IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING DALAM
PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12 SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
LAILATUN NAZILAH
NIM: 3104016
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Lailatun Nazilah
NIM : 3104016
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya
saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, Juni 2011
NIM. 3104016
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Judul : Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang Penulis : Lailatun Nazilah NIM : 3104016
Skripsi ini membahas tentang implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang. Kajian ini dilatarbelakangi oleh keengganan kalangan institusi pendidikan yang melaksanakan cooperative learning dalam pembelajaran PAI. Fokus penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana implementasi konsep cooperative learning melalui metode pembelajaran mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi antar kelompok (jigsaw) dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang. Permasalahan ini dibahas melalui penelitian lapangan yang dilaksanakan di SMA Negeri 12 Semarang. Sekolah tersebut dijadikan sumber data untuk mendapatkan potret implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data diperoleh dengan cara observasi, interview dan dokumentasi. Semua data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bermaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang yang terwujud dalam empat bentuk metode pembelajaran yaitu mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi antar kelompok ( jigsaw) secara keseluruhan sudah mendekati teori yang ada meskipun masih terdapat sedikit kekurangan. Penerapan model cooperative learning ini dibuktikan dengan terbentuknya sikap kerja sama dalam mencapai tujuan pembelajaran baik kerjasama antar siswa dengan siswa ataupun antara siswa dengan guru, sikap saling memberi dan menerima, saling menghargai pendapat orang lain, toleransi, berinteraksi sosial dan berusaha saling membantu untuk pencapaian tujuan bersama. Dalam hal evaluasi, penilaian yang dilakukan guru baik secara individu maupun secara kelompok, menurut penulis pengajar sudah memenuhi standar evaluasi model cooperative learning, karena guru telah menerapkan sistem penilaian cooperative learning sesuai standar yang ada. Nilai kelompok diolah sedemikian rupa sehingga nantinya dari hasil kelompok tersebut berpengaruh pada nilai individu, dan begitu juga sebaliknya. Dari proses inilah setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan kontribusi bagi kelompoknya. Siswa lamban tak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka, karena mereka juga bisa memberikan sumbangan. Malahan mereka akan merasa terpacu untuk meningkatkan kontribusi mereka dan dengan demikian maka akan menaikkan nilai pribadi mereka sendiri.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan dan bisa menjadi bahan informasi dan masukan bagi semua pihak yang membutuhkan terutama di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
vii
MOTTO
.…والعدوان وتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على اإلثم.… (٢: لمائدةا )
“....Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”. (Q.S Al-
Ma’idah: 2).*
* Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 106
viii
PERSEMBAHAN
Dengan semangat, do’a dan ridha Allah swt., akhirnya skripsi ini dapat
Penulis Selesaikan. Berbagai rintangan yang penulis hadapi alhamdulillah
dapat diatasi. Hali ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi
penulis. Sebagai rasa syukur skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Orang tuaku tercinta (Bapak Muhtadi dan Ibu Munfaatun) yang tiada
lelahnya memberikan bimbingan, motivasi dan do’a restunya kepada
penulis dalam menempuh studi hingga jenjang S.1.
Suamiku tercinta yang tak hentinya memberikan support dan do’anya.
Adik-adikku tersayang Yuni Nur Afifah, Imam Kharisuddin, Laili
Malida Dilla Sabila dan M. Kafa Rizqi Alfiyan yang selalu memberi
semangat.
Keluarga besarku tercinta yang senantiasa memberikan do’a dan
dukungannya.
Sahabat-sahabat seperjuanganku PAI ’04 terima kasih untuk semangat
dan kerjasamanya.
Sahabat-sahabat PMII Rayon Tarbiyah.
Teman-teman PPL dan KKN serta teman-teman semua di lingkungan
IAIN Walisongo Semarang.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt., yang telah melimpahkan rahmat, taufiq,
hidayah dan inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad
saw., sahabat-sahabat dan para pengikutnya yang setia.
Penulis tertarik mengangkat judul implementasi cooperative learning dalam
pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang karena selama ini banyak institusi
pendidikan yang merasa enggan untuk mengimplementasikan cooperative learning
khususnya dalam pembelajaran PAI. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya
minimnya seorang guru akan pengetahuannya tentang model–model pembelajaran.
Padahal cooperative learning sangat banyak manfaatnya, baik bagi diri siswa, guru
ataupun institusi pendidikan.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa skripsi ini tak akan terselesaikan tanpa
uluran tangan, bimbingan dan bantuan dari semua pihak baik bersifat materiil maupun
spiritual. Dengan hati yang tulus mendalam disertai rasa hormat, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang berjasa khususnya
kepada Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. Dr.
Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Dra. Hj.
Musrifah selaku dosen wali studi yang telah mendahului kita, terima kasih arahan dan
bimbingannya, semoga amal beliau diterima di sisi Allah swt. Drs. Ahmad Sudja’i,
M.Ag. dan Ismail SM, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan fikirannya dan telah memberikan bimbingan, motivasi, masukan
dan saran yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Para dosen dan staf karyawan di lingkungan fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan. Drs. Nasikhun selaku
kepala sekolah dan Drs. Mahmudi selaku guru PAI SMA Negeri 12 Semarang
beserta keluarga besar SMA Negeri 12 Semarang yang telah memberikan waktunya
untuk memberikan informasi dalam penelitian ini. Ayahanda, Ibu, adik-adik dan
suamiku tercinta serta keluarga besar yang tak lelahnya memberikan motivasi dan
do’a restunya. Tak lupa kawan-kawan seperjuangan PAI 2004, kawan-kawan PPL,
KKN, sahabat-sahabat PMII Rayon Tarbiyah dan seluruh kawan di lingkungan
x
IAIN Walisongo Semarang serta kepada semua pihak yang tak mampu penulis
sebutkan satu persatu. Atas jasa-jasa dan pengorbanan mereka, penulis hanya bisa
berdo’a semoga amal mereka dibalas oleh Allah swt. serta mendapat kebaikan baik di
dunia maupun kelak di akhirat. Skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan kritik
konstruktif sangat penulis harapkan demi kemajuan ke arah yang lebih baik.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.
Semarang, Juni 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ...................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................... vi
MOTTO ................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN .................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1
B. Penegasan Istilah…………………………………………… 9
C. Perumusan Masalah………………………………………… 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………. 11
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………… 11
F. Metodelogi Penelitian……………………………………… 13
G. Sistematika Penulisan Skripsi……………………………… 17
BAB II : KONSEP COOPERATIVE LEARNING DALAM
PEMBELAJARAN PAI
A. Cooperative Learning ......................................................... 19
1. Definisi Cooperative Learning ..................................... 19
2. Latar Belakang Cooperative Learning .......................... 21
3. Dasar-Dasar Pemikiran Cooperative Learning ............. 23
4. Unsur-Unsur Cooperative Learning ............................. 25
5. Tujuan Cooperative Learning ...................................... 28
6. Pengelolaan Kelas Cooperative Learning ...................... 29
7. Evaluasi dalam Cooperative Learning .......................... 32
xii
B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ............................. 33
1. Definisi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam……… 33
2. Komponen Pelaksanaan Pembelajaran PAI………....... 34
C. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran
PAI pada Jenjang SMA……………………………………. 40
BAB III : IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING DALAM
PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12 SEMARANG
A. Gambaran Umum SMA Negeri 12 Semarang
3. Tinjauan Historis……………………………………… 47
4. Letak Geografis………………………………………. 48
5. Struktur Organisasi……………………………………. 49
6. Visi dan Misi………………………………………….. 49
7. Keadaan Guru, Karyawan dan Siswa…………………. 50
8. Sarana dan Prasarana…………………………………. 50
B. Sistem Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
1. Tujuan…………………………………………………. 52
2. Materi…………………………………………………. 52
3. Metode………………………………………………… 52
4. Media………………………………………………….. 53
5. Evaluasi……………………………………………….. 53
C. Implementasi Cooperative Learning dalam pembelajaran PAI di
SMA Negeri 12 Semarang
1. Metode Mencari Pasangan (Make A Match)…………… 55
2. Debat Aktif (Active Debate)……………………………. 56
3. Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion)…… 57
4. Tukar Delegasi Antar Kelompok (Jigsaw)……………... 58
xiii
BAB IV : ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di
SMA Negeri 12 Semarang
1. Metode Mencari Pasangan (Make A Match)…………… 63
2. Debat Aktif (Active Debate)……………………………. 64
3. Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion)…… 65
4. Tukar Delegasi Antar Kelompok (Jigsaw)……………... 65
B. Faktor penunjang dan Penghambat Implementasi
Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di
SMA Negeri 12 Semarang………………………………... 67
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………….. 71
B. Saran-Saran……………………………………………….. 72
C. Penutup………………………………………………….... 73
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lahirnya era globalisasi menyisakan sejumlah tantangan tersendiri
bagi bangsa Indonesia. Perkembangan ilmu dan teknologi telah
mengakibatkan perubahan-perubahan yang secara nyata berdampak pada
kondisi kehidupan manusia. Kenyataan yang harus dihadapi yaitu rapuhnya
sendi-sendi kehidupan akibat modernisasi antara lain terlihat dari kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih rendah, derajat kehidupan yang
masih menyedihkan dan hilangnya self identity dalam kultur global. Di sisi
lain, kita juga sedang mengalami kemunduran budaya kolektivitas lokal yang
sarat dengan nilai-nilai luhur seperti kegotongroyongan, yang merupakan
akibat dari bangunan sistem pendidikan kita yang belum mampu menyiapkan
siswa menjadi adaptable dengan seperangkat nilai dalam berbagai dimensi
kehidupan.2
Dalam kehidupan global kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka
kelompok yang ada, tetapi kita dituntut untuk belajar hidup bersama dan
bekerja sama dengan mereka. Tiap kelompok memiliki latar belakang
pendidikan, kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Agar bisa bekerja sama dan
hidup rukun, kita harus banyak belajar hidup bersama, being sociable
(berusaha membina kehidupan bersama).3
Sekolah merupakan suatu lembaga yang bertujuan mempersiapkan
anak untuk hidup sebagai anggota masyarakat yang sanggup berpikir dan
berbuat efektif.4 Selain itu sekolah harus bisa mengembangkan peserta didik
untuk hidup secara bersama yang disertai prinsip semangat kerjasama dan
2Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Misaka Galiza,
2003), Cet. 2, hlm. 1. 3Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. 2, hlm. 203. 4S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. 1, hlm.
124.
2
solidaritas sosial karena dalam proses belajar seorang siswa juga
membutuhkan rasa aman. Salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman
adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari
kelompok.5 Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk
menghadapi tantangan. Ketika mereka belajar bersama teman, mereka
mendapatkan hubungan emosional dan intelektual yang memungkinkan
mereka melampaui ambang pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
“Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif”6 dan
mengembangkan kreativitas siswa. Kreativitas siswa akan dapat
dikembangkan bila pembelajaran tidak menggunakan pendekatan teacher
centered.7 Pendidik tidak mendominasi proses komunikasi belajar, tetapi ia
lebih banyak membimbing, memberi arahan dan memberi inspirasi pada
peserta didik agar mereka dapat mengembangkan kreativitas melalui berbagai
kegiatan belajar. Rasa percaya diri, rasa aman, rasa dilindungi, rasa
diikutsertakan dan diakui merupakan prasarat dalam menciptakan hubungan
kerjasama yang penuh kehangatan (warmness).8 Dengan demikian akan
tercipta iklim belajar kondusif yang dapat mengoptimalkan hasil belajar dan
kreativitas seorang siswa.
Nampaknya prinsip kerjasama di sekolah belum tertanam secara
maksimal. Hal ini bisa dilihat pada proses sekolah dewasa ini yang senantiasa
menekankan pengembangan siswa sebagai individu. Mulai dari tugas-tugas
harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir hasil studi.
5Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung::
Nusamedia dan Nuansa, 2004), Cet. 1, hlm. 24. 6Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung::
Nusamedia dan Nuansa, 2004), Cet. 1, hlm. 25. 7Teacher Centered merupakan sebuah pendekatan yang menggunakan pola komunikasi
satu arah, dimana seorang guru sebagai pusat belajar mengajar. Guru menyampaikan pelajaran dengan ceramah. Gurulah yang merencanakan, mengendalikan dan melaksanakan segala sesuatu. Sedangkan anak didik hanya mendengarkan dan mencatat (pasif). Pola ini banyak memiliki kelemahan, yakni suasana kelas kaku, guru cenderung otoriter sebab hubungan guru dengan seorang anak seperti majikan dan bawahan, mengerti atau tidak mengertinya anak didik tidak dengan cepat diketahui guru. Lihat Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang: Rasail, 2004), hlm. 137-138.
8Piet A. Sahertian, Profil Pendidik Profesional, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), Cet. 1, hlm. 63.
3
Dalam persaingan untuk mencapai prestasi diantara siswa ini, sekolah sama
sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya
pada persaingan bebas di dunia ekonomi siapa yang kuat maka dia yang akan
berkembang, demikian pula di dunia pendidikan. Penekanan pada
pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan hasil
pendidikan.9
Selain itu ada juga persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia
pendidikan yang menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk
mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan
pengetahuan. Dalam hal ini siswa sebagai sebuah botol kosong yang bisa diisi
dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh sang
maha guru.10 John Locke dalam bukunya Lie dengan teorinya yang sangat
terkenal juga mengatakan bahwa “pikiran seorang anak seperti kertas kosong
yang putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya”.11 Model
pendidikan demikian oleh Paulo Freire dalam bukunya Shofan dikritik sebagai
banking education atau pendekatan gaya bank.12 Pendekatan gaya bank
memiliki asumsi bahwa anak didik adalah obyek yang kosong akan
pengetahuan, sehingga harus diisi. Dalam konsep ini pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak berpengetahuan apa-apa.
Pendidikan adalah sebuah pembebasan, sehingga dalam konteks ini
menurutnya menganggap bodoh secara mutlak kepada orang lain merupakan
ciri dari ideologi penindasan. Dalam pendidikan seperti ini kreativitas dan
kritisisme dari seorang siswa akan sulit ditemukan.
Senada dengan Freire, ada sebuah pandangan tentang pendidikan yang
dikemukakan oleh mantan Presiden Tanzania Julius K Nyerere dalam bukunya
9“Paradigma Pendidikan Masa Depan: Kebersamaan Dalam Belajar Untuk
Menghilangkan Ketimpangan”, http://pakguruonline.pendidikan.net/ 10“Mengenal Lebih Dekat Cooperative Learning”, http://assalam.or.id/, Minggu, 12
November 2006. 11Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 2. 12Moh. Shofan, The Realistic Education: Menuju Masyarakat Utama, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2007), Cet. 1, hlm. 18.
4
Supeno yang disampaikan dalam pidatonya, ia mengemukakan bahwa:
“Pendidikan bertujuan untuk pembebasan karena itu juga merupakan
pendidikan untuk kerjasama antara manusia, karena hanya dalam kerjasama
antara manusia bisa membebaskan dirinya dari hambatan-hambatan alam dan
hambatan yang diciptakan dan ditimpakan orang lain kepada dirinya.”13
Sebuah pendidikan harus memberi kesempatan pada siswa untuk
saling bekerjasama dalam pembelajaran, karena pada dasarnya pengajaran
yang efektif menuntut kesediaan kerjasama dari siswa.14 Selain itu, “alur
proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Akan tetapi siswa
juga bisa saling mengajar sesama siswa lainnya (peer teaching)”.15 Ini
merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan sesama siswa
untuk bekerjasama dalam tugas-tugas yang terstruktur. Keberhasilan seorang
siswa ditentukan oleh kerjasama antar mereka dalam pembelajaran. Jika
kerjasama yang saling memberi dan menerima antar siswa bisa berjalan
dengan lancar maka akan membuahkan hasil pembelajaran yang optimal.
Saat ini pendidikan dituntut untuk dapat memainkan perannya sebagai
basis dan benteng tangguh yang akan menjaga dan memperkukuh etika dan
moral bangsa. Pendidikan merupakan suatu media sosialisasi nilai-nilai luhur
yang akan lebih efektif bila diberikan kepada anak (siswa) sejak dini.16
Pendidikan agama Islam yang notabenenya sebagai landasan moral
dalam kehidupan sehari-hari, kini belumlah membuahkan hasil sebagaimana
yang diharapkan yaitu membangun karakter dan moralitas anak bangsa.
Tawuran antar siswa, kekerasan fisik dan tindak kriminalitas bahkan terjadi
di mana-mana. Kerisauan dan kegalauan akan moralitas anak bangsa telah
mengindikasikan kegagalan pembelajaran PAI selama ini. Hal ini
mengundang perhatian berbagai pihak untuk menoleh secara lebih serius
13Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Cet. 1, hlm. 44. 14J. Donald Walters, Education for Life, terj. Agnes Widyastuti, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2004), Cet. 1, hlm. 69. 15“Mengenal Lebih Dekat Cooperative Learning”, http://assalam.or.id/, Minggu, 12
November 2006. 16Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Misaka Galiza,
2003), Cet. 2, hlm. 14.
5
terhadap PAI. Banyak aspek yang dapat dievaluasi sebagai faktor yang
memberi kontribusi terhadap kegagalan ini, diantaranya durasi waktu yang
sangat singkat, pembelajaran yang sangat kaku, berpegang dengan buku teks,
cenderung tidak membawa peserta didik ke alam kehidupan sosial nyata baik
dalam tataran konsep maupun pengalaman keagamaan.
Masalah krusial juga dalam pembelajaran PAI ialah dalam hal
penggunaan metode atau model pembelajaran dalam menyampaikan materi
pelajaran. Iklim pembelajaran yang dikembangkan oleh guru mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Hal ini dapat
dilihat pada kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih dan menggunakan
metode pembelajaran.17
Berdasarkan kondisi PAI yang ada, ternyata masih banyak pendidik
yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam
memilih serta menggunakan berbagai metode pembelajaran yang mampu
mengembangkan iklim pembelajaran yang kondusif bagi siswa untuk belajar.
Pemilihan metode yang kurang tepat dapat mengakibatkan PBM PAI
berlangsung secara kaku, sehingga kurang mendukung pengembangan
kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Untuk itu perlu dicari alternatif
model pembelajaran yang memungkinkan proses sosialisasi dan internalisasi
nilai-nilai keagamaan yang diharapkan lebih kuat tertanam pada pribadi siswa.
Atas dasar berbagai problematika di atas, maka upaya peningkatan
kualitas proses belajar mengajar PAI merupakan suatu kebutuhan yang sangat
mendesak untuk dilakukan. Salah satu model pembelajaran yang dapat
menjembatani keresahan tersebut adalah model pembelajaran cooperative
learning.
Cooperative learning merupakan “sistem pembelajaran yang memberi
kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam
tugas-tugas terstruktur”.18 Model pembelajaran ini memberi kesempatan siswa
17Arief Achmad Mangkoesapoetra, “Implementasi Model Cooperative Learning Dalam
Pendidikan IPS di Tingkat Persekolahan”, http://researchengines.com/ 16 Agustus 2005. 18Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 12
6
dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan
nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama (kerja
kelompok), saling tolong menolong dan saling mendistribusikan ilmunya di
antara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas
dan perolehan belajar. Hadits dari Ibnu Majah dan Muslim:
رواه ابن (ملسم الاهخ اھملع یما ثمل عملسم الءرم الملعت ینا ةقد الصلضفا
)ماجھ “Shodaqoh yang paling utama adalah orang Islam yang belajar ilmu kemudian ia mengajarkan kepada saudaranya sesama Islam.” (HR. Ibnu Majah)19 Hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang memiliki ilmu maka ia
wajib mengamalkannya kepada orang lain, ini merupakan shodaqoh yang
paling utama, karena sesungguhnya apa yang ada dalam diri kita sebagian
adalah hak orang lain. Dengan demikian maka ilmu kita akan menjadi ilmu
yang bermanfaat dunia dan akhirat
Hadits tentang tolong-menolong juga dijelaskan dari Muslim:
)رواه مسلم ( ھیخ انو عى فدبع الانا ك مدبع النو عى فاهللاو … "…dan Allah akan menolong hambaNya apabila hamba tersebut menolong saudaranya…” (HR. Muslim)20 Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang yang mau menolong
saudaranya dengan dilandasi keikhlasan maka Allah kelak juga akan
menolong orang tersebut. Kita sebagai manusia juga harus yakin bahwa
pertolongan Allah pasti akan datang, hanya saja tak seorangpun yang tahu
kapan pertolongan itu akan tiba.
Menurut Michaels sebagaimana dikutip Etin Solihatin “cooperative
learning is more effective in increasing motive and performance students” 21,
19as-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah, (Indonesia: Daar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1948), hlm. 30. 20Imam Yahya bin Syarofiddin an-Nawawiy, al-Arba’in an-Nawawiyah, (Semarang:
Toha Putera, 676 H), hlm. 22.
7
yakni pembelajaran kooperatif lebih efektif dalam meningkatkan motivasi dan
performen siswa.
Senada itu, Henry juga mengungkapkan bahwa “committee work is
also a useful way of spreading participation. It is a way of giving children
opportunities to learn how work cooperatively and to think for themselves” 22(Bekerja sama juga merupakan cara yang berguna untuk meningkatkan
partisipasi. Ini adalah sebuah cara memberikan kesempatan anak untuk belajar
bagaimana bekerja sama dan berfikir untuk diri mereka sendiri).
Model cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan
mahasiswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama
pembelajaran, karena siswa dapat bekerja sama dengan siswa lainnya dalam
menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi
pelajaran yang dihadapi.
Cooperative learning menciptakan kondisi pembelajaran yang bersifat
gotong royong, saling menolong dan bekerjasama. Hal ini bukanlah hal baru
dalam dunia Islam, karena Islam sendiripun menganjurkan untuk saling
tolong-menolong.23 Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 71:
) ٧١:التوبة( …والمؤمنون والمؤمنات بعضھم آولیاء بعض “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain….”. (QS. at-Taubah: 71)24
21Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 5. 22Henry Clay Lindgreen, Educational Psychology In The Classroom, (New York: John
Wiley and Sons, Inc, 1960), p. 349. 23Disebutkan dalam al-Qur’an: … (المائدة:٢) م والعدوانوتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على اإلث …
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan….”. (QS. Al-Maidah: 2). Lihat Depag RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al-Huda, 2005), hlm. 107. Dijelaskan oleh Majid bahwa fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya
kepada orang lain. Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive kecuali ada kehadiran orang lain. Bila seorang filsuf Barat berkata ‘cogito ergo sum’ yang artinya “aku ada karena aku berpikir”, maka kita dapat mengatakan “aku ada karena aku memberikan makna bagi orang lain”. lihat Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2006), Cet. 2, hlm. 81.
24Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 1٩٨.
8
Ayat di atas menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang beriman harus
saling tolong-menolong diantara sesama, karena sesunggunya kita semua
adalah bersaudara. Barang siapa mau menolong diantara sesama maka kelak
Allah juga akan memberi pertolongan kepada kita. Selain itu Allah juga berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 85:
ھ لنك یةئی سةاعف شعفش ین ما وھن مبیصھ ن لنك یةنس حةاعف شعفش ینم
) ٨٥:ساءالن.… ( اھن ملفك“Barang siapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barang siapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya….”. (QS. An-Nisa’: 85)25 Ayat tersebut memberi anjuran jika kita menolong orang lain
hendaknya kita harus memberi pertolongan yang baik dengan dilandasi rasa
ikhlas, karena kelak pahala yang tak terkira akan kita dapatkan.
Kerjasama merupakan hal sangat urgen bagi kelangsungan hidup.
Tanpa kerjasama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau bahkan
sekolah. Tanpa kerja sama kehidupan kan tiada.
Dengan mengaplikasikan prinsip kerjasama yang termodifikasi dalam
model cooperative learning ke dalam pembelajaran PAI, diharapkan proses
sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan lebih kuat tertanam pada
pribadi siswa, sehingga pembangunan karakter (character building) dan etika
moral anak bangsa akan dapat terjunjung tinggi. Selain itu dengan adanya
cooperative learning ini, diharapkan pula pembelajaran PAI akan lebih
menarik, aktual dan hidup serta meningkatkan minat dan prestasi belajar.
Di tengah keengganan kalangan institusi pendidikan menggunakan
cooperative learning dalam pembelajaran PAI karena berbagai macam
kekhawatiran, SMA Negeri 12 Semarang telah menerapkan model
pembelajaran ini, meskipun baru beberapa metode yang diimplementasikan.
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis berusaha untuk mengetahui lebih jauh
25Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 91.
9
kegiatan pembelajaran PAI melalui model cooperative learning yang
terkonsep dalam judul “IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING
DALAM PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12 SEMARANG.
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul di atas,
maka penulis akan memberikan penjelasan beberapa istilah yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti. Adapun istilah-istilah yang penulis
jelaskan ialah:
1. Implementasi
Implementasi yaitu pelaksanaan atau penerapan.26 Implementasi di
sini maksudnya adalah bagaimana pelaksanaan cooperative learning
dalam pembelajaran PAI yang diterapkan oleh SMA Negeri 12 Semarang.
2. Cooperative Learning
Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana
siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur
kelompoknya yang bersifat heterogen.27 Senada dengan itu, Lie
berpendapat bahwa cooperative learning merupakan sistem pengajaran
yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan
sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur.28 Ada 5 unsur model
pembelajaran gotong royong yang harus diterapkan untuk mencapai hasil
yang maksimal, yaitu ketergantungan positif, tanggung jawab
perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota dan evaluasi proses
kelompok.29 Model cooperative learning ini menjelma ke dalam banyak
metode, misalnya metode mencari pasangan (make a match), kepala
26Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 327. 27Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS,
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 4. 28Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 12. 29Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004), Cet. 1, hlm. 31.
10
bernomor (numbered heads), debat aktif (active debate), diskusi kelompok
kecil (small group discussion), dua tinggal dua tamu (two stay two stray),
jigsaw, dan lain-lain. Dari sekian banyaknya metode dalam model
cooperative learning, penulis hanya akan menggunakan empat metode
yang akan diteliti yang diterapkan dalam pembelajaran pendidikan agama
Islam (PAI), yaitu metode mencari pasangan (make a match), debat aktif
(active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion), dan
tukar delegasi antar kelompok ( jigsaw).
3. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.30 pembelajaran juga
berarti proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa
dalam belajar bagaimana memperoleh dan memproses pengetahuan,
ketrampilan dan sikap.31 Pembelajaran yang dimaksud adalah
pembelajaran yang dimaknai sebagai learning to think, learning to do,
learning to be, learning how to learn, dan learning to live together.32
Pendidikan agama Islam (PAI) menurut Zakiah Darajat
sebagaimana dikutip oleh Muntholi’ah mendefinisikan sebagai suatu usaha
untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat
memahami ajaran Islam secara menyeluruh lalu menghayati tujuan yang
pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai
pandangan hidup.33 Sedangkan menurut Ibnu Hajar yang dikutip
Muntholi’ah mendefinisikan PAI sebagai sebutan yang diberikan pada
salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa muslim dalam
30Depdiknas RI, UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2003), hlm. 4. 31Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Depdikbud bekerjasama
dengan Rineka Cipta, 1999), Cet. 1, hlm. 157. 32A. Atmadi dan Y. Setyaningsih, Tranformasi Pendidikan: Memasuki Millenium Ketiga,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 7. 33Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi:
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosadakarya, 2004), hlm. 130.
11
menyelesaikan pendidikannya dalam tingkatan tertentu.34 Yang dimaksud
PAI di sini adalah suatu bidang studi yang ada di SMA Negeri 12
Semarang yang diberikan kepada siswa muslim sebagai upaya
mempersiapkan anak didik yang berkualitas baik sebagai orang yang
beragama, berbangsa dan bernegara.
Dari uraian di atas, yang dimaksud pembelajaran PAI oleh penulis
adalah proses interaktif yang diselenggarakan oleh pendidik untuk
membelajarkan bidang studi PAI kepada peserta didik yang berorientasi
mengajarkan pengetahuan agama Islam dan untuk meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta pembinaan akhlak yang mulia dan berbudi pekerti
luhur.
C. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu: Bagaimana implementasi cooperative learning dalam
pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi cooperative learning dalam
pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang.
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Secara teoritis
Dengan adanya penelitian ini, maka penulis dapat mengetahui
konsep cooperative learning dan implementasinya, khususnya dalam
pembelajaran PAI di sekolah yang penulis teliti yaitu SMA Negeri 12
Semarang.
34Muntholi’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunungjati dan
Yayasan Al-Qalam, 2002), hlm. 12.
12
2. Secara praktis
a. Sebagai motivator pembaca untuk dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran PAI di manapun berada.
b. Sebagai rujukan pendidik dalam mengelola pembelajaran PAI dengan
model dan metode pembelajaran yang lebih tepat untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran.
c. Sebagai khazanah pengembangan ilmu PAI, khususnya bidang metode
pembelajaran.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini penulis akan mendeskripsikan beberapa
skripsi yang ada relevansinya dengan judul penelitian di atas, yaitu:
1. Skripsi yang ditulis oleh Yayuk Afiana (Nim: 3199248), mahasiswi
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2004 dengan
judul “Penerapan Metode Diskusi pada Pembelajaran PAI di SMU N
Jumantono Karangayar”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
metode diskusi mampu membangun kreatifitas dan daya kritis siswa dalam
mempelajari mata pelajaran pendidikan Agama Islam di SMUN
Jumantono. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan siswa untuk berargumen
dalam kelompok maupun diskusi kelas.35
2. Skripsi yang ditulis oleh Nur Khamidah (NIM: 3100043), mahasiswi
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2005 dengan
judul “Implementasi Azas Kooperatif dalam Pembelajaran PAI di SMP
Negeri 1 Comal”. Skripsi ini membahas bagaimana implementasi azas
kooperatif dalam pembelajaran PAI yang diterapkan oleh SMP Negeri 1
Comal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMP Negeri 1 Comal telah
mengimplementasikan azas kooperatif dalam pembelajaran PAI.
Implementasi azas kooperatif ini dapat terlihat pada beberapa metode
pembelajaran yang diterapkan yaitu belajar kelompok, diskusi serta
35Yayuk Afiana, “Penerapan Metode Diskusi pada Pembelajaran PAI di SMU N Jumantono Karangayar”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2004), t.d.
13
pemberian tugas. Ketiga metode tersebut telah sesuai dengan azas
kooperatif. Ini disebabkan karena pembelajaran tersebut mengutamakan
prinsip kerjasama, gotong royong. Penerapan azas kooperatif ini
menunjukkan hasil belajar yang signifikan dan peningkatan aktivitas
peserta didik dalam proses pembelajaran.36
3. Skripsi yang ditulis oleh Yuni Ifayati (NIM: 3102232), mahasiswi
Fakultas Tarbiyah IAIN walisongo Semarang pada tahun 2006 dengan
judul “Implementasi Model cooperative learning dalam Pembelajaran PAI
di SMP Semesta Semarang”. Skripsi ini membahas bagaimana
implementasi model pembelajaran cooperative learning dalam
pembelajaran PAI yang diterapkan oleh SMP Semesta Semarang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa SMP Semesta telah menerapkan
cooperative learning dalam pembelajaran PAI. Implementasi model
cooperative learning ini diterapkan dalam beberapa metode pembelajaran,
yaitu belajar kelompok, diskusi kelompok, tutor sebaya dan jigsaw. Pada
prakteknya, kegiatan pembelajaran PAI melalui metode-metode
cooperative learning sudah hampir mendekati teori yang ada di penerapan
cooperative learning ini juga meningkatkan aktifitas dan hasil belajar
siswa.37
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, jika skripsi-skripsi di atas
dalam mengimplementasikan model kooperatif masih menggunakan metode-
metode yang tradisional (belajar kelompok, diskusi, pemberian tugas, tutor
sebaya dan jigsaw), maka dalam penulisan skripsi ini penulis lebih
menitikberatkan pada metode-metode yang lebih modern, yaitu make a match
(mencari pasangan), active debate (debat aktif), small group discussion
(diskusi kelompok) dan jigsaw. Bagaimana SMA Negeri 12 Semarang
36Nur Khamidah, “Implementasi Azas Kooperatif dalam Pembelajaran PAI di SMPN 1
Comal”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2004), t.d.
37Yuni Ifayati, “Implementasi Model Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMP Semesta Semarang”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2006), t.d.
14
menerapkan keempat metode cooperative learning tersebut dalam
pembelajaran PAI
F. Metodelogi Penelitian
1. Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian
Fokus penelitian ini akan mengkaji bagaimana implementasi
cooperative learning dalam pembelajaran PAI.
Sedangkan ruang lingkup yang akan diteliti yaitu SMA Negeri 12
Semarang yang menerapkan model cooperative learning dalam
pembelajaran PAI, yang meliputi aspek:
a. Pendidik dan peserta didik
b. Proses belajar mengajar
c. Kurikulum yang diterapkan
d. Milleu, termasuk sarana dan prasarana.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan
kualitatif. Bodgan dan Taylor (1975: 5) dalam bukunya Moleong
mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.38 Penelitian kualitatif
merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia. Jadi penelitian ini
akan menghasilkan deskripsi tentang gejala-gejala yang diamati yang tidak
berupa angka.
Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif,39 yakni menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada dalam proses belajar mengajar PAI di SMA
38Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), Cet. 24, hlm. 4. 39Penelitian yang bersifat deskriptif dalam bidang pendidikan dan kurikulum pengajaran
merupakan hal yang cukup penting untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena kegiatan pendidikan, pelaksanaan model dan metode pembelajaran, implementasi kurikulum pada berbagai jenis, jenjang dan satuan pendidikan. Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian
15
Negeri 12 Semarang. Jadi penelitian kualitatif deskriptif ini akan mampu
mengungkap informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh
nuansa, yang lebih berharga dari pada sekedar pernyataan jumlah ataupun
frekuensi dalam bentuk angka.
3. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-
lain.40 Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kepala
sekolah, waka kurikulum, humas, guru PAI, siswa dan dokumentasi
sekolah.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan beberapa metode, yaitu:
a. Metode Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.41 Dalam
hal ini observasi dilakukan dengan menggunakan teknik observasi
secara langsung. Caranya peneliti mengamati gejala atau proses belajar
mengajar Pendidikan Agama Islam dengan menggunakan model
cooperative learning yang dilakukan oleh SMA Negeri 12 Semarang
dengan mengikuti kegiatan belajar mengajar dan mengamati keadaan
guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran.
b. Interview
Interview (wawancara) adalah metode pengumpulan data
dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan dengan sistematis
dan berlandaskan pada tujuan penelitian.42
Pendidikan, (Bandung: Program Pasca Sarjana UPI bekerjasama dengan Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 72.
40Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 24, hlm. 157.
41S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 128 42Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 2, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), hlm.
218.
16
Peneliti dalam hal ini berkedudukan sebagai interviewer,
mengajukan pertanyaan, menilai jawaban, meminta penjelasan,
mencatat dan mengadakan prodding (menggali keterangan lebih
mendalam). Di pihak lain, sumber informasi (interviewee) menjawab
pertanyaan, memberi penjelasan dan terkadang juga membalas
pertanyaan.43
Interview ini digunakan untuk mendapatkan informasi dari
berbagai pihak di lingkungan sekolah guna untuk mengumpulkan data
tentang penerapan cooperative learning dalam pembelajaran PAI di
SMA Negeri 12 Semarang.
c. Metode Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk
mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat dan
sebagainya.44
Metode ini peneliti gunakan untuk memperoleh dokumen-
dokumen dan kebijakan yang terkait dalam penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara
sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lain-lainnya untuk
meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. sedangkan untuk
meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan
berupaya mencari makna (meaning).45
Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode
penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi)
43Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 2, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), hlm.
218. 44Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), Cet. 17, hlm. 160. 45Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),
Cet. 7, hlm. 104.
17
mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.46 Dalam analisis
deskriptif, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari naskah
interview, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau
memo dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan demikian,
peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin
dalam bentuk aslinya. Ini dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap
bagian ditelaah satu demi satu. Pertanyaan dengan kata tanya mengapa,
alasan apa dan bagaimana terjadinya akan senantiasa dimanfaatkan oleh
penulis. Dengan demikian peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu
itu sudah memang demikian keadaannya.47
Data yang terkumpul selanjutnya dikelompokkan sesuai fokus
penelitian, kemudian dilakukan triangulasi (pemeriksaan sumber data).
Dalam hal ini triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yang
berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif.48 Di samping itu, agar penelitian ini tidak berat
sebelah maka penulis menggunakan teknik members check.49 Langkah
selanjutnya adalah menyusun data tersebut dengan menggambarkan
penerapan model cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang seperti apa adanya.
46Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
hlm. 18. 47Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), Cet. 24, hlm. 11. 48Lexy merujuk pada Patton menambahkan bahwa teknik ini bisa dicapai dengan jalan
membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil interview, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain, dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 24, hlm. 330-331.
49Member Check yaitu memeriksa laporan sementara kepada subjek penelitian agar mereka dapat memberikan informasi baru lagi atau dapat menyetujui kebenarannya sehingga hasil penelitian dapat lebih dipercaya. Lihat Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 54.
18
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Bagian awal berisi: halaman judul, pernyataan keaslian, halaman
pengesahan, halaman nota pembimbing, abstrak, motto, persembahan, kata
pengantar dan daftar isi.
2. Bagian inti berisi:
BAB I: Bab ini berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang masalah, penegasan istilah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II: Bab ini berisi landasan teori yang terdiri dari tiga sub bab. Sub
bab pertama tentang cooperative learning meliputi definisi
cooperative learning, latar belakang cooperative learning,
dasar-dasar pemikiran cooperative learning, unsur-unsur
cooperative learning, tujuan cooperative learning, pengelolaan
kelas cooperative learning, dan evaluasi cooperative learning.
Sub bab kedua berisi tentang pembelajaran pendidikan agama
Islam yang meliputi definisi pembelajaran pendidikan agama
Islam dan komponen pelaksanaan pembelajaran PAI. Sub bab
ketiga berisi tentang implementasi cooperative learning dalam
pembelajaran PAI pada jenjang SMA.
BAB III: Bab ini berisi kajian objek penelitian yang terdiri dari 3 sub
bab. Sub bab pertama berisi tentang gambaran umum SMA
Negeri 12 Semarang yang meliputi tinjauan historis, letak
geografis, struktur organisasi, visi dan misi, keadaan guru,
karyawan dan siswa, sarana dan prasarana SMA Negeri 12
Semarang. Sub bab kedua berisi tentang sistem pembelajaran
PAI di SMA Negeri 12 Semarang yang meliputi tujuan
pembelajaran PAI, materi dan metode pembelajaran PAI dan
media pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang. Sub
19
bab ketiga berisi tentang implementasi cooperative learning
dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
BAB IV: Bab ini berisi tentang analisis hasil penelitian yang terdiri dari
dua sub bab. Sub bab pertama menguraikan tentang
implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di
SMA Negeri 12 Semarang yang meliputi metode mencari
pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi
kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi
antar kelompok (jigsaw). Sub bab kedua menguraikan tentang
faktor penunjang dan penghambat implementasi cooperative
learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12
Semarang.
BAB V : Bab ini berisi penutup yang terdiri dari sub bab kesimpulan,
saran-saran dan penutup.
3. Bagian akhir berisi daftar pustaka, tabel-tabel, gambar-gambar, lampiran-
lampiran dan daftar riwayat hidup.
20
BAB II
KONSEP COOPERATIVE LEARNING
DALAM PEMBELAJARAN PAI
A. Cooperative Learning
1. Definisi Cooperative Learning
Dalam proses belajar mengajar dewasa ini dikenal istilah
cooperative learning atau pembelajaran gotong royong. Cooperative
learning terdiri dari dua kata dasar yaitu cooperative dan learning.
Cooperative berarti “working together with others towards a shared
aim”.50 Basyiruddin Usman mendefinisikan cooperative sebagai “belajar
kelompok atau bekerja bersama”.51 Jadi, cooperative bisa diartikan sebagai
cara individu mengadakan relasi atau bekerjasama dengan individu lain
untuk mencapai tujuan bersama.
Sedangkan learning adalah “the process through which experience
causes permanent change in knowledge or behavior”, yakni proses melalui
pengalaman yang menyebabkan perubahan permanen dalam pengetahuan
dan perilaku.52 Senada dengan hal itu, Clifford T. Morgan mengemukakan
bahwa “Learning as any relatively permanent change in behavior which
occurs as a result of experience or practice”53, yakni belajar sebagai
perubahan yang relatif permanen dalam perilaku yang terjadi merupakan hasil
dari pengalaman atau latihan. Sedangkan menurut Arthur T. Jersild yang
dikutip Syaiful Sagala, mendefinisikan bahwa learning adalah
“modification of behavior through experience and training”, yakni
pembentukan perilaku melalui pengalaman dan latihan. Dia menambahkan
50Sally Wehmeier, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford
University Press, 2000), hlm. 276. 51Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), hlm. 14. 52Anita E. Woolfolk, Educational Psychology, (USA: Allyn & Bacon, 1995), hlm. 196. 53Clifford T. Morgan, Introduction To Psychology, (New York: McGraw-Hill, 1971),
hlm. 63.
21
learning sebagai kegiatan memperoleh pengetahuan, perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan ajar.54
S{a>lih} ‘Abdul ‘Aziz dan ‘Abdul Azi’z ‘Abdul Majid
mengemukakan, bahwa:
فيها ثفيحد سابقة ةربخ على يطرأ املتعلم ذهن ىف تغيري هو التعلم أن… ٥٥.جديدا تغيريا
“....sesungguhnya belajar merupakan perubahan di dalam orang yang belajar (peserta didik) yang bersumber atas pengalaman lama yang menimbulkan perubahan baru.”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa cooperative learning
adalah usaha mengubah perilaku atau mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan secara gotong royong atau kerjasama.
Roger dan David Johnson mendefinisikan “cooperative learning is
the instructional use of small groups so that students work together to
maximize their own and each other's learning”56, yakni pembelajaran
kooperatif adalah pengajaran yang berbentuk kelompok-kelompok kecil
sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan pembelajaran mereka
sendiri dan masing-masing yang lainnya. Asep Gojwan mendefinisikan
pembelajaran kooperatif sebagai suatu model pembelajaran yang
menekankan aktivitas kolaboratif siswa dalam belajar yang berbentuk
kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama dengan menggunakan
berbagai macam aktivitas belajar, guna meningkatkan kemampuan siswa
dalam memahami materi pelajaran dan memecahkan masalah secara
kolektif.57
Inti dari cooperative learning ini adalah konsep synergy, yakni energi
atau tenaga yang terhimpun melalui kerjasama sebagai salah satu fenomena
54Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 12. 55S{a>lih} ‘Abdul ‘Azi>z dan ‘Abdul Azi>z ‘Abdul Maji>d, at-Tarbiyatu wa T}uruqu at-
Tadri>s, Juz. 1, (Mesir: Da>rul Ma’a>rif, 1968), hlm. 169. 56Roger T. Johnson and David W. Johnson, “Cooperative Learning”, http://www.co-
operation.org/pages/cl.html 57Asep Gojwan, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif pada Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama”, http://pk.sps.upi.edu/abstrakpk/abstrakpk04.html
22
kehidupan yang terjadi di masyarakat.58 Jadi, cooperative learning
dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama atau gotong royong
dalam dengan yang lainnya, terbentuknya sikap dan perilaku yang
demokratis serta tumbuhnya produktivitas kegiatan belajar siswa.
2. Latar Belakang Cooperative Learning
Ada beberapa alasan penting mengapa cooperative learning perlu di
terapkan di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, terjadi juga
transformasi sosial, ekonomi dan demografis yang mengharuskan sekolah-
sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-
keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupan di masyarakat
sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam dunia yang cepat berubah dan
berkembang pesat.59 Berikut penjelasan tentang alasan tersebut:
a. Transformasi sosial
Karena pengaruh modernisasi, struktur keluarga berubah drastis.
Semakin banyak anak yang dibesarkan dalam keluarga inti tanpa
kehadiran penuh kedua orangtua. Tingkat mobilitas dan isolasi keluarga
makin meningkat dengan semakin bertambahnya kaum ibu yang
berkarier. Banyak anak tumbuh dengan sedikit sekali pengasuhan dari
orang tua. Yang lebih menyedihkan lagi, anak bisa meluangkan lebih
banyak waktu di depan telivisi dari pada di sekolah. Stasiun televisi
boleh saja membantah hasil penelitian mengenai pengaruh anti sosial
televisi, namun yang jelas menonton televisi adalah kegiatan solitair.
Pada saat mata terpaku pada layar, hilanglah kesempatan untuk
mengembangkan interaksi sosial dan ketrampilan berkomunikasi.
Spencer Kagan masih dalam bukunya Lie mengatakan bahwa anak usia
SD menonton televisi rata-rata 15 kali lebih lama dari pada berbicara
dengan ayah mereka.
58Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm.
177. 59Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 12-14.
23
Di tengah-tengah tranformasi sosial yang membawa makin
banyak dampak negatif, sekolah seharusnya merasa terpanggil untuk
memperhatikan perkembangan moral dan sosial anak didik. Dalam
sistem pengajaran tradisional, siswa dipaksa untuk bekerja
secara individu atau kompetitif tanpa ada banyak kesempatan untuk
berinteraksi dan bekerja sama dengan sesama.
b. Transformasi Ekonomi
Derasnya arus informasi sudah tidak memungkinkan lagi bagi
guru untuk bersikap maha tahu dan beranggapan bahwa siswa perlu
dimasuki dengan berbagai fakta pengetahuan dan informasi. Agar bisa
lebih siap memasuki era informasi, siswa perlu diajar bagaimana
caranya untuk mendapatkan informasi sendiri, apakah itu dari guru,
teman, bahan-bahan pelajaran, ataupun sumber-sumber lain.
Selain itu, keterkaitan (interdependence) merupakan ciri lain
dari transformasi ekonomi. Pada kebanyakan pekerjaan, kepandaian
atau kemampuan individu bukanlah yang terpenting. Kemampuan untuk
bekerjasama dalam tim lebih dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan
keberhasilan suatu usaha. Sebagai pendidik yang bertanggungjawab,
guru perlu melihat lebih jauh dari pada sekadar nilai-nilai tes dan ujian.
Seharusnyalah, para guru lebih merasa terpanggil untuk mempersiapkan
anak didiknya agar bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang
lain dalam berbagai macam situasi sosial.
c. Transformasi Demografis
Urbanisasi membawa implikasi-implikasi serius dalam
perubahan nilai-nilai sosial dan proses sosialisasi. Kompetisi dan
eksploitasi merupakan bagian dari kehidupan perkotaan mewarnai
evaluasi karakter dan nilai-nilai sosial. Ternyata, urbanisasi telah
memegang peranan dalam penciptaan homo homini lupus. Sekolah
seharusnya bisa berbuat lebih banyak dalam mengubah arah evolusi
nilai-nilai sosial. Sebagai keluarga kedua, sekolah bisa merupakan
tempat untuk menanamkan sikap-sikap cooperative dan mengajarkan
24
cara-cara bekerjasama. Sekolah bisa memegang peranan yang lebih
penting dalam pembentukan anak didik menjadi homo homini socius.
Kebinekaan suku bangsa dan ras merupakan ciri-ciri lain dari
transformasi demografis. Sebagai bagian dari masyarakat, sekolah-
sekolah juga merupakan tempat pertemuan anak-anak dari berbagai
macam suku dan ras. Tanpa penanganan yang bijaksana, siswa-siswa
bisa terjatuh dalam ketegangan antarsuku dan sikap-sikap rasialis.
Seorang siswa bisa saja duduk di satu kelas yang sama dengan siswa
lain yang berbeda suku atau ras selama bertahun-tahun. Namun, jika
siswa ini tidak diajari untuk berinteraksi dengan teman sekelas yang
berbeda ras atau suku sebagai seorang individu dengan segala nuansa
kemanusiaannya. Yang dia lihat tidak akan lebih dari stereotip-stereotip
yang sangat mungkin menjurus pada sikap-sikap prejudice dan rasialis.
3. Dasar-Dasar Pemikiran Cooperative Learning
Cooperative learning menampakkan wujudnya dalam bentuk
kelompok. Menurut Bimo Walgito, dasar bentuk pembelajaran ini dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:60
a. Dasar Pedagogis
Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional pasal 3 yang berbunyi :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.61 Kalau ditinjau lebih dalam, tujuan pendidikan nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
60Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Andi Offset,
1995), hlm. 103-104. 61Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal
3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 5-6.
25
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia berbudi luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Untuk mencapai tujuan semacam itu sistem pendidikan
harus berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.62 Melalui cooperative
learning inilah anak-anak lebih dapat dibentuk menjadi manusia utuh
seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional.
b. Dasar Psikologi
Dasar psikologis tersebut akan terlihat pada diri manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Manusia mempunyai kebutuhan untuk
berhubungan dengan orang lain,63 karena pada dasarnya salah satu
naluri manusia yang terbentuk dalam jiwanya secara individual adalah
kemampuan dasar yang disebut para ahli psikologi sosial sebagai instink
gregorius (naluri untuk hidup berkelompok) atau hidup bermasyarakat.
Dan dengan naluri ini, tiap manusia secara individual ditinjau dari segi
antropologi sosial disebut homosocius artinya makhluk yang
bermasyarakat dan saling tolong menolong dalam rangka
mengembangkan kehidupannya disegala bidang.64
Walgito menjelaskan bahwa kegiatan manusia digolongkan
menjadi tiga, yaitu:
1) Kegiatan yang bersifat individual
2) Kegiatan yang bersifat sosial
62Mulyana Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta:
Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. 2, hlm. 124. 63“Kebutuhan” ini akan terlihat ketika kita ada pada situasi “sendiri” sepanjang hari atau
ketika kita menjadi “orang baru” dalam sebuah komunitas/group. Perasaan sendiri sebenarnya adalah jenis kecemasan (anxiety). Anxiety diartikan oleh Rollo May sebagai “the fear of becoming nothing”. Kecemasan dalam kesendirian ini menunjukkan betapa pentingnya orang lain bagi eksistensi kita sebagai individu. Tanpa ada orang lain kita merasa cemas dan merasa tidak bermakna. Lihat Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the classroom, (New York: John Wiley and Sons Inc, 1960), hlm. 109.
64Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 2.
26
3) Kegiatan yang bersifat ketuhanan65
Kegiatan atau hubungan sosial antara seseorang dengan yang
lainnya merupakan suatu keharusan, karena hanya dengan kontak-
kontak sosial seseorang dapat mengembangkan pribadinya.66 Kegiatan
sosial dalam poin kedua itulah yang menjadi landasan pelaksanaan
cooperative learning. Selain itu disebutkan dalam al-Qur’an, surat al-
Ma>’idah ayat 2:
…وتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على اإلثم والعدوان… (املائدة:٢)
“....Dan tolong menolonglah dalam hal kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong di dalam hal berbuat dosa dan pelanggaran...”. (Q.S Al-Ma>’idah: 2).67 Dalam tafsir Al Misbah, Quraisy Syihab menyatakan bahwa ayat
inilah yang menjadi prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dan saling
membantu selama tujuannya adalah kebaikan dan ketaqwaan.68 Maka
jelaslah bahwa ayat ini sangat mendukung adanya model cooperative
learning dimana ide dasar dalam model ini adalah kerjasama dan saling
membantu dalam proses belajar mengajar untuk mendapatkan
pengetahuan bersama.
4. Unsur-Unsur Cooperative Learning
Roger dan David Johnson dalam bukunya Anita Lie mengatakan
bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai cooperative
learning. Untuk mencapai hasil maksimal, ada lima unsur model
pembejaran gotong royong yang harus diterapkan, yaitu saling
ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka,
65Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Andi Offset,
1995), hlm. 104. 66Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik
Kurikulum PBM, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), Cet. 7, hlm. 34. 67Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 106. 68M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Volume 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 14.
27
komunikasi antaranggota dan evaluasi proses kelompok.69 Berikut
penjelasan unsur-unsur tersebut:
a. Saling Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada setiap
anggotanya. Untuk mengkondisikan terjadinya interdependensi di antara
mahasiswa dalam kelompok belajar, maka guru harus mengorganisasikan
materi dan tugas-tugas pelajaran sehingga siswa memahami dan mungkin
untuk melakukan hal itu dalam kelompoknya. Guru harus merancang
struktur kelompok dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan setiap
mahasiswa untuk belajar dan mengevaluasi dirinya dan teman
kelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami materi
pelajaran. Kondisi belajar ini memungkinkan siswa untuk merasa
tergantung secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam
mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.70
b. Tanggungjawab Perseorangan atau Akuntabilitas Individual (Individual
Accountability)
Dalam pembelajaran kooperatif siswa tidak diperkenankan
mendominasi atau menggantungkan diri pada siswa lain. Karena tiap
anggota kelompok dituntut untuk memberikan kontribusi bagi
keberhasilan kelompok. Hal ini dilakukan, karena nilai hasil belajar
kelompok ditentukan oleh rata-rata nilai hasil belajar individual.
Penilaian terhadap prestasi individual yang berpengaruh terhadap prestasi
kelompok inilah yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.71
c. Tatap Muka (Face to Face Interaction)
Interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok
belajar dapat saling tatap muka, sehingga mereka dapat berdialog tidak
hanya dengan guru tetapi juga dengan sesama mereka. Interaksi
69Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 31. 70Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 7. 71Mulyana Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta:
Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. 2, hlm. 122.
28
semacam itu diharapkan dapat memungkinkan anak-anak menjadi
sumber belajar bagi sesamanya. Hal ini diperlukan karena siswa sering
merasa lebih mudah belajar dari sesamanya dari pada belajar dari guru.72
Setiap kelompok diberi kesempatan untuk bertatap muka.
Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan bagi kelompoknya. Hasil
pemikiran beberapa orang tentunya lebih kaya dari hanya seorang saja,
di samping lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Inti dari sinergi ini
adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan dan mengisi
kekurangan masing-masing. Setiap anggota kelompok mempunyai latar
belakang pengalaman, keluarga, sosial dan ekonomi yang berbeda.
Perbedaan ini akan menjadi modal utama dalam memperkaya
pengetahuan antar kelompok.73
d. Komunikasi Antar Anggota (Group Communication)
Komunikasi menjadi kunci keberhasilan suatu kerja. Dalam
cooperative learning ini masing-masing anggota berlatih diri untuk bisa
berbicara, mengemukakan ide-idenya dan berlatih mendengarkan secara
aktif temannya yang sedang berpendapat. Bagaimana cara menyanggah
pendapat dengan sikap halus dan menghargai pendapat orang lain.
Berkomunikasi dengan efektif adalah keterampilan hidup yang sangat
penting yang harus dimiliki setiap anak didik dan untuk melatih hal ini
butuh proses yang panjang. Seorang guru bisa sekreatif mungkin untuk
membuat tim itu menjadi dinamis dan anak didik mendapatkan
pengalaman belajar, pengalaman mental dan emosi dengan model
pembelajaran seperti ini.74
72Mulyana Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta:
Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. 2, hlm. 122. 73“Mengenal Lebih Dekat Cooperative Learning”, http://assalam.or.id/, Minggu, 12
November 2006. 74“Mengenal Lebih Dekat Cooperative Learning”, http://assalam.or.id/, Minggu, 12
November 2006.
29
e. Evaluasi Antar Kelompok (Group Evaluation)
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok
untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka
agar selanjutnya bisa bekerjasama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi
tidak perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, tetapi bisa diadakan
selang beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajar terlibat dalam
kegiatan pembelajaran cooperative learning.75
5. Tujuan Cooperative Learning
Belajar dalam suatu kelompok dengan prinsip kooperatif memiliki
tujuan yang tercakup dalam tiga aspek, yaitu:
a. Aspek Kognitif
Dengan pemanfaatan kelompok dalam proses pembelajaran
memungkinkan siswa bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam model pembelajaran ini memandang bahwa keberhasilan dalam
belajar bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan individu secara
utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin baik apabila
dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok belajar yang
terstruktur dengan baik.76 Dengan adanya perbaedaan dari berbagai hal
maka akan semakin memperkaya pengetahuan individu dalam
kelompok. Selain itu, dengan prinsip kooperatif yang saling
menguntungkan maka prestasi akademis siswa akan tercapai secara
optimal.
b. Aspek Psikomotorik
Model cooperative learning ini diaplikasikan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena sioswa dapat
bekerjasama dengan siswa lain dalam menemukan dan merumuskan
75Format evaluasi bisa bermacam-macam, bergantung pada tingkat pendidikan siswa. Ada
contoh dua format evaluasi proses kelompok untuk dua kelompok usia atau kelas yang berbeda. Lihat Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 35-36.
76Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 5.
30
alternatif pemecahan terhadap problem materi pelajaran yang
dihadapi.77
c. Aspek Afektif
Dari sisi afektif, cooperative learning bertujuan melatih siswa
untuk menghargai pendapat orang lain, menghargai keberadaan teman,
meminimalisir sifat egois, memupuk sikap tenggang rasa, saling tolong-
menolong dan meminimalisir sikap dominasi siswa pintar dalam
kelompok.78 Dalam cooperative learning bukan hanya siswa pintar saja
yang dihargai, melainkan siswa yang memiliki kemampuan pas-pasan
juga mendapatkan tempat untuk lebih dihargai, karena sesuai dengan
kapasitasnya ia dapat memberikan kontribusi bagi kelompoknya.
Sehingga sedikit banyak hal ini dapat meningkatkan kepercayaan
dirinya. Jadi dalam model cooperative learning ini, sekecil apapun
kontribusi dari semua anggota layak untuk dihargai.
6. Pengelolaan Kelas Cooperative Learning
Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan
kelas model cooperative learning, yakni pengelompokan, semangat gotong
royong dan penataan ruang kelas.79
a. Pengelompokan
Dalam pembentukan kelompok belajar, keanggotaan kelompok
harus bersifat heterogen sehingga interaksi kerjasama yang terjadi
merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik siswa yang berbeda.80
Dengan demikian, kelompok memiliki anggota yang tergolong
berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.81 Dalam suasana belajar
seperti itu akan tumbuh dan berkembang nilai, sikap, moral dan perilaku
77Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 5.
78Saidah Mardiana, “Cooperative Learning: Memberdayakan Siswa”, http://www.mbeproject.net/, Juli 2006.
79Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 38
80Etin Solihatin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. 1, hlm. 8.
81Mulyana Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. 2, hlm. 125.
31
siswa. Kondisi ini merupakan media yang sangat baik bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuan dan melatih keterampilan dirinya dalam
suasana belajar yang terbuka dan demokratis.
Ada banyak teknik dalam membentuk kelompok, yaitu dengan
jam perjanjian,82 berdasarkan sosiometri, kesamaan nomor dan teknik
acak berstrata.83
b. Semangat Gotong Royong
Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka dapat
bekerjasama dalam rangka saling membutuhkan. Keberadaan orang
pandai adalah untuk membantu orang bodoh, orang kaya membantu
orang miskin dan yang kuat membantu yang lemah. Melalui berbagi
profesi yang dipilih oleh tiap manusia sesuai dengan potensi mereka
memungkinkan terjalinnya hubungan kerjasama, dan melalui kerjasama
tersebut maka akan terjadi evolusi kultural yang memungkinkan
meningkatnya kualitas pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa.84
Agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses
pembelajaran gotong royong, masing-masing anggota kelompok perlu
mempunyai semangat gotong royong. Semangat ini tidak bisa diperoleh
dalam sekejap. Semangat gotong royong ini bisa dirasakan dengan
membina niat dan kiat siswa dalam bekerjasama dengan siswa-siswa
lainnya.
Niat siswa bisa dibina dengan beberapa kegiatan yang bisa
membuat relasi masing-masing anggota kelompok lebih erat, antara lain
82Jam perjanjian adalah cara membentuk kelompok berpasangan, bertiga ataupun
berempat dengan relatif cepat. Jam perjanjian ini bisa dipakai terus sepanjang tahun ajaran. Guru bisa mengubah komposisi kelompok dengan cepat dan siswa pun menyukainya karena mereka bisa iktu memutuskan dengan siapa mereka membuat janjindan bertanya-tanya siapa pasangan berikutnys. Lihat Anita Lie Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 44.
83Mulyana Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. 2, hlm. 125-126.
84Mulyana Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT. Rineka Cipta, 2003), Cet. 2, hlm. 120.
32
dengan kesamaan kelompok, identitas kelompok, sapaan dan sorak
kelompok.85 Berikut penjelasanya:
1) Kesamaan Kelompok
Kelompok akan merasa bersatu jika mereka bisa menyadari
kesamaan yang mereka punyai. Hal ini bisa dilakukan dengan
beberapa kegiatan yang bersifat permainan, misalnya dengan
wawancara kelompok, lempar bola dan jendela kesamaan.
2) Identitas Kelompok
Berdasarkan kesamaan mereka, kelompok bisa merundingkan
dengan tepat identitas kelompok mereka, misalnya “Albert Enstein
Bermain Layang-layang.” Setiap anggota kelompok harus dimintai
pendapat dan keputusan tidak boleh dibuat jika ada yang tidak setuju
dengan nama yang dipilih.
3) Sapaan dan Sorak Kelompok
Untuk lebih mempererat hubungan dalam kelompok, siswa bisa
disuruh menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok. Menyapa
tidak harus berjabat tangan. Siswa bisa didorong mengembangkan
kreativitas mereka dengan menciptakan cara menyapa rekan-rekan
dalam satu kelompok mereka. Demikian pula dengan sorak
kelompok, siswa bisa membuat ungkapan sederhana namun meriah,
misalnya “Hebat… hebat… hebat… sehebat Einstein!”
c. Penataan Ruang Kelas
Dalam metode pembelajaran cooperative learning, penataan
ruang kelas perlu memperhatikan prinsip-prinsip tertentu. Bangku perlu
ditata sedemikian rupa sehingga semua siswa bisa melihat guru atau
papan tulis dengan jelas, bisa melihat rekan-rekan kelompoknya dengan
baik dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata.
Kelompok bisa dekat satu sama lain, tetapi tidak mengganggu kelompok
85Disarikan dari Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning
di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 47-51.
33
yang lain dan guru bisa menyediakan sedikit ruang kosong di salah satu
bagian kelas untuk kegiatan lain.
Ada kemungkinan beberapa model penataan bangku yang bisa
dipakai, antara lain: meja tapal kuda, meja panjang, meja laboratorium,
meja berbaris.86
7. Evaluasi dalam Cooperative Learning87
Dalam penilaian, siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok.
Siswa bekerjasama dalam model pembelajaran ini. Mereka saling
membantu dalam mempersiapkan diri untuk tes. Kemudian, masing-masing
mengerjakan tes sendiri-sendiri dan menerima nilai pribadi.
Untuk penilaian kelompok bisa dilakukan dengan beberapa cara,
pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh
siswa dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok juga bisa diambil dari rata-
rata nilai semua anggota kelompok, dari “sumbangan” setiap anggota.
Kelebihan kedua cara tersebut adalah semangat gotong royong yang
ditanamkan. Dengan cara ini, kelompok bisa berusaha lebih keras untuk
membantu semua anggota dalam mempersiapkan diri untuk tes. Namun,
kekurangannya adalah perasaan negatif dan tidak adil. Siswa yang mampu
akan merasa dirugikan oleh nilai rekannya yang rendah, sedangkan siswa
yang lemah mungkin bisa merasa bersalah karena sumbangan nilainya
paling rendah.
Untuk menjaga rasa keadilan ada cara lain yang bisa dipilih. Setiap
anggota menyumbangkan poin di atas nilai rata-rata mereka sendiri.
Misalnya, nilai rata-rata si A adalah 60 dan kali ini dia mendapat 65, dia
akan menyumbangkan 5 poin untuk kelompok. Ini berarti setiap siswa,
pandai ataupun lamban, mempunyai kesempatan untuk memberikan
kontribusi. Siswa lamban tak akan merasa minder terhadap rekan-rekan
mereka, karena mereka juga bisa memberikan sumbangan. Malahan mereka
86Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 52-53. 87Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 88-89.
34
akan merasa terpacu untuk meningkatkan kontribusi mereka dan dengan
demikian maka akan menaikkan nilai pribadi mereka sendiri. Metode
pembelajaran dan penilaian gotong royong perlu lebih sering dipakai
dalam dunia pendidikan. Agar bisa kondusif bagi proses pendewasaan
dan pengembangan siswa, sistem belajar perlu memperhatikan pula aspek-
aspek afektif. Sistem peringkat hanya menekankan pada hasil belajar yang
bersifat kognitif, sedangkan sistem individu mulai memperhatikan aspek
afektif untuk mencapai hasil-hasil kognitif. Namun patut disadari, sistem
individu ini bisa membawa dampak negatif lainnya. Sistem pendidikan
gotong royong merupakan alternatif menarik yang bisa mencegah
tumbuhnya keagresifan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek
kognitif.
B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
1. Definisi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran adalah “proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.88 Pembelajaran juga
berarti “proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa
dalam belajar bagaimana memperoleh dan memproses pengetahuan,
keterampilan dan sikap”.89 Pembelajaran yang dimaksud adalah
“pembelajaran yang dimaknai sebagai learning to think, learning to do,
learning to be, learning how to learn, dan learning to live together.” 90
Pendidikan agama Islam menurut Zakiah Darajat sebagaimana
dikutip oleh Abdul Majid dan Dian Andayani, mendefinisikan sebagai suatu
usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat
memahami ajaran Islam secara menyeluruh lalu menghayati tujuan yang
pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai
88Redaksi Sinar Grafika, UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, (Jakarta: Sinar Grafika,,
2005), Cet. 2, hlm. 4. 89Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Depdikbud bekerja sama
dengan Rineka Cipta, 1999), Cet. 1, hlm. 157. 90A. Atmadi dan Y. Setyaningsih, Tranformasi Pendidikan: Memasuki Millenium Ketiga,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 7.
35
pandangan hidup.91 Sedangkan menurut Ibnu Hajar yang dikutip
Muntholi’ah, mendefinisikan PAI sebagai sebutan yang diberikan pada
salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa muslim dalam
menyelesaikan pendidikannya dalam tingkatan tertentu.92
Dari uraian di atas, pembelajaran pendidikan Islam oleh penulis
adalah proses interaktif yang diselenggarakan oleh pendidik untuk
membelajarkan bidang studi pendidikan agama Islam kepada peserta didik
yang berorientasi mengajarkan pengetahuan agama Islam dan untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta pembinaan akhlak yang mulia
dan berbudi pekerti luhur. Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu mata
pelajaran yang bermuatan ajaran Islam dan tatanan nilai kehidupan Islami,
maka pembelajaran pendidikan agama Islam perlu diupayakan melalui
perencanaan yang baik agar dapat mempengaruhi pilihan, putusan dan
pengembangan kehidupan peserta didik.
Pembelajaran pendidikan agama Islam diharapkan mampu
mewujudkan ukhuwah islamiyah, ini karena pendidikan agama Islam bukan
hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama Islam yang berhenti pada
aspek kognitif saja tetapi aspek afektif dan psikomotorik, sehingga ajaran-
ajaran Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Komponen Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Proses pembelajaran dalam pendidikan agama Islam sebenarnya
menggunakan prinsip-prinsip umum proses pembelajaran yang dikemas
secara Islami. Komponen-komponen yang terlibat dalam pelaksanaan
pembelajaranpun juga sama, yaitu mencakup tujuan, materi, siswa guru,
metode, media dan evaluasi. Berikut penjelasan tentang komponen
pelaksanaan pembelajaran PAI:
91Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi:
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosadakarya, 2004), Cet. 1, hlm. 130.
92Muntholi’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunungjati dan Yayasan Al-Qalam, 2002), hlm. 12.
36
a. Tujuan PAI
Di dalam GBPP PAI sekolah umum dijelaskan bahwa tujuan
pendidikan agama Islam adalah untuk meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang
agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlaq mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat dan bernegara.93
Tujuan ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat az|
Z|ariya>t ayat 56 :
)٥٦: الذريات. (ليعبدون إال واإلنس الجن خلقت ماو“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. az| Z|ariya>t: 56)94
Syeikh M. Abduh sebagaimana dikutip Quraisy Syihab
menyatakan bahwa Allah menciptakan jin dan manusia dengan tujuan
agar supaya mereka menyembahNya. Ibadah disini bukan hanya sekedar
ketaatan dan ketundukan, tetapi ibadah adalah satu bentuk ketundukan
dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan
dalam jiwa seseorang terhadap siapa kepadanya ia mengabdi. Ia juga
merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada
yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.95
Jika dihubungkan dengan tujuan PAI diatas, maka rumusan
tersebut mengandung pengertian bahwa proses pendidikan agama Islam
yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah dimulai dari tahapan
kognitif, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan
nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, untuk selanjutnya menuju ke
93Muhaimin, et. al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2002), Cet. 2, hlm.78. 94Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 523. 95M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Volume 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 55-
56.
37
tahapan afektif, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai
agama ke dalam diri siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya.
Tahapan afektif ini terkait erat dengan kognitif, dalam arti penghayatan
dan keyakinan siswa menjadi kokoh jika dilandasi oleh pengetahuan dan
pemahamannya terhadap ajaran dan nilai agama Islam. Melalui tahapan
afektif ini diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri siswa dan
tergerak untuk mengamalkan dan menaati ajaran Islam (tahapan
psikomotorik) yang telah diinternalisasikan dalam dirinya.96 Dengan
demikian akan terbentuk manusia muslim yang beriman, bertaqwa dan
berakhlaq mulia dimana tujuan akhirnya adalah untuk beribadah kepada
Allah SWT.
b. Materi PAI
Inti pokok ajaran agama Islam meliputi aqidah (masalah
keimanan), syari’ah (masalah keislaman), dan ihsan (masalah akhlaq),
maka desain materi atau kurikulum PAI setidaknya juga diarahkan pada
ketiga aspek tersebut.
Masalah keimanan bersifat i’tikad batin. Dengan keimanan,
siswa dapat diajarkan tentang keesaan Allah. Masalah keislaman dapat
juga mengantarkan siswa dengan amal sholeh dalam rangka menta’ati
semua peraturan dan hukum Allah dengan mengatur pergaulan hidup
dan kehidupan manusia. Masalah ihsan, mengajarkan siswa tentang
amal yang bersifat pelengkap atau penyempurna bagi kedua amal
(akidah dan syari’ah) dan mengajarkan tentang tata cara pergaulan
hidup manusia.97
Dalam penerapannya, penentuan materi atau bahan kurikulum
PAI yang mengandung tiga ajaran pokok tersebut harus
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan siswa.
Karena itu cakupan kurikulum PAI harus dibedakan pada masing-
masing tingkatan dan jenis sekolah yang ada. Salah satu kelemahan
96Muhaimin et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2002), Cet. 2, hlm. 78-79.
97Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2003), hlm. 36
38
pengajaran PAI yang berimplikasi pada akhlak di sekolah adalah
terjebak pada verbalisme atau hanya berorientasi secara kognitif, bukan
penanaman nilai, sehingga tidak sampai pada tahap aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari.
Untuk itu desain kurikulum PAI paling tidak harus mengacu
pada pilar-pilar pembelajaran: “learning how to think, learning how to
learn, learning how to do, learning how to be, dan learning how to live
together.” 98
c. Siswa
Sebagai subjek utama pendidikan, siswa memegang peran yang
sangat penting dan strategis. Siswa yang belajar PAI diharapkan
memiliki karakteristik tersendiri sebagai ciri khas PAI yang dipelajari.
Dengan demikian mereka akan menjadi sosok yang unik dan luhur
dalam penampilan, bicara, pergaulan, ibadah, hak dan tanggung jawab,
pola hidup, kepribadian, watak, semangat, dan cita-cita serta aktivitas.
d. Guru
Guru agama sebagai pengemban amanah pembelajaran PAI
haruslah orang yang memiliki pribadi yang shaleh. Hal ini merupakan
konsekuensi logis, karena dialah yang akan mencetak anak didiknya
menjadi anak yang shaleh. Menurut Al Ghazali yang dikutip Mukhtar,
seorang guru agama sebagai penyampai ilmu semestinya dapat
menggetarkan jiwa atau hati siswanya sehingga semakin dekat kepada
Allah dan memenuhi tugasnya sebagai khalifah di bumi. Semua ini
tercermin melalui perannya sebagai pembimbing, model (uswah),
maupun sebagai penasehat dalam proses pembelajaran.99
Selain itu guru agama dalam proses pendidikan agama Islam
sangat diharapkan mampu menata lingkungan psikologis ruang belajar,
sehingga mengandung atmosfer (suasana perasaan) iklim kondusif yang
98A. Atmadi dan Y. Setyaningsih, Tranformasi Pendidikan: Memasuki Millenium Ketiga,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 7. 99 Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2003), hlm. 93.
39
memungkinkan para siswa mengikuti proses belajar dengan tenang dan
bergairah.100
e. Metode
Proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan
guru dengan peserta didik. Berbagai model pendekatan yang
digunakan dalam pembelajaran agama Islam harus dijabarkan dalam
metode yang bersifat prosedural. Metode (T}ariqa>h) diartikan sebagai
rencana menyeluruh tentang penyajian materi ajar secara sistematis
dan berdasarkan pendekatan yang ditentukan.101 Dalam kitab Ru>h}u
at-Tarbiyah wat-Ta’lim dinyatakan bahwa metode adalah:
اية يف الدروس من درس اي التالميذ لتفهيم تتبعها اليت الوسيلة هي الطريقة ١٠٢.املواد من مادة
(Perantara yang mengikutinya untuk memahamkan seorang murid terhadap pelajaran yang dipelajari dalam segala materi)
Dalam proses belajar pendidikan agama Islam, kita bisa
menemukan beberapa jenis metode belajar yang digunakan oleh para
siswa. Diantara metode belajar dalam Islam adalah menghafal, debat
dan diskusi. Alqur’an mensinyalir masalah ini pada salah satu ayatnya,
yaitu:
عبيل إلى ادس بكة رعظة بالحكموالمة ونسالح مادلهجبالتي و هي نسإن أح كبر وه لمأع نل بمض نبيله عس وهو لمأع دينتهبالم .
)١٢٥: النحل(”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
100Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), hlm. 17 101Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi
Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm 132. 102Muhammad ‘At}iyah al-Ibrasi, Ru>h}u at-Tarbiyah wat-Ta’li>m, (Arabiyah: Da<r al-
Ihya al-Kutub, 1950), hlm. 267.
40
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl: 125).103 Ayat tersebut diawali dengan perintah untuk menyampaikan
sesuatu secara ma’ruf. Implikasi selanjutnya adalah perintah untuk
membahas (berdebat atau berdiskusi) secara ma’ruf pula.104
Metode apapun yang digunakan oleh pendidik dalam proses
pembelajaran, yang perlu diperhatikan adalah akomodasi menyeluruh
terhadap prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar (KBM)..
f. Media
Media pendidikan agama Islam dapat diartikan sebagai ”alat
bantu yang diterapkan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan
secara optimal”.105 Dalam hal ini, yang dimaksud adalah alat bantu yang
digunakan oleh guru PAI dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran
PAI dan tidak bertentangan dengan agama Islam.
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Raharjo bahwa media:106
1) Sebagai wadah dari pesan yang oleh sumbernya akan diteruskan
pada sasaran pesan tersebut.
2) Materi yang ingin disampaikan adalah pesan pengajaran dan tujuan
yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar.
Dengan demikian media merupakan sesuatu yang bersifat
menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan
kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses
belajar pada dirinya. Penggunaan media secara kreatif oleh pendidik
akan meningkatkan performance mereka sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai.
103Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 281.
104Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 122.
105Rahardjo. “Media Pendidikan”, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar PAI, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, hlm. 268.
106Rahardjo. “Media Pendidikan”, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar PAI, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, hlm. 269
41
g. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu tindakan berdasarkan pertimbangan yang
arif dan bijaksana untuk menentukan nilai sesuatu, baik secara
kuantitatif dan kualitatif.107 Evaluasi juga bisa diartikan sebagai
penetapan baik-buruk terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu
yang disepakati sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Davies,
sebagaimana dikutip oleh Dimyati dan Mujiono mengemukakan bahwa
evaluasi merupakan proses sederhana dengan memberikan atau
menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-
kerja, proses, obyek, dan sebagainya.108 Jika demikian evaluasi bisa
diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu
(tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-kerja, proses, orang, objek, dan lain-
lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.
Evaluasi bisa diwujudkan dalam bentuk tes tertulis dan non
tertulis. Tes yang dilakukan tidak sekedar mengukur kecerdasan kognitif
tetapi juga perlu memperhatikan kecerdasan afektif dan psikomotorik
siswa, sehingga penilaian yang dilakukan tersebut benar-benar
menghargai berbagai potensi yang dimiliki siswa.
Dalam konteks pembelajaran ini, jenis evaluasi yang akan
penulis sampaikan yaitu evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi hasil
pembelajaran:
C. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA
Sebelum penulis menguraikan tentang Implementasi cooperative
learning dalam Pembelajaran PAI di SMA, terlebih dahulu dikemukakan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan ruang lingkup materi PAI di SMA.
Standar Kompetensi Lulusan & Ruang Lingkup Materi PAI SMA109
107Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2000), Cet.1, hlm. 207. 108Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 203. 109Depdiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penilaian Pendidikan, ”Panduan
Materi Ujian Sekolah Tahun Pelajaran 2004/2005 Pendidikan Agama Islam
42
1. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan fungsi manusia
sebagai khalifah, demokrasi serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
2. Meningkatkan keimanan kepada Allah sampai Qadha dan Qadar melalui
pemahaman terhadap sifat dan Asmaul Husna
3. Berperilaku terpuji seperti hasnuzzhan, taubat dan raja dan meninggalkan
perilaku tercela seperti isyrof, tabzir dan fitnah
4. Memahami sumber hukum Islam dan hukum taklifi serta menjelaskan
hukum muamalah dan hukum keluarga dalam Islam
5. Memahami sejarah Nabi Muhammad pada periode Mekkah dan periode
Madinah serta perkembangan Islam di Indonsia dan di dunia.
Ada banyak metode yang menggunakan prinsip kooperatif, namun di
sini penulis hanya akan menguraikan empat metode, berikut contoh materi
PAI yang disesuaikan dengan SKL dan ruang lingkup materi di atas.
a. Mencari Pasangan (Make a Match)
Metode belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match)
dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan metode
ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep
atau topik dalam suasana yang menyenangkan.110
Salah satu SKL di SMA adalah Memahami sumber hukum Islam
dan hukum taklifi serta menjelaskan hukum muamalah dan hukum
keluarga dalam Islam Materi PAI yang penulis contohkan yang sesuai
dengan SKL tersebut adalah materi tentang “sumber hukum Islam”. Materi
ini terdapat pada jenjang SMA kelas X semester I. Adapun langkah-
langkahnya, sebagai berikut:
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau
topik, misalnya topik tentang sumber hukum Islam.
2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
SMA/MA/SMK−Kurikulum1994”,http://puspendik.com/ebtanas/ujian2005/PDF/PAMSMA94AgamaIslam.pdf
110 Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 55-56
43
3) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya. Misalnya, pemegang kartu yang bertuliskan al-
Qur’an akan berpasangan dengan pemegang kartu yang bertuliskan
Hadits. Pemegang kartu yang berisi hadits Mutawatir akan
berpasangan dengan pemegang kartu yang berisi hadits Ah}ad. Siswa
bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang
kartu yang cocok. Misalnya, pemegang kartu hadits S}ah}i>h} akan
membentuk kelompok dengan pemegang kartu hadits H}asan dan
hadits D}a’i>f.
4) Guru memberi pertanyaan seputar materi yantg tertulis di kartu.
5) Siswa pemegang kartu yang cocok mendiskusikan materi yang didapat,
kemudian jubir mempresentasikan.
6) Kelompok lain memberi tanggapan.
7) Guru memberi klarifikasi, kesimpulan/refleksi.
b. Debat Aktif (Active Debate)
Debat bisa menjadi satu metode berharga yang dapat mendorong
pemikiran dan perenungan, terutama kalau siswa dapat mempertahankan
pendapat yang bertentangan dengan keyakinanya sendiri. Ini merupakan
strategi yang secara aktif melibatkan setiap siswa di dalam kelas, bukan
hanya para pelaku debatnya.
Salah satu SKL di SMA adalah Memahami sumber hukum Islam
dan hukum taklifi serta menjelaskan hukum muamalah dan hukum
keluarga dalam Islam. Materi PAI yang penulis contohkan yang sesuai
dengan SKL tersebut adalah materi tentang “Munakahat”. Materi ini
terdapat pada jenjang SMA kelas XII semester II. Adapun langkah-
langkahnya, sebagai berikut:111
1) Guru memberi pertanyaan kontroversial yang berkaitan dengan materi.
Misalnya, kasus yang sedang up to date saat ini, yaitu kasus tentang
111Hisyam Zaini, dkk., Desain Pembelajaran Di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: CTSD
IAIN Sunan Kalijaga, 2002), hlm. 141-142.
44
2) pernikahan kontroversial antara Syeikh Puji dengan gadis belia 12
tahun (Ulfa), setujukah dengan pernikahan antara Syeikh Puji dengan
Ulfa dan bagaimana hukumnya?
3) Guru membagi kelas menjadi dua tim, yakni kelompok pro dan kontra.
4) Berikutnya, guru membuat dua hingga empat sub kelompok dalam
masing-masing kelompok debat. Setiap sub kelompok diminta untuk
mengembangkan argumen yang mendukung masing-masing posisi
atau menyiapkan urutan daftar argumen yang bisa mereka diskusikan
dan seleksi. Pada akhir diskusi, setiap sub kelompok memilih seorang
juru bicara.
5) Siapkan dua hingga empat kursi (bergantung pada jumlah sub
kelompok yang ada) untuk para juru bicara pada kelompok pro dengan
jumlah kursi yang sama untuk kelompok kontra. Siswa lainnya duduk
di belakang para juru bicara. Mulailah perdebatan dengan para juru
bicara mempresentasikan pandangan mereka. Proses ini disebut
argumen pembuka.
6) Setelah mendengarkan argumen pembuka, hentikan perdebatan dan
kembali ke sub kelompok. Setiap sub kelompok mempersiapkan
argumen untuk menyanggah argumen pembuka dari kelompok lawan.
Setiap kelompok memilih juru bicara yang baru.
7) Lanjutkan kembali perdebatan. Juru bicara yang saling berhadapan
diminta untuk memberikan sanggahan argumen. Ketika perdebatan
berlangsung, peserta lainnya didorong untuk memberikan catatan yang
berisi usulan argumen atau bantahan. Mintalah mereka untuk bersorak
atau bertepuk tangan untuk masing-masing argumen dari para wakil
kelompok.
8) Pada saat yang tepat akhiri perdebatan. Tidak perlu menentukan
kelompok mana yang menang. Kemudian buatlah kelas dengan posisi
melingkar. Pastikan bahwa kelas terintegrasi. Untuk itu, mereka
diminta untuk berdampingan dengan mereka yang berada di kelompok
lawan. Diskusikan sesuatu yang dapat dipelajari siswa dari pengalaman
45
perdebatan tersebut. Mintalah siswa untuk mengidentifikasi argumen
yang paling baik menurut mereka.
c. Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion)
Diskusi merupakan strategi penting untuk menciptakan proses
belajar aktif. Mendengarkan dan memperhatikan berbagai pandangan yang
berbeda akan menantang pemikiran siswa. Dalam strategi tersebut peran
guru adalah memfasilitasi proses diskusi serta mengatur lalu lintas gagasan
dan komentar siswa agar berjalan dengan lancar.112 Diskusi memiliki arti
penting dalam mengembangkan pemahaman. Hal ini disebabkan diskusi
membawa siswa mengubahnya menjadi bentuk ekspresi yang cukup
menyenangkan.113
Guru bisa menggabungkan dua materi PAI untuk menerapkan
metode ini. Penulis menyajikan materi “jual beli” dan “riba” yang
disesuaikan dengan SKL SMA no. 4 yaitu memahami sumber hukum
Islam dan hukum taklifi serta menjelaskan hukum muamalah dan hukum
keluarga dalam Islam. Materi ini terdapat pada jenjang SMA kelas XI
semester I. Adapun langkah-langkah penerapannya, sebagai berikut: 114
1) Guru membagi siswa ke dalam kelompok, misalnya ada 7 kelompok
dalam satu kelas.
2) Guru membagikan teks bacaan untuk masing-masing kelompok.
Misalnya, definisi dan dasar hukum jual beli, rukun dan syarat, jenis
dan hikmah jual beli, definisi dan dasar hukum riba, jenis riba dan
hikmah riba.
3) Siswa mendiskusikan teks bacaan tersebut.
4) Masing-masing kelompok menunjuk juru bicara (jubir).
5) Jubir mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
112Hisyam Zaini, dkk., Desain Pembelajaran Di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: CTSD
IAIN Sunan Kalijaga, 2002), hlm. 134-135. 113Sri Hayati, “Pendekatan Joyful Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan Lingkungan
Hidup”, http://www.pakguruonline.pendidikan.net/pendekatan%20joyful%20learning.rtf 114Tim Teaching, Model Strategi Pembelajaran Aktif, disampaikan pada pelatihan TOT
(Training of Teacher) bagi mahasiswa IAIN Walisongo Semarang Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI, Semarang, 24 Nopember 2007.
46
6) Kelompok lain bertanya atau memberi tanggapan.
7) Guru memberi klarifikasi/kesimpulan/refleksi.
d. Tukar Delegasi Antar Kelompok (Jigsaw)
Metode mengajar jigsaw dikembangkan oleh Aronson et al.
sebagai model cooperative learning. Metode ini bisa digunakan dalam
pengajaran membaca, menulis, mendengarkan ataupun berbicara. Metode
ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan
berbicara. Jigsaw bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran,
seperti: ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika,
agama, dan bahasa.115
SKL SMA no 2 ialah meningkatkan keimanan kepada Allah
sampai Qadha dan Qadar melalui pemahaman terhadap sifat dan Asmaul
Husna. Dalam hal ini, penulis mencontohkan materi imam kepada Allah,
karena sesuai dengan SKL tersebut. Materi ini terdapat pada jenjang SMA
kelas X semester I.
Dalam teknik ini, guru menanyakan kepada peserta didik apa yang
mereka ketahui mengenai topik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengaktifkan skemata atau struktur kognitif peserta didik agar lebih siap
menghadapi kegiatan pelajaran yang baru.116 Selain itu, siswa bekerja
dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong untuk mengolah
informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Adapun
langkah-langkah Jigsaw dengan penerapan materi PAI di atas, sebagai
berikut:117
1) Guru memilih materi yang dapat dibagi menjadi beberapa
segmen/bagian, misalnya empat segmen.
115Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-
Ruang Kelas, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), Cet. 3, hlm. 69 116Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori & Aplikasi Paikem, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), Cet. 1, hlm. 89. 117Tim Teaching, Model Strategi Pembelajaran Aktif, disampaikan pada pelatihan TOT
(Training of Teacher) bagi mahasiswa IAIN Walisongo Semarang Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI, Semarang, 24 Nopember 2007.
47
2) Bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan
mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran, misalnya
tentang iman kepada Allah. Pengajar bisa menuliskan topik di papan
tulis dan menanyakan apa siswa ketahui mengenai topik tersebut.
Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata
siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru.
3) Siswa dibagi dalam kelompok berempat dan masing-masing mendapat
bahan yang berbeda. Bagian pertama, bahan diberikan siswa yang
pertama (misalnya tentang sifat Wajib Allah Wujud sampai
Wahdaniyyah), sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang
kedua (sifat Wajib Allah Qudroh sampai Kalam). Siswa ketiga
mendapat bahan tentang sifat Muhal Allah ‘Adam sampai Ta’addud
dan siswa keempat tentang sifat Muhal Allah ‘Ajzun sampai Abkamun.
4) Siswa disuruh membaca dan memahami materi masing-masing.
5) Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok, kemudian
apa yang didapat pada kelompok lain siswa menyampaikan pada
kelompok masing-masing.
6) Kembalikan suasana kelas seperti semula, kemudian tanyakan
sekiranya ada persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok.
48
BAB III
IMPLEMENTASI COOPERATIVE LEARNING
DALAM PEMBELAJARAN PAI DI SMA NEGERI 12
SEMARANG
A. Gambaran Umum SMA Negeri 12 Semarang
1. Tinjauan Historis118
SMA Negeri 12 Semarang didirikan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:
37156/A2.I.2/KP. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1985 yang terletak di
Jalan Raya Gunungpati – Semarang. Pada awalnya sekolah ini bergabung
dengan SLTP 22 Semarang. Satu tahun kemudian SMA Negeri 12
Semarang sudah bisa mendirikan gedung sendiri meskipun baru tiga kelas
yang dicapai.
SMA Negeri 12 Semarang telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Semakin
bertambahnya siswa dan semangat anak untuk belajar semakin tinggi maka
saat ini bangunan gedung SMA Negeri 12 Semarang juga semakin banyak
mencapai 21 ruang kelas dan beberapa gedung lainnya. 21 ruang kelas
terdiri dari 7 kelas X, 7 kelas XI (3 kelas XI. IPA, 3 kelas XI. IPS dan 1
kelas XI. Bahasa), 7 kelas XII (3 kelas XII. IPA, 3 kelas XII. IPS dan 1
kelas XII. Bahasa). SMA Negeri 12 Semarang membuka 3 jurusan, yaitu
Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa. Dengan
demikian diharapkan sekolah mampu mengembangkan kemampuan sesuai
bakat dan minat dari siswa didiknya.119
118Hasil dari dokumen dan interview dengan humas SMA Negeri 12 Semarang (Ibu
Suparmi), Kamis tanggal 22 Januari 2009, pukul 08.15 WIB. 119Hasil dari dokumen dan interview dengan humas SMA Negeri 12 Semarang (Ibu
Suparmi), Kamis tanggal 22 Januari 2009, pukul 08.30 WIB.
49
Tujuan dari SMA Negeri 12 Semarang untuk mencetak out put
generasi muda yang berkreasi dan berprestasi di bidang akademik.
Sehingga dalam sekolah ini telah diajarkan keterampilan-keterampilan
yang dapat dijadikan modal dasar bagi lulusannya yang tidak mampu
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Selain itu bidang prestasi
akademik juga selalu diunggulkan untuk menciptakan generasi muda yang
berprestasi dalam bidang keahliannya.
SMA Negeri 12 Semarang merupakan satu-satunya sekolah tingkat
Menengah Atas yang berada di kecamatan Gunungpati jauh sebelum
berada SMA Semesta. Karena warga belajar SMA Semesta adalah orang
menengah ke atas maka para wali murid banyak yang menyekolahkan
anaknya di SMA Negeri 12 Semarang karena notabenenya masyarakat
Gunungpati adalah masyarakat menengah ke bawah. Meskipun para
peserta didik berasal dari masyarakat menengah ke bawah, akan tetapi
kualitas belajar mereka juga tidak kalah saing. Peserta didik yang ingin
memasuki gerbang SMA Negeri 12 Semarang juga melalui seleksi yang
sangat ketat, sehingga nantinya diharapkan peserta didik SMA Negeri 12
Semarang adalah peserta didik yang handal yang memiliki kualitas belajar
yang bagus dan berprestasi serta out put yang dihasilkan juga sangat
bagus.
Untuk mengembangkan potensi siswa, sekolah memberikan pilihan
ekstrakurikuler yang terdiri dari bidang ilmiah, seni dan olahraga. Dalam
usaha meningkatkan kualitas anak didiknya SMA Negeri 12 selalu aktif
mengikuti berbagai lomba mata pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler
seperti seni dan olahraga. Sedangkan untuk menambah kualitas dan
profesionalitas tenaga pengajar sekolah selalu mengirimkan guru ke
berbagai penataran dari tingkat dasar sampai tingkat nasional.
2. Letak Geografis
Berdasarkan observasi dapat dijelaskan bahwa SMA Negeri 12
Semarang merupakan Sekolah Menengah Atas yang sampai sekarang
50
masih tetap berdomisili di Jalan Raya Gunungpati – Semarang.120
Letaknya sangat strategis tepat berada di pinggir jalan raya, sehingga
memudahkan jangkauan dari berbagai wilayah sekitarya. Sekolah ini
dibangun di atas lahan persawahan dengan luas tanah 14.435 m dan luas
bangunan 3390,25 m, sehingga dengan lahan yang cukup luas tersebut
sangat memungkinkan bagi sekolah untuk mengembangkan lokasi yang
ada sebagai sarana penunjang aktivitas belajar siswa.121
Adapun letak geografis SMA Negeri 12 Semarang dibatasi oleh :122
Sebelah Utara : Sawah
Sebelah Timur : Sawah
Sebelah Selatan : Jalan Raya
Sebelah Barat : SD Negeri 1 Plalangan
3. Struktur Organisasi123
Untuk menghasilkan suatu kerja yang efektif dan efisien, maka
SMA Negeri 12 Semarang dalam menjalankan tugasnya membuat struktur
organisasi dan pembagian tugas yang jelas. Struktur organisasi tersebut
bisa dilihat pada tabel 1. (Terlampir)
4. Visi dan Misi SMA Negeri 12 Semarang124
a. Visi SMA Negeri 12 Semarang
Berprestasi dan berakhlak mulia
b. Misi SMA Negeri 12 Semarang
1). Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
120Observasi di SMA Negeri 12 Semarang pada hari Selasa tanggal 20 Januari 2009,
pukul 08.00 WIB. 121Dokumen SMA Negeri 12 Semarang, diakses pada hari Selasa tanggal 20 Januari 2009
pukul 09.15 WIB. 122Observasi di SMA Negeri 12 Semarang pada hari Selasa tanggal 20 Januari 2009,
pukul 08. 20 WIB. 123Hasil dari dokumen dan interview dengan humas SMA Negeri 12 Semarang (Ibu
Suparmi), Kamis tanggal 22 Januari 2009, pukul 08.40 WIB. 124Hasil dari dokumen dan interview dengan kepala sekolah SMA Negeri 12 Semarang
(Bp. Nasikhun), Senin tanggal 02 Februari 2009, pukul 08.15 WIB.
51
2). Membentuk budi pekerti luhur dan berakhlak mulia serta
lingkungan yang kondusif dalam upaya meningkatkan mutu
pembelajaran dan hasil belajar.
3). Mengembangkan sikap kerjasama, kekeluargaan dan komitmen
seluruh warga sekolah terhadap tugas dan fungsinya.
4). Menunmbuhkembangkan semangat berprestasi dalam bidang
akademik dan non akademik.
5). Menerapkan manajemen berprestasi dengan warga sekolah, komite,
dan stakeholder dalam upaya meningkatkan mutu dn pelayanan
pendidikan.
6). Mengembangkan sistem informasi manajemen berbasis komputer
(Computer Based Information System) sebagai sarana pendukung
pendidikan di era global.
7). Mewujudkan peningkatan sarana prasarana sekolah menuju standar
nasional pendidikan.
5. Keadaan Guru, Karyawan dan Siswa125
a. Keadaan Guru SMA Negeri 12 Semarang
Untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri
12 Semarang, maka diperlukan adanya sosok guru. Guru di SMA
Negeri 12 Semarang bejumlah 62 orang dengan latar belakng
pendidikan, agama dan daerah yang bervariasi. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 2. (Terlampir)
b. Keadaan Karyawan SMA Negeri 12 Semarang
SMA Negeri 12 Semarang dibantu 19 karyawan untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan sekolah. Karyawan ini terdiri dari 8
pegawai tetap dan 11 pegawai tidak tetap. Mereka juga berasal dari
latar belakang pendidikan yang berbeda. Hal ini bisa dilihat pada tabel
3. (Terlampir)
125Hasil dari dokumen dan interview dengan waka kurikulum SMA Negeri 12 Semarang
(Dra. Agnes SBU, M.Pd), Senin tanggal 19 Januari 2009, pukul 08.10 WIB
52
c. Keadaan Siswa SMA Negeri 12 Semarang
Berdasarkan data yang diperoleh melalui interview dan
dokumentasi, maka bisa diketahui bahwa siswa pada tahun ajaran
2008/2009 berjumlah 809 siswa yang terdiri dari 342 siswa laki-laki
dan 467 siswa perempuan. Kelas X berjumlah 279 siswa, kelas XI
berjumlah 256 siswa dan kelas XII berjumlah 274 siswa. Keterangan
lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 4. (Terlampir)
6. Sarana dan Prasarana126
Sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan di SMA
Negeri 12 Semarang merupakan salah satu aspek yang mempunyai peran
sangat penting. Untuk mengoptimalkan dan membantu kegiatan belajar
mengajar, SMA Negeri 12 Semarang mempunyai sarana dan prasarana
yang sudah cukup memadai. Dengan adanya sarana dan prasarana
yang cukup memadai tersebut sekolah berharap akan dapat
meningkatkan motivasi siswa untuk belajar di sekolah, karena sarana
diindikasikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi semangat
siswa untuk belajar dan dengan sarana yang ada siswa juga akan dapat
menyalurkan bakat serta minat yang mereka miliki.
Sarana dan prasarana SMA Negeri 12 Semarang terdiri atas :
a. 1 ruang kepala sekolah
b. 1 ruang guru
c. 1 ruang tata usaha
d. 1 ruang bimbingan konseling
e. 1 ruang perpustakaan
f. 21 ruang kelas
g. 2 ruang laboratorium
h. 1 ruang OSIS
i. 1 ruang mushola
j. 1 ruang koperasi siswa
126Hasil dari dokumen dan interview dengan humas SMA Negeri 12 Semarang (Ibu
Suparmi), Rabu tanggal 28 Januari 2009, pukul 08.15 WIB.
53
k. 3 ruang kamar kecil guru
l. 11 ruang kamar kecil siswa
m. 1 ruang keterampilan
n. 1 ruang computer
o. 1 ruang dapur
p. 3 ruang gudang
q. 2 ruang tempat parker
r. 2 ruang kantin
s. 2 ruang hall depan dan hall TU
t. 1 ruang ganti
u. 2 ruang lapangan olahraga
Di samping itu SMA Negeri 12 Semarang juga memiliki berbagai
macam media dan sarana olahraga untuk mendukung kegiatan di sekolah
tersebut. Diantaranya OHP, komputer dengan fasilitas internet, televisi,
radio, tape, globe, buku referensi, majalah, kliping, dan lain sebagainya.
B. Sistem Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang127
1. Tujuan Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
Sebuah pembelajaran pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Menurut hasil interview, tujuan umum yang ingin dicapai SMA Negeri 12
Semarang dalam pembelajaran PAI yaitu untuk meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah swt melalui pemberian dan pemupukan
pengetahuan, pemahaman, penghayatan, pengamalan peserta didik
tentang agama Islam Sedangkan tujuan khususya yaitu untuk membentuk
budi pekerti yang luhur dan berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selain melalui pembelajaran mata pelajaran PAI, pencapaian
tujuan PAI di SMA Negeri 12 Semarang didukung juga melalui berbagai
macam kegiatan keagamaan, diantaranya shalat berjamaah, tadarus
127Hasil observasi dan interview dengan guru PAI SMA Negeri 12 Semarang (Drs.
Mahmudi), Rabu tanggal 21 Januari 2009, pukul 08.20 WIB.
54
bersama, infak, buka bersama, zakat dan lain-lain. Hal ini dilakukan
supaya keberhasilan pembelajaran PAI tidak hanya sampai pada sisi teori
saja namun impelementasi dalam kehidupan sehari-hari juga berhasil
dicapai. Dengan demikian maka akan terbentuk manusia muslim yang
beriman, bertaqwa dan berakhlaq mulia dimana tujuan akhirnya adalah
untuk beribadah kepada Allah swt.
2. Materi Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
Materi pendidikan agama Islam di SMA Negeri 12 Semarang
meliputi al-Qur’an dan Hadits, keimanan, akhlak, fiqih dan sejarah
kebudayaan Islam. Desain materi ini diarahkan sesuai ketiga aspek inti
pokok ajaran agama Islam yang meliputi aqidah (keimanan), syari’ah
(keislaman) dan ihsan (akhlak).
Dalam penerapannya, penentuan materi atau bahan kurikulum PAI
di SMA Negeri 12 Semarang disesuaikan dengan tingkat perkembangan
siswa.
3. Metode Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
Untuk menyajikan materi ajar maka diperlukan adanya metode
belajar. Beberapa metode belajar yang digunakan dalam pembelajaran PAI
di SMA Negeri 12 Semarang diantaranya :
a. Metode konvensional yang terdiri dari metode ceramah dan tanya
jawab.
b. Metode modern terdiri dari metode mencari pasangan (make a match),
debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small group
discussion) dan tukar delegasi antar kelompok (jigsaw).
4. Media Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
Media yang digunakan SMA Negeri 12 Semarang
bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan dan
kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar
pada dirinya. Media tersebut diantaranya OHP, televisi, radio, tape, buku
referensi, koran dan majalah. Penggunaan media ini disesuaikan dengan
bahan materi yang akan diajarkan.
55
5. Evaluasi Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
Evaluasi sebagai bagian dari proses pendidikan merupakan proses
penilaian terhadap kemajuan dan perkembangan anak. Evaluasi
pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang diwujudkan dalam bentuk
tes tertulis dan non tertulis. Tes yang dilakukan tidak sekedar mengukur
kecerdasan kognitif tetapi juga perlu memperhatikan kecerdasan afektif
dan psikomotorik siswa, sehingga penilaian yang dilakukan tersebut benar-
benar menghargai berbagai potensi yang dimiliki siswa.
C. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang
Cooperative learning merupakan sistem pembelajaran yang memberi
kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam
tugas-tugas terstruktur. Model pembelajaran ini memberi kesempatan siswa
dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan
nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama (kerja
kelompok) diantara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi,
produktivitas dan perolehan belajar.
Hal ini dilakukan oleh SMA Negeri 12 Semarang demi kelangsungan
kehidupan sosial di kelas pada khususnya dan di sekolah pada umumnya,
karena manusia sebagai individu juga bagian dari kehidupan sosial yang selalu
membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Sikap kerjasama ini juga
dituangkan SMA Negeri 12 Semarang dalam misinya.
Dengan adanya model cooperative learning di SMA Negeri 12
Semarang, termasuk dalam pembelajaran PAI maka akan terjadi hubungan
antar siswa dan guru yang dirasakan harmonis serta dapat mewujudkan apa
yang dijadikan tujuan akhir dalam pendidikan agama Islam.
Ada beberapa hal penting kaitannya dengan penerapan cooperative
learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang, antara lain
persiapan guru PAI dalam menerapkan model pembelajaran tersebut. Dalam
menerapkan Cooperative Learning perlu persiapan yang matang dari seorang
56
guru. Guru harus tahu dan paham persiapan dan penerapan metode, serta baik
atau buruknya metode tersebut. Persiapan ini dapat dilakukan dengan dua
cara, yakni persiapan tertulis dan non tertulis. Persiapan tertulis meliputi
persiapan Satuan Pelajaran, Rencana Pembelajaran, administrasi kelas dan
lain-lain. Sedangkan persiapan tidak tertulis meliputi persiapan mental,
penguasaan bahan, dan lain sebagainya. Persiapan guru PAI SMA Negeri 12
Semarang secara tertulis adalah:
a. Mempersiapkan Rencana Pembelajaran, yang didalamnya terdapat
skenario pembelajaran yang sesuai dengan metode-metode yang
digunakan untuk menyampaikan materi.
b. Mempersiapkan bahan/materi ajar dalam bentuk segmentasi teks atau
tugas yang disesuaikan dengan silabus. Beliau memilih bahan atau materi
ajar yang dapat didiskusikan atau tidak, maupun mempertimbangkannya
dengan metode-metode dalam model cooperative learning yang lain.
c. Setelah bahan ajar, persiapan selanjutnya adalah persiapan sarana dan
prasarana yang menunjang pembelajaran PAI yang sesuai dengan materi.
Hal ini berkaitan dengan media yang digunakan untuk menyampaikan
materi.
d. Langkah selanjutnya adalah membagi siswa dalam kelompok. Pembagian
kelompok cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri
12 Semarang meliputi kelompok informal, formal dan permanen.
Kelompok informal berlangsung hanya dalam satu periode pelajaran
karena pengelompokan ini digunakan untuk memperdalam pengetahuan
tentang suatu materi. Kelompok formal dibentuk jika ada tugas yang harus
diselesaikan oleh kelompok dalam beberapa hari, misalnya resume materi
fiqh tentang pernikahan yang diambil dari berbagai sumber (internet,
perpustakaan, koran dan lain-lain). Sedangkan kelompok permanen yang
dibentuk untuk satu tahun sebagai kelompok belajar permanen, guru PAI
57
SMA Negeri 12 Semarang mengikuti pengelompokan yang dilakukan oleh
sekolah.128
Setelah diketahui persiapan guru PAI SMA Negeri 12 Semarang dalam
menerapkan cooperative learning secara global, selanjutnya penulis akan
paparkan persiapan guru PAI SMA Negeri 12 Semarang dalam menggunakan
metode mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi
kelompok kecil (small group discussion), dan tukar delegasi antar kelompok
(jigsaw) sebagai implementasi model cooperative learning dalam
pembelajaran PAI, yaitu:
1. Metode Mencari Pasangan (Make A Match)129
Dalam metode ini siswa mencari pasangan sambil belajar
mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
Metode ini bisa diterapkan Dalam mempelajari semua materi PAI. Guru
PAI SMA Negeri 12 Semarang menerapkan metode ini untuk mempelajari
materi Qur’an Hadist tentang ilmu tajwid yang diambil dari surat Fatir : 32
(bab kompetensi dalam kebaikan).
Langkah-langkah penerapan yang dilakukan sebagai berikut:
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep, yaitu
kartu pertama berisi bacaan Idzhar dan kartu kedua berisi hukum
bacaan mendengung. Kartu ketiga berisi bacaan Idgham bi Ghunnah
sedangkan kartu keempat berisi hukum bacaan jelas, begitu seterusnya
sampai jumlah kartu tersebut dibuat sesuai jumlah siswa.
b. Setiap siswa diberi satu buah kartu. Contoh: Siswa bernama Nurul
mendapatkan kartu pertama, sedangkan siswa bernama Ilham
mendapat kartu nomer empat.
128Hasil observasi dan interview dengan guru PAI SMA Negeri 12 Semarang (Drs.
Mahmudi), Rabu tanggal 21 Januari 2009, pukul 08.20 WIB. 129Hasil observasi pembelajaran PAI di kelas dan interview dengan guru PAI SMA Negeri
12 Semarang (Drs. Mahmudi), Rabu tanggal 28 Januari 2009, pukul 08.30 WIB.
58
c. Setiap siswa mencari pasangan sesuai dengan kartu yang sama. Di sini
karena Nurul dan Ilham mendapatkan kartu yang cocok maka Nurul
berpasangan dengan Ilham.
d. Guru memberi pertanyaan seputar materi yang tertulis di kartu
(Apakah benar bacaan idzhar itu jelas?)
e. Siswa pemegang kartu yang cocok mendiskusikan materi yang didapat,
kemudian jubir mempresentasikan,
f. Kelompok lain memberi tanggapan.
g. Guru memberi klarifikasi, kesimpulan dan tindak lanjut.
2. Debat Aktif (Active Debate)130
Peserta didik dalam metode ini mencari argumentasi yang kuat
dalam memecahkan masalah yang kontroversial. Mereka berdebat secara
aktif, melakukan pemikiran dan perenungan yang mendalam, akan tetapi
mereka saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan pendapat
yang ada. Dalam hal ini guru menerapkan metode dalam materi
aqidah/keimanan (bab iman kepada Nabi dan Rasul).
Langkah-langkah penerapan yang dilakukan sebagai berikut:
a. Guru memberi pertanyaan kontroversial dalam suatu topik yang
relevan dengan SK/KD/Indikator (Setujukan Anda tentang masyarakat
muslim di Indonesia yang sudah tidak percaya lagi terhadap kenabian
Rasulullah sebagai nabi akhir zaman dengan indikasi munculnya
beberapa orang yang mengaku sebagai nabi terakhir?).
b. Guru membagi kelas menjadi dua tim, yakni kelompok pro dan
kelompok kontra.
c. Guru meminta setiap kelompok untuk menunjuk wakil mereka, dua
atau tiga orang sebagai juru bicara dengan posisi duduk atau berdiri
saling berhadapan.
d. Masing-masing juru bicara mengawali debat dengan mengemukakan
pendapatnya secara bergantian.
130Hasil observasi pembelajaran PAI di kelas dan interview dengan guru PAI SMA Negeri 12 Semarang (Drs. Mahmudi), Rabu tanggal 04 Februari 2009, pukul 08.30 WIB.
59
e. Juru bicara kembali ke kelompoknya masing-masing untuk meminta
pendapat dan mengatur strategi untuk membuat bantahan pada
kelompok lainnya.
f. Karena sudah merasa cukup, maka akhirnya guru menghentikan debat
pada saat puncaknya.
g. Masing-masing kelompok menulis kesimpulan.
3. Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion)131
Salah satu tujuan metode ini adalah untuk menciptakan proses
belajar secara aktif, selain itu agar peserta didik memiliki ketrampilan
memecahkan masalah terkait materi pokok dan persoalan yang dihadapi
dalam kehidupan sehari- hari. Materi yang digunakan oleh guru adalah
materi tentang akhlak (bab menyantuni kaum dhuafa’).
Langkah-langkah penerapan yang dilakukan sebagai berikut:
a. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil (6 kelompok,
ada yang 5 siswa dan ada yang 6 siswa), dengan menunjuk ketua dan
sekretaris.
b. Guru memberi soal studi kasus sesuai dengan SK/KD. Contoh salah
satu soal studi kasus yang disajikan oleh guru: “Kemiskinan di negeri
Indonesia setiap tahunnnya terus merangkak naik. Angka ini terus
diitunjukkan dengan membludaknya masyarakat untuk berebut sesuatu
yang gratis yaitu berupa zakat dan bantuan langsung tunai. Bahkan
kejadian tersebut sampai menimbulkan korban jiwa. Keadaan yang
memprihatinkan ini membuat pemerintah untuk mengubah cara
penyantunan dhuafa’ dengan sistem terorganisir seperti ditangani oleh
lembaga zakat.. Nah, bagaimana pendapatmu tentang cara
penyampaian santunan kepada kaum dhuafa’ secara baik?”
c. Masing-masing kelompok mendiskusikan jawaban soal tersebut (setiap
anggota kelompok berpartisipasi aktif di dalamnya).
d. Masing-masing kelompok menunjuk juru bicara (jubir).
131Hasil observasi pembelajaran PAI di kelas dan interview dengan guru PAI SMA Negeri
12 Semarang (Drs. Mahmudi), Rabu tanggal 11 Februari 2009, pukul 08.30 WIB.
60
e. Jubir mempresentasikan hasil diskusi.
f. Kelompok lain memberi tanggapan.
g. Guru memberi klarifikasi, kesimpulan dan tindak lanjut.
4. Tukar Delegasi Antar Kelompok (Jigsaw)132
Metode ini memberi kesempatan siswa untuk bekerja dengan siswa
lainya dalam suasana gotong rotong dan mempunyai banyak kesempatan
untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Meskipun dilakukan dalam suasana gotong royong, namun masing-masing
siswa bertanggungjawab secara individu untuk memahamkan materi
kepada teman sekelasnya. Materi yang digunakan dalam metode ini adalah
materi aqidah (keimanan) tentang iman kepada Nabi dan Rasul.
Langkah-langkah penerapan yang dilakukan sebagai berikut:
a. Guru memilih materi yang dibagi menjadi 5 segmen, yaitu
keistimewaan Rasul Ulul ‘Azmi Musa a.s., Ibrahim a.s., Nuh a.s., Isa
a.s., Muhammad saw.
b. Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok (ada yang 7 siswa dan 6
siswa).
c. Setiap anggota kelompok bertugas membaca dan memahami materi.
d.. Setiap kelompok mendiskusikan materi.
e. Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok, kemudian
apa yang didapat pada kelompok lain siswa menyampaikan pada
kelompok masing-masing.
f. Guru mengembalikan suasana kelas seperti semula, kemudian siswa
menanyakan persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok.
g. Guru memberi klarifikasi, kesimpulan dan tindak lanjut.
Setelah pelaksanaan metode-metode cooperative learning, langkah
selanjutnya adalah evaluasi sebagai hasil akhir dari proses belajar
mengajar di kelas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini
132Hasil observasi pembelajaran PAI di kelas dan interview dengan guru PAI SMA Negeri
12 Semarang (Drs. Mahmudi), Rabu tanggal 18 Februari 2009, pukul 08.30 WIB.
61
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap
materi yang disampaikan dengan metodemetode cooperative learning di
mana secara otomatis akan diketahui apakah metode yang diterapkan
berhasil atau tidak. Adapun evaluasi dalam pembelajaran PAI dengan
model cooperative learning adalah sebagai berikut:133
a. Kuis
Bentuk kuis ini digunakan untuk menanyakan hal-hal yang prinsip
dari pelajaran yang lalu secara singkat, bentuknya berupa isian singkat dan
dilakukan sebelum pelajaran. Sebelum proses belajar mengajar, guru
menanyakan pertanyaan singkat kepada siswa (biasanya selama 10 menit).
Siswa yang mampu menjawab pertanyaan dari guru akan mendapat point
nilai tersendiri yang akan dicatat khusus oleh guru
b. Penilaian proses
Penilaian ini digunakan untuk mengukur keberhasilan proses
belajar mengajar yang ditunjukkan dengan adanya perubahan tingkah laku
yang positif (psikomotorik positif).
Cara mengevaluasi dengan penilaian proses ini dilakukan pada
waktu pelaksanaan metode pembelajaran di dalam kelas maupun di luar
kelas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana partisipasi dan
keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar PAI secara kooperatif.
Siswa akan mendapat nilai atau penghargaan jika selalu berpartisipasi aktif
dan melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab masing-masing
dalam proses belajar kelompok PAI. Sedangkan nilai atau penghargaan
kelompok juga akan diperoleh jika kelompok tersebut menunjukkan
prestasinya dengan kesuksesannya mengorganisir anggota maupun
terselesaikannya tugas dengan baik.
c. Penilaian Performance
133Hasil observasi pembelajaran PAI di kelas dan interview dengan guru PAI SMA Negeri
12 Semarang (Drs. Mahmudi), Rabu tanggal 18 Februari 2009, pukul 10.00 WIB.
62
Penilaian ini berhubungan erat dengan ranah psikomotorik siswa
dimana melalui penilaian ini, guru akan mengetahui sejauh mana
pemahaman siswa dalam mempraktekkan materi pelajaran.
Penilaian performance ini merupakan cara mengevaluasi tingkah
laku siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Penilaian jenis ini dilakukan karena siswa tidak mungkin mendapat
penilaian mutlak hanya dengan tingkat intelektual dan pengetahuannya
saja. Tetapi tingkah laku sehari-hari juga dapat dijadikan ukuran dalam
mengevaluasi siswa karena PAI bertujuan selain sebagai peningkatan iman
dan taqwa juga bertujuan membentuk kepribadian muslim yang utama
serta berakhlak mulia.
d. Tes Tertulis
Cara mengevaluasi dengan tes tertulis merupakan tes yang sering
digunakan baik secara individual maupun kelompok. Di SMA Negeri 12
Semarang, biasanya tes ini dilakukan pada akhir pembelajaran satu pokok
bahasan. Tes ini bisa berbentuk pilihan ganda maupun essay yang
bermanfaat sebagai alat ukur keberhasilan dalam ranah kognitif dan
afektif.
e. Penilaian produk
Penilaian ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana daya
tangkap siswa dalam proses belajar mengajar. Cara ini tidak bisa
dipandang sebelah oleh guru karena biasanya sumber informasi dari tes
produk ini tidak hanya diperoleh dari dalam kelas saja tetapi juga dari luar
kelas. Tes ini biasanya berbentuk pembuatan laporan resume materi secara
kelompok.
f. Tes Perbuatan
Tes ini dilakukan untuk menilai peserta didik terhadap kemampuan
yang membutuhkan praktek. Penilaian tersebut bisa dilakukan pada saat
proses pembelajaran berlangsung, misalnya materi PAI pada aspek ibadah
yang membahas tentang sholat. Guru bisa dibantu oleh siswa dalam
penilaian karena biasanya materi ini disampaikan melalui tutor sebaya.
63
g. Portofolio
Portofolio adalah koleksi suatu tugas yang dikerjakan peserta didik.
Portofolio digunakan sebagai alat yang dapat mengetahui kemajuan
kompetensi peserta didik. Penilaian berbentuk portofolio bidang studi PAI
di SMA Negeri 12 Semarang hanya berupa kumpulan tugas yang
dikerjakan secara individu, dengan mencari informasi lewat majalah,
koran, internet dan lain-lain yang berhubungan dengan materi PAI.
Kemudian tugas tersebut dibuat kliping dan makalah yang biasanya
dipresentasikan secara kelompok.
Beberapa tes yang dilakukan oleh guru PAI di atas digunakan
untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang terjadi di kelas, serta untuk
mengetahui keefektifan metode-metode yang diterapkan dalam pengajaran
yang terwujud dalam pencapaian prestasi siswa.
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
64
A. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang
Cooperative learning merupakan model pembelajaran dalam
pendidikan yang menekankan adanya kerjasama antar beberapa individu.
Dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, model cooperative learning
memiliki peranan yang tidak sedikit bagi keberlangsungan proses belajar
mengajar, tercapainya tujuan pendidikan dan pembentukan pribadi yang
mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Dengan adanya kerjasama yang baik antar
peserta proses belajar mengajar (guru dan siswa) maka bukan tidak mungkin
akan semakin memudahkan tercapainya tujuan pendidikan secara tepat dan
efisien.
Suatu model pembelajaran ataupun proses pengajaran lainnya dapat
dikategorikan sebagai model cooperative learning apabila didalamnya
mengandung unsur-unsur model pembelajaran ini. Unsur-unsur model
pembelajaran ini harus muncul dalam metode pembelajaran yang sangat
mengharuskan pelaku untuk bekerjasama. Seperti halnya dalam metode
mencari pasangan, debat aktif, diskusi kelompok kecil, tukar delegasi antar
kelompok.
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya bahwa penerapan
model cooperative learning ini beranjak dari konsep Dewey “classroom
should mirror the large society and be a laboratory for real life learning”,
yakni ruangan kelas menjadi cermin masyarakat luas dan menjadi sebuah
percobaan untuk pembelajaran kehidupan nyata. Begitu pula dengan SMA
Negeri 12 Semarang, sekolah ini menerapkan model cooperative learning
untuk memanfaatkan fenomena kerjasama/gotong royong dalam pembelajaran
yang menekankan terbentuknya hubungan antara siswa yang satu dengan
siswa yang lainnya, terbentuknya sikap dan perilaku yang demokratis dan
tumbuhnya produktivitas kegiatan belajar siswa.
65
Berkaitan dengan model tersebut di atas, Guru SMA Negeri 12
Semarang telah mengimplementasikan model pembelajaran ini dalam
pembelajaran
pendidikan agama Islam. Implementasi model cooperative learning
tersebut terwujud dengan adanya metode mencari pasangan (make a
match), metode debat aktif (active debate), metode diskusi kelompok kecil
(small group discussion) dan metode tukar delegasi antar kelompok
(jigsaw).
Untuk lebih jelasnya penulis akan menyajikan analisis tentang
implementasi Cooperative Learning dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang:
1. Metode Mencari Pasangan (Make A Match)
Salah satu model cooperative learning yaitu metode mencari
pasangan (make a match). Dalam metode ini diperlukan adanya
kerjasama antara siswa pemegang kartu yang sesuai.
Dalam metode mencari pasangan (make a match) ini, penulis
menganalisa bahwa metode ini sudah sangat tepat digunakan guru
PAI SMA Negeri 12 Semarang dalam mempelajari materi Qur’an
Hadits tentang penerapan ilmu tajwid yang diambil dari surat Fatir :
32 (bab kompetensi dalam kebaikan ). Apalagi materi ini bisa di buat
menjadi beberapa pertanyaan yang bisa di tuangkan dalam kartu
berpasangan. Sebenarnya semua mata pelajaran dan materi juga bisa
menggunakan metode ini, karena pada hakeketnya semua materi bisa
dijadikan bahan soal jawab atau bahan yang bisa dipasangkan.
Untuk langkah-langkah yang digunakan guru PAI SMA
Negeri 12 Semarang dalam menerapkan metode mencari pasangan
(make a match) juga sangat sesuai dengan prosedur metode mencari
pasangan (make a match) pada umumnya. Materi yang digunakan
juga sudah relevan dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan
indikator dan sudah pernah diajarkan ke siswa. Namun ketika guru
memberi pertanyaan seputar materi yang tertulis di kartu, guru tidak
66
memperluas pertanyaan yang ada. Guru hanya memberi pertanyaan
sebatas apa yang ada di kartu tersebut. Kalau menurut penulis,
sebaiknya guru memperluas pertanyaan yang ada sehingga
siswa juga bisa mengembangkan pemikirannya tentang pengetahuan
yang ada dalam materi yang telah disajikan.
Dalam menerapkan metode ini sebaiknya seorang guru
memperhatikan hal-hal berikut ini: [1] Kartu-kartu tersebut jangan
diberi nomor urut, [2] Kartu-kartu tersebut dibuat dalam ukuran yang
sama, [3] Jangan memberi “tanda kode” apapun pada kartu-kartu
tersebut, [4] Kartu-kartu tersebut terdiri dari “beberapa bahasan” dan
dibuat dalam jumlah yang banyak atau sesuai dengan jumlah
mahasiswa atau siswa, [5] Materi yang ditulis dalam kartu-kartu
tersebut telah diajarkan dan telah dipelajari oleh mahasiswa atau
siswa.
2. Debat Aktif (Active Debate)
Menurut penulis, metode debat aktif (active debate)
merupakan salah satu metode yang sangat disukai siswa-siswi SMA
Negeri 12 Semarang, karena pada saat guru menerapkan metode ini
suasana kelas menjadi sangat hidup dan ramai. Hal ini disebabkan
karena ketika mereka memecahkan suatu masalah yang
kontroversial, mereka masing-masing kelompok mengadu argumen
yang sangat kuat dengan suara yang sangat lantang, namun mereka
juga tetap memperhatikan kondisi kenyamanan kelas agar tidak
mengganggu kelas yang lainnya. Mereka juja tetap saling
menghormati dan menghargai pendapat teman yang lainnya.
Guru PAI SMA Negeri 12 Semarang dalam memilih materi
untuk menerapkan metode debat aktif (active debate) sudah tepat,
karena dalam menerapkan metode ini guru menyajikan materi yang
kontroversial, yaitu aqidah/keimanan (bab iman kepada Nabi dan
Rasul tentang ketidakpercayaan lagi masyarakat muslim di Indonesia
terhadap kenabian Rasulullah sebagai nabi akhir zaman dengan
67
indikasi munculnya beberapa orang yang mengaku sebagai nabi
terakhir). Materi yang digunakan juga sudah relevan dengan standar
kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dan sudah pernah
diajarkan ke siswa. Langkah-langkah yang diterapkan dalam
mengaplikasikan metode ini juga sudah sesuai prosedur yang ada.
Akan tetapi, menurut penulis masih ada beberapa hal yang
perlu dibenahi, diantaranya ketika guru menghentikan debat pada
saat puncak perdebatan ia tidak menyisakan waktu sebagai follow up
dari kasus yang diperdebatkan. Dalam hal ini sebaiknya guru
menyisakan waktu sebagai follow up dari kasus yang diperdebatkan,
karena dimungkinkan masih banyak permasalahan yang terdapat
dalam perdebatan yang belum terselesaikan. Selain itu, menurut
penulis ketika observasi, masih banyak siswa yang belum puas
dengan jawaban ataupun pernyataaan yang diungkapkan oleh juru
bicara masing-masing kelompok. Pada saat langkah terkhir, guru
juga sebaiknya harus memberi klarifikasi, kesimpulan ataupun tindak
lanjut agar siswa juga lebih puas dan akhirnya memahami apa yang
sebenarnya diinginkan dari materi yang diperdebatkan.
3. Diskusi Kelompok Kecil (Small Group Discussion)
Metode diskusi kelompok kecil (small group discussion)
sangat bermanfaat bagi peserta didik untuk melatih memecahkan
masalah ataupun persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari.
Materi yang digunakan guru PAI SMA Negeri 12 Semarang
dalam menerapkan metode ini sudah relevan dengan standar
kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dan sudah pernah
dipelajari bersama di dalam kelas, yaitu tentang akhlak (bab
menyantuni kaum dhuafa’). Soal studi kasus yang dimunculkan juga
merupakan materi yang ringan yang sangat sesuai jika dijadikan
bahan diskusi kelompok kecil. Dalam mengaplikasikan metode ini,
langkah-langkah yang diterapkan guru PAI juga sudah sesuai
68
prosedur. Dalam hal ini masing-masing kelompok juga
mendiskusikan jawaban soal tersebut dengan baik dan setiap anggota
kelompok juga telah menghidupkan suasana berpartisipasi aktif di
dalamnya. Namun menurut penulis ketika guru menerapkan langkah
pembelajaran yang pertama yaitu guru membagi siswa menjadi
beberapa kelompok kecil, guru tidak menunjuk ketua dan sekretaris
kelompok. Karena jika ini dilakukan oleh guru biasanya siswa yang
ditunjuk bersifat monoton. Hal ini bisa memunculkan kecemburuan
sosial diantara siswa yang nantinya akan berdampak negatif pada
beberapa hal lainnya. Untuk meminimalisir agar hal ini tidak terjadi,
sebaiknya guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjuk
ketua dan sekretaris kelompok agar mereka lebih leluasa dalam
memilihnya.
4. Tukar Delegasi Antar Kelompok (Jigsaw)
Tidak berbeda dengan beberapa metode yang diterapkan oleh
guru PAI SMA Negeri 12 Semarang metode ini juga digemari oleh
banyak siswa, karena dalam metode ini siswa mempunyai banyak
kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan
keterampilan berkomunikasi.
Dalam pelaksanaannya, guru PAI SMA Negeri 12 Semarang
sudah sesuai dalam memilih materi untuk menerapkan metode tukar
delegasi antar kelompok (jigsaw), karena materi yang diberikan bisa
dibagi menjadi beberapa segmen yang nantinya bisa dibagi ke dalam
beberapa kelompok. Materi tersebut juga sudah relevan dengan
standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator. Langkah-
langkah yang diterapkannyapun juga sudah sesuai prosedur yang ada.
Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok,
kemudian apa yang didapat pada kelompok lain siswa
menyampaikan pada kelompok masing-masing. Namun pada saat
kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
69
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok, muncul
ketidakpuasan diantara beberapa siswa, karena pada saat itu ada
beberapa siswa yang tidak menguasai materi yang diberikan. Hal ini
sebaiknya tidak dilakukan, semua siswa harus memahami dan
menguasai materi yang diberikan agar nantinya ketika menjelaskan
kepada kelompok lain mereka merasa puas dan paham apa yang
disampaikan. Peran guru dalam hal ini sangat penting, karena
nantinya pada saat akhir pembelajaran guru harus memberikan
penjelasan yang lebih detail agar semua siswa juga mengerti tentang
materi yang di berikan.
Dari observasi yang telah dilakukan penulis dapat diketahui
bahwa SMA Negeri 12 Semarang memang sudah
mengimplementasikan model cooperative learning dalam
pembelajaran PAI meskipun dalam proses pelaksanaannya mash
terdapat beberapa hal yang belum sesuai dengan teori yang ada.
Penerapan cooperative learning ini terbukti dengan adanya
kerjasama, musyawarah, dan gotong royong antara guru dan siswa
maupun siswa dengan siswa. Selain itu dapat dilihat dari hilangnya
dominasi penuh guru dalam pembelajaran dimana guru tidak
menempatkan diri sebagai sumber utama yang maha tahu tetapi
sebagai fasilitator dan rekan belajar.
Dalam hal evaluasi, penilaian yang dilakukan guru baik secara
individu maupun secara kelompok, menurut penulis pengajar sudah
memenuhi standar evaluasi model cooperative learning, karena guru
telah menerapkan sistem penilaian cooperative learning sesuai standar
yang ada. Nilai kelompok diolah sedemikian rupa sehingga nantinya
dari hasil kelompok tersebut berpengaruh pada nilai individu, dan
begitu juga sebaliknya. Dari proses inilah setiap siswa mempunyai
kesempatan untuk memberikan kontribusi bagi kelompoknya. Siswa
lamban tak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka, karena
mereka juga bisa memberikan sumbangan. Malahan mereka akan
70
merasa terpacu untuk meningkatkan kontribusi mereka dan dengan
demikian maka akan menaikkan nilai pribadi mereka sendiri.
Penerapan model cooperative learning ini dimaksudkan
untuk pembentukan sikap kerja sama dalam mencapai tujuan
bersama. Belajar pada dasarnya adalah adanya perubahan positif,
saling memberi dan menerima, saling menghargai pendapat orang
lain, menyadari kelebihan dan kelemahan orang lain, dan berusaha
saling membantu untuk pencapaian tujuan. Untuk itulah diterapkan
cooperative learning, dimana guru perlu memberikan semacam
problematika atau persoalan untuk dipecahkan oleh siswa secara
bersama-sama. Tujuannya adalah menumbuhkan sikap kerjasama,
demokrasi, saling menghargai, toleransi, memberi dan menerima dan
terampil berinteraksi sosial.
Meski yang diterapkan adalah tentang nilai-nilai kooperatif
tetapi didalamnya perlu ada nilai kompetisi. Ini dimaksudkan untuk
saling bersaing dalam mencapai prestasi bersama, memberi
keuntungan dan manfaat bersama, dan berbuat yang utama.
Kompetisi ini bukan bersifat kompetisi individual tetapi harus
bersifat kompetisi kelompok dan dalam kompetisi ini jangan sampai
merusak tatanan kerjasama yang sudah mapan dalam kelompok.
Dengan kata lain unsur kooperatif dan kompetitif harus ditempatkan
pada situasi yang proporsional sehingga keduanya dapat memberikan
dinamika belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dari analisis di atas dapat diketahui bahwa implementasi
cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12
Semarang, meskipun di beberapa titik masih terdapat kekurangan
namun secara keseluruhan telah sesuai prosedur dan unsur-unsur
cooperative learning.
71
B. Faktor Penunjang dan Penghambat Pelaksanaan Cooperative Learning
dalam Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
Implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 semarang menurut penulis sudah cukup baik dan sesuai dengan
unsur-unsur model cooperative learning. Meskipun dalam pelaksanaanya
masih terdapat beberapa kekurangan, akan tetapi langkah menuju
kesempurnaan tetap terus diupayakan dengan memaksimalkan faktor
penunjang dan meminimalisir faktor penghambat.
Dalam pengamatan penulis, faktor-faktor yang menunjang
keberhasilan penerapan model cooperative learning dalam pembelajaran PAI
di SMA Negeri 12 Semarang adalah:
1. Guru
Profesionalitas guru merupakan salah satu hal yang menunjang
keberhasilan penerapan pengolahan kelas di SMA Negeri 12 Semarang.
Profesionalitas ini terwujud dalam persiapan baik berupa pemilihan materi
ataupun pembentukan kelompok yang guru lakukan untuk menerapkan
metode-metode cooperative learning. Tanpa adanya persiapan yang
sungguh-sungguh atau dengan kata lain metode-metode tersebut
dilaksanakan secara asal-asalan, tentunya tujuan pembelajaran akan sulit
tercapai.
Hal lain yang mendukung dari sisi guru adalah kreatifitas mereka
dalam mengembangkan materi secara mandiri ataupun mengadopsi dari
rekan-rekan lainnya yang telah lebih dulu memiliki kreatifitas dalam
mencoba menerapkan model pembelajaran tertentu kemudian dimodifikasi
dan dikembangkan lebih jauh. Hal ini diketahui penulis dari Bapak Drs.
Mahmudi bahwa sedikit banyak metode-metode cooperative learning yang
diterapkan merupakan hasil adopsi dari guru mata pelajaran lain dan
diikuti dengan diskusi yang matang untuk menetapkan apakah metode
tersebut cocok diterapkan dalam mata pelajaran PAI, sehingga mampu
membangkitkan kecerdasan dan potensi siswa dalam belajar.
72
2. Siswa
Antusiasme dan rasa ingin tahu yang tinggi dari para siswa
merupakan faktor penunjang pelaksanaan model cooperative learning. Ini
terlihat manakala mereka diberi tugas untuk dikerjakan bersama-sama
dengan mengedepankan unsur gotong royong ataupun semangat mereka
untuk tampil menjadi kelompok yang terbaik dalam setiap presentasi
kelompok di depan kelas. Hal ini juga terlihat dalam proses kelompok
dimana mereka selalu mengutarakan pendapatnya dan terlibat aktif dalam
aktifitas kelompok.
3. Pimpinan Sekolah
Empati pimpinan sekolah terhadap pelaksanaan program menjadi
penyemangat para pengajar. Bahkan tidak jarang pimpinan sekolah turun
tangan sendiri untuk menjelaskan program-program pengajaran secara
langsung.
4. Orang tua siswa
Partisipasi orang tua murid dan kerjasama mereka sangat
dibutuhkan oleh pihak sekolah, karena orang tua meliki peran yang sangat
penting untuk membentuk anak menjadi manusia yang terbaik.
5. Iklim sosial
Seluruh warga sekolah (guru, murid, pimpinan dan staff) saling
membangun hubungan yang sangat harmonis, sehingga sangat
memungkinkan terlaksananya model cooperative learning dengan baik.
6. Sarana dan prasarana
Adanya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh SMA Negeri 12
Semarang antara lain kelas multimedia, internet dan lain-lain semakin
mendukung terlaksananya pembelajaran PAI dengan menggunakan model
cooperative learning.
Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan model cooperative
learning dalam pembelajaran PAI di SMP Semesta antara lain adalah murid,
mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda baik dari kecerdasan,
tingkat ekonomi, maupun status sosialnya. Ini memicu tenaga dan pikiran
73
yang ekstra untuk menanganinya secara manusiawi dan adil. Selanjutnya
adalah guru, terkadang guru juga kurang matang mempersiapkan perangkat-
perangkat pembelajaran yang sebenarnya tidak sedikit dan membutuhkan
ketelitian.
Dengan berbagai macam faktor pendukung maupun penghambat,
penulis beranggapan bahwa model cooperative learning sangat efektif untuk
diterapkan dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang ataupun
materi dan sekolah lainnya. Ini dapat dilihat dari meningkatnya hasil belajar
siswa yang sebelumnya banyak yang belum paham mereka lebih memahami
dan menguasai materi. Keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar juga
semakin meningkat, ini terlihat antusiasme mereka yang sangat tinggi untuk
selalu berpartisipasi dan memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
kelompoknya. Menurut para siswa SMA Negeri 12 Semarang model
cooperative learning ini juga sangat bagus dan tepat digunakan dalam
pembelajaran materi apapun, apalagi jika diterapkan dalam pembelajaran
pendidikan agama Islam, ini sangat relevan. Karena pembelajaran pendidikan
agama Islam yang notabenenya merupakan pembelajaran yang sangat
menjenuhkan, ketika sudah diterapkan model cooperative learning maka akan
berubah menjadi pembelajaran yang sangat menyenangkan. Selain itu
fenomena kerjasama atau gotong royong dalam pembelajaran, terbentuknya
sikap dan perilaku yang demokratis serta tumbuhnya produktifitas kegiatan
belajar siswa juga tercapai dengan diterapkannya model pembelajaran
cooperative learning.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 19
Januari 2009-21 Februari 2009, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA Negeri
12 Semarang yang terwujud dalam empat bentuk metode pembelajaran yaitu
mencari pasangan (make a match), debat aktif (active debate), diskusi
kelompok kecil (small group discussion) dan tukar delegasi antar kelompok
(jigsaw) secara keseluruhan sudah mendekati teori yang ada meskipun masih
terdapat sedikit kekurangan. Penerapan model cooperative learning ini
dibuktikan dengan terbentuknya sikap kerja sama dalam mencapai tujuan
pembelajaran baik kerjasama antar siswa dengan siswa atupun antara siswa
dengan guru, sikap saling memberi dan menerima, saling menghargai
pendapat orang lain, toleransi, berinteraksi sosial dan berusaha saling
membantu untuk pencapaian tujuan bersama. Dalam hal evaluasi, penilaian
yang dilakukan guru baik secara individu maupun secara kelompok, menurut
penulis pengajar sudah memenuhi standar evaluasi model cooperative
learning, karena guru telah menerapkan sistem penilaian cooperative learning
sesuai standar yang ada. Nilai kelompok diolah sedemikian rupa sehingga
nantinya dari hasil kelompok tersebut berpengaruh pada nilai individu, dan
begitu juga sebaliknya. Dari proses inilah setiap siswa mempunyai
kesempatan untuk memberikan kontribusi bagi kelompoknya. Siswa lamban
tak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka, karena mereka juga
bisa memberikan sumbangan. Malahan mereka akan merasa terpacu untuk
meningkatkan kontribusi mereka dan dengan demikian maka akan menaikkan
nilai pribadi mereka sendiri.
Cooperative learning merupakan model pembelajaran yang menekankan
aktivitas kolaboratif siswa dalam belajar yang berbentuk kelompok kecil untuk
mencapai tujuan yang sama dengan menggunakan berbagai macam aktifitas
75
belajar guna meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran
dan memecahkan masalah secara kolektif. Cooperative learning dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik,
baik secara individu maupun kelompok. Selain itu, model ini juga dapat
membekali anak didik dengan keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat
bagi kehidupan di masyarakat.
Tidak semua belajar secara bersama (kelompok) bisa dianggap sebagai
cooperative learning. Sebuah pembelajaran kelompok bisa dianggap sebagai
cooperative learning jika memenuhi lima unsur yaitu saling ketergantungan
positif (positive interdependence), tanggungjawab perseorangan (individual
accountability), tatap muka (face to face interaction), komunikasi antar anggota
(group communication) dan evaluasi antar kelompok (group evaluation).
Model cooperative learning diwujudkan ke dalam beberapa metode
pembelajaran, diantaranya: metode mencari pasangan (make a match), debat aktif
(active debate), diskusi kelompok kecil (small group discussion) dan tukar
delegasi antar kelompok (jigsaw). Metode-metode ini dapat diterapkan dalam
pembelajaran pendidikan agama Islam, karena pendidikan agama Islam yang
notabenenya sebagai landasan moral dalam kehidupan sehari-hari memang perlu
menerapkan model cooperative learning dalam proses pembelajarannya. Dengan
penerapan model pembelajaran ini yang menekankan prinsip kerjasama dengan
berbagai unsurnya, diharapkan dapat mengoptimalkan penguasaan siswa dalam
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Selain itu, proses internalisasi nilai-nilai
keagamaan diharapkan lebih kuat tertanam pada pribadi siswa, sehingga berbagai
tindak amoral yang tidak sesuai dengan ajaran agama dapat diminimalisir.
B. Saran-Saran
Dari analisa yang telah menghasilkan kesimpulan diatas maka
ijinkanlah penulis untuk memberikan saran-saran kepada pihak yang
berkepentingan, antara lain:
1. Kepala sekolah hendaknya selalu menghimbau kepada para pengajar untuk
menerapkan model cooperative learning sesuai dengan prosedur
penerapannya serta harus terpenuhi unsur-unsurnya karena jika
76
cooperative learning diterapkan asal-asalan maka tercapainya tujuan
pembelajaran adalah sebuah kemustahilan.
2. Bagi guru PAI hendaknya ketika mengimplementasikan model
cooperative learning harus mempersiapkan dahulu segala sesuatunya, baik
dalam hal pemilihan materi ataupun metode pembelajaran yang akan
digunakan. Selain itu langkah-langkah penerapannya juga harus
disesuaikan dengan prosedurnya agar tujuan pembelajaran tercapai secara
maksimal. Pemantauan proses pembelajaran dan pengaturan transisi
kelompok di dalam kelas juga harus dilakukan agar kelas terhindar dari
“kekacauan”.
3. Siswa hendaknya mengerti dan paham tujuan penerapan model cooperative
learning dalam pembelajaran PAI demi mendukung terlaksananya
pembelajaran dengan baik dan tidak tumbuh perasaan “merugi” untuk
berbagi ilmu dengan sesama. Selain itu siswa juga harus mengikuti
langkah-langkah yang diterapkan dalam mengimplementasikan model
cooperative learning.
4. Seluruh warga SMA Negeri 12 Semarang hendaknya selalu berusaha untuk
menciptakan iklim sosial yang harmonis untuk mendukung terlaksananya
model cooperative learning di SMA Negeri 12 Semarang.
C. Penutup
Akhirnya tiada kata yang terucap selain rasa syukur kehadirat Allah
swt., karena hanya dengan petunjukNyalah skripsi tentang “Implementasi
Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 semarang”
ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif yang dapat
menunjang skripsi ini ke arah yang lebih baik. Akhirnya semoga skripsi ini
dapat memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan.
77
DAFTAR PUSTAKA
‘Azi>z, S{a>lih} ‘Abdul dan ‘Abdul Azi>z ‘Abdul Maji>d, at-Tarbiyatu wa
T}uruqu at-Tadri>s, Juz. 1, Mesir: Da>rul Ma’a>rif, 1968.
Abdurrahman, Mulyana, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta:
Kerjasama Pusat Perbukuan Depdikbud dengan PT Rineka Cipta, 2003,
Cet. 2.
Afiana, Yayuk, “Penerapan Metode Diskusi pada Pembelajaran PAI di SMU N
Jumantono Karangayar”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 2004, t.d.
Al-Hasyimi, as-Sayyid Ahmad, Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah, Indonesia:
Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1948.
Al-Ibrasi, Muhammad ‘At}iyah, Ru>h}u at-Tarbiyah wat-Ta’li>m, Arabiyah:
Da<r al-Ihya al-Kutub, 1950.
Atmadi, A dan Y. Setyaningsih, Tranformasi Pendidikan: Memasuki Millenium
Ketiga, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Special for Woman, Jakarta:
PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
__________________, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Al-Huda, 2005.
78
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Depdiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penilaian Pendidikan,
”Panduan Materi Ujian Sekolah Tahun Pelajaran 2004/2005 Pendidikan
Agama Islam SMA/MA/SMK−Kurikulum 1994”,
http://puspendik.com/ebtanas/ujian2005/PDF/PAMSMA94AgamaIslam.p
df.
Depdiknas RI, UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2003.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Depdikbud bekerja
sama dengan Rineka Cipta, 1999, Cet. 1.
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2000, Cet.1.
Gunawan, Adi W., Genius Learning Strategy, Jakarta: Gramedia, 2003.
Gojwan, Asep, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif pada Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama”,
http://pk.sps.upi.edu/abstrakpk/abstrakpk04.html.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 2, Yogyakarta: Andi Offset, 2004.
Hayati, Sri, “Pendekatan Joyful Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan
Lingkungan Hidup”,
79
http://www.pakguruonline.pendidikan.net/pendekatan%20joyful%20learni
ng.rtf.
Ifayati, Yuni, “Implementasi Model Cooperative Learning dalam Pembelajaran
PAI di SMP Semesta Semarang”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, 2006, t.d.
Ihsan, Fuad, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Johnson, Roger T., and David W. Johnson, “Cooperative Learning”,
http://www.co-operation.org/pages/cl.html.
Khamidah, Nur, “Implementasi Azas Kooperatif dalam Pembelajaran PAI di
SMPN 1 Comal”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,
Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,
2004, t.d.
Lie, Anita, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di
Ruang-Ruang Kelas, Jakarta: PT Grasindo, 2004, Cet. 1.
Lindgreen, Henry Clay, Educational Psychology In The Classroom, New York:
John Wiley and Sons, Inc, 1960.
Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi:
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: Remaja
Rosadakarya, 2004.
80
Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi
Guru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2006, Cet. 2.
Mangkoesapoetra, Arief Achmad, “Implementasi Model Cooperative Learning
dalam Pendidikan IPS di Tingkat Persekolahan”,
http://researchengines.com/.
Mardiana, Saidah, “Cooperative Learning: Memberdayakan Siswa”,
http://www.mbeproject.net/.
Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Mengenal Lebih Dekat Cooperative Learning”, http://assalam.or.id/.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002, Cet. 17.
______, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007,
Cet. 24.
Morgan, Clifford T., Introduction To Psychology, New York: McGraw-Hill,
1971.
Muhaimin, et. al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya, 2002, Cet. 2.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996, Cet. 7.
81
Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: CV. Misaka
Ealiza, 2003, Cet. 2.
Muntholi’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, Semarang: Gunungjati
dan Yayasan Al-Qalam, 2002.
Nasution, S., Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, Cet. 1.
Paradigma Pendidikan Masa Depan: Kebersamaan Dalam Belajar Untuk
Menghilangkan Ketimpangan”, http://pakguruonline.pendidikan.net/.
Rahardjo. “Media Pendidikan”, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, PBM-
PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar PAI, Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, 1998, Cet. 1.
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, 2003.
Sahertian, Piet A., Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta: Andi Offset, 1994,
Cet. 1.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah Volume 3, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shofan, Moh., The Realistic Education: Menuju Masyarakat Utama, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2007, Cet. 1.
Silberman, Melvin L., Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, Bandung:
Nusamedia dan Nuansa, 2004, Cet. 1.
82
Solihatin, Etin dan Raharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran
IPS, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007, Cet. 1.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. 2.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Program
Pasca Sarjana UPI bekerjasama dengan Remaja Rosdakarya, 2005.
Supeno, Hadi, Potret Guru, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, Cet. 1.
Suprijono, Agus, Cooperative Learning: Teori & Aplikasi Paikem, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009, Cet. 1.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Syukur, Fatah, Teknologi Pendidikan, Semarang: Rasail, 2004.
Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik
Kurikulum PBM, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, Cet. 7.
Tim Teaching, Model Strategi Pembelajaran Aktif, Disampaikan pada Pelatihan
TOT (Training of Teacher) bagi Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI, Semarang: Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI
IAIN Walisongo, 2007.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
83
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Usman, Basyiruddin, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat
Pers, 2002.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,
Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Walgito, Bimo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Andi Offset,
1995.
Walters, J. Donald, Education for Life, terj. Agnes Widyastuti, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004, Cet. 1.
Wehmeier, Sally, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, New York: Oxford
University Press, 2000.
Woolfolk, Anita E., Educational Psychology, USA: Allyn & Bacon, 1995.
Yahya, Imam bin Syarofiddin an-Nawawiy, al-Arba’in an-Nawawiyah,
Semarang: Toha Putera, 676 H.
Zaini, Hisyam, dkk., Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Yogyakarta:
CTSD IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
84
PEDOMAN WAWANCARA
No Hari/Tanggal Jam/Tempat Interviewee Materi
1. Kamis/22
Januari
2009&Rabu/
28 Januari 2009
08.15-09.00
WIB./SMA
Negeri 12
Semarang
Humas
(Suparmi)
a. Tinjauan historis SMA
Negeri 12 Semarang
Sejarah berdirinya
SMA Negeri 12
Semarang
Perkembangan SMA
Negeri 12
Semarang
85
Tujuan didirikannya
SMA Negeri 12
Semarang
b. Visi dan misi
c. Struktur organisasi
d. Sarana dan prasarana
2. Senin/02
Februari 2009
08.15-08.50
WIB./SMA
Negeri 12
Semarang
Kepala Sekolah
(Drs. Nasikhun)
a. Visi dan misi
b. Sistem Pendidikan yang
dipakai
3. Senin/19
Januari 2009
08.10-09.00
WIB./SMA
Negeri 12
Semarang
Wakakur
(Dra. Agnes
SBU, M.Pd.)
a. Kurikulum pendidikan
Bidang studi secara
umum
Bidang studi PAI
b. Model-model
pembelajaran
c. Keadaan guru
d. Keadaan Karyawan
e. Keadaan siswa
4. Rabu/21,28
Januari2009&0
4,11,18
Februari 2009
08.00-10.00
WIB./SMA
Negeri 12
Semarang
Guru PAI
(Drs. Mahmudi)
a. Sistem pembelajaran
PAI meliputi:
kurikulum, tujuan,
materi, metode, media
dan evaluasi.
b. Implementasi
cooperative learning
dalam pembelajaran PAI
Pertimbangan
diterapkan
cooperative learning
86
Tujuan diterapkan
cooperative learning
Persiapan sebelum
menerapkan
cooperative learning
Metode-metode
cooperative learning
yang diterapkan
Pelaksanaan
cooperative learning
dengan metode yang
diterapkan
Evaluasi cooperative
learning
Faktor pendukung
dan penghambat
Pengaruh
mengimplementasik
an cooperative
learning
5. Rabu/11
Februari 2009
10.00-10.30
WIB./SMA
Negeri 12
Semarang
Siswa
(Nurul Hidayati
dan Ilham
Wicaksono)
a. Pendapat tentang
cooperative learning
b. Aktivitas ketika
diterapkan cooperative
learning
c. Pengaruh cooperative
learning
87
HASIL WAWANCARA
A. Humas
1. Bagaimana sejarah berdirinya SMA Negeri 12 Semarang dan bagaimana
perkembangannya?
SMA Negeri 12 Semarang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor :
37156/A2.I.2/KP. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1985 yang terletak di
Jalan Raya Gunungpati – Semarang. Pada awalnya sekolah ini bergabung
dengan SLTP 22 Semarang. Satu tahun kemudian SMA Negeri 12
88
Semarang sudah bisa mendirikan gedung sendiri meskipun baru tiga kelas
yang dicapai.
SMA Negeri 12 Semarang telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Semakin bertambahnya
siswa dan semangat anak untuk belajar semakin tinggi maka saat ini
bangunan gedung SMA Negeri 12 Semarang juga semakin banyak
mencapai 21 ruang kelas dan beberapa gedung lainnya. SMA Negeri 12
Semarang membuka 3 jurusan, yaitu Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Bahasa. Dengan demikian diharapkan sekolah
mampu mengembangkan kemampuan sesuai bakat dan minat dari siswa
didiknya.
2. Apa tujuan didirikannya SMA Negeri 12 Semarang?
Tujuan dari SMA Negeri 12 Semarang untuk mencetak out put generasi
muda yang berkreasi dan berprestasi di bidang akademik
3. Apa visi dan misi SMA Negeri 12 Semarang?
a. Visi SMA Negeri 12 Semarang: berprestasi dan berakhlak mulia
b. Misi SMA Negeri 12 Semarang:
1). Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
2). Membentuk budi pekerti luhur dan berakhlak mulia serta
lingkungan yang kondusif dalam upaya meningkatkan mutu
pembelajaran dan hasil belajar.
3). Mengembangkan sikap kerjasama, kekeluargaan dan komitmen
seluruh warga sekolah terhadsap tugas dan fungsinya.
4). Menunmbuhkembangkan semangat berprestasi dalam bidang
akademik dan non akademik.
5) Menerapkan manajemen berprestasi dengan warga sekolah, komite,
dan stakeholder dalam upaya meningkatkan mutu dn pelayanan
pendidikan.
89
6). Mengembangkan sistem informasi manajemen berbasis komputer
(Computer Based Information System) sebagai sarana pendukung
pendidikan di era global.
7). Mewujudkan peningkatan sarana prasarana sekolah menuju standar
nasional pendidikan.
4. Bagaimana struktur organisasi SMA Negeri 12 Semarang?
Terlampir (Lampiran 1)
5. Sarana dan prasarana apa saja yang disediakan SMA Negeri 12 Semarang
untuk menunjang pelaksanaan proses belajar mengajar?
1 ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang tata usaha, 1 ruang
bimbingan konseling, 1 ruang perpustakaan, 21 ruang kelas, 2 ruang
laboratorium, 1 ruang OSIS, 1 ruang mushola, 1 ruang koperasi siswa, 3
ruang kamar kecil guru, 11 ruang kamar kecil siswa, 1 ruang keterampilan,
1 ruang computer, 1 ruang dapur, 3 ruang gudang, 2 ruang tempat parkir, 2
ruang kantin, 2 ruang hall depan dan hall TU, 1 ruang ganti dan 2 ruang
lapangan olahraga.
B. Kepala Sekolah
1. Apa visi dan misi SMA Negeri 12 Semarang?
a. Visi SMA Negeri 12 Semarang: berprestasi dan berakhlak mulia
b. Misi SMA Negeri 12 Semarang:
1). Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
2). Membentuk budi pekerti luhur dan berakhlak mulia serta
lingkungan yang kondusif dalam upaya meningkatkan mutu
pembelajaran dan hasil belajar.
3). Mengembangkan sikap kerjasama, kekeluargaan dan komitmen
seluruh warga sekolah terhadsap tugas dan fungsinya.
4). Menunmbuhkembangkan semangat berprestasi dalam bidang
akademik dan non akademik.
90
5) Menerapkan manajemen berprestasi dengan warga sekolah, komite,
dan stakeholder dalam upaya meningkatkan mutu dn pelayanan
pendidikan.
6). Mengembangkan sistem informasi manajemen berbasis komputer
(Computer Based Information System) sebagai sarana pendukung
pendidikan di era global.
7). Mewujudkan peningkatan sarana prasarana sekolah menuju standar
nasional pendidikan.
2. Bagaimana sistem pendidikan yang dipakai SMA Negeri 12 Semarang?
Sistem pendidikan SMA Negeri 12 Semarang mengacu pada Departemen
Pendidikan Nasional (Depdknas) dengan menggunakan kurikulum KTSP.
C. Wakakur
1. Bagaimana kurikulum yang diterapkan di SMA Negeri 12 Semarang dan
apakah pada bidang studi PAI juga diterapkan kurikulum tersebut?
kurikulum SMA Negeri 12 Semarang menggunakan kurikulum KTSP,
begitu juga dengan bidang studi PAI.
2. Model-model pembelajaran apa saja yang diterapkan dalam proses belajar
mengajar?
a. Model pembelajaran tradisional: ceramah dan tanya jawab
b. Model pembelajaran modern: metode mencari pasangan (make a
match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small
group discussion), tukar delegasi antar kelompok (jigsaw) dan dua
tinggal dua tamu (two stay two stray)
3. Bagaimana keadaan guru di SMA Negeri 12 Semarang?
Guru di SMA Negeri 12 Semarang bejumlah 62 orang dengan latar
belakng pendidikan, agama dan daerah yang bervariasi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2.
4. Bagaimana keadaan karyawan di SMA Negeri 12 Semarang?
SMA Negeri 12 Semarang dibantu 19 karyawan untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan sekolah. Karyawan ini terdiri dari 8 pegawai tetap
91
dan 11 pegawai tidak tetap. Mereka juga berasal dari latar belakang
pendidikan yang berbeda. Hal ini bisa dilihat pada lampiran 3.
5. Bagaimana keadaan siswa di SMA Negeri 12 Semarang?
Siswa pada tahun ajaran 2008/2009 berjumlah 809 siswa yang terdiri dari
342 siswa laki-laki dan 467 siswa perempuan. Kelas X berjumlah 279
siswa, kelas XI berjumlah 256 siswa dan kelas XII berjumlah 274 siswa.
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada lampiran 4.
D. Guru PAI
Sistem pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
1. Kurikulum apa yang diterapkan dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang?
Kurikulum pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang
menggunakan Kurikulum KTSP.
2. Apa tujuan pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang?
Tujuan pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang yaitu untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt melalui
pemberian dan pemupukan pengetahuan, pemahaman, penghayatan,
pengamalan peserta didik tentang agama Islam Sedangkan tujuan
khususya yaitu untuk membentuk budi pekerti yang luhur dan
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
3. Materi apa saja yang diajarkan dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang?
Materi PAI di SMA Negeri 12 Semarang meliputi al-Qur’an dan
Hadits, keimanan, akhlak, fiqih dan sejarah kebudayaan Islam. Desain
materi ini diarahkan sesuai ketiga aspek inti pokok ajaran agama Islam
yang meliputi aqidah (keimanan), syari’ah (keislaman) dan ihsan
(akhlak).
4. Metode apa saja yang diterapkan dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang?
92
a. Metode konvensional yang terdiri dari metode ceramah dan tanya
jawab.
b. Metode modern terdiri dari metode mencari pasangan (make a
match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small
group discussion), tukar delegasi antar kelompok (jigsaw) dan dua
tinggal dua tamu (two stay two stray)
5. Media apa saja yang digunakan dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang?
Media tersebut diantaranya OHP, televisi, radio, tape, komputer,
internet, buku referensi, koran dan majalah.
6. Bagaimana evaluasi yang dilakukan dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang?
Evaluasi pembelajaran PAI di SMA Negeri 12 Semarang diwujudkan
dalam bentuk tes tertulis dan non tertulis.
Implementasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI di SMA
Negeri 12 Semarang
1. Pertimbangan apa yang digunakan dalam mengimplementasikan
cooperative learning dalam pembelajaran PAI?
Pertimbangan yang digunakan diantaranya masalah kurikulum,
efisiensi waktu dan manfaat atau hasil dari cooperative learning itu
sendiri.
2. Apa tujuan mengimplementasikan cooperative learning dalam
pembelajaran PAI?
a. Agar siswa tidak merasa jenuh dengan model-model pembelajaran
yang diterapkan
b. Agar prestasi siswa khususnya mata pelajaran PAI meningkat, baik
dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik.
c. Menumbuhkan sikap kerjasama, demokrasi, saling menghargai,
toleransi, memberi dan menerima dan terampil berinteraksi sosial.
3. Hal apa saja yang dipersiapkan sebelum mengimplementasikan
cooperative learning dalam pembelajaran PAI?
93
Rencana pembelajaran, materi, sarana dan prasarana yang akan
digunakan.
4. Metode cooperative learning apa saja yang diterapkan dalam
pembelajaran PAI?
a. Metode konvensional yang terdiri dari metode ceramah dan tanya
jawab.
b. Metode modern terdiri dari metode mencari pasangan (make a
match), debat aktif (active debate), diskusi kelompok kecil (small
group discussion) dan tukar delegasi antar kelompok (jigsaw).
5. Materi apa saja yang sesuai dengan masing-masing metode tersebut?
Semua materi PAI yang meliputi al-Qur’an dan Hadits, keimanan,
akhlak, fiqih dan sejarah kebudayaan Islam.
6. Bagaimana langkah-langkah pelaksanaan masing-masing metode
tersebut?
a. Metode mencari pasangan (make a match):
- Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep
- Setiap siswa diberi satu buah kartu.
- Setiap siswa mencari pasangan sesuai dengan kartu yang sama.
- Guru memberi pertanyaan seputar materi yang tertulis di kartu
- Siswa pemegang kartu yang cocok mendiskusikan materi yang
didapat, kemudian jubir mempresentasikan,
- Kelompok lain memberi tanggapan.
- Guru memberi klarifikasi, kesimpulan dan tindak lanjut.
b. Debat aktif (active debate)
- Guru memberi pertanyaan kontroversial dalam suatu topik yang
relevan dengan SK/KD/Indikator
- Guru membagi kelas menjadi dua tim, yakni kelompok pro dan
kelompok kontra.
- Guru meminta setiap kelompok untuk menunjuk wakil mereka,
dua atau tiga orang sebagai juru bicara dengan posisi duduk
atau berdiri saling berhadapan.
94
- Masing-masing juru bicara mengawali debat dengan
mengemukakan pendapatnya secara bergantian.
- Juru bicara kembali ke kelompoknya masing-masing untuk
meminta pendapat dan mengatur strategi untuk membuat
bantahan pada kelompok lainnya.
- Karena sudah merasa cukup, maka akhirnya guru
menghentikan debat pada saat puncaknya.
- Masing-masing kelompok menulis kesimpulan.
c. Diskusi kelompok kecil (small group discussion)
- Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil dengan
menunjuk ketua dan sekretaris.
- Guru memberi soal studi kasus sesuai dengan SK/KD.
- Masing-masing kelompok mendiskusikan jawaban soal tersebut
(setiap anggota kelompok berpartisipasi aktif di dalamnya).
- Masing-masing kelompok menunjuk juru bicara (jubir).
- Jubir mempresentasikan hasil diskusi.
- Kelompok lain memberi tanggapan.
- Guru memberi klarifikasi, kesimpulan dan tindak lanjut.
d. Tukar delegasi antar kelompok (jigsaw)
- Guru memilih materi yang dibagi menjadi 5 segmen.
- Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok (ada yang 7 siswa
dan 6 siswa).
- Setiap anggota kelompok bertugas membaca dan memahami
materi.
- Setiap kelompok mendiskusikan materi.
- Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain
untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di
kelompok, kemudian apa yang didapat pada kelompok lain
siswa menyampaikan pada kelompok masing-masing.
95
- Guru mengembalikan suasana kelas seperti semula, kemudian
siswa menanyakan persoalan yang tidak terpecahkan dalam
kelompok.
- Guru memberi klarifikasi, kesimpulan dan tindak lanjut.
7. Bagaimana evaluasi yang dilakukan dalam pembelajaran PAI dengan
menggunakan metode-metode tersebut?
Penilaian yang dilakukan dengan cara kuis, penilaian proses, penilaian
performance, tes, tertulis dan portofolio.
8. Hal apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat ketika
mengimplementasikan cooperative learning dalam pembelajaran PAI?
a. Pendukung: profesionalitas dan kreatifitas guru, antusiasme dan
rasa ingin tahu yang tinggi dari para siswa, empati pimpinan
sekolah terhadap pelaksanaan program, partisipasi orang tua murid,
Iklim sosial yang harmonis dan sarana prasarana yang cukup
memadai.
b. Penghambat: latar belakang siswa yang berbeda dan dan persiapan
guru yang kurang matang.
9. Bagaimana pengaruh yang dihasilkan dari pelaksanaan masing-masing
metode cooperative learning yang diterapkan dalam pembelajaran
PAI?
Pengaruh yang dihasilkan dari pelaksanaan metode cooperative
learning adalah pengaruh positif, yaitu: meningkatkan prestasi
belajar baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik;
menumbuhkan sikap kerjasama, demokrasi, saling menghargai dan
terampil berinteraksi sosial; meningkatkan sikap anak yang positif terhadap
sekolah dan guru; meningkatkan keterampilan hidup bergotong royong.
E. Siswa
1. Apa yang Anda ketahui tentang model pembelajaran cooperative
learning?
96
Model pembelajaran cooperative learning yaitu model pembelajaran yang
menekankan pada kerjasama antar siswa dengan menggunakan berbagai
aktivitas belajar dan memperhatikan unsur-unsur yang ada.
2. Bagaimana aktivitas Anda dalam kelompok ketika guru memberi tugas
pada masing-masing kelompok?
Aktivitas saya dalam kelompok memahami materi yang diberikan guru
kemudian mendiskusikannya bersama kelompok.
3. Apa pengaruh bagi Anda ketika guru menerapkan model cooperative
learning dalam pembelajaran PAI?
- Meningkatkan prestasi belajar
- Meningkatkan retensi tentang materi yang diajarkan
- Meningkatkan perilaku penyesuaian sosial yang positif
- Menumbuhkan sikap kerjasama, tolong-menolong dan gotog royong
- Menumbuhkan keterampilan berinteraksi sosial
97
PEDOMAN OBSERVASI
No Hari/Tanggal Jam/Tempat Hal yang diobservasi Tidak Ya Hasil
1.
2.
3.
Selasa / 20
Januari 2009
Rabu / 21
Januari 2009
Rabu/21
Januari 2009
08.00 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
08.20 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
08.40 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
a. Letak geografis SMA
Negeri 12 Semarang
b. Sistem pembelajaran
PAI di SMA Negeri
12 Semarang
c. Implementasi
cooperative learning
dalam pembelajaran
PAI di SMA Negeri
12 Semarang
v
v
v
Sebelah Utara dibatasi sawah,
sebelah Timur dibatasi sawah,
sebelah Selatan dibatasi jalan raya dan sebelah Barat
dibatasi SD Negeri 1 Plalangan.
Sistem pembelajaran dilakukan di dalam kelas dan di
luar kelas dengan menggunakan model-model
pembelajaran tradisional dan modern. Kurikulum yang
digunakan adalah KTSP.
Implementasi cooperative learning dalam pembelajaran
PAI diwujudkan dalam 4 metode, yaitu: mencari
pasangan (make a match), debat aktif (active debate),
diskusi kelompok kecil (small group discussion) dan
tukar delegasi antar kelompok (jigsaw)
98
4.
5.
Rabu/28
Januari 2009
Rabu/04
Februari 2009
08.30 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
08.30 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
08.30 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
d. Implementasi
cooperative learning
dengan metode
mencari pasangan
(make a match)
dalam pembelajaran
PAI di SMA Negeri
12 Semarang
e. Implementasi
cooperative learning
dengan metode debat
aktif (active debate)
dalam pembelajaran
PAI di SMA Negeri
12 Semarang
f. Implementasi
cooperative learning
v
v
v
Implementasi cooperative learning dengan metode
mencari pasangan (make a match) dalam pembelajaran
PAI sudah sesuai teori, namun ketika guru memberi
pertanyaan seputar materi yang tertulis di kartu,
sebaiknya guru memperluas pertanyaan yang ada,
sehingga siswa juga bisa mengembangkan
pemikirannya tentang pengetahuan yang ada dalam
materi yang telah disajikan.
Implementasi cooperative learning dengan metode debat
aktif (active debate) dalam pembelajaran PAI sudah
sesuai teori, namun ketika guru menghentikan debat
sebaiknya guru menyisakan waktu sebagai follow up dari
kasus yang diperdebatkan.
Implementasi cooperative learning dengan metode
diskusi kelompok kecil (small group discussion) dalam
99
6.
7.
Rabu/11
Februari 2009
Rabu/18
Februari 2009
08.30 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
dengan metode
diskusi kelompok
kecil (small group
discussion) dalam
pembelajaran PAI di
SMA Negeri 12
Semarang
g. Implementasi
cooperative learning
dengan metode tukar
delegasi antar
kelompok (jigsaw)
dalam pembelajaran
PAI di SMA Negeri
12 Semarang
v
pembelajaran PAI sudah sesuai teori, namun ketika guru
membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil guru
tidak menunjuk ketua dan sekretaris, sebaiknya
kesempatan ini diberikan kepada siswa.
Implementasi cooperative learning dengan metode tukar
delegasi antar kelompok (jigsaw) dalam pembelajaran
PAI sudah sesuai teori, namun pada saat kelompok
mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di
kelompok, muncul ketidakpuasan diantara beberapa
siswa, karena pada saat itu ada beberapa siswa yang tidak
menguasai materi yang diberikan. Hal ini sebaiknya tidak
dilakukan, semua siswa harus memahami dan menguasai
materi yang diberikan.
100
8. Rabu/18
Februari 2009
10.00 WIB./SMA
Negeri 12 Semarang
h. Evaluasi cooperative
learning dalam
pembelajaran PAI di
SMA Negeri 12
Semarang
v Evaluasi cooperative learning dalam pembelajaran PAI
sudah memenuhi standar evaluasi model cooperative
learning, karena guru telah menerapkan sistem penilaian
cooperative learning sesuai standar yang ada. Nilai
kelompok diolah sedemikian rupa sehingga nantinya dari
hasil kelompok tersebut berpengaruh pada nilai individu,
dan begitu juga sebaliknya.
101
PEDOMAN DOKUMENTASI
No. Hari/Tanggal Jam/Tempat Hal yang diambil
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kamis/22 Januari 2009
Kamis/22 Januari 2009
Senin/02 Februari 2009
Senin/19 Januari 2009
Rabu/28 Januari 2009
Rabu/21,28
Januari2009&04,11,18
Februari 2009
08.15 WIB./SMA Negeri 12 Semarang
08.40 WIB./SMA Negeri 12 Semarang
08.15 WIB./SMA Negeri 12 Semarang
08.10 WIB./SMA Negeri 12 Semarang
08.15 WIB./SMA Negeri 12 Semarang
08.00-10.00 WIB./SMA Negeri 12
Semarang
a. Tinjauan historis SMA Negeri 12 Semarang
b. Struktur organisasi SMA Negeri 12 Semarang
c. Visi dan misi SMA Negeri 12 Semarang
d. Keadaan guru, karyawan dan siswa SMA Negeri 12
Semarang
e. Sarana dan prasarana SMA Negeri 12 Semarang
f. Proses belajar mengajar PAI dengan menggunakan
cooperative learning
115
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. IDENTITAS DIRI
1. Nama Lengkap : Lailatun Nazilah
2. Tempat Tanggal Lahir : Semarang, 20 April 1987
3. Alamat Rumah : Jl. Pongangan 01 Rt 02 Rw 01 Gunungpati
Semarang 50224
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pendidikan Formal
a. RA Miftahul Hidayah Pongangan Lulus Tahun 1992
b. MI Miftahul Hidayah Pongangan Lulus Tahun 1998
c. MTs Al-Islam Gunungpati Semarang Lulus Tahun 2001
d. MAN 2 Semarang Lulus Tahun 2004
e. IAIN Walisongo Fakultas Tarbiyah Semarang Angkatan Tahun 2004
2. Pendidikan Non Formal
- Pon-pes Al-Itqon Tlogosari Semarang Lulus Tahun 2004
Semarang, Juni 2011 Penulis Lailatun Nazilah NIM. 3104016