Download - Intubasi
INTUBASI
A. Definisi
Menurut Hendrickson, intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya,
Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan
B. Tujuan Intubasi
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan
saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi,
serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya,
tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b.Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut
C. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara
lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-
lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan
refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain :
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-
kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan
ahli bedah.
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada
ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
g. Tracheostomni.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Indikasi intubasi nasal (Anonim, 1986) antara lain :
- Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan gigi,
operasi pada lidah
- Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
- Bila direct vision pada intubasi gagal.
- Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.
Kontraindikasi
Tidak ada kontra indikasi yang absolute; namun demikian beberapa keadaan trauma
jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan
yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. Trauma servikal yang
memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk
dilakukan intubasi.
D. Cara intubasi
Rapid sequence induction dan awake intubation
a. Rapid sequence induction:
Teknik intubasi dengan induksi cepat dilakukan dengan menidurkan pasien terlebih
dahulu. Urutan tindakan induksi cepat adalah : posisi kepala dan badan atas agak tinggi 20-30
derajat (anti Trendelenburg), preoksigenasi (diberi O2 tinggi dulu dengan sungkup muka),
memberi obat pelumpuh otot non-depolarisasi dosis kecil dulu sebelum memberi suksinil
kolin, tekanan pada tulang krikoid, tanpa melakukan ventilasi positif dengan sungkup muka,
suntikan obat induksi yang cepat (tiopental), suntikan obat pelumpuh otot (suksinil kolin),
kemudian intubasi yang langsung diikuti dengan mengembangkan balon pipa endotrakea.
Tekanan pada krikoid yang dilakukan oleh asisten harus sudah dimulai waktu
menyuntikkan obat induksi anastesia dan diteruskan sampai intubasi berhasil dan balon sudah
dikembangkan.
Pipa nasogastrik bila sudah terpasang harus dihisap dan sesudahnya diangkat sebelum
melakukan induksi anastesia.
b. Awake intubation:
Intubasi endotrakea dalam keadaan pasien sadar dengan anastesia topikal, pilihan
teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, lehar,
perdarahan usus dsb.
Intubasi sadar dilakukan dengan pertolongan obat penenang seperti diazepam, fentanil
atau petidin untuk mempermudah kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan
napas atas (yang harus mencegah aspirasi).
E. Alat-alat yang dipergunakan
Didalam melakukan intubasi sebaiknya kita mengingat kata “STATICS” yaitu:
S : Scope : - laringoskop dipilih yang sesuai dan lampunya harus terang
- stetoskop untuk memeriksa apakah ujung pipa berada di tempat
yang benar.
T : Tube : Pipa trakea yang sesuai dengan ukuran dan sediakan satu ukuran yang
lebih besar dan satu yang lebih kecil. Olesi dengan pelicin jeli.
A : Airway : Pipa nafas mulut faring
T : Tape : Plester untuk memfiksasi pipa di mulut
I : Introducer : Mandrin atau stilet untuk memandu saat memasukkan ujung pipa
trakea.
C : connector : alat penyambung pipa kea lat anestesi
S : Suction : Alat penyedot lendir/sekret dan muntah pasien
1. Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
- Blade lengkung (McIntosh). dewasa.
- Blade lurus (Blade Magill) bayi dan anak-anak.
2 Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya didaerah
kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau
besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada
anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang
dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada
orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm
dan perempuan 7,5 – 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih
kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.
3. Pipa orofaring atau nasofaring. mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah
dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
4. Plester memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
5. Stilet atau forsep intubasi. (McGill) mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai
alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal
nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
6. Alat pengisap atau suction.
E. Prosedur Tindakan Intubasi.
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis
lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan
tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan bentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan
mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan
dan blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas
terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah
epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
F. Obat-Obatan yang Dipakai.
a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang
paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan
dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant
c. Cyclopropane
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis
besar dapat mendepresi pernafasan.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring
dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
G. Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
1. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff.
Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera
tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan
intraocular meningkat dan spasme laring.
Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
2. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi
laringeal cuff.
Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung.
Malfungsi tuba berupa obstruksi.
PREMEDIKASI
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal.
Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang
dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan.
PERSIAPAN PRA ANESTESI
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan pembedahan.
Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada bedah elektif umumnya
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah :
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih tehnik serta obat – obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA ( American Society
Anesthesiology ).
PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi ringan banyak digunakan terutama untuk menenangkan pasien sebagai
persiapan anestesia dan masa pulih setelah pembedahan singkat. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien.
2. Membuat amnesia.
3. Memberikan analgesia.
4. Mencegah muntah.
5. Memperlancar induksi.
6. Mengurangi jumlah obat – obat anestesika.
7. Menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan.
8. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.
Obat premedikasi yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
pasien karena kebutuhan masing-masing pasien berbeda. Pemberian premedikasi secara
intramuskular dianjurkan 1 jam sebelum operasi, sedangkan untuk kasus darurat yang perlu
tindakan cepat bisa diberikan secara intravena.
Adapun obat –obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :
1. Golongan hipnotik sedatif : barbiturat, benzodiazepin, transquilizer.
2. Analgetik narkotik : morfin, petidin, pentanil.
3. Neuroleptik : droperidol, dehidrobenzoperidol.
4. Anti kolinergik : Atropin, skopolamin.
5. Vasodilator : nitrogliserin
Obat – obat premedikasi :
1. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi sekresi lendir
dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis
akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Dalam dosis 0,5 mg, atropin merangsang N. vagus
dan bradikardi. Pada dosis lebih dari 2 mg, terjadi hambatan N. vagus dan timbul takikardi.
Pada dosis yang besar sekali, atropine menyebabkan depresi napas, eksitasi, disorientasi,
delirium, halusinasi. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi,
meteorisme. Pada orangtua dapat terjadi sindrom demensia. Keracunan biasanya terjadi pada
anak-anak karena salah menghitung dosis, karena itu atropin tidak dianjurkan untuk anak
dibawah 4 tahun. Sebagai antidotumnya adalah fisostigmin, fisostigmin salisilat 2-4 mg
subkutan dapat berhasil mengatasi semua gejala susunan saraf pusat.
Sedian : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.
Pemberian : SC, IM, IV.
2. Petidin
Petidin merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya adalah depresi susunan
saraf pusat. Gejala yang timbul antara lain adalah analgesia, sedasi, euforia dan efek sentral
lainnya. Sebagai analgesia diperkirakan potensinya 80 kali morfin. Lamanya efek depresi
napas lebih pendek dibanding meperidin. Dosis tinggi menimbulkan kekakuan pada otot
lurik, ini dapat diantagonis oleh nalokson. Setelah pemberian sistemik, petidin akan
menghilangkan reflek kornea akan tetapi diameter pupil dan refleknya tidak terpengaruh.
Obat ini juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan sehingga dapat menimbulkan
muntah – muntah, pusing terutama pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat
baring obat ini tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tetapi pada penderita berobat jalan
dapat timbul sinkop orthostatik karena terjadi hipotensi akibat vasodilatasi perifer karena
pelepasan histamin.
Petidin dimetabolisme dihati, sehingga pada penderita penyakit hati dosis harus
dikurangi. Petidin tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pasca persalinan dan
tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan . Preparat oral tersedia dalam tablet
50 mg, untuk parenteral tersedia dalam bentuk ampul 50 mg per cc. Dosis dewasa adalah 50 –
100 mg, disuntikkan secara SC atau IM. Bila diberikan secara IV efek analgetiknya tercapai
dalam waktu 15 menit.
A. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini
digunakan Propofol.
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean
oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glycerol. Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB)
menginduksi anestesi secara cepat seperti tiopental. Setelah injeksi intravena secara cepat
disalurkan ke otak, jantung, hati, dan ginjal. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat
suntikan, tetapi jarang disertai dengan plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2 dan atau anestesi inhalasi
lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% teapi efek ini lebih
disebabkan karena vasodilatsai perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sismatik
kembali normal dengan intubasi trakea.
Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian
propofol IV terjadi depresi pernafasan sampai apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat
dengan premediaksi dengan opiat.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak
dan tekanan intrakranial akan menurun. Tak jelas adanya interaksi dengan obat pelemas otot.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang
minimal. Terjadi mual, muntah dan sakit kepala mirip dengan tiopental.
B. Pemeliharaan
1. Ethrane (Enfluran)
Berbentuk cairan, mudah menguap, tidak mudah terbakar dan berbau tidak enak.
Merupakan anestesi yang poten, mendepresi SSP menimbulkan efek hipnotik. Resorpsinya
setelah inhalasi cepat dengan waktu induksi 2-3 menit. Sebagian besar (80-90%)
diekskresikan melalui paru-paru dalam keadaan utuh dan hanya 2,5-10% diubah menjadi ion
fluorida bebas. Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
disebabkan depresi pada miokardium. Penggunaan pada seksio caesarea cukup aman pada
konsentrasi rendah (0,5-0,8%) tanpa menimbulkan depresi pada foetus. Berhati-hati
penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat menimbulkan relaksasi pada otot uterus yang
dapat meningkatkan pendarahan pada persalinan. Efek samping berupa hipotensi, menekan
pernapasan, aritmia, merangsang SSP, pasca anestesi dapat timbul hipoermi serta mual
muntah. Untuk induksi, enfluran 2-4,5% dikombinasi dengan O atau campuran N O - O .
Untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5-3 % volume.
2. Nitrous Oksida / Gas Gelak / N2O
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritasi. Mempunyai
sifat analgetik kuat tapi sifat anestesinyalemah, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai relaksasi otot, oleh
karena itu operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Depresi
nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi kaena Nitrous Oksida mendesak oksigen
dengan ruangan – ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut
60% : 40 % ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
C. Obat Pelumpuh Otot ( Muscle Relaxant )
1. Succynil choline
Merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat, sekitar 1 – 2 menit
dan lama kerja singkat sekitar 3 – 5 menit sehingga obat ini sering digunakan dalam tindakan
intubai trakea. Lama kerja dapat memanjang jika kadar enzim kolinesterase berkurang,
misalnya pada penyakit hati parenkimal, kakeksia, anemia dan hipoproteinemia.
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi, bradiaritma dan asistole,
takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan intra okuler, hiperkalemi dan nyeri otot
fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100mg dan 500 mg. Pengenceran dengan
garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan 2% sebagai
pelumpuh otot jangka pendek. Dosis untuk intubasi 1 – 2 mg / kgBB/IV.
2. Atrakurium besilat (tracrium)Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulanatrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna
Mula dan lama kerja antrakurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnyamulai kerja antrakium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja antrakiumdengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.Antrakurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakitjantung dan ginjal yang berat.
Kemasan 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitaslarutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadappenyinaran.Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/ivDosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/ivDosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
D. Antagonis Muscle Relaxant
Neostigmin Metil Sulfat ( Prostigmin )
Merupakan antikolinesterase yang dapat mencegah hidrolisis dan menimbulkan
akumulasi asetilkholin. Obat ini mengalami metabolisme terutama oleh kolinesterase serum
dan bentuk utuh obat sebagian diekskresi melalui ginjal. Mempunyai efek nikotinik,
muskarinik dan stimulan otot langsung. Efek muskarinik antara lain bradikardi,
hiperperistaltik, dan spasme saluran cerna, pembentukan sekret jalan nafas dan kelenjar liur,
bronkospasme, berkeringat, miosis dan kontraksi vesika urinaria. Dosis 0,5 mg bertahap
hingga 5 mg. Biasanya diberikan bersama – sama dengan atropin dosis 1 – 1,5 mg.
E. Analgetik
Remopain
Secara farmakologi merupakan ketorolac trometamin yaitu senyawa anti inflamasi
nonsteroid ( AINS ) yang bekerja dengan cara menghambat biosintesis prostaglandin dengan
aktivitas analgesik yang kuat baik secara perifer maupun sentral, di samping itu mempunyai
efek antiinflamasi dan antipiretik. Digunakan untuk penalaksanaan nyeri akut, dengan
penggunaan tidak lebih dari 5 hari.
Kontraindikasi : pada pasien yang alergi dengan ketorolac trometamin, aspirin, atau obat
AINS lainnya, tukak lambung aktif, pasien dengan penyakit cerebrovaskuler, pasien dengan
riwayat penyakit asma, gangguan ginjal berat, proses persalinan , ibu menyusui, gangguan
hemostasis. Ketorolac dapat memperpanjang waktu perdarahan
Adapun efek sampingnya : pada saluran cerna dapat terjadi dispepsi, mual, diare. Pada
SSP seperti sakit kepala, edema dan rasa sakit pada tempat suntikan. Dosis maksimal adalah
120 mg/hari. Sediaan : ampul 30 mg/1ml, 10 mg/1ml, diberikan secara intravena.
F. Intubasi Trakea
Suatu tindakan untuk memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
G. Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung,
penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar
dan lain – lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila
terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu
10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk
operasi : a. Ringan = 4 ml / kgBB / jam
b. Sedang = 6 ml / kgBB / jam
c. Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10% EBV maka
cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.
H. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum
pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya.