PANDANGAN IBNU KHALDUN
TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN
MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH
Disusun oleh:
Achmarul Hadi
NIM: 103033227806
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H. / 2009 M.
PANDANGAN IBNU KHALDUN
TENTANG PERGANTIAN KEKHILAFAHAN
MENJADI KERAJAAN DI MASA MUAWIYAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi
Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Achmarul Hadi
NIM: 103033227806
Di Bawah Bimbingan
Dr. Sirajuddin Aly, M.A.
NIP. 150 318 684
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H. / 2009 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata- 1 di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Demikian Lembar Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
penuh tanggung jawab.
Jakarta, 27 April 2009
(Achmarul Hadi).
KATA PENGANTAR
�� ا������ ا� ا��
Tidak ada yang paling mulia yang harus didahulukan kecuali ucapan
syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang mengatur seluruh makhluk-Nya.
Berkat kekuatan dari-Nya, akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah saw,
keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi
persyaratan untuk mencapai gelar sarjana strata satu (S1) pada Jurusan Pemukiran
Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari sempurna,
karena berbagai keterbatasan yang ada. Akan Tetapi, dengan adanya arahan,
bantuan, bimbingan dan dukungan, baik moril maupun materil dari berbagai
pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada :
1. Dr. H. M. Amin Nurdin, M.A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat serta segaenap dosen yang telah membimbing penulis selama
menempuh pendidikan.
2. Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan Pemikiran Politik
Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku sekretaris Jurusan,
yang tanpa lelah mendedikasikan diri demi eksisnya Jurusan ini.
3. Dr. Sirojudin Aly, M.A., selaku pembimbing penulis , yang dengan
penuh kesabaran menbimbing penulis, mengarahkan, memberikan
masukan, hingga selesainya skripsi ini.
4. Kepala dan seluruh staf Perpustakan Utama dan Perpustakaan
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan
Imam Jama' Lebak Bulus yang telah memberikan pelayanan dan
input data.
5. Umak dan Ba yang senantiasa sabar membimbing dan mendoakan
penulis, begitu juga Kak Zul, Kak Fran, Hendri dan Sukma yang
selalu memberikan dukungan.
6. Istriku tercinta Nur Jannah yang senantiasa memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan tugas akhir ini, serta tidak lupa putriku tercinta
Kaysa Qathrunnada yang memacu semangat Abi untuk bisa segera
menyelesaikan kuliah.
7. Ustadz Abdul Aziz Abdur Rouf, Lc., serta seluruh rekan-rekan di
Markaz Al Qur'an
8. Ustadz Awwaludin Al Hafizh, serta rekan-rekan di Ma'had Utsman
bin Affan.
9. Seluruh rekan-rekan di KOMDAK Ushuluddin yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, Jazakumullah Khairul Jazaa…..
Jakarta, 27 April 2009
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………….................. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….iv
TRANSLITERASI ARAB-LATIN………………………………………….vi
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………1
A. Latar Belakang………………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………… 4
C. Tujuan Penelitian………………………………………………... 5
D. Metode Penelitian………………………………………………. 5
E. Sistematika Penulisan…………………………………………… 6
BAB II. RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN………………………….. 8
A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Studi……………………...8
B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di
Maghribi dan Andalusia…………………………………………10
C. Masa Penulisan Karya Ilmiah……………………………………17
D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun………………………… 19
E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun………………………………… 21
BAB III. PANDANGAN IBNU KHALDUN TENTANG BENTUK
PEMERINTAHAN KHILAFAH................................................................... 23
A. Arti Khilafah……………………………………………………..23
B. Fungsi Khalifah………………………………………………….27
C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah…………..32
D. Gelar Amǐr al-Mu’minǐn Sebagai Ciri Khilafah........................... 36
BAB IV. PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN.... 41
A. Latar Belakang Perubahan Sistem Pemerintahan Dari Khilafah ke
Kerajaan.........................................................................................41
B. Pola Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Kerajaan........ 56
C. Faktor Pengangkatan Yazid Sebagai Putera Mahkota setelah
Muawiyah..................................................................................... 58
D. Substansi Kekhalifahan Era Muawiyah........................................ 60
BAB V. PENUTUP...........................................................................................69
A. Kesimpulan.................................................................................. .69
B. Saran..............................................................................................71
Daftar Pustaka
Tranliterasi Arab-Latin
a ا dz ذ zh ظ n ن
b ب r ع ' ر h
t ت z ز gh غ w و
ts ث s س f ء ' ف
j ج sy ش q ق
h ح sh ص k ك
kh خ dh ض l ل
d د th ط m م
a panjang = â
i panjang = î
u panjang = û
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani pada tahun 1922 dan digantikan
dengan Republik Turki setidaknya menyisakan sejarah panjang perjuangan
masyarakat muslim dalam menggapai kedaulatan negara mereka masing-masing.
Di antara perjuangan itu ada yang mencetuskan ide kembali kepada kedaulatan
Islam yang absolut yakni kembali kepada sistem Khilafah. Hal ini dianggap
penting karena dengan berdirinya Khilafah, maka penerapan hukum-hukum Islam
bisa dianggap lebih efektif dan mudah diaplikasikan secara menyeluruh.
Beberapa gerakan yang muncul untuk mendukung gagasan tersebut di atas
dapat ditemukan hingga dewasa ini. Sebagai contoh gerakan Hizb Al-Tahrir yang
didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani pada tahun 1952 lebih memfokuskan
da'wahnya kepada keharusan mengembalikan Khilafah Islamiyah. Begitu juga
dengan tokoh Abu al-A'la al-Maududi yang mendirikan Jama'at Islami di Anak
Benua India-Pakistan pada tahun 1941. beliau benar-benar memfokuskan
aktifitasnya untuk menegakkan syari'at Islam dan menerapkannya dalam
kehidupan nyata.
Terlepas permasalahan di atas, penulis berpikir bagaimanakah kedudukan
kekuasaan-kekuasaan Muslim pasca Khulafâ al-Rasyidûn seperti Dinasti
Umayyah, Abbasiyah, dan seterusnya. Apakah kekuasaan mereka dapat
dimasukkan dalam kategori pemerintahan khilafah?. Apakah kekuasaan setelah itu
dapat dikategorikan ke dalam sistem kerajaan sebagaimana layaknya kekuasaan
Bani Umayyah yang merupakan pelopor pertama terjadinya pergeseran sistem
kekhilafahan menjadi kerajaan?. Dalam hal ini penulis sendiri memahami adanya
pergeseran sistem kekhilafahan menjadi kerajaan yang telah dimulai sejak awal
pemerintahan Dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Muawiyah. Oleh karena
itu pembahasan mengenai pergantian kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa
Muawiyah tersebut akan menjadi telaah khusus dalam penulisan skripsi ini.
Meskipun kajian ini merupakan Kajian ulang (literatur review) dari
berbagai kajian ilmiah yang seringkali diulas baik oleh pengamat terdahulu
maupun yang kontemporer. Di antara tulisan tersebut adalah sebagai berikut, Al-
Mawardi mengulasnya dalam karyanya Al-Ahkam Al-Sulthâniyah. Al-Mawdudi
tampil dengan karyanya Al-Khilafah wa Al-Mulk, Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris mengulasnya dalam al-Nizham al-Siyasi fĭ al- Islâm, dan telah
diterjemahkan dengan judul Sistem Politik Islam, secara khusus ia pun
menjelaskan permasalahan tentang kedudukan putera mahkota (wilayatu al-
ahhdi), dalam tulisannya tersebut beliau mengkritik pandangan Abu Ya’la al-
Farra dan Ibnu Khaldun yang lebih lunak dalam memandang kebolehan putera
mahkota untuk memegang kedaulatan khilafah. Dan terakhir tampil penulis
kontemporer yakni Yusuf al-Qardhawi yang mengkritik tentang beragam distorsi
penulisan sejarah Islam. pandangan tersebut beliau rangkai dalam tulisannya yang
berjudul Tarikhuna al-muftara ‘Alaih dan telah diterjemahkan dengan judul
Meluruskan Sejarah Islam, Akan tetapi dalam tulisan ini penulis memilih untuk
mengetahui pembahasan tersebut dari sudut pandang seorang tokoh muslim
terkemuka yakni Ibnu Khaldun. Hal ini disebabkan kemajuan intelektual beliau
khususnya dalam kajian sosial politik yang terdokumentasikan dalam magnum
opusnya yakni Muqaddimah.
Tidaklah berlebihan ketika menyebut Ibnu Khaldun sebagai bapak peletak
dasar ilmu sosial politik dan filsafat. ia memetakan masyarakat dengan interaksi
sosial, politik, dan geografi yang melingkupinya. Pendekatan ini dianggap
menjadi terobosan yang sangat signifikan.1
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pandangan-pandangan Ibnu
Khaldun mengenai bentuk pemerintahan Khilafah. Secara luas beliau pun
mendefinisikan akan arti khilafah, syarat-syarat khilafah, fungsi jabatan
keagamaan khilafah, dan gelar Amĭr al-Mu'Minĭn sebagai ciri khilafah.
Ibnu Khaldun menelaah tentang pergantian khilafah menjadi monarki pada
masa Muawiyah tentunya dengan pandangan ilmiah. Di antara pandangannya
yang akan penulis analisa adalah, pertama, pandangannya mengenai sebab-sebab
perselisihan Ali dan Muawiyah yang menjadi titik tolak pertama terjadinya
perubahan sistem khilafah. Kedua, prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan
Muawiyah yang menjadi pendorong utama lahirnya sistem monarki. Ketiga,
substansi kekhalifahan pada masa Muawiyah dan para pengganti-penggantinya.
Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya pergantian kekhilafahan
menjadi kerajaan sejak zaman Muawiyah, penulis berharap bisa menilai secara
proporsional dan tidak berusaha mendiskreditkan salah satu pihak. Sebagaimana
telah diketahui bahwa Muawiyah termasuk salah satu sahabat Nabi Muhammad,
1 Republika, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, (Jakarta: Republika, 2002)
h.119
di samping juga kapasitasnya sebagai salah seorang pejuang dalam penaklukan
Negeri Syam.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Ibnu Khaldun terkenal lebih moderat dalam menyikapi perselisihan antara
Muawiayah dan Ali, namun ia tetap berupaya mengkritisi berbagai permasalahn
yang timbul pada saat keduanya berseteru dalam mempermasalahkan siapa yang
berhak dalam memegang jabatan khilafah. Dengan tidak mengahakimi salah satu
di antara keduanya, pandangan Ibnu Khaldun menjadi daya tarik penulis untuk
mengungkap lebih jauh dasar-dasar perpecahan yang timbul pada masa peralihan
kekuasan dari khalifah Ali ke tangan Muawiyah.
Untuk mengetahui permasalahan di atas penulis berupaya merumuskan
berbagai batasan masalah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Di sini
penulis membatasi permasalahan kepada inti pandangan Ibnu Khaldun mengenai
pergantian bentuk kekhilafahan dari masa Khulafâ al-Rasyidûn menjadi kerajaan
pada masa pemerintahan Muawiyah.
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
tersebut sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian
kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah?
b. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, Apakah sebenatrnya landasan utama
yang menyebabkan bergesernya kekhilafahan menjadi kerajaan pada
masa Muawiyah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penulisan tugas akhir ini dibuat untuk mengetahui pandangan Ibnu
Khaldun mengenai pemerintahan khilafah pasca Nabi Muhammad, dan sebab-
sebab terjadinya pergeseran bentuk kekhilafahan menjadi kerajaan pada masa
Muawiyah.
Tujuan Khusus
Penulisan tugas akhir (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi persyaratan
dalam upaya memperoleh gelar akademis setingkat strata satu (S 1) untuk jurusan
Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini sepenuhnya dikumpulkan melalui riset kepustakaan
(library research). Adapun sumber primernya yakni buku Muqaddimah karya
Ibnu Khaldun, sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku yang bisa
melengkapi pembahasan di atas.
Mengenai metode penulisan yang digunakan adalah metode deskripsi
analisa yaitu dengan cara mendeskripsikan berbagai pandangan Ibnu Khaldun
mengenai pergantian kekhalifahan menjadi kerajaan pada masa Muawiyah,
selanjutnya penulis akan menganalisa pandangan-pandangan tersebut dengan
kritis dan obyektif.
Dari sisi teknis penulisan, skripsi ini mengikuti aturan yang diatur dalam
buku Pedoman Penulisan karya ilmiah Skripsi, Tesis, Disertasi, Ceqda
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2003-2004.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya
dijelaskan sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan yang di dalamnya akan dibahas tentang latar
belakang, perumusan, pembatasan masalah, maksud dan tujuan, metode
pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
BAB II. Riwayat Ibnu Khaldun. Pada bab ini akan dijelaskan sejarah
kelahiran Ibnu Khaldun, aktifitas politiknya, masa penulisannya, serta jasa-jasa
besarnya terhadap ilmu pengetahuan.
BAB III. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai bentuk pemerintahan
khilafah. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai arti khilafah, syarat-syarat
khilafah, fungsi jabatan khilafah, dan gelar Amĭr al- Mu'minĭn sebagai ciri
khilafah.
BAB IV. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai pergantian kekhalifahan
menjadi kerajaan pada masa Muawiyah. Fokus kajian dalam bab ini adalah
mengenai pandangan Ibnu Khaldun terhadap sebab-sebab perselisihan Ali dan
Muawiyah yang menjadi latar belakang terciptanya perubahan sistem
pemerintahan, begitu juga mengenai pola pengangkatan kepala negara yang
mengedepankan prinsip al-Ashabiyah dalam pemerintahan Muawiyah, faktor
pengangkatan Yazid menjadi putera mahkota, dan terakhir yakni pembahasan
tentang substansi kekhalifahan era Muawiyah
BAB V. Pada bab akhir ini, penulis akan menyimpulkan beberapa
kesimpulan dari tema-tema yang telah dibahas sebelumny
BAB II
RIWAYAT HIDUP IBNU KHALDUN
A. Masa Kelahiran, Perkembangan, dan Pendidikan
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Hasan ibn Jabir Ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd al-Rahman
ibn Khaldun, lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada tahun 732 H atau 1332 M. Asal
keluarga Ibnu Khaldun yang sesungguhnya dari Hadramaut, Yaman Selatan.
Adapun nama Ibnu Khaldun diambil dari nama kakeknya yang kesembilan,
Khalid ibn Utsman. Khalid terkenal dengan panggilan Khaldun disebabkan
kebiasaan yang berlaku bagi penduduk Andalusia dan Afrika Barat Laut waktu
itu, yakni penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan
penghargaan kepada keluarga penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi
Khaldun.2
Afrika Utara, tanah kelahiran Ibnu Khaldun, pada abad ke-14 ditandai oleh
kemandegan pemikiran, kemudian kekacauan politik. Kekuasaaan Muslim Arab
telah jatuh sehingga banyak negara bagian melepaskan diri dari pemerintahan
pusat. saat itu pertentangan, intrik, perpecahan, dan kericuhan meluas dalam
kehidupan politik, dan setiap orang berusaha meraih kekuasaan.3
Meskipun dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekacauan
politik, namun Ibnu Khaldun tetap leluasa memperoleh ilmu pengetahuan, hal itu
disebabkan Tunisia menjadi pusat hijrah ulama Andalusia yang mengalami
kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Kehadiran mereka bersamaan dengan
2 Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, ( Jakarta: Universitas Indonesia, 1990 ) h. 90.
3 Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, ( Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1989) h. 9
naiknya Abu al-Hasan, pemimpin Bani Marin (1347). Dengan demikian Ibnu
Khaldun mendapat kesempatan belajar dari para ulama tersebut.4 Hal ini dapat
dilihat dari kecerdasannya dalam menguasai beberapa disiplin ilmu baik
pendidikan agama, bahasa, puisi, logika, dan filsafat. Menurut Munawir Sjadzali,
guru pertama yang mengajarkan Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar
membaca dan menghafal al- Qurân serta fasih dalam qiraah sab’ah. Perhatiannya
seimbang dan merata dalam mata pelajaran Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Gramatika
bahasa Arab yang dipelajarinya dari guru yang terkenal di Tunisia.5
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa penyerangan dan pendudukan Banu
Marin terhadap Tunisia tahun 1347 telah mengakibatkan berpindahnya sejumlah
besar ulama-ulama terkenal ke sana sebagai pengikut-pengikut raja Abu al-Hasan.
Ibnu Khaldun waktu itu sudah meningkat dewasa, dan dari para ulama-ulama
tersebutlah Ibnu Khaldun mengalami pertumbuhan intellegensia yang sangat
pesat. Akan tetapi, studinya tiba-tiba berhenti akibat berjangkitnya wabah
penyakit yang berkecamuk di Tunis pada 749 H/1348 M. Ada yang menyebutnya
penyakit Pes atau Kolera, dan penyakit inilah yang banyak merenggut ribuan
nyawa termasuk para guru besarnya Ibnu Khaldun dan kedua orangtuanya.
Akibatnya lebih jauh, penguasa bersama ulama hijrah ke Maghribi Jauh (Maroko)
pada 750 H/1349 M. Maka tinggalah ia dewasa itu di bawah pimpinan abangnya
yang bernama Muhaammad yang kini bertindak sebagai kepala keluarga Ibnu
Khaldun.6
4 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005) Jilid 3, h. 81
5 Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 90
6 Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978) h. 19.
Akibat seringnya terjadi pertukaran-pertukaran kekuasaan di Afrika Utara
serta menurunnya kehidupan intelektualisme, maka pada tahun 1354 M Ibnu
Khaldun memutuskan untuk meninggalkan Tunisia dan pergi ke Fez. Dan di
Fezlah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan tingginya melalui para ulama
yang dewasa itu berada di sana, yaitu:
1. Syekh Muhammad ibn Al-Shaffar
2. Syekh Muhammad ibn Muhammad al Maqqari
3. Syekh Muhammad ibn Ahmad al ‘Alwi
4. Syekh Muhammad ibn Abd al Salam
5. Syekh Muhammad ibn Abd al Razaq
6. Syekh Muhammad ibn al Khaththib
7. Syekh Ibrahim ibn Zarrar, dan
8. Syekh Abu al Barakat Muhammad al Ballafiqi7
B. Masa Bertugas di Pemerintahan dan Terjun ke Dunia Politik di Maghribi dan
Andalusia
Dua peristiwa penting yang mengantarkan Ibnu Khaldun berhenti
menuntut ilmu. Pertama, berkecamuknya wabah kolera di banyak bagian dunia
tahun 749 H, yang telah banyak merenggut jiwa, di antaranya ayah dan ibu Ibnu
Khaldun dan sebagian besar guru-gurunya. Kedua, akibat dari musibah tersebut,
banyak ilmuwan dan budayawan yang selamat dari wabah itu pada tahun 750 H
berbondong-bondong meninggalkan Tunisia pindah ke Afrika Barat Laut. Dengan
7 Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, h. 20
terjadinya dua peristiwa tersebut akhirnya Ibnu Khaldun terpaksa berhenti belajar
dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam
pemerintahan dan peran dalam percaturan politik.8
Dalam suasana penuh pertikaian dan perseteruan antara Imperium Arab
dewasa itu, Ibnu Khadun telah banyak menyaksikan peristiwa-peristiwa besar
tentang sejarah kemunduran imperium muslim. Politik yang disaksikannya adalah
politik adu kekuatan, dan tidak memperdulikan bingkai moral yang terus diinjak-
injak. dinasti-dinasti kecil bersaing satu sama lain sebagai pertanda membusuknya
Imperium Arab Muslim di Afrika Utara. Pengalaman terusirnya umat Islam dari
Spanyol yang sebelumnya mereka kuasai selama tujuh abad sudah tidak lagi dapat
mengajar mereka untuk berhenti berkelahi.9 Waktu itu Afrika Utara dan Andalusia
memang banyak diguncang peperangan. Dinasti al-Muwahhidun sejak permulaan
abad ke-5 H telah mendekati kehancurannya. Dari dinasti besar ini muncul banyak
dinasti dengan negara dan wilayah kekuasaan kecil. Dinasti yang terkenal di
antaranya adalah Dinasti Hafs di Maghribi Dekat (Tunisia). Dan dalam usia 21
tahun bertepatan tahun 751 H/1350 M, Ibnu Khaldun diangkat sebagai sekretaris
sultan Dinasti Hafs, al Fadl . tetapi ia berhenti dari jabatannya karena penguasa
yang didukungnya kalah dalam suatu pertempuran pada tahun 753 H/1352 M.10
Ibnu Khaldun melarikan diri, dan bertemu dengan Sultan Abu Inan di Tilmizan
berasal dari keturunan Bani Marin. Jabatan pemerintahan pertama yang cukup
berarti baginya adalah keanggotaannya dalam majelis ilmu pengetahuan Sultan
8 Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 91
9Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996) h.13. 10 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005) Jilid 3, h. 81
Abu Inan di ibu kota negara itu, Fez. Kemudian ia diangkat sebagai salah satu
sekretaris Sultan dengan tugas mencatat semua keputusan Sultan terkait dengan
permohonan-permohonan rakyat, dan dokumen-dokumen penting lainnya. Ibnu
Khaldun mengaku menerima jabatan tersebut dengan setengah hati sebab dia
menganggap sebagai kerja rendahan, dan tidak seorang pun leluhurnya yang
melakukan pekerjaan serendah itu.11
Dengan dorongan untuk menjadi orang besar dan disegani, Ibnu Khaldun
diketahui pernah melakukan kerja sama serta membantu Amir Abu Abdullah
Muhammad untuk menggulingkan Sultan Abu Inan, dengan syarat kalau usaha itu
berhasil dia diangkat sebagai perdana menteri. Usaha tersebut ternyata diketahui
oleh sultan, maka Ibnu Khaldun akhirnya terpaksa mendekam di penjara selama
21 bulan, dan baru dibebaskan setelah sultan wafat dan kekuasaan negara
dipegang Perdana Menteri Hasan bin Umar, dan ia dikembalikan kepada
jabatannya yang lama. Ibnu Khaldun mengabdikan dirinya kepada pemerintahan
Bani Marin di Fez selama delapan tahun, melayani tiga sultan dan dua perdana
menteri, yakni Sultan Abu Inan, Perdana Menteri Hasan bin Umar, Sultan Mansur
bin Sulaiman, Sultan Abu Salim dan Perdana Menteri Umar bin Abdullah. Pada
masa Abu Salim kedudukan Ibnu Khaldun direhabilitasi pada berbagai posisi
penting kerajaan. Semula dia diangkat sebagai sekretaris negara, kemudian
sebagai peradilan mazhalim, yang khusus menangani pengaduan terhadap negara
atau pejabat negara dan tindak pidana yang tidak tercakup dalam hukum
11 Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, h.10
Islam.12
Namun keadaan seperti itu tidak bertahan lama. Iklim politik yang penuh
intrik telah menyebabkan terbunuhnya Sultan Abu Salim pada 1361 M dalam
suatu pemberontakan sipil dan militer. Dalam suasana politik yang tidak menentu
itulah akhirnya Ibnu Khaldun berangkat ke Spanyol (Andalusia) dan sampai di
Granada pada 26 desember 1362 M.13
Granada adalah satu-satunya negara muslim yang pada waktu itu masih
tersisa di semenanjung Iberia di bawah pemerintahan Sultan Muhammad V
dibantu oleh perdana menterinya, Ibnu khatib. sementara yang lain sudah jatuh ke
tangan penguasa Kristen. Ibnu Khaldun telah menjalin persahabatan yang cukup
lama dengan penguasa Granada. Mengingat betapa besar bantuan Ibnu Khaldun
kepada Sultan Muhammad dan perdana menterinya ketika mereka berada di Fez
sebagai buronan. Sultan Muhammad V memberikan pelayanan sangat baik kepada
Ibnu Khaldun.14 Demikian tingginya penghargaan raja kepada Ibnu Khaldun
dibuktikan dengan pengutusannya pada tahun 1364 sebagai duta ke istana Raja
Pedro El Cruel, raja Kristen Castilla di Seville. Tujuan dari pengutusan tersebut
adalah untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan Seville.
Adapun Raja Pedro El Cruel merasa terkesan dengan kinerja diplomatik Ibnu
Khaldun hingga ia pun dibujuk untuk berpihak kepadanya dengan janji akan
menyerahkan kembali kepadanya harta nenek moyangnya yang ada di Seville.
Adapun Seville mempunyai makna tersendiri bagi Ibnu Khaldun, sebab di kota
inilah nenek moyangnya tinggal selama berabad-abad. Namun Ibnu Khaldun
12
Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 92 13
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat h.14 13
Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 80 14 Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, h.10
menolak bujukan itu, sekalipun ia sempat menyaksikan monumen-monumen
kebesaran peninggalan nenek moyangnya.15
Meskipun di Andalusia Ibnu Khaldun pernah mendapat kepercayaan
khusus dari Sultan Muhammad. Namun hal itu tidak berlangsung lama disebabkan
timbulnya ketegangan antara dia dan Ibnu Khatib yang merasa khawatir atas
kedekatan Ibnu Khaldun dengan sang penguasa. Belum cukup dua setengah tahun
berada di Granada, Ibnu Khaldun menerima undangan dari Pangeran Abu
Abdillah Muhammad penguasa Bani Hafs, yang dahulu pernah dipenjarakan
bersama di Fez. Kemudian ia menjadikannya sebagai perdana menteri dan pada
waktu yang sama juga sebagai khatîb dan guru. namun, setahun kemudian Sultan
Abu Abbas Ahmad, saudara sepupu atau anak paman Pangeran Abu Abdillah,
penguasa di Konstantin berambisi untuk menaklukkan dan menguasai seluruh
Tunisia, termasuk keamiran Abu Abdillah. Pangeran Abu Abdillah pun akhirnya
terbunuh ketika pasukan Abu Abbas menyerbu ke Buqi, dan keamiran itu jatuh ke
tangan Abu Abbas. Untuk beberapa lama, Ibnu Khaldun menduduki jabatan yang
sama pada masa kekuasan Abu Abbas yaitu sebagai perdana menteri. Tetapi
kemudian Abu Abbas menyangsikan loyalitas Ibnu Khaldun. Sadar akan situasi
yang kurang menyenangkan dia mohon izin untuk pindah ke luar Buqi, tetapi Abu
Abbas bahkan memerintahkan untuk menangkap Ibnu Khaldun. Dia beruntung
berhasil melarikan diri ke keamiran Baskarah (Biskra), dan Abu Abbas hanya
15 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat.h.14-15.
berhasil menangkap adiknya Yahya, dan membuangnya ke pengasingan di salah
satu kota pantai di Aljazair.16
Dari Baskarah Ibnu Khaldun berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan
Tilmisan (Tlemcen) dari Bani Abdil Wad. Dia adalah menantu Pangeran Abu
Abdillah dari Buqi yang terbunuh.untuk sekian kalinya Ibnu Khaldun ditawari
kedudukan sebagai perdana menteri. Namun, tawaran tersebut ditolaknya dengan
alasan bahwa ia ingin melanjutkan studinya secara autodidak, tetapi ia bersedia
memberikan dukungan terhadap sultan dengan mengajak suku-suku di wilayah itu
untuk mendukung rencanya merebut Buqi. Ia juga berusaha membentuk
persekutuan antara Abu Hammu dan Pangeran Ishak, saudara Abu Abbas yang
sangat jelek hubungannya dengan dia. Tetapi serangan tentara Abu Hammu dapat
dipatahkan. Sementara itu Sultan Abdul Aziz dari dinasti Bani Marin, yang
berpusat di Fez, berambisi merebut wilayah Bani Abdul wad. Akhirnya Abu
Hammu melarikan diri.17 Tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz, Ibnu
Khaldun beralih berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Namun
dalam waktu singkat, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Maka Ibnu Khaldun
menyelamatkan diri ke Fez pada 774 H/1372 M.18
Setelah sampai di Fez, ternyata suasana di kota itu tidak sebagaimana yang
diharapkannya. Situasi politik sangat tidak menentu, dan para penguasa
tampaknya telah kehilangan kepercayaan kepada Ibnu Khaldun. Sadar bahwa ia
kurang disukai, maka ia pun akhirnya keluar dari Fez dan menetap di Granada,
16
Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 94 17
Ibid. 18 Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 81
Andalusia. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun Untuk
meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke wilayah Afrika Barat Laut.
Setelah meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika, akhirnya ia
“terdampar” di pelabuhan Hanin. Adiknya Yahya yang pernah diasingkan pada
masa Abu Abbas, telah kembali mengabdi kepada Abu Hammu. Meskipun
awalnya Abu Hammu belum bisa menerima kedatangan Ibnu Khaldun, namun
berkat bantuan dan jaminan seorang sahabat lama, muhammad bin Arif, tokoh
dari Bani Arif, akhirnya Ibnu Khaldun mendapat pengampunan dari Abu Hammu
dan diizinkan datang ke Tilmisan. Atas permintaan pemuka-pemuka Bani arif
terhadap Abu Hammu agar memperkenankan Ibnu Khaldun menetap bersama
mereka, maka Ibnu Khaldun telah meninggalkan keramaian dan petualangan
politik hampir empat tahun lamanya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak
terjun lagi dalam dunia politik. Akhirnya ia menyepi di Qal’at Ibnu Salamah dan
menetap sampai 780 H/1378 M, dan disanalah untuk pertama kalinya ia
melakukan penelitian dan kajian ilmiah serta berhasil menulis karya
monumentalnya Muqoddimah, yang merupakan jilid pertama dari buku al-‘Ibar
wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-
Barbar. Terbitan Cairo 1284 H.19
Disebabkan kurangnya rujukan yang tersedia di tempat pengasingannya,
maka Ibnu Khaldun terpaksa kemabali ke Tunisia yang memiliki perpustakaan
lengkap. Pada saat itu Tunisia masih di bawah pemerintahan Abu Abbas. Untuk
meluluhkan hati Abu Abbas ia pun menulis surat yang cukup mengharukan. Ibnu
19
Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 81
Khaldun menjelaskan alasan-alasannya mendukung pihak oposan terhadap
pemerintahannya dan memohon maaf serta meminta izin agar dapat kembali ke
Tunisia untuk mengadakan beberapa penelitian. Sultan mengizinkannya. Di
samping itu, sultan pernah menyuruhnya untuk menyertainya dalam suatu
ekspedisi militer dalam rangka menumpas beberapa pemberontakan. Ibnu
Khaldun tidak menyukai tugas yang berbahaya ini, dan memutuskan untuk pergi
menunaikan ibadah haji.20
Setelah berangkatnya Ibnu Khaldun meninggalkan
Tunisia dan berlayar menuju Alexandria, Mesir, pada tahun 784 H/ 1382 M ,
maka berakhir pulalah karier politiknya di Afrika Barat Laut yang penuh
petualangan dan tantangan. Sejak itu ia tidak pernah kembali lagi ke kawasan
tersebut.
C. Masa Penulisan Karya Ilmiah
Sebagai dijelaskan sebelumnya bahwa ketika Fez jatuh ke tangan Sultan
Abu Abbas Ahmad (776 H / 1374 M), Ibnu Khaldun pergi ke Granada untuk
kedua kalinya. Tetapi Sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun
untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara.
Sesampainya di Tilmisan, Ibnu Khaldun tetap diterima Abu Hammu,
meskipun ia pernah mengkhianatinya setelah beralih dukungan kepada Sultan
Abdul Aziz dari Bani Marin. Ibnu Khaldun akhirnya benar-benar meninggalkan
panggung politik. Atas dukungan Banu Arif yang memberikan perlindungan
terhadapnya ia pun menetap di istana Qal’at Ibnu Salamah selama empat tahun
20 Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, h.12
dan menghasilkan karya monumental Muqoddimah. Akan tetapi karena kurangnya
bahan rujukan untuk menyelesaikan penelitian tersebut, dia terpaksa kembali ke
Tunisia yang memiliki perpustakaan yang lengkap. Naskah bersih Muqoddimah
ditulis untuk pertama kalinya di Tunisia, dan satu di antara naskah tersebut,
bersama dengan jilid-jilid lain dari Al-Ibar dipersembahkan kepada Sultan
Tunisia, Abu Abbas. Setelah berada di Kairo buku itu ditambah dan
disempurnakan. Kemudian disiapkan dua naskah, satu dipersembahkan kepada
Sultan Mesir, Dzahir Barquq, dan satu lagi kepada Sultan Abdul Aziz di Fez.
Karya tulisnya yang lain adalah Al-Ta’rif yang semula merupakan lampiran dari
Al-Ibar .21
pada tahun 784 H/1382 M ia berangkat ke Iskandariyah (Mesir) dengan
maksud menghindari kekacauan dunia politik di Maghribi. Setelah sebulan di
Iskandariyah, ia pergi ke Kairo.
Tidak berapa lama di Kairo, dengan kecerdasan yang ia miliki, maka tidak
heran kemudian masyarakat Mesir menerimanya dengan suka cita. Pada tahun 784
H / 1384 M raja menunjuknya menjadi dosen dalam ilmu Fiqih Mazhab Maliki di
Madrasah Qamhiyah. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai ketua pengadilan
kerajaan. Tetapi setahun kemudian, keluarganya mendapat musibah. Kapal yang
membawa istri, anak-anak, dan harta bendanya tenggelam tatkala merapat ke
Iskandariyah. Ia mengundurkan diri, namun raja kemudian kembali
mengangkatnya sebagai dosen di beberapa madrasah. Pada tahun 749 H/1387 M
ia pergi menunaikan haji. Pada 801H/1399 M ia kembali diangkat sebagai ketua
pengadilan dan pergi ke Baitulmaqdia (Yerusalem). Tiga bulan setelah itu
21 Munawir Sjadzali, Islam dan Politik, h. 98
ia,mengundurkan diri.dan pada 803 H/1401 M ia ikut menemani sultan ke
Damascus dalam satu pasukan untuk menahan serangan Timur Lenk, penguasa
Mughal.setelah kembali ke kairo, ia kembali ditunjuk menduduki jabatan ketua
pengadilan kerajaan, dan tetap dalam jabatan itu hingga akhir hayatnya. 22
Ibnu Khaldun dianggap sebagai penganut teori siklus sejarah disebabkan
pandangannya bahwa masyarakat lahir, tumbuh, berkembang, lalu mati untuk
diganti dengan yang lain. Adapun formasi masyarakat yang dia maksud
salahsatunya adalah adanya hasrat manusia untuk berkumpul, bersaing, lalu
memperebutkan kepemimpinan. Mereka diikat dengan solidaritas ashabiyah yang
diarahkan oleh para pemimpinnya.23
D. Jasa-Jasa dan Kebesaran Ibnu Khaldun
Dalam sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu
sosial dan politik Islam. Bahkan lebih dari itu beliau juga dikenal sebagai
sejarahwan, sastrawan, ahli hukum, dan ahli filsafat. Adapun kedudukannya
sebagai filsuf dalam arti profesional hampir hilang disebabkan kemasyhurannya
sebagai seorang sosiolog dan teoritikus sejarah. Kendati demikian, Ibnu Khaldun
adalah seorang pemikir yang teguh beriman kepada ajaran Islam. Hal ini dapat
dilihat dalam berbagai karyanya seperti buku Muqaddimah, dapat ditemukan
bahwa pada setiap pasal ia senantiasa memuji Allah serta menukilkan beberapa
ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan pokok pembahasan, dan pada setiap penutup
pasal selalu disudahi dengan do'a atau ayat-ayat Al-Qur'an, kadang pendek dan
22
Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 82 23
Republika, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, (Jakarta: Republika, 2002)
h.121.
adakalnya panjang. Begitupun ia senantiasa mengulas beberapa hadits Nabi
Muhammad, hal ini tentunya menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun memiliki
pemahaman agama yang mendalam.
Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar dan
ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan yang taat,
dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran, bahkan Ali Audah
menyebutnya sebagai seorang filsuf sosiologi dan sejarah, Dia seorang intelek,
pemikir dan ulama yang telah memberikan saham besar dalam sejarah
intelektualism dan kemanusiaan.24
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa antara politik dan kebudayaan tidak
dapat dipisahkan, dan masyarakat dibedakan antara masyarakat desa (badawah)
dan kota (hadarah). Studi Islam menurutnya, terdiri dari ulūm tabi’iyyah dan
ulūm naqliyyah. Ulūm tabi’iyyah meliputi ilmu filsafat, aritmatika, dan hisab,
handasah (geometri), alhaia (astronomi), tib (kedokteran) dan al-falặhah
(pertanian); sedangkan ‘ulǔm naqliyyah meliputi agama/wahyu dan syariat, Al-
Qur’an, fiqih, kalam (teologi), dan tasawuf.25
Dalam memahami sejarah, Ibnu Khaldun setidaknya memberikan
beberapa syarat untuk diperhatikan. Pertama, peristiwa-peristiwa sejarah itu harus
rasional, tidak dicampur dengan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti halnya
campur tangan dari yang ghaib; Kedua, analisis peristiwa sejarah dengan
menghubungkannya dengan sebab akibat. Dengan persyaratan di atas berarti Ibnu
Khaldun telah merintis sebuah pemikiran sejarah yang kritis. Sebelum Ibnu
24 Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) h.87
25 Ensiklopedi Islam, Jilid 3, h. 82
Khaldun penulisan sejarah umumnya hanya merupakan penyalinan saja dari yang
sudah ada dan tidak mengenal analisa. Bahkan isi sejarah dicampur dengan
kecenderungan pribadi dan emosinya, dengan cerita-cerita takhayul yang sudah
berjalan sejak Herodotus, sampai pada mereka yang datang sebelum Ibnu
Khaldun, di Barat ataupun di timur. 26
E. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Menarik untuk dicermati mengenai corak pemikiran Ibnu Khaldun terlebih
mengenai permasalahan pandangannya antara agama dan filsafat. Meskipun
dikenal dengan seorang ilmuwan yang senantiasa berpikir rasional dan banyak
berpegang teguh pada logika, namun Ibnu Khaldun tetaplah seorang agamawan
yang berpegang teguh dalam menjaga nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya.
Dalam mengemukakan pendapat, Ibnu Khaldun senantiasa berpijak pada
alasan-alasan yang obyektif dan deskriptif. Ia mencari bukan untuk memuji atau
mencela, tetapi untuk mengetahui dan memahami inti masalah yang menyangkut
perkembangan sesuatu lembaga dan tingkah laku manusia. Dan dengan cara
demikianlah ia berkasil mengemukan teorinya tentang filsafat sejarah dan
sosiologi.27
Lebih lanjut Ali Audah menjelaskan, bahwa Ibnu Khaldun tidak dapat
melepaskan peristiwa-peristiwa sejarah itu dengan perkembangan manusia
sebagai unsur pertama, baik pribadi maupun masyarakat dan pada gilirannya
masyarakat pun tak dapat dilepaskan pula dari lingkungannya: tanahnya, hasil
bumi, iklim, udara, geografi, luas daerah pertanian, jumlah penduduk, ras,
26 Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h.93
27 Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h. 91
pertukangan atau industri, perekonomian dan sifat pemerintahan yang menjadi
obyek penulisan sejarah itu. Pada gilirannya pula hal di atas akan menentukan
bentuk-bentuk kesenian, kepercayaan, adat istiadat, serta cara berpikir masyarakat
itu, bahkan bentuk tubuh, tingkah laku, kemampuan otak serta warna kulit. Dari
sini lahir golongan yang kemudian diperkuat oleh unsur asabiyah, yang sangat
dipengaruhi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada watak masyarakat, baik karena pengaruh ekonomi, politik, kekuasaan
dan sebagainya akan membawa akibat berubahnya segenap struktur kekuasaan,
dan ini dapat melahirkan asabiyah tingkat makro dalam masyarakat, yang akan
membawa akibat berubahnya bentuk-bentuk kekuasaan dalam masyarakat serta
lahirnya negara-negara baru dalam sejarah, melalui revolusi.28
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang
pemikir dan ilmuwan yang kritis dan obyektif, rasional, tetapi juga agamawan
yang taat, dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran. Suatu
kehidupan yang berimbang dalam dirinya dalam menghayati agama dan ilmu. Dia
seorang fisuf sosiologi dan sejarah, dia seorang intelek, pemikir yang berdisiplin,
dan ulama yang taat, dan telah memberikan saham yang besar dalam sejarah
intelektualisme dan kemanusiaan.
28 Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, 91-92
BAB III
PANDANGAN IBNU KHALDUN
TENTANG BENTUK PEMERINTAHAN KHILAFAH
A. Arti Khilafah
Di dalam nash-nash Islam diawali dari hadits-hadits nabi, lafazh “imam”
digunakan untuk menjuluki kepala negara. Gelar al-Imam atau al-Aimmah
umumnya diartikan sebagai orang yang mengurusi negara.29
Kemudian muncullah
lafazh khilafah yang merupakan pengganti Nabi Muhammad setelah wafatnya
beliau.
Menurut Ibnu Khaldun letak perbedaan dari jenis-jenis pemerintahan yang
satu dan yang lainnya adalah perbedaan undang-undang. Jenis undang-undang
akan menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. Undang-undang adalah ruh
bagi setiap sistem atau tatanan sosial dan menjadi dasar eksistensinya.30 Sebagai
contoh suatu pemerintahan yang menganut sistem kerajaan umumnya memiliki
tabiat natural yakni insting, atau kecenderungan dan keinginan insting yang
tersusun dalam satu individu: seperti egoisme dan keinginan untuk menjadi
arogan dan despotis. Dan semua itu menurut Ibnu Khaldun, haruslah dibenci.
Jenis pemerintahan yang demikian itu dapat menjadi sebuah pemerintahan yang
otoriter, individualis, otokrasi, dan dikhawatirkan lagi pemerintahan itu dapat
menghasilkan suatu kondisi chaos, perpecahan, instabilitas dan kehancuran
negara.
29
Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, (Solo: Pustaka
Mantiq, 1995) h. 68 30 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.87
Menurut Ibnu Khaldun, "jika aturan perundang-undangan diputuskan oleh
para intelektual dan pembesar negara, kebijakan politiknya disebut rasional; dan
jika aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskan dan mensyariatkannya,
maka orientasi politiknya adalah religius, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan
dan keakhiratan. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan kekerasan,
penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan
menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti tidaklah terpuji."31
Mengenai keimamahan atau kekhilafahan maka pemerintahan yang
demikian itu merupakan pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai
undang-undang, yaitu prinsip-prinsipnya bersumber dari Al-Qur'an, al-Sunnah.
Selain itu, hukum-hukumnya dapat berpegang dan bercabang dengan berpegang
kepada empat sumber hukum: Al-Qur'an, Al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Dengan
demikian, menurut Dhiauddin Ra'is, di dalam undang-undang Islam tersebut,
terhimpun hikmah logika individu dan kolektif, bimbingan Nabawi, serta tujuan
Ilahi.32
Ibnu Khaldun membedakan antara kedudukan raja dan Khalifah.
Kedudukan raja timbul dari keharusan hidup bergaul manusia, dan didasarkan
kepada penaklukan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan
sifat-sifat kebinatangan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengkritik tentang asal
kedaulatan sebuah kerajaan yang cenderung bersifat memaksa dan
mengedepankan sifat-sifat kebinatangan serta menyampingkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Sebagian besar para raja menerapkan peraturan tidak
31 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.88
32 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.90
berpihak kepada kepentingan rakyat bahkan seringkali membebani mereka dengan
bermacam-macam kewajiban yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka demi
tercapainya keinginan-keinginan dan tujuan sang raja. Bermacam-macam
peraturan bisa saja diciptakan oleh raja. Namun, pergantian raja bisa
mempengaruhi perubahan kebijakan sehingga beragam peraturan pun akan dibuat
silih berganti sesuai dengan tujuan raja yang berganti pula. Dalam hal ini sukarlah
bagi rakyat untuk mematuhi suatu perintah dan lebih jauh akan menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan sehingga akan membawa kekacauan dan
hilangnya nyawa.
Untuk menciptakan suatu negara yang bisa tegak dan kuat, maka
dibutuhkan suatu ketetapan hukum politik yang bisa diterima dan diikuti rakyat.
Namun, hukum tersebut tidak semata didasarkan kepada akal, sebagaimana
hukum itu dibuat oleh para terkemuka, bijaksana dan cerdik pandai melainkan
ditentukan oleh Allah dengan perantaraan Rasul, maka pemerintahan yang
demikian disebut berdasarkan agama. Dan pemerintahan agama yang demikian itu
berguna sekali, baik untuk hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Dalam hal ini
Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang religius memandang pentingnya sebuah
pemerintahan yang mengedepankan orientasi dunia dan akhirat. Menurutnya
manusia tidak diciptakan hanya untuk di dunia ini saja yang penuh dengan
kehampaan dan kejahatan dan yang akhirnya hanyalah mati dan kesirnaan belaka.
Dan Allah berfirman; “Apakah kamu mengira bahwa kami menjadikan kamu
dengan sia-sia.”33
33 Al-Qur’ân surat 23 ayat 115.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun suatu hukum politik dibuat hanya untuk
mengatur manusia tentang barang-barang lahir, kepentingan duniawi. Sedangkan
hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam segala hal,
ibadah mereka, tata cara hidup mereka, juga yang berhubungan dengan negara.
Oleh karena itu sudah seharusnya negara berdasarkan agama supaya segala
sesuatu yang berhubungan dengan negara itu berada di bawah naungan
pengawasan Tuhan pemberi hukum itu..
Maka tidaklah dibenarkan suatu negara yang didasarkan kepada
penaklukan dan paksaan serta pemuasan dorongan kemarahan karena hal tersebut
dianggap sebagai sebuah penindasan dan penyerangan, dan merupakan perbuatan
tercela, baik di sisi Allah, pemberi hukum, maupun dalam pandangan
kebijaksanaan politik.34
Dengan sederhana Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa suatu negara yang
ditetapkan atas hukum-hukum Allah sangat berguna sekali dibandingkan dengan
suatu negara yang berdasarkan akal semata. Hal ini disebabkan, Tuhan lebih
mengetahui kepentingan manusia dalam soal yang berhubungan dengan hidup
akhirat, yang ada di luar pengetahuan mereka. Dengan demikian tujuan Tuhan
membuat undang-undang adalah demi keselamatan manusia dalam hidup di
akhirat kelak. Oleh karena itu, adalah menjadi keharusan supaya manusia
menyesuaikan diri dengan hukum-hukum agama dalam segala hal. Dan kekuasaan
34 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) h. 232-233
ini adalah kepunyaan Pembuat Undang-undang, ialah para Nabi dan orang-orang
yang menggantikan mereka, yaitu khalifah-khalifah, dan inilah arti khilafah.35
B. Fungsi Khalifah
Mengenai fungsi Khalifah tampaknya pendapat Ibnu Khaldun tidak
berbeda jauh dengan Al-Mawardi yakni jabatan ini merupakan pengganti Nabi
Muhammad, dengan tugas yang sama yakni mempertahankan agama dan
menjalankan kepemimpinan di dunia. 36
Khalifah dianggap sebagai penegak
agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama. Tugas
agama yang dimaksud adalah kemampuan seorang khalifah untuk menyampaikan
kewajiban syar’iyyah kepada manusia, serta memobilisasi mereka supaya
melakukannya. Dan tujuan pemimpin duniawi yakni dengan kemampuannya
sebagai seorang yang berusaha mengurusi kepentingan umum peradaban umat
manusia.
Kepemimpinan raja, menurut Ibnu Khaldun, “apabila bersifat islami,
termasuk ke dalam barisan khilafah dan menjadi salah satu ikutannya. Kedaulatan
negara non-muslim tegak sendiri’. Dalam hal ini berarti Ibnu Khaldun tidak
mengkritik sistem kerajaan yang tetap menjalankan syari'at Islam. Akan tetapi
menurut penulis pandangan demikian tentunya bertentangan dengan pendapat
Ibnu Khaldun sendiri yang mengkritisi bahwa sistem kerajaan umumnya bersifat
despotis, invidualis, serta lebih cenderung otoriter. Hal ini cukup beralasan karena
biar bagaimanapun pemerintahan raja terkadang tidak sepenuhnya didukung oleh
35
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Mesir: Mustofa Muhammad) h. 190-191 36 Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthâniyah, (Beirut: Maktabah ‘Ashriyah, 2000) h. 13
sebagian masyarakat, terlebih sistem warisan kekuasaan yang turun temurun
dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat yang merasa tidak
puas dengan pemerintah, dan akhirnya dapat menciptakan instabilitas negara.
Perlu diketahui bahwa fungsi religius syari’at agama, menurut Ibnu
Khaldun, seperti shalat, jabatan mufti, jabatan hakim, jihad, dan pengawasan
pasar, termasuk ke dalam imamah besar yaitu khilafah. Khilafah itu seakan-akan
pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi mencabanginya dan
membawahinya, baik agamawi maupun duniawi. Kekuatannya menyeluruh dalam
melaksanakan hukum agama maupun dunia.37
Berikut akan dijelaskan beberapa
fumgsi religius yang khusus untuk khilafah, dan fungsi pemerintahan raja:
a) Imamah Shalat. Telah diketahui bahwa pada masa khalifah-khalifah
yang pertama, mereka tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat
kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena imamah shalat adalah
yang paling tinggi di antara fungsi jabatan khilafah. Hal ini dibuktikan
ketika para sahabat menarik kesimpulan dari fakta bahwa Abu Bakar
telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad menjadi imam shalat, satu fakta
bahwa dia juga ditunjuk sebagai penggantinya dalam mengurusi
masalah-masalah duniawi.
b) Jabatan Mufti. Dalam hal ini, tugas khalifah adalah menguji para
ulama dan guru, dan hanya mempercayakannya kepada orang-orang
yang teruji untuk jabatan itu. Jabatan mufti merupakan salah satu
37 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 264-267
kepentingan keagamaan kaum muslimin. Khalifah harus
memperhatikannya .
c) Jabatan Hakim. Di masa permulaan Islam, para khalifah melaksanakan
sendiri jabatan hakim. Khalifah pertama yang menyuruh seseorang
untuk menjalankan fungsi ini adalah Umar. Beliau menunjuk Abu
Darda' untuk menjadi hakim di Madinah, memilih Syuraih untuk tugas
hakim di Bashrah dan Abu Musa al-Asy'ari di Kufah.
d) Polisi. Pengawasan terhadap tindakan kriminal serta penentuan
hukumman-hukuman yang ditetapkan oleh syari'at agama merupakan
tugas khusus, dan diserahkan kepada kepala polisi. Lapangannya
sedikit lebih luas dibanding jabatan hakim. Ia memutuskan hukuman
pencegahan sebelum tindak kriminal dilakukan. Ia melaksanakan
hadd-hadd yang telah ditetapkan oleh syari'at agama dengan
semestinya, serta menetapkan kemungkinan pembanding jika seorang
merasa dirugikan oleh orang lain sesuai dengan hukum yang berlaku.
e) Keadilan atau kedudukan saksi resmi. Prasyarat tugas ini ialah, bahwa
orang yang melaksanakannya harus bersifat adil, sesuai dengan
ketentuan agama, dan bebas dari cacat. Dia harus memiliki
pengetahuan tentang jurisprudensi sesuai dengan kebutuhan jabatan
itu. Hal ini disebabkan ia harus dapat mengisi catatan-catatan di dalam
pengadilan, mengerti perjanjian dalam bentuknya yang benar,
urutannya yang tepat dan dengan sebaik-baiknya, serta melihat kondisi
dan syarat yang melingkunginya berdasar titik penglihatan hukum
agama.
f) Pengawasan Pasar. Jabatan ini adalah termasuk bagian dari kewajiban
amar ma'ruf nahi munkar. Akan tetapi dia tidak punya kekuasan untuk
mengurusi klaim hukum secara mutlak, kecuali terhadap segala sesuatu
yang berhubungan dengan penipuan dan perlakuan curang dalam
masalah timbang-menimbang ukur-mengukur. Ia juga berusaha
membuat orang menunda hutang supaya membayarkan dengan apa
yang dimilikinya. Konsekuensi dari jabatan ini ialah ia berada di
bawah jabatan hakim.
g) Pencetakan Uang Logam. Pengawasan terhadap pencetakan uang
merupakan tugas yang bersifat religius, dan berada di bawah khilafah.
Ia dijadikan sebagai bawahan dari juridiksi hakim.38
Demikian akhir pembicaraan mengenai kedudukan kekhilafahan. Secara
menyeluruh dapat disimpulkan bahwa fungsi kedudukan khalifah tidak hanya
mengurusi masalah agama saja, akan tetapi persoalan duniawi pun tidak
ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Khilafah itu
seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi
mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi.
Selain panggilan Khalifah terkadang jabatan tersebut disebut “imamah
kubro” selanjutnya, jabatan ini dianggap suatu kewajiban menurut hukum syari’at
agama disebabkan ijma para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in. Hal ini
38
Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 265-275.
dibuktikan setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat membai’at Abu Bakar dan
mempercayakan pengawasan persoalan dan urusan mereka kepadanya. Demikian
pula di masa-masa berikutnya. Dalam zaman manapun rakyat tidak pernah
diserahkan kepada anarki.
Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa kewajiban imamah ditentukan
akal, dan bahwa ijma yang kebetulan itu hanya menguatkan ketetapan akal saja.
Mereka berpendapat: bahwa yang membuat jabatan imam itu wajib menurut akal
ialah perlunya manusia pada suatu organisasi kemasyarakatan dan
ketidakmungkinan mereka hidup sendiri-sendiri.
Sebagian kelompok tetap kokoh mengatakan bahwa jabatan imam sama
sekali tidak penting, baik berdasarkan akal maupun syari’at. Pandangan ini
diwakili oleh golongan Mu’tazilah salah satunya al-Ashamm. Ada juga dari
golongan khawarij. Menurut mereka yang penting hanyalah menjalankan syari’at.
Mereka berpendapat demikian karena berusaha melepaskan diri dari kedaulatan
(mulk) dan wataknya yang suka menguasai, senantiasa mendominasi, dan bersifat
duniawi.
Menurut Ibnu Khaldun keharusan imamah haruslah diindikasikan oleh
syari’at, yaitu dengan konsensus (ijma). Adapun mereka yang menolak imamah
dengan alasan bahwa syari’at sangat mengecam dan menyalahkan adanya suatu
kedaulatan yang mana kedaulatan itu sendiri memiliki watak suka menguasai dan
mendominasi, maka Ibnu Khaldun menegaskan bahwa syari’at agama tidak
mengecam kedaulatan dan tidak pula melarang pelaksanaannya. Akan tetapi
syari’at hanya mencela akibat buruk yang ditimbulkannya, seperti tirani,
kezaliman, dan enak-enakan. Sebaliknya syari’at agama memuji keadilan,
kejujuran, melaksanakan tugas-tugas agama, dan membelanya. Syari’at juga
mencela nafsu syahwat, dan marah pada orang-orang mukallaf, sebab
eksistensinya masih dirasa perlu. Tapi yang dimaksud ialah bagaimana
mempergunakannya dengan sebenar-benarnya.
Selanjutnya, mereka yang berusaha lari kedaulatan imamah dengan
berasumsi bahwa lembaga tersebut tidak penting sama sekali tidak dapat
membantu, sebab mereka menyetujui diharuskannya pelaksanaan syari’at, dan hal
itu tidak akan diperoleh kecuali melalui asabiyah dan kekuasaan, sedangkan
asabiyah sesuai wataknya memerlukan kedaulatan.39
Mengenai kehendak Allah akan terwujudnya khilafah, Ibnu Khaldun
menjelaskan bahwa hal tersebut tidak banyak yang bisa kita ketahui. Namun, yang
jelas bahwa Allah telah menjadikan khalifah-Nya sebagai wakil-Nya di dalam
mengurusi persoalan-persoalan hidup hamba-Nya dengan tujuan dapat memenuhi
kepentingan dan melepaskan kesukaran yang mereka miliki.
C. Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Khilafah
Setelah menjelaskan bahwa lembaga imamah wajib menurut ijma, maka
keperluan untuk diadakannya lembaga tersebut merupakan fardl al-kifayah, dan
mengenai mekanisme pengangkatannya diserahkan kepada pemuka-pemuka
muslim yang terbentuk dalam suatu wadah yakni ahl al-aqd wa al-hilli.
Kewajiban mereka adalah berusaha agar imamah berdiri, dan setiap orang wajib
39 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 234-237
taat sesuai dengan firman Allah: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul,
dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu.40
Tidak diperbolehkan menunjuk dua orang untuk menduduki imam pada
waktu yang sama. Adapun mengenai prasyarat untuk mendirikan lembaga
imamah itu, Ibnu Khaldun menyimpulkan setidaknya ada empat yaitu: al-‘ilmu,
al- ‘adalah, al-kifayah, salamatu al-hawas wa al-a’dô, adapun syarat yang kelima
ada banyak perbedaan pendapat yakni al-nasb al-Quraisy.41
1) Syarat pertama al-‘ilmu, kiranya sangat jelas bahwa seorang imam
harus menguasai hukum-hukum syari’at agar dapat melaksanakan hukum-hukum
Allah secara benar, dan terhindar dari sifat taqlid buta yang merupakan
kekurangan seorang imam. Di lain sisi dengan pengetahuannya tersebut ia dapat
memberikan keputusan yang memuaskan masyarakat, negara, dan agama.
2) Keadilan (al- ‘adalah) dianggap perlu disebabkan imamah
merupakan lembaga keagamaan yang mengawasi lembaga lain. Tempat keadilan
juga menjadi prasyarat. Tak ada perbedaan mengenai kenyataan bahwa keadilan
akan lenyap oleh sikap yang membiarkan berlakunya Akan tetapi ada perbedaan
pendapat mengenai apakah keadilan itu akan lenyap oleh sikap imam yang
memasukkan inovasi-inovasi baru ke dalam i’tiqad umat.
3) Kesanggupan (al-kifayah) berarti, bahwa seorang imam bersedia
melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi
berperang. Dia harus mengerti cara berperang, dan sanggup bertanggungjawab
untuk mengerahkan umat menuju peperangan. dia juga harus tahu tentang
40
Al-Qur’an al-karim, surat 4 ayat 59 41 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 193
ashabiyah dan diplomasi. Dia harus kuat melaksanakan tugas politik. Semua hal
tersebut harus dia miliki supaya mampu melakukan fungsinya melindungi agama,
berjihad melawan musuh, menegakkan hukum, dan mengatur kepentingan umum.
4) Bebasnya pancaindera dan anggota badan dari cacat atau
kelemahan seperti gila, buta, bisu, atau tuli, dan kehilangan anggota badan, kaki
atau testikel, semua itu dijadikan prasyarat karena kekurangan demikian
berpengaruh pada kemampuan bertindak. Kekurangan tersebut dapat dibagi dua.
Satu diantaranya disebabkan keadaan terpaksa, misalnya tidak mampu bertindak
karena dipenjara. Kemerdekaan bertindak adalah salah satu syarat yang sama
pentingnya sebagaimana syarat bebas dari cacat badan.
Mengenai syarat yang kelima ada perbedaan pendapat, yaitu keturunan
Quraisy. Prasyarat ini dianggap penting karena didasarkan pada fakta sejarah
mengenai ijma para sahabat pada hari saqifah. Pada hari itu kaum anshar
bermaksud membai’at Sa’ad ibn Ubadah, namun ditolak oleh pihak Quraisy yang
menjelaskan beberapa dalil dari Nabi Muhammad tentang imamah harus dijaga
oleh kaum Quraisy. Hasilnya argumentasi tersebut diterima kaum anshar. Namun,
lambat laun kekuasaan kaum Quraisy melemah, solidaritas mereka lenyap sebagai
akibat hidup mewah dan berlebih. Bangsa-bangsa non-Arab pun menaklukan
mereka, dan merebut kekuasaan eksekutif.
Seperti al-Mawardi, sepertinya Ibnu Khaldun tidak berbeda pendapat
mengenai pentingnya syarat keturunan Quraisy. Akan tetapi a memberikan alasan
yang bisa dianggap lebih logis. Mengenai hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan;
“menurut hemat saya, semua hukum syari’at, tidak boleh tidak, memiliki maksud
dan hikmah tertentu. ...namun, apabila persoalan itu kita teliti dan analisa, kita
akan mendapatkan bahwa maslahah umum yang dimaksud tidak lain diungkapkan
dalam solidaritas sosial (ashabiyah) yang dimiliki para imam keturunan arab.
Solidaritas itu memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat melepaskan
imam dari oposisi dan perpecahan. Agama dan pemeluknya tentu akan dapat
menerima dia beserta keluarganya, dan ia pun dapat mengadakan hubungan yang
akrab dengan mereka.
Kaum Quraisy termasuk golongan suku Mudhar, cikal bakal dan paling
perkasa dibanding suku-suku Mudhar lainnya. Jumlah mereka banyak, solidaritas
serta kebangsawanan mereka berwibawa di kalangan suku Mudhar lainnya. Suku-
suku arab yang lain sama mengakui kenyataan itu, dan tunduk patuh pada
kekuatan kaum Quraisy. Sekiranya pemerintahan diserahkan kepada pihak lain di
luar mereka, pastilah pertentangan dan ketidaktaatan akan merusak segalanya.
Apabila orang-orang Quraisy yang berkuasa, maka dengan kekuatan yang
ada, mereka sanggup menyuruh manusia melakukan apa saja sekehendak mereka.
Dengan kekuasaan yang ada, mereka sanggup melenyapkan perpecahan
menyisihkan siapa saja yang menentang mereka.
Dengan demikian sangat jelas bahwa salah satu syarat dijadikannya
imamah dari keturunan Quraisy dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan
dengan bantuan ashabiyah dan superioritas. Oleh karena itu syarat keturunan
Quraisy dimasukkan ke dalam kategori prasyarat kesanggupan, dan apabila
digeneralisasikan, maka maksud yang dikandung di dalamnya adalah pentingnya
solidaritas sosial bagi seorang khalifah. Tak seorangpun dapat memerintah suatu
bangsa atau generasi, kecuali orang yang dapat menguasai mereka
.
D. Gelar Amǐr al-Mu’minǐn Sebagai Ciri Khilafah
Gelar itu merupakan kreasi periode para khalifah al-rasyidûn, ketika Abu
Bakar dibai’at, para sahabat dan seluruh kaum muslimin menyebutnya khalifah
Rasulillah, lalu bai’at diberikan kepada Umar atas pilihan Abu Bakar, dan mereka
pun memanggilnya khalifah khalifati Rasulillah. Namun, akhirnya mereka
menganggap bahwa gelar tersebut tidak praktis karena panjangnya. Demikian pula
gelar tersebut akan semakin panjang sesuai dengan bertambahnya pergantian
khalifah.
Awalnya para pemimpin militer muslim dipanggil dengan gelar “amǐr.”
Pada masa jahiliyyah, orang-orang memanggil Nabi Muhammad “amǐr Mekah”
dan “amǐr Hijaz.”ketika memimpin pasukan muslim dalam perang Qadisiyah
Sa’ad ibn Abi Waqqas pun di panggil dengan gelar “amǐr al-mu’minǐn.”
Pada masa pemerintahan Umar sebagian sahabat menyebutnya sebagai
“amǐr al-mu’minǐn.” Orang-orang pun menyenangi dan menyetujui gelar tersebut.
Orang yang pertama kali memanggil dengan gelar demikian adalah Abdullah ibn
Jahsy, atau Umar ibn al-‘Ash, atau Mughirah ibn Syu’bah. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa pada waktu pembebasan kota mekah, seorang utusan datang ke
Madinah dan menanyakan Umar: “dimanakah Amǐr al-Mu’minǐn? Para sahabat
mendengar dan menyetujuinya. “anda benar, demi Allah dia benar-benar Amǐr al-
Mu’minǐn. Para khalifah yang datang sesudah Umar juga mewarisi gelar ini
sebagai suatu ciri, yang mana tak seorang pun dari seluruh daulah Bani Umayah
menggunakannya.
Pergeseran nama atau gelar khalifah terjadi ketika golongan Syi’ah
membuat nama khusus untuk Ali ibn Abi Thalib, yaitu Imam. Kata Imamah juga
berarti Khilafah. Hal ini mereka lakukan sebagai propaganda mazhabnya yang
mengatakan bahwa Ali lebih berhak menduduki imamah shalat daripada Abu
Bakar. Gelar tersebut mereka gunakan khusus hanya untuk Ali, dan untuk orang-
orang yang menduduki khilafah sesudahnya.42
Akan tetapi gelar amǐr al-mu’minǐn tetap dipertahankan para pemimpin-
pemimpin dinasti muslim sesudahnya. Sebagaimana ia menjadi ciri raja Hijaz,
Syiria, dan Iraq. Pada masa puncak kekuasaan Bani Abbas gelar demikian
ditambah sesuai dengan nama-nama keluarga seperti al-Saffah, al-Mansur, al-
Mahdi, al-Hadi, al-Rasyid, dan seterusnya. Penambahan gelar tersebut
dimaksudkan untuk berhati-hati terhadap nama diri mereka, menghindarkannya
dari kesalahan pengucapan oleh orang-orang awam, dan untuk menjaganya
supaya tidak tercemar.
Berbeda dengan Bani Abbasiyah, Bani Umayyah tidak pernah
menggunakan gelar demikian, bahkan terkesan menjauhinya. Terlebih ketika Bani
Abbasiyyah telah mengambil kontrol kekuasaan dengan cara mengadakan
pemecatan, penggantian, bahkan pembunuhan terhadap sebagian besar pemimpin
Bani Umayyah. Kecuali pada masa khalifah terakhir Abdurrahman – yaitu al-
Nashir ibn Amir Abdillah Muhammad ibn Abdurrahman. Ia menyebut dirinya
42 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 276
amǐr al-mu’minǐn, dan memberi gelar dirinya dengan al-Nashir li dǐn Allah. Hal
ini ia lakukan, meskipun nenek moyangnya terdahulu tidak pernah
mempraktekkannya.
Ketika lembaga khilafah mulai melemah, dan ashabiyah bangsa Arab telah
hancur, maka khilafah telah hilang identitasnya. Terlebih ketika pemimpin-
pemimpin non-Arab berhasil mengambil alih kekuasaan Bani Abbas, para
pengikut mereka sendiri berkuasa atas Bani Ubaid di kairo, Shinhajah mengusai
kerajaan Ifriqiyah, Zanatah berkuasa atas Maghribi, dan reyes de taifas (raja-raja
kecil) di Andalusia berkuasa atas Bani Umayyah. Masing-masing golongan ini
berkuasa atas bagian dari khilafah. Kekaisaran muslim terpecah-pecah. Raja-raja
di Timur dan di Barat telah mengambil berbagai gelar, setelah tadinya mereka
disebut dengan nama “sulthân.”
Sebagai sikap tunduk terhadap raja-raja non-Arab di Timur, para
pemimpin Arab sebelumnya menyebut mereka dengan nama-nama misalnya
Syafar al-daulah, Adlad al-daulah, Rukn al-daulah, Muiz al-daulah, nashir al-
daulah, Nizham al-mulk, baha al-daulah, dakhir al-daulah, dan lain sebagainya.43
Setelah bangsa non-Arab di Timur berhasil memperkokoh kekuasaan dan
kedaulatannya serta berhasil memperbesar peranannya di dalam negara dan
kesultanan, mereka menambahkan gelar pada nama mereka sebelumnya dengan
tambahan kata “din” saja. Sehingga mereka dikatakan dengan nama Shalauddin,
Asaduddin, Nuruddin, dan sebagainya.
43 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 277-278
Sedangkan raja-raja kecil di Andalusia, yang telah berkuasa penuh atas
Bani Umayyah, mereka telah masuk ke dalam ashabiyah kesukuannya, membagi-
bagi dan menyebar gelar kekhalifahan untuk diri mereka sendiri. Di antara gelar
mereka adalah al-nashir, al-Mansur, al-Mu’tamid, al-Mudzfir, dan lain
sebagainya.
Bagi Daulah Shanhajah mereka lebih mengekang diri dari pamer gelar dari
pemberian Bani Ubaid (Fatimiyyun). Seperti Nashir al-daulah, dan Muiz al-
daulah. Jarak antara mereka dengan khilafah tambah jauh. Mereka tidak ingat lagi
gelar-gelar sebelumnya, dan sudah merasa cukup dengan menggunakan nama
sultan.
Ketika nama khilafah telah punah, raja Almoravid (Murabithun) Yusuf ibn
Tasyfin menampilkan diri di tengah suku Barbar di Maghribi. Raja ini dianggap
oleh Ibnu Khaldun sebagai raja yang baik dan konserfatif, hal ini disebabkan
keinginannya untuk menegakkan formalitas agamanya secara sempurna, dan mau
tunduk pada kekuasaan khalifah. Dengan mengirim kedua dutanya, yaitu
Abdallah ibn al-Arabi dan puteranya Kadi Abu Bakar kepada al-Mustadzir al-
Abbasi, dan mengharap beliau memilih dan menobatkan Ibn Tasyifin sebagai raja
Maghribi, dan dengan membawa izin untuk menggunakan gaya pakaian dan
bendera khalifah. Di dalam dokumen itu Mustadzir menyebut Ibn Tasyifin
dengan panggilan “Amǐr al-Mu’minǐnín” hal ini dilakukan untuk menghormatinya
karena kedudukannya, begitu juga dengan sukunya Bani Murabith menganut
agama Islam serta mengikuti sunnah.
Setelah kekuasaan pemerintahan di maghribi hancur dan digantikan oleh
Zanatah, maka raja-raja mereka pun melanjutkan pemakaian gelar amǐr al-
mu’minǐn ketika sebelumnya mereka tunduk kepada Bani Abdul mukmin,
selanjutnya Bani abi Hafs, dan akhirnya mereka pun menggunakannya pada saat
mereka berkuasa untuk menyempurnakan cita-cita raja jalan dan ciri kekuasaan.
Demikianlah gelar khilafah senantiasa berganti dari masa ke masa
disebabkan terjadinya pergantian kekuasaan dari daulah ke daulah. Meskipun
gelar amĭr saat ini kurang populer, namun sebagian besar kaum muslimin
meyakini bahwa gelar tersebut memang telah dipatenkan untuk menamai seorang
penguasa muslim. Hal ini sebagai mana telah disebutkan dalam beberapa ayat di
dalam al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, dan
taatlah kepada Rasul, dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu.”44
44 Al-Qur’an al-karim, surat 4 ayat 59
BAB IV
PERGANTIAN KEKHILAFAHAN MENJADI KERAJAAN
A. Latar Belakang Perubahan Sistem Pemerintahan Dari Khilafah Al-
Rasyidĭn ke Kerajaan
Disebabkan oleh pentingnya peranan Nabi Muhammad bagi kebangkitan
awal agama Islam, maka berita kemangkatannya telah menimbulkan kegoncangan
serius bagi umat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh banyak pakar sejarah Islam,
bahwa Nabi Muhammad tidak memberikan wasiat apapun terkait dengan
pengganti beliau. Nampaknya masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada umat.
Oleh karena itu, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya
dimakamkan, sejumlah tokoh dari Muhajirĭn dan Anshâr berkumpul di balai
Sa'idah, Madinah. Mereka bermusyawarah mengenai siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Meskipun awalnya berjalan sangat alot, karena masing-
masing pihak merasa berhak menjadi pemimpin. Namun dengan semangat
ukhuwah islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih.45
Terpilihnya Abu Bakar disebabkan karena ia memiliki kedudukan yang
tinggi dibandingkan dengan sahabat yang lain, dan hal itu diakui oleh semua umat
Islam, dan ia juga termasuk kelompok pertama yang masuk Islam, telah berjasa
besar dalam membela Islam, bersahabat sejak lama dengan Nabi Muhammad,
imannya sangat teguh, dan sifat akal dan akhlaknya yang jarang sehingga dirinya
menjadi pribadi teladan yang sempurna. Demikianlah landasan utama terpilihnya
45. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) h.35
Abu Bakar sebagai khalifah pertama, dan bukan didasarkan oleh praktek
pemilihan sebagaimana yang dilakukan sebagian adat istiadat bangsa arab.
Karena jikalau didasarkan dengan metode tersebut, niscaya mereka akan memilih
Ibnu Ubadah, pemimpin keluarga Khazraj. Atau Abu Sufyan, pemimpin tertua
Banu Umayyah, atau juga Abbas, petinggi keluarga Banu Hasyim.46
Masa kepemimpinan Abu Bakar hanya berjalan dua tahun. Dalam masa
yang singkat itu Abu Bakar telah sukses mengkonsolidasikan kekuasaan muslim
atas seluruh semenanjung Arabia setelah melakukan usaha keras melawan
konspirasi para pemberontak yang berasal dari suku-suku bangsa arab yang tidak
mau tunduk lagi kepada pemerintahan Madinah dan khususnya pemberontakan
oleh Musailamah. Dan dengan demikian, menurut John L. Esposito, beliau telah
menjaga persatuan dan solidaritas umat-negara Islam.47
Pengganti Abu Bakar yaitu Umar ibn Khathâb, setelah ia bermusyawarah
dengan pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya
dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan
perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata
diterima oleh umat yang segera beramai-ramai membaiat Umar.
Umar menyebut dirinya sebagai khalifah Khalifati Rasulilah. Ia juga
memperkenalkan istilah Amîr al-Mu'minîn.48
Adapun menjelang akhir
kekuasaannya (634-644 M), keseluruhan Arabia, bagian dari Imperium
Sassaniyah, dan Suriah serta provinsi Mesir di bawah Imperium Bizantium telah
46 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h.16
47
John L. Esposito, Islam Warna Warni, (Jakarta: Paramadina, 2004) h.48
48 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h.37
ditaklukkan. Segera setelah itu tanah-tanah Sassaniyah pun ditaklukkan.49
ia juga
memperkenalkan metode baru dalam pemilihan penggantinya. Sebelum
kematiannya, Umar menunjuk sebuah "komite pemilihan" (Syurâ) untuk memilih
khalifah berikutnya. Komite tersebut terdiri dari Abdurrahman Ibn Auf, Sa'ad Ibn
Abi Waqqas, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Zubair Ibn awwam, dan
Thalhah Ibn Ubaidillah.50 Setelah melalui musyawarah, komite tersebut akhirnya
memilih Utsman Ibn Affan dari klan Umayyah.
Pada masa awal-awal pemerintahannya Utsman tetap mengikuti langkah-
langkah pendahulunya yakni dengan memperkuat daerah-daerah yang ditaklukkan
dan terus memperluasnya. Pada masanya, kesejahteraan tersebar luas ke seluruh
penjuru dan kekayaan terus bertambah, situasi umum pun masih berlangsung
teratur. Akan tetapi, pada akhir-akhir pemerintahannya, faksionalisme suku dan
ancaman pemberontakan kembali terjadi. Beragam tuduhan diarahkan kepada
Khalifah Utsman. Maka pada tahun 656 M, sebuah gerakan agitasi di Madinah,
disokong oleh para prajurit dari Mesir berhasil melakukan pembunuhan terhadap
khalifah.51 Peristiwa ini terjadi sebelum dia menunjuk penggantinya. Pada saat
itulah, konflik pun dimulai menjurus pada perbedaan besar dan perpecahan
berkenaan dengan masalah kekhalifahan.
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa ketiga khalifah
pertama pola pemilihan khalifah dicirikan dengan adanya musyawarah dan baiat
oleh umat Islam. Dhiauddin Rais menjelaskan bahwa pembaiatan tersebut
49 Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, (Bandung: Mizan, 2004) h.74
50
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.135
51 Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, h.78
berlangsung secara aklamasi sehingga kekhalifahan mereka terjadi secara sah dan
sesuai dengan syara.52
Adapun pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, sesungguhnya ia
dihadapkan dengan oposisi ganda. Pertama, oleh koalisi yang dipimpin oleh
Aisyah. Kedua, oleh kekuatan-kekuatan Muawiyah, gubernur Syiria dan kerabat
Utsman. Meskipun Khalifah Ali telah dibaiat oleh penduduk Madinah, kecuali
sekelompok kalangan yang menolak, begitupun dengan masyarakat Hijaz dan Irak
memberikan dukungan kepada beliau, akan tetapi masyarakat Syam di bawah
pimpinan Muawiyah menolak untuk membaiat.
Setelah mayoritas Muhajirin dan Anshar sepakat membaiat khalifah Ali
bin Abi Thalib, Ali segera mengutus Jurair bin Abullah al-Bajli kepada Muawiyah
di Syam guna mengajaknya untuk berbaiat. Akan tetapi, Muawiyah berpendapat
bahwa baiat itu belum dinyatakan sah kecuali kehadiran mereka semua. Karena
itu, Muawiyah tidak bersedia memenuhi ajakan Ali sampai para pembunuh
Utsman diqishas kemudian kaum muslimin memilih sendiri imam mereka.
Sementara itu, Ali berkeyakinan penuh bahwa baiat telah sah dilakukan
dengan kesepakatan penduduk Madinah. Dengan demikian, setiap orang yang
terlambat berbaiat karena berada di luar kota Madinah berkewajiban untuk segera
bergabung dalam baiat tersebut.
Dengan demikian perbedaan ijtihad di antara kaum muslimin pun tak
terelakkan. Hal ini terjadi ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah,
beliau berpendapat bahwa sebelum dilaksanakannya qishas perlu diadakannya
52 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h. 136
penertiban dan penataan ulang terlebih dahulu, adapun pihak yang menentangnya
seperti Aisyah, Thalhah, Zubair, dan para pendukungnya mengiginkan
pelaksanaan qishas terhadap pembunuh Utsman merupakan amalan pertama yang
dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Meskipun awalnya sempat terjadi
peperangan di antara kedua pihak, akan tetapi akhirnya pendapat Ali dapat
diterima oleh pihak lain dan menjadi landasan bagi tercapainya ishlah antar semua
pihak.53
Berbeda dengan Muawiyah bin Abi Sufyan beserta sejumlah sahabat
lainnya yang tidak sependapat dengan Ali, mereka tetap angkat bicara dan
memotivasi kaum muslimin untuk menuntut darah Utsman dari orang-orang yang
telah membunuhnya. Para sahabat yang turut serta dalam tuntutan ini adalah
Ubadah bin Shamit, Abu Darda, Abu Umamah, Amru bin Abasah, dan para
sahabat lainnya.54 Dan akhirnya tuntutan tersebut menyebabkan terjadinya
peristiwa perang Shiffin antara pasukan Muawiyah dan pasukan Ali , akan tetapi
perang berakhir dengan peristiwa tahkim.
Mengenai penolakan Muawiyah untuk berbaiat kepada Ali disebabkan
karena Ali Ibn Abi Thalib berniat memberhentikan beberapa pejabat yang pernah
menjabat beberapa posisi penting pada masa Khalifah Utman Ibn Affan, dan
termasuk di antaranya adalah Muawiyah. Khalifah Ali mengirim beberapa
pejabat baru ke berbagai daerah, diantaranya Utsman bin Huneif ke Bashrah,
53
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah terj, (Jakarta: Robbani Press,
2007) h.568 54 Ibnu Katsir, Al- Bidayah wa Al- Nihayah terj, (Jakarta: Dârul Haq, 2004) h.453
'Imarah bin Hisan ke Kufah, Abdullah bin Abbas ke Yaman, Qeis bin Sa'ad bin
Ubadah ke Mesir, dan Suheil bin Huneif ke Syam.55
Para pejabat baru itu dengan aman dan tanpa halangan dapat menerima
jabatan mereka, kecuali Suheil bin Huneif, begitu sampai di Tabuk ia disongsong
oleh satu pasukan besar yang dikirim Muawiyah untuk menolak memasuki negeri
tersebut. Ia pun kembali lagi ke Madinah dengan membawa berita tersebut kepada
Khalifah Ali.
Menyikapi permalahan di atas, maka Khalifah Ali menulis surat kepada
Muawiyah yang isinya antara lain sebagai berikut:
.".....Amma ba'du,
Tentu anda telah mendengar musibah yang telah menimpa Utsman, dan
bahwa segenap kaum Muslimin telah berhimpun di samping saya dan
membaiat saya sebagai khalifah. Oleh sebab itu masuklah dalam
perdamaian, atau kalau tidak, maka bersiap-siaplah.....!"
Dengan surat di atas, Khalifah Ali berharap dapat menundukkan
Muawiyah, akan tetapi sikap Muawiyah tetap tidak berubah, sebaliknya ia
memerintahkan kepada utusan tersebut untuk kembali, dan ia berjanji akan
mengirimkan jawabannya sendiri.
Muawiyah mengirim jawaban melalui seorang utusan dengan membawa
surat penguasa Syam itu ke Madinah. Sungguh mengherankan,ternyata surat itu
hanya bertuliskan kalimat: "Dari Muawiyah bin Abi Sufyan, kepada Ali bin Abi
Thalib."
55 Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah,, h. 522
Bagaimana tidak mengherankan isi surat tersebut?. kalau diperhatikan
maka isi surat itu tidak mencantumkan gelar atau sebutan apapun. Tidak khalifah,
tidak pula Amir al-mu'minîn. Bahkan penempatan namanya dan nama Ali bin
Abi Thalib ditulis secara berhadap-hadapan seperti memberi petunjuk adanya
sikap menantang.
Perihal tersebut telah diketahui oleh Khalifah Ali, bahkan beliau
mengatakan kepada utusan dari Muawiyah tersebut sebagai berikut:
"Hai utusan, dengarkan dan dan camkanlah apa yang saya katakan...!
"saya telah datang ke mari dengan meninggalkan 50.000 prajurit. Janggut
mereka basah kuyup oleh airmata di bawah baju Utsman yang mereka
angkat di atas tombak mereka. Mereka telah berjanji kepa Allah untuk tidak
menyarungkan pedang mereka sebelum dapat membunuh orang yang
membunuh Utsman, atau nyawa mereka kembali kepada Allah...!"
"bukankah demikian yang dimaksudkan dengan surat Muawiyah ini..?"56
Memang itulah langkah yang diambil Muawiyah untuk melakukan bughot
terhadap khalifah, akan tetapi mengapa ia melakukan itu?, dan untuk apa?, dan
kenapa segala kesalahan dibebankan ke pundak Ali?, bukankah lebih baik jikalau
mengakui kedudukan Ali bin abi Thalib, kemudian memina kepadanya untuk
menuntaskan kasus pembunuhan keji tersebut, dengan demikian maka
pertumpahan darah antar sesama muslim dapat dihindarkan.
56 Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah,, h. 524
Perlu digaris bawahi bagaimana keadaan sesungguhnya yang terjadi di
antara pendukung Muawiyah di Syam, dan pendukung Ali di Kufah. Di Syam,
saat itu sedang diobral janji-janji, dan harapan sebagaimana diobralnya harta
kekayaan. Sementara di kufah hanya terdengar: "Barang siapa yang beroleh
petunjuk pada hakikatnya adalah untuk kepentingan dirinya sendiri. Dan
barangsiapa yang tersesat, maka pada hakikatnya untuk kerugian dirinya sendiri".
Sesudah itu, tak ada lagi yang lainnya dan tak ada pa-apa lagi. Tidak ada
janji dan tidak ada suap, tidak ada penyalahgunaan uang rakyat.
Sejarah Penolakan Muawiyah terhadap Ali di atas menyebabkan terjadinya
perang Shiffin dan salah satu sahabat senior Ammar bin Yasir terbunuh pada
peperangan ini. Beliau dibunuh oleh pasukan Syam. Dengan demikian nyata dan
terbuktilah apa yang telah disabdakan Nabi Muhammad bahwa Ammar dibunuh
oleh kelompok pembangkang. Imam Ahmad berkata, Sulaiman ibn Dawud telah
menceritakan kepada kami dari Amru ibn Dinar dari Hisyam dari Abu Sa’id al-
Khudri bahwa Rasulullah berkata kepada Ammar, “engkau akan dibunuh oleh
kelompok pembangkang”
Meskipun akhirnya pertikaian antara Ali dan Muawiyah akhirnya
dimenangkan oleh Muawiyah setelah kedua pihak bersepakat untuk berunding di
Daumatul Jandal dengan masing-masing pihak mengirim utusan juru runding
yaitu Amru ibn al-Ash dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak
Ali. Ketika dua juru runding bertemu, keduanya sepakat mencopot Ali dan tidak
mengukuhkan jabatan khalifah baik dari pihak Ali maupun Muawiyah, kemudian
menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin untuk memilih amir yang paling
cocok bagi mereka dari keduanya atau dari yang lainnya. Awalnya Amr ibn al-
Ash mempersilahkan Abu Musa al-Asy’ari maju. Setelah memanjatkan pujian
kepada Allah dan shalawat kepada Rasulullah, ia berkata,”Wahai manusia, setelah
membahas urusan umat ini, kami berkesimpulan bahwa tidak ada yang lebih baik
dan lebih dapat mewujudkan persatuan selain dari apa yang telah aku dan Amr
sepakati, yaitu kami mencopot Ali dan Muawiyah.
Setelah menyampaikan kalimatnya, Abu Musa al-Asy’ari mundur. Setelah
itu Amr maju dan menyampaikan,”Sesungguhnya, ia (Abu Musa) telah
menyatakan apa yang telah kalian dengar. ia telah mencopot kawannya dan
akupun telah mencopotnya sebagaimana dia. Akan tetapi, aku mengukuhkan
kawanku Muawiyah karena sesungguhnya ia adalah ’putera mahkota’ Utsman bin
Affan, penuntut darahnya, dan orang yang paling berhak menggantikannya.”57
Ungkapan Amr di atas sebenarnya telah dibantah oleh Abu Musa. Hal ini
dapat diketahui dengan menelaah kembali peristiwa dialog antara Amr dan Abu
Musa sebelum mengumumkan kesepakatan mereka. Berikut dialog tersebut
dijelaskan dalam buku Al- Akhbar Al-Thiwâl, buah tangan Abu Hanifah al-
Dainawari, sebagaimana telah dinukilkan oleh Khalid Muh. Khalid.
+ Hai 'Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridho
Allah?
'Amr menjawab: - apakah itu?
+ kita angkat Abdullah bin 'Umar. Ia tidak ikut campur sedikitpun dalam
peperangan ini.
57 Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah terj, h. 565
- dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Muawiyah?
+ Tak ada tempat Muawiyah di sini, dan tak ada haknya...!
- Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya?
+ Benar!
- Maka Muawiyah adalah wali dan penuntut darahnya, sedang kedudukan
atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagaimana telah anda
ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk
jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat
memberikan alasan bahwa ia adalah wali darah Utsman, sedang Allah Ta'ala
berfirman: "Barangsiapa yang dibunuh secara aniaya, maka kami berikan
kekuasaan kepada walinya..! "Di samping itu ia adalah saudara Ummu
Habibah, istri Nabi saw, juga salah seorang dari sahabatnya.
+ Takutilah Allah hai 'Amr!
Mengenai kemuliaan Muawiyah yang kamu katakan itu seandainya
Khilafah dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhak
terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja
Yaman Atthababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi.
Kemudian, apa artinya kemuliaan Muawiyah dibanding dengan Ali bin Abi
Thalib?. Adapun katamu bahwa Muawiyah wali Utsman, maka lebih utama
daripadanya adalah putera Utsman sendiri yakni 'Amr bin Utsman. Tetapi
seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali
Sunnah dan kenangan "Umar bin Khattab dengan mengangkat puteranya
Abdullah...
- Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat puteraku Abdullah
yang memiliki keutamaan dan keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah
dan bergaul dengan Nabi?
+ puteramu memang seorang yang benar!, tetapi kamu telah menyeretnya
ke lumpur peperangan ini. Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang
baik, putera dari orang baik, yaitu Abdullah bin "Umar.
- Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini
hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu
untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan..!
+ Keterlaluan engkau wahai "Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan
penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka berbunuhan dan
bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu kepada
fitnah!
- Jadi bagaimana pendapat anda?
+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan Khalifah itu dari keduanya – Ali dan
Muawiyah – dan kita serahkan kepada permusyawaratan kaum muslimin
yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
- Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak
keselamatan jiwa manusia.58
Setelah perundingan selesai, kasus tahkim berlangsung dan menempuh jalan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab 'Amr bin 'Ash, yang jelas Abu Musa telah
58 Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah,
(Bandung: Diponegoro, 1981) h. 660-662.
melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat. Dan 'Amr
telah menyetujui dan mengakui terikatnya dengan pendapat ini.
Awalnya Amr ibn al-Ash meminta Abu Musa untuk berpidato pertama
kali kemudian dilanjutkan dengan pemecatan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah.
Selanjutnya 'Amr maju dan berhasil memenangkan muslihatnya dengan cara
memecat Ali dan mengukuhkan Muawiyah sebagai Khalifah. Dari sinilah konflik
pun semakin meluas di kalangan kaum muslimin. Perpecahan pun tak dapat
dihindarkan, dan di antara kelompok yang kecewa pada saat itu adalah kelompok
khawarij. Merasa kecewa dengan peristiwa tahkim tersebut, akhirnya mereka
mengutus tiga orang untuk melakukan pembunuhan terhadap salah satu dari
golongan sahabat yakni Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah Ibn Abi Sofyan, dan 'Amr
ibn al-Ash. Salah satu di antara mereka yang berhasil melakukan pembunuhan
adalah Abdurrahman ibn Muljam yang telah melakukan pembunuhan terhadap Ali
ibn Abi Thalib pada tanggal 17 ramadhan 40 H.59
Peristiwa terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib disebabkan beliau tidak
mempunyai pengawal layaknya Muawiyah, sehingga pembunuhan gelap terhadap
beliau hanyalah merupakan pekerjaan yang tidak membutuhkan keuletan,
kekuatan ataupun keberanian yang istimewa, akan tetapi yang dibutuhkan tiada
lain hanyalah niat jahat, pikiran sesat, hati buta dan ambisi yang menyala-nyala.
Mengenai sikapnya terhadap pelaku pembunuhan tersebut, Imam Ali telah
melakukan tindakan yang sangat terpuji. Beliau berpesan kepada keluarga dan
putera-puteranya, "Perlakukanlah ia dengan sebaik-baiknya, hormatilah
59 Imam al-suyuthi, Tarikh Khulafa,terj, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2001) h. 202-203
martabatnya sebagai manusia, kalau aku masih hidup, maka akulah yang lebih
berhak atasnya, apakah aku akan menuntut qishas atau memaafkannya? ...60
Ali digantikan oleh anaknya Hasan setelah kurang lebih satu tahun, dan
terjadilah suatu perjanjian damai antara Hasan dan Muawiyah. Adapun Hasan
melepaskan tuntutannya atas kekhalifahan. Sejak saat itulah tongkat kekhilafahan
berada di tangan Muawiyah. Oleh karena itu, tahun ini disebut sebagai tahun
persatuan (â'mul jamâ'a).61
Satu hal yang perlu digarisbawahi atas terpilihnya Muawiyah sebagai
khalifah, yaitu adanya pengakuan atau pembaiatan terpaksa disebabkan realita
saat itu yang menghendaki terciptanya kesatuan umat. Dhiauddin Rais menilai
"bahwa pada detik ini telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita, dan
sistem kekhilafahan dilihat dari asas yang mendasarinya mulai menyimpang ke
arah monarki."62
Sistem kekhilafahan mengalami perubahan ke arah sistem kerajaan pada
masa Muawiyah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah telah menunjuk puteranya
Yazid sebagai khalifah penggantinya. Dan ia telah menyeru kepada penduduk
Syam untuk membaiat puteranya Yazid. Dengan demikian peluang konflik pun
meluas dalam barisan kaum muslimin.
Mengenai perselisihan antara Ali dan Muawiyah di atas, Ibnu Khaldun
menjelaskan bahwa perselisihan di antara keduanya merupakan konsekuensi
solidaritas sosial yang timbul dan berpedoman pada kebenaran dan ijtihad.
60 Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, (Bandung:
Diponegoro, 1984) h.591-592
61
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.137
62 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.140
Mereka tidak berperang untuk tujuan duniawi atau untuk preferensi tak berharga,
atau untuk kebencian personal, sebagaimana disangkakan oleh sebagian orang dan
diperkirakan oleh para ateis. Akan tetapi, sebab perselisihan mereka adalah ijtihad
tetntang kebenaran.
Disebabkan watak kedaulatan yang senantiasa mengharuskan pemiliknya
mempertahankan kedaulatan itu sendiri, maka baik pihak Ali maupun Muawiyah
berusaha mempertahankan kedaulatan yang mereka akui adalah hak mereka.
Meskipun sebenarnya Ali yang benar, tujuan Muawiyah tidaklah jahat. Karena
sesungguhnya ia hanya ingin memperoleh kebenaran. Akan tetapi Muawiyah
lebih terpengaruh oleh karakter natural sebuah kerajaan dalam memonopoli
kekuasaan serta mengedepankan fanatisme primordialnya. Kecenderungan inipun
dirasakan oleh Bani Umayyah sehingga apabila Muawiyah memaksa untuk
mengubah kecenderungan mereka ini, maka pastilah terjadi perpecahan.
Adapun yang dimaksud dengan fanatisme primordial dalam pandangan
Ibnu Khaldun adalah ikatan-ikatan solidaritas dan gotong royong dalam lingkup
satu keluarga atau satu kabilah tertentu. Keluarga atau klan yang terkuat pastilah
yang memiliki kekentalan fanatisme primordial yang paling kuat dan selanjutnya
paling memiliki kekuatan penekan. Karena itu, fanatisme primordial akan
menjurus ke arah sistem kerajaan sebagai sesuatu yang natural. 63
Pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah pengganti Ali sesungguhnya
berlangsung tidak melalui forum pembaiatan yang bebas atau melalui pemilihan
dari semua umat. Yang membaiat Muawiyah untuk pertama kali adalah penduduk
63 Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam. h.146
Syam yang ketika itu berada di bawah kekuasaannya, kemudian barulah
Muawiyah dibaiat oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan. Disebut
tahun persatuan disebabkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang didukung oleh
sebagian pendukungnya sebagai pengganti Khalifah Ali yang terbunuh oleh
tikaman Ibnu Muljam bersedia berdamai dengan Muawiyah bahkan berbaiat
kepadanya demi menyelamatkan darah kaum muslimin. Meskipun keputusan ini
ditentang oleh saudaranya Husein, namun kebenaran berada di pihak Hasan.
Dengan berakhirnya kekhilafahan Hasan bin Ali maka genaplah masa
kepemimpinan Khulafâ al-Rasyidun selama tiga puluh tahun. Hasan melepaskan
kekhalifahan kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awal tahun 41 H. Berarti
genap tiga puluh tahun setelah Rasulullhah wafat pada bulan Rabiul Awal tahun
11 H. Telah dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda,” Khilafah sesudahku tiga
puluh tahun, setelah itu akan muncul raja-raja.”64
Sistem kekhilafan mengalami perubahan ke sistem kerajaan setelah
Muawiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan kepada anaknya
Yazid. Dengan perubahan ini, maka mulailah prinsip warisan diterapkan dalam
pergantian kekuasaan. Hal ini bertentangan dengan sistem kekhilafahan
sebelumnya yang menerapkan sistem syurô dalam pemilihan Khalifah dan pilihan
dengan baiat, dan bukan dengan sistem warisan keturunan.
Bani Umayah telah berhasil mengokohkan kekuasaannya di Damascus
selama 90 tahun (661-750). Berikut nama-nama pemimpin Bani Umayyah:
Muawiayh 1 ibn Abu Sofyan (661-680), Yazid 1 (680-683), Muawiyah II (683-
64 Ibnu Katsir, Al- Bidayah wa Al- Nihayah terj, h. 537
684), Marwan I ibn al-Hakam atau Marwan Ibn Hakam (684-685), Abdul Malik
(685-705), al-Walid I (705-715), Sulaiman (715-717),'Umar ibn Abdul Aziz (717-
743), al-Walid II (743-744), Yazid III (744), Ibrahim (743), dan Marwan II (744-
750).65
B. Pola Pengangkatan Kepala Negara Dalam Sistem Kerajaan
Peralihan kekuasaan khilafah ke tangan Bani Umayyah telah menggeser
sistem syuro dalam pengangkatan khilafah dan hal ini pulalah yang menyebabkan
kedaulatan itu berpindah dengan sistem warisan turun temurun. Mengenai hal ini
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kedaulatan merupakan sesuatu yang alami
dengan prinsip Ashabiyah, yang begitu mewatak telah membawa Muawiyah
masuk ke dalam gerombolannya. Bani Umayyah yang mengikutinya pun
berkumpul mengelilinginya dan bersedia mati untuknya. Apabila Muawiyah
berusaha membawa keluar dari jalan itu, menentang mereka dan tidak lagi
menuntut semua kekuasaan menjadi miliknya dan milik mereka, maka tindakan
demikian berarti dissolusi dari kata bulat yang telah dikonsolidasikan.66
Diceritakan bahwa ide awal pewarisan kekhilafahan berasal dari al-
Mughirah bin Syu’bah yang menjabat Gubernur Kufah pada masa kekuasaan
Muawiyah. Dia menyarankan kepada Muawiyah untuk mengangkat anaknya
Yazid menjadi Khalifah. Mughirah menjelaskan kepada Muawiyah, “Wahai Amĭr
al-mu’minin, engkau telah menyaksikan pertumpahan darah dan perselisihan
setelah kematian Utsman, dan Yazid layak engkau jadikan penggantimu. Maka
65 Ensiklopedi Islam, Jilid 7, h. 181
66 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h.253
wariskanlah kekhalifahan kepadanya dan kalaulah terjadi suatu musibah yang
menimpa dirimu maka pewarisan khilafah ini dapat menjadi tempat pelindung
rakyat dan penggantimu menjadi pelindung mereka, lalu darah tidak akan
berceceran serta fitnah tidak akan terjadi”. Muawiyah mulai melaksanakan ide
tersebut setelah dia meminta pendapat Ziyad, Gubernur Bashra ketika itu. Ziyad
menulis surat kepada Muawiyah untuk tidak berlaku gegabah dan tidak perlu
tergesa-gesa. Muawiyah menerima saran Ziyad. Akan tetapi, setelah Ziyad wafat
pada tahun 53 Hijriyah, keinginan Muawiyah untuk membaiat Yazid anaknya
semakin kuat. Karena itu, Muawiyah menulis surat kepada Marwan bin hakam,
Gubernur madinah yang bunyinya: ‘Sesungguhnya aku semakin tua dan tulangku
telah rapuh. Aku khawatir akan terjadi perselisihan sesama umat setelah
kematianku. Untuk itu aku berpendapat untuk memilih seseorang yang akan
menggantikanku, dan aku tidak senang memutuskan suatu perkara tanpa meminta
nasihat darimu. “Muawiyah juga menulis surat kepada gubernur-gubernurnya
untuk mengirimkan delegasi-delegasi yang representatif dari kota-kota besar.
Maka, datanglah kepada Muawiyah delegasi-delegasi dari kota Bashra, Kufah,
dan Madinah yang berkumpul dalam sebuah pertemuan menyerupai konferensi.
Para juru bicara menyampaikan pandangan mereka dan mengungkapkan
dukungan mereka terhadap pembaiatan yazid. Baiat ini terjadi pada tahun 56
Hijriyah.67
Tidak berbeda dengan pandangan di atas, Abul A’la Al-Maududi
menambahkan bahwa setelah Muawiyah memerintahkan berkumpulnya para
67 Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam. h.146
delegasi tersebut, lalu ia menyampaikan maksudnya, dan orang-orang pun
menjawab dengan berbagai pidato yang berisi sambutan baik, kecuali Ahnaf ibn
Qais, yang tidak mengucapkan sepatah kata pun, sehingga Muawiyah bertanya
kepadanya: “Bagaimana Pendapatmu, wahai Abu Bahr?’ katanya: “kami takut
kepada anda apabila kami berdusta. Dan Anda, wahai Amîr al- Mu’minîn, lebih
mengenal Yazid di malam hari atau di siang harinya, dalam rahasianya ataupun
perbuatannya secara terang-terangan, keluarnya dan masuknya. Maka jika Anda
mengetahuinya sebagai seorang yang diridhai Allah dan umat-Nya, tidak perlu
lagi anda meminta nasihat orang lain. Tapi apabila Anda mengetahui bahwa ia
tidak seperti itu, maka janganlah Anda memberikan kepadanya bekal dunia,
sedangkan Anda sedang menuju ke akhirat. Sedangkan kami tidaklah sepatutnya
mengatakan sesuatu kecuali sami’na wa atha’na.68
C. Faktor Pengangkatan Yazid Sebagai Putera Mahkota Setelah Muawiyah
Dengan menggunakan pisau analisa al-ashabiyah, Ibnu Khaldun
menjelaskan bahwa indikasi diangkatnya Yazid putera Muawiyah sebagai putera
mahkota tidak lebih disebabkan karena adanya ikatan solidaritas kekeluargaan
yang sangat kuat dalam kelompok Banu Umayyah. Dan sudah dapat dipastikan
hampir setiap sistem kerajaan tentunya dilatarbelakangi oleh rasa fanatisme
primordial yang sangat kuat dalam lingkup keluarga atau kabilah tertentu.
Walaupun sebenarnya Muawiyah mengangkat Yazid sebagai penggantinya
disebabkan keinginannya untuk menjaga kemaslahatan rakyat dalam kesatuan
68
Abul A’la Al-Maududi, diterjemahkan dari Al-Khilafah wa Al-Mulk, (Bandung:
Mizan, 1996) h.194
dan kebersatuan aspirasi mereka, akan tetapi hal yang paling utama diambilnya
keputusan tersebut disebabkan oleh kekhawatiran Muawiyah terhadap tekanan
Banu Umayyah yang tidak rela apabila khalifah bukan dari kalangan mereka. Ibnu
Khaldun menjelaskan: “demikian pula, Muawiyah memilih Yazid sebagai
penggantinya, karena dia khawatir akan terjadi dissolusi dari kata bulat, lantaran
orang-orang Bani Umayyah tidak ingin melihat kekuasaan berpindah tangan
kepada orang lain, seandainya Mu’awiyah memilih orang lain menjadi
penggantinya, Bani Umayyah akan menentangnya. lagi pula, mereka
mengganggap Yazid orang yang saleh. Seandainya Muawiyah tahu tak ada
seorang pun yang memilih Yazid menjadi penggantinya, maka ia pun tidak
memilihnya dan dia yakin benar dosa ada padanya. Asumsi demikian harus sama
sekali lenyap dari alasan Mu’awiyah.”69
.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun tidak
menyalahkan keputusan Muawiyah, bahkan seorang imam tidak dapat dituduh
meunjukkan keberpihakannya kepada salah seorang keluarganya dalam
mengangkat putera mahkota apabila hal itu sepenuhnya dilandasi karena
perhatiannya kepada rakyat. Dalam hal ini pengangkatan Yazid tidak lebih
disebabkan keinginan Muawiyah untuk menjaga kemaslahatan dalam rakyat.
Berbeda halnya dengan pendapat di atas Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris berbalik menentang argumen Ibnu Khaldun. Ia menjelaskan bahwa Islam
tidak membenarkan khilafah didasarkan pada keturunan yang berkisar pada
keturunan orang tertentu: anak dan cucu. Khilafah adalah melalui syura, tidak
69 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 253-254
melalui pengangkatan berdasarkan keturunan. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu
agar menyampaikan amanat kemada yang berhak menerimanya dan
memerintahkan apabila menetapkan hendaklan dengan adil”70
Sebagaimana diketahui bahwa amanat adalah segala sesuatu yang
diberikan kepada manusia sebaga titipan berupa harta maupun kepemimpinan
seperti khilafah. Dan khusus kepada khalifah untuk menunaikan amanat tersebut.
Apabila ia merasa ajal telah dekat, maka hendaklah ia menyerahkannya kepada
ahl al-hill wa al-aqd.71
D. Substansi Kekhalifahan Era Muawiyah
Berangkat dari penolakan Muawiyah terhadap Kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib, maka sebenarnya penolakan tersebut murni berdasarkan ijtihad Muawiyah
yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib kurang tegas dalam menyikapi
orang-orang yang telah membunuh Khalifah Utsman bin Affan dan Muawiyah
berkeyakinan bahwa beliau adalah orang yang pantas menggantikan jabatan
khalifah karena adanya hubungan darah yang lebih dekat kepada khalifah Utsman,
sedangkan Ali bin Abi Thalib dianggap belum sah menjabat sebagai khalifah
karena belum sepenuhnya didukung oleh kaum muslimin seperti halnya
masyarakat Syam yang dipimpin langsung oleh Muawiyah.
70
Al-Qur’an, An-Nisâ: 58. 71
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Rabbani Press,
2000) h. 169-171.
Penolakan Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai
pembangkangan oleh Khalifah Ali oleh karena itu Muawiyah dalam hal ini
digolongkan dalam kelompok “pemberontak” (bughat).
Terlepas dari pertikaian keduanya seharusnya kitapun bisa menyikapi
dengan adil kepada keduanya. Bagaimanapun Ali dan Muawiyah adalah para
sahabat Nabi Muhammad dan telah berjuang bersama dalam meluaskan ekspansi
kekuasaan negara Islam. mengenai hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa
penyebab dari perselisihan mereka adalah ijtihad tentang letak kebenaran.
Masing-masing menentang pendapat sahabatnya dengan ijtihadnya tentang
kebenaran itu. Mereka saling menyerang. Meskipun sebenarnya Ali yang benar,
tujuan Muawiyah tidaklah jahat. Sesungguhnya dia ingin memperoleh kebenaran,
pokoknya, tujuan mereka sama-sama benar.72
Sebagaimana Khalifah Ali bin Abi Thalib yang dinilai memiliki banyak
keutamaan dan kecakapan dalam pemerintahan serta usahanya yang gigih untuk
menerapkan syari’at Islam, maka begitupun Muawiyah memiliki kemauan dan
usaha yang sama dalam menegakkan syari’at Islam, namun bedanya Muawiyah
lebih memiliki sikap ashabiyah yang tinggi terhadap kelompoknya yakni Banu
Umayyah. Hal ini disebabkan Muawiyah tidak bisa menolak kebutuhan alami dari
kedaulatan untuk dirinya dan rakyatnya. Kedaulatan merupakan sesuatu yang
alami dengan solidaritas sosial yang begitu mewatak, membawanya masuk ke
dalam kelompoknya.73
72
Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 253 73 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 253
Susbstansi kekhalifahan pada masa Muawiyah awalnya sangat konsisten
dalam mengemban jabatan tersebut, dia berusaha menjaganya dan senantiasa
menjunjung masalah-masalah mulia serta menghindari yang jahat, begitupun
dengan beberapa khalifah penggantinya dari Bani Umayyah seperti Marwan bin
Hakam dan Umar ibn abdul ‘aziz, akan tetapi setelah akhirnya khilafah diserahkan
kepada putera-putera mereka yang senang berfoya-foya, yang tujuan mereka
terutama adalah pemenuhan nafsu syahwat serta kesenangan yang merupakan
maksiat, mereka masa bodoh dengan tipu daya yang diperbuatnya , dan seenaknya
melakukan muslihat dengan tidak memperhatikan lagi tugas khilafah dan
meremehkan hak kepemimpinan. Mereka pun lemah berpolitik, sehingga Allah
mencabut kemuliaan yang ada pada mereka, dan menggantikannya dengan
kehinaan , serta melenyapkan kenikmatan yang selama ini mereka rasakan. 74
Tidak diragukan lagi bahwa Muawiyah samgat berperan besar dalam
menyebarluaskan Islam. Pada masa pemerintahannya telah banyak terjadi
penaklukan seperti penaklukan atas negeri Turki dan Armenia. Kedua daerah ini
awalnya berada di bawah kekuasaaan Bizantium. Dengan pasukan armadanya
yang sangat kuat Muawiyah pun berhasil mengambil alih laut tengah. Dengan
armada tersebut Muawiyah dapat menguasai pulau di sekitar Arkhabil (Archipel)
yang terletak antara Yunani, Turki, dan Pulau kreta, bahkan lebih jauh
pasukannya juga berani menghadapi pasukan Bizantium. Tidak berhenti
melakukan penaklukan di wilayah Timur ini, Pasukan Bani Umayyah
74 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h.255
mengalihkan penaklukannya ke arah barat dan berhasil menaklukkan Afrika
Utara, Andalusia, bahkan sampai ke Perancis pada masa generasi berikutnya.75
Selain penaklukan yang dilakukan oleh Muawiyah, ia pun dikenal dengan
seorang pemimpin yang setia menegakkan aturan dan etika Islam serta mengikuti
Sunnah nabi Muhammad. Sebagaimana yang dijelaskan dalam karyanya
Tarikhuna al-Muftara'Alaih yang telah ditejemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul Meluruskan Sejarah Islam, Yusuf Al-Qardlawi menjelaskan
beberapa keutamaan Muawiyah sebagai berikut: Muawiyah sangat setia
menegakkan Sunnah Nabi Muhammad. Dikisahkan dari Said Ibn al-Musayyab
dan hamd Ibn Abdu al-Rahman ibn Auf, bahwa dalam kunjungan terakhirnya ke
Madinah, Muawiyah naik Mimbar Nabi Muhammad lalu beliau berkata: "Wahai
penduduk Madinah. Kenanakah orang-orang yang paling memahami agama di
antara kalian? Sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah
mengomentari hari ini (hari asyura): "siapa saja di antara kalian yang ingin
berpuasa, maka berpuasalah." Dalam sebuah riwayat ditambahkan, lalu Muawiyah
berkata: "oleh sebab itu, pada hari ini aku berpuasa." Mendengar itu, maka
penduduk Madinah pun spontan langsung berpuasa. Lalu Muawiyah berkata:
"Aku juga mendengar bahwa Rasulullah melarang menyambung rambut
(memasang sanggul), sambil berkata: " Sesungguhnya salah satu penyebab
kehancuran bani Israil adalah karena para wanita melakukan hal seperti itu."76
75 Ensiklopedi Islam, Jilid 5, h. 52
76
Hadits ini dan riwayat lainnya tentang Muawiyah diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam al-Musnad lebih dari satu kali, di antaranya adalah pada nomor: 16867, 16868, 16891, dan
16856. demikian pula Imam Muslim meriwayatkan dalam hadits nomor: 1129 h. 126, dan semua
hadits tersebut adalah shahih.
Dengan adanya hadits di atas, Yusuf al-Qardlawi mengomentari; "dalam
hadits tersebut kita mendapatkan, betapa Muawiyah sangat setia menegakkan
Sunnah Rasulullah seperti puasa Asyura, di mana saat itu, menurut Muawiyah
masyarakat sudah tidak menghiraukannya lagi. Demikian pula kita mendapatkan
bahwa Muawiyah orang yang sangat tegas dalam melarang umat Islam meniru-
niru wanita Yahudi dengan menggunakan perhiasan dan menyambung rambut.77
Mengenai kemunduran Bani Umayyah, Ibnu Khaldun mengisahkannya
dalam bentuk cerita tentang pertemuan Abu Ja’far al- Mansur dengan raja
Naubah ketika dia masuk ke daerah itu karena melarikan diri di masa
pemerintahan a-Saffah. Abu Ja’far memanggil Abdullah Ibn Marwan, dan dia pun
menceritakan kisahnya. Katanya: “Saya tinggal cukup lama di siang hari itu.
Kemudian saya didatangi raja mereka. Dia duduk di atas tanah, padahal dia
menghamparkan alas yang mahal untuk saya. Saya tanyakan kepadanya mengapa
dia tidak mau duduk di atas alas yang tersedia?. Raja menjawab: Saya seorang
raja, dan setiap raja harus tunduk akan kebesaran Allah, sebab Allah yang
mengangkatnya. Lalu raja itu bertanya kepada saya: ‘Mengapa Anda minum
khamr padahal di dalam kitab suci Anda khamr itu diharamkan ?. ‘saya jawab:
‘Hamba dan pengikut-pengikut kami berani melakukan yang demikian’. Tanyanya
lagi: ‘Mengapa tuan-tuan merusak tanaman dengan ternak tuan, padahal
melakukan pengrusakan diharamkan kepada tuan-tuan?’ jawab saya: ‘hamba dan
pengikut-pengikut kami melakukannya tanpa pengetahuan’. Tanyanya pula:
‘Kenapa tuan-tuan memakai baju dari sutera dan emas, padahal semua
77
Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005)
h.98.
diharamkan kepada tuan-tuan dalam kitab suci tuan?.’ Kata saya: ‘kami punya
kekuasaan. Lalu kami menguasai bangsa non-Arab yang lalu masuk ke dalam
agama kami. Kemudian sebagian kami melakukan hal-hal terlarang itu’. Dia
terpekur menggerak-gerakkan tangannya di atas tanah. Katanya: ‘Hamba kami,
pengikut-pengikut serta orang-orang non-Arab masuk agama kami!’. Raja itu
mengangkat wajahnya menatap saya, seraya mengatakan; ‘Tidak, bukan seperti
yang anda katakan! Tapi, sebaliknya, Anda adalah orang yang menghalalkan
segala yang diharamkan Allah, melakukan larangan-Nya, dan menyelewengkan
kekuasaan yang telah anda miliki. Allah pun merampas kekuasaan anda, dan
menggantikannya dengan kehinaan atas dosa-dosa yang telah anda lakukan. Saya
khawatir balasan siksa akan menimpa tuan, padahal sekarang anda berada di
negeri saya. Bila azab itu jatuh, saya akan terkena cipratannya. Dan batas bertamu
tiga hari. Karena itu, ambillah segala perbekalan yang dibutuhkan, lalu
berangkatlah, tinggalkan negeri kami”. Al- Mansur heran, takjub, dan tafakur.78
Sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat diketahui bagaimana khilafah
berubah menjadi berdasarkan kedaulatan. Pada mulanya, bentuk pemerintahan
adalah khilafah. Masing-masing pribadi memilki pengaruh kendalinya dalam diri
sendiri, yaitu pengaruh kendali agama. Umat Islam lebih memperhatikan agama
daripada mengurusi dunia, padahal mengesampingkan urusan dunia dapat
menyebabkan kehancuran mereka sendiri. Demikian sebaliknya jikalau dunia
lebih diutamakan dan tidak memperdulikan agama, maka akan terjadi kehancuran
yang sama.
78 Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, h. 255-256
Dengan demikian, telah nampak bagaimana terjadinya pergantian khilafah
menjadi kerajaan setelah pemerintahan Muawiyah. Namun demikian, ciri-ciri
yang merupakan watak khas khilafah tetap ada, yakni, preferensi terhadap Islam
serta mazhab-mazhabnya, dan taat mengikuti jalan kebenaran. Perubahan nampak
hanya pada pengaruh kendali, yakni Islam, dan kini berubah menjadi solidaritas
sosial dan pedang.
Mengenai peralihan kedaulatan di atas akhirnya banyak menuai kritikan
dari berbagai penulis sejarah yang mana sebagian berpendapat bahwa Dinasti
Umayyah adalah sebuah Dinasti Madani. Artinya ia tidak ada sama sekali
kaitannya dengan agama. Sebagian lagi berpendapat bahwa Dinasti Umayyah
adalah Dinasti Arab dan bukan Dinasti Islam.
Hal di atas telah dibantah oleh Ibnu Khaldun yang mana ia telah
menjelaskan bagaimana awalnya Dinasti Umayyah dijalankan dengan sangat
konsisten berjalan pada jalur kekhalifahan yang menjunjung masalah-masalah
mulia serta menghindari yang jahat.
Disebabkan beragam distorsi penulisan sejarah Bani Umayyah, Yusuf Al-
Qardlawi sependapat dengan Ibnu Khaldun, bahkan ia menyatakan bahwa pada
dasarnya, Muawiyah dan Bani Umayyah secara umum, sejarah mereka telah
dizalimi oleh dua kelompok. Kelompok pertama adalah para penulis sejarah yang
hidup setelah jatuhnya Bani Umayyah. Setelah itu kekuasaan digantikan oleh Bani
Abbas. Kelompok kedua, yang mengkhianati sejarah Bani Umayyah adalah para
penulis sejarah modern. Mereka adalah orang yang tidak suka dengan sikap
politik Bani Umayyah.79
Dinasti Umayyah adalah dinasti yang menyebarluaskan Islam ke seluruh
pelosok bumi, sehingga bermunculan berbagai lembaga pendidikan, serta
dimulainya kodifikasi berbagai cabang ilmu pengetahuan. Dinasti ini juga banyak
memelopori berbagai macam penaklukan di barat dan di timur, bahkan utara dan
selatan.
Selain itu, Dinasti Umayyah juga memiliki empat orang perwira militer
yang tangguh. Semuanya berperan dalam berbagai penaklukan negara-negara
besar. Di antara mereka adalah:
a. Maslamah ibn Abd Al-Malik yang memimpin penaklukan Cina
b. Quraibah Ibn Muslim Al-Bahili yang berhasil menaklukan
Samarkhan dan sekitarnya
c. Muhammad ibn Al-Qasim yang berhasil menaklukkan India
d. Musa ibn Nushair beserta Thariq ibn Yazid yang berhasil membuka
pintu Eropa menaklukkan Andalusia80
Selain menjelaskan tentang peranan Dinasti Umayyah bagi penyebaran
Islam, Yusuf Al-Qardlawi pun mengkritik berbagai distorsi sejarah yang ditulis
oleh berbagai kalangan seperti Abu Al-A’la Al-Maududi dari Pakistan dengan
karyanya Al-Khilafah wa Al-Mulk. Begitu juga Sayyid Quthub dengan karyanya
79
Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Islam, h.108-110.
80 Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Islam, h.86
al-Adalah al-Ijtimâ’iyyah fi al-Islam, Muhammad Al-Ghazali dengan karyanya
Al-Islam wa al-Istibdâd al-Siyasi, dan Abu Hasan al-Nadwi. 81
81
Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Islam, h. 85-88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun sebenarnya syariat agama tidak
mengecam kedaulatan raja (mulk) dan tidak pula melarang pelaksanaanya. Syariat
hanya mencela akibat buruk yang ditimbulkannya, seperti tirani, kezaliman, dan
enak-enakan. Sebaliknya syariat agama memuji keadilan, kejujuran,
melaksanakan tugas-tugas agama, dan membelanya. Jadi, celaan itu tertuju pada
kedaulatan hanya disebabkan oleh sebagian dari akibat sampingan dan kondisi-
kondisinya, bukan lainnya. Adapun mengenai lembaga imamah meskipun
dianggap penting (wajib) menurut ijma', akan tetapi perlu ditambahkan bahwa
keperluan akan lembaga itu merupakan satu Fardl al-kifayah, dan mengenai itu
terserah kepada ikhtiar dari pemuka-pemuka muslim yang berkompeten (ahl al-
'aqd wa al-hilli).
Kembali kepada permasalahan Muawiyah yang telah mengganti sistem
kekhalifahan yang seharusnya kepemimpinan itu di tangan Ali, maka
sesungguhnya Muawiyah tidaklah disalahkan sepenuhnya, akan tetapi watak
kedaulatan yang senantiasa mengharuskan seseorang untuk mengakui semua
kemuliaan miliknya sendiri, tidaklah heran apabila Muawiyah berusaha untuk
mempertahankannya. Lebih jauh ternyata Muawiyah telah masuk ke dalam watak
kedaulatan yang senantiasa memiliki kebutuhan alami dari kedaulatan untuk
dirinya dan rakyatnya. Maka ia pun tidak bisa melepaskan diri dari sikap
Ashabiyah terhadap kelompoknya yakni Bani Umayyah. Terlebih ketika mereka
pun bersedia untuk membela Muawiyah dan bersedia mati untuknya.
Keinginan Muawiyah untuk menunjuk puteranya Yazid sangatlah
beralasan. Hal ini disebabkan kekhawatirannya akan perpecahan umat Islam
setelah kepergiannya. Muawiyah sangatlah dihormati dan disegani karena ia pun
masih menjaga substansi pemerintahannya dengan tetap menjaga hak-hak kaum
muslimin. Akan tetapi ketetapannya memilih Yazid sebagai penggantinya telah
menggeser tata cara pemilihan kepala negara yang sebelumnya sangat
menghormati hak-hak suara mayoritas kaum muslimin yang terjaga dengan sistem
syuronya semenjak Abu Bakar terpilih hingga khalifah Ali bin Abi Thalib.
Dengan demikian berarti Muawiyah telah membawa suatu tradisi baru yang
mengubah karakter pemerintahan dalam Islam.
Mengenai substansi kekhalifahan pada masa dinasti Umayyah, Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa meskipun bentuk luar kekhalifahan ini telah berubah
menjadi kerajaan, makna substansialnya tetap bertahan. perubahannya hanya
terdapat dalam motif kesadarannya dari agama menjadi fanatisme primordial dan
kekuatan senjata. Itulah yang berlangsung pada masa Muawiyah, Marwan, dan
anaknya Abdul Malik, juga masa-masa awal Dinasti Abbasiyah sampai masa Al-
Rasyid dan sebagian keturunannya. Adapun dengan masa-masa akhirnya, dia
berkata: "kemudian makna-makna substansial tersebut punah, sehingga yang
tertinggal hanya namanya, berubah menjadi kerajaan total."82
82M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h.150
Ibnu Khaldun meringkas periode-periode kekhilafahan itu sebagai berikut:
periode pertama adalah periode Khulâfa al-Rasyidŭn yang merupakan
kekhalifahan yang murni dan sempurna. Periode kedua adalah periode khalifah-
khalifah Umawiyyin dan Abbasiyyin. Periode ini merupakan periode kekhalifahan
yang bercampur dengan kerajaan atau kerajaan yang bercampur dengan
kekhilafahan.
B. Saran
Dalam menyikapi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, maka seharusnya
kita sikapi sebagai perbedaan ijtihad dan tidak perlu mengecam, menuding atau
menyalahkan sepenuhnya kepada salah satu pihak. Dan sikap yang paling baik
adalah bagaimana seharusnya umat Islam saat ini dapat mengambil hikmahnya.
Bagaimanapun perpecahan dan pertentangan di antara umat Islam hanya akan
menyisakan kerugian baik materi maupun jiwa.
Adapun 'Amr bin 'Ash, penulis berdo'a semoga Allah menganpuninya.
Sebagaimna diketahui ketika menjelang wafatnya pada tahun ke-43 H. Ia
mengemukakan riwayat hidupnya, katanya:
"Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali
terhadap Rasulullah hingga seandainya aku meninggal pada saat itu,
pastilah masuk neraka..!
Kemudian aku baiat kepada Rasulullah, maka tak seorang pun di antara
manusia yang lebih kucintai, daripada beliau..!
Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak
sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa
menatapnya sepenuh mataku..!
Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi
penduduk surga...!
Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan
begitupun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan
membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian..!
Lalu ia mengangkat kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk,
sambil bermunajat, katanya:
"Wahai Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon
dimaafkan..!
Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi pertolongan..!
Sekiranya daku tidak beroleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah
nasibku..!83
Mengenai pandangan Ibnu Khaldun di atas, yakni sistem khilafah
hukumnya fardl al-kifayah, maka sepatutnya bisa dipikirkan oleh para pemuka
kaum muslimin. Terlepas dari perbedaan pandangan tentang hukum di atas, akan
tetapi sebenarnya substansi dari kekhalifahan itu paling tidak bisa dijalankan pada
saat ini. Wallahu a'lam.
83 Khali MUh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasululah, h.664
DAFTAR PUSTAKA
Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Sistem Politik Islam, Jakarta: Rabbani Press,
2000
Al-Maududi, Abul A’la, diterjemahkan dari Al-Khilafah wa Al-Mulk, Bandung:
Mizan, 1996.
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthâniyah, Beirut: Maktabah ‘Ashriyah, 2000.
Al-Mubarak, Muhammad , Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, Solo:
Pustaka Mantiq, 1995.
Al-Qardhawi, Yusuf, Meluruskan Sejarah Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005.
Al-Qarni, Aidh, Isy Karîman terj, Jogyakarta: Diva Press, 2006
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005, Jilid 3.
Esposito, John L, Islam Warna Warni, Jakarta: Paramadina, 2004
Fuad Baali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1989.
Hourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Bandung: Mizan, 2004.
Ibnu Katsir, Al- Bidayah wa Al- Nihayah terj, Jakarta: Dârul Haq, 2004
Ibnu Khaldun, Muqoddimah, Mesir: Mustofa Muhammad.
Ibnu Khaldun, Muqoddimah terj, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. .
Imam al-suyuthi, Tarikh Khulafa, Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2001
Ja’farian, Rasul, Sejarah Islam, Jakarta: Lentera, 2003.
Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung:
Diponegoro, 1984.
Khalid Muh Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah,
Bandung: Diponegoro, 1981.
Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Republika, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, Jakarta: Republika,
2002.
Ramadhan Al Buthy, Muhammad Sa’id, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani
Press, Cet XI, 2006.
Syafi’i Ma’arif, Ahmad, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat, Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Politik, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990.