Institut Goresan Santri
SABTU, 17 AGUSTUS 2019 EDISI V darussunnah.ponpes.id
PENYAMBUNG PIKIRAN SANTRI
Halaman 1
Momentum Idul Adha di Ponpes
Darus-Sunnah
WARTA PESANTREN,
Oleh Muhammad Dhiya Ulhaq
Idul Adha telah kita lalui bersama. Pa-
da hari Minggu tanggal 11 Agustus
Pondok Pesantren Darus-Sunnah
memperingati Perayaan Hari Besar
Islam (PHBI). Dalam memperingati hari
besar tersebut Darus-Sunnah memiliki
acara tersendiri, seperti takbiran, salat
ied di Masjid Munirah Salamah, ziarah
bersama, sampai ke pemotongan he-
wan kurban. Jika diakumulasi, total
hewan kurban di Ponpes Darus-
Sunnah berjumlah dua ekor sapi dan
tujuh ekor kambing. Dan acara inti pun
tiba pada malam hari, yaitu nyate ber-
sama.
Hal yang menarik ketika proses
penyembelihan hewan kurban tatkala
itu adalah ketika Muhammad Syahrul
Amin santri kelas 2 aliyyah yang
memotong kambingnya sendiri. Pa-
dahal banyak di luar sana orang yang
sudah lanjut usia masih belum bisa
memotong hewan kurbannya sendiri
karena belum punya pengalaman. Ten-
tu saja secara teori sudah dipelajari di
kelas, tapi terkadang teori tidak sejalan
dengan praktek. Itulah sebab ustaz
Ubaid pernah berkata ketika apel:
“belajar tidak harus di kelas”. Perkataan
tersebut andai saja kita renungkan
dengan sanubari terdalam tentu kita
akan terus belajar walau waktu libur
tiba. Ringkasnya, sebentar lagi kita akan
melaksanakan kegiatan hari besar na-
sional yakni 17 Agustus, liburpun tiba.
Lantas apa yang akan kita lakukan?
Tidur? main-main tidak jelas? Tentu saja
kita sebagai anak bangsa yang paham
akan makna sebuah kemerdekaan seha-
rusnya dapat mensyukuri hadirnya hari
kemerdekaan tersebut dengan menge-
nang jasa para pahlawan. Bagaimana-
pun itu cara mengenangnya, itulah ke-
merdekaan. Bhinneka Tunggal Ika
(berbeda-beda tetap satu tujuan).
Sebagai santri, kita memilki amanat
besar ketika nanti pulang dan terjun ke
masyarakat. Lalu pelajaran apa yang
dapat kita dapatkan setelah Idul Adha
kemarin selesai? Lihatlah bagaimana
cara pemotongan hewan tersebut
dapat terlaksana dengan baik, tidak
menyakiti hewan tersebut, dan mental
yang kuat ketika menyembelih. Idul
Adha merupakan hari besar islam.
Maka sebagai umat islam pun kita ha-
rus bangga akan adanya keagungan
hari tersebut, yang telah Allah berikan
kepada umatnya. Sudah barang tentu,
itulah yang menjadi pembeda islam
dan agama lain. Agama islam ketika
hari raya Idul Adha makan bersama,
salat bersama, takbiran bersama, dan
senang-senang bersama. Artinya apa?
Artinya islam adalah agama kebersa-
maan, atau dalam bahasa Arabnya
jamaah. Maka marilah kita kokohkan
kembali persatuan umat islam, baik
ukhwah islamiyyah, ukhwah wa-
taniyyah, dan terlebih ukhwah in-
saniyyah.
Sekarang ini bukanlah saatnya kita
membahas panasnya politik di luar
sana, tapi sudah saatnya kita damaikan
suasana dengan hadirnya hari yang
mulia. Sebagai manusia, sejak lahir kita
sudah diberi tugas oleh Allah SWT ke
muka bumi ini, membawa amanat,
membawa peradaban, dan menghar-
moniskan kehidupan.
Oleh karena itu, sudah saat yang tepat
pada hari Idul Adha ini kita berintro-
speksi diri agar menjadi manusia yang
taat kepada Allah. Sebagaimana telah
dicontohkan oleh nabi Ismail as. ketika
ingin disembelih oleh nabi Ibrahim
atas perintah Allah SWT. Inilah agama.
Dalam beragama ada yang bersifat
ta’abbudi dan juga ta’aqquli. Ta’ab-
SABTU, 17 AGUSTUS 2019 EDISI V darussunnah.ponpes.id
Halaman 2
budi ialah persembahan makhluk
kepada khalik (pencipta) tanpa bisa
dirasionalkan dengan akal. Sementara
ta’aqquli persembahan makhluk kepa-
da khalik bisa dirasionalkan dengan
akal pikiran kita.
Tantangan
Santri Zaman
Now
CATATAN SANTRI,
Oleh Nizar Hamdi
Zaman telah berubah. Orang yang du-
lunya berjalan kaki kini sudah memakai
kendaraan. Atau pun orang yang ingin
berkomunikasi tapi jaraknya jauh tidak
harus bertemu karena sudah ada tele-
pon. Tentunya selain kondisi fisik zaman
yang sudah berbeda, tentu teknologi
berasal dari pemikiran yang modern
juga.
Santri pun demikian. Dari zaman ke za-
man harus mampu ikut andil dalam
perkembangan zaman. Santri merupa-
kan penopang bangsa yang perannya
tidak dapat dilupakan begitu saja sepan-
jang perjalanan sejarah bangsa ini. Mes-
kipun dalam buku sekolah tidak tercatat
peran santri terdahulu.
Perkembangan zaman yang pesat ini tak
hanya membawa dampak positif. Banyak
sekali hal-hal yang buruk bahkan
merusak. Salah satu akibatnya yakni
dekadensi moral (kemerosotan moral).
Orang perlahan mulai tak peduli akan
nilai kemanusiaan. Tanpa berpikir pan-
jang orang dengan mudahnya mencid-
erai nilai kemanusiaan. Membunuh,
menyiksa, melakukan kekerasan,
memperkosa serta melakukan
kegiatan amoral lainnya.
Hal ini diperparah dengan penguasa
yang lalai tugasnya. Tanpa rasa malu
mereka merampas hak rakyatnya.
Melakukan korupsi besar-besaran
tanpa peduli di daerah
-daerah rakyatnya
menderita. Naasnya,
korupsi ini terjadi tid-
ak hanya di kalangan
pemerintah pusat
saja, akan tetapi su-
dah mengakar sampai
di tingkat pedesaan.
Sungguh riskan,
mengingat mereka
para pejabat bukanlah
orang sembarangan. Bukan orang
awam yang tak mengenyam pendidi-
kan tinggi.
Peran santri di era globalisasi
Santri merupakan sebutan bagi orang
yang belajar ilmu agama. Dalam perca-
turan nasional, santri kerap dipandang
sebelah mata. Mereka dipandang se-
bagai kaum kolot, amat tertinggal akan
ilmu pengetahuan. Santri identik
dengan ketradisionalannya yang hanya
sibuk mengurusi urusan agama saja.
Penulis sendiri mempunyai teman
yang diremehkan tetangganya karena
memutuskan mondok. Tetangganya
beranggapan mondok tidak menjan-
jikan apapun bagi masa depan. Tentu
saja anggapan seperti itu tidak benar.
Santri tidak hanya mereka yang sibuk
di pesantren dengan urusan ilmu aga-
ma saja.
Beberapa hari lalu media nasional di-
gemparkan oleh para santri dari pon-
dok pesantren Blitar dan Mojokerto
Jawa Timur. Mereka berhasil me-
menangkan kontes robotik di Jepang.
Bukan hanya itu, sebelumnya Malik
Khidir santri yang kebetulan kuliah di
Fakultas MIPA UGM juga berhasil
menjadi juara pertama kejuaran ro-
botik di Amerika Serikat. Masih kah
beranggapan santri tidak melek
teknologi atau kolot?
Keberhasilan santri berprestasi di atas
harusnya menjadi pelecut semangat
sekaligus kebanggaan bagi para santri
Nusantara lainnya. Tetap optimistis
menjawab tantangan zaman. Pantang
menyerah untuk terus belajar dan
belajar. Karena entitas santri sendiri
adalah orang yang belajar. Tidak ada
kata mantan bagi kata “santri”.
Yang ada sekali santri ia melekat se-
umur hidup bagi penyandangnya. In-
donesia sangat memerlukan peran
santri. Dalam sejarah negeri ini, santri
mempunyai andil yang amat besar.
Menjadi pahlawan yang gigih
memerangi penjajah yang mencoba
merebut tanah air.
Nabi pernah bersabda, Tholabul ilmi
faridhotun ‘ala muslimin wa mus-
limatin. Mencari ilmu wajib hukumnya
bagi orang muslim laki-laki maupun
perempuan.
Berdasarkan hadis di atas, sudah
saatnya para santri bangkit. Menjadi
agent of change (agen perubahan).
Tidak hanya belajar ilmu agama saja,
tetapi juga ilmu umum. Ini sesuai had-
is nabi (‘ilm). Kata ”’ilmu” tidak diper-
inci, bisa saja ilmu agama atau umum.
Karena ilmu umum maupun agama
sama-sama ilmunya Allah SWT.
Menghadapi tantangan zaman yang
kian menggelobal di semua lini ke-
hidupan. Mulai dari ekonomi, politik,
sosial, dan budaya. Santri harus mam-
pu menjadi subyek dalam berbagai
bidang kehidupan. Mengamalkan ilmu
yang ia peroleh dari pesantren. Tidak
harus menjadi kiai, melainkan semisal
pejabat, birokrat, insinyur, direktur,
Halaman 3
darussunnah.ponpes.id SABTU, 17 AGUSTUS 2019 EDISI V
PENERBIT: Institut Goresan Santri (INGORI) PELINDUNG: Ust. Ahmad
Ubaydi Hasbillah, Lc., MA PEMBINA: Ust. Ja’far Tamam Lc. KETUA:
Afda Alif Muhammad ANGGOTA: Seluruh anggota INGORI INFORMASI
LENGKAP: darussunnah.ponpes.id/INGORI
Redaksi menerima tulisan berupa artikel. Redaksi berhak mengedit tulisan
yang masuk tanpa mengurangi substansinya.
pengusaha, dokter, seniman, hingga
tenaga pendidik bahkan pedagang dan
petani serta lainnya.
Santri agen penyelamat ideologi bangsa
Akhir-akhir ini muncul gerakan trans na-
sional. Mereka membawa ideologi yang
tak sesuai dengan realita sosial negeri ini.
Tanpa segan atas nama agama mereka
melakukan kekerasan. Mencoba mengu-
bah ideologi yang sudah ada dengan ide-
ologi ekstrim tertentu. Salah satunya
islam. Mereka ini tidak hanya mer-
ongrong NKRI tapi juga merusak citra
islam sendiri.
Melakukan perbuatan radikal demi
menegakkan perintah agama, tak segan-
segan membunuh orang yang berlainan
ideologi dengan mereka. Justru ini sangat
kontras dengan ajaran islam yang sangat
anti dengan kekerasan. Islam merupakan
agama yang ramah. Ia agama yang rah-
matan lil’alamin.
Santri tak bisa menutup mata terhadap
realita ini. Santri lahir dari bumi Nusanta-
ra. Untuk itu santri harus menghadang
gerakan radikalisme tersebut. Karena
bagi santri, Indonesia merupakan rumah
bersama. Meskipun bukan negara islam,
ideologi pancasila sudah sejak dulu
diterima. Sebab mampu mempersatukan
kemajemukan penduduk Indonesia.
Para santri terdahulu sudah menerima
Indonesia sebagai negara. Mbah Hasyim
Asy'ari, pendiri NU dan ulama lainnya
sudah menyepakatinya. Hal ini berarti
ada integrasi antara agama dan budaya.
Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban
para santri untuk mengawal dan menjaga
NKRI dengan ke-Bhinekaan Tunggal Ika-
nya dari kelompok-kelompok yang
menamakan diri mereka islam tapi
justru mencoba menghancurkan Indo-
nesia.
Islam di Indonesia merupakan islam
yang khas. Ia berbeda dengan islam
negara manapun termasuk Timur
Tengah. Islam yang tumbuh di negara
yang bukan islam, yang terdiri dari
berbagai agama, suku, ras, dan etnis.
Hidup dengan tradisi tradisional.
Semua hidup berdampingan di rumah
yang bernama Indonesia. Demikian
pun santri. Ia yang lahir dari bumi
pertiwi tak bisa dipisahkan dengan
islam di Indonesia atau islam Nusan-
tara. Membawa benih benih islam
yang dibawa nabi. Islam rahmatan lil
alamin.
Yah, Ga Jadi
CERBUNG PART I,
oleh Faqih Muhajir
TEROMBANG-AMBING di atas ban-
teng laut hitam. Badanku lemas,
hawa dingin menusuk darah dag-
ingku. Pandangan mata menuju
rembulan. Seolah bertanya pada
alam “Di mana diriku ini? Apa yang
membawaku ke sini?”. Tak lama
kemudian tanpa sadar aku pun
terbawa ke alam bawah sadarku.
Tetapi dingin yang memang dingin
membuatku kedinginan sampai
merinding. Aku pun terbangun lagi
dengan rasa lapar. Merangkaklah
aku menjelajahi tiap sudut ruang
yang ada, menengok dari ujung ke
ujung, berteriak sekeras mungkin,
alhasil nihil! Hanya angin yang
menjawab semua usaha tubuhku.
Aku pun tersiksa.
Pagi datang tanpa diundang,
memang begitu kerjanya. Alam
membentangkan permadani biru
yang indah. Aku terbangun dalam
keadaan lapar. Kutahan rasa itu
semalaman. Aroma makanan
menghampiri persinggahanku sea-
kan mengajakku tuk makan bersa-
ma, ku ikuti dia dengan girang. An-
gin dan air pun berpartisipasi da-
lam perjalanan menuju destinasi
sebenarnya. Terlihatlah pulau, ku-
rang lebih 100 meter, berwarna
hijau ke merah-merahan. Terlihat
indah memang tetapi tak ada yang
kupikirkan selain makan, minum,
dan lelapnya tidur.
Berpijaklah kakiku di pulau,
mungkin kakiku panas tapi tak ku-
rasakan, kalah rasa itu dengan rasa
lapar. Kumelihat ada gubuk kecil,
memang di situ aromanya berasal.
Aku masuk tanpa salam, melihat
gadis berparas cantik, bahenol,
berbobot bodinya. Ingin kusapa
tapi lapar, kampret! Ternyata ia
sedang memasak, kulihat masa-
kannya dan gadis itu sontak kaget
melihatku, tatapannya sinis, ia
marah.
“Siapa kamu?! Apa tujuanmu
datang kesini?! Pergi sekarang ju-
ga!!” Ucapnya sambil ngegas.
(Lanjut di edisi VI)
Halaman 4
darussunnah.ponpes.id SABTU, 17 AGUSTUS 2019 EDISI V
Al-Qur’an dan Kurban
OPINI,
oleh Ziyad Husaini
Sebagaimana yang telah kita ketahui
bahwasanya Al-Qur’an adalah mukjizat
Rasulullah SAW dan kalam Allah SWT.
Isinya mencakup cerita-cerita terdahulu
untuk dijadikan pelajaran, solusi-solusi
dari permasalahan hidup, keagungan
serta kekuasaan Allah SWT hingga ke-
jadian yang tak tertangkap nalar manu-
sia. Dengan kuasa Allah SWT pun tak
sedikit orang yang mendapat hidayah
melaluiNya.
Pada pembahasan ini kita akan melihat
bagaimana keajaiban Al-Qur’an terkait
dengan Idul Adha. Untuk menemukan
keajaibannya silahkan ambil mushaf
anda, lalu temukan jawaban dari pertan-
yaan berikut;
Terdapat di surat apakah perintah
berkurban bisa kita temui? Surat Al-
Kautsar. Mari kita uraikan per-ayat. Ada
berapa macam huruf dalam ayat per-
tama? Jawabannya ada sepuluh. Lanjut
ayat kedua dengan pertanyaan yang
sama. Jawabannya pun juga ada
sepuluh. Sekarang pada ayat ketiga juga
dengan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi
jawabannya adalah sepuluh.
Sepuluh menunjukkan tanggal pelaksa-
naan kurban, yakni 10 Dzulhijjah.
Kemudian jika semua macam huruf
dari tiap ayat dijumlahkan maka kita
akan mendapatkan angka tiga puluh
yang merupakan jumlah tanggal dalam
satu bulan (hijriyah).
Lalu sekarang mari kita cari ada berapa
surat yang diakhiri dengan huruf ro’.
Silahkan cari dari Al-Fatihah sampai An
-Nas, dijamin pasti jumlahnya ada
sepuluh surat (10 Dzulhijjah) dan beru-
jung pada surat Al-Kautsar. Bukan su-
lap bukan sihir, karena memang ini
adalah sebuah kebenaran yang sangat
benar.
Sungguh luar biasa. Apakah ini semua
hanyalah kebetulan belaka? Tidak,
karena firman Allah SWT bukanlah
sebuah kebetulan. Apakah ini hanya
ilmu cocokologi? Tentu tidak, tapi me-
mang ini semua cocok.
Kesimpulannya adalah bahwa Al-
Qur’an bukanlah kitab yang kaleng-
kaleng, ecek-ecek, murahan, atau apa-
pun itu. Yang terpenting adalah senan-
tiasa menjaga tajwid dalam mem-
bacanya. Merubah satu huruf atau
harokat berarti sudah merubah makna
dan merusak keindahan Al-Qur’an.
Juga jangan sekali-kali mengingkari
satu huruf pun di dalamnya.
“من أنكر حرفا من القرآن فقد كفر”