I. PENDAHULUAN
Laut memiliki keanekaragaman organisme yang sangat besar. Sejak zaman
dahulu organisme laut telah dimanfaatkan manusia, namun penggunaannya baru
sebatas sumber makanan. Potensi lain dari kandungan organisme laut sampai saat ini
relatif belum dimanfaatkan sebagai sumber bahan bioaktif (1).
Beberapa organisme laut mampu memproduksi senyawa kimia untuk
mempertahankan dirinya dari serangan predator. Senyawa kimia dengan bioaktivitas
menarik ini diduga dapat dimanfaatkan manusia khususnya di bidang pengobatan.
Hasil penelitian menunjukkan banyak dari senyawa kimia tersebut berpotensi
menghambat pertumbuhan bakteri dan aktif menghambat pertumbuhan sel kanker
(2).
Organisme laut yang banyak diteliti kandungan kimianya pada umumnya
dari kelompok invetebrata laut disusul kemudian tumbuhan laut. Dalam hal ini
organisme yang termasuk kelompok invetebrata laut adalah spon laut (filum
Porifera), hewan lumut (filum Bryozoa), soft koral (filum Cnidaria) dan hewan
bermantel (filum Tunicata) (3), hingga saat ini tercatat lebih dari 10000 senyawa
kimia yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari organisme laut (4).
Dari hasil pengambilan sampel laut yang dilakukan di perairan Painan,
sekitar pulau Babi, kabupaten Pesisir Selatan ditemukan spon sebagai salah satu
spesies dari genus Petrosia yaitu Petrosia nigrans. Dari penelusuran kepustakaan
dapat diketahui keluarga spon dari genus Petrosia ini cukup banyak diantaranya
adalah P. ficiformis, P.seriata, P.corticata, P.contignata, P.weinbergei dan lain-lain
(5).
Salah satu contoh senyawa aktif yang telah ditemukan dan dilaporkan dari
genus Petrosia adalah alkaloid Manzamine-A, bersifat sitotoksik yang merupakan
sifat dasar suatu senyawa berpotensi sebagai antikanker (6). Pada Petrosia sp.
ditemukan senyawa poliasetilen, dideoxypetrosynol A yang menunjukkan aktivitas
antitumor pada sel melanoma kulit manusia (7). Aktivitas antibakteri juga ditemukan
pada hasil isolasi dari spon laut Petrosia contignata, yaitu senyawa Taraxeron dan D-
Homoandrostan (8).
Dari informasi data base Marinlit dan data lainnya ternyata belum
ditemukan laporan tentang kandungan kimia dari spesies Petrosia nigrans. Hasil uji
pendahuluan terhadap ekstrak metanol dan masing-masing fraksi ekstrak sampel dari
spesies ini memperlihatkan aktivitas sebagai antibakteri. Bakteri uji yang digunakan
adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Eschericia coli,
Pseudomonas auruginosa. Berdasarkan hal tersebut dicoba untuk melakukan isolasi
senyawa kimia utama dalam hal ini dari fraksi non polar dan menguji aktivitas
antibakteri dari hasil isolasi spon laut Petrosia nigrans.
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ekstraksi dengan cara
maserasi dengan menggunakan pelarut metanol selanjutnya difraksinasi partisi
dengan peningkatan kepolaran menggunakan n-heksana, etil asetat dan n-butanol (9).
Pemisahan senyawa kimia dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom dan
monitoring dengan metoda KLT, serta pemurniannya dilakukan dengan rekristalisasi
(10). Kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan metoda dilusi.
2
Karakterisasi senyawa hasil isolasi dilakukan dengan cara pemeriksaan fisika, kimia
dan fisikokimia (11)
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spon (Porifera) (12, 13)
2.1.1. Tinjauan Umum
Spon merupakan hewan multiseluler dan termasuk dalam golongan
invertebrata. Spon merupakan filum porifera dimana kata ini berasal dari kata latin,
phorus = lubang kecil dan ferre = mengandung, membawa. Jadi kata tersebut
menunjukan kekhususan hewan bersangkutan, yaitu memiliki banyak lubang kecil.
Spon mempunyai ciri-ciri khusus:
Hewan multiseluler, simetris radial atau asimetri.
Tubuh spon memiliki banyak pori yang merupakan awal dari sistim kanal
(saluran air) yang menghubungkan daerah eksternal dengan daerah internal.
Tubuh spon tidak dilengkapi dengan appendiks dan bagian yang dapat
digerakan.
Belum memiliki sistem saluran pencernaan makanan. Pencernaan makanan
berlangsung di dalam sel atau intraseluler.
Spon tidak memiliki organ khusus untuk respirasi dan ekskresi, Pertukaran O2
dan CO2 berlangsung secara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Ekskresi
dilakukan oleh sel-sel di seluruh permukaan tubuh secara difusi.
Spon berkembangbiak secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan
secara aseksual dilakukan dengan membentuk tunas. Sedangkan pada
perkembangbiakan secara seksual melalui pembuahan sel telur oleh
spermatozoid.
4
Makanan hewan spon berupa partikel organik dan organisme kecil.
Habitat dari spon umumnya terdapat di laut, tapi ada beberapa genus yang
hidup di air tawar. Spon hidup mulai dari perairan laut dangkal sampai beberapa
meter di bawah permukaaan laut. Penyebarannya hampir di seluruh laut di dunia.
Van Soest (1989, 1990) melaporkan bahwa fauna spon Indonesia berjumlah sekitar
800 spesies .
Spon memiliki kandungan kimia yang beranekaragam dan berbagai
bioaktivitas yang menarik seperti sebagai antikanker, antitumor, antiinflamasi dan
sebagainya .
2.1.2. Morfologi Spon (12, 14)
Hewan porifera (spon) mempunyai rongga di dalam tubuhnya yang disebut
spongosoel. Diujung spongosoel terdapat lubang terbuka tempat keluarnya air yang
disebut oskulum. Spongosoel dikelilingi oleh dinding yang tersusun atas 2 lapisan
yaitu :
Lapisan luar yang disebut lapisan epidermis atau ephitelium dermal sering juga
disebut pinakosit yang kadang-kadang mempunyai satu flagellum. Pada
epidermis tertentu terdapat porus atau lubang kecil yang disebut ostium
Lapisan dalam yang terdiri atas jajaran sel-sel berleher yang disebut koanosit
yang berbentuk botol dan ber flagellum.
Diantara kedua lapisan itu terdapat zat antara yang berbahan gelatin yang
disebut mesoglea. Mesoglea merupakan lapisan nonseluler. Pada mesoglea terdapat :
5
a) Amoebosit yang berfungsi mengambil dan mengedarkan zat-zat makanan yang
telah dicerna oleh sel-sel koanosit ke sel-sel lainnya dan menghasilkan gelatin.
b) Porosit (sel pori) atau miosit yang terletak disekitar pori yang berfungsi
membuka dan menutup pori.
c) Skleroblast yang berfungsi membentuk spikula (kerangka tubuh).
d) Arkeosit merupakan sel amoebosit embrional yang tumpul dan
berfungsi melaksanakan reproduksi sel, membentuk sel-sel tunas dan sel gamet,
mengganti sel rusak.
e) Spikula merupakan unsur pembentuk tubuh. Biasanya spikula tersusun dari zat
kapur dan serat-serat organik.
Gambar 1. Struktur tubuh hewan spon
6
Hewan spon mempunyai sistem saluran air yang berbeda-beda. Berdasarkan
sistem peredaran air tersebut spon dapat dikelompokan atas 3 jenis :
1. Askon
2. Leukon
3. Sikon
1. Askon 2. Leukon 3. Sikon
Gambar 2. Bentuk spon laut berdasarkan sistem peredaran air
Ditinjau dari bahan pembentuk kerangkanya, maka spon ini dapat dibedakan atas tiga
golongan :
1. Porifera lunak, porifera jenis ini kerangka tubuhnya tersususn dari bahan
sponging (organis).
2. Porifera kapur, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan kristal
zat kapur atau CaCO3.
3. Porifera silikat, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan kristal
silikat H2Si3O7.
7
2.2 Spon Laut Petrosia nigrans
2.2.1 Klasifikasi (13, 14, 15)
Spon laut Petrosia nigrans diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Porifera
Kelas : Demospongiae
Ordo : Haplosclerida
Famili : Petrosiidae
Genus : Petrosia
Spesies : Petrosia nigrans
2.2.2 Morfologi
Spon laut Petrosia nigrans merupakan hewan metazoa sederhana, berbentuk
jonjot-jonjot, berwarna coklat kehitam-hitaman. Spon ini tumbuh melekat pada
permukaan karang pada kedalaman 5-8 m. Tinggi tubuhnya sekitar 4-7 cm.
Penyebaran spon dari genus ini umumnya di daerah perairan Carribean dan perairan
Indonesia (16).
2.3 Kandungan Kimia Dan Bioaktivitas Spon Laut Petrosia nigrans
Dari penelusuran literatur ternyata belum ada yang meneliti kandungan
kimia serta bioaktivitas dari spon laut Petrosia nigrans ini. Dari penelitian yang telah
dilakukan, spon lain dari genus Petrosia dilaporkan memiliki beberapa kandungan
kimia yang menarik seperti (6,7,8); Manzamine-A (i), dideoxypetrosynol A (ii),
Taraxeron (iii) dan petrosamine (iv) .
8
Senyawa aktif yang telah ditemukan dan dilaporkan dari genus Petrosia
adalah alkaloid Manzamine-A, bersifat sitotoksik yang merupakan sifat dasar suatu
senyawa berpotensi sebagai antikanker (6). Pada Petrosia sp. ditemukan senyawa
poliasetilen, dideoxypetrosynol A yang menunjukkan aktivitas antitumor pada sel
melanoma kulit manusia dan petrosamine yang menunjukkan aktivitas antibakteri
(7). Aktivitas antibakteri juga ditemukan pada hasil isolasi dari spon laut Petrosia
contignata, yaitu senyawa Taraxeron (8).
(i) (ii)
(iii) (iv)
9
2.4 Ekstraksi dan Fraksinasi (9)
2.4.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa-senyawa kimia dari
tumbuh-tumbuhan, hewan dan lain-lain menggunakan pelarut tertentu. Teknik yang
umum untuk ekstraksi senyawa kimia adalah dengan cara maserasi, sokletasi
perkolasi dan perebusan.
Maserasi merupakan proses penyarian sederhana yaitu dengan merendam
sampel dalam pelarut yang sesuai selama 3-5 hari. Pelarut akan menembus ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan yang di luar sel maka larutan
yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan
dari metoda maserasi yaitu, teknik pengerjaan dan alat yang digunakan sederhana
serta dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang bersifat termolabil.
Sokletasi merupakan teknik penyarian dengan pelarut organik menggunakan
alat soklet. Pada cara ini pelarut dan sampel ditempatkan secara terpisah. Prinsipnya
adalah penyarian yang dilakukan berulang-ulang sehingga penyarian lebih sempurna
dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Tapi metoda sokletasi ini tidak dapat
digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang termolabil.
Perkolasi merupakan teknik penyarian dengan pelarut organik menggunakan
alat perkolator. Pada cara ini pelarut dialirkan melewati sampel sehingga penyarian
lebih sempurna. Tapi metoda ini membutuhkan pelarut yang relatif banyak.
10
Perebusan merupakan teknik penyarian menggunakan pelarut air. Pada cara
ini sampel direndam dengan pelarut kemudian dipanaskan sampai mendidih. Metoda
perebusan merupakan metoda yang paling kuno dan sekarang jarang digunakan,
karena proses penyarian kurang sempurna dan tidak dapat digunakan untuk
mengekstraksi senyawa yang termolabil.
2.4.2 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan teknik memisahkan Ekstrak hasil maserasi diuapkan
pelarutnya sampai diperoleh ekstrak kental. Kemudian ektsrak ini difraksinasi
dengan berbagai pelarut yang memiliki kepolaran berbeda, sehingga masing-masing
pelarut akan memiliki senyawa dengan kepolaran berbeda.
2.5 Metoda Pemisahan Dan Pemurnian
Metoda yang umum digunakan untuk memisahkan komponen-komponen
senyawa, yaitu metoda kromatografi (10). Untuk tujuan kualitatif dapat digunakan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Sedangkan untuk pemisahan senyawa dalam
jumlah besar dapat digunakan kromatografi kolom.
Pemisahan pada kromatografi berdasarkan pada perbedaan distribusi
komponen pada fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam (adsorben) dapat berupa zat
padat yang disusun secara merata didalam suatu kolom (kromatografi kolom) dan
fasa gerak berupa eluen yang akan lewat didalamnya akibat pengaruh gaya gravitasi.
atau berupa plat tipis (kromatografi lapis tipis) dimana eluen dibiarkan meresap naik
berdasarkan daya kapilaritas. Komponen yang akan dipisahkan mempunyai aktivitas
yang berbeda terhadap adsorben sehingga komponen yang non polar dan yang polar
11
akan terpisah. Pada kromatografi kolom fasa diam yang digunakan dapat berupa
silika gel. Sedangkan fasa geraknya dapat dimulai dari pelarut non polar kemudian
kepolaran ditingkatkan secara bertahap, baik dengan pelarut tunggal atau kombinasi
dua pelarut yang berbeda kepolarannya dengan perbandingan tertentu sesuai dengan
tingkat kepolaran yang dibutuhkan. Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk
memilih sistem pelarut yang akan digunakan pada kromatografi kolom.
Fraksi yang keluar dari kolom kromatografi ditampung dan dimonitor dengan
kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi yang nilai Rf sama digabung, kemudian
pelarutnya diuapkan sehingga akan diperoleh beberapa fraksi. Noda pada plat KLT
dideteksi dengan penampak noda lampu ultraviolet λ254, untuk senyawa-senyawa
yang mempunyai gugus kromofor.
Senyawa hasil isolasi jarang didapatkan berupa senyawa murni, biasanya
dicemari oleh zat lain selama isolasi. Salah satu cara pemurniannya adalah dengan
rekristalisasi, yaitu berdasarkan perbedaan kelarutan antara zat utama yang
dimurnikan dengan senyawa minor dalam suatu pelarut tunggal atau campuran
pelarut yang cocok. Pelarut yang digunakan dipilih berdasarkan kemampuan
melarutkan zat yang akan dimurnikan. Adanya perbedaan kelarutan akibat
pemanasan atau penambahan pelarut lain akan menyebabkan senyawa utama akan
mengkristal lebih dahulu. Proses rekristalisasi ini diulang beberapa kali sehingga
didapatkan senyawa berbentuk kristal yang lebih murni dan ditandai dengan jarak
leleh yang tajam.
12
2.6 Penentuan Struktur (17, 18, 19)
Penentuan stuktur senyawa kimia dapat dilakukan secara fisika menggunakan
spektroskopi infra merah, ultraviolet, Resonansi Magnet Inti (RMI), spektrum
HMBC (Heteronuclear Multiplet Bond Connection), HSQC (Heteronuclear Singlet
Quantum Connection).
2.6.1 Spektroskopi inframerah
Suatu molekul yang menyerap sejumlah energi yang diberikan oleh suatu
radiasi elektromagnetik dapat mengalami berbagai jenis eksitasi. Eksitasi ini
dapat berupa elektronik rotasi, perubahan orientasi spin inti, deformasi ikatan
dan sebagainya. Disebabkan setiap jenis eksitasi memerlukan sejumlah energi
yang tertentu maka absorpsi yang bersangkutan timbul di dalam daerah
spektrum elektromagnet yang berbeda pula. Daerah spektrum inframerah
meliputi panjang gelombang 0,75-300 µm.
Atom-atom dalan molekul tidak diam melainkan bergetar (vibrasi) dan
berotasi pada sumbu kesetimbangannya. Jika suatu molekul menyerap sinar
inframerah, maka dalam molekul itu akan terjadi perubahan tingkat energi
vibrasi dan rotasi dari keadaan tingkat energi rendah ke tingkat energi yang
lebih tinggi. Supaya suatu molekul dapat menyerap sinar inframerah, maka
getaran vibrasi dan rotasi molekul tersebut harus disertai perubahan muatan
dari dari momen dipol molekul tersebut. Penyerapan energi inframerah
merupakan proses terkuantisasi, hanya energi tertentu dari radiasi inframerah
yang diserap molekul, sesuai dengan kisaran frekuensi vibrasi rentangan
13
(streching) dan vibrasi bengkokan (bending). Ada 2 macam vibrasi yang
utama dalam molekul :
1. Vibrasi ulur (stretching)
Berkaitan dengan jarak antara 2 atom dalam molekul sepanjang
sumbu ikatan.
2. Vibrasi tekuk (bending)
Menyangkut perubahan sudut antara 2 ikatan atau gugus terhadap sisa
molekul. Ada 4 tipe pula, yaitu ;
Guntingan (scissoring)
Kibasan (twisting)
Goyangan (rocking)
Pelintiran (waging)
2.6.2 Spekroskopi Ultra Violet (UV)
Spektroskopi uv adalah salah satu bentuk spektroskopi absorpsi. Pada cara ini
cahaya atau gelombang elektromagnetik dalam hal ini sinar uv berinteraksi
dengan zat yang kemudian diamati adalah absorpsi sinar. Bagian dari suatu
molekul yang bertanggung jawab pada absorpsi sinar uv adalah kromofor
(chrome = warna, for = pembawa). Pada bagian tersebut ditempatkan atau
dilokalisir e- phi (п), e- sunyi (n) yang kedua-duanya dapat dieksitasi oleh
sinar uv. Untuk mengeksitasi e- sigma tidak cukup energi yang berasal dari
sinar uv. Jadi sebab itulah bagian jenuh dalam molekul (ikatan tunggal) tidak
dilibatkan dalam absorpsi sinar. Kromofor dapat dibagi 2 kelompok :
14
1. Kromofor yang disamping ikatan sigma juga mengandung ikatan phi,
maka disini ikatan phi yang dieksitasi oleh e- sinar . Peralihan e- phi
kekeadaan yang lebih tinggi disebut peralihan/ transisi phi ke phi’.
2. Kromofor disamping ikatan sigma dan phi, juga mengandung e- sunyi
yang tidak mengikat. Maka disini e- phi maupun e- sunyi dapat beralih/
transisi kekeadaan e- yang lebih tinggi. Maka terjadi 2 peralihan yaitu
phi ke phi’ dan e- sunyi ke phi’.
2.6.3 Spektroskopi Resonansi Magnet Inti (RMI)
Inti dari atom-atom tertentu akan mempunyai spin, dimana dari spin ini akan
menghasilkan momen magnetik. Jika inti yang berputar diletakan didalam
medan magnet, maka sesuai dengan hukum kuantum mekanik, momen
magnetiknya akan searah (pararel dan mempunyai energi yang rendah) atau
berlawanan arah (anti pararel dan mempunyai energi yang tinggi) dari arah
medan magnet yang diberikan. Jika suatu energi yang diberikan pada inti
berada dalam medan magnet, maka inti yang berada dalam keadaan pararel
akan berubah arahnya menjadi antipararel (beresonansi). Spektroskopi RMI
ini terbagi atas dua, yaitu
1. Spektroskopi proton (1H) RMI
2. Spektroskopi karbon (13C) RMI
Kemudian perkembangan lebih lanjut didapatkan hubungan-hubungan antara
proton dengan 13C RMI dalam bentuk gambaran dua dimensi, seperti ;
COSY (Correlated spectroscopY)
15
HSQC (Heteronuclear Singlet Quantum Connection)
HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Connection)
DEPT (Distortionless Enhencement by Polarization Transfer)
TOCSY (Total Correlation SpectroscopY)
2.7 STEROID
2.7.1 Tinjauan Umum
Steroid merupakan kelompok senyawa bahan alam yang tersebar luas, dahulu
steroid dianggap sebagai senyawa dari hewan yaitu sebagai hormon kelamin, asam
empedu dan lain-lain, namun sekarang semakin banyak ditemukan dalam jaringan
tumbuhan. Steroid merupakan senyawa metabolit sekunder yang termasuk kedalam
triterpenoid dengan kerangka dasarnya sistem cincin siklopentano perhidrofenantren
(i) (9, 20, 21, 22, 23). Sistem cincin ini terdiri atas 3 cincin sikloheksana (A,B,C) dan
satu cincin siklopentana (D) (19, 21).
(v) (vi)
Gambar 3. Kerangka dasar steroid
Banyak diantara steroid merupakan bentuk turunan atau homolog, biasanya
mengandung 29 atom C (24). Pada atom C10 dan C13 biasanya terdapat gugus metil
dan kebanyakan pada atom C3 terikat gugus hidroksi. Ditinjau dari segi struktur
16
molekul, perbedaan antara berbagai kelompok steroid ditentukan oleh substituen
R1,R2 dan R3 yang terikat pada kerangka dasar karbon (vi). Sedangkan perbedaan
senyawa satu dengan yang lain dari suatu kelompok tertentu ditentukan oleh panjang
rantai karbon R1, gugus fungsi yang terdapat pada substituen R1,R2,R3 dan jumlah
serta posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap (22).
2.7.2 Sumber Penyebaran Steroid
Steroid merupakan metabolit sekunder yang dikandung pada hampir semua
jaringan tumbuhan tingkat tinggi, juga ditemukan pada tumbuhan rendah seperti
ganggang dan jamur, terutama sterol (9, 20, 22). Steroid pada tumbuhan biasanya
dalam bentuk ester-ester asam lemak .
Kolesterol adalah steroid yang umum ditemukan pada hewan, disamping itu
juga ditemukan pada bakteri dan ganggang biru. Dalam jumlah terbatas, distribusi
steroid pada beberapa famili tumbuhan juga ditemukan pada hewan dan sebaliknya
(20).
2.7.3 Fungsi dan Bioaktivitas Steroid
Senyawa-senyawa steroid berkaitan dengan beberapa hormon dan keaktifan
biologi. Hormon seks dan asam-asam empedu bertindak sebagai mediator sejumlah
fungsi tubuh. Hormon seks menentukan ciri seks sekunder pada manusia dan
mamalia. Estrogen (progestin) berfungsi untuk mengatur masa reproduksi wanita dan
androgen merangsang perkembangan organ reproduksi pria (21, 25). Cairan empedu
merupakan pengemulsi dalam bentuk garam natrium membantu penyerapan lemak
dan lipid lainnya pada proses pencernaan (21).
17
β-sitosterol merupakan hipokolesterolemia yang berguna untuk pencegahan
aterosklerosis. β-sitosterol bersaing dengan kolesterol pada tempat penyerapan di
saluran cerna. Reduksi penyerapan kolesterol menyebabkan penurunan konsentrasi
β-lipoprotein darah, dimana mencegah kolesterol kembali pada “atherosclerotic
plaque” di pembuluh darah (21).
Glikosida jantung mempunyai kemampuan meningkatkan kontraksi sistol dan
kontraktilitas dalam gagal jantung. Glikosida jantung dapat juga digunakan dalam
pengobatan gagal jantung kongestif (21).
Hormon adrenokortikoid diproduksi pada korteks luar gland adrenalin dan
terbagi atas dua kelompok berdasarkan aktivitas biologisnya, yaitu mineralkortikoid
dan glukokortikoid. Hormon mineralkortikoid berfungsi mengekskresikan cairan dan
elektrolit, sedangkan glukokortikoid berfungsi dalam metabolisme cairan (21).
Peroksida sterol yang umumnya dihasilkan oleh jamur dan organisme laut
seperti spon memiliki bioaktivitas yang sangat menarik seperti sitotoksik,
antifouling, antioksidan, dan sebagai antimikroba (43,44,46,47,48).
Peranan gugus fungsi terhadap keaktifan biologis steroid telah banyak
diselidiki para ahli, misalnya penggantian gugus hidroksil pada C3 dari molekul
vitamin D dengan karbonil, tiol atau atom klor menghilangkan antirakhitik (22).
2.7.4 Biosintesa Steroid
Steroid terbentuk secara biosintesis dari isopentenil piropospat (isopren aktif)
dan mempunyai hubungan reaksi yang sama dengan biosintesis terpenoid. Kenyataan
menunjukan bahwa skualen merupakan senyawa antara dalam biosintesis steroid.
Pengetahuan biosintesis steroid didasarkan pada pembentukan kolesterol. Meskipun
18
senyawa kimia ini tidak begitu penting secara lansung sebagai pra zat steroid-steroid
lain, namun dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme umum biosintesis steroid.
Tahap awal biosintesis steroid adalah sama bagi semua steroid alam, yaitu
pengubahan asam asetat menjadi asam mevalonat dan skualen menjadi lanosterol
atau sikloartenol. Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari
triterpenoid lanosterol, sedangkan pada jaringan tumbuhan berasal dari triterpenoid
sikloartenol (9, 22, 26).
Skualen terbentuk dari dua molekul farnesi piropospat (FPP) yang bergabung
secara ekor ke ekor, kemudian berubah menjadi 2,3-epoksiskualen. Lanosterol
terbentuk dari kecendrungan 2,3-epoksiskualen yang mengandung lima ikatan
rangkap untuk melakukan siklisasi ganda. Siklisasi ini diawali oleh protonasi gugus
epoksi dan diikuti oleh pembukaan lingkar epoksida (20, 21, 22).
Lanosterol dapat membentuk kolesterol dengan menyingkirkan tiga gugus
metil dari molekul lanosterol, yaitu dua dari atom C4 dan satu dari satu dari atom C14.
Penyingkiran ketiga gugus metil itu berlansung secara bertahap mulai dari gugus
metil pada atom C14 dan selanjutnya dari atom C4. Kedua gugus metil dari dari atom
C4 disingkirkan sebagai karbon dioksida (CO2). Sedangkan gugus metil pada atom
C14 disingkirkan sebagai asam format (HCOOH), setelah itu gugus metil mengalami
oksidasi menjadi aldehid (20, 21, 22, 25). Adapun reaksi selanjutnya yang dialami
kolesterol dan sikloartenol akan menghasilkan berbagai kelompok steroid. Oleh
karena pokok reaksi biogenesis yang terjadi adalah sama, maka senyawa yang
termasuk dalam suatu kelompok tertentu akan mempunyai struktur dasar yang sama
pula (22).
19
Gambar 4. Mekanisme Biosintesa Steroid (26)
20
2.7.5 Steroid Dari Invertebrata Laut (28)
Dari hasil penelitian yang dilakukan untuk membuktikan biosintesis steroid
dari invertebrata masih belum dapat disimpulkan, karena memiliki beberapa masalah
dalam evaluasi kemampuan biosintesis steroid. Pengumpanan substrat radioaktif
yang larut dalam air misalnya dalam bentuk asetat atau mevalonat pada organisme
lautan menimbulkan masalah karena menyebabkan terjadinya pengenceran yang
besar bila senyawa tersebut ditambahkan pada air laut yang volumenya relatif besar.
Senyawa yang berlabel tersebut disuntikan pada badan hewan invertebrata, ada
kecenderungan senyawa itu akan keluar dari badan hewan untuk membuat
keseimbangan dengan air sekitarnya dari pada diproses oleh hewan itu sendiri. Maka
diperkirakan bahwa sumber steroid dari hewan invertebrata laut adalah :
Biosintesa sendiri dari asetil ko-A melalui asam mevalonat dan skulen, tapi
dalam jumlah yang relatif kecil.
Absorpsi dan asimilasi dari steroid makanan.
Modifikasi dari steroid makanan.
Lintasan steroid dari ganggang simbiotik atau organisme lain yang ada
hubungannya dengan hewan inang , seperti alga, jamur atau bakteri.
Pada spon laut (porifera) telah dilakukan juga banyak penelitian mengenai
biosintesa steroid. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Minale dan Sodano (1977)
tentang biogenesis kalisterol, dilaporkan bahwa Calyx nicaensis tidak mensintesisnya
tapi adanya modikasi dari steroid makanan. Pemasukan sitosterol berlabel dan
stigmasterol ke dalam Calyx nicaensis tidak menimbulkan atom berlabel pada
21
kalisterol. Hal ini membuktikan kemampuan spon tersebut untuk melakukan oksidasi
dan menata ulang suatu sterol dari makanan disekitarnya.
2.8 Bakteri uji
Pemilihan bakteri uji tergantung pada tujuan pengujian, untuk mengetahui
aktivitas antibakteri digunakan bakteri yang bersifat patogen dan merugikan bagi
manusia, dan mewakili setiap kelompok pengujian. Bakteri uji biasanya terdiri dari
bakteri (gram positif, gram negatif) (27, 29).
2.8.1 Tinjauan Umum Bakteri
Bakteri adalah makhluk hidup yang berukuran kecil, terdiri dari satu sel,
hanya dapat dilihat dengan mikroskop dan berkembang biak dengan membelah diri
atau secara aseksual. Berdasarkan perbedaan dinding selnya, bakteri dibagi menjadi
dua bagian, yaitu (27, 29).
2.8.1.1. Bakteri Gram Positif.
Dinding sel bakteri gram positif cukup tebal 20-80 nm, terdiri dari 60-100 %
peptidoglikan. Beberapa organisme gram positif mengandung substansi dinding sel
yang disebut asam teikoat. Fungsi dari asam teikoat belum diketahui dengan pasti,
namun mutan yang kehilangan kemampuan untuk membuat asam teikoat akan cacat
dalam pemisahan sel, contoh : Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis
(27, 29).
22
1. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif dari famili
Micrococcaceae, bersel tunggal, berbentuk bola, tidak bergerak, tidak berkapsul,
tersusun berkelompok seperti anggur, dan menghasilkan pigmen. Bakteri ini dapat
dijumpai pada kulit, selaput lendir hidung, mulut, dan intestin. Juga dapat ditemukan
pada udara dan air.
Staphylococcus aureus menyebabkan infeksi supertisial, infeksi subkutan,
osteomylitis dan dapat juga menyebabkan keracunan pada makanan. Infeksinya
dapat berupa furunkel ringan sampai yang fatal pada kulit.
2. Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis berbentuk bulat, berukuran 0,8-1 µm, terdapat
dalam bentuk tunggal maupun berpasangan, umumnya berupa untaian anggur.
Organisme ini bersifat anaerob fakultatif kurang virulen (tidak dapat menimbulkan
penyakit), tetapi dapat menimbulkan Stick Abscex (pengumpulan nanah dalam
rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan), juga dapat menimbulkan infeksi
saluran kemih.
2.8.1.2. Bakteri Gram negatif
Dinding sel bakteri gram negatif mempunyai susunan kimia yang lebih rumit
daripada bakteri gram positif. Dinding sel bakteri gram negatif mengandung
peptidoglikan yang lebih sedikit, tetapi diluar lapisan peptidoglikan ada struktur
“membran“ kedua yang tersusun atas protein fosfolipida dan lipolisakarida. Contoh :
Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (27, 29).
23
1. Escherichia coli
Escherichia coli termasuk bakteri Enterobacteriaceae. Bakteri ini terdapat
dalam saluran intestinal dalam jumlah yang besar dan tersebar luas pada feses
manusia dan hewan.
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk tongkat pendek,
tidak mempunyai kapsul, ada yang bergerak dan ada yang tidak bergerak.
Pergerakannya sangat sulit untuk dideteksi. Escherichia coli tumbuh baik secara
aerob fakultatif pada temperatur 10-46oC dan temperatur optimum pada 37oC.
2. Pseudomonas aeruginosa
Organisme ini merupakan bakteri gram negatif dari famili
Pseudomonadaceae yang berbentuk batang, tunggal, berpasangan atau berkelompok,
bergerak menggunakan flagel pada salah satu ujung. Pseudomonas aeruginosa
bersifat aerobik obligat dan terdapat sebagai bagian flora normal kulit maupun
saluran usus manusia. Dapat menimbulkan infeksi pada saluran kemih, saluran
pernapasan, luka bakar dan luka biasa.
2.8.2 Pertumbuhan Bakteri Uji
2.8.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bakteri Uji
Pertumbuhan bakteri uji merupakan pertambahan ukuran dari sel bakteri yang
pada mulanya berukuran kecil menjadi berukuran sebesar sel induknya. Pertumbuhan
ini berlangsung cepat dengan adanya faktor-faktor luar yang menguntungkan seperti
(27, 29)
24
1. Nutrisi
Kebutuhan nutrisi bakteri meliputi bahan makanan umum seperti air, karbohidrat
sebagai sumber karbon, protein sebagai sumber nitrogen dan ion-ion organik.
2. Suhu
Bakteri uji dapat tumbuh baik pada suhu optimum. Untuk bakteri uji yang
digunakan suhu optimumnya adalah 35-37oC. Sedangkan bakteri berdasarkan
pada suhu digolongkan atas :
– Psikofilik : bakteri yang dapat hidup pada suhu 10 – 20oC
– Mesofilik : bakteri yang hidup pada suhu 20 – 40oC
– Termofilik : bakteri yang hidup pada suhu lebih tinggi dari 50 – 60oC
– Bakteri patogen umumnya mempunyai suhu optimum lebih kurang 37oC
3. pH Medium
Sebagian besar spesies bakteri tumbuh pada pH 6,8 – 7,2.
4. Oksigen
Berdasarkan kebutuhan oksigen, bakteri dibedakan atas bakteri aerob yang
tumbuh dengan adanya oksigen dan bakteri anaerob yang dapat tumbuh tanpa
oksigen. Ada juga bakteri anaerob fakultatif yaitu bakteri dapat tumbuh dengan
atau tanpa adanya oksigen.
25
5. Zat kimia
Zat kimia yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri tanpa membunuhnya
disebut bakteriostatik, sedangkan zat kimia yang dapat membunuh bakteri
disebut bakterisid.
2.8.2.2 Fase Pertumbuhan Bakteri
Fase pertumbuhan bakteri dapat diproyeksikan sebagai logaritma jumlah sel
terhadap waktu pertumbuhan, dibagi 4 fase (27) :
1. Fase Penyesuaian (Lag Phase)
Merupakan fase penyesuaian pada lingkungan (adaptasi) dan lamanya
tergantung pada macam bakteri, umur biakan dan nutrien yang terdapat dalam
medium. Dalam fase ini bakteri belum mengadakan pembelahan.
2. Fase Pertumbuhan (Logarhytmic / Exponential Phase)
Pada fase ini pembiakan bakteri berlangsung cepat, sel-sel mulai membelah
dan jumlahnya meningkat secara logaritma sesuai dengan pertambahan waktu. Pada
beberapa bakteri pada fase ini biasanya menghasilkan senyawa metabolit primer
seperti karbohidrat (alkohol) dan protein.
3. Fase Stasioner (Stationary Phase)
Pada fase ini terjadi satu keadaan seimbang antara jumlah bakteri yang
berbiak dengan jumlah bakteri yang mati sehingga jumlah keseluruhan bakteri adalah
26
tetap. Pada beberapa bakteri pada fase ini biasanya menghasilkan senyawa metabolit
sekunder seperti antibiotika dan polimer.
4. Fase Kematian (Period of Decline)
Pada fase ini jumlah bakteri yang mati makin banyak, ini disebabkan semakin
habisnya jumlah makanan dalam medium sehingga pembiakan berhenti dan keadaan
lingkungan yang sangat jelek diakibatkan oleh semakin banyak hasil metabolit yang
tidak berguna dan mengganggu pertumbuhan bakteri.
Gambar 5. Kurva Fase Pertumbuhan Bakteri
Keterangan:
1. Fase lag 2. Fase log (eksponensial)
3. Fase stasioner 4. Fase kematian.
27
Waktu pertumbuhan (jam)
L
og ju
mla
h se
l4
1
2
3
4
41
10 305
2.8.3 Pembiakan Bakteri
2.8.3.1 Pembiakan secara in vitro
Pada pembiakan ini diperlukan medium yaitu suatu tempat tumbuh yang
mengandung makanan untuk bakteri, sehingga bakteri dapat berkembang biak.
Berdasarkan konsistensi bahan medium dapat dibagi atas tiga macam, yaitu : media
cair, media semi solid dan media padat. Pada pembiakan secara in vitro, media
ditanami dengan bakteri kemudian diinkubasi dalam inkubator yang suhunya
berkisar antara 36 – 37oC (27, 30).
Ada tiga cara menanam bakteri, yaitu :
1. Slant ( agar miring )
Tempatnya adalah tabung reaksi, dimana permukaan media miring.
2. Plate ( agar plate )
Bakteri yang ditanam digoreskan pada permukaannya.
3. Poured plate ( agar tuang )
Media yang bentuk cair pada suhu 40 – 45oC bersama-sama suspensi bakteri
dituangkan dalam plate, kemudian dibiarkan dingin sehingga media memadat.
2.8.3.2.Pembiakan secara in vivo
Pada pembiakan secara in vivo ini digunakan binatang percobaan, misalnya :
marmot, kelinci atau tikus putih. Binatang ini penting artinya karena bakteri tertentu
dapat menyebabkan penyakit pada binatang percobaan dan memberikan gejala-gejala
yang khas pada binatang tersebut. Bakteri itu dapat diisolasi dari tubuh binatang
tersebut (27, 30).
28
2.8.4 Uraian Tentang Antibakteri
2.8.4.1. Mekanisme Kerja Antibakteri
Antibakteri menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri dengan
bermacam cara yaitu (27, 29) :
1. Menghambat sintesa dinding sel bakteri
Dinding sel bakteri mengandung zat yang secara kimia merupakan suatu
polimer kompleks suatu mukopeptida (peptidoglikan) terdiri dari polisakarida dan
polipeptida. Suatu obat antibakteri bila berikatan dengan reseptor selnya dapat
mengakibatkan kerusakan pada dinding sel bakteri atau menghambat reaksi
pembentukan dinding sel. Kerusakan pada dinding sel atau hambatan
pembentukannya dapat berakibat lisis pada sel sehingga sel bakteri akan mati.
2. Menghambat sintesa protein sel bakteri
Protein merupakan suatu senyawa yang sangat penting pada bakteri, dua
pertiga dari berat kering bakteri terdiri dari protein. Sel bakteri dalam kehidupannya
perlu mensintesis protein. Sintesis protein belangsung di ribosom dengan bantuan m-
RNA dan t-RNA. Ribosom bakteri terdiri atas dua sub unit yang dinyatakan sebagai
ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintesa protein, kedua komponen ini
akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S. Penghambatan
sintesis protein dapat terjadi dengan cara mencegah masuknya asam amino baru ke
dalam rantai peptida yang baru. Pengamatan sintesis ini dapat juga dikarenakan
pesan mRNA salah dibaca pada daerah pengenalan ribosom, akibatnya asam amino
yang dimasukkan ke dalam peptida ini menghasilkan protein yang tidak fungsional.
29
3. Mempengaruhi membran sel bakteri
Membran sel adalah struktur yang semipermiabel yang mengendali
pengangkutan banyak metabolit ke dalam dan ke luar sel. Kerusakan membran sel
menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri seperti
protein, asam nukleat dan nukleotida yang mengakibatkan kematian sel.
4. Menghambat biosintesa asam nukleat
Pada umumnya antimikroba menghambat sintesa asam nukleat dengan cara
berikatan dengan benang halus ganda DNA. Kompleks DNA dengan antibakteri
yang terbentuk menghambat RNA polimerasi yang terlibat dalam biosintesa DNA
atau RNA dan menghambat pembentukan mRNA. Penghambatan sintesis ini dapat
juga dengan cara berikatan dengan RNA polimerase sehingga menghambat sintesa
bakteri.
2.8.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Antibakteri
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja antibakteri adalah sebagai berikut
(27, 31) :
1. Konsentrasi
Konsentrasi suatu zat yang digunakan bergantung kepada bahan aktif dari
suatu zat tersebut dan mikroorganisme yang akan diuji.
2.Waktu
Pemberian suatu zat antibakteri dalam waktu yang lama akan memberikan
waktu yang cukup bagi zat tersebut untuk bekerja.
30
3.Suhu
Secara umum peningkatan suhu mempercapat laju reaksi kimia. Dengan
naiknya suhu biasanya dapat mempercepat daya kerja zat tersebut.
4. pH
Keadaan pH mungkin saja dapat menentukan apakah suatu zat dapat
menghambat atau membunuh mikroorganisme.
2.8.5 Metoda Pengujian Aktivitas Antibakteri
Aktivitas antibakteri suatu sampel dapat dideteksi dengan mengamati respon
pertumbuhan berbagai jenis bakteri yang berkontak dengan ekstrak sampel tersebut.
Hal ini memungkinkan dilakukan suatu uji aktivitas antibakteri yang terdapat dalam
sampel tersebut.
Metoda pengujian aktivitas antibakteri dibedakan atas 3 cara, yaitu (30, 31):
A. Metoda Difusi
Metoda difusi merupakan metoda yang sederhana dalam pengujian aktivitas
antibakteri. Pada metoda ini, pencadang (reservoir) mengandung sampel uji yang
ditempatkan pada permukaan medium yang telah diinokulasi dengan bakteri uji.
Setelah inkubasi, diameter daerah bening sekitar pencadang diukur. Prinsip metoda
difusi yaitu uji potensi ekstrak tumbuhan berdasarkan luas daerah hambatan
pertumbuhan bakteri karena berdifusinya ekstrak tumbuhan dari titik awal pemberian
ke daerah difusi.
31
B. Metoda Dilusi
Metoda dilusi merupakan metoda yang paling sederhana dibandingkan
metoda pengujian aktivitas antibakteri lainnya. Sampel uji dicampur dengan medium
cair yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Prinsip metoda ini adalah ekstrak
tumbuhan diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, lalu masing-
masing konsentrasi ditambah suspensi bakteri dalam media. Setelah inkubasi,
diamati ada tidaknya pertumbuhan bakteri dengan melihat kekeruhan dari masing-
masing konsentrasi ekstrak yang dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi ekstrak
terendah yang menghambat pertumbuhan bakteri ditunjukkan dengan tidak adanya
kekeruhan, disebut dengan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) atau Mininum
Inhibitory Concentration (MIC).
Beberapa keuntungan dari metoda dilusi ini antara lain :
1. Metoda dilusi dapat menghitung Konsentrasi Hambat Minimum (KHM).
2. Metoda dilusi menjamin homogenitas yang lebih besar antara media, larutan
ekstrak dan bakteri dibanding metoda difusi dan bioautografi.
3. Metoda dilusi tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor difusibilitas ekstrak,
keadaan media, maupun ukuran molekul obat.
4. Sampel dan media yang digunakan sedikit.
5. Pelaksanaan lebih cepat dan ekonomis.
C. Metoda Bioautografi
Bioautografi adalah metoda untuk mengetahui lokasi aktivitas antibakteri
pada kromatogram. Metoda ini berdasarkan pada metoda difusi, dimana sampel akan
berdifusi dari kromatogram ke medium yang telah diinokulasi dengan bakteri uji dan
32
daerah hambat terlihat tepat pada bercak kromatogram. Metoda ini sangat
membutuhkan perlengkapan mikrobiologi yang kompleks, masalah perbedaan difusi
senyawa dari kromatogram ke medium agar, konsentrasi bercak pada kromatogram
yang tidak terukur dan mudahnya kontaminasi oleh mikroba udara, membuat metoda
ini agak rumit dalam pengerjaannya. Plat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) disemprot
dengan susupensi bakteri, kemudian diinkubasi selama beberapa hari. Daerah
hambatan divisualisasikan dengan penampak noda, seperti garam tetrazolium (32).
2.8.6 Antibiotik Pembanding
Dalam pengujian aktivitas antibakteri senyawa hasil isolasi biasanya
digunakan senyawa-senyawa antibakteri lain yang telah diketahui aktivitasnya
sebagai pembanding. Tujuan penggunaan pembanding ini adalah untuk mengetahui
kepekaan dari bakteri uji yang digunakan. Senyawa antibakteri yang digunakan
biasanya yang berspektrum kerja luas atau dapat bekerja pada semua kelompok
bakteri uji (31).
Kloramfenikol
Merupakan suatu antibiotik yang dihasilkan dari jamur Streptomyces
venezuelae. Kloramfenikol berupa kristal jarum berwarna putih yang sukar larut
dalam air dan rasanya sangat pahit. Rumus molekul dari kloramfenikol adalah
sebagai berikut:
33
Gambar 6. Rumus Molekul Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesa protein bakteri.
Yang dihambat ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator
untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesa protein bakteri. Efek
toksik kloramfenikol pada mamalia terutama pada sistem haematopoetik sehingga
dapat menyebabkan anemia aplastik yang fatal .
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi
kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap bakteri tertentu. Kloramfenikol bekerja
dengan spektum luas atau dapat bekerja terhadap bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif.
34
III. PELAKSANAAN PENELITIAN
3.1 Waktu dan Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Bahan Alam dan
Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Padang selama lebih kurang 6 bulan.
3.2 Metodologi Penelitian
3.2.1 Alat dan Bahan
A. Alat
Seperangkat alat destilasi, penangas air, desikator, rotary evaporator
(BUCHI®), wadah maserasi (botol), lemari pengering (oven), bejana
kromatografi lapis tipis (chamber), kolom kromatografi berbagai ukuran,
botol semprot, gelas ukur, lumpang, pinset, plat tetes, pipet mikro, pipet
kapiler, pipet tetes, tabung reaksi, corong, corong pisah, erlenmeyer
berbagai ukuran, vial, kertas saring, jarum ose, kain kasa, kertas perkamen,
kapas, spatel, lampu spritus, kertas cakram (Whatman®), cawan Petri, stirer
magnetic, vorteks (Fisons Whirlimixer TM), shaker, timbangan analitik,
lampu UV254 (Betracher Lamag®), Fisher-John Melting Point Apparatus,
microtiterplate 96-well, lemari aseptis, autoklaf, Laminar Air Flow cabinet
(ESCO®), incubator (Galenkamp plus®), spektrofotometer Ultraviolet-
Visibel Pharmaspec 1700 (Shimadzu®), spektrofotometer inframerah
35
(Perkin Elmer F-T IR Spektrum one), spektrometer 13C-NMR DELTA2 125
MHz dan 1H-NMR DELTA2 500 MHz.
.B. Bahan
Spon laut Petrosia nigrans, air suling, asam sulfat, logam magnesium,
asam klorida pekat, asam asetat anhidrat, besi (III) klorida, pereaksi
Mayer, pereaksi Dragendorf, pereaksi Vanilin/H2SO4, metanol, n-
heksana, etil asetat, n-butanol, amoniak, kloroform, DMSO (dimetil
sulfoksida), silika gel 60 (40–63) µm (Merck®), plat silika GF254, plat
silika PF254, Nutrient Agar (Merck®), Nutrient Broth (Merck®),
kloramfenikol, bakteri uji Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa. Bakteri uji
diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Sumatera Barat.
3.2.2 Prosedur Penelitian
1. Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil di perairan Painan
sekitar pulau Babi, kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
2. Identifikasi Sampel
Identifikasi sampel dilakukan di Museum Zoologi Amsterdam Belanda oleh
Dr.R.W.M.van Soest. Voucher sampel disimpan dengan nomor koleksi
ZMAPOR 18572 dan nomor koleksi DH 33.
3. Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia Spon Laut Petrosia nigrans
Pemeriksaan terhadap kandungan metabolit sekunder dilakukan berdasarkan
metoda Simes yang dimodifikasi (36), yaitu: Pemeriksaan dilakukan terhadap
36
ekstrak kental metanol, lalu ditambahkan masing-masing 5–10 ml air suling
dan CHCl3, dikocok kuat dan dibiarkan beberapa saat sampai terbentuk dua
lapisan. Lapisan air digunakan untuk senyawa flavonoid, fenolik dan saponin.
Uji flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan logam Mg dan HCl
pekat, reaksi positif jika terjadi warna merah muda sampai merah. Uji
fenolik dilakukan dengan cara menambahkan larutan FeCl3, reaksi positif
untuk fenolik jika terbentuk warna biru. Uji saponin dilakukan dengan
mengocok lapisan air dalam tabung reaksi lain, terbentuknya busa yang
menetap selama 15 menit berarti positif adanya saponin. Sedangkan lapisan
CHCl3 digunakan untuk uji senyawa steroid, terpenoid dan alkaloid. Untuk
uji terpenoid dan steroid, lapisan CHCl3 disaring dengan menggunakan norit
dan dibiarkan mengering pada plat tetes, setelah kering ditambahkan asam
asetat anhidrat dan H2SO4 pekat dimana jika terbentuk warna merah, positif
untuk terpenoid dan warna biru atau hijau positif untuk steroid. Untuk uji
alkaloid lapisan CHCl3 ditambah dengan CHCl3 amoniak lalu ditambah 1 ml
asam sulfat 2N, kemudian dikocok perlahan, ambil lapisan asam dan
ditambah satu tetes pereaksi Mayer atau Dragendorf, positif adanya alkaloid
bila terbentuk endapan putih dengan pereaksi Mayer atau warna jingga
dengan pereaksi Dragendorf.
4. Ekstraksi dan Fraksinasi
Sebanyak 1 kg spon laut Petrosia nigrans dirajang halus, dimaserasi
dengan metanol sebanyak 1 L. Perendaman dilakukan selama 3-5 hari
dengan beberapa kali pengulangan dan sesekali dikocok. Sampel yang
37
dimaserasi tersebut kemudian disaring kemudian pelarut dari gabungan
maserasi diuapkan in vacuo sampai kental hingga didapat ekstrak kental
sebanyak 41,67 g. Ekstrak tersebut ditambahkan air suling sebanyak 1000 ml.
Fraksinasi dilakukan dengan pelarut yang berbeda tingkat
kepolarannya di dalam corong pisah. Fraksinasi diawali dengan pelarut non
polar n-heksana sebanyak 5 x 150 ml, sehingga diperoleh fraksi n-heksana
dan fraksi air. Fraksi n-heksana diuapkan dengan rotary evaporator dan
diperoleh fraksi kental n-heksana sebanyak 640 mg. Fraksinasi berikutnya
dengan pencampuran dengan pelarut semi polar etil asetat sebanyak 7 x 150
ml sehingga diperoleh fraksi etil asetat dan fraksi air. Fraksi etil asetat
kemudian diuapkan dengan rotary evaporator dan diperoleh fraksi kental etil
asetat sebanyak 1,4 g. Fraksi air selanjutnya difraksinasi dengan n-butanol
sebanyak 8 x 150 ml, sehingga diperoleh dua fraksi, yaitu fraksi n-butanol
dan fraksi air. Fraksi n-butanol diuapkan dengan rotary evaporator dan
didapatkan fraksi kental n-butanol sebanyak 2,4 g. Kemudian masing-masing
diuji aktivitas antibakteri.
5. Uji Aktivitas Antibakteri
Pengujian pendahuluan aktivitas antibakteri dari ekstrak metanol
dilakukan dengan metoda difusi agar. Sedangkan pengujian aktivitas
antibakteri fraksi ekstrak dan senyawa hasil isolasi dilakukan dengan metoda
dilusi sehingga KHM dari senyawa dapat ditentukan (37,38). Untuk
pengujian aktivitas tersebut maka dapat dilakukan dengan langkah sebagai
berikut :
38
a. Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci bersih dan
dikeringkan, tabung reaksi, Erlenmeyer, gelas ukur, vial ditutup mulutnya
dengan kapas, kemudian dibungkus dengan kertas perkamen. Kertas
cakram dimasukkan ke dalam salah satu cawan Petri dan semua cawan
petri dibungkus terpisah dengan perkamen kemudian dibungkus dengan
kertas perkamen. Kemudian semua alat disterilkan dalam autoklaf pada
suhu 121oC dan tekanan 15 lbs selama 15 menit. Pinset, jarum ose
disterilkan dengan cara flambier. Lemari aseptis dibersihkan dari debu
lalu disemprot dengan etanol 70%, biarkan 15 menit sebelum digunakan
(27,39).
b. Pembuatan Media Pembenihan
1. Nutrient Agar (NA)
Sebanyak 20 gram serbuk Nutrient Agar dilarutkan dalam 1 liter air
suling, dipanaskan diatas hotplate sambil diaduk menggunakan stirrer
magnetic sampai terbentuk larutan jernih kemudian disterilkan di
dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 15 lbs selama 15 menit (39).
2. Nutrient Broth (NB)
Sebanyak 8 gram serbuk Nutrient Broth dilarutkan dalam 1 liter air
suling, dipanaskan diatas hotplate sambil diaduk menggunakan stirrer
magnetic sampai terbentuk larutan jernih kemudian disterilkan di
dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 15 lbs selama 15 menit (39).
.
39
c. Peremajaan Bakteri Uji
Bakteri uji dari stok kultur murni ditanam pada medium agar miring NA ,
lalu diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C , diremajakan setiap 2
minggu sekali.
d. Pembuatan Stok Kultur Biakan untuk Pengujian Metoda Dilusi
Sebanyak 1 Ose koloni bakteri diambil dari hasil peremajaan bakteri
biakan murni kemudian disuspensikan dalam 10 ml media NB dalam
Erlemeyer dan dishaker selama 12 jam 120 rpm suhu 27 0C.
e. Pembuatan Suspensi Bakteri Uji
Pembuatan suspensi bakteri uji dengan metoda difusi agar dapat
dilakukan dengan mengambil koloni mikroba uji dari agar miring 1-2 Ose
lalu disuspensikan dalam NaCl fisiologis steril dalam tabung reaksi steril,
kemudian dihomogenkan dengan vorteks. Kekeruhan suspensi diukur
dengan spektrofotometer UV-Vis sehingga diperoleh transmitan 25%
pada λ 580 nm untuk bakteri.
Pada metoda dilusi pembuatan suspensi dilakukan dengan mengambil
100 l stok kultur biakan dan diencerkan dengan media NB sampai
volume 10 ml lalu dihomogenkan dengan vorteks lalu diukur
transmitannya dengan spektrofotometer UV-Vis sehingga didapat
suspensi dengan transmitan 25 %.
f. Pembuatan Sampel Uji
Pembuatan sampel uji pada pengujian dengan metoda difusi agar untuk
ekstrak kental dan metoda dilusi untuk fraksi ekstrak dilakukan dengan
40
cara melarutkan sampel dalam DMSO sehingga diperoleh konsentrasi 1%
(10000 ppm).
Pembuatan sampel uji untuk senyawa hasil isolasi dengan metoda dilusi
dilakukan dengan cara melarutkan sampel dalam DMSO sehingga
diperoleh konsentrasi 0,1 % (1000 ppm).
g. Pengujian Aktivitas Antibakteri dengan Metoda Difusi Agar
Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak metanol dilakukan dengan metoda
difusi agar. Sebanyak 100 l (0,1 ml) suspensi bakteri dipipet dengan
pipet mikro dimasukkan ke dalam cawan Petri steril kemudian masukkan
media NA dalam kondisi cair sebanyak 12 ml untuk bakteri. Kemudian
goyang cawan Petri hingga homogen, dan biarkan memadat. Selanjutnya
letakkan kertas cakram steril yang mengandung 10 μl larutan uji di atas
permukaan media. Inkubasi pada suhu 37oC untuk bakteri selama 18-24
jam. Diamati adanya pertumbuhan bakteri dan diukur diameter hambat
dengan jangka sorong. Sebagai kontrol negatif digunakan kertas cakram
steril yang mengandung DMSO 10 μl. Sedangkan sebagai pembanding
digunakan kloramfenikol 0,3% untuk bakteri masing-masing sebanyak
10 μl.
h. Penentuan Aktivitas Antibakteri dan Penentuan KHM dengan Metoda Dilusi
Pada lubang ke-1 Microtiterplate 96-Well dimasukkan 180 l suspensi
kultur bakteri, sedangkan pada lubang nomor 2-6 dimasukkan 100 l,
pada lubang ke 7 dan ke 8 dimasukkan berturut-turut 90 l untuk kontrol
positif dan kontrol negatif. Kemudian pada lubang pertama ditambahkan
20 l sampel dihomogenkan dengan cara mengaduk dengan pipet mikro,
41
kemudian dipipet 100 l suspensi dari lubang pertama dan dimasukkan
pada lubang kedua dan dihomogenkan, dari lubang kedua dipipet 100 l
dan dimasukkan ke lubang ketiga dan dihomogenkan begitu seterusnya
sampai pada lubang ke-6, 100 l terakhir dibuang, Untuk kontrol positif
ditambahkan 10 l kloramfenikol dengan konsentrasi 12 ppm pada
lubang ke-7 dan 10 l DMSO pada lubang ke-8 sebagai kontrol negatif.
Lakukan inkubasi dari Microtiter plate 96-Well di lemari aseptis selama
24 jam pada suhu 25-27 0C. Pengamatan dilakukan secara visual dengan
melihat tidak adanya kekeruhan yang menunjukkan tidak terjadi
pertumbuhan bakteri, konsentrasi yang menyebabkan tidak terjadinya
pertumbuhan bakteri merupakan nilai KHM nya.
6. Isolasi dan Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi
Hasil monitor dengan plat KLT terhadap fraksi n-heksana
menunjukkan pola penyebaran senyawa-senyawa yang baik dengan
menggunakan fase gerak n-heksana : etil asetat 7:3 dan penampak noda
lampu UV254. Pada kromatografi kolom fraksi n-heksana digunakan fase diam
silika gel 60 (40-63) m (Merck®) sebanyak 42 g. Pembuatan suspensi silika
gel dengan menggunakan pelarut n-heksana : etil asetat 7:3, kemudian
dimasukkan ke dalam kolom yang bagian bawahnya telah disumbat terlebih
dahulu dengan kapas. Suspensi tersebut dimasukkan ke dalam kolom sambil
diketok-ketok agar silika gel memadat. Fraksi n-heksana dimasukkan
sebanyak 640 mg yang dilarutkan dengan sedikit pelarut yang sama dengan
pelarut untuk pensuspensi silika gel dan dimasukkan dengan pipet tetes
42
secara hati-hati agar tidak merusak permukaan atas suspensi silika gel.
Pengelusi yang digunakan adalah :
n-heksan : etil asetat (7 : 3) 500 ml
n-heksan : etil asetat (6 : 4) 500 ml
n-heksan : etil asetat (1 : 1) 200 ml
Etil asetat (100 %) 200 ml
etil asetat : metanol 200 ml
Metanol (100 %) 200 ml
Hasil kromatografi ditampung dengan vial 20 ml sebanyak 63 fraksi.
Eluat tersebut dimonitor dengan plat KLT dengan penampak noda lampu
UV254. Fraksi yang memiliki Rf sama digabung sehingga diperoleh 11 fraksi
yaitu NS-1 (1-2), NS-2 (3-7), NS-3 (8-10), NS-4 (12-19), NS-5 (20-25), NS-6
(26-34), NS-7 (35-39), NS-8 (40-45), NS-9 (46-50), NS-10 (51-59), NS-11
(60-63).
Dari hasil penggabungan tadi, fraksi NS-2 mengalami pengkristalan
di dasar vialnya dan dilakukan rekristalisasi dengan menggunakan beberapa
pelarut campur yaitu n-heksana, etil asetat dan metanol.
Fraksi dengan berat 40 mg ini memperlihatkan satu noda di bawah
lampu UV254 pada plat KLT dengan eluen n-heksana : etil asetat (4:1) tapi
setelah disemprot dengan Metanol/H2SO4 10 % ternyata memberikan dua
noda. Pemisahan dilanjutkan menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif
yang luas pelatnya berukuran 20 x 20 cm dengan ketebalan 0,5 – 2 mm. Fasa
diam yang digunakan adalah silika gel 60 (40-63) m (Merck®) dan fasa
geraknya n-heksana : etil asetat (4:1), hasil KLT preparatif dimonitor dengan
43
lampu UV254. Pita senyawa terpisah yang telah ditentukan dikerok dengan
spatel kemudian senyawa terpisah diisolasi dari adsorbent dengan pelarut
yang sesuai sehingga didapatkan kristal NS-2-1 berupa kristal jarum
berwarna putih sebanyak 16 mg. Akan tetapi pada saat karakterisasi senyawa
dengan 1H dan 13C-RMI, kristal NS-2-1 terlihat belum murni. Pada fraksi NS-
4 juga terjadi pengkristalan di dasar vial dan dilakukan pemurniannya dengan
menggunakan pelarut campur seperti n-heksana, etil asetat dan metanol yang
hasilnya senyawa NS-4-1 berupa kristal jarum berwarna putih sebanyak 11
mg. Senyawa hasil isolasi diuji aktivitas antibakterinya dengan metoda dilusi.
7. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi
Karakterisasi senyawa NS-4-1 (fraksi NS-4) hasil isolasi meliputi
meliputi pemeriksaan, organaleptis, pemeriksaan fisika, pemeriksaan kimia
dan pemeriksaan KLT dan pemeriksaan fisikokimia.
1. Pemeriksaan Organoleptis
Pemeriksaan organoleptis ini meliputi pemeriksaan bentuk dan warna
dari senyawa murni hasil isolasi (lampiran 9, tabel 5).
2. Pemeriksaan fisika
Pemeriksaan fisika meliputi kelarutan, dan penentuan jarak leleh dengan
menggunakan alat Fisher Jhon Melting Point Apparatus. Caranya dengan
meletakkan butir kristal diantara dua kaca objek dan ditempatkan
dibawah kaca pembesar, sebelumnya alat ini diatur suhunya. Suhu dicatat
pada saat kristal mulai meleleh sampai meleleh sempurna ini disebut
44
dengan jarak leleh. Penentuan jarak leleh ini dilakukan sebanyak 3 kali
untuk memastikan hasil jarak leleh yang didapatkan.
3. Pemeriksaan kimia
Pemeriksaan kimia dilakukan dengan mereaksikan senyawa hasil isolasi
dengan pereaksi tertentu yang menunjukkan golongan senyawa kimia
utama seperti pereaksi Libermann Bourchad, Metanol/ H2SO4 10 % dan
vanilin asam sulfat merupakan pereaksi positif untuk golongan terpenoid
dan steroid, larutan FeCl3 1 % untuk golongan fenol, serbuk Mg/HCl
pekat untuk golongan flavonoid, sedangkan pereaksi Dragendorf dan
pereaksi Mayer untuk golongan alkaloid.
4. Pemeriksaan KLT
Pemeriksaan KLT digunakan untuk melihat kemurnian senyawa hasil
isolasi fasa gerak yang digunakan untuk senyawa NS-4-1 dengan fasa
gerak n-heksana etil asetat (4:1) diperoleh harga Rf = 0,3 (lampiran 9,
tabel 5, gambar 17).
5. Pemeriksaan Fisikokimia
a. Pemeriksaan spektroskopi Ultraviolet-Visibel
Pemeriksaan spektrum Ultraviolet-Visibel dilakukan dengan
menggunakan alat spektrofotometer Ultraviolet-Visibel Pharmaspec
1700 (Shimadzu®). Senyawa hasil isolasi sebanyak 1 mg dilarutkan
dalam pelarut metanol sebanyak 10 ml kemudian diukur serapannya.
b. Pemeriksaan spektroskopi inframerah
45
Pemeriksaan spektroskopi Inframerah dilakukan dengan menggunakan
alat spektrofotometer inframerah (Perkin Elmer F-T IR Spektrum one),
dimana senyawa hasil isolasi ditimbang 1 mg digerus bersama dengan
KBr 100 mg, lakukan pengempaan sampai terbentuk seperti sebuah
pellet yang tipis dan transparan lalu diukur serapan inframerahnya.
c. Pemeriksaan spektrum RMI
Pemeriksaan spektrum RMI (1H dan 13C ) dilakukan di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta dengan alat spektrometer 13C-
NMR DELTA2 125 MHz dan 1H-NMR DELTA2 500 MHz.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
46
4.1 HASIL
1. Dari hasil uji pendahuluan kandungan kimia terhadap spon laut Petrosia
nigrans menunjukkan adanya kandungan senyawa terpenoid, steroid, fenolik
dan saponin.
2. Dari 1 kg sampel basah spon laut Petrosia nigrans diperoleh ekstrak kental
metanol 41,67 g (4,167 %). Dari hasil fraksinasi diperoleh fraksi n-heksana
sebanyak 640 mg (0,064 %), fraksi etil asetat sebanyak 1,4 g (0,14 %) dan
fraksi butanol sebanyak 2,4 g (0,24 %).
3. Dari fraksi n-heksana diisolasi senyawa murni yaitu senyawa NS-4-1 seberat
11 mg (1,71 % dari fraksi n-heksana) dengan Rf = 0,3 (n-heksana : etil asetat
4:1) (lampiran 9, tabel 5, gambar 17). berupa kristal jarum bewarna putih
dengan jarak leleh 146-147 C.
4. Pemeriksaan kimia terhadap senyawa NS-4-1 memberikan hasil positif
terhadap pereaksi Liebermann Burchard dengan warna hijau, pereaksi
Metanol/H2SO4 10 % memberikan warna merah muda. Sedangkan dengan
pereaksi vanilin asam sulfat, NS-4-1 memberikan warna hijau kebiruan
(lampiran 9, tabel 5).
5. Pemeriksaan dengan menggunakan spektrofotometer IR terhadap senyawa NS-
4-1 menunjukkan pita-pita serapan pada bilangan gelombang 3525-3391 cm-1
(regang 0-H), 2957 cm-1 dan 2873 cm-1 ( regang C-H), 1650 cm-1(regang C=C),
1465 cm-1 dan 1378 cm-1 (lentur C-H), dan 956-653 cm-1 (lentur C=C) (lampiran
10, gambar 20, tabel 6).
47
6. Pemeriksaan spektrum 1H-RMI dari senyawa NS-4-1 dalam pelarut CDCl3
memperlihatkan sinyal yang tumpang tindih pada pergeseran 0,7-2,1 ppm,
sinyal multiplet pada pergeseran 3,95 ppm, sepasang sinyal doublet yaitu pada
pergeseran 6,22 ppm (1H, d, J = 8,55 Hz) dan pada pergeseran 6,48 ppm (1H,
d, J = 8,55 Hz).
7. Pemeriksaan spektrum 13C-RMI senyawa NS-4-1 dalam pelarut CDCl3
memperlihatkan 29 sinyal dengan pergeseran kimianya (ppm) : 12,39, 12,69,
18,24, 18,77, 19,03, 19,65, 20,71, 23,07, 23,49, 26,44, 28,32, 29,01, 30,19,
33,77, 34,77, 35,79, 37,00, 37,02, 39,49, 44,81, 46,09, 51,14, 51,65, 56,38,
66,54, 79,30, 82,23, 130,84, 135,47.
8. Dari data IR, 1H-RMI, 13C-RMI, HSQC dan HMBC senyawa NS-4-1 diduga
memiliki rumus molekul C29H48O3 yang memiliki struktur 5,8-epidioksi-24-
etilkolest-6-en-3-ol.
9. Senyawa NS-4-1 aktif sebagai antibakteri dengan KHM 50 ppm terhadap S.
aureus sedangkan pada bakteri P. aerugenosa dan E. coli masing-masing
dengan KHM 100 ppm.
4.2 PEMBAHASAN
48
Ekstraksi kandungan kimia dari spon laut Petrosia nigrans dilakukan dengan
merajang halus spon tersebut. Penghalusan ini bertujuan untuk memperluas
permukaan sampel agar kontak antara pelarut dengan sampel semakin luas
sehingga mempermudah penetrasi pelarut ke dalam membran sel dan proses
pelarutan senyawa-senyawa yang terkandung di dalam sampel menjadi
sempurna (9,40).
Penyarian sampel dilakukan dengan cara maserasi karena maserasi
merupakan metode ekstraksi yang pengerjaannya dan alat-alat yang digunakan
sederhana, yaitu cukup dengan merendam sampel dalam pelarut organik selama
3-5 hari dan sesekali dikocok. Setelah 5 hari disaring menggunakan kapas.
Metanol digunakan sebagai pelarut dalam maserasi ini karena metanol
merupakan pelarut yang dapat melarutkan hampir semua senyawa organik dalam
spon laut, baik polar maupun non polar dan metanol mempunyai titik didih
rendah (67,5 C) sehingga mudah diuapkan.
Ekstrak metanol yang diperoleh diuapkan pelarutnya secara in vacuo karena
dalam keadaan vakum tekanan uap pelarut akan menjadi turun dan pelarut akan
mendidih dan pada temperatur lebih rendah dari titik didihnya sehingga dapat
mengurangi resiko kerusakan senyawa termolabil yang ada di dalam sampel.
Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan pelarut berdasarkan tingkat
kepolarannya. Pelarut n-heksana akan menarik senyawa-senyawa non polar
karena sifatnya yang non-polar, etil asetat untuk menarik senyawa semi polar
karena bersifat semi polar dan senyawa polar ditarik dengan pelarut butanol yang
bersifat polar.
49
Fraksinasi ini didasarkan pada sifat kelarutan dari senyawa-senyawa organik
dimana senyawa tersebut akan mudah larut di dalam pelarut yang mempunyai
tingkat kepolaran yang sama atau hampir sama. Fraksinasi ini bertujuan untuk
memisahkan senyawa-senyawa yang ada berdasarkan sifat kepolarannya. Fraksi
yang didapat dipekatkan in vacuo sehingga didapat ekstrak kental untuk setiap
fraksi, ini bertujuan untuk mengetahui berat dari masing-masing fraksi.
Metoda yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri terhadap
ekstrak adalah difusi agar. Metoda ini bertujuan untuk melihat diameter hambat
pertumbuhan bakteri uji. Besarnya diameter hambat yang ditimbulkan dapat
menentukan kemampuan aktivitas ekstrak sebagai antibakteri. Pada uji
pendahuluan yang telah dilakukan, ekstrak metanol dapat menghambat
pertumbuhan bakteri uji walau diameter hambatnya cukup kecil dibanding
dengan kontrol positif (lampiran 5, 6, gambar 11, 12, 13, 14, tabel 2).
Pengujian aktivitas terhadap fraksi n-heksana, etil asetat dan n-butanol dan
senyawa kimia utama dilakukan dengan menggunakan metoda dilusi. Metoda ini
dilakukan karena sampel yang ada hanya sedikit selain itu dapat menentukan
KHM dari suatu zat uji secara langsung. Prinsip kerja metoda ini adalah dengan
membandingkan kekeruhan antara larutan kontrol dengan larutan uji yang
dilakukan pengenceran bertingkat sehingga diperoleh konsentrasi setengah dari
konsentrasi awal.
Pengamatan dapat dilihat langsung secara visual dimana suspensi bening
pada lubang microtiterplate 96-Well menunjukkan tidak terjadi pertumbuhan
bakteri dan konsentrasi pada lobang tersebut diangggap langsung sebagai KHM.
50
Metoda dilusi merupakan metoda pengujian aktivitas antibakteti yang lebih
sederhana dan memiliki beberapa keuntungan diantaranya :
Sampel yang digunakan lebih sedikit karena untuk mendapatkan
konsentrasi diinginkan tidak perlu membuat konsentrasi baru tetapi dapat
dilakukan pengenceran dari larutan induk.
Metoda ini dapat menjamin homogenitas yang lebih besar antara media
dan larutan ekstrak dibandingkan metoda difusi dan metoda Bioautografi.
Jumlah ekstrak yang digunakan relatif sedikit, dapat digunakan untuk
pengujian aktivitas dari beberapa fraksi dan senyawa.
Lebih sederhana dapat ditentukan langsung konsentrasi Hambat Minimum
(KHM) nya.
Antibiotik kloramfenikol 0,3 % digunakan sebagai kontrol untuk pengujian
aktivitas antibakteri pada pengujian dengan metoda difusi agar dan konsentrasi
12 ppm pada metoda dilusi. Kloramfenikol merupakan salah satu antibiotik
berspektrum luas yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif
maupun bakteri gram negatif. Sebagai pelarut sampel dan kontrol negatif
digunakan DMSO (dimetilsulfoksida). DMSO merupakan salah satu pelarut yang
dapat melarutkan hampir semua senyawa baik polar maupun non polar. Selain itu
DMSO tidak memberikan daya hambat pertumbuhan bakteri sehingga tidak
menggangu hasil pengamatan pengujian aktivitas antibakteri dengan metoda
difusi agar maupun dilusi.
Bakteri uji yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri adalah bakteri
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aerugenosa,
51
dan Escherichia coli, bakteri ini digunakan karena sudah mewakili bakteri gram
positif dan gram negatif selain itu bakteri ini merupakan mikroorganisme
patogen yang dapat menginfeksi tubuh manusia sehingga dapat menyebabkan
timbulnya berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit, penyakit saluran
pernafasan, dan penyakit saluran pencernaan.
Dari hasil uji aktivitas antibakteri pada masing-masing fraksi ekstrak, setiap
fraksi memperlihatkan adanya daya hambat bakteri. Fraksi n-heksana
memberikan KHM 1000 ppm terhadap setiap bakteri, fraksi etil asetat
memberikan KHM 500 ppm terhadap Pseudomonas auruginosa dan KHM 1000
ppm terhadap bakteri lainnya. Sedangkan fraksi n-butanol memberikan KHM
500 ppm terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus epidermidis dan KHM
1000 ppm terhadap bakteri lainnya (lampiran 5, 7, gambar 15, tabel 3).
Dari hasil pemonitoran dengan metoda KLT dan uji aktivitas antibakteri
terhadap semua fraksi , maka pengerjaan isolasi dilanjutkan pada fraksi n-
heksana, sebab pola penyebaran noda KLT fraksi ini memperlihatkan pemisahan
noda yang sangat baik menggunakan fase gerak n-heksana : etil asetat 7:3. Selain
itu fraksi ini juga memperlihatkan aktivitas antibakteri walaupun aktivitasnya
tidak sebesar fraksi lainnya. Kromatografi kolom merupakan metoda pemisahan
yang paling umum digunakan dan dapat memisahkan komponen kimia dalam
sampel (10). Isolasi fraksi n-heksana dilakukan dengan metoda kromatografi
kolom dengan fase gerak n-heksana : etil asetat (7:3, 6:4, 1:1), etil asetat 100 %,
etil asetat : metanol (1:1) dan terakhir dengan metanol 100 % yang menghasilkan
52
11 fraksi yaitu NS-1 sampai dengan NS-11. Fraksi NS-2 dan fraksi NS-4
mengalami pengkristalan di dasar vialnya.
Fraksi yang telah menunjukkan hampir satu noda pada plat KLT
direkristalisasi dengan menggunakan sistem dua pelarut yang tidak bercampur,
dimana senyawa yang akan direkristalisasi mudah larut dalam satu pelarut dan
sukar larut atau tidak larut sama sekali di dalam pelarut lainnya. Pada penelitian
ini digunakan beberapa campuran pelarut seperti n-heksana, etil asetat, dan
metanol. Isolat yang didapat dicuci dengan menggunakan satu pelarut atau
campuran beberapa pelarut dilakukan berulang-ulang kali, sehingga diperoleh
senyawa murni yang menunjukkan satu noda bulat bila dimonitor dengan plat
KLT.
Fraksi NS-2 direkristalisasi dengan menggunakan beberapa pelarut campur
yaitu n-heksana, etil asetat dan metanol. Fraksi dengan berat 40 mg ini
memperlihatkan satu noda di bawah lampu UV254 pada plat KLT dengan eluen n-
heksana : etil asetat (4:1) tapi setelah disemprot dengan Metanol/H2SO4 10 %
ternyata memberikan dua noda dimana Rf kedua senyawa itu hampir sama.
Karena jumlah sampel sangat sedikit maka pemisahan dilanjutkan menggunakan
kromatografi lapis tipis preparatif yang luas pelatnya berukuran 20 x 20 cm
dengan ketebalan 0,5 – 2 mm. Fasa diam yang digunakan adalah silika gel 60
(40-63) m (Merck®) dan fasa geraknya n-heksana : etil asetat (4:1), hasil KLT
preparatif dimonitor dengan lampu UV254. Pita senyawa terpisah yang telah
ditentukan dikerok dengan spatel kemudian diekstraksi dengan pelarut etil asetat
sehingga didapatkan kristal jarum NS-2-1 berwarna putih sebanyak 16 mg. Akan
53
tetapi, walaupun telah menunjukkan satu noda pada lampu UV254 dan penampak
noda Metanol/ H2SO4, pada pemeriksaan spektrum 1H dan 13C-RMI, kristal NS-2-
1 ini terlihat belum murni karena sangat banyaknya sinyal proton dan karbon
yang terlihat pada spektrum. Pemurnian tidak dilanjutkan karena sampel yang
tersisa sangat sedikit dan oleh karena campuran senyawa ini terdiri dari senyawa-
senyawa yang memiliki harga Rf yang sama maka sangat sulit dipisahkan.
Pada fraksi NS-4 juga terjadi pengkristalan di dasar vial dan dilakukan
pemurniannya dengan menggunakan pelarut campur seperti n-heksana, etil asetat
dan metanol yang hasilnya senyawa NS-4-1 berupa kristal jarum berwarna putih
sebanyak 11 mg.
Karakterisasi senyawa NS-4-1 meliputi penentuan jarak leleh menggunakan
alat Fisher-Johns Melting Point Apparatus, diketahui bahwa NS-4-1 memiliki
jarak leleh 146-147 C. Nilai ini menunjukkan bahwa senyawa NS-4-1 relatif
murni karena jarak lelehnya yang sempit
Penentuan golongan senyawa hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan
beberapa pereaksi kimia. Senyawa NS-4-1 diduga golongan steroid karena hasil
uji dengan pereaksi Metanol/H2SO4 10 % berwarna merah muda dan pereaksi
Liebermann Bourchard berwarna hijau, sedangkan dengan vanilin asam sulfat
berwarna hijau kebiruan (lampiran 9, gambar 17-19, tabel 5).
Pemeriksaan spektrum Inframerah bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi
yang dikandung senyawa tersebut (41). Senyawa NS-4-1 menunjukkan pita-pita
serapan pada bilangan gelombang 3525-3391 cm-1 (regang 0-H), 2957 cm-1 dan
54
2873 cm-1 (regang C-H), 1650 cm-1(regang C=C), 1465 cm-1 dan 1378 cm-1
(lentur C-H), dan 956-653 cm-1 (lentur C=C) (lampiran 10, gambar 20, tabel 6).
Pemeriksaan spektrum 1H-RMI senyawa NS-4-1 memperlihatkan kelompok
sinyal yang khas pada daerah 0,7-2,1 ppm yang saling tumpang tindih, ini
memberikan informasi bahwa senyawa tersebut adalah suatu steroid (42) . Hal ini
diperkuat dari data 13C-RMI yang menunjukkan adanya 29 atom C (lampiran 11,
gambar 21, tabel 7). Sinyal multiplet pada pergeseran 3,95 ppm menunjukkan
adanya proton yang terikat dengan atom C yang mengandung atom elektronegatif
(oksigen) sehingga pergeseran kimianya kearah downfield (daerah dengan ppm
lebih tinggi) (53). Hal ini didukung oleh spektrum 13C-RMI pada pergeseran
kimia 66,54 ppm yang menunjukkan ikatan CH yang terikat dengan gugus OH.
Pada pergeseran kimia 6,22 ppm dan 6,49 ppm terdapat sepasang sinyal doublet
yang diduga berasal dari proton yang terikat pada ikatan rangkap salah satu
cincin inti steroid.
Spektrum HSQC (Heteronuclear Single Quantum Connection) memberikan
informasi tentang korelasi antara masing-masing proton dengan atom C yang
mengikatnya. Proton pada pergeseran kimia 6,22 ppm berikatan dengan atom C
pada pergeseran kimia 135,77 ppm. Proton pada pergeseran kimia 6,49 ppm
berikatan dengan atom C pada pergeseran kimia 130,9 ppm. Proton pada
pergeseran kimia 0,80 ppm memperlihatkan sinyal singlet yang berikatan dengan
atom C pada pergeseran 12,7 ppm (lampiran 13, gambar 23, tabel 9). Diduga ini
merupakan sinyal proton dari gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C
kuarterner (C10) yang terletak antara cincin A dan cincin B inti steroid. Proton
55
pada pergeseran kimia 0,88 ppm memperlihatkan sinyal singlet yang berikatan
dengan atom C pada pergeseran kimia 18,24 ppm (lampiran 13, gambar 23, tabel
9). Diduga sinyal proton ini berasal dari gugus metil (-CH3) yang terikat pada
atom C kuarterner (C13) yang terletak antara cincin C dan cincin D inti steroid.
Spektrum HMBC (Heteronuclear Multiplet Bond Connection) memberikan
informasi tentang korelasi antara masing-masing proton dengan atom C tetangga
sampai dua ikatan (1H-C-13C) atau tiga ikatan (1H-C-C-13C). Proton pada
pergeseran kimia 6,22 ppm (1H, d, J = 8,55 Hz ) (C6) bertetangga dengan proton
pada pergeseran kimia 6,49 ppm (1H, d, J = 8,55 Hz)) (C7). Proton pada
pergeseran kimia 6,22 ppm dan 6,49 ppm ini bertetangga dengan atom C pada
pergeseran kimia 82,23 ppm (C5) dan 79,30 ppm (C8) (lampiran 14, gambar 24,
tabel 10). Hal ini memperkuat adanya ikatan rangkap antara atom C6 dan C7 pada
cincin B inti steroid.
Sinyal-sinyal pada spektrum 1H-RMI diatas merupakan sinyal khas senyawa
5,8-epidioksi sterol. Karateristik yang membedakannya dengan sterol yang lain
adalah adanya ikatan rangkap yang terdapat diantara C6 dan C7 cincin B inti
steroid dan juga adanya ikatan epidioksi (-O-O-) yang terdapat diantara pada C5
dan C8. Hal ini diperkuat lagi oleh spektrum 13C-RMI, HSQC dan HMBC. Hasil
spektrum ini dibandingkan dengan spektrum senyawa 5,8-epidioksi sterol lainnya
(43) ( lampiran 16, 17, gambar 25, tabel 12).
Dari hasil analisa data spektrum 1H-RMI , 13C-RMI, HSQC dan HMBC
diperkirakan senyawa NS-4-1 ini mempunyai struktur inti seperti gambar berikut
(vii)
56
:
(vii)
Untuk memperkirakan rantai samping (-R) yang terdapat pada senyawa NS-
4-1, maka senyawa ini dibandingkan dengan senyawa sterol lain yang memiliki
jumlah atom C yang sama (29 atom C) dan mempunyai pergeseran kimia 13C-
RMI yang hampir sama. Pembanding yang digunakan adalah β-sitosterol karena
senyawa golongan sterol ini memiliki 29 atom C (19).
Pergeseran kimia 13C-RMI rantai samping (-R) kedua senyawa ini memiliki
persamaan pada atom C20 sampai dengan atom C29 (lampiran 18, 19, gambar 26,
tabel 14). Hal ini diperkuat dengan spektrum HSQC senyawa NS-4-1 yaitu
terlihat adanya enam gugus metil (-CH3) pada pergeseran 12,39 ppm, 12,69 ppm,
18,24 ppm ,18,77 ppm, 19,03 ppm, dan 19,65 ppm (lampiran 13, gambar 23,
tabel 9). Dua diantaranya diduga terdapat pada cincin inti steroid yaitu pada
pergeseran 12,69 ppm (C18) dan pergeseran 18,24 ppm (C19) sehingga
diperkirakan ada empat gugus metil (-CH3) yang terdapat pada rantai samping
senyawa NS-4-1.
57
Dari keseluruhan analisa diatas diperkirakan senyawa NS-4-1 dari spon laut
Petrosia nigrans ini mempunyai rumus molekul C29H48O3 dengan nama 5,8-
epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol, dan struktur seperti gambar berikut :
Gambar 7. Rumus Struktur 5,8-epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol
Dari hasil uji aktivitas antibakteri senyawa NS-4-1 terhadap masing-masing
bakteri memperlihatkan senyawa ini memberikan KHM 50 ppm terhadap
Staphylococcus aureus dan pada KHM 100 ppm terhadap bakteri Pseudomonas
aerugenosa dan Escherichia coli (lampiran 5, 8, gambar 16, tabel 4). Dari hasil
penelusuran literatur, senyawa epidioksi sterol yang dihasilkan dari kulit batang
Feronia limonia memiliki aktivitas antibakteri walau aktivitasnya cukup lemah
terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli (48).
Senyawa-senyawa 5α-8α-epidioksi sterol merupakan senyawa metabolit
sekunder yang biasanya terdapat pada jamur, lichenes, dan organisme laut seperti
spon laut (44). Senyawa 5,8-epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol pernah diisolasi
dari spon laut Tethya aurantia dari perairan California (45). Dari pengujian
bioaktivitas ternyata senyawa-senyawa dari golongan 5,8-epidioksi sterol ini
memperlihatkan aktivitas yang menarik seperti sitotoksik, antioksidan dan
lainnya (43,44,46,47).
58
V. KESIMPULAN DAN SARAN
59
5.1 Kesimpulan
1. Dari 1 Kg sampel basah spon laut Petrosia nigrans yang diambil di perairan
Painan sekitar pulau Babi, kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat
didapatkan senyawa kimia utama murni yaitu senyawa NS-4-1 berbentuk
kristal jarum berwarna putih sebanyak 11 mg dengan jarak leleh 146-0C
1470C.
2. Berdasarkan data spektroskopi IR, 1H-RMI, 13C-RMI, HSQC dan HMBC
diperkirakan senyawa NS-4-1 ini mempunyai rumus molekul C29H48O3
dengan nama 5,8-epidioksi-24-etilkolest-6-en-3-ol, serta struktur seperti
gambar berikut :
3. Senyawa ini menunjukkan aktivitas terhadap bakteri Pseudomonas
aerugenosa , Escherichia coli masing-masing dengan KHM 100 ppm
sedangkan terhadap Staphylococcus aureus dengan KHM 50 ppm.
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat mengisolasi senyawa
kimia utama dari fraksi yang berbeda.
60
DAFTAR PUSTAKA
61
1. Suparno., Kajian Bioaktif Spon Laut (Porifera : Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Dalam Bidang Farmasi, Makalah Pribadi Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana, IPB, Bogor, 2005.
2. Krajick, Kevin., Medicine From The Sea, http://www.smithsonianmag.si.edu/ issues04/may04/pdf/marine.pdf, 2004.
3. Edrada, R.A., V.Wray, D.Handayani, P.Schupp, M.Balbin-Oliveros, and P.Proksch., Structure –Activity Relationship of Bioactive Metabolites from Some Indo-Pasific Marine Invertebrates, in Studies in Natural Products Chemistry, Atta-ur-Rahman (Ed), Elsevier Science, 21, 2000, 251 – 254.
4. Proksch, R. Ebel, R. A. Edrada, P. Schupp, W. H. Lin, Sudarsono, V. wray and K. Steube., Detection of Pharmacologically Active Natural Products Using Ecology. Selected Examples from Indopasific Marine Invetebrates and Sponge-Derived Fungi, Pure Appl. Chem., Vol. 75, Nos. 2–3 pp, 2003, 343–352.
5. Marinlit, Version September, A Marine Literature Database Produced and Maintained, by the Departement of Chemistry, University of Canterbury, New Zealand, 2001.
6. K. A. El Sayed, M. Kelly, U. A. K. Kara, k. K. H. Ang, I, Katsuyama, D. C. Dunbar, A. A. Khan, and M. T. Hamann., New Manzamine Alkaloids with Potent Activity against Infectious Disease, J. Am. Chem. Soc. 2001, 123, 1804-1808.
7. Hye Joung Cho, Song-Ja Bae, Nam Deuk Kim, Jee H. Jung and Yung Hyun Cho., Induction of Apoptosis by Dideoxypetrosynol A, A Polyasetylene from Sponge Petrosia sp., in Human Skin Melanoma Cells, International Journal of Molecular Medicine, 2004, 1091-1096.
8. Sutedja, Lenny, L.Z.Udin, dan A.Manupputy., Antimicrobial Activity of the Sponge Petrosia contignata Thiele, Sistem Informasi Dokumen Kegiatan Pusat Penelitian Kimia LIPI, Bandung, 2005.
9. Harborne, J.B., Metode Fitokimia : Penuntun Cara Menganalisis Tumbuhan, Terbitan kedua, diterjemahkan oleh K.Padmawinata dan I.Soediro, Penerbit ITB, Bandung, 1987.
10. Gritter, J. Roy, James M. Bobbitt.,Arthur dan E. Schwarting., Pengantar Kromatografi, Terbitan kedua, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1991.
11. Crews, P., J. Rodriguez and M. Jaspars., Organic Structure Analysis, Oxford University Press, New York, 1998.
62
12. Jasin, M., Zoologi Invertebrata Untuk Perguruan Tinggi, Cetakan Keempat, Penerbit Sinar Wijaya, Surabaya, 1992, 89-102.
13. Soest, R.W.M. van, T.M.G. van Kempen and J.C. Braekman, Sponges in Time and Space, A. A. Balkema, Rotterdam, 1994.
14. Kaestner, B. van A.and H. van H.E. Gruner, Lehrbuch der Spezieellen Zoologie, Band 1, Gustav Fischer Verlag, Stuttgart, 1980, 251-285.
15. Http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy.html
16. Ilan M, Gugel J, Van Soest RWM, Taxonomy, reproduction, ecology of new and Known Red Sea Sponges, Sarsia, 2004, 89, 388-410.
17. Clarke, C. G. E., Isolation and Identification Drug, The Pharmaceutical Prees, London, 1978.
18. Siverstein, R.M., G. C. Bassler and T.C. Morill, Spectrometric, Identification of Organic Compounds, 5th Ed., John Willey and Sons, New York, 1991.
19. Pouchert C.J. and J. Behnke, Aldrich Library of 13C and 1H NMR Spectra, ed.I, vol. III, Aldrich Chem. Co., Wisconsin, 1993.
20. Miller, L.P., Phytochemistry of Organic Metabolite, vol. II, Van Nostrand Reinhold Co., New York, Cincinati, Toronto London, Melbourne, 1973.
21. Tyler, V.E.,L.R. Brady and J.E. Robbes, Pharmacognocy, 7th ed., Lea and Febiger, Philadelpia, 1976.
22. Mann, J., Chemical Aspect of Biosynthesis, 1st ed., Oxford University Press, Oxford, New York, Tokyo, 1994.
23. Mann, J., R.S. Davidson, J.B. Hobbs, D.V. Banthorpe and J.B. Harborne, Natural Products, Their Chemistry and Biological Significance, 1st ed., Longman Scientific and Technical, England, 1994.
24. Pine, S.H., J.B. Hendrickson, DJ. Cram and G.S. Hammond, Organic Chemistry (Kimia Organik I), Terbitan ke-4, diterjemahkan oleh Roehyati Joedodibroto dan Sasanti W. Purbo Hadiwidjoyo, Penerbit ITB, Bandung, 1988.
25. Raphael, I., Natural Product, a laboratory guide, 2nd ed, Academic Press inc. San Diego Calivornia, 1991.
26. Mannito, P., Biosinthesis of Natural Product (Biosintesis Produk Alami), diterjemahkan oleh Koensoermardiyah, IKIP Semarang Press, Semarang, 1992.
63
27. Volk, W. A. dan M. F. Wheeler, Mikrobiologi Dasar, Ed. V, Jilid 2, diterjemahkan oleh Sumarto Adisumartono, Erlangga, Jakarta, 1990.
28. Scheuer, J.P., Marine Natural Products (Produk Alami Lautan Dari Segi Kimia Dan Biologi), diterjemahkan oleh Koensoermardiyah, Acadenic Press, New York San Fransisco London, 1978, 73-135.
29. Jawetz. B., J. L. Melnick, dan E. A. Adelberg., Mikrobiologi Kedokteran, Ed. XX, diterjemahkan oleh Edi Nugroho dan RF Maulany, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1995
30. Reeves, D. S., I. Phillips, J. D. Williams and R. Wise, Laboratory Methods in Antimicrobial Chemoterapy, Churchill Livingstone, New York, 1978.
31. Berghe, D. A. V. and A. J. Vlietinck, “Screening Methods for Antibacterial and Antiviral Agents from Higher Plants”, in Hostettmann (Ed), A Methods in Plant Biochemistry, 6, 1991, 47-68.
32. Betina, V., “ Bioautography in Paper and Thin Layer Chromatography and Its Scope in The Antibiotik Field”, J. Chromatography, 78, 1973, 31-34.
33. Mustchler, E., Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, Ed. V, diterjemahkan oleh Widiano, M. B dan A. S Ranti, ITB, Bandung, 1991.
34. Parfitt, K., Martindale The Complete Drug Reference, 32th ed, Pharmaceutical Press, 1999.
35. Widodo, U., J. Bircher dan E. Lotteres, Kumpulan Data Klinik Farmakologik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993.
36. Simes, J.JH., J.G. Tracey, L.J. Webb and W.J. Dunstan, An Australian Phytochemical Survey Saponins and Eastern Australian Flowering Plant, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Australia, 1959.
37. Hertiani, T., S.I. Palupi, Saniferianti and D.H. Nurwindasari, “ In Vitro Test on Antimicrobial Potency Against Staphylococcos aureus, Escherichia coli, Shigella dysentriae and Candida albicans of Some Herbs Traditionally Used To Infection Diseases”, Pharmacon, Vol. 4, No. 2, Desember 2003.
38. Lay, B. W., Analisis Mikroba di Laboratorium, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
39. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatah Repoblik Indonesia, Jakarta, 1995.
64
40. Geisman, T. A., and D. H. G, Crout, Organic Chemistry of Metabolit Secondary Plant Metabolism, Universitas California, Los Angeles, 1966.
41. Dachriyanus, Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi, Andalas University Press, Padang, 2004.
42. Friebolin. H., Basic One and Two Dimensional NMR Spectroscopy, 2nd edition, Translate By Jack K. Becconsall, VHC Verlagsgessellscaft Mbh, D-6940 Weinheim (Federal Republic of Germany), 1993.
43. Y. Sera, K. Adachi, and Y. Shizuri, A New Epidioxy Sterol as an Antifouling Subtance from a Palauan Marine Sponge, Lendenfeldia chondrodes, J. Nat. Prod. 1999, 62, 152-154.
44. L. Gunatilaka, Y. Gopichand, F.J., J. Schmitz and C. Djerassi, Minor and Trace Sterols in Marine Invertebrates. 26.' Isolation and Structure Elucidation of Nine New 5a,8a-Epidioxy Sterols from Four Marine Organisms, J. Org. Chem. 1981, 46, 3860-3866.
45. Y. M. Sheikh, C. Djerassi, Steroids From Sponges, Tetrahedron, 1974, Vol. 30, 4095-4103.
46. S. W. Kim, S. S. Park, T. J. Min, and K. H. Yu, Antioxidant Activity of Ergosterol Peroxide (5,8-Epidioxy-5a,8a-ergosta-6,22E-dien-3b-ol) in Armillariella mellea, Bull. Korean Chem. Soc. 1999, Vol. 20, No. 7 819.
47. J. H. Sheu, K. C. Chang, and C. Y. Duh, A Cytotoxic 5α-8α-epidioxysterol from a Soft Coral Sinularia Species, J. Nat. Prod, 2000, 63,149-151.
48. M. Rahman, I. Alexander, Gray, Antimicrobial Constituents from The Stem Bark of Feronia limonia, Phytochemistry, 2002, 59, 73-77.
Lampiran 1. Spon laut Petrosia nigrans
65
Gambar 8. Foto Spon laut Petrosia nigrans
Lampiran 2. Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia dari Spon laut Petrosia nigrans
66
DH-33
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia Metabolit Sekunder dari Spon laut Petrosia nigrans
No Kandungan Kimia Pereaksi Hasil
1 Alkaloid Mayer -
2 Flavonoid HCl/Mg -
3 Terpenoid/Steroid Asetat anhidrat:H2SO4 Pekat +
4 Saponin Air/Busa +
5 Fenolik FeCl3 +
Keterangan : + : Bereaksi
- : Tidak bereaksi
Lampiran 3 : Skema Ekstraksi dan Fraksinasi Spon laut Petrosia nigrans
67
Dirajang Halus Maserasi dengan MeOH 3-5 Hari ( 1 L) Disaring
Pekatkan in vacuo
Uji aktivitas Tambahkan Aquadest Fraksinasi dengan n-Heksana
Pekatkan in vacuo Fraksinasi dgn EtOAC
Pekatkan in vacuo
Fraksinasi dgn n-Butanol
Pekatkan in vacuo
Uji aktivitas
Gambar 9. Skema Ektraksi dan Fraksinasi Spon laut Petrosia nigrans
Lampiran 4 : Skema Isolasi dan Pemurnian Senyawa Kimia Utama dari Fraksi Non Polar Spon laut Petrosia nigrans
68
Spon laut Petrosia nigrans(1 Kg)
Ekstrak MeOH Ampas
Ekstrak Kental MEOH(41,67 g)
Fraksi n-Heksana Fraksi Air
Fraksi Kental n-Heksana(640 mg)
Fraksi Kental n-Butanol(2,4 g)
Fraksi SisaFraksi n-BuOH
Fraksi KentalEtOAC
(1,4 g)
(1,4 g)
Fraksi AirFraksi EtOAC
Monitor dengan KLT Kromatografi kolom Tampung dengan vial
- Kristal yang terben- tuk dipisahkan de- ngan pelarut yang - Kristal yang terbentuk dipisahkan sesuai dengan pelarut yang sesuai - Monitor dengan KLT - Monitor dengan KLT - KLT Preparatif - Rekristalisasi
pelarut n-heksana- etil asetat (4:1)
- Rekristalisasi
Gambar 10. Skema Isolasi Senyawa NS-4-1 Spon laut Petrosia nigrans
Lampiran 5 : Pemeriksaan Aktivitas Antibakteri Spon laut Petrosia nigrans
69
Fraksi n-heksana(640 mg)
NS-1
NS-2
NS-3
NS-4
NS-5
NS-6
NS-7
NS-8
NS-9
NS-10
NS-11
Kristal NS-2-1(16 mg)
Senyawa NS-4-1(11 mg)
Uji Aktivitas dan Penentuan KHMUji OrganoleptisPengukuran Jarak LelehSpektroskopi
Tidak Dilanjutkan
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Aktivitas Antibakteri dari Ekstrak Metanol Spon laut Petrosia nigrans dengan Metoda Difusi Agar
Bakteri Diameter Hambat Ekstrak Metanol
(1% b/v)
Diameter Hambat K+ Diameter Hambat K-
(mm) (mm) (mm)SA 7 11 -
SE 9 20 - EC 7 30 - PA 6 12 -
Keterangan :
SA : Staphylococcus aureus SE : Staphylococcus epidermidis EC : Escherichia coli PA : Pseudomonas aeruginosa Kontrol positif (K+) : Kloramfenikol 0,3%b/v Kontrol negatif (K-) : DMSO
Lampiran 5 (lanjutan)
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Aktivitas Antibakteri dari Fraksi Ekstrak Spon laut Petrosia nigrans dengan Metoda Dilusi
70
No Sampel Bakteri Konsentrasi (ppm) KHM(ppm)1000 500 250 125 62,5 31,25
1. Fraksi n-Heksana SA + - - - - - 1000SE + - - - - - 1000EC + - - - - - 1000PA + - - - - - 1000
2. Fraksi Etil asetat SA + - - - - - 1000SE + - - - - - 1000EC + - - - - - 1000PA + + - - - - 500
3. Fraksi n-butanol SA + - - - - - 1000SE + + - - - - 500EC + + - - - - 500PA + - - - - - 1000
Keterangan :
SA : Staphylococcus aureus SE : Staphylococcus epidermidis EC : Escherichia coli PA : Pseudomonas aeruginosa Kontrol positif : Kloramfenikol 12 ppm Kontrol negatif : DMSO 10 l + : Aktif (bening) - : Tidak aktif (keruh)
Lampiran 5 (Lanjutan).
Tabel 4. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa NS-4 –1 dengan Metoda Dilusi
71
BakteriSampel
Konsentrasi senyawa (ppm)KHM
Uji (ppm) 100 50 25 12,5 6,25 3,125
Staphylococcus aureus
NS-4-1
+ + - - - - 50Staphylococcus epidermidis - - - - - - >100Pseudomonas aeruginosa + - - - - - 100Escherichia coli + - - - - - 100
Lampiran 6. Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak dengan Metoda Difusi Agar
72
Gambar 11. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap
Bakteri Staphylococcus aureus
Gambar 12. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap
Bakteri Staphylococcus epidermidis
Lampiran 6. (lanjutan)
73
Gambar 13. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap
Bakteri Escherichia coli
Gambar 14. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Terhadap
Bakteri Pseudomonas aeruginosa
Lampiran 7. Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi Ekstrak dengan Metoda
Dilusi
74
Gambar 15. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Ekstrak Spon laut Petrosia
nigrans
Keterangan : A-F Pengenceran bertingkat suspensi bakteri dan sampel uji
dengan konsentrasi awal 1000 ppm sampai 31,25 ppm.
K+ Kontrol positif (Kloramfenikol 12 ppm)
K- Kontrol negatif (DMSO 10 l)
1-3 Bakteri Escherichia coli
4-6 Bakteri Pseudomonas aeruginosa
7-9 Bakteri Staphylococcus epidermidis
10-12 Bakteri Staphylococcus aureus
1,4,7,10 Fraksi n-heksana
2,5,8,11 Fraksi etil asetat
3,6,9,12 Fraksi n-butanol
Lampiran 8. Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa Kimia Utama dengan Metoda
Dilusi
75
Gambar 16. Foto Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa NS-4-1
Keterangan : A-F Pengenceran bertingkat suspensi bakteri dan sampel uji
dengan konsentrasi awal 100 ppm sampai 3,125 ppm.
G Kontrol positif (Kloramfenikol 12 ppm)
H Kontrol negatif (DMSO 10 l)
1-2 Bakteri Staphylococcus aureus
3-4 Bakteri Staphylococcus epidermidis
5-6 Bakteri Pseudomonas aeruginosa
7-8 Bakteri Escherichia coli
Lampiran 9. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi
76
Tabel 5. Karakterisasi Senyawa NS-4-1
Lampiran 9. ( Lanjutan )
No Karakterisasi NS-4-1
1. Organoleptis BentukWarna
Kristal jarumPutih
2. PemeriksaanFisika
Kelarutan
Jarak leleh
Larut n-heksan,sangat larut
etil asetat, sukar larut MeOH
1460C-147 0C3. Pemeriksaan
kimia- Dragendorf- LB- Sianidin test- Feri klorida- Vanilin.H2SO4
Tidak bereaksiHijauTidak bereaksiTidak bereaksiHijau Kebiruan
4. Pemeriksaan KLT
Eluen
RfEluen
RfEluen
Rf
n-heksana : etil asetat(4:1)0,3 (gambar 17)Diklorometana : etil asetat(9:1)0,3 (gambar 18)Kloroform : etil asetat(9:1)0,33 (gambar 19)
77
A
Gambar 17. Pola KLT dari Senyawa Murni dengan Penampak Noda Liebermann Bourchard
Keterangan : A. Senyawa NS-4-1, eluen n-heksana : etil asetat (4:1) Rf = 0,3
Lampiran 9 ( Lanjutan )
78
8 cm
2,4 cm
A Gambar 18. Pola KLT dari Senyawa Murni dengan Penampak Noda Liebermann
Bourchard
Keterangan : A. Senyawa NS-4-1, eluen Diklorometana (DCM): etil asetat (9:1) Rf = 0,3
Lampiran 9 ( Lanjutan )
79
8 cm
2,4 cm cm
A
Gambar 19. Pola KLT dari Senyawa Murni dengan Penampak Noda Liebermann Bourchard
Keterangan : A. Senyawa NS-4-1, eluen Kloroform : etil asetat (9:1) Rf = 0,33
Lampiran 10. Spektrum dan Data IR Senyawa NS-4-1
80
8 cm
2,7cm
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
6.0
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
33.3
cm-1
%T
3525
3391
2957
2873
2346
1650
1465 1378
1172
1076
1045
1028
956935
858
779725
653
Gambar 20. Spektrum Inframerah Senyawa NS-4-1
Tabel 6. Data Hasil Pemeriksaan Spektrum Inframerah Senyawa NS-4-1
No Bilangan gelombang(cm-1) Keterangan
1 3525 dan 3391 Regang O-H
2 2957 dan 2873 Regang C-H
3 1650 Regang C=C
4 1465 dan 1378 Lentur C-H
5 956-653 Lentur C=C
Lampiran 11. Spektrum dan Data Spektroskopi 13C-RMI Senyawa NS-4-1
81
Gambar 21. Spektrum 13C-RMI Senyawa NS-4-1Lampiran 11. (lanjutan )
82
Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Spektrum 13C-RMI Senyawa NS-4-1
No. δ (ppm)CH3 CH2 CH C
1. 12,39 20,71 29,44 37,022. 12,69 23,07 35,79 44,813. 18,24 23,49 46,09 79,304. 18,77 28,32 51,14 82,235. 19,03 29,01 51,656. 19,65 30,19 56,387. 33,77 66,548. 34,77 130,849. 37,00 135.4710. 39,49
Lampiran 12. Spektrum dan Data Spektroskopi 1H-RMI Senyawa NS-4-1
83
Gambar 22. Spektrum 1H-RMI Senyawa NS-4-1Lampiran 12. (lanjutan)
84
Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Spektrum 1H-RMI Senyawa NS-4-1
No. δ (ppm) Konstanta Kopling (J) Integritas proton Ket.
1. 6,22 8,55 Hz 1 CH; d
2. 6,48 8,55 Hz 1 CH; d
2. 3,95 1 CH; m
Ket:d = doubletm = multiplet
Lampiran 13. Spektrum dan Data HSQC Senyawa NS-4-1
85
Gambar 23. Spektrum HSQC Senyawa NS-4-1Lampiran 13. (lanjutan)
86
Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Spektrum HSQC Senyawa NS-4-1
No. 1H (ppm) 13C (ppm)
1. 6,22 (1H, d, J = 8,55 Hz )
135,77
2. 6,49 (1H, d, J = 8,55 Hz )
130,9
3. 0,80 12,7
4. 0,88 18,24
Lampiran 14. Spektrum dan Data HMBC Senyawa NS-4-1
87
Gambar 24. Spektrum HMBC Senyawa NS-4-1Lampiran 14. (lanjutan)
88
Tabel 10. Hasil Pemeriksaan Spektrum HMBC Senyawa NS-4-1
No. 1H (ppm) 13C (ppm)
1. 6,22 (1H, d, J = 8,55 Hz )
79,30 ; 82,23
2. 6,49 (1H, d, J = 8,55 Hz )
79,30 ; 82,23
Lampiran 15. Data Penyebaran Atom C Senyawa NS-4-1
89
Tabel 11. Data Penyebaran Atom C Senyawa NS-4-1
No. δ (ppm)CH3 CH2 CH C
1. 34,772. 30,193. 66,54. 37,005. 82,236. 135,477. 130,848. 79,309. 51,1410. 37,0211. 20,7112. 39,4913. 44,8114. 51,6515. 23,4916. 28,3217. 56,3818. 12,6919. 18,2420. 35,7921. 19,0322. 33,7723. 29,0124. 46,0925. 26,4426. 18,7727. 19,6528. 23,0729. 12,39
Lampiran 16. Perbandingan Struktur Inti Senyawa 5α-8α-epidioksi sterol Pembanding (55) dengan Senyawa NS-4-1
90
a.
b.
Gambar 25. Perbandingan Struktur Kimia Senyawa 5α-8α-epidioksi sterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1
Keterangan : a. 5α-8α-epidioxycholest-6-en-3β-ol b. Senyawa NS-4-1
Lampiran 17. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI atom C1 – C20 Senyawa 5α-8α-epidioksi sterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1
91
Tabel 12. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI atom C1 – C20 Senyawa 5α-8α-epidioxycholest-6-en-3β-ol dengan Senyawa NS-4-1
Lampiran 18. Perbandingan Struktur Rantai Samping β-sitosterol Pembanding (56) dengan Senyawa NS-4-1
CX δ (ppm)Senyawa NS-4-1 dalam CDCl3
5α-8α-epidioxycholest-6-en-3β-ol (25) dalam CDCl3
C1 34,77 34,8C2 30,19 30,2C3 66,54 66,5C4 37,00 37,0C5 82,23 82,1C6 135,47 135,4C7 130,84 130,7C8 79,30 79,4C9 51,14 51,2C10 37,02 37,0C11 20,71 20,7C12 39,49 39,5C13 44,81 44,8C14 51,65 51,6C15 23,49 23,4C16 28,32 28,2C17 56,38 56,1C18 12,69 12,6C19 18,24 18,2C20 35,79 35,7
92
a.
b.
Gambar 26. Perbandingan Struktur Rantai Samping Senyawa β-sitosterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1
Keterangan : a. β-sitosterol b. Senyawa NS-4-1
Lampiran 19. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI rantai samping (C20 – C29) β-sitosterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1
93
Tabel 13. Perbandingan Data Spektrum 13C-RMI Rantai Samping (C20 – C29) β-sitosterol Pembanding dengan Senyawa NS-4-1
Cx δ (ppm)Senyawa NS-4-1 dalam CDCl3
β-sitosterol (26) dalam CDCl3
C20 35,79 36,2C21 19,03 19,1C22 33,77 34,0C23 29,01 29,3C24 46,09 50,3C25 26,44 26,2C26 18,77 18,8C27 19,65 19,8C28 23,07 23,1C29 12,39 11,9
94
95