IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian
4.1.1 Keadaan Fisik Wilayah Penelitian
Desa Genteng berada di wilayah Kecamatan Sukasari, Kabupaten
Sumedang. Desa Genteng terdiri dari 19 Rukun Warga (RW) dan 76 Rukun
Tetangga (RT). Topografi Desa Genteng termasuk dataran tinggi/pegunungan dan
perbukitan dengan luas lahan 1300 ha dengan ketinggian 1200-1300 meter diatas
permukaan laut, memiliki temperature lingkungan 18-22oC, dan kelembaban 60-
70% (Data Monografi Desa Genteng, 2016).
Secara administratif Desa Genteng memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Tanah Kehutanan Manglayang Timur
Sebelah Selatan : Desa Banyuresmi
Sebelah Barat : Desa Sukasar
Sebelah Timur : Kecamatan Tanjungsari
4.1.2 Keadaan Penduduk Wilayah Penelitian
Penduduk di Kecamatan Sukasari berjumlah 6.424 jiwa yang terdiri dari
3.290 laki-laki dan 3.134 perempuan. Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa
Genteng adalah sebagai petani, pekebun, dan peternak (Data Monografi Desa
Genteng, 2016). Sebagian besar penduduk Desa Genteng yang memiliki mata
pencaharian sebagai petani, pekebun dan peternak karena merupakan usaha
keluarga. Usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan berkembang
32
secara turun temurun dari generasi ke generasi yang kemudian membentuk tradisi
bertani, berkebun dan beternak di masyarakat.
Faktor lain yang mendukung masyarakat di Desa Genteng mayoritas
menjalankan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan adalah
keadaan wilayah dan kondisi tanah yang mendukung untuk dijadikan area
pertanian dan perkebunan.
4.1.3 Keadaan Peternakan Wilayah Penelitian
Pemeliharaan ternak di Desa Genteng pada umumnya banyak dijadikan
penduduk sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan. Jenis ternak yang
paling banyak dipelihara di Desa Genteng adalah ternak domba, mayoritas peternak
memelihara jenis ternak domba garut. Kebanyakan peternak didaerah Desa
Genteng hanya memelihara ternak 2-7 ekor domba, hal ini disebabkan oleh
keterbatasan peternak dari segi modal. Sistem jual beli ternak di Desa Genteng
dapat dilakukan peternak dengan cara konsumen yang langsung datang kepada
peternak, ataupun dengan cara peternak menjual ternaknya ke broker/pedagang
pengumpul kemudian baru kekonsumen akhir. Selain dijual sebagai ternak
pedaging, dalam meningkatkan harga jual hasil produksi peternakan, yakni melalui
kegiatan tradisional seperti kontes domba garut, ataupun seni ketangkasan domba
garut, kegiatan tersebut dapat meningkatkan harga hingga puluhan juta per satu
ekor domba (Data Monografi Desa Genteng, 2016).
4.2 Profil Kelompok
Kelompok Saung Domba berdiri sejak tahun 2013. Kelompok ini
mempunyai anggota dengan jumlah 25 orang, termasuk ketua kelompok serta
33
pengurus lainnya. Kelompok Saung Domba diketua oleh bapak Yayat Rohayat.
Kelompok yang bergerak pada komoditas domba ini dibentuk atas dasar keinginan
dan kesepakatan anggota kelompok, yang memiliki tujuan yaitu menjadikan
kelompok sebagai wadah untuk bersilaturahmi dan berbagi ilmu serta pengalaman
dibidang peternakan, mewujudkan kelompok yang sejahtera dan mandiri,
meningkatkan taraf hidup anggota kelompok pada khususnya dan masyarakat
sekitar pada umumnya.
Kelompok Saung Domba telah mengikuti beberapa kegiatan penyuluhan
dan pelatihan yang diadakan oleh Tim Dosen Laboratorium Mikrobiologi dan
Penanganan Limbah Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dan Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pertanian Perikanan dan Peternakan Sukasari
Kabupaten Sumedang. Kegiatan yang dilakukan yaitu penyuluhan dan pelatihan
pembuatan pupuk organik cair (POC) dan pembuatan pupuk organik padat (POP),
serta penyuluan dan pelatihan pembuatan silase.
4.3 Identitas Responden
Responden dalam penelitian ini sebanyak 25 orang, yaitu peternak yang
termasuk anggota kelompok Saung Domba di Desa Genteng Kecamatan Sukasari
Kabupaten Sumedang. Responden tersebut merupakan peternak yang telah
mengikuti kegiatan penyuluhan pembuatan silase yang diadakan oleh Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pertanian Perikanan dan Peternakan Sukasari
Kabupaten Sumedang. Adapun karakteristik responden dibagi dalam tiga
karakteristik, yaitu umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman beternak.
34
4.3.1 Umur Responden
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, umur responden bervariasi mulai
dari 27 tahun sampai 61 tahun. Keadaan umur responden sebagai berikut:
Tabel 2. Umur Responden
No Usia (Tahun) Jumlah …Orang… …%...
1 15 – 35 6 24,00 2 36 – 40 3 12,00 3 41 – 55 10 40,00 4 > 55 6 24,00 Jumlah 25 100,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas peternak
dalam mengelola suatu usaha ternaknya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik
dan kemampuan berpikir. Komposisi umur bervariasi, 19 orang masih dalam usia
produktif. Tabel menunjukkan bahwa umur peternak mayoritas termasuk dalam
umur produktif yaitu 15 – 55 tahun, sesuai dengan pendapat Sujanto (1986) bahwa
individu sampai usia 55 tahun masih dapat dikatakan produktif, bahkan pada umur
tersebut produktivitas dan kreativitas dalam kondisi memuncak. Hal ini
menunjukkan bahwa umumnya peternak masih relatif cukup kuat untuk
melaksanakan kegiatan beternak.
Semakin muda umur peternak, cenderung memiliki fisik yang kuat dan
dinamis dalam mengelola usaha ternaknya, sehingga mampu bekerja lebih kuat dari
peternak yang umurnya tua, selain itu peternak yang lebih muda mempunyai
keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi kemajuan
usaha ternaknya. Murwanto (2008) menjelaskan bahwa umur peternak sangat erat
kaiatannya dengan proses adopsi inovasi dan teknologi. Peternak yang mempunyai
35
usia produktif akan memiliki pola pikir yang dinamis dan memiliki kemampuan
fisik yang prima dalam mengelola usaha ternaknya.
Responden yang umurnya 15 – 35 tahun (24%) dan umur 36 – 40 tahun
(12%) termasuk kedalam golongan pengetrap dini yang merupakan golongan muda
yang mudah menerima inovasi sehingga dapat lebih cepat dalam menerima setiap
perubahan dan lebih terbuka dalam berkomunikasi. Sesuai dengan pendapat
Wiriaatmadja (1985), bahwa golongan umur < 40 tahun termasuk kedalam
golongan pengetrap dini yang prakarsanya lebih besar dan terbuka untuk hal-hal
baru. Golongan umur 41 – 55 tahun (40%) merupakan golongan pengetrap awal,
golongan ini lebih lambat dari golongan pengetrap dini dalam penyerapan teknologi
maupun inovasi yang baru. Golongan umur lebih dari 55 tahun (24%) merupakan
golongan pengetrap akhir, golongan ini termasuk golongan yang kurang giat dalam
penerapan inovasi dan baru melaksanakan ketika lingkungannya telah melakukan
sehingga peternak pada umur ini agak lemah dalam menerima dan menerapkan
inovasi baru.
4.3.2 Tingkat Pendidikan Responden
Karakteristik tingkat pendidikan responden berdasarkan hasil penelitian
diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 3. Pendidikan Formal Terakhir Responden
No Pendidikan Jumlah …Orang… …%... 1 SD 18 72,00 2 SMP 3 12,00 3 SMA 4 16,00 Jumlah 25 100,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
36
Pendidikan merupakan upaya untuk mengadakan perubahan perilaku
berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui oleh masyarakat, tingkat
pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat pemahamannya terhadap sesuatu
yang dipelajarinya (Wiriaatmadja, 1985). Tingkat pendidikan merupakan salah
satu faktor yang penting diperhatikan dalam melakukan suatu kegiatan, karena
melalui pendidikanlah pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dapat
dilakukan. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap penyerapan informasi dan
pengetahuan serta cara berpikir peternak.
Tingkat pendidikan responden 72% hanya menempuh sampai tingkat
sekolah dasar (SD), hal ini menunjukkan mayoritas pendidikan responden masih
rendah. Hal ini berpengaruh terhadap kecepatan penerimaan suatu inovasi. Tingkat
pendidikan peternak yang masih rendah kemungkinan akan mengalami kesulitan
dalam mengadopsi inovasi, sedangkan sisanya terdiri dari responden yang
menempuh pendidikan sampai tingkat sekolah menegah pertama (SMP) (12%) dan
sekolah menengah atas (SMA) (16%), pada tingkat pendidikan ini responden lebih
mudah dalam menerima suatu inovasi. Walaupun tingkat pendidikan formal
responden masih rendah, namun dengan mengikuti kegiatan pendidikan non formal
seperti pelatihan ataupun penyuluhan, dapat meningkatkan pengetahuan serta
mempengaruhi cara berpikir peternak.
4.3.3 Pengalaman Beternak Responden
Pengalaman beternak responden merupakan lamanya responden dalam
memelihara ternak. Pengalaman beternak merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi peternak dalam menerima suatu inovasi. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan diketahui pengalaman beternak responden sebagai berikut:
37
Tabel 4. Pengalaman Beternak Responden No Usia (Tahun) Jumlah
…Orang… …%... 1 < 5 1 4,00 2 6 – 10 0 0,00 3 11 – 15 3 12,00 4 > 16 21 84,00 Jumlah 25 100,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Pada tabel diatas menunjukan bahwa pengalaman beternak responden
memiliki tingkat persentase yang sangat tinggi yaitu 84% pada peternak yang telah
beternak lebih dari 16 tahun, hanya 12% yang memiliki pengalaman beternak 11
sampai 15 tahun, dan 4% yang memiliki pengalaman beternak kurang dari 5 tahun
lamanya.
Lamanya beternak akan memberikan pengalaman dan pengetahuan tentang
cara pemeliharaan ternak. Peternak yang memiliki pengalaman beternak yang lebih
lama pada umumnya memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan
peternak yang baru. Peternak yang memiliki pengalaman lama dan responsif
terhadap inovasi akan lebih memiliki kemampuan dalam mengelola usaha
ternaknya.
Soeharjo dan Patong (1973) menyatakan bahwa pengalaman beternak
merupakan lamanya seseorang peternak berkecimpung dalam dunia usaha
peternakan. Pengalaman akan meningkatkan pengetahuan beternak terhadap segala
sesuatu perubahan yang belum diketahui peternak dari sifat yang menguntungkan
dan kurang menguntungkan dalam menjalankan usaha ternaknya.
4.4 Karakteristik Inovasi
Persepsi peternak terhadap suatu inovasi dapat menggambarkan
karakteristik pada inovasi tersebut, dalam penelitian ini terdapat lima karakteristik
38
menurut Rogers dan Shoemaker (1971) yaitu: relative adventage (keuntungan
relatif), compability (kesesuaian), complexity (kerumitan), trialability (dapat
dicoba), dan observability (dapat diamati). Persepsi peternak terhadap karakteristik
inovasi silase dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penilaian Tingkat Karakterisitik Inovasi Silase pada Peternak Domba di Kelompok Saung Domba
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Relative adventage 72,00 28,00 0,00 2 Compability 56,00 36,00 8,00 3 Complexity 0,00 32,00 68,00 4 Trialability 60,00 40,00 0,00 5 Observability 60,00 40,00 0,00 Karakteristik Inovasi 80,00 20,00 0,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Berdasarkan Tabel 5 nilai karakteristik inovasi silase di peternakan domba
kelompok ternak Saung Domba adalah 80,00% dikategorikan tinggi, 20,00%
dikatergori sedang.
Tingginya karakteristik inovasi (80%) dilihat dari kriteria-kriteria inovasi
silase di peternakan domba kelompok Saung Domba, ini dikarenakan relative
adventage (keuntungan relatif), compability (kesesuaian), trialability (dapat
dicoba), dan observability (dapat diamati) sebagian besar responden menilai tinggi,
sehingga inovasi ini dapat diberikan kepada peternak karena memiliki karakteristik
inovasi yang tinggi pada peternak tersebut.
Inovasi silase dapat diterima oleh peternak kelompok Saung Domba karena
inovasi silase dapat memberi keuntungan, sesuai dengan kebutuhan peternak,
39
mudah diterapkan, dapat dicoba dalam skala terbatas, dan dapat diamati setiap
tahapan pembuatan serta dapat diamati hasil pembuatannya.
4.4.1 Relative adventage (Keuntungan relatif)
Keuntungan relatif (relative adventage) yaitu derajat yang menunjukkan
apakah suatu inovasi dianggap lebih menguntungkan dibandingkan ide
sebelumnya. Suatu inovasi akan cepat diadopsi apabila inovasi tersebut
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan teknologi yang ada sebelumnya
(Rogers dan Shoemaker, 1971). Penilaian keuntungan relatif pada inovasi silase
diukur dari keuntungan dalam penggunaan biaya, keuntungan dalam penggunaan
waktu, keuntungan dalam penggunaan tenaga.
Tabel 6. Relative adventage (Keuntungan relatif)
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Keuntungan penggunaan biaya 52,00 20,00 28,00 2 Keuntungan penggunaan waktu 100,00 0,00 0,00 3 Keuntungan penggunaan tenaga 100,00 0,00 0,00 Relative adventage 72,00 28,00 0,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Tabel 6 menunjukkan bahwa Relative adventage (Keuntungan relatif) dari
inovasi silase pada peternak domba kelompok Saung Domba sebesar 72,00%
dikategorikan tinggi dan 28,00% dikategorikan rendah. Besarnya tingkat kelas
kategori tinggi pada keuntungan relatif di peternak domba kelompok Saung Domba
yaitu mencapai 72,00% dikarenakan sebagian besar responden menyebutkan
dengan penggunaan silase dapat mengguntungkan dalam penggunaan biaya,
penggunaan waktu, dan penggunaan tenaga dalam penyediaan pakan ternaknya
40
dibandingkan dengan pemberian pakan secara langsung (cara tradisional). Bahan
baku untuk pembuatan silase seperti molasses yang cukup terjangkau, pembuatan
yang mudah tidak mengeluarkan banyak tenaga dan hasilnya dapat disimpan dalam
waktu yang lama dinyatakan oleh sebagian besar responden. Nilai tersebut
mempunyai arti bahwa peternak menyatakan bahwa melalui penggunaan silase
dapat memberi keuntungan, hal ini sesuai menurut pernyataan Rogers dan
Shoemaker.
Terdapat responden yang menyebutkan penggunaan biaya dalam
pembuatan silase akan sama saja dengan pemberian pakan secara langsung (cara
tradisional) dan adapula beberapa responden yang menyebutkan penggunaan biaya
dalam pembuatan silase tidak menguntungkan dibandingkan dengan pemberian
pakan secara langsung (cara tradisional), mengakibatkan nilai Relative adventage
(Keuntungan relatif) pada inovasi silase sebasar 28,00% dikategorikan sedang.
4.4.2 Compability (Kesesuaian)
Kesesuaian (compability) yaitu derajat yang menunjukkan apakah suatu
inovasi dianggap sesuai dengan sistem tata nilai yang berlaku, pengalaman masa
lalu, dan kebutuhan klien. Ide yang tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial yang
menonjol akan tidak diadopsi secepat ide yang sesuai (Rogers dan Shoemaker,
1971). Penilaian kesesuaian pada inovasi silase diukur dari kesesuaian dengan
kebiasaan peternak dalam penyediaan pakan, dan kesesuaian dengan kebutuhan
peternak dalam penyediaan pakan.
41
Tabel 7. Compability (Kesesuaian)
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Kesesuaian dengan kebiasaan 28,00 64,00 8,00 2 Kesesuaian dengan kebutuhan 52,00 48,00 0,00 Compability 56,00 36,00 8,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Tabel 7 menunjukkan Compability (Kesesuaian) dari inovasi silase pada
peternak domba kelompok Saung Domba sebesar 56,00% dikategorikan tinggi,
36,00% dikategorikan sedang, dan 8,00% dikategorikan rendah. Besarnya tingkat
kelas kategori tinggi pada kesesuaian di peternak domba kelompok Saung Domba,
disebabkan responden menilai inovasi silase sesuai dengan kebutuhan peternak
dalam penyediaan pakan, serta menurut pengalaman peternak bahwa ketersediaan
pakan hijauan yang tidak tersedia sesuai kebutuhan dimusim kemarau dapat
diantisipasi dengan inovasi ini.
Tingginya nilai pada indikator kesesuaian dengan kebutuhan peternak pada
kategori tinggi diberikan oleh sebagian besar responden, kurang sejalan dengan
nilai kesesuaian dengn kebiasaan peternak yang berada pada kategori sedang. Hal
ini dikarenakan peternak berpendapat bahwa inovasi ini belum sesuai dengan
kebiasaan peternak dalam penyediaan pakan, namun dengan peternak melihat
adanya keuntungan yang didapat dengan menggunakan inovasi silase membuat
peternak menyatakan inovasi ini dapat digunakan dan peternak dapat menyesuaikan
dengan kebiasaan sebelumnya dalam penyediaan pakan. Inovasi yang sesuai akan
mudah diadopsi dengan cepat oleh penerimanya, hal ini sesuai dengan pernyataan
Rogers dan Shoemaker.
42
4.4.3 Complexity (Kerumitan)
Kerumitan (complexity) yaitu derajat yang menunjukkan bahwa suatu
inovasi dipandang relatif sukar untuk dimengerti dan digunakan. Kerumitan
berkorelasi negatif dengan laju adopsi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Terdapat
tiga indikator dalam melihat kerumitan sebuah inovasi silase yaitu
Tabel 8. Complexity (Kerumitan)
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Kerumitan dalam persiapaan alat
untuk pembuatan silase 0,00 40,00 60,00
2 Kerumitan dalam persiapaan bahan baku untuk pembuatan silase 0,00 36,00 64,00
3 Kerumitan dalam proses pembuatan silase 0,00 0,00 100,00
Complexity 0,00 32,00 68,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kerumitan (complexity) dalam pembuatan
silase menurut peternak domba kelompok Saung Domba sebesar 68,00% responden
menilai rendah, dan 32,00% responden menilai sedang. Kerumitan (complexity)
dalam pembuatan silase menurut peternak domba kelompok Saung Domba
termasuk dalam kategori rendah. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar
responden merasakan bahwa dalam pembuatan silase tidak terdapat kerumitan
dalam hal persiapan alat, persiapan bahan baku, serta dalam proses pembuatan
silase, hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa pada
umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit, sebab
selain sukar untuk dipahami, juga cenderung dirasakan merupakan tambahan beban
43
yang baru. Peternak akan mudah mengerti terhadap suatu inovasi jika inovasi
tersebut relatif mudah digunakan atau tidak rumit.
Terdapat responden yang menyebutkan terdapat sedikit kerumitan dalam
persiapan alat dan persiapan bahan baku untuk pembuatan silase. Beberapa
responden menyatakan kesulitan dalam penyediaan alat untuk menampung hijauan
untuk dijadikan silase (silo) seperti drum karena biaya yang kurang terjangkau,
namun dengan alat penampungan lain seperti plastik yang tertutup rapat dan kedap
udara dapat menjadi solusi untuk digunakan dalam pembuatan silase. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Mugiawati (2013) bahwa silase merupakan awetan basah segar
yang disimpan dalam silo, sebuah tempat yang tertutup rapat dan kedap udara, pada
kondisi anaerob.
4.4.4 Trialability (Dapat dicobakan)
Dapat dicobakan (trialability) yaitu derajat yang menunjukkan apakah suatu
inovasi dapat dicobakan dalam skala kecil atau terbatas (Rogers dan Shoemaker,
1971).
Tabel 9. Trialability (Dapat dicobakan)
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Dapat dicoba dalam skala kecil 60,00 40,00 0,00 Trialability 60,00 40,00 0,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Berdasarkan pada Tabel 9 skor untuk dapat dicobakan (trialability) pada
inovasi silase termasuk kategori tinggi (60,00%). Responden berasumsi bahwa
inovasi ini dapat dicoba dalam skala kecil karena alat untuk menampung pakan
44
(silo) dapat terbuat dari pelastik ataupun wadah kecil yang terpenting rapat agar
dapat kedap udara, sesuai dengan pernyataan Mugiawati (2013) silase merupakan
awetan basah segar yang disimpan dalam silo, sebuah tempat yang tertutup rapat
dan kedap udara, pada kondisi anaerob.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) inovasi bila dapat dicoba dalam
skala kecil terlebih dahulu sebelum terlanjur menerimanya secara menyeluruh, akan
lebih mudah diterima oleh adaptor (penerima) karena ini adalah cerminan prinsip
manusia yang selalu ingin menghindari suatu risiko yang besar dari perbuatannya.
Peternak dapat mencoba inovasi silase karena inovasi tersebut dapat dicoba dalam
skala kecil dan terbatas dahulu untuk dapat melihat hasilnya dan kemudian dapat
diaplikasikan terhadap ternaknya.
4.4.5 Observability (Dapat diamati)
Dapat diamati (observability) yaitu derajat dimana suatu hasil inovasi
mudah untuk diamati atau diukur serta dikomunikasikan kepada orang lain (Rogers
dan Shoemaker, 1971).
Tabel 10. Observability (Dapat diamati)
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Dapat diamati dan dipelajari setiap
tahapan pembuatannya 100,00 0,00 0,00
2 Dapat diamati hasil panennya 68,00 32,00 0,00 3 Dapat diamati peningkatan palatabilitas
ternak dengen pemberian pakan silase 36,00 44,00 20,00
Observability 60,00 40,00 0,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
45
Tabel 10 menunjukkan skor observability (dapat diamati) inovasi silase
pada peternak domba kelompok Saung Domba sebesar 60,00% responden menilai
tinggi dan 40,00% responden menilai sedang. Responden dapat mengamati dan
mempelajari cara pembuatan silase, dan dapat mengamati hasil dari pembuatan
silase dengan membedakan hasil yang baik ataupun hasil yang mengalami
kerusakan, menurut Ratnakomala (2006) pada umumnya kerusakan terjadi pada
permukaan dekat penutup silo. Silase yang mengalami kerusakan dapat dilihat oleh
responden secara kasat mata jika terdapat jamur pada silase tersebut. Menurut
Rogers dan Shoemaker (1971) Jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata,
dapat dilihat langsung hasilnya, maka orang akan lebih mudah mempertimbangkan
untuk menerimanya, ketimbang bila inovasi itu berupa suatu yang abstrak, yang
hanya dapat diwujudkan dalam pikiran, atau hanya dapat dibayangkan.
4.5 Tingkat Pengetahuan dan Sikap Peternak
Aspek pengetahuan dan aspek sikap merupakan beberapa unsur dalam
menentukan persepsi seseorang terhadap suatu objek. Aspek pengetahuan dalam
penelitian ini berupa pengetahuan tentang pemahaman, tujuan, serta prosedur
pembuatan silase. Aspek sikap dalam penelitian ini adalah sikap responden
terhadap stimulus berupa tanggapan. Aspek sikap merupakan suatu bentuk evaluasi
atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan
mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung atau
tidak memihak (unfavourable) pada objek tersebut (Azwar, 2012). Tingkat
Pengetahuan dan Sikap Peternak pada Peternak Domba di Kelompok Saung Domba
dapat dilihat pada Tabel 11.
46
Tabel 11. Penilaian Tingkat Pengetahuan dan Sikap Peternak pada Peternak Domba di Kelompok Saung Domba
No Uraian Kelas Kategori
Tinggi Sedang Rendah ……………%…………… 1 Pengetahuan Peternak 32,00 68,00 0,00 2 Sikap Peternak 80,00 20,00 0,00 Tingkat Pengetahuan dan Sikap
Peternak 68,00 32,00 0,00
Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan sikap
peternak domba kelompok Saung Domba sebesar 68,00% responden termasuk
kategori tinggi, dan sebesar 32,00% responden termasuk kategori sedang. Secara
garis besar tingkat pengetahuan dan sikap peternak domba kelompok Saung Domba
berada di tingkat yang tinggi, hal ini dikarenakan Sikap dari peternak yang
memberikan tanggapan yang mendukung atau memihak (favourable) terhadap
inovasi silase.
Tingkat pengetahuan dan sikap peternak kelompok Saung Domba
mempunyai pengetahuan yang cukup memadai dalam pemahaman, tujuan, dan
prosedur pembuatan silase sehingga peternak dapat merepakan inovasi ini, serta
peternak mempunyai sikap yang positif/mendukung/setuju terhadap inovasi silase
mengenai tujuan, hasil, dan pentingnya pembuatan silase.
4.5.1 Pengetahuan Peternak
Pengetahuan merupakan hasil “tahu“ dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia yakni: penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
47
(Notoatmodjo, 2003). Terdapat tiga indikator dalam melihat pengetahuan peternak
dalam pembuatan silase yaitu pemahaman pembuatan silase, tujuan pembuatan
silase, prosedur pembuatan silase. Pengetahuan peternak domba kelompok Saung
Domba dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Pengetahuan Peternak
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Pemahaman pembuatan silase 44,00 48,00 8,00 2 Tujuan pembuatan silase 32,00 68,00 0,00 3 Prosedur pembuatan silase 52,00 48,00 0,00 Pengetahuan Peternak 32,00 68,00 0,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan
peternak domba kelompok Saung Domba dalam pembuatan silase masih tergolong
sedang yaitu sebesar 68,00%, dan tergolong tinggi sebesar 32,00%. Hal ini
disebabkan pengetahuan mengenai pemahaman pembuatan silase dan tujuan
pembuatan silase berada dalam kategori sedang. Mayoritas responden kurang
mengerti akan pemahaman pembuatan silase dan tujuan pembuatan silase, mereka
banyaknya hanya menyebutkan pemahaman pembuatan silase yaitu pengawetan
bahan pakan, fermentasi, serta pengolahan bahan pakan dengan kondisi kedap
udara (anaerob), dan menjawab tujuan pembuatan silase yaitu memperpanjang daya
tahan penyimpanan hijauan, Menjaga kontinuitas ketersediaan pakan, serta
meningkatkan efisiensi pakan.
Pengetahuan mengenai proses pembuatan silase, termasuk dalam katergori
tinggi beselisih sedikit dengan yang termasuk kategori sedang, ini disebabkan
semua responden mengetahui dengan lengkap proses pembuatan dari persiapan alat
48
dan bahan, proses pemotongan hijauan, proses memasukan hijauan kedalam silo,
proses pemberian zat aditif, proses pemadatan agar tidak terdapat udara didalam
silo, proses penutupan silo, proses penyimpanan, dan sampai dengan proses
pengeluaran, namun banyak juga responden yang tidak mengetahui fase-fase dalam
proses pembuatan silase, sehingga pengetahuan mengenai proses pembuatan silase
yang berada dikategori tinggi berbanding tipis dengan yang berada dikategori
sedang.
Dilihat dari tingkat pendidikan formal responden yang mayoritas masih
rendah dapat menyebabkan tingkat pengetahuan dalam pembuatan silase masih
berada dalam kategori sedang, hal ini sesuai dengan pernyataan Wiriaatmadja
(1985) bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat pemahamannya
terhadap sesuatu yang dipelajarinya, serta didukung pernyataan Notoatmodjo
(2007) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang
salah satunya yaitu pendidikan.
4.5.2 Sikap Peternak
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavourable) pada objek tersebut (Azwar, 2012). Terdapat tiga indikator dalam
melihat sikap peternak dalam pembuatan silase yaitu tanggapan peternak mengenai
tujuan pembuatan silase, tanggapan peternak mengenai hasil dari pembuatan silase,
dan tanggapan peternak mengenai pentingnya pembuatan silase untuk ternak
domba. Sikap peternak domba kelompok Saung Domba dapat dilihat pada Tabel
13.
49
Tabel 13. Sikap Petenak
No Uraian Kelas Kategori Tinggi Sedang Rendah
……………%…………… 1 Tanggapan peternak mengenai
tujuan pembuatan silase 92,00 8,00 0,00
2 Tanggapan peternak mengenai hasil dari pembuatan silase 64,00 24,00 12,00
3 Tanggapan peternak mengenai pentingnya pembuatan silase untuk ternak domba
72,00 28,00 0,00
Sikap Peternak 80,00 20,00 0,00 Sumber : Data Hasil Olahan Wawancara Penelitian
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar sikap peternak domba
kelompok Saung Domba dalam pembuatan silase tergolong tinggi yaitu sebesar
80,00%, dan tergolong sedang sebesar 20,00%. Hal ini disebabkan oleh tanggapan
peternak mengenai tujuan pembuatan silase menunjukkan perhatian/antusiasme
yang tinggi, ditunjukkan oleh mayoritas responden (92,00%) setuju bahwa silase
dapat menjaga ketersediaan pakan serta dapat memperpanjang daya tahan
penyimpanan hijauan. Tanggapan peternak mengenai hasil dari pembuatan silase
lebih dari setengah responden setuju (64,00%), namun kurang dari setengah lainnya
merasa ragu-ragu (24,00%) dan tidak setuju (12,00%), ini disebabkan karena
responden banyak yang belum menggunakan silase sebagai pakan ternaknya, serta
tipe peternak rakyat jarang melakukan recording bobot dan ukuran badan pada
ternak sehingga tidak dapat membandingkan hasil dari perbedaan pakan yang
diberikan melalui pembuatan silase. Tanggapan peternak mengenai pentingnya
pembuatan silase untuk ternak domba, mayoritas responden setuju (72,00%),
peternak merasa pengolahan pakan hijauan berupa silase penting dan dibutuhkan
oleh peternak, karena dengan mengolah hijauan segar menjadi silase dapat
50
menguntungkan dari segi waktu, tenaga, dan biaya, serta dapat menjaga
ketersediaan pakan karena silase dapat disimpan dan tahan lama.
Dilihat dari umur responden yang mayoritas masih berada dalam usia
produktif serta pengalaman beternak yang tinggi, akan mempunyai pola pikir yang
dinamis serta dapat lebih terbuka akan inovasi, menurut Murwanto (2008)
menjelaskan bahwa umur peternak sangat erat kaiatannya dengan proses adopsi
inovasi dan teknologi. Responden yang memiliki pola pikir yang dinamis
mempunyai sikap yang dapat mempertimbangkan sebuah pemikiran bahwa inovasi
tersebut dapat diterima ataupun tidak dan dapat memeberi sebuah tanggapan bahwa
inovasi tersebut lebih baik ataupun tidak lebih baik dari cara sebelumnya, hal ini
berkaitan dengan pernyataan Williams (1977) sikap adalah kesiapan seseorang atau
individu merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap
obyek atau situasi.
4.6 Hubungan Karakteristik Inovasi dengan Tingkat Pengetahuan dan
Sikap Peternak
Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan statistik korelasi Rank
Spearman (rs), hubungan karakteristik inovasi dengan tingkat pengetahuan dan
sikap peternak domba kelompok Saung Domba di Desa Genteng Kecamatan
Sukasari Kabupaten Sumedang menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,8
(lampiran 8). Berdasarkan aturan Guilford dalam Rakhmat (2001), maka hubungan
antara kedua variabel dengan rs = 0,8 berada pada kisaran 0,70 ≤ rs(0,8) < 0,90.
Hasil tersebut dikategorikan hubungan dua variabel tersebut termasuk kedalam
hubungan kuat/erat. Hubungan ini menandakan bahwa terdapat hubungan positif
antara karakteristik inovasi dengan tingkat pengetahuan dan sikap peternak pada
penyuluhan pembuatan silase. Kedua variabel yaitu karakteristik inovasi dan
51
tingkat pengetahuan dan sikap peternak saling berhubungan dan berbanding lurus,
artinya jika variabel karakteristik inovasi meningkat, maka variabel tingkat
pengetahuan dan sikap peternak pun akan meningkat, sebaliknya jika variabel
karakteristik inovasi rendah, maka variabel tingkat pengetahuan dan sikap peternak
pun akan rendah.
Karakterisitik inovasi merupakan gambaran secara umum sebuah inovasi
silase yang ada di peternak yang akan menerima inovasi silase tersebut. Apabila
inovasi tersebut mempunyai karakteristik yang rendah akan berdampak terhadap
laju adopsi inovasi peternak. Peternak akan cenderung kurang berminat yang
mengakibatkan tidak dapat menerima inovasi tersebut sehingga segala hal
mengenai inovasi tersebut dihiraukan, serta peternak akan memberikan tanggapan
yang kurang baik apabila peternak tersebut kurang berminat.
Karakteristik inovasi sangat perlu untuk diperhatikan sebelum inovasi
tersebut disampaikan kepada penerima inovasi, karena akan berdampak terhadap
laju adopsi inovasi itu sendiri. Karakateristik inovasi yang tinggi dapat
menyebabkan peternak lebih terbuka akan inovasi tersebut dan dapat juga membuat
pengetahuan dan sikap peternak menjadi tinggi.