Download - Insurance Case
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kita dapat memberikan banyak contoh tentang aturan-aturan etika, seperti “tidak boleh
berbohong” ;” menepati janji” ; “saling menghormati” ; “tidak mencuri”; dan lain-lain.
Pada beberapa area yang lebih besar, hal-hal tersebut dapat menimbulkan dilema
bahkan kontroversi. Ketika cakupan dan makna tentang peraturan etis mulai
dipertanyakan, ada baiknya kita kembali ke konsep-konsep awal tentang etika.
Etis atau tidak etisnya suatu perbuatan, tergantung pada persepsi dan perspektif
individu masing-masing. Sebagai contoh, suatu perusahaan memproduksi makanan
ringan yang kemasannya besar namun isinya sedikit (pertanyaan Anis Khairunissa pada
kelas etika bisnis) – dianggap etis menurut perspektif perusahaan karena itu termasuk
strategi bersaing. Namun dari perspektif konsumen, itu dapat dianggap sebagai
kebohongan.
Adanya teori etika membantu manusia untuk menilai sesuatu menjadi baik atau benar.
Secara konkret, teori etika sering difokuskan pada perbuatan. Kita mencari fundamental
rasional sebelum menyatakan “perbuatan ini baik” atau “perbuatan ini buruk” – yang
disini dilihat dari sudut moral, bukan teknis. Suatu teori diharap dapat membantu kita
untuk mengambil keputusan moral yang masuk akal dan berdasar. Menurut K. Bertens
(2000) ada beberapa teori etika bisnis, antara lain: utulitarisme, deontologi, teori hak
dan teori keutamaan.
1
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam merumuskan masalah, penulis mencari beberapa literatur atau bacaan yang
berkaitan dengan etika dan kasus-kasusnya—bersumber dari jurnal-jurnal, artikel-
artikel dan buku. Ada satu kasus yang menarik bagi penulis, yaitu tentang asuransi jiwa
(dimuat dalam Tepper School of Business, 1992) dan belum ada publikasi tentang
pembahasan atau tanggapan tentangnya, sehingga penulis akan membahas kasus dan
mencari solusi yang memungkinkan ketika menghadapi hal tersebut.
2
BAB II LANDASAN TEORI
Sebelum menggunakan sistematika procedural tentang menentukan pilihan seseorang
dalam bertindak, terlebih dulu kita dapat mengidentifikasi prinsip dasar teori etika
menurut beberapa penulis sebagai berikut :
A. Menurut K. Bertens
1. Utilitarisme
“Utilitarisme” berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”, maksudnya
suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat. Manfaat disini tidak hanya
untuk kepentingan satu dua orang saja melainkan masyarakat secara keseluruhan.
Kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest
happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Contoh : Melakukan kerja bakti yang diadakan di lingkungan sekitar, sebagai upaya
untuk kebersihan lingkungan dan membuat tempat tersebut juga jadi nyaman dan
sehat untuk masyarakatnya.
Selain itu, utilitarisme dinamakan “konsekuensialisme” karena kualitas moral suatu
perbuatan tergantung pada konsekuensi atau akibat yang ditimbulkan. Perbuatan itu
adalah baik, jika mengakibatkan manfaat paling besar seperti memajukan
kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat. Sebaliknya, perbuatan
dinilai buruk jika membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat.
3
Utilitarisme disebut juga teori teologis (dari kata Yunani telos = tujuan), sebab
menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan
perbuatan. Perbuatan yang bermaksud baik, tidak pantas disebut baik apabila tidak
menghasilkan apa-apa. Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarisme
menemui banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa
utilitarisme tidak berhasil menampung dalam teorinya dua paham etis yang amat
penting, yaitu keadilan dan hak. Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar -
besarnya untuk jumlah orang terbesar, maka menurut utilitarisme perbuatan itu
harus dianggap baik. Jadi, kalau mau konsisten, mereka harus mengorbankan
keadilan dan hak kepada manfaat. Contoh : kewajiban untuk menepati janji.
Utilitarisme dibedakan menjadi dua macam, yakni :
i) Utilitarisme perbuatan (act utilitarianism)
Prinsip dasar utilitarisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar)
diterapkan pada perbuatan.
ii) Utilitarisme aturan (rule utilitarianism)
Prinsip dasar utilitarisme diterapkan pada aturan-aturan moral yang diterima
bersama dalam masyarakat sebagai pegangan dalam berperilaku, atau
utilitarisme aturan membatasi diri pada justifikasi (alasan, pertimbangan)
aturan moral.
2. Deontologi
Deontologi (deontology) disini berarti melepaskan sama sekali moralitas dari
konsekuensi, berbeda dengan utilitarisme yang menggantungkan moralitas
perbuatan pada konsekuensinya. Pada dasarnya yang menjadi baik buruknya
4
perbuatan itu adalah kewajiban. Etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya
dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut.
Orang yang memeluk suatu agama berpendirian pada deontologi ini, secara sadar
atu tidak. Dalam beragama, kita diperintahkan atau dilarang oleh-Nya. Itulah alasan
mengapa pada deontologi perbuatan adalah baik sedangkan perbuatan lain adalah
buruk.
Terdapat dua prinsip penting dalam teori deontologis menurut Immanuel Kant
(1724-1804), yaitu konsep imperative hypothesis dan imperative categories.
Imperative hypothesis merupakan perintah-perintah (ought) yang bersifat khusus
yang harus diikuti jika seseorang mempunyai keinginan yang relevan. Sedangkan
yang dimaksud dengan imperative categories adalah kewajiban moral yang
mewajibkan orang begitu saja tanpa syarat apapun. Misalnya, saat upacara bendera
setiap hari senin harus mengenakan topi upacara. Keharusan ini berlaku begitu saja,
tanpa adanya syarat seperti agar tidak terkena marah guru ataupun agar tidak
kepanasan saat upacara. Konsekuensi perbuatan atau apa yang dihasilkan oleh
perbuatan tidak berperanan sedikit pun dalam menentukan kualitas etisnya.
3. Teori Hak
Teori hak sekarang begitu populer, karena dinilai cocok dengan penghargaan
terhadap individu yang memiliki hakikat tersendiri. Menurut Bentens (2000), teori
hak merupakan suatu aspek dari deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak
dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu tindakan merupakan hak bagi
seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan kewajiban bagi orang
lain. Teori hak sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai
5
martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama. Entah seseorang
kaya atau miskin, menjabat sebagai raja atau rakyat biasa, martabat yang diperoleh
adalah sama—sebagai bentuk penghargaan terhadap individu yang berhakikat.
Menurut Kant, manusia merupakan suatu tujuan pada dirinya, karena itu manusia
selalu harus dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak di perbolehkan
diperlukan semata mata sebagai sarana demi tercapainya suatu tujuan lain. Secara
realita disebutkan bahwa setiap manusia yang lahir dimuka bumi ini memiliki hak
dan hak tersebut layak untuk di peroleh dan di perjuangkan.
4. Teori Keutamaan
Teori ini berbeda dengan teori – teori sebelumnya, teori keutamaan tidak menyoroti
perbuatan tetapi memfokuskan pada seluruh manusia sebagai pelaku moral. Teori
keutamaan (virtue) ini memandang sikap dan akhlak manusia. Dalam sejarah, teori
keutamaan bukanlah sesuatu yang baru. Teori ini sudah dimulai pada waktu filsafat
Yunani kuno. Aristoteleslah (384-322 SM) yang menjadi tokoh besar dalam bidang
ini dan masih dikagumi hingga sekarang.
Keutamaan dapat didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh
seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Misalanya saja, kebijaksaan merupakan suatu keutamaan yang dibutuhkan
seseorang untuk mengambil keputusan yang tepat dalam setiap situasi. Seseorang
dikatakan orang baik apabila memiliki keutamaan karena hidup yang baik adalah
hidup menurut keutamaan.
6
Dalam pemikiran moral Aristoteles, keutamaan tidak boleh dibatasi pada taraf
pribadi saja melainkan harus selalu ditempatkan dalam konteks komuniter. Bagi
Aristoteles, kepentingan pribadi tidak boleh dipertentangkan dengan kebaikan
bersama karena manusia adalah “makhluk politik” yaitu kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dari polis atau komunitasnya. Menurut Robert C. Solomon, ada
empat keutamaan untuk pelaku bisnis individual, yang meliputi :
a) Kejujuran
b) Fairness
c) Kepercayaan
d) Keuletan
Secara umum, kejujuran diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang
harus dimiliki oleh setiap pelaku bisnis. Tidak akan ada kebohongan maupun
penipuan dalam transaksi bisnis apabila setiap pelaku bisnis memiliki keutamaan
kejujuran. Ada hal yang dituntut di dalam kejujuran yaitu keterbukaan dan
kebenaran. Tetapi bukan berarti pelaku bisnis lantas membuka rahasia karena
tuntutan keterbukaan. Pemilik bisnis atau industri berhak memiliki rahasia
perusahaan dan keutamaan kejujuran sama sekali tidak mewajibkan mereka untuk
membuka rahasia tersebut.
II. Menurut Juan Elegido
1. Prinsip solidaritas : kita harus peduli tentang kesejahteraan sesama—tidak
hanya berpusat pada diri sendiri. Jika kita tidak peduli, berarti kita gagal –secara
perlahan—sebagai manusia.
2. Prinsip kerasionalan : hendaknya selalu berupaya untuk bertindak cerdas
7
3. Prinsip keadilan : hendaknya menerapkan standar yang sama dalam menilai
perilaku, baik diri sendiri, kepada orang terkasih dan orang asing.
4. Prinsip efisiensi : itikad baik tidak cukup untuk mengembangkan
kemanusiaan; kita harus berusaha lebih keras untuk menerapkan efisiensi
dalam bertindak etis.
5. Prinsip menahan diri dari keinginan menyakiti orang lain : hendaknya tidak
pernah memilih untuk menyakiti sesama manusia
6. Prinsip tanggung jawab peran : Tidak semuanya memiliki tanggung jawab
yang sama dalam segala aspek kesejahteraan manusia. Orang-orang dengan
kapasitas, peran dan komitmen tertentu memiliki tanggung jawab yang lebih
besar.
8
BAB III ISI
A. KASUS
9
MINICASE: MKTG – 15 BUSINESS ETHICS PROGRAM
Life Insurance: Who Benefits, the Consumer or the Company?
Topic: Selling
Characters: Mark, Sales representative for a large life insurance company; Potential clients of
Mark; The Company Mark represents
Mark is a sales representative for a large life insurance company. He has been with the company
for about 18 months. Things have been going well, or so he thinks. One concern he has is about
the product he sells most. This product is an insurance and savings plan bundled together. It
provides protection for premature death, savings that can be used for retirement, or an
emergency fund that can be accessed quickly without hassle.
The problem Mark faces is that this insurance product is more expensive to purchase, and for
young families it provides the least amount of protection in case of premature death of the
breadwinner. Another drawback is the low return on savings, somewhere between 3 percent
and 6 percent net. The company pushes sales of this product because it is more profitable.
The commission Mark earns is 110 percent of the first year’s annual premium, so it is very
profitable for him and his family. Mark also has another product that is considerably cheaper,
that can provide much greater insurance protection, and at the same time would let the insured
invest the difference in another product (i.e., an annuity) that provides a greater return. But the
commissions paid by the company are very low, and management frowns on too many of these
policies being sold.
The quandary is: If Mark does what is right for the consumer, he can’t provide for his own
family; if he sells the more expensive insurance product, then the protection doesn’t come
anywhere near meeting the needs of the family should the breadwinner die prematurely. What
should Mark do?
Author: Thomas W. Bose, MBA student, University of Central Oklahoma
@1992 Arthur Andersen & Co, SC. All rights reserved.
B. ANALISIS KASUS
Berdasarkan kasus di atas, dapat dirinci beberapa fakta, isu etika dan serta alternatif
yang mungkin di ambil sebagai keputusan akhir bagi Mark.
1. Fakta:
a) Perusahaan tempat Mark bekerja lebih mendorong penjualan atas paket
asuransi jiwa dan rencana tabungan (paket A) daripada paket lainnya.
b) Bagi sebagian keluarga muda, paket tersebut cukup mahal dan tidak akan
cukup menggantikan kehilangan pencari nafkah
c) Perusahaan juga menawarkan asuransi yang lebih murah (paket B)– yang
mungkin akan mencukupi penggantian rugi apabila pencari nafkah di
keluarga muda tidak ada lagi.
d) Mark akan mendapat penghasilan yang tinggi jika menjual paket A dan hal
itu menguntungnnya dan keluarga.
2. Stakeholders atau para pemangku kepentingan
Berdasarkan kasus di atas, pemangku kepentingannya antara lain
a) Mark dan keluarganya
b) Perusahaan dan manajemen
c) Klien terkait
3. Isu etika:
10
Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah “Apakah Mark mempunyai
tanggung jawab untuk lebih menjual paket A, seperti yang ditekankan oleh
perusahaan?”
Menurut K. Bertens, ada kewajiban yang harus dilaksanakan oleh karyawan
perusahaan. Tiga hal utama yang disebutkan adalah kewajiban ketaatan,
kewajiban konfidensialitas, dan kewajiban loyalitas. Dalam kasus di atas.
Mark sudah menjalankan kewajibannya dengan baik. Ia menjual paket
asuransi sesuai aturan, menjaga kerahasiaan perusahaan—karena tidak
disebutkan adanya whistle blowing—dan bekerja dengan cukup lama di
perusahaan itu, sekitar 18 bulan. Disamping kewajiban, Mark memiliki hak
sebagai pegawai. Ia boleh tidak selalu menjual paket A—seperti yang
ditekankan perusahaan—dan hal itu tidak membuat Mark melanggar etika.
Ada beberapa alternatif pilihan yang dapat dilakukan Mark, antara lain:
1) Tetap menjual paket yang lebih mahal, sehingga ia akan mendapat
penghasilan yang lebih tinggi.
2) Menjual paket yang lebih murah dengan kuantitas yang banyak,
dimana ia akan tetap mendapat penghasilan yang tinggi, di imbangi
dengan kerja lebih keras.
3) Pindah ke perusahaan lain yang tidak terlalu memberi beban
penjualan seperti itu. Ini bukan pilihan yang direkomendasikan
karena – mungkin saja— Mark akan lebih kesulitan di pekerjaan
barunya.
4) Menawarkan beberapa paket kepada para konsumen dan
membiarkan mereka untuk memilih yang terbaik. Mark diharap
11
bersikap profesional; seperti mempresentasikan tiap paket dengan
cara yang sama dan tidak terlalu mencampuri pilihan konsumen.
Sesuai dengan teori-teori hak, alternatif-alternatif di atas dapat
memunculkan beberapa pertanyaan seperti
Mana yang lebih memberikan manfaat bagi sebagian besar
stakeholders?
Bagaimana hak konsumen tentang pengetahuan atas paket-paket lain
yang lebih menguntungkan mereka—meskipun itu tidak terlalu
menguntungkan bagi perusahaan?
Bukankah Mark berhak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya?
Bagaimana pengaruh pilihan Mark terhadap stakeholders?
4. Konsekuensi pilihan dan jawaban yang paling mungkin
Sebelum memutuskan alternatif mana yang dipilih, Mark memiliki konsekuensi
atas pilihannya tersebut. Jika ia memilih opsi pertama, Mark akan selalu gelisah
dan merasa menipu konsumen. Jika ia tidak memenuhi target penjualan paket A
(opsi kedua), maka penghasilannya akan berkurang. Selain itu, perusahaan tidak
akan suka dengan kinerja Mark yang dianggap buruk. Opsi ketiga, Mark dapat
pindah ke perusahaan yang mempunyai aturan berbeda. Terakhir, konsekuensi
yang—sepertinya—paling kecil adalah pilihan keempat. Konsumen atau klien
ditawarkan berbagai macam paket dan mereka akan memilih salah satu atau
beberapa. Mungkin Mark bisa memberi penekanan yang lebih pada sebagian
produk agar konsumen tidak bingung. Hal ini tidak menyalahi aturan
perusahaan maupun menimbulkan kegelisahan dalam diri Mark karena
12
konsumen bertanggung jawab atas pilihannya. Kewajiban Mark dan perusahaan
adalah berlaku sesuai pilihan tersebut.
5. Kesimpulan
Pilihan keempat memberikan beban yang rata kepada tiap stakeholders, berarti
ini sesuai dengan teori utilitarian yaitu “memberikan manfaat bagi orang
banyak”. Selain itu, Mark juga melakukan kewajiban sebagai pegawai dan
memenuhi kebutuhan keluarganya.
13
BAB IV PENUTUP
Teori etika merupakan suatu tema yang tidak mudah. Hal tersebut mendasari alasan
manusia untuk menilai sesuatu menjadi baik atau benar. Secara konkret, teori etika
sering difokuskan pada perbuatan. Kita mencari fundamental rasional sebelum
menyatakan “perbuatan ini baik” atau “perbuatan ini buruk” – yang disini dilihat dari
sudut moral, bukan teknis. Bisa saja, dari segi teknisnya suatu perbuatan adalah baik
namun buruk secara moral, seperti kejahatan sempurna atau the perfect crime yang jika
ditempatkan dalam perspektif etika merupakan kontradiktif yang luar biasa.
Suatu teori diharap dapat membantu kita untuk mengambil keputusan moral yang masuk akal
dan berdasar. Telah dijabarkan dalam BAB II tentang macam-macam teori etika menurut K.
Bertens. Dalam menyelesaikan suatu kasus yang berkaitan dengan area abu-abu etika, akan
lebih baik jika menerapkan beberapa teori yang saling menguatkan. Kasus keresahan hati yang
di alami Mark memiliki alternatif pilihan berdasarkan teori-teori yang ada, sehingga tidak ada
keraguan dalam mengambil keputusan.
14