggunaan sebagian
rumah okupasi AD di Jalan Kartini nomor 28 (sekarang jalan Kartini Nomor 36) Nganjuk untuk
TK PERSIT KARTIKA CANDRA KIRANA Nganjuk (sekarang TK.KARTIKA JAYA IV
Cabang Brawijaya di bawah naungan Yayasan Kartika Jaya/TERGUGAT II) bila
dikembalikan kepada pemiliknya, dengan luas ± 400 M2 dengan batas-batas:
82
Utara : Jl. RA. Kartini
Selatan : Tanah milik Soemino
Barat : Tanah/Rumah Suwardi alias Wardi Oetomo
Timur : Tanah/Rumah Induk milik Soemino
Di dalam Surat Perintah Komandan KOREM (Tergugat I) yang ditujukan kepada Komandan
KODIM (Tergugat I) nomor : SORIN / 47 / III / 1980 tanggal 3-3-1980, sebagai Dasar dari
Surat Perintah ini menyebutkan sebagai berikut:
DASAR : Surat Dam Dim 0810 nomor: B /254/V/1978 tanggal 26-5-1978 tentang Penggunaan
Sebagian rumah Okupasi AD di Jl RA. Kartini nomor 28 Nganjuk untuk TK Persit Kartika
Candra Kirana sekarang TK Kartika Jaya IV Cabang Brawijaya di bawah naungan Yayasan
Kartika Jaya (Tergugat II) Nganjuk bila dikembalikan pada pemiliknya.
Tergugat I sejak tanggal 26 Mei 1978 dengan sengaja dan tanpa ada ijin maupun
perjanjian dengan pemilik sah yaitu Let Kol Purnawirawan Soemino untuk menempati
sebagian tanah dan rumah paviliun seluas ± 400 M2 dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara : Jl RA. Kartini
Selatan : Tanah milik Soemino
Timur : Tanah /Rumah Induk Let Kol Soemino
Barat : Tanah /Rumah Suwardi alias Wardi Oetomo
Yang diperuntukkan sebagai Sekolah Taman Kanak-Kanak PERSIT KARTIKA CANDRA
KIRANA (sekarang TK KARTIKA JAYA TV Cabang Brawijaya) di bawah naungan
YAYASAN KARTIKA JA YA (Tergugat II) (bukti Surat P26).
Let Kol Soemino sejak bulan Februari tahun 1978 sampai dengan bulan Juli 1980, sudah
beberapa kali mengirimkan surat permohonan kepada Tergugat I untuk menghapus dan
mencoret rumah di jalan RA. Kartini No. 36 (dulu Jalan RA. Kartini No. 28) RT. 004 RW. 001
Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk dari Okupasi-AD,
sebagaimana bukti-bukti surat yang tersebut di bawah ini:
a. Surat sdr. Soemino tertanggal 1 Februari 1978 kepada Panglima Daerah Militer
(PANGDAM) VIII / Brawijaya lewat Komandan KODIM 0810/Nganjuk tentang
permohonan penghapusan dari daftar okupasi AD. (bukti surat P27)
b. Surat Komandan Kodim 0810 / Nganjuk Nomor B/81/II/1978 tanggal 13 Februari
1978 kepada, Komandan Korem 081 Dhirot Saha Jaya tentang permohonan
pengeluaran rumah okupasi AD. (bukti surat P28)
83
c. Surat Sdr. Soemino tertanggal 4 Februari 1980 kepada Komandan Korem 081/Dhirot
Saha Jaya perihal permohonan penghapusan dari daftar rumah okupasi AD. (bukti
surat P29)
d. Surat Komandan Korem 081/Dhirot Saha Jaya Nomor B/352/VII/1980 tanggal 2 Juli
1980 kepada Pangdam VIII / Brawijaya tentang permohonan pembebasan rumah
okupasi AD di Jl. RA. Kartini Nomor 28, Nganjuk. (bukti surat P30)
Akan tetapi semua surat-surat itu tidak pernah ditanggapi oleh Tergugat I baik secara
lisan maupun tertulis, padahal Let Kol, Soemino adalah pemilik sah atas sebidang tanah yang
diatasnya berdiri 2 (dua) bangunan rumah terletak di Jalan RA. Kartini nomor 36 (dulu Jalan
RA. Kartini Nomor: 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk
Kabupaten Nganjuk sebagaimana Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 12 April
1977, kemudian diterbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 41, gambar situasi nomor
: 2755 tanggal 17 November tahun 1981, Luas 1556 m2, nama pemegang Hak Soemino.
Kemudian ahli waris almarhum Let Kol, Soemino yaitu Para Penggugat juga sudah
beberapa kali mengirimkan surat kepada Tergugat I, terakhir melalui kuasa hukumnya, akan
tetapi semua surat-surat itu tidak pernah ditanggapi baik secara lisan maupun tertulis padahal
Para Penggugat (ahli waris Let Kol Soemino) adalah pemilik sah atas sebidang tanah yang
diatasnya berdiri 2 (dua) bangunan rumah terletak di Jalan RA. Kartini Nomor : 36 (dulu jalan
RA. Kartini Nomor 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk
Kabupaten Nganjuk sebagaimana tercantum dalam Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB)
tersebut di atas, yang kemudian pada tahun 2002 ada peningkatan Hak menjadi Hak Milik
dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 01432 tanggal 4 Februari 2002, dengan nama pemegang
hak para ahli waris Let. Kol. SOEMINO.
Bahwa nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum telah dilanggar oleh Pihak Tergugat I
dan Pihak Tergugat II dengan menciptakan hukum dan membuat hukum secara sepihak tanpa
melalui prosedur badan legislatif seperti DPR dengan membuat istilah sendiri “OKUPASI -
AD”, dengan istilah apapun namanya hukum dan aturan yang dibuat oleh Tergugat I ini telah
mengakibatkan kerugian Para Penggugat dan tidak menghiraukan rasa keadilan yang berlaku
dalam masyarakat hukum pertanahan dan bangunan sudah diatur dan dibuat melalui badan
legislatif seperti DPR dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 /1960).
Perbuatan Tergugat I dan Tergugat II dengan demikian, merupakan perbuatan
melanggar hukum dan merugikan para penggugat.
Bahwa kerugian yang diderita oleh Para Penggugat sangatlah nyata, hal ini disebabkan
oleh perbuatan Tergugat I yang tanpa ijin dan tanpa ada perjanjian apapun dengan Para
84
Penggugat, telah menempatkan Tergugat II sejak tahun 1978 sampai sekarang dengan
membuat Sekolah Taman Kanak-Kanak PERSIT KARTIKA CANDRA KIRANA sekarang
Taman Kanak-Kanak KARTIKA JAYA IV Cabang Brawijaya, dibawah naungan YAYASAN
KARTIKA JAYA (Tergugat II) dengan menempati rumah paviliun beserta tanahnya seluas ±
400 M2
Bahwa kerugian ini apabila di hitung dengan rupiah adalah sebagai berikut:
- Tahun 1978 sampai dengan tahun 2012, jadi 34 tahun, apabila rata-rata per bulan
penghasilan TK. KARTIKA Rp. 3.000.000,- (Tiga juta rupiah) maka (Rp. 3.000.000 x 12) x
34 = Rp.1.224.000.000,- (Satu milyard dua ratus dua puluh empat juta rupiah) Demikian
besar kerugian yang di derita oleh Para Penggugat sehingga sudah selayaknya dan sepatutnya
Tergugat I dan Tergugat II mengembalikan tanah beserta bangunan tersebut beserta nilai
kerugian sebesar 1.224.000.000,- (satu milyard dua ratus dua puluh empat juta rupiah) kepada
Para Penggugat tanpa syarat apapun.
Bahwa Terhadap Tergugat I dan terhadap Tergugat II apabila terlambat melaksanakan
putusan dalam perkara ini, diwajibkan membayar kepada Para Penggugat secara tanggung
renteng dan atau bersama sama uang paksa (dwangson) sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta
rupiah) setiap harinya sejak Putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bahwa karena surat-surat bukti yang diajukan oleh Para Penggugat dalam perkara ini
telah memenuhi ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan dalam hukum Agraria Nasional, maka
perkara ini mohon di putus dengan suatu putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu atau
serta merta (Uit Vourbaar Bij Vooraad) walaupun diajukan upaya hukum banding, verzet
maupun kasasi. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan hormat Para Penggugat mohon
agar Yang Terhormat Bapak Ketua Pengadilan Negeri Nganjuk berkenan untuk memeriksa dan
mengadili perkara ini, serta memberikan putusan sebagai berikut:
1) Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya.
2) Menyatakan para ahli waris dari almarhum Soemino adalah “PEMILIK SAH” atas
tanah dan 2 (dua) bangunan rumah yaitu 1 (satu) bangunan rumah induk terdiri dari
bangunan utama dan bangunan dapur (sekarang sebagian dipakai usaha foto kopi) dan
1 (satu) bangunan rumah paviliun yang terletak atau beralamatkan di Jalan R.A Kartini
Nomor : 36 (dulu jalan RA. Kartini Nomor : 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan
Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk, sesuai dengan Sertipikat
Hak Milik Nomor : 01432, Surat ukur Nomor : 00296/Mangundikaran/2002 tanggal 04
Februari 2002 seluas 1.556 M² (Seribu Lima Ratus Lima Puluh Enam Meter Persegi)
dengan nama pemegang hak 1) Muhadi Prabowo 2) Soesilo Poedjaningsih 3) Soesilo
85
Poedji Astuti 4) Susilo Pudji Agoes Trisnowati (meninggal dunia pada tanggal 19 April
2009, selama menjalani perkawinan dengan Tuan ALOYSIUS ALI MUDIANTO
dikaruniai 2 (dua) orang anak kandung yang bernama : 1. Nuri Indra Swari dan 2. C.
Pipit Hapsari sebagai ahli waris pengganti) dan 5) Soesilo Juli Widjajanto.
3) Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melanggar hukum
(onrechmatige daad) yang merugikan Para Penggugat.
4) Menghukum Tergugat I dan tergugat II serta siapa saja yang mendapat/memperoleh hak
dari padanya untuk mengosongkan tanah dan bangunan rumah paviliun yang terletak
atau beralamat di jalan RA. KARTINI nomor : 36 (dulu jalan RA. KARTINI nomor
28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten
Nganjuk seluas kurang lebih ± 400 M2. Dari penghuni dan barang-barangnya serta
menyerahkannya kepada Para Penggugat dalam keadaan kosong dari penghuni dan
barang-barangnya.
5) Menghukum serta memerintahkan Tergugat I untuk melakukan pencoretan dan
penghapusan dari daftar okupasi - AD terhadap sebidang tanah yang diatasnya berdiri
2 (dua) bangunan rumah yaitu 1 (satu) bangunan rumah induk terdiri dari bangunan
utama dan bangunan dapur (sekarang sebagian dipakai usaha foto kopi) dan 1 (satu)
bangunan rumah pavilium, terletak di jalan RA. KARTINI Nomor : 36 (dulu Jalan RA.
KARTINI Nomor : 28) RT.004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan
Nganjuk Kabupaten Nganjuk, dengan nomor Registrasi 30810025 - 00001, tanpa syarat
apapun.
6) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng dan bersama-sama
untuk membayar ganti rugi kepada Para Penggugat berupa uang sebesar Rp.
1.224.000.000,- (satu milyard dua ratus dua puluh empat juta rupiah), secara tunai dan
seketika.
7) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng dan bersama-sama
untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Para Penggugat, tiap harinya sebesar
Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta rupiah) atas keterlambatan dalam melaksanakan
putusan dalam perkara ini, terhitung sejak putusan dalam perkara ini sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap sampai sebidang tanah yang diatasnya berdiri 1 (satu) bangunan
rumah paviliun yang terletak di jalan R4. KARTINI Nomor : 36 (dulu Jalan RA. Kartini
No : 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten
Nganjuk seluas kurang lebih ± 400M2 dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara : Jl. RA. Kartini
86
Selatan : Tanah milik Soemino
Barat : Tanah /Rumah Suwardi alias Wardi Oetomo
Timur : Tanah /Rumah Induk milik Soemino
Diserahkan kembali kepada Para Penggugat dalam keadaan kosong dari penghuni dan
barang-barangnya, serta Tergugat I sudah melakukan pencoretan dan penghapusan dari
daftar okupasi-AD.
8) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar
seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.
9) Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat di laksanakan terlebih dahulu (Uit
Vourbaar Bij Vooraad) walaupun diajukan upaya hukum banding, verzet maupun
kasasi.
Berdasarkan pertimbangan Hakim bahwa Majelis telah menyatakan bahwa prosedur
penerbitan SHM no 01432 terhadap tanah dan bangunan yang menjadi objek sengketa telah
melalui prosedur yang benar sehingga hal tersebut sebagai bukti kepemilikan bagi para
penggugat terhadap tanah dan bangunan yang dijadikan objek sengketa tersebut oleh
karenanya terhadap petitum ini sudah sepatutnya gugatan dikabulkan;
Putusan Pengadilan Negeri Nganjuk memutuskan:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.;
- Menyatakan para Penggugat (ahli waris dari almarhum Soemino) adalah Pemilik Sah atas
tanah dan bangunan yang terletak dijalan RA Kartini no 36 (dulu jalan RA Kartini no.28)
RT.004 RW 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk
sesuai dengan sertifikat Hak Milik No 01432 tanggal 04 Februari 2002 seluas 1556 m2;
- Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II serta siapa saja yang mendapat/memperoleh hak
daripadanya untuk menyerahkan dalam keadaan kosong tanah dan bangunan rumah
paviliun yang terletak atau beralamat di jalan RA. KARTINI nomor : 36 (dulu jalan RA.
KARTINI nomor 28) RT. 004 RW. 001 Kelurahan Mangundikaran Kecamatan Nganjuk
Kabupaten Nganjuk seluas kurang lebih ±400 M2 sesuai dalam gugatan kepada Para
Penggugat. Putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan Pengadilan ini tidak menimbulkan hak proritas dari pihak TNI-AD yang telah
melakukan Okupasi tanah seluas 400 m2 dan tetap mempertahankan hak prioritas dan hak
kepunyaan / hak keperdataan dari pemegang Hak Milik No. 01432
87
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Hak prioritas di bidang pertanahan adalah hak yang diutamakan atau didahulukan untuk
sesorang atau badan hukum dalam rangka:
a). penggunaan dan pemanfaatan tanah; hanya orang atau badan hukum yang dapat
menggunakan dan memanfaatkan tanah dengan baik akan diberi prioritas untuk
memanfaatkannya. Tanah pertanian hanya dapat dikelola dengan baik bila
pengelola tanah tersebut bertempat tinggal tidak jauh dengan letak bidang tanah,
prioritas ini meningkat menjadi prioritas untuk mempunyai tanah pertanian. Badan
hukum yang diprediksi dapat mengelola dengan baik tanah pertanian atau
perkebunan akan diberi hak untuk mengelola tanah itu selanjutnya badan hukum
tersebut mempunyai hak prioritas untuk diberi Hak Guna Usaha atau bila badan
hukum itu sudah membuktikan dapat mengelola dengan baik maka akan mendapat
prioritas perpanjangan haknya. Sebaliknya terhadap tanah pertanian, akan sulit
untuk dikelola dengan baik oleh orang yang jauh tempat tinggalnya dengan letak
tanah, oleh karena itu orang tersebut tidak mempunyai prioritas sama sekali untuk
mengelola bahkan untuk memiliki tanah pertanian. Badan hukum yang terbukti
tidak dapat mengunakan dan memanfaatkan tanah dengan baik atau
menterlantarkan tanah setelah badan hukum tersebut diberikan hak atas tanah
dengan HGU maka maka hak prioritas menggunakan dan memanfaatkan tanah
akan dicabut oleh Pemerintah.
b). memperoleh pengakuan pemerintah dengan hak kepunyaan. Hak prioritas
menggunakan dan memanfaatkan tanah akan meningkat menjadi hak kepunyaan.
Memperoleh pengakuan hak kepunyaan dari Pemerintah masih akan terdapat dua
alternatif yang pertama diakui sebagai tanah adat sehingga dapat didaftar dengan
status hak atas tanah “hak milik”, yang kedua dianggap oleh Pemerintah sebagai
Tanah yang dikuasai Negara atau sering disebut sebagai Tanah Negara sehingga
yang bersangkutan hanya mempunyai hak prioritas untuk mengajukan permohonan
hak bila tata ruang memang mengijinkanya. Bila tata ruang tidak mengijinkan
maka hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak hilang dalam hal ini
Pemerintah hanya mengakui sebagai hak kepunyaan atau prioritasnya sebatas hak
kepunyaan. Hak prioritas mempunyai tanah dengan “hak atas tanah” dapat dicabut
88
bila yang bersangkutan menterlantarkan tanah atau Pemerintah menghendaki tanah
tersebut untuk kepentingan umum, hak prioritas mempunyai tanah dengan “hak
atas tanah” tersebut menjadi hak kepunyaan.
2. Hak prioritas di bidang pertanahan mulai muncul pada saat seseorang atau badan hukum
menguasai, menggunakan dan memanfaatkannya bidang tanah (jus possissionis) dan
mendapat pengakuan dari masyarakat.
3. Keberadaan hak prioritas digunakan dalam penyelesaian masalah pertanahan antara
lain untuk: memperoleh hak atas tanah, menentukan hak kepunyaan, memperoleh
ganti rugi karena hapusnya atau terhentinya hak penggunaan dan pemanfaatan tanah,
menentukan subjek hak yang berhak mengelola tanah dengan baik.
4. Perbedaan pendapat mengenai hak prioritas terjadi karena penafsiran yang berbeda.
terhadap peraturan dan perundang-undangan.
6.2. Saran
1. Prioritas yang diberikan kepada investor untuk usaha perkebunan tidak harus dengan
memiliki tanah seperti sekarang ini dengan diberikan dengan Hak Guna Usaha, oleh
karena HGU harus dihapuskan dari UUPA, investor cukup diberikan Hak Pakai di atas
Hak Pengelolaan atau di atas Hak Milik banyak petani. Warga Negara Asing dan Badan
hukum asing untuk memiliki rumah tempat tinggal atau kantor tidak harus memiliki
tanah dengan Hak Pakai di atas Tanah Negara cukup Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan
atau di atas Hak Milik, oleh karena itu Pasal 39 huruf e dan f UUPA perlu ditinjau
kembali.
2. Pemerintah segera melaksanakan perintah Pasal 22 ayat (1) UUPA untuk membuat
Peraturan Pemerintah tentang terjadinya Hak Milik menurut hukum adat.
3. Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk mempertegas peraturan perundang-undangan
yang sering ditafsirkan secara yang berbeda.
89
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Bayumedia, Malang,
2005
Maria SW. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas,
Jakarta 2008
Maria, S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2005,
Oloan Sitorus, Darwinsyah Minim, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum, Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2003
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta 2005,
Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta 2011,
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Penerbit Lyberty,
Yogyakarta 1981
Sarjita, Tjahjo Arianto, Moch Machfud Zarqoni, Strategi dan Manajemen Resolusi Konflik,
Sengketa dan Perkara Pertanahan untuk Keamanan di Bidang Investasi, Mitra
Amanah Publishing. Yogyakarta 2011
Sudjito, Sarjita, Tjahjo Arianto, Mohammad Machfudh Zarqoni, Restorasi Kebijakan
Pengadaan, Perolehan, Pelepasan dan Pendayagunaan Tanah, Serta Kepastian
Hukum di Bidang Investasi, Tugu Jogja Pustaka, 2012
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta 2010
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, 2009
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
Kepentingan Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Pemberian Hak Atas Tanah