IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN ISTERI MENGALAMI
GANGGUAN JIWA
(Studi Analisis Terhadap Putusan Perkara Nomor 0284/Pdt.G/2008/PA.JT.
di Pengadilan Agama Jakarta Timur)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Fauziah Fitriani 106044101368
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2010M/1431H
v
KATA PENGANTAR
��� ا ا�� �� ا�� ���
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia,
hidayah dan inayah-Nya, sehingga sampai saat ini hamba masih diberi
kesempatan untuk dapat hidup di muka bumi ini. Dengan rahmat, karunia,
hidayah dan inayahNya kepada hamba dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Shalawat serta salam selalu hamba curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW., beliau sebagai seorang suri tauladan bagi seluruh umat manusia di muka
bumi ini sepanjang hayat. Nabi Muhammad SAW., yang telah membawa umat
manusia dari tidak mengenal Allah SWT., sampai mengenal-Nya, serta
menjalankan seluruh perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari tanpa bantuan moril
dan materil, penulisan ini akan sulit untuk dapat diselesaikan. Maka dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu membimbing sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini, antara lain:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah dan Bapak Kamarusdiana, S. Ag., MH., selaku sekertaris.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku dosen pembimbing yang telah
dengan sabar membimbing sampai penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
vi
4. keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta segenap dosen, karyawan dan seluruh staf yang telah banyak
membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam rentang waktu selama
studi di Kampus tercinta ini.
5. Terima kasih yang tak terhingga untuk keluarga terutama Ibuku, Samilah dan
Ayahku, Zulherzal atas dukungan, perjuangan dan doa yang telah menjadikan
saya seperti sekarang ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya
untuk kalian semua.
6. Terima kasih untuk Makhsus Bilmajdi atas segala dukungan, waktu dan doa
yang ditujukan kepada saya selama dalam proses penulisan skripsi ini sampai
selesai.
7. Teman-teman alumni PP. Darul Arqam, khususnya angkatan 11 & 23, Nenden
(temen never gone), maju terus!.
8. Terakhir, untuk teman-teman seperjuangan di jurusan PA angkatan 2006,
Sa’dah, Lulu, Ewi, Hesti, Anis, Stephy, Eli, Aminah, Arud, Maul and all
friends of Peradilan Agama, moga kita semua menjadi insan yang bermanfaat,
jangan pernah berhenti belajar, keep our friendship and sukses!.
9. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan sarannya
senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 24 Mei 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah........................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................8
D. Studi Review Terdahulu..........................................................10
E. Metode dan Teknik Penelitian.................................................11
F. Sistematika Penulisan .............................................................14
BAB II POLIGAMI DAN GANGGUAN JIWA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami …………....…..........16
B. Sebab-Sebab Terjadinya Poligami…………………………...22
C. Teori Umum Gangguan Jiwa……………………………..….24
D. Pengaruh Gangguan Jiwa Terhadap Kewajiban Sebagai
Isteri.........................................................................................30
BAB III POLIGAMI DALAM FIKIH DAN UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN
A. Ketentuan Poligami dalam Fikih……………..……………...40
B. Poligami dalam Undang-Undang Perkawinan.........................50
viii
BAB IV PUTUSAN PERKARA IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN
ISTERI MENGALAMI GANGGUAN JIWA
A. Perkara-Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur.............57
B. Pertimbangan Hakim Pada Perkara Nomor.
0284/Pdt.G/2008/Pa.Jt.............................................................60
C. Analisis Penulis………………………..……………………..67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................75
B. Saran-Saran..............................................................................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77
LAMPIRAN
1. Surat Keterangan........................................................................................81
2. Laporan Perkara Tahun 2008.....................................................................83
3. Laporan Perkara Tahun 2009.....................................................................85
4. Laporan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2008…..87
5. Laporan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2009…..88
6. Pedoman Wawancara.................................................................................89
7. Putusan.......................................................................................................92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Segala sesuatu di alam wujud ini, diciptakan oleh Allah berpasang-
pasangan. Al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia (pria) secara naluriah, di
samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan
dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya. Demikian juga
sebaliknya wanita mempunyai keinginan yang sama. Untuk memberikan
jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis
itu. Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui, yaitu
perkawinan.1
Tujuannya adalah agar manusia itu tidak seperti makhluk lainnya,
yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara lawan
jenisnya secara anarki dan tidak ada satu aturan. maka demi menjaga
kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai
dengan martabatnya, bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang
aman pada naluri (seks).2
Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian
perjanjian di antara dua belah pihak, yakni suami isteri. Kedamaian dan
1 M.Ali Hasan, Pedoman Hidup berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2003), cet .ke-1, h.266. 2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, (Bandung: PT.Alma’arif, t.th), cet.ke-20, h.8.
2
kebahagiaan suami isteri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan
dalam perjanjian tersebut.3
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah membentuk keluarga dengan
maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan agar dalam rumah
tangga dapat diciptakan ketenangan berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Ketenangan yang menjadi dasar kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui
kesadaran bahwa seseorang dengan ikhlas telah menunaikan kewajibannya
sebagai suami maupun istri dan anggota keluarga lainnya dalam membina
rumah tangga yang bahagia.4
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa.5
Maksud dari “ikatan lahir” ialah bahwa hubungan suami isteri tidak
hanya berupa ikatan lahiriah saja, dalam arti hubungan suami istri hanya
sebatas ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin.
Jalinan ikatan lahir dan batin itulah yang menjadi fondasi yang kokoh dalam
membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Kemudian
3 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: LKAJ-SP, 1999),
h.9. 4 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 27-28. 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal (1).
3
dilihat dari kalimat “berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa” ini berarti
bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dalam
pembentukan keluarga.
Dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan (baik arti maupun tujuan) tidak semata-mata hubungan hukum
antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-
aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial dan adat istiadat.
Pada praktiknya perjalanan suami isteri dalam membina rumah tangga
tidak selalu harmonis, karena menyamakan persepsi antara dua karakter
yang berbeda tidaklah mudah. Terlebih lagi jika terjadi hal-hal yang dapat
menyebabkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari suami isteri
dalam kehidupan rumah tangga tersebut, maka akibatnya akan
memunculkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan kehidupan
rumah tangga. Kemudian jika konflik tersebut berkelanjutan dan tak
kunjung ada penyelesaian secara tuntas maka umumnya munculah dua
pilihan, yaitu perceraian atau poligami. Dari dua pilihan tersebut, penulis
menjadikan poligami sebagai fokus permasalahan dalam penelitian ini.
Menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah
satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu
yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu
dikatakan bersifat poligami.6
6 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h.2.
4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa poligami
adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.7
Poligami tidak dilarang dan tidak diperintahkan, hanya dibolehkan
dengan syarat yang ketat. Meminjam istilah M.Quraish Shihab, poligami
ibarat emergency exit dalam pesawat yang hanya boleh dibuka dalam
keadaan emergency saja. Dia hanyalah pintu kecil yang hanya dapat dilalui
oleh mereka yang menginginkannya ketika mengalami kasus atau keadaan
darurat.8
Dalam Islam syarat mutlak poligami yang harus diperhatikan terdapat
dalam Al-Quran surat An-nisa ayat 3, yakni berlaku adil. Dalam ayat ini
terdapat kata “khiftum”, yang biasa diartikan “takut” dan juga bisa berarti
“mengetahui”, menunjukkan bahwa siapa saja yang yakin atau menduga
keras atau bahkan menduga dirinya tidak akan bisa berlaku adil, tidak
diperkenankan untuk berpoligami.
Meskipun Islam telah mengatur masalah poligami, namun kerap kali
timbul permasalahan dari sebagian orang yang berpoligami. Hal ini bisa
terjadi karena kesalahan para pelaku poligami dalam penerapannya,
disebabkan karena kekurangfahaman mereka terhadap ajaran agama atau
keburukan akhlaq mereka. Dengan demikian yang salah bukan hukum
7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), h.885. 8 Ustad Ansori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, (Depok, Pustaka Iman,
2007), h.40.
5
Islamnya, tetapi para pelaku poligami yang dalam penerapannya tidak sesuai
dengan syari’at Islam.
Sedangkan pelaksanaan poligami di Indonesia harus berdasarkan pada
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang
Perkawinan.
Seorang suami yang akan berpoligami harus memenuhi salah satu
syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif, syarat alternatif di antaranya
apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat kumulatif yang
harus dipenuhi adalah persetujuan isteri/isteri-isteri, ada kepastian bahwa
suami mampu akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
serta ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.9
Dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) prinsip monogami tetap
dianut. Prinsip tersebut diungkapkan dalam kalimat Pada azasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.
9 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal (4) dan pasal (5).
6
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Demikianlah yang
tertuang dalam pasal 3 ayat (1) UUP tersebut. 10
Monogami menjadi salah satu azas tapi dengan pengecualian yang
ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya mengizinkan
seorang suami boleh beristeri lebih dari satu. Tentang pengecualian itu
selanjutnya Undang-Undang Perkawinan memberikan batasan perkawinan
yang cukup berat, yakni berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan
tertentu dan izin pengadilan.11
Dari uraian di atas, mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
dapat dikabulkannya permohonan izin poligami dari Pengadilan Agama,
maka yang menjadi perhatian penulis yaitu putusan hakim yang
mengabulkan izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan
kejiwaan.
Pada kasus ini isteri mengidap penyakit skizofrenia, sejenis penyakit
gangguan jiwa di mana penderita menunjukkan berbagai gejala terpecahnya
kepribadian sehingga “kerjasama” antara pikiran, perasaan dan tingkah laku
tidak serasi lagi.
Mengingat Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan gangguan
jiwa sebagai alasan poligami maka yang menjadi pertanyaan penulis adalah
apakah gangguan jiwa tersebut dapat diqiyaskan dengan syarat yang ada
dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yaitu “isteri tidak dapat
10 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam,
(Jakarta: UI-Press, 1986), h.60-61. 11 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h.22.
7
menjalankan kewajibannya sebagai isteri” atau “isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan”
Berdasarkan kasus tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui
keadaan sebenarnya dalam menyelesaikan perkara tersebut, untuk itu
diperlukan penelitian dan analisa terhadap hasil putusan dari Pengadilan
Agama dalam bentuk skripsi dengan judul “Izin Poligami dengan Alasan
Isteri Mengalami Gangguan Jiwa (Studi Analisis Putusan Perkara Nomor
0284/Pdt.G/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur)”
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih putusan Pengadilan
Agama Jakarta Timur sebagai obyek penelitian, mengingat banyaknya
perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tersebut, maka penulis
melakukan pembatasan yakni hanya pada putusan mengenai izin poligami
dengan perkara Nomor: 0284/Pdt.G/2008/PA.JT yang berkaitan dengan
alasan isteri mengalami gangguan jiwa.
Sehubungan dengan beraneka ragamnya alasan yang menjadi latar
belakang untuk melakukan poligami, maka pada pembahasan skripsi ini
penulis membatasi hanya pada alasan yang disebabkan isteri mengalami
gangguan jiwa.
8
2. Perumusan Masalah
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan lainnya, gangguan jiwa bukan menjadi salah satu alasan
diizinkannya poligami, tetapi pada kenyataannya terdapat kasus di mana
hakim mengabulkan permohonan poligami dengan alasan isteri mengalami
gangguan jiwa.
Rumusan masalah di atas penulis rinci ke dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimana tinjauan Undang-Undang Perkawinan terhadap
perkara izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan
jiwa?
b. Bagaimana tinjauan fikih terhadap izin poligami dengan alasan
isteri mengalami gangguan jiwa?
c. Apa dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan izin poligami karena isteri mengalami gangguan
jiwa?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah penulis
uraikan di atas, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah:
9
a. Untuk mengetahui tinjauan Undang-Undang Perkawinan terhadap
perkara izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan
jiwa.
b. Untuk mengetahui tinjauan fikih terhadap izin poligami dengan
alasan isteri mengalami gangguan jiwa.
c. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan izin poligami karena isteri mengalami
gangguan jiwa.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
mengenai ketentuan izin poligami dalam peraturan Perundang-
Undangan.
b. Manfaat praktis : sebagai bahan referensi bagi praktisi hukum serta
memberikan informasi bagi masyarakat pada umumnya tentang
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang
izin poligami.
10
D. STUDI REVIEW TERDAHULU
No Nama Penulis/
Judul/Tahun Substansi Pembeda
1
Restyaningrum, Izin
Poligami (Kajian
terhadap putusan
Pengadilan Agama
Jakarta Pusat),
Fakultas Syariah
dan Hukum, 1430
H/2009 M
Skripsi ini menjelaskan
pertimbangan hakim
dalam permohonan izin
poligami ditinjau dari
hukum Islam dan
peraturan Perundang-
Undangan.
Di sini alasan yang
digunakan dalam
permohonan izin
poligami adalah
isteri kurang dapat
menjalankan
kewajibannya untuk
memenuhi
kebutuhan biologis
sedangkan penulis
membahas poligami
dengan alasan isteri
mengalami ganguan
jiwa.
2
Ahmad Faozi, izin
poligami “ Kasus
Putusan Pengadilan
Agama Cianjur No:
290/Pdt.G/2008/PA.
Cjr, fakultas Syariah
Skripsi ini menjelaskan
pertimbangan hakim
dalam permohonan izin
poligami ditinjau dari
fiqh dan Hukum Islam
(KHI)
Di sini alasan suami
ingin berpoligami
adalah isteri masih
sehat tetapi kurang
mampu memenuhi
kebutuhan
11
dan Hukum
1430/2009 M
biologisnya.
Sedangkan penulis
mengkaji mengenai
poligami dengan
alasan isteri
mengalami
gangguan jiwa.
E. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian yang dimaksudkan
untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi suatu fenomena atau kenyataan
sosial dengan cara mendeskripsikan sejumlah varibel yang berkenaan
dengan masalah dan unit yang diteliti12. Sedangkan Pendekatan penelitian
yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang atau perilaku yang diamati.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas
dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti.
12 Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), cet. ke-6, hlm. 20.
12
2. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam skripsi ini terbagi menjadi dua sumber
yaitu data primer yang diperoleh dari lapangan dengan mengadakan tinjauan
langsung pada obyek yang diteliti berupa berkas putusan perkara izin
poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan pihak Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara
mengenai izin poligami tersebut. Untuk menjelaskan data primer maka
dibutuhkan data-data pendukung atau data sekunder. Data-data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku atau kitab-kitab yang memuat ketentuan poligami, kumpulan
tulisan serta lain-lain yang berkaitan dengan penelitian.
Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan
skripsi ini adalah:
a. Studi dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder
mengenai permasalahan yang ada relevansinya dengan obyek yang
diteliti, dengan cara membaca dan menelaah buku literatur,
peraturan perundang-undangan, kumpulan tulisan serta lain-lain
yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
b. Interview/wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan
untuk menjawab semua permasalahan penelitian. Data yang
diperoleh dari wawancara ini akan disinergikan dengan data-data
13
yang diperoleh dari studi dokumentasi. Wawancara akan dilakukan
terhadap hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa,
menyelesaikan dan memutus perkara mengenai izin poligami yang
dimaksud.
3. Tekhnik Pengolahan Data
a. Seleksi data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian
baik melalui studi dokumentasi maupun wawancara, lalu diperiksa
kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan.
b. Klasifikasi data: setelah data dan bahan diperiksa lalu
diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil
kesimpulan.
4. Analisis Data
Tekhnik analisis yang digunakan adalah content analysist. Dalam hal
ini, penulis mempelajari putusan perkara nomor:
0284/Pdt.G/2008/PA.JT, mengungkapkan pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara tersebut kemudian dipadukan dengan peraturan
perundang-undangan yang menjadi sumber hukum terkait dalam
memutuskan perkara, disimpulkan kemudian digunakan untuk
menjawab permasalahan yang ada.
5. Pedoman Penulisan Skripsi
Tekhnik penulisan skripsi ini berpedoman pada ‘Pedoman Penulisan
Skripsi tahun 2007’ yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
14
Hukum UIN Syarif Hidayatullah dengan beberapa pengecualian
sebagai berikut:
a. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama
b. Terjemahan al-Quran dan Hadits ditulis 11/2 spasi walaupun
kurang dari enam baris.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika digunakan untuk memahami alur pemikiran dalam skripsi
ini, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, di mana antara bab
yang satu dengan bab yang lain saling berkaitan. Masing-masing bab akan
diuraikan lagi menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan
dalam skripsi ini selengkapnya adalah sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, studi review terdahulu,
metode dan teknik penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua ini memuat konsep dasar yang berkenaan dengan pokok
masalah yaitu poligami, didalamnya meliputi pengertian dan dasar hukum
poligami, sebab-sebab terjadinya poligami dan juga berisi tentang teori
umum gangguan jiwa yang meliputi pengertian, macam-macamnya dan
pengaruhnya terhadap pemenuhan kewajiban isteri.
Bab ketiga berisi mengenai ketentuan poligami dalam fikih dan dalam
Undang-undang Perkawinan yang meliputi syarat-syarat kebolehan
poligami dan aturan-aturan hukumnya.
15
Bab keempat membahas tentang analisis terhadap putusan perkara di
Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang izin poligami yang merupakan
inti pembahasan dalam skripsi ini yakni deskripsi dan analisis yang
meliputi gambaran umum perkara, dasar pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara kemudian analisa penulis terhadap putusan tersebut.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
Kesimpulan tersebut diperoleh setelah menganalisis data yang diperoleh
dan merupakan jawaban pada rumusan masalah, sedangkan saran adalah
harapan penulis terhadap jalan keluar pada pokok permasalahan ini.
16
BAB II
POLIGAMI DAN GANGGUAN JIWA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
a. Pengertian
Ada tiga bentuk poligami, yang pertama poligini, yaitu sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita
sebagai isterinya di waktu yang bersamaan. Kedua, poliandri yaitu sistem
perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari
satu orang dalam waktu yang bersamaan dan ketiga, poligami yaitu sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan.1
Walaupun dalam pengertian di atas ditemukan kalimat “salah satu
pihak”, akan tetapi istilah perempuan yang mempunyai banyak suami dikenal
dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami di sini adalah ikatan
perkawinan seorang suami yang mempunyai beberapa orang isteri sebagai
pasangan hidupnya dalam waktu yang bersamaan. Kata poligami berasal dari
bahasa yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos
yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa, poligami berarti
“suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan yang lebih dari
seorang”, baik pria maupun wanita. Dalam bahasa Arab poligami dikenal
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), Edisi Ketiga, h. 885.
17
dengan istilah Ta’adudu Zaujah yang artinya berbilangnya isteri.2 Adapun
kebalikan dari bentuk perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu
perkawinan di mana suami hanya memiliki satu orang isteri.
b. Dasar Hukum
Islam membolehkan poligami berdasarkan Firman Allah SWT
÷βÎ)uρ ÷Λäø�Åz āωr& (#θ äÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uΚ≈ tGu‹ ø9$# (#θ ßsÅ3Ρ$$ sù $tΒ z>$ sÛ Νä3s9 zÏiΒ Ï !$ |¡ÏiΨ9$# 4 o_ ÷WtΒ
y]≈ n=èOuρ yì≈ t/â‘uρ ( ÷βÎ*sù óΟ çF ø�Åz āωr& (#θ ä9ω÷ès? ¸οy‰Ïn≡ uθ sù ÷ρr& $ tΒ ôM s3n=tΒ öΝä3ãΨ≈ yϑ÷ƒ r& 4 y7 Ï9≡sŒ
#’ oΤ÷Šr& āωr& (#θä9θ ãès? )٣: النساء(
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3)
Ayat tersebut diturunkan segera setelah perang Uhud usai (3H/628M),
ketika itu laki-laki muslim banyak berguguran di medan perang. Tujuannya
adalah untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak yatim yang
ditinggal wafat oleh suami dan ayah yang merawat mereka serta memelihara
mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan. Pada saat itu para pengasuh
2 Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1999), cet.ke-5, h.107.
18
anak yatim mengawini anak-anak yang mereka asuh bukan karena
menyayangi atau mencintai anak yatim tersebut, melainkan hanya tertarik
pada kecantikan atau harta mereka, inilah yang memicu para pengasuh anak
yatim tidak dapat berlaku adil kepada mereka (anak yatim). Maka itulah
Allah SWT membolehkan untuk mengawini mereka, tetapi jika merasa takut
akan menelantarkan mereka dan tidak sanggup memelihara harta anak yatim
tersebut, maka dibolehkan mencari perempuan lain untuk dikawini sampai
empat orang.3
Dalam ringkasan Ibnu Katsir dikatakan bahwa maksud dari “Apabila
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil…” adalah jika ada perempuan
yatim dalam perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya
mahar yang memadai maka beralihlah kepada wanita lainnya, sebab wanita
lain juga masih banyak dan Allah tidak mempersulitnya. Sedangkan “dua,
tiga atau empat” nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain anak yatim.
Jika kamu mau nikahilah dua, tiga atau empat. Sunnah Rasulullah SAW yang
menerangkan informasi dari Allah SWT menunjukkan bahwa seorangpun
tidak boleh selain Rasulullah SAW, menikahi lebih dari empat orang wanita,
sebab yang demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah SAW.4
Imam Asy-Syafi’i berkata, “sunnah Rasulullah SAW yang
memberikan penjelasan dari Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan
3 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999), jilid I,
cet.ke-3, h.1187.
4 Muhammad Nasib Ar-Rifai, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet-1, h. 649.
19
bagi seseorang selain Rasulullah untuk menghimpun lebih dari empat isteri”.
Pendapat yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’i ini telah disepakati oleh para
ulama kecuali pendapat dari sebagian penganut Syi’ah yang menyatakan
bolehnya menggabung isteri lebih dari empat hingga sembilan orang. Bahkan
sebagian mereka berpendapat tanpa batas.5
Menurut Quraish Shihab ayat poligami ini tidak membuat peraturan
baru tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh
penganut berbagai syari’at agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum
turunnya ayat ini. Ayat ini tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkan
poligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun
merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat
membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.6
s9uρ (#þθãè‹ ÏÜtF ó¡n@ βr& (#θ ä9ω÷ès? t ÷ t/ Ï !$ |¡ÏiΨ9$# öθ s9uρ öΝçF ô¹t� ym ( Ÿξ sù (#θ è=ŠÏϑs? ¨≅ à2
È≅øŠyϑø9$# $ yδρâ‘x‹ tGsù Ïπ s)‾=yèßϑø9$$ x. 4 βÎ)uρ (#θ ßsÎ=óÁ è? (#θ à)−Gs?uρ �χ Î*sù ©! $# tβ%x. #Y‘θ à�xî
$VϑŠÏm§‘)١٢٩: النسا(
Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 144-145.
6 Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet-1, h. 270.
20
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-
Nisa:129)
Firman Allah Ta’ala “dan sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil…” menurut penafsiran Ibnu Abbas dan sejumlah tabi’in, bahwa manusia
tidak akan mampu berlaku secara sama terhadap isteri-isterinya dalam segala
aspek walaupun gambaran lahiriahnya sama, misalnya setiap isteri mendapat
giliran satu malam untuk masing-masing, pastilah hal itu mengandung
perbedaan dalam hal cinta, syahwat dan jimak.7
Quraish Shihab menafsirkan, ayat ini memberikan kelonggaran
kepada para suami sehingga keadilan yang dituntut bukanlah keadilan mutlak.
Ditegaskan juga bahwa para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil,
yakni tidak dapat mewujudkan dalam hatinya secara terus-menerus, keadilan
dalam hal cinta di antara isteri-isteri, walaupun sangat ingin berbuat demikian,
karena cinta di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya, karena itu
berbuat adillah sekuat kemampuan yakni dalam hal-hal yang bersifat material
dan kalaupun hati lebih mencintai salah seorang di antara mereka (isteri),
maka sedapat mungkin suami mengatur perasaan, sehingga tidak terlalu
cenderung kepada isteri yang lebih dicintai, dan membiarkan isteri yang lain
terkatung-katung, sehingga tidak merasa dilakukan sebagai isteri dan tidak
7 Muhammad Nasib Ar-Rifai, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu Katsir, h. 813.
21
juga dicerai. Jika suami setiap saat berkesinambungan mengadakan perbaikan
dengan menegakkan keadilan yang diperintahkan Allah dan bertakwa, yakni
menghindari aneka kecurangan serta memelihara diri dari segala dampak
buruk, maka Allah akan mengampuni pelanggaran-pelanggaran kecil yang dia
lakukan, karena sesungguhnya Allah selalu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.8
Selain terdapat dalam Al-Qur’an, ketentuan poligami juga terdapat
dalam hadits Nabi, salah satunya mengenai batas jumlah isteri adalah sampai
empat orang saja.
نا علم س ناب عيضي هعنه اهللا ر ان النغي نة ابلمس لماس و له شرع ةوسن
نلمفاس هعفا مهرم لى النبياهللا ص هليع و لمس ان تخيير ننها معبار
)9ىوترمذ حمدا هارو(
Artinya : “Dari Salim dari ayahnya RA bahwasannya Ghailan binti
Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka
pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW menyuruh agar ia memilih
empat orang dari isteri-isterinya.”
8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet-1, h. 581.
9 Muhammad bin Ismail Shan’ani, Subulu al-Salam, al-Maram min Jami’adillah al-Hakam, (Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008), juz 6, h. 66.
22
B. Sebab-Sebab Terjadinya Poligami
Ketika poligami telah menjadi suatu pilihan maka sudah dipastikan
adanya beberapa hal yang menyebabkan poligami tersebut dilakukan. Hal-hal
umum yang menyebabkan timbulnya poligami adalah sebagai berikut10:
1. Isteri mandul, kadang-kadang wanita tidak sanggup memenuhi kebutuhan
hidup suami isteri, karena dia mandul atau tidak bisa melahirkan anak
sehingga tidak bisa memberikan keturunan. Dalam situasi seperti ini,
poligami akan lebih dapat diterima daripada suami menceraikan isteri
tersebut dan mencari wanita lain. Dengan demikian, isteri yang mandul
tersebut tetap menjadi isteri yang sah dan tetap berada dalam pemeliharaan
suami sehingga terpenuhi hak-haknya sebagai isteri.
2. Adanya keinginan seorang laki-laki untuk menikah lagi dengan wanita lain
karena isteri terkena penyakit kronis yang lama sembuhnya atau penyakit
menular sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang
isteri. Dalam kasus ini, poligami jauh lebih baik daripada menceraikan
isteri yang sedang sakit dan sangat membutuhkan perlindungan serta
pertolongan dari suaminya itu. Hal ini juga akan lebih bisa diterima
daripada laki-laki tersebut memiliki “affair” dengan wanita lain di luar
ikatan perkawinan.
10 Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas
Kesetaraan Jender, h. 157-158. Lihat juga Abuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah dalam Islam VS Monogami Barat, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet-1, h. 57-64, Lihat juga Abdul Natsir Taufiq al-Atthar, Polygamy dan Eksisistensinya, (Bekasi: LIPP Riyadhus Sholihin, 2004), h. 25-37.
23
3. Sebagai kebutuhan sosial, ketika jumlah kaum perempuan melebihi jumlah
kaum laki-laki sebagai akibat dari suatu perang. Karena bukan hanya
banyak wanita yang kehilangan suaminya tetapi juga banyak anak yatim
yang membutuhkan kehadiran seorang ayah. Atau banyaknya jumlah
wanita yang tidak menikah, janda dan wanita-wanita yang diceraikan
suaminya sehingga menyebabkan terjadinya semacam kekosongan hidup
berkeluarga dikalangan sejumlah besar kaum wanita. Dan kekosongan ini
mengakibatkan ekses-ekses yang membahayakan, yang kadang-kadang
menjurus kepada merosotnya moral masyarakat secara merata.
4. Adanya suatu sebab yang bersifat ekonomis, seperti yang terdapat pada
masyarakat yang agraris sifatnya, maka kebutuhan untuk mempunyai
banyak isteri dan banyak anak lebih membantu dalam usaha memperoleh
pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidup suatu keluarga.
5. Sebab-sebab yang ada pada laki-laki itu sendiri, misalnya ia seorang yang
mempunyai kemauan seksual yang sangat kuat sehingga tidak cukup
hanya seorang isteri, ataupun dua orang isteri. Maka ia memilih poligami
karena dianggap dapat menjaganya agar tidak terjerumus dalam kesesatan
dan beberapa malapetaka yang akan timbul darinya untuk menimpa diri,
keluarga dan masyarakatnya. Atau ia seorang yang mempunyai keinginan
yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan dan ia sanggup serta
mampu memenuhi kebutuhan dan pendidikan mereka.
Sebagaimana sebab-sebab poligami yang disebutkan di atas maka
semuanya itu merupakan suatu kemungkinan yang tidak aneh. Poligami
24
ketika itu adalah jalan yang ideal, tetapi sekali perlu diingat bahwa ini bukan
seperti anjuran apalagi kewajiban kerena semuanya diserahkan menurut
pertimbangan masing-masing. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka
yang menginginkannya, masih banyak kondisi-kondisi selain yang disebut ini,
yang juga merupakan syarat yang tidak ringan.11
C. Teori Umum Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak
normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental.
Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-
bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik.
Keabnormalan dapat dibagi atas dua golongan yaitu: gangguan jiwa (neurose)
dan sakit jiwa (psychose).12
Menurut Zakiah Daradjat terdapat perbedaan antara neurose dan
psychose yaitu orang yang kena neurose masih mengetahui dan merasakan
kesukarannya, sebaliknya yang kena psychose tidak. Di samping itu orang
yang kena neurose kepribadiannya tidak jauh dari realitas, sedangkan orang
yang kena psychose, kepribadiannya dari segala segi (tanggapan, perasaan
atau emosi dan dorongan-dorongannya) sangat terganggu, tidak ada integritas
dan ia hidup jauh dari alam kenyataan. Neurose merupakan gangguan
kepribadian yang ringan sebagai akibat ketegangan psikis karena terjadi
11 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, h. 199.
12 Tristiadi Ardi Ardani, Psikiatri Islam, (Malang: UIN-MALANG, 2008), h. 45.
25
konflik terus-menerus dalam pribadi orang yang bersangkutan. Contoh dari
beberapa jenis gangguan jiwa (neurose) di antaranya sebagai berikut13 :
1) Neurasthenia
Penyakit Neurasthenia adalah penyakit yang membuat penderitanya
merasa payah. Penderita tidak sanggup berfikir tentang sesuatu persoalan,
sukar mengingat dan memusatkan perhatian. Ia juga apatis, acuh tak acuh
terhadap persoalan luar karena ia merasa seolah-olah akan ambruk saja
sewaktu-waktu, sangat sensitif terhadap cahaya dan suara sehingga detik
jam bisa menyebabkan tidak bisa tidur. Sebab terpenting dari penyakit
Neurasthenia adalah ketidaktenangan jiwa, kegelisahan, tekanan,
pertentangan batin dan persaingan.
2) Hysteria
Seperti gangguan jiwa lainnya hysteria juga terjadi akibat
ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan
perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam
menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya dengan
cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak
sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar.
13 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985), h. 33-
50.
26
3) Psychastenia
Gangguan jiwa yang bersifat paksaan, yang berarti kurangnya kemampuan
jiwa untuk tetap dalam integrasi yang normal. Gangguan ini memiliki
beberapa bentuk yaitu phobia, obsesi dan kompulsi.
4) Psychopath
Psychopath ialah apabila penderita mempunyai kepribadian menyimpang
sehingga selalu bertentangan dengan dunia luar dan dirinya sendiri. Dalam
bahasa jawa penyakit semacam ini disebut gendeng. Macam Psychopath
yang kini banyak terdapat dalam masyarakat ialah insania moralis. In yaitu
tidak, sania yaitu sehat, moralis yaitu akhlaq, insania moralis adalah tidak
sehat akhlaqnya. Penderita tidak dapat mengendalikan nafsunya dan
penyakit ini dinamai sesuai nafsunya. Misalnya tidak dapat menahan nafsu
untuk menyiksa atau membunuh disebut sadisme. Pada saat ini sadisme
sedang merajalela di dalam masyarakat Indonesia. Perlu dicatat, meskipun
penyakit jiwa tetapi para psychopat dapat dikenai hukuman.14
Sedangkan psychose adalah gangguan jiwa yang bersifat menyeluruh
atau gangguan jiwa berat yang meliputi seluruh kepribadian penderita,
sehingga kehilangan orientasi terhadap lingkungannya, bahkan penderita
tidak dapat memahami tingkah lakunya sendiri (terjadi disorientasi pikiran,
gangguan dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang dan orang).15
14 Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 93.
15 Henry Narendrany Hidayati dan Andi Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 168.
27
Adapun ciri-ciri dari psychose ini adalah:16
1. Delusi atau waham yaitu timbulnya suatu fantasi atau khayalan yang
diyakini penderita sebagai kenyataan. Contoh: merasa dirinya diawasi,
diejek atau dimusuhi.
2. Halusinasi: penderita seolah-olah mendengar, mencium atau melihat
sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ia seakan-akan mendengar orang lain
membicarakannya atau melihat sesuatu yang menakutkannya.
3. Tidak dapat berkomunikasi seperti biasanya, contoh: tidak mampu
mengurus rumah tangga, bekerja dan bergaul dalam masyarakat.
4. Tidak menyadari bahwa dirinya menderita gangguan jiwa (lack of illness
insight).
Kemudian terdapat dua macam faktor penyebab penyakit jiwa
(psychose), yaitu17:
Pertama, yang disebabkan pada kerusakan pada anggota tubuh
misalnya otak, saraf pusat atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar,
saraf-saraf atau anggota fisik lainnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini
mungkin disebabkan oleh keracunan akibat minuman keras, obat-obat
perangsang atau narkotik atau karena penyakit kotor dan lain-lain.
Kedua, disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-
larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian yang wajar.
16 Syidat Zubair, Gangguan Jiwa (Mental Disorder), artikel diakses 19 Maret 2010,
dari http://medicblueprint.blogspot.com/2009/06/gangguan-jiwa-mental-disorder.html.
17 Tristiadi Ardi Ardani, Psikiatri Islam, h. 56.
28
Dapat pula disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh
akibat suasana lingkungan yang sangat menekan dan adanya ketegangan batin.
Di antara penyakit jiwa yang terkenal salah satunya adalah schizophrenia.
Mengingat kasus yang diangkat penulis dalam penulisan skripsi ini
adalah permohonan izin poligami yang dilakukan seseorang dengan alasan
isteri mengalami sejenis penyakit gangguan jiwa yaitu schizophrenia, maka
penjelasan mengenai penyakit ini sedikit lebih luas.
Skizofrenia (schizophrenia) merupakan gangguan psikosis atau
psikotik yang ditandai terutama oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, juga
sering terlihat adanya perilaku menarik diri dari interaksi sosial, serta
disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi. Pada
suatu saat, orang-orang dengan skizofrenia berpikir dan berkomunikasi
dengan sangat jelas, memiliki pandangan yang tepat atas realitas, dan
berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang lain,
pemikiran dan kata-kata mereka terbalik-balik, mereka kehilangan sentuhan
dengan realita, dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka sendiri,
bahkan dalam banyak cara yang mendasar.18
Skizofrenia menyentuh setiap aspek kehidupan dari orang yang
terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai dengan waham, halusinansi,
pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku aneh.
Di antara episode-episode akut, orang yang mengalami skizofrenia mungkin
tetap tidak dapat berfikir secara jernih dan mungkin kehilangan respon
18 Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 134.
29
emosional yang sesuai terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam
hidupnya. Mereka mungkin berbicara dengan nada yang mendatar dan
menunjukkan sedikit (jika ada) ekspresi.19
Schizophrenia adalah penyakit jiwa yang paling banyak terjadi
dibandingkan dengan penyakit jiwa lainnya. Skizofrenia juga merupakan
gangguan mental yang cukup luas yang dialami di Indonesia, di mana sekitar
99% pasien di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia.
Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitanya,
tapi juga bagi orang-orang yang terdekat kepadanya. Biasanya keluargalah
yang paling terkena dampak dari hadirnya skizofrenia di keluarga mereka.20
Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti apa sesungguhnya
yang menimbulkan penyakit Schizophrenia itu. Ada yang berpendapat karena
keturunan atau kerusakan kelenjar-kelenjar tertentu dari tubuh mulai
menyerang setelah orang menghadapi satu peristiwa yang menekan, yang
akibatnya muncul penyakit yang mungkin tersembunyi di dalam diri orang
itu.21
Demikianlah antara lain gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa
yang membuktikan betapa besar akibatnya bila terganggunya kesehatan
mental seseorang, yang akan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan
hidupnya.
19 Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, judul asli: Abnormal Psychology in a Changing World, Alih bahasa: Tim Fakultas Psikologi UI, (Jakarta: Erlangga, 2005), jilid 2, h. 103
20 Iman Setiadi Arif, Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2006), cet-1, h. 4.
21 Tristiadi Ardi Ardani, Psikiatri Islam, h. 57.
30
D. Pengaruh Gangguan Jiwa terhadap Kewajiban sebagai Isteri
Seseorang yang mengalami kesehatan mental yang buruk berbeda
dalam hal tingkat kesehatan dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
kesehatan mental yang baik. Pada orang yang mengalami kesehatan mental
yang buruk, perasaan-perasaaan bersalah kadang-kadang menguasainya,
kecemasan-kecemasan tidak produktif sangat mengancamnya. Ia biasanya
tidak mampu menangani krisis-krisis dengan baik dan ketidakmampuan ini
mengurangi kepercayaan dan harga dirinya. Terkadang ancaman-ancaman
dari dalam dan dari luar begitu kuat sehingga ia mengembangkan gangguan
tingkah laku.22
Para ahli psikologi Eropa mengatakan bahwa segala sesuatu harus
dilihat dari pangkal atau yang melandasi tingkah laku, yaitu jiwanya (psyche).
Kalau jiwanya rusak, maka perilakunya pun terganggu, sebaliknya kalau
perilakunya rusak maka pasti kerusakan itu hanya akibat dari jiwanya yang
kacau.23
Gangguan kesehatan jiwa dapat mempengaruhi perasaan, fikiran,
tingkah laku dan kesehatan tubuh. Pengaruh terhadap perasaan misalnya
berupa cemas, takut, iri, dengki dan lain sebagainya. Juga sedih tak beralasan,
bimbang, marah oleh hal-hal remeh, merasa diri rendah dan sebagainya.
Demikian pula sombong, tertekan, pesimis, putus asa dan apatis. Pengaruh
terhadap fikiran misalnya berupa kemampuan berfikir berkurang, sukar
22 Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 1, Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 10.
23 Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal, h. 58.
31
memusatkan fikiran, mudah lupa, tidak dapat melanjutkan rencana dan
sebagainya.24
Sedangkan pengaruh terhadap perbuatan misalnya menganiaya diri
atau menyakiti orang atau hatinya dan berbagai kelakuan yang menyimpang,
perbuatan ini disebabkan oleh ketidakharmonisan fungsi-fungsi jiwa yaitu
tidak ada keserasian dan kerjasama antara pikiran, perasaaan dan sikap jiwa
manusia. Terakhir, pengaruh terhadap kesehatan tubuh, penyakit ini
dinamakan psychosomatic yaitu kesehatan mental dapat menentukan
kesehatan tubuh. Jika jiwa berada dalam kondisi kurang normal seperti cemas,
gelisah, takut, putus asa dan lain-lain maka dapat menimbulkan terjadinya
gangguan pada organ-organ tubuh seperti gangguan pada jantung, lambung,
kadar gula, tekanan darah dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya, jika jiwa
dalam kondisi normal maka badan juga sehat.25
Apabila gangguan jiwa dialami oleh salah satu anggota keluarga,
dalam kasus ini yaitu isteri, maka akan berpengaruh terhadap keharmonisan
antar anggota keluarga, terutama dalam hubungan suami isteri. Karena isteri
yang mengalami gangguan jiwa, dalam hal ini Schizophrenia, secara umum
tidak mampu menjalankan kewajibannya secara total seperti ketika dia dalam
keadaan sehat baik fisik maupun mental. Hal seperti ini jika tidak dihadapi
dengan bijaksana maka akan menimbulkan konflik yang berakibat fatal
terhadap kehidupan keluarga selanjutnya.
24 Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, h. 100.
25 Henry Narendrany Hidayati dan Andi Yudiantoro, Psikologi Agama, h. 155-156.
32
Dalam hubungan suami isteri, seorang suami mempunyai hak dan
begitu pula isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa
kewajiban dan begitu pula si isteri mempunyai beberapa kewajiban. Adanya
hak dan kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga itu
dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an, umpamanya pada surat al-
Baqarah ayat 228:
.... £ åκçJs9θ ãèç/uρ ‘,ymr& £ ÏδÏjŠt� Î/ ’Îû y7Ï9≡ sŒ ÷βÎ) (#ÿρߊ#u‘r& $ [s≈n=ô¹Î) 4 £çλ m; uρ ã≅ ÷WÏΒ “Ï%©!$#
£Íκö� n=tã Å∃ρá�÷èpR ùQ $$Î/ 4 ÉΑ$ y_Ìh�=Ï9uρ £ Íκö� n=tã ×πy_u‘yŠ 3 ª! $#uρ  Í•tã îΛ Å3ym )٢٢٨: البقرة(
Artinya : “…. dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada
mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-
Baqarah:228)
Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan juga
mempunyai kewajiban. Kewajiban isteri merupakan hak bagi suami. Hak
isteri semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak
dan kedudukan isteri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan
kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan
33
setingkat lebih tinggi yaitu sebagai kepala keluarga sebagaimana diisyaratkan
oleh ujung ayat tersebut di atas.26
Ketika perempuan menyatakan bersedia untuk menikah, dia yakin
bahwa dia akan mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari laki-laki yang
akan menjadi suaminya nanti, tetapi bukan hanya perempuan saja yang
membutuhkan perlindungan, laki-laki juga membutuhkannya. Dalam
kehidupan rumah tangga nanti, bukan saja pada waktu suami sakit, tetapi
suami juga membutuhkan bantuan dan perlindungan isterinya pada saat ia
menghadapi aneka kesulitan dalam pekerjaannya. Di sini, suami
membutuhkan dukungan dan kasih sayang dari isteri yang dapat menjadi
perisai kesulitan yang ia hadapi. Sekaligus pendorong untuk mencapai sukses
dalam segala perjuangannya, ia juga memerlukan ketenangan lahir dan batin
yang seharusnya ia peroleh dalam rumah tangganya.27
Kewajiban isteri sebenarnya sebagai konsekuensi logis dari hak yang
diterimanya dari suami. Kewajiban isteri kepada suami mempunyai kaitan
yang tak terpisahkan dengan kewajiban suami terhadap isteri. Di antara
kewajiban isteri terhadap suami adalah28:
26 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 159.
27 M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, h. 129.
28 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h.
143-158.
34
1. Taat kepada Allah SWT dan suami
Kewajiban seorang isteri untuk taat kepada Allah dan taat kepada suami,
antara lain tertuang dalam firman Allah SWT:
ãΑ%y Ìh�9$# šχθãΒ≡ §θs% ’ n? tã Ï !$ |¡ÏiΨ9$# $ yϑÎ/ Ÿ≅āÒ sù ª!$# óΟßγ ŸÒ ÷èt/ 4’n? tã <Ù÷èt/ !$ yϑÎ/uρ
(#θ à)x�Ρr& ô ÏΒ öΝÎγ Ï9≡uθ øΒ r& 4 àM≈ysÎ=≈ ¢Á9$$ sù ìM≈ tGÏΖ≈ s% ×M≈ sàÏ�≈ ym É=ø‹ tóù=Ïj9 $ yϑÎ/ xáÏ�ym
ª!$# 4 ÉL≈ ©9$#uρ tβθ èù$ sƒrB �∅èδ y—θà±èΣ �∅èδθÝà Ïèsù £èδρã� àf÷δ $#uρ ’Îû ÆìÅ_$ŸÒ yϑø9$#
£èδθç/Î�ôÑ $#uρ ( ÷βÎ*sù öΝà6 uΖ÷èsÛr& Ÿξsù (#θäóö7 s? £Íκö� n=tã ¸ξ‹ Î6y™ 3 ¨βÎ) ©! $# šχ%x. $ wŠÎ=tã
#Z�� Î6Ÿ2 )٣٤:ءالنسا(
Artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar." (An-Nisa:34)
35
Wanita yang baik yaitu wanita yang taat kepada Allah dan suaminya,
yang senantiasa menunaikan hak-hak suaminya, memelihara diri mereka dari
kekejian, dan menjaga harta suaminya dari pemborosan.
2. Menjaga kehormatan suami.
Seorang isteri harus menjaga kehormatan dirinya, baik di saat suaminya
berada di rumah, lebih-lebih apabila suaminya tidak ada di rumah.
3. Melayani kebutuhan biologi suami dengan baik.
Salah satu dorongan kuat laki-laki untuk mengadakan perkawinan ialah
agar dapat menyalurkan nafsu birahinya (nafsu seksnya) secara sah dan
terhormat. Dalam kondisi objektif, baik biologis maupun psikologis,
syariat Islam telah mewajibkan kepada setiap isteri untuk melayani
suaminya dengan baik, apabila diajak bersenggama. Isteri dilarang
menolak ajakan itu, kecuali ketika haid, nifas, dan shaum (puasa) bulan
Ramadhan.
4. Mengurus rumah tangga dengan baik.
Perbedaan fisiologi dan fungsi antara suami dan isteri, menyebabkan
perbedaan kewajiban dan tanggung jawab. Apabila suami bertanggung
jawab terhadap kehidupan keluarga secara keseluruhan, baik ke luar
maupun ke dalam, maka isteri bertanggung jawab terhadap kehidupan
rumah tangga secara intern. Ketentuan ini terdapat dalam hadits Nabi
Muhammad SAW:
36
رعيته عن مسئول وكلكم راع فكلكم وولده، زوجها بيت على راعية المرأة
29)البخارى رواه(
Artinya : “Tiap-tiap wanita (isteri) adalah pengurus bagi rumah tangga
suaminya dan akan ditanyakan (diminta pertanggungjawaban) tentang
kepemimpinaanya itu” (H.R. al-Bukhari)
Selain yang disebutkan sebelumnya, perlu diketahui juga bahwa
gangguan jiwa yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dapat
menimbulkan pengaruh pada aktivitas hidup sehari-hari. Penderita dengan
gangguan jiwa kronis tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri,
misalnya pada aktivitas kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi.
Penderita seperti ini banyak yang ditolak oleh keluarga dan masyarakat.
Pengucilan penderita dari lingkungan, kurangnya dukungan keluarga, dan
gangguan fungsi dari penderita dapat menyebabkan kurangnya kesempatan
menyelesaikan masalah dengan tepat dalam menghadapi stres pada
kehidupannya. Hal ini dapat menyebabkan penderita mudah kambuh dan
masuk ke rumah sakit lagi. Selanjutnya penderita mempunyai kebutuhan
pengobatan yang lama. Sebagian penderita gangguan jiwa tidak lepas dari
obat untuk membantu menjaga keseimbangan dalam tubuhnya. Banyak di
antara mereka yang bosan sehingga putus obat yang akhirnya menurun
kondisinya setelah ada di rumah. Selain itu penderita gangguan jiwa
mempunyai harga diri rendah, khususnya dalam hal identitas dan perilaku.
29 Al-bukhari, Shohih Bukhori, (Libanon: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2008), h.607,
hadits no: 5200.
37
Penderita menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi
kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari
kegagalan (takut gagal), dan tidak berani mencapai sukses.30
Diketahui dari beberapa pengaruh gangguan jiwa terhadap fikiran,
perasaan, tingkah laku penderita, maka dapat disimpulkan bahwa orang
yang menderita gangguan jiwa tidak dapat melakukan aktivitas apapun
secara normal. Begitu juga dengan isteri yang mengalami gangguan
kejiwaan, ia tidak mampu untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang
isteri. Hal ini disebabkan karena seseorang yang terkena penyakit jiwa,
kepribadiannya akan terganggu sehingga penderita kurang mampu
menyesuaikan diri dengan wajar dan tidak sanggup memahami problemnya.
Penyakit ini juga mengganggu akalnya, sehingga akal tidak mampu
menangkap suatu objek dengan benar dan disertai oleh kebingungan dan
kekacauan fikiran, orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara yang baik dan
yang buruk.31
Pada orang yang keadaan akalnya terganggu, maka dirinya tidak
mampu untuk menerima beban hukum. Artinya , ia tidak mampu dikenai
hukum dan berbuat hukum karena adanya halangan yaitu keadaan akalnya
yang terganggu. Halangan tersebut dalam istilah ushul fiqh disebut dengan
‘awaridh al-ahliyah atau halangan taklif. Halangan taklif itu dapat
30Juliansyah, Peran Keluarga Menangani Penderita Gangguan Jiwa, artikel diakses
19 Maret 2010, dari http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=30254.
31 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999), jilid I, cet.ke-3, h. 406.
38
dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, ‘awaridh samawiyah yaitu
halangan yang timbul dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai
daya dan kehendak menghadapinya. Kedua, ‘awaridh muktasabah atau
‘awaridh ikhtiyari, yaitu halangan yang timbul dari dirinya atau tersebab
kehendaknya sendiri. Di sini pengertian kelainan yang terdapat pada akal
yang menghalangi ucapan dan perbuatan seseorang menurut yang
semestinya disebut dengan gila. Gila termasuk salah satu macam dari
‘awaridh samawiyah. Keadaan gila dapat dipisahkan pada dua hal, yaitu
gila yang lama dan berketerusan atau muabbad dan gila sementara atau
ghair muabbad yang terjadi dalam waktu tertentu dan tidak berketerusan.32
Melihat dari pembagian gila tersebut, keadaan isteri pada kasus dalam
pembahasan skripsi ini, maka termasuk pada gila sementara atau ghair
muabbad. Pada satu saat ia dapat berfungsi secara baik dalam kehidupan
sehari-hari, tapi pada saat lain ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan
berperilaku aneh serta jauh dari realita.
Keadaan akal yang terganggu menyebabkan ia terhalang sebagai
subjek hukum, di mana syarat subjek hukum yang pertama adalah “baligh
dan berakal”. Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak berlaku
padanya tuntutan hukum atau taklif hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
32 Amir Syarifudddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid 1, cet-3, h. 400.
39
نع يلع يضر الله نهع أن لى النبيص الله هليع لمسقال و عفر القلم نع
ثلاثة نتى النائم عظ حقتيسي نعو توهعالم نون قال أوجتى المل حقعي
نعير وغالص تىح بش33ي
“Dari Ali ra., sesunguhnya Nabi SAW bersabda: Diangkat tuntutan
dari tiga hal, yaitu dari orang tidur sampai ia terjaga, dari orang yang
kurang akal atau gila sampai ia berakal (waras), dari anak kecil sampai ia
dewasa”
33 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih,
(Beirut: Dar- eL-Marefah, 2004), hadits no: 1423, h. 597.
40
BAB III
POLIGAMI DALAM FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
A. Poligami dalam Fikih
Poligami sejak dulu telah dilakukan dan tidak ada pembatasan jumlah
perempuan yang boleh dijadikan isteri oleh seorang laki-laki. Seorang laki-
laki diperbolehkan menikah dengan setiap wanita yang dikehendakinya
berapapun jumlahnya. Praktek poligami ini dilakukan baik oleh kalangan
kaum Hindu, bangsa Persia, bangsa Arab jahiliah, bangsa Romawi, maupun
bangsa di berbagai daerah Eropa dan Asia Barat. Sebagai salah satu sistem
perkawinan tertentu, poligami membawa nasib yang menyedihkan bagi kaum
wanita. Derajat wanita dianggap jauh lebih rendah dari derajat pria.1
Pada abad ke-7, agama Islam datang dengan Muhammad SAW
sebagai Nabi yang membawa berita gembira antara lain dengan membawa
perbaikan terhadap masalah poligami. Kedatangan Islam mengubah konsep
poligami dan didefinisikan ulang sampai keakar-akarnya. Beberapa bentuk
poligami yang lazim berlaku di Arabia dilarang oleh Islam, seperti menikahi
dua orang perempuan yang bersaudara secara bersamaan atau menikahi
seorang perempuan dengan bibinya secara bersamaan dan sebagainya.2
1Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1999), cet.ke-5, h.107. 2 Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas
Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet-1, h.149.
41
Berdasarkan hadits Nabi SAW
أن رسول اهللا ص م نهى عن أربع :هريرة رضي اهللا عنه قالعن ابى
ننهيب عمجي أن ةوسا: نخا لته أة ورالما وتهمع أ ة ورالم. 3ـ رواه الجماعةـ
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW melarang empat wanita untuk berpoligami. yaitu, seorang wanita
dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu.”
(HR.Jamaah).
Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi paling banyak
empat orang saja (itupun dengan beberapa persyaratan tertentu) dan
mengenalkan monogami sebagai salah satu bentuk perkawinan yang ideal.4
Allah SWT berfirman:
÷βÎ)uρ ÷Λä ø�Åz āωr& (#θ äÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uΚ≈tGu‹ ø9$# (#θ ßsÅ3Ρ$$ sù $ tΒ z>$ sÛ Νä3s9 z ÏiΒ Ï !$ |¡ÏiΨ9$# 4 o_ ÷WtΒ
y]≈ n=èOuρ yì≈ t/â‘uρ ( ÷βÎ*sù óΟçF ø�Åz āωr& (#θ ä9ω÷ès? ¸οy‰Ïn≡uθ sù ÷ρr& $ tΒ ôM s3n=tΒ öΝä3ãΨ≈ yϑ÷ƒ r& 4 y7 Ï9≡sŒ
#’ oΤ÷Šr& āωr& (#θ ä9θ ãès? )٣: النساء(
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3)
3 Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Bierut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2004), h. 562. 4 Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas
Kesetaraan Jender, h. 149.
42
Di antara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami
dan pembatasannya dengan empat orang, datang dan dibarengi kekhawatiran
berlaku zhalim kepada perempuan yatim.5 Ketika turunnya ayat ini
Rasulullah memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang isteri,
agar segera menceraikan isterinya sehingga maksimal setiap orang hanya
memperisterikan empat orang wanita. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.
قالع ارثن الحس بقي ت النبي صلى : نفأتي ،ةوسن انى ثمندع ت ولماس
6 .احتر منهن ار بعا: الاهللا عليه وسلم فذكرت ذالك له، فق
Artinya : “Dari Qais bin al-Harits, Ia berkata: Aku masuk Islam
sedangkan aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku datang mengunjungi
Nabi SAW Dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda,
‘Pilihlah di antara mereka itu empat’ ”.
Sabda Nabi SAW Kepada Ghailan bin Salamah pada waktu masuk
Islam sementara isterinya berjumlah sepuluh:
نهائرفا رق س ا وعبأ ر كس7 أم
Artinya : “Pertahankanlah yang empat dan ceraikanlah yang lain
Menurut Wahbah az-Zuhaili, alasan pembatasan poligami sampai
empat orang adalah karena pada lahirnya kemampuan suami dalam berlaku
5 Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi,
(Jakarta: Darul Haq, 2007), h.20. 6 Abdillah Muhammad bin Yazin Ibnu Majah al-Qozwi, Sunan Ibnu Majah, (Beirut:
Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2004), hadits nomor 195, h. 2122. 7 Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, Ensiklopedi Fiqih Islam dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006), cet-1, h.567.
43
adil, membayar nafkah, pembagian waktu dan sebagainya hanya sampai
empat orang isteri dengan pengaturan mingguan dalam satu bulan. Lebih dari
itu, disangsikan suami tidak mampu memberi perhatian sempurna dan tidak
sanggup menunaikan hak-hak isteri-isterinya. Karena itu kebolehan
berpoligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, berlaku
adil antara isteri-isteri dan anak-anaknya. Kedua, kesanggupan membayar
nafkah atau belanja nikah rumah tangganya, sesuai dengan Sabda Rasulullah
SAW tentang perlunya biaya nikah (al-ba’ah) bagi calon suami. (HR.al-
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)8
Islam juga membatasi alasan poligami, di mana poligami hanya
dibolehkan dalam keadaan darurat dan dengan syarat-syarat yang berat serta
dilakukan berdasarkan keadilan, bukan dalam kerangka memuaskan nafsu
biologis semata.9
Muhammad Abduh, seorang ilmuwan Mesir berpendapat bahwa
mengambil isteri lebih dari satu orang itu diperbolehkan dalam Islam, namun
kebolehan tersebut diikuti oleh adanya kewajiban bahwa suami harus
memperlakukan para isterinya secara adil. Beliau menyatakan, “Hukum Islam
itu memperbolehkan seorang laki-laki untuk memiliki isteri sampai berjumlah
empat orang ketika dia memperkirakan akan mampu memperlakukan isteri-
isterinya secara adil. Akan tetapi kalau dia merasa tidak mampu memenuhi
8 Ensiklopedi Hukum Islam, h.1187.
9 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: LKAJ-PSP dan The
Asian Fondation, 1999), cet-1, h.9.
44
kondisi seperti itu, maka dia dilarang beristeri dengan lebih dari satu
orang”.10
Jika ia memiliki lebih dari satu isteri dan ternyata ia lebih
mengutamakan salah satu di antara mereka, maka ia terkena ancaman keras
yang termaktub dalam sabda Nabi SAW:
ابى نصلى اهللا عليه و سلمع النبي ة انريرأتان : هرما كانت له نقال م
11الى احداهما جاء يوم القيامة وشقه مائلفمال
Artinya : “Barang siapa punya dua orang isteri lalu memberatkan
salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat nanti dengan bahunya
miring”.
Hadits di atas menunjukkan adanya keharusan bagi suami membagi
giliran secara adil dan merata kepada isteri-isterinya. Dan diharamkan
baginya pilih kasih di antara isteri-isterinya itu. Berkenaan dengan hal
tersebut, Allah Ta’ala berfirman:
s9uρ (#þθãè‹ ÏÜtF ó¡n@ βr& (#θ ä9ω÷ès? t ÷ t/ Ï !$ |¡ÏiΨ9$# öθ s9uρ öΝçF ô¹t� ym ( Ÿξ sù (#θ è=ŠÏϑs? ¨≅ à2
È≅øŠyϑø9$# $ yδρâ‘x‹ tGsù Ïπ s)‾=yèßϑø9$$ x. 4 βÎ)uρ (#θ ßsÎ=óÁ è? (#θ à)−Gs?uρ �χ Î*sù ©! $# tβ%x. #Y‘θ à�xî
$ VϑŠÏm§‘ )١٢٩ :النساء(
10 Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas
Kesetaraan Jender, h. 150-151. 11 Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, Ensiklopedi Fiqih Islam dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, h.565.
45
Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-
Nisa:129)
Kecenderungan di sini adalah dalam hal memberikan giliran dan
nafkah, bukan dalam hal cinta, karena cinta di luar kekuasaan manusia.
Pemahaman terhadap firman-Nya “kullal mail (terlalu cenderung)” berarti
bahwa kecenderungan yang kecil dibolehkan.12
Allah SWT tidak menciptakan dua hati dalam jasad seorang manusia.
Firman-Nya dalam Al-Qur’an:
)٤:األحزاب( ..........جوفه في قلبين من لرجل الله جعل ما
Artinya : “ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua
buah hati dalam rongganya…”(al-Ahzaab: 4)
Dalam sebuah kesempatan, Aisyah ra. berkata: Pada saat itu,
Rasulullah berusaha untuk menentukan giliran untuk isteri-isterinya dan
kemudian mencoba berlaku adil. Setelah itu beliau bersabda:
: كان رسول الله ص م يقسم لنسائه، فيعدل، ويقول:عن عائشة رض قا لت
ميف يمسذا قه مالللهكلال أمو كلا تمميى فنال تلمو ،كل13ا أم
Artinya : “Ya Allah, inilah hasil pembagianku dari apa yang aku
miliki. Maka, janganlah engkau membebankanku dengan sesuatu yang
12 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), cet-5, h.176.
46
Engkau miliki tapi tidak dapat ku miliki”. Dan yang dimaksud di sini adalah
hati (al-qalbu).13
Abdullah Ibn Abbas, dalam penafsirannya menjelaskan bahwa adil
yang dimaksud adalah adil dalam hubb (cinta) dan jima’ (hubungan intim
suami-isteri). Mengomentari pandangan Ibn Abbas, Quraish Shihab
menegaskan bahwa keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan di bidang
immaterial (cinta). Itu sebabnya, orang yang berpoligami dilarang
memperturutkan suasana hati dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada
yang dicintai.14
Perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk
seperti terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan
yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu. Apalagi bila pembatalan
tersebut justru mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat seperti
munculnya wanita simpanan serta pernikahan di bawah tangan dan dampak
buruk lainnya, lebih-lebih terhadap perempuan.15
Praktek poligami Rasulullah SAW merupakan praktek poligami
perspektif Islam yang senantiasa menjadi panutan yang ditiru oleh umatnya.
Tidak sedikit pula orang Islam yang keliru memahami praktek poligami
tersebut. Ada anggapan bahwa Nabi berpoligami dengan tujuan memuaskan
13 Al-‘asqalani, Bulughul Maram, h. 180. 14 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), h.201. 15 M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah
Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, h. 177.
47
nafsu seksualnya seperti kebanyakan yang dilakukan pada umumnya. Padahal
dari isteri Rasul hanya Aisyah yang masih gadis ketika dinikahi, selainnya
adalah para janda tua. Maka dari itu kekeliruan ini harus diluruskan, karena
poligami Nabi sering dijadikan dalil pembenaran bagi kebolehan poligami
dalam masyarakat muslim.16
Poligami yang dilakukan Rasulullah SAW adalah upaya transformasi
sosial. Artinya, mekanisme poligami yang diterapkan Nabi SAW merupakan
strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab
pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda
sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristeri sebanyak
mereka suka. Sebaliknya, yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah
membatasi praktek poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang dan
menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan berpendapat bahwa dari
segi pandangan normatif al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh para ulama
fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami.
Pertama, seorang laki-laki yang akan berpoligami harus memiliki
kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
bertambahnya isteri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus
16 Hasan Aedy, Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan, (Bandung:
Alfabeta, 2007) h. 24. 17 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Ciputat: el-
KAHFI, 2008), cet.ke-1, h. 195.
48
memperlakukan semua isterinya dengan adil. Tiap isteri harus diperlakukan
sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.18
Berkenaan dengan syarat adil, Ibrahim Hosen menyatakan bahwa
syarat adil bagi kebolehan berpoligami merupakan syarat agama, bukan
sebagai syarat hukum. Adil tidak dapat dijadikan syarat hukum sahnya
poligami, karena adil itu belum dapat diwujudkan sebelum terwujudnya
poligami. Syarat hukum mengakibatkan batalnya hukum ketika syarat
tersebut batal, tetapi syarat agama hanya mengakibatkan dosa kepada Tuhan.
Syarat agama ialah syarat yang dituntut agama dan tidak mesti menjadi syarat
hukum, sedangkan syarat hukum adalah sesuatu yang dituntut adanya
sebelum adanya hukum, artinya syarat tersebut tidak dapat berpisah dari
hukum.19
Begitu beratnya syarat berlaku adil sehingga wajarlah bila ada
sementara ulama yang tidak membolehkan poligami hanya kecuali dalam
keadaan darurat. Artinya, menurut pendapat ini, pembolehan poligami oleh
Al-Qur’an hanya dimaksudkan untuk keadaan darurat. Muhammad Abduh
misalnya, membolehkan poligami hanya kalau sang isteri tidak mampu
memberikan keturunan.20
18 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.h. 159.
19 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya ‘Ulumuddin, 1971), h. 149-150.
20 Ustad Ansori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, (Depok: Pustaka Iman,
2007), h.26.
49
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami,
menurut Abdurrahman21 setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada
delapan keadaan, yaitu:
1) Isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit untuk
disembuhkan.
2) Isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat
melahirkan.
3) Isteri sakit ingatan (gila).
4) Isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai
isteri.
5) Isteri memiliki sifat buruk.
6) Isteri minggat dari rumah.
7) Ketika terjadi ledakan perempuan (jumlah perempuan yang
banyak) misalnya dengan sebab perang,
8) Kebutuhan suami beristeri lebih dari satu, dan jika tidak dipenuhi
menimbulkan kemadharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat
dengan syarat berlaku adil antara lain, sebagai berikut:22
1. Untuk mendapat keturunan bagi suami yang sabar dan isteri yang
mandul;
21 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 159.
22 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994),
h. 261.
50
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri,
sekalipun isteri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai isteri
atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3. Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina
dan krisis akhlak lainnya. Data-data statis menunjukkan bahwa di
beberapa Negara Barat yang melarang poligami mengalami akibat
merajalelanya prostitusi dan freesex (kumpul kebo), yang
mengakibatkan pula anak-anak zina mencapai jumlah yang cukup
tinggi;
4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal
di Negara atau masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih
banyak dari kaum pria, misalnya akibat peperangan yang cukup
lama.
B. Poligami dalam Undang-Undang Perkawinan
Peraturan poligami di Indonesia telah diatur oleh pemerintah dalam
rangka melindungi warga Negara khususnya kaum perempuan dari tindak
ketidakadilan, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan ( selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan ).23
Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut adanya asas
monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3
23 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 201.
51
ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami, akan tetapi asas monogami tidak bersifat
mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan
monogami, mono dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan
lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami.
Klausul kebolehan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya
hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-
alasan yang membolehkan poligami.24
Dalam pasal 4 dinyatakan25:
Seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami
dalam UUP dapat dipahami alasannya dengan mengacu kepada tujuan pokok
pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika tiga alasan yang
disebutkan UUP tersebut menimpa suami isteri maka dapat dianggap rumah
24 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975), cet-1, h. 26. 25 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, (Bandung, Fokus Media, 2005), h. 2.
52
tangga tersebut tidak mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan
rahmah).26
Di samping itu, lembaga poligami tidak semata-mata merupakan
kewenangan penuh suami, tetapi dilakukan atas dasar izin dari hakim
(Pengadilan). Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 ada pernyataan:
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Dengan adanya ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan
Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan
poligami bagi seorang, sesuatu yang tidak ada preseden historisnya di dalam
kitab-kitab fikih. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan27:
Pengadilan Agama dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.
Prosedur permohonan izin seperti yang tersebut dalam pasal 3 ayat 2
di atas harus diajukan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya si
pemohon. Permohonan dilakukan secara tulisan dengan syarat-syarat yang
terdapat dalam pasal 5 ayat (1) dan (2)28:
26 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h. 47.
27 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 162.
28 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, h. 26.
53
Ayat (1) :
1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-
anak mereka.
Ayat (2) :
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
Pengadilan.
Perbedaan pada pasal 4 dan 5 adalah bahwa pada pasal 4 disebut
dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat
mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan
kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan
melakukan poligami.29
Seperti yang disebut dalam pasal 5 dan diulang kembali dalam pasal
41 huruf (b), (c) dan (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
29 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, h. 46-47.
54
Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9/1975) dengan tambahan penjelasan
bahwa30:
b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri, baik persetujuan lisan maupun tetulis,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan di depan sidang Pengadilan;
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami
yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan itu.
Selain tentang alasan dan syarat seperti tersebut di atas, PP No. 9/1975
hanya memberikan tiga macam ketentuan tentang tata cara pemeriksaan dan
pemberian izin itu, seperti dapat disimpulkan dari pasal 42 dan 43 sebagai
berikut:31
Pasal 42 ayat (1) :
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
30 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 162. 31 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1976), h.23
55
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43 :
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Adapun seorang suami yang melanggar ketentuan poligami yaitu
melakukan poligami dengan tidak melalui izin Pengadilan Agama, maka
perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang melanggar ketentuan yang
berlaku yang termasuk tindakan pidana dan dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan
pasal 45 yaitu hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima
ratus rupiah) dan bagi pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang
dimaksud, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Tindak pidana yang dimaksud merupakan pelanggaran.32
Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi oleh peraturan yang
membatasinya secara ketat, akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif
dalam menegakkan rumah tangganya, seperti hubungan antar isteri menjadi
tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada
32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab IX Ketentuan Pidana, Pasal 45 ayat (1) dan (2).
56
pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya
terjadi setelah ayah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu
tidak terjadi dalam rumah tangga pelaku poligami, maka Undang-Undang
Perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang
demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari
satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-
Undang Perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan itu benar-benar membawa manfaat kepada mereka yang
melaksanakannya.33
33Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), cet-2, h. 10.
57
BAB IV
PUTUSAN PERKARA IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN ISTERI
MENGALAMI GANGGUAN JIWA
A. Perkara-Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
kehakiman negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pengadilan
Agama adalah sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di
samping tiga peradilan lainnya.
Selanjutnya, Pengadilan Agama juga memiliki kewenangan absolut
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 50
tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yaitu Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan
ekonomi Syariah.
Adapun perkara yang paling banyak masuk ke Pengadilan Agama
Jakarta Timur adalah masalah perkawinan, terutama dalam perceraian.
Berikut penulis paparkan perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
58
Jakarta Timur tahun 2008-2009. Perkara yang diterima Pengadilan Agama
Jakarta Timur pada tahun 2008 dari bulan Januari sampai Desember yaitu
sebanyak 2126 perkara, dengan perincian sebagaimana daftar terlampir:
LAPORAN TAHUN 2008 TENTANG PERKARA YANG DITERIMA1
Perkara yang diterima pada tahun 2008 didominasi oleh perkara
perkawinan, terutama jenis perkara cerai gugat dengan 1303 perkara dan
cerai thalak dengan 640 perkara. Di sini yang faktor yang mendominasi
penyebab perceraian adalah terus menerus berselisih. Sedangkan untuk
perkara izin poligami hanya 13 perkara saja, yang pada umumnya
1 Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 31 Maret 2010
59
didasarkan pada alasan isteri tidak dapat melaksanakan kewajibannya
sebagai isteri.2
Selanjutnya perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur
pada tahun 2009, berikut perinciannya:
LAPORAN TAHUN 2009 TENTANG PERKARA YANG DITERIMA3
Tidak jauh berbeda dengan perkara yang diterima tahun 2008, pada
tahun 2009 perkara perceraian masih lebih banyak dibandingkan perkara-
perkara lainnya yaitu sebanyak 1546 untuk cerai gugat dan 855 untuk cerai
thalak. Pada tahun ini faktor yang mendominasi penyebab terjadinya
perceraian adalah gangguan pihak ketiga. Sedangkan untuk perkara izin
2 Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur
3 Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 31 Maret 2010
60
poligami lebih sedikit dari tahun 2008, yaitu sebanyak 6 perkara saja dan
rata-rata alasan poligami didasarkan karena isteri tidak mampu lagi
melaksanakan kewajibannya sebagai isteri. Demikian data yang penulis
peroleh dari hasil penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur, yang mana
dapat disimpulkan kasus perceraian lebih banyak disidangkan dari pada
perkara poligami.4
B. Pertimbangan Hakim Pada Perkara Nomor. 0284/Pdt.G/2008/Pa.Jt
Dari sekian banyak perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, yang
menjadi perhatian penulis adalah perkara nomor 0284/Pdt.g/2008/Pa. Jt
mengenai perkara izin poligami di mana alasan suami ingin berpoligami
adalah isteri telah mengalami sejenis penyakit gangguan jiwa. Dalam
perkara ini yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
adalah, putusan hakim yang menetapkan dikabulkannya izin poligami
tersebut. Padahal dalam Undang-Undang Perkawinan tidak disebutkan
gangguan jiwa sebagai alasan dibolehkannya poligami. Dan mengapa hakim
mengizinkan poligami pada saat kondisi isteri yang seharusnya
membutuhkan perawatan ataupun perhatian yang lebih besar dari suami
untuk mempercepat kesembuhannya. Berikut di bawah ini pemaparan
deskripsi perkara tersebut:
4 Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur
61
a. Pihak-pihak yang berperkara
Berdasarkan surat yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta Timur tanggal 28 Februari 2008 dengan nomor perkara
0284/Pdt.G/PA.JT, bahwa Dr. Zulkifli Amin bin H. Amin Rachmani, agama
Islam, selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON” , dalam hal ini memberi
kuasa kepada Eliman Harefa, S.H seorang advokat di Jakarta yang beralamat
di Jl. Daan Mogot Km. 11 Komp. Dep. Agama No. 35, Jakarta Barat,
melawan Erna Veronica binti Abdul Wahab, agama Islam, selanjutnya
disebut sebagai “TERMOHON”. Pemohon dan termohon, keduanya adalah
suami isteri yang sah dan berdomisili di Jl. Bumi Pratama IX Blok N-9 Rt.
005/006, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur. Dalam
perkara ini pemohon mengajukan permohonan izin beristeri lebih dari satu
orang ke Pengadilan Agama Timur.
b. Duduk perkara
Pemohon adalah suami sah dari termohon yang menikah pada tanggal
17 Februari 1980 sesuai dengan kutipan akta nikah nomor 50/122/1980
tertanggal 18 Februari 1980 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
kecamatan Kebayoran Baru, Kabupaten/Kotamadya Jakarta Selatan. Dari
pernikahan tersebut, mereka dikarunia tiga orang anak, yaitu Lukman ZA
(26 tahun), Firman ZA (23 tahun) dan Hilman ZA (18 tahun). Kehidupan
rumah tangga pemohon dan termohon sejak awal pernikahan sampai
pertengahan tahun 1998 berjalan normal, rukun dan harmonis. Tetapi pada
pertengahan tahun 1998 sampai permohonan ini diajukan kehidupan rumah
62
tangga pemohon dan termohon mulai berubah dan berjalan tidak normal lagi.
Hal ini menurut pemohon disebabkan karena termohon mulai menunjukkan
sikap dan tingkah laku yang tidak normal lagi yaitu menjadi pendiam, sulit
diajak berkomunikasi, suka mengurung diri dan bersikap seakan-akan
memiliki dunianya sendiri.
Karena perubahan sikap yang terjadi pada isterinya (termohon) maka
pemohon berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawatnya yang berprofesi
sebagai dokter. Setelah konsultasi, diketahui bahwa termohon mengidap
penyakit yang disebut skizofrenia yaitu sejenis penyakit gangguan jiwa di
mana penderita menunjukkan berbagai gejala terpecahnya kepribadian
sehingga kerjasama antara pikiran, perasaan dan tingkah laku tidak serasi
lagi. Pemohon sudah berusaha untuk memberikan perawatan secara khusus
terhadap termohon tetapi selalu gagal karena termohon selalu memberikan
reaksi penolakan secara keras setiap kali dibawa ke psikiater sehingga
sampai saat ini pemohon hanya dapat memberikan obat-obatan dengan resep
dari beberapa dokter spesialis jiwa dan karena termohon tidak berhasil
dibawa untuk perawatan khusus maka pemohon juga tidak berhasil
mendapat surat keterangan dari dokter ahli jiwa mengenai kondisi termohon
tersebut.
Sejak termohon menderita penyakit tersebut yang sudah berlangsung
kurang lebih 10 tahun terakhir. Maka pemohon tidak dapat lagi menjalani
kehidupannya secara normal, kebutuhan pemohon sebagai seorang suami
tidak terpenuhi karena isteri tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dengan
63
keadaan demikian pemohon berkeinginan untuk menikah lagi dengan
seorang wanita yang bernama Prafithrie Avialita Shanti binti Moh. Nasir
Rahawi, selanjutnya disebut sebagai calon isteri pemohon. Karena kondisi
kejiwaan termohon saat ini maka pemohon tidak dapat meminta izin untuk
menikah lagi dengan calon isteri tersebut.
Antara pemohon dan calon isteri, sudah saling mencintai dan tidak ada
hubungan hukum yang melarang mereka untuk menikah. Pemohon juga
menyatakan bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri serta anak-
anak pemohon, pemohon juga memiliki penghasilan tetap sebagai dokter
serta penghasilan tambahan dari praktek pada beberapa rumah sakit yang
rata-rata perbulannya sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka pemohon
mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur/
Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutuskan permohonan dengan
amar putusan sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
b. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan
calon isteri pemohon.
c. Membebankan biaya perkara sesuai dengan aturan perundang-undangan
yang berlaku.
Atau apabila pengadilan berpendapat lain. Mohon putusan yang seadil-
adilnya.
64
Adapun alat-alat bukti untuk memperkuat dalil-dalilnya, pemohon
telah mengajukan bukti tertulis berupa:
1. Surat permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang kepada instansi
tempat pemohon bekerja, tertanggal 2 Juni 2008, asli diberi tanda P.1.
2. Surat jaminan berlaku adil tanggal 2 Juni 2008, asli diberi tanda P.2.
3. Surat keterangan dari RSUP Cipto Mangunkusumo Departemen Psikiatri
tanggal 7 April 2008, asli diberi tanda P.3.
4. Surat izin atasan pemohon tanggal 2 Juni 2008, asli diberi tanda P.4.
Selanjutnya pemohon juga mengajukan dua orang saksi dari pihak
keluarga untuk memberikan keterangan kepada Majelis Hakim.
c. Pertimbangan
Menimbang, bahwa karena termohon tidak datang menghadap di
persidangan atau tidak mengutus kuasa atau wakilnya meskipun telah
dipanggil dengan cara yang sepatutnya dan tidak terdapat alasan yang sah
atas ketidakhadirannya, maka termohon dinyatakan tidak hadir dan perkara
diputus tanpa hadirnya termohon, sesuai dengan pasal 125 HIR.
Menimbang, bahwa pemohon telah menguatkan dalil-dalil tersebut
dengan bukti tertulis P.1, P.2, P.3, P.4 dan keterangan saksi-saksi yang
dinilai oleh Majelis Hakim dapat menguatkan alasan-alasan tersebut di atas
sehingga bukti-bukti tersebut dapat dipertimbangkan.
65
d. Putusan
a. Kepala putusan
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
0284/Pdt.G/2008/PA.JT dengan kepala putusan yang didahului dengan
kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
Di bawah kepala putusan dilanjutkan dengan identitas dari pihak
pemohon dan termohon.
b. Pertimbangan hukum dan amar putusan
Sebelum Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menjatuhkan
putusannya, Majelis Hakim mengemukakan pertimbangan hukum yang
pada pokoknya sebagai berikut:
1. Pemohon adalah suami sah dari termohon terbukti pada kutipan akta
nikah No. 50/122/1980 tertanggal 18 Februari yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama.
2. Menyatakan termohon tidak hadir, karena termohon tidak datang
dalam persidangan, walaupun telah dipanggil dengan cara yang
sepatutnya, maka perkara ini diputus tanpa hadirnya termohon
sesuai dengan maksud pasal 125 HIR.
3. Diketahui bahwa alasan pemohon untuk berpoligami adalah karena
isteri mengalami gangguan jiwa yang sudah berlangsung selama
kurang lebih sepuluh tahun sehingga kebutuhan pemohon sebagai
66
suami tidak terpenuhi lagi karena termohon tidak mampu
melaksanakan kewajibannya sebagai isteri.
4. Adanya bukti tertulis yang dihadirkan pemohon untuk menguatkan
dalil-dalilnya, ditandai dengan kode P.1, P.2, P.3, dan P.4 .
5. Adanya keterangan dua saksi yang dihadirkan pemohon, keterangan
saksi pertama yang pada pokoknya menyatakan saksi ada hubungan
saudara, saksi mengetahui kondisi termohon yang sakit karena
gangguan kejiwaan sejak lima tahun yang lalu dan termohon
kadang-kadang bisa diajak berkomunikasi oleh pemohon, kadang
tidak bisa.
6. Adanya keterangan saksi kedua yang pada pokoknya menyatakan,
saksi adalah saudara pemohon, saksi mengetahui kondisi termohon
sejak lima tahun yang lalu, saksi mengetahui termohon tidak banyak
berkomunikasi dan suka mengurung diri serta termohon juga sudah
diobati baik secara medis maupun alternatif.
7. Menyatakan permohonan pemohon sudah sesuai dengan maksud dan
ketentuan pada pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo pasal 40 dan pasal 41 Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun
1975.
8. Menyatakan bahwa calon isteri pemohon tidak keberatan untuk
dimadu dan antara pemohon dengan calon isterinya tidak ada
67
halangan perkawinan sebagaimana dengan yang dimaksud pada
pasal 39 dan pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Majelis Hakim
mengambil kesimpulan akhir dalam menyelesaikan perkara ini yaitu dengan
amar putusan yang berbunyi:
1) Menyatakan termohon dipanggil dengan sepatutnya untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir.
2) Mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek.
3) Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi
yang kedua (poligami) dengan calon isteri yang bernama Dr.
Prafithrie Avialita Shanti binti Moh. Nasir Rahawi.
4) Membebankan pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sejumlah Rp. 681.000,- (enam ratus delapan puluh satu ribu rupiah).
Putusan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Majelis
Hakim, dengan dihadiri oleh pemohon dan tanpa hadirnya termohon pada
hari Rabu tanggal 23 Juli 2008.
C. ANALISIS PENULIS
Pada perkara ini karena termohon tidak hadir di persidangan dan tidak
mewakilkan kepada orang lain atau kuasa hukumnya tanpa alasan yang sah
walaupun Pengadilan telah memanggil termohon dengan patut, maka
Majelis Hakim menjatuhkan perkara ini dengan putusan verstek, yaitu
putusan yang dijatuhkan karena tergugat atau termohon tidak hadir dan tidak
68
mewakilkan kepada orang lain meskipun telah dipanggil secara patut.
Putusan ini sudah sesuai dengan pasal 125 HIR.
Dalam hal persyaratan yang harus dipenuhi pemohon untuk dapat
mengajukan permohonan beristeri lebih dari seorang ke Pengadilan Agama,
di sini pemohon sudah memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam
Undang-Undang. Perundang-undangan yang dijadikan acuan Majelis Hakim
dalam menyelesaikan perkara ini selain Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Adapun syarat-syarat yang dipenuhi pemohon, mencakup syarat
alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif yang dipenuhi pemohon
adalah terpenuhinya salah satu dari apa yang disebutkan dalam pasal 4 ayat
(2) poin (a) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri, alasan pemohon untuk beristeri
lebih dari satu didasarkan pada kondisi isteri (termohon) yang mengalami
sejenis gangguan kejiwaan yaitu skizofrenia, di mana penderita skizofrenia
sulit untuk berkomunikasi dengan baik dan bertingkah laku aneh karena
terpecahnya kepribadian dan ketidaksesuaian kerjasama antara pikiran,
perasaan dan tingkah laku5 Sehingga sejak saat itu isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri secara penuh.
5 Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2005), h. 134.
69
Adapun syarat kumulatif yang telah dipenuhi pemohon yaitu dengan
adanya bukti-bukti, diantaranya surat permohonan izin untuk beristeri lebih
dari seorang kepada instansi tempat pemohon bekerja, tertanggal 2 Juni
2008, surat jaminan berlaku adil tertanggal 2 Juni 2008, surat keterangan
dari RSUP Cipto Mangunkusumo Departemen Psikiatri tertanggal 7 April
2008 dan surat izin atasan tertanggal 2 Juni 2008. Di sini pemohon tidak
dapat menunjukkan izin isteri baik secara lisan maupun tulisan, karena
kondisi isteri yang sedang mengalami gangguan jiwa. Maka dengan
demikian izin isteri dalam perkara ini tidak diperlukan lagi. Seperti yang
terdapat dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
berbunyi :
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
lagi bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterimya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan.
Bukti-bukti di atas selain sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juga sudah sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Di samping bukti-bukti
tertulis di atas, pemohon juga membawa 2 orang saksi yang masih ada
hubungan saudara dengan pemohon untuk dapat dimintai keterangannya
oleh Majelis Hakim.
70
Menurut penulis, persyaratan yang terdapat pada pasal 4 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 bersifat diskriminatif. Di dalamnya,
kelemahan isteri baik fisik maupun non fisik dijadikan alasan kebolehan
suami untuk berpoligami. Sehingga seolah-olah isteri hanya dianggap
sebagai ”pelayan” suami, yang ketika sudah tidak berfungsi lagi, maka
suami dapat mencari wanita lain untuk dapat melayaninya sesuai dengan
keinginannya. Tampak tidak manusiawi, terutama melihat dari sisi psikis
isteri yang mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
tersebut. Undang-Undang ini juga bisa menjadi faktor pendukung seseorang
untuk berpoligami yang merasa kondisi rumah tangganya memenuhi kriteria
persyaratan untuk bepoligami. Akan tetapi walau bagaimanapun Undang-
Undang ini sudah berusaha untuk meminimalisir ekses negatif atau mafsadat
pada praktek poligami demi terciptanya kemaslahatan bagi isteri, suami
maupun anak-anak.
Perlunya peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan ini dalam perspektif relasi yang lebih adil
antara laki-laki dan perempuan dan ditetapkannya suatu peraturan mengenai
sanksi terhadap pelaku poligami yang terbukti menimbulkan dampak negatif
dalam kehidupan rumah tangganya terutama terhadap isteri/ isteri-isteri dan
anak-anak.
Mengenai saksi, menurut penulis, Majelis Hakim lebih baik untuk
meminta juga keterangan dari orang-orang yang hidup dalam satu ruang
lingkup dengan pemohon, sehingga orang tersebut benar-benar telah melihat,
71
mendengar dan mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya secara
langsung. Seperti kesaksian dari anak-anak pemohon dan termohon yang
masih tinggal satu rumah atau siapa saja yang berada dalam rumah tersebut
agar dapat diperoleh pengetahuan tentang kondisi rumah tangga pemohon
dan termohon dengan jelas dan terang.
Di lingkungan Peradilan Agama, permohonan untuk beristeri lebih
dari seorang merupakan jenis perkara yang mempunyai produk Pengadilan
Agama berupa penetapan bukan dalam bentuk volunteria murni, sehingga
penetapannya harus dianggap putusan dan pemohon dan termohon harus
dianggap sebagai penggugat dan tergugat.6 Secara keseluruhan permohonan
pemohon untuk beristeri lebih dari seorang sudah sejalan dengan maksud
yang terdapat dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 jo pasal 40 dan pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975,
maka demikian Majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon dengan
amar putusan yang berbunyi:
1. Menyatakan termohon dipanggil dengan sepatutnya untuk menghadap di
persidangan, tidak hadir.
2. Mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek.
3. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi yang
kedua (poligami) dengan calon isteri yang bernama Dr. Prafithrie Avialita
Shanti binti Moh. Nasir Rahawi.
6 Roihan A, Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo,
2002), h.205
72
4. Membebankan pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp.
681.000,- (enam ratus delapan puluh satu ribu rupiah).
Putusan dibacakan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum,
sesuai dengan asas putusan. Karena pada prinsipnya pemeriksaan dan
putusan harus diucapkan secara terbuka, ketentuan ini terdapat dalam pasal
18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 sekarang dalam pasal 20 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi7:
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Untuk memperkuat penelitian ini, penulis juga telah melakukan
wawancara terhadap salah satu hakim Pengadilan Agama Jakarta timur yang
menangani langsung perkara ini.8 Dari hasil wawancara tersebut, dapat
diketahui bahwa gangguan jiwa yang dijadikan sebagai alasan oleh
pemohon untuk dapat menikah lagi memang tidak disebutkan secara tekstual
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan, tetapi di
sini hakim melakukan interpretasi terhadap apa yang dimaksud oleh pasal 4
ayat (2) point a yang menyatakan istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri. Dilihat dari kondisi istri yang pada saat itu
mengalami gangguan jiwa.
7 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet-7, h.804.
8 Lihat wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.
73
Hal-hal yang dijadikan pertimbangan oleh hakim tidak hanya berpaku
pada peraturan perundang-undangan, tetapi juga melihat dari sisi maslahat
dan mafsdat dari para pihak yang terkait. Seperti pada perkara ini yang
menjelaskan bahwa kehidupan suami yang sudah tidak normal lagi selama
kurang lebih sepuluh tahun terakhir karena isterinya mengidap penyakit
gangguan jiwa, sehingga tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya sebagai
isteri. Menurut Majelis Hakim agar kehidupan suami kembali normal,
terjaga dari perbuatan zina serta isteri tetap dalam pemeliharaan suami
terutama dalam proses kesembuhannya, sehingga menolak kemafsadatan di
sini yaitu dengan memelihara suami dari zina serta menarik kemaslahatan
yaitu dengan tetap terpeliharanya isteri yang pertama sebagai tanggung
jawab suami, maka Majelis Hakim menetapkan untuk mengabulkan
permohonan tersebut.
Penulis setuju dengan penetapan hakim yang mengabulkan
permohonan izin poligami tersebut, karena dengan berpoligami kehidupan
suami terselamatkan dan terpelihara dari perbuatan zina dan isteri pertama
juga tetap terlindungi hak-haknya karena masih menjadi isteri yang sah
sehingga pemeliharaan, perawatan dan perlindungan masih dalam tanggung
jawab suami. Sedangkan menurut fiqh, ketentuan poligami hanya
ditekankan pada keyakinan seorang muslim pada dirinya untuk bisa berlaku
adil diantara para isterinya dalam masalah makan, minum,
berpakaian,tempat tinggal, menginap dan nafkah, kecuali dalam masalah
hati, karena hati adalah diluar kendali manusia. Maka barang siapa yang
74
tidak yakin terhadap kemampuannya untuk memenuhi hak-hak tersebut
dengan adil maka diharamkan baginya untuk menikah lebih dari seorang,
juga kebolehan poligami terbatas hanya pada empat orang isteri.
seperti dalam Firman Allah SWT:
÷βÎ)uρ ÷Λä ø�Åz āωr& (#θ äÜÅ¡ø)è? ’ Îû 4‘uΚ≈ tGu‹ ø9$# (#θßsÅ3Ρ$$ sù $ tΒ z>$ sÛ Νä3s9 z ÏiΒ Ï !$ |¡ÏiΨ9$# 4 o_ ÷WtΒ
y]≈ n=èOuρ yì≈ t/â‘uρ ( ÷βÎ*sù óΟ çF ø�Åz āωr& (#θ ä9ω÷ès? ¸οy‰Ïn≡ uθ sù ÷ρr& $ tΒ ôMs3n=tΒ öΝä3ãΨ≈ yϑ÷ƒ r& 4 y7Ï9≡ sŒ
#’ oΤ÷Šr& āωr& (#θ ä9θ ãès? )٣ :النساء(
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3)
Poligami yang dibangun pemohon itu sangat wajar dan sesuai dengan
apa yang diimpikan tujuan berpoligami yaitu terciptanya ketenangan lahir
dan batin dalam suatu kehidupan rumah tangga. Meninjau kembali kepada
tujuan perkawinan dengan menunjang kebaikan harus selalu merupakan
tujuan utama. Di sini poligami sebagai jalan darurat dan pencegahan yang
penting untuk memelihara nilai-nilai kehidupan masyarakat serta
melindungi masyarakat dari kekacauan, maka dengan begitu terwujudlah
hikmah dari poligami yang mengandung kemaslahatan bagi para pihak yang
terkait.
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab
terdahulu, maka pada bab ini penulis akan menguraikan beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Pada perkara ini permohonan izin poligami sudah sejalan dengan
maksud yang terdapat dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 40 dan pasal 41
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
2. Poligami dalam fikih merupakan kebolehan yang bersyarat, yaitu
ditekankan pada syarat kemampuan untuk bersikap adil pada isteri-
isteri dan anak-anaknya serta terbatas pada empat orang isteri. Pada
kasus ini permohonan untuk poligami dianggap sudah sejalan
dengan ketentuan yang terdapat dalam fikih.
3. Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara selain
berpedoman pada peraturan perundangan-undangan, al-Qur’an dan
al-Hadits juga lebih memprioritaskan faktor maslahat dan
mafsadah para pihak dengan menjunjung tinggi asas keadilan.
76
B. SARAN
1. Perlu adanya peninjauan kembali pada ketentuan poligami yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan
dengan hak asasi manusia serta tidak juga memberi ruang yang
menyebabkan perilaku poligami tidak sehat dan menimbulkan dampak
negatif atau bahaya.
2. Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara permohonan untuk
berisiteri lebih dari seorang, hendaknya tidak hanya berpaku pada
perundang-undangan saja atau law in book, tapi juga harus
mempertimbangkan dari sisi maslahat dan mafsadah atau manfaat dan
bahaya dari kedua belah pihak yang berperkara.
3. Mengenai pengetahuan poligami, agar dapat dilaksanakan sesuai
Syariat dan lebih hati-hati dalam pelaksanaannya hendaknya
dimasukkan dalam kurikulum fikih Aliyah.
4. Perlu adanya sosialisasi melalui khutbah jum’at, ceramah subuh dan
pengajian sebagai media sosialisasai berkenaan dengan hukum
kekeluargaan yang ditujukan kepada masyarakat luas.
77
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Tafsirnya Aedy, Hasan, Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan, Bandung:
Alfabeta, 2007. Ahmad Jaiz, Hartono, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007. Al-‘asqalani, Bulughul Maram, Kairo: Dar al-Hadits, 2003. Al-Atthar, Abdul Natsir Taufiq, Polygamy dan Eksisistensinya, Bekasi: LIPP
Riyadhus Sholihin, 2004. Al-bukhari, Shohih Bukhori, Libanon: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2008. Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Al-Khalafi, Abdul ‘Azhim bin Badawi, Al-Wajiz, Ensiklopedi Fiqih Islam dalam
Al -Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, April 2006.
Al-Qozwi, Abdillah Muhammad bin Yazin Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
Beirut: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2004. Ardani, Tristiadi Ardi, Psikiatri Islam, Malang: UIN-MALANG, 2008. Arif, Iman Setiadi, Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien, Bandung:
PT. Rafika Aditama, 2006, cet-1. Ar-Rifai, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu
Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet-1. Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1999, cet.ke-5. Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Edisi ketiga, 2007.
78
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999, jilid I,
cet.ke-3. Fahmie , Ustad Ansori, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, Depok, Pustaka
Iman,2007Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, Jakarta: UI-Press, 1986.
Farhat, Karam Hilmi, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi,
Jakarta: Darul Haq, Februari 2007. Gangguan Jiwa (Mental Disorder),
http://medicblueprint.blogspot.com/2009/06/gangguan-jiwa-mental-disorder.html
Haikal, Abuttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah dalam Islam VS Monogami
Barat, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet-1. Harahap, M.Yahya, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, Medan: CV. Zahir Trading, 1975.
_______________, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, cet-7. Hasan, M.Ali, Pedoman Hidup berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada
Media, 2003, cet .ke-1. Hidayati, Henry Narendrany dan Yudiantoro, Andi, Psikologi Agama, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007. Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk dan
Hukum Kewarisan, Jakarta: Yayasan Ihya ‘Ulumuddin, 1971. Ibnu Saurah, Abi Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih,
Beirut: Dar- eL-Marefah, 2004. M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah
Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, h. 129.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2008, cet-2. Mujieb, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
79
Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: LKAJ-SP, 1999. Nevid, Jeffrey S, dkk, Psikologi abnormal, judul asli: Abnormal Psychology in a
Changing World, Alih bahasa: Tim Fakultas Psikologi UI, Jakarta: Erlangga, 2005, jilid 2.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.
Peran Keluarga Menangani Penderita Gangguan Jiwa,
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=30254. Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo,
2002. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 6, Bandung: PT.Alma’arif, cet.ke-20. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1976. Sanapiah, Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan
Aplikasinya, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003, cet. ke-6. Semiun, Yustinus, Kesehatan Mental 1, Yogyakarta: Kanisius, 2006. Shan’ani, Muhammad bin Ismail, Subulu al-Salam, al-Mausilah ila al-Maram min
Jami’adillah al-Hakam, Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008 , juz 6. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Ciputat: Lentera Hati, 2000, cet-1. Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997. Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Ciputat: el-
KAHFI, 2008, cet.ke-1. Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006.
_______________, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008, jilid 1, cet-3. Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media,
2000.
80
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bandung, Fokus Media, 2005.
Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, cet-1.
Wiramihardja, Sutardjo A, Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2005. Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
89
Pedoman Wawancara
Nama : Dra. Hj. Saniyah KH
Jabatan : Hakim
Hari/tanggal : Selasa, 13 April 2010
Waktu/tempat : 13.00, Ruang Meditasi
1) Pertanyaan : Pada perkara permohonan izin poligami yang masuk ke
PA JT, hal2 apa saja yang memicu suami ingin memiliki
isteri lebih dari satu?
Jawaban : Pada umumnya hal-hal yang memicu suami berpoligami
tidak jauh dari apa yang terdapat dalam UUP, yaitu isteri
tidak dapat menjalani kewajibannya sebagai isteri, isteri
mempunyai penyakit atau cacat badan, dan tidak dapat
melahirkan keturunan. Ditambah lagi misalnya
kebutuhan biologis suami yang tidak terpenuhi dan
menghindari dari dosa (berzina), tetapi yang paling
banyak adalah isteri tidak bisa melaksanakan
kewajibannya dengan berbagai macam alasan.
2) Pertanyaan : Pada putusan PA JT nomor 0284/Pdt.G/2008, hakim
mengabulkan permohonan izin poligami dikarenakan
isteri mengalami gangguan jiwa, padahal dalam Undang-
Undang tidak ditemukan gangguan jiwa sebagai alasan
dibolehkannya berpoligami. Bagaimana pertimbangan
hakim dalam memutuskan perkara tersebut? Dasar
90
hukum apa yang digunakan?
Jawaban : Pertimbangan ini merupakan interpretasi dari pasal 4
ayat (2) point (a) yaitu isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri. Dikarenakan kondisi isteri
yang telah mengalami gangguan jiwa, maka isteri tidak
mampu lagi menjalankan kewajibannya. Bagaimana bisa
ia mengurus suaminya sedangkan ia sendiri tidak
mampu mengurus dirinya sendiri. Disini yang diambil
adalah dari segi kemaslahatan.
3) Pertanyaan Menurut ibu, apakah ada perbedaan antara fikih dan
UUP dalam pengaturan perkawinan poligami ini?
Jawaban Sama saja, secara keseluruhan tidak ada yang berbeda
4) Pertanyaan Apakah izin poligami di Pengadilan Agama merupakan
syarat sahnya perkawinan selanjutnya?
Jawaban Perkawinan tersebut tetap sah, tetapi perkawinan
tersebut tidak mendapat perlidungan hukum, karena
pelaksanaannya tidak sesuai dengan UUP dan Kantor
Urusan Agama tidak akan menikahkan tanpa ada surat
izin poligami dari Pengadilan Agama.
5) Pertanyaan Sanksi apa yang dikenakan terhadap pelaku poligami
diluar izin Pengadilan Agama?
91
Jawaban Sanksi bagi pihak pelaku poligami diluar izin Pengadilan
Agamamaupun pegawai pencatat perkawian yang
mencatatkan perkawinan tersebut maka sesuai dengan
PP nomor 9 tahun 1975 Bab IX Ketentuan Pidana Pasal
45, yaitu denda setingi-tinginya Rp.7500,- atau dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan.
Atau sebagaimana yang terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 71 dan pasal 72 yaitu pihak yang
merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama.
6) Pertanyaan Menurut ibu apakah alasan-alasan kebolehan poligami
yang terdapat dalam UUP sudah mencakup alasan-alasan
poligami yang terjadi dalam masyarakat?
Jawaban Iya, terkecuali hal-hal lain yang menjadi pertimbangan
hakim untuk dapat dikabulkannya poligami, seperti
dikhawatirkan terjerumus dalam perzinahan atau suami
sudah terlanjur menghamili perempuan lain misalnya.
Dan hal-hal lain yang bersifat kasuistik, karena hakim
dalam memutuskan suatu perkara tidak terpaku pada
Undang-Undang saja, tetapi melihat maslahat dari setiap
kasus itu sendiri.