Download - ikterus
2.1 Definisi Ikterus
Menurut Kristeen Moore (2013), Ikterus merupakan perubahan warna kulit atau sclera
mata dari putih ke kuning. Hal ini berlaku apabila berlakunya akumulasi bilirubin yang
berlebihan dalam sistem tubuh karena terjadi kerusakan hati yang mencegah pembuangan
bilirubin dari dalam darah. Ikterus juga bisa disebabkan oleh tersumbatnya saluran empedu yang
menurunkan aliran empedu dan bilirubin dari hati kedalam usus.
Istilah jaundice berasal dari bahasa Perancis “jaune”, yang berarti “kuning” atau ikterus
(berasal dari bahasa Yunani, icteros) menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau
membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
Menurut definisi WHO, bayi yang baru lahir, atau neonatus, adalah anak di bawah umur
28 hari. Selama 28 hari pertama kehidupan, bayi berada pada risiko tertinggi mati. Bayi aterm
adalah bayi yang dilahirkan dengan umur kehamilan ibu antara 37-42 minggu (259 sampai 293
hari), manakala bayi post-term adalah umur kehamilan ibu > 42 minggu atau 294 hari. Bayi
prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke-37 (dihitung dari hari
pertama haid terakhir).
Akumulasi bilirubin dalam darah berlaku pada bayi baru lahir adalah akibat proses
ekskresi bilirubin terganggu karena pada bayi baru lahir hatinya masih dalam perkembangan
sehingga tidak bisa mengeluarkan bilirubin dari dalam darah secara adekuat (Kristeen, 2013).
The American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasi supaya setiap bayi baru lahir
dilakukan pemeriksaan untuk ikterus sebelum meninggalkan rumah sakit dan pada hari ketiga
hingga kelima setelah kelahiran.
2.2 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dan bayi preterm dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Secara garis besar, etiologi ikterus neonatorum misalnya:
a) Hemolitik
Hemolitik adalah keadaan dimana pemecahan eritrosit berlaku lebih cepat dan ini
menyebabkan peningkatan pada penghasilan bilirubin. Keadaan ini melebihi kemampuan bayi
untuk mengeluarkannya. Hal ini berbahaya karena bilirubin yang dominan adalah yang tidak
terkonjungasi dan berpotensi menjadi neurotoksik. Hemolisis meningkat pada inkompatibilitas
Rh, ABO, defisiensi G6PD, piruvat kinase, sepsis, perdarahan tertutup dan internal
b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Keadaan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein
Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c) Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah tidak terkonjungasi dengan albumin kemudian diangkut ke hepar.
Obat seperti salisilat, sulfarazole dapat mempengaruhi ikatan bilirubin dengan albumin.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam
darah yang mudah melekat ke sel otak.
d) Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kebiasaanya
infeksi yang menyebabkan obstruksi dalam hepar manakala kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan (Hassan, 1985).
2.3 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
2.3.1 Ikterus Fisiologi
Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru lahir, tidak
mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kernikterus. Ikterus ini memiliki
tanda-tanda berikut :
1. Timbul pada hari ke dua dan ketiga setelah bayi lahir
2. Dijumpai pada sekitar 60% pada bayi aterm dan 80% pada bayi prematur.
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4. Pada bayi aterm bilirubin serum dapat mencapai kadar maksimum sebesar 6mg/dL antara hari
ke-2 dan 4 manakala pada bayi prematur pula kadar bilirubin serum dapat memuncak setinggi
10-12mg/dL pada hari ke-5 dan 7.
5. Konsentrasi pigmen menurun secara bertahap, mencapai kadar normal dalam 2minggu pada
bayi preterm dan 2 bulan pada bayi preterm (Rudolph, 1995).
2.3.2 Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah Ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus patologis memiliki tanda-tanda
berikut:
1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada
bayi preterm.
3. Peningkatan bilirubin melebihi 5 mg per hari.
4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
2.4 Manifestasi klinis
Ikterus dimulai diwajah kemudian menyebar ke abdomen dan ekstrimitas. Secara klinis,
ikterus dapat terdeteksi melalui warna kulit dengan cara menekan kulit dengan jari. Tekanan
kulit menampakkan kemajuan ikterus ketika bilirubin melebihi 5 mg/dL. Penekanan pada kulit
dapat menampakan kemajuan anatomi ikterus pada muka (5 mg/dL), tengah abdomen (15
mg/dL), telapak kaki (20 mg/dL) tetapi pemeriksaan klinis tidak dapat diandalkan untuk
memperkirakan tingkat bilirubin serum. Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat
merupakan suatu gejala fisiologis.
Ikterus akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit lebih cenderung untuk tampak kuning
terang atau orange, manakala ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna
kuning kehijauan.
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
1. Timbul pada hari ke dua dan ketiga setelah bayi lahir dan bilirubin serum akan kembali ke
nilai normal pada minggu kedua.
2. Bilirubin serum > 6mg/dL pada bayi aterm dan 10-12 mg/dL pada bayi preterm.
Gambaran klinis ikterus patologis:
1. Terjadi pada 24 jam pertama
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg/dL pada
bayi preterm.
3. Ikterus masih menetap sesudah 2 minggu (Nelson, 2007).
2.5 .Patofisiologi
Gambar 2.5: Metabolism Bilirubin
Sumber: http://www.medscape.com/viewarticle/497028_2
Bilirubin indirek (tak terkonjugasi) merupakan produk penguraian haemoglobin dalam
sistem retikuloendotelial. Hemoglobin terdapat dalam eritrosit (sel darah merah) yang dalam
waktu tertentu selalu mengalami destruksi (pemecahan). Proses pemecahan tersebut
menghasilkan haemglobin yang akan menjadi zat heme dan globin. Dalam proses berikutnya,
zat-zat ini akan berubah menjadi bilirubin bebas atau bilirubin indirect. Terlebih, bayi baru lahir
memiliki sel darah merah yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa, dan dengan demikian
lebih banyak yang dipecahkan dalam satu waktu. Hal ini berarti lebih banyak bilirubin yang
dihasilkan tubuh bayi baru lahir. Jika bayi lahir premature maka jumlah bilirubin dalam darah
dapat meningkat lebih dari level yang seharusnya. Biliverdin dibentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase yang kemudian lebih lanjut dimetabolisme menjadi bilirubin indirek tak
terkonjugasi oleh enzim bilirubin reductase. Satu gram haemoglobin dapat menghasilkan 35mg
bilirubin indirek. Bilirubin indirek bersifat tidak larut dalam air tetapi larut lemak. Bilirubin akan
terikat dengan albumin dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang sudah
berikatan dengan albumin akan ke sel hepatosit, Enzim uridildiphosphoglukoronil transferase
(UDPGT) dan mengkatalisa reaksi konjugasi dengan dua molekul glukoronide. Bilirubin
terkonjugasi ini akan disekresikan ke dalam saluran empedu dan melewati usus. Setelah bilirubin
direk terkonjungasi ini sampai di usus besar / kolon,dengan bantuan bakteri-bakteri usus
bilirubin terkojungasi ini akan dimetabolism menjadi stercobilins dan kemudian diekskresi
melalui feces (Hay,dll, 2001).
Akan tetapi proses ini terganggu pada bayi preterm karena pada bayi preterm hatinya masih
dalam perkembangan sehingga tidak bisa mengeluarkan bilirubin dari dalam darah secara
adekuat karena kurangnya kemampuan dari kerja uridil diphosphate glukoronil transferase
(UDPGT). Ini mengakibatkan terjadinya akumulasi bilirubin dalam darah yang menyebabkan
kulit dan sclera bayi preterm kekuningan. Kondisi ini dikatakan ikterus fisiologis (Nelson, 2007).
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis ikterus pada bayi baru lahir dan bayi preterm. Misalnya menanyakan
tentang:
a) Riwayat kehamilan dan persalinan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
b) malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
c) Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d) Riwayat inkompatibilitas darah
e) Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari tergantung pada etiologic (Nelson, hlmn 757). Amati ikterus pada siang hari
dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa
tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit hitam/gelap
dan bayi preterm (Lissauer, 2009).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer. Menurut Kramer, tubuh bayi telah dibagi
kepada 5 bagian untuk dilakukan penilaian terhadap derajat ikterus. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara menekan jari telunjuk di tempat yng tulangnya menojol seperti tulang hidung, tulang
dada dan lutut.
Tabel 2.6: Serum
Bilirubin Values
Dermal Zone
Serum Bilirubin
(μmol/L)
1 Kepala dan
leher
100
2 Pusat-leher 150
3 Pusat-paha 200
4 Lengan +
Tungkai
250
5 Tangan +
Kaki
>250
2.6.3 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada bayi yang
mengalami ikterus. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah bilirubin direk,hitung darah lengkap, hitung retikulosit dan
apusan morfologi darah tepi, golongan darah dan ‘Coombs test’, skrining G6PD, albumin serum
dan urinalisis bagi mengetahui zat pereduksi (galaktosemia) (Lissauer, 2009).
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Mempercepat proses kojungasi
Ini dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai ‘enzyme
inducer’ sehingga konjugasi dipercepat. Cara pengobatan ini tidak begitu efektif dan
memerlukan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Pemberian fenobarbital
lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi bawaan
(Hassan, 1985).
2.7.2 Pemberian substrat yang kurang seperti albumin dan glukosa untuk
transportasi atau konjugasi
Contohnya pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Kebiasaanya,
albumin diberikan sebelum transfusi tukar dilakukan. Hal ini karena, albumin akan mempercepat
keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar
sebagai sumber energy.
2.7.3 Fototerapi
Yang dimaksud dengan fototerapi intensif adalah radiasi dalam spektrum biru-hijau.
Fototerapi adalah aplikasi lampu neon untuk mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi
pigmen yang larut dalam air untuk memfasilitasi ekskresi bilirubin. Efektivitasnya tergantung
pada tingkat luas permukaan bayi terkena lampu fototerapi. Telah ditemukan bahwa sumber
cahaya yang paling efektif disediakan adalah tabung khusus fluorescent biru. Efektivitas
fototerapi dapat ditingkatkan dengan menempatkan pad serat optik di bawah bayi di atau lampu
fototerapi di atas kepala bagi mempermudahkan paparan ganda( double exposure) (Truman,
2006).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1) Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka
pakaian bayi.
2) Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup supaya cahaya yang dipantulakan
tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk
mendapatkan energi yang optimal.
4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya
dapat menyeluruh.
5) Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6) Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7) Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis ( HTA,
2004).
2.7.4 Transfusi tukar
Transfusi tukar dilakukan pada tingkat bilirubin yang lebih tinggi dari 380 umol/l pada
bayi baru lahir, 350 umol/1 pada bayi dengan usia gestasi 35-38minggu, 280 umol/l pada bayi
dengan usia gestasi 31-34 minggu dan 240 umol/l pada bayi di bawah 30 minggu kehamilan.
Transfusi tukar memberikan hasil yang lebih cepat daripada fototerapi tetapi dapat memiliki
komplikasi signifikan (Truman, 2006).
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sepanjang proses transfuse tukar, misalnya;
1. Neonatus harus dilengkapi dengan alat monitor kardio-respirasi.
2. Tekanan darah harus sering dipantau.
3. Neonatus harus dalam keadaan puasa bila perlu dipasang selang nasogastric.
4. Neonatus dipasang infus.
5. Suhu tubuh dipantau dan dijaga dalam batas normal.
6. Disediakan peralatan resusitasi bawaan (Hassan, 1985).
2.8 Komplikasi
Hal yang dikhawatikan pada setiap pasien yang ikterus dan hiperbilirubinemia adalah
peningkatan bilirubin indirek sampai ke kadar yang dapat merusak otak. Keadaan ini disebut
kernicterus. Secara patologis, kernikterus atau ensefalopsti menyebabkan nekrosis neuron di
ganglia basal, korteks hipokampus, dan nucleus subtalamikus otak. Ada hasil penelitian yang
menunjukkan adanya konsentrasi bilirubin serum “kritis” tertentu, yang apabila dilampaui akan
menyebabkan kernicterus pada sejumlah signifikan bayi. Konsentrasi bilirubin serum “kritis”
sebesar 20mg/dL atau lebih selama seminggu setelah lahir umumnya diterima sebagai indikasi
untuk transfusi darah karena berisiko tinggi untuk mendapat kernicterus. Konsentrasi bilirubin
serum kritis belum ditentukan untuk bayi aterm tanpa penyakit hemolitik atau untuk bayi
prematur. Persoalan yang masih belum terjawab adalah, apakah kadar bilirubin serum tertentu
dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya kerusakan otak terkait bilirubin dalam
kaitannya usia gestasi atau berat lahir. Hal ini karena ,kernicterus pernah dilaporkan terjadi pada
kadar bilirubin serendah 9mg/dL pada bayi premature dengan asidosi, asfiksia, sindrom distress
pernafasan, hipoglikemia, sepsis, atau hipotermia(Rudolph, 1995).
2.9. Pencegahan
Kejadian ikterus dapat dicegah melalui pengawasan antenatal yang baik. Selain itu, harus
dilakukan penghindaran terhadap obat-obatan yang meningkatkan iketerus pada bayi masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain. Ikterus
dapat dihentikan peningkatannya dengan melakukan pencegahan dan mengobati hipoksia pada
janin dan neonatus. Kejadian ikterus dapat dikurangkan dengan penggunaan fenobarbital pada
ibu 1-2 hari sebelum partus, iluminasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman, S., 2008. Hiperbilirubinemia, in Kosim M. Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi.
Edisi pertama. Jakarta: Badan Penebit IDAI. pp 147
American Academy of Pediatrics, 2004. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. pp 114; 294.
Arif, M., et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi III Jakarta. Medis Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp 503-05
Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in Manual of
Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins, pp 181; 194; 202; 204;
210.
Dennery P. A., Seidman D. S., Stevenson D. K., Neonatal hyperbilirubinemia. Engl J Med
2001;344:581-90. Available from:
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJM200102223440807 [Accesed11November,
2015]
Depkes RI, 2001. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan
MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis,
Bidan dan Dokter. Depkes RI.
Gomella, T. L., Cunningham M. D., Eyal F. G., 2004 Hiperbilirubinemia. Dalam:Neonatology;
Management. Procedures, On-Call Problems, Diseases and Drugs. New York. Lange
Medical Book/McGraw-Hill Co.; pp 247-50.
Gotoff, S. P., 1999 Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Ilmu
Kesehatan Anak , Nelson, Editor Edisi Bhs Indonesia. ECG; 610-7
Halamek, L. P., Stevenson D. K., 1997. Neonatal jaundice and Liver Disease. Dalam: Neonatal-
Perinatal Medicine; Diseases of the Fetus and Infant, 6th Ed. New York Mosby-Year
Book Inc.; pp 1345-62.
Hassan, R., Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus
pada Bayi Baru Lahir in Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Percetakan
Infomedika. pp 1079; 1105-06; 1109
Jezova, M., et al. 2008. Available from:
http://atlases.muni.cz/atlases/novo/atl_en/main+novorozenec+klasnov.html. [Accesed 11
november, 2015]
Juliwati, Muchayat, S., 2006. Profil Kadar Bilirubin pada Bayi Baru Lahir Sehat Dengan Ikterus
di RS.DR.Sardjito Yogyakarta. Available from:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/14306177181_0854-1159.pdf [Accesed
11November, 2015]
Kliegman et al. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th edition Vol 1. Philadelphia: WB
Saunders pp 756-58; 768; 772
Kosim, M. S., 2007 Hubungan Hiperbilirubinemia dan Kematian Pasien yang Dirawat di NICU
RSUP Dr Kariadi Semarang. Available from:
www.idai.or.id/saripediatri/fulltext.asp?q [Accesed 11November, 2015]
Maisel, M. J., Newman T. B., 1995. Kernicterus in Otherwise Healthy, Breastfed Term
Newborns. Pediatrics 96: 730-3
Meadow, R., et al. 2005. Lecture notes Pediatrika Edisi ketujuh. Jakarta. Erlangga Medical
Series. pp 75
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih bahasa
Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC pp 299
Oski, F. A., 1991. Physiologic Jaundice. Dalam: Schaffer and Avery’s Disease of the Newborn.
WB Saunders Company. Philadelphia. pp 753-57
Ramasethu, J., 2002 (Division of Neonatology Georgetown University MC. Washington DC).
Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Neonatal Intensive Care Workshop, RSAB
Harapan Kita Jakarta.