IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-1
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
I. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Secara geografis dan geologis Indonesia merupakan negara yang rawan
terhadap bencana alam, seperti bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah
longsor, angin puting beliung dan lainnya. Secara geografis, Indonesia dihimpit
oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sedangkan secara geologis, Indonesia
terletak pada tumbukan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng
Eurasia, dan lempeng Pasifik. Aktivitas tektonik pada ketiga lempeng tersebut
menjadi alasan mengapa Indonesia berada pada lintasan Ring of Fire (cincin api)
atau Cincin Api Pasifik yaitu pola gunung api teraktif di dunia yang tersebar di
lempeng pasifik. Hal itu menyebabkan wilayah Indonesia terletak di jalur gempa
teraktif di dunia.1
Begitu tingginya intensitas kejadian bencana alam di Indonesia dapat
memunculkan istilah bahwa Indonesia merupakan “gudang” bencana. Bencana
alam di Indonesia banyak memakan korban jiwa, harta benda, serta menimbulkan
kerusakan lingkungan. Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diperoleh data bahwa tren
kejadian bencana dalam lima tahun terakhir yaitu periode 2015 hingga 2019 bersifat
fluktuatif seperti yang disajikan pada grafik 1.1 berikut ini.2
1 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Risiko Bencana Indonesia, (Jakarta: Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 2016), hlm. 14 2 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, “Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)”, diakses
dari http://bnpb.cloud/dibi/laporan5, pada tanggal 1 Februari 2020 pukul 18.25
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-2
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Grafik 1.1 Tren kejadian bencana di Indonesia tahun 2015-2019
Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)
Tabel 1.1 Jumlah kejadian bencana, korban, rumah rusak dan fasilitas rusak tahun
2015-2019
No Tahun
Kejadian
Jumlah
Kejadian
Bencana
Korban
(Jiwa)
Rumah
Rusak
(Unit)
Fasilitas
Rusak
(Unit)
1. 2015 1.691 1.216.462 25.532 501
2. 2016 2.302 3.164.475 47.798 2.317
3. 2017 2.853 3.675.570 49.461 2.158
4. 2018 2.572 10.359.206 319.805 2.699
5. 2019 1.426 2.596.626 26.825 757
TOTAL 10.844 21.012.339 469.421 8.432
Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)
Selanjutnya pada tabel 1.1 tercantum rincian data terkait naik dan turunnya
jumlah kejadian bencana di Indonesia, korban, rumah rusak, dan fasilitas rusak
akibat bencana alam pada tahun 2015 hingga 2019. Mulai tahun 2015 hingga tahun
2017 jumlah kejadian bencana mengalami kenaikan, sedangkan tahun 2017 hingga
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-3
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
2019 mengalami penurunan. Kendati jumlahnya menurun, permasalahan bencana
alam di Indonesia tidak patut untuk dianggap remeh karena kerugian yang
ditimbulkan pasca terjadinya bencana alam seperti korban, rumah rusak, dan
fasilitas rusak jumlahnya juga tidak sedikit. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel
1.1, yakni selama kurun waktu lima tahun terakhir total jumlah korban (meninggal
dan hilang, luka-luka, serta terdampak dan mengungsi) sebanyak 21.012.339 jiwa.
Selanjutnya total rumah rusak berjumlah 469.421. Sedangkan fasilitas rusak
mencapai angka 8.432 unit.
Dampak dari bencana alam yang terjadi yaitu dapat menghambat
pembangunan di daerah yang terkena bencana. Seperti contoh pada kejadian
bencana di Aceh pada tahun 2004 silam, instansi pemerintah yang berkewajiban
mengatur dan memberikan pelayanan pada korban bencana seketika menjadi tidak
bernyawa. Sebagian kecil pelayan publik menjadi korban, dan sebagian lain yang
selamat disibukkan dengan mencari sanak keluarganya masing-masing. Bantuan
dari luar daerah datang terlambat karena akses yang sulit menuju ke lokasi bencana.
Beberapa infrastruktur seperti jalan dan jembatan menjadi lumpuh, sehingga
menghambat proses evakuasi korban.3
Maraknya bencana alam di Indonesia menuntut berbagai elemen masyarakat,
khususnya pemerintah untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana. Sejauh
ini, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menanggulangi
bencana yaitu dengan menyusun dan menetapkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana untuk dijadikan acuan dalam
penanggulangan bencana yang kemudian diselenggarakan melalui manajemen
penanggulangan bencana. Seperti yang diamanatkan pada regulasi tersebut,
tepatnya pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan
bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.4 Dalam hal ini penetapan kebijakan pembangunan
3 Deny Hidayati dkk., Kesiapsiagaan Masyarakat: Dalam Mengantisipasi Bencana Alam di
Kabupaten Cilacap, (Jakarta: LIPI Press, 2008), hlm. v 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-4
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
merupakan kapasitas dari pemerintah, seperti yang tercantum pasal 5 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 yaitu pemerintah dan pemerintah daerah menjadi
penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Selanjutnya untuk mengimplementasikan amanat dari Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007, maka melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008
pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang
merupakan lembaga pemerintah non departemen yang posisinya di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Berdasarkan pasal 3 Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008, BNPB menyelenggarakan fungsi perumusan dan
penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan
bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien serta fungsi pengkoordinasian
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan
menyeluruh.
Untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana, BNPB perlu melakukan
koordinasi dengan instansi di tingkat daerah seperti Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) agar dapat menekan lambannya birokrasi serta mampu
memberdayakan pemerintah di tingkat lokal untuk turut serta dalam mengelola
risiko bencana. Namun bukan hanya pemerintah saja yang berperan dalam proses
penanggulangan bencana, masyarakat juga harus dilibatkan karena mengingat
bahwa kesiapsiagaan masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam
mengantisipasi bencana.
Dalam hal ini, BNPB telah melakukan pengurangan risiko bencana berbasis
komunitas (PRBBK) yang selanjutnya akan digunakan istilah community-based
disaster risk management (CBDRM) karena mempunyai makna yang hampir sama.
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas/Masyarakat adalah proses
pengelolaan risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko
dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko
bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.5
Sedangkan CBDRM atau manajemen risiko bencana berbasis komunitas dimaknai
5 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-5
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
sebagai suatu proses di mana masyarakat yang berisiko terlibat secara aktif dalam
identifikasi, analisis, perawatan, pemantauan dan evaluasi risiko bencana untuk
mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan kapasitas mereka.6
CBDRM yang dimaksudkan oleh BNPB yaitu dengan mengembangkan
program desa atau kelurahan tangguh bencana (Destana). Regulasi terkait program
Destana tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh
Bencana yang ditetapkan oleh Kepala BNPB, Syamsul Maarif pada tanggal 10
Januari 2012 di Jakarta.7 Pedoman tersebut ditujukan bagi pengembangan desa atau
kelurahan tangguh di daerah yang rawan bencana. Berdasarkan Perka BNPB No. 1
Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana,
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana merupakan desa/kelurahan yang memiliki
kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta
memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, jika terkena
bencana.8 Perumusan kebijakan program destana ini dilakukan oleh pemerintah di
tingkat pusat. Sedangkan dalam pelaksanaannya, peran masyarakat lokal menjadi
ujung tombak keberhasilan dari program Destana sendiri. Jadi intervensi yang
dilakukan oleh pihak pemerintah maupun non-pemerintah harus diminimalisir,
yaitu sebatas stimulan.
Destana merupakan suatu program yang fokus pada aspek pengembangan
masyarakat untuk menghadapi risiko bencana. Yang mana dampak dari bencana
seringkali merugikan kehidupan banyak orang mulai dari hilangnya nyawa hingga
kerusakan berbagai properti. Apabila pemerintah tidak memfasilitasi masyarakat
yang terkena dampak dengan mengembangkan destana, maka masyarakat tidak
dapat memulihkan kondisi kehidupan mereka pasca bencana terjadi. Oleh karena
itu, destana dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
terdampak bencana.
6 Imelda Abarquez dan Zubair Murshed, Community-based disaster risk management: field
practitioners’ handbook, (Bangkok: Asian Disaster Preparedness Center, 2004), hlm. 15 7 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, “Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana”, (https://bnpb.go.id/berita/perka-bnpb-no-1-2012-tentang-
pedoman-umum-desa-kelurahan-tangguh-bencana, Diakses pada 13 Maret 2019, 2016) 8 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-6
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Destana sudah mulai diterapkan di beberapa provinsi yang memiliki
kota/kabupaten rawan bencana. Salah satunya yaitu di Jawa Timur yang merupakan
provinsi dengan angka kejadian bencana tertinggi kedua di Indonesia dalam lima
tahun terakhir yaitu periode 2015 hingga 2019, setelah Jawa Tengah. Jumlah
kejadian bencana di Indonesia tahun 2015-2019 tercantum dalam tabel 1.2.
Tabel 1.2 Jumlah kejadian bencana di Indonesia tahun 2015-2019
No. Provinsi Tahun
Total 2015 2016 2017 2018 2019
1. Jawa Tengah 390 600 1.067 577 432 3.066
2. Jawa Timur 301 405 434 450 239 1.829
3. Jawa Barat 217 306 316 338 275 1.452
4. Aceh 90 82 91 160 41 464
5. Sulawesi Selatan 47 56 71 86 82 342
6. Kalimantan Timur 60 189 39 30 18 336
7. Sumatera Barat 89 68 60 91 21 329
8. Sumatera Utara 63 73 76 91 12 315
9. Sumatera Selatan 45 61 62 75 33 276
10. Kalimantan Selatan 12 21 63 96 32 224
11. Banten 63 31 39 65 2 200
12. Nusa Tenggara
Barat 17 25 71 41 24 178
13. Kalimantan Tengah 8 15 50 59 28 160
14. Riau 18 25 37 54 24 158
15. DI Yogyakarta 29 38 24 25 21 137
16. Bali 6 19 28 48 19 120
17. Jambi 14 37 29 28 8 116
18. Kalimantan Barat 19 22 27 26 11 105
19. Nusa Tenggara
Timur 27 19 13 34 9 102
20. Sulawesi Utara 18 16 38 23 7 102
21. Lampung 20 18 9 32 10 89
22. Sulawesi Tenggara 8 13 28 25 8 82
23. Gorontalo 19 11 29 17 3 79
24. Bengkulu 31 18 11 11 1 72
25. DKI Jakarta 3 43 15 7 3 71
26. Maluku Utara 7 7 32 15 7 68
27. Maluku 18 5 21 7 16 67
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-7
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
28. Sulawesi Tengah 13 12 19 10 4 58
29. Kep. Bangka
Belitung 12 18 8 10 8 56
30. Papua 8 5 20 12 9 54
31. Sulawesi Barat 6 9 12 12 5 44
32. Kalimantan Utara 7 15 2 1 2 27
33. Papua Barat 1 4 7 7 6 25
Sumber: Data diolah dari Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)
Selanjutnya terdapat beberapa kota atau kabupaten di Jawa Timur yang
merupakan daerah yang rawan bencana. Tabel 1.3 memaparkan data jumlah
kejadian bencana di kota atau kabupaten yang ada di Jawa Timur dalam periode
lima tahun terakhir, tahun 2015 hinga tahun 2019.
Tabel 1.3 Jumlah kejadian bencana di Jawa Timur tahun 2015-2019
No. Kabupaten/Kota Tahun
Total 2015 2016 2017 2018 2019
1. Ponorogo 11 27 52 43 15 148
2. Trenggalek 7 41 29 34 11 122
3. Bojonegoro 63 19 6 16 8 112
4. Situbondo 14 21 27 41 8 111
5. Jember 9 14 15 42 18 98
6. Nganjuk 14 13 31 21 6 85
7. Lumajang 13 30 15 10 9 77
8. Mojokerto 8 9 20 28 12 77
9. Tuban 22 17 11 11 9 70
10. Kota Batu 4 11 16 25 4 60
11. Malang 8 13 13 17 4 55
12. Banyuwangi 7 10 16 13 9 55
13. Tulungagung 14 18 8 8 5 53
14. Sidoarjo 4 5 15 13 15 52
15. Jombang 6 12 16 12 6 52
16. Probolinggo 8 8 13 11 8 48
17. Gresik 5 10 10 7 15 47
18. Pasuruan 11 10 11 5 8 45
19. Magetan 6 11 13 11 4 45
20. Pacitan 3 13 9 14 5 44
21. Blitar 5 11 5 12 8 41
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-8
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
22. Kota Malang 1 11 13 9 7 41
23. Kediri 7 6 13 8 6 40
24. Ngawi 5 9 7 7 3 31
25. Pamekasan 9 10 5 3 3 30
26. Lamongan 2 4 6 6 7 25
27. Sampang 6 10 6 1 2 25
28. Sumenep 1 4 5 9 4 23
29. Madiun 7 4 3 3 5 22
30. Bondowoso 6 4 7 2 2 21
31. Bangkalan 2 6 8 2 3 21
32. Kota Pasuruan 3 5 6 1 1 16
33. Kota Probolinggo 4 5 1 0 1 11
34. Kota Surabaya 1 2 3 0 2 8
35. Kota Madiun 2 1 0 2 2 7
36. Kota Blitar 1 0 0 3 1 5
37. Kota Kediri 2 1 0 0 1 4
38. Kota Mojokerto 0 0 0 0 1 1
Sumber: Data diolah dari Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)
Berdasarkan data pada tabel 1.3 tersebut dapat diketahui bahwa Ponorogo
merupakan kabupaten dengan angka kejadian bencana paling tinggi di Jawa Timur
dalam lima tahun terakhir. Kejadian bencana yang terjadi di Kabupaten Ponorogo
sangatlah beragam, datanya seperti pada grafik 1.2 di bawah ini yaitu mulai dari
banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan.
Grafik 1.2 Tren kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo tahun 2015-2019
Sumber: Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-9
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Meskipun tren kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo yang tercantum
pada grafik 1.2 mengalami penurunan pada tahun 2018 dan 2019, namun tetap saja
Kabupaten Ponorogo menjadi penyumbang angka terbesar kejadian bencana di
Jawa Timur selama lima tahun terakhir. Bencana yang terjadi di Kabupaten
Ponorogo tahun 2015-2019 didominasi oleh bencana tanah longsor, yakni seperti
data pada tabel 1.4 terdapat 71 kejadian.
Tabel 1.4 Jumlah kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo tahun 2015-2019
No. Kejadian
Bencana
Tahun Total
2015 2016 2017 2018 2019*
1. Tanah longsor 2 18 29 15 7 71
2.
Kebakaran
hutan dan lahan
(karhutla)
2 0 12 19 0 33
3. Puting beliung 4 4 6 4 5 23
4. Banjir 3 5 5 3 3 19
5. Kekeringan 0 0 0 2 0 2
Total 11 27 52 43 15 148
*periode Januari-Maret 2019
Sumber: Data diolah dari Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (https://dibi.bnpb.cloud/)
Dalam menangani kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo, pemerintah
daerah mempunyai peran yang besar, salah satunya peran dari BPBD Kabupaten
Ponorogo untuk mengembangkan program destana bagi masyarakat yang
terdampak bencana. Agar manajemen bencana dapat menangani kerugian
masyarakat yang terdampak bencana, maka masyarakat perlu menerima intervensi
secara efektif dan adil. Selanjutnya juga perlu adanya perubahan perilaku, yakni
yang sebelumnya seringkali masyarakat kurang memerhatikan apa yang harus
dilakukan ketika bencana melanda, menjadi perilaku yang lebih positif yaitu fokus
pada bagaimana pemerintah memperkuat masyarakat dengan pengembangan
kapasitas yang sangat mendasar termasuk penguatan ikatan sosial.9 Hal tersebut
selaras dengan pernyataan Imam Basori selaku Kepala BPBD Ponorogo pada saat
9 Liza Ireni-Saban, “Challenging Disaster Administration: Toward Community-Based Disaster
Resilience”, Administration & Society Vol. 45 No. 6, 2012, hlm. 652-653
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-10
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
acara Seminar Akhir Pembentukan Desa Tangguh Bencana (10/12/2018) yang
menuturkan bahwa destana dibentuk untuk menguatkan kapasitas masyarakat yang
ada di empat daerah rawan bencana di Ponorogo seperti Banaran, Maguwa,
Tugurejo, dan Dayakan agar menjadi masyarakat yang tangguh bencana dan dapat
segera menyelamatkan diri saat terjadi bencana.10
Berdasarkan data dari BPBD Ponorogo (9/11/2018), terdapat sembilan
kecamatan di Ponorogo yang merupakan daerah rawan bencana longsor,
diantaranya Kecamatan Pulung, Kecamatan Ngebel, Kecamatan Sooko, Kecamatan
Pudak, Kecamatan Sambit, Kecamatan Sawoo, Kecamatan Slahung, Kecamatan
Ngrayun dan Kecamatan Badegan. Sedangkan terdapat dua belas kecamatan yang
merupakan daerah rawan banjir yaitu Kecamatan Ponorogo, Kecamatan Siman,
Kecamatan Mlarak, Kecamatan Balong, Kecamatan Kauman, Kecamatan Babadan,
Kecamatan Sukorejo, Kecamatan Bungkal, Kecamatan Sambit, Kecamatan
Sampung, Kecamatan Slahung dan Kecamatan Jenangan.11 Menurut data Badan
Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Timur pada tahun 2019
terdapat lima belas kecamatan rawan bencana banjir yang terdeteksi masuk dalam
kategori tinggi, diantaranya Kecamatan Jetis, Kecamatan Kauman, Kecamatan
Jambon, Kecamatan Badegan, Kecamatan Sampung, Kecamatan Sukorejo,
Kecamatan Ponorogo, Kecamatan Ngrayun, Kecamatan Sambit, Kecamatan
Sawoo, Kecamatan Sooko, Kecamatan Pulung, Kecamatan Mlarak, Kecamatan
Babadan, dan Kecamatan Jenangan.12
10 Kominfo Ponorogo, “Destana Ciptakan Masyarakat Tangguh Bencana”,
(https://ponorogo.go.id/2018/12/10/destana-ciptakan-masyarakat-tangguh-bencana/, Diakses pada
28 April 2019, 2018) 11 Charolin Pebrianti, “Musim Hujan, 9 Kecamatan di Ponorogo Rawan Longsor”,
(https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4294474/musim-hujan-9-kecamatan-di-ponorogo-
rawan-longsor, Diakses pada 28 April 2019, 2018) 12 Jawa Pos Radar Madiun, “15 Kecamatan di Ponorogo Potensi Tinggi Bencana Banjir”,
(https://radarmadiun.co.id/15-kecamatan-di-ponorogo-potensi-tinggi-bencana-banjir/, Diakses pada
29 Februari 2020, 2019)
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-11
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Pada tabel 1.5 di bawah ini tercantum data desa tangguh bencana di
Kabupaten Ponorogo beserta jenis bahaya yang terjadi dalam periode tahun 2015
hingga 2019. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tanah longsor
merupakan jenis bahaya terjadi pada hampir seluruh wilayah destana di Kabupaten
Ponorogo.
Tabel 1.5 Jenis bahaya di desa tangguh bencana Kabupaten Ponorogo tahun
2015-2019
No. Desa Tangguh Bencana Jenis Bahaya
1. Desa Sooko, Kecamatan Sooko Tanah longsor, angin kencang
2. Desa Jurug, Kecamatan Sooko Tanah longsor, karhutla, angin
kencang, tanah retak
3. Desa Tumpuk, Kecamatan Sawoo Tanah longsor
4. Desa Tempuran, Kecamatan Sawoo Tanah longsor, angin kencang,
tanah retak
5. Desa Banaran, Kecamatan Pulung Tanah longsor
6. Desa Tugurejo, Kecamatan Slahung Tanah longsor, tanah retak,
karhutla
7. Desa Maguwan, Kecamatan Sambit Banjir luapan, karhutla
8. Desa Dayakan, Kecamatan Badegan Tanah longsor, banjir bandang,
kekeringan, kebakaran, angin
kencang, tanah retak
9. Desa Bekiring, Kecamatan Pulung Tanah longsor
10. Desa Slahung, Kecamatan Slahung Tanah longsor, banjir, angin
kencang
Sumber: BPBD Kabupaten Ponorogo
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-12
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Gambar 1.1 Peta bahaya tanah longsor Kabupaten Ponorogo
Sumber: BPBD Kabupaten Ponorogo
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-13
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Gambar 1.2 Peta bahaya tanah longsor Desa Tugurejo
Sumber: BPBD Kabupaten Ponorogo
Gambar 1.1 merupakan peta bahaya tanah longsor di Kabupaten Ponorogo
yang menunjukkan wilayah-wilayah dengan indeks bahaya tanah longsor rendah,
sedang, dan tinggi. Kemudian pada gambar 1.2 dapat dilihat bahwa Desa Tugurejo
merupakan wilayah dengan indeks bahaya tanah longsor kategori tinggi. Namun di
sisi lain, Desa Tugurejo mampu menjadi desa yang tangguh melalui pelaksanaan
program desa tangguh bencana. Hal tersebut dibuktikan dengan keberhasilan Desa
Tugurejo mendapatkan Juara 3 Desa/Kelurahan Terbaik Kategori Utama pada
Lomba Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tingkat Provinsi Jawa Timur Tahun
2019.
Gambar 1.3 Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-14
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Sumber: Profil Desa Tangguh Bencana dan Kampung Tangguh Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo
Destana Tugurejo memiliki inovasi desa dengan membentuk kelompok kerja
bernama Pertahana (Perempuan Tangguh Bencana). Hal tersebut mengantarkan
Desa Tugurejo menjadi wakil Kabupaten Ponorogo untuk maju dalam ajang Bulan
Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) tingkat Provinsi Jawa Timur.13
Bukan hanya Pertahana saja, namun Desa Tugurejo juga memiliki Tagana (Taruna
Tangguh Bencana) yang mana keduanya menjadi salah satu keunggulan Desa
Tugurejo untuk menjuarai lomba destana Provinsi Jawa Timur.14 Berdasarkan
wawancara pendahuluan tanggal 23 Juni 2020, Bapak Siswanto selaku Kepala Desa
Tugurejo memberikan informasi bahwa destana di Desa Tugurejo memiliki sumber
daya manusia (SDM) yang kuat dibandingkan destana lain di Kabupaten Ponorogo,
di samping itu Pertahana di Desa Tugurejo merupakan sebuah gerakan mandiri
yang diinisiasi oleh masyarakat setempat guna mengoptimalkan peran perempuan
dalam kegiatan pra, tanggap, maupun pasca bencana. Bapak Siswanto menjelaskan
bahwa Pertahana Desa Tugurejo merupakan satu-satunya di Indonesia. Melalui
informasi tersebut dapat dilihat bahwa destana di Desa Tugurejo memiliki sumber
daya manusia yang aktif dalam mengurangi risiko bencana di wilayahnya. Hal
itulah yang menjadi pertimbangan bagi peneliti dalam menentukan lokasi penelitian
ini.
Gambar 1.4 Logo Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Sumber: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2014/bn2077-2014.pdf
13 Kominfo Ponorogo, “Desa Tugurejo Maju BBGRM Provinsi Jatim”,
(https://ponorogo.go.id/2019/06/19/desa-tugurejo-maju-bbgrm-provinsi-jatim/, Diakses pada 2 Mei
2020, 2019) 14 Kominfo Ponorogo, “Wabup: Destana Tugurejo Bisa Menjadi Yang Terbaik”,
(https://ponorogo.go.id/2019/09/10/wabup-destana-tugurejo-bisa-menjadi-yang-terbaik/, Diakses
pada 2 Mei 2020, 2019)
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-15
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pakaian Dinas dan Atribut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dilampirkan penjelasan terkait makna logo BNPB.
Segitiga warna biru yang terletak di tengah lingkaran oranye melambangkan misi
BNPB, perlindungan kepada masyarakat terhadap ancaman bencana, serta
pelaksanaannya melibatkan peran dari pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.15
Dengan kata lain, BNPB memang merupakan leading sector penanggulangan
bencana di Indonesia, sedangkan BPBD di tingkat kota dan kabupaten merupakan
perpanjangan tangan dari BNPB. Namun, dalam pelaksanaannya membutuhkan
peran aktif dari pemerintah (state/government), masyarakat (civil society), dan
dunia usaha (private sector) yang merupakan komponen dari governance seperti
yang diilustrsikan pada gambar 1.4 berikut ini.16
Sumber: United Nation Development Programme (UNDP)
Menurut hasil wawancara pendahuluan pada tanggal 23 Juni 2020 dengan
Bapak Siswanto selaku Kepala Desa Tugurejo, terdapat berbagai macam peran
pemerintah mulai dari level desa, kabupaten, provinsi, hingga kementerian dalam
proses penanggulangan bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung. Pada level
desa, pemerintah desa mendukung kegiatan tagana dan pertahana dengan adanya
15 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 15 Tahun 2014 Tentang
Pakaian Dinas dan Atribut Badan Nasional Penanggulangan Bencana 16 United Nation Development Programme, Participatory Local Governance, (New York: Local
Initiative Facility for Urban Environment, Management Development and Government Division
UNDP, 1997)
state civil
society
private
sector
Gambar 1.5 Komponen governance
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-16
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
surat keterangan (SK) yang memperkuat eksistensi mereka dalam mengurangi
risiko bencana di wilayahnya. Pada level kabupaten, di Kabupaten Ponorogo
sendiri, pihak yang selalu terjun langsung yaitu BPBD Kabupaten Ponorogo yang
berperan dalam proses evakuasi, pencegahan, dan mitigasi. Selain itu Dinas Sosial,
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Andak (P3A) Kabupaten Ponorogo
juga terlibat dalam menangani dampak sosial akibat dari bencana, terkait juga
dengan logistik dan tempat tinggal (pengungsian). Dinas Komunikasi Informatika
dan Statistik Kabupaten Ponorogo juga turut serta menyampaikan berita tentang
kebencanaan di Desa Tugurejo melalui laman ponorogo.go.id. Pada level provinsi,
BPBD Provinsi Jawa Timur turut memberikan sosialisasi dan alat EWS (early
warning system). Pada level kementerian, Tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) melalui BPBD Kabupaten Ponorogo melakukan pengecekan
calon lokasi untuk relokasi Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Tugurejo dan
permukiman warga.17 Pihak TNI yang diwakili oleh Bintara Pembina Desa
(Babinsa) Desa Tugurejo dan pihak kepolisian yang diwakili oleh Bhayangkara
Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Desa Tugurejo
juga turut berperan dalam memberikan sosialisasi terkait kebencanaan kepada
masyarakat Desa Tugurejo. Upaya seperti itu memang harus dilakukan karena
ikatan masyarakat tidak dapat dipertahankan jika institusi pada administrasi publik
tidak dapat menanggapi bencana dengan cara yang efektif dan adil.18
Peran masyarakat (civil society) dapat berasal dari kelompok masyarakat,
akademisi, dan media. Pada ruang lingkup Desa Tugurejo terdapat kelompok
masyarakat yaitu Tagana dan Pertahana yang secara aktif bergerak untuk
menanggulangi bencana. Tagana berperan dalam pencegahan, mitigasi, dan
evakuasi. Sedangkan pertahana berperan pada penanganan pasca bencana.
Berdasarkan wawancara pendahuluan pada 23 Juni 2020 dengan Pak Siswanto
didapatkan informasi bahwa LPBI NU dan PMI Ponorogo merupakan kelompok
17 Kominfo Ponorogo, “Kades Tugurejo: Kalau Aman, Warga Ingin Relokasi Tahun Ini”,
(https://ponorogo.go.id/2020/02/20/kades-tugurejo-kalau-aman-warga-ingin-relokasi-tahun-ini/,
Diakses pada 26 Mei 2020, 2020) 18 Saban, Loc.Cit.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-17
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
masyarakat yang turut serta berkontribusi dalam pengurangan risiko bencana di
Desa Tugurejo. Contoh aktivitas yang dilakukan yaitu reboisasi dengan menanam
bibit pohon beringin di beberapa wilayah desa Tugurejo dalam rangka
menyelamatkan sumber mata air.19 Kegiatan tersebut masuk dalam serangkaian
acara peluncuran Gerak Warog (Gerakan Reboisasi, Alam, Kehutanan dan Wilayah
Air, Rakyat Obah Gumregah). Gerak Warog adalah inisiatif gerakan penanaman
hingga pemeliharaan untuk menjaga kelestarian alam.20 Organisasi Radio Antar
Penduduk Indonesia (RAPI) juga turut serta membantu fasilitasi terkait informasi
kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo terutama daerah rawan bencana yang
berada di perbukitan dan cukup jauh dari pusat pemerintahan.21 Komunitas
(Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Sub Rayon Tugurejo dan komunitas
Ponorogo Peduli juga terlibat dalam penanggulangan bencana di Desa Tugurejo
dengan memberikan bantuan sembako pada masyarakat yang terdampak bencana.
Dalam hal kebencanaan, Desa Tugurejo juga menjalin silaturahmi yang baik
dengan akademisi. Tim penelitian dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor
Ponorogo memilih Desa Tugurejo dengan membawa dokumen-dokumen milik
pemerintah desa untuk bahan observasi dan kajian mengenai kebencanaan. Alasan
memilih Desa Tugurejo yaitu karena Desa Tugurejo merupakan contoh pengelolaan
destana yang baik di Kabupaten Ponorogo.
Desa Tugurejo juga bersinergi dengan pihak media. Menurut informasi dari
Bapak Siswanto saat wawancara pendahuluan, sejauh ini media yang paling efektif
adalah radio. Salah satu mitra Desa Tugurejo yang komunikasinya paling intens
yaitu radio Gema Surya. Di samping itu juga ada dari radio Duta Nusantara
Ponorogo, Radio Songgolangit, dan reporter TV-One juga turut memberitakan
bencana dan menjalin komunikasi yang baik dengan Desa Tugurejo.
19 Cerita Relawan, “PMI Ponorogo Ikuti Penghijauan bersama Bupati Ipong & Gerak Warok di
Tugurejo”, (https://www.ceritarelawan.id/2020/01/pmi-ponorogo-ikuti-penghijauan-bersama.html,
Diakses pada 20 Juni 2020, 2020) 20 Kominfo Ponorogo, “Bupati Ipong, Luncurkan Gerak Warog”,
(https://ponorogo.go.id/2020/01/18/bupati-ipong-luncurkan-gerak-warog/, Diakses pada 20 Juni
2020, 2020)
I. 21 Yusron Al-Fatah, “Permudah Akses Informasi, BPBD Ponorogo Gandeng RAPI Sebagai
Koordinator Di Setiap Kecamatan”, (https://rri.co.id/madiun/daerah/780128/permudah-akses-
informasi-bpbd-ponorogo-gandeng-rapi-sebagai-koordinator-di-setiap-kecamatan, Diakses pada 29
April 2020, 2020)
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-18
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Selanjutnya dunia usaha juga terlibat dalam pengurangan risiko bencana di
Desa Tugurejo Kecamatan Slahung, khususnya pada aspek logistik. Menurut
informasi dari Bapak Siswanto, sejauh ini dunia usaha yang pernah membantu Desa
Tugurejo dalam menanggulangi bencana yaitu Perkumpulan Peternak Ayam
Petelur Ponorogo (PPAPP). Kemudian Perum Perhutani melalui Resort
Pemangkuan Hutan (RPH) Guyangan juga turut aktif berperan dalam hal sosialisasi
kebencanaan dan memberikan bantuan kepada korban bencana.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa peran dari
berbagai komponen governance sangat diperlukan dalam penanggulangan bencana
di Desa Tugurejo. Agar unsur-unsur dari tiga komponen tersebut dapat dibedakan
dengan jelas, maka peneliti memetakan pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam penanggulangan bencana di Desa Tugurejo seperti yang tercantum tabel 1.6
berikut ini:
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-19
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Tabel 1.6 Pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penanggulangan bencana
di Desa Tugurejo
Pemerintah
(Government)
Masyarakat (Civil Society) Dunia Usaha
(Private Sector) Kelompok
Masyarakat Akademisi Media
1. Level Desa
Pemerintah Desa
Tugurejo
2. Level Kabupaten
- BPBD
Kabupaten
Ponorogo
- Dinas Sosial
P3A Kabupaten
Ponorogo
- Dinas Kominfo
dan Statistik
Kabupaten
Ponorogo
3. Level Provinsi
BPBD Provinsi
Jawa Timur
4. Level Kementerian
Tim PVMBG
Badan Geologi
Kementerian
ESDM
5. Babinsa
6. Bhabinkamtibmas
1. Tagana
2. Pertahana
3. LPBI NU
4. PMI
Ponorogo
5. Organisasi
Radio Antar
Penduduk
Indonesia
(RAPI)
6. Komunitas
Ponorogo
Peduli
7. PSHT Sub
Rayon
Tugurejo
Tim Dosen
UNIDA
Gontor
Ponorogo
1. Radio Gema
Surya
2. Radio Duta
Nusantara
Ponorogo
3. Radio
Songgolangit
4. TV-One
1. Perkumpulan
Peternak
Ayam
Petelur
Ponorogo
(PPAPP)
2. Perum
Perhutani
RPH
Guyangan
Sumber: dokumen pribadi peneliti
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-20
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Dari fenomena tersebut dapat disebutkan bahwa program desa tangguh
bencana di Desa Tugurejo telah menerapkan tata kelola adaptif (adaptive
governance) di level desa. Tata kelola yang adaptif mencakup gambaran besar tidak
hanya secara geografis, tetapi juga secara kelembagaan yaitu semua lembaga formal
dan informal.22 Tata kelola yang adaptif memiliki tujuan untuk mengatasi masalah
ketidakadilan dengan fokus pada dimensi kelembagaannya.23 Institusi juga menjadi
salah satu faktor penentu adaptasi (di samping faktor lain seperti pengetahuan,
teknologi, pendidikan atau kesehatan) yang mempengaruhi kejadian dan sifat
adaptasi yang mana dengan demikian mampu membatasi kerentanan sistem dan
dampak residualnya.24 Tata kelola adaptif sering mengatur diri sendiri sebagai
jejaring sosial dengan tim dan kelompok aktor yang memanfaatkan berbagai sistem
pengetahuan dan pengalaman untuk pengembangan pemahaman dan kebijakan
bersama.25 Dalam hal ini, Desa Tugurejo tidak bekerja sendiri, namun juga
melibatkan berbagai aktor seperti pemerintah, masyarakat (kelompok masyarakat,
media, akademisi) dan dunia usaha untuk mengurangi risiko bencana di daerahnya.
Terdapat lima penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan bagi
penelitian ini. Pertama, hasil pemikiran dari Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan
Frank Thomalla yang tercantum dalam artikel jurnal yang berjudul “Adaptive
Governance and Managing Resilience to Natural Hazards” yang menjelaskan
bahwa terdapat empat karakteristik penting dalam tata kelola adaptif untuk
meningkatkan ketahanan terhadap bencana alam.26 Djalante et al. juga menyertakan
studi kasus terkait karateristik tata kelola adaptif yang diimplementasikan pada
konteks bencana di beberapa wilayah. Bidang kajian dari pemikiran Djalante et al.
dan penelitian ini memang sama, yaitu terkait karakteristik tata kelola adaptif pada
ketahanan bencana alam. Namun studi kasus yang diberikan oleh Djalante et al.
22 Margot A. Hurlbert, Adaptive Governance of Disaster: Drought and Flood in Rural Areas,
(Switzerland: Springer International Publishing, 2018), hlm. 1 23 Ibid., hlm. 5 24 James J. McCarthy dkk. (eds.), Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), hlm. 893 25 Carl Folke, Thomas Hahn, Per Olsson, and Jon Norberg, “Adaptive Governance of Social-
Ecological System”, Annual Review of Environment and Resources Vol. 30, 2005, hlm. 441 26 Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank Thomalla, “Adaptive Governance and Managing
Resilience to Natural Hazards”, International Journal of Disaster Risk Science Vol. 2 No. 4, 2011,
hlm. 3
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-21
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
memiliki level analisis di tingkat regional hingga global. Sehingga research gap
dari pemikiran Djalante el al. dan penelitian ini yaitu peneliti hendak mengisi
kekosongan dengan melakukan penelitian konteks bencana di level desa.
Kedua, penelitian tesis dari Reiza Syarini yang berjudul “Adaptive
Governance Characteristics of Yogyakarta Special Region PROKLIM (Climate
Village Program) Villages”. Dalam penelitian tersebut, Syarini fokus meneliti tiga
kampung iklim yang menjadi model bagi masyarakat lokal dalam membangun
ketahanan iklim. Syarini mengkaji tentang tiga karakteristik tata kelola adaptif
yakni manakah karakteristik yang paling signifikan dalam proses membangun
ketahanan iklim bagi masyarakat di desa-desa PROKLIM.27 Temuan yang
dihasilkan yaitu partisipasi menjadi karakteristik yang paling menonjol. Penelitian
Syarini menggunakan teori tata kelola adaptif dari Djalante et al. yang sudah
dijelaskan di paragraf sebelumnya. Hanya saja Syarini sedikit memodifikasi
karakteristik tersebut dengan menggabungkan dua karakteristik, totalnya menjadi
tiga karakteristik.28 Penelitian ini merujuk tiga karakteristik tersebut karena
penelitian ini sama-sama dilakukan pada level desa. Research gap pada penelitian
Syarini dan penelitian ini yaitu Syarini mengaitkan karakteristik tata kelola adaptif
dengan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim, sedangkan penelitian ini
berfokus pada ketahanan masyarakat terhadap bencana alam.
Ketiga, penelitian tesis milik Septiana Sintauri dari program studi magister
manajemen bencana Universitas Gadjah Mada dengan titel “Partisipasi Masyarakat
Dalam Program Desa Tangguh Bencana (Studi Kasus Di Desa Poncosari
Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul)”. Penelitian Sintauri bertujuan untuk
mengidentifikasi aktivitas masyarakat serta melakukan analisis bentuk dan derajat
partisipasi masyarakat dalam program desa tangguh bencana.29 Penelitian Sintauri
dan penelitian ini memiliki kesamaan yaitu mengkaji desa tangguh bencana.
27 Reiza Syarini, Tesis: “Adaptive Governance Characteristics of Yogyakarta Special Region
PROKLIM (Climate Village Program) Villages”, (Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2017),
hlm. x 28 Syarini, Op.Cit., hlm. 30 29 Septiana Sintauri, Tesis: “Partisipasi Masyarakat Dalam Program Desa Tangguh Bencana
(Studi Kasus Di Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul)”, (Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada, 2017), hlm. x
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-22
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Penelitian ini dapat menjadi pelengkap penelitian Sintauri. Research gap pada
penelitian Sintauri dan penelitian ini yaitu peneliti bukan hanya menganalisis dari
aspek partisipasi masyarakat saja, namun peneliti melihat pada institusi polisentris,
partisipasi, serta pembelajaran dan inovasi yang merupakan kesatuan dari teori tata
kelola adaptif di level desa. Peneliti menggunakan pisau analisis yang lebih
komprehensif dalam kajian desa tangguh bencana.
Keempat, penelitian dari Muhamad Fajar Pramono, Setiawan Bin Lahuri, dan
Mohammad Gozali yang telah diterbitkan dalam versi buku berjudul “Pengelolaan
Bencana Longsor Kabupaten Ponorogo Dari Aspek Sosiologis”30. Selain itu
penelitian beliau juga diterbitkan dalam versi jurnal dengan judul “Disaster
Resilient Village Based on Sociocultural in Ponorogo”31. Penelitian tersebut
mengkaji model pengelolaan desa tangguh bencana yang baik berdasarkan aspek
sosiokultural di Ponorogo. Research gap pada penelitian Pramono et al. dan
penelitian ini yaitu dalam penelitian Pramono et al, Desa Tugurejo dijadikan model
desa tangguh bencana di Ponorogo dan dikaji dalam aspek sosiologis. Sedangkan
penelitian ini berusaha mengisi kekosongan dengan meneliti keberhasilan Desa
Tugurejo pada aspek tata kelola desa adaptif.
Kelima, penelitian dari Galih Marendra, Edi Santosa, dan Nunik Retno H.
yang berjudul “Kapasitas Kelembagaan dan Kearifan Lokal dalam Antisipasi
Penanggulangan Bencana Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Klaten (Studi Kasus di
Desa Balerante Kecamatan Kemalang)”.32 Marendra et al. meneliti kapasitas
kelembagaan dan potensi kearifan lokal dalam mengantisipasi penanggulangan
bencana Merapi tahun 2010 serta hambatan-hambatan yang dihadapi. Sedangkan
penelitian ini berusaha mengisi kekosongan penelitian Marendra et al. dengan
30 Muhamad Fajar Pramono, Setiawan Bin Lahuri, dan Mohammad Ghozali, Pengelolaan Bencana
Longsor Kabupaten Ponorogo Dari Aspek Sosiologis, (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2020),
hlm. 3 31 Muhamad Fajar Pramono, Setiawan Bin Lahuri, dan Mohammad Ghozali, “Disaster Resilient
Village Based on Sociocultural in Ponorogo”, MIMBAR Jurnal Sosial dan Pembangunan Vol. 36
No. 1, 2020, hlm. 63 32 Galih Marendra, Edi Santosa, dan Nunik Retno H., “Kapasitas Kelembagaan dan Kearifan Lokal
dalam Antisipasi Penanggulangan Bencana Merapi Tahun 2010 di Kabupaten Klaten (Studi Kasus
Di Desa Balerante Kecamatan Kemalang)”, Journal of Politic and Government Studies Vol.3 No.3,
2014, hlm. 276
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-23
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
meneliti aspek kelembagaan sekaligus partisipasi masyarakat serta pembelajaran
dan inovasi yang merupakan kesatuan teori tata kelola adaptif dalam konteks
penanggulangan bencana level desa.
Berdasarkan permasalahan empiris (empirical problem) dan permasalahan
teoritis (theoritical problem) yang telah dijelaskan, maka urgensi penelitian ini
yaitu pada rujukan penelitian terdahulu belum ada yang meneliti tentang
keberhasilan program desa tangguh bencana dalam perspektif tata kelola adaptif di
level desa. Terdapat penelitian sebelumnya yang mengkaji tata kelola adaptif,
namun level analisisnya tingkat regional hingga global. Selanjutnya terdapat
penelitian lain terkait tata kelola adaptif di level desa, namun konteksnya bukan
ketahanan terhadap bencana alam, melainkan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Kemudian peneliti sebelumnya hanya mengkaji desa tangguh bencana dari aspek
partisipasi masyarakat saja. Bukan hanya itu, namun juga terdapat peneliti yang
mengkaji Desa Tugurejo sebagai model desa tangguh bencana di Kabupaten
Ponorogo, hanya saja peneliti tersebut fokus pada aspek sosiologis. Selanjutnya
juga terdapat penelitian tentang penanggulangan bencana yang fokus pada
kelembagaan dan kearifan lokal saja. Hal itu mendorong peneliti untuk menggali
lebih lanjut terkait keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village
governance) guna meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana alam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana fenomena keberhasilan program desa
tangguh bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam
perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance)?
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-24
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini
memiliki tujuan untuk mendeskripsikan, mendokumentasikan, dan
mengidentifikasi fenomena keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa
Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam perspektif tata kelola
desa adaptif (adaptive village governance).
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Berdasarkan analisis studi terdahulu, research gap antara penelitian ini
dengan penelitian terdahulu yaitu belum ada yang meneliti tentang keberhasilan
program desa tangguh bencana dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive
village governance). Maka penelitian ini diharapkan membawa manfaat dengan
memberikan kajian terkait keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa
Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam perspektif tata kelola
desa adaptif (adaptive village governance) mampu meningkatkan ketahanan
masyarakat terhadap bencana alam yang terjadi. Hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan pengembangan ilmu administrasi negara khususnya pada
aspek kelembagaan (institutional) serta dapat menjadi bahan rujukan bagi
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan keberhasilan program desa tangguh
bencana dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance).
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada
pemangku kepentingan seperti pemerintah, civil society (kelompok masyarakat,
akademisi, media) dan dunia usaha yang terlibat dalam program desa tangguh
bencana di Desa Tugurejo sebagai bahan perbaikan kinerja agar lebih mampu
mengoptimalkan peran untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana alam,
khususnya dalam program desa tangguh bencana. Selanjutnya melalui keberhasilan
program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten
Ponorogo dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance)
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-25
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
diharapkan mampu menjadi lesson learnt dalam mengurangi risiko bencana di
daerah rawan bencana. Dengan begitu, pemerintah kabupaten/kota lain yang
memiliki daerah rawan bencana dapat membina desa/kelurahannya agar memiliki
ketangguhan di level desa/kelurahan dengan melakukan studi banding melalui hasil
penelitian ini.
1.5 Kerangka Teori
W. Lawrence Neuman menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Social
Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches” bahwa teori mampu
memudahkan peneliti untuk memperluas pemahaman terkait kerumitan sebuah
fenomena sosial.33 Teori juga mempertajam pemikiran peneliti tentang hal-hal yang
dilakukan dalam penelitian. Apabila teori yang digunakan jelas dan eksplisit, maka
orang lain dapat menangkap maksud penelitian dengan mudah.34
Dalam bab ini peneliti memaparkan teori tentang tata kelola adaptif (adaptive
governance), hasil pemikiran dari Djalante et al, yang menjelaskan bahwa terdapat
empat karakteristik tata kelola adaptif yang penting dalam meningkatkan ketahanan
masyarakat terhadap bencana alam.35 Empat karakteristik tersebut yaitu institusi
polisentris dan multilayer, partisipasi dan kolaborasi, pengorganisasian diri dan
jaringan, serta pembelajaran dan inovasi. Hasil pemikiran Djalante et al. tersebut
level analisisnya tingkat regional hingga global. Masih terdapat kekosongan yang
belum mampu diisi oleh Djalante et al. yaitu penelitian terkait kebencanaan yang
level analisisnya tingkat desa.
Selanjutnya dalam bab ini peneliti juga menyuguhkan pemikiran Syarini yang
merupakan hasil modifikasi teori dari Djalante et al. dengan menggabungkan dua
karakteristik menjadi satu karakteristik karena memiliki indikator yang serupa
untuk analisis level desa. Totalnya terdapat tiga karakteristik, yaitu institusi
polisentris dan jaringan, partisipasi, serta pembelajaran dan inovasi.36 Meskipun
33 W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches
(Seventh Edition), (London: Pearson Education Limited, 2014), hlm. 56 34 Ibid., hlm. 58 35 Djalante et.al., Loc.Cit. 36 Syarini, Loc.Cit.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-26
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
sama-sama meneliti tata kelola adaptif di level desa, penelitian Syarini lebih
berfokus dalam mengaji ketahanan terhadap perubahan iklim. Masih terdapat ruang
kosong yang belum mampu diisi oleh Syarini yaitu penelitian tata kelola adaptif di
level desa pada bidang kajian ketahanan terhadap bencana alam.
Peneliti berusaha mengisi ruang kosong yang belum mampu diisi oleh
Djalante et al. dan Syarini dengan melakukan penelitian tentang tata kelola adaptif
pada ketahanan terhadap bencana alam di level desa. Selanjutnya peneliti akan
mengkategorikan pemikiran Syarini ke dalam teori tata kelola desa adaptif
(adaptive village governance). Di samping itu, peneliti juga menyajikan teori
ketahanan masyarakat untuk memberikan pemahaman lebih lanjut terkait
bagaimana ketahanan masyarakat terhadap bencana alam yang selaras dengan teori
tata kelola adaptif hasil pemikiran dari Djalante et al. Kemudian, peneliti juga
menyuguhkan teori kesetaraan gender dalam penanggulangan bencana sebagai teori
pendukung untuk diinterpretasikan dengan hasil temuan di lapangan.
Sebelum memaparkan teori tata kelola adaptif, peneliti akan terlebih dahulu
menyajikan teori kelembagaan. Teori tata kelola adaptif juga menggunakan
pendekatan kelembagaan. Seperti pendapat dari Toddi Steelman yang merujuk pada
pemikiran Brunner dengan membagi tata kelola adaptif menjadi tiga cabang utama
— pendekatan sosio-ekologis, kelembagaan, dan ilmu kebijakan.37 Pendekatan
kelembagaan dalam tata kelola adaptif menjadi pendekatan yang relevan dengan
hasil penelitian ini.
1.5.1 Kelembagaan (Institutional)
Lembaga formal bukan satu-satunya sumber pemerintahan kontemporer. Hal
tersebut jelas benar, dan telah benar secara historis maupun dalam periode
kontemporer. Namun demikian, sulit untuk memahami tata kelola tanpa referensi
ke lembaga formal pemerintah. Bahkan jika lembaga-lembaga ini hanya berfungsi
untuk memberikan “bayangan hierarki” untuk tindakan aktor lain, mereka penting.
Peran lembaga umumnya meluas, bagaimanapun, jauh melampaui peran yang agak
37 Toddi Steelman, “Adaptive governance”, dalam Handbook on Theories of Governance, ed.
Christopher Ansell dan Jacob Torfing (UK: Edward Elgar Publishing, 2016), hlm. 538
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-27
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
pasif itu. Untuk memahami bentuk-bentuk pemerintahan kontemporer, maka harus
memahami peran yang dimainkan oleh institusi.38
Dalam menguraikan peran lembaga dan teori kelembagaan dalam tata kelola
(governance), B. Guy Peters akan melakukan dua tugas utama. Yang pertama
adalah menguraikan cara teori kelembagaan menjelaskan bagaimana tata kelola
disediakan dan peran struktur formal dalam menyediakan komoditas penting bagi
masyarakat dan ekonomi. Tugas kedua adalah bergerak melampaui gagasan formal
lembaga dan memeriksa peran struktur yang kurang formal dalam tata kelola.
Meskipun tidak memiliki formalisasi hukum dari beberapa lembaga yang terlibat
dalam pemerintahan, lembaga informal ini merupakan mekanisme penting untuk
memberikan pengarahan. Struktur kelembagaan informal perlu dipahami dengan
sendirinya tetapi juga melalui interaksinya dengan struktur formal.39
Keunggulan utama dari pendekatan kelembagaan adalah bahwa ia harus,
setidaknya pada prinsipnya, fokus pada organisasi dan lembaga dalam sektor publik
yang membuat dan melaksanakan kebijakan publik. Dalam “old institutionalism”,
fokus pada struktur pemerintahan formal seperti legislatif atau kabinet menekankan
peran institusi dalam pemerintahan. Sedangkan dalam “new institutionalism”,
memiliki potensi untuk menjelaskan pola tata kelola.40
Memahami peran institusi dalam pemerintahan membutuhkan beberapa
pertimbangan tentang sistem politik yang melaluinya pemerintahan disediakan.
Sistem politik terfragmentasi secara vertikal dan horizontal. Baik dimensi
fragmentasi horizontal maupun vertikal menghadirkan tantangan tata kelola, tetapi
juga menghadirkan peluang untuk membangun lembaga yang dapat
mengintegrasikan beragam aktor dan preferensi. Kapasitas untuk beradaptasi dan
menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah — lingkungan dan politik —
adalah pertanyaan sentral lainnya untuk penggunaan teori kelembagaan dalam
mempelajari tata kelola. Salah satu kebajikan yang dianggap baik dari lembaga
adalah bahwa mereka memberikan stabilitas, sedangkan dugaan keburukan adalah
38 B. Guy Peters, “Institutional theory”, dalam Handbook on Theories of Governance, ed.
Christopher Ansell dan Jacob Torfing (UK: Edward Elgar Publishing, 2016), hlm. 308 39 Ibid. 40 Ibid., hlm. 309
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-28
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
bahwa mereka kaku dan menghadapi kesulitan dalam mengubah pola tata kelola
mereka. Oleh karena itu, Peters melakukan berbagai pendekatan terhadap
institusionalisme, dengan memperhatikan kapasitas lembaga yang adaptif dan
inovatif. Lebih lanjut, kapasitas untuk beradaptasi ini mungkin lebih nyata dalam
pembentukan struktur informal yang lebih atau kurang yang dapat melengkapi, atau
bahkan menggantikan, tindakan lembaga formal.41
Untuk tujuan pemeriksaan implikasi tata kelola dari teori kelembagaan, Peters
membahas lima perspektif alternatif tentang lembaga: sosiologis, pilihan rasional,
historis, empiris dan diskursif. Pendekatan ini memiliki beberapa fitur umum tetapi
juga memiliki perbedaan substansial, yang digabungkan dengan perhatian bersama
dengan peran struktur dalam mendefinisikan perilaku individu.42
1) Institusionalisme Sosiologis (Sociological Institutionalism)
Dalam sebagian besar analisis, terdapat satu versi teori kelembagaan dengan
latar belakang sosiologis yang kuat yang bergantung pada berbagai instrumen
normatif untuk melakukan kontrol atas, atau setidaknya untuk mengelola,
anggota lembaga. Logika internal dari pendekatan ini adalah preferensi
individu yang bergabung dalam suatu institusi dibentuk oleh institusi tersebut.
Oleh karena itu tindakan mereka dibentuk oleh nilai-nilai dan simbol di
dalamnya.43 Sementara instrumen normatif yang terlibat dalam versi
institusionalisme ini didiskusikan terutama sebagai alat untuk mengubah
perilaku individu, penekanan pada nilai juga dapat digunakan sebagai alat
untuk menghasilkan pemerintahan.
2) Institusionalisme Pilihan Rasional (Rational Choice Institutionalism)
Pendekatan institusi ini berfokus pada kapasitas institusi untuk menyelesaikan
aksi kolektif masalah. Untuk versi pilihan rasional dari institusionalisme,
instrumen utama yang tersedia untuk kontrol secara internal adalah aturan.
Aturan-aturan ini dirancang untuk mengatasi kepentingan pribadi individu,
atau mungkin mewakili cara-cara di mana para pelaku dapat menampung
41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid., hlm. 310
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-29
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
kepentingan pribadi orang lain serta diri mereka sendiri untuk membuat
keputusan yang dapat menghasilkan lebih banyak manfaat kolektif.44
Penekanan pada pengambilan keputusan dan kapasitas untuk menyelesaikan
beberapa jenis masalah sosial yang sulit memiliki relevansi yang jelas untuk
tata kelola. Memang, pendekatan terhadap institusi ini memiliki perhatian yang
lebih langsung pada tata kelola daripada versi sosiologis yang dibahas
sebelumnya. Sedangkan pendekatan sosiologis mengandung seperangkat
instrumen yang sangat kuat untuk mengontrol perilaku anggota lembaga
tertentu, namun fokusnya cenderung kurang pada masalah tata kelola.
Pendekatan pilihan rasional cenderung dimulai dengan kesulitan membuat
keputusan, dan terutama keputusan berkualitas tinggi, dalam menghadapi
hambatan keputusan tersebut. Seperti halnya pendekatan sosiologis, sebagian
besar relevansi pendekatan pilihan rasional adalah untuk masalah tingkat mikro
dalam tata kelola. Demikian juga, penekanan pada pengambilan keputusan di
dalam lembaga cenderung berfokus pada lembaga tertentu daripada organisasi
dan lembaga yang lebih luas yang terlibat dalam pemerintahan. Perumusan
melibatkan penyatuan seperangkat aturan, insentif dan disinsentif, dan proses
itu merupakan inti dari pendekatan pilihan rasional.45
3) Institusionalisme Historis (Historical Institutionalism)
Dalam versi pendekatan institusionalis umum ini, institusi ditentukan sebagian
oleh ide-ide dan sebagian oleh persistensi ide-ide tersebut dalam kebijakan dan
struktur. Artinya, setelah dibuat, kebijakan atau organisasi di sektor publik
dikatakan dibentuk oleh "jalur ketergantungan" dan terus berjalan di jalur yang
ditentukan dalam "momen formatif" hingga dipaksa untuk berubah. Perspektif
institusionalis historis tampak kurang dapat digunakan sebagai alat untuk
memahami tata kelola tingkat makro, meskipun dengan sedikit perluasan
argumen dapat dibuat. Kerangka dasar institusionalisme historis relevan untuk
mempelajari sebagian besar elemen pembuatan kebijakan, dengan
pengecualian mungkin implementasinya. Perkembangan beberapa ide tentang
44 Ibid., hlm. 311 45 Ibid., hlm. 312
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-30
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
perubahan kelembagaan dalam kerangka tersebut, bagaimanapun, membuka
analisis untuk lebih memikirkan perumusan kebijakan atau bahkan penetapan
tujuan.46
4) Institusionalisme Empiris (Empirical Institutionalism)
Dalam versi institusionalisme ini, gagasan tentang lembaga adalah akal sehat
salah satu struktur, tetapi pertanyaan yang sedang dijawab tetap menjadi
pertanyaan penting untuk tata kelola. Berbeda dengan pendekatan lain,
motivasi utama dari bentuk kelembagaan ini adalah analisis tata kelola tingkat
makro.47 Format kelembagaan seperti pemerintahan parlementer dan
presidensial dapat diharapkan memiliki pengaruh yang luas terhadap
pemerintahan, meskipun juga dengan beberapa pengaruh di tingkat mikro.
5) Institusionalisme Diskurif (Discursive Institutionalism)
Versi terakhir dari institusionalisme, sampai taraf tertentu mirip dengan
institusionalisme sosiologis dan historis, sebagian besar ditentukan oleh
gagasan. Kelembagaan diskursif berpendapat bahwa lembaga mencerminkan
wacana di antara anggota lembaga, dan antara lembaga dan lingkungannya.48
Sebagaimana dicatat, pendekatan diskursif memiliki beberapa kesamaan
dengan institusionalisme sosiologis tetapi berbeda dalam beberapa hal. Yang
terpenting adalah bahwa struktur normatif suatu lembaga dalam pendekatan
sosiologis cenderung mapan dan direplikasi melalui sosialisasi anggota baru,
dalam pendekatan diskursif norma lebih diperebutkan. Di sisi lain,
bagaimanapun, wacana koordinatif dalam model lembaga ini merupakan
keseimbangan sementara, dan tunduk pada diskusi berkelanjutan di antara
anggota. Dalam konsepsi ini, lembaga lebih didefinisikan oleh wacana yang
berkelanjutan di antara para anggota daripada dengan keseimbangan yang
stabil dan serangkaian pernyataan yang disepakati tentang apa arti lembaga
tersebut. Seperti halnya perspektif sosiologis atau normatif tentang lembaga,
model diskursif lebih efektif dalam menjelaskan tata kelola tingkat mikro
46 Ibid., hlm. 313 47 Ibid., hlm. 314 48 Ibid., hlm. 315
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-31
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
daripada dalam menangani tata kelola makro. Namun dalam kenyataannya,
konsepsi lembaga yang agak tidak kekal ini, berbeda dengan kebanyakan
lembaga lainnya, dapat mempersulit pemerintahan bahkan di tingkat mikro.
Sementara lembaga mungkin dikritik karena mungkin terlalu stabil untuk
beradaptasi secara memadai dengan tuntutan tata kelola yang berubah, versi
diskursif tampaknya tidak cukup permanen untuk memberikan arahan
berkelanjutan.49
Lembaga Informal untuk Tata Kelola (Informal Institutions for Governance)
Istilah “lembaga informal” mungkin tampak sebagai oksimoron, dan untuk
konsepsi lembaga yang lebih tradisional, istilah tersebut memang demikian. Untuk
memeriksa pola-pola tata kelola yang lebih informal, namun melembaga ini, Peters
menggunakan konsep “struktur tata kelola” (governance structure). Konsep ini
sejalan dengan “struktur implementasi” yang telah digunakan untuk mempelajari
implementasi kebijakan yang melibatkan berbagai aktor. Struktur ini mewakili pola
interaksi yang stabil di antara sejumlah organisasi, lembaga, dan bahkan pelaku
individu baik di sektor publik maupun swasta.50
Struktur ini akan memenuhi setidaknya definisi minimalis dari institusi
dengan memiliki interaksi berpola selama periode waktu tertentu, dan struktur
berinteraksi untuk memberikan tata kelola. Tata kelola yang diberikan biasanya
dalam satu area kebijakan tetapi pada prinsipnya dapat diperluas untuk mencakup
domain kebijakan yang lebih luas. Struktur tata kelola ini juga akan memenuhi
kriteria yang lebih ketat untuk institusi. Hal ini paling jelas berlaku untuk perspektif
normatif atau sosiologis. Dalam pandangan ini, pelembagaan melibatkan
penanaman struktur dengan nilai-nilai. Struktur tidak hanya berfungsi tetapi juga
mulai memiliki arti bagi anggota struktur itu.51 Para anggota ini, sekali lagi apakah
individu atau organisasi dalam hal ini, percaya bahwa pola interaksi mereka penting
bagi mereka, dan juga bagi masyarakat. Ini bukanlah hubungan mekanis sederhana
49 Ibid. 50 Ibid., hlm. 316 51 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-32
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
yang diperlukan untuk melakukan tugas, melainkan bagian penting dari kehidupan
profesional dan bahkan pribadi mereka.
Dalam konsepsi pilihan rasional lembaga, struktur tata kelola juga dapat
dengan mudah dimodifikasi untuk memenuhi kriteria lembaga. Jika sebuah
lembaga akan didefinisikan melalui seperangkat aturan dan / atau insentif bagi
anggotanya, yang dianggap menghasilkan perilaku yang diinginkan dari para
peserta, maka struktur tata kelola dapat dengan mudah dilihat sebagai sebuah
lembaga. Kesulitan nyata untuk konsepsi struktur tata kelola ini mungkin dalam
menciptakan kewenangan yang cukup untuk menegakkan aturan dan sumber daya
yang cukup untuk memberikan insentif yang memadai bagi peserta untuk mematuhi
aturan struktur yang muncul.
Setelah membenarkan konseptualisasi struktur pemerintahan sebagai
institusi, selanjutnya harus mencoba memahami bagaimana mereka berfungsi.
Mungkin jawaban yang paling mendasar adalah jawaban fungsionalis bahwa ada
kebutuhan yang diakui untuk struktur ini. Struktur formal yang ada akan dianggap
tidak mampu melakukan tugas yang dipersyaratkan, atau melaksanakannya dengan
cara yang dianggap paling tepat. Karena itu, konsepsi fungsionalis dapat berfungsi
sebagai dasar pembentukan struktur tata kelola, seperti halnya untuk lembaga yang
lebih formal, cara pelembagaan struktur dapat dianggap agak berbeda, dan oleh
karena itu dapat melibatkan dinamika yang berbeda. Misalnya, sebagaimana telah
dikemukakan, perspektif normatif tentang pelembagaan melibatkan penanaman
nilai di antara anggota. Di sisi lain, perspektif pilihan rasional cenderung
melibatkan lebih banyak desain yang berasal dari beberapa pemimpin atau
pemimpin yang diduga mencoba menciptakan struktur. Asumsinya adalah bahwa
perancang seperti itu akan membuat aturan dan struktur insentif yang akan
memotivasi peserta untuk berfungsi dengan cara yang diinginkan.
Selain perspektif fungsionalis dan desain dasarnya tentang pembentukan
struktur tata kelola, mungkin juga muncul logika untuk pembentukan lembaga,
terutama lembaga informal. Mengingat asumsi informalitas dalam struktur tata
kelola, lembaga dapat muncul dari interaksi yang kurang lebih otonom di antara
para pelaku, misalnya dalam interaksi kebijakan pasar tenaga kerja antara serikat
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-33
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
pekerja, penyedia pendidikan, bisnis dan organisasi pasar tenaga kerja sektor
publik. Dalam perspektif ini lembaga akan berkembang melalui tawar-menawar,
negosiasi dan interaksi berkelanjutan.
Agak membingungkan, beberapa, jika bukan sebagian besar, aktor yang
terlibat dalam struktur tata kelola adalah lembaga formal itu sendiri. Dalam analisis
lembaga informal ini, informalitas merujuk terutama pada tidak adanya struktur
formal, bahkan ketika ada pola interaksi yang berkelanjutan dan aturan informal
yang dipahami secara luas (dan diikuti).52 Sampai taraf tertentu, struktur tata kelola
informal ini mampu melakukan tugas tata kelola yang tidak begitu sesuai dengan
lembaga formal sektor publik. Misalnya, kebijakan sosial mungkin lebih mudah
disampaikan oleh struktur tata kelola informal daripada oleh birokrasi publik yang
mungkin tampak kaku dan mengancam banyak penerima potensial.
Struktur tata kelola informal ini dapat berdiri dalam berbagai hubungan
dengan lembaga pemerintahan formal. Hubungan tersebut tergantung pada dua
karakteristik lembaga formal dan mitra informal potensial mereka. Yang pertama
adalah efektivitas lembaga formal. Dapatkah aktor pemerintah formal menyediakan
tata kelola di bidang kebijakan yang menjadi tanggung jawab mereka secara
nominal? Dalam versi asli argumen ini, mereka menggunakan sifat hasil sebagai
variabel kedua. Namun, dalam bab ini, Peters menggunakan sejauh mana tujuan
aktor formal dan informal diselaraskan sebagai variabel kedua. Peters telah
mencatat sejauh mana penetapan tujuan sangat penting untuk tata kelola, dan di sini
ada dua rangkaian tujuan yang mungkin atau mungkin tidak kompatibel.
Tabel 1.7 Tipologi institusi informal
Goals Effective formal institutions Ineffective formal institutions
Convergent Complementary Substitutive
Divergent Accommodating Competing
Sumber: Adaptasi dari Helmke dan Levitsky
52 Ibid., hlm. 317
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-34
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Interaksi kedua variabel ini menghasilkan empat kemungkinan jenis
hubungan antara pelaku tata kelola formal dan informal. Keempat pola hubungan
tersebut semuanya berasumsi bahwa ada struktur informal yang layak, yang dapat
memberikan alternatif bagi lembaga formal yang beroperasi dalam domain
kebijakan. Paling ekstrim struktur informal pada dasarnya menggantikan formal,
sementara di semua yang lain mereka hidup berdampingan dan setidaknya dua akan
bekerja sama untuk memastikan bahwa tata kelola semacam itu disediakan. Seperti
yang telah dikemukakan, dalam pemikiran tradisional tentang lembaga dan
mengatur negara adalah pusatnya, tetapi perpaduan antara formal dan informal ini
sekarang umum jika tidak hampir universal.
Dalam penjelasan Peters terkait institutional theory, meskipun
kecenderungannya untuk memikirkan lembaga secara formal, ada juga struktur
kelembagaan informal yang penting atau bahkan esensial untuk pemerintahan.53
Struktur informal ini melibatkan hubungan antara aktor sektor publik dan / atau
swasta yang dapat melengkapi kegiatan lembaga formal yang terlibat dalam
pemerintahan, atau mungkin mencoba untuk menggantikan diri mereka dengan
lembaga pemerintahan formal. Karenanya, segala macam lembaga sangat penting
untuk mengatur, dan tugas teoretisnya adalah memahami keragaman hubungan dan
dampaknya terhadap masyarakat.
1.5.2 Tata Kelola Adaptif (Adaptive Governance)
1.5.2.1 Definisi Tata Kelola Adaptif (Adaptive Governance)
Hurlbert berpendapat bahwa tata kelola adaptif (adaptive governance)
merupakan sebuah tata kelola yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas
adaptasi seseorang dalam rangka mengatasi dan mengurangi risiko serta kerentanan
mereka terhadap bencana. Selain itu tata kelola adaptif juga bertujuan untuk
53 Ibid., hlm. 318
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-35
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
meningkatkan kapasitas adaptif lembaga.54 Fitur penting tata kelola adaptif adalah
partisipasi dan pembelajaran pemangku kepentingan.55
Selanjutnya Hurlbert merangkum pemikiran beberapa tokoh seperti Berkes
dan Folke, Gunderson and Holling, Folke et al., dan Olsson et al. bahwa tata kelola
adaptif merupakan berbagai sistem politik, sosial, ekonomi, dan administrasi yang
mengembangkan, mengelola, dan mendistribusikan sumber daya dengan cara yang
meningkatkan ketahanan melalui manajemen masalah berbasis kolaboratif,
fleksibel, dan berbasis pembelajaran di berbagai skala yang berbeda.56
Tata kelola adaptif menyoroti saling ketergantungan dari praktik inovatif
dalam sains, kebijakan, dan struktur pengambilan keputusan. Secara khusus, tata
kelola adaptif mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan jenis pengetahuan lainnya
ke dalam kebijakan untuk memajukan kepentingan bersama dalam konteks tertentu
melalui struktur pengambilan keputusan terbuka.57 Ilmu pengetahuan berupa
pengetahuan lokal dan lainnya yang diperlukan untuk mendukung kebijakan.
Kebijakan yang dimaksudkan yaitu kebijakan sehat yang mengintegrasikan
berbagai kepentingan jika memungkinkan atau menyeimbangkannya jika perlu.
Selanjutnya inisiatif berbasis komunitas lokal dapat melengkapi struktur
pengambilan keputusan yang terfragmentasi, dengan mengintegrasikan atau
menyeimbangkan banyak kepentingan birokrasi yang bersaing dan kelompok
terorganisir untuk memajukan kepentingan mereka bersama. Tidak ada satu pun
otoritas pusat untuk memutuskan masalah-masalah penting.58
Brunner dan Lynch menyampaikan gagasan mereka dengan memahami
pemerintahan adaptif sebagai tindakan darurat di tingkat lokal yang secara longgar
berkoordinasi dengan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Sistem pemerintahan
ini dapat membuat karakteristik yang lebih responsif terhadap perbedaan dan
54 Margot A. Hurlbert, Adaptive Governance of Disaster, Water Governance – Concepts, Methods,
and Practice, (Switzerland: Springer International Publishing AG, 2018), hlm. 23 55 Ibid., hlm. 21 56 Ibid., hlm. 25 57 Ronald D. Brunner, Toddi A. Steelman, Lindy Coe-Juell, Christina M. Cromley, Christine M.
Edwards, dan Donna W. Trucker (eds.), Adaptive Governance: Integrating Science, Policy, and
Decision Making, (New York: Columbia University Press, 2005), hlm. viii 58 Ibid., hlm. 7
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-36
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
perubahan di lapangan, bereaksi terhadap berbagai jenis dampak perubahan iklim,
dan dapat meningkatkan kerentanan orang terhadap perubahan iklim.59
Tata kelola adaptif telah disarankan sebagai pendekatan yang sesuai untuk
pengelolaan ekosistem dalam perubahan lingkungan karena tata kelola adaptif
mampu membangun kapasitas untuk mengatur berbagai macam layanan ekosistem
dan merespons perubahan ekosistem yang luas serta memungkinkan adanya
kolaborasi berbagai kepentingan, sektor, dan pengelolaan kelembagaan.60
Hasil diskusi dari Martin Brown Munene, Asa Gerger Swartling dan Frank
Thomalla dalam artikel yang berjudul “The Sendai Framework: A catalyst for the
transformation of disaster risk reduction through adaptive governance?”
menjelaskan bahwa konsep tata kelola adaptif muncul dari manajemen lingkungan
dan penelitian ketahanan sebagai upaya untuk mencapai sistem tata kelola yang
fleksibel, multi-level, inklusif yang dapat menangani secara efektif dengan sistem
sosial-ekologis yang kompleks, dalam menghadapi ketidakpastian dan bahkan
perubahan mendadak.61 Pendekatan tata kelola adaptif dapat membantu pemangku
kepentingan yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana untuk lebih
memahami kompleksitas ini dengan memupuk kolaborasi dan pertimbangan
berbagai perspektif, disiplin, jenis pengetahuan, pengalaman dan tindakan yang
mungkin dilakukan.62
Berdasarkan hasil tinjauan dari Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank
Thomalla, mereka menyampaikan pendapatnya yaitu meskipun tidak ada model
adaptive governance yang tunggal, masing-masing pengelompokan teori
menekankan pendekatan untuk mengatur beberapa atau semua prinsip-prinsip
berikut: institusi polisentris dan multilayer, partisipasi dan kolaborasi,
pengorganisasian dan jaringan, serta pembelajaran dan inovasi.63
59 Syarini, Op.Cit., hlm. 15 60 Lisen Schultz, Carl Folke, Henrik Osterblom, dan Per Olsson, “Adaptive governance, ecosystem
management, and natural capital”, PNAS, Vol. 112 No. 24, 2015, hlm. 7369 61 Martin Brown Munene, Asa Gerger Swartling dan Frank Thomalla, “The Sendai Framework: A
catalyst for the transformation of disaster risk reduction through adaptive governance?”,
Discussion Brief, Stockholm Environment Institute, 2016, hlm. 1 62 Ibid. 63 Djalante et al., Loc.Cit.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-37
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Pada tabel 1.7 di bawah ini peneliti mengutip beberapa definisi tata kelola
adaptif (adaptive governance) yang berasal dari kumpulan definisi sejumlah tokoh
yang tercantum pada artikel jurnal milik Brian C. Chaffin, Hannah Gosnell dan
Barbara A. Cosens yang berjudul “A decade of adaptive governance scholarship
synthesis and future directions”.64
Tabel 1.8 Definisi tata kelola adaptif
Tahun Nama Tokoh Definisi
1999 Gunderson Membangun ketahanan sistem ekologis
dan fleksibilitas dalam sistem sosial
yang berdampingan.
2003 Dietz et al. Mengelola beragam interaksi
lingkungan manusia dalam menghadapi
ketidakpastian yang ekstrim.
2004 Walker et al. Proses menciptakan kemampuan
beradaptasi dan transformabilitas dalam
sistem sosial-ekologis; evolusi aturan
yang memengaruhi ketahanan selama
pengorganisasian diri.
2005 Brunner et al. Jenis pengetahuan ilmiah dan lainnya
diintegrasikan ke dalam kebijakan yang
memajukan kepentingan bersama dalam
tata kelola lingkungan melalui struktur
pengambilan keputusan terbuka yang
diperjuangkan oleh inisiatif berbasis
masyarakat.
2005 Folke et al. Konteks sosial diperlukan untuk
mengelola ketahanan dalam sistem
sosial-ekologis.
2005 Scholz dan Stiftel Evolusi lembaga pemerintahan baru
yang mampu menghasilkan solusi
kebijakan jangka panjang dan
berkelanjutan untuk masalah jahat
melalui upaya terkoordinasi yang
melibatkan sistem pengguna,
pengetahuan, otoritas, dan kepentingan
terorganisir yang sebelumnya
independen.
2006 Olsson et al. Dietz et al. 2003; Folke et al. 2005;
Rezim tata kelola lingkungan yang dapat
64 Brian C. Chaffin, Hannah Gosnell dan Barbara A. Cosens, “A decade of adaptive governance
scholarship synthesis and future directions”, Ecology and Society, Vol. 19 No. 3, 2014, hlm. 3-4
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-38
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
menangani ketidakpastian dan
perubahan.
2006 Folke Folke et al. 2005, tetapi menambahkan
bahwa sistem tata kelola adaptif
memungkinkan untuk pengelolaan
layanan ekosistem penting melalui
transformasi dalam tata kelola sistem
sosial-ekologis (yang bertentangan
dengan adaptasi saja).
2006 Gunderson dan Light Dietz et al. 2003, Folke et al. 2005;
Integrasi ilmu pengetahuan, kebijakan
dan pengambilan keputusan dalam
sistem yang mengasumsikan dan
mengelola perubahan yang bertentangan
dengan itu.
2007 Olsson et al. Folke et al. 2005; bentuk dari tata kelola
yang cocok untuk berurusan dengan
sistem sosial-ekologis yang kompleks
dan meningkatkan kesesuaian antara
lembaga dan dinamika ekosistem.
2009 Pahl-Wostl Dietz et al. 2003, Folke et al. 2005;
adaptive governance sangat penting
untuk mengatur sistem sosial-ekologis
pada saat perubahan tiba-tiba.
Sumber: Brian C. Chaffin, Hannah Gosnell and Barbara A. Cosens, 2014
Berdasarkan pemaparan sebelumnya dapat diketahui bahwa dalam tata kelola
adaptif, Hurlbert, Brunner dan Lynch, serta para ahli lainnya menyebutkan bahwa
keterlibatan pemangku kepentingan di berbagai sektor sangat penting. Dalam hal
ini, governance stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media,
dan dunia usaha) memegang peran besar dalam tata kelola adaptif.
Kemudian pendapat para ahli yang telah disajikan sebelumnya juga secara
spesifik menjelaskan bahwa tata kelola adaptif sangat menekankan pada proses
adaptasi dengan meningkatkan ketahanan. Ketahanan dapat diwujudkan dengan
partisipasi, kolaborasi, dan pembelajaran dari para pemangku kepentingan.
Pemikiran para ahli juga mengarah pada satu ciri khusus bahwa tata kelola
adaptif bertujuan untuk mengurangi risiko pada ketidakpastian dan perubahan yang
mendadak secara efektif. Dalam konteks penelitian ini, bencana alam merupakan
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-39
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
wujud dari ketidakpastiaan dan perubahan mendadak. Maka tata kelola adaptif
bertujuan mengurangi risiko bencana secara efektif.
Berdasarkan penjelasan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa tata kelola
adaptif (adaptive governance) merupakan interaksi antara governance stakeholder
(pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk
meningkatkan ketahanan dalam mengurangi risiko bencana secara efektif.
1.5.2.2 Karakteristik Adaptive Governance
Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank Thomalla menuliskan dalam
artikel jurnal yang berjudul “Adaptive Governance and Managing Resilience to
Natural Hazards” bahwa terdapat empat karakteristik tata kelola adaptif (adaptive
governance) yang penting dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap
bencana alam.65 Empat karakteristik tersebut yaitu institusi polisentris dan
multilayer (polycentric and multilayered institutions), partisipasi dan kolaborasi
(participation and collaboration), pengorganisasian diri dan jaringan (self-
organization and networks), dan pembelajaran dan inovasi (learning and
innovation) yang akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
Gambar 1.6 Keterkaitan antara karakteristik utama tata kelola adaptif dalam
membangun ketahanan
Sumber: Djalante et al., 2011
65 Djalante et al., Loc.Cit
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-40
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Gambar di atas menunjukkan keterkaitan antara karakteristik utama tata
kelola adaptif yang membantu membangun ketahanan terhadap bencana alam.
Panah garis yang padat menunjukkan hubungan utama di antara karakteristik.
Institusi polisentris dan multilayer adalah langkah kunci dalam arah tata kelola
adaptif. Pengaturan ini, bersama dengan kepemimpinan, kepercayaan, dan modal
sosial, dapat meningkatkan kemungkinan untuk partisipasi dan kolaborasi.
Pengorganisasian diri dapat dilakukan secara formal atau informal oleh arena sosial
mana pun yang dibentuk dan dipraktikkan dalam berbagai bentuk jaringan. Jaringan
ini pada gilirannya membantu meningkatkan pembelajaran dan inovasi, yang dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk membangun ketahanan. Garis
putus-putus mewakili hubungan tidak langsung. Keberadaan lembaga polisentris
dan multilayer membantu mendorong pengorganisasian diri dan pembentukan
jaringan dan sebaliknya, sementara partisipasi dan kolaborasi dapat lebih
mempercepat pembelajaran dan inovasi.66
a. Institusi Polisentris dan Multilayer (Polycentric and Multilayered
Institutions)
Berdasarkan hasil tinjauan dari Riyanti Djalante, Cameron Holley, dan Frank
Thomalla, institusi polisentris dan multilayer memiliki potensi yang sangat besar
dalam mempengaruhi kapasitas untuk mengelola ketahanan terhadap bencana
alam.67 Institusi polisentris dapat dipahami seperti berbagai aktor non negara yang
mampu melaksanakan fungsi administratif, pengaturan, manajerial, dan mediasi
yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah pusat.68
Dave Huitema, Erik Mostert, Wouter Egas, Sabine Moellenkamp, Claudia
Pahl-Wostl, dan Resul Yalcin menyampaikan bahwa publikasi tertua terkait
pemerintahan polisentris sangat peduli dengan kapasitas pemerintahan mandiri dari
masyarakat lokal.69 Hal ini diartikan sebagai kondisi masyarakat lokal yang
66 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 4 67 Ibid., hlm. 4 68 Ibid 69 Dave Huitema, Erik Mostert, Wouter Egas, Sabine Moellenkamp, Claudia Pahl-Wostl, dan Resul
Yalcin, “Adaptive Water Governance: Assessing the Institutional Prescriptions of Adaptive (Co-)
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-41
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
menghadapi masalah mereka sendiri serta keterampilan dan pengetahuan lokal yang
mereka miliki mampu menempatkan mereka pada posisi terbaik untuk mengatasi
masalah ini. Menurut pendapat Huitema dkk., sistem pemerintahan polisentris
seharusnya lebih tangguh dan lebih mampu mengatasi perubahan dan
ketidakpastian.70 Alasannya yaitu masalah dengan cakupan geografis yang berbeda
dapat dikelola pada skala yang berbeda. Selain itu sistem polisentris memiliki
tingkat tumpang tindih dan redudansi tinggi yang dapat mengurangi kerentanan.
Jika terdapat satu unit yang gagal, maka unit yang lain mungkin akan mengambil
alih fungsinya. Pada akhirnya sejumlah besar unit memungkinkan untuk
bereksperimen dengan pendekatan baru sehingga unit-unit tersebut memiliki
kesempatan untuk saling belajar.
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 secara jelas
menyebutkan bahwa tata kelola risiko bencana yang efektif melibatkan banyak
pelaku pada tingkatan yang berbeda.71 Sebagai konsekuensinya, para pemangku
kepentingan di setiap tingkat diberikan peran dan tanggung jawab yang berbeda.
Pada dokumen Sendai Framework bagian peran stakeholder mengamanatkan
bahwa pengurangan risiko bencana merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah dan stakeholder terkait dalam pelaksanaan kerangka kerja di tingkat
lokal, nasional, regional dan global.72
Institusi yang bersifat polisentris dan multilayer memungkinkan
keberagaman sosial antar lembaga untuk diberdayakan sehingga menghasilkan
solusi kolektif untuk masalah lingkungan lokal yang muncul.73
Management from a Governance Perspective and Defining a Research Agenda”, Ecology and
Society Vol.14 No.1, 2009, hlm. 3 70 Ibid 71 Munene, et al., Op.Cit., hlm. 4 72 Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, 2015, hlm. 57 73 Syarini, Op.Cit., hlm. 20
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-42
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
V. Ostrom et al. yang menjelaskan bahwa sistem politik polisentris terdiri
dari74:
1) Banyak unit otonom yang secara formal independen satu sama lain
2) Memilih untuk bertindak dengan cara mempertimbangkan orang lain
3) Melalui proses kerja sama, kompetisi, konflik, dan resolusi konflik.
Berdasarkan pendapat Ostrom tersebut, Keith Carlisle and Rebecca L. Gruby
memodifikasi dengan mengusulkan dua atribut sistem pemerintahan polisentris,
diantaranya yaitu sebagai berikut75:
1) Berganda, pusat pengambilan keputusan yang tumpang tindih dengan beberapa
tingkat otonomi
Carlisle dan Gruby menggunakan istilah “pusat pengambilan keputusan”
untuk menggantikan kata “unit” pada pendapat V. Ostrom. Dengan demikian, pusat
pengambilan keputusan dalam sistem pemerintahan polisentris tidak terbatas pada
badan pemerintahan formal. Tata kelola polisentris membutuhkan kombinasi yang
kompleks dari berbagai tingkatan organisasi, mulai dari sektor publik, swasta,
asosiasi sukarela, dan organisasi berbasis masyarakat yang memiliki bidang
tanggung jawab dan kapasitas fungsional yang tumpang tindih. Termasuk di
dalamnya perlu melibatkan peran perempuan. Perempuan adalah bagian penting
dari proses perencanaan untuk mitigasi dan respon risiko bencana, meningkatkan
perencanaan bencana dengan perspektif berbeda yang seringkali berfokus pada
kebutuhan masyarakat dan kelompok rentan.76 Perempuan lebih peka terhadap
kebutuhan masyarakat. Perempuan lebih memperhatikan hal detail dan
kesejahteraan sosial masyarakat. Mereka mengkhawatirkan keselamatan anak-
anak, orang tua, dan keluarga yang tidak mampu. Tanggapan laki-laki biasanya
diarahkan pada pertanian dan infrastruktur dan dampak dari praktik pertanian yang
tidak berkelanjutan di desa.77
74 Keith Carlisle dan Rebecca L. Gruby, “Polycentric Systems of Governance: A Theoretical Model
for the Commons”, Policy Studies Journal Vol.47 No.4, 2019, hlm. 931 75 Ibid., hlm. 932-935 76 Rebecca Zorn, “Women have a role in Disaster Risk Reduction”,
(https://www.undp.org/content/undp/en/home/blog/2015/3/9/In-Lao-PDR-women-have-a-role-in-
Disaster-Risk-Reduction-/, Diakses pada 13 Oktober 2020, 2015) 77 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-43
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Menurut pandangan dari Carlisle dan Gruby, cara terbaik untuk
membayangkan sistem pemerintahan polisentris bukanlah sebagai jaringan terpisah
yang rapi dan statis maupun pusat-pusat pengambilan keputusan yang terhubung.
Alih-alih, ini adalah jaringan pusat pengambilan keputusan yang padat dan
berkembang — beberapa sementara dan lainnya relatif tetap — dan mendukung
aktor dari berbagai sektor dan domain.
Selanjutnya kata “tumpang tindih” dalam atribut ini dimaksudkan untuk
menggambarkan yurisdiksi atau domain pusat pengambilan keputusan, yang
merupakan bagian integral dari sistem pemerintahan polisentris. Tumpang tindih
dapat diakibatkan oleh peletakan pusat pengambilan keputusan yang beroperasi di
berbagai tingkatan atau yurisdiksi ketika mereka berbagi kapasitas fungsional atau
bidang tanggung jawab tertentu sehingga memungkinkan mereka untuk mengetahui
lembaga mana yang dipekerjakan oleh orang lain telah berhasil.
Pertanyaan yang masuk akal mengenai sistem pemerintahan polisentris
adalah yaitu berapa banyak pusat pengambilan keputusan yang dibutuhkan. Hasil
kajian Carlisle dan Gruby menunjukkan bahwa mencapai keseimbangan dan
perwakilan dalam pengambilan keputusan juga cenderung lebih penting daripada
jumlah pusat pengambilan keputusan. Akhirnya, otonomi atau kemandirian dalam
pengambilan keputusan juga merupakan karakteristik mendasar dari sistem
pemerintahan polisentris. Otonomi menyiratkan bahwa pusat pengambilan
keputusan bertindak atas nama mereka sendiri, tanpa koordinasi terpusat.
2) Memilih untuk bertindak dengan cara mempertimbangkan orang lain melalui
proses kerja sama, kompetisi, konflik, dan resolusi konflik
Secara umum, ini berarti bahwa pusat pengambilan keputusan, bahkan jika
secara formal independen satu sama lain, mendasarkan keputusan mereka sebagian
pada tindakan, tidak adanya tindakan atau pengalaman dari anggota lain dari sistem.
Dalam mempertimbangkan satu sama lain, pusat pengambilan keputusan dan aktor
pendukung lainnya dalam sistem pemerintahan berinteraksi dalam proses kerja
sama, persaingan, konflik, dan resolusi konflik. Proses-proses ini dapat mengarah
pada kecenderungan pengorganisasian sendiri sejauh pusat-pusat pengambilan
keputusan memiliki "insentif untuk menciptakan atau melembagakan pola-pola
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-44
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
hubungan yang teratur yang sesuai". Sistem tata kelola yang mengatur diri sendiri
mampu bertahan dan beradaptasi tanpa memerlukan perencanaan atau arahan pusat
atau luar.
Selanjutnya Carlisle dan Gruby memahami kerja sama sebagai kategori luas
yang melibatkan aksi bersama sukarela yang mencakup proses seperti kolaborasi
dan usaha kontrak. Kerja sama sangat penting untuk fungsionalitas sistem
pemerintahan, karena pusat pengambilan keputusan individu mungkin tidak
mampu secara efektif atau efisien menghasilkan barang dan jasa tertentu atau
mengatasi masalah tertentu secara mandiri. Namun, melalui proses kerja sama,
mereka mungkin dapat meningkatkan kapasitas kolektif mereka atau untuk
melakukan outsourcing fungsi ke pusat pengambilan keputusan yang lebih mampu
atau aktor pendukung. Poin ini mendasar untuk klaim dalam V. Ostrom et al. (1961)
bahwa sistem pemerintahan polisentris mungkin mampu berkinerja baik atau lebih
baik daripada sistem monosentris. Misalnya, pusat pengambilan keputusan yang
tidak memiliki sumber daya atau kemampuan untuk menghasilkan pengetahuan
yang diperlukan untuk membuat keputusan yang efektif mengenai sumber daya
alam dapat mengalihkan produksi ke produsen yang lebih mampu atau efisien,
seperti tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, ilmuwan penelitian, atau pengguna
sumber daya lokal.
Sementara proses kompetitif dapat mengarah pada kecenderungan
pengorganisasian diri yang menguntungkan, persaingan yang ketat atas masalah
distribusi dapat merusak kerja sama dan menghambat kapasitas sistem tata kelola
untuk pengaturan sendiri. Ini menyoroti pentingnya merancang lembaga untuk
mengelola atau meminimalkan persaingan atas sumber daya, dan ini menunjukkan
perlunya mekanisme resolusi konflik yang efektif. Mempertahankan kemampuan
untuk menyelesaikan konflik sangat penting dan resolusi konflik mungkin sama
pentingnya seperti alasan untuk merancang lembaga tata kelola sumber daya
sebagai keprihatinan atas sumber daya.
Dari penjelasan di atas, institusi polisentris dan multilayer ditandai dengan
keterlibatan para stakeholder pada tingkatan yang berbeda. Meraka memiliki peran
dan tanggung jawab masing-masing untuk mengatasi masalah yang terjadi. Dalam
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-45
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
konteks penelitian ini, institusi polisentris dan multilayer dipahami sebagai
keterlibatan para stakeholder pada tingkatan yang berbeda sehingga mampu
menghasilkan solusi kolektif untuk menyelesaikan permasalahan bencana lokal
yang muncul. Para stakeholder bertindak sesuai peran dan tanggung jawabnya
masing-masing.
b. Partisipasi dan Kolaborasi (Participation and Collaboration)
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 menyampaikan
pesan pada berbagai tingkatan aktor untuk “berkoordinasi” dan “terlibat” dalam tata
kelola risiko, masing-masing mengambil dari keunggulan kompetitifnya, untuk
menciptakan sinergi, bahkan jika tanggung jawab keseluruhan untuk pengurangan
risiko bencana tetap berada di tangan negara. Kata-kata “partisipasi” dan
“kolaborasi” digunakan beberapa kali dalam kerangka kerja, seperti istilah yang
berhubungan dan bentuk sinonim, diantaranya “engagement”, “involvement”,
“participate”, dan sebagainya.78
Huitema et al. mendefinisikan partisipasi yang terkait “partisipasi publik”
dengan merujuk pada kolaborasi antara pemangku kepentingan pemerintah dan
non-pemerintah.79 Partisipasi publik akan meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan dengan membuka proses pengambilan keputusan dan memanfaatkan
lebih baik informasi dan kreativitas yang tersedia di masyarakat. Selain itu,
partisipasi publik akan meningkatkan pemahaman publik tentang isu-isu
manajemen yang dipertaruhkan, membuat pengambilan keputusan lebih transparan,
dan mungkin merangsang berbagai badan pemerintah yang terlibat untuk
mengoordinasikan tindakan mereka lebih banyak untuk memberikan tindak lanjut
serius terhadap input yang diterima. Akhirnya, partisipasi publik dapat
meningkatkan demokrasi. Partisipasi publik akan menjadi keharusan setiap kali
pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup (informasi, keuangan,
kekuasaan, dll.) untuk mengelola masalah secara efektif.80
78 Munene et al., Loc.Cit. 79 Huitema et al., Op.Cit., hlm. 5 80 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-46
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Djalante et al. menjelaskan bahwa kolaborasi dapat terjadi dengan cara yang
berbeda dan melibatkan aktor yang berbeda. Hubungan kolaboratif mungkin
merupakan peristiwa sekali saja, tetapi banyak yang merupakan proses yang
berkelanjutan, di mana pemangku kepentingan merencanakan,
mengimplementasikan, memantau, dan menyesuaikan tindakan mereka dari waktu
ke waktu. Partisipasi dan kolaborasi memengaruhi kapasitas untuk mengelola
ketahanan.81
Berdasarkan hasil kajian Djalante et al., literatur tata kelola adaptif mengakui
berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi dan kolaborasi seperti pengalaman
kepemimpinan dan kualitas, biaya transaksi, sejauh mana solusi yang diperoleh dari
kolaborasi mengikat semua pihak yang berkolaborasi, bagaimana identitas dan
kesetiaan kelompok dibentuk dan diorganisir, pengalaman kolektif kolaborasi, dan
kekuatan atau pengaruh eksternal yang memengaruhi upaya kolaborasi. Penting
untuk menyadari bahwa kolaborasi tidak hanya butuh untuk menyatukan para aktor,
tetapi juga menjaga respons partisipatif dan kolaboratif dalam jangka panjang.
Pelajaran utama yang dapat diambil dari tata kelola adaptif adalah bagaimana agar
berhasil melibatkan semua pemangku kepentingan karena para relawan
membutuhkan dana yang harus sesuai untuk menggantikan waktu dan uang yang
telah mereka gunakan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.82
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya oleh Djalante et al. bahwa
kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi dan
kolaborasi. Pemimpin merupakan agen perubahan dalam organisasi mereka dan
bertanggung jawab untuk membantu dan membimbing orang lain melalui
komunikasi yang tepat.83 Seorang pemimpin dapat didefinisikan sebagai orang
yang tidak pernah bereaksi, tetapi mengamati, memahami, menganalisis, dan
kemudian bertindak dengan tegas. Dia tidak akan langsung bereaksi pada hal-hal
kecil karena dia memiliki beberapa kualitas yang kuat dan karismatik.84
81 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 5 82 Ibid., hlm. 6 83 R. Radhakrishna Pillai, Anil Kumar G, dan Krishnadas N., “Role of Self-managing Leadership in
Crisis Management: An Empirical Study on the Effectiveness of Rajayoga”, IIM Kozhikode Society
& Management Review Vol.4 No.1, 2015, hlm. 17 84 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-47
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Gubernur King dari Maine menjelaskan pendidikannya dalam manajemen
bencana yakni Di Asosiasi Gubernur Nasional Amerika Serikat, yang merupakan
asosiasi dari semua gubernur yang bertemu tiga kali setahun, memiliki sekolah
untuk gubernur baru. Selama tiga hari, dua puluh gubernur berpengalaman
menyampaikan apa yang diharapkan. Salah satu hal yang dipelajari oleh Gubernur
King yaitu seorang pemimpin tidak bisa keluar dari kondisi saat terjadi bencana
alam. Pemimpin harus berada di sana secara fisik. Peran penting seorang pemimpin
dalam situasi bencana adalah menjadi terlihat dan meyakinkan publik:
menunjukkan bahwa seseorang bertanggung jawab, bahwa seseorang peduli, bahwa
seseorang sedang berusaha memecahkan masalah. Gubernur king menambahkan
bahwa komunikasi dengan publik adalah salah satu bagian terpenting dari peran
sebagai seorang pemimpin. Ini lebih bersifat simbolis dan psikologis, yaitu
memberikan jaminan kepada orang-orang di saat krisis. Orang ingin merasa ada
yang merawat mereka.85
Selanjutnya sangat penting bagi seorang pemimpin untuk memberikan
informasi yang selengkap mungkin dengan cara yang paling cepat.86 Seperti contoh
Perdana Menteri Bouchard dan Andre Caille, presiden dan CEO Hydro-Québec,
memberikan konferensi pers yang disiarkan televisi setiap hari (terkadang dua kali
sehari) untuk menginformasikan orang-orang tentang keadaan dan apa yang sedang
dilakukan, untuk memberikan saran mengenai tindakan yang harus mereka ambil,
dan untuk meminta kerja sama mereka. Penduduk secara terus terang diberitahu
tentang besarnya masalah dan semua hal spesifik.87 Florent Gagne menyimpulkan
bahwa para pemimpin sengaja transparan dalam menangani bencana ini karena “hal
terburuk bagi masyarakat terjadi ketika mereka tidak mengetahuinya. Komunikasi
menenangkan orang dan membantu mereka menyesuaikan tindakan.”88
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dijelaskan sebelumnya, poin
penting dari partisipasi dan kolaborasi yaitu adanya keterlibatan dari para
85 Raymond Murphy, Leadership in Disaster: Learning for a Future with Global Climate Change,
(Canada: McGill-Queen’s University Press, 2009), hlm. 172-173 86 Ibid., hlm. 175 87 Ibid. 88 Ibid., hlm. 176
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-48
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
stakeholder. Proses partisipasi dan kolaborasi dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Kemudian tujuan utama dari partisipasi dan kolaborasi yaitu untuk menyelesaikan
suatu permasalahan bersama. Dalam konteks penelitian ini permasalahan yang
dihadapi bersama yaitu permasalahan bencana di tingkat lokal. Dari penjelasan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi dan kolaborasi yaitu para
stakeholder terlibat dalam proses berkelanjutan untuk menyelesaikan permasalahan
bencana di tingkat lokal.
c. Pengorganisasian Diri dan Jaringan (Self-Organization and Networks)
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 menyebutkan
secara eksplisit “akademik, entitas ilmiah dan penelitian, jaringan, dan sektor
swasta”, yang kerjasamanya didorong untuk pengembangan maupun promosi
produk dan layanan pengurangan risiko bencana. Ada pengenalan organisasi batas
atau organisasi jembatan di berbagai tingkat yang memfasilitasi operasi antar-
tingkat. Istilah dan konsep terkait yang muncul dalam teks ini mencakup koordinasi,
komunikasi, mekanisme, strategi, rencana, prosedur, skema, kode, standar,
dukungan, panduan operasional, dan instrumen panduan.89
Bevaola Kusumasari menjelaskan bahwa dalam pengertian yang cukup luas,
jaringan dipahami sebagai hubungan timbal balik yang kekal antara individu,
kelompok, dan organisasi.90 Kusumasari juga mengutip pendapat dari Moynihan
yang menuturkan apabila terjadi bencana maka dibutuhkan suatu jaringan
antarorganisasi daripada hanya jaringan tunggal karena masing-masing organisasi
dimungkinkan masih minim dalam hal pengalaman, cara kerja, maupun peralatan
dan teknologi.91
Berdasarkan hasil kajian Djalante et al., jaringan diaktualisasikan melalui
organisasi batas (boundary organizations), organisasi penghubung (bridging
organizations), atau komunitas epistemik (epistemic communities). Organisasi
batas dideskripsikan sebagai wadah bagi banyak entitas (khususnya ilmuwan dan
89 Munene et al., Loc.Cit. 90 Bevaola Kusumasari, Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintahan Lokal, (Yogyakarta:
Penerbit Gava Media, 2014), hlm. 50 91 Ibid., hlm. 51
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-49
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
pembuat kebijakan) untuk menciptakan pemahaman bersama tentang suatu masalah
dan bertanggung jawab kepada semua pihak yang terlibat. Organisasi penghubung
memiliki ruang lingkup yang lebih luas jika dibandingkan organisasi batas.
Organisasi penghubung terdiri dari penilai yang berperan penting dalam sistem
sosial-ekologis, LSM, dan komunitas ilmiah yang mampu mengakomodir segala
proses adaptasi. Komunitas epistemik merupakan sistem tata kelola yang terdiri dari
agen berbeda yang beroperasi pada tingkat yang berbeda, dibentuk melalui minat
yang sama dalam mempengaruhi dan menerapkan kebijakan. Bentuk organisasi
mandiri lainnya yang dikenal adalah arena transisi, di mana masalah dan
kemungkinan solusi secara sengaja dihadapkan dan kemudian diintegrasikan untuk
menghasilkan agenda inovatif dan visioner.92
Organisasi kemanusiaan, LSM, dan organisasi masyarakat sipil memiliki
peran yang sangat penting dalam pengurangan risiko bencana. Fleksibilitas yang
mereka miliki memungkinkan untuk bergerak lebih cepat dalam setiap tahapan
manajemen bencana karena tidak perlu melalui proses birokrasi. Pentingnya forum
multi-pemangku kepentingan dalam membantu menciptakan ruang untuk
kolaborasi dan pembelajaran juga telah diakui oleh UNISDR. Ada peningkatan
pengakuan tentang peran sistem tata kelola alternatif dalam menangani perubahan
dan risiko lingkungan global. Pemerintah daerah di seluruh dunia secara aktif
terlibat dalam jaringan inovatif untuk saling berbagi pengalaman seperti Cities for
Climate Protection oleh International Council for Local Environmental Initiatives
(ICLEI), Climate Resilience Cities oleh World Bank, dan the Resilient Cities
Campaign oleh UNISDR. Semua ini adalah jaringan kota di negara berkembang
dan maju yang menyadari bahwa aktor lokal adalah responden pertama yang
melawan dampak bencana alam atau risiko perubahan iklim. Dalam hal ini, kota
memiliki potensi besar dalam mengimplementasikan mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim secara bersamaan, hubungan langsung di antara mereka
memungkinkan transfer pengetahuan dan memfasilitasi pembelajaran sosial.93
92 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 7 93 Ibid., hlm. 8
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-50
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Berdasarkan pemikiran para ahli dapat digarisbawahi bahwa
pengorganisasian diri dan jaringan merupakan keterlibatan government stakeholder
dalam forum non government stakeholder. Para stakeholder tersebut melakukan
transfer pengetahuan dan pengalaman untuk adaptasi terhadap perubahan. Dalam
konteks penelitian ini, perubahan yang dimaksudkan yaitu kejadian bencana alam
di tingkat lokal.
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pengorganisasian diri
dan jaringan merupakan keterlibatan government stakeholder dalam forum non
government stakeholder melalui proses transfer pengetahuan dan pengalaman
untuk adaptasi terhadap bencana alam di tingkat lokal.
d. Pembelajaran dan Inovasi (Learning and Innovation)
Tata kelola yang adaptif akan selalu melibatkan proses pembelajaran
berkelanjutan, memelihara kepercayaan, refleksi cara kerja dan struktur, dan
mengembangkan kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.94 Djalante et al.
menyebutkan bahwa salah satu istilah penting yang dikembangkan untuk
pembelajaran berkelanjutan adalah pembelajaran publik atau sosial. Pembelajaran
publik merupakan kemampuan dalam memahami konsekuensi tindakan individu
kepada publik. Sedangkan pembelajaran sosial termasuk dalam proses akumulasi
nilai dan pengalaman yang digunakan sebagai cara untuk mengatasi perubahan.95
Pembelajaran dipandang sebagai karakteristik positif dalam literatur
pengurangan risiko bencana. Pembelajaran sosial dapat dipromosikan melalui
pengembangan pengetahuan yang ada. Di banyak tempat, pengetahuan dan praktik-
praktik lokal telah membantu masyarakat mengatasi dan merespons bahaya alam
dan perubahan lingkungan selama beberapa generasi.96 Zein mengemukakan bahwa
masyarakat adalah pihak yang memiliki pengalaman langsung dalam kejadian
bencana sehingga pemahaman yang dimiliki menjadi modal bagi mereka untuk
94 Schultz et al., Op.Cit., hlm. 7373 95 Djalante et al., Op.Cit., hlm. 8 96 Ibid., hlm. 9
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-51
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
mengurangi resiko bencana.97 Hardoyo et al. menyampaikan bahwa pemahaman
masyarakat berupa pengetahuan persepsi yang teraktualisasi dalam sikap dan atau
tindakan dalam menghadapi bencana.98
Berbicara mengenai praktik lokal, jelas berkaitan juga dengan kearifan lokal
suatu daerah karena tiap daerah pasti memiliki dan melakukan praktik lokal yang
belum tentu sama dengan daerah lainnya. Kearifan lokal adalah pandangan hidup
dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan
sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local
knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”.99
Menurut pendapat Rahyono, kearifan lokal dipahami sebagai kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui
pengalaman masyarakat.100 Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat
tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang
lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan
nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan
masyarakat tersebut.101
Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak
hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai
refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan
nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur.102 Kearifan
lokal hanya akan abadi apabila kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan
97 Muhammad Zein, Tesis: “A Community Based Approach to Flood Hazard and Vulnerability
Assessment in Flood Prone Area: A Case Study in Kelurahan Sewu, Surakarta City, Indonesia”,
(Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2010) 98 Su Rito Hardoyo, Muh Aris Marfai, Novi Maulida Ni’mah, Rizki Yustiana Mukti, Qori’atu Zahro,
dan Anisa Halim, Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air
Laut di Kota Pekalongan, (Yogyakarta: MPPDAS Universitas Gadjah Mada, 2010), hlm. 2 99 Ulfah Fajarini, “Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter”, Sosio Didaktika Vol.1
No.2, 2014, hlm. 123-124 100 F. X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, (Jakarta: Wedatama Widyasastra, 2009) 101 Fajarini, Loc.Cit. 102 Suyono Suyatno, “Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas
Keindonesiaan”, (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/revitalisasi-kearifan-
lokal-sebagai-upaya-penguatan-identitas-keindonesiaan, Diakses pada 13 Oktober 2020)
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-52
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang
telah berubah.103
Melalui pembelajaran mampu memantik munculnya suatu inovasi dari
masyarakat lokal yang terdampak bencana. Djalante et al juga menyarankan agar
lebih banyak perhatian pada pelajaran yang muncul dari literatur tata kelola adaptif
serta penelitian terkait bagaimana masyarakat mampu belajar dan berinovasi dari
berbagai jenis bencana dalam semua tahapan pengurangan risiko bencana.104
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 dibangun
berdasarkan pelajaran yang dipetik melalui penerapan Kerangka Aksi Hyogo,
kemudian melihat ke depan, memberi penekanan lebih besar pada pembelajaran
dan inovasi. Belajar dideskripsikan terutama sebagai “pembelajaran sebaya” (peer
learning) atau “pembelajaran bersama” (mutual learning). Inovasi merupakan saran
utama dalam kerangka kerja, dengan perhatian khusus pada inovasi teknologi dan
ilmiah. Istilah lain yang muncul adalah penelitian, penilaian, ulasan (rekan),
pemantauan, alih teknologi, berbagi pengalaman, komunikasi, pengembangan
kapasitas, pelatihan dan pendidikan.105
Gambar 1.7 Interaksi karakteristik tata kelola adaptif memungkinkan
pembelajaran dan inovasi
Sumber: Munene et al., 2016
103 Fajarini, Op.Cit., hlm. 129 104 Ibid., hlm. 11 105 Munene et al., Loc.Cit.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-53
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Aspek penting dari tata kelola adaptif yang tergabung dalam Sendai
Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 adalah promosi pembelajaran
yang menyeluruh, berkelanjutan dan kontekstual. Seperti yang diilustrasikan dalam
Gambar 1.2, Munene et al. berpendapat bahwa pembelajaran dan inovasi yang lebih
signifikan secara kontekstual terjadi dalam lingkungan kolaboratif yang mendorong
heterogenitas, partisipasi, dan pengorganisasian diri. Partisipasi dan kolaborasi
antara lembaga formal dan informal dan jaringan lintas skala mendorong
pembelajaran dan inovasi, terutama dengan mempromosikan berbagi pengetahuan,
ide, dan pengalaman yang bermanfaat untuk mengurangi risiko bencana. Dengan
demikian, pembelajaran dan inovasi adalah motivasi utama dan hasil yang
diinginkan dari tata kelola adaptif.106
Berdasarkan pemahaman para ahli, poin penting dari pembelajaran dan
inovasi dalam konteks kebencanaan yaitu adanya pengetahuan dan praktik terkait
bencana di tingkat lokal. Dengan begitu masyarakat mampu beradaptasi dengan
mengurangi risiko bencana. Maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dan
inovasi merupakan pengetahuan dan praktik-praktik lokal yang telah memudahkan
masyarakat dalam mengurangi risiko bencana.
1.5.2.3 Tata Kelola Desa Adaptif (Adaptive Village Governance)
Penelitian ini berfokus pada studi kasus kebencanaan di level desa, maka
dibutuhkan teori yang relevan untuk menganalisis fenomena yang terjadi. Teori tata
kelola desa adaptif (adaptive village governance) yang dijelaskan dalam bagian ini
merupakan bentuk pengerucutan dari teori tata kelola adaptif (adaptive
governance). Teori tata kelola adaptif (adaptive governance) dan tata kelola desa
adaptif (adaptive village governance) memiliki perbedaan pada level analisisnya
saja. Maka tata kelola desa adaptif dapat dipahami sebagai interaksi antara
governance stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan
106 Ibid., hlm.4-5
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-54
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
dunia usaha) untuk meningkatkan kapasitas dalam mengurangi risiko bencana di
level desa secara efektif.
Peneliti merujuk pada pemikiran Syarini yang merupakan hasil modifikasi
teori tata kelola adaptif dari Djalante et al., yang awalnya terdapat empat
karakteristik menjadi tiga karakteristik. Modifikasi Syarini mencerminkan
karakteristik tata kelola desa adaptif dalam membangun ketahanan masyarakat
terhadap bencana alam di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo.
Syarini memodifikasi dengan menggabungkan dua karakteristik yaitu
polycentric and multilayered institutions (institusi polisentris dan multilayer) dan
self-organization and networks (pengorganisasian diri dan jaringan) menjadi
karakteristik polycentric institutions and networking (institusi polisentris dan
jaringan) karena kedua karakteristik tersebut memiliki indikator yang serupa dalam
konteks penelitian di level desa.107 Institusi polisentris dan multilayer merupakan
keterlibatan para stakeholder pada tingkatan yang berbeda sehingga mampu
menghasilkan solusi kolektif untuk menyelesaikan permasalahan bencana lokal
yang muncul. Para stakeholder bertindak sesuai peran dan tanggung jawabnya
masing-masing. Sedangkan pengorganisasian diri dan jaringan merupakan
keterlibatan government stakeholder dalam forum non government stakeholder
melalui proses transfer pengetahuan dan pengalaman untuk adaptasi terhadap
bencana alam di tingkat lokal. Kedua karakteristik tersebut memiliki kesamaaan
yaitu sama-sama melibatkan governance stakeholder dan bertujuan untuk
memberikan solusi kolektif terkait permasalahan bencana lokal. Dengan demikian,
institusi polisentris dan jaringan dapat dipahami sebagai keterlibatan para
stakeholder sesuai peran dan tanggung jawabnya masing-masing untuk
menghasilkan solusi koleksif terkait permasalahan bencana lokal. Dalam hal ini,
para stakeholder saling transfer pengetahuan dan pengalaman.
Pada karakteristik partisipasi, Syarini memfokuskan pada partisipasi warga
desa dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi bersama kepemimpinan, kepercayaan,
dan nilai sosial yang dipegang oleh warga desa, warga desa yang setia terus
melanjutkan berkontribusi dalam setiap kegiatan yang diperlukan untuk
107 Syarini, Loc.Cit.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-55
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
membangun ketahanan. Sedangkan pada tata kelola desa adaptif, stakeholder yang
terlibat bukan hanya masyarakat saja. Dengan kata lain, partisipasi dapat dipahami
sebagai upaya para stakeholder dalam meningkatkan ketahanan masyarakat
terhadap bencana.
Kristiani, Djoko Mursinto, dan Antun Mardiyanta dalam artikel mereka yang
berjudul “Model Development of Civil Society Participation in Post Implementation
of Rural Development Act No. 6, 2014 in Banaran Grogol, District of Sukoharjo”
menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan dapat
dipahami lebih lanjut sebagai keterlibatan langsung secara sukarela dan mandiri
baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan pembangunan.108 Dalam
artikel tersebut, Kristiani et al. mengembangkan model partisipasi yang tepat dalam
pembangunan pedesaan sebagai solusi untuk mempercepat pencapaian
pembangunan dana desa.109 Pengembangan model partisipasi disesuaikan dengan
pemikiran Pretty terkait tangga pemberdayaan dari tipologi partisipasi publik dalam
program dan proyek pembangunan, serta pemikiran Arnstein terkait tangga
partisipasi.110 Pada pengembangan model partisipasi terdapat dua tingkatan yaitu
kontrol masyarakat dan partisipasi, seperti yang tercantum pada tabel 1.8 berikut
ini.111
108 Kristiani, Djoko Mursinto, dan Antun Mardiyanta, “Model Development of Civil Society
Participation in Post Implementation of Rural Development Act No. 6, 2014 in Banaran Grogol,
District of Sukoharjo”, Journal of Economics and Sustainable Development Vol. 8 No. 8, 2017,
hlm. 178 109 Ibid., hlm. 176 110 Ibid., hlm. 182 111 Ibid., hlm. 183
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-56
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Tabel 1.9 Tipologi partisipasi baru contoh studi kasus di Banaran Grogol
Tipologi Partisipasi
Mekanisme Partisipasi yang
Dimungkinkan
Kontrol masyarakat 6 Kontrol
masyarakat
Rapat koordinasi
Sosialisasi
Partisipasi
Tinggi 5 Interaktif Inisiatif masyarakat
RT
RW
Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM)
Rapat koordinasi
Sedang 4 Fungsional Kontributor
Komite (TPK)
Pengadaan barang dan
jasa
Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM)
Rendah
3 Material/Insentif Masyarakat
Pembuatan/produksi
2 Konsultasi Pertemuan desa
Musrenbang desa
1 Informasi Sosialisasi informasi
pembangunan
Sumber: Kristiani et al.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-57
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Karakteristik dari tipologi partisipasi terkait bagaimana orang berpartisipasi
dalam program dan proyek pembangunan112 yakni sebagai berikut:
1. Partisipasi dengan Informasi
Kristiani et al. mengganti istilah partisipasi non-partisipatif yang
sebelumnya diusulkan oleh Pretty dengan istilah partisipasi informasi.
Partisipasi non-partisipatif tidak diperlukan karena kemungkinan manipulasi
partisipasi tampaknya terjadi dalam proses kebijakan partisipasi, pada
kenyataannya masyarakat yang melakukannya tidak memiliki peran sama
sekali.113 Orang berpartisipasi dengan diberi tahu apa yang sudah diputuskan
atau sudah terjadi. Ini melibatkan pengumuman sepihak oleh suatu administrasi
atau manajemen proyek tanpa mendengarkan tanggapan orang. Informasi yang
dibagikan hanya milik profesional eksternal.114 Dengan kata lain, tipologi
informasi merupakan partisipasi dalam penyediaan informasi.115 Partisipasi
dilakukan dengan menyampaikan sosialisasi tentang informasi pembangunan.
2. Partisipasi dengan Konsultasi
Orang berpartisipasi dengan dikonsultasikan atau dengan menjawab
pertanyaan. Agen eksternal mendefinisikan masalah, memproses pengumpulan
informasi, dan analisis kontrol. Proses konsultatif seperti itu tidak disetujui
setiap bagian dalam pengambilan keputusan dan para profesional tidak
memiliki kewajiban untuk mengambil pandangan masyarakat. Tipologi ini
melibatkan dialog dengan kegiatan masyarakat yang berarti bahwa orang
memiliki hak untuk didengar, walaupun mereka tidak terlibat langsung dalam
pengambilan keputusan. Pada tahap ini dilakukan komunikasi dua arah antara
pihak berwenang dan masyarakat.
3. Partisipasi dengan Insentif Material
Orang berpartisipasi dengan menyumbangkan sumber daya, misalnya
tenaga kerja, imbalan atas makanan, uang tunai atau insentif material lainnya.
112 Jules N. Pretty, “Participatory Learning for Sustainable Agriculture”, World Development Vol.
23 No. 8, 1995, hlm. 9-10 113 Kristiani et al., Op.Cit., hlm. 182-183 114 Pretty, Loc.Cit. 115 Kristiani et al., Op.Cit., hlm. 178
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-58
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Petani mungkin menyediakan ladang dan tenaga kerja, tetapi tidak terlibat
dalam eksperimen maupun proses pembelajaran. Sangat umum untuk melihat
ini disebut partisipasi, namun orang tidak memiliki kepentingan dalam
memperpanjang teknologi atau praktik ketika insentif berakhir.
4. Partisipasi Fungsional
Partisipasi dilihat oleh lembaga eksternal sebagai sarana untuk mencapai
tujuan proyek, terutama mengurangi biaya. Orang dapat berpartisipasi dengan
membentuk kelompok untuk memenuhi tujuan yang telah ditentukan terkait
dengan proyek. Seperti keterlibatan dapat bersifat interaktif dan melibatkan
keputusan bersama, tetapi cenderung muncul hanya setelah keputusan besar
telah dibuat oleh agen eksternal. Paling buruk, penduduk lokal mungkin hanya
dikooptasi untuk melayani tujuan eksternal.
5. Partisipasi Interaktif
Orang berpartisipasi dalam analisis bersama, rencana aksi pembangunan
dan pembentukan atau penguatan institusi lokal. Partisipasi dilihat sebagai hak,
bukan hanya sarana untuk mencapai tujuan proyek. Prosesnya melibatkan
metodologi interdisipliner yang mencari berbagai perspektif dan
memanfaatkan proses pembelajaran sistemik dan terstruktur. Sebagai
kelompok mengambil kendali atas keputusan lokal dan menentukan bagaimana
sumber daya yang tersedia digunakan, sehingga mereka memiliki kepentingan
dalam mempertahankan struktur atau praktik
6. Partisipasi Kontrol Masyarakat
Kontrol masyarakat merupakan tahap maksimum partisipasi yang
memainkan fungsi preskriptif seperti kontrol masyarakat sebagai idealis yang
diinginkan oleh para pemangku kepentingan pembangunan pedesaan.116
Tipologi tertinggi keenam tersebut diharapkan untuk mendapatkan partisipasi
masyarakat. Karena kontrol masyarakat yang terlibat aktif secara langsung atau
tidak langsung dalam pembangunan, partisipasi mereka dapat ditingkatkan.117
116 Kristiani et al, Op.Cit., hlm. 182 117 Ibid., hlm. 183
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-59
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Karakteristik terakhir dari tata kelola desa adaptif yaitu pembelajaran dan
inovasi (learning and innovation). Pembelajaran dan inovasi merupakan
pengetahuan dan praktik-praktik lokal yang telah memudahkan masyarakat dalam
mengurangi risiko bencana. Dalam konteks penelitian ini, pembelajarn dan inovasi
akan menjelaskan bagaimana penduduk di desa tangguh bencana Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo meningkatkan kapasitas mereka untuk
beradaptasi dengan dampak bencana setelah menyadari kerentanan desa mereka.
1.5.3 Ketahanan Masyarakat (Community Resilience)
Riyanti Djalante dan Frank Thomalla dalam penelitian mereka yang berjudul
“Community Resilience To Natural Hazards And Climate Change Impacts: A
Review Of Definitions And Operational Frameworks” menjelaskan bagaimana
ketahanan didefinisikan dalam konteks bencana alam dengan memeriksa dua belas
kerangka kerja ketahanan dari organisasi yang berbeda.118 Berdasarkan kerangka
kerja tersebut, Djalante dan Thomalla menemukan definisi ketahanan sebagai
atribut positif suatu masyarakat yang memungkinkan mereka memiliki kapasitas
untuk mengatasi dan pulih dari bencana. Ketahanan dianggap sebagai karakteristik
yang melekat dari sebuah masyarakat di mana kapasitas individu dan kolektif
bersama-sama menentukan ketahanan keseluruhan masyarakat. Dalam menghadapi
bencana, masyarakat mempekerjakan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan
risiko bencana siklus manajemen kesiapsiagaan, mitigasi, dan pemulihan
pascabencana.119
Selain itu, Djalante dan Thomalla membagi tiga kerangka kerja yang berbeda
untuk menjelaskan elemen-elemen penting ketahanan terhadap bencana alam dan
perubahan iklim, seperti, pembangunan berkelanjutan, pengurangan risiko bencana
dan pengembangan masyarakat. Elemen-elemen ini diperlukan untuk membangun
ketahanan dengan menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mencapai
118 Riyanti Djalante dan Frank Thomalla, “Community Resilience To Natural Hazards And Climate
Change Impacts: A Review Of Definitions And Operational Frameworks”, (Artikel dipresentasikan
pada 5th Annual International Workshop & Expo on Sumatra Tsunami Disaster & Recovery, Banda
Aceh, 2010), hlm. 164 119 Ibid., hlm. 166
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-60
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
ketahanan. Di samping itu, mereka menyatakan bahwa pelajaran yang didapat dari
implementasi beberapa kerangka kerja yang dipilih dalam proyek ketahanan
berbasis masyarakat dalam artikel mereka mengkonfirmasi pentingnya memandang
ketahanan sebagai suatu proses, bukan sekadar hasil yang sangat penting untuk
belajar dari pengalaman masa lalu, mengukur dan mengevaluasi kemajuan dalam
membangun ketahanan.120
Quinlan, A. E., Blazquez, M. B., Haider, L. J., dan Peterson, G. D.
mengusulkan tujuh strategi dan prinsip yang relevan dengan kebijakan untuk
meningkatkan ketahanan layanan ekosistem kritis untuk kesejahteraan manusia
pada perubahan yang sedang berlangsung dalam sistem sosial-ekologis yang
kompleks, di antaranya yaitu keanekaragaman dan redundansi yang
dipertahankan; mengelola konektivitas; mengelola variabel lambat dan umpan
balik; menumbuhkan pemahaman tentang sistem sosial-ekologis yang kompleks
sistem adaptif; mendorong pembelajaran dan eksperimen; memperluas partisipasi;
dan mempromosikan sistem pemerintahan polisentris.121 Strategi-strategi ini
memiliki beberapa kesamaan dengan karakteristik yang dikemukakan oleh Djalante
et al.
Berdasarkan penjelasan di atas, ketahanan masyarakat dapat dipahami
sebagai kapasitas individu dan masyarakat lokal yang secara kolektif mampu
mengatasi dan segera pulih dari bencana. Konsep tersebut sejalan dengan konsep
tata kelola adaptif di level desa. Ketahanan masyarakat terhadap bencana yang
terjadi di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo adalah tujuan
akhir untuk mengurangi risiko bencana dan hal itu dapat diwujudkan dengan
menerapkan karakteristik tata kelola desa adaptif di masyarakat.
120 Ibid., hlm. 168 121 Quinlan, A. E., Blazquez, M. B., Haider, L. J., & Peterson, G. D., “Measuring and assessing
resilience: broadening understanding through multiple disciplinary perspectives”, International
Journal of Applied Ecology Vol. 53, 2016, hlm. 677-687
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-61
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
1.5.4 Kesetaraan Gender dalam Penanggulangan Bencana
Kata “gender” dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial
budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya.122 Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia
yang tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia
satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat. Oleh karenanya
gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu
berikutnya.
Aspek gender dalam organisasi sosial dan kemasyarakatan mengarah pada
perbedaan substansial tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dari semua
kelompok umur mengalami dan menghadapi bencana baik sebelum, selama dan
sesudahnya. Interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
menghasilkan peran, tanggung jawab dan identitas yang dikonstruksi secara sosial
untuk laki-laki, perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki.123
Pemahaman masyarakat terhadap bencana merupakan kemampuan
masyarakat untuk mengetahui sekaligus memahami arti, tujuan, dampak dan
manfaat dari suatu bencana. Messner dan Meyer menyebutkan bahwa
pemahaman akan dipengaruhi oleh perbedaan informasi yang dimiliki tiap
individu, ketidakpastian, perbedaan nilai dalam bersikap dan kepentingan tiap
individu.124 Pemahaman bencana oleh kaum perempuan dan anak-anak sangat
dibutuhkan dalam situasi bencana.125 Pemahaman perempuan sebagai manajer
122 Herien Puspitawati, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, (Bogor: IPB Press,
2012) 123 Madhavi Malalgoda Ariyabandu, “Sex, Gender and Gender Relations in Disasters”, dalam
Women, Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G. Dhar
Chakrabarti (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 5-6 124 Frank Messner dan Volker Meyer, “Flood damage, vulnerability and risk perception - challenges
for flood damage research”, UFZ Discussion Paper, No. 13/2005, hlm. 7 125 Siti Hadiyati Nur Hafida, “Pemberdayaan Perempuan sebagai Bentuk Penguatan Strategi
Pengarusutamaan Gender dalam Situasi Bencana di Kabupaten Klaten”, Jurnal SOLMA Vol. 08
No. 01, 2019, hlm. 64
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-62
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
risiko yang kontribusinya terhadap kesiapsiagaan, mitigasi, bantuan darurat dan
pemulihan berkelanjutan sangat diperlukan.126
Ariyabandu secara luas mengamati, meneliti, dan mendokumentasikan bahwa
perempuan yang termasuk dalam kelas sosial, ras, etnis dan kelompok usia yang
berbeda lebih rentan dibandingkan laki-laki dari kelas / kelompok sosial yang sama
sebelum, selama dan setelah bencana.127 Meskipun perempuan seringkali lebih
rentan terhadap bencana daripada laki-laki karena hubungan sosial, harapan dan
tanggung jawab gender konvensional, mereka bukan hanya “korban tak berdaya”,
seperti yang sering direpresentasikan. Wanita memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang berharga dalam mengelola dan mengatasi bencana, sering kali
dibentuk dengan menjalani siklus bencana musiman yang teratur dan mengelola
risiko yang terkait.128 Oleh karena itu, inklusivitas gender dalam kebijakan, strategi,
rencana, dan program sangat penting untuk memberdayakan bangsa dan
masyarakat agar berhasil membangun ketahanan dalam menghadapi tantangan
bencana.129
Meskipun perempuan lebih rentan terhadap bencana, mereka memiliki
banyak kapasitas yang dapat membuat mereka lebih tahan terhadap bencana.130
Mereka memahami risikonya dan bisa memberikan pengurangan risiko bencana di
rumah. Mereka dapat mendidik anggota keluarga lainnya bagaimana mereka
menghadapi resiko. Semua komunitas perlu berinvestasi untuk memberdayakan
perempuan dan menggunakan kapasitas mereka untuk pengurangan risiko bencana
dan pengelolaan. Manajemen risiko yang efektif terutama di pemerintah daerah
membutuhkan kontribusi aktif perempuan dalam pengkajian risiko bencana. Selain
itu, mereka harus berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pengukuran risiko bencana.
126 Elaine Enarson dan P.G. Dhar Chakrabarti (eds.), Women, Gender, and Disaster: Global Issues
and Initiatives, (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. xv 127 Ibid. 128 Ibid. 129 Ibid., hlm. 16 130 Abbas Ostad Taghizadeh dan Ali Ardalan, “Women in disasters: Vulnerable or resilient?”,
Conference Paper, 2016, hlm. 2
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-63
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Penting untuk ditekankan bahwa kesetaraan gender dalam kebijakan dan
tindakan pengurangan bencana membutuhkan peningkatan peran perempuan dalam
kepemimpinan, manajemen dan pengambilan keputusan, serta mengakui posisi
perempuan dalam komunitas mereka dan masyarakat yang lebih luas.131 Partisipasi
penuh dan setara dari perempuan dan laki-laki diperlukan untuk mengurangi
bahaya, mengurangi kerentanan sosial dan membangun kembali masyarakat yang
lebih berkelanjutan, adil dan tahan bencana.132 Strategi yang mengembangkan dan
memperkuat kapasitas perempuan dalam pengurangan bahaya dan tanggap bencana
mengakui bahwa mereka, bersama laki-laki, adalah aktor sosial utama dalam
mengembangkan masyarakat yang lebih tahan bahaya.133
Di seluruh wilayah, organisasi berbasis komunitas sedang mengembangkan
cara inovatif untuk menangani masalah pengucilan sosial untuk berkontribusi pada
kemampuan populasi dalam rangka menghadapi bahaya.134 Terdapat beberapa
praktik bagus (good practice) yang telah dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana dengan mengembangkan komunitas di tingkat lokal. Hal tersebut
menunjukkan betapa bermanfaatnya menyediakan informasi dan keterampilan
yang diperlukan orang dewasa dan anak-anak. Dengan begitu, mereka dapat
memperkuat kapasitas individu dan rumah tangga mereka untuk menghadapi
tantangan yang muncul dalam krisis, lebih tangguh dalam menghadapi bahaya yang
berulang dan bahkan mungkin membantu memastikan bahwa bahaya tidak perlu
berubah menjadi bencana.135
Seperti contoh di sebuah distrik pegunungan di negara bagian Uttarakhand di
India utara di mana Sri Bhuvaneshwari Mahila Ashram (SBMA), dengan dukungan
dari Plan International, telah membangun komunitas di tingkat desa dengan
131 Helena Molin Valdes, “A Gender Perspective on Disaster Risk Reduction”, dalam Women,
Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G. Dhar Chakrabarti
(India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 24 132 Cheryl L. Anderson, “Organising for Risk Reduction: The Honolulu Call to Action”, dalam
Women, Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G. Dhar
Chakrabarti (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 42 133 Manjari Mehta, “Reducing Disaster Risk through Community Resilience in the Himalayas”,
dalam Women, Gender, and Disaster: Global Issues and Initiatives, ed. Elaine Enarson dan P.G.
Dhar Chakrabarti (India: Sage Publications India Pvt Ltd, 2009), hlm. 65 134 Ibid 135 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-64
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
melibatkan wanita dan anak-anak untuk mengembangkan program mitigasi
bencana.136 Fokus pekerjaannya dengan mengarahkan anggota komunitas untuk
mengatasi situasi berbahaya, penekanan pada kebutuhan anak-anak, wanita hamil,
dan orang tua. Terdapat pemberdayaan remaja yang melatih anak perempuan terkait
penyelamatan khusus dan pertolongan pertama. Hampir 900 wanita dari desa
terdekat terlibat dalam pekerjaan penyelamatan dan membantu membersihkan
lumpur, memulihkan jenazah dan memberikan konseling kepada keluarga yang
paling terkena dampak. Salah satu kelompok dari daerah yang terkena dampak
parah segera mulai bekerja untuk membangun kembali jalur desa, bekerja selama
hampir dua hari untuk membuat jalan setapak sementara.137
Berdasarkan penjelasan di atas, kesetaraan gender dalam penanggulangan
bencana dapat dipahami sebagai kondisi perempuan dan laki-laki yang setara dan
sama dalam mewujudkan hak asasi manusia di bidang penanggulangan bencana.
Pada konteks penelitian ini, kesetaraan gender dalam penanggulangan bencana
berarti bahwa masyarakat Desa Tugurejo baik laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama untuk terlibat dalam proses penanggulangan bencana.
1.6 Definisi Konsep
Definisi konsep berfungsi untuk memberikan gambaran dan batasan terkait
fokus penelitian. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya yaitu:
1. Lembaga Informal
Tata kelola yang lebih informal, namun melembaga, yang mewakili pola
interaksi yang stabil di antara sejumlah organisasi, lembaga, dan bahkan pelaku
individu baik di sektor publik maupun swasta.
2. Tata Kelola Adaptif (Adaptive Governance)
Tata kelola adaptif merupakan interaksi antara governance stakeholder
(pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk
meningkatkan ketahanan dalam mengurangi risiko bencana secara efektif
136 Ibid., hlm. 67 137 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-65
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
3. Institusi Polisentris dan Multilayer (Polycentric and Multilayered
Institutions)
Institusi polisentris dan multilayer merupakan keterlibatan para stakeholder
pada tingkatan yang berbeda sehingga mampu menghasilkan solusi kolektif
untuk menyelesaikan permasalahan bencana lokal yang muncul. Para
stakeholder bertindak sesuai peran dan tanggung jawabnya masing-masing.
4. Partisipasi dan Kolaborasi (Participation)
Partisipasi dan kolaborasi yaitu para stakeholder terlibat dalam proses
berkelanjutan untuk menyelesaikan permasalahan bencana di tingkat lokal.
5. Pengorganisasian Diri dan Jaringan (Self-Organization and Networks)
Pengorganisasian diri dan jaringan merupakan keterlibatan government
stakeholder dalam forum non government stakeholder melalui proses transfer
pengetahuan dan pengalaman untuk adaptasi terhadap bencana alam..
6. Pembelajaran dan Inovasi (Learning and Innovation)
Pembelajaran dan inovasi merupakan pengetahuan dan praktik-praktik lokal
yang telah memudahkan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana.
7. Tata Kelola Desa Adaptif (Adaptive Village Governance)
Tata kelola desa adaptif merupakan interaksi antara governance stakeholder
(pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk
meningkatkan ketahanan dalam mengurangi risiko bencana di level desa secara
efektif.
8. Institusi Polisentris dan Jaringan (Polycentric Institutions and Networking)
Institusi polisentris dan jaringan merupakan keterlibatan para stakeholder
sesuai peran dan tanggung jawabnya masing-masing untuk menghasilkan
solusi koleksif terkait permasalahan bencana lokal. Dalam hal ini, para
stakeholder saling transfer pengetahuan dan pengalaman.
9. Partisipasi (Participation)
Partisipasi merupakan upaya para stakeholder dalam meningkatkan ketahanan
masyarakat terhadap bencana.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-66
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
10. Ketahanan Masyarakat
Ketahanan masyarakat merupakan kapasitas individu dan masyarakat lokal
yang secara kolektif mampu mengatasi dan segera pulih dari bencana.
11. Kesetaraan Gender dalam Penanggulangan Bencana
Kesetaraan gender dalam penanggulangan bencana merupakan kondisi
perempuan dan laki-laki yang setara dan sama dalam mewujudkan hak asasi
manusia di bidang penanggulangan bencana.
1.7 Kerangka Berpikir
Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian terkait keberhasilan
tata kelola desa adaptif pada program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan hal tersebut, peneliti
menggunakan pemikiran Syarini yaitu dengan mengkaji karakteristik tata kelola
desa adaptif yang muncul dalam interaksi governance stakeholder (pemerintah,
kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) untuk meningkatkan
ketahanan masyarakat terhadap bencana. Berikut ini merupakan skema kerangka
berpikir pada penelitian ini.
Institusi Polisentris dan Jaringan
(Polycentric Institutions and
Networking)
Tata Kelola Desa Adaptif
(Adaptive Village Governance)
Partisipasi
(Participation)
Pembelajaran dan Inovasi
(Learning and Innovation)
Ketahanan Masyarakat
(Community Resilience)
Gambar 1.8 Skema kerangka berpikir
Sumber: dokumen pribadi peneliti
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-67
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
1.8 Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah suatu cara untuk memecahkan masalah
penelitian secara sistematis.138 Sedangkan metode penelitian merupakan istilah
yang menunjukkan suatu perspektif tentang penelitian yang menampilkan
informasi berurutan dan konstruksi penelitian secara luas ke prosedur metode yang
sempit.139 Metode penelitian merupakan bagian dari metodologi penelitian.140
Penelitian ini menggunakan interpretive approach dengan metode penelitian
kualitatif. Selanjutnya penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus.
Terkait pendekatan interpretive approach, Neuman menjelaskan bahwa
interpretive approach menekankan pada tindakan sosial yang bermakna, makna
yang dibangun secara sosial, dan relativisme nilai.141 Pendekatan interpretif
merupakan analisis terstruktur dari tindakan yang bermakna sosial melalui
pengamatan rinci terhadap orang-orang dengan pengaturan alami untuk memahami
dan menafsirkan bagaimana orang-orang menciptakan dan mempertahankan
kehidupan sosial mereka.142 Interpretive approach adalah dasar dari teknik
penelitian sosial yang sensitif terhadap konteks, yang masuk ke dalam cara orang
lain melihat dunia, dan yang lebih peduli dengan mencapai pemahaman empatik
daripada dengan menguji hukum seperti teori perilaku manusia.143
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut John W. Creswell,
penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami
makna yang (oleh sejumlah individu atau sekelompok orang) dianggap berasal dari
masalah sosial.144 Creswell juga menjelaskan bahwa proses penelitian kualitatif
melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan,
menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema khusus ke tema-tema
umum, dan menafsirkan makna data. Selanjutnya, laporan akhir untuk penelitian
138 C. R. Kothari, Research Methodology: Methods and Techniques, (New Delhi: New Age
International (P) Ltd., 2004), hlm. 8 139 Neuman, Op.Cit., hlm. 3 140 Kothari, Loc.Cit. 141 Neuman, Op.Cit., hlm. 103 142 Ibid., hlm. 104 143 Ibid., hlm. 109 144 Creswell, Op.Cit., hlm. 4
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-68
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
kualitatif memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel.145 Creswell menegaskan
bahwa siapa saja yang terlibat dalam bentuk penelitian kualitatif, maka harus
memiliki cara pandang induktif, berfokus pada makna individual serta mampu
menafsirkan kompleksitas suatu masalah.146
Tracy menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif sering berbicara tentang
pemahaman emik tentang adegan, yang berarti perilaku itu dijelaskan dari sudut
pandang aktor dan spesifik konteks.147 Penelitian induktif mengacu pada makna
yang muncul dari lapangan.148 Tracy menegaskan bahwa peneliti yang
menggunakan pendekatan induktif (1) mulai dengan mengamati interaksi tertentu;
(2) membuat konsep pola umum dari pengamatan ini; (3) membuat klaim tentatif
(yang kemudian diperiksa kembali di lapangan); dan (4) menarik kesimpulan yang
membangun teori atau membuat cerita yang menarik.149
Data kualitatif tidak hanya bagus untuk menjawab pertanyaan “Apa yang
sedang terjadi sini?” tetapi juga siap menjawab pertanyaan “Mengapa?” dan
“Bagaimana bisa?” Menganalisis sebab kausalitas memberikan temuan berharga
terkait prediksi, tindakan, dan perubahan.150 Analisis data kualitatif tidak dirancang
untuk menghasilkan hukum universal yang secara kausal menghubungkan bersama
variabel independen dekontekstual. Peneliti kualitatif lebih berfokus pada
menghasilkan penjelasan tentang aktivitas kontekstual dan data kualitatif yang kaya
sangat berharga untuk tujuan tersebut.151
Para peneliti kualitatif menggunakan teori dalam penelitian untuk tujuan-
tujuan yang berbeda.152 Dalam penelitian ini teori digunakan sebagai poin akhir
penelitian. Dengan menjadikan teori sebagai poin akhir penelitian, berarti peneliti
menerapkan proses penelitiannya secara induktif yang berlangsung mulai dari data,
145 Ibid., hlm. 5 146 Ibid. 147 Sarah J. Tracy, Qualitative Research Methods: Collecting Evidence, Crafting Analysis,
Communicating Impact (Second Edition), (USA: John Wiley & Sons, Inc., 2020) hlm. 26 148 Ibid., hlm. 27 149 Ibid. 150 Ibid., hlm. 253 151 Ibid. 152 Creswell, Op.Cit., hlm. 84
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-69
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
lalu ke tema-tema umum, kemudian menuju teori atau model tertentu.153 Logika
induktif dalam penelitian kualitaif dapat dilihat pada gambar 1.9 berikut ini.
Sumber: John W. Creswell
Penelitian kualitatif memiliki beberapa jenis penelitian, seperti naratif,
fenomenologi, grounded theory, studi kasus, dan etnografi. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kasus. Jenis penelitian studi kasus
berusaha menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” untuk menjelaskan
fenomena sosial.154 Robert K. Yin menjelaskan bahwa apabila peneliti perlu
mengetahui “bagaimana” atau “mengapa” suatu program berhasil (atau tidak),
maka peneliti harus condong ke studi kasus atau percobaan lapangan.155 Maxwell
153 Ibid., hlm. 87 154 Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods (Fifth Edition), (USA: Sage
Publications, 2014), hlm. 37 155 Ibid., hlm. 46
Peneliti mengemukakan generalisasi-generalisasi atau teori-teori dari literatur-
literatur dan pengalaman-pengalaman pribadinya
Peneliti mencari pola-pola umum, generalisasi-generalisasi, atau teori-teori
dari tema-tema atau kategori-kategori
Peneliti menganalisis data untuk membuat tema-tema atau
kategori-kategori
Peneliti mengajukan pertanyaan terbuka kepada partisipan atau merekam
catatan-catatan lapangan
Peneliti mengumpulkan informasi-informasi (misalnya, wawancara-
wawancara, informasi-informasi)
Gambar 1.9 Logika induktif dalam penelitian kualitatif
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-70
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
berpendapat bahwa penelitian lapangan jauh lebih baik daripada pendekatan
terkuantifikasi semata-mata dalam mengembangkan penjelasan tentang kausalitas
lokal - yang terdiri dari peristiwa dan proses lokal yang mengarah pada hasil
tertentu dalam konteks atau kasus tertentu. Misalnya, pertanyaan seperti
“Bagaimana serangkaian perselisihan perkawinan menyebabkan perceraian
pasangan ini?” atau “Mengapa beberapa guru lebih berhasil daripada yang lain
dalam membantu siswa untuk belajar di sekolah ini?” adalah pertanyaan tentang
kausalitas lokal.156 Hal tersebut sangat relevan dengan penelitian ini yang berusaha
menjawab pertanyaan bagaimana fenomena keberhasilan program desa tangguh
bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam
perpektif tata kelola desa adaptif (adaptive village governance).
Jenis penelitian studi kasus juga berusaha menjawab pertanyaan penelitian
yang membutuhkan pemaparan luas dan mendalam dari beberapa fenomena
sosial.157 Hal itu sejalan dengan penelitian ini karena peneliti berusaha untuk
mendeskripsikan, mendokumentasikan, dan mengidentifikasi fenomena
keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung
Kabupaten Ponorogo dalam perspektif tata kelola desa adaptif (adaptive village
governance).
1.8.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif tipe deskriptif. Tipe
penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan suatu gambaran menggunakan
kata atau angka dan untuk menyajikan profil, klasifikasi jenis, atau garis besar
langkah-langkah untuk menjawab pertanyaan siapa, kapan, di mana, dan
bagaimana.158 Penelitian deskriptif dimulai dengan masalah atau pertanyaan yang
didefinisikan dengan baik dan mencoba menggambarkannya secara akurat. Hasil
156 Tracy, Loc.Cit. 157 Ibid., hlm. 37 158 W. Lawrence Neuman, Op.Cit., hlm. 38
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-71
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
penelitian adalah gambaran rinci tentang masalah atau jawaban untuk pertanyaan
penelitian.159
Dalam penelitian ini menggambarkan tentang suatu fenomena keberhasilan
tata kelola desa adaptif (adaptive village governance) pada program desa tangguh
bencana di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Oleh karena
itu, metode penelitian kualitatif tipe deskriptif sangat sesuai untuk digunakan dalam
penelitian ini.
1.8.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ponorogo, tepatnya di desa tangguh
bencana Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Adapun
beberapa pertimbangan yang menyertai pemilihan lokasi penelitian, antara lain:
a. Kabupaten Ponorogo merupakan daerah dengan jumlah kejadian bencana
tertinggi di Jawa Timur dalam lima tahun terakhir (2015-2019).
b. Kabupaten Ponorogo merupakan daerah dengan risiko bencana yang tinggi,
karena masuk dalam wilayah dataran tinggi dan terdapat banyak bukit.
c. Desa Tugurejo merupakan desa yang masuk dalam kategori potensi bencana
tinggi
d. Desa Tugurejo mendapatkan Juara 3 Bursa Inovasi Desa Kabupaten Ponorogo
tahun 2017 (kategori Tagana)
e. Desa Tugurejo mendapatkan Juara 1 Bursa Inovasi Desa Kabupaten Ponorogo
tahun 2018 (kategori Pertahana)
f. Desa Tugurejo mendapatkan Juara 3 Desa/Kelurahan Terbaik Kategori Utama
pada Lomba Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tingkat Provinsi Jawa Timur
Tahun 2019
g. Desa Tugurejo memiliki gerakan Pertahana yang merupakan inisiatif desa
untuk mengoptimalkan peran perempuan dalam mengurangi risiko bencana
dan gerakan tersebut adalah satu-satunya di Indonesia
159 Ibid., hlm. 39
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-72
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
1.8.3 Teknik Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik purposive
yaitu sengaja dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan penuh perencanaan.160
Pemilihan informan pada teknik purposive yaitu memilih dengan kriteria yang
dianggap paling penting untuk studi tertentu.161 Pertimbangan utama dalam teknik
purposive yaitu penilaian peneliti tentang siapa yang dapat memberikan informasi
terbaik untuk mencapai tujuan studi.162 Peneliti mendatangi orang-orang yang
cenderung memiliki informasi yang diperlukan dan bersedia membagikannya
kepada peneliti. Teknik purposive sangat berguna ketika peneliti ingin membangun
realitas sejarah, menggambarkan suatu fenomena, atau mengembangkan sesuatu
yang hanya sedikit diketahui.163 Dalam penelitian ini informan yang dipilih oleh
peneliti di antaranya sebagai berikut:
1. Kepala Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo, Bapak
Siswanto
Beliau adalah Kepala Desa Tugurejo dengan masa jabatan 2016-2022. Beliau
memahami betul bagaimana perjalanan Desa Tugurejo menjadi desa tangguh
bencana mandiri dengan membentuk taruna tangguh bencana (tagana) pada
tahun 2017 dan perempuan tangguh bencana (pertahana) pada tahun 2018,
hingga ditetapkannya Desa Tugurejo sebagai desa tangguh bencana pada tahun
2018.
2. Ketua Perempuan Tangguh Bencana (Pertahana) Desa Tugurejo Kecamatan
Slahung Kabupaten Ponorogo, Ibu Kartini
Beliau adalah salah satu orang yang memprakarsai terbentuknya Pertahana di
Desa Tugurejo pada tahun 2018.
3. Ketua Taruna Tangguh Bencana (Tagana) Desa Tugurejo Kecamatan Slahung
Kabupaten Ponorogo, Bapak Muhammad Syarifudin
160 Creswell, Op.Cit., hlm. 253 161 Prabhat Pandey dan Meenu Mishra Pandey, Research Methodology: Tools And Techniques,
(Romania: Bridge Center, 2015), hlm. 54 162 Ranjit Kumar, Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners (Fourth Edition),
(USA: Sage Publications, 2014), hlm. 380 163 Ibid.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-73
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Beliau adalah salah satu orang yang memprakarsai terbentuknya Tagana di
Desa Tugurejo pada tahun 2017.
4. Masyarakat Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo
Masyarakat yang dipilih menjadi informan yaitu masyarakat yang pernah
terdampak bencana di Desa Tugurejo dan masyarakat yang pernah terlibat
dalam forum sosialisasi maupun pelatihan tentang pengurangan risiko bencana
di Desa Tugurejo. Masyarakat yang dipilih menjadi informan di antaranya
sebagai berikut:
Bapak Jarwan
Beliau merupakan ketua RT 01 RW 03 Dukuh Krajan Desa Tugurejo
Bapak Elyus Dwi Hartanto
Beliau merupakan tokoh masyarakat di lingkungan RT 01 RW 01 Dukuh
Tugunongko Desa Tugurejo
Ibu Yuyun
Beliau merupakan perwakilan masyarakat di lingkungan RT 01 RW 02
Dukuh Sumber Desa Tugurejo
5. Kepala Seksi Pencegahan BPBD Kabupaten Ponorogo, Ibu Marem, S.Sos.,
M.Si.
Seksi Pencegahan memiliki salah satu kegiatan yaitu membentuk dan membina
desa tangguh bencana. Oleh karena itu, Ibu Marem memahami betul terkait
pelaksanaan destana dan beliau juga menjadi pembina destana di Desa
Tugurejo.
6. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Ponorogo, Bapak
Setyo Budiyono, S.Sos., M.M.
Kegiatan yang dilakukan oleh bidang kedaruratan dan logistik yaitu
pertolongan dan evakuasi korban bencana. Selain itu juga pengadaan logistik
dan peralatan. Bapak Budi sering turun langsung ke lokasi bencana termasuk
di Desa Tugurejo, sehingga beliau merupakan orang yang tepat untuk
diwawancarai.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-74
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
7. Staf Administrasi Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (P3A) Kabupaten Ponorogo, Bapak Harjuni
Dinas Sosial P3A berperan dalam menangani dampak sosial akibat dari
bencana, terkait juga dengan logistik dan tempat tinggal (pengungsian) saat
terjadi bencana di Kabupaten Ponorogo, termasuk di Desa Tugurejo. Bapak
Harjuni pernah terjun langsung saat ada bencana di Desa Tugurejo, sehingga
beliau mampu memberikan informasi yang tepat.
8. Kepala Seksi Pengelolaan Informasi Publik Dinas Komunikasi Informatika dan
Statistik Kabupaten Ponorogo, Bapak Andri Hendratmoyo, S.T., M.T., M.M.
Seksi Pengelolaan Informasi Publik melaksanakan salah satu fungsi yaitu
monitoring isu publik yang berkembang di media, baik media massa maupun
media sosial. Tujuannya untuk menangkal hoaks dari sumber-sumber berita
yang tidak kurang valid. Seksi Pengelolaan Informasi Publik bertanggung
jawab untuk mengelola berita melalui laman ponorogo.go.id dan media sosial
(instagram, facebook, dan twitter). Oleh karena itu Bapak Andri merupakan
orang yang tepat untuk diwawancarai karena paham betul terkait
perkembangan isu di masyarakat, termasuk isu bencana di Kabupaten
Ponorogo.
9. Kepala Seksi Pencegahan BPBD Provinsi Jawa Timur, Bapak Dadang
Iqwandy, ST., M.T.
Beliau dipilih menjadi informan karena BPBD Provinsi Jawa Timur turut
membantu dalam proses evakuasi dan tanggap bencana di Desa Tugurejo dan
beliau memahami betul bagaimana pelaksanaan Destana di Provinsi Jawa
Timur.
10. Kepala Sub Bidang Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Barat Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, Bapak Sumaryono, S.T., M.Eng.
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat dalam pengecekan
calon lokasi untuk relokasi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tugurejo 2 dan
permukiman warga yang terdampak bencana di Desa Tugurejo.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-75
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
11. Bintara Pembina Desa (Babinsa) Desa Tugurejo Kecamatan Slahung,
Komando Distrik Militer (Kodim) 0802 / Rayon Militer (Ramil) Slahung,
Bapak Ali Subroto
Beliau merupakan unsur TNI yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana
di Desa Tugurejo dengan mengimbau masyarakat untuk menjaga kelestarian
alam dan gotong royong dalam membersihkan lingkungan masing-masing
untuk mencegah terjadinya bencana.
12. Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Bhabinkamtibmas) Desa Tugurejo, Polsek Slahung, Bapak Novedi Adrion
Beliau merupakan unsur Polri yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana
di Desa Tugurejo dengan melakukan patroli dan sosialisasi agar siap siaga
kapanpun terjadi bencana.
13. Direktur Kedaruratan, Rehabilitasi, dan Rekonstruksi Lembaga
Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU)
Kabupaten Ponorogo, Bapak Sofyan
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat langsung dalam
pengurangan risiko bencana dengan membantu kegiatan penanaman pohon di
Desa Tugurejo.
14. Staf Penanganan Bencana Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten
Ponorogo, Bapak M. Nur Amin Zabidi
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat langsung dalam
pengurangan risiko bencana dengan membantu menyusun peta rawan bencana
di Desa Tugurejo.
15. Satuan Tugas Komunikasi Organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia
(RAPI), Bapak Hadi Susanto
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah terlibat langsung dalam
sosialisasi terkait komunikasi melalui radio tentang kebencanaan di Desa
Tugurejo.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-76
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
16. Pelatih Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Sub Rayon Tugurejo, Bapak
Budi Susanto
PSHT turut terlibat dalam membantu penanggulangan bencana di Desa
Tugurejo dengan mengadakan bakti sosial untuk korban bencana.
17. Ketua Komunitas Ponorogo Peduli, Bapak Jumeno
Ponorogo Peduli berpartisipasi dalam membantu penanggulangan bencana di
Desa Tugurejo dengan memberikan bantuan berupa sembako untuk korban
bencana.
18. Dosen Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Bapak Dr. Muhamad Fajar
Pramono, M.Si.
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah melibatkan Desa Tugurejo
sebagai lokasi penelitian untuk bahan observasi dan kajian mengenai
kebencanaan.
19. Programmer Radio Gema Surya, Bapak Ari Mahendra
Beliau dipilih menjadi informan karena menjadi fasilitator Desa Tugurejo
untuk melakukan on air di Radio Gema Surya terkait perkembangan bencana.
20. Redaktur Radio Duta Nusantara Ponorogo, Hadi Sanyoto
Beliau dipilih menjadi informan karena memahami perkembangan isu di
Ponorogo yang disiarkan di Radio Duta Nusantara Ponorogo, termasuk isu
bencana di Desa Tugurejo.
21. Jurnalis dan Penyiar Radio Songgolangit, Lucia Marwa
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah meliput dan menyiarkan berita
bencana di Desa Tugurejo.
22. Reporter TV-One, Bapak Aries
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah meliput bencana di Desa
Tugurejo. Selain itu, beliau juga sering berinteraksi dengan Pemerintah Desa
untuk mengetahui perkembangan bencana.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-77
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
23. Ketua Perkumpulan Peternak Ayam Petelur Ponorogo (PPAPP), Ibu Eni
Kustianingsih
Beliau dipilih menjadi informan karena pernah mewakili PPAPP berkunjung
ke Desa Tugurejo untuk memberikan bantuan saat terjadi bencana di Desa
Tugurejo, tepatnya di Dukuh Tugunongko.
24. Kepala Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Guyangan, Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Ponorogo Barat, KPH Lawu Ds, Divisi Regional
Jawa Timur, Perum Perhutani, Bapak Darwitono
Beliau pernah terlibat aktif membantu pengurangan risiko bencana di Desa
Tugurejo melalui kegiatan sosialisasi kepada masyarakat dan memberikan
bantuan saat terjadi bencana di Desa Tugurejo.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Menurut pendapat Robert K. Yin, pengumpulan data pada studi kasus dapat
berasal dari enam sumber164, yaitu sebagai berikut:
a. Dokumentasi
Jenis informasi ini dapat memiliki berbagai macam bentuk dan harus menjadi
objek rencana pengumpulan data eksplisit. Untuk penelitian studi kasus,
penggunaan dokumen yang paling penting adalah untuk menguatkan dan
menambah bukti dari sumber lain.165 Beberapa dokumen yang dibutuhkan
dalam penelitian ini yakni:
Surat, memo, email masuk maupun keluar dari para governance
stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan
dunia usaha) yang membahas upaya pengurangan risiko bencana di Desa
Tugurejo
Notulensi rapat para governance stakeholder (pemerintah, kelompok
masyarakat, akademisi, media, dan dunia usaha) yang membahas upaya
pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo
164 Yin, Op.Cit., hlm. 170 165 Ibid., hlm. 171
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-78
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Dokumen pengumuman (cetak maupun online) pada ruang lingkup desa
untuk sosialisasi maupun pelatihan tentang pengurangan risiko bencana di
Desa Tugurejo
Presensi kegiatan sosialisasi dan pelatihan tentang pengurangan risiko
bencana yang dihadiri oleh masyarakat Desa Tugurejo
Proposal kerja sama antara Desa Tugurejo dengan para governance
stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan
dunia usaha) untuk pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo
Laporan pertanggungjawaban dana desa, khususnya anggaran yang
dialokasikan untuk pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo
Hasil kajian dari para akademisi terkait pengurangan risiko bencana di
Desa Tugurejo
Publikasi media (cetak, elektronik maupun online) terkait berita bencana
di Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo
b. Catatan arsip
Untuk banyak studi kasus, catatan arsip sering berupa file komputer dan catatan
seperti data sensus. Catatan arsip ini dapat digunakan bersama dengan sumber
informasi lain dalam menghasilkan studi kasus.166 Catatan arsip yang
dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:
Data kejadian bencana di Kabupaten Ponorogo tahun 2015-2019
Catatan organisasi, seperti catatan anggaran atau personil
Catatan organisasi ini didapat dari kelompok masyarakat, diantaranya
Tagana, Pertahana, LPBI NU Kabupaten Ponorogo, PMI Kabupaten
Ponorogo, RAPI Kabupaten Ponorogo, PSHT Sub Rayon Tugurejo, dan
Ponorogo Peduli
Peta rawan bencana Desa Tugurejo
c. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah sumber penting dari bukti studi kasus karena sebagian besar
studi kasus adalah tentang urusan atau tindakan manusia. Wawancara dalam
166 Ibid., hlm. 174-175
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-79
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
penelitian studi kasus menyerupai percakapan terpandu daripada pertanyaan
terstruktur. Terdapat tiga jenis wawancara dalam studi kasus yaitu wawancara
yang berkepanjangan (prolonged case study interviews), Wawancara yang
lebih pendek (shorter case study interviews), dan wawancara survei dalam
studi kasus (survey interviews in a case study).167 Namun dalam penelitian ini
hanya menggunakan dua jenis wawancara yaitu antara lain:
1) Wawancara yang berkepanjangan (prolonged case study interviews)
Wawancara-wawancara ini dapat berlangsung lebih dari dua jam, baik
dalam satu kali datang atau selama periode waktu yang panjang yang
mencakup banyak bagian. Peneliti bertanya kepada informan tentang
interpretasi dan pendapat mereka terkait orang dan peristiwa atau wawasan,
penjelasan, dan makna yang terkait dengan kejadian tertentu. Peneliti
kemudian dapat menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar untuk
penyelidikan lebih lanjut Informan kunci seringkali penting untuk
keberhasilan studi kasus.
2) Wawancara yang lebih pendek (shorter case study interviews)
Daripada terjadi selama periode waktu yang panjang atau beberapa bagian,
banyak wawancara studi kasus mungkin lebih fokus dan hanya memakan
waktu sekitar satu jam atau lebih. Dalam situasi seperti itu, wawancara
masih tetap terbuka dan mengambil cara percakapan, tetapi peneliti
cenderung mengikuti protokol studi kasus dengan lebih dekat. Misalnya,
tujuan utama dari wawancara semacam itu mungkin hanya untuk
menguatkan temuan-temuan tertentu yang menurut peneliti telah
ditetapkan, tetapi tidak untuk bertanya tentang topik lain yang sifatnya lebih
luas dan terbuka.
d. Pengamatan langsung
Studi kasus harus dilakukan dalam pengaturan kasus di dunia nyata, maka
peneliti menciptakan peluang untuk pengamatan langsung. Pengamatan dapat
berkisar dari kegiatan pengumpulan data formal hingga kasual.168 Dalam
167 Ibid., hlm. 176-179 168 Ibid., hlm. 180-181
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-80
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
penelitian ini, peneliti melakukan pengaman langsung secara kasual.
Pengamatan langsung yang kurang formal atau disebut kasual yaitu
pengamatan langsung dapat dilakukan sepanjang kerja lapangan, termasuk
saat-saat di mana bukti lain seperti wawancara mendalam sedang dikumpulkan.
e. Pengamatan partisipan
Pengamatan partisipan adalah mode pengamatan khusus di mana peneliti
bukan sekadar menjadi pengamat pasif. Sebaliknya, peneliti dapat mengambil
berbagai peran dalam situasi kerja lapangan dan mungkin benar-benar
berpartisipasi dalam tindakan yang dipelajari. Peran untuk studi ilustratif yang
berbeda di lingkungan dan organisasi.169 Peneliti melakukan pengamatan
partisipan dengan cara mempelajari dokumen-dokumen sosialisasi dan
pelatihan pengurangan risiko bencana, serta mewawancarai informan yang
pernah mengikuti sosialisasi dan wawancara terkait kebencanaan di Desa
Tugurejo.
f. Artefak fisik
Sumber bukti terakhir adalah artefak fisik atau budaya — misalnya, perangkat
teknologi, alat atau instrumen, karya seni, atau beberapa bukti fisik lainnya.
Artefak tersebut dapat dikumpulkan atau diamati sebagai bagian dari studi
kasus dan telah digunakan secara luas dalam penelitian antropologis. Jika
relevan, artefak dapat menjadi komponen penting dalam keseluruhan kasus.170
Artefak fisik yang diamati dalam penelitian ini yakni bukti fisik kelengkapan
fasilitas untuk pengurangan risiko bencana di Desa Tugurejo, seperti seragam
destana, ambulans, motor trail, perlengkapan dapur umum, dan sistem
peringatan dini (early warning system).
169 Ibid., hlm. 182-185 170 Ibid., hlm. 186
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-81
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
1.8.5 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses memberikan makna pada data yang berupa
wacana atau gambar serta proses yang berhubungan dengan pemetakan data serta
menyusunnya kembali.171 Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus
dengan analisis data strategi induktif, yaitu mengolah data dari bawah ke atas.
Analisis data dilakukan bukan dengan memikirkan proposisi teoritis, namun dengan
menuangkan seluruh data. Kemudian memperhatikan pola dan menemukan
beberapa bagian dari data menyarankan satu atau dua konsep yang berguna.
Wawasan seperti itu dapat menjadi awal dari jalur analitik, membawa peneliti lebih
jauh ke dalam data dan mungkin menyarankan hubungan tambahan.172 Konsep-
konsep kunci muncul dengan memeriksa data secara cermat, bukan dari proposisi
teoretis sebelumnya.173
Analisis data strategi induktif selaras dengan proses analisis data kualitatif.
Creswell melihat analisis data kualitatif sebagai suatu proses penerapan langkah-
langkah dari yang spesifik hingga yang umum. Analisis data dalam penelitian
kualitatif dirangkum pada gambar 1.10 berikut ini.174
171 Creswell, Op.Cit., hlm. 260 172 Yin, Op.Cit., hlm. 211 173 Ibid., hlm. 212 174 Creswell, Op.Cit., hlm. 263
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-82
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Sumber: John W. Creswell
Menginterpretasi makna
tema/deskripsi
Saling menghubungkan
tema/deskripsi
Tema Deskripsi
Memberi kode pada data
Membaca seluruh data
Menyusun dan
mempersiapkan data untuk
analisis
Data mentah
(transkrip, catatan lapangan,
gambar, dan sebagainya)
Validasi akurasi informasi
Gambar 1.10 Skema proses analisis data
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-83
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Proses analisis data seperti yang nampak pada gambar di atas dapat dirinci
dalam beberapa langkah175, antara lain:
1. Langkah pertama yaitu mengolah dan menyiapkan data. Dalam langkah ini
menyertakan transkrip wawancara, meninjau materi-materi, mengetik data
yang diperoleh di lapangan, atau membuat segmentasi pada data kemudian
merapikannya ke dalam kategori-kategori yang berbeda berdasarkan sumber
informasi.
2. Langkah kedua yaitu membaca semua data. Membaca semua data berfungsi
untuk membangun pemahaman umum terkait informasi yang telah didapatkan.
Pada langkah ini, peneliti menulis catatan tertentu maupun gagasan umum
tentang data yang didapatkan.
3. Langkah ketiga yaitu membuat coding pada keseluruhan data. Coding
merupakan proses membuat kategori pada data yang telah terkumpul. Langkah
ini memuat beberapa tahapan yaitu mengambil data tulisan atau gambar dari
proses pengumpulan, melakukan segmentasi gambar atau kalimat ke dalam
kategori, selanjutnya melabeli kategori dengan sebutan khusus.
4. Langkah keempat yaitu menerapkan proses coding untuk membuat deskripsi
pada setting, partisipan, kategori maupun yang hendak dianalisis. Deskripsi
tersebut berisi informasi lengkap tentang lokasi, partisipan, maupun peristiwa
dalam setting tertentu. Selanjutnya proses coding digunakan untuk membuat
tema atau kategori yang dapat dimanfaatkan untuk analisis yang lebih
kompleks.
5. Langkah kelima yaitu menyajikan kembali deskripsi dan tema dalam laporan.
Dalam pembahasan ini menggunakan pendekatan naratif yang berisi tentang
kronologi kejadian dan tema tertentu. Untuk membantu penyajian dalam
pembahasan, maka peneliti menggunakan visual, tabel, dan gambar.
6. Langkah keenam yaitu membuat interpretasi data. Interpretasi dapat berasal
dari celah antara hasil penelitian dengan informasi pada literatur. Dengan kata
lain peneliti dapat menegaskan hasil penelitiannya dengan membenarkan
maupun menyanggah informasi terdahulu.
175 Ibid., hlm. 263-268
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-84
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
1.8.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini, maka peneliti
menggunakan strategi triangulasi. Dalam penelitian sosial, peneliti membangun
prinsip belajar lebih banyak dengan mengamati dari berbagai perspektif daripada
hanya melihat dari satu perspektif saja.176 Dalam penelitian ini menggunakan
triangulasi sumber data yaitu dilakukan dengan memeriksa bukti dari sumber data
kemudian memanfaatkannya untuk membuat justifikasi tema.177 Keabsahan data
dalam penelitian ini dapat dicapai dengan melakukan:
a. Perbandingan hasil wawancara dengan hasil pengamatan
Peneliti membandingkan hasil wawancara pada berbagai governance
stakeholder (pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi, media, dan dunia
usaha) tentang keberhasilan tata kelola adaptif pada desa tangguh bencana di
Desa Tugurejo Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dengan hasil
pengamatan selama di lapangan.
b. Perbandingan hasil wawancara dengan dokumen
Peneliti membandingkan hasil wawancara dengan dokumen pendukung yang
relevan.
c. Perbandingan hasil wawancara dari informan yang berbeda
Peneliti membandingkan hasil wawancara dari masing-masing informan
kemudian berusaha memahami sudut pandang informan satu dan lainnya..
1.8.7 Rincian Data yang Dikumpulkan
Pengumpulan data pada studi kasus dapat berasal dari enam sumber yaitu
dokumentasi, catatan arsip, wawancara mendalam, pengamatan langsung,
pengamatan pastisipan, dan artefak fisik. Untuk menjawab pertanyaan penelitian
tentang fenomena keberhasilan program desa tangguh bencana di Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo dalam perpektif tata kelola adaptive
(adaptive village governance), maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
berkaitan dengan interaksi antara pemerintah, kelompok masyarakat, akademisi,
176 W. Lawrence Neuman, Op.Cit., hlm. 166 177 Creswell, Op.Cit., hlm. 269
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-85
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
media dan dunia usaha dalam mengurangi risiko bencana di Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Ketika pengumpulan data berlangsung,
terdapat beberapa kendala yang dialami peneliti khususnya terkait dokumen formal.
Pada tabel berikut ini, peneliti memaparkan rencana dan realisasi data yang berhasil
dikumpulkan maupun yang terkendala.
Tabel 1.10 Rencana dan realisasi data yang diperoleh selama proses penelitian
No. Jenis Data Rencana Realisasi Keterangan
1. Regulasi terkait
pengurangan
risiko bencana
dan desa tangguh
bencana
(Destana) yang
disusun oleh
Kepala Desa
maupun
Pemerintah Desa
Tugurejo
Kecamatan
Slahung
Kabupaten
Ponorogo
✔ ✔ Regulasi terkait pengurangan
risiko bencana dan desa
tangguh bencana (Destana)
yang disusun oleh Kepala
Desa maupun Pemerintah
Desa Tugurejo Kecamatan
Slahung Kabupaten Ponorogo
berhasil diperoleh, di
antaranya yaitu:
Surat Keputusan (SK)
Pembentukan Desa
Tangguh Bencana
(Destana) Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung
Kabupaten Ponorogo
Peraturan Desa tentang
penanggulangan bencana
di Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung
Kabupaten Ponorogo
Surat Keputusan (SK)
tentang Pembentukan
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-86
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
Perempuan Tangguh
Bencana (Pertahana)
Desa Tugurejo
Kecamatan Slahung
Kabupaten Ponorogo
Surat Keputusan (SK)
tentang Pembentukan
Taruna Tangguh
Bencana (Tagana) Desa
Tugurejo Kecamatan
Slahung Kabupaten
Ponorogo
2. Surat, memo,
email masuk
maupun keluar
dari para
governance
stakeholder
(pemerintah,
kelompok
masyarakat,
akademisi, media,
dan dunia usaha)
yang membahas
upaya
pengurangan
risiko bencana di
Desa Tugurejo
✔ Surat terkait upaya
pengurangan risiko bencana
Desa Tugurejo yang berhasil
didapatkan yaitu hanya dari
pihak akademisi. Pihak
pemerintah tidak bersedia
memberikan dokumen
tersebut. Sedangkan pihak
kelompok masyarakat, media,
dan dunia usaha mengalami
kendala untuk mencari
dokumen tersebut.
3. Notulensi rapat
para governance
stakeholder
✔ Notulensi rapat terkait upaya
pengurangan risiko bencana di
Desa Tugurejo yang berhasil
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-87
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
(pemerintah,
kelompok
masyarakat,
akademisi, media,
dan dunia usaha)
yang membahas
upaya
pengurangan
risiko bencana di
Desa Tugurejo
didapatkan yaitu hanya dari
pihak Pemerintah Desa. Pihak
Pemerintah Kabupaten dan
Pemerintah Pusat tidak
bersedia memberikan
dokumen tersebut. Peneliti
hanya berhasil mendapatkan
materi sosialisasi dari LPBI
NU Kabupaten Ponorogo.
4. Dokumen
pengumuman
(cetak maupun
online) pada
ruang lingkup
desa untuk
sosialisasi
maupun pelatihan
tentang
pengurangan
risiko bencana di
Desa Tugurejo
✔ ✔ Dokumen pengumuman
(cetak maupun online) pada
ruang lingkup desa untuk
sosialisasi maupun pelatihan
tentang pengurangan risiko
bencana di Desa Tugurejo
berhasil diperoleh. Media
online diperoleh melalui
tangkapan layar grup
whatsapp.
5. Presensi kegiatan
sosialisasi dan
pelatihan tentang
pengurangan
risiko bencana
yang dihadiri oleh
masyarakat Desa
Tugurejo
✔ ✔ Presensi yang berhasil
diperoleh yakni presensi saat
kegiatan pelatihan tanggap
bencana di Desa Tugurejo
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-88
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
6. Proposal kerja
sama antara Desa
Tugurejo dengan
para governance
stakeholder
(pemerintah,
kelompok
masyarakat,
akademisi, media,
dan dunia usaha)
untuk
pengurangan
risiko bencana di
Desa Tugurejo
✔ ✔ Proposal kerja sama tidak
berhasil diperoleh. Namun
Kepala Desa memberikan
dokumen berita acara tentang
Musyawarah Pembentukan
Kerja Sama dalam
Penanganan Keamanan
Hutan. Selain itu peneliti juga
memperoleh dokumen Surat
Keputusan Kerja Sama antara
Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) dengan
Taruna Tangguh Bencana
(Tagana).
7. Laporan
pertanggungjawa
ban dana desa,
khususnya
anggaran yang
dialokasikan
untuk
pengurangan
risiko bencana di
Desa Tugurejo
✔ ✔ Laporan pertanggungjawaban
dana desa, khususnya
anggaran yang dialokasikan
untuk pengurangan risiko
bencana di Desa Tugurejo
berhasil diperoleh, yaitu untuk
tahun anggaran 2019.
8.. Hasil kajian dari
para akademisi
terkait
pengurangan
risiko bencana di
Desa Tugurejo
✔ ✔ Hasil kajian dari para
akademisi terkait
pengurangan risiko bencana di
Desa Tugurejo berhasil
diperoleh melalui jurnal
ilmiah dan buku yang
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-89
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
diterbitkan oleh Dosen
UNIDA.
9. Publikasi media
(cetak, elektronik
maupun online)
terkait berita
bencana di Desa
Tugurejo
Kecamatan
Slahung
Kabupaten
Ponorogo
✔ ✔ Publikasi media (cetak,
elektronik maupun online)
terkait berita bencana di Desa
Tugurejo Kecamatan Slahung
Kabupaten Ponorogo berhasil
diperoleh.
10. Data kejadian
bencana di
Kabupaten
Ponorogo tahun
2015-2019
✔ ✔ Data kejadian bencana di
Kabupaten Ponorogo tahun
2015-2019 berhasil diperoleh
melalui BPBD Kabupaten
Ponorogo, BPBD Provinsi
Jawa Timur, dan BNPB
11. Catatan organisasi
tentang anggaran
dan personil dari
kelompok
masyarakat,
diantaranya
Tagana,
Pertahana, LPBI
NU, PMI
Ponorogo, dan
Organisasi RAPI
✔ ✔ Catatan organisasi tentang
personil dari kelompok
masyarakat, diantaranya
Tagana, Pertahana, LPBI NU,
PMI Ponorogo, dan
Organisasi RAPI berhasil
diperoleh. Namun untuk
catatan organisasi tentang
anggaran, organisasi tersebut
tidak bersedia memberikan
informasi.
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
I-90
SKRIPSI ADAPTIVE VILLAGE GOVERNANCE... AISYAH NUSA RAMADHANA
12. Peta rawan
bencana Desa
Tugurejo
✔ ✔ Peta rawan bencana Desa
Tugurejo berhasil diperoleh.
13. Makna
keberhasilan
program desa
tangguh bencana
bagi para
governance
stakeholder
✔ ✔ Makna keberhasilan program
desa tangguh bencana bagi
para governance stakeholder
berhasil diperoleh
Sumber: dokumen pribadi peneliti